Pertempuran Surabaya 10 November 1945

14
1. Pertempuran Surabaya 10 November 1945 I. Latar Belakang Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1945, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan perjanjian Kalidjati. Setelah penyerahan tanpa syarat tesebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang. Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang

description

Surabaya

Transcript of Pertempuran Surabaya 10 November 1945

Page 1: Pertempuran Surabaya 10 November 1945

1. Pertempuran Surabaya 10 November 1945

I. Latar Belakang

Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara

Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di

kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan

pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan

terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas

perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di

Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1945, pemerintah kolonial Belanda

menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan perjanjian Kalidjati. Setelah penyerahan tanpa

syarat tesebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.

Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya

bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan

Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian

memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata

para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak

daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September

1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober

1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands

East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara

Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara

Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi

mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan

Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama

rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan

memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI

dan pemerintahan NICA.

Page 2: Pertempuran Surabaya 10 November 1945

II. Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya

Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang

menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan

terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke

segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada

insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel

Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65

Surabaya.

Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari

tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-

Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel

Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi

marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak

mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera

Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.

Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Sudirman, pejuang

dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih

diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya

Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik

dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya

dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam

perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk

mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan

pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan.

Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang

berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Sudirman dan Hariyono

melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk

menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke dalam hotel

dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan

bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali

sebagai bendera Merah Putih.

Page 3: Pertempuran Surabaya 10 November 1945

Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah

pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil

tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa

di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta

bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.

III. Kematian Brigadir Jenderal Mallaby

Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani

tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi

bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-

bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal

Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul

20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok

milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan

terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh

tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan

terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit

dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan

berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal E.C. Mansergh untuk

mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan

persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

IV. Ultimatum 10 November 1945

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Mansergh

mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang

bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan

menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas.

Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang

telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak

Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara

Page 4: Pertempuran Surabaya 10 November 1945

Keamanan Rakyat (TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak

organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda,

mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang

memboncengi kehadiran tentara   Inggris di Indonesia.

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar,

yang diawali dengan bom udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian

mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.

Berbagai bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak dengan meriam dari laut dan darat.

Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan

yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan

penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal mupun terluka.

Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa

ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo

yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-

pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.

Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH.

Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan

santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat

tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai)

sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke

minggu lainnya.

Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi,

makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu,

sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.

Setidaknya 6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari

Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600. Pertempuran berdarah

di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat

di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya

pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian

dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.

Page 5: Pertempuran Surabaya 10 November 1945

2. Pertempuran Ambarawa

Palagan AmbarawaBagian dari Perang Kemerdekaan Indonesia

Tanggal 20 Oktober - 15 Desember 1945Lokasi AmbarawaHasil Kemenangan Indonesia

Pihak yang terlibat Indonesia  Belanda

KomandanKol. Soedirman Brigadir Bethell

I. Latar Belakang Peistiwa

Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell

mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang

berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini

mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tengah Mr Wongsonegoro menyepakati akan

menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu

berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.

Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk

membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan tersebut malah dipersenjatai sehingga

menimbulkan kemarahan pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga

terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba

melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang

pimpinan Letkol. M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari

segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan Presiden

Page 6: Pertempuran Surabaya 10 November 1945

Soekarno yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam

meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut,

Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letkol. M. Sarbini segera mengadakan pengejaran

terhadap mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh

pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan

gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.

Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Soerjosoempeno di Ngipik. Pada saat

pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan

Indonesia di bawah pimpinan Letkol. Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut,

namun ia gugur terlebih dahulu. Sejak gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V

Banyumas, Kol. Soedirman merasa kehilangan seorang perwira terbaiknya dan ia langsung turun

ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kol. Soedirman memberikan napas baru

kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan di antara komando-komando sektor dan

pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan

serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga,

Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.

Tanggal 23 November 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak

dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan kerkhop Belanda di Jl. Margo

Agoeng. Pasukan Indonesia terdiri dari Yon. Imam Adrongi, Yon. Soeharto dan Yon. Soegeng.

Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke

tempat kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke

Bedono.

II. Pertempuran di Ambarawa

Pada tanggal 11 Desember 1945, Kol. Soedirman mengadakan rapat dengan para

Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan

mulai dilancarkan. Pembukaan serangan dimulai dari tembakan mitraliur terlebih dahulu,

kemudian disusul oleh penembak-penembak karaben. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu

setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR.

Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit. Kol. Soedirman langsung memimpin pasukannya

Page 7: Pertempuran Surabaya 10 November 1945

yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga

musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya diputus sama

sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir

dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.

Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan

Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.

3. Peristiwa Bandung Lautan Api

Bandung Lautan ApiBagian dari Perang Kemerdekaan Indonesia

Tanggal 23 Maret 1946Lokasi Bandung

HasilTentara Rakyat Indonesia mundur dari Bandung

Pihak yang terlibat Indonesia  Inggris

KomandanMuhammad Toha Brigadir MacDonald

Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 23 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.

I. Latar Belakang

Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari. Malam tanggal 21 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari

Page 8: Pertempuran Surabaya 10 November 1945

kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.

Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada saat itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret 1946[2]. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung.[rujukan?] Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.

Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.

Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.

Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.

Istilah Bandung Lautan Api menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembumihangusan tersebut. Jenderal A.H Nasution adalah Jenderal TRI yang dalam pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, memutuskan strategi yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris tersebut.

"Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, “Mari kita bikin Bandung

Page 9: Pertempuran Surabaya 10 November 1945

Selatan menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air." - A.H Nasution, 1 Mei 1997

Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.

Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul "Bandoeng Djadi Laoetan Api". Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi "Bandoeng Laoetan Api".

Referensi :

http://id.wikipedia.org/wiki/Bandung_Lautan_Api

http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_10_November

http://id.wikipedia.org/wiki/Palagan_Ambarawa