SNI 03-6571-2001 Sistem Pengendalian Asap Kebakaran Pada Bangunan Gedung
universitas indonesia proses penjernihan asap kebakaran dan ...
Click here to load reader
-
Upload
truongkhuong -
Category
Documents
-
view
310 -
download
49
Transcript of universitas indonesia proses penjernihan asap kebakaran dan ...
UNIVERSITAS INDONESIA
PROSES PENJERNIHAN ASAP KEBAKARAN DAN
PENYERAPAN KARBON MONOKSIDA
MENGGUNAKAN ADSORBEN
DISERTASI
YULIUSMAN
0806400913
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA
DEPOK
JULI 2015
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
PROSES PENJERNIHAN ASAP KEBAKARAN DAN
PENYERAPAN KARBON MONOKSIDA
MENGGUNAKAN ADSORBEN
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
YULIUSMAN
0806400913
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA
DEPOK
JULI 2015
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala
atas berkah, karunia, dan bimbingan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
disertasi ini. Disertasi dengan judul “Proses Penjernihan Asap Kebakaran dan
Penyerapan Karbon Monoksida Menggunakan Adsorben” ini disusun sebagai
salah satu persyaratan akademis untuk meraih gelar Doktor di Departemen Teknik
Kimia FTUI.
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa, tanpa adanya bantuan, dukungan,
bimbingan dan doa dari berbagai pihak, perjalanan panjang dalam penyelesaian
disertasi ini takkan sampai pada ujungnya. Karena itu, pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Widodo W. Purwanto, DEA dan Bapak Prof. Ir. Yulianto
Sulistyo Nugroho M.Sc., Ph.D selaku Promotor dan Co-Promotor, yang tanpa
lelah dan dengan penuh kesabaran menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran
untuk memberi masukan dan pengarahan dalam penelitian dan penyusunan
disertasi ini;
2. Para Dewan Penguji: Prof. Dr. Ir. Roekmijati W. Soemantojo, M.Si, Prof. Dr.
Ir. Anondho Wijanarko, M.Eng, Prof. Dra. Fatma Lestari, M.Si., Ph.D., Prof.
Ir. Sutrasno Kartohardjono MSc, Ph.D., Prof. Ir. Mahmud Sudibandriyo,
M.Sc, Ph.D, dan Prof. Dr. Ir. Purwanto, DEA., yang mengawal dan memberi
masukan untuk Disertasi ini sejak dari pembuatan proposal penelitian maupun
sejak Ujian Penelitian II;
3. Orang tua tercinta: Alm. Abdul Rahman dan Saudah, orang tua sederhana
dengan penuh perjuangan memberikan warisan luar biasa bagi anak-anaknya:
pendidikan dan nilai-nilai;
4. Istri tercinta, Lita Adriani, S.S., dengan sabar memberikan dukungan selama
perjalanan pendidikan doktoral yang panjang ini. Serta belahan jiwa
penyenang mata: Yasmin M Julita, yang selalu menjadi pemompa semangat
dan menghadirkan keceriaan saat kejenuhan dating.
5. Ibunda Siti Aminah yang selalu memberi dukungan moril selama perjalanan
pendidikan doktoral yang panjang ini.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
v
6. Kakanda Erma, Eda, Wilisna, Sarpin, Oktaf dan Adinda Jon, Indra, Daf
beserta keluarga masing-masing yang selalu memberika dukungan moril;
7. Mas Teguh, Triguno beserta keluarga masing-masing;
8. Sahabat-sahabat terbaik yang menyediakan waktu sebagai “team pengawal”
selalu siap membantu: Mbak Wulan, Eva, Anti, Nana;
9. Seluruh dosen Departemen Teknik Kimia-FTUI atas bantuan dan
dukungannya;
10. Kang Jajat, Mang Ijal, Eko, Diki, Reni, Tiwi dan seluruh karyawan
Departemen Teknik Kimia yang telah banyak membantu penelitian dari awal
hingga akhir;
11. Da Irsyad, Armen, Yasri dan teman-teman lainnya di Ikatan Keluarga Besar
Barung-Barung Belantai dan Sekitarnya;
12. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang
membacanya dan menjadi pemicu bagi penulis untuk memberi manfaat yang lebih
banyak dan lebih luas. Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan
dalam penulisan disertasi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat penulis
harapkan agar perbaikan dapat terus dilakukan untuk mencapai hasil yang lebih
baik lagi.
Depok, 03 Juli 2015
Penulis
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
vii
ABSTRAK
Nama : Yuliusman
Program Studi : Teknik Kimia
Judul : Proses Penjernihan Asap Kebakaran dan Penyerapan Karbon
Monoksida Menggunakan Adsorben
Tingkat kematian karena keracunan asap kebakaran jauh lebih besar dibandingkan
dengan kematian karena luka bakar. Penelitian ini bertujuan untuk penjernihan
asap dan penyerapan CO mengunakan material berukuran nano. Penelitian ini
dibagi tiga tahapan, tahap pertama dilakukan seleksi adsorben dalam menyerap
CO dengan metode adsorpsi isotemis. Tahap kedua dilakukan uji pembuatan asap
dari tisu. Tahap ketiga dilakukan uji penjernihan asap menggunakan adsorben
terpilih di tahap pertama dalam kompartemen tunggal yang dilengkapi alat
pendeteksi asap fotoeletrik berbasis micro controller. Variabel penelitian adalah
ukuran partikel, massa adsorben dan ketinggian sensor di dalam ruang uji dengan
parameter tingkat penjernihan 10% (t10). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
karbon aktif dan zeolit alam teraktifasi memiliki kemampuan yang baik dalam
penyerapan CO. Nilai ngibbs berturut-turut karbon aktif dan zeolit alam teraktifasi,
adalah 0,0682 dan 0,0352 mmol/g. Massa tisu 6 gram dapat menghasilkan asap
yang pekat. Proses penjernihan asap lebih efektif menggunakan adsoben
dibandingkan tanpa adsorben, waktu t10 adsorben dibawah 50% dari t10 tanpa
adsorben. Adsorben dengan ukuran partikel 53 μm mempunyai kemampuan
paling baik. Kolom bagian atas lebih cepat jernih dibandingkan tengah dan
bawah. Urutan kemampuan adsorben dalam menjernihkan asap berturut-turut:
Accom> ACZnCl2> zeolit alam. Nilai t10 terbaik dari ACcom untuk bagian atas,
tengah dan bawah kolom adalah 4, 4,6 dan 7,7 menit.
Kata kunci:
Penjernihan asap, adsorpsi, karbon monoksida, karbon aktif, zeolit alam
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
viii
ABSTRACT
Name : Yuliusman
Studyprogram : Chemical Engineering
Title : Fire Smoke Clearing and Carbon Monoxide Adsorption
Process Using Adsorbent
Mortality level due to fire smoke poisoning larger than caused by burn. The aim
of this study is smoke clearing and CO adsorption using nano sized material. This
study is conducted in three stages, the first stage is the selection of adsorbent to
adsorb CO using isotherm adsorption method. The second stage is smoke
production testing from tissue as raw material. The final stage is smoke clearing
testing using adsorbent chosen in the first stage, conducted in a single
compartment equipped with a photoelectric smoke detector based on micro
controller. The variables in this study are particle size, adsorbent mass, and
detector height in the compartment test, with degree of clearing called t10 as
observed parameter. The results showed that activated carbon and activated
natural zeolite has the best ability to adsorb CO. ngibbs value for activated carbon
and activated natural zeolite is 0.0682 and 0.0352 mmole/g respectively. 6 grams
of tissue can produce high density of smoke. Smoke clearing process using
adsorbent more effective than without adsorbent, with t10 using adsorbent less that
50% compared to without adsorbent. Adsorbent with particle size 53μm has the
most excellent abilities. Top section of compartment cleared faster than middle
and bottom section. The order of adsorbent ability in smoke clearing is as follows:
ACcom > ACZnCl2 > natural zeolite. The best parameter of t10 for ACcom at the
top, middle, and bottom of compartment is 4, 4.6 and 7.7 minutes respectively.
Keywords:
Smoke clearing, adsorption, carbon monoxide, activated carbon, natural zeolite.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .............................................................. vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv
DAFTAR NOTASI .............................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 5
1.4 Hipotesis Penelitian ....................................................................... 5
1.5 Nilai Keterbaruan (Novelty) .......................................................... 6
1.6 Batasan Masalah............................................................................ 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 7
2.1 Termodinamika Kimia Pembakaran ............................................. 7
2.2 Produksi dan Sifat Asap ................................................................ 8
2.2.1 Pergerakan Asap ........................................................................... 9
2.2.2 Toksisitas Asap ............................................................................ 11
2.2.2.1 Karbon Monoksida (CO) ............................................................. 13
2.2.2.2 Senyawa Lain Dalam Asap ......................................................... 14
2.2.3 Pengukuran Densitas Asap .......................................................... 15
2.2.3.1 Sitem Sensor Tipe Fotoelektrik ................................................... 17
2.3 Adsorpsi ...................................................................................... 20
2.3.1 Adsorpsi Fisika ............................................................................ 21
2.3.2 Adsorpsi Kimia ............................................................................ 21
2.3.3 Adsorpsi Isotermis ....................................................................... 22
2.3.3.1 Adsorpsi Isotermis Freundlich .................................................... 23
2.3.3.2 Adsorpsi Isotermis Langmuir ...................................................... 23
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
x
2.3.3.3 Adsorpsi Isotermis BET .............................................................. 24
2.3.3.4 Model Adsorpsi Isotermis Gibbs ................................................. 25
2.3.3.5 Hubungan Antara Adsorpsi Gibbs dan Adsorpsi Absolut pada
Adsoprsi Gas Murni .................................................................... 26
2.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Adsorpsi ......................................... 29
2.3.5 Gaya dan Energi Adsorpsi ........................................................... 30
2.4 Adsorben ..................................................................................... 30
2.4.1 Silika Gel ..................................................................................... 32
2.4.2 Zeolit ........................................................................................... 32
2.4.2.1 Struktur Zeolit ............................................................................. 33
2.4.2.2 Sifat Zeolit ................................................................................... 34
2.4.2.3 Zeolit Alam Lampung ................................................................. 35
2.4.2.4 Aktivasi Zeolit ............................................................................. 36
2.4.3 Karbon Aktif ................................................................................ 39
2.4.3.1 Karbon Aktif Tempurung Kelapa Sawit ..................................... 40
2.4.3.2 Proses Pembuatan Karbon Aktif ................................................. 41
2.5 State of the Art Penjernihan Asap dan Penyerapan CO .............. 43
2.5.1 Penjernihan Asap ......................................................................... 43
2.5.2 Penyerapan CO ............................................................................ 46
2.5.3 Keterbaruan Riset ........................................................................ 47
BAB 3 METODE PENELITIAN.......................................................................... 55
3.1 Seleksi Adsorben ......................................................................... 55
3.1.1 Preparasi dan Karakterisasi Adsorben ......................................... 55
3.1.2 Uji Adsorpsi ................................................................................ 56
3.1.2.1 Diagram Ali Uji Adsorpsi ........................................................... 56
3.1.2.2 Alat Uji Adsorpsi ......................................................................... 57
3.1.2.3 Prosedur Percobaan Uji Adsorpsi ................................................ 59
3.1.2.4 Pengolahan Data Uji Adsorpsi .................................................... 63
3.2 Uji Pembuatan Asap .................................................................... 64
3.2.1 Prosedur Pembuatan Asap ........................................................... 64
3.2.2 Pengolahan Data Asap ................................................................. 64
3.3 Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan CO ................................. 64
3.3.1 Diagram Alir Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan CO ........... 65
3.3.2 Persiapan Adsorben ..................................................................... 65
3.3.2.1 Pembuatan Karbon Aktif ACZnCl2 ............................................. 66
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
xi
3.3.2.2 Penghalusan Adsorben ................................................................ 68
3.3.2.3 Karakterisasi Ukuran Partikel (Particle Size Analyzer/PSA) ...... 68
3.3.3 Rancang Bangun Ruang Uji dengan Instrumentasi Photoelectric
..................................................................................................... 68
3.3.3.1 Set-up Alat ................................................................................... 69
3.3.3.2 Kalibrasi Sensor .......................................................................... 71
3.3.4 Pemilihan Alat Dispersi Adsorben dan Teknik Dispersi ............. 72
3.3.4.1 Posisi Arah Sprayer Gun ............................................................. 72
3.3.4.2 Nitrogen Bertekanan Mengalir Kontinyu .................................... 73
3.3.4.3 Nitrogen Bertekanan Awal .......................................................... 75
3.3.5 Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan CO .................................. 77
3.3.5.1 Bahan dan Alat ............................................................................ 77
3.3.5.2 Skema Prosedur Pengambilan Data Uji Penjernihan Asap dan
Penyerapan CO............................................................................ 77
3.3.5.3 Prosedur Percobaan Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan CO . 78
3.3.5.4 Variabel Penelitian Penjernihan Asap ......................................... 80
3.3.5.4 Label Adsorben yang Diuji pada Uji Penjernihan Asap ............. 80
3.3.5.5 Pengolahan Data Uji Penjernihan Asap ...................................... 81
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. 83
4.1 Seleksi Adsorben ......................................................................... 83
4.1.1 Karakterisasi Adsorben ............................................................... 83
4.1.1.1 Rasio Si terhadap Al Zeolit ......................................................... 83
4.1.1.2 Luas Permukaan .......................................................................... 84
4.1.2 Uji Adsorpsi Karbon Monoksida ................................................ 85
4.1.2.1 Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh Zeolit Alam Tidak Teraktifasi
..................................................................................................... 85
4.1.2.2 Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh Zeolit alam teraktifasi.......... 88
4.1.2.3 Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh Karbon Aktif ....................... 92
4.1.2.4 Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh TiO2 ..................................... 94
4.1.2.5 Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh CuO ..................................... 96
4.1.2.6 Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh MgO .................................... 97
4.1.3 Hasil Seleksi Adsorben ............................................................... 98
4.2 Karakteristik Asap dan Hidrodinamika Asap ............................. 99
4.2.1 Karakteristik Asap ....................................................................... 99
4.2.2 Hidrodinamika Asap .................................................................. 102
4.3 Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan Karbon Monoksida ...... 105
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
xii
4.3.1 Penjernihan Asap Oleh Karbon Aktif Komersial ...................... 105
4.3.1.1 Pengaruh Ukuran Partikel ......................................................... 106
4.3.1.2 Pengaruh Ketinggian ................................................................. 110
4.3.1.3 Pengaruh Massa ......................................................................... 114
4.3.2 Penjernihan Asap Oleh Karbon Aktif ACZnCl2 ....................... 117
4.3.3 Penjernihan Asap Oleh Zeolit Alam ......................................... 121
4.3.4 Pengaruh Jenis Adsorben terhadap Penjernihan Asap .............. 125
4.3.5 Pengaruh Jenis Adsorben terhadap Penyerapan CO ................. 127
4.4 Evaluasi Penjernihan Asap Keseluruhan .................................. 127
BAB V KESIMPULAN ...................................................................................... 129
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 130
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Proses perubahan secara fisik bahan bakar dari fase padat hingga uap
................................................................................................................................. 9 Gambar 2. 2 Produksi dan pergerakan asap .......................................................... 11 Gambar 2. 3 Skema tube furnace untuk menghasilkan produk pembakaran ........ 12 Gambar 2. 4 Gambaran cara kerja beam of light untuk mengukur optical density
............................................................................................................................... 16 Gambar 2. 5 Konfigurasi ATmega 16 ................................................................... 18 Gambar 2. 6 Downloader K125R.......................................................................... 18 Gambar 2. 7 Skematik LM2576 ............................................................................ 19 Gambar 2. 8 Voltage regulator rancangan ............................................................ 19
Gambar 2. 9 Sensor cahaya photodiode ................................................................ 20 Gambar 2. 10 Laser Pointer .................................................................................. 20 Gambar 2. 11 Kurva adsorpsi isotermis Langmuir dan BET ................................ 22 Gambar 2. 12 Ilustrasi keadaan fasa teradsorpsi pada suatu pori adsorben .......... 26 Gambar 2. 13 Profil tipe-tipe kurva isoterm Gibbs ............................................... 28 Gambar 2. 14 Tetrahedral alumina dan silika (TO4) pada struktur zeolit ............. 33 Gambar 2. 15 Proses pelepasan Al dalam rangka menjadi Al diluar rangka ........ 38 Gambar 2. 16 Struktur fisik karbon aktif .............................................................. 39 Gambar 2. 17 Struktur pori karbon aktif ............................................................... 40 Gambar 2. 18 Struktur karbon aktif sebelum dan sesudah aktivasi ...................... 42
Gambar 3. 1 Diagram alir uji adsorpsi .................................................................. 57 Gambar 3. 2 Skema alat uji adsorpsi ..................................................................... 58 Gambar 3. 3 Rangkaian peralatan uji adsorpsi...................................................... 60 Gambar 3. 4 Diagram alir penelitian uji penjernihan asap.................................... 65
Gambar 3. 5 Diagram alir pembuatan karbon aktif dari tempurung kelapa sawit 66 Gambar 3. 6 Skema ruang uji dengan instrumentasi photoelectric ...................... 69 Gambar 3. 7 Foto ruang uji penjernihan asap ....................................................... 70 Gambar 3. 8 Rangkaian alat micro controller ....................................................... 70 Gambar 3. 9 Skema mekanisme kerja alat pendeteksi asap .................................. 71
Gambar 3. 10 Kondisi dasar ruang uji setelah adsorben didispresikan................. 73 Gambar 3. 11 Massa padatan yang tertinggal pada sprayer gun ........................... 74
Gambar 3. 12 Persentase massa padatan yang tertinggal pada sprayer gun ......... 75 Gambar 3. 13 Bagan alir prosedur pengambilan data pada uji penjernihan asap 78
Gambar 4. 1 Rasio Si/Al pada setiap tahapan proses preparasi zeolit alam ......... 83
Gambar 4. 2 Pengaruh tekanan CO terhadap kapasitas adsorpsi zeolit alam tidak
teraktifasi ....................................................................................... 86 Gambar 4. 3 Tipe asam Lewis pada permukaan pori zeolit dan adsorbat terikat
dengan Al3+
. ................................................................................... 88
Gambar 4. 4 Adsorbat terikat pada pemukaan pori zeolit ..................................... 88 Gambar 4. 5 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi zeolit alam
teraktifasi ....................................................................................... 89
Gambar 4. 6 Hasil karakterisasi EDAX zeolit alam ............................................. 90 Gambar 4. 7 Muatan pada permukaan zeolit ........................................................ 91
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
xiv
Gambar 4. 8 Molekul CO terikat secara kimia pada permukaan yang mengandung
logam transisi................................................................................. 92 Gambar 4. 9 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi karbon aktif 93 Gambar 4. 10 CO terikat pada permukaan yang mengandung atom carbon ....... 94 Gambar 4. 11 Ilustrasi karbon aktif menyerap adsorbat ....................................... 94 Gambar 4. 12 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi TiO2. ........ 95 Gambar 4. 13 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi CuO ......... 96 Gambar 4. 14 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi MgO ........ 97 Gambar 4. 15 Kemampuan penyerapan air oleh adsorben ................................... 99 Gambar 4. 16 Pengaruh massa tisu terhadap densitas optis ................................ 100 Gambar 4. 17 Lensa kaca kalibrasi dengan densitas optis .................................. 100 Gambar 4. 18 Pengaruh massa tisu terhadap pembentukkan CO ....................... 101 Gambar 4. 19 Densititas optis asap pada awal pembakaran ............................... 103 Gambar 4. 20 Densitas optis asap pada pembakaran maksimum ....................... 104
Gambar 4. 21 Densitas optis asap pada akhir pembakaran ................................. 105 Gambar 4. 22 Pengaruh ukuran partikel karbon aktif ACcom terhadap penjernihan
asap .............................................................................................. 107 Gambar 4. 23 Pengaruh ketinggian sensor terhadap penjernihan asap oleh ACcom
..................................................................................................... 111 Gambar 4. 24 Struktur karbon aktif .................................................................... 112 Gambar 4. 25 Kemampuan adsorben menyerap uap air ..................................... 112 Gambar 4. 26 Pengaruh ukuran karbon aktif ACcom terhadap t10 ..................... 114 Gambar 4. 27 Pengaruh massa karbon aktif ACcom terhadap penjernihan asap 116 Gambar 4. 28 Pengaruh massa karbon aktif ACcom terhadap t10 ..................... 117 Gambar 4. 29 Pengaruh ukuran partikel karbon aktif ZnCl2 terhadap penjernihan
asap .............................................................................................. 118 Gambar 4. 30 Pengaruh ukuran karbon aktif ACZnCl2 terhadap t10 .................. 119
Gambar 4. 31 Pengaruh ketinggian sensor terhadap penjernihan asap oleh karbon
aktif ACZnCl2 .............................................................................. 119 Gambar 4. 32 Pengaruh massa karbon aktif ACZnCl2 terhadap penjernihan asap
..................................................................................................... 120
Gambar 4. 33 Pengaruh massa karbon aktif ACZnCl2 terhadap t10 ................... 121 Gambar 4. 34 Pengaruh ukuran partikel zeolit alam terhadap penjernihan asap 123
Gambar 4. 35 Pengaruh ukuran partikel zeolit alam terhadap t10 ....................... 123 Gambar 4. 36 Pengaruh ketinggian sensor terhadap penjernihan asap oleh zeolit
alam ............................................................................................. 123
Gambar 4. 37 Pengaruh massa zeolit alam terhadap penjernihan asap............... 124 Gambar 4. 38 Pengaruh massa zeolit alam terhadap t10 ...................................... 125 Gambar 4. 39 Pengaruh jenis adsorben terhadap t10 ........................................... 126 Gambar 4. 40 Densitas masing-masing adsorben ............................................... 126 Gambar 4. 41 Pengaruh massa terhadap proses penyerapan CO ........................ 127
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Gas beracun yang terbawa bersama asap pembakaran ........................ 12 Tabel 2. 2 Konsentrasi karbon monoksida dan waktu paparan ............................. 13 Tabel 2. 3 Komposisi kimia zeolit alam Lampung ............................................... 35 Tabel 2. 4 Ukuran pori karbon aktif ...................................................................... 39 Tabel 2. 5 Komposisi tempurung kelapa sawit ..................................................... 41 Tabel 2. 6 Perkembangan penelitian pembuatan karbon aktif .............................. 42 Tabel 2. 7 Perkembangan penelitian tentang pemanfaatan adsorben, penjernihan
asap dan adsorpsi CO ........................................................................... 49
Tabel 3. 1 Bacaan tekanan saat uji tekanan sprayer gun ...................................... 76 Tabel 3. 2 Variasi dari tipe, diameter dan massa adsorben ................................... 81
Tabel 4. 1 Luas permukaan adsorben .................................................................... 85 Tabel 4. 2 Adsorpsi CO oleh zeolit alam tidak teraktifasi ................................... 86 Tabel 4. 3 Jari-jari beberapa molekul gas ............................................................. 87 Tabel 4. 4 Adsorpsi gas CO oleh zeolit alam teraktifasi ....................................... 89 Tabel 4. 5 Adsorpsi gas CO oleh karbon aktif ...................................................... 93 Tabel 4. 6 Adsorpsi gas CO oleh TiO2 .................................................................. 95 Tabel 4. 7 Adsorpsi gas CO oleh CuO .................................................................. 96 Tabel 4. 8 Adsorpsi gas CO oleh MgO ................................................................. 98 Tabel 4. 9 Nilai nmaks dan b untuk masing-masing adsorben ................................ 98 Tabel 4. 10 Data kandungan CO dengan variasi massa tisu ............................... 101
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
xvi
DAFTAR NOTASI
= koefisien nonperfect sticking
B = konstanta adsorpsi Langmuir yang besarnya bergantung pada
temperatur
= parameter adsorpsi isotermis model BET
K = koefisien absorpsi
k, n = konstanta empiris untuk setiap pasangan adsorbat-adsorben
padatemperatur tertentu
kd∞ = koefisien kecepatan desorpsi pada temperatur tak terhingga
L = maksimum kapasitas adsorpsi pada model Langmuir dan
Model BET, mmol/g
l = jarak atau ketebalan asap (m)
m = massa adsorben, g
= jumlah gas yang teradsorpsi, mmol/g
= jumlah gas yang tak teradsorpsi, mmol/g
= jumlah gas yang diinjeksikan ke dalam dozing cylinder
OD = Optical density, m-1
P = tekanan adsorbat, psia
Ps = tekanan jenuh adsorbat gas hingga mencapai kapasitas
maksimum adsorpsi
R = Konstanta gas ideal
t = waktu, detik
x = kuantitas adsorben
= faktor kompresibilitas
𝜌 = densitas cairan (g/cm3)
= fraksi luas permukaan yang tertutup oleh lapisan monolayer
= viskositas pelarut, poise
ω = jumlah mol gas teradsorpsi per satuan unit massa adsorbent,
mmol/g
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebakaran merupakan salah satu jenis bencana yang masih belum bisa
diprediksi terjadinya. Secara nasional, kebakaran menyumbangkan 15% kejadian
bencana di Indonesia. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun oleh Damkar
selama tahun 2014, ditemukan bahwa kebakaran paling sering terjadi di Jakarta
yaitu sebanyak 1260 kejadian dan kejadian kebakaran pada tahun 2013, yakni
sebanyak 1515 kejadian. Sedangkan berdasarkan data BNPB (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana) kejadian kebakaran pada pemukiman pada tahun 2014
tercatat 472 kejadian, meningkat dibandingkan pada tahun 2013 sejumlah 399
kejadian.
Kejadian kebakaran biasanya menghasilkan asap yang sangat pekat. Asap
adalah kumpulan partikel padat, cair dan gas kecil. Meskipun asap dapat
mengandung ratusan bahan kimia yang berbeda, asap yang terlihat sebagian besar
adalah karbon (jelaga), tar, minyak dan abu. Asap merupakan kumpulan dari
partikel-partikel kecil yang tidak terbakar. Setiap partikel asap terlalu kecil untuk
dilihat dengan mata, tetapi ketika senyawa asap beraglomerasi bersama-sama,
maka akan terlihat sebagai asap. Asap terjadi ketika ada pembakaran tidak
sempurna, menghasilkan senyawa-senyawa yang bersifat racun yang dapat
menyebabkan kematian (Science Learn, 2015).
Tingkat kematian karena keracunan asap kebakaran jauh lebih besar
dibandingkan dengan kematian karena luka bakar. 85% kematian pada kasus
kebakaran disebabkan oleh asap kebakaran yang tebal dan beracun. Sementara itu
Hull, et.al., (2007) melaporkan bahwa tingkat kematian pada kasus kebakaran
karena terpapar asap mencapai 80%.
Diantara senyawa beracun yang terdapat dalam asap adalah karbon
monoksida (CO) yang merupakan penyebab utama kematian pada kasus
kebakaran (Nelson, 1998). Paparan CO 1600 ppm selama 20 menit dapat
menyebabkan sakit kepala, kontraksi jantung cepat, pusing dan mual, terpapar
selama 2 jam dapat menyebabkan kematian. Sedangkan paparan CO 3200 ppm
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
2
selama 5 - 10 menit dapat menyebabkan sakit kepala, pusing, dan mual, terpapar
selama 30 menit dapat menyebabkan kematian.
Tingkat racun (toxicity) dari keluaran pembakaran merupakan fungsi dari
material dan kondisi lingkungan pembakaran seperti zona pembakaran, geometri
ruang dan ventilasi (Wang, et.al., 2007). Wang et.al., (2007) telah mengkaji gas
yang dihasilkan dari pembakaran kayu blok dan kayu lapis (lining material).
Pemilihan lining materil karena bahan ini termasuk yang banyak digunakan
untuk dinding dan ceiling pada gedung perkantoran dan rumah, bahan ini mudah
terbakar. Hasilnya menunjukkan bahwa semakin kecil ventilasi maka semakin
banyak gas CO yang dihasilkan. Dari hasil peneliti yang lain menunjukkan bahwa
hasil pembakaran bukan hanya mengandung CO tetapi juga mengandung senyawa
berbahaya yang lain. Annemarie et.al. (2008) telah menemukan kasus kebakaran
hutan di Australia, bahwa asap kebakaran bukan hanya mengandung gas beracun
CO, tetapi juga mengandung senyawa organik dan an-organik, seperti senyawa
aldehid 60% dan akrolin pada level 80% dari TEL (Term Exposure Limit).
Senyawa aldehid dan akrolin adalah senyawa yang dapat menyebabkan gangguan
kesehatan bagi pekerja pemadam kebakaran (Fabienne et al., 2008). Hasil
penelitian Blomqvist, (2004) menunjukkan pembentukan CO disebabkan oleh
kondisi pembakaran dari smouldering sampai nyala.
Selain beracun, ketebalan asap juga dapat menurunkan tingkat visibilitas
seseorang dan tentunya akan berpengaruh dalam kecepatan melakukan evakuasi
selama kebakaran. Proses evakuasi dapat terhambat karena jarak pandang terbatas
dan gangguan pernafasan.
Dari latar belakang di atas terbukti bahwa asap hasil kebakaran
menimbulkan risiko yang sangat tinggi terhadap bahaya kematian. Oleh karena itu
diperlukan upaya khusus untuk mengurangi tingkat racun dan ketebalan asap
(proses penjernihan) pada kasus kebakaran. Pemanfaatan adsorben untuk proses
penjernihan asap diharapkan dapat juga menyelesaikan penyerapan CO.
Selama ini adsorben yang banyak digunakan untuk penjernihan asap
adalah TiO2, MgO, NaHCO3, Ca(OH)2 (Yadav, et.al, 2007), oksida logam dan
hiroksida logam dari Mg, Sr, Ba, Ca, Ti, Zr, Fe, V, Mn, Ni, Cu, Al, Si, Zn, Ag,
Mo, Sb, dan campurannya Mulukutla dkk, (2007). Kemampuan adsorben logam
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
3
ini mampu menjernihkan asap lebih cepat 10 kali dibandingkan tanpa adsorben.
Xu, et. al. (2003) menggunakan zeolit NaY dan ZSM-5 untuk menyerap
nitroamine dari asap rokok. Kapasitas penyerapan masing-masing 84% dan 82%.
Penggunaan adsorben di atas baru sebatas untuk penjernihan asap, belum
dilihat kemampuan mengadsopsi CO. Oleh karena itu pada penelitian ini
dilakukan uji kemampuan terhadap TiO2, CuO dan MgO dalam mengadsorpi CO.
Karena penggunaan adsorben di atas memiliki harga yang mahal dan keberadaan
juga terbatas, maka pemilihan adsorben berbahan baku alam menjadi alternatif
yang potensial untuk dikembangkan. Indonesia memiliki banyak sumber zeolit
alam dan karbon aktif. Keduanya merupakan bahan alam yang potensial dijadikan
adsorben untuk menjernihkan asap dan menyerap CO. Hingga saat ini belum ada
penelitian yang meneliti penyerapan CO dari asap menggunakan adsorben zeolit
alam dan karbon aktif.
Zeolit alam dan karbon aktif yang digunakan perlu mendapatkan
perlakuan awal sebelum dijadikan sebagai adsorben. Zeolit alam masih banyak
pengotor yang dapat mengurangi luas permukaan, kemampuan menjernihkan asap
dan bersifat hydrophilic (suka terhadap uap air). Jika digunakan langsung untuk
menjernihkan asap kemampuan zeolit menyerap uap air lebih besar dibandingkan
menyerap CO. Oleh karena itu perlu diaktifasi untuk meningkatkan luas
permukaan dan lebih bersifat tidak suka terhadap air (hydrophobic). Tempurung
kelapa sawit mengandung selulosa sebesar 26,6% dan hemiselulosa 27,7% baik
untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku karbon aktif. Rata-rata produksi buah
kelapa sawit per tahun adalah sebesar 5,6 juta ton, limbah tempurung yang
dihasilkan sekitar 672 ribu ton (Pujianto, 2010). Oleh karena itu karbon aktif perlu
dibuat sedemikian rupa sehingga menghasilkan luas permukaan yang besar.
Sampai saat ini uji penjernihan asap umumnya menggunakan dua
kompartemen (ruang uji). Kompartemen pertama berfungsi sebagai tempat
membentuk asap, kompartemen kedua berfungsi sebagai ruang uji penjernihan
asap. Adanya dua kompartemen yang terpisah dapat menyebabkan molekul asap
semakin sering bertumbukkan karena adanya gaya dari luar untuk mengalirkan.
Untuk menghindari hal tersebut pada penelitian ini, peneliti mendisain dan
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
4
menggunakan kompartemen (ruang uji) tunggal dimana proses pembentukkan
asap dan uji penjernihan dilakukan dalam satu kompartemen.
Pada penelitian ini dilakukan seleksi terhadap zeolit alam, karbon aktif
TiO2, CuO dan MgO untuk menyerap CO, kemudian digunakan untuk
menjernihkan asap dan mengadsopsi CO. Pada kompartemen tunggal ini
dilakukan proses pembentukkan asap dan proses penjernihannya secara in-situ.
Berdasarkan penelitian awal ditemukan kesulitan dalam pembuatan asap dengan
tingkat kepekatan dan kandungan CO seperti asap kebakaran. Pembentukkan asap
dilakukan menggunakan bahan yang mampu menghasilkan asap yang pekat
berwarna putih (smoldering) dan kandungan CO tinggi. Setelah asap terbentuk,
adsorben dimasukkan dengan cara didispersikan (spray) secara merata ke dalam
kompartemen menggunakan gas nitrogen (carrier gas). Pada saat adsorben
didispersikan inilah terjadinya proses penjernihan asap dan adsorpsi CO. Untuk
mendapatkan proses penjernihan yang optimum maka perlu diperhatikan ukuran
diameter adsorben, massa adsorben dan kemampuan penjernihan asap pada
ketinggian tertentu di dalam kolom. Ketiga variabel ini menjadi fokus penelitian
yang dilakukan. Parameter keberhasilan dari proses penjernihan asap dan
penyerapan CO ini diukur dengan waktu untuk mencapai tingkat kejernihan 10%
(t10) dan jumlah CO teradsorpsi.
1.2 Rumusan Masalah
Studi penggunaan adsorben TiO2, CuO dan MgO dalam proses
penjernihan asap selama ini hanya mengkaji tentang kemampuan adsorben dalam
menjernihkan asap, belum meneliti tentang kemampuannya dalam menyerap CO.
Padahal pada kasus kebakaran tingkat kematian paling tinggi disebabkan oleh
kandungan CO yang sangat tinggi dalam asap. Oleh karena itu, sebelum adsorben
digunakan dalam proses penjernihan asap, perlu dilakukan seleksi awal terhadap
adsorben dengan melihat kemampuan adsorben tersebut dalam menyerap CO.
Pada studi seleksi awal ini juga dilakukan studi terhadap zeolit alam dan karbon
aktif sebagai adsorben alternatif yang potensial.
Kepekatan dan kandungan CO sangat dipengaruhi oleh massa bahan
bakar yang dibakar. Oleh karena itu diperlukan studi bagaimana pengaruh massa
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
5
bahan bakar yang dibakar terhadap kepekatan asap dan kandungan CO yang
dihasilkan.
Dari hasil seleksi kemampuan adsorben dalam menyerap CO di atas,
terhadap adsorben terpilih dilakukan uji penjernihan asap dan menyerapan gas CO
dari asap hasil pembakaran. Bagaimana meningkatkan kemampuan adsorben
terpilih agar dapat meningkatkan kecepatan laju penjernihan asap dan penyerapan
CO melalui pengaturan ukuran partikel dan massa adsorben?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan konseptual dari penelitian ini adalah mendapatkan adsorben yang
mampu menjernihkan asap dan mengadsorpsi karbon monoksida secara simultan.
Tujuan operasional dari penelitian ini adalah:
1. Melakukan seleksi terhadap adsorben yang mampu menyerap CO dengan
metoda adsorpsi isotermis, dimana parameter yang dijadikan untuk
mengukur kemampuan adsorpsi adalah konstanta adsorpsi isotermis
Langmuir (nmaks dan b).
2. Menentukan massa bahan bakar yang dapat menghasilkan asap jenis
smoldering seperti pada asap kebakaran.
3. Melakukan uji penjernihan asap dan penyerapan CO terhadap adsorben
hasil seleksi pada uji adsoprsi CO di atas untuk mendapatkan ukuran
partikel dan massa dari adsorben yang efektif menjernihkan asap dan
menyerap CO.
1.4 Hipotesis Penelitian
Zeolit alam dan karbon aktif memiliki kemampuan yang baik dalam
menjernihkan asap dan menyerap CO karena memiliki luas permukaan yang
besar dan sifat elektrostatik pada permukaan.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
6
1.5 Nilai Keterbaruan (Novelty)
1 Penelitian ini menggunakan zeolit alam dan karbon aktif untuk penjernihan
asap dan penyerapan CO secara simultan, karena sampai saat ini belum pernah
dilakukan.
2 Pada penelitian ini menggunakan kompartemen tunggal dimana proses
pembuatan asap dan uji penjernihan dilakukan secara simultan dalam 1 (satu)
ruang uji sehingga dapat menghindari terjadinya aglomerasi asap sebelum
dispersi adsorben.
1.6 Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini:
1. Jenis asap smoldering yang berasal dari tisu.
2. Uji adsorpsi CO mengguna metode adsorpsi isotermis Langmuir.
3. Uji penjernihan asap menggunakan kompartemen tunggal.
4. Pendeteksi asap menggunakan sensor tipe fotoelektrik berbasis micro
controller.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Termodinamika Kimia Pembakaran
Pembakaran merupakan reaksi kimia antara bahan bakar dengan suatu
pengoksidasi yang menghasilkan panas, cahaya, gas, dan asap. Pembakaran dibagi
menjadi dua, yaitu pembakaran sempurna dan pembakaran tidak sempurna.
Pembakaran sempurna terjadi jika campuran bahan bakar dan oksigen mempunyai
perbandingan yang tepat, sebaliknya pembakaran tidak sempurna terjadi jika
campuran bahan bakar dan oksigen tidak mempunyai perbandingan yang tepat.
Hasil pembakaran sempurna adalah karbon dioksida dan uap air. Jika oksigen
terlalu banyak campuran dikatakan lean. Sebaliknya, jika bahan bakar terlalu
banyak (atau tidak cukup oksigen), dikatakan campuran rich. Secara umum,
rumus kimia untuk stoikiometri pembakaran sempurna hidrokarbon adalah
OHy
COxOy
xCxHy 22224
(2.1)
Berikut ini adalah persamaan reaksi pembakaran sempurna propana dengan
oksigen.
OHCOOHC 22283 435 (2.2)
Sedangkan reaksi pembakaran tidak sempurna hidrokarbon dengan oksigen,
secara umum dapat dilihat pada Persamaan 2.3 berikut:
OHyz
COxzOyx
zCxHyz 222
..
42
(2.3)
Berikut ini adalah persamaan reaksi pembakaran tidak sempurna propana dengan
oksigen:
OHCOOHC 2283 432
7 (2.4)
Jika pembakaran menggunakan udara kering reaksi pembakaran sempurna dapat
dilihat pada Persamaan 2.5 berikut:
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
8
222224
76,324
76,34
Ny
xOHy
COxNy
xOy
xCxHy
(2.5)
Persamaan reaksi pembakaran sempuran propana dengan udara dapat dilihat pada
persamaan berikut ini:
2222283 8,18438,185 NOHCONOHC (2.6)
Sementara itu pembakaran tidak sempurna akan menghasilkan asap dengan
komposisi yang sangat beragam. Pada kasus kebakaran reaksi pembakaran yang
terjadi adalah pembakaran tidak sempurna, komposisi asapnya sangat beragam.
2.2 Produksi dan Sifat Asap
Asap adalah kumpulan partikel padat, cair dan gas kecil. Meskipun asap
dapat mengandung ratusan bahan kimia yang berbeda, asap yang terlihat sebagian
besar adalah karbon (jelaga), tar, minyak dan abu. Asap terjadi ketika ada
pembakaran tidak sempurna (tidak cukup oksigen untuk membakar sempurna
bahan bakar). Pada pembakaran sempurna, semuanya bahan dibakar, hanya
memproduksi air dan karbon dioksida. Ketika terjadi pembakaran tidak sempurna,
tidak semuanya terbakar. Asap adalah kumpulan dari partikel-partikel kecil yang
tidak terbakar. Setiap partikel terlalu kecil untuk dilihat dengan mata, tetapi ketika
beraglomerasi bersama-sama, maka akan terlihat sebagai asap (Science Learn,
2015).
Asap dapat memiliki densitas yang sangat pekat, panas dan mengandung
senyawa beracun yang berbahaya terhadap kesehatan. Densitas dan toksisitas asap
yang diproduksi bergantung pada bahan bakar dan kondisi pembakaran. Polimer
aromatik seperti poli stirena, menghasilkan lebih banyak asap dari pada
hidrokarbon dengan ikatan tunggal. Sedangkan volume total asap yang diproduksi
bergantung pada ukuran api dan kondisi pembakaran. Umumnya ada tiga jenis
kondisi pembakaran yaitu; flaming, pyrolisis, dan smoldering (Mulholland, 2002).
Asap Flaming yaitu asap yang dihasilkan dari api yang menyala, seperti
pembakaran pada kompor minyak tanah dan pembakaran sampah, asap yang
dihasilkan berwarna hitam dan banyak butiran karbon. Asap pyrolisis merupakan
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
9
asap yang dihasilkan dari proses pemanasan radiasi pada permukaan material
tanpa adanya pencampuran oksigen yang dapat merubah struktur kimia bahan
bakar menjadi volatile, asap yang dihasilkan tidak terlalu hitam.temperatur pada
permukaan material padatan antara 600 sampai 700 K, sedangkan temperatur pada
permukaan gas antara 1200 sampai 1700 K. Meskipun kebanyakan material dapat
dipirolisis hanya beberapa material yang dapat terbakar besar, seperti selulosa
(kayu, kertas, cardboard, dll) dan busa poliuretan (Blomqvist, 2004). Asap
smoldering, yaitu asap yang dihasilkan dari proses pembakaran yang terjadi
karena kenaikan temperatur pada permukaan material dan reaksi antara uap
material dan oksigen melalui efek konduksi atau konveksi. Pembakaran secara
smoldering juga menghasilkan butiran asap, namun butiran yang dihasilkan
berwarna putih. Proses terbakarnya suatu bahan bakar dari mulai padatan menjadi
uap diperkirakan seperti pada Gambar 2.1.
Gambar 2. 1 Proses perubahan secara fisik bahan bakar dari fase padat hingga uap
(Drysdale, 2003)
2.2.1 Pergerakan Asap
Pergerakkan asap yang cepat dapat mengakibatkan penurunan jarak
pandang, menimbulkan kepanikan, dan menjadi lebih berbahaya terhadap pekerja
pemadaman kebakaran (Blomqvist, 2004). Secara umum penyebaran atau gerakan
asap dalam suatu ruangan dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya:
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
10
1. Gaya apung (buoyancy) yang dihasilkan oleh api.
2. Gaya apung (buoyancy) yang diakibatkan oleh perbedaan temperatur ambient
internal ruangan dengan eksternal ruangan.
3. Sistem tata udara dalam ruangan tersebut dan banyaknya ventilasi pada ruangan
sehingga berpengaruh pada volume udara yang dapat masuk atau keluar
ruangan.
Asap merupakan fluida oleh karena itu pergerakan asap mengikuti hukum
mekanika fluida. Asap secara alamiah akan bergerak ke atas karena gaya apung
dari asap. Gaya apung asap disebabkan karena perbedaan densitas antara fluida
asap dengan udara di lingkungan sekitar. Perbedaan densitas ini disebabkan
karena perbedaan temperatur asap dengan lingkungan sekitarnya. Asap terbentuk
karena proses pembakaran maka temperatur awal asap lebih tinggi dibandingkan
temperatur lingkungan sekitar. Seiring dengan waktu temperatur asap mengalami
penurunan akibat kontak dengan lingkungan sekitar. Pertukaran panas ini terjadi
secara konveksi, udara lingkungan bergerak masuk ke dalam asap yang
menyebabkan penurunan temperatur asap dan meningkatkan temperatur
lingkungan. Proses ini berlangsung hingga terjadinya titik kesetimbangan antara
temperatur asap dengan temperatur lingkungan. Akibat penurunan temperatur
asap gaya apung asap akan mengalami penurunan hingga mencapai nilai nol
bahkan bernilai negatif. Hal inilah yang membuat asap berhenti bergerak ke atas
dan cenderung bergerak turun karena gaya apungnya sudah bernilai negatif. Siklus
seperti ini terjadi berulang-ulang sehingga membentuk kepulan asap yang disebut
smoke plume.
Pergerakan asap juga dipengaruhi oleh viskositas asap dan interaksi
gesekan dengan udara lingkungan sekitar. Asap dengan viskositas rendah
bergerak lebih cepat dibandingkan dengan yang viskositas lebih tinggi. Akibat
interaksi asap dengan lingkungan sekitar dapat mempengaruhi konsentrasi dan
ukuran partikel-partikel asap sehingga mempengaruhi pergerakan asap.
Pergerakkan asap juga sangat dipengaruhi oleh kondisi bangunan, pada bangunan
bertingkat asap dapat naik melalui banyak jalur menuju lantai yang lebih tinggi.
Secara umum pergerakkan asap dalam bangunan melalui saluran udara
penghubung lantai, saluran toilet, dapur, poros lift, tangga, ventilasi, ruang antara
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
11
dinding. Gambar produksi dan pergerakan asap secara visual dapat dilihat pada
Gambar 2.2.
Gambar 2. 2 Produksi dan pergerakan asap
( Blomqvist, 2004)
2.2.2 Toksisitas Asap
Asap yang dihasilkan dari reaksi pembakaran mengandung gas beracun,
terutama reaksi pembakaran tidak sempurna. Pada kasus kebakaran reaksi
pembakaran yang terjadi adalah reaksi tidak sempurna. Sebagian besar korban
meninggal pada kasus kebakaran disebabkan terpapar asap yang mengandung
senyawa beracun yang dapat menyebabkan sesak nafas, pingsan dan disorientasi
yang menghambat proses evakuasi.
Senyawa beracun yang terdapat dalam asap sangat bergantung pada bahan
yang dibakar dan kondisi pembakaran. Lestari, et.al., (2006) telah meneliti
tentang bahaya produk hasil pembakaran polimetil metakrilat (PMMA). PMMA
metakrilat (PMMA) adalah bahan polimer termo plastik yang banyak digunakan
pada interior bangunan dan transportasi umum, pengganti kaca jendela, selimut
mandi, pelindung mesin, dan dalam seni dan display makanan. Proses
pembakaran (non-flaming) PMMA dilakukan menggunakan tube furnace pada
temperatur 350oC dan 420
oC dengan mengatur aliran udara primer dan sekunder
(Gambar 2.3). Hasilnya menunjukkan bahwa komposisi kimia asap dari
dekomposisi termal PMMA pada 350 ° C adalah monomer metil metakrilat, etil
akrilat, asam akrilat metil ester dan aseton. Produk pembakaran lain mengandung
asam propanoat metil ester, asam isobutrik metil ester, 3-buten-2-one, 2-butanone,
asetaldehida dan karbon dioksida hanya dihasilkan pada 420 ° C. Efek terhadap
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
12
kesehatan menunjukkan bahwa produk pembakaran dari PMMA dapat
menyebabkan penurunan yang signifikan dalam kelangsungan hidup sel (Lestari,
et.al., 2006). Sementara itu Tabel 2.1 menunjukkan gas beracun dari berbagai
bahan yang dibakar ( Hilado, 1982).
Gambar 2. 3 Skema tube furnace untuk menghasilkan produk pembakaran
(Lestari, et.al., 2006)
Tabel 2. 1 Gas beracun yang terbawa bersama asap pembakaran
Gas Beracun Potensi Sumber Efek
Sublethal
Acrolein (CH2-CHCHO) ABS A
Formaldehyde (HCHO) POM, polypropylenes B
Hydrogen cyanide (HCN) Nitrogen-containing materials, e.g., wool, silk, PAN, ABS C
Hydrogen chloride (HCl) PVC and chlorinated additives B, D
Hydrogen fluoride (HF) PTFE, other fluorinated compounds and additives B
Hydrogen bromide (HBr) Brominated compounds and additives B, D
Sulfur dioxide (SO2) Sulfur-containing materials, e.g., wool, vulcanized rubbers, B
Hydrogen sulfide (H2S) Sulfur-containing materials C
Styrene (C8H8) Polystyrenes, ABS C
Toluene (C7H8) Polystyrenes, PVC, polyurethane foams D
Benzene (C6H6) Polystyrenes, PVC, polyesters, nylons C
Sublethal effects: A, dibawah 10−5 fraksi volum; B, 10−5
sampai 10−4 fraksi volum; C, 10−4
sampai
10−3 fraksi volum; D, 10−3
to 10−2 fraksi volum. (C.J. Hilado, 1982)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
13
2.2.2.1 Karbon Monoksida (CO)
Karbon monoksida dapat terbentuk dari salah satu dari tiga proses; (1)
pembakaran tidak sempurna terhadap karbon atau komponen yang mengandung
karbon, (2) reaksi antara karbon dioksida dengan senyawa yang mengandung
karbon pada temperatur tinggi, (3) karbon dioksida terurai menjadi karbon
monoksida dan oksigen pada temperatur tinggi.
Karbon monoksida dalam darah dapat berikatan dengan hemoglobin (Hb)
menjadi karboksi hemoglobin (COHb). Hemoglobin berikatan dengan karbon
monoksida 200 kali lebih kuat dibandingkan dengan oksigen. Hal inilah yang
menghambat proses pengangkutan oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Kekurangan
O2 (< 14%) dapat menyebabkan sesak nafas yang mengakibatkan kematian
(Wang et.al., 2007).
Baku mutu keberadaan karbon monoksida di udara 8 ppm. Konsentrasi
CO 30 ppm dalam waktu 8 jam dapat menimbulkan rasa pusing dan mual, 1000
ppm dalam waktu 1 jam akan menyebabkan pusing dan kulit berubah menjadi
kemerah-merahan. Konsentarsi CO 1300 ppm dalam waktu 1 jam dapat
menyebabkan rasa pusing yang hebat dan kulit langsung berubah menjadi merah
tua. Konsentrasi CO 12800 ppm dapat membunuh manusia dalam waktu 3 menit.
(Goldstein, 2008). Tabel 2.2 menunjukkan dampak paparan CO terhadap
kesehatan manusia.
Tabel 2. 2 Konsentrasi karbon monoksida dan waktu paparan
(Goldstein, 2008)
Konsentrasi CO Tingkat COHb Dampak
35 ppm < 10% 6 - 8 jam menyebabkan pusing dan kepala sakit
100 ppm > 10% 2 - 3 jam menyebabkan kepala sakit
200 ppm 20% 2 - 3 jam menyebabkan hilang keseimbangan
400 ppm 25% 1 - 2 jam menyebabkan sakit kepala hebat
800 ppm 30% 45 menit menyebakan pusing dan mual
1600 ppm 40% 20 menit menyebabkan pusing, kepala sakit, mual
2 jam menyebabkan meninggal
3200 ppm 50% 5 - 10 menit menyebabkan pusing, kepala sakit, mual
30 menit menyebabkan meninggal
6400 ppm 60% 1 - 2 menit menyebabkan pusing, kepala sakit
20 menit menyebabkan sesak napas, meninggal
12800 ppm > 70% < 3 menit menyebabkan meninggal
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
14
2.2.2.2 Senyawa Lain Dalam Asap
Karbon dioksida, beracun terhadap jantung dan menyebabkan menurunnya
gaya kontraktil. Pada konsentrasi 3% di udara, CO2 bersifat narkotik ringan,
menyebabkan peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, dan menyebabkan
penurunan daya dengar. Pada konsentrasi 5% menyebabkan stimulasi pusat
pernapasan, pusing-pusing, kebingungan, dan kesulitan pernapasan yang diikuti
sakit kepala dan sesak napas. Pada konsentrasi 8% menyebabkan sakit kepala,
keringatan, penglihatan buram, tremor, dan kehilangan kesadaran setelah paparan
selama lima sampai sepuluh menit (Davidson, 2003).
Gas NOx, berasal dari gas buangan pembakaran generator pembangkit
listrik atau mesin yang menggunakan bahan bakar gas alam. Konsentrasi NO yang
tinggi dapat menyebabkan gangguan pada sistem saraf yang mengakibatkan
kejang-kejang. Bila keracunan terus berlanjut dapat menyebabkan kelumpuhan.
Gas NO akan menjadi lebih berbahaya apabila gas NO teroksidasi menjadi NO2.
Paparan NO2 konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan kerusakan berat dan cepat
pada paru-paru (Yang dan Stanley, 2008).
Zat partikulat atau particulate matter (PM), merupakan zat pencemar
padat maupun cair yang terdispersi di udara. Partikulat dapat berupa debu, abu,
jelaga, asap, uap, kabut, atau aerosol. Beberapa unsur kandungan partikulat adalah
karbon dari pembakaran tidak sempurna dan logam timbal dari pembakaran
bensin bertimbal. Standar baku mutu yang diperbolehkan adalah 150 ug/Nm3
(Annemarie, 2008).
Sulfur dioksida, gas yang tidak berwarna, berbau, dan larut dalam air
membentuk asam. Ambang batas SO2 adalah 80 g/m3 rata-rata/tahun dan 365 g/m
3
maksimum 24 jam, (Yang, 2008). Efek negatif terpapar gas ini adalah masalah
pernafasan, perubahan ketahanan paru-paru, memperburuk penyakit pernafasan
dan kardiovaskuler.
Hidrogen sianida (HCN), dihasikan dari reaksi pembakaran senyawa
hidrokarbon terklorinasi di udara seperti; plastik, kulit karet, sutra, wool, atau
kayu. Pada konsentrasi 100 ppm dapat menyebabkan kematian dalam waktu 30
sampai 60 menit. Walau hidrogen sianida jauh lebih beracun dari karbon
monoksida tetapi dalam kebakaran jumlahnya sangat kecil.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
15
Phosgene, dihasilkan pembakaran senyawa hidrokarbon terklorinasi,
seperti; karbon tetraklorida, freon, atau etilena diklorida. Konsentrasi 25 ppm
dapat mematikan dalam waktu 30 sampai 60 menit.
2.2.3 Pengukuran Densitas Asap
Densitas optis dapat dikatakan sebagai tingkat kecerahan asap. Densitas
optis dapat ditentukan dengan melewatkan asap pada sebuah alat opasitimeter.
Pada alat tersebut terdapat sebuah transmitter yang mengirimkan cahaya dan ada
bagian yang menerima cahaya (receiver) sehingga akan terbentuk sebuah
lightbeam. Nilai dari densitas optis asap dapat diketahui ketika asap melewati
lightbeam tersebut. Ketika tidak ada asap yang melintas, nilai intensitas cahaya
yang diterima receiver akan sama dengan intensitas awal yang dikeluarkan oleh
transmitter (I0). Seiring dengan melintasnya asap pada lightbeam tersebut maka
nilai intensitasnya akan berkurang menjadi (I).
Ada beberapa metode dalam mengukur partikulat asap dari material yang
terbakar dan dapat memungkinkan untuk memilih metode sebagai berikut:
a) Menyaring asap dan menentukan berat dari material (hanya cocok untuk
pengujian skala kecil.
b) Mengumpulkan asap pada volume yang sudah diketahui dan menentukan
optical density-nya (untuk skala kecil dan menengah).
c) Membiarkan asap untuk mengalir sepanjang pipa, dan mengukur optical
density-nya dimana penyumbatan aliran sudah ditetapkan dan menyatu dalam satu
perangkat tersebut untuk mengukur total partikulat asap.
Diantara ketiga metode tersebut, metode yang paling memungkinkan
dalam eksperimen ini adalah metode pada poin (b) (Apriano dan Yulianto, 2012).
Optical density dapat ditentukan dengan pengukuran melalui beam of light yang
melewati asap (Gambar 2.4)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
16
Gambar 2. 4 Gambaran cara kerja beam of light untuk mengukur optical density
(Drysdale, 2003)
Pada Gambar 2.4, beam of light atau sumber cahaya menembakkan cahaya
ke foto cell dengan jarak L. Jika pada saat pengaktifan beam of light tidak ada
asap yang terukur, intensitas yang diterima oleh recorder akan bernilai Io atau
nilai intensitas awal. Pada saat asap melewati sinar dari sumber cahaya, intensitas
yang terukur akan bernilai Ix sebagai intensitas yang berkurang dari intensitas
awal. Hubungan kedua nilai intensitas ini dijelaskan melalui hukum Bouger
(Mulholland, 2002):
Hubungan antara (I0) dan (I) terdapat pada hukum Bouger:
(2.7)
dimana,
K = koevisien absorpsi
l = jarak atau ketebalan asap.
Sedangkan, untuk nilai densitas optis dapat diperoleh dengan persamaan:
(2.8)
Dari persamaan di atas, dapat dilihat bahwa nilai densitas optis sangat
berpengaruh pada ketebalan asap. Semakin tebal asap maka densitas optis asap
akan semakin besar. Di sisi lain, light transmission dan opasitas asap dapat
ditentukan oleh persamaan berikut:
(2.9)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
17
Di mana T adalah besar nilai transmisi cahaya yang diterima oleh photo cell
dengan satuan persentase (%) dan N adalah persentase opasitas yang terukur pada
photo cell (%). Sehingga dari hubungan Persamaan (2.7) dan (2.8) dapat
disubtstitusikan ke Persamaan (2.9), sehingga didapatkan persamaan baru:
T exp(OD) (2.10)
Dengan demikian, nilai optical density berhubungan secara linier dengan nilai
transmisi melalui persamaan:
Tingkat kecerahan asap dapat juga dinyatakan dalam opasitas yang
menunjukkan derajat ketidaktembusan suatu permukaan oleh cahaya. Opasitas
dinyatakan dalam persen dengan rentang 0 sampai 100. Sebagai contoh, jika suatu
keadaan dikatakan memiliki opasitas 25%, hal ini berarti debu, jelaga, atau asap
hanya menahan 25% cahaya yang lewat dan meneruskan 75% sisanya (Jennifer, et
al., 2007). Untuk keadaan yang benar-benar gelap opasitas 100 (100%) dan
keadaan jernih diberi opasitas 0 (0%).
2.2.3.1 Sitem Sensor Tipe Fotoelektrik
Micro Controller
Micro controller adalah salah satu bagian dasar dari suatu sistem
komputer. Meskipun mempunyai bentuk yang jauh lebih kecil dari suatu
komputer pribadi, micro controller dibangun dari elemen-elemen dasar yang
sama. Micro controller merupakan suatu chip dengan tingat kesulitan yang sangat
tinggi, dimana semua bagian yang diperlukan untuk suatu kontroler sudah
dikemas dalam satu keping, biasanya terdiri dari CPU (Central Proccesssing
Unit), RAM (Random Acess Memory), EEPROM/EPROM/PROM/ROM, I/O,
Timer, dan lain sebagainya. Rata-rata micro controller memiliki instruksi
manipulasi bit, akses ke I/O secara langsung dan mudah, dan proses interupsi
yang cepat dan efisien. Gambar berikut adalah konfirugasi micro controller
Atmega 16.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
18
Gambar 2. 5 Konfigurasi ATmega 16
Downloader K125R
Downloader K125R merupakan suatu perangkat elektronik yang
digunakan sebagai penghubung antara personal computer dengan micro controller
(Gambar 2.6). Awalnya kode perintah/tugas dibuat di komputer kemudian
dimasukkan ke dalam micro controller melalui perantara perangkat ini.
Disamping itu, perangkat ini juga digunakan untuk mentransfer data hasil bacaan
sensor ke dalam komputer karena perangkat ini juga dilengkapi dengan serial
USART.
Gambar 2. 6 Downloader K125R
Voltage Regulator LM276
Tegangan input yang dibutuhkan untuk laser pointer adalah 5volt
sedangkan tegangan baterai yang digunakan adalah 12 volt. Untuk itu diperlukan
voltage regulator yang merupakan perangkat elektronik untuk mengubah
tegangan input 12 volt (baterai) menjadi 5volt. Device yang digunakan adalah
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
19
LM2576. Gambar di bawah ini menunjukkan skematik rangkaian dan hasil
rancangan voltage regulator LM2576.
Gambar 2. 7 Skematik LM2576
Gambar 2. 8 Voltage regulator rancangan
Sensor Cahaya Photodiode
Photodiode merupakan piranti semikonduktor dengan struktur sambungan
p-n yang dirancang untuk beroperasi bila dibiaskan dalam keadaan terbalik, untuk
mendeteksi cahaya (Pandiangan, 2007). Ketika energi cahaya dengan panjang
gelombang yang benar jatuh pada sambungan photodiode, arus mengalir dalam
sirkuit eksternal. Komponen ini kemudian akan bekerja sebagai generator arus,
yang arusnya sebanding dengan intensitas cahaya itu. Cahaya diserap di daerah
penyambungan atau daerah intrinsik menimbulkan pasangan elektron-hole yang
mengalami perubahan karakteristik elektris ketika energi cahaya melepaskan
pembawa muatan dalam bahan itu, sehingga menyebabkan berubahnya
konduktivitas. Hal inilah yang menyebabkan photodiode dapat menghasilkan
tegangan/arus listrik jika terkena cahaya. Photodiode digunakan dalam aplikasi–
aplikasi yang meliputi kartu bacaan, kontrol cahaya ambient dan layar proyektor.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
20
Pada photodiode kita mengenal istilah responsivitas yaitu kemampuan dari sebuah
photodiode untuk menambah arus bias mundur sebagai hasil dari sebuah
penambahan pada cahaya. Gambar 2.9 adalah sensor cahaya photodiode.
Gambar 2. 9 Sensor cahaya photodiode
Sinar Laser
Gambar 2. 10 Laser Pointer
Laser merupakan singkatan dari Light Amplification by Stimulated
Emission of Radiation, yang artinya penguatan cahaya dengan rangsangan
pancaran radiasi. Sifat yang terjadi akibat kesamaan frekuensi adalah
monokromatis dan sifat yang terjadi akibat kesamaan fase adalah koherensi. Jadi,
syarat terbentuknya laser adalah sumber cahaya yang monokromatis dan koheren.
Laser mempunyai sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh sumber cahaya lain. Sifat-
sifat khas laser antara lain kesearahan, intensitas, monokromatis, dan koherensi
(Setyaningsih, 2006).
2.3 Adsorpsi
Adsorpsi adalah suatu proses yang terjadi ketika suatu fluida, cairan
maupun gas (adsorbat) terikat pada suatu padatan atau cairan (adsorben) hingga
akhirnya membentuk lapisan molekular atau atom. Istilah adsorpsi biasa
digunakan untuk menggambarkan keberadaan suatu bahan tertentu (cairan atau
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
21
padatan) dengan konsentrasi yang lebih tinggi pada permukaannya dari pada di
dalam medium fasa ruahnya. Adsorpsi di kelompok dalam adsorpri fisika dan
kimia (Ruthen dan Douglas, 1984).
2.3.1 Adsorpsi Fisika
Adsorpsi fisika adalah adsorpsi yang terjadi karena adanya gaya Van Der
Waals (gaya tarik-menarik yang relatif lemah) antara adsorbat dengan permukaan
adsorben. Adsorpsi ini terjadi apabila suatu adsorbat dialirkan pada permukaan
adsorben yag bersih. Pada adsorpsi fisika, adsorbat tidak terikat kuat pada
permukaan adsorben, sehingga adsorbat dapat bergerak dari suatu bagian
permukaan ke bagian permukaan lainnya, dan pada permukaan yang ditinggalkan
oleh adsorbat yang satu dapat digantikan oleh adsorbat lainnya. Adsorpsi fisika
adalah suatu peristiwa yang reversibel, sehingga jika kondisi operasinya diubah
akan membentuk kesetimbangan baru. Peristiwa adsorpsi gas terjadi sangat cepat.
Proses adsorpsi disertai dengan pengeluaran panas sesuai dengan prinsip Le
Chatelier. Panas yang terjadi atau dikeluarkan pada peristiwa adsorpsi disebut
panas adsorpsi. Panas adsorpsi fisika umumnya rendah (5 – 10 kkal/gr-mol gas)
dan terjadi pada temperatur rendah, yaitu di bawah temperatur didih adsorbat. Hal
ini yang menyebabkan kesetimbangan dari proses adsorpsi fisika reversibel dan
berlangsung sangat cepat. Proses adsorpsi fisika terjadi tanpa memerlukan energi
aktivasi, sehingga pada prosesnya akan membentuk lapisan multilayer pada
permukaan adsorben. Ikatan yang terbentuk dalam adsorpsi fisika dapat
diputuskan dengan mudah, yaitu dengan cara pemanasan pada temperatur 150 –
200 0
C selama 2 – 3 jam.
2.3.2 Adsorpsi Kimia
Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang terjadi karena terbentuknya ikatan
kovalen dan ion antara molekul-molekul adsorbat dengan adsorben. Ikatan yang
terbentuk merupakan ikatan yang kuat sehingga lapisan yang terbentuk adalah
lapisan monolayer. Untuk adsorpsi kimia, yang paling penting adalah spesifikasi
dan kepastian pembentukan monolayer. Pendekatannya dengan menentukan
kondisi reaksi, sehingga hanya adsorpsi kimia yang terjadi dan hanya terbentuk
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
22
monolayer. Adsorpsi kimia bersifat tidak reversible dan umumnya terjadi pada
temperatur tinggi di atas temperatur kritis adsorbat, sehingga panas adsorpsi yang
dilepaskan juga tinggi (10 – 100 kkal/g.mol). Sedangkan untuk dapat terjadinya
peristiwa desorpsi dibutuhkan energi lebih tinggi untuk memutuskan ikatan yang
terjadi antara adsorben dan adsorbat. Energi aktivasi pada adsorpsi kimia berkisar
antara 10 – 60 kkal/g.mol.
2.3.3 Adsorpsi Isotermis
Adsorpsi isotermis adalah hubungan antara jumlah zat yang diadsorpsi
dengan kesetimbangan tekanan pada temperatur tetap. Brunaeur
mengklasifikasikan adsorpsi isotermis ke dalam lima jenis kurva seperti Gambar
2.11 berikut (Maron dan Lando, 1974).
Gambar 2. 11 Kurva adsorpsi isotermis Langmuir dan BET
(Maron dan Lando, 1974)
a. Tipe I
Jenis ini disebut Langmuir Isoterm menggambarkan adsorpsi satu lapis
(monolayer). Banyaknya adsorbat mendekati harga pembatas saat P/P0 mendekati
satu. Jenis ini biasanya diperoleh dari adsorben berpori kecil (mikropori) kurang
dari 2 nm dan luas area eksternal yang sangat sedikit. Kurva jenis ini biasanya
diperoleh dari adsorben karbon aktif dan zeolit molecular sieve.
b. Tipe II
Jenis ini adalah bentuk normal isoterm pada adsorben tak berpori
(nonpori) atau padatan berpori besar (macropores) dengan ukuran lebih besar dari
50 nm yang menunjukkan adsorpsi monolayer - multilayer.
c. Tipe III
Jenis ini menunjukkan tipe kuantitas adsorben semakin tinggi saat tekanan
relatif bertambah. Sama seperti tipe II, jumlah lapisan pada permukaan adsorben
tidak terbatas (multilayer).
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
23
d. Tipe IV
Jenis ini hampir sama dengan tipe II pada rentang tekanan relatif rendah
sampai menegah. Volume terbesar adsorbat yang teradsorpsi dapat dihitung dari
capillary condensation yang telah sempurna mengisi pori. Kurva jenis ini
dihasilkan dari padatan adsorben berukuran mesopore (2-50 nm).
e. Tipe V
Jenis ini hampir sama dengan tipe III, dihasilkan dari interaksi yang
rendah antara adsorben dengan adsorbat. Tipe V ini juga ditunjukkan oleh pori
dengan ukuran sama seperti tipe IV.
2.3.3.1 Adsorpsi Isotermis Freundlich
Persamaan matematika pertama untuk kondisi isotermal diberikan oleh
Freundlich dan Küster (1984). Persamaan 2.11 merupakan formula empiris murni
untuk adsorbat fasa gas.
nkPm
x1
(2.11)
dengan x = kuantitas adsorben
m = massa adsorben
P = tekanan adsorbat
k dan n = konstanta empiris untuk setiap pasanagn adsorbat-adsorben pada
temperatur tertentu
2.3.3.2 Adsorpsi Isotermis Langmuir
Model yang paling sederhana untuk adsorpsi monolayer adalah Langmuir.
Model Langmuir pertama kali dikembangkan untuk menunjukkan adsorpsi kimia
pada kumpulan tempat adsorpsi yang dilokalisasi. Persamaan umum yang
digunakan pada Langmuir adalah (Yang, 1987)
(2.12)
dengan:
ω = jumlah mol gas teradsorpsi per satuan massa adsorbent
= fraksi luas permukaan yang tertutup oleh lapisan monolayer
BP
BP
L
1
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
24
B = konstanta adsorpsi Langmuir yang besarnya bergantung pada
temperatur
P = tekanan adsorpsi
L = maksimum kapasitas adsorpsi pada model Langmuir dan Model
BET
Pada tekanan rendah, persamaan isoterm dapat disederhanakan menjadi
bentuk linier mengikuti hukum Henry’s sebagai berikut :
BP (2.13)
Parameter B dinamakan konstanta afinitas atau konstanta Langmuir.
Parameter B mengukur seberapa besar molekul adsorbat yang terserap ke
permukaan. Parameter B ini berhubungan dengan kalor adsorpsi (Q), dengan
persamaan sebagai berikut:
RTQemkT
B /
2/1)2(
(2.14)
dengan:
α = koefisien nonperfect sticking
kd∞ = koefisien kecepatan desorpsi pada temperatur tak terhingga
Persamaan Langmuir diatas didasarkan pada asumsi (Foo dan Hameed, 2010):
1. Adsorben dilapisi satu lapisan molekul gas adsorbat (unimolekular atau
monolayer)
2. Molekul teradsorpsi tidak bebas bergerak pada permukaan
3. Tidak ada interaksi lateral di antara molekul-molekul adsorbat
4. Entalpi adsorpsi sama untuk semua molekul
2.3.3.3 Adsorpsi Isotermis BET
Brunauer, Emmett, dan Teller (BET) mengembangkan model isotermis
sederhana untuk menghitung adsorpsi multilayer dan model ini digunakan untuk
mengetahui kapasitas monolayer dan juga luas permukaan spesifik. Konsep teori
ini adalah pengembangan dari teori Langmuir yang digunakan untuk adsorpsi
molekular monolayer menjadi teori adsorpsi molekular multilayer dengan
hipotesis sebagai berikut: molekul gas yang teradsorp secara fisik pada permukaan
solid pada banyak lapisan dan tanpa adanya interaksi antar tiap lapisan adsorpsi.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
25
Model persamaan isotermal dari BET adalah dapat ditulis sebagai berikut (Yang,
1987):
s
sP
PCPP
CP
L11
(2.15)
dimana:
ω = jumlah mol gas teradsorpsi per satuan unit massa adsorbent
L = maksimum kapasitas adsorpsi pada model Langmuir dan Model BET
P = tekanan gas saat teradsorpsi
Ps = tekanan jenuh adsorbat gas hingga mencapai kapasitas maksimum
adsorpsi
C = parameter adsorpsi isotermis model BET
2.3.3.4 Model Adsorpsi Isotermis Gibbs
Adsorpsi isoterm Gibbs (dikenal juga sebagai excess adsorption)
merupakan kurva adsorpsi yang diperoleh langsung dari data eksperimen yang
didapat. Perbedaan mendasar antara adsorpsi Gibbs dan absolut terletak pada
pendekatan perhitungan dari jumlah zat yang tidak teradsorpsi pada suatu
adsorben, unadsn . Gambar 2.12 mengilustrasikan gas dalam keadaan teradsorpsi
serta fasa yang tidak teradsorpsi yang digunakan dalam perhitungan jumlah zat
teradsorpsi. Dalam eksperimen, nunads dihitung dengan cara mengabaikan nilai dari
volume gas fasa teradsorpsi pada permukaan adsorben (Vadsorp) karena sulitnya
mengetahui volum gas dalam fasa teradsorpsi tersebut. Sehingga dalam
perhitungannya, adsorpsi Gibbs (eksperimen) menggunakan keseluruhan Vvoid,
sementara itu, untuk menghitung jumlah zat teradsorpsi yang sebenarnya
(adsorpsi absolut) seharusnya menggunakan Volume bulk gas, Vgas, dalam
menghitung jumlah zat yang tidak teradsorpsi.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
26
Gambar 2. 12 Ilustrasi keadaan fasa teradsorpsi pada suatu pori adsorben
(2.16)
(2.17)
(2.18)
nsoluble merupakan jumlah zat yang terlarut pada pelarut yang ada pada
adsorben, misalnya pada adsorben yang memiliki kandungan air atau zat pelarut
lainnya, namun jika adsorben merupakan adsorben kering, maka nsoluble dapat
diabaikan. Z merupakan faktor kompresibilitas gas murni yang dihitung
berdasarkan kondisi temperatur dan tekanan pada saat diambilnya data.
2.3.3.5 Hubungan Antara Adsorpsi Gibbs dan Adsorpsi Absolut pada
Adsoprsi Gas Murni
Berdasarkan Gambar 2.12 dimana terdapat dua fasa homogen, yaitu fasa
gas dan fasa teradsorpsi, maka total volume sistem adalah penjumlahan dari
volume adsorben, gas, dan volume fasa teradsorpsi.
Vtotal = Vsolid + Vgas + Vads (2.19)
Volume kosong (Vvoid) yang dihitung menggunakan kalibrasi Helium
berhubungan dengan persamaan:
Vvoid = Vgas + Vads = Vtotal – Vsolid (2.20)
(2.21)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
27
Dalam perhitungan Gibbs, dalam menentukan nunads, mengabaikan volum
yang ditempati fasa terkondensasi (teradsorpsi), sehingga dalam perhitungannya
menggunakan Vvoid. Persamaan 2.21 menjadi :
(2.22)
Sedangkan pada adsorpsi absolut, persamaan menjadi :
(2.23)
Persamaan 2.21, 2.22 dan 2.23 dikombinasikan untuk menghilangkan
variabel ninjection sehingga menghasilkan hubungan :
(2.24)
(2.25)
ρads merupakan desitas gas fasa teradsorpsi. Persamaan 2.24
dikombinasikan dengan Persamaan 2.25, menjadi
(2.26)
Maka hubungan adsorpsi Gibbs dengan adsorpsi absolut dan densitas gas
didapat dari kombinasi substitusi Persamaan 2.25 terhadap Persamaan 2.26,
menjadi,
(2.27)
Keterangan:
void
: jumlah gas yang teradsorpsi
: jumlah gas yang diinjeksikan ke dalam dozing cylinder
: jumlah gas yang tak teradsopsi
V : volum kosong yang terdapat pada ad
Gibbs
adsorp
injection
Gibbs
unadsorp
n
n
n
sorption cell
: jumlah mol gas yang larut (bila ada)
P : tekanan adsorpsi
T : temperatur adsorpsi/operasi
Z : faktor kompresibilitas
R : konstanta gas ide
soluten
al
Mr : Molecular weight
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
28
Pada tekanan rendah profil adsorpsi absolut akan hampir identik dengan
adsorpsi Gibbs karena densitas gas sangat kecil (jauh lebih kecil dari pada
densitas adsorpsi) sehingga gas
ads
bisa dianggap 0 dan nGibbs sama dengan n absolute,
sedangkan pada tekanan tinggi, densitas gas akan mendekati densitas gas fasa
teradsorpsi/terkondensasi, sehingga nGibbs akan menurun seiring dengan kenaikan
tekanan (walaupun harga nabsolut naik) sampai menyentuh sumbu x, dan pada saat
itulah proses regresi grafik dapat dilakukan untuk mencari nilai densitas gas dalam
fasa teradsorpsi, ρads. Untuk menghitung adsorpsi absolut yang didapatkan dari
data adsorpsi Gibbs, maka diperlukan suatu estimasi nilai dari densitas fasa
teradsorpsi, ρads.
Adsorpsi Gibbs juga terdiri dari 5 tipe (hampir sama sepert tipe adsorpsi
Langmuir dan BET). Gambar berikut ini adalah tipe-tipe adsorpsi isotermis Gibbs
secara kualitatif (Aranovich dan Donohue, 1999).
Gambar 2. 13 Profil tipe-tipe kurva isoterm Gibbs
(Donohue dan Aranovic, 1999)
Pada Gambar 2.13 di atas, tekanan merupakan absis dan jumlah zat yang
teradsorpsi merupakan ordinatnya. Pada klasifikasi ini, tipe I menunjukkan
adsorpsi isotermis pada adsorben mikropori pada kondisi subkritis, dekat dengan
dengan titik kritis, dan super kritis. Pada kondisi superkritis, adsorpsi isotermis
tidak monoton. Tipe II dan III menunjukan adsorpsi isotermis pada adsorben
makropori dengan afinitas kuat dan lemah. Pada temperatur rendah, tipe II dan
tipe III mempunyai step, tetapi dengan temperatur yang lebih tinggi, kurva
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
29
tersebut menjadi monoton (seperti pada tipe II dan tipe III adsorpsi isotermis
BET), tetapi didekat temperatur kritis, adsorpsi isotermis tipe II dan III ini
berubah secara signifikan menjadi tidak monoton yang menunjukkan adanya titik
maksimum yang tajam dan pada temperatur yang lebih tinggi menunjukkan
adanya titik maksimum yang smooth. Tipe IV dan V menunjukkan adsorpsi
isotermis pada adsorben mesopori dengan afinitas yang kuat dan lemah (Donohue
dan Aranovic, 1999)
2.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Adsorpsi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya adsorpsi (Treybal, 1980 dan Bahl
et al., 1997):
1. Sifat adsorben
a. Kemurnian adsorben. Adsorben yang lebih murni memiliki daya adsorpsi
yang lebih baik.
b. Luas permukaan dan jumlah pori adsorben. Semakin besar luas permukaan
adsorben, semakin besar jumlah adsorbat yang dapat diserap.
2. Jenis adsorbat
a. Kepolaran adsorbat. Apabila berdiameter sama, molekul polar lebih kuat
diadsorpsi daripada molekul yang kurang polar. Molekul yang lebih polar
dapat menggantikan molekul yang kurang polar yang telah diserap terlebih
dahulu.
b. Ukuran molekul adsorbat. Molekul yang bisa diadsorpsi adalah molekul yang
berdiameter sama atau lebih kecil dari diameter pori adsorben.
3. Temperatur
Ketika molekul-molekul adsorbat melekat pada permukaan adsorben
terjadi pembebasan sejumah energi (panas). Oleh karena itu, adsorpsi adalah
peristiwa eksotermis. Sesuai dengan azas Le Chatelier pada proses fisika, dengan
berkurangnya temperatur akan menambah jumlah adsorbat yang teradsorpsi,
demikian pula sebaliknya. Adsorpsi fisika yang substansial, biasanya terjadi pada
temperatur di bawah titik didih adsorbat terutama 50°C.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
30
4. Tekanan
Peningkatan tekanan adsorbat pada adsorpsi fisika dapat menaikkan
jumlah adsorbat yang diadsorpsi. Sebaliknya pada adsorpsi kimia, peningkatan
tekanan adsorbat justru mengurangi jumlah yang diadsorpsi.
5. Inti aktif
Pada permukaan yang beragam, hanya sebagian permukaan yang
mempunyai daya serap. Hal ini disebabkan oleh permukaan yang heterogen,
sehingga hanya beberapa jenis zat yang dapat diserap oleh bagian permukaan
yang aktif inti aktif (active centre).
Laju adsorpsi sangat ditentukan oleh proses difusi adsorbat ke permukaan
adsorben. Ada dua jenis proses difusi pada adsorpsi, yaitu:
a. Difusi film. Proses difusi pada suatu lapisan tipis cairan di sekeliling partikel
adsorben.
b. Difusi partikel. Proses difusi dalam partikel adsorben.
Proses difusi ditentukan oleh beberapa faktor yang meliputi: muatan partikel
adsorben, besar muatan molekul atau ion adsorbat.
2.3.5 Gaya dan Energi Adsorpsi
Gaya yang terlibat dalam adsorpsi fisika termasuk gaya van der Waals
(dispersi-repulsi), dan interaksi elektrostatik yang terdiri dari polarisasi, dipol, dan
interaksi kuadrupol. Kontribusi van der Waals selalu hadir, sedangkan kontribusi
elektrostatik hanya signifikan pada kasus adsorben yang memiliki struktur ionik,
seperti zeolit. Akan tetapi, untuk penyerapan molekul dipolar kecil seperti H2O
dan NH3 pada adsorben zeolit, kontribusi elektrostatik akan sangat besar,
memberikan kenaikan panas adsorpsi yang tinggi dan tidak wajar (25-30
kkal/mol). Meskipun interaksi dianggap sebagai adsorpsi fisika, namun panas
adsorpsi secara umum masuk dalam adsorpsi kimia.
2.4 Adsorben
Adsorben adalah zat padat yang dapat menyerap komponen tertentu dari
fluida yang umumnya merupakan material berpori. Proses adsorpsi berlangsung
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
31
pada dinding pori atau pada lokasi tertentu dari pori tersebut. Adsorben dapat
digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu adsorben tidak berpori (non-porous sorbents)
dan adsorben berpori (porous sorbents) (Arfan, 2006):
a. Adsorben tidak berpori (non-porous sorbents)
Adsorben tidak berpori dapat diperoleh dengan cara presipitasi deposit
kristalin seperti BaSO4 atau penghalusan padatan kristal. Luas permukaan
spesifik sangat kecil (<10 m2/g) umumnya antara 0,1-1 m
2/g. Adsorben
tidak berpori seperti karet (rubber filters) dan karbon hitam bergrafit
(graphitized carbon blacks) adalah jenis adsorben tidak berpori yang telah
mengalami perlakuan khusus sehingga luas permukaannya dapat mencapai
ratusan m2/g.
b. Adsorben berpori (porous sorbents)
Luas permukaan spesifik adsorben berpori berkisar antara 100 s/d 1000
m2/g, pada umumnya berbentuk granular. Biasanya digunakan sebagai
penyangga katalis, dehidrator, dan penyeleksi komponen..
Adsorben yang umum dipakai pada industri antara lain adalah:
Senyawa yang mengandung oksigen, biasanya bersifat hidrofilik dan polar
seperti silika gel dan zeolit.
Senyawa berbasis karbon, biasanya bersifat hidrofobik dan non-polar
seperti karbon teraktivasi dan grafit.
Senyawa berbasis polimer, merupakan gugus fungsi polar dan non-polar di
dalam matriks polimer.
Kinerja adsorben dapat dilihat dari parameter berikut ini (Deng, et. al., 2008 ):
1. Selektivitas tinggi
2. Kapasitas adsorpsi besar
3. Kinetika adsorpsi cepat
4. Mudah digenerasi
5. Kekuatan mekanik tinggi
6. Murah
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
32
Untuk mencapai kineja di atas adsorben harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Volume pori internal besar
2. Luas permukaan besar
3. Distribusi pori mikro
4. Ikatan adsorbat dan adsorben
5. Stabil secara mekanik
6. Bahan baku murah
2.4.1 Silika Gel
Silika Gel dihasilkan dari dehidrasi asam polymer colloidal silicic dengan
kompisisi air yang tinggi, dapat dirumuskan dengan SiO2.nH2O. Komposisi air
tersebut terbentuk secara kimia dari lapisan hydroxyl group dengan komposisi
berkisar 5%. Metode lain untuk menghasilkan silika gel yaitu hidrolisa logam
sodium silikat dengan asam. Kemudian sodium dipisahkan dari sodium silikat
dengan metode ion exchange. Pada proses pengeringan akan terbentuk struktural
berpori ukuran mikro. Pembentukan ikatan antar partikel terjadi karena proses
eliminasi air terhadap senyawa group hydroxil dan membentuk struktur akhir yang
kokoh. Kehadiran group hydroxyl memberikan pengaruh derajat polaritas pada
permukaan. Silika gel dapat membentuk ikatan hydrogen dengan molekul air,
alkohol, phenol, hidrokarbon tidak jenuh dan amina. Silika gel digunakan sebagai
adsorben pada proses pemisahan senyawa aromatik dari parafin dan napthena.
2.4.2 Zeolit
Zeolit merupakan mineral yang terdiri dari kristal alumino-silikat
terhidrasi yang mengandung kation alkali dan alkali tanah. Menurut ahli geokimia
dan mineralogi, zeolit merupakan produk gunung berapi yang membeku menjadi
batuan vulkanik, sedimen-sedimen dan batuan metamorfosa yang selanjutnya
melalui proses pelapukan akibat pengaruh panas dan dingin yang terjadi di dalam
tanah membentuk mineral-mineral zeolit. Zeolit terdapat di beberapa daerah di
Indonesia yang diperkirakan mempunyai cadangan sangat besar dan berpotensi
untuk dikembangkan, yaitu Jawa Barat dan Lampung.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
33
2.4.2.1 Struktur Zeolit
Secara umum zeolit memiliki formulasi sebagai berikut:
M = kation alkali atau alkali tanah
n = valensi logam alkali
x = jumlah SiO2 per molekul, nilainya berkisar 2-10
y = jumlah anhidrat per molekul, nilainya berkisar 2-7
Zeolit terdiri dari SiO4 dan AlO4 tetrahedral, dimana tiap tetrahedral
tersusun oleh 4 anion oksigen yang menyebar mengelilingi suatu ion silikon dan
ion aluminium. Atom oksigen memiliki muatan-2, sedangkan atom silikon
memiliki muatan +4 yang akan berikatan membentuk silika tetrahedral yang tidak
bermuatan (netral), sedangkan atom aluminium akan membentuk alumina
tetrahedral dengan mengikat sisa muatan-1 dari tiap atom oksigen sehingga terjadi
keseimbangan ion dan membentuk kristal yang mempunyai pori-pori dimensi
molekular.
Struktur kristal zeolit dimana semua atom Si dan Al dalam bentuk
tetrahedral (TO4) disebut Unit Bangun Primer (PBU), zeolit hanya dapat
diidentifikasi berdasarkan Unit Bangun Sekunder (SBU) sebagaimana terlihat
pada Gambar 2.14.
Gambar 2. 14 Tetrahedral alumina dan silika (TO4) pada struktur zeolit
(Brandani dan Douglas, 2004)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
34
Rasio Si terhadap Al pada suatu zeolit tidak kurang dari 1. Komposisi
adsorben akan mengalami transisi atom-atom aluminium secara sistematis dan
kaya akan atom aluminium, sehingga memiliki afinitas tinggi terhadap air dan
senyawa polar lainnya, sedangkan struktur mikropori silika seperti silikalit
menyebabkan sifat hidrofobik dan menyerap n-parafin terhadap air. Transisi dari
hidrofilik menjadi hidrofobik menyebabkan rasio Si terhadap Al memiliki nilai
antara 8 hingga 10. Setiap adsorben zeolit memiliki jenis yang berbeda-beda
tergantung pada struktur rangka, rasio Si terhadap Al, dan bentuk susunan kation,
dengan perbedaan komposisi tersebut menyebabkan adsorben menjadi lebih
selektif dalam pemilihan molekul yang akan dipisahkan.
2.4.2.2 Sifat Zeolit
Zeolit mempunyai sifat dehidrasi (melepaskan molekul H2O) apabila
dipanaskan. Pada umumnya struktur kerangka zeolit akan menyusut tetapi
kerangka dasarnya tidak mengalami perubahan secara nyata. Molekul H2O seolah-
olah mempunyai posisi yang spesifik dan dapat dikeluarkan secara reversibel.
Sifat zeolit sebagai adsorben dan penyaring molekul dapat terjadi karena struktur
zeolit yang berongga, sehingga zeolit mampu menyerap sejumlah besar molekul
yang berukuran lebih kecil atau sesuai dengan ukuran rongganya. Selain itu kristal
zeolit yang telah terdehidrasi merupakan adsorben yang selektif dan mempunyai
efektivitas adsorpsi yang tinggi.
Zeolit juga sering disebut sebagai molecular sieve/molecular mesh
(saringan molekular) karena zeolit memiliki pori-pori berukuran molekular
sehingga mampu memisahkan molekul dengan ukuran tertentu. Zeolit mempunyai
beberapa sifat antara lain : mudah melepas air akibat pemanasan, tetapi juga
mudah mengikat kembali molekul air dalam udara lembab. Karena sifatnya
tersebut maka zeolit banyak digunakan sebagai bahan pengering. Disamping itu,
zeolit juga mudah melepas kation dan diganti dengan kation lainnya, misal zeolit
melepas natrium dan digantikan dengan mengikat kalsium atau magnesium. Sifat
ini pula yang menyebabkan zeolit dimanfaatkan untuk proses pelunakkan air
sadah.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
35
Kemampuan zeolit sebagai katalis berkaitan dengan tersedianya pusat
aktif dalam saluran antar zeolit. Pusat aktif terbentuk karena adanya gugus fungsi
asam tipe Bronsted maupun Lewis. Perbandingan kedua jenis asam ini tergantung
pada proses aktivasi zeolit dan kondisi reaksi. Pusat aktif yang bersifat asam ini
selanjutnya dapat mengikat molekul-molekul basa secara kimiawi. Sedangkan
sifat zeolit sebagai penukar ion terjadi karena adanya kation logam alkali dan
alkali tanah. Kation tersebut dapat bergerak bebas dalam rongga dan dapat
dipertukarkan dengan kation logam lain dengan jumlah yang sama.
2.4.2.3 Zeolit Alam Lampung
Di Indonesia, zeolit ditemukan pada tahun 1985 oleh PPPTM Bandung.
Zeolit tersebar di beberapa daerah di pulau Sumatera dan Jawa. Namun dari 46
lokasi zeolit, baru beberapa lokasi yang ditambang secara intensif antara lain di
Bayah, Banten, Cikalong, Tasikmalaya, Cikembar, Sukabumi, Nanggung, Bogor
dan Lampung. Pemanfaatan zeolit masih belum banyak diketahui secara luas,
zeolit yang saat ini ada di pasaran masih dalam bentuk alam dan digunakan untuk
pemupukan pada bidang pertanian. Zeolit alam Lampung memiliki komposisi
78% klinoptilolit, analsim 14%, dan modernit 8%. Klinoptilolit memiliki rumus
molekul (NaK)6(Al6Si30O72).20H2O. Rumus molekul zeolit alam Lampung adalah
Na2,94K1,35Ca0,63Mg0,21Al6,25 Si29,74O72.24H2O.
Tabel 2. 3 Komposisi kimia zeolit alam Lampung
Senyawa Persentase (%)
SiO2 72.6
Al2O3 12.4
Fe2O3 1.19
Na2O 0.45
TiO2 0.16
MgO 1.15
K2O 2.17
CaO 3.56
Lain-lain 6.32
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
36
Molekul-molekul dengan diameter tertentu dapat melewati dan
menempati pori-pori dan rongga zeolit, molekul yang terlalu besar tidak dapat
masuk. Jadi sebagai adsorben, zeolit mempunyai sifat shape selectivity
(Matsuoka, 2003). Zeolit juga memiliki kemampuan untuk mengkondensasi gas
yang teradorpsi. Kemampuan zeolit menyerap zat organik dan anorganik
tergantung pada rasio Si/Al dalam zeolit. Semakin rendah rasio Si/Al maka zeolit
akan cenderung memilih molekul-molekul polar (air dan amoniak) untuk
diadsorpsi. Sebaliknya jika rasio Si/Al tinggi maka zeolit cenderung mengadsorpsi
molekul-molekul non polar (Jansen, et. al., 2004). Hal ini disebabkan karena
dengan semakin rendahnya rasio Si/Al dalam zeolit maka zeolit tersebut akan
timbul gradien medan elektronik yang makin besar sehingga molekul polar akan
berinteraksi lebih kuat dengan medan elektronik itu daripada molekul non polar.
Pada umumnya zeolit alam masih mengandung banyak zat pengotor dan
masih berbentuk batuan yang dapat mengurangi kegunaan dari zeolit itu. Untuk
meningkatkan nilai tambah zeolit dan pemanfaatannya untuk proses adsorpsi,
dibutuhkan suatu perlakuan awal dan pengaktifan zeolit alam tersebut. Zeolit alam
harus dibuat menjadi butiran-butiran agar luas permukaan serapannya lebih besar
kemudian dibersihkan dari senyawa pengotornya.
Pada penelitian ini zeolit alam Lampung merupakan salah satu adsorben
yang diteliti karena struktur kristalnya berpori, memiliki luas permukaan yang
cukup besar, memiliki stabilitas termal yang tinggi, dan harganya murah
(Handoko, 2002).
2.4.2.4 Aktivasi Zeolit
Proses aktivasi zeolit dilakukan untuk menghasilkan zeolit dengan sifat-
sifat yang diinginkan sehingga dapat digunakan sebagai katalis. Terdapat
beberapa tahap dalam melakukan aktivasi terhadap zeolit. Adapun tahapan
tersebut adalah dealuminasi, pertukaran ion, dan kalsinasi (Scott, Kathleen, Prabir,
2003).
1. Dealuminasi
Metode ini adalah teknik yang digunakan untuk mengurangi kandungan
alumunium zeolit. Teknik ini merupakan kalsinasi bentuk amonium zeolit dalam
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
37
sistem uap air. Proses ini menyebabkan pergeseran tetrahedral alumunium dari
posisi rangka ke posisi non rangka tetapi tidak menghilangkan alumunium dari
zeolit. Pada proses ini dilakukan pencucian zeolit dengan asam kuat. Larutan asam
yang umumnya digunakan adalah asam florida (HF) dan asam klorida (HCl).
Florida maupun klorida adalah zat yang sangat sensitif terhadap zeolit, dimana hal
tersebut tergantung pada kondisi perlakuannya seperti konsentrasi, lamanya
pencucian, kadar air, dan temperatur pencucian. Alumina dan silika dapat bereaksi
dengan florida dan klorida pada kondisi yang tidak terlalu pekat dan lingkungan
biasa (temperatur kamar). Dealuminasi zeolit dengan florin akan menghasilkan
AlFx(OH)y dan dengan klorin akan menghasilkan AlClx(OH)y.
2. Pertukaran Ion
Pertukaran ion dalam zeolit adalah proses dimana kation yang ada dalam
sistem pori intrakristalin ditutup dengan kation lain yang berasal dari larutan.
Larutan zeolit akan mencapai kesetimbangan sesuai dengan persamaan berikut:
(2.28)
Keterangan : A dan B : kation yang dipertukarkan
Za dan Zb : muatan masing-masing kation
Z dan S : zeolit dan larutan
Pertukaran ion tersebut tidak akan berlangsung sempurna jika konsentrasi
larutan yang digunakan tidak sangat besar atau temperatur sistem dinaikkan
sehingga menggeser kesetimbangan. Dalam pertukaran ion tersebut, terdapat dua
hal penting yaitu jenis dan konsentrasi dari larutan pertukaran ion yang digunakan
(Royae, et. al., 2007).
3. Kalsinasi
Kalsinasi adalah perlakuan panas terhadap zeolit pada temperatur yang
relatif tinggi dalam furnace. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan zat organik
yang dikandung zeolit, juga untuk menguapkan amoniak zeolit sehingga diperoleh
H-zeolit. Mekanismenya adalah sebagai berikut:
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
38
K-zeolit + NH4NO3 NH4-zeolit + KNO3 (2.29)
NH4-zeolit NH3 + H-zeolit (2.30)
Dimana K adalah kation (umumnya logam alkali). Persamaan (2.30)
merupakan hasil dari pertukaran ion, yaitu antara K-zeolit dengan larutan
NH4NO3, sedangkan persamaan (2.29) merupakan proses kalsinasi. Pada proses
kalsinasi ini terjadi penyusunan kembali alumina silika yang tidak stabil menjadi
bentuk yang lebih stabil dan menghasilkan susunan kristal yang lebih baik.
Aktivasi zeolit yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan metode
dealuminasi, pertukaran ion dan kalsinasi. Prinsip dasar aktivasi zeolit dengan
metode dealuminasi adalah dengan mengurangi kadar alumina dalam zeolit,
sehingga rasio Si/Al dapat meningkat. Dengan meningkatkan rasio Si/Al,
diharapkan kemampuan adsorpsi zeolit semakin meningkat. Dealuminasi akan
meningkatkan stabilitas termal terutama pada temperatur tinggi. Proses
dealuminasi akan menyebabkan pergeseran alumunium tertrahedral dari posisi
rangka ke posisi non-rangka. Perlakuan asam pada zeolit dilakukan dengan
merendam zeolit dalam larutan HCl yang relatif pekat dan cukup lama sehingga
jumlah Al dalam kerangka menjadi di luar kerangka. Peristiwa ini dapat dilihat
pada Gambar 2.15.
Gambar 2. 15 Proses pelepasan Al dalam rangka menjadi Al diluar rangka
(Handoko, 2002)
Proses dealuminasi selain mengektraksi Al dalam kerangka, juga
mengakibatkan kerangka oksigen tidak stabil. Akibatnya atom Si berpindah ke
tempat kosong yang ditinggalkan Al, sehingga ukuran unit sel-nya akan
menyusut. Penyusutan tersebut mengakibatkan rasio Si/Al meningkat dan ukuran
pori menyecil.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
39
2.4.3 Karbon Aktif
Karbon aktif merupakan salah satu adsorben yang paling sering digunakan
pada proses adsorpsi. Hal ini disebabkan karena karbon aktif mempunyai daya
adsorpsi dan luas permukaan yang lebih baik dibandingkan adsorben lainnya
(Pujiyanto, 2010). Karbon aktif berbentuk amorf yang terdiri dari pelat-pelat datar
di mana atom karbon tersusun dan terikat secara kovalen dalam kisi heksagonal,
seperti pada Gambar 2.16.
Gambar 2. 16 Struktur fisik karbon aktif
(Pujiyanto, 2010)
Karbon aktif adalah senyawa karbon yang telah ditingkatkan daya
adsorpsinya melalui proses aktivasi. Pada proses aktivasi ini terjadi penghilangan
hidrogen, gas-gas, dan air dari permukaan karbon sehingga terjadi perubahan fisik
pada permukaannya. Aktivasi ini terjadi karena terbentuknya gugus aktif akibat
adanya interaksi radikal bebas pada permukaan karbon dengan atom-atom seperti
oksigen dan nitrogen. Pada proses aktivasi juga terbentuk pori-pori baru karena
adanya pengikisan atom karbon melalui oksidasi ataupun pemanasan. Adapun
ukuran pori karbon aktif ditunjukkan pada Tabel 2.4.
Tabel 2. 4 Ukuran pori karbon aktif
(Ruthven, 1984)
Mikropori Mesopori Makropori
Diameter (Å) < 20 20–500 > 500
Volume pori (cm3/g) 0,15–0,5 0,02– 0,1 0,2–0,5
Luas permukaan (cm2/g) 100–1000 10–100 0,5–2
(Densitas partikel 0,6-0,9 g/cm3; porositas 0,4–0,6)
Karbon aktif terdiri dari 87 – 97 % karbon dan sisanya berupa hidrogen,
oksigen, sulfur dan nitrogen serta senyawa-senyawa lain yang terbentuk dari
proses pembuatan karbon aktif. Volume pori-pori karbon aktif biasanya lebih
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
40
besar dari 0,2 cm3/gram dan bahkan terkadang melebihi 1 cm
3/gram. Luas
permukaan internal karbon aktif yang telah diteliti umumnya lebih besar dari 500
m2/gram dan bisa mencapai 1000 m
2/gram (Sudibandriyo, 2011). Gambar struktur
pori karbon aktif dapat dilihat pada Gambar 2.17.
Gambar 2. 17 Struktur pori karbon aktif
(Pujianto, 2010)
Karbon aktif dapat dibuat dari berbagai macam bahan dasar yang
mengandung karbon. Ada tiga kriteria bahan dasar yang dapat dibuat sebagai
karbon aktif, yaitu:
bahan dasar harus mengandung karbon
pengotor pada bahan dasar harus dijaga seminimal mungkin
bahan dasar harus mempunyai kualitas yang konstan
Tempurung kelapa sawit salah satu limbah industri yang potensial dijadikan
sebagai bahan baku karbon aktif.
2.4.3.1 Karbon Aktif Tempurung Kelapa Sawit
Pembuatan karbon aktif dapat menggunakan bahan baku berbeda-beda
sesuai dengan aplikasi yang diinginkan. Bahan baku konvensional yang paling
sering digunakan adalah kayu, batubara, lignit, tempurung kelapa, gambut, dan
lain-lain. Tempurung kelapa sawit memiliki beberapa alasan untuk digunakan
sebagai bahan dasar karbon aktif antara lain karena kandungan karbonnya yang
sangat banyak serta kemudahan bahan tersebut untuk didapatkan secara komersial
(Pujiyanto, 2010). Tempurung kelapa sawit merupakan material mengandung
lignoselulosa yang berkadar karbon tinggi, hal ini sangat potesial dijadikan
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
41
sebagai bahan baku untuk pembuatan karbon aktif (Mulia, 2007). Komposisi
tempurung kelapa sawit disajikan pada Tabel 2.5.
Tabel 2. 5 Komposisi tempurung kelapa sawit
(Lubis, 2008)
Komposisi Kadar (%)
Abu 15
Hemiselulosa 24
Selulosa 40
Lignin 21
2.4.3.2 Proses Pembuatan Karbon Aktif
Secara garis besar tahapan produksi karbon aktif adalah sebagai berikut
(Pujiyanto, 2010) :
1. Dehidrasi
Tahap dehidrasi atau pelepasan air adalah proses yang dilakukan untuk
menghilangkan kandungan air yang ada pada bahan dasar pembuatan karbon
aktif. Hal tersebut, dilakukan dengan cara dijemur diterik matahari atau bahan
tersebut dipanaskan di dalam oven dengan temperatur ± 110 °C sampai
diperoleh bobot konstan.
2. Karbonisasi
Karbonisasi atau pengarangan adalah proses pembakaran yang menyebabkan
terdekomposisinya bahan dan mengeluarkan pengotor seperti tar, metanol,
aseton, gas hidrogen, CH4 dan dan unsur non karbon yang lain. Penambahan
temperatur saat karbonisasi akan membuat pembentukan karbon semakin
cepat, namun tidak melebihi 1.000oC karena dapat mengakibatkan banyak
terbentuk abu (Prabowo, 2009).
3. Aktivasi
Karbon aktif diproduksi dengan aktivasi kimiawi atau aktivasi fisika. Aktivasi
kimiawi digunakan untuk bahan dasar yang mengandung selulosa dan
menggabungkan antara tahap karbonisasi dan tahap aktivasi fisika. Activating
agent yang biasa digunakan untuk menghasilkan karbon aktif dengan luas
permukaan yang besar adalah KOH, H3PO4 dan ZnCl2 (Allwar, et al, 2008).
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
42
Pada proses aktivasi kimia, karbon bereaksi dengan oxidizing agent
menghasilkan karbon dioksida yang berdifusi pada permukaan karbon. Pada
tahap awal amorphous carbon akan teroksidasi, closed pore akan terbuka.
Sementara itu aktivasi fisika melibatkan kontak antara bahan pengaktif berfasa
gas (steam atau CO2) dengan arang pada temperatur 850 – 1.000oC. Pada
proses ini seringkali terjadi reduksi ukuran adsorben karena kelebihan oksidasi
eksternal oleh gas pengoksidasi yang berdifusi ke dalam karbon yang tidak
teraktivasi (Goodman et al, 2004). Gambar 2.18 menunjukkan struktur karbon
aktif sebelum dan sesudah aktifasi. Sementara itu Tabel (2.6) menunjukkan
perkembangan pembuatan karbon aktif.
Gambar 2. 18 Struktur karbon aktif sebelum dan sesudah aktivasi
(Pujiyanto, 2010)
Tabel 2. 6 Perkembangan penelitian pembuatan karbon aktif
(Qibthiyah, 2012)
No. Judul Penelitian (Penulis) Proses Pembuatan Hasil
1. Effect of Two-Stage Process on
the Preparation and
Characterization of Porous
Carbon Composite from Rice
Husk by Phosphoric Acid
Activation (Kennedy, 2004)
Precarbonized karbon dengan dicampur
250 g yang mengandung 85% berat
H3PO4 pada temperatur 850C selama 4
jam. Temperatur yang digunakan adalah
dari 700-9000C selama 1 jam lalu
didinginkan.
Surface area pada
temperatur 9000C
adalah 438,9 m2/g.
2. Pembuatan Karbon Aktif dari
Tongkol Jagung serta
Aplikasinya untuk Adsorpsi Cu,
Pb dan Amonia (Prabowo, 2009)
Dikarbonisasi pada temperatur 5000C
selama ± 2 jam dengan sedikit oksigen,
kemudian diaktivasi menggunakan KOH
pada temperatur 8000C selama 30 menit.
Surface area adalah
406,9 m2/g.
3. Nano-Tungsten Carbide Prepared
from Palm Kernel Shell for
Catalytic Decomposition of
Hydrazine (Yacob, 2009)
Bahan pengaktif yang digunakan
divariasikan, yaitu untuk ZnCl2, H3PO4,
K2CO3, dan melalui proses fisika pada
temperatur aktivasi 8000C.
Surface area terbaik
(ZnCl2) adalah 1.100
m2/g.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
43
Dari Tabel 2.6 dapat dilihat bahwa karbon aktif berbahan dasar tempurung
kelapa sawit yang memiliki luas permukaan terbesar dihasilkan dari proses
aktivasi menggunakan ZnCl2 sebagai bahan pengaktif. Aktivasi kimiawi ini
bertujuan untuk membersihkan pori, membuang senyawa penggangu, mengurangi
pembentukan pengotor dan menata kembali letak atom yang dapat dipertukarkan.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini ZnCl2 digunakan sebagai bahan pengaktif
pada temperatur aktivasi 8500C selama 2 jam.
2.5 State of the Art Penjernihan Asap dan Penyerapan CO
Secara umum penelitian yang telah dilakukan selama ini terkait dengan
penjernihan asap, penyerapan CO dan pemanfaatan adsorben untuk adsorpsi
terangkum dalam Tabel 2.7.
2.5.1 Penjernihan Asap
Asap terdiri dari partikel-partikel halus, baik padat maupun cair, yang
terbang di udara. Partikel tersebut tersebar dan menyerap gelombang
elektromagnetik yang berbeda. Partikel tidak stabil, konsentrasi dan komposisinya
berubah terhadap waktu. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh dari gaya dari
luar, baik melalui proses kimia maupun fisika. Proses tersebut yaitu koagulasi,
kondensasi, evaporasi, adsorpsi, absorpsi, dan reaksi kimia. Penjernihan asap
dapat dicapai dengan salah satu atau kombinasi dari proses di atas. Prinsip
penjernihan asap dapat dikategorikan menjadi (Yadav, et. al., 2007):
Meningkatkan koagulasi dengan memakai partikel penyerap, muatan
elektrostatis atau gelombang suara
Meningkatkan kondensasi dengan memakai inti higroskopis
Meningkatkan evaporasi melalui pemanasan
Menipiskan asap dengan mencampurnya dengan air
Berikut ini adalah beberapa penelitian tentang penjernihan asap:
Xu, Y., et.al. (2003) melakukan penelitian tentang kemampuan material
berpori dalam menyerap dan mengkonversikan gas beracun yang keluar dari asap
rokok. Material yang digunakan adalah material yang secara umum punya
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
44
kemampuan menyerap senyawa beracun yang terdapat pada asap rokok,
khususnya senyawa nitrosamines. Hasilnya menunjukkan bahwa zeolit NaY dan
ZSM-5 mempunyai kapasitas yang paling baik, kemampuan penyerapan terhadap
senyawa nitrosamines masing-masing 84 dan 82%. Zeolit disamping menyerap
senyawa carcinogenic nitrosamines tetapi juga menguraikan secara katalitik
senyawa carcinogenic berbahaya menjadi senyawa dengan tingkat carcinogenic
lebih rendah pada temperatur tertentu meskipun ada gas N2.
Yadav, et al., (2007) melakukan evaluasi potensi partikel nano dalam
penjernihan asap di ruang tertutup. Penelitian dilakukan memakai ruangan
berukuran 2,4 m x 2,4 m x 3,6 m yang dilengkapi dengan generator asap, filter,
dan transmissometer. Sebagai simulasi asap digunakan aerosol glycol. Adsorben
yang digunakan ada dua jenis: partikel nano (NA TiO2, NA MgO, NA MgO plus,
NA Al2O3, dan NA Al2O3 plus) dan bubuk biasa (NaHCO3, CaCO3, Ca(OH)2, dan
TiO2). Mula-mula ruang dipenuhi asap sampai opasitas 100% (transmisi cahaya
0%). Lalu diukur waktu sampai transmisi cahaya sebesar 10% dan 20% tercapai
secara alami akibat gaya gravitasi dan evaporasi. Transmisi 10% dan 20% dipakai
karena manusia dapat melihat melewati asap pada transmisi cahaya sebesar itu.
Hasilnya diperoleh dengan mendispersikan sekitar 60 gram NA MgO plus ke
dalam ruang uji menghasilkan transmisi cahaya 10% dan 20% yang dicapai dalam
waktu 2.5 dan 4 menit. Asap glikolnya sendiri memerlukan waktu 26 dan 39
menit.
Mulukutla dkk, 2007, mengeluarkan paten Amerika penjernihan asap dan
pemadaman api. Asap berasal dari bahan bakar: kertas, diesel, jet mill, dan glikol.
Logam yang digunakan untuk menyerap asap adalah yang mempunyai ukuran
kristal nano, yaitu oksida logam dan hiroksida logam dari Mg, Sr, Ba, Ca, Ti, Zr,
Fe, V, Mn, Ni, Cu, Al, Si, Zn, Ag, Mo, Sb, dan campurannya. Penemuan ini juga
menguji hidroksida, karbonat, bikarbonat dari sodium, aluminium, magnesium,
dan kalsium. Hasilnya menunjukkan bahwa oksida TiO2 dan MgO merupakan
diantara yang memberikan kinerja yang lebih baik dibanding yang lain. Penemuan
ini juga menunjukkan bahwa semakin kecil ukuran partikel semakin baik kinerja
oksida logam sampai pada ukuran tertentu.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
45
Metode ini dapat menurunkan kekeruhan asap. Hasilnya menunjukkan
bahwa jika suatu area dengan kekeruhan 100% ditinggal begitu saja, kekeruhan
berkurang menjadi 85% dalam 10 menit, jika menggunakan adsorben pada area
yang sama hanya dibutuhkan 8 menit. Sejumlah partikel nanokristalin dilepaskan
ke suatu area untuk memperoleh konsentrasi massa paling tidak 0.1 g/m3, lebih
disukai antara 0.5-1.0 g/m3, dan paling disukai di antara 1-5 g/m
3. Partikel
nanokristalin juga harus dibentuk granula dan disimpan dengan benar. Disukai
jika granul/butirannya memiliki ukuran sekitar 125-500 μm, lebih disukai jika
140-400 μm, paling disukai jika 180-250 μm.
Manghirang dan Razote (2009), melakukan penelitian penjernihan asap
oleh padatan dan air menggunakan kompartemen ganda. Ruang uji berukuran
3.8m x 2.3m x 2.3m. Asap berasal dari pembakaran kertas basah dalam smoke
generator kemudian dialirkan ke dalam ruang uji penjernihan yang dilengkapi
kipas. Dari penelitian ini diperoleh beberapa kesimpulan: (1) charged water dapat
meningkatkan penjernihaan secara signifikan. (2) Durasi pendispersian charged
water dapat meningkatkan penjernihan asap. (3) Pendispersian partikel padat atau
uncharged water juga dapat menjernihkan asap, tetapi harus tetap dikembangkan.
Pada durasi dispersi 20 menit, waktu untuk mencapai tingkat kejernihan 10% (t10)
oleh charged water dan uncharged water adalah 8 menit dan 38 menit.
Sementara itu penjernihan udara secara umum sudah banyak
dipublikasikan, terutama penggunaan karbon aktif sebagai penjernih udara.
Karbon aktif dapat menghilangkan bahan kimia di udara, termasuk alkohol, asam
organik, aldehida, hidrokarbon diklorinasi, eter, ester, keton, halogen, sulfur
dioksida, asam sulfat, dan fosgen. Karbon aktif dapat juga menghilangkan bau,
apakah berasal dari manusia atau hewan. Karbon aktif dapat mengadsorpsi
sebanyak 60% dari berat polusi udara. Filter karbon aktif adalah cara paling
efektif untuk menghilangkan gas, bahan kimia, asap rokok, dan bau lainnya dari
udara. Filter karbon aktif sangat membantu bagi sesorang dengan kondisi
pernapasan yang sensitif terhadap bahan kimia di udara (Clean Air Plus , 2015).
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
46
2.5.2 Penyerapan CO
Selama ini penelitian penyerapan CO banyak dilakukan menggunakan
logam mulia seperti: ruthenium, iridium, palladium, rhodium, and platinum.
Szanyi dan Paffett, (1996) meneliti tentang adsorpsi CO pada H-ZSM-5
dan hydrothermally treated H-ZSM-5. Hasilnya menunjukkan bahwa interaksi
asam Bronsted dengan molekul CO akan menggeser frekuensi Si(OH)Al dari
3616 cm-1
ke 3310 cm-1
. Panas adsorpsi CO pada H-ZSM-5 sebesar 32,2 kJ/mol
Adsorpsi panas dari CO di H-ZSM-5 yang telah diberi perlakuan hidrotermal
adalah sebesar 4 kJ/mol, lebih rendah dibanding ketika tidak diberi perlakuan
apapun.
Mohamad et. al., (2000) meneliti tentang adsorpsi karbon monoksida pada
activated carbon-tin ligand. hasilnya menunjukkan bahwa karbon aktif yang telah
diimpreknasi dengan 34,57% garam SnCl2.2H2O mempunyai kemampuan
tambahan untuk adsorpsi CO karena adanya ion O- di sisi aktifnya. AC – SnO2
terbukti mempunyai kemampuan adsorpsi CO yang lebih baik dibandingkan
karbon aktif murni ketika digunakan untuk purifikasi H2 pada sistem PSA.
Mohamad juga menemukan bahwa AC–SnO2 mempunyai selektivitas yang tinggi
terhadap gas CO, adsorben ini sangat aplikatif untuk masa depan karena CO
berperan dalam meningkatkan polusi udara di ekosistem global.
Treesukol et. al., (2001) mempelajari adsorpsi NO dan CO oleh Cu-ZSM-
5. Hasilnya menunjukkan bahwa kerangka zeolit memainkan peran penting dalam
mekanisme adsorpsi. Arean, et.al., (2007), meneliti tentang adsorpsi CO
menggunakan zeolit rendah silika. Penelitian ini bertujuan mempelajari
bagaimana pengaruh kandungan silika dalam zeolit. Hasilnya menunjukkan
bahwa zeolit yang mengandung silika tinggi mengikat CO dengan energi yang
lebih besar dibandingan zeolit dengan silika rendah.
Hideo, et.al., (2004) mempelajari tentang adsorpsi gas CO pada
permukaan Pt(211), Ni (211), dan Pd(211) menggunakan metode teori fungsional
densitas melalui optimisasi geometri yang menyeluruh. Energi adsorpsi dan
struktur CO pada permukaan dipelajari dengan mempertimbangkan tempat yang
mungkin untuk terjadinya adsoprsi, dan membandingkan ketiganya melalui data
eksperimen pada saat pelapisan yang rendah. Terdapat beberapa perbedaan
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
47
tumbukan pada tempat dan struktur-struktur yang diharapkan terjadi adsorpsi
(sudut kemiringan, panjang ikatan C-O, jarak logam-C) diantara ketiga permukaan
tersebut. Untuk Pt(211), CO teradsorpsi secara khusus pada daerah tepi.
Xu, et.al., (2003)) melakukan penelitian adsorpsi CO pada permukaan
MgO (001). Hasil perhitungan mengidentifikasikan bahwa energi adsorpsi CO
pada area reguler dari permukaan MgO (001) sangat sesuai dengan data
eksperimen. Carbon terikat dibawah pusat kation dari permukaan MgO(001), hasil
perhitungan juga mendekati nilai eksperimen. Ditemukan juga bahwa permukaan
MgO (001) dengan pengisian oksigen mungkinkan memiliki struktur katalis yang
baik untuk adsorpsi-dekomposisi CO.
Bulanek dan Koudelkova, (2011) meneliti tentang adsorpsi CO pada Na-
BEA zeolit dan K-BEA zeolit. Hasilnya menunjukkan bawah interaksi CO dengan
susunan kation Na+ dan K
+ dari zeolit BEA mempunyai entalpi adsorpsi CO
kompleks karbonil di Na- dan K-BEA sebesar 4,2 dan 2,7 kJ/mol secara berturut-
turut, hasil menunjukkan ini lebih stabil dibandingikatan kompleks C-
monokarbonil.
Qiu et. al., ( 2012) meneliti tentang adsorpsi carbon monoksida zeolit
Ag(I)-ZSM-5. Hasil penelitian menunjukan bahwa ikatan koordinasi-2 Ag-O
lebih dipilih sebelum dan sesudah adsorpsi CO. Panjang ikatan Ag-O berada di
rentang 2,2-2,9 Å, dan panjang ikatan Ag-C untuk adsorpsi CO pada zeolit Ag-
ZSM-5 adalah 2-2,2 Å. Penelitian ini juga membandingkan panjang ikatan dari
Ag-O dan Ag-C untuk adsorpsi CO pada Ag-ZSM-5 lebih panjang dibandingkan
adsorpsi CO pada Cu-ZSM-5. Keberadaan 2 atom Al di sisi pertukaran Ag+ akan
menurunkan energi adsorpsi CO, sehingga secara umum energi adsorpsi CO pada
Ag-ZSM-5 bisa lebih rendah dari Cu-ZSM-5.
Peneliti lain yang melakukan adsorpsi CO adalah; Ernst et.al., (2008)
mengkaji adsorpsi dan desorpsi gas CO menggunakan logam transisi ruthenium,
iridium, palladium, rhodium, dan platinum dan Ranjan et. al., (2007) mempelajari
efek elektronik dalam adsorpsi kimia CO pada permukaan Pt-Pb.
2.5.3 Keterbaruan Riset
Dari pembahasan terkait penjernihan asap yang telah dilakukan oleh
peneliti selama ini, proses penjernihan asap dilakukan menggunakan 2 (dua)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
48
kompartemen dimana pembuatan asap (smoke generator) dan uji penjernihan asap
dilakukan pada ruang yang terpisah. Hasil uji penjernihan selama ini hanya
mengkaji kemampuan adsorben dalam penjernihan asap saja dengan melihat nilai
t10, belum membahas pengurangan kandungan senyawa beracun (CO) yang
teradsorpsi. Selama ini alat untuk mendeteksi kepekatan asap umumnya
menggunakan trasmissiometer. Berdasarkan uraian di atas, oleh karena itu pada
penelitian ini proses penjernihan asap dilakukan menggunakan 1 (satu)
kompartemen, dimana pembuatan asap dan uji penjernihan dilakukan dalam satu
ruang uji. Pengukuran penjernihan asap dan karbon monoksida (CO) teradsorpsi
dilakukan secara simultan. Pendeteksi kepekatan asap pada penelitian ini
menggunakan fotodioda. Sampai saat ini belum ada informasi tentang penggunaan
zeolit alam dan karbon aktif untuk penjernihan asap dan penyerapan CO, oleh
karena itu pada penelitian ini zeolit alam dan karbon aktif digunakan untuk
penjernihan asap dan penyerapan CO.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
49
Tabel 2. 7 Perkembangan penelitian tentang pemanfaatan adsorben, penjernihan asap dan adsorpsi CO
No Peneliti Tujuan Sumber
asap Adsorben Kompartemen
Detektor
kejernihan asap Keterangan
1 Arean, et. al.
2007 adsorpsi CO kendaraan zeolit
2 IR spektroskopi
ΔH0 CO pada 2164,
2145, 2129/cm-1
= -
27,2; -27,1; -22,3
kJ/mol
2 Arean, C.
Oteron. 2007 adsorpsi CO kendaraan zeolit protonic 2 IR spektroskopi
ΔH0 CO dari H-Y, H-
FER, dan H-ZSM = -
25,6; -28,4; -29,4
kJ/mol
3
Bulanek, dan
Koudelkova,
2011
adsorpsi CO bahan bakar
fosil zeolit BEA 2
spektroskopi
FTIR
entalpi adsorpsi CO
kompleks karbonil di
Na- dan K-BEA = 4,2
dan 2,7 kJ/mol
4 Carley, et. al.
1998.
adsorpsi CO
dan NO kendaraan Ag 2
infrared
investigation
konsentrasi atom N(1S)
= 0,3 x 1015
cm-2,
5 Gottfried, et.
al. 2003 adsorpsi CO
bahan bakar
fosil Au
2
mass
spectrometer
ΘCO < 0,5 ML dan 0,5 <
ΘCO < 1,0 ML
6 Hull dan
Keith, 2007
bench-scale
assessment of
combustion
toxicity
bahan
organik - 2
NBS/NIST Smoke
Box
7 Jadhav, et. al.
2007. adsorpsi CO2
bahan bakar
fosil
zeolit 13X, zeolit
5A, karbon aktif
2
gas kromatografi kapasitas adsorpsi CO2
= 100 ml/g
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
50
Tabel 2.7 (Lanjutan)
No Peneliti Tujuan Sumber
asap Adsorben Kompartemen
Detektor
kejernihan asap Keterangan
8 Jadhav P, et.
al. 2007. adsorpsi CO2
bahan bakar
fosil
zeolit 13X
Monoetanol
amina (MEA)
2 quantachrome
Autosorb
kapasitas adsorpsi CO2
= 160 ml/g
9 Jungsuttiwon,
et. al. 2007.
penyerapan
CO industri zeolit Ag-ZSM-5 2 FTIR
ΔEads dari kompleks
Ag+-ZSM-5/CO = -
20,136 kcal/mol
10
Kamarudin,
Khairul S. N.,
et. al. 2006
adsorpsi CO2
dan CH4
bahan bakar
fosil
zeolit tipe beta,
NaY, ZSM-5 2
volumetric
sorption analyzer
kapasitas adsorpsi CH4
tertinggi pada ZSM-5 =
14 cm3/g. Kapasitas
adsorpsi CO2 tertinggi
pada NaY = 110 cm3/g.
11 Li, Gang, et.
al. 2008 adsorpsi CO2
bahan bakar
fosil zeolit 13X 2
CO2 analyzer
recovery CO2 dan
produktivitas turun
18,5% dan 22% ketika
menggunakan wet flue
gas dibanding dry flue
gas
12 Limtrakul, et.
al. 1999 adsorpsi CO
bahan bakar
fosil
zeolite H-FAU
dan Li-FAU 2
IBM SP2
computer
energi ikatan H-
FAU/CO = 3,20
kcal/mol, Li-FAU/CO =
25,81 kcal/mol.
13
Maghirang,
R.G. dan E.B.
Razote. 2009.
adsorpsi asap smoke
generator
MgO, TiO2
NaHCO3,
Ca(OH)3
Water spray
2
transmissometer
t10(air) = 8 menit
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
51
Tabel 2.7 (Lanjutan)
No Peneliti Tujuan Sumber
asap Adsorben Kompartemen
Detektor
kejernihan asap Keterangan
14 Minot, C., et.
al. 2002. Adsorpsi CO
air dan
alkohol
oxygen defective
rutile TiO2(1 1
0)
2 computer and
program Eads (CO) = 0,36 eV.
15 Mohamad, et.
al. 2000 adsorpsi CO
C.P. grade
CO
tin (IV) oxide
(SnO2) dalam
karbon aktif
2 gas kromatografi Reduksi CO dari 1000
ppm jadi 10,4 ppm
16 Mulholland,
G. 2005.
pengukuran
distribusi
ukuran dan
sifat – sifat
asap
polyurethane
dan kertas
- - nephelometer
dgm (rata – rata
geometric diameter)
asap dari polyurethane
dan selulosa = 0,8 – 1,8
µm dan 2 – 3 µm
17 Mulukutla R,
et. al. 2007.
penjernihan
asap dan
penghilangan
zat beracun
pembakaran
kertas +
heksana
oksida dan
hidroksida
logam: Mg, Sr,
Ba, Ca, Ti, Zr,
Fe, V, Mn, Ni,
Cu, Al, Si, Zn,
Ag, Mo,Sb
2 UV-Vis t15 < 8 menit
18
Parry, A. A.,
dan Pryde J.
A. 1966.
adsorpsi N2
dan CO
N2 dan CO
murni molybdenum
2
pyrex flash-
filament cell
initial sticking
probability nitrogen =
0,27 dengan tingkat
saturasi = 4,4 x 1014
atom/cm2
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
52
Tabel 2.7 (Lanjutan)
No Peneliti Tujuan Sumber
asap Adsorben Kompartemen
Detektor
kejernihan asap Keterangan
19 Pires J, et. al.
2003 adsopsi air air
karbon aktif,
NaY zeolit,
silica-alumina
2 thermogravimetri
adsorpsi air terendah
pada karbon aktif =
0,01 mmol/m2
Qiu et. al.,
2012 adsorpsi CO
bahan bakar
fosil Ag(I)-ZSM-5 2
Dmol3 software
package
energi adsorpsi CO =
11,3 – 18,9 kcal/mol
20
Saltmon,
Jumat, dan
Maher Kalaji.
2003.
adsorpsi CO bahan bakar
fosil
Cu
2 FTIR potensial band IR dari
Cu-COL pada 2078 cm-
1 = 15 cm
-1/V
21 Sasaki T, et.
al. 2008
adsorpsi asap
rokok rokok karbon aktif 1 GC-FID
kapasitas adsorpsi N2 =
460 ml/g. Kapasitas
adsorpsi aseton = 0,78
ml/g
22
Schennach,
R., et. al.
2003.
adsorpsi CO metanol Rh
2
mass
spectrometer
initial sticking
coefficient CO = 0,8
23
Siriwardane
R, et. al.
2002.
adsorpsi CO2,
N2, O2
CO2, N2, O2
murni zeolit alam 2
mass
spectrometer
kapasitas adsorpsi CO2
= 2,5-3 mol/kg
24 Tehrani dan
Salari. 2005. adsorpsi CO CO murni
natural zeolit
(Clinoptilolite) 2 Quantasorb
kapasitas adsorpsi CO =
6,2 cm3/g (STP)
25
Treesukol,
Piti, et. al.
2001.
adsorpsi NO
dan CO
kendaraan
dan pabrik ZSM - 5 2
computer and
program
Gaussian98
energi ikatan CO = 32
kcal/mol, energi ikatan
NO = 22 kcal/mol
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
53
Tabel 2.7 (Lanjutan)
No Peneliti Tujuan Sumber
asap Adsorben Kompartemen
Detektor
kejernihan asap Keterangan
26 Voogt, E. H.,
et. al. 1997. adsorpsi CO
bahan bakar
fosil Pd dan Pa
2
Auger electron
spectroscopy
(AES)
ΔHad inisial pada semua
sampel = 148 + 5
kJ/mol
27
Xu,
Xiaochun, et.
al. 2005.
adsorpsi CO2 bahan bakar
fosil MCM-41-PEI 2
gas
cromatograph
kapasitas adsorpsi CO2
= 129,9 ml/g (STP)
28 Yadav R, et.
al. 2007.
penjernihan
asap
glikol
aerosol
NA TiO2, NA
MgO, Ca(OH)2,
NaHCO3, NA
MgO plus
2 transmissometer t10 = 2,6 menit
29 Yang Xu, et.
al. 2003.
penyerapan
asap rokok rokok
zeolit NaY,
NaZSM-5, H
ZSM-5, zeolit
KA, zeolit NaA,
materi berpori
SBA-15, MCM-
48, karbon aktif,
SiO2
1 digital Visible
spektrofotometer
kapasitas adsorpsi NO2
= 156,2 µmol/g
30 Yijun Xu, et.
al. 2002.
penyerapan
gas CO dan
menghitung
energi
adsorpsinya
bahan bakar
fosil MgO
2
komputer dengan
small finite
cluster model
dan metode
DFT/B3LYP
energi relaksasi
permukaan MgO = -
0,15 eV, energi
adsorpsi CO di sisi
kation MgO = 0,06 eV
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
54
Tabel 2.7 (Lanjutan)
No Peneliti Tujuan Sumber
asap Adsorben Kompartemen
Detektor
kejernihan asap Keterangan
31 Szanyi dan
Paffett 1996 adsorpsi CO
bahan bakar
fosil zeolit H-ZSM-5 2
spektroskopi
FTIR
panas adsorpsi CO di
H-ZSM-5(perlakuan
hidrotermal) = 4 kJ/mol
32 Zou Yong, et.
al. 2009.
penyerapan
gas CO2
bahan bakar
fosil
alumina tipe
98AX316 dan
98AA1149
2
gravimetri yang
dilengkapi
dengan
microbalance
kapasitas adsorpsi CO2
> 30 mmol/g pada
kondisi 3000C dan 1 bar
33
Penelitian
yang
dilakukan
Penjernihan
Asap dan
penyerapan
CO
tisu
ACcom,
ACZnCl2
Zeolit alam
1
Fotoelektrik
berbasis micro
controller
t10(ACcom)
atas = 4 mnt
tengah = 4,6 mnt
bawah = 7,7 mnt
Adsorpsi CO = 108,2 g
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
55
BAB 3
METODE PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan penelitian ini, maka penelitian dibagi dalam 3
bagian yaitu:
1. Seleksi adsorben
2. Uji pembuatan asap
3. Uji penjernihan asap dan penyerapan CO
3.1 Seleksi Adsorben
Percobaan ini bertujuan untuk menyeleksi adsorben yang akan digunakan
pada penyerapan asap kebakaran. Parameter yang dijadikan tolak ukur dalam
menyeleksi adsorben adalah kemampuan dalam menyerap karbon monoksida
(CO). Penelitian dilakukan di Laboratorium Rekayasa Produk Kimia dan Bahan
Alam (RPKA), Laboratorium Dasar Pendidikan Kimia (DPK) dan Laboratorium
Energi Berkelanjutan, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas
Indonesia (DTK-FTUI). Tahapan penelitian ini dibagi dalam 2 bagian yaitu: (1)
Preparasi adsorben dan (2) Uji penyerapan CO.
3.1.1 Preparasi dan Karakterisasi Adsorben
Adsoben yang diseleksi untuk adsorpsi CO adalah: zeolit teraktivasi, zeolit
tak teraktivasi, karbon aktif, TiO2, MgO, CuO. Karbon aktif, TiO2, MgO, CuO
dibeli dari Laboratorium Teknik Kimia, FTUI langsung dilakukan uji adsorpsi
CO, sedangkan zeolit alam dilakukan aktifasi sebelum uji adsorpsi CO. Zeolit
alam yang digunakan berasal dari Lampung.
Tahapan dan prosedur aktifasi zeolit alam adalah sebagai berikut:
1. Ke dalam beaker glass yang berisi 100 g zeolit ditambahkan 400 ml larutan
HF 2%. Campuran diaduk dengan magnetic stirrer selama 10 menit pada
temperatur kamar, kemudian dicuci dengan aquadest. Perendaman ini
dilakukan dengan tujuan melarutkan oksida-oksida pengotor dan
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
56
mengurangi senyawa organik pengotor yang dapat menurunkan daya
adsorbsi zeolit.
2. Kemudian direndam dalam 400 ml HCl 6 M pada temperatur kamar selama
30 menit. Perendaman ini dilakukan agar aluminium dalam zeolit dapat
terekstrak dan aluminium dalam kerangka menjadi aluminium luar kerangka
sehingga dapat meningkatkan rasio Si/Al.
4. Merendam zeolit dalam 400 ml larutan NH4Cl 0,1 M selama 5 hari dan
diaduk selama 3 jam per hari. Perendaman ini bertujuan untuk memperkuat
struktur baru yang terbentuk karena proses dealuminasi oleh HCl.
5. Mengkalsinasi zeolit pada temperatur 500 OC selama 5 jam. Kalsinasi zeolit
bertujuan untuk menguapkan kandungan air yang terperangkap dalam kristal
zeolit.
Karakterisasi karbon aktif dan zeolit alam meliputi karakterisasi komposisi
dan marfologi pori adsorben menggunakan SEM type EFI 50 merk EFI.
Karakterisasi BET dilakukan untuk mengetahui luas permukaan adsorben,
dilakukan untuk semua adsorben, termasuk zeolit alam yang belum dan sudah
diaktifasi, menggukan alat BET merk INOVA 2000. Karakterisasi SEM-EDAX
dilakukan untuk melihat pengaruh aktifasi terhadap diameter pori zeolit alam pada
setiap perlakuan asam dan komposisi unsur penyusun zeolit alam, serta untuk
mengetahui rasio Si/Al zeolit alami sampel tersebut.
3.1.2 Uji Adsorpsi
3.1.2.1 Diagram Ali Uji Adsorpsi
Uji adsorpsi dilakukan seperti diagram alir proses yang dapat dilihat pada Gambar
3.1 di bawah ini. Untuk langkah-langkah uji adsorpsi yang lebih jelas dan lebih
detail dapat dilihat pada bagian prosedur penelitian.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
57
3.1.2.2 Alat Uji Adsorpsi
Skema rangkaian alat uji adsropsi seperti terlihat pada Gambar 3.2.
Rangkaian alat uji adsorpsi CO tersusun sebagai berikut:
Persiapan Alat Uji Adsorpsi
Karbon Monoksida
Preparasi Adsorben
Cek Kebocoran Peralatan
Penentuan Volume Kosong
dengan Gas Helium
Uji Adsorbsi CO
Pembuatan Kurva Adsorpsi Mendapatkan konstanta
adsorpsi Langmuir
Gambar 3. 1 Diagram alir uji adsorpsi
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
58
Gambar 3. 2 Skema alat uji adsorpsi
(Sudibandriyo, 2011)
Keterangan:
1. Dozing Cylinder
Dozing Cylinder dibuat berukuran mini dimana volumenya kira-kira
dua kali dari volume tabung penyimpan CO (atau disebut sampling cylinder).
Silinder ini terbuat dari pipa stainless steel 0.25 inch dengan panjang 50 cm
dan dihubungkan dengan tabung gas bertekanan, pressure transducer dan
tabung penyimpan CO melalui pipa stainless steel 1/8 inch. Pada masing-
masing sambungan dozing cylinder dengan gas bertekanan dan tabung
penyimpan CO dipasang needle valve untuk menutup dan membuka aliran gas
yang masuk maupun yang keluar. Dozing cylinder digunakan untuk
mengetahui jumlah gas CO yang diinjeksikan atau yang akan dilepaskan ke
atau dari dalam sampling cylinder.
Setelah rangkaian alat dozing cylinder terpasang, maka selanjutnya
dilakukan penentuan volume aktual rangkaian ini dengan cara mengukur
volume air yang dibutuhkan untuk memenuhi seluruh ruang dalam rangkaian
alat dozing cylinder.
2. Sampling Cylinder
Pada percobaan ini, sampling cylinder dibuat berukuran mini untuk
kapasitas adsorben sebanyak +/- 2 gram. Bahan silinder ini terbuat dari pipa
stainless steel ¼ inch dengan panjang 20 cm. Silinder ini dihubungkan dengan
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
59
dozing cylinder dan pressure transducer pada ujung depan dan selang
buangan gas pada ujung belakang.
3. Pressure Transducer
Dua buah pressure transducer dihubungkan dengan dozing cylinder
dan sampling cylinder melalui pipa stainless steel 1/8 inch untuk mengetahui
tekanan gas pada masing-masing silinder. Pressure transducer juga
dihubungkan dengan power supply regulator dan data acqusition yang
masing-masing terhubung melalui dua buah kabel positif-negatif. Kedua
pressure transducer yang digunakan sebelumnya telah dikalibrasi pada
interval tekanan 14.7 sampai 1014.7 psia dengan voltase input dari power
supply diatur sebesar 10 volt. Hasil kalibrasi ini didapat persamaan garis linier
antara tekanan terhadap milivolt yang dihasilkan dari sinyal output pressure
transducer.
4. Data Acquisition
Alat mirip multi tester ini dihubungkan dengan dua buah pressure
transducer dan komputer berturut-turut melalui dua buah kabel positif-negatif
dan satu kabel USB. Sinyal listrik keluaran dari pressure transducer dideteksi
oleh data acquisition dan nilainya dibaca melalui program Adam View berupa
milivolt di komputer. Dengan memasukkan besar milivolt yang dihasilkan ke
dalam persamaan garis linier antara tekanan terhadap voltase, maka besar
tekanan baik pada dozing cylinder maupun sampling cylinder dapat diketahui
nilainya.
3.1.2.3 Prosedur Percobaan Uji Adsorpsi
Prosedur percobaan ini terdiri dari beberapa tahap yaitu persiapan alat uji
adsorpsi CO, persiapan bahan uji, cek kebocoran alat, prosedur pengujian dan
permodelan adsorpsi CO serta dinamikanya
Persiapan alat uji adsorpsi
Alat uji adsorpsi yang digunakan dalam penelitian ini terlihat seperti
Gambar 3.3. Secara garis besar, alat uji ini terbagi dalam dua area yang terpisah,
yaitu area dozing dan area sampling. Kedua area ini sama-sama diletakan dalam
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
60
sebuah kotak kayu agar temperaturnya dapat dikontrol dengan mudah sehingga
kondisi isotermis dapat dicapai. Di antara kedua area ini diletakkan satu buah
termokopel untuk membaca temperatur ruang dalam kotak yang juga merupakan
temperatur adsorpsi.
Gambar 3. 3 Rangkaian peralatan uji adsorpsi
Volume area dozing sangat ditentukan oleh volume dozing cylinder. Volume
dozing cylynder yang digunakan pada alat uji kira-kira dua kali lebih besar dari
volume sampling cylinder. Hal ini dimaksudkan agar perubahan tekanan pada area
dozing setelah injeksi ke sampling cylinder tidak terlalu kecil atau terlalu besar.
Bila perubahan terlalu kecil, maka kesalahan pembacaan tekanan yang kecil
menghasilkan error yang besar sehingga akurasi hasil uji rendah. Sedangkan bila
terlalu besar, maka dibutuhkan tekanan awal area dozing yang jauh lebih tinggi
untuk injeksi ke sampling cylinder. Hasil pengukuran dengan menggunakan air
didapat volume area dozing sebesar 23 ml. Volume ini digunakan dalam
menentukan jumlah mol gas yang terdapat dalam area dozing.
Persiapan adsorben
Adsorben ditimbang kira-kira 2 gram, lalu masing-masing dimasukkan ke
silinder penguji untuk kemudian diuji kemampuan adsorpsi terhadap gas karbon
monoksida serta diamati perilaku dinamis adsorpsinya. Sebelum bahan-bahan
tersebut diuji, dipanaskan terlebih dahulu pada temperatur 50°C dan kondisi
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
61
vakum selama 3 jam untuk menghilangkan uap air kesetimbangan yang mungkin
terperangkap dalam bahan.
Cek kebocoran peralatan
Setelah semua rangkaian alat uji penyimpan CO tersusun dengan benar
dan zeolit telah siap dipreparasi, maka selanjutnya dilakukan uji kebocoran
peralatan untuk mengetahui kesiapan dan kualitas alat uji dalam pengujian
adsorpsi yang akan dilakukan. Pada uji ini, gas helium diinjeksikan ke dalam
rangkaian alat uji penyimpan CO sampai tekanan kira-kira 620 psia. Lalu diamati
kestabilan tekanan pada dozing cylinder dan sampling cylinder.
Pengambilan data uji adsorpsi karbon monoksida
Prosedur pengambilan data terbagi dalam 2 tahap yaitu: 1) kalibrasi
volume void dan 2) adsorpsi CO. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai
berikut :
1. Kalibrasi volume void sampling cylinder
Pada sampling cylinder dimasukkan adsorben dengan massa sekitar 2
gram. Volume void dari sampling cylinder adalah volume total dari ruang kosong
yang terdapat pada sampling cylinder.
Vvoid = VSC – Vruang yang terisi zeoilt + Vpori-pori zeolit 3.1
Prosedur pencarian volume void dari sampling cylinder adalah sebagai berikut :
Mengisi dozing cylinder dengan gas He sampai penuh dengan cara
membuka valve V-1 dan mengalirkan gas He ke dalam alat tersebut.
Sementara itu, valve V-2 dalam keadaan tertutup dan semua pompa vakum
dalam keadaan mati. Valve V-1 ditutup ketika dozing cylinder terisi penuh.
Setelah itu, mancatat temperatur (Ti) dan tekanan (Pi) CO di dozing
cylinder. Dengan data ini, maka kita bisa mengetahui jumlah mol He yang
terdapat pada dozing cylinder menurut persamaan berikut ini :
3.2
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
62
Pada prosedur ini Vdozing cylinder = VHe
Membuka valve V-2 dan mengalirkan gas He tersebut ke dalam sampling
cylinder. Ketika semua gas He telah masuk ke dalam sampling cylinder,
valve V-2 ditutup serta mencatat temperatur (Tf) dan tekanan (Pf) dari
dozing cylinder. Dengan data ini, maka kita akan dapat mengetahui jumlah
mol (ni) dari gas He yang dimasukkan ke sampling cylinder dengan
persamaan :
3.3
Mencari volume void dari sampling cylinder. Data yang sudah diketahui
adalah temperatur sampling cylinder (Tf), tekanan sampling cylinder (Pf)
3.4
Mengeluarkan gas He dari sampling cylinder dengan menyalakan pompa
vakum
2. Adsorpsi CO
Mengisi dozing cylinder dengan gas CO dengan membuka valve V-1 dan
mengalirkannya ke dozing cylinder sampai tekanan yang diinginkan.
Setelah tekanan tercapai, valve V-1 ditutup dan mencatat temperatur (Ti)
dan tekanan (Pi) CO di dozing cylinder.
Mengalirkan gas CO ke sampling cylinder dengan membuka valve V-2.
Ketika semua gas CO telah masuk ke dalam sampling cylinder, menutup
valve V-2 dengan cepat serta mencatat temperatur (Tf) dan takanan (Pf)
CO pada sampling cylinder setelah mencapai kesetimbangan.
Mencari jumlah mol zat yang teradsorpsi dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut :
3.5
3.6
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
63
Prosedur di atas dilakukan untuk masing-masing adsorben sampai diperoleh kurva
adsorpsi isotermal dengan tekanan 0-350 psia.
3.1.2.4 Pengolahan Data Uji Adsorpsi
Pengolahan data pada uji adsorpsi adalah dengan membuat kurva adsorpsi
CO oleh adsorben. Dari jumlah mol yang teradsorpsi dibuat model adsorpsi
Langmuir menggunakan Persamaan 3.7. Dengan bantuan program Solver
Microsoft Excel, konstanta adsorpsi model Langmuir b dan kapasitas adsorpsi
maksimum (nmaks) akan didapat. Nilai b dan nmaks dapat diterima jika nilai % AAD
(absolute average deviation) < 10%. % AAD adalah deviasi rata mutlak dari
jumlah mol adsorpsi Gibbs eksperimen (neksp) terhadap jumlah mol adsorpsi Gibbs
model (nmodel), perhitungannya seperti pada Persamaan 3.8.
3.7
3.8
Setelah uji adsorpsi adsorben terhadap CO, maka dipilih adsorben yang
mempunyai kemampuan menyerap CO paling besar dengan melihat konstanta b
dan nmaks yang paling besar. Dari hasil uji adsorpsi ini maka dipilih karbon aktif
dan zeolit alam teraktifasi untuk penelitian selanjutnya yaitu uji penjernihan asap.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
64
3.2 Uji Pembuatan Asap
Bahan bakar untuk pembuatan asap ini adalah kertas tisu. Kertas tisu
ditimbang masing-masing seberat 2, 4, dan 6 gram kemudian dibakar dalam
wadah pembakaran. Tisu dibakar menggunakan solder elektrik sehingga terbentuk
asap, jenis pembakaran yang terjadi adalah smoldering. Pengujian ini dilakukan
untuk mendapatkan berat tisu yang dapat menghasilkan karakteristik asap yang
diinginkan. Karakteristik asap yang diinginkan adalah asap yang dapat
menghasilkan bacaan I maksimum pada sensor mendekati nilai 1000 (nilai
densitas optis 2) dan kadar CO tinggi (> 4000 ppm).
3.2.1 Prosedur Pembuatan Asap
Menyiapkan bahan bakar (menggulung tisu pada solder dengan
menggunakan kawat). Memasukkan bahan yang akan dibakar ke dalam wadah
pembakaran. Menutup rapat ruang pembakaran menggunakan lakban dan plastisin
sehingga tidak terjadi kebocoran asap. Menyalakan solder untuk proses
smoldering tisu. Mencatat bacaan intensitas cahaya (I) pada setiap sensor asap dan
kadar CO setiap menit sampai menit ke-30. Mengulangi prosedur untuk berat tisu
2, 4, 6 dan 8 gram.
3.2.2 Pengolahan Data Asap
Dari data yang diambil data diolah menggunakan persamaan yang didapat
dari hasil kalibrasi (pada sub BAB 3.3.5.5). Hasilnya menunjukkan bahwa asap
dari 6 gram kertas tissue yang dibakar di dalam ruang uji menggunakan solder.
Pemilihan massa 6 gram tissue, karena massa 6 gram dapat menghasilkan
kepekatan asap sempurna dengan intensitas cahaya (I) mendekati 1000 (nilai
densitas optis > 2), kandungan CO sekitar 4500 ppm dan tisu habis terbakar. Oleh
karena itu pada uji penjernihan asap, massa tisu yang dibakar adalah 6 gram.
3.3 Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan CO
Uji penjernihan asap merupakan penelitian lanjutan dari penelitian
sebelumnya screening adsorben. Dari uji seleksi adsorben menunjukkan bahwa
karbon aktif dan zeolit alam teraktifasi mempunyai kemampuan adsorpsi terhadap
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
65
CO lebih baik dibandingan yang lain. Oleh karena itu pada uji penjernihan asap
adsorben yang diuji adalah karbon aktif dan zeolit alam teraktifasi. Karbon aktif
yang digunakan adalah karbon aktif komersial merek Jacobi (ACcom), zeolit
alam teraktifasi. Merujuk pada hasil uji adsorpi CO karbon aktif menunjukkan
kemampuan menyerap CO yang besar, oleh karena itu pada penelitian uji
penjernihan asap dilakukan juga terhadap karbon aktif yang disintesa dari
tempurung kelapa sawit dengan agen pengaktif ZnCl2 (ACZnCl2).
3.3.1 Diagram Alir Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan CO
Skema di bawah ini menjelaskan alur proses percobaan yang dilakukan
dalam uji penjernihan asap dan penyerapan CO.
3.3.2 Persiapan Adsorben
Adsorben yang digunakan pada uji penjernihan asap adalah adsorben
kabon aktif komersial (AC com), karbon aktif teraktifasi ZnCl2 (AC ZnCl2), dan
Zeolit alam (NZ). ACcom yang digunakan merek Jacobi, sedangkan zeolit alam
Gambar 3. 4 Diagram alir penelitian uji penjernihan asap
Uji penjernihan asap
Pengolahan, analisis dan
pembahasan data
Pemilihan Teknik
pembuatan asap
Pemilihan Teknik
dispersi adsorben
Data karakterisasi
dan analisis
Persiapan adsorben
Kalibrasi alat
fotoelektrik
Pembuatan asap dari
tisu
Uji alat dispersi
sprayer gun
Pemilihan perancangan
ruang uji dan peralatan
Perancangan ruang uji
dan alat fotoelektrik
Uji kepekatan asap
dan kandungan CO
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
66
yang digunakan adalah hasil aktifasi pada Penelitian 1. Pada tahap persiapan
adsorben yang dilakukan adalah pembuatan kabon aktif yang diaktifasi dengan
larutan ZnCl2 (ACZnCl2) dan penghalusan adsoben menjadi ukuran 0,6-1 µm, 1-2
µm, 53-106 µm dan 106-212 µm.
3.3.2.1 Pembuatan Karbon Aktif ACZnCl2
Diagram Alir Pembuatan Karbon Aktif Tempurung Kelapa Sawit
Pada penelitian ini, akan dibuat karbon aktif berbahan dasar tempurung
kelapa sawit dengan bahan pengaktif ZnCl2 25 % dan temperatur aktivasi 850 o
C
untuk menghasilkan karbon aktif dengan luas permukaan yang lebih tinggi.
Diagram alir pembuatan karbon aktif berbahan dasar tempurung kelapa sawit
ditunjukkan pada Gambar 3.5.
Gambar 3. 5 Diagram alir pembuatan karbon aktif dari tempurung kelapa sawit
Pengarangan menggunakan furnace pada temperatur 400°C selama 2 jam
Gas N2, 1 jam pertama
Gas CO2, 1 jam berikutnya
Laju alir 100 mL / menit
Persiapan alat dan bahan
Karakterisasi dan uji adsorpsi
Pengeringan produk karbon aktif dalam oven pada temperatur 100°C selama 24
jam
AKTIVASI
Aktivasi pada temperatur 850 °C selama 2 jam
Pencucian dengan menggunakan aquades hingga pH mencapai 6.5 – 7.5
Pendinginan
Pengeringan slurry pada temperatur 100 °C selama 24 jam
Pengadukan pada 100 rpm pada temperatur 85 °C selama 2 jam
Pencampuran dengan bahan pengaktif (ZnCl2) 25 % dengan arang
tempurung kelapa sawit (4:1)
Dihancurkan dan diayak hingga ukuran 10 mesh
Gas CO2, Laju alir 100 mL / menit
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
67
Prosedur Pembuatan karbon aktif ACZnCl2
Prosedur pembuatan karbon aktif dilakukan sebagai berikut :
1. Tempurung kelapa sawit dicuci dengan air untuk menghilangkan pengotor,
kemudian dihancurkan hingga menjadi bagian kecil-kecil dan dikeringkan
dalam oven pada temperatur 110oC hingga mencapai bobot konstan.
2. Tempurung kelapa sawit diarangkan menggunakan furnace pada temperatur
400oC selama 2 jam. Arang tempurung kelapa sawit dihancurkan dan diayak
menggunakan penyaring mesh hingga mencapai ukuran 10 mesh.
3. Aktivasi kimia, sebanyak 100 gram arang yang didapatkan dari proses
karbonisasi dicampur dengan activating berupa larutan ZnCl2 25% (persen
massa) dengan perbandingan 1:4. Campuran tersebut diaduk menggunakan
magnetic stirrer pada 100 rpm temperatur 85oC selama 2 jam. Slurry
dikeringan menggunakan oven pada temperatur 100oC selama 24 jam.
4. Aktivasi fisika, campuran dimasukan ke dalam reaktor dan ditutup hingga
rapat. Reaktor dialirkan gas N2 dengan laju alir 100 mL/menit selama 5 menit
untuk memastikan bahwa oksigen telah dikeluarkan dari reaktor tersebut.
Reaktor dipanaskan secara bertahap sehingga tercapai temperatur 850 °C
selama 1 jam. Aliran gas N2 diganti dengan gas CO2 dan dialirkan selama 1
jam.Suhu reaktor diturunkan hingga mencapai 30°C dengan tetap dialirkan gas.
Pendinginan, setelah proses aktivasi dilakukan, temperatur reaktor diturunkan
hingga mencapai 30°C dengan tetap dialirkan gas CO2. Setelah didinginkan,
sampel dicuci dengan menggunakan air distilasi hingga pH mencapai 6.5 – 7.5.
Nilai pH diketahui dengan cara mengukur pH filtrat menggunakan pH meter
yang telah dikalibrasi.Setelah melalui proses di atas, sampel dikeringkan dalam
oven pada temperatur 100 oC selama 24 jam. Sampel karbon aktif yang
didapatkan kemudian disimpan di dalam desikator untuk menjaga agar karbon
aktif tetap kering.
Karakterisasi karbon aktif
Karakterisasi yang dilakukan adalah perolehan rendemen karbon, uji
karakteristik karbon aktif berdasarkan Standar Industri Indonesia dan uji adsorbsi
gas CO.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
68
Rendemen
Karbon yang diperoleh dibersihkan. Timbang karbon yang diperoleh.
Hitung perolehan rendemen dari karbon yang didapat.
Kadar Air
Timbang 1 gram karbon aktif di atas kaca arloji. Keringkan karbon aktif
di dalam oven pada temperatur 100°C. Catat berat karbon aktif setiap
60 menit sekali sampai mencapai bobot konstan. Dinginkan karbon
aktif di dalam deksikator.Timbang perolehan karbon aktif yang didapat
Kadar Abu total
Timbang 1 gram karbon aktif diatas cawan penguapan. Panaskan
karbon aktif di dalam furnace pada temperatur 650°C selama 2 jam
sampai seluruh karbon menjadi abu.Didinginkan karbon aktif di dalam
deksikator. Timbang perolehan karbon aktif yang didapat.
3.3.2.2 Penghalusan Adsorben
Sampel karbon aktif yang telah diaktivasi kemudian dihaluskan dengan
menggunakan mortar. Selanjutnya karbon aktif diayak dengan menggunakan
ayakan berukuran 53 mikron, 106 mikron, dan 212 mikron yang disusun
bertingkat untuk mendapatkan karbon aktif dengan ukuran 53-106 mikron dan
106-212 mikron. Penghalusan adsorben sampai pada ukuran 106 dan 53 mikron
dilakukan secara manual dan untuk mencapai ukuran nano meter penghalusan
dilakukan menggunakan planetary ballmill type n4, merk Noah.
3.3.2.3 Karakterisasi Ukuran Partikel (Particle Size Analyzer/PSA)
PSA adalah karakterisasi yang dilakukan untuk mengetahui ukuran
partikel yang sangat kecil (berukuran nano). Karakterisasi PSA dilakukan di
Laboratorium Nanotech Indonesia, PUSPITEK, Serpong, menggunakan alat
Particle Size Analyzer type C merk Backman Coulter.
3.3.3 Rancang Bangun Ruang Uji dengan Instrumentasi Photoelectric
Rancang bangun ruang uji ini merupakan perbaikan dari rancang bangun
sebelumnya (rancang bangun sebelumnya terlampir). Perbaikan yang dilakukan
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
69
antara lain alat ini dilengkapi oleh pendeteksi asap tipe photoelectric berbasis
micro controller, alat pendispersi adsorben menggunakan Sprayer gun, COLO-
800, Powder Coating Equipment, teknik pembuatan asap dan alat deteksi CO.
Ruang uji dilengkapi; 3 buah rangkaian sensor cahaya (photodiode) pada
ketinggian: 30 cm, 60 cm dan 90 cm, 3 buah rangkaian sinar laser pada
ketinggian: 30 cm, 60 cm dan 90 cm, 1 buah micro controller dan downloader, 1
buah komputer dan kaca untuk kalibrasi dengan nilai OD tertentu (0,1; 0,3; 0,4;
0,8 dan 2).
3.3.3.1 Set-up Alat
Skema set up alat eksperimen terlihat pada Gambar 3.6. Foto ruang uji
terlihat pada Gambar 3.7. Rangkaian alat micro controller terlihat pada Gambar
3.8. Ruang uji berbentuk kotak dengan ukuran 40 cm x 40 cmx 120 cm yang
terbuat dari bahan akrilik. Pada bagian depan ruang uji ada pintu yang bisa dibuka
untuk membersihkan dinding dan dasar akrilik dari sisa adsorben yang
didispersikan ke dalam ruang uji. Bagian bawah ruang uji terdapat lubang untuk
mendispersikan adsorben ke dalam ruang uji. Ruang uji dilengkapi dengan alat
pendeteksi asap tipe photoelektiric berbasis micro controller, deteksi CO
menggunakan Portable Combustion Gas Analyser type 400 merk E Instruments
dan deteksi kelembapan menggunakan Humidity meter.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Keterangan gambar:
1,2,3 Laser
4,5,6 Sensor
7. Humidity meter
8. Flue gas analyzer
9. adsorben dispersion
10. micro controller and K 125R
11. Personal computer
Gambar 3. 6 Skema ruang uji dengan instrumentasi photoelectric
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
70
Gambar 3. 7 Foto ruang uji penjernihan asap
Micro Controller
Gambar 3. 8 Rangkaian alat micro controller
Alat pendeteksi asap terdiri dari sumber cahara (laser), sensor cahaya,
micro controller dan Personal Computer. Sumber cahaya berasal dari sinar laser
pointer dengan tegangan 5 volt. System control oleh micro controller tipe
Power
Port
Laser
Downloader
K125R
Port
Sensor
Baterai
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
71
ATmega16. Micro controller adalah alat yang mengerjakan instruksi-instruksi
yang diberikan kepadanya. Sensor cahaya yang digunakan adalah sensor cahaya
photodioda. Untuk mentrasfer data menggunakan perangkat lunak downloader
K125R. Downloader K125R merupakan suatu perangkat elektronik yang
digunakan sebagai penghubung antara personal computer dengan micro
controller. Awalnya kode perintah/tugas dibuat di komputer kemudian
dimasukkan ke dalam micro controller melalui perantara perangkat ini.
Disamping itu, perangkat ini juga digunakan untuk mentransfer data hasil bacaan
sensor ke dalam komputer karena perangkat ini juga dilengkapi dengan serial
USART. Alat ini dilengkapi juga dengan voltage regulator LM 276, yang
mengatur tegangan input baterai 12 volt menjadi 5 volt sesuai dengan tegangan
laser pointer. Bacaan yang terbaca pada alat pendeteksi asap ini adalah nilai I
antara 0 – 1000. Nilai 0 berarti jernih, tidak ada asap sementara nilai 1000 berarti
gelap sempurna. Alat pendeteksi asap ini dikalibrasi menggunakan kaca yang
sudah diketahui nilai densitas optik yaitu 0,1; 0,3; 0,5; 0,8 dan 2 m-1
. Gambar 3.9
adalah skema mekanisme kerja alat pendeteksi asap berbasis micro controller.
3.3.3.2 Kalibrasi Sensor
Prosedur Kalibrasi
Dalam merangkai micro controller untuk mengukur kepekatan asap,
metode yang digunakan berdasarkan penelitian yang dilakukan Tito Apriano pada
tahun 2012. Adapun alat-alat utama rangkaian seperti sensor cahaya (photodioda),
sinar laser, micro controller, dan downloader telah lebih dahulu dirangkaikan
pada ruang uji. Pengujian kalibrasi dilakukan di dalam sebuah ruang uji akrilik
berukuran 40 cm x 40 cm x 120 cm. Sensor cahaya dan sinar laser ditempelkan
pada ruang uji. Dalam ruang uji terdapat tiga titik sensor dan sumber cahaya laser
yaitu: (1) laser atas berjarak 90 cm dari dasar ruang uji, (2) laser tengah berjarak
60 cm dari dasar ruang uji, dan (3) laser bawah berjarak 30 cm dari dasar ruang
Computer K125R Micro
Controller
Laser
Sensor
Gambar 3. 9 Skema mekanisme kerja alat pendeteksi asap
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
72
uji. Adapun tahapan dalam uji kalibrasi rangkaian micro controller yang
dilakukan antara lain:
1. Mengukur intensitas cahaya awal yang masuk ke dalam sensor cahaya (I0).
Intensitas ini dianggap sebagai intensitas tanpa adanya asap.
2. Meletakkan kaca dengan nilai density tertentu didepan sensor cahaya
(photodiode). Hal ini dilakukan agar tidak ada cahaya lain yang masuk ke
sensor selain cahaya laser yang melewati kaca.
3. Mengukur intensitas cahaya (I) yang masuk ke dalam sensor cahaya saat sensor
cahaya terhalang oleh kaca.
4. Mengulangi percobaan dengan menggunakan variasi kaca yang memiliki
optical density berbeda (0,1; 0,3; 0,5; 0,8 dan 2). Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan hasil bacaan sensor yang valid sehingga didapatkan persamaan
matematika yang akan digunakan dalam menentukan optical density pada asap.
3.3.4 Pemilihan Alat Dispersi Adsorben dan Teknik Dispersi
Salah satu permasalahan dalam penelitian ini adalah pemilihan teknik
mendispersikan adsorben. Syarat pendispersian adsorben adalah mampu
mendispersikan adsorben secara merata dalam ruang uji. Pertama kali dipilih
balon yang diisi gas nitrogen sebagai media untuk mendispersikan. Setelah
dilakukan uji coba, balon yang berisi adsorben dan nitrogen ketika diledakkan
tidak dapat mendispersikan adsorben dengan merata. Permasalahan lain
menggunakan balon adalah kelenturan tiap balon berbeda-beda, sehingga
mengalami kesulitan mengontrol tekanan dan jumlah nitrogen yang dimasukkan.
Oleh karena itu Sprayer gun khusus untuk padatan dipilih sebagai alat untuk
mendispersikan adsorben.
3.3.4.1 Posisi Arah Sprayer Gun
Pada dasarnya, arah pendispersian alat ini adalah horizontal, maka perlu
modifikasi posisi tabung sampel pada sprayer gun, sehingga arah pendispersian
bisa dilakukan secara vertikal. Posisi pendispersian dapat dilakukan dari atas atau
bawah ruang uji. Posisi pendispersian dari atas dapat menyebabkan padatan lebih
cepat jatuh ke dasar ruang uji, sehingga waktu kontak dengan partikel asap di
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
73
dalam ruang uji menjadi singkat. Posisi pendispersian padatan dari bawah dapat
meningkatkan waktu kontak padatan dengan partikel asap di dalam ruang uji.
Pada penelitian ini dipilih posisi pendispersian dari bawah ruang uji. Gambar 3.10
menunjukkan kondisi dasar ruang uji setelah adsorben didispersikan, terlihat
adsorben merata pada dasar ruang uji.
Gambar 3. 10 Kondisi dasar ruang uji setelah adsorben didispresikan
3.3.4.2 Nitrogen Bertekanan Mengalir Kontinyu
Gas nitrogen digunakan sebagai gas pembawa adsorben mengalir secara
kontinyu selama 3 detik. Takanan nitrogen yang digunakan harus optimal, agar
adsorben yang didispersikan dapat mencapai ketinggian yang diinginkan. Jika
tekanan terlalu tinggi dapat menyebabkan efek signifikan pada karakteristik asap
di dalam ruang uji. Tetapi tekanan nitrogen terlalu kecil, dapat menyebabkan
adsorben tidak mencapai ketinggian yang diinginkan dan masih banyak adsorben
tidak terdispersikan, tertinggal dalam alat sprayer gun. Sebelum dilakukan uji
penjernihan asap, uji tekanan nitrogen harus dilakukan. Uji tekanan nitrogen
dilakukan menggunakan padatan tepung beras merek Rose Brand. Tekanan
nitrogen 42 psia mampu mendispersikan padatan sampai ketinggian ruang uji
(120 cm).
Lama waktu pendispersian menjadi parameter yang harus
dipertimbangkan. Waktu pendispersian terlalu lama, jumlah nitrogen yang banyak
dapat mempengaruhi komposisi gas di dalam ruang uji. Waktu pendispersian yang
terlalu singkat menyebabkan padatan masih banyak tertinggal di dalam alat
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
74
sprayer gun. Hasil uji waktu pendispersian menunjukkan bahwa waktu 3 detik
dapat mendispersikan padatan 5 gr secara maksimum.
Pada proses pendispersian, tidak semua padatan di dalam alat dispersi
dapat didispersikan, masih ada yang tertinggal pada alat dispersi. Untuk
mengetahui jumlah padatan yang masih tertinggal pada alat dispersi, diperoleh
dengan mendispersikan pada kertas saring basah yang sudah diketahui berat
keringnya. Kemudian kertas saring dikeringkan dalam oven sampai berat konstan.
Perbedaan berat awal dan akhir kertas saring menunjukkan jumlah padatan yang
masih tertinggal pada alat dispersi. Pengujian dilakukan dengan tekanan nitrogen
40 psia mengalir selama 3 detik. Hampir semua padatan dapat didispersikan dan
mencapai ketinggian ruang uji. Massa padatan yang didispersikan 1, 2, 3, 4, dan 5
gram. Setelah pendispersian, padatan yang tersisa dikumpulkan pada kertas saring
basah. Setelah dikeringkan kemudian ditimbang, maka massa padatan yang tidak
terdispersikan dapat diketahui. Hasilnya seperti pada Gambar 3.11 dan 3.12
berikut ini. Terlihat untuk pengujian 2-5 gr massa padatan yang tidak
terdispersikan kurang dari 3%.
Gambar 3. 11 Massa padatan yang tertinggal pada sprayer gun
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
75
Gambar 3. 12 Persentase massa padatan yang tertinggal pada sprayer gun
Walaupun dengan sistem pendispersian seperti di atas dapat
mendispersikan padatan > 98%, tetapi sistem pendispersian seperti ini mengalami
kesulitan dalam mengatur waktu 3 detik. Akhirnya pada penelitian ini
menggunakan gas N2 dengan tekanan awal yang dapat mendispersikan padatan
jumlah tertentu sampai pada bagian atas ruang uji.
3.3.4.3 Nitrogen Bertekanan Awal
Dispersi adsorben dengan nitrogen tidak kontinyu dilakukan pada tekanan
awal nitrogen yang cukup mendispersikan semua adsorben. Oleh karena itu
dilakukan uji tekanan awal N2 yang bertujuan untuk mengetahui tekanan optimum
pada saat pendispersian adsorben sehingga seluruh adsorben tersebar merata pada
saat pendispersian. Mula-mula sprayer gun dihubungkan dengan pressure gauge
yang ada pada tabung N2 bertekanan. Kemudian katup tabung gas N2 dibuka
sehingga gas bertekanan mengalir ke sprayer gun dan memungkinkan sprayer gun
mendispersikan adsorben secara optimal ke dalam ruang uji sampai ke bagian atas
ruang uji.
Pengukuran tekanan dilakukan pada 3 tempat yaitu pada tabung gas N2,
pressure gauge, dan COLO Machine. Tekanan gas tabung N2 110 psia, tekanan
pressure gauge 73 psia. Ketika pendispersian tekanan awal pada selang, tekanan
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
76
keluar COLO Machine hanya 50 psia, kemudian tekanan menurun sampai sisa gas
nitrogen habis dalam waktu 2 detik. Selama pendispersian padatan tidak mencapai
puncak ruang uji dan sisa padatan yang tidak terdispersikan masih banyak, hampir
15%. Hal ini disebabkan karena jumlah gas yang ada pada selang tidak cukup
untuk mendispersikan adsorben yang ada.
Dengan menambah panjang selang dari 8 m menjadi 14 m, adsoben dapat
didispersikan secara sempurna. Pada saat tekanan pada sprayer gun mencapai 50
psia, sampel karbon aktif yang didispersikan dari bawah ruang uji hanya mencapai
bagian tengah ruang uji. Pada tekanan sprayer gun mencapai 61 psia, hanya
sebagian kecil sampel yang sampai ke bagian atas ruang uji dan sebagian besar
hanya mencapai ¾ bagian ruang uji. Baru setelah tekanan N2 dinaikkan sampai
tekanan sprayer gun 67 psia, sebagian besar karbon aktif mencapai bagian atas
ruang uji. Oleh karena kondisi optimum itu, pada penelitian ini tekanan yang
digunakan dalam proses pendispersian adsorben adalah 67 psia pada sprayer gun.
Tabel 3.1 berikut adalah bacaan tekanan pada uji tekanan dispersi.
Tabel 3. 1 Bacaan tekanan saat uji tekanan sprayer gun
Tekanan pada
Tabung N2 (psia)
Tekanan pada
pressure gauge
(psia)
Tekanan pada
sprayer gun (psia)
80 90 50
100 98 61
110 98 67
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
77
3.3.5 Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan CO
Setelah alat dikalibrasi dan didapatkan berat bahan bakar untuk
menghasilkan asap yang optimal, uji penjernihan asap dan adsorpsi gas CO
dilakukan. Pada uji penjernihan asap ini ada 3 rangkaian penelitian dilakukan,
yaitu:
1. Penjernihan asap dengan adsorben yang dibawa oleh nitrogen.
2. Penjernihan asap tanpa adsorben hanya mengalirkan nitrogen saja.
3. Pendispersian adsorben tanpa asap.
3.3.5.1 Bahan dan Alat
Bahan
- Kertas tisu merk Nice sebanyak 6 gram
- Adsorben kabon aktif komersial (AC com), karbon aktif teraktifasi ZnCl2
(AC ZnCl2), dan Zeolit alam (NZ) dengan ukuran 0,6-1 µm, 1-2 µm, 53-
106 µm dan 106-212 µm.
- Gas N2 dalam tabung
Alat
- Rangkaian alat pengukur asap (micro
controller tipe ATmega16)
- Ruang uji adsorpsi
- Solder
- Gas analyzer type 400 merk E Instruments
- Sprayer gun powder coating equipment type
C-800 merk
- Stopwatch
- Neraca digital
- Kawat sepanjang 1 m
- Kertas saring
- Plester solatip
- Cawan keramik
- Oven
3.3.5.2 Skema Prosedur Pengambilan Data Uji Penjernihan Asap dan
Penyerapan CO
Skema prosedur pengambilan data uji penjernihan asap dapat dilihat pada
Gambar 3.13 berikut ini.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
78
3.3.5.3 Prosedur Percobaan Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan CO
Dengan Adsorben
Prosedur pada uji penjernihan asap adalah sebagai berikut:
1. Menyiapkan bahan bakar (menggulung tisu pada solder diikat
pakai kawat).
Tidak
Tidak
Mulai
Persiapan alat
Pembuatan asap
Pengambilan data
Dispersi adsoben
Memenuhi Karakteristik
(bacaan I ± 1000,
CO > 4000 ppm
Merata
(sampai ke bagian
atas ruang uji)
Selesai
YA
YA
Gambar 3. 13 Bagan alir prosedur pengambilan data pada uji penjernihan asap
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
79
2. Memasukkan bahan yang akan dibakar ke dalam ruang uji yang
diletakkan di atas cawan.
3. Memasang alat CO analyzer, kemudian menutup rapat ruang uji
4. Menyalakan komputer untuk menyiapkan alat micro controller
5. Setelah semua siap, solder dinyalakan untuk proses pembakaran
smoldering tisu.
6. Adsorben yang sudah dipanaskan dalam oven dimasukkan ke
dalam alat dispersi.
7. Pada menit ke-10, bacaan intensitas cahaya maksimum sekitar
1000, adsorben didispersikan ke dalam ruang uji. Jika bacaan
intensitas tidak memenuhi, prosedur diulang dari no 1.
8. Dispersi adsorben, jika merata sampai puncak ruang uji,
pengambilan data dapat dilanjutkan sampai menit ke-30. Jika
dispersi adsorben tidak sampai puncak maka prosedur diulang dari
no. 1.
9. Setelah selesai, sisa asap dikeluarkan dari ruang uji, dan ruang uji
dibersihkan.
Bacaan intensitas cahaya tercatat secara online pada komputer dari awal
sampai menit ke-30, sedangkan kadar CO dicatat setiap menit sampai menit ke-
30. Setelah selesai, sisa asap dikeluarkan dari ruang uji, dan ruang uji dibersihkan.
Pengambilan data pada penjernihan asap oleh adsorben dilakukan untuk
jenis adsorben ACCom, ACZnCl2, Zeolit alam, masing dengan variasi ukuran 0,6-
1 µm 1 – 2 µm, 53-106 µm dan 106-212 µm dan variasi massa 1 g,3 g dan 5g.
Tanpa Adsorben
Prosedur pada uji penjernihan asap tanpa adsorben sama dengan
prosedur penjernihan asap dengan adsorben dari poin 1 – 6. Pada menit ke-10
hanya mengalirkan gas nitrogen (N2) ke dalam ruang uji menggunakan alat
dispersi.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
80
Dispersi Adsorben tanpa Asap
Ruang uji dan alat micro controller disiapkan tanpa solder. Adsorben
didispersikan, kemudian dilakukan pengamatan dan pengambilan data sampai
menit ke-20.
3.3.5.4 Variabel Penelitian Penjernihan Asap
Variabel Tetap
1. Suhu dan waktu pemanasan adsorben dalam preparasi bahan
2. Massa kertas tisu yang dibakar
3. Waktu pembakaran tisu
4. Tekanan N2 sebagai gas pembawa
Variabel Bebas
1. Jenis adsorben: Adsorben kabon aktif komersial (AC com), karbon aktif
terkatifasi ZnCl2 (ACZnCl2), dan zeolit alam terkatifasi (NZ).
2. Ukuran adsorben: 0,6-1 µm 1 – 2 µm, 53-106 µm dan 106-212 µm.
3. Massa adsorben: 1, 3 dan 5 gram.
Variabel Terikat
1. Kepekatan asap yang terbentuk
2. Konsentrasi CO
3. Kemampuan adsorpsi CO
4. Kemampuan penjernihan asap kebakaran dari adsorben.
3.3.5.4 Label Adsorben yang Diuji pada Uji Penjernihan Asap
Label sampel yang diuji pada penjernihan asap adalah sebagai berikut:
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
81
Tabel 3. 2 Variasi dari tipe, diameter dan massa adsorben
Adsorbent type Diameter (µm) Mass (g) Notation
Commercial
activated carbon
0.6-1.0 1, 3, 5 ACcom 0.6
1.0-2.0 1, 3, 5 ACcom 1
53-106 1, 3, 5 ACcom 53
106-212 1, 3, 5 ACcom 106
ZnCl2 activated
carbon
0.6-1.0 1, 3, 5 AC ZnCl20.6
1.0-2.0 1, 3, 5 AC ZnCl21
53-106 1, 3, 5 AC ZnCl253
106-212 1, 3, 5 AC ZnCl2106
Activated natural
zeolite
0.6-1.0 1, 3, 5 NZ 0.6
1.0-2.0 1, 3, 5 NZ 1
53-106 1, 3, 5 NZ 53
106-212 1, 3, 5 NZ 106
3.3.5.5 Pengolahan Data Uji Penjernihan Asap
Persamaan Kalibrasi
Data kalibrasi dapat diolah menggunakan software origin, sehingga
didapatkan konstanta-konstanta persamaan kalibarasi sebagai berikut:
(3.9)
(3.10)
Dimana:
x = OD (Optical Density)
y = I0/I
yo, A dan Ro = konstanta persamaan kalibrasi
Data Penyerapan CO
Optical Density asap dalam ruang uji dapat dihitung menggunakan persamaan
kalibrasi yang diperoleh. Banyaknya gas CO yang teradsorpsi dapat dihitung
berdasarkan selisih konsentrasi gas CO awal dengan konsentrasi gas CO pada
menit 30. Kapasitas adsorpsi ini merupakan fungsi dari waktu dan ketinggian
ruangan.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
82
(3.11)
COmax = konsentrasi CO maksimum
CO30 = konsentrasi CO pada menit ke 30
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
83
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan tujuan penelitian seperti yang telah dituliskan pada Bab 1,
terdapat 3 (tahap) tahap penelitian yaitu: seleksi adsorben, uji pembuatan asap dan
uji penjernihan asap dan penyerapan CO. Hasil dan pembahasan yang didapat dari
penelitian ini dijelaskan dalam paragraf-paragraf berikut ini.
4.1 Seleksi Adsorben
4.1.1 Karakterisasi Adsorben
4.1.1.1 Rasio Si terhadap Al Zeolit
Rasio Si/Al yang terkandung dalam zeolit alam berpengaruh daya adsorpi
zeolit. Makin besar rasio Si/Al secara umum zeolit akan bersifat lebih
hydrophobic, lebih suka terhadap senyawa non polar. Sebaliknya semakin kecil
rasio Si/Al, maka zeolit akan bersifat hydrophylic, berarti lebih suka terhadap air
atau senyawa polar. Oleh karena itu, perlunya mengetahui komposisi kimiawi
silika dan aluminium dalam zeolit alam. Gambar 4.1 menunjukkan pengaruh tiap
tahapan perlakuan aktifasi pada zeolit alam terhadap rasio Si/Al.
Gambar 4. 1 Rasio Si/Al pada setiap tahapan proses preparasi zeolit alam
Berdasarkan Gambar 4.1 rasio Si terhadap Al pada tiap tahapan proses
aktifasi zeolit alam menunjukan bahwa pada langkah perendaman dengan HF 2%
tidak terjadi perubahan siknifikan rasio Si/Al, yaitu 7,55% (wt) menjadi 7,52 (wt)
dan komposisi aluminium terjadi peningkatan dari 9,245 % (wt) menjadi 9,715 %
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
84
(wt). Hal ini dapat terjadi karena larutan HF 2 % yang berfungsi melarutkan
oksida pengotor tetapi bukan sebagai pelarutan oksida aluminium.
Pada tahapan proses dealuminasi menggunakan larutan HCl 6 M terjadi
peningkatan rasio Si/Al dari 7,52 menjadi 8,51 dan terjadi penurunan aluminium
dari 9,715 %(wt) menjadi 8,707 % (wt). Pada saat proses pelarutan menggunakan
larutan HCl 6 M berfungsi melarutkan oksida Aluminium (AlO4)5-
dengan
membuka pori-pori zeolit menjadi berukuran pori lebih besar sehingga oksida
aluminium dari kerangka dalam kristal akan keluar kerangka kristal dan
mendorong oksida aluminium keluar dari struktur zeolit dan terlarut dalam larutan
HCl 6 M.
Tahapan proses perlakuan menggunakan larutan NH4Cl 0,1 M terjadi
peningkatan rasio Si/Al dari 8,51 menjadi 12,81 dan penurunan aluminium dari
8,707 %(wt) menjadi 6,578 %(wt). Pada proses pertukaran ion ini menghasilkan
penurunan aluminium yang paling besar dikarenakan pada saat proses
dealuminasi masih banyak oksida aluminium yang tertinggal diluar rangka kristal
yang sulit terdorong keluar dari struktur zeolit. Sehingga proses perlakuan garam
ini sangat berperan penting setelah dilakukannya proses dealuminasi.
Tahapan proses kalsinasi pada temperatur 500oC terjadi kembali
penurunan rasio Si/Al dari 12,81 menjadi 9,43. Hal ini dapat terjadi karena pada
saat proses kalsinasi pada temperatur 500oC oksida-oksida silika (SiO2)
mengendap pada bagian bawah dan melekat pada wadah cawan sehingga pada
saat analisa komposisi oksida silika menurun.
4.1.1.2 Luas Permukaan
Hasil pengukuran luas permukaan dengan metode BET ditunjukkan pada oleh
Tabel 4.1. Terlihat bahwa karbon aktif merupakan adsorben yang memiliki luas
permukaan paling besar. Zeolit alam yang sudah diaktifasi mengalami
peningkatan luas permukaan dari 45,4 menjadi 83,1 m2/gr, terjadi peningkatan
luas permukaan sebesar 83% dari luas permukaan zeolit alam tanpa aktifasi.
Sementara itu TiO2 dan CuO mempunyai luas permukaan yang sangat kecil, dapat
disimpulkan adsorben TiO2 dan CuO tidak memiliki pori.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
85
Tabel 4. 1 Luas permukaan adsorben
Adsorben Luas permukaan
(m2/gr)
Diameter pori
rata-rata (oA)
Zeolit alam tidak terkatifasi 45,4 73,14
Zeolit alam teraktifasi 83,1 106,8
Karbon aktif ACcom
Karbon aktif ZnCl2
1201
167
77,5
78,3
TiO2 7,36 110,9
CuO 2,02 88,3
MgO 35,6 11,4
Luas permukaan zeolit yang telah diaktifasi meningkat dari 45,4 m2/gram
menjadi 83,14 m2/gram. Setiap tahapan memungkinkan terjadinya penghilangan
pengotor yang terdapat di dalam zeolit, baik dengan HF, HCl. Penambahan
larutan NH4Cl adalah tahapan terakhir yang melarutkan senyawa pengotor yang
masih terdapat dalam zeolit, atau membersihkan pengotor pada permukaan zeolit
karena adanya proses dealuminasi. Jadi dapat dikatakan bahwa NH4Cl dapat lebih
membuka pori zeolit. Proses kalsinasi pada temperatur 500oC yang menguapkan
molekul-molekul air dan senyawa organik, sehingga proses kalsinasi dapat
membuka pori yang tertutup oleh zenyawa organik, sehingga dapat meningkatkan
luas permukaan. Disamping itu tujuan utama proses kalsinasi adalah untuk
mendapatkan struktur yang kokoh dari zeolit.
4.1.2 Uji Adsorpsi Karbon Monoksida
4.1.2.1 Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh Zeolit Alam Tidak Teraktifasi
Jumlah CO yang teradsorpsi pada zeolit alam tidak teraktifasi
direpresentasikan dalam bentuk mol adsorpsi Gibbs. Proses pengambilan data
dengan memvariasikan tekanan. Pembacaan data dilakukan setelah tercapai
kesetimbangan adsorpsi yang ditandai dengan tekanan sudah konstan. Rata-rata
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan adsorpsi sekitar 30 menit.
Pengaruh tekanan terhadap jumlah CO yang teradsorpsi dapat dilihat pada
Gambar 4.2 dan Tabel 4.2. Data perhitungan pengujian adsorpsi oleh zeolit alam
dan adsorben lain secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
86
Gambar 4. 2 Pengaruh tekanan CO terhadap kapasitas adsorpsi zeolit alam tidak teraktifasi
Semakin tinggi tekanan di fasa ruah gas maka semakin banyak CO yang
berdifusi mendekat ke permukaan dan masuk ke pori zeolit untuk berinteraksi
dengan atom-atom pada permurkaan zeolit, sehingga jumlah CO yang teradsorpsi
akan semakin besar. Pada tekanan paling tinggi 125,5 psia, jumlah CO yang
teradsorpsi mencapai 0,04 mmol/g zeolit alam. Dapat disimpulkan bahwa zeolit
alam tidak teraktifasi mempunyai kemampuan mengadsorpsi CO, karena dengan
struktur yang berpori dan sifat permukaan yang dimiliki menyebabkan zeolit alam
tidak teraktifasi mampu mengasorpsi gas CO. Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa rata-
rata deviasi (% AAD)data eksperimen dibandingkan model 7,21%, dapat
dikatakan bahwa proses adsorpsi CO oleh zeolit alam tidak teraktifasi mengikuti
model adsorpsi isotermis Langmuir. Rata-rata deviasi < 10% pada eksperimen ini
masih dapat diterima (Sudibandriyo, 2011).
Tabel 4. 2 Adsorpsi CO oleh zeolit alam tidak teraktifasi
ngibs (mmol/gr
sample) P (psia)
nmodel (mmol/gr
sample) deviasi
0,000 0,0 0,000 0,0000
0,016 48,3 0,016 0,0000
0,023 75,4 0,023 0,0290
0,026 101,0 0,030 0,1577
0,040 125,5 0,036 0,1019
%AAD 7,21%
Model
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
87
Meskipun demikian, jumlah CO yang teradsorpsi relatif kecil
dibandingkan kapasitas adsorpsi CO oleh adsorben yang lain. Hal ini ditunjukkan
oleh konstanta kesetimbangan adsorpsi nmaks dan nilai b masing-masing adsorben
(Tabel 4.10). Nilai konstanta nmaks dan nilai b yang dimiliki zeolit alam tidak
teraktifasi lebih kecil dibandingkan zeolit alam teraktifasi dan karbon aktif. Zeolit
alam tidak teraktifasi masih banyak terdapat pengotor di dalam pori, baik
pengotor organik maupun an organik. Pengotor-pengotor ini dapat menutupi
bidang aktif sehingga menghalangi interaksi CO dengan bidang aktif zeolit alam
yang dapat mengurangi kapasitas adsorpsi. Pengotor juga dapat menutupi pori
dapat mengurangi luas permukaan zeolit alam, sehingga kapasitas adsorpsi
berkurang. Hasil karakterisasi BET menunjukkan luas pemukaan zeolit alam
yang belum diaktifasi masih rendah, yaitu 45,4 m2/gr.
Jika ditinjau dari diameter molekul CO termasuk ke dalam golongan gas
dengan diameter molekul yang relatif kecil (7,180oA). Sementara itu diameter pori
zeolit alam yang belum diaktifasi jauh lebih besar (33,93oA). Dapat dikatakan
bahwa ukuran pori zeolit alam tidak berpengaruh siknifikan terhadap adsorpsi
CO, tetapi diameter molekul CO yang bepengaruh terhadap kapasitas adsorpsi.
Molekul gas dengan diameter molekul kecil akan lebih sulit teradsorpsi
dibandingkan gas dengan diameter molekul lebih besar. Tabel 4.3 berikut ini
menunjukkan beberapa gas dengan diameter molekulnya:
Tabel 4. 3 Jari-jari beberapa molekul gas
Gas Jari-jari molekul (oA)
CO 7,180
N2 7,362
CO2 7,992
CH4 7,644
(Birb, 2005)
Zeolit dikenal dengan adsorben yang mempunyai bidang asam Lewis.
Bidang asam Lewis terbentuk karena keberadaan Al3+
dalam struktur zeolit.
Banyak kemungkinan tipe asam Lewis yang terdapat pada struktur zeolit.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
88
Diantara tipe tersebut CO akan teradsorpsi oleh zeolit membentuk ikatan komplek
koordinasi-3, koordinasi-4 dan dan koordinasi-5 dengan Al
3+, (Milov
et. al, 1997).
Gambar berikut ini adalah beberapa tipe asam Lewis yang terdapat dalam struktur
zeolit. Gambar 4.3 menunjukkan adsobat teradsorpsi pada permukaan pori zeolit.
Sedangkan Gambar 4.4 menunjukkan adsorbat terikat pada permukaan di dalam
pori zeolit.
(a)
(b)
Gambar 4. 3 Tipe asam Lewis pada permukaan pori zeolit dan adsorbat terikat dengan Al3+
. (a)
koordinasi 3 dan 5 (b) koordinasi 4 (Milov, et. al., 1997)
Gambar 4. 4 Adsorbat terikat pada pemukaan pori zeolit (Milov, et. al., 1997)
4.1.2.2 Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh Zeolit alam teraktifasi
Fenomena adsorpsi CO oleh zeolit alam terkatifasi mirip dengan zeolit
alam tidak teraktifasi. Akan tetapi kapasitas adsorpsi pada zeolit alam teraktifasi
jauh lebih besar dibandingkan dengan zeolit alam yang tidak teraktifasi. Hal ini
ditunjukkan oleh konstanta nmaks yang dimiliki oleh zeolit alam teraktifasi 2 kali
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
89
lebih besar dibandingkan zeolit alam tidak teraktifasi. Pengaruh tekanan terhadap
kapasitas adsorpsi zeolit alam teraktifasi dapat dilihat pada Gambar 4.5 dan Tabel
4.4. Semakin tinggi tekanan, jumlah CO yang teradsorpsi semakin banyak.
Gambar menunjukkan bahwa profil kurva adsorpsi eksperimen mendekati kurva
adsopsi model. Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa rata-rata deviasi data eksperimen
dibandingkan model 3,76%, dapat dikatakan bahwa proses adsorpsi CO oleh
zeolit alam teraktifasi mengikuti model adsorpsi isotermis Langmuir.
Gambar 4. 5 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi zeolit alam teraktifasi
Tabel 4. 4 Adsorpsi gas CO oleh zeolit alam teraktifasi
ngibs (mmol/gr
sample) P (psia)
nmodel (mmol/gr
sample) deviasi
0,000 0,0 0,000 0,0000
0,166 79,5 0,161 0,0305
0,182 131,6 0,206 0,1307
0,230 190,2 0,238 0,0342
0,253 230,8 0,253 0,0000
0,276 281,2 0,268 0,0299
0,279 331,5 0,279 0,0000
%AAD 3,76%
Peningkatan kapasitas adsorpsi zeolit alam teraktifasi terhadap CO
dimungkinkan karena hilangnya pengotor pada pori zeolit, sehingga bidang aktif
zeolit menjadi terbuka dan meningkatkan luas permukaan. Zeolit alam banyak
mengandung pengotor an organik (mineral) dan organik. Pengotor mineral bisa
berupa senyawa logam, logam yang terikat dalam struktur zeolit, ataupun senyawa
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
90
SiO2 dan Al2O3 yang tidak dalam bentuk struktur kristalin (amorf). Keberadaan
senyawa-senyawa ini akan menutupi pori zeolit. Sementara itu pengotor organik
bisa dalam berbagai bentuk senyawa, termasuk organik yang mengandung unsur
nitrogen.
Proses aktifasi kimia dengan asam kuat seperti HF dan H2SO4 dapat
melarutkan pengotor mineral. Sementara itu aktifasi fisika secara termal pada
temperatur tinggi (> 300oC) dapat menguraikan senyawa organik yang terpadat
dalam zeolit. Jadi proses aktifasi kimia dan fisika dapat membuka pori zeolit
sehingga permukaan zeolit menjadi lebih aktif dan luas permukaan zeolit
meningkat. Dengan meningkatnya permukaan aktif dan luas permukaan zeolit
maka molekul CO yang teradsorpsi akan semakin meningkat. Hasil karakterisasi
EDAX menunjukkan bahwa zeolit alam yang belum diaktifasi masih terdapat
pengotor mineral seperti ion K dan Ca (Gambar 4.6). Sementara zeolit yang sudah
diaktifasi terlihat peaknya lebih bersih. Karakterisasi BET menunjukkan luas
permukaan zeolit alam teraktifasi meningkat dari 45,4 m2/gr menjadi 83,1 m
2/gr.
Gambar 4. 6 Hasil karakterisasi EDAX zeolit alam a) sebelum aktifasi, b) setelah aktifasi
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
91
Peningkatan kapasitas adsorpsi zeolit alam terhadap CO dapat juga
disebabkan meningkatnya rasio Si/Al. Zeolit dikenal sebagai adsorben yang
bersifat polar, suka terhadap senyawa polar, seperti air. Perbandingan Si/Al
meningkat dapat menyebabkan permukaan zeolit alam lebih bersifat hydrophobic.
Zeolit akan selektif terhadap air dan suka terhadap molekul non polar (Sabina,
1998). Molekul CO lebih bersifat non polar dibandingan air maka akan lebih
mudah teradsorpi pada zeolit yang mempunyai rasio Si/Al lebih tinggi.
Molekul CO pada permukaan zeolit terikat dengan Al yang berikatan
koordinasi-3 dengan atom oksigen (Rakic, 2003). Adsorpsi CO pada permukaan
zeolit yang mengandung ion logam dapat terjadi secara fisika dan kimia (Zheng,
1998). Keberadaan ion logam pada permukaan dapat menyebabkan permukaan
zeolit bermuatan positif. Fenomena molekul gas teradsorpsi pada permukaan
zeolit yang bermuatan positif dapat dilihat pada Gambar 4.7.
Gambar 4. 7 Muatan pada permukaan zeolit (Jungsuttiwong, 2001)
Jika pada struktur zeolit terdapat ion logam transisi maka molekul CO
akan teradsorpsi secara kimiawi. Ion logam transisi akan berikatan dengan atom C
dari gas CO, seperti yang terlihat pada Gambar 4.8.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
92
Gambar 4. 8 Molekul CO terikat secara kimia pada permukaan yang mengandung logam transisi
(Jungsuttiwong, 2001)
4.1.2.3 Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh Karbon Aktif
Fenomena adsorpsi gas CO oleh karbon aktif ditunjukkan oleh Gambar
4.9. Gambar tersebut menunjukkan profil kurva adsorpsi model dan eksperimen
mirip, hal ini menunjukkan data yang diperoleh relatif valid dan dipertegas oleh
nilai deviasi rata-rata 1,73%. Jika dilihat dari konstanta nmaks, 5 kali lebih besar
jika dibandingkan dengan nmaks zeolit alam teraktifasi (Tabel 4.10), dapat
disimpulkan bahwa karbon aktif merupakan adsorben yang mempunyai kapasistas
adsorpsi yang paling besar diantara semua adsorben yang diuji. Karbon aktif
dikenal sebagai adsorben yang mempunyai luas permukaan yang besar, dengan
permukaan bersifat hydrophobic, tidak suka terhadap air, banyak digunakan untuk
adsorpsi gas-gas yang bersifat hydrophobic seperti gas metana, N2 dan gas CO2
(Sudibandriyo, 2011). Pada penelitian ini karbon aktif mempunyai luas
permukaan yang paling besar jika dibanding semua adsorben yang diuji, yaitu
1201 m2/gr, sehingga kapasitas adsorpsi karbon aktif juga paling besar. Pengaruh
tekanan terhadap kapasitas adsorpsi karbon aktif terlihat pada Gambar 4.9.
Gambar 4.9 juga menunjukkan bahwa profil kurva adsorpi eksperimen mendekati
kurva adsopsi model. Jumlah gas CO yang teradsorpsi pada tekanan tertentu
terlihat pada Tabel 4.5.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
93
Espinal (2004) melaporkan bahwa adsorben yang berbahan dasar karbon
mempunyai kemapuan mengadsorpsi melekul CO. Kekuatan adsorpsi CO pada
permukaan yang mengandung karbon sangat ditentukan oleh bentuk susunan ion
carbon pada molekul adsorben. Keberadaan oksigen kompleks pada permukaan
senyawa karbon mengurangi kapasitas adsorpsi dari adsorben. Berikut ini adalah
gambar yang menunjukkan berbagai kemungkinan molekul CO terikat pada
permukaan yang mengandung karbon. Gambar 4.10 menunjukkan ikatan CO
dengan adsorben berbahan karbon. Gambar 4.11 menunjukkan ilustrasi karbon
aktif bekerja menyerap adsorbat pada porinya.
Tabel 4. 5 Adsorpsi gas CO oleh karbon aktif
ngibs (mmol/gr
sample)
P
(psia)
nmodel (mmol/gr
sample) deviasi
0,000 0,0 0,000 0,0000
0,192 73,1 0,290 0,5064
0,348 92,0 0,348 0,0000
0,428 112,0 0,405 0,0542
0,471 134,9 0,463 0,0166
0,524 161,5 0,524 0,0000
0,563 184,6 0,572 0,0158
0,614 206,2 0,613 0,0012
%AAD 1,73%
Gambar 4. 9 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi karbon aktif
Model
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
94
Gambar 4. 10 CO terikat pada permukaan yang mengandung atom carbon (Espinal, 2004)
Gambar 4. 11 Ilustrasi karbon aktif menyerap adsorbat
(Sushrut Chemicals, Juni 2015)
4.1.2.4 Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh TiO2
Oksida logam TiO2 adalah salah satu oksida logam yang biasa digunakan
sebagai sensor untuk gas CO, yang bertujuan untuk menteksi gas CO pada
ruangan tertentu (Batzill, 2005). Fenomena adsorpsi gas CO oleh TiO2
ditunjukkan oleh Gambar 4.12. Terlihat bahwa profil kurva adsorpsi model dan
eksperimen mirip, hal ini menunjukkan data yang diperoleh cukup valid dan
dipertegas oleh nilai deviasi absolut rata-rata 3,04%. Akan tetapi jika dilihat dari
konstanta nmaks 0,155 mmol/g, berarti kapasitas adsorpsi TiO2 terhadap molekul
CO termasuk kecil, masih dibawah zeolit alam tidak teraktifasi. Kecilnya daya
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
95
adsorpsi TiO2 tehadap molekul CO lebih disebabkan kecilnya luas permukaan
TiO2 hanya 7,36 m2/gr. Molekul CO akan teradsorpsi secara kimia pada
permukaan TiO2.
Pengaruh tekanan terhadap kapasitas adsorpsi karbon aktif terlihat pada
Gambar 4.12. Gambar 4.12 juga menunjukkan bahwa profil kurva adsorpi
eksperimen mendekati kurva adsopsi model. . Jumlah gas CO yang teradsorpsi
oleh TiO2 pada tekanan tertentu terlihat pada Tabel 4.6.
Gambar 4. 12 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi TiO2.
Tabel 4. 6 Adsorpsi gas CO oleh TiO2
ngibs (mmol/gr
sample) P (psia)
nmodel (mmol/gr
sample) deviasi
0,000 0,0 0,000 0,0000
0,038 40,7 0,025 0,3581
0,040 65,6 0,037 0,0900
0,044 90,1 0,046 0,0418
0,054 114,8 0,054 0,000
0,060 140,5 0,061 0,0154
0,068 165,0 0,067 0,0054
%AAD 3,05%
Model
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
96
4.1.2.5 Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh CuO
Fenomena adsorpsi gas CO oleh CuO ditunjukkan oleh Gambar.16.
Terlihat bahwa profil kurva adsorpsi model dan eksperimen mirip. Kapasitas
adsorpsi gas CO oleh CuO termasuk kecil jika dibandingkan dengan adsorben
yang lain, hal ini dapat dilihat kecilnya nilai konstanta nmaks, yaitu 0,043 mmol/gr
sampel, (Tabel 4.10). Ikatan molekul CO pada ion Cu merupakan ikatan kimia
(Zheng, 1998), jadi jumlah molekul gas CO yang teradsorpsi sangat bergantung
kepada jumlah ion Cu, tidak banyak bergantung pada luas permukaan CuO,
karena dari analisa BET luas permukaan CuO hanya 2,02 m2/gr. Pengaruh
tekanan terhadap kapasitas adsorpsi CuO aktif terlihat pada Gambar 4.13. Gambar
4.13. Juga menunjukkan bahwa profil kurva adsorpi eksperimen mendekati kurva
adsopsi model. Jumlah gas CO yang teradsorpsi pada tekanan tertentu terlihat
pada Tabel 4.7.
Gambar 4. 13 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi CuO
Tabel 4. 7 Adsorpsi gas CO oleh CuO
ngibs (mmol/gr
sample)
P
(psia)
nmodel (mmol/gr
sample) deviasi
0,000 0,0 0,000 0,0000
0,033 63,9 0,033 0,0000
0,034 80,3 0,034 0,0015
0,037 100,3 0,036 0,0341
0,037 120,5 0,037 0,0134
0,037 140,7 0,037 0,0195
%AAD
1,37%
Model
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
97
4.1.2.6 Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh MgO
MgO sebagai adsorben gas CO sudah dilaporkan oleh peneliti sebelumnya.
Salah satunya adalah Stultz and Goodman (2002), yang meneliti pemanfaatan
MgO untuk probe mendeteksi gas CO. Hasilnya menunjukkan bahwa molekul gas
CO akan teradsorpsi pada kristal MgO (100). Mathias (2005), mengatakan bahwa
MgO salah satu oksida logam yang mempunyasi sensitifitas tinggi terhadap gas
termasuk gas CO. Fenomena adsorpsi gas CO oleh MgO ditunjukkan oleh
Gambar 14. Terlihat bahwa profil kurva adsorpsi model dan eksperimen mirip, hal
ini menunjukkan data yang diperoleh relative valid dengan nilai deviasi rata-rata
4,39%. Jika dilihat dari konstanta nmaks, adalah 0,350 mmol/gr, sedikit di bawah
nmaks zeolit alam teraktifasi. Jika dibandingakan luas permukaan MgO
setengahnya zeolit alam teraktifasi, tetapi kapasitas adsorpsi hanya sedikit di
bawah zeolit alam teraktifasi, menunjukkan MgO mempunyai kemampuan
mengadosrpsi gas CO. Pengaruh tekanan terhadap kapasitas adsorpsi karbon aktif
terlihat pada Gambar 4.14. Gambar 4.14 juga menunjukkan bahwa profil kurva
adsorpi eksperimen mendekati kurva adsopsi model. Jumlah gas CO yang
teradsorpsi pada tekanan tertentu terlihat pada Tabel 4.8.
Gambar 4. 14 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi MgO
Model
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
98
Tabel 4. 8 Adsorpsi gas CO oleh MgO
ngibs (mmol/gr
sample)
P
(psia)
nmodel (mmol/gr
sample) deviasi
0,000 0,0 0,000 0,0000
0,139 66,4 0,118 0,1558
0,171 125,2 0,171 0,0027
0,187 175,3 0,200 0,0670
0,202 226,5 0,221 0,0983
0,253 276,1 0,237 0,0637
0,258 326,6 0,249 0,0318
0,260 377,7 0,260 0,0000
%AAD 4,39%
4.1.3 Hasil Seleksi Adsorben
Dari Tabel 4.9 yang menunjukkan kapasitas adsorpsi masing-masing
adsorben terhadap gas CO, terlihat bahwa adsorben dengan nilai nmaks
menunjukkan kapasitas adsorpsi besar. Terlihat bahwa karbon aktif memiliki
kapasitas adsorpsi paling besar diantara adsorben yang diuji, kemudian zeolit
alam teraktifasi. Terlihat juga untuk zeolit alam teraktifasi perubahan ukuran
partikel tidak berpengaruh terhadap kapasitas adsorpsi zeolit alam teraktifasi
untuk ukuran 37-50 mikronmeter dan 400 nm.
Tabel 4. 9 Nilai nmaks dan b untuk masing-masing adsorben
Adsorben nmaks
(mmol/gr sampel)
b % AAD
Zeolit alam tidak teraktifasi 0.185 0.0019 7.21
Zeolit alam teraktifasi 0.363 0.0100 3.75
Karbon aktif 1.588 0.0031 1.73
TiO2 0.155 0.0047 3.05
CuO 0.043 0.0503 1.73
MgO 0.350 0.0076 4.39
Dari hasil uji adsorpi adsorben terhadap CO dipilih karbon aktif dan zeolit
alam teraktifasi dipilih sebagai adsorben untuk uji penjernihan asap. Karena pada
proses penjernihan asap banyak mengandung uap air, maka pemilihan adsorben
ini juga didukung dengan data kemampuan karbon aktif dan zeolit alam dalam
menyerap uap air paling bagus jika dibandingkan dengan adsorben yang lain.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
99
Hasil penyerapan uap air oleh karbon aktif ACcom, ACZnCl2 dan zeolit alam
berturut-turut adalah, 0,151 g/g, 0,122 dan 0,052 g/g. Gambar 4.14 menunjukkan
kemampuan adsorben dalam menyerap uap air.
0.032
0.052
0.151
0.122
0.012 0.011
0.031
0.00
0.04
0.08
0.12
0.16
teraktifasiaktifasi MgOCuOTiO2ACZnCl2ACcomZN
Kand
unga
n ai
r (g/
g)
ZN tanpa
Gambar 4. 15 Kemampuan penyerapan air oleh adsorben
4.2 Karakteristik Asap dan Hidrodinamika Asap
4.2.1 Karakteristik Asap
Asap dihasilkan dari pembakaran kertas tisu secara smoldering
menggunakan solder listrik. Karakteristik asap yang optimum jika asap yang
dihasilkan memiliki tingkat ketebalan asap maksimum dengan bacaan I > 9800
pada sensor atas, tengah, dan bawah dan kandungan CO maksimum (> 4000
ppm). Massa tisu divariasikan 2, 4, 6 dan 8 gram.
Gambar 4.16 menunjukkan pengaruh massa tisu terhadap densitas optis
(OD) asap yang dihasilkan. Massa tisu 2 dan 4 gram tidak menghasilkan tingkat
ketebalan yang maksimum. Semakin besar nilai densitas optis, tingkat ketebalan
asap makin besar, ruang uji semakin gelap. Tisu 2 gram menghasilkan ketebalan
asap yang sangat tipis dengan nilai OD < 1,0, dengan nilai bacaan I < 100 untuk
setiap sensor, dapat dikatakan tidak memberikan efek yang berarti terhadap
kegelapan ruang uji. Tisu 4 gram menghasilkan asap yang lebih tebal dengan nilai
OD ~ 2,0, tetapi nilai bacaan I masih < 400 untuk semua sensor. Sementara itu
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
100
tisu 6 gram dapat memberikan asap dengan tingkat ketebalan asap maksimum OD
> 2,0 dan bacaan I antara 900–1000. Tingkat ketebalan maksimum asap dicapai
dalam waktu pembakaran 10 menit, hal ini ditandai juga semua tisu sudah habis
terbakar. Setelah menit ke–10, terlihat nilai OD perlahan mulai menurun, artinya
ruang uji perlahan mulai jernih. Sedangkan tisu dengan massa 8 gram tidak bisa
terbakar. Gambar 4.17 adalah lensa kaca untuk kalibrasi dengan beberapa OD,
terlihat semakin besar OD semakin gelap warna lensa. Proses pembakaran tisu
secara smoldering hampir semua massa tisu terbakar, abu yang tersisa < 1%.
0 5 10 15 20 25 30-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
OD
(m-1)
t (min)
Laser Atas 2 g Laser Tengah 2 g Laser Bawah 2 g Laser Atas 4 g Laser Tengah 4 g Laser Bawah 4 g Laser Atas 6 g Laser Tengah 6 g Laser Bawah 6 g
Gambar 4. 16 Pengaruh massa tisu terhadap densitas optis
Gambar 4. 17 Lensa kaca kalibrasi dengan densitas optis
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
101
Pembakaran tisu secara smoldering sangat efektif menghasilkan asap
dengan konsentrasi CO tinggi. Konsentrasi CO yang dihasilkan sangat bergantung
kepada massa tisu yang dibakar. Semakin banyak tisu yang dibakar semakin
tinggi kandungan CO. Tabel 4.10 menunjukkan pengaruh massa tisu terhadap
kandungan CO pada asap. Tisu 2 gram dapat menghasilkan konstrasi CO < 1700
ppm, sementara itu pembakaran 4 gram tisu menghasilakn konsentrasi CO < 3000
ppm. Tisu 6 gram dapat menghasilkan kadar CO dengan konsentrasi yang cukup
tinggi di atas 4000 ppm. Pada Tabel 4.10 juga menunjukkan bahwa pembakaran
secara smoldering tisu 2, 4 dan 6 gram menghasilkan humidity 100 %, hal ini
menunjukkan asap yang terbentuk banyak mengandung uap air. Berdasarkan data
karakteristik asap maka pada uji penjernihan asap massa tisu yang digunakan
adalah 6 gram dan waktu pembakaran 10 menit.
Tabel 4. 10 Data kandungan CO dengan variasi massa tisu
Berat Tisu
(gram)
Kandungan Gas
CO (ppm)
Humidity
%
2 1518 100
4 2848 100
6 4216 100
0 5 10 15 20 25 30
0
1000
2000
3000
4000
CO
(ppm
)
t (min)
Tisu 2 gram Tisu 4 gram Tisu 6 gram
Gambar 4. 18 Pengaruh massa tisu terhadap pembentukkan CO
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
102
Pengaruh massa tisu terhadap pembentukkan CO selama dalam selang
waktu 30 menit dapat dilihat pada Gambar 4.18. Dari gambar tersebut terlihat
juga bahwa untuk masing-masing massa tisu, konsentrasi maksimum CO dicapai
pada waktu yang berbeda. Pada pembakaran tisu dengan massa lebih kecil,
konsentrasi maksimum CO dicapai dalam waktu lebih cepat. Hal ini disebabkan
karena massa tisu lebih kecil lebih cepat habis terbakar dibandingkan massa tisu
yang besar.
4.2.2 Hidrodinamika Asap
Asap merupakan fluida, oleh karena itu berbagai pergerakan asap akan
mengikuti hukum mekanika fluida. Asap secara alamiah akan bergerak ke atas.
Hal ini disebabkan oleh gaya apung dari asap. Gaya apung asap disebabkan
perbedaan densitas antara fluida asap dengan udara di sekitarnya karena adanya
perbedaan temperatur fluida asap dengan lingkungan sekitarnya. Temperatur awal
asap lebih tinggi dibandingkan temperatur lingkungan sekitarnya, karena asap
dihasilkan dari proses pembakaran. Densitas asap lebih kecil dibandingkan udara
di sekitarnya, sehingga asap akan bergerak ke atas. Selama pergerakkan asap ke
atas terjadi kontak asap dengan udara lingkungan. Pertukaran panas terjadi secara
konveksi, udara lingkungan bergerak masuk ke asap menyebabkan penurunan
temperatur asap dan meningkatnya temperatur lingkungan. Proses ini berlangsung
hingga tercapai titik kesetimbangan antara temperatur asap dengan temperatur
lingkungan.
Akibat penurunan temperatur asap, gaya apung asap tersebut akan
mengalami penurunan hingga mencapai nilai nol, atau bahkan bernilai negatif.
Hal ini lah yang membuat asap berhenti bergerak ke atas dan cenderung bergerak
ke bawah karena gaya apung sudah bernilai negatif. Siklus seperti ini yang terjadi
berulang-ulang menyebabkan terbentuk kepulan asap atau smoke plume. Bentuk
dari plume sangat dipengaruhi oleh interaksi antara plume dengan fluida sekitar.
Pergerakan asap juga dipengaruhi oleh viskositas asap, semakin viskos asap maka
pergerakkan ke atas semakin lambat.
Pergerakkan asap dan interaksi dengan udara sekitar akan mempengaruhi
konsentrasi dan distribusi ukuran partikel asap. Konsentrasi dan distribusi ukuran
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
103
partikel asap sangat berpengaruh pada deteksi asap, visibilitas asap, serta
redupnya cahaya lingkungan akibat asap (Mulloland, 2002) .
Pada penelitian ini ditemukan pergerakkan asap sesuai dengan teori
mekanika fluida. Gambar 4.19 pengaruh waktu terhadap densitas optis asap pada
awal pembakaran. Asap mulai terbentuk secara perlahan pada menit ke-3 (detik
ke-180), asap bergerak dari bawah ke atas. Mula-mula asap terbentuk sedikit
(sangat tipis) karena massa tisu yang terbakar masih sedikit. Pada posisi di bawah
asap bergerak seperti garis tebal yang menyatu. Akibat interaksi dengan udara
sekitar pergerakkan asap bagian luar (pinggir) lebih lambat dibandingan dengan
pergerakkan asap bagian tengah. Semakin ke atas pergerakkan asap semakin
melebar, sehingga terlihat semakin tipis. Asap yang sangat tipis yang bergerak
cepat ke atas belum mempengaruhi bacaan sensor baik bawah, tengah maupun
atas. Pada menit ke-4 (detik ke-240) pembentukkan asap mulai banyak dan cepat.
Pergerakkan asap juga semakin cepat menuju bagian atas ruang uji menyebabkan
konsentrasi asap pada bagian atas ruang uji lebih besar dibandingkan bagian
tengah dan bawah. Pada menit ke-4 asap yang terbentuk semakin tebal. Densitas
optis asap pada bagian atas sudah mulai berubah sementara itu pada bagian tengah
dan bawah belum banyak berubah.
0 50 100 150 200 250 300 350 400
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
Den
sita
s O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
Atas Tengah Bawah
Gambar 4. 19 Densititas optis asap pada awal pembakaran
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
104
Seiring waktu laju pembakaran tisu semakin cepat. Asap yang terbentuk
semakin banyak dan tebal, sehingga ruang uji menjadi gelap. Secara teori densitas
optis asap pada sensor tengah lebih besar dibandingkan pada sensor bawah. Tetapi
pada kasus ini perubahan densitas optis pada sensor tengah dan bawah terjadi
pada waktu yang sama. Hal ini bisa terjadi karena laju pembentukkan asap sama
dengan kecepatan gerak asap ke atas, sehingga densitas optis asap pada sensor
tengah sama dengan sensor bawah. Setelah detik ke 300 tingkat ketebalan asap
semakin ke atas semakin tebal ditunjukkan dengan semakin besarnya nilai
densitas optis asap.
Pada Gambar 4.20 terlihat pada detik ke-430 terjadi hal yang sama,
bahkan densitas optis sensor bawah lebih besar dibandingkan sensor tengah. Hal
ini terjadi karena pada waktu tersebut laju pembentukkan asap paling cepat,
melebihi kecepatan bergerak asap ke atas, sehingga asap sementara waktu
menumpuk di bagian bawah. Seiring waktu massa tisu yang terbakar semakin
sedikit, sementara asap terus bergerak ke atas secara alamiah. Pada akhirnya
densitas optis asap pada sensor tengah lebih besar dibandingkan sensor bawah,
seperti terlihat pada Gambar 4.21. Kondisi tisu habis terbakar dan densitas optis
asap maksimum untuk semua sensor dicapai pada meni ke-10 (detik ke-600).
0 100 200 300 400 500 600
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
Den
sita
s O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
Atas Tengah Bawah
Gambar 4. 20 Densitas optis asap pada pembakaran maksimum
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
105
660 670 680 690 700 710 7201.8
1.9
2.0
2.1
Den
sita
s O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
Atas Tengah Bawah
Gambar 4. 21 Densitas optis asap pada akhir pembakaran
4.3 Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan Karbon Monoksida
Sub Bab ini membahas tentang uji penjernihan asap dan penyerapan CO
oleh karbon aktif komersial (ACcom), karbon aktif teraktifasi ZnCl2 (AC ZnCl2)
dan zeolit alam teraktifasi (NZ).
4.3.1 Penjernihan Asap Oleh Karbon Aktif Komersial
Uji penjernihan asap dilakukan bertujuan untuk mengetahui kemampuan
adsorben dalam penjernihan asap dan mengadsorpsi CO. Pada pengujian ini
dilakukan terhadap 3 (tiga) jenis adsorben yaitu, karbon aktif komersila (ACcom),
karbon aktif teraktifasi ZnCl2 (AC ZnCl2) dan zeolit alam teraktifasi (NZ).
Parameter yang divasiasikan adalah ukuran partikel, massa adsorben dan
ketinggian kolom. Variasi untuk ukuran adsorben adalah 0,6-1 μm, 1-2 μm, 53-
106 μm dan 106-212 μm. Variasi massa diambil 1 gram, 3 gram, dan 5 gram.
Pengaruh ketinggian dilihat pada jarak 30, 60 dan 90 cm dari bagian bawah ruang
uji. Sedangkan konsentrasi CO diambil pada ketinggian 60 cm.
Pengamatan dan pengambilan data dilakukan selama 30 menit sejak solder
dinyalakan. Nilai intensitas I dicatat pada komputer secara online dan
pengambilan konsetrasi CO secara insitu dicatat secara manual. Pendispersian
adsorben dilakukan pada saat kepekatan asap maksimal, dengan bacaan intensitas
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
106
I antara 900-1000. Kondisi kepekatan asap maksimum dicapai pada menit ke-10,
pada saat semua tisu abis terbakar.
Efektifitas penjernihan dilihat dari Optical Density (OD) asap dan waktu
yang diperlukan untuk mencapai penjernihan 10% (t10). Semakin besar nilai OD
kepekatan asap makin tinggi (gelap), sebaliknya semakin kecil nilai OD berarti
asap semakin jernih. Semakin kecil nilai t10 berarti waktu untuk mencapai
penjernihan 10% semakin cepat. Kemudian efektifitas penjernihan asap oleh
adsorben dibandingkan dengan penjernihan asap tanpa dispersi adsorben.
Pembahasan pada sub BAB ini dimulai dengan penjernihan asap menggunakan
karbon aktif komesial (ACcom). Oleh karena fenomena penjernihan asap oleh 3
(tiga) adsorben hampir sama, oleh karena itu pembahasan penjernihan asap oleh
karbon aktif ACcom dibahas lebih detail.
4.3.1.1 Pengaruh Ukuran Partikel
Analisis pengaruh ukuran ACcom terhadap penjernihan asap bertujuan
untuk mendapatkan ukuran optimum partikel ACcom dalam menjernihkan asap.
Massa ACcom yang didispersikan pada percobaan ini adalah 3 gram. Waktu
penjernihan dimulai setelah ACcom didispersikan yaitu pada menit ke-11.
Gambar 4.22 menunjukkan pengaruh ukuran partikel ACcom terhadap
proses penjernihan asap pada sensor atas, tengah dan bawah. Pada gambar juga
menunjukkan bahwa pendispersian karbon aktif dapat mempercepat penjernihan
asap dibandingkan tanpa karbon aktif. Penjernihan asap dengan karbon aktif dapat
terjadi karena 4 faktor yaitu; (1) penyerapan molekul asap oleh karbon aktif, (2)
kontak karbon aktif dan nitrogen dengan molekul asap, (3) pembentukkan
molekul asap yang lebih besar (aglomerasi) dan (4) penurunan temperatur asap.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
107
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
ACcom 106 ACcom 53 ACcom 1 ACcom 0.6 NA Baseline
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
ACcom 106 ACcom 53 ACcom 1 ACcom 0.6 NA Baseline
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
ACcom 106 ACcom 53 ACcom 1 ACcom 0.6 NA Baseline
Gambar 4. 22 Pengaruh ukuran partikel karbon aktif ACcom terhadap penjernihan asap; (a) atas
(b) tengah (c) bawah. Massa karbon aktif ACcom 3 gram
(a)
(b)
(c)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
108
Karbon aktif yang didispersikan akan mengalami kontak dengan molekul
asap, sehingga sebagian molekul asap akan terserap pada permukaan partikel
karbon aktif, akan mempercepat proses penjernihan. Asap yang terbentuk dari
pembakaran tisu banyak mengandung uap air, ketika kontak dengan karbon aktif
uap air akan terserap. Setelah terjadi kontak dengan asap partikel karbon aktif
akan bergerak ke bawah, maka konsentrasi asap akan berkurang maka asap
menjadi lebih jernih.
Proses penjernihan juga dimungkinkan karena karbon aktif dan nitrogen
masuk ruang uji pada temperatur kamar, sementara temperatur asap dalam ruang
uji 42oC. Ketika terjadi kontak antara karbon aktif dan nitrogen dengan asap,
dapat menurunkan temperatur molekul asap. Penurunan temperatur molekul asap
akan merubah orientasi pergerakkan asap dari atas ke bawah. Semakin banyak
penurunan temperatur, pergerakkan asap ke bawah akan semakin cepat, maka
semakin cepat penjernihan asap.
Hal lain yang mempercepat penjernihan asap karena pendispersian
karbon aktif dapat menyebabkan tumbukan sesama molekul asap, sehingga
sesama molekul asap akan membentuk molekul yang lebih besar (beraglomerasi).
Molekul asap yang lebih besar memiliki massa lebih berat sehingga akan
mempercepat perubahan arah pergerakkan asap ke arah bawah. Semakin banyak
pembentukkan molekul asap yang lebih besar semakin cepat proses penjerihan.
Dari Gambar 4.22 menunjukkan juga bahwa karbon aktif ACcom dengan
ukuran partikel 53-106 µm mempunyai kemampuan penjernihan asap lebih baik
dibandingkan ukuran yang lain. Secara teori semakin kecil partikel karbon aktif
akan semakin banyak jumlah partikel. Semakin banyak jumlah partikel berarti
semakin banyak kemungkinan tumbukkan antara partikel karbon aktif dengan
molekul asap sehingga proses penjernihan asap akan lebih cepat.
Partikel ACcom yang lebih kecil memiliki jumlah partikel yang lebih
banyak dan memiliki massa yang lebih ringan, sehingga luas permukaan kontak
semakin besar dan waktu tinggal akan lebih lama. Luas permukaan kontak yang
lebih besar dan waktu kontak lebih lama dapat menghasilkan proses penjernihan
lebih cepat. Partikel yang lebih kecil juga dapat mempercepat menurunkan
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
109
temperatur asap, sehingga mempercepat perubahan orientasi pergerakkan asap
dari bergerak ke atas menjadi bergerak ke bawah.
Tetapi hal ini terjadi hanya sampai ukuran partikel karbon aktif ACcom
53-106 µm, untuk ukuran ACcom lebih kecil menyebabkan proses penjernihan
menjadi tidak efektif. Hal ini disebabkan oleh dua kemungkinan yaitu; waktu
tinggal yang sangat lama (kecepatan terminal sangat kecil) dan aglomerasi
partikel ACcom. Partikel yang sangat kecil akan sangat ringan, memiliki waktu
terminal sangat kecil. Partikel yang sangat kecil akan bergerak ke bawah dalam
waktu lama, cenderung melayang dalam ruang uji dapat menyebabkan proses
penjernihan menjadi lebih lambat. Garis baseline pada Gambar 4.22 menunjukkan
bahwa partikel karbon aktif yang sangat kecil ketika didispersikan akan memiliki
waktu tinggal lama, cenderung melayang dalam ruang uji. Jika bergabung dengan
asap dalam ruang uji, maka waktu tinggal akan lebih lama lagi. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Malukutla (1997).
Faktor kedua yang menyebabkan penjernihan menjadi lambat
menggunakan partikel ACcom yang lebih kecil adalah peristiwa aglomerasi
partikel ACcom. Aglomerasi adalah peristiwa bergabungnya beberapa molekul
yang sangat kecil menjadi gumpalan yang lebih besar. Peristiwa aglomerasi
menyebabkan luas permukaan menjadi berkurang dan lebih berat, sehingga
kontak partikel karbon aktif dengan asap menjadi berkurang, maka proses
penjernihan asap tidak optimal. Hal ini terjadi pada partikel ACcom berukuran 0,6
µm dan 1 µm, proses penjernihan asap lebih lambat dibandingkan dengan partikel
ACcom berukuran lebih besar. Peristiwa aglomerasi dapat juga menyebabkan
proses pendispersian tidak optimum, karena aglomerasi dapat menyebabkan
pendispersian ACcom tidak sampai pada bagian atas ruang uji secara sempurna.
Hal ini menyebabkan proses penjernihan asap jadi tidak efektif. Pada
pengambilan data, beberapa kali peristiwa aglomerasi membentuk gumpalan besar
sehingga partikel ACcom tidak bisa didispersikan, maka pengambilan data harus
diulang. Banyak peneliti mengalami peristiwa aglomerasi pada pembuatan katalis
berukuran nano meter.
Proses penjernihan asap dengan partikel yang lebih besar dari 53-106 μm
kurang efektif. Ukuran partikel ACcom yang lebih besar mempunyai jumlah
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
110
partikel lebih sedikit (untuk massa yang sama), sehingga luas permukaan
berkurang, maka proses penjernihan akan semakin lambat. Parameter lain yang
sangat penting adalah waktu tinggal. Semakin besar partikel semakin besar
massanya, sehingga waktu tinggal semakin kecil. Waktu tinggal yang kecil
menyebabkan kontak partikel dengan molekul asap berkurang, sehingga proses
penjernihan menjadi lambat. Ukuran partikel Acom yang lebih besar juga
menyebabkan efek terhadap penurunan temperatur asap tidak optimal, sehingga
perubahan orientasi pergerakkan asap ke arah bawah menjadi lebih lama, maka
proses penjernihan lebih lama. Namun demikian jika dibandingkan dengan asap
yang hanya dialirkan gas N2 (Non Adsorben/NA), karbon aktif untuk semua
ukuran mempunyai kemampuan menjernihan asap.
4.3.1.2 Pengaruh Ketinggian
Dari Gambar 4.23 menunjukkan pengaruh ketinggian terhadap proses
penjernihan asap. Walaupun OD asap pada bagian atas ruang uji lebih besar (asap
lebih pekat) dibandingkan bagian tengah dan bawah, tetapi proses penjernihan
asap pada sensor bagian atas lebih cepat dibandingkan sensor tengah dan bawah.
Hal ini bisa terjadi karena ketika karbon aktif didispersikan akan mengalami
kontak maksimal dengan asap di bagian atas, kontak terjadi lebih awal. Kemudian
karbon aktif bergerak dari atas ke bawah, semakin ke bawah kemampuan karbon
aktif menyerap molekul asap semakin berkurang. Sehingga penjernihan di bagian
atas lebih cepat dibandingkan bagian bawah. Hal lain yang menyebabkan proses
penjenihan asap pada bagian atas lebih cepat dibandingkan bagian tengah dan
bawah adalah temperatur asap di bagian atas lebih rendah dibandingkan bagian
bawah. Proses pendispersian karbon aktif dapat menyebabkan temperatur asap
pada bagian atas lebih cepat turun, sehingga cepat merubah orientasi pergerakkan
asap menjadi ke arah bawah.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
111
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
Atas Tengah Bawah
Gambar 4. 23 Pengaruh ketinggian sensor terhadap penjernihan asap oleh ACcom
Penjernihan asap pada bagian bawah lebih lambat dibandingan bagian
atas. Hal ini disebabkan karena karbon aktif sudah tidak efektif lagi menyerap
asap pada bagian bawah. Hal lain yang menyebabkan penjernihan asap pada
bagian bawah lebih lambat adalah perubahan temperatur asap. Seiring waktu,
temperatur asap akan turun, maka orientasi pergerakkan asap berubah ke arah
bawah. Asap pada bagian atas akan bergerak ke bawah lebih dulu karena
temperaturnya lebih rendah. Semakin ke bawah pergerakkan asap ke arah bawah
semakin lambat karena temperaturnya relatif lebih tinggi. Hal ini akan
menyebabkan asap terakumulasi di bagian bawah sehingga proses penjernihan
asap semakin lambat pada bagian bawah.
Karbon aktif dikenal sebagai adsorben yang mempunyai luas permukaan
yang besar dan permukaan bersifat hyrophobic, tidak suka terhadap air, banyak
digunakan untuk adsorpsi gas-gas yang bersifat hydrophobic seperti gas metana,
N2 dan gas CO2 (Sudibandryo, 2011). Meskipun dikategorikan sabagai adsorben
yang bersifat hydrophobic, dengan adanya beberapa gugus fungsi dalam struktur
karbon aktif, gugus-gugus fungsi tersebut dapat menyerap senyawa-senyawa yang
terdapat dalam asap termasuk uap air. Gambar 4.24 adalah struktur karbon aktif
yang mengikat gas CO.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
112
Gambar 4. 24 Struktur karbon aktif
Dari hasil uji kemampuan penyerapan uap air oleh adsoben, hasilnya
menunjukkan bahwa karbon aktif ACcom mempunyai kemampuan menyerap uap
air yang paling besar. Gambar 4.25 berikut menunjukkan kemampuan karbon
aktif ACcom dalam menyerap uap air.
0.151
0.122
0.052
ACcom ACZnCl2 NZ0.00
0.04
0.08
0.12
0.16
Kand
unga
n ai
r, g/
g sa
mpe
l
Gambar 4. 25 Kemampuan adsorben menyerap uap air
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
113
Efektifitas proses penjernihan asap sering di tampilkan dalam parameter
waktu t10. Waktu t10 adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai tingkat
penjernihan 10%. Makin kecil nilai t10 berarti waktu untuk mencapai penjernihan
10% makin cepat, begitu sebaliknya semakin besar nilai t10 berarti waktu untuk
mencapai penjernihan 10% makin lambat. Gambar 4.26 memperlihatkan pengaruh
ukuran karbon aktif terhadap nilai t10 untuk masing-masing sensor. Dari gambar
tersebut menunjukkan bahwa karbon aktif dengan ukuran 53-105 µm memiliki
nilai t10 yang lebih kecil dibandingkan ukuran yang lain. Artinya partikel ukuran
53-106 µm dapat menjernihan asap lebih cepat dibandingkan partikel ukuran lain.
Akan tetapi ketika ukuran lebih kecil dari 53-106 µm, nilai t10 lebih besar, artinya
waktu yang diperlukan untuk menjernihkan asap lebih lama.
Dari Gambar 4.26 juga terlihat pengaruh ketinggian terhadap proses
penjernihan. Jarak makin tinggi, maka nilai t10 makin kecil, berarti waktu yang
diperlukan untuk mencapai penjernihan 10% lebih cepat. Proses penjernihan asap
dapat dicapai jika asap dikontakkan dengan adsorben, partikel asap saling
bertumbukkan, sehingga partikel akan kehilangan energi akan bergerak ke bawah.
Ketika bertumbukkan partikel asap dapat juga beraglomerasi, membentuk partikel
yang lebih besar, sehingga akan bergerak ke bawah. Maka terlihat bahwa proses
penjernihan pada sensor di atas lebih cepat dibandingkan sensor tengah dan
bawah. Untuk ukuran 53-106 µm, nilai t10 pada sensor atas, tengah dan bawah
adalah 4,1 , 5 dan 9,1 menit. Dibandingkan penjernihan asap tanpa dispersi
adsorben nilai t10 pada sensor atas, tengah dan bawah adalah 10,9, 12,8 dan 16,5
menit.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
114
Atas Tengah Bawah0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Wak
tu m
enca
pai tr
ansm
isi, t
10 (m
enit)
Posisi Sensor
ACcom 106 ACcom 53 ACcom 1 ACcom 0.6 NA
Gambar 4. 26 Pengaruh ukuran karbon aktif ACcom terhadap t10
4.3.1.3 Pengaruh Massa
Pengaruh massa karbon aktif ACcom yang didispersikan terhadap
kemampuan penjernihan asap bertujuan mendapatkan nilai massa karbon aktif
ACcom yang optimal dalam penjernihan asap. Uji pengaruh massa terhadap
penjernihan asap dilakukan untuk ACcom ukuran 53-106 µm. Adapun variasi
massa yang digunakan pada penelitian ini adalah 1,3, dan 5 gram. Gambar 4.27
berikut ini adalah hasil yang didapat dari hasil uji pengaruh variasi massa karbon
aktif ACcom terhadap kemampuan penjernihan asap. Massa 5 gram merupakan
massa karbon aktif ACcom yang paling baik dalam menjernihkan asap. Hal ini
disebabkan, karena semakin banyak karbon aktif yang didispersikan maka
semakin banyak kemungkinan partikel asap kontak dengan karbon aktif, sehingga
proses penjernihan asap akan semakin cepat. Selain itu semakin banyak massa
ACcom yang didispersikan semakin banyak partikel ACcom yang akan
mempengaruhi temperatur asap, sehingga akan mempercepat perubahan orientasi
pergerakkan asap ke arah bawah, maka proses penjernihan akan semakin cepat.
Dari Gambar 4.27 terlihat juga bahwa pengaruh massa karbon aktif
terhadap penjernihan asap pada bagian atas tidak berbeda jauh, tetapi pada bagian
tangah dan bawah proses penjernihan asap berbeda cukup siknifikan. Hal ini bisa
terjadi karena ketika karbon aktif didispersikan, maka untuk massa 1 gram hampir
semua mencapai bagian atas ruang uji. Sehingga karbon aktif mengalami kontak
maksimum dengan partikel asap pada bagian atas ruang uji, dan proses
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
115
penyerapan senyawa asap maksimum pada bagian atas. Kemudian karbon aktif
bergerak ke bawah, ketika kontak dengan asap di bagian bawah karbon aktif
sudah tidak punya kemampuan menyerap asap. Jadi kemampuan penjernihan asap
pada bagian bawah semakin berkurang. Begitu juga dengan massa karbon aktif 3
gram.
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
ACcom 53 1 g ACcom 53 3 g ACcom 53 5 g NA
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
ACcom 53 1 g ACcom 53 3 g ACcom 53 5 g NA
(a)
(b)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
116
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
ACcom 53 1 g ACcom 53 3 g ACcom 53 5 g NA
Gambar 4. 27 Pengaruh massa karbon aktif ACcom terhadap penjernihan asap (a) atas (b) tengah
(c) bawah
Sementara itu massa karbon aktif 5 gram, ketika didispersikan
penyerabarannya akan semakin merata di bagian atas, tengah dan bawah ruang
uji, sehingga proses penjernihan asap pada sensor tengah dan bawah jauh lebih
cepat dibandingkan massa karbon aktif 3 gram dan 1 gram. Selain itu semakin
banyak massa karbon aktif yang didisperikan akan semakin banyak partikel
karbon aktif menyerap panas asap, sehingga penurunan temperatur asap terjadi
lebih cepat baik di bagian atas, tengah dan bawah. Penurunan temparatur yang
lebih cepat dapat merubah orientasi pergerakkan asap ke arah bawah lebih cepat,
maka proses penjernihan akan lebih cepat. Efektifitas penjernihan asap karena
pengaruh massa karbon aktif ACcom dapat dilihat dari nilai t10, seperti
diperlihatkan pada Gambar 4.28. Efektifitas penjernihan asap terbaik diperoleh
dengan mendispersikan ACcom 5 gram. Nilai t10 untuk massa ACcom 5 gram
pada sensor atas, tengah dan bawah adalah 4,0 , 4,6 dan 7,7 menit.
(c)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
117
Atas Tengah Bawah0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Wak
tu m
enca
pai tr
ansm
isi, t
10 (m
enit)
Posisi Sensor
ACcom 53 1 g ACcom 53 3 g ACcom 53 5 g NA
Gambar 4. 28 Pengaruh massa karbon aktif ACcom terhadap t10
4.3.2 Penjernihan Asap Oleh Karbon Aktif ACZnCl2
Fenomena penjernihan asap menggunakan karbon aktif yang diaktifasi
dengan ZnCl2 (ACZnCl2) hampir sama dengan penjernihan asap oleh karbon aktif
ACcom. Secara umum ACZnCl2 dengan ukuran 53-106 µm mempunyai
kemampuan lebih baik dalam menjernihkan asap (nilai t10) dibandingkan ukuran
yang lain. Untuk ukuran 53-106 µm (massa ACZnCl2 yang didispersikan 3 gram),
nilai t10 pada sensor atas, tengah dan bawah adalah 5,15 , 5,25 dan 11,11 menit.
Sedangkan pengaruh massa, semakin banyak massa karbon aktif yang
didispersikan proses penjernihan lebih cepat. Efektifitas penjernihan asap terbaik
diperoleh dengan mendispersikan ACZnCl2 5 gram. Nilai t10 untuk massa
ACZnCl2 5 gram pada sensor atas, tengah dan bawah adalah 4,62 , 4,9 dan 9,28
menit. Gambar-gambar berikut ini menunjukkan pengaruh ukuran dan massa
karbon aktif ACZnCl2 terhadap penjernihan asap.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
118
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
ACZnCl2 106 ACZnCl2 53 ACZnCl2 1 ACZnCl2 0.6 NA Baseline
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
ACZnCl2 106 ACZnCl2 53 ACZnCl2 1 ACZnCl2 0.6 NA Baseline
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
ACZnCl2 106 ACZnCl2 53 ACZnCl2 1 ACZnCl2 0.6 NA Baseline
Gambar 4. 29 Pengaruh ukuran partikel karbon aktif ZnCl2 terhadap penjernihan asap; (a) atas (b)
tengah (c) bawah. Massa karbon aktif ZnCl2 3 gram
(a)
(b)
(c)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
119
Atas Tengah Bawah0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Wak
tu m
enca
pai tr
ansm
isi, t
10 (m
enit)
Posisi Sensor
ACZnCl2 106 ACZnCl2 53 ACZnCl2 1 ACZnCl2 0.6 NA
Gambar 4. 30 Pengaruh ukuran karbon aktif ACZnCl2 terhadap t10
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
Atas Tengah Bawah
Gambar 4. 31 Pengaruh ketinggian sensor terhadap penjernihan asap oleh karbon aktif ACZnCl2
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
120
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
ACZnCl2 53 1 g ACZnCl2 53 3 g ACZnCl2 53 5 g NA
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
ACZnCl2 53 1 g ACZnCl2 53 3 g ACZnCl2 53 5 g NA
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
ACZnCl2 53 1 g ACZnCl2 53 3 g ACZnCl2 53 5 g NA
Gambar 4. 32 Pengaruh massa karbon aktif ACZnCl2 terhadap penjernihan asap; (a) atas (b)
tengah (c) bawah. Ukurana karbon aktif ACZnCl2 53-106 µm
(a)
(b)
(c)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
121
Atas Tengah Bawah0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Wak
tu m
enca
pai tr
ansm
isi, t
10 (m
enit)
Posisi Sensor
ACZnCl2 1g ACZnCl2 3g ACZnCl2 5g NA
Gambar 4. 33 Pengaruh massa karbon aktif ACZnCl2 terhadap t10
4.3.3 Penjernihan Asap Oleh Zeolit Alam
Penjernihan asap oleh zeolit alam (NZ) mempunyai kecenderungan yang
hampir sama dengan penjernihan asap oleh karbon aktif ACcom. Partikel zeolit
alam dapat menjernihan asap lebih cepat dibandingan penjernihan asap tanpa
adsorben (NA).
Pada dasarnya zeolit alam adalah adsorben yang bersifat polar dan
hydropholic, suka terhadap uap air. Sifat kepolaran sangat bergantung pada rasio
Si/Al. Semakin tinggi rasio Si/Al maka semakin tidak polar, ketika digunakan
untuk menjernihakan asap, disamping menyerap uap air zeolit diharapkan dapat
menyerap senyawa asap yang lain termasuk CO.
Pengaruh ukuran partikel zeolit alam menunjukkan bahwa ukuran 53-106
dapat menjernihan asap lebih cepat dibandingkan ukuran yang lain. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 4.34. Untuk ukuran 53-106 µm (massa NZ yang
didispersikan 3 gram), nilai t10 pada sensor atas, tengah dan bawah adalah 5,12,
5,21 dan 11,45 menit. Pengaruh ketinggian menunjukkan penjernihan pada bagian
atas lebih cepat jernih dibandingkan bagian tengah dan bawah (Gambar 4.36).
Sementara itu pengaruh massa menunjukkan bahwa massa 5 gram dapat
menjernihkan asap lebih cepat dibandingkan dengan massa 1 gram dan 3 gram
ditunjukkan oleh Gambar 4.37. Nilai t10 untuk massa ACZnCl2 5 gram pada
sensor atas, tengah dan bawah adalah 4,31, 4,6 dan 11,1 menit. Efektifitas
penjernihan dapat juga ditunjukkan oleh waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
122
tingkat penjernihan 10% (t10) seperti dipresentasikan pada Gambar 4.35 dan
Gambar 4.38.
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5De
nsita
s Opt
is (m
-1)
Waktu (detik)
NZ 106 NZ 53 NZ 1 NZ 0.6 NA Baseline
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
NZ 106 NZ 53 NZ 1 NZ 0.6 NA Baseline
(a)
(b)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
123
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
NZ 106 NZ 53 NZ 1 NZ 0.6 NA Baseline
Gambar 4. 34 Pengaruh ukuran partikel zeolit alam terhadap penjernihan asap
Atas Tengah Bawah0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Wak
tu m
enca
pai tr
ansm
isi, t
10 (m
enit)
Posisi Sensor
NZ 106 NZ 53 NZ 1 NZ 0.6 NA
Gambar 4. 35 Pengaruh ukuran partikel zeolit alam terhadap t10
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
Atas Tengah Bawah
Gambar 4. 36 Pengaruh ketinggian sensor terhadap penjernihan asap oleh zeolit alam
(c)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
124
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
NZ 53 1 g NZ 53 3 g NZ 53 5 g NA
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
NZ 53 1 g NZ 53 3 g NZ 53 5 g NA
0 500 1000 1500 2000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Dens
itas O
ptis
(m-1)
Waktu (detik)
NZ 53 1 g NZ 53 3 g NZ 53 5 g NA
Gambar 4. 37 Pengaruh massa zeolit alam terhadap penjernihan asap
(a)
(b)
(c)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
125
Atas Tengah Bawah0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Wak
tu m
enca
pai tr
ansm
isi, t
10 (m
enit)
Posisi Sensor
NZ 1g NZ 3g NZ 5g NA
Gambar 4. 38 Pengaruh massa zeolit alam terhadap t10
4.3.4 Pengaruh Jenis Adsorben terhadap Penjernihan Asap
Semua jenis adsorben mempunyai kemampuan dalam menjernihankan
asap dibandingan tanpa adsorben. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karbon
aktif ACcom relatif lebih baik dibandingkan karbon aktif ACZnCl2 dan zeolit
alam baik untuk penjernihan asap. Ukuran 53-106 µm dengan massa 5 gram
menunjukkan hasil yang paling baik. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan
Penelitian 1 yang menunjukkan bahwa diantara adsorben yang di screening
karbon aktif dan zeolit alam mempunyai kemampuan dalam menyerap uap air dan
mempunyai konstanta adsorpsi Langmuir terhadap gas CO lebih besar. Jika
dibandingkan antara karbon aktif dan zeolit alam, karbon aktif mempunyai
kemampuan menyerap air dan konstanta Langmuir lebih besar.
Kemampuan menjernihkan asap oleh adsorben terlihat pada nilai t10,
seperti pada Gambar 4.39. Karbon aktif ACcom memiliki nilai t10 yang lebih
kecil, artinya lebih mampu menjernihkan dibandingkan adsorben lain, dengan
alasan yang sudah didiskusikan di atas. Kalau ditinjau dari aspek densitas
(Gambar 4.40), karbon aktif ACcom mempunyai densitas yang lebih kecil,
sehingga lebih ringan dan waktu kontaknya akan lebih lama. Dengan
mengguankan massa adsorben 5 gram, nilai t10 terbaik yang diperoleh oleh karbon
aktif ACcom untuk sensor atas, tengah dan bawah adalah 4, 4,6 dan 7,7 menit.
Nilai t10 terbaik yang diperoleh oleh adsorben karbon aktif ACZnCl2 untuk sensor
atas, tengah dan bawah adalah 4,6, 4,9 dan 9,8 menit. Nilai t10 terbaik yang
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
126
diperoleh oleh adsorben zeolit alam (NZ) untuk sensor atas, tengah dan bawah
adalah 4,4, 4,6 dan 11,1 menit. Nilai t10 jika tanpa menggunakan adsorben untuk
bagian atas, tengah dan bawah adalah 10,9, 12,8, dan 16,5 menit. Dari nilai t10
terlihat bahwa pada sensor bagian atas dan tengah kemampuan adsorben dalam
menjernihkan asap relatif sama. Perbedaan siknifikan proses penjernihan asap
terlihat pada sensor bagian bawah. Jika dibandingkan penjernihan asap oleh
adsorben dibandingkan dengan penjernihan asap tanpa adsorben, untuk sensor
atas dan tengah waktu yang diperlukan untuk mencapai t10 dibawah 50% dari
waktu penjernihan tanpa adsorben, sedangkan pada sensor bawah untuk ACcom,
ACZnCl2 dan NZ berturut-turut adalah 47%, 57% dan 67%.
44.6
7.7
4.6 4.9
9.3
4.3 4.6
11.110.9
12.7
16.5
44.6
7.7
4.6 4.9
9.3
4.3 4.6
11.110.9
12.7
16.5
Atas Tengah Bawah0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Wak
tu m
enca
pai tr
ansm
isi, t
10 (m
enit)
Posisi Sensor
ACcom ACZnCl2 NZ NA
Gambar 4. 39 Pengaruh jenis adsorben terhadap t10, ukuran adsorben 53-106 µm,
massa adsorben 5 gram
0.767 0.833
1.883
ACcom ACZnCl2 NZ0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
Dens
itas (
kg/l)
Gambar 4. 40 Densitas masing-masing adsorben
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
127
4.3.5 Pengaruh Jenis Adsorben terhadap Penyerapan CO
Analisis pengaruh jenis adsorben terhadap kemampuan mengadsorpsi CO
dilakukan dengan memvariasika massa adsorben. Tujuan dari analisis ini adalah
untuk mendapatkan nilai massa adsorben yang optimal mengadsorpsi CO.
Indikator yang digunakan untuk mengetahui kemampuan adsorpsi CO adalah
konsentrasi CO yang terdapat pada asap tersebut. Semakin rendah konsentrasi CO
pada asap, berarti kemampuan mengadsorpsi CO oleh adsorben semakin baik.
Adapun variasi massa yang digunakan pada penelitian ini adalah 1, 3,
dan 5 gram. Gambar 4.41 menunjukkan pengaruh massa terhadap adsorpsi CO
oleh masing-masing adsorben; ACcom, ACZnCl2 dan zeolit alam. Tabel 4.10
menunjukkan konstanta adsorpsi Langmuir karbon aktif yang menunjukkan
karbon aktif mempunyai kemampuan menyerap CO yang paling besar. Tetapi
jumlah CO yang diserap oleh adsorben baru mencapai < 20% dari konsentrasi
awal. Pembahasan mengenai kemampuan karbon aktif dan zeolit alam dalam
mengadsorpsi CO sudah dibahas pada Sub Bab 4.1 Seleksi Adsorben.
ACcom ACZnCl2 NZ0
20
40
60
80
100
120
CO te
rads
orps
i, g
Adsorben
1 g 3 g 5 g
Gambar 4. 41 Pengaruh massa terhadap proses penyerapan CO
4.4 Evaluasi Penjernihan Asap Keseluruhan
Dari pembahasan sebelumnya, seleksi kemampuan adsorben mengadsorpsi
CO dengan metoda adsorpsi isotermis, menunjukkan bahwa semua adsorben yang
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
128
diuji mempunyai kemampuan mengadsorpsi CO. Zeolit alam dan karbon aktif
mempunyai kemampuan mengadsorpsi CO yang paling baik. Hal ini dikarenakan
luas permukaan karbon aktif dan zeolit alam mempunyai luas permukaan lebih
besar dibanding adsorben lain.
Hasil uji pembuatan asap menunjukkan bahwa pembakaran kertas tisu
menggunakan solder elektrik dapat menghasilkan asap dengan tingkat kepekatan
dan kandungan CO yang tinggi. Massa tisu 6 gram dapat menghasilkan asap
dengan bacaan intensitas I antara 900 -1000 (nilai OD sekitar 2), dan kandungan
CO diatas 4000 ppm.
Uji penjernihan asap dan penyerapan CO oleh adsorben, pengaruh ukuran
partikel terhadap penjernihan asap menunjukkan bahwa secara umum semakin
kecil partikel proses penjernihan asap semakin cepat, tetapi jika partikel terlalu
kecil proses penjernihan asap menjadi lambat. Hal ini disebabkan ukuran partikel
yang sangat kecil memiliki waktu tinggal yang lama, bersama asap berada di
dalam ruang uji sehingga memperlambat proses penjernihan. Ukuran partikel
adsorben yang paling efektif menjernihkan asap adalah 53 µm.
Dari pembahasan di atas juga menunjukkan bahwa penjernihan asap pada
posisi atas ruang uji lebih cepat dibandingkan posisi bawah. Hal ini disebabkan
setelah adsorben didispersikan, disamping adsorben dapat menyerap asap
pendisperdispersian adsorben dapat juga menyebabkan perubahan sifat dan
karakteristik asap. Asap akan beraglomerasi, terkondensasi, terjadi perubahan
temperatur dan densitas asap, sehingga asap akan bergerak ke bawah. Semakin ke
bawah pergerakkan asap semakin lambat sehingga terakumulasi pada bagian
bawah ruang uji, penjernihan bagian bawah lebih lambat dibandingkan bagian
atas. Pengaruh massa adsorben terhadap penjernihan menunjukkan semakin
banyak adsorben yang didispersikan semakin banyak kontak dengan asap
sehingga proses penjernihan makin cepat. Untuk adsorben ukuran 53 µm, massa
adsoben yang paling efektif menjernihkan asap adalah 5 gram.
Sementara itu jenis karbon aktif ACcom mempunyai kemampuan
menjernihkan asap dan menyerap CO lebih baik dibandingkan karbon aktif
ACZnCl2 dan zeolit alam teraktifasi (NZ). Hal ini disebabkan karena karbon aktif
ACcom mempunyai luas permukaan lebih besar dibandingkan adsorben yang lain.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
129
BAB V
KESIMPULAN
Hasil penelitian pemilihan adsorben dan penjernihan asap kebakaran, secara
keseluruhan dapat disimpulkan bahwa;
1. Dari hasil seleksi adsorben didapat bahwa karbon aktif dan zeolit alam
teraktifasi memiliki kemampuan yang baik dalam penyerapan CO dengan
nilai nmaks masing-masing 1.58827 dan 0.36310 mmol/gr sampel, nilai b
masing-masing 0.00305 dan 0.00997. Nilai ngibbs berturut-turut karbon aktif
dan zeolit alam teraktifasi, adalah 0,0682 dan 0,0352 mmol/g.
2. Untuk mendapatkan asap jenis smoldering dengan tingkat kepekatan
maksimum memerlukan massa tisu 6 gram untuk volume ruang uji 0,192 m3
3. Urutan kemampuan menjernihkan asap lebih efektif ACcom> ACZnCl2>
zeolit alam. nilai. Waktu yang diperlukan untuk mencapai tingkat penjernihan
10% (t10) dari ACcom untuk bagian atas, tengah dan bawah adalah 4, 4,6 dan
7,7 menit, jika tanpa menggunakan adsorben untuk bagian atas, tengah dan
bawah adalah 10,9, 12,8, dan 16,5 menit. Semua adsorben mampu menyerap
CO, ACcom mempuyai kemampuan yang paling baik. Pengaruh ukuran,
massa dan ketinggian asap pada kolom terhadap proses penjernihan asap
diperoleh:
a. Adsorben dengan ukuran partikel 53 μm mempunyai kemampuan
menjernihkan asap paling baik.
b. Pengaruh massa adsorben terhadap penjernihan asap terlihat siknifikan
pada bagian bawah. Massa adsorben optimum dalam penjernihan asap
diperoleh 5 gram.
c. Asap pada bagian atas kolom lebih cepat jernih dibandingkan dengan
tengah dan bawah.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
130
DAFTAR PUSTAKA
Andrew. 2004. Non-Tech High Tech Litters the Landscape. [Online] Tersedia dalam
<http://usatoday30.usatoday.com/tech/columnist/andrewkantor/2004-12-10-
kantor_x.htm> [Diakses 3 Juli 2014].
Anonim. 2007. CO2 Emission and Its Mitigation by Adsorption on Zeolites and
Activated Carbon. Current Science, Volume 92 (6).
Anonim. Properties of Activated Carbon [Online] CPL Caron Link [Diakses 5
Feburari 2008].
Annemarie, J.B., F. Reisen, A. Cook, B. Devine, P. Weinstein. (2008). Respiratory
Irritants in Australian Bushfire Smoke: Air Toxics Sampling in a Smoke
Chamber and During Prescribed Burns. Springer Science Business Media.
Aranovich, G. L., Donohue, M. D., 2000. Vapor Adsorption on Micro-porous
Adsorbents, Carbon, Volume 38, 701.
Arean, C., and Oteron. 2007. Carbon Monoxide Adsorption on Low-Silica zeolites –
from Single to Dual and to Multiple Cation Sites. Physical Chemistry, Volume
9, pp. 4657-4661. Arean, C., Oteron. 2007. Dinitrogen and Carbon Monoxide Hydrogen Bonding in
Protonic Zeolites: Studies from Variable-Temperature Infra Red Spectroscopy.
Journal of Molecular Structure, Volume 880, pp. 31-37.
Babrauskas, V. 1996. Toxicity for the Primary Gases Found in Fires. [Online]
Tersedia dalam <http://www.doctorfire.com/toxicity.html> [Diakses 3 Juli
2014].
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2014. Data Kasus Kebakaran Tahun 2014.
BNPB: Jakarta.
Berlie, K., and F. Marc. 1997. Adsorption of CO2 on Microporous Materials. 1. On
Activated Carbon and Silica Gel. Industrial & Engineering Chemistry Data,
Volume 42, pp. 533-537.
Blomqvist, Per., L. Rosell, M. Simonson. 2004. Emissions from Fires Part I: Fire
Retarded and Non-Fire Retarded TV-Sets. Fire Technology, Volume 40, 39–58,
Blomqvist, Per., L. Rosell, M. Simonson. 2004. Emission from Fires Part II:
Simulation Room Fires. Fire Technology (2004) Volume 40, pp. 59 – 7.
Brandani, F., and M.R. Douglas. 2004. The Effect of Water on the Adsorption of CO2
and C3H8 on Type X Zeolites. Industrial & Engineering Chemistry, Volume
43, pp. 8339-8344.
Bulanek, R., and E. Koudelkova. 2011. Carbon Monoxide Adsorption on Alkali-
Metal Exchange BEA Zeolite: IR and Thermodynamics Study. Microporous
and Mesoporous Materials Volume 151, pp. 149 – 156.
Carley, A.F., P.R. Davies, M.W. Roberts, A.K. Santra, K.K. Thomas. 1998.
Coadsorption of Carbon Monoxide and Nitric Oxide at Ag(111): Evidence for a
CO-NO Surface Complex. Surface Science Volume 406, pp. 1587-1591.
Chue, K.T., J.N. Kim, Y.J. Yoo, S.H. Cho, R.T. Yang. 1995. Comparison of
Activated Carbon and Zeolite 13X for CO2 Recovery from Flue Gas by
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
131
Pressure Swing Adsorption. Industrial & Engineering Chemistry, Volume 34
(2), pp. 591–598.
Clean Air Plus. (2015). Benefits of Activated Carbon Filters in Air Purifiers. [Online]
Tersedia dalam <http://www.cleanairplus.com/blog/activated-carbon-filters-air-
purifiers.html> [Diakses 25 Juni 2015]
Deroche, I., L. Gaberova, G. Maurin, P. Llewellyn, M. Castro, P. Wright. 2008.
Adsorption of carbon dioxide in SAPO STA-7 and AlPO-18: Grand Canonical
Monte Carlo Simulations and Microcalorimetry Measurements. Adsorption,
Volume 14, pp. 207 – 213.
Dı´az, E., M. Emilio, V. Aurelio, O. Salvador. 2008. Enhancement of the CO2
Retention Capacity of Y Zeolites by Na and Cs Treatments: Effect of
Adsorption Temperature and Water Treatment. Industrial & Engineering
Chemistry, Volume 47, pp. 412-418.
Dinas Pemadam Kebakaran. 2014. Data Kasus Kebakaran Tahun 2014. Damkar:
Jakarta.
Drysdale, D. 2003. An Introduction to Fire Dynamics, 2nd
Edition, John Wiley &
Sons.
Eddleston, M., E. Juszczak, N.A. Buckley. 2008. Multiple-dose Activated Charcoal
in Acute Self-poisoning: A Randomised Controlled Rrial. The Lancet, Volume
371 (9612) : 579 – 87.
Elliott, C., T. Colby, T. Kelly, H. Hicks. 1989. Charcoal lung. Bronchiolitis
Obliterans After Aspiration of Activated Charcoal. Chest Journal, Volume 96
(3) : 672 - 4.
Environmental Health and Safety, 2007. Silica Gel.
Espinal J. F., A. Montoya, F. Mondrago´n, T.N. Truong. 2004. A DFT Study of
Interaction of Carbon Monoxide with Carbonaceous Materials. The Journal of
Physical Chemistry B, Volume 108 (3), pp. 1003 – 1008.
Fisher Scientific, 1997. Silica Gel Desicant.
German ,E.D., S. Moshe. 2008. Comparative Theoretical Study of CO Adsorption
and Desorption Kinetics on (111) Surfaces of Transition Metals. The Journal of
Physical Chemistry C, Volume 112 (37), pp. 14377–14384.
Gottfried J.M., K.J. Schmidt, S.L.M. Schroeder, K. Christmann. 2003. Adsorption of
Carbon Monoxide on Au (1 1 0)-(1 x 2). Surface Science, Volume 536, pp. 206-
224.
Greenwood, N.N., A. Earnshaw. 1997. Chemistry of the Elements , 2nd
edition.
Hadjiivanova, K., T. Venkov, H. Knözinger. 2001. FTIR spectroscopic study of CO
adsorption on Cu/SiO2: Formation of New Types of Copper Carbonyls.
Catalysis Letters, Volume 75 ( 1–2).
Huang, L., L. Zhang, Q. Shao, L. Lu, X. Lu, S. Jiang, W. Shen. 2007. Simulations of
Binary Mixture Adsorption of Carbon Dioxide and Methane in Carbon
Nanotubes: Temperature, Pressure, and Pore Size Effects. The Journal of
Physical Chemistry C, Volume 111 (32), pp. 11912–11920.
Hull, T. R., K.T. Paul. 2007. Bench-Scale Assessment of Combustion Toxicity – A
Critical Analysis of Current Protocols. Fire Safety Journal, Volume 42 (5), pp.
340–365.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
132
International Zeolite Association. (2007). Database of Zeolite Structures [Online]
Tersedia dalam <www.iza-structure.org/databases/> [Diakses 3 Juli 2014].
Jadhav, P.D., S.S. Rayalu, R.B. Biniwale, S. Devotta. 2007. CO2 Emission and Its
Mitigation by Adsorption on Zeolites and Activated Carbon. Current Science,
Volume 92, pp. 724-725.
Jadhav, P.D., R.V. Chatti, R.B. Biniwale, N.K. Labhsetwar, S. Devotta, S.S. Rayalu.
2007. Monoethanol Amine Modified Zeolite 13X for CO2 Adsorption at
Different Temperatures. Energy Fuels, Volume 21 (6), pp. 3555–3559.
Jana, D. 2007. Clinoptilolite – A Promising Pozzolan in Concrete. [Online] Tersedia
dalam <www.zeocat.es/docs/constructionconcrete.pdf> [Diakses 3 Juli 2014].
Jiang, J. and S.I.S. 2005. Separation of CO2 and N2 by Adsorption in C168
Schwarzite:A Combination of Quantum Mechanics and Molecular Simulation
Study. Journal of the American Chemical Society, Volume 127 (34), pp. 11989–
11997.
Jungsuttiwong, S., P. Khongpracha, T.N. Truong, J. Limtrakul. A Theoretical Study
of Adsorption of Carbon Monoxide on Ag-ZSM-5 Zeolite. Laboratory for
Computational & Applied Chemistry, Chemistry Department, Kasetsart
University, Thailand.
Kamarudin, K.S.N., Halimaton Hamdan and Hanapi Mat. 2006. Equilibrium Model
of Gas Adsorption on Zeolite. Zeolite and Porous Material Group, Ibnu Sina
Institute for Fundamental Science Studies, Universiti Teknologi Malaysia,
Johor.
Kim, Y.D., J. Stultz, D.W. Goodman 2002. Characterization of MgO(1 0 0) Thin
Film Growth on Mo(1 0 0). Surface Science, Volume 506, pp. 228 – 234.
Lestari Fatma, Boban Markovic, Anthony R. Green, Gautam Chattopadhyay and
Amanda J. Hayes. 2006. Comparative assessment of three in vitro exposure
methods for combustion toxicity. Journal of Applied Toxicology, Volume 26,
pp: 99–114.
Li, G., P. Xiao, P. Webley, J. Zhang, R. Singh, M. Marshall. 2008. Capture of CO2
from High Humidity Flue Gas by Vacuum Swing Adsorption with Zeolite 13X.
Adsorption, Volume 14, pp. 415-422.
Limtrakul, J., S. Jungsuttiwong, P. Khongpracha. 1999. Adsorption of Carbon
Monoxide on H-FAU and Li-FAU Zeolites: An Embedded Cluster Approach.
Journal of Molecular Structure. Volume 525, pp. 153-162.
Limtrakul, J., P. Khongpracha, S. Jungsuttiwong, T.N. Truong. 1999. Adsorption of
Carbon Monoxide in H-ZSM-5 and Li-ZSM-5 Zeolites: An Embedded ab Initio
Cluster Study. Journal of Molecular Catalysis A: Chemical Volume 153, pp.
155 – 163.
Li, P., G. Bingqing, Z. Sujuan, C. Shuixia, Z. Qikun, Z. Yongning. (2008). CO2
Capture by Polyethylenimine-Modified Fibrous Adsorbent. Langmuir,
Volume 24 (13), pp. 6567–6574.
Maghirang, R.G., dan E.B. Razote. 2009. Smoke Dissipation by Solid Particles and
Charged Water Spray in Enclosed Spaces. Fire Safety Journal 44, pp. 668-671.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
133
Matranga, C., B. Bockrath. 2004. Permanent Trapping of CO2 in Single-Walled
Carbon Nanotubes Synthesized by the HiPco Process. The Journal of Physical
Chemistry B, Volume 108 (20), pp. 6170–6174.
Merel, J., M. Clausse, F. Meunier. 2008. Experimental Investigation on CO2
Post−Combustion Capture by Indirect Thermal Swing Adsorption Using 13X
and 5A Zeolites. Ind. Eng. Chem. Res, Volume 47 (1), pp. 209–215.
Michael, M., M. Brittain, J. Nagai, R. Feld, D. Hedley, A. Oza, L. Siu, M.J. Moore.
(2004). Phase II Study of Activated Charcoal to Prevent Irinotecan-Induced
Diarrhea. Journal of Clinical Oncology, Volume 22 (21) : 4410-7.
Minot, C., M. Menetrey, A. Markovits. 2002. Reactivity of a Reduced Metal Oxide
Surface: Hydrogen, Water and Carbon Monoxide Adsorption on Oxygen
Defective Rutile TiO2 (1 1 0). Surface Science,Volume 524, pp. 49-62.
Mohamad A.B., S.E. Iyuke, W.R.M. Daud, A.A.H. Kadhum, Z. Fisal, M.F. Al-
Khatib, A.M. Shariff. 2000. Adsorption of Carbon Monoxide on Activated
Carbon-Tin Ligand. Journal of Molecular Structure, Volume 550-551, pp. 511
– 519.
Mulholland, G.W.(2002). Smoke Production and Properties. SFPE Handbook of Fire
Protection Engineering, 2nd Edition.
Mulukutla R.S., P.S. Malchesky, R. Maghirang, J.S. Klabunde, K.J. Klabunde, O.
Kopper. 2007. Metal Oxide Nanoparticles for Smoke Clearing and Fire
Suppression. United States Patent no: US 7,276,640 B2.
Natesakhawat, S., T.C. Jeffrey, M. Christopher, B. Bradley. Adsorption Properties of
Hydrogen and Carbon Dioxide in Prussian Blue Analogues Co3[Co(CN)6]2 and
[Zn3 Co(CN)6]2. The Journal of Physical Chemistry, Volume 111, pp. 1055-
1060.
Neophytou, M.K.A., R.E. Britter. 2005. A Simple Model for the Movement of Fire
Smoke in a Confined Tunnel. Pure and Applied Geophysics, Volume 162, pp.
1941–1954.
Neviaser, J.L., G.G. Richard. 2004. Evaluation of Toxic Potency Values for Smoke
from Products and Materials. Fire Technology, Volume 40 (2), pp. 177-199.
Othman, M.R., O.E. Lee., W.J.N. Fernando. 2006. Gas Adsorption and Surface
Diffusion on 5Å Microporous Adsorbent in Transition and Tubulent Flow
Region. IIUM Engineering Journal, Volume 7 (1).
Ottiger, S.R.P., S. Giuseppe, M. Marco. 2008. Measuring and Modeling the
Competitive Adsorption of CO2, CH4,and N2 on a Dry Coal. Langmuir, Volume
24 (17), pp. 9531–9540.
Pandiangan, Johannes. 2007. Perancangan dan Penggunaan Photodioda Sebagai
Sensor Penghindar Dinding pada Robot Forklift, Universitas Sumatera Utara.
Parry, A.A., dan J.A. Pryde. 1966. Adsorption of Nitrogen and Carbon Monoxide on
Molybdenum. British Journal of Applied Physics, Volume 18, pp. 329-334.
Pires, J., Moisés L. Pinto, Ana Carvalho, M.B. de Carvalho. 2003. Assessment of
Hydrophobic-Hydrophilic Properties of Microporous Materials from Water
Adsorption Isotherms. Adsorption, Volume 9, pp. 303-309.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
134
Pu, S., and Z. Sisi. Evacuation Route Calculation of Inner Buildings. Delft University
of Technology, OTB Research Institute for Housing, Urban and Mobility
Studies, Jaffalaan. Netherlands.
Pujiyanto. (2010). Pembuatan Karbon Aktif Super dari Batubara dan Tempurung
Kelapa. Tesis, Departemen Teknik Kimia. Depok, Universitas Indonesia.
Rajumon, M.K., M.S. Hegde, C.N.R. Rao. 1988. Adsorption of Carbon Monoxide on
Ni/Ti and Ni/TiO2, Surfaces Prepared Insitu in The Electron Spectometer : A
Combined UPS-XPS Study. Catalysis Letters, Volume 1 (11), pp. 351-359.
Ranjan, C., R. Hoffmann, F.J. DiSalvo, H.D. Abruna. 2007. Electronic Effects in CO
Chemisorption on Pt−Pb Intermetallic Surfaces: A Theoretical Study. The
Journal of Physical Chemistry C, Volume 111 (46), pp 17357–17369.
Ranjani, S., M. Shen, E. Fisher, J. Poston, A. Shamsi. 2001 Adsorption and Desortion
of CO on Solid Sorbents. Journal of Energy & Environmental Research,
Volume 1 (1).
Ravikovitch, P., B.W. Bogan, A.V. Neimark. 2005. Nitrogen and Carbon Dioxide
Adsorption by Soils. Journal of Environmental Science Technology, Volume 39
(13), pp. 4990–4995.
Salimon, J. and M. Kalaji. 2003. Carbon Monoxide Adsorption at Polycrystalline
Copper in Aqueous Phosphate Buffered Solution: Linearly-Adsorbed CO.
Malaysian Journal of Chemistry, Volume 5, pp. 001-007.
Sasaki, T., A. Matsumoto, Y. Yamashita. 2008 The Effect of the Pore Size and
Volume of Activated Carbon on Adsorption Efficiency of Vapor Phase
Pompounds in Cigarette Smoke. Colloids and Surfaces A: Physicochemical and
Engineering Aspects, Volume 325, pp. 166-172.
Schennach, R., G. Krenn, B. Klotzer, K.D. Rendulic. 2003. Adsorption of Hydrogen
and Carbon Monoxide on Rh (1 1 1)/V Surface Alloys. Surface Science
,Volume 540, pp. 237-245.
Science Learn. 2015. Definitioof Smoke, [Online] Tersedia dalam
<http://sciencelearn.org.nz/Contexts/Fire/Science-Ideas-and-Concepts/What-is-
smoke>. [Diakses 26 Juni 2015].
Setyaningsih, Agustina. 2006. Penentuan Nilai Panjang Koherensi Laser
Menggunakan Interferometer Michelson, Universitas Diponegoro.
Siriwardane, R.V., M.S. Shen, E.P. Fisher. 2002. Adsorption of CO2, N2, O2 on
Natural Zeolites. Energy and Fuels, Volume 17, pp. 571-576.
Sudibandriyo, M. 2011. High Pressure Adsorption of Methane and Hydrogen at 25oC
on Activated Carbons Prepared from Coal and Coconut Shell. International
Journal of Engineering & Technology IJET-IJENS Volume 11(02).
Szanyi, J., dan M. Paffett. 1996. The Adsorption of Carbon Monoxide on H-ZSM-5
and Hydrothermally Treated H-ZSM-5. Microporous Materials, Volume 7: 201
– 218.
Tehrani and Salari. 2005. The Study of Dehumidifying of Carbon Monoxide and
Ammonia Adsorption by Iranian Natural Clinoptilolite Zeolite. Applied Surface
Science, Volume 252, pp. 866-870.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
135
Apriano, Tito, Yulianto S. Nugroho. 2012. Pengembangan Sistem Pengukuran
Densitas Optik Asap Kebakaran. Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik
Mesin dan Thermofluid IV, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Treesukol, P., J. Limtrakul, T.N. Truong. 2001. Adsorption of Nitrogen Monoxide
and Carbon Monoxide on Copper-Exchanged ZSM-5: A Cluster and Embedded
Cluster Study. The Journal of Physical Chemistry B, Volume 105, pp. 2421-
2428.
Trisunaryanti, W., E. Triwahyuni, S. Sudiono. 2005. Preparasi, Modifikasi dan
Karakterisasi Ni-Mo/Zeolit Alam dan Mo-Ni/Zeolit Alam. Teknoin, Volume 10
(4), pp. 269-282.
Voogt, E.H., L. Coulier, O.L.J. Gijzeman, J.W. Geus. 1997. Adsorption of Carbon
Monoxide on Pd(111) and Palladium Model Catalysts. Journal of Catalysis,
Volume 169, pp. 359-364.
Wang, W., Z.H. Ping, W.Y. Tian. 2007. Experiimental study on CO2/CO of Typical
lining Materials in Full-Scale Fire Test. Chinese Science Bulletin, Volume 52,
Issue 9, pp. 1282-1286.
WeaverLindell, K., K. Deru. 2007. Carbon Monoxide Poisoning at Motels, Hotels,
and Resorts. American Journal of Preventive Medicine, Volume 33 (1) : 23-7.
Wei-Heng, S., R. Mutharasan, Q. Zhao, N. Wang. 2001. Development of Mesoporous
Membrane Materials for CO2 Separation. Drexel University, Philadelphia.
Wu, S.F., H.L. Qing, N.K. Jong, B.Y. Kwang. 2008. Properties of a Nano CaO/Al2O3
CO2 Sorbent. Industrial & Engineering Chemistry, Volume 47 (1), pp. 180–
184.
Xu, X., S. Chunshan, G.M. Bruce, W.S. Alan. 2005. Influence of Moisture on CO2
Separation from Gas Mixture by a Nanoporous Adsorbent Based on
Polyethylenimine-Modified Molecular Sieve MCM-41. Industrial &
Engineering Chemistry Research. Volume 44 (21), pp. 8113–8119.
Xu, Y., J. Li, Y. Zhang, W. Chen. 2002. CO Adsorption on MgO (001) Surface with
Oxygen Vacancy and Its Low-Coordinated Surface Sites: Embedded Cluster
Model Density Functional Study Employing Charge Self-Consistent Technique.
Surface Science, Volume 525, pp. 13-23.
Xu, Y., H.Z. Jian, M.L. Li, J. An, L.W. Yi, Y.S. Xi. 2003. Removing Nitrosamines
from Mainstream Smoke of Cigarettes by Zeolites. Microporous and
Mesoporous Materials, Volume 60(1-3), pp. 125–138.
Yadav, R., R.G. Maghirang, L.E. Erickson, B. Kakumanu, S.G. Castro. 2007.
Laboratory Evaluation of the Effectiveness of Nanostructured and Conventional
Particles in Clearing Smoke in Enclosed Space. Fire Safety Journal, Volume
43, Issue 1, pp. 36–41.
Ying, H.Z., Q.F. Liu, Y.G. Li, W.L. Li, X.C. Xiong. 2008. Selection of Adsorbent for
Insitu Coupling Technology and Adsorptive Desulfurization and
biedesulfurization. Science in China Press.
Yong, Z., M. Vera, dan E.R. Alı´rio. 2000. Adsorption of Carbon Dioxide on Basic
Alumina at High Temperatures. Journal of Chemical Engineering Data,
Volume 45 (6), pp. 1093–1095.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
136
Yuliusman, W.W. Purwanto, Y.S. Nugroho. 2013. Adsorbent Selection for CO
Adsorption using Langmuir Isothermic Adsorption Model. Reaktor, Volume 14
(3), pp. 225-233.
Zaki, M.I., K. Helmut, T. Bernd, A.H.M. Gamal, J.B. Hans. Chemical and
Morphological Consequences of Acidification of Pure, Phosphated, and
Phosphonated CaO: Influence of CO2 Adsorption. Langmuir, Volume 24 (13),
pp. 6745-53.
Zhao, X.X., L.X. Xiao, B.S. Lin, L.Z. Li, Q.L. Xiao. 2009. Adsorption Behavior of
Carbon Dioxide and Methane on AlPO4-14: A Neutral Molecular Sieve. Energy
Fuels, Volume 23 (3), pp. 1534–1538.
Zheng, Y., G. Tingyue. 1998. Modified van der Waals Equation for the Prediction of
Multicomponent Isotherms. Journal of Colloid and Interface Science, Volume
206 (2), pp. 457-463.
Zhen-Zhen, Q., Y.X. Yu, J.G. Mi. 2012. Adsorption of carbon monoxide on Ag(I)-
ZSM-5 zeolite: An ab initio density functional theory study. Applied Surface
Science, Volueme 258, pp. 9629 – 9635.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama Lengkap : Ir. Yuliusman, MEng
2. NIP : 196607201995011001
3. Pangkat dan Golongan Ruang : Penata Tingkat I /III/d
4. Tanggal lahir/Umur : 20 Juli 1966/49
5. Tempat lahir : Pesisir Selatan
6. Jenis kelamin : Laki-laki
7. Agama : Islam
8. Status pernikahan : Menikah
9. Alamat kantor : Departemen Teknik Kimia, Fakultas
Teknik univeristas Indonesia,
Kampus Baru UI, Depok 16424
10. No telepon/Fax : 021-1863516/021-7863515
11. E-mail : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. SD Negeri 1 Barung-Barung Belantai Lulus 1980
2. SMP Negeri Barung-Barung Belantai Lulus 1983
3. SMA Negeri 2 Padang Lulus 1986
4. Teknik Gasa dan Petrokimia Fakultas Teknik
Universitas Indonesia Lulus 1993
5. Master Program of Chemical Engineering
Fakulty of Chemical and Natural Resources
Engineering Universiti Teknologi Malaysia Lulus 2001
PUBLIKASI
Jurnal Internasional
Yuliusman, Widodo WP., Yulianto NS. (2015). Smoke Clearing Methode
Using Activated Carbon and Natural Zeolite, International Journal of
Technology, (Accepted).
Jurnal Nasional
Yuliusman, Widodo WP, dan Yulianto S.N, (2013). Pemilihan Adsroben
untuk Penyerapan Karbon monoksida Menggunakan Model Adsropsi
Isotermis Langmuir, Jurnal Reaktor, vol.14 no.3, pp. 225-233.
Seminar Internasionl
1. Yuliusman dan Diana A, 2013, Adsorption of Carbon Monoxide (CO) Gas
And Clearing Fire Smoke Using Activated Carbon From Coconut, The 13 th
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
International Conference on QIR, Quality in Research, Faculty of
Engineering, University of Indonesia, pp. 496-503.
2. Yuliusman, Widodo WP, Yulianto S.N, dan Rany A. (2014). Preparation of
Activated Carbon from Oil Shell by Activating ZnCl2 as Carbon Monoxide
Adsorbent, The 9th
Joint Conference on Chemitry, pp. 130-134.
Seminar Nasional
1. Yuliusman, Widodo, Yulianto dan Yuda, (21010). Preparasi zeolit alam
Lampung dengan larutan HF, HCl, dan kalsinasi untuk adsorpsi gas CO”.
Seminar Rekayasa Kimia dan Proses, Universitas Diponegoro Semarang.
2. Yuliusman, Widodo WP, Yulianto S.N, M. Gondang A.K, (2011). Uji
kapasitas adsorpsi Zeolit alam Lampung Termodifikasi TiO2 terhadap
kapasitas adsorpsi gas Karbon monoksida, Seminar Nasional Fundamental
dan Aplikasi Teknik Kimia, ITS Surabaya,.
3. Yuliusman, Widodo WP, Yulianto S.N, M. Reza S.,(2012). Pengaruh Aktifasi
Zeolit Alam Lampung terhadap Adsorpsi Gas Karbon Monoksida dan
Penjernihan Asap Kebakaran, Seminar Nasional Teknik Kimia Kejuangan,
UPN, Yogyakarta.
4. Yuliusman, Andry P, (2012). Degradasi Gas NO2 Menggunakan Zeolit Alam
Lampung Teraktifasi yang Diintegrasikan dengan TiO2 untuk Aplikasi
Masker Kesehatan. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia-Aptekindo,
Universitas Indonesia.
5. Yuliusman, Mariatul Qibthiyah, Luthfi R (20140. Pembuatan Karbon Aktif
Berbahan Dasar Tempurung Kelapa Sawit Terimpregnasi TiO2 sebagai
Adsorben Gas Karbon Monoksida dari Asap Pembakaran, Seminar Rekayasa
Kimia dan Proses, UNDIP Semarang.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
LAMPIRAN
LAMPIRAN A:
Rancangan Bangun Ruang Uji I dan II
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Pemilihan Rancangan Bangun Ruang Uji, Teknik Pembuatan Asap, Teknik
Dispersi Adsorben
1. Rancang bangun pertama
Skema rancang bangun ruang uji yang pertama seperti pada Gambar 3.8.
Keterangan gambar:
1. Alat mendispersikan adsorben
2. Sumber cahaya
3. Sensor menangkap cahaya
4. Pengambilan sampel menggunakan shirring.
5. Pembakaran bahan bakar
1
2 3
5
6
7
4
Gambar 1 Skema ruang uji (rancangan pertama)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
6. Saluran mengalirkan udara dengan kompresor untuk membersihan ruang
uji dari asap setelah pengambilan data. Saluran ini dilengkapi dengan
katup yang selalu tertutup hanya dibuka pada waktu pembersihan saja.
7. Saluran asap keluar pada waktu proses pemberihan ruangan. Saluran ini
dilengkapi dengan katup yang tertutup hanya dibuka pada waktu
pembersihan saja.
Dimensi ruang : 0,5 m x 0,5m x 2 m
Bahan : akrilik
Titik sampel : 5 titik (ketinggian 20 cm, 60 cm, 100 cm, 140cm, 180cm)
Jarak sampel : 40 cm
Lampu sorot : untuk memberikan cahaya pada ruang, sehingga pergerakan asap
bisa diamati dengan jelas secara visual pada waktu ruang ada asap
Kamera : Untuk merekam secara visual pergerakan asap.
Salah satu sisi yang sebelah kanan fleksibel, bisa dibuka untuk tujuan
pembersihan dinding akrilik jika dinding ruang sudah kotor.
Bahan bakar: bahan bakar (kayu, kayu blok dan kayu lapis, kertas, kabel,
karpet,pelapis sket sel. Bahan bakar ignisi adalah minyak tanah.
Permasalahan Pada Rancang Bangun Pertama
Permasalahan yang dialami pada rancangan yang pertama ini adalah ruang uji
terlalu tinggi, sehingga dalam pelaksanaan penelitian menyulitkan pada proses
dispersi adsroben. Kendala lain adalah proses pembakaran berada di bawah ruang
uji. Asap yang terbentuk tidak maksimal masuk ruang uji karena asap bergerak
secara alamiah menuju ruang uji. Oleh karena itu pada perancangan ruang uji
yang kedua dimensi ruang uji disesuaikan dan teknik pembakaran terpisah dengan
ruang uji.
2. Rancang Bangun Kedua
Skema rancang bangun ruang uji yang kedua terlihat pada Gambar 3.9.
Bahan yang digunakan untuk membuat ruang uji adalah akrilik. Sisi bagian tengah
pada samping kiri ruang uji terdapat pintu yang bisa dibuka untuk tujuan
pembersihan dinding akrilik setiap selesai pengambilan data. Sisi bagian atas
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
terdapat lubang untuk keluar asap dan lubang untuk menyemprotkan adsorben
masuk ke dalam ruang uji. Pada bagian bawah terdapat lubang untuk membuang
zeolit yang telah dipakai. Pada bagian tengah pintu dipasang satu alat CO
analyzer. Tiga titik pengambilan nilai kejernihan asap diambil menggunakan
opasity meter. Asap masuk pada bagian belakang tengah ruang uji dialirkan dari
wadah pembakaran melalui selang. Ruang uji dibuat kedap udara agar tidak ada
asap yang keluar.
Gambar 2 Skema ruang uji (rancangan kedua)
Bahan bakar: Kayu, kertas, kabel dan minyak tanah. Massa bahan bakar
yang dibakar masing-masing 20 gr dan minyak tanah 10 ml
Prosedur Pembuatan Asap dan Pengambilan Data
Masukkan bahan bakar dengan jumlah tertentu ke dalam wadah pembakaran
(Gambar 3). Bakar selama 2 menit lalu tutup wadah pembakaran. Pompakan
asap ke ruang uji dengan memakai selang sampai ruang uji gelap (nilai opasitas
nol). Kemudian dispersikan adsorben dari atas ruang uji menggunakan pompa.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Pembacaan opasitas pada tiap titik samplig dilakukan setiap menit. Alat opasity
meter dan alat kontrolnya dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Gambar 3 Wadah pembakaran
Gambar 4 Light Source dan Light-MeasuringDevice
Gambar 4 bagian A adalah light source dan B adalah light measuring device.
Cara menggunakan opasitimeter ini sangat sederhana, hanya meletakkan
tangan sensor diantara asap seperti yang terlihat pada Gambar 6. Pengambilan
data dilakukan seperti pada gambar tersebut karena pengambilan data
dilakukan pada 3 titik. Nilai kejernihan ruang uji akan ditampilkan pada
control unit (Gambar 5).
Selang asap ke
ruang uji
Lubang masuk selang
dari pompa
A
B
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Gambar 5 Control Unit dan Stopwatch
Gambar 6 Pengambilan data
Permasalahan Pada Rancang Bangu Kedua
Ada beberapa permasalahan yang ditemukan pada tahap ini antara lain adalah:
1. Pada awalnya sensor cayaha dipasang dalam ruang uji. Kemudian
dikalibrasi dengan alat opacity meter. Sensor sangat sensitif dengan asap
yang mengandung uap air, sehingga ketika dilakukan uji kepekatan asap
sensor mengalami kerusakkan.
2. Teknik pembuatan asap dengan bahan bakar dicampur minyak tanah
dengan cukup oksigen akan menimbulkan nyala, terjadi pembakaran
secara flaming. Pembakaran yang menimbulkan nyala tidak
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
menghasilkan asap yang pekat. Sehingga tidak bisa dilakukan uji
penjernihan asap.
3. Kemudian dilakukan modifikasi pada ruang bakar dengan membuat
ventilasi yang sedikit, sehingga jumlah oksigen sangat terbatas pada
ruang bakar. Pembakran yang terjadi dapat menghasilkan asap yang lebih
banyak dan pekat. Permasalahan yang terjadi adalah setiap dilakukan
pembuatan asap, asap yang dihasilkan tidak mempunyai karakteristik
yang mirip, baik tingkat kegelapan maupun konsentrasi CO.
4. Kesulitan lain adalah asap harus dipompakan ke dalam ruang uji. Proses
pemompaan asap akan merubah karakteristik asap, karena molekul asap
akan saling bertumbukkan menjadi lebih berat dan ketika bersentuhan
dengan dinding saluran masuk dan dinding ruang uji uap air akan
terkondensasi.
5. Teknik pemompaan yang tidak sama setiap kali pembuatan asap dapat
mengakibatkan karakteristik asap akan sangat berbeda setiap kali
pembuatan asap.
6. Ada kendala pada teknik pengambilan data menggunakan opacity meter
pada 3 titik yang berbeda.
7. Dispersi adsorben menggunakan pompa dari atas menyebabkan waktu
kontak asap dengan adsorben sangat cepat.
Berdasarkan permasalahan yang ditemukan terkait dengan sensor cahaya dan
pembuatan asap maka dilakukan perbaikan dengan menggunakan alat berbasis
micro controller dan asap dibuat dari tisu yang dibakar menggunakan solder.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
LAMPIRAN B:
TES KEBOCORAN DAN VOID VOLUME
ADSORPSI ISOTERMIS
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
Hasil Tes Kebocoran Alat Uji
Tes kebocoran alat uji sanagt penting dilakukan untuk melihat kesiapan
alat uji. Hal ini disebabkan karena uji adsorpsi dilakukan pada tekanan tinggi yang
rawan terhadap kebocoran. Disamping itu uji adsorpsi menggunakan karbon
monoksida, jika ada kebocoran bisa membahayakan kesehatan. Gas yang
digunakan untuk tes kebocoran adalah gas helium yang merupakan gas inert yang
tidak berbahaya. Tes kebocoran dilakukan dengan memonitor tekanan baik pada
area dozing maupun sampling selama 3 jam pada tekanan tertinggi sesuai tekanan
uji adsorpsi sekitar 630 psia. Lama waktu tes kebocoran 3 jam, karena
pengambilan data uji adsorpsi sekitar 3 jam. Sementara itu tekanan diambil sekitar
630 psia, karena pada proses adsorpsi gas CO dimasukkan ke dalam dozing pada
tekanan sekitar 600 psia.
Tes kebocoran awal dapat dideteksi dengan menggunakan busa sabun pada
titik sambungan rangkaian alat sehingga dapat kebocoran dapat segera diketahui
dan diatasi. Jika ada kebocoran yang lebih kecil, kadang kala tidak terdeteksi
kalau menggunakan busa sabun saja. Tes kebocoran dilanjutkan menggunakan air,
dengan merendam titik yang diprediksi rawan kebocoran kecil seperti titik pada
sampling. Setelah tidak ditemukan kebocoran dengan menggunakan air, proses tes
kebocoran dilanjutkan dengan memantau penurunan tekanan pada dozing dan
sampling selama 3 jam. Jika penurunan tekanan selama 3 jam tidak lebih dari 3
psia, maka alat dapat digunakan untuk proses uji adsorpsi. Tes kebocoran
dilakukan setiap akan melakukan uji adsorpsi untuk masing-masing adsorben.
Gambar berikut adalah salah satu contoh kurva penurunan tekanan pada saat tes
kebocoran, terlihat tekanan pada dozing dan sampling stabil selama 3 jam..
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
Gambar Tes kebocoran alat uji adsorpsi pada tekanan tinggi
Hasil Kalibrasi Void Volume Area Sampling
Void volume pada area sampling merupakan volume ruah yang ditempati
gas di dalam area sampling termasuk volume kosong dari pori adsorben. Void
volume ditentukan dengan menggunakan gas Helium. Helium bersifat inert
sehingga tidak berinteraksi dengan atom-atom pada permukaan adsorben. Helium
memiliki diameter molekul yang kecil sehingga dapat mengisi ruang kosong dari
pori adsorben sampai ukuran mikropori. Jumlah adsorben yang digunakan dapat
mempengaruhi besarnya void volume. Semakin besar jumlah adsorben dalam
sampling storage menyebabkan void volume semakin kecil. Pengukuran helium
void volume dilakukan pada range tekanan dari uji adsorpsi, yaitu 0-300 psia. Dari
hasil pengukuran pada beberapa tekanan, didapat rata-rata helium void volume.
Helium void volume mewakili volume gas yang tidak teradsorpsi pada proses uji
adsorpsi. Hasil perhitungan void volume tiap adsorben ditampilkan pada Tabel
berikut. Perbedaan nilai void volume pada beberapa tekanan sampling relatif kecil,
begitu juga oleh nilai standar deviasi, sehingga void volume rata-rata yang
diperoleh cukup mewakili untuk dipakai dalam perhitungan banyaknya gas yang
tidak teradsorpsi pada uji adsorpsi.
0
100
200
300
400
500
600
700
0 50 100 150 200
Tek
an
an
, p
sia
waktu, menit
Tekanan dozzing, psia
Tekanan sampling, psia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
Tabel Hasil Perhitungan Helium Void Volume
Zeolit alam tidak teraktifasi
Tekanan, psia 149.8 174.89 199.79 257.15
He Void volume, ml 13.65 13.86 14.06 14.30
He Void volume rata-rata 13.97
Standar deviasi 0.27695
Zeolit alam teraktifasi
Tekanan, psia 104.26 157.21 202.53 259.8 300.26
He Void volume, ml 14.24 14.14 14.10 14.12 14.15
He Void volume rata-rata 14.13
Standar deviasi 0.02797
Zeolit alam teraktifasi (400 nm)
Tekanan, psia 163.17 185 237.33 258.32 274.87
He Void volume, ml 14.43 14.40 14.49 14.45 14.41
He Void volume rata-rata, ml 14.44
Standar deviasi 0.03625
Karbon aktif
Tekanan, psia 163.17 185 237.33 258.32 274.87
He Void volume, ml 14.43 14.40 14.49 14.45 14.41
He Void volume rata-rata 14.44
Standar deviasi 0.03625
TiO2
Tekanan, psia 101.9 125.05 150.01 175.9
He Void volume, ml 14.83 14.81 14.83 14.86
He Void volume rata-rata 14.83
Standar deviasi 0.02002
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
LAMPIRAN C:
KALIBRASI SENSOR
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
Kalibrasi Rangkaian Micro Controller Pengukur Kepekatan Asap
Proses kalibrasi dilakukan dengan tiga buah laser pointer dan tiga buah
sensor cahaya yang telah ditempelkan pada dinding ruang uji berbahan akrilik.
Proses kalibrasi diperlukan untuk mengetahui karakteristik daya tembus sinar dari
laser pointer yang digunakan. Dengan begitu, nilai kepekatan asap atau opacity
density (OD) dapat dicari dengan menggunakan variabel yang bersesuaian.
Hal yang harus diperhatikan adalah posisi jatuhnya sinar laser pada sensor
cahaya photodioda. Perbedaan letak jatuhnya sinar mempengaruhi hasil bacaan
oleh sensor cahaya photodioda sehinggalaser pointerharus diatur dengan sangat
berhati-hati, karena perubahan posisi selama proses pengambilan data akan
mempengaruhi kualitas dari data yang dihasilkan. Adapun data yang terbaca pada
komputer sudah dikonversi ke dalam data digital dengan bantuan micro controller
yang digunakan, sehingga data yang dihasilkan bisa digunakan untuk menghitung
nilai OD pada pengujian asap.
Sesuai dengan persamaan (pada BAB 2), dalam menentukan nilai dari OD,
dibutuhkan data perbandingan antara I/I0. Intensitas yang masuk ke sensor cahaya
photodioda tanpa adanya penghalang (dalam hal ini yaitu kaca dengan nilai OD
berbeda) dianggap sebagai I0 dan intensitas cahya yang masuk ke sensor cahaya
photodioda dengan menggunakan penghalang dianggap sebagai I. Nilai I0 dan I
didapat dari hasil kalibrasi. Sedangkan nilai OD didapat dari referensi kaca yang
digunakan.
Kemudian, dengan memplot nilai I/I0 dengan nilai OD dari kaca ke dalam
software OriginPro8 bisa didapatkan persamaan matematika yang berupa
persamaan eksponensial persamaan (1). Persamaan inilah yang akan digunakan
untuk menjadi standar penggunaan alat saat mengukur OD dari asap.
xRAyy 00 exp (1)
Sensor Cahaya dan Sinar Laser Atas
Untuk sensor cahaya dan sinar laser pada bagian atas, data digital yang
didapatkan adalah:
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
Data I untuk Kaca dengan Nilai OD Berbeda
I0 0.1 0.3 0.5 0.8 2
14 15 17 20 25 533
13 15 17 20 26 528
13 15 17 21 25 527
13 14 17 21 25 534
14 15 17 20 25 541
14 15 17 20 26 536
14 14 17 20 25 531
14 15 17 20 25 528
13 15 17 21 26 531
14 14 17 20 25 537
I dan I0 dirata-ratakan dari data di atas, sehingga didapatkan nilai I0/I untuk
masing-masing OD yang berbeda.
Average
I0 0.1 0.3 0.5 0.8 2
13.6 14.7 17 20.3 25.3 532.6
I0/I 0.92517 0.8 0.669951 0.537549 0.025535
Kemudian nilai I0/I diplot dengan nilai OD dari kaca ke dalam software
OriginPro8 sehingga didapatkan nilai parameter persamaan (D.1). Adapun
grafiknya bisa dilihat dari Gambar 1 di bawah ini:
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
Gambar 1 Kurva kalibrasi sensor cahaya dan sinar laser atas
Dari kurva kalibrasi di atas, nilai y0, A, dan R0 didapatkan, sehingga rumus
untuk mencari nilai OD adalah:
00 //(ln RAyyx (2)
dengan x adalah OD dan y adalah I0/I, maka Persamaan 4.2 menjadi:
32214.0/01808.2/033.1(ln 0
I
IOD (3)
Persamaan 3 hanya berlaku untuk perhitungan OD pada sensor cahaya dan
sinar laser bagian atas.
Sensor Cahaya dan Sinar Laser Tengah
Untuk sensor cahaya dan sinar laser pada bagian atas, data digital yang
didapatkan adalah:
Data I untuk Kaca dengan Nilai OD Berbeda
I0 0.1 0.3 0.5 0.8 2 14 15 18 21 25 536 14 16 18 21 25 536 15 15 18 21 25 536 14 15 18 21 25 536 14 15 19 21 25 536 15 15 18 21 25 537 14 15 19 21 25 537 14 16 18 21 25 536 14 15 18 21 25 534 14 16 18 21 25 533
I dan I0 dirata-ratakan dari data di atas, sehingga didapatkan nilai I0/I
untuk masing-masing OD yang berbeda.
Average
I0 0.1 0.3 0.5 0.8 2
14.2 15.3 18.2 21 25 535.7
I0/I 0.928105 0.78022 0.67619 0.568 0.026507
Kemudian nilai I0/I diplot dengan nilai OD dari kaca ke dalam software
OriginPro8 sehingga didapatkan nilai parameter Persamaan 1. Adapun grafiknya
bisa dilihat dari Gambar 2 di bawah ini:
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
Gambar 2 Kurva kalibrasi sensor cahaya dan sinar laser atas
Dari kurva kalibrasi di atas, nilai y0, A, dan R0 didapatkan, maka
Persamaan 2 menjadi:
2019.0/82097.2/85497.1(ln 0
I
IOD (4)
Persamaan D.4 hanya berlaku untuk perhitungan OD pada sensor cahaya
dan sinar laser bagian tengah.
Sensor Cahaya dan Sinar Laser Bawah
Untuk sensor cahaya dan sinar laser pada bagian atas, data digital yang
didapatkan adalah:
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
Data I untuk Kaca dengan Nilai OD Berbeda
I0 0.1 0.3 0.5 0.8 2
17 19 22 25 31 747
17 19 22 24 32 747
17 19 21 25 32 724
18 19 22 25 32 719
17 19 22 24 32 733
17 19 22 25 32 752
17 19 22 25 32 736
18 19 21 24 32 721
17 19 21 24 32 721
17 19 21 25 32 737
I dan I0 dirata-ratakan dari data di atas, sehingga didapatkan nilai I0/I untuk
masing-masing OD yang berbeda.
Average
I0 0.1 0.3 0.5 0.8 2
17.2 19 21.6 24.6 31.9 733.7
I0/I 0.905263 0.796296 0.699187 0.539185 0.023443
Kemudian nilai I0/I diplot dengan nilai OD dari kaca ke dalam software
OriginPro8 sehingga didapatkan nilai parameter Persamaan 1. Adapun grafiknya
bisa dilihat dari Gambar 3 di bawah ini:
Gambar 3 Kurva kalibrasi sensor cahaya dan sinar laser atas
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
Dari kurva kalibrasi di atas, nilai y0, A, dan R0 didapatkan, maka
Persamaan 2 menjadi:
1909.0/95954.2/99716.1(ln 0
I
IOD (5)
Persamaan 5 hanya berlaku untuk perhitungan OD pada sensor cahaya
dan sinar laser bagian bawah.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
LAMPIRAN D:
KARAKTERISASI BET
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
ACcom
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
ACZnCl2
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Zeolit Alam tidak teraktifasi
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Zeolit Alam teraktifasi
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
LAMPIRAN E:
KARAKTERISASI SEM/EDAX
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
ACcom
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
ACZnCl2
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Zeolit Alam tidak teraktifasi
Zeolit Alam teraktifasi
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
LAMPIRAN E:
HASIL ANALISA PSA
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
ACcom
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
AC ZnCl2
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
Zeolit Alam
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
LAMPIRAN G:
PUBLIKASI
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Terakreditasi: ISSN 0852 - 0798 SK No.: 66b/DIKTI/KepI2011
Volume 14 Nomor 3 April 2013
Reaktor Vol. 14 No.3 Hal. 173 - 254 Semarang April 2013
ISSN 0852-0798
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Terakreditasi: ISSN 0852-0798 SK No.: 66b1DIKTIIKep/201 r
Volume 14 Nomor 3 April 2013
DAFTARISI
Paddy Drying in Mixed Adsorption Dryer with Zeolite: Drying Rate and Time Estimation Mohamad Djaeni, Dewi Ayuningtyas, NuruJ Asiah, Hargono, Ratnawati, Wiratno, and Jumali
173-178
Performa Oksidasi Metao pada Reaktor Kontinyu dengan Peningkatan Ketebalan Lapisan Biocover Landfill Cpy Kurniasari, Tri Padmi, Edwan Kardena, dan Enri Damanhuri
179-186
Aktivitas Inulinase oleh Pichia Manshurica dan Fusan F4 pada Fermentasi Batch dengan Umbi Dahlia (Dahlia Sp) Sebagai Substrat Wijanarka, Endang Sutariningsih Soetarto, Kumata Dewi, dan Ari Indrianto
187-192
Upaya Peningkatan Mutu dan Efisiensi Proses Pengeringan Jagung Ddengan Mixed-Adsorption Dryer Luqman Buchori, Mohamad Djaeni, dan Laeli Kurniasari
193-198
Friction Analysis on Scratch Deformation Modes of Visco·Elastic-Plastic Materials Budi Setiyana, Imam Syafaat, Jamari, and DikJoe Schipper
199-203
Penerapan Elektroosmosis Untuk Pengeringan Sludge dari Pengolaban Limbah Cair Darmawan, Dyah Tjahyandari Suryaningtyas, dan Juniska Muria Sariningpuri
204-210
Pengaruh Jenis Anoda pada Proses Pemulihan Logam Nikel dari Tiruan Air Limbah Electroplating Menggunakan SellElektrodeposisi Djaenudin, Mindriany Syafila, Edwan Kardena, dan Isdiriayani Nurdin
211-217
Penyerapan Gas CO Hasll Pembakaran Sampah Menggunakan Modifikasi Sorbent dalam Reaktor Fixed Bed Mariana. Farid Mulana, dan Purwana Satriyo
218-224
Pemilihan Adsorben Untuk Penyerapan Karbon Monoksida Menggunakan Model Adsorpsi lsotermis Langmuir Yuliusman, Widodo Wahyu Purwanto, dan Yulianto Sulistyo NUgboro
225-233
;
Pengaruh Katalis Co dan Fe Terhadap Karakteristik Carbon Nanotubes dari Gas Asetilena dengan Menggunakan Proses Catalytic Chemical Vapour Deposition (CCVD) Tutuk Djoko Kusworo, Desmile Yusufina, dan Atyaforsa
234-241
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Reaktor, Vol. 14 No. 3, April 2013, Hal. 225-233
225
PEMILIHAN ADSORBEN UNTUK PENJERAPAN KARBON MONOKSIDA MENGGUNAKAN MODEL ADSORPSI
ISOTERMIS LANGMUIR
Yuliusman1), Widodo Wahyu Purwanto2), dan Yulianto Sulistyo Nughoro3)
1,2)Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Indonesia 3)Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Indonesia
Kampus UI Depok, Depok 16424 Telepon: 021-7863516, Fax: 021-7863515
*)Penulis korepondensi: [email protected]
Abstract
ADSORBENT SELECTION FOR CO ADSORPTION USING LANGMUIR ISOTHERMIC ADSORPTION MODEL. The objective of this research is to choose the adsorbent that can be applied to decrease toxicity level and to purify fire smoke. In case of fire, toxicity level is high due to carbon monoxide. Adsorbent is chosen based on its ability to adsorb carbon monoxide using volumetric method in constant temperature. Materials to be tested are natural zeolite, active carbon, TiO2, CuO, MgO. Due to existence of organic and mineral polluters, natural zeolite needs to be activated prior to adsorption test using fluoride acid (HF), chloride acid (HCl), ammonium chloride (NH4Cl) and followed by calcination process. Result shows that activation of natural zeolite can increase Si/Al ratio and surface area. According to Langmuir adsorption model obtained, adsorption capacity of active carbon and natural zeolite are the highest. At 1 atmospheric pressure, adsorption capacity are 0.0682 mmol/g for active carbon, 0.0464 for activated natural zeolite with particle size of 400 nm, and 0.0265 mmol/g for activated natural zeolite with particle size of (37-50) μm.
Keywords: activation; adsorbent; adsorption; carbon monoxide; natural zeolite
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memilih adsorben yang dapat diaplikasikan untuk menurunkan tingkat racun dan menjernihkan asap kebakaran. Pada kasus kebakaran tingkat racun asap disebabkan tingginya kandungan karbon monoksida. Proses pemilihan adsorben dilihat pada kemampuan adsorben mengadsorpsi karbon monoksida, yang dilakukan dengan metode volumetrik pada temperatur konstan. Material yang diuji adalah zeolit alam, karbon aktif, TiO2, CuO, MgO. Zeolit alam banyak terdapat pengotor baik organik maupun mineral, oleh karena itu sebelum dilakukan uji adsorpsi, zeolit alam terlebih dahulu diaktifasi menggunakan larutan asam florida (HF), asam khlorida (HCl) dan larutan amonium khlorida (NH4Cl), dilanjutkan dengan proses kalsinasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktifasi zeolit alam dapat meningkatkan rasio Si/Al dan luas permukaan. Semua adsorben yang diuji mempunyai kemampuan mengadsorpsi karbon monoksida. Berdasarkan model adsorpsi Langmuir yang diperoleh, karbon aktif dan zeolit alam mempunyai kapasitas adsorpsi yang paling besar. Dengan menggunakan kondisi tekanan 1 atmosfir, kapasitas adsorpsi adalah 0,0682 mmol/g untuk karbon aktif, 0,0464 mmol/g untuk zeolit alam teraktifasi dengan ukuran partikel 400 nm dan 0,0265 mmol/g untuk zeolit alam teraktifasi dengan ukuran partikel (37-50) μm.
Kata kunci: aktifasi; adsorben; adsorpsi; karbon monoksida, zeolit alam
PENDAHULUAN
Kebakaran merupakan peristiwa terbakarnya material baik itu padat, cair atau gas dalam skala besar yang disertai terbentuknya asap, penyebaran nyala api yang tidak terkendali dan terprediksi.
Semakin banyak material yang terbakar maka akan semakin besar pula kemungkinan terjadinya pembentukkan asap dan penyebaran nyala api. Asap kebakaran mengandung senyawa yang berbahaya bagi kesehatan, diantaranya karbon monoksida (CO).
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Pemilihan Adsorben untuk Penjerapan ... (Yuliusman dkk.)
226
Karbon monoksida adalah polutan yang sangat berbahaya karena karakteristiknya yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa. Konsentrasi karbon monoksida 1600 ppm dalam waktu 20 menit dapat menyebabkan sakit kepala, kontraksi jantung cepat, pusing dan mual, dalam waktu 2 jam dapat menyebabkan kematian (Hull, 2007). Pada kasus kebakaran banyak korban meninggal karena terhirup dan terinfeksi oleh karbon monoksida (Wang dkk., 2007). Usaha pencegahan timbulnya kebakaran dan mengurangi resiko keracunan asap kebakaran sangat diperlukan. Salah satu usaha untuk menguragi resiko keracunan asap kebakaran adalah mengadsorpsi karbon monoksida.
Proses adsorpsi adalah peristiwa tertariknya suatu molekul tertentu dari fluida (cair atau gas) pada permukaan zat padat (adsorben). Ada 2 jenis adsorpsi yaitu adsopsi fisika dan kimia. Adsorpsi fisika terjadi karena adanya gaya Van der Waals antara adsorbat dengan permukaan adsorben. Adsorpsi fisika ikatannya relatif lemah, bersifat reversibel dan dapat membentuk lapisan multilayer. Adsorpsi kimia terjadi karena terbentuk ikatan kovalen atau ion antara adsorbat dengan adsorben. Adsorpsi kimia ikatannya kuat, tidak reversibel dan membentuk lapisan monolayer (Maron dan Lando, 1988). Adsorpsi bisa terjadi pada suhu tetap disebut adsorpsi isotermis. Persamaan matematika pertama untuk kondisi isotermis diberikan oleh Freundlich dan Küster, dapat dilihat pada persamaan berikut ini,
𝑥𝑥𝑚𝑚
= 𝑘𝑘𝑘𝑘1𝑛𝑛 (1)
Model adsorpsi isotermis yang paling sederhana untuk adsorpsi monolayer adalah model Langmuir. Model Langmuir pertama kali dikembangkan untuk menunjukkan adsorpsi kimia. Persamaan umum yang digunakan pada model Langmuir adalah sebagai berikut (Yang, 1987),
𝜃𝜃 = 𝑛𝑛𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑛𝑛𝑚𝑚𝑚𝑚𝑘𝑘𝑔𝑔
= 𝑔𝑔𝑘𝑘1+𝑔𝑔𝑘𝑘
(2)
𝑛𝑛𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔 = 𝑛𝑛𝑚𝑚𝑚𝑚𝑘𝑘𝑔𝑔 𝑔𝑔𝑘𝑘1+𝑔𝑔𝑘𝑘
(3)
Pada tekanan rendah, persamaan 3 dapat disederhanakan menjadi bentuk linier mengikuti hukum Henry’s sebagai berikut,
𝜃𝜃 = 𝑔𝑔𝑘𝑘 (4) Proses adsorpsi fluida terjadi pada permukaan
adsorben. Zeolit dan oksida logam merupakan adsorben yang potensial untuk mengadsorpsi karbon monoksida. Pemanfaatan zeolit sebagai adsorben sudah banyak digunakan pada industri, pertanian, dan lingkungan. Tabel 1 menunjukkan selektivitas adsorbat terhadap beberapa jenis zeolit.
Dari Tabel 1 terlihat bahwa zeolit jenis mordenite dan clinoptilolite dapat digunakan untuk mengadsorpsi karbon monoksida. Jenis zeolit alam Indonesia umumnya jenis mordenite dan clinoptilolite (Trisunaryanti dkk., 2005).
Kemampuan zeolit mengadsorpsi karbon monoksida sangat bergantung pada rasio Si/Al. Rasio Si/Al rendah, zeolit bersifat hydrophilic mempunyai afinitas tinggi terhadap air dan senyawa polar lainnya. Sebaliknya jika rasio Si/Al tinggi, maka zeolit bersifat hydrophobic dan mengadsorpsi senyawa non-polar. Kepolaran karbon monoksida relatif kecil dibandingkan uap air. Agar zeolit efektif mengadsorpsi karbon monoksida dibandingkan uap air, zeolit harus bersifat hydrophobic. Transisi dari sifat hydrophilic menjadi hydrophobic pada rasio Si/Al antara 8 hingga 10.
Penelitian adsorpsi karbon monoksida belum banyak dilakukan. German dan Moshe (2008) meneliti secara teori kinetika adsopsi dan desorpsi CO pada bidang (111) logam transisi ruthenium, iridium, palladium, rhodium, dan platinum. Pada dasarnya penelitian ini melihat fungsi logam sebagai katalis. Hasilnya menunjukkan bahwa energi adsorpsi CO oleh rhodium dan iridium relatif lebih besar dibandingkan logam yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa logam rhodium dan iridium mempunyai kemampuan mengadsorpsi CO lebih besar dibanding logam lain. Ranjan dkk. (2007) mempelajari efek elektronik adsorpsi kimia CO pada permukaan Pt-Pb. Hasilnya menunjukkan bahwa donasi elektron dari atom Pb ke atom Pt memainkan peran penting dalam membedakan kemisorpsi pada permukaan tersebut. Semakin tinggi energi ikatan permukaan Pt-Pb relatif terhadap permukaan Pt (111), menyebabkan interaksi Pt-adsorbat menjadi lemah.
Tabel 1. Selektivitas Adsorbat terhadap Jenis Zeolit (Ackley dkk., 2003)
Jenis Zeolit Aplikasi Gas Sedikit Diadsorpsi
Gas Banyak Diadsorpsi
Peneliti
Chabazite Prapurifikasi udara Udara (N2 dan O2) CO2 Tomoki (1988) Clinoptilolite Prapurifikiasi udara Udara (N2 dan O2) CO2, CO, NO Tezel (1995) Erionite Separasi udara O2 N2 Honan (1974) Ferrierite Purifikasi gas alam,
batubara, biogas CH4, C2’s, C3’s NH3 Hayhurst
(1978) Mordenite Purifikasi gas H2, He, Ne, Kr, Xe H2O, CO, CO2, CH4 Nishizawa
(1984) Phillipsite Purifikasi gas alam,
batubara, biogas CH4, C2’s, C3’s NH3 Kirov (1992)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Reaktor, Vol. 14 No. 3, April 2013, Hal. 225-233
227
Mulukutla dkk. (2007) menguji oksida dan hiroksida logam Mg, Sr, Ba, Ca, Ti, Zr, Fe, V, Mn, Ni, Cu, Al, Si, Zn, Ag, Mo, Sb, karbonat/bikarbonat logam Na, Al, Mg dan Ca. Asap yang diuji dibuat dari bahan yang dibakar seperti: kertas, minyak diesel, jet mill, dan glikol. TiO2, MgO dan Al2O3 mempunyai kemampuan mengadsorpsi asap lebih baik dibandingkan adsorben yang lain. Yadav dkk. (2007) melakukan penelitian penjerapan asap glikol. Adsorben yang diuji adalah TiO2, MgO, MgO plus, NaHCO3, Ca(OH)2. TiO2 dan MgO mempunyai kemampuan penjerapan asap lebih baik dibandingkan yang lain. Semakin kecil ukuran partikel sampai pada ukuran tertentu semakin baik kinerja oksida logam.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan adsorben yang mempunyai kemampuan mengadsorpsi karbon monoksida. Adsorben dengan kapasitas adsorpsi paling besar akan digunakan untuk mengadsorpsi karbon monoksida dan penjernihan asap. METODE PENELITIAN Bahan
Bahan yang digunakan sebagai adsorben adalah zeolit alam, MgO (Merck), CuO (Merck) dan TiO2 (Merck). Bahan untuk aktifasi zeolit alam adalah HF 2% (Merck), HCl 6 M (Merck), NH4Cl 0,1 M (Merck) dan demineralized water. Adsorbat yang digunakan untuk uji adsorpsi adalah karbon monoksida (99,99%). Uji kebocoran dan volume void menggunakan Helium (99,99%). Aktifasi Zeolit Alam
Aktifasi hanya dilakukan pada zeolit alam, sedangkan adsorben lain langsung dilakukan uji adsorpsi. Aktifasi yang dilakukan adalah merendam zeolit dalam larutan HF 2% selama 10 menit disertai pengadukan menggunakan pengaduk magnetik. Kemudian merendam zeolit dalam larutan HCl 6 M dan diaduk selama 30 menit. Selanjutnya merendam zeolit dalam larutan NH4Cl 0,1 M selama 5 hari dan diaduk tiap 3 jam. Kemudian zeolit dikalsinasi dalam furnace pada suhu 500°C selama 5 jam. Kemudian
zeolit dihaluskan untuk mendapatkan ukuran partikel (37-50) μm. Penghalusan untuk mendapatkan ukuran 400 nm menggunakan alat ball mil, dilakukan di Nanotech Indonesia Inspection & Laboratorium Testing, BPPT Puspitek, Serpong-Tangerang. Karakterisasi
Karakterisasi zeolit alam meliputi penentuan komposisi kimiawi menggunakan XRF (X-Ray Flouressence). Pengukuran luas luas permukaan dilakukan untuk semua adsorben menggunakan metode BET (Autosorb-6 Quantacrome). Uji Adsorpsi Skema alat
Skema alat uji adsorpsi dapat dilihat pada Gambar 1. Sebelum dimasukkan ke sampling cylinder, adsorben dikeringkan di dalam oven pada suhu 1200C selama 1 jam. Uji adsorpsi dimulai dengan memasukkan adsorben seberat 2 gram ke dalam sampling cylinder. Alat dipanaskan pada suhu 50oC untuk menghilangkan kandungan uap air yang masih terdapat dalam adsorben, dibantu dengan pompa vakum. Kemudian dilanjutkan dengan uji kebocoran, menentukan volume kekosongan (volume void) dan adsorpsi CO. Uji kebocoran
Uji kebocoran dilakukan dengan memasukkan helium (He) ke dalam alat adsorpsi sampai tekanan 630 psi, kemudian diamati perubahan tekanan selama 3 jam. Jika tidak ada perubahan tekanan maka proses pengukuran volume void dan uji adsorpsi dapat dilakukan. Volume void
Volume void pada sampling cylinder diperoleh dengan cara mengalirkan helium ke dozing cylinder dicatat temperatur (Ti) dan tekanan (Pi). Jumlah mol He awal (n) pada dozing cylinder dihitung berdasarkan persamaan 5. Kemudian helium dialirkan dari dozing cylinder ke sampling cylinder, dicatat temperatur (Tf) dan tekanan (Pf).
Gambar 1. Skema alat uji adsorpsi
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Pemilihan Adsorben untuk Penjerapan ... (Yuliusman dkk.)
228
Jumlah mol He yang masuk pada sampling cylinder (ni) merupakan pengurangan mol He pada dozing cylinder (persamaan 6). Volume void pada sampling cylinder dapat dihitung dengan persamaan 7. Volume pada persamaan 5, 6 dan 7 sudah termasuk volume pipa penghubung.
𝑛𝑛 =𝑘𝑘𝑔𝑔𝑉𝑉𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑔𝑔𝑛𝑛𝑔𝑔 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑔𝑔𝑛𝑛𝑑𝑑𝑐𝑐𝑐𝑐
𝑍𝑍𝐻𝐻𝑐𝑐 i𝑅𝑅𝑇𝑇𝑔𝑔 (5)
𝑛𝑛𝑔𝑔 = � 𝑘𝑘𝑔𝑔𝑑𝑑𝐻𝐻𝑐𝑐𝑔𝑔 𝑅𝑅𝑇𝑇𝑔𝑔
− 𝑘𝑘𝑓𝑓𝑑𝑑𝐻𝐻𝑐𝑐𝑓𝑓 𝑅𝑅𝑇𝑇𝑓𝑓
� 𝑉𝑉𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑔𝑔𝑛𝑛𝑔𝑔 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑔𝑔𝑛𝑛𝑑𝑑𝑐𝑐𝑐𝑐 (6)
𝑉𝑉𝑣𝑣𝑑𝑑𝑔𝑔𝑑𝑑 = 𝑛𝑛𝑔𝑔𝑑𝑑𝐻𝐻𝑐𝑐 𝑅𝑅𝑇𝑇𝑓𝑓𝑘𝑘𝑔𝑔𝑓𝑓
(7)
Adsorpsi karbon monoksida
Proses adsorpsi dilakukan dengan mengalirkan CO ke dalam dozing cylinder sampai tekanan yang diinginkan, mencatat temperatur (Ti) dan tekanan (Pi) CO di dozing cylinder. Kemudian mengalirkan CO ke sampling cylinder secara bertahap dengan interval tekanan sekitar 50 psi, sampai tekanan pada sampling cylinder sekitar 350 psi. Setiap tahap dicatat temperatur (Tf) dan tekanan (Pf) pada dozing cylinder, tekanan akhir sampling cylinder (Psf) dicatat setelah 30 menit gas masuk sampling cylinder. Jumlah mol CO yang masuk sampling cylinder (sc) dihitung dari pengurangan mol CO pada dozing cylinder (dc) menggunakan persamaan 8.
𝑛𝑛𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑔𝑔𝑚𝑚𝑘𝑘 𝑔𝑔𝑐𝑐 = � 𝑘𝑘𝑔𝑔𝑑𝑑𝐶𝐶𝐶𝐶 ,𝑔𝑔𝑅𝑅𝑇𝑇𝑔𝑔
− 𝑘𝑘𝑓𝑓𝑑𝑑𝐶𝐶𝐶𝐶 ,𝑓𝑓𝑅𝑅𝑇𝑇𝑓𝑓
� 𝑉𝑉𝑑𝑑𝑐𝑐 (8)
Jumlah mol CO yang teradsorpsi oleh adsorben pada sampling cylinder dihitung berdasarkan jumlah mol CO yang masuk sampling cylinder dikurang dengan mol CO yang tidak teradsorpsi (persamaan 10). 𝑛𝑛𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑡𝑡𝑐𝑐𝑐𝑐𝑚𝑚𝑑𝑑𝑔𝑔𝑑𝑑𝑐𝑐𝑡𝑡𝑔𝑔𝑔𝑔 = 𝑛𝑛𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑔𝑔𝑚𝑚𝑘𝑘 𝑔𝑔𝑐𝑐 − 𝑛𝑛𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑡𝑡𝑔𝑔𝑑𝑑𝑚𝑚𝑘𝑘 𝑡𝑡𝑐𝑐𝑐𝑐𝑚𝑚𝑑𝑑𝑡𝑡𝑔𝑔𝑔𝑔 (9)
𝑛𝑛𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑡𝑡𝑐𝑐𝑐𝑐𝑚𝑚𝑑𝑑𝑔𝑔𝑑𝑑𝑐𝑐𝑡𝑡𝑔𝑔𝑔𝑔 = �� 𝑘𝑘𝑔𝑔
𝑑𝑑𝐶𝐶𝐶𝐶 ,𝑔𝑔𝑅𝑅𝑇𝑇𝑔𝑔−
𝑘𝑘𝑓𝑓𝑑𝑑𝐶𝐶𝐶𝐶 ,𝑓𝑓𝑅𝑅𝑇𝑇𝑓𝑓
� 𝑉𝑉𝑑𝑑𝑐𝑐 �
− � 𝑘𝑘𝑓𝑓𝑉𝑉𝑣𝑣𝑑𝑑𝑔𝑔𝑑𝑑𝑑𝑑𝐶𝐶𝐶𝐶 ,𝑓𝑓𝑅𝑅𝑇𝑇𝑓𝑓
�𝑔𝑔𝑐𝑐
(10)
Pengolahan data membuat kurva adsorpsi CO oleh adsorben, dengan cara menghubungkan jumlah mol CO yang teradsorpsi per gram adsorben terhadap tekanan sampling cylinder. Dari jumlah mol yang teradsorpsi dibuat model adsorpsi Langmuir menggunakan persamaan 2. Dengan bantuan program Solver Microsoft Excel, konstanta adsorpsi model Langmuir b dan kapasitas adsorpsi maksimum (nmaks) akan didapat. Nilai b dan nmaks dapat diterima jika nilai % AAD (absolute average deviation) < 10%. %. AAD adalah deviasi rata mutlak dari jumlah mol adsorpsi Gibbs eksperimen (neksp) terhadap jumlah mol adsorpsi Gibbs model (nmodel). HASIL DAN PEMBAHASAN Rasio Si/Al
Pengaruh aktifasi terhadap rasio Si/Al pada zeolit dilihat pada Gambar 2. Perlakuan perendaman zeolit dengan HF 2% tidak menyebabkan perubahan rasio Si/Al. Hal ini dapat terjadi karena larutan HF
2% berfungsi melarutkan oksida pengotor bukan sebagai pelarutan oksida aluminium.
Gambar 2. Pengaruh perlakuan aktifasi terhadap
rasio Si/Al
Proses aktifasi menggunakan larutan HCl 6 M, dapat meningkatkan rasio Si/Al dari 7,52 menjadi 8,51. Larutan HCl 6 M dapat melarutkan oksida aluminium (AlO4)5- dengan membuka pori-pori zeolit menjadi berukuran pori lebih besar sehingga oksida aluminium akan keluar dari struktur zeolit. Proses aktifasi menggunakan larutan NH4Cl 0,1 M terjadi peningkatan rasio Si/Al sangat besar dari 8,51 menjadi 12,81. Hal ini dimungkinkan pada saat proses dealuminasi menggunakan HCl masih banyak oksida aluminium sudah lepas dari struktur Kristal tetapi masih tertinggal dalam pori zeolit. Perendaman dengan NH4Cl selama 5 hari dan diaduk dapat mendorong alumina keluar dari pori zeolit. Proses kalsinasi pada temperatur 500oC terjadi kembali penurunan rasio Si/Al dari 12,81 menjadi 9,43. Proses kalsinasi dapat juga merusak struktur yang bukan kristal (amorf) sehingga rasio Si/Al menurun. Komposisi Unsur Lain
Unsur lain yang terdapat dalam zeolit alam adalah Cl, K, Ca, Ti, Fe, Ni, Zn, Pb dan Sr. Unsur tersebut bersifat pengotor yang dapat menutupi pori sehingga menurunkan kapasitas adsorpsi zeolit. Komposisi unsur tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Secara umum, setiap tahap aktifasi dapat menurunkan unsur pengotor dalam hal ini oksida logam. Tidak semua oksida logam dapat dilarutkan pada proses aktifasi, yang dapat dilarutkan kalium 45%, kalsium 63% dan besi 45%. Perendaman dengan NH4Cl selama 5 hari dan diaduk sangat membantu membersihkan pori zeolit dari pengotor. Pengotor lain yang terdapat pada zeolit alam adalah oksida Ni, Zn dan Pb. Ketiga oksida logam ini dapat langsung terlarut pada proses perendaman dengan larutan HF 2%.
0
5
10
15
7.55 7.52 8.51
12.81
9.43
Ras
io, S
i/Al
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Reaktor, Vol. 14 No. 3, April 2013, Hal. 225-233
229
Tabel 2. Kandungan logam pada zeolit pada berbagai perlakuan aktifasi
Zeolit Persen Berat (%)
Cl K Ca Ti Fe Ni, Zn dan Pb Zeolit alam asli 0 7,113 6,243 0,667 5,522 1,389 Zeolit HF 2% 0 6,413 5,123 0,347 4,235 0 Zeolit HCl 6M 4,208 4,465 3,708 0,323 3,739 0 Zeolit NH4Cl 0 3,89 1,989 0,357 2,809 0 Zeolit kalsinasi 0 3,89 2,332 0,305 3,038 0
Luas Permukaan dan Diameter Rata-Rata Pori
Gambar 3 menunjukkan luas permukaan adsorben yang diuji pada penelitian ini. Dari Gambar 3 terlihat bahwa karbon aktif mempunyai luas permukaan yang paling besar 141 m2/g, MgO 35 m2/g, TiO dan CuO mempunyai luas permukaan sangat kecil, dapat dikatakan tidak berpori. Luas permukaan adsorben oksida logam sangat bervariasi dari 20-600 m2/g (Mulukutla dkk., 2007) dan permukaan karbon aktif bisa mencapai > 3000 m2/g (Yang, 1987). Luas permukaan adsorben sangat dipegaruhi oleh proses pembuatan dan aktifisi. Pada penelitian ini oksida logam yang digunakan tidak melalui aktifasi, sehingga luas permukaannya masih sangat kecil.
Gambar 3. Luas permukaan adsorben
Gambar 3 juga menunjukkan bahwa luas
permukaan zeolit yang telah diaktifasi meningkat dari 46,13 m2/g menjadi 70,95 m2/g. Setiap tahapan aktifasi memungkinkan terjadinya penghilangan pengotor yang terdapat dalam pori zeolit, sehingga dapat meningkatkan luas permukaan. Penambahan larutan NH4Cl pada proses aktifasi dapat melarutkan senyawa pengotor yang masih terdapat dalam zeolit dan membersihkan pengotor pada permukaan zeolit yang terbentuk selama proses dealuminasi. Proses kalsinasi pada temperatur 500oC dapat memperbaiki struktur kristal zeolit, menguapkan molekul air dan senyawa organik yang terikat pada struktur zeolit, sehingga dapat membuka pori dan meningkatkan luas permukaan. Proses aktifasi zeolit alam pada penelitian ini belum meningkatkan luas permukaan secara signifikan. Hal ini dimungkinkan karena tidak semua oksida logam dapat dilarutkan, sehingga dapat dapat menutup pori dan menurunkan luas permukaan.
Proses adsorpsi juga bergantung pada diameter rata-rata pori adsorben. Diameter rata-rata pori adsorben ditunjukkan pada Gambar 4. Pada Gambar 4 terlihat bahwa diameter rata-rata pori adsorben jauh lebih besar dibandingkan dengan diameter CO (3,590oA). Artinya bahwa pori adsorben bisa dilewati oleh CO.
Gambar 4. Diameter rata-rata pori adsorben
Adsorpsi Karbon Monoksida oleh Zeolit Alam
Molekul CO pada permukaan zeolit terikat dengan Al yang berikatan koordinasi-3 dengan atom oksigen. Banyaknya CO yang teradsorpsi pada zeolit direpresentasikan dalam bentuk mol adsorpsi Gibbs (ngibbs). Gambar 5 menunjukkan pengaruh tekanan terhadap jumlah CO teradsorpi oleh zeolit alam yang belum teraktifasi, zeolit alam teraktifasi dan zeolit alam teraktifasi dengan ukuran partikel 400 nm. Semakin tinggi tekanan gas maka semakin banyak CO yang berdifusi masuk ke dalam pori zeolit untuk berinteraksi dengan atom permukaan zeolit, sehingga jumlah CO yang teradsorpsi akan semakin besar. Dengan struktur yang berpori dan sifat permukaannya menyebabkan zeolit alam mampu mengasorpsi gas CO. Pada zeolit alam yang belum terakstifasi, jumlah CO yang teradsorpsi relatif kecil dibandingkan kapasitas adsorpsi CO oleh zeolit alam teraktifasi dan zeolit alam teraktifasi ukuran partikel 400 nm. Hal ini ditunjukkan juga oleh Tabel 3, zeolit alam yang belum diaktifasi mempunyai nilai konstanta adsorpsi model Langmuir nmax dan nilai b paling kecil. Kemampuan adsorpsi yang kecil ini disebabkan zeolit alam yang belum diaktifasi masih banyak pengotor yang menutupi permukaan aktif dan pori sehingga mengurangi luas (Gambar 3).
0306090
120150
46.1370.95
141.2
7.36 2.0235.6
Lua
s per
muk
aan,
m2 /g
020406080
100120
73.14
106.8
77.5
110.988.3
11.4
Dia
met
er p
ori (
o A)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Pemilihan Adsorben untuk Penjerapan ... (Yuliusman dkk.)
230
Gambar 5. Pengaruh tekanan CO terhadap kapasitas adsorpsi zeolit alam
Gambar 5 juga memperlihatkan profil kurva
adsorpsi eksperimen mendekati kurva adsopsi model. Hal ini menunjukkan bahwa data eksperimen dapat diterima, dipertegas oleh nilai deviasi rata-rata yang kecil pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai nmaks dan b zeolit alam Adsorben nmaks
(mmol/g) b % AAD
Zeolit alam 0,09371 0,03613 2,93 Zeolit alam teraktifasi 0,36648 0,00531 4,44 Zeolit alam teraktifasi (400 nm)
0,36310 0,00997 3,75
Kapasitas adsorpsi pada zeolit alam teraktifasi
jauh lebih besar dibandingkan dengan zeolit alam yang belum teraktifasi. Hal ini ditunjukkan oleh konstanta nmax yang dimiliki oleh zeolit alam teraktifasi 4 kali lebih besar dibandingkan zeolit alam tidak teraktifasi. Proses adsorpsi adalah suatu proses penjerapan suatu fasa (gas atau cair) pada permukaan adsorben yang berupa padatan. Hal ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan gaya-gaya molekul pada zat padat, yang cenderung menarik molekul lain yang bersentuhan pada permukaannya. Jumlah berpori dan luas permukaan meningkat dapat menyebabkan ketidakseimbangan gaya-gaya molekul pada adsorben dan meningkatkan kemampuan adsorpsi. Peningkatan kapasitas adsorpsi zeolit alam teraktifasi, dimungkinkan karena meningkatnya luas permukaan. Proses aktifasi dapat membersihkan pengotor, baik pengotor organik maupun mineral, sehingga meningkatkan luas permukaan, maka molekul CO yang teradsorpsi akan semakin meningkat. Luas permukaan zeolit alam teraktifasi meningkat dari 46,13 m2/g menjadi 70,95 m2/g.
Peningkatan kapasitas adsorpsi zeolit alam teraktifasi dapat juga disebabkan karena meningkatnya rasio Si/Al. Rasio Si/Al meningkat maka zeolit lebih bersifat hydrophobic, lebih suka terhadap molekul non polar seperti CO. Sifat hydrophobic zeolit dapat juga meningkat karena terjadi pertukaran kation selama
proses aktifasi. Aktifasi dengan larutan NH4Cl menyebabkan pertukaran kation logam dengan H+. Zeolit dengan kation H+ lebih bersifat hydrophopic dibandingkan kation logam, sehingga dapat meningkatkan adsorpsi terhadap CO. Gambar 5 juga menunjukkan pengaruh ukuran partikel zeolit terhadap kapasitas adsorpsi. Perubahan ukuran partikel zeolit dari (37-50) μm menjadi 400 nm, belum memberikan peningkatan secara signifikan terhadap kapasitas adsorpsi CO. Pengaruh ukuran partikel terhadap kapasitas adsorpsi akan terlihat jika adsorben ditaburkan, karena ada aspek gravitasi. Semakin kecil partikel maka kontak adsorben dan adsorbat akan semakin lama, sehingga kapasitas adsorpsi akan meningkat. Adsorpsi Karbon Monoksida oleh Karbon Aktif, TiO2, CuO dan MgO
Adsorpsi CO oleh carbon aktif, TiO2, CuO dan MgO dapat dilihat pada Gambar 6. Pada Gambar 6 terlihat juga bahwa profil kurva adsorpi eksperimen mendekati kurva adsopsi model dengan nilai %AAD < 5%. Kurva adsorpsi karbon aktif jauh di atas TiO2, CuO dan MgO, dapat dikatakan bahwa karbon aktif mempunyai kapasitas adsorpsi (ngibbs) paling besar. Jika dibandingkan konstanta adsorpsi Langmuir nilai nmax karbon aktif > MgO > TiO2 > CuO. Nilai nmax karbon aktif 10 kali dibandingkan nilai nmax MgO. Jika dibandingkan dengan zeolit alam teraktifasi, nilai nmax karbon aktif 5 kali lebih besar dibandingkan dengan nmax zeolit alam teraktifasi. Nilai nonstanta adsorpsi Langmuir dapat dilihat pada Tabel 4. Kapasitas adsorpsi karbon aktif yang tinggi disebabkan karena karbon aktif mempunyai luas permukaan yang paling besar, yaitu 141,2 m2/g. Sementara itu luas permukaan MgO, TiO2 dan CuO berturut-turut 35,6, 7,36 dan 2,02 m2/g. CO adalah salah satu gas yang bersifat hydrophobic, maka akan lebih mudah diadsorpsi oleh permukaan hydrophobic. Kapasitas adsorpsi karbon aktif dapat juga disebabkan permukaan karbon aktif bersifat hyrophobic.
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0 50 100 150 200 250 300 350
ngi
bs, m
mol
/g
tekanan, psi
Zeolit alamZeolit alam modelZeolit alam teraktifasiZeolit alam teraktifasi modelZeolit alam teraktifasi ukuran 400 nm
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Reaktor, Vol. 14 No. 3, April 2013, Hal. 225-233
231
Gambar 6. Pengaruh tekanan CO terhadap kapasitas adsorpsi karbon aktif dan oksida logam
Tabel 4. Nilai nmaks dan b karbon aktif dan oksida
logam Adsorben nmaks
(mmol/g) b % AAD
Karbon aktif 1,58827 0,00305 1,73 TiO2 0,15451 0,00467 3,04 CuO 0,04269 0,05033 3,24 MgO 0,34968 0,00762 4,39
Pada fenomena adsorpsi CO oleh MgO, jika
dibandingakan luas permukaan MgO setengahnya zeolit alam teraktifasi, tetapi kapasitas adsorpsi hanya sedikit di bawah zeolit alam teraktifasi. Karbon monoksida (CO) teradsorpsi pada permukaan MgO (001) adalah adsorpsi fisika (Xu dkk., 2003). Kemampuan adsorpi MgO sangat bergantung pada struktur MgO dan pengotor. Kerusakan struktur dan pengotor pada MgO dapat mengubah interaksi antara MgO (001) dan CO secara signifikan. Hal ini dapat menurunkan luas permukaan dan menurunkan kemampuan adsorpsi MgO. Proses mempersiapkan permukaan MgO (001) yang bebas kerusakan struktur dan pengotor adalah proses yang sangat sulit.
Luas permukaan MgO pada penelitian ini 35,6 m2/g, sangat kecil dibandingkan dengan peneliti terdahulu 600 m2/g (Mulukutla, 2007). Hal ini menunjukkan adanya struktur yang rusak pada MgO yang digunakan. Fenomena yang sama ditemukan pada adsorben TiO2 dan CuO. Kapasitas adsorpsi kedua adsorben tersebut sangat rendah karena luas permukaan rendah. Hal ini dimungkinkan karena terdapat kerusakan pada struktur dan pengotor. Pemilihan Adsorben
Pemilihan adsorben yang akan digunakan untuk adsorpsi CO dan penjernihan asap pada kasus kebakaran berdasarkan pada kapasitas adsorpsi masing-masing adsorben. Diantara adsorben yang diuji, karbon aktif memiliki kapasitas adsorpsi paling besar, kemudian diikuti zeolit alam teraktifasi. Karena pada kasus kebakaran proses adsorpsi terjadi pada tekanan 1 atm, maka kapasitas adsorpsi dihitung menggunakan model adsorpsi Langmuir dengan memasukan tekanan 1 atm.
Gambar 7. Kapasitas adsorpsi adsorben berdasarkan persamaan model Langmuir dan tekanan atmosfir
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
0 50 100 150 200 250 300
ngi
bbs,
mm
ol/g
tekanan, psi
Karbon aktif Karbon aktif modelTiO2 TiO2 modelCuO CuO modelMgO MgO model
0.000.010.020.030.040.050.060.07
1 2 3 4 5 6 7
0.0047
0.0265
0.0464
0.0681
0.00990.0182
0.0352
n gib
bs, m
mol
/g
4. Karbon aktif5. TiO26. CuO7. MgO
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Pemilihan Adsorben untuk Penjerapan ... (Yuliusman dkk.)
232
Gambar 7 menunjukkan bahwa karbon aktif memiliki kapasitas adsorpsi yang paling besar diikuti oleh zeolit alam teraktifasi 400 nm dan zeolit alam teraktifasi (37-50 μm) dengan kapasitas adsorpsi masing-masing 0,0682, 0,0464, 0,00265 mmol/g sampel. Adsorben yang dipilih untuk adsorpsi CO dan penjernihan asap pada kasus kebakaran adalah karbon aktif dan zeolit alam teraktifasi. KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan dan data yang diperoleh dapat ditarik kesimpulan bahwa preparasi zeolit alam dapat meningkatkan luas permukaan dari 46,13 m2/g menjadi 70,95 m2/g dan meningkatkan perbandingan Si/Al dari 7,55 menjadi 9,43. Luas permukaan berturut-turut karbon aktif, TiO2, CuO dan MgO adalah 141,2 m2/g, 7,36 m2/g, 2,02 m2/g dan 35,6 m2/g. Proses aktifasi zeolit alam dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi zeolit alam tehadap molekul CO pada kondisi atmosfir sebesar 0,0047 mmol/g sampel menjadi 0,0265 mmol/g sampel. Nilai (ngibbs) berturut-turut karbon aktif, zeolit alam 400nm, MgO, zeolit alam teraktifasi, CuO, TiO2 dan zeolit alam tanpa aktifasi adalah 0,0682, 0,0464, 0,0352, 0,0265, 0,0182, 0,0099 dan 0,0047 mmol/g. Karbon aktif dan zeolit alam teraktifasi dipilih karena mempunyai ngibbs yang besar. DAFTAR NOTASI b konstanta adsorpsi Langmuir dc dozing cylinder f keadaan akhir i keadaan awal k konstanta persamaan Freundlich m massa adsorben (g) n mol adsorbat
konstanta empiris pada persamaan Freundlich 𝑛𝑛𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔 mol adsorbat teradsorpsi per satuan massa
adsorben (mol/g) 𝑛𝑛𝑚𝑚𝑚𝑚𝑘𝑘𝑔𝑔 maksimum gas teradsopsi per satuan massa
adsorben (mol/g) P tekanan (psi) R konstanta gas 669,954 (psi cm3)/(mol.˚R) sc sampling cylinder sf keadaan akhir sampling cylinder T temperatur (˚R) V volume silinder (ml) Vvoid volume kekosongan (ml) x mol adsorbat Z kompresibilitas gas θ fraksi luas permukaan yang tertutup oleh
lapisan monolayer DAFTAR PUSTAKA
Ackley, M.W., Rege, S.U., and Himanshu, S., (2003), Application of Natural Zeolites in the purification and Separation of Gases, Microporous and Mesoporous Materials Journal, 61, pp. 25-42.
Galabova, I.M., Sheppard, R.A., and Haralampiev, G.A., (1997), Natural Zeolites, in Kirov, G., Filizova, L., and Petrov, O., (Ed.), Proceedings of the Sofia Zeolite Meeting 95, Pensoft, Sofia, pp. 153-160.
German, E.D. and Moshe, S., (2008), Comparative Theoretical Study of CO Adsorption and Desorption Kinetics on (111) Surfaces of Transition Metals, Phys. Chem. 112, pp. 14377-14384.
Hayhurst, D.T., (1978), The Potential Use of Natural Zeolites for Ammonia Removal During Coal-Gasification, in L.B. Sand, F.A. Mumpton (Ed.), Natural Zeolites: Occurrence, Properties, Use, Pergamon Press, Oxford, pp. 503-508.
Hull, T.R. and Keith, T.P., (2007), Bench-Scale Assessment of Combustion Toxicity - A Critical Analysis of Current Protocols, Fire Safety Journal, 42, pp. 340-365.
Kim, Y.D., Stultz, J., and Goodman, D.W., (2002), Characterization of MgO(100) Thin Film Growth on Mo(100), Surface Science, Elsevier, 506, pp. 228-234.
Maron, S.H. and Lando, J., (1988), Fundamentals of Physical Chemistry, Macmillan Publishing Co. Inc, New York.
Mulukutla, R.S., Paul, S.M., Ronaldo, M., John, S.K., Kennet, J.K., and Olga, K., (2007), Metal Oxide Nanoparticles for Smoke Clearing and Fire Suppression, U.S. Patent No. 7,276,640.
Nishizawa, J., Suzuki, R., and Aizawa, K., (1984), Adsorption by Zeolite Composition, U.S. Patent 4,425,143.
Ranjan, C., Roald, H., Francis, J.D., and Hector, D.A., (2007), Electronic Effects in CO Chemisorption on Pt−Pb Intermetallic Surfaces: A Theoretical Study. J. Phys. Chem., 111 (46), pp. 17357-17369.
Tomoki, I., Okugawa, Y., and Yasuda, M., (1988), Relationship between properties of Various Zeolites and Their Carbon Dioxide Adsorption Behaviors in Pressure Swing Adsorption Operation, Industrial and Engineering Chemistry Research, 27, pp. 1103-1109.
Triebe, R.W. and Tezel, F.H., (1995), Adsorption of Nitrogen, Carbon Monoxide, Carbon Dioxide and Nitric Oxide on Molecular Sieves, Gas Separation Purification, 9, pp. 223-230.
Trisunaryanti, W., Endang, T., dan Sri, S., (2005), Preparasi, Modifikasi dan Karakterisasi Ni-Mo/Zeolit Alam dan Mo-Ni/Zeolit Alam. Jurnal Teknoin, 4, hal. 269-282.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Reaktor, Vol. 14 No. 3, April 2013, Hal. 225-233
233
Tsitsishvili, G.V., Andronikashvili, T.G., Kirov, G.N., and Filizova, L.D., (1992), Natural Zeolites, Chichester, Ellis Horwood, New York.
Wang, W., Zhang, H., Ping, and Wan, Y.T., ( 2007), Experimental Study on CO2/CO of Typical Lining Materials in Full-Sclae Fire Test, Chinese Science Bulletin, 52, pp. 1282-1286.
Xu, Y., Li, J., Yongfan, Z., and Wenkai, C., (2003), CO Adsorption on MgO (001) Surface with Oxygen Vacancy and Its Low-Coordinated Surface Sites: Embedded Cluster Model Density Functional Study
Employing Charge Self-Consistent Technique, Surface Science, 525, pp. 13-23.
Yadav, R., Maghirang, R.G., Erickson, L.E., Kakumanu, B., and Castro, S.G., (2008), Laboratory Evaluation of the Effectiveness of Nanostructured and Conventional Particles in Clearing Smoke in Enclosed Spaces, Fire Safety Journal, 43, pp. 36-41.
Yang, T.R., (1987), Gas Separation by Adsorption Processes, Series on Chemical Engineering, Imperrial College Press, London, 1, pp. 9-39.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
International Journal of Technology (2015) 3: 385-396 ISSN 2086-9614 © IJTech 2015
SMOKE CLEARING METHOD USING ACTIVATED CARBON AND
NATURAL ZEOLITE
Yuliusman1, Widodo Wahyu Purwanto
1*, Yulianto Sulistyo Nugroho
2
1 Department of Chemical Engineering, Faculty of Engineering, Universitas Indonesia, Kampus
Baru UI Depok, Depok 16424, Indonesia 2 Department of Mechanical Engineering, Faculty of Engineering, Universitas Indonesia, Kampus
Baru UI Depok, Depok 16424, Indonesia
(Received: May 2015 / Revised: June 2015 / Accepted: July 2015)
ABSTRACT
The purpose of this research is to study the effectiveness of smoke clearing with adsorbents
measured in situ using the photoelectric type smoke detection system. The influence of the type,
size and the mass of the adsorbents was evaluated against the smoke clearing process.
Adsorbent types studied were commercial activated carbon, ZnCl2-activated carbon, and
activated natural zeolite, with the size of 0.61.0 μm, 1.0 to 2.0 μm, 53106 μm, and 106212
μm, and the mass of 1, 3, and 5g. The smoke was generated by burning tissue paper using an
electrical soldering apparatus. The adsorbent was dispersed using a pressurized nitrogen system.
The results showed that in comparison with no adsorbent, the activated carbon and natural
zeolite were more effective for clearing the smoke. The order of clearing effectiveness was best
achieved by commercial activated carbon, ZnCl2-activated carbon and activated natural zeolite,
respectively. Particle size of 53 micron provided the most effective performance. The more
mass of adsorbent dispersed, the faster the clearing process. Clearing process at the top of the
column was faster than that at the bottom. The best t10 value obtained for the top, middle and
bottom column were 4, 4.6, and 7.7 minutes, respectively. In addition, the average adsorption of
carbon monoxide was less than 15%.
Keywords: Activated carbon; Natural zeolite; Photoelectric; Smoke clearing
1. INTRODUCTION
Fire is a phenomena of burning material either solid, liquid or gas on a large scale that is
accompanied by the formation of smoke and spread of uncontrolled flame. Dense smoke
concentration (cloud) is very dangerous because of toxic characteristics and it hinders visibility.
Cloud formation occurs due to the moisture, tar and soot (carbon) content. Whereas the toxicity
effect comes from the carbon monoxide (CO) fraction of the smoke.
According to Hull (2007), exposure to 1600 ppm of carbon monoxide for 20 minutes can cause
headaches, rapid heart beat, dizziness and nausea, and being exposed for 2 hours can cause
death. While exposure to 3200 ppm of carbon monoxide for 510 minutes can cause headaches,
dizziness, and nausea, and the exposure for 30 minutes can cause death. The death rate in cases of
fire due to smoke exposure reaches 80%. The thick and toxic fire smoke is also very dangerous
for firefighters during the fire event. Therefore, smoke clearing attempts are crucial in order to
make an evacuation process easier and faster. Thus, it can reduce the concentration of carbon * Corresponding author’s email: [email protected], Tel. +62-21-7863516 Fax. +62-21-7863515 Permalink/DOI: http://dx.doi.org/10.14716/ijtech.v6i3.1125
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
386 Smoke Clearing Method using Activated Carbon and Natural Zeolite
monoxide, so as to reduce the risk of death in case of fire.
The smoke clearing can be done by coagulation of smoke particles, electrostatic charges, sound
waves, condensation by a hygroscopic substance, and smoke dilution with air mixture (Yadav,
et al., 2008). The most recent research in smoke clearing utilizes relatively high surface area
nanocrystalline particles for reducing the levels of various compounds and materials produced
by fires and for suppression of the fire itself. A quantity of nanocrystalline particles are
dispersed into the smoke affected area for adsorbing at least a portion of the smoke, particularly
the carbonaceous smoke particulates which tend to obscure visibility. Metal oxides and metal
hydroxides of Mg, Sr, Ba, Ca, Ti, Zr, Fe, V, Mn, Ni, Cu, Al, Si, Zn, Ag, Mo, Sb, and mixtures
thereof are the most preferable nanocrystalline materials (Mulukutla et al., 2007). Yadav et al.
(2008) examined the influence of nano crystalline adsorbent on the glycol smoke clearing and
compare it with clearing without adsorbent. They used five types of nanostructured particles
(NanoActive TiO2, NanoActive MgO, NanoActive MgO plus, NanoActive Al2O3, NanoActive
Al2O3 plus) and five conventional powders (NaHCO3, CaCO3, Ca(OH)2, MgO, TiO2). The
result showed that spraying particles into the smoke-filled chamber enhanced the rate of smoke
dissipation or clearing and improved visibility in the chamber and nanostructured material. (i.e.,
NanoActive MgO plus) was the best smoke-clearing agent. Maghirang and Razote (2009)
investigated the effectiveness of various particles in clearing smoke in enclosed spaces. Three
types of metal oxide nanostructured particles (NanoActive TiO2, NanoActive MgO, and
NanoActive MgOplus), conventional particles (i.e., calcium hydroxide, sodium bicarbonate), or
water (electrostatically charged or uncharged) were sprayed into an enclosed experimental
chamber filled with combustion smoke. Charged water spray was generated using a
commercially available electrostatic spraying system. The results showed that spraying metal
oxide nanostructured particles or water were effective in clearing smoke and improving
visibility in the chamber, and charged water gave the best result. In this study, the smoke was
created by a smoke generator that was separated from the test chamber. Smoke was poured into
the test room using a fan. This can cause collision of smoke particles and condensation of
moisture from the smoke when they are in contact with the wall, thereby affecting the
composition and density of smoke.
Activated carbon and natural zeolite are potential materials for smoke clearing. They both have
the ability to absorb water vapor and carbon monoxide. Yuliusman et al. (2013) examined
several types of adsorbents to decrease the toxicity level. Adsorbent materials used were natural
zeolites, activated carbon, TiO2, CuO, MgO. The results showed that the activation of natural
zeolites can increase the Si/Al ratio and surface area. All of the adsorbent used have the ability
to adsorb carbon monoxide. Based on the Langmuir adsorption models, activated carbon and
zeolite have the highest adsorption capacity.
This study aims to examine the smoke clearing in line with the carbon monoxide adsorption
using activated carbon and natural zeolite with in situ photoelectric smoke obscuration
measurements. The influence of the weight and diameter of adsorbent and height of the column
were also investigated.
2. METHODOLOGY
This study consisted of several steps, these are: adsorbent preparation, adsorbent
characterization, and test of smoke clearing and CO adsorption. The smoke was generated by
burning tissue paper inside the test chamber to avoid condensation on the walls.
2.1. Adsornents
Adsorbents used were commercially activated carbon “Jacobi” (ACcom), carbon activated by
ZnCl2 (ACZnCl2), and natural zeolite (NZ) which was synthesized by HCl and NH4Cl solutions
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Purwanto et al. 387
(Yuliusman et al., 2013). Adsorbent grinding for size of 106 and 53 microns was conducted
manually while for nano-sized adsorbent was conducted using a planetary ball mill Type n4
(Noah™). There were three sets of experiments, namely smoke clearing without adsorbent
which was carried out by only flowing N2 gas (Non Adsorbent = NA); smoke clearing with
adsorbent (ACcom, ACZnCl2, NZ); and smokeless adsorption (baseline). Smoke clearing
without adsorbent was conducted as a comparison of the effectiveness of smoke clearing by
adsorbent. Adsorbent size was varied; 0.61.0 μm, 1.0 to 2.0 μm, 53106 μm, and 106212
μm. While adsorbent mass was varied; 1, 3 and 5g. Table 1 lists the variation of the adsorbent
type used in the experiment.
Tabel 1 Variation of the adsorbent type, diameter, and mass
Adsorbent type Diameter (µm) Mass (g) Notation
Commercial activated
carbon
0.6-1.0 1, 3, 5 ACcom 0.6 1.0-2.0 1, 3, 5 ACcom 1
53-106 1, 3, 5 ACcom 53
106-212 1, 3, 5 ACcom 106
ZnCl2 activated carbon
0.6-1.0 1, 3, 5 AC ZnCl20.6 1.0-2.0 1, 3, 5 AC ZnCl21
53-106 1, 3, 5 AC ZnCl253
106-212 1, 3, 5 AC ZnCl2106
Activated natural
zeolite
0.6-1.0 1, 3, 5 NZ 0.6
1.0-2.0 1, 3, 5 NZ 1
53-106 1, 3, 5 NZ 53
106-212 1, 3, 5 NZ 106
The dispersion of the adsorbent was carried out using a COLO sprayer gun powder coating
equipment Type C-800. Nitrogen with a pressure of 67 psi was used as a carrier gas. Before
being dispersed, the adsorbent was heated in an oven to remove moisture content in the
adsorbent. The adsorbents’ characterization includes compositions and pore morphological
characterization using SEM EFI. Particle size characterization was conducted by Backman
Coulter Particle Size Analyzer type C. Density was measured by a picnometer.
2.2. Smoke Clearing
The experimental chamber was an enclosed box measuring 40 cm 40 cm 120 cm, made of
acrylic material.The chamber was equipped with a photoelectric type smoke detector which was
operated online and a Portable Combustion Gas Analyser Type 400 Brand E Instruments, as
can be seen in Figure 1.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
388 Smoke Clearing Method using Activated Carbon and Natural Zeolite
Figure 1 Schematic diagram of the experimental setup
The smoke detector consisted of a light source (laser), light sensor, a micro controller and a
computer. The light source came from the laser pointer beam with a voltage of 5 volts. The light
sensor used was a photodiode light sensor. This device was also equipped with a serial USART
to be used to transfer data from sensor readings into the computer. The reading on the smoke
detector was in the term of Intensity (I) which has a value between 01000. A value of 0 means
clear (no smoke), while the value of 1000 means perfect darkness. The smoke detector was
calibrated by using glass with known optical density. Smoke was generated from 6g of tissue
paper that was burned in the chamber. This quantity gave a perfect smoke density with I
readings of approximately 1000, and CO content of 4500 ppm. The amount of adsorbed CO
was calculated based on the difference between the initial concentration of CO and its
concentration after 20 minutes, expressed by Equation 1.
(1)
where CO0 is the initial concentration of CO, CO20 is the concentration of CO after 20 minutes.
The effectiveness of the adsorbent in the smoke clearing is represented by the value of the t10
ratio. The ratio is the time required to be able to reach the opacity ten times clearer than the
initial conditions (minutes of zero). The ratio is obtained by comparing t10 value of the smoke
clearing with and without adsorbent.
3. RESULTS AND DISCUSSION
3.1. Characteristics of the Adsorbent
Results of the surface area characterization by BET showed that ACcom has the largest surface
area, as shown in Table 2.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Keterangan gambar:
1,2,3 Laser
4,5,6 Sensor
7. Humidity meter
8. Flue gas analyzer
9. adsorben dispersion
10. micro controller and K 125R
11. Personal computer
Legend:
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Purwanto et al. 389
Table 2 Surface area of adsorbent
Adsorbent BET surface area, m2/g Density kg/L
ACcom 1,201 0.767
ACZnCl2 167.0 0.833
NZ 83.1 1.883
NZ without activation 45.4 1.985
(a) (b) (c)
Figure 2 SEM images with magnification of 10,000 of: a) ACZnCl2; b) NZ; c) NZ without activation
Figure 2 shows SEM images of the adsorbent. The synthesized version of activated carbon
using ZnCl2 followed by physical activation was able to generate porous activated carbon.
While chemical and physical activation of zeolite was able to clean and open the pores.
However, the opening of the pores was not satisfactory. This is consistent with the results of the
BET characterization shown in Table 2.
3.2. Effect of Particle Size to Smoke Clearing
Smoke clearing occurs due to contact of the adsorbent particles to smoke particles. Once this
happens, the particles will be moving downwards, then the concentration of smoke will be
reduced and the room becomes clearer. Dispersing of adsorbent with pressurized nitrogen can
lead to collisions among the molecules of smoke to form larger particles. Larger smoke
particles have a greater mass, will move downward faster, and will accelerate the clearing
process.
The influence of ACcom particle size to the smoke clearing process is shown in Figure 3. The
smoke clearing is more effective with the ACcom reduced particle size. The smaller the ACcom
particle size the greater the Accom surface area that will provide more spaces to collide with
smoke particles. In addition, smaller adsorbent particles have longer residence time than large
particles. These particles make the clearing process becomes faster. However, a very small
particle can lead to a less effective clearing process. This can be explained as follows. First, a
very small particle is very buoyant, has a small terminal velocity or long residence time. Once
dispersed, it will move down very slowly although it has contacted with the smoke particle.
After the collison, the particle is floating in the chamber so that the clearing of smoke becomes
slower. According to Mulukutla (2007), if the settling velocity of the particle is too low, the
particle may tend to remain suspended in the air and actually contributes to obscuration of the
chamber. Second, very small particles can cause agglomeration. Agglomeration is a
phenomenon of the fusion of some very small particles into larger clumps. This agglomeration
can reduce the contact surface area and the residence time. This agglomeration leads to less
effective dispersion. Agglomeration occurs on particle sizes ranging from 1 μm to 0.6 μm, thus
the smoke clearing was less effective than that with a particle size of 53 μm.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
390 Smoke Clearing Method using Activated Carbon and Natural Zeolite
Figure 3 The influence of ACcom particle size to the smoke clearing process: a) Top; b) Middle;
c) Bottom
The smoke clearing was most effective at ACcom particle of 53 μm. Smoke clearing with
ACcom particles larger than 53 μm is less effective. This may occur because of the larger
particles have smaller surface area, heavier mass, larger terminal velocity and smaller residence
time. Shorter residence time reduces contact with smoke particles, so that the clearing process
becomes less effective.
(b)
(c)
(a)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Purwanto et al. 391
The effectiveness of the smoke clearing can also be evaluated by the t10 value. The smaller the
t10 value, the more effective the smoke clearing process. The influence of particle size and
height of the column to ACcom t10 values are shown in Figure 4a. An Accom particle with a
particle size of 53 μm have a smaller t10 value than the other ACcom particle sizes. The same
phenomenon occurs with ACZnCl2 and NZ (Figures 4b and 4c).
Top Midle Bottom0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Time t
o rea
ch 10
% tr
ansm
ission
, t 10
Laser Position
ACcom 106 ACcom 53 ACcom 1 ACcom 0.6 NA
Top Midle Bottom0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Time t
o rea
ch 10
% tr
ansm
ission
, t 10
Laser Position
ACZnCl2 106 ACZnCl2 53 ACZnCl2 1 ACZnCl2 0.6 NA
Top Midle Bottom0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Time t
o rea
ch 10
% tr
ansm
ission
, t 10
Laser Position
NZ 106 NZ 53 NZ 1 NZ 0.6 NA
Figure 4 The influence of particle size to 10% clearing time (t10): a) Accom; b) ACZnCl2; c) NZ
3.3. Effect of Elevation on the Smoke Clearing The smoke that was formed from the tissue paper, will naturally move upward to the top of the
column. Up to 10 minutes of burning, the smoke density at the top of the column was relatively
larger, followed by the middle and bottom of the column. Shortly after the ACcom particles
(a)
(b)
(c)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
392 Smoke Clearing Method using Activated Carbon and Natural Zeolite
were dispersed, the concentration of smoke at the top was still larger. After several seconds, the
ACcom particles moved downward and absorbed the smoke particles, thus the smoke clearing
at the top was more effective. The greater the distance from the top, the Accom particle’s ability
to absorb smoke is decline, so the smoke clearing is less effective. The effect of elevation on the
ACcom smoke clearing is shown in Figure 5.
Figure 5 The effect of elevation on the smoke clearing by ACcom
The smoke clearing at the top was faster than of the lower part of the column also due to the
movement of smoke from top to bottom. Dispersing ACcom with pressurized nitrogen can
change the composition, environmental conditions and the nature of the smoke, which makes
the smoke move down. The smoke was concentrated on the bottom, so that the velocity of the
smoke at the bottom was slower than the top. This leads to slower smoke clearing at the bottom.
The t10 values for the ACcom particles of 53 μm at the top, middle and bottom were 4, 5, and 9
minutes, respectively. While the t10 value of the smoke without adsorbent at the top, middle and
bottom were 10.9, 12.8, and 16.5 minutes, respectively.
3.4. The Influence of Adsorbent Mass on Smoke Clearing The influence of the adsorbent mass on the smoke clearing at the top of the column was less
significant than at the bottom of the column. When 1g of ACcom was dispersed, almost all of
the particles reached the top and middle of the experimental chamber, then they moved
downward. Most smoke clearing occurred at the top. The particles’ ability to clear smoke
diminished with the larger distance downward. The same thing happened to the ACcom mass of
3g. Meanwhile, when 5g of ACcom was dispersed, the ACcom particles were dispersed more
evenly and filled more space of the chamber, either at the top, middle, and bottom. Thus, the
clearing process at the top, middle and bottom of the chamber is more effective than that of the
mass of 1 and 3g. The value of t10 for each ACcom mass is presented in Figure 6.
The more adsorbent mass dispersed, the more contact of activated carbon with the smoke
particles, the faster the smoke clearing. Figure 7 shows the influence of the adsorbent mass to
the smoke clearing process. The adsorbent mass of 5g is the most effective mass to clear the
smoke.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Purwanto et al. 393
Figure 6 The influence of adsorbent mass to smoke clearing: a) Top; b) Middle; c) Bottom
3.5. The Influence of Adsorbent Type on Smoke Clearing
The smoke clearing phenomenon by ACZnCl2 and NZ and their resemblance to ACcom, where
the size of 53 μm and mass of 5g gives the best result. All types of adsorbent have the ability to
clear the smoke compared to smoke without adsorbent (NA). Smoke clearing by ACcom is
relatively more effective than that of ACZnCl2 and NZ. These results are consistent with
previous studies showing that the active carbon and natural zeolite have the ability to absorb
moisture and have a relatively higher Langmuir adsorption constants for CO gas (Yuliusman et
al., 2013). Activated carbon has the ability to absorb water and has greater Langmuir constants
than natural zeolite.
(a)
(b)
(c)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
394 Smoke Clearing Method using Activated Carbon and Natural Zeolite
Top Midle Bottom0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Time t
o rea
ch 10
% tr
ansm
ission
, t 10
Laser Position
ACcom 53 1 g ACcom 53 3 g ACcom 53 5 g NA
Top Midle Bottom0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Time t
o rea
ch 10
% tr
ansm
ission
, t 10
Laser Position
ACZnCl2 1g ACZnCl2 3g ACZnCl2 5g NA
Top Midle Bottom0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Time t
o rea
ch 10
% tr
ansm
ission
, t 10
Laser Position
NZ 1g NZ 3g NZ 5g NA
Figure 7 The influence of adsorbent mass to 10% clearing time (t10): a) Accom; b) ACZnCl2; c) NZ
ACcom has a smaller density than ACZnCl2 and NZ. With a lighter mass of particles, when
dispersed to the chamber, ACcom have a longer contact time with smoke particles so that the
smoke clearing is more effective. In addition, for the same adsorbent mass, ACcom has more
particles, thereby increasing the surface area in contact with smoke particles. The effect of
density and contact surface area on the effectiveness of smoke clearing is clearly noticeable at
the bottom of the column. The density ACcom, AC ZnCl2 and NZ is 0.767, 0.833, and 1.883
kg/L, respectively.
The values of t10 for each adsorbent is presented in Figure 8. This result indicates that
commercially activated carbon (ACcom) has a smaller t10 value, which means it is more
(a)
(b)
(c)
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Purwanto et al. 395
effective in clearing the smoke compared to other adsorbents. The best t10 value of ACcom for
the top, middle and bottom are 4, 4.6, and 7.7 minutes respectively.
Top Midle Bottom0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Time t
o rea
ch 10
% tr
ansm
ission
, t 10
Laser Position
ACCom AcZnCl2 NZ NA
Figure 8 The influence of adsorbent type to 10% clearing time(t10)
3.6. Effect of Adsorbent Type on the Absorption of CO
Influence of the types and mass of the adsorbent on the absorption of CO is shown in Figure 9.
ACcom has a better ability to adsorb CO than ACZnCl2 and NZ. This result is consistent with
previous studies. Pure CO adsorption tests with activated carbon and natural zeolite showed that
activated carbon has a higher Langmuir adsorption constant than natural zeolite (Yuliusman et
al., 2013). The higher ability of activated carbon is due to the larger contact surface area and
lesser density than natural zeolite, as can be seen in Table 2.
ACcom ACZnCl2 NZ0
20
40
60
80
100
120
Adso
rbed C
O, g
Adsorbent
1 g 3 g 5 g
Figure 9 The effect of type and mass of adsorbent on the absorption of CO
4. CONCLUSION
These experiments showed that the process of smoke clearing was more effective with adsobent
than without adsorbent. The ability to clear smoke increased with increasing surface area and
decreasing density of the adsorbent; from all the adsorbents used, a particle size of 53 μm
showed the highest effectiveness to clear the smoke. The top of column was cleared faster than
the middle and the bottom. The effect of adsorbent mass was clearly noticeable at the bottom of
the column and the order of the smoke clearing ability was ACcom > ACZnCl2 > NZ. The best
t10 value of ACcom for the top, middle and bottom were 4, 4.6, and 7.7 minutes respectively.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
396 Smoke Clearing Method using Activated Carbon and Natural Zeolite
All types of adsorbent are capable of absorbing carbon monoxide. ACcom has the best
effectiveness to adsorb CO.
5. REFERENCES
Ackley, M.W., Rege, S.U., Himanshu, S., 2003. Application of Natural Zeolites in the
Purification and Separation of Gases. Microporous and Mesoporous Materials, Volume 61,
pp. 2542
Azizi, K., Hashemianzadeh, S.M., Bahramifar, Sh., 2015. Adsorption of Carbon Monoxide,
Carbon Dioxide and Methane on Outside of the Armchair Single-walled Carbon
Nanotubes. Current Applied Physics, Volume 7, pp. 776782
German, E.D., Moshe, S., 2008. Comparative Theoretical Study of CO Adsorption and
Desorption Kinetics on (111) Surfaces of Transition Metals. The Journal of Physical
Chemistry, Volume 112, pp. 14377–14384
Hagen, Bjarne C., Frette, V., Kleppe, G., Arntzen, B.J., 2015. Transition from Smoldering to
Flaming Fire in Short Cotton Samples with Asymmetrical Boundary Conditions. Fire
Safety Journal, Volume 71, pp. 6978
Hull, T.R., Keith, T.P., 2007. Bench-scale Assessment of Combustion Toxicity A Critical
Analysis of Current Protocols. Fire Safety Journal, Volume 42(5), pp. 340365
Maghirang, R.G., Razote, E.B., 2009. Smoke Dissipation by Solid Particles and Charged Water
Spray in Enclosed Spaces. Fire Safety Journal, Volume 44, pp. 668–671
Mulukutla, R.S., Paul, S.M., Ronaldo, M., John, S.K., Kennet, J.K., Olga, K, 2007. Metal
Oxide Nanoparticles for Smoke Clearing and Fire Suppression, U.S. Patent No. 7,276,640
Wang, W., Zhang, H., Ping, Wan, Y.T., 2007. Experimental Study on CO2/CO of Typical
Lining Materials in Full-Scale Fire Test. Chinese Science Bulletin, Volume 52(9), pp.
12821286
Yadav, R., Maghirang, R.G., Erickson, L.E., Kakumanu, B., Castro, S.G., 2008. Laboratory
Evaluation of the Effectiveness of Nanostructured and Conventional Particles in Clearing
Smoke in Enclosed Spaces. Fire Safety Journal, Volume 43, pp. 3641
Yuliusman, Purwanto, W.W., Nugroho, Y.S., 2013. Selection of the Adsorbent for Carbon
Monoxide Adsorption using Adsorption Isotherm Model of Langmuir. Reactor, Volume
14(3), pp. 225233
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.