PERUBAHAN KARAKTER ISOTOP 2H DAN 18O AIR...
Transcript of PERUBAHAN KARAKTER ISOTOP 2H DAN 18O AIR...
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir
PTNBR – BATAN Bandung, 04 Juli 2013
Tema : Pemanfaatan Sains dan Teknologi Nuklir Serta
Peranan MIPA di Bidang Kesehatan, Lingkungan dan
Industri untuk Pembangunan Berkelanjutan
61
PERUBAHAN KARAKTER ISOTOP 2H DAN 18O AIR TANAH
PADA AKUIFER DANGKAL DI CAT BANDUNG-SOREANG
Bambang Sunarwan1, Dasapta Erwin Irawan2, Deny Juanda Puradimaja2, Sudarto
Notosiswoyo3
1Program S3 Teknik Geologi, Fak. Ilmu dan Teknologi Kebumian, ITB
2Kelompok Keahlian Geologi Terapan, Fak. Ilmu dan Teknologi Kebumian, ITB
3Kelompok Keahlian Eksplorasi Sumber Daya Bumi, Fak. Teknik Pertambangan dan Perminyakan, ITB
ABSTRAK
PERUBAHAN KARAKTER ISOTOP 2H DAN 18O AIR TANAH PADA AKUIFER DANGKAL
DI CAT BANDUNG-SOREANG. Kondisi air tanah di wilayah CAT Bandung-Soreang telah
mengalami degradasi pesat. Penurunan muka air tanah secara ekstrim telah terjadi diikuti dengan
perubahan tata aliran air tanah secara keseluruhan. Dampaknya terjadi perubahan respon akuifer
terhadap imbuhan dari hujan yang melimpah. Penelitian ini merupakan bagian dari riset disertasi yang
menganalisis kondisi hidrokimia dan isotop stabil dalam air tanah di Cekungan Air Tanah Bandung
Soreang (CAT-BS). Makalah ini bertujuan untuk mempelajari perilaku air tanah dalam akuifer dangkal
berdasarkan perubahan komposisi isotop stabil (δ2H dan δ18O). Data-data diambil pada periode musim
kemarau bulan Juni - Agustus tahun 1997, 2007, 2008, 2009, dan 2011. Korelasi antara kedua isotop
tersebut pada dasarnya mengikuti Global Meteoric Water Line (GMWL) namun mengalami perubahan
gradien garis meteorik lokalnya. Gradien pada tahun 1997 yang lebih terjal berubah melandai pada
tahun 2007 dan 2008. Pergeseran berbalik arah di tahun 2009 menjadi lebih terjal dan kemudian
kembali melandai pada tahun 2011. Pergeseran gradien garis ini mengindikasikan perubahan karakter
air tanah. Air akan menjadi berat sejalan dengan perubahan gradien ke arah landai, dan menjadi
ringan pada gradien terjal. Air menjadi lebih berat karena adanya proses evaporasi yang berlebihan,
akibat pengaruh musim dan penurunan muka air tanah secara besar-besaran. Sebaliknya air menjadi
lebih ringan sebagai dampak penambahan volume air tanah dari imbuhan buatan. Imbuhan ini berasal
dari pembangunan sumur imbuhan secara masal mulai tahun 2003.
Kata kunci: δ2H, δ18O, akuifer dangkal, CAT Bandung-Soreang
ABSTRACT
THE SHIFTING OF δ2H DAN δ18O ISOTOPES OF SHALLOW GROUNDWATER IN
BANDUNG-SOREANG GWB. The groundwater condition in Bandung-Soreang Groundwater Basin
(BS-GwB) has vastly degraded. The extreme lowering of groundwater level has occured and has been
followed by change of overall groundwater setting. One of the impact is the aquifer’s response to
infiltration from abundant rainfall lately. This research is part of a dissertation discussing
hydrochemistry and stable isotope of groundwater in BS-GwB. The objective of this paper is to study
groundwater’s behaviour in shallow aquifer (up to 30 m depth) based on the change of stable isotopes
(δ2H dan δ18O) composition. The data were taken in dry season of June to August 1997, 2007, 2008,
2009, and 2011. Both isotopes follow the basic Global Meteoric Water Line (GMWL) but with shifting
of local meteoric water line. Gradient in 1997 was steep then turned to easy slope in 2007 dan 2008.
The shift change direction toward steeper slope in 2009 then went back to easier slope in 2011. This
shifts indicate change of groundwater’s character. The water gets heavier towards small gradient slope,
and gets lighter towards steep slope. The heavy water occured due to excessive evaporation due to long
dry season and also intensive decrising of water level. On the other hand, the light water was due to
leaching process from additional water from artificial recharge water. The recharge water came from
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir
PTNBR – BATAN Bandung, 04 Juli 2013
Tema : Pemanfaatan Sains dan Teknologi Nuklir Serta
Peranan MIPA di Bidang Kesehatan, Lingkungan dan
Industri untuk Pembangunan Berkelanjutan
62
many recharge wells that have been built since 2003.
Key words: δ2H, δ18O, shallow aquifer, Bandung-Soreang GwB
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kondisi air tanah di wilayah CAT Bandung-
Soreang telah mengalami degradasi pesat.
Penurunan muka air tanah secara ekstrim telah
terjadi diikuti dengan perubahan tata aliran air
tanah secara keseluruhan. Dampaknya terjadi
perubahan respon akuifer terhadap imbuhan dari
hujan yang melimpah. Penelitian ini merupakan
bagian dari riset disertasi yang menganalisis
kondisi hidrokimia dan isotop stabil dalam air
tanah di Cekungan Air Tanah Bandung Soreang
(CAT-BS). Makalah ini bertujuan untuk
mencoba mempelajari perilaku korelasi antara
komposisi isotop stabil (δ2H dan δ18O) dari
tahun ke tahun, dengan dikaitkan dengan
beberapa analisis lainnya. Peta lokasi penelitian
dapat dilihat pada Gambar 1 hingga Gambar 6
pada halaman berikut.
Beberapa peneliti terdahulu yang
melakukan studi di daerah sekitar lokasi
penelitian antara lain adalah sebagai berikut:
1. Sudjatmiko (1972) menyusun peta geologi
Lembar Bandung, skala 1: 100.000.
2. Silitonga (1973) menyusun peta geologi
Lembar Bandung, skala 1 : 100.000.
3. Sutrisno (1983) menyusun peta hidrogeologi
Lembar Bandung, skala 1 : 250.000.
4. Koesoemadinata dan Hartono (1981)
meneliti tentang Stratigrafi dan
Sedimentasi Daerah Bandung.
5. Priowirjanto (1985) meneliti mengenai
pemodelan matematik aliran airtanah
cekungan Bandung Bagian Barat.
6. Geyh (1991) meneliti isotop 180, Deuterium, 13C, Tritium dan 14C daerah Bandung secara
umum.
Berdasarkan kondisi hidrogeologi umum
(Sutrisno, 1983) dan hasil pengamatan
lapangan, sistim akifer daerah penelitian dibagi
sebagai berikut :
1. Sistim akifer ruang antar butir, berupa
akifer yang secara dominan dibentuk oleh
litologi dari Formasi Kosambi (Q1) dan
Formasi Cibeureum (Qyd).
2. Sistim akifer ruang antar butir dan
rekahan/celah, terdiri atas akifer yang
secara dominan dibentuk oleh litologi dari
Formasi Cikapundung (Qvt) dan Formasi
Cikidang (Qvu).
3. Sistim akifer rekahan/celah dijumpai pada
akifer yang terdiri atas Batugamping
berumur Tersier, yang termasuk ke
dalam Formasi Rajamandala.
Dalam penelitian ini tipologi akifer daerah
penelitian dibagi atas dasar kerangka geologi
dan parameter hidrogeologi yang diukur pada
saat penelitian.
Berdasarkan atas hasil sebaran batuan,
proses dan kejadian serta sifat hidrogeologi
yang dimiliki, ternyata akifer daerah penelitian
dapat dibagi menjadi 5 (lima) unit
hidrogeologi, yaitu:
Unit Hidrogeologi I
Unit Hidrogeologi II
Unit Hidrogeologi III
Unit Hidrogeologi IV
Unit Hidrogeologi V
Penjelasan singkat masing-masing unit
hidrogeologi dapat diikuti pada uraian
berikut, dan secara sederhana digambarkan
pada Tabel 1. Sedangkan sebaran unit
hidrogeologi ini dapat dilihat pada Peta
Sebaran Unit Hidrogeologi Daerah Padalarang,
Cimahi, Lembang - Bandung.
Gambar 1. Peta batasan CAT-BS
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir
PTNBR – BATAN Bandung, 04 Juli 2013
Tema : Pemanfaatan Sains dan Teknologi Nuklir Serta
Peranan MIPA di Bidang Kesehatan, Lingkungan dan
Industri untuk Pembangunan Berkelanjutan
63
Gambar 2. Peta geologi wilayah CAT-BS
(a)
(b)
Gambar 3. Garis penampang dan penampang
geologi A-B wilayah CAT-BS
(a)
(b)
Gambar 4. Garis penampang dan penampang
geologi C-D wilayah CAT-BS
(a)
(b)
Gambar 5. Garis penampang dan penampang
geologi E-F wilayah CAT-BS
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir
PTNBR – BATAN Bandung, 04 Juli 2013
Tema : Pemanfaatan Sains dan Teknologi Nuklir Serta
Peranan MIPA di Bidang Kesehatan, Lingkungan dan
Industri untuk Pembangunan Berkelanjutan
64
(a)
(b)
Gambar 6. Garis penampang dan penampang geologi G-H wilayah CAT-BS
Tabel 1. Resume karakter setiap unit hidrogeologi di CAT-BS
2. TEORI
Kedua jenis isotop ini sangat dipengaruhi
oleh parameter temperatur udara, tekanan,
kelembaban, geografis dan posisi ketinggiannya,
sebagai kesatuan sistem hidrologi. Dengan
demikian ketiga jenis air: air hujan, air
permukaan, dan air tanah akan saling
berinteraksi, yang dicerminkan dengan
komposisi isotop stabilnya. Analisis komposisi
isotop stabil untuk melacak asalmula air tanah
telah banyak dilakukan, antara lain oleh Andrew
et al. (1983), Clark dan Fritz (1997), Sugiharto
(2002), serta Sudaryanto dan Lubis (2011).
Secara lebih spesifik, isotop stabil juga telah
digunakan untuk mengurai sistem hidrogeologi
di CAT-BS, diantaranya oleh Geyh (1990)
Sunarwan (1997) serta Matahelumasi dan
Wahyudin (2009). Komposisi 2H dan 18O
dinyatakan sebagai perbedaan relatif berupa
ratio kandungan pada sampel terhadap Standard
Mean Ocean Water (SMOW) dalam satuan per
mil (‰), diberi notasi δ sebagaimana dalam
persamaan berikut ini:
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir
PTNBR – BATAN Bandung, 04 Juli 2013
Tema : Pemanfaatan Sains dan Teknologi Nuklir Serta
Peranan MIPA di Bidang Kesehatan, Lingkungan dan
Industri untuk Pembangunan Berkelanjutan
65
3. TATAKERJA
Analisis komposisi δ2H dan δ18O diawali
dengan pengambilan sampel dari sumur gali
yang mengambil air tanah dari akuifer dangkal
pada kedalaman dari 0 hingga 30 m. Sampel
diklasifikasikan berdasarkan kedalaman dan
akuifernya masing-masing (lihat tabel di bawah
ini). Sampel air diambil dengan menggunakan
vertical water sampler yang terbuat dari fiber
glass volume 600 ml. Lokasi sumur tersebar di
wilayah CAT-BS seperti diperlihatkan pada
gambar berikut ini.
Pengukuran komposisi kedua isotop ini
dilakukan di Kantor Pusat BATAN di Jakarta.
Kandungan isotop dianalisis dengan memakai
alat spektrometer dengan massa triple kolektor,
model Sira-9, VG-isogas. Analisis 18O
menggunakan metode EPSTEIN dan MAYEDA
atas dasar reaksi pertukaran isotop tersebut pada
kesetimbangan gas CO2-H2O dengan
mereaksikan 2 ml contoh air dengan gas CO2
menggunakan alat Isoprep-18. Analisis 2H
dilakukan dengan mereaksikan 10 contoh air
dengan 0,3 gram Zn (BDH) pada kondisi vakum
dan dipanaskan pada suhu 450oC dalam waktu
45 menit. Gas CO2 dan H2 yang dihasilkan
masing-masing dialirkan ke spektrometer massa.
Metode ini juga digunakan oleh Syafalni dkk
(1996).
Data dari tahun 2011 kemudian
dibandingkan dengan data yang sejenis dari
tahun 1990, 1997, 2007, 2008, dan 2009.
Tabel 2. Ringkasan data isotop yang dianalisis
Tahun Akuifer
Dangkal
Akuifer
Dalam
Jumlah
(buah)
Sumber
Data
1990 x 19 Geyh
1997 31 Sunarwan
2007 x 22 PLHG
2007 x 17 PLHG
2008 x 19 PLHG
2008 x 4 PLHG
2009 x 28 PLHG
2009 x 11 PLHG
2011 x 44 Sunarwan
Gambar 7. Peta titik observasi dan sampling
Sebagaimana telah disampaikan, bahwa
makalah ini menggabungkan data dari tahun
1997 hingga 2011 dari berbagai sumber. Sumber
utamanya adalah dari Laporan Tahunan Pusat
Lingkungan Hidup dan Geologi tahun 2009, dan
hasil pengambilan contoh penulis pada tahun
1997 dan 2011, seperti digambarkan dalam tabel
berikut ini.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Korelasi antara kedua isotop tersebut pada
dasarnya mengikuti GMWL namun mengalami
perubahan gradien garis meteorik lokalnya,
dikenal dengan nama Local Meteoric Water
Line (LMWL) (lihat gambar berikut). Garis
putus-putus adalah GMWL sedangkan garis
penuh adalah LMWL. Gradien pada tahun 1997
yang lebih terjal berubah melandai pada tahun
2007 dan 2008. Pergeseran berbalik arah di
tahun 2009 menjadi lebih terjal dan kemudian
kembali melandai pada tahun 2011. Pergeseran
gradien garis ini mengindikasikan perubahan
karakter air tanah. Air akan menjadi berat
sejalan dengan perubahan gradien ke arah
landai, dan menjadi ringan pada gradien terjal.
Air menjadi lebih berat karena adanya proses
evaporasi yang berlebihan, akibat pengaruh
musim dan penurunan muka air tanah secara
besar-besaran. Sebaliknya air menjadi lebih
ringan sebagai dampak penambahan volume air
tanah dari imbuhan buatan. Imbuhan ini berasal
dari pembangunan sumur imbuhan secara masal
mulai tahun 2003. Secara lebih detail, grafik
antara komposisi 2H dan 18O pada berbagai
tahun digambarkan dalam beberapa gambar
berikut ini.
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir
PTNBR – BATAN Bandung, 04 Juli 2013
Tema : Pemanfaatan Sains dan Teknologi Nuklir Serta
Peranan MIPA di Bidang Kesehatan, Lingkungan dan
Industri untuk Pembangunan Berkelanjutan
66
Gambar 8. Grafik korelasi 2H vs 18O tahun 1997
(Sunarwan, 1997). LMWL (garis biru)
dibandingkan dengan GMWL (garis merah)
Gambar 9. Grafik korelasi 2H vs 18O tahun 2007
(PLHG, 2009). LMWL (garis biru) dibandingkan
dengan GMWL (garis merah)
Gambar 10. Grafik korelasi 2H vs 18O tahun 2008
(PLHG, 2009). LMWL (garis biru) dibandingkan
dengan GMWL (garis merah)
Gambar 11. Grafik korelasi 2H vs 18O tahun 2009
(PLHG, 2009). LMWL (garis biru) dibandingkan
dengan GMWL (garis merah)
Gambar 12. Grafik korelasi 2H vs 18O tahun
2011. LMWL (garis biru) dibandingkan dengan
GMWL (garis merah)
Gambar 13. Resume perubahan garis korelasi
LMWL (garis biru) dibandingkan dengan GMWL
(garis merah)
5. KESIMPULAN
Dari gambar di atas (tahun 1997) terlihat
bahwa kemiringan garis LMWL masih mirip
dengan GWML. Namun sejalan dengan waktu
di tahun 2007 dan 2008, kemiringan garis
LMWL berubah menjadi lebih landai dibanding
GMWL. Kemudian di tahun 2009 kemiringan
garis LMWL berubah mendekati GMWL
kembali, untuk selanjutnya melandai lagi pada
tahun 2011.
Pergeseran gradien garis ini
mengindikasikan perubahan karakter air tanah.
Perubahan ini diduga karena faktor iklim dan
faktor pengambilan air tanah. Faktor iklim
mempengaruhi intensitas penguapan, sedangkan
faktor pengambilan air tanah mempengaruhi
kelembaban tanah atau akuifer. Kedua faktor ini
berubah-ubah sehingga pada akhirnya dapat
mengubah komposisi isotop stabilnya.
6. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada
Badan Geologi atas izin untuk mengolah data
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir
PTNBR – BATAN Bandung, 04 Juli 2013
Tema : Pemanfaatan Sains dan Teknologi Nuklir Serta
Peranan MIPA di Bidang Kesehatan, Lingkungan dan
Industri untuk Pembangunan Berkelanjutan
67
dalam berbagai laporan yang berkaitan dengan
isotop di Cekungan Air Tanah Bandung
Soreang; Saudara Riadi Juhana dan Rifki dari
Universitas Padjadjaran untuk olah grafik dalam
makalah ini serta pengambilan data di lapangan.
7. DAFTAR PUSTAKA
1. ANDREW, J.N., BALDERER, W.,
BATH, A., CLAUSEN, H.B. EVANS,
FLORKOWSKI, T., Environmental
Isotope Studies in Two Aquifer System. In:
Isotope Hydrology, IAEA, (1983).
2. CLARK, I.D. AND FRITZ, P.,
Environmental Isotop in Hydrogeology.
Lewis Publisher, Boca Raton, New York
(1997).
3. GEYH, M.A., Isotopic Hydrological Study
in Bandung Basin, Indonesia, CTA-PU
Project, (1990).
4. KOESOEMADINATA DAN
HARTONO, Sedimentasi dan Stratigrafi
Daerah Bandung, Prosiding PIT IAGI,
(1981).
5. MATAHELUMASI, B. DAN
WAHYUDIN, Penelitian Hidrogeologi
Daerah Imbuhan Air Tanah dengan Metode
Isotop dan Hidrokimia, di Cekungan Air
Tanah Bandung Soreang, Provinsi Jawa
Barat (Tahap II), Pusat Lingkungan Hidup
dan Geologi, Badan Geologi (2009).
6. PRIOWIRJANTO, G. DAN MARSUDI,
1995, Fluktuasi Muka Air Tanah di
Cekungan Bandung, Prosiding Seminar
Sehari Air Tanah Cekungan Bandung,
(1995).
7. SILITONGA, Peta Geologi Lembar
Bandung, (1973).
8. SUDARYANTO DAN LUBIS, R.F., Penentuan Lokasi Imbuhan Airtanah
dengan Pelacak Isotop Stabil 18O dan 2H di
Cekungan Airtanah Dataran Rendah
Semarang, Jawa Tengah, Jurnal Riset
Geologi dan Pertambangan Vol. 21 No. 2,
pp. 121–129, (2011).
9. SUDJATMIKO, Peta Geologi Lembar
Cianjur, Direktorat Geologi Bandung,
(1972).
10. SUGIHARTO, Studi distribusi waktu
tinggal pada proses pencampuran kontinu
dengan model bejana berderet (Risalah
Pertemuan Ilmiah Penelitian dan
Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi,
Jakarta 6-7 November 2001), Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir
Nasional, Jakarta, (2002).
11. SUNARWAN, B., Penerapan Metode
Hidrokimia-Isotop Oksigen (18O),
Deuterium (2H) dan Tritium (eH), dalam
Karakterisasi Akuifer Air Tanah pada
Sistem Akuifer Bahan Volkanik. Studi
Kasus: Kawasan Padalarang-Cimahi,
Bandung, Tesis Magister Program Studi
Teknik Geologi ITB, (1997).
12. SUTRISNO, Peta Hidrogeologi Lembar
Bandung, (1983).
13. SYAFALNI, MANURUNG, S.,
MURSANTO, DJIONO, DAN
HUTABARAT, T., Studi Potensi Mata Air
di Cimelati dengan Metode Hidrologi
Isotop, Jurnal Aplikasi Isotop dan Radiasi,
Badan Tenaga Atom Nasional, pp. 171-175,
(1996).
DISKUSI
Nanny Kartini O
Dalam metode disebutkan bahwa air 300 cc didestilasi menjadi 1 liter, apakah itu pengayaan?
Bambang Sunarwan
Secara teori isotop sangat kecil. Sehingga perlu pengayaan agar dapat diidentifikasi.