PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH...

159

Click here to load reader

Transcript of PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH...

Page 1: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH DAN AL-

GHAZÂLÎ: ANALISIS PERBANDINGAN

Skripsi

Diajukan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar SarjanaAgama (S. Ag)

Oleh:

Ali Khumaeni109033100044

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1439 H./2017 M.

Page 2: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH DAN AL-

GHAZÂLÎ: ANALISIS PERBANDINGAN

SkripsiDiajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan

Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)

Oleh:

Ali Khumaeni

NIM: 109033100044

Di bawah bimbingan:

Dr. Arrazy Hasyim, MA

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAMFAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA1439 H./2017 M.

Page 3: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik
Page 4: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF

IBN MISKAWAYH DAN AL-GHAZÂLÎ: ANALISIS PERBANDINGAN

telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 30 Oktober 2017. Skripsi

ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.

Ag.) pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam.

Jakarta, 30 Oktober 2017

Sidang Munaqasyah;

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Dra. Tien Rohmatin, M.A. Dr. Abdul Hakim Wahid, M.A.NIP: 19680803 199403 2 002 NIP: 19780424 201503 1 001

Anggota;

Penguji 1, Penguji 2,

Hanafi, M.A. Nanang Tahqiq, M.A.NIP: 19691216 199603 1 002 NIP: 19660201 199103 1 001

Pembimbing;

Dr. Arrazy Hasyim, M.A.

Page 5: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

ABSTRAK

Dalam bukunya, Ethical Theories in Islam, Majid Fakhry membagi etika kedalam empat kategori, yaitu etika skriptural, etika teologis, etika religius, dan etikafilosofis. Moralitas skriptural adalah etika yang bersumber dari al-Quran dan Hadis.Etika teologis adalah sistem etika yang tidak hanya mengambil landasan pokoknyadari al-Quran dan Hadis, tetapi juga tidak menolak metode diskursif para filosof.Etika religius merupakan etika yang berakar dari al-Quran, konsep-konsep teologi,kategori-kategori filsafat, dan dalam beberapa hal sufisme. Etika filosofis adalah etikayang berasal dari karya-karya etika Plato dan Aristoteles yang telah diinterpretasioleh para penulis Neo-Platonis.

Sebagai cabang ilmu filsafat praktis, etika filosofis tidak bisa dipisahkan dariperkembangan filsafat itu sendiri. Ibn Miskawayh sebagai salah satu wakil dari aliranetika ini mempunyai pandangan yang khas. Menurut Ibn Miskawayh, jiwa manusiamemiliki tiga daya, yaitu daya rasional, daya amarah, dan daya syahwat. Dari tigadaya jiwa tersebut muncul empat macam keutamaan: ḥikmah, ‘iffah, syajâʻah dan‘adl. Selain dua tema di atas, Ibn Miskawayh juga membahas tema lainnya yangberkaitan dengan etika. Nampaknya, ketokohan Ibn Miskawayh sebagai ahli etikajuga mempengaruhi tokoh sesudahnya, seperti Raghib al-Isfahânî, Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, dan Nâshir al-Dîn Thûsî, dan tokoh Muslim yang lainnya. Pengaruh IbnMiskawayh terhadap al-Ghazâlî terlihat jelas ketika dalam karyanya, Iḥya’ ‘Ulûm al-Dîn, ia mendefinisikan akhlak tidak jauh berbeda dengan definisi yang diutarakan IbnMiskawayh, dan sangat mungkin yang pertama memengaruhi yang kedua.

Dalam skripsi ini, pandangan kedua tokoh tentang konsep perubahan akhlakdiikat oleh tiga tema besar: daya-daya jiwa, faktor yang memengaruhi akhlak, danmetode merubah akhlak. Pada dasarnya, pembahasan Ibn Miskawayh maupun al-Ghazâlî tentang jiwa memiliki banyak kesamaan. Keduanya memakai indera (luardan dalam) dan akal sebagai alat pemeroleh pengetahuan. Pandangan ini didasarkanpada pendapat para filosof Yunani. Akan tetapi, al-Ghazâlî berbeda dan sekaligusmelampaui Ibn Miskawayh ketika memakai “hati” sebagai “organ” yang memerolehpengetahuan tidak dengan rasional-abstraktif, tetapi dengan intuisionalis-eksperiensial. Dengan demikian Ibn Miskawayh berhenti hanya pada nalar,sedangkan al-Ghazâlî melampaui nalar tetapi tidak menghilangkan manfaatnya samasekali.

Dalam pembahasan tentang akhlak dan faktor yang mempengaruhinya, al-Ghazâlî banyak dipengaruhi oleh Ibn Miskawayh. Mulai dari definisi tentang akhlak,empat hal yang berkaitan dengan definisi akhlak, pembagian keutamaan, sampaifaktor yang memengaruhi akhlak. Akan tetapi, yang menjadi jauh berbeda adalahkarena setiap ide yang al-Ghazâlî ambil dari Ibn Miskawayh dicari legitimasinyamelalui ayat-ayat al-Quran, hadis, maupun atsar. Pada bagian kedua ini porsinya

Page 6: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

adalah yang paling banyak. Oleh karena itu tidak terlalu salah jika dikatakan bahwapenjelasan Ibn Miskawayh bersifat filosofis dan al-Ghazâlî lebih bersifat religius.

Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî sama-sama menggunakan analogi medis untukterapi akhlak. Tetapi, al-Ghazâlî lebih jauh mengaitkannya dalam dunia tasawufdengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik sebagai pasien.Dalam menerapi setiap penyakit Ibn Miskawayh lebih menekankan aspek teoretisdaripada praktis, dan al-Ghazâlî memakai keduanya, karena menurutnya untukbeberapa penyakit harus dipakai keduanya, tidak hanya teoretis saja.

Terakhir, sebagai sebuah teori klasik tentang psikologi dan akhlak, tampaknyapandangan Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî tetap relevan, dan sekaligus bisa menjadiacuan bagi sains yang bersifat sakral. Relevansi itu bisa kita lihat dari kesamaanpembagian terapi marah menjadi dua: metode kebalikan dan metode pengalihan.Akan tetapi, pandangan selebihnya yang berasal dari sains modern sangatmaterialistik-pesimistik-reduksionistik. Untuk itu, harus dicari alternatifnya denganmemakai sains sakral yang berasal dari Islam.

Page 7: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Tak ada kata

yang mampu merefleksikan rasa syukur kepada-Nya. Atas bimbingan dan

kehendak-Nya akhirnya penulis sanggup dan mampu menyelesaikan penulisan

skripsi dengan judul PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN

MISKAWAYH DAN AL-GHAZÂLÎ: ANALISIS PERBANDINGAN.

Salawat dan Salam atas nabi Muhammad Saw., keluarga, dan para sahabatnya.

Pada mulanya, ide penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh pertanyaan-

pertanyaan yang “menggelayuti” pikiran penulis selama membaca teks-teks yang

berkaitan dengan manusia dan etika. Terbetik dalam benak penulis beberapa

pertanyaan mendasar tentang manusia, di antaranya: siapa sebenarnya manusia

itu? Dari mana ia berasal? Apa perbedaan manusia dengan makhluk lain? Apa

tujuan ia diciptakan? Akan kembali kemanakah ia setelah meninggalkan dunia

ini? Semua pertanyaan ini perlahan-lahan terjawab dengan semakin intensnya

penulis membaca literatur-literatur Islam yang ternyata begitu sangat kaya dan

mendalam ketika mendedahkan apa itu manusia dan untuk apa ia diciptakan.

Salah satu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah yang penulis tuangkan

dalam skripsi ini.

Dalam proses penulisan skripsi ini penulis melibatkan banyak kalangan,

yang tanpa bantuan moral dan materiil dari mereka tak mungkin karya ilmiah ini

akan terselesaikan. Untuk itu penulis merasa perlu menghaturkan terima kasih

Page 8: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

v

kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, terutama

penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Arrazy Hasyim, M.A. yang telah membimbing penulis dengan sangat

sabar, teliti, dan mencerahkan, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi

ini dengan baik.

2. Dra. Tien Rohmatin, M.A. (Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam).

Terimakasih atas keramahan, nasihat, dan bantuannya hingga akhirnya

penulis tetap konsisten menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

3. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak nasihat dan

arahan selama penulis menjalani kuliah.

4. Pimpinan dan segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu kelancaran administrasi

dan birokrasi.

5. Para Dosen Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan pencerahan dan

ilmu yang luas kepada penulis..

6. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas

Ushuluddin, terima kasih atas pinjaman buku-buku dan beberapa literatur

dalam penulisan skripsi ini.

7. Tak akan lupa dan tak akan pernah terlupakan oleh penulis, untuk

menghaturkan beribu-ribu terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua

orang tua penulis: H. Abdul Khaer (Alm.) dan Hj. Sukmariyah, yang telah

membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh rasa kasih dan sayang. Tak

lupa pula kepada kakak-kakak penulis: Yulyasari, Siti Khadijah, Hayati

Page 9: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

vi

Nupus, Eha Julaeha, dan juga adik-adik penulis: Maria Ulfah, dan Ari

Damanhuri, yang telah “menyabari” ketidakdewasaan penulis selama ini.

8. Teman seperjuangan selama menjalani skripsi: Anis Lutfi Masykur dan Enjis

Saputra. Teman-teman yang telah “mendahului” penulis dalam

menyelesaikan skripsi: Muhammad Zahidin Arief, Hairus Saleh, M. Burhan

Khoirul Adib, M. Ainurrofiq, Misbahuddin, Helmi Hidayat, Daqoiqul Misbah

dan teman-teman yang lain yang tak bisa disebutkan semua. Terima kasih

juga kepada Kak Toto Tohari, Jesy Nurrahmah, dan Fitri Alfiani yang tak

bosan-bosan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini.

Ciputat, 27 Oktober 2017

Ali Khumaeni

Page 10: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

ii

PEDOMAN TRANSLITERASI

f = ف a = ا

ق b = ب = q

k = ك t = ت

l = ل ts = ث

م j = ج = m

n = ن ḥ = ح

w = و kh = خ

h = ه d = د

’ = ء dz = ذ

ى r = ر = y

z = ز

s UntukMadddanDiftong = س

آ sy = ش = â

î = إى sh = ص

وأ dl = ض = û

وأ th = ط = aw

ay = أى zh = ظ

‘ = ع

gh = غ

Page 11: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

x

DAFTAR ISI

Pengesahan Pembimbing............................................................................................. i

Lembar Pernyataan Orisinalitas ............................................................................... ii

Lembar Pengesahan Panitia Ujian ........................................................................... iii

Abstrak.........................................................................................................................iv

Kata Pengantar ...........................................................................................................vi

Pedoman Transliterasi ...............................................................................................ix

Daftar Isi ...................................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1B. Rumusan dan Batasan Masalah ..................................................................... 6C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian................................................................... 7D. Tinjauan Kepustakaan..................................................................................... 7E. Metode Penelitian ..........................................................................................10F. Sistematika Penulisan ...................................................................................11

BAB II AKHLAK DAN PERUBAHAN ....................................................................13A. Pengertian Akhlak ........................................................................................13B. Perubahan Akhlak ........................................................................................22

1. Khalq dan Khuluq ....................................................................................222. Faktor Keturunan dan Lingkungan ........................................................31

BAB III SKETSA BIOGRAFI .......................................................................................40A. Ibn Miskawayh: Riwayat Hidup dan Karya-karya ..................................40B. Al-Ghazâlî: Riwayat Hidup dan Karya-karya ..........................................46

BAB IV PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBNMISKAWAYH DAN AL-GHAZÂLÎ ..........................................................52A. Perubahan Akhlak Perspektif Ibn Miskawayh ..........................................52

1. Daya-daya Jiwa ........................................................................................ .522. Akhlak dan Faktor yang Mempengaruhi ...............................................573. Metode Mengubah Akhlak ......................................................................61

B. Perubahan Akhlak Perspektif Al-Ghazâlî ..................................................691. Daya-daya Jiwa .........................................................................................692. Akhlak dan Faktor yang Mempengaruhi ...............................................773. Metode Mengubah Akhlak ......................................................................84

Page 12: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

xi

BAB V ANALISIS PERBANDINGAN PERUBAHAN AKHLAK IBNMISKAWAYH DAN AL-GHAZÂLÎ ..........................................................95A. Rasionalis-Abstraktif vis-à-vis Intuisionalis-Eksperiensial ...................95B. Filosofis vis-à-vis Religius .......................................................................103C. Teoretis vis-à-vis Teoretis-Praktis ...........................................................112D. Relevansi Perubahan Akhlak Ibn Miskawayh dan Al-Ghazâlî bagi

Dunia Modern ............................................................................................123

BAB VI PENUTUP........................................................................................................140A. Kesimpulan.................................................................................................140B. Saran-saran .................................................................................................143

Daftar Pustaka ..................................................................................................................144

Page 13: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bagian dari filsafat sistematis yang bersangkutan dengan persoalan-

persoalan moralitas pada umumnya dinamakan etika. Istilah-istilah lain yang

diterima adalah filsafat moral dan filsafat etis. Etika dilukiskan secara bermacam-

macam sebagai teori tentang kehidupan yang baik, teori tentang baik dan jahat,

filsafat tentang pertimbangan moral, dan filsafat tentang tingkah laku.1

Dalam tradisi ilmiah Islam, etika termasuk salah satu cabang ilmu-ilmu

praktis. Ilmu praktis berbeda dengan ilmu teoretis karena perbedaan sasaran dan

tujuannya. Sasaran ilmu-ilmu teoretis adalah “sesuatu”, entitas atau benda,

sedangkan sasaran ilmu-ilmu praktis adalah “tindakan” manusia, bukan sesuatu.

Tujuan utama ilmu teoretis adalah bagaimana mengetahui sesuatu sebagaimana

adanya, sedangkan tujuan utama ilmu-ilmu praktis adalah bagaimana

mengarahkan “tindakan” manusia ke arah yang benar, sehingga ia menjadi orang

yang baik.2

Sejak awal perkembangan filsafat Islam, etika telah menjadi bagian tak

terpisahkan dari disiplin ini. Alasannya sederhana: kelahiran filsafat Islam

didorong oleh filsafat Yunani. Etika selalu merupakan unsur amat penting di

dalamnya. Bahkan, boleh dikatakan bahwa etika sempat menjadi aspek yang

1 The Liang Gie, Suatu Konsepsi ke Arah Penertiban Bidang Filsafat, terj. Ali Mudhofir(Yogyakarta: Karya Kencana, 1977), h. 109.

2 Mulyadhi Kartanegara, “Etika” dalam Mulyadhi Kartanegara (et. al), Pengantar StudiIslam (Ciputat: Ushul Press, 2011), h. 377.

Page 14: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

2

paling dominan.3 Masuknya filsafat Yunani klasik ke dalam dunia Islam dengan

penerjemahan karya-karya filosof Yunani klasik melalui jalur Aristotelian-

Platonis, Neo-Pythagorean dan Aristotelian, menjadikan dunia Islam berkenalan

dengan pemikiran Yunani klasik tersebut. Melalui langkah tersebut, para pemikir

Islam melakukan penerjemahan dan kajian yang berbentuk sintesis kreatif dengan

ajaran Islam yang kemudian memberi corak baru dalam kemajuan dunia Islam.4

Sintesis kreatif di atas juga merembes sampai ke pembahasan etika. Ajaran

Islam yang digabungkan dengan etika yang berasal dari Yunani ini kemudian

menjadi problematis. Seakan-akan ajaran Islam tidak mengandung muatan etis.

Tidak aneh kalau ada beberapa tokoh5 yang mengatakan tidak ada etika yang

murni dari Islam. Akan tetapi, Majid Fakhry—seorang ahli etika kontemporer—

dengan sangat yakin mengatakan bahwa dalam Islam terdapat sesuatu yang ia

sebut etika Islam. Dalam bukunya Ethical Theories in Islam, Fakhry membagi

etika ke dalam empat kategori, yaitu etika skriptural, etika teologis, etika filosofis

dan etika religius. Moralitas skriptural adalah etika yang bersumber dari al-Quran

dan Hadis. Etika teologis adalah sistem etika yang tidak hanya mengambil

landasan pokoknya dari al-Quran dan Hadis, tetapi juga tidak menolak metode

diskursif para filosof. Etika filosofis adalah etika yang berasal dari karya-karya

etika Plato dan Aristoteles yang telah diinterpretasi oleh para penulis Neo-

3 Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2006), h. 190.4 Amril M, Etika Islam: Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib al-Isfahani

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h. 52.5 Salah satu tokoh tersebut adalah Ahmad Mahmud Subhi yang menyesalkan bahwa

filsafat etika nyaris menjadi sebuah wilayah yang tidak dijamah para pengkaji dan penulis sejarahperadaban Islam, baik klasik maupun modern. Bahkan, menurutnya, tokoh sebesar Ibn Khaldûndalam Muqaddimah-nya tidak menyinggung sedikitpun tentang etika. Lihat Ahmad MahmudSubhi, Filsafat Etika: Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionalis Islam, terj. YunanAskaruzzaman Ahmad (Jakarta: Serambi, 2001), h. 15.

Page 15: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

3

Platonis. Yang terakhir adalah etika religius. Etika religius merupakan etika yang

berakar dari al-Quran, konsep-konsep teologi, kategori-kategori filsafat, dan

dalam beberapa hal sufisme.6

Etika skriptural diwakili oleh tokoh seperti al-Thabari dan al-Baydhawi.

Etika teologis diwakili oleh aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyyah. Etika religius

diwakili oleh Hasan al-Bashri, Ibn Abî al-Dunyâ, Abû Ḥasan al-Mawardî, Ibn

Ḥazm, Raghib al-Isfahânî, Fakhr al-Dîn al-Râzî dan Abû Ḥâmid al-Ghazâlî. Etika

filosofis yang mencerminkan pengaruh filsafat Yunani diwakili oleh al-Kindî, al-

Râzî, al-Fârâbî, Ibn Sînâ, Yaḥyâ Ibn ‘Âdi, Ikhwân al-Shafâ, Ibn Miskawayh,

Nâshir al-Dîn Thûsî, dan Jalâl al-Dîn al-Dawwânî.

Sebagai cabang ilmu filsafat praktis, etika filosofis tidak bisa dipisahkan

dari perkembangan filsafat itu sendiri. Ibn Miskawayh sebagai salah satu wakil

dari aliran etika ini mempunyai pandangan yang khas. Bahkan, Ahmad Mahmud

Subhi mengatakan bahwa, “Tidak sepantasnya sebuah studi etika dalam pemikiran

Islam tanpa menyinggung dirinya. Alasannya, jika ketenaran para filosof Muslim

bukan pada etika, maka Ibn Miskawayh telah mengabdikan seluruh perhatiannya

dalam bidang etika.”7

Pemikiran filsafat moral Ibn Miskawayh pada umumnya dituangkan dalam

karyanya, seperti al-Fauz al-Asghar, Kitâb al-Saʻâdah dan Tahdzîb al-Akhlâq.

6 Majid Fakhry, Etika dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawi (Yogyakarta: PustakaPelajar, 1996), h. xxi-xxiii.

7 Ahmad Mahmud Subhi, Filsafat Etika: Tanggapan Kaum Rasionalis dan IntuisionalisIslam, h. 309.

Page 16: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

4

Kitab al-Fauz al-Asghar memuat dasar-dasar pemikirannya, karena dalam kitab

ini diuraikan mengenai persoalan Tuhan, manusia, dan kenabian yang sering

ditampilkan sebagai dasar pemikiran filsafat moralnya, sedangkan Kitâb al-

Saʻâdah dan Tahdzîb al-Akhlâq dapat dinilai sebagai kitab pemikiran filsafat

moralnya, baik teoretis maupun yang praktis.8

Akhlak berasal dari aktivitas jiwa, maka yang harus diketahui terlebih

dahulu oleh pengkaji etika adalah berbagai aspek dari jiwa. Bagi Ibn Miskawayh,

jiwa manusia memiliki tiga daya, yaitu daya rasional, daya amarah, dan daya

syahwat. Menurut Muhammad ‘Utsman Najati pembagian jiwa ini sama dengan

pendapat Plato. Daya syahwat adalah daya jiwa yang paling rendah, daya amarah

berada di pertengahan, dan daya rasional adalah daya yang paling terhormat.

Perbedaan manusia dengan binatang adalah pada daya rasional.9

Menurut Ibn Miskawayh, setelah mengetahui bagian-bagian jiwa, hal

berikutnya yang harus diketahui oleh orang yang mempelajari filsafat akhlak

adalah perihal apa itu keutamaan. Menurutnya jumlah keutamaan sama dengan

jumlah daya-daya jiwa, demikian pula kebalikan dari keutamaan-keutamaan ini.

Keutamaan tersebut adalah ḥikmah, ‘iffah, syajâʻah dan ‘adl.10 Menurut Ibn

Miskawayh, kebajikan merupakan titik tengah antara dua ujung, dan dalam hal ini

ujung-ujung itu merupakan keburukan-keburukan. Jika kebajikan bergeser sedikit

saja dari posisinya ke posisi yang lebih rendah, maka kebajikan itu mendekati

8 Amril M, Etika Islam: Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib al-Isfahani, h. 61.9 Muhammad ‘Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Gazi

Saloom (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 88-89.10 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi Hidayat (Bandung: Mizan,

1994), h. 44.

Page 17: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

5

salah satu kehinaan. Memang sulit sekali mencapai titik tengah ini, dan

mempertahankannya bila telah dicapai adalah lebih sulit.11

Selain dua tema di atas, Ibn Miskawayh juga membahas tema lainnya yang

berkaitan dengan etika: kebaikan dan kebahagiaan, kemungkinan perubahan

akhlak, keadilan, cinta dan persahabatan, serta terapi jiwa, yang mana semua tema

tersebut adalah kesatuan organik yang berkaitan dengan tujuan Ibn Miskawayh—

dan juga para filosof etika Muslim yang lain—dalam mendedahkan bagaimana

cara mengubah akhlak manusia. Nampaknya, ketokohan Ibn Miskawayh sebagai

ahli etika juga mempengaruhi tokoh sesudahnya, seperti Raghib al-Isfahânî, Abû

Ḥâmid al-Ghazâlî, dan Nâshir al-Dîn Thûsî, dan tokoh Muslim yang lainnya.

Pengaruh Ibn Miskawayh terhadap al-Ghazâlî terlihat jelas ketika dalam

karyanya, Mîzân al-‘Amal, al-Ghazâlî banyak mengikuti pendapat Ibn

Miskawayh. Misalnya, dalam membahas kebaikan dan kebahagiaan, al-Ghazâlî

seperti halnya Ibn Miskawayh, menyamakan kebaikan dengan kebahagiaan, dan

membagi kebahagiaan menjadi lima bagian, walaupun dalam beberapa hal

pembagian kebahagiaan ini lebih mirip dengan penjelasan dari Raghib al-

Isfahânî.12 Kemudian, dalam mendefinisikan akhlak, al-Ghazâlî

mendefinisikannya tidak jauh berbeda dengan definisi yang diutarakan Ibn

Miskawayh. Dalam Iḥya’ ‘Ulûm al-Dîn, al-Ghazâlî mendefinisikan akhlak

11 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 52-53.12 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, terj. Sulaiman al-

Kumayi (Semarang: Mutiara Persada, 2003), h. 14-15.

Page 18: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

6

sebagai, “Kondisi yang mapan (hai’ah) dari jiwa, yang darinya perbuatan-

perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa perlu pemikiran atau pertimbangan.”13

Dari sedikit perbandingan di atas, penulis ingin mengetahui lebih jauh

apakah benar penjelasan Ibn Miskawayh tentang cara mengubah akhlak manusia

mempengaruhi secara keseluruhan sistem etika dari al-Ghazâlî, atau adakah

perbedaan di dalamnya yang menandakan pengaruh filosof lain sebelum al-

Ghazâlî selain Ibn Miskawayh terhadap sistem etikanya. Oleh karena itu, penulis

tertarik untuk mengangkat penelitian dengan judul, “Perubahan Akhlak dalam

Perspektif Ibn Miskawayh dan Al-Ghazâlî: Analisis Perbandingan”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam setiap penelitian tentang pemikiran seorang tokoh harus dibuat

batasan masalah agar pembahasan bisa difokuskan dan tidak melebar. Dalam

realitas pemikiran Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî, penulis menemukan banyak

sekali buah pemikiran mereka. Jadi, dalam skripsi ini penulis membatasi

pemikiran Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî hanya dalam disiplin etika (ilmu

akhlak). Itu pun dibatasi hanya pada tema perubahan akhlak saja. Oleh karena itu,

pokok perumusan masalahnya adalah:

1. Apakah akhlak itu dan faktor apa saja yang mempengaruhi perubahannya?

2. Bagaimana cara mengubah akhlak menurut Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî ?

3. Di mana letak perbedaan dan persamaan pemikiran perubahan akhlak kedua

tokoh di atas, dan apa relevansinya untuk realitas terkini?

13 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa: Pengendalian Nafsu dalamPerspektif Sufistik, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 2013), h. 85.

Page 19: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui lebih jelas pemikiran perubahan akhlak Ibn Miskawayh dan

al-Ghazâlî, serta mencari tahu di mana letak persamaan dan perbedaannya.

Selain itu, penulis ingin mempertegas keterpengaruhan pemikiran tokoh

sebelumnya di bidang etika terhadap kedua tokoh di atas.

2. Untuk mengetahui seberapa jauh relevansi pemikiran perubahan akhlak kedua

tokoh di atas jika dibandingkan dengan pemikiran dari sains modern.

Mengenai kegunaan yang diharapkan dari penulisan skripsi ini adalah

mudah-mudahan skripsi ini bisa memperjelas pada bagian mana saja pengaruh

pemikiran etika Ibn Miskawayh terhadap al-Ghazâlî. Selain itu, dalam sub-bab

relevansi penulis mencoba membandingkan pemikiran klasik kedua tokoh dengan

sains modern, sehingga mudah-mudahan penelitian ini bisa menstimulus kajian

serupa (sains dan agama) dari para mahasiswa lain, supaya khazanah intelektual

Islam klasik menjadi tetap relevan.

D. Tinjauan Kepustakaan

Ada beberapa studi penelitian yang membahas tentang tema etika dan

akhlak yaitu sebagai berikut:

1. Skripsi Muhammad Syamsuddin yang berjudul Etika dalam Pandangan Sufi:

Studi Analisis Pemikiran Abû Ḥâmid al-Ghazâlî.14 Skripsi ini membahas hanya

14 Muhammad Syamsuddin, Etika dalam Pandangan Sufi: Studi Analisis Pemikiran AbûḤâmid al-Ghazâlî (Jakarta, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, 2007),skripsi tidak diterbitkan .

Page 20: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

8

pada aspek etika satu tokoh saja yaitu al-Ghazâlî dan tidak membahas secara

khusus mengenai bagaimana cara mengubah akhlak dari al-Ghazâlî sendiri.

2. M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazâlî dan Kant: Filsafat Etika Islam.15 Buku

ini hanya membandingan teori etika Immanuel Kant dan al-Ghazâlî tanpa

membahas aspek praktis dari etika yaitu berupa tata cara mengubah akhlak

dalam perspektif al-Ghazâlî.

3. Majid Fakhry, Etika dalam Islam.16 Buku ini adalah karya yang komprehensif

mengenai tema etika. Penulisnya membagi tema etika menjadi etika skriptural,

etika teologis, etika filosofis dan etika religius beserta tokoh-tokoh yang

mewakili, namun pembahasan mengenai pemikiran perubahan akhlak Ibn

Miskawayh dan al-Ghazâlî dibahas secara sangat singkat.

4. Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan

Manusia.17 Dalam beberapa bab buku ini pengarang membahas tema etika

terutama etika sebagai kedokteran ruhani, akan tetapi pemaparannya tentang

perubahan akhlak sangat sedikit dan tidak komprehensif.

5. Rifyal Novalia, Akhlak sebagai Sarana Mencapai Kebahagiaan dalam

Perspektif Psikologi Ibn Miskawayh.18 Buku yang berasal dari tesis ini

mencoba memberikan alternatif tentang kebahagiaan dari pemikir klasik, Ibn

15 M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazâlî dan Kant: Filsafat Etika Islam, terj. Hamzah(Bandung: Mizan, 2002).

16 Majid Fakhry, Etika dalam Islam, terj. Zakiyuddin baidhawy (Yogyakarta: PustakaPelajar, 1996).

17 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007).

18 Rifyal novalia, Akhlak sebagai Sarana Mencapai Kebahagiaan dalam PerspektifPsikologi Ibn Miskawayh (Ciputat:Cinta Buku Media, 2014).

Page 21: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

9

Miskawayh. Menurutnya psikologi Barat memandang kebahagiaan hanya dari

aspek fisiologis dan biologis saja. Sedangkan teori akhlak Ibn Miskawayh

memandang kabahagiaan secara holistik, yakni kebahagiaan fisiologis dan

kebahagiaan rasional. Tetapi pembahasan perubahan akhlak dalam buku ini

sangat sedikit.

6. Tesis, oleh Kasron Nasution yang berjudul Konsep Pendidikan Akhlak (Studi

Perbandingan Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî).19 Tesis ini mencoba

membandingkan pemikiran akhlak Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî yang

menurutnya mengandung elemen yang bernuansa pendidikan karakter. Tetapi

di dalamnya tidak dibahas bagaimana mengubah akhlak itu sendiri.

7. Tesis Hamdani Jamil yang berjudul Konsep Filsafat Akhlak Ibn Miskawayh

dalam Perspektif Historis.20 Tesis ini mencoba melacak pengaruh pemikiran

etika Yunani terhadap Ibn Miskawayh, dan pengaruh etika Ibn Miskawayh

terhadap tokoh sesudahnya seperti al-Ghazâlî dan Nâshir al-Dîn al-Thûsî.

Tetapi, pemikiran Ibn Miskawayh yang khusus membahas perubahan akhlak

tidak disinggung sama sekali.

8. Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawayh.21 Buku ini mencoba

mencari relevansi etika miskwawayh dalam bidang pendidikan. Walaupun

tema perubahan akhlak Ibn Miskawayh dibahas hanya sedikit, tetapi di

19 Kasron Nasution, Konsep Pendidikan Akhlak: Studi Perbandingan Ibn Miskawayh danal-Ghazâlî (Jakarta: Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2000), tesis tidak diterbitkan.

20 Hamdani Jamil, Konsep Filsafat Akhlak Ibn Miskawayh dalam Perspektif Historis(Jakarta: sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2000), tesis tidak diterbitkan.

21 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawayh (Yogyakarta: Belukar, 2004).

Page 22: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

10

dalamnya sumber tentang etika Ibn Miskawayh sangat kaya, dan sangat

bermanfaat bagi kajian skripsi ini.

Dari penelitian di atas tak ada satu penelitian pun yang memfokuskan

kajiannya pada perubahan akhlak, khususnya menurut Ibn Miskawayh dan al-

Ghazâlî serta perbandingannya. Dari itu, penulis hendak mengisi kekosongan

tersebut.

E. Metode Penelitian

Penulisan skripsi ini sepenuhnya adalah riset perpustakaan (library

research), yaitu penelitian yang kajiannya dengan menelusuri dan menelaah

literatur-literatur dan penelitian yang difokuskan pada bahan pustaka dengan

rujukan primer dan sekunder. Untuk Ibn Miskawayh buku primer yang digunakan

yaitu kitab Tahdzîb al-Akhlâk yang diterjemahkan oleh Helmi Hidayat menjadi

Menuju Kesempurnaan Akhlak. Untuk al-Ghazâlî yaitu kitab Mîzân al-‘Amal22

yang diterjemahkan oleh Sulaiman al-Kumayi menjadi Meraih Kebahagiaan

Dunia dan Akhirat. Kitab lainnya, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn jilid ketiga yang

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi beberapa buku. Pertama, buku

Metode Menaklukkan Jiwa, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti. Kedua,

Manajemen Hati terjemahan Ahmad Frenk dan Mustofa Bisri. Ketiga, Ihya

Ulumiddin diterjemahkan oleh Ibnu Ibrahim Baadillah. Untuk sumber sekunder

adalah tulisan yang berkaitan dengan tema perubahan akhlak itu sendiri.

22 Karya ini sempat diragukan oleh Montgomery Watt sebagai karya asli al-Ghazâlî.Akan tetapi penulis mempunyai bukti dari Ibn Thufayl yang mengomentari secara sekilas kitab ini.Hal ini sekaligus membuktikan bahwa Mîzân al-‘Amal adalah karya asli al-Ghazâlî . Lihat IbnThufayl, Hayy Bin Yaqzan: Anak Alam Mencari Tuhan, terj. Ahmadie Thaha (Jakarta: PustakaFirdaus, 1997), h. 8-9.

Page 23: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

11

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif-komparatif, yakni

menjelaskan pemikiran Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî mengenai perubahan

akhlak, kemudian menganalisisnya dan membandingkan persamaan dan

perbedaan dari setiap sub-bab yang dibahas.

Sedangkan teknik penulisan dan penyusunan skripsi ini menggunakan

buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development

and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sedangkan transliterasi

berdasarkan pedoman yang diterbitkan Paramadina Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini dibagi ke dalam beberapa bab dan

sub-bab, yaitu:

Bab I membahas tentang pendahuluan yaitu berupa latar belakang

masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode

penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan. Hal ini penting dibahas

untuk memperjelas apa masalah yang akan diangkat, di mana batas masalahnya

dan bagaimana rumusannya.

Bab II membahas kerangka teori yang menyangkut pengertian seputar

term akhlak, etika, dan moral, serta istilah lainnya. Kemudian, dibahas juga

diskursus khalq dan khuluq dalam khazanah Islam, serta pengaruh keturunan dan

lingkungan terhadap perubahan akhlak.

Bab III membahas biografi yang mencakup riwayat hidup dan karya-karya

Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî .

Page 24: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

12

Bab IV membahas pendapat Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî tentang

perubahan akhlak. Akan tetapi di sini pembahasan perubahan akhlak hanya

dilakukan secara deskriptif saja tanpa membandingkan pendapat kedua tokoh

tersebut.

Bab V membahas analisis perbandingan pemikiran kedua tokoh di atas

tentang perubahan akhlak. Tujuannya adalah untuk melihat sumber-sumber

pemikiran yang mereka ambil apakah dari Yunani, al-Quran, hadis, atau dari

penjelasan para ulama, sekaligus untuk melihat di mana letak persamaan dan

perbedaan pemikiran mereka. Dalam bab ini juga diupayakan perbandingan secara

sekilas dengan tema-tema tertentu dalam sains modern.

Bab VI adalah penutup yang berisikan kesimpulan penulis tentang

pemikiran perubahan akhlak Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî dan juga berisi saran-

saran untuk penelitian lanjutan yang berkaitan dengan etika kedua tokoh tersebut.

Page 25: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

13

BAB II

AKHLAK DAN PERUBAHAN

A. Pengertian Akhlak

Dalam pembahasan sehari-hari banyak orang yang sering menyamakan

begitu saja istilah-istilah seperti etika, moral, dan akhlak, padahal ada persamaan

dan perbedaan mendasar dalam istilah-istilah tersebut. Penjelasan singkat tentang

pengertian istilah-istilah tersebut perlu dikemukakan.

1. Etika

Menurut Kees Bertens, istilah etika dalam literatur klasik berbahasa

Yunani berasal dari kata ethos, yang dalam bentuk tunggal mempunyai banyak

arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang habitat; kebiasaan, adat;

akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak ta etha artinya

adalah: adat kebiasaan. Arti terakhir inilah yang menjadi latar belakang bagi

terbentuknya istilah “etika” yang oleh filosof besar Yunani Aristoteles (384-322

S.M.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Dari penjelasan di atas,

“etika” berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat

kebiasaan. Dengan memakai istilah modern, dapat dikatakan juga bahwa etika

membahas “konvensi-konvensi sosial” yang ditemukan dalam masyarakat.1

Dalam pemakaian sehari-hari, dalam pandangan Sudarminta, sekurang-

kurangnya dapat dibedakan tiga arti kata “etika”. Arti pertama adalah sebagai

“sistem nilai”. Kata “etika” di sini berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang

1 Kees Bertens, Etika (Yogyakarta: Kanisius, 2013), h. 3-4.

Page 26: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

14

menjadi pegangan hidup atau sebagai pedoman penilaian baik-buruknya perilaku

manusia, baik secara individual maupun sosial dalam suatu masyarakat. Arti

pertama ini, misalnya dipakai dalam “Etika Jawa” dan “Etika Protestan”. Arti

yang kedua adalah “kode etik”; maksudnya adalah sebagai kumpulan norma dan

nilai moral yang wajib diperhatikan oleh pemegang profesi tertentu. Sebagai

contoh misalnya pemakaian dalam istilah “Etika Kedokteran” dan “Etika

Jurnalistik”. Arti ketiga, dan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah ilmu

yang melakukan refleksi kritis dan sistematis tentang moralitas. Etika dalam arti

ini sama dengan filsafat moral.2

Senada dengan Sudarminta, Liang gie mengatakan bahwa istilah etika juga

bermakna ganda dalam tiga arti. Pertama, suatu pola umum tentang “cara hidup”.

Kedua, suatu kumpulan aturan-aturan tentang tingkah laku atau “kode moral”.

Ketiga, penyelidikan tentang cara-cara hidup dan aturan-aturan tingkah laku.

Dalam arti ini sering dinamakan metaetika.3 Sedangkan Sonny Keraf membagi

etika menjadi dua pengertian. Pertama, etika yaang berkaitan dengan kebiasaan

hidup yang baik dan tata cara hidup yang baik, yang kemudian dibakukan dalam

bentuk kaidah atau norma yang disebarluaskan secara lisan dalam suatu

masyarakat. Kedua, etika yang bermakna filsafat moral, yakni etika sebagai

refleksi kritis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak dalam situasi

konkrit dan situasi khusus tertentu.4

2 J. Sudarminta, Etika Umum (Yogyakarta: Kanisius, 2013), h. 3.3 The Liang Gie, Suatu Konsepsi ke Arah Penertiban Bidang Filsafat, terj. Ali Mudhofir

(Yogyakarta: Karya Kencana, 1977), h. 110.4 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h. 2-4.

Page 27: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

15

Etika, bersama politik dan ekonomi, dalam khazanah pemikiran Islam

biasa dimasukkan dalam apa yang disebut sebagai filsafat praktis (al-ḥikmah al-

‘amaliyyah). Filsafat praktis itu sendiri berbicara tentang segala sesuatu

“sebagaimana seharusnya”. Meski demikian, ia mesti didasarkan pada filsafat

teoretis (al-ḥikmah al-nazhariyyah), yakni pembahasan tentang segala sesuatu

“sebagaimana adanya”, termasuk di dalamnya metafisika.5

Persoalan etika memang telah lama menjadi kajian filosofis namun

Immanuel Kantlah yang mulai memisahkannya dari kajian metafisika dan

epistemologi. Etika menjadi salah satu bagian dari sistematika filsafat berkat

pertanyaan Kant, “apa yang dapat saya lakukan?” Dua pertanyaan Kant yang lain

seperti “apa yang dapat saya ketahui?”, dan “apa yang saya dapat harapkan?”,

masing-masing menjadi cabang filsafat yang mengkaji masalah pengetahuan dan

ada. Dari sistematika tersebut kita mengetahui bahwa etika merupakan cabang

filsafat yang menjadi bagian dari wilayah nilai (values) bersama-sama dengan

estetika.6

2. Moral

Secara etimologis, kata “etika” sebenarnya sama dengan kata “moral”.

Kata moral berasal dari akar kata Latin “mos” yang dalam bentuk jamaknya

“mores” berarti juga adat atau cara hidup.7 Sedangkan “moralitas” (dari kata sifat

Latin moralis) diperkenalkan ke dalam kosa kata filsafat oleh Cicero. Baginya

5 Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2006), h. 189.6 Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Teraju, 2002),

h. 1747 Achmad Charis Zubair, Kuliah Etika (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995), h. 13.

Page 28: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

16

kata ini ekuivalen dengan kata ethikos yang diangkat oleh Aristoteles. Kedua

istilah itu menyiratkan hubungan dengan kegiatan praktis.8 Jadi, dalam pengertian

harfiah, etika dan moralitas sama-sama berarti adat kebiasaan yang dibakukan

dalam bentuk aturan tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai

manusia. Dalam arti itu, keduanya berbicara tentang nilai dan prinsip moral yang

dianut oleh masyarakat tertentu sebagai pedoman dan kriteria dalam berperilaku

sebagai manusia.9

Menurut Sidi Gazalba, moral dalam bahasa Indonesia disebut susila. Yang

dimaksud dengan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima

tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. Hal ini sesuai dengan

ukuran-ukuran tindakan yang umum diterima oleh kesatuan sosial atau lingkungan

tertentu.10 Sedangkan Amin Abdullah mengatakan bahwa moral adalah aturan-

aturan normatif (dalam bahasa agama Islam disebut akhlak) yang berlaku dalam

suatu masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu. Penerapan tata nilai

moral dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat tertentu menjadi bidang

kajian antropologi, sedangkan etika adalah bidang garap filsafat. Realitas moral

dalam kehidupan masyarakat yang terjernihkan lewat studi kritis (critical studies)

adalah wilayah yang dibidangi oleh etika. Jadi, studi kritis terhadap moralitas

8 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 217.9 A. Sony Keraf, Etika Lingkungan, h. 3.10 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat: Pengantar kepada Teori Nilai (Jakarta: Bulan

Bintang, 2002), h. 50.

Page 29: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

17

menjadi wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah objek material daripada

etika.11

Jika sekarang kita memandang arti kata moral, kata Kees Bertens, perlu

diperhatikan bahwa kata ini bisa dipakai sebagai nomina (kata benda) atau sebagai

adjektiva (kata sifat). Jika kata moral dipakai sebagai kata sifat, maka artinya

sama dengan “etis”, dan jika dipakai sebagai kata benda, maka artinya sama

dengan “etika” yang berarti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan

bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Adapun

“moralitas” mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, hanya ada

nada lebih abstrak. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai

yang berkenaan dengan baik dan buruk.12

3. Akhlak

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak,

yaitu pendekatan etimologi (kebahasaan) dan pendekatan terminologi

(peristilahan). Dari sudut kebahasaan, kata akhlak dalam bahasa Indonesia berasal

dari kosa kata bahasa Arab akhlâq yang merupakan bentuk jamak dari kata

khuluq yang dalam kamus al-Munjid berarti al-murû’ah (kekesatriaan), al-‘âdah

(kebiasaan), al-sajiyyah (perangai), al-thabʻu (watak/karakter).13 Jadi, secara

kebahasaan kata akhlak mengacu kepada sifat-sifat manusia secara universal baik

sifat yang terpuji maupun yang tercela.

11 Amin Abdullah, Filsafat Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1995), h. 147.

12 Kees Bertens, Etika, h. 6.13 Luis Ma’lûf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabiy, tt), h. 194.

Page 30: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

18

Mansur ‘Ali Rajab memberi batasan khuluq dengan al-thabʻu dan al-

sajiyyah. Al-thabʻu (karakter) adalah citra batin yang menetap (al-sukûn). Citra

ini terdapat pada konstitusi (al-jibillah) manusia yang telah ditetapkan oleh Allah

sejak lahir. Sedangkan al-sajiyyah adalah kebiasaan (‘âdah) manusia yang berasal

dari hasil integrasi antara karakter manusiawi dengan aktivitas yang diusahakan

(al-muktasab). Kebiasaan ini ada yang teraktualisasi menjadi suatu tingkah laku

lahiriah dan ada juga yang terpendam. 14

Menurut ibn Manzûr, akhlak pada hakikatnya adalah dimensi esoteris

manusia yang berkenaan dengan jiwa, sifat, dan karakteristiknya secara khusus,

yang baik (ḥasanah) maupun yang buruk (qabîḥah). Menurutnya, pahala (al-

tsawâb) dan hukuman (al-‘iqâb) lebih banyak bergantung pada dimensi esoterik

manusia dibandingkan dengan ketergantungan kepada bentuk lahiriahnya. Al-

Quran hanya dua kali menyebut kata akhlâq yang keduanya dalam bentuk tunggal

khuluq. Pertama, pada surat al-Syuʻarâ ayat 137-138: “(Agama kami) ini tidak

lain hanyalah adat kebiasaan orang-orang terdahulu, dan kami (sama sekali)

tidak akan diazab.”

Pada ayat ini, istilah khuluq al-awwalîn yang secara harfiah berarti akhlak

orang terdahulu dipahami oleh Abd al-Rahman ibn Nasir al-Saʻdi dengan

pengertian ‘âdah al-awwalîn (adat kebiasaan orang-orang terdahulu). Sementara

itu, Muhammad Ali al-Shabuni mengartikannya dengan khurafât al-awwalîn

(khurafat orang-orang terdahulu). Kemudian al-Maraghi mengartikannya dengan

14 Damanhuri, Akhlak Perspektif Pemikiran Tasawuf ‘Abd al-Rauf al-Singkili (BandaAceh: ArRijal Publisher, 2011), h. 13.

Page 31: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

19

ungkapan: ‘âdatuhum al-lâtî kânû bihâ yadînîn (adat kebiasaan mereka yang

menjadi dasar mereka beragama). Jadi, pada ayat ini pengertian akhlâq atau

khuluq mengacu pada pengertian al-akhlâq al-madzmûmah (adat kebiasaan yang

tercela).

Kedua, pada surah al-Qalam ayat 4: “Dan sesungguhnya engkau benar-

benar berbudi pekerti yang luhur.” Pada ayat ini, yang dimaksud dengan istilah

khuluq ‘adzîm menurut al-Si’diyyi adalah akhlak luhur yang telah Allah

anugerahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Wujud keluhuran akhlak Rasulullah

tersebut menurutnya adalah yang seperti dijelaskan oleh Aisyah kepada orang

yang bertanya tentang akhlak Rasulullah Saw. bahwa, “akhlak beliau itu adalah

al-Quran.” Berbeda dengan pengertian khuluq pada ayat pertama, pada ayat ini

istilah khuluq mengacu kepada pengertian al-akhlâq al maḥmûdah (akhlak yang

terpuji) yaitu akhlak Nabi Muhammad Saw.15 Jika akhlak dimaknai seperti di atas,

maka ia dapat mengandung pengertian akhlak yang terpuji dan akhlak yang tidak

terpuji, akhlak individu dan akhlak suatu bangsa.16

Dari sudut istilah (terminologi) definisi akhlak berbeda-beda, misalnya di

dalam Dâirah al-Maʻârif dikatakan: “Akhlak ialah sifat-sifat manusia yang

terdidik.” Sedangkan di dalam al-Muʻjam al-Wâsîth disebutkan definisi akhlak

sebagai: “Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah

15 Muchlis M. Hanafi (et.al), Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik (Jakarta:Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran, 2009), h. 1-3.

16 Muchlis M. Hanafi (et.al), Spiritualitas dan Akhlak (Jakarta: Lajnah PentashihanMushaf al-Quran, 2010), h. 32.

Page 32: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

20

macam-macam perbuatan, baik atau buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan

pertimbangan.”17

Menurut Amatullah Armstrong, akhlak adalah: “Sifat-sifat karakter dan

ciri-ciri moral. Ilmu tasawuf berpijak pada berbagai ciri karakter indah dan mulia

yang disempurnakan Nabi Muhammad Saw.”18 Sedangkan Menurut Sidi Gazalba,

akhlak adalah: “Sikap ruhaniah yang melahirkan laku-perbuatan manusia terhadap

Allah dan manusia, terhadap diri sendiri dan makhluk lain, sesuai dengan suruhan

dan larangan serta petunjuk Quran dan hadis.”19 Berbeda dengan Sidi Gazalba,

Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak ialah kebiasaan kehendak. Berarti bahwa

kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaan itu disebut akhlak. Jika

kehendak itu dibiasakan memberi, maka kebiasaan memberi tersebut dinamakan

akhlak dermawan. Seorang yang mempunyai akhlak dermawan bisa dikatakan

dermawan jika keinginan memberi selalu ada padanya. Seseorang tidak bisa

dikatakan mempunyai akhlak dermawan jika keinginan untuk memberi hanya

sesekali saja.20

Selain istilah etika, moral, dan akhlak, ada dua lagi istilah yang sering

disamakan, yaitu susila dan etiket. Menurut Muhammad Said, perkataan susila

dari bahasa Sansekerta menunjuk kepada dasar-dasar, prinsip-prinsip atau

peraturan hidup (sila) dan yang lebih baik (su), jadi kepada norma-norma. Ini

17 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), h. 4-5.18 Amatullah Armstrong: Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, terj.

M.S. Nasrullah dan Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000), h. 23.19 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat: Pengantar kepada Teori Nilai, h. 77.20 Ahmad Amin, Etika: Ilmu Akhlak, terj. Farid Maʻruf (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),

h. 62.

Page 33: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

21

sama dengan perkataan etika.21 Adapun etiket sendiri mempunyai persamaan dan

perbedaan dengan etika. Persamaan etiket dengan etika adalah karena keduanya

menyangkut perilaku manusia secara normatif, dalam arti menyatakan apa yang

harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Perbedaannya, pertama, etiket hanya

menyangkut cara berperilaku. Kedua, etiket hanya berlaku dalam pergaulan, tapi

tidak berlaku ketika kita sendirian. Ketiga, etiket bersifat relatif dalam setiap

kebudayaan. Keempat, etiket hanya memandang manusia dari segi lahir saja,

sedangkan etika menyangkut manusia dari segi dalam.22

Dari keterangan di atas menjadi jelas bahwa istilah etika, moral, akhlak

dan dua istilah lainnya mempunyai perbedaan dan persamaan dan juga sekaligus

saling terkait. Sehingga dapat disimpulkan di sini bahwa pengertian etika—

kendati mempunyai tiga arti—lebih condong kepada pengertian “ilmu yang

mengkaji secara rasional, kritis, reflektif, dan radikal tentang persoalan moralitas

manusia.” Sedangkan moral dan akhlak selain mempunyai pengertian “nilai-nilai

dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi suatu kelompok dalam mengatur

tingkah laku”, juga mempunyai pengertian yang sama, yakni perbuatan manusia

itu sendiri. Pengertian etika, moral, dan akhlak sendiri dari segi kebahasaan

(ketiganya masing-masing berasal dari bahasa Yunani, Latin, dan Arab) artinya

sama, yaitu kebiasaan atau adat istiadat. Perbedaannya adalah ketika ketiganya

menjadi suatu istilah. Akan tetapi jika ketiganya menjadi sebuah ilmu, maka kita

bisa menyebutnya dengan istilah etika, filsafat moral, atau filsafat akhlak.

21 Muhammad Said, Etik Masyarakat Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), h. 24.22 Kees Bertens, Etika, h. 7-9.

Page 34: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

22

B. Perubahan Akhlak

1. Khalq dan Khuluq

Yang banyak dibicarakan oleh al-Quran tentang manusia adalah sifat-sifat

dan potensinya. Dalam hal ini, ditemukan sekian ayat yang memuji dan

memuliakan manusia, seperti: pernyataan tentang terciptanya manusia dalam

bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya (QS al-Tîn [95]: 5), dan penegasan

tentang dimuliakannya makhluk ini dibandingkan dengan kebanyakan makhluk-

makhluk Allah yang lain (QS al-Isrâ’ [17]: 70).23 Selain itu, al-Quran mengakui

secara tegas bahwa Nabi Muhammad Saw. memiliki akhlak yang sangat agung.

Bahkan dapat dikatakan bahwa konsideran pengangkatan beliau sebagai nabi

adalah keluhuran budi pekertinya. Hal ini dipahami dari wahyu ketiga yang antara

lain menyatakan bahwa: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas

akhlak yang agung.” (QS al-Qalam [68]: 4).24

Rasulullah Saw. memang memiliki akhlak yang agung. Sayyidah ‘Âisyah

ra. ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, beliau menjawab, “Akhlak beliau

adalah al-Quran.”25 Kata akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab,

akhlâq. Kata ini merupakan bentuk jamak dari kata khuluq, yang pada mulanya

bermakna ukuran, latihan, dan kebiasaan. Nah, dari makna pertama (ukuran) lahir

23 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat(Bandung: Mizan, 2013), 372.

24 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai PersoalanUmat, h. 67.

25 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran,Volume 14 (Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2007), h. 381.

Page 35: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

23

kata makhlûq, yakni ciptaan yang mempunyai ukuran; serta dari makna kedua

(latihan) dan ketiga (kebiasaan), lahir sesuatu—positif maupun negatif.26

Kata akhlak juga berkaitan dengan kata khalq dan khuluq. Kata khalq

(rupa) dan kata khuluq (watak), sebagaimana diungkapkan al-Ghazâlî, adalah dua

ungkapan yang dapat digunakan secara bersamaan. Oleh karena itu, dapat

dikatakan, misalnya bahwa “Si fulan itu elok rupa (khalq) maupun wataknya

(khuluq)”, yakni baik lahir maupun batinnya. Sebab, yang dimaksud dengan kata

khalq adalah bentuk lahir, sedangkan khuluq adalah bentuk batin. Yang demikian

itu karena bahwasanya manusia terdiri dari jasmani yang dapat dijangkau oleh

penglihatan (bashar) dan ruhani (rûh) maupun jiwa (nafs) yang hanya bisa

dijangkau oleh mata batin (bashîrah). Dengan demikian, jiwa yang dijangkau oleh

mata batin lebih berharga daripada jasmani yang dijangkau oleh pandangan mata

biasa. Oleh karena itu, Allah meninggikan kedudukannya dengan menisbatkannya

kepada-Nya, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah; setelah

Kusempurnakan kejadiannya, dan Kutiupkan ruh (ciptaan)-Ku, hendaklah kamu

merendahkan diri dengan bersujud ke hadapannya.” (QS Shâd [38]: 71-72).27

Merujuk firman Allah di atas, maka yang dimaksud dengan jiwa adalah

ruh ciptaan-Nya. Dengan pengertian ini, orang-orang yang mempunyai mata hati

harus sadar bahwa jiwa atau ruhnya sepenuhnya merupakan urusan Allah. Ia lebih

agung dan luhur ketimbang tubuh yang hina yang berada di bumi. Oleh karena itu

26 M. Quraish Shihab, Yang Hilang dari Kita: Akhlak (Tangerang Selatan: Lentera Hati,2016), h. 3.

27 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa: Pengendalian Nafsu dalamPerspektif Sufistik, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 2013), h. 85.

Page 36: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

24

Allah Swt. berfirman, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah:

‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku’.” (QS al-Isrâ’ [17]: 85).28 Meskipun banyak

ahli membaca ayat ini untuk menyiratkan bahwa ruh itu tidak dapat dipahami,

mereka tidak bermaksud mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan tentangnya

yang dapat diperoleh. Yang dimaksudkan di situ adalah bahwa ruh tidak dapat

didefinisikan sebagaimana adanya dalam dirinya sendiri, bertentangan dengan,

misalnya, badan, yang dapat diketahui, digambarkan, diukur, dibedah, dan

seterusnya.29

Selain itu, Allah Yang Mahaagung, telah menjelaskan tingkatan-tingkatan

penciptaan fisik dan berfirman, “Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia

dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air

mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh dan terpelihara (rahim).

Kemudian Kami jadikan air mani segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami

jadikan tulang-tulang, maka Kami liputi tulang-tulang itu dengan daging,

kemudian Kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain.” Menurut Fakhr al-Dîn

al-Râzî, tidak diragukan bahwa tahapan-tahapan ini merupakan perbedaan yang

terdapat dalam bentuk (keadaan) fisik. Juga, manakala Allah hendak menyatukan

ruh yang membangkitkan, Dia berfirman, “Kemudian Kami jadikan ia makhluk

yang (berbentuk) lain.” Ini menjelaskan bahwa apa yang bersangkut-paut dengan

peniupan ruh, merupakan sebuah genre lain yang berbeda dari perubahan-

28 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, terj. Sulaiman al-Kumayi (Semarang: Mutiara Persada, 2003), h. 27.

29 Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalamKosmologi dan Teologi Islam, terj. Rahmani Astuti dan M. S. Nasrullah (Bandung: Mizan, 1998),h. 309.

Page 37: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

25

perubahan sebelumnya, yakni berupa perubahan-perubahan fisik. Hal ini juga

mengindikasikan bahwa jiwa bukanlah merupakan genus (jenis) dari sebuah

tubuh.30

Al-Ghazâlî mengemukakan gambaran-gambaran paling awal dan paling

rinci tentang ruh dan hubungannya dengan realitas-realitas lain. Menurutnya,

segala sesuatu yang dapat diukur dan dapat diperkirakan itu adalah alam jisim dan

sifat-sifatnya, atau disebut juga ‘âlam khalq (makhluq), sedangkan yang tak

terhitung dan terukur, maka dikatakan, sesungguhnya itu adalah perkara (amr)

Ketuhanan. Semua yang masuk dalam jenis ini dari ruh manusia dan ruh malaikat

adalah disebut ‘âlam amr. Dengan demikian ‘âlam amr adalah mencakup segala

sesuatu yang mewujud di luar batas kemampuan inderawi dan imajinasi, bebas

dari dimensi ruang, waktu, arah dan kecenderungan untuk menempati (tahayyuz),

yaitu segala yang tidak masuk di bawah ukuran dan perkiraan, karena tidak

adanya jumlah.31

Akan tetapi, di sini kemudian muncul pertanyaan, apakah sebenarnya ruh

itu? Apakah ruh itu bukan makhluk? Kalau demikian berarti ruh itu bersifat

qadim? Nampaknya dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Dari kalangan sufi, misalnya Imam al-Qusyayrî berpendapat bahwa ahli hakikat

dari kalangan Ahli Sunnah berbeda pandangan soal ruh. Ada yang berpendapat,

ruh adalah kehidupan. Yang lain berpandangan, ruh adalah kenyataan yang ada

30 Fakhr al-Dîn al-Râzî, Ruh dan Jiwa: Tinjauan Filsofis dalam Perspektif Islam, terj.Mochtar Zoerni dan Joko S. Kahhar (Surabaya: Risalah Gusti, 2000) , h. 113.

31 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metafisika Alam Akhirat, terj. Wasmukan dan MohammadLuqman Hakiem (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 108.

Page 38: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

26

dalam hati, yang bernuansa lembut. Menurutnya, Allah Swt. menjalankan

kebiasaan makhluk dengan mencipta kehidupan dalam hati, sepanjang arwahnya

menempel di badan, dan manusia hidup dengan sifat kehidupan, tetapi arwah

selalu dicetak di dalam hati, dan bisa naik ketika tidur dan terpisah dengan badan,

kemudian kembali kepada-Nya. Manusia terdiri dari ruh dan jasad. Karenanya

Allah Swt. menundukkan keduanya secara keseluruhan, baik ketika di Mahsyar,

diberi pahala maupun disiksa. Ruh adalah makhluk. Bagi sementara pihak yang

berkata bahwa ruh adalah qadim, merupakan kekeliruan besar. Beberapa hadis

mengindikasikan bahwa ruh adalah materi yang lembut.32

Al-wasithi mengatakan, “Ruh itu ada dua macam: ruh yang menghidupkan

makhluk, dan ruh yang menjadi penerang hati.” Ia dinamai ruh karena

kelembutannya. Jika anggota tubuh berbuat kejelekan yang menyalahi adabnya,

maka ruh akan terhalang dari sentuhan-sentuhan sebab yang menyakitkan.33

Sebagian kaum Sufi mengatakan, “Ruh itu ada dua macam: ruh yang bersifat

qadim dan ruh manusiawi (basyariyyah)”. Mereka berpendapat demikian atas

dasar sabda Rasulullah Saw.: “Kedua mataku tidur, namun hatiku tidak tidur.”

Secara lahiriah beliau tidur dengan ruh manusiawinya, sementara batinnya tidak

tidur dan selalu terjaga tanpa mengalami perubahan.34

Menurut Abû Nashr al-Sarrâj, seluruh ruh adalah makhluk, dan itu adalah

amr dari amr Allah Swt. Tidak ada antara ruh dengan Allah hubungan sebab dan

32 Imam al-Qusyayrî, Risalah Qusyayriyyah: Induk Ilmu Tasawuf, terj. MohammadLuqman Hakiem (Surabaya: Risalah Gusti, 2014), h. 75.

33 Abû Nashr al-Sarrâj, Al-Lumaʻ: Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf, terj. Wasmukan danSamson Rahman (Surabaya: Risalah Gusti, 2014), h. 446.

34 Abû Nashr al-Sarrâj, Al-Lumaʻ: Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf, h. 447.

Page 39: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

27

nisbat, hanya saja ruh itu milik Allah, makhluk yang patuh pada-Nya dan dalam

gengggaman-Nya, yang tidak mengalami reinkarnasi, tidak keluar dari jasad

kemudian masuk ke jasad lain. Ruh juga merasakan kematian sebagaimana yang

dirasakan badan, merasakan nikmat sebagaimana yang dinikmati badan, disiksa

akibat siksaan badan dan digiring ke dalam badan dan ia keluar darinya. Allah

menciptakan ruh Adam as. dari alam malakut, dan jasadnya dari tanah.35

Semua Syaikh Sufi dan kebanyakan Muslim menganggap bahwa ruh

adalah substansi dan bukan atribut; karena, selama ia berkaitan dengan badan,

Tuhan terus menerus mencipta kehidupan dalam badan. Dengan demikian ruh itu

tentu substansi. Rasulullah mengatakan bahwa ruh adalah tentara, dan tentara

adalah baka, dan aksiden tidak bisa baka karena aksiden tidaklah berdiri sendiri.

Jadi, ruh adalah sebuah jasad halus (jism lathîf) yang datang dan pergi menurut

perintah Tuhan. Ruh adalah halus dan berjasad, dan karena berjasad, maka ia bisa

dilihat; hanya saja terlihat oleh mata akal-pikiran. Ruh itu tidak qadim (muḥdats),

dan bahwa ruh ada sebelum badan ada, sebagaimana Rasul bersabda: “Tuhan

menciptakan ruh-ruh dua ribu tahun sebelum badan-badan ada.” Karena itu ruh

merupakan salah satu makhluk Allah.36

Sedangkan dari kalangan para filosof Islam, pandangan mereka tentang

jiwa pada umumnya sangat dipengaruhi oleh Aristoteles dan Plato. Menurut

Aristoteles, manusia, seperti halnya makhluk lain di alam ini, terdiri dari dua

35 Abû Nashr al-Sarrâj, Al-Lumaʻ: Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf, h. 892.36 Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub: Buku Daras Tasawuf Tertua, terj. Suwardjo Muthary dan

Abdul Hadi W. M. (Bandung: Mizan, 2015), h. 252.

Page 40: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

28

unsur yang tidak dapat dipisahkan: materi dan forma. Jasad adalah materinya,

sedangkan jiwa adalah formanya. Kedua-duanya merupakan suatu kesatuan

esensial yang membentuk manusia. Oleh karena manusia terdiri dari dua unsur

yang bersatu secara esensial, maka jiwa itu akan fana dengan sebab fana atau

rusaknya jasad, seperti halnya forma akan hancur dengan sebab hancurnya

materi.37 Berbeda dengan Aristoteles, menurut al-Fârâbî, jiwa adalah forma jasad,

akan tetapi ia tidak menyetujui Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa bersatu

dengan jasad secara esensial seperti halnya forma bersatu dengan materi. Al-

Fârâbî mengartikan forma dengan arti jauhar (substansi) yang hakikatnya berbeda

dengan jasad. Karena itu ia menegaskan bahwa nafs nathîqah adalah hakikat

manusia yang sebenarnya.38

Berkaitan dengan asal-usul jiwa dan kekadiman serta kebaharuannya,

maka dalam kalangan filosof Yunani, maka Plato lah yang mengatakan bahwa

jiwa manusia telah hidup sebelumnya di Dunia Ide sebelum turun masuk ke

dalam jasad. Pada waktu itu ia telah mempunyai pengetahuan tentang hakikat

segala sesuatu. Dari kalangan filosof Islam, al-Fârâbî, Ibn Sînâ dan al-Ghazâlî —

kendati mereka menerima pendapat plato bahwa jiwa adalah substansi ruhani—

menolak teori Plato yang menyebutkan adanya jiwa sebelum badan dan juga

teorinya tentang inkarnasi. Bagi mereka jiwa manusia itu dijadikan sesudah jasad

37 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nuruddin al-Raniry (Jakarta:Rajawali, 1983), h. 134.

38 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nuruddin al-Raniry, h. 135.

Page 41: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

29

diciptakan, dan menegaskan bahwa manusia itu terdiri dari dua unsur: yang satu

berasal dari ‘âlam amr (alam Ilahi) dan yang satu lagi dari ‘âlam khalq.39

Allah telah menciptakan manusia dari dua hal yang berbeda: badan yang

bersifat material, dan jiwa yang bersifat immaterial. Bagian lahiriah (material)

yang terindera seperti tulang, daging, darah, dan bermacam-macam substansi lain

yang dapat diindera, dan bagian sisi batiniah (immaterial) seperti akal, kehendak,

kekuatan, dan seterusnya.40 Dalam dunia makhluk, manusia menempati posisi

khusus yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Manusia pada tataran kosmik,

sebagaimana dikatakan Ibn ‘Arabî adalah “wujud komprehensif”. Manusia,

sebagai Mikrokosmos, mengandung dalam dirinya sendiri seluruh sifat yang

terdapat di alam semesta.41 Ibn ‘Arabî mengatakan, alam adalah cermin bagi

Tuhan. Alam mempunyai banyak bentuk yang jumlahnya tidak terbatas. Karena

itu, dapat dikatakan bagi Tuhan terdapat banyak cermin yang jumlahnya tidak

terbatas. Cermin paling sempurna bagi Tuhan adalah Manusia sempurna, karena

ia memantulkan semua nama dan sifat tuhan, sedangkan makhluk-makhluk lain

memantulkan hanya sebagian nama dan sifat itu.42

Sifat asli atau primordial manusia sebagai makhluk teomorfis, yang

mempunyai potensi untuk menerima penampakan semua nama Tuhan, didasarkan

39 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nuruddin al-Raniry, h. 136dan 152.

40 Masataka Takeshita, Insan Kamil: Pandangan Ibn ‘Arabi, terj. Harir Muzakki(Surabaya: Risalah Gusti , 2005), h. 109.

41 Toshihiko Izutsu, Sufisme: Samudra Makrifat Ibn ‘Arabi, terj. Musa Kazhim dan ArifMulyadhi (Bandung: Mizan, 2016), h. 267.

42 Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabi: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan (Jakarta:Paramadina, 1995), h. 126.

Page 42: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

30

pada sebuah hadis yang menyatakan bahwa “Sesungguhnya Allah telah

menciptakan Adam menurut bentuk-Nya.” Nama Allah dalam Hadis Imago Dei

ini, mempunyai arti penting karena nama Allah adalah “nama yang mencakup”,

yang berarti mencakup semua nama Tuhan. Hadis ini ditafsirkan sebagai yang

menyatakan bahwa manusia diciptakan “menurut bentuk Allah”. Ini berarti bahwa

manusia diciptakan “menurut bentuk semua nama-Nya yang lain.” Itulah

sebabnya mengapa Allah mengatakan bahwa “Dia telah mengajar Adam semua

nama.” Dengan sifat teomorfismenya itu, manusia dapat memperlihatkan suatu

variasi tak terbatas nama-nama dan sifat-sifat Tuhan; nama dan sifat Tuhan yang

mana pun dapat muncul dan tampak pada manusia.43

Apa proses yang harus dilalui oleh seseorang agar ia menjadi Manusia

Sempurna? Jawaban Ibn ‘Arabî terhadap pertanyaan ini ditemukan pada ungkapan

terkenal yang sering dikatakannya, yaitu al-Takhalluq bi Akhlâq Allâh

(“berakhlak dengan akhlak Allah” “mengambil akhlak Allah”), atau al-Takhalluq

bi Asmâ Allâh (“berakhlak dengan nama-nama Allah,” “mengambil nama-nama

Allah”). Dalam teks-teks sufi, ungkapan ini, yang biasanya dianggap berasal dari

Nabi Saw., kerap kali dinyatakan dengan perkataan, Takhallaqû bi Akhlâq Allâh

(“Berakhlaklah dengan akhlak Allah”).44

Takhalluq di sini bukan berarti meniru secara aktif nama-nama Allah

karena tugas ini di luar kemampuan manusia dan lagi pula upaya meniru nama-

nama Allah sama dengan menyaingi Allah, yang menimbulkan arogansi luar

43 Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabi: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan, h. 127.44 Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabi: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan, h. 138.

Page 43: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

31

biasa. takhalluq berarti menafikan sifat-sifat kita sendiri dan menegaskan sifat-

sifat Allah, yang telah ada pada kita, meskipun dalam bentuk potensial. Takhalluq

adalah membuat nama-nama Tuhan yang berbentuk potensial dalam diri kita

menjadi aktual. Takhalluq adalah jalan spiriual menuju Tuhan yang melahirkan

akhlak mulia. Bagi Ibn ‘Arabî, takhalluq adalah sinonim dengan tasawwuf, dan

takhalluq harus berpedoman kepada syara’. Tanpa syara’ takhalluq mustahil.45

2. Faktor Keturunan dan Lingkungan

Bidang genetika evolusioner didasari dua penemuan independen yang

dipublikasikan dalam rentang waktu relatif singkat pada pertengahan abad ke-19.

Pada 1859, seorang mantan ahli ilmu alam kapal, Charles Darwin, menulis buku

paling penting dan paling berpengaruh sepenjang sejarah biologi, On the Origin of

Species. Enam tahun kemudian, yaitu pada 1865, seorang rahib petapa yang

bekerja di suatu biara kecil di negara yang sekarang dikenal sebagai Republik

Ceko, menerbitkan makalah teknis mengenai faktor-faktor yang dapat diwariskan

pada tumbuhan ercis (Pisum sativum). Dengan mengenali cara pewarisan “keras”

faktor-faktor pembawa sifat yang sebelumnya tak diketahui (baru dinamakan gen

pada 1909), secara mendasar Gregor Mendel memutarbalikkan seluruh gagasan

terdahulu mengenai cara kerja pewarisan sifat biologis.46

Marilah kita terlebih dahulu melihat apa itu gen dan bagaimana cara

kerjanya. Gen (gene) adalah unit dasar dari hereditas yang terletak dalam

kromosom, yaitu suatu struktur yang bentuknya seperti tongkat dan terletak di

45 Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabi: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan, h. 129-140.Bandingkan juga William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Pengetahuan Spiritual Ibn‘Arabi, terj. Achmad Nidjam, dkk (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001), h. 40 dan 130.

46 John C. Avise, The Genetic Gods: Kuasa Gen atas Takdir Manusia, terj. LeinovarBahfein (Jakarta: Serambi, 2007), h. 22-23.

Page 44: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

32

tengah-tengah (nukleus) setiap sel tubuh. Setiap sel sperma dan sel telur (ovum)

memiliki 23 kromosom; bila sperma dan telur menyatu pada saat pembuahan,

telur yang telah dibuahi dan semua sel tubuh yang akan berkembang pada

akhirnya (kecuali sel sperma dan telur) mengandung 46 kromosom, yang tersusun

dalam 23 pasang.47

Susunan kromosom yang berpasangan dua-dua mencerminkan dualisme

jenis kelamin yang misterius. Satu kromosom dalam setiap pasangan berasal dari

sebuah kromosom dalam sel sperma ayah, dan satu kromosom lagi berasal dari

sebuah kromosom dalam sel telur ibu. Setiap pasang kromosom laksana sepasang

suami-istri yang langgeng sampai mati. Kromosom berisikan molekul-molekul

DNA (deoxyribonucleic acid) yang bentuknya menyerupai benang. Gen-gen

tersebut mengandung sekumpulan kecil DNA. DNA manusia, suatu molekul

panjang dan kompleks yang meneruskan informasi genetik dari satu generasi ke

generasi berikutnya, membawa jejak sejarah manusia yang tak mungkin

terhapus.48

Setiap kromosom manusia mengandung ribuan gen, masing-masing

terletak di tempat tertentu. Terdapat sekitar 25.000 gen dalam genom manusia,

dan setiap gen berisi ratusan sampai ribuan pasangan basa DNA.49 Rahasia DNA

bukan terletak dalam sifat-sifat fisiknya yang amat sederhana, tetapi dalam

informasi yang dibawanya. Molekul-molekul DNA mirip cip-cip dalam komputer.

47 Carole Wade dan Carol Tavris, Psikologi, terj. Benedictine Widyasinta dan DarmaJuwono, Jilid 1 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 76.

48 Steve Olson, Mapping Human History: Gen, Ras, dan Asal-usul Manusia, terj. AgungPrihantoro (Jakarta: Serambi, 2006), h. 27 dan 13.

49 Elizabeth J.Crowin, Buku Saku Patofisiologi, terj. Nike Budhi Subekti (Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009), h. 41.

Page 45: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

33

Informasi di dalam DNA itu tersimpan dalam bentuk blok-blok bangunan yang

dikenal sebagai basa. Hanya ada empat blok yaitu yaitu asam amino adenine,

guanine, cytosine, thymine, disingkat menjadi A, G, C, dan T. Basa-basa itu

menjadi titik-titik sepanjang rantai panjang molekul DNA pada interval-interval

yang teratur, seperti manik-manik pada sebuah kalung.50

Setiap molekul DNA terdiri dari dua rantai manik-manik yang dililitkan

satu sama lain dalam kumparan dobel (double helix), diperkenalkan oleh James

Watson dan Francis Crick pada tahun 1952. Urutan manik-manik itu tidak

sembarangan. Setiap kali ada sebuah A di satu benang, muncul sebuah T di

benang lainnya, dan setiap kali ada G di salah satu benang, diimbangi dengan C

yang sesuai. Aturan-aturan dalam menempatkannya secara berpasang-pasangan

inilah yang memungkinkan DNA secara setia dikopi setelah sel-sel membelah.51

Salah satu metode yang pernah digunakan untuk mencari gen yang

berkaitan dengan sejumlah kondisi fisik dan mental melibatkan linkage study.

Studi ini memanfaatkan kecenderungan gen-gen yang letaknya berdekatan satu

sama lain dalam kromosom diwariskan bersama-sama dari generasi ke generasi

secara turun-temurun. Para peneliti mengawali studinya dengan mencari penanda

genetis (genetic marker), yaitu segmen-segmen DNA yang sangat bervariasi

antar-individu, dan yang letaknya dalam kromosom telah diketahui. Kemudian,

mereka mencari pola-pola warisan dari penanda genetis ini dalam suatu keluarga

besar di mana suatu kondisi tertentu semisal depresi atau kekerasan impulsif

50 John P.J Pinel, Biopsikologi, ter. Helly Prajitno dan Sri Mulyantini (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2012), h. 49.

51 Dean Hamer, Gen Tuhan: Iman Sudah Tertanam dalam Gen Kita, terj. T. Hermaya(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 63.

Page 46: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

34

umum terjadi. Bila suatu penanda genetis cenderung hanya terdapat di antara para

anggota keluarga yang memiliki kondisi tersebut di atas, penanda tersebut dapat

digunakan sebagai petunjuk genetik. Gen yang terlibat dalam kondisi tersebut di

atas, penanda mungkin terletak berdekatan dalam kromosom, sehingga dengan

demikian para peneliti mendapatkan ide di mana mereka dapat mencari gen yang

dimaksud. 52

Banyak dari gen ini yang ditemukan juga pada hewan, namun terdapat

juga gen-gen tertentu yang khas pada manusia, yang membedakan manusia

dengan simpanse, kumbang, dan tumbuh-tumbuhan. Banyak gen secara langsung

memengaruhi suatu sifat tertentu, tetapi ada gen lain yang pengaruhnya tidak

langsung, yaitu dengan mengaktifkan atau menghentikan kerja gen lain sepanjang

hidup seseorang. Banyak gen diwariskan orang dalam bentuk yang sama. Ada

sejumlah gen lain yang beraneka ragam dan hal itu membentuk individualitas

setiap orang.53

Studi-studi tentang kembar identik mengisyaratkan bahwa faktor-faktor

genetik secara garis besar bertanggung jawab atas separuh dari variasi atau

perubahan yang terjadi dalam ciri-ciri perilaku manusia. Ilmuwan pertama yang

membuka kemungkinan menggunakan orang kembar sebagai sarana untuk

menjawab berbagai pertanyaan kuantitatif mengenai asal-usul perilaku adalah Sir

Francis Galton, ilmuwan Inggris abad ke-19 yang adalah sepupu Darwin. Alasan

utama menggunakan orang kembar dalam penelitian genetika perilaku adalah

untuk menentukan heritabilitas (kemungkinan diturunkan), yang dirumuskan

52 Carole Wade dan Carol Tavris, Psikologi, h. 77.53 Carole Wade dan Carol Tavris, Psikologi, h. 76.

Page 47: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

35

sebagai persentase variasi dalam perilaku yang diakibatkan oleh perbedaan

genetik. Heritabilitas dapat secara amat langsung diukur dengan

memperbandingkan kembar identik yang dipisahkan sejak lahir serta diasuh

secara terpisah. Jika diperlakukan demikian, kembar tersebut tetap memiliki gen-

gen yang sama namun diasuh dalam lingkungan yang berbeda, maka tingkat

keserupaannya satu sama lain dapat menjadi taksiran atau perkiraan langsung

tentang tingkat heritabilitasnya. Derajat keserupaannya dapat dihitung sebagai

sebuah korelasi.54

Namun, menurut John C. Avise, penelitian di atas juga memiliki

keterbatasan dalam pengukuran psikometrik. Bisakah kita mengukur skor

kuantitatif untuk mewakili kecenderungan agresif, kecenderungan altruistis,

tingkat motivasi, atau kualitas moral seseorang? Pengukuran psikometri

menghadapi tantangan yang lebih besar ketimbang identifikasi kondisi fisik

seperti penyakit Huntington atau warna mata seseorang. Berbagai rintangan

psikometris tersebut menambah kesukaran riset untuk mengidentifikasi komponen

warisan dan lingkungan pada variasi perilaku. Yang lebih mungkin terjadi adalah

bahwa kebanyakan ciri perilaku dan psikologis akan terbukti dipengaruhi oleh

banyak gen yang berinteraksi dan berkolaborasi dengan paparan lingkungan.

Yang diperselisihkan adalah kadar dan sifat kontribusi genetis.55

Menurut Steve Olson, tidaklah mengejutkan jika disimpulkan bahwa

pengaruh gen pada kecerdasan tidak ditemukan dalam penelitian yang lebih

seksama. Manusia mempunyai terlalu banyak persamaan genetik untuk

54 Dean Hamer, Gen Tuhan: Iman Sudah Tertanam dalam Gen Kita, h. 45.55 John C. Avise, The Genetic Gods: Kuasa Gen atas Takdir Manusia, h. 226.

Page 48: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

36

menghasilkan perbedaan-perbedaan kecerdasan seperti yang ditengarai oleh para

ahli keturunan. Ada perbedaan mendasar antara sebuah ciri sederhana seperti

warna kulit dan sebuah ciri kognitif yang kompleks seperti kecerdasan. Warna

kulit ditentukan oleh sejumlah gen dan tidak tergantung pada pengalaman-

pengalaman yang seorang anak peroleh dalam kandungan dan dalam kehidupan

sosial. Perkembangan otak melibatkan ribuan gen dan niscaya berkaitan dengan

pengalaman. Dalam sebuah spesies yang secara genetis sama homogennya dengan

manusia, perilaku-perilaku yang berbeda dalam sebuah kelompok tidak pernah

mempunyai asal-usul biologis, sebab kompleksitas interaksi gen-lingkungan akan

selalu mengurangi perbedaan genetik antar-kelompok.56

Mengingat rumitnya hubungan antara gen dan pengalaman, tak seorang

pun dapat memastikan bahwa sebuah ciri kognitif katakanlah 50% dipengaruhi

oleh lingkungan dan 50% oleh gen. Kedua pengaruh ini bersilang-sengkarut

secara rumit sehingga tidak dapat dipisahkan. Walaupun mengetahui sebuah ciri

dipengaruhi secara genetis di sebuah lingkungan tertentu, kita buta terhadap

pengaruh genetik pada ciri tersebut di lingkungan-lingkungan lain. Oleh karena itu

tidak mungkin meneliti orang-orang yang berbeda secara genetis di seluruh ring

lingkungan mereka dan kita tidak akan pernah dapat mengatakan bahwa sebuah

varian genetik tertentu selalu menyebabkan sebuah perilaku yang kompleks.57

Pada 26 Juni tahun 2000, Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton,

mengumumkan rampungnya proses pemetaan atas sebagian besar genome

56 Steve Olson, Mapping Human History: Gen, Ras, dan Asal-usul Manusia, h. 93 dan 94.57 Steve Olson, Mapping Human History: Gen, Ras, dan Asal-usul Manusia, 95.

Page 49: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

37

manusia oleh dua kelompok penelitian; yang satu dari lembaga pendanaan federal;

dan yang lain dari sebuah laboratorium industri. Tidak mengherankan jika media

massa mengumumkan bahwa para ilmuwan telah menemukan “cetak biru

manusia”. Anggapan bahwa genome merupakan “cetak biru” bisa menyesatkan

karena mengandaikan hasil yang sudah dapat diramalkan secara pasti. Anggapan

ini mengabaikan peran lingkungan yang juga menetukan ekspresi gen.58

Sebagaimana dikatakan Ian G. Barbour, faktor-faktor genetik dan kultural

tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan gampang. Bahkan, orang-orang kembar

pun bisa saja menghadapi situasi lingkungan, subkultur, dan pengalaman yang

berbeda, yang pada gilirannya mempengaruhi hidup mereka. Faktor alam (nature)

dan budaya (nurture) selalu hadir bersama-sama; keduanya tidak dapat

dipertimbangkan secara terpisah.59 Tiap kumpulan gen memerlukan kisaran

kondisi lingkungan yang sesuai agar terekspresikan dengan baik, dan tiap

lingkungan akan lebih sesuai dengan sebagian genotipe ketimbang yang lainnya.

Sebagai contoh, bahasa tertentu yang diucapkan anak kecil ditentukan oleh

konteks sosialnya, namun kemampuan untuk memiliki kecakapan berbahasa rumit

tetap merupakan ciri khas manusia yang berdasar genetis.60

Peran genetis dan lingkungan memang sangat signifikan. Namun, menurut

Dean hamer istilah “lingkungan” (environment) sebetulnya sebutan yang agak

keliru, sebab segala faktor yang dapat memengaruhi “akan menjadi apa kita

58 Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer, terj. Franciskus Borgias(Bandung: Mizan, 2005), h. 148.

59 Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer, h. 152.60 John C. Avise, The Genetic Gods: Kuasa Gen atas Takdir Manusia, h. 40

Page 50: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

38

kelak” tentu bukan semata-mata satu entitas tunggal. Lingkungan mencakup

segala sesuatu. Lingkungan adalah apa saja dan segala sesuatunya, meliputi hal

biologis, jasmaniah, intelektual, yang tidak kita warisi sebagai DNA. Kalangan

ilmuwan perilaku membagi lingkungan menjadi dua kategori utama: yang dimiliki

bersama (shared) dan yang unik/khas (unique). Dalam studi atas orang kembar,

lingkungan yang dimiliki bersama adalah segala sesuatu yang dialami bersama

oleh kedua saudara kembar selama masa mereka tumbuh bersama dalam sebuah

lingkungan keluarga. Lingkungan yang khas adalah segala sesuatu selain yang

telah disebutkan tadi.61

Mana yang berperan lebih penting, lingkungan yang dimiliki bersama atau

lingkungan yang unik? Data orang kembar dapat digunakan untuk menjawab

pertanyaan ini. Seandainya lingkungan yang dimiliki bersama penting, misalnya,

maka baik kembar identik maupun kembar fraternal akan lebih mirip satu sama

lain daripada individu-individu siapa pun yang tumbuh besar di dalam keluarga

yang berbeda. Lebih daripada itu, besarnya korelasi yang disebabkan oleh

lingkungan yang dimiliki bersama tak akan dipengaruhi oleh gen mereka, sebab

kedua jenis kembar (identik dan fraternal) akan mengalami lingkungan yang sama

itu sampai pada tahap yang sama. Kembar fraternal akan menjadi jauh lebih mirip

satu sama lain daripada yang diperkirakan berdasarkan tingkat keserupaan genetik

mereka yang mencapai 50 persen itu.

Sebaliknya, jika lingkungan yang unik merupakan faktor penentu, maka

kembar fraternal dan kembar identik akan kurang mirip satu dengan yang lainnya,

61 Dean Hamer, Gen Tuhan: Iman Sudah Tertanam dalam Gen Kita, h. 52.

Page 51: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

39

bukannya lebih mirip. Apa pun keserupaan yang ada di antara orang kembar, itu

disebabkan oleh gen-gen plus lingkungan bersama, dan bagian manapun dari

keserupaan yang diwarisi akan dua kali lebih besar pada kembar identik daripada

pada kembar fraternal. Dengan menggabungkan kedua fakta itu, mudahlah

membuat derivasi dari persamaan-persamaan yang dapat menguraikan kontribusi

dari gen, lingkungan bersama, dan lingkungan khas.62

62 Dean Hamer, Gen Tuhan: Iman Sudah Tertanam dalam Gen Kita, h. 54.

Page 52: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

40

BAB III

SKETSA BIOGRAFI

A. IBN MISKAWAYH

1. Riwayat Hidup

Abû ‘Alî Aḥmad Ibn Muḥammad Ibn Yaʻqûb Ibn Miskawayh

(Muskûyâ) Al-Khâzin (‘Si Penjaga’), seorang sejarahwan, filosof, dokter,

sekretaris, pustakawan, dan anggota istana. Lahir pada 325 H./936 M. di Rayy dan

meninggal pada tanggal 9 Shafar 421 H./16 Februari 1030 M. di Ishfahan.1 Yaqût,

sebagaimana dikutip oleh Badawi, berkata bahwa ia mula-mula beragama majusi,

kemudian memeluk Islam. Tetapi, hal ini barangkali benar bagi ayahnya, karena

Ibn Miskawayh sendiri sebagaimana tercermin pada namanya adalah putra

seorang Muslim, yang bernama Muḥammad.2

Diduga ia seorang penganut Syiʻah karena sebagian besar umurnya

dihabiskan untuk mengabdi kepada para menteri Syiʻah dalam zaman

pemerintahan Bani Buwaihiyyah yang dimulai pada tahun 320 H. sampai dengan

tahun 448 H.3 Dugaan-dugaan mengenai afiliasinya terhadap Syi’ah didasarkan

pada alasan yang kuat. Khwansari, sebagaimana dikatakan Kraemer,

menggolongkan Ibn Miskawayh sebagai Syiʻah Imamiyah. Ia mengatakan bahwa

Shadr al-Dîn al-Syîrâzî penganut Syiʻah punya banyak buku-bukunya, dan

1 Joel L. Kraemer, Renaisans Islam, terj. Asep Saefullah (Bandung: Mizan, 2003), h. 3042 Abdurrahman Badawi, “Ibn Miskawayh” dalam M.M. Syarif (ed.), Para Filosof

Muslim, terj. Ahmad Muslim dan Yustiono (Bandung: Mizan, 1996), h. 83.3 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 56.

Page 53: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

41

bahwa Muḥammad al-Bâqir Ibn Al-Dâmâd, juga seorang Syiʻah, menunjuk pada

pengakuan atas hak-hak keluarga Nabi (ahl al-bayt) dan kewajiban untuk menaati

mereka. M. Arkoun, sebagaimana dikatakan Badawi, mengklasifikasikan cabang

Syi’ismenya sebagai bentuk yang spekulatif yang, menurutnya, merupakan

karakteristik Al-Fârâbî dan Ikhwân Al-Shafâ.4

Ibn Miskawayh tinggal selama tujuh tahun bersama Abû al-Fadhl Ibn al-

Âmid (360 H./970 M.) sebagai pustakawannya. Setelah wafatnya Abû al-Fadhl,

Ibn Miskawayh mengabdi kepada putranya Abû al-Fatḥ Alî Ibn Muḥammad Ibn

al-Âmid, dengan nama keluarga Dzû al-Kifâyatayn. Ia juga mengabdi kepada

ʻAdud al-Daulah, salah seorang Buwaihiyyah, dan kemudian kepada beberapa

pangeran yang lain dari keluarga terkenal itu.5 Sebagai bendahara penguasa

dinasti Buwaihiyyah ʻAdud al-Daulah, ia banyak terlibat dalam segi praktis

masyarakatnya, sementara sebagai anggota kelompok intelektual termasuk al-

Tauḥîdî dan al-Sijistânî, ia banyak memberikan andil bagi perdebatan teoretis

masa itu.6 Berdasarkan riwayat hidup singkat dalam Shiwân al-Ḥikmah, ia juga

mengabdi kepada Syams al-Daulah, dan sesudah itu meninggalkan Baghdad

menuju Rayy. Selama masa- masa penarikan dirinya, ia mengabdi sebagai dokter

kepada Khwarizmsyah. Ia kemudian bersahabat dengan Ibn Sînâ. Sebuah anekdot

yang disebutkan Al-Baihâqî menyatakan bahwa Ibn Sînâ menilainya dengan

penghargaan yang rendah. Pada suatu waktu, ia berperilaku kurang ajar di dalam

4 Joel L. Kraemer, Renaisans Islam, h. 3055 Abdurrahman Badawi ”Ibn Miskawayh” dalam M.M. Syarif (ed.), Para Filosof Muslim,

h. 84.6 Oliver Leaman, “Ibn Miskawayh” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.),

Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 310.

Page 54: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

42

ruangan kelas sehingga Ibn Miskawayh menyerahkan karyanya Tahdzîb al-Akhlâq

kepadanya.7

Gurunya dalam lapangan sejarah adalah Abû Bakr Aḥmad Ibn Kâmil al-

Qâdhî, sedang dalam bidang filsafat adalah adalah Ibn al-Khammar.8 Ibn

Miskawayh memberikan sejumlah detail-detail autobiografis dalam karya

sejarahnya yang termahsyur, Tajârib Al-Umam. Dalam berita kematian tahun 350

H./961 M., ia menyebutkan seorang hakim yang bernama Abû Bakr Aḥmad Ibn

Kâmil, yang dikatakan mempunyai hubungan persahabatan dengan sejarahwan

Al-Thabârî. Ibn Miskawayh menyatakan bahwa ia mempelajari karya Al-Thabârî,

Târikh al-Thabârî, kepada Ibn Kâmil. Disebutkan pula bahwa Ibn Kâmil tinggal

di jalan ‘Abd Al-Shamad dan ia sering berjumpa dengannya.9 Ibn Miskawayh

mengkaji kimia bersama Abû al-Thayyib al-Râzî. Dari beberapa pernyataan Ibn

Sînâ dan al-Tauḥîdî tampak bahwa mereka berpendapat bahwa ia tak mampu

berfilsafat.10 Al-Tauḥîdî adalah seorang teman dan kolega Ibn Miskawayh.

Mereka berkolaborasi dalam al-Ḥawâmil wa al-Syawâmil, dan sebuah karya

ringkas yang berjudul On The Essence of Justice, ditulis oleh Ibn Miskawayh

untuk menjawab pertanyaan yang diajukan al-Tauḥîdî. Ia mengabdi kepada wazir

Al-Muḥallabi, Ibn Al-Âmid dan Ibn Saʻdan. Al-Tauḥîdî mengemukakan bahwa

ia saat itu baru saja memberikan kepada Ibn Miskawayh sebuah salinan komentar

atas Isagoge Porphyry dan Categoriae Aristoteles yang dibuat oleh seseorang

7 Joel L. Kraemer, Renaisans Islam, h. 305.8 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 88.9 Joel L. Kraemer, Renaisans Islam, h. 30510 Abdurrahman Badawi “Ibn Miskawayh”dalam M.M. Syarif (ed.), Para Filosof Muslim,

h. 83-84.

Page 55: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

43

yang dikatakan sebagai “teman kami di Rayy”, seorang sekretaris yang bernama

Abû Al-Qâsim, asisten Abû Al-Ḥasan Al-Âmîrî. Dalam situasi seperti itu, al-

Tauḥîdî berkomentar bahwa Ibn Miskawayh meminta bantuan kepada Ibn al-

Khammar dan kadang-kadang mengunjungi Abû Sulaiman al-Sijistânî. Ia tidak

mempunyai waktu luang dan merasa sedih atas sesuatu yang sebelumnya ia

lewatkan.11

Ibn Miskawayh, seperti al-Tauḥîdî dan al-Sijistânî adalah para sastrawan

dan ahli ilmu pasti pada masa itu. Pengetahuannya berkisar dari sejarah, psikologi,

dan terus ke etika. Di antara tulisan-tulisannya, kita mempunyai sebuah sejarah

dunia, Tajârib al-Umam; sebuah koleksi peribahasa Yunan-Persia-Arab, Jawidan

Khirad; sebuah risalah etika Tahdzîb al-Akhlâq; dan risalah psikologis.12 Ibn

Miskawayh pada dasarnya adalah ahli sejarah dan moralis. Bahkan mungkin tidak

sepantasnya sebuah studi etika dalam pemikiran Islam tanpa menyinggung

dirinya. Bila ketenaran para filosof Muslim bukan pada etika, maka Ibn

Miskawayh telah mengabdikan seluruh perhatian dan upayanya yang barangkali

jauh melebihi pemikir Islam lain manapun dalam bidang etika.13 Yaqût—

sebagaimana dikutip oleh Badawi—menyebutkan bahwa pada tahun-tahun

terkemudian dia berupaya mengikuti lima belas pokok petunjuk moral.

Kesederhanannya dalam melayani nafsu, ketegaran dalam menundukkan diri yang

serakah dan kebijakan dalam mengatur dorongan-dorongan yang tak rasional

11 Joel L. Kraemer, Renaisans Islam, h. 31112 Majid fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terj. R. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta:Pustaka

Jaya,cet.1, 1986), h. 265.13 Ahmad Mahmud Shubhi, Filsafat Etika: Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionalis

Islam, terj. Yunan Askaruzzaman Ahmad (Jakarta: Serambi, 2001), h. 309.

Page 56: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

44

merupakan pokok-pokok petunjuk ini.14 Ibn Miskawayh sendiri berbicara tentang

perubahan akhlak dirinya dalam bukunya, Tahdzîb al-Akhlâq. Ia mengatakan:

“Perlu diketahui, bahwa saya, setelah beranjak dewasa dapat menjauhkandiri dari hal-hal yang buruk ini, melalui perjuangan keras dan berat.Mudah-mudahan Anda, wahai pencari kemuliaan dan keutamaan moraldapat berhasil seperti saya. Saya kemukakan kepada Anda kerugian masamuda saya, agar Anda tahu, dan tentu saja menjadi penunjuk jalankeberhasilan Anda, sebelum melangkah lebih jauh ke lembah kesesatan,agar menjadi perahu penyelamat, sebelum Anda tenggelam dalamsamudera kehancuran. Dengan nama Allah saya katakan, jagalah jiwamu,wahai daudara-saudara dan anak-anakku! Peluklah erat-erat kebenaran.Milikilah akhlak yang baik. Upayakanlah kearifan yang cemerlang. Titilahjalan yang lurus. Renungkan seluruh keadaan jiwamu, dan ingatlah selalufakultas-fakultasnya.”15

2. Karya-karya

Abdurrahman Badawi mengutip pendapat Yaqût yang memberikan daftar

13 buah karya Ibn Miskawayh:

1. Al-Fauz al-Akbar.

2. Al-Fauz al-Asghar.

3. Tajârib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ia tulis pada tahun

369 H./979 M.).

4. Uns al-Fârîd (kumpulan anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata mutiara).

5. Tartîb al-Saʻâdah (tentang akhlak dan politik).

6. Al-Musthafâ (syair-syair pilihan).

14 Abdurrahman Badawi “Ibn Miskawayh” dalam M.M. Syarif (ed.), Para FilosofMuslim, h. 83-84

15 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi Hidayat (Bandung: Mizan,1994), h. 71.

Page 57: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

45

7. Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak).

8. Al-Jâmiʻ.

9. Al-Siyâr (tentang aturan hidup).

Mengenai karya-karya di atas, al-Qiftî, sebagaimana dikatakan Badawi,

hanya menyebut 1, 2, 3 dan 4, dan menambahkan sebagai berikut:

10. Tentang Pengobatan Sederhana (mengenai kedokteran).

11. Tentang Komposisi Bajat (mengenai sen memasak).

12. Kitâb al-Asyribah (mengenai minuman).

13. Taḥdzîb al-Akhlâq (mengenai akhlak).

Nomor-nomor 2, 3 dan 13 kini masih ada, dan telah diterbitkan. Juga ada

lima daftar lagi yang tidak disebut oleh Yaqût dan al-Qiftî, yaitu:

14. Risâlah fî al-Ladzdzat wa al-ʻAlam fî Jawhar al-Nafs.

15. Ajwibah wa As’ilah fî al-Nafs wa al-‘Aql.

16. Al-Jawâb fî al-Masâ’il al-Tsalâts.

17. Risalâh fî Jawâb fi Su’âl ʻAli Ibn Muḥammad Abû Ḥayyan al-Shûfî fî

Haqîqah al-‘Aql.

18. Thahârah al-Nafs.

Page 58: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

46

Badawi menukil pendapat Muhammad Bâqir Ibn Zain al-Âbidin al-

Hawanshari yang mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa risalah pendek

dalam bahasa Parsi. Mengenai urutan karya-karyanya, kita hanya tahu dari Ibn

Miskawayh sendiri bahwa al-Fauz al-Akbar ditulis setelah al-Fauz al-Ashghar,

dan Tahdzîb al-Akhlâq ditulis setelah Tartîb al-Saʻâdah.16

B. AL-GHAZÂLÎ

1. Riwayat Hidup

Nama lengkap al-Ghazâlî adalah Abû Ḥâmid Muḥammad Ibn

Muḥammad Ibn Aḥmad, yang karena kedudukan tingginya dalam Islam dia

digelari Ḥujjah al-Islâm. Ayahnya menurut sebagian penulis biografi bekerja

sebagai pemintal wol. Dari latar itulah sufi kita ini terkenal dengan al-Ghazzâlî

(pemintal wol), sekalipun ia terkenal pula dengan al-Ghazâlî, sebagaimana halnya

diriwayatkan al-Samʻâni dalam karyanya al-Anshâb, yang dinisbatkan pada suatu

kawasan yang yang disebut Ghazâlah.17

Al-Ghazâlî dilahirkan pada 450 H./1058 M. di Thûs, kini dekat Masyhad,

di kawasan Khurasan yang sebelum masa hidupnya telah menghasilkan begitu

banyak sufi terkenal sehingga Ḥujwîrî (w. 464 H./1071 M.) menyebutnya sebagai

tanah “di mana bayangan kemurahan Tuhan mengayomi” dan di mana “matahari

cinta dan keberuntungan jalan sufi berkuasa”. Distrik Thûs sendiri adalah tempat

kelahiran banyak pribadi menonjol dan orang terpelajar dalam Islam, termasuk

16 Abdurrahman Badawi “Ibn Miskawayh” dalam M.M. Syarif (ed.), Para FilosofMuslim, h. 84-85.

17 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad RofiUtsmani (Bandung: Pustaka, 1997), h. 148.

Page 59: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

47

penyair Firdausi (w. 416 H./1025 M.) dan negarawan Nizhâm al-Mulk (w. 495 H./

1092 M.), yang ditakdirkan memainkan peran menonjol dalam kehidupan

intelektual al-Ghazâlî . Di antara para sarjana keagamaan termasyhur, kita harus

menyebutkan secara khusus paman al-Ghazâlî sendiri yang diriwayatkan telah

mengajarkan fiqh kepada al-Farmâdzî (w. 477 H./1084 M.), orang asli Thûs

terkenal lainnya dan salah satu guru al-Ghazâlî dalam sufisme.18

Pada mulanya, al-Ghazâlî belajar di tempat asalnya, Thûs. Di sini ia

belajar ilmu fiqh kepada seorang ulama yang bernama Aḥmad Ibn Muḥammad

al-Razakânî. Setelah itu, ia belajar di Jurjan kepada Imâm Abû Nashr al-Ismâʻîlî,

di mana ia menulis suatu ulasan dalam ilmu fiqh. Bersama rombongan mahasiswa

dari Thûs, al-Ghazâlî melanjutkan studinya di Naisabur pada seorang ulama

terkenal, Imâm al-Ḥaramayn Abû al-Maʻâlî al-Juwainî. Di sini ia belajar

mazhab-mazhab fiqh, retorika, logika dan juga ilmu filsafat, sehingga melebihi

kawan-kawannya.19

Sewaktu mengajar di perguruan tinggi Nizhâmiyyah Baghdad, Imâm al-

Haramayn memperkenalkan al-Ghazâlî kepada Perdana Menteri Dinasti Saljuk,

Nizhâm al-Mulk yang mendirikan perguruan tersebut. Nizhâm al-Mulk kemudian

meminta al-Ghazâlî mengajar di perguruan Nizhamiyyah. Pada tahun 484 H. dia

diangkat menjadi guru besar dan sekaligus pemimpin perguruan tersebut. Al-

18 Osman Bakar, Hirarki Ilmu:Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto(Bandung:Mizan, 1997), h. 179.

19 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, h. 97.

Page 60: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

48

Ghazâlî mengajar di sana selama empat tahun, dan pada waktu itu pula al-Ghazâlî

meraih popularitas dan kedudukan yang tinggi di tengah-tengah para ulama lain.20

Namun, pada 488 H./1095 M. dia mengalami kegoncangan jiwa dan

keraguan yang sangat hebat, yang membuat dirinya secara fisik tidak dapat lagi

memberi kuliah. Beberapa bulan kemudian dia meninggalkan Baghdad dengan

dalih untuk melaksanakan haji, tetapi sebenarnya dia ingin meninggalkan status

guru-besarnya dan karirnya secara keseluruhan selaku ahli hukum dan teolog.21

Perkenalan al-Ghazâlî dengan klaim-klaim metodologis Mutakallimûn, filosof,

Taʻlîmiyyah, dan sufi memberikan andil sebagai penyebab krisis pribadinya yang

pertama. Sifat sesungguhnya krisis ini tampaknya bersifat epistemologis, karena

pada dasarnya merupakan krisis mencari tempat yang tepat bagi daya-daya

mengetahui (daya-daya kognitif) dalam skema total pengetahuan.

Secara khusus, krisis itu merupakan krisis dalam menetapkan hubungan

yang tepat antara akal dan intuisi intelektual. Sebagai seorang pelajar muda, al-

Ghazâlî telah dibingungkan oleh pertentangan antara kehendak akal di satu pihak,

sebagaimana dalam kasus Mutakallimûn dan filosof, dan kehandalan pengalaman

supra-rasional di pihak lain sebagaimana dalam kasus sufi dan Taʻlîmiyyah.

Sesungguhnya, dia pun tiba pada keraguan akan kehandalan data indera dan data

rasional dari kategori kebenaran-kebenaran yang ‘self-evident’ atau membuktikan

dirinya sendiri. Al-Ghazâlî menyatakan bahwa ia terbebas dari krisis itu bukan

20 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran dalam Filsafat Islam: Memahami AlurPerdebatan al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd (Tangerang: UIN Jakarta Press, 2004), h. 19.

21 M. Amin Abdullah, antara al-Ghazâlî dan Kant: Filsafat Etika Islam, terj. Hamzah(Bandung: Mizan, 2002), h. 29.

Page 61: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

49

melalui argumen rasional melainkan sebagai akibat dari cahaya (nûr) yang

disusupkan Tuhan ke dalam dadanya.22

Al-Ghazâlî mulai menjalani suatu kehidupan baru, yaitu kehidupan

asketis, ibadah, penyempurnaan rohaniah serta moral, dan pendekatan diri kepada

Allah.23 Mengenai niatnya untuk menyempurnakan rohani serta memperbaiki

moralnya, al-Ghazâlî berkata dalam al-Munqidz min al-Dhalâl sebagai berikut:

“Aku ingin memperbaiki diriku, juga orang lain, tetapi aku tidak tahuapakah aku akan sampai kepada keinginanku atau ajal lebih dahulumenjemputku sebelum tujuanku itu tercapai. Namun, aku yakin bahwatidak ada daya dan kekuatan kecuali karena Allah,Yang Maha Tinggi,Maha Perkasa, dan bahwa semua ini bukanlah hasil jerih payahku, tetapikarena-Nya semata; dan bahwa bukan aku yang melakukannya, tetapiDialah yang melakukannya melalui diriku. Maka aku memohon kepada-Nya, pertama, untuk memperbaikiku, kemudian menjadikanku sebagaiwahana pembaharuan; untuk membimbingku, kemudian menjadikankusebagai wahana petunjuk; untuk memperlihatkan kepadaku kebenaransebagai kebenaran; dan memberi kekuatan kepadaku untuk mengikutinya;dan untuk memperlihatkan kepadaku kebatilan sebagai kebatilan, danmemberiku kekuatan untuk menjauhinya.”24

Pada tahun 488 H. al-Ghazâlî keluar dari Baghdad untuk menunaikan

ibadah haji. Kemudian pada tahun 489 H. pergi ke Syam serta tinggal di

Damaskus, mengajar di ruangan sebelah barat masjid kota itu. Dari situ lalu dia

pergi ke Bayt al-Maqdis untuk beribadah. Diriwayatkan bahwa dari sana dia terus

pergi ke Mesir dan untuk beberapa lama tinggal di Iskandariah, dan kemudian ia

kembali ke Thûs untuk menulis karya-karyanya. Menurut Ibn Khalikkan, al-

Ghazâlî diminta untuk kembali ke Nishapur dan mengajar kembali di perguruan

22 Osman Bakar, Hirarki Ilmu:Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, h. 183.23 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, h. 153.24 Al-Ghazâlî , Setitik Cahaya dalam Kegelapan, terj. Masyhur Abadi (Surabaya: Pustaka

Progressif, 2001), h. 209-210.

Page 62: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

50

tinggi al-Nizhâmiyyah. Setelah berkali-kali diminta dia lalu meluluskan

permintaan itu.25

Setelah Fakhr al-Mulk mati terbunuh pada tahun 500 H./ 1107 M., al-

Ghazâlî kembali ke rumahnya di Thûs, di mana ia menghabiskan sisa umurnya

untuk membaca al-Quran, hadits serta mengajar. Di sebelah rumahnya, ia

membangun madrasah untuk para penuntut ilmu dan tempat khalwat (khaniqah)

bagi para sufi. Pada hari senin, 14 Jumadi al-Âkhirah, tahun 505 H./18 Desember,

1111 M., Imam al-Ghazâlî meninggal di tempat asalnya, Thûs, dalam usia lima

puluh lima tahun dengan meninggalkan sejumlah anak perempuan.26

2. Karya-karya

Imam al-Ghazâlî adalah seorang pemikir yang produktif dalam berkarya

serta luas wawasannya. Dia menyusun banyak buku dan risalah, yang menurut

sebagian pensyarah karyanya, Iḥya’ ‘Ulûm al-Dîn, kurang lebih delapan puluh.

Ini meliputi berbagai bidang, seperti fiqh, ushul fiqh, ilmu kalam, akhlak, logika,

filsafat, dan tasawuf.

Di bidang filsafat misalnya, al-Ghazâlî telah menyusun suatu karya yang

terkenal, Maqâshid al-Falâsifah, yang menguraikan secara obyektif ilmu-ilmu

kealaman dan ketuhanan dari para filosof Peripatetik, seperti al-Fârâbî dan Ibn

Sînâ. Bahkan karyanya Tahafût al-Falâsifah, menolak sebagian pendapat para

filosof serta menguraikan kontradiksi dan kelemahan yang terdapat dalam filsafat-

25 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, h. 153.26 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, h. 99.

Page 63: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

51

filsafat mereka. Tampaknya karya-karya tersebut disusun sebelum dia

meninggalkan Baghdad tahun 488 H.27

Di bidang teologi pun dia menyusun berbagai karya yang pembahasannya

terkenal mendalam, seperti al-Iqtishâd fî al-Iʻtiqâd serta al-Jamʻ al-ʻAwâm ‘an

‘Ilm al-Kalâm. Sebagai seorang teolog, dia dipandang sebagai salah seorang tokoh

terkemuka aliran Asyʻariyyah. Di bidang logika ia menulis karya yang terkenal,

Miʻyâr al-‘Ilm. Di bidang fiqh karyanya cukup banyak, dan di bidang ushul fiqh

dia menyusun karya yang terkenal, al-Mustashfâ.

Di bidang tasawuf pun karya-karyanya cukup banyak, yang paling penting

adalah Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Dalam karya tersebut dia menguraikan secara rinci

pendapatnya tentang tasawuf, serta menghubungkannya dengan fiqh maupun

moral agama. Sedangkan karya-karyanya yang lain, al-Munqidz min al-Dhalâl, di

mana ia menguraikan secara menarik kehidupan rohaniahnya, Minhâj al-‘Âbidîn,

Kimia al-Saʻâdah, al-Risâlah al-Laduniyyah, Misykât al-Anwâr, al-Madhmûn

bih ‘alâ Ghayr Ahlih, al-Maqâshid al-Atsnâ fî Syarh Asmâ al- Ḥusnâ, dan

sebagainya.28

27 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, h. 153.28 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, h. 154.

Page 64: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

52

BAB IV

PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH DAN

AL-GHAZÂLÎ

A. Perubahan Akhlak Perspektif Ibn Miskawayh

Bagian terpenting kegiatan filosofis Ibn Miskawayh ditujukan kepada

etika. Ia moralis dalam arti yang sebenarnya. Mengenai filsafat-filsafatnya, ia

banyak berutang kepada al-Fârâbî, terutama dalam mempertemukan ajaran-ajaran

Plato, Aristoteles dan Plotinus. Tulisan-tulisannya merupakan penyingkap terbaik

pembuktian Plato tentang kekekalan jiwa.1 Untuk memaparkan pendapatnya

tentang akhlak, Ibn Miskawayh mengedepankan pembahasan tentang jiwa, karena

ia memandang bahwa jalan untuk mencapai kesempurnaan akhlak adalah

pertama-tama mengenal jiwa, daya-dayanya, sifat-sifatnya, tujuan dan

kesempurnaannya.2 Ibn Miskawayh membahas masalah jiwa, hakikat dan tujuan

akhirnya dalam dua buku, Fauz al-Ashgar dan Tahdzîb al-Akhlâq.3

1. Daya-daya Jiwa

Ibn Miskawayh mendefinisikan jiwa sebagai substansi sederhana yang

tidak dapat diindera oleh salah satu indera.4 Ia mengatakan jiwa bukan tubuh,

bukan pula bagian dari tubuh, dan bukan pula materi (‘aradh). Ia tidak akan

berubah menjadi lebih panjang, lebih lebar, dan lebih tinggi. Bahkan tidak akan

1 Abdurrahman Badawi, ”Ibn Miskawayh” dalam M.M Syarif (ed.), Para Filosof Muslim,terj. Ahmad Muslim dan Yustiono (Bandung: Mizan, 1996),h. 86.

2 Muhammad ‘Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. GaziSaloom (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 87.

3 C. A Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Hasan Basari (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1989), h. 93.

4 Muhammad ‘Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. GaziSaloom (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 87.

Page 65: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

53

bisa berubah menjadi benda untuk selamanya, dan secara kualitas pun ia tidak

akan berubah.5 Lebih lanjut ia mengatakan bahwa substansi jiwa ini lebih tinggi

dan lebih mulia ketimbang substansi benda-benda jasadi.

Bagi Ibn Miskawayh tubuh dan fakultas-fakultasnya dapat mengetahui

ilmu-ilmu hanya dengan indera. Tapi, jiwa mampu mengetahui sebab-sebab

harmonis dan bertolak-belakangnya hal-hal yang dapat diinderai tanpa bantuan

bagian apapun dari tubuh.6 Dengan begitu, jiwa itu tahu karena ia memang

mengetahuinya dari esensi dan substansinya sendiri, yaitu akal.7 Di samping itu

indera sering melakukan kesalahan. Mata, misalnya, terkadang salah dalam

memahami matahari bahwa ia kecil, padahal matahari amat besar, dan sesuatu

yang lain seperti bengkok padahal lurus.8 Sedangkan akal menerangkan

berdasarkan prinsip-prinsip rasional dan sampai pada penilaian yang akurat.

Menurut Ibn Miskawayh jiwa terdiri dari tiga bagian:

1. Fakultas berpikir (al-quwwah al-nâthiqah), disebut fakultas raja yang berfungsi

untuk berfikir dan mempertimbangkan realitas segala sesuatu, organ tubuh

yang digunakannya adalah otak.

2. Fakultas nafsu syahwat (al-quwwah al-syahwiyyah) disebut fakultas

kebinatangan, yang berfungsi untuk makan, berkeinginan pada nikmatnya

makan, minum, senggama dan kenikmatan inderawi lainnya. Organ tubuh yang

digunakannya adalah hati.

5 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi Hidayat (Bandung: Mizan,1994), h. 36-37.

6 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 38.7 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 39.8 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 38.

Page 66: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

54

3. Fakultas amarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah), disebut fakultas binatang buas,

yang berfungsi untuk marah, berani, berkuasa, menghargai diri dan

menginginkan berbagai macam kehormatan. Organ tubuh yang digunakan

adalah jantung.9

Dalam pandangan Ibn Miskawayh, yang paling rendah adalah jiwa

binatang, yang di tengah adalah jiwa amarah, dan yang paling mulia adalah jiwa

berpikir. Manusia mencapai kemanusiaanya menyejajarkan dirinya dengan

malaikat dan berbeda dengan binatang berkat fakultas rasional.10 Ketiga fakultas

jiwa ini bagi Ibn Miskawayh berbeda satu dari yang lainnya. Terkadang ketiganya

dianggap sebagai tiga jiwa dan kadang sebagai tiga fakultas dari satu jiwa. Dalam

mempelajari akhlak, ketiga fakultas ini masing-masing bisa kuat atau lemah,

tergantung pada temperamen, kebiasaan, atau disiplin.11

Menurut Ibn Miskawayh jiwa pada wataknya ada yang mulia dan

bermoral, ada yang tidak bermoral, dan ada yang dapat menerima moral. Yang

pada pembawaannya mulia dan bermoral adalah jiwa berpikir. Yang tidak

bermoral dan tak dapat menerima tatanan moral adalah jiwa binatang. Sementara

yang kurang bermoral, namun mampu menerima dan mengikuti moral, inilah jiwa

amarah. Allah menganugerahkan jiwa berpikir pada kita agar kita dapat

memanfaatkannya untuk memperbaiki jiwa binatang yang tak dapat menerima

moral tersebut.12

9 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 43-44.10 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 68.11 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 44 dan 72.12 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 72.

Page 67: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

55

Jiwa berpikir dalam pandangan Ibn Miskawayh mengetahui kemuliaan

dirinya dan menyadari derajatnya di hadapan Allah Swt., dan ia akan

melaksanakan tugasnya untuk mengatur dan menundukkan jiwa binatang dan jiwa

amarah sehingga dia dengan bantuan kekuatan yang dianugerahkan Allah Swt.

akan memperoleh derajat kemuliaan di sisi-Nya. Ia tak akan tunduk dan patuh

pada singa atau binatang buas, tetapi malah akan mendisiplinkan jiwa amarah

yang Ibn Miskawayh sebut sebagai singa, serta menuntunnya agar selalu

berakhlak baik dengan memaksanya benar-benar patuh. Kemudian jiwa rasional

akan menyuruh jiwa amarah bangkit menundukkan jiwa binatang ketika jiwa

binatang sedang bergerak mengikuti nafsunya. Melalui jiwa amarah, jiwa rasional

sanggup menguasai hawa nafsu dan bisa menundukkan serta mendisiplinkannya

dan juga memadamkan gejolaknya. Jiwa amarah mampu menerima moral dan

dapat menundukkan jiwa yang lain, yaitu jiwa binatang, sedangkan jiwa binatang

tidak bermoral dan tidak mampu menerima moral.13

Ibn Miskawayh menyebutkan bahwa ilmuwan terdahulu mengumpamakan

manusia beserta ketiga daya atau jiwa tersebut dengan seorang yang

mengendalikan kuda dan mengendalikan anjing untuk berburu. Jika orang itu

mampu mengendalikan, mengarahkan dan menguasai kuda sekaligus anjingnya,

lalu keduanya patuh untuk berjalan, berburu, dan mengikuti seluruh perintah

tuannya, maka tidak diragukan ketiganya akan hidup harmonis dan sama-sama

sejahtera. Tetapi, misalnya kuda tidak patuh, maka ia akan lari ke arah yang

berbahaya sehingga pemburu dan anjingnya akan mengalami kehancuran.

13 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 73-74.

Page 68: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

56

Demikian pula jika anjing tidak patuh kepada pemburu, maka manakala melihat

sesuatu dari kejauhan yang ia sangka buruan, ia akan berlari mengejarnya dan

menarik pemburu dan kudanya sehingga mereka semua mengalami bahaya.

Dalam contoh ini, menurut Ibn Miskawayh, terkandung peringatan terhadap

berbagai bahaya yang menimpa manusia jika daya rasional tidak menguasai dua

daya lainnya, yaitu daya amarah dan daya syahwat.14

Selain mempunyai jiwa amarah dan jiwa syahwat, manusia juga

mempunyai jiwa rasional. Bagi Ibn Miskawayh jiwa rasional terbagi menjadi dua

bagian atau dua daya. Pertama, daya teoretis, dan kedua daya praktis.

Kesempurnaan awal manusia terwujud melalui daya rasional teoretis. Daya inilah

yang membuatnya rindu pada ilmu pengetahuan. Sebab, ilmu membuatnya

berpandangan, berpikiran, dan merenung secara benar sehingga ia tidak salah

tentang suatu keyakinan dan tidak ragu-ragu terhadap suatu hakikat. Ilmu

berujung pada perkara-perkara maujûdât (makrokosmos) secara berurutan sampai

ke ilmu Ilahi yang merupakan tingkatan terakhir ilmu. Ia percaya kepadanya,

merasakan kedamaian dan ketenangan karenanya lantaran kebingungannya hilang,

sehingga ia menyatu dengannya.15

14 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 72.15 Hal di atas adalah ekspresi cinta Platonik. Di mana manusia mencapai puncak

kebahagiaan apabila nilai subjektif, eros (cinta), menyatu dengan nilai objektif yang tertinggi,yakni dengan Idea Sang Baik (Allah). Lihat Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak ZamanYunani Sampai Abad ke-19 (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 23. Mohammed Arkoun benar ketikamengatakan bahwa: “Pengetahuan intelektual Aristoteles yang agak memukau itu hanyalah suatupengantar menuju gnostisisme (‘irfân) yang diilhami Plotinus.” Lihat Mohammed Arkoun,Membedah Pemikiran Islam, terj. Hidayatullah (Bandung: Pustaka, 2000), h. 133.

Page 69: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

57

Kesempurnaan yang kedua dicapai melalui fakultas praktis. Dimulai dari

menertibkan daya-daya di atas hingga tidak saling berbenturan, namun saling

harmonis di dalam dirinya. Diakhiri dengan penataan kehidupan sosial, di mana

setiap tindakan tertata baik di kalangan masyarakat sehingga terjadi keselarasan,

dan masyarakat mencapai kebahagiaan. Dengan daya rasional yang bersifat

praktis, manusia dapat mewujudkan kesempurnaannya yang kedua, yaitu

kesempurnaan akhlak. Jika manusia mengalami kesempurnaan bagian akal

rasional yang bersifat teoretis atau ilmiah dan bagian daya rasional yang bersifat

praktis, maka manusia mengalami kesempurnaan total.16

2. Akhlak dan Faktor yang Mempengaruhi

Ibn Miskawayh mendefinisikan akhlak atau karakter (khuluq) sebagai

suatu keadaan jiwa, keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa berpikir atau

mempertimbangkan secara mendalam. Keadaan ini menurutnya ada dua jenis.

Pertama, alamiah dan bertolak dari watak. Misalnya pada orang yang gampang

sekali marah karena hal yang paling kecil, atau yang takut menghadapi insiden

yang paling sepele. Kedua, tercipta melalui kebiasaan dan latihan. Pada mulanya

keadaan ini terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian,

melalui praktik terus menerus, menjadi karakter.17

Selanjutnya, Ibn Miskawayh mengutarakan beberapa pendapat filosof

klasik tentang masalah perubahan akhlak. Pandangan pertama mengatakan bahwa

barang siapa mempunyai karakter alami (bawaan) maka karakter tersebut tidak

16 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 63-64.17 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 56.

Page 70: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

58

akan pernah berubah. Pandangan kedua mengatakan bahwa karakter itu bersifat

alami (fitrah), tetapi cepat atau lambat dapat berubah melalui disiplin dan nasihat

yang baik. Ibn Miskawayh mendukung pendapat yang kedua. Alasannya sangat

logis: pendapat pertama mengabaikan penggunaan akal, tertolaknya norma dan

bimbingan, kecondongan seseorang kepada kekejaman dan kelalaian, serta banyak

remaja yang tumbuh liar tanpa nasihat dan pendidikan.

Ibn Miskawayh juga mengajukan pandangan kaum Stoik yang

beranggapan bahwa manusia secara alami baik, sedangkan keburukan adalah

akibat pergaulan dengan orang yang buruk perilakunya. Sedangkan pemikir yang

hidup sebelum kaum Stoa berpandangan sebaliknya. Mereka mengatakan bahwa

manusia secara alami buruk, dan bisa berubah menjadi baik disebabkan oleh

disiplin dan pengajaran. Kemudian Ibn Miskawayh mengajukan seraya membela

pendapat Galen yang menjelaskan bahwa sebagian manusia baik secara alami,

sebagian lain jahat secara alami, dan sebagian berada pada posisi tengah-tengah di

antara keduanya, dan memperlihatkan kekeliruan dua pendapat yang pertama.

Terakhir, ia menyatakan pendapat Aristoteles yang mengungkapkan bahwa orang

yang buruk bisa berubah menjadi baik melalui pendidikan, nasihat yang berulang-

ulang dan disiplin serta bimbingan yang baik tetapi membuahkan hasil yang

berbeda-beda pada berbagai orang: sebagian tanggap dan segera menerimanya,

sebagian tanggap, tetapi tidak segera menerimanya.18

Menurut Ibn Miskawayh perbedaan-perbedaan di atas bisa terlihat

khususnya pada anak-anak. Mulai dari yang bersifat keras, malu-malu, kikir,

18 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 57-58.

Page 71: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

59

lembut, dengki, sampai yang keras kepala. Bahkan ada yang karakter-karakternya

saling kontradiktif. Kalau tabiat-tabiat ini diabaikan dan tidak didisiplinkan, maka

ia akan tumbuh mengikuti tabiatnya. Ciri pertama fakultas yang terjadi pada diri

manusia adalah perasaan malu, di mana dia takut kalau-kalau ia berbuat buruk.

Oleh sebab itu, tanda pertama yang ada pada anak kecil dan sekaligus tanda

bahwa dia mempunyai akal pikiran, adalah rasa malu. Rasa malu ini menunjukkan

bahwa dia telah mengetahui apa-apa yang buruk, lalu dia akan berusaha memilih

kebaikan dan menghindari keburukan. Jiwa seperti ini siap menerima pendidikan

serta tidak boleh bergaul dengan orang yang berakhlak buruk.19

Dalam penyusunan tatanan moral, Ibn Miskawayh menyarankan untuk

mengikuti cara yang alami. Cara itu berupa menemukan fakultas-fakultas dalam

diri kita yang muncul lebih dulu. Sebab yang pertama kali terbentuk dalam diri

kita adalah sesuatu yang juga terdapat pada tumbuhan dan hewan. Kemudian,

muncul sesuatu yang khas dalam diri manusia. Oleh karena itu, kita harus

memulainya dari mengatur nafsu makan, setelah itu mengatur nafsu amarah, dan

akhirnya mengatur keinginan yang berkaitan dengan ilmu dan pengetahuan.20

Selanjutnya Miskawayh membahas masalah keutamaan. Menurutnya

jumlah keutamaan sama dengan jumlah daya-daya jiwa, demikian pula kebalikan

dari keutamaan-keutamaan ini. Jika aktivitas jiwa rasional mencari pengetahuan

yang benar, jiwa akan mencapai kebajikan pengetahuan yang diiringi kebajikan

kearifan (ḥikmah). Tatkala aktivitas jiwa kebinatangan memadai dan terkendali

19 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 59 dan 75.20 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 60.

Page 72: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

60

oleh jiwa berpikir dan tidak tenggelam dalam memenuhi keinginannya sendiri,

maka jiwa ini akan mencapai kebajikan sikap sederhana (‘iffah) yang diiringi

kebajikan dermawan. Ketika akivitas jiwa amarah memadai, mematuhi segala

aturan yang ditetapkan jiwa berpikir dan tidak bangkit pada waktu yang tidak

tepat atau tidak terlalu bergolak, maka jiwa ini mencapai kebajikan sikap sabar

yang diiringi kebajikan sikap berani (syajâʻah). Barulah kemudian timbul dari

tiga kebajikan ini yang serasi dan berhubungan dengan tepat antara yang satu

dengan yang lainnya, satu kebajikan lain yang merupakan kelengkapan dan

kesempurnaan tiga kebajikan itu, yaitu kebajikan sifat adil (‘adl). Sebab itu, kata

Ibn Miskwayh, para filosof sepakat bahwa jenis-jenis keutamaan manusia ini ada

empat: kearifan, kesederhanaan, keberanian dan keadilan. Kebalikan dari keempat

keutamaan ini ada empat juga: bodoh, rakus, pengecut, dan lalim.21

Menurut Ibn Miskawayh, kebajikan merupakan titik tengah antara dua

ujung, dan dalam hal ini ujung-ujung itu merupakan keburukan-keburukan.

Karena itu, jika kebajikan bergeser sedikit saja dari posisinya ke posisi yang lebih

rendah, maka kebajikan itu mendekati salah satu kehinaan. Sulit sekali mencapai

titik tengah ini, dan mempertahankannya bila telah dicapai adalah lebih sulit.

Kearifan (al-ḥikmah) adalah titik tengah yang letaknya ada di antara

bodoh (al-safh) dan dungu (al-balḥ). Maksud kebodohan di sini adalah

menggunakan fakultas berpikir pada sesuatu yang tidak baik, sedangkan dungu

adalah sengaja mengabaikan fakultas berpikirnya. Sederhana adalah titik tengah

antara dua kehinaan: jangak (memperturutkan hawa nafsu), dan mengabaikan

21 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 44.

Page 73: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

61

hawa nafsu. Jangak adalah menenggelamkan diri dalam kenikmatan jasadi,

sedangkan mengabaikan hawa nafsu adalah tidak mencari kenikmatan absah yang

memang dibutuhkan oleh tubuh. Berani merupakan titik tengah antara dua

kehinaan: pengecut dan sembrono. Pengecut adalah takut terhadap apa yang

semestinya tidak ditakuti. Sembrono adalah berani dalam hal yang tidak

semestinya dia menunjukkan keberaniannya. Keadilan adalah titik tengah antara

berbuat lalim dan dilalimi. Orang berbuat lalim bila dia memperoleh banyak

hartanya dari sumber yang salah dan dengan cara yang salah. Orang yang dilalimi

hartanya sedikit sekali, karena dia menahan diri dari mendapatkannya dengan cara

yang benar.22

3. Metode Mengubah Akhlak

Menurut Ibn Miskawayh—dengan menggunakan analogi medis—dokter

ahli tidak mau menyembuhkan penyakit badan sebelum mendiagnosis penyakit.

Setelah itu, mereka akan menyembuhkan penyakit dengan obat yang melawan

penyakit tersebut, yang dimulai dengan memberikan obat-obatan yang ringan

hingga makanan yang tidak enak dan obat-obatan yang pahit, dan dalam kasus

tertentu dengan melakukan amputasi dan juga kauterisasi. Hal di atas, menurut Ibn

Miskawayh, berlaku juga untuk mengobati penyakit jiwa.23

Lebih lanjut Ibn Miskawayh membagi perawatan tubuh menjadi dua

bagian. Pertama, menjaga kesehatan selagi sehat (preventif). Kedua,

menyembuhkan ketika sakit (kuratif). Perawatan jiwa pun menurutnya harus kita

22 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 52-53.23 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 162.

Page 74: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

62

bagi seperti perawatan tubuh. Menjaga kesehatan selagi sehat (preventif) meliputi

cara-cara di bawah ini:

A. Jangan bergaul dengan orang keji yang suka pada kenikmatan-kenikmatan

buruk, suka berbuat dosa, bangga dan tenggelam dalam dosa.

B. Melaksanakan tugas yang berkenaan dengan pengetahuan dan praktik,

sehingga dapat melayani jiwa. Karena bila jiwa tak lagi berpikir dan tak lagi

mencari makna ia akan tumpul dan bodoh dan kehilangan segala substansi

kebaikan.

C. Sejak kecil harus terbiasa melatih diri dengan berpikir dan menuntut empat

ilmu matematika (geometri, aritmetika, musik, dan astronomi), pasti dia akan

terbiasa dengan kejujuran dan menyukai kebenaran.

D. Tidak hidup berlebihan. Sebab kebahagiaan eksternal ini tidak ada batasnya.

E. Dianjurkan untuk tidak menggelorakan fakultas hawa nafsu dan amarahnya.

F. Memperhatikan seluruh tindakan dan rencananya, serta organ tubuh dan jiwa

yang akan digunakannya untuk melaksanakan rencananya itu.

G. Mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh-musuh kita seperti sikap

serakah, amarah, atau apa saja yang menghalangi kita menuju keutamaan jiwa.

H. Introspeksi diri. Menurut Miskawayh, musuh bisa lebih bermanfaat dibanding

teman, karena musuh tidak malu untuk menunjukkan letak kecacatan diri kita.

Page 75: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

63

Cara yang lain, dengan mengutip al-Kindî, melihat kecacatan diri sendiri

dengan bercermin pada orang yang dikenalnya.24

Penanganan yang kedua adalah menyembuhkan ketika sakit (kuratif).

Menurut Ibn Miskawayh, jenis-jenis penyakit jiwa adalah kebalikan dari empat

kebajikan. Kemudian Ibn Miskawayh membagi apa yang disebut kejahatan dan

kehinaan menjadi delapan bagian, yakni sembrono dan pengecut yang merupakan

dua ujung dari titik tengah yang berupa berani; jangak dan frigid yang merupakan

dua ujung dari sederhana; bodoh dan tolol dari titik tengah sifat arif; lalim dan

dilalimi dari titik tengah sifat adil. Kedelapan penyakit jiwa ini bertolak belakang

dengan empat kebajikan yang merupakan tanda kesehatan jiwa.25

A. Marah: Penyebab dan Penyembuhannya

Menurut Ibn Miskawayh penyebab sembrono dan pengecut itu adalah jiwa

amarah. Oleh karenannya, ketiganya (sembrono, berani, pengecut) berkaitan

dengan marah. Marah menurutnya merupakan gejolak jiwa yang menyebabkan

darah dalam hati mendidih dalam nafsu membalas. Jika gejolak ini sangat keras,

ia megobarkan api marah. Akibatnya, darah hati mendidih semakin dahsyat,

seluruh urat syaraf dan otak tergelapi oleh asap pekat yang merusak keadaan

benak dan memperlemah aktivitas benak. Itulah sebabnya mengapa seseorang

menutup mata dan telinga terhadap saran dan nasihat, dan bahkan pada saat

seperti itu segala bentuk anjuran justru semakin memperbesar amarah dan menjadi

bahan bakar api marah. Dalam kondisi seperti itu, tak ada tempat untuk berpikir

24 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 163-172.25 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 174.

Page 76: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

64

panjang. Tiap manusia tidak sama kadar marahnya. Hal ini bergantung pada

temperamen masing-masing. Kalau temperamennya panas, maka kondisinya tak

jauh berbeda dengan belerang, yang apabila disambar percikan api yang kecil

sekalipun, akan berkobar.26

Bagi Ibn Miskawayh banyak hal yang menjadi penyebab marah: sombong,

cekcok, meminta dengan sangat, bercanda, berolok-olok, mengejek, khianat,

berbuat salah, dan mencari hal-hal yang membawa kemasyhuran yang membuat

manusia saling bersaing dan iri. Nafsu untuk membalas dendam merupakan

puncak dari seluruh penyebab ini. Semua penyebab itu dalam pandangan Ibn

Miskawayh mengarah ke nafsu balas dendam.

Di antara akibat-akibat marah adalah: menyesal, mengharap dihukum

cepat atau lambat, perubahan temperamen, serta kepedihan. Marah adalah gila

sesaat, bahkan dapat berakibat kematian, melalui panas yang mencekam hati atau

mengakibatkan penyakit yang mengarah pada kematian. Akibat lainnya adalah

dikutuk teman, musuh, dan diejek banyak orang yang dengki atau orang yang

lebih rendah derajatnya. Namun, masing-masing penyebab itu ada obatnya

sehingga penyebab itu bisa sepenuhnya ditiadakan. Jika kita hendak

menyingkirkan sebab-sebab ini, kita lemahkan daya marahnya, kita cabut

substansinya, dan melindungi diri dari akibatnya serta menaati aturan akal.27

Salah satu penyebab marah adalah kesombongan. Bagi Ibn Miskawayh

sombong sama dengan berbangga diri. Bedanya, orang yang berbangga diri

26 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 176.27 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 175.

Page 77: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

65

membohongi dirinya sendiri, karena dia menganggap dirinya memiliki kelebihan.

Tapi orang sombong hanya menyombongkan diri pada orang lain, tanpa

membohongi dirinya. Untuk menyembuhkannya, harus dipergunakan terapi untuk

orang yang berbangga diri. Menurut Ibn Miskawayh terapinya seperti ini: beri

tahu orang yang sombong tadi, bahwa apa yang tengah disombongkannya itu

tidak ada artinya bagi kaum intelektual. Kaum intelek tidak pernah memandang

sebelah mata pada barang murahan yang disombongkannya itu, lantaran nilai

barang itu rendah dan lantaran kurang membawa kebahagiaan. Barang seperti

harta, perabot serta materi lainnya dapat dimiliki oleh setiap orang, dari yang

mulia sampai yang hina. Tapi kearifan hanya dimiliki oleh orang-orang arif saja.28

Sebab berikutnya adalah bergurau. Bagi Ibn Miskawayh bergurau kalau

memang wajar adalah terpuji. Rasulullah Saw. juga pernah bergurau. Namun

beliau tidak pernah mengatakan sesuatu yang tidak benar. Akan tetapi sulit sekali

bergurau secara wajar. Kebanyakan orang bisa memulai, tapi tidak tahu kapan

harus berhenti. Hal itulah yang membuat mereka melewati batas, dan bergurau

berlebihan, sehingga menimbulkan kemarahan terpendam dan kebencian. Olok-

olok dilakukan oleh badut dan orang yang menertawakan dan merasa puas kalau

orang lain diejek. Terkadang mereka berusaha bagaimana agar orang itu semakin

terhina. Mereka membesar-besarkan hal sepele agar orang lain menjadi bahan

tertawaan. Orang terhormat tidak akan melakukan itu, sebab dia menghormati dan

memperhitungkan harga dirinya sendiri.

28 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 178.

Page 78: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

66

Orang kikir, kalau dia kehilangan hartanya, biarpun sedikit, cepat marah

pada teman atau orang-orang di sekelilingnya. Dia cepat menuduh, sekalipun

orang yang dituduhnya itu adalah pembantunya sendiri. Orang sperti ini akan

dijauhi teman dekat, dicaci dan dimaki orang. Dia senantiasa sedih, susah dan

tertekan hidupnya. Hal ini membuatnya tidak bahagia dan patut dikasihani. Orang

yang berani adalah orang yang mengatasi amarahnya dengan keluhuran budinya.

Dia tahu pasti bagaimana bergaul dan marah pada orang lain, dan atas kesalahan

apa dia marah.

Hal-hal inilah, menurut Ibn Miskawayh, penyebab timbulnya marah dan

berbagai macam penyakit yang diakibatkan marah. Orang yang berbuat lalim ini

akan marah terhadap anak dan istrinya, teman-temannya, tetangganya, bahkan

sampai kepada binatang tak berakal dan benda-benda mati seperti piring, kaca dan

perabot rumah lainnya. Bahkan, menurut Ibn Miskawayh, orang seperti ini bisa

marah-marah kepada angin, gunung, dan bulan.29

Adapun penyembuhan selanjutnya adalah bagi orang yang pengecut.

Orang yang pengecut hidupnya terhina dan sengsara. Ia juga tidak teguh dan tidak

sabar jika diperlukan. Selain itu pengecut adalah orang yang malas dan suka yang

mudah. Akibatnya, ia pasrah jika dihina dan ditindas. Untuk menghilangkan

sebab-sebab, dan akibat-akibat tersebut di atas, kita bangkitkan dan gerakkan jiwa

yang sakit itu. Salah satu caranya adalah dengan sengaja mencari tempat-tempat

berbahaya. Misalnya mengarungi samudera ketika badai melanda, agar dia dapat

melatih jiwanya supaya tegar menghadapi hal-hal yang berbahaya. Cara lainnya

29 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 180-181.

Page 79: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

67

misalkan memaksakan diri berbantah-bantahan, atau memaksakan diri

menghadapi perlakuan buruk orang lain. Ini dilakukan agar kita mencapai titik

tengah yakni keberanian: ciri jiwa kita sehat.30

B. Takut: Penyebab dan Penyembuhannya

Menurut Ibn Miskwayh rasa takut timbul akibat merasa akan (antisipasi)

terjadi sesuatu yang buruk atau berbahaya. Kejadian yang sifatnya baru

kemungkinan saja, pada umumnya bisa terjadi atau tidak. Oleh karena itu,

menurutnya, janganlah sekali-kali ditetapkan dalam hati bahwa hal itu pasti

terjadi, sebab hal ini akan membuat kita takut dan merasakan derita antisipsi itu.

Padahal, peristiwa itu sendiri belum terjadi, dan bisa saja tidak pernah terjadi.

Manis dan nikmatnya hidup ini hanya bisa terjadi kalau kita memiliki

keyakinan yang baik dan harapan yang kuat dan kita buang jauh-jauh

kekhawatiran pada keburukan yang belum tentu terjadi. Jika hal yang menakutkan

yang disebabkan pilihan buruk kita atau dosa kita sendiri, maka kita harus

mengekang diri untuk tidak mengulang perbuatan ini, dengan meninggalkan

perbuatan keji yang kita cemaskan konsekuensinya, dan dengan tidak lagi

melakukan perbuatan berbahaya.

Adapun takut pada hal-hal yang sifatnya pasti terjadi, seperti usia tua dan

segala aspeknya, obatnya berupa menyadari bahwa kalau manusia menghendaki

umur panjang, berarti dia pasti akan tua, dan mengantisipasinya bahwa itu pasti

terjadi. Setelah kita tua gerak akan menjadi semakin lamban, tenaga makin

30 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 178-183.

Page 80: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

68

berkurang, dan organ pencerna melemah. Bagi orang yang sudah sejak awal

mengantisipasi hal-hal ini berikut segala aspeknya, maka, menurut Ibn

Miskwawayh, orang tersebut tak akan menjadi penakut lagi.31

C. Takut Mati: Penyebab dan Penyembuhannya

Ibn Miskawayh berpendapat bahwa takut akan kematian hanya

menghantui orang yang tidak tahu apa itu mati; atau orang yang tidak tahu ke

mana sebetulnya jiwanya itu akan pergi, atau alasan-alasan lain yang tak terbukti

sama sekali. Menurutnya, kematian tak lebih dari sekedar non-aktifnya jiwa dari

penggunaan organ-organ yang secara keseluruhan disebut jasad, seperti pengrajin

yang tak lagi memakai alat-alatnya. Jiwa merupakan substansi bukan jasmani,

juga bukan aksiden. Jiwa tidak bisa hancur.

Orang yang takut mati itu karena dia tidak tahu ke mana jiwanya akan

pergi. Oleh sebab itu, menurut Ibn Miskawayh, sebenarnya dia bukan takut mati,

melainkan ketidaktahuannya inilah yang membuatnya takut. Obat tidak tahu

adalah tahu. Siapa yang tahu maka dia percaya bahwa ketika jiwa meninggalkan

tubuh, maka jiwa mencapai kehidupan kekal yang sesuai dengannya, bersihlah ia

dari kekeruhan jasmani dan mencapai kebahagiaan sempurna.

Barang siapa takut kematian alami yang pasti melanda manusia, berarti dia

takut terhadap apa yang mestinya didambakan. Sebab, kematian ini sebenarnya

merupakan perwujudan dari apa yang tersirat dalam definisi tentang manusia,

yaitu dia adalah makhluk hidup, berpikir, dan akan mati. Kematian justru

31 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 183-185.

Page 81: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

69

merupakan kelengkapan dan kesempurnaan manusia. Oleh sebab itu, manusia

yang berakal haruslah sedih bila dirinya tidak sempurna. Dia harus mencari apa

saja yang bakal menyempurnakan dirinya, yang dapat meninggikan derajatnya.

Dia harus pula percaya pada fakta bahwa bila substansi Ilahi yang mulia ini

terlepas dari substansi jasadi, hingga berada dalam kemurnian dan kejernihannya,

maka substansi itu bahagia dan kembali ke alam malakutnya serta dekat dengan

Penciptanya.32

B. Perubahan Akhlak Perspektif al-Ghazâlî

1. Daya-daya Jiwa

Dengan penuh empati al-Ghazâlî menyebutkan bahwa etika adalah puncak

ilmu praktis. Bagi siapa yang tidak dapat mengendalikan dan mengarahkan

jiwanya maka ia akan menderita. Seperti Ibn Miskawayh dan para moralis

lainnya, al-Ghazâlî sama empatinya menyatakan bahwa penyelidikan etika harus

dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan-kekuatan dan sifat-sifatnya.33

Menurut al-Ghazâlî mujâhadah merupakan energi jiwa yang akan menghantarkan

kita memperoleh kebahagiaan, karena itu jiwa harus dibersihkan terlebih dahulu.

Hal ini sesuai dengan firman-Nya, ”Sesungguhnya beruntunglah orang yang telah

mensucikan jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya

(QS. al-Syams: 9-10).”34

32 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 185-187.33 Majid Fakhry, Etika dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1996), h. 128.34 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, terj. Sulaiman al-

Kumayi (Semarang: Mutiara Persada, 2003), h. 26.

Page 82: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

70

Seperti biasa, ulama zaman dahulu memulai kajian dengan mendefinisikan

ilmu yang dibahasnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika al-Ghazâlî

juga memulai kajiannya dengan mendefinisikan jiwa. Definisi ini—yang juga

dipakai oleh al-Kindî, al-Fârâbî, Ibn Sînâ, dan Ibn Rusyd—berasal dari definisi

yang dikemukakan oleh Aristoteles.35

Al-Ghazâlî membagi jiwa menjadi tiga bagian: jiwa tumbuhan, jiwa

binatang dan jiwa manusia. Ia mendefinisikan jiwa tumbuhan sebagai,

“kesempurnaan pertama bagi fisik alamiah yang bersifat mekanistik; ia

membutuhkan makan, tumbuh dan berkembang biak”. Lalu, al-Ghazâlî

mendefinisikan jiwa hewan sebagai, “kesempurnaan pertama bagi fisik alamiah

yang bersifat mekanistik; ia mempersepsi hal-hal yang parsial dan bergerak

dengan hasrat.” Kemudian, al-Ghazâlî mendefinisikan jiwa manusia sebagai,

“kesempurnaan pertama bagi fisik alamiah yang bersifat mekanistik; ia melakukan

aksi berdasarkan ikhtiar akal dan menyimpulkan dengan ide, serta mempersepsi

berbagai hal yang bersifat umum.”36

Al-Ghazâlî mengatakan bahwa daya jiwa hewan terbagi menjadi daya

penggerak dan daya penangkap (persepsi). Daya penggerak sendiri ada yang

bersifat aktif dan ada yang bersifat stimulatif. Penggerak stimulatif tersebut ada

yang menarik manfaat, juga ada yang menolak bahaya. Penggerak stimulatif yang

menarik manfaat adalah daya yang diungkapkan sebagai syahwat. Syahwat adalah

35 Untuk penjelasan definisi jiwa dari para filosof Muslim di atas dan juga pengaruhpemikiran Aristoteles dan Plato tentang jiwa terhadap para filosof Muslim, lihat MuhammadUtsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Gazi Saloom (Bandung:Pustaka Hidayah, 2002).

36 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nuruddin al-Raniri (Jakarta:Rajawali, 1983), h. 137-138.

Page 83: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

71

daya yang menimbulkan daya aktif untuk menarik apa yang diduga penting atau

bermanfaat untuk mencari kenikmatan. Sedangkan penggerak stimulatif yang

menolak bahaya adalah daya yang diungkapkan melalui amarah. Amarah adalah

daya yang menolak apa yang diketahui atau diduga berbahaya atau merusak, demi

memperoleh kemenangan.

Daya penggerak yang bersifat aktif bagi al-Ghazâlî adalah daya yang

bergerak dalam otot dan syaraf yang berfungsi untuk mengerutkan otot-otot

sehingga menarik hubungan-hubungan yang berkaitan dengan organ-organ ke

arah permulaan; mengendurkan atau mengencangkannya, sehingga hubungan-

hubungan itu menuju ke arah yang bertentangan dari arah permulaan. Apabila di

dalam khayalan terbentuk suatu hal untuk dikehendaki atau ditinggalkan, maka

daya ini mengarahkan daya aktif agar segera bergerak.37

Kemudian al-Ghazâlî membagi daya persepsi menjadi dua, yaitu daya

persepsi dari luar dan daya persepsi dari dalam. Daya persepsi dari luar adalah

panca indera eksternal semisal perabaan, penciuman, pengecapan, penglihatan dan

pendengaran. Sedangkan persepsi internal terdiri atas lima bagian. Pertama,

Indera kolektif (al-ḥiss al-musytarak). Kedua, Al-Khayâl. Ketiga, Mutakhayyilah.

Keempat, Al-Wahm atau estimasi. Kelima, Al-Hâfizhah atau memori.

37 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, h. 28-29. Menarikuntuk dikatakan bahwa dalam Iḥyâ ‘Ulûm al-Dîn al-Ghazâlî menyebut daya-daya jiwa hewan diatas sebagai tentara hati, yang menurutnya secara primordial ada pada setiap hewan dan manusia,dan yang membedakan keduanya adalah karena manusia diberi ilmu dan kehendak (iradah). LihatAbû Ḥâmid al-Ghazâlî, Manajemen Hati, terj. Achmad Frenk dan Mustofa Bisri(Surabaya:Pustaka Progresif, 2002), h. 95 dan 103.

Page 84: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

72

Jiwa yang ketiga adalah jiwa manusia. Al-Ghazâlî membagi jiwa manusia

menjadi daya teoritis dan daya praktis, serta masing-masing diberi istilah akal

sesuai dengan fungsinya. Akan tetapi, menurutnya fakultas teoretis lebih tepat

disebut akal karena fungsinya mengatur fakultas praktis. Akal praktis adalah daya

yang menggerakkan tubuh manusia untuk melakukan perbuatan tertentu yang

melibatkan refleksi dan kesengajaan yang diarahkan oleh akal teoretis. Jiwa

sendiri menurut al-Ghazâlî mempunyai dua sandaran, pertama menuju arah

bawah, yakni badan atau alam materi, dan kedua menuju arah atas yakni alam

immateri. Hukum akal teoritis sendiri harus menjadi penguasa dan pengarah

seluruh daya badan, sehingga pada saat itu akhlaknya menjadi mulia; tetapi jika ia

tunduk pada daya badan (syahwat dan amarah), maka akhlaknya menjadi hina.

Dengan demikian, daya praktis adalah daya yang bertanggung jawab terhadap

akhlak.38

Selain akal praktis, al-Ghazâlî juga menjelaskan tentang akal teoretis39.

Menurutnya, akal teoretis adalah daya yang berfungsi mencetak bentuk universal

38 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, h. 31-32.39 Penjelasan al-Ghazâlî tentang akal teoretis, sebagaimana dikatakan Muhammad

‘utsman Najati, sepenuhnya berasal dari Ibn Sînâ. Akan tetapi ada perdebatan sengit antara al-Fârâbî dan Ibn Sînâ tentang penjelasan rinci dari akal teoretis. Salah satunya adalah mengenaieksistensi akal materil. Menurut Ibn Sînâ akal potensial/akal materil adalah substansi non-materiilyang kekal dan bersifat personal yang dilahirkan dalam eksistensi seorang individu. Sedangkanmenurut al-Fârâbî akal potensial sebagai kekuatan material yang bisa rusak, kecuali jikadiaktualkan. Secara konsisten dan berani, al-Fârâbî menyatakan bahwa manusia-manusia yangtidak mampu mengaktualkan akal potensial akan musnah bersama kematian jasad. Oleh karena itu,al-Fârâbî tidak mempunyai doktrin tentang siksaan setelah kematian, tetapi hanya doktrin tentangkebahagiaan. Namun, doktrin bahwa tidak semua manusia kekal bukanlah doktrin Islam atauSemitik, melainkan doktrin Yunani; Diogenes Laertius mengatakan bahwa Chrysippusmengajarkan bahwa hanya jiwa-jiwa kaum Bijak yang terus hidup setelah kematian jasadi,sedangkan jiwa-jiwa yang lain musnah. Perdebatan kedua adalah tentang peran Akal Aktif danhubungannya dengan akal teoretis. Al-Fârâbî mengatakan secara eksplisit bahwa bentuk-bentukyang mewujud dalam akal muncul dengan cara abstraksi dari benda-benda indriawi, bukanmengalir dari Akal Aktif—Akal Aktif sendiri hanya berfungsi mengasah sensitivitas indriawi dan

Page 85: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

73

yang luput dari materi. Akal teoretis mempunyai empat derajat. Pertama, akal

materil (al-‘aql al-hayûlânî), yang merupakan potensi belaka. Sebagai contoh,

kesiapan anak kecil untuk belajar menulis. Kedua, akal bakat (al-‘aql bi al-

malakah), akal ini terbentuk setelah manusia mengetahui sejumlah ilmu-ilmu

dasar yang a priori, seperti yang tampak pada diri anak ketika ia mengetahui

bahwa seseorang tidak mungkin berada di dua tempat pada waktu yang sama.

Ketiga, akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l), akal ini dapat mengetahui beberapa

pengetahuan teoretis sehingga ia mampu menampilkan kembali bentuk-bentuk

rasional yang telah diketahui jika ia mau. Seperti seseorang yang sangat pandai

menulis. Kendati tidak menulis, ia mampu melakukannya karena mengetahuinya

dengan baik. Keempat, akal perolehan (al-‘aql al-mustafâd), akal ini telah mampu

mengetahui objek akal (maʻqûlât) dengan tak perlu pada usaha dan telah mampu

berhubungan dengan Akal Akif.40

Melalui kerja sama dengan daya hasrat, akal praktis mendorong manusia

melakukan berbagai perilaku parsial yang khusus berkaitan dengannya, semisal

rasa malu, segan, tertawa dan menangis. Kerja sama akal praktis dengan daya

akal potensial manusia menjadi “lebih cemerlang”. Berbeda dengan al-Fârâbî, menurut Ibn Sînâ,bentuk-bentuk yang bisa dipahami dan diterima oleh akal manusia tidaklah dihasilkan dengan caraabstraksi dari materi, tetapi memancar langsung dari Akal Aktif—keberadaannya sudah inherendalam tubuh kita—yang melakukan pertimbangan dan pembandingan bentuk-bentuk imajinatif.Lihat Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian dalam Islam: Antara Filsafat dan Ortodoksi, terj.Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 2003), h. 124-125. Yang menarik adalah al-Ghazâlîmelegitimasikan bahwa surat al-Nûr ayat 35 berisi penjelasan tentang tingkatan-tingkatan dari akalteoretis dan hubungannya dengan Akal Aktif. Lihat Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalamPandangan Para Filosof Muslim, terj. Gazi Saloom (Bandung: Putaka Hidayah, 2002), h. 226.

40 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 122.Bandingakan dengan penjelasan al-Ghazâlî dalam Iḥyâ yang hanya menyebutkan dua tingkatan,dan tiga tingkatan dalam Mîzân al-‘Amal. Lihat Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Manajemen Hati, terj.Achmad Frenk dan Mustofa Bisri (Surabaya:Pustaka Progresif, 2002), h. 103, dan Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, terj. Sulaiman al-Kumayi (Semarang: MutiaraPersada, 2003), h. 33.

Page 86: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

74

imajinasi dan daya estimasi ini melahirkan kesimpulan berbagai keahlian,

keterampilan dan profesi. Sedangkan kerja sama antara akal praktis dengan akal

teoritis melahirkan berbagai ide moral, misalnya kejujuran, kebohongan,

kebaikan, keburukan, keadilan dan keindahan.41

Di luar akal teoretis dan praktis seperti telah diterangkan sebelumnya,

terdapat tahapan lainnya. Menurut al-Ghazâlî tingkatan ini, “mata lain” terbuka,

yang dengan mata ini dia bisa melihat yang tersembunyi, apa yang akan terjadi di

masa depan, dan persoalan-persoalan lainnya. Pada tahapan ini akal tidak mampu

memahaminya sebagaimana kekuatan tamyiz tidak mampu memahami dunia

rasional atau intelektual, dan sebagaimana kekuatan indera tidak mampu

memahami dunia tamyiz.42

Kemungkinan keadaan di luar jangkauan akal inilah yang diakui para sufi

sebagai keadaan mereka. Sebab mereka menyatakan bahwa, dalam keadaan-

keadaan yang mereka alami, ketika mereka memusatkan mata batin dan

mengesampingkan inderanya, mereka menyaksikan hal-hal yang tidak sesuai

dengan pengetahuan rasional ini. Kekhususan mereka yang utama adalah sesuatu

yang tidak mungkin dicapai melalui belajar, tetapi melalui dzauq, hal, dan

perubahan sifat-sifat. Betapa besar perbedaan antara pengetahuan tentang definisi,

sebab, dan syarat-syarat sehat dan kenyang dengan merasakan langsung kesehatan

dan kekenyangan. Dan betapa besar perbedaan antara pengetahuan tentang

41 Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. GaziSaloom (Bandung: Putaka Hidayah, 2002), h. 223.

42 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Misykat Cahaya-Cahaya, terj. Muhammad Bagir (Bandung:Mizan, 1995) h. 83.

Page 87: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

75

definisi mabuk, suatu istilah yang menunjukkan suatu keadaan yang diakibatkan

oleh menguatnya uap air yang muncul dari dalam perut ke pusat pemikiran,

dengan benar-benar menjadi mabuk. Bahkan orang yang mabuk, selama dia

mabuk, tidak mengerti definisi, konsep, dan ilmu tentang mabuk. Begitu juga

terdapat perbedaan antara pengetahuan anda tentang hakikat, syarat, dan sebab-

sebab zuhud dengan anda melaksanakan sendiri kehidupan zuhud dan secara

pribadi menjauhi segala sesuatu di dunia ini.43

Jalan ini merupakan suatu penyucian, dan syarat pertamanya adalah

penyucian hati dari segala sesuatu selain Allah swt. Kuncinya—laksana takbiratul

ihram dalam shalat—adalah tenggelamnya hati secara total dalam dzikir kepada

Allah. Dan akhirnya adalah tercapainya keadaan fana secara menyeluruh ke dalam

Allah. Tetapi keadaan fana ini merupakan penutup bagi tingkatan pertama yang

hampir-hampir masih dalam batas usaha dan kasab. Singkatnya, seseorang yang

belum dikaruniai keadaan itu melalui dzauq, maka dia tidak akan bisa memahami

hakikat kenabian kecuali namanya belaka.44

Selain penjelasan tentang implikasi etis dari akal praktis yang bekerja

sama dengan daya hasrat, indra dalam dan akal teoretis, al-Ghazâlî mempunyai

pandangan yang orisinal—yang tidak ada pada al-Fârâbî dan Ibn Sînâ—tentang

berkumpulnya empat sifat dalam jiwa manusia, yang nantinya juga akan

berimplikasi terhadap akhlak seseorang.

43 Al-Ghazâlî , Setitik Cahaya dalam Kegelapan, terj. Masyhur Abadi (Surabaya: PustakaProgressif, 2001), h. 180.

44 Al-Ghazâlî , Setitik Cahaya dalam Kegelapan, h. 187.

Page 88: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

76

Al-Ghazâlî berpendapat bahwa manusia mengumpulkan empat sifat dalam

dirinya, yaitu sifat al-sabuʻiyyah (hewan buas), sifat al-bahîmiyyah (hewan liar),

sifat al-syaithâniyyah (setan), dan sifat al-rabbâniyyah (ketuhanan). Oleh karena

itu, jika amarah menguasai dirinya, maka ia akan melakukan perilaku hewan buas,

semisal permusuhan, kebencian, dan menyerang manusia dengan pukulan dan

cacian. Sebaliknya, jika syahwat menguasai dirinya, maka ia akan melakukan

perilaku hewan liar, semisal kejahatan, ketamakan, dan perilaku seksual.

Jika sifat ketuhanan ada pada dirinya, maka ia akan menganggap dirinya

memiliki sifat ketuhanan, seperti mencintai kekuasaan, keistimewaan, dan

kediktatoran. Berbeda dengan hewan, melalui kemampuan membedakan yang

disertai amarah dan syahwat, maka pada diri manusia muncul sifat setan. Ia

akhirnya menjadi orang jahat yang menggunakan kemampuan membedakan untuk

menyimpulkan berbagai bentuk kejahatan dan berusaha mencapai tujuan dengan

cara makar, licik dan penipuan, serta memperlihatkan kejahatan dalam bentuk

kebaikan. Itulah akhlak syaithâniyyah. Jadi, seakan dalam diri manusia berkumpul

babi, anjing, setan, dan orang bijak.45

Bagi al-Ghazâlî, manusia terbagi menjadi tiga tingkatan dalam melawan

hawa nafsunya. Pertama, dikalahkan oleh hawa nafsu dan berada di bawah

kendalinya. Kedua, adanya pergulatan terus-menerus antara jiwa dan hawa nafsu.

Ketiga, dapat mengalahkan hawa nafsu, sehingga dia dapat mengendalikannya

dalam segala keadaan.

45 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Manajemen Hati, terj. Achmad Frenk dan Mustofa Bisri(Surabaya:Pustaka Progresif, 2002), h. 112-113.

Page 89: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

77

2. Akhlak dan Faktor yang Mempengaruhi

Menurut al-Ghazâlî manusia terdiri dari jasmani yang dapat dijangkau oleh

penglihatan, dan jiwa yang hanya bisa dijangkau oleh mata batin. Dengan

demikian, menurut al-Ghazâlî, “paras” (khalq) adalah bentuk lahir dan “watak”

(khuluq) adalah bentuk batin. Oleh karena itu, Allah meninggikan kedudukannya

dengan menisbahkannya kepada-Nya, seperti dalam firman-Nya: ”Sesungguhnya

Aku akan menciptakan manusia dari tanah; setelah Kusempurnakan kejadiannya

dan Kutiupkan ruh-Ku, hendaklah kamu merendahkan diri dengan bersujud ke

hadapannya. (QS Shad [38]: 71-72).”

Bagi al-Ghazâlî akhlak adalah kondisi yang mapan (hai’ah) dari jiwa,

yang darinya perbuatan-perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa perlu

pemikiran atau pertimbangan. Jika kondisi ini menjadi sumber bagi timbulnya

perbuatan-perbuatan baik menurut syariat dan akal, maka ia disebut akhlak yang

baik; tetapi jika yang muncul darinya adalah perbuatan-perbuatan buruk, kondisi

itu disebut sebagai akhlak yang buruk.46 Dalam hal ini, menurutnya ada empat

perkara yang harus dicermati. Pertama, perbuatan yang baik atau buruk; kedua,

kemampuan melakukan perbuatan; ketiga, kesadaran akan perbuatan itu; dan

keempat, kondisi jiwa yang membuatnya condong kepada salah satu dari dua sisi,

dan yang membuatnya mudah untuk mengerjakan salah satu dari dua perkara,

yang baik ataupun yang buruk.

46 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa: Pengendalian Nafsu dalamPerspektif Sufistik, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 2013), h. 85.

Page 90: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

78

Bagi al-Ghazâlî, akhlak tidak identik dengan perbuatan. Sebab sering

terdapat orang yang berwatak kikir yang mau bersedekah karena pamrih atau

ingin dipuji oleh orang lain, walaupun dia bukan orang yang dermawan. Akhlak

juga tidak identik dengan daya, mengingat setiap manusia diciptakan dengan sifat

bawaan (fithrah) yang menjadi potensi untuk menahan dan memberi. Akhlak juga

tidak identik dengan pemahaman, karena sesungguhnya pemahaman berkaitan

dengan kebaikan maupun keburukan dengan cara yang sama. Dengan demikian,

kata al-Ghazâlî, tak pelak lagi bahwa akhlak harus diidentifikasi dalam pengertian

yang keempat, yaitu kondisi yang melaluinya jiwa mempersiapkan dirinya untuk

memunculkan sikap “memberi” atau “menahan”. Dapat disimpulkan bahwa

akhlak adalah istilah bagi kondisi maupun aspek batin dari jiwa.47

Menurut al-Ghazâlî ada empat hal dalam batin yang secara keseluruhan

harus baik agar kebaikan akhlak menjadi sempurna. Keempat hal itu—mengikuti

pembagian jiwa dari Plato—adalah daya rasional, daya amarah, daya syahwat, dan

daya pengendali keseimbangan (keadilan) bagi ketiga daya sebelumnya. Daya

rasional itu dapat dikatakan baik dan benar jika ia mampu dengan mudah memilah

perbedaan antara kebaikan dan keburukan perilaku. Jika daya ini baik, ia akan

membuahkan hikmah, yakni prinsip dasar dari ciri-ciri akhlak yang baik, yang

dikatakan dalam firman Allah, “Dan barang siapa diberi al-hikmah itu, dia

benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.” Adapun daya amarah,

maka kualitas kebaikannya tercermin melalui sepak terjangnya yang masih berada

di dalam batas-batas yang ditentukan oleh hikmah. Demikian pula halnya daya

47 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa, h. 86.

Page 91: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

79

syahwat yang kualitas kebaikan dan kebenarannya berada di bawah perintah

hikmah, yaitu hukum (syariat) dan akal. Sedangkan yang dimaksud daya

keseimbangan (‘adl) adalah menempatkan syahwat dan amarah dalam

pengendalian akal dan hukum.48

Adapun kualitas kebaikan maupun keseimbangan daya amarah

dicerminkan oleh keberanian (syajâʻah), sedangkan kualitas kebaikan maupun

keseimbangan daya syahwat disebut sebagai ”setimbang” (‘iffah). Jika daya

amarah itu kehilangan keseimbangannya dan condong kepada sisi yang

berlebihan, ia disebut kecerobohan (tahawwur), sedangkan jika condong kepada

kelemahan dan kekurangan dinamakan “pengecut” (jubn) dan “lemah” (khur).

Kalau daya syahwat condong kepada sisi yang berlebihan, ia disebut “rakus”

(syarah), sedangkan kalau ia condong kepada kekurangan disebut sebagai “sikap

masa bodoh” (jumûd). Akan tetapi, jika daya keseimbangan (‘adl) hilang, tidak

ada baginya sisi berlebihan atau kekurangan yang ekstrem; sebaliknya, hanya ada

sebuah antitesis, yaitu “kezaliman” (jûr). Sedangkan “kepandaian”, jika

disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang buruk disebut “memperdaya” dan

“menipu”, sedangkan jika keadaanya kurang memadai disebut “dungu” (balḥ).49

Yang paling terpuji dan paling utama menurut al-Ghazâlî adalah posisi

menengah (al-wasath), yang dia sebut sebagai Jalan yang Lurus (al-Shirât al-

Mustaqîm). Menurutnya, harus diakui sangat sulit berada di posisi tengah ini,

karena “Jalan yang Lurus” itu lebih halus dari sehelai rambut dan lebih tajam dari

48 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa, h. 87.49 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa, h. 88.

Page 92: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

80

pedang. Itulah mengapa, kata al-Ghazâlî, kita diwajibkan pada setiap rakaat ketika

salat membaca surat al-Fatihah yang berisi ucapan: “Tunjukilah kami jalan yang

lurus”. 50

Kemudian, al-Ghazâlî menyitir ayat al-Quran surat al-Hujurat ayat 15

yang menurutnya menggambarkan empat keutamaan dari Plato di atas. Allah Swt.

berfirman, ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang

percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan

mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah

orang-orang yang benar”. Oleh karena itu, menurut al-Ghazâlî, iman kepada

Allah dan Rasul-Nya yang bersih dari keraguan merupakan keyakinan yang kuat,

buah dari akal dan hikmah. Berjuang dengan harta berarti murah hati, yaitu sikap

yang merujuk kepada keberhasilan mengendalikan syahwat (ʻiffah). Sedangkan

berjuang dengan jiwa menunjukkan sikap pemberani (syajâʻah), yaitu sikap yang

muncul karena keberhasilan menggunakan daya amarah atas dasar bimbingan akal

dan prinsip keseimbangan.51

Selanjutnya al-Ghazâlî membahas tentang kemungkinan perubahan

akhlak. Ia mengatakan bahwa sebagian orang mengira bahwa akhlak tidak

mungkin diubah sebab sesungguhnya akhlak manusia itu bersifat statis. Menurut

mereka akhlak (khuluq) adalah bentuk batin seperti halnya paras (khalq) yang

merupakan bentuk lahir. Tak ada orang yang mampu mengubah paras lahirnya.

Misalnya, orang yang pendek tidak akan mampu diubah menjadi tinggi. Begitu

50 Lihat juga Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, h. 106.51 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa, h. 90-91.

Page 93: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

81

pulalah halnya keburukan batin. Kemudian mereka mengatakan bahwa selama

manusia masih hidup, maka tidak akan berhenti darinya syahwat, amarah, dan

rasa cinta kepada dunia. Menurut mereka tujuan perjuangan batin adalah

memusnahkan syahwat dan amarah pada diri manusia. Sehingga menyibukkan

diri dengan perjuangan semacam itu hanyalah membuang-buang waktu saja dan

tidak ada faedahnya.52

Bagi al-Ghazâlî, seandainya akhlak itu tidak mungkin diubah, tentu tidak

ada gunanya segala nasihat, khutbah, dan pendisiplinan. Padahal Nabi Saw. telah

bersabda, “Perbaikilah akhlakmu.” Menurutnya, bagaimana pengubahan ini dapat

disangkal dalam diri manusia padahal perubahan watak binatang saja bukan

merupakan perkara yang mustahil. Yaitu, misalnya, seekor elang dapat diubah

dari ganas menjadi jinak, seekor anjing dari sifat rakus terhadap makanan menjadi

berperilaku baik dan menahan diri.

Menurut al-Ghazâlî, segala benda yang ada terbagi ke dalam beberapa

kategori. Pertama, benda-benda yang independen terhadap campur tangan dan

ikhtiar manusia, seperti langit, bumi, bintang-bintang, dan bahkan anggota tubuh.

Singkatnya, segala sesuatu yang telah sempurna eksistensinya. Kedua, segala

sesuatu yang memiliki bentuk yang tidak sempurna, tetapi secara potensial masih

bisa disempurnakan dengan ikhtiar manusia. Seperti sebutir biji kurma yang

secara potensial bisa menjadi pohon kurma jika dipelihara dengan baik; meskipun

sebutir biji kurma sangatlah mustahil dapat menjadi sebatang pohon apel

sekalipun dipelihara dengan baik. Oleh karena itu, jika sebutir biji dapat

52 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa, h. 92 dan 95.

Page 94: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

82

dipengaruhi oleh pilihan manusia, maka demikian pula amarah dan nafsu yang

tidak dapat kita kikis sepenuhnya sehingga keduanya hilang tanpa bekas.

Perubahan akhlak di atas disebabkan temperamen dalam tubuh manusia.

Temperamen itu sendiri menurut al-Ghazâlî beragam: sebagian cepat menerima

perubahan, sedangkan sebagian yang lain lambat. Ada dua alasan mengapa

perbedaan itu terjadi. Pertama, ada daya insting (ghârizah) yang terletak pada

akar temperamen dan tumbuh searah dengan pertumbuhan usia seseorang. Sebab

menurutnya daya syahwat, amarah, dan kesombongan, semuanya telah ada di

dalam diri manusia, tetapi yang paling sulit diubah adalah daya nafsu (syahwat)

karena ia merupakan daya yang paling awal muncul dalam diri manusia. Pada

tahapan paling dini, dalam diri seorang anak telah diciptakan daya nafsu, lalu pada

sekitar usia tujuh tahun muncul daya amarah, yang akhirnya disusul oleh daya

memilih. Alasan kedua, adalah bahwa akhlak terkadang bisa berubah karena

pembiasaan yang sejalan dengannya, tunduk kepadanya dan meyakininya sebagai

sesuatu yang baik dan memuaskan.53

Dalam hal perubahan akhlak, bagi al-Ghazâlî manusia terbagi ke dalam

empat derajat: Pertama, orang dungu yang tidak mampu membedakan kebaikan

dan keburukan. Orang semacam itu sangatlah mudah untuk disembuhkan. Kedua,

orang yang telah mengenal kualitas suatu keburukan tetapi belum terbiasa

mengerjakan perbuatan yang baik. Secara umum dia masih memiliki peluang

untuk menerima upaya pendisiplinan-diri, jika memang bersedia dan sungguh-

sungguh. Ketiga, orang yang berkeyakinan bahwa justru akhlak buruklah yang

53 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa, h. 94.

Page 95: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

83

diwajibkan dan dianggap benar lagi baik sehingga dia pun terdidik dengan prinsip

semacam itu. Penyembuhan bagi orang semacam ini nyaris mustahil dan harapan

untuk memperbaikinya sangatlah kecil. Keempat, orang yang tumbuh dengan

keyakinan yang rusak dan dididik untuk mengerjakannya. Dia percaya bahwa

keutamaan terletak pada akumulasi kejahatan dan kekejian Inilah tingkatan yang

paling sulit. Dengan demikian, yang pertama dari keempat orang ini hanya

semata-mata bodoh, sedangkan yang kedua bodoh dan sesat, yang ketiga bodoh,

sesat, dan rusak, serta yang keempat bodoh, sesat, rusak,dan jahat.54

Menurut al-Ghazâlî, terjadinya perubahan akhlak dalam diri manusia

disebabkan oleh dua hal. Pertama, dengan rahmat Allah, dan kesempurnaan sifat

bawaan (fithrah). Orang itu pun menjadi pandai tanpa belajar seperti Isa, Yahya

Ibn Zakariya, dan para nabi yang lain. Banyak anak-anak yang dilahirkan dengan

sifat bawaan jujur, pemurah dan pemberani. Akan tetapi, sering kali didapati anak

yang dilahirkan dengan sifat-sifat sebaliknya.

Kedua, adalah berupaya memperoleh sifat-sifat baik melalui perjuangan

batin dan pendisiplinan. Maksudnya adalah dengan membiasakan diri. Misalnya,

orang yang ingin memiliki sifat pemurah harus melatih dirinya bersikap

dermawan dengan sungguh-sungguh dan dalam jangka waktu yang sangat lama,

sehingga sifat pemurah betul-betul menjadi wataknya, sehingga sifat itu muncul

dari dirinya dengan mudah, menyenangkan dan tanpa paksaan.55 Jadi, menurut al-

Ghazâlî, akhlak baik terkadang muncul karena watak bawaannya dan terkadang

54 Lihat juga Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, h. 84.55 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa, h. 100.

Page 96: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

84

mengerjakan perbuatan-perbuatan baik secara terus-menerus sampai akhirnya

menjadi watak.56

3. Metode Merubah Akhlak

Menurut al-Ghazâlî keseimbangan dalam akhlak merupakan cermin jiwa

yang sehat, sedangkan pergeseran dari keseimbangan ini akan menimbulkan

penyakit. Menurutnya jiwa dapat disembuhkan dengan cara menghilangkan sifat

buruk dan menggantinya dengan sifat yang baik. Bagi al-Ghazâlî setiap anak

dilahirkan dalam keadaan seimbang dan pada dasarnya berwatak baik. Kedua

orangtuanyalah yang menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Nasrani, atau

Majusi, yakni melalui pembiasaan diperoleh adat kebiasaan yang buruk. Jiwa

yang sudah terdidik dengan akhlak yang baik harus pula diimbangi dengan

menjaga kesehatannya.57

Sifat buruk yang merupakan penyakit hati hanya dapat disembuhkan

melalui kebalikannya. Misalnya penyakit kikir disembuhkan dengan bersedekah,

penyakit sombong dengan merendahkan hati. Seorang syaikh—yang al-Ghazâlî

sebut sebagai dokter jiwa—tidak boleh memaksa murid-muridnya untuk

menjalankan pendisiplinan-diri maupun tugas-tugas tertentu sebelum dia

mengetahui tabiat maupun penyakit hati yang diderita si murid. Jika ada dokter

yang mengobati semua pasiennya dengan satu obat saja, tentu dia akan

membunuh sebagian besar pasien tersebut. Demikan pula seandainya ada syaikh

yang membimbing muridnya dengan hanya satu bentuk pendisiplinan, tentu dia

akan membinasakan mereka dan mematikan hati mereka. Sebaliknya, dia harus

56 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa, h. 103 dan 106.57 Lihat juga Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, h. 97.

Page 97: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

85

mencermati jenis penyakit, keadaan, usia, kondisi, dan kemampuan fisik masing-

masing murid untuk menjalankan latihan-latihan tertentu yang harus dijadikan

acuan.58

Al-Ghazâlî mengajukan empat cara untuk mengidentifikasi penyakit hati

dalam diri kita. Pertama, menemui seorang syaikh yang mampu mengenali

kelemaha-kelamahan jiwa, mampu melihat sifat-sifat buruk yang tersembunyi,

dan mengenalinya dalam dirinya sendiri, serta mengikuti perintah-perintahnya

dalam mujahadah. Kedua, mencari seorang sahabat sejati, bermata hati, dan

beragama. Lalu meminta kesediaannya untuk mencermati keadaan diri kita dan

memperhatikan sifat-sifat maupun perilakunya. Ketiga, menarik pelajaran

mengenai aib jiwa dari pernyataan musuh-musuh. Musuh yang kritis mampu

menyingkapkan kelemahan-kelemahan kita daripada seorang teman penjilat yang

hanya gemar memuji dan menyanjung saja. Keempat, berbaur dengan masyarakat.

Kemudian, setiap keburukan yang kita lihat pada masyarakat dijadikan sebagai

bahan introspeksi seolah-olah keburukan itu juga ada pada diri kita.59

A. Marah: Penyebab dan Penyembuhannya

Menurut al-Ghazâlî marah adalah nyala api yang diambil dari api neraka

Allah yang dinyalakan dan kemudian naik ke kalbu. Marah bertempat di lipatan

kalbu seperti bertempatnya bara api di bawah tungku yang berabu. Marah

58 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa, h. 109.59 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa, h. 119-122.

Page 98: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

86

dikeluarkan oleh kesombongan yang tertanam dalam kalbu setiap orang yang

perkasa lagi keras kepala.60

Sebab-sebab yang menimbulkan marah itu, kata al-Ghazâlî, adakalanya

karena tabiat tubuh, yaitu dari tabiat panas dan kering. Allah menciptakan tabiat

marah dari api dan menjadikannya sebagi insting pada manusia. Manakala ia

dihalangi dari salah satu tujuan, maka api kemarahannya menyala dan berkobar

dengan kobaran yang menjadikan darah kalbu mendidih tersebar pada urat-urat

dan naik ke tubuh yang paling tinggi. Darah kalbu tersebut tertuang ke muka dan

menjadikan muka dan mata memerah. Sedangkan kulit karena kejernihannya

menampakkan warna merah darah yang ada di baliknya.61

Apabila marah itu ditujukan kepada orang yang berada di atas kita dalam

kekuasaan membalasnya, kita tidak dapat membalasnya karena lebih tinggi

derajatnya, maka darah mengalir ke jantung dan sebaliknya, tidak berjalan

sebagaimana mestinya sehingga muncullah ekspresi kecemasan yang

diperlihatkan dengan wajah pucat. Apabila marah itu kepada orang yang

tingkatannya berada di bawah kita, maka akan timbul pergolakan darah dalam

jantung, maka terjadilah marah yang sesungguhnya dan keinginan menyiksa atau

menuntut balas. Jika marah itu terhadap teman kita dan kita kuasa membalasnya,

maka aliran darah pun berada dalam posisi kencang kendur, cepat lambat, dan ini

akan berpengaruh kepada warna wajah yang berbeda-beda: memerah, menguning,

60 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Ihya ‘Ulumiddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama,terj. Ibnu Ibrahim Ba’adillah, Jilid 5 (Jakarta: Republika, 2012), h. 164.

61 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Ihya ‘Ulumiddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, h.172.

Page 99: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

87

dan tak karuan. Secara umum, kekuatan nafsu marah itu tempatnya di jantung

yang berarti mengiringi denyut aliran darah.62

Adapun sifat-sifat yang timbul selain tabiat badan ialah tindakan

membiasakan, karena orang yang bergaul dengan sekelompok orang yang merasa

bangga dengan nafsu marah dan tabiat-tabiat keras lainnya akan cepat menular.

Sebaliknya, orang yang bergaul dengan orang-orang yang berakhlak lembut,

tenang, dan berwibawa, maka kˉebiasaan itu akan mempengaruhinya juga.

Manakala api kemarahan telah menjadi keras dan menyala kuat, maka,

kata al-Ghazâlî, ia akan membutakan pelakunya dan menyulitkannya dari setiap

nasehat. Apabila dinasihati niscaya ia tidak akan mendengar, bahkan yang

demikian menambah kemarahan baginya. Sesungguhnya sumber pikiran adalah

otak. Ketika kemarahan memuncak disebabkan mendidihnya darah pada kalbu,

naiklah asap yang gelap ke otak dan menguasai sumber-sumber pikiran.

Pandangannya menjadi gelap sehingga tidak dapat melihat dengan matanya.63

Menurut al-Ghazâlî, dampak-dampak kemarahan yang tampak secara

lahiriah adalah rona wajah yang berubah, gemetar pada seluruh sendi tubuh,

perilaku menjadi tidak beraturan, gerakan dan perkataan terguncang, biji mata

memerah, hidung kembang-kempis, dan bentuk tubuh menjadi berubah.

Menurutnya, perubahan lahiriah ini merupakan dampak dari perubahan batiniah.

Bila tidak terkontrol terjadilah pemukulan, penyerangan, pembunuhan, dan

62 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, h. 158.63 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Ihya ‘Ulumiddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, h.

173-174.

Page 100: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

88

perbuatan keji lainnya. Tetapi, kadang-kadang penyaluran kemarahan ini bisa

berupa pemukulan pada benda-benda tak bernyawa seperti piring dan meja, dan

juga pada binatang-binatang yang jelas-jelas tidak berakal.64

Menurut al-Ghazâlî dalam hal marah manusia itu berbeda-beda. Sebagian

mereka ada yang cepat menyala dan cepat padam, sebagiannya lagi ada yang

lambat menyala dan lambat padam sebagaimana kapas. Yang lainnya lagi, ada

yang lambat menyala tetapi cepat padam, dan inilah yang terpuji selama tidak

mengendorkan semangat dan rasa cemburu.65

Sebab-sebab yang mengobarkan kemarahan adalah kemegahan,

kebanggaaan, bersenda gurau, bermain-main, menertawakan, menjelek-jelekkan,

bertengkar, berlawanan, melangggar janji, sangat rakus kepada harta dan

kedudukan. Oleh karena itu, kata al-Ghazâlî, adalah sebuah keniscayaan untuk

menghilangkan sebab-sebab kemarahan dengan kebalikannya. Kebanggaan harus

diobati dengan tawadhu. Kebanggaan dihilangkan dengan mengenal bahwa

manusia memiliki satu ayah yang sama (Adam). Senda gurau dihilangkan dengan

menyibukkan diri dengan kepentingan akhirat yang lebih bermanfaat. Adapun

rakus kepada harta dihilangkan dengan merasa cukup dan hanya mencari

kebutuhan yang primer untuk sekedar hidup.66

Pengobatan di atas, menurut al-Ghazâlî, dimaksudkan untuk tidak selalu

mengikuti marah. Hal ini membutuhkan latihan (riyâdhah) dan merupakan

64 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Ihya ‘Ulumiddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, h.175.

65 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, h. 158.66 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Ihya ‘Ulumiddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, h.

187.

Page 101: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

89

sesuatu yang berat (masyaqqah). Hasil latihan tersebut memberi faidah kepada

pengetahuan tentang kerusakan yang ditimbulkan amarah, kemudian muncul sikap

rajin dalam melakukan sifat-sifat kebalikan secara terus-menerus dalam waktu

yang panjang, dan sampai menjadi watak.

Adapun bagian kedua, latihan dilakukan sampai kepada terlepas dari

kemarahan, dan kalau memungkinkan sampai mengeluarkan rasa cinta dari kalbu.

Caranya, menurut al-Ghazâlî, dengan mengalihkan kemarahan dengan

menyibukkan hati kepada sesuatu yang lain yang menurutnya sangat perlu dan

lebih penting. Karena tidak ada dalam kalbu tempat yang luas untuk kemarahan

karena kesibukkannya dengan yang lainnya. Contohnya, manusia harus

mengetahui bahwa tanah airnya adalah kuburan dan tempat tinggalnya adalah

akhirat. Sementara dunia hanyalah tempat penyebarangan dan mencari perbekalan

sesuai dengan kebutuhan. Jadi, kesibukan kalbu dengan sebagian kepentingan-

kepentingan itu tidak lain untuk mencegah berkobarnya amarah ketika kehilangan

sebagian apa yang dicintai. Boleh dikatakan juga bahwa jalan untuk terlapas dari

amarah adalah terhapusnya cinta dunia dari hati. Hal tersebut dilakukan dengan

cara mengetahui bahaya-bahaya dunia dan bencana-bencananya.67

Menurut al-Ghazâlî, marah ketika berkobar efektif diobati dengan

perpaduan antara ilmu dan amal. Adapun tentang ilmu maka terdapat enam

perkara. Pertama, ia berpikir tentang hadis-hadis mengenai keutamaan menahan

marah, memaafkan, bersikap pemurah, dan menangung rasa sakit pada kalbu lalu

67 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Ihya ‘Ulumiddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, h.181-184.

Page 102: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

90

ia mendapatkan pahala. Oleh karena itu, keinginan yang kuat kepada pahala

menahan marah dapat mencegahnya dari membalas dendam dan meredakan

kemarahannya. Kedua, ia menjadikan dirinya takut dengan siksa Allah. Ketiga, ia

memperingatkan dirinya akan akibat permusuhan dan balas dendam, serta

persiapan musuh untuk menghadapinya dan usaha mereka menghancurkan tujuan

kita. Keempat, ia berpikir tentang kejelekan bentuknya ketika ia marah yang

menyerupai anjing yang buas, penyerupaan orang-orang yang bersikap pemurah,

tenang dan meninggalkan kemarahan seperti para Nabi dan wali, serta para ahli

hikmah. Kelima, ia berpikir tentang sebab yang mendorongnya kepada balas

dendam dan mencegahnya dari menahan marah. Manakala ia marah, seyogyanya

ia menahannya karena Allah. Keenam, ia mengerti bahwa kemarahannya itu dari

kekagumannya terhadap berlakunya sesuatu sesuai dengan kehendak Allah, bukan

sesuai dengan kehendaknya.68

Adapun dari sisi amal, kata al-Ghazâlî, kita harus membaca kalimat, “Aku

berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk”. Kalau kemarahan itu tidak

hilang, maka duduklah ketika kita berdiri, dan berbaringlah ketika kita duduk, dan

dekatkanlah ke bumi dimana daripadanya kita diciptakan agar mengerti akan

kehinaan diri kita. Tujuannya adalah mencari ketenangan. Jika kemarahan tidak

hilang juga, maka kita dianjurkan berwudhu dengan air yang dingin atau mandi,

karena sesungguhnya api itu tidak dapat dipadamkan selain dengan air.69

68 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Ihya ‘Ulumiddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, h.189-192.

69 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Ihya ‘Ulumiddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, h.192-193.

Page 103: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

91

B. Kecemasan: Penyebab dan Penyembuhannya

Menurut al-Ghazâlî, bila seorang manusia hatinya aman, badannya sehat,

dan ia memiliki makanan di hari itu, maka kecemasan dan kegelisahannya dengan

urusan dunia merupakan tanda kebodohannya. Menurutnya, jika kecemasan itu

disebabkan suatu yang menyakitkan di masa lalu, maka seorang yang cerdas

mengetahui bahwa keluh kesah terhadap apa yang sudah lewat percuma saja.

Sebab tidak mungkin sesuatu yang sudah hilang akan kembali lagi.70

Bila kecemasan itu disebabkan peristiwa saat ini, seringkali karena dengki

terhadap orang lain yang memperoleh nikmat, atau karena menyesali atas

hilangnya harta, jabatan, dan sarana-sarana duniawi lainnya. Bagi al-Ghazâlî,

penyebab timbulnya kecemasan ini karena kebodohan terhadap tipu daya

keduniaan dan segala racunnya. Barang siapa mengambil pelajaran tentang

kejadian setiap saat berupa ditariknya nikmat dari pemiliknya, terjadinya musibah

atas pemiliknya, dan sangat sedihnya mereka dengan hilangnya nikmat, niscaya ia

tidak akan cemas atas hilangnya semua itu.

Adapun bila kecemasan itu karena persoalan yang akan datang, bila

persoalannya itu tidak mungkin terjadi atau wajib terjadi seperti kematian, maka

pengobatannya adalah mustahil. Bila tidak mungkin ditolak seperti kematian

sebelum masa tua, maka kecemasan karenanya adalah suatu kebodohan.

Seandainya bisa ditolak, maka tidak ada artinya kecemasan, tetapi seharusnya

diusahakan untuk dihindari dengan akal yang tidak dicampuri kecemasan. Jika ia

70 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, h. 241.

Page 104: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

92

telah melakukan apa yang telah ditakdirkan atasnya dengan menyiapkan usaha

menghindar, maka hatinya menjadi tenang menunggu takdir Allah.71

Menurut al-Ghazâlî, orang yang berakal pasti benar-benar akan

memerhatikan pada persoalan-persoalan di atas. Kecuali, apabila kaitan antara

dirinya dan harta, pekerjaan, jabatan, dan persoalan lainnya telah kokoh, maka tak

ada jalan lain kecuali memutuskan kaitan-kaitan tersebut darinya. Caranya adalah

dengan menahan diri darinya sedikit demi sedikit serta menyibukkan diri dengan

selainnya sekalipun yang lain berupa jenis yang sama yang harus dijauhi. Al-

Ghazâlî menganalogikannya dengan mengatakan bahwa: “tidak mengapa darah

dicuci dengan darah bila darah yang pertama lebih menempel dan melekat”. Inilah

yang dinamakan dengan metode bertahap. 72

C. Takut Mati: Penyebab dan Penyembuhannya

Menurut al-Ghazâlî, manusia itu mempunyai dua macam keadaan, yakni

keadaan sebelum mati dan keadaan ketika kematian datang. Dalam keadaan

sebelum mati, manusia terbagi menjadi dua bagian. Pertama, orang yang lupa

kematian, ia lebih sibuk memikirkan nasib anak-anaknya dan harta warisan yang

ditinggalkannya setelah mati. Kedua, orang berakal dan cerdas. Ia tidak pernah

lepas dari mengingat mati sebagaimana seorang musafir menuju haji.

Kesibukannya singgah dan berjalan pada beberapa tempat itu tidak melupakannya

dari tujuan.73

71 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, h. 243.72 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, h. 245.73 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, h. 246.

Page 105: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

93

Menurut al-Ghazâlî, gelisah karena kematian itu tidak masuk akal, karena

kegelisahan itu tidak kosong dari empat segi. Pertama, adakalanya karena

syahwat perut dan kelamin. Kedua, karena harta yang akan ia tinggalkan. Ketiga,

karena kebodohannya tentang keadaan dan tempat kembalinya sesudah mati.

Keempat, karena rasa takut atas maksiat yang telah dilakukannya.

Apabila kesusahan timbul karena keinginan syahwat perut dan

kemaluannya, maka, kata al-Ghazâlî, ia seperti orang yang menginginkan

penyakit untuk dihadapkan kepada penyakit lain yang serupa dengannya, karena

maksud dari kelezatan makan adalah menghilangkan rasa lapar. Oleh karena itu,

ketika rasa lapar telah hilang dan perut besar telah terisi, maka ia akan membenci

apa yang diingini sebelumnya. Apabila penyebabnya adalah kekhawatirannya

terhadap harta yang akan ditinggalkannya setelah mati, maka hal itu menunjukkan

ketidaktahuannya mengenai kehinaan dunia dibandingkan dengan keagungan

kerajaan dan kenikmatan abadi (surga).

Apabila penyebabnya karena ketidaktahuannya mengenai keadaan dirinya

sesudah mati, maka seharusnya dia menuntut ilmu tentang hakikat kematian. Ilmu

itu meliputi hakikat dan esensi jiwa, hubungannya dengan tubuh, dan keadaan

jiwa yang telah ada semenjak awal penciptaan. Kematian merupakan kelahiran

kedua. Dari kelahiran kedua inilah akan diperoleh kesempurnaan yang belum

pernah terbayangkan sebelumnya. Apabila penyebabnya karena ketakutannya

terhadap balasan perbuatan-perbuatan maksiat pada masa lalu, maka

kegelisahannya itu tiada berguna. Yang bermanfaat adalah mengobatinya dengan

cara bertobat dan memperbaiki kelalaian yang telah lalu. Perumpamaannya dalam

Page 106: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

94

kegelisahan dan tidak memperbaiki dosa tersebut adalah seperti orang yang

sebagian uratnya pecah, lalu keluar darah. Tetapi, ia biarkan dan duduk termenung

sedih atas darah yang keluar padahal ia mampu mengikat dan mencegah

alirannya. Ini adalah tanda kebodohan.74

Keadaan kedua adalah keadaan manusia ketika kematian datang. Menurut

al-Ghazâlî dalam hal ini manusia terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, orang

pandai yang mengetahui bahwa kematian itu adalah sesuatu yang membebaskan

dirinya, sementara hidup di dunia ini adalah menjadi budaknya. Orang seperti ini

tidak lari dari kematian, bahkan bila ia bersemangat untuk menambah ibadah

seringkali ia rindu kepada kematian.

Kedua, adalah mereka yang kotor hatinya, tenggelam dalam hal keduniaan

dan merasa tenteram di dalamnya, akan tetapi ia putus asa terhadap kehidupan

akhirat. Ia laksana hamba yang melarikan diri, kemudian ia dikembalikan kepada

tuannya sebagai tawanan. Ia digiring kepada tuannya dan kemudian diintimidasi.

Ketiga, orang yang berada di antara keduanya. Yakni orang yang mengetahui

bahaya dunia ini dan ia benci bersahabat dengannya. Namun di sisi yang lain ia

malah mengakrabinya. Bukan hal aneh bila ada seseorang yang benci berpisah

dari sesuatu tetapi bila ia telah berpisah darinya maka ia tidak bersedih.75

74 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, 249.75 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, 251.

Page 107: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

95

BAB V

ANALISIS PERBANDINGAN PERUBAHAN AKHLAK IBN

MISKAWAYH DAN AL-GHAZÂLÎ

Pada bab ini penulis akan membandingkan pemikiran Ibn Miskawayh dan

al-Ghazâlî tentang perubahan akhlak secara utuh. Hal tersebut juga meliputi

pengaruh pemikiran para filsosof sebelumnya terhadap sistem pemikiran etika Ibn

Miskawayh dan al-Ghazâlî. Penulis juga secara sekilas akan mendialogkan

pemikiran kedua tokoh yang hidup jauh dengan zaman kita dengan tema-tema

sains modern, sejauh hal tersebut berhubungan dengan pembahasan dalam skripsi

ini. Hal ini dirasa perlu, disebabkan banyak pandangan-pandangan tentang sains

modern tidak cocok dengan pandangan Islam. Begitu juga, nampaknya dalam

beberapa hal pemikiran Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî tentang perubahan akhlak

masih relevan dengan problematika sains yang ada saat ini.

A. Rasionalis-Abstraktif vis-à-vis Intuisionalis-Eksperiensial

Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî memiliki kesamaan pandangan mengenai

perlunya membahas jiwa dan daya-dayanya sebagai dasar teoretis sistem filsafat akhlak

mereka. Keduanya sama-sama bertolak dari ayat al-Quran yang serupa, yakni,

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang telah mensucikan jiwanya, dan sesungguhnya

merugilah orang yang mengotorinya (QS. al-Syams [91]: 9-10).”1

1 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi Hidayat (Bandung: Mizan,1994), h. 33. Lihat juga Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, terj.Sulaiman al-Kumayi (Semarang: Mutiara Persada, 2003), h. 26.

Page 108: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

96

Ibn Miskawayh mendefinisikan jiwa sebagai substansi halus yang tidak mampu

dicapai indera.2 Berbeda dengan Ibn Miskawayh, al-Ghazâlî mendefinisikan jiwa sebagai

kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis lagi mempunyai hidup yang

potensial.3 Tidak hanya itu, al-Ghazâlî juga mendefinisikan setiap jiwa menurut

fungsinya masing-masing. Menurut penulis perbedaan definisi tersebut dapat dipahami,

karena definisi Ibn Miskawayh tentang jiwa—dengan sedikit perbedaan redaksi—berasal

dari definisi Plato, sedangkan al-Ghazâlî memakai definisi dari Aristoteles.4

Kedua tokoh tersebut juga memiliki pandangan yang sama mengenai

pembagian daya jiwa yang mereka ambil dari Plato. Plato membagi jiwa menjadi

tiga bagian5, yakni daya rasional (to logistikon), daya syahwat (to epythimêtikon),

dan daya amarah (to thymoeides). Namun berbeda dengan Ibn Miskawayh, al-

Ghazâlî dalam Iḥyâ dan Mîzân secara bergantian memakai pembagian jiwa dari

Plato seperti disebutkan di atas, dan jiwa menurut Aristoteles, yakni jiwa

tumbuhan, jiwa binatang, dan jiwa manusia.

Ibn Miskawayh menyebutkan letak biologis6 masing-masing jiwa.

Menurutnya organ tubuh yang digunakan oleh daya berfikir adalah otak, daya

2 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 34.3 Muhammad ‘Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Gazi

Saloom (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 210.4 Untuk mengetahui definisi jiwa dari Plato dan Aristoteles, lihat Amir An-Najjar, Ilmu

Jiwa dalam Tasawuf, terj. Hasan Abrori (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), h. 23 dan 29.5 Kata “bagian” ini harus dipahami sebagai “fungsi”, sebab Plato sama sekali tidak

memaksudkan bahwa jiwa mempunyai keluasan yang dapat dibagi-bagi. Lihat K. Bertens, SejarahFilsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 2011), h. 138.

6 Terdapat pandangan menarik dari dunia alkimia perihal letak biologis jiwa. MenurutJonathan Black, dalam zaman kejayaan alkimia, Sulfur mewakili dimensi hewani, Merkurimewakili dimensi nabati, dan Garam mewakili dimensi material. Dimensi-dimensi ini berpusat dibagian-bagian yang berbeda dalam tubuh. Hewani ada di bawah di organ-organ seks, nabati disolar pleksus, dan Garam di kepala. Kehendak dan seksualitas dipandang terjalin erat dalamfilsafat esoteris. Ini merupakan bagian Sulfur. Merkuri, bagian nabati, adalah wilayah perasaan.Garam adalah endapan pemikiran. Dalam semua teks alkimia Merkuri adalah mediator antaraSulfur dan Garam. Dalam tahap pertama dari proses tersebut dimensi nabati harus diubah untukmencapai tahap pertama dari pengalaman mistis, perjalanan memasuki Matriks, lautan cahaya

Page 109: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

97

syahwat memakai organ hati, dan daya amarah memakai organ jantung.7 Akan

tetapi, menurut al-Râzî—yang konsep jiwanya sama dengan Ibn Miskawayh—

bukan berarti bahwa hal di atas adalah bagian dari sifat dan wataknya yang khas;

tetapi, merupakan esensi yang ada di dalamnya dan menggunakan organ-organ

tersebut sebagai instrumen atau alat. Menurut al-Râzî, daya syahwat dan amarah

di atas dalam pandangan Plato tidak memiliki substansi khusus yang bisa selamat

dari kehancuran raga, seperti yang dimiliki oleh daya rasional.8

Sebagaimana dikatakan di atas, al-Ghazâlî membagi jiwa mengikuti

pandangan Plato dan Aristoteles sekaligus. Akan tetapi, berbeda dengan Ibn

Miskawayh, di dalam karya-karyanya, al-Ghazâlî lebih banyak mengikuti

pandangan jiwa dari Aristoteles yang telah dikembangkan oleh Ibn Sînâ. Menurut

al-Ghazâlî, jiwa hewan mempunyai dua daya: penggerak dan persepsi. Daya

penggerak ada yang bersifat aktif dan ada yang bersifat stimulatif. Penggerak

stimulatif yang menarik manfaat disebut sebagai syahwat, dan penggerak

stimulatif yang menolak bahaya disebut amarah. Sedangkan daya aktif adalah

daya yang bergerak dalam otot dan syaraf yang berfungsi untuk menggerakkan

badan.

yang merupakan dunia di antara dunia. Tahap kedua adalah apa yang kadang-kadang disebutPerkawinan Kimiawi, ketika Merkuri wanita yang lembut bercinta dengan Sulfur merah yangkeras dan kaku. Jika kita berhasil membuat keinginan-keinginan kita yang bersifat seksual danegois menjadi keinginan yang bersifat spiritual dan hidup, maka burung kebangkitan, Phoenix,akan bangkit. Lihat Jonathan Black, Sejarah Dunia yang Disembunyikan, terj. Isma B. Soekatodan Adi Toha (Tangerang: Pustaka Alvabet, 2016), h. 473-474.

7 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 43-44.8 Muḥammad Ibn Zakaria al- al-Râzî, Pengobatan Ruhani, terj. M.S. Nasrullah dan Dedi

Mohammad Hilman (Jakarta: Hikmah, 2002), h. 52. Menurut Ibn Miskawayh, semua kemampuanjiwa yang direalisasikan oleh tubuh dan organ-organ jasmani musnah setelah kematian, sedangkanjiwa sebagai substansi sederhana secara mandiri bertahan dengan berbagai kemampuan akalnya.Lihat Mohammed Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, terj. Hidayatullah (Bandung: Pustaka,2000), h. 128.

Page 110: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

98

Kemudian al-Ghazâlî membagi daya persepsi menjadi dua dan

menetapkan letak biologis (sebagai alat) bagi salah satunya. Berbeda dengan Ibn

Miskawayh yang menetapkan letak biologis bagi masing-masing jiwa, al-Ghazâlî

justru hanya menetapkannya untuk salah satu bagian dari jiwa hewan. Dua daya

itu adalah daya persepsi dari luar dan daya persepsi dari dalam. Daya persepsi dari

luar adalah panca indera eksternal semisal perabaan, penciuman, pengecapan,

penglihatan dan pendengaran. Sedangkan persepsi internal terdiri atas lima

bagian. Pertama, Indera kolektif, terletak di rongga depan otak. Kedua,

representasi, yang terletak di rongga depan otak. Ketiga, imajinasi, yang terletak

di rongga tengah otak. Keempat, estimasi yang juga memakai rongga otak bagian

tengah. Kelima, memori, yang memakai rongga otak bagian belakang.9

Selain daya amarah dan daya syahwat, manusia juga mempunyai daya

rasional. Kita dapat melihat Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî saling bertemu dalam

konteks pembagian jiwa rasional yang mereka bagi menjadi dua: teoretis dan

praktis. Oleh al-Ghazâlî keduanya dinamakan akal10. Sedangkan Ibn Miskawayh

menyebutnya fakultas. Bagi keduanya akal teoretis adalah daya yang mengarah ke

arah atas yang membuatnya rindu pada ilmu pengetahuan yang berujung pada

9 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, terj. Sulaiman al-Kumayi (Semarang: Mutiara Persada, 2003), h. 28-29.

10 Selain membagi jiwa manusia menjadi akal teoretis dan akal praktis, al-Ghazâlî dalamMîzân al-‘Amal juga membuat klasifikasi yang lain, yakni akal gharîzi (insting) dan akal muktasabatau mustafad (perolehan). Yang pertama adalah potensi untuk menerima ilmu. Sedangkan yangkedua adalah akal yang dapat menghasilkan ilmu-ilmu dari arah yang tidak diketahui.Perolehannya bisa tanpa belajar, tetapi adakalanya dengan belajar. Sebelum al-Ghazâlî, ada duatokoh yang membuat klasifikasi seperti ini, yaitu Abû Ḥasan al-Mawardî dan Raghîb al-Isfahânî.Tetapi nampaknya penjelasan yang disampaikan oleh al-Ghazâlî lebih mirip dengan penjelasandari Raghîb al-Isfahânî. Lihat Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat,terj. Sulaiman al-Kumayi (Semarang: Mutiara Persada, 2003), h. 176, bdk. Amril M., Etika Islam:Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghîb al-Isfahânî (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 147.

Page 111: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

99

perkara-perkara maujûdât (makrokosmos) secara berurutan sampai ke ilmu Ilahi

yang merupakan tingkatan terakhir ilmu. Sedangkan akal praktis adalah daya yang

mengarah ke bawah yakni badan dan seluruh tata aturannya. Dengan demikian

akal praktis adalah daya yang bertanggung jawab terhadap akhlak. Bagi al-

Ghazâlî akal teoretis harus menjadi penguasa dan pengarah akal praktis dan

seluruh daya badan, atau dalam bahasa Ibn Miskawayh: “kesempurnaan teoretis

berkenaan dengan kesempurnaan teoretis seperti bentuk dan materi, yang mana

satu sama lain saling melengkapi, karena pengetahuan adalah permulaan dan

perbuatan adalah akhirnya.”11

Gagasan akal teoretis dan praktis berasal dari Aristoteles. Tetapi terdapat

perdebatan antara Aristoteles dan Plato. Bagi keduanya, theoria merupakan

tindakan tertinggi manusia dan kegiatan berpolitik adalah “profesi” tertinggi.

Namun, bagi Plato keduanya menyatu. Berpolitik dengan baik berarti bahwa sang

filsosof merenungkan (theoria) idea-idea abadi yang merupakan hakikat nyata dan

sesungguhnya dari apa yang terjadi dalam alam fana di dunia, khususnya idea

keadilan, lalu menerjemahkannya ke dalam praktek politik.

Sedangkan bagi Aristoteles, tidak ada hubungan antara theoria dan praxis.

Keduanya tidak berkaitan. Aristoteles tidak mengakui adanya idea-idea abadi.

Menurutnya, theoria diarahkan kepada bagian realitas yang tidak berubah. Praxis

bergerak di alam manusia, dan manusia termasuk alam yang berubah. Alam yang

11Lihat Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, 31, bdk. IbnMiskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 64.

Page 112: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

100

berubah tidak dapat dijalani dengan mengacu kepada alam tak berubah.12 Dari

keterangan di atas dapat diketahui bahwa meskipun al-Ghazâlî dan Ibn

Miskawayh memakai gagasan Aristoteles tentang pembagian akal menjadi teoretis

dan praktis, akan tetapi—tidak seperti Aristoteles yang memisahkan keduanya—

Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî nampaknya memakai gagasan Plato tentang

keterkaitan antara akal teoretis dan akal praktis.

Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî berbeda dalam hal menjelaskan kaitan

antar-jiwa dan hubungannya dengan akhlak. Penjelasan Ibn Miskawayh terlihat

hirarkis. Ini bisa kita tinjau dari penjelasannya di dalam Tahdzîb al-Akhlâk, bahwa

yang paling mulia dan bermoral adalah daya berpikir, yang kurang bermoral tetapi

dapat menerima tuntunan moral adalah daya amarah, sedangkan yang tidak

bermoral dan tidak dapat menerima aturan moral disebutnya daya syahwat.13

Pendapat di atas nampaknya sangat beralasan. Karena bagi Ibn Miskawayh, Allah

menganugerahkan jiwa berpikir pada kita agar kita dapat memanfaatkan jiwa

12 Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19(Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 33 dan 36.

13 Pandangan Ibn Miskawayh di atas mirip dengan penjelasan Aristoteles. Aristotelesmembagi jiwa menjadi yang rasional dan irasional. Yang rasional (akal) adalah pengendali yangirasional. Bagian irasional ada dua, yang satu vegetatif dan tidak berkaitan dengan akal samasekali. Bagian irasional lainnya adalah tempat nafsu (syahwat) dan keinginan (amarah) yang ikutambil bagian pada akal sejauh ada persetujuan dengan akal dan mengikuti kepemimpinannya. Disini, kita dapat mengamati bahwa kelemahan moral dan kemarahan kurang rendah dibandingkelemahan moral dalam kaitannya dengan hawa nafsu. Pasalnya, kemarahan tampaknyamendengarkan akal, tetapi salah dengar seperti pembantu yang buru-buru, yang tergesa-gesasebelum mendengar segala sesuatu yang dikatakan tuannya, dan gagal melakukan apa yangdiperintahkan. Alasannya, karena akal dan imajinasi menunjukkan bahwa suatu fitnah atau bisikantelah diterima dan kemarahan menarik kesimpulan bahwa ia harus berjuang melawan hal sepertiitu, dan begitu saja ia menyala secara langsung. Hawa nafsu, sebaliknya, tidak langsung diberitahuoleh akal dan persepsi, bahwa sesuatu itu menyenangkan ketimbang menyerbunya untukmenikmatinya. Konsekuensinya, sementara kemarahan mengikuti akal, hawa nafsu tidakdemikian. Karena itu, hawa nafsu lebih rendah dibanding kemarahan. Sekarang, jelaslah bahwakelemahan moral dalam kaitannya dengan nafsu lebih tidak dipuji ketimbang kelemahan moralyang ditunjukkan oleh kemarahan. Lihat Aristoteles, Nicomachean Ethics: Sebuah Kitab SuciEtika, terj. Embun Kenyowati (Jakarta: Teraju, 2004), h. 28 dan 183.

Page 113: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

101

amarah untuk mengendalikan daya syahwat yang tak dapat menerima moral.

Kemudian, untuk memperjelas gagasannya, Ibn Miskawayh membuat

perumpamaan yang terkenal tentang seorang yang mengendalikan kuda dan

anjingnya untuk berburu.14

Berbeda dengan Ibn Miskawayh yang menjadikan kaitan antar-jiwa

sebagai poros utama ide moralitasnya, al-Ghazâlî justru beranjak lebih jauh

dengan mengaitkan kerja sama antara daya-daya dari jiwa rasional dengan bagian-

bagian dari jiwa hewan yang menghasilkan berbagai macam emosi, keahlian, dan

ide-ide tentang moralitas. Kerja sama daya hasrat hewani dan akal praktis,

misalnya, akan menghasilkan ekspresi emosi seperti rasa malu, segan, tertawa dan

menangis. Sedangkan kerja sama antara akal praktis dengan akal teoritis

melahirkan berbagai ide moral, misalnya “kebohongan itu buruk” dan “jujur itu

baik.”15

Setelah membahas akal teoretis dan praktis yang pada dasarnya bersifat

rasional dan berasal dari ide para filosof, al-Ghazâlî melangkah lebih jauh ke

dalam dunia sufisme dengan memakai “hati” sebagai “organ” yang melampaui

akal. Dia percaya ada kekuatan lain yang lebih besar dan lebih benar di luar akal.

14 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h.72. Perumpamaan di atasnampaknya terinspirasi dari penjelasan Plato tentang seorang sais (nous) yang mengendarai sebuahkereta yang ditarik oleh dua ekor kuda bersayap. Seekor kuda berwarna putih adalah kuda berbudidan mulia (thumos) sedangkan yang seekor lagi nakal dan jahat (epithumia). Kuda putih selaluingin berlari ke atas, sedangkan yang hitam selalu mencoba berlari ke bawah. Disebabkankesalahan kuda yang liar dan jahat itu, maka kereta jatuh ke bawah (bumi) dan terpenjaralah jiwadalam tubuh. Lihat Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik hingga Kontemporer (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2014), h. 93. Pada perkembangannya, bentuk perumpamaan atau analogiini menjadi beragam di dalam doktrin sufisme. Misalnya, al-Ḥakîm al-Tirmidzî mengumpakan hatisebagai raja, ruh menjadi juru bicara dan akal menjadi menteri yang masing-masing mempunyaitugas tertentu. Lihat al-Ḥakîm al-Tirmidzî, Buku Saku Olah Jiwa, terj. Fauzi Faisal Bahreisy, dkk.(Jakarta: Penerbit Zaman, 2013), h. 163.

15 Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, h. 223.

Page 114: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

102

Jalannya tidak lagi berfikir rasioanal-abstraktif tetapi intuisional-eksperiensial.

Jalan ini merupakan suatu penyucian, dan syarat pertamanya adalah penyucian

hati dari segala sesuatu selain Allah swt. Jalan ini tidak mungkin dicapai melalui

belajar, tetapi melalui dzauq. Inilah yang disebut ‘ilm ḥudhûrî, bukan ‘ilm

ḥushûlî.16

Tidak hanya itu, al-Ghazâlî mempunyai pandangan lain yang

menggambarkan akhlak manusia sebagai hasil kecenderungan empat sifat yang

berkumpul dalam dirinya. Empat sifat itu terdiri dari sifat al-sabuʻiyyah (hewan

buas), sifat al-bahîmiyyah (hewan liar), sifat al-syaithâniyyah (setan), dan sifat al-

rabbâniyyah (ketuhanan). Jika amarah menguasai dirinya, maka ia akan

melakukan perilaku hewan buas, semisal permusuhan, kebencian, dan menyerang

manusia dengan pukulan dan cacian. Sebaliknya, jika syahwat menguasai dirinya,

maka ia akan melakukan perilaku hewan liar, seperti kejahatan, ketamakan, dan

perilaku seksual.

Jika sifat ketuhanan ada pada diri manusia, maka ia akan menganggap

dirinya memiliki sifat ketuhanan, seperti mencintai kekuasaan, keistimewaan,

kediktatoran, dan sifat lainnya. Terakhir, jika sifat setan eksis dalam dirinya, maka

ia menjadi orang yang licik, penipu, serta menggoda manusia dengan cara

memperlihatkan kejahatan dalam bentuk kebaikan.17

16 Al-Ghazâlî , Setitik Cahaya dalam Kegelapan, terj. Masyhur Abadi (Surabaya: PustakaProgressif, 2001), h. 187.

17 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Manajemen Hati, terj. Achmad Frenk dan Mustofa Bisri(Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h. 112-113.

Page 115: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

103

B. Filosofis vis-à-vis Religius

Ibn Miskawayh mendefinisikan akhlak atau karakter (khuluq) sebagai

suatu keadaan jiwa, keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa berpikir atau

mempertimbangkan secara mendalam.18 Al-Ghazâlî mendefinisikan akhlak

sebagai kondisi yang mapan (hai’ah) dari jiwa, yang darinya perbuatan-perbuatan

itu muncul dengan mudah tanpa perlu pemikiran atau pertimbangan.19 Dari

penjelasan di atas terlihat dengan jelas pengaruh Ibn Miskawayh terhadap al-

Ghazâlî dalam hal mendefinisikan akhlak.

Al-Ghazâlî mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan akhlak ada empat

perkara yang harus dicermati. Pertama, perbuatan yang baik atau buruk; kedua,

kemampuan melakukan perbuatan; ketiga, kesadaran akan perbuatan itu; dan

keempat, kondisi jiwa yang membuatnya condong kepada salah satu dari dua sisi,

dan yang membuatnya mudah untuk mengerjakan salah satu dari dua perkara,

yang baik ataupun yang buruk. Bagi al-Ghazâlî, akhlak tidak identik dengan

perbuatan, kemampuan, kesadaran, melainkan pada kondisi jiwa yang menetap

yang darinya timbul perbuatan dengan mudah dan tanpa berfikir.

Empat kategori yang diutarakan al-Ghazâlî di atas nampaknya dipengaruhi

oleh penjelasan Ibn Miskawayh ketika ia menjelaskan keadilan sebagai watak

18 Menurut T. J Winter—penerjemah edisi kritis karya al-Ghazâlî ke dalam bahasaInggris—definisi ini bersumber dari makalah etika karya Galen yang dalam versi bahasaYunaninya telah hilang. Namun, ringkasannya dalam bahasa Arab pernah diterbitkan oleh P.Krauss. Lihat catatan kaki yang dia buat dalam Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode MenaklukkanJiwa: Pengendalian Nafsu dalam Perspektif Sufistik, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan,2013), h. 85. Di dalam dunia modern terdapat aliran psikologi yang memakai pengertian sifatsebagai titik tolak teori psikologinya. Gordon Allport memberi pengertian yang hampir samadengan Galen tentang sifat. Sifat, menurutnya, adalah struktur batin pada tiap kepribadian yangmencerminkan keselarasan tingkah lakunya. Lihat Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian(Jakarta: Rajawali, 1986), h. 243.

19 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa: Pengendalian Nafsu dalamPerspektif Sufistik, h. 85.

Page 116: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

104

jiwa. Akan tetapi Ibn Miskawayh hanya mengajukan tiga kategori20 yang harus

dicermati, yaitu perbuatan, pengetahuan, dan daya, kemudian ia membedakan

watak jiwa dari ketiga kategori di atas tanpa menyebutkan nama untuk kategori

yang keempat.21

Selanjutnya, Ibn Miskawayh membahas keutamaan. Menurutnya jumlah

keutamaan sama dengan jumlah daya-daya jiwa, demikian pula kebalikan dari

keutamaan-keutamaan ini. Keutamaan jiwa rasional adalah kearifan (ḥikmah).

Keutamaan jiwa syahwat adalah sikap sederhana (‘iffah) yang diiringi kebajikan

dermawan. Keutamaan jiwa amarah adalah keberanian (syajâʻah). Barulah

kemudian timbul dari tiga kebajikan ini yang serasi dan berhubungan dengan tepat

antara yang satu dengan yang lainnya, satu kebajikan lain yang merupakan

kelengkapan dan kesempurnaan tiga kebajikan itu, yaitu kebajikan sifat adil

(‘adl). Sebab itu, kata Ibn Miskwayh, para filosof sepakat bahwa jenis-jenis

keutamaan22 manusia ini ada empat: kearifan, kesederhanaan, keberanian dan

keadilan. Kebalikan dari keempat keutamaan ini ada empat juga: bodoh, rakus,

pengecut, dan lalim.23

20 Aristoteles juga mengajukan tiga kategori untuk menunjukkan apa itu keutamaan, tetapidengan sedikit klasifikasi yang berbeda. Menurutnya ada tiga hal yang harus dipertimbangkandalam jiwa manusia, yaitu emosi, kemampuan, dan sifat. Keutamaan adalah salah satu di antaraketiganya. Dia menunjukkan bahwa keutamaan bukan emosi dan juga bukan kemampuan.Baginya, keutamaan adalah kategori yang ketiga, sifat. Sifat adalah kondisi baik atau buruk jiwakita yang akan menjadikan kita seseorang yang baik atau buruk. Lihat Aristoteles, NicomacheanEthics: Sebuah Kitab Suci Etika, h. 36-38.

21 Lihat Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa, h. 86. Bandingkan IbnMiskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 126.

22 Dari sudut pandang etika al-Quran, keutamaan-keutamaan seperti kemurahan hati,keberanian, kesetiaan, kejujuran, dan kesabaran adalah nilai-nilai kebajikan Arab jahiliah yangkemudian diislamisasi dan secara semantik diberi pengertian yang sama sekali baru yang harussesuai dengan nilai-nilai Islam. Lihat Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Quran, terj.Mansuruddin Djoely (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 112.

23 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 44.

Page 117: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

105

Al-Ghazâlî dalam iḥyâ dan mîzân, secara garis besar mengikuti

pembagian keutamaan dari Ibn Miskawayh di atas. Hanya saja, al-Ghazâlî —tidak

seperti Ibn Miskawayh—memberi legitimasi keutamaan-keutamaan di atas

berdasarkan teks al-Quran. Misalnya, berkaitan dengan hikmah sebagai kebajikan

jiwa rasional, al-Ghazâlî menyitir surat al-Baqarah [2]: 269, yakni: ”Dan barang

siapa diberi al-hikmah itu, dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang

banyak.” Mengenai keberanian sebagai kebajikan jiwa amarah al-Ghazâlî menukil

dari surat al-Fath [48]: 29, yakni: “Dan orang-orang yang bersama dengannya

(Muhammad) adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang

sesama mereka.” Perihal sederhana sebagai kebajikan jiwa kebinatangan al-

Ghazâlî mengutip surat al-A’raf [7]: 31, yakni: “Makan dan minumlah, dan

janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang

yang berlebihan.”

Selain tiga keutamaan di atas, al-Ghazâlî juga mengaitkan keadilan

sebagai keseluruhan keutamaan versi Plato, dengan melegitimasinya melalui surat

al-Hujurat [49]: 15, yaitu: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah

orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak

ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah.

Mereka itulah orang-orang yang benar.” Kalimat iman kepada Allah dan

Rasulnya al-Ghazâlî tafsirkan sebagai buah dari akal dan hikmah. Berjuang

dengan harta al-Ghazâlî maknai sebagai murah hati yang merujuk kepada

keberhasilan mengendalikan syahwat. Berjuang dengan jiwa menunjukkan

Page 118: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

106

keberanian yang muncul sebagai hasil dari pengendalian daya amarah atas dasar

bimbingan akal dan prinsip keseimbangan (‘adl).24

Ibn Miskawayh mengatakan bahwa kebajikan merupakan titik tengah

antara dua ujung, dan dalam hal ini ujung-ujung itu merupakan keburukan-

keburukan25. Karena itu, jika kebajikan bergeser sedikit saja dari posisinya ke

posisi yang lebih rendah, maka kebajikan itu mendekati salah satu kehinaan. Sulit

sekali mencapai titik tengah ini, dan mempertahankannya bila telah dicapai adalah

lebih sulit. Dalam hal jalan tengah pun al-Ghazâlî terpengaruh oleh Ibn

Miskawayh, tetapi yang menjadi berbeda adalah al-Ghazâlî mengumpamakan

jalan tengah26 dengan Jalan yang Lurus (al-Shirât al-Mustaqîm) dalam al-Quran.

Menurutnya, harus diakui sangat sulit berada di posisi tengah ini, karena “Jalan

yang Lurus” itu lebih halus dari sehelai rambut dan lebih tajam dari pedang. Itulah

mengapa, kata al-Ghazâlî, kita diwajibkan pada setiap rakaat ketika salat

24 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa, h. 91.25 Ide bahwa kebajikan atau keutamaan adalah titik tengah antara dua ekstrem yang

berlawanan adalah dari Aristoteles. Lihat Aristoteles, Nicomachean Ethics: Sebuah Kitab SuciEtika, h. 38-40. Filsosof Muslim mulai dari al-Kindî sampai seterusnya memakai ide ini secarakontinyu.

26 Ide tentang jalan tengah ini ternyata cocok dengan pandangan dunia al-Quran. MenurutFazlur Rahman, “jalan tengah” tidak hanya merupakan jalan yang terbaik, tetapi juga merupakansatu-satunya jalan. Itulah sebabnya mengapa tengah ini tidak tercapai secara quasi-otomatis, tetapihanya dapat tercapai dengan mengerahkan seluruh keuletan dan kekuatan yang kita miliki. Tengahmenurut al-Quran adalah keseimbangan di antara sisi-sisi yang ada dan integral, bukan di antarasisi-sisi yang tidak ada dan ditiadakan. Keseimbangan unik yang terjadi karena aksi-aksi moralyang integral inilah yang dikatakan al-Quran sebagai taqwa. Mungkin sekali taqwa ini adalahistilah tunggal yang terpenting di dalam al-Quran. Taqwa pada tingkatan tertinggi menunjukkankepribadian manusia yang benar-benar utuh dan integral. Ini adalah semacam stabilitas yangterjadi setelah semua unsur-unsur yang positif diserap ke dalam diri manusia. Lihat Fazlur rahman,Tema Pokok al-Quran, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1996), h. 43. Sebelum erafilsafat Yunani, ide jalan tengah telah terlebih dahulu muncul dalam Budhisme dengan istilahmajhim nikaya dan dalam konfusianisme dengan istilah keseimbangan emas (Golden Mean). LihatHelen Graham, Pikologi Humanistik, terj. Achmad Chusairi dan Ilham Nur Alfian (Yogyakarta:Putaka Pelajar, 2005), h. 22.

Page 119: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

107

membaca surat al-Fatihah yang berisi ucapan: “Tunjukilah kami jalan yang

lurus.”27

Ibn Miskawayh mengutarakan perdebatan beberapa pendapat filosof klasik

tentang masalah perubahan akhlak. Pandangan pertama mengatakan bahwa barang

siapa mempunyai karakter alami (bawaan) maka karakter tersebut tidak akan

pernah berubah. Pandangan kedua mengatakan bahwa karakter itu bersifat alami

(fitrah), tetapi cepat atau lambat dapat berubah melalui disiplin dan nasihat yang

baik. Ibn Miskawayh mendukung pendapat yang kedua, karena menurutnya

pendapat pertama mengabaikan penggunaan akal dan tertolaknya norma dan

pendidikan. Ibn Miskawayh juga mendukung pendapat Galen yang menjelaskan

bahwa sebagian manusia baik secara alami, sebagian lain jahat secara alami, dan

sebagian berada pada posisi tengah-tengah di antara keduanya. Selain itu, ia juga

mengikuti pendapat Aristoteles yang mengungkapkan bahwa orang yang buruk

bisa berubah menjadi baik melalui pendidikan, disiplin, dan nasihat yang

berulang-ulang.28

Dalam perdebatan kemungkinan perubahan akhlak, penjelasan al-Ghazâlî

–kendati mengikuti alur narasi yang sama dengan Ibn Miskawayh—memakai

sumber yang berbeda. Rujukannya melalui beberapa hadis menunjukkan

komitmennya terhadap syariat. Ia memberi penjelasan untuk dua pertanyaan yang

berbeda. Pertama, bagi mereka yang meragukan perubahan akhlak karena

menganggap akhlak sebagaimana tubuh manusia yang tidak bisa diubah. Kedua,

bagi mereka yang menganggap bahwa selama manusia masih hidup, maka tidak

27 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa, h. 117.28 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 57-58.

Page 120: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

108

akan berhenti darinya syahwat, amarah, dan rasa cinta kepada dunia. Menurut

mereka tujuan perjuangan batin adalah memusnahkan syahwat dan amarah pada

diri manusia, sehingga menyibukkan diri dengan perjuangan semacam itu

hanyalah membuang-buang waktu saja dan tidak ada faedahnya.

Bagi al-Ghazâlî, seandainya akhlak itu tidak mungkin diubah, tentu tidak

ada gunanya segala nasihat, khutbah, dan pendisiplinan. Padahal Nabi Saw. telah

bersabda, “Perbaikilah akhlakmu.” Menurutnya, bagaimana pengubahan ini dapat

disangkal dalam diri manusia padahal perubahan watak binatang saja bukan

merupakan perkara yang mustahil. Misalnya, seekor elang dapat diubah dari ganas

menjadi jinak, seekor anjing dari sifat rakus terhadap makanan menjadi

berperilaku baik dan menahan diri, seekor kuda dari liar menjadi patuh dan

tunduk.29 Semua itu jelas merupakan perubahan watak.

Al-Ghazâlî memperuncing argumennya dengan mengatakan bahwa segala

benda yang ada di dunia terbagi ke dalam beberapa kategori. Pertama, benda-

benda yang independen terhadap campur tangan dan ikhtiar manusia, seperti

langit, bumi. Singkatnya, segala sesuatu yang telah sempurna eksistensinya.

Kedua, segala sesuatu yang memiliki bentuk yang tidak sempurna, tetapi secara

potensial masih bisa disempurnakan dengan ikhtiar manusia. Al-Ghazâlî

29 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa, h. 93. Citra perubahan watakbinatang ini telah muncul lebih dahulu dalam pembahasan al-Ḥakîm al-Tirmidzî tentang rajawaliliar yang ditangkap kemudian dilatih oleh majikannya sehingga menjadi tunduk. Analogi inidigunakan untuk menunjukkan bahwa hawa nafsu bisa dikendalikan dan ditundukkan. Lihat al-Ḥakîm al-Tirmidzî, Buku Saku Olah Jiwa, terj. Fauzi Faisal Bahreisy, dkk. (Jakarta: PenerbitZaman, 2013), h. 43.

Page 121: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

109

menganalogikannya seperti sebutir biji kurma30 yang secara potensial bisa

menjadi pohon kurma jika dipelihara dengan baik. Oleh karena itu, kata al-

Ghazâlî , jika sebutir biji dapat dipengaruhi oleh pilihan manusia, maka demikian

pula amarah dan nafsu yang tidak dapat kita kikis sepenuhnya sehingga keduanya

hilang tanpa bekas. Namun, kita hanya mampu menjadikannya patuh dan

terkendali melalui pendisiplinan-diri dan perjuangan batin.31

Dalam mensinyalir sebab-sebab terjadinya perubahan akhlak, Ibn

Miskawayh di dalam Tahdzîb al-Akhlâk setidaknya membaginya menjadi dua.

Pertama, alamiah dan bertolak dari watak. Kedua, tercipta melalui kebiasaan dan

latihan.32 Akan tetapi, sebagaimana dikatakan Mohammed Arkoun, Ibn

Miskawayh dalam Al-Ḥawâmil wa Al-Syawâmil—sebuah karya kolaborasi antara

al-Tauḥîdî dan Ibn Miskawayh—mengatakan bahwa perubahan akhlak

dipengaruhi oleh faktor intern dan ekstern. Faktor intern tersebut mencakup nafsu

kebinatangan dan sifat-sifat marah yang merusak. Sedangkan faktor ekstern

adalah pendidikan, iklim33, dan rasi bintang.

30 Analogi biji kurma ini ini nampaknya diambil dari penjelasan Raghîb al-Isfahânî dalamkitabnya, al-Dharîʻah ilâ Makârim al-Syarîʻah . Lihat Amril M., Etika Islam: Telaah PemikiranFilsafat Moral Raghîb al-Isfahânî (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 147.

31 Lihat juga Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, h. 83.32 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 56.33 Ibn Khaldun juga berbicara tentang pengaruh iklim terhadap perilaku seseorang.

Menurutnya, secara umum orang-orang Negro mempunyai karakter periang dan sering emosional.Sukaria ditimbulkan oleh ekspansi dan disfusi dari ruh perikebinatangan. Sedangkan emosi berupasedih, sebaliknya, merupakan kontraksi dan konsentrasi dari ruh-perikebinatangan. Panas udarasampai di ruh mereka yang dengan segera menguap. Akibatnya mereka pun merasa riang gembira.Selanjutnya, orang-orang Negro tinggal di daerah panas. Panas mendominasi temperamen dan“pembentukan” mereka. Oleh karena itu, di dalam ruh mereka terdapat panas menurut kadar panasyang ada di dalam tubuh dan yang ada di dalam daerah tempat mereka tinggal. Disebabkan tambahpanas, tentu tambah menguap. Karena tambah menguap tentu tambah cepat gembira, dan merekaadalah periang. Mudah dipengaruhi merupakan konsekuensi langsung sesudah itu. Lihat IbnKhaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), h. 97-98.

Page 122: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

110

Pendidikan berkaitan dengan bimbingan orang tua, pemerintah, hukum

dan kebiasaan baik yang dibentuk untuk pendidikan. Sementara iklim mempunyai

pengaruh yang sangat nyata terhadap pembentukan psiko-fisik manusia. Iklim

adalah pangkal perbedaan etnis. Oleh karena itu, keturunan Zanj (di wilayah

Afrika) yang berkulit hitam dan rambutnya keriting karena mereka hidup di dekat

garis lintas matahari dan cuacanya panas sekali mempunyai perasaan halus dan

murni, sehingga kurang mempunyai sifat berani, namun karakter mereka periang

dan bergairah.

Sebaliknya, keturunan darah pemarah lebih berani, mereka berkulit putih

dan rambutnya lurus karena hidup di wilayah utara yang begitu jauh dari garis

lintas matahari dan sangat dekat dengan daerah dingin. Pengaruh rasi bintang34

juga dijelaskan oleh Ibn Miskawayh sebagai sebuah ilmu alam yang mungkin

bermanfaat meski kebenarannya tidak bisa dijamin. Pengaruh bintang-bintang

terhadap bumi adalah peristiwa alamiah. Astrolog memberitahukan peristiwa ini

sesuai dengan pengamatannya terhadap gerakan-gerakan benda-benda langit dan

efek pancarannya yang mempengaruhi kita. Kemudian ia memberikan penilaian

34 Jonathan Black menjelaskan bahwa rasi bintang bisa mempengaruhi perilakuseseorang. Menurutnya, kesadaran hati yang berasal dari Matahari memasuki ruang mental melaluihati. Atau, dengan kata lain, hati adalah portal jalan masuk Dewa Matahari menuju kehidupan kita.Demikian juga sebuah kesadaran ginjal bersinar masuk ke dalam diri kita dari Venus, menyebar kepikiran dan tubuh kita melalui portal ginjal kita sendiri. Kerja sama pusat-pusat yang berbeda darikesadaran membuat kita secara beragam mencintai, marah, sendu, resah, tabah, bijaksana, danlain-lain, membentuk satu hal tunggal, yaitu pengalaman manusia. Bekerja melalui pusat-pusatkesadaran kita yang berbeda seperti ini, para dewa planet-planet dan gugusan bintangmempersiapkan kita untuk pengalaman yang hebat, dan menjalani tes besar seperti yang dinginkankosmos. Susunan yang dalam dari kehidupan kita dijelaskan oleh pergerakan dari benda-bendalangit. Lihat Jonathan Black, Sejarah Dunia yang Disembunyikan, h. 52.

Page 123: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

111

alamiah, meski akhirnya ia melakukan serangkaian kesalahan dalam berbagai

kesimpulannya.35

Sebagaimana halnya penjelasan Ibn Miskawayh di atas, al-Ghazâlî pun

mengajukan dua penyebab terjadinya perubahan akhlak. Pertama, dengan rahmat

Allah dan kesempurnaan sifat bawaan (fithrah). Tetapi, berbeda dengan Ibn

Miskawayh, al-Ghazâlî memberi contoh para nabi yang menjadi pandai tanpa

belajar seperti Isa, Yahya Ibn Zakariya, dan para nabi yang lain. Menurutnya,

banyak anak-anak yang dilahirkan dengan sifat bawaan36 jujur, pemurah dan

pemberani. Akan tetapi, sering kali didapati anak yang dilahirkan dengan sifat-

sifat sebaliknya. Bagi al-Ghazâlî hal tersebut disebabkan daya insting (ghârizah)

yang terletak pada akar temperamen yang tumbuh searah dengan pertumbuhan

usia seseorang. Sebagian cepat menerima perubahan, sedangkan sebagian yang

lain lambat.

Kedua, adalah berupaya memperoleh sifat-sifat baik melalui perjuangan

batin dan pendisiplinan. Maksudnya adalah dengan membiasakan diri. Misalnya,

orang yang ingin memiliki sifat pemurah harus melatih dirinya bersikap

dermawan dengan sungguh-sungguh dan dalam jangka waktu yang sangat lama,

35 Lihat Mohammed Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, h. 130-131.36 Diskursus tentang karakter adalah sifat bawaan yang diturunkan dari orang tua atau

nenek moyang ternyata sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Dalam karya Plato, Xarmides,terdapat dialog antara Sokrates dan Kritias yang sedang memperbincangkan seorang pemudabernama Xarmides, dia adalah paman Plato dari pihak ibunya, Periktione. Dalam dialog tersebutSokrates mengatakan bahwa Xarmides adalah keturunan Dropides yang mendapat pujian dari parapenyair seperti Anakreon dan Solon sebagai keluarga yang unggul karena ketampanan lahiriah dankeutamaan jiwa. Tak aneh sifat tersebut kemudian diturunkan kepada Xarmides. Plato,sebagaimana dikatakan Setyo Wibowo, penerjemah dan penafsir buku tersebut, tidak percayabahwa keutamaan itu diwariskan secara biologis. Menurutnya, keutamaan jiwa adalah hasil darikebiasaan dan juga pendidikan. Nyatanya di kemudian hari Xarmides dan Kritias terlibat dalamrezim tiga puluh tiran yang bengis. Lihat Platon, Xarmides: tentang Keugaharian, terj. SetyoWibowo (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 81 dan 144.

Page 124: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

112

sehingga sifat pemurah betul-betul menjadi wataknya, sehingga sifat itu muncul

dari dirinya dengan mudah, menyenangkan dan tanpa paksaan.37

Pandangan kedua tokoh di atas senada dengan pendapat Aristoteles.

Menurutnya, berbagai macam sifat terdapat dalam diri kita, bagaimanapun, secara

alamiah. Kita cenderung menjadi baik, dapat mengendalikan diri, dan untuk

menunjukkan semua sifat lainnya yang ditorehkan semenjak kita dilahirkan.

Namun, kata Aristoteles, tanpa kecerdasan semua itu berbahaya. Jika orang

bertindak secara buta, misalnya menggunakan kebajikan alam secara terpisah,

maka ia akan gagal, tetapi sekali ia memiliki kecerdasan, akan ada perbedaan

besar dalam tindakannya. Dalam titik itu, sifat alamiahnya akan menjadi

kebajikan dalam arti sesungguhnya yang awalnya mirip. Sebagai konsekuensinya,

ada dua macam kualitas dalam bagian moral kita, kebajikan alamiah dan

kebajikan dalam arti sesungguhnya. Keutamaan dalam arti sesungguhnya tidak

dapat dicapai tanpa kebijaksanaan praktis.38

C. Teoretis vis-à-vis Teoretis-Praktis

Dalam membincang tema ini, lagi-lagi, Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî

mempunyai banyak kesamaan pandangan. Hanya saja, seperti akan kita lihat

nanti, ada beberapa perbedaan di antara keduanya. Ibn Miskawayh menggunakan

analogi medis dengan mengatakan dokter ahli tidak mau menyembuhkan penyakit

badan sebelum mendiagnosis penyakit. Setelah itu, mereka akan menyembuhkan

penyakit dengan obat yang melawan penyakit tersebut, yang dimulai dengan

37 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa: Pengendalian Nafsu dalamPerspektif Sufistik, h. 94.

38 Aristoteles, Nicomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika, h. 164-165.

Page 125: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

113

memberikan obat-obatan yang ringan hingga makanan yang tidak enak dan obat-

obatan yang pahit, dan dalam kasus tertentu dengan melakukan amputasi dan juga

kauterisasi. Hal di atas, menurut Ibn Miskawayh, berlaku juga untuk mengobati

penyakit jiwa. Lebih lanjut Ibn Miskawayh membagi perawatan tubuh menjadi

dua bagian. Pertama, menjaga kesehatan selagi sehat (preventif). Kedua,

menyembuhkan ketika sakit (kuratif). Perawatan jiwa pun menurutnya harus kita

bagi seperti perawatan tubuh.39

Sama seperti Ibn Miskawayh, bagi al-Ghazâlî , sebagaimana penyakit yang

mengubah keseimbangan suhu tubuh yang mengakibatkan sakit, maka tidak ada

pengobatan selain dengan lawannya. Hanya saja, al-Ghazâlî mengaitkan prinsip

kebalikan ini melalui sumber Qurani yang tersirat melalui firman-Nya dalam surat

al-Nâziʻât ayat 40-41: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran

Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, sesungguhnya

surgalah tempat tinggal(nya)”.

Misalnya penyakit kikir disembuhkan dengan bersedekah, penyakit

sombong dengan merendahkan hati. Menurut al-Ghazâlî setiap anak dilahirkan

dalam keadaan seimbang dan pada dasarnya berwatak baik. Kedua

orangtuanyalah yang menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Nasrani, atau

Majusi, yakni melalui pembiasaan diperoleh adat kebiasaan yang buruk. Jiwa

yang sudah terdidik dengan akhlak yang baik harus pula diimbangi dengan

menjaga kesehatannya. Tetapi, berbeda dengan Ibn Miskawayh, al-Ghazâlî tidak

menyebutkan cara menjaga kesehatan tersebut.

39 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 162.

Page 126: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

114

Seorang syaikh—yang al-Ghazâlî sebut sebagai dokter jiwa—tidak boleh

memaksa murid-muridnya untuk menjalankan pendisiplinan-diri maupun tugas-

tugas tertentu sebelum dia mengetahui tabiat maupun penyakit hati yang diderita

si murid. Jika ada dokter yang mengobati semua pasiennya dengan satu obat saja,

tentu dia akan membunuh sebagian besar pasien tersebut. Demikian pula

seandainya ada syaikh yang membimbing muridnya dengan hanya satu bentuk

pendisiplinan, tentu dia akan membinasakan mereka dan mematikan hati mereka.

Sebaliknya, menurut al-Ghazâlî, seorang dokter ruhani harus mencermati jenis

penyakit, keadaan, usia, kondisi, dan kemampuan fisik masing-masing murid

untuk menjalankan latihan-latihan tertentu yang harus dijadikan acuan.40

Penanganan yang kedua menurut Ibn Miskawayh adalah menyembuhkan

ketika sakit (kuratif). Menurut Ibn Miskawayh, jenis-jenis penyakit jiwa adalah

kebalikan dari empat kebajikan. Tetapi Ibn Miskawayh membatasi pada empat

penyakit jiwa, yakni marah, takut, dan takut mati, dan sedih hati beserta penyebab

dan cara penyembuhannya.

Bagi Ibn Miskawayh, marah merupakan gejolak jiwa yang menyebabkan

darah dalam hati mendidih dalam nafsu membalas. Jika gejolak ini sangat keras,

ia mengobarkan api marah. Akibatnya, darah hati mendidih semakin dahsyat,

seluruh urat syaraf dan otak tergelapi oleh asap pekat yang merusak keadaan

benak dan memperlemah aktivitas benak.41

40 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Metode Menaklukkan Jiwa, h. 109.41 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 174.

Page 127: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

115

Sedikit berbeda dengan Ibn Miskawayh, menurut al-Ghazâlî marah adalah

nyala api yang diambil dari api neraka Allah yang dinyalakan dan kemudian naik

ke kalbu. Api kemarahannya menyala dan berkobar dengan kobaran yang

menjadikan darah kalbu mendidih tersebar pada urat-urat dan naik ke tubuh yang

paling tinggi. Al-Ghazâlî melampaui Ibn Miskawayh ketika menjelaskan

pengaruh marah terhadap keadaan wajah seseorang. Menurutnya, darah kalbu

tersebut tertuang ke muka dan menjadikan muka dan mata memerah.42 Sedangkan

kulit karena kejernihannya menampakkan warna merah darah yang ada di

baliknya.

Menurut Ibn Miskawayh, tiap manusia tidak sama kadar marahnya. Hal ini

bergantung pada temperamen masing-masing. Kalau temperamennya panas, maka

kondisinya tak jauh berbeda dengan belerang, yang apabila disambar percikan api

yang kecil sekalipun, akan berkobar. Sedangkan menurut al-Ghazâlî dalam hal

marah manusia itu berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang cepat menyala dan

cepat padam, sebagiannya lagi ada yang lambat menyala dan lambat padam

sebagaimana kapas. Yang lainnya lagi, ada yang lambat menyala tetapi cepat

padam, dan inilah yang terpuji selama tidak mengendorkan semangat dan rasa

cemburu.43

42 Penjelasan al-Ghazâlî tentang definisi marah dan pengaruhnya terhadap wajah di atasadalah gema hadis Nabi yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw.bersabda, “Ingatlah bahwa marah adalah bara api di dalam hati anak adam. Tidakkah kalianmelihat kedua matanya yang memerah dan urat lehernya yang menegang.” Lihat MuhammadUtsman Najati, Psikologi Sempurna ala Nabi Saw, terj.Hedi Fajar (Bandung: Pustaka Hidayah,2008), h. 109.

43 Perihal perbedaan manusia dalam hal marah, nampaknya al-Ghazâlî mengambilnyadari hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dengan redaksi yang hampir sama sepertidi atas. Lihat Muhammad Utsman Najati, Psikologi Sempurna ala Nabi Saw, h. 308.

Page 128: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

116

Berkaitan dengan penyebab marah, Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî

memiliki banyak kesamaan pandangan dengan sedikit perbedaan rincian.

Sedangkan menyangkut akibat dari kemarahan al-Ghazâlî tidak menyebutkannya

sama sekali. Dalam menjelaskan ekspresi marah nampaknya penjelasan al-Ghazâlî

mengikuti penjelasan dari Raghîb al-Isfahânî. Bila kita lihat lebih jauh Ibn

Miskawayh tidak menjelaskan sampai ke ekspresi ini.

Bagi al-Ghazâlî, apabila marah itu ditujukan kepada orang yang derajatnya

berada di atas kita dan kita dalam keadaan tak mampu membalas, maka darah

mengalir ke jantung dan sebaliknya, tidak berjalan sebagaimana mestinya

sehingga muncullah ekspresi kecemasan yang diperlihatkan dengan wajah pucat.

Apabila marah itu kepada orang yang tingkatannya berada di bawah kita, maka

akan timbul pergolakan darah dalam jantung, maka terjadilah marah yang

sesungguhnya dan keinginan menyiksa atau menuntut balas. Bila marah itu

terhadap teman kita dan kita kuasa membalasnya, maka aliran darah pun berada

dalam posisi kencang kendur, cepat lambat, dan ini akan berpengaruh kepada

warna wajah yang berbeda-beda: memerah, menguning, dan tak karuan.44

Menurutnya, perubahan lahiriah (ekspresi wajah) ini merupakan dampak dari

perubahan batiniah.

Sama seperti Ibn Miskawayh, menurut al-Ghazâlî bila marah tidak

terkontrol terjadilah pemukulan, penyerangan, pembunuhan, dan perbuatan keji

lainnya. Tetapi, kadang-kadang penyaluran kemarahan ini bisa berupa pemukulan

44 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, h. 158. BandingkanAmril M., Etika Islam: Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghîb al-Isfahânî, h. 160.

Page 129: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

117

pada benda-benda tak bernyawa seperti piring dan meja, juga kepada binatang-

binatang yang jelas-jelas tidak berakal.45

Sebagaimana dikatakan Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî bahwa penyebab

marah adalah hal-hal seperti sombong, cekcok, meminta dengan sangat, bercanda,

berolok-olok, mengejek, dan sikap lainnya. Adalah sebuah keniscayaan untuk

menghilangkan sebab-sebab kemarahan dengan kebalikannya. Bagi Ibn

Miskawayh, sombong sama dengan berbangga diri. Tapi orang sombong hanya

menyombongkan diri kepada orang lain, tanpa membohongi dirinya.46 Untuk

menyembuhkannya, harus dipergunakan terapi untuk orang yang berbangga diri.

Menurut Ibn Miskawayh terapinya seperti ini. Beri tahu orang yang sombong tadi,

bahwa apa yang tengah disombongkannya itu tidak ada artinya bagi kaum

intelektual. Kaum intelek tidak pernah memandang sebelah mata pada barang

murahan yang disombongkannya itu, lantaran nilai barang itu rendah dan lantaran

kurang membawa kebahagiaan. Barang seperti harta, perabot serta materi lainnya

dapat dimiliki oleh setiap orang, dari yang mulia sampai yang hina. Tapi kearifan

hanya dimiliki oleh orang-orang arif saja.

Berbeda dengan Ibn Miskawayh yang hanya menjelaskan setiap sebab-

sebab kemarahan dengan sebaliknya dari aspek teoretis saja, bagi al-Ghazâlî

pengobatan di atas hanya dimaksudkan untuk tidak selalu mengikuti marah.

45 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Ihya ‘Ulumiddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, h.175. Bdk Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 178.

46Definisi ini sama dengan definisi yang diutarakan oleh al-Muḥâsibî. Menurutnya,sombong adalah mengagungkan dan memuliakan diri serta menganggap rendah orang lain.Perasaan ini timbul karena beberapa faktor, terutama ujub (bangga diri). Lihat al-Ḥârits al-Muḥâsibî, Belajar Ikhlas: 91 Kiat Menemukan Nikmat Taat, terj. Luqman Junaidi (Jakarta:Penerbit Zaman, 2013), h.197, bdk. Ibn al-Jauzi, Terapi Spiritual, terj. Asyari Khatib (Jakarta:Penerbit Zaman, 2010), h. 65.

Page 130: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

118

Menurut al-Ghazâlî, marah ketika berkobar efektif diobati dengan perpaduan

antara ilmu dan amal sekaligus. Adapun tentang ilmu maka terdapat enam

perkara.

Pertama, ia berpikir tentang hadis-hadis mengenai keutamaan menahan

marah, memaafkan, bersikap pemurah, dan menangung rasa sakit pada kalbu lalu

ia mendapatkan pahala. Oleh karena itu, keinginan yang kuat kepada pahala

menahan marah dapat mencegahnya dari membalas dendam dan meredakan

kemarahannya. Kedua, ia menjadikan dirinya takut dengan siksa Allah. Ketiga, ia

memperingatkan dirinya akan akibat permusuhan dan balas dendam, serta

persiapan musuh untuk menghadapinya dan usaha mereka menghancurkan tujuan

kita. Keempat, ia berpikir tentang kejelekan bentuknya ketika ia marah yang

menyerupai anjing yang buas. Penyerupaan orang-orang yang bersikap pemurah,

tenang dan meninggalkan kemarahan seperti para Nabi dan wali, serta para ahli

hikmah. Kelima, ia berpikir tentang sebab yang mendorongnya kepada balas

dendam dan mencegahnya dari menahan marah. Manakala ia marah, seyogyanya

ia menahannya karena Allah. Keenam, ia mengerti bahwa kemarahannya itu dari

kekagumannya terhadap berlakunya sesuatu sesuai dengan kehendak Allah, bukan

sesuai dengan kehendaknya.47

Adapun dari sisi amal, kata al-Ghazâlî, kita harus membaca kalimat, “Aku

berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk”. Jika kemarahan itu tidak

hilang, maka duduklah ketika kita berdiri, dan berbaringlah ketika kita duduk, dan

47 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Ihya ‘Ulumiddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, h.189-192.

Page 131: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

119

dekatkanlah ke bumi di mana daripadanya kita diciptakan agar mengerti akan

kehinaan diri kita. Tujuannya adalah mencari ketenangan. Kalau kemarahan tidak

hilang juga, maka kita dianjurkan berwudhu dengan air yang dingin atau mandi.

Karena sesungguhnya api itu tidak dapat dipadamkan selain dengan air.48

Penyakit jiwa selanjutnya adalah takut. Dalam hal ini al-Ghazâlî memakai

istilah kecemasan49. Bagi Ibn Miskawayh rasa takut timbul akibat merasa bakal

(antisipasi) terjadi sesuatu yang buruk atau berbahaya. Kejadian yang sifatnya

baru kemungkinan saja, pada umumnya bisa terjadi atau tidak. Adapun hal yang

menakutkan yang disebabkan pilihan buruk kita atau dosa kita sendiri, maka, kata

Ibn Miskawayh, kita harus mengekang diri untuk tidak mengulang perbuatan ini,

dengan meninggalkan perbuatan keji yang kita cemaskan konsekuensinya dan

dengan tidak lagi melakukan perbuatan berbahaya.

Adapun takut pada hal-hal yang sifatnya pasti terjadi, seperti usia tua dan

segala aspeknya, obatnya berupa menyadari bahwa kalau manusia menghendaki

umur panjang, berarti dia pasti akan tua, dan mengantisipasinya bahwa itu pasti

terjadi. Setelah kita tua gerak akan menjadi semakin lamban, tenaga makin

berkurang, dan organ pencerna melemah. Bagi orang yang sudah sejak awal

mengantisipasi hal-hal ini berikut segala aspeknya, maka, menurut Ibn

Miskwawayh, orang tersebut tak akan menjadi penakut lagi.50

48 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Ihya ‘Ulumiddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, h.192-193.

49 Istilah ini digunakan pertama kali digunakan oleh Raghîb al-Isfahânî. Menurutnyakecemasan dan kesedihan adalah bentuk lain dari tampilan daya amarah. Lihat Amril M., EtikaIslam: Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghîb al-Isfahânî, h. 147.

50 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 183-185.

Page 132: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

120

Berbeda dengan Ibn Miskawayh, al-Ghazâlî membagi ketakutan atau

kecemasan itu menjadi tiga bagian. Pertama, cemas karena perkara masa lalu.

Kedua, karena perkara hari ini. Ketiga, karena perkara di masa depan.

Menurutnya, jika kecemasan itu disebabkan suatu yang menyakitkan di masa lalu,

maka seorang yang cerdas mengetahui bahwa keluh kesah terhadap apa yang

sudah lewat percuma saja. Tidak mungkin sesuatu yang sudah hilang akan

kembali lagi.

Bila kecemasan itu disebabkan peristiwa saat ini, seringkali karena dengki

terhadap orang lain yang memperoleh nikmat, atau karena menyesali atas

hilangnya harta, jabatan, dan sarana-sarana duniawi lainnya. Bagi al-Ghazâlî,

penyebab timbulnya kecemasan ini karena kebodohan terhadap tipu daya

keduniaan dan segala racunnya. Barang siapa mengambil pelajaran tentang

kejadian setiap saat berupa ditariknya nikmat dari pemiliknya, terjadinya musibah

atas pemiliknya, dan sangat cemasnya mereka dengan hilangnya nikmat, niscaya

ia tidak akan cemas atas hilangnya semua itu.

Adapun bila kecemasan itu karena persoalan yang akan datang, maka bila

persoalannya itu tidak mungkin terjadi atau wajib terjadi seperti kematian, maka

pengobatannya adalah mustahil. Bila tidak mungkin ditolak seperti kematian

sebelum masa tua, maka kecemasan karenanya adalah suatu kebodohan.

Seandainya bisa ditolak, maka tidak ada artinya kecemasan, tetapi seharusnya

diusahakan untuk dihindari dengan akal yang tidak dicampuri kecemasan. Akan

tetapi, apabila kaitan antara dirinya dan harta, pekerjaan, jabatan, dan persoalan

lainnya telah kokoh, maka caranya adalah dengan menahan diri darinya sedikit

Page 133: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

121

demi sedikit serta menyibukkan diri dengan selainnya sekalipun yang lain berupa

jenis yang sama yang harus dijauhi.51

Penyakit jiwa selanjutnya adalah takut mati. Ibn Miskawayh berpendapat

bahwa takut akan kematian hanya menghantui orang yang tidak tahu apa itu mati;

atau orang yang tidak tahu ke mana sebetulnya jiwanya itu akan pergi, atau

alasan-alasan lain yang tak terbukti sama sekali. Menurutnya, kematian tak lebih

dari sekedar non-aktifnya jiwa dari penggunaan organ-organ yang secara

keseluruhan disebut jasad, seperti pengrajin yang tak lagi memakai alat-alatnya.

Jiwa merupakan substansi bukan jasmani, juga bukan aksiden. Jiwa tidak bisa

hancur.

Orang yang takut mati itu karena dia tidak tahu ke mana jiwanya akan

pergi. Oleh sebab itu, menurut Ibn Miskawayh, sebenarnya dia bukan takut mati,

melainkan ketidaktahuannya inilah yang membuatnya takut. Obat tidak tahu

adalah tahu. Siapa yang tahu maka dia percaya bahwa ketika jiwa meninggalkan

tubuh, maka jiwa mencapai kehidupan kekal yang sesuai dengannya, bersihlah ia

dari kekeruhan jasmani dan mencapai kebahagiaan sempurna.

Barang siapa takut kematian alami yang pasti melanda manusia, berarti dia

takut terhadap apa yang mestinya didambakan. Sebab, kematian ini sebenarnya

merupakan perwujudan dari apa yang tersirat dalam definisi tentang manusia,

yaitu dia adalah makhluk hidup, berpikir, dan akan mati. Dia harus pula percaya

pada fakta bahwa bila substansi Ilahi yang mulia ini terlepas dari substansi jasadi,

51 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat,h. 245.

Page 134: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

122

hingga berada dalam kemurnian dan kejernihannya, maka substansi itu bahagia

dan kembali ke alam malakutnya serta dekat dengan penciptanya.52

Sedangkan menurut al-Ghazâlî, gelisah karena kematian itu tidak masuk

akal, karena kegelisahan itu tidak kosong dari empat segi. Pertama, adakalanya

karena syahwat perut dan kelamin. Kedua, karena harta yang akan ia tinggalkan.

Ketiga, karena kebodohannya tentang keadaan dan tempat kembalinya sesudah

mati. Keempat, karena rasa takut atas maksiat yang telah dilakukannya.53

Apabila kesusahan timbul karena keinginan syahwat perut dan

kemaluannya, maka, kata al-Ghazâlî, ia seperti orang yang menginginkan

penyakit untuk dihadapkan kepada penyakit lain yang serupa dengannya, karena

maksud dari kelezatan makan adalah menghilangkan rasa lapar. Oleh karena itu,

ketika rasa lapar telah hilang dan perut besar telah terisi, maka ia akan membenci

apa yang diingini sebelumnya. Apabila penyebabnya adalah kekhawatirannya

terhadap harta yang akan ditinggalkannya setelah mati, maka hal itu menunjukkan

ketidaktahuannya mengenai kehinaan dunia dibandingkan dengan keagungan

kerajaan dan kenikmatan abadi (surga).

Apabila penyebabnya karena ketidaktahuannya mengenai keadaan dirinya

sesudah mati, maka seharusnya dia menuntut ilmu tentang hakikat kematian. Ilmu

itu meliputi hakikat dan esensi jiwa, hubungannya dengan tubuh, dan keadaan

jiwa yang telah ada semenjak awal penciptaan. Kematian merupakan kelahiran

52 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 185-187.53 Bagian ini juga nampaknya diambil dari Raghîb al-Isfahânî. Lihat Amril M., Etika

Islam: Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghîb al-Isfahânî, h. 164-165.

Page 135: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

123

kedua. Dari kelahiran kedua inilah akan diperoleh kesempurnaan yang belum

pernah terbayangkan sebelumnya. Apabila penyebabnya karena ketakutannya

terhadap balasan perbuatan-perbuatan maksiat pada masa lalu, maka

kegelisahannya itu tiada berguna. Melainkan yang bermanfaat adalah

mengobatinya dengan cara bertobat dan memperbaiki kelalaian yang telah lalu.

Perumpamaannya dalam kegelisahan dan tidak memperbaiki dosa tersebut adalah

seperti orang yang sebagian uratnya pecah, lalu keluar darah. Tetapi, ia biarkan

dan duduk termenung sedih atas darah yang keluar padahal ia mampu mengikat

dan mencegah alirannya. Ini adalah tanda kebodohan.54

D. Relevansi Konsep Perubahan Akhlak Ibn Miskawayh dan Al-Ghazâlî bagiSains Moderen

Krisis yang dihadapi dunia ketika memasuki ambang milenium baru

terletak pada sesuatu yang lebih dalam ketimbang cara bagaimana

mengorganisasikan sistem politik dan ekonomi. Dengan cara yang berbeda-beda,

baik Timur maupun Barat harus menghadapi krisis bersama yang disebabkan oleh

kondisi spiritual dunia modern. Kondisi itu dicirikan oleh rasa kehilangan-

kehilangan, baik kepastian religius maupun pada Yang Transenden dalam

cakrawala yang lebih luas.55

Helen Graham nampaknya mampu menjelaskan genealogi krisis dunia

modern ini, maka saya akan menggunakan penjelasannya secara agak panjang.

Dia menulis:

54 Abû Ḥâmid al-Ghazâlî, Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, 249.55 Huston Smith, Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains? terj. Ary Budiyanto

(Bandung: Mizan, 2003), h. xxiii

Page 136: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

124

“Yunani kuno jelas merupakan pilar peradaban Barat. Pythagorasmerupakan pemikir yang merepresentasikan tradisi mistik yang utama,meskipun dengan corak yang agak ganjil. Begitu juga dengan filsafatHeraclitus dan Empedocles yang pada dasarnya mistis. Namun matematikaPythagoras terbukti merupakan pengaruh tunggal terpenting pemikiranBarat…Namun pada periode klasik kebudayaan Yunani pandangan mistisdari kebudayaan masyarakat kuno menghilang. Pandangan mistis hancurdisebabkan oleh keberadaan konsep pengukuran yang dikenal sebagairerata emas (Golden Mean) atau pemilahan (Dissection) yang di kemudianhari disebut Kepler sebagai Proporsi Suci (Divine Proportion). Sebutanterakhir ini menunjukkan bahwa ukuran (measure) tersebut memiliki asal-usul suci, yang keberadaannya tidak dipandang sebagai sebuah fenomenatampak (overt) yang mudah dikenali, tetapi dianggap sebagai suatuharmoni terdalam yang terkandung jauh di dalam rasio, dan dengandemikian “memiliki ukuran” dari sesuatu adalah melihat harmoni ataukodrat dari sesuatu itu…Dengan demikian, gagasan tentang mengukurberangsur-angsur kehilangan makna mistisnya56. Bohm menyimpulkanbahwa pengukuran selanjutnya mulai menjadi rutin dan biasa sepertipengukuran yang secara mekanis dipelajari dan diajarkan oleh para gurudan tidak lagi secara intuitif melalui pengembanganpencerahan…Mengukur secara denotatif makna pokoknya adalah satuproses membandingkan dengan standar eksternal, pengertian itudiwariskan oleh Kebudayaan Yunani kepada peradaban Barat melaluiorang Romawi yang mewarisi gagasan bahwa pengetahuan, atau science(berasal dari kata Latin scientia), yang berarti fakta objektif, dan hanyafakta objektiflah yang membentuk pengetahuan tentang dunia yangvalid…Dengan demikian, seperti yang dinyatakan Toffler, pemilahan—penyederhanaan masalah menjadi komponen yang lebih kecil—adalahsalah satu keterampilan yang paling berkembang dalam kebudayaan Baratkontemporer, dan yang paling diutamakan dalam sains. Seperti yangdinyatakan Toffler dengan tepat, “Kebudayaan Barat sangat bagus dalam

56 Orang-orang kuno menganggap bintang-bintang dan planet-planet sebagai pengendalikehidupan di bumi, wajar jika mereka menjelaskan ukuran matematika asli dari alam materidengan rujukan pada benda-benda langit itu, yaitu spiritual. Oleh karena itu, matematika padaasalnya tidak saja holistis, dalam artian ia mengukur besaran, bentuk, dan pergerakan bumi danhubungannya ke benda-benda langit, tetapi juga merupakan ekspresi dorongan spiritual. Di dalamIslam angka mempunyai dasar spiritual, sebagaimana dijumpai dalam ungkapan, “SesungguhnyaTuhan adalah ganjil dan mencintai angka-angka ganjil.” Kecintaan pada angka-angka ganjil inimenumbuhkan adat-kebiasaan bahwa ritus, doa, mantra, dan lain sebagainya diulang-ulang dalamjumlah ganjil. Orang melakukan ritus-ritus magis sebanyak tiga atau tujuh kali dan mengulangidoa atau kata “âmîn” sebanyak tiga kali. Lihat Jonathan Black, Sejarah Dunia yangDisembunyikan, h. 191. Bandingkan Annemarie Schimmel, Misteri Angka-angka dalam berbagaiPeradaban Kuno dan Tradisi Agama Islaam, Yahudi, dan Kristen, terj. Agung Prihantoro(Bandung: Pustaka Hidayah, 2006), h. 26.

Page 137: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

125

melakukan hal itu (pemilahan). Saking bagusnya, kita sering lupa untukmenyatukannya kembali.”57

Menurut Osman Bakar, sains yang dipahami dalam arti terbatas sebagai

pengetahuan objektif, tersusun, dan teratur tentang tatanan alam semesta,

bukanlah produk pikiran modern semata. Bentuk-bentuk pengetahuan seperti ini

juga tumbuh secara ekstensif dalam peradaban pra-modern seperti Cina, India,

dan peradaban Islam. Sains-sains pra-modern ini berbeda dengan sains modern

dalam hal tujuan, metodologi, sumber-sumber inspirasi, dan asumsi-asumsi

filosofis mereka tentang manusia, pengetahuan, dan realitas alam semesta.

Perbedaan utama lainnya antara sains pra-modern dan modern adalah

mengenai posisi sains dalam hubungannya dengan jenis pengetahuan yang lain.

Dalam peradaban-peradaban pra-modern, sains tak pernah dipisahkan dari

pengetahuan spiritual. Sebaliknya, kita temukan sebuah kesatuan organik antara

sains dan pengetahuan spiritual. Yang dimaksudkan dengan pengetahuan spiritual

adalah pengetahuan mengenai tatanan spiritual. Esensi pengetahuan spiritual

adalah pengetahuan tentang dunia ruh. Dalam Islam, pengetahuan ini merujuk

pada pengetahuan tentang Yang Esa, tentang Tuhan dan Keesaan-Nya. Patut

diulangi bahwa prinsip Keesaan Ilahi (al-tawḥîd) merupakan pesan sentral Islam.

Dalam klasifikasi pengetahuan Islam sepanjang sejarah, pengetahuan tentang

tauhid senantiasa merupakan bentuk pengetahuan tertinggi serta tujuan puncak

semua upaya intelektual.58

57 Helen Graham, Pikologi Humanistik, terj. Achmad Chusairi dan Ilham Nur Alfian(Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2005), h. 4-7.

58 Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Esai-Esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam,terj. Yuliani Liputo (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h. 73.

Page 138: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

126

Sejak Yunani Kuno sampai Abad Pertengahan, sains atau ilmu

pengetahuan adalah bersinonim dengan filsafat, yang bertujuan memahami makna

dan keberadaan dari fenomena alam, dan khususnya manusia, yang dianggap

topik kajian paling penting. Pokok perhatian pengkajian tersebut adalah tentang

kesadaran, atau kehidupan mental, yang dalam berbagai manifestasinya dipandang

sebagai emanasi jiwa manusia, psyche, atau esensi. Psikologi adalah kajian

tentang jiwa, dan dalam perkembangannya sangat erat berhubungan dengan

agama.

Tetapi ceritanya menjadi lain ketika para ilmuwan seperti Copernicus,

Kepler, Galileo, dan Francis Bacon menentang gagasan Bibel dan menekankan

pemisahan filsafat dan sains dari teologi dan tidak bercampur seperti dalam

Skolastisisme. Descartes mengembangkan pemikiran Galileo dan Bacon lebih

jauh. Pandangannya tentang alam semesta didasarkan pada pandangan yang

membedakan alam menjadi dua bagian terpisah, yaitu pikiran (mind/res cogitans)

dan benda (res extensa). Berikutnya, Isaac Newton merumuskan hukum

matematis atau mekanis yang dianggap dapat menjelaskan semua perubahan yang

teramati dalam dunia fisik. Tidak ada tempat dalam fisika Newton bagi pikiran

dan kesadaran, tidak ada tempat untuk aspek perjuangan manusia. Doktrin paling

penting dari filosofi Newtonian dapat ditangkap dalam kata-kata “atomisme”,

“determinisme”, dan “objektivitas”.59

59 Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalamBerpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, terj. Rahmani Astuti, dkk.(Bandung: Mizan, 2001), h. 23 dan 25.

Page 139: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

127

Hukum-hukum tersebut mendukung gagasan Cartesian tentang alam

mekanistis yang terdiri atas partikel-partikel benda yang ada dalam ruang dan

waktu. Tradisi ini kemudian disempurnakan oleh aliran positivisme yang berdasar

pada tradisi sains Cartesian-Newtonian. Positivisme memandang bahwa satu-

satunya pengetahuan yang dianggap valid adalah pengetahuan ilmiah atau fakta

positif yang dapat diverifikasi secara objektif. Pada akhirnya, hal ini berimbas

kepada disiplin psikologi, yakni ilmu tentang jiwa, yang hanya menggunakan

metode dan prinsip-prinsip fisika, tanpa unsur spiritual di dalamnya.60

Psikoanalisis dengan tokoh utamanya, Sigmund Freud, adalah salah satu

tokoh yang terpengaruh fisika Newton dan berusaha mereduksikan tingkah laku

manusia ke dalam ukuran kimiawi dan fisik belaka. Dia juga dipengaruhi oleh

pemikiran Charles Darwin yang menganggap bahwa manusia adalah produk

evolusi yang terjadi secara kebetulan. Manusia hanyalah binatang, yang dari asal

binatangnya itu manusia memperoleh aneka dorongan dasar yang bersifat turunan

dan naluriah.61

Dalam teori psikoanalisa, kepribadian dipandang sebagai suatu struktur

yang terdiri dari tiga unsur atau sistem yakni id, ego dan superego. Id adalah

sistem kepribadian yang paling dasar, yang tujuannya mencapai keadaan yang

menyenangkan. Ego adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah

individu kepada dunia objek dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip

kenyataan. Adapun proses yang dimiliki dan dijalankan ego adalah upaya

60 Helen Graham, Pikologi Humanistik, h. 29-33.61 Frank G. Goble, Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow, terj. A.

Supratiknya (Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 18 dan 19.

Page 140: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

128

memuaskan kebutuhan atau mengurangi tegangan oleh individu. Superego

melibatkan aspek moral dari perilaku sosial. Superego adalah pengendali

dorongan-dorongan atau impuls-impuls naluri id agar impuls-impuls tersebut

disalurkan dalam cara atau bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat.62

Menurut Freud, di dalam id terdapat insting atau naluri. Insting adalah

representasi psikologis bawaan dari eksitasi (keadaan tegang dan terangsang) pada

tubuh yang diakibatkan oleh munculnya suatu kebutuhan tubuh. Freud

berpendapat bahwa naluri-naluri yang ada pada manusia itu ada dua macam, yaitu

naluri-naluri kehidupan (life instincts) dan naluri-naluri kematian (death instincts).

Teori psikoanalisa mengenai perkembangan kepribadian berlandaskan dua premis.

Pertama, premis bahwa kepribadian individu dibentuk oleh berbagai jenis

pengalaman masa kanak-kanak awal. Kedua, energi seksual (libido) yang ada

sejak lahir dan kemudian berkembang melalui serangkaian tahapan psikoseksual

yang bersumber pada proses-proses naluriah organisme.63

Aliran psikologi Barat selanjutnya adalah behaviorisme. Aliran ini adalah

salah satu aliran terkenal dalam psikologi yang mengungkapkan kecenderungan

materialistis dalam sains. Ia disebut behaviorisme karena menempatkan tingkah

laku makhluk hidup dan gerak-gerik jasmaniahnya, yang dapat dilakukan untuk

observasi ilmiah dan eksperimentasi sebagai subjek psikologi.64 Ia menolak

mengakui subjek-subjek non-empiris seperti pikiran dan kesadaran yang berada di

62 Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Psikodinamik, ter. Yustinus(Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 64-67.

63 Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 153 dan 163.64 Malik M. Badri, Dilema Psikolog Muslim,terj. Siti Zainab Luxfiati (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1996), h. 4 dan 5.

Page 141: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

129

luar observasi ilmiah dan eksperimentasi. Jelas bahwa setiap upaya untuk

membuat suatu teori pengetahuan berdasarkan behaviorisme semacam ini tak

pelak menyebabkan posisi negatif berkenaan dengan nilai pengetahuan, dan

sekaligus penolakan terhadap nilai objektifnya.65

Aliran psikologi selanjutnya yang juga disebut mazhab ketiga, adalah

psikologi humanistik. Aliran ini memandang manusia sebagai makhluk yang unik

dan berbeda dengan binatang. Ia memiliki karakteristik kemanusiaan yang khas

seperti nilai-nilai, kesadaran diri, dan hati nurani. Manusia juga mempunyai

dimensi spiritual yang membedakan dia dari binatang. Selain itu, menurut mereka

manusia itu pada dasarnya adalah baik. Kekuatan jahat atau merusak yang ada

pada manusia itu adalah hasil dari lingkungan yang buruk, bukan merupakan

bawaan.66

Aliran terakhir dan disebut juga mazhab keempat adalah psikologi

transpersonal yang pada dasarnya lahir dari rahim psikologi humanistik. Psikologi

transpersonal berbicara mengenai nilai-nilai dasar, kesadaran, pengalaman mistik,

transendensi diri dan yang lainnya. Ide-ide yang bernada spiritual seperti

disebutkan di atas mereka ambil dari psikologi Timur yang kaya akan aspek-aspek

spiritual, karena menurut mereka psikologi Barat kurang menyinggung aspek

kerohanian pada manusia.67

65 Muhammad Baqir al-Shadr, Falsafatuna: Pandangan terhadap Pelbagai AliranFilsafat Dunia, terj. Smith Alhadar (Bandung: Mizan, 2014), 179.

66 Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h. 28.67 Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Holistik: Organismik-Fenomenologis

ter. Yustinus (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 233.

Page 142: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

130

Aliran-aliran psikologi di atas nampak bersifat deterministik dalam

membahas eksistensi manusia. Manusia yang mempunyai tubuh dan jiwa

direduksi hanya berdasarkan aspek fisik belaka. Psikoanalisis terlalu mendewakan

pengalaman masa kanak-kanak awal dan energi seksual (libido) sebagai hal yang

menentukan kehidupan manusia selanjutnya. Behaviorisme melihat manusia

hanya dari perilaku yang tampak dan mengabaikan aspek batin manusia seperti

pikiran, kesadaran, atau pengetahuan. Sedangkan psikologi humanistik dan

transpersonal walaupun menganggap manusia mempunyai unsur spiritual, tetapi

yang mereka maksud bukanlah agama68. Hal ini bisa kita lihat dari penuturan

Danah Zohar dan Ian Marshall sebagai wakil dari psikologi transpersonal yang

mengajukan aspek kecerdasan spiritual yang mereka sebut sebagai Spiritual

Quotient (SQ). Mereka berdua menulis:

“SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Bagi sebagian orang SQmungkin menemukan cara pengungkapan melalui agama formal, tetapiberagama tidak menjamin SQ tinggi. Banyak orang humanis dan ateismemiliki SQ tinggi; sebaliknya, banyak orang yang aktif beragamamemiliki SQ sangat rendah… Agama formal adalah seperangkat aturandan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal. Ia bersifat top-down,diwarisi dari pendeta, nabi, dan kitab suci atau ditanamkan melaluikeluarga dan tradisi. Sedangkan SQ adalah kemampuan internal bawaanotak dan jiwa manusia, yang sumber terdalamnya adalah inti alam semestasendiri…Oleh karena itu, SQ membuat agama menjadi mungkin, tetapi SQtidak bergantung pada agama.”69

68 Seyyed Hossein Nasr mewanti-wanti hal ini sejak lama. Menurutnya, adalah salah danberbahaya sekali apabila seseorang mempersamakan segala sesuatu yang non-material denganagama atau spiritual. Perbuatan ini terjadi karena ilusi optis dari pembatas realitas menjadi duadomain oleh dualisme Cartesian. Inilah kesalahan yang terdapat secara merata di dalam gerakan-gerakan keagamaan yang baru di Barat, terutama sekali di Amerika pada saat ini. Lihat SeyyedHossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka,1983), h. 87.

69 Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalamBerpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, h. 8-9.

Page 143: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

131

Dari sini dapat dikatakan bahwa psikologi Barat hanya mengurusi aspek

fisik manusia, dan kalaupun mereka sampai menyebut aspek spiritual, maka itu

bukanlah arti spiritual yang sebenarnya (pseudo-spiritual). Di sinilah letak

perbedaan antara sains pra-modern dan modern. Dalam peradaban-peradaban pra-

modern, sains tak pernah dipisahkan dari pengetahuan spiritual. Sebaliknya, kita

temukan sebuah kesatuan organik antara sains dan pengetahuan spiritual.70 Di sini

pula letak kelebihan sains Islam dibandingan sains modern. Sains Islam dalam

konteks tulisan ini diwakili oleh tokoh seperti Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî.

Pandangan mereka tentang psikologi sangat berbeda dengan aliran yang disebut di

atas.

Pembahasan Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî tentang manusia bersifat

holistik. Mereka tidak mengabaikan jiwa sebagai substansi manusia itu sendiri,

dan mereka juga memerhatikan tubuh karena fungsinya sebagai kendaraan jiwa

sangat strategis. Mereka sepakat tentang definisi jiwa sebagai substansi yang

immateri. Ini berbeda dengan psikologi transpersonal yang menganggap aspek

jiwa manusia yang hanya berdasarkan otak. Mereka mengatakan bahwa aspek

spiritual manusia mempunyai dasar biologis tersendiri, yakni lobus temporal di

dalam otak sebagai tempat yang mereka sebut sebagai titik Tuhan (God Spot).

Mereka juga menyebut kesadaran sebagai hasil dari osilasi saraf 40 Hz.71 Dalam

Islam aspek spiritual atau keagamaan justru terletak pada fitrah manusia yang

terintegrasi dalam ruhnya sezak zaman pra-eksistensi, di mana tauhid dan

70 Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Esai-Esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam,h. 73.

71 Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalamBerpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, h. 66 dan 82.

Page 144: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

132

keberagamaan manusia telah tertanam dalam diri manusia. Akan tetapi yang

membedakan dengan pandangan di atas adalah karena fitrah tidak terletak dalam

sesuatu yang bersifat biologis, melainkan ditanamkan dalam ruh manusia yang

bersifat immateril.72

Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî juga tidak mengabaikan kebutuhan

jasmani dari manusia. Daya syahwat dalam pemikiran mereka adalah suatu

kebutuhan yang harus juga dipenuhi. Kebutuhan daya ini meliputi hal-hal yang

bertujuan mempertahankan spesies manusia, seperti makan, minum, seks, dan

kebutuhan inderawi lainnya. Mereka juga tidak mengabaikan aspek psikologis

dari daya amarah yang berbentuk emosi yang harus dipenuhi, seperti cinta, marah,

takut dan kebutuhan psikologis lainnya.

Selain itu—dan ini garis pemisah utama yang membedakan teori psikologi

mereka dengan psikologi Barat—mereka tidak mengabaikan berbagai aspek

spiritual dalam diri manusia. Jiwa rasional sebagai pengendali daya syahwat dan

amarah memiliki kebutuhan yang bersifat Ilahiah yang dibagi lagi menjadi akal

teoretis dan akal praktis. Akal teoretis adalah daya yang mempunyai kebutuhan

berupa pengetahuan yang didapatnya dari Sang Pencipta melalui Akal Aktif.

Aspek berupa pengetahuan dari Akal Aktif inilah yang akan mengendalikan akal

praktis. Kemudian tugas akal praktis adalah mengendalikan badan dengan segala

dayanya (syahwat dan amarah). Jika manusia tunduk pada akal teoretis maka dia

akan menjadi Imago Dei (Citra Tuhan), karena secara tidak langsung dia telah

72 Yasien Mohamed, Insan yang Suci: Konsep Fitrah dalam Islam, terj. Masyhur Abadi(Bandung: Mizan, 1997), h. 21.

Page 145: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

133

berakhlak dengan akhlak Tuhannya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi:

“Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah”, yang maksudnya adalah meneladani

sifat Allah yang berjumlah 99 (Asmâ al-Ḥusnâ). Atau juga firman Allah dalam

surat al-Qhashash ayat 77: “Berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik

kepadamu”.

Selain itu, pandangan psikoanalisis tentang sifat dasar manusia sangat

pesimistik, karena mereka menganggap lima tahun pertama kehidupan anak

adalah penentu nasib kita selanjutnya. Sedangkan aliran behavioristik

menganggap perilaku manusia bersifat netral dan hanya merupakan respon atau

hasil dari stimulus lingkungan belaka, dan mengabaikan unsur subjektif manusia

seperti pikiran, kesadaran, dan kebebasan manusia. Selain itu, terdapat pula

pandangan dari para ahli genetika yang juga deterministik. Adalah James Watson,

salah seorang ilmuwan penemu DNA yang mengatakan bahwa keseluruhan

perilaku manusia telah ditentukan oleh gennya masing-masing.

Menurut Ian G. Barbour, pernyataan-pernyataan seperti itu tampaknya

mungkin terasa masih terlalu dini. Kita tidak benar-benar tahu apa sebenarnya

yang dilakukan oleh sebagian besar segmen DNA. Beberapa penyakit dapat

ditelusuri sebagai penyebab cacat dalam gen tertentu; tetapi sebagian besar sifat

manusia bercorak poligenik, yang merupakan hasil interaksi dari banyak gen. Lagi

pula, anggapan bahwa genome merupakan “cetak biru” bisa menyesatkan karena

Page 146: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

134

mengandaikan hasil yang sudah dapat diramalkan secara pasti. Anggapan ini

mengabaikan peran lingkungan yang juga menetukan ekspresi gen.73

Pandangan di atas sangat pesimistik dan reduksionistik. Dalam pemikiran

Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî akhlak seseorang ditentukan terutama oleh dua

hal. Pertama adalah bawaan74, dan kedua adalah hasil kebiasaan atau pendidikan.

Bukti bahwa akhlak bisa bersifat bawaan adalah penjelasan Imam Ali tentang

kemuliaan nasab nabi Muhammad yang dijaga oleh Allah, ia menulis:

“Disimpan-Nya mereka itu di persimpangan paling utama, danditempatkan-Nya mereka itu di tempat terbaik. Berpindah-pindah darisulbi-sulbi yang dimuliakan ke rahim-rahim yang tersucikan. Tiap kaliseorang pendahulu mereka pergi, datanglah penggantinya menegakkanagama Allah, sehingga pada akhirnya, sampailah kemuliaan itu kepadaMuhammad saw. Dikeluarkan-Nya ia dari tempat pertumbuhan “logam”termulia dan asal-usul terluhur. Dari pohon yang dikhususkan bagi paranabi-Nya, dan dipilih bagi para pembawa amanat-Nya. Kerabatnya sebaik-baik kerabat. Keluarganya sebaik-baik keluarga. Pohonnya sebaik-baikpohon, bertunas di tempat yang suci, tumbuh dalam kemuliaan, panjangcabang-cabangnya, tak terjangkau bebuahannya.”75

Akhlak bawaan bisa dilihat dari keadaan anak-anak yang dilahirkan

dengan sifat bawaan jujur, pemurah dan pemberani. Akan tetapi, sering kali

73 Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer, terj. Fransiskus Borgias(Bandung: Mizan, 2005), h. 147-148.

74 Terdapat pendapat radikal dari seorang evolusionis asal Belanda, Frans De Wall,perihal asal mula moralitas manusia. Menurutnya, moralitas manusia pada zaman modern bisaditarik asal-usulnya sampai ke moralitas nenek moyang kita, yaitu monyet. Ini bisa dilihat darijeritan anak monyet resus yang dihukum berat atau dibuang yang sering akan menyebabkan anak-anak yang lain mendekat, memeluk, naik ke pundak, atau bahkan menindih si korban. Demikian,kecemasan dari satu anak monyet tampaknya menjalar ke kelompok seusianya, yang kemudianmencari kontak untuk meluruhkan gejolaknya sendiri. Lihat Frans De wall, Primat dan Filsosof:Merunut Asal-Usul Moral, terj. A. Sudiarja SJ (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 49

75 Lihat Muhammad ‘Abduh, Mutiara Nahjul Balaghah, terj. Muhammad al-Baqir(Bandung: Mizan, 1991), h. 29. Bukti lainnya juga bisa kita lihat dari hadis nabi yang diriwayatkanoleh Abu Musa bahwa Rasulullah saw bersabda, “Allah Ta’ala telah menciptakan Adam darisegenggam tanah yang Dia kumpulkan dari seluruh bumi. Maka anak keturunannya muncul sesuaikadar tanah. Di antara mereka ada yang berkulit merah, ada yang berkulit putih, ada yang berkulithitam, dan ada yang perpaduan. Ada yang berperangai lembut, ada yang berperangai kasar, adayang buruk, dan ada juga yang baik.” Lihat Muhammad Utsman Najati, Psikologi Sempurna alaNabi Saw, h. 300.

Page 147: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

135

didapati anak yang dilahirkan dengan sifat-sifat sebaliknya. Menurut Ibn

Miskawayh dan al-Ghazâlî, jika seseorang tidak dibekali akhlak yang baik sejak

lahir, maka mereka menganjurkan dengan membiasakan akhlak yang ingin ia

gapai. Pandangan ini terlihat lebih optimis dalam menjalani kehidupan, karena

tidak hanya membatasi diri dari aspek bawaan saja.

Ibn Khaldun juga mengutarakan hal serupa. Menurutnya, “Manusia adalah

anak kebiasaan-kebiasaanya sendiri dan anak dari segala sesuatu yang ia ciptakan.

Dia bukanlah produk dari tabiat dan temperamennya. Kondisi-kondisi yang telah

menjadi kebiasaannya, hingga menjadi sifat, adat dan kebiasaannya, turun

menduduki kedudukan tabiat.”76 Dengan pendidikan dan kebiasaan berulang-

ulang, setiap perilaku nantinya akan mengkristal menjadi akhlak, atau dalam

istilah modern antara gen dan lingkungan saling berinteraksi membentuk karakter

seseorang.

Selain hal di atas, pemikiran Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî tentang emosi

berupa marah ternyata masih relevan dengan realitas sains terkini. Dalam sains

modern, permasalahan emosi dibahas oleh dua psikolog terkemuka, yaitu Danial

Goleman dan Paul Ekman. Menurut Danial Goleman pusat emosi manusia terletak

di dalam amigdala (dari kata Yunani yang berarti buah almond), yaitu kelompok

struktur yang saling terkoneksi berbentuk buah badam yang bertumpu pada batang

otak, dekat alas cincin limbik.77

76 Lihat Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 147.77 Danial Goleman, Kecerdasan Emosional, terj. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia, 2016),

h. 19.

Page 148: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

136

Tambahan sinyal dari amigdala memerintahkan kepada batang otak untuk

menampilkan ekspresi wajah ketakutan, membekukan gerakan otot-otot,

mempercepat detak jantung dan meningkatkan tekanan darah, memperlambat

pernafasan.78 Dalam kemarahan dan ketakutan juga, sebagaimana dikatakan Paul

Ekman, detak jantung meningkat, yang mempersiapkan orang untuk bergerak.

Dalam kemarahan, aliran darah meningkat ke tangan, membuatnya hangat dan

mempersiapkannya untuk menyerang atau sebaliknya, memanfaatkan objek yang

membuat marah.79

Dalam hal marah sebagian orang mempunyai kemarahan yang sangat kuat,

ketika yang lain mempunyai jenis kemarahan yang moderat atau lemah. Sebagian

orang menjadi marah dengan sangat cepat daripada orang lain, dan sebagian

kemarahan orang itu biasanya berlangsung lama, sedangkan yang lain

berlangsung dalam bentuk ledakan kemarahan yang sangat singkat. Ketika

kemarahan mulai surut, itu bisa hilang dengan sangat cepat, atau bisa berkurang

dengan sangat lambat.80

Menurut Zillmann pemicu amarah yang universal adalah perasaan

terancam bahaya. Ancaman tersebut bisa berbentuk ancaman simbolis terhadap

harga diri: seperti diperlakukan tidak adil, dicaci-maki, diremehkan. Ketika

amarah tak terkendalikan lagi oleh nalar, maka pada saat itu ia mudah meletus

menjadi tindak kekerasan. Pada tahap ini, orang menjadi tak mudah memaafkan

78 Danial Goleman, Kecerdasan Emosional, h. 22.79 Paul Ekman, Membaca Emosi Orang, terj. Abdul Qodir (Yogyakarta: Think, 2008), h.

113.80 Paul Ekman, Membaca Emosi Orang, h. 331.

Page 149: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

137

dan tidak bisa berfikiran jernih. Yang mereka pikirkan hanyalah seputar balas

dendam dan tindakan membalas, lupa akan akibat-akibat yang dapat timbul

belakangan.81

Menurut Zillmann ada dua cara untuk mengatasi amarah. Salah satu cara

untuk meredakan amarah adalah dengan menggunakan dan mengadu pikiran-

pikiran yang memicu lonjakan amarah. Akan tetapi, menurut Zillmann, informasi

tersebut berfungsi dengan baik pada tahap-tahap amarah yang biasa-biasa; pada

amarah yang sudah mencapai titik puncak, informasi tersebut tidak membuat

keadaan jadi berbeda karena telah terjadi apa yang disebutnya “kelumpuhan

kognitif”. Dibutuhkan cara yang kedua untuk menyempurnakannya.

Cara kedua adalah meredakan amarah secara fisiologis dengan memakai

prinsip selingan. Menurut Zillman, selingan merupakan alat yang amat hebat

untuk mengubah suasana hati, dengan alasan sederhana: sulit untuk tetap marah

bila kita menikmati saat yang menyenangkan. Melakukan kegiatan olahraga juga

menolong meredakan amarah. Demikian pula metode-metode relaksasi seperti

menarik napas dalam-dalam serta pelemasan otot, barangkali karena metode itu

mengubah fisiologi tubuh dari rangsangan amarah yang tinggi menuju keadaan

rangsangan rendah.82

Mari kita meninjau pandangan tentang emosi kedua psikolog di atas

dengan pandangan dari Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî tentang tema serupa. Jika

Goleman mengatakan bahwa pusat emosi berada di Amigdala yang terletak di

81 Danial Goleman, Kecerdasan Emosional, h. 80.82 Danial Goleman, Kecerdasan Emosional, h. 83-85.

Page 150: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

138

otak, maka bagi Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî pusat emosi justru berada pada

jiwa amarah yang bersifat immateri. Ini adalah bukti bahwa dasar teoretis

psikologi modern adalah materialistik, sedangkan Islam memusatkannya pada hal-

hal yang metafisis.

Akan tetapi, pandangan dua psikolog modern di atas dan pendapat dua

tokoh Islam tentang tema lainnya tampaknya lebih banyak kesamaan daripada

perbedaan. Pemicu amarah yang disebutkan oleh Zillmann seperti diejek dan

dicaci-maki adalah bersesuaian dengan pendapat kedua tokoh Islam tentang

sebab-sebab amarah seperti cekcok, berolok-olok, mengejek, dan sebab lainnya.

Mereka juga sepakat bahwa ketika amarah tak terkendalikan lagi oleh nalar, maka

pada saat itu orang menjadi tak mudah memaafkan dan tidak bisa berfikiran

jernih. Yang ada hanya pikirkan untuk balas dendam dan lupa akan akibat-akibat

yang dapat timbul belakangan.

Selain itu, pandangan Paul Ekman tentang perbedaan manusia dalam hal

kemarahan adalah identik dengan pandangan yang diutarakan oleh al-Ghazâlî.

Mereka berdua sepakat bahwa sebagian manusia ada yang yang cepat marah dan

cepat reda. Sebagiannya lagi ada yang lambat marah dan lambat reda. Yang

lainnya lagi, ada yang lambat marah tetapi cepat reda.

Terakhir, nampaknya pandangan dua psikolog modern di atas bertemu

dengan pendapat kedua tokoh Islam dalam hal prinsip perihal terapi amarah,

yakni: metode kebalikan dan metode selingan. Cara Zillmann meredakan amarah

dengan menggunakan dan mengadu pikiran-pikiran yang memicu lonjakan

Page 151: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

139

amarah ini bersesuaian dengan pendapat Ibn Miskawayh untuk melawan sebab-

sebab pemicu amarah dengan prinsip kebalikan. Metode selingan Zillmann juga

senapas dengan metode pengalihan fisiologis yang diterangkan oleh al-Ghazâlî.

Jika Zillmann menggunakan kegiatan berolahraga dan relaksasi sebagai bentuk

pengalihan fisiologi untuk meredakan amarah, maka al-Ghazâlî menggunakan

metode pengalihan fisiologis serupa. Menurutnya, jika kita marah dalam keadaan

berdiri, maka kita harus duduk. Jika kemarahan itu tidak hilang, kita harus

berbaring, dan seterusnya. Cara di atas adalah bentuk pengalihan fisiologis yang

bertujuan sama dengan Zillmann: untuk meredam amarah.

Page 152: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

140

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî adalah seorang Muslim. Akan tetapi

keduanya datang dari latar belakang yang berbeda. Yang pertama lebih menonjol

sebagai seorang filosof, dan yang kedua terkenal sebagai seorang teolog dan sufi.

Kepakaran Ibn Miskawayh dalam bidang etika begitu dominan. Saking

masyhurnya, gagasan etikanya banyak memengaruhi tokoh Muslim sesudahnya,

mulai dari para filosof sampai kalangan teolog, tidak terkecuali al-Ghazâlî.

Sebagaimana diketahui, al-Ghazâlî dengan sangat gencar menyerang kalangan

filosof—terutama al-Fârâbî dan Ibn Sînâ—tentang berbagai macam pendapat

mereka yang menurutnya sesat dan bid’ah.

Akan tetapi, ketika berhadapan dengan etika, nampaknya sikap al-Ghazâlî

sedikit lebih lentur. Ia menganggap ajaran para filosof tentang etika bersumber

dari para sufi, dan kemudian dimodifikasi sedemikian rupa oleh para filosof. Oleh

karena itu, menjadi tugasnya untuk menjernihkan pandangan para filosof tersebut

agar sesuai dengan pemahaman kitab suci dan para sufi. Walaupun—sebagaimana

dikatakannya sendiri dalam al-Munqidz min al-Dhalâl—tidak menutup

kemungkinan baginya untuk membuka kran dari pendapat para filosof dan

mengambil pendapat mereka, sejauh itu adalah suatu kebenaran. Bukti untuk hal

tersebut saya akan kemukakan di bawah ini.

Page 153: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

141

Dalam skripsi ini, pandangan kedua tokoh tentang konsep perubahan

akhlak diikat oleh tiga tema besar: daya-daya jiwa, faktor yang memengaruhi

akhlak, dan metode merubah akhlak. Pada pembahasan tentang jiwa, keduanya

mengambil sumber yang berbeda sekaligus sama. Persamaannya, keduanya

bertolak dari ayat al-Quran yang sama berkaitan dengan penyucian jiwa. Begitu

juga, baik Ibn Miskawayh maupun al-Ghazâlî menggunakan pembagian jiwa dari

Plato untuk kemudian dikaitkan dengan empat keutamaan versi Plato: hikmah,

keberanian, kesederhanaan, dan keadilan. Bedanya, dalam pembahasannya

tentang jiwa, al-Ghazâlî lebih banyak menggunakan pendapat Aristoteles-Ibn Sînâ

dan mengaitkan daya-daya jiwa hewan dengan dua bagian jiwa rasional: akal

teoretis dan akal praktis, dan menyebutkan implikasinya terhadap akhlak. Akan

tetapi, al-Ghazâlî melangkah lebih jauh dan menemukan sesuatu yang menurutnya

lebih meyakinkan daripada akal. Ia berpindah dari “akal” ke “hati”. Menurutnya

ilmu yang diperoleh dengan menyucikan diri terlebih dahulu lebih membawa

kebenaran daripada ilmu yang diperoleh dari belajar. Oleh karena itu dapat kita

katakan bahwa corak teori kejiwaan Ibn Miskawayh lebih bercorak rasional-

abstraktif, sedangkan pada al-Ghazâlî lebih bercorak intuisional-eksperensial.

Dalam pembahasan tentang akhlak dan faktor yang mempengaruhinya, al-

Ghazâlî banyak dipengaruhi oleh Ibn Miskawayh. Mulai dari definisi tentang

akhlak, empat hal yang berkaitan dengan definisi akhlak, pembagian keutamaan,

sampai faktor yang memengaruhi akhlak. Akan tetapi, yang menjadi jauh berbeda

adalah karena setiap ide yang al-Ghazâlî ambil dari Ibn Miskawayh dicari

legitimasinya melalui ayat-ayat al-Quran, hadis, maupun atsar. Pada bagian kedua

Page 154: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

142

ini porsinya adalah yang paling banyak. Oleh karena itu tidak terlalu salah jika

dikatakan bahwa penjelasan Ibn Miskawayh bersifat filosofis dan al-Ghazâlî lebih

bersifat religius.

Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî sama-sama menggunakan analogi medis

untuk terapi akhlak. Tetapi, al-Ghazâlî lebih jauh mengaitkannya dalam dunia

tasawuf dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik sebagai

pasien. Dalam pembahasan terapi akhlak, al-Ghazâlî tidak hanya dipengaruhi oleh

Ibn Miskawayh, tetapi juga oleh Raghîb al-Isfahânî secara berkelindan. Ini bisa

kita lihat dari pembahasan tentang marah, yang mana pada satu tempat al-Ghazâlî

mengambil pendapat Ibn Miskawayh tentang penyebab marah, dan pada lain

tempat mengambil pendapat Raghîb al-Isfahânî tentang arah dan ekspresi

seseorang ketika marah. Selain itu, dalam menerapi setiap penyakit Ibn

Miskawayh lebih menekankan aspek teoretis daripada praktis, dan al-Ghazâlî

memakai keduanya, karena menurutnya untuk beberapa penyakit harus dipakai

keduanya, tidak hanya teoretis saja.

Terakhir, sebagai sebuah teori klasik tentang psikologi dan akhlak,

tampaknya pandangan Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî tetap relevan, dan sekaligus

bisa menjadi acuan bagi sains yang bersifat sakral. Relevansi itu bisa kita lihat

dari kesamaan pembagian terapi marah menjadi dua: metode kebalikan dan

metode pengalihan. Akan tetapi, pandangan selebihnya yang berasal dari sains

modern sangat materialistik-pesimistik-reduksionistik. Untuk itu, harus dicari

alternatifnya dengan memakai sains sakral yang berasal dari Islam.

Page 155: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

143

B. Saran-saran

Penelitian komparatif ini sepenuhnya didasarkan pada karya terjemahan

kedua tokoh. Pada prosesnya sangat mungkin terjadi reduksi makna yang

dihasilkan dari sumber terjemahan. Ini akan membawa dampak yang tidak sedikit

perihal pembacaan penulis terhadap kedua tokoh. Penelitian ini juga hanya

mengambil karya-karya tertentu dari kedua tokoh yang terjemahannya telah

tersedia. Oleh karena itu, disarankan untuk memakai karya-karya asli berbahasa

Arab dari Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî. Selain itu, harus digalakkan juga kajian-

kajian para filosof tentang sains untuk kemudian didialogkan dengan sains

modern, agar relevansinya tidak hilang.

Page 156: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

144

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1995.

Adian, Donny Gahral. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Teraju, 2002.

al-Ghazâlî, Abû Ḥâmid. Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, terj. Sulaiman al-Kumayi. Semarang: Mutiara Persada, 2003.

_____________. Metode Menaklukkan Jiwa: Pengendalian Nafsu dalam PerspektifSufistik, terj. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 2013.

_____________. Ihya ‘Ulumiddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, terj. IbnuIbrahim Ba’adillah. Jakarta: Republika, 2012.

_____________. Manajemen Hati, terj. Achmad Frenk dan Mustofa Bisri. Surabaya:Pustaka Progresif, 2002.

al-Jawzi, Ibn. Terapi Spiritual, terj. A. khosla Asyʻari Khatib. Jakarta: Zaman, 2010.

al-Râzî, Muhammad Ibn Zakaria. Pengobatan Ruhani, terj. M..S Nasrullah dan DediMohammad Hilman. Jakarta: Hikmah, 2002.

al-Shadr, Muhammad Baqir. Falsafatuna: Pandangan terhadap Pelbagai Aliran FilsafatDunia, terj. Smith Alhadar. Bandung: Mizan, 2014.

al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad RofiUtsmani. Bandung: Pustaka, 1997.

al-Tirmidzî, Al-Ḥakîm. Buku Saku Olah Jiwa, terj. Fauzi Faisal Bahreisy, dkk. Jakarta:Penerbit Zaman, 2013.

Amin, Ahmad. Etika: Ilmu Akhlak, terj, Farid Ma’ruf. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Amril, M. Etika Islam: Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib al-Isfahani. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002.

An-Najjar, Amir. Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, terj. Hasan Abrori. Jakarta: Pustaka Azzam,2001.

Aristoteles. Nicomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika, terj. Embun Kenyowati.Jakarta: Teraju, 2004.

Arkoun, Mohammed. Membedah Pemikiran Islam, terj. Hidayatullah. Bandung: Pustaka,2000.

Armstrong, Amatullah. Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, terj. M.S.Nasrullah dan Ahmad Baiquni. Bandung: Mizan, 2000.

Page 157: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

145

Avise, John C. The Genetic Gods: Kuasa Gen atas Takdir Manusia, terj. Leinovar Bahfein.Jakarta: Serambi, 2007.

Badri, Malik M. Dilema Psikolog Muslim, terj. Siti Zainab Luxfiati. Jakarta: PustakaFirdaus, 1996.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.

Bertens, Kees. Etika. Jakarta: Gramedia, 2011.

Bagir, Haidar. Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2006.

Bakar, Osman. Hirarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto.Bandung: Mizan, 1997.

Bakhtiar, Amsal. Pergulatan Pemikiran dalam Filsafat Islam: Memahami Alur Perdebatanal-Ghazâlî dan Ibn Rusyd. Tangerang: UIN Jakarta Press, 2004.

Barbour, Ian G. Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer, terj. Franciskus Borgias.Bandung: Mizan, 2005

Bertens, Kees. Etika. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Black, Jonathan. Sejarah Dunia yang Disembunyikan, terj. Isma B. Soekato dan Adi Toha.Tangerang: Pustaka Alvabet, 2016.

Daudy, Ahmad. Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nuruddin al-Raniri. Jakarta:Rajawali, 1983.

Ekman, Paul. Membaca Emosi Orang, terj. Abdul Qodir. Yogyakarta: Think, 2008.

Fakhry, Majid. Etika dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawi. Yogyakarta: PustakaPelajar, 1996.

_____________. Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Pustaka Jaya,1987.

Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat: Pengantar kepada Teori Nilai. Jakarta: Bulan Bintang,2002.

Gie, The Liang. Suatu Konsepsi ke Arah Penertiban Bidang Filsafat, terj. Ali Mudhofir.Yogyakarta: Karya Kencana, 1977.

Goble, Frank G. Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow, terj. A.Supratiknya. Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Goleman, Danial. Kecerdasan Emosional, terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia, 2016.

Graham, Helen. Pikologi Humanistik, terj. Achmad Chusairi dan Ilham Nur Alfian.Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2005.

Page 158: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

146

Hall, Calvin S. dan Gardner Lindzey. Teori-Teori Psikodinamik, terj. Yustinus.Yogyakarta: Kanisius, 2005.

_____________. Teori-Teori Holistik: Organismik-Fenomenologis, terj. Yustinus.Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Hamer, Dean. Gen Tuhan: Iman Sudah Tertanam dalam Gen Kita, terj. T. Hermaya.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Izutsu, Toshihiko. Etika Beragama dalam Quran, terj. Mansuruddin Djoely. Jakarta:Pustaka Firdaus, 1993.

Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.

Khaldun, Ibn. Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011.

Kraemer, Joel L. Renaisans Islam, terj. Asep Saefullah. Bandung: Mizan, 2003.

Lubis, Akhyar Yusuf. Filsafat Ilmu: Klasik hingga Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindoPersada, 2014.

Miskawayh, Ibn. Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi Hidayat. Bandung: Mizan,1994.

Mohamed, Yasien. Insan yang Suci: Konsep Fitrah dalam Islam, terj. Masyhur Abadi.Bandung: Mizan, 1997.

Najati, Muhammad ‘Utsman. Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. GaziSaloom. Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.

_____________. Psikologi Sempurna ala Nabi Saw, terj. Hedi Fajar. Bandung: PustakaHidayah, 2008.

Nasr, Seyyed Hossein. Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyuddin.Bandung: Pustaka, 1983.

Olson, Steve. Mapping Human History: Gen, Ras, dan Asal-usul Manusia, terj. AgungPrihantoro. Jakarta: Serambi, 2006.

Pinel, John P.J. Biopsikologi, ter. Helly Prajitno dan Sri Mulyantini. Yogyakarta: PustakaPelajar, 2012.

Platon. Xarmides: tentang Keugaharian, terj. Setyo Wibowo. Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Rahman, Fazlur. Tema Pokok al-Quran, terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka, 1996.

_____________. Kontroversi Kenabian dalam Islam: Antara Filsafat dan Ortodoksi, terj.Ahsin Muhammad. Bandung: Mizan, 2003.

Page 159: PERUBAHAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBN MISKAWAYH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36635/2/ALI... · dengan hubungan antara Mursyid sebagai dokter ruhani dan sâlik

147

Schimmel, Annemarie. Misteri Angka-angka dalam berbagai Peradaban Kuno dan TradisiAgama Islam, Yahudi, dan Kristen, terj. Agung Prihantoro. Bandung: PustakaHidayah, 2006.

Smith, Huston. Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains? terj. Ary Budiyanto. Bandung:Mizan, 2003.

Subhi, Ahmad Mahmud. Filsafat Etika: Tanggapan Kaum Rasionalis dan IntuisionalisIslam, terj. Yunan Askaruzzaman Ahmad. Jakarta: Serambi, 2001.

Sudarminta, J. Etika Umum. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Suryabrata, Sumadi. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali, 1986.

Suseno, Franz Magnis. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19.Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Syarif, M.M ed. Para Filosof Muslim, terj. Ahmad Muslim dan Yustiono. Bandung:Mizan, 1996.

Wade, Carole dan Carol Tavris. Psikologi, terj. Benedictine Widyasinta dan DarmaJuwono. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011.

Wall, Frans De. Primat dan Filsuf: Merunut Asal-Usul Moral, terj. A. Sudiarja SJ.Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Zohar, Danah dan Ian Marshall. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam BerpikirIntegralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, terj. Rahmani Astuti, dkk.Bandung: Mizan, 2001.

Zubair, Achmad Charis. Kuliah Etika. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995.