PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI “KENAKALAN...
Transcript of PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI “KENAKALAN...
i
“KENAKALAN” SEBAGAI UPAYA MENDAPAT “KEKUASAAN”
(SEBUAH FENOMENA)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh:
Layung Rahmawati
NIM: 141134129
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
SKRIPSI
“KENAKALAN” SEBAGAI UPAYA MENDAPAT “KEKUASAAN”
(SEBUAH FENOMENA)
Oleh:
Layung Rahmawati
NIM: 141134129
Telah disetujui oleh:
Pembimbing 1
Eny Winarti M. Hum., Ph. D.
Tanggal 14 Maret 2018
Pembimbing 2
Wahyu Wido Sari, M. Biotech.
Tanggal 14 Maret 2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
SKRIPSI
“KENAKALAN” SEBAGAI UPAYA MENDAPAT “KEKUASAAN”
(SEBUAH FENOMENA)
Dipersiapkan dan ditulis oleh:
Layung Rahmawati
NIM: 141134129
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
pada tanggal 3 April 2018
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
Ketua Christiyanti Aprinastuti, S. Si., M. Pd. ....................
Sekretaris Kintan Limiansih, S. Pd., M. Pd. ....................
Anggota Eny Winarti, S. Pd., M, Hum., Ph. D. ....................
Anggota Wahyu Wido Sari, S. Si., M. Biotech. ....................
Anggota Gregorius Ari Nugrahanta, SJ., SS., BST., M.A. ....................
Yogyakarta, 3 April 2018
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
Dr. Yohanes Harsoyo, S. Pd., M. Si.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahakan untuk kedua orang tua, Bapak Sutapa dan Ibu
Kristiana Triastuti serta adik saya Lambang Pikatan Aspa Sinar Sito. Melalui
mereka saya belajar untuk memahami ungkapan urip narimo ing pandum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
MOTTO
Urip iku mung sawang sinawang, mula aja mung nyawang sing kesawang (Hidup
itu hanya tentang melihat dan dilihat, jadi jangan hanya melihat dari apa yang
terlihat)
- Pepatah Jawa -
Urip iku kaya udud (hidup itu seperti rokok), ngudud (merokok)... sia-sia, ning yo
tetep ana sing ngelakoni (tapi tetap saja ada yang menjalani) dengan
pemaknaannya masing-masing.
- Padmo Adi -
Genre tragi-komedi itu ada karena hidup yang pahit itu bisa juga ditertawakan...
dengan getir dan sinis. Jangan-jangan, Tuhan itu adalah anak kecil yang sedang
bosan... lalu menciptakan semesta... lalu menciptakan manusia... untuk nonton
drama, tragi komedi.
- Padmo Adi -
Hai putri-putri Yerusalem, janganlah engkau menangisi Aku, tetapi tangisilah
dirimu sendiri dan anak-anakmu. (Lukas 28:28) Terkadang kita kurang mampu
berempati dan lebih mudah memberikan simpati, seolah menjadi pahlawan dalam
penderitaan orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 3 April 2018
Peneliti
Layung Rahmawati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswi Univeritas Sanata Dharma:
Nama : Layung Rahmawati
Nomor Mahasiswa : 141134129
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma Karya Ilmiah saya yang berjudul:
“KENAKALAN” SEBAGAI UPAYA MENDAPAT “KEKUASAAN”
(SEBUAH FENOMENA)
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan
mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpa perlu memita ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama
tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 3 April 2018
Yang menyatakan
Layung Rahmawati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Masyarakat memiliki kecenderungan untuk menilai suatu fenomena berdasarkan
suara atau opini mayoritas. Salah satunya, pandangan guru kelas di SD Negeri Damai
terhadap Putra (pseudonym) yang berperilaku berbeda dari teman-teman lainnya. Putra
dijuluki “nakal” atau “spesial” atau “hiperaktif” oleh guru kelas. Julukan itu juga
diberikan oleh beberapa teman sekelas, ibunya, dan beberapa guru lain yang pernah
berinteraksi dengannya. Namun, perilaku “nakal” tersebut timbul pada orang-orang
tertentu. Contohnya, Putra sering mengejek atau menyembunyikan alat tulis Inka
(pseudonym) dan baru berhenti ketika dimarahi guru atau salah satu menangis. Sedangkan
Putra jarang berkelahi dengan Indah (pseudonym). Penelitian ini dimaksudkan untuk
mengeksplorasi fenomena yang melatarbelakangi pola-pola perilaku antar partisipan
penelitian.
Untuk mempelajari kasus tersebut, peneliti menggunakan metode fenomenologi.
Data diambil melalui open-ended interview, observasi, dan studi dokumentasi. Data yang
diperoleh kemudian dianalisis menggunakan cross checking dan comparing data melalui
proses triangulasi dan coding. Dari proses analisis tersebut diidentifikasikan bahwa
julukan “nakal” bagi Putra (key participant) digunakan sebagai power untuk menguasai
(bullying) orang-orang tertentu. Sedangkan bagi partisipan lain (guru kelas, ibu, beberapa
teman) menjuluki Putra “nakal” menjadi peluang untuk mengendalikan perilaku yang
tidak diinginkan (contohnya berkelahi) darinya. Jadi julukan “nakal” digunakan key
participant dan other participant sebagai alat untuk mendapat kuasa atas diri orang lain.
Sementara nakal itu sendiri dianggap sebagai perilaku menyimpang dalam pandangan
masyarakat umum.
Kata kunci: sistem dominasi, labeling, sibling rivalry
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
People have tendency to judge a phenomenon by thought or majority general
assumption. For example, classroom teachers assumption agaist the case of Putra
(pseudonym) who behave differently with the other friends in SD Negeri Damai. Putra
called by "naughty" or "special" or "hyperactive" by the classroom teacher. That
nickname also given by several classmates, his mother, and several teachers who had
interacted with him. But the "naughty" behaviour seen in several peoples. For example,
Putra mocking or hide Inka (pseudonym) stationary often and will stop after scolded by
teacher or one of them crying. But, Putra rarely quarrel with Indah (pseudonym). The
aim of this research is to explore phenomenon background that patterns of each
participant.
To learn that case, researcher used phenomenology method. Data collected by
open-ended interviews, observation, and documentation studies. Obtained data analyzed
by cross checking and data comparing from triangulation and coding. From that
analyzed process identified that “naughty” nickname for Putra (key participant) used as
power to dominate (bullying) some people. For other participant (homeroom teacher, his
mother, some friends) “naughty” label become an oppportunities for controled Putra’s
unwanted behaviour (such as quarrel). So, “naughty” label used by key participant and
other participant as a tool to get power of the other peoples. Meanwhile naughty mean as
deviate behave in society paradigm.
Key words: domination system, labeling, sibling rivalry
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Peneliti tidak akan pernah dapat menyelesaikan karya tulis ini tanpa
dukungan dan bantuan dari para dosen, orang tua, dan teman-teman. Ucapan
terima kasih kepada yang terhormat Dr. Yohanes Harsoyo, S. Pd., M. Si. selaku
dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Christiyanti Aprinastuti, S. Si., M.
Pd. selaku ketua prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, dan Kintan Limiansih, S.
Pd., M. Pd., sebagai wakil ketua prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Ucapan
terima kasih kepada Ibu Eny Winarti selaku dosen pembimbing satu atas
kesediaannya berbagi dan mengajarkan banyak hal baru dalam hidup peneliti dan
Ibu Wahyu Widosari, untuk segala dukungan, waktu, dan kesempatan merasakan
banyak pengalaman berarti bagi peneliti.
Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada Maria Melani Ika Susanti,
S. Pd., M. Pd., selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih kepada Maria
Agustina Amelia, S. Si., M. Pd., atas dukungan yang membawa peneliti pada
pengalaman internasional yang berkesan selama masa perkuliahan. Terima kasih
kepada Brigitta Erlita Tri Anggadewi, M. Psi., atas waktu dan dukungan moral
bagi peneliti selama menjalani masa studi. Terima kasih kepada Dra.Ignatia Esti
Sumarah, M. Hum. dan Drs. Paulus Wahana, M. Hum atas kesempatan yang
diberikan kepada peneliti untuk dapat belajar terlibat dalam kegiatan akreditasi
prodi. Terima kasih kepada Laurensia Aptik Evanjeli, M. A. selaku dosen
pengajar dan Kepala Pusat Studi Individu Berkebutuhan Khusus yang masih mau
menampung dan menerima peneliti bekerja sebagai student staff meskipun sudah
di semester akhir masa studi.
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada kepala sekolah, guru, orang tua
siswa, dan semua partisipan lain yang telah bersedia menjadi teman seperjalanan
selama proses pengambilan data. Peneliti merasa sangat bersyukur dapat bertemu
dan belajar bersama semua partisipan dalam penelitian ini. Tanpa keterlibatan dan
kesediaan mereka, penelitian ini tidak akan dapat selesai dengan baik.
Terima kasih kepada kedua orang tua peneliti, Bapak Sutopo dan Ibu
Kristiana Triastuti, peneliti bersyukur bisa menjadi bagian dalam keluarga ini dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
belajar untuk memasrahkan diri pada kehendak Tuhan ketika dalam masa sulit.
Kepada Lambang Pikatan Aspa Sinar Sito, adik peneliti, terima kasih telah
membantu peneliti belajar makna komunikasi dan memberi ruang bagi orang lain.
Ucapan terima kasih kepada teman-teman seangkatan dan seperjuangan
peneliti, Maria Eka Setyaningsih, Nisa Setya Widiasanti, Agung Hari, Jatu
Maharani, Anastasia, Ignatia Dita, Jeri Paikar, Andi Sucahyo, Ratri Septiana
Astuti yang selalu memberi kritik dan saran, menjadi teman diskusi, pendengar,
dan sekutu di saat-saat tertentu yang memberikan banyak pelajaran berharga bagi
peneliti. Teruntuk teman-teman PPL peneliti, Maria Krusita, Sofia Putri
Nugraheni, Dedi Permana, Yosafat Margiono, Theodorus Cahyono yang menjadi
partner kerja terbaik dan rekan diskusi yang menyenangkan bagi peneliti. Terima
kasih kepada Agnes Maya Wandita, Agata Nindya, dan semua sahabat peneliti
yang selalu menjadi motivator dan rekan seperjuangan yang setia. Teruntuk
teman-teman cepriz dan keluarga PSIBK, Mbak Anti, Deon, Jojo, Joste, Kurnelia
Sukmawati, Mila, Vero, Mbak Tia, Mbak Sonya, Tika, Phieter, Dafi, Riri, Mala,
Viany terima kasih telah membantu peneliti belajar memahami makna dari sikap
empati.
Peneliti menyadari bahwa karya tulis ini tidak sempurna dan memiliki
kekurangan, sehingga peneliti menerima kritik dan saran dengan terbuka. Semoga
karya ini dapat menjadi bahan refleksi dan pembelajaran yang bermanfaat bagi
pembaca.
Peneliti
Layung Rahmawati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
PERSEMBAHAN .................................................................................................. iv
MOTTO .................................................................................................................. v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................................. vii
ABSTRAK ........................................................................................................... viii
ABSTRACT ............................................................................................................. ix
KATA PENGANTAR ............................................................................................ x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 6
E. Definisi Operasional ........................................................................................ 7
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................... 10
A. Deskripsi Anak ............................................................................................... 10
B. Teori-Teori yang Mendukung ........................................................................ 12
1. Siswa Marginal (minoritas) dan Privilege (hak istimewa): Dua Sisi
Berbeda dalam Satu Keping Koin ................................................................. 12
2. Collectivism Society (Masyarakat Kolektif): Sebuah Teori Tentang
Social Action (Aksi Sosial) ............................................................................ 16
3. Sibling Rivalry (Persaingan Saudara) dan Pengaruhnya dalam Prestasi
Akademis ....................................................................................................... 19
C. Hasil Penelitian yang Relevan ....................................................................... 21
D. Kerangka Berpikir .......................................................................................... 24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 26
A. Jenis Penelitian ............................................................................................... 26
B. Setting Penelitian ........................................................................................... 27
C. Desain Penelitian ........................................................................................... 27
D. Partisipan Penelitian ....................................................................................... 28
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................. 29
D. Instrumen Penelitian ...................................................................................... 33
E. Kredibilitas dan Transferabilitas .................................................................... 36
F. Teknik Analisis Data ...................................................................................... 38
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................... 41
A. Hasil Data Penelitian ...................................................................................... 41
1. Key Participant ....................................................................................... 41
2. Ibu Key Participant ................................................................................. 47
3. Guru-Guru yang Berinteraksi dengan Key Participant .......................... 51
4. Teman-Teman dan Kakak Laki-Laki Key Participant ........................... 63
B. Analisis dan Pembahasan Sebagai Summary Report Data Penelitian ........... 71
C. Temuan-Temuan Lain .................................................................................... 80
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 82
A. Kesimpulan .................................................................................................... 82
B. Keterbatasan Penelitian .................................................................................. 83
C. Implikasi dan Saran Penelitian Selanjutnya ................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... xvi
LAMPIRAN .......................................................................................................... xx
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... xxix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR GAMBAR
Diagram 1. Alur Relasi dalam Keluarga Key Participant 73
Diagram 2. Digram 2. Alur Relasi Antar Guru di Sekolah dengan Key Participant
75
Sociogram 1. Alur Hubungan Relasi Key Participant dengan Teman-Teman Satu
Kelasnya 78
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Look at your life through the eyes of a child (Michele, 2005:1) dalam
bahasa Indonesia kalimat tersebut berarti “Lihatlah hidupmu melalui mata
seorang anak”. Kalimat itu hendak menyatakan perjalanan peneliti dalam
melakukan penelitian dan belajar dari pengalaman seorang anak. Sebagai
mahasiswa pendidikan guru sekolah dasar, peneliti telah banyak berinteraksi
dengan anak-anak dalam berbagai kegiatan magang di sekolah dasar. Peneliti
melihat bahwa sosok seorang anak dapat menjadi cermin untuk menjadi lebih
peka melihat berbagai peristiwa di alam bawah sadar kita seperti trauma, luka
batin, phobia, dan sebagainya.
Hanh (2011) dalam artikelnya yang berjudul Healing the Child Within
menuliskan bahwa ternyata dalam diri setiap manusia terdapat jiwa seorang
anak yang terluka (wounded child) yang mencoba menghindar dari berbagai
pengalaman buruk dimasa lalu dengan cara berusaha melupakan atau
mengabaikan pengalaman tersebut. Pengalaman buruk atau terluka dapat
dialami bahkan sejak anak masih berada dalam rahim ibunya. Kemudian
pengalaman-pengalaman lain diterima lewat interaksi dalam keluarga,
sekolah, dan lingkungan sekitar. Seiring dengan berjalannya waktu manusia
berusaha menghibur diri terus menerus, misalnya dengan menonton televisi
atau film, bersosialisasi, atau ekstrimnya menggunakan alkohol atau narkoba;
semua itu karena tidak ingin merasakan kembali ingatan pada pengalaman
buruk tersebut (Hanh, 2011:40). Faktanya, berlari dari kenyataan dengan
berusaha melupakan tidak akan mengakhiri penderitaan; hal itu hanya akan
memperpanjangnya (Hanh, 2011: 40). Lalu sebenarnya bagaimana cara
terbaik berproses menghadapi luka atau trauma?
Sebagai contoh, ketika masa kanak-kanak seorang individu kerap
dilarang melakukan hal yang dianggap buruk oleh orang tua seperti membaca
komik. Maka akibatnya mungkin menimbulkan perasaan tertekan atau
ketakutan berlebihan (phobia) pada individu tersebut untuk melakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
sesuatu di luar kebiasaan. Selain itu, individu tersebut juga bisa jadi
mempercayai pandangan umum orang tuanya bahwa membaca komik adalah
kegiatan yang negatif atau tidak bermanfaat. Padahal belum tentu pandangan
tersebut benar. Sebab, bisa jadi perilaku dan pandangan individu tersebut
dalam menanggapi larangan orang tuanya adalah caranya menghindari
teguran atau amarah atau hukuman, bukan karena dia benar-benar tahu
dampak negatif membaca komik terhadap dirinya. Maka bisa dikatakan
bahwa usaha individu tersebut menyikapi larangan membaca komik sebagai
dalih menghindari rasa sakit karena dimarahi atau dihukum.
Berkaitan dengan contoh peristiwa sebelumnya, peneliti menemukan
sebuah fenomena yang terjadi di sekolah, yaitu ada seorang siswa bernama
Putra (psedonym) yang mendapat julukan “nakal” karena kerap melanggar
aturan. Julukan ini timbul karena dalam masyarakat kolektif ada
kecenderungan untuk mempercayai sesuatu hal berdasarkan pandangan
umum yang berkembang di masyarakat. Seperti pola pikir tentang marginal
student yang umumnya dikaitkan dengan siswa yang nakal, pembangkang,
pembuat onar, atau predikat negatif lainnya. Apakah benar bahwa marginal
student selalu merupakan golongan anak-anak dalam kategori tersebut? Bisa
jadi kenakalan anak merupakan upayanya untuk menghindari melakukan hal-
hal atau aktivitas yang tidak disukainya. Misalnya ketika sesi membaca cerita
pendek dalam pelajaran bahasa Indonesia, ada anak yang sibuk mengobrol
dengan teman sebangkunya. Perilaku anak tersebut dianggap “nakal” oleh
gurunya, karena seharusnya dia fokus membaca bukan mengobrol. Jika guru
mencoba bertanya alasan anak tersebut berperilaku demikian mungkin saja
hal itu karena dia tidak senang membaca atau karena dia sudah selesai
membaca lalu merasa bosan.
Bertolak dari paparan di atas, ketika guru menggunakan persepsi
subjektifnya terlebih dahulu dibanding mencari tahu penyebab perilaku
tertentu pada siswa maka akan memicu munculnya julukan “nakal” tanpa
dasar alasan yang jelas. Meminjam istilah Driyarkara yaitu menjadi lebih
manusiawi, sesungguhnya apa fungsi edukatif pendidikan dalam pengajaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
di sekolah? Apakah menjuluki siswa “nakal” dengan melihat perilakunya
yang melanggar aturan lewat perspektif guru bisa dikatan pendidikan yang
manusiawi? Pengajaran yang mendidik bertujuan untuk membantu manusia
muda mencapai status dan kehidupan yang khas manusia, yaitu mampu
berdiri sendiri, bersikap sendiri, bertanggung jawab dan berbuat sendiri
(Supratiknya, 2014). Apakah julukan “nakal” dapat membuat siswa
menyadari dampak perilakunya dan akhirnya bertanggung jawab pada
perbuatan yang telah dilakukannya?
Permasalahan siswa di sekolah semacam kasus tersebut, berkaitan
dengan cara penanganan siswa “nakal” melalui bimbingan atau layanan
konseling guru kelas. Peneliti menemukan di sekolah PPL (Program
Pengalaman Lapangan) beberapa pendapat guru kelas yang merasa kurang
memberikan layanan konseling bagi siswa yang memiliki permasalahan
akademik maupun masalah sosial. Bu Is (pseudonym) wali kelas 1B
menuturkan bahwa dia tidak memiliki waktu melakukan home visit
(kunjungan rumah) ketika ada siswa yang memiliki permasalahan belajar atau
dalam pergaulan di sekolah. Menurut Bu Is bimbingan konseling bagi siswa
yang memiliki masalah belajar dan sosial harus diawali dari mengetahui latar
belakang keluarga atau lingkungan rumah siswa, sehingga bisa menemukan
penyebab permasalahannya. Karena kendala jarak rumah siswa yang jauh dan
kesulitan mengatur waktu melakukan home visit maka Bu Is merasa kurang
dalam memberikan layanan bimbingan konseling bagi siswa.
Sedangkan Pak Ibi (pseudonym) wali kelas IVB mengungkapkan
bahwa kesibukan administrasi di sekolah negeri membuatnya tidak sempat
menangani permasalahan siswanya. Pak Ibi mengangap bahwa bimbingan
konseling bagi siswa adalah menyediakan waktu konsultasi dengan orang tua/
wali murid membahas berbagai hal yang berkaitan tentang masalah maupun
latar belakang siswa bersangkutan. Pak Ibi yang bertugas sebagai bidang
kurikulum dan administrasi selain menjadi guru kelas merasa tidak punya
waktu luang untuk bertemu dengan orang tua/wali murid selain saat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
penerimaan rapor. Pak Ibi menyatakan bahwa dirinya masih kurang dalam
memberikan bimbingan konseling bagi siswa kelasmya.
Apakah bimbingan atau layanan konseling merupakan cara yang sesuai
menangani kasus siswa yang mendapat julukan “nakal”? Sebetulnya apa
makna bimbingan atau layanan konseling bagi siswa? Dinkmeyer & Caldwell
(1970) menyatakan bahwa bimbingan konseling di sekolah dasar lebih
menekankan pada pentingnya peranan guru dalam fungsi bimbingan.
Selanjutnya mereka juga menjabarkan bahwa fokus bimbingan di SD ialah
pengembangan, pemahaman diri, pemecahan masalah, dan kemampuan
berhubungan secara efektif dengan orang lain. Pandangan para guru yang
telah peneliti jelaskan pada paragraf sebelumnya merupakan bagian dari
penjabaran Dinkmeyer & Caldwell mengenai bimbingan konseling di sekolah
dasar. Parameter cukup atau kurang bimbingan konseling yang diberikan
tergantung pada kebutuhan masing-masing siswa dan teknik memberikan
bimbingan dari masing-masing guru.
Sementara itu Bu Egi (pseudonym) wali kelas IIIA memiliki
pandangan lain soal cara mendidik dan mengatasi masalah siswa “nakal” di
kelas. Bu Egi mengungkapkan bahwa dirinya adalah seorang guru muda di
SD Negeri Damai (identitas sekolah disamarkan) sehingga mendapatkan
banyak tugas penelitian dan lomba untuk memenuhi syarat sertifikasi. Oleh
sebab itu Bu Egi merasa tidak memiliki waktu untuk melakukan bimbingan
konseling bagi siswanya. Dia mengatakan bahwa setiap anak didik dalam
kelasnya adalah pribadi yang unik dengan latar belakang yang berbeda beda.
Hanya saja dia lebih memilih menerapkan sikap “galak” dan tegas dalam
menghadapi murid “nakal” di kelas. Baginya guru yang terlalu lembut akan
sulit memanagemen kelas dan cenderung kalah argumen atau kehabisan cara
menghadapi tingkah beragam siswa. Berbanding terbalik dengan cara Bu
Lani (pseudonym) yang menceritakan bahwa dirinya merasa dengan
kelembutan akan dapat lebih memahami siswa “nakal” di kelas karena siswa
merasa secure (aman) serta jauh dari rasa dihakimi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Beragam argumen guru mengenai cara mendampingi atau memberi
bimbingan konseling siswa berkaitan dengan permasalahan Putra
(pseudonym) yang menjadi key participant dalam penelitian ini. Salah satu
alasan Putra mendapat julukan “nakal” karena pernah tinggal kelas. Awalnya
Pak Dodi (pseudonym) wali kelas Putra (pseudonym) menjelaskan bahwa
masalah yang mengakibatkan Putra tidak naik kelas karena dia belum lancar
menulis dan membaca. Tetapi Bu Ely wali kelas Putra sebelumnya
menjelaskan bahwa sebenarnya Putra anak yang pintar dan bisa belajar hal
baru dengan baik, hanya saja dia merasa bahwa Putra adalah anak yang
terlalu aktif dan kurang fokus dalam beraktivitas di kelas.
Guru memiliki cara pandangnya masing-masing terhadap Putra yang
menciptakan ragam julukan terhadapnya. Kasus kenakalan Putra nampak
seperti kasus biasa yang umum terjadi di sekolah. Kenakalan anak di sekolah
telah dianggap menjadi topik biasa yang wajar dan kerap dibahas di sekolah,
namun kadang tidak ada tindak lanjut terhadap topik permasalahan tersebut.
Apakah betul kasus kenakalan anak sesederhana itu untuk dapat diabaikan
atau diusut lebih jauh faktor penyebabnya? Padahal tindakan “nakal” yang
dilakukan Putra ini tidak terjadi pada setiap siswa di kelas atau di sekolah.
Perilaku “nakal” ini hanya muncul pada orang atau situasi tertentu. Jika
demikian, apakah julukan “nakal” sesuai untuk menamai pola perilaku ini?
Penelitian ini hendak menggambarkan pribadi Putra dari sudut
pandang masing-masing orang yang berinteraksi dengannya. Pengambilan
data melalui open-ended interview, observasi, dan studi dokumentasi.
Fenomenologi digunakan sebagai metode analisis data penelitian. Semua data
partisipan dan setting lokasi dalam penelitian ini adalah samaran untuk
menjaga privasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan sebelumnya
oleh peneliti maka dapat dirumuskan pertanyaan utama penelitian yaitu, hal-
hal apa saja yang melatarbelakangi pola-pola perilaku partisipan penelitian?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Dari pertanyaan utama tersebut ada delapan sub-pertanyaan lain untuk
membantu menjawab topik permasalah utama secara menyeluruh dan
mendalam, yaitu:
1. Pengalaman hidup seperti apa yang mempengaruhi kepribadian Putra?
2. Apa respon Ibu Putra dalam menghadapi perilaku anaknya?
3. Mengapa Ibu Putra memberikan respon demikian?
4. Apa respon guru kelas terhadap perilaku Putra?
5. Mengapa guru kelas memberikan respon demikian?
6. Apa respon teman-teman Putra terhadap sikapnya dalam berelasi?
7. Mengapa teman-teman Putra memberi respon demikan?
8. Seperti apa relasi Putra dengan kakak laki-lakinya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi hal-hal
apa saja yang melatarbelakangi pola perilaku antar partisipan penelitian.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan refleksi bagi guru dan
orang tua dalam memahami permasalahan anak dengan melihat dari sudut
pandang yang berbeda. Proses penelitian memberikan pengetahuan baru
bagaimana melakukan penelitian fenomenologi di kelas untuk
mengidentifikasi permasalahan psikologis anak. Hasil penelitian juga
menjadi bahan pembelajaran guru untuk mengembangkan penelitian
kualitatif di Sekolah Dasar secara lebih mendalam lewat pemahaman
kondisi psikologis anak. Implikasi dari penelitian ini juga menjadi usaha
untuk memutus mata rantai dominasi yang menimbulkan pendidikan yang
menindas dan fokus pada kebebasan siswa belajar dari pengalamannya
masing-masing.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
2. Manfaat Praktik
2.1 Bagi Peneliti
Proses penelitian sebagai bahan refleksi pribadi bercermin melalui
seorang anak dengan stigma negatif dari lingkungannya dan caranya
bersikap terhadap orang-orang yang berinteraksi dengannya. Hasil
penelitian menjadi bahan pembelajaran bagi peneliti mendalami
metode penelitian fenomenologi. Dinamika penelitian membuka pola
pikir peneliti untuk melihat sebuah peristiwa dari sudut pandang yang
berbeda supaya tidak mudah menghakimi segala sesuatu berdasarkan
satu sudut pandang.
2.2 Bagi Guru
Penelitian ini sebagai bahan refleksi dan referensi dalam mendidik
siswa di kelas berdasarkan kesadaran bahwa setiap individu
diciptakan unik dan berbeda-beda. Hasil penelitian ini menjadi bahan
pembelajaran baru dalam mengembangkan penelitian kualitatif di
sekolah yang mendukung perubahan proses pendidikan yang semakin
memanusiakan manusia.
2.3 Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini menjadi bahan referensi bagi warga sekolah
tentang dinamika anak dengan stigma negatif di sekolah dan cara
menyikapinya.
E. Definisi Operasional
Beberapa konsep-konsep kunci dalam penelitian ini memiliki makna
yang berbeda dari arti kata sebenarnya. Pada bagian ini, peneliti akan
menjabarkan arti kata konsep-konsep kunci secara pengertian etimologis dan
makna kata sesuai dengan fokus penelitian. Konsep-konsep kunci
berdasarkan arti kata secara etimologis diberi garis bawah, sedangkan
penjelasan setelahnya adalah keterangan penjelas makna kata sesuai fokus
penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
1. Kenakalan (KBBI; Kamus Besar Bahasa Indonesia) sebagai kata sifat
bermakna perbuatan atau tingkah laku nakal, nakal yang dimaksud adalah
perbuatan yang melanggar atau tidak sesuai dengan aturan yang berlaku
seperti membantah, mengganggu, jahil, dan sebagainya. Makna nakal
dalam penelitian ini adalah tindakan partisipan yang melanggar peraturan
kelas dan mengakibatakan proses pembelajaran terganggu yaitu jahil,
berkelahi, mencontek dan merebut atau mengambil atau meminjam alat
tulis teman tanpa meminta izin.
2. Kekuasaan (KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah kuasa untuk
mengurus, memerintah, mengatur, atau menguasai suatu hal, wilayah,
golongan, atau peristiwa tertentu. Makna kekuasaan dalam penelitian ini
adalah kemampuan orang atau sekelompok orang untuk mengasai orang
atau golongan orang lain berdasarkan wewenang, kekuatan fisik, jabatan,
kemampuan, kewibawaan, koneksi, atau keistimewaan tertentu.
3. Fenomena (KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia) merupakan hal-hal
yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta
dinilai secara ilmiah. Fenomena dalam penelitian ini memiliki makna
sebagai fakta atau kenyataan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di
sekolah, berkaitan dengan key participant dan other participant yang
terlibat dalam penelitian.
4. Marginal student (siswa minoritas) adalah anak-anak yang mendapat
stigma buruk karena perilaku buruk (membolos, suka berkelahi,
melanggar aturan, dan sebagainya) maupun karena perbedaan kelas sosial
atau kondisi ekonomi yang mengakibatkan mereka sulit berinteraksi
sosial dengan orang lain dan kerap mengalami penolakan dalam interaksi
sosial. Marginal student dalam penelitian ini adalah siswa atau kelompok
siswa yang kurang diterima dalam kelompok bermain di sekolah karena
dianggap nakal, curang, bodoh, tidak naik kelas, atau suka mengatur.
5. Privilege student adalah siswa dengan hak istimewa karena kapasitas
intelektualnya di atas rata-rata atau kondisi ekonomi orang tua menengah
ke atas. Hak istimewa ini bisa berbentuk prioritas dalam menjawab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
pertanyaan di kelas, mengikuti lomba, atau bahkan izin melanggar
peraturan seperti tidur di kelas. Privilege student dalam penelitian ini
adalah siswa yang mendapat pengecualian dan pembiaran dalam kegiatan
pembelajaran karena dimaklumi sebagai siswa yang nakal serta sulit
diatur.
6. Persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu (KBBI;
Kamus Besar Bahasa Indonesia). Persepsi dalam penelitian ini memiliki
makna pandangan atau cara menanggapi individu terhadap seorang anak
yang dianggap sebagai anak nakal di sekolah.
7. Pendekatan fenomenologi dalam ranah psikologi adalah metode deskriptif
penelitian kualitatif dari pengalaman hidup manusia (Wertz, 2011:124).
Tujuannya adalah mengkonseptualisasikan proses dan struktur dari
kehidupan mental manusia, bagaimana situasi hidup bermakna melalui
pengalaman, dengan tanpa menambah dan mengurangi apa pun (apa
adanya).
8. Empowering adalah segala tindakan memberdayakan siswa sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan masing-masing pribadinya. Empowering
dalam penelitian ini bermakna kemampuan guru dalam memberikan
treatment yang tepat atau sesuai bagi masing-masing individu atau peserta
didik dalam kelas mengembangkan dirinya secara mandiri dan
bertanggung jawab berdasarkan rasa empati bukan simpati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
BAB II
LANDASAN TEORI
Beberapa konsep-konsep kunci dalam penelitian ini memiliki makna yang
berbeda dari arti kata sebenarnya. Makna dari masing-masing konsep kunci
tersebut telah peneliti jabarkan pada bagian definisi operasional di Bab I. Pada
Bab II ini peneliti akan fokus melihat tiga teori khusus yang berkaitan dengan
fokus utama penelitian yaitu marginal dan privilege student, masyarakat kolektif,
dan sibling rivalry.
Relevansi ketiga teori tersebut dengan fokus utama penelitian adalah
kegunaannya untuk menemukan masalah utama penelitian yaitu, faktor-faktor
yang mempengaruhi pola perilaku key participant. Teori-teori tersebut
mengungkapkan bagaimana proses terjadinya dominasi dan munculnya individu
atau golongan subordinat. Pola-pola perilaku dominasi dan resistensi ini juga
timbul dalam fenomena yang teramati dari key participant. Teori-teori ini menjadi
ukuran dan batasan dalam membaca analisis data penelitian.
A. Deskripsi Anak
Partisipan kunci dalam penelitian ini adalah Putra. Peneliti bertemu
dengan Putra di sekolah tempat pelaksanaan PPL (Program Pengalaman
Lapangan). Ketika itu peneliti mendapatkan tugas untuk melakukan observasi
pembelajaran guru di kelas IIB. Selama pembelajaran peneliti mengamati
Putra yang selalu ingin menjawab soal yang diberikan guru. Ternyata Putra
juga adalah ketua kelas IIB. Sebagai ketua kelas Putra sering melanggar
peraturan kelas seperti berjalan-jalan saat pelajaran, mengobrol ketika guru
menerangkan, membuang sampah sembarangan di kelas, mencontek, dan
berkelahi. Guru kelas, Pak Dodi, sering menegur Putra dengan suara keras
dan memperingatkan akan mengeluarkannya dari kelas jika tidak mematuhi
peraturan kelas. Pak Dodi juga menegur sikap Putra dengan selalu
mengingatkan dan mengatakan bahwa dia adalah ketua kelas, sebagai ketua
kelas dia wajib menjadi contoh yang baik bagi teman-teman yang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Berdasarkan perbincangan peneliti dengan Pak Dodi peneliti
mengetahui bahwa Putra ternyata adalah salah satu siswa yang tinggal kelas
di tahun ajaran sebelumnya. Penyebab Putra tinggal kelas karena dia belum
lancar membaca dan menulis, selain itu sebagian besar nilai rapornya belum
memenuhi KKM yaitu pada mata pelajaran IPS, Bahasa Indonesia, dan
PPKn. Karena pertimbangan tersebut maka Putra tinggal kelas dan
mengulang di kelas II. Pak Dodi menunjuk Putra sebagai ketua kelas dengan
tujuan supaya Putra menjadi anak yang memiliki tanggung jawab dan
mengurangi sikap nakalnya. Definisi nakal menurut Pak Dodi adalah sikap
melanggar peraturan, mencontek, berkelahi dengan teman, suka membuat
gaduh, mendominasi di kelas, dan berbagai sikap negatif lainnya.
Putra adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Dia mempunyai
seorang kakak laki-laki bernama Eno yang duduk di bangku kelas V di
sekolah yang sama. Informasi ini didapat peneliti berdasarkan perbincangan
dengan Ibu Putra, Bu Ina. Bu Ina adalah seorang ibu rumah tangga. Bu Ina
hampir selalu mengantar jemput kedua putranya tersebut. Suami Bu Ina
berprofesi sebagai polisi. Bu Ina mengungkapkan dia berasal dari keluarga
ekonomi menengah ke atas sebab penghasilan suaminya selalu mencukupi
kebutuhan keluarga. Mereka tinggal di sebuah daerah perumahan elit di dekat
sekolah. Bu Ina ternyata berasal dari Kalimantan, namun kedua orang tuanya
sebetulnya adalah orang Jawa yang transmigrasi ke Kalimantan. Beliau
menjelaskan bahwa pertemuannya dengan suaminya terjadi di Kalimantan
saat suaminya itu bertugas di daerah tempat tinggalnya. Semenjak menikah
mereka tinggal di Yogykarta. Bu Ina mengungkapkan bahwa dia memang
sosok ibu yang galak dan tegas dalam mendidik anak-anak. Hal ini karena
pengaruh pendidikan orang tuanya yang keras semasa tinggal bersama kedua
orang tua dan dua kakak perempuan di Kalimantan. Pendidikan keras itu
diterapkan dalam keluarga Bu Ina karena tidak ada anak-anak laki-laki dalam
keluarga mereka, sehingga ketiga bersaudara itu dituntut menjadi wanita yang
tangguh tahan banting.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Bu Ina menceritakan bahwa Eno lahir di saat kondisi perekonomian
keluarga belum begitu baik, sedangkan Putra lahir saat kondisi ekonomi
keluarga sudah mapan. Bu Ina mengeluhkan bahwa suaminya tidak mau
ambil bagian dalam mendidik anak-anak. Sejak awal menikah sang suami
sudah menetapkan bahwa dia akan bertanggungjawab terhadap segala
kebutuhan ekonomi keluarga namun tidak akan mengurus pendidikan anak
karena pekerjaannya yang sibuk dan padat. Sehingga apa pun keinginan dan
kebutuhan kedua anaknya selalu dipenuhi oleh ayah mereka sebagai ganti
waktu yang jarang bisa diluangkannya bagi keluarga.
Berdasarkan penjelasan yang didapat peneliti dari penuturan Pak Dodi
dan Bu Ina, peneliti akan membahas lebih lanjut bagaimana persepsi dan
pola-pola perilaku Putra dengan orang-orang di sekitarnya mempengaruhi
kepribadiannya. Selain itu penjelasan itu menjadi bekal awal peneliti dalam
mengamati perilaku Putra yang mendapat label anak nakal dari beberapa guru
dan teman-temannya di sekolah. Pembahasan tersebut akan dikaji dengan
menggunakan pendekatan fenomenologi yang akan dibahas secara mendalam
pada bab III.
B. Teori-Teori yang Mendukung
1. Siswa Marginal (minoritas) dan Privilege (hak istimewa): Dua Sisi
Berbeda dalam Satu Keping Koin
Ungkapan marginal student umumnya mengacu pada siswa yang
berada pada batas atensi (perhatian) dari guru dan pihak sekolah yang lain
saat mereka merencanakan dan melakukan kegiatan pendidikan di sekolah
(Sinclair & Ghory, 1987). Pada tahun 1987 Sinclair dan Ghory
mengumpulkan berbagai artikel tentang marginal student dari para
peneliti pendidikan di Amerika Serikat. Keberadaan marginal student saat
itu dikaitkan dengan kemiskinan masyarakat karena berdasarkan sumber
buku karya Sinclair dan Ghory menuliskan bahwa saat itu Amerika masih
merupakan negara berkembang. Selain itu keberadaan marginal student
juga dipengaruhi dominasi ras, kondisi psikologis keluarga, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
kemampuan intelgensi anak. Anggapan bahwa anak bodoh tidak bisa
belajar atau mengikuti pembelajaran di sekolah masih kental terasa di
sekolah-sekolah yang ada. Sinclair dan Ghory (1987) menggolongkan
siswa marginal menjadi beberapa kategori yaitu, siswa droupouts (putus
sekolah), low achievement and underachievement (kemampuan
intelegensi dibawah rata-rata), suspensions (siswa yang mendapat skors),
avoidance (dihindari, umumnya karena kerap melanggar peraturan), dan
drug use (pengguna narkoba).
Topik marginalize bersinggungan dengan persoalan privilege (hak
istimewa). Kedua ungkapan ini menjadi penanda identitas seseorang
dalam masyarakat (Goodman, 2015). Dua identitas ini kerap
menimbulkan perbincangan di masyarakat berkaitan dengan isu justice
(keadilan); pandangan dan penelitian umum membahas bahwa pihak
penguasa atau opperessor menggunakan privilege (hak istimewa) yang
menindas kelompok marginal baik tersurat maupun tersirat (Goodman,
2015). Privilege dalam masyarakat Amerika Serikat adalah representasi
dari orang kaya atau menengah keatas dari segi ekonomi dan pendapatan,
orang kulit putih, laki-laki (budaya patriarki), heterosexual, agama
mayoritas (Kristen), dan semua golongan dominan yang lain (Goodman,
2015). Jika ditarik menuju ke persoalan siswa dengan privilege, maka
dapat dikategorikan menjadi siswa kaya atau golongan sosial ekonomi
menengah, siswa gifted, siswa berprestasi, dan siswa dominan yang
mendapat kemudahanan akses serta beragam pengecualian dalam hal-hal
tertentu di sekolah.
Peneliti belum menemukan artikel dan penelitian yang relevan
mengenai siswa dengan privilege di sekolah. Peneliti menemukan artikel
lain oleh Goodman (2010) yang membahas mengenai bagaimana
mendampingi siswa dengan label privilege di sekolah. Siswa sering
resisten untuk mengevaluasi kembali keyakinan pribadi tentang identitas
diri mereka sendiri, orang lain, dan dunia (Goodman, 2010). Bagi siswa
dari kelas dominan, mempertanyakan asumsi seseorang dapat menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
ancaman emosional dan intelektual siswa, sehingga mereka berjuang
dengan banyak hambatan untuk memeriksa identitas privilege dalam diri
mereka (Goodman, 2010). Hal ini menimbulkan penyangkalan dalam diri
anak-anak dengan privilege bahwa mereka berbeda karena pandangan
negatif masyarakat bahwa kelompok dominan selalu menjadi pihak yang
bersalah juga bertanggung jawab terhadap perampasan hal kelompok
marginal (Goodman, 2010).
Fenomena yang teramati peneliti selama berada di lapangan adalah
seorang anak di kelas IIIB yang mendapat pembiaran dan pemakluman
atas sikap-sikap buruknya di kelas seperti tidak mengerjakan PR,
berkelahi dengan temannya, memukul dan berkata kasar kepada guru,
karena orang tuanya adalah salah satu donatur di kelas. Secara tidak
langsung anak tersebut dicap mendapat hak istimewa atau privilege,
namun di sisi lain dia tidak mempunyai teman di kelas dan menjadi bahan
gunjingan kelompok yang memusuhinya. Peristiwa lain yang juga ditemui
peneliti adalah seorang siswi kelas IIB yang selalu mendapat nilai
akademik dengan predikat sangat baik di kelas yang selalu menjadi
sasaran mencotek teman-temannya saat ulangan. Siswi tersebut tidak
mengadukan perbuatan teman-temannya yang mencotek hasil
pekerjaannya karena jika dia melapor dia akan dijauhi dan tidak memiliki
teman di kelas. Dua contoh sederhana tadi menggambarkan bahwa
kelompok marginal dan privilege sebenarnya sama-sama berada pada
posisi yang tidak nyaman juga terkekang karena label identitas tersebut
membatasi kebebasan mereka, seumpama dua sisi berbeda dalam satu
koin yang sama.
Penjelasan sebelumnya menjadi sebuah refleksi bahwa kerap kali
manusia membahas ketidakadilan dari sisi kaum tertindas dan marginal
semata. Menjadi acuh pada kenyataan bahwa keberadaan kelompok
marginal yang melawan atau justru mendapat privilege juga bisa menjadi
masalah ketidakadilan bagi kelompok dominan. Goodman (2015)
menjelaskan dalam jurnal penelitiannya bahwa umumnya manusia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
memiliki multiple identity (identitas ganda) yang melekat pada dirinya,
hanya saja salah satu identitas lebih dominan menutupi identitas yang
lain. Identitas ganda ini hanya berbeda satu derajad saja dalam pribadi
seseorang (Goodman, 2015), sehingga sesungguhnya siswa privilege bisa
sekaligus menjadi marginal dalam beberapa bagian dan kasus tertentu
dalam hidupnya. Gambaran konkretnya adalah siswi pintar dalam contoh
sebelumnya, mendapat privilege dari guru kelas untuk mengerjakan soal-
soal sulit di depan kelas sebagai contoh bagi teman-temannya, namun
sekaligus tidak dapat lepas dari jerat memberikan contekan demi tetap
memiliki teman di kelas.
Pada umumnya solusi yang muncul untuk menghadapi masalah
siswa injustice (ketidakadilan) adalah dengan menciptakan kurikulum
yang sesuai dan tepat guna dengan kebutuhan masing-masing siswa.
Kunci utama tetap terletak pada pendidik itu sendiri, yang terlibat
langsung dalam hubungan interaksi dengan anak. Bagaimana mengubah
pola pikir guru untuk rendah hati mengenali pribadi siswanya masing-
masing dan melakukan empowering (memberdayakan, memberi
wewenang) kepada siswa terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran
sesuai kemampuan dan minat bakat masing-masing. Empowering ini
harus benar-benar tepat memberdayakan siswa secara adil dengan prinsip
empati bukan simpati.
Sebagai contoh bagi siswa dominan karena status ekonomi
keluarga harus tetap diberi sangsi atau hukuman jika melanggar peraturan
dan bagi siswa yang dianggap underachiement dimotivasi dalam belajar
serta dibangun kepercayaan dirinya sambil membantunya menemukan
bakat lain yang dia kuasai. Sebab terkadang siswa yang dinilai
underachievement karena nilai akademik yang tidak memuaskan memiliki
bakat di bidang lain yang non-akademik. Selain itu kita juga tidak dapat
menuntut semua siswa mampu berteman baik dengan semua anak dalam
kelas. Sebab kita pun memiliki kecenderungan tertentu dalam bergaul,
misalnya hanya bisa berteman baik dengan beberapa rekan kita yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
dirasa cocok diajak berdiskusi atau berkejasama. Jika ada anak yang
senang menyendiri dan sulit bergaul dengan teman sekelasnya tidak selalu
berarti bahwa dia introvert. Mungkin saja dia sedang beradaptasi atau
belum tertarik bersosialisasi.
Marginal dan privilege adalah indentitas diri dan label ciptaan
masyarakat (Goodman, 2015). Yang terpenting bukan lagi soal apa
identitas diri kita, tetapi bagaimana supaya identitas itu tidak menjadi
penghalang dalam kehidupan sosial kita. Pengetahuan dan kepekaan guru
melihat situasi demikian menjadi kunci untuk dapat merangkul masing-
masing siswa menemukan dirinya dan semakin memanusiakan pribadi
mereka.
2. Collectivism Society (Masyarakat Kolektif): Sebuah Teori Tentang
Social Action (Aksi Sosial)
Fukuyama seorang politikus saintis, ekonom, dan penulis buku
berkewarganegaraan Amerika keturunan Jepang menuliskan ungkapan
Horace, Epistles dalam bukunya yang berjudul The Great Disruption “You
can throw out Nature with a pitchfork, but it always comes running back,
and will burst through your foolish contempt in triumph” (Kamu dapat
membuang sifat dasarmu dengan penggaruk rumput, tapi dia akan selalu
kembali padamu, dan akan membakar dengan penghinaan melalui
kebodohanmu dengan kemenangan). Setelah era indrustrialisasi moderen
kita beralih ke era postmodern namun belum meninggalkan jejak aturan
permainan di masa lalu (Fukuyama, 1999:3). Manusia selalu berada di
bawah bayang-bayang social order (tatanan sosial) dalam membangun
peradabannya.
Negara kapital dan komunis dengan ideologi besarnya menguasai
negara-negara kecil dan membuat standarisasi internasional yang membuat
mereka akan selalu berada di atas awan dan menjadi penguasa. Pada
kenyataannya, bahkan di dalam negara maju pun ada sekelompok
masyarakat yang tertindas. Penindasan itu tidak serta merta selalu terjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
pada golongan minoritas tapi bisa terjadi pada siapa saja yang tidak
resisten atau rentan terhadap dominasi.
Ada sebuah pepatah ethiopia “When the great lord passes the wise
peasant bow deeply and silently farts” (Ketika tuan besar lewat, petani
yang bijak membungkuk dalam dengan hormat dan diam-diam kentut).
Hal ini menjadi ungkapan sederhana yang hendak menggambarkan betapa
kekuasaan seseorang tidak selalu dihormati karena kebaikannya,
penghormatan itu hanya timbul karena tidak ada perlawan terhadapnya.
Scott dalam bukunya Domination and The Arts of Resistence menuliskan
kutipan tulisan Valcav Havel (31 Mei 1990) “Society is a very mysterious
animal with many faces and hidden potentialities and ... it’s extremely
shortsighted to belive that the face society happens to be the potencialities
that slumber in the spirit of population” (Masyarakat adalah hewan yang
sangat misterius dengan banyak wajah dan potensi tersembunyi dan ...
sangat picik untuk percaya bahwa wajah masyarakat merupakan potensi
yang terlelap dalam semangat penduduk atau populasi yang lebih besar).
Dua kutipan tersebut menunjukan adanya anomali-anomali dari pemikiran
dan pemahaman umum pada masyarakat kolektif dalam menanggapi
situasi kekuasaan tertentu. Kecenderung masyarakat kolektif menerima
pendapat umum atau mayoritas pada titik tertentu dapat mencapai titik
jenuh. Titik jenuh inilah yang kemudian memicu beragam aksi atau
tindakan anomali terhadap nilai, norma, situasi, konflik, dan cara pandang
masyarakat umum.
Pada titik tertentu dapat juga timbul social act (aksi sosial) yang
merupakan efek samping atau dampak dari peristiwa anomali terhadap
pandangan umum di masyarakat kolektif. Pierre Bourdieu menuliskan
teori tentang struktur yang membentuk pola praktis dalam ranah ekonomi,
sosial, dan budaya. Teorinya menjelaskan bagaimana produksi dan
reproduksi kekuasaan bekerja dalam hal ekonomi, sosial, dan budaya
(Öztrük, 2009). Bourdieu membedakan hukum internal masing-masing
bidang karena batasan struktural pencapaiannya dalam power game
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
(permainan kekuasaan) di bidang tersebut (Öztrük, 2009). Dari teori
tersebut dapat dipahami bahwa masyarakat berada dalam tataran
permainan kekuasan karena power relationship (hubungan kekuasaan).
Hal ini menggambarkan bahwa dalam sistem pendidikan tersirat oposisi
kekuasaan yang menentukan pola dan kurikulum pendidikan, sehingga
segala sesuatu menjadi memiliki batas dan ukuran yang seragam
berdasarkan kuasa pemerintah. Collectivism society (masyarakat kolektif)
adalah tanggapan dari kegelisahan sistem individualistik dan oposisi.
Hanya saja masyarakat kolektif bisa menjadi bias sebagai solusi
permasalahan tersbut, karena dalam masyarakat kolektif bermunculan pula
ragam teori konspirasi sebagai bentuk konfrontasi terhadap pihak oposisi
(Öztrük, 2009). Padahal pihak oposisi mula-mula juga terbentuk dari
masyarakat kolektif, hanya saja mereka memiliki kuasa yang membuatnya
menjadi dominan di masyarakat (Öztrük, 2009).
Singkatnya, Bordieu merumuskan pendekatan reflektif terhadap
kehidupan sosial. Kehidupan sosial ini menyingkap kondisi sewenang-
wenang struktur sosial dan sikap yang terkait dengannya berdasarakan
rumusan tiga konsepsi yaitu, habitus, modal, dan lapangan (Öztrük, 2009).
Oleh karena itu, bagi Bourdieu, studi tentang kehidupan manusia harus
mencakup makna tindakan manusia. Dia berusaha untuk mengklarifikasi
reproduksi sosial dan budaya ketidaksetaraan dengan menganalisis proses
misreprognition, dan dengan menyelidiki bagaimana habitus kelompok
yang didominasi dapat menutupi kondisi mereka sebagai golongan
subordinat (Öztrük, 2009).
Berdasarkan teori dan penelitian Bourdieu maka, baginya, tidak
ada titik di luar sistem dimana seseorang dapat mengambil atau mengakui
sikap yang netral dan atau dia tertarik dengan perspektif manapun (Öztrük,
2009). Karena kita, setiap pribadi manusia, adalah bagian dari masyarakat
kolektif dan berada dalam pihak tertentu. Hanya saja terkadang kita
menjadi denial (mengingkari) posisi kita dengan mengakui sebagai pihak
yang netral.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, masih ada pandangan
bahwa guru sebagai poros masyarakat koletif dalam kelas. Masyarakat
kolektif yang dimaksud di sini merujuk pada kelompok siswa. Adanya
siswa dominan dan subordinat tidak dapat dihindari dalam peristiwa sosial
dalam kelas. Peran guru adalah mengarahkan supaya pola tersebut tidak
menimbulkan kondisi ketidakadilan yang merugikan salah satu pihak.
Guru menuntun dan membimbing pola pikir siswa untuk terbuka dan
mendukung kepentingan bersama dibanding kepentingan pribadi untuk
keuntungan diri semata. Guru mengajak siswa menyadari bahwa mereka
adalah bagian dari masyakat luas yang kompleks, bahwa perselisihan dan
usaha mendominasi orang lain adalah tindakan yang tidak perlu karena
hanya akan menyakiti orang lain dan harga diri. Permasalahannya adalah
apakah guru di Indonesia mampu melakukan hal tersebut ketika mayoritas
masyarakat masih memiliki kecenderungan pola pikir teacher centered
learning? Apakah semua guru mau berusaha keluar dari zona nyaman dan
aman untuk selalu menempatkan diri pada posisi netral? Jika tidak, lalu
apa yang bisa kita lakukan menghadapi kasus sedemikian rupa? Pemikiran
masyarakat kolektif erat kaitannya dengan budaya dan kebiasaan. Saat
suatu konsep atau ideologi menjadi bagian dari budaya atau kebiasaan
seseorang atau sekelompok masyarakat, maka mencerabutkan akan
menjadi tindakan ekstrim yang bisa memicu kecaman.
3. Sibling Rivalry (Persaingan Saudara) dan Pengaruhnya dalam
Prestasi Akademis
Alfred Adler seorang psikoanalisis meneliti bahwa urutan
kelahiran mempengaruhi sifat dan kepribadian anak serta memperlihatkan
pola dominasi antar saudara. Darwin (1859) menjelaskan mengenai teori
adapatasi lingkungan sebagai salah satu bentuk cara bertahan hidup.
Secara tersirat penelitian Darwin terhadap teori adaptasi dan evolusi
hewan juga menerangkan perilaku manusia. Bahwa ternyata persaingan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
saudara dapat dipahami sebagai salah satu bentuk adaptasi dan seleksi
alam.
Hamilton (1964; Trivers 1974) mengemukakan bahwa persaingan
saudara adalah sarana untuk bersaing mendapatkan sumber daya yang
lebih menguntungkan. Dengan demikian seleksi alam yang terjadi karena
disposisi keturunan untuk bersaing satu sama lain tidak hanya untuk
bertahan hidup, tapi juga mendapatkan perhatian lebih dari orang tua.
Persaingan saudara bisa digambarkan sebagai bentuk kecemburuan.
Persaingan dan perkelahian antar sauudara dan saudari umum terjadi
dalam sebuah keluarga (Badger, 2009). Trivers (1974) menunjukkan
bahwa setiap anak pada awalnya menganggap dirinya lebih penting atau
dua kali lipat lebih berharga daripada saudara kandungnya dan perlu
diajarkan untuk bisa berbagi serta bersikap baik.
Siegler (2007, dalam artikel penelitian Badger 2009) mencatat
berbagai kemungkinan pengaruh non-biologis pada persaingan saudara,
misalnya konflik orang tua atau “anak emas” orang tua, dsb. Hal ini bisa
meningkatkan persaingan dari anak yang kurang perhatian dan
menyebabkan rasa bersalah pada anak yang lebih dicintai, serta
kecenderungan meningkat saat anak memiliki dorongan dan minat pada
hobi yang sama. Lamb dan Sutton-Smith (1982) menggolongkan
persaingan saudara menjadi dua tipe yaitu, overt (terbuka) dan covert
(terselubung). Persaingan overt (terbuka) mencakup pernyataan
perbandingan langsung antara dua bersaudara. Sedangkan persaingan
covert (terselubung) mencakup pernyataan sindiran halus tanpa
perbandingan langsung. Persaingan yang timbul adalah usaha untuk
menjadi superior dalam mendapatkan perhatian orang tua dan
meningkatkan status dalam hubungan saudar kandung, atau dengan kata
lain menjadi dominan terhadap satu sama lain.
Mc Nerney dan Usner (2001, dalam artikel Badger 2009)
melakukan penelitian tentang persaingan saudara dalam rentang hidup
manusia. Partisipannya adalah 85 mahasiswa. Hasilnya 56% individu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
mengalami persaingan saudara antara usia 10-15 tahun dan 38%
mencakup permasalah akademis. Sedangkan pada usia 20-25 tahun
persaingan saudara meningkat hingga 65% dengan bagan persaingan
meliputi permasalahan sosial sebanyak 30%. Dalam tataran ini persaingan
akademis tidak hanya sebatas untuk mendapatkan perhatian dan
perlindungan orang tua, tetapi juga sebagai bentuk mencari penghormatan,
peningkatan status, dan prospek kerja. Prestasi akademis sebagai sarana
mengamankan status karir yang lebih tinggi.
Badger dan Reddy (2009) dalam penelitiannya menemukan bahwa
persaingan saudara antara anak sulung dan bungsu dalam keluarga
dipengaruhi oleh pola asuh dan gender. Saudara dengan gender berbeda
cenderung memiliki tingkat persaingan akademis yang lebih rendah
daripada saudara dengan persamaan gender. Anak bungsu cenderung
merasa tidak lebih pintar dibanding kakak sulungnya, sehingga anak
sulung cenderung memiliki minat bersaing yang lebih besar untuk
menunjukkan otoritasnya. Hubungan kekuasaan (power relationship)
timbul saat anak sulung menunjukkan jari kepada adiknya untuk
memberikan sebuah tuduhan dengan tujuan mendapat pujian dan
perlindungan dari orang tua terhadap pemberontakan adiknya (Doron,
2009). Sedangkan anak bungsu menunjukan sikap manja dan
ketergantungannya untuk mendapatkan perhatian dari orang tua.
C. Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan adalah artikel dari bikku Hanh tentang
Healing the Child Within, Sulloway F.J. artikel penelitiannya berjudul
Sibling-order Effects, dan artikel penelitian Badger dan Reddy tentang The
Effect of Birth Order on Personality Traits and Feelings of Academic Sibling.
Ketiga artikel tersebut menjadi bahan pembelajaran peneliti untuk mengkaji
lebih dalam data dari tema penelitian yang akan disajikan. Masing-masing
artikel membahas tentang permasalahan anak dan persaingan saudara dalam
hubungan serta pengaruhnya pada pergaulan dan prestasi akademik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Hanh adalah seorang bikku Buddha Vietnam, penyair, sarjana, dan
aktivis hak asasi manusia yang mendapat nominasil oleh Martin Luther King,
Jr untuk hadiah Nobel perdamaian. Salah satu buku karangannya berjudul
Being Peace (menjadi damai). Artikel Hanh yang relevan dengan penelitian
ini adalah tentang Healing the Child Within, bagaimana kita bisa
menyembuhkan dan menyelamatkan diri sendiri sebelum bisa
menyelamatkan orang lain. Setiap pribadi kita memiliki masa lalu atau
pengalaman buruk yang tanpa kita sadari kerap kita hindari atau lupakan.
Padahal sesungguhnya luka akan kenangan itu masih ada dan membentuk
kepribadian serta sifat kita. Maka kunci penyembuhan luka batin adalah
dengan kesadaran. Kesadaran bahwa rasa sakit itu ada dan berusaha berdamai
dengannya untuk bisa menjadi lebih baik. Energi dari mindfulness (kesadaran
penuh) membantu kita melihat secara lebih mendalam dan mendapatkan
wawasan yang kita butuhkan untuk transformasi yang lebih baik.
Penelitian Sulloway (2001) melakukan pengkajian bahwa ternyata
secara historis urutan kelahiran berpengaruh penting pada aspek kehidupan
sosial, ekonomi, dan politik. Hal tersebut masih terjadi hingga kini dalam
masyarakat, terutama masyarakat tradisional. Hukum waris dan adat istiadat
yang diskriminatif , suksesi kerajaan yang mendukung anak sulung menjadi
salah satu contoh nyatanya. Efek urutan kelahiran juga telah
didokumentasikan untuk berbagai macam kecenderungan perilaku. Dalam
proses Darwinian, persaingan dilakukan sebagai bentuk adaptasi dan seleksi
alam. Hal ini berpengaruh radikal terhadap pembentukan kepribadian
berdasarkan urutan kelahiran. Pola perilaku ini dapat diolah dan dimediasi
dalam keluarga jika setiap anggota keluarga bisa saling mendukung dan
memahami satu sama lain.
Badger dan Reddy (2009) meneliti pengaruh urutan kelahiran
terhadap kepribadian dan persaingan saudara. Penelitian ini lebih mengarah
pada persaingan saudara di bidang akademik. Data diambil dengan
menggunakan kuisioner online dan wawancara terhadap 85 mahasiswa. Hasil
menunjukkan bahwa kecenderungan anak bungsu lebih banyak terpicu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
melakukan persaingan di bidang akademik dengan t = 2,33, DF = 44; p <
0,05. Sedangkan anak sulung lebih cenderung berhati-hati dan menunjukkan
sikap berbakti pada orang tua dengan hasil F (1,44) = 5,39; p <0,05. Hal ini
menunjukkan implikasi domain pada bidang pendidikan, kesehatan, dan
psikoterapi. Badger dan Reddy memberikan saran penelitian lanjutan untuk
memperluas temuan dalam hal variabel dan berdasarkan lokasi geografis.
Ketiga penelitian tersebut berkaitan erat dengan topik utama
penelitian ini. Pertama, untuk dapat memahami secara mendalam kasus
hegemoni dan stigma terhadap siswa yang dianggap nakal oleh
lingkungannya adalah dengan mengenali diri sendiri. Hal-hal atau
pengalaman apa dari peristiwa hidup peneliti yang sensitif bersinggungan
dengan pengalaman dalam interaksi bersama key participant. Peristiwa itu
dapat membangun kepekaan peneliti dalam memahami pola perilaku
bermasalah dan dapat menggali lebih dalam akar permasalah timbulnya
perilaku tersebut. Kedua, melihat bahwa pengaruh urutan kelahiran bisa
menimbulkan persaingan antar saudara kandung. Fenomena yang terselubung
bahwa sebenarnya ada persaingan di antara key participant dengan kakak
kandungnya. Pola persaingan ini dapat mengungkapkan posisi dominasi antar
kedua pihak yang akhirnya berpengaruh terhadap perilaku key participant.
Ketiga, bentuk persaingan saudara di bidang akademik bisa menjadi
salah satu faktor pemicu key participant ingin terlihat berbeda dengan kakak
kandungnya. Ketidakterarikannya dalam pembelajaran dan sikap malas bisa
terbangun karena ungkapan verbal orang tua yang kerap membandingkan key
participant dengan kakaknya. Prestasi akademis menjadi momok yang
hendak dihindari key participant sehingga dia tetap bisa memperoleh
perhatian dari orang tuanya. Artikel Bedger dan Reddy melakukan
pembuktian terhadap pola perilaku anak bungsu yang cenderung bersaing di
bidang akademik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
D. Kerangka Berpikir
Pengalaman peneliti bertemu dengan anak yang mendapat julukan
nakal di sekolah karena tidak naik kelas dan sering membuat onar membuka
kesadaran peneliti tentang pendidikan dasar yang sarat budaya labeling.
Banyak anak yang sebenarnya memiliki potensi namun kerap dianggap
sebagai troublemaker karena perilaku mereka yang melawan arus
mainstream. Guru kelas terkadang menganggap hal itu sebagai sebuah
kewajaran, seperti pendapat Bu Egi pada bagian latar belakang, keberadaan
anak nakal adalah hal yang wajar di kelas. Sebetulnya apa makna nakal bagi
guru? Apakah siswa yang kerap melanggar peraturan dapat lantas dijuluki
sebagai anak nakal? Apa tolok ukur dari kenakalan? Hal-hal ini menjadi latar
belakang peneliti melakukan penelitian lebih lanjut.
Proses penelitian dilakukan berdasarkan kasus yang dilihat dan
dialami peneliti. Kemudian peneliti mencoba berefleksi dalam pengalaman
bersama partisipan kunci. Dengan demikian peneliti dapat belajar pola
pemikiran partisipan kunci, serta mencari tahu akar permasalahan yang belum
selesai dalam hidup partisipan kunci yang akhirnya mempengaruhi
kepribadiannya. Selain itu peneliti juga berinteraksi dengan guru kelas,
mantan guru kelas, ibu partisipan kunci, dan kakak partisipan kunci untuk
melihat bagaimana cara mereka memandang partisipan kunci. Cara pandang
tersebut membentuk pola interaksi mereka dengan partisipan kunci.
Peneliti juga melihat bagaimana interaksi partisipan kunci dengan
teman-teman sekelas dan mantan teman sekelasnya. Bagaimana cara
partisipan kunci berinteraksi dengan teman sebayanya yang telah menjadi
kakak kelasnya karena dia tinggal kelas. Peneliti juga mencari tahu
pandangan teman-teman sekelas dan mantan teman sekelas terhadap
partisipan kunci. Sudut pandang mereka menjadi kunci respon tindakan
terhadap partisipan kunci. Ada teman yang merasa didominasi sehingga
menempatkan dirinya pada posisi subordinat. Ada juga teman yang tidak
dapat didominasi tetapi tidak balas mendominasi. Ada pula yang balik
mendominasi partisipan kunci. Peristiwa menarik juga peneliti amati yaitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
adanya perlawanan subordinat terhadap partisipan kunci yang jenuh dengan
kelakuan partisipan kunci. Semua peristiwa dan pengalaman peneliti tersebut
menjadi bagian dari proses penelitian.
E. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian adalah pertanyaan yang membantu peneliti
menggali lebih dalam topik atau tema permasalahan utama penelitian.
Pertanyaan penelitian ini merupakan delapan sub-rumusan masalah yang
sudah peneliti tulis sebelumnya pada Bab I, tetapi kembali peneliti cantumkan
pada bagian ini.
1. Pengalaman hidup seperti apa yang mempengaruhi kepribadian Putra?
2. Apa respon Ibu Putra dalam menghadapi perilaku anaknya?
3. Mengapa Ibu Putra memberikan respon demikian?
4. Apa respon guru kelas terhadap perilaku Putra?
5. Mengapa guru kelas memberikan respon demikian?
6. Apa respon teman-teman Putra terhadap sikapnya dalam berelasi?
7. Mengapa teman-teman Putra memberi respon demikan?
8. Seperti apa relasi Putra dengan kakak laki-lakinya?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
“There is no burden of proof. There is only the world to experience
and understand. Shed the burden of proof to lighten the load for the journey
of experience.” (Tidak ada beban bagi pembuktian. Hanya ada dunia untuk
pengalaman dan pemahaman. Singkirkan beban bagi pembuktian untuk
meringankan beban pada perjalanan dari pengalaman.) Pernyataan tersebut
merupakan kutipan tokoh fiktif, Profesor Halcom rekaan Michael Quinn
Patton, tentang Laws of Inquiry (hukum inkuiri) dalam buku Qualitative
Research and Evaluation Methods. Peneliti memaknai pernyataan tersebut
sebagai nilai baru yang dihidupi peneliti, yaitu untuk berhenti melakukan
pembuktian dalam hidup dan belajar memahami pengalaman berdasarkan
fenomena yang nampak dalam kehidupan sehari-hari untuk lebih peka serta
menghargai orang lain melalui penelitian kualitatif. Dengan demikian
pengetahuan kualitatif sebenarnya mudah diterima begitu saja, karena kita
sudah terbiasa dengan kondisi “apa adanya” lewat pengalaman rutin yang kita
alami dalam kehidupan sehari-hari (Wertz, 2011: 2).
Penelitian kualitatif diformulasi dengan menggunakan kata tanya
“apa?”. Mengetahui hal apa yang berarti konseptualisasi dari topik di bawah
investigasi sebagai bagian dari keseluruhan dan di masing-masing bagiannya,
bagaimana bagian-bagian ini terkait dan diatur secara keseluruhan, dan
bagaimana keseluruhannya serupa dan berbeda dari hal-hal lain (Wertz,
2011:2). Mengetahui hal apa yang mungkin terjadi, juga termasuk
konseptualisasi tentang “bagaimana” – proses dan peristiwa sementara
berlangsung pada waktunya (Wertz, 2011:2). Pengetahuan kualitatif juga
termasuk pemahaman konteks, konsekuensi/luaran, dan juga bahkan apa
pentingnya penyelidikan dalam dunia yang lebih luas (Wertz, 2011:2).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
B. Setting Penelitian
1. Waktu Penelitian
Peneliti melaksanakan penelitian kurang lebih selama enam bulan,
dimulai dari tanggal 25 Juli hingga 12 Desember 2017.
2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di sebuah SD Negeri yang berada di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang namanya disamarkan
menjadi SD Negeri Damai. SD ini terletak di daerah pinggiran kota yang
berbatasan dengan jalan raya dan pasar tradisional. Kompleks sekolah ini
termasuk sempit karena tidak memiliki lapangan olah raga dan ruang
kelas yang memadai. Dua ruang kelas VI berada di gedung terpisah yang
berjarak kurang lebih 200 meter dari gedung sekolah utama.
C. Desain Penelitian
Peneliti melihat fenomena yang terjadi di sekolah dan mencari tahu
penyebab terjadinya fenomena tersebut serta bagaimana respon atau reaksi
orang-orang yang terlibat dalam situasi tersebut. Fenomena yang dilihat
peneliti adalah bagian dari peristiwa sehari-hari yang dialami selama
melakukan PPL (program pengalaman lapangan) di sekolah. Maka, metode
yang digunakan untuk memahami peristiwa-peristiwa tersebut adalah dengan
fenomenologi. Fenomenologi adalah metode formulasi original dalam filsafat
yang juga telah diterapkan di seluruh ilmu humaniora, social science, dan
profesi pelayanan selama abad terakhir; sejak tahun 1960-an, metode ini telah
digunakan dengan jelas untuk merumuskan meaning-oriented (orientasi
makna), pengetahuan deskriptif dalam psikologi (Wertz, 2011:4).
Fenomenologi berangkat dari mempelajari pengalaman dan peristiwa
yang dialami atau diamati di sekitar. Van Manen (1990:9-10)
mengungkapkan bahwa seseorang tidak dapat merefleksikan pengalaman
hidupnya saat melalui pengalaman tersebut. Artinya kita tidak akan bisa
memaknai dan berefleksi dari pengalaman hidup kita jika kita hanya
menganggap lalu peristiwa tersebut. Maka, dalam hal ini peneliti mencoba
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
memaknai dan mengamati segala fenomena yang terjadi di sekitar peneliti
saat berada di sekolah. Fenomena yang dilihat peneliti adalah dinamika dan
pergulatan batin seorang anak kelas IIB yang mendapat julukan “nakal” di
sekolah karena peristiwa perkelahian dengan teman sekelas di tahun ajaran
sebelumnya sehingga harus mengalami peristiwa pindah kelas dari IIA ke
IIB, tinggal kelas pada tahun ajaran sebelumnya, dan perilakunya yang kerap
melanggar peraturan. Siswa tersebut menjadi key participant (partisipan
kunci) dalam penelitian ini. Sedangkan guru kelas, ibu key participant,
teman-teman sekelas, kakak kandung key participant, dan guru serta teman-
teman yang pernah berinteraksi dengan key participant sebagai other
participant (partisipan lain).
Pertanyaan mendasar dalam penelitian fenomenologi adalah apa
maknanya, struktur, dan esensi dari pengalaman hidup berdasarkan fenomena
tersebut bagi individu atau sekelompok orang (Patton, 2002:104). Maka
peneliti merumuskan pertanyaan penelitian pada bab I dalam bentuk aksi –
reaksi dari setiap fenomena/peristiwa yang teramati oleh peneliti. Masing-
masing peristiwa aksi – reaksi tersebut dituliskan berdasarkan sudut pandang
dari key participant dan masing-masing other participant. Dalam hal ini
peneliti menuliskan semua fakta-fakta tanpa menambah atau mengurangi
makna dari keseluruhan data. Sebab, esensi dari penelitian fenomenologi
adalah untuk berefleksi melalui pengamatan peristiwa yang dialami.
D. Partisipan Penelitian
Beberapa peneliti kualitatif, yang kritis terhadap hubungan kekuasaan
yang tidak setara dalam penelitian tradisional, telah menganjurkan adanya
pergeseran hak istimewa peneliti terhadap peserta penelitian dalam jenis
hubungan yang baru (Wertz, 2011). Artinya, penelitian kualitatif menetapkan
posisi partisipan setara dengan peneliti, dengan kata lain proses penelitian
mengutamakan prinsip kesetaraan dan tidak menganggap partisipan sebagai
objek atau subjek penelitian. Pada penelitian ini ada dua jenis partisipan yang
terlibat yaitu key participant dan other participant.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Key participant adalah tokoh utama yang diamati dan dilihat dari
ragam sudut pandang berbeda oleh other participant dalam penelitian. Pada
penelitian ini key participant adalah Putra, sebagai siswa yang perilaku dan
pengalaman hidupnya menjadi bahan refleksi peneliti. Segala tingkah laku,
lontaran ujaran, dan pendapat Putra dalam interaksi dengan peneliti menjadi
data penelitian.
Pada penelitian ini, yang menjadi other participant adalah guru kelas
2B, guru kelas 2A, guru kelas 1B, dan guru kelas 1A. Selain itu peneliti juga
memilih other participant dari beberapa teman sekelas Putra di kelas 2B dan
teman sekelas Putra sebelum pindah kelas serta tinggal kelas yaitu siswa
kelas 3A. Peneliti juga menggali informasi dari Ibu Putra, Bu Ina, dan kakak
laki-laki Putra yang bernama Eno. Semua nama partisipan penelitian yang
tercantum adalah nama samaran untuk menjaga privasi pihak bersangkutan.
Tidak ada batasan penentuan partisipan dalam penelitian kualitatif.
Partisipan bisa siapa saja yang memiliki hubungan atau interaksi dengan key
participant atau objek penelitian (Wertz, 2011). Penentuan partisipan
penelitian dilakukan secara key participanttif oleh peneliti berdasarkan
hubungan interaksi key participant dengan orang bersangkutan dan
kedalaman informasi yang bisa didapat dari orang tersebut mengenai topik
bahasan.
E. Teknik Pengumpulan Data
Patton menggambarkan teknik pengumpulan data seperti bagaimana
cara buah apel tersaji di lapak pedagang. Apples come to market sorted by
type (Red Delicious, Golden), purpose (e.g., cooking or eating), and quality.
Likewise, qualitative study vary by type, purpose, and quality. Buah apel di
pasar dipilah berdasarkan tipe (merah lezat, keemasan), tujuan (untuk
dimasak atau dimakan langsung), dan kualitas. Seperti penelitian kualitatif
dipilah berdasarkan tipe, tujuan, dan kualitas. Ada tiga teknik pengumpulan
data yang digunakan peneliti yaitu in-depth, open-ended interview
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
(wawancara tidak terstruktur yang mendalam), direct observation (observasi
langsung), dan written document (dokumentasi).
1. Open-ended Interview (Wawancara Tidak Terstruktur)
Pedoman wawancara yang digunakan oleh peneliti adalah
wawancara tidak terstruktur atau sering disebut open-ended interview.
Wawancara menggunakan pertanyaan terbuka, tanpa kisi-kisi dan
mengikuti alur respon partisipan, menghasilkan tanggapan tentang
pengalaman, persepsi, pendapat, perasaan, dan pengetahuan (Patton,
2002:4). Data terdiri dari kutipan kata demi kata dengan konteks yang
cukup untuk ditafsirkan (Patton, 2002:4). Respon wawancara tidak
terstruktur mengizinkan serta memungkinkan peneliti untuk melihat
dunia dalam cara pandang responden (Patton, 2002:21).
Lofland (1971) mengungkapkan, untuk memahami partisipan,
dalam istilah mereka sendiri, kita harus mempelajari kategori mereka
untuk memberi penjelasan yang koheren dengan realitas yang ada.
Dasar utama dari data mentah yang didapat melalui depth interview
(wawancara mendalam) mengungkapkan kedalaman emosi responden,
cara mereka menyusun kata dan kalimat, pengalaman mereka, dan
persepsi dasar mereka. Pada umumnya social scientist (peneliti bidang
sosial) memilih cara ini yang memungkinkan mereka untuk
mengatakan berdasarkan apa yang mereka lihat dan alami bukan
berdasarkan persepsi key participanttif peneliti (Denzin, 1978b:10).
Peneliti melakukan wawancara di sekolah ketika jam istirahat
dan pulang sekolah sehingga tidak mengganggu aktivitas mengajar
para guru. Sedangkan wawancara yang dilakukan dengan key
participant, teman sekelas key participant, dan kakak key participant
dilakukan ketika peneliti mengajar atau menunggui kelas. Perbedaan
pemilihan waktu wawancara tersebut bertujuan supaya peneliti dapat
membangun kedekatan relasi dengan masing-masing partisapan (siswa
siswi teman dan kakak key participant) sehingga mereka bisa lebih
terbuka dalam menyampaikan pendapatnya kepada peneliti.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
2. Observasi
Selain ungkapan verbal responden kepada peneliti ada
ungkapan nonverbal dan verbal yang tidak diajukan kepada peneliti
menjadi sumber data pada penelitian kualitatif. Kegiatan pengamatan
tersebut merupakan aktivitas obsevasi. Howard S. Becker menjadi
tokoh yang memimpin praktisi dari para peneliti kualitatif di bidang
penelitian social science, berpendapat bahwa observasi partisipan
adalah strategi yang paling komperhensif untuk menggali informasi.
Hal yang paling lengkap dari bentuk fakta sosiologis adalah ketika
partisipan dan observer berkumpul; menjadi sebuah observasi dari
peristiwa sosial dengan menjadi spectators (penonton) sebelum,
selama, dan sesudah kejadian. Fakta memberi kita informasi tentang
peristiwa dibalik penelitian, sehingga data akan terkumpul dengan
metode sosilogis yang lain (Becker and Geer, 1970: 133).
Peneliti memposisikan diri sebagai pengamat yang melihat
tingkah laku, tindakan, percakapan, interpersonal, proses organisasi
atau komunitas, atau aspek lain yang diamati dalam pengalaman
partisipan. Data terdiri dari catatan lapangan, deskripsi kaya dan
terperinci, termasuk konteks di mana pengamatan dilakukan. Pada
penelitian ini hasil observasi dituangkan dalam bentuk jurnal setiap
kali peneliti melakukan pengamatan terhadap partisipan.
Hal-hal di observasi peneliti dalam penelitian ini antara lain: 1)
Interaksi key participant dengan teman sekelasnya (cara
berkomunikasi, respon saat terjadi perkelahian, dsb), 2) Cara
berkomunikasi key participant dengan kakak laki-lakinya, 3) Cara
berkomunikasi key participant dengan ibunya, 4) Respon key
participant terhadap teguran ibunya, 5) Cara key participant
menanggapi teguran wali kelasnya, 6) Respon key participant terhadap
hukuman, teguran, dan sindiran guru terhadap perilakunya. Sedangkan
pada penelitian ini yang diamati peneliti dari partisipan penelitian
yaitu, 1) Cara ibu menasehari key participant, 2) Cara guru kelas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
menangani perilaku mengganggu atau membangkan key participant, 3)
Cara guru ketika melerai perkelahian key participant dengan
temannya, 4) Respon kakak key participant terhadap perilakunya, 5)
Respon teman-teman key participant terhadap perlakuan key
participant. Hal-hal tersebut menjadi poin penting dalam pengamatan
peneliti.
3. Written Document (Studi Dokumentasi)
Documeting Children adalah segala hal yang dapat diamati dan
didokumentasikan peneliti dari key participant peneltian. Salah satu
caranya adalah dengan melakukan studi dokumentasi. Studi
dokumentasi atau biasa disebut kajian dokumen merupakan teknik
pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada key
participant penelitian dalam rangka memperoleh informasi terkait
objek penelitian. Studi dokumentasi cenderung mengarah pada artefak
fisik yang dibuat atau berkaitan dengan key participant, seperti hasil
karya, catatan harian, surat, dsb. Dalam penelitian ini peneliti
melakukan studi dokumentasi dengan melihat hasil tulisan tangan key
participant yang dianggap menjadi salah satu faktor hambatan yang
menyebabkan key participant tinggal kelas.
Selain itu, ada banyak cara dalam melakukan documenting
children. Yang digunakan peneliti adalah anecdotal record dan
sociogram. Anecdote adalah sebuah cerita. Dalam kegiatan observasi,
anecdote adalah cerita tentang perilaku key participant atau anak yang
diamati (anonim, 2012:1). Tidak semua perilaku anak dicatat dalam
anecdot, catatan dibuat pada perilaku tertentu yang khas seperti
repetitive (perilaku berulang), peristiwa unik, atau kebiasaan tertentu
key participant.
Sociogram adalah pemetaan atau diagram pertemanan dan
interaksi pada sekelompok anak (Anonim, 2012:10). Metode ini bisa
digunakan untuk melihat pola interaksi sosial antar anak. Frekuensi
interaksi, entah itu verbal atau non-verbal, dan dengan siapa key
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
participant berinteraksi dapat menjadi catatan sociogram. Inisiasi dari
interaksi dan respon terhadap inisasi dari orang lain dapat direkam juga
(Anonim, 2012:10). Dalam penelitian ini sociogram digunakan peneliti
untuk menggambarkan diagram interaksi key participant dengan
teman-temannya.
D. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan peneliti sebagai instrumen penelitian atau
key instrument. Dalam penelitian kualitatif ada ragam bentuk instrumen yang
dapat digunakan, namun manusia atau peneliti itu sendiri adalah alat yang
paling fleksibel dan dapat diandalkan karena manusia dapat mengembangkan
dirinya terus menerus (Lincoln, 1985). Peneliti memahami key participant
penelitian dengan menggunakan pengalaman pribadinya, baik dari masa
kanak-kanak hingga dewasa, menggambarkan semua sifat penyelidikan
kualitatif yang mendalam (Patton, 2002:47).
Peneliti belajar mengasah kepekaan diri dalam mengumpulkan data
berdasarkan sensitivitas refleksi pengalaman pribadi dengan peristiwa dan
pengalaman yang dialami bersama key participant. Peneliti merasa memiliki
pengalaman luka batin yang menghambat di awal penelitian. Seiring
berjalannya waktu, peneliti menyadari bahwa memang Tuhan tidak pernah
memberikan kesulitan di luar batas kemampuan manusia. Kesadaran ini
dirasakan oleh peneliti ketika berani berdamai dengan pengalaman buruk di
masa lalu dan belajar rendah hati memahami orang lain baik kelebihan
maupun kekurangannya.
Peneliti adalah anak sulung dari dua bersaudara. Sejak kecil peneliti
lebih dekat dengan ibu, dibanding dengan bapak. Watak bapak yang keras
dalam mendidik anak-anak dan cenderung menerapkan hukuman fisik
mempengaruhi renggangnya komunikasi peneliti dengan bapak. Sewaktu
kecil bapak juga kerap menghukum dengan ungkapan verbal yang kasar,
mengumpat dan mengucapkan sumpah serapah kepada peneliti. Bapak juga
kerap meremehkan dan mengkritik keberhasilan peneliti. Pernah suatu ketika
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
peneliti pulang dari ekaristi di gereja lalu terlibat pertengkaran kecil dengan
bapak, lalu bapak berujar demikian “Percuma rajin ke gereja dan jadi ketua
lektor kalau dikandhani ra nurut (dinasehati tidak menurut)”. Hal ini
membuat peneliti kerap merasa kesal ketika ada orang yang meremehkan,
mengkritik, atau mengucapkan kata kasar pada peneliti.
Efek tersebut mempengaruhi cara peneliti mengajar di kelas. Peneliti
akan senang mengajak berdebat anak yang kerap membuat keributan, tidak
memperhatikan saat pelajaran, atau berkata kasar. Peneliti juga tidak segan
untuk mengabaikan dan bahkan mendiamkan atau menghindari komunikasi
dengan anak-anak tersebut sebagai bentuk balas dendam. Akhirnya peneliti
sadar bahwa berdebat dan melawan balik ungkapan kekerasan verbal tidak
akan mengubah sikap pelaku menjadi lebih baik, justru semakin senang untuk
mengulangi terus perbuatannya. Peneliti berada di titik balik pemahaman
bahwa segala tindakan tersebut hanyalah pelampiasan akan kekesalan masa
lalu peneliti terhadap perlakuan bapak.
Kedekatan peneliti dengan ibu tidak serta merta memberikan
kenyamanan dalam hidup peneliti. Seiring berjalannya waktu, peneliti jenuh
menjadi tempat keluh kesah ibu dan mendengarkan cerita berulangnya
tentang segala kenangan masa kecil, penyesalan, kekhawatiran, dan nasihat-
nasihat yang sama. Peristiwa itu membuat peneliti sadar bahwa selama ini
selalu berada di bawah bayang-bayang ibu. Segala ungkapan keputusasaan
selalu membuat peneliti merasa bahwa seluruh hidupnya hanya akan dia
habiskan untuk membuat ibunya bahagia. Padahal bukankah kebahagiaan
datang dari sendiri bukan karena orang lain yang memberikannya. Peneliti
baru menyadari bahwa selama ini dia selalu berada di balik bayang-bayang
ibunya yang menuntutnya menjadi kakak yang mandiri, tegar, dan menutup
segala aib keluarga dari siapa pun supaya hanya hal baik yang terlihat. Dari
situ peneliti sadar bagaimana cara guru kelas Putra, Pak Dodi, yang kerap
menceritakan kemalangan hidupnya dan menyalahkan nasib serta harta yang
memudahkan rekan kerjanya yang lain mendapatkan jabatan. Namun beliau
selalu bangga menyatakan bahwa meskipun miskin dia bisa menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
pengusaha sekaligus guru. Sikap tersebut mengingatkan peneliti akan
sikapnya sendiri yang kerap menutupi kekurangan dengan banyak
pembuktian yang sebenarnya tidak perlu.
Hubungan peneliti yang kurang baik dengan adik laki-lakinya selalu
menjadi cermin baginya saat berinteraksi dengan key participant dan kakak
laki-lakinya. Betapa peneliti sesungguhnya sangat menyayangi adik laki-
lakinya meski menyadari bahwa dia juga pernah menaruh rasa iri yang sangat
besar pada adik laki-lakinya. Adiknya lahir ketika kondisi ekonomi keluarga
sedang baik, bapak peneliti telah memiliki pekerjaan tetap dan bisa selalu
memenuhi keinginan adiknya. Peristiwa ini seperti terngiang kembali dalam
benak peneliti dalam suatu diskusi dengan ibu key participant, Bu Ina, yang
menceritakan bahwa Putra lahir saat kondisi ekonomi keluarga sedang sangat
baik sehingga menurutnya Putra manja karena segala keinginannya selalu
bisa dituruti oleh ayahnya.
Tiap-tiap pengalaman hidup peneliti yang identik dengan pengalaman
hidup teman-temannya, orang-orang yang dekat dengannya, bahkan key
participant menjadi pengingat baginya untuk menjadi orang yang lebih peka
dan rendah hati. Kesulitan terbesar peneliti yaitu cara berkomunikasi,
dikembangkan dan diuraikan permasalahannya melalui penelitian ini. Bahwa
sesungguhnya segala sesuatu yang diberikan Tuhan sudah baik adanya, hanya
dari sudut pandang mana melihatnya sehingga manusia juga bisa mengatakan
baik dan buruknya. Belajar memahami orang lain adalah belajar memahami
diri sendiri. Sebelum hendak menyelamatkan orang lain tentu kita harus bisa
menyematkan diri sendiri terlebih dahulu. Sebab itu tidak mungkin seorang
penjaga pantai terjun ke laut untuk menyelamatkan pengunjung yang
tenggelam jika ia tidak bisa berenang. Melalui penelitian ini banyak peristiwa
yang menyadarkan peneliti berusaha sedikit demi sedikit beranjak dari
kubangan kebencian, dendam, rasa marah, kesombongan, keras kepala, dan
ketidakpercayaan diri. Seperti ungkapan Prof. Halcolm (tokoh fiksi rekaan
Patton dalam buku-bukunya tentang penelitan kualitatif) “Physician, heal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
thyself. Observer, observe thyself.” (Dokter menyembuhkan dirinya sendiri.
Observer mengobservasi dirinya sendiri.)
E. Kredibilitas dan Transferabilitas
Pada masa tahun 1970-an cara-cara evaluasi data untuk membuktikan
keabsahannya adalah dengan validitas, reliabilitas, keterukuran, dan
generalisasi (Patton, 2002:549). Sementara dalam penelitian kualitatif
kepercayaan yang mencakup kredibilitas, transferabilitas, kehandalan dan
konfirmabilitas menjadi bagian penting dalam evaluasi data penelitian
(Patton, 2002). Kredibilitas mengacu pada kemampuan untuk
mengungkapkan kepercayaan dari temuan (Winarti, 2012). Dalam hal ini
peneliti tidak sedang mencari sekutu atau pembenaran dalam melihat bagian
pengalaman partisipan yang serupa dengan pengalaman pribadi peneliti,
sehingga peneliti dapat menyajikan data dengan pandangan yang objektif.
Peneliti menyadari bahwa ada bagian dari beragaman pengalaman partisipan
yang serupa dengan pengalaman pengalaman pribadi peneliti. Kesadaran itu
bukan menjadi keprihatinan melainkan menjadi pelajaran bagi peneliti untuk
lebih peka pada permasalahan orang lain. Selain itu peneliti juga belajar
memandang pribadi seseorang tidak hanya berdasarkan hal yang nampak di
luar atau berdasarkan pandangan sekelompok orang semata, namun juga dari
sejarah hidupnya.
Sementara itu transferabilitas berarti peneliti lain bisa saja
mendapatkan temuan serupa yang mengacu pada konsep-konsep pada
penelitian ini (Winarti, 2012). Transferabilitas mengacu pada stabilitas
temuan dan kesesuaian data yang didefinisikan sebagai koherensi internal
(Winarti, 2012). Dengan kata lain konsep dan hasil dari penelitian ini dapat
ditransfer pada penelitian dengan temuan atau pola yang serupa. Kasus anak
yang mendapat labeling di lingkungan sekolah, khususnya di sekolah dasar,
cenderung terjadi dan dapat ditemukan dalam keseharian. Ada kemungkin
terjadi penelitian lanjut atau penelitian lain yang mengambil fokus kasus yang
serupa di kemudian hari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Tahap berikutnya dalam evaluasi data kualitatif adalah triangulasi data.
Ada empat jenis triangulasi data, yaitu 1)method trianggulation: pemeriksaan
konsistensi dari menemukan hasil dengan metode pengumpulan data berbeda;
2)trianggulation of source: pemeriksaan konsistensi dari sumber data berbeda
pada metode yang sama; 3)analyst trianggulation: menggunakan beragam
analisis untuk mengkaji ulang temuan; dan 4)theory/perspective:
menggunakan beragam perspektif atau teori untuk menginterpretasi data.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan theory/perspective, karena pada
penelitian ini yang dikaji adalah beragam perspektif dari other participant
terhadap key participant dan menganalisis fenomena berdasarkan beberapa
teori. Teori yang digunakan oleh peneliti adalah teori dominasi dan sibling
rivalry.
Pada triangulasi data peneliti juga melakukan cross checking
(pemeriksaan silang) dan comparing (membandingkan) konsistensi informasi
yang diperoleh pada saat yang berbeda dan dengan arti yang berbeda. Itu
berarti, 1)membandingkan hasil observasi dengan wawancara;
2)membandingkan apa yang orang katakan di depan publik dengan apa yang
mereka ungkapkan secara pribadi; 3)memeriksa konsistensi perkataan
seseorang terhadap sesuatu sepanjang waktu; 4)membandingkan perspektif
seseorang dari sudut pandang yang berbeda; dan 5)melakukan pemeriksaan
hasil wawancara terhadap bukti tertulis lain yang dapat menguatkan laporan
wawancara responden. Peneliti menggunakan kelima poin tersebut untuk
memeriksa keabsahan data.
Peneliti mempelajari akurasi, kelengkapan, kebenaran, dan validitas
dari analisis data dengan memiliki deskripsi individu dalam memberikan
reaksi pada fenomena atau peristiwa yang terjadi. Mendapatkan reaksi dari
responden untuk mengerjakan draft akan memakan waktu, tetapi responden
akan mungkin, 1)verifikasi bahwa Anda telah mencerminkan persepsi
mereka; 2)memberikan informasi pada bagian yang jika mereka publikasikan
dapat menjadi masalah personal bagi mereka atau alasan politik; 3)membantu
mengembangkan ide dan interpretasi baru (Glesne, 1999:152). Peneliti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
melakukan klarifikasi tersebut dalam pelaksanaan wawancara. Kepekaan
peneliti menjadi kunci utama dalam melakukan klarifikasi data terhadap
lontaran atau reaksi partisipan terhadap pertanyaan peneliti.
Isu penting lainnya yang diperlukan dalam penanganan data kualitatif
adalah kerahasiaan (Glesne, 2006). Karena mempersonalisasikan para
partisipan penting untuk kontekstualisasi data dan untuk membantu pembaca
memahami konteks permasalahannya (Winarti, 2012). Kerahasiaan identitas
partisipan juga menjadi perhatian penting peneliti untuk menjaga privasi
mereka (Winarti, 2012). Maka peneliti menggunakan nama samaran atau
pseudonym untuk menggantikan nama asli partisipan dan setting lokasi
penelitian.
F. Teknik Analisis Data
Analisis fenomenologi adalah berusaha untuk memahami dan
menjelaskan makna, struktur, dan esensi pengalaman hidup sebuah fenomena
bagi seseorang atau sekelompok orang (Patton, 2002:482). Pada kegiatan
analisis peneliti dapat membuat interpretasi dari persepsi. Bentuk interpretasi
dari persepsi memungkinkan lanskap muncul; demikian lanskap itu adalah
pemberian pribadi; persepsi peneliti nyata dalam kesadaran. Salah satu
langkah pertama dalam analisis data yang dikenal pada penelitian kualitatif
adalah epochè. Epochè adalah bahasa Yunani yang artinya menahan diri dari
menghakimi, menjauhkan diri atau menjadi abstain dari cara biasa
memahami sesuatu dalam keseharian. Epochè adalah proses di mana peneliti
terlibat dalam untuk menghapus atau setidaknya menjadi sadar dari
prasangka, sudut pandang atau asumsi mengenai fenomena di bawah
investigasi (Katz, 1987:36). Mengacu pada Ihde (1977), epochè
memburuhkan melihat pertimbangan dahulu dan pertimbangan dari apa yang
nyata atau hampir nyata ditangguhkan sampai semua barang bukti (atau
setidaknya bukti yang mencukupi) ditemukan atau termasuk di dalamnya.
Tahap selanjutnya setelah epochè adalah reduksi fenomenologi.
Dalam proses analitikal ini, peneliti bracketing out (keluar dari lingkupnya)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
ke dunia dan memperkirakan untuk mengidentifikasi data dalam bentuk
murni, tidak terkontaminasi dengan intrusi asing (Patton, 2002:485).
Bracketing (mengumpulkan) adalah istilah Husserls (1913). Dalam
bracketing, peneliti memegang fenomena terangkat untuk inspeksi serius.
Peneliti menggunakan kombinasi teori analisis data oleh Denzim (1989b:55-
56) tentang bracketing dan dua langkah analisis Moustakas (1994:28-32)
yaitu:
1. Mencari dalam pengalaman pribadi, atau self-story, frase kunci
dan pernyataan langsung pada fenomena dalam pertanyaan.
Pada penelitian ini peneliti menggali pengalaman pribadi yang
membuat peneliti peka terhadap fenomena yang teramati pada
key participant. Peneliti juga melihat pengalaman hidup apa
yang mempengaruhi key participant dalam bersikap dan
memberi respon pada lingkungan. Selain itu peneliti juga
melihat apa pengalaman hidup other participant yang
mempengaruhi tindakan dan respon mereka terhadap key
participant.
2. Menjelaskan perasaan di mana arah pengalaman kita. Menilik
kembali bagaimana fenomena yang teramati di sekolah,
perasaan dominan apa yang timbul dalam pengalaman tersebut.
Kemudian memilah perasaan dalam masing-masing
pengalaman menjadi sebuah konsolasi (pengalaman positif
yang berkesan) atau desolasi (kesepian rohani, kekosongan)
batin yang dialami peneliti.
3. Discerning (membedakan, memilah) beragam kesadaran yang
esensial atau mendasar bagi individu dari objek (nyata atau
khayalan) itu sebelum kita berada pada kesadaran tersebut
(noema). Hal ini dilakukan peneliti untuk menemukan makna
mendasar dalam setiap pengalaman dan fenomena yang terjadi
di lapangan. Makna mendasar tersebut menjadi alat refleksi dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
analisis akar permasalahan yang ada pada tiap peristiwa
maupun fenomena.
4. Menginterpretasi makna dari frase tersebut sebagai informasi
pembaca. Interpretasi makna peristiwa yang ditulis tidak
membatasi pembaca untuk dapat mengintepretasi secara
berbeda mengenai key participant dan other participant.
5. Memeriksa makna untuk apa mereka mengungkapkan tentang
hal essensi atau mendasar, mengulang fitur dari fenomena yang
dipelajari. Pada penelitian ini, peneliti menganalisis alasan key
participant dan other participant menceritakan pengalaman
hidup tertentu pada peneliti ketika wawancara.
6. Memberikan pernyataan tentatife atau definisi dari fenomena
dalam situasi essensial yang berulang terjadi pada idenfikasi
kasus pada tahap 4. Pernyataan tentatife ini sebagai highllight
bagi peneliti dan pembaca untuk melihat pola-pola perilaku apa
saja yang berulang dilakukan oleh key participant dan other
participant, serta fenomena atau peristiwa hidup apa yang
mempengaruhi perilaku atau respon tersebut.
Semua penjabaran lengkap dari tahap-tahap analisis data tersebut akan
dijabarkan oleh peneliti pada bab IV.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Data Penelitian
1. Key Participant
Putra adalah siswa kelas II B di SD Negeri Damai. Dia tidak
senang berinteraksi atau mengobrol dengan orang yang baru dikenal. Dia
senang bercerita tentang hal-hal apa saja yang sedang dia lakukan atau
kerjakan, yang dia sukai dan sudah berlalu, atau tentang kegiatan atau
materi pembelajaran yang sedang dia sukai kepada orang yang
menurutnya sudah cukup akrab. Peneliti mulanya tidak dapat
berkomunikasi dengan baik ketika awal mengenal key participant, namun
setelah beberapa kali mengajar di kelas key participant akhirnya dia mau
bercerita dan bahkan cenderung mencari perhatian peneliti dengan
mendatangi meja peneliti untuk mengajak ngobrol atau bahkan membuat
keributan di kelas saat peneliti mengajar.
Putra hanya beberapa kali mau memberikan jawaban terhadap
pertanyaan peneliti. Terkadang dia mengabaikan suatu pertanyaan. Berikut
adalah bentuk percakapan peneliti dengan Putra yang kerap tidak
ditanggapi:
Pertanyaan yang biasa dihindari key participant yaitu: Putra
mengapa kamu mengganggu temanmu? (saat dia tiba-tiba mengganggu
temannya yang belum selesai mengerjakan tugas) dia akan diam atau
mengabaikan pertanyaan peneliti dengan bernyanyi dangdut, Putra apa
yang kamu rasakah saat belajar di sekolah? Hanya diam atau lari
menghindar, Putra bagaimana perasaanmu kalau kamu diganggu oleh
temanmu? Menggelengkan kepala atau mengajak mengobrol tentang hal
lain, Putra mengapa kamu tidak mau menyelesaikan pekerjanmu?
Menatap peneliti dengan ekspresi wajah cemberut lalu pergi atau kembali
menunduk mengerjakan, Putra kenapa kamu senang mengganggu
temanmu? Tidak mau menjawab dan bermain dengan teman yang lain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
atau semakin menjahili temannya, Putra dari mana kamu belajar lagu
dangdut? Dia menjawab dengan “nana nina” tanpa menatap saya dan
kemudian pergi, Mengapa setiap kali ibu mengajar kamu senang tiba-tiba
menyanyikan lagu dangdut? Membalas dengan menyanyikan lagu dangdut
dengan keras, Putra kamu sering bermain dengan kakakmu di rumah?
Menjawab dengan tertawa lalu pergi berlalu, Putra kakakmu itu orang
yang seperti apa? Menjawab dengan “Sena itu kakakku” lalu pergi
menjauh tanpa mengatakan hal lain, Apa perasaan Putra pada mama dan
papa? Hanya memandang wajah peneliti kemudian pergi tanpa
mengatakan apa pun.
Ketika peneliti menyakan hal lain ternyata key participant sangat
senang ketika diajak berbicara dengan topik hal yang sedang dia sukai saat
itu. Misalnya ketika pelajaran matematika pada materi perkalian bilangan
cacah 0-100, dia akan senang membahas soal bahkan meminta tambahan
soal ketika selesai mengerjakan. Jika kesenangannya terhadap topik tadi
dipotong dengan pembicaraan atau perkataan lain dia akan langsung pergi
atau tidak menjawab dan kemudian pergi atau meminta peneliti kembali
membahas topik yang dia sukai tadi. Apabila peneliti memenuhi
kenginginannya dengan kembali membahas topik tadi dia akan bertahan
sampai akhirnya bosan dan pergi tanpa mau menjawab pertanyaan lain
diluar topik itu.
Beberapa topik yang senang dibahas key participant yaitu, “Bu
kemarin aku habis berenang dikolam renang, aku ketemu Rio (psudonym)
di kolam. Aku bisa berenang lho bu”, “Bu lihat aku punya mainan baru
bagus lho bisa untuk sulapan kayak pak Dedi (lalu memeragakan cara
memainkan mainannya)”, “Bu aku tadi dikasih uang jajan Rp 10.000 sama
mama. Tak pakai untuk beli tempura, es krim, sama mainan, masih ada
sisanya aku simpen”, “Bu kemarin Ipn (psudonym) (teman sekelasnya)
habis kecelakaan lho, kepalanya benjol”, “Bu bajuku basah. Aku tadi pas
olah raga njorokin Arp (pseudonym) ke blumbang terus aku juga ikut
nyebur. Terus minggu depan aku gak boleh ikut olah raga sama pak Ian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
(pseudonym)”, “Bu aku mau sembunyi aja biar bisa bolos olah raga biar
aku bisa main yang lain”, “Bu aku bawa permen, ni untuk ibu satu”, “Bu
tadi malam aku nonton tv sampai larut malam. Aku berani nonton tv
sendiri”, “Bu Asf (psudonym) tu orangnya gampang marah. Aku ejek
sekali aja dia langsung marah. Dia juga nangis sambil teriak-teriak aku gak
suka .”, “Bu besok kalau piknik aku mau bawa HP”, “Itu tadi kakakku,
Eno, nganterin uang jajanku”.
Key participant selalu berubah menjadi pendiam dan menghindari
kontak mata ketika berkomunikasi saat key participant bersama ibunya.
Key participant akan cenderung lari menghindar saat peneliti dan ibu key
participant berinteraksi. Bahkan key participant tidak mau melakukan
kontak fisik (bersalaman atau diusap rambutnya) dengan peneliti saat ada
ibunya. Biasanya dia akan mengalihkan pertanyaan peneliti dan kemudian
membujuk meminta uang pada mamanya supaya dia bisa pergi atau
melakukan kegiatan lain. Putra kenapa kamu tidak mau menyapa ibu atau
menjawab pertanyaan ibu saat ibu sedang mengobrol dengan mamamu?
Tidak mau menjawab dan kadang hanya menatap peneliti dengan ekspresi
yang tidak peneliti pahami.
Peneliti pernah bertanya kepada key participant beberapa kali
“Kenapa kamu selalu menghindar saat ibu bicara dengan mamamu
Putra?”. Putra tidak pernah menjawab pertanyaan tersebut. Dia akan
berkata “Ma ayo cepetan pulang” setiap kali peneliti dan mamanya sedang
membicarakan dirinya.
Ketika key participant telah mengenal peneliti, dia sangat senang
berbuat jahil kepada peneliti. Misalnya mengagetkan peneliti dengan suara
bom kertas buatannya atau mendorong tiba-tiba. Dia juga akan sangat
senang tiba-tiba melontarkan cerita singkat atau ujaran kepada peneliti
disaat bertemu. Misalnya saat upacara, ketika peneliti lewat dan tidak
sengaja berada di dekatnya dia tiba-tiba bercerita bahwa kemarin ketika
hari minggu dia pergi berenang dan bertemu Rio (psedonym) ,teman
sekelasnya, di kolam renang. Ketika sudah mengenal peneliti dia juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
kerap memanggil nama peneliti ketika bertemu. Kadang memanggil
dengan sopan menggunakan bu, kadang langsung menyebut nama dengan
harapan peneliti bereaksi atas sikap atau ujarannya tersebut. Hal ini
terbukti dari sikapnya yang terus mengulang panggilan tersebut hingga
peneliti menoleh melihatnya atau menegurnya atau memanggil namanya.
Putra selalu ingin menjawab dan mengerjakan di depan kelas saat
peneliti memberi pertanyaan. Terkadang dia bisa menerima saat peneliti
menegurnya untuk memberi kesempatan kepada yang lain bisa bergantian
menjawab. Terkadang juga dia tetap keras kepala berusaha menjawab.
Ketika peneliti menunjuk teman yang lain, Putra akan protes “Bu aku dari
tadi udah ngacung kok gak ditunjuk”, “Gantian dulu sama teman lain ya
Putra. Tadi kan Putra udah jawab pertanyaan yang sebelumnya”, “Tapi
nanti aku juga mau jawab lho bu”. Terbukti dari sikap merajuknya setiap
kali key participant diabaikan. Dia akan meminta peneliti untuk
memberikan kesempatan kepadanya setelah peneliti memberikan
kesempatan pada yang lain terlebih dahulu.
Saat koreksi jawaban Putra tidak mau antri dan ingin didahulukan.
Jika peneliti bentak dengan keras dapat timbul dua kemungkinan sikap.
Pertama, dia akan menurut dan kemudian mundur. Kedua, dia akan
semakin menjadi dan malah membuat kerusuhan. Jika peneliti nasehati
dengan halus untuk antri dan menunggu giliran disamping peneliti setelah
peneliti mengoreksi pekerjaan anak lain yang antri sebelumnya dia akan
menurut dan menunggu. Namun jika dia merasa bosan menunggu dia akan
kembali merajuk meminta peneliti mendahulukan pekerjaannya, tidak
peduli lagi pada urutan dan antrian. Dia selalu mendahului temannya yang
lain untuk membantu peneliti membagikan pekerjaan siswa setelah
dikoreksi atau pun membagikan bacaan atau LKS yang perlu dikerjakan
masing-masing siswa.
Dia tidak tahan duduk tenang di kursinya dalam jangka waktu yang
cukup panjang. “Putra kenapa kamu menulis di meja depan. Ini temanmu
yang lain jadi ketutupan gak bisa liat papan tulis lho”, “Enggak kelihatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
bu kalau duduk”, “Keliatan Putra. (Lalu saya duduk di kursi Putra). Ni
ibu saja bisa lihat kok tulisan di papan dari kursimu. Memang tidak
kelihatannya gimana Putra?”, “Yah gak keliatan bu (Lalu dengan langkah
yang agak diseret kembali ke tempat duduk).” Lebih tenang dan tidak
membuat keributan ketika mengerjakan segala pekerjan (menulis,
mengerjakan soal) dengan duduk di dekat peneliti. “Sini aja Putra duduk
sebelah ibu daripada nutupin temennya.” Mengangguk dan duduk di
samping peneliti. Pada kesempatan lain saat Putra ribut dan peneliti
menegur (“Putra ayo mengerjakan jangan ganggu temennya terus”) Dia
akan mengambil buku dan alat tulis sambil mengadu kalau yang membuat
ribut adalah temannya, kemudian mengambil kursi dan duduk
mengerjakan disamping peneliti.
Suatu ketika peneliti pernah bertanya “Putra biasanya kamu kalau
di luar sekolah, misalnya di rumah, main dengan siapa?”, “Aku senang
main sama sepupuku bu, namanya Aldi dan Aldo (pseudonym). Mereka itu
enggak sekolah lho bu. Terus kita main naik motor keling-keling sekitaran
rumah”, “Lho kenapa mereka tidak sekolah?”, “Ya gak sekolah aja
pokoknya”, “Itu saudaramu dari siapa nak? Maksudnya dari keluarga
bapak atau ibu?”, “Anaknya om sama tante, eemm itu adeknya papaku
bu”, “Kamu kalau liburan senang main kemana?”, “Ke Jakarta bu,
sepupuku itu dulu tinggal di Jakarta. Kalau di Jakarta aku senang main ke
rumah simbah. Pokoknya aku senang pergi main bu”, “Owh dulu
sepupumu itu tinggal di Jakarta. Lalu kenapa kamu senang di rumah
simbah?”, “Ya senang lah bu, kan bisa liburan, bermain, jalan-jalan ke
monas”, “Lalu kalau liburannya di rumah saja senang tidak?”, “Ya gak
papa, kan sepupuku sekarang di Jogja, jadi aku bisa main kapan aja”,
“Kenapa sepupu pindah ke Jogja? Lalu di jogja sekolah tidak”, “Ya karna
orang tua nya punya rumah disini, dekat rumahku itu lho bu. Sekarang ya
juga gak sekolah”.
Berdasarkan keterangan dari wali kelas ayah key participant adalah
polisi dan ibunya pekerja rumah tangga yang juga berbisnis online shop.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Uang saku Putra dalam sehari, ketika di sekolah, tidak pernah kurang dari
Rp 10.000 dan kadang masih ditambah bekal serta uang jajan tambahan
sepulang sekolah. Key participant kerap diantar sekolah dengan mobil
pribadi (bukan menggunakan mobil kedinasan polisi) oleh ayahnya. Saat
pulang bisanyanya yang menjemput adalah ibunya dengan motor, bisanya
ibu Putra akan pulang setelah Eno kakaknya selesai, sehingga mereka bisa
pulang berboncengan bertiga bersama. Ibu Putra aktif dalam paguyuban
orang tua dan ikut menyumbang dana saat ada acara di sekolah seperti
festival 17 Agustus.
Beberapa kali peneliti memergoki key participant mencontek
lembar jawab temannya saat ujian. Peneliti menegurnya lalu menghapus
jawaban key participant dan memintanya mengerjakan ulang. Key
participant awalnya berontak dan mengelak dituduh mencontek, namun
pada akhirnya key participant mau mengerjakan ulang. Dalam beberapa
perkelahian, peneliti sengaja tidak menegur key participant. Peneliti ingin
mengetahui bagaimana cara Putra menghadapi dan menyelesaikan
perkelahian. Ternyata, Putra akan berhenti berkelahi jika dia atau lawan
berkelahi ada yang menangis atau mengadu pada guru.
Peneliti mendapatkan informasi dari wali kelas bahwa key
participant tinggal kelas karena belum lancar membaca dan menulis.
Kemudian peneliti juga mendapatkan beberapa versi cerita dari guru kelas,
Bu Ina, dan guru kelas sebelumnya mengenai masalah key participant di
kelas IIA. Cerita yang peneliti narasikan adalah versi dari ungkapan
masing-masing.Sebelumnya Putra adalah salah satu murid kelas IIA. Di
kelas IIA dia dikenal sebagai siswa yang kerap jahil atau usil menggangu
teman saat kegiatan pembelajaran. Hingga suatu ketika perbuatan iseng
Putra membuat salah seorang temannya luka dan berdarah karena
dibenturkan kepala ke meja. Versi Bu Ely, dia telah mendamaikan kedua
siswa tersebut di sekolah dan menganggap kejadian tersebut hanya karena
ulang iseng Putra semata. Anak yang dipukul Putra itu bercerita kepada
orang tuanya dan akhirnya orang tua anak tersebut menuntut ke sekolah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
serta mengancam akan membawa kasus tersebut ke pengadilan. Bu Ely
mengungkapkan bahwa dia cenderung mendukung Putra karena bukankan
setiap anak pernah melakukan kesalahan dan patut dimaafkan. Pada
akhirnya kepala sekolah memtuskan bahwa Putra harus pindah ke kelas
IIB.
Sementara versi Bu Ina, menceritakan bahwa teman Putra yang
luka itu anak yang sombong dan kerap pamer karena ayahnya mantan
anggota DPRD. Lalu saat Putra ada masalah dengannya, anak tersebut
menyebarkan rumor ke teman-teman sekelas sehingga mereka menjauhi
Putra dan mengolok-olok Putra sebagai anak nakal yang kasar. Bu Ina
mengungkapkan bahwa sebetulnya dia berani saja jika masalah tersebut
dibawa ke pengadilan karena memiliki kepercayaan diri bahwa jabatan
suaminya di kepolisian bisa memenangkan mereka di pengadilan. Pada
akhirnya Bu Ina menerima keputusan ibu kepala sekolah untuk
memindahkan Putra ke kelas IIB.
2. Ibu Key Participant
Pak Doni menceritakan bahwa ibu key participant termasuk salah
satu yang paling sering menemuinya di sekolah. Peneliti sering melihat ibu
key participant datang ke sekolah dan berbincang dengan wali kelas key
participant. Ibu key participant dengan santai berkomunikasi dengan
peneliti meskipun peneliti baru mengenalnya di sekolah.
Ibu key participant mengungkapkan rasa kecewanya karena
anaknya tinggal kelas. Dia menceritakan bahwa dia berusaha kerasa
supaya anaknya dapat naik kelas di tahun ajaran ini. Dia mengusahakan
mendaftarkan Putra ke bimbingan belajar privat maupun kelas klasikal
setelah pulang sekolah. Biasanya Putra mengikuti les tambahan dengan
wali kelas secara klasikal untuk pendalaman materi. Sedangkan di rumah
biasanya dia akan kembali mengikuti les privat dengan wali kelasnya dulu
di kelas 2A. Dia pernah merasa trauma karena suatu hari sepulang sekolah
ketika dia menjemput Putra pulang dari les dari lembaga bimbingan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
belajar Putra nekat melompat dari motor ketika sedang dalam perjalanan
pulang. Beruntung Putra tidak luka parah dan tidak ada patah tulang.
Semenjak itu dia tidak berani terlalu memaksa Putra mengikuti semua les
setiap hari tetapi juga memberinya waktu luang untuk bermain dan hanya
mengikutkan les dengan guru yang dia mau saja.
Bu Ina bercerita bahwa dia memiliki dua anak laki-laki yang sangat
berbeda sikap dan perilakunya. Dia mengakui bahwa Putra adalah anak
yang cerdas dan kreatif jika dibandingan dengan kakak laki-lakinya.
Kakak laki-laki Putra cenderung penurut dan tidak pernah protes kepada
orang tua. Dia bercerita bahwa anaknya memiliki kecenderungan untuk
bebas bermain dan berlaku sesukanya di rumah.
Putra jarang bertemu ayahnya karena ayahnya seorang polisi dan
sibuk bekerja. Ayahnya terlalu sabar pada Putra kalau menurutnya.
“Hanya saya yang cerewet dan menunggui anaknya belajar. Saya
mengakui bahwa semasa muda Saya juga anak yang jahil suka
mengganggu dan mengisengi temannya. Saya mengakui bahwa mungkin
sikap dan sifat anaknya juga menurun dari perilakunya. Setiap malam saya
selalu menunggui anaknya belajar sambil bermain HP kadang kala. Kalau
anaknya menegur Saya sedang bermain HP Saya akan mengatakan bahwa
saya sedang membalas pesan penting dengan guru kelas.” tutur Bu Ina
suatu ketika pada peneliti. “Ayah Putra jarang sekali menunggui Putra
belajar maka saya mengambil peran itu di rumah yaitu menunggui dan
mengawasi Putra belajar. Saya sangat rajin meminta soal dan materi ke
guru kelas. Tiap kali akan ada ulangan tematik Saya akan mencetak ulang
soal-soal dari buku tematik atau latihan soal untuk dikerjakan Putra di
rumah. Saya akan merasa bangga dan lega kalau banyak soal mirip yang
keluar di ujian sesuai yang dipelajari dan dikerjakan anaknya di rumah
sehingga nilainya bagus.” ujar bu Ina.
Bu Ina dan suami sudah sudah punya komitmen awal tentang
pembagian peran dalam keluarga. “Suami saya memilih menjadi tulang
punggung yang akan mencari nafkah dan mencukupi kebutuhan finansial
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
keluarga, sedangkan saya bertanggungjawab penuh pada masalah anak
(mendidik, mengasuh, merawat, dsb).” ungkap Bu Ina pada peneliti. “Saya
kadang merasa kesal dan capek juga karena mengurus anak bukan
pekerjaan sepele. Saya alami sendiri bahwa mengurus anak sangat sulit.
Ayah Putra hanya akan turun tangan kalau saya bilang bahwa perilaku si
Putra sudah kelewat batas dan saya tidak bisa tangani sendiri.” tutur bu
Ina. “Misalnya kasus kemarin itu, dia menyembunyikan tas temannya. Dia
cerita ke saya sepulang sekolah, anak saya bilang gini, Mah tadi aku habis
berkelahi sama Vinca lalu tas nya aku sembunyikan. Mama diminta
ketemu Pak Dodi. Lalu karena saya sudah emosi jadi saya minta suami
saya yang menemui wali kelasnya. Setelah itu ya suami yang menemui
guru sampai Putra mengembalikan tas yang dia sembunyikan itu.” ujar Bu
Ina.
Bu Ina berujar, “Ya sebenarnya saya dan suami itu dibesarkan di
keluarga dengan didikan yang keras. Suami saya bisa marah ke anak-anak.
Sekalinya marah anak-anak pasti takut. Tapi ya itu dia tidak mau ambil
bagian di urusan mengasuh anak-anak. Dia konsisten sih karena selalu bisa
mencukupi kebutuhan finansial kami.”
Bu Ina kurang yakin dan puas dengan guru kelas Putra yang
sekarang. Tadinya sebelum tidak naik kelas Putra adalah siswa kelas IIA
dengan wali kelas Bu Ely. Semenjak ada konflik dan permasalahan dengan
teman satu kelasnya dan Putra dipindahkan ke kelas IIB Bu Ina merasa
kecewa. Bu Ina kerap khawatir kalau sudah dihubungi oleh Pak Dodi wali
kelas IIB karena biasanya itu merupakan sinyal kalau Putra membuat onar
atau masalah di sekolah. “Pak Dodi sering mengatakan hal negatif tentang
Putra, saya merasa bahwa anak saya selalu dikatakan paling kurang dan
tertinggal dalam mata pelajaran di kelas padahal kalau saya melihat hasil
ujian anak saya tidak terlalu buruk dan merasa bahwa pasti teman-teman
Putra juga ada yang kesulitan belajar. Saya juga merasa tingkat
kedisiplinan Putra menurun karena Pak Dodi bukan tipe yang tegas dan
keras saat mengajar di kelas.” tutur Bu Ina.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Bu Ina merasa saat ini Putra masih mendapat diskriminasi di kelas
dan dari guru kelasnya yang menyatakan bahwa Putra anak paling bandel
dan pembuat masalah di kelas. “Seperti masalah waktu itu yang dia
merobek buku catetan temannya. Dia cerita ke saya kalau habis merobek
buku temannya. Ya saya marahi dia, tapi saya senang karna dia itu
anaknya jujur. Tapi sebenarnya si Auf temannya yang dia robek kertasnya
itu juga pernah balas robek buku catatan anak saya. Masalahnya yang dia
robek itu bagian yang ada catatannya. Padahal anak saya kalau merobek
pasti kertas kosong, ya meskipun tetap saja tindakan itu tidak dibenarkan.
Tapi kan tuduhan Pak Dodi itu kurang tepat, karena saya rasa anak-anak
lain juga punya kenakalan terhadap anak saya.” ujar bu Ina kepada
peneliti.
Bu Ina bercerita, “Saya merasa kesal saja terkadang kalau Pak
Dodi bilang anak saya nakal, karena saya yakin kalau di kelas pasti ada
teman-teman Putra yang juga nakal kan. Sebetulnya masalah anak saya itu
bermula waktu di kelas Bu Ely anak saya itu iseng memukulkan kepala
temannya ke meja sampai berdarah. Sebetulnya dia berbuat begitu juga
ada alasannya. Karena temannya itu sering mengadu ke orang tuanya
mengatakan bahwa anak saya nakal, lalu dia juga menghasut teman
sekelasnya menganggap anak saya nakal. Nah Putra itu meskipun seperti
itu dia jujur anaknya. Dia pasti cerita ke saya masalah apa saja dengan
jujur. Ya dia ceritakan juga tentang temannya itu dan alasan dia
melakukan itu ke temannya. Tapi orang tua si anak itu yang tidak terima
dan mau menuntut saya. Katanya sih orang tua anak itu anggota DPRD.
Sebenarnya saya berani aja orangnya, mau dibawa ke pengadilan silahkan,
saya tidak takut. Tapi lalu Bu Ely ini yang menenangkan saya, minta saya
mengalah saja. Akhirnya anak saya pindah kelas ke kelas IIB itu. Saya
tetap meminta Bu Ely yang mengajar les privat anak saya, karena saya
percaya sama dia, dia udah kenal anak saya juga.”
Bu Ina berujar bahwa dia trauma anaknya tidak naik kelas, juga
karena tiap Putra membuat masalah dia di panggil ke sekolah. “Makanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
saya selalu tanamkan rasa malu ke dia supaya kejadian seperti ini tidak
terulang lagi. Dia juga mulai ada rasa malu lihat teman temannya yang lain
naik kelas tapi dia masih di kelas II. Ya memang lama proses dia sadar,
tapi saya yakin dia bisa. Saya mau kritik Pak Dodi juga gimana ya, dia
emang orangnya begitu. Yasudahlah maka saya tetap percayakan les privat
ke Bu Ely. Saya malah lebih percaya Bu Rahma (peneliti) atau guru-guru
PPL yang mengajar anak saya daripada Pak Dodi.” tutur Bu Ina kepada
peneliti.
3. Guru-Guru yang Berinteraksi dengan Key Participant
3.1 Pak Dodi (wali kelas II B)
Peneliti mengenal Pak Dodi karena pernah melakukan obervasi
pengajaran di kelasnya. Beliau adalah orang yang senang bercerita, karena
setiap kali peneliti hanya bertanya satu hal dia akan menceritakan banyak
hal yang terkadang tidak ada kaitannya dengan pertanyaan awal peneliti.
Dia kerap menceritakan berbagai hal secara acak sesuai dengan apa yang
ingin dikatakannya. Mulanya peneliti kira dia adalah orang yang pendiam
karena ketika awal perkenalan di penerjunan PPL beliau hanya berbicara
sangat singkat dan tidak mengobrol dengan sesama guru lain serta
langsung meninggalkan ruangan begitu acara selesai. Ternyata beliau
senang berkelakar dan melontarkan candaan spontan saat bertemu. Gaya
bicaranya akan sulit dipahami jika yang mendengarkan tidak fokus karena
dia berbicara dengan tempo yang cepat dan dengan suara lirih serta
artikulasi yang kurang jelas.
Dalam perbincangan melalui whatsapp terkadang beliau membalas
pesan dengan singkat tetapi tidak menjawab semua pertanyaan, misalnya
ada dua pertanyaan dalam satu pesan dia hanya akan menjawab secara
jelas salah satu pertanyaan. Terkadang juga beliau tidak membalas pesan
yang berisi pernyataan seperti ucapan terima kasih atau permohonan maaf.
Saat di depan kepala sekolah dia sangat patuh, karena kerap kali selama
kami PPL dan berda di ruang guru beliau dipanggil oleh kepala sekolah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Peneliti merasa cukup kesulitan mendiskripsikan beliau. Beliau
adalah lulusan SMA, namun tercatat sebagai PNS dan mengabdi cukup
lama di SD Negri Damai. Dalam suatu perbincangan di kelas beliau
menceritakan bahwa dia adalah guru yang juga pengusaha. Dia
mempunyai banyak usaha bisnis yang dikelola secara mandiri dan
mengatakan bahwa mempunyai banyak kenalan orang dinas. Beliau kerap
izin untuk keperluan pekerjaan sambilannya. Dia mengatakan bahwa
pekerjaan sambilannya menghasilkan lebih banyak daripada pekerjaan
utamanya sebagai guru. Namun dia tidak memberikan alasan yang cukup
jelas mengapa masih bertahan sebagai guru, dia hanya mengatakan sekilas
tentang masih ada ikatan kerja atau karena tuntutan. Beliau juga pernah
bercerita bahwa di sekolah tidak ada yang berani mengusik beliau bahkan
bu kepala sekolah padahal beliau kerap absen finger print. Pernah pada
suatu ketika dia dipanggil oleh bu kepala sekolah dan ditegur mengenai
finger print yang seharusnya wajib dilakukan karena untuk laporan ke
dinas dan seragam yang digunakan beliau juga kerap tidak sesuai dengan
jadwal seragam di sekolah. Beliau tidak membalas teguran kepala sekolah
tersebut dan hanya menjawab dengan tertawa serta dengan bahasa krama
(bahasa jawa halus) mengiyakan teguran tersebut.
Ketika peneliti bertanya tentang bagaimana beliau menangani
Putra di kelas, beliau menganggap bahwa Putra adalah anak yang berbeda
dan spesial. Dia sengaja menjadikan Putra sebagai ketua kelas supaya dia
belajar bertanggunjawab. Situasi yang peneliti lihat justru sebaliknya,
jabatan ketua kelas yang melekat pada dirinya tidak menjadikannya lebih
bertanggungjawab. Ketika memimpin doa dia masih bergurau, bahkah
ketika ditegur dan diingatkan oleh Pak Dodi bahwa dia ketua kelas dan
harus memberi contoh baik dia masih mengulangi perbuatan jahil atau
iseng di kelas. Dia memiliki penilaian tersendiri terhadap masing-masing
muridnya. Misalnya karena Putra dan Auf kerap berkelahi ketika bermain.
Auf kerap menangis setelah berkelahi dengan Putra, namun menurut
beliau kadang Auf itu hanya mencari pembelaan karena Auf adalah anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
yang pintar berdalih dan suka berbohong. Awalnya peneliti ragu, namun
akhirnya peneliti pernah mengalami dibohongi oleh Auf ketika dia
merobek buku temannya dan mengaku kepada peneliti bahwa dia tidak
melakukannya tetapi peneliti melihatnya. Menurut beliau juga ibu Putra
terlalu sering meminta waktu berkonsultasi dengannya. Tetapi menurutnya
yang dibutuhkan Putra hanyalah kedisiplinan.
Pernah dalam suatu kesempatan ketika akan ada kunjungan
pengawas sekolah peneliti diminta membantu menghias kelas dengan
menempel hasil karya anak-anak. Dia mengatakan bangga bahwa masih
menyimpan hasil-hasil karya anak-anaknya dari tahun ke tahun sehingga
bisa dipajang untuk menghias kelas. Beliau juga meminta peneliti
menempelkan hasil karya anak-anak ketika peneliti mengajar SBDP.
Ketika peneliti sedang membantu menuliskan struktural pengurus kelas
untuk tempelan di dinding beliau bercerita bahwa guru-guru lain disekolah
ini biasanya tidak sempat menata dan menghias kelas seperti dirinya
karena tidak menyimpan hasil karya anak. Dia mengatakan bahwa dahulu
generasi orang tua nya adalah guru SD namun dia merasa bahwa jika
hanya bekerja sebagai guru SD dia tidak akan berkembang maka dia
mempunyai berbagai bisnis. Peneliti kurang begitu paham bisnis apa yang
dimilikinya karena beliau kerap berbicara acak jika menyangkut pekerjaan.
Beliau lalu membicarakan teman-teman guru nya yang lain di sekolah.
Menurutnya semua guru-guru lain yang sudah PNS itu enak kerjanya
karena memang anak-anak orang kaya sedangkan dia bisa menjadi PNS
karena usaha dan jerih payah dari bawah. Misalnya saja dia pernah
membandingkan guru pamong kami, Pak Idi, yang mempunyai mobil dan
faslitas lain memang karena dia orang punya. Dia mengatakan bahwa
sejak kecil sudah dididik untuk bekerja keras. Bahkan dia bercerita bahwa
ayahnya meninggalkan keluarganya semenjak dia masih kecil.
Dia juga pernah bercerita bahwa dia adalah salah satu guru yang
membangun relasi kedekatan dengan orang tua siswa seperti menerima
konsultasi di sekolah. Dia juga kerap mengikuti lomba menulis atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
mendongeng dan biasanya dalam waktu mepet atau singkat membuat
materi tapi hasil akhirnya dia bisa menang. Pernah suatu ketika beliau
menang dalam perlombaan mendongeng tingkat kabupaten dan juara
kedua. Sehari sebelum lomba beliau bercerita kepada peneliti bahwa
belum menyelesaikan draft narasi mendongeng dan mengatakan bahwa dia
bisanya baru akan membuat saat sudah hampir lomba. Lalu kepala sekolah
juga memanggil beliau untuk menanyakan kesiapan lomba dan beliau pun
menejelaskan segala yang disiapkan serta inovasinya dalam perlombaan.
Kemudian H+1 setelah perlombaan kepala sekolah kembali memanggil
beliau. Beliau memberi selamat sekaligus mengkritik karena beliau tidak
juara pertama. Kepala sekolah juga mengkritik draft naskah dan performa
beliau yang menurutnya kurang maksimal karena terlau berbelit atau
kurang sederhana dan inti cerita tidak langsung dapat ditangkap. Tentu
saja peristiwa tersebut membuat peneliti berpikir dua kali bahwa ada
perbedaan antara kenyataan dengan apa yang dikatakan beliau kepada
peneliti.
Sempat terjadi misskomunikasi antara peneliti dengan teman-
teman PPL karena beliau. Jadi ketika peneliti dan Mana (pseudonym)
observasi dan akan mengajar di kelas IIB beliau meminta supaya hanya
kami berdua saja yang praktek mengajar di kelas IIB. Permintaan tersebut
kami konfirmasikan ke teman teman sekelompok dan menuai kritik untuk
konfirmasi dengan pak Ade (pseudonym). Namun karena kesibukan
akhirnya konfirmasi baru terjadi awal agustus. Ketika peneliti klarifikasi
dengan Pak Dodi di depan teman-teman yang lain beliau dengan ringan
menjawab bahwa boleh saja semua mengajar di kelas beliau. Tapi kembali
terulang di minggu berikutnya ketika beliau ada keperluan kerja
sambilannya peneliti dan Permana lagi yang dihubungi, dan kepada
peneliti juga kembali mengungkapkan bahwa sebaiknya yang mengisi
kelas peneliti dan Permana saja. Akhirnya hal tersebut diketahui guru
pamong dan beliau mendapat teguran dari kepala sekolah. Anggapan guru
pamong ketika peneliti dan Mana diminta membuat soal ulangan tematik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
itu terlalu berlebihan, apalagi kalau kami mau praktek mengajar harus
mengajar full dua penggalan dalam sehari.
3.2 Bu Ely (Wali Kelas II A)
Bu Ely adalah guru kelas Putra ketika kelas IIA. Beliau adalah
seorang ibu yang memiliki dua putra. Putra sulungnya SD dan yang
bungsu masih TK. Suami beliau adalah karyawan dan pengajar di TK/KB
Gembira. Beliau biasanya pulang lebih awal dari guru lain karena
menjemput anaknya.
Peneliti jarang bisa mengobrol dengan beliau karena beliau
mengampu kelas A yang dalam pembagian kelompok PPL adalah wilayah
praktek mahasiswa SM3T. Beliau mau diajak mengobrol ketika ada waktu
luang atau ketika sedang ada kegiatan diluar sekolah. Saat pertama melihat
pola mengajar beliau di kelas pada awal PPL peneliti tukup tertegun.
Beliau memiliki wireless kecil di kelas yang digunakan untuk mengajar.
Semua murid duduk dengan pola dan aturan yang ditentukan bukan
memilih sendiri, serta posisi tersebut akan di rolling dalam waktu berkala.
Semua siswa diminta tenang selama pembelajaran dan yang ribut akan
langsung ditegur. Karena ruang kelas yang cenderung sempit dan siswa
yang banyak maka beliau jarang mengajar sambil berjalan keliling kelas.
Beliau bercerita bahwa kadang tidak memiliki waktu luang di
sekolah karena mengurus pekerjaan rumah dan anak bungsunya sangat
aktif sehingga perlu bimbingan. Meskipun anak bungsunya telah
dimasukan ke program daycare tetap saja beliau kekurangan waktu untuk
keluarga. Bu Ely menceritakan kepada peneliti bahwa lembaga pendidikan
suaminya adalah lembaga yang bagus karena menggunakan kurikulum dan
sistem pendidikan yang sesuai dengan minat bakat anak. Maka beliau
tidak mau menekan anaknya untuk menjadi seperti yang dia inginkan,
yang penting mau belajar dan senang bersekolah.
Anak Gembira, lembaga pendidikan tempat kerja suaminya, itu
disebutnya menggunakan kurikulum internasional meskipun tidak penuh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
karena biaya pembelian brand nya mahal. Dia merasa bahwa saat ini
lembaga pendidikan TK dan PAUD sedang sangat dibutuhkan. Biaya
sekolah di Anak Gembira memang mahal, namun dia merasa bahwa
kualitas yang diberikan setara. Dia juga merasa bahwa gaji dan pendapatan
suaminya cukup serta sesuai dengan tuntutan kerjanya. Demikianlah yang
diceritakan beliau selama peneliti mengobrol membahas mengenai
tanggapannya terhadap pendidikan di sekolah.
Ketika peneliti tanya bagaimana tanggapan pengalaman beliau
dahulu ketika mengampu sebagai guru kelas Putra, dia sempat menolak
memberikan keterangan lebih lanjut dengan mengatakan bahwa dia tidak
tahu banyak karena sebenarnya dia hanya menjadi guru kelas Putra selama
kurang lebih satu semester karena Putra memiliki masalah di kelas lalu
dipindahkan ke kelas IIB dan keputusan dia tidak naik kelas juga ketika
dia sudah ada di kelas IIB. Namun pada kesempatan berikutnya akhirnya
beliau mau menceritakan permasalahan Putra dengan memberikan prolog
pengalaman mengajarnya dahulu. Beliau bercerita bahwa sudah mengajar
di SDN Damai kurang lebih 15 tahun. Dia sudah pernah mengalami
mengajar di kelas empat, tiga, lima, dan yang paling lama memang masa
mengajarnya di kelas dua. Dia mengakui bahwa belum cukup bisa
menghadapi kelas bawah terutama kelas 1. Tetapi semenjak terbiasa
mengadapi anak bungsunya yang cukup aktif dia belajar bisa mulai
memaklumi kenakalan anak.
Dia merasa bahwa menghadapi dan mengatasi anak kelas bawah
memang tidak mudah. Beliau mengakui bahwa anak-anak kerap berkelahi
dan membuat onar di kelas terutama saat dia tidak bisa mengajar atau
menunggui di kelas karena tugas dinas atau diklat. Dia menekankan bahwa
mengajar adalah masalah hati, ketika sudah bisa menaruh hati pada anak
maka senakal dan sebandel apa pun anak tersebut pasti akan kita maafkan
dan bimbing terus supaya menjadi lebih baik dari hari ke hari. Beliau
bercerita bahwa di kelasnya kerap mendapat dan menghadapi anak yang
dianggap bermasalah karena kurang perhatian keluarga atau tinggal kelas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
atau memiliki kepribadian yang memang berbeda dari teman sebayanya.
Dulu dia pernah sekali menghadapi seorang anak flores di kelasnya yang
mengalami bullying sekaligus kerap berkelahi dengan temannya. Cukup
lama beliau bisa mengajarkan anak itu bagaimana beradaptasi dan
melakukan perlawanan dengan cara yang halus. Pada akhirnya anak
tersebut tetap dipindahkan sekolah oleh orang tuanya karena tinggal kelas.
Berdasarkan cerita Bu Ely, Putra adalah anak yang spesial
menurutnya karena sangat aktif bergerak ketika pembelajaran. Putra bukan
tipe anak yang bisa dimarahi atau disindir, dia hanya butuh ditegasi tapi
tidak dengan kasar. Kasus yang pernah menimpanya di kelas adalah ketika
itu dia iseng mengganggu temannya Asy di kelas dengan memukulkan
kepala Asy ke tembok dan mengakibatkan hidungnya berdarah. Ketika itu
Bu Ely menganggap keisengan Putra memang patut ditegur namun luka
Asy salah satu faktor ketidaksengajaan, karna tentu dia yakin Putra tidak
memiliki niat sama sekali untuk membuat Asy luka hingga berdarah.
Peristiwa tersebut ternyata tidak diterima dengan baik oleh pihak keluarga
Asy. Kedua orang tua Asy menuntut ke sekolah dan meminta supaya Putra
dihukum dengan dipindahkan ke kelas lain.
Ketika itu dia berkata sampai menangis memohon kepada kedua
orang tua Asy untuk bersabar, toh anaknya juga pada akhirnya akan
sembuh dan selama ini juga teman-temannya tidak ada yang mengejek.
Kebetulan ayah Asy adalah pejabat di dinas dan mengancam akan
menuntut masalah tersebut ke pengadilan jika tidak diselesaikan dengan
memindahkan Putra ke kelas lain. Ayah Putra yang seorang polisi
khawatir juga kalau masalah ini akan dapat mengganggu pekerjaannya,
maka meskipun ibu Putra bersikeras berani menghadapi akhinya Putra
dipindahkan juga. Yang membuat Bu Ely sangat terpukul adalah dengan
sikap kedua orang tua Asy yang menurutnya keterlaluan. Peristiwa itulah
yang justru menjadi teror bagi anak-anak, banyak teman-teman Putra jadi
membullynya dan memandangnya berbeda. Dari situlah timbuh anggapan
dan stereotipe bahwa Putra adalah anak nakal yang suka menggangu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
temannya, ditambah lagi kasus tinggal kelasnya membuat Putra semakin
sering di bully.
Bu Ely merasa tidak dapat selalu mengawasi dan mendampingi
Putra karena dia memiliki 31 anak didik lain di kelas yang juga harus
diperhatikan. Kekecewaan terbesarnya adalah karena ketidakmampuannya
melindungi anak didiknya padahal dia sudah merasa bisa mengenal dan
mendidik Putra saat itu. Maka kekecewaannya itu dia tebus dengan tetap
mau menjadi guru les privat Putra dan masih menerima konsultasi dari ibu
Putra. Dia turut andil membantu Putra mengejar ketertinggalannya
menulis dan membaca. Dia sampai membelikan buku-buku dongeng
bergambar untuk bahan bacaan Putra di rumah. Beliau berpesan pada ibu
Putra untuk selalu membiasakan Putra membaca buku. Tidak harus selesai
satu cerita dalam sehari, cukup membiarkan Putra membaca seberapa yang
dia mau baca dalam sehari tetapi harus urut dan harus sampai selesai
membaca satu buku baru boleh berganti buku cerita lain. Untuk
menulisnya dia menekankan bahwa Putra harus bisa menulis huruf cetak
dengan benar. Yang penting bentuk huruf dan mengejanya sudah betul,
tidak harus rapi. Setelah bisa lancar menulis baru dituntut untuk menulis
rapi. Sedangkan untuk menulis tegak bersambung sudah bukan wewenang
beliau lagi yang harus mengulang mengajarkannya tetapi itu weweang
guru kelasnya sekarang yang harus mendampinginya.
Beliau mengatakan bahwa bentuk dan model tulisan Putra
bergantung pada moodnya dan sebenarnya bisa menjelaskan perasaannya.
Kalau dia sedang senang dan tertarik mengerjakan pasti tulisannya akan
nampak lebih rapi dan teratur serta menjelaskan dengan lengkap. Kalau
dia sudah malas pasti tulisannya besar-besar dan penuh coretan di
kertasnya.
Peneliti menanggapi dengan bercerita pengalaman peneliti dengan
Putra di kelas dan bagaimana sikapnya di kelas. Peneliti meminta pendapat
beliau tentang bagaimana gaya mengajar Pak Dodi, guru kelas Putra
sekarang, terhadap Putra. Beliau menolak berpendapat dengan beralasan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
bahwa gaya mengajar masing-masing dosen memang beragam dan tentu
memiliki alasan masing-masing dalam memberikan treatment pada anak.
Peneliti menceritakan bagaimana perilaku Putra ketika peneliti
mengajar yang senang berjalan-jalan dan mengerjakan di dekat meja guru
dibanding di bangkunya sendiri kalau bangkunya jauh dari papan tulis dan
meja guru. Beliau berpendapat bahwa itu karena peneliti, guru PPL, yang
mengajar. Dia berpendapat bahwa Putra senang meminta perhatian
terutama karena peneliti bukan guru kelasnya dan jarang bertemu maupun
mengajarnya sehingga dia cenderung meminta diperhatikan lebih oleh
peneliti. Peneliti juga harus lebih tegas kepada Putra supaya tidak menjadi
kebiasaan untuk terus menerus diperhatikan. Menurutnya peneliti harus
belajar menangani Putra dengan sabar dan telaten untuk memberinya
pengertian dan tanggungjawab lebih.
3.3 Bu Is (Wali Kelas I B)
Bu Is bukanlah wali kelas Putra, tetapi peneliti mendapatkan cukup
banyak cerita dari persepsinya terhadap Putra. Meskipun bukan wali kelas,
bu Is tahu dan mengenal Putra karena mengetahui permasalahannya
dahulu dengan teman sekelasnya. Menurut pendapatnya, Bu Ely dikenal
sebagai guru yang subjektif. Berdasarkan cerita Bu Is, ternyata ketika
terjadi insiden dan diputuskan bahwa Putra harus pindah ke kelas IIB, Bu
Ely ikut serta pindah kelas. Bu Ely minta bertukar menjadi wali kelas IIB
dengan Pak Dodi. Namun akhirnya pertukaran itu hanya terjadi selama 1
minggu.
Menurut Bu Is, sebagai guru selain memperhatikan muridnya
seharusnya juga bisa bersikap netral. Bagi Bu Is sikap Bu Ely dirasa tidak
netral karena cenderung memihak pada orang tua Putra. Bu Ely
berpendapat bahwa Bu Is memang sudah dikenal sebagai guru yang
subjektif pada orang tua siswa. Salah satu kasusnya pernah terjadi ketika
ada kegiatan kunjungan museum kelas 1-3, salah satu orang tua kaya yang
dekat dengan Bu Ely menjadi sponsor dalam pembuatan kaos kelas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Kemudian kaos itu hendak digunakan sebagai seragam saat kegiatan
kunjungan lapangan, namun hal tersebut dilarang oleh Kepala Sekolah
sehingga siswa kelas IIA tetap wajib menggunakan seragam. Ketika
peristiwa tersebut terjadi peneliti juga melihat perbincangan Ibu Kepala
Sekolah dengan wali murid sponsor kaos dan Bu Ely. Menurut kepala
sekolah, menbuat kaos kelas diperbolehkan, tapi selama masih dalam
kegiatan atau acara sekolah wajib menggunakan seragam.
Sedangkan Pak Dodi, menurut pendapat Bu Is memang merupakan
salah satu guru yang sering memenangkan perlombaan di bidang kesenian
seperti mendongeng, pidato, atau nembang. Cara bicara Pak Dodi memang
unik dan kadang sulit dimengerti, tutur bu Is pada peneliti. Menurut Bu Is
semua guru di sekolah sudah tahu tabiat Pak Dodi. Peneliti pernah
menceritakan pengalaman ketika di jam KBM (kegiatan belajar mengajar)
tiba-tiba Pak Dodi tidak berada di dalam kelas untuk menunggui
pembelajaran sehingga murid-murid membuat kegaduhan dan beberapa
anak keluar kelas, sampai akhirnya Pak Ian (psudonym) turun tangan
menertibkan anak-anak tersebut.
Peneliti melihat Pak Dodi tak lama kemudian keluar dari dalam
mushala sekolah. Menurut Bu Is, beliau biasanya pergi ke mushala untuk
tidur. Karena peneliti belum pernah melihat langsung kebenarannya maka
peneliti tidak membahas kembali hal tersebut. Bu Is menambahkan bahwa
guru-guru lain juga pernah melihat langsung kalau Pak Dodi tidur di
mushala saat jam KBM.
Bu Is juga menceritakan bahwa sebelumnya Pak Dodi adalah guru
mata pelajaran bahasa Inggris. Karena ada perubahan kurikulum KTSP ke
Kurikulum 2013 mulai dilaksanakan di kelas II, maka otomatis guru kelas
lebih diperlukan dibanding guru mata pelajaran tertentu. Akibatnya dua
guru bahasa Inggris mata pelajaran lain memilih resign karena belum
mengantongi persyaratan PNS dan kalah saing dengan Pak Dodi. Pak Dodi
sendiri bisa menjadi PNS karena ijazah S1 nya palsu dan diajukan ke dinas
tapi lolos ACC. Hingga akhirnya ijazah palsu tersebut ketahuan dan beliau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
ditegur Kepala Sekolah. Tetapi jabatan PNS nya tidak dicabut. Awalnya
peneliti meragukan cerita tersebut, tetapi di hari-hari selanjutnya peneliti
melihat di data guru bahwa memang riwayat pendidikan terakhir Pak Dodi
adalah SMA. Beberapa hari setelahnya pula Pak Dodi meminta peneliti
mengunggui UTS kelasnya karena dia akan ikut ujian tengah semester di
UT (Universitas Terbuka) Yogyakarta. Padahal benar bahwa di data guru
dan karyawan Pak Dodi tercatat sebagai PNS. Usut punya usut, saat
peneliti mengobrol dengan Pak Dodi dilain hari, beliau mengatakan bahwa
dirinya memiliki koneksi dan kedekatan dengan orang dinas. Menurutnya
koneksinya selama ini banyak membantu di berbagai hal. Namun beliau
tidak membahas kisahnya bisa diangkat menjadi PNS.
Sementara itu, pandangan Bu Is yang sekilas mengenal Putra hanya
menganggapnya anak-anak biasa yang wajar saja memiliki kenakalan atau
sifat jahil. Beliau lalu menyarankan peneliti bertanya langsung pada Bu
Arti wali kelas IA Putra. Menurut Bu Is pola didik Bu Arti sudah baik dan
bisa membangun karakter anak-anak didiknya, tetapi di kelas II
kebanyakan karakter anak-anak kurang terbangun sehingga di kelas
selanjutnya mengalami banyak hambatan dalam adaptasi.
3.4 Bu Arti (Wali Kelas II A)
Bu Arti (pseudonym) adalah wali kelas I Putra. Menurutnya, Putra
bukanlah anak yang nakal, tetapi dia memang jahil. Menurut Bu Arti,
ketika di kelas IA, dia merasa mengenal Putra bukan sebagai pribadi yang
aktif bergerak atau sulit diatur. Hanya saja daya konsentrasi atau fokusnya
rendah. Tidak banyak yang saya dapat dari wawancara dengan Bu Arti.
Beliau juga menolak berpendapat terhadap masalah yang dialami Putra di
kelas IIA atau faktor tinggal kelas di tahun ajaran sebelumnya. Baginya
hal-hal tersebut bukan menjadi ranah atau wewenangnya untuk
berpendapat. Peneliti menghargai keputusan tersebut sehingga tidak
menanggapi lebih lanjut pertanyaan lain seputar permasalahan Putra.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Peneliti mengetahui ternyata beliau hendak dicalonkan menjadi
kepala sekolah periode berikutnya oleh dinas. Bu Arti juga kerap
membagikan makanan ketika merayakan sesuatu, seperti kesembuhannya
dari sakit beberapa hari dan ketika hari ulang tahunnya. Bu Arti pernah
berujar pada peneliti bahwa tugasnya di sekolah adalah mengikuti aturan
dan urusan administrasi yang berlaku, bukan untuk memberi pendapat atas
suatu kasus tertentu yang terjadi di sekolah. Apabila ada kasus pun, dia
memilih tidak ikut campur tangan.
3.5 Bu Tami (Kepala Sekolah)
Bu Tami (psedonym) sudah hampir tujuh tahun menjabat sebagai
kepala sekolah di SD N Damai. Beliau tidak pernah mengajar di kelas
karena memang bukan guru kelas dan rata-rata kelas K-13 hanya diisi oleh
guru kelas dan guru OR, Agama, serta Bahasa Inggris. Beliau kerap
menegur anak-anak kelas satu yang kerap berisik atau mondar-mandir
ruang guru. Beliau juga kerap menegur anak-anak kelas satu yang
ruangannya memang kebetulan di samping ruang guru untuk lebih tertib
menaruh sepatu.
Beliau kerap kali memanggil guru ke ruangannya untuk diajak
berdiskusi. Kadang tentang kegiatan sekolah maupun permasalahan di
kelas. Tak jarang beliau memarahi atau menegur performa guru di depan
kami mahasiswa PPL yang ada di ruangan itu dengan suara keras. Pernah
suatu ketika Bu Us, guru agama, dipanggil karena izin tidak masuk
sekolah, meskipun hari itu memang tidak ada jadwal mengajar. Dengan
terang-terangan beliau bertanya apa alasan tidak masuk tanpa surat izin
resmi. Pernah juga saat akan supervisi Bu Us ditegur karena RPP
(Rancangan Pembelajaran) buatannya hanya menggunakan RPP tahun lalu
dan salah. Biasanya setelah menegur guru beliau akan berbicara kepada
kami susahnya mengatur guru tua yang suka sewenang-wenang di sekolah.
Menurutnya guru-guru yang sering dia panggil adalah pembangkang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Pernah suatu ketika saat upacara bendera dia menegur Putra di
depan semua guru dan murid. Alasannya karena dia terlihat mengobrol
dengan temannya padahal dia berada di barisan terderpan. Lalu dia
menegur dengan menyindir Putra “Tolong kalau upacara jangan ribut
sendiri. Kamu ketua kelas IIB kan. Kamu ini sudah tinggal kelas kok
masih ribut. Kamu mau tinggal kelas lagi di kelas II. Anak-anak semua
jangan mencontoh sikap anak ini ya, dia ketua kelas, tidak naik kelas dan
suka membuat onar”. Teguran tersebut bukannya membuat Putra tenang,
justru dia menunduk seperti menahan emosi karena saya hanya melihat
raut wajahnya sekilas dan tangannya yang mengepal.
Baru ketika akhir-akhir akan penarikan saya dan teman-teman
mendapat banyak cerita tentang ibu kepala sekolah. Bagaimana kerasanya
beliau kepada orang yang dibenci dan beliau kerap korupsi. Hal itu sempat
saya pikirkan juga karena beliau kerap menyuruh kami mengisi nota
kosong dengan catatan keuangan yang dia tulis di kertas corat-coret. Uang
konsumsi guru yang dulu di awal tahun dia menjawab selalu digunakan
membelikan makan siang guru semakin lama tidak pernah ada. Kami juga
jarang melihat para guru datang ke ruang guru kecuali untuk bertemu
beliau. Guru-guru mengatakan bahwa mereka sudah lelah diperlakukan
terkadang kurang manusiawi. Misalnya saja diminta berbohong soal harga
barang-barang inventaris kelas atau ditegur secara berlebihan terus
menerus.
4. Teman-Teman dan Kakak Laki-Laki Key Participant
Perilaku dominasi dapat terjadi dimana saja, selama kita masih
hidup dalam masyarakat tentu kita menemukan pola-polanya (Scott,
1990). Teman sebaya adalah salah satu bagian dalam lingkup pergaulan
kita. Bagaimana yang terjadi bila kita belajar di lingkungan dengan
teman-teman yang tidak lagi sebaya dengan kita? Situasi itulah yang
dialami Putra. Karena dia pernah tinggal kelas dan akhirnya kini belajar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
dan bersosialisasi dengan teman-teman yang beberapa berusia lebih muda
dibanding usianya.
Bagaimana respon teman-teman sebayanya yang telah naik kelas
terhadapnya? Atau bagaimana keterlibatan peran kakak laki-laki nya
dalam pergaulan Putra di sekolah? Bagian ini akan membahas persepsi
teman-teman Putra terhadapnya dan respon mereka pada perilaku Putra.
4.1 Inka
Ada salah seorang siswi di kelas yang bernama Inka (psedonym)
yang kerap diganggu oleh Putra. Inka kerap kali melepas sepatu saat
pembelajaran di kelas dan menginjak tas nya. Peneliti pernah beberapa
kali menegur Inka “Inka kenapa kamu tidak pakai sepatu di kelas?”
Kadang hanya tersenyum atau menjawab singkat “Mau dilepas aja bu”
“Tapi teman-teman mu yang lain memakai sepatu lho di kelas. Pak Dodi
juga sudah sering mengingatkan Inka kan untuk pakai sepatu di kelas. Ini
juga kenapa tas nya di injak-injak Inka?” “Gak papa bu. Tas nya itu sudah
jelek!” Pernah suatu kali peneliti menegur siswi tersebut, sontak Putra
langsung berteriak “Huuuuuu, ra gelem ngganggo sepatu” yang kemudian
diikuti sahutan teman-temannya. Dia baru akan berhenti saat peneliti
menegur semua anak yang lain untuk diam dan tidak ada yang menirukan
atau mengikuti perbuatannya lagi. Atau dia akan berhenti saat peneliti
menegurnya langsung, Inka menangis, dan teman-teman sekelasnya ganti
menyoraki dirinya. Kadang disaat seperti itu dia bisa tiba-tiba memukul
teman di dekatnya yang juga menyorakinya.
Inka beberapa kali sempat mengadu kepada peneliti “Bu Putra tu
lho ngece-ngece aku terus” “Lha kenapa In? Memangnya Putra kamu
mengejek apa hayo?” “Kui lho bu, Inka gak pake sepatu, cekeran kayak
ayam” “Tuh kan bu Putra ngece ngece aku bu” “Yasudah, ayo Putra tidak
usah dilanjutkan lagi. Inka kamu kalau tidak mau diejek Putra ya dipakai
sepatunya to” Inka biasanya tidak akan protes lagi, hanya tersenyum
menatap peneliti sambil mulai mengenakan sepatunya. Kadang Putra yang
mengadu pada peneliti tentang Inka “Bu, itu lho Inka gak pakai sepatu lho
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
bu” Jika peneliti mendukung pernyataan tersebut seperti dengan jawaban
“Iyo po Put? Ya nanti ibu lihat” atau “Ya sebentar nanti ibu beri tahu”
dia akan menjadi senang dengan menanggapi “Iya bu marahin aja bu”
Hingga akhirnya peneliti merubah pola menanggapi Putra, karena Inka
memang tidak nyaman memakai sepatu di kelas dan menanggapi APut
hanya membuatnya semakin senang mengadu tentang Inka. Sehingga
peneliti menanggapi Putra dengan “Ya sudah tidak usah memberitahu ibu,
memang Inka nya yang tidak nyaman pakai sepatu di kelas Put” “Tapi kan
gak boleh kalau gak pakai sepatu di kelas kata Pak Dodi bu” “Ya sudah
kan yang tidak memperbolehkan Pak Dodi, kamu bilang sendiri sana
sama Pak Dodi” Akhirnya dia hanya akan tersenyum atau pura-pura
mengancam akan keluar dan bilang pada Pak Dodi, yang jika tidak peneliti
tanggapi makan tidak akan berlanjut. Inka juga kerap kali mengadu kalau
sering diganggu Putra. Salah satunya karena kerap dikejutkan Putra.
Putra juga senang mengganggu Inka karena Inka selalu heboh saat
dikejutkan atau tiba-tiba menjadi latah sehingga dia terus mengulang
gangguannya. Peneliti sempat beberapa kali menegur Putra “Put sudah to
jangan mengganggu Inka terus! Kamu belum selesai mengerjakan tugas
kan” Tapi hanya ditanggapi dengan tertawa dan kembali melakukan
keisengannya. Sampai akhirnya peneliti memberitahu Inka “Inka, sudah
kamu jangan teriak-teriak. Kalau tidak mau diganggu Putra yaa jangan
teriak-teriak, tidak usah panik atau malah menangis” “Tapi kan kaget bu”
“Ya berusaha supaya tidak terlalu heboh aja deh kalau digaketin ya.
Kaget tidak apa apa, tapi setelah itu tenang ya” “Ya tapi susah bu. Putra
aja yang dimarahi bu” “Kan sebelumnya Putra sudah ibu marahi tidak
ada efeknya kan. Nah sekarang Inka aja yang berusaha gak kagetan ya”
Tidak menanggapi peneliti dan pergi.
4.2 Arp
Ada seorang anak bernama Arp (pseudonym) di kelas yang selalu
menjadi salah satu teman yang kerap diganggu Putra. Arp adalah salah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
satu siswa yang paling lama saat mengerjakan tugas karena dia lebih suka
menggambar di kelas dibanding memperhatikan pelajaran. Peneliti sempat
beberapa kali menegur sikap Arp tapi dia tetap lebih sedang menggambar
dibanding belajar. Komunikasi verbal peneliti dengan Arp sangat minim
karena Arp lebih banyak menjawab “Tidak bisa” “Tidak tahu” “Enggak”
“Enggak mau” “Iya” “Tidak” “Bukan” “Bisa” untuk segala jenis
pertanyaan. Suatu ketika saat teman peneliti mengajar di kelas, dia
menegur Arp karena wajahnya coreng moreng penuh tinta hitam spidol
serta menyuruhnya keluar kelas untuk mencuci muka. Lalu ketika peneliti
bertanya “Siapa yang mencoreng-coreng mukamu Arp?” “Putra sama Ilmi
(psedonym) bu (menjawab sambil tersenyum dan menaham tawa)” “Lha
kamu kenapa mau wajahnya dicoreng-coreng begini Arp?” (Hanya
memandang peneliti sambil tertawa) Lalu peneliti bertanya pada Putra
“Put, kenapa kamu mencoreng-coreng mukanya Arp?” “Ya gak papa bu.
Kan permainan. Lucu kan bu wajahnya Arp. Dia juga cuma ketawa-
ketawa aja” Semenjak itu Putra dan Ilm kerap mengulang aksi corat coret
wajah Arp dan selalu mendapat teguran dari siapa pun guru yang mengajar
di kelas sehingga Arp, Ilm, dan Putra bisa mengambil peluang untuk
mencuci muka di wastafel depan kelas.
Pernah suatu kali peneliti membiarkan peristiwa itu hingga
akhirnya Arp pulang sekolah dengan wajah coreng moreng dan menuci
muka setelah ditegur ibunya. Di saat berbeda ketika pelajaran olah raga,
Arp diceburkan Putra ke kubangan kolam hingga basah kuyub. Arp tidak
membalas, bahkan peneliti mengamati saat Arp dijemput dan dimarahi
orang tuanya karena bajunya basah dan bau dia hanya menjawab tidak
tahu dan tidak mengatakan kronologis peristiwa yang dialaminya. Teman-
teman Putra mengadu kepada peneliti bahwa Putra dihukum tidak boleh
ikut pelajaran olah raga karena menceburkan Arp ke empang. Kemudian
Putra malah yang juga ikut memberitahu saya “Bu lihat bajuku basah lho.
Aku katanya gak boleh ikut olah raga lagi karna nyeburin Arp ke
blumbang”, Peneliti sempat bertanya pada Putra “Put kenapa kamu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
membuat Arp basah kuyup?”, “Lha soalnya dia berdiri di pinggir
blumbang, ya aku dorong aja sekalian. Lagian Arp juga gak marah kok
bu”, “Iya sih Put tapi kan baju nya jadi basah semua, padahal Arp tidak
bawa baju ganti lho”, “Ya gak papa bu. Kan habis ini juga pulang. Terus
si Arp gak boleh masuk kelas lho bu karna bajunya basah”, “Iya sih Put,
tapi kan jadi kotor semua bajunya kena lumpur dan kalian juga jadi gak
boleh masuk kelas karna basah kan. Lha terus siapa aja yang masuk
kolam kok Aul juga basah bajunya?”, “Kan aku tadi nyeburin Arp ke
kolam, terus aku ikutan nyebur aja. Si Aul juga ikut-ikutan tapi gak sampai
basah semua. Banyak kok bu yang ikut-ikut an nyebur kolam. Cuma Pak
Ian yang marah-marah karena jadi kelamaan main di kolam.”
Saat peneliti menunggui UAS di kelas ada fenomena baru dimana
Arp yang biasanya tidak melawan saat di ganggu oleh Putra hari itu
melawan balik. Perlawanan balik dilakukan secara verbal “Huu koe ki
nyebai yo (kamu tu menyebalkan ya). Isane mung ngono (bisanya hanya
begitu) huuu” “Apa koe (apa kamu) tak kandakke koe (saya adukan
kamu)” “Apa, aku yo isa (aku juga bisa) tak kandakke genti (saya adukan
balik) wanine mung ngandakke (beraninya hanya mengadu)” Diam tidak
membalas ucapan Arp dan kembali duduk di kursinya. Memukuli Putra
dengan terus mengatakan (apa koe (apa kamu) wani ra (berani tidak) gelut
wae yo (berkelahi saja yo) Putra tidak melawan balik dan hanya diam saat
dipukuli. Teman disamping Putra menyahut dengan mengatakan “Putra ki
ra gampang lara nek mung digebuki ngono (Putra tu tidak mudah sakit
kalau hanya dipukuli begitu)” Arp menyahut “Yo rapopo, iki ki lara kok
(ya tidak apa apa, ini tu sakit kok)” Sampai akhirnya Arp bosan dan
berhenti memukuli Putra lalu meninggalkannya sendiri. Ketika anak-anak
lain mulai pergi Putra tidak mempunyai teman dan berganti mengganggu
anak-anak perempuan. Peneliti bertanya pada Arp apa sebabnya dia
melawan dibanding menerima seperti biasanya “Arp kenapa kamu
membalas Putra kan biasanya tidak pernah” “Ya gak papa bu, kan emang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Putra nakal” “Tapi dulu kamu tidak melawan kalau diganggu Putra” “Ya,
gak tahu bu”
4.3 Ipn
Ipn (pseudonym) adalah salah satu teman berkelahi Putra. Peneliti
sebut teman berkelahi karena mereka sangat kerap berkelahi di kelas
selama peneliti mengajar. Biasanya bahan atau permasalah berkelahi
mereka karena permainan. Kadang Putra menuduh Ipn curang dalam
bermain atau sebaliknya. Perkelahian baru akan berhenti setelah salah satu
menangis dan mengadu pada guru. Ipn dan Putra sama-sama minim kata
saat berkelahi dan langsung fokus pada tindakan baku hantam. Tapi
setelah perkelahian mereka akan kembali bermain bersama lagi. Biasanya
setelah Ipn menangis, saling hantam dengan Putra dan akhirnya diam
setelah beberapa saat dilerai dia akan kembali duduk di samping Putra,
lalu saat jam istirahat mereka juga kembali bermain bersama. Peneliti
sempat beberapa kali mengobrol dengan Ipn membahas seringnya ia dan
Putra berkelahi “Pan kenapa kamu sering berkelahi dengan Putra?” “Lha
Putra tu nakal kok bu, sukanya main curang. Pernah juga njegal kakiku.”
“Lha tapi kok kamu masih mau main sama Putra juga kalau sering
dicurangi?” “Yo rapopo bu (menjawab sambil cengengesan)
4.4 Asf
Asf (pseudonym) adalah salah satu lawan berkelahi Putra di kelas.
Asf sangat mudah tersinggung terhadap segala jenis ejekan. Dalam suatu
pertengkaran yang timbul hanya karena peristiwa saling menyoraki
huuuuu. Awalnya yang disoraki huuu adalah Inka karena kebiasaan tidak
memakai sepatunya, tapi kemudian mereka berganti menyoraki Asf. Putra
yang pertama menyoraki karna mengganggap bahwa Asf hanya ikut-
ikutan mengompori. Akhirnya mereka pun berkelahi dan Asf berani
memukul balik sambil menangis dan berteriak-teriak. Biasanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
perkelahian baru berhenti jika sudah dilerai oleh guru kelas dan Asf
berhenti menangis.
4.5 Rio
Dia senang berkelahi dengan teman yang mudah tersinggung oleh
perkataannya. Terbukti dari beberapa perkelahian dia akan senang
meladeni dan mengulang perkelahian dengan beberapa teman yang
membalas ejekan atau kejahilannya dengan emosi dan kemarahan. Namun
teman yang cuek dan tidak perduli terhadap sikap jahilnya tidak akan
diajak berkelahi dan langsung dilupakan atau dihiraukannya.
Selama pengataman peneliti, Putra belum pernah sekalipun
menangis setelah berkelahi dengan temannya. Namun ada satu momen
ketika peneliti tidak memperhatikan kronologi perkelahian antara Putra
dengan Rio (psedonym), Putra tiba-tiba saja menangis dan tidur telungkup
di lantai belakang kelas. Dia menangis cukup lama dan isakan yang
tertahan karena tidak terdengar jelas suara tangisnya. Saat peneliti
bertanya pada teman yang tadi berkelahi yaitu Rio, dia hanya menjawab
tidak tahu. Dia merasa bahwa tadi Putra menjegalnya hingga terjatuh dan
dia kesakitan lalu balik memukul Putra. Menurutnya pukulan balasannya
tidak menyakitkan.
Saat peneliti tanyakan kepada key participant apakah ada sakit, dia
hanya menggeleng. Peneliti tanya kenapa kamu menangis, dia tidak mau
menjawab. Peneliti ajak dia duduk dan minum dia tidak menjawab.
Peneliti mencoba mengangkat badannya yang telungkup untuk
mengajaknya duduk di kursinya, namun dia menolak menahan dengan
seluruh tubuhnya sehingga peneliti tidak kuat memindahkannya
sedikitpun. Akhirnya peneliti hanya menungguinya menangis dan duduk
disampingnya sambil mengusap-usap kepalanya. Dia sempat sejenak
menoleh melirik melihat wajah peneliti tapi peneliti tidak balas
menatapnya. Setelah menangis dalam posisi itu selama kurang lebih lima
belas menit akhirnya dia terdiam dan beranjak duduk. Dia mengusap air
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
matanya sebelum akhirnya bangkit berdiri dan berjalan untuk kembali
duduk di kursinya.
Biasanya dia akan menanggapi dengan tawa atau candaan setelah
perkelahian atau tangisan, namun kali itu dia hanya diam dan tanpa
ekspresi sama sekali. Kemudian setelah dia duduk di kursinya peneliti
menyuruhnya minum tapi dia menggeleng. Lalu peneliti mengusap
kepalanya sambil mengatakan bahwa peneliti akan pergi kembali ke ruang
guru dan memintanya kembali mengikuti pelajaran dengan baik, dia hanya
menjawab dengan anggukan kepala yang lemah.
5.6 Indah
Ada salah satu teman Putra bernama Indah (psedonym). Indah
adalah siswi yang selalu menjadi juara kelas dalam banyak mata pelajaran.
Dia sangat jarang mendapat nilai ulangan dibawah KKM atau standar
nilai. Putra sangat jarang sekali mengganggu atau mengejek atau berkelahi
dengan Indah.
Saya sempat beberapa kali melihat Putra berusaha mencontek
jawaban ulangan dari Indah namun sering gagal. Karena Indah punya
teman dekat bernama Frida (psedonymn) yang akan memukul atau
mengadukan Putra jika mencontek. Namun ada hal menarik yang peneliti
temukan. Ternyata, Frida kerap mencontek jawaban dan pekerjaan Indah
di kelas. Indah tidak pernah menolak perilaku Frida, karena Frida akan
selalu membelanya ketika terjadi perkelahian yang melibatkan Indah.
5.7 Eno dan Beberapa Mantan Teman Sekelas Putra
Suatu ketika saya pernah bertanya pada teman-teman Putra di kelas
IIIA tentang kesan mereka terhadap Putra ketika dulu satu kelas di kelas
IIA. Mereka kompak menjawab serentak bahwa Putra adalah anak nakal
yang suka berkelahi. Menurut mereka alasannya tinggal kelas karena tabiat
nakal dan kebiasaan suka berkelahi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Pada kesempatan lain saya juga sempat melihat ada anak kelas V
yang mengolok-olok Putra karena tidak naik kelas. Lalu Putra menanggapi
ajakan berkelahi serombongan anak V yang mengolok-oloknya itu.
Ternyata anak-anak tersebut adalah teman sekelas Eno, kakak kandung
Putra. Sempat ada anak yang menanggapi “Kui adhimu nakal (Itu adikmu
nakal)”. Tetapi Eno hanya diam, tidak menanggapi sama sekali.
B. Analisis dan Pembahasan Sebagai Summary Report Data Penelitian
Pada bagian sebelumnya, peneliti telah menarasikan hasil data
penelitian yang sebagian besar merupakan hasil wawancara dan observasi
dengan masing-masing partisipan.
Pengalaman hidup seperti apa yang mempengaruhi kepribadian Putra?
Setiap individu memiliki pengalaman masing-masing dalam sejarah
hidupnya yang mempengaruhi kepribadian dan caranya bertindak atau
merespon situasi tertuntu. Peneliti menemukan beberapa pengalaman, bagian
dari sejarah hidup key participant, yang mempengaruhi perilakunya. Pertama,
pengalaman dipindahkan kelas (mutasi) karena masalah key participant
dengan salah satu temannya. Efek dari peristiwa ini adalah terjadinya
penyebaran rumor diantara wali murid pihak siswa yang memiliki masalah
dengan key participant, guru, dan teman-teman key participant mulai
memberi label “nakal” padanya. Kemudian key participant merasa mendapat
privileges untuk berbuat onar, sebagai justifikasi atas pemberian label “nakal”
atas dirinya.
Kedua, pengalaman tinggal kelas. Alasan tinggal kelas adalah 70%
nilai tidak memenuhi standar KKM dan terutama karena belum lancar baca
tulis. Alasan ini membuat ibu key participant memutuskan mendaftarkan
anaknya mengikuti les klasikal di sekolah, les privat di rumah, dan pernah
juga les di salah satu lembaga bimbingan belajar. Kondisi ini memberikan
label baru pada key participant yang dianggap under achievement (dibawah
kemampuan rata-rata). Akibatnya key participant memiliki kecenderungan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
tidak suka membaca dan menulis. Ketiga, terbiasa dengan bentakan ketika
melakukan kesalahan. Ibu key participant selalu menerapkan bahwa didikan
yang baik bagi anaknya adalah dengan suara keras dan sikap galak. Maka key
participant pada beberapa peristiwa perkelahian, mencontek, atau iseng
mengganggu teman baru akan berhenti ketika dibentak atau diintimidasi
dengan pernyataan yang menyudutkan sikapnya.
Apa respon Ibu Putra dalam menghadapi perilaku anaknya? Mengapa Ibu
Putra memberikan respon demikian?
Tidak ada orang tua yang memahami pribadi anaknya secara penuh,
artinya tidak ada sosok orang tua yang benar-benar “sempurna”, yang ada
hanyalah orang tua yang berusaha memahami anak-anaknya. Setiap keluarga
berbeda, sehingga setiap orang tua memiliki cara masing-masing untuk
mengasuh anak-anaknya (NSPCC, 2018:1). Setiap anak membutuhkan afeksi
dan kasih sayang dari orang tuanya selama masa tumbuh kembangnya. Hanya
saja bentuk afeksi dan kasih sayang yang diberikan masing-masing orang tua
berbeda. Sehingga kita menyadari bahwa tantangan orang tua
menyemimbangkan tuntutan hidup dan mengasuh anak adalah persoalan yang
terkadang terasa rumit (NSPCC, 2018:1). Apalagi ketika merawat lebih dari
satu anak, tantangan lain adalah menghadapi efek dari sibling rivalry karena
pola asuh orang tua.
Ibu key participant, bu Ina, dalam memberikan respon terhadap
perilaku anaknya yang mendapat label “nakal” adalah cenderung dengan
bentakan, sindiran, galak, dan pengalihan perhatian. Tindakan ini teramati
ketika peneliti sedang mengobrol dengan Bu Ina, lalu Putra menginterupsi,
maka dia akan membentak Putra supaya diam. Terkadang dengan cara
menyuruhnya menunggu dengan kata-kata intimidatif seperti “Kamu tu
jangan bikin malu mama, diam dulu, mama sebentar lagi selesai ngobrol”.
Pernah juga dengan memberikan uang saku tambahan untuk jajan supaya
Putra pergi dan berhenti menginterupsi kegiatannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Diagram 1. Alur Relasi dalam Keluarga Putra
reaksi Putra terhadap ibunya, berontak namun masih membutuhkan
perilaku dominasi
perilaku subordinasi
sikap membela dan memberi perlindungan
hubungan adik-kakak dalam situasi sibling rivalry
tidak mengambil peran dalam mengasuh dan mendidik anak-anak
Berdasarkan hasil wawancara, Bu Ina memilih memberikan respon
demikian karena menurutnya cara itu efektif membuat Putra patuh. Selain itu,
Bu Ina juga mengungkapkan bahwa pengaruh didikannya dalam keluarga
yang keras dan tegas mempengaruhi sikap serta caranya mendidik anak-
anaknya. Menurut pendapatnya kepatuhan adalah awal dari disiplin diri.
Dalam wawancara Bu Ina mengungkapkan kepada peneliti bahwa dirinya
tidak akan tersinggung atau marah bila ada guru yang memarahi anaknya
ketika melaggar aturan di sekolah. Kemudian menarik kembali pada latar
belakang budaya patriarki dalam keluarga Bu Ina yang menghasilkan
keputusan bahwa tugas ibu adalah mendidik anak sedangkan ayah mencari
nafkah materi, juga mempengaruhi pandangan Bu Ina dalam merespon
perilaku anaknya.
Penelitian yang dilakukan Melanie H. Mallers, at all (2010)
membuktikan bahwa orang dewasa yang memiliki hubungan baik dengan
Bu Ina
Ibu key participant
Putra
key participant
Eno
Kakak laki-laki Putra
Pak Deno
Ayah key participant
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
orang tuanya pada masa anak-anak beresiko lebih rendah mengalami
gangguan mental dibanding mereka yang melaporkan memiliki kualitas
hubungan baik yang rendah dengan orang tua. Oleh karena itu semua orang
tua bisa mengalami stress dan mendapat tekanan dari waktu ke waktu dalam
mendidik anak (NSPCC, 2018:2), karena mereka menaruh harapan terbaik
bagi masa depan anak-anaknya. Hubungan ibu dan anak serta hubungan ayah
dan anak, masing-masing memiliki peran dalam membentuk kepribadian
anak di masa depan (Mallers, 2010). Sementara itu bertolak pada budaya
masyarakat Jawa dalam pembagian peran dalam keluarga cenderung
menggunakan konsep patriarki. Dalam patriarki peran laki-laki adalah
sebagai pemimpin dalam keluarga dan wanita sebagai subordinat tetapi
memiliki tanggung jawab besar untuk mampu 100% mengasuh merawat anak
serta menjaga keutuhan rumah tangga (Ahdiah, 2013). Hal ini membuat ibu
cenderung memiliki beban moral tersendiri yang menimbulkan tekanan untuk
bisa mendisiplinkan anak dengan hukuman fisik atau verbal yang keras,
padahal hukuman semacam itu tidak selalu efektif mendisiplinkan perilaku
anak (NSPCC, 2018).
Apa respon guru kelas terhadap perilaku Putra? Mengapa guru kelas
memberikan respon demikian?
Guru memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak di
sekolah. Guru bisa disebut juga sebagai orang tua siswa di sekolah.
Hubungan guru dan siswa merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
tumbuh kembang anak di sekolah. Guru bisa menggunakan berbagai strategi
untuk membangun hubungan positif dengan anak-anak (Ostrosky dan Jung,
2010). Tindakan guru seperti mendengarkan aspirasi siswa, melakukan
kontak mata ketika berbicara, dan sering terlibat dalam interaksi tatap muka
satu lawan satu mampu membangun hubungan positif guru dan murid
(Ostrosky dan Jung, 2010). Kemampuan guru untuk bisa mendampingi siswa
berdasarkan kebutuhan, minat, gaya, dan kemampuan yang berbeda adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
salah satu keterampilan yang perlu dimiliki guru untuk membangun
hubungan yang positif dengan siswa (Ostrosky dan Jung, 2010).
Digram 2. Alur Relasi Antar Guru di Sekolah dengan Key Participant
respon guru kelas terhadap Putra
posisi jabatan dan kedudukan yang lebih tinggi terhadap guru lain
pendapat pribadi terhadap pola mengajar dan perilaku rekan kerja
tidak memberi pendapat (abstain) tentang Putra
peristiwa berupa ujaran intimidatif
Masing-masing guru kelas Putra memiliki respon berbeda terhadap
perilakunya. Bu Ely, wali kelas Putra sebelum mengalami mutasi kelas,
memilih menjadi seorang yang sabar dan tegas dalam merespon perilaku
Putrra yang melanggar aturan. Ketegasan menurut Bu Ely contohnya adalah
ketika Putra tidak bisa tenang dan berjalan-jalan keliling kelas maka dia akan
memperingatkan dan memerintahkanya kembali duduk. Bu Ely menekankan
bahwa duduk diam selama pelajaran adalah peraturan di kelas, maka tindakan
lain dianggap salah karena melanggar aturan. Bu Ely percaya bahwa
kenakalan dapat diredam dengan kesabaran dan ketelatenan.
Kepala
Sekolah
Bu Ely
wali kelas
Putra di IIA
Pak Dodi
wali kelas
Putra di IIB
Bu Arti
wali kelas
Putra di IA
Bu Is
other
participan
t
Putra
key participant
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Sementara itu Pak Dodi, wali kelas Putra di saat peneliti mengambil
data, memilih sikap acuh pada Putra. Dia cenderung membiarkan saat Putra
berkelahi atau berbuat iseng menyembunyikan barang teman. Pak Dodi akan
memanggil orang tua Putra ketika orang tua murid teman yang diganggu
Putra melapor. Pak Dodi mengakui belum pernah memediasi secara langsung
kedua orang tua Putra dengan pihak siswa yang diganggu secara langsung.
Pak Dodi hanya pernah melakukan konsultasi terpisah bagi masing-masing
orang tua siswa. Sementara itu dia juga memiliki harapan untuk
menumbuhkan rasa tanggungjawab dan disiplin Putra dengan memilihnya
menjadi ketua kelas.
Masing-masing guru kelas Putra memiliki respon berbeda terhadap
perilakunya. Bu Ely, wali kelas Putra sebelum mengalami mutasi kelas,
memilih menjadi seorang yang sabar dan tegas dalam merespon perilaku
Putrra yang melanggar aturan. Ketegasan menurut Bu Ely contohnya adalah
ketika Putra tidak bisa tenang dan berjalan-jalan keliling kelas maka dia akan
memperingatkan dan memerintahkanya kembali duduk. Bu Ely menekankan
bahwa duduk diam selama pelajaran adalah peraturan di kelas, maka tindakan
lain dianggap salah karena melanggar aturan. Bu Ely percaya bahwa
kenakalan dapat diredam dengan kesabaran dan ketelatenan.
Sementara itu Pak Dodi, wali kelas Putra di saat peneliti mengambil
data, memilih sikap acuh pada Putra. Dia cenderung membiarkan saat Putra
berkelahi atau berbuat iseng menyembunyikan barang teman. Pak Dodi akan
memanggil orang tua Putra ketika orang tua murid teman yang diganggu
Putra melapor. Pak Dodi mengakui belum pernah memediasi secara langsung
kedua orang tua Putra dengan pihak siswa yang diganggu secara langsung.
Pak Dodi hanya pernah melakukan konsultasi terpisah bagi masing-masing
orang tua siswa. Sementara itu dia juga memiliki harapan untuk
menumbuhkan rasa tanggungjawab dan disiplin Putra dengan memilihnya
menjadi ketua kelas.
Bentuk respon guru kelas terhadap key participant telah dijabarkan
pada paragraf sebelumnya. Sementara penjelasan dari perilaku intimidatif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
kepala sekolah terhadap guru dan key participant teramati peneliti sebagai
berikut: 1)Kepala sekolah kerap memberikan teguran pada perilaku Pak Dodi
yang dianggap melanggar aturan seperti tidak melakukan presensi finger
print, datang terlambat, atau seragam yang tidak sesuai jadwal, 2)Kepala
sekolah melakukan teguran intimidatif kepada key participant ketika upacara
bendera, memberikan teguran atas sikap Putra yang mengobrol sendiri
dengan komentar negatif yaitu, “Anak-anak ini contoh yang salah ya, ketua
kelas malah ribut sendiri dan tahun sebelumnya juga tidak naik kelas”.
Selanjutnya pandangan other participant terhadap dua rekan guru lain
mengomentari gaya mengajar dan dugaan pribadi berdasarkan rumor dan
berita yang didengarnya. Rumor mengatakan bahwa Pak Dodi melakukan les
mata pelajaran illegal sesudah kegiatan belajar mengajar di sekolah karena
seharusnya pendampingan siswa lambat belajar oleh guru kelas tidak
dipungut biaya. Dalam kasus ini peneliti belum mendapatkan klarifikasi yang
dapat dipercaya. Sementara ada pula rumor yang tersebar di kalangan guru
bahwa Bu Ely adalah guru yang subjektif dalam memihak wali murid. Rumor
tersebut menimbulkan labeling bahwa guru kelas II cenderung tidak mampu
membentuk kepribadian siswa sehingga ketika naik kelas III banyak anak
bermasalah yang perlu pendampingan.
Wali kelas IA dan other participant memilih abstain atau tidak
berkomentar terhadap perilaku Putra yang dianggap nakal. Alasannya adalah
Bu Arti, wali kelas IA, merasa bahwa Putra tidak memiliki masalah di kelas
1. Sementara Bu Is memilih tidak berkomentar karena belum pernah
mengajar Putra atau mengenalnya secara langsung.
Bagian yang menarik adalah pola perilaku Pak Dodi yang inkonsisten
dalam relasi dengan peneliti. Hal ini dapat dipahami karena adanya relasi
kekuasaan yang menekan kebebasan Pak Dodi bertindak sesuka hati di
sekolah karena berbagai peraturan Kepala Sekolah. Maka, Pak Dodi kerap
menceritakan berbagai prestasi, kerja sampingan, atau kisah-kisah
pengaruhnya terhadap rekan sekerja maupun murid kepada peneliti untuk
memperoleh ruang unjuk diri. Pak Dodi mulai menarik diri dari hubungan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
komunikasi intens dengan peneliti ketika mendapat teguran dari Kepala
Sekolah berdasarkan aduan dari rekan kerja peneliti kepada Pak Idi (bidang
kurikulum dan guru pamong PPL).
Apa respon teman-teman Putra terhadap sikapnya dalam berelasi? Mengapa
teman-teman Putra memberi respon demikan?
Sociogram 1. Alur Hubungan Relasi Key Participant dengan Teman-Teman
Satu Kelasnya
hubungan netral karena saling mengutungkan satu sama lain
perilaku mendominasi
perilaku subordinasi
perilaku resistensi
Teman-teman Putra merespon tindakannya sesuai dengan kebutuhan
dan kepentingan masing-masing. Salah satunya Inka yang merespon Putra
dengan cenderung menjadi subordinat dengan tujuan supaya sikapnya
menjadi pengalihan atas tindakan tidak mau memakai sepatu di dalam kelas.
Sementara Asrap cenderung selalu meladeni sikap iseng atau tantangan Putra
dengan kemarahan. Putra akan cenderung akan menanggapi kemarahan Asrap
Rio dan Indah
Arp Ipn
Inka Asf
Putra
key participant
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
dengan berkelahi sampai Asf menangis dan baru berhenti saat dilerai oleh
guru.
Pada kasus lain, Arp cenderung menjadi subordinat ketika dia
mendapat keuntungan dari perilakunya yaitu diabaikan guru ketika
pembelajaran di kelas sehingga dia bisa bebas tidak mengerjakan tugas atau
dihukum diluar kelas untuk bisa mencuri waktu bermain. Namun respon ini
mengalami perubahan. Ketika dia tidak lagi mendapatkan keuntungan dari
respon subordinatnya terhadap Putra maka dia melakukan perlawanan dengan
membalas kejahilan dan ejekan Putra terhadapnya.
Sementara itu Ipan cenderung memilih menjadi sekutu Putra dalam
melakukan tindakan jahil atau melanggar aturan. Namun pada saat tertentu
mereka juga terlibat perkelahian. Kendati demikian mereka akan berdamai
kembali dan mengulang aksi jahil bersama lagi.
Sedangkan Rio cenderung resisten terhadap perilaku dominasi Putra,
karena dia berani membalas saat berkelahi. Tingkah Putra juga tidak selalu
ditanggapinya, sehingga menimbulkan efek jengah pada Putra untuk
mengganggu Rio. Perilaku ini juga sempat teramati oleh peneliti pada
beberapa anak yang jarang menanggapi gangguan Putra di kelas, maka Putra
cenderung tidak mengganggu anak-anak tersebut.
Seperti apa relasi Putra dengan kakak laki-lakinya?
Hubungan Putra dengan kakak kandungnya memiliki kecenderungan
efek sibling rivalry. Sibling rivalry timbul dari cara ibu membandingkan
perilaku key participant dengan kakaknya. Eno dianggap lebih patuh,
penurut, dan kalem dibanding Putra yang kerap membantah dan melanggar
aturan. Putra tidak menggunakan sebutan “mas” (ciri tata krama budaya di
masyarakat Jawa ketika memanggil orang yang lebih tua) dalam
berkomunikasi dengan Eno. Eno cenderung mencari perlindungan pada
ibunya ketika berkelahi dengan Putra, sehingga dia biasanya tidak melawan
tetapi mengadukan perbuatan adiknya sehingga adiknya dimarahi oleh
ibunya. Di sekolah mereka menunjukan ciri sikap yang sangat bertolak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
belakang, misalnya, ketika Eno mengobrol saat pelajaran dan ditegur oleh
guru dia akan langsung patuh. Sedangkan Putra, jika mengobrol saat
pelajaran dan ditegur justru akan membantah atau malah membuat keributan
lain seperti jalan-jalan keliling kelas atau mengganggu teman lain
mengerjakan.
C. Temuan-Temuan Lain
Berdasarkan paparan hasil data dan analisis penelitian pada bagian
sebelumnya, peneliti menemukan beberapa temuan lain di luar topik utama
penelitian. Temuan-temuan lain tersebut diantaranya adalah tindak
pemalsuan, korupsi, dan gratifikasi terselubung. Tindak pemalsuan ditemukan
dari fakta bahwa Pak Dodi seharusnya belum bisa menjadi PNS karena ijazah
terakhirnya SMA. Lalu mengapa masih bisa menjadi guru tetap dan
jabatannya tidak dicabut? Berdasarkan paparan pada bagian sebelumnya, Pak
Dodi Sendiri mengatakan bahwa dia memiliki koneksi orang dalam di dinas
pendidikan. Selain itu, prestasinya yang kerap menjuarai beragam
perlombaan tingkat daerah dan nasional menjadikannya salah satu guru
potensial bagi sekolah.
Ada dugaan kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala sekolah.
Argumen pendukung dugaan tersebut salah satunya adalah tidak tersedia
makan siang bagi guru dan karyawan pada periode dua tahun terakhir masa
jabatannya. Padahal pada periode pertama masa jabatannya makan siang bagi
guru dan karyawan selalu ada, anggaran konsumsi tersebut juga tercantum
dalam buku rencana anggaran tahunan. Selain itu, ketika PPL peneliti dan
beberapa teman lain kerap diminta mengisi nota kosong dan harus mau
mengisi bergantian, karena kepala sekolah ingin supaya tulisan tangan di nota
kosong berbeda-beda.
Temuan lain yang terakhir adalah dugaan adanya gratifikasi
terselubung. Kasus ini dikuatkan dengan peristiwa kelas Bu Ely yang
membuat seragam kaos kelas khusus ketika kegiatan kunjungan museum,
padahal kunjungan wajib berseragam. Ternyata kaos tersebut merupakan kaos
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
yang biaya produksinya disubsidi oleh salah seorang wali murid yang
menjadi ketua komite di kelas II A. Sementara itu, Pak Dodi pernah izin
mendadak selama dua hari karena alasan pekerjaan di Bali. Sepulang dari
Bali, Pak Dodi membagikan oleh-oleh ke semua guru termasuk bingkisan
khusus yang berisi lebih banyak oleh-oleh kepada kepala sekolah.
Menariknya, kepala sekolah tidak menegur tindakan izin mendadak Pak
Dodi, padahal dia pernah memarahi guru lain yang izin mendadak karena
mengikuti suatu rapat kepanitiaan. Guru yang kena teguran ini padahal sudah
menyerahkan undangan dan surat tugasnya, sementara Pak Dodi sama sekali
tidak menyerahkan surat izin kepada kepala sekolah.
Temuan lain yang menarik dan menjadi pembelajaran bagi peneliti
adalah pola perilaku Inka. Tanpa disadari ternyata perilaku Inka selama ini
yang menerima gangguan dari Putra hingga menangis sebenarnya bertujuan
untuk mengalihkan perhatian peneliti terhadap perkelahian mereka; dibanding
sikap Inka yang tidak memakai sepatu selama proses pembelajaran
berlangsung. Memakai sepatu selama proses pembelajaran di dalam kelas
adalah salah satu peraturan kelas. Perkelahian Inka dengan Putra telah
mengalihkan perhatian peneliti sehingga terlambat menegur Inka untuk
memakai sepatu selama proses pembelajaran. Sedangkan dalam kasus Arp,
ternyata Arp menerima gangguan dari Putra sebab dia bisa mendapat
keuntungan dari perkelahian atau gangguan dari Putra yaitu dihukum keluar
kelas. Bagi Arp, hukuman belajar di luar kelas adalah kesempatannya
bermain air di wastafel depan kelas atau bebas tidak mengerjakan tugas.
Sebab selama pembelajaran Arp kerap malas menulis atau mencatat dan
mengerjakan tugas jika tidak ditegur berulangkali. Pada beberapa kesempatan
peneliti mengajar di kelas, peneliti tidak menerapkan hukuman belajar di luar
kelas, sehingga Arp merasa terjebak dan akhirnya melawan tindakan Putra
terhadapnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pertanyaan utama dari topik permasalahan dalam penelitian ini adalah
hal-hal apa saja yang melatarbelakangi terbentuknya pola-pola perilaku
partisipan penelitian? Ternyata hal yang memengaruhi pola perilaku key
participant adalah adanya dominasi dari pihak lain yang berinteraksi
dengannya dan sibling rivalry antara key participant dengan kakak laki-
lakinya. Sibling rivalry diperkuat dengan posisi Bu Ina (ibu key participant)
yang memiliki kecenderungan membela anak pertama (kakak laki-laki key
participant). Kecenderungan pola asuh ini membuat key participant lebih
banyak mendapat pengawasan dan bimbingan belajar bersama ibunya, karena
ibu key participant memiliki kekhawatiran besar jika anaknya kembali tinggal
kelas.
Ada faktor dari peristiwa labeling atau pemberian julukan tertentu.
Label ini menjadi pemicu awal pola-pola relasi yang teramati pada bagian
sebelumnya. Labeling timbul karena pemahaman masyarakat koletif dan
budaya mempercayai pendapat umum atau mayoritas. Maka dapat dikatakan
bahwa labeling adalah salah satu bentuk dominasi dalam lingkungan sekolah.
Proses labeling terjadi karena individu yang terlibat dengan key
participant memerlukan ruang untuk menunjukan eksistensi mereka atau
mencari celah untuk melakukan dominasi karena tidak mendapat ruang di
situasi atau lingkungan yang lain. Label terhadap key participant digunakan
untuk menguasai, mengintimidasi, dan mengatur pola perilaku yang tidak
diharapkan. Sebagai contoh, Pak Dodi berada di bawah dominasi kekuasaan
jabatan kepala sekolah sehingga dia berusaha menunjukan eksistensi dirinya
dengan menceritakan prestasi dan kelebihannya menangani perilaku key
participant kepada peneliti. Maka, dalam proses pengajaran di kelas dia juga
tidak segan memberi hukuman dan teguran keras kepada key participant
ketika berbuat kesalahan atau menimbulkan keributan sebagai legitimasi atas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
dominasinya. Sementara Bu Ely cenderung mengajar dengan lebih mengikuti
pola perilaku key participant dengan tujuan menjalin relasi dengan ibu key
participant untuk tujuan tertentu yang tidak diketahui peneliti. Dugaan ini
muncul karena Bu Ely satu-satunya guru yang dipercaya memberikan les
privat bagi key participant dan bahkan membelikan buku bacaan untuknya.
Sementara itu, bagi key participant label “nakal” menjadi privilege dan
peluang khusus baginya melakukan dominasi terhadap orang lain. Sebagai
contoh, perilaku jahil dan isengnya terhadap Inka dilakukan karena Inka
mudah menangis sehingga membuatnya mengulang perilaku jahil tersebut
terus menerus. Tetapi kepada Rio key participant tidak bisa melakukan
dominasi, karena dia melawan atau tidak menanggapi perilakunya. Maka
sikap atau perilaku nakal key participant tidak timbul berulang dan terus
menerus pada relasinya dengan Rio.
Sekarang dapat dipahami bahwa ada pola relasi kekuasaan yang
melatarbelakangi timbulnya ragam pola perilaku pada masing-masing
fenomena. Tindak intimidatif, kenakalan, dan pelanggaran aturan
sesungguhnya hanya terjadi apabila lawan komunikasi memberi ruang untuk
terjadinya hal-hal tersebut. Pola-pola perilaku yang berulang ini berkembang
membentuk stigma tentang definisi “nakal”. Padahal stigma tersebut belum
tentu sesuai untuk mendefinisikan pola perilaku individu tertentu, karena
generalisasi itu belum menjelaskan secara menyeluruh penyebab timbulnya
pola perilaku nakal. Jadi julukan “nakal” digunakan sebagai alat oleh para
partisipan penelitian antar pribadi mereka dengan keperluan masing-masing
untuk menguasai atau memiliki power atas diri orang lain.
B. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan dan disusun berdasarkan kaidah
penulisan serta prosedur ilmiah, namun demikian masih memiliki
keterbatasan yaitu:
1. Faktor penyebab reaksi atau respon other participant terhadap pola
perilaku key participant dalam penelitian ini diamati dari tiga teori yaitu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
dominasi, perilaku masyarakat kolektif, dan sibling rivalry, masih ada
kemungkinan faktor lain yang bisa saja memengaruhi respon atau persepsi
mereka terhadap pola perilaku key participant.
2. Temuan-temuan lain dalam penelitian ini bisa jadi salah satu faktor
pemicu pola perilaku key participant di lingkungan sekolah, karena siswa
SD masih dalam tahap mengamati lalu meniru perilaku orang-orang yang
berinteraksi dengannya.
3. Pertanyaan terbuka peneliti mungkin saja belum membuka secara
keseluruhan fakta-fakta yang diungkapkan oleh partisipan penelitian
karena faktor denial atau rasa takut mengungkapkan pendapat.
C. Implikasi dan Saran Penelitian Selanjutnya
Implikasi dalam penelitian ini adalah peristiwa labeling dipicu oleh
faktor kecenderungan kepercayaan masyarakat kolektif terhadap stigma atau
pandangan umum, sibling rivalry, dan dominasi kekuasaan tertentu oleh
beberapa pihak yang memerlukan ruang untuk menunjukan eksistensi dirinya.
Sibling rivalry dapat dipicu dari gejala post partum depression ibu kepada
anaknya sehingga menimbulkan pola asuh yang tidak berimbang bagi anak-
anaknya. Pola relasi kekuasaan dan hubungan kerja antar guru serta karyawan
di sekolah yang tidak sehat karena memiliki motivasi serta kepentingan
tertentu bagi keuntungan individu atau sekelompok orang bisa berdampak
pada pengajaran di kelas. Siswa bisa jadi melakukan imitasi terhadap pola-
pola perilaku guru-gurunya di sekolah.
Saran bagi peneliti adalah mengasah kembali kemampuan
berkomunikasi dengan partisipan. Jika melakukan penelitian lanjutan, belajar
kembali bagaimana cara menyusun pertanyaan terbuka yang memberikan
keleluasaan bagi partisipan untuk berpendapat. Selain itu penting pula bagi
peneliti untuk belajar mengesampingkan adjustment berdasarkan pendapat
pribadi sebelum menemukan justifikasi atas fenomena yang teramati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Bagi penelitian selanjutnya dapat mengamati apakah pola yang sama
juga timbul pada individu berbeda dengan kasus yang serupa. Hal ini bisa
menjadi bahan kajian untuk melihat apakah ada konsistensi pola pada kasus-
kasus serupa yang lain. Selain itu, hasil penelitian juga dapat digunakan untuk
melihat lebih jauh, guru manakah yang memiliki power atau pengaruh
terbesar melakukan kontrol terhadap perilaku key participant. Freire (1993)
menuliskan bahwa dalam perspektif Graff, guru hendaknya menempati posisi
netral, atau setidaknya bisa menunda prasangka mereka, dalam menghadirkan
konflik, dan bahwa konflik tersebut tetap dan tidak bergerak. Sehingga
pemahaman terhadap pola relasi sistem dominasi ini menjadi bahan reflektif
guru dan peneliti untuk bisa membangun empati dalam relasinya dengan
siswa dibanding rasa simpati.
Sementara itu disisi lain sebagai orang tua dari anak-anak berusaha
mengembangkan komunikasi yang positif. Persaingan, rasa manja, dan
ketergantungan wajar diungkapkan anak dalam relasinya dengan saudara
kandung dan orang tuanya. Orang tua memiliki peran penting untuk bisa
memberi ruang bagi anak-anak belajar mandiri, berbagi, dan toleransi dari
pengalaman hidup mereka bukan atas rasa takut karena tuduhan atau stigma
negatif dari orang tua. Menjadi orang tua dengan model dan pola asuh
tertentu adalah pilihan masing-masing individu. Setiap orang tua memiliki
cara terbaiknya masing-masing untuk mendidik anak-anaknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
DAFTAR PUSTAKA
Adler, A. (1930). Individual Psychology. (I. C. Murchison, Penyunt.) Worchester,
MA: Clark University.
Ahdiah, I. (2013, Oktober). Peran-Peran Perempuan Dalam Masyarakat. Jurnal
ACADEMICA Fisip Unstad, VOL. 05 No. 02, 1085 - 1092.
Anonim. (2012). Documenting Children Types/Samples. Australia: FDC (Family
Day Care).
Anonim. (2018). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Dipetik Januari
16, 00.30, 2018, dari https://kbbi.web.id/
Becker, Howard dan Blance Geer. (1970). "Participant Observation and
Interviewing A Comparison" In Qualitative Methodology. (W. J. Filstead,
Penyunt.) Chicago: Markham.
Bedger, Julia dan Peter Reddy. (2009). The Effect of Birth Order on Personality
Traits and Feelings of Academic Sibling Rivalry. Phsychology Teaching
Review, Vol. 15 No.1, 45 - 54.
Darwin, C. R. (1859). On the Origin of Species by Means of Natural Selection.
London: John Murray.
Denzim, N. K. (1978b). The Research Act: A Theoritical Introduction to
Sociological Methods (2d ed.). New York: McGraw-Hill.
Dinkmeyer Jr. D. C., Dinkmeyer, dan Caldwell. D. E. (1970). Developmental
Counseling and Guidance: A Comperhensive School Approach. New
York: McGraw-Hill.
Doron, H. (2009, Februari). Birth Order, Traits and Emotions in the Sibling
System as Predictive Factors of Couple Relationships. The Open Family
Journal, Volume 2, 23-30.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
E.Husserl. (1954). The Crisis of European Science and Transcendental
Phenomenology. (D. Carr, Penerj.) Evanston, IL: Northwestern University
Press.
Freire, P. (1993). Pedagogy of the Oppressed. (M. B. Ramos, Penerj.) New York:
The Continuum International Publishing Group Inc.
Fukuyama, F. (1999). The Great Disruption: Human Nature the Reconstituition of
Social Order (Paperback edition in 2000 ed.). USA: The Free Press.
Glesne, C. (1999). Becoming Qualitative Researcher: An Introduction (2d ed.).
New York: Longman.
Glesne, C. (2006). Becoming Qualitative Researcher: An Introduction (3rd ed.).
MA: Allyn and Bacon.
Goodman, D. J. (2010). Helping Student Explore Their Privileged Identities.
Diversity and Democracy Magazine, Vol. 13 No.2, hal. 1-10.
Goodman, D. J. (2015). Oppresion and Privilege: Two Sides of the Same Coin.
Journal of Intercultural Communication, No. 18, 1 - 14.
Hanh, T. N. (2011, Mei 11). Healing the Child Within. Lion's Roar Magazine, hal.
40-45.
Husserl, E. (1913). Ideas. London: George Allen and Unwin.
Husserl, E. (1962). Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology. (W. R.
Gibson, Penerj.) New York: Collier Books.
Husserl, E. (1977). Phenomenological Psychology: Lectures, Summer Semester,
1925. (J. Scanlon, Penerj.) Boston: Martinus Nijhoff.
Ihde, D. (1977). Experimental Phenomenology. New York: Putnam.
Katz, L. (1987). The Experience of Personal Change. Unpublised doctoral
dissertation, Graduate College, The Union Institute, Cinnati, OH.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
Lamb, M. E. dan Sutton-Smith, B. (1982). Sibling Relationships: Their Nature
and Significance Across The Lifespan. Hillside: Lawrence Erbaum
Associates.
Lincoln, Y. S. dan Guba, E. G. (1985). Naturalistic Inquiry. Beverly Hills: Sage
Publication.
Lofland, J. (1971). Analyzing Social Setting. Belmont, CA: Wadsworth.
Mallers, Melanie H., et all. (2010). Perceptions of Childhood Relationships With
Mother and Father: Daily Emotional and Stressor Experience in
Adulthood. Developmental Psychology Journal, Vol. 36 , No. 6, 1651 -
1661.
Michele, L. (2005). Inner Child Writing: Become Your Own Loving Parents.
Inner Child Workshop (hal. 1 - 6). California, USA: ICW.
Moustakas, C. (1994). Phenomenological Research Methods. Thounsand Oaks,
CA: Sage.
Öztrük, Ş. (2009). Pierre Bourdieu Theory of Social Action. Sosyal Bilimier
Dergizi Magazine, hal. 249-263.
Patton, M. Q. (2002). Qualitative Research & Evaluation Method (3rd ed.). USA:
Sage Publication Inc.
Scott, J. C. (1990). Domination and The Arts of Resistence. USA: Edwards
Brothers Inc.
Sinclair, Robert L. dan Ward J.Ghory. (1987). Reaching Marginal Student: A
Primary Concern for School Renewal. United States of America:
McCutchan Publishing Corporation.
Sulloway, F. J. (2001). Sibling-order Effect. International Encyclopedia of The
Social & Behavioral Science, 14058 - 14063.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xix
Supratiknya, A. (2014). Membaca Pikiran Driyarkara tentang Pendidikan di
Zaman Sekarang. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Team, N. (2018). Guidance Book: Handout Material. Dipetik Februari 9, 21.30,
2018, dari NSPCC Organiazation:
https://www.nspcc.org.uk/globalassets/documents/advice-
andinfo/positive-parenting.pdf
Trivers, R. L. (1974). Parent-offspring Conflict. American Zoologist, 249 - 264.
Van Manen, M. (1990). Researching Lived Experience: Human Science for an
Action Sensitive Pedagogy. New York: State University of New York.
Wertz, Frederick J., at all. (2011). Five Ways of Doing Qualitative Analysis. New
York: The Guildford Press.
Winarti, E. (2012). School-Level Curriculum: Learning from a Rural School in
Indonesia. USA: The Patton College of Education of Ohio University.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xx
LAMPIRAN
A. Daftar Topik Utama Wawancara
1. Key Participant
- Identitas diri key participant (nama, usia).
- Hal-hal yang disukai key participant (kegiatan atau aktivitas faforit
dan pelajaran yang digemari).
- Kecenderungan interaksi sosial key participant (teman bermain, teman
yang tidak disukai, guru faforit, dan guru yang dihindari).
- Relasi key participant dengan anggota keluarga yang lain.
- Identitas diri ibu key participant.
2. Other participant
2.1 Ibu Key Participant
- Identitas diri (nama, usia).
- Pandangan Ibu key participant terhadap anaknya (pendapat
mengenai sikap dan perilaku Putra).
- Pandangan Ibu key participant terhadap sekolah dan pengajar
anaknya di sekolah.
2.2 Pak Doni
- Identitas diri (nama, usia).
- Pandangan Pak Doni terhadap key participant.
- Pola ajar Pak Doni terhadap key participant.
- Pendapat Pak Doni terhadap orang tua key participant.
2.3 Bu Ely
- Pandangan Bu Ely terhadap perilaku key participant.
- Pendapat Bu Ely terhadap sikap orang tua key participant.
- Cara mengajar Bu Ely pada key participant.
2.4 Bu Arti
- Pandangan Bu Arti terhadap perilaku key participant.
2.5 Inka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxi
- Pendapat Inka tentang key partcipant dan alasan mengapa dia
berperilaku demikian terhadap key participant.
2.6 Arp
- Pendapat Arp terhadap perilaku key participant dan alasannya
bertindak atau menanggapi key participant.
2.7 Ipn
- Pendapat Ipn terhadap perilaku key participant dan alasan pilihan
sikapnya menanggapi key participant.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxii
B. Anecdotal Record
Senin, 7 Agustus 2017
Ketika upacara bendera rutin di hari senin, Bu Tami (kepala sekolah)
menegur Putra di depan semua guru dan murid. Alasannya karena dia terlihat
mengobrol dengan temannya padahal dia berada di barisan terderpan. Lalu
dia menegur dengan menyindir Putra “Tolong kalau upacara jangan ribut
sendiri. Kamu ketua kelas IIB kan. Kamu ini sudah tinggal kelas kok masih
ribut. Kamu mau tinggal kelas lagi di kelas II. Anak-anak semua jangan
mencontoh sikap anak ini ya, dia ketua kelas, tidak naik kelas dan suka
membuat onar”. Teguran tersebut bukannya membuat Putra tenang, justru dia
menunduk seperti menahan emosi karena saya hanya melihat raut wajahnya
sekilas dan tangannya yang mengepal.
Rabu, 30 Agustus 2017
Selama pengataman peneliti, Putra belum pernah sekalipun menangis
setelah berkelahi dengan temannya. Namun ada satu momen ketika peneliti
tidak memperhatikan kronologi perkelahian, Putra tiba-tiba saja menangis
dan tidur telungkup di lantai belakang kelas. Dia menangis cukup lama dan
isakan yang tertahan karena tidak terdengar jelas suara tangisnya. Saat
peneliti bertanya pada teman yang tadi berkelahi yaitu Rio, dia hanya
menjawab tidak tahu. Dia merasa bahwa tadi Putra menjegalnya hingga
terjatuh dan dia kesakitan lalu balik memukul Putra. Menurutnya pukulan
balasannya tidak menyakitkan.
Saat peneliti tanyakan kepada key participant apakah ada sakit, dia
hanya menggeleng. Peneliti tanya kenapa kamu menangis, dia tidak mau
menjawab. Peneliti ajak dia duduk dan minum dia tidak menjawab.
Peneliti mencoba mengangkat badannya yang telungkup untuk
mengajaknya duduk di kursinya, namun dia menolak menahan dengan
seluruh tubuhnya sehingga peneliti tidak kuat memindahkannya
sedikitpun. Akhirnya peneliti hanya menungguinya menangis dan duduk
disampingnya sambil mengusap-usap kepalanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxiii
Dia sempat sejenak menoleh melirik melihat wajah peneliti tapi
peneliti tidak balas menatapnya. Setelah menangis dalam posisi itu selama
kurang lebih lima belas menit akhirnya dia terdiam dan beranjak duduk.
Dia mengusap air matanya sebelum akhirnya bangkit berdiri dan berjalan
untuk kembali duduk di kursinya. Biasanya dia akan menanggapi dengan
tawa atau candaan setelah perkelahian atau tangisan, namun kali itu dia
hanya diam dan tanpa ekspresi sama sekali. Kemudian setelah dia duduk
di kursinya peneliti menyuruhnya minum tapi dia menggeleng. Lalu
peneliti mengusap kepalanya sambil mengatakan bahwa peneliti akan
pergi kembali ke ruang guru dan memintanya kembali mengikuti pelajaran
dengan baik, dia hanya menjawab dengan anggukan kepala yang lemah.
Senin, 11 Desember 2017
Saat peneliti menunggui UAS di kelas ada fenomena dimana Arp
yang biasanya tidak melawan saat di ganggu oleh Putra hari itu melawan
balik. Perlawanan balik dilakukan secara verbal “Huu koe ki nyebai yo
(kamu tu menyebalkan ya). Isane mung ngono (bisanya hanya begitu)
huuu” “Apa koe (apa kamu) tak kandakke koe (saya adukan kamu)” “Apa,
aku yo isa (aku juga bisa) tak kandakke genti (saya adukan balik) wanine
mung ngandakke (beraninya hanya mengadu)” Diam tidak membalas
ucapan Arip dan kembali duduk di kursinya.
Memukuli Putra dengan terus mengatakan (apa koe (apa kamu)
wani ra (berani tidak) gelut wae yo (berkelahi saja yo) Putra tidak
melawan balik dan hanya diam saat dipukuli. Teman disamping Putra
menyahut dengan mengatakan “Putra ki ra gampang lara nek mung
digebuki ngono (Putra tu tidak mudah sakit kalau hanya dipukuli begitu)”
Arp menyahut “Yo rapopo, iki ki lara kok (ya tidak apa apa, ini tu sakit
kok)” Sampai akhirnya Arp bosan dan berhenti memukuli Putra lalu
meninggalkannya sendiri. Ketika anak-anak lain mulai pergi Putra tidak
mempunyai teman dan berganti mengganggu anak-anak perempuan.
Peneliti bertanya pada Arp apa sebabnya dia melawan dibanding
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxiv
menerima seperti biasanya “Arp kenapa kamu membalas Putra kan
biasanya tidak pernah” “Ya gak papa bu, kan emang Putra nakal” “Tapi
dulu kamu tidak melawan Arp diganggu Putra” “Ya, gak tahu bu”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxv
C. Coding Data Wawancara dengan Putra (key participant) untuk Analisis
Relasi Putra dengan Keluarga
Fokus Pertanyaan Jawaban
Putra biasanya kamu kalau di
luar sekolah, misalnya di
rumah, main dengan siapa?
Aku senang main sama sepupuku bu,
namanya Aldi dan Aldo (pseudonym).
Mereka itu enggak sekolah lho bu. Terus
kita main naik motor keling-keling sekitaran
rumah.
Kamu kalau liburan senang
main kemana?
Ke Jakarta bu, sepupuku itu dulu tinggal di
Jakarta. Kalau di Jakarta aku senang main
ke rumah simbah. Pokoknya aku senang
pergi main bu
Owh dulu sepupumu itu
tinggal di Jakarta. Lalu kenapa
kamu senang di rumah
simbah?
Ya senang lah bu, kan bisa liburan, bermain,
jalan-jalan ke monas.
Lalu kalau liburannya di
rumah saja senang tidak?
Ya gak papa, kan sepupuku sekarang di
Jogja, jadi aku bisa main kapan aja.
Kenapa sepupu pindah ke
Jogja? Lalu di jogja sekolah
tidak
Ya karna orang tua nya punya rumah disini,
dekat rumahku itu lho bu. Sekarang ya juga
gak sekolah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxvi
D. Coding Data Wawancara dengan Bu Ina (Ibu key participant)
Fokus
Pertanyaan
Jawaban
Bagaimana
perilaku Putra
menurut ibu?
Putra itu sebetulnya anak yang cerdas dan kreatif jika
dibandingan dengan kakak laki-lakinya. Kakak laki-laki
Putra itu terlalu penurut dan tidak pernah protes kepada
orang tua. Saya itu kalau sama anak pertama tidak terlalu
banyak aturan, asalkan dia duduk nontong tv sudah anteng.
Nah, kalau sama Putra saya biarkan dia main diluar
rumah sepuasnya, karna gak bisa anteng kalau di rumah.
Bagaimana pola
asuh ibu
terhadap Putra
atau pendidikan
keluarga ibu
pada anak-
anak?
Ayahnya terlalu sabar pada Putra kalau menurutnya.
Hanya saya yang cerewet dan menunggui anaknya belajar.
Saya mengakui bahwa semasa muda saya juga anak yang
jahil suka mengganggu dan mengisengi temannya. Saya
mengakui bahwa mungkin sikap dan sifat anaknya juga
menurun dari perilakunya. Setiap malam saya selalu
menunggui anaknya belajar sambil bermain HP kadang
kala. Kalau anak saya menegur saya sedang bermain HP
Saya akan mengatakan bahwa saya sedang membalas
pesan penting dengan guru kelas. Ayah Putra jarang sekali
menunggui Putra belajar maka saya mengambil peran itu
di rumah yaitu menunggui dan mengawasi Putra belajar.
Saya sangat rajin meminta soal dan materi ke guru kelas.
Tiap kali akan ada ulangan tematik Saya akan mencetak
ulang soal-soal dari buku tematik atau latihan soal untuk
dikerjakan Putra di rumah. Saya akan merasa bangga dan
lega kalau banyak soal mirip yang keluar di ujian sesuai
yang dipelajari dan dikerjakan anaknya di rumah
sehingga nilainya bagus.
Bagaimana Saya dan suami sudah berkomitmen dari awal tentang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxvii
pembagian
peran mengasuh
dalam keluarga
ibu?
pembagian peran dalam keluarga. Suami saya memilih
menjadi tulang punggung yang akan mencari nafkah dan
mencukupi kebutuhan finansial keluarga, sedangkan saya
bertanggungjawab penuh pada masalah anak (mendidik,
mengasuh, merawat, dsb). Saya kadang merasa kesal dan
capek juga karena mengurus anak bukan pekerjaan sepele.
Saya alami sendiri bahwa mengurus anak sangat sulit.
Ayah Putra hanya akan turun tangan kalau saya bilang
bahwa perilaku si Putra sudah kelewat batas dan saya tidak
bisa tangani sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxviii
E. Dokumentasi Tulisan Tangan Putra
Putra masih kesulitan dalam
membedakan penggunaan huruf
kapital.
Pada beberapa kata ada suku
kata yang penlusinnya
terpisah, padahal masih satu
kata yang sama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxix
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Layung Rahmawati lahir di Yogyakarta pada tanggal 10
Oktober 1996. Dia adalah anak pertama dari Bapak Sutapa
dan Ibu Kristiana Triastuti. Riwayat pendidikan formalnya
yaitu, tamat dari SD Kanisius Baciro tahun 2008, tamat
dari SMP Joannes Bosco tahun 2011, lulus SMA dari SMA
Stelladuce 1 tahun 2014. Setelah lulus SMA dia
melanjutkan studi S1 di Universitas Sanata Dharma, Program Studi Pendidikan
Guru Sekolah Dasar (PGSD) mulai tahun 2014.
Memiliki pengalaman kerja sebagai pendidik di lembaga swadaya
masyarakat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Tunas Bangsa Padukuhan
Pringwulung tahun 2014 sampai 2015. Pada tahun 2014 – 2016 menjadi operator
kesekertariatan dan akademik di PAUD Tunas Bangsa, Pringwulung. Pernah
mengajar part-time sebagai Guru di Sekolah Anak Bintang Jogja (pre-school dan
day-care) di mata pelajaran Basic Mandarin or Chinnese Language for pre-school
di tahun 2016-2017. Menjadi asisten dosen dalam mata kuliah IPA Biologi,
praktikum biologi dasar, dan IPA inovatif di tahun 2016-2018. Anggota cepriest
sebagai student staff PIC Kursus Bahasa Isyarat di Pusat Studi Individu
Berkebutuhan Khusus (PSIBK) Sanata Dharma tahun 2016-2018.
Pernah menjadi penulis kedua artikel berjudul “Miskonsepsi Mahasiswa
PGSD terhadap Mikroorganisme” dalam Jurnal Penelitian Universitas Sanata
Dharma bersama Wahyu Wido Sari, M. Biotech di tahun 2015. Menjadi juara II
lomba menulis essay ilmiah dalam acara Pekan Ilmiah Fakultas Pendidikan tahun
2016. Sebagai peserta representatif Universitas Sanata Dharma dalam kegiatan
Global Leadership Programme, temu internasional mahasiswa universitas Jesuit
se-Asia tahun 2016. Pernah menjadi volunteer divisi Liasion Officer (LO) dalam
kegiatan Asian Youth Day 7, temu orang muda Katholik se-Asia, di Yogyakarta
tahun 2017. Menjadi peserta dalam ASEACCU Conference, konferensi
universitas Katholik se-Asia & Australia, dengan tema Inclusive Education di
Assumption University, Bangkok, Thailand tahun 2017.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI