POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME...

120
LAPORAN HASIL PENELITIAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN (SAINS) TAHUN ANGGARAN 2016 POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME KEBANGSAAN (Studi Atas Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde Baru) Tim Peneliti: Suryani, M.Si : Ketua Ana Sabhana Azmy, M.IP : Anggota PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN (PUSLITPEN) LP2M UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016

Transcript of POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME...

Page 1: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

LAPORAN HASIL PENELITIAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN (SAINS)

TAHUN ANGGARAN 2016

POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME KEBANGSAAN

(Studi Atas Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde Baru)

Tim Peneliti:

Suryani, M.Si : Ketua

Ana Sabhana Azmy, M.IP : Anggota

PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN (PUSLITPEN) LP2M UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2016

Page 2: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan penelitian yang berjudul Politik Identitas Dan Nasionalisme Kebangsaan (Studi Atas Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde Baru) merupakan laporan akhir pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh SURYANI, M.Si dan Ana Sabhana Azmy, M.IP, dan telah memenuhi ketentuan dan kriteria penulisan laporan akhir penelitian sebagaimana yang ditetapkan oleh Pusat Penelitian dan Penerbitan (PUSLITPEN), LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 28 Oktober 2016

Peneliti,

SURYANI, M.Si.

NIP: 197704242007102003

ANA SABHANA AZMY, M.IP.

Mengetahui;

Kepala Pusat, Ketua Lembaga, Penelitian dan Penerbitan (PUSLITPEN) Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (LP2M) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

WAHDI SAYUTI, MA. M. ARSKAL SALIM, GP., MA., PhD

NIP. 19760422 200701 1 012 NIP. 19700901 199603 1 003

Page 3: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

Yang bertanda tangan di bawah ini;

Nama : Suryani, M.Si

Jabatan : Lektor/Penata III/c

Unit Kerja : FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Alamat : Jl. Kertamukti No. Ciputat.

dengan ini menyatakan bahwa:

1. Judul penelitian “Politik Identitas Dan Nasionalisme Kebangsaan (Studi Atas Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde Baru)” merupakan karya orisinal saya

2. Jika di kemudian hari ditemukan fakta bahwa judul, hasil atau bagian darilaporan penelitian saya merupakan karya orang lain dan/atau plagiasi, maka saya akan bertanggung jawab untuk mengembalikan 100% dana hibah penelitian yang telah saya terima, dan siap mendapatkan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku serta bersedia untuk tidak mengajukan proposal penelitian kepada Puslitpen LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama 2 tahun berturut-turut.

Demikian pernyataan ini dibuat untuk digunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, 28 Oktober 2016

Yang Menyatakan,

SURYANI, M.Si

197704242007102003

Page 4: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

ABSTRAK

Partisipasi politik masyarakat adalah unsur terkuat berjalannya mesin demokrasi dalam sebuah bangsa yang sudah cukup panjang mengalami disorientasi sistem bernegara seperti Indonesia. Setelah 32 tahun terkoptasi dalam intervensi politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu menunjukkan keingian politiknya saat keran demokrasi mulai dibuka pada tahun 1998. Pada alam reformasi, di mana keterbukaan dan partisipasi publik makin meluas dan bebas, masalah baru bagi penguatan identitas politik pun hadir. Menguatnya politik identitas bagi etnis Tionghoa di Indonesia justru semakin menjauhkan wajah multikulturalisme yang menjadi pilar bergulirnya demokratisasi. Eksklusifitas dan nilai ke “aku” an atas etnis Tionghoa makin terlihat dan merupakan ancaman bagi nasionalisme kebangsaan yang menjadi pijakan atas kedaulatan Indonesia. Karena itu paenelitian ini penting dilakukan. Dengan menggunakan metodologi kualitatif, data data yang terkumpul pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teori politik identitas, teori nasionalisme, teori multikulturalisme, dan teori modal sosial.

Setelah mengkaji dan menganalisis data, maka penelitian ini berhasil menemukan beberapa hal yang berkaitan dengan penguatan politik identitas etnis Tionghoa adi Indonesia setelah orde baru bahwa kontribusi beberapa pihak sangat berpengaruh pada hal tersebut, yaitu kekuatan modal sosial yang dimiliki oleh etnis Tionghoa dan pola hubungan patron – klien dengan penguasa memberi mereka ruang secara eksklusif untuk mendapatkan posisi yang strategis dalam politik baik secara formal maupun secara non formal, hal lain yang berhasil ditemukan dalam penelitian ini adalah adanya pergeseran orientasi politik di kalangan etnis Tionghoa untuk bisa mengambil peran dalam dunia politik dengan memanfaatkan nilai-nilai multikulturalisme di tengah kemajemukan bangsa Indonesia.

Kata Kunci: Politik Identitas, Nasionalisme Kebangsaan dan Multikulturalisme

Page 5: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, laporan penelitian tentang Politik Identitas dan Nasionalisme

Kebangsaan (Studi Atas Penguatan Politik Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde

Baru) telah rampung kami tulis. Penelitian ini sungguh menyenangkan untuk diteliti

karena pembahasan politik dentitas selalu mempunyai tempat tersendiri dalam

kehidupan pemerintahan Indonesia. Tim peneliti membutuhkan waktu sekitar lima

bulan untuk melakukan telaah terhadap data, menghubungi narasumber (meski pada

akhirnya belum berhasil untuk melakukan wawancara karena kondisi sosial politik

yang ada), mencari literature dan kemudian menyelesaikan laporan penelitian.

Temuan penelitian ini menarik untuk dicermati. Kami menemukan adanya

penguatan politik identitas dari etnis Tionghoa Indonesia pasca reformasi. Rasa sense

of belonging masyarakat etnis Tionghoa terhadap Indonesia direfleksikan dalam

keikutsertaan mereka pada kegiatan-kegiatan sosial politik yang ada di Indonesia.

Meski demikian, menjadi potret yang patut ditelaah lebih jauh. Antusiasme etnis

Tionghoa dalam dunia politik pasca orde baru adalah sebuah prestasi tersendiri,

namun, dengan jaringan ekonomi etnis Tionghoa yang sudah ajeg sejak masa pra

kemerdekaan hingga orde baru, berimplikasi pada menguatnya posisi mereka dalam

dunia ekonomi dan kemudian politik. Walaupun hal ini bisa saja memunculkan

persoalan baru yang berkaitan dengan stabilitas sosial masyarakat.

Saran dan harapan kami atas telaah penelitian ini adalah Negara sebagai aktor

utama dalam pemerintahan, perlu terus menjaga netralitas yang ada terhadap semua

etnis, khususnya etnis Tionghoa. Sikap netral ini akan membantu menjaga stabilitas

dan menguatkan potret multikulturalisme di Indonesia.

Pada akhirnya, kami ucapkan rasa terimakasih mendalam kepada semua

pihak yang telah membantu dalam proses penelitian ini baik secara material maupun

non mataerial hingga penelitian ini berhasil diselesaikan.

Ciputat, 28 Oktober 2016

Tim Peneliti

Page 6: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah ...................................................................... 1 B. Identifikasi masalah ...................................................................... 6 C. Pembahasan masalah ...................................................................... 14 D. Perumusan masalah ...................................................................... 15 E. Tujuan Penelitian ...................................................................... 15 F. Manfaat Penelitian ...................................................................... 15 G. Sistimatika Pembahasan ...................................................................... 16

BAB II : KAJIAN TEORI DAN LITERATUR REVIEW

A. Kajian Teori .................................................................................. 18 1. Politik Identitas ...................................................................... 18 2. Multikulturalisme ...................................................................... 21 3. Nasionalisme ...................................................................... 23 4. Modal sosial ...................................................................... 25

B. Literature Review ...................................................................... 29

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 36 B. Metode Penelitian ..................................................................... 36 C. Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 37 D. Prosedur Pengolahan Data ......................................................... 38 E. Teknik Analisis Data ..................................................................... 39

BAB VI : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Etnis Tionghoa Dalam Lintasan Sejarah di Indonesia ..................... 40

1. Etnis Tionghoa Pada Masa Pra Kemerdekaan ..................... 40 2. Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Lama ................................. 45 3. Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Baru ................................. 50

a. Penguasaan Ekonomi dan Bisnis ................................. 52 b. Asimilasi dan Diskriminasi Politik ................................. 55

4. Etnis Tionghoa Pada Masa Reformasi ................................. 59

Page 7: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

a. Pengaruh Kebijakan Negara ................................. 61 b. Konsolidasi Kelompok Kepentingan ..................... 64

B. Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde Baru

1. Patron – Klien dan Kekuatan Modal Sosial ..................... 66 2. Pergeseran Orientasi Politik ............................................. 73 3. Multikulturalisme Sebagai Motivasi Perubahan ..................... 78 4. Penguatan Civil Society ......................................................... 80

BAB V : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan ................................................................................. 99 B. Implikasi ............................................................................................. 100 C. Rekomendasi ................................................................................. 101

DAFTAR PUSTAKA

Page 8: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

DAFTAR TABEL Hal Tabel 1. : Jumlah dan Prosentasi Penduduk Menurut Kelompok Suku Bangsa Berdasarkan Data Sensus Penduduk Tahun 2010 .......................................................................... 3 Tabel 2. : Tipologi Modal Sosial Dalam Konteks Politik .............. 28 Tabel 3. : Jadwal Penelitian .............................................................. 36 Tabel 4. : Daftar Warga Etnis Tionghoa Yang Terlibat Dalam

Politik Pada Era Awal Kemerdekaan Hingga Orde Lama (1946 – 1966) ...................................... 47

Tabel 5. : Perbandingan Kepemilikan HPH di Kalimantan Barat

Antara Etnis Tionghoa Indonesia Dengan Pribumi dan Persero Dari Tahun 1967 – 1995 .............. 53

Tabel 6. : Daftar Warga Etnis Tionghoa Yang Menjadi Pengurus

Partai Politik Tahun 1998 – 2008 di Kalimantan Barat .. 63

Tabel 7. : Perubahan Orientasi Politik Etnis Tionghoa Setiap Periode Pemerintahan ...................................... 76

Tabel 8. : Organisasi Masyarakat Etnis Tionghoa Indonesia Yang Berdiri Setelah Masa Orde Baru .......................... 87

Page 9: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam penulisan sejarah Indonesia, peran aktif etnis Tionghoa hampir tidak

pernah disebutkan secara proporsional, meskipun banyak bukti sejarah yang

menunjukkan sumbangan mereka bagi perkembangan Indonesia, misalnya dalam

bidang agama, kesusasteraan, bahasa, kesenian, olah raga, dan lain lain. Bahkan

gambaran umum mengenai etnis Tionghoa di Indonesia yang ada selama ini adalah

stigma bahwa mereka merupakan kelompok penguasa ekonomi yang bersifat

oportunis, tidak memiliki loyalitas politik, tidak nasionalis, dan hanya memikirkan

kepentingan dan keuntungannya sendiri.1

Kalaupun masyarakat etnis Tionghoa disinggung dalam penulisan sejarah

biasanya banyak berkaitan dengan peranannya di bidang ekonomi baik sebagai

pelaku utama atau sebagai penguasa jalur ekonomi yang banyak merugikan

masyarakat pribumi. Politik identitas yang dialami oleh etnis Tionghoa membuat

mereka menjadi kelompok marjinal secara politik yang mengakibatkan menguatnya

identitas etnis mereka secara inklusif.

Secara historis, awal mula datangnya orang-orang Tionghoa ke Indonesia

dapat ditelusuri sejak masa Dinasti Han (206 SM – 220 M).Pada masa itu, Tiongkok

telah membuka hubungan perdagangan dengan negara-negara di sekitar kawasan Asia

Tenggara, dan menurut catatan sudah ada orang Tionghoa yang datang ke Pulau Jawa

(Djawa Dwipa). Pada masa Dinasti Tang (618 – 907 M) juga didapati orang-orang

Tionghoa di Kerajaan Sriwijaya. Pada paruh kedua abad ke-9, ketika tentara

pemberontak pimpinan Huang Chao menduduki Guangzhou, muslim Tionghoa serta

1Didi Kwartanada, “Minoritas Tionghoadan FasismeJepang: Jawa, 1942-1945”, dalam Lembaga Studi Realino (ed.), Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1996.

Page 10: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

saudagar Arab dan Persia yang berjumlah besar dan bermukim di sekitar Guangzhou

berbondong-bondong mengungsi ke Sriwijaya. Selanjutnya pada masa dinasti Ming,

orang-orang Tionghoa datang bersamaan dengan ekspedisi Laksamana Cheng Ho

sebanyak tujuh kali ke Nusantara.2Pada saat kedatangan Cheng Ho yang pertama,

sudah banyak terdapat etnis Tionghoa di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.Pada

akhir masa dinasti Ming (1368-1644) dan awal Dinasti Ching (1644-1911), jumlah

imigran etnis Tionghoa yang datang ke Nusantara semakin bertambah.Hal ini

disebabkan adanya penyerangan bangsa Manchu terhadap Dinasti Ming sehingga

banyak penduduk Tiongkok yang bermigrasi untuk menghindari peperangan.

Para perantau kebanyakan berasal dari propinsi-propinsi di Cina Selatan,

seperti propinsi Kwangtung, Fukien, Kwangsi, dan Yunan.Para perantau tidak berasal

dari satu suku bangsa, tetapi paling sedikit delapan suku bangsa dengan bahasa yang

berbeda-beda.Secara garis besar, orang Tionghoa di Indonesia sebagian berasal dari

empat suku bangsa, yaitu Hokkien, Hakka atau Kheh, Tiu-Chiu, dan orang kota

Kanton.3 Di Indonesia, suku Hokkien hidup dengan cara berdagang, orang Kanton di

samping mempunyai kepandaian berdagang juga mempunyai ketrampilan di bidang

pertukangan dan teknologi, orang Hakka bekerja di pertambangan sehingga mereka

banyak terdapat dan tinggal di daerah pertambangan seperti Bangka dan Belitung,

dan orang Tiu-Chiu banyak melakukan usaha di bidang perkebunan.

Pada tahun 1815 dari total jumlah penduduk di Jawa sebesar 4.615.270 jiwa,

terdapat 94.441 orang (2,04%) dari golongan Tionghoa.4 Di Jakarta yang sebelumnya

bernama Batavia, pada tahun 1628 jumlah warga etnis Tionghoa baru berjumlah 3000

jiwa, pada tahun 1739 meningkat menjadi 10.574 jiwa.5

2 Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok-Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2005), hlm.

23-25. 3Victor Purcell, The Chinese in Southeast Asia, (London: Oxford University, 1987), hlm. 52. 4Lembaga S tudi Realino (ed.), PenguasaEkonomidanSiasatPengusahaTionghoa, (Yogyakarta:

Kanisiusdan Lembaga Studi Realino, 1996), hlm. 11. 5Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke, (Jakarta:

PustakaPopuler Obor, 2005), hlm. Viii.

Page 11: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Berdasarkan data sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS pada tahun

2010, jumlah penduduk Indonesia berjumlah 237.641.326 jiwa dengan kurang lebih

1.300 suku. Etnis Tionghoa menempati urutan ke-18 dengan perolehan 1,22% dan

berjumlah sekitar 2.832.510 jiwa.

Tabel 1.

Jumlah dan Prosentasi Penduduk Menurut Kelompok Suku Bangsa

Berdasarkan Data Sensus Penduduk Tahun 2010

No Kelompok Suku Jumlah % 1 Jawa 95.217.022 40.22 2 Sunda 36.701.670 15,5 3 Batak 8.466.969 3,58 4 Suku asal Sulawesi 7.634.262 3,22 5 Madura 7.179.356 3,03 6 Betawi 6.807.968 2,88 7 Minangkabau 6.462.713 2,73 8 Bugis 6.359.700 2,69 9 Melayu 5.365.399 2,27 10 Suku asal Sumatera Selatan 5.119.581 2,16 11 Suku asal Banten 4.657.784 1,97 12 Suku Asal NTT 4.184.923 1,77 13 Banjar 4.127.124 1,74 14 Suku Asal Aceh 4.091.451 1,73 15 Bali 3.946.416 1,67 16 Sasak 3.173.127 1,34 17 Dayak 3.009.494 1,27 18 Cina/Tionghoa 2.832.510 1,22 19 Suku asal Papua 2.693.630 1,14 20 Makassar 2.672.590 1,13 Sumber: Badan Pusat Statistik

Page 12: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Etnis Tionghoa menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, namun

kawasan utama penyebaran orang Tionghoa di Indonesia ada di wilayah Jabodetabek,

Kalimantan Barat, dan Bangka Belitung.6

Di Indonesia, Istilah Tionghoa sendiri untuk pertama kalinya digunakan untuk

menjadi nama perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THKK) yang didirikan tahun

1900, dalam dokumen organisasi tersebut istilah Tjina juga banyak digunakan untuk

menyebutkan identitas mereka. Selanjutnya, istilah Tionghoa mulai populer beriring

bangkitnya nasionalisme Tionghoa di Jawa pada dekade ke-2 pada abad ke-20 di

Hindia Belanda. Istilah ini digunakan untuk menyatakan solidaritas kaum Tionghoa

dan sebagai manifestasi peranakan Tionghoa terhadap posisi mereka yang dianggap

sebagai penduduk kelas dua di Hindia Belanda.7 Kebijakan Pemerintah Hindia

Belanda juga mengharuskan orang Tionghoa untuk tinggal di satu daerah tertentu

(wijkenstelsel) dan hanya boleh keluar dari area tersebut setelah mendapat kartu pass

izin keluar.

Diskriminasi dalam bentuk politisasi identitas terhadap etnis Tionghoa tidak

hanya terjadi pada masa pemerintahan Hindia Belanda, namun terus dilanjutkan pada

masa setelah kemerdekaan, tepatnya pada era demokrasi liberal, diterapkan sebuah

aturan yang disebut sistem benteng8 yang merupakan kebijakan yang dikeluarkan

pemerintah untuk melindungi para importir nasional yang notabene nya adalah

importir pribumi dari importir asing, dan para pengusaha Tionghoa tidak masuk

dalam kategori importir nasional tersebut. kebijakan lain yang makin meminggirkan

kaum Tionghoa adalah saat Presiden Soekarno mengeluarkan PP No.10 tahun 1959

6BPS, Sensus 2010 Tentang Data Sebaran Penduduk Indonesia Berdasarkan Etnis dan Suku, Etnis

Tionghoa adalah etnis yang berintegrasi dengan etnis lain, hingga seringkali mereka menyatakan sebagai salah satu etnis asli Indonesia sebagai suku nya karena secara turun temurun sudah tinggal di wilayah tersebut.

7 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2002, h. 102. Penduduk kelas pertama adalah orang EropadanBelanda, keduagolonganTimur Asing yang terdiri dari Tionghoa, Jepang, dan Arab, lalup osisi ketigaditempati oleh orang pribumi.

8 Leo suryadinata, DilemaMinoritasTionghoa, Jakarta: Grafiti Press, 1984, h. 135.

Page 13: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

yang melarang orang Tionghoa melakukan perdagangan eceran di daerah pedesaan,

peraturan ini membuat eksodus kaum Tionghoa dari daerah pedesaan ke pinggiran

kota.

Pada Masa Presiden Soeharto, Etnis Tionghoa mendapatkan perlakuan yang

makin buruk yaitu saat muncul kampanye anti Guomindang (Kuomintang) dan

terjadinya peristiwa Gerakan 30 September, saat itu Beijing dianggap terlibat dalam

rencana kudeta tersebut sehingga pemerintah mengeluarkan beberapa aturan khusus

bagi masyarakat etnis Tionghoa, diantaranya, pelarangan terhadap penggunaan huruf

Tionghoa, bahasa Tionghoa, pembatasan surat kabar Tionghoa, penutupan sekolah

Tionghoa, pembatasan perayaan imlek dan cap go meh, pembatasan upacara di

klenteng dan formalisasi penggunaan istilah Cina menggantikan Istilah Tionghoa

yang sebelumnya di gunakan.9 Pemerintah juga mengeluarkan TAP MPRS No.

III/MPRS/1966 yang mengharuskan warga Tionghoa untuk mengindonesiakan nama

mereka dan tidak menggunakan nama Cina sebagai identitas.

Dimulainya proses demokratisasi setelah gerakan reformasi pada tahun 1998

yang dimulai dengan lengsernya Presiden Soeharto yang kemudian digantikan oleh

Presiden BJ. Habibi memberikan energi dan semangat baru bagi bangsa Indonesia

untuk berperan aktif mengambil bagian dalam mendukung ditegakkannya demokrasi.

Hal ini ditandai dengan banyaknya partai partai politik baru yang didirikan dengan

beragam ideologi dan bassis massa, makin meningkatnya semangat masyarakat untuk

berperan dan berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan-kegiatan politik, baik yang

berskala lokal maupun yang nasional.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa Orde Baru orang-orang Tionghoa

Indonesia telah diindonesiakan, walau sebagian besar di antara mereka belum

berasimilasi seutuhnya. Persamaan yang mereka miliki dengan etnis asli Indonesia

9“Diskriminasi Etnis Tionghoa” artikel diakses pada 28 Maret 2014 dari

http://homearticleimg.com.

Page 14: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

adalah status kewarganegaraan Indonesia dan penggunaan bahasa Indonesia dalam

kehidupan sehari-hari. Secara formal, undang-undang kewarganegaraan pun belum

mendukung sepenuhnya upaya asimilasi yg seharusnya sudah final dilakukan. Salah

satu contoh adalah konsep pembedaan pribumi dan non-pribumi dilihat dari Undang-

Undang Dasar Indonesia. Naskah asli UUD 1945 secara jelas membagikan

warganegara Indonesia ke dalam dua kelompok, yaitu: pribumi dan non-pribumi.

Dalam Pasal 6 UUD yang belum diubah tertulis bahwa presiden adalah orang

Indonesia asli dan dalam Pasal 26 dikatakan bahwa warga negara Indonesia terdiri

dari bangsa Indonesia asli dan bangsa lain. UUD telah diubah sebanyak empat kali,

dan pada tanggal 10 Nopember 2001 Pasal 6 telah diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut: presiden dan wakil presiden Indonesia harus warga negara Indonesia sejak

kelahirannya, sedangkan dalam Pasal 26, istilah bangsa Indonesia asli dipertahankan,

UU tersebut menjadi sangat ambigu ketika ditarik pada pemaknaan hak-hak

warganegara baik dalam kehidupan sosial maupun politik. Tidak konsistennya upaya

mendorong perundangan ke arah yang dikehendaki oleh demokrasi pada masa

Reformasi memunculkan batu sandungan yang cukup besar terhadap termujudnya

wacana pluralisme dan multikulturalisme diantara bangsa Indonesia khususnya antara

etnis Tionghoa yang bukan dianggap asli dan etnis pribumi yang dianggap sebagai

orang Indonesia asli.

Pergeseran dari kebijakan asimilasi pada masa Orde Baru kearah

pembentukan masyarakat yang multikultural yang diusung oleh gerakan

demokratisasi memunculkan permasalahan yang cukup penting untuk dikaji lebih

dalam, yaitu bagaimana penguatan identitas politik yang secara otomatis muncul

sebagai akibat dibukanya peran partisipasi politik sejak reformasi memberikan

dampak bagi menguatnya nilai-nilai nasionalisme kebangsaan di Indonesia. Beberapa

kekhawatiran muncul akibat menguatnya politik identitas politik etnis Tionghoa di

Indonesia justru akan bersinggungan dengan makin menguatnya eksklusifitas etnis

tertentu dan menjadi ancaman bagi nilai nilai nasionalisme kebangsaan yang menjadi

pijakan dasar bagi terwujudnya NKRI yang kuat.

Page 15: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

B. Identifikasi Masalah

Peran aktif etnis Tionghoa dalam dunia politik menjadi sangat penting sekali

untuk dibahas. Hal ini disebabkan adanya dinamika yang cukup menarik dari posisi

politikidentitas yang dimiliki baik secara historis maupun secara empiris.

Kedatangan leluhur suku Tionghoa (yang berasal dari negera China) untuk

bermigrasi ke Indonesia terjadi sejakratusan tahun yang lalu sekitar abad ke 16-19.

Kedatangan mereka ke nusantara sebagai salah satu implikasi ramainya interaksi

perdagangan di daerah pesisir tenggara China, hingga banyak orang yang tinggal di

daerah pesisir China ikut berlayar untuk berdagang dengan salah satu tujuan utama

mereka saat itu adalah Asia Tenggara. Indonesia (masih dikuasai peamerintahan

Hindia Belanda) menjadi salah satu pilihan wilayah di Asia Tenggara yang menjadi

tempat singgah.Sebagia dari para pedagang China memutuskan untuk menetap dan

menikah di Indonesia dengan warga pribumi, dan ada pula yang kembali ke China

untuk terus berdagang. Para pedagang China yang tinggal menetap dan menikah di

Indonesia hidup membaur dengan masyarakat asli Indonesia, dan akhirnya terjadi

asimilasi serta akulturasi budaya.

Sejak negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan

Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia,

sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik

Indonesia.Orang-orang Tionghoa di Indonesia umumnya berasal dari bagian

Tenggara China (sekarang propinsi Fujian, Guangdong, Hainan, dan sekitarnya).

Sebagai kelompok pendatang di bumi nusantara, banyak penyesuaian dan

adaptasi yang harus dilakukan dengan masyarakat pribumi, hal ini bertambah sulit

karena masyarakat Tionghoa yang datang ke Indonesia bersifat masif dan membawa

budaya yang jauh berbeda dengan yang menjadi tradisi masyarakat lokal di

Page 16: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Indonesia. Disamping jumlah yang banyak, masyarakat Tionghoa memiliki

solidaritas etnis yang sangat kuat

Bahkan setelah berpuluh tahun menetap di Indonesia dan ikut menjadi bagian

sejarah nusantara, posisi sosial politik etnis Tionghoa tetap terpisah dan tidak bisa

melebur secara maksimal dengan masyarakat pribumi. Beberapa persoalan sosial

yang kerap kali berujung pada terjadinya konflik antar etnis pribumi dan etnis

Tionghoa di Indonesia. Hal tersebut menjadi agaenda sendiri bagi penguasa untuk

membuat kebijakan dan regulasi yang bersifat akomodatif dan kondusif, walau tak

jarang kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru berkontribusi bagi makin

menguatnya konflik yang muncul ditengah masyarakat.

Bila ditelusuri secara historis, sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda

sudah diberlakukan kebijakan yang cukup mendiskriminasi peran aktif politik etnis

Tionghoa di Indonesia, Pemerintah Hindia Belanda mengharuskan orang Tionghoa

untuk tinggal di satu daerah tertentu (wijkenstelsel) dan hanya boleh keluar dari area

tersebut setelah mendapat kartu pass izin keluar. Pemerintah Orde Lama

memberlakukan sistem Benteng dan dikeluarkannya PP No.10 tahun 1959 yang

melarang orang Tionghoa melakukan perdagangan eceran di daerah pedesaan,

peraturan ini membuat eksodus kaum Tionghoa dari daerah pedesaan ke pinggiran

kota.

Pada masa Presiden Soeharto, politik identitas dilakukan dengan

diterapkannya politik dua dimensi terhadap etnis Tionghoa, yaitu dimensi budaya dan

dimensi ekonomi.10 Pada dimensi budaya, Soeharto memberlakukan politik asimilasi

total dengan menghapuskan tiga pilar budaya Tionghoa, yaitu sekolah, organisasi,

dan media Tionghoa, sedangkan di sektor ekonomi Soeharto memberikan kesempatan

yang seluas luasnya bagi mereka untuk lebih mendominasi. Namun, bila mereka

10PurnamaS. , Politik Pemerintahan Indonesia dan Etnik Tionghoa, artikel diaksespada 28 Maret

2014 dari http://www.secangkirteh.com.

Page 17: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

sudah mendekati wilayah politik, akses mereka segera ditutup dengan berbagai aturan

yang kental dengan kecurigaan. Hal tersebut lah yang menjadi salah satu sebab

minimnya partisipasi kaum Tionghoa dalam percaturan politik Indonesia. Mereka

lebih memaksimalkan penguasaan sektor ekonomi, juga membangun jaringan sebagai

patron-klien secara lebih kuat tanpa langsung bersentuhan dengan politik praktis

namun dapat mengambil keuntungan dari hal tersebut secara ekonomis.

Pemerintah juga mengeluarkan TAP MPRS No. III/MPRS/1966 yang

mengharuskan warga Tionghoa untuk mengIndonesiakan nama mereka dan tidak

menggunakan nama asli mereka sebagai identitas.

Sebelum di amandemen, dalam UUD 1945 pada pasal 2 ayat 2 dinyatakan

bahwa yang menjadi warga negara Indonesia ialah hanya orang-orang bangsa

Indonesia yang asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang

undang dasar sebagai warga negara. Pemahaman mengenai kalimat bangsa Indonesia

asli ini mengalami beberapa kali perubahan dari UU No.3 tahun 1946, lalu UU no.6,

UU No.8 tahun 1947 hingga UU No.11 tahun 1948. Akhirnya rumusan konsep istilah

bangsa Indonesia asli memiliki landasan konstitusional di dalam amandemen UUD

1945 pasal 26 :

1. Yang menjadi warga negara ialah orang orang Indonesia asli dan orang

orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang undang sebagai warga

negara.

2. Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat

tinggal di Indonesia.

3. Setiap warga negara dan penduduk diatur dengan Undang Undang.

Setelah amandemen tersebut, dibentuk Undang Undang Organik yaitu UU

no.12 tahun 2006, dimana pemahaman bangsa Indonesia asli sebagaimana di maksud

dari ketentuan pasal 2 UU No.12 tahun 2006 menentukan bahwa “yang menjadi

warga negara Indonesia adalah orang orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang

Page 18: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

bangsa lain yang disahkan dengan undang undang sebagai warga Negara”.11 Dalam

penjelasan pasal 2 tersebut ditegaskan bahwa yang disebut bangsa Indonesia asli

adalah warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima

kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri, dilanjutkan dengan ketentuan pasal 4

yang mengatakan bahwa anak yang dilahirkan di wilayah negara Republik Indonesia

dianggap warga negara Indonesia sekalipun status kewarganegaraan orang tuanya

tidak jelas. Hal tersebut memberikan angin segar bagi etnis Tionghoa yang

mengalami persoalan status kewarganegaraan dalam waktu yang sangat panjang,

dimana penegasan tentang status kewarganegaraan ditentukan oleh tempat kelahiran

dalam wilayah Indonesia.

Benturan masalah yang dialami oleh orang Tionghoa tidak hanya tentang

status kewarganegaraan mereka saja, masih banyak persoalan yang muncul dan

mendatangkan konflik yang cukup dalam antara orang Tionghoa dengan warga asli

Indonesia secara genetik, ditambah dengan fenomena bahwa mereka mendominasi

sektor ekonomi Indonesia dari hulu sampai hilir, secara makro maupun mikro, hingga

memunculkan kecemburuan sosial yang tinggi diantara masyarakat Indonesia.

Hampir pada setiap gejolak sosial ekonomi politik yang terjadi di Indonesia selalu

masyarakat Tionghoa yang menjadi sasaran kemarahan warga dan dianggap sebagai

penyebab munculnya konflik yang cukup besar, seperti saat terjadi kerusuhan yang

berujung pada pembantaian massal tahun 1740 di Batavia oleh VOC pimpinan

Gubernur Jendral Adrian Valckener, juga kerusuhan Mei 1998 yang meninggalkan

trauma luar biasa bagi etnis Tionghoa pada perlakuan pribumi yang membabi buta

terhadap mereka, yang tidak hanya menghancurkan sektor perekonomian dengan

penjarahan asset-asset ekonomi, tetapi juga mengancam jiwa mereka.

Dimulainya proses demokratisasi setelah gerakan reformasi pada tahun 1998

yang dimulai dengan lengsernya Presiden Soeharto yang kemudian digantikan oleh

Presiden Habibi memberikan energi dan semangat baru bagi bangsa Indonesia untuk

11 http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_kewarganegaraan_2006.htm.

Page 19: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

berperan aktif mengambil bagian dalam mendukung ditegakkannya demokrasi. Hal

ini ditandai dengan banyaknya partai partai politik baru yang didirikan dengan

beragam ideologi dan bassis massa, makin meningkatnya semangat masyarakat untuk

berperan dan berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan-kegiatan politik, baik yang

berskala lokal maupun yang nasional.

Partisipasi politik etnis Tionghoa perlahan menguat seiring dengan makin

menguatnya nilai nilai demokrasi di Indonesia yang ditandai dengan beberapa hal,

seperti didirikannya beberapa partai politik berbasis masyarakat Tionghoa, banyaknya

etnis Tionghoa yang maju menjadi Calon legislatif dengan bergabung di partai-partai

politik yang plural, dan didirikan juga beberapa ORMAS dan LSM berbasis

Tionghoa.

Beberapa parpol Tiongoa yang didirikan yaitu; Partai Pembauran Indonesia,

Partai Warga Baru Indonesia, Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti) yang

dipimpin oleh Lieus Sungkharisma alias Li Xuexiong, lalu didirikan pula Partai

Bhineka Tunggal Ika Indonesia (PBI) didirikan oleh Nurdin Purnomo alias Wu

Nengbing,12 walaupun pada Pemilihan umum pertama setelah Orde Baru

dilaksanakan pada tahun 1999 diikuti oleh 48 partai politik namun hanya satu partai

politik Tionghoa yang menjadi peserta pemilu yaitu partai Bhineka Tunggal Ika yang

memperoleh suara 364.291 atau 0,34% dan memperoleh 1 kursi di DPRD Kalimantan

Barat.13 Terdapat kurang lebih dari 50 caleg berasal dari Etnis Tionghoa.

Selain organisai politik berbentuk partai, didirikan juga organisasi non partai

yang berbasis kaum Tionghoa, seperti Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia

(PSMTI) yang diketuai oleh Brigjen TNI (Purn) Tedy Yusuf alias Him Tek Ie, ada

juga Perhimpunan Keturunan Tionghoa Indonesia (INTI) diketuai oleh Drs. Edy

Lembong alias Ong Joe San (Wang Yousan),14 lalu berdiri LSM Gerakan Anti

12 Leo Suryadinata, Negara dan EtnisTionghoa Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2002, h. 55. PBI

adalah satu satunya partai orang Tionghoa yang mengikuti pemilu 1999, dan mendapatkan 1 kursi dari daerah pemilihan Kalimantan Barat.

13Data diperoleh dari dokumentasi KPU 14 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa kasus Indonesia…, h. 56

Page 20: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Diskriminasi Indonesia (GANDI) yang dipelopori oleh Anton Supit dan Niko

Krisnanto.15Pada tahun 2004 didirikan FORDEKA (Forum Demokrasi Kebangsaan).

Pada masa pemerintahan presiden BJ. Habibi dikeluarkan instruksi presiden

no.26 tahun 1998 tentang penghentian penggunaan istilah pribumi dan non pribumi,

terutama untuk membedakan penduduk keturunan Cina dengan penduduk asli

Indonesia, penggunaan pembedaan ras hanya digunakan untuk menunjukkan

keragaman etnis berdasarkan suku yang ada di Indonesia.16 Inpres presiden tersebut

menjadi justifikasi kuat bagi kelompok etnis Tionghoa untuk mensejajarkan diri

dengan warga asli Indonesia dalam bidang politik. Selanjutnya pada masa presiden

Abdurrahman Wahid, dikeluarkan instruksi presiden No. 6 tahun 2000 yang isinya

mencabut Inpres No. 14/1967. Kebijakan Gusdur itu melahirkan kebebasan etnis

Tionghoa dalam menjalankan ritual keagamaan, adat istiadat, serta memperbolehkan

pengek-spresian terhadap kebudayaannya di Indonesia.

Peningkatan partisipasi politik kaum Tionghoa makin membesar dalam

pemilu legislatif tahun 2004 dimana terdaftar calon anggota legislatif yang berasal

dari kaum Tionghoa berjumlah lebih dari 200 orang baik untuk DPR maupun DPRD,

walaupun yang lolos menjadi anggota legislatif hanya 3 orang dan itupun pada

tingkat DPRD.17 lalu ada Christiandy Sanjaya dan Cornelis yang menjadi Gubernur

dan wakil Gubernur Kalimantan Barat, Yansen Akun Effendy sebagai Bupati

Sanggau, Fify Lety Indra sebagai Walikota Pangkal Pinang, Basuki Tjahaya Purnama

sebagai Bupati Belitung, dan Goh Tjong Ping sebagai Bupati Tuban. Pada Pemilu

tahun 2004,partisipasi elite politik Tionghoa disalurkan pada partai-partai seperti

Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKB dan PIB.

Pada Pemilu tahun 2009 yang disebut juga sebagai tahun politik bagi etnis

Tionghoa, ada sekitar 213 caleg dari etnis Tionghoa dan terpilih 28 orang untuk

15 Benny G.Setiono, TionghoaDalamPusaranPolitik, Jakarta: TransmediaPustaka, 2008, h. 1087 16Juliastutik, Perilaku Elit Politik Etnis Tionghoa Pasca Reformasi, Jurnal HUMANITY, Vol. 6,

no. 1 September 2010, hal.41 17Ibid., hal. 50

Page 21: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

duduk di parlemen baik di tingkat pusat maupun daerah.18 Hal tersebut menjadi

fenomena baru bagi realitas partisipasi politik kaum Tionghoa di Indonesia, setelah

mereka mendapat tekanan, politisasi identitas, diskriminasi dan intimidasi dalam

waktu yang cukup panjang dalam sejarah polik di Indonesia. Namun demikian, gerak

politik masyarakat Tionghoa belum berani untuk mencapai posisi posisi strategis

pemerintahan pada tingkat pusat dalam skala nasional, para elite politik yang

bergerak didominasi oleh kalangan muda Tionghoa yang memiliki semangat dan

tingkat percaya diri yang tinggi untuk bersaing dalam ranah politik, sementara para

generasi senior mereka masih bersikap apatis dan hanya berposisi sebagai pemain

belakang layar dan motivator.

Baru pada kurun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para

elite politik kaum Tionghoa mulai mengincar posisi posisi strategis pemerintahan

dengan melakukan gebrakan yang cukup mencenangkan, diantaranya adalah dengan

keberanian Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok mencalonkan diri menjadi wakil

Gubernur DKI Jakarta yang selanjutnya diangkat menjadi Gubernur DKI Jakarta

menggantikan Joko Widodo yang terpilih menjadi Presiden di Pemilu tahun 2014,

menjelang pemilihan presiden tahun 2014, dilakukan deklarasi calon presiden dan

wakil presiden yang dilakukan oleh partai HANURA dengan menampilkan Bambang

Hary Iswanto Tanoesoedibjo yang merupakan CEO MNC Group sebagai calon wakil

presiden yang selanjutnya mendirikan PERINDO. Keberanian dua tokoh politik yang

berasal dari etnis Tionghoa tersebut menjadi fenomena baru bagi realitas politik di

Indonesia mengingat kaum Tionghoa masih dianggap sebagai kaum minoritas secara

politik19karena faktanya masyarakat Indonesia masih terkotak pada isu isu identitas

dan SARA terutama pada saat menjelang pemilihan kepala daerah, atau pemilihan

umum legislatif dan presiden.

18Ibid., hal. 51 19 Menurut data sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2010, jumlah etnis

Tionghoa berkisar kurang lebih 2,8 juta jiwa dari jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan yang berjumlah 237 juta lebih jiwa.

Page 22: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Menguatnya politik identitas etnis tionghoa tidak lepas dari bergesernya

orientasi politik mereka yang memang selalu mengalami perubahan pada setiap

periode pemerintahan di Indonesia. Posisi yang menguntungkan secara ekonomi

memberikan ruang yang besar bagi elit Tionghoa untuk memberikan pengaruh pada

kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Terlebih pada masa reformasi

ini dimana politik kepentingan lebih menonjol dan pentas politik membutuhkan

subsidi dan suntikan dana yang besar baik pada level nasional maupun pada level

lokal daerah.

Setelah berakhirnya masa Orde Baru, orientasi politik etnis Tionghoa tentang

politik Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan dibandingkan saat

Soeharto masih berkuasa, orientasi kognitif yang meliputi berbagai pengetahuan dan

keyakinan tentang sistem politik yang dimiliki oleh etnis Tionghoa memberikan

motivasi bagi menguatnya visi dan misi politik yang mereka miliki baik secara

individual maupun secara kolektif disesuaikan dengan kondisi politik yang sedang

berkembang, Hal ini memberikan dorongan kuat agar akses menuju politik praktis

lebih terbuka, karena itu gencar dilakukan pendidikan politik oleh organisasi-

organisasi tertentu sebagai upaya meningkatkan aspek pengetahuan etnis Tionghoa

tentang politik dan mengenai jalannya sistem politik. Karena itu menjadi menarik

untuk ditelaah lebih dalam bagaimana orientasi politik tersebut bergeser dan apa

kaitannya dengan penguatan politik yang kentara sekali dialami oleh masyarakat etnis

Tionghoa di Indonesia. Apakah implementasi dari orientasi tersebut sesuai dengan

cita cita berbangsa yang diyakini sebagai dasar kehidupan berbangsa bagi rakyat

Indonesia.

Penguatan politik etnis yang muncul tidak lepas dari kontribusi besar nilai

nilai multikulturalisme yang menjadi dasar dari kehidupan berdemokrasi. Akulturasi

yang terjadi antara etnis tionghoa dan etnis pribumi di Indonesia tidak terjadi tanpa

perjuangan yang panjang. setelah lebih dahulu diwarnai pertikaian dan konfilk etnis

yang berkepanjangan juga implikasi yang dimunculkan karena kabijakan-kebijakan

Page 23: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

pemerintah yang secara tidak langsung memperkuat konflik di tengah masyarakat

yang kerapkali berujung terjadinya kekerasan.

Namun demikian, walau sudah mengusung jargon demokrasi dan

mengumandangkan nilai nilai multikulturalisme, budaya politik eatnis yang

terbangun di tengah bangsa Indonesia tidak bisa begitu saja hilang dan berasimilasi

atau membaur secara cair. Beberapa persoalan etnis masih muncul karena bekas yang

ditinggalkan dari konflik panjang Tionghoa VS pribumi yang justru belakangan

mengkristal, karena secara kasat mata, penguatan politik etnis Tionghoa memberikan

subsidi yang sangat besar bagi makin membesarnya penguasaan ekonomi yang

sebelumnya sudah erat dipegang oleh kalangan etnis Tionghoa. Hingga bisa

dikatakan bahwa penguatan politik yang terjdi pasca Orde Baru justru memberikan

ancaman bagi akar multikulturalisme yang sudah dibangun dengan semboyan

Bhineka Tunggal Ika.

Persoalan lain yang muncul dari fenomena menguatnya politik etnis Tionghoa

di Indonesia ini adalah makin berkembangnya kecemburuan diantara masyarakat

pribumi terhadap masyarakat etnis Tionghoa yang semakin menunjukkan

penguasaannya dalam kehidupan sosial politik, sementara nilai-nilai nasionalisme

kebangsaan diantara mereka masih diragukan. Berpartisipasi saja dalam ruang politik

dan ruang sosial belum cukup dianggap

C. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari terjadinya pelebaran fokus dari pembahasan dan analisis

materi dan data, maka penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup pokok masalah

tentang penguatan politik masyarakat Tionghoa di Indonesia setelah Orde Baru yang

berkaitan dengan orientasi politik yang pada saat ini dimiliki sebagai landasan visi

masyarakat Tionghoa dalam berperan aktif dalam dinamika politik praktis di

Indonesia. Orientasi yang dimiliki akan dikaitkan dengan nilai – nilai

multikulturalisme yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa yang plural dan

Page 24: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

memiliki aneka ragam faham dan keyakinan baik yang berbasiskan agama, etnis,

kesukuan maupun orientasi politik.

D. Perumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, muncul beberapa permasalahan yang dirumuskan

dalam beberapa pertanyaan penelitian:

1. Bagaimana Orientasi Politik Etnis Tionghoa di Indonesia Setelah Orde Baru?

2. Bagaimana kaitan antara penguatan politik identitas etnis Tionghoa dan

perkembangan multikulturalisme di Indonesia pasca Orde Baru?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan yang berkaitan langsung dengan bagaimana

partisipasi politik yang ditunjukkan oleh masyarakat etnis tionghoa di

Indonesia yang secara spesifik dapat diuraikan:

a. Untuk mengetahui bagaimana perubahan dan pergeseran orientasi politik

etnis Tionghoa di Indonesia setelah Orde Baru

b. Untuk mengetahui bagaimana kaitan antara penguatan politik identitas

etnis Tionghoa danperkembanganb multikulturalisme di Indonesia Pasca

Orde Baru.

F. Manfaat Penelitian

Secara akademis, penelitian ini bermanfat untuk memperkaya kajian atau riset

mengenai masalah-masalah politik identitas khususnya yang berkaitan dengan

eksistensi politik satu etnis tertentu ditengah budaya multikulturalisme dan

kemajemukan bangsa Indonesia. Studi tentang etnis Tionghoa yang sedang banyak

dilakukan belakangan ini diharapkan mampu berkontribusi pada pengembangan teori-

teori sosial politik terutama yang berkaitan dengan kajian tentang orientasi politik,

multikulturalisme dan resolusi konflik lokal.

Page 25: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Secara praktis, penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi pihak pihak terkait

terutama pembuat kebijakan untuk bisa lebih memperhatikan fenomena sosial terkini

ditengah masyarakat, agar konflik SARA yang kerap kali terjadi tengah masyarakat

yang melebar pada aksi kekerasan akibat kesenjangan yang muncul dan makin tajam

diantara masyarakat pribumi dan etnis Tionghoa yang memang memiliki status sosial

yang lebih tinggi di tengah masyarakat sebagai pemilik modal dn penguasa ekonomi.

G. Sistimatika Pembahasan

Pembahasan dalam laporan penelitian ini dibagi menjadi beberapa identifikasi

yaitu:

Bab I: Pendahuluan sebagai bab pembuka yang terdiri dari beberapa

komponen yaitu: Latar belakang Masalah, Identifikasi masalah, pembahasan

masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat peanelitian serta sistimatika

bagaimana peaanelitian ini dilaporkan

Bab II: Kajian Teori yang dibagi menjadi sub bab tentang kajian teori dan sub

bab mengenai literatur review. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori

politik identitas, teori kewarganegaraan , teoari nasionalisme yang berkaitan langsung

dengan multikulturalisme dan teori modal sosial sebagai teori pendukung untuk

memperkuat data penelitian yang berhasil dikumpulkan

Bab III: Pada bab ini akan dibahas metodologi penelitian, yaitu yang berkaitan

langsung dengan tempat dan waktu penelitian, setting lokasi penelitian yang akan

menggambarkan sejarah Tionghoa di Indonesia sejak masa pra kemerdekaan sampai

masa Orde Baru dengan uraian Etnis Tionghoa masa Pra Kemerdekaan Etnis

Tionghoa Masa Orde Lama Etnis Tionghoa Masa Orde Baru (Penguasaan Ekonomi

dan Bisnis dan Asimilasi dan Diskriminasi Politik yang dialami), bab ini juga akan

secara spesifik menjelaskan bagaimana metodologi penelitian yang digunakan

berkaitan dengan teknik pengumpulan data, prosedur pengolahan data dan teknik

analisa data.

Page 26: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Bab IV: adalah bab yang membahas hasil penelitian yang dibagi kedalam

beberapa sub bab yang akan menjelaskan hasil penelitian sesuai dengan data yang

berhasil dikumpulkan, diawali dengan gambaran tentang bagaimana etnis Tionghoa

mulai menunjukkan eksistensinya secara politik di Indonesia setelah kekuasaan Orde

Baru berakhir. Pembahasan akan dimulai dengan menelusuri sejarah secara singkat

bagaimana posisi etnis Tionghoa dalam politik praktis di Indonesia mulai pada masa

Pra Kemerdekaan yang dilanjutkan oleh periode Orde Lama, lalu bagaimana posisi

mereka pada masa Orde Baru dan apa kelanjutan dari reposisi yang dilakukan oleh

masa Reformasi terhadap etnis Tionghoa setelah mengalami banyak tekanan pada

periode-periode sebelumnya.

Selanjutnya akan dibahas bagaimana Penguatan Politik Identitas Etnis

Tionghoa di Indonesia Pasca Orde Baru dilakukan dengan berbagai cara dan

menggunakan beberapa pola melihat akses dan peluang yang dimiliki untuk bisa

berperan aktif dalam dunia politik praktis di Indonesia, beberapa faktor yang

dianalisis dalam hal ini adalah; faktor Patron – Klien dan Kekuatan Modal Sosial

Pergeseran Orientasi Politik dan faktor Multikulturalisme Sebagai motivasi dan

Penguatan Civil Society berbasis etnis Tionghoa yng tumbuh subur sejak tahun

1998.

Bab V: Kesimpulan dan rekomendasi penelitian yang memuat jawaban dasar

dari pertanyaan penelitian dan bagaimana implikasi dari penelitian ini dalam

pengembangan dunia akademik berkaitan dengan teori dan analisis data dan akan

disajikan beberapa rekomendasi yang diharapkan bermanfaat bagi pengembangan

penelitian sejenis selanjutnya.

Page 27: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

BAB II

KAJIAN TEORI DAN LITERATUR REVIEW

A. Kajian Teori

1. Politik Identitas

Ada beberapa pemahaman yang muncul mengenai pemahaman tentang politik

identitas sebagai sebuah teori dalam ilmu politik. Memaknai politik identitas harus

dilekatkan pada konsep identitas itu sendiri, yang oleh Suparlan disebut juga sebagai

jati diri. Masih menurut Suparlan, identitas atau jati diri adalah pengakuan terhadap

seorang individu atau suatu kelompok tertentu yang dikaitkan dilekatkannya

rangkaian ciri-ciri atau karakteristik tertentu yang menjadi satu kesatuan menyeluruh

yang menandainya masuk dalam satu kelompok atau golongan tertentu.20 Sementara

Buchari dengan mengutip Jumadi (2009) mengemukakan bahwa konsep identitas

secara umum dapat dimaknai sebagai sebuah citra yang membedakan individu atau

suatu kelompok dengan individu atau kelompok lain, hal tersebut dilakukan secara

simultan dalam interaksi sosial sampai memunculkan opini tertentu yang berkaitan

dengan keberadaan individu atau kelompok tersebut.21

Secara tegas, Cressida Heyes dalam Stanford Encyclopedia of

Philosophymendefinisikan politik identitas sebagai penandaan aktivitas politis dalam

pengertian yang lebih luas dan teorisasi terhadap ditemukannya pengalaman-

pengalaman ketidakadilan yang dialami bersama anggota- anggota dari kelompok-

kelompok sosial tertentu.22Ketimbang pengorganisasian secara mandiri dalam ruang

lingkup ideologi atau afilisasi kepartaian, politik identitas berkepentingan atas

pembebasan dari situasi keterpinggiran yang secara spesifik mencakup konstituensi

(keanggotaan) dari kelompok dalam konteks yang lebih luas. Politik identitas seakan-

20Parsudi Suparlan, Hubungan Antar Suku Bangsa, Jakarta: KIK Press, 2004, hal. 25. 21Sri Astuti Buchari, Kebangkitan Etnis Menuju politik Identitas, Jakarta: YOI, 2014, hal, 27 22Cressida Heyes, Identity Politics, Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2007, diaksesdari

Plato.Stanford.edu/entries/identity politics.

Page 28: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

akan meneguhkan adanya keutuhan yang bersifat esensial tentang keberadaan

kelompok sosial tertentu berdasarkan identifikasi primordialitas.

Merujuk pada Castells yang mengatakan bahwa identitas merupakan atribut

yang melekat kepada seseorang secara kultural,23 masyarakat Tionghoa di Indonesia

secara tegas teridentifikasi sebagai kelompok masyarakat non pribumi yang terpisah

dari masyarakat asli Indonesia walaupun dalam diri mereka melekat identitas

kesukuan Indonesia seperti Jawa (Cina jawa), Batak (Cina Batak), Manado (Cina

manado), Betawi (Cina Benteng), dan lain lain, identifikasi tersebut tidak hanya

diberikan oleh orang diluar Tionghoa tetapi dilekatkan pula oleh komunitas mereka

sendiri berdasarkan struktur silsilah etnis mereka secara genetik dan budaya nenek

moyang.

Politik identitas dikalangan orang Tionghoa bisa dengan sangat mudah

tampak pada streotip yang ditunjukkan dan menjadi asumsi umum misalnya

kebiasaan orang Tionghoa yang hidup berkelompok di wilayah tertentu24 (disebut

pecinan), perayaan tradisi yang dilakukan secara bersamaan seperti Imlek dan Cap

Go Meh, namun demikian, Castells juga menegaskan bahwa: “Identities can also be

originated from dominant institutions, they become identities only when and if social

actors internalize them and construct their meaning around this

internalization”25Castells mengemukakan bahwa identitas tidak hanya tentang

bagaimana individu mengidentifikasi dirinya sendiri, tetapi juga bagaimana

kelompok dominan memberikan klaim dan menginternalisasi seseorang atau

kelompok tertentu yang dilekatkan pada ciri-ciri dan streotif yang dilekatkan pada

mereka.

23 Ibid., hal. 6 24 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1994, hal.

26 25 Manuel Castells, The Power Of Identity: The Information Age, Economy, Society and Cultural,

Vol II, Australia: Blacwell Publishing, 2003 hal. 7

Page 29: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Dalam menentukan politik identitas, menurut Castells harus lebih dahulu

dilakukan identifikasi bagaimana konstruksi sebuah identitas muncul yang

menurutnya bisa dilihat dengan 3 model bentukkan identitas, yaitu:

a. Legitimizing identity atau legitimasi identitas, yaitu identitas yang dibangun

oleh institusi (penguasa) yang dominan ada dalam kehidupan sosial. Institusi

ini menunjukkan dominasinya dengan melekatkan sebuah identitas tertentu

pada seseorang atau kelompok.

b. Resistance identity atau resistensi identitas, yaitu identitas yang dilekatkan

oleh aktor aktor sosial tertentu dimana pemberian identitas tersebut dilakukan

dalam kondisi tertekan karena adanya dominasi hingga memunculkan satu

resistensi dan membentuk identitas baru yang berbeda dari kebanyakan

anggota komunitas sosial yang lain, konstruksi identitas inilah yang oleh

Coulhoun dimaknai sebagai politik identitas.

c. Project identity atau proyek identitas, konstruksi identitas pada model ini

dilakukan oleh aktor sosial dari kelompok tertentu dengan tujuan membentuk

identitas baru untuk bisa mencapai posisi posisi tertentu dalam masyarakat,

hal ini bisa terjadi sebagai implikasi dari gerakan sosial yang bisa merubah

struktur sosial secara keseluruhan.26

Merujuk pada beberapa pemahaman diatas, politik identitas berakar pada

streotif yang dilekatkan dengan menggunakan perspektif primordialisme. Mengikuti

konsep polity Aristoteles, Primordialisme berarti “berperang ke luar dan konsolidasi

ke dalam”.Karena itu, politik identitas selalu diwarnai konflik baik yang bersifat

frontal maupun yang dialektik. Politik identitas selalu ada dalam wilayah ketegangan

antara superioritas dan inferioritas, antara mayoritas dan minoritas. Dalam wacana

pluralisme, ketika demokratisasi digulirkan dan mendapatkan dukungan kuat dari

konsep multikulturalisme, politik identitas seolah menemukan kekuatannya, dimana

26Ibid., , hal.8.

Page 30: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

keberadaan minoritas berubah dari didiamkan menjadi dipertanyakan sekaligus

diperjuangkan baik dengan melakukan asimilasi maupun akulturasi yang bersifat

sistemik. Perjuangan politik identitas akan menemukan muaranya saat streotif yang

dilekatkan dapat disejajarkan dengan eksistensi kelompok dengan identitas lain dan

mendapatkan hak-hak yang sama dalam lingkup sosial, budaya dan politik, hal

tersebut bisa dilakukan dalam kultur demokrasi.

Dari beberapa pemahaman diatas, politik identitas dapat dipahami sebagai

tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-

anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik

berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Politik identitas merupakan

rumusan lain dari politik perbedaan.

Penelitian ini akan melihat bagaimana politik identitas yang dialami oleh

masyarakat Tionghoa memberikan asupan energi bagi menguatnya orientasi politik

setelah Orde Baru. Konstruksi identitas seperti yang dikatakan oleh Castells secara

langsung memposisikan masyarakat Tionghoa sebagai komunitas yang eksklusif dan

memiliki ruang sosial yang lebih luas dibandingkan dengan masyarakat pribumi, hal

ini terjadi karena penguasaan mereka atas sektor ekonomi menjadi modal yang kuat

bagi agenda-agenda politik yang dimiliki setelah reformasi 1998. Walau kerap kali

menjadi sasaran kerusuhan dan konflik sosial, masyarakat Tionghoa selalu mampu

merehabilitasi posisi mereka di tengah masyarakat.

2. Multikulturalisme

Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih

elemen yang ditunjukkan dengan tatanan hidup saling berdampingan namun tetap

membaur dalam sebuah unit politik.27 Seperti dicontohkan bagaimana harmonisasi

yang terjadi antara masyarakat Cina, India, dan Melayu yang dekat secara geografis

namun memiliki budaya dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya namun

27 J.S Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy, Macmillan, New York, 1944, hal. 446.

Page 31: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

mampu bersinergi sebagai kekuatan etnoreligius tanpa menghilangkan identitas

kultural masing-masing.

Clifford Geertz berkomentar bahwa kemerdekaan nasional merangsang

sentimen-sentimen etno religious di negara-negara baru karena termotivasi oleh visi

dan misi tentang kemerdekaan yang memperebutkan kontrol atas negara.28 Karena itu

dibutuhkan kekuatan yang lebih besar dari sekedar kekuatan negara yaitu kekuatan

masyarakat secara lebih kondusif yang dibangun diatas nilai nilai pluralisme dan

multikulturalisme.

Masyarakat menjadi ujung tombak dari kontrol yang harus dilakukan terhadap

berkembangnya konflik diantara kekuatan-kekuatan kelompok baik yang berbasis

etnis maupun agama, karena seiring berkembangnya kapitalisme modern, struktur

sosial secara langsung telah membuat kotak-kotak budaya yang ada didukung oleh

ekonomi pasar yang seharusnya mampu memperkuat cita-cita demokratis keselarasan

sipil dan kewarganegaraan. Hal tersebut penting untuk dilakukan untuk memperkuat

pembentukkan nation building dengan menggunakan kotak-kotak budaya yang sudah

ada atau dengan pembentukkan faksi-faksi baru yang akan muncul seiring dengan

berkembangnya kesadaran sosial dan politik masyarakat. 29

Secara sederhana, multikulturalisme dimaknai sebagai pengakuan dan

dorongan terhadap pluralisme budaya; multi-budaya menjunjung tinggi dan berupaya

untuk melindungi keanekaragaman budaya (misal bahasa-bahasa minoritas), dan pada

saat yang bersamaan memfokuskan diri pada hubungan budaya minoritas dengan

budaya mayoritas yang seringkali tidak seimbang.30

Cashmore menjelaskan dalam kaitannya dengan kebijakan negara,

multikulturalisme bertujuan pada dua hal: (1). Untuk memelihara keselarasan antara

kelompok-kelompok etnis yang beraneka-ragam, (2) untuk menstrukturkan hubungan

28 Clifford Geertz, After the Revolution: The Fate of Nationalism in the New States, Basic, New York, 1973, hal. 270.

29 Robert W. Hefner, Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, Princenton University Press, Princenton, 2007, hal. 22.

30 D. Jarry dan J. Jary , Unwin Hyman Dictionary of Sociology, I edisi ke-2, Leicester: Bookmart Ltd. 1999, hal. 429

Page 32: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

antara negara dan minoritas etnik.31 Pembahasan mengenai multikulturalisme selalu

dikaitkan dengan konsep konsep kewarganegaran, seperti konsep bangsa, etnis, suku

dan rakyat atau penduduk. Secara historis, konsep kebangsaan di Indonesia selalu

merujuk pada fenomena tentang ras, keberagaman suku, masa penjajahan, gerakan

kemerdekaan. Kymlica menjelaskan konsep kebangsaan ini berawal dari konsep

bangsa yang bersifat sosial-budaya-politik, sementara konsep negara lebih

berorientasi pada hukum, lebih jauh Kymlica mengemukakan bahwa bagsa adalah

komunitas sejarah, yang kurang lebih lengkap secara kelembagaan, yang menduduki

wilayah tertentu atau tanah air yang berbagi bangsa dan budaya yang spesifik.32

3. Nasionalisme

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan

kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu

konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme dapat

menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara)

yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan

ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme

mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut.

James G Kellas memaknai nasionalisme sebagai:

“Nasionalism is both an ideology and a form of behaviour. The ideology of nationalism builds on peoples awareness of nation (national self-consciousness) to give a set of attitudes and programme of action, they may be cultural, economic or political. Since ‘nation’ can be defined in ethnic, social, or official sense, so nationalism can take these form also”33 (Nasionalisme merupakan sebuah ideologi dan bentuk perilaku. Ideologi nasionalisme dibangun di atas masyarakat yang memiliki kesadaran berbangsa (kesadaran diri nasional) yang ditunjukkan dengan sikap dan aksi, dalam bentuk budaya, ekonomi atau politik).

31 E. Cashomore, Dictionary of race and Ethnic Relations, edisi 2, London: Routledge, 1996, hal.

244) 32 Will Kymlica, Multicultural Citizenship, Cambridge; Cambridge University Press, 1995, hal. 11 33James G. Kellas, The Politics of Nationalism and Ethnicity, USA: St. Martin’s Press, Inc, 1998,

hal. 4

Page 33: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Nasionalisme membangun kesadaran rakyat sebagai suatu bangsa serta

memberi seperangkat sikap dan program tindakan. Tingkah laku seorang

nasionalis didasarkan pada perasaan menjadi bagian dari suatu komunitas bangsa.

Anthony D. Smith mengemukakan nasionalisme sebagai “sebuah ideologi,

nasionalisme memiliki sasaran untuk mencapai pemerintahan yang kolektif,

penyatuan wilayah, dan identitas budaya, juga kerapkali mempunyai program politik

dan budaya yang jelas untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.”34 Pemahaman tersebut

berkaitan dengan sasaran nasionalisme itu sendiri yaitu dicapainya otonomi nasional,

kesatuan nasional dan identitas nasional yang disatukan dalam sebuah pemahaman

mengenai sebuah bangsa yang aktual dan bangsa yang potensial.35

Komponen utama pembahasan mengenai nasionalisme adalah konsep

mengenai bangsa dan kelompok etnis yang menjadi subyek sekaligus obyek dari

nasionalisme itu sendiri. Pemahaman mengenai bangsa (nation), seperti yang

dikemukakan M.D La Ode dengan mengutip Hans Kohn bahwa: “Nationalism astate

of mind, in wich supreme loyality of the individual is felt to be due the nation-satate.

A deep attachment to one’s native soil, to local traditions and to established

territorial authority has existed in varying strenght throughthout

history36(Nasionalisme merupakan bentuk tertinggi dari sebuah loyalitas yang

dirasakan oleh seorang individu atas sebuah bangsa. Ini juga merupakan sebuah

perasaan yang mendalam terhadap tanah asal (kampung halaman) seseorang, tradisi

lokal dan otoritas teritorial yang didirikan dan sepanjang sejarah)

34Anthony D. Smith, Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003,

hal.26 35Ibid., hal. 11 36M D. La Ode, Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di era Reformasi; Studi Kasus Keterlibatan

Kelompok Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di Kota Pontianak dan Kota Singkawang, Kalimantan Barat 1998 – 2008, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012, hal.54-55

Page 34: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Nasionalisme dalam kaitannya dengan pemahaman mengenai kelompok etnis

atau etnosentris (kesukuan) dipandang sebanding dengan pemaknaan tentang nation

atau bangsa. Bedanya adalah bahwa kelompok etnis nyaris dimaknai sama dengan

makna nation atau bangsa, sedangkan etnosentrisme lebih berakar dalam perspektif

psikologi sosial dari pada makna nasionalisme yang lebih berakar pada dimensi

psikologis, namun demikian kelompok lebih memiliki dimensi ideologis dan politis.

James G. Kelles melihat korelasi makna nasionalisme dalam konteks kelompok etnis

sebagai: “the term ‘ethnic group’ is frequently used to describe a quasi-national kind

of ‘minority group’ within the state, wich has somehow not achived the status of

nation”37(Istilah 'kelompok etnis' sering digunakan untuk menggambarkan jenis

kuasi-nasional 'kelompok minoritas dalam negara, yang tidak mencapai status

negara). Lebih lanjut Kellas mengatakan bahwa etnisitas bukanlah sesuatu yang

bersifat alamiah namun merupakan sebuh kontruksi yang dibuat oleh negara.38

Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme mengklaim dan menuntut loyalitas dari

setiap individu untuk bangsa dan kepentingan nasional sedangkan politik etnis lebih

melihat pada komitmen kelompok dan etnis tertentu, Kellas mencoba

mengintegrasikan makna politik nasionalisme dan etnisitas sebagai sebuah kesatuan

yang bisa digunakan untuk melihat sebuah tatanan politik dari sebuah bangsa. Dalam

perkembangannya, nasionalisme ditentukan oleh interaksi politik, ekonomi dan

perkembangan budaya. Lebih lanjut Kellas mengemukakan bahwa ada dua aspek

yang saling berkaitan mengenai nasionalisme politik, yaitu: pentingnya identitas

nasional dan adanya keinginan untuk memperbaiki sistem sosial dan politik dari

dominasi seseorang atau kelompok tertentu.39

Nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai jawaban atas

kolonialisme. Pengalaman penderitaan bersama sebagai kaum terjajah melahirkan

37James G. Kellas , The Politics of Nationalism and Ethnicity, USA: St. Martin’s Press, Inc, 1998,

hal. 5 38Ibid., hal. 65 39Ibid., hal 8

Page 35: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

semangat solidaritas sebagai satu komunitas yang mesti bangkit dan hidup

menjadi bangsa merdeka. Semangat tersebut oleh para pejuang kemerdekaan

dihidupi tidak hanya dalam batas waktu tertentu, tetapi terus-menerus hingga kini dan

masa mendatang.

La Ode melanjutkan bahwa dalam konteks etnis Tionghoa di Indonesia

(disebut sebagai etnis Cina), nasionalisme dibagun berdasarkan dua nilai substansi

fundamental dari makna nasionalisme itu sendiri yaitu nasionalisme kultural dan

nasionalisme politik, dimana nasionalisme kultural menjadi manifestasi nilai kultural

etnis Tionghoa sebagai asal leluhurnya dan nasionalisme politik merupakan

manifestasi nasionalisme sebagai bagian dari rakyat Indonesia, dan uniknya dua

substansi fundamental nasionalisme tersebut bisa digunakan secara simultan dan

menjadi nilai secara konsisten didalam diri individu atau bisa juga digunakan

bergantian tergantung dari kondisi dan perkembangan politik nasional.40

4. Modal Sosial

Fenomena perubahan sosial dan politik memberikan ruang yang sangat luas

bagi berkembangnya varian varian analisis sosial politik yang saling berkaitan, tidak

hanya pada lingkup kajian keilmuan tertentu secara eksklusif, tetapi juga melihat pola

hubungan antara kepentingan satu keilmuan dengan bidang ilmu yang lainnya.

Pada awalnya, pembahasan mengenai konsep modal sosial hanya digunakan

dalam ranah ilmu ekonomi yang dimaknai sebagai “sejumlah uang yang diakumulasi

yang dapat diinvestasikan dengan harapan akan memperoleh hasil yang

menguntungkan dimasa yang akan datang”41 baru sekitar tahun 1960-an, masih

dengan menggunakan perspektif ekonomi, konsep modal sosial berkembang dengan

menggunakan manusia dan kapasitasnya seperti pendidikan, kesehatan, dan

keterampilan sebagai alat pelengkap yang bisa mengukur produktivitas dari investasi

modal fisik seperti alat produksi.

40Ibid.,hal 57 41Jhon Field, Modal Sosial, Bantul: Kreasi wacana, 2014,hal. 19

Page 36: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Selanjutnya pada kurun waktu 1980-an berkembang diskursus tentang modal

sosial dengan cakupan analisis yang lebih luas lagi dengan mengaitkannya pada

konsep ilmu sosial yang diperdebatkan pengaruh dari tulisan tulisan Pierre Bourdieu,

James Coleman, dan Robert Putnam.42 Modal sosial selalu membicarakan kualitas

hubungan antar manusia, terutama dalam melihat pesatnya perkembangan hubungan

asasiasional, Alexis de Tocqueville melihat bagaimana relasi sosial asasiasional yang

dibangun memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan demokrasi dan

memberikan dukungan bagi kekuatan ekonomi di Amerika.43 Yang menjadi fokus

utama konsep modal sosial adalah bagaimana jaringan sosial menjadi aset yang

sangat berharga dan memberi dasar bagi terjadinya kohesi atau kerekatan sosial

karena memberikan ruang sekaligus dorongan orang untuk saling terikat satu sama

lain untuk saling memberikan manfaat.44

Dengan mengutip Putnam (1993), Jhon field mendefinisikan modal sosial

sebagai “bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang

dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan

terkoordinasi”.45 Norman Uphoff mengaitkan definisi modal sosial dengan konsep

aset yang dimaknai sebagai:

“Segala sesuatu yang dapat mengalirkan manfaat untuk membuat proses produktif dimasa mendatang lebih efesien, efektif, inovatif dan dapat diperluas/disebarkan dengan mudah, sedangkan modal sosial adalah akumulasi dari beragam tipe sosial, psikologis, budaya, kognitif, kelembagaan, dan aset-aset yang terkait yang dapat meningkatkan kemungkinan manfaat bersama dari perilaku kerjasama.”46

Lebih jauh Uphoff menjelaskan bahwa modal sosial bisa lebih mudah

difahami dengan membaginya menjadi 2 kategori yaitu; struktural dan kognitif.

42Ibid., hal.20 43Ibid., hal. 8 44Ibid., hal. 18 45Ibid., hal. 6 46Norman Uphoff, Understanding Social Capital: Learning From The Analysis and Experience of

participation dalam Dasgupta dan Serageldin, Social Capital A Multifaced Perspective, The World Bank, 2000

Page 37: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

“Kategori struktural yaitu yang berkaitan dengan beragam bentuk organisasi sosial, khususnya peran-peran, aturan-aturan, preseden, dan prosedur-prosedur serta beragam jaringan-jaringan yang mendukung kerjasama yang memberikan manfaat bersama dari tindakan kolektif, dimana aliran manfaat tersebut merupakan hasil dari modal sosial. Sedangkan kategori kognitif datang dari proses mental yang menghasilkan gagasan/pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi- norma-norma, nilai-nilai, sikap dan keyakinan yang berkontribusi pada terciptanya perilaku kerjasama.”47

Dua kategori diatas tidak bisa dianalisis secara terpisah, karena keduanya

saling berkaitan dan menjadi faktor subjektif yang bisa menjelaskan fenomena sosial,

struktural ataupun kognitif menjadi faktor penting yang mempengaruhi perilaku

individu maupun masyarakat walaupun bentuk dari keduanya berbeda. Yaitu kategori

struktural lebih bersifat eksternal dan kategori kognitif bersifat internal, sinergi kedua

kategori tersebut akan mampu menunjukkan bagaimana modal sosial yang dibentuk

dari lingkungan sosial dan politik yang melahirkan norma-norma dapat membangun

dan membentuk struktur sosial.

Tabel 2.

Tipologi Modal Sosial Dalam Konteks Politik

Kategori Vertikal (pemerintah dan

rakyat)

Horizontal (antarwarga)

Struktural(hubungandan

organisasi)

• DPRD

• Forumwarga

• Rakorbang

• Paguyuban

• Asosiasi

• Organisasi lokal

• Jaringan sosial

Kognitif(norma dan nilai) • Kepercayaan

• Akuntabilitas

• Kemitraan

• Solidaritas

• Toleransi

• Kepercayaan

47Ibid.

Page 38: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

• Partisipasi

• Responsivitas

• Kerjasama

Sumber: Diadaptasi dan dimodifikasi dari beberapa sumber: Coleman (1988, 1990), Putnam (1993, 2000),Serageldin dan Grootaert (1997)

Dalam perspektif perilaku politik dan kaitannya dengan demokratisasi, modal

sosial menitikberatkan pada fungsi-fungsi jaringan yang menjadi bentukan dari

modal sosial yang oleh Putnam disebut sebagai civic community, jaringan tersebut

harus mampu bekerja efektif baik secara vertikal maupun horizontal agar bisa

membentuk civic engagement atau solidaritas sosial dan partisipasi massal yang

berkorelasi tinggi dengan kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas kehidupan

demokrasi. Partisipasi demokratis warga telah membiakkan komitmen wargayang

luas maupun hubungan-hubungan horizontal: kepercayaan (trust), toleransi,

kerjasama, dan solidaritas.

B. Literature Review

Ada beberapa penelitian tentang Politik Etnis Tionghoa di Indonesia yang

sudah dilakukan, baik itu ditulis didalam jurnal ilmiah maupun hasil penelitian yang

sudah dicetak menjadi buku, diantaranya:

Pertama; penelitian disertasi yang dilakukan oleh M.D. LA Ode Yang secara

spesifik mencoba menggali penjelasan kenapa kelompok etnis Cina Indonesia pada

masa reformasi mau terlibat dalam politk sebagai pengurus partai politik, anggota

legislatif, dan kepala daerah, lalu bagaimana dampak politis yang dimunculkan dari

keterlibatan politik etnis Cina tersebut dan bagaimana respons dari kelompok etnis

lain (Melayu dan Dayak) atas keterlibatan politik etnis Cina dengan menggunakan

kasus antara tahun 1998 – 2008 di Kalimantan Barat.48

48Penelitian Disertasi dengan judul Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di era Reformasi; Studi

Kasus Keterlibatan Kelompok Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di Kota Pontianak dan Kota

Page 39: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Teori utama yang digunakan oleh La Ode untuk menganalisa data

penelitiannya adalah teori kelompok etnis yang dibagi lagi menjadi beberapa sub teori

yaitu teori kelompok etnis, teori politik identitas, dan teori multikulturalisme. Teori

kelompok etnis yang digunakan oleh La Ode adalah yang dikemukakan oleh

Handelman yang mengatakan adanya empat tingkat perkembangan yang dilakonkan

dalam komunitas budaya manusia yaitu jenis etnis, jaringan etnis, asosiasi etnis,

komunitas/masyarakat etnis yang menggambarkan jenis organisasi yang sesuai

dengan bentuk yang berbeda dari integrasi etnis. La Ode juga menggunakan teori

multikulturalisme yang dikemukakan oleh Will Kymlicka yang mengatakan bahwa

teori multikulturalisme mencakup berbagai bentuk pluralisme budaya yang berbeda,

teori ini mengajukan tiga argumen tentang hak minoritas, yaitu: argumen kesetaraan,

argumen perjanjian yang ada dalam sejarah, dan argumen nilai dari keragaman

budaya.

Politik multikulturalisme dianggap sebagai politik tentang hak minoritas

dalam bentuk pengakuan dan pluralisme budaya yang menjunjung tinggi dan

berupaya untuk melindungi keanekaragaman budaya dan memfokuskan diri pada

hubungan budaya minoritas dengan budaya mayoritas dari pemeliharaan kekayaan

budaya. Teori lain yang digunakan oleh La Ode adalah Teori tentang Integrasi dari

Myron Weiner yang mengatakan bahwa integrasi dapat mengacu pada pertemuan dua

budaya dan sosial kelompok yang terpisah dalam sebuah unit teritorial tunggal dan

pembentukkan sebuah identitas nasional. Pemahaman integrasi Weiner menurut La

Ode di kuatkan dengan dua pola asimilasi dan pola komitmen dari Milton M. Gordon

yang meneliti tentang kecendrungan ideologis yang sentral dan mendukung terjadinya

asimilasi di Amerika. La Ode mencoba menggunakan teori tersebut untuk

menjelaskan hasil asimilasi campuran biologis antara warga keturunan Cina dengan

kelompok etnis Dayak atau Melayu. La Ode jugamenggunakan pemahaman integrasi

Singkawang, Kalimantan Barat 1998 – 2008. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, 2011.

Page 40: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

politik dari Jamaes J. Coleman dan Carl G. Rosberg yang mengatakan bahwa

integrasi politik sebagai suatu bagian dari integrasi nasional yang memiliki dua

dimensi, yaitu yang vertikal (elite-massa) dan dimensi horizontal (territorial).

Dari penelitian tersebut La Ode berhasil mengungkap bagaimana corak dan

karakteristik rezim Orde Baru yang otoriter dan anti komunis memberikan pengaruh

yang sangat besar pada eksistensi serta peran kelompok Etnis Cina Indonesia di

Kalimantan Barat dalam kehidupan sosial dan budaya. Orde Baru telah menutup

peluang partisipasi politik bagi kelompok etnis Tionghoa, kebebasan

mengembangkan kehidupan sosial dan budaya juga dibatasi, ruang-ruang publik yang

bersifat politis seperti birokrasi juga tidak dapat dimasuki oleh kelompok ini, hingga

secara tidak langsung perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintahan

Orde baru membuat kelompok etnis Tionghoa berkembang secara eksklusif pada

wilayah ekonomi dan perdagangan.

Menurut La Ode, Orde Reformasi sebagai pengganti Orde Baru telah memberi

ruang publik bagi keterlibatan etnis Tionghoa di Kalimantan Barat dalam bidang

politik, dimulai pada pemilu 1999 dimana banyak dari kelompok etnis Tionghoa yang

menjadi anggota partai politik dan mencoba menjadi calon anggota legislatif,

jumlahnya bertambah pada pemilu tahun 2004 dan makin berkembang pada pemilu

tahun 2009. Hal ini menurut La Ode telah membangkitkan kepercayaan diri etnis

Tionghoa untuk bisa membaur lebih erat dengan masyarakat lokal (Melayu dan

Dayak), hal tersebut memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada perubahan

peta politik lokal di Kalimantan Barat, terutama di Kota Pontianak dan Kota

Singkawang. Namun demikian fenomena yang tejadi tersebut memunculkan beberapa

persoalan baru yang berpotensi menjadi konflik lokal antar etnis, diantaranya adalah

tumbuhnya kecurigaan bahwa etnis Tionghoa akan lebih leluasa menguasai sektor

ekonomi yang selama ini mereka dominasi dan akan merambah pada penguasaan

sektor lain, muncul juga kecurigaan bahwa kelompok etnis Tionghoa akan

Page 41: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

memerankan sikap dual nation state loyalities dan sikap dual nation state ideology

antara NKRI dan RRC.

Penelitian ini memiliki perbedaan dalam beberapa aspek dari penelitian yang

dilakukan oleh La Ode, seperti yang dipaparkan diatas. Obyek penelitian La Ode

yang mencoba melihat etnis Tionghoa di kota Singkawang dan Pontianak dan

memposisikannya secara berhadapan dengan etnis Melayu dan Dayak sebagai 2 etnis

lokal yang lebih dominan dalam hal yang berkaitan dengan penguasaan wilayah,

budaya, kepercayaan dan pemahaman nasionalisme yang dianggap lebih baik dari

etnis Tionghoa. Sementara penelitian ini akan menyorot lebih dalam orientasi politik

yang ditekankan pada pemahaman mengenai kaidah-kaidah dasar berbangsa bagi

seluruh masyarakat Indonesia tak terkecuali dari etnis manapun yaitu dalam wujud

pemahaman mengenai empat pilar berbangsa sebagai pembentukkan karakter dasar

bangsa Indonesia.

Dengan mempertimbangkan tingkat kemajemukan etnis yang terjadi di

Indonesia, penelitian ini tidak akan menghadapkan secara antagonis etnis Tionghoa

dengan etnis lain seperti Jawa, sunda, melayu atau yang lain yang memiliki kuantitas

cukup besar. Penelitian ini mengidentifikasi semua hal yang berkaitan dengan

perubahan politik yang terjadi baik itu pengaruh yang bersifat internal maupun yang

bersifat eksternal. Pengaruh yang bersifat internal akan menggunakan variabel

identitas politik, modal sosial dan jaringan serta sikap nasionalisme yang dimiliki

oleh kelompok etnis Tionghoa, sedangkan faktor eksternal akan menggunakan

variabel pengaruh negara sebagai kekuatan politik yang bersifat struktural dan

institusional dalam hal manguatnya orientasi politik etnis Tionghoa di Indonesia.

Kedua; penelitian yang dilakukan oleh Ignatius Wibowo dengan judul Exit,

Voice, and Loyality: Indonesian Chinese After The Fall of Soeharto yang dimuat

dalam jurnal Sojurn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol.16, no. 1(April

2001) hal. 125-146 diterbitkan oleh ISEAS. Penelitian ini dilakukan dengan melihat

Page 42: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

fenomena respons masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia saat terjadinya gerakan

sosial politik yang dikenal dengan gerakan reformasi di Indonesia pada tahu 1998.

Dalam penelitian ini, Wibowo menggunakan teori tentang respon anggota sebuah

komunitas menghadapi perubahan dalam organisasi dari Albert O. Hirschman (1970).

Dikatakan bahwa ada 3 respons yang mungkin akan muncul dari anggota organsasi

dalam konteks ini adalah sebuah negara bila mengalami kemerosotan: 3 respon itu

pertama: “exit” atau keluar dari organisasi, yang bagi Hirschman merupakan respon

paling normal.

Respons kedua yang mungkin muncul adalah opt to voice yaitu memilih

untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka secara langsung atas apa yang terjadi

kepada pihak pengelola organisasi atau pihak yang dianggap memiliki otoritas dalam

pengambilan keputusan, aksi protes ini bisa dalam bentuk membuat petisi, menulis

surat, membuat banner dan pamflet, demonstrasi, dan bentuk lain. Tujuan utama dari

dilakukannya aksi tersebut adalah agar situasi cepat dirubah. Respons ketiga yang

akan muncul adalah “loyality” atau munculnya loyalitas. Bagi Hirschman, respons ini

adalah unik karena menjadi tampak kurang rasional. Wibowo menggunakan teori

tersebut untuk melihat bagaimana respons yang dimunculkan oleh etnis china di

Indonesia saat terjadi krisis politik lengsernya Soeharto pada tahun 1998.

Wibowo menemukan fakta dalam penelitiannya bahwa etnis Tionghoa

(Wibowo menggunakan istilah etnis Cina) memunculkan 3 respons seperti tersebut

diatas ketika kasus 1998 terjadi. Respons pertama yaitu ada kelompok etnis

Tionghboa yang exit atau keluar dari Indonesia, hal ini ditunjukkan dengan

dipenuhinya bandara International oleh para ekspatriat yang ingin keluar dari ibukota

untuk menghindari kerusuhan yang terjadi. Kebanyakan orang Tionghoa yang

memiliki tingkat ekonomi tinggi bergegas menuju beberapa negara lain tempat

komunitas etnis tionghoa banyak ditemui seperti Singapura, Hongkong, Perth, dan

beberapa negara lain yang dianggap lebih aman. Namun demikian, Wibowo

menemukan data bahwa jumlah orang Tionghoa yang memutuskan keluar dari

Page 43: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Indonesia dengan membawa modal kapital dan harta kekayaan yg mereka miliki tidak

lebih banyak jumlahnya dari yang memutuskan untuk tetap tinggal lalu memilih

menyalurkan aspirasinya dalam konteks opt to voice seperti yang digambarkan

Hirschman dalam teorinya.

Langkah untuk melakukan protes tidak dilakukan dengan demonstrasi di jalan,

mereka melakukan konsolidasi dengan kalangan elit Tionghoa Indonesia dan para

intelektual Tionghoa yang memiliki akses dengan tokoh tokoh politik nasional.

Konsolidasi dilakukan dengan melakukan dialog, membuka forum diskusi, seminar,

forum debat dan lain lain yang bersifat persuasif. Lebih lanjut Wibowo menemukan

fakta dalam penelitiannya bagaimana langkah selanjutnya yang dilakukan oleh etnis

Tionghoa di Indonesia saat itu setelah berhasil membangun komunikasi interaktif

dengan para intelektual dan cendekiawan di Indonesia mereka menunjukkan loyalitas

kebangsaan mereka dengan ikut berpartisipasi secara terbuka dalam kompetisi politik

seperti pemilihan umum dan kegiatan politik lain baik yang bersifat lokal maupun

nasional, selain mendirikan partai politik berbasis orang tionghoa, mereka juga masuk

dalam partai politik yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan politik

komunitas masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia.

Bila Wibowo mengkaji secara komprehensif respon apa saja yang muncul

dikalangan etnis Tionghoa pasca terjadinya reformasi 1998 dengan melihat secara

umum apa yang mereka lakukan, penelitian ini bermaksud menelaah lebih tajam dan

spesifik respons kedua dan ketiga ( opt to voice dan loyality) yang ditunjukkan oleh

masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia setelah terjadi gerakan reformasi 1998. Dua

respons tersebut menjadi penting untuk dikaji lebih dalam karena bisa dijadikan

sebagai cara untuk menganalisis bagaimana terjadinya perubahan yang menunjukkan

menguatnya orientasi politik yang dilakukan oleh kalangan masyarakat etnis

Tionghoa di Indonesia. Upaya dialog dan usaha untuk menunjukkan loyalitas yang

tinggi terhadap Indonesia menjadi motivasi bagi kalangan etnis Tionghoa untuk

menunjukkan eksistensinya sebagai bagian dari Bangsa Indonesia baik dengan

Page 44: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

berintegrasi langsung dengan partai-partai politik nasional maupun menguatkan

eksistensi mereka dengan mendirikan ormas-ormas berbasis Tionghoa.

Ketiga; penelitian disertasi yang dilakukan oleh Dr. Sri Astuti Buchari, M.Si

dari Program Doktor Ilmu Sosial Konsentrasi Ilmu Politik dari Program Pascasarjana

Universitas Padjajaran Bandung yang sudah dicetak menjadi buku dengan judul

Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Pokok kajian penelitian ini adalah

bagaimana peneliti mampu meanemukan faktor-faktor penyebab munculnya politik

identitas etnis dayak dalam masyarakat multikultur di Kalimantan barat melalui

proses demokrasi dalam Pilkada Gubernur Kalimantan Barat Tahun 2007.

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan beberapa konsep dan teori

tentang politik identitas, multikulturalisme, Demokratisasi dan Desentralisasi,

Buchari menelaah secara dalam bagaimana diskriminasi, marjinalisasi dan politik

identitas yang dialami oleh masyarakat Dayak di Kalimantan Barat dalam kurun

waktu yang amat lama membuat ikatan emosional etnis semakin erat dan kuat, hal ini

disebabkan karena adanya common cause, common goal, dan common interest hingga

menguatkan karakteristik etnis secara lebih eksklusif. Reformasi yang terjadi di tahun

1998 memberikan motivasi tersendiri bagi masyarakat Dayak untuk bangkit

menguatkan identitas politik mereka, dengan solidaritas yang tinggi yang oleh

Buchari disebut sebagai kesadaran atau semangat kolektif etnis Dayak dan dukungan

yang kuat dari upaya demokratisasi dan desentralisasi pada pilkada gubernur

Kalimantan Barat pada tahun 2007, komunitas Etnis Dayak bisa membuktikan bahwa

mereka merupakan komunitas politik yang solid ditunjukkan dengan terpilihnya

gubernur Kalimantan Barat untuk periode tahun 2008 - 2013 Drs. Cornelis, MH dan

Drs. Cristiandy Sanjaya MM.

Selain memiliki obyek penelitian dan setting lokasi penelitian yang berbeda,

penelitian ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Buchari. Dengan menggunakan pendekatan yang sama dengan

Page 45: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

penelitian Buchari, seperti di jelaskan diatas, bahwa Buchari menggunakan fenomena

kebangkitan kekuatan politik etnis Dayak di Kalimantan Barat dengan melihat

bagaimana konstalasi politik yang terjadi pada pemilihan gubernur Kalimantan Barat

pada tahun 2007, penelitian ini ingin mengkaji secara dalam bagaimana menguatnya

politik identitas dari kelompok etnis Tionghoa di Indonesia dengan menganalisa

indikator-indikator perubahan orientasi politik etnis Tionghoa pada masa Orde Baru

dan perubahannya pasca Orde Baru.

Page 46: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian di lakukan secara global melihat berubahnya prilaku politik etnis

Tionghoa dn menguatnya orientasi politik mereka di Indonesia. Penelitian mengamati

dan menganalisis kecendrungan yang muncul dalam skala nasional dengan melihat

juga fenomena yang terjadi secara umum di beberapa daerah yang menjadi kantong

kantong kekuatan komunitas Tionghoa di Indonesia seperti di Jakarta, Singkawang,

dan Medan

Waktu yang digunakan untuk melakukan penelitian mengikuti arahan dan

petunjuk yang diberikan oleh pihak yang dikoordinir oleh Pusat Penelitian dan

Penerbitan (Puslitpen) LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini

dilakukan secara intensif dan konsisten di Indonesia tepatnya di Jakarta dan

sekitarnya dalam kurun waktu sekitar 6 bulan antara bulan April – Oktober 2016:

Tabel 3

Jadwal Penelitian

No Uraian Mei Juni Juli Agst Sep Okt

1 Penyusunan proposal √

2. Pencarian data / wawancara

narasumber

√ √ √

3. Penulisan hasil penelitian √ √

4. Pelaporan Hasil Penelitian √

B. Metode Penelitian

Page 47: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Dimana penelitian akan dilakukan dengan meneliti kondisi obyek yang alamiah.

Dengan tujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah

dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti

dengan fenomena yang diteliti. Menurut Moleong seperti dikutip Haris Herdiansyah,

mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah, yang

bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks social secara alamiah

dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti

dengan fenomena yang diteliti.49Secara lebih detil Creswell menjelaskan “Qualitaive

research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological

traditions of inquiry that explore a social or human problem. The Mresearcher

builds a complex, holistic picture, analizes words, report detailed views of

information, and conducts the study in a natural setting”.50

Dengan mengutip Creswell, Eriyanto menemukakan beberapa asumsi dalam

pendekatan kualitatif yaitu; pertama, peneliti kualitatif lebih memperhatikan proses

bagaimana penelitian dilakukan daripada hasil penelitian itu sendiri. Kedua, peneliti

kualitatif lebih memperhatikan interpretasi. Ketiga, peneliti kualitatif merupakan alat

utama dalam mengumpulkan data dan melakukan analisis data dimana peneliti harus

turun langsung ke lapangan penelitian. Keempat, peneliti kualitatif harus mampu

menggambarkan bahwa peneliti terlibat langsung dalam penelitian, interpretasi data,

dan pencapaian pemahaman hasil penelitian baik dengan menggunakan kata-kata

naratif atau gambar.51

C. Teknik Pengumpulan Data

49HarisHerdiansyah, MetodologiPenelitianKualitatifUntukIlmu-IlmuSosial, Jakarta:

SalembaHumanika, 2010, h. 9 50Ibid., h. 8 51 Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, Yogyakarta: Lkis, 2001, hal.

3

Page 48: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Pada awalnya, penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan teknik

pengambilan dan pengumpulan data dengan melakukan wawancara, Focus Group

Discussion, dan analisa dokumentasi. Namun pada proses pelaksanaan penelitian

beberapa narasumber baik yang personal sebagai dihubungi untuk diwawancarai dan

beberapa organisasi Tionghoa yang pada awalnya sudah memastikan bersedia

diwawancarai dan menjadi peserta Forum Group Discussion membatalkan janji yang

sebelumnya sudah disepakati. Hal ini disebabkan kondisi perpolitikan nasional

terutama di DKI Jakarta dengan bergulirnya beberapa kasus yang berkaitan dengan

Basuki Tjahaja Purnama dalam posisinya sebagai gubernur DKI Jakarta dan

pencalonannya sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada PILGUB 2017 dengan

banyak pro kontra dan konflik yang muncul karena identitasnya sebagai bagian dari

etnis Tionghoa. Beberapa hal tersebut menjadi dasar atas penolakan para calon

narasumber untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan eksistensi politik

masyarakat Tionghoa di Indonesia.

Demi keberlangsungan proses penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dari

buku buku, e-book, jurnal ilmiah, hasil penelitian, artikel dan opini media cetak,

dokumentasi organisasi, website dan sumber dokumen tertulis lain yang bisa

dijadikan sebagai sumber informasi dan data untuk bisa dianalisis dalam penelitian

ini.

D. Prosedur Pengolahan data

Data yang sudah dikumpulkan dari berbagai sumber berupa buku-buku teks,

e-book, jurnal ilmiah, hasil penelitian, artikel dan opini di media cetak, dokumentasi

organisasi, website dan sumber dokumen tertulis lain dipisahkan dalam dua

klasifikasi, yaitu kelompok data primer dan kelompok data sekunder.

Yang masuk dalam kategori data primer yaitu data yang bersumber dari buku-

buku teks, e-book, jurnal ilmiah dan hasil penelitian. Sedangkan data sekunder terdiri

Page 49: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

dari data yang diperoleh dari artikel dan opini media cetak, dokumentasi organisasi,

dan website.

Klasifikasi data dilakukan berdasarkan kebutuhan informasi dari sub-sub bab

yang sudah dibagi secara spesifik untuk bisa dianalisis dengan detil terutama pada

bab II tentang teori dan bab IV yang disesuaikan dengan materi pokok yang menjadi

tujuan penelitian.

E. Teknik Analisa Data

Analisis data dilakukan dengan melakukan tiga prosedur yang biasa dilakukan

dalam penelitian kualitatif, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan verifikasi yang

berakhir pada penarikan kesimpulan

Setelah rangkaian data terkumpul, reduksi data dilakukan dengan melakukan

pemilahan dan penyusunan klasifikasi data, klasifikasi dilakukan tergantung jenis

data yang terkumpul dari catatan-catatan yang ada tentang obyek dan materi

penelitian, selanjutnya data yang sudah dipilah akan dirangkum dan difokuskan pada

persoalan yang akan dianalisis, data yang tidk terpakai akan disingkirkan agar tidak

mempengaruhi data pokok yang akan diuraikan dalam analisis. Selanjutnya dilakukan

penyajian data dengan melakukan penyunting data untuk membangun kinerja analisis

data, penyajian data dilakukan juga adengan membuat tabel- tabel yang berkaitan

dengan jenis data yang akan dianalisis.

Selanjutnya dilakukan konfirmasi data yang merupakan verifikasi data dan

pendalaman datauntuk selanjutnya dilakukan analisis data sesuai dengan konstruksi

pembahasan hasil penelitian yang diinginkan agar berhasil ditarik kesimpulan yaang

tepat dan mampu menjawab permasalahan peanelitian yang diajukan. Pada tahap ini,

pengolahan data dianggap optimal apabila data yang diperoleh sudah layak dianggap

lengkap dan dapat merepresentasikan masalah yang dijadikan obyek penelitian.

Page 50: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

BAB VI

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Etnis Tionghoa dalam Lintasan Sejarah di Indonesia

1. Etnis Tionghoa Pada Masa Pra Kemerdekaan

Tionghoa di Indonesia ialah sebuah kelompok etnik yang penting dalam

sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk. Bahkan, setelah

Indonesia terbentuk, maka suku bangsa Cina (Tiongkok) yang berkewarganegaraan

Indonesia, harus digolongkan secara otomatis sebagai warga Negara Indonesia yang

setingkat dengan suku bangsa lainnya. Orang-orang Indoensia Tionghoa merupakan

keturunan orang-orang tiongkok yang berhijrah dari Tiongkok secara berkala dan

bergelombang sejak ribuan tahun.52 Di Indonesia, sejarah kemunculan etnis Tionghoa

merupakan hal yang menarik untuk dikaji.

Seiring berkembangnya Negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke-

8, para penghijrah Tiongkok pun mulai berdatangan. Orang-orang Tiongkok atau

China di Indonesia dipanggil “Tionghoa”, sebuah istilah yang diciptakan sendiri oleh

orang-orang yang berasal dari Tiongkok di Indonesia. Istilah “Tionghoa” dan

“Tiongkok” lahir di Indonesia. Term “Tionghoa” adalah istilah bahasa Indonesia

yang khas, ia juga tidak dikenali di Malaysia dan Thailand.53 Secara penggunaan

bahasa, istilah Cina dirasa mengarah pada bentuk hinaan dan masyarakat nya sendiri

lebih senang menggunakan istilah Tionghoa. Sebagai akar sejarah peran politik

Tionghoa di Indonesia, Leo Suryadinata menyebutnya sebagai sejarah yang cukup

panjang. Dalam buku “Dilema Minoritas”, sebagaimana yang dituliskan oleh Benny

52 Choirul Mahfud, Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia, PUSTAKA PELAJAR: Yogyakarta,

2013, hal.50. 53 Ibid,

Page 51: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

G Setiono dalam buku Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia, Leo menyebutkan

bahwa terdapat pembagian peran warga Tionghoa ke dalam beberapa zaman politik.

Zaman pegerakan di Indonesia sebelum kemerdekaan terbagi menjadi dua

tahapan penting: yaitu tahap pergerakan proto-nasionalis (1927-1942). Di mana saat

itu, hadir konsep tentang Negara bangsa, lambang, bendera, dan lagu kebangsaan.

Menurut Leo, pada masa itu, warga minoritas etnis Tionghoa sudah mulai tersisih

dari pergerakan. Penandaan akan ini, adalah kehadiran organisasi pertama mereka

dengan sebutan Tiong Hoa Hwee di tahun 1900, delapan tahun lebih awal dibanding

organisasi Budi Oetomo di tahun 1908.54 Berikutnya adalah tahap kedua, menurut

Leo, tahap nasionalis sesungguhnya ditandai dengan munculnya Gerakan Rakyat

Indonesia (Gerindo) yang memberikan kesempatan bagi etnis Tionghoa peranakan

untuk bergabung sebagai anggota. Namun, muncul pro dan kontra terkait kebijakan

tersebut, terutama mengenai loyalitas warga Tionghoa kepada Indonesia.55

Sebagai masyarakat yang dipandang bukan bagian pribumi, etnis Tionghoa

dianggap suka berkelompok dan menjauhkan diri dari pergaulan sosial serta tinggal di

kawasan tersendiri. Stereotype terhadap orang Tionghoa bahkan hingga disebutkan

bahwa mereka tidak seperti orang Indonesia yang memiliki rasa pengabdian kepada

cita-cita. Dinyatakan bahwa setelah diberi kedudukan yang menguntungkan oleh

Belanda, orang Tionghoa mendominasi ekonomi Indonesia, melakukan penindasan

terhadap masyarakat Indonesia serta menghalangi orang pribumi yang ingin menjadi

pengusaha.56 Terkait sejarah pemusatan orang Tionghoa yang terbesar di pedesaan

terjadi di Sumatera (terutama di sepanjang pantai timur dan di pulau-pulau Bangka

dan Belitung) dan di Kalimantan Barat pemusatan itu sudah bertahan. Di Sumatera,

beribu orang Tionghoa telah didatangkan untuk bekerja sebagai kuli di perkebunan-

perkebunan tembakau dan di tambang-tambang timah. Di Kalimantan Barat banyak

54 Ibid, hal.53 55 Ibid, hal.54 56 Charles A Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, PUSTAKA SINAR HARAPAN: Jakarta,

1994, hal. 26

Page 52: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

orang Tionghoa bermigrasi secara spontan ke tambang emas lalu menetap sebagai

petani.57

Selama masa penjajahan orang Tionghoa dengan jelas sekali lebih unggul

dibandingkan rakyat jelata Indonesia, baik dalam status hukum maupun dalam

kekuatan ekonomi, dan hampir dalam semua hubungan antar etnis kedudukan orang

Tionghoa ternyata lebih tinggi dari orang Indonesia. Sekalipun kebudayaan orang

Tionghoa yang berakar setempat sering dipengaruhi sekali oleh kebudayaan berbagai

kelompok etnis Indonesia (khususnya dalam kasus Tionghoa peranakan), ini bukan

berarti mereka telah terasimilasi ke dalam masyarakat pribumi. Skinner melihat

bahwa di Jawa “terdapat ribuan orang Tionghoa yang menyusut kembali leluhur

mereka di Indonesia sampai sebanyak dua belas generasi”. Hal ini berbeda dengan

Thailand, di mana kebanyakan orang Tionghoa telah bergabung dengan penduduk

Thailand hingga empat generasi”.58

Menurut Onghokham, salah satu sejarawan Indonesia, masyarakat Tionghoa

bukanlah kelompok yang homogen, mereka beragam. Masyarakat Tionghoa di Jawa

datang sebagai perorangan atau kelompok kecil, mereka tiba sebelum kedatangan

bangsa Eropa. Sebagian besar dari masyarakat Tionghoa yang datang ke Jawa telah

menyatu dengan penduduk lokal sehingga tidak dapat lagi berbicara mandarin.

Sedangkan di wilayah Kalimantan Barat, pulau Kalimantan dan pesisir timur

Sumatera, masyarakat Tionghoa bermigrasi untuk bekerja di perkebunan dan di

tambang timah. Masyarakat Tionghoa di daerah ini masih mempertahankan bahasa

mereka. Di Sulawesi Utara dan di pulau Maluku, mereka berasimilasi dengan

masyarakat lokal. Selain daerah, mereka juga menganut agama yang berbeda, ada

Kristen, Katolik, Buddha, Kong Hu Cu dan Islam. Asal muasal masyarakat Tionghoa

pun jauh telah dimulai sebelum masa penjajahan Belanda. Namun persamaan

57 Ibid, hal.28. 58 Ibid, hal.36-37.

Page 53: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

keduanya adalah datang ke Indonesia untuk berdagang. Bangsa Tionghoa adalah

mitra Belanda dalam berdagang sejak pertama berdirinya VOC.59

Namun, Justian Suhandinata dalam bukunya juga menyebutkan bahwa

hubungan keduanya, bangsa Tionghoa dan Belanda tidak selamanya berjalan mulus.

Kejadian pembunuhan massal terhadap etnis Tionghoa terjadi pertama kalinya di

Batavia pada tahun 1740, yang dilakukan oleh beberapa orang Belanda yang tinggal

di Kota. Setelah kejadian tersebut, Belanda memberlakukan kebijakan pemisahan ras

secara resmi. Dengan kebijakan pemisahan tersebut, ras Tionghoa di satu kota harus

mempunyai surat izin jika melakukan perjalanan ke kota lain, di mana ras Tionghoa

lainnya tinggal. Sistem yang terkenal dengan istilah ghetto ini baru dicabut pada

tahun 1905.60

Terkait peran etnis Tionghoa dalam perpolitikan, disebut dalam buku La Ode,

bahwa ECI (Etnis Cina Indonesia) sudah ikut dalam politik Indonesia sejak masa pra

kemerdekaan hingga sebelum tahun 1965 di masa orde baru. Pasca reformasi, barulah

mereka terlibat kembali dalam ranah politik Indonesia. Menurut Leo Suryadinata,

terdapat tiga aliran utama dalam dunia politik Tionghoa peranakan yang bekerja

saling berdampingan. Ketiga aliran politik Tionghoa itu adalah kelompok Sin Po,

Chung Hwa Hui (CHH), dan kelompok Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang

didirikan pada tanggal 25 September 1932 oleh Liem Koen Hian, Ong Liang Kok dan

kaum peranakan lain di Surabaya, dengan disokong oleh Persatuan Bangsa Indonesia

dan kaum nasionalis Indonesia moderat lain, terutama dr.Soetomo dan Soeroso.61

Ketiga kelompok aliran politik Tionghoa tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama adalah kelompok Aliran Sin Po; aliran ini diwakili oleh Sin Po

sendiri. Setelah menolak UU tentang Kawula Negara Belanda, menghendaki agar

orang Tionghoa Hindia Belanda agar mempertahankan kebangsaan Cina dan

59 Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia,

PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2009, hal. 10. 60 Ibid, hal.11 61 M.D La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak dan Singkawang

di Era Reformasi 1998-2008. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2012, hal. 7.

Page 54: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

berusaha menarik golongan peranakan lebih dekat ke Cina dengan membuat mereka

lebih menyerupai golongan totok. Kedua, kelompok aliran Chung Hwa Hui.

Kelompok ini menginginkan agar orang Tionghoa Belanda tetap mempertahankan

identitas etnisnya di lingkungan Hindia Belanda. Mereka berjuang agar tetap hadirnya

kebudayaan Cina. Dalam hal ini mereka menerima UU tentang Kawula Belanda dan

bekerjasama dengan pemerintah koloni Belanda. Ketiga adalah Kelompok Aliran

Partai Tionghoa Indonesia. Kelompok ini adalah aliran kiri dan bersikap anti

kolonial. Mereka menginginkan orang Tionghoa Belanda tetap mempertahankan

identitas etnisnya, tetapi secara politik terasimilasi ke dalam masyarakat Indonesia

pribumi. Mereka menganggap bahwa Indonesia sebagai tanah air dan menamakan diri

sebagai orang Indonesia serta menuntut persamaan hak dan kewajiban sebagai orang

Indonesia, berjuang untuk Indonesia. Liem Koen Hian sebagai pendiri PTI yang juga

anggota BPUPKI mengatakan bahwa alirannya pro Indonesia dan beragumen bahwa

kaum Tionghoa peranakan harus sadar untuk menjadi warga negara Indonesia. Ketika

ia berpidato di sidang paripurna BPUPKI, ia mendeklarasikan bahwa orang Tionghoa

yang lahir di Indonesia adalah sebagai warga negara Indonesia di dalam UUD

Indonesia yang akan datang, karena ia melihat Indonesia sebagai tanah air dan

mereka tinggal di dalamnya.62

Dalam buku Anton Ramdan, kehadiran Cina di Indonesia juga dapat dilihat

pada bidang ekonomi. Orang Cina masuk ke Indonesia sejak berabad silam dan

melalui jalur perdagangan. Pada masa dinasti Han, rombongan Cina melakukan

aktifitasnya ke Asia Tenggara hingga pulau Jawa. Rombongan dagang ini dipimpin

oleh orang yang kuat, yaitu laksamana Cheng Ho. Sebenarnya para pedagang Cina

sudah mulai berdagang jauh sebelum kedatangan Cheng Ho. Ketika datang ke

Indonesia, orang-orang Cina termasuk sebagian dari pedagang membentuk suatu

62 Ibid, hal.8

Page 55: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

koloni baru yang disebut kampung Cina. Kemudian menjelang abad ke 19, lebih

banyak lagi orang Cina yang hadir ke Indonesia.63

Pada masa penjajahan kolonial Belanda, masyarakat Indonesia dibagi menjadi

tiga kelas. Pertama, bangsa Eropa, khususnya Belanda yang memegang sebagian

besar kekuasaan di Indonesia. Kedua, orang-orang asing yang bukan berasal dari

Eropa, seperti orang Cina, Gujarat, Arab dan lainnya. Kemudian kelas terendah atau

kelas ke tiga adalah masyarakat pribumi. Diantara masyarakat kelas dua, orang Cina

memegang kendali lebih banyak dalam dunia ekonomi. Sebelum kedatangan Hindia

Belanda, Cina di Indonesia mengambil peranan penting sebagai pedagang perantara

yang menghubungkan pedagang besar Cina dengan masyarakat pribumi. Namun

setelah kedatangan Belanda, maka posisi mereka tergeser oleh pedagang-pedagang

besar lainnya dari Eropa dan Belanda.64

2. Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Lama

Memasuki masa orde lama atau yang kita kenal dengan masa demokrasi

terpimpin, kehidupan etnis Tionghoa pun berubah dari fase sebelumnya, masa pra

kemerdekaan. Charles A Coppel dalam bukunya menyebutkan bahwa selama periode

antara tahun 1963 dan 1965, orang Tionghoa Indonesia mencapai akomodasi dengan

nasionalisme Indonesia yang cukup stabil pada saat itu. Keadaan tersebut tidak bisa

dipisahkan dari kondisi stabilitas politik di Indonesia berdasarkan kekuatan-kekuatan

politik yang ada. Pada tanggal 5 Juli 1959, Sukarno mengeluarkan dekrit pembubaran

Majelis Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945 yang revolusioner.

Kekuatan-kekuatan di luar parlemen menjadi semakin menonjol. Perdebatan untuk

tidak lagi menggunakan sistem demokrasi parlementer pun makin keras. Masa

transisi ke demokrasi terpimpin pada tahun-tahun awal merupakan masa pergolakan

dan tidak menentu bagi minoritas Tionghoa. Pertama adalah mengenai status

63 Anton Ramdan, Bisnis Cina Memang Gila, Shahara Digital Publishing, tanpa tahun dan tanpa halaman.

64 Ibid, tanpa halaman.

Page 56: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

kewarganegaraan mereka, dan ketidakpastian ini juga mempengaruhi kehidupan

lainnya, seperti pendidikan, undang-undang tanah dan hak ekonomi. Bahasan

mengenai kewarganegaraan ini sebenarnya telah ada sejak tahun 1954, di mana ada

rancangan UU yang telah diajukan ke parlemen dan akan sangat membatasi jumlah

orang Tionghoa yang bisa menjadi warga negara Indonesia.65

Sememntara masalah mengenai kewarganegaraan belum selesai, banyak

langkah yang diambil oleh pemerintah, militer dan parlemen yang memberi batasan

pada orang Tionghoa. Sebagai contoh pada aspek pendidikan, di mana pada tahun

1957 terdapat larangan yang menjadikan tidak sah bagi warga negara Indonesia untuk

memasuki sekolah asing kecuali dengan izin khusus. Akhirnya lebih dari seribu

sekolah di tutup dan beberapa ratus ribu WNI keturunan Tionghoa yang sebelumnya

masuk sekolah asing, menjadi terbatas hanya pada pendidikan di sekolah-sekolah

“nasional”. Pada kurun waktu yang sama, juga terjadi kenaikan mendadak dalam

nasionalisme ekonomi di kalangan orang Indonesia, yang mengambil bentuk yang

berbeda di antara kelompok-kelompok berlainan. Tahun 1956, gerakan kaum

pengusaha pribumi di bawah pimpinan Assaat menuntut agar pemerintah menerapkan

kebijakan diskriminatif terhadap orang Tionghoa (termasuk WNI keturunan

Tionghoa) demi kepentingan orang Indonesia pribumi. Terdapat alasan yang

dihadirkan, yaitu bahwa dulu pemerintah Belanda telah membuat golongan Tionghoa

kuat dibidang ekonomi, sementara pribumi lemah. Atas dasar tersebut, maka

pemerintah wajib menghilangkan sisa-sisa penjajahan ini. 66

Selama kurun waktu akhir demokrasi terpimpin, terjadi peningkatan dalam

derajat dimana WNI keturunan Tionghoa ikut serta dalam kancah politik Indonesia.

orang Tionghoa yang menjadi anggota Baperki (Badan Permusyawaratan

Kewarganegaraan Indonesia) juga berjumlah lebih besar dibanding dengan

keanggotaan organisasi politik manapun dalam sejarah Indonesia, dan golongan WNI

65 Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hal.

79 66 Ibid, hal. 80-81.

Page 57: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

keturunan Tionghoa semakin di dorong untuk memasuki partai-partai poltiik. Dalam

hal ini Lea Williams memandang bahwa ada kecenderungan ke arah “asimilasi

politik”.67 Sejarah juga mencatat bahwa di masa demokrasi parlementer dan

demokrasi terpimpin, besarnya peranan Baperki sebagai ormas terbesar yang

mewakili warga Tionghoa dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingan warga

Tionghoa, serta melawan tiap bentuk diskriminasi.

Dalam menyelesaikan “masalah minoritas Tionghoa”, Baperki di bawah

pimpinan Siauw Giok Thjan, Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat dan lainnya

mengembangkan doktrin nation building dan integrasi, yaitu sebuah doktrin yang

ingin membangun sebuah bangsa yang bersih dari diskriminasi rasial, menjunjung

kesamaan hak dan kewajiban warga negaranya tanpa mempermasalahkan asal-

usulnya dan mengintegrasikan warga Tionghoa secara utuh ke dalam haribaan bangsa

Indonesia.68 Sementara itu, sekelompok peranakan Tionghoa yang kebanyakan

berpendidikan Belanda eks Chung Hwa Hui yang tidak setuju dengan doktrin

integrasi, mengembangkan doktrin asimilasi total. Karenanya, tanggal 24 Maret 1960

di Jakarta dikeluarkan “Statement Asimilasi” yang dengan tegas berpendirian bahwa

masalah minoritet hanya dapat diselesaikan dengan jalan asimilasi dalam segala

lapangan secara aktif dan bebas.69

Sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga orde lama, banyak warga Etnis

Tionghoa yang terlibat dalam politik, seperti menjadi menteri atau anggota kabinet.

Beberapa menteri dari etnis Tionghoa dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.

67 Ibid, hal.100 68 Choirul Mahfud, Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia, PUSTAKA PELAJAR: Yogyakarta,

2013, hal.85. 69 Ibid, hal.86.

Page 58: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Daftar Warga Etnis Tionghoa Yang Terlibat Dalam Politik Pada Era Awal

Kemerdekaan Hingg Orde Lama (1946 – 1966) 70

No Nama Menteri Nama Jabatan Masa

Pemerintahan

Masa

Kabinet

1. dr. Darma Setiawan Menteri Kesehatan

Kabinet Syahrir Kedua

12 Maret-2 Oktober 1946

2. dr.Darma Setiawan Menteri Kesehatan

Kabinet Syahir Ketiga

2 Oktober 1946-27 Juni

1947 3. Mr.Tan Po Gwan Menteri Negara Kabinet Syahrir

Ketiga 2 Oktober

1946-27 Juni 1947

4. Siauw Giok Thjan Menteri Negara Kabinet Amir Syarifuddin

Kesatu

3 Juli 1947-11 November

1947 5. dr. Ong Eng Die Menteri Muda

Keuangan Kabinet Amir Syarifuddin

Kedua

11 November 1947-29

Januari 1948 6. Siauw Giok Thjan Menteri Urusan

Peternakan Kabinet Amir Syarifuddin

Kedua

11 November 1947-29

Januari 1948 7. dr. Ong Eng Die Menteri

Keuangan Kabinet Ali

Sastro Amidjojo Kesatu

1 Agustus 1953-12

Agustus 1955 8. dr. Mohammad Ali alias

dr. Lie Kiap Peng Menteri

Kesehatan Kabinet Ali

Sastro Amidjojo Kesatu

9 Oktober 1953-12

Agustus 1955 9. Oei Tjoe Tat S.H Menteri Negara

diperbantukan pada Presidium Kabinet Kerja

Kabinet Kerja re-grouping

kedua

13 November 1963-27 Juni

1964

10. Oei Tjoe Tat S.H Menteri Negara diperbantukan pada Presidium Kabinet Kerja

Kabinet Dwikora

27 Agustus 1964-21

Februari 1966

11. David Gie Cheng Menteri Cipta Kabinet 27 Agustus

70 M.D La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak dan SIngkawang di Era Reformasi 1998-2008. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2012, hal 12-13.

Page 59: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Karya dan Konstruksi

Dwikora 1964-21 Februari 1966

12. David Gie Cheng Menteri Cipta Karya dan Konstruksi

Kabinet Dwikora yang disempurnakan

21 Februari 1966-27

Maret 1966

Sumber Data: Satiarso T Taruna , Susunan Kabinet Republik Indonesia dari Tahun 1945-1973, diterbitkan oleh Yayasan Penelitian Masalah-masalah Asia (Institute of Asian Studies), Jakarta, 1973.

Tabel di atas menunjukkan bahwa pemerintah orde lama turut serta

mengakomodasi etnis Tionghoa untuk masuk dalam pemerintahan, tanpa melakukan

diskriminasi antar pribumi dan etnis Tionghoa. Hal ini juga menunjukkan bahwa etnis

Tionghoa banyak yang mampu dan berkualifikasi dalam hal politik.

Meski demikian, pada era orde lama dan memasuki demokrasi terpimpin

dengan sistem presidensial, sejumlah diskriminasi politik identitas terhadap etnis

Tionghoa terjadi. Pada masa itu, diterapkan sebuah aturan yang disebut sistem

benteng71 yang merupakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk melindungi

para importir nasional yang notabene adalah importir pribumi dari importir asing.

Para pengusaha Tionghoa tidak masuk dalam kategori importir nasional tersebut.

Kebijakan lain yang makin meminggirkan kaum Tionghoa adalah saat Presiden

Soekarno mengeluarkan PP No.10 tahun 1959 yang melarang orang Tionghoa

melakukan perdagangan eceran di daerah pedesaan, peraturan ini membuat eksodus

kaum Tionghoa dari daerah pedesaan ke pinggiran kota. Dalam tulisannya, Charles A

Choppel mengurai bahwa akomodasi yang dibuat oleh orang Tionghoa pada tahun-

tahun terakhir Demokrasi Terpimpin tiba-tiba menjadi berantakan oleh percobaan

kudeta pada tanggal 1 Oktober 1965. Perasaan anti Tionghoa berkembang dimana-

mana dan juga merupakan sebuah ungkapan permusuhan kepada Tiongkok yang

diproyeksikan secara agak tidak pandang bulu terhadap orang-orang Tionghoa

Indonesia.

71 Leo suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: Grafiti Press, 1984, h. 135.

Page 60: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Terdapat tiga keluhan yang disuarakan terhadap Republik Rakyat Tiongkok

pada minggu-minggu awal setelah percobaan kudeta. Pertama, dicatat di Jakarta

bahwa bendera di kedutaan besar Tiongkok tidak dikibarkan setengah tiang untuk

ikut berduka cita terhadap para Jenderal yang terbunuh. Kedua, paling kurang sejak

tanggal 12 Oktober, surat kabar Api milik Brigadir Jenderal Sukendro yang baru

terbit (yang berapi-api seperti namanya) melaporkan bahwa radio Peking terus

melakukan provokasi terhadap revolusi Indonesia. Ketiga, dilaporkan dalam pers

Indonesia bahwa granat tangan dan senapan ringan buatan Tiongkok telah ditemukan

di pelabuhan Tanjung Priok. Jakarta yang diselundupkan diantara material untuk

proyek CONEFO (tetapi laporan ini belakangan dibantah oleh Brigadir Jenderal

Soetjipto).72

Terkait kekerasan terhadap etnis Tionghoa yang terjadi pada masa percobaan

kudeta, beberapa orang Tionghoa yang menjadi anggota PKI atau organisasi

massanya atau yang dianggap sebagai simpatisan PKI dibunuh sebagai bagian dari

pembunuhan besar-besaran pada umumnya, tetapi pembunuhan orang Tionghoa

karena mereka mereka Tionghoa, lebih bersifat sporadis dan kurang sistematis.

Sejumlah besar pemimpin Baperki dan organisasi-organisasi lain dengan citra kiri

dan keanggotaan yang pada hakikatnya Tionghoa, ditahan. Terdapat pertanyaan yang

ditulis oleh Charles dalam bukunya, yaitu mengapa pembunuhan besar-besaran

terhadap orang Tionghoa tidak terjadi saat itu? Pertama, pembunuhan besar-besaran

terjadi untuk sebagian besar di daerah pedesaan Jawa dan Bali, di mana golongan

Tionghoa kurang terwakili dalam jumlah penduduk secara keseluruhan, dan bukan di

pusat-pusat pertokoan utama, dimana mereka diwakili dalam jumlah yang lebih besar.

Kedua, orang Tionghoa yang terdapat di daerah-daerah, di mana pembunuhan biasa

terjadi, cenderung merupakan kelas pemilik toko yang relatif kaya. Diperkirakan

72 Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994,

hal.119-120.

Page 61: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

beberapa dari mereka yang mengadakan pengaturan perlindungan dengan pejabat

militer dan sipil setempat.73

3. Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Baru

Keberadaan etnis Tionghoa pasca kudeta yang terjadi, dimana hadir peralihan

kepemimpinan dari orde lama (Soekarno) ke orde baru (Soeharto) sangat miris.

Jaminan keamanan dan eksistensi mereka baik dalam bidang sosial, politik, budaya

dan lainnya terbentur dengan kebijakan negara yang anti terhadap keberadaan

mereka.

Setelah menerima penyerahan kekuasaan tanggal 11 Maret, Soeharto bergerak

cepat untuk memenuhi dua dari tuntutan-tuntutan yang telah disuarakan dengan

kuatnya oleh KAMI sejak bulan Januari. Pada tanggal 18 Maret, sekelompok orang

sebanyak 10.000 berkumpul di Makassar untuk menuntut diusirnya semua staff

diplomatik, konsuler dan wartawan Tiongkok dari Indonesia atas dasar ikut

campurnya mereka dalam urusan dalam negeri Indonesia. Setelah kejadian itu, pada

tanggal 25 Maret pemerintah Indonesia memberi tanggapan kepada perasaan yang

tersebar luas di Indonesia dengan mengumumkan penutupan “sementara” perwakilan

Kantor Berita Tiongkok baru di Jakarta, pembatalan kartu pers wartawan-

wartawannya, dan larangan atas kegiatannya di bidang pelaporan berita dan

penerbitan siaran pers. Namun, langkah ini tidak serta merta memberhentikan arus

demonstrasi anti Tionghoa. Konsulat di Medan yang baru saja diungsikan diserang

lagi pada tanggal 29 Maret dan pada 8 April Perhimpunan Umum Organisasi-

organisasi Tionghoa Perantauan di Jakarta diduduki dengan paksa, bersama-sama

dengan sepuluh lembaga Tionghoa perantauan di Jakarta. Orang Tionghoa asing,

termasuk para pengurus mereka, diberitakan telah dipukuli dan diinterogasi.74

73 Ibid, hal.125 74 Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994,

hal.133-134

Page 62: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Mely G Tan menulis dalam bukunya “Etnis Tionghoa di Indonesia”, bahwa

pada masa orde baru, gejala yang sangat menonjol adalah pada penggunaan bahasa

untuk pemerintah dan elite politik. Bagaimana wujud dari bahasa ditentukan oleh

pemerintah dan elite yang berkuasa, sehingga dapat dipertanyakan apakah bahasa

dalam keadaan demikian merupakan kekuatan integratif atau justru sebaliknya.

Di bawah pemerintahan yang amat berkuasa, memang bahasa menjadi salah

satu hal dapat menjadi indikasi dari penguasaan sebuah pemerintahan. Salah satu hal

yang dapat kita lihat pada masa orde baru adalah bagaimana pemerintahan Soeharto

menggunakan kata “wanita” dibanding kata “perempuan”. Dimana penggunaan kata

tersebut turut mengindikasikan pembagian kerja perempuan dan laki-laki serta

refleksi atas cara pandang terhadap perempuan. Mely juga dalam bukunya

menyatakan bahwa bahasa digunakan dan dimanipulasi untuk kepentingan

pemerintah dan elit berkuasa, sehingga terjadilah hegemoni makna kata.

Sejak awal masa orde baru, penggunaan bahasa dengan maksud tertentu dapat

dilihat dengan jelas. Dalam bahasan etnis Tionghoa, golongan minoritas ini disebut

oleh pemerintah orde baru sebagai Cina. Setelah orde baru berakhir dan kemudian

dipimpin oleh Habibie, maka penamaan ini pun berubah menjadi Tionghoa. Selain

itu, ada pula konsep bangsa dan kebangsaan. Apa yang dimaksud dengan bangsa?

Jika mengutip paparan Soekarno dalam pidatonya mengenai lahirnya Pancasila,

dimana Soekarno juga menyadur paparan filusuf Perancis Ernest Renan, dimana

persyaratan dari sebuah nation adalah keinginan untuk bersatu. Dimana pada

akhirnya, bangsa tidaklah hanya terdiri dari satu suku saja, melainkan banyak suku,

pun termasuk menetapkan hak warga yang merupakan keturunan asing, seperti

Tionghoa.75 Terdapat dua hal yang sangat menarik untuk dibahas dalam perspektif

keberadaan etnis Tionghoa ketika masa orde baru, yaitu pada aspek ekonomi dan

bisnis serta asimilasi politik orde baru terhadap etnis Tionghoa.

75 Mely G Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia; Kumpulan Tulisan, Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2008, hal.196-199.

Page 63: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

a. Penguasaan Ekonomi dan Bisnis

Dalam mengurai bahasan tentang ekonomi dan bisnis yang dikuasai oleh etnis

Tionghoa, dapat kita lihat pada awal bagaimana budaya bisnis tersebut terbentuk.

Hingga tahun 1960-an, mungkin sekitar 40 persen orang Tionghoa di Jawa, termasuk

mereka kelahiran lokal, adalah kaum Totok. Karena kaum Totok tetap

mempertahankan bahasa Tionghoa mereka, identifikasi penutur kelompok merupakan

hal penting dalam komunitas totok, dan dimanapun kelompok bertutur dalam dialek

tertentu, menjadi penting dalam bisnis tertentu. Budaya totok tetap bertahan,

khususnya dikalangan pengusaha. Beberapa sumber memperkirakan bahwa sekitar

75-80 persen pengusaha terbesar berada di tangan etnis Tionghoa dan mayoritas

terbesar dari laki-laki.

Budaya usaha Tionghoa Indonesia tampaknya hampir dimonopoli oleh kaum

totok. Pembatasan ekonomi bagi orang asing dan dapat dipastikan etnis Tionghoa

dikategorikan dalam kata asing ini, “memaksa” orang Tionghoa untuk mencari sekutu

dengan pengusaha pribumi. Persekutuan yang telah terbentuk dari awal, tetap

berlanjut sampai sekarang. Sebagai contoh, di Jawa, kaum Hockia, dengan sejarah

perdagangan kecil di daerah pedesaan, nampaknya pas untuk membentuk hubungan

dengan militer. Sudono Salim (Liem Sioe Liong) menjadi mitra usaha Presiden

Soeharto ketika beliau masih menjadi komandan angkatan bersenjata di Jawa Tengah.

Hubungan ini terus berlanjut, ketika Soeharto menjadi Presiden.76 Karenanya, dapat

dipahami jika mayoritas etnis Tionghoa Indonesia dapat memegang sektor bisnis di

Indonesia.

Sebagai contoh atas penguasaan bisnis dan ekonomi etnis Tionghoa di

Indonesia, dapat kita lihat pada usaha-usaha strategis yang didominasi oleh

pengusaha etnis China –Indonesia di Kalimantan Barat, yang sudah merambat pada

kepentingan khalayak banyak. Antara lain adalah pada sektor Hak Pengusahaan

76 Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2009, hal.121-122.

Page 64: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Hutan (HPH). Perusahaan HPH telah beroperasi sejak 1967 dan berlangsung sampai

sekarang.

Pada kenyataannya, sedikit sekali bangsa pribumi Kalimantan Barat (suku

bangsa Melayu dan Dayak) yang mendapat kesempatan untuk berada pada sektor ini

karena hampir seluruhnya dikuasai oleh etnis Tionghoa. Tidak hanya menguasai

sektor HPH, namun etnis Tionghoa Indonesia juga menguasai sektor HTI (Hutan

Tanaman Industri). Sejak beroperasi pada tahun 1990 an, kecil kemungkinan bagi

pribumi mendapatkan fasilitas seperti yang didapatkan oleh etnis Tionghoa dari

pemerintah.77 Dalam bukunya, La Ode menyertakan tabel perbandingan pemilikan

HPH di Kalimantan Barat sebagai berikut:

Tabel 5.

Perbandingan Kepemilikan HPH di Kalimantan Barat Antara Etnis Tionghoa

Indonesia Dengan Pribumi dan Persero Dari Tahun 1967 – 1995)

No. Pemilik HPH Luas Areal (ha) Persentase (%)

1. Etnis Cina-Indonesia 3.955.700 26,944

2. Pribumi 1.438.100 9,796

3. Inhutani II (Persero) 120.000 0,818%

Sumber: Diolah dari Data Kanwil Kehutanan Provinsi Kalbar dan berbagai sumber 1995.

Penguasaan ekonomi dan bisnis etnis Tionghoa di Indonesia juga dijelaskan

oleh M.D La Ode dalam bukunya “Etnis Cina Indonesia dalam Politik”. Dalam

tulisannya, ia menuliskan bahwa satu-satunya bidang yang dapat dimasuki oleh etnis

Tionghoa hanya bidang ekonomi. Mereka menjadi pedagang, mendirikan pabrik,

77 M.D La Ode, Tiga Muka Etnis Cina-Indonesia; Fenomena di Kalimantan Barat, Bigraf

Publishing, 1997, hal. 219.

Page 65: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

mengelola lembaga keuangan dan lainnya, yang akhirnya menjadikan mereka matang

dalam berbisnis. Kalimantan Barat dapat menjadi contoh yang dilihat pada skup

nasional, bahwa memasuki masa pemerintahan orde baru, etnis Cina di Kalimantan

Barat tidak memiliki gerak dalam politik, sosial dan budaya. Mereka hanya dapat

menjadi petani dan menarik becak. Pada masa orde baru, kita tidak akan menemukan

etnis Tionghoa yang menjadi kepala daerah, anggota DPRD dan lainnya. Dalam

birokrasi masih bisa kita temukan etnis Tionghoa, namun pada posisi staff, tidak ada

representatif etnis Tionghoa dalam dunia Kepolisian dan TNI. Di Kalimantan Barat,

pusat produksi, home industry, hotel, restoran, kios dan lainnya hingga jasa

pengangkutan di darat, laut dan sungai, semuanya dimiliki oleh etnis Tionghoa yang

mempunyai modal besar.78

Kesempatan yang terbuka bagi etnis Tionghoa dalam dunia ekonomi dan

bisnis mendapat banyak kritik, terutama oleh para pesaing pribumi dan surat kabar

tertentu. Kritik ini terutama dialamatkan pada pengusaha-pengusaha Tionghoa yang

bersekutu dengan pemegang kekuasaan Indonesia. Mereka mendapat perlakuan

istimewa untuk kontrak, kredit dan izin sebagai imbalan atas bagian keuntungan

untuk pejabat bersangkutan. Para Jenderal dan teknokrat pada umumnya ingin sekali

memantapkan perekonomian dan menarik bantuan serta penanaman modal asing yang

dalam pandangan mereka dapat dicapai paling baik dengan memberi kepastian pada

para pengusaha Tionghoa bahwa ada tempat cukup baik bagi mereka dalam

perekonomian orde baru, dengan demikian lebih bersifat mendahului daripada

mengikuti stabilisasi perekonomian.79

Dalam rentang waktu 10 tahun, etnis Cina-Indonesia di daerah Kalimantan

Barat (kaum pengusaha dengan kaum politisinya) bergabung melakukan rekonstruksi

kekuasaan di dua sektor utama, yaitu sektor ekonomi dan sektor politik. Di sektor

ekonomi, etnis Cina-Indonesia pernah dieksekusi oleh Gerakan Mangkok Merah dari

78 M.D La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak dan SIngkawang di Era Reformasi 1998-2008. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2012, hal.133.

79 Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hal.293.

Page 66: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

suku bangsa Dayak di Kalimantan Barat. Pada sektor politik, dua kubu wadah sosio-

politiknya, yang menjadi sarang komunis telah dihancurkan oleh gelombang amukan

massa KAMI/KAPPI. Sedangkan pada periode tahun 1975-1985, etnis Cina-

Indonesia melakukan penggabungan kekuatan yang terbagi dalam empat golongan:

1. Golongan kekuatan pengusaha etnis Cina-Indonesia

2. Golongan kekuatan intelektual etnis Cina-Indonesia

3. Golongan politisi etnis Cina-Indonesia dan

4. Golongan suku bangsa pribumi yang bisa diperalat oleh etnis Cina-

Indonesia.80

Setelah itu, pada periode tahun 1985-1995, etnis Cina-Indonesia melakukan

blockade peluang bisnis suku bangsa pribumi Dayak-Melayu, sekaligus

mengalahkannya. Menurut pendapat sejumlah kalangan di Pontianak, tutupnya

perusahaan-perusahaan pribumi adalah realisasi dari serangkaian keganasan blokade

peluang bisnis tersebut. Dengan adanya praktek-praktek di atas, maka dapat dilihat

bahwa tujuan utama mereka adalah untuk membangun kesejahteraan pertumbuhan

ekonomi di lingkungannya sendiri, dengan cara menghambat pertumbuhan ekonomi

kaum pribumi.

b. Asimilasi dan Diskriminasi Politik

Segala kebijakan dan aturan yang dibuat oleh orde baru adalah dengan tujuan

mempercepat pembauran dan menghilangkan sifat eksklusif etnis Tionghoa. Namun

bagi pemerintah orde baru, yang dimaksud dengan pembauran adalah hilangnya

kelompok etnis Tionghoa sebagai suatu golongan kebudayaan yang khas. Dalam

persepsi pemerintah dan masyarakat luas,”masalah Cina” adalah suatu keadaan di

mana sebuah kelompok yang hanya 3-4 % di Indonesia, dianggap bukan bagian dari

orang Indonesia, serta menguasai hampir 70% dari sektor swasta. Hal ini lah yang

80 M.D La Ode, Tiga Muka Etnis Cina-Indonesia; Fenomena di Kalimantan Barat, Bigraf Publishing, 1997, hal. 259.

Page 67: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

sering diungkapkan, bahwa betapa etnis Tionghoa tidak patut, khususnya golongan

konglomerat etnis Tionghoa, dalam perekonomian Indonesia ini. Mely Tan mengurai

bahwa sebenarnya dari golongan etnis Tionghoa sendiri, mempunyai konsep atas

pembauran atau asimilasi. Pada tahun 1960, dimuat dalam majalah Star Weekly,

bahwa pernyataan “asimilasi yang wajar” dan ditandatangani oleh sepuluh kaum

intelektual peranakan Tionghoa. Judul dari penandatanganan ini adalah “Menuju

asimilasi yang wajar”, serta ditekankan sifat sukarela dari konsep pembauran ini dan

tidak membenarkan hambatan-hambatan yang dibuat-buat, juga tidak menyetujui

tindakan paksaan terhadap asimilasi tersebut. Konsep asimilasi ini berkembang dan

terbentuk lembaga yang bernama Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB).81

Pembauran atau asimilasi ini dapat dilihat pada tiap wilayah yang terdapat

etnis Tionghoa di dalamnya. Misal etnis Tionghoa yang ada di daerah Jawa melebur

dengan masyarakat Jawa, lengkap dengan perubahan nama nya menjadi nama Jawa.

Etnis Tionghoa yang hidup di dalam masyarakat Sunda melebur bersama masyarakat

Sunda, Ambon dan sebagainya. LPKB dimasa Orde Baru menjadi Bakom-PKB

(Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa). Pemerintahan orde baru

melanjutkan konsep pembaurannya dan dan memunculkan konsep SARA (Suku,

Agama, Ras, Antar Golongan) yang ditujukan khusus ke media agar tidak

memberitakan hal terkait konsep ini. Akhirnya, pada kenyataannya, konsep asimilasi

dalam masa pemerintahan orde baru, bukan merujuk pada kerukunan hidup

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, melainkan selama orde baru memimpin

telah terjadi suasana eskalasi polarisasi dalam hubungan antar etnis Tionghoa dan

masyarakat luas. Di mana hal ini secara sengaja atau tidak memupuk sentiment anti

Cina yang meledak pada kasus pertengahan Mei 1998, terutama di Jakarta, Solo, dan

beberapa tempat lain di Indonesia.82

Kebijakan asimilasi orde baru menyebabkan etnis Tionghoa tidak dapat

belajar bahasa mandarin di sekolah, membaca terbitan berbahasa mandarin kecuali

81 Ibid, hal. 204 82 Ibid, hal. 206

Page 68: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Harian Indonesia, surat kabar yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia dan jarang

melihat kehadiran orang Tionghoa di program TV. Meski terdapat pembatasan

demikian, namun generasi pada masa ini mendapat akses ke rekaman video untuk

melihat video-video yang berbahasa mandarin, contohnya adalah program The

Legend of the Condor Heroes.83 Hal ini tentunya merupakan anugerah tersendiri bagi

etnis Tionghoa karena dapat mengobati rindu mereka pada bahasa dan budaya yang

ada. sejumlah kebijakan yang hadir di masa orde baru agar berjalannya asimilasi ini

adalah ; 1) pelarangan penggunaan bahasa Cina, 2) pelarangan praktik budaya Cina di

tempat umum, 3) himbauan untuk berganti nama, dan 4) penutupan sekolah-sekolah

Cina. Aimee Dawis juga menyimpulkan kebijakan-kebijakan tersebut telah membuat

orang Indonesia Tionghoa untuk lebih berupaya menjadi orang Indonesia dengan

kadar jati diri ketionghoaan yang beragam yang sangat dipengaruhi oleh daerah asal,

keluarga dan agama. Meski demikian, orang Tionghoa masih saja menghadapi

perlakuan diskriminasi sehari-hari walau telah berusaha melakukan “pengindonesiaan

diri”.84

Terkait penggantian nama, pada tanggal 1 Juni 1966, kira-kira 6.662 WNI

keturunan Tionghoa di Sukabumi mengganti nama mereka dalam suatu upacara

memperingati hari lahirnya Pancasila. Pada tanggal 29 Mei, mereka semua

dikumpulkan untuk hadir dalam briefing dari panitia yang terdiri dari LPKB

Sukabumi, pemimpin masyarakat WNI keturunan Tionghoa Sukabumi dan Panca

Tunggal Sukabumi. Setelah ganti nama secara de facto dilaksanakan dengan berhasil

sekali pada tanggal 1 Juni, maka hadir kesulitan-kesulitan bagi etnis Tionghoa.

Menurut UU yang berlaku saat itu, ganti nama secara de jure merupakan suatu proses

yang rumit dan memakan waktu. Berdasarkan UU Ganti Nama tahun 1961, perlu

sejumlah persyaratan lain, dan memberitahu maksudnya dalam berita negara, guna

memungkinkan pihak yang menentang mengajukan keberatan. Mekanisme ini tidak

83 Aimee Dawis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2010, hal.3

84 http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/244-orang-indonesia-tionghoa-mencari-identitas, diakses pada tanggal 25 Oktober 2016.

Page 69: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

dipatuhi di Sukabumi, sehingga masyarakat Tionghoa di Sukabumi tidak dapat

melakukan transaksi dengan petugas bank, petugas pos dan telegram atau membuat

kartu penduduk dengan nama baru mereka.85

Selain nama, agama juga menjadi hal yang bisa kita lihat dalam kebijakan

asimilasi orde baru. Terdapat dua agama yang diakui secara resmi; Buddha dan

Konghucu. Keduanya terkait dengan mayoritas etnis Tionghoa yang menganut agama

itu. Agama-agama minoritas seperti dua yang telah disebutkan di atas, harus

menyesuaikan diri di Indonesia. Tan Chee Beng berpendapat bahwa agama-agama

orang Tionghoa dapat dibagi menjadi “agama Tionghoa” dan agama Buddha

Tionghoa” karena keduanya mempunyai komponen yang berbeda. Menurut

pendapatnya, agama Tionghoa mempunyai konsep dewa yang banyak. Pada masa

orde baru, konsep mempunyai dewa yang banyak, tidak sejalan dengan interpretasi

orde baru tentang sila yang pertama dari Pancasila. Resim Soeharto beranggapan

bahwa agama Tionghoa, termasuk agama Konghucu dan Sam Kauw merupakan suatu

“rintangan” dari kebijakan asimilasi. Untuk mencapai tujuan asimilasinya,

pemerintahan orde baru menggunakan berbagai cara, mulai dari pembatasan aktifitas

agama Tionghoa, penggantian nama agama Tionghoa, mencabut pengakuan agama

Tionghoa, sampai larangan membangun tempat ibadat baru untuk agama Tionghoa.86

Sejak kongres tahun 1967, agama Konghucu semakin terinstitusionalkan.

Organisasinya disusun mirip agama Kristen dan Islam. Ada rumah ibadah yang

disebut lithang, bukan klenteng. Rumah ibadat agama Konghucu beroperasi seperti

gereja Kristen. Agama Konghucu juga mengenal khotbah, disamping

penyelenggaraan upacara perkawinan. Setelah merasa kuat secara kekuasaan politik,

rezim Soeharto merasa tidak membutuhkan dukungan penganut agama Konghucu.

Para Jenderal pun merasa bahwa agama Konghucu adalah penghambat bagi asimilasi

warga Indonesia keturunan Tionghoa. Sejak tahun 1978, pemerintah mulai menjaga

85 Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hal.166-167.

86 I. Wibowo dan Thung Ju Lan (ed.), Setelah Air Mata Kering; Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998, Penerbit Kompas: Jakarta, 2010, hal.78-79.

Page 70: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

jarak terhadap agama Konghucu. Pada akhir 1978, Menteri Dalam Negeri

mengeluarkan surat edaran yang menyatakan hanya mengakui lima agama di

Indonesia, dan tidak termasuk Konghucu. Pada awal 1979 kabinet Soeharto juga

mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan bahwa agama Konghucu bukanlah

agama. Orang Tionghoa tidak lagi menyematkan agama Konghucu di kartu

penduduknya, melainkan agama Buddha. Agama Buddha diyakini lebih mencirikan

Indonesia, karena dulu terdapat kerajaan-kerajaan Buddha di Indonesia, seperti

Sriwijaya.87 Tidak hanya agama, namun juga tempat peribadatan yang ada turut

diubah. Rezim Orde Baru berusaha mengubah klenteng menjadi wihara.

4. Etnis Tionghoa Pada Masa Reformasi

Angin segar dapat dihirup etnis Tionghoa Indonesia ketika Indonesia

memasuki babak reformasi. Peristiwa kekerasan dan diskriminasi yang diterima oleh

etnis Tionghoa perlahan hilang seiring kebijakan Indonesia yang mengedepankan

kebebasan berserikat, berbicara, beragama, berpolitik dan lainnya. Pasca peristiwa

kekerasan pada bulan Mei 1998 dan memasuki era reformasi, pemerintah lebih

memperhatikan aspek perlindungan politik, budaya, ekonomi dan lainnya bagi

seluruh warga negara Indonesia, tak terkecuali etnis Tionghoa Indonesia.

Para ilmuwan dan peneliti menilai bahwa reformasi politik membuka kran

bagi warga Tionghoa untuk terjun ke dunia politik. Pemilihan langsung yang telah

kita lakukan sejak tahun 2004, juga menguntungkan bagi warga Tionghoa untuk bisa

berjalan mulus dalam dunia politik, karena tidak ada lagi unsur subjektifitas, etnis dan

agama.

Pada awal reformasi, bermunculan berbagai partai politik ataupun kelompok

kepentingan dari warga Tionghoa, misal Partai Reformasi Tionghoa Indonesia

(PARTI), Partai Pembauran Indonesia (Parpindo), dan Forum Masyarakat untuk

87 Ibid, hal.84-85.

Page 71: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Solidaritas Demokrasi Indonesia (Formasi). Pada tahun 1999, tercatat 150 an calon

anggota legislatif dari warga Tionghoa. Ketika itu, lima anggota DPR dan tujuh

anggota MPR yang terpilih dari warga Tionghoa. Pada pemilu 2004, jumlahnya

meningkat. Di pemerintahan lokal, sejumlah warga Tionghoa pun terpilih. Salah

satunya adalah Basuki Tjahaja Purnama yang terpilih sebagai Bupati Bangka.88

Tan (1998) yang meneliti tentang aspirasi dan partisipasi politik orang

Tionghoa, mengklasifikasi keterlibatan warga Tionghoa dalam poltik menjadi lima

kelompok cara pandang, yaitu

1. Kelompok warga Tionghoa yang merasa perlu menonjolkan identitas etnis

mereka dan memperjuangkan hak mereka sebagai golongan, misalnya

dengan mendirikan partai Tionghoa.

2. Kelompok yang tidak mau menjadikan etnis atau agama sebagai basis

gerakan, melainkan melalui platform persamaan hak, misalnya dengan

mendirikan partai Bhineka Tunggal Ika.

3. Kelompok yang lebih menyukai sebuah forum yang tujuan utamanya lebih

sebagai pressure group.

4. Kelompok yang membentuk paguyuban kelompok karena perasaan

senasib sepenanggungan.

5. Kelompok yang bergabung dalam partai politik yang terbuka seperti PDI

Perjuangan, PAN, PKB, dan sebagainya.89

Keberadaan serta kesempatan yang luwes untuk etnis Tionghoa berpolitik dan

beraktifitas di masa reformasi, dapat kita lihat pada sejumlah kebijakan yang

dikeluarkan oleh pemerintah pasca reformasi.

a. Pengaruh Kebijakan Negara

88 Choirul Mahfud, Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia, PUSTAKA PELAJAR: Yogyakarta,

2013, hal. 167-168. 89 Ibid, hal.169.

Page 72: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang berlangsung lama sejak masa pra

kemerdekaan, orde lama dan orde baru, tentu menyisakan kenangan pahit bagi warga

Tionghoa. Kebijakan negara yang saat itu diberlakukan untuk membatasi tindak

tanduk dan sikap politik etnis Tionghoa, dicabut pada masa reformasi dan diganti

dengan sejumlah kebijakan anti diskriminasi. Kebijakan pemerintah tersebut

diantaranya adalah;

1. Keppres No.56/1996 tentang SKBRI

2. Keppres No.6/2000 tentang Pencabutan Inpres No.14/1967

3. Inmendagri No.25/1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keppres

No.56/1996

4. Inpres No.26/1998 tentang Penghapusan Penggunaan Istilah Pri dan Non

pri

5. SE Mendagri No.471.2/1265/SJ tanggal 18 Juni 2002 tentang SKBRI

6. SE DIrjen Imigrasi Depkeh dan HAM No. P.U.M 01.100626 tanggal 14

April 2004 tentang SKBRI bagi Permohonan Paspor RI

7. SE Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan No.6 Tanggal 11 Juni

2004 tentang ditetapkannya Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari

Nasional.90

Dalam perayaan nasional Tahun Baru Imlek 2558, Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono meminta masyarakat tidak lagi mengulangi kesalahan masa lalu dengan

bersikap diskiminatif terhadap etnis Tionghoa. Dalam konteks kehidupan bernegara,

tiga Presiden sebelumnya telah mempelopori lahirnya berbagai produk hukum yang

anti diskriminatif. Hal ini diawali pada tanggal 16 September 1998, dimana Presiden

BJ Habibie saat itu mengeluarkan Inpres 26.1998 yang menghapuskan penggunaan

istilah pribumi/non-pribumi. Habibie juga mengeluarkan Inpres 4/1999 tentang

90 Ibid, hal. 206

Page 73: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Penghapusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan

diperbolehkannya pelajaran bahasa mandarin.

Setelah itu, ketika tampuk kekuasaan beralih ke Presiden Abdurrahman

Wahid, maka juga hadir Keppres 6/2000 tentang Pencabutan Inpres 14/1967 yang

mengatur penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina,

tanpa memerlukan izin khusus. Presiden Megawati menerbitkan Keppres 19/2002

yang menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional. Puncak dari langkah

yang hebat ini adalah lahirnya UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang

disahkan di DPR pada 11 Juli 2016. Dengan adanya pengesahan UU tersebut, maka

menjadi tugas pemerintah untuk memastikan bahwa tidak ada lagi produk hukum

yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa.91

Choirul Mahfud dalam bukunya menulis bahwa pada saat ini, telah

diberlakukan UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI yang menggantikan

posisi UU No.62 tahun 1958. UU Kewarganegaraan 2006 yang ini mengelompokkan

warga negara dalam dua kelompok, yaitu (1) Warga Negara Indonesia asli yaitu

orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak

pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri dan (2) orang-orang

bangsa lainyang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia

melalui proses kewarganegaraan. Jadi, hanya ada dua jenis penggolongan

kewarganegaraan di Indonesia, yaitu warga negara Indonesia dan warga negara asing.

Melalui pengertian ini, maka warga keturunan Tionghoa yang berada di Indonesia

sejak lahir dan bertahun-tahun lamanya bertempat tinggal di Indonesia secara turun

temurun adalah warga negara Indonesia secara sosiologis. UU tahun 2006 ini secara

tegas menganut asas non diskriminatif serta asas persamaan di dalam hukum dan

pemerintahan. UU ini juga menentang adanya penggolongan penduduk warisan

91 Ibid, hal. 209-211

Page 74: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

kolonial dan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang selama

ini telah mendiskriminasikan warga Tionghoa.92

Dalam tulisan M.D La Ode terkait pengalaman nyata di Kalimantan Barat

pasca reformasi, maka dapat ditemukan bahwa warga kelompok etnis Cina Indonesia

baik ditingkat provinsi Kalimantan Barat, di kota Pontianak maupun di kota

Singkawang, banyak yang menjadi pengurus partai politik. La Ode mendapatkan data

siapa saja dari etnis Tionghoa (La Ode menyebutnya sebagai Etnis Cina Indonesia

atau ECI) yang menjadi pengurus partai politik, seperti yang terlihat pada tabel di

bawah ini93:

Tabel 6.

Daftar Warga Etnis Tionghoa Yang Menjadi Pengurus Partai Politik

Tahun 1998 – 2008 di Kalimantan Barat

No. Nama Partai Politik Jabatan

1. Michael Yan Sriwidodo DPD Golkar Kalbar Wakil Ketua

2. Setiawan Lim, SH DPW PKB Kalbar Wakil Ketua

3. Apheng DPD Hanura Kalbar Pengurus

4. Setiyo Gunawan, SE DPC Demokrat ptk Ketua DPC

5. Ajas Hartono, MBA DPC Demokrat ptk Ketua DPC

6. Wiseno Sudarmo DPC Demokrat ptk Pengurus DPC

7. Bong Wui Khong DPC PIB skw Ketua DPC

8. Hasan Karman DPW PIB Kalbar Ketua DPW

9. Bong Cin Nen DPC Golkar skw Pengurus

10. Bong Min Jam DPC PIB skw Pengurus

92 Ibid, hal. 211-212. 93 M.D La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak dan SIngkawang

di Era Reformasi 1998-2008. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2012, hal.174.

Page 75: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Sumber: Data diolah dari hasil wawancara dengan informan penelitian,

2009.

Data di atas menggambarkan sebuah refleksi atas kebijakan negara pasca

reformasi yang memperbolehkan partisipasi etnis Tionghoa Indonesia dalam kancah

perpolitikan Indonesia. Hal ini tentu merupakan kemajuan dalam konteks

kewarganegaraan dan cermin akomodasi atas multikulturalisme yang ada di

Indonesia.

b. Konsolidasi Kelompok Kepentingan

Dalam melakukan partisipasi politik pasca reformasi, tentu etnis Tionghoa

Indonesia mempunyai komunikasi dan konsolidasi antar kelompok kepentingan yang

ada. Terdapat sejumlah kelompok kepentingan Tionghoa yang hadir setelah Indonesia

masuk pada alam reformasi. Diantaranya ada yang berbentuk LSM seperti Solidaritas

Nusa Bangsa (SNB) dan Gerakan Anti Diskriminasi (Gandi). Selain partai politik,

ada juga organisas massa yang dibentuk oleh campuran golongan peranakan dan

totok seperti Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) dan Perhimpunan

Indonesia Tionghoa (Inti). Organisasi-organisasi tersebut di atas, ada yang masih

bertahan, ada yang mengendur dan ada yang nyaris mati. Terjadi perkembangan yang

cukup menggembirakan akhir-akhir ini, yaitu bahwa organisasi-organisasi tersebut,

seperti Inti, Marga Huang, Meizhou, Guangzhou dan Teochew kadang melakukan

kegiatan sosial membantu korban bencana alam atau pengobatan gratis, disamping

baksos-baksos yang dilakukan Buddha Tsu His dan Walubi. Pun ketika terjadi

bencana tsunami di Aceh, berbagai organisasi Tionghoa ini memberikan bantuan

dana dan logistik untuk para korban.94

94 Choirul Mahfud, Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia, PUSTAKA PELAJAR: Yogyakarta,

2013, hal. 283.

Page 76: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Hal-hal tersebut di atas dijalankan untuk semakin menguatkan konsolidasi

yang ada antar kelompok kepentingan Tionghoa dan mencoba untuk dapat

memberikan sumbangsih bagi negara Indonesia. Salah satu perhimpunan Tionghoa

yang sering kita dengar adalah Inti. Perhimpunan ini terus aktif mengaspirasikan

kepentingan sosial politik warga Tionghoa yang selama ini tersumbat. Tidak hanya

dibidang politik, namun mereka juga mengembangkan peran dalam dunia pendidikan,

sosial, ekonomi dan kesehatan. Sama dengan Inti, PSMTI juga mempunyai banyak

cabang daerah di tiap provinsi di Indonesia yang menjadi konsentrasi suku Tionghoa.

Paguyuban ini didirikan pada tahun 1998, dilator belakangi karena peristiwa

penjarahan dan kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Fokus perjuangan PSMTI adalah

pada sosialisasi kewajiban orang Indonesia sebagai warga negara, yaitu membayar

pajak, ikut partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, kepedulian terhadap

lingkungan, serta mengambil posisi sebagai birokrat, politisi, pegawai negeri, anggota

TNI dan Polri. Selain PSMTI terdapat pula Persatuan Islam Tionghoa Indonesia

(PITI). PITI lebih berperan pada ranah kaum santri dibanding kaum abangan dan

priayi. PITI meyakini bahwa upaya menyelesaikan masalah Tionghoa bisa dengan

cara merangkul “saudara lama”, yakni kaum santri muslim Indonesia yang mayoritas

turut berjuang dalam kemerdekaan RI bersama warga lintas agama lainnya.95

Selain tiga organisasi yang telah disebutkan di atas, terdapat pula lembaga

swadaya masyarakat (LSM), yaitu Yayasan Nabil (Nation Building Foundation),

Buddhist Education Cemtre (BEC) Surabaya, Majelis Tinggi Agama Konghucu

Indonesia (Matakin), Paguyuban Umat TAO Indonesia (PUTI), Komunitas Tionghoa

di Dunia Maya seperti milis Tionghoa-net dan forum diskusi budaya Tionghoa.

Kelompok-kelompok ini saling berkerjasama satu sama lain dalam membangun

upaya warga negara etnis Tionghoa Indonesia agar lebih berperan dan turut serta

berkontribusi untuk kepentingan negara dan bangsa.

95 Ibid, hal. 285-292.

Page 77: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Kelemahan-kelemahan organisasi peranakan adalah dibidang keuangan. Pada

umumnya, para pengurusnya adalah professional atau pekerja dan bukan pengusaha.

Kalaupun ada pengusaha yang sukses dari kalangan peranakan, umumnya mereka

tidak mau lagi terlibat dalam organisasi Tiongohoa. Mayoritas mereka juga sudah

tidak bisa lagi berbahasa mandarin. Sebaliknya, untuk organisasi-organisasi di

kalangan totok, sangat kuat dibidang keuangan, karena pemimpin organisasi ini

dikuasasi oleh para pengusaha sukses. Sayangnya, organisasi yang ada, digunakan

sebagai kendaraan para pemimpinnya untuk kepentingan mereka sendiri agar bisa

menjadi selebritis atau masuk pada bursa tokoh Tionghoa di masyarakat totok.

Menurut mereka, dengan menjadi pemimpin dalam organisasi Tionghoa di Indonesia,

akan mendapatkan penghargaan yang tinggi dari pejabat di Tiongkok dan

memudahkan mereka dalam berbisnis dengan Tiongkok atau demi keamanan

investasi. Kelemahan organisasi totok adalah pada bidang SDM yang benar-benar

berpengalaman dalam menjalankan roda organisasi. Kebanyakan organisasi mereka

didominasi oleh orang-orang tua yang pada umumnya adalah pengusaha.96

B. Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia Pasca Orde Baru

1. Patron-Klien dan Kekuatan Modal Sosial

Dominasi ekonomi dan bisnis etnis Tionghoa di Indonesia pada masa orde

baru, sedikit banyak memberikan kontribusi bermakna pada kehidupan etnis

Tionghoa pasca orde baru. Memasuki masa reformasi, maka jaringan sosial etnis

Tionghoa dengan pengusaha lokal atau penguasa dari unsur pemerintah, masih

membekas dan terus berkelanjutan hingga hari ini. Maka tidak heran, ketika

masyarakat mendengar kata etnis Tionghoa, maka hal pertama yang terbersit di

96 http://kunci.or.id/articles/beberapa-catatan-mengenai-perkembangan-organisasi-organisasi-

tionghoa-di-indonesia-oleh-benny-g-setiono/, diakses pada tanggal 25 Oktober 2016.

Page 78: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

fikiran adalah kekuatan ekonomi etnis Tionghoa. Itulah identitas yang melekat pada

diri etnis Tionghoa.

Jika pada masa orde baru hubungan yang dibangun antara pemerintah dan

kalangan pengusaha etnis Tionghoa bersifat kasat mata, maka pada masa reformasi

kita dapat melihat hubungan patron-klien tersebut dalam sejumlah hal, terutama

dalam dunia politik. Benih-benih yang ditanam pada masa orde baru, semakin

dikuatkan pada masa reformasi, bahwa hubungan penguasa dengan penguasa

bukanlah menjadi hal yang tabu atau aneh, namun sudah menjadi rahasia umum.

Sebagai contoh adalah dukungan yang diberikan oleh pengusaha etnis Tionghoa

dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Dukungan ketika Pemilu Legislatif

terjadi di Indonesia dan bahkan ketika etnis Tionghoa seperti Harry Tanoe S

berpasangan dengan Wiranto dan menggunakan kendaraaan partai Hanura jelang

pencalonan Pilpres 2014.

Hubungan pengusaha Tionghoa dan penguasa atau pemerintah pun semakin

terlihat ketika pengusaha etnis Tionghoa mempunyai bisnis media dan mendirikan

partai politik, seperti Harry Tanoe yang pada akhirnya mendirikan Perindo.

Kontribusi pemerintah yang dapat kita telaah adalah pada implementasi regulasi

penyiaran, apakah iklan dengan durasi lama yang ditayangkan oleh MNC group

dengan menggadang-gadang Ketua Umumnya, yaitu Harry dalam iklannya adalah

sesuatu yang dianggap lumrah tidak. Inilah bagian dari hubungan patron-klien yang

dapat kita lihat dalam konteks penguatan politik identitas etnis Tionghoa.

Penguatan identitas tersebut bukan tanpa kekuatan modal sosial. Jaringan

yang dimiliki oleh etnis Tionghoa,terutama kalangan pengusaha Tionghoa di banyak

wilayah di Indonesia, adalah potret modal sosial yang sangat kuat. Sebagaimana

pendapat Putnam (1993) yang dikutip oleh Jhon Field, mendefinisikan modal sosial

sebagai “bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang

dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan

Page 79: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

terkoordinasi.97 Koordinasi antar satu wilayah dengan wilayah lain, pusat dengan

daerah menjadi mudah bagi kalangan pengusaha etnis Tionghoa karena mereka

mempunyai jaringan dan kepercayaan yang dibangun antar mereka. Karena itulah

pemerintah (sebagai patron) dan pengusaha Tiongho (sebagai klien) ibarat dua sisi

mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini relevan dengan apa yang dinyatakan

oleh Field bahwa yang menjadi fokus utama konsep modal sosial adalah bagaimana

jaringan sosial menjadi asset yang sangat berharga dan memberi dasar bagi terjadinya

kerekatan sosial, karena memberikan ruang sekaligus dorongan orang untuk saling

terikat satu sama lain, guna saling memberikan manfaat. Potret dari pernyataan Field

ini dapat kita temukan pada konteks hubungan yang dibangun dalam kalangan etnis

Tionghoa sendiri, bukan hanya hubungan antar pengusaha etnis Tionghoa. Namun

hubungan yang dibangun juga melalui kelompok kepentingan etnis Tionghoa yang

tumbuh subur pasca orde baru, dimana sejumlah pengusaha Tionghoa menjadi ketua

umum dalam organisasi yang ada (sejumlah penamaan organisasi tersebut dapat

dilihat pada point B dalam bab ini).

Dalam buku Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, dijelaskan

bahwa di Indonesia, posisi para kapitalis pribumi lebih penting, tetapi mereka jauh

kurang berarti dibandingkan dengan kapitalis Tionghoa. Sebagai contoh, dari

kesepuluh bank swasta terbesar, hanya satu bank yang dikendalikan pribumi (Bank

Niaga), dan diantara perusahaan-perusahaan manufaktur yang besar, Bakrie adalah

satu-satunya kelompok utama, meskipun ada beberapa perusahaan manufaktur milik

pribumi lainnya yang kurang dikenal. Akan tetapi, pribumi lebih penting dalam

industri konstruksi dan jasa minyak-industri-industri yang dikaitkan dengan

pemerintah.98

Modal juga merupakan masalah lain bagi orang pribumi, tidak seperti bagi

orang Tionghoa, yang mempunyai jaringan melalui mana ia akan mendapatkan orang

97 Jhon Field, Modal Sosial, Bantul: Kreasi wacana, 2014,hal. 19 98 Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, LP3ES: Jakarta, 1990, hal.74

Page 80: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

yang bersedia membantunya memulai bisnis. Di Malaya dan Indonesia sebelum

perang misalnya, tak ada bank yang dapat didatangi pribumi untuk memperoleh

bantuan. Orang pribumi tidak dapat mendatangi bank Tionghoa karena bank tersebut

hanya melakukan bisnis di kalangan mereka sendiri. Serta, sulit bagi pribumi untuk

memperoleh suplai dengan kredit, karena orang Tionghoa lah yang memonopoli

jaringan distribusi dan mereka tidak mempercayai pedagang pribumi.99

Sesudah pemerintahan Soeharto, modal kalangan etnis Tionghoa menjadi

bagian daripada modal dalam negeri, dan diskriminasi pun berakhir. Sebagai

hasilnya, mereka kembali menjadi unsur dinamis dari perekonomian Indonesia, yang

berekspansi ke berbagai lapangan yang dibuka oleh kebijaksanaan ekonomi yang

baru itu. Etnis Tionghoa sangat berhasil dalam periode ini,sehingga perasaan anti

Tionghoa kembali memuncak di kalangan pribumi.100

Hubungan patron-klien adalah hubungan yang bersifat tatap muka, artinya

bahwa patron mengenal secara pribadi klien karena mereka bertemu tatap muka,

saling mengenal pribadinya dan saling mempercayai. Lande ( dalam Scott 1972)

menyebut hubungan patron-klien sebagai solidaritas vertikal. Ciri-ciri hubungan

patron-klien menurut Scott101 adalah (1) terdapat suatu ketimpangan dalam

pertukaran, (2) bersifat tatap muka dan (3) bersifat luwes dan meluas. Hubungan

patron-klien ini yang terjadi antara pemerintah/penguasa dan pengusaha etnis

Tionghoa.

Ketimpangan dalam pertukaran tentu akan menyebabkan hutang balas budi

yang berkelanjutan. Meski demikian, ketika telah terjadi pertukaran, maka

mekanisme tersebut juga akan terus belanjut dan sulit untuk berhenti. Modal sosial

yang dimiliki oleh etnis Tionghoa sulit untuk dibantah dan dibandingkan dengan

modal sosial masyarakat Indonesia lainnya. Karenanya, tidak heran jika pada masa

orde baru, Soeharto telah menanam benih kedekatan dengan pengusaha-pengusaha

99 Ibid, hal.77. 100 Ibid, hal.88 101 Scott James, Moral Ekonomi Petani, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 1972

Page 81: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

etnis Tionghoa dan kemudian terus terjadi hingga pasca orde baru. Hubungan ini pada

akhirnya semakin menguatkan keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia dan

meneguhkan identitas mereka.

Uphoff menjelaskan bahwa modal sosial bisa lebih mudah dipahami dengan

membaginya menjadi dua kategori, yaitu sktruktural dan kognitif. “Kategori

struktural yaitu yang berkaitan dengan beragam bentuk organisasi sosial, khususnya

peran-peran, aturan-aturan, preseden, dan prosedur-prosedur serta beragam jaringan-

jaringan yang mendukung kerjasama yang memberikan manfaat bersama dari

tindakan kolektif, dimana aliran manfaat tersebut merupakan hasil dari modal sosial.

Sedangkan kategori kognitif datang dari proses mental yang menghasilkan

gagasan/pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi- norma-norma, nilai-

nilai, sikap dan keyakinan yang berkontribusi pada terciptanya perilaku

kerjasama.”102

Kategori struktural vertikal lebih pada hubungan dengan

pemerintah/suprastruktur politik pemerintahan. Sedangkan pada tataran struktural

horizontal, lebih pada hubungan dengan organisasi, paguyuban dan lainnya. Pada

aspek kognitif, aspek vertikal nya ada pada tataran kemitraan, partisipasi,

kepercayaan dan sebagainya. Pada aspek horizontal ada solidaritas, toleransi dan

kerjasama. Baik dalam hubungan vertikal, maupun horizontal, etnis Tionghoa

memiliki dua kekuatan tersebut, sehingga sangat sulit dibantah peran mereka dalam

dunia sosial politik dan ekonomi di Indonesia.

Jika hubungan patron-klien merefleksikan pola dari adanya kerjasama kedua

pihak, antara penguasa/pemerintah dengan pengusaha, maka idealnya negara dalam

hal ini pemerintah mempunyai kekuatan dan kemandirian. Francis Fukuyama dalam

buku “Memperkuat Negara” menjelaskan bahwa pemerintahan yang lemah

meruntuhkan prinsip kedaulatan yang menjadi dasar tatanan internasional. Hal

102Norman Uphoff, UnderstandingSocial Capital: Learning From The Analysis and Experience of

participation dalam Dasgupta dan Serageldin, Social Capital A Multifaced Perspective, The World Bank, 2000.

Page 82: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

tersebut terjadi karena persoalan-persoalan yang dimunculkan negara-negara lemah

bagi diri mereka sendiri dan bagi negara-negara lain semakin meningkatkan

kemungkinan bahwa negara lain dalam sistem internasional akan berusaha campur

tangan dalam masalah mereka demi menyelesaikan persoalan tersebut. Lemah disini

mengacu pada kekuatan negara dan bukan lingkup-untuk menggunakan istilah yang

telah dipergunakan sebelumnya-yang berarti kurangnya kemampuan kelembagaan

untuk menerapkan dan menjalankan berbagai kebijakan, yang seringkali disebabkan

oleh kurang nya legitimasi yang mendasari sistem politik secara keseluruhan.103

Pasca orde baru, kemandirian negara belum terbukti adanya, karena kekuatan modal

sosial yang dimiliki oleh etnis Tionghoa tersebar dalam organisasi-organisasi dan

berfungsi dengan tepat pasca orde baru/iklim reformasi. Suasana yang ada, tepat

dengan penjelasan Fukuyama bahwa individu-individu yang bekerja dalam organisasi

yang mempunyai berbagai fungsi kegunaan yang sangat kompleks yang mencakup

kepentingan-kepentingan ekonomi individu, serta komitmen pada tujuan-tujuan dan

nilai-nilai kelompok.

Para pengusaha etnis Tionghoa masuk dalam organisasi etnis Tionghoa yang

terbentuk pasca orde baru dan beberapa diantaranya menempati posisi penting dalam

organisasi tersebut. Selain itu, Fukuyama menjelaskan bahwa contoh paling ekstrem

tentang bagaimana badan-badan negara dapat menggunakan norma-norma dan modal

sosial adalah dalam organisasi militer.104 Sebagaimana yang diketahui bahwa

organisasi militer di masa orde baru, juga mempunyai kedekatan dengan pengusaha

etnis Tionghoa.

Kedekatan Soeharto dengan pengusaha etnis Tionghoa juga dimulai ketika

dirinya masih aktif di militer. Karenanya, hubungan antara militer dengan penguasa

dan pengusaha tidaklah dapat dipisahkan. Pasca orde baru, purnawirawan yang aktif

dalam dunia politik, masih menggunakan jaringan, modal sosial mereka untuk

103 Francis Fukuyama, Memperkuat Negara; Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, PT

Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2005, hal.124. 104 Ibid, hal. 83.

Page 83: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

mendapat dukungan dari pengusaha etnis Tionghoa. Purnawirawan yang kemudian

masuk dalam unsur pemerintahan, tidak hanya dalam partai politik, juga

menggunakan jaringan tersebut untuk meneguhkan posisi politik nya. Pun sebaliknya,

para pengusaha etnis Tionghoa juga membutuhkan kedekatan dengan

pemerintah/penguasa untuk meneguhkan posisinya dalam bidang ekonomi dan bisnis.

Para kapitalis yang mencoba menjalin hubungan dengan pemerintah demi

keuntungan bisnis dapat disebut pemburu rente karena pada pokoknya mereka

mencari peluang-peluang untuk menjadi penerima rente yang dapat pemerintah

berikan dengan menyerahkan sumberdayanya, menawarkan proteksi, atau

memberikan wewenang untuk jenis-jenis kegiatan tertentu yang diaturnya. “Rente” di

sini didefinisikan sebagai selisih antara nilai pasar dari suatu “kebaikan hati”

pemerintah dengan jumlah yang dibayar oleh si penerima kepada pemerintah dan/atau

secara pribadi kepada penolongnya di pemerintahan.105

Sebagai contoh potret patron-klien di masa orde baru yang kemudian pada

periode pasca orde baru menjadi multiaktor, adalah keluarga Presiden Soeharto.

Dikabarkan bahwa Presiden Soeharto melakukan investasi di bisnis, khususnya pada

perusahaan-perusahaan milik Liem Sioe Liong, namun hal ini tidak bisa dicek

kebenarannya karena Soeharto tidak melakukan atas namanya sendiri. Keluarganya

secara luas terlibat bisnis. Adik tiri Soeharto, Probosutedjo memimpin kelompok

perusahaan Mertju Buana. Ia berbagi hak monopoli impor cengkeh dengan Liem Sioe

Liong yang merupakan kontraktor utama untuk proyek-proyek pemerintah, serta

menjadi pemasok utama bagi perusahaan minyak Indonesia.106 Tidak hanya adik tiri

Soeharto, bahkan saudara angkat hingga anak-anak Soeharto pun ikut berbisnis dan

mempunyai perusahaan yang terbilang penting di Indonesia.

Pasca orde baru, hubungan patron-klien tersebut menjadi lebih sulit diprediksi

karena dilakukan oleh multi aktor. Meski demikian, pola hubungan yang ada tetaplah

sama. Terdapat penguasa/pemerintah, pengusaha lokal yang bisa datang dari unsur

105 Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, LP3ES: Jakarta, 1990, hal.93. 106 Ibid, hal. 95.

Page 84: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

publik atau purnawirawan militer, dan pengusaha etnis Tionghoa. I Wibowo dalam

bukunya “Negara Centeng” menuliskan pola peran negara dalam ekonomi, yaitu; (1)

Negara sebagai pemilik; negara mempunyai dampak dalam ekonomi tentu tidak dapat

dilepaskan dari fakta bahwa negara memiliki baik tanah maupun modal, (2) Negara

sebagai pemilik dan produsen; yang dimaksud di sini adalah perusahaan-perusahaan

milik negara.

Indonesia termasuk dalam kelompok kedua ini, memiliki sejumlah perusahaan

negara yang disebut BUMN. Sebelum reformasi. Negara menguasai sekitar 160

BUMN. Setelah reformasi, ada gerakan kuat untuk mengadakan privatisasi BUMN,

(3) Negara sebagai majikan; meningkatnya jumlah perusahaan negara dengan

sendirinya juga meningkatkan peranan negara sebagai majikan. Indonesia di tahun

2000 memperkerjakan kurang lebih 3,9 juta orang yang disebut “pegawai negeri”,(4)

Negara sebagai Regulator; negara tidak hanya diam dan berbuat apa-apa dibidang

ekonomi. Ia di beri kekuasaan untuk mengadakan intervensi secara administratif atau

secara legislatif untuk mengontrol perilaku aktor-aktor pasar, (5) Negara sebagai

redistributor; kekayaan memang tidak dibagi rata dalam masyarakat. Maka negara

mempunyai tugas untuk menjalankan tugas memeratakan kekayaan itu dengan cara

penarikan pajak.

Dalam negara modern, dikenal dengan sebutan “pajak progresif”; semakin

tinggi penghasilan seseorang, semakin tinggi ia harus membayar pajak, (6) Negara

sebagai pembuat kebijakan ekonomi; setelah perang dunia II banyak negara, Barat

maupun non Barat, menetapkan kebijakan-kebijakan yang berpengaruh pada prilaku

ekonomi. Pertama, negara menetapkan serangkaian target-target ekonomi, misalnya

pertumbuhan ekonomi. Kedua, negara menetapkan kebijakan moneter. Ketiga, negara

menetapkan kebijakan dibidang pendapatan (income). Keempat, kebijakan negara

Page 85: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

yang disebut industrial policy yang mempunyai pengaruh langsung kepada

industry.107

2. Pergeseran Orientasi Politik

Selain persoalan politik identitas, dan status kewarganegaraan, masalah

orientasi politik juga menjadi hal yang serius dikalangan etnis Tionghoa di Indonesia

yang selalu berubah-ubah. Menurut Leo Suryadinata, catatan sejarah mengenai

orientasi politik etnis Tionghoa di Indonesia selalu mengalami perubahan sesuai

dengan periodesasi kekuasaan politik di Indonesia.108

Pembentukkan orientasi politik baik yang bersifat sistemik maupun individual

sangat bergantung pada budaya politik yang berkembang pada masyarakat setempat.

Sebagai sebuah komponen dalam sistem politik yang diinternasilasikan ke dalam

kesadaran, perasaan dan evaluasi penduduknya. Budaya politik dapat dipandang

sebagai landasan sistem politik yang memberi pengaruh secara signifikan pada

sistem politik dan sekaligus memberikan arah pada peran-peran politik yang

dilakukan oleh struktur politik baik secara legal institusional maupun secara non-

formal sesuai dengan struktur sosial yang berlaku ditengah masyarakat.

Struktur politik sangat berpengaruh pada pembentukkan budaya dan orientasi

politik para anggotanya, hal ini berkaitan langsung dengan bagaimana kontribusi

individu ataupun kelompok sebagai aktor pada proses input dan output dalam sebuah

sistem. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, lepas bagaimana perlakuan pemerintah

terhadap eksistensi komunitas Etnis Tionghoa di Indonesia, kontribusi individu

maupun kelompok Tionghoa secara global memberikan pengaruh bagi pembentukkan

dan penguatan sistem dan produk kebijakan pemerintah, walaupun secara faktual,

sikap situasi politik nasional dan sikap pemerintah Indonesia yang berbeda

107 I Wobowo, Negara Centeng; Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, Penerbit Kanisius:

Yogyakarta, 2010, hal. 33-37. 108 Leo suryadinata, Etnis Tionghoa dan nasionalisme Indonesia, Jakarta: Kompas, 2010, hal. 185

Page 86: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

menghadapi masyarakat etnis Tionghoa memberikan kontribusi yang sangat besar

bagi pembentukkan, pergeseran bahkan perubahan orientasi politik etnis Tionghoa

yang cenderung tidak stabil.

Dalam kehidupan politik, terdapat dua tingkat orientasi politik, yaitu tingkat

individu dan tingkat masyarakat. Orientasi individu terdapat sistem politik dapat

dilihat dari tiga jenis orientasi, yaitu :

a. Orientasi Kognitif : Cara pandang yang meliputi berbagai pengetahuan dan

keyakinan tentang sistem politik dan segala hal yang berhubungan dengan

input dan outputnya. Hal ini berkaitan dengan aspek pengetahuan seseorang

mengenai jalannya sistem politik.

b. Orientasi Afektif : Suatu orientasi yang menunjuk kepada aspek perasaan atau

ikatan emosional seorang individu terhadap sistem politik yang meliputi

peranannya, para aktor dan penampilannya

c. Orientasi Evaluatif : Suatu orientasi yang berkaitan dengan penilaian moral

seseorang terhadap sistem politik dengan melibatkan kombinasi standar nilai

dan kriteria dengan informasi dan perasaan, selain itu juga menunjukkan pada

komitmen terhadap nilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan politik tentang

kinerja sistem politik.109

Selanjutnya Almond dan Verba mengemukakan bahwa orientasi politik dapat

dibuka secara sistematis jika memperhatikan beberapa hal pokok:

1. Adanya pengetahuan tentang negara dan sistem politiknya secara umum

seperti sejarah, lokasi, ukuran, kekuasaan, sifat-sifat konstitusionalnya dan hal

lainyang berkaitan dengan wawasan global sebuah kekuasaan politik.

109 Gabriel A. Almond dan Sydney Verba, Budaya Politik : Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di

Lima Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1984, hal:16

Page 87: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

2. Adanya pemahaman tentang struktur dan peranan kaum elit politik dan

pengajuan pengajuan kebijaksanaan yang diperkenalkan ke dalam arus

pembuatan kebijakan yang bersifat upward.

3. Pemahaman yang dimiliki yang berkaitan dengan implementasi kebijakan

yang bersifat downward.

4. Bagaimana perasaan pribadi sebagai anggota dari sebuah sistem politik

berkaitan dengan bagaimana pemahamannya tentang hak-hak politik,

kewajiban, dan strateginya untuk bisa masuk dalam kelompok-kelompok yang

berpengaruh dalam politik. 110

Aspek individu dalam orientasi politik memiliki peran sebagai pengakuan

pada adanya fenomena dalam masyarakat tertentu yang akan mempengaruhi aksi dan

prilaku individu dalam realitas sosial, baik orientasi tersebut bersifat kognitif, afektif

maupun evaluatif. Hal ini semakin mempertegas bahwa masyarakat secara

keseluruhan tidak dapat terlepas dari orientasi individu yang akan mengkristal secara

kolektif dengan orientasi individu lain dalam sebuah komunitas sosial.

Pembentukkan budaya politik menunjuk pada orientasi dari tingkah laku

individu/ masyarakat terhadap sistem politik tertentu. Bila kita hubungan dengan

budaya politik di Indonesia menunjukkan bahwa budaya bangsa Indonesia sangat

majemuk, tetapi tekad untuk tetap bersatu dengan sebutan Bhinneka Tunggal Ika,

artinya secara kultur kita majemuk, tetapi secara politik ingin bersatu, karena di

dalam persatuan dapat memberikan tempat kepada kemajemukan itu.

Secara sederhana, budaya politik bila dikaitkan dengan orientasi politik

difahami sebagai pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan

politik yang dijalani oleh para anggota suatu sistem politik akan mampu menciptakan

cara pandang tersendiri anggota masyarakat terhadap struktur politik. Bila menelah

lebih dalam budaya politik yang lebih difokuskan pada analisis mengenai orientasi

politik memiliki dua manfaat yaitu:

110 Ibid., hal.19 - 20

Page 88: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

1. Mengetahui sikap-sikap warga negara terhadap sistem politik yang akan

mempengaruhi tuntutan-tuntutan, tanggapannya, dukungannya serta

orientasinya terhadap sistem politik hingga dengan jelas akan kaelihatan

bagaimana proses sebuah sistem yang melibatkan alur input dan output

bisa kelihatan.

2. Memahami hubungan antara budaya politik dengan sistem politik, maksud-

maksud individu melakukan kegiatannya dalam sistem politik atau faktor-

faktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi, minat,

dukungan serta pembentukkan faksi faksi dalam sebuah sistem politik.

Hubungan sebab akibat dan saling maempengaruhi antara sistem politik dan

orientasi politik seperti dijelaskan diatas menciptakan situasi yang tidak kondusif

dalam menganalisis bagaimana komitmen nasionalisme kebangsaan yang dimiliki

oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Hal ini nampak jelas dari catatan tentang

bagaimana orientasi politik etnis Tionghoa selalu mengalami perubahan pada setiap

pergantian rezim pemerintah yang berkuasa di Indonesia, berikut tabel yang

menjelaskan bagaimana perubahan orientasi itu terjadi: 111

Tabel 7.

Perubahan Orientasi Politik Etnis Tionghoa Setiap Periode Pemerintahan

No Periode Orientasi Politik

1 Masa Kolonial Belanda Terdapat tiga orientasi sosio-politis, yaitu: 1. Berorientasi ke Tiongkok (kelompok Sin

Po) yang percaya bahwa orang Tionghoa lokal adalah anggota bangsa Tiongkok, kelompok ini adalah

111 Leo suryadinata, Etnis Tionghoa dan nasionalisme Indonesia, Jakarta: Kompas, 2010, hal. 185-

187

Page 89: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Tionghoa totok 2. Berorientasi ke Hindia Belanda (Chung

Hua Hui) yang memahami posisi mereka sebagai kawula Belanda sambil melanjutkan kehidupan sebagai Tionghoa peranakan.

3. Berorientasi sebagai bangsa Indonesia yang akan datang tergabung dalam Parta Tionghoa Indonesia dan merupakan Tionghoa peranakan.

2 Masa Kemerdekaan (Orde Lama)

Pada masa ini etnis Tionghoa terbagi ke dalam 2 kelompok:

1. Berorientasi pada Tiongkok 2. Berorientasi ke Indonesia namun terbagi

lagi menjadi dua kelompo, yaitu: a. Kelompok integrasionis: yang tetap

menginginkan identitasnya sebagai Tionghoa peranakan112

b. Kelompok Asimilasionis: yang menginginkan peleburan etnis Tionghoa ke dalam masyarakat pribumi Indonesia.

3 Masa Orde Baru Sebagian besar orang Tionghoa dikondisikan mengikuti kebijakan asimilasi yang diterapkan oleh penguasa dan membuat etnis Tionghoa menjadi terdiskriminasi dalam ruang politik

4 Masa Setelah Orde Baru

Semangat berpolitik etnis Tionghoa kembali muncul dan membentuk partai-partai politik Tionghoa, namun sebagian besar tokoh Tionghoa peranakan ingin mengambil jalan asimilasi dengan partai dan kelompok pribumi dengan tujuan agar identitas Tionghoa masih berakar kuat dikalangan golongan Tionghoa secara umum

Sumber: Leo suryadinata (2010)

Selain perlakuan pemerintah, perubahan orientasi politik etnis Tionghoa di

Indonesia disebabkan penerimaan oleh masyarakat asli pribumi yang masih setengah

112 Kelompok ini berpendapat bahwa asimilasi total bisa dilakukan apabila Indonesia berubah

menjadi negara sosialis, dan kalau hal itu tidak bisa terwujud maka lebih baik mereka berintegrasi ke dalam partai-partai politik yang revolusioner serta organisasi massa.

Page 90: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

setengah tas keberadaan mereka di tengah masyarakat Indonesia, bahkan sebagian

besar masih menganggap etnis Tionghoa adalah outsiders dan diperlakukan sebagai

orang asing yang harus dicurigai113

Arus reformasi yang dijadikan sebagai pijakan dari komitmen etnis

Tionghoa untuk menunjukkan eksistensinya dalam dinamika politik di Indonesia

ditunjukkan dengan beberapa cara, seperti pembentukkan partai politik, berasimilasi

dengan partai nasionalis, masuk dalam struktur eksekutif sebagai pembuat kebijakan,

terlibat secara langsung dan terang-terangan dalam tender-tender pembangunan infra

struktur, dan yang paling kentara adalah dengan terlibat dalam kompetisi-kompetisi

dalam pemilihan pemilihan wakil rakyat baik pada Pemilu maupun dalam Pilkada di

semua level dari yang tingkat kabupaten –Kota sampai pada level nasional.

3. Multikulturalisme Sebagai Motivasi Perubahan

Setelah disahkannya Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia

No. 12/2006 dengan tegas menyatakan yang ada di Indonesia hanya WNI dan WNA,

dan tidak ada lagi istilah “pribumi” dan “non pribumi“. Undang-Undang

tentang Administrasi Kependudukan No 23/ 2006, yang membatalkan seluruh UU

dan Staatsblad diskriminatif peninggalan Pemerintah Hindia Belanda yang telah

membagi-bagi kedudukan hukum dan sosial bangsa Indonesia, telah melengkapi

penghapusan hampir seluruh peraturan yang selama ini mendiskriminasi etnis

Tionghoa. Namun, kemajuan pesat pertumbuhan ekonomi dunia dan globalisasi

ditambah berkembangnya Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menjadi sebuah

kekuatan ekonomi, politik, dan militer menuju negara adikuasa baru, dan semakin

eratnya persahabatan Pemerintah RI dan RRT, menjadi permasalahan tersendiri bagi

identifikasi tingkat loyalitas masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia. Apakah mereka

benar-benar telah menguatkan komitmen menjadi bagian dari warga negara yang

113 Ibid., hal 185

Page 91: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme dan menjadi bagian integral bangsa

Indonesia, atau masih mempunyai loyalitas ganda dengan masih menjadikan

nasionalisme Cina sebagai acuan orientasi politiknya.

Nilai-nilai multikulturalisme yang dibangun sebagai pondasi bagi kehidupan

berdemokrasi di Indonesia memberikan keniscayaan bagi seluruh elemen bangsa

untuk berkontribusi dalam dinamika pembangunan politik yang berkelanjutan di

Indonesia. Pembahasan mengenai multikulturalisme selalu dikaitkan dengan konsep

konsep kewarganegaran, seperti konsep bangsa, etnis, suku dan rakyat atau

penduduk. Secara historis, konsep kebangsaan di Indonesia selalu merujuk pada

fenomena tentang ras, keberagaman suku, masa penjajahan, gerakan kemerdekaan.

Kymlica menjelaskan konsep kebangsaan ini berawal dari konsep bangsa yang

bersifat sosial-budaya-politik, sementara konsep negara lebih berorientasi pada

hukum, lebih jauh Kymlica mengemukakan bahwa bangsa adalah komunitas sejarah,

yang kurang lebih lengkap secara kelembagaan, yang menduduki wilayah tertentu

atau tanah air yang berbagi bangsa dan budaya yang spesifik.114

Multikulturalisme yang dimaknai sebagai pengakuan dan dorongan terhadap

pluralisme budaya; multi-budaya menjunjung tinggi dan berupaya untuk melindungi

keanekaragaman budaya (misal bahasa-bahasa minoritas), dan pada saat yang

bersamaan memfokuskan diri pada hubungan budaya minoritas dengan budaya

mayoritas yang seringkali tidak seimbang.115 Cashmore menjelaskan dalam kaitannya

dengan kebijakan negara, multikulturalisme bertujuan pada dua hal: (1). Untuk

memelihara keselarasan antara kelompok-kelompok etnis yang beraneka-ragam, (2)

untuk menstrukturkan hubungan antara negara dan minoritas etnik.116

114W. Kymlica, Multicultural Citizenship, Cambridge; Cambridge University Press, 1995,

hal. 11 115D. Jarry dan J. Jary , Unwin Hyman Dictionary of Sociology, I edisi ke-2, Leicester:

Bookmart Ltd. 1999, hal. 429 116E. Cashomore, Dictionary of race and Ethnic Relations, edisi 2, London: Routledge,

1996, hal. 244)

Page 92: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Kaitan antara multikulturalisme sebagai konsep dasar bagaimana seharusnya

keberagaman dihargai dengan menguatnya identitas politik Etnis Tionghoa dalam

ranah politik adalah dengan melihat fenomena bagaimana sikap keterbukaan

masyarakat umum (pribumi) yang ditunjukkan kepada etnis Tionghoa walau tentunya

tetap masih saja ada gesekan-gesekan yang cukup keras namun itu biasanya terjadi

saat terjadi konflik konflik yang disebabkan oleh prilaku personal dan bukan

bentrokan komunal.

Selain semakin terbukanya masyarakat terhadap kemajemukan dan pluralitas

yang ada, penguatan politik etnis Tionghoa ini juga merupakan indikasi kesadaran

yang meningkat diantara mereka untuk merubah kondisi dan posisi mereka secara

politis dalam struktur masyarakat sebagai pemangku kebijakan dan tidak hanya

berperan sebagai objek politik.

4. Penguatan Civil Society

Kekuatan masyarakat sebagai penyeimbang dalam demokrasi dikuatkan

dengan munculnya konsep civil society atau masyarakat sipil atau masyarakat madani

yang dianggap efektif dan compatibel sebagai bagian terpenting dari kekuatan

demokrasi. Dalam kajian mengenai civil society di Indonesia sejak masa pra

kemerdekaan sampai masa Orde Baru, sangat sulit menemukan literatur mengenai

organisasi-organisasi berbasis etnis Tionghoa baik sebagai organisasi yang bersifat

cultural maupun spiritual apalagi yang berorientasi pada politik Indonesia.

Secara teoritis, keberadaan organisasi-organisasi non pemerintah atau civil

society adalah sebuah keharusan dalam kultur demokrasi, karena bagian dari sirkulasi

operasionalisasi sistem sebagai kelompok kepentingan yang berfungsi melakukan

pressure dan evaluasi kepada penguasa dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal

ini sudah ditegaskan sejak berabad-abad lalu bahkan sebelum konsep demokrasi

Page 93: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

berkembang sebagai sebagai sebuah sistem yang solid dan mampu menjamin

keterlibatan seluruh unsur masyarakat dalam pembuatan kebijakan-kebijakan politik.

Secara etimologis, civil society berasal dari istilah Latin, civilis societas, mula-

mula dipakai oleh Cicero (106-43 SM), seorang orator dan pujangga Roma. Beliau

memberikan defenisi yang mengacu kepada gejala budaya perorangan dan

masyarakat. Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik (political

society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Adanya hukum

yang mengatur pergaulan antar individu menandai keberadaban suatu jenis

masyarakat tersendiri. Masyarakat seperti itu di zaman dahulu adalah masyarakat

yang tinggal di kota. Dalam kehidupan kota penghuninya telah menundukkan

hidupnya di bawah satu dan lain bentuk hukum sipil (civil law) sebagai dasar dan

yang mengatur kehidupan bersama. Bahkan bisa pula dikatakan bahwa proses

pembentukan masyarakat sipil itulah yang sesungguhnya membentuk masyarakat

kota.

Di Indonesia, konsep civil society yang diidentikkan dengan konsep masyarakat

madani diadopsi oleh Dawam Rahardjo dengan memadukan pemikiran civil society

seperti dijelaskan oleh Tecqueville dengan pemikiran Jurgen Habbermas dan Hannah

Arrendt tentang free public sphere atau ruang publik yang bebas.117 Pemikiran ini

menjelaskan bahwa dengan adanya ruang publik yang bebas, maka setiap individu

dapat dan berhak melakukan kegiatan secara bebas dalam menyampaikan pendapat,

berserikat, berkumpul, serta berekspresi merespons kerja negara dan pemerintahan

yang perlu dikritisi dan juga didukung.

Muhammad AS Hikam sebagai salah seorang penganut civil society dengan

merujuk pada Tocquiville menyatakan bahwa civil society adalah wilayah-wilayah

kehidupan sosial yang terorganisir dan bercirikan antara lain: kesukarelaan sosial

(Voluntary), keswasembadaan (Self Generating), dan keswadayaan (Self-Supporting),

117 Ibid.

Page 94: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterikatan tinggi dengan norma-

norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya.118

Berdasarkan penjabaran konsep civil society diatas, dapat ditarik benang merah

bahwa civil society adalah suatu konsep bermasyarakat dan bernegara yang memberi

kebebasan individual kepada setiap orang dengan batasan yang berkeseimbangan

berhadapan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara tanpa mengorbankan

hak-hak dan kepentingan individual yang asasi dalam bingkai mekanisme aturan yang

berkeadaban dan berkeadilan serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral.

Secara sederhana dapat digambarkan unsur-unsur civil society yang meliputi:

1. Adanya kehidupan pribadi yang bebas tetapi tidak sewenang-wenang

terhadap suatu kelompok masyarakat lainnya.

2. Dalam kehidupan bermasyarakat kebebasan individual tidak terkekang

secara wajar khususnya berkaitan dengan hak asasi perorangan.

3. Proses itu berjalan diikat dengan aturan-aturan yang lues tetapi tegas.

4. Tidak terjadi pemaksaan dan keterikatan yang berlebihan tetapi

kesejajaran, persamaan dalam hak-hak dan kewajiban asasi.

5. Menyangkut aspek sosial ekonomi politik.

6. Negara sebagai manager, mediator dan pelayan yang terkendali.

Secara sederhana, Civil Society dimaksudkan sebagai keterlibatan warga

negara yang bertindak secara kolektif untuk mencapai tujuan dan masyarakat sipil

yang memusatkan perhatiannya untuk kepentingan publik tetapi tidak dalam agenda

berusaha untuk merebut kekuasaan atau melakukan kudeta. Habermas seorang tokoh

madzab Frankfurt melalui konsep the free public sphere atau ruang publik yang

bebas, menegaskan posisi masyarakat di mana rakyat sebagai citizen memiliki akses

atas setiap kegiatan publik.

Setiap individu memiliki kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi

dengan syarat harus kebebasan yang bertanggung jawab dan tidak melangkahi

118 Hikam, AS. Muhammad., Demokrasi dan Civil Society, hal. 3

Page 95: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

kebebasan orang lain. Pandangan Habermas ini, menjadi ideal untuk

diimplementasikan di Indonesia yang sedang terus berusaha menegakkan nilai-nilai

demokrasi tidak hanya dalam lingkup kekuasaan tetapi juga dalam kehidupan sehari

hari.

Sejak dikenalkan oleh Anwar Ibrahim (waktu itu sebagai wakil perdana

menteri Malaysia), konsep civil society dalam konteks Islam Indonesia lebih lekat

pada istilah masyarakat madani, walaupun secara historis, konsep masyarakat madani

tidak memiliki dasar filosofis yang kuat dan cenderung kontra produktif dengan

sejarah pemaknaan civil society sebagai akar konsepnya yang justru memiliki

kronologi sejarah dari tradisi Eropa non Islam dan cenderung bersifat sekularistik.

Menurut Ibrahim, masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur

berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan Individu

dengan kestabilan masyarakat. Ciri khas yang melekat pada konsep masyarakat

madani adalah kemajemukan budaya (multicultural), hubungan timbal balik

(reprocity), dan sikap saling maenghargai dan memahami (toleransi) dengan

mengunakan prinsip-prinsip moral, keadilan, kesamaan, musyawarah, dan

demokrasi.119

Secara historis, Konsep civil society lahir dan tumbuh dari daratan Eropa

sekitar abad ke-17 M dalam konteks masyarakat yang mulai melepaskan diri dari

dominasi agamawan dan para raja yang berkuasa atas dasar legitimasi agama. Agama

saat itu mulai tersekularisasi dalam arti wewenang dan legitimasi kekuasaan mulai

dilepaskan dari tangan agamawan. Di Eropa itu pula tumbuh ide demokrasi yang

diawali dengan Revolusi Perancis (1789) dan tumbuh pula sistem ekonomi

kapitalisme yang liberalistik.

119 UbaedillahA. dan Abdul Rozak, Demokrasi: Hak Azasi Manusia dan Masyarakat

Madani, Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2010, hal.176.

Page 96: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

AS Hikam mengatakan bahwa civil society sebagai gagasan adalah anak

kandung filsafat Pencerahan (Enlightenment) yang meretas jalan bagi munculnya

sekularisme sebagai weltanschaung yang menggantikan agama, dan sistem politik

demokrasi sebagai pengganti sistem monarkhi. 120 Dengan demikian, civil society

sebenarnya mengandung sifat sekularistik, yang telah mengesampingkan peran agama

dari segala aspek kehidupan. Dan tentu saja civil society tidak dapat dilepaskan dari

kesatuan organiknya dengan konsep-konsep Barat lainnya, seperti demokrasi,

liberalisme, kapitalisme, rasionalisme, dan individualisme.

Organisasi etnis Tionghoa yang berorientasi politik sebelum masa reformasi

adalah BAPERKI ( Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang

Berdiri di di Jakarta pada13 Maret 1954, pembentukkan organisasi ini dimulai pada

pertemuan para elit Tionghoa yang dihadiri oleh 44 orang peserta, kebanyakan dari

mereka merupakan wakil dari berbagai organisasi Tionghoa, seperti PERWITT

(Persatuan Warga Indonesia Turunan Tionghoa, PERWANIT (Persatuan Warga

Indonesia Tionghoa) yang berdiri dan PERTIP (Perserikatan Tionghoa Peranakan).

Tujuan semula pembentukan Baperki adalah menggalang kesatuan kekuatan

Tionghoa di seluruh Indonesia, namun kemudian Siauw Giok Tjhan, salah seorang

tokoh organisasi ini menyadari bahwa masyarakat luas akan menganggap organisasi

ini hanya memperjuangkan kepentingan masyarakat Tionghoa semata-mata. Karena

itu, ketika Baperki Cabang Jakarta dibentuk pada 14 Maret 1954, Siauw mendorong

sahabat dekatnya, Sudarjo Tjokrosisworo untuk menjadi ketuanya.

Tujuan semula pembentukan Baperki adalah menggalang kesatuan kekuatan

Tionghoa di seluruh Indonesia, Mereka mewakili semua spektrum politik di

Indonesia saat itu, antara lain tokoh-tokoh golongan kanan, seperti Khoe Woen

Sioe, Tan Po Goan, Auw Jong Peng Koen, Tan Siang Lian, tokoh-tokoh

golongan kiri, seperti Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan dan Ang Yan Goan, dan

120 Hikam, A.S., Muhammad, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta LP3ES, 1999, hal. 2

Page 97: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

mereka yang bergaris netral, seperti Thio Thiam Tjong, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam

Hien, Tan Eng Tie, Lim Tjong Hian dan Liem Koen Seng. Ketua Baperki yang

terpilih saat rapat pembentukannya adalah Siauw Giok Tjhan, seorang wartawan dan

aktivis politik pada masa itu, sementara wakil ketuanya adalah Oei Tjoe Tat, Khoe

Woen Sioe, The Pek Siong, dan Thio Thiam Tjong.

Baperki ikut serta dalam Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR (29 sept

1955) dan anggota Konstituante (15 Des 1955). Dalam kedua pemilu ini, Baperki

memperoleh 178.887 untuk DPR dan 160.456 untuk Konstituante, atau 70% suara

dari golongan Tionghoa di Jawa. Dengan jumlah suara sebanyak ini, Baperki berhasil

memperoleh satu kursi di DPR dan mendudukkan Siauw Giok Tjhan sebagai

wakilnya. Untuk Konstituante, Baperki diwakili oleh Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe

Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang, Jan Ave

dan C.S. Richter. Dua nama terakhir adalah wakil-wakil Baperki untuk

golongan Indo. Setelah tragedi 30 September 1965, Baperki dibubarkan oleh

pemerintah Orba karena dituduh sebagai onderbouw PKI Sejumlah aktivisnya, seperti

Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dijebloskan ke penjara tanpa pernah diadili.

Di dunia pendidikan. Beberapa cabang Baperki sudah menyelenggarakan

program pendidikan dasar sejak akhir tahun 1956. Pada 8 Feb 1958 Baperki

mendirikan Jajasan Pendidikan dan Kebudajaan yang diketuai oleh Siauw Giok

Tjhan. Baperki berhasil memiliki gedung-gedung sekolah Tionghoa yang banyak

ditutup sejak 1957. Karena itu, pada 1960, Baperki telah memiliki 96 gedung sekolah,

sebagian besar sekolah dasar dan menengah. Pada tahun 1961, jumlah sekolah

Baperki telah mencapai 107 buah, yaitu 27 buah di Jakarta, 17 di Jawa Barat (dan

Banten), 12 di Jawa Tengah, 33 di Jawa Timur, 4 di Sumatera Selatan (dan

Lampung), 10 di Sumatera Utara, 1 di Bali, dan 2 di Sulawesi.

Pada tahun 1958 dibuka Akademi Fisika dan Matematika yang tujuan

utamanya adalah mendidik guru-guru sekolah menengah. Setelah itu, pada 1959,

dibuka pula Kedokteran Gigi (September), dan Teknik (November).

Pada 1962 dibuka Fakultas Kedokteran dan Sastra. Rektor pertama Universitas

Page 98: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Baperki ini adalah Ferdinand Lumban Tobing, seorang dokter yang pernah menjadi

menteri dalam beberapa kabinet pada masa demokrasi parlementer. Pada1962, nama

Universitas Baperki diubah menjadi Universitas Res Publica (URECA) di berbagai

kota di Jawa dan Sumatra. Setelah peristiwa G 30S, Universitas Res Publica ditutup,

dan gedungnya diambil alih oleh pemerintah. URECA di Jakarta dan Surabaya

kemudian dibuka kembali dengan kepengurusan yang baru, dengan namaUniversitas

Trisakti dan Universitas Surabaya.

Setelah Presiden ke-empat RI KH Abdurrahman Wahid mencabut seluruh

larangan yang memojokkan etnis Tionghoa, termasuk larangan bahasa dan aksara

Tionghoa dan berdirinya organisasi-organisasi Tionghoa tersebut, bermunculanlah

berbagai penerbitan berbahasa Mandarin baik harian maupun majalah, seperti

Indonesia Shangpao, International Daily News, Universal Daily, Qian Dao Re Bao

(Harian Nusantara), dan lain-lain.

Setelah rezim Orde Baru jatuh dan berlangsung reformasi, tumbuh kesadaran

di sebagian kalangan etnis Tionghoa bahwa kedudukan mereka terutama di bidang

sosial dan politik, sangat lemah dan menyedihkan. Kesadaran itu pada ujungnya

membangkitkan keberanian untuk menolak kesewenang-wenangan yang menimpa

diri mereka dan menuntut keadilan sebagai warga negara Republik Indonesia.

Dengan segera berbagai organisasi baik partai politik, ormas maupun LSM

dideklarasikan. Di antaranya Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti), Partai

Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Formasi, Simpatik,

Gandi, PSMTI, Perhimpunan INTI. Demikian juga berbagai penerbitan seperti harian,

tabloid, dan majalah antara lain Naga Pos, Glodok

Standard, Suar, Nurani, Sinergi, Suara Baru, bermunculan walau banyak juga dari

organisasi tersebut yang tidak berumur panjang lalu mati suri dan perlahan dilupakan.

Seperti umumnya perkumpulan yang bersifat primordial, organisasi-organisasi itu

bersifat sangat paternalistik, dimana pemimpinnya diangkat

berdasarkan senioritas dan keberhasilan dalam bisnis.

Page 99: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Kebangkitan politik etnis Tionghoa ditandai pula dengan didirikannya

beberapa organisasi masyarakat (ormas) yang berbasis etnis Tionghoa, hal ini

menjadi indikator menguatnya orientasi politik mereka setelah pada masa Orde Baru

tidak satu pun ormas Tionghoa yang dibolehkan berdiri dan menjadi bagian dari

kelompok kepentingan di Indonesia, hal ini disebabkan Orde Baru memiliki

kecurigaan yang besar bila ormas Tionghoa dibiarkan tumbuh dan berkembang maka

akan dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan komunisme seperti yang

disangkakan terjadi pada masa Orde Lama.

Ormas Tionghoa didirikan dengan beragam visi dan misi sebagai respon yang

ditunjukkan oleh etnis Tionghoa atas dibukanya kran partisipasi politik pasca Orde

Baru yang menandai proses demokratisasi di Indonesia. Berikut beberapa organisasi

Tionghoa yang didirikan setelah masa Orde Baru, yaitu:

Tabel 8.

Organisasi Masyarakat Etnis Tionghoa Indonesia Yang Berdiri

Setelah Masa Orde Baru

No Nama Nama Lengkap Pendiri Tahun

Pendirian

1 GANDI Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi

Anton Supit dan Niko Krisnanto

1998

2 Perhimpunan INTI

Perhimpunan Indonesia Tionghoa

Drs. Edy Lembong alias Ong Joe San (Wang Yousan)

1999

3 INSPIRASI Institut Pengkajian Masalah Ras dan Etnik Indonesia

4 KADI Komite Anti Diskriminasi di Indonesia

5 PSMTI Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia

Brigjen TNI (Purn) Tedy Yusuf alias Him Tek Ie,

1998

Page 100: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

6 SIMPATIK Solidaritas Pemuda Tionghoa Untuk Keadilan

7 SNB Solidaritas Nusa Bangsa Ester Yusuf 1998

8 FORDEKA Forum Demokrasi Kebangsaan

2004

9 ASPERTINA Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia

Felix Ali Chendra, Tjandra Ghozalli, Edison Jingga

2011

Sumber: data diolah dari berbagai sumber

GANDI (Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi)

Diresmikan pendiriannya oleh oleh Gus Dur pada tanggal 6 November 1998 sebagai

reaksi dan konsolidasi yang dilakukan oleh elite Tionghoa atas kejadian kerusuhan

Mei 1998 yang bagi etnis Tionghoa dirasakan sebagai tragedi kemanusiaan yang

bersifat rasial dan diskriminatif. Organisasi ini memiliki visi untuk melihat ke depan

untuk masa depan, persatuan nasional perlu memperkuat oleh semua dan setiap

konstituen. Sebuah bangsa yang multi-budaya, multi-etnis, dan multi-agama tidak

akan membiarkan perilaku diskriminatif dan tindakan, karena ini akan

mempromosikan kebencian, konflik, kekerasan dan akhirnya, disintegrasi di negara

itu. Visi tersebut diperkuat dengan misi untuk Misi kami mendukung persatuan

nasional, dan mempromosikan harmoni dalam hubungan sosial dan komunal,

sehubungan dengan kesetaraan dalam martabat manusia dan hak asasi manusia.121

Sebagai organisasi yang muncul saat gerakan reformasi baru dimulai, GANDI

memiliki tujuan organisasi yang seiring dengan perjuangan reformasi, yaitu:

1. Penghapusan (reformasi) Kewarganegaraan diskriminatif, Pencatatan Sipil, dan

undang-undang terkait dengan undang-undang hukum baru;

2. Pembentukan kerangka hukum dalam menjamin kesetaraan bagi kaum

minoritas seperti undang-undang Penghapusan hukum Diskriminasi Rasial;

121 http://www.gandingo.org

Page 101: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

3. resolusi Hukum untuk 13-14 Mei 1998;

4. kesadaran politik dan sosial dari prinsip anti-diskriminasi;

5. Reformasi semua kebijakan pemerintah c.q kebijakan yang telah berhubungan

dengan Kewarganegaraan, Pencatatan Sipil, dan terkait sektor terkait;

6. Pembentukan kerangka hukum dan mekanisme dalam menjamin kesetaraan

bagi semua orang di semua sektor hidup, seperti di bidang pendidikan,

pekerjaan, dll;

7. Kesadaran Publik anti-diskriminasi prinsip untuk semua orang di Indonesia;

8. Minimatization rasisme dan diskriminasi rasial dalam masyarakat.

9. Harmony dan toleransi antar kelompok, etnis, agama dan semua orang di

Indonesia.122

Untuk mencapai tujuan organisasi diupayakan dengan menetapkan beberapa

program:

1. Mengidentifikasi dan meninjau semua kebijakan (formal dan informal), yang

diskriminatif, dan memberikan rekomendasi dan resolusi kepada pemerintah

dan instansi terkait untuk menghapuskan kebijakan tersebut;

2. Mengidentifikasi konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk

diskriminasi, dan bekerjasama dengan LSM lain untuk mendukung ratifikasi

konvensi tersebut;

3. Mereformasi semua peraturan diskriminatif dan untuk mengatur dan

mengusulkan beberapa peraturan baru untuk menjamin anti-diskriminasi dan

toleransi;

4. Mendidik masyarakat tentang Policie non-diskriminatif;

5. Mendidik masyarakat tentang norma-norma dan nilai-nilai dari etnis yang

berbeda, agama, dan masyarakat, untuk mendorong dialog terbuka dan

pemahaman yang lebih baik;

122 Ibid.

Page 102: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

6. Mengembangkan jaringan kerja sama dengan LSM lain, dalam negeri dan luar

negeri, mempromosikan anti-diskriminasi, hak asasi manusia, dan demokrasi;

7. Memantau implemantion reformasi hukum dan peraturan yang diskriminatif

baru dan praktik yang di seluruh wilayah Indonesia.123

Sebagai bentuk penghargaan atas nilai-nilai multikulturalisme yang sudah

melekat bagi bangsa Indonesisa, GANDI membangun kerjasama dengan banyak

mitra organisasi lain dalam program-program kegiatan yang dilaksanakan, beberapa

diantara yang menjadi mitra yaitu: Indonesia: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,

Departemen Dalam Negeri, Departemen Agama, Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia, Departemen Luar Negeri Resmi Pemberdayaan, Komisi Nasional Hukum,

Perundang-undangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Bantuan Hukum Indonesia

foundation, Jakarta Lembaga Bantuan Hukum, Pusat Kajian Strategis Internasional

(CSIS), Lembaga Studi Lembaga Sosial (ISIS), Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia

(PMII), Kesatuan Mahasiswa Catolic Indonesia (PMKRI), Indonesian Christian

Gerakan Mahasiswa (GMKI), Islam Student Union (HMI), Gerakan Nahdlatul Ulama

Youth (GP Ansor), Komunitas Studi dan Advokasi Lembaga (ELSAM), Uni

Indonesia Tionghoa (INTI), Pemuda Cina Association (PPT), Nahdlatul Ulama (NU),

Inter-iman Dialoque Komunitas ( MADIA), Confusism Tinggi Council (Matakin), dll

Internasional: PBB Anak Dana (UNICEF)), Gerakan Internasional Melawan

Discrminarion dan Rasisme (IMADR), Plan International, The Asia Foundation,

Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ), Asia Pacific Jaringan

Hak Asasi Manusia (APHRN), Asia Selatan Hak Asasi Manusia Pusat Dokumentasi

(SAHRDC), Kelompok Hak minoritas, 92nd Street Y, Ford motor Foundation, dll

Perhimpunan INTI (Perhimpunan Indonesia Tionghoa)

123 Ibid.

Page 103: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Didirikan pada tanggal 5 Februari 1999 di Jakarta, oleh 17 orang tokoh

Tionghoa Indonesia, organisasi ini berkeyakinan bahwa pengikutsertaan seluruh

WNI Keturunan Tionghoa secara menyeluruh, bulat, dan utuh adalah syarat mutlak

penyelesaian Masalah Tionghoa di Indonesia. Saat ini INTI dipimpin oleh Rachman

Hakim dan Budi S. Tanuwibowo selaku Ketua Umum dan Sekjend. Perhimpunan

INTI adalah organisasi sosial kemasyarakatan bersifat kebangsaan, bebas,

mandiri, nirlaba, dan non-partisan. Walaupun sebagian besar anggotanya adalah WNI

keturunan Tionghoa, namun Perhimpunan INTI bukan merupakan organisasi ekslusif,

namun terbuka untuk semua Warga Negara Republik Indonesia yang setuju kepada

Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, serta Tujuan Perhimpunan INTI. Dalam

upaya menjalankan programnya.124

INTI bergerak dengan visi menjadi organisasi yang maju, modern, bercitra

internasional, berorientasi pada Kebangsaan Indonesia, menghargai hak asasi

manusia, egaliter, pluralis, inklusif, demokratis, dan transparan sedangkan misi yang

dimiliki adalah berperan aktif dalam dinamika proses pembangunan bangsa, antara

lain penuntasan masalah Tionghoa di Indonesia, menuju terwujudnya bangsa

Indonesia yang kokoh, rukun bersatu dalam keharmonisan, bhinneka, saling

menghargai dan saling percaya.125

Dasar Pemikiran didirikannya Perhimpunan INTI adalah:

1. Bahwa dilahirkan sebagai suatu etnis bukan merupakan suatu pilihan,

melainkan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.

2. Sejarah mencatat, warga Tionghoa telah berada di Nusantara sejak berabad-

abad yang lalu dan ikut serta memperkaya khazanah bumi pertiwi dalam

berbagai aspek kehidupan, di antaranya (meliputi) bidang agama, sosial

budaya, politik, ekonomi dan perdagangan.

124 Website resmi Perhimpunan INTI: Inti.OR.ID 125 Ibid.

Page 104: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

3. Bahwa lahirnya Republik Indonesia merupakan hasil perjuangan seluruh

rakyat Indonesia termasuk warga Tionghoa, oleh karena itu warga Tionghoa

adalah bagian integral bangsa Indonesia.

4. Penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara seharusnya dijalankan

dan didasari oleh jiwa dan roh mukadimah UUD 1945, sehingga penyelesaian

setiap permasalahan bangsa didasari oleh semangat kebangsaan.

5. Warga Tionghoa bertekad ikut serta dalam pembangunan bangsa yang lebih

bersatu, demokratis, adil dan makmur, guna menghantarkan bangsa Indonesia

menuju masyarakat dunia yang lebih bermartabat, damai dan sejahtera.126

Motivasi pembentukkan organisasi ini adalah karena kesadaran sepenuhnya

bahwa “Masalah Tionghoa” di Indonesia merupakan warisan sejarah kolonial yang

telah membebani perjalanan sejarah bangsa Indonesia selama ini, Perhimpunan INTI

didirikan dengan tujuan menjadi organisasi yang maju, modern, bercitra

internasional, berorientasi pada Kebangsaan Indonesia, menghargai hak asasi

manusia, egaliter, pluralis, inklusif, demokratis, dan transparan untuk berperan aktif

dalam dinamika proses pembangunan bangsa (nation building), antara lain

menyelesaikan “Masalah Tionghoa” di Indonesia, menuju terwujudnya Kebangsaan

Indonesia yang kokoh, rukun bersatu dalam keharmonisan, bhinneka, saling

menghargai, dan saling percaya.127

Perhimpunan INTI berkeyakinan usaha penyelesaian “Masalah Tionghoa” di

Indonesia harus diletakkan di atas landasan usaha penyelesaian seluruh permasalahan

nasional yang tengah dihadapi Bangsa dan Negara Indonesia; dan bahwa

pengikutsertaan seluruh WNRI Keturunan Tionghoa secara menyeluruh, bulat, dan

utuh adalah syarat mutlak penyelesaian “Masalah Tionghoa” di Indonesia.

PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia)

126 Ibid. 127 Ibid.

Page 105: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Didirikan pada tanggal 28 September 1998 oleh 14 orang tokoh Tionghoa,

PSMTI didirikan dengan kondisi yang sama yang melatarbelakangi kebanyakan

didirikannya organisasi Tionghoa lain, yaitu kerusuhan dan penjarahan Mei 1998 di

Jakata dan ditempat lain yang ditujukan terutama pada suku Tionghoa Indonesia, para

tokoh masyarakat menyadari ada akar masalah yang perlu didialogkan dan

diselesaikan serta diusahakan bisa diselesaikan satu kali untuk selamanya. Karena itu

dianggap perlu wadah yang kompeten untuk menampung dan menyalurkan aspirasi

serta didialogkan dengan Pemerintah, legislatif dan golongan masyarakat untuk

menemukan akar masalah dan untuk diselesaikan dengan sebaik – baiknya.128

PSMTI memiliki visi : Suku Tionghoa Warga Negara Kesatuan Republik

Indonesia bersama komponen Bangsa Indonesia seluruhnya mempunyai hak dan

kewajiban membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia menuju masyarakat adil

dan makmur.

Visi tersebut dijabarkan dengan rangkaian misi

1. Meningkatkan terus kesadaran ber-Masyarakat, ber-Bangsa dan ber-Negara.

2. Masuk dalam Arus Besar Bangsa Indonesia dengan turut serta secara aktif

dalam pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam segala aspek

kehidupan.

3. Memantapkan jati diri sebagai salah satu suku dalam Keluarga Besar Bangsa

Indonesia.

4. Memperhatikan lingkungan dimana ia bekerja dan berdomisili.

Hingga saat ini, PSMTI memiliki 28 perwakilan cabang tingkat provinsi dan

puluhan anak cabang yang tersebar diseluruh kota besar di Indonesia.Sebagai

organisasi primordial yang solid, PSMTI mengkoordinasi sedikitnya 56 organisasi

marga Tionghoa dan 23 yayasan afiliasi dari 7 provinsi di Indonesia.

128 www.psmti.org/yayasantbti

Page 106: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Program kerja organisasi dibagi menjadi 12 bidang tugas, yaitu:

1. Bidang Organisasi dan Kaderisasi

a. Koordinasi ke bawah untuk membentuk kepengurusan PSMTI Daerah yang baru.

b. Kunjungan kerja dan sosialisasi PSMTI Pusat ke setiap Provinsi dan Kotamadya/Kabupaten.

c. Data pembuatan KTA (Kartu Tanda Anggota) untuk seluruh Pengurus dan Anggota PSMTI dengan Nomor Induk KTA dari Pusat.

d. Bekerjasama dengan PSMTI Provinsi/Kotamadya/Kabupaten/Kecamatan dalam hal kaderisasi.

e. Adakan pendidikan dasar manajemen PSMTI di Daerah.

2. Bidang Koordinasi Marga dan Lembaga

a. Tingkatkan kerjasama antar Lembaga dan Asosiasi baik dalam maupun luar negeri.

b. Sosialisasi ke seluruh Perkumpulan Marga-marga daerah agar berpartisipasi di Konferensi Marga-marga baik tingkat Nasional, ASEAN maupun Internasional.

c. Pendataan jumlah marga-marga di Indonesia.

d. Pengurus PSMTI Pusat bersama PSMTI Daerah mengunjungi Marga-marga di wilayahnya.

e. Jalin komunikasi dengan suku-suku lain seperti Pasundan, Jawa, Batak, Bali dan lain-lain.

f. Terbitkan sertifikat Marga/Nama Tionghoa bagi yang membutuhkan.

g. Bina hubungan dengan semua marga.

3. Bidang Pendidikan

a. Dorong terselenggaranya sekolah/kursus Bahasa Mandarin di daerah-daerah.

b. Kembangkan pendidikan Bahasa Mandarin dalam kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler.

Page 107: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

c. Upayakan/menyalurkan beasiswa/bantuan pendidikan bagi warga anggota PSMTI yang berprestasi namun kurang mampu.

d. Upayakan pengadaan perpustakaan di sekretariat PSMTI Pusat dan Daerah.

e. Menjalankan Program beasiswa ke Tiongkok.

f. Mengadakan ceramah/seminar/bedah buku/pelatihan.

4. Bidang Seni dan Budaya

a. Kembangkan kesenian daerah bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Kesenian lokal.

b. Lestarikan seni dan budaya Tionghoa dengan mengadakan Festival dan Pekan Budaya.

c. Fasilitasi pertukaran Kesenian dan Kebudayaan Indonesia dan Tionghoa.

5. Bidang Usaha

a. Himpun Dana Sponsor, Iuran Anggota dan Usaha, jadikan Dana Reksa sejenisnya.

b. Kembangkan Real Business untuk mencari income.

c. Kembangkan potensi sumber daya alam yang ada di Indonesia (mineral, minyak and gas, kehutanan, pertanian, kelautan dll).

d. Kembangkan bidang-bidang seperti keagenan, investasi, pembimbingan teknis dan menjamin pasar, membantu ekspor dan distribusi dll.

e. Salurkan proposal kerjasama dengan merchant kepada Pengurus Daerah.

6. Bidang Sosial

a. Aksi Donor Darah bersama (bekerjasama dengan Daerah).

b. Anjangsana ke Panti Asuhan dan Panti Wreda.

c. Bentuk team siaga bencana alam ditingkat Pusat maupun daerah.

d. Dukung dan Sosialisasikan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS).

7. Bidang Humas dan Media

Page 108: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

a. Kembangkan buletin PSMTI bekerjasama dengan PSMTI Daerah.

b. Sebarkan informasi mengenai PSMTI seluas mungkin (media cetak maupun media elektronik).

c. Meliput setiap kegiatan PSMTI baik Pusat maupun Daerah.

d. Adakan seminar untuk meningkatkan SDM.

e. Sosialisasi kegiatan dari PSMTI.

f. Jalin hubungan antara PSMTI dengan Pemerintah dan Masyarakat.

8. Bidang Informatika dan Teknologi (IT)

a. Buat jaringan atau network dan operator website.

b. Kembangkan website PSMTI dan sosial media lainnya.

c. PSMTI Pusat membuat format silsilah marga dan program database anggota yang dapat diakses oleh seluruh PSMTI Daerah dengan mudah.

9. Bidang Hukum, HAM dan Advokasi

a. Sosialisasi untuk pemahaman peraturan-peraturan yang melindungi warga suku Tionghoa seperti UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI dan UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

b. Mediasi atau bantuan hukum apabila terjadi sengketa antara sesama anggota PSMTI atau dengan pihak lain.

c. Komunikasi dengan para penegak hukum di daerah-daerah.

d. Himpun sukarelawan untuk dapat membantu tim advokasi dengan membentuk LBH PSMTI.

e. Monitor peraturan dan kebijakan terkait adanya tindak yang bersifat diskriminasi.

10. Bidang Peranan Perempuan

a. Adakan tabungan wisata untuk mempererat persaudaraan.

b. Pada hari anak mengunjungi Yayasan Yatim Piatu dan pada hari Kartini memperingati hari Kartini di daerah masing-masing.

Page 109: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

c. Bentuk Koor/Paduan Suara di daerah masing-masing.

d. Ikut berperan dalam pendidikan anak usia dini (PAUD) dan perlindungan anak.

11. Bidang Pemuda dan Olah Raga

a. Kegiatan sosial kepemudaan untuk recruitmen.

b. Kaderisasi melalui diskusi, pendidikan dan pelatihan.

c. Kegiatan olahraga di tingkat pusat dan daerah.

d. Bentuk dan kembangkan kegiatan Koko Cici di Provinsi dan tingkat Nasional.

12. Bidang Hubungan Luar Negeri

a. Jalin komunikasi dan kerjasama yang baik dengan marga-marga dan

organisasi di luar negeri terkait dengan PSMTI.

b. Adakan seminar/pertemuan terkait dengan globalisasi dan perkembangan

Negara baik di ASEAN maupun Internasional.129

ASPERTINA (Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia)

Organisasi ini didirikan pada tanggal 28 Oktober 2011 sebagai sebuah

lembaga nirlaba yang bergerak di bidang seni dan budaya yang berbasis di Jakarta.

Saat ini dipimpin oleh Endrew A. Susanto sebagai ketua umum dan Ferdinand

sebagai sekertaris.

ASPERTINA bergerak dengan visi Pelestarian Seni dan Budaya Peranakan

Tionghoa di Indonesia. Visi tersebut diuraikan dalam misi organisasi:

1. Meningkatkan kesadaran pelestarian seni dan budaya Peranakan Tionghoa.

2. Menggali budaya Peranakan Tionghoa masa lalu yang luhur dan bermartabat.

129 ibid

Page 110: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

3. Menyusun kembali, memelihara dan melestarikan budaya Peranakan

Tionghoa dalam bingkai budaya Nasional .

4. Mensosialisasikan budaya Peranakan Tionghoa kepada generasi muda

Tionghoa.

5. Memasyarakatkan budaya peranakan Tionghoa untuk mendorong terjadinya

saling pengertian dan mewujudkan persatuan dan kesatuan sesama anak

bangsa.

6. Menyelenggarakan pertemuan, penyuluhan, pembinaan dan bantuan yang

diperlukan dalam rangka memelihara dan melestarikan seni dan budaya

Peranakan Tionghoa.

7. Membina kerjasama dalam kemitraan dengan organisasi, lembaga, institusi

lain untuk mencapai visi ASPERTINA .

Beberapa program kerja yang diagendakan antara lain:

1. Bidang Organisasi, Humas dan Hubungan Antar Lembaga

2. Bidang Kajian, Pelestarian dan Penelitian

3. Bidang Komunikasi dan Informasi

4. Bidang Hubungan Luar Negeri

5. Bidang Hukum

6. Bidang Kegiatan Publik

ASPERTINA tidak membatasi keanggotaan organisasi dari warga non

Tionghoa, namun seluruh anggota harus memiliki minat dan perhatian terhadap

budaya Peranakan Tionghoa di Indonesia. Sebagai sebuah organisasi nirlaba,

organisasi ini memiliki jaringan yang cukup luas, saat ini terdaftar dalam

keanggotaan Federation of Peranakan Associations yang beranggotakan dari negara-

negara tetangga: Singapura, Malaysia, Thailand dan Australia.

Dari gambaran mengenai beberapa organisasi etnis Tionghoa diatas, nampak

dengan jelas bagaimana jalinan kekerabatan etnis yang dibangun di kalangan etnis

Page 111: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Tionghoa sangatlah kuat, era reformasi menjadi wadah yaang sangat kondusif bagi

pertumbuhan dan perkembangan organisasi civil society berbasis etnis tionghoa yang

memiliki orientasi politik yang cukup kuat.

Selain empat organisasi etnis Tionghoa diatas, masih banyak lagi organisasi

lain yang didirikan sebagai sarana untuk komunikasi interaktif masyarakat etnis

Tionghoa dalam memecahkan persoalan-persoalan masyarakat yang berkaitan dengan

eksistensi mereka sebagai warga negara RI yang dilindungi Undang-Undang dan

memiliki hak yang sama dengan warga negara lain yang di klaim sebagai orang asli

Indonesia atau pribumi.

Organisasi-organisasi civil society Tionghoa yang tumbuh subur juga

dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat etnis Tionghoa,

secara berkala dilakukan pertemuan-pertemuan seperti workshop, seminar, dan

pelatihan bagi calon-calon legislatif yang berasal dari etnis Tionghoa. Salah satu

pertemuan yang dilakukan adalah silaturrahi caleg Tionghoa menjelang Pemilu 2014

di sebuah restoran di daerah Ancol yang diinisiasi oleh FORDEKA (Forum

Demokrasi Kebangsaan) yang dihadiri oleh sekitar 20 orang calon legislatif dari etnis

Tionghoa yang secara bergantian memaparkan visi misi serta program kerja bila

terpilih sebagai anggota legislatif.130

130 www.indonesiamedia.com. Artikel diakses pada Jum,at, 16 September 2016

Page 112: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

D. Kesimpulan Dalam melihat bagaimana Penguatan Politik Identitas Etnis Tionghoa di

Indonesia Pasca Orde Baru, terdapat dua hal penting yang dapat di telaah. Hal

pertama yang dapat dilihat adalah orientasi politik etnis Tionghoa di Indonesia setelah

orde baru karena menurut Leo Suryadinata catatan sejarah mengenai orientasi politik

etnis Tionghoa di Indonesia selalu mengalami perubahan sesuai dengan periodisasi

kekuasaan politik di Indonesia. Struktur politik sangat berpengaruh pada

pembentukkan budaya dan orientasi politik para anggotanya, hal ini berkaitan

langsung dengan bagaimana kontribusi individu ataupun kelompok sebagai aktor

pada proses input dan output dalam sebuah sistem. Terdapat dua tingkat orientasi

politik, yaitu individu dan tingkat masyarakat. Orientasi individu terdiri dari orientasi

kognitif, efektif dan evaluatif.

Pasca orde baru, orientasi politik etnis Tionghoa berada pada tataran bahwa

semangat berpolitik etnis ini kembali muncul dan membentuk partai-partai politik

Tionghoa. Namun sebagian besar tokoh Tionghoa peranakan ingin mengambil jalan

asimilasi dengan partai dan kelompok pribumi dengan tujuan agar identitas etnis

Tionghoa masih berakar kuat dikalangan golongan Tionghoa secara umum. Orientasi

ini berbeda ketika masa orde baru, dimana sebagian besar orang Tionghoa

dikondisikan mengikuti kebijakan asimilasi yang diterapkan oleh penguasa dan

membuat etnis Tionghoa menjadi terdiskriminasi dalam ruang politik. Arus reformasi

dijadikan momentum oleh etnis Tionghoa untuk mendirikan partai politik,

berpartisipasi politik dan masuk dalam struktur pemerintahan serta terlibat langsung

dalam pembuatan kebijakan.

Selain orientasi politik, telaah terhadap kaitan antara penguatan politik

identitas etnis Tionghoa dan perkembangan multikulturalisme di Indonesia pasca

Page 113: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

orde baru menjadi penting untuk diamati. Titik tolak perkembangan

multikulturalisme dan penguatan politik identitas etnis Tionghoa pasca orde baru

dapat dilihat dari pengesahan UU tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia No.

12 tahun 2006. Istilah pribumi dan non pribumi dihapuskan, diganti dengan

klasifikasi WNI dan WNA. Terbersit pertanyaan pada aspek nasionalisme etnis

Tionghoa, yaitu apakah etnis Tionghoa sudah menguatkan komitmen nya pada nilai-

nilai nasionalisme Indonesia, atau menjadikan nasionalisme Cina sebagai orientasi

politiknya. Namun, nilai multikulturalisme yang dibangun dalam kehidupan

demokrasi Indonesia, memberi kepercayaan bahwa etnis Tionghoa sama dengan etnis

lainnya di Indonesia, mengabdi pada kehidupan bangsa dan negara Indonesia.

Kymlica menjelaskan bahwa konsep kebangsaan berawal dari konsep bangsa

yang bersifat sosial-budaya politik, sementara konsep negara lebih pada ranah

hukum. Ia juga mengemukakan bahwa bangsa adalah komunitas sejarah, yang kurang

lebih lengkap secara kelembagaan, yang menduduki wilayah tertentu atau tanah air

yang berbagi bangsa dan budaya yang spesifik. Pada telaah konsep multikulturalisme,

dapat dilihat bahwa menguatnya identitas politik etnis Tionghoa dalam ranah politik

adalah dengan melihat fenomena bagaimana sikap keterbukaan masyarakat umum

yang ditunjukkan pada etnis Tionghoa. Meski masih ada gesekan, namun biasanya

gesekan tersebut terjadi karena konflik yang disebabkan oleh prilaku personal, bukan

komunal.

Masyarakat semakin terbuka terhadap kemajemukan dan pluralitas yang ada.

Penguatan politik etnis Tionghoa ini juga merupakan indikasi kesadaran yang

meningkat antar mereka untuk mengubah kondisi dan posisi mereka secara politis

dalam struktur masyarakat sebagai pemangku kebijakan, bukan hanya sebagai objek

politik.

E. Implikasi

Penelitian ini melihat secara obyektif fenomena sosial yang terjadi di tengah

masyarakat akibat menguatnya orientasi politik etnis tionghoa di Indonesia. Modal

Page 114: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

sosial berupa kemampuan finansial, jaringan, kekuatan primordial dan dukungan

pemerintah yang saat ini dimiliki oleh kalangan etnis Tionghoa bisa menjadi sebab

dari kemungkinan akan munculnya konflik etnis yang lebih besar antara kelompok

etnis Tionghoa dan etnis asli Indonesia.

Sebagai sebuah penelitian sosial, hasil penelitian ini bisa menjadi bahan dan

rujukan bagi masyarakat etnis Tionghoa secara individu maupun kelompok untuk

bisa lebih arif membaca situasi masyaraakat di Indonesia yang majemuk dan sarat

dengan kebinekaan. Karena yang paling diharapkan dari sebuah perubahan sosial

adalah kondisi yang lebih baik bagi masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya

perubahan yang bisa menguntungkan satu kelompok tertentu dan memunculkan

masalah sosial baru dengan tingkat resiko yang lebih besar.

F. Rekomendasi

Penting bagi sebuah penelitian memberikan saran dan masukan bagi pihak-

pihak yang bisa mempengaruhi kebijakan agar lebih tercipta budaya bermasyarakat

yang lebih kondusif. Beberapa saran dan rekomendasi dari penelitian ini ditujukan

kepada beberapa pihak terkait:

a. Untuk pihak pembuat kebijakan

Perlu kiranya lebih diperhatikan untuk dibuatnya aturan-aturan dan kebijakan

yang lebih detil agar bisa mengatur lebih intensif suasana berdemokrasi dan

berpolitik di tengah masyarakat. undang undang kewarganegaraan yang saat

ini sudah ada bisa lebih dijelaskan dan disosialisasikan kepada masyarakat

luas agar pemahaman mengenai pribumi dan non pribumi bisa lebih difahami

dengan baik. Hal ini penting dilakukan demi mengantisipasi munculnya

konflik sosial dan konflik etnis akibat asumsi yang masih keliru tentang siapa

yang pantas disebut sebagai orang asli Indonesia dan orang pendatang

(Tionghoa) yang masih memiliki streotype yang kurang baik di mata mata

masyarakat

b. Untuk pemerintah

Page 115: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Penting bagi pemerintah untuk bisa lebih mengawasi perkembangan kondisi

sosial di tengah masyarakat, karena penguatan politing etnis Tionghoa secara

tidak langsung memunculkan potensi konflik etnis di tengah masyarakat.

pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap kedamaian

komunal di antara seluruh masyarakat multi etnis di Indonesia tidak boleh

berat sebelah dan berpihak pada satu kelompok tertentu tanpa memperhatikan

kepentingan kelompok lain.

Page 116: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

DAFTAR PUSTAKA Buku: Almond, Gabriel A., dan Sydney Verba, Budaya Politik : Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1984. Buchari, Sri Astuti, Kebangkitan Etnis Menuju politik Identitas, Jakarta: YOI, 2014, hal, 27. Cashomore, E., Dictionary of race and Ethnic Relations, edisi 2, London: Routledge, 1996. Castells, Manuel., The Power Of Identity: The Information Age, Economy, Society and Cultural, Vol II, Australia: Blacwell Publishing, 2003. Coppel, Charles A., Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1994. Dawis, Aimee Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2010. Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, Yogyakarta: Lkis, 2001. Field, Jhon, Modal Sosial, Bantul: Kreasi wacana, 2014. Fukuyama, Francis Memperkuat Negara; Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2005. Furnivall, J.S., Netherlands India: A Study of Plural Economy, Macmillan, New York, 1944. Geertz, Clifford, After the Revolution: The Fate of Nationalism in the New States, Basic, New York, 1973. Hefner, Robert W., Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, Princenton University Press, Princenton, 2007. Herdiansyah, Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: Salemba Humanika, 2010.

Page 117: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Heyes, Cressida, Identity Politics, Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2007, diaksesdari Plato.Stanford.edu/entries/identity politics. Hikam, A.S., Muhammad, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta LP3ES, 1999, hal. 2 James, Scott. Moral Ekonomi Petani, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 1972 Jarry D, dan J. Jary , Unwin Hyman Dictionary of Sociology, I edisi ke-2, Leicester: Bookmart Ltd. 1999. Juliastutik, Perilaku Elit Politik Etnis Tionghoa Pasca Reformasi, Jurnal HUMANITY, Vol. 6, no. 1 September 2010. Kellas, James G, The Politics of Nationalism and Ethnicity, USA: St. Martin’s Press, Inc, 1998. Kunio, Yoshihara, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, LP3ES: Jakarta, 1990. Kwartanada,Didi, Minoritas Tionghoa dan Fasisme Jepang: Jawa, 1942-1945, dalam Lembaga Studi Realino (ed.), Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1996. Kymlica, Will., Multicultural Citizenship, Cambridge; Cambridge University Press, 1995. La Ode, M.D., Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di era Reformasi; Studi Kasus Keterlibatan Kelompok Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di Kota Pontianak dan Kota Singkawang, Kalimantan Barat 1998 – 2008, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012. La Ode, M.D., Tiga Muka Etnis Cina-Indonesia; Fenomena di Kalimantan Barat, Bigraf Publishing, 1997. Lembaga Studi Realino (ed.), Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1996. Mahfud, Choirul, Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia, PUSTAKA PELAJAR: Yogyakarta, 2013. Purcell, Victor, The Chinese in Southeast Asia, London: Oxford University, 1987. Ramdan, Anton, Bisnis Cina Memang Gila, Shahara Digital Publishing,

Page 118: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Setiono, Benny G, TionghoaDalamPusaranPolitik, Jakarta: TransmediaPustaka, 2008. Smith, Anthony D Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003. Suhandinata, Justian, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2009. Suparlan, Parsudi, Hubungan Antar Suku Bangsa, Jakarta: KIK Press, 2004. Suryadinata, Leo, Dilema MinoritasTionghoa, Jakarta: Grafiti Press, 1984. Suryadinata, Leo, Etnis Tionghoa dan nasionalisme Indonesia, Jakarta: Kompas, 2010, hal. 185- 187 Suryadinata, Leo, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2002. Tan, Mely G, Etnis Tionghoa di Indonesia; Kumpulan Tulisan, Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2008. Ubaedillah A. dan Abdul Rozak, Demokrasi: Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2010. Uphoff, Norman, Understanding Social Capital: Learning From The Analysis and Experience of participation dalam Dasgupta dan Serageldin, Social Capital A Multifaced Perspective, The World Bank, 2000 Wibowo, Ignatius dan Thung Ju Lan (ed.), Setelah Air Mata Kering; Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998, Penerbit Kompas: Jakarta, 2010. Ignatius, Negara Centeng; Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 2010. Wijayakusuma, Hembing, Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke, Jakarta: PustakaPopuler Obor, 2005 Yuanzhi, Kong, Silang Budaya Tiongkok-Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2005.

Page 119: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu

Jurnal: Jurnal ADMINISTRATIO, Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.2 No. 5 Desember 2008, ISSN: 1410-8429 Jurnal An-Nida Vol.3 Nomor:1 Juni 2010 Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA, NO.71, 2003 Jurnal Humanity, Volume 6, Nomor 1 September 2010 Website: http://homearticleimg.com. http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_kewarganegaraan_2006.htm. http://kunci.or.id/articles/beberapa-catatan-mengenai-perkembangan-organisasi-organisasi-tionghoa-di-indonesia-oleh-benny-g-setiono/, http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/244-orang-indonesia-tionghoa-mencari-identitas http://www.gandingo.org http://www.secangkirteh.com. Perhimpunan INTI: Inti.OR.ID www.indonesiamedia.com. www.psmti.org/yayasantbti

Page 120: POLITIK IDENTITAS DAN NASIONALISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34074/1/suryani... · politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru membuat rakyat mampu