pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C
Transcript of pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 ECMTCFQP[C
pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720
DENTAL JOURNAL Vol. 12, No.2, September 2020
cakradonya
Diterbitkan Atas KerjasamaFakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala Dengan Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia
pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720Pelindung
Dr. Drg. Cut Soraya, Sp. KGDekan Fakultas Kedokteran Gigi Unsyiah
Penanggung Jawabdrg. Herwanda, M. Kes
Wakil Dekan II Fakultas Kedokteran Gigi UnsyiahKetua Penyunting
Dr. Drg. Munifah, MARS.Wakil Ketua Penyunting
drg. Rachmi Fanani Hakim, M.SiPenyunting Ahli
Prof. drg. Bambang Irawan, Ph.DProf. Dr. drg. Narlan Sumawinata, Sp. KG
Prof. Boy M. Bachtiar, Ph.DProf. Dr. drg. Eki S. Soemantri, Sp. Ortho
Dr. drg. Rasmi Rikmasri, Sp. Pros (K)Prof. Dr. Coen Pramono, Sp. BM
drg. Gus Permana Subita, Ph.D, Sp. PMProf. Dr. drg. Hanna H. B. Iskandar, Sp. RKG
Prof . Dr. drg. Retno Hayati, Sp. KGAProf. drg. Anton Rahardjo, MKM, PhdDr. drg. M. Fahlevi Rizal, Sp. KGA (K)
Penyunting PelaksanaProf. Dr. drg. Dewi Nurul, MS, Sp. Perio
Prof. Dr. drg. Zaki Mubarak, MSdrg. Dewi Saputri, Sp. Perio
Afrina, S. Ked, M. SiDesain Grafis dan IT
Rizkan Harizan, STdrg. Meutia An Najmi
drg. Sri Rezeki
SEKRETARIAT REDAKSI:Cakradonya Dental JournalFakultas Kedokteran GigiUniversitas Syiah KualaDarussalam Banda Aceh
Aceh-Indonesia23211
TELEPHONE/ FAX:0651 7555183
EMAIL:[email protected]
WEBSITE:[email protected]
cakradonya
cakradonyaDENTAL JOURNAL
DENTAL JOURNAL
From Editor’s Desk
Cakradonya Dental Journal (CDJ) diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran Gigi sebagai
media komunikasi ilmiah untuk pemajuan dan perkembangan intelektualitas civitas
akademika antar perguruan tinggi, peneliti dan stakeholder yang mengetengahkan tentang
kesehatan gigi dan mulut serta keilmuan lain yang terkait. CDJ telah terkoneksi dengan
Open Journal System (OJS) Unsyiah sehingga Anda dapat menikmati fasilitas online
sekaligus versi paper dari jurnal pertama FKG Unsyiah ini. Kesemuanya menarik dan
memberikan kita informasi terkini yang berpengaruh terhadap kesehatan rongga mulut dan
tubuh secara sistemik.
Sebagaimana sebelumnya, volume 12 no 2 ini senantiasa menyuguhkan tentang penelitian
pengembangan kedokteran gigi dan korelasi ilmu kesehatan integrasi mencakup bidang;
Konservasi, Kesehatan Masyarakat, Biologi Mulut, Bedah Mulut, Periodonsia,
Prosthodonsia dan ilmu kedokteran terkait. Semoga informasi yang CDJ ketengahkan pada
edisi ini dapat menambah hasanah pengetahuan Anda.
Thank you for submit your manuscript and considering it for review. We appreciate
your time and look forward to your next publish. We are delighted welcome your
precious manuscript for publication in 2021 first edition.
Salam Sehat,
Dr.drg Munifah Abdat, MARS
Editor In Chief
pISSN: 2085-546X eISSN: 2622-4720
Cakradonya Dental Journal
DAFTAR ISI
POTENSI EKSTRAK DAUN UNGU DALAM MENURUNKAN JUMLAH SEL
OSTEOKLAS TIKUS YANG DIINDUKSI PORPHYROMONAS GINGIVALIS ......................................................................................... 75-82
Atik Kurniawati, Melok Aris Wahyukundari, Syafira Dwi Astuti
DAYA FITO-RESPON EKSTRAK ETANOL DAUN KELOR (Moringa oleifera)
TERHADAP SEL OSTEOSIT DAN MATRIKS TULANG MANDIBULA
TIKUS (Rattus norvegicus) ........................................................................................................ 83-88
Chairunas, Dewi Saputri, Meutia Komala Putri
PORCELAIN LAMINATE VENEER SEBAGAI PERAWATAN ESTETIK
PADA GIGI INSISIVUS LATERALIS (Laporan Kasus) ....................................................... 89-92
Ivony Fitria, Isti Arifianti, Taufik Sumarsongko, Setyawan Bonaficius, Rasmi Rikmasari
KETERKAITAN LESI ENDO-PERIO (Tinjauan Pustaka) ................................................... 93-98
Nuzulul Ismi, Agus Susanto
PERSEPSI TENTANG FUNGSI ESTETIK DAN MASTIKASI
GIGI TIRUAN LENGKAP TERHADAP LANJUT USIA .................................................... 99-103 Niko Falatehan, Jihan Fahira
DUKUNGAN SUAMI DENGAN KEJADIAN ANEMIA DEFISIENSI ZAT BESI
PADA IBU POSTPARTUM.................................................................................................. 104-110 Darmawati, Mariatul Kiftia, Aida Fitri
EFEK APLIKASI GEL MADU RAMBUTAN PADA MUKOSA LABIAL INFERIOR
TERHADAP KADAR MALONDIALDEHID (MDA) SALIVA ......................................... 111-118
Euis Reni Yuslianti, Afifah B. Sutjiatmo, Florence Meliawaty, Mega Zhafarina
EFEK EKSTRAK DAUN CEREMAI (PHYLLANTHUS ACIDUS (L.) SKEELS)
TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA MUKOSA
TIKUS WISTAR (RATTUS NOVERGICUS) ....................................................................... 119-125
Fakhrurrazi, Rachmi Fanani Hakim, Astari Chairunissa
HUBUNGAN ANTARA STATUS MENTAL DENGAN ASUPAN NUTRISI
PADA LANSIA...................................................................................................................... 126-131
Juanita, Budi Satria
PENGELOLAAN MALOKLUSI OPEN BITE ANTERIOR AKIBAT FRAKTUR
NEGLECTED MAKSILA LE FORT I DENGAN TEKNIK OSTEOTOMI
LE FORT I DAN FIKSASI TRANSOSSEOUS (Laporan Kasus) ........................................ 132-139
Harfindo Nismal, Abel Tasman Yuza, Fathurachman
Volume 12 September 2020 Nomor 2
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 75-82
75
POTENSI EKSTRAK DAUN UNGU DALAM MENURUNKAN JUMLAH SEL OSTEOKLAS
TIKUS YANG DIINDUKSI PORPHYROMONAS GINGIVALIS
THE POTENTIAL OF PURPLE LEAF EXTRACT TO REDUCE THE NUMBER OF
OSTEOCLAST CELLS IN PORPHYROMONAS GINGIVALIS-INDUCED RATS
Atik Kurniawati1, Melok Aris Wahyukundari
2, Syafira Dwi Astuti
3
1Bagian Biologi Oral, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Jember 2Bagian Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Jember
3Program Pendidikan Dokter Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Jember
Corresponding Author: [email protected]
Abstrak
Periodontitis merupakan penyakit inflamasi pada jaringan periodontal. Porphyromonas gingivalis merupakan salah satu bakteri patogen pemicu periodontitis. Respons awal inflamasi dipicu oleh faktor
virulen P.gingivalis antara lain lipopolisakarida (LPS) yang berlanjut pada kerusakan ligamen
periodontal sehingga memicu resorpsi tulang alveolar yang diperankan oleh sel osteoklas. Ekstrak daun ungu (Graptophyllum pictum L. Griff) diketahui dapat menghambat P.gingivalis secara in vitro,
namun kemampuannya sebagai antiinflamasi dalam menurunkan jumlah sel osteoklas pada kejadian
periodontitis belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi ekstrak daun ungu (EDU) dalam menurunkan jumlah sel osteoklas pada tikus wistar yang diinfeksi dengan P.gingivalis.
Penelitian dilakukan pada tikus wistar yang terdiri atas 6 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri
dari 5 tikus wistar. Enam kelompok yang terdiri dari kelompok normal (KN): tanpa perlakuan,
kelompok kontrol negatif (K-): diinfeksi P.gingivalis (Pg), kelompok kontrol positif (K+): Pg + Tantum Verde, dan 3 kelompok perlakuan yaitu: KP2,5% (Pg + EDU 2,5%), KP5% (Pg + EDU 5%)
serta KP10% (Pg + EDU10%). Pemeriksaan histologi dengan pengecatan Haematoxylin-Eosin (HE),
jumlah sel osteoklas pada jaringan gingiva, ditentukan dengan menghitung jumlah rata-rata dari 3 lapang pandang tiap potongan jaringan. Analisis data dengan One Way Anova dilanjutkan LSD.
Kesimpulan penelitian ini adalah ekstrak daun ungu berpotensi menurunkan jumlah sel osteoklas pada
jaringan gingiva tikus wistar (p<0,05).
Kata Kunci: Ekstrak Daun Ungu, Periodontitis, Sel Osteoklas
Abstract Periodontitis is an inflammatory disease of the periodontal tissue. Porphyromonas gingivalis is a
pathogenic bacterium that triggers periodontitis. The initial response to inflammation is triggered by
P.gingivalis virulent factors, including lipopolysaccharide (LPS), which leads to periodontal ligament damage, which triggers alveolar bone resorption, played by osteoclasts. Purple leaf extract
(Graptophyllum pictum L. Griff) is known to inhibit P.gingivalis in vitro, but its ability as an anti-
inflammatory in reducing the number of osteoclasts in the incidence of periodontitis is unknown. This
study aims to evaluate the potential of purple leaf extract (EDU) in reducing the number of osteoclasts in wistar rats infected with P.gingivalis. The research was carried out on wistar rats consisting of 6
groups. Each group consisted of 5 wistar rats. Six groups consisting of normal group (KN): no
treatment, negative control group (K-): infected with P.gingivalis (Pg), positive control group (K +): Pg + Tantum Verde, and 3 treatment groups, namely: KP2.5% (Pg + EDU 2.5%), KP5% (Pg + EDU
5%) and KP10% (Pg + EDU10%). Histological examination with Haematoxylin-Eosin (HE) staining,
the number of osteoclasts in the gingival tissue was determined by calculating the average number of 3 view fields of each tissue section. Data analysis with One Way Anova followed by LSD. The
conclusion of this study is that purple leaf extract has the potential to reduce the number of osteoclasts
in the gingival tissue of wistar rats (p <0.05).
Keywords: Purple Leaf Extract, Periodontitis, Osteoclast Cells
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 75-82
76
PENDAHULUAN Penyakit periodontal di Indonesia masih
tergolong tinggi prevalensinya yaitu sebesar
60%. Dalam kelompok penyakit gigi dan
mulut, penyakit periodontal menduduki peringkat kedua yang banyak diderita rakyat
Indonesia karena relatif tidak menimbulkan
keluhan.1,2 Penyakit periodontal umumnya merujuk pada keadaan inflamasi pada struktur
pendukung gigi yang meliputi gingiva, tulang
alveolar, ligamen periodontal, dan sementum.3
Plak terbentuk dari deposit lunak serta
membentuk lapisan biofilm yang melekat erat
pada gigi, gingiva dan permukaan keras lainnya
di dalam rongga mulut.5 Mikroorganisme patogen yang ada pada bakteri plak antara lain:
Porphyromonas gingivalis (P.gingivalis),
Treponema forsythia, Aggregatibacter actinomycetemco-mitans, Treponema denticola,
dan Prevotela intermedia. P.gingivalis
merupakan salah satu bakteri patogen periodontal dan faktor virulensi yang
mempengaruhi pertahanan imun inang.4 Bakteri
patogen yang ada sebagai biofilm plak
kompleks pada permukaan gigi yang mengeluarkan enzim kolagenase yang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan gingiva dan
tulang pendukung gigi. Di antara berbagai spesies bakteri periodontopatogen tersebut,
maka P.gingivalis ditemukan dalam plak
subgingiva pasien periodontitis kronis sebesar
85,75%.6 Mikroorganisme yang melekat pada plak gigi dan berkontak dengan margin gingiva
akan menimbulkan inflamasi36, termasuk Pg.
Respons awal inflamasi dipicu oleh faktor virulen P.gingivalis, seperti
lipopolisakarida (LPS). Lipopolisakarida pada
dinding sel Pg akan berikatan dengan Lipopolisakarida Binding Protein (LBP) dan
membentuk kompleks molekul. Reseptor CD14
(Cluster of Differentiation 14) yang berada di
permukaan sel target akan mengenali kompleks molekul kemudian Toll Like Reseptor (TLR 4).
Kompleks yg terbentuk, selanjutnya akan
mengaktifkan makrofag. Makrofag akan mengeluarkan sitokin inflamatori berupa
interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor-α
(TNF-α), dan prostaglandin (PGE2).7,8
Mediator dan sitokin inflamasi tersebut
memacu terbentuknya osteoklas dari sel
progenitornya melalui jalur Receptor Activator
for Nuclear Factor-Kb Ligant (RANKL) dengan Receptor Activator for Nuclear Factor-
Kb (RANK) serta Osteoprogerin (OPG).
Macrophage-Colony Stimulating Factor (M-
CSF), IL-1 dan RANKL akan menyebabkan prekursor osteoklas berdiferensiasi dan
mengalami fusi kemudian menjadi osteoklas
multinuclear yang dapat mengaktifkan
osteoklastogenesis. Osteoklas yang aktif akan mensekresikan Matrix Metallo Proteinase
(MMP) 8 dan enzim lisosomal Chatepsin K
yang menyebabkan resorbsi tulang melalui pelepasan mineral-mineral tulang dan
melisiskan protein dalam kolagen tulang.
Proses itulah yang menyebabkan terjadinya kerusakan ligamen periodontal sehingga
memicu resorpsi tulang alveolar yang
diperankan oleh sel osteoklas.9
Kerusakan tulang alveolar merupakan salah satu tahap advance periodontitis.
Kerusakan tulang pada periodontitis bisa
disebabkan karena meningkatnya jumlah sel osteoklas, sehingga penting untuk mengontrol
jumlah osteoklas tersebut. Sel osteoklas yang
berlebih dapat dikontrol menggunakan obat kimiawi. Salah satu obat kimiawi yang
mengandung bahan antiinflamasi yang dijual di
pasaran yaitu obat kumur Tantum Verde. Efek
anti-inflamasi dari obat kumur ini diketahui bermanfaat dalam pengobatan periodontitis,
sehingga dipilih obat ini sebagai kontrol positif
pada penelitian ini.12 Akan tetapi ada peneliti lain yang menyatakan bahwa sering
menggunakan Tantum Verde oral rinse dapat
menyebakan perubahan warna pada gigi,13
sehingga perlu dicari alternatif terapi periodontitis, salah satunya dari bahan alam.
Ada berbagai bahan alam yang banyak
digunakan untuk pengobatan alternatif suatu penyakit maupun sebagai pemeliharaan
kesehatan. Tanaman Graptophillum pictum L.
Griff) atau karotong (Madura), daun ungu (Jawa) dan handeleum (Sunda) termasuk bahan
alam yang banyak dan mudah ditemukan oleh
masyarakat Indonesia. DITJEN POM
mengembangkan daun ungu yang masuk dalam tiga belas tanaman obat unggulan.14 Tanaman
ini banyak digunakan oleh masyarakat untuk
pengobatan terhadap tumor, dermatitis, abses, vulnus, dan secara eksperimental dapat
menghambat pembengkakan dan penurunan
permeabilitas membran.15
Daun ungu (Graptophyllum pictum L.
Griff) memiliki senyawa kimia antara lain
triterpenoid atau steroid bebas, alkaloid,
flavonoid, glikosida, saponin dan tanin.16
Flavonoid berfungsi sebagai antiinflamasi
dengan menghambat pembentukan
prostaglandin yang dibentuk oleh asam
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 75-82
77
arakidonat.18 Flavonoid juga berfungsi sebagai antioksidan dengan menstabilkan radikal bebas
sehingga dapat mengurangi kerusakan sel
karena inflamasi.19
Hasil penelitian sebelumnya secara in vitro menyatakan bahwa ekstrak daun ungu
efektif menghambat pertumbuhan P.gingivalis
pada kertas cakram zona hambat yang dibentuk semakin besar ketika semakin tinggi
konsentrasi dari ekstrak.20 Demikian pula,
Ekstrak etanol daun ungu sebagai anti inflamasi dapat mempengaruhi fungsi fagositosis
makrofag, pembentukan immunoglobulin M
dan TNF alpha pada mencit terinduksi LPS
Saphylococcus aureus.21 Berdasarkan pernyataan tersebut, penulis ingin melakukan
penelitian secara in vivo tentang kemampuan
ekstrak daun ungu konsentrasi 2,5%, 5% dan 10% terhadap penurunan osteoklas pada tikus
wistar yang diinduksi P.gingivalis.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini termasuk jenis
eksperimental laboratoris, dengan desain The
Post Test Only Control Group. Daun ungu yang digunakan yaitu Graptophillum pictum L. Griff
yang sudah diidentifikasi di UPT Balai
Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi-Pasuruan melalui Surat Keterangan Identifikasi
Tumbuhan No. 1109/IPH.06/HM/2019 tanggal
11 Oktober 2019. Jumlah sampel yang
digunakan, yaitu 5 ekor tikus wistar pada setiap subkelompok. Penelitian ini terdiri atas 6
kelompok yaitu: kelompok normal (KN): tanpa
perlakuan, kelompok kontrol negatif (K-): diinfeksi Pg, kelompok kontrol positif (K+): Pg
+ Tantum Verde, kelompok perlakuan 2,5%
(KP2,5%): Pg + EDU2,5%, kelompok perlakuan 5% (KP5%): Pg + EDU5% dan
kelompok perlakuan 10% (KP10%): Pg +
EDU10%.
Semua prosedur pada penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember
dengan No. 612/UN25.8/KEKP/DL/2019. Tikus wistar yang digunakan dengan kriteria
inklusi: tikus wistar jantan, berat 175-200 gram,
usia 2-3 bulan, keadaan umum baik, dan diberi makan minun seragam. Model tikus
periodontitis merupakan tikus wistar jantan
yang diinduksi P.gingivalis strain ATCC 33277
dengan konsentrasi 2x109 CFU/ml sebanyak 0,05ml. Pelarut yang dipakai pada pembuatan
ekstrak daun ungu adalah etanol 96% dengan
metode maserasi dan hasil yang didapat berupa
ekstrak pekat yang kemudian diencerkan menjadi konsentrasi 2,5%, 5% dan 10%.
Model tikus periodontitis dibuat dengan
menginjeksikan P.gingivalis ATCC 33277
sebanyak 106 CFU dalam 30µl (0,03 ml) pada sulkus gingiva gigi molar 1 kiri bawah pada
bagian bukal. Injeksi dilakukan 3 hari sekali
selama 14 hari hingga mengalami periodontitis yang ditandai dengan adanya inflamasi pada
gingiva dan resorbsi tulang alveolar secara
radiografi. Perlakuan Tantum Verde dan ekstrak daun ungu diaplikasikan dengan cara
irigasi menggunakan needle 30G pada sulkus
gingiva satu kali sehari selama 7 hari.
Kelompok normal adalah kelompok tanpa perlakuan apapun. Kelompok kontrol negatif
adalah kelompok yang diinduksi P.gingivalis.
Kelompok kontrol positif merupakan kelompok yang diinduksi P.gingivalis kemudian diberi
perlakuan Tantum Verde. Kelompok perlakuan
2,5%, 5% dan 10% merupakan kelompok yang diinduksi P.gingivalis kemudian diberi
perlakuan ekstrak daun ungu 2,5%, 5% dan
10%. Selanjutnya pembuatan preparat histologi
dan pewarnaan menggunakan Hematoxylin-Eosin (HE). Pengamatan dan perhitungan sel
osteoklas dilakukan di bawah mikroskop
dengan perbesaran 400x dan dilakukan oleh 3 observer. Jumlah sel osteoklas ditentukan
dengan menghitung jumlah rata-rata sel
osteoklas dari 3 lapang pandang tiap sampel.
Data yang diperoleh dari penelitian, dianalisis dengan Statistical Product and
Service Solutions (SPSS). Selanjutnya
dilakukan uji Saphiro-wilk untuk melihat normalitas data dan uji Lavene untuk melihat
homogenitas data. Data yang diperoleh adalah
normal dan homogen kemudian dianalisis dengan One Way Anova, bermakna bila p<0,05,
kemudian dilanjutkan uji LSD.
HASIL Hasil penelitian yang diperoleh
menunjukkan rerata jumlah sel osteoklas yang
terendah pada KP10% yaitu kelompok perlakuan dengan pemberian ekstrak daun ungu
konsentrasi 10%. Kelompok KP10% diperoleh
rata-rata jumlah sel osteoklas sebesar 2,57. Kemudian kelompok KP5% sebesar 2,98,
kelompok KP2,5% sebesar 4,34, kelompok
K(+) sebesar 3,96 dan kelompok KN sebesar
2,04. Rata-rata jumlah sel osteoklas yag tertinggi pada kelompok K(-) yang merupakan
kelompok kontrol negatif yang diinduksi Pg.
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 75-82
78
Pada kelompok K(-) rata-rata jumlah sel osteoklas sebesar 6,71.
Gambar 1. Gambaran histologi sel osteoklas (anak
panah hitam), pewarnaan HE dengan mikroskop
pembesaran 400x. Keterangan : A.Kelompok
normal, B. Kontrol negatif, C. Kontrol positif,
D.Perlakuan 2,5% , E. Perlakuan 5% dan F.
Perlakuan 10% . TL : tulang alveolar, LP : ligamen
periodontal, SM : sementum, D : dentin
Tabel 1. Hasil Rerata Jumlah Sel Osteoklas
Kelompok Rerata Sel
Osteoklas St. Deviasi
KN 2,04 0,33
K(-) 6,71 0,72
K(+) 3,96 0,35
KP2,5% 4,34 0,86
KP5% 2,98 0,26
KP10% 2,57 0,81
Keterangan :
KN : normal
K(-) : induksi Pg
K(+) : induksi Pg+ Tantum Verde
KP2,5% : induksi Pg+ ekstrak daun ungu 2,5%
KP5% : induksi Pg+ ekstrak daun ungu 5% KP10% : induksi Pg+ ekstrak daun ungu 10%
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 75-82
79
Gambar 2. Grafik Batang Rata-Rata Jumlah Sel
Osteoklas
Hasil uji normalitas dan uji homogenitas
menunjukkan bahwa data berdistribusi normal
dan homogen (p>0,05). Selanjutnya dilakukan uji One Way Anova menunjukkan hasil
signifikan (p<0,05). Hasil uji LSD
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol negatif
dengan kelompok normal, kelompok kontrol
positif, kelompok ekstrak daun ungu 2,5%, 5%
dan 10%. Tetapi tidak berbeda signifikan antara kelompok kontrol positif dengan kelompok
ekstrak daun ungu 2,5% (p<0,05).
PEMBAHASAN
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah
untuk mengevaluasi potensi ekstrak daun ungu (Graptophillum pictum L. Griff) terhadap
penurunan jumlah sel osteoklas pada tikus
wistar yang diinduksi P.gingivalis. Rata-rata
jumlah sel osteoklas pada kelompok kontrol negatif menunjukkan hasil yang paling tinggi
dibandingkan kontrol positif dan kelompok
lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa P.gingivalis dapat menyebabkan
terstimulasinya prostaglandin dan
prekursornya, interleukin 1-α dan β, sitokin
pro-inflamasi TNF-α yang dihasilkan host sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan
ligamen periodontal selanjutnya memicu
resorpsi tulang alveolar yang diperankan oleh sel osteoklas 9,10.
Ekstrak daun ungu pada konsentrasi
2,5%, 5% dan 10% dapat menurunkan jumlah sel osteoklas pada tikus wistar yang diinduksi
P.gingivalis. Ekstrak daun ungu memiliki
kandungan senyawa kimia meliputi alkaloid,
flavonoid, fenolik, tanin, tripenoid, saponin dan glikosida. Hal ini sesuai dengan hasil uji
kandungan senyawa kimia ekstrak daun ungu.
Senyawa kimia yang banyak terkandung meliputi alkaloid sebesar 64,48, flavonoid
sebesar 54,04, fenolik sebesar 13,53 dan tanin
sebesar 12,17. Flavonoid, alkaloid, dan saponin dapat dimanfaatkan sebagai obat kumur
antiinflamasi yang sekaligus berperan sebagai
antibiotik untuk penderita periodontitis
(Pratiwi, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa penurunan jumlah sel osteoklas pada penelitian
ini karena adanya efek sinergis antara senyawa
kimia dalam ekstrak daun ungu. Hasil uji One Way Anova menunjukkan
hasil signifikan (p<0,05). Artinya terdapat
kemampuan pada masing-masing kelompok penelitian dalam menurunkan jumlah sel
osteoklas pada tikus wistar yang diinduksi
P.gingivalis. Baik itu kelompok perlakuan
ekstrak daun ungu konsentrasi 2,5%, 5% dan 10% maupun kelompok kontrol positif dengan
obat kumur Tantum Verde. Hal ini disebabkan
adanya kandungan senyawa aktif dalam kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol
positif. Hasil uji LSD menunjukkan bahwa KP
5% dan KP 10% yang bermakna (p<0,01) terhadap K(+). Artinya konsentrasi efektif
sebagai terapi periodontitis dengan parameter
penurunan jumlah osteoklas, pada KP5% dan
KP10% yang efektif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Prasetyaningrum dkk (2018)
yang meneliti efek ekstrak daun teh hijau
terhadap sel osteoklas tulang alveolar tikus putih (Rattus norvegicus) periodontitis bahwa
jumlah konsentrasi suatu ekstrak
mempengaruhi efektifitas penurunan sel
osteoklas.32
Kelompok yang diberi ekstrak daun ungu
10% tidak berbeda signifikan dengan kelompok
normal. Hal ini dapat diartikan bahwa ekstrak daun ungu konsentrasi 10% mempunyai
kemampuan sama dalam menurunkan jumlah
sel osteoklas dan mengembalikan jumlah sel osteoklas seperti keadaan normal. Ekstrak daun
ungu 10% memiliki efek antiinflamasi yang
berpotensi sebagai terapi untuk periodontitis.
Hal ini dikarenakan daun ungu memiliki kandungan tanin dan flavonoid yang mampu
menurunkan kadar TNF-α pada kelompok
perlakuan sampai mendekati kelompok yang hanya diberi pakan standar dan minum
(normal).33 Terhambatnya sitokin pro-inflamasi
akan menurunkan asam arakidonat. Penurunan asam arakidonat dapat menurunkan apoptosis
sel osteoblas. Sel osteoblas mensekresi
osteoprotegerin (OPG). OPG berfungsi untuk
menghambat ikatan RANKL dengan RANK, sehingga terjadi apoptosis sel osteoklas yang
menyebabkan penurunan resorpsi tulang.34
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 75-82
80
Kelompok kontrol positif (Tantum Verde) tidak berbeda signifikan dengan
kelompok yang diberi ekstrak daun ungu 5%
dan 10%. Hal ini artinya ekstrak daun ungu
konsentrasi tersebut bisa sebagai alternatif terapi untuk penyakit periodontitis. Tantum
Verde yang mengandung benzydamine HCl
0.15% mempunyai efek yang sama dengan ekstrak daun ungu konsentrasi 5% dan 10%
sebagai antiinflamasi yang mempengaruhi
jumlah osteoklas. Benzydamine HCl termasuk golongan NSAID yang bekerja dengan
menghambat jalur siklooksigenase. COX
memproduksi berbagai zat kimia seperti
prostaglandin yang menyebabkan inflamasi. Benzydamine HCl dapat mencegah
terjadinya inflamasi dan rasa sakit dengan
menghambat terbentuknya prostaglandin.35
Penelitian farmakologi menunjukkan bahwa
benzydamine HCl memiliki sifat analgesik,
antiinflamasi, antipiretik, anastesi lokal dan antibakteri. Benzydamine HCl berpengaruh
pada mekanisme lokal proses inflamasi.
Benzydamine HCl berada pada konsentrasi
tinggi di jaringan yang inflamasi sedangkan jaringan normal konsentrasinya sangat rendah,
dengan demikian pemberian topikal
meningkatkan efektifitasnya.12 Dari hasil penelitian ini, dapat dikatakan bahwa ekstrak
daun ungu mampu menurunkan jumlah sel
osteoklas pada tikus wistar yang diinduksi
P.gingivalis dan berpotensi sebagai terapi alternatif pada periodontitis dengan konsentrasi
efektif 5% dan 10%, dengan cara diaplikasikan
melalui irigasi pada sulkus gingiva.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
ekstrak daun ungu (Graptophyllum pictum L.
Griff) memiliki potensi untuk menurunkan
junlah sel osteoklas pada tikus wistar yang diinduksi P.gingivalis dengan konsentrasi
optimal 5% dan 10%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar.
http://www.depkes.co.id [diakses pada 20 Juni 2019] :118-220.
2. Susilawati, I. D. A. Periodontal infection is
a “Silent Killer”. Stomatognatic (J.K.G.
Unej) 2011; 8(1): 21-26. 3. Bostanci, N. & Belibasakis, G. N.
Porphyromonas gingivalis: an Invasive &
Evasive. FEMS Microbiol Lett 2012; 333(1): 1-9.
4. Newman, M.G., Caranza, F.A., Takei,
H.H., dan Klokkevold, P.R.Newman and
Carranza’s Clinical Periodontology. 13th Edition.Philadelphia: Elsevier. 2019: 89.
5. Toar, A. I., Posangi, J., dan Wowor, V.
Daya Hambat Obat Kumur Cetylpyridinium Chloride dan Obat
Kumur Daun Sirih Terhadap Pertumbuhan
Streptococcus mutans. Jurnal biomedik (JBM) 2013; 5(1): 163-168.
6. How, K. Y., Song, K. P., dan Chan, K. G.
Porphyromonas gingivalis:an Overview of
Periodontopathic Pathogen below the Gum Line. J. Frontiers in Microbiology 2016;
7(53): 1-14.
7. Yustina, A. R., Suardita, K., dan Agustin, D. Peningkatan Jumlah Osteoklas pada
Keradangan Periapikal Akibat Induksi
Lipopolisakarida Porphyromonas gingivalis. JBP 2012; 14(3): 140-44.
8. Kim, H. J., Seo, J. Y., Suh, H. J., Lim, S.
S., dan Kim, J. S. Antioxidant Activities of
Licorice-derived Prenylflavonoids. Nutr Res Pract 2012; 6(6): 491-98.
9. Mescher, A. L. Histologi Dasar Junqueira
Teks dan Atlas. 14th Edition. Jakarta: EGC. 2015 p.138-59
10. Rubin, J.& Greenfield, E. M. Osteoclast:
Origin & Differentiation. Journal of
Medical and Dental 2012; 59(3): 65-74. 11. Zulfa, L. & Mustaqimah, D. N. Terapi
Periodontal Non-Bedah. Dentofasial 2011;
10(1): 36-41. 12. Firza, T.A., Umar, N., dan Ihsan, M.
Perbandingan Obat Kumur Benzydamine
HCl 22,5 mg dan Ketamin 40 mg dalam Mengurangi Nyeri Tenggorok & Suara
Serak Akibat Intubasi Endotrakeal. Jurnal
Anestesi Perioperatif. 2017; 5(1): 57-66.
13. Ulusoy, N. B., Arikan, V., dan Oba, A. A. Effect of Mouthwashes On The
Discolouration of Restorative Materials
Commonly Used In Paediatric Dentistry. European Archives of Paediatric Dentistry
2018: 1-7.
14. Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Lembang. Potensi Tanaman Obat
Indonesia. Lembang, Kementerian
Pertanian Badan Penyuluhan dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian. 2012: 1-3.
15. Sumarny, R., Yuliandini, dan Rohani, M.
Efek Anti-Inflamasi dan Anti-Diare
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 75-82
81
Ekstrak Etanol Herba Meniran (Phyllanthus niruriL.) & Daun Ungu
(Garptophyllum pictumL. Griff).
Prosiding Seminar Nasional
Perkembangan Terkini Sains Farmasi Dan Klinik III 2013: 207-11.
16. Sitompul, N. Aktivitas Antibakteri &
Analisis Kandungan Kimia Daun Ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff).
Prosiding Seminar Nasional Biologi
Meningkatkan Peran Biologi dalam Mewujudkan “NationalAchievement with
Global Reach”.Medan: USU Press 2011:
245-49.
17. Purwanto, B. Herbal & Keperawatan Komplementer. Yogyakarta: Nuha
Medika. 2013.
18. Ardiana, T., Kusuma, A. R. P., dan Firdausy, M. D. Efektivitas Pemberian Gel
Binahong (Anredera Cordifolia) 5%
Terhadap Jumlah Sel Fibroblast Pada Soket Pasca Pencabutan Gigi Marmut
(Cavia Cobaya). J. ODONTO Dental.
2015; 2(1): 64-70.
19. Fitria, L., Utami, I. D., dan Suranto, R. D. P. Uji Potensi Buah Luwingan (Ficus
hispida L.f) Sebagai Penurun Kadar
Kolesterol Darah dengan Hewan Model Tikus Wistar (Rattus norvegicus
Berkenhout,1769) Hiperlipidemia.
Laporan Penelitian Fakultas Biologi Dana
BOPTN 2015. Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
2015: 1-20.
20. Baskhara, M. E., Ratih, P. H., dan Failasufa, H. Efektivitas Ekstrak Daun
Ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff)
dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Porphyromonas gingivalis (In vitro).
Skripsi.Semarang: Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Muhammadiyah
Semarang. 2018:.5-6. 21. Kusumaawati, I. Pengaruh Ekstrak Etanol
Daun Ungu (EEDU) Graptophyllum
pictum L.Griff terhadap Fungsi Fagositosis serta Pembentukan
Imunoglobuli M dan TNF-alpha pada
mencit. Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Airlangga, Surabaya 2002: 32-
64.
22. Mysak, J., Podzimek, S., Sommerova, P.,
Lyuya-Mi, Y., Bartova, J., Janatova, T., Prochazkova, J., dan Duskova, J.
Porphyromonas gingivalis: Major
Periodontopathic Pathogen Overview. J. Immunology Research 2014; 2014: 1-8.
23. Nasution, A. I. Hubungan Molekuler
Osteoporosis, Inflamasi, Sistem Imunologi
dan Aging. Biologi Oral FKG UI. 24. Iskandar, P. & Ismaniati, N. A. Peran
Prostaglandin pada Pergerakan Gigi
Ortodontik. Dentofasial 2010; 9(2): 91-100.
25. Cochran, D. L. Inflammation and Bone
Loss In Periodontal Disease. J. Periodontol 2008; 79(8): 1569-76.
26. Zhang, W., Ju, J., Rigney, T., dan Tribble,
G. Porphyromonas gingivalis Increases
Osteoclastic Bone Resorption & Osteoblastic Bone Formation in a
Periodontitis Mouse Model. BMC Oral
Health 2014: 1-9. 27. Kurniawan, B. & Aryana, W. F. Binahong
(Cassia alataL) as Inhibitor of
Escherichiacoli Growth. J Majority. 2015; 4(4): 100-104.
28. Sani,F. & Yustimartina, P. Uji Efektivitas
Antiinflamasi Esktrak Metanol Daun
Subang-subang (Scaevola taccada L.). terhadap Mencit yang Diinduksi
Karagenan. Seminar Nasional Ilmu
Kesehatan. 2016: 40-45. 29. Astuti, S. M. Skrining Fitokimia dan Uji
Aktivitas Antibiotika Ekstrak Etanol Daun,
Batang, Bunga & Umbi Tanaman
Binahong (Anredera cordifolia (Ten) Steenis.). Bogor: Balai Besar Pengujian
Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan
(BBPMSOH). 2011: 3-4 30. Pramitaningastuti, A. S. & Anggraeny, E.
N.Uji Efektivitas Antiinflamasi Ekstrak
Etanol Daun Srikaya (Annona squamosa.L) Terhadap Edema Kaki Tikus
Putih Jantan Galur Wistar. J Ilmiah
Farmasi. 2017; 13(1): 8-14.
31. Pratiwi, L. C. Adhesi Porphyromonas gingivalis pada Netrofil yang Diinduksi
Ekstrak Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus
sabdariffa L.) Skripsi. Jember: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember.
2012: 41-50.
32. Prasetyaningrum, N. Soemardini, M. Fadil. Efek Ekstrak Daun Teh Hijau
(Camellia cinensis) Terhadap Jumlah Sel
Osteoklas Tulang Alveolar Tikus Putih
(Rattus norvegicus). E-Prodenta Journal of Dentistry 2018: 130-39.
33. Tjahjani, N. P., Kristina, T. N., dan
Lestari, E. S. Efektivitas Ekstrak Etanol
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 75-82
82
Daun Ungu (Gratophyllum pictum(L.)) untuk Menurunkan Kadar TNF-α & NO.
Pharmaciana. 2016; 6(2): 191-200.
34. Bartold, P. M., Cantley, M. D., dan
Haynes, D. R. Mechanisms & Control of Pathologic Bone Loss In Periodontitis.
Periodontology 2000. 2010; 53: 55-69.
35. Suparwi, A. D. Perbedaan Efektivitas Obat Kumur Chlorhexidine & Methylsalicylate
dalam Menurunkan Jumlah Koloni Bakteri
Rongga Mulut. Skripsi. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret. 2010: 12-20.
36. Sunarto, H. Plak Sebagai Penyebab Utama
Keradangan Jaringan Periodontal. Skripsi. Jakarta: Departemen Periodonsia Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
2014: 1-12.
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 83-88
83
DAYA FITO-RESPON EKSTRAK ETANOL DAUN KELOR (Moringa oleifera)
TERHADAP SEL OSTEOSIT DAN MATRIKS TULANG MANDIBULA
TIKUS (Rattus norvegicus)
THE PHYTO-RESPONSE POWER OF ETHANOL EXTRACT OF MORINGA LEAVES
TO OSTEOCYTES AND MANDIBULAR BONE MATRIX
OF WISTAR RAT (RATTUS NORVEGICUS)
Chairunas, Dewi Saputri, Meutia Komala Putri
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala
Corresponding Author: [email protected]
Abstrak
Cahaya lampu diketahui memiliki dampak buruk terhadap perkembangan tulang. Paparan berlebihan dari cahaya lampu dapat menurunkan kadar melatonin pada manusia yang mengakibatkan tanda-tanda
osteoporosis tahap awal. Studi sebelumnya menyatakan melatonin dapat menekan estrogen yang akan
berdampak menghambat aktivitas osteoklas. Untuk mencegah kerusakan tulang maka dapat diberikan obat alami yang diketahui dapat meningkatkan metabolisme tulang. Senyawa flavonoid yang
terkandung dalam daun kelor (Moringa oleifera) berfungsi membantu metabolisme kalsium dengan
cara menginduksi penurunan resorpsi tulang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya fito-respon ekstrak etanol daun kelor terhadap osteosit dan matriks tulang mandibula yang terpapar cahaya
lampu fluoresen. Sampel penelitian menggunakan tikus wistar jantan sebanyak 10 ekor. Tikus
tersebut dipaparkan pada cahaya lampu fluoresen kemudian diberi ekstrak daun kelor yang diolah
dengan teknik maserasi. Pembuatan preparat histologi menggunakan pewarnaan hematoxylyn eosin. Mikroskop (Olympus BX-51) dengan perbesaran 400X digunakan dalam perhitungan sel osteosit dan
matriks tulang. Data penelitian dianalisa menggunakan uji One Way Analysis of Variance (ANOVA)
dengan nilai p<0,05. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa daya fito-respon ekstrak etanol daun kelor pada tulang mandibula yang terpapar cahaya lampu fluoresen dapat meningkatkan jumlah sel
osteosit dan dapat mempertahankan matriks tulang sehingga masa tulang tetap terjaga.
Kata Kunci: Tulang Mandibula, Sel Osteosit, Matriks Tulang, Daun Kelor, Cahaya Lampu Fluoresen
Abstract
Light is known to have a negative impact on bone development. Excessive exposure to light can decrease melatonin levels in humans, resulting in early signs of osteoporosis. Previous studies have
suggested that melatonin can suppress estrogen which will have an impact on inhibiting osteoclast
activity. To prevent bone damage, natural drugs are known to increase bone metabolism. The flavonoid compounds contained in Moringa oleifera leaves help metabolize calcium by inducing
decreased bone resorption. This study aims to determine the phyto-responsiveness of the ethanol
extract of Moringa oleifera leaves against osteocytes and mandibular bone matrix exposed to
fluorescent light. The research sample used 10 male wistar rats. The rats were exposed to fluorescent light and then given Moringa oleifera leaf extract which was processed by maceration technique.
Histological preparations were made using hematoxylyn eosin staining. A microscope (Olympus BX-
51) with a magnification of 400X was used in the calculation of osteocytes and bone matrix cells. The research data were analyzed using the One Way Analysis of Variance (ANOVA) test with p value
<0.05. The results of this study indicate that the phyto-responsiveness of the ethanol extract of
Moringa oleifera leaves on mandibular bone exposed to fluorescent light can increase the number of osteocytes and maintain bone matrix so that bone mass is maintained.
Keywords : Mandibular Bones, Osteocyte Cells, Bone Matrix, Moringa Oleifera, Fluorescent Light
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 83-88
84
PENDAHULUAN Tulang merupakan jaringan ikat
termineralisasi yang memiliki empat jenis sel
yaitu sel osteoblas, sel-sel pelapis tulang,
osteoklas, dan osteosit.1 Setiap tipe sel tersebut memiliki peran penting bagi perkembangan
tulang, seperti osteoblas yang berperan sebagai
pembentuk tulang dan osteoklas berperan dalam proses resorbsi tulang.2 Osteosit juga
turut berperan dalam pembentukan tulang, sel
tersebut dilapisi oleh matriks tulang dan berasal dari akhir siklus pembentukan tulang pada sel
osteoblas.1,3
Metabolisme kalsium dapat dipengaruhi
oleh sejumlah obat-obatan yang akan memaksimalkan kerja tulang seperti vitamin D,
kalsitonin, kalsitriol serta golongan bisfosfonat.
Efek samping yang ditimbulkan dari ketiga obat terserbut berbeda-beda.4 Diketahui bahwa
cahaya matahari dapat juga dimanfaatkan untuk
merangsang sintesis vitamin D di kulit manusia, sehingga meningkatkan penyerapan
kalsium dalam menjaga massa tulang,
mencegah osteoporosis.5,6
Penelitian Rostiny (2016) menunjukkan bahwa tanaman kelor (Moringa oleifera)
sebagai obat alami yang diketahui dapat
mempercepat metabolisme kalsium dalam tulang. Studi menunjukkan bahwa Moringa
oleifera memiliki banyak varian fitokimia,
salah satunya yaitu flavonoid yang dapat
merangsang diferensiasi dan proliferasi osteoblas, mengarah pada pembentukan
tulang.7
Penelitian International Osteoporosis Foundation and National Osteoporosis
Foundation melaporkan pada pekerja malam
hari yang selalu terpapar cahaya lampu mengakibatkan penurunan kadar melatonin.8
Melatonin bekerja pada tulang dengan cara
menekan estrogen dan berdampak menghambat
aktivitas osteoklas akibatnya resorbsi tulang menjadi minimal/sebanding.8,9
Salah satu cahaya buatan adalah lampu
fluoresen yang diketahui mempunyai efek yang buruk. Unsur pengisi tabung lampu fluoresen/
pendar tersebut dengan memanfaatkan merkuri
atau air raksa.10 Penelitian Saputro (2018) menunjukkan bahwa kandungan merkuri pada
lampu tersebut berdampak negatif bagi
kesehatan manusia maupun kesehatan
lingkungan.11
Berdasarkan studi pustaka ditemukan
bahwa ekstrak daun kelor memiliki pengaruh
langsung terhadap meningkatnya jumlah
osteosit dan matriks tulang. Namun belum diketahui apakah ada peningkatan pengaruh
ekstrak daun kelor apabila dikombinasikan oleh
paparan cahaya. Selanjutnya peneliti tertarik
menganalisis pengaruh pemberian ekstrak etanol daun kelor melalui mekanisme absorbsi
pada perkembangan sel osteosit dan matriks
tulang yang memberikan kontribusi terhadap penyembuhan tulang setelah dipaparkan oleh
cahaya lampu khususnya pada lampu fluoresen.
BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah blender, airtight container, flat bottomed glass container, rotary evaporator, kertas
saring, seperangkat alat bedah, mikromotor, bur
tulang, object glass, deck glass, oven, microtome, staining jar, lampu fluoresen 5
watt. Pada pengamatan hasil penelitian
menggunakan mikroskop cahaya, dan untuk pemotretan digunakan alat mikrofotografi.
Bahan yang digunakan untuk perlakuan adalah
ekstrak etanol daun kelor. Bahan-bahan yang
digunakan untuk membuat preparat histologi adalah larutan buffered neutral formalin (BNF)
10%, akuades, silol, alkohol dengan konsentrasi
bertingkat (absolut, 95%, 90%, 80%, dan 70%), NaCl fisiologis 0,95%, parafin dan pewarna
Hematoksilin Eosin (HE)
Persiapan Hewan Coba Tikus wistar (Rattus norvegicus) yang
memiliki kriteria berkelamin jantan dengan
umur 2-3 bulan serta memiliki berat badan 200-300g digunakan pada penelitian ini. Tikus
wistar yang digunakan pada penelitian
sebanyak 10 ekor. Satu ekor tikus digunakan untuk pemaparan cahaya lampu fluoresen
sebelum perlakuan, sedangkan 9 tikus lainnya
akan dikelompokkan menjadi 3 kelompok
dengan masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor tikus wistar. Kolompok terdiri dari
kolompok kontrol positif pada pengaplikasian
vitamin D topikal, kelompok kontrol negatif pada pengaplikasian akuades dan kolompok
perlakuan pada pengaplikasian ekstrak daun
kelor (Moringa oleifera).
Pembuatan Ekstrak Daun Kelor
Daun kelor (Moringa oleifera) dilakukan
pengekstrakan di Laboratorium Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(FMIPA) Unsyiah. Daun kelor yang dijadikan
sampel memiliki kriteria daun yang masih
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 83-88
85
muda dan berwarna hijau. Daun kelor sebanyak 1 kg yang diperoleh dari wilayah Ajun,
Kabupaten Aceh Besar dan Asrama Unsyiah,
Darrusalam, Banda Aceh.
Daun merupakan bagian dari tanaman kelor yang diambil untuk dipotong sampai
halus kemudian dikeringkan dan diangin-
anginkan hingga 2-4 hari. Selanjutnya daun tersebut digiling menggunakan blander hingga
menjadi bubuk halus. Penyimpanan bubuk dari
hasil penggilingan dimasukkan ke dalam airtight container dan diletakkan pada wadah
yang gelap, sejuk dan kering. Metode maserasi
diterapkan untuk proses ekstraksi dengan
pelarut etanol 96%. Dilakukan pemisahan filtrat dan residu setiap 1 x 24 jam selama 3 hari serta
diselingi dengan pergantian pelarut yang sama.
Vacuum rotary evaporator digunakan untuk menghasilkan ekstrak kental dari filtrat yang
telah terkumpul dan dipekatkan pada suhu
500C.13,14
Perlakuan Pemberian Ekstrak Daun Kelor
Pada 7 hari pertama, seluruh tikus wistar
(Rattus norvegicus) diberi perlakuan pemaparan cahaya lampu flouresen didalam
kandang selama 24 jam dalam 7 hari. Pada hari
ke-7, dilakukan eutanasia menggunakan anatesi eter pada satu tikus untuk melihat kerusakan/
kelainan patologi pada tulang mandibula.
Pemaparan cahaya fluresen tetap dilanjutkan
sampai hari ke-28. Pengaplikasian ekstrak daun kelor, vitamin D dan akuades dimulai hari ke 8-
28 pada masing-masing kelompok.
Pengaplikasian tersebut dilakukan pada mukosa rahang bawah tikus menggunakan cotton bud
sebanyak 2 kali sehari pada 10 jam pagi dan
jam 5 sore. Semua tikus yang telah dieutanasia
dilakukan pembedahan pada tulang mandibula
menggunakan bur tulang. Hasil pembedahan
tersebut dimasukkan ke larutan neutral buffer formalin 10% (fiksasi) selama 24 jam.15
EDTA 14% digunakan untuk
dekalsifikasi yang kemudian dilakukan
dehidrasi, clearing jaringan, embedding menggunakan parafin, serta pemotongan
jaringan dengan mikrotom pada arah
longitudinal pada ketebalan 5 mikron sebagai
prosedur pewarnaan hematoxylin eosin (HE). Penggunaan HE digunakan pada prosedur
pewarnaan untuk mengetahui gambaran
histologis sel osteosit dan matriks tulang. Digunakan mikroskop (Olympus BX-51)
perbesaran 400X dengan 5 kali pandang untuk
menghitung sel osteosit dan matriks tulang.15
Pengaplikasian perangkat lunak SPSS
untuk menganalisa hasil pada data penelitian
yang dianalisis menggunakan uji one way
ANOVA dengan p<0,05 untuk menganalisis daya fito-respon ekstrak etanol daun kelor
(Moringa oleifera) terhadap perkembangan sel
osteosit dan matriks tulang pada mandibula tikus wistar (Rattus norvegicus).
HASIL Hasil pengamatan terhadap tulang
mandibula memperlihatkan adanya perbedaan
gambaran sel tulang secara histopatologis.
Cahaya lampu fluoresen yang telah dipaparkan selama 7 hari menunjukkan matriks tulang
terlihat disekitar osteosit dengan luas area
11930 µm2 dalam pembesaran 400x menggunakan mikroskop cahaya. Hasil
pengamatan hari ke-14 yang telah diberi
ekstrak daun kelor, vitamin D dan akuades
menunjukkan perbedaan jumlah sel osteosit. Kelompok perlakuan yang diberi ekstrak
etanol daun kelor terlihat jumlah yang lebih
pada sel osteosit dibandingkan dengan kelompok kontrol positif maupun kontrol
negatif. Sedangkan hasil pengamatan sel yang
paling sedikit terdapat pada kelompok kontrol positif.
Gambaran matriks tulang pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol positif
mengalami perbesaran luas, sedangkan pada kelompok kontrol negatif mengalami
pengurangan jumlah luas area.
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 83-88
86
0
5
10
15
20
25
30
35
40
H7 H14 H21 H28
Tanpa Perlakuan Kontrol Negatif Kontrol Positif Perlakuan
Gambar 1. Diagram Batang Terhadap Frekuensi Osteosit Pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan.
Tabel 1. Distribusi Luas Matriks Tulang pada Hari ke-7, ke-14, ke-21 dan ke-28.
Luas area
H7
Matriks Tulang
Kontrol Negatif Kontrol Positif Perlakuan
H14 H21 H28 H14 H21 H28 H14 H21 H28
Rerata 11930 11172 12522 13172 11936 14248 14317 12079 14433 16383
*satuan luas daerah : µm2
Pada kelompok perlakuan yang diberi ekstrak etanol daun kelor terlihat jumlah yang
lebih pada sel osteosit dibandingkan dengan
kelompok kontrol positif maupun kontrol negatif. Sedangkan hasil pengamatan sel yang
paling sedikit terdapat pada kelompok kontrol
positif. Gambaran matriks tulang pada
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol positif mengalami perbesaran luas, sedangkan
pada kelompok kontrol negatif mengalami
pengurangan jumlah luas area. Hasil pengamatan histopatologis sel
osteosit dan matriks tulang hari ke-21,
kelompok kontrol positif dengan vitamin D dan kelompok kontrol negatif dengan akuades
mengalami peningkatan pada sel osteosit.
Sementara pada kelompok perlakuan
mengalami penurunan jumlah sel osteosit. Kelompok kontrol positif menunjukkan sel
osteosit paling banyak. Luas area matriks
tulang yang terlihat kelompok perlakuan dan kelompok kontrol positif relatif sama dengan
luas 14400µm2.
Penelitian hari ke-28 pada kelompok perlakuan, hasil sel osteosit dan matriks tulang
menunjukkan kenaikan yang paling tinggi
antara kelompok kontrol positif dan kontrol negatif.
PEMBAHASAN Hasil pengamatan secara mikroskopis,
setelah pemaparan cahaya hari ke-7 hari sampai
hari ke-21 terlihat jumlah sel osteosit yang
mengalami penurunan. Hal ini diketahui bahwa terjadinya penurunan pada sel osteosit
diakibatkan oleh pemaparan cahaya lampu
fluoresen dapat mengganggu struktur tulang. Dalam pembuatan lampu fluoresen
memanfaatkan merkuri atau air raksa sebagai
salah satu unsur pengisi tabungnya sehingga dampak yang ditimbulkan merkuri bagi
kesehatan manusia dan kesehatan lingkungan
memliki dampak yang buruk.11 Penurunan
jumlah sel osteosit akibat pemaparan cahaya Penurunan jumlah sel osteosit akibat
pemaparan cahaya lampu secara terus-menerus
mendukung penelitian sebelumnya dimana akan terjadi penurunan kadar melatonin pada
manusia.17
Melatonin N-acetyl-5-methoxytrypta mine merupakan produk sekretor utama
kelenjar pineal vertebrata, di mana sintesis dan
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 83-88
87
pelepasannya menunjukkan peran dalam regulasi biologis ritme sirkadian, penuaan, dan
reproduksi yang dapat memengaruhi fisiologi
tulang dengan aktivitas puncak selama periode
gelap atau pada malam hari.9,17 Melatonin sangat berperan dalam pembentukan tulang
karena dapat meningkatkan estrogen yang akan
berdampak menghambat aktivitas osteoklastik akibatnya resorbsi tulang menjadi minimal.8,9
Hasil pengamatan hari ke-14 yang telah
diberi ekstrak daun kelor, vitamin D dan akuades menunjukkan perbedaan total
perhitungan sel osteosit. Pada kelompok
perlakuan yang diberi ekstrak etanol daun kelor
terlihat jumlah yang lebih pada sel osteosit dibandingkan dengan kelompok kontrol positif
dan kontrol negatif, tetapi jumlah osteosit
mengalami penurunan dari hari ke-7. Hasil pengamatan histopatologis sel osteosit hari ke-
21, kelompok kontrol positif mengalami
peningkatan pada sel osteosit dan penurunan kembali pada kelompok perlakuan. Penurunan
sel osteosit yang terjadi pada kelompok
perlakuan dikarenakan sel tersebut mengalami
fase remodeling tahap awal. Pada fase tahap awal remodeling adalah fase aktivasi dan
resorpsi yang berlangsung 0-2 minggu terjadi
pengaktifan pada sel osteoklas yang menyebabkan penurunan pada jumlah
osteosit.18,19
Pada penelitian hari ke-21 sel osteosit
paling banyak terdapat pada kelompok kontrol positif pada pemberian vitamin D dengan rata-
rata 32.4. Pengamatan luas area matriks tulang
pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan juga meningkat. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan vitamin D
telah memberikan efek pada tulang setalah pemakaian 2 minggu. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Ayu (2009) bahwa pemberian
vitamin D efektif sebagai langkah yang tepat
dalam peningkatan densitas tulang.20
Hasil pengamatan tulang mandibula tikus
wistar (Rattus norvegicus) di bawah mikroskop
cahaya pada hari ke-28 menunjukkan kelompok kontrol negatif menggunakan akuades dengan
jumlah sel osteosit paling sedikit sementara
hasil pengamatan pada kelompok perlakuan menunjukkan jumlah sel osteosit yang lebih
banyak. Jumlah sel osteosit dibandingkan hari
ke-14 dan ke-21 mengalami kenaikan.
Pengamatan matriks tulang hari terakhir mengalami perluasan area yang lebih pada
kelompok perlakuan dibanding kelompok
kontrol. Hal ini menandakan daun kelor
(Moringa oleifera) tetap bekerja dan efektif digunakan sampai minggu ke-3 dikarenakan
bahwa untuk menghasilkan sel osteosit akan
membutuhkan waktu 3-4 minggu yaitu pada
fase ke-2 pada tahapan remodeling.19
KESIMPULAN
Adanya perubahan sel osteosit dan luas area matriks tulang mandibula tikus wistar
(Rattus norvegicus) setelah dipancarkan cahaya
lampu fluoresen dalam waktu 24 jam. Adanya perbedaan terhadap jumlah sel osteosit dan
luas matriks tulang mandibula tikus wistar
antara kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan yang diberi ekstrak daun kelor (Moringa oleifera). Meningkatnya jumlah sel
osteosit dan matriks tulang sampai pada hari
ke-28 dapat disimpulkan bahwa daun kelor dapat menstimulasi perkembangan dan
kepadatan pada tulang sehingga masa tulang
tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
1. Florencio-silva R, Rodrigues G, Sasso-
cerri E, Simões MJ, Cerri PS, Cells B. Biology of Bone Tissue: Structure,
Function, and Factors That Influence Bone
Cells. Biomed Res Int. 2015; 2015:17. 2. Cheung MBSW, Majeska R, Kennedy O.
Osteocytes : Master Orchestrators of Bone.
Springer Science. Biomedical
Engineering. 2014; 5-24. 3. Buenzli PR. Osteocytes As A Record Of
Bone Formation Dynamics : A
Mathematical Model Of Osteocyte Generation In Bone Matrix. J Theor Biol.
2015; 364: 418–27.
4. Gunawan S. Hormon Paratiroid dan Obat Yang Mempengaruhi Metabolisme
Kalsium. In: Farmakologi dan Terapi. 5th
ed. Setiabudy R, Nafrialdi, editors.
Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2012: 451–4.
5. Veldurthy V, Wei R, Oz L, Dhawan P, Jeon YH, Christakos S. Vitamin D ,
Calcium Homeostasis and Aging. Bone
Res. 2016; 25: 1–7. 6. Yang Y, Yu Y, Yang B, Zhou H, Pan J.
Physiological Responses To Daily Light
Exposure. Sci Rep. 2016; 1–9.
7. Rostiny ED. The Effect Of Combined Moringa oleifera and Demineralized
Freeze-Dried Bovine Bone Xenograft On
The Amount Of Osteoblast and Osteoclast
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 83-88
88
In The Healing Of Tooth Extraction Socket Of Cavia cobaya. Dent J. 2016;
37(56): 38–43.
8. Feskanich D, Hankinson SE,
Schernhammer ES. Nightshift Work and Fracture Risk : The Nurses’ Health Study.
Osteoporosis Int. 2009; 537–42.
9. Res P. Melatonin Effects On Bone: Experimental Facts and Clinical
Perspectives. J Pineal Res. 2003; 81–7.
10. Cahyono H. Merkuri Dalam Lampu Fluoresen. 2011; 8(2): 37–44.
11. Saputro JH, Sukmadi T, Karnoto. Analisa
Penggunaan Lampu LED Pada
Penerangan Dalam Rumah. Universitas Diponegoro Semarang. 2018; 2.
12. Kusumaningtyas E. Mekanisme Infeksi
Candida albicans Pada Permukaan Sel. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis.
Bogor. 2004;(30):304–13.
13. Kumala N, R EDD. Potensi Ekstrak Daun Kelor (Moringa oleifera) Sebagai
Hepatoprotektor Pada Tikus Putih (Rattus
novergicus) Yang Diinduksi Parasetamol
Dosis Toksis. J Ilmiah Ked 5: 58–66. 14. Syahruramadhan M, Yanti NA, Darlian L.
Aktivitas Antijamur Ekstrak Daun Kelor
(Moringa oleifera Lamck.) dan Daun Kirinyuh (Chromolaena odorata L.)
Terhadap Candida albicans dan
Aspergillus flavus. J Ampibi. 2016; 1(2):
7–12. 15. Hikmah N. Profil Osteoblas dan Osteoklas
Tulang Alveolar Pada Model Tikus
Diabetes Tahap Awal Dengan Aplikasi Gaya Ortodonti Yang Berbeda. El Hayah.
2015; 5: 97–102.
16. Indrawati A. Teknik Pembuatan Dan Evaluasi Preparat Histologi Dengan
Pewarnaan Hematoksilin Eosin Di
Laboratorium Histologi Dan Biologi Sel
Fakultas Kedokteran UGM Dan National Laboratory Animal Center (NLAC)
Mahidol University. Universitas Gajah
Mada. 2017; 1: 11–45. 17. Suzuki N, Hattori A. Melatonin
Suppresses Osteoclastic and Osteoblastic
Activities In The Scales Of Goldfish. J Pineal Res. 2002; 33: 253–8
18. Kenkre JS, Bassett JHD. The Bone
Remodelling Cycle. Ann Clin Biochem.
2018; 55(3): 308–27. 19. Katsimbri P. The biology of normal bone
remodelling. Eur J Cancer Care. 2017;
26(6): 1–5.
20. Setyorini, Ayu dkk. Pencegahan Osteoporosis dengan Suplementasi
Kalsium dan Vitamin D pada Penggunaan
Kortikosteroid Jangka Panjang. Sari
Pediatri. 2009; 32-8.
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 89-92
89
PORCELAIN LAMINATE VENEER SEBAGAI PERAWATAN ESTETIK
PADA GIGI INSISIVUS LATERALIS
(Laporan Kasus)
PORCELAIN LAMINATE VENEER AS AESTHETIC CARE
FOR LATERALIST INSISIVUS
(Case Report)
Ivony Fitria1, Isti Arifianti
2, Taufik Sumarsongko
3, Setyawan Bonaficius
3, Rasmi Rikmasari
3
1) Staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Andalas
2) Staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Universitas Achmad Yani
3) Konsulen Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran
Corresponding Author: [email protected]
Abstrak
Seiring dengan meningkatnya popularitas esthethic dentistry, semakin banyak pasien yang membutuhkan perawatan yang dapat meningkatkan penampilan gigi anterior. Salah satu perawatan
estetik yaitu porcelain laminate veneer yang merupakan lapisan tipis, sedikit tembus cahaya, terbuat
dari bahan porselen, dan berfungsi untuk melaminasi atau menutupi gigi yang mengalami kerusakan,
kelainan bentuk atau perubahan warna. Pada kasus diastema gigi 12 dan peg shape gigi 22, secara anatomis gigi terlihat lebih kecil dan akan terbentuk ruang atau diastema antar gigi. Pada kasus ini
dilakukan perawatan estetik porcelain laminate veneer untuk memperbaiki bentuk dan menutupi
diastema ini sehingga akan dicapai estetik yang lebih baik. Penatalaksanaan kasus yaitu wax up untuk melihat kesesuaian bentuk dan proporsi veneer yang telah didesain dengan digital smile design. Pasien
menyetujui untuk dilakukan crown lengthening untuk mendapatkan level gingival margin yang lebih
proporsional. Dibantu dengan diagnosis wax up dan smile designing yang direncanakan pada awal perawatan, pasien mendapatkan gambaran visual dari hasil perawatan yang diharapkan. Pasien merasa
puas dengan hasil perawatan. Kesimpulan yang dapat diambil yaitu porcelain laminate veneer
merupakan suatu alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penampilan estetik pada gigi
anterior agar pasien mendapatkan senyum yang lebih indah. Kata Kunci: Veneer, Porcelain Laminate Veneer, Estetik, Diastema, Peg Shape
Abstract
The needs of esthetic dentistry makes patients search for improvements of the appearance of anterior
teeth. One of the aesthetic treatments is porcelain laminate veneer which is a thin, slightly translucent
layer, made of porcelain material, and aims to laminate or cover teeth that have been damaged, deformed or discolored. In the case of tooth diastema 12 and peg shape 22, anatomically the teeth
appear smaller and space or diastema will form between the teeth. In this case, aesthetic treatment of
porcelain laminate veneer is aim to improve the shape and cover the diastema so a better aesthetic is achieved. Management of this case was wax up to confirm the shape and proportion of veneers that
have been designed with a digital smile design. Patient agreed to have a crown lengthening to get a
more proportional level of gingival margin. Assisted by the diagnosis of wax up and smile designing planned at the beginning of treatment, patients get a visual picture of treatment results. Patient
satisfied with the result. Conclusion: Porcelain laminate veneer is an alternative to improve the
aesthetic of anterior teeth so patients get a beautiful smile.
Keywords: Veneer, Porcelain Laminate Veneer, Aesthetic, Diastema, Peg Shape
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 89-92
90
PENDAHULUAN Porcelain laminate veneer telah menjadi
salah satu perawatan yang popular selama
dekade terakhir.1 Veneer merupakan perawatan
yang bersifat kosmetik yang ditemukan pertama kali pada awal tahun 1937 untuk
alasan estetik.2 Dengan mengaplikasikan
lapisan tipis veneer pada permukaan fasial mampu meningkatkan penampilan pasien
secara visual.1,2
Porcelain laminate veneer secara umum digunakan untuk merestorasi gigi dengan defek
pada permukaan email, gigi yang diskolorasi
akibat fluorosis, tetrasiklin atau devitalisasi,
dan malformasi.1,2,3 Veneer juga diindikasikan untuk penutupan diastema, defek pada
permukaan gigi misalnya retakan pada email
akibat trauma, penuaan, hipoplasia email. Pada beberapa kasus koreksi misalignment.2,3,4
Beberapa kontraindikasi penggunaan
porcelain laminate veneer yaitu enamel displasia atau fluorosis, sisa email yang tidak
mencukupi akibat abrasi hebat, oklusi yang
tidak memungkinkan misalnya pada gigi
antagonis dengan maloklusi berat, atau gigi dengan oklusi edge to edge. Laminate veneer
juga tidak direkomendasikan pada pasien
dengan kebiasaan buruk, seperti bruksisme dan kebiasaan menggigit benda.1,3,4
Keuntungan utama dari teknik veneer ini
adalah mampu meningkatkan estetik dengan
maksimal, preparasi minimal, daya tahan panjang, integritas marginal, dan
biokompabilitas jaringan lunak. Sedangkan
kekurangan perawatan ini adalah harga yang relatif mahal, fragility pada saat try in dan
sementasi, waktu kunjungan lebih lama, dan
tidak dapat dilakukan sementasi sementara.1,2 Prinsip preparasi porcelain laminate
veneer adalah harus sekonservatif mungkin.
Preparasinya minimal dan terbatas pada
email.2,5,6 Preparasi email haruslah menyediakan ruangan yang cukup adekuat
untuk kontur porcelain veneer, menyediakan
path of insertion veneer, mempersiapkan permukaan email untuk proses etsa dan
sementasi, dan memfasilitasi penempatan
margin sulkular pada gigi.7,8,9 Minimal preparasi di bagian labial berkisar antara 0,3-
0,5 mm dan akhiran servikal berbentuk sedikit
chamfer dan berada pada level krista gingiva
atau sedikit subgingiva. Perluasan ke daerah proksimal kira-kira setengah daerah kontak
proksimal, untuk menambah efek melingkari
veneer dan menambah ketebalan veneer.3,5
Gambar 1. ABC perubahan sudut bur untuk
mendapatkan kedalaman yang sama. D pembuatan
takik di permukaan insisal dan F,E preparasi
permukaan insisal.3
Evaluasi ketebalan preparasi dapat
dilakukan dengan menggunakan diagnostic wax
up. Diagnostic wax up dicetak dengan silicon putty yang nantinya dapat digunakan sebagai
panduan preparasi agar dapat kontur gigi secara
visual.4,8,9,11
LAPORAN KASUS
Seorang pasien wanita berusia 25 tahun
datang ke Klinik Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran
mengeluhkan gigi depannya yang terlihat kecil,
runcing, dan jarang. Pasien ingin dibuatkan veneer untuk memperbaiki bentuk dan estetik
gigi agar terlihat lebih baik. Dari pemeriksaan
klinis intraoral terlihat diastema pada gigi 12 dan peg shape pada gigi 22. Rencana perawatan
pasien direkomendasikan untuk pemasangan
veneer porcelain pada gigi 12 dan 22.
Gambar 2 . Gambaran Ekstra Oral Pasien
Gambar 3. Gambaran intraoral pasien
Kunjungan pertama dilakukan
pencetakan untuk mendapatkan model studi.
Dari model dan foto klinis dilakukan desain perawatan untuk mendapatkan hasil yang
estetik.
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 89-92
91
Desain menunjukkan posisi margin gingival pada gigi insisivus lateralis kiri dan
kanan terlalu rendah sehingga diperlukan
prosedur crown lengthening untuk
mendapatkan proporsi zenith gingival yang lebih ideal. Desain dan rencana perawatan
dikomunikasikan dengan pasien, dan pasien
setuju untuk dilakukan crown lengthening pada gingival gigi insisivus lateralis kiri dan kanan.
Pada model dilakukan desain wax up dan
pasien dirujuk ke bagian periodonsia untuk dilakukan crown lengthening sesuai dengan
desain yang dibuat.
Gambar 4. A. Smile designing dengan Photoshop
dan B,C. Gingival Aesthetic Line.
Prosedur pembuatan veneer dapat dimulai setelah dilakukan crown lengthening.
Desain wax up pada model dicetak dengan
bahan putty sebagai silicon index dan dapat digunakan untuk pembuatan crown sementara.
Mock up untuk melihat kesesuaian bentuk dan
proporsi veneer telah didesain. Preparasi veneer pada temporary veneer yang di-mock up pada
pasien dan dilakukan pencetakan dengan
menggunakan PVS. Penentuan warna
dilakukan dengan shade guide untuk mendapatkan warna yang sesuai. Cetakan PVS
dikirim ke laboratorium untuk diproses.
Kunjungan berikutnya, veneer diinsersikan dengan menggunakan semen resin
dual cure. Setelah dilakukan try-in, permukaan
dalam veneer dietsa dengan asam hidrofluorida 5% dan selanjutnya diaplikasikan silane agent.
Sedangkan gigi preparasi dietsa dengan asam
fosfat 37% dan diaplikasikan bonding agent
pada permukaan gigi dan veneer. Veneer ditempatkan pada gigi preparasi dengan
tekanan ringan dan dipertahankan selama
polimerisasi dengan light-cured unit dengan waktu sesuai instruksi pabrik pada permukaan
labial, mesial, dan distal. Sisa semen yang
berlebih dibersihkan dan pasien diinstruksikan untuk prosedur oral hygiene. Pasien dikontrol
seminggu kemudian untuk mengetahui keluhan
pasien dan oral hygiene mulut.
Gambar 5. A. Sebelum Pemasangan Veneer B.
Setelah Pemasangan Veneer
PEMBAHASAN
Pasien menyetujui untuk dilakukan
crown lengthening untuk mendapatkan level gingival margin yang lebih proporsional pada
kasus ini. Dibantu dengan diagnosis wax up,
smile designing dan mock up yang direncanakan pada awal perawatan, pasien
mendapatkan gambaran visual dari hasil
perawatan yang diharapkan.5,6 Disini
ditekankan pentingnya diagnosis wax up. Salah satu poin yang signifikan dalam
kasus ini yaitu Gingival Aesthetic Line (GAL)
yang didefinisikan sebagai sudut yang terbentuk dari garis midline dengan garis yang
menghubungkan zenith gingival margin gigi
insisivus sentralis dengan gigi kaninus. Pada
kasus ini, prosedur crown lengthening dilakukan agar proporsi gingival pasien
menjadi klas 1 dimana sudut GAL berada
antara 450 dan 900 dan zenith insisivus lateral menyentuh atau berada di bawah GAL 1-2
mm.5
Gambar 6. Gingival Aesthetic Line (GAL) Klas 1.5
Prosedur preparasi veneer dapat
dilakukan 2-3 minggu setelah prosedur crown
lengthening agar penyembuhan jaringan lunak optimal.7,10 Prosedur kontrol plak dianjurkan
tiap 6 bulan untuk menjaga oral hygiene
pasien.7,10,11 Pembuatan veneer diindikasikan pada
kondisi gigi peg shape dan diastema.1,2,4 Pada
kasus gigi insisivus lateralis dengan peg shape,
ukuran gigi yang lebih kecil menyebabkan
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 89-92
92
terbentuknya ruangan antar gigi anterior. Dalam hal ini, porcelain veneer merupakan
salah satu perawatan yang dapat dipilih untuk
memperbaiki bentuk gigi dan menutupi
ruangan yang terjadi. Prinsip dasar preparasi untuk kasus
veneer harus se-konservatif mungkin. Beberapa
penelitian menyarankan ketebalan preparasi labial untuk porcelain veneer tidak melebihi
0,5 mm. Prakteknya, ketebalan rata-rata
porcelain laminate veneer ini berkisar antara 0,4-0,7 mm yang hampir mendekati ketebalan
email gigi.2,6,8
Preparasi dilakukan dengan bur marker
sehingga terbentuk tiga takik sehingga preparasi dilakukan dengan mengacu pada titik-
titik tersebut. Hal ini dilakukan agar tidak
terjadi over preparasi sehingga ketebalan email tetap terpertahankan. Evaluasi dengan putty
silicon index juga dapat dilakukan untuk
menjaga ketebalan preparasi.8,9,10
Tepi dari veneer seharusnya terletak pada
daerah embrasure sehingga tidak terlihat, baik
dari depan atau lateral. Lain halnya jika
terdapat diastema, maka garis akhir preparasi terletak sejauh mungkin dari aspek lingual,
tidak boleh ada undercut, dan meluas dari
incisal edge sampai titik dekat papila gingiva.4,8
Preparasi di bagian proksimal harus
mempertimbangkan kontak interproksimal.
Beberapa faktor yang mempengaruhi perluasan
preparasi ke arah proksimal yaitu pada kasus yang membutuhkan modifikasi bentuk dan
lebar gigi, penutupan daerah diastema dan
modifikasi profil.8,9
Pasien dikontrol seminggu kemudian
untuk mengevaluasi kasus, dan pasien merasa
puas dengan hasil perawatan. Pertimbangan berbagai aspek estetik akan dicapai suatu hasil
perawatan yang sesuai dengan harapan
pasien.11
KESIMPULAN Porcelain laminate veneer merupakan
salah satu perawatan yang banyak diminati oleh karena estetiknya baik, dapat bertahan
lama, memiliki sifat mekanis yang baik jika
telah disemen, biokompatibel, serta pengurangan jaringan gigi yang minimal.
Selain itu, indikasi, pertimbangan preparasi dan
pelaksanaan prosedur tahapan klinis secara
adekuat dan direncanakan dengan tepat dapat mempengaruhi keberhasilan perawatan gigi
dengan porcelain laminate veneer.
DAFTAR PUSTAKA 1. Sajjad A, Bakar WZW, Mohamad D,
Kannan TP. Porcelain laminate veneers: A
conservative approach for pleasing
esthetics- An overview. J Appl Dent and Med Science 2017; 3(3): 7-14.
2. Gurel G. The Science and Art of Porcelain
Laminate Veneers. London: Quintessence Publishing Co. Ltd. 2003: 231-48.
3. Font AF, Ruiz FS, Ruiz MG, Rueda CL,
Gonzalez AM. Choice of ceramis for use in treatments with porcelain laminate
veneers. Med Oral Patol Oral Cir Buccal
2006;11: 297-302.
4. Greenwall L. Treatment options for peg-shaped laterals using direct composite
bonding. Internat Dent SA 2010; 12(1):
26-3. 5. Ahmad I. Protocols for Predictable
Aesthetic Dental Restoration. Oxford UK:
Blackwell Munksgaard.. 2006: 45-52. 6. Abuzenada BM, Alanazi AS, Al saydali
WM, El Marakby AM, Koshak HA,
Alharthi AA. Current classifications and
preparation techniques of dental ceramic laminate veneers (review article). Int J Adv
Res 2017; 5(12): 1973-9.
7. Passos L, Soares FP, Gallo M. Esthetic rehabilitation through crown lengthening
surgery and conservative CAD/CAM
veneers: A multidisciplinary case report.
Case Report in Dent 2016. 2016; 1-7. 8. Neto AF, Medeiros CD, Vilanova L,
Chaves MS, Araujo JJFB. Tooth
preparation for ceramic veneers: when less is more. Int J Esthet Dent 2019; 14(2):
156-64.
9. Veneziani M. Ceramic laminate veneers: Clinical procedures with a
multidisciplinary approach. Int J Esthet
Dent 2017; 12(4): 2-24.
10. Montenegro G, Tine JPNP, Silva WO, Pinto T. Aesthethic rehabilitation with
ceramic laminate by the system
CAD/CAM- A case report. Adv Dent & Oral Health 2018; 9(4): 123-8.
11. Alhazzani EA, Aldakheel MD, Aldossary
MS. Smile design and porcelain laminate veneers: Clinical aspects and
considerations. Int J Oral Health Dent
2017; 3(4): 206-9.
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 93-98
93
KETERKAITAN LESI ENDO-PERIO
(Tinjauan Pustaka)
THE ENDO-PERIO CONTINUUM
(Literature Review)
Nuzulul Ismi1, Agus Susanto
2
1Departemen Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Syiah Kuala 2Departemen Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Padjajaran
Corresponding Author: [email protected]
Abstrak
Kasus lesi endo-perio merupakan kasus yang sering ditemui dalam praktek kedokteran gigi.
Hubungan antara penyakit pulpa dan periodontal (lesi endo-perio) pertama kali dikemukakan oleh Simring dan Goldberg pada tahun 1964. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan
tentang hubungan lesi endo-perio dan penatalaksanaannya. Lesi endo-perio disebabkan oleh adanya
inflamasi pada area pulpa dan jaringan periodontal secara bersamaan pada satu gigi. Keterkaitan pulpa dan jaringan periodonsium melalui jalur anatomi dan non-fisiologis. Jalur secara anatomis melalui
foramen apikal, kanal lateral dan tubulus dentin, sedangkan jalur non-fisiologis seperti perforasi
iatrogenik, trauma, fraktur gigi vertikal, perawatan periodontal yang tidak adekuat, dan lainnya. Perawatan lesi endo-perio bertujuan menghilangkan inflamasi pada area pulpa dan jaringan
periodontal. Pemeriksaan secara komprehensif diperlukan, meliputi pemeriksaan klinis dan radiograf
yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosis melalui tanda dan gejala klinis serta
mengklasifikasikan lesi endo-perio sehingga perawatan yang tepat dapat dilakukan. Pemeriksaan tanda dan gejala klinis dalam menentukan diagnosa lesi endo-perio penting dilakukan untuk
menentukan perawatan yang tepat.
Kata Kunci: Diagnosis, Etiologi, Klasifikasi, Lesi Endo-Perio
Abstract
Endo-perio lesion is a commonly occurred case in denstistry. The connection between pulp and periodontal disease was firstly described by Simring and Goldberg in 1964. This article aims to
explain the relationship between endo – perio lesion and its treatment. Endo-perio lesions are caused
by inflammation of the pulp area and the periodontal tissues that occur simultaneously on a tooth. Pulp and periodontal tissue are related through from anatomy and non-physiological pathways. The
anatomical pathways are foramen apical, canal lateral and tubulus dentin, while the non-physiological
are iatrogenic perforation, trauma, vertical fracture of the teeth, inadequate periodontal treatments, and others. Comprehensive examination including clinical examinations and radiographs are required
in order to make an accurate diagnosis through clinical signs and symptoms and classifying endo-
perio lesions so that appropriate treatment can be performed. Examination of clinical signs and
symptoms in determining the diagnosis of endo-perio lesions is performed to determine the proper treatment selection.
Keywords: Diagnosis, Etiology, Classification, Endo-Perio Lesion
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 93-98
94
PENDAHULUAN Keterkaitan pulpa dan jaringan
periodonsium dimulai dari tahap perkembangan
embrio gigi, dental folikel menjadi tanda dari
adanya jaringan periodonsium yang memiliki hubungan dengan papilla gigi yang menjadi
asal dari jaringan pulpa. Keduanya dipisahkan
oleh epitel Hertwig. Dengan demikian pulpa dan jaringan periodonsium memiliki hubungan
embrio, fungsional dan anatomi.1-4 Hubungan
antara lesi endodontik dan periodontal pertama kali dikemukakan oleh Simring dan Goldberg
pada tahun 1964 yang dikenal istilah lesi endo-
perio.3,4
Jaringan periodonsium dan pulpa gigi secara anatomi berhubungan melalui foramen
apikal dan lateral, yang memungkinkan
masuknya patogen antara kedua anatomi yang berbeda ini.2,4 Meski ada banyak faktor yang
berkontribusi terhadap perkembangan lesi
endo- perio, penyebab utama keduanya adalah adanya infeksi bakteri dengan flora mikroba
kompleks. Obligat anaerob yang mendominasi
area ini adalah Streptococcus,
Peptostreptococcus, Eubacterium, Bacteroides dan Fusobacterium.2,5
Lesi endo-perio ditandai dengan adanya
keterlibatan penyakit pulpa dan periodontal pada gigi yang sama. Sangat penting untuk
mengenali keterkaitan keduanya yang
menunjang keberhasilan perawatan akhir dari
lesi ini.2,6 Jalur penyebaran infeksi masih kontroversi karena adanya pengaruh seperti
anatomi (foramen apikal, aksesori, kanal lateral
dan kanal sekunder, tubulus dentin), patologi dan iatrogenik.2,5 Identifikasi dan eliminasi
etiopatogenesis primer dari kondisi yang ada
adalah kunci utama untuk keberhasilan perawatan.1,8
TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi persisten jaringan pulpa menyebabkan infeksi sekunder dan kerusakan
jaringan periodonsium. Sebaliknya, penyakit
periodontal kronis dapat menginisiasi atau menyebabkan eksaserbasi inflamasi di jaringan
pulpa. Hubungan antara infeksi pulpa dan
periodonsium dimediasi dengan adanya hubunganantara kedua struktur anatomi ini.
Jalur komunikasi utama adalah foramen apikal.
Pulpitis berlanjut menyebabkan nekrosis pulpa
yang seringkali diiringi resorpsi tulang pada apeks, seperti yang terdapat pada kasus
periodontitis apikal atau abses apikal. Kasus
seperti ini disebut periodontitis retrograde
karena pada gambaran klinisnya terdapat kerusakan jaringan periodontal dari apikal ke
arah servikal. Kasus ini merupakan kebalikan
dari periodontitis orthograde yang disebabkan
adanya infeksi sulkular yang berkelanjutan.7,8
Masuknya bakteri dan produk-produknya
ke dalam pulpa dan jaringan periodonsium
dibagi kedalam beberapa jalur yaitu:3,5,9,10
1. Jalur anatomi, meliputi pembuluh darah
seperti foramen apikal, kanal aksesori/lateral
dan tubulus dentin. Foramen apikal adalah jalur langsung antara periodonsium dan
pulpa. Penyakit periodontal telah terbukti
memberi efek destruksi pada jaringan pulpa
jika plak bakteri melibatkan foramen apikal yang mempengaruhi suplai pembuluh darah.
Iritan dari penyakit pulpa dapat menginvasi
melalui foramen apikal yang mengakibatkan patosis area periapikal.1,7,10 Kanal aksesori
merupakan jalur potensial dalam
penyebaran mikroorganisme dan produk toksiknya, serta iritasi lainnya dari pulpa ke
ligamen periodontal ataupun sebaliknya
yang mengakibatkan proses inflamasi pada
jaringan yang terlibat.2,9 Tubulus dentin merupakan jalur masuknya mikroorganisme
antara pulpa dan jaringan periodontal saat
lapisan sementum terbuka. Hal ini disebabkan oleh berbagai defek
perkembangan seperti inkomplit sementum
dan enamel pada cemento-enamel junction
(CEJ), penyakit atau prosedur bedah yang melibatkan permukaan akar seperti skeling
dan root planning yang kurang tepat.2,8,9
2. Jalur nonfisiologi meliputi perforasi saluran akar secara iatrogenik, fraktur akar vertikal,
trauma, kehilangan sementum karena iritan
ekternal, resorpsi internal dan ekternal, dan lain-lain.3,5,7,9
Gambar 1. Jalur Anatomi Lesi Endo-Perio Melalui Foramen Apikal, Kanal Aksesori, dan Tubulus
Dentin9
Penyakit pulpa diinisiasi oleh berbagai faktor eksternal seperti mikroorganisme,
trauma, panas yang berlebihan, prosedur
restorasi, agen restorasi, dan lain-lain. Hal
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 93-98
95
tersebut menyebabkan perubahan inflamasi pada pulpa, yang dimulai dari pulpitis
reversibel atau ireversibel yang berkembang
menjadi nekrosis pulpa dan berlanjut
mengalami kerusakan pada jaringan periodonsium. Karies adalah penyebab utama
penyakit pulpa. Infeksi pulpa merupakan
polimikrobial dan seringkali diawali oleh karies yang menyebabkan pulpitis atau inflamasi
pulpa terlokalisir.2,8,9
Ketika pulpa menjadi nekrosis akan menyebabkan respon inflamasi pada jaringan
periodonsium sehingga mempengaruhi serabut
fiber jaringan periodontal, resorbsi tulang
alveolar dan sementum.5 Sebaliknya keadaan inflamasi pada jaringan periodontal dapat
mengakibatkan nekrosis pulpa bila bakteri plak
dapat mencapai foramen apikal hingga menganggu suplai darah ke pulpa.8
Diagnosis Lesi Endodontik-Periodontik Infeksi akut pulpa dan periodonsium
harus dibedakan satu sama lain agar klinisi bisa
menegakkan diagnosis yang tepat dan memulai
perawatan yang sesuai. Pemahaman menyeluruh mengenai proses penyakit dan
interpretasi temuan klinis serta radiografis yang
benar akan membantu dokter gigi menegakkan diagnosis. Lesi periodontal dan pulpa sulit
dibedakan secara akurat. Bila lesi berawal dari
infeksi pulpa dan dirawat secara ekstensif
dengan perawatan periodontal, lesi ini tidak akan sembuh. Sebaliknya, melakukan
perawatan endodontik pada gigi vital yang
mengalami kerusakan periodontal hanya akan menyebabkan persistensi infeksi.4,5,9
Pasien yang menderita fase akut dari
infeksi pulpa akan mengalami gejala yang biasanya tidak ada pada infeksi periodontal
kronis. Selama tahap inisial pulpitis, pasien
mungkin mengeluhkan nyeri dan sensitivitas
yang diperparah oleh adanya stimuli tertentu, seperti perubahan suhu, tekanan, dan/atau saat
menggigit.9
Bila gejala berasal dari pulpitis reversibel, gejala akan hilang dengan
sendirinya karena adanya berbagai mekanisme
seperti penutupan tubulus dentin, hilangnya toksin dan iritan mikrobial, dan pembentukan
dentin reparatif. Inflamasi persisten mengarah
ke pulpitis ireversibel simtomatik, yang
biasanya dihubungkan dengan nyeri tajam dan spontan. Penegakan diagnosis infeksi pulpa
primer harus didasarkan pada berbagai temuan
objektif, seperti respon pasien terhadap perkusi,
palpasi, probing periodontal, dan tes vitalitas ditambah dengan evaluasi menyeluruh seluruh
gejala subjektif pasien.3,4,8
Supurasi dan drainase abses periradikuler
dan periodontal juga tampak berbeda. Abses periodontal dihubungkan dengan kerusakan
jaringan periodontal yang parah.9,11
Infeksi periodontal tanpa keterlibatan pulpa biasanya memiliki struktur mahkota yang
utuh dan tanpa kerusakan. Sebaliknya, infeksi
endodontik hampir selalu dihubungkan dengan kehilangan integritas mahkota seperti karies,
restorasi luas, dan adanya fraktur hingga ke
pulpa. Hal ini tidak berarti bahwa infeksi
periodontal tidak pernah mengalami hal yang sama. Contohnya saat jaringan pulpa cedera
karena trauma, klinisi biasanya akan
menemukan pulpa nekrotik walaupun tidak ada kerusakan mahkota. Bila hal ini dibiarkan, lesi
yang berawal dari infeksi pulpa ini akan
menyebabkan kerusakan periodonsium, seperti pada periodontitis apikal asimtomatik atau
abses apikal.4,7.9
Gambaran radiografis meliputi keadaan
mahkota, tinggi dan bentuk tulang krestal, radiolusensi apikal atau lateral, trabekulasi
tulang, integritas lamina dura, dan evaluasi
hasil obturasi saluran akar bila ada. Status mahkota seperti yang ditunjukkan oleh
radiograf dapat membantu memberikan
diagnosis diferensial.5,9
Lesi apikal yang berasal dari infeksi pulpa akan mengarah ke periodontitis
retrograde yang berinvasi dari apeks ke
servikal. Infeksi periodontal akan menyebabkan hilangnya tulang krestal dari servikal ke apikal.
Lesi radiograf pada gigi yang telah dirawat
endodontik akan tampak berbeda dengan gigi yang memiliki lesi periodontal.5,13
Radiolusen apikal menunjukkan penyakit
pulpa primer.Kehilangan tulang terbatas pada
area korona bagian sepertiga gigi dihubungkan dengan penyakit periodontal primer. Guttaperca
dapat digunakan sebagai alat bantu jika adanya
gambaran klinis sinus tract, hal ini membantu dalam menentukan asal lesi saat dilakukannya
pemeriksaan radiografis.9,10,14
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 93-98
96
Gambar 2. Skema perbedaan Lesi Endo-Perio dari
Gambaran Radiografis5,17
Vitalitas
Uji vitalitas gigi seringkali menjadi uji
paling penting karna dapat membedakan infeksi periodontal dengan endodontik. Gigi dengan
infeksi periodontal biasanya vital saat uji
termal, kecuali kondisi akut ini merupakan lesi kombinasi dimana kedua jaringan, pulpa dan
periodontal telah terinfeksi. Uji termal
merupakan cara yang paling dapat diandalkan
untuk menentukan sehat atau tidaknya pulpa.4,8 Pasien dengan pulpitis ireversibel simtomatik
sering mengeluhkan nyeri yang bertahan bila
diberi stimulus termal. Pada tahap berikutnya, panas akan memperparah gejala, lebih daripada
dingin, dan aplikasi dingin dapat
menghilangkan nyeri sesaat.9,10,12
Tanda klinis dan gejala nyeri akan
membantu untuk membedakan antara lesi
endodontik dan periodontal yaitu:5,12
1. Nyeri pulpa biasanya tajam sedangkan lesi periodontal yang menyebabkan abses
periodontal bisa menghasilkan rasa nyeri
yang tumpul dan terasa lebih nyeri saat area abses terisi pus penuh.
2. Lesi pulpa mungkin sulit dilokalisasi saat
gejala dimulai. Lesi periodontal biasanya mudah dilokalisasi.
3. Lesi pulpa biasanya memiliki sinus tract
melalui pembentukan fistula hingga ke
mukosa alveolar atau gingiva, sedangkan abses periodontal sinus tract melalui
poket.
Probing Kedalaman Poket
Adanya poket yang dalam saat tidak
adanya penyakit periodontal dapat
mengindikasikan adanya lesi endodontik atau
fraktur akar vertikal.5,7 Pemeriksaan kedalaman poket membantu dalam membedakan antara
lesi endodontik dan periodontal. Ini juga bisa
digunakan untuk melihat asal sinus yang dihasilkan dari lesi periapikal yang meluas ke
servikal hingga ke ligamen periodontal. Pada
lesi periodontal terjadi defek pada tulang alveolar dan terdapat kalkulus subgingival.4,11,12
Kegoyangan gigi Bila adanya kegoyangan di sekitar satu
gigi terlokalisir, sumbernya bisa dari
endodontik, periodontal, atau oklusal. Pada
tahapan akut lesi endodontik, kegoyangan melibatkan gigi tunggal. Kegoyangan secara
generalisata, melibatkan banyak gigi
menunjukkan berasal dari periodontal atau oklusal.5,12
Perkusi dan Palpasi Hasil perkusi dan tes palpasi biasanya
negatif pada pasien dengan masalah
periodontal. Saat abses periodontal ada, secara
klinis ini mungkin positif meskipun tes lainnya mengindikasikan pulpa dalam keadaan vital.
Gigi dengan masalah endodontik biasanya pasti
menghasilkan nyeri tekan dan nyeri pada
perkusi serta palpasi.5,9,10
Klasifikasi Lesi Endodontik-Periodontik Klinisi harus mengevaluasi gejala pasien;
temuan klinis dan radiografis, ada tidaknya
serta lokasi pembengkakan (drainase). Berbagai
variabel ini dapat dipahami mengapa kesalahan seringkali terjadi saat menentukan suatu lesi itu
endodontik, periodontal atau lesi kombinasi.16-
18
Secara umum lesi endodontik dan periodontal dapat diklasifikasikan menjadi :9
1. Lesi Endodontik Primer
Dikarateristikkan dengan pulpa nekrotik serta keterlibatan area apikal secara kronis.
Kemungkinan tidak terjadi keterlibatan
periodontal, gambaran radiograf tidak adanya kehilangan tulang krestal.13
Kehilangan tulang
Lokal: menentukan pulpa
vital/tidak General: menentukan pulpa
vital/tidak
Vital traumatik oklusi
(kerusakan periodontal)
dengan kerusakan tulang
vertikal
Non Vital adanya
kalkulus, plak dan BOP
(jika tidak: lesi
endodontik, jika ya
:kombinasi lesi endo-
perio)
Non vitalkombinasi
lesi endo-perio
Vital penyakit
periodontal dengan
kerusakan angular
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 93-98
97
Gambar 3. Karies Pada Mahkota Gigi 36 Sampai
Radiolusensi Area Furkasi dan Apikal Dan Post
Perawatan Endodontik Pada Gigi 3611
2. Lesi Periodontal Primer
Poket periodontal yang meluas hingga ke
apeks gigi.Perluasan infeksi dari poket ke pulpa terjadi pada kasus ini, tetapi kondisi pulpa tidak
nekrosis. Tanpa atau adanya nyeri yang
minimal dari si pasien.3
Gambar 4. Peningkatan Kedalaman Poket
Periodontal pada Pemeriksaan Klinis dan
Radiograf.3
3. Lesi Endodontik Primer dengan Keterlibatan Periodontal Sekunder
Jika lesi endo primer tidak didiagnosis
dan dirawat lebih awal, masalah periodontal dapat terjadi dikarenakan akumulasi plak dan
kalkulus pada saluran drainase sehingga
menjadi lesi sekunder pada area jaringan
periodontal. Radiograf dengan gambaran kehilangan tulang dapat terjadi pada lesi ini.
Gambar 5.a. Kunjungan pertama adanya lesi endo
primer dengan keterlibatan furkasi (jar.Periodontal) pada pemeriksaan radiograf. b-c. Kontrol 3 bulan
perawatan endo dengan lesi furkasi dari
pemeriksaan radiograf dan klinis. d. Perawatan
periodontal menggunakan aplikasi bone graft. e.
kontrol 2 tahun post perawatan periodontal terjadi
penyembuhan11
4. Lesi Periodontal Primer dengan Keterlibatan Endodontik Sekunder
Lesi ini sering disebut retro-infeksi
pulpa, ketika lesi periodontal meluas ke area
apeks atau mengikuti kanal lateral. Lesi periodontal mungkin melibatkan pulpa nekrosis
dan pasien merasakan nyeri hebat. Pulpa
nekrosis bisa sebagai hasil dari terapi periodontal yang mana pembuluh darah ke
pulpa terputus selama penggunaan instrumen
periodontal.
Gambar 6. Gambaran radiograf awal gigi 37, setelah
obturasi dan saat kontrol 1tahun yang menunjukkan
penyembuhan pada area lesi11
5. Lesi Kombinasi
Lesi terbentuk ketika pulpa dan periodontitis bergabung atau bebas. Lesi ini
biasanya dari periodontal, gigi dengan fraktur
akar vertikal juga termasuk dalam katagori lesi
ini.5,9. Lesi ini dapat terjadi ketika lesi endodontik meluas dari arah korona bergabung
dengan lesi periodontal yang sudah ada
berkembang di area apikal.
Pertimbangan Rencana Perawatan Lesi
Endo-Perio Diagnosis akurat merupakan determinan
yang sangat penting dalam penatalaksanaan lesi
endo-perio karena akan menentukan hasil
perawatan. Faktor pertimbangan utama adalah vitalitas pulpa dan tipe perluasan dari
kerusakan jaringan periodontal.5,9,14,18
Penggunaan antibiotik sistemik diindikasikan bila pasien mengalami
peningkatan temperatur, selulitis, penyakit
sistemik dan immunocompromised.2 Prosedur manajemen abses apikal akut, abses harus
diinsisi dan drainase.5,12,19
Pembersihan jaringan pulpa yang
terinfeksi miokroorganisme di dalam saluran akar dilanjutkan dengan aplikasi kalsium
hidroksida pada setiap salurannya. Kalsium
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 93-98
98
hidroksida terbukti sebagai medikamen intrakanal yang tepat karena stabilitas dan efek
bakterisid.9,15Sedangkan pada kasus dengan
kehilangan struktur jaringan periodontal yang
luas dapat dilakukannya terapi lanjutan yaitu terapi bedah periodontal regenerasi jika
diperlukan seperti penggunaan guide tissue
regeneration (GTR) dengan kombinasi menggunakan bone graft.4,11,19,20
KESIMPULAN Berdasarkan klasifikasi lesi endo-perio,
dapat disimpulkan bahwa sangat penting dokter
gigi mengetahui bagaimana membedakan
antara etiologi lesi endo-perio, termasuk semua jalur yang menghubungkan antara pulpa dan
jaringan periodonsium yang bertindak sebagai
"jembatan" untuk mikroorganisme, sehingga memungkinkan penyebaran infeksi dari satu
area ke area lainnya. Lesi endo-perio memiliki
patogenesis kompleks dan kebutuhan keterampilan yang baik dalam mengidentifikasi
serta melakukan perawatan melalui
pemeriksaan klinis dan radiografis. Karenanya,
kerjasama antara berbagai disiplin ilmu yang mencakup periodontis dan endodontis sangat
direkomendasikan untuk perawatan lesi secara
kompherensif. Perawatan lengkap dari kedua aspek lesi perio-endo sangat penting untuk
keberhasilan hasil jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA 1. Maheaswari R, Selvam A, Rekha MJ,
Mahalakshmi A, Jaishreetk. A Guide To
Management Of Various Endodontic Periodontal Lesions- A Case Series. Int J
Cur Res Rev. 2015; 7(20): 22–9.
2. Khan RN, Kumar A, Chadgal S, Jan SM. Endo-PerioInterrelationship-An Overview.
Int J Inf Res Rev. 2017; 4(3): 3895–8
3. George PM, Ramamurthy J. Endo Perio
Lesion- A Case Report. J Med Biomed Appl Sci. 2017; 5(2): 108–10.
4. Srivastava1S, Karandikar S,Pillaiak,
Karandikars, Moghe S , Singh S. Pulp Or Periodontium?Diagnosis and Management
of Endo-Perio Lesion. IOSR J Dent Med
Sci . 2014; 13(10): 90–3. 5. Parolia A, Porto ICM, Gait T, Mala K.
Endo-Perio Lesion: A Dilemma From 19th
Until 21st Century. J Interdiscip Dent.
2013; 3(1): 2-9. 6. Shah K, Vimala N, Naykodi T,
Dharmadikari S, Padhye L. Endo - Perio
Restorative Continuum - A Case Report.
Int J Oral Heath Dent. 2016; 46(46): 265–7.
7. Al-Fouzan KS. A New Classification Of
Endodontic-Periodontal Lesions. Int J
Dent. 2014; 1-5. 8. Louisa M, Yuniarti S. Lesi Endoperio.
Makkasar Dent J. 2015; 4(3): 83–91.
9. Saha PH, Chakraborty A, Saha S. Endodontic-Periodontal Lesion: A Two
Way Traffics. Int J App Dent Sci. 2018;
4(4): 223-228. 10. Anand V, Govila V, Gulati M. Endo-Perio
Lesion: Part I (The Pathogenesis) – A
Review.Arch Of Dent Sci. 2012; 3(1): 3-7.
11. Aksel H, Serper A. A Case Series Associated With Different Kinds Of Endo-
Perio Lesions. J Clin Exp Dent. 2014;
6(1): 1–5. 12. Sistla KP, Raghava KV, Narayan SJ,
Yadalam U, Bose A, et al. Review
ArticleEndo-Perio Continuum: A Review From Cause To Cure. J Adv Clinical
Research Insight. 2018; 5: 188-191.
13. A S, Khawar S, N S, SM A, Bhat D. Endo-
perio lesion: A case report. Int J Appl Dent Sci. 2017; 3(3): 113–6.
14. Medika CA, Sitam S, Epsilawati L.
Analisis .Lesi Endo-Perio di Periapikal Melalui Radiografi. J Rad
Dentomaksilofasial Ind. 2019; 3(2): 27-30.
15. Somanath G, George G, Sinha JN, Gautam
V. Interdisciplinary Approach in Treatment of Endodontic- Periodontal
Lesion : A Case Report. J Univers Coll
Med Sci. 2013; 1(3): 3–6. 16. Nanavati B, Bhavsar N V, Mali J. Endo
periodontal lesion – A case report. J Adv
Oral Res. 2013; 4(1): 23–6. 17. Sirgamalla1 V, Sagar V, Rajababu P,
Reddy V. Endo-Perio Lesion: A Case
Report. Int. J. Clin. Biomed. Res. 2018;
4(2): 89-92. 18. Alfawaz Y. Management of an
Endodontic-periodontal Lesion caused by
Iatrogenic Restoration: Case Report. World J Dent. 2017; 8(3): 1–8.
19. Arora A, Goyal V, Sharma V, Gupta M,
Mehta V. Fundamental In Treatment Of Endo-Perio Lesion-A Riview. Int J Dent
Clin. 2012; 4(1): 45–6.
20. Agarwal R, Singh V, Kambalyal P, Jain K.
Case Report Management of Endo-Perio Lesion with Regenerative Procedure- A
Case Report. Int J Oral Health Med Res.
2016; 3(1): 119–21.
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 99-103
99
PERSEPSI TENTANG FUNGSI ESTETIK DAN MASTIKASI
GIGI TIRUAN LENGKAP TERHADAP LANJUT USIA
THE PERCEPTION OF ESTHETIC AND MASTICATION FUNCTIONS
OF COMPLETE DENTURE IN ELDERLY
Niko Falatehan, Jihan Fahira
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Corresponding Author: [email protected]
Abstrak
Salah satu masalah dalam rongga mulut yang banyak dialami oleh populasi lansia adalah kehilangan gigi
secara keseluruhan, untuk mengatasi hal tersebut pasien bisa melakukan perawatan prostodontik berupa
gigi tiruan lengkap. Persepsi lansia dalam penggunaan GTL penting diketahui guna mengevaluasi kelebihan dan kekurangan GTL yang digunakan, terutama dari segi estetik dan mastikasi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi persepsi lansia terhadap fungsi estetik dan mastikasi GTL, dimana
merupakan observasional deskriptif dengan desain cross-sectional dari 30 orang lansia di Panti Werdha Tresna Wisma Mulia, Jelambar, Jakarta Barat. Persepsi lansia terhadap fungsi estetik dan mastikasi GTL
diukur dengan instrumen OHIP-14 (Oral Health Impact Profile-14). Analisis data dengan program SPSS
versi 22.0 menunjukkan secara umum keseluruhan sampel memiliki persepsi sedang terhadap fungsi estetik dan mastikasi GTL. Berdasarkan pengelompokkan jenis kelamin diperoleh kelompok lansia pria
dengan kategori sedang memiliki persepsi mengenai fungsi mastikasi terhadap GTL. yaitu sebesar 84,
6% dan kelompok lansia wanita dengan kategori baik memiliki persepsi mengenai fungsi estetik
terhadap GTL yaitu sebesar 58, 8%. Pria lebih mementingkan fungsi mastikasi pada penggunaan GTL, sedangkan wanita lebih mementingkan fungsi estetik pada penggunaan GTL.
Kata Kunci: Lansia, Estetik, Mastikasi, Gigi Tiruan Lengkap
Abstract
Complete tooth loss is a common dental and oral health problems suffered by elderly. Prosthodontic
treatment such as complete denture may overcome those problems. The advantages and disadvantages of complete denture can be evaluating through perception of elderly, especially in terms of esthetics and
mastication. This study aims at identifying perception of elderly in esthetic and mastication functions of
complete denture, an observational descriptive cross-sectional study conducted on 30 elderlies at Panti Werdha Tresna Wisma Mulia, Jelambar, West Jakarta. OHIP-14 measures the perception of elderly in
esthetic and mastication functions of complete denture. Data analysis using SPSS version 22.0 showed
that overall sample has moderate perception of esthetic and mastication functions of complete denture. Based on gender, the men group with moderate category have perception about the mastication function
of complete denture that is equal to 84, 6%, while women group with good category have perception
about esthetics function of complete denture that is equal to 58,8%. Men are more concerned with
the mastication function, while women are more concerned with esthetic function in the use of complete denture.
Keywords: Elderly, Esthetics, Mastication, Complete Denture
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 99-103
100
PENDAHULUAN Lansia adalah tahap terakhir dari suatu
pertumbuhan dan perkembangan seseorang.
Saat proses penuaan ini, terjadi beberapa
masalah yang dapat dialami lansia, salah satunya dalam rongga mulut. Dalam
memelihara dan mencegah terjadinya hal
tersebut dibutuhkan suatu kegiatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut.1 Dalam menerima
suatu pelayanan kesehatan gigi, setiap orang
memiliki persepsi dan hal ini memiliki peranan yang penting. Persepsi merupakan hal yang
penting dalam memperoleh suatu keberhasilan
dalam perawatan kesehatan gigi tersebut.2
Pada tahun 2019, penduduk lansia di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik
mencapai 9,6% atau sekitar 25,6 juta penduduk
Indonesia. Setiap tahunnya jumlah penduduk lansia diproyeksikan akan semakin bertambah,
dan diperkirakan pada tahun 2035 mencapai
48,2 juta orang.3 Dengan adanya peningkatan jumlah lansia, permasalahan kesehatan yang
dialami lansia juga akan meningkat.4
Kehilangan gigi seluruhnya adalah salah
satu masalah dalam kesehatan gigi dan mulut yang sering dijumpai pada lansia. Angka
prevalensi kehilangan gigi pada usia kelompok
55-64 adalah 29% dan akan semakin meningkat menjadi 30,6% pada usia di atas 65 tahun.5 Gigi
tiruan lengkap (GTL) merupakan restorasi yang
digunakan untuk menggantikan seluruh gigi
dan jaringan di sekitarnya. Gigi tiruan lengkap berfungsi untuk merehabilitasi seluruh gigi
yang hilang dan jaringannya sehingga dapat
memperbaiki atau mengembalikan fungsi estetik, mastikasi dan fonetik. Pasien
melakukan perawatan prostodontik karena dua
alasan utama, yaitu untuk memperbaiki estetik dan meningkatkan fungsi
mastikasi.6,7
Setiap individu memiliki pemahaman
dan penilaian yang berbeda, hal ini akan
mempengaruhi persepsi dari masing-masing individu mengenai fungsi estetik dan mastikasi
penggunaan gigi tiruan lengkap.8 Persepsi
masyarakat dalam penggunaan gigi tiruan lengkap adalah hal yang penting untuk
dipahami guna mengetahui kelebihan dan
kekurangan gigi tiruan lengkap yang digunakan, sehingga bisa dibuat sebagai bahan
evaluasi di masa mendatang. Penulis tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai persepsi
tentang fungsi estetik dan mastikasi gigi tiruan lengkap terhadap lanjut usia.
BAHAN DAN METODE Jenis penelitian adalah observasional
deskriptif dengan rancangan penelitian cross-
sectional, yang dilakukan di Panti Werdha
Tresna Wisma Mulia, Jelambar, Jakarta Barat. Penelitian dilakukan pada bulan September
2019. Subjek yang diteliti adalah lansia yang
kehilangan gigi seluruhnya pada Panti Werdha Wisma Mulia, Jelambar, Jakarta Barat. Subjek
yang diteliti adalah lansia di atas 60 tahun yang
kehilangan gigi seluruhnya dan menggunakan GTL. Pengambilan subjek dengan desain cross
sectional menggunakan rumus Lemeshow
sebesar 30 subjek.
Kriteria inklusi adalah lansia berusia 60 tahun ke atas yang menggunakan GTL akrilik,
lansia yang bersedia menandatangani informed
consent, keadaan sistemik yang terkontrol dan GTL memiliki retensi yang cukup baik. Kriteria
eksklusi adalah tidak berada di tempat saat
penelitian, dan keadaan sistemik yang buruk. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan
persepsi mengenai fungsi estetik dan mastikasi
GTL terhadap lansia yang diukur menggunakan
kuesioner OHIP-14 (Oral Health Impact Profile-14) dengan 10 pertanyaan melalui
metode wawancara, yang terdiri dari 5
pertanyaan mengenai fungsi estetik GTL dan 5 pertanyaan mengenai fungsi mastikasi GTL.
Hasil data yang diperoleh dari jawaban
pertanyaan penelitian ini kemudian dianalisis
menggunakan SPSS windows versi 22.0 dan dengan uji statistik deskriptif. Penelitian yang
dilakukan telah mendapatkan izin dari Komisi
Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti.
HASIL Berdasarkan total sampel, 30 subjek
yang sudah diwawancarai berdasarkan jenis
kelamin terdiri dari 13 laki-laki dan 17
perempuan. Nilai terendah dari 5 pertanyaan pada masing-masing kelompok adalah 5 dan
nilai tertinggi adalah 25, maka apabila dibagi
menjadi 3 kategori yaitu tingkat persepsi lansia baik (nilai 19-25), sedang (12-18) dan buruk
(5-11). Berikut hasil penelitian berdasarkan
persepsi lanjut usia terhadap fungsi estetik dan mastikasi gigi tiruan lengkap di Panti Werdha
Tresna Wisma Mulia, Jelambar, Jakarta Barat.
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 99-103
101
Tabel 1. Gambaran populasi lansia pengguna
GTL menurut jenis kelamin.
Jenis
Kelamin Jumlah Persentase
Laki-laki 13 43%
Perempuan 17 57%
Berdasarkan Tabel 1, menunjukan jumlah pasien perempuan pengguna gigi tiruan
lengkap lebih banyak dibandingkan jumlah
pasien laki-laki di Panti Werdha Tresna Wisma Mulia, Jelambar, Jakarta Barat.
Tabel 2. Gambaran Populasi Lansia Pengguna
GTL Menurut Usia (WHO)
Usia Jumlah Persentase
45–59 tahun
(middle age)
- 0%
60–74 tahun (elderly)
24 80%
75–90 tahun
(old)
6 20%
90 tahun ke atas (very old)
- 0%
Berdasarkan pengelompokkan usia pada
Tabel 2 terlihat bahwa kelompok usia 60–74 tahun (elderly) lebih banyak dibandingkan
kelompok usia 75–90 tahun (old) di Panti
Werdha tersebut.
Tabel 3. Distribusi frekuensi persepsi
tentang fungsi estetik dan mastikasi GTL terhadap keseluruhan sampel.
Tabel 3 menunjukkan bahwa secara umum
keseluruhan sampel memiliki persepsi sedang
terhadap fungsi estetik dan mastikasi gigi tiruan lengkap.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Persepsi Tentang
Fungsi Estetik dan Mastikasi GTL Terhadap Sampel
Lansia Pria.
Variabel
Jenis Kelamin
Pria
n %
Fungsi Mastikasi
Baik 1 7,7%
Sedang 11 84,6% Buruk 1 7,7%
Fungsi Estetik
Baik 1 7,7%
Sedang 10 76,9% Buruk 2 15,4%
Berdasarkan hasil pada Tabel 4, kelompok lansia pria dengan kategori sedang
memiliki persepsi mengenai fungsi mastikasi
terhadap gigi tiruan lengkap yaitu sebesar
84,6%, sedangkan persepsi pria dengan kategori sedang mengenai fungsi estetik
terhadap gigi tiruan lengkap yaitu sebesar
76,9%.
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Persepsi Tentang
Fungsi Estetik dan Mastikasi GTL Terhadap Sampel
Lansia Wanita.
Variabel
Jenis Kelamin
Wanita
n %
Fungsi Mastikasi
Baik 5 29,4% Sedang 11 64,7%
Buruk 1 5,9%
Fungsi Estetik Baik 10 58,8%
Sedang 7 41,2%
Buruk 0 0%
Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa
kelompok lansia wanita dengan kategori baik
memiliki persepsi mengenai fungsi mastikasi terhadap gigi tiruan lengkap sebesar 29,4%,
sedangkan persepsi wanita dengan kategori
baik mengenai fungsi estetik terhadap gigi tiruan lengkap sebesar 58,8%.
PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan di Panti Werdha Tresna Wisma Mulia, Jelambar, Jakarta Barat,
dengan jumlah sampel sebanyak 30 lansia yang
menggunakan gigi tiruan lengkap (GTL). Jumlah sampel terbagi atas dua kelompok,
Variabel Frekuensi Persentase
Fungsi Mastikasi
Baik 6 20% Sedang 22 73,3%
Buruk 2 6,7%
Fungsi Estetik Baik 11 36,6%
Sedang 17 56,7%
Buruk 2 6,7%
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 99-103
102
dimana kelompok elderly berjumlah 24 orang atau sebanyak 80% dan kelompok old
berjumlah 6 orang atau sebanyak 20% yang
menggunakan GTL. Seiring bertambahnya
usia, seseorang akan mengalami penurunan secara fisiologis atau daya tahan fisik seperti
lebih rentan terkena suatu penyakit sehingga
diperlukan perawatan secara intensif bahkan sampai menyebabkan kematian sehingga
kelompok old, yaitu berusia sekitar 75-90 tahun
memiliki sampel yang lebih sedikit. Terlihat pula sampel lansia dengan jenis
kelamin perempuan pengguna GTL yaitu
sebanyak 17 orang terlihat lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah sampel lansia laki-laki yang menggunakan GTL yaitu
sebanyak 13 orang. Hal ini dikarenakan wanita
lebih mementingkan penampilan gigi, mulut dan wajah dibandingkan pria sehingga wanita
yang kehilangan gigi seluruhnya lebih banyak
menggunakan GTL.9-11
Sekarang ini, tidak semua orang
mengalami kehilangan gigi seluruhnya
menggunakan GTL. Sebuah keputusan yang
diambil oleh seseorang dipengaruhi oleh persepsi, dimana persepsi terhadap fungsi dari
penggunaan GTL sangat mempengaruhi
seseorang dalam mengambil keputusan untuk menggunakan GTL atau tidak.
Penelitian ini membagi persepsi lansia
menjadi 3 kategori, kategori ini diperoleh dari
nilai terendah dari 5 pertanyaan pada masing-masing kelompok yaitu 5 dan nilai tertinggi
yaitu 25, maka apabila dibagi menjadi 3
kategori yaitu tingkat persepsi lansia baik (nilai 19-25), sedang (12-18) dan buruk (5-11).
Hasil analisis mengenai persepsi tentang
fungsi estetik dan mastikasi GTL terhadap lansia menunjukkan bahwa keseluruhan sampel
memiliki persepsi sedang terhadap fungsi
estetik dan mastikasi GTL.
Hasil analisis dalam Tabel 3 menunjukkan keseluruhan sampel dengan
kategori sedang memiliki persepsi tentang
fungsi mastikasi GTL yaitu sebesar 73,3% dan fungsi estetik GTL yaitu sebesar 56,7%. Hal ini
didukung dengan dua alasan utama pasien
ketika melakukan suatu perawatan GTL yaitu memperbaiki fungsi estetik dan mastikasi.6,12,13
Berdasarkan pengelompokkan jenis
kelamin pada Tabel 4 mengenai persepsi
tentang fungsi estetik dan mastikasi GTL terhadap sampel lansia pria, diperoleh nilai
tertinggi pada aspek mastikasi dengan kategori
sedang yaitu sebesar 84,6%. Selanjutnya diikuti
dengan aspek estetik dengan kategori sedang, yaitu 76,9%. Hal ini menunjukkan bahwa pria
lebih mementingkan fungsi mastikasi dalam
penggunaan GTL dibandingkan fungsi estetik.
Umumnya pria lebih membutuhkan protesa yang lebih kuat karena kekuatan mastikasinya
lebih besar. Selain itu, pria lebih
mengutamakan rasa nyaman dalam penggunaan gigi tiruan yang dipakainya.14-17
Persepsi tentang fungsi estetik dan
mastikasi GTL terhadap sampel lansia wanita dilihat pada Tabel 5 yang menunjukkan bahwa
diperoleh nilai tertinggi pada aspek estetik
dengan kategori baik, yaitu sebesar 58,8%.
Selanjutnya, diikuti dengan aspek mastikasi dengan kategori baik yaitu sebesar 29,4%.
Sejalan dengan teori yang menunjukkan bahwa
wanita lebih mengutamakan fungsi estetik dalam penggunaan gigi tiruan lengkap,
dikarenakan wanita lebih mengutamakan
penampilan dibanding pria.9,18-20
Berdasarkan hasil data di atas yang telah
didapatkan dari kuesioner, dapat dinyatakan
bahwa para pasien lansia di Panti Werdha
Tresna Wisma Mulia, Jelambar, Jakarta Barat (pria dan wanita) memperhatikan fungsi estetik
dan mastikasi dalam penggunaan GTL dimana
pria lebih mengutamakan faktor mastikasi dan wanita lebih mengutamakan faktor estetik
dalam penggunaan GTL.
KESIMPULAN DAN SARAN Secara keseluruhan sampel memiliki
persepsi yang cukup baik terhadap GTL
terutama untuk mengembalikan fungsi estetik dan mastikasi.
Berdasarkan jenis kelamin terdapat
perbedaan mengenai persepsi antara pria dan wanita dalam memperhatikan fungsi estetik dan
mastikasi GTL. Pria lebih mementingkan
fungsi mastikasi pada penggunaan GTL, dan
memahami bahwa penggunaan GTL dapat mengembalikan fungsi mastikasi dengan baik.
Sedangkan wanita lebih mementingkan fungsi
estetik pada penggunaan GTL dan memahami bahwa penggunaan GTL dapat mengembalikan
fungsi estetik dengan baik.
Dokter gigi disarankan agar mengedukasi pasien yang kehilangan gigi
seluruhnya agar mengetahui dampak dari
kehilangan gigi dan menyadari pentingnya
penggunaan GTL untuk mengembalikan fungsi estetik dan mastikasi yang hilang. Saran untuk
penelitian selanjutnya agar memperhatikan
fungsi fonetik GTL yang tidak kalah penting
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 99-103
103
dibanding fungsi estetik dan mastikasi dengan jumlah sampel lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pasmawati H. Pendekatan konseling untuk lansia. e-Journal IAIN Bengkulu 2017;
17(1): 49-60.
2. Kailey I, Wowor V, Lampus B. Perilaku pemeliharaan kebersihan gigi tiruan
lepasan pada masyarakat Desa Kema II
Kecamatan Kema. e-GiGi 2016; 4(2); 145-54
3. Maylasari I, Rachmawati Y, Wilson H,
Nugroho SW, Sulistyowati NP, Dewi
FWR. Statistik Penduduk Lanjut Usia: Struktur Umur Penduduk Lansia. Jakarta:
Badan Pusat Statistik. 2019; 12.
4. Nugroho, Wahjudi. Komunikasi dalam Perawatan Gerontik. Jakarta: EGC. 2009;
5.
5. Badan Penelitian dan Perkembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar.
Jakarta: RISKESDAS. 2018; 182-91.
6. Susaniawaty Y, Utama MD. Esthetic
failure in fixed denture. Makassar Dent J. 2015; 4(6): 193-9.
7. Bortoluzzi MC, Traebert J, Lasta R, Rosa
TND, Capella DL, Presta AA. Tooth loss, chewing ability and quality of life.
Contemp Clin Dent 2012; 3(4): 393-7.
8. Tjan AH, Miller GD, The JG. Some
esthetic factors in a smile. J Prosthet Dent 1984; 51(1): 24-8.
9. Singh BP, Pradhan KN, Tripathi A, Tua R,
Tripathi S. Effect of sociodemographic variables on complete denture satisfaction.
J Adv Prosthodont 2012; 4(1): 43–51.
10. Natto ZS, Aladmawy M, Alasqah M, Papas A. Factors contributing to tooth loss
among the elderly: a cross sectional study.
Singapore Dent J. 2014; 35: 17-22.
11. Suresh S, Sharma S. A Clinical Survey to determine the awareness and preference of
needs of a complete denture among
complete edentulous patients. J Int Oral Health. 2010; 2: 65-9.
12. Andrei OC, Margarit R, Tanasescu LA,
Daguci L. Prosthetic rehabilitation of complete edentulous patients with
morphological changes induced by age
and old ill fitted dentures. Rom J Morphol
Embryol 2016; 57(2): 861-4. 13. Schimmel M, Katsoulis J, Genton L,
Müller F. Masticatory function and
nutrition in old age. Swiss Dent J. 2015;
125(4): 449- 54. 14. Lechner SK, Champion H, Tong TK.
Complete dentures problem solving: A
survey. Australian Dent J. 1995; 40(6):
377-80. 15. Khodaeian N, Rismanchian M, Behzadi A,
Jowkar F. Validity and reliability of a
Persian version of the quality of masticatory function questionnaire for
edentulous patients. Dent Res J (Isfahan)
2016; 13(2): 160-7. 16. Goiato MC, Filho HG, Santos DM, Barao
VAR, Freitas ACJ. Insertion and follow-
up of complete dentures: A literature
review. J Gerodontology 2011; 28(3): 197-204.
17. Basker RM, Davenport JC, Thomason JM.
Prosthetic Treatment of the Edentulous Patient. 5th ed. Oxford: Wiley Blackwell;
2011; 21-6.
18. Zarb G, Hobkirk J, Eckert S, Jacob R. Prosthodontic Treatment for Edentulous
Patient. 13th ed. St. Louis Missouri:
Elsevier Mosby; 2012; 53-8.
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 104-110
104
DUKUNGAN SUAMI DENGAN KEJADIAN ANEMIA DEFISIENSI ZAT BESI
PADA IBU POSTPARTUM
HUSBAND SUPPORT WITH THE INCIDENCE OF IRON DEFICIENCY ANEMIA
AMONG POSTPARTUM WOMEN
Darmawati, Mariatul Kiftia, Aida Fitri
Bagian Keperawatan Maternitas, Fakultas Keperawatan, Universitas Syiah Kuala Corresponding Author: [email protected]
Abstrak
Anemia postpartum merupakan problema kesehatan yang menjadi masalah besar di seluruh dunia dan secara umum diakibatkan oleh kekurangan zat besi. Dukungan sosial paling sering didapatkan oleh ibu melahirkan dari suami. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi korelasi dukungan suami dengan insiden anemia defisiensi zat besi pada ibu postpartum. Studi ini dilakukan menggunakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross-sectional di Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin, Banda
Aceh. Perekrutan responden dilakukan dengan non-probability sampling method dan diperoleh 102 responden. Penelitian ini menggunakan uji statistik berupa chi-square test. Studi ini menemukan bahwa 49.0% ibu postpartum mengalami anemia ringan, 10.8% mengalami anemia sedang, dan 40.2% lainnya tidak mengalami anemia. Ditemukan terdapat korelasi antara dukungan suami dengan angka anemia defisiensi zat besi yang terjadi pada ibu postpartum (p-value 0.028). Selanjutnya, ditemukan pula hubungan antara dukungan instrumental dan dukungan penilaian dengan angka anemia defisiensi zat besi yang terjadi pada ibu postpartum (p-value 0.03; 0.00), serta tidak ditemukan hubungan antara dukungan emosional dan dukungan informasi suami dengan kejadian anemia
defisiensi zat besi pada ibu postpartum (p-value 0.28; 0.842). Diharapkan petugas kesehatan dapat melakukan screening anemia sejak kehamilan dan melibatkan suami dalam kegiatan pelayanan antenatal dan postnatal. Upaya ini diterapkan untuk mencegah anemia pada periode antenatal dan postnatal sehingga prevalensi anemia dapat mengalami penurunan. Kata Kunci: Anemia, Defisiensi, Periode Postpartum, Zat Besi
Abstract
Postpartum anemia is a health problem that occurs around the world and is caused by iron-deficiency. Social support is obtained by postpartum women from their husbands. This study aimed to identify the relationship between husband support with iron-deficiency anemia incidence among postpartum women. It was a quantitative study with a cross-sectional study conducted at dr. Zainoel Abidin Hospital, Banda Aceh. The recruitment process was carried out using a non-probability sampling method, and 102 respondents were obtained. This study used a statistical test, which was a chi-square test. It was found that 49.0% of postpartum women had mild anemia, 10.8% had moderate anemia,
and 40.2% did not have anemia. There was a relationship between the support of husband with iron-deficiency anemia incidence among postpartum women (p-value 0.028). Furthermore, the correlation between instrumental and appraisal support with iron deficiency anemia incidence was found (p-value 0.03; 0.00). There was no correlation between emotional and information support with iron-deficiency anemia among postpartum women (p-value 0.28; 0.842). It is hoped that health workers can do early screening for anemia and involve the husband's role in antenatal and postnatal care activities. This effort is applied to prevent anemia in the antenatal and postnatal periods so that the prevalence can be
decreased. Keywords: Anemia, Deficiency, Iron, Postpartum Period
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 104-110
105
PENDAHULUAN
Periode postnatal merupakan fase transisi yang sangat kritis bagi seorang ibu dan bayi baru lahir. Anemia selama periode ini adalah
masalah kesehatan utama yang terjadi di seluruh negara. Prevalensi anemia pada periode postpartum adalah 50-80%.1 Ketika seorang ibu memiliki kadar hemoglobin kurang dari 12 gr/dl, ibu tersebut digolongkan anemia.2 Anemia pada fase ini dapat mengubah emosi dan kognisi serta juga berkaitan dengan depresi postpartum.3 Keadaan ini juga memainkan
peran penting dalam perburukan sistem imunitas dan produksi air susu ibu, peningkatan kerentanan terhadap infeksi, dan perlambatan penyembuhan luka.4 Selain dampak terhadap ibu, keadaan ini juga dapat menyebabkan interaksi antara ibu-anak dapat menjadi lebih buruk dan bahkan memperlambat
perkembangan bayi.5 Mengingat konsekuensi potensial yang ditimbulkan, maka menjadi penting untuk memberikan perhatian lebih kepada anemia selama periode postpartum. Seharusnya, kondisi kesehatan ibu hamil yang berhubungan dengan gizi sudah dipenuhi selama kehamilan. Dalam penelitian
sebelumnya yang dilaksanakan oleh Nataris & Santik (2017), ditemukan adanya korelasi antara perilaku kebersihan mulut dan gizi, kondisi anemia, dan KEK dengan kejadian gingivitis pada ibu hamil.6
Secara umum, penyebab anemia adalah akibat defisiensi zat besi.7 Diperkirakan sebanyak 50% anemia diakibatkan oleh
kurangnya simpanan zat besi di dalam tubuh.8 Hal ini dapat disebabkan karena rendahnya konsumsi makanan kaya zat besi dan sering mengkonsumsi makanan yang menghambat absorpsi zat besi selama kehamilan.9,10,11 Anemia postpartum juga dikaitkan dengan kejadian anemia selama kehamilan. Seorang
ibu hamil dengan anemia memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami anemia postpartum.12 Status nutrisi ibu selama kehamilan secara tidak langsung dipengaruhi oleh dukungan dari suami.13 Dalam rangka mencegah anemia selama kehamilan, ibu membutuhkan dukungan orang-orang
terdekatnya atau yang biasa disebut dukungan sosial. Dukungan sosial yang paling sering didapatkan ibu hamil adalah dukungan dari pasangan. Suami sebagai orang terdekat berperan penting dalam mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan istrinya dengan memenuhi kebutuhan nutrisi sehingga dapat
terhindar dari berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan termasuk anemia.14
Sejauh ini, banyak penelitian yang menghubungkan dukungan suami dengan
kejadian anemia pada kehamilan termasuk bagaimana suami mempengaruhi ibu untuk patuh mengkonsumsi tablet tambah darah (zat besi).15,16 Sebuah penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Darmawati, Tahlil, Siregar, Kamil, & Audina (2019), menemukan hasil bahwa konsumsi tablet zat besi dapat menjadi langkah untuk mencegah terjadinya anemia
defisiensi zat besi selama kehamilan.17
Akan tetapi, masih belum jelas bagaimana hubungan dukungan suami terhadap anemia pada periode postpartum. Padahal, anemia postpartum merupakan masalah pelik yang dapat dialami oleh ibu dan juga akan berdampak pada bayi yang baru dilahirkan.
Situasi yang disebutkan di atas jelas menunjukkan pentingnya melakukan penelitian terkait anemia pada wanita postpartum. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan dukungan suami dengan peristiwa anemia defisiensi zat besi pada ibu postpartum.
METODE
Studi ini merupakan sebuah studi kuantitatif deskriptif korelatif dan menggunakan pendekatan studi cross-sectional.18,19 Responden penelitian ini direkrut melalui metode purposive yang dilakukan selama 3 bulan penelitian, yaitu Juni-September 2019. Total responden adalah 102 orang ibu
postpartum. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh.
Penelitian ini menggunakan instrumen berupa lembar kuesioner yang dikembangkan sendiri oleh tim peneliti dan alat Hb meter. Uji terhadap kuesioner dilakukan terlebih dahulu sebelum kuesioner digunakan untuk penelitian.
Uji validitas telah dilakukan dengan melibatkan para ahli pada bidang yang relevan. Uji reliabilitas pada 15 partisipan juga telah dilakukan dan didapatkan bahwa kuesioner ini reliabel (Cronbach Alpha 0,866) sehingga diputuskan kuesioner ini dapat digunakan. Kuesioner ini terdiri dari 23 pernyataan, yang
dibagi menjadi: 1) Dukungan emosional terdiri dari 6 pernyataan, 2) dukungan instrumental terdiri dari 7 pernyataan, 3) dukungan informasi terdiri dari 6 pernyataan, dan 4) dukungan penilaian terdiri dari 4 pernyataan. Alat Hb meter yang digunakan untuk pengukuran kadar hemoglobin pada penelitian
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 104-110
106
ini sudah mengalami kalibrasi sebelum digunakan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ahmad et al. (2015) menemukan bahwa validitas dan sensitivitas Hb meter yang serupa
dengan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah masing-masing 98.8% dan 73.4%.20
Metode wawancara langsung digunakan untuk pengumpulan data primer setelah responden menyatakan bersedia untuk ikut terlibat dalam penelitian ini. Setelah partisipan menjawab semua pertanyaan dalam kuesioner, akan dilakukan pengecekan kadar hemoglobin.
Pada penelitian ini, uji statistik deskriptif dan chi-square test dengan tingkat kepercayaan 95% dipilih untuk analisis data. Penelitian ini dinyatakan layak etik oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dengan nomor 81/EA/FK-RSUDZA/2019.
HASIL
Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 49.0% ibu postpartum yang mengalami anemia ringan, 10.8 % mengalami anemia sedang, dan 40% lainnya tidak
mengalami anemia. Sebanyak 66.7% ibu memiliki usia yang berada pada kategori tidak berisiko, 47.1% memiliki pendidikan terakhir pada tingkat perguruan tinggi/akademi dan sebanyak 63.7% bekerja sebagai ibu rumah tanggal. Sebagian ibu postpartum memiliki pendapatan keluarga di atas Upah Minimum
Regional (UMR) yaitu Rp. 2.700.000 (57.8%).
Jumlah responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah 102 orang.
Tabel 1. Karakteristik Sosiodemografi Ibu
Postpartum
Data Frekuensi Persentase
(%)
Prevalensi Anemia Anemia Ringan
Anemia Sedang
Anemia Berat Tidak anemia
50
11
0 41
49.0
10.8
0 40.2
Usia Tidak Berisiko
(≥ 20 & ≤ 35 tahun)
Berisiko
(<20 & > 35 tahun)
68
34
66.7
33.3
Tingkat Pendidikan SD SMP
SMA
PT/Akademi
2 11
41
48
2 10.8
40.2
47.0
Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil
Ibu Rumah Tangga
Wiraswasta
Tidak Bekerja
Lainnya
16
65
15
1
5
15.7
63.7
14.7
1.0
4.9
Pendapatan Keluarga
≥ UMR
< UMR
59
43
57.8
42.2
Total 102 100
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Variabel Penelitian
Variabel Kategori Frekuensi Persentase (%)
Dukungan Suami
Baik
Cukup Kurang
44
57 1
43.1
55.9 1.0
Subvariabel
Dukungan Emosional Baik Cukup Kurang
49 42 11
48.0 41.2 10.8
Dukungan Instrumental Baik Cukup Kurang
72 29 1
70.6 28.4 1.0
Dukungan Informasi
Baik
Cukup Kurang
22
30 50
21.6
29.4 49.0
Dukungan Penilaian Baik Cukup Kurang
54 44 4
52.9 43.2 3.9
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 104-110
107
Tabel 3. Hubungan Dukungan Suami dengan Angka Kejadian Anemia Defisiensi Zat Besi pada Ibu Postpartum
Tabel 2 menunjukkan ibu postpartum
menerima dukungan suami dalam kategori cukup yaitu sebanyak 57 orang (55.9%), dimana 49 orang (48.0%) mengatakan menerima dukungan emosional dalam kategori baik, 72 orang (70.6%) menerima dukungan instrumental dalam kategori baik, 50 orang (49.0%) menerima dukungan informasi dalam
kategori kurang, dan 54 orang (52.9%) menerima dukungan penilaian dalam kategori baik dari suami mereka.
Tabel 3 menyampaikan bahwa dari 44 responden yang menerima dukungan suami dalam kategori baik, terdapat 38 orang yang mengalami anemia (86.4%). Dari total 57
responden yang menerima dukungan suami dalam kategori cukup, terdapat 51 orang yang mengalami anemia (89.5%). Selanjutnya, seluruh responden yang menerima dukungan suami dalam kategori kurang mengalami anemia (100%). Uji chi square dilakukan dengan memberikan hasil p-value yang kurang dari sama dengan 0.05 (menolak H0), sehingga
dapat disampaikan bahwa terdapat korelasi antara faktor dukungan suami dengan kejadian anemia defisiensi zat besi pada ibu postpartum. Uji statistik chi square juga dilakukan pada empat subvariabel lainnya untuk dukungan suami dan mendapatkan hasil sebagai berikut: 1) tidak terdapat hubungan antara faktor
dukungan emosional dengan prevalensi anemia
defisiensi zat besi postpartum; p-value 0.288, 2) terdapat hubungan antara faktor dukungan instrumental dengan prevalensi anemia defisiensi zat besi postpartum; p-value 0.03), 3) tidak terdapat hubungan antara faktor dukungan informasi dengan kejadian anemia defisiensi zat besi postpartum; p-value 0.842), dan 4)
terdapat hubungan antara faktor dukungan penilaian dengan prevalensi anemia defisiensi zat besi postpartum; p-value 0.00. Pada penelitian ini juga ditemukan sebanyak 89 responden (87.3%) mengalami anemia dan sebanyak 13 responden (12.7%) tidak mengalami anemia.
PEMBAHASAN
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara dukungan suami dengan insiden anemia defisiensi zat besi postpartum di Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh. Penelitian ini didukung oleh hasil penelitian yang ditemukan oleh Rahmawati
(2016) yang menyatakan adanya hubungan bermakna antara dukungan suami dengan insiden anemia pada ibu hamil (p value < 0.05; OR = 4,583).21 Ibu hamil dan ibu yang sedang menjalani proses persalinan merupakan kelompok wanita yang berisiko tinggi mengalami anemia. Seorang ibu dapat
Variabel
Anemia Defisiensi Zat Besi
Tidak Anemia Anemia Total α p-value
f % f % f %
Dukungan Suami
Baik 6 13.6 38 86.4 44 100
0.05 0.028 Cukup 6 10.5 51 89.5 57 100
Kurang 1 100 0 0 1 100
Dukungan Emosional Baik 6 12.2 43 87.8 49 100
0.05 0.288 Cukup 4 9.5 38 90.5 42 100
Kurang 3 27.3 8 72.7 11 100
Dukungan Instrumental Baik 9 12.5 63 87.5 72 100
0.05 0.03 Cukup 3 10.3 26 89.7 29 100
Kurang 1 100 0 100 1 100
Dukungan Informasi
Baik 2 9.1 20 90.9 22 100
0.05 0.842 Cukup 4 13.3 26 86.7 30 100
Kurang 7 14.0 43 86.0 50 100
Dukungan Penilaian
Baik 7 12.9 47 87.1 54 100
0.05 0.00 Cukup 3 6.8 41 93.2 44 100
Kurang 3 75.0 1 25.0 4 100
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 104-110
108
mengalami anemia pada periode postpartum dikarenakan terlalu banyak kehilangan darah selama periode peripartum.2
Selain akibat faktor persalinan itu
sendiri, anemia postpartum juga dikaitkan dengan anemia selama kehamilan, dimana anemia postpartum lebih berisiko tinggi dialami oleh ibu yang memiliki riyawat kehamilan dengan anemia dengan anemia.12 Anemia selama kehamilan dapat diakibatkan oleh ketidakadekuatan asupan nutrisi selama kehamilan. Nutrisi yang tidak terpenuhi dengan
baik tidak hanya menyebabkan anemia, namum juga keadaan ini menjadi keadaan hematologi yang meningkatkan risiko terjadinya masalah kesehatan pada gigi, yaitu gingivitis.21 Dalam mencegah keadaan ini, dibutuhkan dukungan suami untuk memenuhi kebutuhan ibu hamil dan menjalani proses kehamilan dan persalinan
sehingga terhindar dari berbagai masalah pada masa tersebut.
Dukungan suami terkait dengan komsumsi tablet zat besi selama kehamilan merupakan hal yang penting diberikan kepada sang istri. Dukungan suami merupakan hal yang penting karena suami memegang peranan
penting dalam pengambilan keputusan dan tindakan dalam mempengaruhi kehidupan istrinya.14,22 Penelitian yang diadakan oleh Rakesh et al. (2014) mendapatkan bahwa asupan tablet zat besi yang tidak adekuat selama kehamilan menjadi faktor yang dapat mencetuskan anemia postpartum.4
Selama proses persalinan berlangsung,
seorang wanita akan menghabiskan seluruh simpanan zat besi yang ada di tubuhnya. Ketika asupan tablet zat besi tidak adekuat selama kehamilan, maka simpanan zat besi ini akan sangat sedikit dan dapat menyebabkan anemia. World Health Organization juga merekomendasikan ibu tetap mengkonsumsi
tablet zat besi secara berkelanjutan selama 3 bulan pada periode postpartum.23 Selain itu, akan muncul efek samping akibat mengkonsumsi tablet tersebut, seperti muntah, mual, diare, dan/atau konstipasi yang menyebabkan ibu hamil tidak ingin mengkonsumsi tablet tersebut. Maka menjadi
penting bagi suami untuk memberikan perhatian, kasih sayang, dan motivasi kepada ibu untuk terus mengkonsumsi tablet zat besi.17
Sebuah studi kualitatif yang dilakukan oleh Davis, Vyankandondera, Luchters, Simon, & Holmes (2016) menunjukkan bahwa keterlibatan suami dalam kehamilan istrinya
menimbulkan banyak manfaat dan meningkatkan kesejahteraan istri dalam menjalani kehamilan.24 Suami yang memberikan dukungan seperti menjadi
pengambil keputusan yang baik mengenai kesehatan ibu akan menjadikan ibu merasa dihargai sehinga termotivasi untuk memenuhi kebutuhan zat besi untuk tubuhnya dan janin yang dikandung dan terhindar dari kejadian anemia. Sebuah penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sokoya, Farotimi, & Ojewole (2014) menemukan bahwa 86.5% ibu hamil
mengatakan dengan adanya dukungan suami akan mengurangi stress selama kehamilan dan akan menimbulkan kenyamanan bagi diri mereka.25 Pemikiran positif ini akan meningkatkan motivasi untuk menjaga kehamilannya dan mendengarkan nasihat dari petugas kesehatan. Sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Dadi, Miller, & Mwanri (2020) menemukan bahwa tingkat stres yang tinggi selama kehamilan dapat menyebabkan pengaruh yang buruk terhadap persalinan. 26 Hal ini menunjukkan pentingnya menjaga kondisi psikologis ibu selama hamil agar dapat menjalani kehamilan dan persalinan dengan
baik. Dalam rangka menjaga kondisi psikis ibu
selama periode tersebut, suami harus memberikan dukungan yang baik kepada istrinya, salah satunya adalah dukungan penilaian yang meliputi peran sebagai pemberi umpan balik, pembimbing serta penengah dalam pemecahan masalah. Suami juga harus
memberikan support, perhatian, dan penghargaan. Salah satu jenis dukungan yang dapat dilakukan oleh suami adalah berupa pemberian penilaian positif dan penghargaan dengan memberikan pujian terhadap perilaku baik yang telah dilakukan, menunjukkan perasaan bahagia terkait kehamilannya,
mendengarkan dengan sabar keluhan yang dirasakan dan membuat ibu hamil lebih bahagia sehingga secara tidak langsung kebahagiaan ini akan meningkatkan kesehatan fisik ibu dalam menjalani kehamilan.27,28
Penelitian ini juga menemukan bahwa faktor dukungan instrumental dari suami
berhubungan terhadap kejadian anemia defisiensi zat besi yang dialami oleh ibu postpartum. Dukungan ini merupakan dukungan langsung yang diberikan oleh suami kepada istrinya, meliputi materi, keuangan, fasilitas, dan tenaga. Dukungan instrumental yang secara langsung berpengaruh terhadap
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 104-110
109
kejadian anemia adalah dukungan suami dalam memenuhi kebutuhan zat besi harian selama kehamilan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan zat besi, diperlukan dana untuk membeli
makanan seperti daging, ayam, hati ayam, telur, buah-buahan, dan sayur-sayuran.28
Selain itu, penelitian ini mendapatkan dukungan informasi dari suami tidak memiliki korelasi dengan insiden anemia defisiensi zat besi pada ibu postpartum. Fenomena yang ada sekarang ini adalah media internet sudah banyak digunakan sebagai alat yang efektif
untuk memenuhi kebutuhan informasi kesehatan di seluruh dunia, termasuk informasi terkait kehamilan. Beberapa penelitian terdahulu juga menemukan adanya tren yang berkembang pada ibu hamil di seluruh dunia dalam menggunakan internet sebagai sumber informasi tentang kehamilan.29,30,31 Hal tersebut
membuktikan sebagai seorang individu, seorang ibu hamil dapat memenuhi informasi yang dibutuhkan secara mandiri sehingga ketika suami tidak memenuhi peran sebagai pemberi informasi secara adekuat, hal ini tidak secara signifikan mempengaruhi ibu hamil dalam menjalani kehamilannya.
Kekuatan dari penelitian ini adalah jumlah responden yang besar sehingga hasil penelitian ini dapat mewakili dan dijadikan acuan referensi untuk menggambarkan kondisi ibu postpartum secara keseluruhan. Penelitian ini juga memiliki keterbatasan dimana pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara langsung. Metode ini cenderung
menghabiskan waktu yang banyak sehingga mengurangi konsentrasi dan fokus responden dalam menjawab pertanyaan yang diberikan.
KESIMPULAN
Penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan antara dukungan suami
dengan insiden anemia defisiensi zat besi yang dialami oleh ibu postpartum. Diharapkan pemberi pelayanan kesehatan dapat melakukan screening anemia sejak kehamilan, melakukan pencegahan dan pengendalian anemia dengan efektif dan terus melibatkan suami dalam segala kegiatan pelayanan antenatal dan
postnatal. Upaya ini dapat menjadi langkah nyata untuk pencegahan anemia selama periode kehamilan dan pada periode postpartum. Keterlibatan suami dalam kegiatan terkait kehamilan dan persalinan istri akan meningkatkan pengetahuan suami tentang tindakan yang harus diambil untuk menghadapi
situasi terkait kehamilan dan persalinan sang istri. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas izin dan fasilitas yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh untuk kelancaran pelaksanaan studi ini serta kepada ibu postpartum yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pratiwi IR, Santoso S, Wahyuningsih HP. Prevalence and Risk Factors for Postpartum Anemia 2018; 12: 113–8.
2. Milman N. Postpartum anemia I : definition , prevalence , causes , and consequences. Ann Hematol 2011; 90:
1247–53. 3. Selvaraj R, Ramakrishann J, Sahu SK, Kar
SS, Laksham KB, Premarajan K, et al. High prevalence of anemia among postnatal mothers in Urban Puducherry: A community-based study. J Fam Med Prim Care 2019; 8: 2703–7.
4. Rakesh P, Gopichandran V, Jamkhandi D, Manjunath K, George K, Prasad J. Determinants of postpartum anemia among women from a rural population in southern India. Int J Womens Health 2014; 395–400.
5. Bergmann RL, Richter R, Bergmann KE, Dudenhausen JW. Prevalence and risk
factors for early postpartum anemia. Eur J Obstet Gynecol 2010; 150: 126–31.
6. Nataris AS, Santik Y. Faktor kejadian gingivitis pada ibu hamil. Higeia 2017; 1: 117–28.
7. Achebe MM, Gafter-Gvili A. How I treat anemia in pregnancy: Iron, cobalamin, and
folate. Blood 2017; 129: 940–9. 8. Ayano B, Amentie B. Assessment of
Prevalence and Risk Factors for Anemia Among Pregnant Mothers Attending Anc Clinic at Adama Hospital Medical Collage, Adama, Ethiopia, 2017. J Gynecol Obstet 2018; 6: 31.
[https://doi.org/10.11648/j.jgo.20180603.11]
9. Judd SJ. Blood and Circulatory Disorders. United States: 2010.
10. Silverberg DS. Anemia. Croatia: InTech; 2012.
11. Vir SC. Public Health Nutrition In
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 104-110
110
Developing Countries. New Delhi: Woodhead Publishing India Pvt. Ltd.; 2011.
12. Milman N. Postpartum anemia II :
prevention and treatment. Ann Hematol 2015; 91: 143–54.
13. Darmawati, Siregar TN, Kamil H, Tahlil T. The effectiveness of local wisdom-based counseling to prevent iron deficiency anemia among pregnant women: A protocol of a randomized controlled trial. Belitung Nurs J 2020.
14. Fernandes A, Sanga F, Gero S. The role of husband in assisting wife who suffer anemia in pregnancy. J Kesehat Masy 2017; 13: 28–34.
15. Setyobudihono S, Istiqomah E, Adiningsih S. Husband Influences on Pregnant Women Who Following Consumption Iron
Supplementation Program. Procedia - Soc Behav Sci 2016; 222: 160–8.
16. Nguyen PH, DiGirolamo AM, Gonzalez-Casanova I, Pham H, Hao W, Nguyen H, et al. Impact of preconceptional micronutrient supplementation on maternal mental health during pregnancy
and postpartum: Results from a randomized controlled trial in Vietnam. BMC Womens Health 2017; 17: 1–9.
17. Darmawati D, Tahlil T, Siregar TN, Kamil H, Audina M. The Implementation of Iron Supplementation and Antenatal Counseling for Iron Deficiency Anemia in Pregnancy. J Keperawatan Soedirman
2019; 14. 18. Polit, Beck. The content validity index:
Are you know whats being reported? Res Nurs Health 2006; 29: 487–97.
19. Grove SK, Gray JR, Burns N. Understanding Nursing Research: Building An Evidence-Based Practice.
Missouri: Elsevier; 2015. 20. Ahmad NA, Awaluddin SM, Samad R.
Validity of Point-of-Care Testing Mission Plus in Detecting Anemia. Int J Biomed 2015; 5: 91–4.
21. Rahmawati T. Dukungan emosional suami dengan kejadian anemia pada ibu hamil.
Bul Media Inf 2016;12. 22. Sonya. Faktor-faktor yang berhubungan
dengan anemia kehamilan. J Ilm Kesehat 2014; 14: 24–32.
23. Taye B, Abeje G, Mekonen A. Factors associated with compliance of prenatal iron folate supplementation among women
in Mecha district, Western Amhara: A cross-sectional study. Pan Afr Med J 2015; 20: 1–7.
24. Davis J, Vyankandondera J, Luchters S,
Simon D, Holmes W. Male involvement in reproductive, maternal and child health: A qualitative study of policymaker and practitioner perspectives in the Pacific. Reprod Health 2016; 13: 1–11.
25. Sokoya M, Farotimi A, Ojewole F. Women’s perception of husbands’ support during pregnancy, labour and delivery.
IOSR J Nurs Heal Sci 2014; 3: 45–50. 26. Dadi AF, Miller ER, Mwanri L. Antenatal
depression and its association with adverse birth outcomes in low and middleincome countries: A systematic review and meta-analysis. PLoS One 2020; 15: 1–23.
27. Friedman MM. Buku Ajar Keperawatan
Keluarga: Riset, Teori, & Praktik. 5th ed. Jakarta: EGC; 2010.
28. Aditiawarman, Armini NKA, Kristanti YI. Manfaat dukungan sosial keluarga pada perilaku antisipasi tanda bahaya kehamilan pada ibu primigravida. J Ners 2017; 3.
29. Moradi T, Mehraban MA, Moeini M.
Comparison of the Perceptions of Managers and Nursing Staff Toward Performance Appraisal. Iran J Nurs Midwifery Res 2017; 22: 431–5. [https://doi.org/10.4103/ijnmr.IJNMR]
30. Sayakhot P, Carolan-Olah M. Internet use by pregnant women seeking pregnancy-related information: A systematic review.
BMC Pregnancy Childbirth 2016; 16. [https://doi.org/10.1186/s12884-016-0856]
31. Zhu C, Zeng R, Zhang W, Evans R, He R. Pregnancy-related information seeking and sharing in the social media era among expectant mothers in China: Qualitative study. J Med Internet Res 2019; 21: 1–11.
[https://doi.org/10.2196/13694].
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 111-118
111
EFEK APLIKASI GEL MADU RAMBUTAN PADA MUKOSA LABIAL INFERIOR
TERHADAP KADAR MALONDIALDEHID (MDA) SALIVA
EFFECTS OF APPLICATION OF RAMBUTAN HONEY GEL IN LABIAL INFERIOR
MUCOSA ON SALIVA MALONDIALDEHYDE (MDA) LEVELS
Euis Reni Yuslianti1, Afifah B. Sutjiatmo
2, Florence Meliawaty
1, Mega Zhafarina
1
1Prodi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani 2 Fakultas Farmasi, Universitas Jenderal Achmad Yani
Corresponding Author: [email protected]
Abstrak
Saliva dapat digunakan sebagai alternatif dalam penegakan diagnosis, prognosis, dan rencana
perawatan. Variasi konsentrasi saliva dapat digunakan sebagai biomarker stres oksidatif. Radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul dengan elektron tunggal atau tidak berpasangan.
Ketidakseimbangan kadar radikal bebas dan antioksidan sel akan menyebabkan stres oksidatif, untuk
meredam radikal bebas dibutuhkan antioksidan. Stres oksidatif dapat dilihat dengan mengukur perubahan kadar MDA (Malondialdehyde). Gel madu rambutan merupakan bahan alami yang sudah
banyak digunakan, karena memiliki banyak manfaat dan kandungan. Flavonoid merupakan salah satu
kandungan madu rambutan, fungsi flavonoid sebagai antioksidan peredam radikal bebas MDAs. Penelitian ini bertujuan melihat efek aplikasi gel madu rambutan terhadap kadar malondialdehyde
(MDA) saliva. Metode penelitian ini merupakan quasi eksperimental pre-post design dengan jumlah
responden 30 orang. Teknik pengambilan sampel penelitian menggunakan consecutive sampling.
Responden diminta mengumpulkan saliva sebelum dan setelah pengaplikasian gel madu rambutan pada mukosa mulut bagian labial inferior. MDA saliva diukur dengan menggunakan TBARs metode
spektrofotometri. Data dianalisis menggunakan uji Wilcoxon (p <0,05). Hasil penelitian menunjukkan
terdapat efek pengaplikasian gel madu rambutan terhadap kadar malondialdehyde (MDA) saliva. Kesimpulan penelitian ini bahwa gel madu rambutan mengandung antioksidan yang dapat
menurunkan kadar MDA.
Kata Kunci: Madu, Antioksidan, MDA Saliva
Abstract
Saliva can be used as an alternative in establishing the diagnosis, prognosis, and treatment plan. Variations in salivary concentrations can be used as biomarkers of oxidative stress. Free radicals are
molecules or compounds which have unpaired electrons. Furthermore, unbalanced levels of free
radicals and antioxidants can cause oxidative stress. In order to reduce free radicals, antioxidants are needed. Rambutan honey gel is a natural ingredient that has been widely used since it has many
benefits and ingredients. Flavonoid is one of rambutan honey contents. Flavonoids have function as
donors of hydrogen groups. The aim of this study is to see the effect of application of rambutan honey
gel against malondialdehyde (MDA) saliva levels. The method used was a quasi-experimental pre-post design with 30 respondents. In addition, the sampling technique used consecutive sampling.
Respondents would be asked to collect saliva before and after the application of rambutan honey gel
in the inferior labial oral mucosa. Salivary MDA would be calculated using TBARs spectrophotometric method. Data were analyzed using the Wilcoxon test (p <0.05). The results show
that there is effect of application of rambutan honey gel against malondialdehyde (MDA) saliva
levels. The conclusion is that rambutan honey gel contains antioxidants which can reduce MDA contents.
Keywords: Honey, Antioxidants, Saliva MDA
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 111-118
112
PENDAHULUAN Saliva merupakan salah satu dari kelenjar
eksokrin yang berasal dari glandula salivarius.
Kandungan dalam saliva yaitu imunoglobulin
A (secretory IgA), mineral, elektrolit, buffer, enzim, dan zat-zat pembuangan metabolik.
Saliva dapat mencerminkan kondisi fisiologi
tubuh saat ini, oleh karena itu saliva disebut sebagai ‘cermin kesehatan organisme’.1,2 Saliva
memiliki keunggulan salah satunya dapat
digunakan dalam alternatif untuk menegakkan diagnosis, prognosis dan terapeutik. Variasi
konsentrasi saliva dapat digunakan sebagai
biomarker stres oksidatif. MDA saliva berasal
dari sumber sistemik dan produksi di rongga mulut.3 Radikal bebas sangat reaktif dan
memiliki waktu paruh pendek, sehingga produk
yang terbentuk dari reaksi ROS/RNS dengan makromolekul seluler digunakan sebagai
penanda biologis dari stres oksidatif.4
Radikal bebas yang sangat reaktif akan menyerang molekul stabil terdekat. Molekul
radikal bebas akan mengambil elektron
senyawa lain karena molekul atau senyawa
radikal bebas tidak stabil dengan kandungan satu atau lebih elektron tidak berpasangan.
Molekul radikal bebas dengan elektron tidak
berpasangan menimbulkan tertariknya secara kuat pada medan magnet. Kondisi molekul
radikal bebas tersebut menyebabkan molekul
sangat reaktif. 5,6 Stres oksidatif akan terjadi
ketika kadar radikal bebas dan kadar antioksidan tidak seimbang. Peristiwa stres
oksidatif dapat menimbulkan gangguan fungsi
biologis seperti kerusakan fungsi, bahkan kematian sel. Perubahan kadar
Malondialdehyde (MDA) dapat memberikan
gambaran kondisi stres oksidatif.5,6 Antioksidan merupakan peredam untuk radikal bebas.
Peredam radikal bebas terdiri atas dua jenis
berdasarkan sumbernya yaitu antioksidan
enzimatik (dalam tubuh) dan nonenzimatik. Antioksidan enzimatik dapat diperoleh dari
bahan alam sekitar dan dari reaksi kimia yang
disintesis manusia. Antioksidan dari bahan alam contohnya adalah madu. 6
Madu telah digunakan sejak peradaban
Mesir kuno, Yunani, Cina, peradaban Yahudi, Nasrani, Islam, hingga masa perang Dunia I.
Madu digunakan dalam berbagai terapi seperti
pada pembalutan kasus-kasus bedah dalam
membantu penyembuhan luka.7-9. Madu dapat dihasilkan oleh lebah madu. Lebah madu
menghisap sari bunga tanaman berupa flora
nektar atau bagian lain dari tanaman ekstra
flora nektar. Madu merupakan hasil ekskresi dari serangga. Madu merupakan cairan alami
dengan rasa manis yang menyegarkan. Setiap
produk madu memiliki karakteristik yang
berbeda-beda. Sumber nektar yang berbeda akan mempengaruhi sifat fisik madu. Madu
memiliki berbagai macam senyawa yang dapat
bermanfaat bagi tubuh. Madu mengandung antioksidan seperti flavonoid dan polifenol.
Madu mengandung mineral diantaranya
kalium, kalsium, natrium, magnesium, aluminium, besi, dan fosfor. Madu
mengandung vitamin diantaranya vitamin B1,
riboplavin (B2), vitamin C, Niasin, vitamin K,
dan asam folat. Madu mengandung enzim penting yaitu glukosa oksidase, peroksidase,
lipase dan diastase invertase. Kandungan yang
terdapat dalam madu tersebut di atas dapat berfungsi sebagai antibakteri, antiinflamasi,
antioksidan, dan imunostimulan.7-9 Madu
rambutan merupakan madu yang diproduksi dari nektar bunga rambutan yang termasuk ke
dalam jenis madu monoflora serta digunakan
untuk obat topikal pada luka di rongga mulut
karena memiliki aroma dan rasa yang baik. Madu rambutan memiliki kandungan
antioksidan yaitu flavonoid. Flavonoid
memiliki aktivitas biologis seperti antialergi, antiviral, antiinflamasi, dan aksi vasodilatasi.
Flavonoid adalah salah satu senyawa dari
antioksidan yang mampu dalam mengurangi
kadar radikal bebas. Flavonoid dikenal sebagai aktivitas ekstender vitamin C melalui
peningkatan penyerapan dan perlindungan dari
stres oksidatif. Aktivitas antiinflamasi memiliki hubungan dengan kandungan antioksidan yang
berada di dalam madu rambutan yang dapat
melepaskan ROS (Reactive Oxygen Species) yang dapat mengurangi proses inflmasi. 10-12
Madu rambutan telah melalui uji preklinik pada
hewan coba dan sudah terbukti keamanannya.
Madu rambutan sudah distandardisasi dan dipatenkan dengan nomor hak paten
P00201608676. Namun belum ada penelitian
tentang efek aplikasi gel madu rambutan terhadap kadar malondialdehyde (MDA) saliva,
sehingga peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian efek aplikasi gel madu rambutan terhadap kadar malondialdehyde (MDA) saliva.
Pembaruan dalam penelitian ini, belum ada uji
keamanan bahan alam menggunakan madu
rambutan dalam bentuk sediaan gel pada manusia pada mukosa labial inferior dan dilihat
efeknya pada kadar radikal bebas
malondialdehid saliva.
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 111-118
113
Gel atau jeli adalah pembawa yang digunakan dengan tujuan pemberian obat pada
bagian mukosa, salah satunya adalah mukosa
mulut. Gel mengandung basis air, baik yang
bersifat hidrofilik maupun hidrofobik. Basis gel hidrofilik menimbulkan efek pendinginan pada
kulit saat digunakan, mempunyai daya lekat
yang tinggi, mudah dicuci dengan air dan pelepasan obatnya baik.13 Mukosa bukal dan
labial dengan epitel nonkeratin mengalami turn
over cell atau pergantian sel selama 14 hari.14
BAHAN DAN METODE
Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Maret 2020 di RSGM Universitas Jenderal Achmad
Yani (Unjani) dan Laboratorium Biokimia
Unjani. Usia responden sekitar 20-23 tahun dengan jumlah wanita 27 orang dan laki-laki 3
orang. Kriteria inklusi dalam penelitian yaitu
responden dengan mukosa mulut bagian labial inferior sehat tanpa tanda-tanda inflamasi,
responden sehat tidak ada penyakit sistemik
diantaranya diabetes melitus dan hipertensi
yang diketahui dari rekam medik pasien, responden dengan umur 18-55 tahun dan
kompeten menurut WHO, dan bersedia
menandatangani lembar persetujuan setelah penjelasan (informed consent). Kriteria eksklusi
adalah responden yang memiliki oral hygiene
yang buruk, responden yang tidak kooperatif
(tidak mengikuti intruksi yang diberikan oleh peneliti), dan mengundurkan diri selama
penelitian. Penelitian ini sudah mengikuti
protokol etik dari World Medical Association Deklarasi Helsinki tahun 2002 dan CIOMS
tahun 2016. Penelitian ini telah mendapatkan
persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Achmad Yani (FK Unjani)
Cimahi Indonesia dengan nomor persetujuan
etik 017/UMI.03/2020.15,16
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimental pre-post design sehingga
tidak perlu menggunakan kontrol karena
kelompok responden yang sama diukur sebelum dan sesudah perlakuan. Fokus
penelitian melihat efek gel madu rambutan
standar farmasitikal terhadap kadar MDA
saliva pada mukosa labial inferior responden.
Prosedur Pembuatan Gel Madu Rambutan Alat yang digunakan terdiri dari batang
pengaduk, beaker glass 100 ml, kaca, arloji,
gelas ukur 100 ml, kaca, stemper dan mortar,
sendok stainless stell, viskometer, timbangan, kaca, wadah, sediaan, dan pH meter. Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah gel
madu rambutan dengan madu yang berasal dari Pusat Perlebahan Nasional (Pusbahnas) Perum
Pehutani yang sudah distandardisasi di
Laboratorium Teknologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Achmad yani,
Carbopol 940, Na CMC, propil paraben
(C10H12O3), trietanolamin (TEA), dan akuades
(H2O). Pembuatan formulasi sediaan obat gel
madu rambutan dengan menimbang bahan-
bahan yang akan digunakan. Sediaan madu dibuat dalam bentuk gel agar didapatkan suatu
sediaan obat yang stabil dan praktis
diaplikasikan ke mukosa mulut. Carbopol dilarutkan dalam aquades panas sampai larut
ditambah dengan Na CMC yang sudah
dilarutkan dengan akuades panas dan larutkan
madu rambutan setelah itu campurkan larutan propil paraben. Trietanolamin ditambahkan
sedikit demi sedikit dengan kecepatan
pengadukan yang lebih tinggi sampai terbentuk gel yang homogen. Gel madu rambutan diuji
stabilitas sediaannya dan disimpan dalam tube
steril 10ml sebanyak 30 buah tube gel madu.
Pemeriksaan Intra Oral
Pemeriksaan intra oral harus dilakukan
secara berurutan atau sistematik dalam proses screening pasien. Melakukan pemeriksaan
kebersihan mulut menggunakan Oral Hygiene
Index Simplified (OHI-S) dari Green dan Vermillion yang diperoleh dari hasil
penjumlahan antara debris indeks dan kalkulus
indeks. Pemeriksaan bagian mukosa bukal,
mukosa labial, palatum durum, dasar mulut dapat dilihat secara langsung dan tidak
langsung. Pemeriksaan palatum mole berupa
pemeriksaan inpeksi tanpa palpasi. Uvula dilihat dengan cara dicatat panjang atau pendek
atau uvula yang terlihat asimetris pada saat
istirahat. Lidah dapat dilihat secara langsung maupun tidak langsung. Pegang ujung lidah
dengan menggunakan kasa dan gerakkan jari
dan ibu jari tangan yang sama di satu sisi untuk
mengamati batas lateral kemudian ulangi untuk sisi lain. Gunakan kaca mulut untuk memeriksa
bagian batas lateral posterior lidah.17
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 111-118
114
Metode Pengumpulan Saliva Metode pengumpulan saliva, terdiri
saliva sebelum aplikasi gel madu rambutan
yaitu saliva dikumpulkan pada pagi hari dan
saliva setelah aplikasi gel madu pada mukosa labial inferior. Prosedur pengumpulan saliva
sebelum diawali responden diminta berpuasa
selama 8 jam untuk tidak mengonsumsi apapun, kecuali air mineral. Responden
diberikan air minum untuk berkumur,
kemudian setelah 5 menit berkumur, responden diminta untuk mengeluarkan saliva. Subjek
mulai dengan membilas mulut mereka beberapa
kali dengan air mineral dan kemudian
beristirahat dengan tenang selama 3 menit. Saliva utuh yang tidak distimulasi (4 ml)
dikumpulkan. Uji coba pengumpulan dimulai
dengan instruksi untuk membersihkan mulut dari saliva dengan menelan. Subjek kemudian
meludahkan saliva yang terakumulasi ke dalam
tabung reaksi yang disterilkan setiap satu menit. Air liur dikumpulkan selama 5 menit.
Simpan tabung di suhu -10°C. Kemudian
dilakukan prosedur aplikasi gel madu rambutan
pada mukosa labial inferior.18 Melakukan isolasi saliva dibagian labial inferior
menggunakan kassa, aplikasikan gel madu
sekitar sebesar biji beras (1,285 gram) ke mukosa labial inferior menggunakan tangan
yang telah memakai handscoon selama 5 menit
sesuai yang prosedur akan dilakukan ketika tata
laksana pengobatan nantinya. Aplikasi gel madu rambutan hanya dilakukan satu kali pada
responden. Saliva didiamkan mengumpul di
dasar mulut selama 3 menit sebanyak 4 ml. Responden diminta untuk meludah tabung yang
telah disiapkan.
Prosedur Pemeriksaan Kadar MDA
Pemeriksaan kadar MDA saliva
menggunakan sebelum dan setelah aplikasi gel
madu rambutan adalah metode TBARs dengan spektrofotometri. Metode TBARs
menggunakan bahan larutan asam asetat (20 ml
asam asetat 96% dalam 76 ml H2O, tentukan pH 3,6), Larutan asam tiobarbiturat (larutkan
0,8 asam 2-tiobarbiturat dengan 7 ml NaOH 1N
tambahkan H2O sampai 100 ml, tentukan pH 3,6), Larutan butylated hydroxytoluene (BHT)
(44 mg butylated hidroxytoluene dalam 5 ml
etanol absolut), larutan EDTA (1,488 g EDTA
dalam 50 ml H2O selalu dibuat baru), dan larutan standar. Prosedur dimulai dengan
memasukkan 400 μl saliva sebelum
diaplikasikan gel madu rambutan ke dalam
tabung reaksi 1 dan diberi label (Snormal), saliva setelah diaplikasikan gel madu rambutan
ke dalam tabung reaksi 2 dan diberi label
(Smadu) kemudian kedua tabung ditambah
akuades 300μl, larutan SDS 200 μl, larutan BHT 50 μl, larutan EDTA 50 μl, larutan asam
asetat 1,5 ml, dan larutan TBA 1,5 ml. Peneliti
kemudian menginkubasi semua tabung dalam waterbath suhu 100 °C selama 30 menit dan
menutup setiap tabung dengan kelereng.
Selanjutnya setiap tabung direndam dalam bak air es. Melakukan sentrifugasi dengan
kecepatan 3000 rpm selama 10 menit.
Mengambil supernatan dari setiap tabung dan
membaca absorbansinya dengan spektrofotometer pada λ 532 nm.19
Analisis Data Analisis data uji statistika menggunakan
Shapiro Wilk Test karena data ≤ 50 untuk uji
normalitas data penelitian. Analisis statistik
untuk data kategorik berpasangan diuji dengan Mc Nemar. Uji Wilcoxon untuk
membandingkan variabel data numerik antara
sebelum dan sesudah perlakuan karena data penelitian tidak berdistribusi normal.
Kemaknaan hasil uji statistik ditentukan
berdasarkan nilai p <0,05. Data hasil penelitian kemudian diolah dan dianalisis dengan program
SPSS versi 24.0 forWindows.
HASIL Hasil penelitian yang dilakukan di
RSGMP Unjani Cimahi didapatkan bahwa
responden berusia 20-23 tahun dengan jumlah 30 responden. Jumlah perempuan 27 orang dan
jumlah laki-laki 3 orang (Tabel 1).
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin
Jenis Kelamin n (%)
Perempuan 27 (90)
Laki-laki 3 (10)
Berdasarkan kategori usia, diketahui usia
responden terdiri dari 20 tahun sebanyak 5
orang, 21 tahun sebanyak 14 orang, 22 tahun sebanyak10 orang, dan 23 tahun sebanyak 1
orang.
Perbandingan Kadar MDA Saliva Sebelum
dan Sesudah Pengaplikasian Gel Madu
Rambutan
Kadar MDA saliva sebelum diaplikasikan gel madu rambutan yang tertinggi
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 111-118
115
adalah 1,82 μM dan terendah adalah 0,3 μM. Kadar MDA saliva setelah diaplikasikan gel
madu rambutan yang tertinggi adalah 1,06 μM
dan terendah adalah 0,04 μM. Hasil kadar
rerata MDA (Tabel 3) pada saliva sebelum adalah 0,565 μM dan sesudah adalah 0,362 μM.
Tabel 2. Kadar MDA Sebelum dan Sesudah
Aplikasi Gel Madu Rambutan
Kadar
MDA
(μM)
Rerata Standar
Deviasi
Nilai p N
Sebelum 0,565 0,413 0,001* 30
Sesudah 0,362 0,234 0,002* 30
Keterangan: Uji Wilcoxon, *p < 0,05 bermakna
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui
bahwa hasil uji statistika dengan uji Wilcoxon didapatkan nilai sebelum perlakuan p=0,001
dan nilai setelah perlakuan p=0,002. Menurut
ahli statistik hasil ini menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan bermakna nilai kadar MDA saliva sebelum dan setelah diaplikasikan gel
madu rambutan secara topikal karena nilai p
lebih kecil dari 0,05 (nilai p<0,5). Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa terdapat
perbedaan rerata yang signifikan secara statistik
antara kadar MDA pada saliva sebelum dan sesudah pengaplikasian gel madu rambutan
pada bagian mukosa labial inferior sehat
responden.
PEMBAHASAN
Saliva berfungsi sebagai self cleansing,
penerima ion, lubrikasi, dan buffer saliva. Saliva memiliki sistem antioksidan dengan
berbagai macam variasi. Saliva mempunyai
kandungan enzim dan asam urik yang
merupakan molekul antioksidan paling penting. Kadar enzim dan asam urik terdiri dari 70%
total antioksidan pada saliva.20,21 Penelitian ini
merupakan penelitian awal uji keamanan sediaan gel madu rambutan yang sudah
distandardisasi farmasitikal pada mukosa
mulut. Mukosa mulut labial inferior dipilih karena pertimbangan kemudahan pengamatan
reaksi yang muncul setelah aplikasi gel madu
rambutan. Gel madu rambutan merupakan
suatu sediaan gel dengan isi madu rambutan yang tinggi antioksidan untuk menangkap
radikal bebas.
Madu rambutan dalam sediaan gel kemungkinan memiliki aktivitas antioksidan
karena mengandung flavonoid yang dapat
menyintesis superoksida dismutase yang perannya sama seperti enzim katalase dan
vitamin C. Enzim katalase yang terdapat pada
madu rambutan berfungsi menetralkan dan
mempercepat degradasi senyawa radikal bebas untuk mencegah kerusakan komponen
makromolekul sel termasuk dalam saliva.
Saliva pada kondisi fisiologis menghasilkan radikal bebas MDA karena reaksi reduksi-
oksidasi dalam saliva terus berlangsung.
Aplikasi gel madu rambutan diduga dapat bersifat antioksidan pada saliva karena ketika
aplikasi gel madu rambutan selain secara
topikal terabsorpsi juga dapat larut ke saliva.3
Enzim-enzim antioksidan saliva dapat mengalami penurunan aktivitas akibat kondisi
stres oksidatif. Katalase adalah enzim yang
mengandung heme yang mengkatalis dismutasi hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen.
Enzim ini ditemukan pada semua jenis eukariot
aerob, yang penting untuk memusnahkan H2O2 yang terbentuk dalam peroksisom melalui
reaksi oksidasi, seperti oksidasi asam lemak,
siklus glikosilat (dalam fotorespirasi), dan
katabolisme purin.4 Hal ini dapat terlihat adanya perbedaan kadar MDA saliva sebelum
aplikasi dibandingkan dengan kadar MDA
saliva setelah aplikasi gel madu. Antioksidan apabila tidak mencukupi
dalam tubuh atau saliva dapat diperoleh dari
asupan antioksidan luar. Antioksidan tersebut
diperlukan untuk meredam radikal bebas dengan sifat reaktivitas sangat tinggi. Reaksi
akibat reaktivitas radikal bebas pada fase
awal/fase inisiasi akan menghasilkan reaksi berantai dengan berlangsungnya fase propagasi
dan berakhir di fase terminasi. Salah satu jenis
radikal bebas yang menimbulkan stres oksidatif adalah hydroxyl radical (HO*). Radikal bebas
ini penyebab putusnya membran lipid sel dan
menghasilkan suatu zat toksik malodialdehid
(MDA). Radikal bebas MDA dapat diredam dengan antioksidan enzimatis dan
nonenzimatis.6,21,23
Kondisi ketidakseimbangan antara kadar radikal bebas dalam tubuh dan antioksidan akan
menyebabkan stres oksidatif. Stres oksidatif
terjadi apabila radikal bebas yang dihasilkan lebih besar dari yang diredam oleh mekanisme
pertahanan sel tubuh. Peristiwa stres oksidatif
dapat menimbulkan gangguan fungsi biologis
seperti aktivitas enzim, integrasi membran, hemostasis, fungsi sel bahkan kematian sel.
Stres oksidatif yang menghasilkan radikal
bebas MDA dapat menyebabkan kerusakan
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 111-118
116
membran sel, menginaktivasi fungsi protein dalam sel, dan merusak DNA secara tidak
langsung. Kerusakan DNA sel akibat stres
oksidatif disebut oksidasi DNA. Stres oksidatif
yang berkepanjangan dapat menyebabkan radikal bebas merusak membran lipid dari
komponen fosfolipid bilayer dari dinding sel,
sehingga menyebabkan kerusakan sel dan akan menyebar ke kerusakan jaringan. Hal ini
merupakan awal mulai dari proses
etiopatogenesis penyakit kronik, penyakit degeneratif, dan keganasan6,21,23
Pemantauan kadar Malondialdehyde
(MDA) dapat digunakan sebagai indikator
penting proses peroksidasi lipid secara in vitro dan in vivo dalam berbagai gangguan
kesehatan. Pembentukan MDA secara endogen
selama proses stres oksidatif intraseluler dan reaksinya dengan DNA membentuk adisi
MDA-DNA yang menjadikan biomarker
penting dari kerusakan DNA endogen.22 Molekul MDA dapat diturunkan oleh
peroksidasi lipid, tetapi juga bisa dihasilkan
dari metabolisme fisiologis dan merupakan
produk yang sangat mutagen. MDA lebih dari penanda sederhana, tetapi sebagai alarm yang
berisiko tinggi adanya mutasi.26 Antioksidan
dalam sel memiliki konsentrasi rendah dan secara signifikan mengurangi atau mencegah
oksidasi substrat teroksidasi. Antioksidan
dalam sel mempunyai konsentrasi rendah dan
secara signifikan menurunkan atau menghambat oksidasi substrat teroksidasi.
Sumber antioksidan dapat dibagi menjadi dua
macam yaitu antioksidan enzimatik dan non enzimatik yang bekerja sinergis untuk
mencegah sel dan organ sistem tubuh terhadap
kehancuran yang ditimbulkan oleh radikal bebas.27
Madu merupakan produk alam yang
memiliki nutrisi serta sifat terapeutik karena
adanya bahan bioaktif fitokimia. Madu mempunyai sifat antibakteri dan antioksidan.
Antioksidan pada madu terdiri dari komponen
polipenol (asam fenolik dan flavonoid), vitamin C, vitamin E, dan enzim.28 Madu dapat
berperan sebagai antioksidan, antiinflamasi,
antibakteri, antivirus, dan antijamur. Kandungan antioksidan dalam madu dapat
berperan sebagai penyumbang atom hidrogen,
meningkatkan beta karoten, vitamin C,
reduktasi glutation dan asam urik, mengurangi radikal bebas dan metalik ion kelasi yang
berperan sebagai substrat untuk radikal.
Keempat hal yang terkandung dalam madu rambutan tersebut bertujuan untuk
menstimulasi sel melalui struktur molekul
karbohidrat, protein, dan asam nukleat untuk
mengurangi stres oksidatif.29 Madu rambutan memiliki kandungan flavonoid terutama
flavonoid rutin tinggi yang berfungsi sebagai
antioksidan sekunder nonenzimatik. Struktur senyawa fenolik flavonoid dalam madu
rambutan memiliki dampak penting pada
aktivitas pembersihan radikal bebas. Madu rambutan juga mengandung kadar vitamin C
cukup tinggi. Vitamin C merupakan
antioksidan sekunder yang berfungsi meredam
radikal bebas dengan cara mendonorkan elektron bebasnya. Senyawa fenolik dan
vitamin C membantu menjaga membran sel
dalam keadaan normal dengan mengurangi kadar MDA hasil dari reaksi peroksidasi lipid.
Apabila reaksi peroksidasi lipid berkurang oleh
antioksidan dalam madu rambutan maka kadar MDA sel akan menurun. Hal ini terbukti dari
hasil penelitian diatas yaitu setelah aplikasi gel
madu rambutan maka kadar MDA saliva
responden menurun.30
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, penurunan kadar MDA berhubungan terhadap pemberian
aplikasi gel madu rambutan, yang ditandai oleh
adanya penurunan rerata sebelum dan sesudah
pemberian madu. Hal ini menandakan adanya penurunan kadar radikal bebas yang diredam
oleh antioksidan madu rambutan. Perlu
dilakukan penelitian tentang uji invivo dan uji klinik untuk gel madu rambutan sebagai
antioksidan obat luka.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dibantu oleh staf RSGMP
Unjani Cimahi dan Analis Laboratorium
Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi.
DAFTAR PUSTAKA 1. Balogh MB, Fehrenbach MJ. Illustrated
Dental Embryology, Histology, and
Anatomy. 3rd ed. Killney: Elsevier; 2012: 132
2. SJ Farnaud, O Kosti, S.J Getting, and D
Renshaw. Saliva: physiology and
diagnostic potential in health and disease. Scientific World Journal 2010; 10:
434–56.
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 111-118
117
3. Khoubnasbjafari M, Ansarin K, Jouyban A. Salivary malondialdehydes as an
oxidatives stress biomarker in oral and
systemic diseases. J Dent Clin Dent
Prospects 2016; 10 (2): 71-4. 4. Palmieri B, Sblendorio V. Oxidative stress
tests: overview on reliability and use. Part
II. Eur. Rev. Med. Pharmacol. Sci 2007; 11: 383–99.
5. Phaniendra A, Jestadi DB, Periyasamy.
Free radicals: Properties, sources, targets, and their implication in various diseases.
Indian J Clin Biochem 2015; 30(1): 11-26.
6. Yuslianti ER. Radikal Bebas dan
Antioksidan. 1st. Yogyakarta: Deepublish; 2017
7. Marlina N, Yuslianti ER, Adiantoro S.
Pengaruh madu rambutan terhadap penyembuhan luka eksisi mukosa mulut
tikus galur wistar dilihat dari luas luka dan
vaskularisasi. Bionatura Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik 2014; 16: 172-75
8. Wulandari DD. Kualitas madu (keasaman,
kadar air, dan kadar gula pereduksi)
berdasarkan perbedaan suhu penyimpanan. Jurnal Kimia Riset 2017; 2(1): 16-17.
9. Sumardhika D. Pengaruh madu topikal
terhadap tingkat kecepatan perbaikan kerusakan kulit leher pascaradioterapi
karsinoma nasofaring. Bandung: Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran 2013.
10. Yuslianti ER, Bachtiar BM, Suniarti DF, Sutjiatmo AB, Mozef T. Effect of
rambutan-honey and its flavonoid on tgf-
β1 induce fibroplasia oral wound healing. Research Journal of Medicinal Plants
2016; 10(8): 439
11. Chayati I. Sifat fisiokimia madu monoflora dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Jawa Tengah. Agritecth 2008; 28(1): 10-
11.
12. Yuslianti ER et al. Effect of topical honey pharmaceutical grade on oral mucosa
wound healing based on tissue wound
closure and fibroblast proliferation in vivo. International Journal of Pharmacology
2015; 11(7): 865-69
13. Ansel, H.C. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. IV. Jakarta: Universitas
Indonesia Press; 1989.
14. Balogh MB, Fehrenbach MJ. Illustrated
Dental Embryology, Histology, and Anatomy. 3rd ed. Killney: Elsevier; 2012:
105.
15. Bandewar SV. Cioms 2016. Indian J Med Ethics 2 2017; 138-40.
16. Nicolaides, Angelo. Bioethical
considerations, the common good
approach and some shortfalls of the Belmont Report. Medical Technology SA
2016; 30: 15-24.
17. Faculty of Medicine, Jenderal Achamd Yani University. Buku praktikum
keterampilan medik kedokteran klinik dan
manifestasi oral. Cimahi 2018. 18. Baliga S, Muglikar S, Kale R. Salivary
pH: a diagnostic biomarker. J Indian Soc
Periodontal 2013; 17(04): 461-65.
19. Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani. Buku pedoman praktikum
biomedik dasar 1. Cimahi. 2019.
20. Khalili J, Biloklytska HF. Salivary malondialdehyde levels in clinically
healthy and periodontal diseased
individuals. Oral Diseases 2008; 14: 754-60.
21. Deminice R, Sicchieri T, Payao PO,
Jordao AA. Blood and salivary oxidative
stress biomarkers following and acute session of resistance exercise in humans.
Int J Sports Med 2010; 31(9): 599-603.
22. Banjarnahor SDS, Artanti N. Antioxidant properties of flavonoids. Med J Idones
2014; 23: (4): 239-44.
23. Fogarasi E, Crotoru MD, Fulop I, Nagy E,
Tripon R, Szabo Z, dkk. Malondialdehyde levels can be measured in serum and saliva
by using a fast HPLC method with visible
detetion. Revista romana de medicina de laborator 2016; 24(3): 319-26.
24. Budi AR, Kadri H, Asri A. Perbedaan
kadar malondialdehid pada dewasa muda obes dan non obes di Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas. Jurnal Kesehatan
Andalas 2019; 8: 21-25.
25. Singh Z, Karthigesu IP, Singh P, Kaur R. Use of malondialdehyde as a biomarker
for assessing oxidative stress in different
disease pathologies: a riview. Irian J Publ Health 2014; 43(3): 7-11.
26. Rio DD, Stewart AJ, Pollegrini N. A
review of recent studies on malondialdehyde as toxic molecule and
biological marker of oxidative stress. Nurt
Metab Cardiovasc Dis 2015; 15(4): 316-
28. 27. Kurutas EB. The importance of
antioxidants which play the role in cellular
response against oxidative/nitrosative
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 111-118
118
stress: current state. Kurutas Nutrition Journal 2016; 15(71): 1-22.
28. Dzugan M, Tomczyk M, Sowa P, Lejko
DG. Antioxidant activity as biomarker of
honey variety. MDPI 2018; 23(8). 29. Ahmed S, Sulaiman SA, Baig AA,
Ibrahim M, Liaqat S, Fatima S, dkk.
Honey as a potential natural antioxidant medicine: an insight into its molecular
mechanisms of action. Hindawi Oxidative
Medicine and Cellular Longevity 2018; 1-19.
30. Yuslianti ER, Bachtiar BM, Suniarti DF,
Sutjiatmo AB. Antioxidant activity of
rambutan honey: the free radical-scavenging activity in vitro dan lipid
peroxidation inhibition of oral mucosa
wound tissue in vivo. Research Journal Of Medicinal Plants 2015; 9(5): 284-9.
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 119-125
119
EFEK EKSTRAK DAUN CEREMAI (PHYLLANTHUS ACIDUS (L.) SKEELS) TERHADAP
PENYEMBUHAN LUKA MUKOSA TIKUS WISTAR (RATTUS NORVEGICUS)
THE EFFECT OF CEREMAI LEAF EXTRACT (PHYLLANTHUS ACIDUS (L.) SKEELS)
ON WOUND HEALING OF WISTAR RATS (RATTUS NORVEGICUS)
Fakhrurrazi, Rachmi Fanani Hakim, Astari Chairunissa
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala Corresponding Author: [email protected]
Abstrak
Luka merupakan terjadinya gangguan pada struktur normal tubuh. Tubuh akan merespon melalui
proses penyembuhan luka. Kerusakan dan regenerasi jaringan memerlukan peran kolagen. Ketika
proses penyembuhan jaringan kolagen disintesis dan didepositkan oleh fibroblas. Daun ceremai bermanfaat untuk penyembuhan luka karena mengandung senyawa aktif Terpenoid, Saponin dan
flavonoid. Tujuan penelitian untuk menetapkan potensi ekstrak daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.)
Skeels) sebagai obat herbal terhadap penyembuhan luka tikus Wistar (Rattus norvegicus). Sepuluh ekor tikus jantan dengan berat 200-300 gram dan usia 8-12 minggu dibagi ke dalam 2 kelompok,
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Luka pada gingiva bagian labial tikus dibuat sepanjang 5
mm dan kedalaman mencapai tulang alveolar. Ekstrak daun ceremai 100% diberikan pada kelompok perlakuan topikal 2 kali sehari selama 7 hari. Akuades diberikan pada kelompok kontrol. Pengamatan
histologis (pewarnaan hematoksilin eosin) menunjukkan hasil rerata jumlah fibroblas pada kelompok
kontrol 20,4±1,3 dan kelompok perlakuan 31,0±3,3. Uji T tidak berpasangan menunjukkan nilai
signifikansi yakni 0,001 (p<0,05) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna jumlah fibroblas pada penyembuhan luka antara ekstrak daun ceremai dibanding kontrol. Ekstrak daun ceremai
konsentrasi 100% mempunyai efek terhadap jumlah fibroblas pada luka gingiva tikus Wistar.
Kata Kunci: Penyembuhan Luka, Ekstrak Daun Ceremai, Fibroblas
Abstract
Injury is a disturbance in the normal structure of the body. The body will respond through the process of wound healing. Tissue damage and regeneration require the role of collagen. When the healing
process of collagen tissue is synthesized and deposited by fibroblasts. Ceremai leaves are useful for
wound healing because they contain the active compounds Terpenoid, Saponin and flavonoids known. The purpose of this study was to determine the effect of ceremai leaf extract (Phyllanthus acidus (L.)
Skeels) on wound healing of Wistar (Rattus norvegicus) wounds. 10 male rats weighing 200-300
grams and aged 8-12 weeks were divided into 2 groups, the treatment group and the control group. The gingival wound in the labial part of the rat was made 5 mm long and the depth reached the
alveolar bone. Ceremai leaf extract was given to the topical treatment group 2 times a day for 7 days.
Aquades are given in the control group. Histological observations showed the average number of
fibroblasts in the control group was 20.4 ± 1.3 and the treatment group was 31.0 ± 3.3. The unpaired T test showed a significance value of 0.001 (p <0.05), indicating that there was a significant
difference in the number of fibroblasts in wound healing between ceremai leaf extract compared to
controls. The 100% concentration of ceremai leaf extract had an effect on the number of fibroblasts in the gingival wound of Wistar rats.
Keywords: Wound Healing, Ceremai Leaf Extract, Fibroblast
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 119-125
120
PENDAHULUAN Luka diartikan sebagai terganggu dan
rusaknya struktur serta fungsi normal dari suatu
struktur tubuh.1, 2 Luka dapat diklasifikasikan
berdasarkan banyak aspek. Berdasarkan struktur yang terlibat luka beragam dimulai dari
yang sederhana seperti hilangnya integritas
epitel kulit sampai terjadinya kerusakan struktur lain seperti tulang.2 Terdapat banyak
penyebab terjadinya luka, salah satunya adalah
prosedur perawatan gigi dan mulut seperti ekstraksi, insisi, dan lainnya. Saat mengalami
luka, usaha untuk penyembuhan luka tubuh
akan memberikan respon.3 Proses
penyembuhan luka yang komplek dan dinamis melibatkan beberapa proses koordinasi sel yang
terdiri dari pertama hemostasis, kedua proses
koagulasi, ketiga inisiasi respon mediator inflamasi akut, regenerasi, migrasi dan
proliferasi, serta keempat remodeling untuk
pembentukan kolagen sehingga mendapatkan kembali kontinuitas anatomi dan fungsi struktur
tersebut.1, 2, 4
Pembentukan kolagen dan sel epitel
merupakan proses penyembuhan luka. Kolagen dibutuhkan untuk memperbaiki kerusakan dan
mengembalikan (meregenerasi jaringan)
struktur dan fungsi struktur anatomi tubuh. Fibroblas merupakan sel jaringan ikat berperan
mensintesis dan mendepositkan kolagen untuk
penyembuhan jaringan. Fibroblas berperan
penting dalam penyembuhan luka karena fibroblas berperan membentuk jaringan ikat
yang baru.5-7 Herbal atau ekstrak bahan alami
telah banyak dipercaya dan diteliti dapat digunakan sebagai bahan herbal topikal
penyembuh luka pada hewan coba.5
Salah satu tanaman yang berpotensi adalah daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.)
Skeels). Sebuah tanaman asli India yang secara
tradisional digunakan untuk menyembuhkan
beberapa penyakit inflamasi8 Menurut penelitian Jagessar (2008) daun ceremai
(Phyllanthus acidus (L.) Skeels) mempunyai
daya antimikroba seperti antibakteri dan antijamur.9 Agen antibakteri mengurangi
kolonisasi dan infeksi bakteri luka, untuk
meningkatkan proses penyembuhan. Agen antibakteri memperpendek periode peradangan,
untuk mempersingkat waktu penyembuhan.
Inflamasi merupakan respon pertama selama
masa penyembuhan sebagai mekanisme pertahanan jaringan, durasi yang singkat pada
fase inflamasi dapat mempersingkat proses
penyembuhan luka. 10
Pratiwi dkk. (2013) melaporkan bahwa setelah uji fitokimia, kandungan ekstrak daun
ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) yaitu
senyawa flavonoid, tanin, dan saponin.11
Menurut Afifah dkk. (2013) kandungan simplisia daun ceremai adalah flavonoid,
kuinon, polifenol, saponin, dan terpenoid.12
Triterpenoid dapat memodulasi ekspresi gen pada kultur sel fibroblas.13 Senyawa saponin
dipercaya membantu proses penyembuhan luka
melalui pembentukan kolagen.14 Flavonoid dapat meningkatkan pembentukan kekuatan
dari serat kolagen yang diperlukan dalam
penyembuhan luka.5 Senyawa saponin,
flavonoid, tanin dapat dijadikan obat topikal penyembuh luka karena mempunyai sifat
antibakteri dan antijamur sehingga dapat
mempercepat penyembuhan luka.14 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ekstrak
daun ceremai sebagai obat topikal
penyembuhan luka mukosa oral.
BAHAN DAN METODE
Semua prosedur telah disetujui oleh
Badan Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Syiah Kuala untuk Perawatan
dan Penggunaan Hewan sebelum penelitian
dimulai. Nomor izin etis 011 / KE / FKG / 2020.
Ekstraksi Ekstrak Daun Ceremai
(Phyllanthus acidus (L.) Skeels) Daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.)
Skeels) yang dipilih dan dipisahkan dari daun
rusak sehingga didapatkan daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) yang baik
sebanyak 1 kg.15 Daun ceremai (Phyllanthus
acidus (L.) Skeels) yang telah dikumpulkan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan
selama 7 hari dengan tidak terkena cahaya
matahari langsung.10 Setelah itu, daun yang
mengering dihaluskan menjadi serbuk daun dengan bantuan blender atau grinder dan
disimpan di dalam air-tight container.16, 15
Selanjutnya serbuk daun diletakkan dalam flat bottomed glass container dan direndam dengan
1 L metanol. Lalu ditutup dan dibiarkan selama
3 hari disertai sesekali dilakukan pengadukan dan pengocokan. Hasil campurannya kemudian
difiltrasi menggunakan white cotton material
diikuti dengan filtrasi. Filtrat didapat dari
penguapan menggunakan Whatmann filter paper dan ekstrak daun ceremai (Phyllanthus
acidus (L.) Skeels) didapat dari penguapan
dengan rotary vacuum evaporator.10, 17
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 119-125
121
Tahapan Persiapan Tikus Wistar (Rattus
norvegicus)
Tikus putih galur Wistar (Rattus
norvegicus) jantan usia 8-12 minggu dan berat
200-300 gr diadaptasikan dengan lingkungan laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Syiah Kuala dengan cara
dikandangkan secara individual pada suhu ruangan sekitar 250C, ventilasi yang baik. Tikus
diberi makan dengan standart laboratory pellet
diet dan air secara ad libitum selama minimal 5 hari.8,16 Tikus putih galur Wistar (Rattus
norvegicus) dipelihara dalam kandang yang
terbuat dari bahan plastik dengan alas sekam
serta kawat sebagai penutupnya. Kandang tersebut dibersihkan minimal 2 kali dalam
seminggu.18
Pembuatan Luka Insisi pada Gingiva Bagian
Labial Tikus Wistar (Rattus norvegicus) Tikus coba dibagi menjadi dua
kelompok. Masing-masing kelompok terdiri
dari 5 ekor tikus Wistar (Rattus norvegicus)
jantan. Daerah yang dibuat perlukaan adalah
gingiva bagian labial di bawah kedua gigi anterior mandibula. Pertama, semua tikus
dianestesi dengan menggunakan injeksi single
intramuskular 1-2 mg/kg xylazine hydrochloride dan 10 mg/kg ketamine
hydrochloride.5,19 Perlukaan dibuat pada
gingiva bagian labial di bawah kedua gigi
anterior mandibula menggunakan blade dan scalpel sepanjang 5 mm dan kedalaman
mencapai tulang alveolar.17, 20
Aplikasi Ekstrak Daun Ceremai
(Phyllanthus acidus (L.) Skeels) pada Luka
Insisi Pada kelompok perlakuan diaplikasikan
ekstrak daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.)
Skeels) secara topikal dengan kapas steril
sebanyak 100μl setiap harinya sampai hari ke-7. Diaplikasikan 2 kali sehari selama 1 menit,
yaitu pada pagi hari dan sore hari yakni pukul
08.00 dan 16.00 selama 7 hari. Akuades diaplikasikan pada kelompok kontrol.19, 20
Setelah selesai diberikan perlakuan, maka
semua tikus putih Wistar (Rattus norvegicus) jantan kemudian dieutanasia dengan ether,
yakni kapas yang dibasahi dengan ether
diletakkan dalam satu wadah yang sesuai
dengan besar hewan cobanya.21 Kemudian tikus Wistar dimasukkan satu per satu ke dalam
wadah tersebut ditunggu hingga mati. Setelah
dilakukan pemotongan jaringan maka tikus Wistar dikuburkan.22
Pembuatan dan Pengamatan Preparat
Histologi Bagian yang diberi perlakuan dilakukan
pemotongan jaringan dan difiksasi dengan cara
memasukkan potongan jaringan ke dalam larutan Neutral Buffer Formalin (10%) selama
18-24 jam.57 selanjutnya jaringan dipotong
dengan ketebalan sekitar 2-3 mm. Perendaman bertingkat, pertama dalam alkohol 70%
dilakukan selama 15 menit, selanjtnya alkohol
80% selama 1 jam, dan alkohol 95% selama 2
jam, 96% selama 1 jam dan alkohol 100% selama 3 jam. Perendaman dalam larutan xylol
(clearing) dialkukan sebanyak 3 kali pada
wadah yang berbeda dengan rentang waktu 1 jam, 2 jam dan 2 jam pada perendaman
terakhir. Setelah itu jaringan diinfiltrasi dengan
menggunakan paraffin selama 1,5 jam.17, 23
Selanjutnya dilakukan penanaman jaringan
pada paraffin block dan pemotongan jaringan
dengan menggunakan mikrotom dengan
ketebalan 5mikron.24 Kemudian jaringan diletakkan pada water bath. Selanjutnya,
potongan jaringan dipindahkan ke object glass
yang sebelumnya telah dioleskan albumingliserin sebagai perekat didiamkan
selama 12 jam.23, 24 Lalu dimasukkan ke dalam
2 tabung larutan xylol selama 2-3 menit,
kemudian 4 tabung alkohol masing-masing selama 3 menit, dan air mengalir sampai bersih.
Setelah itu dilakukan pewarnaan preparat
dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin eosin (HE) dengan 3 tahap yaitu pewarnaan,
dehidrasi dan penjernihan. Pewarnaan
dilakukan dengan pewarna utama hematoxylin selama 10-15 menit, cuci dengan air mengalir
selama 20 menit, celupkan ke dalam acid
alcohol, celupkan ke dalam air dan lakukan
dengan pewarna pembanding dengan eosin 10-15 menit. Dehidrasi dilakukan dengan
menggunakan alkohol 70%, 80%, 96%, dan
100% masing-masing selama 2-3 menit. Penjernihan dilakukan dengan larutan xylol
selama 60 menit dan diulangi agar hasil
pewarnaan dapat terlihat dengan jelas. Sediaan preparat dikeringkan dan ditetesi dengan
perekat permount dan kemudian ditutup dengan
cover glass dan ditunggu beberapa menit
hingga perekatnya mengering.17, 23 Preparat dapat diamati dengan menggunakan mikroskop
dengan pembesaran 400x dan pengamatan
dengan 5 lapangan pandang untuk melihat
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 119-125
122
jumlah fibroblas yang ada.20, 21 Pengamatan dan perhitungan dengan 5 lapangan pandang adalah
melakukan perhitungan sebanyak 5 kali
pergantian lapangan pandang berbeda yang
tampak dalam lensa objektif dengan cara menggeser lensa ke bagian atas, tengah dan
bawah preparat. Kemudian hasilnya
dijumlahkan dan diambil nilai rata-ratanya untuk mendapatkan jumlah fibroblas setiap
preparat.25-27
HASIL
Pengamatan dan perhitungan jumlah
fibroblas pada preparat dilakukan dengan
menggunakan mikroskop Olympus BX 41 dengan 400x pembesaran dan 5 lapangan
pandang setiap preparat. Pengamatan ini
dilengkapi dengan kamera digital DP-12. Data
hasil perhitungan jumlah fibroblas menunjukkan nilai rata-rata luka tikus
kelompok perlakuan sebanyak 31,0±3,3.
Sementara luka tikus kelompok kontrol
mempunyai rata-rata jumlah fibroblas sebanyak 20,4±1,3. Berdasarkan pengamatan histologi
yang dilakukan, menunjukkan bahwa jumlah
fibroblas pada kelompok perlakuan lebih banyak dibandingkan dengan pada kelompok
kontrol.
Tabel 1. Hasil Nilai Rata-Rata Jumlah Fibroblas
Gambar 1. Gambaran Histologi Fibroblas (menggunakan pewarnaan HE) pada Kelompok Kontrol (A) dan
Kelompok Perlakuan (B) Diamati menggunakan mikroskop cahaya (pembesaran 400x)
PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini didapatkan dengan menghitung rerata jumlah fibroblas. Pada
kelompok kontrol rerata jumlah fibroblas
adalah 20,4±1,3. Rerata jumlah fibroblas pada
kelompok perlakuan, yaitu 31,0±3,3. (Tabel 1.) Analisis uji t tidak berpasangan didapat nilai
p=0,001 (p<0,05) menunjukkan terdapat
perbedaan bermakna antara jumlah fibroblas
kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok perlakuan. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Pradita (2013) mengenai periodontal dressing dengan kandungan epigallocathechin
gallate teh hijau meningkatkan sel fibroblas
setelah perlukaan gingiva yang menyimpulkan
bahwa rerata jumlah fibroblas pada kelompok perlakuan lebih banyak dibandingkan
kelompok kontrol dikarenakan terdapat
senyawa aktif yang diperlukan dalam
penyembuhan luka.28 Sementara pada kelompok kontrol hanya diaplikasikan akuades.
Proses penyembuhan luka terjadi secara
teratur bertujuan untuk mengembalikan
keutuhan jaringan yang telah rusak.29 Proses penyembuhan luka dipengaruhi juga oleh
jaringan dan jenis luka.30 Penyembuhan primer
terjadi pada luka yang tidak terinfeksi, bersih, dan luka segera melekat dengan bantuan
jahitan. Luka mengalami penyembuhan
sekunder jika penyembuhannya berjalan secara alami, jaringan granulasi dan epitel akan
mengisi bagian jaringan yang terluka.29, 30
Pada kelompok kontrol tetap terjadi
penyembuhan luka karena proses penyembuhan yang berlangsung adalah proses penyembuhan
yang normal, yakni mengalami fase hemostasis,
inflamasi, proliferasi dan remodeling. Setelah
Variabel Kelompok Mean±SD
Jumlah Fibroblas Perlakuan
Kontrol
31,0±3,3
20,4±1,3
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 119-125
123
terjadi dilatasi pembuluh darah daerah luka, maka sel darah putih (neutrofil, eosinofil),
monosit, makrofag sebagai sel inflamasi akut
bermigrasi ke jaringan luka.31,32 Fase ini
merupakan fase inflamasi dimana neutrofil dan makrofag merupakan sel dominan yang
berperan untuk memfagosit mikroorganisme
dan sel-sel mati.31 Kemudian makrofag, limfosit, dan trombosit merangsang
pembentukan fibroblas dengan mensekresikan
sitokin (IL-1 dan TNF) dan faktor pertumbuhan seperti TGF-β, bFGF, PDGF. PDGF (platelet-
derived growth factor) menginduksi migrasi
dan proliferasi fibroblas, sel otot polos dan
monosit. bFGF (basic fibroblast growth factor) memediasi makrofag dan fibroblas di bagian
terjadinya luka dan menginduksi tahapan untuk
angiogenesis. TGF- β (transforming growth factor- β) menginduksi sintesis dan sekresi
PDGF, merangsang kemotaksis fibroblas dan
produksi kolagen.29 Fibroblas adalah sel yang dominan dalam
fase proliferasi.28 Fibroblas bermigrasi dan
berproliferasi untuk membentuk jaringan ikat
baru dan mensintesis kolagen yang mempengaruhi tensile strength dan kekuatan
pada tempat penyembuhan luka.33 Peningkatan
fibroblas pada kelompok perlakuan terjadi disebabkan kelompok perlakuan diaplikasikan
ekstrak daun ceremai yang kandungannya
adalah senyawa aktif seperti flavonoid,
saponin, alkaloid, polifenol dan steroid. Senyawa aktif ini dapat berpengaruh dalam
proses penyembuhan luka. Efek utama dari zat
aktif pada ekstrak tanaman yang mempunyai potensi terhadap penyembuhan luka adalah zat
yang mempunyai aktivitas antimikroba, zat
yang bermanfaat sebagai antioksidan, serta komponen aktif yang meningkatkan proliferasi
sel, angiogenesis, produksi kolagen.34
Senyawa yang dikenal mempunyai
kemampuan sebagai antioksidan adalah polifenol dan flavonoid.35,36 Senyawa yang
berperan sebagai antioksidan dapat mencegah
terjadinya kerusakan atau nekrosis jaringan dengan cara meningkatkan vaskularisasi dan
menghambat lipid peroksidasi. Terhambatnya
lipid peroksidasi diketahui dapat meningkatkan kekuatan serabut kolagen dengan meningkatkan
sintesis DNA pembentuk kolagen tersebut,
yakni IGF-1 (insulin-like growth factor) yang
berperan sebagai mediator proliferasi fibroblas dan sintesis kolagen. 32,35,37 Flavonoid diketahui
dapat menghambat TNF-α yang berperan dalam
apoptosis sel fibroblas.32 Selain itu, flavonoid
mempunyai daya antibakteri yang berfungsi sebagai kontrol infeksi dari mikroorganisme.38
Alkaloid diketahui dapat menstimulasi
fibroblas sehingga meningkatkan produksi
kolagen.39 Steroid merupakan senyawa
antiinflamasi. Aktivitas antiinflamasi dapat
mencegah terjadinya inflamasi yang berkepanjangan, sehingga mempercepat
penyembuhan luka.37 Saponin adalah senyawa
aktif yang juga mempunyai aktivitas sebagai antioksidan dan antimikroba. Selain itu,
saponin dapat meningkatkan proliferasi
fibroblas dan sintesis matriks ekstraseluler yang
baru yang berkaitan dengan pembentukan kolagen tipe I dan III.40 Menurut Kanzaki
(1998), saponin mempengaruhi dan
meningkatkan sintesis dari TGF- β. TGF- β dilepaskan oleh platelet, makrofag, dan limfosit
T dan berfungsi sebagai sinyal utama yang
meregulasi fungsi fibroblas sehingga jumlah fibroblas meningkat.41
KESIMPULAN
Berdasar penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun ceremai
(Phyllanthus acidus (L.) Skeels) berpotensi
sebagai bahan herbal topikal penyembuh luka mukosa oral, seperti tampak dari studi ini
berdasarkan perbedaan signifikan jumlah
fibroblas pada luka gingiva tikus Wistar (Rattus
norvegicus) yang diaplikasikan ekstrak daun ceremai.
DAFTAR PUSTAKA 1. Lazarus GS, Cooper DM, Knighton DR, et
al. Definitions and Guidelines for
Assesment of Wounds and Evaluation of Healing. Wound Repair and Regeneration
1994; 2(3): 165-70.
2. Velnar T, Balley T, Smrkolj V. The
Wound Healing Process : an Overview of the Cellular and Molecular Mechanisms.
Journal of International Medical Research
2009; 37(5): 1528-42. 3. Peterson LJ. Principles of Uncomplicated
Exodontia. In: Peterson, Ellis, Hupp JR,
Tucker MR, editors. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 4 ed. United
State of America: Mosby; 2003: 114.
4. Orsted HL, Keast D, RN LF-L, Francoise
M, MD M. Basic Principles of Wound Healing. Wound Care Canada 2011; 9(2):
4-10.
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 119-125
124
5. Al-Henhena N, Mahmood AA, Al-Magrami A, et al. Histological Study of
Wound Healing Potential by Ethanol Leaf
Extract of Strobilanthes crispus in Rats.
Journal of Medicinal Plants Research 2011; 5(16): 3660-66.
6. Diegelmann RF, Evans MC. Wound
Healing: An Overview of Acute, Fibrotic and Delayed Healing. Frontiers in
Bioscience 2004; 9: 283-89.
7. Montesano R, Orci L. Transforming growth factor f3 stimulates collagenmatrix
contraction by fibroblasts: Implications for
wound healing. Proc. Natl. Acad. Sci
Medical Sciences 1988; 85: 4894-97. 8. Chakraborty R, De B, Devanna N, Sen S.
Antiinflammatory, antinociceptive and
antioxidant activities of Phyllanthus acidus L. extracts. Asian Pacific Journal of
Tropical Biomedicine 2012; 12: 953-61.
9. Jagessar RC, Mars A, G G. Selective Antimicrobial properties of Phyllanthus
acidus leaf extract againts Candida
albicans, Escherichia coli and
Staphylococcus aureus using Stokes Disc diffusion, Well diffusion, Streak plate and
a dilution method. Nature and Science
University of Guyana 2008; 6(2): 24-38. 10. Negut I, Grumezescu V, Grumezescu AM.
Treatment Strategies for Infected Wounds.
Molecules. 2018; 23(9): 2392.
11. Pratiwi YC, Haryono T, Rahayu YS. Efektivitas Ekstrak Daun Ceremai
(Phyllanthus acidus) terhadap Mortalitas
Larva Aedes aegypti Lentera Bio Journal Universitas Negeri Surabaya 2013; 2(3):
197-201.
12. Shilali K, Ramachandra YL, Rajesh KP, BE KS. Assessing The Antioxidant
Potential Of Phyllanthus Acidus Bark
Extracts. International Journal of
Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 2014; 6(6): 522-31.
13. Coldren CD, Hashim P, Ali JM, et al.
Gene Expression Changes in the Human Fibroblast Induced by Centella asiatica
Triterpenoid. Planta Med 2003; 1(69):
725-32. 14. Oktiarni D, Manaf S, Suripno Pengujian
Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava
Linn.) Terhadap Penyembuhan Luka
Bakar Pada Mencit (Mus musculus). Bengkulu: Program Studi Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Bengkulu.
[http://repository.unib.ac.id/396/1/2-Dwita%20Gradien.pdf. Accessed 22 Mei
2014].
15. Prakash NKU, Bhuvaneswari S, Divyasri
D, et al. Studies on the Phytochemistry and Bioactivity of Leaves of Few Common
Trees in Chennai, Tamil Nadu, India.
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 2013; 5: 88-91.
16. Yanadaiah JP, Lakshmi SM, Jayaveera
KN, Sudhakar Y, Reddy KR. Assesment of Antidiabetic Activity of Ethanol
Extracts of Phyllanthus acidus Linn and
Basella rubra Linn Leaves Against
Streptozotocin Induced Diabetes in Rats. International Journal of Universal
Pharmacy and Bio Sciences 2012; 1(2):
77-84 17. Cahyani D. Pengaruh ekstrak daun andong
(Cordyline fruticosa) terhadap jumlah
fibroblas gingiva tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan secara histopatologis
(pada hari ke-7). Skripsi. Banda Aceh:
Universitas Syiah Kuala; 2014: 24-25.
18. Hudson A, Romagnano A. Mice, Rats, Gerbils, and Hamsters. In: Bonnie B,
Cheek R, editors. Exotic Animal Medicine
for The Veterinary Technician. 2 ed. Iowa: Blackwell Publishing; 2010: 295-96.
19. Agdelia G, Dewi AH, Wahyudi IA.
Pengaruh Pemberian Gel Kitosan 3%
terhadap Kekuatan Tarik Kulit Tikus dalam Proses Penyembuhan Luka Pasca
Insisi (Kajian in vivo). Proceeding Book
Lustrum FKG UGM 13 The International Symposium on Oral and Dental Sciences.
Yogyakarta: FKG Universitas Gadjah
Mada; 2013; 124-28. 20. Indraswary R. Efek Konsentrasi Ekstrak
Buah Adas (Foeniculum vulgare Mill.)
Topikal Pada Epitelisasi Penyembuhan
Luka Gingiva Labial Tikus Sparague Dawley In Vivo. Jurnal Majalah Ilmiah
Sultan Agung 2011; 49(124).
21. Prabakti Y. Perbedaan Jumlah Fibroblas Di Sekitar Luka Insisi Pada Tikus Yang
Diberi Infiltasi Penghilang Nyeri
Levobupivakain Dan Yang Tidak Diberi Levobupivakain. Tesis. Semarang:
Universitas Diponegoro; 2005: 35.
22. Noorrafiqi MI, Yasmina A, Hendriyono F.
Efek Jus Buah Karamunting (Melastoma malabathricum L.) Terhadap Kadar
Trigliserida Serum Darah Tikus Putih yang
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 119-125
125
Diinduksi Propiltiourasil. Berkala Kedokteran 2013; 9(2): 219-27.
23. Syawat M. Potensi Pemberian Ekstrak
Umbi Teki (Cyperus rotundus L) Terhadap
Jumlah Neutrofil Jaringan Granulasi Post Ekstraksi Gigi Tikus Wistar Jantan.
Skripsi.Jember: Universitas Jember; 2012;
5. 24. Balqis U, Rasmaidar, Marwiyah.
Gambaran Histopatologis Penyembuhan
Luka Bakar Menggunakan Daun Kedondong (Spondias dulcis F.) dan
Minyak Kelapa pada Tikus Putih (Rattus
norvegicus). Jurnal Medika Veterinaria
2014; 8(1): 31-36. 25. Nurdan C, Erdem, Ozben. Evaluation of
the Effects of Losartan on a Random
Pattern Skil Flap Model in Rats. Turkish Journal of Trauma & Emergency Surgery
2011; 17(2): 97-102.
26. Sihardo L. Pengaruh Pemberian Minyak Pandanus conoideus terhadap Gambaran
Histologis Ginjal pada Mencit Swiss yang
Diinfeksi Plasmodium berghei Anka.
Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2006: 6.
27. Putri SS. Potensi Perasan Daun Pepaya
(Carica Papaya L.) Terhadap Jumlah Sel Fibroblas Pasca Gingivektomi Pada Tikus
Wistar Jantan. Skripsi. Jember: Universitas
Jember; 2012; 33-34.
28. Pradita AU, Dhartono AP, Ramadhany CA, Taqwim A. Periodontal Dressing-
containing Green Tea Epigallocathechin
gallate Increases Fibroblasts Number in Gingival Artifical Wound Model. Journal
of Dentistry Indonesia 2013; 20(3): 68-72.
29. Mitchell RN, Cotran RS. Pemulihan Jaringan: Regenerasi dan Fibrosis Sel. In:
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL, editors.
Robbins Buku Ajar Patologi. Jakarta:
EGC; 2007: 78. 30. Sugiaman VK. Peningkatan Penyembuhan
Luka di Mukosa Oral Melalui Pemberian
Aloe Vera (Linn.) secara Topikal. Jurnal Kedokteran Maranatha 2011; 11(1): 70-
79.
31. Dewi IALP, Damriyasa IM, Dada IKA. Bioaktivitas Ekstrak Daun Tapak Dara
(Catharanthus roseus) Terhadap Periode
Epitelisasi Dalam Proses Penyembuhan
Luka Pada Tikus Wistar. Indonesia Medicus Veterinus 2013; 2(1): 58-75.
32. Sabirin IPR, Maskoen AM, Hernowo BS.
Peran Ekstrak Etanol Topikal Daun
Mengkudu (Morinda citrifolia L.) pada Penyembuhan Luka Ditinjau dari
Imunoekspresi CD34 dan Kolagen pada
Tikus Galur Wistar. Majalah Kedokteran Bandung 2013; 45(4): 226-33.
33. Hanna JR, JA G. A Review of Wound
Healing and Wound Healing Dressing Products. Journal of Foot and Ankle
Surgery 1997; 36(1): 2-14.
34. Ghosh PK, Gaba A. Phyto-Extracts in
Wound Healing. Journal Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 2013; 16(5):
760-820.
35. Redha A. Flavonoid:Struktur, Sifat Antioksidatif dan Peranannya dalam
Sistem Biologis. Jurnal Belian 2010; 9(2):
196-202. 36. N Tamilselvi, Krishnamoorthy P,
Arumugam P, Sagadevan E. Analysis of
total phenols, total tannins and screening
of phytocomponents in Indigofera aspalathoides (Shivanar Vembu) Vahl EX
DC. Journal of Chemical and
Pharmaceutical Research 2012; 4(6): 3259-62.
37. Arun M, Satish S, Anima P. Herbal Boon
For Wounds. International Journal of
Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 2013; 5(2): 1-12.
38. Subekti EN Penyembuhan Luka dengan
Jati. Surabaya: Universitas Airlangga. [http://skp.unair.ac.id/repository/webpdf/w
eb_Penyembuhan_luka_dengan_jati_ERLI
SA_NURWAHIDA_SUBEKTI.pdf.] Accessed 30 April 2014.
39. Werning JW. Oral Precancer. In: Werning
JW, editor. Oral Cancer: Diagnosis.
Management, and Rehabilitation. Stuttgart: Thieme; 2011: 15.
40. Exclusive NA. Asiatic Centella Eco.
Provital Group Natural Efficacy 2011; 1(3): 1-8.
41. Kanzaki T, Morisaki N, Shiina R, Saito Y.
Role of Transforming Growth Factor-Beta Pathway in the Mechanism of Wound
Healing by Saponin from Ginseng Radix
rubra The British Journal Pharmacology
1998; 125(2): 255-62.
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 126-131
126
HUBUNGAN ANTARA STATUS MENTAL DENGAN ASUPAN NUTRISI PADA LANSIA
RELATIONSHIP BETWEEN MENTAL STATUS AND NUTRITION INTAKE OF
ELDERLY
Juanita1, Budi Satria
2
1Bagian Keilmuan Keperawatan Gerontik, Fakultas Keperawatan, Universitas Syiah Kuala 2Bagian Keilmuan Keperawatan Komunitas, Fakultas Keperawatan, Universitas Syiah Kuala
Corresponding Author: [email protected]
Abstrak
Lansia mengalami perubahan normal berupa penurunan fungsi status mental. Perubahan ini dapat
berpengaruh terhadap kemampuan lansia melakukan aktifitas sehari-hari terutama kemampuan untuk
makan, sehingga berpengaruh pada asupan nutrisi lansia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan status mental dengan asupan nutrisi pada lansia. Adapun populasi penelitian ini
adalah seluruh lanjut usia yang berada di wilayah kerja Puskesmas Darussalam Aceh Besar, sebesar
102 responden yang teknik pengambilan sampelnya menggunakan teknik non probability sampling yaitu purposive sampling sebesar 102 responden. Alat pengumpulan data menggunakan kuesioner
short portable mental status questionnaire (SPMSQ) dan kuesioner perilaku asupan nutrisi dalam
bentuk skala likert. Selanjutnya, data dianalisis menggunakan uji chi-square. Hasil Penelitian menemukan adanya hubungan antara status mental dengan asupan nutrisi lansia (p = 0.011), yaitu
lansia yang memiliki fungsi mental yang baik akan memiliki asupan nutrisi yang baik pula. Oleh
karena itu, diharapkan kepada pemberi asuhan, terutama keluarga, untuk membantu memenuhi asupan
nutrisi lansia dengan penurunan fungsi mental ini sehingga dapat menjaga dan meningkatkan kesehatannya.
Kata Kunci: Status Mental, Asupan Nutrisi, Lansia
Abstract
Elderly had a normal change such as decreased of mental status function. This change could affected
the elderly ability to perform daily activities, especially the ability to eat, so that it was affected the nutritional intake of the elderly. The purpose of this study was to determine the relationship between
mental status and nutritional intake in the elderly. The study population was all elderly who are in the
working area of Public Health Center at Darussalam, where the sampling technique used the Non Probability Sampling technique such as Purposive Sampling of 102 respondents. Data collection tools
were used the Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ) and Nutrition Intake behavior
questionnaire in the form of a Likert scale. Next, the data were analyzed using the Chi-Square test. The results of the study found that there was a relationship between mental status and nutritional
intake of the elderly (p = 0.011), where the elderly who had a good mental function will also had a
good nutrition. Therefore, it was expected that caregivers, especially families, help the elderly who
had decreased a mental function to fulfill the nutrition so that they could maintained and improved the health of the elderly.
Keywords: Mental Status, Nutrition Intake, Elderly
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 126-131
127
PENDAHULUAN Meningkatnya usia harapan hidup pada
lansia, memiliki dampak positif dan negatif
bagi kesehatan. Berdampak positif apabila
lansia tersebut berada dalam keadaan sehat, aktif dan produktif. Sedangkan berdampak
negatif, apabila terjadi peningkatan biaya
pelayanan kesehatan akibat bertambahnya lansia yang menderita penyakit, penurunan
pendapatan dan peningkatan disabilitas, karena
secara biologis lansia memiliki masalah penurunan kesehatan akibat penuaan.1
Perubahan normal akibat proses penuaan
salah satunya adalah penurunan fungsi kognitif.
Namun, perubahan ini bervariasi sesuai dengan individu masing-masing. Menurut Fratiglioni,
Launer, & Andersen (2000) demensia
merupakan penyebab utama disabilitas dan kematian pada lansia di dunia. Di Asia, yang
sebelumnya prevalensi demensia rendah
dibandingkan dengan daerah barat, namun mengalami perubahan yang menunjukkan
peningkatan prevalensi demensia sama secara
global.2 Hal ini disebabkan karena adanya
peningkatan jumlah lansia, urbanisasi, reaksi lingkungan, etnisitas dan kemajuan dalam
mendeteksi kejadian demensia.3 Selain itu,
perubahan fungsi kognitif ini memiliki pengaruh terhadap kemampuan lansia
melakukan kegiatan sehari-hari termasuk
dengan asupan nutrisi lansia.
Malnutrisi merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering dialami oleh lanjut usia.
Masalah dalam pemenuhan asupan nutrisi dapat
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu, malnutrisi umum, defisiensi nutrien tertentu dan obesitas.4
Prevalensi lanjut usia yang mengalami
malnutrisi di Indonesia sudah mencapai angka yang cukup besar yaitu 17-65% (Morley &
Silver, dikutip dari Rohmawati, Asdie &
Susetyowati, 2015) Berdasarkan hasil
penelitian Rohmawati, Asdie dan Susetyowati (2015), didapatkan bahwa sekitar 25,9% lanjut
usia di kota Padang mengalami kekurangan
asupan gizi. Sama halnya dengan Denpasar, setengah sampel mengalami permasalahan
dalam status gizi, yaitu gizi lebih (14,64%),
status gizi normal (43,9%), dan status gizikurang (41,46%).5 Selanjutnya, penelitian
yang dilakukan oleh Nazari, Yusuf, & Tahlil
(2016) mengungkapkan bahwa sekitar 86 lansia
atau 8,6% dari jumlah lansia di Ulee Kareng Banda Aceh mengalami obesitas.6 Berdasarkan
penelitian sebelumnya tersebut dapat dilihat
bahwa lansia beresiko mengalami malnutrisi.
Malnutrisi pada lansia dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya kondisi gigi
dan mulut lansia. Terjadinya perubahan
morfologi akan menyebabkan perubahan
fungsional sampai perubahan patologi, diantaranya gangguan mengunyah dan
menelan, perubahan nafsu makan, sampai pada
berbagai penyakit.7 Kehilangan gigi merupakan suatu
keadaan ketidakadaan gigi seseorang dari
soketnya yang disebabkan oleh pencabutan karena karies, penyakit periodontal, trauma,
dan penyakit sistemik. Kehilangan gigi
biasanya terjadi pada lansia, hal ini dapat
mengganggu fungsi pengunyahan, fungsi temporomandibular joint (TMJ), dan psikologis
yaitu estetika dan fungsi bicara. Selain itu,
kehilangan gigi pada lansia ini dapat mempengaruhi asupan nutrisi di mana lansia
cenderung memilih makanan yang lunak atau
mudah untuk dikunyah sehingga asupan nurtrisi berkurang dan dapat terjadi masalah gizi pada
lansia.8,9
Malnutrisi sangat penting ditangani
dalam meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup lansia. Hal ini berkaitan dengan
morbiditas dan mortalitas lansia10, serta
gangguan kemampuan fungsional pada tahap kehidupan lansia.11 Studi sebelumnya
mengungkapkan bahwa malnutrisi sering
terjadi pada lansia dengan demensia.12 Selain
itu, studi oleh Khater dan Abouelezz (2011), menemukan bahwa malnutrisi dan resiko
malnutrisi signifikan tinggi pada lansia dengan
gangguan fungsi kognitif sedang (mild cognitive impairment) dibandingkan dengan
lansia yang memiliki fungsi kognitif normal
(p=0.002).13 Oleh karena itu, penulis ingin meneliti dan mengetahui bagaimana hubungan
status mental dengan asupan nutrisi lansia,
karena masih belum jelas bagaimana
pemenuhan asupan nutrisi lansia yang menyebabkan mereka berisiko menderita
malnutrisi.
METODE
Desain penelitian deskriptif korelatif
dengan pendekatan cross-sectional study pada lansia yang tinggal di komunitas, terutama yang
tinggal di wilayah kerja Puskesmas Darussalam
Aceh Besar, yang berasal dari 29 desa
berjumlah 1.419 orang. Teknik pengambilan sampel penelitian
ini menggunakan teknik purposive sampling
dengan kriteria sebagai berikut: bersedia
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 126-131
128
menjadi responden, berumur ≥60 tahun, dapat berkomunikasi dengan baik, dan dapat
mendengar dengan jelas. Selanjutnya, jumlah
sampel yang digunakan dalam penelitian ini
ditentukan dengan menggunakan rumus slovin14, sebesar 93 sampel dan untuk
mencegah drop out sampel ditambah 10%
menjadi 102 sampel. Penelitian ini menggunakan short
portabel mental status questionnaire (SPMSQ)
untuk menentukan status mental lansia, kuesioner ini sudah baku. Sementara, asupan
nutrisi dinilai dengan kuesioner yang
dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan
literatur yang telah direview. Kuesioner ini terdiri dari 14 item pertanyaan dalam bentuk
skala Likert. Kuesioner ini sudah dilakukan uji
validitas dan reliabilitas pada 20 orang lansia dengan hasil Cronbach’s alpha kuesioner
asupan nutrisi sebesar 0,930. Kemudian, data
dianalisis dengan Chi-Square test untuk melihat hubungan status mental dengan pemenuhan
asupan nutrisi pada lansia.
HASIL Tabel 1. Data Demografi dan Kondisi Klinis Responden (n=102)
No Demografi Frekuensi Persentase
1. Jenis Kelamin
a. Laki-laki
b. Perempuan
37
65
36,3
63,7
2. Usia (WHO, 2018)
a. Elderly
(>60-79)
b. Oldest old
(>79)
95
7
93,1
6,9
3. Status Perkawinan
a. Menikah
b. Janda/ Duda
61
41
59,8
40,2 4. Pendidikan
a. Rendah
b. Sedang
c. Tinggi
76
13
13
74,5
12,7
12,7
5. Pekerjaan
a. Tidak bekerja
b. Petani
c. Pedagang
d. Pensiunan
51
23
14
14
50,0
22,5
13,7
13,7
6. Penghasilan
a. < 2.900.000 b. > 2.900.000
70 32
68,6 31,4
7. Penyakit
a. Tidak Ada
b. Single
morbidity c. Multiple
morbidity
23
39
40
22,5
38,2
39,2
No Demografi Frekuensi Persentase
8. Lama Menderita
Penyakit
a. < 5 tahun
b. ≥ 5 tahun
75
27
73,5
26,5
9. Konsumsi Obat
a. Ada b. Tidak Ada
58 44
56,9 43,1
10. Sumber Informasi
a. Tidak Ada
b. Keluarga
c. Media Cetak
d. Petugas
Kesehatan
29
33
3
37
28,4
32,4
2,9
36,3
11. Family Caregiver
a. Anak
b. Pasangan
c. Saudara
Kandung d. Cucu
57
34
3
8
55,9
33,3
2,9
7,8
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Status Mental
Reponden (n=102)
No Status Mental Frekuensi Persentase
1
2
3
Utuh
Kerusakan Ringan
Kerusakan Sedang
78
20
4
76,5
19,6
3,9
Tabel 3. Distribusi Asupan Nutrisi Responden
(n=102)
Tingkat Perilaku Frekuensi Persentase
Kurang 58 56,9
Baik 44 43,1
Tabel 4. Hubungan Status Mental Dengan Asupan
Nutrisi (n=102)
Status
Mental
Asupan Nutrisi Total p-value
Baik Kurang
F % F % F %
Utuh 38 37,3 40 39,2 78 76,5 0.011
Ringan 3 2,9 17 16,7 20 19,6
Sedang 3 2,9 1 0,98 4 3,9
Total 44 43,1 58 56,9 102 100
Tabel 4 menunjukkan adanya hubungan
antara status mental dengan asupan nutrisi pada lansia (p<0.05).
PEMBAHASAN Pada tabel 2 menunjukkan hasil bahwa
status mental lansia sebagian besar memiliki
status mental yang utuh yakni 78 lansia
(76,5%), namun ada 20 lansia (19,6%) dan 4
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 126-131
129
lansia (3,9%) yang mengalami kerusakan ringan. Hal ini sejalan dengan penelitian
Maryati, Bhakti dan Dwiningtyas (2013) yang
mengatakan bahwa kemampuan manusia untuk
memperlihatkan fungsi kognitif tergantung pada fungsi otak. Apabila otak mengalami
kerusakan atau penuaan seperti pada lansia,
maka penurunan fungsi kognitif akan terjadi. Hal ini dapat diketahui dari fungsi intelektual,
sosial dan pekerjaan yang mulai menurun
hingga menyebabkan ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhan.15
Pada tabel 3 mengenai asupan nutrisi,
didapatkan hasil bahwa sebagian besar
responden memiliki asupan nutrisi yang kurang baik yaitu sebanyak 58 responden (56,9%).
Sedangkan 44 responden (43,1%) memiliki
asupan nutrisi baik. Umumnya, penuaan selalu diiringi dengan munculnya berbagai masalah
kesehatan. Untuk mengatasi hal tersebut, lansia
harus mengatur pola makannya. Pemenuhan nutrisi yang baik sangat dibutuhkan lansia
untuk membantu menyesuaikan diri terhadap
proses penuaan yang terjadi sehingga dapat
memperpanjang usia.16 Sama halnya dengan penelitian
Qurniawati (2018), yang menunjukkan bahwa
mayoritas lansia memiliki perilaku makan yang kurang baik. Hal ini disebabkan karena asupan
gizi yang dikonsumsi lansia belum seimbang
dan belum sesuai yang dianjurkan. Kurangnya
asupan energi ini disebabkan karena adanya penurunan nafsu makan. Kurangnya nafsu
makan ini juga disebabkan karena penyakit
yang diderita oleh lansia sehingga nafsu makannya berkurang dan juga karena
kekurangan gigi geliginya.17
Hubungan antara keadaan gigi geligi, fungsi pengunyahan dan asupan gizi sangatlah
penting. Tidak adanya gigi ini memberikan
efek terhadap status gizi dan kesehatan
seseorang. Kemampuan mengunyah yang menurun dapat mempengaruhi pemilihan
makanan pada lansia dan berisiko terganggunya
status gizi.18 Menurut Putra (2013), pemenuhan nutrisi
pada lansia dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu pola konsumsi dan asupan makanan, status kesehatan, status ekonomi,
pengetahuan, pemeliharaan kesehatan,
lingkungan dan budaya. Dalam penelitian ini,
faktor yang dapat mempengaruhi perilaku lansia dalam pemenuhan nutrisi adalah status
kesehatan. Pada penelitian ini, didapatkan
sebagian besar lansia mengalami multiple morbidity yaitu sebanyak 39,2% responden.19
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Amran, Kusumawardani,
& Supriyatiningsih (2010) yang menunjukkan bahwa mayoritas responden yang menderita
penyakit mempunyai asupan nutrisi yang
rendah. Penyakit yang diderita lansia tersebut menyebabkan anoreksia sehingga berpengaruh
terhadap asupan nutrisi.20
Menurut hasil penelitian dari Kus dan Kusno (2007), lanjut usia pada hakekatnya
memerlukan makanan yang seimbang
sepanjang hidupnya untuk kelangsungan serta
pemeliharaan kesehatannya. Lansia memerlukan beraneka ragam asupan bahan
makanan dan dengan jumlah dan kualitas yang
benar dan tepat.21 Menurut Proverawati dan Wati (2010) lanjut usia lebih dianjurkan untuk
memilih makanan yang mudah dikunyah
seperti makanan lunak mengingat banyak gigi yang sudah tanggal sehingga kemampuan
mencerna makanan serta penyerapannya
menjadi lambat dan kurang efektif.22
Penelitian terkait dilakukan oleh Li (2017), yang menyebutkan bahwa status
perkawinan merupakan faktor yang
mempengaruhi perilaku pemenuhan nutrisi. Pria lajang dan pria yang berstatus duda sangat
berisiko tinggi memiliki asupan nutrisi yang
rendah karena sering kurang terampil dalam
proses memilih dan menyiapkan makanan. Sedangkan wanita yang berstatus janda, mereka
memiliki sikap dan perilaku yang lebih baik
dalam pemenuhan nutrisi karena pengalaman atau kebiasaan dalam menyiapkan makanan
saat masih mempunyai pasangan.23 Penelitian
yang berhubungan dengan perilaku dalam pemenuhan asupan nutrisi juga dilakukan oleh
Lin & Lee (2005), yang menyatakan bahwa
lingkungan dapat mempengaruhi perilaku
dalam pemenuhan nutrisi; pada lansia yang tinggal di daerah pegunungan lebih jarang (M =
2.8) membatasi makanan tinggi lemak/
kolesterol dibandingkan lansia yang tinggal di perkotaan (M = 4,2). Pengaruh pada perilaku
makan sangat tinggi, dan disebabkan oleh
perbedaan etnis, budaya, dan latar belakang pendidikan.24
Pada tabel 4, terungkap bahwa status
mental berhubungan dengan asupan nutrisi
lansia (p = 0.011), lansia yang mengalami kerusakan mental ringan (19,62%) sebagian
besar memiliki asupan nutrisi yang kurang (16,
67%). Hal ini sejalan dengan penelitian
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 126-131
130
sebelumnya yang menemukan bahwa malnutrisi sering terjadi pada lansia dengan
demensia.9 Sama halnya dengan studi oleh
Khater dan Abouelezz (2011), menemukan
bahwa malnutrisi dan risiko malnutrisi signifikan tinggi pada lansia dengan gangguan
fungsi kognitif sedang (mild cognitive
impairment) dibandingkan dengan lansia yang memiliki fungsi kognitif normal (p=0.002).10
Selanjutnya Munawirah, Masrul, dan Martini
(2017), juga menemukan bahwa lansia yang mengalami penurunan fungsi kognitif lebih
tinggi mengalami malnutrisi (p<0.05,
p=0.018).25 Penurunan fungsi kognitif adalah
gangguan kemampuan kognitif yang tidak disertai oleh penurunan kesadaran, namun
sering diikuti dengan perubahan perilaku secara
mendadak maupun sedikit demi sedikit.26 Secara fisiologis lansia sudah mengalami
gangguan dalam memperoleh dan mengingat
informasi yang baru. Lansia dapat sulit mengingat sebuah nama, maupun hal yang
telah mereka lakukan.27 Gangguan fungsi
kognitif ini dapat mempengaruhi aktivitas
sehari-hari salah satunya prilaku makan. Gangguan makan yang terjadi meliputi
kemampuan mengunyah makanan yang lambat
dan respon mengingat rasa terhadap makanan yang lambat juga. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa 40% penderita alzheimer
terjadi penurunan berat badan setelah 8 tahun
didiagnosis. Lansia dengan penurunan fungsi kognitif terjadi penurunan indra penciuman,
sehingga menurunkan selera makan.28
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa status mental berhubungan dengan asupan nutrisi lansia (p = 0.011); lansia
yang memiliki fungsi mental yang baik akan
memiliki asupan nutrisi yang baik pula. Oleh
karena itu, disarankan agar pemberi asuhan, terutama keluarga, membantu lansia yang
mengalami penurunan fungsi mental ini dalam
memenuhi asupan nutrisinya sehingga merekadapat menjaga dan meningkatkan
kesehatannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan RI. Analisis
Lansia di Indonesia. Jakarta: Kemenkes
RI. dikutip dari: file:///C:/Users/ Windows%20X/Downloads/Analisis%20L
ansia%20Indonesia%202017%20(1).pdf
2. Fratiglioni L, Launer LJ, Andersen K, Breteler MM, Copeland, JR, Dartigues JF,
et al. Neurologic diseases in the elderly
research group. Incidence of dementia and
major subtypes in Europe: A collaborative study of population-based cohorts.
Neurology. 2000; 54: 10 –15.
3. Catindig JAS, Venketasubramanian N, Ikram MK, Chen C. Epidemiology of
Dementia in Asia: Insights on prevalence,
trends and novel risk factors. Journal of Neurological Science. 2012; 321(1-2): 11-
6.
4. Beck ME. Ilmu Gizi dan Diet. Yogyakarta:
ANDI Publisher. 2011:160. 5. Rohmawati N, Asdie AH, Susetyowati.
Tingkat kecemasan, asupan makan, dan
status gizi pada lansia di Kota Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 2015; 12(2):
62-71.
6. Nazari N, Yusuf R, Tahlil T. Dukungan dan karakteristik keluarga dengan
pemenuhan nutrisi pada lansia. Jurnal
Ilmu Keperawatan. 2016; 4(2): 75-86.
7. Fatmah. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga. 2010.
8. Sari KI, DarjanM, Nur’aeny N, Rakhmilla
LE. Hubungan antara kehilangan gigi dengan fungsi kognisi dan fungsi memori
pada lansia penghuni Panti Sosial Tresna
Werdha (PTSW) Senjawari Kota
Bandung. Majalah Kedokteran Gigi Indonesia. 2017; 3(2): 61-8.
9. Ibrahim HS. Hubungan faktor-faktor yang
mempengaruhi kebutuhan gizi dengan status gizi lanjut usia di UPTD Rumoh
Seujahtera Geunaseh Sayang Banda Aceh.
Idea Nursing Jurnal. 2012; 3(2): 51-62. 10. Donini LM, De Bernardini L, De Felice
MR, Savina C, Coletti C, Cannella C.
Effect of nutritional status on clinical
outcome in a population of geriatric rehabilitation patients. Aging Clin Exp
Res. 2004; 16: 132–138.
11. Visvanathan R. Under-nutrition in older people: A serious and growing global
problem! Journal Postgrad Med. 2003; 49:
352–360. 12. Zekry D, Hermann FR, Grandjean R,
Meynet MP, Michel JP, Gold G, et al.
Demented versus non-demented very old
inpatients: the same comorbidities but poorer functional and nutritional status.
Age Ageing. 2008; 37(1): 83–89.
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 126-131
131
13. Khater SM, Abou El Ezz NF. Nutritional status in older adults with mild cognitive
impairment living in elderly homes in
Cairo, Egypt, The Journal of Nutrition
Health and Aging. 2011; 15 (2): 104-108. 14. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2012:
92. 15. Maryati H, Bhakti DS, Dwiningtyas M.
Gambaran fungsi kognitif pada lansia di
UPT Panti Werdha Mojopahit kabupaten Mojokerto. Jurnal Metabolisme. 2013;
2(2): 1–6.
16. Bahri AS, Putra FA, Suryanto MS. Lansia
dengan status gizi di posyandu lansia. Jurnal Ilmu Keperawatan Indonesia.
2017; 10(1): 65-78.
17. Qurniawati D. Hubungan Perilaku Makan dan Status Gizi pada Lansia di Kecamatan
Wates Kabupaten Kulon Progo. Skripsi.
Yogyakarta (ID): Fakultas Teknik. 2018. 18. Munandar H. Pengaruh kondisi gigi
lengkap terhadap status gizi manula.
Skripsi yang tidak dipublikasikan.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin, Makassar. 2014.
19. Putra SR. Pengantar Ilmu Gizi dan Diet.
Yogyakarta: D-Medika. 2013: 24. 20. Amran Y, Kusumawardani R,
Supriyatiningsih N. Food intake
determinant factor among elderly.
Kesehatan Masyarakat Nasional. 2010; 6(6): 255–260.
21. Kus I, Kusno W. Gizi dan Pola Hidup
Sehat. Bandung :Yrama Widya. 2007. 22. Proverawati A, Wati EK. Ilmu Gizi untuk
Keperawatan dan Gizi Kesehatan.
Yogyakarta: Nuha Medika. 2011. 23. Li CP. Gender differences in nutrition
knowledge, attitude, and practice among
elderly people. International Journal of
Management. 2017; 6: 199–211. 24. Lin W, Lee Y. Nutrition knowledge ,
attitudes , and dietary restriction behavior
of the Taiwanese elderly.Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition. 2005; 14(3):
221–29.
25. Munawirah, Masrul, Martini RD. Hubungan beberapa factor risiko dengan
malnutrisi pada usia lanjut di Nagari
Sijunjung Kecamatan Sijunjung. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2017; 6 (2): 324–330. 26. Guigoz Y. The mini nutritional assesment
(MNA) review of the literarature-what
does tell. The Journal of Nutrition Health and Aging. 2006; 10(6): 466-85.
27. Hickson M. Malnutrition and aging.
Postgrad Med. 2006; 82(963): 2–8.
28. Teo YK, Wynne HA. Malnutrition of the elderly patient in hospital: risk
factors,detection and management.
Reviews in Clinical Gerontology. 2001; 11: 229–36.
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 132-139
132
PENGELOLAAN MALOKLUSI OPEN BITE ANTERIOR AKIBAT FRAKTUR
NEGLECTED MAKSILA LE FORT I DENGAN TEKNIK OSTEOTOMI
LE FORT I DAN FIKSASI TRANSOSSEOUS
(Laporan Kasus)
MANAGEMENT OF OPEN BITE ANTERIOR MALOCCLUSION DUE TO NEGLECTED
OF LE FORT I FRACTURE WITH OSTEOTOMY LEFORT I TECHNIQUE
AND TRANSOSSEOUS FIXATION
(Case Report)
Harfindo Nismal1, Abel Tasman Yuza
2, Fathurachman
3
1Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran 2Staf Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran
3Staf Bagian Bedah Ortopedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
Abstrak
Maloklusi open bite adalah suatu gigitan terbuka merupakan komplikasi paling signifikan suatu
fraktur maksila yang tidak memperoleh perawatan dengan segera dirawat, atau terlantar terlalu lama,
dalam waktu beberapa hari hingga beberapa minggu dan disebut dengan neglected fracture. Salah satu cara untuk memperbaiki keadaan ini adalah melakukan osteotomi pada maksila. Tujuan laporan
kasus ini untuk memberikan tambahan pengetahuan tentang kelainan yang muncul akibat ditundanya
perawatan pada fraktur maksila Le Fort I beserta cara pengelolaannya. Dilaporkan seorang pasien laki-laki, 32 tahun datang ke Poliklinik Bedah Mulut dan Maksilofasial dengan keluhan tidak dapat
mengatupkan kedua rahang dan mengunyah makanan dengan baik. Satu bulan sebelum datang ke RS.
Dr. Hasan Sadikin pasien memiliki riwayat jatuh dari atap rumah dengan posisi menelungkup dan wajah terlebih dahulu membentur lantai rumah, selanjutnya pasien dibawa ke Unit Gawat Darurat
salah satu rumah sakit swasta terdekat, dinyatakan tidak ada kelainan dan diperbolehkan pulang ke
rumah setelah dilakukan pemeriksaaan dan perawatan luka di dalam mulut. Terapi Le Fort I
osteotomy dilakukan, reposisi rahang atas untuk mencapai oklusi yang baik, dan maksila difiksasi dengan empat osteosynthesis miniplate.
Kata Kunci: Neglected Fracture, Maloklusi Open Bite, Fraktur Le Fort I, Osteotomi Le Fort I,
Fiksasi Transosseus
Abstract
Open bite malocclusion after suffering from trauma is one type of open bite due to malposition of fragment position. This type of fracture is usually caused by a situation that the patient was unable to
treat immediately because of the worst medical situation or neglected or untreated fracture and healed
in malpositioned fragmen. Le Fort I osteotomy is one of surgical technique can be used to treat this type fracture and this type of fracture showed clearly that this open bite caused by Le Fort I fracture.
A case of patient, male 32 year old visited the Department of Oral and Maxillofacial Surgery Dr.
Hasan Sadikin Hospital with a chieft of complaint of anterior open bite, can not close his jaw and difficulty to chew properly. History of trauma one month before he appeared to Dr. Hasan Sadikin
Hospital, the patient was fell down from roof of the house with down position against the floor and
was immediately brought to the nearest hospital. Several examinations and treatments were perfomed
and in the same day he was allowed to discharged from the hospital. Le Fort I osteotomy was performed, repositioned the upper jaw to achieve a good occlusion, and maxillae was fixed with four
miniplate osteosynthesis
Keywords: Neglected Fracture, Open Bite Malocclusion, Le Fort I Fracture, Le Fort I Osteotomy, Transosseous Fixation
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 132-139
133
PENDAHULUAN Maksila merupakan penghubung antara
basis kranii superior dan oklusal gigi di rahang
bawah. Berhubungan erat dengan rongga
mulut, rongga hidung, rongga orbita dan berbagai struktur disekitar. Perbaikan secara
sistematik dengan waktu yang tepat akan
memberikan hasil yang optimal serta mencegah terjadinya sequelae.1 Fraktur adalah hilangnya
kontinuitas dari tulang atau pun tulang rawan.
Jadi yang dimaksud dengan fraktur maksila adalah hilangnya kontinuitas dari tulang
maksila. Fraktur maksila lebih jarang terjadi,
bila dibandingkan dengan fraktur mandibula.
Biasanya disebabkan oleh kecelakaan maupun perkelahian dengan frekuensi berkisar 6-25%.
Fraktur wajah Le Fort I menurut Rene Le Fort
(1901) merupakan fraktur horisontal prosesus alveolaris beserta geligi pada fragmen yang
terlepas. Memiliki karakter maloklusi geligi.2
Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktor yang datangnya dari
luar, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
kerja, kecelakaan akibat olah raga dan juga
sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tujuan utama perawatan fraktur maksilofasial adalah
rehabilitasi penderita secara maksimal yaitu
penyembuhan tulang yang cepat, pengembalian fungsi okuler, fungsi pengunyahan, fungsi
hidung, perbaikan fungsi bicara, mencapai
susunan wajah dan gigi-geligi yang memenuhi
estetis serta memperbaiki oklusi dan mengurangi rasa sakit akibat adanya mobilitas
segmen tulang.3,4,5 Tujuan penanganan fraktur
pada daerah fasial adalah dapat dicapainya rehabilitasi pasien secara maksimal. Tujuan lain
adalah termasuk penyembuhan tulang yang
cepat, kembalinya fungsi okular yang normal pada injuri yang terjadi sendiri-sendiri ataupun
kombinasi, fungsi mastikasi dan nasal,
pengembalian fungsi bicara, dan diperoleh hasil
estetik dental dan fasial yang dapat diterima.5 Salah satu komplikasi fraktur maksila
adalah terjadinya malunion yang akhirnya juga
akan menyebabkan terjadinya maloklusi.6 Malunion pada daerah wajah (midface)
seringkali menyebabkan deformitas estetik dan
fungsional.6
LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki usia 32 tahun datang ke
Poliklinik Bedah Mulut dan Maksilofasial Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan keluhan
utama tidak bisa mengatupkan kedua rahang
dan mengunyah makanan dengan baik.
Sebelumnya satu bulan yang lalu ketika sedang memperbaiki atap rumah, pasien terjatuh dari
atap rumahnya setinggi 2 meter dengan posisi
menelungkup dengan wajah membentur lantai
rumah terlebih dahulu, kemudian pasien dibawa ke rumah sakit Al-Islam Bandung, dilakukan
perawatan luka pada gusi gigi depan rahang
atas yang sobek disertai pemeriksaan CT-Scan kepala. Setelah dilakukan observasi, pasien
dinyatakan tidak ada kelainan dan
diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Beberapa minggu kemudian pasien merasa
tidak bisa mengatupkan kedua rahangnya dan
tidak mengunyah makanan dengan baik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dalam batas normal dan ekspresi muka
tenang. Pada pemeriksaan ekstra oral tidak
terdapat kelainan. Pemeriksaan intra oral terdapat open bite anterior dan prematur kontak
pada regio posterior kanan dan kiri serta
terdapat kehilangan gigi anterior rahang atas (Gambar 1).
Gambar 1: Oklusi pre-operasi memperlihatkan
adanya gigitan terbuka pada regio anterior.
PENATALAKSANAAN KASUS
Untuk menegakkan diagnosis telah
dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang radiologi yaitu foto panoramik dan waters serta
pembuatan model studi cetakan rahang pasien.
Foto panoramik terlihat gambaran adanya garis
fraktur pada segmen maksila di anterior dan proses kalsifikasi post fraktur (Gambar 2).
Gambar 2: Foto panoramik menunjukkan adanya
garis fraktur pada segmen maksila anterior dan
kalsifikasi bagian posterior maksila
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 132-139
134
Gambar 3: Foto Waters view dan foto polos kepala
Pada foto waters terlihat adanya hasil
proses kalsifikasi di segmen maksila sepanjang posterior kiri dan kanan, pada foto polos kepala
ditemukan gambaran radiolusen pada daerah anterior maksila yang menunjukkan adanya
tanda fraktur (Gambar 3)
Berdasarkan pemeriksaan model studi
cetakan gigi geligi rahang atas dan bawah terlihat adanya prematur kontak atau prematur
oklusi pada gigi-geligi bagian posterior kiri dan
kanan serta tidak adanya kontak antara gigi-geligi bagian anterior rahang atas dan rahang
bawah. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya
maloklusi yaitu Open Bite Anterior (Gambar 4).
Gambar 4 : Model Cetakan Rahang Atas dan Rahang bawah beserta gigitan lilin
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan
klinis dan penunjang yang telah dilakukan maka pasien ini didiagnosis dengan Neglected
Open Bite Anterior et causa Fraktur Le Fort I,
direncanakan dilakukan open reduksi dan osteotomi Le Fort I. Kemudian dilakukan
persiapan operasi serta pemasangan Erich arch
bar pada rahang atas dan bawah.
Pada tanggal 11 Juni 2012 dilakukan operasi Open Reduction Le Fort I osteotomy
dan dilakukan Internal Fixation (ORIF) di
bawah anestesi umum. Operasi dimulai dengan melakukan insisi pada mukobukal fold regio
premolar kedua kiri mengikuti lengkung
maksila sampai regio premolar kedua kanan.
Kemudian dilakukan pembukaan jaringan mukosa oral sampai periosteum ke arah
superior (Gambar 5A). Terlihat bahwa tulang
maksila yang mengalami fraktur telah mengalami konsolidasi sehingga harus
dipisahkan agar dapat diposisikan kembali pada
oklusinya. Selanjutnya dilakukan osteotomi dengan pola Le Fort I untuk memisahkan
tulang maksila dari dasarnya, mulai dari lateral
maksila sinistra kira-kira 5 mm di atas apeks
gigi meluas dari piriform rim ke posterior pada
pterygomaxillary fissure dengan menggunakan
gergaji khusus dan tulang maksila ditahan dengan alat bone hook (Gambar 5B). Setelah
tulang maksila terpisah dari dasarnya kemudian
dilakukan reposisi maksila dimana rahang atas dan rahang bawah dapat mencapai oklusi yang
baik.
Setelah oklusi diperoleh dilakukan
fiksasi intermaksila sementara untuk mempertahankan oklusi yang sudah diperoleh
(Gambar 6). Kemudian dilakukan insisi tajam
di regio vestibulum anterior mandibula, pemisahan jaringan mukoperiosteum,
pengeboran tulang mandibula dengan bor
fissure, lalu pemasangan kawat 0,5 mm pada
tulang mandibula yang telah di bor, dilanjutkan pemasangan kawat yang sama pada maksila kiri
dan kanan lalu kawat tersebut difiksasi
(Gambar 7A, 7B). Dilanjutkan dengan fiksasi maksila pada posisinya yang baru dengan
pemasangan miniplate 5 hole masing-masing
pada maksila kiri dan kanan (8A). Luka bekas insisi dijahit kembali, diakhiri dengan
pembukaan fiksasi intermaksila yang mengunci
oklusi maksila dan mandibula (Gambar 8B).
Pada pasien ini diberikan ceftriaxon injeksi 2 x
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 132-139
135
1 gr, analgetik anti inflamasi ketorolac injeksi 2 x 1 ampul, Kalmetason injeksi 3 x 8 mg pada
hari pertama dan kedua, dan dilanjutkan dengan
pemberian antibiotik serta analgetik per-oral.
Pasien dikontrol setiap hari.
Gambar 5A. Insisi pada mukobukal fold regio
premolar kedua kiri maksila sampai dengan maksila kanan. Gambar 5B. Pemisahan maksila dari
dasarnya.
Gambar 6. Fiksasi intermaksila sementara setelah
oklusi normal didapatkan
Gambar 7A. Pemasangan kawat suspensi pada
mandibular, Gambar 7B. Pemasangan kawat
suspensi pada maksila
Gambar 8A. Pemasangan miniplate pada maksila
Gambar 8B. Hasil akhir setelah operasi selesai.
Pada hari ke-1 paska operasi dilakukan
pemasangan Intermaxillary Fixation (IMF)
dengan rubber elastis untuk mempertahankan oklusi, pada hari ke-3 paska operasi dilakukan
pemasangan Intermaxillary Fixation (IMF)
dengan kawat, lalu pasien dibolehkan untuk rawat jalan. Pada saat kontrol hari ke-7 paska
operasi dilakukan pembersihan luka operasi
dengan larutan NaCl 0,9% terlihat penyembuhan luka operasi yang baik.
Fiksasi intermaksila dengan kawat
dipertahankan sampai minggu ke-2 paska
operasi (Gambar 9). Pada kontrol hari ke-14 paska operasi dilakukan pembukaan IMF kawat
dan jahitan intra oral (Gambar 10). Pada
kontrol hari ke-21 paska operasi dilakukan pembukaan wire suspension (Gambar 11).
Evaluasi minggu ke-4 paska operasi dari
pemeriksaan intra oral menunjukkan segmen
fraktur tampak stabil dan penderita tidak mengeluh adanya rasa sakit dan maloklusi
sudah terkoreksi (Gambar 12). Pada evaluasi
minggu ke-4 ini pasien datang sekaligus membawa hasil foto panoramik yang
menunjukkan telah terjadi penyembuhan
tulang, ditandai dengan pengkabutan pada garis fraktur (Gambar 13).
Gambar 9. Fiksasi Intermaxilla menggunakan kawat / wire 0,4 mm
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 132-139
136
Gambar 10. Kontrol hari ke-14 paska operasi, pembukaan IMF kawat dan jahitan intra oral
Gambar 11. Kontrol hari ke-21 paska operasi, pembukaan wire suspension
Gambar 12. Kontrol terakhir hari ke-30 paska operasi, pembukaan Arch Bar
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 132-139
137
Gambar 13. Foto Panoramik menunjukkan penyembuhan tulang yang ditandai dengan
pengkabutan pada garis fraktur
PEMBAHASAN Menurut Le Fort: fraktur maksila dibagi
menjadi 3 jenis Le Fort Fracture.7
a. Le Fort I (guerin fracture, transverse
maxillaris fracture atau horizontal maxillaris fracture, floating maxillaris)
garis fraktur melintang melalui bagian atas
dari prosesus alveolaris, sebagian dari dinding sinus maxillaris, palatum dan
bagian bawah dari prosesus pterygoideus
dari tulang spenoid (gambar 1 I & 2 I)
b. Le Fort II (fraktur piramidal) garis fraktur melalui tulang lacrimal, bagian bawah atau
berjalan terus ke bagian bawah sesuai dengan dinding lateral dari maksila melalui
pterygoid plate terus ke fossa-pterygo
maksila dan berbentuk kerucut (gambar 1 II
& 2 II) c. Le Fort III (transverse facial fracture,
craniofacial dysjunction) garis fraktur
melalui sutura-sutura ; zygomatico-frontal, maxille-frontal dan naso-frontal. garis
fraktura terus ke tulang etmoid dan spenoid
pada fraktur ini maksila hanya terikat oleh
jaringan lunak terhadap tulang-tulang dasar tengkorak (Gambar 1 III & 2 III)
Gambar 1: Fraktur Le Fort dari arah frontal (Richardson, 2001)
I.Fraktur Le Fort I, II. Fraktur Le Fort II, III. Fraktur Le Fort III
Gambar 2 : Fraktur Le Fort I, II, dan III dari arah lateral (Richardson, 2001)
I.Fraktur Le Fort I, II. Fraktur Le Fort II, III. Fraktur Le Fort III
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 132-139
138
Tujuan utama perawatan fraktur rahang adalah untuk mengembalikan anatomi, bentuk
dan fungsi normal komplek kraniofasial. Salah
satu komplikasi pada fraktur rahang adalah
terjadinya deformitas dentofasial yang merupakan akibat dari malposisi tulang,
hilangnya jaringan tulang dan jaringan lunak,
hilangnya gigi, atau kombinasi dari hal-hal tersebut.8 Kegagalan untuk mencapai fungsi
yang tepat dan merestorasi segi kosmetika dari
komplek dentofasial dapat disebabkan antara lain yaitu terjadinya penyembuhan fraktur
sebelum dapat dilakukannya tindakan reduksi,
keadaan ini terjadi terutama pada maksila dan
pasien berusia muda. Fraktur rahang yang tidak dirawat akan menyatu setelah 3 minggu
terjadinya trauma.6 Prinsip penatalaksanaan
dentofasial deformitas paska trauma adalah pemeriksaan klinis dan riwayat pasien secara
akurat, pemeriksaan khusus (radiografi, dental
study models), membuat rencana perawatan dan pembedahan dengan osteotomi atau disertai
dengan bone graft.9
Dental study model dibuat untuk
memeriksa adanya maloklusi gigi geligi dan digunakan juga untuk memperhitungkan arah
dan jarak pergeseran segmen fraktur yang
diperlukan untuk mencapai oklusi yang baik pada saat operasi.5 Koreksi pada deformitas
tulang dapat dilakukan dengan cara osteotomi,
bone graft atau kombinasi dari keduanya. Jika
komponen tulang wajah memiliki morfologi normal, tetapi posisinya tidak normal
(displasemen), maka teknik yang dipilih adalah
osteotomi. Jika bagian terbesar tulang posisinya normal tetapi morfologi tidak normal
(defisiensi), maka pilihan perawatannya adalah
dengan bone graft.9
Teknik pembedahan osteotomi Le Fort I
menurut Tuinzing dilakukan mengikuti suatu
aturan yang pasti dengan perhitungan yang
logis untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dan diharapkan setelah
operasi. Di Bagian Bedah Mulut dan
Maxillofacial Free University Hospital Amsterdam tindakan osteotomi Le Fort I telah
dilakukan sejak tahun 1974 dengan hasil yang
cukup baik.10
Dilakukan insisi berbentuk lengkung
pada mukoperiosteum bibir atas di atas
mukogingival junction yang meluas dari
premolar kedua sisi yang satu ke sisi sebelahnya. Insisi dilakukan pada kebanyakan
kasus di bagian terdalam dari vestibulum bukal,
yaitu kira-kira setinggi apeks gigi. Kemudian
dilakukan diseksi sampai subperiosteal ke dataran pterygoid, ke anterior apertura
piriformis dan ke nasal cavity tetapi tetap
menjaga keutuhan mukoperiosteum nasal.
Mukoperiosteum dilakukan diseksi ke arah superior sampai daerah infra orbita. Sedang ke
arah inferior, jaringan mukoperiosteal dibuka
seminimal mungkin, sehingga suplai vaskular ke daerah tulang maksila dan gigi tetap
optimal.10
Pemotongan tulang dilakukan pada maksila lateral kira-kira 5 mm di atas apeks
gigi yang meluas dari tepi piriformis ke
posterior sampai ke fisura pterigomaksilary.
Pemotongan tulang maksila dimulai pada bagian anterior maksila melalui dinding medial
sinus maksila, tetapi tetap diperhatikan agar
tidak mengenai kanalis pada tulang palatinus dengan arteri dan nervus palatinus mayor.
Kemudian dinding lateral sinus maksila dan
bagian posterior maksila dipotong dengan menggunakan gergaji (oscilating saw), jaringan
lunak dilindungi dengan potongan yang
berbentuk kurva. Akhirnya plate pterygoid
dipisahkan dari maksila mengikuti potongan kurva langsung pada arah medial dan
anteroinferior untuk menjaga agar tidak
mengenai arteri maksilaris.10
Setelah pematahan tulang maksila,
dilakukan mobilisasi dengan cara manual atau
dengan mengunakan disimpaction forceps.
Setelah diperoleh posisi maksila yang diinginkan, difiksasi dengan menggunakan
kawat stainless pada zygomatico-maxillary
buttresess dan dengan plate titanium pada piriform rim. Sebelum memfiksasi maksila
septum nasal direduksi untuk untuk menjaga
agar tidak terjadi deviasi septum nasal sekunder.10
Osteotomi Le Fort I dilakukan di bawah
anestesi umum dengan nasoendotracheal.
Penggunaan steroid (Dexamethasone) untuk mengurangi edema pada muka dan pemberian
antibiotik selama dan setelah operasi.
Beberapa cara fiksasi telah dikembangkan pada osteotomi Le Fort I ini.
Sebelumnya maksila secara langsung difiksasi
pada kedua piriform rim dan zygomatic buttress dengan kawat transosseous dan kawat suspensi
ditempatkan pada zygomatic buttress, dengan
mengelilingkan pada zigoma, atau pada
infraorbital rim. Kadang-kadang diperlukan fiksasi intermaksila atau skeletal untuk
memperoleh imobilisasi yang adekuat dari
maksila yang telah direposisi.10
Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Cakradonya Dent J; 12(2): 132-139
139
Fiksasi rigid yang digunakan oleh para ahli bedah maksilofasial yaitu miniplate atau
microplate. Bentuk fiksasi rigid ini untuk
menjaga atau mengkontrol pergerakan maksila
setelah operasi. Tidak diperlukannya fiksasi
maksilomandibular adalah salah satu
keuntungan dari teknik ini. Pasca operasi pasien dapat membuka mulut sehingga pasien
dapat makan, menjaga kebersihan mulut, dan
berbicara secara lebih baik. Disamping itu, jika pasien dapat membuka mulut segera setelah
dilakukan operasi maka dapat menimbulkan
kenyamanan secara psikologis pada pasien.10
Kerugian penggunaan fiksasi rigid maksila dengan plate adalah ketidakmampuan
menyesuaikan posisi maksila jika sudah
dilakukan pemasangan plate. Jika hanya menggunakan kawat transosseous pada kedua
piriform rim dan zygomatic buttress, fiksasi ini
memberikan kesempatan kepada operator untuk menggerakkan maksila sedikit saat paska
operasi dengan menggunakan elastic traction
oleh karena fiksasi ini adalah non-rigid. Ini
hanya dapat dilakukan dalam periode 4 bulan pemasangan fiksasi.10
Fiksasi maksila pada kasus ini
menggunakan fiksasi rigid yaitu miniplate kawat suspensi transosseous modifikasi yang
dipasang pada kedua piriform rim dan
mandibula, tidak dilakukan pemasangan
intramaksilar fiksasi sehingga pasien dapat segera membuka mulut setelah operasi selesai.
KESIMPULAN Malunion adalah salah satu komplikasi
fraktur maksila yang akhirnya juga akan
menyebabkan terjadinya maloklusi, serta seringkali menyebabkan deformitas estetik dan
fungsional. Maloklusi open bite adalah suatu
gigitan terbuka karena malunion, merupakan
komplikasi paling signifikan dari fraktur maksila, disebabkan oleh lambatnya
penanganan fraktur, tidak terdiagnosis adanya
fraktur, atau fiksasi imobilisasi yang tidak adekuat.
Penatalaksanaan malunion open bite
dapat dilakukan dengan refrakturing dan reposisi, osteotomi ataupun dengan bone graft
tergantung pada keadaan morfologi dan posisi
fragmen fraktur. Diperlukan suatu pemeriksaan
yang cermat dalam menegakkan diagnosis agar dapat dilakukan perawatan yang tepat pada
suatu fraktur maksila.
Teknik fiksasi maksila menjadi sangat penting diperhatikan untuk menjaga atau
mengkontrol pergerakan maksila setelah
dilakukan operasi sehingga didapatkan proses
penyembuhan yang cepat dan optimal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kim D. W., 2003, Facial Trauma, Maxillary and Le Fort Fractures eMedicine.
[http://www.emedicine.com/plastic/topic481
.htm] 2. Fort R. L, etude experimental sur les
fractures dela machoir superleure, parts I, II,
III Revue de chirugir, Paris, 1901; 23:
201,360,479.[http://www.whonamedit.com/synd.cfm/3144.html]
3. Shepherd, Maxillofacial Trauma, In, Pedlar,
J., and Frame, J., Oral and Maxillofacial Surgery, Churchill Livingstone. 2001.
4. Trott, Moore and David, D.J., Facial
Fractures, In, David and Simpson, Craniomaxillofacial Trauma, Churchill
Livingstone. 1995.
5. Tucker, M.R., and Ochs, M.W., Correction
of Dentofacial Deformities. In Peterson, Ellis, Hupp and Tucker, Oral and
Maxillofacial Surgery, Fourth ed., C.v.
Mosby Co., Philladelphia. 2003. 6. Trott J.A, Moore M.H, and David D.J.
Facial Fractures. In David D.J and Simpson
D.A. Craniomaxillofacial Trauma. A
System of Multidisciplinary Management by Members of the Australian Craniofacial
Unit. Churchill Livingstone. Edinburgh.
Hongkong London Madrid Merlbourne New York and Tokyo. 1995: 307-9.
7. Richardson. M. L., Approaches To
Differential Diagnosis In Musculoskeletal Imaging, University of Washington
Department of Radiology. 2001.
8. Leopard, P.F., Complications. In, Rowe and
Williams, Maxillofacial Injuries, 2nd ed., Volume 2, Churchill Livingstone. 1994.
9. Richardson, D., and Jones, D.C., Secondary
Osteotomies and Bone Grafting. In, Booth, P.W., Eppley, B.L., and Schemelzeisen, R.,
Maxillofacial Trauma and Esthetic Facial
Reconstruction, Churchill Livingstone. 2003.
10. Tunzing D.B and Kwast W.A.M. the
Influence of the Le Fort I Osteotomy on The
Surrounding “Midfacial” Structures. J.J de Mol van. Otterloo. Amsterdam. 1994.
pISSN: 2085-546X eISSN: 2622-4720
Petunjuk Bagi Penulis
Cakradonya Dental Journal (CDJ) adalah jurnal ilmiah yang
terbit dua kali setahun, Februari dan Agustus. Artikel yang
diterima CDJ akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuan
yang sesuai (peer-review) bersama redaksi. Sekiranya peer-
review menyarankan adanya perubahan, maka penulis diberi
kesempatan untuk memperbaikinya.
CDJ menerima artikel konseptual dari hasil penelitian original
yang relevan dengan bidang kesehatan, kedokteran gigi dan
kedokteran. CDJ juga menerima literature review, dan
laporan kasus.
Artikel yang dikirim adalah artikel yang belum pernah
dipublikasi, untuk menghindari duplikasi CDJ tidak menerima
artikel yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu
bersamaan untuk publikasi. Penulis memastikan bahwa seluruh
penulis pembantu telah membaca dan menyetujui isi artikel.
1. Artikel Penelitian
Tatacara penulisan:
Judul dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Abstrak dibuat dalam bahasa Indonesia & Inggris,
dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlah
maksimal 200 kata, harus mencerminkan isi artikel,
ringkas dan jelas, sehingga memungkinkan pembaca
memahami tentang aspek baru atau penting tanpa
harus membaca seluruh isi artikel. Diketik dengan
spasi tunggal satu kolom.
Kata Kunci dicantumkan pada halaman yang sama
dengan abstrak. Pilih 3-5 buah kata yang dapat
membantu penyusunan indeks.
Artikel utama ditulis dengan huruf jenis Times New
Roman ukuran 11 poin, spasi satu.
Artikel termasuk tabel, daftar pustaka, dan gambar
harus diketik 1 spasi pada kertas dengan ukuran 21,5
x 28 cm (kertas A4) dengan jarak dari tepi 2,5 cm,
jumlah halaman maksimum 12. Setiap halaman diberi
nomor secara berurutan dimulai dari halaman judul
sampai halaman terakhir.
Laporan tentang penelitian pada manusia/hewan coba
harus memperoleh persetujuan tertulis (signed
informed consent) dan lolos etik (Ethical clearance)
Sistematika penulisan artikel hasil penelitian, adalah
sebagai berikut:
Judul
Nama dan alamat penulis
Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris
Kata kunci
Pendahuluan (tanpa subjudul, memuat latar
belakang masalah dan sedikit tinjauan pustaka, dan
masalah/tujuan penelitian).
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
Daftar Pustaka.
2. Tinjauan pustaka/artikel konseptual (setara hasil
penelitian) merupakan artikel review dari jurnal dan atau
buku mengenai ilmu kedokteran gigi, kedokteran dan
kesehatan mutakhir memuat:
Judul
Nama penulis
Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris
Pendahuluan (tanpa subjudul)
Subjudul-subjudul sesuai kebutuhan
Penutup (kesimpulan dan saran)
Daftar pustaka
3. Laporan Kasus. Berisi artikel tentang kasus di klinik yang
cukup menarik, dan baik untuk disebarluaskan di kalangan
sejawat lainnya. Formatnya terdiri atas: Pendahuluan,
Laporan kasus, Pembahasan dan Daftar pustaka.
4. Gambar dan tabel. Kirimkan gambar yang dibutuhkan
bersama makalah. Tabel harus diketik 1 spasi.
5. Metode statistik. Jelaskan tentang metode statistik secara
rinci pada bagian “metode”. Metode yang tidak lazim,
ditulis secara rinci berikut rujukan metode tersebut.
6. Judul ditulis dengan huruf besar 11 point, baik judul
singkat dengan jumlah maksimal 40 karakter termasuk
huruf dan spasi. Diletakkan di bagian tengah atas dari
halaman pertama. Subjudul dengan huruf 11 point dengan
huruf kapital.
7. Nama dan alamat penulis. Nama penulis tanpa gelar dan
alamat atau lembaga tempat bekerja ditulis lengkap dan
jelas. Alamat korespondensi, nomor telepon, nomor
facsimile, dan alamat e-mail.
8. Ucapan terima kasih. Ucapan terima kasih hanya untuk
para profesional yang membantu penyusunan naskah,
termasuk pemberi dukungan teknis, dana dan dukungan
umum dari suatu institusi.
9. Daftar pustaka. Daftar pustaka ditulis sesuai dengan
aturan penulisan Vancouver, yaitu diberi nomor urut
sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks dan
ditulis secara super script. Jumlah refernsi dalam Daftar
pustaka minimal 10 referensi. Disebutkan 6 nama
pengarang kemudian at al.
Contoh
- Jurnal: Hendarto H, Gray S. Surgical and non surgical
intervation for speech rehabilitation in Parkinson
disease. Med J Indonesia 2000; 9 (3): 168-74.
- Buku: Lavelle CLB. Dental placque In Applied Oral
Physiology,2nd
ed. London: Wright. 1988:93-5.
- Book Section: Shklar G, Carranza FA. The Historical
Background of Periodontology. In: Carranza's Clinical
Periodontology (Newman MG, Takei HH, Klokkevold
PR, Carranza FA, (Eds), 10th
ed. St. Louis: Saunders
Elsevier, 2006: 1-32.
- Website : Almas K. The antimicrobial effects of seven
different types of Asian chewing sticks. Available in
http://www.santetropicale.com/resume/49604.pdf
Accessed on April, 2004.
10. Artikel dikirim sebanyak 1 (satu) eksemplar, dalam
bentuk hard dan soft copy, tuliskan nama file dan program
yang digunakan, kirimkan paling lambat 2 (dua) bulan
sebelum bulan penerbitan kepada:
Ketua Dewan Penyunting
Cakradonya Dental Journal (CDJ)
Fakultas Kedokteran Gigi-Unsyiah
Darussalam Banda Aceh 23211
Telp/fax. 0651-7551843
11. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akan
diberitahukan secara tertulis. Penulis yang artikelnya
dimuat mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan
sebanyak 1 (satu) eksemplar. Artikel yang tidak dimuat
tidak akan dikembalikan kecuali atas permintaan penulis.
pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh
Aceh-IndonesiaTelp.Fax/0651 7555183
E-mail: [email protected]