Piil Pesenggiri

10
April 1, 2012 Memaknai (Ulang) 'Piil Pesenggiri' Oleh Febrie Hastiyanto DALAM sayup-sayup kerinduan di tanah seberang, menyaksikan pertikaian antarkelompok warga di Lampung baru-baru ini (yang kemudian diidentifikasi berasal dari dua etnis berbeda) membuat saya terluka. Kita semua tentu sepakat seharusnya konflik dan pertikaian tak boleh ada di bumi Lampung. Untuk sampai pada situasi ini tampaknya kita harus banyak memaknai ulang perspektif filsafat kehidupan masing-masing kelompok. Pada dasarnya semua filsafat kehidupan berlaku universal sehingga dapat disebut bahwa filsafat kehidupan seluruhnya setia pada kebaikan. Namun tafsir, penghayatan, dan implementasi filsafat hidup yang dikodifikasi dalam sistem nilai kebudayaan sering menyebabkan distorsi atas nilai-nilai luhur yang dikandung sistem-sistem nilai yang ada. Mendiskusikan isu-isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) hari-hari ini memang riskan. Namun, bersikap menghindari diskusi soal-soal SARA juga tak taktis. Betapa pun pahitnya dan kita tutupi (misalnya dalam konteks jurnalisme perdamaian atau wawasan kebangsaan) realitasnya isu etnisitas adalah isu yang aktual terjadi dalam masyarakat. Sudah saatnya kita memberanikan diri mendiskusikan soal etnisitas karena kebiasaan kita menghindari diskusi soal etnisitas justru membuat salah pengertian semakin berpotensi terjadi. Sudah tentu diskusi soal etnisitas mula-mula hendak memperoleh pengetahuan masing-masing etnografi yang ada untuk kemudian mencari formula bagaimana etnis-etnis yang ada dapat hidup berdampingan, saling memahami serta menghargai. Masyarakat Heterogen Kesadaran mula-mula yang perlu ditumbuhkan di antara kita adalah pengakuan bahwa Lampung dihuni oleh masyarakat yang heterogen. Hubungan antarbudaya dalam masyarakat heterogen setidaknya dapat berujud tiga formula: etnosentrisme, peleburan (melting pot), atau pluralisme/multikulturalisme (Nurdaya, 2012). Rasa-rasanya kita semua sepakat model

Transcript of Piil Pesenggiri

Page 1: Piil Pesenggiri

April 1, 2012

Memaknai (Ulang) 'Piil Pesenggiri'Oleh Febrie Hastiyanto

DALAM sayup-sayup kerinduan di tanah seberang, menyaksikan pertikaian antarkelompok warga di Lampung baru-baru ini (yang kemudian diidentifikasi berasal dari dua etnis berbeda) membuat saya terluka. Kita semua tentu sepakat seharusnya konflik dan pertikaian tak boleh ada di bumi Lampung. Untuk sampai pada situasi ini tampaknya kita harus banyak memaknai ulang perspektif filsafat kehidupan masing-masing kelompok. Pada dasarnya semua filsafat kehidupan berlaku universal sehingga dapat disebut bahwa filsafat kehidupan seluruhnya setia pada kebaikan. Namun tafsir, penghayatan, dan implementasi filsafat hidup yang dikodifikasi dalam sistem nilai kebudayaan sering menyebabkan distorsi atas nilai-nilai luhur yang dikandung sistem-sistem nilai yang ada.

Mendiskusikan isu-isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) hari-hari ini memang riskan. Namun, bersikap menghindari diskusi soal-soal SARA juga tak taktis. Betapa pun pahitnya dan kita tutupi (misalnya dalam konteks jurnalisme perdamaian atau wawasan kebangsaan) realitasnya isu etnisitas adalah isu yang aktual terjadi dalam masyarakat. Sudah saatnya kita memberanikan diri mendiskusikan soal etnisitas karena kebiasaan kita menghindari diskusi soal etnisitas justru membuat salah pengertian semakin berpotensi terjadi. Sudah tentu diskusi soal etnisitas mula-mula hendak memperoleh pengetahuan masing-masing etnografi yang ada untuk kemudian mencari formula bagaimana etnis-etnis yang ada dapat hidup berdampingan, saling memahami serta menghargai.

Masyarakat Heterogen

Kesadaran mula-mula yang perlu ditumbuhkan di antara kita adalah pengakuan bahwa Lampung dihuni oleh masyarakat yang heterogen. Hubungan antarbudaya dalam masyarakat heterogen setidaknya dapat berujud tiga formula: etnosentrisme, peleburan (melting pot), atau pluralisme/multikulturalisme (Nurdaya, 2012). Rasa-rasanya kita semua sepakat model hubungan etnosentrisme hampir-hampir mustahil terjadi tanpa paksaan (coercion) dalam masyarakat heterogen hari ini. Pilihannya kemudian adalah formula peleburan (melting pot) atau pluralisme. Dalam konteks keindonesiaan, saudara kita etnis Tionghoa pernah berada pada persimpangan-budaya: masuk dalam melting pot Indonesia melalui gerakan pembaruan/asimilasi melalui wadah Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB)—antara lain dengan mengubah nama diri ke dalam bahasa Indonesia, maupun mereka yang tetap setia pada kebudayaan Tionghoa, bahkan sebagian memilih menjadi WN China ketika tahun 1950-1960-an pemerintah menerbitkan kebijakan naturalisasi.

Relasi yang sejajar dalam masyarakat heterogen dan multikultur adalah penghormatan terhadap pluralitas. Pluralitas mengandaikan masing-masing kultur saling menghormati, tidak ada kultur yang dependen terhadap kultur lain (dalam skema asimilasi, misalnya), sekaligus masing-masing kultur mendapat tempat yang sama untuk melakukan internalisasi dan pewarisan nilai-nilai. Ikatan yang yang menyatukan masyarakat heterogen adalah kedudukan yang sama sebagai penduduk/warga dalam satu wilayah. Nilai-nilai, cita-cita dan tujuan wilayah (dalam hal ini nasionalisme Indonesia) adalah nilai yang mengikat masing-masing warga (negara)-nya.

Page 2: Piil Pesenggiri

‘Nemui Nyimah’

Dalam Kuntara Raja Niti, disebutkan nilai-nilai yang diwariskan dalam tradisi masyarakat etnis Lampung adalah piil pesenggiri (perilaku yang memantulkan nilai-nilai yang luhur, berjiwa besar, tahu diri, serta tahu kewajiban), bejuluk beadek (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya), nemui nyimah (sikap terbuka serta ramah menerima tamu), nengah nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis), dan sakai sembayan (gotong royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).

Ketika terjadi konflik warga (yang berasal dari etnis berbeda) kita sering mendengar konsepsi nemui nyimah dan piil pesenggiri menguat untuk dibincangkan.

Dalam konsepsi nemui nyimah umumnya disebutkan agar tuan rumah mampu bersikap terbuka dan ramah, serta sebaliknya tamu bersikap tahu diri dan menghargai tuan rumah. Sedang konsepsi piil pesenggiri yang kerap dibincangkan adalah distorsi pemaknaan perilaku (Arab: fiil) dan keharusan bermoral tinggi (pesenggiri) yang bergeser menjadi perasaan ingin besar, ingin dihargai, tak ingin lebih rendah/kalah dari orang lain—yang disebut sebagai ijdelheid dalam bahasa Belanda (Hadikusuma, 1989). Padahal praktek piil pesenggiri sebagaimana dirilis Kuntara Raja Niti tidak lepas dari pedoman untuk berlaku arif dan bijaksana dalam memecahkan masalah (way ni dang robok, iwa ni dapok), termasuk memahami anggota masyarakat yang kehendaknya tidak sama (pak huma pak sapu, pak jelma pak semapu, sepuluh pandai sebelas ngulih-ulih, sepuluh tawai sebelas milih-pilih) (Anshory, 2007).

Untuk mendudukkan konsepsi nemui nyimah dalam masyarakat multikultur agaknya kita perlu memahami karakteristik “tamu” yang kini bermukim di Lampung. "Tamu" di Lampung hari ini adalah penduduk keturunan generasi keempat, kelima, keenam bahkan ketujuh bila kita rujuk dari kontingen pertama transmigrasi tahun 1905, maupun gelombang transmigrasi tahun 1950-an, 1960-an, dan 1970-an. "Tamu" dari Bali datang ke Lampung paling tidak sejak 1962 ketika mereka ditransmigrasikan sebab Gunung Agung meletus. Mulanya imigran dari seberang ini memegang teguh tradisinya, bahkan bermukim di daerah-daerah kantong (enklave) transmigran.

Seiring perkembangan, tradisi kultural yang dilakukan semakin tergerus modernisasi. Mereka yang telah beberapa generasi di Lampung selalu dianggap "tamu", sementara di tanah leluhurnya di Jawa dan Bali, mereka tak lagi dianggap "Jawa dan Bali". Mereka tak lagi menjadi Jawa atau Bali (atau etnis-asal lain), kecuali satu-dua tetes darah secara genealogi. Praktek kultural mereka, termasuk saudaranya etnis Lampung semakin kosmopolit seiring introduksi kebudayaan yang sudah sama sekali "nasional". /Kondisi psikologis-kultural ini tak menguntungkan bagi kedua pihak. Sering mereka berlaku sebagai "tamu" karena selalu diperlakukan sebagai "tamu".

Dalam konteks masyarakat multikultur dengan semangat pluralisme, sudah saatnya konsepsi nemui nyimah ditafsir ulang. Siapa pun penduduk yang bermukim di Lampung adalah warga Lampung dan tak lagi dianggap sebagai “tamu” oleh sebab genealogi atau etnisnya sepanjang ia dapat hidup dan menjadi bagian masyarakat Lampung yang setia pada nilai-nilai luhur filsafat kehidupan universal. Tabik. n

Febrie Hastiyanto, Putra Way Kanan, kini mukim di Tegal. Alumnus Sosiologi FISIP UNS

Page 3: Piil Pesenggiri

Esai: 'Puzzle' Bernama Piil Pesenggiri-- Firdaus Augustian*

Kebudayaan merupakan way of life, petunjuk bagi tindakan dan tingkah laku manusia, sebuah ekspresi nilai-nilai dan cita-cita. Sebuah kebudayaan mengacu pada pola-pola perilaku yang ditularkan secara sosial. Kebudayaan berada di belakang sikap dan tingkah laku lahiriah masyarakat yang secara eksklusif share a different tradition (AL Kroeber & Clyde Klukhon, 1952).

Rizani Puspawijaya menyatakan pemahaman utuh terhadap tatanan moral suatu masyarakat perlu dilakukan, sehingga penafsiran yang keliru dan negatif dapat dihindarkan. Agar tatanan moral dapat dipahami secara utuh dan memadai, tatanan moral perlu diketahui secara proporsional.

Tatanan moral masyarakat Lampung yang merupakan pedoman perilaku budaya yang luhur terbangun dalam sebuah sistem yang selama ini kita kenal sebagai piil pesenggiri. Tatanan moral yang terbangun dalam sistem dan prinsip piil pesenggiri sejak 1970-an menjadi wacana di kalangan elite Lampung, mulai dari H. Zainal Abidin Pagar Alam, R. Sutiyoso, Yasir Hadibroto, Pudjono Pranyoto, Oemarsono, Sjachroedin, barangkali secara substantif telah dibicarakan juga oleh Kusno Dhanupoyo.

Pembicaraan ini bunga-bunga pemikiran yang meluncur dan mengalir bagai air sebagai pesan moral pemimpin-pemimpin lain di Lampung. Buat siapa pun di antara kita sebagai orang Lampung, baik dari masyarakat Pepadun maupun Pesisir (Sai Batin) istilah piil pesenggiri sangat akrab dan melekat. Pemahaman kita terhadap piil pesenggiri, dengan sama sekali tidak pernah memikirkan mempersoalkan apakah prinsip ini, ada atau tidak pada masyarakat lain.

Piil pesenggiri menurut Rizani Puspawijaya merupakan suatu keutuhan dari unsur yang mencakup juluk adek, nemui nyimah, nengah nyappur, sakai sembayan. Barangkali perlu kita cermati secara jujur, terminologi sakai sambayan sebagai sebuah kosakata tidak dikenal masyarakat Lampung Pesisir, ini dikemukakan kepada saya oleh beberapa pemuka adat Sai Batin, termasuk Pangeran Bandar Marga (Gedong Pakuan), Radin Jaksa (Padang Cermin), Batin Kesuma Ningrat/H. Irfan Anshory (Suka Banjar, Talangpadang).

Tetapi substansi sakai sambayan sebagaimana pada masyarakat tradisional lain juga dikenal pada masyarakat Lampung Pesisir (Sai Batin). Sakai sambayan suatu sikap tolong-menolong dan gotong royong, memahami makna kebersamaan, hakikatnya merefleksikan partisipasi, dan solidaritas yang tinggi terhadap lingkungan. Semangat semacam ini bukan hanya ada pada masyarakat Lampung, juga ada pada masyarakat tradisional lain.

Sebuah orasi kebudayaan yang disampaikan Mochtar Lubis (1977) membedah tentang manusia Indonesia, rasanya merupakan puncak otokritik terhadap manusia Indonesia yang selama ini dianggap berkebudayaan luhur dengan peninggalan kebudayaannya Borobudur, Mataram, Sriwidjaya, Majapahit, dan sebagainya.

Faktanya kita pernah dijajah 200 tahun oleh VOC, sebuah badan usaha yang didirikan di Kerajaan Belanda, dijajah hampir 150 tahun oleh Kerajaan Belanda, dan 3,5 tahun oleh Kekaisaran Jepang. Kemerdekaan 17 Agustus 1945, naskah Proklamasi dirancang secara damai dengan perlindungan dan jaminan keamanan Laksamana Muda Tadashi Maeda setelah

Page 4: Piil Pesenggiri

mendapat briefing kemerdekaan dari Marsekal Terauchi, Komandon Komandon Angkatan Darat wilayah Asia Selatan di Dalat (Saigon) pada 14 Agustus 1945 (Mr. Ahmad Subardjo Djojoadisurjo, 1978).

Tentunya saya belum mempunyai kemampuan otokritik terhadap piil pesenggiri seperti Mochtar Lubis. Piil pesenggiri bersifat universal pada semua masyarakat kebudayaan tradisional. Pastinya piil pesenggiri sebagai tatanan moral masyarakat Lampung tidak bersifat exclusive share a different tradition.

Sulit mencari sifat/sistem tatanan moral yang genuine pada kebudayaan-kebudayaan yang ada, karena pada dasarnya antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain terjadi proses akulturasi, intervensi, dan interdependensi. Dengan meminjam pemikiran Rizani, kita setuju piil pesenggiri merupakan tatanan moral, yang menjadi motivasi masyarakat Lampung untuk mempertahankan eksistensinya.

Tetapi kita harus menyadari bahwa tatanan moral semacam ini ada juga pada kebudayaan lain, khususnya pada masyarakat tradisional. Kebudayaan Madura, secara jernih diuraikan Dr. A Latief Wiyata (2002). Ada dua hal yang melekat menjadi stereotipe orang Madura: NU dan carok. Latief Wijaya mengungkapkan simbolis carok dalam konteks budaya Madura. Carok adalah suatu kekerasan yang memiliki latar dan pesan kultural sekaligus merupakan tatanan moral untuk mempertahankan harga diri, nama baik, solidaritas keluarga, dan kebersamaan. Apabila ada pihak lain yang mengganggu dan merusak norma-norma ini, carok adalah langkah yang dipilih untuk mempertahankan dan menjaga nilai-nilai di atas.

Rasanya terlalu berlebihan kalau kita mengatakan tatanan moral piil pesenggiri yang merupakan inspirasi dan motivasi berpikir dan bersikap masyarakat Lampung, hanya dikenal masyarakat Lampung. Kebudayaan lain pun apalagi pada masyarakat tradisional amat akrab terhadap tatanan moral ini. Bahkan, tatanan moral ini telah built in dalam kehidupan mereka.

Mungkin dapat direnungkan pesan seorang teman saya, yang pada Oktober 2006 lalu dilantik menjadi duta besar RI di Utara Eropa, ulun lappung asli. Apak indukni lappung berpesan pada saya saat bersama-sama mengikuti Spamen 1997, mempertanyakan masih relevankah kalau kita bicara tentang piil pesenggiri seolah-olah kebudayaan lain tidak mengenal piil pesenggiri.

Lebih mendasar lagi pertanyaannya: Kiay, pagun tepatkah kham bicara kebudayaan lokal dilom konstruksi pengaruh kebudayaan regional dan global, mampukah kham dilom tantangan global mempertahankan eksistensi lokal, sai hanya merupakan pernik-pernik. Secara mengejutkan dia mengemukakan begitu banyak Kebudayaan besar dunia di dalam sejarah kemanusiaan, menjadi punah dan sirna, seperti kebudayaan Yunani, Romania, Assiria, Mesir, Inca, karena bersifat eksklusif, selalu merasa besar. Sementara kita asyik dengan puzzle dan scrabble yang berlabel piil pesenggiri. Tabik mahap dikuti rumpok pun.

* Firdaus Augustian, pemerhati budaya

Page 5: Piil Pesenggiri

Esai: Piil Pesenggiri Bukan Puzzle, Catatan untuk Firdaus Augustian-- Fachruddin*

Menarik membaca tulisan Firdaus Agustian, Puzzle Bernama Piil Pesenggiri (Lampung Post edisi 11 November 2006). Kalau saya sarikan, dapat dikelompokkan jadi lima persoalan.Pertama, bukan hanya piil pesenggiri, komunitas tradisional lain pun banyak yang sarat pesan kultural.

Kedua, tidak semua kelompok masyarakat Lampung akrab dengan unsur-unsur piil pesenggiri, banyak komunitas Saibatin tidak familiar dengan sakai sambaian tetapi mereka memiliki kearifan yang lain. Ketiga, otokritik semacam yang pernah dilontarkan Muchtar Lubis perlu juga dilontarkan kepada piil pesenggiri.

Keempat, membicarakan kebudayaan lokal piil pesenggiri di tengah arus pengaruh global dirasakan bagaikan anak kecil yang main puzzle. Kelima, budaya besar seperti Yunani, Mesir, Romania, hilang dengan sendirinya akibat eksklusifitas pendukungnya.

Gagasan Firdaus perlu dilontarkan kepada kita semua, sehingga piil pesenggiri dapat digali lebih dalam lagi.

***

Piil pesenggiri sudah menjadi milik perguruan tinggi, diuji para guru besar dengan pendekatan akademis, bukan sekadar puzzle dengan tantangan yang relatif ringan. Piil pesenggiri sebuah keseriusan, seriusnya mereka yang mengidamkan berdirinya Kesultanan Islam Lampung, di mana piil pesenggiri sebagai dasar nilainya.

Niat Fatahillah mengawini Putri Sinar Alam dari Keratuan Pugung, bukan sekadar pelepas libido, tetapi sebuah rintisan untuk mendirikan Kesultanan Islam Lampung, sebagai penyangga Banten, Cirebon, dan Demak untuk melanjutkan perjuangan dakwah Walisongo. Itu sebabnya Pangeran Sabakingking dan Ratu Darah Putih bersegera menyelesaikan konflik yang mereka hadapi dengan piil pesenggiri sebagai acuannya--simak isi Prasasti Bojong yang sejalan dengan piil pesenggiri, yaitu nemui nyimah (saling menghargai), nengah nyappur (kesetaraan), sakai sambaian (kebersamaan), dan juluk adek (terprogram) dan titi gemeti (sistematis).

Bukan hanya orang Lampung memiliki piil pesenggiri, di Batak ada dalihan na tolu, di Padang ada adat basendi syara, syara bersendi Kitabullah, Banten ada kiai dan jawara, di Madura ada NU dan carok di Bugis ada syiri. Jangan ditanya lagi di Jawa, banyak sekali ragamnya, tetapi ada dua yang benar benar populer. Pertama, tri ojo (ojo kagetan, ojo gumunan, dan ojo dumeh). Kedua, nyaris dianut para pejabat di zaman Orde Baru yaitu sugih tampo bondo, digdoyo tanpo aji, ngluruk tampo bolo, dan menang tampo ngasorake. Menang tampo ngasorake membahana disebut berkali kali di gedung DPR RI ketika Soeharto berhasil dipilih kembali untuk kesekian kalinya sebagai Presiden RI.

Itulah sebabnya para aparat istana tidak boleh pamer kekayaan (sugih tampo bondo), jangan unjuk kekuasaan (digdoyo tampo aji), jangan terlalu demonstratif dalam tindakan persuasif (ngluruk tampo bolo), dan jangan terlalu unjuk kemenangan (menang tampo ngasorake).

Page 6: Piil Pesenggiri

Konsep ini dirumuskan para bangsawan, tetapi apa arti kebangsawanannya tanpa masyarakat jelata. Karena itu, masyarakat jelata tidak boleh disakiti hatinya. Tetapi di pihak lain masyarakat jelata ditekan sedemikian rupa, dilarang unjuk pendapat, unjuk rasa, protes, apalagi berontak.

Para aparat membina budaya pepe, apabila ada resi yang protes atas kebijakan orang istana, ia harus menjemur dirinya (pepe), menentang matahari di alun alun dan jalan menuju istana. Nanti akan datang hulubalang yang akan menanyakan, protes perihal apa hingga ia menjemur diri, menentang mata hari. Barulah disampaikan protes dan ujuk pendapat secara baik. Maka, muncul istilah di kultur Jawa yaitu jo ngidoni Srengenge (jangan meludahi mata hari).

***

Berbeda dengan piil pesenggiri yang dipanuti masyarakat Lampung. Banten memberikan advokasi dengan kitab Kuntara Rajaniti, seperti yang diturunkan kepada Keratuan Darah Putih, yang diniatkan untuk masyarakat mulai dari Kalianda, Padang Cermin, Cukuh Balak, hingga Semaka. Sebenarnya para pimpinan adat telah siap mendukung berdirinya Kesultanan Islam Lampung bersama Keratuan Pugung.

Walaupun Kerajaan Tulangbawang telah tidak efektif, di lingkungan masyarakat Pepadun masih banyak persoalan yang harus diselesaikan terlebih dahulu, baik masalah internal maupun eksternal. Secara internal, hingga ketika adat Pepadun dibentuk ternyata masih banyak diantara kelompok itu yang belum menganut Islam, serta belum adanya kecocokan siapa yang ditunjuk sebagai pemimpin. Sedangkan masalah eksternal, kelompok ini terpaksa menyelesaikan sengketa dengan Palembang lebih dahulu (Hilman Hadikusuma). Persoalan demi persoalan datang hingga kelak masuknya bangsa penjajah--lihat Facruddin dalam "Konflik Mengakar Sepanjang Abad" (Lampung Post edisi 19 September 2006).

Piil pesenggiri yang diketemukan dan dihimpun Rizani dalam penyusunan skripsinya di Fakultas Hukum Unila tahun 1966 merupakan hasil proses akulturatif. Unsur-unsurnya selalu berpasangan, juluk berpasangan dengan adek, nemui dengan nyimah, nengah dengan nyappur, sakai dengan sambai. Dua kata yang digabung-gabung itu belum tentu populer di satu tempat secara utuh. Nemui, umpamanya, populer di lingkungan masyarakat Pepadun, tetapi kata simah lebih populer di daerah pesisir. Penggabungan itu bukan tanpa sebab dan makna.

Sebab itu, bila ada kata-kata yang kurang populer di daerah tertentu, jangan serta merta menolak, karena ia populer di daerah lain di Lampung ini. Itu berarti bahasa Lampung, kekayaan Lampung, milik kita bersama.

Saya pernah dikejutkan ketika menghadiri upacara anjau marga di daerah Cukuh Balak, ternyata ada seorang tokoh adat yang berpidato dengan inti pidato: khepot delom mufakat, khopkhama delom bekekhja, tetengah tetanggah, bupudak waya, bupiil bupesenggir.

Berarti di daerah pesisir pun dikenal piil pesenggiri, kendati sedikit berbeda. Tetapi mengapa kita harus sibuk mencari perbedaan, bukankah lebih baik kita mencari persamaan agar kekayaan yang masih terpendam ini dapat digali sebagai sumbangan bagi kemajuan ummat manusia.

Page 7: Piil Pesenggiri

Pluralitas komunitas Lampung memiliki kekayaan yang terpendam. Sikap eksklusifivas terhadap piil pesenggiri berarti tidak mengikuti perkembangan terhadap kajian piil pesenggiri itu sendiri.

* Fachruddin, Peneliti Kebudayaan Independen, PNS pada UPTD BPKB Dinas Pendidikan Provinsi Lampung

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 18 November 2006