Polutan, Musuh Tumbuh Kembang Anak
-
Upload
lanina-lathifa -
Category
Documents
-
view
19 -
download
7
Transcript of Polutan, Musuh Tumbuh Kembang Anak
Anak Kota Rawan Gangguan Tumbuh Kembang
Kompas.com - Gangguan dalam hal tumbuh kembang memiliki kecenderungan
lebih besar dialami oleh anak-anak yang dibesarkan di kota dibandingkan dengan di desa.
Kecenderungan ini diakibatkan perbedaan dalam pola makan dan pola asuh di antara
keduanya.
Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada Profesor Juffrie mengatakan, pola makan menjadi faktor penting bagi tumbuh
kembang anak, termasuk pola makan dari ibu dan anak. Berdasarkan hasil risetnya
beberapa waktu lalu, ibu yang hidup di desa memiliki pola makan yang lebih alami
dibandingkan mereka yang hidup di kota. "Makanan yang dimakan ibu menentukan ASI
yang dihasilkannya. Semakin alami makanan yang dimakan maka akan semakin baik
probiotik dalam ASI dihasilkan," papar Juffrie dalam acara peluncuran Happy Tummy
Council di Jakara, Senin (25/3/2013).
Probiotik merupakan unsur penting bagi kesehatan pencernaan anak karena dapat
menyeimbangkan bakteri di dalam usus yang disebut dengan mikroflora normal dengan cara
meningkatkan pertumbuhan bakteri baik dan menurunkan bakteri buruk. Kesehatan
pencernaan anak kemudian akan mempengaruhi tumbuh kembang anak. Menurut dokter
spesialis anak di bidang tumbuh kembang Ahmad Suryawan, ASI merupakan sumber
probiotik alami. "ASI menjadi pilihan utama sumber probiotik bagi masyarakat desa.
Berbeda dengan di kota yang umumnya banyak pilihan," ujar dokter dengan sapaan akrab
Wawan ini. Wawan mengatakan, pemberian probiotik alami adalah yang terbaik untuk anak.
"Terlebih dengan konsumsi makanan alami oleh ibu yang meningkatkan kualitas dari ASI, itu
akan semakin baik," paparnya.
Selain itu, pola asuh yang diterapkan pada anak juga sangat berpengaruh terhadap
tumbuh kembang anak. Menurut psikolog anak Rini Hildayani, pola asuh masyarakat desa
umumnya lebih baik daripada di kota. Hal tersebut mungkin yang menjadikan gangguan
tumbuh kembang anak lebih sering dijumpai di kota. "Orang tua yang bekerja, terutama ibu,
akan kehilangan banyak waktu untuk mengasuh anak. Mempercayakan pada pengasuh
yang tidak sensitif dan responsif akan menghambat tumbuh kembang anak," jelas Rini. Oleh
karena itu, kata Rini, sebaiknya orang tua merencanakan dengan baik ada siapa mereka
mempercayakan anak ketika mereka bekerja. "Mempercayakan pada pengasuh bisa saja,
asalkan sebelumnya sudah diberi pengarahan cara mengasuh anak yang tepat," pungkas
dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.
Pembahasan
Faktor yang memengaruhi tumbuh kembang anak dibagi menjadi dua, yaitu faktor
genetik dan lingkungan. Faktor genetik merupakan modal dasar bagi tumbuh kembang
anak, sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor pendukung yang berperan cukup vital
dalam mencapai tumbuh kembang anak yang optimal. Faktor lingkungan terbagi menjadi
dua, yaitu prenatal (sebelum kelahiran) dan postnatal (setelah kelahiran). Salah satu faktor
lingkungan postnatal yang perlu diperhatikan adalah sanitasi lingkungan, termasuk polutan.
Perkembangan industri saat ini seperti koin yang memiliki dua sisi, memberi dampak positif
sekaligus negatif. Dampak negatif tersebut adalah semakin tingginya angka paparan tubuh
terhadap polutan yang bersifat toksik bagi tubuh.
Zat polutan pada lingkungan dikatakan beresiko tinggi terhadap kesehatan tubuh jika
telah melewati ambang batas tertentu. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
(Bapedalda) DKI Jakarta sempat mengadakan studi yang menyimpulkan bahwa ibu-ibu di
pinggiran kota memiliki ASI berkadar timbal 10-30 ug per kilogram. Kadar ini jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang tinggal di pedesaan, yakni hanya 1-2 ug per kilogram.
Polutan timbal yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar minyak, dapat memicu
gangguan kesehatan kaum perempuan dan balita. Tingginya kandungan timbal pada sisa
pembakaran bahan bakar minyak itu, antara lain karena digunakannya Pb sebagai
campuran demi meningkatkan perfoma mesin kendaraan.
Beberapa tahun lalu United Nations Environmental Programme (UNEP) juga
menempatkan Jakarta sebagai kota terpolusi nomor tiga di dunia setelah Meksiko dan
Bangkok. Sebagian besar kendaraan bermotor di kota-kota besar masih menggunakan
bahan bakar fosil seperti Hidrogen (H) dan Karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2)
juga Nox. Selain menyebabkan infeksi saluran pernapasan (ISPA), cemaran asap knalpot itu
juga mengancam kecerdasan anak. Penelitian PBB terbaru melaporkan, sebanyak 5.500
anak meninggal setiap harinya akibat penyakit yang di sebabkan oleh air dan makanan yang
tercemar zat polutan. Polutan juga telah memakan jutaan korban anak. Hasil penelitian
WHO menambahkan 1-3 masalah kesehatan global disumbang dari efek polutan di
lingkungan. Lebih dari 40 persen resiko ini menyerang anak usia di bawah 5 tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Kevin Lynch pada tahun 1971-1975 menyimpulkan
bahwa lingkungan terbaik adalah yang mempunyai komunitas yang kuat secara fisik dan
sosial, komunitas yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas, memberikan kesempatan
bermain untuk anak, memiliki fasilitas pendidikan yang memungkinkan anak untuk
mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka. Penelitian ini sejalan dengan
pernyataan UNICEF bahwa anak-anak harus mendapatkan keamanan dan kenyamanan,
hingga dapat bebas bermain, belajar, dan berinteraksi. Mengacu pada hasil penelitian
tersebut, maka faktor penentu tumbuh kembang anak bukan hanya gizi dan kesehatan.
Faktor lingkungan juga memiliki pengaruh yang penting terhadap tumbuh kembang anak.
Oleh karena itu, orang tua perlu memberi perhatian terhadap lingkungan sehari-hari tempat
anak beraktivitas dan berinteraksi.
Salah satu musuh utama yang mengancam lingkungan tumbuh kembang anak
adalah polutan. Menurut dokter kesehatan masyarakat Departemen Kesehatan Lingkungan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, DR.Dr. Rachmadi Purwana SKM, polutan yang kerap
masuk ke tubuh anak yaitu Pb (Timbal) dan Hg (Air raksa). Polutan tersebut, mempengaruhi
kesehatan organ-organ tubuh anak dan berdampak pada proses tumbuh kembang anak.
Polutan timbal muncul dari proses pembakaran yang tidak sempurna pada bahan
bakar kendaraan bermotor dan mesin-mesin pabrik. Menyebar melalui asap sisa
pembakaran yang kemudian terhirup manusia. Sedangkan polutan air raksa dapat meracuni
manusia melalui cairan atau makanan tercemar, atau uap yang terhirup. Dua logam berat itu
selanjutnya dapat terakumulasi ke otak, menyebabkan pengerutan jaringan otak sehingga
fungsi otak menurun, atau menghambat pembentukan darah, yang menyebabkan anemia.
Di luar ancaman penurunan tingkat kecerdasan, udara yang tercemar logam berat dan zat-
zat polutan juga dapat memicu bronchitis, pneumonia, asma serta gangguan fungsi paru.
Proses masuknya polutan ini tak hanya melalui kontak langsung misalnya pernapasan, kulit,
dan sebagainya, Namun juga meracuni bayi yang sedang dikandung. Salah satu, penyakit
akibat polutan pada anak yang di transfer dari ibu ini di kenal dengan penyakit minamata
yang di ketemukan di desa Minamata, Jepang. Kasus pencemaran yang menyebabkan
kelahiran cacat dan kematian bayi itu, di sebabkan oleh tingginya kadar merkuri pada ikan
yang si konsumsi para ibu di Jepang. Air raksa (merkuri) yang bersifat logam dapat berubah
menjadi merkuri organik yang dapat larut di dalam air. Merkuri logam akan di ubah oleh
bakteri dengan menyumbangkan zat organik ke dalam merkuri logam sehingga berubah
menjadi merkuri organik. Merkuri organik ini memiliki akses ke plankton/jasad renik yang
menjadi makanan ikan. Dampak dari mengkonsumsi ikan-ikan yang tercemar merkuri tidak
langsung terlihat, namun akan terakumulasi dalam tubuh, termasuk merusak pertumbuhan
janin dalam kandungan. Pada fase kehamilan bayi menyerap nutrisi dari si ibu. Termasuk
semua komponen merkuri yang mengalir dalam darah ibu akan ikut ditransfer ke bayinya.
Jika air raksa masuk ke dalam tubuh perempuan hamil, anak-anak yang dilahirkan akan
mengalami cacat tubuh yang sifatnya tanpa kaki, tanpa tangan atau bentuk kepala tidak
beraturan. Namun, tidak semua gejala seperti itu merupakan akibat dari paparan polutan,
sehingga perlu dilakukan uji laboratorium untuk menegakkan hipotesis tersebut.
Gejala-gejala keracunan polutan, akan sangat tergantung zat yang
menyebabkannya. Misalnya, gejala yang di timbulkan karena keracunan merkuri antara lain
mengeluarkan air ludah secara terus-menerus, sulit berbicara, telinga berdenging, dan mata
kabur. Bahkan, jika terkena jaringan saraf tremor bisa menyebabkan jaringan saraf psikonis
bisa menyebabkan paralisis atau kelumpuhan serta sesak nafas. Sedangkan pencemaran
timbal pada anak, akan menyebabkan perkembangan lambat, gangguan konsentrasi dan
gerak motorik, anak layu atau mengalami anemia secara tiba-tiba. Anak-anak dengan
gejala-gejala tersebut sebaiknya menjalani pemeriksaan medis lebih lanjut. Di masyarakat,
dampak cemaran polutan pada anak ini memang tidak mudah dikenali. Rachmadi
menjelaskan, satu kasus penyakit dengan gejala seperti akibat polutan, bisa diakibatkan
oleh beragam sebab (multiple cause).
Identifikasi gejala keracunan semakin rumit, karena satu zat beracun juga bisa
menyebabkan beragam efek. Misalnya, pada anak yang mengalami penurunan kecerdasan
bisa disebabkan oleh merkuri dan timbal, atau zat pencemar lainnya. Padahal di suatu
daerah bisa terdapat bermacam-macam polutan. Penyakit akibat polutan di suatu
lingkungan, baru bisa dipastikan jika daerah tersebut mengalami kasus lingkungan, seperti
kebocoran limbah, dan sebagainya. Pada kasus tertentu, penderita pingsan atau meninggal
sehingga bisa langsung terdeteksi karena keracunan zat polutan kadar tinggi. Namun yang
lebih sering terjadi, polutan dari lingkungan meracuni tubuh secara perlahan, dan sering
tidak diketahui pangkalnya.
Penanganan penyakit akibat polutan memiliki sifat dilematis. Karena kemungkinan
dipicu oleh penyebab lain. Untuk menentukan zat-zat berbahaya yang mencemari tubuh,
perlu dilakukan penelitian lebih komprehensif melalui tes laboratorium kuku, rambut, darah,
dan air seni. Untuk mengetahui tinggi rendahnya paparan merkuri, dilakukan pemeriksaan
rambut. Sedangkan, pemeriksaan darah bertujuan untuk mengetahui kadar keracunan yang
diakibatkan oleh timbal. Kemudian dilakukan pemeriksaan genetik. Sayangnya, di Indonesia
pemeriksaan tersebut sulit diaplikasikan akibat tingginya biaya yang harus dikeluarkan.
Kesulitan mendeteksi penyakit akibat polutan juga disebabkan jarak antara paparan zat
polutan dengan timbulnya penyakit, cukup jauh. Untuk memastikan bahwa penyakit
seseorang diakibatkan zat polutan, dibutuhkan penelusuran sejarah kehidupannya.
Misalnya, kondisi dan sifat daerah tempat tinggalnya, pola konsumsi, sejak masa kanak-
kanak, hingga dewasa. Perbedaan dampak polutan pada anak antara lain disebabkan oleh
perbedaan sistem imun yang mampu menyaring polutan, sehingga tingkat kemudahan untuk
menyerap polutan tidaklah sama. Masing-masing anak memiliki “kandungan” yang berbeda,
yang dapat menjadi “akseptor” polutan. Misalnya, anak yang mengalami kekurangan zat
besi dan kalsium akan lebih mudah menyerap timbal. Kedua mineral tersebut mampu
mendesak Pb keluar dari tubuh. Kenyataannya, paparan terhadap polusi memang cukup
sulit direduksi, sehingga salah satu penanganan yang dapat dilakukan adalah melalui diet
seimbang dari unsur protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan makanan kaya antioksidan. Di
sinilah peran orang tua untuk mengamati perkembangan anak sedetail mungkin. Selain itu,
orang tua juga perlu di bekali pengetahuan mengenai zat-zat polutan. Terutama
mewaspadai kondisi lingkungan di sekitar dan dalam rumah. Salah satu sumber polutan dan
zat beracun adalah mainan anak-anak. Waspadai mainan anak yang permukaannya tampak
mengkilap, karena bisa jadi pelapis timbal untuk memberi efek kilap tersebut.
Referensi
Sumber artikel :
http://kompas.com/
Sumber pembahasan :
Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2008.
http://www.ibudanbalita.com/