PIUTANG PAJAK SEBAGAI POTENSI PENDAPATAN · PDF filepengadilan pajak karena adanya pengajuan...
Transcript of PIUTANG PAJAK SEBAGAI POTENSI PENDAPATAN · PDF filepengadilan pajak karena adanya pengajuan...
1 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
PIUTANG PAJAK SEBAGAI POTENSI PENDAPATAN NEGARA
I. PENDAHULUAN
1. Piutang Pajak dalam Kerangka Peraturan Perundangan
Piutang pajak timbul setelah ada Surat ketetapan Pajak dan atau Surat Tagihan Pajak.
Terhadap iutang pajak tersebut perlu dilakukan upaya penagihan piutang pajak .
Penagihan pajak 2)... adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi
utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan,
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa,
mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan,
menjual barang yang telah disita. Tindakan penagihan pajak dilakukan apabila utang
pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi. Adapun
rangkaian penagihan pajak secara umum meliputi :
1) Surat Teguran
2) Surat Paksa
3) Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
4) Lelang
Terkait dengan proses penagihan pajak, di dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP (Pasal 22 ayat 1 dan 2) diatur beberapa hal sebagai berikut :
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.
(2) Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
a. diterbitkan Surat Paksa; b.ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak
langsung;
2 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
d.dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Penghapusan Piutang Pajak
Prosedur mengenai penghapusan piutang pajak diatur dalam Undang-Undang Nomor
16 TAHUN 2000 Pasal 24 dan lebih lanjut dijabarkan di dalam KMK No.
565/KMK.04/2000 Jo 539/KMK.03/2002 Pasal 1.
Piutang pajak yang dihapuskan adalah piutang pajak yang jumlahnya masih harus
ditagih sebagaimana tercantum dalam STP, SKPKB, SKPKBT, yang meliputi pokok
pajak kenaikan bunga dan atau denda.
2. Piutang Pajak dalam Standar Akuntansi Pemerintahan
Piutang dinyatakan dalam neraca menurut nilai yang timbul berdasarkan hak yang
telah dikeluarkan surat keputusan penagihannya, termasuk dalam pos ini adalah
Piutang Pajak.
Piutang menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) diatur dalam Pernyataan
Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Nomor 1 tentang Penyajian Laporan
Keuangan. Dalam Paragraf 43 PSAP Nomor 1 tersebut dinyatakan bahwa Piutang
Pajak merupakan salah satu komponen utama dalam Neraca LKPP. Lebih lanjut,
dalam PSAP tersebut dinyatakan pula beberapa hal diantaranya sebagai berikut:
- Paragraf 61: “piutang sebagai aset diakui pada saat potensi manfaat ekonomi
masa depan diperoleh oleh pemerintah dan mempunyai nilai atau
biaya yang dapat diukur dengan andal”.
- Paragraf 62: “Aset diakui pada saat diterima atau kepemilikannya dan/atau
kepenguasaannya berpindah (paragraf 62)”.
- Paragraf 63
Huruf c: “piutang diukur sebesar nilai nominalnya”.
3 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 06 Mengenai Akuntansi Piutang
mendefinisikan piutang pajak sebagai piutang yang timbul atas pendapatan pajak
sebagaimana diatur dalam undang-undang perpajakan, yang belum dilunasi sampai
dengan akhir periode laporan keuangan. Piutang pajak diakui pada saat diterbitkannya
Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan/atau Surat Tagihan Pajak (STP) dan telah
dilaksanakan proses penagihannya. Pengakuan ini disebabkan adanya potensi
pendapatan negara yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini juga
sesuai dengan UU KUP no 28 tahun 2007.
Piutang pajak merupakan piutang yang wajib dilunasi oleh wajib pajak dalam periode
berjalan tahun berikutnya, sehingga tidak ada piutang pajak yang melampaui satu
periode berikutnya. Oleh karena itu, piutang pajak disajikan di Neraca LKPP sebagai
aset lancar.
Selain penyajian dalam Neraca, guna memenuhi pengungkapan yang memadai,
informasi terkait piutang juga perlu disajikan dalam Catatan atas Laporan Keuangan.
Informasi tersebut dapat berupa: kebijakan akuntansi atas penilaian, pengakuan dan
pengukuran piutang pajak; rincian saldo menurut umur; penjelasan status
penyelesaian; serta jaminan atau sita jika ada.
4 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
II. ANALISA
a. Komposisi Piutang Pajak Tahun 2006 – 2009 dalam Neraca LKPP Saldo Piutang Pajak Tahun 2006 – 2009
Unit Pengelola 31 Desember 2006 31 Desember 2007 31 Desember 2008 31 Desember 2009
Ditjen Anggaran - 187,733,156,816 53,788,164,621 -
Ditjen Paj ak 32,280,657,580,871 31,906,597,010,360 45,173,077,395,398 49,999,727,823,996
Ditjen Bea dan
Cukai 3,173,894,545,965 9,947,769,397,769 10,318,356,917,933 13,659,045,063,184
BUN - - - 145,443,077
Total 35,454,552,126,836 42,042,099,564,945 55,545,222,477,952 63,658,772,887,180
Dari data di atas dapat diketahui bahwa total piutang pajak setiap tahunnya
selalu mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut dapat mengindikasikan
adanya potensi peningkatan penerimaan perpajakan ataukah indikasi kurang
efektifnya aparat perpajakan dalam melakukan penagihan piutang pajak.
Dalam temuan BPK tidak ada klasifikasi mengenai berapa yang sudah
dibayar/terealisasi, berapa yang masih dipengadilan, berapa yang sudah
mempunyai keputusan pengadilan .
BPK menilai ada beberapa faktor yang menyebabkan penagihan piutang pajak
tidak efektif diantaranya karena kelemahan dalm aspek strategi, sistem
administrasi dan sumber daya dan juga faktor pengawasan dalam penagihan
piutang pajak.i
Piutang pajak berpotensi besar menjadi pendapatan negara jika aparatur pajak
melaksanakan upaya penagaikan seoptimal mungkin melalui prosedur-prosedur
penagihan yang sudah ditetapkan yaitu :
1. Surat teguran
2. Surat paksa
3. Penyitaan
4. Lelang
5 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
Namun, di sisi lain piutang pajak juga memiliki potential loss, jika piutang pajak
telah memasuki masa daluwarsa penagihan.
Piutang Pajak Per Jenis Pajak
No Nama Perkiraan 31 Desember 2007 31 Desember 2008 31 Desember 2009
1 Piutang PPh Pasal 21 1.020.414.690.864 1.229.968.846.712 951.534.554.486
2 Piutang PPh Pasal 22 66.827.848.091 104.120.004.440 489.840.716.690
3 Piutang PPh Pasal 23 2.389.628.147.076 3.054.716.319.783 1.688.528.889.756
4
Piutang PPh Pasal 25
Orang Pribadi 930.137.420.350 1.006.960.630.021 1.053.689.834.133
5
Piutang PPh Pasal 25
Badan 8.885.377.594.100 16.268.284.571.207 16.424.024.121.140
6 Piutang PPh Pasal 26 - 125.143.589.474 1.586.493.805.101
7 Piutang PPh Final - 922.916.307.676 535.862.689.996
8
Piutang PPh Non
Migas Lainnya 879.508.183.935 95.145.000 -
9
Piutang PPN Dalam
Negeri 11.042.004.050.239 12.560.346.602.995 14.533.638.585.793
10 Piutang PPN Impor - - -
11
Piutang PPnBM
Dalam Negeri 99.268.206.548 280.039.959.243 280.485.129.787
12
Piutang PBB
Pedesaan 606.882.233.000 746.285.302.993 1.327.539.551.495
13
Piutang PBB
Perkotaan 2.929.676.818.000 4.527.189.629.491 7.542.885.445.040
14
Piutang PBB
Perkebunan 178.163.623.000 212.754.667.994 474.394.030.911
15
Piutang PBB
Kehutanan 478.052.255.000 477.992.946.905 492.606.633.014
16
Piutang PBB
Pertambangan 45.810.576.000 64.058.196.664 158.566.341.854
17 Piutang BPHTP 219.093.221.678 803.339.377.782 179.947.361.649
18 Piutang PTLL - 815.162.918 16.386.067.497
19
Piutang Bunga
Penagihan PPh 2.089.472.781.488 2.788.050.134.100 2.263.304.065.654
20
Piutang Bunga
Penagihan PPN 46.252.964.479 -
21
Piutang Bunga
Penagihan PTLL - -
22
Piutang Bunga
Penagihan PPnBM 26.396.512 -
Jumlah 31.906.597.010.360 45.173.077.395.398 49.999.727.823.996
6 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
Piutang PPh 25 Badan adalah piutang yang tertinggi, hal ini mengingat sebagian
besar penerimaan pajak juga berasal dari penerimaan PPh badan. Namun, harus
dilihat dulu berapa proporsi penerimaan pajak pasal 25 badan tersebut
dibandingkan dengan piutangnya.
Piutang Pajak di DJP berdasarkan umur utang
Umur Piutang 31 Desember 2009 31 Desember 2010
Kurang dari 1 tahun 13,167,888,974,329 12.239.111.738.000
1 tahun dan kurang dari 3 tahun 12.641.269.957.462 9.776.181.927.000
3 tahun dan kurang dari 5 tahun 9.037.953.073.649 10.213.857.380.000
5 tahun atau lebih 15,152,615,818,556 12.943.926.315.000
Jumlah 49.999.727.823.996 45.173.077.360.000
Sumber : BPK RI , LKPP 2009 Berdasarkan klasifikasi umur piutang, per 31 Desember 2009, sebagian besar
piutang berumur lebih dari 5 tahun. Namun, bukan berarti potensi untuk
ditagihnya kecil karena harus dilihat berapa piutang yang berasal dari tahun
2007, dimana daluarsa penagihannya baru pada tahun 2017 sedangkan yang
tahun 2008 daluarsanya baru pada tahun 2013.
Terhadap piutang pajak tersebut juga ada kemungkinan penghapusan piutang
pajak dengan syarat-syarat sebagai berikut 1:
a. Piutang tersebut tercantum dalam STP, SKPKB, SKPKBT
b. Sudah dilakukan upaya tindakan penagihan sampai dengan Surat Paksa sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
c. Wajib pajak telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan harta warisann
tidak mempunyai ahli waris dengan bukti surat keterangan dari instansi yang
terkait.
d. Wajib Pajak tidak dapat ditemukan lagi karena pindah alamat
e. Wajib Pajak tidak mempunyai kekayaan lagi
f. Penagihan pajak telah kadaluwarsa.
1 Pasal 24 UU KUP dan KMK Nomor 539/KMK.03/2002
7 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
Implikasi dari implementasi peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut
adalah atas suatu ketetapan dan/atau tagihan (SKP dan/atau STP) yang diakui
sebagai piutang pajak dalam Neraca LKPP masih memungkinkan adanya
prosedur-prosedur formal yang berdampak baik terhadap keberadaan (existence)
maupun jumlah (valuation) piutang pajak yang diakui dalam Neraca LKPP.
Selain itu, BPK merekomendasikan agar Ditjen Pajak mempertimbangkan lagi
tahapan dan proses penagihan dengan menyusun standar prestasi penagihan
serta koordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti kepolisian dan Pemda.
Proses yang dapat dilaksanakan dalam penyelesaian piutang pajak berimplikasi
pada tingkat keyakinan atas realisasi piutang pajak . Beberapa dampak yang
mungkin timbul dari permasalahan ini misalnya terjadinya perubahan terhadap
nilai-nilai piutang pajak akibat ketetapan hukum yang dikeluarkan oleh
pengadilan pajak karena adanya pengajuan banding dari WP.
Antara tahun 2005 – 2006 realisasi pencairan piutang pajak melebihi target yang
ditentukan. Tahun 2007 – 2008 realisasinya kurangsedikit dari target yang
ditetapkan. Walaupun demikian, hal yang perlu mendapat perhatian adalah
perbandingan antara target realisasi dengan potensi piutang yang ada. Sebagai
contoh, saldo piutang per 31 Desember 2006 adalah Rp35,4 Triliun. Namun, pada
tahun 2007 target pencairan hanya 12 Triliun atau sekitar 33,9% dari potensi
piutang pajak.
8 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
Dalam menyajikan informasi mengenai realisasi penerimaan pajak tahun anggaran berjalan,
sebaiknya pemerintah menginformasikan berapa yang murni dari target tahun berjalan dan
berapa yang berasal dari realisasi penagihan piutang pajak tahun-tahun sebelumnya.
b. Temuan BPK atas Piutang Pajak
Temuan dalam Pemeriksaan Kinerja Pengelolaan Piutan g Pajak KPP BUMN dalam Hapsem I 2010
Berdasarkan data 169 WP terbesar yang diperoleh dari KPP BUMN, dapat diketahui hal-hal sebagai berikut: a. Piutang pajak 10 (sepuluh) penunggak pajak terbesar pada KPP BUMN senilai Rp6.769.301.103.563,00
mencakup 85,18% dari nilai keseluruhan piutang pajak pada KPP BUMN senilai Rp7.947.187.978.000,00.
b. Total nilai Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan atas 169 WP adalah Rp8.867.104.418.574,00. Dari nilai tersebut, Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak yang telah dicairkan adalah senilai Rp1.308.780.897.210,00. Sehingga nilai saldo tunggakan piutang pajak atas 169 WP terbesar adalah sebesar Rp7.558.323.521.364,00 (Rp8.867.104.418.574,00 –Rp1.308.780.897.210,00).
c. Piutang pajak yang telah daluwarsa pada KPP BUMN senilai Rp16.032.988.720,00. d. WP penunggak pajak terbesar adalah WP yang bergerak pada bidang industri pemurnian dan
pengilangan minyak bumi. Nilai Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak atas WP ini adalah senilai Rp4.741.839.902.617,00. Atas Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak tersebut telah dilakukan pencairan senilai Rp495.065.416.529,00. Sehingga masih terdapat tunggakan pajak senilai Rp4.264.774.486.088,00 (Rp4.741.839.902.617,00 – Rp495.065.416.529,00).
e. Berikutnya. WP yang merupakan penunggak pajak terbesar pada KPP BUMN adalah WP yang bergerak pada bidang jasa penunjang keuangan lainnya. Nilai Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak atas WP ini senilai Rp1.468.817.360.547,00. Atas Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak tersebut belum dilakukan pencairan karena WP yang dimaksud dilikuidasi dan mekanisme pengalihan tunggakan pajak tersebut tidak diatur dalam undang-undang pajak. Sehingga, dari keterangan diatas, KPP BUMN belum maksimal dalam hal menagih tunggakan pajak pada 169 Wajib Pajak penunggak pajak terbesar.
Dalam melakukan kegiatan penagihan petugas KPP BUMN sering menghadapi kendala-kendala non-teknis (politis) karena Wajib Pajak dilingkungan KPP BUMN adalah Wajib Pajak BUMN-BUMN yang besar seperti Pertamina, KAI, PLN.
***
9 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
a. Temuan BPK atas Piutang Pajak Tahun 2007 – 2010
LHP SEMESTER I TAHUN 2007 (LK – DEPKEU)
TEMUAN AKIBAT PENYEBAB REKOMENDASI BPK TINDAK LANJUT
Piutang pajak sebesar Rp35.721.532,92 juta yang disajikan dalam Neraca Kementerian Keuangan Tahun 2006 tidak dapat diyakini kewajarannya dan tidak sesuai dengan Lampiran 1 Peraturan Menteri Keuangan No.59/PMK.06/2005, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-11/PJ.1/2005 dan Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai No.SE-01/BC.1/2007
Nilai piutang pajak yang tercatat dalam Laporan Keuangan Kementerian Keuangan Tahun 2006 tidak transparan dan akuntabel.
a. Koordinasi dan rekonsiliasi antara bagian yang menyusun laporan keuangan dengan unit-unit yang memiliki dokumen sumber sebagai bahan masukan mengenai keakuratan data-data yang disampaikan oleh satuan kerja tidak berjalan dengan baik.
b. Sistem informasi terkait dengan pencatatan piutang/tunggakan pajak tidak disesuaikan dengan Sistem Akuntansi Instansi.
c. Standar Akuntansi Pemerintah belum mengatur tentang piutang khususnya piutang pajak.
Agar Menteri Keuangan: a. Meningkatkan koordinasi
antara bagian yang menyusun laporan keuangan dengan unit-unit yang memiliki dokumen sumber;
b. Menyesuaikan mekanisme pelaporan piutang pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
c. Menyempurnakan sistem informasi piutang pajak sehingga dapat menyajikan antara lain namun tidak terbatas pada nilai sengketa pajak yang dapat menimbulkan contingent liabilities, nilai piutang pajak daluwarsa dan tingkat kolektibilitas piutang pajak;
d. Segera merancang dan mengusulkan Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan terkait dengan Piutang.
Sudah ditindak lanjuti dan sesuai
10 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
LHP SEMESTER I TAHUN 2008 (LK – DEPKEU)
TEMUAN AKIBAT PENYEBAB REKOMENDASI BPK TINDAK LANJUT
Sistem Pengendalian Intern atas Pencatatan dan Pelaporan Realisasi Penerimaan Perpajakan Tidak Memadai.
Hal tersebut mengakibatkan Realisasi Penerimaan Perpajakan sebesar Rp490.995.916,49 tidak dapat diyakini kewajarannya.
Hal tersebut disebabkan: a. Rekonsiliasi belum dilakukan
secara tertib dan memadai baik pada tingkat UAPA,UAPPA-W, maupun pada tingkat UAPPA-E1;
b. Sistem pencatatan dan pelaporan penerimaan pajak yang diterapkan oleh DJP dan DJBC belum sesuai dengan SAI.
c. Pengembangan dan Pelaksanaan MPN masih lemah.
BPK menyarankan agar Menteri Keuangan memerintahkan kepada Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Direktur Jenderal Perbendaharaan dan Direktur Jenderal Anggaran : 1. Melakukan
rekonsiliasi secara intensif dengan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPPN), Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Ditjen Perbendaharaan.
2. Memperbaiki sistem aplikasi Modul Penerimaan Negara agar dapat digunakan secara handal dan mengoptimalkan penggunaan agar dapat sebagai alat pengendalian penerimaan melalui SAU.
Sudah ditindak lanjuti dan sesuai
11 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
3. Menyesuaikan sistem pencatatan dan pelaporan penerimaan perpajakan serta piutang pajak dengan Sistem Akuntansi Instansi (SAI).
4. Merancang SPI yang handal atas pencatatan dan pelaporan pungutan ekspor.
LHP SEMESTER I TAHUN 2009 (LK – DEPKEU) TEMUAN AKIBAT PENYEBAB REKOMENDASI BPK TINDAK
LANJUT Piutang pajak DJBC sebesar Rp231,30 miliar dan piutang bukan pajak DJBC sebesar Rp50,45 miliar serta penihilan piutang pajak bersaldo negatif DJP sebesar Rp767,76 miliar tidak didukung dokumen sumber yang valid dan terinci.
Hal tersebut mengakibatkan nilai piutang yang dilaporkan dalam laporan keuangan Tahun 2008 minimal sebesar Rp281,75 miliar belum dapat diyakini kewajarannya.
Permasalahan tersebut disebabkan karena Eselon I dibawah Kementerian Keuangan tidak mengadministrasikan dengan baik dokumen sumber pencatatan saldo piutang yang tercatat dalam laporan keuangan.
BPK merekomendasikan agar Menteri Keuangan menelusuri dokumen sumber dari masing-masing piutang pada DJBC dan menyelesaikan saldo piutang pajak bersaldo negatif di DJP berdasarkan dokumen yang valid.
Sudah ditindak lanjuti dan sesuai
12 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
LHP SEMESTER I 2010 (LK – DEPKEU) TEMUAN AKIBAT PENYEBAB REKOMENDASI BPK TINDAK
LANJUT Penyajian Piutang Pajak pada Kementerian Keuangan sebesar Rp4,48 Triliun Tidak di Dukung dan Tidak Sesuai dengan Dokumen Sumber sehingga Belum Dapat Diyakini Kewajarannya serta Penyisihan Piutang Pajak Kurang Diungkap sebesar Rp33,12 Miliar
Hal tersebut mengakibatkan nilai Piutang Pajak per 31 Desember 2009 yang dilaporkan dalam LK Kementerian Keuangan Tahun 2009 tidak dapat diyakini kewajarannya sebesar Rp4.483.427,92 Juta (Rp654.659,60 juta + Rp3.827.622,03 juta + Rp1.146,29 juta) serta penyisihan Piutang Pajak kurang diungkap sebesar Rp33.119,43 juta.
Hal ini disebabkan karena Kementerian Keuangan belum mengelola Piutang Pajak beserta dokumen sumber pencatatan saldo piutang dengan baik dan lemahnya Sistem Pengendalian atas Monitoring pengakuan, pencatatan dan pelaporan Piutang Pajak.
BPK menyarankan Kementerian Keuangan agar meningkatkan sistem pengendalian intern atas monitoring pengakuan, pencatatan dan penagihan Piutang Pajak dengan cara: a. Membuat prosedur
rekonsiliasi pengurangan Piutang Pajak antara SSP di LP3 dengan SSP di MPN, sehingga menyajikan saldo Piutang Pajak yang akurat;
b. Melakukan pencatatan Piutang Pajak berdasarkan dokumen sumber yang sah;
c. Mengungkap SP3DRI dalam LK Tingkat Eselon I (DJP dan DJBC) dan LK Kementerian Keuangan secara memadai;
e. Memperbaharui dan menyeragamkan sistem pencatatan Piutang Pajak untuk mengakomodasi peraturan yang ada serta memantau
13 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
keputusan keberatan dan banding, sehingga pencatatan Piutang Pajak lebih akurat;
LHP SEMESTER I TAHUN 2010 (KINERJA)
TEMUAN AKIBAT PENYEBAB REKOMENDASI BPK TINDAK LANJUT
Perencanaan penagihan piutang pajak pada Kanwil DJP DI Yogyakarta, Kanwil DJP Sulawesi Utara, Tengah,Gorontalo & Maluku Utara dan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar belum efektif.
Hal tersebut mengakibatkan: 1. Pencairan piutang pajak
pada Kanwil DJP DI Yogyakarta. Kanwil DJP Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo & Maluku Utara masih cukup rendah.
2. Strategi pencairan piutang pajak pada ketiga Kanwil DJP diatas tidak efektif.
Permasalahan terkait dengan kriteria yang telah disepakati oleh BPK-RI dan DJP : 1. Strategi penagihan
ditetapkan dengan memperhatikan tren target terhadap piutang yang harus dicairkan.
2. Tren prosentase pencairan tunggakan pajak telah mengalami kenaikan.
Permasalahan tersebut disebabkan oleh: 1. Perencanaan penagihan
pajak tidak memperhatikan piutang yang harus dicairkan;
2. Pencairan piutang tidak memperhatikan keseluruhan potensi penagihan pajak;
BPK merekomendasikan agar : 1. DJP memperhatikan
piutang yang harus dicairkan dalam perencanaan penagihan pajak;
2. DJP memperhatikan keseluruhan potensi penagihan pajak dalam pencairan piutang pajak.
Pengukuran kinerja penagihan tahun 2008 pada Kanwil DJP DI
Permasalahan tersebut dapat mengakibatkan pengukuran kinerja penagihan piutang
Pengukuran kinerja penagihan tahun 2008 pada Kanwil DJP DI Yogyakarta dan Kanwil DJP
BPK merekomendasikan agar : DJP mempertimbangkan
14 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
Yogyakarta dan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar belum mempertimbangkan tahapan/ proses penagihan.
pajak pada Kanwil DJP DI Yogyakarta dan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar belum efektif.
Wajib Pajak Besar tidak handal karena hanya berdasarkan realisasi pencairan piutang dan tidak memperhitungkan proses pencairan piutang. Permasalahan ini terkait dengan kriteria pemeriksaan yang telah disepakati oleh BPK RI dan DJP “Kebijakan Penagihan dinilai berdasarkan hasil dengan memperhatikan proses”. Hal tersebut disebabkan oleh prestasi penagihan hanya dinilai berdasarkan hasil realisasi pencairan tunggakan pajak tanpa mempertimbangkan tahapan/proses penagihan.
tahapan/proses penagihan dalam menyusun standar prestasi penagihan.
Target pencairan piutang pajak tahun 2009 yang ditentukan oleh Kanwil DJP Wajib Pajak Besar melebihi kemampuan KPP BUMN dalam pencairan piutang
Hal tersebut mengakibatkan KPP BUMN tidak dapat memenuhi target pencairan tunggakan pajak yang telah ditetapkan oleh Kanwil DJP Wajib Pajak Besar
Seharusnya menetapkan target piutang harus memperhatikan kemampuan dalam pencairan piutang pajak. Hal ini dapat diperoleh dari piutang lancar, piutang kurang lancar dan piutang dalam perhatian khusus. Piutang macet dan piutang diragukan sangat kecil kemungkinan tertagih, atau hampir tidak dapat ditagih kembali. Permasalahan tersebut terkait
BPK merekomendasikan agar: 1. DJP menyempurnakan
mekanisme penetapan target pencairan piutang pada kanwil dan KPP;
2. Kanwil DJP mempertimbangkan prognosa yang diajukan KPP.
15 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
dengan kriteria yang telah disepakati bersama antara BPK RI dan DJP yaitu strategi penagihan ditetapkan dengan memperhatikan trend prosentase target piutang terhadap piutang yang harus dicairkan. Permasalahan tersebut disebabkan oleh: 1. Kanwil DJP Wajib Pajak
Besar menetapkan target pencairan piutang yang tinggi terhadap KPP BUMN.
2. Kanwil DJP Wajib Pajak besar tidak mempertimbangkan prognosa KPP BUMN.
Tindakan penagihan terhadap 200 penunggak pajak terbesar pada KPP Pratama Manado. KPP Pratama Bitung dan KPP BUMN sampai dengan bulan September 2009 belum optimal.
Permasalahan tersebut mengakibatkan piutang sebesar Rp7.621.720.095.274,00 yang belum tertagih atas 200 Wajib Pajak Penunggak terbesar pada KPP Pratama Manado, KPP Pratama Bitung dan KPP BUMN yang berpotensi menjadi piutang macet.
Dalam melakukan kegiatan penagihan petugas KPP BUMN sering menghadapi kendala-kendala non-teknis (politis) karena Wajib Pajak dilingkungan KPP BUMN adalah Wajib Pajak BUMN-BUMN yang besar seperti Pertamina, KAI, PLN.
Permasalahan diatas disebabkan oleh : 1. Ditjen Pajak tidak tegas
dalam menjalankan aturan terkait;
2. Ditjen Pajak belum melakukan tindakan
BPK merekomendasikan agar: 1. DJP segera
melakukan koordinasi dengan pihak terkait antara lain kepolisian dan pemda dalam melaksanakan proses penagihan piutang pajak;
2. DJP melakukan tindakan alternatif terhadap kegiatan penagihan yang menghadapi kendala non-teknis pada KPP BUMN khususnya
16 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
alternatif terhadap kegiatan penagihan yang menghadapi kendala non-tekhnis pada KPP BUMN.
proses pencairan piutang di KPP BUMN.
Sistem apl ikasi penagihan belum mendukung kegiatan administrasi penagihan berkaitan dengan Pasal 25 UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Hal tersebut dapat mengakibatkan : 1. Laporan perkembangan
tunggakan pajak tidak valid.
2. Proses penagihan tidak efektif.
Permasalahan diatas tidak sesuai dengan kriteria yang telah disepakati BPK-RI dan DJP: 2.1 Sistem aplikasi penagihan telah mendukung ketentuan formal penagihan. Permasalahan tersebut disebabkan Sistem Aplikasi Penagihan tidak memenuhi kebutuhan pengguna dan proses bisnis.
BPK merekomendasikan agar DJP segera membuat sistem aplikasi penagihan yang bisa memenuhi kebutuhan pengguna dan disesuaikan dengan proses bisnis yang ada.
Piutang wajib pajak yang telah bubar dan dilikuidasi sebesar Rp1.469.508.257. 523,00 pada KPP BUMN belum dihapuskan.
Dengan tidak dihapuskannya piutang tersebut di atas maka akan mengakibatkan: 1. Beban kinerja pencairan
tunggakan pajak bagi KPP BUMN bertambah.
2. Saldo piutang yang tetap tinggi karena piutang tersebut belum dihapuskan.
Hal tersebut diatas disebabkan karena belum ada kebijakan dari DJP tentang penyelesaian pajak terutang atas penyerahan aset pemerintah kepada pemerintah kembali.
BPK merekomendasikan agar DJP segera membuat keputusan tentang penyelesaian pajak terutang terkait penyerahan aset pemerintah kepada pemerintah kembali dan melakukan evaluasi atas tunggakan pajak dari bank BUMN yang telah dilikuidasi.
Sumber Daya Penagihan
Perhatian dan dukungan Direktorat Jenderal Pajak kepada kegiatan penagihan belum optimal
Permasalahan tersebut diatas dapat mengakibatkan target pencairan piutang pajak tidak tercapai.
Permasalahan tersebut terkait dengan kriteria pemeriksaan yang telah disepakati oleh BPK RI dan DJP: 1. Terdapat analisa dan
kebijakan atas penempatan tenaga jurusita yang
BPK merekomendasikan agar DJP: 1. Melakukan analisis
kebutuhan jenjang fungsional untuk unit pelaksanaan penagihan;
17 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
memadai sesuai dengan beban kerja di unit pelaksana penagihan.
2. Tenaga jurusita dan unit pelaksana penagihan telah dibekali dengan dukungan sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan operasinal.
Hal tersebut disebabkan karena perhatian dan dukungan Direktorat Jenderal Pajak kepada juru sita belum optimal.
2. Memprioritaskan penempatan jurusita yang berkualitas pada setiap unit kerja;
3. Melengkapi sarana dan prasarana bagi jurusita sesuai dengan kebijakan yang berlaku.
Pemberian insentif kepada jurusita pada KPP Pratama Yogyakarta dan KPP BUMN tidak dihitung berdasarkan realisasi pencairan piutang pajak dari penagihan aktif
Permasalahan tersebut diatas mengakibatkan pemberian insentif jurusita atas pencairan piutang yang melebihi target pada KPP Pratama Yogyakarta dan KPP BUMN belum fair.
Permasalahan diatas terkait dengan kriteria pemeriksaan yang telah disepakati oleh BPK RI dan DJP : “Mekanisme pemberian reward diberikan secara fair yaitu berdasarkan pencairan piutang yang berasal dari penagihan aktif”. Hal tersebut disebabkan oleh mekanisme pemberian insentif tidak mempertimbangkan pencairan dari penagihan aktif.
BPK merekomendasikan agar DJP menyempurnakan mekanisme pemberian insentif dengan mempertimbangkan keberhasilan pencairan dari penagihan aktif.
Belum adanya mekanisme pengajuan usulan pelatihan jurusita dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Kondisi diatas dapat mengakibatkan kemampuan jurusita dalam menagih tunggakan pajak relatif tidak berkembang dan selanjutnya kegiatan penagihan piutang pajak menjadi tidak optimal.
Permasalahan diatas belum sesuai dengan kriteria yang telah dibicarakan oleh BPK-RI dan DJP ” Pelatihan yang diadakan sesuai dengan kebutuhan.”. Hal tersebut disebabkan
BPK merekomendasikan agar DJP menyempurnakan mekanisme pengajuan usulan pelatihan jurusita dari KPP kepada Kanwil DJP yang kemudian diakomodasikan oleh
18 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
belum adanya mekanisme atau peraturan pengajuan usulan pelatihan jurusita dari KPP kepada Kanwil DJP yang dapat diakomodasi oleh KPDJP.
KPDJP untuk direalisasikan.
Monitoring/ Pengawasan Kegiatan evaluasi pencairan tunggakan oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan DJP belum optimal
Permasalahan tersebut diatas dapat mengakibatkan: 1. Hasil monitoring belum
mencerminkan kondisi kegiatan penagihan sebenarnya;
2. Kendala-kendala penagihan tidak diidentifikasi secara lengkap;
3. Perencanaan penagihan di masa berikutnya tidak tepat.
Permasalahan terkait dengan kriteria pemeriksaan yang telah didiskusikan serta disetujui oleh BPK-RI dan DJP poin 4.1 “Terdapat mekanisme monitoring evaluasi kinerja telah mencerminkan kondisi sebenarnya” dan poin 4.2 “Terdapat mekanisme pelaporan yang memadai atas realisasi pelaksanaan kegiatan penagihan tunggakan pajak baik secara internal maupun eksternal DJP”. Hal tersebut disebabkan mekanisme monitoring pencairan tunggakan pajak pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan DJP tidak komprehensif.
BPK merekomendasikan agar DJP menyempurnakan mekanisme monitoring pencairan tunggakan pajak oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan DJP .
Penyajian Piutang Pajak pada Kementerian Keuangan sebesar Rp4,48 Triliun Tidak di Dukung dan Tidak Sesuai dengan Dokumen Sumber sehingga Belum Dapat Diyakini Kewajarannya serta Penyisihan Piutang
Hal tersebut mengakibatkan nilai Piutang Pajak per 31 Desember 2009 yang dilaporkan dalam LK Kementerian Keuangan Tahun 2009 tidak dapat diyakini kewajarannya sebesar Rp4.483.427,92 Juta (Rp654.659,60 juta +
Hal ini disebabkan karena Kementerian Keuangan belum mengelola Piutang Pajak beserta dokumen sumber pencatatan saldo piutang dengan baik dan lemahnya Sistem Pengendalian atas Monitoring pengakuan, pencatatan dan pelaporan
BPK menyarankan Kementerian Keuangan agar meningkatkan sistem pengendalian intern atas monitoring pengakuan, pencatatan dan penagihan Piutang Pajak dengan cara: a. Membuat prosedur
19 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
Pajak Kurang Diungkap sebesar Rp33,12 Miliar
Rp3.827.622,03 juta + Rp1.146,29 juta) serta penyisihan Piutang Pajak kurang diungkap sebesar Rp33.119,43 juta.
Piutang Pajak.
rekonsiliasi pengurangan Piutang Pajak antara SSP di LP3 dengan SSP di MPN, sehingga menyajikan saldo Piutang Pajak yang akurat;
b. Melakukan pencatatan Piutang Pajak berdasarkan dokumen sumber yang sah;
c. Mengungkap SP3DRI dalam LK Tingkat Eselon I (DJP dan DJBC) dan LK Kementerian Keuangan secara memadai;
e. Memperbaharui dan menyeragamkan sistem pencatatan Piutang Pajak untuk mengakomodasi peraturan yang ada serta memantau keputusan keberatan dan banding, sehingga pencatatan Piutang Pajak lebih akurat;
20 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
i Sambutan Ketua BPK dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 11 Oktober 2010 2)... LHP Semester I – 2010 terhadap Kinerja Kegiatan Penagihan Piutang Pajak (halaman 11 – 12)