PLINTENG SEMAR.pdf

10
PEMERINTAH KABUPATEN WONOGIRI DINAS PENDIDIKAN SMP NEGERI 1 SELOGIRI Alamat : Jl. Gunungwijil, Kaliancar. Telp. 0273 321888. Selogiri-Wonogiri 57652 LOMBA PENULISAN CERITA RAKYAT NAMA : NADIA NUR HANIFAH HARYANTO

Transcript of PLINTENG SEMAR.pdf

Page 1: PLINTENG SEMAR.pdf

PEMERINTAH KABUPATEN WONOGIRI

DINAS PENDIDIKAN

SMP NEGERI 1 SELOGIRI Alamat : Jl. Gunungwijil, Kaliancar. Telp. 0273 321888. Selogiri-Wonogiri 57652

LOMBA PENULISAN CERITA RAKYAT

NAMA : NADIA NUR HANIFAH HARYANTO

Page 2: PLINTENG SEMAR.pdf

PLINTENG SEMAR

Di sebuah tempat di Kota Wonogiri, terdapat sebuah batu parang besar yang

bersanggakan pada sebuah pohon asem dengan usia mungkin sudah berpuluh-puluh tahun.

Batu besar itu bernama Plinteng Semar. Konon, diceritakan bahwa batu ini berawalan dari

kisah semar yang bertarung dengan seekor raksasa. Beginilah ceritanya.

Alkisah, pada suatu ketika setelah perang baratayuda berakhir, para Pandhawa

berniat untuk menyucikan diri dengan mandi di Grojogan Sewu. Dengan niat itu, para

punakawan pastinya akan ikut. Punakawan adalah empat sekawan yang akan terus ikut dan

menjaga para Pandhawa. Punakawan terdiri dari Semar Bodronoyo seorang dewa yang

lebih memilih hidup di dunia manusia sebagai kaum sudra papa. Bersama ketiga anaknya

yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Gareng dan Petruk sebenarnya memilki rupa yang

sangat tampan, namun karena terjadi perselisihan mereka dikutuk oleh Semar menjadi

jelek. Dan Bagong adalah putra ragil atau bungsu dan paling kecil. Mereka berempat

selalu bersama, kemanapun Pandhawa pergi mereka selalu ikut.

Tugas punakawan adalah melindungi para Pandhawa dari marabahaya, terutama

sekarang mereka akan pergi ke Grojogan Sewu. Semar yakin bahwa bukan tidak mungkin

disana ada orang jahat yang ingin mencelakai para Pandhawa.

Hari ini mereka akan berangkat menuju Grojogan Sewu. Membutuhkan waktu

kurang lebih satu hari satu malam untuk terbang kesana. Setelah keberangkatan dari

iostana Astina, mereka sama sekali tidak menemukan suatu hal yang menghalangi

perjalanan mereka. Jadi mereka merasakan lancar-lancar saja.

Sesampainya di Grojogan Sewu, ternyata hari telah larut malam hanya sinar bulan

yang menerangi keadaan di sekitar situ. Suara derasnya air yang mengalir dari atas tebing

tersebut, menambah rasa keteduhan di hati para Pandhawa beserta punakawan.

Meskipun hari itu telah larut, itu tidak mengurungkan niat para Pandhawa untuk

melaksanakan tujuan menyucikan diri. Akhirnya pada malam itu juga para Pandhawa

melaksanakan tujuannya itu. Diwaktu bersamaan, Semar dan ketiga anaknya berjaga-jaga

di sekitar.

“Anak-anakku, ingat kita harus terus terjaga jangan sampai tertidur.”

“Baiklah Romo.” Jawab Gareng.

Page 3: PLINTENG SEMAR.pdf

Mau bagaimanapun, itu sudah menjadi tugas mereka menjaga para Pandhawa. Kini

mereka tengah berbagi tugas. Semar yang seorang ayah berjaga disebelah utara, Gareng di

sebelah selatan dan Petruk di sebelah barat, sedangkan Bagong disebelah timur.

Kini mereka telah berpencar sesuai dengan tugas mereka masing-masing.

“Kenapa Romo memberiku tugas sebelah sini, sudah tempatnya banyak nyamuk.

Bikin kesal saja. Tapi ya mau bagaimana lagi, sudah jadi tugasku juga”, jura Petruk dalam

hati.

Malam semakin larut. Namun, acara Pandhawa menyucikan diri belum juga usai.

Suara jangkrik-jangkrik serta serangga lainnya menambah keramaian malam itu. Mata

Bagong makin lama makin berat saja rasanya. Begitu pula dengan Gareng dan Petruk.

Mereka hanya bisa menahan kantuk sembari bersiul-siul. Meskipun berbeda tempat

mereka tetap merasakan kebersamaan karena mereka bisa merasakan ikatan batin yang

sangat kuat. Jadi apabila salah satu dari mereka ada yang mengalami kejadian apaun itu,

mereka pasti merasakannya.

Karena merasakan kantuk yang sangat berat merekapun kembali ke tempat awal

mereka berkumpul, begitu juga dengan Semar. Namun Semar tetap menahan kantuknya

sebab sebagai seoarng dewa, dia bisa menahannya. Namun ternyata, anak-anaknya sudah

tertidur pulas, ya mau bagaimana lagi Semar harus berjaga sendirian. Sambil bertapa

Semar juga harus menjaga anak-anaknya juga Pandhawa, sebab itulah dia tidak tidur dan

memilih duduk bertapa.

Semar merasakan kantuk yang teramat sangat sehingga mengganggu

konsentrasinya.

“Ngantuk macam apa ini? rasanya tidak biasa aku rasakan.” Ujarnya dalam hati.

Namun Semar berusaha untuk tak menghiraukannya. Makin lama Semar merasakan

kantuk itu, makin tidak tenang hati Semar, rasanya tidak karuan, pikirannya mulai kacau

kesana kemari. Firasatnya mengatakan bahwa ini bukan rasa kantuk biasa melainkan akan

datangnya sebuah bahaya.

Semar mulai was-was, ia berharap bahaya itu tidak akan datang. Angin dingin

mulai bertiup, udara semakin dingin. Suasana gelap malam semakin mencekam, sinar

bulan telah tertutup awan.

Semar semakin merasakan hawa tidak enak yang berasal dari tempat Pandhawa

menyucikan diri.

Page 4: PLINTENG SEMAR.pdf

“Perasaanku semakin tidak enak saja, aku yakin ini pertanda buruk. Aku harus

cepat-cepat bangunkan anak-anakku.” Ujarnya dalam hati.

Semar segera beranjak dari tempatnya bertapa, kemudian berjalan menuju tempat

anak-anak tidur.

“Anak-anak cepat bangun! Kalian ini disuruh berjaga malah enak-enakan tidur!”

ujar Semar membangunkan ketiga anaknya.

“Ngantuk Mo. . . .” jawab Gareng.

“Memangnya ada apa to Romo ?” tanya Petruk dengan mata terpejam.

“Duh Gusti, kalian ini bagaimana! cepat bangun, Romo merasakan akan datangnya

bahaya.” Timpal Semar.

“Bukannya perang telah usai, Romo ini bagaimana ?”

“Tapi Romo, dari mana datangnya bahaya yang Romo maksudkan itu?” tanya

Bagong sembari mengusap-usap kedua matanya.

“Romo rasa bahaya itu dari sekitar sini.”

“Sudahlah cepat kalian bangun, dan ayo kita selidiki bersama!”

“Baik Romo.” Ujar ketiga anak Semar bersamaan.

Mereka telah berbagi tugas, kearah masing-masing seperti sebelumnya. Namun

mereka tidak menemukan ada apa-apa, akhirnya mereka kembali menuju tempat mereka

berkumpul tadi.

“Bagaimana sih Romo?” Aku sudah kelilingi wilayah timur, tapi aku tidak

menemukan apa-apa Romo.”ujar Bagong kepada Semar.

“Iya Romo, Gareng dan Petruk juga seperti Bagong tidak menemukan apa-apa.”

Ujar Gareng.

“Romo sendiri juga bingung, padahal tadi hawa terasa begitu dingin, susananya

begitu mencekam, kenapa bisa jadi seterang ini.” timpal Semar.

Semar dan anak-anaknya bingung. Bagaimana bisa suasana yang tadinya

mencekam berubah jadi seterang ini. akhirnya ketiga anak Semar tidur kembali. Semar

sebenarnya juga merasakan kantuk, namun Semar harus tetap menahanya. Bagaimana,

kalau datang bencana yang besar secara tiba-tiba, Semar terus memikirnnya.

“Apa mungkin ini jebakan? Mungkin musuh memiliki ilmu yang sangat kuat

sehingga bisa memanilpulasi suasana. Tapi apa mungkin begitu ?” tanya Semar dalam hati.

Page 5: PLINTENG SEMAR.pdf

Semar semakin bingung, akhirnya Semar memutskan untuk membangunkan anak-

anaknya, kemudian menyelidiki lagi keadaan di sekitarnya.

“Anak-anak ayo bangun, jangan tidur terus! Ayo kita cek lagi keadaan sekitar sini!”

“Romo kami masih mengantuk. . . . “ timpal Petruk.

“Kalian ini memikirkan tidur terus, ayolah bangun! Ingat tugas kalian adalah

menjaga para Pandhawa.

Akhirnya ketiga anak Semar bangun.

“Romo sekarang kita mau memeriksa kemana ?” tanya Gareng.

“Sekarang kita lihat ke tempat raden Yudhistira dan adik-adiknya mandi.”

Betapa kagetnya Semar ketika sampai di air terjun Grojogan Sewu atau tempat para

Pandhawa menyucikan diri, ternyata disana sudah ada raksasa besar yang tengah

menggenggam Raden Sadewa dan sudah siap untuk mencaploknya. Semar kaget bukan

main dan langsung menghadang raksasa besar itu.

“Hei raksasa jelek, berani-beraninya kamu menyentuh tuanku!” ujar Semar dengan

lantangnya.

Anak-anak Semar hanya mampu melihat saja, mereka merasa takut pada raksasa

itu.

“Huaa. . haha..haaha. dasar tua bangka, apa kau ini tidak sadar diri? Tubuh reyot

mau melawanku?” timpal raksasa dengan sombongnya.

“Raksasa sombong! Maju kau kalau berani, jangan makan tuanku. Kalau kau

memang mau memakan tuanku, makanlah dulu aku!” bersamaan dengan jawaban itu anak-

anak Semar kaget dan takut kalau ditinggal mati oleh ayahnya itu.

“Huaa… haaha..haah. Baiklah kalau itu maumu. Akan kulumat habis kau kakek

tua!”

Akhirnya Raden Sadewa lepas dari genggaman raksasa itu. Namun skerang Semar

yang sedang terancam sebab kini Semar tengah berperan mengahadapi raksasa jahat itu.

Semar adalah seorang dewa yang cerdas, jadi bukan tidak mungkin kalau ia akan menang.

“Terimalah ini!” ujar Semar sembari memberikan perlawanannya. Ia serang raksasa

itu dari segala penjuru arah, namun rakssa itu juga sakti madraguna jadi Semar sempat

kewalahan menghadapi raksasa itu. Meski begitu, Semar tidak menyerah. Ia terus

melancarkan serangannya sembari berpikir apa kelemahannya raksasa itu. Tiba-tiba di

pertengahan perang, Semar terkena serangan raksasa itu, dadanya terkena pukulan yang

Page 6: PLINTENG SEMAR.pdf

sangat kuat. Merasakan sakit dan perlu istirahat sejenak memulihkan tenaga, Semar

memilih untuk kabur. Ia yakin kalau raksasa itu pasti mengejarnya. Oleh sebab itu ia

menjauh dari tempat para Pandhawa. Anak-anak Semar, Gareng, Petruk dan Bagong juga

ikut menyertai Semar.

Melihat ayahnya lemah tak berdaya, Gareng segera membantu mengobati luka

ayahnya itu dan ajaibnya Semar cepat sekali pulih.

“Anakku, kalian lihatkan raksasa itu ternyata kuat sekali. Romo saja sampai jatuh

hanya karena pukulannya.”

“Bersabarlah Romo, Gareng yakin setelah ini Romo pasti menang, timpal Gareng

menyemangati ayahnya.

Benar ternyata dugaan Semar raksasa itu mengejar Semar sampai ke tempat Semar

saat ini.

“Romo, lihat itu raksasa itu mengejar kita sampai kesini.” Ujar Bagong.

“Aku akan mengalahkannya kali ini. Kalian doakan aku saja.” Balas Semar sembari

;bersiap-siaop untuk berperang lagi.

“Hai kakek tua, kenapa kau lari? Kau takutkan padaku ? huaa haa… haa “

“Siapa bilang aku takut ? sini maju kau raksasa jelek!”

Perang sengit antara Semar dan raksasa semakin sengit saja. Pohon-pohon disekitar

rusak dan raksasa semakin sengit. Lingkungan seketika berubah menjadi tidak karuan.

Semar yang tidak ingin kalah terus saja melancarkan serangannya, mengingat

ketiga anaknya Semar terus saja berjuang. Itu juga demi tugasnya menjaga para Pandhawa.

Baginya, pantang untuk mundur sebelum nyawa melayang. Jadi baginya sampai nyawanya

masih meskipun darahnya tinggal setetes ia akan terus melindungi ketiga anaknya dan para

Pandhawa. Meskipun ia sebenarnya seorang dewa, namun itu semua juga telah menjadi

pilihannya menjadi kaum sudra papa.

Serangan-serangan raksasa itu semakin membabi buta, begitu cepatnya serangan-

serangan itu dilontarkan pada Semar. Makin lama, Semar makin kewalahan. Tiba-tiba

perut Semar terasa mulas, seperti ingin kentut. Kentut Semar ingat bahwa ia memilki

senjata rahasia yang paling ia andalkan yaitu kentut Semar.

“Duh Gusti, kenapa bisa aku lupa dengan kentutku ini. Aku yakin dengan kentutu

iti raksasa itu akan kukalakan.” Ujar Semar dalam hati.

Page 7: PLINTENG SEMAR.pdf

Konon katanya, kentutu itu bisa menghancurkan segala macam benda yang terkena

kentut itu menjadi hancur berkeping-keping seperti tepung. Kedashyatan kentut itu akan

digunakan Semar untuk melawan raksasa jahat itu.

“Hai raksasa jelek kali ini akan aku keluarkan senjata rahasiaku, bersiaplah!”

tantang Semar.

“Keluarkan semua senjatamu kakek tua!”

“Rasakan kentut saktiku ini! Hiaaatttt !”

Bukannya takut, raksasa itu malah tertawa terbahak-bahak, ternyata raksasa itu

tidak terkena kentut Semar. Semar kaget bukan main, ternyata senjata adalannya meleset

dan mengenai sebuah baru parang besar. Batu itu berukuran besar, sangat besar namun

setelah terkena kentut Semar, batu itu pecah dan pecahan batu parang besar itu hampir

mengenai raksasa. Melihat ada sebuah batu parang besar yang hampir mengenainya,

raksasa itu lari tunggang langgang mencari tempat yang aman lainnya. Ternyata diam-diam

ia takut terkena batu parang yang besar itu.

Raksasa itu ternyata berlari menuju arah utara, kalau tidak salah itu arah menuju

tanah Wonogiri. Mengetahui hal itu Semar sedikit bingung, akhirnya ia putuskan untuk

mengejarnya.

“Romo, raksasa itu kabur. Ayo kita kejar Romo,”ujar Gareng, Petruk dan Bagong

bersamaan.

“Ayo anak-anak!”

Di tengah perjalanan, Semar sedikit bingung kenapa bisa raksasa itu lari tunggang

langgang padahal kentutnya tidak mengenai raksasa itu. Sekarang Semar tahu, ternyata

raksasa itu takut pada batu parang besar tadi yang hampir mengenainya. Disaat itulah

Semar mempunyai ide.

“Anak-anak berhenti sebentar, Romo punya ide. Biarkanlah raksasa itu lari, Romo

yakin ia tidak akan jauh dari sini” ujar Semar.

Semar mulai membuat plintheng dari pohon Jati yang sangat besar. Anak-anak

Semar merasa bingung, mau buat apa plintheng itu.

“Romo, jangan main-main kita ini mau perang buka mau main,” ujar Gareng.

“Iya Romo, untuk apa plintheng itu” Tanya Bagong.

“Ya untuk mlintheng. Sudahlah lihat saja nanti, sekarang Bantu Romo

menyelesaikan plintheng ini,” ujar Semar.

Page 8: PLINTENG SEMAR.pdf

“Baiklah, Mo”, jawab ketiganya secara bersamaan.

Setelah itu mereka mulai membagi tugas. Semar dan Gareng bertugas menebangi

beberapa pohon, sedangkan Bagong dan Petruk yang membersihkan ranting-rantingnya.

Setelah itu mereka mulai membuat plintheng raksasa untuk menandingi raksasa jahat itu.

Setelah jadi mereka tidak langsung menggunakannya, mereka beristirahat sejenak di

tempat itu sambil memulihkan tenaga.

“Romo, sebenarnya mau Romo apakan plintheng ini? ingat Romo itu bukan anak

kecil,” kata Bagong bertanya pada Romonya.

“Iya Romo, masa kecil Romo pasti tidak bahagia. Benakan? haha.. haa.. ledek

Gareng.

“Huss ! kalian ini meledek Romo ya. Plintheng ini akan Romo gunakan untuk

melawan raksasa itu.”

“Romo ini aneh, kentut Romo yang seperti bom atom itu saja tidak bisa

mengalahkan raksasa itu. Eh seharang malah mau menggunakan plintheng,” ujar Petruk.

“Plinheng ini akan Romo gunakan untuk melawan raksasa itu dengan sebuah

bongkahan katu parang besar. Nah sekarang kita hanya perlu mencarinya.”

“Bongkahan batu parang besar? Romo mencari yang seukuran apa?” Tanya gareng.

“Yang besar, kalau bisa tiga kali ukuran hajah”

“Mana ada yang sebesar itu Mo?” Tanya Bagong.

“Aku rasa ada Romo, di dekat Grojogan Sewu pernah aku lihat batu parang sebesar

itu,” kata Petruk menjelaskan.

“Kalau memang disana ada ayo kita kembali kesana.”

“Baiklah Romo,” ujar Gareng, Petruk, Bagong bersamaan.

Merekapun berangkat kembali menuju Grojogan Sewu dan kembali menilik

bagaimana keadaan Pandhawa selama mereka tinggal. Tetapi kalau menurut Semar mereka

akan baik-baik saja.

Akhirnya merekapun kembali ke Grojogan Sewu, tanpa berpikir panjang.

Sesampainya disana mereka langsung menghampiri para pandhawa.

“Raden bagaimana? Tidak apa-apa kan?” Tanya Semar pada Raden Yudhistira

serta adik-adiknya.

“Kami baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Apakah kau berhasil

memenangkannya?” Tanya Raden Yudhistira.

Page 9: PLINTENG SEMAR.pdf

“Maaf Raden, kami belum sempat memenangkan peperangan dengan raksasa itu.

Kentut andalanku saja tidak berhasil mengalakannya. Tapi hamba memiliki rencana lain

yang lebih jitu,” jawab Semar.

“Apa itu? Apa aku boleh mengetahuinya?” Tanya Raden Yudhistiralagi.

“Tentu boleh Raden. Begini, saat hamba melawan raksasa itu menggunakan kentut

hamba, ternyata kentut hamba meleset dan mengenai sebuah batu parang besar, kemudian

batu itu pecah dan hampir mengenai raksasa, karena hal itulah raksasa kabur ke arah utara.

Tapi hamba yakin dia pasti kembali lagi kemari.”

“Lalu rencanamu sebenarnya apa?”

“Rencana hamba adalah, hamba akan melintheng raksasa itu dengan sebuah batu

parang besar karena hamba yakin raksasa itu takut terkena batu parang, apalagi yang

ukurannya besar. Sebab itulah hamba kembali kemari untuk mengambil batu parang besar

yang ada di bukit dekat dini ini,” jawab Semar.

“Kalau begitu baiklah, ayo kita cari bersama,” ajak Raden Yudhistira.

“Baik Raden, mari kita berangkat.”

Akhirnya merekapun berangkat menuju bukit yang dimaksud Petruk. Benar

ternyata disitu ada sebuah batu parang besar yang berukuran tiga kali gajah. Dan apstinya

siap untuk digunakan melawan raksasa itu.

“Sudah ditemukan batunya, ayo kita ambil,” ajak Raden Arjuna.

“Baik Raden” jawab Semar, gareng, Petruk, dan Bagong secara bersamaan.

Setelah batu berhasil diambil, tiba-tiba Bagong berteriak.

“Romo lihat di langit sebelah utara. Ada raksasa itu,” ujar Bagong.

“Iya kau benar, Gong, ayo kita bersiap.”

Ternyata benar apa kata Bagong. Raksasa itu tengah terbang mengintai keberadaan

Semar. Mengetahui Semar ada di bawahnya, raksasa itu segera turun.

“Hei kau tua Bangka, ayo kita selesaikan urusan kita yang tertunda waktu itu,”

tantang raksasa.

“Baiklah, maju kau kalau berani!” timpal Semar.

Mulailah peperangan sengit itu lagi, semakin sengit, dua orang yang sangat sakti

mandraguna, yang satu adalah seorang dewa dan yang satu adalah seorang raksasa besar

yang jahat.

Page 10: PLINTENG SEMAR.pdf

Meskipun Semar sudah memiliki rencana, namun Semar merasakan pesimis da

takut kalau rencana itu gagal. Plintheng itu siap digunakan apalagi batu parangnya. Hanya

tinggal menunggu saat yang tepat.

“Ternyata anak-anakku cerdas juga,” batin Semar sambil senyum-senyum sendiri.

Tanpa ia sadari ternyata ia sudah terpojokkan. Betis kiri Semar terkena sabetan

tangan raksasa itu. Semar kini tak mampu berjalan dengan normal. Mengetahui hal itu

anak-anak Semar begitu sigapnya mereka langsung datang menghampiri Romonya yang

sedang terluka.

“Romo, ayo bangun. Kami sudah menyiapkan segalanya. Sekarang Romo pulihkan

tenaga Romo lalu ayo kita kalahkan raksasa itu,” ujar Petruk menyemangati.

“Iya anakku, kalian ternyata pandai juga. Dimana plintheng itu?” Tanya Semar.

“Disana, aku akan alihkan perhatian raksasa itu,” jawab Gareng.

Kemudian Petruk dan Bagong membawa Semar menuju tempat plintheng itu

diletakkan, sementara Gareng mengalihkan perhatian raksasa jahat itu.

“Hai bocah, mau bertanding denganku? Kemana bapak tuamu itu? Hua, ha, ha”

Tanya raksasa sombong.

“Diam kau raksasa jelek,” timpal Gareng.

Tanpa ia sadari, disana Semar telah bersiap dengan plinthengnya. Gareng yang

sudah diberi kode mulai mengalihkan perhatian raksasa menuju tempat Semar.

“Hai raksasa jelek, rasakan ini!” teriak Semar sembari melancarkans erangannya.

Betapa kagetnya raksasa itu ketika sebuah batu parang besar berukuran tiga kali

gajah sudah dilontarkan ke arahnya. Raksasa itu tak mampu menghindar, matilah dia

terkena batu parang itu. Namun batu parang itu tidak hancur, tetapi jatuh di sebuah tempat

dan menempel pada sebuah pohon asem yang besar. Batu itu jatuh 300 meter dari tempat

itu, tepatnya kea rah utara yaitu di tanah Wonogiri.

Kini, masyarakat menyebut batu itu dengan nama Plintheng Semar, yang bertempat

di Taman Selopadi kota Wonogiri.