Pertempuran Surabaya 10 November 1945
description
Transcript of Pertempuran Surabaya 10 November 1945
![Page 1: Pertempuran Surabaya 10 November 1945](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020800/55cf96f9550346d0338f01f3/html5/thumbnails/1.jpg)
1. Pertempuran Surabaya 10 November 1945
I. Latar Belakang
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara
Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di
kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan
pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan
terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas
perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di
Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1945, pemerintah kolonial Belanda
menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan perjanjian Kalidjati. Setelah penyerahan tanpa
syarat tesebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya
bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan
Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata
para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak
daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September
1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober
1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands
East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara
Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara
Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi
mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan
Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama
rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan
memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI
dan pemerintahan NICA.
![Page 2: Pertempuran Surabaya 10 November 1945](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020800/55cf96f9550346d0338f01f3/html5/thumbnails/2.jpg)
II. Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang
menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan
terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke
segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada
insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel
Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65
Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari
tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-
Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel
Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi
marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak
mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera
Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Sudirman, pejuang
dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih
diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya
Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik
dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya
dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam
perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk
mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan
pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan.
Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang
berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Sudirman dan Hariyono
melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk
menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke dalam hotel
dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan
bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali
sebagai bendera Merah Putih.
![Page 3: Pertempuran Surabaya 10 November 1945](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020800/55cf96f9550346d0338f01f3/html5/thumbnails/3.jpg)
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah
pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil
tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa
di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta
bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
III. Kematian Brigadir Jenderal Mallaby
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani
tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi
bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-
bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal
Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul
20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok
milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan
terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh
tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan
terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit
dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan
berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal E.C. Mansergh untuk
mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan
persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
IV. Ultimatum 10 November 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Mansergh
mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang
bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan
menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas.
Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang
telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak
Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara
![Page 4: Pertempuran Surabaya 10 November 1945](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020800/55cf96f9550346d0338f01f3/html5/thumbnails/4.jpg)
Keamanan Rakyat (TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak
organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda,
mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang
memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar,
yang diawali dengan bom udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian
mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Berbagai bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak dengan meriam dari laut dan darat.
Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan
yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan
penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal mupun terluka.
Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa
ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo
yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-
pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH.
Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan
santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat
tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai)
sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke
minggu lainnya.
Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi,
makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu,
sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.
Setidaknya 6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari
Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600. Pertempuran berdarah
di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat
di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya
pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian
dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
![Page 5: Pertempuran Surabaya 10 November 1945](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020800/55cf96f9550346d0338f01f3/html5/thumbnails/5.jpg)
2. Pertempuran Ambarawa
Palagan AmbarawaBagian dari Perang Kemerdekaan Indonesia
Tanggal 20 Oktober - 15 Desember 1945Lokasi AmbarawaHasil Kemenangan Indonesia
Pihak yang terlibat Indonesia Belanda
KomandanKol. Soedirman Brigadir Bethell
I. Latar Belakang Peistiwa
Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell
mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang
berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini
mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tengah Mr Wongsonegoro menyepakati akan
menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu
berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk
membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan tersebut malah dipersenjatai sehingga
menimbulkan kemarahan pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga
terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba
melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang
pimpinan Letkol. M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari
segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan Presiden
![Page 6: Pertempuran Surabaya 10 November 1945](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020800/55cf96f9550346d0338f01f3/html5/thumbnails/6.jpg)
Soekarno yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam
meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut,
Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letkol. M. Sarbini segera mengadakan pengejaran
terhadap mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh
pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan
gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Soerjosoempeno di Ngipik. Pada saat
pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan
Indonesia di bawah pimpinan Letkol. Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut,
namun ia gugur terlebih dahulu. Sejak gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V
Banyumas, Kol. Soedirman merasa kehilangan seorang perwira terbaiknya dan ia langsung turun
ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kol. Soedirman memberikan napas baru
kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan di antara komando-komando sektor dan
pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan
serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga,
Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.
Tanggal 23 November 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak
dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan kerkhop Belanda di Jl. Margo
Agoeng. Pasukan Indonesia terdiri dari Yon. Imam Adrongi, Yon. Soeharto dan Yon. Soegeng.
Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke
tempat kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke
Bedono.
II. Pertempuran di Ambarawa
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kol. Soedirman mengadakan rapat dengan para
Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan
mulai dilancarkan. Pembukaan serangan dimulai dari tembakan mitraliur terlebih dahulu,
kemudian disusul oleh penembak-penembak karaben. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu
setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR.
Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit. Kol. Soedirman langsung memimpin pasukannya
![Page 7: Pertempuran Surabaya 10 November 1945](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020800/55cf96f9550346d0338f01f3/html5/thumbnails/7.jpg)
yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga
musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya diputus sama
sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir
dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan
Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.
3. Peristiwa Bandung Lautan Api
Bandung Lautan ApiBagian dari Perang Kemerdekaan Indonesia
Tanggal 23 Maret 1946Lokasi Bandung
HasilTentara Rakyat Indonesia mundur dari Bandung
Pihak yang terlibat Indonesia Inggris
KomandanMuhammad Toha Brigadir MacDonald
Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 23 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
I. Latar Belakang
Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari. Malam tanggal 21 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari
![Page 8: Pertempuran Surabaya 10 November 1945](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020800/55cf96f9550346d0338f01f3/html5/thumbnails/8.jpg)
kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada saat itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret 1946[2]. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung.[rujukan?] Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
Istilah Bandung Lautan Api menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembumihangusan tersebut. Jenderal A.H Nasution adalah Jenderal TRI yang dalam pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, memutuskan strategi yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris tersebut.
"Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, “Mari kita bikin Bandung
![Page 9: Pertempuran Surabaya 10 November 1945](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020800/55cf96f9550346d0338f01f3/html5/thumbnails/9.jpg)
Selatan menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air." - A.H Nasution, 1 Mei 1997
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul "Bandoeng Djadi Laoetan Api". Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi "Bandoeng Laoetan Api".
Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Bandung_Lautan_Api
http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_10_November
http://id.wikipedia.org/wiki/Palagan_Ambarawa