Pemodelan Pola Spasial Demam Berdarah Dengue di Kabupaten ...

18
2 1. Pendahuluan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sering menimbulkan letusan Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan angka kematian yang besar, hal ini menyebabkan DBD menjadi salah satu masalah kesehatan yang penting. Jenis nyamuk sumber penular (vektor) penyakit DBD adalah aedes aegypti, aedes albopictus, dan aedes scutellaris, namun hingga saat ini yang menjadi vektor utama penyebar DBD adalah aedes aegypti [1]. Peningkatan Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit DBD dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya kepadatan vektor. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa semakin tinggi angka kepadatan vektor maka semakin tinggi pula resiko penularan penyakit DBD [2]. Kepadatan vektor dapat diukur menggunakan parameter Angka Bebas Jentik (ABJ) dan House Index (HI). Incidence Rate (IR) digunakan untuk mengetahui gambaran frekuensi penyakit DBD. Dengan mengetahui gambaran frekuensi penyakit DBD dapat diketahui pula berapa besar masalah kesehatan yang sedang dihadapi [3]. WHO memperkirakan, setiap tahun sebanyak 500.000 pasien DBD membutuhkan perawatan rumah sakit, sebagian besar diantaranya adalah anak- anak. Penyakit ini berkembang di beberapa negara tropis dan sub tropis, mulai dari Afrika, Amerika, Mediterania dan Asia Tenggara [4]. Sebanyak 2,5 milyar penduduk dunia beresiko terserang DBD, 52% berada di wilayah Asia Tenggara [5]. Menurut peta wabah DBD di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada diurutan kedua terbesar setelah Thailand berdasarkan jumlah angka kesakitan (morbidity rate) dan kematian (mortality rate) selama kurun waktu 1985โ€“2004. WHO mencatat bahwa Indonesia merupakan negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara hingga tahun 2009 [6]. Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL) Departemen Kesehatan RI, tahun 2009 tercatat jumlah penderita DBD sebesar 154.855 orang dan 1.384 orang meninggal dunia [7]. Tahun 2010 terjadi penurunan dengan ditemukan kasus DBD sebesar 150.000 kasus, dimana sebanyak 1.317 orang meninggal dunia. Tahun 2005 di Jawa Tengah ditemukan 7.144 kasus DBD yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Jawa Tengah, termasuk Kabupaten Semarang dengan angka kematian 3,29%. Pada tahun 2008 di Kabupaten Semarang terjadi penurunan kasus setelah sebelumnya terjadi peningkatan selama tiga tahun berturut-turut [8]. Penyakit DBD yang cenderung meningkat dan meluas penyebarannya sejak tahun 1968 mengakibatkan turunnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Meningkatnya angka penderita DBD disebabkan oleh sulitnya pengendalian penyakit yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegypti [9]. Selama ini upaya pengendalian penyakit DBD dilakukan dengan pemberantasan vektor oleh Dinas Kesehatan beserta masyarakat setempat. Hal ini dilakukan karena belum ditemukan obat dan vaksin yang dapat mencegah penyakit DBD. Kurangnya sarana pendeteksian dini serangan DBD mengakibatkan kurangnya informasi yang dibutuhkan untuk pemberantasan vektor [10]. Berdasarkan kondisi tersebut, diperlukan penelitian dan pemodelan spasial persebaran penyakit DBD berdasarkan kepadatan vektor dan Incidence Rate (IR)

Transcript of Pemodelan Pola Spasial Demam Berdarah Dengue di Kabupaten ...

2

1. Pendahuluan

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sering menimbulkan letusan

Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan angka kematian yang besar, hal ini

menyebabkan DBD menjadi salah satu masalah kesehatan yang penting. Jenis

nyamuk sumber penular (vektor) penyakit DBD adalah aedes aegypti, aedes

albopictus, dan aedes scutellaris, namun hingga saat ini yang menjadi vektor

utama penyebar DBD adalah aedes aegypti [1]. Peningkatan Kejadian Luar Biasa

(KLB) penyakit DBD dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya kepadatan

vektor. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa semakin tinggi

angka kepadatan vektor maka semakin tinggi pula resiko penularan penyakit DBD

[2]. Kepadatan vektor dapat diukur menggunakan parameter Angka Bebas Jentik

(ABJ) dan House Index (HI). Incidence Rate (IR) digunakan untuk mengetahui

gambaran frekuensi penyakit DBD. Dengan mengetahui gambaran frekuensi

penyakit DBD dapat diketahui pula berapa besar masalah kesehatan yang sedang

dihadapi [3].

WHO memperkirakan, setiap tahun sebanyak 500.000 pasien DBD

membutuhkan perawatan rumah sakit, sebagian besar diantaranya adalah anak-

anak. Penyakit ini berkembang di beberapa negara tropis dan sub tropis, mulai

dari Afrika, Amerika, Mediterania dan Asia Tenggara [4]. Sebanyak 2,5 milyar

penduduk dunia beresiko terserang DBD, 52% berada di wilayah Asia Tenggara

[5]. Menurut peta wabah DBD di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada

diurutan kedua terbesar setelah Thailand berdasarkan jumlah angka kesakitan

(morbidity rate) dan kematian (mortality rate) selama kurun waktu 1985โ€“2004.

WHO mencatat bahwa Indonesia merupakan negara dengan kasus DBD tertinggi

di Asia Tenggara hingga tahun 2009 [6].

Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL) Departemen Kesehatan RI, tahun 2009

tercatat jumlah penderita DBD sebesar 154.855 orang dan 1.384 orang meninggal

dunia [7]. Tahun 2010 terjadi penurunan dengan ditemukan kasus DBD sebesar

150.000 kasus, dimana sebanyak 1.317 orang meninggal dunia. Tahun 2005 di

Jawa Tengah ditemukan 7.144 kasus DBD yang tersebar di seluruh

kabupaten/kota di Jawa Tengah, termasuk Kabupaten Semarang dengan angka

kematian 3,29%. Pada tahun 2008 di Kabupaten Semarang terjadi penurunan

kasus setelah sebelumnya terjadi peningkatan selama tiga tahun berturut-turut [8].

Penyakit DBD yang cenderung meningkat dan meluas penyebarannya

sejak tahun 1968 mengakibatkan turunnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

Meningkatnya angka penderita DBD disebabkan oleh sulitnya pengendalian

penyakit yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegypti [9]. Selama ini upaya

pengendalian penyakit DBD dilakukan dengan pemberantasan vektor oleh Dinas

Kesehatan beserta masyarakat setempat. Hal ini dilakukan karena belum

ditemukan obat dan vaksin yang dapat mencegah penyakit DBD. Kurangnya

sarana pendeteksian dini serangan DBD mengakibatkan kurangnya informasi

yang dibutuhkan untuk pemberantasan vektor [10].

Berdasarkan kondisi tersebut, diperlukan penelitian dan pemodelan spasial

persebaran penyakit DBD berdasarkan kepadatan vektor dan Incidence Rate (IR)

3

di Kabupaten Semarang. Penelitian ini menggunakan variabel Angka Bebas Jentik

(ABJ), House Index (HI) dan Incidence Rate (IR) periode tahun 2005โ€“2009, untuk

menentukan persebaran penyakit DBD. Metode yang digunakan adalah metode

Moranโ€™s I yang dibagi menjadi dua, yaitu global dan lokal [11].

Moranโ€™s I merupakan metode yang digunakan sebagai identifikasi

karakteristik pola spasial dalam tiga bentuk, yang meliputi pemusatan

(clustering), acak (random) atau terpisah (uniform). Metode Moransโ€™ I dibagi

menjadi dua, yaitu Moransโ€™ I global dan Moranโ€™s I lokal. Moransโ€™ I global adalah

analisis pola asosiasi spasial pada skala yang luas. Moranโ€™s I lokal atau Local

Indicator Spasial Association (LISA) adalah kuantifikasi autokorelasi spasial

dalam wilayah yang lebih kecil dibanding dengan Moransโ€™ I global [12].

2. Tinjauan Pustaka

Dalam Penelitian sebelumnya yang berjudul โ€œModel Spasial Klasifikasi Wilayah

Resiko Demam Berdarah Dengue (DBD) Menggunakan Fungsi Gi* Statistikโ€,

disebutkan fungsi Gi* digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antar wilayah

dan menghasilkan pengelompokan wilayah dengan hotspot sebagai penentu

tinginya keterkaitan antar wilayah. Metode Gi* memiliki nilai autokorelasi antara

+2 hingga -2. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian ini

menggunakan metode Moranโ€™s I untuk menunjukkan keterkaitan antar wilayah.

Metode Moranโ€™s I memiliki nilai autokorelasi antara +1 hingga -1 [13].

Penelitian yang pernah dilakukan oleh Arma Christina Naftali berjudul

โ€œPemodelan Pola Spasial Persebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue dengan

Fungsi Moranโ€™s Iโ€ memiliki kesamaan penghitungan dalam pencarian pola dan

ditampilkan dalam pemetaan. Pada penelitian sebelumnya Moranโ€™s I global

digunakan untuk menunjukkan pengelompokan (cluster) secara global dan LISA

digunakan untuk menunjukkan jenis korelasi tinggi atau rendah. Berdasarkan

penelitian tersebut, dapat disimpulkan pemodelan dengan perhitungan Moranโ€™s I

dapat digunakan untuk menggambarkan pola kejadian DBD yang terjadi di

lapangan [14]. Perbedaannya dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini

menggunakan tiga variabel yang terdiri dari Angka Bebas Jentik (ABJ), House

Index (HI) dan Incidence Rate (IR) untuk menggambarkan pola kejadian DBD

yang terjadi di lapangan.

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi oleh virus dengue

yang ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes, dengan ciri demam tinggi

mendadak disertai manifestasi pendarahan dan bertendensi menimbulkan renjatan

(shock) dan kematian. Terjadinya shock bergantung pada jenis tipe virus dengue

(dikenal dengan serotipe), yakni Dengue 1, Dengue 2, Dengue 3 dan Dengue 4.

Selain itu tingkat kekebalan tubuh ikut mempengaruhi terjadinya shock atau tidak

pada tubuh penderita. Infeksi virus dengue memperlihatkan gejala klinis penyakit

yang bervariasi dari derajat ringan sampai derajat berat. Infeksi dengue yang

paling ringan hampir tidak menimbulkan gejala atau demam tanpa manifestasi

klinis yang jelas. Infeksi dengue yang ringan akan sembuh dengan sendirinya

tanpa pengobatan [15]. Penyakit DBD memiliki beberapa gejala klinis, yaitu : (1)

Demam tinggi yang mendadak selama 2 - 7 hari (38oC - 40

oC), (2) Adanya bintik-

4

bintik perdarahan pada tubuh penderita, (3) Terjadi perdarahan di kelopak mata

bagian dalam (konjungtiva), mimisan (epitaksis), buang air besar dengan

kotoran (feses) berupa lendir tercampur darah (melena), (4) Tekanan darah

menurun hingga menyebabkan shock, (5) Terjadi pembesaran hati (hepatomegali)

[16].

Kepadatan Vektor digunakan untuk monitoring kepadatan populasi aedes

aegypti. Hal ini sangat penting untuk memantau ancaman DBD di setiap

kabupaten/kota, sehingga pemberantasan nyamuk sebagai vektor utama DBD

dapat ditingkatkan. Hal ini dilakukan dengan cara pemantauan vektor DBD yang

mencakup survei nyamuk dewasa dan survei jentik. Survei nyamuk dewasa

digunakan untuk mengetahui densitas vektor dengan melihat indeks nyamuk

dewasa. Survei jentik digunakan untuk melihat ada atau tidak jentik di setiap

genangan air tanpa mengambil jentik. Ukuran yang digunakan untuk mengetahui

kepadatan jentik yaitu: (1) Angka Bebas Jentik (ABJ), (2) House Index (HI), (3)

Container Index (CI), (4) Breteau Index (BI) [17]. Kepadatan vektor yang menjadi

acuan dalam pembuatan pemodelan spasial penyebaran DBD ini adalah survei

jentik dengan ukuran ABJ dan HI. Hal ini disebabkan karena ABJ dan HI

dianggap dapat mewakili kepadatan vektor di suatu wilayah. Angka Bebas Jentik

(ABJ) merupakan rumah atau tempat-tempat umum yang tidak ditemukan jentik

pada pemeriksaan jentik [18]. Keberadaan jentik suatu wilayah dapat diketahui

dengan indikator ABJ atau Larva Free Index. Angka Bebas Jentik (ABJ) memiliki

indikator nasional sebesar 95% [19]. ABJ yang rendah pada suatu wilayah

memungkinkan semakin banyak peluang untuk proses transmisi virus. Angka

Bebas Jentik dapat didefinisikan dengan persamaan 1 [20]:

Angka Bebas Jentik ABJ =Jumlah Rumah Tanpa Jentik

Jumlah Rumah Periksaร— 100% (1)

House Index (HI) merupakan rumah atau tempat-tempat umum

ditemukannya jentik pada pemeriksaan jentik. ABJ dan HI menggambarkan

luasnya penyebaran nyamuk di suatu wilayah. Berbanding terbalik dengan ABJ,

House Index (HI) yang rendah dalam suatu wilayah memungkinkan sedikitnya

peluang proses transmisi virus. HI memiliki indikator nasional sebesar 5%. HI

dapat didefinisikan dengan persamaan 2 [21]:

๐ป๐‘œ๐‘ข๐‘ ๐‘’ ๐ผ๐‘›๐‘‘๐‘’๐‘ฅ ๐ป๐ผ =Jumlah Rumah Ditemukan Jentik

Jumlah rumah Periksa ร— 100% (2)

Incidence Rate (IR) adalah jumlah penderita baru suatu penyakit yang ditemukan

dalam jangka waktu tertentu (umumnya satu tahun) dibandingkan dengan jumlah

penduduk yang mungkin terkena penyakit tersebut pada pertengahan jangka

waktu yang bersangkutan. Incidence Rate (IR) dapat didefinisikan dengan

persamaan 3 :

๐ผ๐‘›๐‘๐‘–๐‘‘๐‘’๐‘›๐‘๐‘’ ๐‘…๐‘Ž๐‘ก๐‘’ ๐ผ๐‘… =Jumlah Penderita Baru

Jumlah Penduduk yang Mungkin Terkena ร— K (3)

5

Dimana :

K : Konstanta (100%, 1000% atau 1000 penduduk)

IR mempunyai beberapa manfaat dalam epidemologi, antara lain: (1)

Mengetahui masalah kesehatan yang dihadapi, (2) Mengetahui resiko atau

dampak dari masalah kesehatan yang dihadapi dan (3) Mengetahui beban tugas

yang harus diselenggarakan oleh suatu fasilitas pelayanan kesehatan [22].

Autokorelasi Spasial adalah korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri

berdasarkan ruang atau dapat diartikan suatu ukuran kemiripan dari objek di

dalam suatu ruang (jarak, waktu dan wilayah) [23]. Jika terdapat pola sistematik

di dalam penyebaran sebuah variabel, maka terdapat autokorelasi spasial.

Autokorelasi spasial menunjukkan bahwa nilai atribut pada daerah tertentu terkait

dengan nilai atribut pada daerah lain yang letaknya berdekatan (bertetangga).

Gambar 1 merupakan gambaran pola autokorelasi spasial.

Gambar 1 Contoh Pola Autokorelasi Spasial

Gambar 1 menunjukkan autokorelasi spasial dikatakan bernilai positif,

apabila daerah di dekatnya atau tetangga memiliki kesamaan. Bernilai negatif,

apabila menggambarkan pola dimana daerah tetangga tidak seperti atau berbeda

pada pengelompokan wilayah. Jika pola yang terbentuk adalah acak (random),

maka tidak menunjukkan autokorelasi spasial. Autokorelasi spasial berasal dari

prinsip terbentuknya poligon, garis dan titik pada dua dimensi spasial. Setiap satu

set sel (kumpulan titik-titik) yang bersebelahan atau berdekatan memiliki dua

dimensi spasial, sedangkan setiap satu sel memiliki nilai titik koordinat (x,y) yang

membentuk satu sel untuk satu piksel (kumpulan sel). Prinsip kedekatan dan jarak

ketetanggaan dihitung melalui titik-titik koordinat yang dimiliki oleh satu piksel.

Pola poligon, garis dan titik yang terbentuk dari satu set sel yang berdekatan akan

membentuk pola autokorelasi spasial.

Moranโ€™s I merupakan salah satu indikator tertua autokorelasi spasial [24].

Moranโ€™s I pada awalnya merupakan metode untuk menentukan korelasi nonโ€“

spasial, kemudian dikembangkan dalam kontek spasial. Moranโ€™s I digunakan

untuk menentukan tingkat kesamaan atau kemiripan nilai atribut suatu variabel

tertentu. Prinsip kerja dari metode ini adalah membandingkan nilai variabel

tertentu pada setiap lokasi dengan nilai pada semua lokasi lain [25]. Metode

Moranโ€™s I dapat digunakan untuk menentukan pola spasial global dan pola spasial

lokal. Pola spasial global dapat didefinisikan sebagai Global Moranโ€™s I dengan

persamaan 4 :

๐ผ =๐‘›

๐‘ค ๐‘–๐‘—๐‘—๐‘–

๐‘ค ๐‘–๐‘— ๐‘ฅ๐‘–โˆ’๐‘ฅ ๐‘ฅ๐‘—โˆ’๐‘ฅ ๐‘—๐‘–

๐‘ฅ๐‘–โˆ’๐‘ฅ 2๐‘–

(4)

6

Dimana :

n :Jumlah kasus atau jumlah wilayah studi yang diidentifikasi

๐‘ค๐‘–๐‘— : Berat spasial matrik atau elemen spatial weight matrix

๐‘ฅ๐‘– : Nilai unit analisis i

๐‘ฅ๐‘— : Nilai unit analisis tetangga

๐‘ฅ : Nilai rata-rata ๐‘ฅ

Pembobot ๐‘ค๐‘–๐‘— yang merupakan berat spasial matrik mempunyai aturan

bernilai 1 apabila letak antara lokasi i dan lokasi j saling berdekatan, sedangkan

bernilai 0 apabila letak antara lokasi i dan lokasi j saling berjauhan. Pembobot ๐‘ค๐‘–๐‘—

dapat ditampilkan dalam matrik kedekatan (contiguity matrics) yang sesuai

dengan hubungan spasial antar lokasi yang menggambarkan hubungan antar

daerah. Nilai koefisien Moranโ€™s I berkisar antara -1 dan +1. Autokorelasi akan

bernilai negatif (tidak memiliki korelasi) ketika bernilai antara 0 dan -1,

sedangkan autokorelasi akan bernilai positif (memiliki korelasi) ketika bernilai

antara 0 dan +1. Nilai Moranโ€™s I yang negatif dan positif memiliki asosiasi secara

spasial dengan wilayah sekelilingnya. Visualisasi besarnya asosiasi data dalam

keruangan dilakukan menggunakan Moran Scatterplot. Visualisasi ini bertujuan

untuk menyediakan analisis perilaku variabilitas data dalam keruangan. Cara kerja

Moran Scatterplot adalah dengan membandingkan nilai atribut dalam wilayah

studi dengan nilai rerata atribut sekeliling wilayah studi dalam bentuk grafik dua

dimensi yang dibagi menjadi empat kuadran. Contoh Moran Scatterplot disajikan

pada Gambar 2.

Gambar 2 Moran Scatterplot

Gambar 2 menunjukkan Moranโ€™s Scatterplot dibagi menjadi empat bagian

yang disebut dengan kuadran. Wilayah studi dikatakan memiliki kesamaan nilai

atribut dengan nilai rerata wilayah sekitarnya dan memiliki nilai autokorelasi

spasial positif ketika data berada pada kuadran I dan kuadran III. Data yang

berada pada kuadran I mempunyai arti bahwa nilai atribut pada wilayah studi dan

rerata nilai atribut sekeliling wilayah studi positif (High High). Data yang berada

pada kuadran III mempunyai arti bahwa nilai atribut pada wilayah studi dan rerata

nilai atribut sekeliling wilayah studi negatif (Low Low). Wilayah studi dikatakan

tidak memiliki kesamaan nilai atribut dengan nilai rerata wilayah sekitarnya dan

memiliki nilai autokorelasi spasial negatif ketika data berada pada kuadran II dan

kuadran IV. Data yang berada pada kuadran II mempunyai arti bahwa nilai atribut

7

wilayah studi negatif dan rerata nilai atribut sekeliling wilayah studi positif (Low

High). Data yang berada pada kuadran IV mempunyai arti nilai atribut wilayah

studi positif dan rerata nilai atribut sekeliling wilayah studi negatif (Low High).

Pola spasial lokal dapat didefinisikan sebagai Local Moranโ€™s I atau Local

Indicator Spasial Association (LISA). LISA dapat didefinisikan dengan

persamaan 5 :

๐ผ๐‘– = ๐‘ฅ๐‘–โˆ’๐‘ฅ

๐‘ฅ๐‘–โˆ’๐‘ฅ 2

๐‘–๐‘›

๐‘ค๐‘–๐‘—๐‘— ๐‘ฅ๐‘— โˆ’ ๐‘ฅ (5)

Dimana :

๐‘ฅ๐‘– : Nilai unit analisis i

๐‘ฅ : Nilai rata-rata variabel i

๐‘ฅ๐‘— : Nilai unit analisis tetangga

n :Jumlah kasus atau jumlah wilayah studi yang diidentifikasi

๐‘ค๐‘–๐‘— : Berat spasial matrik atau elemen spatial weight matrix

Autokorelasi spasial lokal dapat ditentukan dengan analisis Moran

Scatterplot dan Local Indicator Spasial Association (LISA). LISA

divisualisasikan menggunakan peta yang digunakan untuk menunjukkan lokasi

daerah studi yang signifikan statistik terjadinya pengelompokan nilai atribut

(cluster) atau terjadinya pencilan (outlier). Pola spasial menunjukkan signifikan

lokal cluster ketika data berkarakteristik High High (HH) atau Low Low (LL),

sedangkan pola spasial menunjukkan signifikan lokal outlier ketika data

berkarakteristik High Low (HL) atau Low High (LH). Jumlah LISA untuk setiap

wilayah studi sebanding atau sama dengan Moranโ€™s I global.

3. Metode Penelitian

Tahapan penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu :

1. Tahap penyusunan data awal

2. Desain dan arsitektural pemodelan

3. Pemodelan dan visualisasi

Tahap penelitian ini digambarkan menjadi bagan yang disajikan pada

Gambar 3.

Gambar 3 Tahap Penelitian

8

Berdasarkan Gambar 3, tahap penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut,

tahap penyusunan data bertujuan untuk menentukan data, lokasi dan studi pustaka

yang digunakan dalam proses penelitian. Tahap penyusunan data awal terdiri dari:

(1) Pengumpulan data dengan melakukan survei di Dinas Kesehatan Kabupaten

Semarang, (2) Pengumpulan data dengan melakukan survei di Badan Pusat

Statistik Kabupaten Semarang. Data dan variabel yang digunakan dalam

penelitian meliputi : (1) Data ABJ dan HI sebagai ukuran kepadatan vektor tingkat

kecamatan di Kabupaten Semarang periode tahun 2005โ€“2009, (2) Data IR tingkat

kecamatan di Kabupaten Semarang dan (3) Data spasial Kabupaten Semarang

dalam bentuk peta disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta Kabupaten Semarang

Tahap desain dan arsitektural pemodelan terdiri dari proses input data,

pemodelan spasial ABJ, HI dan IR menggunakan metode Moranโ€™s I. Sumber data

model secara umum dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu (1) Informasi data

ABJ, HI dan IR tingkat kecamatan Kabupaten Semarang dan (2) Data spasial

dalam bentuk peta vektor dengan format shapes files. Pemrosesan data

menggunakan tool R dari http://cran-r.project menggunakan package class, e1071,

classInt, spdep, maptools, RcolorBrewer,

foreign.

Gambar 5 . Desain Arsitektural Model

Gambar 5 menunjukkan desain arsitektural model yang dijelaskan sebagai

berikut. Pada bagian Data Layer, terdiri dari data ABJ, HI dan IR tingkat

kecamatan di Kabupaten Semarang periode tahun 2005โ€“2009 dan data spasial

wilayah Kabupaten Semarang yang terdiri dari 19 kecamatan. Data tersebut

9

merupakan data masukan pada proses Application Layer. Pada bagian Application

Layer, dilakukan proses pemodelan ABJ, HI dan IR menggunakan metode

Moranโ€™s I dengan pemrosesan data menggunakan tool R untuk menggambarkan

pola kejadian variabel yang kemudian divisualisasikan pada Vizuallization Layer.

Pada bagian Vizualization Layer hasil pemodelan divisualisasikan dalam bentuk

Moran Scatterplot dan peta LISA. Hasil visualisasi ini dianalisis untuk

menentukan persebaran penyakit DBD tingkat kecamatan di Kabupaten

Semarang.

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Jumlah kasus DBD di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Selama ini telah dilakukan pengendalian penyakit dengan memberantas nyamuk

yang merupakan vektor utama penular penyakit DBD. Sulitnya pengendalian

penyakit DBD disebabkan oleh kurangnya informasi yang dibutuhkan untuk

pemberantasan vektor, sehingga dibutuhkan sarana pendeteksian dini guna

meningkatkan pengendalian penyakit DBD. Informasi keruangan atau wilayah

sangat diperlukan dalam penyampaian fenomena yang akan disampaikan, dalam

hal ini persebaran penyakit DBD dilihat dari pola spasial ABJ, HI dan IR. Metode

Moranโ€™s I merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui

pola spasial dan hubungan keruangan antar wilayah dengan keluaran (output)

diagram pancang Moran Scatterplot dan peta LISA.

Hubungan antara variabel ABJ, HI dan IR dengan pemodelan spasial

persebaran DBD disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Hubungan Variabel dengan Persebaran DBD

Berdasarkan Gambar 6, hubungan variabel ABJ, HI dan IR dapat

dijelaskan sebagai berikut, variabel ABJ dan HI yang merupakan ukuran

kepadatan vektor dipilih sebagai indikator pemodelan spasial persebaran DBD

karena kepadatan vektor dapat digunakan untuk memantau persebaran DBD. Jika

semakin tinggi angka kepadatan vektor, maka semakin tinggi pula resiko

persebaran DBD. IR digunakan sebagai salah satu variabel pemodelan spasial

persebaran DBD karena IR dapat mewakili gambaran frekuensi persebaran

penyakit DBD. Dengan mengetahui gambaran frekuensi persebaran penyakit

DBD diharapkan Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang mengetahui tindakan

yang harus dilakukan sebagai pencegahan. Pada penelitian ini Moran Scatterplot

digunakan untuk analisis perilaku variabilitas data dalam keruangan, sedangkan

peta LISA digunakan untuk menunjukkan lokasi daerah studi yang signifikan

statistik terjadinya pengelompokan nilai atribut (cluster) atau terjadinya pencilan

10

(outlier). Hasil yang disajikan dalam Moran Scatterplot dapat dilihat persebaranya

melalui peta LISA.

Tujuan penggunaan metode analisis Moranโ€™s I global dalam penelitian

adalah untuk menentukan derajad keterhubungan variabel persebaran DBD pada

suatu kecamatan dengan kecamatan lain yang ada di sekelilingnya. Data awal

yang dihitung pada penelitian ini adalah data ABJ tingkat kecamatan Kabupaten

Semarang yang terdiri dari 19 kecamatan periode tahun 2005-2009. Hasil

perhitungan Moranโ€™s I global divisualisasikan secara grafis menggunakan Moran

Scatterplot, berikut ini adalah Moran Scatterplot tahun 2005-2007 yang disajikan

pada Gambar 7.

Gambar 7 Moran Scatterplot ABJ Tahun 2005-2009

Gambar 7 menunjukkan diagram Moran Scatterplot tahun 2005, diketahui

bahwa Kecamatan Ambarawa masuk pada kuadran II yang menunjukkan wilayah

bernilai ABJ rendah dikelilingi wilayah bernilai ABJ tinggi. Kecamatan

Banyubiru pada kuadran III yang menunjukkan wilayah yang bernilai ABJ rendah

dikelilingi wilayah bernilai ABJ rendah, sedangkan Kecamatan Kaliwungu berada

pada kuadran IV yang menunjukkan wilayah bernilai ABJ tinggi dikelilingi

wilayah bernilai ABJ rendah. Tahun 2006, Kecamatan Tuntang masuk pada

kuadran II, dimana pada tahun sebelumnya ditempati oleh Ambarawa, Kecamatan

Getasan masuk pada kuadran II dan Kecamatan Kaliwungu tetap pada kuadran

VI. Tahun 2007, Kecamatan Bringin masuk pada kuadran I yang menunjukkan

wilayah bernilai ABJ tinggi dikelilingi wilayah bernilai ABJ tinggi, sedangkan

Kecamatan Tuntang dan Banyubiru masuk pada kuadran II dan Kecamatan

Kaliwungu pada kuadran III. Pada tahun 2008 dan 2009, Kecamatan Tuntang

yang sebelumnya masuk pada kuadran II berpindah menjadi kuadran I, sedangkan

Kecamatan Bawen masuk pada kuadran II dan Kecamatan Kaliwungu tetap

masuk pada kuadran III.

Tahap selanjutnya adalah melakukan analisis Moranโ€™s I lokal dengan

menggunakan peta LISA. Peta LISA digunakan untuk mengetahui wilayah yang

mengalami pola spasial pemusatan (cluster) atau pencilan (outlier). Gambar peta

LISA persebaran ABJ pada tahun 2005โ€“2007 disajikan pada Gambar 8.

11

Gambar 8 Peta LISA ABJ 2005-2007

Gambar 8 menunjukkan bahwa tahun 2005 Kecamatan Ambarawa

memiliki karakteristik Low High (LH) dan Kecamatan Kaliwungu memiliki

karakteristik High Low (HL) yang merupakan asosiasi spasial negatif. Hal ini

merupakan identifikasi terjadinya pencilan (outlier). Pada tahun 2006 muncul

wilayah pencilan baru, yaitu Kecamatan Tuntang yang berkarakteristik Low High

(LH) dan Kecamatan Kaliwungu yang memiliki karakteristik High Low (HL).

Tahun 2007 terjadi perluasan wilayah persebaran dengan munculnya wilayah

yang semula tidak signifikan terjadinya pencilan menjadi wilayah dengan

karakteristik Low High (LH) pada Kecamatan Banyubiru, selain itu Kecamatan

Tuntang tetap berkarakteristik Low High (LH). Pada tahun 2007 terjadi pemusatan

(cluster) dengan munculnya wilayah dengan karakteristik High High (HH), yaitu

Kecamatan Bringin. Pada tahun 2008 dan 2009 terjadi perubahan pola statistik

pada Kecamatan Tuntang yang semula berkarakteristik Low High (LH) menjadi

berkarakteristik High High (HH) dan muncul pencilan (outlier) baru pada

Kecamatan Bawen yang berkarakteristik Low High (LH).

Data kedua yang diolah pada penelitian ini adalah data HI. Data HI diolah

dengan Moranโ€™s I global yang divisualisasikan seperti pada data ABJ. Visualisasi

Moran Scatterplot data HI pada tahun 2005-2007 disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Moran Scatterplot HI Tahun 2005-2007

Berdasarkan Moran Scatterpllot pada Gambar 9, tahun 2005 diketahui

bahwa Kecamatan Ambarawa masuk pada kuadran I. Tahun 2006, kuadran I yang

sebelumnya ditempati oleh Kecamatan Ambarawa berpindah menjadi Kecamatan

12

Tuntang dan Getasan, sedangkan Kecamatan Banyubiru masuk pada kuadran II.

Pada tahun 2007, Kecamatan Tuntang yang sebelumnya masuk pada kuadran I

berpindah menjadi kuadran IV dengan Kecamatan Ungaran Barat dan Bandungan

yang menunjukkan wilayah bernilai HI tinggi dikelilingi wilayah bernilai HI

rendah. Tahun 2008, Kecamatan Ungaran Barat tetap masuk pada kuadran IV

dengan Kecamatan Suruh, sedangkan pada tahun 2009 Kecamatan Bergas masuk

pada kuadran II dan Ungaran Timur masuk pada kuadran IV.

Tahap selanjutnya adalah analisis Moranโ€™s I lokal menggunakan peta

LISA yang disajikan pada Gambar 10. Jumlah LISA sebanding dengan Moranโ€™s I

global, hal ini dapat dibuktikan dengan peta LISA yang terbentuk.

Gambar 10 Peta LISA HI Tahun 2005 โ€“ 2007

Gambar 10 menunjukkan bahwa tahun 2005 Kecamatan Ambarawa

memiliki karakteristik High High (HH) yang merupakan asosiasi spasial positif

dan identifikasi terjadinya pemusatan (cluster). Tahun 2006 terjadi perluasan

wilayah persebaran dengan muncul wilayah pemusatan (cluster) baru secara tiba-

tiba, yaitu Kecamatan Tuntang dan Getasan yang berkarakteristik High High

(HH), selain itu muncul pencilan (outlier) baru pada Kecamatan Banyubiru yang

memiliki karakteristik Low High (LH). Tahun 2007, Kecamatan Tuntang yang

sebelumnya berkarakteristik High High (HH) berubah menjadi High Low (HL)

dan wilayah yang semula tidak signifikan terjadi persebaran berubah menjadi

wilayah dengan karakteristik High Low, yaitu Kecamatan Ungaran Barat dan

Bandungan. Pada tahun 2008 Kecamatan Ungaran Barat tetap berkarakteristik

High Low (HL) dan muncul wilayah baru dengan karakteristik High Low (HL),

yaitu Kecamatan Suruh. Tahun 2009 muncul daerah persebaran baru, yaitu

Kecamatan Bergas yang berkarakteristik Low High (LH) dan Kecamatan Ungaran

Timur yang berkarakteristik High Low (HL).

Data ketiga yang akan diolah pada penelitian ini adalah data IR yang

merupakan data gambaran frekuensi penderita DBD di Kebupaten Semarang.

Analisis Moranโ€™s I global tahun 2005-2007 divisualisasikan dengan Moran

Scatterplot sebagaimana disajikan pada Gambar 11.

13

Gambar 11 Moran Scatterplot IR Tahun 2005-2007

Berdasarkan Moran Scatterplot pada Gambar 11, tahun 2005 diketahui

bahwa Kecamatan Bergas dan Kaliwungu masuk pada kuadran IV yang

menunjukkan wilayah bernilai IR tinggi dikelilingi wilayah bernilai IR rendah.

Tahun 2006, Kecamatan Ungaran Barat masuk pada kuadran I yang menunjukkan

wilayah bernilai IR tinggi dikelilingi dengan wilayah bernilai IR tinggi. Tahun

2007 Kecamatan Ungaran Timur dan Pringapus masuk pada kuadran I, dimana

pada tahun sebelumnya ditempati oleh Kecamatan Ungaran Barat. Tahun 2008

dan 2009, Kecamatan Ungaran Barat dan Ungaran Timur masuk pada kuadran I

dan Kecamatan Pringapus bergeser menjadi kuadran II.

Analisis Moranโ€™s I lokal divisualisasikan menggunakan peta LISA yang

disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Peta LISA IR tahun 2005-2007

Gambar 12 menunjukkan bahwa pada peta LISA tahun 2005 terjadi

indikasi pencilan (outlier) karena ditemukan wilayah dengan karakteristik High

Low (HL) yang memiliki asosiasi spasial negatif, yaitu Kecamatan Bergas dan

Kaliwungu. Tahun 2006 muncul wilayah pemusatan (cluster) baru secara tiba-

tiba, yaitu Kecamatan Ungaran Barat dengan karakteristik High High (HH).

Tahun 2007 Kecamatan Ungaran Timur dan Pringapus yang sebelumnya tidak

signifikan terjadi persebaran berubah menjadi wilayah berkarakteristik High High

(HH) yang mengidentifikasi terjadinya pemusatan (cluster). Pada tahun 2008 dan

2009 terjadi perluasan pusat persebaran dengan munculnya Kecamatan Pringapus

yang sebelumnya berkarakteristik High High (HH) berubah menjadi Low High

14

(LH) dan Kecamatan Ungaran Timur tetap berkarakter High High (HH), selain itu

muncul pemusatan (cluster) baru, yaitu Kecamatan Ungaran Barat yang

berkarakteristik High High (HH).

Hubungan Pola Spasial Variabel ABJ, HI dan IR dengan Kejadian DBD di

dunia nyata dapat diketahui dengan membandingkan antara pola spasial setiap

variabel dan pola spasial kasus DBD Kabupaten Semarang periode 2005-2009

yang terbentuk pada peta LISA. Hasil perbandingan digunakan untuk menentukan

pengaruh antara variabel ABJ, HI dan IR dengan pola persebaran kejadian DBD

di Kabupaten Semarang setiap tahunnya. Gambar 13 merupakan perbandingan

antara peta LISA ABJ tahun 2005โ€“2007 dengan peta LISA data kasus DBD

Kabupaten Semarang periode 2005โ€“2007.

Gambar 13 Hubungan Pola Spasial ABJ dengan Pola Spasial DBD 2005 โ€“ 2008

Tahun 2005 pola spasial DBD yang terbentuk pada peta LISA

mengindikasi terjadinya pencilan (outlier) di Kecamatan Bergas dan Kecamatan

Ambarawa yang berkarakteristik High Low (HL). Hal ini memiliki kemiripan

dengan pola spasial yang terbentuk pada peta LISA ABJ tahun 2005 yang

mengindikasi terjadinya pencilan (outlier) pada kecamatan yang berbeda, yaitu

Kecamatan Ambarawa yang berkarakteristik Low High (LH) dan Kecamatan

Kaliwungu yang berkarakteristik High Low (HL). Kecamatan Ambarawa yang

berkarakteristik Low High (LH) menunjukkan bahwa Kecamatan Ambarawa

memiliki nilai ABJ rendah, dimana saat ABJ rendah nilai DBD tinggi. Peta LISA

DBD tahun 2006 menujukkan terjadi pemusatan (cluster) baru di Kecamatan

Ungaran Barat yang berkarakteristik High High (HH). Hal ini berbeda dengan

peta LISA ABJ tahun 2006, dimana pola spasial yang terbentuk menunjukkan

terjadi pencilan (outlier) baru di Kecamatan Tuntang yang berkarakteristik Low

High (LH) dan Kecamatan Kaliwungu yang tetap berkarakteristik High Low (HL).

Pada tahun 2007 pola spasial yang terbentuk pada peta LISA menunjukkan

perluasan wilayah persebaran DBD dengan muncul dua kecamatan yang

sebelumnya tidak signifikan terjadi persebaran berubah menjadi kecamatan

15

dengan karakteristik High High (HH), yaitu Kecamatan Ungaran Timur dan

Kecamatan Pringapus. Hal ini memiliki kemiripan dengan peta LISA ABJ tahun

2007, dimana pola spasial yang terbentuk menunjukkan perluasan wilayah

persebaran pada kecamatan yang berbeda, yaitu Kecamatan Bringin yang

berkarakteristik High High (HH), Kecamatan Tuntang dan Banyubiru yang

berkarakteristik Low High (LH). Pola spasial DBD yang terbentuk pada peta

LISA tahun 2008 dan 2009 menunjukkan terjadinya perluasan wilayah persebaran

dengan munculnya pemusatan (cluster) baru di Kecamatan Ungaran Barat yang

berkarakteristik High High (HH), selain itu muncul daerah pencilan (outlier) pada

Kecamatan Pringapus yang sebelumnya berkarakteristik Low High (LH) dan

Kecamatan Ungaran Timur yang tetap berkarakteristik High High (HH). Hal ini

memiliki kemiripan pola spasial ABJ yang terbentuk pada tahun 2008 dan 2009,

dimana terdapat perubahan pola spasial pada kecamatan yang berkarakteristik

Low High (LH) menjadi High High (HH), yaitu Kecamatan Tuntang, selain itu

muncul daerah pencilan (outlier) baru pada Kecamatan Bawen dengan

karakteristik Low High (LH). Kecamatan Bawen yang berkarakteristik Low High

(LH) mempengaruhi laju pertumbuhan DBD, dimana Kecamatan Pringapus

memiliki nilai kasus DBD rendah.

Gambar 14 merupakan perbandingan antara peta LISA HI tahun 2005-

2007 dengan peta LISA data kasus DBD Kabupaten Semarang tahun 2005โ€“2007.

Gambar 14 Hubungan Pola Spasial HI dengan Pola Spasial DBD 2005 โ€“ 2008

Berdasarkan Gambar 14 diketahui bahwa pola spasial DBD yang

terbentuk pada tahun 2005 mengindikasi terjadinya pencilan (outlier), dimana

Kecamatan Bergas dan Kecamatan Ambarawa memiliki karakteristik High Low

(HL) yang menunjukkan daerah dengan kasus DBD tinggi dikelilingi daerah

dengan kasus DBD rendah. Hal ini memiliki kemiripan dengan pola spasial yang

terbentuk pada peta LISA HI tahun 2005, dimana Kecamatan Ambarawa

berkarakteristik High High (HH) menjadi daerah pemusatan (cluster) yang

menunjukkan daerah dengan kasus HI tinggi dikelilingi daerah dengan kasus HI

rendah. Tahun 2006 diketahui pola spasial DBD yang terbentuk mengindikasi

16

terjadinya pemusatan pada Kecamatan Ungaran Barat yang berkarakteristik High

High (HH), sedangkan pola spasial HI yang terbentuk mengindikasi terjadinya

pemusatan pada kecamatan yang berbeda, yaitu Kecamatan Tuntang dan

Kecamatan Getasan, selain itu muncul daerah pencilan (outlier) baru dengan

karakteristik Low High (LH) di Kecamatan Banyubiru. Pada tahun 2007 tidak

ditemukan kemiripan pola spasial yang terbentuk pada peta LISA DBD dengan

peta LISA HI, dimana pola spasial DBD mengindikasi terjadinya pemusatan

(cluster) di Kecamatan Ungaran Timur dan Kecamatan Ungaran Barat yang

berkarakteristik High High (HH), sedangkan pola spasial HI mengindikasi

terjadinya pencilan (oulier) di Kecamatan Ungaran Barat, Kecamatan Bandungan

dan Kecamatan Tuntang yang berkarakteristik High Low (HL). Tahun 2008

ditemukan kemiripan antara pola spasial yang terbentuk pada peta LISA ABJ

dengan peta LISA HI, dimana pola spasial DBD dan HI pada tahun 2008

menunjukkan Kecamatan Ungaran Barat memiliki kasus DBD dan HI yang tinggi

dibandingkan dengan daerah disekelilingnya. Pada tahun 2009 pola spasial DBD

dan pola spasial HI ditemukan kemiripan, dimana pola spasial DBD dan HI

menunjukkan Kecamatan Ungaran Timur memiliki kasus DBD dan HI yang

tinggi dibandingkan dengan daerah disekelilingnnya.

Perbandingan antara peta LISA IR tahun 2005-2007 dengan peta LISA

data kasus DBD Kabupaten Semarang periode 2005โ€“2007 disajikan dalam

Gambar 15.

Gambar 15 Hubungan Pola Spasial IR dengan Pola Spasial DBD 2005 โ€“ 2008

Gambar 15 menunjukkan bahwa pola spasial yang terbentuk pada peta

LISA DBD tahun 2005 memiliki kemiripan dengan pola spasial yang terbentuk

pada peta LISA IR tahun 2005, dimana pola spasial yang terbentuk

mengidentifikasi terjadinya pencilan (outlier) di Kecamatan Bergas yang

berkarakteristik High Low (HL). Tahun 2006 pola spasial yang terbentuk pada

peta LISA DBD dan IR memiliki kesamaan yang menunjukkan terjadi pemusatan

(cluster) baru di Kecamatan Ungaran Barat yang berkarakteristik High High

(HH). Pada tahun 2007 juga terdapat kesamaan pada pola spasial dan daerah

17

pesebaran yang terbentuk pada peta LISA DBD dan IR, dimana meluasnya daerah

pemusatan (cluster) dengan munculnya pemusatan (cluster) baru di Kecamatan

Ungaran Timur dan Kecamatan Pringapus yang berkarakteristik High High (HH).

Pada tahun 2008 dan 2009 terjadi perluasan wilayah persebaran dengan

munculnya pemusatan (cluster) baru pada wilayah yang sebelumnya tidak

signifikan terjadinya persebaran dan perubahan pola spasial pada peta LISA DBD.

Hal ini memiliki kesamaan dengan pola spasial yang terbentuk pada peta LISA IR

pada tahun 2008 dan 2009, dimana muncul wilayah pemusatan baru pada

Kecamatan Ungaran Barat yang berkarakteristik High High (HH), Kecamatan

Ungaran Timur tetap berkarakteristik High High (HH) dan Kecamatan Pringapus

yang sebelumnya berkarakteristik High High (HH) berubah menjadi karakteristik

Low High (LH).

5. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dari variabel ABJ, HI dan IR yang telah

diolah menjadi peta pola spasial menggunakan metode Moranโ€™s I menunjukkan

bahwa : (1) Variabel ABJ, HI dan IR dapat dimodelkan menggunakan metode

Moranโ€™s I karena pola spasial yang dihasilkan menunjukkan pengelompokan data

sesuai data nyata, (2) Berdasarkan perbandingan antara pola spasial DBD dan pola

spasial variabel ABJ, HI dan IR Kabupaten Semarang tahun 2005-2009 diperoleh

hasil bahwa tidak nampak peran variabel ABJ secara signifikan terhadap laju

persebaran DBD karena pada pola spasial yang terbentuk hanya menunjukkan laju

persebaran yang sama dengan pola spasial DBD pada setiap tahunnya, namun

tidak memperlihatkan letak persebaran yang sama. Variabel HI dan IR

mempengaruhi kejadian DBD di Kabupaten Semarang, karena pola spasial yang

terbentuk memiliki kesamaan dengan pola pola spasial DBD.

6. Daftar Pustaka

[1] Fathi dkk, 2005, Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku Terhadap

Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram, Jurnal Kesehatan

Lingkungan, Vol 2, Halaman 1-10.

[2] Wijaya, Rahmadi, 2007, Penggunaan Sistem Pakar Dalam Pembangunan

Portal Informasi Untuk Spesifikasi Jenis Penyakit Infeksi, Jurnal

Invoematika, Vol 3, Halaman 63-88.

[3] Siregar, Faziah, 2004, Epidemologi dan Pemberantasan Demam Berdarah

Dengue di Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas

Sumatra Utara.

[4] Hadi, Upik Kesumawati, 2010, Penyakit Tular Vektor Demam Berdarah

Dengue, Bogor : Institut Pertanian Bogor.

[5] Hairani, Lila Kesuma, 2009, Gambaran Epidemologi, Jakarta:Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

[6] Soepardi, Jane, 2010, Demam Berdarah Dengue di Indonesia Tahun 1968-

2009, Buletin Jendela Epidemologi, Vol 2, Halaman 1-14.

18

[7] Anna, Lusia Kus, 2011, Kasus DBD di Indonesia Tertinggi di ASEAN,

http://health.kompas.com/read/2011/02/19/07163187/Kasus.DBD.di.Indon

esia.Tertinggi.di.ASEAN. Diakses tanggal 1 Februari 2012

[8] Prastyanti, C. A. W., 2011, Deteksi dan Prediksi Daerah Endemis Demam

Berdarah Dengue dengan Pemodelan Matematis SIR, Fakultas Teknologi

Informasi, Universitas Kristen Satya Wacana. [9] Kristyanto, Wahyu, 2012, Prediksi Periode Serangan Demam Berdarah

Dengue Berdasarkan Dasarian Awal Bulan Hujan Menggunakan Metode

Exponential Smoothing, Thesis tidak diterbitkan, Salatiga:Fakultas

Teknologi Informasi, Universitas Kristen Satya Wacana.

[10] Prasetyo dkk, 2008, Desain Sistem Analisa Spatio-Temporal Penyebaran

Penyakit Tropis Memakai Web Mining, Konferensi Nasional Sistem dan

Informatika, Halaman 44-49.

[11] Goodchild, Michael F., 1968, Spatial Autocorrelation, Norwich:Geo

Book.

[12] Yulianto, Sri, 2010, Prediksi Spasial Luas Tambah Serangan Wereng

Batang Coklat pada Komoditas Padi Tahun 2010 di Wilayah PHP

Surakarta Menggunakan Komoditas Teknik Moranโ€™s I dan Gearyโ€™s C.

[13] Iriani, Theresia Debby, 2011, Model Spasial Klasifikasi Wilayah Resiko

Demam Berdarah Dengue (DBD) Menggunakan Fungsi Gi* Statistik,

Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Kristen Satya Wacana.

[14] Naftali, Arma Cristina, 2011, Pemodelan Pola Spasial Persebaran Penyakit

Demam Berdarah Dengue Dengan Fungsi Moranโ€™s I, Fakultas Teknologi

Informasi, Universitas Kristen Satya Wacana.

[15] Siregar, Ahmad Dian, 2006, Gambaran Pasien Demam Berdarah Dengue

di Bangsal Anak, Jurnal Kedokteran dan Farmasi, Vol 19, Halaman 66-71

[16] Sudjana, Primal, 2010, Diagnosis Dini Penderita Demam Berdarah

Dengue Dewasa, Buletin Jendela Epidemologi, Vol2, Halaman 21-25

[17] Sukowati, Supratman, 2010, Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue

dan Pengendaliannya di Indonesia, Buletin Jendela Epidemologi, Vol2,

Halaman 26-30

[18] Indrasanto, Doti, Rahmaniar Brahum, Sugito, dkk., 2006, Glosarium Data

dan Informasi Kesehatan, Jakarta:Pusat Data dan Informasi Departemen

Kesehatan repoblik Indonesia.

[19] Hasyimi dkk, 2005, Situasi Vektor Demam Berdarah Saat Kejadian Luar

Biasa di Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur, Media Litbang Kesehatan,

Vol 15, Halaman 14-18

[20] Kandun, I Nyoman, 2007, Modul Pelatihan Bagi Pelatih Pemberantasan

Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue Dengan Pendekatan

Komunikasi Perubahan Prilaku, Jakarta:Direktorat Jendral Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI.

[21] Nugroho, Farid Setyo, 2009, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan

Keberadaan Jentik Aedes Aegypti di RW IV Desa Ketitang Kecamatan

Nogosari Kabupaten Boyolali, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Muhamadiyah Surakarta.

19

[22] Setyawan, Dodiet Aditya, 2008, Pengukuran Frekuensi Masalah

Kesehatan, Klaten:STIKES Duta Gama Klaten.

[23] Luknanto, Joko, 2003, Model Matematika, Yogyakarta: Laboratorium

Hidraulika.

[24] Arrowiyah, Sutikno, 2009, Spatial Pattern Analysis Kejadian Penyakit

Demam Berdarah Dengu Informasi Early Warning Bencana di Kota

Surabaya, Institut Teknologi Surabaya.

[25] Harvey dkk, 2008, The North American Animal Disease Spread Model: A

simulation model to assist decision making in evaluating animal disease

incursions, Preventive Veterinary Medicine, Vol 82, Halaman 176-197