PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN...

70
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN PALSU DILIHAT DARI UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN HUKUM ISLAM SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata Satu (S.1) Dalam Ilmu Hukum Pidana Islam Oleh ASRINA WULANDARI NIM: SHP.130124 FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 2018

Transcript of PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN...

Page 1: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

1

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN

VAKSIN PALSU DILIHAT DARI UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009

TENTANG KESEHATAN DAN HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata Satu (S.1)

Dalam Ilmu Hukum Pidana Islam

Oleh

ASRINA WULANDARI

NIM: SHP.130124

FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTHAN THAHA SAIFUDDIN

JAMBI

2018

Page 2: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

2

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu pernyataan memperoleh gelar strata 1 (S1) di Fakultas Syari’ah

Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha

Saifuddin Jambi.

Jambi, 26 Juni 2018

ASRINA WULANDARI

NIM: SHP.130124

ii

Page 3: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

3

PERSEMBAHAN

Dengan hati yang tulus, dan penuh dengan kesabaran ku persembahkan hasil

karyaku sebagai bukti dan baktiku kepada orangku yang tercinta

Ayahanda dan ibunda

Doa mu mengiringi setiap langkah ku untuk mencapai kesuksesan

Untuk kakakku

Yang selalu memberi motivasi dan dorongan

Semoga semua kebaikan ini menjadi amal baik dan mendapat pahala dari allah

SWT

Amin yaa rabbal alamin

vi

Page 4: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

4

Page 5: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

5

Page 6: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

6

MOTTO

Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia

akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan

sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula (Q.S. 99:

7-8).

(٧-٨ ׃الزلزلة)

v

Page 7: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

7

ABSTRAK

Judul Skripsi: Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Peredaran

Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009

Tentang Kesehatan dan Hukum Islam

Vaksin palsu sebagai bentuk sediaan farmasi yang tidak boleh beredar

karena tidak sesuai dengan standar mutu sediaan farmasi yang ditetapkan oleh

pemerintah. Hal ini dikarenakan ada unsur penipuan terhadap pasien atau

masyarakat. Kajian ini berusaha menjawab pertanggungjawaban pidana pelaku

peredaran vaksin palsu dilihat dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan dan hukum Islam. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan yuridis dan empiris. Yuridis yaitu mengkaji konsep

normatifnya atau peraturan perundang-undangan. Pengumpulan data dilakukan

dengan wawancara, dokumentasi dan observasi. Hasil penelitian ini menemukan

bahwa pertanggungjawaban pidana pelaku peredaran vaksin palsu dilihat dari

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah Rumah sakit

maupun bidan/klinik ditentukan yang terindikasi menerima vaksin palsu Jakarta,

Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Lalu secara politik, dapat diminta

pertanggungjawaban kepada lembaga kesehatan di Indonesia. Menteri Kesehatan

dapat diminta pertanggungjawaban mengapa persoalan “begitu penting” menjadi

teledor dan luput dari pengawasan. Korban vaksin palsu yang mengalami

kerugian baik materiil dan immateriil dapat mengajukan gugatan secara perdata.

Ada beberapa bentuk gugatan yang dapat diajukan, yaitu gugatan perdata biasa,

citizen lawsuit, dan class action. Di antara beberapa bentuk gugatan perdata

tersebut gugatan class action merupakan bentuk gugatan yang paling efektif dan

efisien mengingat besarnya jumlah korban vaksin palsu. Pertanggungjawaban

pidana pelaku peredaran vaksin palsu dilihat dari Islam ada indikasi perilaku

berbohong atau tidak jujur mengatasnamakan vaksin namun produk palsu yang

dilakukan secara teroganisir dan meluar. Hal ini tentu berdampak kerugian sosial

dan ini termasuk perilaku salah di mata agama.

Keyword: Pertanggungjawaban Pidana, Vaksin Palsu, Hukum Islam

vi

Page 8: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

8

ABSTRACT

Thesis Title: Criminal Responsibility Against Actors of Counterfeit Vaccine

Distribution Obtained from Law No. 36 of 2009 concerning

Health and Islamic Law

Counterfeit vaccines as pharmaceutical dosage forms that should not be

permitted because they are not in accordance with the pharmaceutical supply

supply standards set by the government. This is because no one opposes patients

or the community. This study tries to answer the accountability of fake vaccine

distribution perpetrators seen from Law No. 36 of 2009 concerning Health and

Islamic law. Suggestions used in this study are juridical and empirical. Juridical,

namely reviewing normative concepts or regulations. Data collection is done by

interview, arrangement and observation. The results of this study found facts

about the perpetrators of fake vaccine distribution viewed from Law No. 36 of

2009 concerning Health is the Hospital or midwife / clinic that receives indicated

to receive fake vaccines in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi.

Political traffic, can be accounted for by health institutions in Indonesia. The

Minister of Health can hold accountability for discussing "very important" to be

careless and escape supervision. Victims of Counterfeit Vaccines Releasing Both

Materialil and Immateriil can request full claims. There are several lawsuit that

can be filed, ordinary civil suit, citizen lawsuit, and class action. Among some

forms of civil suit this class action lawsuit is the most effective and efficient form

of claim in determining the number of victims of fake vaccines. Criminal liability

for the distribution of fake vaccines seen from Islam is evidence of improper

vaccine protection made by counterfeit products which are carried out in an

organized and outgoing manner. This of course has a negative social impact and

this includes wrong problems in the eyes of religion.

Keywords: Criminal Responsibility, Counterfeit Vaccines, Islamic Law

vii

Page 9: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

9

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang

telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik serta teriring salam pada junjungan besar

Nabi Muhammad SAW. Adapun judul skripsi ini adalah “Pertanggungjawaban

Pidana Terhadap Pelaku Peredaran Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-

Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Hukum Islam” Maksud

dan tujuan penulisan ini adalah sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Pendidikan Agama Islam di Institut Agama Islam Negeri Sulthan Thaha

Saifuddin Jambi. Tak lupa pula rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis

ucapkan kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA, selaku Rektor UIN Sulthan Thaha Saifuddin

Jambi.

2. Bapak Dr. A.A. Miftah, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah UIN STS

Jambi.

3. Bapak Dr. H. Hermanto Harun, MA, selaku Wakil Dekan I Bidang

Akademik, Dr. Rahmi Hidayati, M.Ag, selaku Wakil Dekan II bidang

Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan, dan Bapak Dr. Yuliatin,

M.H.I, selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswa dan Kerjasama Fakultas

Syari’ah UIN Sultan Thaha Saifudin Jambi.

viii

Page 10: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

10

4. Bapak Dr. Ruslan Abdul Gani, S.H, M.H, selaku Ketua Jurusan Hukum

Pidana Islam Fakultas Syariah UIN STS Jambi, sekaligus sebagai

Pembimbing Skripsi I.

5. Bapak Abdul Razak, S.H.I, M.IS, selaku Sekretaris Jurusan Hukum Pidana

Islam Fakultas Syariah UIN STS Jambi.

6. Bapak Dr. H. Ishaq, S.H., M.Hum sebagai pembimbing II skripsi ini yang

banyak memberikan arahan dan penunjuk selama menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak/Ibu dosen, karyawan dan karyawati Fakultas Syari’ah UIN STS Jambi.

8. Bapak/Ibu pimpinan, karyawan dan karyawati perpustakaan UIN Sulthan

Thaha Saifuddin Jambi dan Perpustakaan Wilayah Jambi.

9. Bapak M. Ruhyat, sebagai Kapolsek Kumpeh Ulu beserta staf dan para

tahanan/narapidana yang membantu memberikan informasi penelitian untuk

mendukung penyelesaian skripsi ini.

10. Kepada kedua orang tua saya dan adik saya tercinta.

Penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua

yang membaca. Semoga Allah melimpahkan berkah dan rahmat-Nya atas bantuan

dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.

Jambi, 21 Juli 2018

Penulis

Asrina Wulandari

NIM.SHP 130124

ix

Page 11: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

11

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING.............................................................. iii

PENGESAHAN ........................................................................................... iv

MOTTO ....................................................................................................... v

PERSEMBAHAN ........................................................................................ vi

ABSTRAK ................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ................................................................................. viii

DAFTAR ISI ................................................................................................ x

DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................ 8

C. Batasan Masalah.................................................................... 8

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................... 8

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual ........................................ 9

F. Tinjauan Pustaka ................................................................... 15

G. Metode Penelitian.................................................................. 17

H. Sistematika Penulisan............................................................ 20

I. Jadwal Penelitian ................................................................... 21

BAB II VAKSIN PALSU DAN PEREDARANNYA

A. Kandungan Vaksin Palsu ...................................................... 23

B. Pengungkapan Vaksin Palsu ................................................. 24

C. Pihak yang Bertanggung Jawab Atas Peredaran Vaksin

Palsu ...................................................................................... 26

D. Hak Konsumen Vaksin Palsu ................................................ 28

BAB III UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG

KESEHATAN

A. Pendahuluan .......................................................................... 31

B. Pasal-Pasal Tentang Kesehatan ............................................. 34

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU

PEREDARAN VAKSIN PALSU DILIHAT DARI UNDANG-

UNDANG NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

DAN HUKUM ISLAM

A. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Peredaran Vaksin

Palsu Dilihat Dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan ................................................................. 41

B. Pertanggungjawaban Pidana Peredasaran Vaksin Palsu

Ditinjau dari Hukum Islam.................................................... 49

x

Page 12: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

12

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................... 53

B. Saran ...................................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 55

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

xi

Page 13: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

13

DAFTAR SINGKATAN

UU : Undang-Undang

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia

KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

BPOM : Badan Pengawas Obat dan Makanan

xii

Page 14: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kasus peredaran dan penggunaan vaksin palsu berhasil diungkap kepolisian

setelah menerima berbagai keluhan dari masyarakat yang mengaku balita mereka

tetap sakit meski telah divaksin. Peredaran awalnya diketahui di daerah Jakarta

Timur dan Bekasi. Akan tetapi kemudian berkembang ke sejumlah daerah di

Indonesia. Berdasarkan pengakuan dari produsen vaksin palsu, mereka telah

beroperasi kurang lebih 13 tahun.1

Jagat belantara dunia kesehatan memasuki dunia kelam. Beredarnya “vaksin

palsu” memantik keresahan public yang telah “mempercayakan” kesehatan di

badan-badan kesehatan. Orang tua yang telah mempercayakan kepada lembaga-

lembaga kesehatan untuk “memvaksinkan” anaknya kemudian resah dan khawatir

terhadap kekebalan yang akan diderita anaknya. Istilah “vaksin palsu” sebagai

terjemahan “vaksin” yang tidak memenuhi standar kesehatan. Di dalam pasal 196

UU Kesehatan disebutkan sebagai “persediaan farmasi/alat kesehatan yang tidak

memenuhi standar, khasiat/kemanfaatan dan mutu”.

Dalam lapangan hukum, maka persoalan mulai timbul. Siapa yang harus

dimintakan pertanggungjawaban. Sebelum membicarakan mekanisme meminta

pertanggungjawaban di lapangan hukum pidana, maka diuarikan terlebih dahulu

dari sudut pandang tindak pidana kesehatan, tindak pidana umum dan mekanisme

1Luthvi Febryka Nola, Gugatan Perdata Korban Vaksin Palsu, (Majalah Info Hukum

Singkat, Vol. VIII, No. 14/II/P3DI/Juli/2016), hlm. 1.

1

Page 15: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

2

pertanggungjawaban. Dari ranah ini, maka kita bisa meminta pertanggungjawaban

dan dapat dilihat bagaimana peran dari masing-masing actor (dader) dalam hukum

pidana.

Untuk menentukan bagaimana peran dan tanggungjawab pidana masing-

masing pelaku (dader), maka harus bisa memetakan bagaimana pola rangkaian

terjadinya tindak pidana. Dari ranah inilah, maka bisa menjangkau tanggung

jawab hukum baik dilihat dari kesengajaan (dolus) maupun “kelalaian (culva)”

dari masing-masing rangkaian. Melihat pola yang terjadi di berbagai tempat dan

dan berbagai daerah, maka bisa disimpulkan, rangkaian “pemainnya” cukup

canggih dan terpola merata.

Sebelum menentukan pertanggungjawaban pidana, maka secara hukum

haruslah dibuktikan apakah “vaksin palsu” ternyata tidak sesuai dengan ketentuan

kesehatan. Sehingga persediaan farmasi memang yang tidak memenuhi standar,

khasiat/kemanfaatan dan mutu” bisa dibuktikan secara ilmiah. Hasil analisis dari

segi kesehatan haruslah membuktikan sebelum melihat pertanggungjawaban.

Dari hasil analisis kesehatan, maka terhadap “pengguna” seperti RS maupun

bidan/klinik ditentukan. Apakah karena membeli dengan harga yang dibawah

standar ataupun menerima “Sesuatu” seperti bonus terhadap pemasaran vaksin

palsu sehingga terhadap pelaku kemudian dapat dikualifikasikan sebagai

“pelaku”. Dalam berbagai pemberitaan, daerah-daerah yang sudah “diindikasikan”

menerima vaksin palsu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Melihat

polanya yang sudah lama, maka secara politik, dapat diminta pertanggungjawaban

kepada lembaga kesehatan di Indonesia. Menteri Kesehatan dapat diminta

Page 16: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

3

pertanggungjawaban mengapa persoalan “begitu penting” menjadi teledor dan

luput dari pengawasan.

Keberadaaan vaksin palsu menyebabkan kerugian, baik materiil maupun

immateriil, bagi orang tua dan anaknya. Kerugian materiil harus ditanggung

karena harga beberapa vaksin yang dipalsukan cukup mahal. Vaksin PCV 13

(Prevenar), misalnya, harus diberikan kepada bayi sebanyak 4 kali dengan harga

vaksin berkisar antara Rp850.000-Rp1.300.000 per satu kali pemberian.

Sedangkan kerugian immateriil terjadi akibat waktu yang terbuang untuk

imunisasi dan mengurus imunisasi ulang. Belum lagi kecemasan yang harus

ditanggung oleh orang tua terhadap dampak vaksin palsu terhadap kesehatan anak

mereka. Anak pun menderita kerugian immateriil akibat tubuh tidak terlindungi

oleh vaksin dan hilangnya kesempatan mendapatkan vaksin yang hanya dapat

diberikan pada usia-usia tertentu. Terhadap kerugian materiil dan immateriil yang

harus dianggung oleh orang tua dan anak korban vaksin palsu, gugatan perdata

dapat diajukan kepada pihak yang memikul tanggung jawab.

Pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan persoalan keadilan.

Pertangggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan yang objektif

terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum

pidana yang berlaku, yang secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi

persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatan tersebut.2

Dasar dari adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat

dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak

2Luthvi Febryka Nola, Gugatan Perdata Korban Vaksin Palsu, hlm. 1.

Page 17: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

4

pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan

tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan dalam

melakukan tindak pidana tersebut, merupakan hal menyangkut masalah

pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana

melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh

karena perbuatan tersebut.3

Kesalahan dalam pengertian seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan

pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana, di dalamnya terkandung

makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi apabila dikatakan

orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat

dicela atas perbuatannya.

Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si

pelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya,

masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena

adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tidak dipidana

tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana

dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah

orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara

doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan psikis yang tertentu pada orang

yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan

tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga

orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan pidana.

3Penjelasan Pasal 31 UU KUHP 1999-2000

Page 18: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

5

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika

melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan

oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan

diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum. Dilihat

dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu

bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban.

Namun lain halnya dengan hukum pidana fiskal, yang tidak memakai

kesalahan. Jadi jika orang telah melanggar ketentuan, dia diberi pidana denda atau

dirampas. Pertanggung jawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang

melanggar dinamakan leer van het materiele feit (fait materielle).

Kejahatan sebagai suatu gejala sosial khususnya kejahatan dengan

kekerasan merupakan masalah abadi dalam kehidupan ummat manusia, karena ia

berkembang seiring dengan perkembangan tingkat peradaban ummat manusia.

Oleh karena itu kejahatan khususnya kejahatan terhadap tubuh atau kekerasan

senantiasa dihadapi oleh masyarakat dengan tidak mungkin dapat dihapuskan

sampai tuntas jadi usaha yang harus dilakukan oleh manusia dalam menghadapi

kejahatan bersifat penanggulangan yang berarti bahwa usaha itu bertujuan untuk

mengurangi intensitas dan frekuensi terjadinya kejahatan.

Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal

pemidanaan pembuatan vaksin palsu, seharusnya merujuk pada pendekatan norma

hukum yang bersifat menghukum penjahat sehingga dapat memberikan efek jera

bagi pelaku dan menjadi peringatan keras bagi para calon pelaku tindak pidana

khusunya para pelaku tindak pidana penganiayaan berencana. Hal ini memberikan

Page 19: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

6

wacana kepada para penegak hukum, agar dapat menindak tegas para pelaku

kejahatan.

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai undang-

undang terbaru dalam bidang kesehatan menjelaskan mengenai pertanggung-

jawaban pidana bagi pengedar vaksin palsu yang disebutkan dalam pasal 196

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan:

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan

farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau

persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).4

Selanjutnya pada pasal 197 juga menjelaskan bahwa: Setiap orang yang

dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat

kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106

ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan

denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).5

Dua Pasal di atas menegaskan bahwa pertanggungjawaban pidana pengedelan

vaksin palsu dikenakan denda dan kurangan penjara sesuai ketentuan yang sudah

dijelaskan.

Berkaitan dengan vaksin palsu, maka Undang-Undang No. 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan Pasal 98 ayat 92 dan pasal 108 melarang, menghimpun dan

menjual obat. Hal ini sesuai pasal 98 (a) dan pasal 108 UU No. 36 dapat dilihat di

bawah ini:

4Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 197

5Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 198

Page 20: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

7

Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang

mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan

obat dan bahan yang berkhasiat obat. Praktik kefarmasiaan yang meliputi

pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas

resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan

obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.6

Vaksin palsu sebagai bentuk sediaan farmasi yang tidak boleh beredar

karena tidak sesuai dengan standar mutu sediaan farmasi yang ditetapkan oleh

pemerintah. Hal ini dikarenakan ada unsur penipuan terhadap pasien atau

masyarakat. Dalam Islam, penipuan adalah sesuai yang tidak dibolehkan dalam

Islam. Allah SWT juga menjelaskan tentang orang-orang yang berlaku curang

dalam hidup mereka disebutkan dalam surah al-muthaffin ayat 7 sebagai berikut:

از لفى سجيي. )الوطففيي: ( ٧كلا اى كتب الفج

Artinya: “Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang

durhaka tersimpan dalam sijjin”.7

Pelaku vaksin palsu bertanggung jawab atas pelanggaran hukum yang

diperbuatnya. Berdasarkan permasalahan ini, maka penulis ingin meneliti kajian

tersebut dalam bentuk skripsi berjudul: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN PALSU DILIHAT DARI

UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN

HUKUM ISLAM.

6 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 98 ayat 92

7Q.S. Al-Mutaffifin: 7

Page 21: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

8

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang tersebut, maka penulis dapat

merumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku peredaran vaksin palsu dilihat

dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana peredasaran vaksin palsu ditinjau dari

hukum Islam?

C. Batasan Masalah

Batasan masalah ini penulis hanya membahas tentang

pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku peredaran vaksin palsu dilihat dari

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berlaku di Indonesia

dan hukum Islam.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian pada hakekatnya mengungkapkan apa yang hendak

dicapai oleh peneliti. Sedangkan tujuan itu sendiri merupakan sejumlah keadaan

yang ingin dicapai. Adapun yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku peredaran vaksin palsu

dilihat dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

b. Untuk menjelaskan pertanggungjawaban pidana peredasaran vaksin palsu

ditinjau dari hukum Islam.

Page 22: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

9

2. Kegunaan Penelitian

Setelah penelitian ini dilakukan, maka kegunaan dari pada penelitian ini

terdiri atas kegunaan secara teori dan praktis:

a. Secara teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan berguna dalam rangkan

pengembangan ilmu pengetahuan tentang peredaran vaksin palsu dilihat dari

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan hukum Islam.

b. Sebagai praktis. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para akademisi

dan mahasiswa tentang peredaran vaksin palsu dilihat dari Undang-Undang

No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan hukum Islam.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

a. Pertanggungjawaban Pidana

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): "Tanggung jawab

adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa boleh

dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).”8

Pidana adalah “Kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan dan

sebagainya).”9

Selanjutnya pertangungjawaban pelaku pidana adalah kewajiban

menanggung segala hal yang terkait kejahatan yang sudah dilakukan seseorang.

8Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua,

Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm. 1006. 9Ibid., hlm. 776.

Page 23: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

10

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual yang disajikan dalam penulisan proposal skripsi ini

adalah konsep-konsep yang terdapat dalam judul, yaitu:

a. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana adalah “diteruskannya celaan yang secara

objektif ada pada tindak pidana, secara subjektif terhadap pembuatnya.”10

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada

pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang

terdakwa atau tersangka dipertanggung-jawabkan atas suatu tindakan pidana yang

terjadi atau tidak.

Pertanggungjawaban pidana dikarenakan berkait dengan unsur subyektif

pelaku maka tentunya sangat berkait erat dengan faktor ada atau tidaknya

kesalahan yang mengandung unsur melanggar hukum atas tindakan atau

perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya. Hasil akhirnya dapat berupa pernyataan

bahwa tidak diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya sehingga

tidak ada kesalahan dari pelakunya, namun bisa juga diketemukan unsur melawan

hukum dalam tindakannya namun tidak ada kesalahan dari pelakunya.

b. Pelaku Peredaran Vaksin Palsu

Pelaku adalah orang/aktor yang dikenakan sangkaan hukum. Peredaran

adalah keadaan dimana adanya penyebaran suatu barang/orang dalam lingkungan

sosial. Vaksin adalah proses pemberian antigen berupa mikroorganisme hidup

10

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Jakarta: Aksara Baru,

1983), hlm. 89.

Page 24: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

11

yang telah dilemahkan atau sudah mati atau bagiannya yang sudah diproses

sedemikian rupa untuk menimbulkan imunitas tubuh si penerima vaksin.11

Vaksin

palsu adalah sediaan berlabel vaksin yang tidak berisi antigen sehingga tidak

merangsang pembentukan kekebalan aktif, maka dari itu menjadikannya tidak

bermanfaat. “Pelaku ada aktor atau orang yang terlibat. Vaksin adalah bibit

penyakit yang sudah dilemahkan yang digunakan untuk vaksinasi.”12

Palsu adalah sesuatu yang tidak sesuai atau tidak asli. Dapat dijelaskan

bahwa pelaku peredaran vaksin palsu adalah orang yang menjadi aktor dalam

pembuatan dan mengedarkan atau mendistribusikan vaksin yang tidak asli.

Jadi pelaku peredaran vaksin palsu adalah aktor atau orang yang terlibat

dalam menyebarkan vaksin atau bibit penyakit yang sudah dilemahkan yang

digunakan untuk vaksinasi ke tengah masyarakat tanpa izin.

“Keberadaaan vaksin palsu menyebabkan kerugian, baik materiil maupun

immateriil, bagi orang tua dan anaknya. Kerugian materiil harus ditanggung

karena harga beberapa vaksin yang dipalsukan cukup mahal.”13

Korban vaksin palsu yang mengalami kerugian baik materiil dan immateriil

dapat mengajukan gugatan secara perdata. Ada beberapa bentuk gugatan yang

dapat diajukan, yaitu gugatan perdata biasa, citizen lawsuit, dan class action. Di

antara beberapa bentuk gugatan perdata tersebut gugatan class action merupakan

bentuk gugatan yang paling efektif dan efisien mengingat besarnya jumlah korban

vaksin palsu.14

11

Kristo, Pengertian Vaksin Palsu (Jakarta: Klinik Vaksinasi, 2016), hlm. 1. 12

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. op. cit., hlm. 1604. 13

Luthvi Febryka Nola, Gugatan Perdata Korban Vaksin Palsu, hlm. 1. 14

Luthvi Febryka Nola, Gugatan Perdata Korban Vaksin Palsu, hlm. 4.

Page 25: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

12

Terkait dengan perlindungan konsumen dari produk palsu, secara tegas

Pasal 4 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa

selaku konsumen kita berhak untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan

keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa; mendapatkan informasi

yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

dan mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang

dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana

mestinya.

c. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Sesuai penjelasan Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

dijelaskan bahwa tujuan bangsa Indonesia adalah melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial.

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan.

Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip

nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat

penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan

ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.15

Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada

mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur

15

Lihat Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan

Page 26: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

13

berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat

dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif,

preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan

berkesinambungan.

Selain itu, perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan seiring dengan

munculnya fenomena globalisasi telah menyebabkan banyaknya perubahan yang

sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari teks yang tercantum dalam

undang-undang sebelumnya. Pesatnya kemajuan teknologi kesehatan dan

teknologi informasi dalam era global ini ternyata belum terakomodatif secara baik

oleh undang-undang tersebut.16

Perencanaan dan pembiayaan pembangunan kesehatan yang tidak sejiwa

dengan undang-undang sebelumnya, yaitu menitik-beratkan pada pengobatan

(kuratif), menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah

bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit. Hal itu tentu akan membutuhkan

dana yang lebih besar bila dibandingkan dengan upaya pencegahan.

Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan pembiayaan

kesehatan sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif atau pemborosan. Selain itu,

sudut pandang para pengambil kebijakan juga masih belum menganggap

kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga di dalam

menjalankan pembangunan sehingga alokasi dana kesehatan hingga kini masih

tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara lain.

16

Ibid.

Page 27: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

14

Sudah saatnya melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan

investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru

yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang

mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan

rehabilitatif.

Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah

undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang berwawasan

sakit. Undang-Undang tersebut memuat ketentuan yang menyatakan bahwa

bidang kesehatan sepenuhnya diserahkan kepada daerah masing-masing yang

setiap daerah diberi kewenangan untuk mengelola dan menyelenggarakan seluruh

aspek kesehatan.17

Berdasarkan hal tersebut, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang

dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era

globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dalam

suatu Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

d. Hukum Islam

Dilihat dari segi kebahasaan, kata hukum bermakna “menetapkan sesuatu

pada yang lain.18

Sedangkan menurut istilah para ulama ushul, sebagaimana

diungkapkan Abu Zahrah adalah “Titah (khithab) syari yang berkaitan dengan

perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau wadh’i.”19

Dengan

17

Ibid. 18

Abdu al-Hamid Hakim, Al-Bayan, (Jakarta: Sa’adiyah P. Putra, 1972, Cet. 11), hlm. 10. 19

Muhammad Abu Zahrah, Ushu al-Fiqh (Dar al- Firk al-Arabi, 1958), hlm. 26.

Page 28: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

15

demikian, hukum Islam adalah aturan-aturan agama yang telah ditentukan untuk

dijalankan oleh setiap Muslim.

F. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka adalah uraian hasil-hasil penelitian terdahulu (peneliti-

penelitian lain) yang terkait dengan penelitian ini pada aspek fokus atau tema

yang diteliti. Di bawah ini adalah penelitian-penelitian yang memiliki keterkaitan

dengan penelitian ini, yaitu:

Pertama penelitian yang dilakukan oleh Melisa Sthephani Hutabarat20

dengan skripsi berjudul: Pertanggungjawaban Pidana Anak Pelaku Tindak

Pidana Penadahan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Anak. Skripsi ini

membahas tentang karakter tindak pidana penadahan yang dilakukan oleh anak

ialah modusnya hampir sama dengan pelaku orang dewasa, namun penyebabnya

selain karena masalah sosial ekonomi tetapi juga lebih karena pengaruh

lingkungan keluarga dan pergaulan. Sedangkan pada rumusan masalah yang

kedua akan membahas Studi kasus putusan mengenai anak pelaku tindak pidana

penadahan untuk mengetahui apakah hal yang dipertimbangkan Hakim dan juga

proses penyelesaian perkara itu telah sesuai dengan Undang-Undang RI No. 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh U. Hadi21

dengan skripsi berjudul

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kematian Petinju Akibat Kealpaan

Penyelenggara (studi komparatif antara hukum pidana KUHP dan Hukum

20

Melisa Sthephani Hutabarat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga tahun 2013. 21

U. Hadi Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Surabaya Tahun 2013

Page 29: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

16

Pidana Islam). Skripsi ini membahas tentang pertanggungjawaban hukum pidana

terhadap kematian petinju akibat kealpaan peyelenggara, secara hukum pidana

KUHP dan hukum pidana Islam, kemudian dianálisis adanya persamaan dan

perbedaan pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana KUHP dan hukum

pidana Islam terhadap masalah tersebut.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana

terhadap kematian petinju akibat kealpaan penyelenggara dalam KUHP adalah

termasuk kelalaian yang mengakibatkan kematian orang lain yang dilakukan olah

manager, inspektur pertandingan, dokter ring, dan wasit yang memimpin dan

berperan dalam pertandingan, yang mana meraka akan terkena dalam pasal 359

KUHP dan Bab XII tentang pemalsuan surat khususnya pada pasal 263 ayat (1)

KUHP. Dalam hukum pidana Islam hal ini berkaitan dengan pembunuhan

kesalahan yang disebut (qatl al-khatha’) yang mengandung 3 unsur yaitu;

pertama; perbuatan yang menyebabkan kematian, kedua; terjadinya perbuatan itu

karena kesalahan, Ketiga; Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan

kesalahan denan kematian korban. Persamaan dan perbedaan antar kedua hukum

yaitu terdapat kesamaan konfrehensif yaitu kealpaan dan Al- Khatta’ yaitu

perbuatan itu disengaja akan tetapi akibat dari perbuatan tersebut tidak

dikehendaki, sedangkan perbedaan menurut KUHP bahwasanya perbuatan

tersebut harus dilakukan secara langsung aktif baru memenuhi kriteria culpa

sedangkan pertanggungjawaban menurut hukum pidan Islam perbuatan tersebut

bisa secara langsung aktif atau secara tidak langsung pasif untuk memenuhi

kriteria qatl al-khatha’.

Page 30: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

17

Sedangkan penelitian sendiri membahas tentang Pertanggungjawaban

pidana pelaku peredaran vaksin palsu dilihat dari Undang-Undang No. 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan dan hukum Islam. Berdasarkan penelitian-penelitian di

atas, maka terdapat kesamaan yakni sama-sama tentang pertanggungjawaban

pidana terhadap pelaku tindak pidana, sedangkan perbedaannya adalah peneliti

membahas tentang peredaran vaksin palsu dilihat dari Undang-Undang No. 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan dan hukum Islam.

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan hukum normatif yakni mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai

norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku

setiap orang.22

Penelitian menggunakan pendekatan hukum normatif ini untuk ini

menjelaskan tentang pertanggungjawaban pidana pelaku peredaran vaksin palsu

dilihat dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan hukum

Islam.

2. Jenis Bahan Hukum dan Sumber Hukum

a. Jenis Bahan Hukum

Jenis bahan hukum yang dipergunakan di dalam penelitian ini terdiri atas:

1) bahan hukum primer, 2) bahan hukum sekunder dan 3) bahan hukum tersier.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di bawah ini, yaitu:

22

Ishaq, Metode Penelitian Hukum:Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi (Bandung:

Alfabeta, 2017), hlm. 66.

Page 31: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

18

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hokum yang bersifat otoritatif artinya

mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undang,

catatan resmi dan risalah23

Bahan hukum primer dari penelitian ini adalah data

dari referensi utama yang berkenaan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku

peredaran vaksin palsu dilihat dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan dan hukum Islam yang meliputi Undang-Undang No. 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang

merupakan bukan dokumen-dokumen yang secara resmi.24

Publikasi tentang

hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hokum, jurnal-jurnal hukum dan

komentar-komentar atas putusan pengadilan.25

Bahan hukum sekunder bersumber

dari referensi pendukung untuk menjabarkan penelitian tentang pertanggung-

jawaban pidana pelaku peredaran vaksin palsu dilihat dari Undang-Undang No.

36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan hukum Islam, seperti buku-buku dan jurnal

yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

b. Sumber Bahan Hukum

1) Sumber Bahan Hukum Primer

Sumber bahan hukum primer bersumber dari Undang-Undang No. 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Kitab-Kitab Ilmu Fiqh.

23

Ibid., hlm. 68. 24

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2010), Cetakan ke-6, hlm.

141. 25

Ishaq, op.cit., hlm. 68.

Page 32: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

19

2) Sumber Bahan Hukum Sekunder

Sedangkan sumber hukum sekunder berbentuk yang diperoleh dari bahan

kepustakaan atau literatur yang ada hubungannya dengan objek penelitian.26

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam suatu karya ilmiah terdiri dari observasi,

wawancara dan dokumentasi.27

Dan penelitian ini hanya menggunakan

dokumentasi karena merupakan penelitian kepustakaan.

4. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif yaitu

mengkaji hukum yang konsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam

masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang.”28 Peneliti melakukan

interpretasi terhadap data, sehingga diperoleh makna (meaning) atau kualitas isi

data. Sedangkan cara menganalogikannya berdasarkan analogi:

a. Induktif, yaitu dengan cara membaca dan menelaah secara khusus dengan

mengambil kesimpulan secara umum.29

Metode induktif digunakan untuk

menyusun kerangka teori.

b. Deduktif, yaitu dengan cara membaca dan menelaah permasalahan secara

umum dengan mengambil kesimpulan secara khusus.30

c. Komparatif, yaitu dengan membandingkan permasalahan dan pendapat-

pendapat yang ada kemudian mengambil suatu kesimpulan.31

26

Ibid., hlm. 67. 27

Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi (Jambi: Fakultas Syariah IAIN STS Jambi,

2010), hlm. 25. 28

Ishaq, op. cit., hlm. 66. 29

Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 57. 30

Ibid., hlm. 58.

Page 33: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

20

Analisis ini digunakan untuk menyajikan kajian pada bab IV tentang

pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku peredaran vaksin palsu dilihat dari

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan hukum Islam.

H. Sistematika Penulisan

Penyusunan skripsi ini terbagi kepada lima bab, antara babnya ada yang

terdiri dari sub-sub bab. Masing-masing bab membahas permasalahan-

permasalahan tersendiri, tetapi tetap saling berkaitan antara sub bab dengan bab

yang berikutnya. Untuk memberikan gambaran secara mudah agar lebih terarah

dan jelas mengenai pembahasan skripsi ini penyusun menggunakan sistematika

dengan membagi pembahasan sebagai berikut:

Bab pertama: merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang

masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan

kegunaaan penelitian, tinjauan pustaka.

Bab kedua: berisikan tentang metode penelitian, yakni mengenai

pendekatan penelitian, jenis dan sumber data, metode

pengumpulan data, metode analisis data, sistematika penulisan

dan jadwal penelitian.

Bab ketiga: menguraikan tentang perkembangan vaksin palsu di Indonesia

dan dampaknya bagi kesehatan.

Bab keempat: Berisi pembahasan mengenai pertanggungjawaban pidana

terhadap pelaku peredaran vaksin palsu dilihat dari Undang-

31

Ibid., hlm. 99.

Page 34: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

21

Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan hukum

Islam.

Bab kelima: Bab ini akan diuraikan kesimpulan dari bab-bab terdahulu, lalui

penulis memberikan saran sebagai refleksi bagi semua pihak

mengenai penelitian ini.

J. Jadwal Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama enam bulan. Penelitian dilakukan dengan

pembuatan proposal, kemudian dilanjutnya dengan perbaikan hasil seminar

proposal skripsi. Setelah pengesahan judul dan izin riset, maka penulis

mengadakan pengumpulan data, verifikasi dan analisis data dalam waktu yang

berurutan. Hasilnya penulis melakukan konsultasi dengan pembimbing sebelum

diajukan kepada sidang munaqasah. Adapun jadwal kegiatan dapat dilihat pada

tabel berikut:

Page 35: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

22

Jadwal Penelitian

No

Kegiatan

Bulan

Feb

2018

Maret

2018

April

2018

Mei

2018

Juni

2018

Juli

2018

1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5

1. Pembuatan

Proposal

x x x

2. Seminar dan

Perbaikan

Hasil Seminar

x

3. Pengumpulan

Data,

Verifikasi dan

Analisa Data

x x x x x x

4. Membuat

Laporan

Penelitan/Draf

Skripsi

x x x x x

5. Konsultasi

pembimbing

x x x X x x x x x x x

6. Perbaikan x

7. Penggandaan

Laporan

x

Catatan: Jadwal Berubah Sesuai Waktu

Page 36: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

23

BAB II

VAKSIN PALSU DAN PEREDARANNYA

A. Kandungan Vaksin Palsu

Menteri Kesehatan, Nila F. Moeloek mengungkapkan hasil penelitian terkait

kandungan vaksin palsu yang beredar di masyarakat dalam Rapat Kerja dengan

Komisi IX di gedung DPR RI pada 14/07/2016 yang mana menjelaskan bahwa

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menemukan empat vaksin

palsu dari total 39 sampel vaksin yang diambil dari 37 Fasilitas Kesehatan di

sembilan provinsi di Indonesia. Antara lain tripacel hasil produksi PT Sanofi

Pasteur seharusnya mengandung Toksoid Difteri, Toksoid Tetanus, dan Vaksin

Aseluler. Berdasarkan hasil uji ternyata mengandung Na dan Cl, serta vaksin

Hepatitis B. Vaksin ini ditemukan di RSIA Mutiara Bunda, Jalan H. Mencong,

Ciledug. Temuan lain adalah serum Anti Tetanus produksi PT Bio Farma

seharusnya mengandung serum anti tetanus. Berdasarkan hasil uji ternyata

mengandung Na dan Cl. Vaksin ini ditemukan di RS Bhineka Bahkti Husada,

Jalan Cabe Raya, No. 17, Pondok Cabe, Kecamatan Pamulang, Tangerang

Selatan. Temuan lain adalah Tripacel produksi PT Sanofi Pasteur seharusnya

mengandung Toksoid Difteri, Toksoid Tetanus dan Vaksin Aseluler. Berdasarkan

hasil uji ternyata mengandung Antigen Pertusis. Vaksin ini ditemukan di Klinik

Tridaya Medica, Jalan Tridaya Indah I Blok A1, Tambun, Bekasi.

Temuan lain adalah pediacel produksi PT Sanofi Pasteur seharusnya

mengandung Toksoid Difteri, Toksoid Tetanus, Vaksin Aseluler, Pertusis dan

Vaksin Polio (IPV). Berdasarkan hasil uji ternyata mengandung vaksin Hepatitis

23

Page 37: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

24

B. Vaksin ini ditemukan di Apotek/Klinik Rahiem Farma, Jalan Dermaga Raya

129 Klender, Jakarta Timur. Kelima vaksin palsu tersebut yaitu: Tripacel berisi

Hepatitis B, Pediacel berisi Hepatitis B, ATS tidak mengandung ATS, Polivalent

anti snake genom serum tidak mengandung anti bisa ular dan Tuberkulin berisi

Hepatitis B, dan dua produk yang kadarnya tidak sesuai yaitu Euvax B dan

Engerix B.32

B. Pengungkapan Vaksin Palsu

Berawal dari kabar ditemukannya seorang bayi yang meninggal dunia pasca

divaksinasi, pada Rabu 18/05/2016 di Puskesma Pasar Rebo, Jakarta Timur. Bayi

berusia lima bulan berinisial R tersebut meninggal dunia pasca mengalami demam

tinggi per-tanggal 13 hingga 15 Mei 2016 dan kemudian kondisinya semakin

memburuk pada Selasa 17/05/2016 sampai Rabu 18/05/2016. Setelah dirunut,

kondisi kesehatan R menjadi tidak keruan pasca mengikuti suntik imunisasi DPT

3 di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo33

Direktorat Ekonomi Khusus, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri

melakukan pendalaman selama 3 bulan dan kemudian berhasil membongkar

adanya jaringan pemalsu vaksin pada 21/06/2016. Vaksin yang dipalsukan adalah

vaksin dasar, yang wajib diberikan untuk bayi: campak, polio, hepatitis B, tetanus,

dan BCG (Bacille Calmette-Guerin). Pabrik vaksin palsu ditemukan, yaitu di

Perumahan Puri Bintaro Hijau, Kecamatan Pondok Aren, Tangerang Selatan.

Menurut pengakuan para tersangka, pemalsuan ini sudah berlangsung sejak 2003

32

Laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), 16-07-2016

melalui rilis online “Yang Perlu Diketahui Tentang #VaksinPalsu” 33

Ibid.

Page 38: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

25

dan didistribusikan ke seluruh Indonesia. Polisi baru menemukan keberadaan

produk vaksin palsu ini di tiga provinsi, di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.34

Kasus peredaran dan penggunaan vaksin palsu berhasil diungkap kepolisian

setelah menerima berbagai keluhan dari masyarakat yang mengaku balita mereka

tetap sakit meski telah divaksin. Peredaran awalnya diketahui di daerah Jakarta

Timur dan Bekasi. Akan tetapi kemudian berkembang ke sejumlah daerah di

Indonesia. Berdasarkan pengakuan dari produsen vaksin palsu, mereka telah

beroperasi kurang lebih 13 tahun.35

Keberadaaan vaksin palsu menyebabkan kerugian, baik materiil maupun

immateriil, bagi orang tua dan anaknya. Kerugian materiil harus ditanggung

karena harga beberapa vaksin yang dipalsukan cukup mahal. Vaksin PCV 13

(Prevenar), misalnya, harus diberikan kepada bayi sebanyak 4 kali dengan harga

vaksin berkisar antara Rp850.000-Rp1.300.000 per satu kali pemberian.

Sedangkan kerugian immateriil terjadi akibat waktu yang terbuang untuk

imunisasi dan mengurus imunisasi ulang. Belum lagi kecemasan yang harus

ditanggung oleh orang tua terhadap dampak vaksin palsu terhadap kesehatan anak

mereka. Anak pun menderita kerugian immateriil akibat tubuh tidak terlindungi

oleh vaksin dan hilangnya kesempatan mendapatkan vaksin yang hanya dapat

diberikan pada usia-usia tertentu. Terhadap kerugian materiil dan immateriil yang

harus dianggung oleh orang tua dan anak korban vaksin palsu, gugatan perdata

dapat diajukan kepada pihak yang memikul tanggung jawab.36

34

Laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), 16-07-2016

melalui rilis online “Yang Perlu Diketahui Tentang #VaksinPalsu” 35

Luthvi Febryka Nola, op. cit., hlm. 1. 36

Ibid., hlm. 1.

Page 39: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

26

Kasus vaksin palsu ditanggapi serius oleh DPR. Komisi IX DPR telah

memanggil instansi terkait bahkan berhasil mendorong Kementerian Kesehatan

untuk membuka informasi mengenai fasilitas pelayanan kesehatan yang terlibat.

Komisi IX juga membentuk Panitia Kerja Pengawasan Peredaran Obat dan

Vaksin yang fokus kegiatannya, antara lain mendorong pemerintah untuk

mengkaji ulang aturan-aturan berkaitan pengawasan obat dan makanan serta

memanggil pihak-pihak terkait. Selain itu, Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal

28 Juli 2016 telah memutuskan untuk membentuk Tim Pengawas Vaksin Palsu

(Timwas) yang anggotanya bersifat lintas komisi dan bertugas melakukan

pengawasan dan mengawal proses penegakan hukum terhadap perkara vaksin

palsu yang terjadi selama ini.

Pemerintah saat ini telah berupaya untuk menginventarisasi masyarakat

yang menjadi korban vaksin palsu dan melakukan vaksinasi ulang. Kepolisian

juga telah melakukan penyelidikan dan hingga saat ini telah menetapkan 25 orang

sebagai tersangka. Pada dasarnya terdapat beberapa jalur hukum yang dapat

ditempuh oleh korban vaksin palsu, yaitu pidana dan perdata. Saat ini proses

pidana sedang berjalan. Dalam tulisan ini hanya akan dikaji mengenai gugatan

perdata sebagai alternatif penyelesaian yang dapat ditempuh oleh korban vaksin

palsu.37

C. Pihak yang Bertanggung Jawab Atas Peredaran Vaksin Palsu

Pada kasus vaksin palsu setidaknya terdapat 5 pihak yang harus

bertanggung jawab, yaitu pembuat vaksin, distributor obat, tenaga kesehatan

37

Ibid., hlm. 2.

Page 40: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

27

terkait, pemerintah, dan fasilitas pelayanan kesehatan swasta. Pembuat vaksin dan

distributor obat telah melanggar beberapa hak konsumen terutama hak atas

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau

jasa sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.

Pelanggaran yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlibat vaksin

palsu menyangkut kewajibannya untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai

dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional,

dan etika profesi, serta kebutuhan kesehatan penerima pelayanan kesehatan

sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga

Kesehatan.38

Sedangkan pemerintah dikenai tanggungjawab karena dianggap telah gagal

melaksanakan kewajiban untuk melindungi masyarakat khususnya terhadap anak

korban vaksin palsu sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, Pasal

34 ayat (3) UUD 1945, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Pasal 44

ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Adapun aturan yang dilanggar oleh fasilitas pelayanan kesehatan swasta

adalah terkait persyaratan kefarmasian sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1)

UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan aturan tentang sediaan farmasi

sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.39

38

Ibid., hlm. 2. 39

Ibid., hlm. 2.

Page 41: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

28

D. Hak Konsumen Vaksin Palsu

Pasien rumah sakit adalah konsumen, sehingga secara umum pasien

dilindungi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen (UU No. 8/1999). Menurut pasal 4 UU No. 8/1999, hak-hak konsumen

adalah:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya.40

Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran juga

merupakan Undang-Undang yang bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi

pasien. Hak-hak pasien diatur dalam pasal 52 UU No. 29/2004. Perlindungan hak

pasien juga tercantum dalam pasal 32 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009

tentang Rumah Sakit, yaitu:

1. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku

di Rumah Sakit;

2. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;

3. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa

diskriminasi;

40

Laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), 16-07-2016

melalui rilis online “Yang Perlu Diketahui Tentang #VaksinPalsu”

Page 42: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

29

4. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar

profesi dan standar prosedur operasional;

5. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar

dari kerugian fisik dan materi;

6. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;

7. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan

peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

8. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter

lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di

luar Rumah Sakit;

9. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk

data-data medisnya;

10. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan

medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi

yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan

serta perkiraan biaya pengobatan;

11. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan

dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;

12. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;

13. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya

selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;

14. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam

perawatan di Rumah Sakit;

15. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit

terhadap dirinya;

16. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama

dan kepercayaan yang dianutnya;

17. Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit

diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik

secara perdata ataupun pidana; dan

18. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar

pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.41

Selanjutnya apabila hak-haknya dilanggar, maka upaya hukum yang

tersedia bagi pasien adalah:

1. Mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, baik kepada lembaga

peradilan umum maupun kepada lembaga yang secara khusus berwenang

menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha (Pasal 45

UUPK)

41

Ibid.

Page 43: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

30

2. Melaporkan kepada polisi atau penyidik lainnya. Hal ini karena di setiap

undang-undang yang disebutkan di atas, terdapat ketentuan sanksi pidana

atas pelanggaran hak-hak pasien.

3. Pelaku pemalsuan vaksin dapat dijatuhkan dengan Pasal 197 UU No. 36

tahun 2009 tentang Kesehatan; Pasal 62 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 8

tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7

ayat (1), (2) jo dan Pasal 64 UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan

dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta Pasal 225 angka

(1), (2), (3) dan Pasal 386 ayat (1), (2) Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana.

4. Pasal 6 ayat 2 Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No.43/2013 tentang

Penyelenggaraan Imunisasi, penyelenggaraan imunisasi wajib, baik

pengadaan vaksin, sampai distribusi, menjadi tanggung jawab

pemerintah.

5. Sementara Fasilitas kesehatan pengguna vaksin palsu akan dijatuhkan

hukuman berdasarkan Permenkes No. 56 tahun 2014 Pasal 78 ayat (6)

tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit serta Permenkes No. 9

Tahun 2014 Pasal 41 ayat (1) dan (2) tentang Klinik

6. Pasal 13 ayat 1, menyebut Pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan

pemerintah daerah kabupaten/kota bertanggung jawab dalam penyediaan

logistik untuk penyelenggaraan imunisasi wajib.

7. Pasal 17 menjelaskan, Pemerintah bertanggung jawab tehadap

pendistribusian logistik berupa vaksin, Auto Disable Syringe, safety box,

dan dokumen pencatatan status imunisasi untuk penyelenggaraan

imunisasi wajib.42

Manajemen RS Pemerintah cq Kanwilkes / Depkes dapat dituntut. Menurut

pasal 1365 KUHPerdata karena pegawai yang bekerja pada RS Pemerintah

menjadi pegawai negeri dan negara sebagai suatu badan hukum dapat dituntut

untuk membayar ganti rugi atas tindakan pegawai negeri yang dalam menjalankan

tugasnya merugikan pihak lain. Untuk manajemen RS dapat diterapkan pasal

1365 dan 1367 KUHPerdata karena RS swasta sebagai badan hukum memiliki

kekayaan sendiri dan dapat bertindak dalam hukum dan dapat dituntut seperti

halnya manusia.

42

Ibid.

Page 44: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

31

BAB III UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009

TENTANG KESEHATAN

A. Pendahuluan

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita

bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia.

Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial.

Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya

pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian

pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya

pembangunan kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu

unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, setiap

kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang

setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif,

perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan

sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa,

serta pembangunan nasional.

31

Page 45: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

32

Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada

mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur

berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat

dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif,

preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan

berkesinambungan. Perkembangan ini tertuang ke dalam Sistem Kesehatan

Nasional (SKN) pada tahun 1982 yang selanjutnya disebutkan kedalam GBHN

1983 dan GBHN 1988 sebagai tatanan untuk melaksanakan pembangunan

kesehatan.

Selain itu, perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan seiring dengan

munculnya fenomena globalisasi telah menyebabkan banyaknya perubahan yang

sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari teks yang tercantum dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pesatnya kemajuan

teknologi kesehatan dan teknologi informasi dalam era global ini ternyata belum

terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang

Kesehatan.

Perencanaan dan pembiayaan pembangunan kesehatan yang tidak sejiwa

dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, yaitu menitik-beratkan pada

pengobatan (kuratif), menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat

adalah bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit. Hal itu tentu akan

membutuhkan dana yang lebih besar bila dibandingkan dengan upaya

pencegahan. Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan

pembiayaan kesehatan sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif/pemborosan.

Page 46: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

33

Selain itu, sudut pandang para pengambil kebijakan juga masih belum

menganggap kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga di

dalam menjalankan pembangunan sehingga alokasi dana kesehatan hingga kini

masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Untuk itu, sudah

saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan investasi

berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa

dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan

upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif.

Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah

undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang berwawasan

sakit. Pada sisi lain, perkembangan ketatanegaraan bergeser dari sentralisasi

menuju desentralisasi yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah

terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintahan

Daerah.

Undang-Undang tersebut memuat ketentuan yang menyatakan bahwa

bidang kesehatan sepenuhnya diserahkan kepada daerah masing-masing yang

setiap daerah diberi kewenangan untuk mengelola dan menyelenggarakan seluruh

aspek kesehatan. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38

Tahun 2007 yang mengatur tentang pembagian urusan antara pemerintah,

pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan hal tersebut,

Page 47: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

34

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan perlu disesuaikan

dengan semangat otonomi daerah.

Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat

dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era

globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dalam

suatu Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

B. Pasal-Pasal Tentang Kesehatan

Adapun pasal-pasal tentang kesehatan dapat dilihat di bawah ini:

Pengertian-pengertian

Pasal 1:

a. Ayat (1): Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,

spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup

produktif secara sosial dan ekonomis.

b. Ayat (4): Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan

kosmetika.

c. Ayat (6): Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri

dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan

melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu

memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

d. Ayat (8): Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi

yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi

atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,

penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk

manusia.

e. Ayat (17) Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah

Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintah

Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

f. Ayat (18) Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan

perangkat daerah sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah.

g. Ayat (19) Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung

jawabnya di bidang kesehatan.

Page 48: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

35

Pasal 4 Setiap orang berhak atas kesehatan:

a. Ayat (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh

akses atas sumber daya di bidang kesehatan.

b. Ayat (2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan

kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.

c. Ayat (3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab

menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Pasal 6 Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi

pencapaian derajat kesehatan. Lalu Pasal 58:

a. Ayat (1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang,

tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan

kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang

diterimanya.

b. Ayat (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan

nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.

c. Ayat (3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Pasal tentang tanggung jawab pemerintah adalah:

Pasal 14

a. Ayat (1) Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur,

menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya

kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.

b. Ayat (2) Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dikhususkan pada pelayanan publik.

Pasal 15: Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan,

tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk

mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pasal 16: Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di

bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk

memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Page 49: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

36

Pasal 17: Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap

informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan

memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pasal 19: Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk

upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.

Pasal 20:

a. Ayat (1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan

kesehatan masyarakat melalui system jaminan sosial nasional bagi

upaya kesehatan perorangan.

b. Ayat (2) Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perbekalan Kesehatan

Pasal 36

a. Ayat (1) Pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan

keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial.

b. Ayat (2) Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat,

Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan

pemanfaatan obat dan bahan yang berkhasiat obat.

Pasal 37:

a. Ayat (1) Pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar kebutuhan

dasar masyarakat akan perbekalan kesehatan terpenuhi.

b. Ayat (2) Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat esensial

dan alat kesehatan dasar tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan

kemanfaatan, harga, dan faktor yang berkaitan dengan pemerataan.

Pasal 38:

a. Ayat (1) Pemerintah mendorong dan mengarahkan pengembangan

perbekalan kesehatan dengan memanfaatkan potensi nasional yang

tersedia.

b. Ayat (2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan

terutama untuk obat dan vaksin baru serta bahan alam yang berkhasiat

obat.

c. Ayat (3) Pengembangan perbekalan kesehatan dilakukan dengan

memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, termasuk sumber daya

alam dan sosial budaya.

Page 50: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

37

Pasal 39 Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan ditetapkan dengan

Peraturan Menteri. Pasal 40:

a. Ayat (1) Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara

esensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat.

b. Ayat (2) Daftar dan jenis obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditinjau dan disempurnakan paling lama setiap 2 (dua) tahun sesuai

dengan perkembangan kebutuhan dan teknologi.

c. Ayat (3) Pemerintah menjamin agar obat sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) tersedia secara merata dan terjangkau oleh masyarakat.

d. Ayat (4) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan

khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan perbekalan kesehatan.

e. Ayat (5) Ketentuan mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud

pada ayat (4) dilakukan dengan mengadakan pengecualian terhadap

ketentuan paten sesuai dengan peraturan perundangundangan yang

mengatur paten.

f. Ayat (6) Perbekalan kesehatan berupa obat generik yang termasuk

dalam daftar obat esensial nasional harus dijamin ketersediaan dan

keterjangkauannya, sehingga penetapan harganya dikendalikan oleh

Pemerintah.

g. Ayat (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perbekalan kesehatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 41:

a. Ayat (1) Pemerintah daerah berwenang merencanakan kebutuhan

perbekalan kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.

b. Ayat (2) Kewenangan merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap memperhatikan pengaturan

dan pembinaan standar pelayanan yang berlaku secara nasional.

Pasal 182:

a. Ayat (1) Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan

setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya

di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.

b. Ayat (2) Menteri dalam melakukan pengawasan dapat memberikan

izin terhadap setiap penyelenggaraan upaya kesehatan.

c. Ayat (3) Menteri dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat mendelegasikan kepada

lembaga pemerintah non kementerian, kepala dinas di provinsi, dan

kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.

d. Ayat (4) Menteri dalam melaksanakan pengawasan mengikutsertakan

masyarakat.

Page 51: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

38

Pasal 183: Menteri atau kepala dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal

182 dalam melaksanakan tugasnya dapat mengangkat tenaga pengawas dengan

tugas pokok untuk melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang

berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan. Pasal

184: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, tenaga

pengawas mempunyai fungsi:

a. Memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan yang

berhubungan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan;

b. Memeriksa perizinan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan dan fasilitas

kesehatan.

Pasal 185: Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya

pemeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyai hak untuk menolak pemeriksaan

apabila tenaga pengawas yang bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda

pengenal dan surat perintah pemeriksaan. Pengamanan dan Penggunaan Sediaan

Farmasi dan Alat Kesehatan

Pasal 98:

a. Ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman,

berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.

b. Ayat (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan

dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan

mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.

c. Ayat (3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan,

promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus

memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan

Peraturan Pemerintah.

d. Ayat (4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan,

dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran

sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Page 52: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

39

Pasal 105:

a. Ayat (1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus

memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.

b. Ayat (2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika

serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang

ditentukan.

Pasal 106:

a. Ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan

setelah mendapat izin edar.

b. Ayat (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan

harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak

menyesatkan.

c. Ayat (3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan

penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah

memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi

persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita

dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 107: Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi

dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Pasal 108:

a. Ayat (1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk

pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,

penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,

pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat

tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai

keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

b. Ayat (2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah.

Kemudian pasal-pasal yang menyangkut tentang sanksi dapat dilihat di

bawah ini yaitu pasal 196: Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau

mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi

standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu

Page 53: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

40

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 197: Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau

mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin

edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana

penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 198: Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan

untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108

dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta

rupiah).

Page 54: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

41

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN

VAKSIN PALSU DILIHAT DARI UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009

TENTANG KESEHATAN DAN HUKUM ISLAM

A. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Peredaran Vaksin Palsu Dilihat

Dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Jagat belantara dunia kesehatan memasuki dunia kelam. Beredarnya “vaksin

palsu” memantik keresahan public yang telah “mempercayakan” kesehatan di

badan-badan kesehatan. Orang tua yang telah mempercayakan kepada lembaga-

lembaga kesehatan untuk “memvaksinkan” anaknya kemudian resah dan khawatir

terhadap kekebalan yang akan diderita anaknya. Istilah “vaksin palsu” sebagai

terjemahan “vaksin” yang tidak memenuhi standar kesehatan. Di dalam pasal 196

UU Kesehatan disebutkan sebagai “persediaan farmasi/alat kesehatan yang tidak

memenuhi standar, khasiat/kemanfaatan dan mutu”.

Dalam lapangan hukum, maka persoalan mulai timbul. Siapa yang harus

dimintakan pertanggungjawaban. Sebelum membicarakan mekanisme meminta

pertanggungjawaban di lapangan hukum pidana, maka diuarikan terlebih dahulu

dari sudut pandang tindak pidana kesehatan, tindak pidana umum dan mekanisme

pertanggungjawaban. Dari ranah ini, maka kita bisa meminta pertanggungjawaban

dan dapat dilihat bagaimana peran dari masing-masing actor (dader) dalam hukum

pidana.

Untuk menentukan bagaimana peran dan tanggungjawab pidana masing-

masing pelaku (dader), maka harus bisa memetakan bagaimana pola rangkaian

terjadinya tindak pidana. Dari ranah inilah, maka bisa menjangkau tanggung

41

Page 55: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

42

jawab hukum baik dilihat dari kesengajaan (dolus) maupun “kelalaian (culva)”

dari masing-masing rangkaian. Melihat pola yang terjadi di berbagai tempat dan

dan berbagai daerah, maka bisa disimpulkan, rangkaian “pemainnya” cukup

canggih dan terpola merata.

Sebelum menentukan pertanggungjawaban pidana, maka secara hukum

haruslah dibuktikan apakah “vaksin palsu” ternyata tidak sesuai dengan ketentuan

kesehatan. Sehingga persediaan farmasi memang yang tidak memenuhi standar,

khasiat/kemanfaatan dan mutu” bisa dibuktikan secara ilmiah. Hasil analisis dari

segi kesehatan haruslah membuktikan sebelum melihat pertanggungjawaban.

Dari hasil analisis kesehatan, maka terhadap “pengguna” seperti RS maupun

bidan/klinik ditentukan. Apakah karena membeli dengan harga yang dibawah

standar ataupun menerima “Sesuatu” seperti bonus terhadap pemasaran vaksin

palsu sehingga terhadap pelaku kemudian dapat dikualifikasikan sebagai

“pelaku”. Dalam berbagai pemberitaan, daerah-daerah yang sudah “diindikasikan”

menerima vaksin palsu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Melihat

polanya yang sudah lama, maka secara politik, dapat diminta pertanggungjawaban

kepada lembaga kesehatan di Indonesia. Menteri Kesehatan dapat diminta

pertanggungjawaban mengapa persoalan “begitu penting” menjadi teledor dan

luput dari pengawasan.

Sedangkan Dinas Kesehatan dapat diminta pertanggungjawaban terhadap 14

rumah sakit dan 8 bidan/klinik di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Selain itu, maka harus juga dilihat rangkaian panjang, mengapa 14 RS dan 8

bidan/klinik telah menerima “vaksin palsu”. Di dalam pasal 196 UU Kesehatan

Page 56: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

43

disebutkan “setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan

sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standard dan/atau

persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara

paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah).

Melihat pasal 196 UU Kesehatan, maka terhadap Pimpinan RS ataupun

pimpinan bidan/klinik yang telah menerima vaksin palsu “harus dimintakan

pertanggungjawaban” mengapa menerima “vaksin palsu”. Pimpinan RS ataupun

pimpinan bidan/klinik adalah orang dianggap sebagai dader (pelaku utama) dalam

“mengedarkan” vaksin palsu.

Bahkan pimpinan RS swasta dan pimpinan bidan/klinik harus dimintakan

pertanggungjawaban korporasi sebagaimana diatur didalam 201 UU Kesehatan.

Selain ancaman pidana diperberat juga pertanggungjawaban korporasi juga

dimintakan sanksi denda. Bahkan RS Swasta dan pimpinan bidan/klinik dapat

dilakukan Pencabutan izin usaha; dan/atauPencabutan status badan hokum

Dengan melihat rangkaian, maka seluruh pimpinan 14 RS dan 8 pimpinan

bidan/klinik dapat dikualifikasikan sebagai “dader” atau pelaku utama dan dapat

dimintakan pertanggungjawaban. Tinggal di tingkat penyidikan, maka ditentukan

apakah rangkaian yang dilakukan merupakan “kesalahan (dolus) ataupun semata-

mata karena kelalaian (culva)sebagaimana disampaikan oleh Menteri Kesehatan

didalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi IX DPR tanggal 14 Juli 2016.

Page 57: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

44

Selain Pimpinan RS dan pimpinan Bidan/klinik, maka terhadap “orang yang

menyediakan” baik yang memproduksi, mengedarkan yang tidak memiliki izin

edar” juga diminta pertanggungjawaban. Pasal 197 UU Kesehatan telah

menyebutkan “setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau

mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin

edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana

penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).Sedangkan pasal 198

UU Kesehatan menyebutkan “setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan

kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00

(seratus juta rupiah).

Dari ranah, ini penyidik akan mudah dan dapat menetapkan para “pengedar,

produsen” sebagai pelaku utama (dader). Penegakkan hukum terhadap pelaku

dalam kasus “vaksin palsu” harus tegas. Selain “memberikan hukuman terhadap

orang yang bertanggungjawab” juga memberikan “kepastian kepada masyarakat”

yang menjadi korban dari “salah urus” di bidang kesehatan.

Tindak kejahatan di bidang kesehatan, dalam bentuk pemalsuan vaksin yang

telah dilakukan selama 13 tahun, atau terjadi sejak 2003 merupakan tragedi dan

ironi dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia. Masyarakat yang

telah dengan sadar secara swadaya melakukan imunisasi sebagai upaya kesehatan

bagi anak-anak, namun ternyata dihadapkan pada tindak kejahatan pemalsuan

vaksin.

Page 58: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

45

Padahal, Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

telah menjamin Hak setiap orang dan mengatur tanggung jawab pemerintah

terkait kesehatan. Pasal 5 ayat (2) UU 36 tahun 2009 menyatakan bahwa Setiap

orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,

bermutu, dan terjangkau. Lebih lanjut, Pasal 8 Undang-Undang Kesehatan

menyatakan bahwa Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data

kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang

akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

Undang-undang Kesehatan juga mengatur tanggung jawab pemerintah

dalam penyelenggaraan kesehatan, secara khusus Pasal 19 UU No 36 Tahun 2009

mengatur bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk

upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau. Vaksin, yang

diberikan kepada anak-anak melalui imunisasi adalah salah satu bentuk upaya

kesehatan.

Hal ini merupakan bentuk kelalaian Pemerintah dalam melaksanakan

tanggunggjawabnya untuk memenuhi hak kesehatan setiap warga Negara,

sebagaimana diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Korban vaksin palsu dapat mengajukan gugatan perdata melalui 3 bentuk

yaitu gugatan perdata biasa, citizen lawsuit, dan class action. Gugatan perdata

biasa atas kasus vaksin palsu diajukan berdasarkan perbuatan melawan hukum

(onrechtmatige daad), baik itu yang secara langsung maupun tidak secara

langsung dikenakan kepada pelaku. Gugatan hukum yang dikenakan langsung

pada pelaku diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Tiap

Page 59: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

46

perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk

mengganti kerugian tersebut”. Gugatan ini pada dasarnya dapat diajukan kepada

pembuat vaksin, distributor obat, tenaga kesehatan, dan fasilitas pelayanan

kesehatan swasta yang terlibat dengan vaksin palsu.

Sedangkan gugatan melawan hukum yang dikenakan secara tidak langsung

kepada pelaku, diajukan berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata yang menyatakan

“Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan

perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-

perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-

barang yang berada di bawah pengawasannya”. Pada kasus vaksin palsu, gugatan

tanggung jawab pengganti dapat diajukan kepada fasilitas pelayanan kesehatan

swasta yang berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata seharusnya bertanggung jawab

terhadap perbuatan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, termasuk

tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan swasta tersebut.

Gugatan perdata berikutnya adalah citizen lawsuit. Citizen lawsuit

merupakan gugatan yang diajukan warga negara terhadap penyelenggara negara

atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negara. Kelalaian negara dalam

gugatan citizen lawsuit merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum,

sehingga gugatan ini diajukan pada lingkup peradilan umum sebagai perkara

perdata. Petitum gugatan citizen lawsuit, dapat berupa tuntutan kepada negara

untuk mengeluarkan suatu pengaturan yang bersifat umum (regeling) agar

Page 60: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

47

kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari. Tidak ada gugatan ganti rugi

dalam gugatan ini.

Pada kasus vaksin palsu, terdapat indikasi kuat pemerintah lalai melakukan

pengawasan terhadap peredaran vaksin di Indonesia, sehingga menyebabkan

terjadinya pelanggaran hak atas kesehatan warga Negara seperti diatur dalam

Pasal 28H UUD 1945 bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta

berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pengaturan lebih lanjut diatur dalam

Pasal 54 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa

“Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab,

aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif”. Citizen lawsuit ini dapat

diajukan agar negara mengeluarkan aturan khusus tentang pengawasan terhadap

obat termasuk vaksin.

Aturan pengawasan obat seharusnya memuat aturan pengawasan secara

komprehensif mulai dari tahap produksi, distribusi, penggunaan dan pengelolaan

sampah, serta limbah medis. Tidak seperti saat ini, aturan tentang pengawasan

obat dan makanan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Pengawasan ini bersifat lintas sektoral karena melibatkan beberapa kementerian

dan badan seperti Kementerian Kesehatan, BPOM, Kementerian Lingkungan

Hidup, dan Kepolisian, sehingga perlu ditetapkan instansi mana yang berperan

sebagai koordinator pengawasan. Oleh sebab itu, aturan yang paling tepat untuk

mengatur tentang pengawasan adalah undang-undang.

Page 61: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

48

Gugatan perdata terakhir adalah class action yang dasar hukumnya adalah

UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Mahkamah

Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Gugatan Perwakilan Kelompok

(Class Action). Gugatan class action, menurut Pasal 46 ayat (1) huruf b UU No. 8

Tahun 1999, merupakan gugatan yang dapat dilakukan oleh sekelompok

konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama atas pelanggaran yang

dilakukan oleh pelaku usaha. Sedangkan menurut PERMA No. 1 Tahun 2002,

“Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam

mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk

diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang

jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil

kelompok dan anggota kelompok dimaksud”.

Persyaratan umum dari class action adalah gugatan mencakup banyak orang

sebagai penggugat; terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, kesamaan dasar

hukum, dan jenis tuntutan; serta perwakilan kelompok harus jujur dan

bersungguh-sungguh melindungi kepentingan kelompok yang diwakili. Wakil

kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan

gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.

Pada kasus vaksin palsu, gugatan class action dapat diajukan kepada pelaku

usaha vaksin palsu yaitu produsen vaksin, distributor, fasilitas pelayanan

kesehatan swasta, dan pemerintah. Menurut Pasal 46 ayat (2) UU No. 8 Tahun

1999, gugatan class action diajukan kepada peradilan umum. Dalam PERMA No

Page 62: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

49

1 Tahun 2002, surat gugatan class action harus memenuhi persyaratan-

persyaratan formal yang diatur dalam hukum acara perdata ditambah dengan:

a. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok;

b. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa

menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu;

c. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan

dengan kewajiban melakukan pemberitahuan;

d. Posita dari seluruh kelompok, baik wakil kelompok maupun anggota

kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi, yang

dikemukakan secara jelas dan terinci;

e. Dalam satu gugatan perwakilan, dapat dikelompokkan beberapa bagian

kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan

kerugian yang berbeda; dan

f. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas

dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara

pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok

termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu

memperlancar pendistribusian ganti kerugian.

Pada kasus vaksin palsu, gugatan class action merupakan gugatan yang

paling sesuai untuk ditempuh sebab korbannya bersifat massal sehingga lebih

efektif. Keuntungan lain dari gugatan class action adalah biaya proses berperkara

yang harus ditanggung penggugat menjadi lebih murah dan pihak tergugat juga

ikut diuntungkan karena cukup mengeluarkan satu kali biaya untuk para pihak

yang dirugikan. Dari sisi akses keadilan bagi penggugat juga lebih terjamin karena

diajukan secara bersama-sama. Selain itu dapat dicegah munculnya inkonsistensi

putusan dalam perkara yang sama.

B. Pertanggungjawaban Pidana Peredasaran Vaksin Palsu Ditinjau dari

Hukum Islam

Timbul kecenderungan orang yang kurang mampu akan memandang

perkembangan sosial lebih mengarahkan satu fenomena tidak berkembang.

Keadaan ini menimbulkan sikap yang mempermaklum keadaan. Sikap ini

Page 63: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

50

menciptakan pembenaran-pembenaran pribadi dalam setiap perbuatannya, karena

ia melihat kebenaran yang ada di masyarakat tidak lagi berpihak padanya, seperti

kasus vaksin palsu yang melanggar hukum.

Kemudian para ulama berkata, menjual vaksin palsu berarti bertentangan

dengan ayat bahwa Allah memuliakan manusia. Allah Ta’ala berfirman:

هنا بن آدم وحولناهن ف البس والبحس ي ولقد كس وزشقناهن ه

ي خلقنا تفضيلاا و لناهن على كثيس ه الطيبات وفض

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami

angkut mereka di daratan dan di lautan , Kami beri mereka rezki dari

yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang

sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”43

Islam telah menjadikan filsafat ekonominya berpihak pada upaya untuk

menjalankan aktivitas perekonomian dengan berpegang kepada perintah dan

larangan Allah yang didasarkan pada kesadaran adanya hubungan manusia dengan

Allah SWT. Dengan kata lain, Al-Qur`an menjadikan ide yang dipergunakan

untuk membangun pengatur urusan kaum muslimin dalam suatu masyarakat.

Mereka juga terikat dengan hukum-hukum syari’at sebagai satu perundang-

undangan, sehingga mereka diberi kebolehan dengan apa yang telah

diperbolehkan oleh Islam kepadanya. Mereka juga terikat dengan ketentuan yang

mengikat mereka yaitu Al-Qur`an. Allah berfirman dalam surat Al-Hasyir ayat 7

sebagai berikut:

43Al-Quran dan Terjemahnya Surat Al-Israa’: 70

(٨: لحشر١)

Page 64: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

51

Artinya: “Dan Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa

yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah

kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” (Q.S.

Al-Hasyir: 7). 44

Ayat ini mengingatkan manusia agar tidak gegabah berbagai sesuatu yang

bisa berakibat fatal bagi dirinya, sekalipun mempunyai tujuan kemanusiaan yang

luhur. Dalam Islam manusia memegang mandat sebagai khalifah. manusialah

satu-satunya makhluk yang diberikan mandat oleh Allah SWT untuk mengelola

dan mendayagunakan sumber daya dan kekayaan alam.45

Untuk itu, agar dapat

memenuhi segala kebutuhan dan tuntunan hidup maka manusia diwajibkan untuk

berusaha dengan berbagai lapangan pekerjaan dan cara-cara yang harus yang

harus ditempuh di antara lapangan pekerjaan yang dilakukan oleh setiap orang

antara lain jual beli, perdagangan, pemasaran, tukar menukar, bisnis dan lain-lain.

Allah membentangkan alam ini adalah untuk keperluan penghidupan

seluruh makhluk, termasuk umat manusia. Sebagaimana yang ditegaskan oleh

Allah dalam surat Al-Mulk ayat 15 dalam firman-Nya berbunyi:

ى الري جعل لكن الأزض ذلىلاا فاهشىا ف هناكبها وكلىا هي زشقه ه

(٥١وإليه النشىز. )الولك:

Artinya: Dialah (Allah) yang telah menjadikan bumi itu mudah bagi kalian, maka

berjalanlah di segala penjuru, dan makanlah dari sebagian rizki-Nya.

Dan hanya kepada-Nyalah kalian akan kembali.46

44

Al-Quran dan Terjemahnya Surat Al-Hasyir: 7 45

Muhammad Tholhah Hasan, Prosfek Islam dalam Menghadapi Zaman, Jakarta: Lantabora

Press, 2005, hlm. 143. 46

Al-Quran dan Terjemahnya Surat Al-Mulk: 15

Page 65: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

52

Ajaran Islam juga sangat menganjurkan umatnya untuk berusaha dan

bekerja keras, karena berusaha dan bekerja keras adalah suatu keharusan bagi

setiap individu guna memperoleh sesuatu yang diinginkan, terutama dalam

memenuhi hajat hidup keluarga, rumah tangga maupun untuk kepentingan

pribadi. Oleh karena itu syari’at Islam sebagai suatu syari’at yang dibawa rasul

terakhir yang mempunyai keunikan tersendiri, yang bukan hanya komprehensif

tetepi juga universal.

Page 66: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

53

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pertanggungjawaban pidana pelaku peredaran vaksin palsu dilihat dari

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pertama adalah Rumah

sakit maupun bidan/klinik ditentukan yang terindikasi menerima vaksin palsu

Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Lalu secara politik, dapat diminta

pertanggungjawaban kepada lembaga kesehatan di Indonesia. Menteri Kesehatan

dapat diminta pertanggungjawaban mengapa persoalan “begitu penting” menjadi

teledor dan luput dari pengawasan.

Korban vaksin palsu yang mengalami kerugian baik materiil dan immateriil

dapat mengajukan gugatan secara perdata. Ada beberapa bentuk gugatan yang

dapat diajukan, yaitu gugatan perdata biasa, citizen lawsuit, dan class action. Di

antara beberapa bentuk gugatan perdata tersebut gugatan class action merupakan

bentuk gugatan yang paling efektif dan efisien mengingat besarnya jumlah korban

vaksin palsu.

Pertanggungjawaban pidana pelaku peredaran vaksin palsu dilihat dari

Islam ada indikasi perilaku berbohong atau tidak jujur mengatasnamakan vaksin

namun produk palsu yang dilakukan secara teroganisir dan meluar. Hal ini tentu

berdampak kerugian sosial dan ini termasuk perilaku salah di mata agama.

53

Page 67: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

54

B. Saran-Saran

Sehubungan gugatan perdata yang dapat diajukan oleh korban vaksin palsu,

Panja dan Timwas yang telah dibentuk oleh DPR dapat berperan mendorong

masyarakat dan organisasi yang bergerak di bidang hukum dan perlindungan

konsumen untuk melakukan pendampingan terhadap masyarakat yang bermaksud

melakukan gugatan perdata. Selain itu, Panja dan Timwas juga dapat mendorong

para pihak terkait untuk menyerahkan alat bukti yang diperlukan oleh korban.

Panja dan Timwas juga dapat memberikan rekomendasi agar RUU tentang

Pengawasan Obat dan Makanan segera dibahas. Adanya UU Pengawasan Obat

dan Makanan diharapkan dapat meningkatkan upaya pengawasan terhadap obat

dan makanan di masa yang akan datang. Panja dan Timwas juga dapat melakukan

fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan memberikan sanksi

kepada pemerintah dan pihak-pihak lain yang harus bertanggung jawab.

Untuk menjamin pemenuhan hak-hak korban dari tindak kejahatan

kesehatan Pemalsuan Vaksin tersebut, maka diusahakan pemerintah memfasilitasi

korban untuk memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma dari Lembaga

Bantuan Hukum (LBH), dan menanggung seluruh biaya pendampingan hukum

yang diberikan bagi korban vaksin palsu oleh LBH. Kemudian kejaksaan dan

Kehakiman, melakukan penggabungan perkara pidana dan perdata, mewajibkan

pelaku kejahatan membayar restitusi kepada korban, serta memastikan

pembayaran restitusi, melalui penyitaan dan pelelangan harta milik pelaku

kejahatan.

Page 68: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

55

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Tim Penterjemah, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI,

1994

Abdu al-Hamid Hakim, Al-Bayan, Jakarta: Sa’adiyah P. Putra, 1972, Cet. 11.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi

Kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.

Ishaq, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, 2017.

Kristo, Pengertian Vaksin Palsu, Jakarta: Klinik Vaksinasi, 2016.

Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman dan, Analisis Data Kualitatif, Terj.

Tjetjep Rohedi Rohidi, Jakarta: UI Press, 2007.

Muhammad Abu Zahrah, Ushu al-Fiqh, Dar al- Firk al-Arabi, 1958.

Muhammad Tholhah Hasan, Prosfek Islam dalam Menghadapi Zaman, Jakarta:

Lantabora Press, 2005.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010, Cetakan ke-

6.

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta:

Aksara Baru, 1983.

Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Jakarta: Rineka Cipta, 2006.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:

Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi, Jambi: Fakultas Syariah IAIN STS

Jambi, 2010.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005.

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Page 69: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

56

C. Jurnal, Skripsi

Fikri, Analisis Yuridis Terhadap Delik Penganiayaan Berencana (Studi kasus

Putusan No.63/Pid.B/2012/PN.Dgl), Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion

Edisi 2, Volume 1, Tahun 2013.

Luthvi Febryka Nola, Gugatan Perdata Korban Vaksin Palsu, Majalah Info

Hukum Singkat, Vol. VIII, No. 14/II/P3DI/Juli/2016.

Page 70: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEREDARAN VAKSIN …repository.uinjambi.ac.id/2818/1/ASRINA WULANDARI... · 2020. 4. 27. · Vaksin Palsu Dilihat dari Undang-Undang No.

57

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(CURRICULUM VITAE)

Nama : Asrina Wulandari

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/tanggal lahir : Jambi, 21 Agustus 1993

Alamat : Lrg. Kota Nopan, RT. 20, RW. 07, Kel. Simpang IV

Sipin, Telanaipura, Kota Jambi

Pekerjaan : Mahasiswa UIN STS Jambi

Alamat E-mail : [email protected]

No kontak : 0812 1958 0020

Riwayat Pendidikan Formal

1. SD N 95 Kota Jambi : 2008

2. SMP N 8 Kota Jambi : 2010

3. SMA Ferdy Ferry Putra : 2012

4. UIN STS Jambi : 2018

Pendidikan Non Formal : -

Pengalaman Organisasi : PMR Dan PRAMUKA

Motto Hidup : Trust Yourself, You Know More Than You Think You do