“Pola Komunikasi Kyai dan Santri di Pondok Pesantren Al ...

82
POLA KOMUNIKASI KYAI DAN SANTRI DI PONDOK PESANTREN AL-ASMANIYAH KAMPUNG DUKUHPINANG, TANGERANG, BANTEN Skripsi Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelas Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) Oleh Fajar Adzananda Siregar 104051001783 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M

Transcript of “Pola Komunikasi Kyai dan Santri di Pondok Pesantren Al ...

Microsoft Word - “Pola Komunikasi Kyai dan Santri di Pondok Pesantren Al-Asmaniyah, Kampung Dukuhpinang, Tangerang, Banten”.docKAMPUNG DUKUHPINANG, TANGERANG, BANTEN
Gelas Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh Fajar Adzananda Siregar
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1429 H/2008 M
DI PONDOK PESANTREN AL-ASMANIYAH
KAMPUNG DUKUHPINANG, TANGERANG, BANTEN
Oleh:
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
JAKARTA
1429 H/2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang memiliki judul “Pola Komunikasi Kyai dan Santri di Pondok
Pesantren Al-Asmaniyah, Kampung Dukuhpinang, Tangerang, Banten” telah diujikan
dalam sidang Munaqasah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada Tanggal 9 Juni 2008.
Skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
program strata 1 (S1) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah
dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 9 Juni 2008
Dr. Murodi, M.A. Dra. Sukmayati NIP. 150254102 NIP. 150234867
Anggota, Penguji I, Penguji II,
Prof. Andi Faisal Bakti, Ph.D Drs. Wahidin Saputra, M.A. NIP.150236319 NIP. 150276299
Pembimbing,
NIP. 150311326
Kegiatan komunikasi sangat penting bagi umat manusia. Komunikasi juga
ikut berperan serta dalam terlaksananya proses belajar mengajar di sebuah lembaga
pendidikan. Tanpa komunikasi maka tidak akan tercapai secara maksimal dalam
mendapatkan sebuah hasil yang diinginkan. Tetapi untuk mencapai hal tersebut tidak
boleh melakukan komunikasi secara sembarang, diperlukan pola dan metode
komunikasi yang tepat sebagai penyokong kebutuhan penyampaian pesan oleh
seorang kyai kepada santrinya.
Maka dari itu, penulis merumuskan tentang pola komunikasi dan metode apa
saja yang digunakan oleh kyai dan santri dalam pelaksanaan program kegiatan belajar
mengajar di pondok pesantren al-Asmaniyah, Kampung Dukuhpinang, tangerang,
Banten?
Adapun teori yang diangkat berhubungan dengan pola komunikasi itu sendiri,
dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui pengamatan lapangan,
wawancara, dan dokumentasi di Pondok Pesantren al-Asmaniyah secara langsung.
Pondok pesantren al-Asmaniyah menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar
sejak tahun 2003. terdapat beberapa program pesantren yang disediakan untuk
menambah pemahaman para santri terhadap ilmu agama Islam. Di antaranya adalah
kajian kitab kuning, muhadasah, muhadarah, ubudiyah, baca tulis al-Qur’an (BTQ),
dan seni baca al-Qur’an.
Sebagai pengajar, H. Ahmad Sholihan, H. Armat Syarifuddin, H. Ahmad
Ghozali, dan H. Ade Fauzy memiliki pengaruh yang besar dalam terselenggaranya
kegiatan belajar mengajar di pondok pesantren ini. Penyampaian komunikasi
dilakukan dengan menggunakan beberapa pola dan metode, seperti pola komunikasi
antar pribadi, komunikasi kelompok, dan komunikasi instruksional. Sedangkan
metode yang digunakan seperti metode ceramah, hafalan, latihan, serta metode
membaca dan menyimak.
Dengan ucapan Alhamdulillahi Robbil’alamin, pertama dan paling utama
sangatlah pantas untuk diucapkan sebagai bentuk syukur kepada Allah swt yang telah
memberikan kekuatan, kesehatan, kesabaran, dan ketabahan serta segala nikmat yang tak
terbatas kepada penulis dalam menempuh jenjang perkuliahan hingga terselesaikannya
skripsi ini sebagai tugas akhir dalam studi. Tak lupa pula sholawat serta salam penulis
limpahkan dan peruntukkan hanya kepada baginda Nabi Besar Muhammad saw,
keluarganya, sahabat, dan para pengikutnya yang telah bersusah payah dalam
menyebarkan agama Islam di muka bumi.
Skripsi dengan judul “pola komunikasi kyai dan santri di Pondok Pesantren Al-
Asmaniyah Kampung Dukuhpinang, Tangerang, Banten” diajukan sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar sarjana ilmu sosial Islam (S.Sos.I) pada jurusan
komunikasi dan penyiaran Islam, fakultas dakwah dan komunikasi, Universitas Islam
Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Selesainya skripsi ini tak lepas dari dorongan moril maupun materil dari berbagai
pihak. Dan semoga Allah swt memberikan balasan yang berlipat ganda kepada mereka
semua. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada yang terhormat:
1) Bapak Dr. H. Murodi, M.A. selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
2) Bapak Drs. Wahidin Saputra, M.A. selaku Ketua Jurusan (Kajur) Komunikasi dan
Penyiaran Islam,
3) Ibu Umi Musyarofah, M.A. selaku Sekretaris Jurusan (Sekjur) Komunikasi dan
Penyiaran Islam,
4) Bapak Dr. H. M. Idris Abdul Shomad, M.A. selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
5) Segenap dosen dan staff Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang secara tidak
langsung telah memberi semangat dan tuntunan yang bermanfaat: yang utama
adalah Bapak Zakaria, Bapak Gungun, Bapak Sifak, Bapak Jumroni, Bapak
Cecep, dan beberapa dosen lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
6) Keluarga besar Pondok Pesantren Al-Asmaniyah, H. Achmad Sholihan, Ustadz
H. Armat Syarifuddin, dan Ustadz Ade Fauzi.
7) Keluarga besar mahasiswa KPI B yang sudah kompak dan memiliki rasa
kekeluargaan antar sesama dalam menjalani perkuliahan.
8) Teman diskusi dan bertukar pikiran: Mutmainah, Yayu, Haris, Mika, Choirunnisa,
Samlanih, dan bang Munih yang selalu dapat dijadikan tempat bertanya dan
mencari solusi.
9) Kepada ayah dan bunda-ku di rumah, adik-ku Fini dan abang-ku Firman, Kakek
Doni, ’Mbah Carmeni dan keluarga besar di Cirebon, keluarga besar di Bandung,
yang telah memberikan semangat serta doa dan pastinya tidak akan pernah
terbayarkan dengan uang.
10) Dan segenap umat muslim yang telah memberikan doa-nya untuk kemajuan Islam
di muka bumi.
Dan akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih atas segalanya,
semoga semua amal dan doa yang diberikan kepada penulis dalam proses
penyelasaian skripsi ini akan mendapatkan balasan dari Allah SWT... Amiin.
Tangerang, 17 Juni 2008
1. Pola Komunikasi............................................................................. 11
KAMPUNG DUKUH PINANG, TANGERANG, BANTEN......... 27
A. Sejarah Berdirinya.......................................................................... 27
F. Program-program Pondok Pesantren............................................. 33
BAB IV ANALISIS POLA KOMUNIKASI KYAI DAN SANTRI DI PONDOK
PESANTREN AL-ASMANIYAH, KAMPUNG DUKUHPINANG,
2. Metode Pelaksanaan............................................................... 56
BAB V PENUTUP.......................................................................................... 60
Komunikasi adalah kebutuhan setiap individu. Manusia adalah makhluk sosial yang
saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain. Maka kegiatan komunikasi
adalah sangat penting dilakukan oleh setiap manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya. Artinya, manusia memang tidak bisa hidup tanpa berkomunikasi.
Dalam persepektif agama, komunikasi sangat penting peranannya dalam kehidupan
manusia bersosialisasi, manusia dituntut agar pandai dalam berkomunikasi. Dapat kita

Artinya: “(Tuhan) yang Maha pemurah, yang telah mengajarkan Al Quran, Dia menciptakan
manusia, mengajarnya pandai berbicara.1
Perlu disadari bahwa peran komunikasi tidak hanya terbatas pada kegiatan
bersosialisasi saja, bahka proses belajar mengajar pun sangat memerlukan komunikasi.
Karea proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah proses penyampaian pesan berupa 1 Prof. R.H.A. Soenarjo S.H. dkk, Al-Qur’an dan Terjemahan, ( Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an; Jakarta, 1 Maret 1971), h.885.
ilmu melalui dari komunikator (guru) kepada komunikan (murid). Pesan yang
disampaikan berisikan materi-materi pelajaran yang ada dalam kurikulum. Sumber pesan
dapat berposisi sebagai guru, murid, dan lain sebagainya. Sedangkan salurannya berupa
media pendidikan dan penerimanya adalah murid.2
Fungsi komunikasi tidak hanya sebagai pertukaran informasi dan pesan, tetapi juga
sebagai kegiatan individu dan kelmpok mengenai tukar menukar data, fakta, dan ide.
Agar komunikasi berlangsung efektif dan informasi yang hendak disampaikan oleh
seorang pendidik dapat diterima dengan baik oleh murid, maka seorang pendidik dituntut
untuk dapat menerapkan pola komunikasi yang baik pula.3
Pesantren sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga pendidikan tradisional, tempat
untuk mempelajari, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam yang
menerapkan pentingnya moral keagamaan.4
Kyai dalam suatu pondok pesantren merupakan elemen yang penting. Sudah
sewajarnya perkembangan pesantren semata-mata bergantung pada kepribadian kyai-nya.
Di sebuah pesantren, kyai atau ustadz adalah salah satu yang enjadi faktor pemicu minat
santri dalam mendalami ilmu agama. Dalam hal pembelajaran, kyai atau ustadz
mempunyai peranan penting pula dalam membentuk sikap dan kepribadian para santri
baik dalam tata pergaulan maupun kehidupan bermasyarakat. Untuk mencapai itu semua
dibutuhkan terciptanya sebuah suasana komunikasi yang baik antara kyai dan santri-nya.
Pondok Pesantren al-Asmaniyah DukuhPinang, Tangerang, Banten adalah salah satu
lembaga yang mempunyai perhatian terhadap pendidikan dalam mencapai kualitas santri
yang dapat membaca dan memahami al-Qur’an dengan baik dan benar berdasarkan tata
2 H.M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta, 2005), cet.ke-1, h.11. 3 Asnawir dan Basyaruddin Usman, Media Pembelajaran, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h.7. 4 Mastufu, Prinsip Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Inis, 1994), h.55.
cara penyampaian yang dilakukan. Maka dari itu, penulis hendak mengangkat hal
tersebut dengan judul pola komunikasi antara kyai dan santri di Pondok pesantren al-
Asmaniyah, Kampung Dukuhpinang, Tangerang, Banten.
B. Pembatasan Masalah
Proses belajar mengajar dapat berjalan lancar bila didukung oleh pola komunikasi
yang baik antara kyai terhadap santrinya. Hal inilah yang hendak diteliti oleh penulis
dalam penelitian ini. Agar tidak terlalu luas dalam pembahasannya, maka penulis hanya
membatasi terhadap pola komunikasi kyai terhadap santri dalam pelaksanaan kegiatan
program pendidikan pesantren di Pondok Pesantren al-Asmaniyah.
C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah tersebut tertuang di dalam sebuah pertanyaan, yakni:
1. Bagaimanakah pola komunikasi antara kyai dan santri dalam kegiatan program
pondok pesantren di Pondok Pesantren al-Asmaniyah, Kampung Dukuhpinang,
Tangerang, Banten?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan diadakannya penelitian ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pola komunikasi antara kyai dan santri dalam pelaksanaan
program pondok pesantren di Pondok Pesantren al-Asmaniyah.
2. Untuk memperoleh gambaran tentang metode yang digunakan dalam program
tersebut.
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan referensi atau
perbandingan dalam usaha mengembangkan keilmuan yang sesuai dengan bidangnya,
penelitian ini diharapkan akan menambah jumlah studi mengenai pola komunikasi di
lembaga pendidikan Islam
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan akan menjadi sebuah panduan tambahan
bagi para juru dakwah untuk dapat menyampaikan dakwahnya dengan cara yang
efektif dan se-efisien mungkin. Dengan adanya penelitian ini juga penulis berharap
dapat memberikan sumbangsih guna memperluas wacana dakwah.
F. Metodologi Penelitian
Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, peneliti berusaha untuk menggambarkan
secara jelas segala yang terjadi di lapangan dan kemudian dianalisa untuk mendapatkan
hasil berdasarkan tujuan penelitian. Pendekatan kualitatif ini menitik beratkan pada data-
data penelitian yang akan dihasilkan berupa kata-kata melalui pengamatan dan
wawancara.5 Adapun tahapan penelitian, yang akan ditempuh adalah sebagai berikut:
1. Tempat Penelitian.
Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, akan dilaksanakan langsung di
Pondok Pesantren Al-Asmaniyah, Kampung Dukuhpinang, Tangerang, Banten.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian adalah orang yang dapat memberikan informasi. Adapun yang
dijadikan sebagai sumber informasi dalam penelitian ini adalah beberapa orang yang
berkaitan dengan program pondok pesantren di Pondok Pesantren al-Asmaniyah,
Kampung Dukuhpinang, Tangerang, Banten. Sedangkan yang menjadi objek
penelitian adalah proses pelaksanaannya.
Dalam penelitian ini, pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti dalam
penelitian ini adalah: 5 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rhineka Cipta 1998) h. 10.
a. Observasi atau pengamatan langsung merupakan metode pertama yang
digunakan dalam melakukan penelitian ini. Teknik observasi atau pengamatan
yang peneliti gunakan adalah bersifat langsung dengan mengamati objek yang
diteliti, yakni program pendidikan pesantren yang dilaksanakan di Yayasan
Pondok Pesantren al-Asmaniyah.
b. Wawancara (interview), yaitu peneliti melakukan tanya jawab secara langsung
dengan orang-orang yang terlibat sebagai tokoh sentral di Pondok Pesantren
al-Asmaniyah dengan tujuan untuk mendapatkan keterangan secara jelas
berupa pola komunikasi dalam poses pelaksanaan program pondok pesantren
sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini. Sedangkan tehnik wawancara yang
digunakan adalah wawancara semistruktur yakni campuran antara wawancara
struktur dan tidak berstruktur.6 Hal ini bertujuan untuk memberikan
kebebasan kepada narasumber dalam menjawab pertanyaan yang diberikan
namun tetap terarah pada masalah yang diangkat.
c. Dokumentasi, yaitu proses pengumpulan dan pengambilan data berdasarkan
tulisan-tulisan berbentuk catatan, buku, dokumen ataupun arsip-arsip milik
Yayasan Pondok Pesantren al-Asmaniyah ataupun tulisan-tulisan lain yang
memiliki keterkaitan dangan bahasan penelitian ini.
4. Pengolahan Data
6 Drs, Rusdin Pohan, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Yogyakarta: Lanarka, 2007), h.58.
Pada bagian ini, seluruh data yang didapatkan dari hasil wawancara di Pondok
Pesantren al-Asmaniyah tersebut dikumpulkan dan disusun berdasarkan kecocokan
dengan rumusan masalah yang telah disusun oleh peneliti.
5. Analisis Data
Pada fase ini merupakan proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan diinterpretasikan. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil
keputusan/kesimpulan-kesimpulan yang benar melalui proses pengumpulan,
penyusunan, penyajian dan penganalisaan data hasil penelitian yang berwujud kata-
kata. Setelah itu, peneliti berusaha untuk menganalisa data dengan menyusun kata-
kata ke dalam tulisan yang lebih luas.
G. Tinjauan Pustaka
adalah:
1. Pola komunikasi remaja masjid dalam upaya meningkatkan pemahaman agama
melalui pengajian remaja tunas Islam, penelitian ini dilakukan oleh Abdul Fatah,
tahun 2007. penelitian ini menemukan bahwa pola komunikasi yang digunakan
dalam pengajian remaja tersebut menggunakan pola komunikasi kelompok dan
komunikasi antar pribadi guan meningkatkan pemahaman bagi anggotanya.
2. Pola komunikasi fungsionaris partai keadilan sejahtera dewan pimpinan cabang
Pondok Aren dalam mengembangkan dakwah, penelitian ini dilakukan oleh
Fajariyah, tahun 2007. secara umum penelitian ini menemukan bahwa pola
komunikasi yang digunakan adalah pola komunikasi antar persona, dan pola
komunikasi kelompok.
3. Pola komunikasi kelompok mentoring dalam pembinaan akhlak remaja di
lingkunga yayasan al-Wafi Jakarta Selatan, penelitian ini dilakukan oleh Haidir,
tahun 2007. penelitian ini hanya menemukan pola komunikasi kelompok kecil
saja yang digunakan dalam proses pembinaan akhlak remaja di wilayah tersebut.
Adapun kelebihan dari penelitian yang dilakukan oleh penulis dibandingkan dengan
beberapa penelitian di atas yaitu penulis mencoba mengungkapkan pola komunikasi yang
dilakukan oleh kyai terhadap santri di dalam pelaksanaan program pondok pesantren di
dalam sebuah lembaga pendidikan Islam bernama al-Asmaniyah.
H. Sistematika Penulisan
Untuk Mempermudah pembahasan penelitian ini, secara sistematis penulisan
laporan hasil penelitian dibagi kedalam lima bab, yang terdiri dari sub-sub. Adapun
sistematika penulisannya sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, batasan masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi
penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II Landasan teori yang terdiri dari pola komunikasi, pengertian pola
komunikasi, jenis-jenis pola komunikasi, unsur-unsur komunikasi, kyai
dan santri, pengertian kyai, pengertian santri, komunikasi kyai dan santri,
serta pesantren.
DukuhPinang, Tangerang, Banten. mengenai sejarah berdiri, visi dan misi
berdirinya Pondok Pesantren al-Asmaniyah, sistem pendidikan, struktur
pengurus sekaligus pengasuh, serta program-program yang disediakan.
BAB IV Pembahasan profil guru pembimbing, pola komunikasi kyai dan santri,
pelaksanaan program pesantren, metode pelaksanaan, dan analisis
terhadap pola komunikasi kyai dan santri di pondok pesantren al-
Asmaniyah.
BAB V Penutup merupakan kesimpulan dan saran-saran serta dilengkapi daftar
pustaka dan lampiran-lampiran yang dianggap penting.
BAB II
Secara umum, pola komunikasi sangat dibutuhkan dalam melakukan berbagai proses
pendidikan agar dapat memberikan kemudahan kepada para komunikan dalam
memahami pesan yang disampaikan oleh komunikator. Di bawah ini akan dibahas dan
dijelaskan tentang definisi maupun teori pola komunikasi.
A. Pola Komunikasi
1. Pengertian Pola Komunikasi
Kata pola dalam kamus besar bahasa Indonesia artinya bentuk atau sistem.7 Cara
atau bentuk yang tetap sehingga pola dapat dikatakan sebagai contoh atau cetakan.
Secara etimologis menurut Onong Uchjana Effendi “istilah komunikasi berasal
dari perkataan Inggris communication yang bersumber dari bahasa latin,
communication berarti pemberitahuan atau pertukaran pikiran. Makna hakiki dari
communication adalah communis yang berarti sama, atau kesamaan arti sama halnya
dengan pengertian tersebut.8
definisi komunikasi berasal dari bahasa latin communis, common. Bilamana kita
7 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kamus besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h.778. 8 Onong Uchjana Effendi, Spektrum Komunikasi, (Bandung: Bandar maju, 1992), cet.ke-1, h.4.
mengadakan komunikasi itu artinya kita mencoba untuk berbagi informasi, ide, atau
suatu sikap.
Jadi esensi dari komunikasi itu adalah menjadikan si pengirim dapat berhubungan
bersama dengan si penerima guna menyampaikan isi pesan tersebut.9
Namun menurut Stewart L. Tubbs dan Silvia Mass, “ciri-ciri komunikasi yang
baik dan efektif paling tidak menimbulkan lima hal”, yakni:
a. Pengertian, penerimaan yang cermat dari isi stimuli seperti yang dimaksud oelh komunikator. Maksudnya adalah seorang komunikator dapat menerapkan metode dalam upaya meningkatkan pemahaman tentang kegiatan tersebut.
b. Memahami message (pesan) yang disampaikan oleh komunikator. c. Kesenangan, menjadikan hubungan yang hangat dan akrab serta
menyenangkan. d. Mempengaruhi sikap, dapat mengubah sikap orang lain sehingga bertindak
sesuai dengan kehendak komunikator tanpa merasa terpaksa. e. Hubungan sosial yang baik, menumbuhkan dan mempertahankan
hubungan yang memuaskan dengan orang lain dalam hal interaksi. f. Tindakan, membuat komunikan melakukan suatu tindakan yang sesuai
dengan stimuli.10
2. Jenis-jenis Pola Komunikasi
Bila pola memiliki arti yang sama dengan bentuk, maka terdapat beberapa pola
atau bentuk komunikasi yang terdiri dari lima macam jenis, yaitu:
a. Komunikasi Intra Pribadi
Komunikasi intra pribadi adalah proses komunikasi yang terjadi dalam diri
seseorang, berupa proses pengolahan informasi melalui panca indera dan sistem
saraf.11
9 T.A. Latief Rosyidi, Dasar-dasar Rethorika Komunikasi dan Informasi, (Medan: 1985), h.48. 10 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi;edisi revisi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, th.2007), cet.ke-24, h.13-16.
b. Komunikasi Antar Pribadi
perasaan oleh seseorang kepada orang lain agar mengetahui, mengerti, dan
melakukan kegiatan tertentu.12
antar persona yakni komunikasi yang dilakukan antara dua orang dan
komunikasinya dilakukan secara tatap muka, berlangsung secara dialogis dan
saling menatap sehingga terjadi kontak pribadi.13
Adapun hal yang perlu diperhatikan dalam situasi komunikasi antar persona
atau tatap muka, yaitu:
1. Bersikaplah empatik dan simpatik. 2. Tunjukkanlah sikap sebagai komunikator terpercaya. 3. Bertindaklah sebagai pembimbing, bukan pendorong. 4. Kemukakanlah fakta dan kebenaran. 5. Berbicaralah dengan gaya mengajak, bukan menyuruh. 6. Jangan bersikap super. 7. Jangan menganggap enteng hal-hal yang mengkhawatirkan. 8. Jangalah mengkritik. 9. Janganlah emosional. 10. Bicaralah secara meyakinkan.14
c. Komunikasi Kelompok
11 Sasa Djuarsa Sendjaja, Pengantar Komunikasi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1998), h.39. 12 Onong Uchjana Effendi, Hubungan masyarakat: suatu study komunikologis, (Bandung: PT. Rosda Karya, 2002), cet.ke-6, h.60. 13 Onong Uchjana Effendi, Ilmu Komunikasi teori dan praktek, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990), cet.ke-5, h.126. 14 Ibid, Onong Uchjana Effendy, h.127.
perilakunya.15 Komunikasi kelompok dibagi menjadi dua bagian, yakni
komunikasi kelompok kecil dan komunikasi kelompok besar.
1. Komunikasi kelompok kecil
Menurut Robert F. Bales yang dikutip oleh Widjaja, kelompok kecil
adalah sejumlah orang yang terlibat antara satu dengan yang lain dalam suatu
pertemuan yang bersifat tatap muka, dimana setiap peserta mendapat kesan
atau penglihatan antara satu dengan yang lainnya yang cukup kentara,
sehingga ia baik pada saat timbul pertanyaan maupun sesudah memberikan
tanggapan kepada masing-masing individu komunikan.16
2. Komunikasi kelompok besar
jumlahnya banyak, dalam suatu situasi komunkasi hampir tidak terdapat
kesempatan untuk memberikan tanggapan secara verbal.17
d. Komunikasi Massa
penyampaian pesan atau informasi yang ditujukan kepada khalayak massa dengan
15 Onong Uchjana Effendi, Hubungan masyarakat: suatu study komunikologis, (Bandung: PT. Rosda Karya, 2002), cet.ke-6, h.62. 16 H.A.W. Widjaja, Ilmu Komunikasi Pengantar Studi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2001), cet.ke-2, h.127. 17 Onong Uchjana Effendi, Ilmu Komunikasi teori dan praktek, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990), cet.ke-5, h.129.
karakteristik tertentu, sedangkan media massa hanya sebagai salah satu komponen
atau sarana yang memungkinkan berlangsungnya peruses yang dimaksud.18
e. Komunikasi Medio
komunikan dengan menggunakan alat sebagai perantara penyampaiannya.
Adapun bentuk komunikasi media ini dilakukan dengan menggunakan media,
seperti surat, telepon, vamplet, spanduk, dan lain sebagainya.19
f. Komunikasi Instruksional
pendidikan dan pengajaran. Istilah instruksional berasal dari kata instruction yang
berarti penyajian, pelajaran, atau perintah juga dapat diartikan instruksi.
Dalam dunia pendidikan, kata instruksional tidak diartikan perintah tetapi lebih
mendekati arti pengajaran dan pelajaran, bahkan akhir-akhir ini kata tersebut
sering diartikan sebagai pembelajaran. Memang ketiga kata tersebut dapat
berlainan makna karena masing-masing menitikberatkan pada faktor-faktor
tertentu yang menjadi perhatiannya.20
18 Zulkarnaen Nasution, Sosiologi Komunikasi Massa, (Jakarta: Universitas terbuka) 19 Onong Uchjana Effendy, Ilmu komunkasi teori & praktek, (Bandung: PT. remaja Rosda Karya, 1990), cet.ke-5, h.13 20 Onong Uchjana Effendi, Dinamika Komunikasi, (Bandung: PT. remaja Rosdakarya, 2004), cet.ke-6, h.78.
3. Unsur-unsur Komunikasi
Di bawah ini adalah beberapa unsur dalam terlaksananya proses komunikasi
yakni:
memformulasikan pesan yang kemudian menyampaikannya kepada orang lain.
Unsur ini merupakan unsur penentu yang akan memilih pesan, media, dan efek
yang diharapkan dalam proses komunikasi. Karena pihak komunikator yang
disebut source atau sender lebih berkepentingan kepada komunikan karena
adanya tujuan yang diharapkan.21
Untuk menjadi seorang komunikator yang baik terdapat beberapa syarat yang
harus dipenuhi, yaitu:
1. memiliki kepercayaan dari komunikannya. 2. memiliki kemampuan komunikasi yang baik. 3. mempunyai pengetahuan yang luas. 4. sikap yang baik. 5. memiliki daya tarik dalam arti ia memiliki kemampuan untuk melakukan
perubahan sikap atau perubahan pengetahuan pada diri komunikan.22 Bila syarat tersebut dipenuhi oleh seorang komunikator, maka komunikasi
pesan yang disampaikan oleh komunikator dapat diterima dengan baik oleh
komunikannya.
21 Onong Uchjana Effendy, Ilmu komunkasi teori & praktek, (Bandung: PT. remaja Rosda Karya, 1990), cet.ke-5, h.18. 22 Onong Uchjana Effendy, kepemimpinan dan komunikasi, (Yogyakarta: PT.al-Amin Press, 1996), cet.ke- 1,h.59.
b. Pesan
Pesan adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh komunikator. Pesan
harus mempunyai inti pesan (tema) sebagai pengarah di dalam usaha mencoba
mengubah sikap dan tingkah laku komunikan. Pesan dapat disampaikan melalui
lisan dan melaluimedia, sedangkan bentuk pesan dapat berupa informatif yakni
memberikan keterangan-keterang dan kemudian komunikan dapat mengambil
keputusan sendiri.
1. Pesan informatif yaitu memberikan keterangan-keterangan dan memberikan komunikan mengambil kesimpulan sendiri.
2. Pesan persuasive yakni dengan bujukan akan membangkitkan pengertian dan kesadaran seseorang bahwa apa yang kita sampaikan akan memberikan berupa pendapat atau sikap sehingga ada perubahan, namun perubahan ini adalah kehendak sendiri.
3. Pesan koersif yakni dengan menggunakan sanksi-sanksi bentuknya terkenal dengan agitasi dengan penekanan yang menimbulkan tekanan batin dan ketakutan di antara sesamanya dan pada kalangan politik.23
Pendapat Wilbur Schramm yang dikutip oleh Widjaja mengemukakan
beberapa tentang kondisi komunikasi yang sukses, yakni:
1. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat menarik sehingga dapat menarik perhatian dari sasaran yang dimaksud.
2. Pesan harus menggunakan tanda-tanda yang tertuju pada pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga dapat saling memahami.
3. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi pihak komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan itu.
4. Pesan harus menyarankan suatu cara untuk memperoleh kebutuhan yang layak bagi situasi kelompok tempat komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan tantangan yang dikehendaki.24
23 H.A.W. Widjaja, Ilmu Komunikasi Pengantar Studi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2001), cet.ke-2, h.12. 24 Ibid, H.A.W. Widjaja, Ilmu Komunikasi Pengantar Studi, h.12.
c. Media
Media berasal dari kata medium. Media adalah bentuk jamak, sedangkan
bentuk tunggalnya adalah medium, yang secara harfiahnya adalah perantara,
penyampai atau penyalur. Media adalah sasaran tempat berlalunya lambing-
lambang yakni sesuatu yang menghubungkan apa yang disampaikan komunikator
kepada komunikan (individu, kelompok, publik dan massa). Media dalam
kegiatan keagamaan yang dapat berupa podium, benda atau sarana prasarana lain
yang sesuai dengan pesan yang akan disampaikan.
d. Komunikan
Komunikan adalah orang yang menerima pesan. Komunikan berfungsi
sebagai decoder, yakni menerjemahkan lambing-lambang pesan ke dalam
konteks pengertiannya sendiri.25 Komunikan yang mempunyai peranan sebagai
penerima pesan atau pihak yang akan menjadi sasaran komunikasi agar tidak
terjadi hambatan-hambatan sehingga sampai pada tercapainya tujuan
komunikasi.
Feedback atau umpan balik yaitu tanggapan komunikan apabila atas pesan
yang disampaikan oleh komunikator. Jadi feedback atau umpan balik adalah
respon atau tanggapan dari komunikan atas apa yang telah disampaikan oleh
25 Onong Uchjana Effendi, Kepemimpinan dan komunikasi, (Yogyakarta: PT.al-Amin Press, 1996), cet.ke- 1, h.59.
komunikator, dan umpan balik tersebut dapat positif ataupun negatif, tergantung
pada bagaimana komunikator dalam usaha penyampaiannya.
f. Efek
Efek adalah hasil akhir dari proses komunikasi, yaitu sikap dan tingkah laku
orang, sesuai atau tidak sesuai dengan yang kita inginkan. Jika sikap dan tingkah
laku orang telah sesuai ataupun tidak sesuai dengan yang kita inginkan sebagai
komunikator, berarti komunikasi yang telah dilakukan dapat dikatakan berhasil.
Adapun dampak yang akan timbul dari terjadinya proses komunikasi tersebut
dapat dikategorikan menjadi:
1. Dampak Kognitif, yaitu dampak yang ditimbulkan pada komunikan yang menyebabkan dia menjadi tahu atau terjadi peningkatan intelektualitas di dalam dirinya.
2. Dampak Afektif, yaitu dampak yang dapat menimbulkan perasaan tertentu dan bergerak hati dalam diri seorang komunikan, seperti perasaan sedih, iba, gembira, dan lain sebagainya.
3. Dampak Behaviour, yaitu dampak yang paling tinggi kadarnya yakni dapat menimbulkan perilaku pada diri komunikan dalam bentuk tindakan atau kegiatan.26
B. Kyai dan Santri
1. Pengertian Kyai
Pengertian kyai dalam Kamus Besar bahasa Indonesia adalah sebutan bagi alim
ulama (cerdik dan pandai dalam agama Islam), sedangkan dalam sebuah pesantren,
kyai adalah pembimbing, pengajar, atau pimpinan sebuah pesantren.
26 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, (Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), cet.ke-6, h.7.
Kyai menurut Manfred Ziemek adalah pendiri dan pimpinan sebuah pondok pesantren, yang sebagai muslimterpelajar telah meberikan hidupnya demi Allah serta menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam melalui kegiatan pendidikan. Kyai berfungsi sebagai seorang ulama, artinya ia mengetahui pengetahuan dalam tata masyarakat Islam dan meafsirkan peraturan-peraturan dalam hukum Islam, dengan demikian ia mampu memberikan nasehat.27
Istilah kyai adalah sebutan yang diperuntukkan bagi para ulama trdisional di
pulau jawa, walaupun sekarang kyai banyak tersebar di pulau Jawa dan juga di luar
pulau Jawa. Istilah ustadz yang dahulunya digunakan sebagai tanda pengenal ulama
modern, saat ini pun telah masuk ke dalam lingkungan pondok pesantren.28
Menurut asal muasalnya, sebagai mana di rinci oleh Zamarkasyari Dhofier,
perkataan kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda.
Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap sakti dan
keramat. Kedua, sebagai gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya.
Ketiga, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama
Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren.29
Mengacu kepada pengertian ketiga yang dirinci oleh Zamarkasyi Dhofier tersebut,
yaitu gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang
memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dengan mengajarkan berbagai jenis kitab
kuning kepada para santrinya. Istilah tersebut biasanya digunakan diwilayah Jawa
Tengah dan Jawa Timur saja. Sementara di Jawa Barat menggunakan istilah ajengan,
27 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1986), h.131. 28 Pradjata Dirdjosanjoto, Memelihara Umat Kiai pesantren-kiai Langgar jawa, (Yogyakarta: LKIS, 1999), cet. Ke-1, hal xiii. 29 HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren; dalam tantangan modernitas dan tantangan komplesitas global, (Jakarta; IRD Press, 2004), h.28.
di Aceh menggunakan istilah teuku, sedangkan di Sumatera Barat menggunakan
istilah buya.30
menjadi kyai besar yaitu:31
Sedangkan Vrenden Bret memberikan skema yang hampir sama dengan H.
Aboebakar Atjeh yakni:32
- Pengtahuan agamanya
- Jumlah Muridnya
- Pengabdian dirinya pada masyarakat.
Dalam perkembangannya, gelar kyai dewasa ini tidak lagi digunakan bagi para
pemimpin atau pengasuh pondok pesantren saja. Gelar kyai pun dianugerahkan sebagai
bentuk penghormatan kepada seorang ulama yang mumpuni dalam bidang ilmu-ilmu
keagamaannya, walaupun yang bersangkutan tidak memiliki pesantren. Gelar kyai ini
30 Ibid, HM. Amin Haedari, h.29. 31 Dirdjosanjoto, Memelihara Umat Kyai Pesantren-Kyai Langgar Jawa, h.13. 32 Ibid, Dirdjosanjoto, h.14.
juga sering digunakan oleh para da’i atau muballigh yang biasa memberikan ceramah
agama Islam.33
2. Pengertian Santri
Santri menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah orang yang mendalami agama
Islam; orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh; orang yang soleh.34
Sedangkan dalam istilah lain, santri berasal dari kata cantrik (dalam agama Hindu) yang
berarti orang-orang yang ikut belajar dan mengembara dengan empu-empu ternama.
Namun ketika diterapkan dalam agama Islam, kata cantrik tersebut berubah menjadi
santri yang berarti orang-orang yang belajar kepada para guru agama.35
Santri dapat diartikan sebagai kelompok sosio religius, yakni hubungan mendasar
antara mayarakat dengan agama. Bila hal ini terwujud, maka masyarakat akan terdorong
ke dalam perhimpunan tersebut.
Santri adalah murid yang belajar di pesantren. Seorang ulama bisa disebut sebagai
kyai bila memiliki pesantren dan santri yang tinggal untuk mendalami ilmu agama
berdasarkan kitab kuning. Oleh karena itu, aksistensi kyai biasanya juga berkaitan dengan
adanya santri di pesantrennya.
Santri terbagi menjadi dua yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah
murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren. Sedangkan santri
kalong adalah murid yang tinggal tidak jauh dari lokasi berdirinya pesantren tersebut.
33 HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren; dalam tantangan modernitas dan tantangan komplesitas global, (Jakarta; IRD Press, 2004), h.28-29. 34 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), cet.ke-1, h.783. 35 Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren; sebuah potret perjalanan, ( Jakarta: Paramadina, 1997), h.20.
Para santri kalong pergi ke pesantren ketika ada tugas belajar dan aktivitas pesantren
lainnya.36
Sehingga dapat dipahami bahwa santri adalah murid yang belajar dipesantren dan
didampingi oleh seorang kyai dengan tujuan untuk lebih mendalami ilmu agama Islam.
3. Komunikasi Kyai dan Santri
Kyai dan santri memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain dalam proses
kegiatan belajar mengajar di pesantren. Komunikasi harus dibangun sejak awal. Kyai
sebagai komunikator memiliki pengaruh yang sangat besar dalam usaha merubah sikap
dan tingkah laku santrinya. Agar proses penyampaian pesan dapat berjalan dengan baik,
diperlukan keterampilan yang baik pula oleh seorang kyai dalam menciptakan suasana
yang baik agar para santri dapat mengikuti kegiatan dan terciptanya hubungan yang baik
bagi santri dan kyai.
Tujuan dari komunikasi yang dilakukan oleh santri dan kyai adalah untuk
menciptakan adanya hubungan timbal balik di antara keduanya. Santri menganggap kyai
seolah-olah seperti orang tuanya sendiri, dan kyai menganggap santri bagaikan anaknya
sendiri. Sikap dan hubungan timbal balik iniuntuk menimbulkan suasana akrab dan
kebutuhan untuk saling berdekatan secara terus menerus.37
Mastuhu menemukan dua pola komunikasi yang unik antara kyai terhadap santri.
Sebagai mana gaya kepemimpinan sang kyai, dua pola komunikasi ini juga terdapat di
semua pesantren yang dijadikan objek penelitiannya. Dua pola komunikasi tersebut
adalah sebagai berikut:
36 HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren; dalam tantangan modernitas dan tantangan komplesitas global, (Jakarta; IRD Press, 2004), h.35. 37 Ibid, HM. Amin Haedari, dkk, h.31-32.
Pertama, pola komunikasi otoriter-paternalistik. Yakni pola komunikasi antara
pimpinan dan bawahan atau, meminjam istilah James C. Scoot yaitu patron-client
relationship, dan tentunya sang kyai-lah yang menjadi pimpinannya. Sebagai bawahan,
sudah tentu peran partisipatif santri dan masyarakat tradisional pada umumnya sangat
kecil untuk mengatakan tidak ada, dan hal ini tidak bisa dipisahkan dari kadar
kekharismatikan sang kyai.
Kedua, pola komunikasi laissez faire. Yaitu pola komunikasi kyai dan santri yang
tidak didasarkan pada tatanan organisasi yang jelas. Semuanya didasarkan pada tatanan
organisasi yang jelas. Semuanya didasarkan pada konsep ikhlas, barakah, dan ibadah
sehingga pembagian kerja antar unit tidak dipisahkan secara tajam. Seiring dengan itu,
selama memperoleh restu sang kyai sebuah pekerjaan bisa dilaksanakan.38
C. Pesantren
Pondok Pesantren merupakan gabungan dua kata yakni dari kata pondok dan
pesantren. Pondok berarti tempat tinggal singgah besar yang disediakan untuk para turis,
musafir, dan orang-orang yang berekreasi.39
Pesantren dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti asrama tempat santri atau
murid-murid belajar mengaji dan sebagainya.40 Pesantren biasa disebut sebagai ’pondok
pesantren’. Pesantren berasal dari kata santri yang berdasarkan kamus umum bahasa
Indonesia, kata ini memiliki arti, yakni:
38 Ibid, HM. Amin Haedari, dkk, h.61-62. 39 Lois Ma’luf, Al-Munjid, (Beirut: Darul Masyrik 1986), hal 59. 40 Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; balai pustaka, 1986), hal 677.
1. Orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh.
2. Orang yang mendalami pengajiannya dalam agama Islam dengan berguru di
sebuah tempat yang jauh.41
Menurut Manfred Ziemek, kata pondok berasal dari kata funduk yang berarti ruang
tidur atau wisma sederhana, karena pondok memanglah merupakan tempat tinggal
sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata pesantren
berasal dari kata santri yang diberi imbuhan berupa awalan pe- dan akhiran –an sehingga
memiliki arti tempat, atau dengan kata lain tempat tinggal para santri. Namun terkadang
dianggap sebagai gabungan dari kata sant (manusia baik) dan suku kata tra (suka
menolong) sehingga kata pesantren dapat diartikan sebagai tempat pendidikan manusia
baik-baik.42
Secara garis besar, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama
Islam, pusat pengembangan jamaah masyarakat lingkungan yang diselenggarakan dalam
kesatuan pemukiman. Kemudian dilihat dari fungsinya, pondok pesantren adalah sebagai
tempat menginap para santri yang tidak datng dari daerah yang dekat, akan tetapi dari
tempat-tempat yang jauh sesuai dengan kemashuran kyai atau lembaga pendidikannya.
Kegiatan yang dilakukan pesantren tidak terbatas hanya pada kegiatan yang telah
disiapkan berdasarkan kurikulum dan administrasinya saja, tetapi terdapat pula
pendidikan lain dan bersifat non formal seperti pengajian kitab yang biasanya diadakan
41 WJ.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta; Bali Pustaka), hal 1007. 42 A. Hawib Zaini, Dunia Pemikiran kaum Santri, (Yogyakarta: EKPSM NU, DIY Tompeyan TR III, 1994) hal 133.
selepas sholat subuh dan ba’da sholat isya, serta tabligh-tabligh berupa kajian ceramah
singkat oleh para ustadz-ustadz yang bertugas.43
Menurut bapak H. Amin Haendari, Direktur Pendidikan Diniyyah dan Pondok
Pesantren Departemen Agama Republik Indonesia (th.2006) mengatakan bahwa pondok
pesantren adalah merupakan lembaga keagamaan dan memiliki fungsi sebagai tempat
untuk mendalami ilmu agama (tafaqquh fiddin), serta sebagai wahana untuk kaderisasi
kader-kader ulama.44
Pernyataan serupa pun dilontarkan oleh ketua PP Pendidikan, Ma’arif NU (th.2006)
yang mengatakan bahwa sejak awal berdirinya, pondok pesantren dikenal sebagai
lembaga pengkaderan ulama, tempat pengajaran ilmu agama, dan memelihara tradisi
Islam.45
43 Mastufu, Prinsip Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hal 55. 44 Kutipan wawancara, Majalah Bina Pesantren, edisi 02/tahun 1/Nopember 2006, h.15. 45 Ibid, h.30.
BAB III
DUKUHPINANG, TANGERANG, BANTEN
A. Sejarah Berdiri
Awal mula terbentuknya pondok pesantren Al-Asmaniyah, berawal sekitar tahun
1995-1996. Di sebuah tanah wakaf milik keluarga bapak Haji Asman, dengan luas kurang
lebih sekitar + 3000 meter persegi, dibukalah sebuah lembaga pndidikan keagamaan
dengan menganut sistem salafi. Pondok pesantren yang pada awalnya hanya berbentuk
sebuah majlis bernama Miftahul Jannah telah berdiri di tengah-tengah kehidupan
masyarakat Kampung Dukuhpinang. Dengan Bapak Haji Ahmad Ghozali sebagai
pimpinan, lembaga inipun mencoba meniti usahanya di bidang pendidikan yang berfokus
pada ilmu keagamaan.
Seiring dengan perkembangan yang dialami oleh lembaga tersebut dari tahun ke
tahun, maka anggota keluarga pemilik tanah atas lembaga tersebut pun bermusyawarah
dan berinisiatif untuk membangun sebuah lembaga pendidikan formal tanpa
meninggalkan pendidikan keagamaan yang telah lama ada. Maka, akhirnya kurang lebih
sekitar tahun 2003 dicapailah kata mufakat dengan disertai berdirinya beberapa bangunan
berbentuk ruangan-ruangan untuk mengadakan kegiatan belajar mengajar.
Sejalan dengan hal tersebut maka dimulailah proses kegiatan belajar mengajar dengan
menggunakan gabungan sistem pendidikan yakni salafi dan modern (sekolah formal).
Segala sesuatu mengenai surat-surat untuk keabsahan lembaga tersebut pun diurus
sedemikian rupa, sehingga terbentuklah sebuah yayasan pondok pesantren dengan nama
Al-Asmaniyah.46
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan alternatif yang tidak lain sebagai
penyokong suksesnya pendidikan di Indonesia bukanlah hal yang main-main semata.
Diperlukan sebuah keseriusan untuk menjalaninya, sebagai dasar dari kegiatan tersebut,
sebuah lembaga manapun dituntut untuk memiliki kejelasan tentang visi dan misinya.
Adapun secara umum visi dan misi dari Pondok Pesantren Al-Asmaniyah yaitu:
1. Visi
mampu menjadi lembaga alternatif di Indonesia dan menjadi lembaga pemberdayaan
masyarakat.
Secara umum, misi yang diemban oleh Yayasan Pondok Pesantren Al-Asmaniyah
ini adalah memberikan pendidikan dan pembekalan tentang dasar-dasar ilmu agama
pada diri santri untuk dapat diamalkan bagi dirinya sendiri, orang lain, dan alam
sekitar lingkungannya dalam memenuhi fungsi dirinya sebagai hamba dan khalifah
Allah swt, sehingga diharapkan para santri memiliki pengetahuan dan pemahaman
46 H. Ahmad Sholihan, Ketua Yayasan, Wawancara pribadi , (Aula Yayasan Pondok Pesantren Al- Asmaniyah), Minggu, 10 Februari 2008.
melalui pengenalan tentang seluk beluk ilmu Agama secara mendasar sebagai bekal
para santri dalam melanjutkan alur kehidupannya.47
Namun secara khusus, terdapat pula harapan yang ingin dicapai oleh Yayasan
Pondok Pesantren Al-Asmaniyah terhadap santri agar dapat bergerak secara langsung
di bidang dakwah Islam berdasarkan kemampuan dan ilmu agama yang mereka miliki
untuk disampaikan kepada masyarakat.48
C. Tujuan Pondok Pesantren
Di antara tujuan pendidikan di pesantren ini adalah pembinaan kader muballigh yang
dilaksanakan dengan pola pendidikan formaldan informal dengan program-program
harian pesantren. Pembinaan kader muballigh ini berusaha untuk memperkenalkan dan
melatih keberanian para santri untuk dapat berdakwah guna membangkitkan bakat-bakat
yang terpendam di dalam diri mereka sehingga dapat melahirkan kader-kader muballigh
baru di masa yang akan datang. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam
pencapaian tujuan tersebut, maka yayasan menerapkan unsur pembinaan kader muballigh
tersebut ke dalam program harian yang dilakukan oleh para santri di kesehariannya.
Bapak Haji Armat adalah salah satu pengajar di yayasan pondok pesantren ini. Dengan
se-gudang pengalaman dan wawasan yang dimiliki sebagai juru dakwah sejak tahun 1986
dirasa cukup untuk ikut serta dalam pelaksanaan pembinaan ini
Demikian pula dalam program pesantren terdapat pula pembinaan kader qori dan
qori’ah dengan tujuan untuk melatih dan mengembangkan kegiatan seni Islam sehingga
47 H. Ahmad Sholihan, Ketua Yayasan, Wawancara pribadi , (Aula Yayasan Pondok Pesantren Al- Asmaniyah), Minggu, 10 Februari 2008. 48 H. Armat, staff pengajar, Wawancara pribadi, (Kantor Yayasan Pondok Pesantren Al-Asmaniyah), Selasa, 04 Maret 2008.
terlahir kader-kader yang dapat men-sosialisasikan seni membaca al-qur’an kepada
masyarakat kelak. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam pencapaian tujuan
tersebut, maka yayasan pun menunjuk bapak Ustadz Haji Ade Fauzy sebagai salah satu
pengajar di yayasan pondok pesantren ini. Dengan kemampuan dan keahlian yang
dimilikinya, serta didukung pengalaman yang mumpuni di bidangnya tercatat beberapa
kegiatan hari besar Islam sebagi seorang pendakwah atau pun pelantun ayat suci al-
qur’an pernah beliau lakoni, ditambah dengan beberapa perlombaan tingkat kabupaten
dan provinsi pun pernah beliau alami, sehingga pihak yayasan pondok pesantren ini pun
merasa perlu mengangkat beliau sebagai salah satu pengajar di yayasan tersebut. Inilah
salah satu daya tarik dari pondok pesantren ini, karena kegiatan pembinaan kader qori
dan qori’ah melalui program seni baca al-qur’an termasuk ke dalam program harian
pondok pesantren Al-Asmaniyah ini.49
D. Sistem Pendidikan
Dalam hal sistem pendidikan yang digunakan oleh yayasan pondok pesantren Al-
Asmaniyah adalah sistem modern, yang diharapkan dari program-programnya dapat
memunculkan calon-calon muballigh yang handal dan kompeten, yang memiliki
pengetahuan luas, fisik sehat dan bugar, serta memiliki jiwa atau rohani dengan akhlakul
karimah yang kuat. Dengan menggunakan beberapa program pendidikan, yakni;
1. Program Pendidikan Pesantren
49 H. Ade Fauzy, pembina seni baca al-Qur’an, Wawancara pribadi, (AulaYayasan Pondok Pesantren Al- Asmaniyah), Senin, 07 April 2008.
Lembaga ini memiliki program Pendidikan Pesantren beberapa program tersebut
adalah program pengkajian kitab Islam klasik, muhadatsah, muhadarah, ubudiyah,
baca tulis al-Qur’an, dan seni baca al-Qur’an dengan berpedoman kepada kurikulum
Departemen Agama RI.
2. Pendidikan Formal
pendidikan umum Sekolah Menengah Pertama Islam (SMP-I) adapun masa belajar
berlangsung selama 3 (tiga) tahun dan mengikuti ujian di akhir tahun ketiga dengan
berpedoman pada kurikulum DIKNAS.
3. Pendidikan Non Formal
Untuk menunjang kegiatan formal dan memberikan tambahan ilmu kepada para
santrinya, yayasan Al-Asmaniyah ini pun mengadakan program ekstrakulikuler
beberapa program tersebut adalah kegiatan pramuka, kursus Bahasa Inggris, komputer
dan pelatihan seni Islam. Diharapkan dari masing-masing program tersebut dapat
memeberikan tambahan ilmu dan keterampilan yang dapat dimiliki oleh tiap-tiap
individu santri.
Bila dilihat dari sistem pendidikan yang digunakan oleh Pondok Pesantren Al-
Asmaniyah, dapat disimpulkan bahwa saat ini pondok pesantren tersebut dapat dikatakan
sebagai pondok pesantren Modern (khalaf) reguler. Pondok pesantren khalaf adalah
berusaha untuk menyatukan secara penuh sistem sekolah salafi dan sistem sekolah formal
seperti madrasah.50 Lembaga jenis ini memasukkan pelajaran umum dalam pendidikan
pesantren seperti tipe-tipe sekolah umum seperti SD-I (MI), SMP-I (MTs), SMA-I
(Madrasah Aliyah), dan Perguruan Tinggi.51
E. Struktur Pengurus dan Pengasuh
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Yayasan Pondok Pesantren Al-Asmaniyah
ini diusung oleh sebuah keluarga yang memiliki sepetak tanah seluas + 3000 meter
persegi tepat berada di sebuah perkampungan penduduk yang sangat membutuhkan
pendidikan. Mereka pun berinisiatif untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan
keagamaan bahkan didukung pula dengan pendidikan formal di dalamnya. Bila dilihat
secara umum dalam dunia pesantren, orang-orang yang memiliki kedudukan sebagai
pengurus dapat juga dikatakan memilik posisi sebagai pengasuh. Baik pengasuh santri
dalam hal pendidikan keagamaan, keuangan, hingga bagian konsumsi.
Di bawah ini adalah beberapa orang yang memiliki kedudukan sebagai pengurus
sekaligus pengasuh di Pondok Pesantren Al-Asmaniyah dan tidak lain masih memiliki
hubungan keluarga antara yang satu dengan yang lainnya. Setelah melakukan
musyawarah keluarga dalam hal penentuan posisi dalam yayasan, maka didapatlah
pembagian posisi tersebut, yaitu:
50 Wahyoetomo, Perguruan tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hal 82. 51 Wahyoetomo, Perguruan tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hal 89.
2. Penasehat : KH. Ahmad Syatiri
3. Ketua Yayasan : Bapak H. Achmad Solihan
4. Wakil Ketua Yayasan : Bapak H. Dede Fauzy
5. Sekretaris : Hj. Tuti Kholilah
6. Bendahara : Bapak H. Ahmad Ghozali
Beberapa pengurus sekaligus pengasuh inti pondok pesantren di atas, dalam
melaksanakan kegiatan belajar mengajar pun turut dibantu juga oleh beberapa orang guru
pembantu (tidak tetap). Beberapa orang guru pembantu (tidak tetap) tersebut lebih
diarahkan untuk melaksanakan tugas belajar mengajar dalam hal pendidikan umum yang
bersifat formal dan sesuai dengan ketentuan DIKNAS yang berlaku. Sehingga kegiatan
belajar mengajar pesantren pun berjalan seiring dengan pendidikan formal yang
dilakukan di bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Al-Asmaniyah tersebut.
F. Program Pondok Pesantren
Untuk mendukung berjalannya roda pendidikan yang dijalani oleh lembaga al-
Asmaniyah agar dapat lebih berkembang, dibutuhkan beberapa program. Program-
program tersebut diharapkan dapat mendorong kemajuan dan perkembangan yayasan
serta tidak keluar dari tujuan yang ingin dicapai oleh yayasan pondok pesantren tersebut,
yakni meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang berkualitas baik dari segi
keilmuan formal maupun nilai-nilai keagamaannya.
Ada beberapa program pendidikan yang dilaksanakan dan ingin dicapai oleh Yayasan
Pondok Pesantren al-Asmaniyah. Program-program tersebut dibagi menjadi tiga macam,
yakni; program jangka pendek, program jangka panjang dan program harian.
1. Program Jangka Pendek
Adapun yang menjadi program jangka pendek dari yayasan pondok pesantren ini
adalah tetap meneruskan pendidikan keagamaan dalam sistem salafi yakni tetap
dengan menggunakan kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning) sebagai media
pembelajaran. Selain itu juga berusaha untuk tetap bertahan untuk melaksanakan
program pendidikan formal Sekolah Menengah Pertama Islam (SMP-I). Dari
perpaduan inilah diharapkan agar para santri tidak merasa tertinggal dalam menjalani
program pendidikan baik ilmu agama maupun ilmu umum.
2. Program Jangka Panjang
Sedangkan mengenai program yang ingin dicapai secara jangka panjang oleh
pondok pesantren ini adalah berusaha untuk mengembangkan tingkat pendidikan
formal yang telah ada. Saat ini telah berdiri pendidikan formal se-tingkat SMP-I atau
dapat disebut juga madrasah tsanawiyah, Untuk pencapaian selanjutnya, yayasan
pondok pesantren ini bermaksud akan mendirikan pula pendidikan formal setingkat
SMA dalam bentuk madrasah aliyah dan pendidikan formal se-tingkat perguruan
tinggi.
beberapa program harian, seperti:
a. Program Pendidikan Pesantren
adalah:
Kitab kuning adalah buku tentang ilmu keislaman yang dipelajari di
pondok pesantren dan majelis taklim. Istilah kitab kuning sudah merata di
dunia pesantren.
Adapun beberapa kitab kuning yang dipelajari di pondok pesanten ini
yaitu:
a) Kitab Jurumiyah, Kitab ini dijadikan kitab dasar, karena kitab ini
mempelajari tentang tata bahasa ataupun nahwu yang dapat kegunaan
oleh santri untuk melatih dalam membaca kitab selanjutnya atau
berbicara dengan bahasa arab.
b) Kitab Safinah, kitab ini mempelajari tentang fiqih ibadah.
c) Kitab Fathul Qorib, kitab ini pun mempelajari tentang fiqih ibadah
yang membantu memperdalam kajian pengetahuan para santri dalam
menambah wawasan keagamaan mereka di samping terdapat pula
kitab safinah.
d) Ta’lim Muta’allim, kitab ini membahas tentang metode belajar dan
hubungan antara guru kepada murid. Kitab ini sangat berguna karena
dirasa dapat dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk untuk
megetahui tata cara ataupun metode untuk menyampaikan sesuatu
kepada orang lain.
pernah dirasakan oleh para ulama terdahulu menyangkut beberapa hal
tentang kehidupan.
menggunakan bahasa Arab. Metode inilah yang kemudian dalam dunia
pesantren “modern” dikenal dengan metode hiwar. Dalam aplikasinya,
metode ini diterapkan dengan mewajibkan para santri untuk berbicara, baik
dengan sesama santri maupun dengan para ustadz atau kyai, dengan
menggunakan bahasa Arab.
3) Program Muhadarah
oleh para santri dalam penggunaan bahasa saat berpidato.
Tata cara dalam melakukan kegiatan ini pun terbilang sangat mudah
diterapkan, yakni dengan mewajibkan bagi tiap-tiap individu santri untuk
dapat tampil dan maju ke depan lalu berbicara tentang suatu hal untuk
didengarkan oleh santri yang lain. dalam penyampaian materi tersebut lebih
difokuskan pada inti-inti materinya saja, dan untuk pelaksanaan praktek
tersebut setiap santri memiliki waktu kurang lebih tujuh menit.52
Kegiatan seperti ini bertujuan untuk menambah motivasi dan keberanian
para santri untuk berlatih dalam mengungkapkan sebuah hal dan berusaha
untuk didengar serta mengusahakan untuk mendapatkan perhatian dari para
pendengar tersebut.
Program ini merupakan sebuah program yang sangat berguna bagi para
santri karena dapat digunakan sebagai modal dasar mereka di masyarakat
kelak. Program ini mempelajari tentang metode ataupun cara-cara membaca,
dan menulis al-Quran.
5) Pelatihan Seni Baca Al-Qur’an
Pelatihan seni baca al-Qur’an ini diberikan sebagai tambahan ilmu untuk
mengembangkan keterampilan para santri dalam membaca al-Qur’an.
Pelatihan ini dimaksudkan sebagai penyokong kemampuan para santri saat
terjun dalam masyarakat kelak. Pola pengajaran yang diterapkan pun tidak
52 H. Armat, staff pengajar, Wawancara pribadi, (Kantor Yayasan Pondok Pesantren Al-Asmaniyah), Selasa, 04 Maret 2008.
berbeda dengan program BTQ, yakni pengajar memberikan materi yang
berkenaan dengan ilmu seni membaca al-Qur’an dan kemudian diikuti oleh
segenap santri secara jamaah maupun individu.
6) Ubudiyah
khususnya dari segi ilmu agama.
Program ubudiyah ini terdiri dari penjelasan teori (materi) dan praktikum
yang membahas tentang kehidupan umat beragama termasuk dalam kegiatan
ibadah. Dari kajian ini diharapkan para santri akan mendapatkan pembekalan
yang cukup dan lebih mendalam terhadap seluk beluk wawasan
keagamaannya. Lebih diharapkan lagi agar mereka dapat memahami dan
mengerti tentang proses menjalani kehidupan umat beragama.. Kegiatan ini
dimaksudkan agar para santri dapat mengerti tidak hanya sebatas teori
(materi) saja, melainkan diharapkan agar para santri dapat mengetahui
tentang tata cara pelaksanaannya sehingga mereka tidak canggung lagi bila
tampil di dalam kehidupan bermasyarakat kelak.
b. Program Pendidikan Formal
lembaga pendidikan se-tingkat Madrasah Tsanawiyah yakni Sekolah Menengah
Pertama Islam (SMP-I). Sehingga dengan adanya kegiatan belajar mengajar se-
tingkat SMP tersebut, yayasan ini kini telah mengadopsi sistem DIKNAS dan
melaksanakan beberapa mata pelajaran seperti di beberapa sekolah umum
lainnya. Beberapa di antaranya adalah matematika, ekonomi, dan Bahasa
Indonesia.
c. Kegiatan Ekstrakurikuler (Non-Formal)
Kegiatan ini dilakukan di luar jam pelajaran sekolah biasa, di sekolah atau di
luar sekolah, secara berkala atau hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Pada
umumnya kegiatan ekstrakulikuler ini mengandung unsur-unsur pembinaan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pembinaan terhadap kehidupan
bernegara dan berbangsa, pembinaan terhadap kepribadian, hingga pembinaan
terhadap apresiasi, seni dan potensi.53
Di bawah ini adalah beberapa kegiatan ekstrakulikuler yang terdapat di
Yayasan Pondok Pesntren Al-Asmaniyah:
kebutuhan mereka di masa yang akan datang. Dalam kegiatan keterampilan
ini, para santri hanya mendapatkan pengetahuan tentang dasar-dasar dalam
pengoperasian alat teknologi ini. Salah satu program yang diajarkan kepada
para santri adalah Ms. Word.
2). Kegiatan Pramuka 53 Buku Pedoman Pembinaan Kesiswaan Al-Asmaniyah, Yayasan Al-Asmaniyah, h. 83-84.
Kegiatan ini tidak lain untuk melatih kedisiplinan dan keterampilan para
santri yang diharapkan dapat berguna ketika mereka telah berada di tengah-
tengah masyarakat. Kegiatan ini sangat diperlukan dan dibutuhkan oleh
mereka, karena kegiatan ini dinilai dapat membentuk karakter dan kepribadian
para santri agar dapat bertahan dalam menghadapi cobaan-cobaan yang akan
menghadang mereka di kemudian hari.
3) Pelatihan Seni Islam
untuk melatih keterampilan santri dalam menguasai beberapa kesenian Islam.
Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari senin-kamis ba’da Ashar. Adapun
pelatihan kegiatan seni Islam yang dilakukan di yayasan ini seperti pelatihan
kesenian marawis, dan nasyid.
4). Kursus Bahasa Inggris
Pelatihan dalam berbahasa Inggris ini dilaksanakan setiap hari Sabtu bada
dzuhur. Kegiatan ini bermaksud untuk menambah wawasan dan pengetahuan
para santri serta menambah kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa
asing.
A. Profil Guru Pembimbing
dilaksanakan dalam program klasikal. Adapun sistem pembelajaran klasikal tersebut
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh Departemen Agama
Republik Indonesia dengan maksud untuk memberikan pembekalan dan pemahaman
ilmu agama kepada para santri didampingi oleh guru-guru yang –penulis rasa-
berkompeten di bidang agama.
Pembelajaran atau pembinaan spiritual dan peningkatan kemampuan (skill) dilakukan
oleh hanya empat orang figur tokoh pesantren yakni Bapak H. Armat Syarifuddin, Bapak
H. Ahmad Sholihan, bapak H. Ahmad Ghozali dan Bapak H. Ade Fauzy. Dengan
masing-masing tokoh memiliki kualitas individual dalam memenuhi kebutuhan
pembinaan yang mencukupi.
Adapun untuk mengetahui lebih jauh mengenai profil dari ketiga orang tersebut akan
dijelaskan berikut ini:
1. H. Achmad Sholihan
Pria kelahiran Tangerang 36 tahun silam tepatnya pada tanggal 9 September
1972 ini memiliki motto hidup agar jadilah manfaat bagi keluarga, Agama, dan
Bangsa. Beliau adalah salah satu tokoh penting dalam berdirinya Yayasan Pondok
Pesantren Al-Asmaniyah ini. Dibantu oleh seorang istri dan beberapa kaum kerabat,
beliau pimpin pergerakan yayasan pendidikan ini. Dengan kata lain, beliaulah yang
memiliki posisi sebagai ketua yayasan di antara anggota keluarga lainnya.54
Tidak pernah mengenyam pendidikan formal tidak membuat beliau berkecil hati.
Tidak ada yang tidak mungkin bila Allah swt menghendaki. Pergerakan dakwahnya
dimulai sejak ia melangkahkan kaki dan singgah di Pondok Pesantren Mursyidul
Fallah, Bogor pada tahun 1985-1995. Beliau untuk mendalami ilmu agama selama
10 tahun di pondok pesantren tersebut. Beliau mengisahkan selalu mengkaji dan
mendalami Islam melalui berbagai kitab-kitab kuning yang ia temukan. Setelah
merasa jenuh, akhirnya beliaupun hijrah untuk menambah wawasan agamanya.
Adalah Pondok Pesantren Raudhatul Tafsir menjadi tempat persinggahan
berikutnya. Pondok pesantren yang masih terletak di wilayah Bogor inilah beliau
menempa ilmu dan mengkaji ilmu tafsir. Dari tahun 1998-2000, beliau menggeluti
dan mengkaji ilmu tafsir di pondok pesantren ini.55
Tidak sampai di situ saja, masih merasa kurang dalam wawasan agamanya, maka
pada tahun 2001 pun beliau hijrah kembali ke sebuah pondok pesantren bernama
Darrul Ibtida di wilayah Tangerang. Hingga tahun 2002 beliau menetap di sana dan
mempelajari serta mndalami ilmu fiqih.56
Setelah merasa cukup, maka beliau pun kembali untuk tinggal bersama orang
tuanya di Kampung Dukuhpinang, Tangerang. Dan pada tahun 2003 atas dasar
pemikiran beliau dan kesepakatan hasil musyawarah keluarga, akhirnya berdirilah
54 H. Ahmad Sholihan, daftar riwayat hidup 55 H. Ahmad Sholihan, daftar riwayat hidup 56 H. Ahmad Sholihan, daftar riwayat hidup
sebuah Yayasan Pondok Pesantren bernama Al-Asmaniyah dengan beliau sendiri
sebagai ketua yayasan.57
Selain menjabat sebagai ketua yayasan, H. Achmad Sholihan tidak serta merta
meninggalkan kewajibannya sebagai muballigh. Berbagai ilmu agama yang beliau
miliki dari beberapa pesantren yang pernah ia singgahi pun ia ajarkan kepada para
santri. Dengan kata lain bahwa, H. Acmad Sholihan pun ikut serta dalam kegiatan
proses pendidikan di Yayasan Pondok Pesantren Al-Asmaniyah ini.
Program yang khusus ia lakoni adalah program kajian kitab kuning dan mulok.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa terdapat beberapa kitab
yang dibahas dalam pondok pesantren ini, yakni kitab Jurumiyah, kitab Safinah,
kitab Fathul Qorib, kitab Ta’lim Muta’allim, dan kitab Nashaihul Ibad.
Bila dilihat dari perjalanan hidupnya, dapat disimpulkan bahwa beliau benar-
benar buta akan ilmu-ilmu formal (umum) namun sangat kaya akan ilmu-ilmu
agama. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa kitab yang telah beliau
pelajari dan kuasai. Inilah yang dijadikan modal utama oleh beliau untuk
menyebarkan dan menyiarkan ilmu agama yang dimillikinya.
2. H. Armat Syarifuddin
Pemilik nama lengkap Armat Syarifuddin ini dalam kesehariannya sering
menggunakan nama panggilan Abi Hani, hal ini dikarenakan bahwa Pria kelahiran
Kampung Babakan, Desa Bencongan, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang ini
memiliki seorang anak perempuan bernama Hani. Bermula saat mengenyam
57 H. Ahmad Sholihan, Ketua Yayasan, Wawancara pribadi , (Aula Yayasan Pondok Pesantren Al- Asmaniyah), Minggu, 10 Februari 2008.
pendidikan Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1981-1986 ia pun sudah berangan-angan
ingin menjadi seseorang yang bergerak di bidang dakwah hingga selepas tamat dari
sekolah dasar, ia pun melanjutkan pendidikan di sekolah yang memiliki keislaman
yang cukup kental, As-syafi’iyah adalah lembaga pendidikan yang beliau singgahi
dari tahun 1986-1993 ia telah banyak menyerap berbagai ilmu agama yang kiranya
dapat digunakan olehnya sebagai modal berdakwah kelak. Tidak cukup puas dengan
ilmu yang didapatkannya di As-Syafi’iyah, pada tahun 1993 beliau pun lalu merapat
di Daarut Tafsir (Ciampea) guna mendalami ilmu keagamaannya.58
Selama 1 tahun ia menempa ilmu agama di Daarut Tafsir, kemudian ia pun
melanjutkan pendidikannya dan hijrah untuk kuliah di lembaga pendidikan La-
Royba (Parung Panjang) untuk mengenyam pendidikan tingkat D2, namun baru
beberapa tahun berjalan ia pun harus menyudahinya karena suatu hal dan akhirnya
jenjang pendidikan D2 tersebut terputus di tengah jalan. Sempat vacum dalam
menyerap pendidikan namun tidak menghentikan kegiatanya di bidang dakwah.
Kini beliau memiliki posisi sebagai Ketua Yayasan Lembaga Pendidikan Miftahul
Khaer diwilayah Sukabakti Kecamatan Curug, Tangerang sekaligus beliau
meneruskan pendidikannya kembali di STKIP Kusuma Negara guna mendapatkan
ijazah bergelar sarjana (S1) dan bergabung untuk mengajar di Yayasan Pondok
Pesantren Al-Asmaniyah, Dukuhpinang, Tangerang.59
Selama bergerak di bidang dakwah, beliau sudah mulai meniti karir tersebut
semenjak di pesantren dan belajar di madrasah tsanawiyah (di lembaga pendidikan
As-Syafi’iyah). Sering diajak oleh gurunya kala berdakwah dan mengisi kegiatan
58 H. Armat, daftar riwayat hidup 59 H. Armat, daftar riwayat hidup
peringatan hari-hari besar Islam di luar lingkungan pesantren menjadikannya
terbiasa dalam dunia dakwah.hingga kini beliau berposisi sebagai Ketua Yayasan
Lembaga Pendidikan Miftahul Khaer di wilayah Sukabakti Kecamatan Curug,
Tangerang, dan kegiatan dakwahnya pun tak akan pernah berhenti.60
Saat ini beliau pun masih tetap berdakwah walau hanya di wilayah Kecamatan
Curug khususnya dalam beberapa pengajian bapak-bapak maupun ibu-ibu. Beliau
pun pernah berdakwah hingga wilayah Malingping (Rangkas Bitung, Banten),
Sukabumi, bahkan sampai ke wilayah Tasikmalaya.
Bila melihat sejarah perjalanan beliau, sangatlah cocok dengan posisinya
sebagai salah satu pengajar dan pembina program pembinaan kader muballigh di
Yayasan Pondok Pesantren Al-Asmaniyah ini. Wawasan dan pengalaman beliau
sangatlah penting serta dapat mendukung keseharian dan tugas-tugasnya.
Kemapanan ilmu menjadikan dirinya berkompeten sebagai pembina program
muhadatsah dan muhadarah.
3. H. Ahmad Ghozali
Beliau lahir kurang lebih sekitar 45 tahun yang lalu di wilayah Bencongan,
Tangerang, Banten. Pria berdarah Sunda ini adalah salah satu tokoh pondok
pesantren al-Asmaniyah. Sebelum ikut mengajar di al-Asmaniyah, beliau pun
sempat mendalami berbagai ilmu agama beberapa tahun di pesantren Rumpak
Sinang, pakulonan Barat, Tangerang. Lalu setelah merasa cukup, beliaupun
melanjutkan pendidikannya di pondok pesantren Nurul Huda, Bogor selama 1 tahun
60 H. Armat, daftar riwayat hidup
untuk menguatkan pemahaman agamanya. Setelah selesai, beliaupun ikut
bergabung dan mengajar di pesantren al-Asmaniyah dalam program ubudiyah.
4. Ustadz Haji Ade Fauzy
Pemilik nama kecil Dede Mamad ini termasuk ke dalam salah satu pembina
yayasan Al-Asmaniyah yang memiliki segudang pengalaman di bidang dakwah
Islam. Pria kelahiran Tasikmalaya 36 tahun yang lalu tepatnya tanggal 07
September 1972 ini dirasa memiliki cukup kemapanan di bidang keilmuan, baik
agama maupun formal. Sejarah pendidikannya dimulai ketika beliau mendaftarkan
dirinya sebagai siswa di sebuah Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kertawana di wilayah
Tasikmalaya dan lulus pada tahun 1985.61
Kemudian pada tahun 1986, beliau mencoba mendaftarkan dirinya di Madrasah
Tsanawiyah Negeri (MTSN) Tasikmalaya hingga lulus pada tahun 1988. tidak
hanya itu, pada tahun 1986 pun beliau terdaftar sebagai santri di Pondok Pesantren
Al-Koeriyah, Cikatomas, Tasikmalaya.62
Setelah selesai, beliau menghentikan sejenak berguru di sekolah umum dan
hijrah menuju Pondok Pesantren Baitul Hikmah, Haurkuring, Tasikmalaya hingga
tahun 1995. Di tahun berikutnya H. Ade Fauzy memiliki keinginan untuk
mendalami seni dalam membaca al-Qur’an, sehingga iapun mendaftarkan diri
sebagai santri di Pondok Pesantren Al-Mubarok, Tasikmalaya hingga tahun 1997.63
Setelah merasa puas dengan kemampuan yang beliau miliki, di tahun yang sama
beliaupun mencoba untuk menambah pengetahuan ilmu agamanya dengan
61 H. Ade Fauzy, daftar riwayat hidup 62 H. Ade Fauzy, daftar riwayat hidup 63 H. Ade Fauzy, daftar riwayat hidup
merambah ke Pondok Pesantren Darussalam, Tasikmalaya untuk belajar dan
mendalami ilmu tafsir hingga tahun 1998. Lalu di tahun yang sama beliau
melanjutkan pendalaman ilmu agamanya di Pondok Pesantren Attawakal Salafi
hingga tahun 1999. dan akhirnya di tahun itu pula beliaupun berhijrah dari
Tasikmalaya menuju Tangerang untuk mencari peruntungannya.
Hingga akhirnya pada tahun 2000, beliau dapat melanjutkan sekolah umumnya
dengan mendaftarkan diri sebagai peserta program pemerintah paket C setara
Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga lulus dan menetap di Kabupaten
Tangerang, dan akhirnya di awal tahun 2007 beliaupun telah mendapatkan gelar
sarjana (S1).
Selama menetap di Tangerang, berbagai kegiatan dakwah dan sebagai qori pun
ia lakoni, dimulai dari pengajian majelis ta’lim, hingga peringatan hari besar Islam
pernah dijalaninya. Sederet pengalaman berorganisasi pun beliau raih. Dimulai
sebagai kepala seksi rohani dan da’wah pada tahun 2001, kepala seksi pendidikan
sebuah forum silaturahmi bernama (FSPP) di tahun 2002-2004, sebagai pengurus di
majelis ta’lim Al-Munir sejak tahun 2004 hingga 2006, dan juga dari tahun 2003
hingga kini beliau masih terikat sebagai pengurus, pembina, sekaligus pengajar di
Yayasan Al-Asmaniyah.64
yang sangat cukup untuk bergerak sebagai seorang muballigh professional maupun
sebagai pelantun seni baca al-Qur’an. Pengetahuan secara umum maupun agama
64 H. Ade Fauzy, daftar riwayat hidup
beliau miliki. Sehingga beliaupun mendapat peran sebagai pengajar program baca
tulis al-Qur’an (BTQ) dan program seni baca al-Qur’an.65
B. Pola Komunikasi Kyai dan Santri
1. Pelaksanaan Program Pesantren
Proses pembelajaran akan mencapai tingkat keberhasilan yang maksimal bila
didukung dengan hubungan komunikasi yang baik antara kyai dan santri. Pesantren
adalah lembaga pendidikan yang mayoritas memberikan kajian mengenai ilmu agama
secara mendalam. Begitu pula dengan pondok pesantren al-Asmaniyah mengemas
pendidikan dalam sistem pendidikan formal dan in-formal, dengan tujuan agar para
santri dapat mendalami berbagai ilmu agama dan ilmu umum. Dengan didukung oleh
tingkat spiritual yang tinggi, pengetahuan dan wawasan yang luas dan berakhlakul
karimah yang kuat.
adalah:
Pola pengajaran yang dilakukan dalam program pengkajian kitab kuning di
pondok pesantren ini adalah proses pemberian materi kepada para santri secara
keseluruhan secara bersama-sama mendengarkan ketika seorang ustadz atau kyai
membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas secara mendalam sebuah
65 H. Ade Fauzy, pembina seni baca al-Qur’an, Wawancara pribadi, (AulaYayasan Pondok Pesantren Al- Asmaniyah), Senin, 07 April 2008.
materi dalam kitab berbahasa arab tersebut. Setelah itu berlangsung, saatnya
berganti posisi dengan ustadz atau kyai mendengarkan para santri yang membaca
kitab yang telah dibahas oleh sang kyai. Dan setelah kedua kegiatan tersebut
berlangsung, saatnya kyai menyuruh para santri untuk menghafalkan tiap-tiap bait
kitab yang telah dibahas tadi untuk mendapatkan tingkat pemahaman yang
mencukupi.
menggunakan pola komunikasi kelompok kecil yang dilakukan adalah
menggunakan metode ceramah, kyai bertatap muka dengan sejumlah santri secara
langsung dan membahas bait demi bait yang tedapat dalam kitab tersebut.
Memang sangat cocok dengan pola seperti itu, karena santri memang
mengharapkan agar seorang ustadz memberikan pengetahuan ilmu agamanya
dengan kitab kuning sebagai kajiannya. Selain itu, kyai juga menggunakan pola
komunikasi instruksional dengan memberi perintah kepada para santri untuk
menghafal beberapa bait yang telah dibahas secara bersama-sama. Hal ini dapat
menambah keilmuan santri dalam segi wawasan dan pengetahuan ilmu agama
bagi diri mereka masing-masing.
menggunakan bahasa Arab. Program ini dapat melatih keterampilan dan
kemampuan para santri untuk berbicara dalam bahasa Arab sama halnya ketika
mereka berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Bila dilihat secara langsung,
pola komunikasi yang dilakukan oleh pengajar program ini adalah pola
komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok, dan komunikasi instruksional
yang bertujuan untuk menumbuhkan rasa percaya diri mereka untuk berani
mengungkapkan kata-kata dalam bahasa arab. Pola ini akan membiasakan para
santri untuk dapat berbicara dan berkomunikasi dengan bahasa arab.
Pelaksanaan dalam program muhadatsah yaitu dengan mengumpulkan para
santri di sebuah lapangan di pagi hari, mereka dipasangkan dengan seorang
temannya untuk melaksanakan percakapan yang sudah mereka pelajari
sebelumnya di rumah dalam bahasa Arab selama 15 menit. Setelah itu mereka
dibariskan membentuk sebuah lingkaran dengan pengajar berada di tengah-tengah
mereka, kemudian pengajar tersebut menunjuk salah seorang di antara para santri
bergantian untuk bercakap-cakap antara ustadz dan santri selama 15 menit pula.
Dan dalam waktu 15 menit setelahnya, ustadz memilih beberapa orang santri
untuk tampil di hadapan teman-temannya untuk melakukan percakapan dalam
bahasa Arab. Di sinilah pola instruksional memiliki peran agar mereka (santri)
memiliki keberanian dalam berucap dengan bahasa Arab untuk dirinya sendiri
atau dihadapan orang lain.
Muhadharah adalah suatu kegiatan latihan secara individual bagi para santri
yang intinya bertujuan untuk melatih keterampilan mereka dalam berpidato. Sama
halnya dengan program muhadatsah, program muhadarah ini menggunakan pola
komunikasi kelompok dengan kyai memberikan penjelasan materi di hadapan
sejumlah santri menyangkut ilmu agama. Setelah itu, pengajar menggunakan pola
komunikasi instruksional memerintahkan para santri untuk membuat sebuah
naskah pidato dengan tema yang tidak ditentukan oleh pengajar, melainkan para
santri dibebaskan untuk memilih tema sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya. Hal ini dimaksudkan agar mereka dibiasakan setiap minggunya
untuk tampil membahas sebuah tema di hadapan orang lain. Karena muhadarah
dilaksanakan secara terus menerus, maka sikap percaya diri dan keberanian
tersebut akan muncul dengan sendirinya karena selalu diasah setiap minggunya.
Dalam pelaksanaannya, para santri dikumpulkan dalam sebuah ruangan (bila
terjadi hujan) namun pada umumnya mereka dikumpulkan di sebuah tanah
lapang, dengan laki-laki perempuan berbaris rapi secara terpisah, dan didukung
oleh sebuah pengeras suara (speaker) untuk memperjelas sebuah materi yang
mereka bawakan. Pengajar akan menunjuk para santri secara acak untuk tampil di
hadapan para teman-temannya. Sedangkan pengajar tersebut akan memantau
perkembangan para santri dengan memberi penilaian di antara mereka.
Pengajar akan memberikan sebuah nilai khusus untuk untuk beberapa orang
yang dinilai memiliki kemampuan dalam bidang ini dan menampilkannya dalam
beberapa peringatan hari besar Islam di lingkungan pondok pesantren. Inilah
maksud dari adanya pembinaan mental dalam program tersebut, yakni melatih
keberanian para santri ketika tampil di hadapan orang banyak. Dan dikemudian
hari mereka pastinya sudah tidak merasa canggung lagi untuk tampil di hadapan
masyarakat dalam melaksanakan perannya sebagai penyebar pesan dakwah.
Namun tidak semua santri dapat melaksanakan program ini dengan baik,
karena masih terdapat para santri yang merasa malu untuk tampil di hadapan
teman-temannya.
d) Baca Tulis Al-Qur’an (BTQ)
Program ini sangat berguna bagi para santri karena dapat digunakan sebagai
modal dasar mereka di masyarakat kelak. Program ini mempelajari tentang
metode ataupun cara-cara membaca, dan menulis al-Quran. Kegiatan dilakukan di
dalam kelas dengan kyai memberikan ceramah dan santri mendengarkan. Bila
pembahasan telah selesai, maka sudah tentu sang kyai akan memberikan latihan-
latihan sesuai dengan materi yang telah dibahas tadi. Pola komunikasi yang
digunakan dalam pelaksanaan program ini adalah pola komunikasi kelompok
dengan kyai memberikan ceramah materi dan sejumlah santri mendengarkannya.
Dalam program inipun terdapat pola komunikasi instruksional, seperti
memberikan laihan-latihan kepada para santri sesuai dengan materi yang telah
dibahas. Pola pembinaan ini dilakukan dengan maksud agar para santri dapat
memahami ilmu secara mendalam baik melalui materi dan tugas atau bahkan
buku-buku pedoman yang diberikan oleh pengajar. Pola komunikasi yang
dilakukan dirasa cukup untuk menambah wawasan dan pengetahuan mereka.
Karena untuk mencari dan menambah pengetahuan yang tidak didapatkan oleh
mereka dari seorang guru, tidak menutup kemungkinan mereka akan mencari
sendiri melalui buku-buku pedoman lainnya. Dan ini akan menambah minat
mereka untuk mendalami sendiri kekurangan yang dimilikinya dalam hal
mambaca, dan menulis al-Qur’an.
e) Pelatihan Seni Baca Al-Qur’an
Pelatihan seni baca al-Qur’an ini adalah pengembangan keterampilan para
santri dalam membaca al-Qur’an. Pelatihan ini dimaksudkan sebagai penyokong
kemampuan para santri saat terjun dalam masyarakat kelak. Dalam pelaksanaan
program ini terdapat dua pola komunikasi yang digunakan, yaitu pola komunikasi
kelompok dan pola komunikasi instruksional. Pola komunikasi kelompok
dilaksanakan dengan kyai memberikan contoh bacaan dengan menggunakan salah
satu lagam dalam seni baca al-Qur’an dan kemudian sejumlah santri mengikuti
secara bersama-sama dan terus berulang berkali-kali. Adapula pola instruksional
dengan memberikan kesempatan kepada para santri untuk mencoba kemampuan
mereka dalam membaca ayat demi ayat yang baru dicontohkan oleh kyai-nya.
Kedua pola tersebut memiliki maksud dan tujuan yang berbeda. Pola komunikasi
kelompok dimaksudkan agar para santri dapat mengetahui dan memahami tentang
tata cara dalam melantunkan ayat suci al-Qur’an berdasarkan contoh dan ulasan
yang disampaikan oleh pengajar. Sedangkan pola komuikasi instruksional
dilakukan dengan maksud agar para santri tidak hanya paham dari sudut pandang
teori saja melainkan juga dari praktekikum tiap-tiap individu santri.
Pelatihan yang dilakukan sudah sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan
para santri dalam belajar seni baca al-Qur’an. Karena diharapkan mereka akan
mendapatkan wawasan dari segi teori dan tata caranya. Dan mereka akan
mendapatkan sebuah pemahaman dan pengalaman dalam melaksanakan kegiatan
seni baca al-Qur’an sehingga akan memunculkan keberanian untuk
mempraktekkannya secara individu di masyarakat.
Program ini dilaksanakan pada waktu ba’da solat dzuhur. Dan para santri
dikumpulkan dalam sebuah posisi duduk yang telah diatur sedemikian rupa
dengan posisi laki-laki dan perempuan terpisah. Dalam pelaksanaannya, para
santri diwajibkan mengikuti dan mendengarkan penjelasan dari ustadz yang
bertugas mengajar program ini.
Program ini dilaksanakan sebagai ilmu tambahan bagi para santri khususnya
dari segi ilmu agama. Dalam pelaksanaannya, ubudiyah adalah pemberian materi
dan praktikum ilmu fiqih. Adapun pola komunikasi yang dilakukan oleh pondok
pesantren dalam pelaksanaan program ubudiyah ini adalah pola komunikasi
kelompok berdasarkan panduan buku pedoman kyai bertatap muka dengan
sejumlah santri melalui metode ceramah, kyai berusaha memberikan penjelasan
atau ceramah kepada para santri tentang sebuah materi dan terdapat pula pola
instruksional dalam program ini yakni kyai memerintahkan para santri untuk
menghafal dan memeraktekkannya secara individual. Hal ini dimaksudkan agar
para santi dapat memahami secara mendalam dari segi materi maupun
pelaksanaannya. Dan pola tersebut sangat cocok untuk meningkatkan pemahaman
santri terhadap sebuah materi dalam hal fiqih tidak hanya dalam teori namun juga
dari segi penerapan atau pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun pelaksanaan dalam program mulok ini adalah mereka (santri)
dikumpulkan dalam sebuah ruangan. Program ini dibagi menjadi dua sesi waktu
pelaksanaan, untuk minggu ke-1 dan ke-2 adalah kyai akan memberikan
penjelasan secara gambalng mengenai materi fiqih tertentu. Sedangkan minggu
ke-3 adalah pelaksanaan hafalan bagi para santri secara individual atau lebih
dikenal dengan istilah setoran.
proses penyampaian ilmu dari kyai kepada santri-nya. Karena, metode penyampaian
turut menentukan keberhasilan suatu proses belajar mengajar dan tentunya didukung
pula dengan pola komunikasi yang baik pula.
Adapun beberapa metode yang dilakukan dalam pelaksanaan proses kegiatan
belajar mengajar di pesantren al-Asmaniyah ini adalah metode ceramah, diskusi, dan
praktek.
(rethorika), khutbah, mengajar, dan sebagainya. Kelebihan dari metode ini adalah
sifatnya yang fleksibel artinya mudah disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Maksudnya bila waktu mencukupi maka materi akan tersaji secara luas namun
bila memiliki keterbatasan waktu, maka kajian materi akan dipersingkat namun
tetap fokus pada inti pembelajaran.
Kelemahan dari metode ini adalah kurang efektifnya pemahaman para santri
terhadap materi secara mendalam dikarenakan metode tersebut bersifat satu arah.
b. Metode Hafalan
Metode ini mendorong para santri untuk dapat aktif dan bersungguh-sungguh
dalam memperhatikan dan menguasai materi yang diberikan sehingga diharapkan
para santri dapat lebih memahami persoalan yang dihadapinya. Metode ini
memerintahkan para santri untuk dapat menguasai materi tanpa harus melihat
buku pedoman.
Metode ini dilaksanakan untuk melatih dan memunculkan rasa percaya diri
dan keberanian para santri dalam menjalankan kegiatan yang diikuti oleh mereka.
Selain itu, metode ini berusaha untuk membiasakan para santri untuk senantiasa
mengasah kemampuannya dalam mengembangkan diri untuk lebih memahami
dalam penerapan berbagai ilmu yang telah didapatkannya.
d. Metode Membaca dan Menyimak
Metode membaca ini dilakukan oleh kyai pada saat ia menyampaikan materi
berdasarka pedoman yang ada. Kyai berposisi sebagai penyampai pesan dan santri
mendengarkan. Sedangkan metode menyimak ini dilakukan oleh kyai untuk
mengetahui tingkat pemahaman para santri saat mereka ditugaskan untuk
membaca secara individual.
Pola komunikasi yang dilakukan pondok pesantren al-Asmaniyah dalam pelaksanaan
proses belajar mengajar adalah:
1. Komunikasi Antar Pribadi
belajar mengajar. Ada saatnya para santri berkonsultasi secara langsung kepada para
pengajar ketika tidak mengerti dan merasa kesulitan dalam mengikuti beberapa
program tersebut. Komunikasi antar pribadi ini terjadi saat di dalam maupun di luar
jam belajar. Bentuk komunikasi ini dapat membantu kyai dalam meningkatkan
semangat belajar kepada para santri-nya.
2. Komunikasi Kelompok
Pola komunikasi kelompok kecil dalam proses belajar mengajar di pondok
pesantren ini dapat terjadi saat kyai menyampaikan materi kepada para santri di
dalam pelaksanaan sebuah program. Program-program pesantren ini mayoritas
dilakukan di dalam ruangan, dan massa yang berada di dalam ruangan tersebut dapat
dikatakan sebagai kelompok kecil.
Dalam proses komunikasi melalui pola komunikasi ini, para pengajar selalu
memperhatikan umpan balik dari santrinya. Penyampaian dengan komunikasi verbal
yang dilakukan oleh para pengajar diharapkan dapat memberikan hasil maksimal
dengan kualitas pemahaman para santri yang mencukupi. Keuntungan yang dapatkan
saat pengajar menggunakan pola komunikasi kelompok ini adalah para pengajar
dapat menguasai situasi dan mengetahui tanggapan para santri saat menerima materi-
materi yang telah diberikan.
Dengan banyaknya pemberian tugas-tugas latihan atau hafalan, maka saat itulah
para pengajar menggunakan pola komunikasi instruksional. Dengan tujuan untuk
mengetahui sejauh mana pemahaman para santri terhadap sebuah materi. Sehingga
para santri tidak hanya memahami materi dari segi teori saja melainkan juga
pelaksanaan-nya. Adapun beberapa macam instruksi yang diberikan oleh pengajar
kepada para santri, antara lain:
a. Santri diharuskan menghafal bait demi bait dalam program kajian kitab
kuning.
b. Santri diwajibkan untuk membaca dan mengikuti materi yang dijelaskan
oleh pengajar seperti dalam program kajian kitab kuning dan program seni
baca al-Qur’an.
c. Santri diharuskan dapat berbicara dalam bahasa Arab saat program
muhadatsah berlangsung.
d. Santri diharuskan untuk berani tampil secara individual dan berpidato saat
program muhadarah.
e. Secara umum santri diwajibkan untuk mengikuti setiap kegiatan proses
belajar mengajar sebagai perhitungan faktor penilaian selama aktif di
pesantren al-Asmaniyah.
BAB V
Berdasarkan uraian tentang kegiatan yang dilaksanakan di pondok pesantren al-
Asmaniyah, kampung Dukuhpinang, Tangerang, Banten dalam melaksanakan proses
belajar mengajar ilmu agama yakni dengan menggunakan pola-pola komunikasi dan
beberapa metode sebagai pendukung untuk mencapai hasil akhir yang maksimal,
akhirnya dari uraian tersebut dapat penulis simpulkan bahwa:
1) Pola komunikasi yang dilakukan dalam proses belajar mengajar di pondok
pesantren al-Asmaniyah secara umum menggunakan tiga macam pola yaitu
komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok, dan komunikasi
instruksional.
2) Sedangkan metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar di pondok
pesantren al-Asmaniyah ini menggunakan beberapa macam metode di
antaranya adalah metode ceramah, metode hafalan, dan metode latihan serta
metode membaca dan menyimak.
B. Saran-saran
1) Diharapkan untuk beberapa masa yang akan datang, terjadi perkembangan di
dalam tubuh yayasan pondok pesantren alAsmaniyah. Dengan melakukan
peningkatan kualitas guru pengajar dan perbaikan sarana prasarana yang dengan
baik, agar tercipta peningkatan kualitas dalam diri para santri.
2) Kapada lembaga-lembaga terkait baik dalam tingkat pemerintahan atau lembaga
pendidikan agama lainya, agar dapat membantu dan merangkul lembaga-lembaga
pendidikan agama lain yang merasa perlu bantuan secara materil maupun non-
materil. Sehingga tercipta pemerataan kualitas pendidikan di seluruh lembaga
pendidikan agama.
3) Kepada para peneliti yang bermaksud akan melakukan sebuah penelitian dengan
mengangkat pembahasan pola komunikasi, diharapkan dapat meneruskan
penelitian ini dengan membahas tentang efektifitas pola komunikasi di pesantren
ini ataupun lembaga-lembaga terkait lainnya.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
A.N., Firdaus, Pelangi dakwah, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
Al Hilali, Masdi, 38 Sifat Generasi Unggulan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999).
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rhineka
Cipta 1998).
Buku Pedoman Pembinaan Kesiswaan Al-Asmaniyah, Yayasan Al-Asmaniyah.
Daradjat, Zakiyah, ilmu jiwa agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), cet. Ke-15.
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai
pustaka, 1986).
Balai Pustaka 1998).
Pustaka, 1996).
(Yogyakarta: LKIS, 1999), cet. Ke-1.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1998), cet.ke-1.
pustaka, 1986).
(Yogyakarta: LK