Pola Demam Sebagai Alat Diagnostik
-
Upload
kevin-black -
Category
Documents
-
view
33 -
download
4
Transcript of Pola Demam Sebagai Alat Diagnostik
Pola Demam Sebagai Alat Diagnostik
Pola demam saja tidak dapat menjelaskan secara pasti etiologi yang mendasarinya
tetapi dapat membantu dalam menegakkan diagnostik. Beberapa pola demam dapat dimiliki
oleh satu penyakit tergantung dari fase penyakit, misalnya pada awal penyakit demam
typhoid, pola demam bisa berupa remiten dan selanjutnya bisa berupa kontinu. Namun tidak
selalu suatu penyakit mempunyai pola demam yang spesifik.
Dibawah ini adalah berbagai pola demam yang dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis.
1. Demam Kontinu
Demam dengan variasi diurnal di antara 1,0-1,5ºF (0,55-0,82ºC). Dalam kelompok
ini, demam meliputi penyakit pneumonia tipe lobar, infeksi kuman gram negatif,
ricketsia, demam typhoid, gangguan sistem saraf pusat, tularemia dan malaria
falciparum
2. Demam Intermiten
Demam dengan variasi diurnal >1ºC, suhu terendah mencapai suhu normal misal :
endokarditis bakterialis, malaria, bruselosis
3. Demam Remiten
Demam dengan variasi normal lebar >1ºC, tetapi suhu terendah tidak mencapai suhu
normal, ditemukan pada demam tifoid fase awal dan berbagai penyakit virus
4. Pola demam tersiana dan kuartana
Merupaka demam intermitten yang ditandai dengan periode demam yang diselang
dengan periode normal. Pada demam tersiana, demam terjadi pada hari ke-1 dan ke-3
(malaria oleh plasmodium vivax) sedangkan kuartana pada hari ke-1 dan ke-4 (malaria
oleh plasmodium malariae)
5. Demam saddleback / pelana (bifasik), penderita mengalami beberapa hari demam
tinggi disusul oleh penurunan suhu, lebih kurang satu hari, dan kemudian timbul
demam tinggi kembali. Tipe ini didapatkan pada beberapa penyakit seperti dengue,
yellow fever, Collorado tick fever, Rit valley fever, dan infeksi virus misalnya
influenza, poliomielitis dan koriomeningitis limfositik
6. Demam intermiten hepatik (demam Charcot), dengan episode demam yang sporadis,
terdapat penurunan temperatur yang jelas dan kekambuhan demam. Hal ni adalah pola
1
yang sering terjadi dan dapat dipercayai pada kolangitis, biasanya terkait dengan
kolelitiasis, ikterik, leukositosis dan adanya tanda-tanda toksik
7. Demam Pel-Ebstein
Ditandai oleh periode demam setiap minggu atau lebih lama dan periode afebril yang
sama durasinya disertai dengan berulangnya siklus. Keadaan ini terjadi pada penyakit
Hodgkin, bruselosis dari tipe brucella melitensis
8. Kebalikan dari pola demam diurnal (typhus intervesus), dengan kenaikan temperatur
tertinggi pada pagi hari bukan selama senja atau di awal malam. Kadang-kadang
ditemukan pada tuberkulosis milier, salmonelosis, abses hepatik dan endokarditis
bakterial
9. Reaksi Jarisch-Herxheimer, dengan peningkatan temperatur sangat tajam dan
eksaserbasi manifestasi klinis, terjadi beberapa jam sesudah pemberian terapi
penisislin pada sifilis primer atau sekunder, keadaan ini dapat pula terjadi pada
leptospirosis dan relapsing fever, juga sesudah terapi tetrasiklin atau kloramfenikol
pada bruselosis akut
10. Relapsing Fever
Seperti demam Pel-Ebstein namun serangan demam berlangsung setiap5-7 hari
11. Factitious fever atau self induced fever, mungkin merupakan manipulasi yang
disengaja untuk memberi kesan adanya demam
Kepustakaan
1. Poorwo Soedarmo, Sumarmo S. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis, Edisi
Kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010.
2