pkn

download pkn

of 10

description

tugas Rule of Law

Transcript of pkn

Never ending story

Hujan deras masih saja setia mengguyur bumi. Sejak semalam langit terus menumpahkan ribuan bahkan jutaan butir air, mengakibatkan bau tanah yang basah kian menusuk penciuman. Memaksa manusia kian malas beraktivitas, bahkan untuk beranjak dari selimut sekalipun. Hal yang Nampak jelas terjadi di sebuah asrama putri sekolah menengah atas. Terletak di pegunungan, membuat sekolah ini begitu sejuk dan damai, jauh dari hiruk pikuk perkotaan. SMA negeri 2 tinggimoncong, itulah nama yang tersemat padanya. Ri.. riana.. bangunlah.. mau sampai kapan kamu akan menggulung diri dengan selimut itu?? Lihatlah.. kamu bahkan terlihat seperti kepompong sekarang teriak seroang gadis seraya mengguncang-guncang tubuh yang masih setia dibawah selimut. aahh.. tunggu.. bentar lagi.. jawab gadis tersebut dengan suara serak seraya tetap berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut. Mungkin pengaruh hujan membuatnya begitu enggan beranjak dari tempat tidur. Bagaimana tidak, di luar sana hujan masih mengguyur ditambah kabut lebat yang menghalangi pandangan. Meringkuk di bawah selimut tebal memang adalah pilihan yang paling menyenangkan. Gadis itu bernama Riana, Ariana Azzahra. Gadis beusia 17 tahun yang tengah duduk di bangku kelas 3 SMA. Sudah sejam lebih setelah peristiwa tarik-menarik selimut itu terjadi. Tampak kini, Riana mulai bisa membuka matanya. Membiarkan cahaya mentari memasuki indra penglihatannya. Dengan langkah gontai ia beranjak dari tempat tidur. Setelah memastikan jilbab menutupi kepalanya, gadis itu melangkahkan kakinya keluar kamar. Rapat OSIS semalam menguras begitu banyak tenaganya, sehingga ia memutuskan melanjutkan tidur selepas shalat subuh. Yah.. akhir-akhir ini, ia sangat disibukkan dengan jadwal pendomisioneran pengurus OSIS, bagaimana tidak, dia bukan sekedar pengurus, melainkan sekretaris dari organisasi tersebut. Langkah kakinya, membawa ia ke sebuah ruangan di samping kamarnya. Ruang tivi, mereka menyebutnya. Disana telah berkumpul beberapa orang, yang diyakini adalah teman-temannya.

Sudah 30 menit gadis itu duduk termangu di sebuah bangku taman. Entah apa yang membuatnya begitu begitu betah berada disana. Hembusan angin sore yang menerpa kulit wajahnya menambah keindahan rupa gadis itu. Jilbab merah muda yang dikenakannya berayun kesana kemari mengikuti hembusan angin. Zahra. Nama gadis itu. Fatimah Azzahra. Mahasiswa semester akhir sebuah perguruan tinggi negeri jurusan arsitektur. belum pulang Ra?? Sebuah suara tiba-tiba membuyarkan lamuannya. eh.. iya.. belum. Jawab Zahra sedikit kaget kok ngelamun aja dari tadi?? Ada masalah?? ehh.. itu.. nggak kok.. cuma lagi cari-cari inspirasi gitu.. hehe balasnya disertai tawa ringan. yaudah kalo gitu.. cari inspirasinya dilanjutin di rumah aja.. udah sore nih. Pulang yuk . hmm.. ayolah. Keduanya kemudian pulang bersama. Zahra dan Amira. Dua orang gadis yang telah bersahabat sejak SMA.

Meski waktu menunjukkan pukul 1 siang, namun langit siang itu tampak gelap. Sepertinya akan turun hujan yang cukup deras jika meliihat awan tebal yang kian menghitam. Di sebuah halte, tampak seorang gadis tengah duduk termangu menanti kedatangan angkutan umum. Rambutnya yang panjang terurai berayun kesana kemari mengikuti hembusan angin. Langit mendung tidak mampu menyamarkan betapa indah rupa gadis tersebut. Hampir 30 menit berlalu. Namun, belum ada tanda-tanda angkutan umum akan melewati tempat tersebut. Nina mulai tampak gusar. Yah, nama gadis itu Nina, Karina Amira. Seorang mahasiswi jurusan arsitektur sebuah perguruan tinggi negeri. Berkali-kali Nina menatap arloji di tangannya. Berkali-kali pula ia menghembuskan nafasnya kasar. Nampak ia mulai gelisah.Seakan tak bisa dibendung lagi, langit mulai menjatuhkan butiran-butiran air yang sedari tadi di tahannnya. Perlahan-perlahan dan makin lama makin deras. ahhh.. kenapa hujan harus turun disaat seperti ini, oh Tuhan.. Nina tampak kesal sambil berusaha melindungi tubuh dan kepalanya dari tetesan hujan. Meski berada di halte, namun hembusan angin yang cukup kencang mampu membawa tetasan hujan mengenai dirinya. Tiba-tiba sebuah kain mengenai wajahnya. Nina pun kaget lalu mengangkat kepalanya guna melihat kain tersebut. Disaat yang bersamaann, ia mampu melihat sebuah senyuman. Senyuman seorang gadis berjilbab. ini.. pake ini aja Nin, kata gadis tersebut seraya menyodorkan kain tersebuteh.. kamu toh Ra, nggak usah. Udah terlanjur gini. Sebentar lagi juga reda hujannya. tolak Nina nggak Nin, pake aja. Meski ngga bisa menghangatkan, setidaknya baju kamu nggak basah. oh iya deh.. makasih yah. Eh ngapain disini?? Kok belum pulang jawab nina seraya menngambil kain tersebuthujannya deras banget. Takut nerobos. Yah, sama kayak kamu. Numpang berteduh. Hehe jawab gadis itu disertai tawa ringanHujan masih saja betah membasahi bumi. Sejumlah genangan air terbentu di jalanan. Aroma tanah yang basah kian menyeruak ke penciuman. Dua gadis tersebut masih setia berada di halte menunggu langit menghentikan hujannya. Nina, gadis tampak memerhatikan gadis disampingnya. Gadis berjilbab yang merupakan teman kelasnya di kampus. Meski bukan sahabat, namun keduanya cukup akrab. Naira, nama gadis itu. Sejak memberikan kain tadi, pembicaraan mereka terhenti. Dan Naira mulai sibuk membaca buku di tangannya. Samar-samar Nina bisa membaca sampul buku tersebut. Sekilas ia bisa membaca kata Muslimah. Ada rasa kagum menyeruak di hatinya. sepertinya sudah reda nih. Pulang yuk. ajak Naira yang bisa membuyarkan lamunan Nina oh iya.. hehe.. tapi aku masih nunggu angkot. Dari tadi nggak lewat-lewat. Jawab Nina kikuk oahaha.. sampai subuh juga ngga bakalan ada angkot yang lewat Nin, jalan didepan kan lagi ditutup. kok bisa??? Emang ada apaan? jawab Nina bingung kurang tau juga sih, sudahlah, biar aku antar pulang. Kebetulan aku bawa motor. Kita kan juga searahTanpa berpikir panjang, Nina akhirnya menerima ajakan Naira. keduanya lalu pulang bersama. Tidak berapa lama akhirnya Nina tiba di rumahnya. Setelah mengucapkan teria kasih dan melihat Naira pulang, ia berjalan memasuki rumah. Ia kemudian tersadar bahwa kain yang dipinjamkan Naira kepadanya masih ia kenakan. assalamualaikum, Ma.. Nina pulang. Teriaknya ketika memasuki rumahwaalaikum salam. Jawab seorang wanita paruh baya dari dalam rumah. Nina langsung berjalan menuju kamarnya. Melepaskan penat tubuh dengan berendam air hangat mungkin hal yang menarik pikirnya. Berselang beberapa menit, Nina selesai mandi dan tampak cantik dengan kaos yang ia kenakan. Nina merebahkan tubuhnya di ranjang, menatap langit-langit kamarnya. Ada sesuatu yang meganggu pikirannya. Ia teringat akan kain Naira. Nina merogoh kantong tasnya, mencari sebuah benda persegi. Ia bermaksud mengirim SMS ke Naira tentang kain tersebut. Namun, secarik kertas menarik perhatiannya. perasaan ini bukan kertasku deh pikirnya. Ia lalu membaca tulisan yang tertera di kertas tersebut.To : saudariku NinaPernahkah kamu berpikir, sebuah handphone mahal mati-matian kita lindugi. Kita menutupinya dengan case atau handphone condom agar HP tersebut tetap aman, meski kita meletakkannya dimana saja. Setiap case yang kita gunakan, pasti tidak mengurangi keindahan HP tersebut, bukan?? Justru makin membuatnya indah. Mungkin tak asing, kain itu namanya Pashmina. Kain yang biasa digunakan muslimah untuk menutupi kepala dan bagian tubuh lainnya. Ibarat handphone, bukankah tubuh kita juga sesuatu yang mahal? Bahkan jauh lebih mahal dari barang apapun?Maaf Nin, tak ada maksud apa-apa. Bukan juga untuk menggurui. Aku juga tidak memaksamu untuk mengenakannya. Kemarin aku bermimpi, aku melihatmu di sebuah taman yang sangat indah. Kamu menari bersama kupu-kupu. Terpikir olehku, mungkinkah itu taman surga?? Kamu melambaikan tangan kepadaku. Mengajakaku menari denganmu. Bukankah sangat menarik, apabila kelak kita akan bersama di Jannah-Nya. Nina, Ana ukhibuki fillah. Naira

Membaca pesan tersebut, Nina tak bisa berbuat apa-apa. Menatap kain basah yang Naira berikan tadi. Kain yang ternyata pashmina. Mengapa Naira begitu peduli padanya? Padahal mereka baru bertemu sejak sama-sama menjadi mahasiswi baru setahun yang lalu. Beribu pertanyaan muncul di benaknya. Ke esokan harinya, seperti biasa Nina berangkat ke kampus. Mengenakan kaos dipadukan celana jeans. Tampil casual merupakan gaya favoritnya. Meski niat untuk mengenakan jilbab ada dihatinya, namun banyak pertimbangan yang membuatnya belum merealisasikan niat mulia tersebut. Belum siap lahir batin. Alasan klasik yang ia gunakan.Beberapa hari berlalu. Di kampus Nina tak pernah lagi bertemu dengan Naira. Tidak biasanya, Naira absen dari kampus tanpa ada kabar, jika biasanya ia izin karena mengikuti beberapa kegiatan atau perlombaan ilmiah. Namun kali ini berbeda. Setahu Nina, Naaira tidak sedang mengikuti kegiatan apapun. Rasa penasaran menghantuinya. ia pun bertanya ke teman-teman terdekat Naira. Tak ada kabar yang pasti. Dengan rasa ingin tahu yang makin membuncah, akhirnya Nina memberanikan diri bertanya kepihak kampus. Naira dan keluarganya terpaksa meninggalkan Indonesia dan harus pindah ke Negara lain. Ayahnya dituduh sebagai salah seoran anggota sindikat terorisme. Meski telah terbukti, tidak bersalah, namun pindah ke luar negeri merupakan pilihan yang terbaik menurut Ayahnya. Naira tak bisa berbuat apa-apa. Seminggu yang lalu, ia menyusul keluarganya yang sudah lebih dulu pergi. jelas pihak kampusPikiran Nina makin kacau. Ada kekecewaan di hatinya. Mengapa Naira tidak menceritakan apapun kepadanya. Bayangan Naira melintas di kepalanya, begitupun dengan surat dan pashmina yang ia berikan. Tiba-tiba air matanya menetes. Jika Naira saja bisa begitu peduli dengan keadaannya sebagai muslimah, bagaimana ia bisa tak peduli pada dirinya sendiri. Mengetahui dengan pasti kewajibannya sebagai muslimah, namun berpura-pura menutup indera nya akan hal tersebut. Bukankah sebuah hal yang sangat bodoh. pikirnya. Lillahi Taala, Nina membulatkan niatnya. Tak ada yang berubah dari tempat tersebut. Sebuah halte denngan bangku usang masih tetap berada di posisinya seperti dua tahun yang lalu. Sudah dua tahun kepergian Naira. Dan masih belum ada kabar tentang keberadaannya. Di tempat yang sama, Nina menunggu angkutan umum seperti biasa. Bedanya, tak adalagi kaos yang menutupi tubunhya. Tak ada lagi jeans yang membalut kakinya. Rambutnya tak lagi terurai. Jilbab merah muda menjulur menutupi kepala hingga sebagian tubuhnya. Anggun. Sangat indah. Kepergian Naira, ternyata memberi perubahan kepadanya. Perlahan-lahan Nina belajar menjadi muslimah yang sesungguhnya. Ia mulai rajin mengikuti diskusi-diskusi keagamaan serta membaca buku-buku religi. Ra.. meski sekarang, aku nggak tahu kamu dimana, aku selalu berdoa, semoga kamu masih mengingatku. Aku pengen banget ketemu sama kamu. pleaseeeee.. kalo kamu baca ini, balas donggg.. Sudah menjadi kebiasaan bagi Nina mengirim email ke Naira. Meski tak pernah mendapat balasan, namun ia tetap melakukannya. Begitu besar harapan, sahabatnya tersebut memberi kabar. Tampaknya malam itu, Tuhan mengabulkan doanya. Mendengar harapan-harapannya. Sebuah pesan baru muncul. Pesan yang entah telah berapa lama ia nantikan. Pesan dari akun Khalizah Naira. Dengann perasaan yang luar biasa bahagia, Nina buru-buru membuka pesan tersebut. Dalam email itu, tampak sebuah foto menampilkan gambar tiga sosok manusia. Nina masih bisa mengenali wajah Naira. Namun, dua wajah lainnya, ia tak mengetahui siapa mereka. Afwan ukhti, aku baru bisa membalas pesanmu. Aku juga begitu merindukanmu. Sangat mmerindukanmu. Kupikir aku tak perlu lagi menjelaskan alasan kepergianku. Maaf karena tak sempat pamit kepadamu. Oh iya, kamu lihat dua orang yang bersamaku di foto tersebut?? Yang Ikhwat namanya Yusuf. Dialah imamku sekarang. Gadis kecil itu, namanya Amira. Sengaja aku menamainya sama dengan namamu. Tidak apa-apa kan? :) bagaimana kuliahmu? Bukankah sebentar lagi akan yudisium?? Wahh.. selamat ukhti. Aku iri padamu, aku tak bisa melanjutkan kuliahku. Disini, aku menjadi seorang guru di sebuah taman kanak-kanak. Di tempat itulah aku bertemu Yusuf. Semoga segera kamu juga menemukan sosok yang akan menjadi Imammu. Hehehe.. aamiin.. Nin, sekian dulu pesan dariku. Amira sedang rewel. Ukhibukifillah Ukhti Seulas senyum tergambar jelas di wajah Nina. Tanpa disadari, air matanya jatuh perlahan. Inilah air mata bahagia yang ia rindukan sejak dulu. Ia bersyukur betapa Allah sangat menyayanginya. Mempertemukannya dengan Naira yang menjadi awal perubahan besar dalam hidupnya.