pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

71
pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 DENTAL JOURNAL Vol. 12, No.2, September 2020 cakradonya Diterbitkan Atas Kerjasama Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala Dengan Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia

Transcript of pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Page 1: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720

DENTAL JOURNAL Vol. 12, No.2, September 2020

cakradonya

Diterbitkan Atas KerjasamaFakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala Dengan Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia

Page 2: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720Pelindung

Dr. Drg. Cut Soraya, Sp. KGDekan Fakultas Kedokteran Gigi Unsyiah

Penanggung Jawabdrg. Herwanda, M. Kes

Wakil Dekan II Fakultas Kedokteran Gigi UnsyiahKetua Penyunting

Dr. Drg. Munifah, MARS.Wakil Ketua Penyunting

drg. Rachmi Fanani Hakim, M.SiPenyunting Ahli

Prof. drg. Bambang Irawan, Ph.DProf. Dr. drg. Narlan Sumawinata, Sp. KG

Prof. Boy M. Bachtiar, Ph.DProf. Dr. drg. Eki S. Soemantri, Sp. Ortho

Dr. drg. Rasmi Rikmasri, Sp. Pros (K)Prof. Dr. Coen Pramono, Sp. BM

drg. Gus Permana Subita, Ph.D, Sp. PMProf. Dr. drg. Hanna H. B. Iskandar, Sp. RKG

Prof . Dr. drg. Retno Hayati, Sp. KGAProf. drg. Anton Rahardjo, MKM, PhdDr. drg. M. Fahlevi Rizal, Sp. KGA (K)

Penyunting PelaksanaProf. Dr. drg. Dewi Nurul, MS, Sp. Perio

Prof. Dr. drg. Zaki Mubarak, MSdrg. Dewi Saputri, Sp. Perio

Afrina, S. Ked, M. SiDesain Grafis dan IT

Rizkan Harizan, STdrg. Meutia An Najmi

drg. Sri Rezeki

SEKRETARIAT REDAKSI:Cakradonya Dental JournalFakultas Kedokteran GigiUniversitas Syiah KualaDarussalam Banda Aceh

Aceh-Indonesia23211

TELEPHONE/ FAX:0651 7555183

EMAIL:[email protected]

WEBSITE:[email protected]

cakradonya

cakradonyaDENTAL JOURNAL

DENTAL JOURNAL

Page 3: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

From Editor’s Desk

Cakradonya Dental Journal (CDJ) diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran Gigi sebagai

media komunikasi ilmiah untuk pemajuan dan perkembangan intelektualitas civitas

akademika antar perguruan tinggi, peneliti dan stakeholder yang mengetengahkan tentang

kesehatan gigi dan mulut serta keilmuan lain yang terkait. CDJ telah terkoneksi dengan

Open Journal System (OJS) Unsyiah sehingga Anda dapat menikmati fasilitas online

sekaligus versi paper dari jurnal pertama FKG Unsyiah ini. Kesemuanya menarik dan

memberikan kita informasi terkini yang berpengaruh terhadap kesehatan rongga mulut dan

tubuh secara sistemik.

Sebagaimana sebelumnya, volume 12 no 2 ini senantiasa menyuguhkan tentang penelitian

pengembangan kedokteran gigi dan korelasi ilmu kesehatan integrasi mencakup bidang;

Konservasi, Kesehatan Masyarakat, Biologi Mulut, Bedah Mulut, Periodonsia,

Prosthodonsia dan ilmu kedokteran terkait. Semoga informasi yang CDJ ketengahkan pada

edisi ini dapat menambah hasanah pengetahuan Anda.

Thank you for submit your manuscript and considering it for review. We appreciate

your time and look forward to your next publish. We are delighted welcome your

precious manuscript for publication in 2021 first edition.

Salam Sehat,

Dr.drg Munifah Abdat, MARS

Editor In Chief

Page 4: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

pISSN: 2085-546X eISSN: 2622-4720

Cakradonya Dental Journal

DAFTAR ISI

POTENSI EKSTRAK DAUN UNGU DALAM MENURUNKAN JUMLAH SEL

OSTEOKLAS TIKUS YANG DIINDUKSI PORPHYROMONAS GINGIVALIS ......................................................................................... 75-82

Atik Kurniawati, Melok Aris Wahyukundari, Syafira Dwi Astuti

DAYA FITO-RESPON EKSTRAK ETANOL DAUN KELOR (Moringa oleifera)

TERHADAP SEL OSTEOSIT DAN MATRIKS TULANG MANDIBULA

TIKUS (Rattus norvegicus) ........................................................................................................ 83-88

Chairunas, Dewi Saputri, Meutia Komala Putri

PORCELAIN LAMINATE VENEER SEBAGAI PERAWATAN ESTETIK

PADA GIGI INSISIVUS LATERALIS (Laporan Kasus) ....................................................... 89-92

Ivony Fitria, Isti Arifianti, Taufik Sumarsongko, Setyawan Bonaficius, Rasmi Rikmasari

KETERKAITAN LESI ENDO-PERIO (Tinjauan Pustaka) ................................................... 93-98

Nuzulul Ismi, Agus Susanto

PERSEPSI TENTANG FUNGSI ESTETIK DAN MASTIKASI

GIGI TIRUAN LENGKAP TERHADAP LANJUT USIA .................................................... 99-103 Niko Falatehan, Jihan Fahira

DUKUNGAN SUAMI DENGAN KEJADIAN ANEMIA DEFISIENSI ZAT BESI

PADA IBU POSTPARTUM.................................................................................................. 104-110 Darmawati, Mariatul Kiftia, Aida Fitri

EFEK APLIKASI GEL MADU RAMBUTAN PADA MUKOSA LABIAL INFERIOR

TERHADAP KADAR MALONDIALDEHID (MDA) SALIVA ......................................... 111-118

Euis Reni Yuslianti, Afifah B. Sutjiatmo, Florence Meliawaty, Mega Zhafarina

EFEK EKSTRAK DAUN CEREMAI (PHYLLANTHUS ACIDUS (L.) SKEELS)

TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA MUKOSA

TIKUS WISTAR (RATTUS NOVERGICUS) ....................................................................... 119-125

Fakhrurrazi, Rachmi Fanani Hakim, Astari Chairunissa

HUBUNGAN ANTARA STATUS MENTAL DENGAN ASUPAN NUTRISI

PADA LANSIA...................................................................................................................... 126-131

Juanita, Budi Satria

PENGELOLAAN MALOKLUSI OPEN BITE ANTERIOR AKIBAT FRAKTUR

NEGLECTED MAKSILA LE FORT I DENGAN TEKNIK OSTEOTOMI

LE FORT I DAN FIKSASI TRANSOSSEOUS (Laporan Kasus) ........................................ 132-139

Harfindo Nismal, Abel Tasman Yuza, Fathurachman

Volume 12 September 2020 Nomor 2

Page 5: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 75-82

75

POTENSI EKSTRAK DAUN UNGU DALAM MENURUNKAN JUMLAH SEL OSTEOKLAS

TIKUS YANG DIINDUKSI PORPHYROMONAS GINGIVALIS

THE POTENTIAL OF PURPLE LEAF EXTRACT TO REDUCE THE NUMBER OF

OSTEOCLAST CELLS IN PORPHYROMONAS GINGIVALIS-INDUCED RATS

Atik Kurniawati1, Melok Aris Wahyukundari

2, Syafira Dwi Astuti

3

1Bagian Biologi Oral, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Jember 2Bagian Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Jember

3Program Pendidikan Dokter Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Jember

Corresponding Author: [email protected]

Abstrak

Periodontitis merupakan penyakit inflamasi pada jaringan periodontal. Porphyromonas gingivalis merupakan salah satu bakteri patogen pemicu periodontitis. Respons awal inflamasi dipicu oleh faktor

virulen P.gingivalis antara lain lipopolisakarida (LPS) yang berlanjut pada kerusakan ligamen

periodontal sehingga memicu resorpsi tulang alveolar yang diperankan oleh sel osteoklas. Ekstrak daun ungu (Graptophyllum pictum L. Griff) diketahui dapat menghambat P.gingivalis secara in vitro,

namun kemampuannya sebagai antiinflamasi dalam menurunkan jumlah sel osteoklas pada kejadian

periodontitis belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi ekstrak daun ungu (EDU) dalam menurunkan jumlah sel osteoklas pada tikus wistar yang diinfeksi dengan P.gingivalis.

Penelitian dilakukan pada tikus wistar yang terdiri atas 6 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri

dari 5 tikus wistar. Enam kelompok yang terdiri dari kelompok normal (KN): tanpa perlakuan,

kelompok kontrol negatif (K-): diinfeksi P.gingivalis (Pg), kelompok kontrol positif (K+): Pg + Tantum Verde, dan 3 kelompok perlakuan yaitu: KP2,5% (Pg + EDU 2,5%), KP5% (Pg + EDU 5%)

serta KP10% (Pg + EDU10%). Pemeriksaan histologi dengan pengecatan Haematoxylin-Eosin (HE),

jumlah sel osteoklas pada jaringan gingiva, ditentukan dengan menghitung jumlah rata-rata dari 3 lapang pandang tiap potongan jaringan. Analisis data dengan One Way Anova dilanjutkan LSD.

Kesimpulan penelitian ini adalah ekstrak daun ungu berpotensi menurunkan jumlah sel osteoklas pada

jaringan gingiva tikus wistar (p<0,05).

Kata Kunci: Ekstrak Daun Ungu, Periodontitis, Sel Osteoklas

Abstract Periodontitis is an inflammatory disease of the periodontal tissue. Porphyromonas gingivalis is a

pathogenic bacterium that triggers periodontitis. The initial response to inflammation is triggered by

P.gingivalis virulent factors, including lipopolysaccharide (LPS), which leads to periodontal ligament damage, which triggers alveolar bone resorption, played by osteoclasts. Purple leaf extract

(Graptophyllum pictum L. Griff) is known to inhibit P.gingivalis in vitro, but its ability as an anti-

inflammatory in reducing the number of osteoclasts in the incidence of periodontitis is unknown. This

study aims to evaluate the potential of purple leaf extract (EDU) in reducing the number of osteoclasts in wistar rats infected with P.gingivalis. The research was carried out on wistar rats consisting of 6

groups. Each group consisted of 5 wistar rats. Six groups consisting of normal group (KN): no

treatment, negative control group (K-): infected with P.gingivalis (Pg), positive control group (K +): Pg + Tantum Verde, and 3 treatment groups, namely: KP2.5% (Pg + EDU 2.5%), KP5% (Pg + EDU

5%) and KP10% (Pg + EDU10%). Histological examination with Haematoxylin-Eosin (HE) staining,

the number of osteoclasts in the gingival tissue was determined by calculating the average number of 3 view fields of each tissue section. Data analysis with One Way Anova followed by LSD. The

conclusion of this study is that purple leaf extract has the potential to reduce the number of osteoclasts

in the gingival tissue of wistar rats (p <0.05).

Keywords: Purple Leaf Extract, Periodontitis, Osteoclast Cells

Page 6: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 75-82

76

PENDAHULUAN Penyakit periodontal di Indonesia masih

tergolong tinggi prevalensinya yaitu sebesar

60%. Dalam kelompok penyakit gigi dan

mulut, penyakit periodontal menduduki peringkat kedua yang banyak diderita rakyat

Indonesia karena relatif tidak menimbulkan

keluhan.1,2 Penyakit periodontal umumnya merujuk pada keadaan inflamasi pada struktur

pendukung gigi yang meliputi gingiva, tulang

alveolar, ligamen periodontal, dan sementum.3

Plak terbentuk dari deposit lunak serta

membentuk lapisan biofilm yang melekat erat

pada gigi, gingiva dan permukaan keras lainnya

di dalam rongga mulut.5 Mikroorganisme patogen yang ada pada bakteri plak antara lain:

Porphyromonas gingivalis (P.gingivalis),

Treponema forsythia, Aggregatibacter actinomycetemco-mitans, Treponema denticola,

dan Prevotela intermedia. P.gingivalis

merupakan salah satu bakteri patogen periodontal dan faktor virulensi yang

mempengaruhi pertahanan imun inang.4 Bakteri

patogen yang ada sebagai biofilm plak

kompleks pada permukaan gigi yang mengeluarkan enzim kolagenase yang dapat

menyebabkan kerusakan jaringan gingiva dan

tulang pendukung gigi. Di antara berbagai spesies bakteri periodontopatogen tersebut,

maka P.gingivalis ditemukan dalam plak

subgingiva pasien periodontitis kronis sebesar

85,75%.6 Mikroorganisme yang melekat pada plak gigi dan berkontak dengan margin gingiva

akan menimbulkan inflamasi36, termasuk Pg.

Respons awal inflamasi dipicu oleh faktor virulen P.gingivalis, seperti

lipopolisakarida (LPS). Lipopolisakarida pada

dinding sel Pg akan berikatan dengan Lipopolisakarida Binding Protein (LBP) dan

membentuk kompleks molekul. Reseptor CD14

(Cluster of Differentiation 14) yang berada di

permukaan sel target akan mengenali kompleks molekul kemudian Toll Like Reseptor (TLR 4).

Kompleks yg terbentuk, selanjutnya akan

mengaktifkan makrofag. Makrofag akan mengeluarkan sitokin inflamatori berupa

interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor-α

(TNF-α), dan prostaglandin (PGE2).7,8

Mediator dan sitokin inflamasi tersebut

memacu terbentuknya osteoklas dari sel

progenitornya melalui jalur Receptor Activator

for Nuclear Factor-Kb Ligant (RANKL) dengan Receptor Activator for Nuclear Factor-

Kb (RANK) serta Osteoprogerin (OPG).

Macrophage-Colony Stimulating Factor (M-

CSF), IL-1 dan RANKL akan menyebabkan prekursor osteoklas berdiferensiasi dan

mengalami fusi kemudian menjadi osteoklas

multinuclear yang dapat mengaktifkan

osteoklastogenesis. Osteoklas yang aktif akan mensekresikan Matrix Metallo Proteinase

(MMP) 8 dan enzim lisosomal Chatepsin K

yang menyebabkan resorbsi tulang melalui pelepasan mineral-mineral tulang dan

melisiskan protein dalam kolagen tulang.

Proses itulah yang menyebabkan terjadinya kerusakan ligamen periodontal sehingga

memicu resorpsi tulang alveolar yang

diperankan oleh sel osteoklas.9

Kerusakan tulang alveolar merupakan salah satu tahap advance periodontitis.

Kerusakan tulang pada periodontitis bisa

disebabkan karena meningkatnya jumlah sel osteoklas, sehingga penting untuk mengontrol

jumlah osteoklas tersebut. Sel osteoklas yang

berlebih dapat dikontrol menggunakan obat kimiawi. Salah satu obat kimiawi yang

mengandung bahan antiinflamasi yang dijual di

pasaran yaitu obat kumur Tantum Verde. Efek

anti-inflamasi dari obat kumur ini diketahui bermanfaat dalam pengobatan periodontitis,

sehingga dipilih obat ini sebagai kontrol positif

pada penelitian ini.12 Akan tetapi ada peneliti lain yang menyatakan bahwa sering

menggunakan Tantum Verde oral rinse dapat

menyebakan perubahan warna pada gigi,13

sehingga perlu dicari alternatif terapi periodontitis, salah satunya dari bahan alam.

Ada berbagai bahan alam yang banyak

digunakan untuk pengobatan alternatif suatu penyakit maupun sebagai pemeliharaan

kesehatan. Tanaman Graptophillum pictum L.

Griff) atau karotong (Madura), daun ungu (Jawa) dan handeleum (Sunda) termasuk bahan

alam yang banyak dan mudah ditemukan oleh

masyarakat Indonesia. DITJEN POM

mengembangkan daun ungu yang masuk dalam tiga belas tanaman obat unggulan.14 Tanaman

ini banyak digunakan oleh masyarakat untuk

pengobatan terhadap tumor, dermatitis, abses, vulnus, dan secara eksperimental dapat

menghambat pembengkakan dan penurunan

permeabilitas membran.15

Daun ungu (Graptophyllum pictum L.

Griff) memiliki senyawa kimia antara lain

triterpenoid atau steroid bebas, alkaloid,

flavonoid, glikosida, saponin dan tanin.16

Flavonoid berfungsi sebagai antiinflamasi

dengan menghambat pembentukan

prostaglandin yang dibentuk oleh asam

Page 7: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 75-82

77

arakidonat.18 Flavonoid juga berfungsi sebagai antioksidan dengan menstabilkan radikal bebas

sehingga dapat mengurangi kerusakan sel

karena inflamasi.19

Hasil penelitian sebelumnya secara in vitro menyatakan bahwa ekstrak daun ungu

efektif menghambat pertumbuhan P.gingivalis

pada kertas cakram zona hambat yang dibentuk semakin besar ketika semakin tinggi

konsentrasi dari ekstrak.20 Demikian pula,

Ekstrak etanol daun ungu sebagai anti inflamasi dapat mempengaruhi fungsi fagositosis

makrofag, pembentukan immunoglobulin M

dan TNF alpha pada mencit terinduksi LPS

Saphylococcus aureus.21 Berdasarkan pernyataan tersebut, penulis ingin melakukan

penelitian secara in vivo tentang kemampuan

ekstrak daun ungu konsentrasi 2,5%, 5% dan 10% terhadap penurunan osteoklas pada tikus

wistar yang diinduksi P.gingivalis.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini termasuk jenis

eksperimental laboratoris, dengan desain The

Post Test Only Control Group. Daun ungu yang digunakan yaitu Graptophillum pictum L. Griff

yang sudah diidentifikasi di UPT Balai

Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi-Pasuruan melalui Surat Keterangan Identifikasi

Tumbuhan No. 1109/IPH.06/HM/2019 tanggal

11 Oktober 2019. Jumlah sampel yang

digunakan, yaitu 5 ekor tikus wistar pada setiap subkelompok. Penelitian ini terdiri atas 6

kelompok yaitu: kelompok normal (KN): tanpa

perlakuan, kelompok kontrol negatif (K-): diinfeksi Pg, kelompok kontrol positif (K+): Pg

+ Tantum Verde, kelompok perlakuan 2,5%

(KP2,5%): Pg + EDU2,5%, kelompok perlakuan 5% (KP5%): Pg + EDU5% dan

kelompok perlakuan 10% (KP10%): Pg +

EDU10%.

Semua prosedur pada penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember

dengan No. 612/UN25.8/KEKP/DL/2019. Tikus wistar yang digunakan dengan kriteria

inklusi: tikus wistar jantan, berat 175-200 gram,

usia 2-3 bulan, keadaan umum baik, dan diberi makan minun seragam. Model tikus

periodontitis merupakan tikus wistar jantan

yang diinduksi P.gingivalis strain ATCC 33277

dengan konsentrasi 2x109 CFU/ml sebanyak 0,05ml. Pelarut yang dipakai pada pembuatan

ekstrak daun ungu adalah etanol 96% dengan

metode maserasi dan hasil yang didapat berupa

ekstrak pekat yang kemudian diencerkan menjadi konsentrasi 2,5%, 5% dan 10%.

Model tikus periodontitis dibuat dengan

menginjeksikan P.gingivalis ATCC 33277

sebanyak 106 CFU dalam 30µl (0,03 ml) pada sulkus gingiva gigi molar 1 kiri bawah pada

bagian bukal. Injeksi dilakukan 3 hari sekali

selama 14 hari hingga mengalami periodontitis yang ditandai dengan adanya inflamasi pada

gingiva dan resorbsi tulang alveolar secara

radiografi. Perlakuan Tantum Verde dan ekstrak daun ungu diaplikasikan dengan cara

irigasi menggunakan needle 30G pada sulkus

gingiva satu kali sehari selama 7 hari.

Kelompok normal adalah kelompok tanpa perlakuan apapun. Kelompok kontrol negatif

adalah kelompok yang diinduksi P.gingivalis.

Kelompok kontrol positif merupakan kelompok yang diinduksi P.gingivalis kemudian diberi

perlakuan Tantum Verde. Kelompok perlakuan

2,5%, 5% dan 10% merupakan kelompok yang diinduksi P.gingivalis kemudian diberi

perlakuan ekstrak daun ungu 2,5%, 5% dan

10%. Selanjutnya pembuatan preparat histologi

dan pewarnaan menggunakan Hematoxylin-Eosin (HE). Pengamatan dan perhitungan sel

osteoklas dilakukan di bawah mikroskop

dengan perbesaran 400x dan dilakukan oleh 3 observer. Jumlah sel osteoklas ditentukan

dengan menghitung jumlah rata-rata sel

osteoklas dari 3 lapang pandang tiap sampel.

Data yang diperoleh dari penelitian, dianalisis dengan Statistical Product and

Service Solutions (SPSS). Selanjutnya

dilakukan uji Saphiro-wilk untuk melihat normalitas data dan uji Lavene untuk melihat

homogenitas data. Data yang diperoleh adalah

normal dan homogen kemudian dianalisis dengan One Way Anova, bermakna bila p<0,05,

kemudian dilanjutkan uji LSD.

HASIL Hasil penelitian yang diperoleh

menunjukkan rerata jumlah sel osteoklas yang

terendah pada KP10% yaitu kelompok perlakuan dengan pemberian ekstrak daun ungu

konsentrasi 10%. Kelompok KP10% diperoleh

rata-rata jumlah sel osteoklas sebesar 2,57. Kemudian kelompok KP5% sebesar 2,98,

kelompok KP2,5% sebesar 4,34, kelompok

K(+) sebesar 3,96 dan kelompok KN sebesar

2,04. Rata-rata jumlah sel osteoklas yag tertinggi pada kelompok K(-) yang merupakan

kelompok kontrol negatif yang diinduksi Pg.

Page 8: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 75-82

78

Pada kelompok K(-) rata-rata jumlah sel osteoklas sebesar 6,71.

Gambar 1. Gambaran histologi sel osteoklas (anak

panah hitam), pewarnaan HE dengan mikroskop

pembesaran 400x. Keterangan : A.Kelompok

normal, B. Kontrol negatif, C. Kontrol positif,

D.Perlakuan 2,5% , E. Perlakuan 5% dan F.

Perlakuan 10% . TL : tulang alveolar, LP : ligamen

periodontal, SM : sementum, D : dentin

Tabel 1. Hasil Rerata Jumlah Sel Osteoklas

Kelompok Rerata Sel

Osteoklas St. Deviasi

KN 2,04 0,33

K(-) 6,71 0,72

K(+) 3,96 0,35

KP2,5% 4,34 0,86

KP5% 2,98 0,26

KP10% 2,57 0,81

Keterangan :

KN : normal

K(-) : induksi Pg

K(+) : induksi Pg+ Tantum Verde

KP2,5% : induksi Pg+ ekstrak daun ungu 2,5%

KP5% : induksi Pg+ ekstrak daun ungu 5% KP10% : induksi Pg+ ekstrak daun ungu 10%

Page 9: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 75-82

79

Gambar 2. Grafik Batang Rata-Rata Jumlah Sel

Osteoklas

Hasil uji normalitas dan uji homogenitas

menunjukkan bahwa data berdistribusi normal

dan homogen (p>0,05). Selanjutnya dilakukan uji One Way Anova menunjukkan hasil

signifikan (p<0,05). Hasil uji LSD

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol negatif

dengan kelompok normal, kelompok kontrol

positif, kelompok ekstrak daun ungu 2,5%, 5%

dan 10%. Tetapi tidak berbeda signifikan antara kelompok kontrol positif dengan kelompok

ekstrak daun ungu 2,5% (p<0,05).

PEMBAHASAN

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah

untuk mengevaluasi potensi ekstrak daun ungu (Graptophillum pictum L. Griff) terhadap

penurunan jumlah sel osteoklas pada tikus

wistar yang diinduksi P.gingivalis. Rata-rata

jumlah sel osteoklas pada kelompok kontrol negatif menunjukkan hasil yang paling tinggi

dibandingkan kontrol positif dan kelompok

lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa P.gingivalis dapat menyebabkan

terstimulasinya prostaglandin dan

prekursornya, interleukin 1-α dan β, sitokin

pro-inflamasi TNF-α yang dihasilkan host sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan

ligamen periodontal selanjutnya memicu

resorpsi tulang alveolar yang diperankan oleh sel osteoklas 9,10.

Ekstrak daun ungu pada konsentrasi

2,5%, 5% dan 10% dapat menurunkan jumlah sel osteoklas pada tikus wistar yang diinduksi

P.gingivalis. Ekstrak daun ungu memiliki

kandungan senyawa kimia meliputi alkaloid,

flavonoid, fenolik, tanin, tripenoid, saponin dan glikosida. Hal ini sesuai dengan hasil uji

kandungan senyawa kimia ekstrak daun ungu.

Senyawa kimia yang banyak terkandung meliputi alkaloid sebesar 64,48, flavonoid

sebesar 54,04, fenolik sebesar 13,53 dan tanin

sebesar 12,17. Flavonoid, alkaloid, dan saponin dapat dimanfaatkan sebagai obat kumur

antiinflamasi yang sekaligus berperan sebagai

antibiotik untuk penderita periodontitis

(Pratiwi, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa penurunan jumlah sel osteoklas pada penelitian

ini karena adanya efek sinergis antara senyawa

kimia dalam ekstrak daun ungu. Hasil uji One Way Anova menunjukkan

hasil signifikan (p<0,05). Artinya terdapat

kemampuan pada masing-masing kelompok penelitian dalam menurunkan jumlah sel

osteoklas pada tikus wistar yang diinduksi

P.gingivalis. Baik itu kelompok perlakuan

ekstrak daun ungu konsentrasi 2,5%, 5% dan 10% maupun kelompok kontrol positif dengan

obat kumur Tantum Verde. Hal ini disebabkan

adanya kandungan senyawa aktif dalam kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol

positif. Hasil uji LSD menunjukkan bahwa KP

5% dan KP 10% yang bermakna (p<0,01) terhadap K(+). Artinya konsentrasi efektif

sebagai terapi periodontitis dengan parameter

penurunan jumlah osteoklas, pada KP5% dan

KP10% yang efektif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Prasetyaningrum dkk (2018)

yang meneliti efek ekstrak daun teh hijau

terhadap sel osteoklas tulang alveolar tikus putih (Rattus norvegicus) periodontitis bahwa

jumlah konsentrasi suatu ekstrak

mempengaruhi efektifitas penurunan sel

osteoklas.32

Kelompok yang diberi ekstrak daun ungu

10% tidak berbeda signifikan dengan kelompok

normal. Hal ini dapat diartikan bahwa ekstrak daun ungu konsentrasi 10% mempunyai

kemampuan sama dalam menurunkan jumlah

sel osteoklas dan mengembalikan jumlah sel osteoklas seperti keadaan normal. Ekstrak daun

ungu 10% memiliki efek antiinflamasi yang

berpotensi sebagai terapi untuk periodontitis.

Hal ini dikarenakan daun ungu memiliki kandungan tanin dan flavonoid yang mampu

menurunkan kadar TNF-α pada kelompok

perlakuan sampai mendekati kelompok yang hanya diberi pakan standar dan minum

(normal).33 Terhambatnya sitokin pro-inflamasi

akan menurunkan asam arakidonat. Penurunan asam arakidonat dapat menurunkan apoptosis

sel osteoblas. Sel osteoblas mensekresi

osteoprotegerin (OPG). OPG berfungsi untuk

menghambat ikatan RANKL dengan RANK, sehingga terjadi apoptosis sel osteoklas yang

menyebabkan penurunan resorpsi tulang.34

Page 10: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 75-82

80

Kelompok kontrol positif (Tantum Verde) tidak berbeda signifikan dengan

kelompok yang diberi ekstrak daun ungu 5%

dan 10%. Hal ini artinya ekstrak daun ungu

konsentrasi tersebut bisa sebagai alternatif terapi untuk penyakit periodontitis. Tantum

Verde yang mengandung benzydamine HCl

0.15% mempunyai efek yang sama dengan ekstrak daun ungu konsentrasi 5% dan 10%

sebagai antiinflamasi yang mempengaruhi

jumlah osteoklas. Benzydamine HCl termasuk golongan NSAID yang bekerja dengan

menghambat jalur siklooksigenase. COX

memproduksi berbagai zat kimia seperti

prostaglandin yang menyebabkan inflamasi. Benzydamine HCl dapat mencegah

terjadinya inflamasi dan rasa sakit dengan

menghambat terbentuknya prostaglandin.35

Penelitian farmakologi menunjukkan bahwa

benzydamine HCl memiliki sifat analgesik,

antiinflamasi, antipiretik, anastesi lokal dan antibakteri. Benzydamine HCl berpengaruh

pada mekanisme lokal proses inflamasi.

Benzydamine HCl berada pada konsentrasi

tinggi di jaringan yang inflamasi sedangkan jaringan normal konsentrasinya sangat rendah,

dengan demikian pemberian topikal

meningkatkan efektifitasnya.12 Dari hasil penelitian ini, dapat dikatakan bahwa ekstrak

daun ungu mampu menurunkan jumlah sel

osteoklas pada tikus wistar yang diinduksi

P.gingivalis dan berpotensi sebagai terapi alternatif pada periodontitis dengan konsentrasi

efektif 5% dan 10%, dengan cara diaplikasikan

melalui irigasi pada sulkus gingiva.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa

ekstrak daun ungu (Graptophyllum pictum L.

Griff) memiliki potensi untuk menurunkan

junlah sel osteoklas pada tikus wistar yang diinduksi P.gingivalis dengan konsentrasi

optimal 5% dan 10%.

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar.

http://www.depkes.co.id [diakses pada 20 Juni 2019] :118-220.

2. Susilawati, I. D. A. Periodontal infection is

a “Silent Killer”. Stomatognatic (J.K.G.

Unej) 2011; 8(1): 21-26. 3. Bostanci, N. & Belibasakis, G. N.

Porphyromonas gingivalis: an Invasive &

Evasive. FEMS Microbiol Lett 2012; 333(1): 1-9.

4. Newman, M.G., Caranza, F.A., Takei,

H.H., dan Klokkevold, P.R.Newman and

Carranza’s Clinical Periodontology. 13th Edition.Philadelphia: Elsevier. 2019: 89.

5. Toar, A. I., Posangi, J., dan Wowor, V.

Daya Hambat Obat Kumur Cetylpyridinium Chloride dan Obat

Kumur Daun Sirih Terhadap Pertumbuhan

Streptococcus mutans. Jurnal biomedik (JBM) 2013; 5(1): 163-168.

6. How, K. Y., Song, K. P., dan Chan, K. G.

Porphyromonas gingivalis:an Overview of

Periodontopathic Pathogen below the Gum Line. J. Frontiers in Microbiology 2016;

7(53): 1-14.

7. Yustina, A. R., Suardita, K., dan Agustin, D. Peningkatan Jumlah Osteoklas pada

Keradangan Periapikal Akibat Induksi

Lipopolisakarida Porphyromonas gingivalis. JBP 2012; 14(3): 140-44.

8. Kim, H. J., Seo, J. Y., Suh, H. J., Lim, S.

S., dan Kim, J. S. Antioxidant Activities of

Licorice-derived Prenylflavonoids. Nutr Res Pract 2012; 6(6): 491-98.

9. Mescher, A. L. Histologi Dasar Junqueira

Teks dan Atlas. 14th Edition. Jakarta: EGC. 2015 p.138-59

10. Rubin, J.& Greenfield, E. M. Osteoclast:

Origin & Differentiation. Journal of

Medical and Dental 2012; 59(3): 65-74. 11. Zulfa, L. & Mustaqimah, D. N. Terapi

Periodontal Non-Bedah. Dentofasial 2011;

10(1): 36-41. 12. Firza, T.A., Umar, N., dan Ihsan, M.

Perbandingan Obat Kumur Benzydamine

HCl 22,5 mg dan Ketamin 40 mg dalam Mengurangi Nyeri Tenggorok & Suara

Serak Akibat Intubasi Endotrakeal. Jurnal

Anestesi Perioperatif. 2017; 5(1): 57-66.

13. Ulusoy, N. B., Arikan, V., dan Oba, A. A. Effect of Mouthwashes On The

Discolouration of Restorative Materials

Commonly Used In Paediatric Dentistry. European Archives of Paediatric Dentistry

2018: 1-7.

14. Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Lembang. Potensi Tanaman Obat

Indonesia. Lembang, Kementerian

Pertanian Badan Penyuluhan dan

Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian. 2012: 1-3.

15. Sumarny, R., Yuliandini, dan Rohani, M.

Efek Anti-Inflamasi dan Anti-Diare

Page 11: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 75-82

81

Ekstrak Etanol Herba Meniran (Phyllanthus niruriL.) & Daun Ungu

(Garptophyllum pictumL. Griff).

Prosiding Seminar Nasional

Perkembangan Terkini Sains Farmasi Dan Klinik III 2013: 207-11.

16. Sitompul, N. Aktivitas Antibakteri &

Analisis Kandungan Kimia Daun Ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff).

Prosiding Seminar Nasional Biologi

Meningkatkan Peran Biologi dalam Mewujudkan “NationalAchievement with

Global Reach”.Medan: USU Press 2011:

245-49.

17. Purwanto, B. Herbal & Keperawatan Komplementer. Yogyakarta: Nuha

Medika. 2013.

18. Ardiana, T., Kusuma, A. R. P., dan Firdausy, M. D. Efektivitas Pemberian Gel

Binahong (Anredera Cordifolia) 5%

Terhadap Jumlah Sel Fibroblast Pada Soket Pasca Pencabutan Gigi Marmut

(Cavia Cobaya). J. ODONTO Dental.

2015; 2(1): 64-70.

19. Fitria, L., Utami, I. D., dan Suranto, R. D. P. Uji Potensi Buah Luwingan (Ficus

hispida L.f) Sebagai Penurun Kadar

Kolesterol Darah dengan Hewan Model Tikus Wistar (Rattus norvegicus

Berkenhout,1769) Hiperlipidemia.

Laporan Penelitian Fakultas Biologi Dana

BOPTN 2015. Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

2015: 1-20.

20. Baskhara, M. E., Ratih, P. H., dan Failasufa, H. Efektivitas Ekstrak Daun

Ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff)

dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Porphyromonas gingivalis (In vitro).

Skripsi.Semarang: Fakultas Kedokteran

Gigi Universitas Muhammadiyah

Semarang. 2018:.5-6. 21. Kusumaawati, I. Pengaruh Ekstrak Etanol

Daun Ungu (EEDU) Graptophyllum

pictum L.Griff terhadap Fungsi Fagositosis serta Pembentukan

Imunoglobuli M dan TNF-alpha pada

mencit. Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Airlangga, Surabaya 2002: 32-

64.

22. Mysak, J., Podzimek, S., Sommerova, P.,

Lyuya-Mi, Y., Bartova, J., Janatova, T., Prochazkova, J., dan Duskova, J.

Porphyromonas gingivalis: Major

Periodontopathic Pathogen Overview. J. Immunology Research 2014; 2014: 1-8.

23. Nasution, A. I. Hubungan Molekuler

Osteoporosis, Inflamasi, Sistem Imunologi

dan Aging. Biologi Oral FKG UI. 24. Iskandar, P. & Ismaniati, N. A. Peran

Prostaglandin pada Pergerakan Gigi

Ortodontik. Dentofasial 2010; 9(2): 91-100.

25. Cochran, D. L. Inflammation and Bone

Loss In Periodontal Disease. J. Periodontol 2008; 79(8): 1569-76.

26. Zhang, W., Ju, J., Rigney, T., dan Tribble,

G. Porphyromonas gingivalis Increases

Osteoclastic Bone Resorption & Osteoblastic Bone Formation in a

Periodontitis Mouse Model. BMC Oral

Health 2014: 1-9. 27. Kurniawan, B. & Aryana, W. F. Binahong

(Cassia alataL) as Inhibitor of

Escherichiacoli Growth. J Majority. 2015; 4(4): 100-104.

28. Sani,F. & Yustimartina, P. Uji Efektivitas

Antiinflamasi Esktrak Metanol Daun

Subang-subang (Scaevola taccada L.). terhadap Mencit yang Diinduksi

Karagenan. Seminar Nasional Ilmu

Kesehatan. 2016: 40-45. 29. Astuti, S. M. Skrining Fitokimia dan Uji

Aktivitas Antibiotika Ekstrak Etanol Daun,

Batang, Bunga & Umbi Tanaman

Binahong (Anredera cordifolia (Ten) Steenis.). Bogor: Balai Besar Pengujian

Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan

(BBPMSOH). 2011: 3-4 30. Pramitaningastuti, A. S. & Anggraeny, E.

N.Uji Efektivitas Antiinflamasi Ekstrak

Etanol Daun Srikaya (Annona squamosa.L) Terhadap Edema Kaki Tikus

Putih Jantan Galur Wistar. J Ilmiah

Farmasi. 2017; 13(1): 8-14.

31. Pratiwi, L. C. Adhesi Porphyromonas gingivalis pada Netrofil yang Diinduksi

Ekstrak Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus

sabdariffa L.) Skripsi. Jember: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember.

2012: 41-50.

32. Prasetyaningrum, N. Soemardini, M. Fadil. Efek Ekstrak Daun Teh Hijau

(Camellia cinensis) Terhadap Jumlah Sel

Osteoklas Tulang Alveolar Tikus Putih

(Rattus norvegicus). E-Prodenta Journal of Dentistry 2018: 130-39.

33. Tjahjani, N. P., Kristina, T. N., dan

Lestari, E. S. Efektivitas Ekstrak Etanol

Page 12: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 75-82

82

Daun Ungu (Gratophyllum pictum(L.)) untuk Menurunkan Kadar TNF-α & NO.

Pharmaciana. 2016; 6(2): 191-200.

34. Bartold, P. M., Cantley, M. D., dan

Haynes, D. R. Mechanisms & Control of Pathologic Bone Loss In Periodontitis.

Periodontology 2000. 2010; 53: 55-69.

35. Suparwi, A. D. Perbedaan Efektivitas Obat Kumur Chlorhexidine & Methylsalicylate

dalam Menurunkan Jumlah Koloni Bakteri

Rongga Mulut. Skripsi. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas

Maret. 2010: 12-20.

36. Sunarto, H. Plak Sebagai Penyebab Utama

Keradangan Jaringan Periodontal. Skripsi. Jakarta: Departemen Periodonsia Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.

2014: 1-12.

Page 13: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 83-88

83

DAYA FITO-RESPON EKSTRAK ETANOL DAUN KELOR (Moringa oleifera)

TERHADAP SEL OSTEOSIT DAN MATRIKS TULANG MANDIBULA

TIKUS (Rattus norvegicus)

THE PHYTO-RESPONSE POWER OF ETHANOL EXTRACT OF MORINGA LEAVES

TO OSTEOCYTES AND MANDIBULAR BONE MATRIX

OF WISTAR RAT (RATTUS NORVEGICUS)

Chairunas, Dewi Saputri, Meutia Komala Putri

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala

Corresponding Author: [email protected]

Abstrak

Cahaya lampu diketahui memiliki dampak buruk terhadap perkembangan tulang. Paparan berlebihan dari cahaya lampu dapat menurunkan kadar melatonin pada manusia yang mengakibatkan tanda-tanda

osteoporosis tahap awal. Studi sebelumnya menyatakan melatonin dapat menekan estrogen yang akan

berdampak menghambat aktivitas osteoklas. Untuk mencegah kerusakan tulang maka dapat diberikan obat alami yang diketahui dapat meningkatkan metabolisme tulang. Senyawa flavonoid yang

terkandung dalam daun kelor (Moringa oleifera) berfungsi membantu metabolisme kalsium dengan

cara menginduksi penurunan resorpsi tulang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya fito-respon ekstrak etanol daun kelor terhadap osteosit dan matriks tulang mandibula yang terpapar cahaya

lampu fluoresen. Sampel penelitian menggunakan tikus wistar jantan sebanyak 10 ekor. Tikus

tersebut dipaparkan pada cahaya lampu fluoresen kemudian diberi ekstrak daun kelor yang diolah

dengan teknik maserasi. Pembuatan preparat histologi menggunakan pewarnaan hematoxylyn eosin. Mikroskop (Olympus BX-51) dengan perbesaran 400X digunakan dalam perhitungan sel osteosit dan

matriks tulang. Data penelitian dianalisa menggunakan uji One Way Analysis of Variance (ANOVA)

dengan nilai p<0,05. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa daya fito-respon ekstrak etanol daun kelor pada tulang mandibula yang terpapar cahaya lampu fluoresen dapat meningkatkan jumlah sel

osteosit dan dapat mempertahankan matriks tulang sehingga masa tulang tetap terjaga.

Kata Kunci: Tulang Mandibula, Sel Osteosit, Matriks Tulang, Daun Kelor, Cahaya Lampu Fluoresen

Abstract

Light is known to have a negative impact on bone development. Excessive exposure to light can decrease melatonin levels in humans, resulting in early signs of osteoporosis. Previous studies have

suggested that melatonin can suppress estrogen which will have an impact on inhibiting osteoclast

activity. To prevent bone damage, natural drugs are known to increase bone metabolism. The flavonoid compounds contained in Moringa oleifera leaves help metabolize calcium by inducing

decreased bone resorption. This study aims to determine the phyto-responsiveness of the ethanol

extract of Moringa oleifera leaves against osteocytes and mandibular bone matrix exposed to

fluorescent light. The research sample used 10 male wistar rats. The rats were exposed to fluorescent light and then given Moringa oleifera leaf extract which was processed by maceration technique.

Histological preparations were made using hematoxylyn eosin staining. A microscope (Olympus BX-

51) with a magnification of 400X was used in the calculation of osteocytes and bone matrix cells. The research data were analyzed using the One Way Analysis of Variance (ANOVA) test with p value

<0.05. The results of this study indicate that the phyto-responsiveness of the ethanol extract of

Moringa oleifera leaves on mandibular bone exposed to fluorescent light can increase the number of osteocytes and maintain bone matrix so that bone mass is maintained.

Keywords : Mandibular Bones, Osteocyte Cells, Bone Matrix, Moringa Oleifera, Fluorescent Light

Page 14: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 83-88

84

PENDAHULUAN Tulang merupakan jaringan ikat

termineralisasi yang memiliki empat jenis sel

yaitu sel osteoblas, sel-sel pelapis tulang,

osteoklas, dan osteosit.1 Setiap tipe sel tersebut memiliki peran penting bagi perkembangan

tulang, seperti osteoblas yang berperan sebagai

pembentuk tulang dan osteoklas berperan dalam proses resorbsi tulang.2 Osteosit juga

turut berperan dalam pembentukan tulang, sel

tersebut dilapisi oleh matriks tulang dan berasal dari akhir siklus pembentukan tulang pada sel

osteoblas.1,3

Metabolisme kalsium dapat dipengaruhi

oleh sejumlah obat-obatan yang akan memaksimalkan kerja tulang seperti vitamin D,

kalsitonin, kalsitriol serta golongan bisfosfonat.

Efek samping yang ditimbulkan dari ketiga obat terserbut berbeda-beda.4 Diketahui bahwa

cahaya matahari dapat juga dimanfaatkan untuk

merangsang sintesis vitamin D di kulit manusia, sehingga meningkatkan penyerapan

kalsium dalam menjaga massa tulang,

mencegah osteoporosis.5,6

Penelitian Rostiny (2016) menunjukkan bahwa tanaman kelor (Moringa oleifera)

sebagai obat alami yang diketahui dapat

mempercepat metabolisme kalsium dalam tulang. Studi menunjukkan bahwa Moringa

oleifera memiliki banyak varian fitokimia,

salah satunya yaitu flavonoid yang dapat

merangsang diferensiasi dan proliferasi osteoblas, mengarah pada pembentukan

tulang.7

Penelitian International Osteoporosis Foundation and National Osteoporosis

Foundation melaporkan pada pekerja malam

hari yang selalu terpapar cahaya lampu mengakibatkan penurunan kadar melatonin.8

Melatonin bekerja pada tulang dengan cara

menekan estrogen dan berdampak menghambat

aktivitas osteoklas akibatnya resorbsi tulang menjadi minimal/sebanding.8,9

Salah satu cahaya buatan adalah lampu

fluoresen yang diketahui mempunyai efek yang buruk. Unsur pengisi tabung lampu fluoresen/

pendar tersebut dengan memanfaatkan merkuri

atau air raksa.10 Penelitian Saputro (2018) menunjukkan bahwa kandungan merkuri pada

lampu tersebut berdampak negatif bagi

kesehatan manusia maupun kesehatan

lingkungan.11

Berdasarkan studi pustaka ditemukan

bahwa ekstrak daun kelor memiliki pengaruh

langsung terhadap meningkatnya jumlah

osteosit dan matriks tulang. Namun belum diketahui apakah ada peningkatan pengaruh

ekstrak daun kelor apabila dikombinasikan oleh

paparan cahaya. Selanjutnya peneliti tertarik

menganalisis pengaruh pemberian ekstrak etanol daun kelor melalui mekanisme absorbsi

pada perkembangan sel osteosit dan matriks

tulang yang memberikan kontribusi terhadap penyembuhan tulang setelah dipaparkan oleh

cahaya lampu khususnya pada lampu fluoresen.

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini

adalah blender, airtight container, flat bottomed glass container, rotary evaporator, kertas

saring, seperangkat alat bedah, mikromotor, bur

tulang, object glass, deck glass, oven, microtome, staining jar, lampu fluoresen 5

watt. Pada pengamatan hasil penelitian

menggunakan mikroskop cahaya, dan untuk pemotretan digunakan alat mikrofotografi.

Bahan yang digunakan untuk perlakuan adalah

ekstrak etanol daun kelor. Bahan-bahan yang

digunakan untuk membuat preparat histologi adalah larutan buffered neutral formalin (BNF)

10%, akuades, silol, alkohol dengan konsentrasi

bertingkat (absolut, 95%, 90%, 80%, dan 70%), NaCl fisiologis 0,95%, parafin dan pewarna

Hematoksilin Eosin (HE)

Persiapan Hewan Coba Tikus wistar (Rattus norvegicus) yang

memiliki kriteria berkelamin jantan dengan

umur 2-3 bulan serta memiliki berat badan 200-300g digunakan pada penelitian ini. Tikus

wistar yang digunakan pada penelitian

sebanyak 10 ekor. Satu ekor tikus digunakan untuk pemaparan cahaya lampu fluoresen

sebelum perlakuan, sedangkan 9 tikus lainnya

akan dikelompokkan menjadi 3 kelompok

dengan masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor tikus wistar. Kolompok terdiri dari

kolompok kontrol positif pada pengaplikasian

vitamin D topikal, kelompok kontrol negatif pada pengaplikasian akuades dan kolompok

perlakuan pada pengaplikasian ekstrak daun

kelor (Moringa oleifera).

Pembuatan Ekstrak Daun Kelor

Daun kelor (Moringa oleifera) dilakukan

pengekstrakan di Laboratorium Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

(FMIPA) Unsyiah. Daun kelor yang dijadikan

sampel memiliki kriteria daun yang masih

Page 15: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 83-88

85

muda dan berwarna hijau. Daun kelor sebanyak 1 kg yang diperoleh dari wilayah Ajun,

Kabupaten Aceh Besar dan Asrama Unsyiah,

Darrusalam, Banda Aceh.

Daun merupakan bagian dari tanaman kelor yang diambil untuk dipotong sampai

halus kemudian dikeringkan dan diangin-

anginkan hingga 2-4 hari. Selanjutnya daun tersebut digiling menggunakan blander hingga

menjadi bubuk halus. Penyimpanan bubuk dari

hasil penggilingan dimasukkan ke dalam airtight container dan diletakkan pada wadah

yang gelap, sejuk dan kering. Metode maserasi

diterapkan untuk proses ekstraksi dengan

pelarut etanol 96%. Dilakukan pemisahan filtrat dan residu setiap 1 x 24 jam selama 3 hari serta

diselingi dengan pergantian pelarut yang sama.

Vacuum rotary evaporator digunakan untuk menghasilkan ekstrak kental dari filtrat yang

telah terkumpul dan dipekatkan pada suhu

500C.13,14

Perlakuan Pemberian Ekstrak Daun Kelor

Pada 7 hari pertama, seluruh tikus wistar

(Rattus norvegicus) diberi perlakuan pemaparan cahaya lampu flouresen didalam

kandang selama 24 jam dalam 7 hari. Pada hari

ke-7, dilakukan eutanasia menggunakan anatesi eter pada satu tikus untuk melihat kerusakan/

kelainan patologi pada tulang mandibula.

Pemaparan cahaya fluresen tetap dilanjutkan

sampai hari ke-28. Pengaplikasian ekstrak daun kelor, vitamin D dan akuades dimulai hari ke 8-

28 pada masing-masing kelompok.

Pengaplikasian tersebut dilakukan pada mukosa rahang bawah tikus menggunakan cotton bud

sebanyak 2 kali sehari pada 10 jam pagi dan

jam 5 sore. Semua tikus yang telah dieutanasia

dilakukan pembedahan pada tulang mandibula

menggunakan bur tulang. Hasil pembedahan

tersebut dimasukkan ke larutan neutral buffer formalin 10% (fiksasi) selama 24 jam.15

EDTA 14% digunakan untuk

dekalsifikasi yang kemudian dilakukan

dehidrasi, clearing jaringan, embedding menggunakan parafin, serta pemotongan

jaringan dengan mikrotom pada arah

longitudinal pada ketebalan 5 mikron sebagai

prosedur pewarnaan hematoxylin eosin (HE). Penggunaan HE digunakan pada prosedur

pewarnaan untuk mengetahui gambaran

histologis sel osteosit dan matriks tulang. Digunakan mikroskop (Olympus BX-51)

perbesaran 400X dengan 5 kali pandang untuk

menghitung sel osteosit dan matriks tulang.15

Pengaplikasian perangkat lunak SPSS

untuk menganalisa hasil pada data penelitian

yang dianalisis menggunakan uji one way

ANOVA dengan p<0,05 untuk menganalisis daya fito-respon ekstrak etanol daun kelor

(Moringa oleifera) terhadap perkembangan sel

osteosit dan matriks tulang pada mandibula tikus wistar (Rattus norvegicus).

HASIL Hasil pengamatan terhadap tulang

mandibula memperlihatkan adanya perbedaan

gambaran sel tulang secara histopatologis.

Cahaya lampu fluoresen yang telah dipaparkan selama 7 hari menunjukkan matriks tulang

terlihat disekitar osteosit dengan luas area

11930 µm2 dalam pembesaran 400x menggunakan mikroskop cahaya. Hasil

pengamatan hari ke-14 yang telah diberi

ekstrak daun kelor, vitamin D dan akuades

menunjukkan perbedaan jumlah sel osteosit. Kelompok perlakuan yang diberi ekstrak

etanol daun kelor terlihat jumlah yang lebih

pada sel osteosit dibandingkan dengan kelompok kontrol positif maupun kontrol

negatif. Sedangkan hasil pengamatan sel yang

paling sedikit terdapat pada kelompok kontrol positif.

Gambaran matriks tulang pada kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol positif

mengalami perbesaran luas, sedangkan pada kelompok kontrol negatif mengalami

pengurangan jumlah luas area.

Page 16: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 83-88

86

0

5

10

15

20

25

30

35

40

H7 H14 H21 H28

Tanpa Perlakuan Kontrol Negatif Kontrol Positif Perlakuan

Gambar 1. Diagram Batang Terhadap Frekuensi Osteosit Pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan.

Tabel 1. Distribusi Luas Matriks Tulang pada Hari ke-7, ke-14, ke-21 dan ke-28.

Luas area

H7

Matriks Tulang

Kontrol Negatif Kontrol Positif Perlakuan

H14 H21 H28 H14 H21 H28 H14 H21 H28

Rerata 11930 11172 12522 13172 11936 14248 14317 12079 14433 16383

*satuan luas daerah : µm2

Pada kelompok perlakuan yang diberi ekstrak etanol daun kelor terlihat jumlah yang

lebih pada sel osteosit dibandingkan dengan

kelompok kontrol positif maupun kontrol negatif. Sedangkan hasil pengamatan sel yang

paling sedikit terdapat pada kelompok kontrol

positif. Gambaran matriks tulang pada

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol positif mengalami perbesaran luas, sedangkan

pada kelompok kontrol negatif mengalami

pengurangan jumlah luas area. Hasil pengamatan histopatologis sel

osteosit dan matriks tulang hari ke-21,

kelompok kontrol positif dengan vitamin D dan kelompok kontrol negatif dengan akuades

mengalami peningkatan pada sel osteosit.

Sementara pada kelompok perlakuan

mengalami penurunan jumlah sel osteosit. Kelompok kontrol positif menunjukkan sel

osteosit paling banyak. Luas area matriks

tulang yang terlihat kelompok perlakuan dan kelompok kontrol positif relatif sama dengan

luas 14400µm2.

Penelitian hari ke-28 pada kelompok perlakuan, hasil sel osteosit dan matriks tulang

menunjukkan kenaikan yang paling tinggi

antara kelompok kontrol positif dan kontrol negatif.

PEMBAHASAN Hasil pengamatan secara mikroskopis,

setelah pemaparan cahaya hari ke-7 hari sampai

hari ke-21 terlihat jumlah sel osteosit yang

mengalami penurunan. Hal ini diketahui bahwa terjadinya penurunan pada sel osteosit

diakibatkan oleh pemaparan cahaya lampu

fluoresen dapat mengganggu struktur tulang. Dalam pembuatan lampu fluoresen

memanfaatkan merkuri atau air raksa sebagai

salah satu unsur pengisi tabungnya sehingga dampak yang ditimbulkan merkuri bagi

kesehatan manusia dan kesehatan lingkungan

memliki dampak yang buruk.11 Penurunan

jumlah sel osteosit akibat pemaparan cahaya Penurunan jumlah sel osteosit akibat

pemaparan cahaya lampu secara terus-menerus

mendukung penelitian sebelumnya dimana akan terjadi penurunan kadar melatonin pada

manusia.17

Melatonin N-acetyl-5-methoxytrypta mine merupakan produk sekretor utama

kelenjar pineal vertebrata, di mana sintesis dan

Page 17: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 83-88

87

pelepasannya menunjukkan peran dalam regulasi biologis ritme sirkadian, penuaan, dan

reproduksi yang dapat memengaruhi fisiologi

tulang dengan aktivitas puncak selama periode

gelap atau pada malam hari.9,17 Melatonin sangat berperan dalam pembentukan tulang

karena dapat meningkatkan estrogen yang akan

berdampak menghambat aktivitas osteoklastik akibatnya resorbsi tulang menjadi minimal.8,9

Hasil pengamatan hari ke-14 yang telah

diberi ekstrak daun kelor, vitamin D dan akuades menunjukkan perbedaan total

perhitungan sel osteosit. Pada kelompok

perlakuan yang diberi ekstrak etanol daun kelor

terlihat jumlah yang lebih pada sel osteosit dibandingkan dengan kelompok kontrol positif

dan kontrol negatif, tetapi jumlah osteosit

mengalami penurunan dari hari ke-7. Hasil pengamatan histopatologis sel osteosit hari ke-

21, kelompok kontrol positif mengalami

peningkatan pada sel osteosit dan penurunan kembali pada kelompok perlakuan. Penurunan

sel osteosit yang terjadi pada kelompok

perlakuan dikarenakan sel tersebut mengalami

fase remodeling tahap awal. Pada fase tahap awal remodeling adalah fase aktivasi dan

resorpsi yang berlangsung 0-2 minggu terjadi

pengaktifan pada sel osteoklas yang menyebabkan penurunan pada jumlah

osteosit.18,19

Pada penelitian hari ke-21 sel osteosit

paling banyak terdapat pada kelompok kontrol positif pada pemberian vitamin D dengan rata-

rata 32.4. Pengamatan luas area matriks tulang

pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan juga meningkat. Hal ini

menunjukkan bahwa penggunaan vitamin D

telah memberikan efek pada tulang setalah pemakaian 2 minggu. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Ayu (2009) bahwa pemberian

vitamin D efektif sebagai langkah yang tepat

dalam peningkatan densitas tulang.20

Hasil pengamatan tulang mandibula tikus

wistar (Rattus norvegicus) di bawah mikroskop

cahaya pada hari ke-28 menunjukkan kelompok kontrol negatif menggunakan akuades dengan

jumlah sel osteosit paling sedikit sementara

hasil pengamatan pada kelompok perlakuan menunjukkan jumlah sel osteosit yang lebih

banyak. Jumlah sel osteosit dibandingkan hari

ke-14 dan ke-21 mengalami kenaikan.

Pengamatan matriks tulang hari terakhir mengalami perluasan area yang lebih pada

kelompok perlakuan dibanding kelompok

kontrol. Hal ini menandakan daun kelor

(Moringa oleifera) tetap bekerja dan efektif digunakan sampai minggu ke-3 dikarenakan

bahwa untuk menghasilkan sel osteosit akan

membutuhkan waktu 3-4 minggu yaitu pada

fase ke-2 pada tahapan remodeling.19

KESIMPULAN

Adanya perubahan sel osteosit dan luas area matriks tulang mandibula tikus wistar

(Rattus norvegicus) setelah dipancarkan cahaya

lampu fluoresen dalam waktu 24 jam. Adanya perbedaan terhadap jumlah sel osteosit dan

luas matriks tulang mandibula tikus wistar

antara kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan yang diberi ekstrak daun kelor (Moringa oleifera). Meningkatnya jumlah sel

osteosit dan matriks tulang sampai pada hari

ke-28 dapat disimpulkan bahwa daun kelor dapat menstimulasi perkembangan dan

kepadatan pada tulang sehingga masa tulang

tetap terjaga.

DAFTAR PUSTAKA

1. Florencio-silva R, Rodrigues G, Sasso-

cerri E, Simões MJ, Cerri PS, Cells B. Biology of Bone Tissue: Structure,

Function, and Factors That Influence Bone

Cells. Biomed Res Int. 2015; 2015:17. 2. Cheung MBSW, Majeska R, Kennedy O.

Osteocytes : Master Orchestrators of Bone.

Springer Science. Biomedical

Engineering. 2014; 5-24. 3. Buenzli PR. Osteocytes As A Record Of

Bone Formation Dynamics : A

Mathematical Model Of Osteocyte Generation In Bone Matrix. J Theor Biol.

2015; 364: 418–27.

4. Gunawan S. Hormon Paratiroid dan Obat Yang Mempengaruhi Metabolisme

Kalsium. In: Farmakologi dan Terapi. 5th

ed. Setiabudy R, Nafrialdi, editors.

Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 2012: 451–4.

5. Veldurthy V, Wei R, Oz L, Dhawan P, Jeon YH, Christakos S. Vitamin D ,

Calcium Homeostasis and Aging. Bone

Res. 2016; 25: 1–7. 6. Yang Y, Yu Y, Yang B, Zhou H, Pan J.

Physiological Responses To Daily Light

Exposure. Sci Rep. 2016; 1–9.

7. Rostiny ED. The Effect Of Combined Moringa oleifera and Demineralized

Freeze-Dried Bovine Bone Xenograft On

The Amount Of Osteoblast and Osteoclast

Page 18: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 83-88

88

In The Healing Of Tooth Extraction Socket Of Cavia cobaya. Dent J. 2016;

37(56): 38–43.

8. Feskanich D, Hankinson SE,

Schernhammer ES. Nightshift Work and Fracture Risk : The Nurses’ Health Study.

Osteoporosis Int. 2009; 537–42.

9. Res P. Melatonin Effects On Bone: Experimental Facts and Clinical

Perspectives. J Pineal Res. 2003; 81–7.

10. Cahyono H. Merkuri Dalam Lampu Fluoresen. 2011; 8(2): 37–44.

11. Saputro JH, Sukmadi T, Karnoto. Analisa

Penggunaan Lampu LED Pada

Penerangan Dalam Rumah. Universitas Diponegoro Semarang. 2018; 2.

12. Kusumaningtyas E. Mekanisme Infeksi

Candida albicans Pada Permukaan Sel. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis.

Bogor. 2004;(30):304–13.

13. Kumala N, R EDD. Potensi Ekstrak Daun Kelor (Moringa oleifera) Sebagai

Hepatoprotektor Pada Tikus Putih (Rattus

novergicus) Yang Diinduksi Parasetamol

Dosis Toksis. J Ilmiah Ked 5: 58–66. 14. Syahruramadhan M, Yanti NA, Darlian L.

Aktivitas Antijamur Ekstrak Daun Kelor

(Moringa oleifera Lamck.) dan Daun Kirinyuh (Chromolaena odorata L.)

Terhadap Candida albicans dan

Aspergillus flavus. J Ampibi. 2016; 1(2):

7–12. 15. Hikmah N. Profil Osteoblas dan Osteoklas

Tulang Alveolar Pada Model Tikus

Diabetes Tahap Awal Dengan Aplikasi Gaya Ortodonti Yang Berbeda. El Hayah.

2015; 5: 97–102.

16. Indrawati A. Teknik Pembuatan Dan Evaluasi Preparat Histologi Dengan

Pewarnaan Hematoksilin Eosin Di

Laboratorium Histologi Dan Biologi Sel

Fakultas Kedokteran UGM Dan National Laboratory Animal Center (NLAC)

Mahidol University. Universitas Gajah

Mada. 2017; 1: 11–45. 17. Suzuki N, Hattori A. Melatonin

Suppresses Osteoclastic and Osteoblastic

Activities In The Scales Of Goldfish. J Pineal Res. 2002; 33: 253–8

18. Kenkre JS, Bassett JHD. The Bone

Remodelling Cycle. Ann Clin Biochem.

2018; 55(3): 308–27. 19. Katsimbri P. The biology of normal bone

remodelling. Eur J Cancer Care. 2017;

26(6): 1–5.

20. Setyorini, Ayu dkk. Pencegahan Osteoporosis dengan Suplementasi

Kalsium dan Vitamin D pada Penggunaan

Kortikosteroid Jangka Panjang. Sari

Pediatri. 2009; 32-8.

Page 19: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 89-92

89

PORCELAIN LAMINATE VENEER SEBAGAI PERAWATAN ESTETIK

PADA GIGI INSISIVUS LATERALIS

(Laporan Kasus)

PORCELAIN LAMINATE VENEER AS AESTHETIC CARE

FOR LATERALIST INSISIVUS

(Case Report)

Ivony Fitria1, Isti Arifianti

2, Taufik Sumarsongko

3, Setyawan Bonaficius

3, Rasmi Rikmasari

3

1) Staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Andalas

2) Staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Universitas Achmad Yani

3) Konsulen Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Corresponding Author: [email protected]

Abstrak

Seiring dengan meningkatnya popularitas esthethic dentistry, semakin banyak pasien yang membutuhkan perawatan yang dapat meningkatkan penampilan gigi anterior. Salah satu perawatan

estetik yaitu porcelain laminate veneer yang merupakan lapisan tipis, sedikit tembus cahaya, terbuat

dari bahan porselen, dan berfungsi untuk melaminasi atau menutupi gigi yang mengalami kerusakan,

kelainan bentuk atau perubahan warna. Pada kasus diastema gigi 12 dan peg shape gigi 22, secara anatomis gigi terlihat lebih kecil dan akan terbentuk ruang atau diastema antar gigi. Pada kasus ini

dilakukan perawatan estetik porcelain laminate veneer untuk memperbaiki bentuk dan menutupi

diastema ini sehingga akan dicapai estetik yang lebih baik. Penatalaksanaan kasus yaitu wax up untuk melihat kesesuaian bentuk dan proporsi veneer yang telah didesain dengan digital smile design. Pasien

menyetujui untuk dilakukan crown lengthening untuk mendapatkan level gingival margin yang lebih

proporsional. Dibantu dengan diagnosis wax up dan smile designing yang direncanakan pada awal perawatan, pasien mendapatkan gambaran visual dari hasil perawatan yang diharapkan. Pasien merasa

puas dengan hasil perawatan. Kesimpulan yang dapat diambil yaitu porcelain laminate veneer

merupakan suatu alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penampilan estetik pada gigi

anterior agar pasien mendapatkan senyum yang lebih indah. Kata Kunci: Veneer, Porcelain Laminate Veneer, Estetik, Diastema, Peg Shape

Abstract

The needs of esthetic dentistry makes patients search for improvements of the appearance of anterior

teeth. One of the aesthetic treatments is porcelain laminate veneer which is a thin, slightly translucent

layer, made of porcelain material, and aims to laminate or cover teeth that have been damaged, deformed or discolored. In the case of tooth diastema 12 and peg shape 22, anatomically the teeth

appear smaller and space or diastema will form between the teeth. In this case, aesthetic treatment of

porcelain laminate veneer is aim to improve the shape and cover the diastema so a better aesthetic is achieved. Management of this case was wax up to confirm the shape and proportion of veneers that

have been designed with a digital smile design. Patient agreed to have a crown lengthening to get a

more proportional level of gingival margin. Assisted by the diagnosis of wax up and smile designing planned at the beginning of treatment, patients get a visual picture of treatment results. Patient

satisfied with the result. Conclusion: Porcelain laminate veneer is an alternative to improve the

aesthetic of anterior teeth so patients get a beautiful smile.

Keywords: Veneer, Porcelain Laminate Veneer, Aesthetic, Diastema, Peg Shape

Page 20: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 89-92

90

PENDAHULUAN Porcelain laminate veneer telah menjadi

salah satu perawatan yang popular selama

dekade terakhir.1 Veneer merupakan perawatan

yang bersifat kosmetik yang ditemukan pertama kali pada awal tahun 1937 untuk

alasan estetik.2 Dengan mengaplikasikan

lapisan tipis veneer pada permukaan fasial mampu meningkatkan penampilan pasien

secara visual.1,2

Porcelain laminate veneer secara umum digunakan untuk merestorasi gigi dengan defek

pada permukaan email, gigi yang diskolorasi

akibat fluorosis, tetrasiklin atau devitalisasi,

dan malformasi.1,2,3 Veneer juga diindikasikan untuk penutupan diastema, defek pada

permukaan gigi misalnya retakan pada email

akibat trauma, penuaan, hipoplasia email. Pada beberapa kasus koreksi misalignment.2,3,4

Beberapa kontraindikasi penggunaan

porcelain laminate veneer yaitu enamel displasia atau fluorosis, sisa email yang tidak

mencukupi akibat abrasi hebat, oklusi yang

tidak memungkinkan misalnya pada gigi

antagonis dengan maloklusi berat, atau gigi dengan oklusi edge to edge. Laminate veneer

juga tidak direkomendasikan pada pasien

dengan kebiasaan buruk, seperti bruksisme dan kebiasaan menggigit benda.1,3,4

Keuntungan utama dari teknik veneer ini

adalah mampu meningkatkan estetik dengan

maksimal, preparasi minimal, daya tahan panjang, integritas marginal, dan

biokompabilitas jaringan lunak. Sedangkan

kekurangan perawatan ini adalah harga yang relatif mahal, fragility pada saat try in dan

sementasi, waktu kunjungan lebih lama, dan

tidak dapat dilakukan sementasi sementara.1,2 Prinsip preparasi porcelain laminate

veneer adalah harus sekonservatif mungkin.

Preparasinya minimal dan terbatas pada

email.2,5,6 Preparasi email haruslah menyediakan ruangan yang cukup adekuat

untuk kontur porcelain veneer, menyediakan

path of insertion veneer, mempersiapkan permukaan email untuk proses etsa dan

sementasi, dan memfasilitasi penempatan

margin sulkular pada gigi.7,8,9 Minimal preparasi di bagian labial berkisar antara 0,3-

0,5 mm dan akhiran servikal berbentuk sedikit

chamfer dan berada pada level krista gingiva

atau sedikit subgingiva. Perluasan ke daerah proksimal kira-kira setengah daerah kontak

proksimal, untuk menambah efek melingkari

veneer dan menambah ketebalan veneer.3,5

Gambar 1. ABC perubahan sudut bur untuk

mendapatkan kedalaman yang sama. D pembuatan

takik di permukaan insisal dan F,E preparasi

permukaan insisal.3

Evaluasi ketebalan preparasi dapat

dilakukan dengan menggunakan diagnostic wax

up. Diagnostic wax up dicetak dengan silicon putty yang nantinya dapat digunakan sebagai

panduan preparasi agar dapat kontur gigi secara

visual.4,8,9,11

LAPORAN KASUS

Seorang pasien wanita berusia 25 tahun

datang ke Klinik Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

mengeluhkan gigi depannya yang terlihat kecil,

runcing, dan jarang. Pasien ingin dibuatkan veneer untuk memperbaiki bentuk dan estetik

gigi agar terlihat lebih baik. Dari pemeriksaan

klinis intraoral terlihat diastema pada gigi 12 dan peg shape pada gigi 22. Rencana perawatan

pasien direkomendasikan untuk pemasangan

veneer porcelain pada gigi 12 dan 22.

Gambar 2 . Gambaran Ekstra Oral Pasien

Gambar 3. Gambaran intraoral pasien

Kunjungan pertama dilakukan

pencetakan untuk mendapatkan model studi.

Dari model dan foto klinis dilakukan desain perawatan untuk mendapatkan hasil yang

estetik.

Page 21: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 89-92

91

Desain menunjukkan posisi margin gingival pada gigi insisivus lateralis kiri dan

kanan terlalu rendah sehingga diperlukan

prosedur crown lengthening untuk

mendapatkan proporsi zenith gingival yang lebih ideal. Desain dan rencana perawatan

dikomunikasikan dengan pasien, dan pasien

setuju untuk dilakukan crown lengthening pada gingival gigi insisivus lateralis kiri dan kanan.

Pada model dilakukan desain wax up dan

pasien dirujuk ke bagian periodonsia untuk dilakukan crown lengthening sesuai dengan

desain yang dibuat.

Gambar 4. A. Smile designing dengan Photoshop

dan B,C. Gingival Aesthetic Line.

Prosedur pembuatan veneer dapat dimulai setelah dilakukan crown lengthening.

Desain wax up pada model dicetak dengan

bahan putty sebagai silicon index dan dapat digunakan untuk pembuatan crown sementara.

Mock up untuk melihat kesesuaian bentuk dan

proporsi veneer telah didesain. Preparasi veneer pada temporary veneer yang di-mock up pada

pasien dan dilakukan pencetakan dengan

menggunakan PVS. Penentuan warna

dilakukan dengan shade guide untuk mendapatkan warna yang sesuai. Cetakan PVS

dikirim ke laboratorium untuk diproses.

Kunjungan berikutnya, veneer diinsersikan dengan menggunakan semen resin

dual cure. Setelah dilakukan try-in, permukaan

dalam veneer dietsa dengan asam hidrofluorida 5% dan selanjutnya diaplikasikan silane agent.

Sedangkan gigi preparasi dietsa dengan asam

fosfat 37% dan diaplikasikan bonding agent

pada permukaan gigi dan veneer. Veneer ditempatkan pada gigi preparasi dengan

tekanan ringan dan dipertahankan selama

polimerisasi dengan light-cured unit dengan waktu sesuai instruksi pabrik pada permukaan

labial, mesial, dan distal. Sisa semen yang

berlebih dibersihkan dan pasien diinstruksikan untuk prosedur oral hygiene. Pasien dikontrol

seminggu kemudian untuk mengetahui keluhan

pasien dan oral hygiene mulut.

Gambar 5. A. Sebelum Pemasangan Veneer B.

Setelah Pemasangan Veneer

PEMBAHASAN

Pasien menyetujui untuk dilakukan

crown lengthening untuk mendapatkan level gingival margin yang lebih proporsional pada

kasus ini. Dibantu dengan diagnosis wax up,

smile designing dan mock up yang direncanakan pada awal perawatan, pasien

mendapatkan gambaran visual dari hasil

perawatan yang diharapkan.5,6 Disini

ditekankan pentingnya diagnosis wax up. Salah satu poin yang signifikan dalam

kasus ini yaitu Gingival Aesthetic Line (GAL)

yang didefinisikan sebagai sudut yang terbentuk dari garis midline dengan garis yang

menghubungkan zenith gingival margin gigi

insisivus sentralis dengan gigi kaninus. Pada

kasus ini, prosedur crown lengthening dilakukan agar proporsi gingival pasien

menjadi klas 1 dimana sudut GAL berada

antara 450 dan 900 dan zenith insisivus lateral menyentuh atau berada di bawah GAL 1-2

mm.5

Gambar 6. Gingival Aesthetic Line (GAL) Klas 1.5

Prosedur preparasi veneer dapat

dilakukan 2-3 minggu setelah prosedur crown

lengthening agar penyembuhan jaringan lunak optimal.7,10 Prosedur kontrol plak dianjurkan

tiap 6 bulan untuk menjaga oral hygiene

pasien.7,10,11 Pembuatan veneer diindikasikan pada

kondisi gigi peg shape dan diastema.1,2,4 Pada

kasus gigi insisivus lateralis dengan peg shape,

ukuran gigi yang lebih kecil menyebabkan

Page 22: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 89-92

92

terbentuknya ruangan antar gigi anterior. Dalam hal ini, porcelain veneer merupakan

salah satu perawatan yang dapat dipilih untuk

memperbaiki bentuk gigi dan menutupi

ruangan yang terjadi. Prinsip dasar preparasi untuk kasus

veneer harus se-konservatif mungkin. Beberapa

penelitian menyarankan ketebalan preparasi labial untuk porcelain veneer tidak melebihi

0,5 mm. Prakteknya, ketebalan rata-rata

porcelain laminate veneer ini berkisar antara 0,4-0,7 mm yang hampir mendekati ketebalan

email gigi.2,6,8

Preparasi dilakukan dengan bur marker

sehingga terbentuk tiga takik sehingga preparasi dilakukan dengan mengacu pada titik-

titik tersebut. Hal ini dilakukan agar tidak

terjadi over preparasi sehingga ketebalan email tetap terpertahankan. Evaluasi dengan putty

silicon index juga dapat dilakukan untuk

menjaga ketebalan preparasi.8,9,10

Tepi dari veneer seharusnya terletak pada

daerah embrasure sehingga tidak terlihat, baik

dari depan atau lateral. Lain halnya jika

terdapat diastema, maka garis akhir preparasi terletak sejauh mungkin dari aspek lingual,

tidak boleh ada undercut, dan meluas dari

incisal edge sampai titik dekat papila gingiva.4,8

Preparasi di bagian proksimal harus

mempertimbangkan kontak interproksimal.

Beberapa faktor yang mempengaruhi perluasan

preparasi ke arah proksimal yaitu pada kasus yang membutuhkan modifikasi bentuk dan

lebar gigi, penutupan daerah diastema dan

modifikasi profil.8,9

Pasien dikontrol seminggu kemudian

untuk mengevaluasi kasus, dan pasien merasa

puas dengan hasil perawatan. Pertimbangan berbagai aspek estetik akan dicapai suatu hasil

perawatan yang sesuai dengan harapan

pasien.11

KESIMPULAN Porcelain laminate veneer merupakan

salah satu perawatan yang banyak diminati oleh karena estetiknya baik, dapat bertahan

lama, memiliki sifat mekanis yang baik jika

telah disemen, biokompatibel, serta pengurangan jaringan gigi yang minimal.

Selain itu, indikasi, pertimbangan preparasi dan

pelaksanaan prosedur tahapan klinis secara

adekuat dan direncanakan dengan tepat dapat mempengaruhi keberhasilan perawatan gigi

dengan porcelain laminate veneer.

DAFTAR PUSTAKA 1. Sajjad A, Bakar WZW, Mohamad D,

Kannan TP. Porcelain laminate veneers: A

conservative approach for pleasing

esthetics- An overview. J Appl Dent and Med Science 2017; 3(3): 7-14.

2. Gurel G. The Science and Art of Porcelain

Laminate Veneers. London: Quintessence Publishing Co. Ltd. 2003: 231-48.

3. Font AF, Ruiz FS, Ruiz MG, Rueda CL,

Gonzalez AM. Choice of ceramis for use in treatments with porcelain laminate

veneers. Med Oral Patol Oral Cir Buccal

2006;11: 297-302.

4. Greenwall L. Treatment options for peg-shaped laterals using direct composite

bonding. Internat Dent SA 2010; 12(1):

26-3. 5. Ahmad I. Protocols for Predictable

Aesthetic Dental Restoration. Oxford UK:

Blackwell Munksgaard.. 2006: 45-52. 6. Abuzenada BM, Alanazi AS, Al saydali

WM, El Marakby AM, Koshak HA,

Alharthi AA. Current classifications and

preparation techniques of dental ceramic laminate veneers (review article). Int J Adv

Res 2017; 5(12): 1973-9.

7. Passos L, Soares FP, Gallo M. Esthetic rehabilitation through crown lengthening

surgery and conservative CAD/CAM

veneers: A multidisciplinary case report.

Case Report in Dent 2016. 2016; 1-7. 8. Neto AF, Medeiros CD, Vilanova L,

Chaves MS, Araujo JJFB. Tooth

preparation for ceramic veneers: when less is more. Int J Esthet Dent 2019; 14(2):

156-64.

9. Veneziani M. Ceramic laminate veneers: Clinical procedures with a

multidisciplinary approach. Int J Esthet

Dent 2017; 12(4): 2-24.

10. Montenegro G, Tine JPNP, Silva WO, Pinto T. Aesthethic rehabilitation with

ceramic laminate by the system

CAD/CAM- A case report. Adv Dent & Oral Health 2018; 9(4): 123-8.

11. Alhazzani EA, Aldakheel MD, Aldossary

MS. Smile design and porcelain laminate veneers: Clinical aspects and

considerations. Int J Oral Health Dent

2017; 3(4): 206-9.

Page 23: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 93-98

93

KETERKAITAN LESI ENDO-PERIO

(Tinjauan Pustaka)

THE ENDO-PERIO CONTINUUM

(Literature Review)

Nuzulul Ismi1, Agus Susanto

2

1Departemen Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Syiah Kuala 2Departemen Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Padjajaran

Corresponding Author: [email protected]

Abstrak

Kasus lesi endo-perio merupakan kasus yang sering ditemui dalam praktek kedokteran gigi.

Hubungan antara penyakit pulpa dan periodontal (lesi endo-perio) pertama kali dikemukakan oleh Simring dan Goldberg pada tahun 1964. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan

tentang hubungan lesi endo-perio dan penatalaksanaannya. Lesi endo-perio disebabkan oleh adanya

inflamasi pada area pulpa dan jaringan periodontal secara bersamaan pada satu gigi. Keterkaitan pulpa dan jaringan periodonsium melalui jalur anatomi dan non-fisiologis. Jalur secara anatomis melalui

foramen apikal, kanal lateral dan tubulus dentin, sedangkan jalur non-fisiologis seperti perforasi

iatrogenik, trauma, fraktur gigi vertikal, perawatan periodontal yang tidak adekuat, dan lainnya. Perawatan lesi endo-perio bertujuan menghilangkan inflamasi pada area pulpa dan jaringan

periodontal. Pemeriksaan secara komprehensif diperlukan, meliputi pemeriksaan klinis dan radiograf

yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosis melalui tanda dan gejala klinis serta

mengklasifikasikan lesi endo-perio sehingga perawatan yang tepat dapat dilakukan. Pemeriksaan tanda dan gejala klinis dalam menentukan diagnosa lesi endo-perio penting dilakukan untuk

menentukan perawatan yang tepat.

Kata Kunci: Diagnosis, Etiologi, Klasifikasi, Lesi Endo-Perio

Abstract

Endo-perio lesion is a commonly occurred case in denstistry. The connection between pulp and periodontal disease was firstly described by Simring and Goldberg in 1964. This article aims to

explain the relationship between endo – perio lesion and its treatment. Endo-perio lesions are caused

by inflammation of the pulp area and the periodontal tissues that occur simultaneously on a tooth. Pulp and periodontal tissue are related through from anatomy and non-physiological pathways. The

anatomical pathways are foramen apical, canal lateral and tubulus dentin, while the non-physiological

are iatrogenic perforation, trauma, vertical fracture of the teeth, inadequate periodontal treatments, and others. Comprehensive examination including clinical examinations and radiographs are required

in order to make an accurate diagnosis through clinical signs and symptoms and classifying endo-

perio lesions so that appropriate treatment can be performed. Examination of clinical signs and

symptoms in determining the diagnosis of endo-perio lesions is performed to determine the proper treatment selection.

Keywords: Diagnosis, Etiology, Classification, Endo-Perio Lesion

Page 24: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 93-98

94

PENDAHULUAN Keterkaitan pulpa dan jaringan

periodonsium dimulai dari tahap perkembangan

embrio gigi, dental folikel menjadi tanda dari

adanya jaringan periodonsium yang memiliki hubungan dengan papilla gigi yang menjadi

asal dari jaringan pulpa. Keduanya dipisahkan

oleh epitel Hertwig. Dengan demikian pulpa dan jaringan periodonsium memiliki hubungan

embrio, fungsional dan anatomi.1-4 Hubungan

antara lesi endodontik dan periodontal pertama kali dikemukakan oleh Simring dan Goldberg

pada tahun 1964 yang dikenal istilah lesi endo-

perio.3,4

Jaringan periodonsium dan pulpa gigi secara anatomi berhubungan melalui foramen

apikal dan lateral, yang memungkinkan

masuknya patogen antara kedua anatomi yang berbeda ini.2,4 Meski ada banyak faktor yang

berkontribusi terhadap perkembangan lesi

endo- perio, penyebab utama keduanya adalah adanya infeksi bakteri dengan flora mikroba

kompleks. Obligat anaerob yang mendominasi

area ini adalah Streptococcus,

Peptostreptococcus, Eubacterium, Bacteroides dan Fusobacterium.2,5

Lesi endo-perio ditandai dengan adanya

keterlibatan penyakit pulpa dan periodontal pada gigi yang sama. Sangat penting untuk

mengenali keterkaitan keduanya yang

menunjang keberhasilan perawatan akhir dari

lesi ini.2,6 Jalur penyebaran infeksi masih kontroversi karena adanya pengaruh seperti

anatomi (foramen apikal, aksesori, kanal lateral

dan kanal sekunder, tubulus dentin), patologi dan iatrogenik.2,5 Identifikasi dan eliminasi

etiopatogenesis primer dari kondisi yang ada

adalah kunci utama untuk keberhasilan perawatan.1,8

TINJAUAN PUSTAKA

Infeksi persisten jaringan pulpa menyebabkan infeksi sekunder dan kerusakan

jaringan periodonsium. Sebaliknya, penyakit

periodontal kronis dapat menginisiasi atau menyebabkan eksaserbasi inflamasi di jaringan

pulpa. Hubungan antara infeksi pulpa dan

periodonsium dimediasi dengan adanya hubunganantara kedua struktur anatomi ini.

Jalur komunikasi utama adalah foramen apikal.

Pulpitis berlanjut menyebabkan nekrosis pulpa

yang seringkali diiringi resorpsi tulang pada apeks, seperti yang terdapat pada kasus

periodontitis apikal atau abses apikal. Kasus

seperti ini disebut periodontitis retrograde

karena pada gambaran klinisnya terdapat kerusakan jaringan periodontal dari apikal ke

arah servikal. Kasus ini merupakan kebalikan

dari periodontitis orthograde yang disebabkan

adanya infeksi sulkular yang berkelanjutan.7,8

Masuknya bakteri dan produk-produknya

ke dalam pulpa dan jaringan periodonsium

dibagi kedalam beberapa jalur yaitu:3,5,9,10

1. Jalur anatomi, meliputi pembuluh darah

seperti foramen apikal, kanal aksesori/lateral

dan tubulus dentin. Foramen apikal adalah jalur langsung antara periodonsium dan

pulpa. Penyakit periodontal telah terbukti

memberi efek destruksi pada jaringan pulpa

jika plak bakteri melibatkan foramen apikal yang mempengaruhi suplai pembuluh darah.

Iritan dari penyakit pulpa dapat menginvasi

melalui foramen apikal yang mengakibatkan patosis area periapikal.1,7,10 Kanal aksesori

merupakan jalur potensial dalam

penyebaran mikroorganisme dan produk toksiknya, serta iritasi lainnya dari pulpa ke

ligamen periodontal ataupun sebaliknya

yang mengakibatkan proses inflamasi pada

jaringan yang terlibat.2,9 Tubulus dentin merupakan jalur masuknya mikroorganisme

antara pulpa dan jaringan periodontal saat

lapisan sementum terbuka. Hal ini disebabkan oleh berbagai defek

perkembangan seperti inkomplit sementum

dan enamel pada cemento-enamel junction

(CEJ), penyakit atau prosedur bedah yang melibatkan permukaan akar seperti skeling

dan root planning yang kurang tepat.2,8,9

2. Jalur nonfisiologi meliputi perforasi saluran akar secara iatrogenik, fraktur akar vertikal,

trauma, kehilangan sementum karena iritan

ekternal, resorpsi internal dan ekternal, dan lain-lain.3,5,7,9

Gambar 1. Jalur Anatomi Lesi Endo-Perio Melalui Foramen Apikal, Kanal Aksesori, dan Tubulus

Dentin9

Penyakit pulpa diinisiasi oleh berbagai faktor eksternal seperti mikroorganisme,

trauma, panas yang berlebihan, prosedur

restorasi, agen restorasi, dan lain-lain. Hal

Page 25: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 93-98

95

tersebut menyebabkan perubahan inflamasi pada pulpa, yang dimulai dari pulpitis

reversibel atau ireversibel yang berkembang

menjadi nekrosis pulpa dan berlanjut

mengalami kerusakan pada jaringan periodonsium. Karies adalah penyebab utama

penyakit pulpa. Infeksi pulpa merupakan

polimikrobial dan seringkali diawali oleh karies yang menyebabkan pulpitis atau inflamasi

pulpa terlokalisir.2,8,9

Ketika pulpa menjadi nekrosis akan menyebabkan respon inflamasi pada jaringan

periodonsium sehingga mempengaruhi serabut

fiber jaringan periodontal, resorbsi tulang

alveolar dan sementum.5 Sebaliknya keadaan inflamasi pada jaringan periodontal dapat

mengakibatkan nekrosis pulpa bila bakteri plak

dapat mencapai foramen apikal hingga menganggu suplai darah ke pulpa.8

Diagnosis Lesi Endodontik-Periodontik Infeksi akut pulpa dan periodonsium

harus dibedakan satu sama lain agar klinisi bisa

menegakkan diagnosis yang tepat dan memulai

perawatan yang sesuai. Pemahaman menyeluruh mengenai proses penyakit dan

interpretasi temuan klinis serta radiografis yang

benar akan membantu dokter gigi menegakkan diagnosis. Lesi periodontal dan pulpa sulit

dibedakan secara akurat. Bila lesi berawal dari

infeksi pulpa dan dirawat secara ekstensif

dengan perawatan periodontal, lesi ini tidak akan sembuh. Sebaliknya, melakukan

perawatan endodontik pada gigi vital yang

mengalami kerusakan periodontal hanya akan menyebabkan persistensi infeksi.4,5,9

Pasien yang menderita fase akut dari

infeksi pulpa akan mengalami gejala yang biasanya tidak ada pada infeksi periodontal

kronis. Selama tahap inisial pulpitis, pasien

mungkin mengeluhkan nyeri dan sensitivitas

yang diperparah oleh adanya stimuli tertentu, seperti perubahan suhu, tekanan, dan/atau saat

menggigit.9

Bila gejala berasal dari pulpitis reversibel, gejala akan hilang dengan

sendirinya karena adanya berbagai mekanisme

seperti penutupan tubulus dentin, hilangnya toksin dan iritan mikrobial, dan pembentukan

dentin reparatif. Inflamasi persisten mengarah

ke pulpitis ireversibel simtomatik, yang

biasanya dihubungkan dengan nyeri tajam dan spontan. Penegakan diagnosis infeksi pulpa

primer harus didasarkan pada berbagai temuan

objektif, seperti respon pasien terhadap perkusi,

palpasi, probing periodontal, dan tes vitalitas ditambah dengan evaluasi menyeluruh seluruh

gejala subjektif pasien.3,4,8

Supurasi dan drainase abses periradikuler

dan periodontal juga tampak berbeda. Abses periodontal dihubungkan dengan kerusakan

jaringan periodontal yang parah.9,11

Infeksi periodontal tanpa keterlibatan pulpa biasanya memiliki struktur mahkota yang

utuh dan tanpa kerusakan. Sebaliknya, infeksi

endodontik hampir selalu dihubungkan dengan kehilangan integritas mahkota seperti karies,

restorasi luas, dan adanya fraktur hingga ke

pulpa. Hal ini tidak berarti bahwa infeksi

periodontal tidak pernah mengalami hal yang sama. Contohnya saat jaringan pulpa cedera

karena trauma, klinisi biasanya akan

menemukan pulpa nekrotik walaupun tidak ada kerusakan mahkota. Bila hal ini dibiarkan, lesi

yang berawal dari infeksi pulpa ini akan

menyebabkan kerusakan periodonsium, seperti pada periodontitis apikal asimtomatik atau

abses apikal.4,7.9

Gambaran radiografis meliputi keadaan

mahkota, tinggi dan bentuk tulang krestal, radiolusensi apikal atau lateral, trabekulasi

tulang, integritas lamina dura, dan evaluasi

hasil obturasi saluran akar bila ada. Status mahkota seperti yang ditunjukkan oleh

radiograf dapat membantu memberikan

diagnosis diferensial.5,9

Lesi apikal yang berasal dari infeksi pulpa akan mengarah ke periodontitis

retrograde yang berinvasi dari apeks ke

servikal. Infeksi periodontal akan menyebabkan hilangnya tulang krestal dari servikal ke apikal.

Lesi radiograf pada gigi yang telah dirawat

endodontik akan tampak berbeda dengan gigi yang memiliki lesi periodontal.5,13

Radiolusen apikal menunjukkan penyakit

pulpa primer.Kehilangan tulang terbatas pada

area korona bagian sepertiga gigi dihubungkan dengan penyakit periodontal primer. Guttaperca

dapat digunakan sebagai alat bantu jika adanya

gambaran klinis sinus tract, hal ini membantu dalam menentukan asal lesi saat dilakukannya

pemeriksaan radiografis.9,10,14

Page 26: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 93-98

96

Gambar 2. Skema perbedaan Lesi Endo-Perio dari

Gambaran Radiografis5,17

Vitalitas

Uji vitalitas gigi seringkali menjadi uji

paling penting karna dapat membedakan infeksi periodontal dengan endodontik. Gigi dengan

infeksi periodontal biasanya vital saat uji

termal, kecuali kondisi akut ini merupakan lesi kombinasi dimana kedua jaringan, pulpa dan

periodontal telah terinfeksi. Uji termal

merupakan cara yang paling dapat diandalkan

untuk menentukan sehat atau tidaknya pulpa.4,8 Pasien dengan pulpitis ireversibel simtomatik

sering mengeluhkan nyeri yang bertahan bila

diberi stimulus termal. Pada tahap berikutnya, panas akan memperparah gejala, lebih daripada

dingin, dan aplikasi dingin dapat

menghilangkan nyeri sesaat.9,10,12

Tanda klinis dan gejala nyeri akan

membantu untuk membedakan antara lesi

endodontik dan periodontal yaitu:5,12

1. Nyeri pulpa biasanya tajam sedangkan lesi periodontal yang menyebabkan abses

periodontal bisa menghasilkan rasa nyeri

yang tumpul dan terasa lebih nyeri saat area abses terisi pus penuh.

2. Lesi pulpa mungkin sulit dilokalisasi saat

gejala dimulai. Lesi periodontal biasanya mudah dilokalisasi.

3. Lesi pulpa biasanya memiliki sinus tract

melalui pembentukan fistula hingga ke

mukosa alveolar atau gingiva, sedangkan abses periodontal sinus tract melalui

poket.

Probing Kedalaman Poket

Adanya poket yang dalam saat tidak

adanya penyakit periodontal dapat

mengindikasikan adanya lesi endodontik atau

fraktur akar vertikal.5,7 Pemeriksaan kedalaman poket membantu dalam membedakan antara

lesi endodontik dan periodontal. Ini juga bisa

digunakan untuk melihat asal sinus yang dihasilkan dari lesi periapikal yang meluas ke

servikal hingga ke ligamen periodontal. Pada

lesi periodontal terjadi defek pada tulang alveolar dan terdapat kalkulus subgingival.4,11,12

Kegoyangan gigi Bila adanya kegoyangan di sekitar satu

gigi terlokalisir, sumbernya bisa dari

endodontik, periodontal, atau oklusal. Pada

tahapan akut lesi endodontik, kegoyangan melibatkan gigi tunggal. Kegoyangan secara

generalisata, melibatkan banyak gigi

menunjukkan berasal dari periodontal atau oklusal.5,12

Perkusi dan Palpasi Hasil perkusi dan tes palpasi biasanya

negatif pada pasien dengan masalah

periodontal. Saat abses periodontal ada, secara

klinis ini mungkin positif meskipun tes lainnya mengindikasikan pulpa dalam keadaan vital.

Gigi dengan masalah endodontik biasanya pasti

menghasilkan nyeri tekan dan nyeri pada

perkusi serta palpasi.5,9,10

Klasifikasi Lesi Endodontik-Periodontik Klinisi harus mengevaluasi gejala pasien;

temuan klinis dan radiografis, ada tidaknya

serta lokasi pembengkakan (drainase). Berbagai

variabel ini dapat dipahami mengapa kesalahan seringkali terjadi saat menentukan suatu lesi itu

endodontik, periodontal atau lesi kombinasi.16-

18

Secara umum lesi endodontik dan periodontal dapat diklasifikasikan menjadi :9

1. Lesi Endodontik Primer

Dikarateristikkan dengan pulpa nekrotik serta keterlibatan area apikal secara kronis.

Kemungkinan tidak terjadi keterlibatan

periodontal, gambaran radiograf tidak adanya kehilangan tulang krestal.13

Kehilangan tulang

Lokal: menentukan pulpa

vital/tidak General: menentukan pulpa

vital/tidak

Vital traumatik oklusi

(kerusakan periodontal)

dengan kerusakan tulang

vertikal

Non Vital adanya

kalkulus, plak dan BOP

(jika tidak: lesi

endodontik, jika ya

:kombinasi lesi endo-

perio)

Non vitalkombinasi

lesi endo-perio

Vital penyakit

periodontal dengan

kerusakan angular

Page 27: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 93-98

97

Gambar 3. Karies Pada Mahkota Gigi 36 Sampai

Radiolusensi Area Furkasi dan Apikal Dan Post

Perawatan Endodontik Pada Gigi 3611

2. Lesi Periodontal Primer

Poket periodontal yang meluas hingga ke

apeks gigi.Perluasan infeksi dari poket ke pulpa terjadi pada kasus ini, tetapi kondisi pulpa tidak

nekrosis. Tanpa atau adanya nyeri yang

minimal dari si pasien.3

Gambar 4. Peningkatan Kedalaman Poket

Periodontal pada Pemeriksaan Klinis dan

Radiograf.3

3. Lesi Endodontik Primer dengan Keterlibatan Periodontal Sekunder

Jika lesi endo primer tidak didiagnosis

dan dirawat lebih awal, masalah periodontal dapat terjadi dikarenakan akumulasi plak dan

kalkulus pada saluran drainase sehingga

menjadi lesi sekunder pada area jaringan

periodontal. Radiograf dengan gambaran kehilangan tulang dapat terjadi pada lesi ini.

Gambar 5.a. Kunjungan pertama adanya lesi endo

primer dengan keterlibatan furkasi (jar.Periodontal) pada pemeriksaan radiograf. b-c. Kontrol 3 bulan

perawatan endo dengan lesi furkasi dari

pemeriksaan radiograf dan klinis. d. Perawatan

periodontal menggunakan aplikasi bone graft. e.

kontrol 2 tahun post perawatan periodontal terjadi

penyembuhan11

4. Lesi Periodontal Primer dengan Keterlibatan Endodontik Sekunder

Lesi ini sering disebut retro-infeksi

pulpa, ketika lesi periodontal meluas ke area

apeks atau mengikuti kanal lateral. Lesi periodontal mungkin melibatkan pulpa nekrosis

dan pasien merasakan nyeri hebat. Pulpa

nekrosis bisa sebagai hasil dari terapi periodontal yang mana pembuluh darah ke

pulpa terputus selama penggunaan instrumen

periodontal.

Gambar 6. Gambaran radiograf awal gigi 37, setelah

obturasi dan saat kontrol 1tahun yang menunjukkan

penyembuhan pada area lesi11

5. Lesi Kombinasi

Lesi terbentuk ketika pulpa dan periodontitis bergabung atau bebas. Lesi ini

biasanya dari periodontal, gigi dengan fraktur

akar vertikal juga termasuk dalam katagori lesi

ini.5,9. Lesi ini dapat terjadi ketika lesi endodontik meluas dari arah korona bergabung

dengan lesi periodontal yang sudah ada

berkembang di area apikal.

Pertimbangan Rencana Perawatan Lesi

Endo-Perio Diagnosis akurat merupakan determinan

yang sangat penting dalam penatalaksanaan lesi

endo-perio karena akan menentukan hasil

perawatan. Faktor pertimbangan utama adalah vitalitas pulpa dan tipe perluasan dari

kerusakan jaringan periodontal.5,9,14,18

Penggunaan antibiotik sistemik diindikasikan bila pasien mengalami

peningkatan temperatur, selulitis, penyakit

sistemik dan immunocompromised.2 Prosedur manajemen abses apikal akut, abses harus

diinsisi dan drainase.5,12,19

Pembersihan jaringan pulpa yang

terinfeksi miokroorganisme di dalam saluran akar dilanjutkan dengan aplikasi kalsium

hidroksida pada setiap salurannya. Kalsium

Page 28: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 93-98

98

hidroksida terbukti sebagai medikamen intrakanal yang tepat karena stabilitas dan efek

bakterisid.9,15Sedangkan pada kasus dengan

kehilangan struktur jaringan periodontal yang

luas dapat dilakukannya terapi lanjutan yaitu terapi bedah periodontal regenerasi jika

diperlukan seperti penggunaan guide tissue

regeneration (GTR) dengan kombinasi menggunakan bone graft.4,11,19,20

KESIMPULAN Berdasarkan klasifikasi lesi endo-perio,

dapat disimpulkan bahwa sangat penting dokter

gigi mengetahui bagaimana membedakan

antara etiologi lesi endo-perio, termasuk semua jalur yang menghubungkan antara pulpa dan

jaringan periodonsium yang bertindak sebagai

"jembatan" untuk mikroorganisme, sehingga memungkinkan penyebaran infeksi dari satu

area ke area lainnya. Lesi endo-perio memiliki

patogenesis kompleks dan kebutuhan keterampilan yang baik dalam mengidentifikasi

serta melakukan perawatan melalui

pemeriksaan klinis dan radiografis. Karenanya,

kerjasama antara berbagai disiplin ilmu yang mencakup periodontis dan endodontis sangat

direkomendasikan untuk perawatan lesi secara

kompherensif. Perawatan lengkap dari kedua aspek lesi perio-endo sangat penting untuk

keberhasilan hasil jangka panjang.

DAFTAR PUSTAKA 1. Maheaswari R, Selvam A, Rekha MJ,

Mahalakshmi A, Jaishreetk. A Guide To

Management Of Various Endodontic Periodontal Lesions- A Case Series. Int J

Cur Res Rev. 2015; 7(20): 22–9.

2. Khan RN, Kumar A, Chadgal S, Jan SM. Endo-PerioInterrelationship-An Overview.

Int J Inf Res Rev. 2017; 4(3): 3895–8

3. George PM, Ramamurthy J. Endo Perio

Lesion- A Case Report. J Med Biomed Appl Sci. 2017; 5(2): 108–10.

4. Srivastava1S, Karandikar S,Pillaiak,

Karandikars, Moghe S , Singh S. Pulp Or Periodontium?Diagnosis and Management

of Endo-Perio Lesion. IOSR J Dent Med

Sci . 2014; 13(10): 90–3. 5. Parolia A, Porto ICM, Gait T, Mala K.

Endo-Perio Lesion: A Dilemma From 19th

Until 21st Century. J Interdiscip Dent.

2013; 3(1): 2-9. 6. Shah K, Vimala N, Naykodi T,

Dharmadikari S, Padhye L. Endo - Perio

Restorative Continuum - A Case Report.

Int J Oral Heath Dent. 2016; 46(46): 265–7.

7. Al-Fouzan KS. A New Classification Of

Endodontic-Periodontal Lesions. Int J

Dent. 2014; 1-5. 8. Louisa M, Yuniarti S. Lesi Endoperio.

Makkasar Dent J. 2015; 4(3): 83–91.

9. Saha PH, Chakraborty A, Saha S. Endodontic-Periodontal Lesion: A Two

Way Traffics. Int J App Dent Sci. 2018;

4(4): 223-228. 10. Anand V, Govila V, Gulati M. Endo-Perio

Lesion: Part I (The Pathogenesis) – A

Review.Arch Of Dent Sci. 2012; 3(1): 3-7.

11. Aksel H, Serper A. A Case Series Associated With Different Kinds Of Endo-

Perio Lesions. J Clin Exp Dent. 2014;

6(1): 1–5. 12. Sistla KP, Raghava KV, Narayan SJ,

Yadalam U, Bose A, et al. Review

ArticleEndo-Perio Continuum: A Review From Cause To Cure. J Adv Clinical

Research Insight. 2018; 5: 188-191.

13. A S, Khawar S, N S, SM A, Bhat D. Endo-

perio lesion: A case report. Int J Appl Dent Sci. 2017; 3(3): 113–6.

14. Medika CA, Sitam S, Epsilawati L.

Analisis .Lesi Endo-Perio di Periapikal Melalui Radiografi. J Rad

Dentomaksilofasial Ind. 2019; 3(2): 27-30.

15. Somanath G, George G, Sinha JN, Gautam

V. Interdisciplinary Approach in Treatment of Endodontic- Periodontal

Lesion : A Case Report. J Univers Coll

Med Sci. 2013; 1(3): 3–6. 16. Nanavati B, Bhavsar N V, Mali J. Endo

periodontal lesion – A case report. J Adv

Oral Res. 2013; 4(1): 23–6. 17. Sirgamalla1 V, Sagar V, Rajababu P,

Reddy V. Endo-Perio Lesion: A Case

Report. Int. J. Clin. Biomed. Res. 2018;

4(2): 89-92. 18. Alfawaz Y. Management of an

Endodontic-periodontal Lesion caused by

Iatrogenic Restoration: Case Report. World J Dent. 2017; 8(3): 1–8.

19. Arora A, Goyal V, Sharma V, Gupta M,

Mehta V. Fundamental In Treatment Of Endo-Perio Lesion-A Riview. Int J Dent

Clin. 2012; 4(1): 45–6.

20. Agarwal R, Singh V, Kambalyal P, Jain K.

Case Report Management of Endo-Perio Lesion with Regenerative Procedure- A

Case Report. Int J Oral Health Med Res.

2016; 3(1): 119–21.

Page 29: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 99-103

99

PERSEPSI TENTANG FUNGSI ESTETIK DAN MASTIKASI

GIGI TIRUAN LENGKAP TERHADAP LANJUT USIA

THE PERCEPTION OF ESTHETIC AND MASTICATION FUNCTIONS

OF COMPLETE DENTURE IN ELDERLY

Niko Falatehan, Jihan Fahira

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Corresponding Author: [email protected]

Abstrak

Salah satu masalah dalam rongga mulut yang banyak dialami oleh populasi lansia adalah kehilangan gigi

secara keseluruhan, untuk mengatasi hal tersebut pasien bisa melakukan perawatan prostodontik berupa

gigi tiruan lengkap. Persepsi lansia dalam penggunaan GTL penting diketahui guna mengevaluasi kelebihan dan kekurangan GTL yang digunakan, terutama dari segi estetik dan mastikasi. Penelitian ini

bertujuan untuk mengidentifikasi persepsi lansia terhadap fungsi estetik dan mastikasi GTL, dimana

merupakan observasional deskriptif dengan desain cross-sectional dari 30 orang lansia di Panti Werdha Tresna Wisma Mulia, Jelambar, Jakarta Barat. Persepsi lansia terhadap fungsi estetik dan mastikasi GTL

diukur dengan instrumen OHIP-14 (Oral Health Impact Profile-14). Analisis data dengan program SPSS

versi 22.0 menunjukkan secara umum keseluruhan sampel memiliki persepsi sedang terhadap fungsi estetik dan mastikasi GTL. Berdasarkan pengelompokkan jenis kelamin diperoleh kelompok lansia pria

dengan kategori sedang memiliki persepsi mengenai fungsi mastikasi terhadap GTL. yaitu sebesar 84,

6% dan kelompok lansia wanita dengan kategori baik memiliki persepsi mengenai fungsi estetik

terhadap GTL yaitu sebesar 58, 8%. Pria lebih mementingkan fungsi mastikasi pada penggunaan GTL, sedangkan wanita lebih mementingkan fungsi estetik pada penggunaan GTL.

Kata Kunci: Lansia, Estetik, Mastikasi, Gigi Tiruan Lengkap

Abstract

Complete tooth loss is a common dental and oral health problems suffered by elderly. Prosthodontic

treatment such as complete denture may overcome those problems. The advantages and disadvantages of complete denture can be evaluating through perception of elderly, especially in terms of esthetics and

mastication. This study aims at identifying perception of elderly in esthetic and mastication functions of

complete denture, an observational descriptive cross-sectional study conducted on 30 elderlies at Panti Werdha Tresna Wisma Mulia, Jelambar, West Jakarta. OHIP-14 measures the perception of elderly in

esthetic and mastication functions of complete denture. Data analysis using SPSS version 22.0 showed

that overall sample has moderate perception of esthetic and mastication functions of complete denture. Based on gender, the men group with moderate category have perception about the mastication function

of complete denture that is equal to 84, 6%, while women group with good category have perception

about esthetics function of complete denture that is equal to 58,8%. Men are more concerned with

the mastication function, while women are more concerned with esthetic function in the use of complete denture.

Keywords: Elderly, Esthetics, Mastication, Complete Denture

Page 30: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 99-103

100

PENDAHULUAN Lansia adalah tahap terakhir dari suatu

pertumbuhan dan perkembangan seseorang.

Saat proses penuaan ini, terjadi beberapa

masalah yang dapat dialami lansia, salah satunya dalam rongga mulut. Dalam

memelihara dan mencegah terjadinya hal

tersebut dibutuhkan suatu kegiatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut.1 Dalam menerima

suatu pelayanan kesehatan gigi, setiap orang

memiliki persepsi dan hal ini memiliki peranan yang penting. Persepsi merupakan hal yang

penting dalam memperoleh suatu keberhasilan

dalam perawatan kesehatan gigi tersebut.2

Pada tahun 2019, penduduk lansia di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik

mencapai 9,6% atau sekitar 25,6 juta penduduk

Indonesia. Setiap tahunnya jumlah penduduk lansia diproyeksikan akan semakin bertambah,

dan diperkirakan pada tahun 2035 mencapai

48,2 juta orang.3 Dengan adanya peningkatan jumlah lansia, permasalahan kesehatan yang

dialami lansia juga akan meningkat.4

Kehilangan gigi seluruhnya adalah salah

satu masalah dalam kesehatan gigi dan mulut yang sering dijumpai pada lansia. Angka

prevalensi kehilangan gigi pada usia kelompok

55-64 adalah 29% dan akan semakin meningkat menjadi 30,6% pada usia di atas 65 tahun.5 Gigi

tiruan lengkap (GTL) merupakan restorasi yang

digunakan untuk menggantikan seluruh gigi

dan jaringan di sekitarnya. Gigi tiruan lengkap berfungsi untuk merehabilitasi seluruh gigi

yang hilang dan jaringannya sehingga dapat

memperbaiki atau mengembalikan fungsi estetik, mastikasi dan fonetik. Pasien

melakukan perawatan prostodontik karena dua

alasan utama, yaitu untuk memperbaiki estetik dan meningkatkan fungsi

mastikasi.6,7

Setiap individu memiliki pemahaman

dan penilaian yang berbeda, hal ini akan

mempengaruhi persepsi dari masing-masing individu mengenai fungsi estetik dan mastikasi

penggunaan gigi tiruan lengkap.8 Persepsi

masyarakat dalam penggunaan gigi tiruan lengkap adalah hal yang penting untuk

dipahami guna mengetahui kelebihan dan

kekurangan gigi tiruan lengkap yang digunakan, sehingga bisa dibuat sebagai bahan

evaluasi di masa mendatang. Penulis tertarik

untuk melakukan penelitian mengenai persepsi

tentang fungsi estetik dan mastikasi gigi tiruan lengkap terhadap lanjut usia.

BAHAN DAN METODE Jenis penelitian adalah observasional

deskriptif dengan rancangan penelitian cross-

sectional, yang dilakukan di Panti Werdha

Tresna Wisma Mulia, Jelambar, Jakarta Barat. Penelitian dilakukan pada bulan September

2019. Subjek yang diteliti adalah lansia yang

kehilangan gigi seluruhnya pada Panti Werdha Wisma Mulia, Jelambar, Jakarta Barat. Subjek

yang diteliti adalah lansia di atas 60 tahun yang

kehilangan gigi seluruhnya dan menggunakan GTL. Pengambilan subjek dengan desain cross

sectional menggunakan rumus Lemeshow

sebesar 30 subjek.

Kriteria inklusi adalah lansia berusia 60 tahun ke atas yang menggunakan GTL akrilik,

lansia yang bersedia menandatangani informed

consent, keadaan sistemik yang terkontrol dan GTL memiliki retensi yang cukup baik. Kriteria

eksklusi adalah tidak berada di tempat saat

penelitian, dan keadaan sistemik yang buruk. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan

persepsi mengenai fungsi estetik dan mastikasi

GTL terhadap lansia yang diukur menggunakan

kuesioner OHIP-14 (Oral Health Impact Profile-14) dengan 10 pertanyaan melalui

metode wawancara, yang terdiri dari 5

pertanyaan mengenai fungsi estetik GTL dan 5 pertanyaan mengenai fungsi mastikasi GTL.

Hasil data yang diperoleh dari jawaban

pertanyaan penelitian ini kemudian dianalisis

menggunakan SPSS windows versi 22.0 dan dengan uji statistik deskriptif. Penelitian yang

dilakukan telah mendapatkan izin dari Komisi

Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti.

HASIL Berdasarkan total sampel, 30 subjek

yang sudah diwawancarai berdasarkan jenis

kelamin terdiri dari 13 laki-laki dan 17

perempuan. Nilai terendah dari 5 pertanyaan pada masing-masing kelompok adalah 5 dan

nilai tertinggi adalah 25, maka apabila dibagi

menjadi 3 kategori yaitu tingkat persepsi lansia baik (nilai 19-25), sedang (12-18) dan buruk

(5-11). Berikut hasil penelitian berdasarkan

persepsi lanjut usia terhadap fungsi estetik dan mastikasi gigi tiruan lengkap di Panti Werdha

Tresna Wisma Mulia, Jelambar, Jakarta Barat.

Page 31: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 99-103

101

Tabel 1. Gambaran populasi lansia pengguna

GTL menurut jenis kelamin.

Jenis

Kelamin Jumlah Persentase

Laki-laki 13 43%

Perempuan 17 57%

Berdasarkan Tabel 1, menunjukan jumlah pasien perempuan pengguna gigi tiruan

lengkap lebih banyak dibandingkan jumlah

pasien laki-laki di Panti Werdha Tresna Wisma Mulia, Jelambar, Jakarta Barat.

Tabel 2. Gambaran Populasi Lansia Pengguna

GTL Menurut Usia (WHO)

Usia Jumlah Persentase

45–59 tahun

(middle age)

- 0%

60–74 tahun (elderly)

24 80%

75–90 tahun

(old)

6 20%

90 tahun ke atas (very old)

- 0%

Berdasarkan pengelompokkan usia pada

Tabel 2 terlihat bahwa kelompok usia 60–74 tahun (elderly) lebih banyak dibandingkan

kelompok usia 75–90 tahun (old) di Panti

Werdha tersebut.

Tabel 3. Distribusi frekuensi persepsi

tentang fungsi estetik dan mastikasi GTL terhadap keseluruhan sampel.

Tabel 3 menunjukkan bahwa secara umum

keseluruhan sampel memiliki persepsi sedang

terhadap fungsi estetik dan mastikasi gigi tiruan lengkap.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Persepsi Tentang

Fungsi Estetik dan Mastikasi GTL Terhadap Sampel

Lansia Pria.

Variabel

Jenis Kelamin

Pria

n %

Fungsi Mastikasi

Baik 1 7,7%

Sedang 11 84,6% Buruk 1 7,7%

Fungsi Estetik

Baik 1 7,7%

Sedang 10 76,9% Buruk 2 15,4%

Berdasarkan hasil pada Tabel 4, kelompok lansia pria dengan kategori sedang

memiliki persepsi mengenai fungsi mastikasi

terhadap gigi tiruan lengkap yaitu sebesar

84,6%, sedangkan persepsi pria dengan kategori sedang mengenai fungsi estetik

terhadap gigi tiruan lengkap yaitu sebesar

76,9%.

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Persepsi Tentang

Fungsi Estetik dan Mastikasi GTL Terhadap Sampel

Lansia Wanita.

Variabel

Jenis Kelamin

Wanita

n %

Fungsi Mastikasi

Baik 5 29,4% Sedang 11 64,7%

Buruk 1 5,9%

Fungsi Estetik Baik 10 58,8%

Sedang 7 41,2%

Buruk 0 0%

Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa

kelompok lansia wanita dengan kategori baik

memiliki persepsi mengenai fungsi mastikasi terhadap gigi tiruan lengkap sebesar 29,4%,

sedangkan persepsi wanita dengan kategori

baik mengenai fungsi estetik terhadap gigi tiruan lengkap sebesar 58,8%.

PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan di Panti Werdha Tresna Wisma Mulia, Jelambar, Jakarta Barat,

dengan jumlah sampel sebanyak 30 lansia yang

menggunakan gigi tiruan lengkap (GTL). Jumlah sampel terbagi atas dua kelompok,

Variabel Frekuensi Persentase

Fungsi Mastikasi

Baik 6 20% Sedang 22 73,3%

Buruk 2 6,7%

Fungsi Estetik Baik 11 36,6%

Sedang 17 56,7%

Buruk 2 6,7%

Page 32: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 99-103

102

dimana kelompok elderly berjumlah 24 orang atau sebanyak 80% dan kelompok old

berjumlah 6 orang atau sebanyak 20% yang

menggunakan GTL. Seiring bertambahnya

usia, seseorang akan mengalami penurunan secara fisiologis atau daya tahan fisik seperti

lebih rentan terkena suatu penyakit sehingga

diperlukan perawatan secara intensif bahkan sampai menyebabkan kematian sehingga

kelompok old, yaitu berusia sekitar 75-90 tahun

memiliki sampel yang lebih sedikit. Terlihat pula sampel lansia dengan jenis

kelamin perempuan pengguna GTL yaitu

sebanyak 17 orang terlihat lebih banyak

dibandingkan dengan jumlah sampel lansia laki-laki yang menggunakan GTL yaitu

sebanyak 13 orang. Hal ini dikarenakan wanita

lebih mementingkan penampilan gigi, mulut dan wajah dibandingkan pria sehingga wanita

yang kehilangan gigi seluruhnya lebih banyak

menggunakan GTL.9-11

Sekarang ini, tidak semua orang

mengalami kehilangan gigi seluruhnya

menggunakan GTL. Sebuah keputusan yang

diambil oleh seseorang dipengaruhi oleh persepsi, dimana persepsi terhadap fungsi dari

penggunaan GTL sangat mempengaruhi

seseorang dalam mengambil keputusan untuk menggunakan GTL atau tidak.

Penelitian ini membagi persepsi lansia

menjadi 3 kategori, kategori ini diperoleh dari

nilai terendah dari 5 pertanyaan pada masing-masing kelompok yaitu 5 dan nilai tertinggi

yaitu 25, maka apabila dibagi menjadi 3

kategori yaitu tingkat persepsi lansia baik (nilai 19-25), sedang (12-18) dan buruk (5-11).

Hasil analisis mengenai persepsi tentang

fungsi estetik dan mastikasi GTL terhadap lansia menunjukkan bahwa keseluruhan sampel

memiliki persepsi sedang terhadap fungsi

estetik dan mastikasi GTL.

Hasil analisis dalam Tabel 3 menunjukkan keseluruhan sampel dengan

kategori sedang memiliki persepsi tentang

fungsi mastikasi GTL yaitu sebesar 73,3% dan fungsi estetik GTL yaitu sebesar 56,7%. Hal ini

didukung dengan dua alasan utama pasien

ketika melakukan suatu perawatan GTL yaitu memperbaiki fungsi estetik dan mastikasi.6,12,13

Berdasarkan pengelompokkan jenis

kelamin pada Tabel 4 mengenai persepsi

tentang fungsi estetik dan mastikasi GTL terhadap sampel lansia pria, diperoleh nilai

tertinggi pada aspek mastikasi dengan kategori

sedang yaitu sebesar 84,6%. Selanjutnya diikuti

dengan aspek estetik dengan kategori sedang, yaitu 76,9%. Hal ini menunjukkan bahwa pria

lebih mementingkan fungsi mastikasi dalam

penggunaan GTL dibandingkan fungsi estetik.

Umumnya pria lebih membutuhkan protesa yang lebih kuat karena kekuatan mastikasinya

lebih besar. Selain itu, pria lebih

mengutamakan rasa nyaman dalam penggunaan gigi tiruan yang dipakainya.14-17

Persepsi tentang fungsi estetik dan

mastikasi GTL terhadap sampel lansia wanita dilihat pada Tabel 5 yang menunjukkan bahwa

diperoleh nilai tertinggi pada aspek estetik

dengan kategori baik, yaitu sebesar 58,8%.

Selanjutnya, diikuti dengan aspek mastikasi dengan kategori baik yaitu sebesar 29,4%.

Sejalan dengan teori yang menunjukkan bahwa

wanita lebih mengutamakan fungsi estetik dalam penggunaan gigi tiruan lengkap,

dikarenakan wanita lebih mengutamakan

penampilan dibanding pria.9,18-20

Berdasarkan hasil data di atas yang telah

didapatkan dari kuesioner, dapat dinyatakan

bahwa para pasien lansia di Panti Werdha

Tresna Wisma Mulia, Jelambar, Jakarta Barat (pria dan wanita) memperhatikan fungsi estetik

dan mastikasi dalam penggunaan GTL dimana

pria lebih mengutamakan faktor mastikasi dan wanita lebih mengutamakan faktor estetik

dalam penggunaan GTL.

KESIMPULAN DAN SARAN Secara keseluruhan sampel memiliki

persepsi yang cukup baik terhadap GTL

terutama untuk mengembalikan fungsi estetik dan mastikasi.

Berdasarkan jenis kelamin terdapat

perbedaan mengenai persepsi antara pria dan wanita dalam memperhatikan fungsi estetik dan

mastikasi GTL. Pria lebih mementingkan

fungsi mastikasi pada penggunaan GTL, dan

memahami bahwa penggunaan GTL dapat mengembalikan fungsi mastikasi dengan baik.

Sedangkan wanita lebih mementingkan fungsi

estetik pada penggunaan GTL dan memahami bahwa penggunaan GTL dapat mengembalikan

fungsi estetik dengan baik.

Dokter gigi disarankan agar mengedukasi pasien yang kehilangan gigi

seluruhnya agar mengetahui dampak dari

kehilangan gigi dan menyadari pentingnya

penggunaan GTL untuk mengembalikan fungsi estetik dan mastikasi yang hilang. Saran untuk

penelitian selanjutnya agar memperhatikan

fungsi fonetik GTL yang tidak kalah penting

Page 33: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 99-103

103

dibanding fungsi estetik dan mastikasi dengan jumlah sampel lebih besar.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pasmawati H. Pendekatan konseling untuk lansia. e-Journal IAIN Bengkulu 2017;

17(1): 49-60.

2. Kailey I, Wowor V, Lampus B. Perilaku pemeliharaan kebersihan gigi tiruan

lepasan pada masyarakat Desa Kema II

Kecamatan Kema. e-GiGi 2016; 4(2); 145-54

3. Maylasari I, Rachmawati Y, Wilson H,

Nugroho SW, Sulistyowati NP, Dewi

FWR. Statistik Penduduk Lanjut Usia: Struktur Umur Penduduk Lansia. Jakarta:

Badan Pusat Statistik. 2019; 12.

4. Nugroho, Wahjudi. Komunikasi dalam Perawatan Gerontik. Jakarta: EGC. 2009;

5.

5. Badan Penelitian dan Perkembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar.

Jakarta: RISKESDAS. 2018; 182-91.

6. Susaniawaty Y, Utama MD. Esthetic

failure in fixed denture. Makassar Dent J. 2015; 4(6): 193-9.

7. Bortoluzzi MC, Traebert J, Lasta R, Rosa

TND, Capella DL, Presta AA. Tooth loss, chewing ability and quality of life.

Contemp Clin Dent 2012; 3(4): 393-7.

8. Tjan AH, Miller GD, The JG. Some

esthetic factors in a smile. J Prosthet Dent 1984; 51(1): 24-8.

9. Singh BP, Pradhan KN, Tripathi A, Tua R,

Tripathi S. Effect of sociodemographic variables on complete denture satisfaction.

J Adv Prosthodont 2012; 4(1): 43–51.

10. Natto ZS, Aladmawy M, Alasqah M, Papas A. Factors contributing to tooth loss

among the elderly: a cross sectional study.

Singapore Dent J. 2014; 35: 17-22.

11. Suresh S, Sharma S. A Clinical Survey to determine the awareness and preference of

needs of a complete denture among

complete edentulous patients. J Int Oral Health. 2010; 2: 65-9.

12. Andrei OC, Margarit R, Tanasescu LA,

Daguci L. Prosthetic rehabilitation of complete edentulous patients with

morphological changes induced by age

and old ill fitted dentures. Rom J Morphol

Embryol 2016; 57(2): 861-4. 13. Schimmel M, Katsoulis J, Genton L,

Müller F. Masticatory function and

nutrition in old age. Swiss Dent J. 2015;

125(4): 449- 54. 14. Lechner SK, Champion H, Tong TK.

Complete dentures problem solving: A

survey. Australian Dent J. 1995; 40(6):

377-80. 15. Khodaeian N, Rismanchian M, Behzadi A,

Jowkar F. Validity and reliability of a

Persian version of the quality of masticatory function questionnaire for

edentulous patients. Dent Res J (Isfahan)

2016; 13(2): 160-7. 16. Goiato MC, Filho HG, Santos DM, Barao

VAR, Freitas ACJ. Insertion and follow-

up of complete dentures: A literature

review. J Gerodontology 2011; 28(3): 197-204.

17. Basker RM, Davenport JC, Thomason JM.

Prosthetic Treatment of the Edentulous Patient. 5th ed. Oxford: Wiley Blackwell;

2011; 21-6.

18. Zarb G, Hobkirk J, Eckert S, Jacob R. Prosthodontic Treatment for Edentulous

Patient. 13th ed. St. Louis Missouri:

Elsevier Mosby; 2012; 53-8.

Page 34: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 104-110

104

DUKUNGAN SUAMI DENGAN KEJADIAN ANEMIA DEFISIENSI ZAT BESI

PADA IBU POSTPARTUM

HUSBAND SUPPORT WITH THE INCIDENCE OF IRON DEFICIENCY ANEMIA

AMONG POSTPARTUM WOMEN

Darmawati, Mariatul Kiftia, Aida Fitri

Bagian Keperawatan Maternitas, Fakultas Keperawatan, Universitas Syiah Kuala Corresponding Author: [email protected]

Abstrak

Anemia postpartum merupakan problema kesehatan yang menjadi masalah besar di seluruh dunia dan secara umum diakibatkan oleh kekurangan zat besi. Dukungan sosial paling sering didapatkan oleh ibu melahirkan dari suami. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi korelasi dukungan suami dengan insiden anemia defisiensi zat besi pada ibu postpartum. Studi ini dilakukan menggunakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross-sectional di Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin, Banda

Aceh. Perekrutan responden dilakukan dengan non-probability sampling method dan diperoleh 102 responden. Penelitian ini menggunakan uji statistik berupa chi-square test. Studi ini menemukan bahwa 49.0% ibu postpartum mengalami anemia ringan, 10.8% mengalami anemia sedang, dan 40.2% lainnya tidak mengalami anemia. Ditemukan terdapat korelasi antara dukungan suami dengan angka anemia defisiensi zat besi yang terjadi pada ibu postpartum (p-value 0.028). Selanjutnya, ditemukan pula hubungan antara dukungan instrumental dan dukungan penilaian dengan angka anemia defisiensi zat besi yang terjadi pada ibu postpartum (p-value 0.03; 0.00), serta tidak ditemukan hubungan antara dukungan emosional dan dukungan informasi suami dengan kejadian anemia

defisiensi zat besi pada ibu postpartum (p-value 0.28; 0.842). Diharapkan petugas kesehatan dapat melakukan screening anemia sejak kehamilan dan melibatkan suami dalam kegiatan pelayanan antenatal dan postnatal. Upaya ini diterapkan untuk mencegah anemia pada periode antenatal dan postnatal sehingga prevalensi anemia dapat mengalami penurunan. Kata Kunci: Anemia, Defisiensi, Periode Postpartum, Zat Besi

Abstract

Postpartum anemia is a health problem that occurs around the world and is caused by iron-deficiency. Social support is obtained by postpartum women from their husbands. This study aimed to identify the relationship between husband support with iron-deficiency anemia incidence among postpartum women. It was a quantitative study with a cross-sectional study conducted at dr. Zainoel Abidin Hospital, Banda Aceh. The recruitment process was carried out using a non-probability sampling method, and 102 respondents were obtained. This study used a statistical test, which was a chi-square test. It was found that 49.0% of postpartum women had mild anemia, 10.8% had moderate anemia,

and 40.2% did not have anemia. There was a relationship between the support of husband with iron-deficiency anemia incidence among postpartum women (p-value 0.028). Furthermore, the correlation between instrumental and appraisal support with iron deficiency anemia incidence was found (p-value 0.03; 0.00). There was no correlation between emotional and information support with iron-deficiency anemia among postpartum women (p-value 0.28; 0.842). It is hoped that health workers can do early screening for anemia and involve the husband's role in antenatal and postnatal care activities. This effort is applied to prevent anemia in the antenatal and postnatal periods so that the prevalence can be

decreased. Keywords: Anemia, Deficiency, Iron, Postpartum Period

Page 35: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 104-110

105

PENDAHULUAN

Periode postnatal merupakan fase transisi yang sangat kritis bagi seorang ibu dan bayi baru lahir. Anemia selama periode ini adalah

masalah kesehatan utama yang terjadi di seluruh negara. Prevalensi anemia pada periode postpartum adalah 50-80%.1 Ketika seorang ibu memiliki kadar hemoglobin kurang dari 12 gr/dl, ibu tersebut digolongkan anemia.2 Anemia pada fase ini dapat mengubah emosi dan kognisi serta juga berkaitan dengan depresi postpartum.3 Keadaan ini juga memainkan

peran penting dalam perburukan sistem imunitas dan produksi air susu ibu, peningkatan kerentanan terhadap infeksi, dan perlambatan penyembuhan luka.4 Selain dampak terhadap ibu, keadaan ini juga dapat menyebabkan interaksi antara ibu-anak dapat menjadi lebih buruk dan bahkan memperlambat

perkembangan bayi.5 Mengingat konsekuensi potensial yang ditimbulkan, maka menjadi penting untuk memberikan perhatian lebih kepada anemia selama periode postpartum. Seharusnya, kondisi kesehatan ibu hamil yang berhubungan dengan gizi sudah dipenuhi selama kehamilan. Dalam penelitian

sebelumnya yang dilaksanakan oleh Nataris & Santik (2017), ditemukan adanya korelasi antara perilaku kebersihan mulut dan gizi, kondisi anemia, dan KEK dengan kejadian gingivitis pada ibu hamil.6

Secara umum, penyebab anemia adalah akibat defisiensi zat besi.7 Diperkirakan sebanyak 50% anemia diakibatkan oleh

kurangnya simpanan zat besi di dalam tubuh.8 Hal ini dapat disebabkan karena rendahnya konsumsi makanan kaya zat besi dan sering mengkonsumsi makanan yang menghambat absorpsi zat besi selama kehamilan.9,10,11 Anemia postpartum juga dikaitkan dengan kejadian anemia selama kehamilan. Seorang

ibu hamil dengan anemia memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami anemia postpartum.12 Status nutrisi ibu selama kehamilan secara tidak langsung dipengaruhi oleh dukungan dari suami.13 Dalam rangka mencegah anemia selama kehamilan, ibu membutuhkan dukungan orang-orang

terdekatnya atau yang biasa disebut dukungan sosial. Dukungan sosial yang paling sering didapatkan ibu hamil adalah dukungan dari pasangan. Suami sebagai orang terdekat berperan penting dalam mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan istrinya dengan memenuhi kebutuhan nutrisi sehingga dapat

terhindar dari berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan termasuk anemia.14

Sejauh ini, banyak penelitian yang menghubungkan dukungan suami dengan

kejadian anemia pada kehamilan termasuk bagaimana suami mempengaruhi ibu untuk patuh mengkonsumsi tablet tambah darah (zat besi).15,16 Sebuah penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Darmawati, Tahlil, Siregar, Kamil, & Audina (2019), menemukan hasil bahwa konsumsi tablet zat besi dapat menjadi langkah untuk mencegah terjadinya anemia

defisiensi zat besi selama kehamilan.17

Akan tetapi, masih belum jelas bagaimana hubungan dukungan suami terhadap anemia pada periode postpartum. Padahal, anemia postpartum merupakan masalah pelik yang dapat dialami oleh ibu dan juga akan berdampak pada bayi yang baru dilahirkan.

Situasi yang disebutkan di atas jelas menunjukkan pentingnya melakukan penelitian terkait anemia pada wanita postpartum. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan dukungan suami dengan peristiwa anemia defisiensi zat besi pada ibu postpartum.

METODE

Studi ini merupakan sebuah studi kuantitatif deskriptif korelatif dan menggunakan pendekatan studi cross-sectional.18,19 Responden penelitian ini direkrut melalui metode purposive yang dilakukan selama 3 bulan penelitian, yaitu Juni-September 2019. Total responden adalah 102 orang ibu

postpartum. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh.

Penelitian ini menggunakan instrumen berupa lembar kuesioner yang dikembangkan sendiri oleh tim peneliti dan alat Hb meter. Uji terhadap kuesioner dilakukan terlebih dahulu sebelum kuesioner digunakan untuk penelitian.

Uji validitas telah dilakukan dengan melibatkan para ahli pada bidang yang relevan. Uji reliabilitas pada 15 partisipan juga telah dilakukan dan didapatkan bahwa kuesioner ini reliabel (Cronbach Alpha 0,866) sehingga diputuskan kuesioner ini dapat digunakan. Kuesioner ini terdiri dari 23 pernyataan, yang

dibagi menjadi: 1) Dukungan emosional terdiri dari 6 pernyataan, 2) dukungan instrumental terdiri dari 7 pernyataan, 3) dukungan informasi terdiri dari 6 pernyataan, dan 4) dukungan penilaian terdiri dari 4 pernyataan. Alat Hb meter yang digunakan untuk pengukuran kadar hemoglobin pada penelitian

Page 36: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 104-110

106

ini sudah mengalami kalibrasi sebelum digunakan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ahmad et al. (2015) menemukan bahwa validitas dan sensitivitas Hb meter yang serupa

dengan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah masing-masing 98.8% dan 73.4%.20

Metode wawancara langsung digunakan untuk pengumpulan data primer setelah responden menyatakan bersedia untuk ikut terlibat dalam penelitian ini. Setelah partisipan menjawab semua pertanyaan dalam kuesioner, akan dilakukan pengecekan kadar hemoglobin.

Pada penelitian ini, uji statistik deskriptif dan chi-square test dengan tingkat kepercayaan 95% dipilih untuk analisis data. Penelitian ini dinyatakan layak etik oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dengan nomor 81/EA/FK-RSUDZA/2019.

HASIL

Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 49.0% ibu postpartum yang mengalami anemia ringan, 10.8 % mengalami anemia sedang, dan 40% lainnya tidak

mengalami anemia. Sebanyak 66.7% ibu memiliki usia yang berada pada kategori tidak berisiko, 47.1% memiliki pendidikan terakhir pada tingkat perguruan tinggi/akademi dan sebanyak 63.7% bekerja sebagai ibu rumah tanggal. Sebagian ibu postpartum memiliki pendapatan keluarga di atas Upah Minimum

Regional (UMR) yaitu Rp. 2.700.000 (57.8%).

Jumlah responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah 102 orang.

Tabel 1. Karakteristik Sosiodemografi Ibu

Postpartum

Data Frekuensi Persentase

(%)

Prevalensi Anemia Anemia Ringan

Anemia Sedang

Anemia Berat Tidak anemia

50

11

0 41

49.0

10.8

0 40.2

Usia Tidak Berisiko

(≥ 20 & ≤ 35 tahun)

Berisiko

(<20 & > 35 tahun)

68

34

66.7

33.3

Tingkat Pendidikan SD SMP

SMA

PT/Akademi

2 11

41

48

2 10.8

40.2

47.0

Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil

Ibu Rumah Tangga

Wiraswasta

Tidak Bekerja

Lainnya

16

65

15

1

5

15.7

63.7

14.7

1.0

4.9

Pendapatan Keluarga

≥ UMR

< UMR

59

43

57.8

42.2

Total 102 100

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Variabel Penelitian

Variabel Kategori Frekuensi Persentase (%)

Dukungan Suami

Baik

Cukup Kurang

44

57 1

43.1

55.9 1.0

Subvariabel

Dukungan Emosional Baik Cukup Kurang

49 42 11

48.0 41.2 10.8

Dukungan Instrumental Baik Cukup Kurang

72 29 1

70.6 28.4 1.0

Dukungan Informasi

Baik

Cukup Kurang

22

30 50

21.6

29.4 49.0

Dukungan Penilaian Baik Cukup Kurang

54 44 4

52.9 43.2 3.9

Page 37: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 104-110

107

Tabel 3. Hubungan Dukungan Suami dengan Angka Kejadian Anemia Defisiensi Zat Besi pada Ibu Postpartum

Tabel 2 menunjukkan ibu postpartum

menerima dukungan suami dalam kategori cukup yaitu sebanyak 57 orang (55.9%), dimana 49 orang (48.0%) mengatakan menerima dukungan emosional dalam kategori baik, 72 orang (70.6%) menerima dukungan instrumental dalam kategori baik, 50 orang (49.0%) menerima dukungan informasi dalam

kategori kurang, dan 54 orang (52.9%) menerima dukungan penilaian dalam kategori baik dari suami mereka.

Tabel 3 menyampaikan bahwa dari 44 responden yang menerima dukungan suami dalam kategori baik, terdapat 38 orang yang mengalami anemia (86.4%). Dari total 57

responden yang menerima dukungan suami dalam kategori cukup, terdapat 51 orang yang mengalami anemia (89.5%). Selanjutnya, seluruh responden yang menerima dukungan suami dalam kategori kurang mengalami anemia (100%). Uji chi square dilakukan dengan memberikan hasil p-value yang kurang dari sama dengan 0.05 (menolak H0), sehingga

dapat disampaikan bahwa terdapat korelasi antara faktor dukungan suami dengan kejadian anemia defisiensi zat besi pada ibu postpartum. Uji statistik chi square juga dilakukan pada empat subvariabel lainnya untuk dukungan suami dan mendapatkan hasil sebagai berikut: 1) tidak terdapat hubungan antara faktor

dukungan emosional dengan prevalensi anemia

defisiensi zat besi postpartum; p-value 0.288, 2) terdapat hubungan antara faktor dukungan instrumental dengan prevalensi anemia defisiensi zat besi postpartum; p-value 0.03), 3) tidak terdapat hubungan antara faktor dukungan informasi dengan kejadian anemia defisiensi zat besi postpartum; p-value 0.842), dan 4)

terdapat hubungan antara faktor dukungan penilaian dengan prevalensi anemia defisiensi zat besi postpartum; p-value 0.00. Pada penelitian ini juga ditemukan sebanyak 89 responden (87.3%) mengalami anemia dan sebanyak 13 responden (12.7%) tidak mengalami anemia.

PEMBAHASAN

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara dukungan suami dengan insiden anemia defisiensi zat besi postpartum di Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh. Penelitian ini didukung oleh hasil penelitian yang ditemukan oleh Rahmawati

(2016) yang menyatakan adanya hubungan bermakna antara dukungan suami dengan insiden anemia pada ibu hamil (p value < 0.05; OR = 4,583).21 Ibu hamil dan ibu yang sedang menjalani proses persalinan merupakan kelompok wanita yang berisiko tinggi mengalami anemia. Seorang ibu dapat

Variabel

Anemia Defisiensi Zat Besi

Tidak Anemia Anemia Total α p-value

f % f % f %

Dukungan Suami

Baik 6 13.6 38 86.4 44 100

0.05 0.028 Cukup 6 10.5 51 89.5 57 100

Kurang 1 100 0 0 1 100

Dukungan Emosional Baik 6 12.2 43 87.8 49 100

0.05 0.288 Cukup 4 9.5 38 90.5 42 100

Kurang 3 27.3 8 72.7 11 100

Dukungan Instrumental Baik 9 12.5 63 87.5 72 100

0.05 0.03 Cukup 3 10.3 26 89.7 29 100

Kurang 1 100 0 100 1 100

Dukungan Informasi

Baik 2 9.1 20 90.9 22 100

0.05 0.842 Cukup 4 13.3 26 86.7 30 100

Kurang 7 14.0 43 86.0 50 100

Dukungan Penilaian

Baik 7 12.9 47 87.1 54 100

0.05 0.00 Cukup 3 6.8 41 93.2 44 100

Kurang 3 75.0 1 25.0 4 100

Page 38: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 104-110

108

mengalami anemia pada periode postpartum dikarenakan terlalu banyak kehilangan darah selama periode peripartum.2

Selain akibat faktor persalinan itu

sendiri, anemia postpartum juga dikaitkan dengan anemia selama kehamilan, dimana anemia postpartum lebih berisiko tinggi dialami oleh ibu yang memiliki riyawat kehamilan dengan anemia dengan anemia.12 Anemia selama kehamilan dapat diakibatkan oleh ketidakadekuatan asupan nutrisi selama kehamilan. Nutrisi yang tidak terpenuhi dengan

baik tidak hanya menyebabkan anemia, namum juga keadaan ini menjadi keadaan hematologi yang meningkatkan risiko terjadinya masalah kesehatan pada gigi, yaitu gingivitis.21 Dalam mencegah keadaan ini, dibutuhkan dukungan suami untuk memenuhi kebutuhan ibu hamil dan menjalani proses kehamilan dan persalinan

sehingga terhindar dari berbagai masalah pada masa tersebut.

Dukungan suami terkait dengan komsumsi tablet zat besi selama kehamilan merupakan hal yang penting diberikan kepada sang istri. Dukungan suami merupakan hal yang penting karena suami memegang peranan

penting dalam pengambilan keputusan dan tindakan dalam mempengaruhi kehidupan istrinya.14,22 Penelitian yang diadakan oleh Rakesh et al. (2014) mendapatkan bahwa asupan tablet zat besi yang tidak adekuat selama kehamilan menjadi faktor yang dapat mencetuskan anemia postpartum.4

Selama proses persalinan berlangsung,

seorang wanita akan menghabiskan seluruh simpanan zat besi yang ada di tubuhnya. Ketika asupan tablet zat besi tidak adekuat selama kehamilan, maka simpanan zat besi ini akan sangat sedikit dan dapat menyebabkan anemia. World Health Organization juga merekomendasikan ibu tetap mengkonsumsi

tablet zat besi secara berkelanjutan selama 3 bulan pada periode postpartum.23 Selain itu, akan muncul efek samping akibat mengkonsumsi tablet tersebut, seperti muntah, mual, diare, dan/atau konstipasi yang menyebabkan ibu hamil tidak ingin mengkonsumsi tablet tersebut. Maka menjadi

penting bagi suami untuk memberikan perhatian, kasih sayang, dan motivasi kepada ibu untuk terus mengkonsumsi tablet zat besi.17

Sebuah studi kualitatif yang dilakukan oleh Davis, Vyankandondera, Luchters, Simon, & Holmes (2016) menunjukkan bahwa keterlibatan suami dalam kehamilan istrinya

menimbulkan banyak manfaat dan meningkatkan kesejahteraan istri dalam menjalani kehamilan.24 Suami yang memberikan dukungan seperti menjadi

pengambil keputusan yang baik mengenai kesehatan ibu akan menjadikan ibu merasa dihargai sehinga termotivasi untuk memenuhi kebutuhan zat besi untuk tubuhnya dan janin yang dikandung dan terhindar dari kejadian anemia. Sebuah penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sokoya, Farotimi, & Ojewole (2014) menemukan bahwa 86.5% ibu hamil

mengatakan dengan adanya dukungan suami akan mengurangi stress selama kehamilan dan akan menimbulkan kenyamanan bagi diri mereka.25 Pemikiran positif ini akan meningkatkan motivasi untuk menjaga kehamilannya dan mendengarkan nasihat dari petugas kesehatan. Sebuah penelitian yang

dilakukan oleh Dadi, Miller, & Mwanri (2020) menemukan bahwa tingkat stres yang tinggi selama kehamilan dapat menyebabkan pengaruh yang buruk terhadap persalinan. 26 Hal ini menunjukkan pentingnya menjaga kondisi psikologis ibu selama hamil agar dapat menjalani kehamilan dan persalinan dengan

baik. Dalam rangka menjaga kondisi psikis ibu

selama periode tersebut, suami harus memberikan dukungan yang baik kepada istrinya, salah satunya adalah dukungan penilaian yang meliputi peran sebagai pemberi umpan balik, pembimbing serta penengah dalam pemecahan masalah. Suami juga harus

memberikan support, perhatian, dan penghargaan. Salah satu jenis dukungan yang dapat dilakukan oleh suami adalah berupa pemberian penilaian positif dan penghargaan dengan memberikan pujian terhadap perilaku baik yang telah dilakukan, menunjukkan perasaan bahagia terkait kehamilannya,

mendengarkan dengan sabar keluhan yang dirasakan dan membuat ibu hamil lebih bahagia sehingga secara tidak langsung kebahagiaan ini akan meningkatkan kesehatan fisik ibu dalam menjalani kehamilan.27,28

Penelitian ini juga menemukan bahwa faktor dukungan instrumental dari suami

berhubungan terhadap kejadian anemia defisiensi zat besi yang dialami oleh ibu postpartum. Dukungan ini merupakan dukungan langsung yang diberikan oleh suami kepada istrinya, meliputi materi, keuangan, fasilitas, dan tenaga. Dukungan instrumental yang secara langsung berpengaruh terhadap

Page 39: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 104-110

109

kejadian anemia adalah dukungan suami dalam memenuhi kebutuhan zat besi harian selama kehamilan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan zat besi, diperlukan dana untuk membeli

makanan seperti daging, ayam, hati ayam, telur, buah-buahan, dan sayur-sayuran.28

Selain itu, penelitian ini mendapatkan dukungan informasi dari suami tidak memiliki korelasi dengan insiden anemia defisiensi zat besi pada ibu postpartum. Fenomena yang ada sekarang ini adalah media internet sudah banyak digunakan sebagai alat yang efektif

untuk memenuhi kebutuhan informasi kesehatan di seluruh dunia, termasuk informasi terkait kehamilan. Beberapa penelitian terdahulu juga menemukan adanya tren yang berkembang pada ibu hamil di seluruh dunia dalam menggunakan internet sebagai sumber informasi tentang kehamilan.29,30,31 Hal tersebut

membuktikan sebagai seorang individu, seorang ibu hamil dapat memenuhi informasi yang dibutuhkan secara mandiri sehingga ketika suami tidak memenuhi peran sebagai pemberi informasi secara adekuat, hal ini tidak secara signifikan mempengaruhi ibu hamil dalam menjalani kehamilannya.

Kekuatan dari penelitian ini adalah jumlah responden yang besar sehingga hasil penelitian ini dapat mewakili dan dijadikan acuan referensi untuk menggambarkan kondisi ibu postpartum secara keseluruhan. Penelitian ini juga memiliki keterbatasan dimana pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara langsung. Metode ini cenderung

menghabiskan waktu yang banyak sehingga mengurangi konsentrasi dan fokus responden dalam menjawab pertanyaan yang diberikan.

KESIMPULAN

Penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan antara dukungan suami

dengan insiden anemia defisiensi zat besi yang dialami oleh ibu postpartum. Diharapkan pemberi pelayanan kesehatan dapat melakukan screening anemia sejak kehamilan, melakukan pencegahan dan pengendalian anemia dengan efektif dan terus melibatkan suami dalam segala kegiatan pelayanan antenatal dan

postnatal. Upaya ini dapat menjadi langkah nyata untuk pencegahan anemia selama periode kehamilan dan pada periode postpartum. Keterlibatan suami dalam kegiatan terkait kehamilan dan persalinan istri akan meningkatkan pengetahuan suami tentang tindakan yang harus diambil untuk menghadapi

situasi terkait kehamilan dan persalinan sang istri. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas izin dan fasilitas yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh untuk kelancaran pelaksanaan studi ini serta kepada ibu postpartum yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pratiwi IR, Santoso S, Wahyuningsih HP. Prevalence and Risk Factors for Postpartum Anemia 2018; 12: 113–8.

2. Milman N. Postpartum anemia I : definition , prevalence , causes , and consequences. Ann Hematol 2011; 90:

1247–53. 3. Selvaraj R, Ramakrishann J, Sahu SK, Kar

SS, Laksham KB, Premarajan K, et al. High prevalence of anemia among postnatal mothers in Urban Puducherry: A community-based study. J Fam Med Prim Care 2019; 8: 2703–7.

4. Rakesh P, Gopichandran V, Jamkhandi D, Manjunath K, George K, Prasad J. Determinants of postpartum anemia among women from a rural population in southern India. Int J Womens Health 2014; 395–400.

5. Bergmann RL, Richter R, Bergmann KE, Dudenhausen JW. Prevalence and risk

factors for early postpartum anemia. Eur J Obstet Gynecol 2010; 150: 126–31.

6. Nataris AS, Santik Y. Faktor kejadian gingivitis pada ibu hamil. Higeia 2017; 1: 117–28.

7. Achebe MM, Gafter-Gvili A. How I treat anemia in pregnancy: Iron, cobalamin, and

folate. Blood 2017; 129: 940–9. 8. Ayano B, Amentie B. Assessment of

Prevalence and Risk Factors for Anemia Among Pregnant Mothers Attending Anc Clinic at Adama Hospital Medical Collage, Adama, Ethiopia, 2017. J Gynecol Obstet 2018; 6: 31.

[https://doi.org/10.11648/j.jgo.20180603.11]

9. Judd SJ. Blood and Circulatory Disorders. United States: 2010.

10. Silverberg DS. Anemia. Croatia: InTech; 2012.

11. Vir SC. Public Health Nutrition In

Page 40: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 104-110

110

Developing Countries. New Delhi: Woodhead Publishing India Pvt. Ltd.; 2011.

12. Milman N. Postpartum anemia II :

prevention and treatment. Ann Hematol 2015; 91: 143–54.

13. Darmawati, Siregar TN, Kamil H, Tahlil T. The effectiveness of local wisdom-based counseling to prevent iron deficiency anemia among pregnant women: A protocol of a randomized controlled trial. Belitung Nurs J 2020.

14. Fernandes A, Sanga F, Gero S. The role of husband in assisting wife who suffer anemia in pregnancy. J Kesehat Masy 2017; 13: 28–34.

15. Setyobudihono S, Istiqomah E, Adiningsih S. Husband Influences on Pregnant Women Who Following Consumption Iron

Supplementation Program. Procedia - Soc Behav Sci 2016; 222: 160–8.

16. Nguyen PH, DiGirolamo AM, Gonzalez-Casanova I, Pham H, Hao W, Nguyen H, et al. Impact of preconceptional micronutrient supplementation on maternal mental health during pregnancy

and postpartum: Results from a randomized controlled trial in Vietnam. BMC Womens Health 2017; 17: 1–9.

17. Darmawati D, Tahlil T, Siregar TN, Kamil H, Audina M. The Implementation of Iron Supplementation and Antenatal Counseling for Iron Deficiency Anemia in Pregnancy. J Keperawatan Soedirman

2019; 14. 18. Polit, Beck. The content validity index:

Are you know whats being reported? Res Nurs Health 2006; 29: 487–97.

19. Grove SK, Gray JR, Burns N. Understanding Nursing Research: Building An Evidence-Based Practice.

Missouri: Elsevier; 2015. 20. Ahmad NA, Awaluddin SM, Samad R.

Validity of Point-of-Care Testing Mission Plus in Detecting Anemia. Int J Biomed 2015; 5: 91–4.

21. Rahmawati T. Dukungan emosional suami dengan kejadian anemia pada ibu hamil.

Bul Media Inf 2016;12. 22. Sonya. Faktor-faktor yang berhubungan

dengan anemia kehamilan. J Ilm Kesehat 2014; 14: 24–32.

23. Taye B, Abeje G, Mekonen A. Factors associated with compliance of prenatal iron folate supplementation among women

in Mecha district, Western Amhara: A cross-sectional study. Pan Afr Med J 2015; 20: 1–7.

24. Davis J, Vyankandondera J, Luchters S,

Simon D, Holmes W. Male involvement in reproductive, maternal and child health: A qualitative study of policymaker and practitioner perspectives in the Pacific. Reprod Health 2016; 13: 1–11.

25. Sokoya M, Farotimi A, Ojewole F. Women’s perception of husbands’ support during pregnancy, labour and delivery.

IOSR J Nurs Heal Sci 2014; 3: 45–50. 26. Dadi AF, Miller ER, Mwanri L. Antenatal

depression and its association with adverse birth outcomes in low and middleincome countries: A systematic review and meta-analysis. PLoS One 2020; 15: 1–23.

27. Friedman MM. Buku Ajar Keperawatan

Keluarga: Riset, Teori, & Praktik. 5th ed. Jakarta: EGC; 2010.

28. Aditiawarman, Armini NKA, Kristanti YI. Manfaat dukungan sosial keluarga pada perilaku antisipasi tanda bahaya kehamilan pada ibu primigravida. J Ners 2017; 3.

29. Moradi T, Mehraban MA, Moeini M.

Comparison of the Perceptions of Managers and Nursing Staff Toward Performance Appraisal. Iran J Nurs Midwifery Res 2017; 22: 431–5. [https://doi.org/10.4103/ijnmr.IJNMR]

30. Sayakhot P, Carolan-Olah M. Internet use by pregnant women seeking pregnancy-related information: A systematic review.

BMC Pregnancy Childbirth 2016; 16. [https://doi.org/10.1186/s12884-016-0856]

31. Zhu C, Zeng R, Zhang W, Evans R, He R. Pregnancy-related information seeking and sharing in the social media era among expectant mothers in China: Qualitative study. J Med Internet Res 2019; 21: 1–11.

[https://doi.org/10.2196/13694].

Page 41: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 111-118

111

EFEK APLIKASI GEL MADU RAMBUTAN PADA MUKOSA LABIAL INFERIOR

TERHADAP KADAR MALONDIALDEHID (MDA) SALIVA

EFFECTS OF APPLICATION OF RAMBUTAN HONEY GEL IN LABIAL INFERIOR

MUCOSA ON SALIVA MALONDIALDEHYDE (MDA) LEVELS

Euis Reni Yuslianti1, Afifah B. Sutjiatmo

2, Florence Meliawaty

1, Mega Zhafarina

1

1Prodi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani 2 Fakultas Farmasi, Universitas Jenderal Achmad Yani

Corresponding Author: [email protected]

Abstrak

Saliva dapat digunakan sebagai alternatif dalam penegakan diagnosis, prognosis, dan rencana

perawatan. Variasi konsentrasi saliva dapat digunakan sebagai biomarker stres oksidatif. Radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul dengan elektron tunggal atau tidak berpasangan.

Ketidakseimbangan kadar radikal bebas dan antioksidan sel akan menyebabkan stres oksidatif, untuk

meredam radikal bebas dibutuhkan antioksidan. Stres oksidatif dapat dilihat dengan mengukur perubahan kadar MDA (Malondialdehyde). Gel madu rambutan merupakan bahan alami yang sudah

banyak digunakan, karena memiliki banyak manfaat dan kandungan. Flavonoid merupakan salah satu

kandungan madu rambutan, fungsi flavonoid sebagai antioksidan peredam radikal bebas MDAs. Penelitian ini bertujuan melihat efek aplikasi gel madu rambutan terhadap kadar malondialdehyde

(MDA) saliva. Metode penelitian ini merupakan quasi eksperimental pre-post design dengan jumlah

responden 30 orang. Teknik pengambilan sampel penelitian menggunakan consecutive sampling.

Responden diminta mengumpulkan saliva sebelum dan setelah pengaplikasian gel madu rambutan pada mukosa mulut bagian labial inferior. MDA saliva diukur dengan menggunakan TBARs metode

spektrofotometri. Data dianalisis menggunakan uji Wilcoxon (p <0,05). Hasil penelitian menunjukkan

terdapat efek pengaplikasian gel madu rambutan terhadap kadar malondialdehyde (MDA) saliva. Kesimpulan penelitian ini bahwa gel madu rambutan mengandung antioksidan yang dapat

menurunkan kadar MDA.

Kata Kunci: Madu, Antioksidan, MDA Saliva

Abstract

Saliva can be used as an alternative in establishing the diagnosis, prognosis, and treatment plan. Variations in salivary concentrations can be used as biomarkers of oxidative stress. Free radicals are

molecules or compounds which have unpaired electrons. Furthermore, unbalanced levels of free

radicals and antioxidants can cause oxidative stress. In order to reduce free radicals, antioxidants are needed. Rambutan honey gel is a natural ingredient that has been widely used since it has many

benefits and ingredients. Flavonoid is one of rambutan honey contents. Flavonoids have function as

donors of hydrogen groups. The aim of this study is to see the effect of application of rambutan honey

gel against malondialdehyde (MDA) saliva levels. The method used was a quasi-experimental pre-post design with 30 respondents. In addition, the sampling technique used consecutive sampling.

Respondents would be asked to collect saliva before and after the application of rambutan honey gel

in the inferior labial oral mucosa. Salivary MDA would be calculated using TBARs spectrophotometric method. Data were analyzed using the Wilcoxon test (p <0.05). The results show

that there is effect of application of rambutan honey gel against malondialdehyde (MDA) saliva

levels. The conclusion is that rambutan honey gel contains antioxidants which can reduce MDA contents.

Keywords: Honey, Antioxidants, Saliva MDA

Page 42: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 111-118

112

PENDAHULUAN Saliva merupakan salah satu dari kelenjar

eksokrin yang berasal dari glandula salivarius.

Kandungan dalam saliva yaitu imunoglobulin

A (secretory IgA), mineral, elektrolit, buffer, enzim, dan zat-zat pembuangan metabolik.

Saliva dapat mencerminkan kondisi fisiologi

tubuh saat ini, oleh karena itu saliva disebut sebagai ‘cermin kesehatan organisme’.1,2 Saliva

memiliki keunggulan salah satunya dapat

digunakan dalam alternatif untuk menegakkan diagnosis, prognosis dan terapeutik. Variasi

konsentrasi saliva dapat digunakan sebagai

biomarker stres oksidatif. MDA saliva berasal

dari sumber sistemik dan produksi di rongga mulut.3 Radikal bebas sangat reaktif dan

memiliki waktu paruh pendek, sehingga produk

yang terbentuk dari reaksi ROS/RNS dengan makromolekul seluler digunakan sebagai

penanda biologis dari stres oksidatif.4

Radikal bebas yang sangat reaktif akan menyerang molekul stabil terdekat. Molekul

radikal bebas akan mengambil elektron

senyawa lain karena molekul atau senyawa

radikal bebas tidak stabil dengan kandungan satu atau lebih elektron tidak berpasangan.

Molekul radikal bebas dengan elektron tidak

berpasangan menimbulkan tertariknya secara kuat pada medan magnet. Kondisi molekul

radikal bebas tersebut menyebabkan molekul

sangat reaktif. 5,6 Stres oksidatif akan terjadi

ketika kadar radikal bebas dan kadar antioksidan tidak seimbang. Peristiwa stres

oksidatif dapat menimbulkan gangguan fungsi

biologis seperti kerusakan fungsi, bahkan kematian sel. Perubahan kadar

Malondialdehyde (MDA) dapat memberikan

gambaran kondisi stres oksidatif.5,6 Antioksidan merupakan peredam untuk radikal bebas.

Peredam radikal bebas terdiri atas dua jenis

berdasarkan sumbernya yaitu antioksidan

enzimatik (dalam tubuh) dan nonenzimatik. Antioksidan enzimatik dapat diperoleh dari

bahan alam sekitar dan dari reaksi kimia yang

disintesis manusia. Antioksidan dari bahan alam contohnya adalah madu. 6

Madu telah digunakan sejak peradaban

Mesir kuno, Yunani, Cina, peradaban Yahudi, Nasrani, Islam, hingga masa perang Dunia I.

Madu digunakan dalam berbagai terapi seperti

pada pembalutan kasus-kasus bedah dalam

membantu penyembuhan luka.7-9. Madu dapat dihasilkan oleh lebah madu. Lebah madu

menghisap sari bunga tanaman berupa flora

nektar atau bagian lain dari tanaman ekstra

flora nektar. Madu merupakan hasil ekskresi dari serangga. Madu merupakan cairan alami

dengan rasa manis yang menyegarkan. Setiap

produk madu memiliki karakteristik yang

berbeda-beda. Sumber nektar yang berbeda akan mempengaruhi sifat fisik madu. Madu

memiliki berbagai macam senyawa yang dapat

bermanfaat bagi tubuh. Madu mengandung antioksidan seperti flavonoid dan polifenol.

Madu mengandung mineral diantaranya

kalium, kalsium, natrium, magnesium, aluminium, besi, dan fosfor. Madu

mengandung vitamin diantaranya vitamin B1,

riboplavin (B2), vitamin C, Niasin, vitamin K,

dan asam folat. Madu mengandung enzim penting yaitu glukosa oksidase, peroksidase,

lipase dan diastase invertase. Kandungan yang

terdapat dalam madu tersebut di atas dapat berfungsi sebagai antibakteri, antiinflamasi,

antioksidan, dan imunostimulan.7-9 Madu

rambutan merupakan madu yang diproduksi dari nektar bunga rambutan yang termasuk ke

dalam jenis madu monoflora serta digunakan

untuk obat topikal pada luka di rongga mulut

karena memiliki aroma dan rasa yang baik. Madu rambutan memiliki kandungan

antioksidan yaitu flavonoid. Flavonoid

memiliki aktivitas biologis seperti antialergi, antiviral, antiinflamasi, dan aksi vasodilatasi.

Flavonoid adalah salah satu senyawa dari

antioksidan yang mampu dalam mengurangi

kadar radikal bebas. Flavonoid dikenal sebagai aktivitas ekstender vitamin C melalui

peningkatan penyerapan dan perlindungan dari

stres oksidatif. Aktivitas antiinflamasi memiliki hubungan dengan kandungan antioksidan yang

berada di dalam madu rambutan yang dapat

melepaskan ROS (Reactive Oxygen Species) yang dapat mengurangi proses inflmasi. 10-12

Madu rambutan telah melalui uji preklinik pada

hewan coba dan sudah terbukti keamanannya.

Madu rambutan sudah distandardisasi dan dipatenkan dengan nomor hak paten

P00201608676. Namun belum ada penelitian

tentang efek aplikasi gel madu rambutan terhadap kadar malondialdehyde (MDA) saliva,

sehingga peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian efek aplikasi gel madu rambutan terhadap kadar malondialdehyde (MDA) saliva.

Pembaruan dalam penelitian ini, belum ada uji

keamanan bahan alam menggunakan madu

rambutan dalam bentuk sediaan gel pada manusia pada mukosa labial inferior dan dilihat

efeknya pada kadar radikal bebas

malondialdehid saliva.

Page 43: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 111-118

113

Gel atau jeli adalah pembawa yang digunakan dengan tujuan pemberian obat pada

bagian mukosa, salah satunya adalah mukosa

mulut. Gel mengandung basis air, baik yang

bersifat hidrofilik maupun hidrofobik. Basis gel hidrofilik menimbulkan efek pendinginan pada

kulit saat digunakan, mempunyai daya lekat

yang tinggi, mudah dicuci dengan air dan pelepasan obatnya baik.13 Mukosa bukal dan

labial dengan epitel nonkeratin mengalami turn

over cell atau pergantian sel selama 14 hari.14

BAHAN DAN METODE

Subjek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Maret 2020 di RSGM Universitas Jenderal Achmad

Yani (Unjani) dan Laboratorium Biokimia

Unjani. Usia responden sekitar 20-23 tahun dengan jumlah wanita 27 orang dan laki-laki 3

orang. Kriteria inklusi dalam penelitian yaitu

responden dengan mukosa mulut bagian labial inferior sehat tanpa tanda-tanda inflamasi,

responden sehat tidak ada penyakit sistemik

diantaranya diabetes melitus dan hipertensi

yang diketahui dari rekam medik pasien, responden dengan umur 18-55 tahun dan

kompeten menurut WHO, dan bersedia

menandatangani lembar persetujuan setelah penjelasan (informed consent). Kriteria eksklusi

adalah responden yang memiliki oral hygiene

yang buruk, responden yang tidak kooperatif

(tidak mengikuti intruksi yang diberikan oleh peneliti), dan mengundurkan diri selama

penelitian. Penelitian ini sudah mengikuti

protokol etik dari World Medical Association Deklarasi Helsinki tahun 2002 dan CIOMS

tahun 2016. Penelitian ini telah mendapatkan

persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran

Universitas Jenderal Achmad Yani (FK Unjani)

Cimahi Indonesia dengan nomor persetujuan

etik 017/UMI.03/2020.15,16

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimental pre-post design sehingga

tidak perlu menggunakan kontrol karena

kelompok responden yang sama diukur sebelum dan sesudah perlakuan. Fokus

penelitian melihat efek gel madu rambutan

standar farmasitikal terhadap kadar MDA

saliva pada mukosa labial inferior responden.

Prosedur Pembuatan Gel Madu Rambutan Alat yang digunakan terdiri dari batang

pengaduk, beaker glass 100 ml, kaca, arloji,

gelas ukur 100 ml, kaca, stemper dan mortar,

sendok stainless stell, viskometer, timbangan, kaca, wadah, sediaan, dan pH meter. Bahan

yang digunakan dalam penelitian ini adalah gel

madu rambutan dengan madu yang berasal dari Pusat Perlebahan Nasional (Pusbahnas) Perum

Pehutani yang sudah distandardisasi di

Laboratorium Teknologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Achmad yani,

Carbopol 940, Na CMC, propil paraben

(C10H12O3), trietanolamin (TEA), dan akuades

(H2O). Pembuatan formulasi sediaan obat gel

madu rambutan dengan menimbang bahan-

bahan yang akan digunakan. Sediaan madu dibuat dalam bentuk gel agar didapatkan suatu

sediaan obat yang stabil dan praktis

diaplikasikan ke mukosa mulut. Carbopol dilarutkan dalam aquades panas sampai larut

ditambah dengan Na CMC yang sudah

dilarutkan dengan akuades panas dan larutkan

madu rambutan setelah itu campurkan larutan propil paraben. Trietanolamin ditambahkan

sedikit demi sedikit dengan kecepatan

pengadukan yang lebih tinggi sampai terbentuk gel yang homogen. Gel madu rambutan diuji

stabilitas sediaannya dan disimpan dalam tube

steril 10ml sebanyak 30 buah tube gel madu.

Pemeriksaan Intra Oral

Pemeriksaan intra oral harus dilakukan

secara berurutan atau sistematik dalam proses screening pasien. Melakukan pemeriksaan

kebersihan mulut menggunakan Oral Hygiene

Index Simplified (OHI-S) dari Green dan Vermillion yang diperoleh dari hasil

penjumlahan antara debris indeks dan kalkulus

indeks. Pemeriksaan bagian mukosa bukal,

mukosa labial, palatum durum, dasar mulut dapat dilihat secara langsung dan tidak

langsung. Pemeriksaan palatum mole berupa

pemeriksaan inpeksi tanpa palpasi. Uvula dilihat dengan cara dicatat panjang atau pendek

atau uvula yang terlihat asimetris pada saat

istirahat. Lidah dapat dilihat secara langsung maupun tidak langsung. Pegang ujung lidah

dengan menggunakan kasa dan gerakkan jari

dan ibu jari tangan yang sama di satu sisi untuk

mengamati batas lateral kemudian ulangi untuk sisi lain. Gunakan kaca mulut untuk memeriksa

bagian batas lateral posterior lidah.17

Page 44: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 111-118

114

Metode Pengumpulan Saliva Metode pengumpulan saliva, terdiri

saliva sebelum aplikasi gel madu rambutan

yaitu saliva dikumpulkan pada pagi hari dan

saliva setelah aplikasi gel madu pada mukosa labial inferior. Prosedur pengumpulan saliva

sebelum diawali responden diminta berpuasa

selama 8 jam untuk tidak mengonsumsi apapun, kecuali air mineral. Responden

diberikan air minum untuk berkumur,

kemudian setelah 5 menit berkumur, responden diminta untuk mengeluarkan saliva. Subjek

mulai dengan membilas mulut mereka beberapa

kali dengan air mineral dan kemudian

beristirahat dengan tenang selama 3 menit. Saliva utuh yang tidak distimulasi (4 ml)

dikumpulkan. Uji coba pengumpulan dimulai

dengan instruksi untuk membersihkan mulut dari saliva dengan menelan. Subjek kemudian

meludahkan saliva yang terakumulasi ke dalam

tabung reaksi yang disterilkan setiap satu menit. Air liur dikumpulkan selama 5 menit.

Simpan tabung di suhu -10°C. Kemudian

dilakukan prosedur aplikasi gel madu rambutan

pada mukosa labial inferior.18 Melakukan isolasi saliva dibagian labial inferior

menggunakan kassa, aplikasikan gel madu

sekitar sebesar biji beras (1,285 gram) ke mukosa labial inferior menggunakan tangan

yang telah memakai handscoon selama 5 menit

sesuai yang prosedur akan dilakukan ketika tata

laksana pengobatan nantinya. Aplikasi gel madu rambutan hanya dilakukan satu kali pada

responden. Saliva didiamkan mengumpul di

dasar mulut selama 3 menit sebanyak 4 ml. Responden diminta untuk meludah tabung yang

telah disiapkan.

Prosedur Pemeriksaan Kadar MDA

Pemeriksaan kadar MDA saliva

menggunakan sebelum dan setelah aplikasi gel

madu rambutan adalah metode TBARs dengan spektrofotometri. Metode TBARs

menggunakan bahan larutan asam asetat (20 ml

asam asetat 96% dalam 76 ml H2O, tentukan pH 3,6), Larutan asam tiobarbiturat (larutkan

0,8 asam 2-tiobarbiturat dengan 7 ml NaOH 1N

tambahkan H2O sampai 100 ml, tentukan pH 3,6), Larutan butylated hydroxytoluene (BHT)

(44 mg butylated hidroxytoluene dalam 5 ml

etanol absolut), larutan EDTA (1,488 g EDTA

dalam 50 ml H2O selalu dibuat baru), dan larutan standar. Prosedur dimulai dengan

memasukkan 400 μl saliva sebelum

diaplikasikan gel madu rambutan ke dalam

tabung reaksi 1 dan diberi label (Snormal), saliva setelah diaplikasikan gel madu rambutan

ke dalam tabung reaksi 2 dan diberi label

(Smadu) kemudian kedua tabung ditambah

akuades 300μl, larutan SDS 200 μl, larutan BHT 50 μl, larutan EDTA 50 μl, larutan asam

asetat 1,5 ml, dan larutan TBA 1,5 ml. Peneliti

kemudian menginkubasi semua tabung dalam waterbath suhu 100 °C selama 30 menit dan

menutup setiap tabung dengan kelereng.

Selanjutnya setiap tabung direndam dalam bak air es. Melakukan sentrifugasi dengan

kecepatan 3000 rpm selama 10 menit.

Mengambil supernatan dari setiap tabung dan

membaca absorbansinya dengan spektrofotometer pada λ 532 nm.19

Analisis Data Analisis data uji statistika menggunakan

Shapiro Wilk Test karena data ≤ 50 untuk uji

normalitas data penelitian. Analisis statistik

untuk data kategorik berpasangan diuji dengan Mc Nemar. Uji Wilcoxon untuk

membandingkan variabel data numerik antara

sebelum dan sesudah perlakuan karena data penelitian tidak berdistribusi normal.

Kemaknaan hasil uji statistik ditentukan

berdasarkan nilai p <0,05. Data hasil penelitian kemudian diolah dan dianalisis dengan program

SPSS versi 24.0 forWindows.

HASIL Hasil penelitian yang dilakukan di

RSGMP Unjani Cimahi didapatkan bahwa

responden berusia 20-23 tahun dengan jumlah 30 responden. Jumlah perempuan 27 orang dan

jumlah laki-laki 3 orang (Tabel 1).

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis

Kelamin

Jenis Kelamin n (%)

Perempuan 27 (90)

Laki-laki 3 (10)

Berdasarkan kategori usia, diketahui usia

responden terdiri dari 20 tahun sebanyak 5

orang, 21 tahun sebanyak 14 orang, 22 tahun sebanyak10 orang, dan 23 tahun sebanyak 1

orang.

Perbandingan Kadar MDA Saliva Sebelum

dan Sesudah Pengaplikasian Gel Madu

Rambutan

Kadar MDA saliva sebelum diaplikasikan gel madu rambutan yang tertinggi

Page 45: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 111-118

115

adalah 1,82 μM dan terendah adalah 0,3 μM. Kadar MDA saliva setelah diaplikasikan gel

madu rambutan yang tertinggi adalah 1,06 μM

dan terendah adalah 0,04 μM. Hasil kadar

rerata MDA (Tabel 3) pada saliva sebelum adalah 0,565 μM dan sesudah adalah 0,362 μM.

Tabel 2. Kadar MDA Sebelum dan Sesudah

Aplikasi Gel Madu Rambutan

Kadar

MDA

(μM)

Rerata Standar

Deviasi

Nilai p N

Sebelum 0,565 0,413 0,001* 30

Sesudah 0,362 0,234 0,002* 30

Keterangan: Uji Wilcoxon, *p < 0,05 bermakna

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui

bahwa hasil uji statistika dengan uji Wilcoxon didapatkan nilai sebelum perlakuan p=0,001

dan nilai setelah perlakuan p=0,002. Menurut

ahli statistik hasil ini menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan bermakna nilai kadar MDA saliva sebelum dan setelah diaplikasikan gel

madu rambutan secara topikal karena nilai p

lebih kecil dari 0,05 (nilai p<0,5). Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa terdapat

perbedaan rerata yang signifikan secara statistik

antara kadar MDA pada saliva sebelum dan sesudah pengaplikasian gel madu rambutan

pada bagian mukosa labial inferior sehat

responden.

PEMBAHASAN

Saliva berfungsi sebagai self cleansing,

penerima ion, lubrikasi, dan buffer saliva. Saliva memiliki sistem antioksidan dengan

berbagai macam variasi. Saliva mempunyai

kandungan enzim dan asam urik yang

merupakan molekul antioksidan paling penting. Kadar enzim dan asam urik terdiri dari 70%

total antioksidan pada saliva.20,21 Penelitian ini

merupakan penelitian awal uji keamanan sediaan gel madu rambutan yang sudah

distandardisasi farmasitikal pada mukosa

mulut. Mukosa mulut labial inferior dipilih karena pertimbangan kemudahan pengamatan

reaksi yang muncul setelah aplikasi gel madu

rambutan. Gel madu rambutan merupakan

suatu sediaan gel dengan isi madu rambutan yang tinggi antioksidan untuk menangkap

radikal bebas.

Madu rambutan dalam sediaan gel kemungkinan memiliki aktivitas antioksidan

karena mengandung flavonoid yang dapat

menyintesis superoksida dismutase yang perannya sama seperti enzim katalase dan

vitamin C. Enzim katalase yang terdapat pada

madu rambutan berfungsi menetralkan dan

mempercepat degradasi senyawa radikal bebas untuk mencegah kerusakan komponen

makromolekul sel termasuk dalam saliva.

Saliva pada kondisi fisiologis menghasilkan radikal bebas MDA karena reaksi reduksi-

oksidasi dalam saliva terus berlangsung.

Aplikasi gel madu rambutan diduga dapat bersifat antioksidan pada saliva karena ketika

aplikasi gel madu rambutan selain secara

topikal terabsorpsi juga dapat larut ke saliva.3

Enzim-enzim antioksidan saliva dapat mengalami penurunan aktivitas akibat kondisi

stres oksidatif. Katalase adalah enzim yang

mengandung heme yang mengkatalis dismutasi hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen.

Enzim ini ditemukan pada semua jenis eukariot

aerob, yang penting untuk memusnahkan H2O2 yang terbentuk dalam peroksisom melalui

reaksi oksidasi, seperti oksidasi asam lemak,

siklus glikosilat (dalam fotorespirasi), dan

katabolisme purin.4 Hal ini dapat terlihat adanya perbedaan kadar MDA saliva sebelum

aplikasi dibandingkan dengan kadar MDA

saliva setelah aplikasi gel madu. Antioksidan apabila tidak mencukupi

dalam tubuh atau saliva dapat diperoleh dari

asupan antioksidan luar. Antioksidan tersebut

diperlukan untuk meredam radikal bebas dengan sifat reaktivitas sangat tinggi. Reaksi

akibat reaktivitas radikal bebas pada fase

awal/fase inisiasi akan menghasilkan reaksi berantai dengan berlangsungnya fase propagasi

dan berakhir di fase terminasi. Salah satu jenis

radikal bebas yang menimbulkan stres oksidatif adalah hydroxyl radical (HO*). Radikal bebas

ini penyebab putusnya membran lipid sel dan

menghasilkan suatu zat toksik malodialdehid

(MDA). Radikal bebas MDA dapat diredam dengan antioksidan enzimatis dan

nonenzimatis.6,21,23

Kondisi ketidakseimbangan antara kadar radikal bebas dalam tubuh dan antioksidan akan

menyebabkan stres oksidatif. Stres oksidatif

terjadi apabila radikal bebas yang dihasilkan lebih besar dari yang diredam oleh mekanisme

pertahanan sel tubuh. Peristiwa stres oksidatif

dapat menimbulkan gangguan fungsi biologis

seperti aktivitas enzim, integrasi membran, hemostasis, fungsi sel bahkan kematian sel.

Stres oksidatif yang menghasilkan radikal

bebas MDA dapat menyebabkan kerusakan

Page 46: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 111-118

116

membran sel, menginaktivasi fungsi protein dalam sel, dan merusak DNA secara tidak

langsung. Kerusakan DNA sel akibat stres

oksidatif disebut oksidasi DNA. Stres oksidatif

yang berkepanjangan dapat menyebabkan radikal bebas merusak membran lipid dari

komponen fosfolipid bilayer dari dinding sel,

sehingga menyebabkan kerusakan sel dan akan menyebar ke kerusakan jaringan. Hal ini

merupakan awal mulai dari proses

etiopatogenesis penyakit kronik, penyakit degeneratif, dan keganasan6,21,23

Pemantauan kadar Malondialdehyde

(MDA) dapat digunakan sebagai indikator

penting proses peroksidasi lipid secara in vitro dan in vivo dalam berbagai gangguan

kesehatan. Pembentukan MDA secara endogen

selama proses stres oksidatif intraseluler dan reaksinya dengan DNA membentuk adisi

MDA-DNA yang menjadikan biomarker

penting dari kerusakan DNA endogen.22 Molekul MDA dapat diturunkan oleh

peroksidasi lipid, tetapi juga bisa dihasilkan

dari metabolisme fisiologis dan merupakan

produk yang sangat mutagen. MDA lebih dari penanda sederhana, tetapi sebagai alarm yang

berisiko tinggi adanya mutasi.26 Antioksidan

dalam sel memiliki konsentrasi rendah dan secara signifikan mengurangi atau mencegah

oksidasi substrat teroksidasi. Antioksidan

dalam sel mempunyai konsentrasi rendah dan

secara signifikan menurunkan atau menghambat oksidasi substrat teroksidasi.

Sumber antioksidan dapat dibagi menjadi dua

macam yaitu antioksidan enzimatik dan non enzimatik yang bekerja sinergis untuk

mencegah sel dan organ sistem tubuh terhadap

kehancuran yang ditimbulkan oleh radikal bebas.27

Madu merupakan produk alam yang

memiliki nutrisi serta sifat terapeutik karena

adanya bahan bioaktif fitokimia. Madu mempunyai sifat antibakteri dan antioksidan.

Antioksidan pada madu terdiri dari komponen

polipenol (asam fenolik dan flavonoid), vitamin C, vitamin E, dan enzim.28 Madu dapat

berperan sebagai antioksidan, antiinflamasi,

antibakteri, antivirus, dan antijamur. Kandungan antioksidan dalam madu dapat

berperan sebagai penyumbang atom hidrogen,

meningkatkan beta karoten, vitamin C,

reduktasi glutation dan asam urik, mengurangi radikal bebas dan metalik ion kelasi yang

berperan sebagai substrat untuk radikal.

Keempat hal yang terkandung dalam madu rambutan tersebut bertujuan untuk

menstimulasi sel melalui struktur molekul

karbohidrat, protein, dan asam nukleat untuk

mengurangi stres oksidatif.29 Madu rambutan memiliki kandungan flavonoid terutama

flavonoid rutin tinggi yang berfungsi sebagai

antioksidan sekunder nonenzimatik. Struktur senyawa fenolik flavonoid dalam madu

rambutan memiliki dampak penting pada

aktivitas pembersihan radikal bebas. Madu rambutan juga mengandung kadar vitamin C

cukup tinggi. Vitamin C merupakan

antioksidan sekunder yang berfungsi meredam

radikal bebas dengan cara mendonorkan elektron bebasnya. Senyawa fenolik dan

vitamin C membantu menjaga membran sel

dalam keadaan normal dengan mengurangi kadar MDA hasil dari reaksi peroksidasi lipid.

Apabila reaksi peroksidasi lipid berkurang oleh

antioksidan dalam madu rambutan maka kadar MDA sel akan menurun. Hal ini terbukti dari

hasil penelitian diatas yaitu setelah aplikasi gel

madu rambutan maka kadar MDA saliva

responden menurun.30

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, penurunan kadar MDA berhubungan terhadap pemberian

aplikasi gel madu rambutan, yang ditandai oleh

adanya penurunan rerata sebelum dan sesudah

pemberian madu. Hal ini menandakan adanya penurunan kadar radikal bebas yang diredam

oleh antioksidan madu rambutan. Perlu

dilakukan penelitian tentang uji invivo dan uji klinik untuk gel madu rambutan sebagai

antioksidan obat luka.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dibantu oleh staf RSGMP

Unjani Cimahi dan Analis Laboratorium

Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi.

DAFTAR PUSTAKA 1. Balogh MB, Fehrenbach MJ. Illustrated

Dental Embryology, Histology, and

Anatomy. 3rd ed. Killney: Elsevier; 2012: 132

2. SJ Farnaud, O Kosti, S.J Getting, and D

Renshaw. Saliva: physiology and

diagnostic potential in health and disease. Scientific World Journal 2010; 10:

434–56.

Page 47: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 111-118

117

3. Khoubnasbjafari M, Ansarin K, Jouyban A. Salivary malondialdehydes as an

oxidatives stress biomarker in oral and

systemic diseases. J Dent Clin Dent

Prospects 2016; 10 (2): 71-4. 4. Palmieri B, Sblendorio V. Oxidative stress

tests: overview on reliability and use. Part

II. Eur. Rev. Med. Pharmacol. Sci 2007; 11: 383–99.

5. Phaniendra A, Jestadi DB, Periyasamy.

Free radicals: Properties, sources, targets, and their implication in various diseases.

Indian J Clin Biochem 2015; 30(1): 11-26.

6. Yuslianti ER. Radikal Bebas dan

Antioksidan. 1st. Yogyakarta: Deepublish; 2017

7. Marlina N, Yuslianti ER, Adiantoro S.

Pengaruh madu rambutan terhadap penyembuhan luka eksisi mukosa mulut

tikus galur wistar dilihat dari luas luka dan

vaskularisasi. Bionatura Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik 2014; 16: 172-75

8. Wulandari DD. Kualitas madu (keasaman,

kadar air, dan kadar gula pereduksi)

berdasarkan perbedaan suhu penyimpanan. Jurnal Kimia Riset 2017; 2(1): 16-17.

9. Sumardhika D. Pengaruh madu topikal

terhadap tingkat kecepatan perbaikan kerusakan kulit leher pascaradioterapi

karsinoma nasofaring. Bandung: Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran 2013.

10. Yuslianti ER, Bachtiar BM, Suniarti DF, Sutjiatmo AB, Mozef T. Effect of

rambutan-honey and its flavonoid on tgf-

β1 induce fibroplasia oral wound healing. Research Journal of Medicinal Plants

2016; 10(8): 439

11. Chayati I. Sifat fisiokimia madu monoflora dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan

Jawa Tengah. Agritecth 2008; 28(1): 10-

11.

12. Yuslianti ER et al. Effect of topical honey pharmaceutical grade on oral mucosa

wound healing based on tissue wound

closure and fibroblast proliferation in vivo. International Journal of Pharmacology

2015; 11(7): 865-69

13. Ansel, H.C. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. IV. Jakarta: Universitas

Indonesia Press; 1989.

14. Balogh MB, Fehrenbach MJ. Illustrated

Dental Embryology, Histology, and Anatomy. 3rd ed. Killney: Elsevier; 2012:

105.

15. Bandewar SV. Cioms 2016. Indian J Med Ethics 2 2017; 138-40.

16. Nicolaides, Angelo. Bioethical

considerations, the common good

approach and some shortfalls of the Belmont Report. Medical Technology SA

2016; 30: 15-24.

17. Faculty of Medicine, Jenderal Achamd Yani University. Buku praktikum

keterampilan medik kedokteran klinik dan

manifestasi oral. Cimahi 2018. 18. Baliga S, Muglikar S, Kale R. Salivary

pH: a diagnostic biomarker. J Indian Soc

Periodontal 2013; 17(04): 461-65.

19. Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani. Buku pedoman praktikum

biomedik dasar 1. Cimahi. 2019.

20. Khalili J, Biloklytska HF. Salivary malondialdehyde levels in clinically

healthy and periodontal diseased

individuals. Oral Diseases 2008; 14: 754-60.

21. Deminice R, Sicchieri T, Payao PO,

Jordao AA. Blood and salivary oxidative

stress biomarkers following and acute session of resistance exercise in humans.

Int J Sports Med 2010; 31(9): 599-603.

22. Banjarnahor SDS, Artanti N. Antioxidant properties of flavonoids. Med J Idones

2014; 23: (4): 239-44.

23. Fogarasi E, Crotoru MD, Fulop I, Nagy E,

Tripon R, Szabo Z, dkk. Malondialdehyde levels can be measured in serum and saliva

by using a fast HPLC method with visible

detetion. Revista romana de medicina de laborator 2016; 24(3): 319-26.

24. Budi AR, Kadri H, Asri A. Perbedaan

kadar malondialdehid pada dewasa muda obes dan non obes di Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas. Jurnal Kesehatan

Andalas 2019; 8: 21-25.

25. Singh Z, Karthigesu IP, Singh P, Kaur R. Use of malondialdehyde as a biomarker

for assessing oxidative stress in different

disease pathologies: a riview. Irian J Publ Health 2014; 43(3): 7-11.

26. Rio DD, Stewart AJ, Pollegrini N. A

review of recent studies on malondialdehyde as toxic molecule and

biological marker of oxidative stress. Nurt

Metab Cardiovasc Dis 2015; 15(4): 316-

28. 27. Kurutas EB. The importance of

antioxidants which play the role in cellular

response against oxidative/nitrosative

Page 48: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 111-118

118

stress: current state. Kurutas Nutrition Journal 2016; 15(71): 1-22.

28. Dzugan M, Tomczyk M, Sowa P, Lejko

DG. Antioxidant activity as biomarker of

honey variety. MDPI 2018; 23(8). 29. Ahmed S, Sulaiman SA, Baig AA,

Ibrahim M, Liaqat S, Fatima S, dkk.

Honey as a potential natural antioxidant medicine: an insight into its molecular

mechanisms of action. Hindawi Oxidative

Medicine and Cellular Longevity 2018; 1-19.

30. Yuslianti ER, Bachtiar BM, Suniarti DF,

Sutjiatmo AB. Antioxidant activity of

rambutan honey: the free radical-scavenging activity in vitro dan lipid

peroxidation inhibition of oral mucosa

wound tissue in vivo. Research Journal Of Medicinal Plants 2015; 9(5): 284-9.

Page 49: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 119-125

119

EFEK EKSTRAK DAUN CEREMAI (PHYLLANTHUS ACIDUS (L.) SKEELS) TERHADAP

PENYEMBUHAN LUKA MUKOSA TIKUS WISTAR (RATTUS NORVEGICUS)

THE EFFECT OF CEREMAI LEAF EXTRACT (PHYLLANTHUS ACIDUS (L.) SKEELS)

ON WOUND HEALING OF WISTAR RATS (RATTUS NORVEGICUS)

Fakhrurrazi, Rachmi Fanani Hakim, Astari Chairunissa

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala Corresponding Author: [email protected]

Abstrak

Luka merupakan terjadinya gangguan pada struktur normal tubuh. Tubuh akan merespon melalui

proses penyembuhan luka. Kerusakan dan regenerasi jaringan memerlukan peran kolagen. Ketika

proses penyembuhan jaringan kolagen disintesis dan didepositkan oleh fibroblas. Daun ceremai bermanfaat untuk penyembuhan luka karena mengandung senyawa aktif Terpenoid, Saponin dan

flavonoid. Tujuan penelitian untuk menetapkan potensi ekstrak daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.)

Skeels) sebagai obat herbal terhadap penyembuhan luka tikus Wistar (Rattus norvegicus). Sepuluh ekor tikus jantan dengan berat 200-300 gram dan usia 8-12 minggu dibagi ke dalam 2 kelompok,

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Luka pada gingiva bagian labial tikus dibuat sepanjang 5

mm dan kedalaman mencapai tulang alveolar. Ekstrak daun ceremai 100% diberikan pada kelompok perlakuan topikal 2 kali sehari selama 7 hari. Akuades diberikan pada kelompok kontrol. Pengamatan

histologis (pewarnaan hematoksilin eosin) menunjukkan hasil rerata jumlah fibroblas pada kelompok

kontrol 20,4±1,3 dan kelompok perlakuan 31,0±3,3. Uji T tidak berpasangan menunjukkan nilai

signifikansi yakni 0,001 (p<0,05) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna jumlah fibroblas pada penyembuhan luka antara ekstrak daun ceremai dibanding kontrol. Ekstrak daun ceremai

konsentrasi 100% mempunyai efek terhadap jumlah fibroblas pada luka gingiva tikus Wistar.

Kata Kunci: Penyembuhan Luka, Ekstrak Daun Ceremai, Fibroblas

Abstract

Injury is a disturbance in the normal structure of the body. The body will respond through the process of wound healing. Tissue damage and regeneration require the role of collagen. When the healing

process of collagen tissue is synthesized and deposited by fibroblasts. Ceremai leaves are useful for

wound healing because they contain the active compounds Terpenoid, Saponin and flavonoids known. The purpose of this study was to determine the effect of ceremai leaf extract (Phyllanthus acidus (L.)

Skeels) on wound healing of Wistar (Rattus norvegicus) wounds. 10 male rats weighing 200-300

grams and aged 8-12 weeks were divided into 2 groups, the treatment group and the control group. The gingival wound in the labial part of the rat was made 5 mm long and the depth reached the

alveolar bone. Ceremai leaf extract was given to the topical treatment group 2 times a day for 7 days.

Aquades are given in the control group. Histological observations showed the average number of

fibroblasts in the control group was 20.4 ± 1.3 and the treatment group was 31.0 ± 3.3. The unpaired T test showed a significance value of 0.001 (p <0.05), indicating that there was a significant

difference in the number of fibroblasts in wound healing between ceremai leaf extract compared to

controls. The 100% concentration of ceremai leaf extract had an effect on the number of fibroblasts in the gingival wound of Wistar rats.

Keywords: Wound Healing, Ceremai Leaf Extract, Fibroblast

Page 50: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 119-125

120

PENDAHULUAN Luka diartikan sebagai terganggu dan

rusaknya struktur serta fungsi normal dari suatu

struktur tubuh.1, 2 Luka dapat diklasifikasikan

berdasarkan banyak aspek. Berdasarkan struktur yang terlibat luka beragam dimulai dari

yang sederhana seperti hilangnya integritas

epitel kulit sampai terjadinya kerusakan struktur lain seperti tulang.2 Terdapat banyak

penyebab terjadinya luka, salah satunya adalah

prosedur perawatan gigi dan mulut seperti ekstraksi, insisi, dan lainnya. Saat mengalami

luka, usaha untuk penyembuhan luka tubuh

akan memberikan respon.3 Proses

penyembuhan luka yang komplek dan dinamis melibatkan beberapa proses koordinasi sel yang

terdiri dari pertama hemostasis, kedua proses

koagulasi, ketiga inisiasi respon mediator inflamasi akut, regenerasi, migrasi dan

proliferasi, serta keempat remodeling untuk

pembentukan kolagen sehingga mendapatkan kembali kontinuitas anatomi dan fungsi struktur

tersebut.1, 2, 4

Pembentukan kolagen dan sel epitel

merupakan proses penyembuhan luka. Kolagen dibutuhkan untuk memperbaiki kerusakan dan

mengembalikan (meregenerasi jaringan)

struktur dan fungsi struktur anatomi tubuh. Fibroblas merupakan sel jaringan ikat berperan

mensintesis dan mendepositkan kolagen untuk

penyembuhan jaringan. Fibroblas berperan

penting dalam penyembuhan luka karena fibroblas berperan membentuk jaringan ikat

yang baru.5-7 Herbal atau ekstrak bahan alami

telah banyak dipercaya dan diteliti dapat digunakan sebagai bahan herbal topikal

penyembuh luka pada hewan coba.5

Salah satu tanaman yang berpotensi adalah daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.)

Skeels). Sebuah tanaman asli India yang secara

tradisional digunakan untuk menyembuhkan

beberapa penyakit inflamasi8 Menurut penelitian Jagessar (2008) daun ceremai

(Phyllanthus acidus (L.) Skeels) mempunyai

daya antimikroba seperti antibakteri dan antijamur.9 Agen antibakteri mengurangi

kolonisasi dan infeksi bakteri luka, untuk

meningkatkan proses penyembuhan. Agen antibakteri memperpendek periode peradangan,

untuk mempersingkat waktu penyembuhan.

Inflamasi merupakan respon pertama selama

masa penyembuhan sebagai mekanisme pertahanan jaringan, durasi yang singkat pada

fase inflamasi dapat mempersingkat proses

penyembuhan luka. 10

Pratiwi dkk. (2013) melaporkan bahwa setelah uji fitokimia, kandungan ekstrak daun

ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) yaitu

senyawa flavonoid, tanin, dan saponin.11

Menurut Afifah dkk. (2013) kandungan simplisia daun ceremai adalah flavonoid,

kuinon, polifenol, saponin, dan terpenoid.12

Triterpenoid dapat memodulasi ekspresi gen pada kultur sel fibroblas.13 Senyawa saponin

dipercaya membantu proses penyembuhan luka

melalui pembentukan kolagen.14 Flavonoid dapat meningkatkan pembentukan kekuatan

dari serat kolagen yang diperlukan dalam

penyembuhan luka.5 Senyawa saponin,

flavonoid, tanin dapat dijadikan obat topikal penyembuh luka karena mempunyai sifat

antibakteri dan antijamur sehingga dapat

mempercepat penyembuhan luka.14 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ekstrak

daun ceremai sebagai obat topikal

penyembuhan luka mukosa oral.

BAHAN DAN METODE

Semua prosedur telah disetujui oleh

Badan Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Syiah Kuala untuk Perawatan

dan Penggunaan Hewan sebelum penelitian

dimulai. Nomor izin etis 011 / KE / FKG / 2020.

Ekstraksi Ekstrak Daun Ceremai

(Phyllanthus acidus (L.) Skeels) Daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.)

Skeels) yang dipilih dan dipisahkan dari daun

rusak sehingga didapatkan daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) yang baik

sebanyak 1 kg.15 Daun ceremai (Phyllanthus

acidus (L.) Skeels) yang telah dikumpulkan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan

selama 7 hari dengan tidak terkena cahaya

matahari langsung.10 Setelah itu, daun yang

mengering dihaluskan menjadi serbuk daun dengan bantuan blender atau grinder dan

disimpan di dalam air-tight container.16, 15

Selanjutnya serbuk daun diletakkan dalam flat bottomed glass container dan direndam dengan

1 L metanol. Lalu ditutup dan dibiarkan selama

3 hari disertai sesekali dilakukan pengadukan dan pengocokan. Hasil campurannya kemudian

difiltrasi menggunakan white cotton material

diikuti dengan filtrasi. Filtrat didapat dari

penguapan menggunakan Whatmann filter paper dan ekstrak daun ceremai (Phyllanthus

acidus (L.) Skeels) didapat dari penguapan

dengan rotary vacuum evaporator.10, 17

Page 51: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 119-125

121

Tahapan Persiapan Tikus Wistar (Rattus

norvegicus)

Tikus putih galur Wistar (Rattus

norvegicus) jantan usia 8-12 minggu dan berat

200-300 gr diadaptasikan dengan lingkungan laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Syiah Kuala dengan cara

dikandangkan secara individual pada suhu ruangan sekitar 250C, ventilasi yang baik. Tikus

diberi makan dengan standart laboratory pellet

diet dan air secara ad libitum selama minimal 5 hari.8,16 Tikus putih galur Wistar (Rattus

norvegicus) dipelihara dalam kandang yang

terbuat dari bahan plastik dengan alas sekam

serta kawat sebagai penutupnya. Kandang tersebut dibersihkan minimal 2 kali dalam

seminggu.18

Pembuatan Luka Insisi pada Gingiva Bagian

Labial Tikus Wistar (Rattus norvegicus) Tikus coba dibagi menjadi dua

kelompok. Masing-masing kelompok terdiri

dari 5 ekor tikus Wistar (Rattus norvegicus)

jantan. Daerah yang dibuat perlukaan adalah

gingiva bagian labial di bawah kedua gigi anterior mandibula. Pertama, semua tikus

dianestesi dengan menggunakan injeksi single

intramuskular 1-2 mg/kg xylazine hydrochloride dan 10 mg/kg ketamine

hydrochloride.5,19 Perlukaan dibuat pada

gingiva bagian labial di bawah kedua gigi

anterior mandibula menggunakan blade dan scalpel sepanjang 5 mm dan kedalaman

mencapai tulang alveolar.17, 20

Aplikasi Ekstrak Daun Ceremai

(Phyllanthus acidus (L.) Skeels) pada Luka

Insisi Pada kelompok perlakuan diaplikasikan

ekstrak daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.)

Skeels) secara topikal dengan kapas steril

sebanyak 100μl setiap harinya sampai hari ke-7. Diaplikasikan 2 kali sehari selama 1 menit,

yaitu pada pagi hari dan sore hari yakni pukul

08.00 dan 16.00 selama 7 hari. Akuades diaplikasikan pada kelompok kontrol.19, 20

Setelah selesai diberikan perlakuan, maka

semua tikus putih Wistar (Rattus norvegicus) jantan kemudian dieutanasia dengan ether,

yakni kapas yang dibasahi dengan ether

diletakkan dalam satu wadah yang sesuai

dengan besar hewan cobanya.21 Kemudian tikus Wistar dimasukkan satu per satu ke dalam

wadah tersebut ditunggu hingga mati. Setelah

dilakukan pemotongan jaringan maka tikus Wistar dikuburkan.22

Pembuatan dan Pengamatan Preparat

Histologi Bagian yang diberi perlakuan dilakukan

pemotongan jaringan dan difiksasi dengan cara

memasukkan potongan jaringan ke dalam larutan Neutral Buffer Formalin (10%) selama

18-24 jam.57 selanjutnya jaringan dipotong

dengan ketebalan sekitar 2-3 mm. Perendaman bertingkat, pertama dalam alkohol 70%

dilakukan selama 15 menit, selanjtnya alkohol

80% selama 1 jam, dan alkohol 95% selama 2

jam, 96% selama 1 jam dan alkohol 100% selama 3 jam. Perendaman dalam larutan xylol

(clearing) dialkukan sebanyak 3 kali pada

wadah yang berbeda dengan rentang waktu 1 jam, 2 jam dan 2 jam pada perendaman

terakhir. Setelah itu jaringan diinfiltrasi dengan

menggunakan paraffin selama 1,5 jam.17, 23

Selanjutnya dilakukan penanaman jaringan

pada paraffin block dan pemotongan jaringan

dengan menggunakan mikrotom dengan

ketebalan 5mikron.24 Kemudian jaringan diletakkan pada water bath. Selanjutnya,

potongan jaringan dipindahkan ke object glass

yang sebelumnya telah dioleskan albumingliserin sebagai perekat didiamkan

selama 12 jam.23, 24 Lalu dimasukkan ke dalam

2 tabung larutan xylol selama 2-3 menit,

kemudian 4 tabung alkohol masing-masing selama 3 menit, dan air mengalir sampai bersih.

Setelah itu dilakukan pewarnaan preparat

dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin eosin (HE) dengan 3 tahap yaitu pewarnaan,

dehidrasi dan penjernihan. Pewarnaan

dilakukan dengan pewarna utama hematoxylin selama 10-15 menit, cuci dengan air mengalir

selama 20 menit, celupkan ke dalam acid

alcohol, celupkan ke dalam air dan lakukan

dengan pewarna pembanding dengan eosin 10-15 menit. Dehidrasi dilakukan dengan

menggunakan alkohol 70%, 80%, 96%, dan

100% masing-masing selama 2-3 menit. Penjernihan dilakukan dengan larutan xylol

selama 60 menit dan diulangi agar hasil

pewarnaan dapat terlihat dengan jelas. Sediaan preparat dikeringkan dan ditetesi dengan

perekat permount dan kemudian ditutup dengan

cover glass dan ditunggu beberapa menit

hingga perekatnya mengering.17, 23 Preparat dapat diamati dengan menggunakan mikroskop

dengan pembesaran 400x dan pengamatan

dengan 5 lapangan pandang untuk melihat

Page 52: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 119-125

122

jumlah fibroblas yang ada.20, 21 Pengamatan dan perhitungan dengan 5 lapangan pandang adalah

melakukan perhitungan sebanyak 5 kali

pergantian lapangan pandang berbeda yang

tampak dalam lensa objektif dengan cara menggeser lensa ke bagian atas, tengah dan

bawah preparat. Kemudian hasilnya

dijumlahkan dan diambil nilai rata-ratanya untuk mendapatkan jumlah fibroblas setiap

preparat.25-27

HASIL

Pengamatan dan perhitungan jumlah

fibroblas pada preparat dilakukan dengan

menggunakan mikroskop Olympus BX 41 dengan 400x pembesaran dan 5 lapangan

pandang setiap preparat. Pengamatan ini

dilengkapi dengan kamera digital DP-12. Data

hasil perhitungan jumlah fibroblas menunjukkan nilai rata-rata luka tikus

kelompok perlakuan sebanyak 31,0±3,3.

Sementara luka tikus kelompok kontrol

mempunyai rata-rata jumlah fibroblas sebanyak 20,4±1,3. Berdasarkan pengamatan histologi

yang dilakukan, menunjukkan bahwa jumlah

fibroblas pada kelompok perlakuan lebih banyak dibandingkan dengan pada kelompok

kontrol.

Tabel 1. Hasil Nilai Rata-Rata Jumlah Fibroblas

Gambar 1. Gambaran Histologi Fibroblas (menggunakan pewarnaan HE) pada Kelompok Kontrol (A) dan

Kelompok Perlakuan (B) Diamati menggunakan mikroskop cahaya (pembesaran 400x)

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini didapatkan dengan menghitung rerata jumlah fibroblas. Pada

kelompok kontrol rerata jumlah fibroblas

adalah 20,4±1,3. Rerata jumlah fibroblas pada

kelompok perlakuan, yaitu 31,0±3,3. (Tabel 1.) Analisis uji t tidak berpasangan didapat nilai

p=0,001 (p<0,05) menunjukkan terdapat

perbedaan bermakna antara jumlah fibroblas

kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok perlakuan. Hal ini sesuai dengan

hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Pradita (2013) mengenai periodontal dressing dengan kandungan epigallocathechin

gallate teh hijau meningkatkan sel fibroblas

setelah perlukaan gingiva yang menyimpulkan

bahwa rerata jumlah fibroblas pada kelompok perlakuan lebih banyak dibandingkan

kelompok kontrol dikarenakan terdapat

senyawa aktif yang diperlukan dalam

penyembuhan luka.28 Sementara pada kelompok kontrol hanya diaplikasikan akuades.

Proses penyembuhan luka terjadi secara

teratur bertujuan untuk mengembalikan

keutuhan jaringan yang telah rusak.29 Proses penyembuhan luka dipengaruhi juga oleh

jaringan dan jenis luka.30 Penyembuhan primer

terjadi pada luka yang tidak terinfeksi, bersih, dan luka segera melekat dengan bantuan

jahitan. Luka mengalami penyembuhan

sekunder jika penyembuhannya berjalan secara alami, jaringan granulasi dan epitel akan

mengisi bagian jaringan yang terluka.29, 30

Pada kelompok kontrol tetap terjadi

penyembuhan luka karena proses penyembuhan yang berlangsung adalah proses penyembuhan

yang normal, yakni mengalami fase hemostasis,

inflamasi, proliferasi dan remodeling. Setelah

Variabel Kelompok Mean±SD

Jumlah Fibroblas Perlakuan

Kontrol

31,0±3,3

20,4±1,3

Page 53: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 119-125

123

terjadi dilatasi pembuluh darah daerah luka, maka sel darah putih (neutrofil, eosinofil),

monosit, makrofag sebagai sel inflamasi akut

bermigrasi ke jaringan luka.31,32 Fase ini

merupakan fase inflamasi dimana neutrofil dan makrofag merupakan sel dominan yang

berperan untuk memfagosit mikroorganisme

dan sel-sel mati.31 Kemudian makrofag, limfosit, dan trombosit merangsang

pembentukan fibroblas dengan mensekresikan

sitokin (IL-1 dan TNF) dan faktor pertumbuhan seperti TGF-β, bFGF, PDGF. PDGF (platelet-

derived growth factor) menginduksi migrasi

dan proliferasi fibroblas, sel otot polos dan

monosit. bFGF (basic fibroblast growth factor) memediasi makrofag dan fibroblas di bagian

terjadinya luka dan menginduksi tahapan untuk

angiogenesis. TGF- β (transforming growth factor- β) menginduksi sintesis dan sekresi

PDGF, merangsang kemotaksis fibroblas dan

produksi kolagen.29 Fibroblas adalah sel yang dominan dalam

fase proliferasi.28 Fibroblas bermigrasi dan

berproliferasi untuk membentuk jaringan ikat

baru dan mensintesis kolagen yang mempengaruhi tensile strength dan kekuatan

pada tempat penyembuhan luka.33 Peningkatan

fibroblas pada kelompok perlakuan terjadi disebabkan kelompok perlakuan diaplikasikan

ekstrak daun ceremai yang kandungannya

adalah senyawa aktif seperti flavonoid,

saponin, alkaloid, polifenol dan steroid. Senyawa aktif ini dapat berpengaruh dalam

proses penyembuhan luka. Efek utama dari zat

aktif pada ekstrak tanaman yang mempunyai potensi terhadap penyembuhan luka adalah zat

yang mempunyai aktivitas antimikroba, zat

yang bermanfaat sebagai antioksidan, serta komponen aktif yang meningkatkan proliferasi

sel, angiogenesis, produksi kolagen.34

Senyawa yang dikenal mempunyai

kemampuan sebagai antioksidan adalah polifenol dan flavonoid.35,36 Senyawa yang

berperan sebagai antioksidan dapat mencegah

terjadinya kerusakan atau nekrosis jaringan dengan cara meningkatkan vaskularisasi dan

menghambat lipid peroksidasi. Terhambatnya

lipid peroksidasi diketahui dapat meningkatkan kekuatan serabut kolagen dengan meningkatkan

sintesis DNA pembentuk kolagen tersebut,

yakni IGF-1 (insulin-like growth factor) yang

berperan sebagai mediator proliferasi fibroblas dan sintesis kolagen. 32,35,37 Flavonoid diketahui

dapat menghambat TNF-α yang berperan dalam

apoptosis sel fibroblas.32 Selain itu, flavonoid

mempunyai daya antibakteri yang berfungsi sebagai kontrol infeksi dari mikroorganisme.38

Alkaloid diketahui dapat menstimulasi

fibroblas sehingga meningkatkan produksi

kolagen.39 Steroid merupakan senyawa

antiinflamasi. Aktivitas antiinflamasi dapat

mencegah terjadinya inflamasi yang berkepanjangan, sehingga mempercepat

penyembuhan luka.37 Saponin adalah senyawa

aktif yang juga mempunyai aktivitas sebagai antioksidan dan antimikroba. Selain itu,

saponin dapat meningkatkan proliferasi

fibroblas dan sintesis matriks ekstraseluler yang

baru yang berkaitan dengan pembentukan kolagen tipe I dan III.40 Menurut Kanzaki

(1998), saponin mempengaruhi dan

meningkatkan sintesis dari TGF- β. TGF- β dilepaskan oleh platelet, makrofag, dan limfosit

T dan berfungsi sebagai sinyal utama yang

meregulasi fungsi fibroblas sehingga jumlah fibroblas meningkat.41

KESIMPULAN

Berdasar penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun ceremai

(Phyllanthus acidus (L.) Skeels) berpotensi

sebagai bahan herbal topikal penyembuh luka mukosa oral, seperti tampak dari studi ini

berdasarkan perbedaan signifikan jumlah

fibroblas pada luka gingiva tikus Wistar (Rattus

norvegicus) yang diaplikasikan ekstrak daun ceremai.

DAFTAR PUSTAKA 1. Lazarus GS, Cooper DM, Knighton DR, et

al. Definitions and Guidelines for

Assesment of Wounds and Evaluation of Healing. Wound Repair and Regeneration

1994; 2(3): 165-70.

2. Velnar T, Balley T, Smrkolj V. The

Wound Healing Process : an Overview of the Cellular and Molecular Mechanisms.

Journal of International Medical Research

2009; 37(5): 1528-42. 3. Peterson LJ. Principles of Uncomplicated

Exodontia. In: Peterson, Ellis, Hupp JR,

Tucker MR, editors. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 4 ed. United

State of America: Mosby; 2003: 114.

4. Orsted HL, Keast D, RN LF-L, Francoise

M, MD M. Basic Principles of Wound Healing. Wound Care Canada 2011; 9(2):

4-10.

Page 54: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 119-125

124

5. Al-Henhena N, Mahmood AA, Al-Magrami A, et al. Histological Study of

Wound Healing Potential by Ethanol Leaf

Extract of Strobilanthes crispus in Rats.

Journal of Medicinal Plants Research 2011; 5(16): 3660-66.

6. Diegelmann RF, Evans MC. Wound

Healing: An Overview of Acute, Fibrotic and Delayed Healing. Frontiers in

Bioscience 2004; 9: 283-89.

7. Montesano R, Orci L. Transforming growth factor f3 stimulates collagenmatrix

contraction by fibroblasts: Implications for

wound healing. Proc. Natl. Acad. Sci

Medical Sciences 1988; 85: 4894-97. 8. Chakraborty R, De B, Devanna N, Sen S.

Antiinflammatory, antinociceptive and

antioxidant activities of Phyllanthus acidus L. extracts. Asian Pacific Journal of

Tropical Biomedicine 2012; 12: 953-61.

9. Jagessar RC, Mars A, G G. Selective Antimicrobial properties of Phyllanthus

acidus leaf extract againts Candida

albicans, Escherichia coli and

Staphylococcus aureus using Stokes Disc diffusion, Well diffusion, Streak plate and

a dilution method. Nature and Science

University of Guyana 2008; 6(2): 24-38. 10. Negut I, Grumezescu V, Grumezescu AM.

Treatment Strategies for Infected Wounds.

Molecules. 2018; 23(9): 2392.

11. Pratiwi YC, Haryono T, Rahayu YS. Efektivitas Ekstrak Daun Ceremai

(Phyllanthus acidus) terhadap Mortalitas

Larva Aedes aegypti Lentera Bio Journal Universitas Negeri Surabaya 2013; 2(3):

197-201.

12. Shilali K, Ramachandra YL, Rajesh KP, BE KS. Assessing The Antioxidant

Potential Of Phyllanthus Acidus Bark

Extracts. International Journal of

Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 2014; 6(6): 522-31.

13. Coldren CD, Hashim P, Ali JM, et al.

Gene Expression Changes in the Human Fibroblast Induced by Centella asiatica

Triterpenoid. Planta Med 2003; 1(69):

725-32. 14. Oktiarni D, Manaf S, Suripno Pengujian

Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava

Linn.) Terhadap Penyembuhan Luka

Bakar Pada Mencit (Mus musculus). Bengkulu: Program Studi Kimia Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Bengkulu.

[http://repository.unib.ac.id/396/1/2-Dwita%20Gradien.pdf. Accessed 22 Mei

2014].

15. Prakash NKU, Bhuvaneswari S, Divyasri

D, et al. Studies on the Phytochemistry and Bioactivity of Leaves of Few Common

Trees in Chennai, Tamil Nadu, India.

International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 2013; 5: 88-91.

16. Yanadaiah JP, Lakshmi SM, Jayaveera

KN, Sudhakar Y, Reddy KR. Assesment of Antidiabetic Activity of Ethanol

Extracts of Phyllanthus acidus Linn and

Basella rubra Linn Leaves Against

Streptozotocin Induced Diabetes in Rats. International Journal of Universal

Pharmacy and Bio Sciences 2012; 1(2):

77-84 17. Cahyani D. Pengaruh ekstrak daun andong

(Cordyline fruticosa) terhadap jumlah

fibroblas gingiva tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan secara histopatologis

(pada hari ke-7). Skripsi. Banda Aceh:

Universitas Syiah Kuala; 2014: 24-25.

18. Hudson A, Romagnano A. Mice, Rats, Gerbils, and Hamsters. In: Bonnie B,

Cheek R, editors. Exotic Animal Medicine

for The Veterinary Technician. 2 ed. Iowa: Blackwell Publishing; 2010: 295-96.

19. Agdelia G, Dewi AH, Wahyudi IA.

Pengaruh Pemberian Gel Kitosan 3%

terhadap Kekuatan Tarik Kulit Tikus dalam Proses Penyembuhan Luka Pasca

Insisi (Kajian in vivo). Proceeding Book

Lustrum FKG UGM 13 The International Symposium on Oral and Dental Sciences.

Yogyakarta: FKG Universitas Gadjah

Mada; 2013; 124-28. 20. Indraswary R. Efek Konsentrasi Ekstrak

Buah Adas (Foeniculum vulgare Mill.)

Topikal Pada Epitelisasi Penyembuhan

Luka Gingiva Labial Tikus Sparague Dawley In Vivo. Jurnal Majalah Ilmiah

Sultan Agung 2011; 49(124).

21. Prabakti Y. Perbedaan Jumlah Fibroblas Di Sekitar Luka Insisi Pada Tikus Yang

Diberi Infiltasi Penghilang Nyeri

Levobupivakain Dan Yang Tidak Diberi Levobupivakain. Tesis. Semarang:

Universitas Diponegoro; 2005: 35.

22. Noorrafiqi MI, Yasmina A, Hendriyono F.

Efek Jus Buah Karamunting (Melastoma malabathricum L.) Terhadap Kadar

Trigliserida Serum Darah Tikus Putih yang

Page 55: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 119-125

125

Diinduksi Propiltiourasil. Berkala Kedokteran 2013; 9(2): 219-27.

23. Syawat M. Potensi Pemberian Ekstrak

Umbi Teki (Cyperus rotundus L) Terhadap

Jumlah Neutrofil Jaringan Granulasi Post Ekstraksi Gigi Tikus Wistar Jantan.

Skripsi.Jember: Universitas Jember; 2012;

5. 24. Balqis U, Rasmaidar, Marwiyah.

Gambaran Histopatologis Penyembuhan

Luka Bakar Menggunakan Daun Kedondong (Spondias dulcis F.) dan

Minyak Kelapa pada Tikus Putih (Rattus

norvegicus). Jurnal Medika Veterinaria

2014; 8(1): 31-36. 25. Nurdan C, Erdem, Ozben. Evaluation of

the Effects of Losartan on a Random

Pattern Skil Flap Model in Rats. Turkish Journal of Trauma & Emergency Surgery

2011; 17(2): 97-102.

26. Sihardo L. Pengaruh Pemberian Minyak Pandanus conoideus terhadap Gambaran

Histologis Ginjal pada Mencit Swiss yang

Diinfeksi Plasmodium berghei Anka.

Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2006: 6.

27. Putri SS. Potensi Perasan Daun Pepaya

(Carica Papaya L.) Terhadap Jumlah Sel Fibroblas Pasca Gingivektomi Pada Tikus

Wistar Jantan. Skripsi. Jember: Universitas

Jember; 2012; 33-34.

28. Pradita AU, Dhartono AP, Ramadhany CA, Taqwim A. Periodontal Dressing-

containing Green Tea Epigallocathechin

gallate Increases Fibroblasts Number in Gingival Artifical Wound Model. Journal

of Dentistry Indonesia 2013; 20(3): 68-72.

29. Mitchell RN, Cotran RS. Pemulihan Jaringan: Regenerasi dan Fibrosis Sel. In:

Kumar V, Cotran RS, Robbins SL, editors.

Robbins Buku Ajar Patologi. Jakarta:

EGC; 2007: 78. 30. Sugiaman VK. Peningkatan Penyembuhan

Luka di Mukosa Oral Melalui Pemberian

Aloe Vera (Linn.) secara Topikal. Jurnal Kedokteran Maranatha 2011; 11(1): 70-

79.

31. Dewi IALP, Damriyasa IM, Dada IKA. Bioaktivitas Ekstrak Daun Tapak Dara

(Catharanthus roseus) Terhadap Periode

Epitelisasi Dalam Proses Penyembuhan

Luka Pada Tikus Wistar. Indonesia Medicus Veterinus 2013; 2(1): 58-75.

32. Sabirin IPR, Maskoen AM, Hernowo BS.

Peran Ekstrak Etanol Topikal Daun

Mengkudu (Morinda citrifolia L.) pada Penyembuhan Luka Ditinjau dari

Imunoekspresi CD34 dan Kolagen pada

Tikus Galur Wistar. Majalah Kedokteran Bandung 2013; 45(4): 226-33.

33. Hanna JR, JA G. A Review of Wound

Healing and Wound Healing Dressing Products. Journal of Foot and Ankle

Surgery 1997; 36(1): 2-14.

34. Ghosh PK, Gaba A. Phyto-Extracts in

Wound Healing. Journal Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 2013; 16(5):

760-820.

35. Redha A. Flavonoid:Struktur, Sifat Antioksidatif dan Peranannya dalam

Sistem Biologis. Jurnal Belian 2010; 9(2):

196-202. 36. N Tamilselvi, Krishnamoorthy P,

Arumugam P, Sagadevan E. Analysis of

total phenols, total tannins and screening

of phytocomponents in Indigofera aspalathoides (Shivanar Vembu) Vahl EX

DC. Journal of Chemical and

Pharmaceutical Research 2012; 4(6): 3259-62.

37. Arun M, Satish S, Anima P. Herbal Boon

For Wounds. International Journal of

Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 2013; 5(2): 1-12.

38. Subekti EN Penyembuhan Luka dengan

Jati. Surabaya: Universitas Airlangga. [http://skp.unair.ac.id/repository/webpdf/w

eb_Penyembuhan_luka_dengan_jati_ERLI

SA_NURWAHIDA_SUBEKTI.pdf.] Accessed 30 April 2014.

39. Werning JW. Oral Precancer. In: Werning

JW, editor. Oral Cancer: Diagnosis.

Management, and Rehabilitation. Stuttgart: Thieme; 2011: 15.

40. Exclusive NA. Asiatic Centella Eco.

Provital Group Natural Efficacy 2011; 1(3): 1-8.

41. Kanzaki T, Morisaki N, Shiina R, Saito Y.

Role of Transforming Growth Factor-Beta Pathway in the Mechanism of Wound

Healing by Saponin from Ginseng Radix

rubra The British Journal Pharmacology

1998; 125(2): 255-62.

Page 56: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 126-131

126

HUBUNGAN ANTARA STATUS MENTAL DENGAN ASUPAN NUTRISI PADA LANSIA

RELATIONSHIP BETWEEN MENTAL STATUS AND NUTRITION INTAKE OF

ELDERLY

Juanita1, Budi Satria

2

1Bagian Keilmuan Keperawatan Gerontik, Fakultas Keperawatan, Universitas Syiah Kuala 2Bagian Keilmuan Keperawatan Komunitas, Fakultas Keperawatan, Universitas Syiah Kuala

Corresponding Author: [email protected]

Abstrak

Lansia mengalami perubahan normal berupa penurunan fungsi status mental. Perubahan ini dapat

berpengaruh terhadap kemampuan lansia melakukan aktifitas sehari-hari terutama kemampuan untuk

makan, sehingga berpengaruh pada asupan nutrisi lansia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan status mental dengan asupan nutrisi pada lansia. Adapun populasi penelitian ini

adalah seluruh lanjut usia yang berada di wilayah kerja Puskesmas Darussalam Aceh Besar, sebesar

102 responden yang teknik pengambilan sampelnya menggunakan teknik non probability sampling yaitu purposive sampling sebesar 102 responden. Alat pengumpulan data menggunakan kuesioner

short portable mental status questionnaire (SPMSQ) dan kuesioner perilaku asupan nutrisi dalam

bentuk skala likert. Selanjutnya, data dianalisis menggunakan uji chi-square. Hasil Penelitian menemukan adanya hubungan antara status mental dengan asupan nutrisi lansia (p = 0.011), yaitu

lansia yang memiliki fungsi mental yang baik akan memiliki asupan nutrisi yang baik pula. Oleh

karena itu, diharapkan kepada pemberi asuhan, terutama keluarga, untuk membantu memenuhi asupan

nutrisi lansia dengan penurunan fungsi mental ini sehingga dapat menjaga dan meningkatkan kesehatannya.

Kata Kunci: Status Mental, Asupan Nutrisi, Lansia

Abstract

Elderly had a normal change such as decreased of mental status function. This change could affected

the elderly ability to perform daily activities, especially the ability to eat, so that it was affected the nutritional intake of the elderly. The purpose of this study was to determine the relationship between

mental status and nutritional intake in the elderly. The study population was all elderly who are in the

working area of Public Health Center at Darussalam, where the sampling technique used the Non Probability Sampling technique such as Purposive Sampling of 102 respondents. Data collection tools

were used the Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ) and Nutrition Intake behavior

questionnaire in the form of a Likert scale. Next, the data were analyzed using the Chi-Square test. The results of the study found that there was a relationship between mental status and nutritional

intake of the elderly (p = 0.011), where the elderly who had a good mental function will also had a

good nutrition. Therefore, it was expected that caregivers, especially families, help the elderly who

had decreased a mental function to fulfill the nutrition so that they could maintained and improved the health of the elderly.

Keywords: Mental Status, Nutrition Intake, Elderly

Page 57: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 126-131

127

PENDAHULUAN Meningkatnya usia harapan hidup pada

lansia, memiliki dampak positif dan negatif

bagi kesehatan. Berdampak positif apabila

lansia tersebut berada dalam keadaan sehat, aktif dan produktif. Sedangkan berdampak

negatif, apabila terjadi peningkatan biaya

pelayanan kesehatan akibat bertambahnya lansia yang menderita penyakit, penurunan

pendapatan dan peningkatan disabilitas, karena

secara biologis lansia memiliki masalah penurunan kesehatan akibat penuaan.1

Perubahan normal akibat proses penuaan

salah satunya adalah penurunan fungsi kognitif.

Namun, perubahan ini bervariasi sesuai dengan individu masing-masing. Menurut Fratiglioni,

Launer, & Andersen (2000) demensia

merupakan penyebab utama disabilitas dan kematian pada lansia di dunia. Di Asia, yang

sebelumnya prevalensi demensia rendah

dibandingkan dengan daerah barat, namun mengalami perubahan yang menunjukkan

peningkatan prevalensi demensia sama secara

global.2 Hal ini disebabkan karena adanya

peningkatan jumlah lansia, urbanisasi, reaksi lingkungan, etnisitas dan kemajuan dalam

mendeteksi kejadian demensia.3 Selain itu,

perubahan fungsi kognitif ini memiliki pengaruh terhadap kemampuan lansia

melakukan kegiatan sehari-hari termasuk

dengan asupan nutrisi lansia.

Malnutrisi merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering dialami oleh lanjut usia.

Masalah dalam pemenuhan asupan nutrisi dapat

dibagi menjadi tiga kelompok yaitu, malnutrisi umum, defisiensi nutrien tertentu dan obesitas.4

Prevalensi lanjut usia yang mengalami

malnutrisi di Indonesia sudah mencapai angka yang cukup besar yaitu 17-65% (Morley &

Silver, dikutip dari Rohmawati, Asdie &

Susetyowati, 2015) Berdasarkan hasil

penelitian Rohmawati, Asdie dan Susetyowati (2015), didapatkan bahwa sekitar 25,9% lanjut

usia di kota Padang mengalami kekurangan

asupan gizi. Sama halnya dengan Denpasar, setengah sampel mengalami permasalahan

dalam status gizi, yaitu gizi lebih (14,64%),

status gizi normal (43,9%), dan status gizikurang (41,46%).5 Selanjutnya, penelitian

yang dilakukan oleh Nazari, Yusuf, & Tahlil

(2016) mengungkapkan bahwa sekitar 86 lansia

atau 8,6% dari jumlah lansia di Ulee Kareng Banda Aceh mengalami obesitas.6 Berdasarkan

penelitian sebelumnya tersebut dapat dilihat

bahwa lansia beresiko mengalami malnutrisi.

Malnutrisi pada lansia dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya kondisi gigi

dan mulut lansia. Terjadinya perubahan

morfologi akan menyebabkan perubahan

fungsional sampai perubahan patologi, diantaranya gangguan mengunyah dan

menelan, perubahan nafsu makan, sampai pada

berbagai penyakit.7 Kehilangan gigi merupakan suatu

keadaan ketidakadaan gigi seseorang dari

soketnya yang disebabkan oleh pencabutan karena karies, penyakit periodontal, trauma,

dan penyakit sistemik. Kehilangan gigi

biasanya terjadi pada lansia, hal ini dapat

mengganggu fungsi pengunyahan, fungsi temporomandibular joint (TMJ), dan psikologis

yaitu estetika dan fungsi bicara. Selain itu,

kehilangan gigi pada lansia ini dapat mempengaruhi asupan nutrisi di mana lansia

cenderung memilih makanan yang lunak atau

mudah untuk dikunyah sehingga asupan nurtrisi berkurang dan dapat terjadi masalah gizi pada

lansia.8,9

Malnutrisi sangat penting ditangani

dalam meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup lansia. Hal ini berkaitan dengan

morbiditas dan mortalitas lansia10, serta

gangguan kemampuan fungsional pada tahap kehidupan lansia.11 Studi sebelumnya

mengungkapkan bahwa malnutrisi sering

terjadi pada lansia dengan demensia.12 Selain

itu, studi oleh Khater dan Abouelezz (2011), menemukan bahwa malnutrisi dan resiko

malnutrisi signifikan tinggi pada lansia dengan

gangguan fungsi kognitif sedang (mild cognitive impairment) dibandingkan dengan

lansia yang memiliki fungsi kognitif normal

(p=0.002).13 Oleh karena itu, penulis ingin meneliti dan mengetahui bagaimana hubungan

status mental dengan asupan nutrisi lansia,

karena masih belum jelas bagaimana

pemenuhan asupan nutrisi lansia yang menyebabkan mereka berisiko menderita

malnutrisi.

METODE

Desain penelitian deskriptif korelatif

dengan pendekatan cross-sectional study pada lansia yang tinggal di komunitas, terutama yang

tinggal di wilayah kerja Puskesmas Darussalam

Aceh Besar, yang berasal dari 29 desa

berjumlah 1.419 orang. Teknik pengambilan sampel penelitian

ini menggunakan teknik purposive sampling

dengan kriteria sebagai berikut: bersedia

Page 58: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 126-131

128

menjadi responden, berumur ≥60 tahun, dapat berkomunikasi dengan baik, dan dapat

mendengar dengan jelas. Selanjutnya, jumlah

sampel yang digunakan dalam penelitian ini

ditentukan dengan menggunakan rumus slovin14, sebesar 93 sampel dan untuk

mencegah drop out sampel ditambah 10%

menjadi 102 sampel. Penelitian ini menggunakan short

portabel mental status questionnaire (SPMSQ)

untuk menentukan status mental lansia, kuesioner ini sudah baku. Sementara, asupan

nutrisi dinilai dengan kuesioner yang

dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan

literatur yang telah direview. Kuesioner ini terdiri dari 14 item pertanyaan dalam bentuk

skala Likert. Kuesioner ini sudah dilakukan uji

validitas dan reliabilitas pada 20 orang lansia dengan hasil Cronbach’s alpha kuesioner

asupan nutrisi sebesar 0,930. Kemudian, data

dianalisis dengan Chi-Square test untuk melihat hubungan status mental dengan pemenuhan

asupan nutrisi pada lansia.

HASIL Tabel 1. Data Demografi dan Kondisi Klinis Responden (n=102)

No Demografi Frekuensi Persentase

1. Jenis Kelamin

a. Laki-laki

b. Perempuan

37

65

36,3

63,7

2. Usia (WHO, 2018)

a. Elderly

(>60-79)

b. Oldest old

(>79)

95

7

93,1

6,9

3. Status Perkawinan

a. Menikah

b. Janda/ Duda

61

41

59,8

40,2 4. Pendidikan

a. Rendah

b. Sedang

c. Tinggi

76

13

13

74,5

12,7

12,7

5. Pekerjaan

a. Tidak bekerja

b. Petani

c. Pedagang

d. Pensiunan

51

23

14

14

50,0

22,5

13,7

13,7

6. Penghasilan

a. < 2.900.000 b. > 2.900.000

70 32

68,6 31,4

7. Penyakit

a. Tidak Ada

b. Single

morbidity c. Multiple

morbidity

23

39

40

22,5

38,2

39,2

No Demografi Frekuensi Persentase

8. Lama Menderita

Penyakit

a. < 5 tahun

b. ≥ 5 tahun

75

27

73,5

26,5

9. Konsumsi Obat

a. Ada b. Tidak Ada

58 44

56,9 43,1

10. Sumber Informasi

a. Tidak Ada

b. Keluarga

c. Media Cetak

d. Petugas

Kesehatan

29

33

3

37

28,4

32,4

2,9

36,3

11. Family Caregiver

a. Anak

b. Pasangan

c. Saudara

Kandung d. Cucu

57

34

3

8

55,9

33,3

2,9

7,8

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Status Mental

Reponden (n=102)

No Status Mental Frekuensi Persentase

1

2

3

Utuh

Kerusakan Ringan

Kerusakan Sedang

78

20

4

76,5

19,6

3,9

Tabel 3. Distribusi Asupan Nutrisi Responden

(n=102)

Tingkat Perilaku Frekuensi Persentase

Kurang 58 56,9

Baik 44 43,1

Tabel 4. Hubungan Status Mental Dengan Asupan

Nutrisi (n=102)

Status

Mental

Asupan Nutrisi Total p-value

Baik Kurang

F % F % F %

Utuh 38 37,3 40 39,2 78 76,5 0.011

Ringan 3 2,9 17 16,7 20 19,6

Sedang 3 2,9 1 0,98 4 3,9

Total 44 43,1 58 56,9 102 100

Tabel 4 menunjukkan adanya hubungan

antara status mental dengan asupan nutrisi pada lansia (p<0.05).

PEMBAHASAN Pada tabel 2 menunjukkan hasil bahwa

status mental lansia sebagian besar memiliki

status mental yang utuh yakni 78 lansia

(76,5%), namun ada 20 lansia (19,6%) dan 4

Page 59: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 126-131

129

lansia (3,9%) yang mengalami kerusakan ringan. Hal ini sejalan dengan penelitian

Maryati, Bhakti dan Dwiningtyas (2013) yang

mengatakan bahwa kemampuan manusia untuk

memperlihatkan fungsi kognitif tergantung pada fungsi otak. Apabila otak mengalami

kerusakan atau penuaan seperti pada lansia,

maka penurunan fungsi kognitif akan terjadi. Hal ini dapat diketahui dari fungsi intelektual,

sosial dan pekerjaan yang mulai menurun

hingga menyebabkan ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhan.15

Pada tabel 3 mengenai asupan nutrisi,

didapatkan hasil bahwa sebagian besar

responden memiliki asupan nutrisi yang kurang baik yaitu sebanyak 58 responden (56,9%).

Sedangkan 44 responden (43,1%) memiliki

asupan nutrisi baik. Umumnya, penuaan selalu diiringi dengan munculnya berbagai masalah

kesehatan. Untuk mengatasi hal tersebut, lansia

harus mengatur pola makannya. Pemenuhan nutrisi yang baik sangat dibutuhkan lansia

untuk membantu menyesuaikan diri terhadap

proses penuaan yang terjadi sehingga dapat

memperpanjang usia.16 Sama halnya dengan penelitian

Qurniawati (2018), yang menunjukkan bahwa

mayoritas lansia memiliki perilaku makan yang kurang baik. Hal ini disebabkan karena asupan

gizi yang dikonsumsi lansia belum seimbang

dan belum sesuai yang dianjurkan. Kurangnya

asupan energi ini disebabkan karena adanya penurunan nafsu makan. Kurangnya nafsu

makan ini juga disebabkan karena penyakit

yang diderita oleh lansia sehingga nafsu makannya berkurang dan juga karena

kekurangan gigi geliginya.17

Hubungan antara keadaan gigi geligi, fungsi pengunyahan dan asupan gizi sangatlah

penting. Tidak adanya gigi ini memberikan

efek terhadap status gizi dan kesehatan

seseorang. Kemampuan mengunyah yang menurun dapat mempengaruhi pemilihan

makanan pada lansia dan berisiko terganggunya

status gizi.18 Menurut Putra (2013), pemenuhan nutrisi

pada lansia dapat dipengaruhi oleh beberapa

faktor yaitu pola konsumsi dan asupan makanan, status kesehatan, status ekonomi,

pengetahuan, pemeliharaan kesehatan,

lingkungan dan budaya. Dalam penelitian ini,

faktor yang dapat mempengaruhi perilaku lansia dalam pemenuhan nutrisi adalah status

kesehatan. Pada penelitian ini, didapatkan

sebagian besar lansia mengalami multiple morbidity yaitu sebanyak 39,2% responden.19

Penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Amran, Kusumawardani,

& Supriyatiningsih (2010) yang menunjukkan bahwa mayoritas responden yang menderita

penyakit mempunyai asupan nutrisi yang

rendah. Penyakit yang diderita lansia tersebut menyebabkan anoreksia sehingga berpengaruh

terhadap asupan nutrisi.20

Menurut hasil penelitian dari Kus dan Kusno (2007), lanjut usia pada hakekatnya

memerlukan makanan yang seimbang

sepanjang hidupnya untuk kelangsungan serta

pemeliharaan kesehatannya. Lansia memerlukan beraneka ragam asupan bahan

makanan dan dengan jumlah dan kualitas yang

benar dan tepat.21 Menurut Proverawati dan Wati (2010) lanjut usia lebih dianjurkan untuk

memilih makanan yang mudah dikunyah

seperti makanan lunak mengingat banyak gigi yang sudah tanggal sehingga kemampuan

mencerna makanan serta penyerapannya

menjadi lambat dan kurang efektif.22

Penelitian terkait dilakukan oleh Li (2017), yang menyebutkan bahwa status

perkawinan merupakan faktor yang

mempengaruhi perilaku pemenuhan nutrisi. Pria lajang dan pria yang berstatus duda sangat

berisiko tinggi memiliki asupan nutrisi yang

rendah karena sering kurang terampil dalam

proses memilih dan menyiapkan makanan. Sedangkan wanita yang berstatus janda, mereka

memiliki sikap dan perilaku yang lebih baik

dalam pemenuhan nutrisi karena pengalaman atau kebiasaan dalam menyiapkan makanan

saat masih mempunyai pasangan.23 Penelitian

yang berhubungan dengan perilaku dalam pemenuhan asupan nutrisi juga dilakukan oleh

Lin & Lee (2005), yang menyatakan bahwa

lingkungan dapat mempengaruhi perilaku

dalam pemenuhan nutrisi; pada lansia yang tinggal di daerah pegunungan lebih jarang (M =

2.8) membatasi makanan tinggi lemak/

kolesterol dibandingkan lansia yang tinggal di perkotaan (M = 4,2). Pengaruh pada perilaku

makan sangat tinggi, dan disebabkan oleh

perbedaan etnis, budaya, dan latar belakang pendidikan.24

Pada tabel 4, terungkap bahwa status

mental berhubungan dengan asupan nutrisi

lansia (p = 0.011), lansia yang mengalami kerusakan mental ringan (19,62%) sebagian

besar memiliki asupan nutrisi yang kurang (16,

67%). Hal ini sejalan dengan penelitian

Page 60: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 126-131

130

sebelumnya yang menemukan bahwa malnutrisi sering terjadi pada lansia dengan

demensia.9 Sama halnya dengan studi oleh

Khater dan Abouelezz (2011), menemukan

bahwa malnutrisi dan risiko malnutrisi signifikan tinggi pada lansia dengan gangguan

fungsi kognitif sedang (mild cognitive

impairment) dibandingkan dengan lansia yang memiliki fungsi kognitif normal (p=0.002).10

Selanjutnya Munawirah, Masrul, dan Martini

(2017), juga menemukan bahwa lansia yang mengalami penurunan fungsi kognitif lebih

tinggi mengalami malnutrisi (p<0.05,

p=0.018).25 Penurunan fungsi kognitif adalah

gangguan kemampuan kognitif yang tidak disertai oleh penurunan kesadaran, namun

sering diikuti dengan perubahan perilaku secara

mendadak maupun sedikit demi sedikit.26 Secara fisiologis lansia sudah mengalami

gangguan dalam memperoleh dan mengingat

informasi yang baru. Lansia dapat sulit mengingat sebuah nama, maupun hal yang

telah mereka lakukan.27 Gangguan fungsi

kognitif ini dapat mempengaruhi aktivitas

sehari-hari salah satunya prilaku makan. Gangguan makan yang terjadi meliputi

kemampuan mengunyah makanan yang lambat

dan respon mengingat rasa terhadap makanan yang lambat juga. Sebuah penelitian

menunjukkan bahwa 40% penderita alzheimer

terjadi penurunan berat badan setelah 8 tahun

didiagnosis. Lansia dengan penurunan fungsi kognitif terjadi penurunan indra penciuman,

sehingga menurunkan selera makan.28

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa status mental berhubungan dengan asupan nutrisi lansia (p = 0.011); lansia

yang memiliki fungsi mental yang baik akan

memiliki asupan nutrisi yang baik pula. Oleh

karena itu, disarankan agar pemberi asuhan, terutama keluarga, membantu lansia yang

mengalami penurunan fungsi mental ini dalam

memenuhi asupan nutrisinya sehingga merekadapat menjaga dan meningkatkan

kesehatannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. Analisis

Lansia di Indonesia. Jakarta: Kemenkes

RI. dikutip dari: file:///C:/Users/ Windows%20X/Downloads/Analisis%20L

ansia%20Indonesia%202017%20(1).pdf

2. Fratiglioni L, Launer LJ, Andersen K, Breteler MM, Copeland, JR, Dartigues JF,

et al. Neurologic diseases in the elderly

research group. Incidence of dementia and

major subtypes in Europe: A collaborative study of population-based cohorts.

Neurology. 2000; 54: 10 –15.

3. Catindig JAS, Venketasubramanian N, Ikram MK, Chen C. Epidemiology of

Dementia in Asia: Insights on prevalence,

trends and novel risk factors. Journal of Neurological Science. 2012; 321(1-2): 11-

6.

4. Beck ME. Ilmu Gizi dan Diet. Yogyakarta:

ANDI Publisher. 2011:160. 5. Rohmawati N, Asdie AH, Susetyowati.

Tingkat kecemasan, asupan makan, dan

status gizi pada lansia di Kota Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 2015; 12(2):

62-71.

6. Nazari N, Yusuf R, Tahlil T. Dukungan dan karakteristik keluarga dengan

pemenuhan nutrisi pada lansia. Jurnal

Ilmu Keperawatan. 2016; 4(2): 75-86.

7. Fatmah. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga. 2010.

8. Sari KI, DarjanM, Nur’aeny N, Rakhmilla

LE. Hubungan antara kehilangan gigi dengan fungsi kognisi dan fungsi memori

pada lansia penghuni Panti Sosial Tresna

Werdha (PTSW) Senjawari Kota

Bandung. Majalah Kedokteran Gigi Indonesia. 2017; 3(2): 61-8.

9. Ibrahim HS. Hubungan faktor-faktor yang

mempengaruhi kebutuhan gizi dengan status gizi lanjut usia di UPTD Rumoh

Seujahtera Geunaseh Sayang Banda Aceh.

Idea Nursing Jurnal. 2012; 3(2): 51-62. 10. Donini LM, De Bernardini L, De Felice

MR, Savina C, Coletti C, Cannella C.

Effect of nutritional status on clinical

outcome in a population of geriatric rehabilitation patients. Aging Clin Exp

Res. 2004; 16: 132–138.

11. Visvanathan R. Under-nutrition in older people: A serious and growing global

problem! Journal Postgrad Med. 2003; 49:

352–360. 12. Zekry D, Hermann FR, Grandjean R,

Meynet MP, Michel JP, Gold G, et al.

Demented versus non-demented very old

inpatients: the same comorbidities but poorer functional and nutritional status.

Age Ageing. 2008; 37(1): 83–89.

Page 61: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 126-131

131

13. Khater SM, Abou El Ezz NF. Nutritional status in older adults with mild cognitive

impairment living in elderly homes in

Cairo, Egypt, The Journal of Nutrition

Health and Aging. 2011; 15 (2): 104-108. 14. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian

Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2012:

92. 15. Maryati H, Bhakti DS, Dwiningtyas M.

Gambaran fungsi kognitif pada lansia di

UPT Panti Werdha Mojopahit kabupaten Mojokerto. Jurnal Metabolisme. 2013;

2(2): 1–6.

16. Bahri AS, Putra FA, Suryanto MS. Lansia

dengan status gizi di posyandu lansia. Jurnal Ilmu Keperawatan Indonesia.

2017; 10(1): 65-78.

17. Qurniawati D. Hubungan Perilaku Makan dan Status Gizi pada Lansia di Kecamatan

Wates Kabupaten Kulon Progo. Skripsi.

Yogyakarta (ID): Fakultas Teknik. 2018. 18. Munandar H. Pengaruh kondisi gigi

lengkap terhadap status gizi manula.

Skripsi yang tidak dipublikasikan.

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin, Makassar. 2014.

19. Putra SR. Pengantar Ilmu Gizi dan Diet.

Yogyakarta: D-Medika. 2013: 24. 20. Amran Y, Kusumawardani R,

Supriyatiningsih N. Food intake

determinant factor among elderly.

Kesehatan Masyarakat Nasional. 2010; 6(6): 255–260.

21. Kus I, Kusno W. Gizi dan Pola Hidup

Sehat. Bandung :Yrama Widya. 2007. 22. Proverawati A, Wati EK. Ilmu Gizi untuk

Keperawatan dan Gizi Kesehatan.

Yogyakarta: Nuha Medika. 2011. 23. Li CP. Gender differences in nutrition

knowledge, attitude, and practice among

elderly people. International Journal of

Management. 2017; 6: 199–211. 24. Lin W, Lee Y. Nutrition knowledge ,

attitudes , and dietary restriction behavior

of the Taiwanese elderly.Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition. 2005; 14(3):

221–29.

25. Munawirah, Masrul, Martini RD. Hubungan beberapa factor risiko dengan

malnutrisi pada usia lanjut di Nagari

Sijunjung Kecamatan Sijunjung. Jurnal

Kesehatan Andalas. 2017; 6 (2): 324–330. 26. Guigoz Y. The mini nutritional assesment

(MNA) review of the literarature-what

does tell. The Journal of Nutrition Health and Aging. 2006; 10(6): 466-85.

27. Hickson M. Malnutrition and aging.

Postgrad Med. 2006; 82(963): 2–8.

28. Teo YK, Wynne HA. Malnutrition of the elderly patient in hospital: risk

factors,detection and management.

Reviews in Clinical Gerontology. 2001; 11: 229–36.

Page 62: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 132-139

132

PENGELOLAAN MALOKLUSI OPEN BITE ANTERIOR AKIBAT FRAKTUR

NEGLECTED MAKSILA LE FORT I DENGAN TEKNIK OSTEOTOMI

LE FORT I DAN FIKSASI TRANSOSSEOUS

(Laporan Kasus)

MANAGEMENT OF OPEN BITE ANTERIOR MALOCCLUSION DUE TO NEGLECTED

OF LE FORT I FRACTURE WITH OSTEOTOMY LEFORT I TECHNIQUE

AND TRANSOSSEOUS FIXATION

(Case Report)

Harfindo Nismal1, Abel Tasman Yuza

2, Fathurachman

3

1Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran 2Staf Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

3Staf Bagian Bedah Ortopedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran

Abstrak

Maloklusi open bite adalah suatu gigitan terbuka merupakan komplikasi paling signifikan suatu

fraktur maksila yang tidak memperoleh perawatan dengan segera dirawat, atau terlantar terlalu lama,

dalam waktu beberapa hari hingga beberapa minggu dan disebut dengan neglected fracture. Salah satu cara untuk memperbaiki keadaan ini adalah melakukan osteotomi pada maksila. Tujuan laporan

kasus ini untuk memberikan tambahan pengetahuan tentang kelainan yang muncul akibat ditundanya

perawatan pada fraktur maksila Le Fort I beserta cara pengelolaannya. Dilaporkan seorang pasien laki-laki, 32 tahun datang ke Poliklinik Bedah Mulut dan Maksilofasial dengan keluhan tidak dapat

mengatupkan kedua rahang dan mengunyah makanan dengan baik. Satu bulan sebelum datang ke RS.

Dr. Hasan Sadikin pasien memiliki riwayat jatuh dari atap rumah dengan posisi menelungkup dan wajah terlebih dahulu membentur lantai rumah, selanjutnya pasien dibawa ke Unit Gawat Darurat

salah satu rumah sakit swasta terdekat, dinyatakan tidak ada kelainan dan diperbolehkan pulang ke

rumah setelah dilakukan pemeriksaaan dan perawatan luka di dalam mulut. Terapi Le Fort I

osteotomy dilakukan, reposisi rahang atas untuk mencapai oklusi yang baik, dan maksila difiksasi dengan empat osteosynthesis miniplate.

Kata Kunci: Neglected Fracture, Maloklusi Open Bite, Fraktur Le Fort I, Osteotomi Le Fort I,

Fiksasi Transosseus

Abstract

Open bite malocclusion after suffering from trauma is one type of open bite due to malposition of fragment position. This type of fracture is usually caused by a situation that the patient was unable to

treat immediately because of the worst medical situation or neglected or untreated fracture and healed

in malpositioned fragmen. Le Fort I osteotomy is one of surgical technique can be used to treat this type fracture and this type of fracture showed clearly that this open bite caused by Le Fort I fracture.

A case of patient, male 32 year old visited the Department of Oral and Maxillofacial Surgery Dr.

Hasan Sadikin Hospital with a chieft of complaint of anterior open bite, can not close his jaw and difficulty to chew properly. History of trauma one month before he appeared to Dr. Hasan Sadikin

Hospital, the patient was fell down from roof of the house with down position against the floor and

was immediately brought to the nearest hospital. Several examinations and treatments were perfomed

and in the same day he was allowed to discharged from the hospital. Le Fort I osteotomy was performed, repositioned the upper jaw to achieve a good occlusion, and maxillae was fixed with four

miniplate osteosynthesis

Keywords: Neglected Fracture, Open Bite Malocclusion, Le Fort I Fracture, Le Fort I Osteotomy, Transosseous Fixation

Page 63: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 132-139

133

PENDAHULUAN Maksila merupakan penghubung antara

basis kranii superior dan oklusal gigi di rahang

bawah. Berhubungan erat dengan rongga

mulut, rongga hidung, rongga orbita dan berbagai struktur disekitar. Perbaikan secara

sistematik dengan waktu yang tepat akan

memberikan hasil yang optimal serta mencegah terjadinya sequelae.1 Fraktur adalah hilangnya

kontinuitas dari tulang atau pun tulang rawan.

Jadi yang dimaksud dengan fraktur maksila adalah hilangnya kontinuitas dari tulang

maksila. Fraktur maksila lebih jarang terjadi,

bila dibandingkan dengan fraktur mandibula.

Biasanya disebabkan oleh kecelakaan maupun perkelahian dengan frekuensi berkisar 6-25%.

Fraktur wajah Le Fort I menurut Rene Le Fort

(1901) merupakan fraktur horisontal prosesus alveolaris beserta geligi pada fragmen yang

terlepas. Memiliki karakter maloklusi geligi.2

Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktor yang datangnya dari

luar, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan

kerja, kecelakaan akibat olah raga dan juga

sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tujuan utama perawatan fraktur maksilofasial adalah

rehabilitasi penderita secara maksimal yaitu

penyembuhan tulang yang cepat, pengembalian fungsi okuler, fungsi pengunyahan, fungsi

hidung, perbaikan fungsi bicara, mencapai

susunan wajah dan gigi-geligi yang memenuhi

estetis serta memperbaiki oklusi dan mengurangi rasa sakit akibat adanya mobilitas

segmen tulang.3,4,5 Tujuan penanganan fraktur

pada daerah fasial adalah dapat dicapainya rehabilitasi pasien secara maksimal. Tujuan lain

adalah termasuk penyembuhan tulang yang

cepat, kembalinya fungsi okular yang normal pada injuri yang terjadi sendiri-sendiri ataupun

kombinasi, fungsi mastikasi dan nasal,

pengembalian fungsi bicara, dan diperoleh hasil

estetik dental dan fasial yang dapat diterima.5 Salah satu komplikasi fraktur maksila

adalah terjadinya malunion yang akhirnya juga

akan menyebabkan terjadinya maloklusi.6 Malunion pada daerah wajah (midface)

seringkali menyebabkan deformitas estetik dan

fungsional.6

LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki usia 32 tahun datang ke

Poliklinik Bedah Mulut dan Maksilofasial Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan keluhan

utama tidak bisa mengatupkan kedua rahang

dan mengunyah makanan dengan baik.

Sebelumnya satu bulan yang lalu ketika sedang memperbaiki atap rumah, pasien terjatuh dari

atap rumahnya setinggi 2 meter dengan posisi

menelungkup dengan wajah membentur lantai

rumah terlebih dahulu, kemudian pasien dibawa ke rumah sakit Al-Islam Bandung, dilakukan

perawatan luka pada gusi gigi depan rahang

atas yang sobek disertai pemeriksaan CT-Scan kepala. Setelah dilakukan observasi, pasien

dinyatakan tidak ada kelainan dan

diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Beberapa minggu kemudian pasien merasa

tidak bisa mengatupkan kedua rahangnya dan

tidak mengunyah makanan dengan baik.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dalam batas normal dan ekspresi muka

tenang. Pada pemeriksaan ekstra oral tidak

terdapat kelainan. Pemeriksaan intra oral terdapat open bite anterior dan prematur kontak

pada regio posterior kanan dan kiri serta

terdapat kehilangan gigi anterior rahang atas (Gambar 1).

Gambar 1: Oklusi pre-operasi memperlihatkan

adanya gigitan terbuka pada regio anterior.

PENATALAKSANAAN KASUS

Untuk menegakkan diagnosis telah

dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang radiologi yaitu foto panoramik dan waters serta

pembuatan model studi cetakan rahang pasien.

Foto panoramik terlihat gambaran adanya garis

fraktur pada segmen maksila di anterior dan proses kalsifikasi post fraktur (Gambar 2).

Gambar 2: Foto panoramik menunjukkan adanya

garis fraktur pada segmen maksila anterior dan

kalsifikasi bagian posterior maksila

Page 64: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 132-139

134

Gambar 3: Foto Waters view dan foto polos kepala

Pada foto waters terlihat adanya hasil

proses kalsifikasi di segmen maksila sepanjang posterior kiri dan kanan, pada foto polos kepala

ditemukan gambaran radiolusen pada daerah anterior maksila yang menunjukkan adanya

tanda fraktur (Gambar 3)

Berdasarkan pemeriksaan model studi

cetakan gigi geligi rahang atas dan bawah terlihat adanya prematur kontak atau prematur

oklusi pada gigi-geligi bagian posterior kiri dan

kanan serta tidak adanya kontak antara gigi-geligi bagian anterior rahang atas dan rahang

bawah. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya

maloklusi yaitu Open Bite Anterior (Gambar 4).

Gambar 4 : Model Cetakan Rahang Atas dan Rahang bawah beserta gigitan lilin

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan

klinis dan penunjang yang telah dilakukan maka pasien ini didiagnosis dengan Neglected

Open Bite Anterior et causa Fraktur Le Fort I,

direncanakan dilakukan open reduksi dan osteotomi Le Fort I. Kemudian dilakukan

persiapan operasi serta pemasangan Erich arch

bar pada rahang atas dan bawah.

Pada tanggal 11 Juni 2012 dilakukan operasi Open Reduction Le Fort I osteotomy

dan dilakukan Internal Fixation (ORIF) di

bawah anestesi umum. Operasi dimulai dengan melakukan insisi pada mukobukal fold regio

premolar kedua kiri mengikuti lengkung

maksila sampai regio premolar kedua kanan.

Kemudian dilakukan pembukaan jaringan mukosa oral sampai periosteum ke arah

superior (Gambar 5A). Terlihat bahwa tulang

maksila yang mengalami fraktur telah mengalami konsolidasi sehingga harus

dipisahkan agar dapat diposisikan kembali pada

oklusinya. Selanjutnya dilakukan osteotomi dengan pola Le Fort I untuk memisahkan

tulang maksila dari dasarnya, mulai dari lateral

maksila sinistra kira-kira 5 mm di atas apeks

gigi meluas dari piriform rim ke posterior pada

pterygomaxillary fissure dengan menggunakan

gergaji khusus dan tulang maksila ditahan dengan alat bone hook (Gambar 5B). Setelah

tulang maksila terpisah dari dasarnya kemudian

dilakukan reposisi maksila dimana rahang atas dan rahang bawah dapat mencapai oklusi yang

baik.

Setelah oklusi diperoleh dilakukan

fiksasi intermaksila sementara untuk mempertahankan oklusi yang sudah diperoleh

(Gambar 6). Kemudian dilakukan insisi tajam

di regio vestibulum anterior mandibula, pemisahan jaringan mukoperiosteum,

pengeboran tulang mandibula dengan bor

fissure, lalu pemasangan kawat 0,5 mm pada

tulang mandibula yang telah di bor, dilanjutkan pemasangan kawat yang sama pada maksila kiri

dan kanan lalu kawat tersebut difiksasi

(Gambar 7A, 7B). Dilanjutkan dengan fiksasi maksila pada posisinya yang baru dengan

pemasangan miniplate 5 hole masing-masing

pada maksila kiri dan kanan (8A). Luka bekas insisi dijahit kembali, diakhiri dengan

pembukaan fiksasi intermaksila yang mengunci

oklusi maksila dan mandibula (Gambar 8B).

Pada pasien ini diberikan ceftriaxon injeksi 2 x

Page 65: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 132-139

135

1 gr, analgetik anti inflamasi ketorolac injeksi 2 x 1 ampul, Kalmetason injeksi 3 x 8 mg pada

hari pertama dan kedua, dan dilanjutkan dengan

pemberian antibiotik serta analgetik per-oral.

Pasien dikontrol setiap hari.

Gambar 5A. Insisi pada mukobukal fold regio

premolar kedua kiri maksila sampai dengan maksila kanan. Gambar 5B. Pemisahan maksila dari

dasarnya.

Gambar 6. Fiksasi intermaksila sementara setelah

oklusi normal didapatkan

Gambar 7A. Pemasangan kawat suspensi pada

mandibular, Gambar 7B. Pemasangan kawat

suspensi pada maksila

Gambar 8A. Pemasangan miniplate pada maksila

Gambar 8B. Hasil akhir setelah operasi selesai.

Pada hari ke-1 paska operasi dilakukan

pemasangan Intermaxillary Fixation (IMF)

dengan rubber elastis untuk mempertahankan oklusi, pada hari ke-3 paska operasi dilakukan

pemasangan Intermaxillary Fixation (IMF)

dengan kawat, lalu pasien dibolehkan untuk rawat jalan. Pada saat kontrol hari ke-7 paska

operasi dilakukan pembersihan luka operasi

dengan larutan NaCl 0,9% terlihat penyembuhan luka operasi yang baik.

Fiksasi intermaksila dengan kawat

dipertahankan sampai minggu ke-2 paska

operasi (Gambar 9). Pada kontrol hari ke-14 paska operasi dilakukan pembukaan IMF kawat

dan jahitan intra oral (Gambar 10). Pada

kontrol hari ke-21 paska operasi dilakukan pembukaan wire suspension (Gambar 11).

Evaluasi minggu ke-4 paska operasi dari

pemeriksaan intra oral menunjukkan segmen

fraktur tampak stabil dan penderita tidak mengeluh adanya rasa sakit dan maloklusi

sudah terkoreksi (Gambar 12). Pada evaluasi

minggu ke-4 ini pasien datang sekaligus membawa hasil foto panoramik yang

menunjukkan telah terjadi penyembuhan

tulang, ditandai dengan pengkabutan pada garis fraktur (Gambar 13).

Gambar 9. Fiksasi Intermaxilla menggunakan kawat / wire 0,4 mm

Page 66: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 132-139

136

Gambar 10. Kontrol hari ke-14 paska operasi, pembukaan IMF kawat dan jahitan intra oral

Gambar 11. Kontrol hari ke-21 paska operasi, pembukaan wire suspension

Gambar 12. Kontrol terakhir hari ke-30 paska operasi, pembukaan Arch Bar

Page 67: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 132-139

137

Gambar 13. Foto Panoramik menunjukkan penyembuhan tulang yang ditandai dengan

pengkabutan pada garis fraktur

PEMBAHASAN Menurut Le Fort: fraktur maksila dibagi

menjadi 3 jenis Le Fort Fracture.7

a. Le Fort I (guerin fracture, transverse

maxillaris fracture atau horizontal maxillaris fracture, floating maxillaris)

garis fraktur melintang melalui bagian atas

dari prosesus alveolaris, sebagian dari dinding sinus maxillaris, palatum dan

bagian bawah dari prosesus pterygoideus

dari tulang spenoid (gambar 1 I & 2 I)

b. Le Fort II (fraktur piramidal) garis fraktur melalui tulang lacrimal, bagian bawah atau

berjalan terus ke bagian bawah sesuai dengan dinding lateral dari maksila melalui

pterygoid plate terus ke fossa-pterygo

maksila dan berbentuk kerucut (gambar 1 II

& 2 II) c. Le Fort III (transverse facial fracture,

craniofacial dysjunction) garis fraktur

melalui sutura-sutura ; zygomatico-frontal, maxille-frontal dan naso-frontal. garis

fraktura terus ke tulang etmoid dan spenoid

pada fraktur ini maksila hanya terikat oleh

jaringan lunak terhadap tulang-tulang dasar tengkorak (Gambar 1 III & 2 III)

Gambar 1: Fraktur Le Fort dari arah frontal (Richardson, 2001)

I.Fraktur Le Fort I, II. Fraktur Le Fort II, III. Fraktur Le Fort III

Gambar 2 : Fraktur Le Fort I, II, dan III dari arah lateral (Richardson, 2001)

I.Fraktur Le Fort I, II. Fraktur Le Fort II, III. Fraktur Le Fort III

Page 68: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 132-139

138

Tujuan utama perawatan fraktur rahang adalah untuk mengembalikan anatomi, bentuk

dan fungsi normal komplek kraniofasial. Salah

satu komplikasi pada fraktur rahang adalah

terjadinya deformitas dentofasial yang merupakan akibat dari malposisi tulang,

hilangnya jaringan tulang dan jaringan lunak,

hilangnya gigi, atau kombinasi dari hal-hal tersebut.8 Kegagalan untuk mencapai fungsi

yang tepat dan merestorasi segi kosmetika dari

komplek dentofasial dapat disebabkan antara lain yaitu terjadinya penyembuhan fraktur

sebelum dapat dilakukannya tindakan reduksi,

keadaan ini terjadi terutama pada maksila dan

pasien berusia muda. Fraktur rahang yang tidak dirawat akan menyatu setelah 3 minggu

terjadinya trauma.6 Prinsip penatalaksanaan

dentofasial deformitas paska trauma adalah pemeriksaan klinis dan riwayat pasien secara

akurat, pemeriksaan khusus (radiografi, dental

study models), membuat rencana perawatan dan pembedahan dengan osteotomi atau disertai

dengan bone graft.9

Dental study model dibuat untuk

memeriksa adanya maloklusi gigi geligi dan digunakan juga untuk memperhitungkan arah

dan jarak pergeseran segmen fraktur yang

diperlukan untuk mencapai oklusi yang baik pada saat operasi.5 Koreksi pada deformitas

tulang dapat dilakukan dengan cara osteotomi,

bone graft atau kombinasi dari keduanya. Jika

komponen tulang wajah memiliki morfologi normal, tetapi posisinya tidak normal

(displasemen), maka teknik yang dipilih adalah

osteotomi. Jika bagian terbesar tulang posisinya normal tetapi morfologi tidak normal

(defisiensi), maka pilihan perawatannya adalah

dengan bone graft.9

Teknik pembedahan osteotomi Le Fort I

menurut Tuinzing dilakukan mengikuti suatu

aturan yang pasti dengan perhitungan yang

logis untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dan diharapkan setelah

operasi. Di Bagian Bedah Mulut dan

Maxillofacial Free University Hospital Amsterdam tindakan osteotomi Le Fort I telah

dilakukan sejak tahun 1974 dengan hasil yang

cukup baik.10

Dilakukan insisi berbentuk lengkung

pada mukoperiosteum bibir atas di atas

mukogingival junction yang meluas dari

premolar kedua sisi yang satu ke sisi sebelahnya. Insisi dilakukan pada kebanyakan

kasus di bagian terdalam dari vestibulum bukal,

yaitu kira-kira setinggi apeks gigi. Kemudian

dilakukan diseksi sampai subperiosteal ke dataran pterygoid, ke anterior apertura

piriformis dan ke nasal cavity tetapi tetap

menjaga keutuhan mukoperiosteum nasal.

Mukoperiosteum dilakukan diseksi ke arah superior sampai daerah infra orbita. Sedang ke

arah inferior, jaringan mukoperiosteal dibuka

seminimal mungkin, sehingga suplai vaskular ke daerah tulang maksila dan gigi tetap

optimal.10

Pemotongan tulang dilakukan pada maksila lateral kira-kira 5 mm di atas apeks

gigi yang meluas dari tepi piriformis ke

posterior sampai ke fisura pterigomaksilary.

Pemotongan tulang maksila dimulai pada bagian anterior maksila melalui dinding medial

sinus maksila, tetapi tetap diperhatikan agar

tidak mengenai kanalis pada tulang palatinus dengan arteri dan nervus palatinus mayor.

Kemudian dinding lateral sinus maksila dan

bagian posterior maksila dipotong dengan menggunakan gergaji (oscilating saw), jaringan

lunak dilindungi dengan potongan yang

berbentuk kurva. Akhirnya plate pterygoid

dipisahkan dari maksila mengikuti potongan kurva langsung pada arah medial dan

anteroinferior untuk menjaga agar tidak

mengenai arteri maksilaris.10

Setelah pematahan tulang maksila,

dilakukan mobilisasi dengan cara manual atau

dengan mengunakan disimpaction forceps.

Setelah diperoleh posisi maksila yang diinginkan, difiksasi dengan menggunakan

kawat stainless pada zygomatico-maxillary

buttresess dan dengan plate titanium pada piriform rim. Sebelum memfiksasi maksila

septum nasal direduksi untuk untuk menjaga

agar tidak terjadi deviasi septum nasal sekunder.10

Osteotomi Le Fort I dilakukan di bawah

anestesi umum dengan nasoendotracheal.

Penggunaan steroid (Dexamethasone) untuk mengurangi edema pada muka dan pemberian

antibiotik selama dan setelah operasi.

Beberapa cara fiksasi telah dikembangkan pada osteotomi Le Fort I ini.

Sebelumnya maksila secara langsung difiksasi

pada kedua piriform rim dan zygomatic buttress dengan kawat transosseous dan kawat suspensi

ditempatkan pada zygomatic buttress, dengan

mengelilingkan pada zigoma, atau pada

infraorbital rim. Kadang-kadang diperlukan fiksasi intermaksila atau skeletal untuk

memperoleh imobilisasi yang adekuat dari

maksila yang telah direposisi.10

Page 69: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Cakradonya Dent J; 12(2): 132-139

139

Fiksasi rigid yang digunakan oleh para ahli bedah maksilofasial yaitu miniplate atau

microplate. Bentuk fiksasi rigid ini untuk

menjaga atau mengkontrol pergerakan maksila

setelah operasi. Tidak diperlukannya fiksasi

maksilomandibular adalah salah satu

keuntungan dari teknik ini. Pasca operasi pasien dapat membuka mulut sehingga pasien

dapat makan, menjaga kebersihan mulut, dan

berbicara secara lebih baik. Disamping itu, jika pasien dapat membuka mulut segera setelah

dilakukan operasi maka dapat menimbulkan

kenyamanan secara psikologis pada pasien.10

Kerugian penggunaan fiksasi rigid maksila dengan plate adalah ketidakmampuan

menyesuaikan posisi maksila jika sudah

dilakukan pemasangan plate. Jika hanya menggunakan kawat transosseous pada kedua

piriform rim dan zygomatic buttress, fiksasi ini

memberikan kesempatan kepada operator untuk menggerakkan maksila sedikit saat paska

operasi dengan menggunakan elastic traction

oleh karena fiksasi ini adalah non-rigid. Ini

hanya dapat dilakukan dalam periode 4 bulan pemasangan fiksasi.10

Fiksasi maksila pada kasus ini

menggunakan fiksasi rigid yaitu miniplate kawat suspensi transosseous modifikasi yang

dipasang pada kedua piriform rim dan

mandibula, tidak dilakukan pemasangan

intramaksilar fiksasi sehingga pasien dapat segera membuka mulut setelah operasi selesai.

KESIMPULAN Malunion adalah salah satu komplikasi

fraktur maksila yang akhirnya juga akan

menyebabkan terjadinya maloklusi, serta seringkali menyebabkan deformitas estetik dan

fungsional. Maloklusi open bite adalah suatu

gigitan terbuka karena malunion, merupakan

komplikasi paling signifikan dari fraktur maksila, disebabkan oleh lambatnya

penanganan fraktur, tidak terdiagnosis adanya

fraktur, atau fiksasi imobilisasi yang tidak adekuat.

Penatalaksanaan malunion open bite

dapat dilakukan dengan refrakturing dan reposisi, osteotomi ataupun dengan bone graft

tergantung pada keadaan morfologi dan posisi

fragmen fraktur. Diperlukan suatu pemeriksaan

yang cermat dalam menegakkan diagnosis agar dapat dilakukan perawatan yang tepat pada

suatu fraktur maksila.

Teknik fiksasi maksila menjadi sangat penting diperhatikan untuk menjaga atau

mengkontrol pergerakan maksila setelah

dilakukan operasi sehingga didapatkan proses

penyembuhan yang cepat dan optimal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kim D. W., 2003, Facial Trauma, Maxillary and Le Fort Fractures eMedicine.

[http://www.emedicine.com/plastic/topic481

.htm] 2. Fort R. L, etude experimental sur les

fractures dela machoir superleure, parts I, II,

III Revue de chirugir, Paris, 1901; 23:

201,360,479.[http://www.whonamedit.com/synd.cfm/3144.html]

3. Shepherd, Maxillofacial Trauma, In, Pedlar,

J., and Frame, J., Oral and Maxillofacial Surgery, Churchill Livingstone. 2001.

4. Trott, Moore and David, D.J., Facial

Fractures, In, David and Simpson, Craniomaxillofacial Trauma, Churchill

Livingstone. 1995.

5. Tucker, M.R., and Ochs, M.W., Correction

of Dentofacial Deformities. In Peterson, Ellis, Hupp and Tucker, Oral and

Maxillofacial Surgery, Fourth ed., C.v.

Mosby Co., Philladelphia. 2003. 6. Trott J.A, Moore M.H, and David D.J.

Facial Fractures. In David D.J and Simpson

D.A. Craniomaxillofacial Trauma. A

System of Multidisciplinary Management by Members of the Australian Craniofacial

Unit. Churchill Livingstone. Edinburgh.

Hongkong London Madrid Merlbourne New York and Tokyo. 1995: 307-9.

7. Richardson. M. L., Approaches To

Differential Diagnosis In Musculoskeletal Imaging, University of Washington

Department of Radiology. 2001.

8. Leopard, P.F., Complications. In, Rowe and

Williams, Maxillofacial Injuries, 2nd ed., Volume 2, Churchill Livingstone. 1994.

9. Richardson, D., and Jones, D.C., Secondary

Osteotomies and Bone Grafting. In, Booth, P.W., Eppley, B.L., and Schemelzeisen, R.,

Maxillofacial Trauma and Esthetic Facial

Reconstruction, Churchill Livingstone. 2003.

10. Tunzing D.B and Kwast W.A.M. the

Influence of the Le Fort I Osteotomy on The

Surrounding “Midfacial” Structures. J.J de Mol van. Otterloo. Amsterdam. 1994.

Page 70: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

pISSN: 2085-546X eISSN: 2622-4720

Petunjuk Bagi Penulis

Cakradonya Dental Journal (CDJ) adalah jurnal ilmiah yang

terbit dua kali setahun, Februari dan Agustus. Artikel yang

diterima CDJ akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuan

yang sesuai (peer-review) bersama redaksi. Sekiranya peer-

review menyarankan adanya perubahan, maka penulis diberi

kesempatan untuk memperbaikinya.

CDJ menerima artikel konseptual dari hasil penelitian original

yang relevan dengan bidang kesehatan, kedokteran gigi dan

kedokteran. CDJ juga menerima literature review, dan

laporan kasus.

Artikel yang dikirim adalah artikel yang belum pernah

dipublikasi, untuk menghindari duplikasi CDJ tidak menerima

artikel yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu

bersamaan untuk publikasi. Penulis memastikan bahwa seluruh

penulis pembantu telah membaca dan menyetujui isi artikel.

1. Artikel Penelitian

Tatacara penulisan:

Judul dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Abstrak dibuat dalam bahasa Indonesia & Inggris,

dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlah

maksimal 200 kata, harus mencerminkan isi artikel,

ringkas dan jelas, sehingga memungkinkan pembaca

memahami tentang aspek baru atau penting tanpa

harus membaca seluruh isi artikel. Diketik dengan

spasi tunggal satu kolom.

Kata Kunci dicantumkan pada halaman yang sama

dengan abstrak. Pilih 3-5 buah kata yang dapat

membantu penyusunan indeks.

Artikel utama ditulis dengan huruf jenis Times New

Roman ukuran 11 poin, spasi satu.

Artikel termasuk tabel, daftar pustaka, dan gambar

harus diketik 1 spasi pada kertas dengan ukuran 21,5

x 28 cm (kertas A4) dengan jarak dari tepi 2,5 cm,

jumlah halaman maksimum 12. Setiap halaman diberi

nomor secara berurutan dimulai dari halaman judul

sampai halaman terakhir.

Laporan tentang penelitian pada manusia/hewan coba

harus memperoleh persetujuan tertulis (signed

informed consent) dan lolos etik (Ethical clearance)

Sistematika penulisan artikel hasil penelitian, adalah

sebagai berikut:

Judul

Nama dan alamat penulis

Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris

Kata kunci

Pendahuluan (tanpa subjudul, memuat latar

belakang masalah dan sedikit tinjauan pustaka, dan

masalah/tujuan penelitian).

Bahan dan Metode

Hasil

Pembahasan

Kesimpulan dan Saran

Daftar Pustaka.

2. Tinjauan pustaka/artikel konseptual (setara hasil

penelitian) merupakan artikel review dari jurnal dan atau

buku mengenai ilmu kedokteran gigi, kedokteran dan

kesehatan mutakhir memuat:

Judul

Nama penulis

Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris

Pendahuluan (tanpa subjudul)

Subjudul-subjudul sesuai kebutuhan

Penutup (kesimpulan dan saran)

Daftar pustaka

3. Laporan Kasus. Berisi artikel tentang kasus di klinik yang

cukup menarik, dan baik untuk disebarluaskan di kalangan

sejawat lainnya. Formatnya terdiri atas: Pendahuluan,

Laporan kasus, Pembahasan dan Daftar pustaka.

4. Gambar dan tabel. Kirimkan gambar yang dibutuhkan

bersama makalah. Tabel harus diketik 1 spasi.

5. Metode statistik. Jelaskan tentang metode statistik secara

rinci pada bagian “metode”. Metode yang tidak lazim,

ditulis secara rinci berikut rujukan metode tersebut.

6. Judul ditulis dengan huruf besar 11 point, baik judul

singkat dengan jumlah maksimal 40 karakter termasuk

huruf dan spasi. Diletakkan di bagian tengah atas dari

halaman pertama. Subjudul dengan huruf 11 point dengan

huruf kapital.

7. Nama dan alamat penulis. Nama penulis tanpa gelar dan

alamat atau lembaga tempat bekerja ditulis lengkap dan

jelas. Alamat korespondensi, nomor telepon, nomor

facsimile, dan alamat e-mail.

8. Ucapan terima kasih. Ucapan terima kasih hanya untuk

para profesional yang membantu penyusunan naskah,

termasuk pemberi dukungan teknis, dana dan dukungan

umum dari suatu institusi.

9. Daftar pustaka. Daftar pustaka ditulis sesuai dengan

aturan penulisan Vancouver, yaitu diberi nomor urut

sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks dan

ditulis secara super script. Jumlah refernsi dalam Daftar

pustaka minimal 10 referensi. Disebutkan 6 nama

pengarang kemudian at al.

Contoh

- Jurnal: Hendarto H, Gray S. Surgical and non surgical

intervation for speech rehabilitation in Parkinson

disease. Med J Indonesia 2000; 9 (3): 168-74.

- Buku: Lavelle CLB. Dental placque In Applied Oral

Physiology,2nd

ed. London: Wright. 1988:93-5.

- Book Section: Shklar G, Carranza FA. The Historical

Background of Periodontology. In: Carranza's Clinical

Periodontology (Newman MG, Takei HH, Klokkevold

PR, Carranza FA, (Eds), 10th

ed. St. Louis: Saunders

Elsevier, 2006: 1-32.

- Website : Almas K. The antimicrobial effects of seven

different types of Asian chewing sticks. Available in

http://www.santetropicale.com/resume/49604.pdf

Accessed on April, 2004.

10. Artikel dikirim sebanyak 1 (satu) eksemplar, dalam

bentuk hard dan soft copy, tuliskan nama file dan program

yang digunakan, kirimkan paling lambat 2 (dua) bulan

sebelum bulan penerbitan kepada:

Ketua Dewan Penyunting

Cakradonya Dental Journal (CDJ)

Fakultas Kedokteran Gigi-Unsyiah

Darussalam Banda Aceh 23211

Telp/fax. 0651-7551843

11. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akan

diberitahukan secara tertulis. Penulis yang artikelnya

dimuat mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan

sebanyak 1 (satu) eksemplar. Artikel yang tidak dimuat

tidak akan dikembalikan kecuali atas permintaan penulis.

Page 71: pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C

pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh

Aceh-IndonesiaTelp.Fax/0651 7555183

E-mail: [email protected]