universitas indonesia proses penjernihan asap kebakaran dan ...
peruntukanya, yang tertuang PP No 82 tahun 2001 tentang ... 2.pdf · untuk air minum menurut SNI...
Transcript of peruntukanya, yang tertuang PP No 82 tahun 2001 tentang ... 2.pdf · untuk air minum menurut SNI...
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Air
Air adalah satu-satunya zat yang ada secara alami di bumi dalam tiga keadaan
materi fisik: gas, cair, dan padat. Molekul air memiliki struktur sederhana: dua atom
hidrogen (H2) terikat pada satu atom oksigen (O) (Shakhashiri, 2011). Air merupakan
kebutuhan pokok manusia, tanpa air manusia tak akan mampu hidup dan bertahan
hidup.
Gambar 2.1 Air murni
(Sumber gambar : Shakhashiri, 2011)
Air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan
air tanah dan atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku
untuk air minum menurut SNI 6773 (BSN, 2008). Air dapat dikategorikan sesuai
peruntukanya, yang tertuang dalam PP No 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran. Dalam payung hukum ini secara
kongkrit mengatur kriteria mutu air berdasarkan kelas (kelas I, II, III dan IV).
a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum
atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut.
b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana
rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut.
c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan
ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman atau peruntukan
lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi,
pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut.
H2
O
6
2.2 Pencemaran Air
Menurut Yuliastri (2010) pencemaran air mengacu pada PP No. 20/1990
tentang Pengendalian Pencemaran Air, adapun definisinya : “Pencemaran Air
adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau
komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan
peruntukannya”.
Berdasarkan bunyi peraturan diatas, adapun penyebab terjadinya pencemaran
dapat berupa makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain yang masuk ke dalam
air sehingga menyebabkan kualitas air tercemar, atau sering disebut dengan istilah
unsur pencemar. Pencemar tersebut dapat berupa buangan yang bersifat rutin,
misalnya buangan limbah cair rumah tangga, pabrik dan lainnya sehinga dapat
merusak kualitas air. Dalam PP no 82 (2001) tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran mengatur kriteria mutu air, sedangkan dalam Peraturan
Menteri Kesehatan No. 492 (2010) secara detail mengatur tentang Persyaratan Air
Minum seperti:
a. Parameter Fisik
Parameter fisik yang harus dipenuhi pada air minum yaitu harus jernih, tidak
berbau, tidak berasa dan tidak berwarna, sementara temperatur sebaiknya sejuk
dan tidak panas. Penyimpangan terhadap parameter ini menunjukkan bahwa air
tersebut telah terkontaminasi bahan lain yang mungkin berbahaya bagi
kesehatan manusia.
b. Parameter Kimia
Air haruslah bebas dari logam berat yang berbahaya seperti besi (Fe), seng
(Zn), air raksa (Hg), dan mangan (Mn). Air dengan kualitas yang baik memiliki pH
6-8 dan tidak mengandung zat-zat kimia pencemar yang kadarnya melebihi ambang
batas yang diizinkan, umumnya air yang terkontaminasi bisa diketahui dari warna
dan baunya.
c. Parameter Mikrobiologi
Dalam parameter mikrobiologi hanya hanya dicantumkan eschericia coli dan
total koliform, bila tercemar eschericia coli berarti air tersebut tercemar tinja tentu
saja tinja dari penderita sangat potensial menularkan penyakit seperti tifus, sementara
7
jika tercemar total koliform, air itu dapat mengakibatkan penyakit-penyakit
saluran pernapasan. Sebagai indikator pencemaran koliform pada setiap 100 ml
sampel air yang dinyatakan dengan 0 Colony forming units (cfu)/100 ml sampel.
Penelitian yang dilakukan oleh Gwimbi tahun 2011 di desa Manonyane Maseru,
Lesotho diketahui 97% sumber air bersih telah terkontaminasi bakteri koliform dan
71% diantaranya terkontaminasi oleh bakteri Escherichia coli (Sarah RE, 2013).
Eschericia coli adalah salah satu bakteri patogen yang tergolong coliform dan
hidup secara normal di dalam kotoran manusia maupun hewan sehingga Eschericia
coli digunakan sebagai bakteri indikator pencemaran air yang berasal dari kotoran
hewan berdarah panas, hal ini dikerenakan jarak antara satu rumah dengan rumah
yang lain sangat dekat, jarak antara pembuangan limbah rumah tangga dan septic
tank dengan sumur berdekatan sehingga memungkinkan terjadinya pencemaran oleh
Eschericia coli (I.A.M.Trisnawulan, 2007).
Berdasarkan klasifikasi dari WHO, kadar koliform pada air yang baik atau
Conformity adalah 0 cfu/100 ml sampel. Sedangkan kadar koliform 1-10 cfu/100ml
sampel dinyatakan sebagai air yang low risk. Sedangkan air dengan intermediate risk
merupakan air yang mengandung koliform 10-100 cfu/100 ml sampel (Sarah RE,
2013).
Dapat dikatakan air yang aman adalah air yang sesuai dengan kriteria bagi
peruntukan air tersebut. Misalnya kriteria air yang dapat diminum secara langsung
(air kualitas A) mempunyai kriteria yang berbeda dengan air yang dapat digunakan
untuk air baku air minum (kualitas B) atau air kualitas C untuk keperluan perikanan
dan peternakan dan air kualitas D untuk keperluan pertanian serta usaha perkotaan,
industri dan pembangkit tenaga air (Yuliastri, 2010).
2.3 Teknik Penjernihan Air
Dalam pengolahan air baku tidak lepas dari teknik-teknik penjernihan, menurut
Sri Aprilia (2011) teknik pengolahan air dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu
teknologi konvensional dan non konvensional (teknolgi membran), adapun beberapa
teknik penjernihan secara konvensional yang sudah diterapkan di indonesia menurut
Aliya (2010) adalah:
1. Penjernihan air menggunakan arang sekam padi.
8
2. Penjernihan air menggunakan biji Moringa oleifera.
3. Penjernihan air menggunakan penyaringan arang tempurung kelapa.
4. Penjernihan air menggunakan bahan kimia.
5. Penjernihan air menggunakan jempeng.
6. Pengolahan air gambut untuk daerah rawa pasang surut.
Teknologi konvensional yang umunya digunakan dalam pengolahan air yang
mengandung senyawa organik alam yang tinggi meliputi koagulasi, flokulasi dan
sedimentasi. Metode ini dapat menghasilkan air bersih mendekati kualitas air yang
ditetapkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Namun, kadar zat organik air
bersih yang dihasilkan dengan metode ini masih lebih rendah kualitasnya
dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan pemerintah.
Teknologi non konvensional (membran) merupakan teknologi yang relatif baru
dalam pengolahan air. Namun demikian teknologi membran terus mengalami
kemajuan dalam penggunaannya. Salah satu keunggulan teknologi ini adalah
kemurnian produk yang dihasilkan jauh diatas metode konvensional. Teknologi ini
dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam proses pengolahan air
secara konvensional, karena membran merupakan salah satu teknologi yang sangat
handal dalam pengolahan air (Sri Aprilia, 2011).
2.3.1 Penjernihan Air Menggunakan Biji Moringa oleifera
Penjernihan air dengan biji Moringa oleifera dapat dikatakan sebagai
penjernihan air dengan bahan alami. Menurut penelitian, biji Moringa oleifera dapat
dimanfaatkan untuk mengolah limbah cair yang berasal dari pabrik tekstil. Hasil
Pengolahannya, yaitu degradasi warna mencapai 98%, Penurunan Biochemical
oxygen demand (BOD) 62% dan kandungan lumpur 70 ml per liter serbuk Moringa
oleifera juga mampu membersihkan 90% dari total bakteri Eschericia coli
(E.coli)/liter air sungai dalam 20 menit (Aliya, 2010).
Menurut (Yuliastri, 2010) kulit dari biji Moringa oleifera mengandung
molekul protein larut air dengan berat molekul yang rendah. Pada pengujian
elektroforesis terhadap protein yang terkandung dalam Moringa oleifera
menunjukkan kandungan protein ini 79.3% bersifat kationik dan 20.7% bersifat
anionik, protein ini akan bermuatan positif jika dilarutkan dalam air. Fungsi
9
protein akan bekerja seperti bahan sintetik yang bermuatan positif dan dapat
digunakan sebagai koagulan polimer sintetik. Ketika Moringa oleifera yang sudah
diolah (serbuk) dimasukkan kedalam air kotor, protein yang terdapat dalam
Moringa oleifera akan mengikat partikulat-partikulat yang bermuatan negatif
penyebab kekeruhan, pada kondisi kecepatan pengadukan yang tepat, partikulat-
partikulat bermuatan negatif yang sudah terikat, ukurannya akan membesar dan
membentuk flok. Flok ini bisa diendapkan dengan gravitasi atau dihilangkan dengan
filtrasi, seperti koagulan lainnya, kemampuan biji kelor (Moringa oleifera) untuk
menjernihkan air dapat bervariasi, tergantung dari keadaan air yang akan diproses.
Gambar 2.2 Moringa oleifera (a) Pohon, (b) Biji
Sebagai bahan penjernih air, tanaman kelor ini bermanfaat dan berkhasiat
sebagai obat tradisional, karena mengandung beberapa zat kimia untuk
menyembuhkan penyakit. Daun kelor mengandung alkaloid moringin, moringinan,
dan pterigospermin. Kemudian gomnya mengandung arabinosa, galaktan, asam
glukonat, dan ramnosa, sedangkan bijinya mengandung asam palmitat, strearat,
linoleat, oleat, lignoserat.
a. b.
10
Gambar 2.3 Molekul asam pada gom dan biji moringa oleifera (a) Asam Oleat, (b) Asam Palmitat,
(c) Asam Glukonat, (d) Asam Linoleat
(Sumber gambar: Yuliastri, 2010)
Pada biji Moringa oleifera juga mengandung salah satu zat aktif 4α L-
ramnonosiloksi-benzil-isotiosianat (4-(α-L-rhamnopyranosyloxy)benzyl isothiocy-
anate) yang memiiki aktivitas anti mikroba (Bhoomika R Goyal, 2007) dan
(Yuliastri, 2010). Sehingga pengaruh penggunaan biji Moringa oleifera dapat
digunakan untuk membunuh bakteri Escherichia coli dan Coliform dalam proses
pengolahan air.
Gambar 2.4 4α L-ramnonosiloksi-benzil-isotiosianat
(Sumber gambar: Bhoomika R Goyal, 2007 dan Yuliastri, 2010)
C14H16NO5S
b. (CH3(CH2)14COOH)
c. C6H12O7
d. C18H32O2
a. C18H34O
11
Penggunaan Moringa oleifera memiliki beberapa kekurangan, seperti perlunya
proses pemurnian lebih lanjut pada air yang tercemar berat, hanya untuk skala
produksi kecil, persediaan biji kelor terbatas dan sebagai koagulan sifat
penggunaannya hanya sekali pakai (Aliya, 2010).
2.3.2 Penjernihan Air Menggunakan Karbon Aktif Arang Tempurung Kelapa.
Karbon aktif merupakan padatan berpori yang mengandung 85% - 95% karbon,
bahan-bahan yang mengandung unsur karbon dapat menghasilkan karbon aktif, salah
satunya karbon aktif dari tempurung kelapa (Rosita Idrus, 2013).
Karbon aktif tempurung kelapa merupakan salah satu solusi dalam
menjernihkan air, penggunaan karbon aktif dari tempurung kelapa sudah banyak
dikembangkan di dunia karena kemampuan dan kapasitasnya dalam mengikat zat
pencemar. Karbon aktif dari tempurung kelapa dianggap unggul dibandingan dengan
bahan karbon lain karena struktur makropori yang kecil membuat jenis karbon ini
lebih efektif untuk adsorpsi gas / uap dan untuk menghilangkan warna dan bau
senyawa (Vachhani, 2011). Berikut merupakan perbandingan unsur karbon aktif dari
tempurung kelapa dengan karbon sekam padi menurut hasil penelitian (Das, 2014) :
Tabel 2.1 Hasil penelitian dengan proximate analysis (Sumber : Das, 2014)
Prosentase (%) Tempurung Kelapa Sekam Padi
Kadar air 2,22 1,07
Kadar zat Menguap 7,358 14,62
Kadar abu 1,5 6,25
Kadar karbon aktif 88,922 78,06
Gambar 2.5 Diagram pie (a) karbon aktif tempurung kelapa (b) karbon aktif sekam padi
(Sumber gambar: Das, 2014)
Kadar air
Kadar zat menguap
Kadar abu
Kadar karbon aktif
b.
.
a.
12
Nilai terbaik dari karbon aktif diperoleh dari tempurung kelapa dan buah
aprikot (Ansari, 2009). Karbon aktif biasanya dihasilkan oleh dua proses dasar: (i)
Metode aktivasi fisik atau gas, dan (ii) Aktivasi kimia. Dalam metode aktivasi
dengan gas, kelembaban dari bahan baku kurang dari 25%, proses karbonisasi
pertama pada suhu 400-500 oC untuk menghilangkan sebagian besar zat uap dan
kemudian karbon mengalami oksidasi gas, biasanya suhu uap berkisar pada 800-
1000 oC. Karbon dioksidasi oleh oksigen atmosfer menjadi CO2, sehingga udara
harus dikeluarkan atau diatur selama proses karbonisasi dan pengaktifkan. Adapun
uap dan karbon dioksida bertindak sebagai agen pengoksidasi ringan pada suhu 800-
1000 oC.
Cx (H2O)y→C (s) + y H2O Carbonization
C(s)+ 2H2O →CO2 + 2 H2 Steam activation
C(s)+CO2 → 2 CO Activation by CO2
Gambar 2.6 Gambaran fisik (a) Hasil karbonisasi (b) Hasil aktivasi arang tempurung kelapa
(Sumber gambar: Rosita Idrus, 2013)
Karakteristik serap karbon aktif tempurung kelapa terhadap pencemar
merupakan indikator obyektif dalam pengolahan air limbah. Penetapan distribusi dari
ukuran pori karbon aktif merupakan cara yang sangat tepat dalam memahami
karakteristik kinerja karbon. The International Union of Pure and Applied Chemistry
(IUPAC) menentukan distribusi ukuran pori sebagai berikut:
a. Micropori r < 1 nanometer
b. Mesopori r = 1-25 nanometer
c. Makropori r > 25 nanometer
Makropori merupakan pori awal masuknya molekul organik (pencemar) ke
mesopori, kemudian mesopori meneruskan molekul organik (pencemar) menuju
mikropori lalu mikropori mengadsorpsi pencemar (Vachhani, 2011).
a. b
.
13
Gambar 2.7 Ilustrasi cara kerja karbon aktif terhadap pencemar
(Sumber gambar http://www.capitalcarbon.in/process.html)
Sebagai adsorben zat organik, karbon aktif dihasilkan dari tempurung kelapa
merupakan adsorben yang baik untuk menghilangkan timah, besi, tembaga dan seng
ion. Namun hasil absorpsi sangat tergantung waktu, tergantung jumlah adsorben,
tergantung pH, dan tergantung kecepatan pengadukan (Bernard E., 2013). Serta
penggunaan senyawa karbon yang terdapat dalam karbon aktif termpurung kelapa
sangat berguna untuk proses penjernihan material cair, baik material organik maupun
anorganik. Hasil yang diperoleh terjadi penurunan pH, angka kesadahan, kandungan
NaCl, BOD, dan COD pada air sumur (Suhartana, 2006)
2.3.3 Penjernihan Air Menggunakan Teknologi Membran
Peneliti saat ini telah mengembangan teknologi membran dalam pengolahan air
limbah, membran dapat digunakan sebagai penghalang semi-permeabel untuk
pemisah partikel dari cairan. Seperti pengembangan membran ultrafiltrasi serat
berongga (hollow fibre) yang dibuat dari polimer / larutan cairan ionik dalam
pengolahan air (Dingyu, 2012).
Gambar 2.8 Membran (a) lembaran dan (b) hollow fibre
(Sumber gambar: Dingyu, 2012)
a. b.
14
2.4. Membran
Membran sudah diproduksi secara komersial di Jerman oleh Sartorius diawal
1920-an, namun penerapan membran pada saat itu masih bersifat terbatas yaitu hanya
pada laboratorium. Sebagian besar membran yang tersedia saat ini berpori atau
terdiri dari lapisan atas yang padat (film) pada struktur berpori (porous). Produksi
struktur membran dengan pori ukuran tertentu menggunakan beberapa teknik dengan
prinsip yang relatif sederhana, namun cukup rumit (Peinemann, 2006).
Gambar 2.9 Membran menurut morfologi.
(Sumber gambar : Peinemaan, 2006)
Membran padat (dense) jarang digunakan dalam proses pemisahan karena
fluksnya rendah yang disebabkan karena ukuran membran relatif tebal , tetapi sifat
khusus dari polimer akan menentukan kinerja membran dan karakteristik pemisahan.
Membran padat banyak digunakan di laboratorium untuk pemisahan gas, nanofiltrasi,
dan reverse osmosis (Bakhtiar, 2011). Menurut Peinemaan (2006) membran polimer
padat homogen biasanya tersusun dari ekstrusi lelehan polimer, akan tetapi,
membran padat hanya memiliki keunggulan yang lebih praktis ketika dibuat dari
polimer yang sangat permeabel seperti silikon.
Membran komposit tersusun dari dua lapisan dengan fungsi pemisahan yang
berbeda dan bahan membran yang berbeda. Membran komposit bersifat anistropik
karena memiliki sifat kimia atau struktur heterogen secara fisik. Membran komposit
biasanya memiliki lapisan permukaan sangat tipis didukung pada substrat berpori
tebal, lapisan tipis (film) pada kulit adalah lapisan selektif untuk melakukan
15
pemisahan, sedangkan substrat mikro merupakan bagian yang memiliki sifat mekanis
yang baik (Bakhtiar, 2011).
2.4.1 Klasifikasi Membran
Membran dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu, mikrofiltrasi (MF),
ultrafiltrasi (UF), nanofiltrasi (NF) dan reverse osmosis (RO) (Dingyu, 2012).
Menurut dimensi pori membran dan distribusi ukuran pori, membran dapat
diklasifikasikan seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Proses pemisahan dan karakteristik membran
No Proses Membran Proses Pemisahan Ukuran Pori /Ukuran
Molekul (Å)
1 Mikro filtrasi Size exclusion 500-50000
2 Ultra filtrasi Size exclusion 10-1000
3 Nano filtrasi Size exclusion
Electrical exclusion
5 – 20
4 Reverse Osmosis Size exclusion
Solution/diffusion
> 5
Peneliti dari Tionkok dalam thesisnya yang berjudul “Fabrication and
Characterization of Ultrafiltration and Nanofiltration Membranes” juga
menerangkan bahwa membran dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran zat terlarut,
seperti digambarkan pada gambar 2.10 (Kaiyu, 2005).
16
Gambar 2.10 Klasifikasi proses pemisahan berdasarkan ukuran zat terlarut
(Sumber gambar: Kaiyu, 2005)
17
2.4.2 Material Membran
Membran dapat terbentuk dari beberapa material dengan karakteristik tertentu
sesuai dengan sifat dan kegunaan yang diinginkan. Mengingat aplikasi membran
mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam berbagai bidang, berikut beberapa
material penyusun dan morfologi membran :
Bahan membran.
Polimer organik, polimer anorganik, bahan keramik, logam, campuran matriks
atau material komposit.
Morfologi membran.
Isotropik (simetris), integral anisotropik (asimetris), multilayer, lapisan tipis
(film) atau campuran matriks komposit.
Aplikasi membran dalam berbagai bidang seperti pada dunia kedokteran, sains
teknologi dan bidang keilmuan lainnya membuka peluang untuk pengembangan
membran dari material baru. Pada pengembangan saat ini membran cenderung lebih
banyak disusun dari material polimer (Ulbricht, 2006), seperti tabel berikut :
Tabel 2.3 Karakteristik membran polimer (Sumber : Ulbricht, 2006)
Polymers
Morphology
Barrier type Cross-section Membrane
process
Cellulose acetates Nonporous Anisotropic GS, RO
Cellulose nitrate Macroporous Isotropic MF
Polyethersulfones Mesoporous Anisotropic UF
Polyphenylene oxide Nonporous Anisotropic GS
Polyethylene Macroporous Isotropic MF
Polypropylene Macroporous Isotropic MF
Polysulfones Nonporous Anisotropic GS
Polyvinyl alcohol,
Crosslinked
Nonporous Anisotropic/
Composite
PV (hydrophilic)
Polyvinylidenefluoride Mesoporous Anisotropic UF
18
2.5 Komposit
Komposit adalah kombinasi dari dua macam bahan yang mempunyai sifat
berbeda sehingga dapat membentuk material baru, salah satunya disebut dengan fase
peguat baik dalam bentuk serat, lembaran, atau partikel. kemudian terkombinasi
dengan bahan lain yang disebut fase matriks. Bahan penguat dan bahan matriks dapat
berupa logam, keramik, atau polimer. Komposit biasanya tersusun dari fase serat
atau partikel yang lebih kaku dan lebih kuat dari fase matriks sedangkan matriks
merupakan media transfer/distribusi beban terhadap penguat.
Matriks lebih ulet dibandingkan serat, selain itu matriks berfungsi untuk
melindungi serat dari kerusakan lingkungan selama dan setelah proses komposit.
Ketika dirancang dengan baik, material baru akan memiliki sifat material yang
diinginkan sesuai dengan kebutuhan. Aplikasi penggunaan komposit tidak hanya
untuk struktural, tetapi juga untuk kelistrikan, termal, dan aplikasi lingkungan (Avtar
Singh Saroya, 2011).
Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa komposit yang dipilih untuk
aplikasi tertentu:
Low density
Ketahanan mulur tinggi
Kakuatan tarik tinggi meskipun pada temperatur tinggi
Hight thougness
Ketersediaan material penyusun komposit melimpah
Menurut (Avtar Singh Saroya, 2011) klasifikasi komposit dapat dibedakan
dibedakan dari:
1. Jenis material penguat komposit
2. Jenis bahan matrik komposit
2.5.1 Jenis Material Penguat Komposit
a. Komposit Partikel
Dalam pembuatan komposit partikel adapun jenis penguat yang biasa
digunakan dapat berupa partikel sintetis, partikel alam dll. Partikel untuk komposit
dapat berbentuk bulat, kubik, tetragonal, trombosit atau tidak teratur. Secara umum,
partikel sangat tidak efektif dalam meningkatkan resistensi fracture tetapi dapat
19
meningkatkan ketahanan gesek/kekakuan komposit sampai batas tertentu. Penguat
partikel banyak digunakan untuk memperbaiki sifat dari bahan matriks seperti
memodifikasi konduktivitas termal dan listrik, mengurangi gesekan, meningkatkan
ketahanan keausan/abrasi, meningkatkan kekerasan permukaan dan mengurangi
penyusutan.
b. Komposit Serat
Serat ditandai dengan dimensi panjang yang jauh lebih besar dibandingkan
dengan dimensi luas penampangnya. Dimensi dari serat penguat menentukan sifat
dari komposit. Serat sangat efektif dalam meningkatkan ketahanan matriks, hal ini
dikarenakan penguat serat memiliki dimensi panjang yang dapat menghambat
timbulnya retakan awal penyebab kegagalan. Sehingga jenis dari serat penguat
merupakan faktor utama penyebab kegagalan komposit, terutama jika serat penguat
dikombinasikan dengan matriks yang sifatnya rapuh. Berikut 2 jenis serat yang
digunakan sebagai penguat (Begum K, 2013):
Tabel 2.4 Karakteristik serat (Sumber : Avtar Singh Saroya, 2011 : Begum K, 2013)
Jenis Serat Karakteristik
Keunggulan Kekurangan
a. Serat Alami
- Nanas
- Pisang
- Rami
- Kapas
- Kokon
- Dll
b. Serat Sintetis
- Serat karbon
- Polimer sintetis
- aramid,
- kevlar
- dan lainnya
- Biodegradable
- Murah
- Tersedia dalam
kuantitas banyak
- Sifat mekanik yang
baik
- Kekuatan dan
kekakuan yang baik
- Low density
- Efisien untuk proses
manufaktur dalam
skala besar
- Teknik pembuatan
komposit terbatas
- Kurang efisien
untuk proses
manufaktur dalam
skala besar
- High cost
- Daur ulang yang
sulit
- Non biodegradable
properti
20
2.5.2 Jenis Bahan Matriks Komposit
Komposit matriks logam /metal matrix composites (MMC)
Komposit matriks keramik/ceramic matrix composites (CMC)
Komposit matriks polimer/polymer matrix composites (PMC)
1. Komposit matriks logam
Komposit ini menggunakan logam sebagai matriks, memiliki sifat kekuatan,
ketahanan dan kekakuan yang baik. Matriks logam dapat menahan suhu tinggi dalam
lingkungan korosif dibandingkan komposit polimer. titanium, aluminium dan
magnesium adalah logam matriks populer saat ini, yang sangat berguna untuk
aplikasi pesawat. Oleh karena sifatnya maka komposit matrik logam dapat
memberikan alternatif pilihan untuk berbagai aplikasi seperti: ruang bakar nozzle
(dalam roket, pesawat luar angkasa), perumahan, tabung, kabel, penukar panas,
bagian struktural dan lainnya
2. Komposit matriks keramik:
Salah satu tujuan utama dalam memproduksi komposit bermatriks keramik
adalah untuk meningkatkan ketangguhan. Dengan penggunaan matriks keramik
diharapkan dapat meningkatkan ketangguhan (thougness) seiring kekuatan dan
kekakuan yang dimiliki komposit matriks keramik.
3. Komposit matriks polimer:
Polimer merupakan bahan matriks yang sering digunakan. Secara umum sifat
mekanik polimer sustainable untuk tujuan struktural. Khususnya terhadap kekuatan
dan kekakuan yang rendah dibandingkan dengan logam dan keramik. Kekurangan ini
dapat diatasi dengan penggunaan jenis penguat seperti serat dengan polimer.
Pengolahan komposit bermatriks polimer tidak perlu dengan tekanan dan suhu yang
tinggi, peralatan yang diperlukan untuk pembuatan komposit bermatriks polimer juga
sederhana. Maka dari itu komposit bermatriks polimer dapat berkembang pesat dan
cepat populer untuk aplikasi struktural. Dua jenis komposit polimer adalah:
Polimer dengan penguat serat (FRP)
Polimer dengan penguat partikel (PRP)
a. Fiber reinforced polymer:
Secara umum komposit ini terdiri dari serat dan matriks. Serat adalah penguat
(filler) dan sumber utama kekuatan sementara matriks merupakan rekatan (housing)
21
dari semua serat dalam pembentukan komposit dan distribusi tekanan antara serat
penguat. terkadang penguat ditambahkan untuk memperlancar proses manufaktur,
khusus untuk properti tertentu dan atau mengurangi biaya produksi.
b. Particulate reinforced polymer:
Partikel yang digunakan untuk memperkuat komposit dapat berupa partikel
keramik dan gelas seperti partikel mineral kecil, partikel logam seperti aluminium
dan bahan amorf, termasuk polimer dan karbon aktif. Penguat partikel digunakan
untuk meningkatkan ketahanan terhadap keausan, kekakuan komposit dan untuk
mengurangi kelenturan (ductile) dari matriks
2.6 Komposit Hibrid
Komposit hibrid adalah penggabungan dua atau lebih fase serat penguat pada
matrik tunggal untuk mendapatkan karakteristik baru,atau sebaliknya adalah
terbentuk dari dua atau lebih matrik pengikat pada serat penguat tunggal (Subagia,
2014). Metode hibridisasi merupakan metode baru dalam proses pembuatan dan
pengembangan karakteristik komposit FRP konvensional. Komposit hibrid memiliki
fleksibilitas yang lebih baik dibandingkan dengan komposit berpenguat serat. Hibrid
komposit biasanya memiliki serat dengan modulus elastisitas tinggi atau serat dengan
modulus elastisitas rendah. Sifat mekanis dari komposit hibrida adalah tergantung
pada variasi fraksi berat dan susun urutan lapisan.
2.7 Polimer
Polimer merupakan molekul besar yang terbentuk dari unit-unit berulang
sederhana. Polimer dibangun oleh satuan struktur yang tersusun secara berulang dan
diikat oleh gaya tarik-menarik yang disebut ikatan kovalen, dimana ikatan setiap
atom dari pasangan menyumbangkan satu elektron untuk membentuk pasangan
elektron.
Sebagian besar polimer, molekul-molekulnya dalam bentuk rantai yang
panjang dan fleksibel. Tiap-tiap elektron valensinya yang tersisa bila berikatan
dengan atom-atom radikal posisinya berdekatan dengan rantai. Molekul panjang ini
disebur mer, mer tunggal disebut dengan monomer dan mer banyak disebut dengan
22
polimer, seperti contoh jika ethilene diberi katalis, maka akan bertransformasi
menjadi polyethilene (Maulana, 2014).
Menurut Maulana (2014) dan Simanjuntak (2008) terdapat beberapa jenis
polimer berdasarkan bentuk susunan rantainya, yaitu:
Gambar 2.11 Polimer berdasarkan susunan rantai (a) polimer linier ,(b) Polimer bercabang (c)
Polimer berikatan silang dan (d) Polimer jaringan
(Sumber gambar: Maulana, 2014)
a. Polimer linier
Polimer linier tersusun atas unit yang berikatan satu sama lainnya membentuk
rantai polimer yang panjang. Bentuk polimer ini ujungnya bergabung bersama pada
ujung-ujungnya dalam rantai tunggal.
b. Polimer bercabang (branch)
Polimer Bercabang merupakan polimer yang terbentuk jika beberapa unit ulang
membentuk cabang pada rantai utama.
c. Polimer berikatan silang (cross-linked)
Polimer yang terbentuk karena beberapa rantai polimer saling berikatan satu
sama lain pada rantai utamanya. Rantai linier bargabung satu sama lain pada
beberapa tempat dengan ikatan kovalen.
d. Polimer jaringan (network)
Polomer ini tersusun atas unit mer tri-functional yang mempunyai tiga ikatan
kovalen aktif membentuk jaringan 3 dimensi, sehingga terjadi sambungan silang ke
berbagai arah sehingga terbentuk sambung silang tiga dimensi.
c. d.
a. b.
23
Dibandingkan dengan ikatan pada keramik dan logam, ikatan antar molekul
polimer lebih lemah, sehingga untuk menguatkan ikatan antar molekul polimer
dapat dilakukan dengan cara menambahkan sifat hidrofobik, yaitu dengan cara
mencangkokkan (grafting) monomer hidrofilik, selain itu dapat juga digunakan
beberapa teknik, diantaranya adalah pemberian filler yang merupakan ikatan silang
pada rantai (Simanjuntak, 2008)
2.7.1 Silk Cocoon
Silk cocoon (kokon sutra) merupakan bahan yang unik, secara historis serat
kokon sutra sangat sangat berharga karena kekuatan dan kemewahannya sebagai
bahan penyusun kain, bahkan didunia medis (kedokteran) pemanfaatan sutra sudah
digunakan selama berabad-abad sebagai bahan jahitan dan potensi yang baik sebagai
tissue biomedis (Cassandra Sobajo, 2008), hingga saat ini kokon sutera mendapat
perhatian khusus dari peneliti sebagai biomaterial. Serat sutra juga merupakan bahan
yang amat menarik karena memiliki sifat mekanik yang baik, memiliki sifat
biokompatibilitas, disertai dengan degradabilitas yang amat lambat (Nindhia TGT,
2008), selain itu serat sutra dapat dikembangkan menjadi beberapa jenis material,
baik larutan ataupun solvent organik, karena budidaya ulat sutera dalam industri
tekstil dalam skala yang besar, maka terdapat sumber bahan baku kokon sutera yang
melimpah sehingga sangat mendukung untuk dikomersialisasi sebagai polimer alam.
Menurut Mukhlissul (2005) komposisi serat kokon sutera secara umum terdiri
atas protein sutera yang meliputi fibroin dan serisin. Fibroin yang terkandung dalam
serat sutera sebesar 70 – 80%, sedangkan serisin sebesar 20-30%. Unsur yang
lainnya adalah materi lilin, karbohidrat, pigmen dan materi anorganik yang dapat
dilihat pada tabel 2.6.
Tabel 2.5 Komposisi serat kokon sutera Bombyx mori (Sumber : Mukhlissul, 2005)
Komposisi Kandungan (%)
Fibroin 70-80
Serisin 20-30
Materi lilin 0,4-0,8
Karbohidrat 1,2-1,5
Pigmen 0,2 (approx)
Bahan anorganik 0,7 (approx)
24
Serisin terdiri atas lebih dari 70% asam amino hidrofilik, asam amino
hidrofobik kurang dari 20%. Sebaliknya fibroin terdiri atas asam amino hidrofilik
sekitar 18% dan asam amino hidrofobik lebih dari 78%. Hal tersebut mempengaruhi
sifat kimia serat kokon, terutama kelarutannya.
Gambar 2.12 Komponen struktural serat sutera
(Sumber gambar: Cassandra Sobajo, 2008)
Protein sutera adalah polimer alami dan bersifat biodegradable yang
memungkinkan untuk crosslinked (berikatan silang) dengan polimer lainnya.
Material ramah lingkungan (biodegradable)/biodegradable polimer dapat diproduksi
dengan memadukan sericin dengan resin lainnya.
Sericin dapat dikembangkan sebagai bahan pemisah berbasis membran
(misalnya, reverse osmosis, dialisis, ultra filtrasi dan mikro filtrasi) yang digunakan
dalam beberapa proses seperti desalinasi air, produksi air yang sangat murni,
bioprocessing industri dan beberapa proses kimia. Sericin murni tidak mudah dibuat
menjadi membran, tetapi dengan sericin yang berikatan silang, dicampur, atau
kopolimer zat lain dapat dengan mudah dibuat sebagai membran, karena sericin
mengandung besar jumlah asam amino dengan polar netral (M. Mondal, 2007).
Sehingga sericin dari silk cocoon dapat dikembangkan dan digunakan sebagai
membran untuk proses pemisahan.
2.7.2 Polyvinyl alcohol
Polyvinyl alcohol (PVA) pertamakali dibuat oleh Herman dan Haehnel pada
tahun 1924. PVA merupakan salah satu polimer hidrofilik berbentuk bubuk halus,
berwarna putih kekuningan, tidak berbau (Jatindranath Maiti, 2012) dan memiliki
densitas 1,3 gram/cm3 pada 20o
C dengan kisaran pH 3,5 – 7,0 jika dilarutkan dengan
25
konsentrasi 40 gram/liter pada 20o
C (Simanjuntak, 2008). Menurut Jatindranath
Maiti (2012) PVA merupakan polimer yang larut dalam air dan mudah bereaksi
dengan agen berikatan silang (cross lingked) yang lain untuk membentuk gel. PVA
juga bersifat biokompatibel dan biodegradable, sehingga banyak digunakan untuk
aplikasi medis, kosmetik, dan kemasan.
PVA mempunyai ketercampuran hayati yang baik dan memiliki sifat fisik
yang elastis, serta memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengembang dalam
air, tidak korosif, lembut dan bersifat adesif serta kekuatan tarik yang baik.Selain
untuk aplikasi medis PVA juga telah digunakan secara luas pada berbagai aplikasi
antara lain pelapis kertas (paper coating), pemodifikasi permukaan mengkilap
(warpsizing), bahan adesif dan material sensitif terhadap kelembaban. Menurut
Simanjuntak, (2008) PVA diproduksi dari monomer vinil asetat. Gambar 2.13
memperlihatkan struktur PVA.
Gambar 2.13 Struktur (a) Vinil asetat dan (b) PVA
(Sumber gambar: Simanjuntak, 2008)
Sedikit modifikasi ikatan silang PVA dengan monomer/polimer lain maupun
dengan pemberian penguat pada solvent, maka PVA akan dapat digunakan sebagai
matrik membran. Oleh karena itu, jika PVA dikembangkan dengan tepat dapat
menjadi polimer alternatif penyusun membran komposit dari keunggulan
karakteristik yang dimiliki.
a. b.
26
Gambar 2.14 Multi facets of PVA membrane.
(Sumber gambar: Jatindranath Maiti, 2012)
2.7.3 Silk Sericin / Polyvinil Alcohol
Silk Sericin (SS) merupakan polimer alami, sericin yang terdapat pada kokon
dapat dikembangkan menjadi film, namun sericin murni bersifat rapuh dengan
demikian perlu menambahkan polimer lain untuk memperbaiki sifat kerapuhannya,
seperti penambahan polimer sintetik PVA dan gliserin pada sericin didapatkan film
komposit yang stabil (Voranuch Thongpool, 2014).
Penelitian lain dibidang medis juga menggunakan Silk sericin/PVA untuk
mengevaluasi sericin sutra Thailand/poli (vinil alkohol) film hibrida sebagai
biomaterial untuk memuat beberapa obat medis untuk diterapkan dalam sistem
pengiriman. Teknik produksinya adalah larutan dari sericin/poli (vinil alkohol)
dicampur dengan amoksisilin trihidrat kemudian ditempatkan pada 3,5 x 5 cm2
cetakan polietilen sebelum pengeringan dalam oven untuk mendapatkan film hibrida.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sericin/poli (vinil alkohol) tanpa amoksisilin
trihidrat lebih fleksibel dan transparan, sedangkan film sericin/poly (vinil alkohol)
dengan amoksisilin trihidrat lebih buram dan film itu tidak homogen. (T.
Siritientong, 2012).
27
Variasi konsentrasi komposisi Silk sericin/Polyvinyl alcohol (PVA) telah
dilakukan untuk membentuk sebuah film, secara fisik dihasilkan film yang bersih
dan quite smooth. Konsentrasi dari silk sericin menghasilkan solution yang gelap dan
kecoklatan, kemudian dari hasil pengujian dengan tensile modulus measurement
komposisi film dari 3% silk sericin dengan 2% PVA merupakan kombinasi terbaik
dari variasi yang dilakukan, sehingga dapat ditarik kesimpulan semakin tinggi
komposisi Silk sericin solution akan meningkatkan tensile modulus pada film (N.
Namviriyachote, 2009).
2.8 Teknik Pembuatan Komposit
Terdapat beberapa macam teknik yang dapat digunakan untuk membuat
komposit seperti Injection Moulding, Hand Lay Up (Romels C.A. Lumintang, 2011),
Spray Lay-Up (P.C.Pandey, 2004). Namun peneliti lebih tertarik menggunakan
teknik casing, karena dengan bahan polimer cair teknik casting sangat mendukung
untuk mendapatkan keakurasian dimensi film hybrid komposit yang sudah
direncanakan, low cost dan lebih praktis sehingga cocok untuk pembuatan membran.
a. Injection Moulding
Proses injeksi dilakukan dengan cara memberikan tekanan injeksi pada bahan
plastik yang telah meleleh oleh sejumlah energi panas untuk dimasukkan kedalam
cetakan sehingga dapat dibentuk yang diinginkan. Kelebihannya adalah tingkat
produksi tinggi, dihasilkan produk tanpa proses pengerjaan akhir, dapat mencetak
produk yang sama, produk ukuran kecil dapat dibuat dan ongkos produksi murah.
b. Hand Lay Up
Proses pembuatan komposit dengan metode Hand Lay Up merupakan
pembuatan komposit dengan metode lapisan demi lapisan sampai diperoleh
ketebalan yang diinginkan. Dimana setiap lapisan berisi matrik dan filler. Setelah
memperoleh ketebalan yang diinginkan digunakan roller untuk meratakan dan
menghilangkan udara yang terjebak diatasnya.
c. Spray Lay-Up
Dalam metode Spray lay-up, serat acak dalam spray gun dan dimasukkan ke
dalam semprotan katalis resin cair kemudian diarahkan pada cetakan. semprotan
cairan resin dan katalis akan membasahi serat penguat, yang secara bersamaan
28
membasahi serat acak dalam spray gun. Terkadang material di roller untuk
menghilangkan udara yang terperangkap pada material lalu disimpan dan dibiarkan
untuk mengeras dalam kondisi atmosfer standar (P.C.Pandey, 2004)
d. Casting
Dalam pembuatan komposit dengan metode casting selalu berkaitan dengan
alat bantu dan alat cetak. Bentuk komposit dapat disesuakan dengan kebutuhan yang
diinginkan mengikuti bentuk cetakan. Metode ini sangat baik untuk mendapatkan
kepresisian dimensi, porositas rendah, dan sangat cocok untuk mencetak
film/membran. Operator casting membran biasanya mengggunakan alat bantu seperti
casting knife atau stainless stick (A. Figoli, 2014) (Sonjui, 2009). Kecepatan konstan
casting knife/stainless stick sepanjang proses sangat mempengaruhi kualitas
membran, namun secara akurat sulit menentukan kecepatan dan menjaga kecepatan
konstan tangan operator (UNESCO)
Gambar 2.15 Proses Casting
(Sumber gambar: Sonjui, 2009)
Penentuan variasi matriks dengan penguat menggunakan perbandingan fraksi
berat (%wt) pada hybrid komposit saat proses casting, pada kondisi tanpa void dapat
dirumuskan sebagai berikut :
Wc
wfWf ..…...............................................................................................................(1)
1wmWf ……...…….........................................................................................(2)
Keterangan :
Wf = fraksi berat penguat (wfa = bubuk biji kelor + wfb = karbon aktif)
wf = berat penguat
wm = fraksi berat matriks (wma = silk sericin+ wmb = PVA)
Wc = berat komposit
29
2.9 Analisis
Karakterisasi membran tidak lepas dari proses analisis berupa uji tarik,
scanning electronic microscope, mikroskop optik, uji swelling serta pengujian
sampel air baku seperti uji kekeruhan (turbidity) dan mirobiologi sesaat sebelum dan
sesudah perlakuan membran pada alat dead end filtration.
2.9.1 Uji Tarik
Pengujian tarik bertujuan untuk mengetahui tegangan, regangan, modulus
elastisitas bahan, adapun engujian tarik dilakukan menurut standar ASTM D638
mengacu pada ASTM D882 untuk material plastik tipis ataupun membran. Standar
pengujian ASTM D638 mencakup penentuan tarik yang tidak diperkuat maupun
diperkuat plastik, metode pengujian ini dapat digunakan untuk pengujian bahan
dengan ketebalan 1-14 mm (ASTM). Untuk pengujian Spesimen uji tarik menurut
standar ASTM D638 dapat ditunjukkan pada gambar 2.16 berikut.
Gambar 2.16 Spesimen uji tarik
(Sumber gambar : ASTM)
Hubungan linier antara tegangan regangan untuk suatu membran yang
mengalami tarik atau tekan sehingga diperoleh modulus elastisitas material
dinyatakan sebagai:
σ = E . ε ...................................................................................................(3)
dimana hubungan antara beban tarik dan tegangan adalah
P = σ . A ...................................................................................................(4)
Keterangan:
P = Beban tarik (N)
A = Luas penampang (mm2)
σ = Tegangan (MPa)
30
Besarnya regangan adalah jumlah pertambahan panjang karena pembebanan
berbanding dengan panjang daerah ukur dan besarnya nilai modulus elastisitas
komposit yang juga merupakan perbandingan antara tegangan dan regangan pada
daerah proporsional dapat dihitung (Romels C.A. Lumintang, 2011).
2.9.2 Scanning Electronic Microscope (SEM)
Mikroskop elektron merupakan jenis mikroskop yang sering digunakan untuk
visualisasi struktur material berpori. SEM menggunakan sinar elektron untuk
memindai sampel dan menciptakan citra. Tujuan Uji SEM untuk mengetahui
fenomena yang terjadi pada material (objek) secara visualisasi kemudian sebagai
dasar kajian dalam melakukan analisa baik terhadap struktur permukaan/patahan
maupun fenomena lainya.
Gambar 2.17 Analitical scanning electron microscope JSM-6510 LA
2.9.3 Mikroskop Optik
Micoskop optik atau yang sering disebut juga sebagai "mikroskop cahaya",
adalah salah satu jenis mikroskop yang menggunakan cahaya tampak dan sebuah
sistem lensa untuk memperbesar gambar spesimen yang kecil. Cara kerja dari
mikroskop optic adalah dari cahaya lampu yang dibiaskan oleh lensa condenser,
setelah melewati lensa kondenser sinar mengenai spesimen dan diteruskan oleh lensa
objektif. Lensa objektif ini merupakan bagian yang paling penting dari mikroskop
karena dari lensa ini dapat diketahui perbesaran yang dilakukan mikroskop. Sinar
yang diteruskan oleh lensa objektif ditangkap oleh lensa okuler dan diteruskan pada
31
mata atau kamera (Respati, 2008). Mikroskop ini mempunyai kelebihan yaitu dapat
mengamati dan mengambil gambar berwarna pada permukaan material seperti
aslinya.
Gambar 2.18 Mikroskop optik
2.9.4 Uji Swelling (pengembangan)
Swelling adalah peningkatan volume atau berat suatu material pada saat kontak
dengan cairan, gas, atau uap. Pengujian ini dilakukan untuk memprediksi ukuran zat
yang bisa terdifusi melalui material-material tertentu (Fitriah F, 2012). Pengujian
swelling sangat berpengaruh pada sifat fisika suatu material yaitu tahanan putus
(resistance at break) dan pengaruh kuantitas tetesan air saat membran digunakan.
Untuk menghasilkan membran yang berkualitas dalam penggunaannya, membran
harus diuji dahulu dengan parameter swelling pada saat proses dead end filtration
untuk mengetahui besaran pengembangan material dan pengaruhnya.
𝑆𝑤𝑒𝑙𝑙𝑖𝑛𝑔 =𝑊𝑐 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ−𝑊𝑐 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
𝑊𝑐 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑥 100%.................................... (3)
Keterangan :
Wc basah = berat membran basah
Wc kering = berat membran kering
32
2.9.5 Parameter Pengujian Sampel Air baku
Pengambilan sampel air baku dilakukan di Waduk muara Nusa Dua dengan
mempertimbangkan jumlah kebutuhan dan ketersediaan air. Waduk Muara
merupakan salah satu sumber daya air dalam pemenuhan air baku yang telah
mensuplai air bersih perkotaan sekitar 300 liter per detik dengan luas genangan 35
hektar, serta berfungsi untuk penanggulangan banjir. Sampel Air baku waduk muara
selanjutnya dimasukan ke dalam jerigen untuk analisis fisika dan botol bersih untuk
analisis mikroba.
2.9.5.1 Uji Kekeruhan
Uji kekeruhan termasuk pengujian dalam parameter fisika, pengujian ini
merupakan langkah analisa awal untuk mengetahui tingkat kejernihan/kekeruhan
secara keseluruhan dari suatu material cair. Air dikatakan keruh, apabila air tersebut
mengandung begitu banyak partikel bahan yang tersuspensi sehingga memberikan
warna / rupa yang berlumpur dan kotor meskipun penentuannya bukanlah merupakan
ukuran mengenai jumlah partikel suspensi. Adapun bahan yang menyebabkan air
menjadi keruh meliputi (Budi Santoso, 2014) :
a. Tanah liat
b. Endapan (lumpur)
c. Zat organik
Alat yang digunakan untuk mengukur kekeruhan pada penelitian ini adalah
Turbidity meter TU-2016 dengan range skala 0 to 50 NTU, 50-1000 NTU
(Nephelometric Turbidity Unit) yang sudah dikalibrasi.
Gambar 2.19 Turbidity meter TU-2016
d. Campuran warna organik yang bisa dilarutkan
e. Plankton
f. Jasad renik (mahluk hidup yang sangat kecil)
33
2.9.5.2 Analisis Mikrobiologi (Coliform dan E.coli)
Menurut Kawuri Retno (2012) pengujian microbiologi pada air umumnya
bertujuan untuk mengetahui prosentase bakteri coliform dan E.coli yang tersuspensi
dalam air. Metode yang digunakan adalah metode MPN (most porpable number)
,metode MPN (Most Probable Number) umumnya digunakan untuk menghitung
jumlah bakteri khususnya untuk mendeteksi adanya bakteri Coliform yang
merupakan kontaminan. Ciri-ciri utamanya yaitu memfermentasi laktosa menjadi
asam dan gas yang dideteksi dalam waktu 24 jam inkubasi pada 37º C. Penentuan
Fecal coliform menjadi indikator pencemaran dikarenakan jumlah koloninya pasti
berkorelasi positif dengan keberadaan bakteri patogen contohnya bakteri Esherichia
coli.
Uji mikrobiologi secara lengkap meliputi uji praduga, uji penguat, dan uji
pelengkap. Dalam uji praduga peneliti menggunakan media LB (Laktosa Broth),
pengujian penguat menggunakan media BGBB (Brilian Green Bile Broth) dan
pengujian pelengkap mengunakan media EMBA (Etilen Metilen Blue Agar) (Kawuri
Retno, 2012).
Gambar 2.20 Skematik pengujian Coliform dan E.coli
Uji Praduga
Uji Penguat (jumlah coliform)
Apakah sampel
terindikasi
coliform?
Uji Pelengkap (jumlah E.coli)
Ya
Tidak
Start
Stop
Stop