digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to...

131
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM) DALAM JAJANAN ANAK (Suatu Telaah Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Konsumen) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : VITRIYANI TRI UTAMI NIM.E. 0008255 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

Transcript of digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to...

Page 1: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP

PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM) DALAM

JAJANAN ANAK

(Suatu Telaah Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Konsumen)

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan

Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

VITRIYANI TRI UTAMI

NIM.E. 0008255

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

Page 2: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

Page 3: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

Page 4: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Vitriyani Tri Utami

NIM : E0008255

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul

“PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP

PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM) DALAM

JAJANAN ANAK (Suatu Telaah Perlindungan Terhadap Anak Sebagai

Konsumen)” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya

dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam

daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka

saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum

(skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Juni 2012

yang membuat pernyataan

Vitriyani Tri Utami

NIM. E0008255

Page 5: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

ABSTRAK

Vitriyani Tri Utami. E0008255. 2012. PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU

USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN

(BTM) DALAM JAJANAN ANAK (Suatu Telaah Perlindungan Terhadap

Anak Sebagai Konsumen). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui apakah Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mampu memberikan

perlindungan hukum bagi anak terhadap penggunaan BTM dalam jajanan anak.

Penulisan hukum ini termasuk penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif

dengan menggunakan sumber bahan hukum, meliputi bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder. Selanjutnya dimintakan klarifikasi terhadap konsumen

anak, pelaku usaha di bidang jajanan anak, dan instansi pengawas produk

pangan jajanan anak di Kota Surakarta (Dinas Kesehatan Kota Surakarta dan

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta). Teknik pengumpulan

bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan cara studi kepustakaan dan

cyber media. Dalam penulisan hukum ini, penulis menggunakan analisis dengan

metode deduksi yang berpangkal dari premis mayor yaitu Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan berbagai peraturan

perundang-undangan yang relevan terkait penggunaan BTM dalam produk

pangan. Selanjutnya peneliti mengajukan premis minor yaitu mengenai

perlindungan hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen bagi anak terhadap penggunaan BTM dalam jajanan

anak dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap penggunaan BTM dalam produk

pangan yang dikonsumsi oleh anak. Dari hal tersebut kemudian ditarik suatu

kesimpulan atau conclusion.

Berdasarkan penelitian ini diperoleh simpulan. Kesatu, Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen belum mampu memberikan

perlindungan hukum bagi anak sebagai konsumen terhadap penggunaan bahan

tambahan makanan dalam jajanan anak. Substansi perlindungan dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen masih bersifat

umum dan belum ada pasal-pasal yang secara eksplisit memberikan perlindungan

khusus bagi anak sebagai golongan konsumen yang tidak terinformasi. Kedua,

pelaku usaha bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksi dan

memberikan informasi yang benar jelas, dan jujur dalam penggunaan BTM.

Tanggung jawab pelaku usaha untuk menjamin keamanan pangan yang

diproduksi dan pemberian informasi yang jelas dalam penggunaan BTM belum

sepenuhnya terpenuhi, khususnya oleh golongan pelaku usaha kecil menengah.

Hal ini mengakibatkan hak konsumen anak atas keamanan, keselamatan dan

kenyamanan serta hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur dalam

mengkonsumsi jajanan anak belum sepenuhnya terpenuhi.

Kata kunci : perlindungan konsumen, konsumen anak, bahan tambahan makanan.

Page 6: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

ABSTRACT

Vitriyani Tri Utami. E0008255. BUSINESS LIABILITY FOR THE USE OF

FOOD ADDITIVES IN CHIDREN FOOD (A Study of the Protection of

Children as Consumers). Faculty of Law Sebelas Maret University.

The writing of this law aims to determine whether the Act No. 8 of 1999 on

Consumer Protection have been able to provide legal protection for children

toward the use of food additives in children food. Including of this law is a

normative legal research prescriptive using sources of law, include primary and

secondary legal materials. Further, requested the clarification of the child

consumer, entrepreneurs in the field of child snacks and child snack food product

regulatory agency in Surakarta (Health Department of Surakarta and Industry

and Trade Department of Surakarta). Techniques of collecting legal material in

this study are by study literature and cyber media. In the writing of this law, the

authors use the deduction method of analysis stemming from the major premise

that is the Act No. 8 of 1999 on Consumer Protection and other relevant laws and

regulations related to the use of food additives in food products. Further

researcher proposes that the minor premise of the legal protection of the Act No.

8 of 1999 on Consumer Protection for children against the use of food additives in

food products consumed by children. Of this is then drawn a conclusion.

Based on the conclusion of this study. First, the Act No. 8 of 1999 on

Consumer Protection has not been able to provide legal protection for children as

a consumer against the use of food additives in children food. Substance in the

protection of the Act No. 8 of 1999 on Consumer Protection is stiil common and

there are no provisions that explicitly provide special protection for children as a

group of consumers who are not informed. Second, businesses responsible for the

safety of food produced and provide the correct information is clear, and honest

in the use of food additives. Responsibility of businesses to ensure the safety of

food produced and the provision of clear information in the use of food additives

has not been completely fulfilled, especially by small and medium business group.

This resulted in the consumer rights of the child to the security, the safety and

comfort as well as the right to correct information, clearly and honestly in a child

consume snacks have not been completely fulfilled.

Key words : consumer protection, child consumer, food additives

Page 7: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

MOTTO

Orang yang berbahagia adalah orang yang bisa mengambil pelajaran

dari orang lain.

(Ibnu Mas`ud radhiyallahu`anhu)

Saya bisa melakukan dan saya akan melakukan apa yang saya takutkan.

(Elanor Roosevelt)

Usaha disertai doa adalah kunci keberhasilan.

(Vitriyani Tri Utami)

Perubahan tanpa visi melahirkan kekacauan

Perubahan tanpa skill melahirkan kecemasan

Perubahan tanpa insentif melahirkan penolakan

Perubahan tanpa resource melahirkan frustasi

Perubahan tanpa action plan melahirkan kegagalan

(Rhenald Kasali,Ph.D.)

Motivasi yang paling kuat dan dasyat itu justru dari dalam diri (niat).

(Vitriyani Tri Utami)

Page 8: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini didedikasikan kepada:

1. Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada

penulis sehingga dapat menyelesaikan Penelitian Hukum ini .

2. Ibu dan ayahku tercinta, ibu Sri Hartini dan bapak Widodo yang selama ini

telah memberi kasih sayang dan doa serta dukungannya sehingga penulis

dapat menyelesaikan Penulisan Hukum ini.

3. Kakak-kakakku tersayang Widiastuti, Amd., Wahyu Widiatmoko, M.Adi

W.,Amd., Enny yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan

dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum ini.

4. Keponakanku tersayang Althaf Al Adn dan Rubismo Gibran Saverio.

5. Sahabat-sahabatku , Rizha Putri Riadhini, Al-Drie Agni S.I., Rani Permata

F., Yuni Lastantri D.,Intan Kusuma M., yang senantiasa memberikan

dukungan dan menjadi partner diskusi yang baik dalam proses

penyelesaian Penulisan Hukum ini.

6. Teman-temanu selama magang di Boyolali, Fauzhia W., Ardhani N.,

Twinike S.,Nungki L., Warih adi S., Uce Ade W.

7. Semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya penulisan

hukum ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala

kebaikan Bapak, Ibu, rekan-rekan menjadi amalan dan mendapat balasan

kebaikan dari Allah SWT.

8. Almamater tercinta Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Page 9: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis akhirnya dapat

menyelesaikan Penulisan Hukum (skripsi) yang berjudul

“PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP

PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM) DALAM

JAJANAN ANAK (Suatu Telaah Perlindungan Terhadap Anak Sebagai

Konsumen)”.

Penulisan hukum ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi syarat

memperoleh gelar sarjana (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta. Penulisan hukum ini membahas tentang perlindungan yang diberikan

oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bagi

anak terhadap penggunaan bahan tambahan makanan dalam jajanan anak serta

tanggung jawab pelaku usaha dalam penggunaan bahan tambahan makanan dalam

produk jajanan anak. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini

terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu penulis dengan besar hati akan

menerima segala masukan yang dapat memperkaya pengetahuan penulis di

kemudian hari.

Dengan selesainya penulisan hukum ini maka dengan segala kerendahan

hati penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada

semua pihak yang telah memberikan bantuannya dalam penulisan hukum ini :

1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan

kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.

2. Bapak Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin

dalam penyusunan penulisan hukum ini.

3. Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si. selaku Ketua Bagian Hukum

Administrasi Negara dan Dosen Pembimbing yang telah memberikan

kelancaran dan dengan penuh kesabaran memberikan bantuan, bimbingan,

Page 10: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

dan pengarahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum

ini.

4. Bapak Prof.Dr.Supanto,S.H.,M.Hum selaku pembimbing akademik yang

telah memberikan nasihat dan bimbingan selama penulis menuntut ilmu di

Fakultas Hukum UNS.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

yang dengan keikhlasan dan kemuliaan hati telah meberikan bekal ilmu

kepada penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

6. Bapak dan Ibu di Bagian Akademik, Bagian Kemahasiswaan, Bagian Tata

Usaha dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

7. PPH FH UNS, yang telah memberikan kesempatan bagi penyusun untuk

membuat serta menyelesaikan penulisan hukum ini.

Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu semoga

segala bantuan Bapak, Ibu, Saudara, dan Saudari yang diberikan kepada penyusun

akan mendapat balasan dari Allah SWT.

Akhirnya penyusun berharap penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi

pihak-pihak yang membutuhkan, Amin

Surakarta, Juni 2012

Penulis

Vitriyani Tri Utami

Page 11: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI iii

PERNYATAAN iv

ABSTRAK v

HALAMAN MOTTO vii

HALAMAN PERSEMBAHAN viii

KATA PENGANTAR ix

DAFTAR ISI xi

DAFTAR SKEMA xiv

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Perumusan Masalah 8

C. Tujuan Penelitian 9

D. Manfaat Penelitian 9

E. Metode Penelitian 10

F. Sistematika Penulisan Hukum 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 17

A. Kerangka Teori............................................................... ........ 17

1. Tinjauan Umum tentang Perlindungan

Konsumen ........................................................................ 17

a. Pengertian Perlindungan Konsumen ........................... 17

b. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ................. 18

2. Tinjauan Umum tentang Konsumen dan

Pelaku Usaha..................................................................... 19

a. Istilah dan Pengertian Konsumen............................... 19

b. Hak dan Kewajiban Konsumen................................... 21

c. Pengertian Pelaku Usaha .......................................... ... 26

Page 12: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

d. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha .............................. 28

e. Tanggung Jawab Pelaku Usaha. ................................. 29

3. Tinjauan Umum tentang Bahan Tambahan

Makanan (BTM)................................................................ 31

a. Pengertian BTM....................................................... 31

b. Penggunaan BTM..................................................... 33

c. Jenis dan Pengelompokan BTM............................... 36

4. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Anak.................... 38

a. Pengertian Anak....................................................... 38

b. Perlindungan Anak.................................................... 39

B. Kerangka Pemikiran................................................................ 43

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHAN............................... 46

A. Perlindungan Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) Bagi Anak

Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM)

Dalam Jajanan Anak................................................................ 46

1. Gambaran Umum Peredaran Jajanan Anak....................... 46

2. Perlindungan Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) Bagi

Anak Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Makanan

(BTM) dalam Jajanan Anak............................................... 52

B. Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Penggunaan

Bahan Tambahan Makanan (BTM) dalam Produk

Pangan yang Dikonsumsi oleh Anak................................ ...... 72

1. Standar Norma Penggunaan BTM di Indonesia................ 72

2. Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Penggunaan

BTM dalam Produk Pangan yang Dikonsumsi oleh

Anak................................................................................... 82

3. Tanggung Jawab Pengawasan dan Pembinaan dan

Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Produk

Pangan................................................................................. 103

Page 13: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

BAB IV PENUTUP .................................................................................. 115

A. Kesimpulan .......................................................................... 115

B. Saran..................................................................... ............... 116

DAFTAR PUSTAKA

Page 14: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiv

DAFTAR SKEMA

Halaman

Skema 1. Skema Kerangka Pemikiran ................................................. 43

Page 15: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan

khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah

menghasilkan variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Realita

yang demikian pada satu sisi mempunyai manfaat bagi konsumen karena

kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat

terpenuhi serta semakin terbukanya kebebasan untuk memilih beraneka

macam jenis dan kualitas barang dan/atau jasa.

Di sisi lain, kondisi dan fenomena yang demikian dapat pula

mengakibatkan kedudukan konsumen dan pelaku usaha tidak seimbang dan

konsumen berada pada posisi yang lemah. Pelaku usaha menjadikan

konsumen sebagai obyek aktivitas bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang

sebesar-besarnya.

Salah satu produk yang dimanfaatkan konsumen adalah produk

pangan. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang

Pangan, disebutkan bahwa “Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari

sumber hayati dan air, baik yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan

atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan,

bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,

pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman”.

Produk pangan bagi setiap manusia merupakan kebutuhan pokok,

sehingga setiap orang senantiasa dihadapkan pada keadaan untuk menentukan

atau memilih produk pangan di pasaran. Derasnya peredaran produk-produk

pangan sebagai akibat terbukanya pasar melahirkan iklim persaingan yang

ketat dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan untuk mendapatkan

keuntungan yang besar. Tidak jarang dalam transaksi ekonomi yang terjadi

terdapat permasalahan-permasalahan yang menyangkut persoalan sengketa

dan ketidakpuasan konsumen akibat produk yang di konsumsinya tidak

Page 16: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

memenuhi kualitas standar bahkan tidak jarang produk pangan tersebut

juga membahayakan bagi konsumen. Akibatnya masyarakat sebagai

konsumen sangat dirugikan bahkan dapat mengancam kesehatan dalam jangka

panjang, oleh karena itu adanya jaminan kepastian atas mutu, jumlah, dan

keamanan produk pangan yang diperolehnya di pasar menjadi urgen.

Fakta tersebut membuat pelaku usaha mempunyai posisi yang kuat

dibandingkan konsumen. Pelaku usaha menjadi pihak yang mengetahui bahan

dasar, pengolahan, pengemasan, serta pendistribusian produk pangan. Hal ini

memberikan konsekuensi bagi pelaku usaha untuk dapat memastikan bahwa

kualitas dari produknya aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas. Pelaku

usaha wajib menjamin mutu pangan yang diproduksi dan/atau diperdagangkan

berdasarkan ketentuan standar mutu yang berlaku untuk menjamin keamanan

dan kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa

sebagai pemakai akhir.

Dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk

yang mengandung resiko terhadap keamanan konsumen wajib disertai

informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas. Informasi yang diberikan

harus benar, jelas dan jujur. Setiap produk yang diperkenalkan kepada

konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar

konsumen tidak mempunyai gambaran yang keliru atas suatu produk.

Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti secara lisan

kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan

dalam kemasan (barang) (Shidarta,2004:23-24).

Menurut Chandra Dewi Puspitasari yang mengutip tulisan dalam

majalah TRUST yang berjudul Canggih Tapi Membahayakan Telinga

disebutkan bahwa dalam praktik sering ditemukan pelaku usaha yang sengaja

memanipulasi informasi atau memberikan informasi secara tidak lengkap

sehingga membahayakan dan merugikan konsumen. Selanjutnya Chandra

Dewi Puspitasari yang mengutip pendapat Professor David Harland dalam

pendapatnya mensinyalir bahwa kapasitas barang dan jasa dapat merugikan

atau membunuh konsumen yang disebabkan hanya karena adanya informasi

Page 17: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

yang kurang lengkap untuk membantu mereka mengenal, apakah barang dan

jasa itu telah memenuhi syarat keamanan. Kombinasi kemajuan metode

komunikasi massa dan teknik pemasaran yang semakin rumit mengakibatkan

konsumen menjadi lebih bertanggung jawab atas klaim yang menyesatkan,

yang mungkin dibuat oleh pelaku usaha (Chandra Dewi Puspitasari.

Peningkatan Kesadaran Hak - Hak Konsumen Produk Pangan Sebagai

Upaya Mewujudkan Kemandirian Konsumen Di Kabupaten Bantul.

http://eprints.uny.ac.id/4054/1/PERLINDUNGAN_KONSUMEN-DIPA.pdf).

Konsumen, khususnya konsumen produk pangan, seringkali menderita

kerugian akibat mengkonsumsi produk pangan tertentu.

Konsumen seringkali berada pada posisi yang kurang menguntungkan

dan lemah daya tawarnya. Salah satunya disebabkan karena mereka belum

memahami hak-hak mereka sebagai konsumen yang sebetulnya dilindungi

oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(UUPK). Disamping itu, dari sisi pelaku usaha pemahaman mengenai

kewajiban terhadap konsumen juga belum mencukupi. Ketika terjadi

permasalahan atau kerugian dari penggunaan suatu produk pangan tertentu,

umumnya konsumen dihadapkan pada kesulitan untuk mendapatkan

penyelesaian dari pelaku usaha, karena konsumen berada dalam posisi tawar

yang tidak seimbang (inequality of bargaining power). Terkadang jika

konsumen mengadukan permasalahannya kepada pelaku usaha juga tidak

mendapatkan penyelesaian yang memuaskan, hal tersebut membuat konsumen

sangat tidak berdaya. Konsumen hanya bisa pasrah terhadap kondisi yang

dialaminya, karena tidak mungkin dengan kekuatan konsumen seorang diri

bisa mengubah perilaku bisnis dari pelaku usaha.

Sebagai gambaran dapat diperhatikan jajanan anak sekolah, contohnya

pada pangan olahan tahu, bakso, mie basah, dan ikan. Sungguh menarik untuk

dikonsumsi berbagai aneka macam bentuk dan warna pangan yang dikemas

secara sederhana. Bermula dari upaya menekan biaya produksi, pelaku usaha

kecil menengah tidak jarang menggunakan alternatif bahan baku dari bahan

berbahaya dengan harga relatif murah. Bahkan dengan memanfaatkan

Page 18: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

keterbatasan informasi pada label dan rendahnya daya beli konsumen, terdapat

oknum pelaku usaha yang masih memperjualbelikan pangan substandar. Tentu

hal ini sangat meresahkan karena apabila dikonsumsi, pangan ini akan

mempunyai efek samping, baik secara langsung maupun dalam jangka

panjang, yang merugikan konsumen dari aspek keamanan, keselamatan,

kesehatan dan lingkungan (K3L) (BPKN. Konsumen Waspadailah Pangan

Berbahaya dan Substandar.

http://www.bpkn.go.id/adm/uploads/kajian/2429Kajian%20pangan.pdf).

Makanan jajanan anak merupakan sumber potensial yang mempunyai

nilai komoditas dan menunjang perekonomian dalam jalur informal karena

banyak jajanan anak yang dibuat dalam skala kecil sebagai industri rumahan

(home industry). Jajanan anak telah menjadi bagian dari keseharian anak.

Anak yang membeli dan/atau mengkonsumsi makanan jajanan merupakan

konsumen. Dalam kepustakaan ekonomi dikenal dengan istilah konsumen akhir

dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan/pemanfaatan akhir

dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang

menginginkan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk

lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) merupakan konsumen akhir

(Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen).

Konsumen harus mendapatkan perlindungan hukum sebagai konsumen.

Seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa “Perlindungan konsumen adalah

segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan kepada konsumen”.

Kesibukan orang tua zaman sekarang membawa dampak pada pola

konsumsi anak. Dahulu orang tua masih mempunyai waktu memberikan bekal

makanan dan minuman untuk anak-anak mereka, namun saat ini orang tua

cenderung lebih suka memberikan uang saku untuk jajan anak-anaknya karena

dianggap lebih praktis. Pada lain sisi sebagian besar anak sebenarnya belum

Page 19: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

mampu memilih jajanan yang sehat, bahkan anak-anak mudah terpengaruh oleh

iklan produk jajanan.

Anak adalah generasi penerus bangsa yang harus senantiasa dilindungi

sebagai bagian dari hak asasi manusia. Anak-anak Indonesia kini tengah

menghadapi bahaya serius yang seringkali tidak disadari oleh orang tua

mereka. Tidak jarang ketidaktahuan atau ketidakmampuan orang tua yang

mendekatkan anak pada bahaya peredaran makanan yang mengandung bahan

tambahan makanan berbahaya.

Banyaknya persaingan pasar yang memproduksi bahan pangan

menjadikan para pelaku usaha kurang memperhatikan mutu, keamanan, dan

kualitas barang yang diproduksi dan dipasarkan. Banyak produsen jajanan

anak yang tidak memperhatikan keamanan produknya. Mereka lebih

memikirkan keuntungan yang dihasilkan, yaitu dengan modal sekecil-kecilnya

tetapi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan

aspek keamanan dan keselamatan konsumen. Begitu juga dengan para

konsumen yang tidak terlalu memperhatikan mutu serta kualitas, para

konsumen cenderung hanya memperhatikan harga yang murah sehingga

banyak konsumen yang tidak memperoleh manfaat dari bahan pangan tersebut

secara maksimal.

Bahan kimia berbahaya yang tidak ditujukan untuk makanan justru

ditambahkan ke dalam makanan. Tidak jarang pelaku usaha juga

menggunakan bahan tambahan makanan yang dibatasi penggunaannya oleh

pemerintah secara berlebihan yang tentunya sangat membahayakan konsumen.

Hal ini terjadi karena banyak hal yang ingin dicapai, diantaranya pedagang

ingin makanannya menjadi awet, sementara ia tidak mempunyai pengetahuan

mengenai cara pengawetan makanan yang benar. Terkadang mungkin saja

pelaku usaha mengetahui bahwa suatu pengawet (misalnya formalin)

berbahaya untuk ditambahkan ke dalam makanan, tetapi tetap saja dilakukan

mengingat harganya sangat murah. Di samping itu juga disebabkan

ketidaktahuan konsumen terhadap berbagai jenis makanan berbahaya yang

ada. Terlebih lagi konsumen sulit membedakan ciri-ciri makanan yang

Page 20: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

mengandung bahan berbahaya sehingga bahan-bahan tersebut semakin sering

ditambahkan ke dalam makanan. Hal lain yang menyebabkan produsen

menambahkan bahan berbahaya adalah tingkah laku konsumen itu sendiri.

Sejumlah konsumen, khususnya konsumen anak menginginkan makanan

dengan warna yang mencolok sehingga produsen terdorong menambahkan

pewarna tekstil untuk mendapatkan warna yang diinginkan (Nurheti

Yuliarti,2007:8-9).

Penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) dalam proses produksi

pangan perlu diwaspadai bersama, baik produsen maupun konsumen. Dampak

penggunaannya dapat berakibat positif maupun negatif untuk masyarakat.

Penyimpangan dalam pemakaiannya akan membahayakan kita bersama,

khususnya generasi muda sebagai penerus bangsa (Wisnu Cahyadi,2006:250).

Jajanan-jajanan berbahaya ini sangat mudah didapatkan oleh anak-

anak, karena biasanya dijajakan di sekolah-sekolah, baik sekolah dasar (SD)

maupun sekolah menengah pertama (SMP), terutama di sekolah-sekolah yang

mayoritas siswanya berasal dari kalangan menengah ke bawah. Harga jajanan

anak berbahaya pun relatif jauh lebih murah dibandingkan dengan makanan

sejenis yang hanya menggunakan bahan-bahan yang aman.

Banyaknya pangan jajanan anak sekolah (PJAS) mengadung bahan

berbahaya tercermin dari hasil pengawasan Badan Pengawas Obat dan

Makanan (BPOM) sampai Oktober 2010. Dari 1.845 sampel yang diuji, 563

makanan yang dijajakan di lingkungan sekolah di sejumlah kota besar di

Indonesia terbukti tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Rinciannya, 48

sampel (13,15%) ditemukan masih mengandung zat formalin, 130 sampel

(35,62%) mengandung boraks, 49 (13,42%) bercampur dengan rhodamin b,

lima sampel mengandung methanil yellow, 11 sampel terdapat unsur benzoat

berlebih, 15 sampel mengandung sakarin berlebih, 107 sampel mengandung

siklamat. Selain itu, 191 sampel juga tidak memenuhi paramaeter uji cemaran

mikroba, seperti terdapat bakteri ecoli (Media Indonesia. Bahan Berbahaya

Ancam Tunas Bangsa.

http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=27

Page 21: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

836:bahan-berbahaya-ancam-tunas-bangsa&catid=16:cakrawala indonesia&

Itemid= 59).

Ketidakjelasan perlindungan terhadap konsumen anak ditunjukkan

dengan tingkat keracunan pangan di Indonesia yang cukup tinggi. Dari seluruh

kasus, sebagian besar menimpa kelompok usia anak-anak, baik saat di rumah

maupun di sekolah. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia mencatat,

pada tahun 2008, jumlah korban keracunan pangan Indonesia mencapai

25.268 orang, dengan 8.943 kasus. Sementara tahun 2009, jumlah korban

berkurang menjadi 7.815 orang dengan 3.239 kasus. Pada rentang waktu 2010

sampai dengan 2011, jumlah itu kembali meningkat dengan korban

didominasi kalangan anak-anak. Dari semua kasus tersebut, 56,52% terjadi di

tempat tinggal atau rumah, dan sekitar 26% terjadi di sekolah. Kasus

keracunan umumnya disebabkan produsen makanan mencampurkan bahan

kimia berbahaya seperti formalin, boraks, pewarna tekstil kedalam makanan

yang diproduksi, dan diperdagangkan (Harian Umum Tabengan.

Palangkaraya.http://media.hariantabengan.com/index/detailkesehatanberitaph

oto/id/12510).

Pada tahun 2011 juga terjadi rentetan kasus keracunan makanan yang

menimpa anak-anak. Bulan Juni 2011 ada dua kasus keracunan makanan yang

menimpa masyarakat Sragen, beberapa korban diantaranya kemungkinan

besar adalah anak-anak. Pada tanggal 4 Juli 2011 sebanyak 13 anak keracunan

sosis goreng. Selanjutnya tanggal 17 Juli 2011 sebanyak tujuh siswa

keracunan tempura dan empat diantaranya kritis (Shoim Sahriyati. Siapa

Melindungi Konsumen Anak?. http://harianjoglosemar.com/berita/siapa-

melindungi-konsumen-anak49291.html). Beberapa bulan terakhir juga ramai

diberitakan mengenai kasus keracunan es krim yang menimpa 47 siswa

Sekolah Dasar Lego Wetan, Kecamatan Bringin, Kabupaten Ngawi, Jawa

Timur. Es krim tersebut dibeli dari pedagang makanan dan minuman di luar

sekolah (Siwi Tri Puji. Jajan Es Krim Usai Upacara, 47 Siswa SD Keracunan.

http://www.republika.co.id).

Page 22: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

Kasus keracunan lain yang cukup mengkhawatirkan juga terjadi di

Medan, Sumatera Utara. Lembaga Advokasi Perlindungan Konsumen (LAPK)

Sumatera Utara menyatakan, dugaan keracunan jajanan di Kota Medan dan

sekitarnya yang tidak kunjung reda menerpa anak-anak mapun siswa/siswi

sekolah dasar (SD). Kasus keracunan jajanan tersebut sudah sangat

meresahkan para orang tua. Hal tersebut mengindikasikan keamanan jajanan

anak sudah mengkhawatirkan. Sampai saat ini tidak ada satupun kasus

keracunan menemui titik terang penyelesaian (Prawira Setiabudi. LAPK :

Jajanan Anak Memprihatinkan.

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=

183172:lapk-jajanan-anak- memprihatinkan&catid=14:medan&Itemid=27).

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan

penelitian yang tertuang dalam bentuk penulisan hukum dengan judul

“PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP

PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BMT) DALAM

JAJANAN ANAK (Suatu Telaah Perlindungan Terhadap Anak Sebagai

Konsumen)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan

sebelumnya, serta agar permasalahan yang diteliti menjadi lebih jelas dan

penulisan penelitian hukum mencapai tujuan yang diinginkan, maka

permasalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen (UUPK) telah mampu memberikan perlindungan hukum bagi

anak terhadap penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) dalam

jajanan anak?

2. Bagaimanakah tanggung jawab pelaku usaha terhadap penggunaan bahan

tambahan makanan (BTM) dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh

anak?

Page 23: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

C. Tujuan Penelitian

“Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan isu hukum

yang timbul” (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 41), berdasarkan hal tersebut

maka penelitian ini mempunyai tujuan obyektif dan tujuan subyektif sehingga

mampu mencari pemecahan isu hukum terkait. Adapun tujuan yang hendak

dicapai peneliti adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk memahami dan menganalisa perlindungan hukum yang

diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen (UUPK) bagi anak terhadap penggunaan

bahan tambahan makanan (BTM) dalam jajanan anak.

b. Untuk memahami dan menganalisa tanggung jawab pelaku usaha

terhadap penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) dalam produk

pangan yang dikonsumsi oleh anak.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah wawasan penulis dalam bidang Hukum Administrasi

Negara terutama yang berhubungan dengan perlindungan hukum bagi

anak terhadap penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) dalam

jajanan anak dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap penggunaan

bahan tambahan makanan (BTM) pada produk makanan yang

dikonsumsi anak.

b. Untuk melatih kemampuan penulis dalam menerapkan konsep-konsep

ataupun teori-teori hukum yang diperoleh penulis selama masa

perkuliahan dalam mendukung penulisan hukum ini.

D. Manfaat Penelitian

Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian hukum ini akan dapat

bermanfaat baik bagi penulis, orang lain dan juga bagi bidang ilmu yang

diteliti. Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Page 24: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu

pengetahuan dibidang hukum pada umumnya dan Hukum

Administrasi Negara pada khususnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan

literatur dalam dunia kepustakaan Hukum Administrasi Negara (HAN)

mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap penggunaan

bahan tambahan makanan (BTM) dalam jajanan anak (Suatu Telaah

Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Konsumen).

c. Hasil penelitian hukum ini dapat dipakai sebagai bahan untuk

mengadakan penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan

referensi bagi peneliti selanjutnya dalam rangka pengembangan ilmu

hukum terutama Hukum Administrasi Negara.

b. Penelitian hukum ini diharapkan dapat menjadi wahana bagi penulis

mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus

untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penulis dalam menerapkan

ilmu yang diperoleh.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006 :35).

Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang

timbul. Oleh karena itulah, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di

dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk

memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya atas isu yang diajukan

(Peter Mahmud Marzuki, 2006 :41).

Page 25: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

Berdasar uraian diatas maka untuk memperoleh hasil yang diharapkan

dalam penulisan hukum ini, metode penelitian yang digunakan adalah sebagai

berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum secara umum dapat dikategorikan menjadi

penelitian doktrinal dan penelitian non doktrinal. Dalam penelitian ini,

penulis menggunakan penelitian hukum doktrinal atau disebut juga

penelitian hukum yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan.

Penelitian doktrinal adalah suatu penelitian hukum yang bersifat

preskriptif bukan deskriptif sebagaimana ilmu sosial dan ilmu alam (Peter

Mahmud Marzuki, 2006 : 33).

2. Sifat Penelitian

Penelitian hukum ini bersifat preskriptif dan teknis atau terapan.

Sifat preskriptif disini dapat diartikan bahwa penelitian ini mempelajari

tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep

hukum, dan norma-norma hukum. Sedangkan sifat teknis atau terapan

menggambarkan bahwa penelitian ini menetapkan standar prosedur,

ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum

(Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 22). Sifat preskriptif dalam penelitian ini

tercermin ketika penulis mempelajari aturan-aturan hukum yang berlaku

terkait dengan perlindungan hukum bagi anak terhadap penggunaan bahan

tambahan makanan dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh anak.

3. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan

pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai

aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.

Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah

pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case

approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan

komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual

(conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2006 :93).

Page 26: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

Dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan pendekatan

perundang-undangan (statue approach). Pendekatan perundang-undangan

(statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan

regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peratuan perundang-undangan

yang berhubungan dengan tema sentral penelitian.

4. Jenis Bahan Hukum

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi

sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang

bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum

primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah

dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

Sedangkan bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan

komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,

2006: 141).

5. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan untuk menyusun penulisan hukum

ini dapat digolongkan sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer

1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan.

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen (UUPK).

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak.

4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

5) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan

Iklan Pangan.

Page 27: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

6) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan

dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.

7) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Kemanan,

Mutu dan Gizi Pangan.

8) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 239/Men.Kes/Per/V/85

Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya.

9) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988

tentang Bahan Tambahan Makanan Juncto Peraturan Menteri

Kesehatan RI Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang

Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan.

10) Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan obat dan Makanan

Departemen Kesehatan RI Nomor 00386/C/SK/II/90 tentang

Perubahan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

239/Men.Kes/Per/V/85 Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan

Sebagai Bahan Berbahaya.

11) Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI

Nomor HK.00.05.5.1.4547 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan

Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku referensi, jurnal-

jurnal hukum yang terkait, dan media massa yang mengulas tentang

perlindungan anak sebagai konsumen jajanan anak serta tanggung

jawab pelaku usaha terhadap penggunaan bahan tambahan makanan

(BTM) dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh anak.

6. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini teknik yang digunakan untuk mengumpulkan

bahan hukum yaitu:

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan sangat penting sebagai dasar teori maupun

sebagai data pendukung. Dalam studi kepustakaan ini peneliti

Page 28: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

mengkaji dan mempelajari buku-buku, arsip-arsip, dan dokumen

maupun peraturan-peraturan yang ada hubungannya dengan masalah

penelitian.

b. Cyber media

Pengumpulan data melalui internet dengan cara melalui e-mail

dan download berbagai artikel yang berkaitan dengan perlindungan

hukum bagi anak sebagai konsumen terhadap penggunaan bahan

tambahan makanan dalam jajanan anak dan tanggung jawab pelaku

usaha terhadap penggunaan bahan tambahan makanan dalam produk

pangan yang dikonsumsi oleh anak.

7. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis sumber hukum dengan

logika deduktif. Menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat

Philipus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogime

yang diajarkan oleh Aristoteles, bahwa penggunaan metode deduksi ini

berpangkal dari pengajuan premis mayor (aturan hukum) kemudian

diajukan premis minor (fakta hukum). Dari kedua hal tersebut kemudian

ditarik suatu kesimpulan atau conclusion. (Peter Mahmud

Marzuki,2006:47). Jadi dapat disimpulkan bahwa logika deduktif atau

pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif yaitu menjelaskan suatu

hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang

lebih khusus.

Mengingat penelitian ini adalah penelitian doktrinal maka

pengumpulan data utama yang ditempuh dengan melakukan penelitian

kepustakaan dan studi dokumen yang dilakukan dengan langkah-langkah

sebagai berikut :

a. Menginventarisasi dan mengkaji peraturan perundang-undangan yang

relevan dengan penulisan hukum ini.

b. Menginventarisasi dan mengkaji serta memilih secara selektif bahan-

bahan bacaan lainnya seperti buku-buku referensi, jurnal-jurnal hukum

Page 29: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

terkait, surat kabar, bulletin yang menunjang dan memperkaya

penulisan hukum ini.

Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber hukum

yang diolah, sehingga dapat menjawab pertanyaan tentang perlindungan

hukum UUPK bagi anak sebagai konsumen terhadap penggunaan bahan

tambahan makanan dalam jajanan anak dan tanggung jawab pelaku usaha

terhadap penggunaan bahan tambahan makanan dalam produk pangan

yang dikonsumsi anak.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan,

penganalisaan, serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun

sistematika penulisan hukum ini sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang latar

belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan

hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka

teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis akan

menguraikan tinjauan umum. Sedangkan dalam kerangka

pemikiran disajikan dalam bentuk bagan, kemudian diikuti

dengan deskripsi atas bagan kerangka pemikiran.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab

permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya yaitu

perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)

bagi anak terhadap penggunaan bahan tambahan makanan dalam

jajanan anak dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap

Page 30: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

penggunaan bahan tambahan makanan dalam produk pangan

yang dikonsumsi oleh anak.

BAB IV : PENUTUP

Penutup adalah bagian akhir dari penulisan hukum ini yang

menguraikan secara singkat tentang kesimpulan akhir dari

pembahasan dan jawaban atas rumusan permasalahan, dan

diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas hasil

penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 31: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen

a. Pengertian Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(UUPK) yaitu “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan

kepada konsumen”.

Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan

tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya

demi untuk kepentingan perlindungan konsumen (Ahmadi Miru

dan Sutarman Yodo,2004:1).

Piranti hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan

untuk mematikan pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan

konsumen mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong

lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan

melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.

Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi

perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari

tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-

akibat dari pemakaian barang dan jasa tersebut.

Perlindungan hukum kepada konsumen merupakan hal yang

semakin penting disebabkan antara lain faktor-faktor (Erman

Rajagukguk, dkk,2000:93) :

1) kedudukan konsumen yang relatif lemah dibandingkan produsen;

2) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai motor

penggerak produktivitas dan efisiensi produsen dalam

menghasilkan barang jasa; dan

Page 32: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

3) perubahan konsep pemasaran yang mengarah pada pelanggan

dalam konteks lingkungan eksternal yang lebih luas pada situasi

ekonomi global.

Perspektif hukum perlindungan konsumen dikembangkan tidak

saja atas dasar hak-hak konsumen, tetapi juga dasar tanggung jawab

produsen terhadap produk yang dihasilkan (product liability) yang

keduanya bermuara pada penerapan etika bisnis yang universal (Erman

Rajagukguk, dkk,2000:93-94). Pengaturan perlindungan konsumen

dilakukan dengan (Erman Rajagukguk,dkk,2000:7) :

1) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung

unsur keterbukaan akses informasi, serta menjamin kepastian

hukum;

2) melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan

kepentingan seluruh pelaku usaha;

3) meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;

4) memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha

yang menipu dan menyesatkan; dan

5) memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan

perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan

pada bidang-bidang lain.

b. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Ketentuan Pasal 2 UUPK menyebutkan ada lima asas

perlindungan konsumen :

1) Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala

upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus

memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen

dan pelaku usaha secara keseluruhan. Perlindungan konsumen

tidak dimaksudkan untuk mematikan pelaku usaha, namun untuk

mendorong iklim usaha yang sehat, tangguh, dan produk

berkualitas.

2) Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan

melaksanakan kewajibannya secara adil.

Page 33: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

3) Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan

keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan

pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada

konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang

dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Konsumsi terhadap

suatu produk tidak menyebabkan gangguan bagi kesehatan (fisik

dan mental).

5) Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha

maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan

dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara

menjamin kepastian hukum.

Melalui kelima asas perlindungan konsumen tersebut di atas,

terdapat komitmen UUPK untuk mewujudkan tujuan perlindungan

konsumen sebagaimana termuat dalam Pasal 3 UUPK sebagai berikut:

1) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian

konsumen untuk melindungi diri;

2) mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkan dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau

jasa;

3) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,

menentukan, menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang

mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan

informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggungjawab dalam berusaha; dan

6) meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

2. Tinjauan Umum tentang Konsumen dan Pelaku Usaha

a. Istilah dan Pengertian Konsumen

Menurut Celina Tri Siwi K. yang mengutip pendapat

AZ.Nasution, istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata

Page 34: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda).

Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi

mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari

produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Begitu pula kamus

besar inggris-indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai

atau konsumen (Celina Tri Siwi K, 2008 : 22).

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah

konsumen sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada UUPK.

Pengertian konsumen menurut UUPK dalam Pasal 1 ayat (2) yakni

”Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga,

orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan”.

Unsur-unsur definisi konsumen (Shidarta, 2004 : 5-9) :

1). Setiap Orang;

2). Pemakai;

3). Barang dan/atau jasa;

4). Yang tersedia dalam masyarakat;

5). Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup

lain; dan

6). Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan.

Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni

hanya konsumen akhir. Penjelasan Pasal 2 UUPK menyebutkan

bahwa:

Dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir

dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau

pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara

adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai

bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian

konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.

Pengertian konsumen dalam penjelasan UUPK adalah

konsumen akhir bukan konsumen antara (intermediate consumers)

Page 35: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

sebagaimana terdapat dalam kepustakaan ekonomi. Konsumen akhir

adalah pengguna atau pemanfaat akhir barang dari suatu produk,

sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan

suatu produk sebagai bagian dari proses produksi lain. Para ahli hukum

pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah pemakai terakhir

dari benda dan jasa (Uiteindelijke gebruiker van goerderen en

diensten) (Badan Pembinaan Hukum Nasional,1986:57).

Ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi

hanya dengan menampungnya dalam satu jenis undang-undang, seperti

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Hukum

perlindungan konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi dengan

berbagai bidang dan cabang hukum lain, karena pada setiap bidang dan

cabang hukum senantiasa terdapat pihak yang berpredikat konsumen.

Sidharta yang mengutip tulisan Edmond Cahn dalam Law in the

Consumer Perspective menjelaskan bahwa disadari atau tidak, setiap

manusia adalah konsumen. Dalam perspektif yang lebih luas, bahkan

ada anggapan bahwa kita adalah konsumen dari produk politik yang

disebut hukum (Sidharta, 2004:1).

Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban

produk cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, tetapi juga korban

bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai

memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai (Ahmadi Miru

dan Sutarman Yodo,2004:7).

b. Hak dan Kewajiban Konsumen

Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan

hukum. Dalam perlindungan hukum mengandung aspek hukum.

Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar

fisik, melainkan termasuk hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan

kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan

perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen

(Celina Tri Siwi K,2008:30). Langkah untuk meningkatkan martabat

Page 36: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

dan kesadaran konsumen harus diawali dengan upaya untuk

memahami hak-hak konsumen, yaitu dapat dijadikan sebagai landasan

perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut.

Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo yang mengutip

pendapat Meriam Darus Badrulzaman disebutkan bahwa Masyarakat

Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) menyepakati

lima hak dasar konsumen, sebagai berikut (Ahmadi Miru dan

Sutarman Yodo,2004: 39-40) :

1) hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op

bescherming van zijn gezendheid);

2) hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming

van zijn economiche belangen);

3) hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding);

4) hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming);

5) hak untuk didengar (recht om te worden gehord).

Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen

sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat

J.F Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu

terdiri atas (Shidarta,2004:19-20) :

1) hak untuk mendapat keamanan (the right to safety);

2) hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);

3) hak untuk memilih (the right to choose);

4) hak untuk didengar (the right to be heard).

Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Empat hak ini

mengacu kepada President Kennedy`s 1962 Consumer`s Bill of Right.

Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang

tergabung dalam The International Organization of Consumers Union

(UOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan

pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-

hak tersebut. Mereka bebas untuk menerima semua atau sebagian.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), misalnya,

Page 37: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

memutuskan untuk menambahkan satu hak lagi sebagai pelengkap

empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup

yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca

hak konsumen. Dalam UUPK, empat hak dasar yang dikemukakan

oleh John F.Kennedy tersebut juga diakomodasikan.

Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UUPK

adalah sebagai berikut :

1) hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

2) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan

barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan

kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang

dan/atau jasa yang digunakan;

5) hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7) hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur

secara tidak diskriminatif;

8) hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak

sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan

9) hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan

lainnya.

Di samping hak-hak dalam Pasal 4, juga terdapat hak-hak

konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya

dalam Pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha.

Kewajiban dan hak merupakan anatomi dalam hukum, sehingga

kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.

Memperhatikan hak-hak yang disebut di sebutkan di atas, maka

secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 (sepuluh) macam hak

konsumen, yaitu sebagai berikut (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,

2004,40-47):

1) Hak atas keamanan dan keselamatan

Page 38: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk

menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam

penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga

konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis)

apabila mengkonsumsi suatu produk.

2) Hak untuk memperoleh informasi

Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar

konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu

produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat

memilih produk yang diinginkan/sesuai kebutuhannya serta

terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan

produk. Informasi dapat disampaikan baik secara lisan, maupun

secara tertulis, baik yang dilakukan dengan mencantumkan label

yang melekat pada kemasan produk, maupun melalui iklan-iklan

yang disampaikan oleh produsen, baik melalui media cetak

maupun media elektronik.

3) Hak untuk memilih

Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan

kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai

kebutuhannya tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak

untuk memilih ini konsumen berhak memutuskan untuk membeli

atau tidak terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk

memilih kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya.

4) Hak untuk didengar

Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak

dirugikan lebih lanjut, atau hak menghindarkan diri dari kerugian.

Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang

berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang

diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa

pengaduan atas adanya kerugian yang dialami akibat penggunaan

suatu produk, atau yang berupa pertanyaan /pendapat tentang suatu

Page 39: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan

konsumen.Hak ini dapat disampaikan baik secara perseorangan,

maupun secara kolektif, baik yang disampaikan secara langsung

maupun yang diwakili oleh suatu lembaga tertentu.

5) Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup

Hak ini merupakan hak yang sangat mendasar, karena menyangkut

hak untuk hidup. Setiap orang (konsumen) berhak untuk

memperoleh kebutuhan dasar (barang dan jasa) untuk

mempertahankan hidupnya (secara layak).

6) Hak untuk memperoleh ganti kerugian

Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan

keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya

penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan

konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang

telah merugikan konsumen baik berupa kerugian materi, maupun

kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian)

konsumen.

7) Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen

Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan

agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan

yang diperlukan agar dapat terhidar dari kerugian akibat

penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut,

konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih

suatu produk yang dibutuhkan.

8) Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat

Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi

setiap konsumen dan lingkungan.

9) Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang

diberikannya

Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian

akibat permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan

Page 40: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu barang yang

jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas

barang atau jasa yang diperolehnya.

10) Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut

Hak ini dimaksudkan untuk memilihkan keadaan konsumen yang

telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur

hukum.

Disamping memperoleh hak-hak tersebut di atas, UUPK juga

mencantukan kewajiban yang dibebankan kepada konsumen pada

Pasal 5, yaitu berupa kewajiban untuk :

1) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

pemakaian atau pemanfaatan barang dan/ atau jasa, demi

keamanan dan keselamatan;

2) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang

dan/ atau jasa;

3) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; dan

4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

Pengaturan mengenai hak dan kewajiban konsumen dalam

UUPK dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh hasil yang

optimal dan jaminan kepastian hukum.

c. Pengertian Pelaku Usaha

Pengertian pelaku usaha secara eksplisit dijelaskan dalam

UUPK. Pasal 1 angka 3 UUPK menyebutkan bahwa :

Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha,

baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan

hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan

kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik

sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang

ekonomi.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 1 angka 3 UUPK

disebutkan bahwa yang termasuk pelaku usaha adalah perusahaan,

korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, importer,

pedagang, distributor, dan lain-lain.

Page 41: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo yang mengutip

pendapat Johannes Gunawan, pengertian pelaku usaha yang

dimaksudkan dalam Pasal 1 angka 3 UUPK memiliki cakupan yang

cukup luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan

sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam Undang-

Undang Perlindungan Konsumen tersebut memiliki persamaan dengan

pengertian pelaku usaha dalam Masyarakat Eropa terutama Belanda,

bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah pembuat

produk jadi (finished product); penghasil bahan baku; pembuat suku

cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen,

dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau

tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk

tertentu; importer suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan,

disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam

transaksi perdagangan; pemasok (supplier), dalam hal identitas dari

produsen atau importer tidak dapat ditemukan (Ahmadi Miru dan

Sutarman Yodo,2004:8-9).

Menurut Celina Tri Siwi Kristiyanti yang mengutip makalah

Agus Brotosusilo yang berjudul “Aspek-aspek Perlindungan Terhadap

Konsumen Dalam Sistem Hukum di Indonesia” menjelaskan bahwa

berdasarkan Directive, pengertian produsen meliputi (Celina Tri Siwi

K,2008:41-42) :

1) Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang

manufaktur. Mereka ini bertanggung jawab atas segala

kerugian yang timbul dari barang yang mereka edarkan ke

masyarakat termasuk bila kerugian timbul akibat cacatnya

barang yang merupakan komponen dalam proses produksinya;

2) Produsen bahan mentah;

3) Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek ataupun

tanda-tanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai

produsen dari suatu barang;

4) Setiap orang yang mengimpor suatu produk ke dalam

lingkungan Economic Community, apakah untuk dijual,

disewakan, dikontrakkan, atau bentuk distribusi lain di dalam

Page 42: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

perdagangan bisnisnya dianggap sebagai produsen dan harus

bertanggung jawab sebagai produsen.

Dari kedua peraturan tersebut dapat dilihat perbedaan batasan-

batasan tentang produsen. Dalam Directive, sudah jelas diatur siapa

saja yang dikategorikan sebagai produsen. Sementara dalam UUPK

definisi pelaku usaha didefinisikan secara luas.

d. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Hak-hak produsen dapat ditemukan antara lain pada faktor-

faktor yang membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian

yang diderita oleh konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat

pada produk, yaitu apabila (Celina Tri Siwi K,2008:42) :

1) produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan;

2) cacat timbul dikemudian hari;

3) cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen;

4) barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan

produksi;

5) cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh

penguasa.

Dalam Pasal 6 UUPK, produsen disebut sebagai pelaku usaha

yang mempunyai hak sebagai berikut :

1) hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan

kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau

jasa yang diperdagangkan;

2) hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan

konsumen yang beritikad tidak baik;

3) hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum

bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang

dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan lainnya.

Adapun dalam Pasal 7 UUPK diatur kewajiban pelaku

usaha, sebagai berikut :

1) beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha, yang meliputi

semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya;

Page 43: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

2) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi

penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan

jujur serta tidak diskriminatif;

4) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang

dan/atau jasa yang berlaku;

5) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,

dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi

jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau

yang diperdagangkan;

6) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas

kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan

barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila

barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak

sesuai dengan perjanjian.

e. Tanggung jawab pelaku usaha

Tanggung jawab terdiri dari kata tanggung dan jawab, yang

kemudian terbentuk beberapa kata seperti bertanggungjawab,

mempertanggung jawabkan, penanggung jawab dan pertanggung

jawaban. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata tanggung jawab

berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi

sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya)

(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1988:899). Selanjutnya dari

kata tanggung jawab tersebut diturunkan kata-kata sebagai berikut

(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1988:901) :

1) Bertanggung jawab berarti kewajiban memegang, memikul

tanggung jawab;

2) Mempertanggung jawabkan berarti memberi jawab dan

menanggung segala akibatnya kalau ada kesalahan.

Tanggung jawab pelaku usaha meliputi tanggung jawab produk

(product liability) dan tanggung jawab professional (professional

liability).

Page 44: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

1) Tanggung jawab produk (Product Liability)

Istilah product liability diterjemahkan secara bervariasi ke

dalam bahasa Indonesia seperti tanggung gugat produk atau juga

tanggung jawab produk. Pengertian product liability menurut

Henry Cambell dalam Black Law Dictionary mendefinisikan

product liability sebagai berikut (Celina Tri Siwi K,2008,100-101):

“Refers to legal liability of manufactures and sellers to

compensate buyer, users, and even bystanders, for damages or

injuries sufferd because of defect in good purchase”.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan product liability adalah

suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang

menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari

orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk

menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau dari orang

atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor)

produk tersebut (Erman Rajagukguk,dkk,2000:46).

Dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat

dilakukan atas landasan adanya (Shidarta,2004:81) :

a) pelanggaran jaminan (breach of warranty);

b) kelalaian (negligence);

c) tanggung jawab mutlak (strict liability).

2) Tanggung jawab professional (Professional Lliability)

Tanggung jawab professional berhubungan dengan jasa.

Menurut Komar Kantaatmadja, tanggung jawab profesional adalah

tanggung jawab hukum (legal liability) dalam hubungan dengan

jasa professional yang diberikan kepada klien (Shidarta,2004:82).

Sumber persoalan dalam tanggung jawab professional ini

dapat timbul karena mereka (para penyedia jasa professional) tidak

memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka

atau akibat kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan

terjadinya perbuatan melawan hukum. Jenis jasa yang diberikan

Page 45: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

ada dua, yaitu jasa yang diperjanjikan menghasilkan sesuatu

(resultaat verbintenis) dan jasa yang diperjanjikan mengupayakan

sesuatu (inspanningsverbintenis)(Shidarta,2004:82-83).

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat

penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus

pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam

menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh

tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.

Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-

undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap

memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang

dipikul oleh pelanggar hak konsumen(Siharta,2004 : 72).

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum

dapat dibedakan sebagai berikut (Shidarta,2004: 73-84) :

1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability

based on fault).

2) Praduga selalu bertanggung jawab (presumption liability).

3) Praduga tidak selalu bertanggungjawab (presumption of

nonliability).

4) Tanggung jawab mutlak (strict liability).

3. Tinjauan Umum Tentang Bahan Tambahan Makanan (BTM)

a. Pengertian Bahan Tambahan Makanan (BTM)

Menurut Indra Chahaya S. yang mengutip pendapat Puspita

menyebutkan bahwa bahan tambahan makanan (BTM) atau food

additives adalah senyawa (atau campuran berbagai senyawa) yang

sengaja ditambahkan ke dalam makanan dan terlibat dalam proses

pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan dan bukan merupakan

bahan (ingredient) utama (Indra Chahaya S,2003: 39).

FAO dan WHO dalam kongresnya di Roma pada tahun 1956

menetapkan definisi food additive adalah bahan-bahan yang

ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah sedikit

Page 46: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

yaitu untuk memperbaiki warna, bentuk, cita rasa, tekstur, atau

memperpanjang masa simpan. Food additive yang digunakan harus

mempunyai sifat-sifat antara lain dapat mempertahankan nilai gizi

makanan tersebut, tidak mengurangi zat-zat esensial di dalam

makanan, dapat mempertahankan atau memperbaiki mutu makanan,

dan menarik bagi konsumen tetapi tidak merupakan suatu penipuan

(F.G.Winarno,dkk,1980:66).

Menurut Lia Daniaty yang mengutip pendapat Khomsan

menjelaskan bahwa keberadaan bahan tambahan makanan adalah

untuk membuat makanan tampak lebih berkualitas, lebih menarik,

serta rasa dan teksturnya lebih sempurna. Zat-zat itu ditambahkan

dalam jumlah sedikit, namun hasilnya sungguh menakjubkan (Lia

Daniaty,2009:9).

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan

menggunakan istilah bahan tambahan pangan (BTP) untuk menjelaskan

pengertian bahan tambahan makanan (BTM). Menurut penjelasan Pasal

10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dijelaskan

bahwa yang dimaksud dengan “Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah

bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau

bentuk pangan, antara lain, bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti

gumpal, pemucat, dan pengental”.

Pengertian mengenai bahan tambahan pangan juga terdapat dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu

dan Gizi Pangan. Dalam Pasal 1 angka 18 Peraturan Pemerintah Nomor

28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan disebutkan

bahwa “bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke

dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan”.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, yang

dimaksud dengan bahan tambahan makanan adalah :

Bahan tambahan makanan adalah bahan yang biasanya tidak

digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan

Page 47: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

ingredien khas makanan, rnempunyai atau tidak mempunyai

nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan

untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada

pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan,

pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk

menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau

tidak langsung) suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas

makanan tersebut.

b. Pengggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM)

Sejak pertengahan abad ke-20 ini, peranan bahan tambahan

pangan (BTP) khususnya pengawet menjadi semakin penting sejalan

dengan kemajuan teknologi produksi bahan tambahan pangan sintetis.

Food additives and preservatives have been used for thousands of

years. In industrialized nations, the last 50 years have seen a

significant increase in the number of preservatives and additives

introduced to foods before they go to market. The growth in the use

of food additives has increased enormously in the past 30 years,

totaling now over 200,000 tonnes per year. Food additives are

substances added to food in order to preserve its flavour or

improve its taste and appearance. Some of them have been used for

centuries, e.g. in preserving food by pickling with vinegar, salting

meat or fish, adding sugar, or using sulphur dioxide in wines.

Lately many new additives of both natural and artificial origin

have been introduced to food (Barbara Wróblewska, 2009:287).

Dalam proses produksi pangan, seringkali pengusaha

menggunakan bahan tambahan pangan untuk mempengaruhi sifat atau

bentuk makanan. Penggunaan bahan tambahan makanan diatur dalam

Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 28

Tahun 2004, yakni setiap orang yang memproduksi makanan untuk

diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan

tambahan pangan yang dinyatakan terlarang, dan wajib menggunakan

bahan tambahan pangan yang diizinkan. Bahan yang digunakan

sebagai bahan tambahan pangan, tetapi belum diketahui dampaknya

bagi kesehatan manusia, wajib diperiksa keamanannya terlebih dahulu,

dan dapat digunakan dalam kegiatan atau proses produksi makanan

untuk diedarkan, setelah memperoleh persetujuan Badan Pengawas

Page 48: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

Obat dan Makanan (BPOM) (Cahyo Saparinto dan Diana

Hidayati,2006:58).

Bahan tambahan makanan ditambahkan untuk memperbaiki

karakter pangan agar kualitasnya meningkat. Bahan tambahan makanan

(BTM) yang ditambahkan adalah untuk membantu teknologi

pengolahan pangan. Penggunaan bahan tambahan makanan sebetulnya

sudah digunakan sejak lama oleh nenek moyang kita. Pada awalnya

bahan tambahan makanan yang digunakan oleh masyarakat merupakan

bahan tambahan makanan alami yaitu diekstrak langsung dari bahan

hasil pertanian, seperti bahan pewarna hijau yang berasal dari daun

suji atau daun pandan, bahan pewarna kuning dari kunyit, bahan

pengawet menggunakan garam dan asap, dan lain sebagainya.

Food additives are used in or on food (at any stage) to affect the

keeping quality, texture, consistency, taste, odour, alkalinity or

acidity, or to serve any other technological function in relation to

food (Labelling in Food Regulations, 1984). In other words, they

make a food look, taste or smell better or improve its texture or

keeping qualities. Some of these miscellaneous substances prevent

the deterioration of food or its contamination with bacteria or

fungi. Others, such as colouring agents, could be omitted without

difficulty. The claim that all additives are harmful and unnecessary

is not, however, tenable (M H Lessof, 1992:518).

Tujuan penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) secara

umum adalah untuk (Cahyo Saparinto dan Diana Hidayati,2006 :10) :

1) meningkatkan nilai gizi makanan,

2) memperbaiki nilai sensori makanan,

3) memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan.

4) selain tujuan-tujuan tersebut, bahan tambahan makanan sering

digunakan untuk memproduksi makanan untuk kelompok

konsumen khusus, seperti penderita diabetes, pasien yang baru

mengalami operasi, orang-orang yang menjalankan diet rendah

kalori atau rendah lemak, dan sebagainya.

Pengggunaan bahan tambahan makanan dibenarkan apabila

(Cahyo Saparinto dan Diana Hidayati,2006 :10) :

Page 49: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

1) dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan;

2) tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang

salah atau tidak memenuhi persyaratan;

3) tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang

bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk makanan, dan;

4) tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan makanan.

Menurut Barbara Wróblewska dalam tulisannya yang berjudul

Influence of food additives and contaminants (nickel and chromium)

on hypersensitivity and other adverse health reactions,

mengungkapkan bahwa :

The application of some of the additives to food is open to

debates and disagreements whether they should be allowed at

all. Moreover, many claim that certain substances may be the

cause of different health disturbances such as allergies,

migraines, hyperactivity in children, and several other adverse

reactions. The exact mechanism of the influence of food

additives on health has not been fully recognized yet (Barbara

Wróblewska, 2009:287).

Penggunaan bahan tambahan makanan harus dapat menjaga

produk tersebut dari hal-hal yang merugikan konsumen. Oleh karena

itu penggunaan bahan tambahan makanan tidak diperkenankan

apabila:

1) menutupi adanya teknik pengolahan dan penanganan yang salah;

2) menipu konsumen;

3) menyebabkan penurunan nilai gizi;

4) pengaruh yang dikehendaki bisa diperoleh dengan pengolahan

secara lebih baik dan ekonomis.

c. Jenis dan Pengelompokan Bahan Tambahan Makanan (BTM)

Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi

dua golongan besar, yaitu sebagai berikut (Wisnu Cahyadi,2006:1-2) :

1) Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke

dalam makanan, dengan mengetaui komposisi bahan tersebut dan

Page 50: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita

rasa, dan membantu pengolahan.

2) Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu

bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut,

terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup

jumlah banyak akibat proses produksi, pengolahan, dan

pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residu atau

kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan

produksi bahan mentah atau penggunaannya yang masih terus

terbawa ke dalam makanan yang akan dikonsumsi.

Apabila dilihat dari asalnya, bahan tambahan pangan dapat

berasal dari sumber alamiah seperti letisin, asam sitrat, dan lain

sebagainya. Bahan ini juga dapat disintetis dari bahan kimia yang

mempunyai sifat serupa dengan bahan alamiah sejenis, baik susunan

kimia maupun sifat metabolismenya, misalnya beta-karoten dan asam

askornat. Pada umumnya bahan sintetis mempunyai kelebihan, yaitu

lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah, tetapi ada pula

kelemahannya yaitu sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga

mengandung zat-zat berbahaya bagi kesehatan, kadang-kadang bersifat

karsinogenetik yang dapat merangsang terjadinya kanker pada hewan

atau manusia. Penggunaan bahan tambahan pangan sebaiknya dengan

dosis di bawah ambang batas yang ditentukan. Jenis bahan tambahan

pangan (BTP) ada 2 (dua) yaitu GRAS (Generally Recognized as

Safe), zat ini aman dan tidak berefek toksik misalnya gula (glukosa).

Sedangkan jenis lainnya ADI (Acceptable Daily Intake), jenis ini

selalu ditetapkan batas penggunaan hariannya (daily intake) demi

menjaga/melindungi kesehatan konsumen(Wisnu Cahyadi, 2006:2).

Bahan tambahan makanan dikelompokkan berdasarkan tujuan

penggunaannya di dalam makanan. Menurut ketentuan yang

ditetapkan, ada beberapa kategori bahan tambahan makanan. Pertama,

bahan tambahan makanan yang bersifat aman, dengan dosis yang tidak

Page 51: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

dibatasi. Kedua, bahan tambahan makanan yang digunakan dengan

dosis tertentu, dan dengan demikian dosis maksimum penggunaanya

juga telah ditetapkan. Ketiga, bahan tambahan makanan yang aman

dalam dosis yang yang tepat, serta telah mendapatkan izin beredar dari

instansi yang berwenang( Nurheti Yuliarti,2007:7).

Pengelompokan bahan tambahan makanan yang diizinkan

digunakan pada makanan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI

Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan

antara lain adalah :

1) Antioksidan (Antioxidant),

2) Antikempal (Anticaking Agent),

3) Pengatur Keasaman (Acidity Regulator),

4) Pemanis Buatan (Artificial Sweetener),

5) Pemutih dan Pematang Tepung (Flafour Treatment Agent),

6) Pengemulsi, Pemantap, Pengental (Emulsifier, Stabilizer,

Thickener),

7) Pengawet (Preservative),

8) Pengeras (Firming Agent),

9) Pewarna (Colour),

10) Penyedap Rasa dan Aroma, Penguat Rasa (Flavour, Flavour

Enhancer),

11) Sekuestran (Sequestrant).

Bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan,

menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor :

1168/Menkes/Per/X/1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri

Kesehatan No. 722/Menkes/ Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan

Makanan, antara lain :

1) Asam Borat (Boric Acid) dan senyawanya,

2) Asam Salisilat dan garamnya (Salicylic Acid and its salt),

3) Dietilpirokarbonat (Diethylpirocarbonate DEPC),

4) Dulsin (Dulcin),

Page 52: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

5) Kalium Klorat (Potassium Chlorate),

6) Kloramfenikol (Chloramphenicol),

7) Minyak Nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils),

8) Nitrofurazon (Nitrofurazone),

9) Formalin (Formaldehyde),

10) Kalium Bromat (Potassium Bromate).

4. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Anak

a. Pengertian Anak

Ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, memberikan batas pengertian anak dalam Pasal 1

angka 1 adalah sebagai berikut : “Anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan”.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak secara

umum agar anak menjadi penerus bangsa yang berkualitas, sehingga

harus dijamin agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Untuk menjamin kesejahteraan anak maka perlu adanya perlindungan

terhadap anak secara hukum.

b. Perlindungan Anak

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

yang dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai

manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan

bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Hak asasi anak

dilindungi di dalam Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia yang menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dari sisi kehidupan

Page 53: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi

penerus cita-cita bangsa.

Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk

menjaga dan memelihara hak asasi anak sesuai dengan kewajiban yang

dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka

penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah

bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak,

terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara

optimal dan terarah (Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak).

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa

“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat

dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”.

Tujuan diadakannya pengaturan mengenai perlindungan

terhadap anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar

dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak

Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan

berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak yang

meliputi non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak

untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, serta

penghargaan terhadap pendapat anak. Hal yang mengatur tentang anak

termasuk juga tentang hak-hak yang dimiliki oleh anak telah di atur

oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Page 54: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

Anak. Pasal 1 angka 12 yang menyebutkan bahwa “hak anak adalah

bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan

dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan

negara”.

Hak-hak anak diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak disebutkan bahwa ” Setiap anak berhak untuk

dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Tanggung jawab penyelenggaraan perlindungan anak berada

pada negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua. Negara

dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati

dan menjamin hak asasi setiap anak. Salah satu kewajiban orang tua

yang diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak adalah memelihara, mendidik dan

melindungi anak. Selanjutnya masyarakat juga diberi kesempatan

untuk berperan dalam perlindungan anak yang dapat dilakukan baik

oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial

masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat,

lembaga keagamaan, badan usaha maupun media massa.

Ditinjau secara garis besar maka dapat disebutkan bahwa

perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua pengertian yaitu (Irma

Setyowati S,1990 :13) :

1) Perlindungan yang bersifat yuridis, yang meliputi perlindungan

dalam :

a) bidang hukum publik;

b) bidang hukum keperdataan.

2) Perlindungan yang bersifat non yuridis, meliputi :

a) bidang sosial;

Page 55: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

b) bidang kesehatan;

c) bidang pendidikan.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan

perlindungan anak yang efektif, rasional positif, bertanggungjawab

dan bermanfaat adalah sebagai berikut (Shanty Dellyana,1988:19-

20):

1) para partisipan harus mempunyai pengertian-pengertian yang

tepat;

2) harus dilakukan bersama;

3) kerjasama dan koordinasi;

4) perlu diteliti masalah yang dapat merupakan faktor kriminogen

atau faktor victimogen;

5) mengutamakan perspektif yang dilindungi dan bukan perspektif

yang melindungi;

6) perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan /dinyatakan

dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan

bermasyarakat;

7) pihak anak harus diberikan kemampuan dan kesempatan untuk

ikut serta melindungi diri sendiri;

8) harus mempunyai dasar-dasar filosofis, etis dan yuridis;

9) tidan boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi;

10) harus didasarkan atas pengembangan hak dan kewajiban

asasinya.

Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan

nasional. Melindungi anak adalah melindungi manusia, adalah

membangun manusia seutuhnya. Hakekat pembangunan nasional

adalah pembangunan manusia seutuhnya. Anak berhak memperoleh

perlindungan, yang berarti bahwa semua anak harus dijamin dan

dilindungi hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan

berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.

Pengertian di atas dapat diartikan bahwa dalam segala situasi

anak-anak harus dipastikan memperoleh hak-haknya agar bisa tumbuh

dan berkembang secara optimal. Termasuk dalam kaitannya dengan

posisi anak sebagai konsumen.

Page 56: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

Anak-anak memiliki hak-hak yang harus dilindungi untuk bisa

mencapai kualitas hidup yang optimal. Merujuk dari pengertian

konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen diartikan bahwa setiap orang pemakai barang

dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan

diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak

untuk diperdagangkan. Menurut pengertian ini, anak juga bisa

diartikan sebagai konsumen karena anak juga banyak menggunakan

barang dan jasa.

Page 57: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

B. Kerangka Pemikiran

Skema. 1

Perlindungan Bagi Anak Sebagai

Konsumen Terhadap Penggunaan

Bahan Tambahan Makanan

(BTM) dalam Jajanan Anak.

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

5. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999

6. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001

7. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004

8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 239/Men.Kes/Per/V/85

9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

722/Menkes/Per/IX/1988 juncto Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1168/MENKES/PER/X/1998

10. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan obat dan

Makanan Departemen Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 00386/C/SK/II/90

11. Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan

Makanan Republik Indonesia Nomor

HK.00.05.5.1.4547

1. Perlindungan yang diberikan oleh Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen bagi anak terhadap

penggunaan bahan tambahan makanan dalam

jajanan anak.

2. Tanggung jawab pelaku usaha terhadap

penggunaan bahan tambahan makanan dalam

produk makanan yang dikonsumsi oleh anak.

1. Mampu atau tidaknya Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(UUPK) memberikan perlindungan hukum bagi

anak terhadap penggunaan BTM dalam jajanan

ana.

2. Terpenuhi atau tidaknya tanggung jawab pelaku

usaha dalam menjamin keamanan pangan dan

pemberian informasi yang jelas dalam penggunaan

BTM dalam produk pangan yang dikonsumsi anak.

Page 58: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

Keterangan :

Kerangka pemikiran diatas merupakan alur pemikiran penulis dalam

mengangkat, menggambarkan, menelaah, menjabarkan serta menemukan jawaban

atas permasalahan hukum yang penulis angkat dalam penelitian hukum ini yaitu

perlindungan bagi anak sebagai konsumen terhadap penggunaan bahan tambahan

makanan (BTM) dalam jajanan anak. Dalam penulisan hukum ini anak

ditempatkan sebagai konsumen yang berhak atas kenyamanan, keamanan, dan

keselamatan dalam mengkonsumsi produk makanan jajanan.

Pada dasarnya undang-undang perlindungan anak telah memberikan

perlindungan bagi anak dengan baik, namun ada salah satu aspek mengenai anak

yang juga harus terlindungi namun tidak terdapat dalam undang-undang

perlindungan anak. Aspek tersebut adalah anak sebagai konsumen. Ketidaktahuan

anak mengenai apa yang dilakukan dalam kedudukannya sebagai konsumen

ternyata dimanfaatkan oleh pelaku usaha makanan untuk menciptakan makanan

yang sekiranya disukai anak dengan menambahkan BTM dalam makanan yang

dijualnya. Penggunaan BTM pada makanan sebenarnya diperbolehkan apabila

sesuai dengan ketentuan, namun pada kenyataannya banyak produsen makanan

menambahkan BTM melebihi dosis yang diperbolehkan, bahkan menambahkan

bahan tambahan yang telah dilarang penggunaannya bagi makanan. Hal ini dapat

menimbulkan gangguan kesehatan pada konsumen anak pada khususnya,

mengingat anak dengan segala keterbatasannya belum mampu memilih jajanan

yang aman. Padahal produk makanan jajanan sudah menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dari anak.

Dalam mengkaji dan menganalisis isu hukum yang penulis angkat dalam

penelitian ini, penulis menggunakan peraturan perundang-undangan yang terkait

yaitu UUPK yang merupakan payung hukum dari peraturan-peraturan lain yang

menyangkut perlindungan konsumen dan peraturan-peraturan lain yang terkait

dengan topik penulisan hukum ini, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996

Tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan

Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Peraturan

Page 59: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan

Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 28

Tahun 2004 tentang Kemanan, Mutu dan Gizi Pangan, Peraturan Menteri

Kesehatan RI Nomor 239/Men.Kes/Per/V/85 Zat Warna Tertentu yang

Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan Juncto Peraturan

Menteri Kesehatan RI Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan

atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang

Bahan Tambahan Makanan, Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan

Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor 00386/C/SK/II/90

tentang Perubahan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

239/Men.Kes/Per/V/85 Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan

Berbahaya, Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik

Indonesia Nomor HK.00.05.5.1.4547 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan

Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan.

Dalam penulisan hukum ini, premis minor atau fakta hukum yang penulis

angkat adalah mengenai masalah perlindungan hukum UUPK bagi anak terhadap

penggunaan BTM dalam jajanan anak dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap

penggunaan BTM dalam produk pangan yang dikonsumsi anak. Berdasarkan

analisis kesesuaian antara premis mayor (peraturan perundang-undangan) tersebut

di atas dan isu hukum (premis minor) yang penulis angkat dalam penulisan

hukum ini, penulis menarik kesimpulan apakah UUPK sudah mampu atau belum

dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak terkait penggunaan BTM

dalam produk jajanan anak dan terpenuhi atau tidaknya tanggung jawab pelaku

usaha yang memproduksi produk jajanan anak atas keamanan pangan dan

pemberian informasi yang benar, jujur dan jelas dalam penggunaan BTM.

Page 60: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen (UUPK) Bagi Anak Terhadap Penggunaan

Bahan Tambahan Makanan (BTM) dalam Jajanan Anak

1. Gambaran Umum Peredaran Jajanan Anak

Di Indonesia banyak terjadi permasalahan konsumen khususnya

pada bidang pangan, diantaranya yang paling mengkhawatirkan

masyarakat adalah kasus-kasus tentang masalah penyalahgunaan bahan

berbahaya pada produk pangan ataupun bahan yang diperbolehkan tetapi

melebihi batas yang telah ditentukan. Berdasarkan informasi dan data yang

tersedia mengenai mengenai keamanan pangan, dapat diidentifikasi empat

masalah utama keamanan pangan di Indonesia. Pertama, masih banyaknya

produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan yang beredar

di masyarakat, kedua kasus penyakit dan keracunan melalui makanan

sebagian besar belum dilaporkan dan diidentifikasi penyebabnya, ketiga

banyak ditemukan sarana produksi dan distribusi pangan yang tidak

memenuhi persyaratan, terutama industri rumah tangga, industri jasa boga,

dan penjual makanan jajanan dan yang keempat rendahnya pengetahuan

dan kepedulian konsumen tentang keamanan pangan (Sri Anggrahini,

1997:2).

Salah satu bentuk penyalahgunaan zat pewarna untuk sembarang

bahan pangan adalah penggunaan zat pewarna kulit atau tekstil sebagai

bahan tambahan makanan. Hal tersebut dapat terjadi karena ketidaktahuan,

keterbatasan informasi, kesengajaan, dan atau faktor yang lain. Residu

logam berat dari zat pewarna tersebut, sangat berbahaya bagi pengguna

makanan (Setijo Pitojo dan Zumiati,2009:1).

Wiwit Rahayu dan Emi Widiyanti yang mengutip pendapat

Kusharto menjelaskan bahwa jajanan adalah makanan yang dibeli dalam

keadaan siap dikonsumsi. Jajanan merupakan makanan yang sangat

Page 61: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

populer dan sangat beranekaragam jenisnya. Pada kenyataannya

orang, terutama anak-anak sekolah lebih senang jajan daripada makan

hidangan yang disediakan dirumah. Kesukaan untuk jajan ditemukan pada

semua lapisan masyarakat (Wiwit Rahayu dan Emi Widiyanti,2003:99).

Menurut Wied Harry yang mengutip tulisan Emmy L.S. Noegroho,

Ketua Pelaksana Yayasan Kepedulian untuk Konsumen Anak (Kakak) di

Surakarta, dalam buku Rahasia Kecerdasan Anak Memaksimalkan

Perkembangan Otak menjelaskan bahwa jajanan ringan dalam kemasan

yang populer dengan sebutan "chiki" atau "chitos" saat ini dijual di banyak

tempat. Meskipun kini merek makanan seperti itu sudah sangat banyak,

tetapi konsumen lebih mengenal istilah "chiki" atau "chitos" untuk

menyebut makanan jajanan ringan dalam kemasan. Iklan-iklan yang

menggiurkan juga mempengaruhi pola konsumsi. Hal ini terungkap dalam

penelitian LP2K, yang memperlihatkan hasil bahwa anak lebih senang

membelanjakan uangnya untuk membeli makanan seperti yang diiklankan

di televisi daripada menabung atau mengkonsumsi makanan yang dibuat

orangtuanya sendiri. Hasil penelitian Yayasan Kepedulian untuk

Konsumen Anak (Yayasan Kakak) agustus tahun 1997 menunjukkan

tidak kurang dari 73 merek makanan jajanan dalam kemasan beredar

dengan berbagai bentuk dan rasa. Bahan dasar makanan jajanan ini pun

beragam, mulai dari kentang, tepung terigu, tepung jagung, tepung

tapioka, tepung beras, hingga buah nangka. Makanan ini mempunyai rasa

dan warna yang beranekaragam, dan diharapkan akan tahan lama, oleh

karena itu makanan ini tidak terlepas dari BTM. Makanan jajanan ringan

dalam kemasan tidak bergizi juga banyak mengandung zat-zat kimia

tambahan yang dapat merugikan kesehatan dan proses tumbuh kembang

anak. Hasil analisis label yang dilakukan yayasan kakak, dari 73 merek

makanan jajanan ringan terdapat 11 produk yang memakai pewarna

tartrazine, tujuh produk menggunakan pewarna sunset yellow, satu produk

memakai pewarna erythrosine, dua produk menggunakan pewarna FD &

Blue1, dan satu produk memakai pewarna carmoisine. Sejumlah ahli

Page 62: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

sudah meneliti bahaya beberapa jenis BTM, termasuk yang digunakan

dalam makanan jajanan ringan. Pewarna erytrhrosine dapat menimbulkan

alergi saluran pernapasan, membuat anak menjadi hiperaktif, dan

menimbulkan efek kurang baik pada otak dan perilaku. Pewarna tartrazine

bisa menimbulkan efek reaksi alergi khususnya pada orang yang

sensitif pada asam asetil-siklik dan asam benzoat, selain dapat

menimbulkan asma dan membuat anak hiperaktif. Sunset yellow

memberikan dampak negatif yang sama (Wied Harry. Anak dan

Bahaya Bahan Tambahan Makanan.

http://javaleste.multiply.com/journal/item/434/ANAK_BAHAYA_BAHA

N_TAMBAHAN_PANGAN_?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fi

tem).

Indra Chahaya S. yang mengutip tulisan Winarno dalam buku

Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen menjelaskan bahwa berdasarkan

survei oleh steetfood project (1998) di Jakarta, Bogor, Rangkasbitung, dan

di kota kecil seperti Cikampek, Rengasdengklok, Pacet dan Cikampek

ternyata banyak pedagang makanan jajanan yang menggunakan bahan

pewarna buatan ke dalam dagangannya khususnya minuman. Beberapa

pedagang karena ketidaktahuannya telah menggunakan beberapa bahan

pewarna yang dilarang digunakan untuk makanan seperti rhodhamin b,

methanil yellow, dan amarant. Dari 251 jenis minuman yang diambil

contoh, ternyata 8% jenis minuman yang berwarna merah di daerah

Jakarta mengandung rhodamin b, di Bogor sebanyak 14,5%, dan

Rangkabitung 17%, sedangkan di kota kecil dan di desa-desa 24%

minuman yang benwarna merah temyata juga mengandung rhodamin b

(Indra Chahaya S, 2003:38).

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Jawa Barat merilis

hasil pengkajiannya terhadap sejumlah makanan anak-anak yang dijual di

beberapa wilayah di Bandung, Jawa Barat. Hasilnya sebanyak 80% dari

jajanan yang diobservasi mengandung bahan-bahan yang membahayakan

kesehatan, seperti formalin, boraks, natrium siklamat, rhodamin, dan

Page 63: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

sakarin. Pengkajian itu dilakukan sejak Mei 2003 hingga akhir September

2003. Berbagai zat berbahaya terdapat pada jajanan anak-anak buatan

rumah tangga, bukan makanan kemasan yang dijual di supermarket.

Jajanan yang mengandung bahan tambahan berbahaya ditemukan pada

aneka jajanan yang dijual di sekolah dasar ataupun sekolah menengah

pertama. Jajanan yang disukai anak-anak dan produksi rumahan ini mudah

ditemui di sekolah-sekolah, misalnya yang dijual di halaman sekolah dasar

(SD) negeri Cibiru di kawasan Bandung Timur. Para pedagang di daerah

itu menjual makanan seperti bakso goreng, cakwe, dan cireng (aci

goreng). Makanan tersebut dilengkapi dengan saus tanpa merek yang

berwarna merah. Saus tersebut dibeli di pasar dengan harga yang relatif

jauh lebih murah dibandingkan dengan saus bermerek. Pedagang-

pedagang tersebut tidak mengetahui apabila saus itu mengandung zat

pewarna dan bahan pengawet (Riza Sofyat. Menyala Padahal Berbahaya.

http://www.majalahtrust.com/danlainlain/kesehatan/403.php).

Selain itu, pedagang di halaman SD Cibiru yang menjual minuman

sejenis sirup, sirupnya bukan sirup dari kemasan bermerek yang dijual di

supermarket atau di toko. Bahan-bahan sirupnya berasal dari jeruk dan

sakarin (pemanis buatan) yang dibeli di pasar. Ramuan sirup dibuat

sendiri dengan menambahkan sedikit gula pasir ke dalam delapan liter

campuran sirup. Pedagang es sirup ini tidak mengetahui bahaya memakai

pemanis buatan untuk makanan yang dijajakannya. Sepengetahuannya,

pemanis buatan juga sudah biasa dipakai banyak pedagang. Pengakuan

pedagang es sirup di depan SD Cibiru, sebagaimana banyak pedagang

kelas bawah, kurang memperhatikan aspek keamanan pangan dan

cenderung tidak perduli. Menurut hasil pengkajian BPOM, jajanan anak-

anak seperti itulah yang berbahaya. Sebab makanan tersebut dibuat dengan

mencampurkan zat berbahaya, misalnya formalin atau boraks untuk

pengenyal bakso, lantas rhodamin untuk bahan pewarna sirup dan saus,

kemudian sakarin untuk pemanis sirup (Riza Sofyat. Menyala Padahal

Berbahaya. http://www.majalahtrust.com/danlainlain/kesehatan/403.php).

Page 64: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ)

pada tahun 2005 menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 47 produk

makanan anak -anak yang mengandung pemanis dan pewarna berbahaya.

Survei lainnya, seperti yang dilaporkan harian Pos Kota tertanggal 13

Januari 2010 yang mengutip pernyataan Kepala Badan Pengawas Obat dan

Makanan (BPOM) DKI Jakarta menyebutkan bahwa ada 40% makanan

jajanan anak-anak yang menggunakan zat berbahaya, terutama zat

pewarna (Haafizhah Kurniasih. Mengatasi Problema Peredaran

Makanan Berbahaya.http://coretanfifi.wordpress.com/2010/11/29/mengata

si-problema-peredaran makanan-berbahaya/).

Menurut Purtiantini yang mengutip tulisan Suci menyebutkan

survei oleh BPOM tahun 2004 di sekolah dasar (seluruh Indonesia)

dan sekitar 550 jenis makanan yang diambil untuk sampel pengujian

menunjukkan bahwa 60% jajanan anak sekolah tidak memenuhi standar

mutu dan keamanan. Disebutkan bahwa 56% sampel mengandung

rhodamin dan 33% mengandung boraks. Survei BPOM tahun 2007,

sebanyak 4.500 sekolah di Indonesia, membuktikan bahwa 45% jajanan

anak sekolah berbahaya (Purtiantini,2010 :17).

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan fakta

baru. Sekitar 60% jajanan anak sekolah seperti minuman ringan, es

cendol, dan kue ringan lainnya tidak layak konsumsi karena mengandung

zat pewarna tekstil serta 50% di antaranya mengandung unsur mikroba.

Kedua unsur ini membahayakan kesehatan manusia sebab zat pewarna

tekstil dan mikroba pada anak-anak akan menyebabkan reaksi alergi,

asma, dan hiperaktif pada anak serta efek kurang baik terhadap otak dan

perilaku anak. Survei yang dilakukan BPOM Pusat tahun 2005 dan

dilakukan di 18 propinsi berpenduduk padat di Indonesia di mana 816

sampel yang diambil terindikasi zat tersebut (Juli Prasetio Utomo. 60%

Jajanan Anak Berbahaya.

http://www.indomedia.com/bpost/012006/4/nusantara/nusa1.htm).

Page 65: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

Wirasto yang mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Eddy

Setyo Mudjajanto dari Institut Pertanian Bogor (IPB), menemukan banyak

penggunaan zat pewarna rhodamin b dan metanil yellow pada produk

makanan industri rumah tangga. Rhodamin b dan metanil yellow sering

dipakai untuk mewarnai kerupuk, makanan ringan, terasi, kembang gula,

sirup, biskuit, sosis, makaroni goreng, minuman ringan, cendol, manisan,

gipang, dan ikan asap. Makanan yang diberi zat pewarna ini biasanya

berwarna lebih terang. Selain itu menurut Wirasto yang mengutip tulisan

Trestiati menjelaskan bahwa zat warna nonpangan tersebut juga ditemukan

pada makanan dan minuman jajanan anak SD di SD Kecamatan Margaasih

Kabupaten Bandung dalam kadar yang cukup besar antara 7,841-3226,55

ppm. Rhodamin b dan metanil yellow merupakan zat warna sintetik yang

umum digunakan sebagai pewarna tekstil. Walaupun memiliki toksisitas

yang rendah, namun pengkonsumsian rhodamin b dalam jumlah yang

besar maupun berulang-ulang menyebabkan sifat kumulatif yaitu iritasi

saluran pernafasan, iritasi kulit, iritasi pada mata, iritasi pada saluran

pencernaan, keracunan, dan gangguan hati/liver (Wirasto, 2008:2-3).

Meskipun dosis penggunaan setiap BTM ditetapkan pada kadar

aman bagi manusia, namun kelebihan dosis dapat terjadi karena konsumsi

makanan hasil olahan pabrik setiap harinya sangat beragam. Kelebihan

dosis dan perbedaan daya tahan tubuh menentukan tingkat dampak negatif

BTM bagi kesehatan. Yang paling banyak terkena dampaknya adalah

anak-anak, karena pada jaman sekarang banyak sekali jajanan yang

mengandung BTM, terlebih lagi organ detoks anak-anak belum seefektif

organ detoks orang dewasa. Sangat disayangkan, di banyak keluarga,

anak-anak justru yang lebih banyak mengkonsumsi makanan kemasan

(contohnya snack, biskuit, cereal, chips, dan lain-lain) sehingga BTM ini

mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap mereka (Purwanti. Bahan

Tambahan Makanan (Zat Aditif).

http://studifarmasi.blogspot.com/2011/04/bahan-tambahan-makanan-zat-

aditif.html).

Page 66: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

Kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan peraturan yang

diatur dalam UUPK. Seharusnya konsumen mendapatkan jaminan

terhadap makanan yang dikonsumsinya, dalam hal kesehatan dan

kelayakan makanan. Karena akan memberi dampak terhadap asupan gizi

konsumen, khususnya konsumen anak.

Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa konsumen,

khususnya konsumen anak menjadi pihak yang sering dirugikan.

Konsumen harus menanggung resiko besar yang membahayakan

kesehatan dan jiwanya karena itikad tidak baik pelaku usaha dan tidak

diberikan informasi yang benar dan jujur. Masih banyak pelaku usaha di

bidang pangan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan dalam

menggunakan BTM. Bahan tambahan makanan yang paling sering

digunakan adalah pewarna yang dilarang untuk makanan (rhodhamin b

dan methanil yellow) dan pemanis buatan (sakarin, siklamat, aspartam)

yang digunakan melebihi dosis yang ditentukan. Selain itu boraks dan

formalin juga sering digunakan untuk mengawetkan produk makanan yang

diperdagangkan. Jajanan anak yang mengandung BTM berbahaya lebih

banyak ditemukan pada produk makanan hasil industri rumah tangga

dibandingkan yang dijual di supermarket. Entah hal ini karena kurangnya

pendidikan konsumen atau memang kurangnya pengawasan dari

pemerintah terkait kebijakan peredaran barang dan/atau jasa bagi

masyarakat.

2. Perlindungan Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen (UUPK) Bagi Anak Terhadap Penggunaan

Bahan Tambahan Makanan (BTM) dalam Jajanan Anak

Anak-anak mempunyai hak untuk meperoleh perlindungan khusus,

kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara

sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat yang sama.

Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi di

mana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapun

perlindungan anak ini juga merupakan perwujudan adanya keadilan dalam

Page 67: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

suatu masyarakat (Shanty Dellyana,1988:5-6). Dengan demikian

perlindungan anak sedapat mungkin harus diusahakan dalam berbagai

bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat, termasuk dalam

kedudukan anak sebagai konsumen.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak pada dasarnya telah memberikan perlindungan hukum secara formal

bagi anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak telah memberikan perlindungan yang baik terhadap anak, tetapi ada

satu aspek dari anak yang juga perlu mendapat perlindungan namun belum

diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Aspek perlindungan anak yang belum diatur dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu

anak dalam kedudukannya sebagai konsumen. Aktivitas anak sebagai

konsumen sangatlah beranekaragam. Hampir setiap anak melakukan

aktivitas jual beli jajanan anak untuk dikonsumsi setiap harinya.

Ketidakmampuan dan ketidaktahuan anak untuk memilih jajanan yang

sehat dimanfaatkan oleh pelaku usaha di bidang jajanan anak untuk

menciptakan pangan yang disukai anak-anak, baik dari segi rasa maupun

warna yang menarik, tanpa memperhatikan kualitas dan aspek kemanan

pangan. Keadaan yang demikianlah yang membuat anak layak dan dapat

dikategorikan sebagai konsumen dalam UUPK. Sebagai konsumen yang

mempunyai keterbatasan dalam menentukan produk yang aman, maka

anak sebagai konsumen perlu mendapat perlindungan, dan khususnya

menjadi tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan.

Pengertian konsumen dalam UUPK menekankan bahwa konsumen

diartikan sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Unsur-unsur

definisi konsumen (Shidarta, 2004 : 5 – 9) :

a. Setiap Orang

Page 68: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

Subyek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang

berstatus sebagai pemakai barang dan/ atau jasa. Istilah “orang”

sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual

yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan

hukum (rechtperson). Hal ini berbeda dengan pengertian yang

diberikan untuk “pelaku usaha” dalam pasal 1 angka (3), yang secara

eksplisit membedakan kedua pengertian persoon di atas, dengan

menyebut kata-kata : “orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu

yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu pada

sebatas pada orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup

juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum.

b. Pemakai

Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, kata

“pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate

consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam

rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau

jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli.

Artinya, yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus

memberikan prestasinya dengan cara membayar uang, untuk

memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar

hubungan antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus

kontraktual (the privity of contrac). Konsumen memang tidak sekedar

pembeli (buyer atau koper), tetapi semua orang (perorangan atau badan

usaha) yang mengkonsumsi barang dan/ atau jasa. Jadi, yang paling

penting terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction)

berupa peralihan barang dan atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan

dalam menggunakannya.

c. Barang dan/atau jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/ atau jasa, sebagai pengganti

terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah

berkonotasi barang atau jasa. UUPK mengartikan barang sebagai

Page 69: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak

maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat

dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan,

atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak menjelaskan

perbedaan istilah-istilah “ dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”.

Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk

pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk

dimanfaatkan oleh konsumen.

d. Yang tersedia dalam masyarakat

Barang atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus

tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang semakin komplek

dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat

konsumen.

e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri,

keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan

dalam definisi ini mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan.

Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan

keluarga, tetapi juga barang dan/jasa itu diperuntukkan bagi orang lain

(di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup

lain, seperti hewan dan tumbuhan.

f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Memperhatikan pengertian konsumen yang dimaksud dalam

UUPK, anak termasuk subyek yang dilindungi oleh undang-undang ini.

Pengertian konsumen dalam UUPK tidak membedakan konsumen

berdasarkan usia. Dalam kehidupan sehari-hari anak tidak terlepas dari

kegiatan mengkonsumsi suatu produk yang menempatkannya pada

kedudukannya sebagai konsumen. Anak banyak menggunakan barang dan

jasa yang tersedia di masyarakat. Anak-anak sebagai konsumen memiliki

hak-hak yang harus dilindungi untuk bisa mencapai kualitas hidup yang

optimal. Dalam rangka mencapai kualitas hidup yang optimal dan

Page 70: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

membangun manusia indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada

falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan

konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945, maka konsumen anak

sudah seharusnya mendapatkan perlindungan oleh UUPK.

Dalam perlindungan konsumen, secara garis besar dapat ditempuh

dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer,

yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi

yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan

kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap

kepentingan ekonomi konsumen (hak atas keamanan dan keselamatan).

Konsumen tidak cukup dilindungi hanya berdasarkan kebijakan

komplementer (memberikan informasi) saja, tetapi juga harus

menindaklanjuti dengan kebijakan kompensatoris guna meminimalisasi

resiko yang ditanggung konsumen. Misalnya dengan mencegah produk

berbahaya untuk tidak mencapai pasar sebelum lulus pengujian.

Pada dasarnya setiap konsumen harus selalu waspada terhadap

keamanan, keselamatan dan kesehatan dalam mengkonsumsi suatu

produk, akan tetapi karena anak belum mampu menentukan produk

khususnya jajanan anak yang aman untuk dikonsumsi, maka anak menjadi

bagian dari konsumen yang masih membutuhkan arahan dari orang

dewasa di sekitarnya dalam menentukan pilihan. Menentukan barang yang

aman dan menjamin keselamatan serta kesehatan, menjadi suatu hal yang

cukup sulit bagi anak. Keterbatasan mereka untuk menentukan pilihan

tanpa diberikan bekal pengetahuan yang memadai, menjadikan anak sulit

untuk menentukan keputusan yang terbaik bagi diri mereka.

Memperhatikan keadaan anak yang demikian maka seharusnya anak

mendapatkan perlindungan khusus dalam kedudukannya sebagai

konsumen.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan

nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum

Page 71: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka

membangun manusia indonesia seutuhnya yang berlandaskan falsafah

kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi

negara Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan adanya peraturan perlindungan konsumen, maka

diharapkan disatu pihak dapat menghindarkan hal-hal yang merugikan

konsumen, dilain pihak dapat mendukung kegiatan produsen, dalam hal ini

dapat (Badan Pembinaan Hukum Nasional,1986:106) :

a. Mencegah beredarnya barang dan jasa yang tidak memenuhi syarat;

b. Mencegah terjadinya persaingan yang tidak wajar diantara

produsen;dan

c. Memberikan jaminan kepada konsumen sehingga kepercayaan

masyarakat akan menguntungkan produsen dalam pemanfaatan modal.

Tanpa adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi konsumen,

maka akan semakin banyak peredaran produk-produk yang tidak bermutu.

Yang lebih mengkhawatirkan yaitu bahwa, kesejahteraan rakyat yang

dicita-citakan menjadi lebih sulit terwujud (Sudaryatmo,1999:84).

Substansi UUPK memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk di

dalamnya konsumen anak berupa hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal

4. Mengingat kewajiban dan hak adalah anatomi dalam hukum, maka hak

konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 tersebut menimbulkan

konsekuensi berupa kewajiban bagi pelaku usaha sebagaimana diatur

dalam Pasal 7 dan tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana diatur dalam

Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 UUPK. Dalam rangka melindungi hak-

hak konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka UUPK

menetapkan larangan-larangan bagi pelaku usaha sebagaimana diatur

dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17.

Selanjutnya untuk menjamin dipenuhinya hak-hak konsumen dan

dilaksanakannya kewajiban pelaku usaha maka diatur pula ketentuan

mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 29

Page 72: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

dan Pasal 30 dan sanksi administratif maupun sanksi pidana sebagaimana

diatur dalam Pasal 60 sampai dengan 63 UUPK.

Perlindungan konsumen adalah perlindungan hukum yang

diberikan kepada konsumen, termasuk konsumen anak dalam kegiatannya

untuk memenuhi kebutuhan hidup dan hal-hal yang dapat merugikan

konsumen itu sendiri. UUPK menetapkan tujuan perlindungan konsumen

antara lain adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka

untuk maksud tersebut UUPK memberikan jaminan hak kepada konsumen

termasuk konsumen anak yaitu hak atas kenyamanan, keamanan, dan

keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa sebagaimana

tercantum dalam Pasal 4 huruf a UUPK. Barang dan/atau jasa yang dalam

penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi tidak aman

dan membahayakan keselamatan konsumen tidak layak untuk diedarkan di

masyarakat. Dengan adanya hak tersebut maka menimbulkan kewajiban

bagi pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan

usahanya, pelaku usaha harus berhati-hati mulai dari tahap produksi

sampai dengan produk sampai pada kosumen, termasuk dalam

menggunakan BTM dalam jajanan anak. Sejalan dengan hal tersebut,

berdasarkan ketentuan Pasal 7 huruf d, pelaku usaha wajib menjamin mutu

barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan

berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

Dalam penggunaan BTM dalam produk pangan, wajib didasarkan pada

ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan sebagaimana

telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan

Tambahan Makanan.

Dalam UUPK, itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha

karena meliputi semua tahapan dalam melakukan setiap kegiatan

usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk

Page 73: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

beritikad baik dimulai sejak barang barang dirancang atau diproduksi

sampai pada tahap purna penjualan. Hal ini disebabkan karena

kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang

dirancang atau diproduksi oleh produsen, sedangkan bagi konsumen

kemungkinan untuk dapat merugikan pelaku usaha mulai pada saat

melakukan transaksi dengan pelaku usaha.

Kedudukan konsumen khususnya konsumen anak yang sangat

awam terhadap barang-barang yang dikonsumsinya dan adanya kesulitan

untuk meneliti sebelumnya mengenai keamanan dan keselamatan di dalam

mengkonsumsi barang tersebut. Kondisi dan fenomena tersebut dapat

mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak

seimbang dan konsumen selalu berada pada posisi yang lemah. Untuk

meningkatkan harkat dan martabat konsumen maka perlu ditingkatkan

kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian

konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap

pelaku usaha yang bertanggung jawab. Maka kewajiban untuk menjamin

keamanan suatu produk agar tidak menimbulkan kerugian bagi konsumen

dibebankan kepada pelaku usaha, karena pihak pelaku usahalah yang

mengetahui komposisi dan masalah-masalah yang menyangkut keamanan

suatu produk tertentu dan keselamatan di dalam mengkonsumsi produk

tersebut. Kerugian-kerugian yang diderita oleh konsumen merupakan

akibat kurangnya tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen.

Pasal 8 ayat (1) huruf a UUPK, melarang pelaku usaha untuk

memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak

sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Dalam hal ini pelaku usaha dilarang

memperdagangkan produk jajanan anak yang menggunakan bahan

tambahan yang dilarang untuk makanan dan/atau menggunakan BTM

yang diizinkan melebihi dosis yang ditentukan. Pasal 8 ayat (3) UUPK

juga melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang yang rusak,

cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara

Page 74: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

lengkap dan benar atas barang yang dimaksud. Ketentuan tersebut dengan

jelas melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang yang

tercemar, termasuk tercemar zat kimia yang dilarang ditambahkan pada

produk pangan, seperti boraks, formalin dan rhodhamin b.

Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo yang mengutip

pendapat Nurmadjito dalam Husni Syawali dan Heni Imaniyati, pada

intinya substansi Pasal 8 UUPK tertuju pada dua hal, yaitu larangan

memproduksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang dimaksud. Larangan-larangan yang

dimaksudkan ini, hakikatnya menurut Nurmadjito yaitu untuk

mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat

merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai

dengan informasi pengusaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain

sebagainya (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,2004:65).

Larangan-larangan yang tertuju pada “produk” sebagaimana diatur

dalam Pasal 8 UUPK adalah untuk memberikan perlidungan terhadap

kesehatan/ harta konsumen dari penggunaan barang dengan kualitas yang

di bawah standar atau kualitas yang lebih rendah daripada nilai harga yang

dibayar. Dengan adanya perlindungan yang demikian, maka konsumen

tidak akan diberikan dengan kualitas yang lebih rendah daripada harga

yang dibayarkan, atau yang tidak sesuai dengan informasi yang

diperolehnya (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,2004 :66).

Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi produk pangan yang dijamin oleh UUPK telah sesuai

dengan hak anak untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang sebagaimana

dijamin dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak. Hak tumbuh dan berkembang meliputi segala

bentuk pendidikan (formal maupun non formal) dan hak untuk mencapai

standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral

dan sosial anak. Untuk mencapai standar hidup yang layak bagi

perkembangan anak, maka pelaku usaha wajib menjamin mutu barang

Page 75: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan. Produk jajanan

anak yang diproduksi dan/atau diperdagangkan harus berdasarkan standar

mutu barang dan/atau jasa yang berlaku, sehingga tidak membahayakan

keamanan dan keselamatan anak selaku konsumen. Dengan terpenuhinya

jajanan anak yang aman bagi kesehatan, maka anak akan dapat tumbuh

dan berkembang secara optimal.

Selain hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/jasa, Pasal 4 huruf c UUPK juga menjamin hak

konsumen termasuk konsumen anak untuk mendapatkan informasi yang

benar, jelas dan jujur mengenai kondisi suatu produk. Menurut Gunawan

Wijaya dan Ahmad Yani, informasi merupakan hal yang penting bagi

konsumen, karena melalui informasi tersebut konsumen dapat

mempergunakan hak pilihnya secara benar. Hak memilih tersebut

merupakan hak dasar yang tidak dapat dihapuskan oleh siapapun juga.

Dengan mempergunakan hak pilihnya tersebut, konsumen dapat

menentukan cocok tidaknya barang dan/atau jasa yang

ditawarkan/diperdagangkan tersebut dengan kebutuhan dari diri masing-

masing konsumen (Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani,2003 : 6).

Dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang

mengandung resiko terhadap keamanan konsumen, wajib disertai

informasi.

Sidharta yang mengutip artikel dalam Warta Konsumen tahun

XXIV No. 12 Desember 1998 menjelaskan Prof. Hans W.Micklitz,

seorang ahli hukum konsumen dari jerman, dalam ceramah di Jakarta, 26

sampai dengan 30 Oktober 1998 membedakan konsumen berdasarkan hak

ini. Menurutnya, secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen,

yaitu konsumen yang terinformasi (well informed) dan konsumen tidak

terinformasi. Tipe konsumen yang terinformasi memiliki ciri-ciri antara

lain memiliki tingkat pendidikan tertentu; mempunyai sumber daya

ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar; dan

lancar berkomunikasi. Konsumen tipe ini cenderung tidak memerlukan

Page 76: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

perlindungan, sedangkan tipe konsumen yang tidak terinformasi memiliki

ciri-ciri kurang berpendidikan; termasuk kategori kelas menengah ke

bawah; dan tidak lancar berkomunikasi sehingga perlu dilindungi, dan

khususnya menjadi tangggung jawab negara untuk memberikan

perlindungan. Selain ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasikan,

karena hal-hal khusus dapat juga dimasukkan kelompok anak-anak, orang

tua, dan orang asing (yang tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa

setempat) sebagai jenis konsumen yang wajib dilindungi oleh negara

( Sidharta,2004:24-25).

Hak atas informasi ini menimbulkan konsekuensi bagi pelaku

usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai

kondisi suatu produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b

UUPK. Kewajiban pelaku usaha atas informasi, disebabkan karena

informasi disamping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan

informasi yang memadai dari pelaku usaha merupakan cacat produk (cacat

informasi), yang sangat akan merugikan konsumen. Ketentuan Pasal 4

huruf c dan Pasal 7 huruf b UUPK ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal

10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

yang menyatakan “Setiap anak berhak menyatakan dan didengar

pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai

dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai

dengan nilai-nilai kemanusiaan”. Informasi yang diberikan kepada anak

tentunya haruslah disesuaikan dengan tingkat kecerdasan dan usia anak

sehingga dapat diterima dan dipahami oleh anak.

Terkait dengan penggunaan BTM pada jajanan anak, maka

konsumen berhak mendapatkan informasi mengenai kandungan BTM

yang terdapat dalam makanan tersebut. Kewajiban pelaku usaha di bidang

pangan untuk memberikan informasi kandungan BTM telah diatur dalam

Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan

Iklan Pangan, Pasal 15 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan dan

Page 77: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

Pasal 6 Keputusan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.5.1.4547 tentang

Persyaratan Penggunaan Pemanis Buatan Dalam Produk Pangan.

Pasal 4 huruf h memberikan hak kepada konsumen yang

mengalami kerugian akibat mengkonsumsi suatu produk untuk

mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila produk

yang diterima tidak sebagaimana mestinya. Konsumen juga mempunyai

hak untuk menuntut ganti kerugian dari pelaku usaha yang dijamin oleh

undang-undang, yang dalam UUPK dikenal dengan istilah “product

liability”. Dengan adanya hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal

4 huruf h, menuntut konsekuensi bagi pelaku usaha untuk memberikan

kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan, termasuk dalam penggunaan BTM dalam jajanan anak

yang tidak sesuai ketentuan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.

Pasal 4 huruf i menjamin hak konsumen yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan terkait, dalam hal ini ketentuan Pasal 41

ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pangan

memberikan hak kepada orang perseorangan yang kesehatannya terganggu

atau ahli waris dari orang yang meninggal sebagai akibat langsung karena

mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan berhak mengajukan gugatan

ganti rugi terhadap pelaku usaha. Untuk konsumen anak yang mengalami

kerugian akibat mengkonsumsi suatu produk, maka hak menuntut ganti

kerugian dapat diwakilkan kepada orang tua atau walinya.

Pasal 19 ayat (1) UUPK mewajibkan pelaku usaha untuk

bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,

dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa

yang dihasilkan atau diperdagangkan. Memperhatikan substansi Pasal 19

ayat (1) dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi :

a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;

b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran; dan

c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.

Page 78: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

Berdasarkan hasil kajian peredaran pangan jajanan anak yang telah

dipaparkan sebelumnya, anak-anak dan makanan jajanan merupakan dua

hal yang sulit untuk dipisahkan. Anak-anak memiliki kegemaran untuk

mengkonsumsi jenis makanan jajanan secara berlebihan, khususnya anak-

anak usia sekolah dasar (6-12 tahun). Dalam keseharian banyak dijumpai

anak-anak yang selalu dikelilingi penjual makanan jajanan, baik yang ada

di rumah, di lingkungan tempat tinggal hingga di sekolah. Makanan

jajanan tersedia dan disajikan dalam kemasan plastik maupun makanan

cepat saji atau fast food. Padahal masih banyak jajanan yang beredar yang

mengandung bahan tambahan tidak sesuai dengan ketentuan yang tentunya

dapat membahayakan keamanan dan keselamatan jiwa konsumen. Maka

sudah seharusnya, apabila pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap

ketentuan tersebut di atas mengenai tanggung jawab dan kewajibannya

dan menimbulkan kerugian terhadap konsumen maka pelaku usaha harus

bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 19

UUPK.

Dalam hal ini peranan pemerintah sebagai pengawas dan

pembimbing ke arah terciptanya keserasian antara kepentingan konsumen

dan kewajiban pelaku usaha sangat diperlukan. Untuk memenuhi tujuan

dari UUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, perlu dilakukan

pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan

konsumen secara memadai.

Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, menurut pembentuk

undang-undang, akan dilakukan melalui dua strategi dasar, yaitu di satu

sisi melalui upaya memberdayakan konsumen, yang akan ditempuh

dengan cara meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kepedulian,

kemampuan dan kemandirian konsumen, untuk melindungi dirinya

sendiri. Sedangkan disisi lain ditempuh melalui upaya untuk menciptakan

dan mendorong iklim usaha yang sehat dan tangguh serta mendorong

tumbuhnya sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.

Page 79: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan

perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 29 dan Pasal 30

UUPK secara tidak langsung juga telah memberikan perlindungan yang

sesuai kepada konsumen anak sebagaimana dilindungi dalam Pasal 20

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang

mengatur bahwa tanggung jawab penyelenggaraan perlindungan anak

berada pada negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.

Namun demikian, dalam UUPK belum menjelaskan tentang adanya

tanggung jawab orang tua dalam rangka pengawasan perlindungan

konsumen anak sebagai golongan konsumen yang terinformasi. Negara

dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan

menjamin hak asasi setiap anak, termasuk hak anak untuk tumbuh

kembang.

Pemerintah dalam upaya perlindungan konsumen mempunyai

peranan yang sangat penting selaku penengah di antara kepentingan

pelaku usaha dan kepentingan konsumen, agar masing-masing pihak dapat

berjalan seiring tanpa saling merugikan satu sama lain. Pemerintah harus

bertanggungjawab atas pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan

perlindungan konsumen, untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan

pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku

usaha.

Peran pemerintah sebagai pengawas merupakan fungsi yang

penting untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen dan dalam hal ini

konsumen anak pada khususnya dari bahaya makanan yang mengaandung

bahan tambahan berbahaya. Tanpa adanya pengawasan yang baik,

dikhawatirkan konsumen tidak akan terlindungi dari bahaya tersebut. Oleh

karena itu, peraturan yang dikeluarkan akan menjadi suatu jaminan yang

dapat menekan pelaku usaha untuk dapat mengedarkan makanan yang

mengandung BTM yang diizinkan sesuai dengan ketentuan. Pada akhirnya

pemerintah sebagai penengah dalam upaya mencari pemecahan masalah

apabila terjadi sengketa antara pelaku usaha dan konsumen yang

Page 80: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

disebabkan pelanggaran terhadap berbagai peraturan yang telah ditetapkan

yang mengakibatkan kerugian terhadap konsumen. Sebagai upaya agar

berbagai norma tersebut dapat dipatuhi, UUPK mencantumkan ketentuan

mengenai sanksi yang dapat ditetapkan kepada konsumen dan pelaku

usaha yang melanggar norma-norma yang telah ditetapakan, baik sanksi-

sanksi keperdataan, sanksi-sanksi administratif, maupun sanksi-sanksi

pidana.

UUPK merupakan peraturan payung (umbrella act) dari peraturan

perundang-undangan lain yang juga memberikan perlindungan kepada

konsumen. UUPK hanya berisi ketentuan-ketentuan yang sifatnya umum,

sedangkan ketentuan khusus ada pada berbagai peraturan perundang-

undangan yang lebih bersifat sektoral. Terkait dengan perlindungan

terhadap konsumen dari penggunaan BTM, maka peraturan perundang-

undangan lain yang bersifat sektoral terkait penggunaan BTM meliputi

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor

69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklam Pangan, Peraturan Pemerintah

Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan,

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang

Bahan Tambahan Makanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Menteri Kesehatan RI Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang

Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan,

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 239/Men.Kes/Per/V/85 tentang

Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya,

Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan obat dan Makanan Departemen

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 00386/C/SK/II/90, Keputusan

Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor

HK.00.05.5.1.4547 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan

Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan.

Page 81: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

Pengaturan UUPK dalam memberikan perlindungan terhadap

konsumen terkait dengan penggunaan BTM pada produk pangan telah

sejalan dengan prinsip perlindungan anak sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang

mengatur bahwa anak berhak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan

perkembangan anak. Secara implisit ketentuan tersebut sesuai dengan hak

konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a UUPK.

Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa

UUPK belum secara eksplisit memberikan perlindungan bagi anak, UUPK

belum mampu memberikan perlindungan hukum bagi anak terhadap

penggunaan BTM dalam jajanan anak. Belum ada pasal-pasal dalam

UUPK yang secara eksplisit memberikan perlindungan hukum secara

khusus bagi anak. Memang UUPK secara implisit juga telah memberikan

perlindungan terhadap anak, mengingat pengertian konsumen dalam

UUPK tidak dibedakan berdasarkan usia, namun pengaturan dalam UUPK

masih bersifat umum sehingga UUPK belum dapat secara efektif

memberikan perlindungan terhadap konsumen anak. Belum ada kecocokan

antara pengaturan dalam UUPK dengan pelaksanaan sehari-hari.

Memperhatikan gambaran umum peredaran jajanan anak yang telah

dipaparkan sebelumnya diketahui bahwa dari tahun ke tahun masih saja

ditemukan makanan yang mengandung BTM yang tidak sesuai dengan

ketentuan yang telah ditetapkan. Pelaku usaha di bidang jajanan anak

belum memenuhi kewajibannya untuk menjamin mutu barang yang

diproduksi dan/atau diperdagangkan sesuai dengan standar mutu yang

berlaku. Hal ini mengakibatkan hak-hak konsumen anak terkait

penggunaan BTM dalam jajanan anak sebagaimana telah dilindungi dalam

UUPK dan peraturan-peraturan yang bersifat sektoral terkait penggunaan

BTM ternyata belum sepenuhnya ditaati dan dilaksanakan oleh pelaku

usaha di bidang pangan jajanan anak.

Berdasarkan klarifikasi yang telah penulis lakukan terhadap

konsumen anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama,

Page 82: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

diperoleh fakta bahwa pada umumnya setiap harinya mereka

mengkonsumsi makanan jajanan baik ketika disekolah maupun dirumah.

Jajanan anak sudah menjadi keseharian dari anak, terutama ketika berada

di sekolah. Hal ini disebabkan karena pada umumnya anak tidak sempat

sarapan dirumah, sehingga makanan jajanan menjadi asupan energi bagi

anak. Jajanan yang dikonsumsi sangat beranekaragam jenisnya, tidak

hanya produk jajanan yang dibungkus dalam kemasan yang dikenal

dengan sebutan chiki yang diproduksi oleh pabrikan, namun juga makanan

yang dijajakan secara keliling baik di depan sekolah maupun di sekitar

rumah, seperi tempura, cimol, bakso ojek, arum manis, es cincau, cireng,

es dawet, siomay dan berbagai makanan jajanan lain.

Dalam memilih jajanan, konsumen anak cenderung memilih

makanan dengan kemasan yang menarik dan warna yang mencolok,

rasanya gurih, memberikan hadiah di dalamnya, serta harga yang relatif

murah namun membuat mereka kenyang. Dalam mengkonsumsi jajanan

jenis minuman, anak lebih suka es yang warnanya mencolok, rasanya

manis dan menyegarkan. Hal ini jugalah yang menyebabkan pelaku usaha

menambahkan BTM ke dalam jajanan anak.

Konsumen anak tidak memperhatikan keterangan yang tercantum

di luar kemasan makanan yang mereka konsumsi, dikarenakan mereka

tidak mengetahui adanya kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang

bahwa konsumen memiliki kewajiban untuk membaca atau mengikuti

petunjuk informasi sebelum mengkonsumsi suatu barang sebagaimana

telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUPK. Konsumen anak tidak

mengetahui jika yang tertulis pada label kemasan adalah informasi

mengenai produk yang bersangkutan. Hal tersebut terjadi dikarenakan

anak termasuk kategori golongan konsumen yang tidak terinformasi

dikarenakan kondisi khusus yang ada padanya (ketidaktahuan dan

ketidakmampuan).

Konsumen memiliki kemampuan yang terbatas dalam

mengumpulkan dan mengolah informasi tentang makanan yang

Page 83: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

dikonsumsinya sehingga mereka mempunyai keterbatasan dalam menilai

makanan dan menghindari resiko dari produk-produk makanan yang tidak

bermutu dan tidak aman bagi kesehatannya. Konsumen anak juga tidak

mengetahui kandungan apa yang ada dalam produk jajanan yang mereka

konsumsi. Konsumen memiliki kemampuan yang terbatas dalam

mengumpulkan dan mengolah informasi tentang makanan yang

dikonsumsinya, sehingga mereka mempunyai keterbatasan dalam menilai

makanan dan sulit untuk menghindari resiko dari produk-produk makanan

yang tidak bermutu dan tidak aman bagi kesehatan. Anak tidak memiliki

kemampuan seleksi rasional atas pilihan makanan yang sehat dan layak

konsumsi. Secara umum dan sederhana, yang mereka ketahui dan percayai

makanan yang dijual dan beredar pasti dijamin keamanannya. Akhirnya

konsumen anak dengan senang dan tanpa sadar mengkonsumsi produk-

produk makanan tersebut karena penampilan yang menarik dengan harga

yang lebih murah.

Saat ini situasi anak-anak sangat jauh dari perlindungan, dengan

tidak amannya konsumsi pangan anak-anak akan membawa dampak besar

pada tidak sehatnya jiwa dan raga anak-anak bangsa ini. Peredaran jajanan

anak yang mengandung BTM berbahaya mengancam keberlangsungan

hidup anak. Dengan demikian ada pengabaian bagi pemenuhan hak-hak

dasar anak, terutama hak untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembang.

Dengan dikonsumsinya informasi yang tidak tepat bagi anak-anak akan

berdampak pada banyak hal negatif pada anak. Hal ini menunjukkan

bahwa hak-hak konsumen anak sebagaimana tertuang dalam undang-

undang belum terjamin pemenuhannya.

Apabila hal demikian dibiarkan terus terjadi maka akan berdampak

besar pada perkembangan anak sebagai generasi penerus bangsa.

Pengaturan perlindungan konsumen dalam UUPK masih bersifat global,

belum menyentuh ketentuan perlindungan dan perlakuan pada situasi

khusus terhadap kelompok-kelompok rentan seperti anak-anak.

Page 84: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

Keberadaan anak sebagai salah satu unsur dari masyarakat kelak

mempunyai peran yang cukup penting dalam berinteraksi dan perlu dalam

menata kehidupannya. Dalam kehidupan manusia sebagai makhluk

bermasyarakat, eksistensi anak merupakan bagian dari masyarakat yang

mempunyai posisi yang sangat rentan dari berbagai kondisi yang tidak

berdaya dan masih tergantung pada orang lain disekitarnya. Dalam

ketidakberdayaan ini menyebabkan anak sering diperlakukan salah oleh

orang dewasa, baik yang dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja.

Akibat perlakuan salah tersebut pertumbuhan dan perkembangan anak

menjadi terganggu. Apabila kondisi seperti tersebut tercipta dimasyarakat

maka keberadaan suatu bangsa akan memprihatinkan.

Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan

pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan

menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu

ketertiban, kemanan, dan pembangunan nasional. Maka ini berarti bahwa

perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan

pembangunan nasional yang memuaskan.

Dari konsep diatas pelaksanaan pembangunan nasional yang baik

sebagai sarana terciptanya suatu negara yang maju, diperlukan sumber

daya manusia yang berkualitas dan handal. Berdasar dari keinginan untuk

menciptakan generasi penerus bangsa yang berkualitas dan handal, oleh

karenanya keberadaan anak dalam kehidupan perlu diberikan perlindungan

khusus agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan

kehidupan masa kanak-kanak pada umumnya adalah masa mencari ilmu

dan pengetahuan. Perlindungan khusus melalui upaya perhatian khusus itu

sudah merupakan suatu kewajiban yang harus diberikan oleh negara.

Persoalan perlindungan konsumen bukan hanya pada pencarian

siapa yang bersalah dan apa hukumannya, melainkan juga mengenai

pendidikan terhadap konsumen dan penyadaran kepada semua pihak

tentang perlunya keselamatan dan keamanan di dalam berkonsumsi.

Dengan demikian, orang akan terhindar dari kemungkinan kerugian,

Page 85: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

seperti cacat, terkena penyakit, bahkan meninggal atau dari kerugian yang

menimpa harta bendanya.

Anak merupakan golongan konsumen yang tidak terinformasi

karena kondisi khusus yang melekat padanya, padahal setiap konsumen

termasuk anak memilliki hak atas informasi (terinformasi/ well informed)

sehingga kebutuhan akan pendidikan konsumen menjadi sangat urgen. Hal

ini diarenakan anak sebagai konsumen tidak mengetahui secara jelas

kandungan apa saja yang ada pada makanan yang ia makan selama ini.

Karena itu konsumen memerlukan bimbingan dan perlindungan dari

semua fihak yang terlibat dalam proses penyediaan makanan, terutama

dari pemerintah dan pihak legislatif.

Dengan banyaknya fakta terkait kurang optimalnya perlindungan

konsumen anak, terlebih pendidikan terhadap konsumen, maka perlu

dilakukan sosialisasi (pendidikan informal) yang lebih intensif kepada

konsumen anak oleh orang tua dan orang dewasa yang berada di sekitar

konsumen anak (pendamping). Pada saat anak berada di rumah maka yang

bertanggungjawab melakukan pendampingan dalam memilih suatu produk

adalah orang tua, namun ketika anak sedang berada di sekolah maka pihak

yang bertanggung jawab melakukan pendampingan bagi konsumen anak

adalah para guru. Oleh karena, baik orang tua maupun guru sebagai

pendamping konsumen anak hendaknya juga dibekali pengetahuan dan

pemahaman yang cukup mengenai hak-hak sebagai seorang konsumen dan

cara memilih produk pangan yang aman, sehingga dapat berperan secara

optimal dalam mendampingi konsumen anak.

Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan yang tentunya bekerjasama dengan Badan Perlindungan

Konsumen Nasional (BPKN), Kementerian Kesehatan, Kementerian

Perindustrian dan Perdagangan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan

(BPOM) dapat membuat suatu kebijakan menjadikan pendidikan

konsumen sebagai kurikulum pendidikan formal di sekolah. Integrasi

dalam pendidikan formal mengenai perlindungan konsumen akan

Page 86: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

menjamin pendidikan yang sifatnya terus menerus sehingga anak mampu

lebih selektif dan berhati-hati dalam memilih produk serta menjadi

konsumen yang cerdas. Kecerdasan anak dalam posisi mereka sebagai

konsumen harus diasah dan dipertajam terus menerus.

B. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan

Makanan (BTM) Dalam Produk Pangan yang Dikonsumsi oleh Anak

1. Standar Norma Penggunaan BTM di Indonesia

Pengelompokan Bahan Tambahan Makanan (BTM) yang diizinkan

digunakan pada makanan dalam batas tertentu menurut Peraturan Menteri

Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan

Makanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan

RI Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan

Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 antara lain

adalah :

1) Antioksidan (Antioxidant)

Antioksidan berfungsi untuk menghambat oksidasi lemak atau

melindungi komponen-komponen makanan yang bersifat tidak jenuh,

terutama lemak dan minyak. Tujuan utamanya ditambahkan ke dalam

produk pangan adalah untuk memperpanjang daya simpan dan

meningkatkan stabilitas makanan dan banyak mengandung lemak.

Jenis antioksidan yang diizinkan dalam makanan antara lain asam

askorbat serta garam kalium, garam kalium dan garam natrium; asam

eritorbat serta garam natrium, askorbil palmitat; askorbil stearat

(Ascorbil Stearate); butil hidroksianisol (BHA); butil hidrogsianisol

tersier (BHT).

2) Antikempal (Anticaking Agent)

Fungsi zat antikempal adalah untuk mencegah atau mengurangi

kecepatan pengempalan makanan yang mempunyai sifat hidroskopis

atau mudah menyerap air. Senyawa antikempal umumnya bersifat

tidak toksik dan ikut terserap oleh metabolisme tubuh, penggunaannya

perlu memperhatikan ambang batas pemakaian yang dianjurkan

Page 87: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

(Cahyo Saparinto dan Diana Hidayati,2006 :31-32). Jenis bahan

antikempal yang diizinkan ditambahkan dalam makanan antara lain

alumunium silikat, kalsium alumunium silikat, kalsium silikat,

magnesium karbonat, magnesium oksida serta magnesium silikat,

miristat, palmitat dan stearat dalam bentuk garam dengan Al, Ca, Na,

Mg, K, NH4, natrium alumino silikat.

3) Pengatur Keasaman (Acidity Regulator)

Pengatur asam adalah senyawa kimia yang bersifat kimia yang bersifat

asam dan berfungsi untuk mengasamkan, menetralkan, dan

mempertahankan derajat keasaman dalam proses pengolahan bahan

makanan. Dengan penambahan bahan pengasam diharapkan makanan

yang dihasilkan memiliki cita rasa khas, warna stabil, dan lebih tahan

lama (Cahyo Saparinto dan Diana Hidayati, 2006 :33-34). Jenis bahan

pengasam antara lain alumunium ammonium sulfat, alumunium

kalium sulfat, alumunium natrium sulfat, amonium bikarbonat,

amonium hidroksida, ammonium karbonat, asam adipat.

4) Pemanis Buatan (Artificial Sweetener)

Pemanis buatan adalah bahan tambahan yang dapat menyebabkan rasa

manis pada pangan tetapi tidak memiliki nilai gizi. Pengertian pemanis

buatan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

Republik Indonesia Nomor : Hk.00.05.5.1.4547 Tentang Persyaratan

Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan Dalam Produk

Pangan adalah “Pemanis buatan adalah bahan tambahan pangan yang

dapat menyebabkan rasa manis pada produk pangan yang tidak atau

sedikit mempunyai nilai gizi atau kalori, hanya boleh ditambahkan ke

dalam produk pangan dalam jumlah tertentu”. Beberapa pemanis

sintetis yang telah dikenal dan banyak digunakan adalah sakarin,

siklamat, aspartam, sorbitol (Wisnu Cahyadi, 2006:68)

5) Pemutih dan Pematang Tepung (Flafour Treatment Agent).

Pemutih dan pematang tepung adalah bahan tambahan makanan yang

dapat mempercepat proses pemutihan dan atau pematang tepung

Page 88: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

sehigga dapat memperbaiki mutu pemanggangan. Jenis pemutih dan

pematang tepung yang diizinkan dalam makanan antara lain asam

askorbat, aseton peroksida, azodikarbonamida, kalsium stearoil z-

laktilat, natrium stearil fumarat, natrium stearoil-z-laktilat, l-sisteina.

6) Pengemulsi, Pemantap, Pengental (Emulsifier, Stabilizer, Thickener)

Pengemulsi, pemantap dan pengental adalah bahan tambahan makanan

yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan system

disperse yang homogen pada makanan. Jenis pengemulsi, pemantap,

pengental yang diizinkan dalam makanan terdapat 88 jenis diantaranya

adalah agar; amonium alginate; amonium postatidat; asam alginat;

aseptil dipati adipat; asetil dipati fosfat; asetil dipati gliserol; dekstrin,

pati gosong,putih dan kuning; dikalium fosfat; dikalsium fosfat;

dinatrium difosfat; dinatrium fosfat.

7) Pengawet (Preservative)

Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang mencegah atau

menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap

makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Jenis pengawet

antara lain asam benzoate (benzoad acid), asam propionat, asam

sorbat, belerang dioksida, etil p-hidrok-sibenzoat, kalium benzoate,

kalium bisulfit, kalium metabisulfit, kalium nitrat, kalium nitrit, kalium

propionat, kalium sorbat, kalium sulfit, kalsium benzoat, kalsium

propionat, kalsium sorbat, metal p-hidroksibenzoat, natrium benzoat,

natrium bisulfit, natrium metabisulfit, natrium nitrat, natrium nitrit,

natrium propionat, natrium sulfit, nisin, propel-p hidroksibenzoat.

8) Pengeras (Firming Agent)

Pengeras adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperkeras

atau mencegah melunaknya makanan. Jenis pengeras antara lain

alumunium amonium sulfat, alumunium kalium sulfat, alumunium

natrium sulfat, alumunium sulfat (anhidrat), kalsium glukonat, kalsium

karbonat, kalsium klorida, kalsium laktat, kalsium sitrat, kalsium

sulfat, monoalsium fosfat.

Page 89: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

9) Pewarna (Colour)

Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki

atau memberi warna pada makanan. Pewarna terdiri atas pewarna

alami dan pewarna sintetis. Pewarna sintetis mempunyai kelebihan,

yaitu warnanya homogen dan penggunaannya sangat efisien karena

hanya memerlukan jumlah yang sedikit, akan tetapi, kekurangannya

adalah jika pada saat proses terkontaminasi logam berat, pewarna ini

akan berbahaya bagi kesehatan kita (Nurchasanah,2008:128).

Selanjutnya menurut Indra Chahaya S yang mengutip pendapat

Winarno dan Sulistyowati, hal-hal yang memberikan dampak negatif

tersebut bila bahan pewarna sintetik ini dimakan dalam jumlah kecil

namun berulang; bahan pewarna sintetik dimakan dalam waktu lama;

kelompok masayarakat luas dengan daya tahan yang berbeda-beda,

yaitu tergantung pada umur, jenis kelamin, berae badan, mutu

makanan sehari-hari dan keadaan fisik; berbagai masayarakat yang

mungkin menggunakan bahan pewarna sintetik secara berlebihan;

penyimpangan bahan pewarna sintetik oleh pedagang bahan kimia

yang tidak memenuhi persyaratan (Indra Chahaya S,2003:43). Jenis

pewarna yang diizinkan dalam makanan antara lain :

(1) Pewarna alami, terdiri atas anato (CI No.75120), beta-Apo-8

karotenal (CI No. 80820), acid Beta-Apo-8 karotenoat (CI No.

40825), kantasantin (CI No. 40850), karamel ammonia sulfit

proses, karamel, karmin (CI.No.75470), beta karoten (CI.75130),

klorofil (CI.No. 75810), klorofil tembaga komplek (CI. No.75810),

kurkumin (CI.No.75300), ribovlavin, titanium dioksida (CI No.

77891).

(2) Pewarna sintetis, yang terdiri atas biru berlian (CI.No.42090),

coklat HT (CI No.20285), eritrosin (CI No.45430), hijau FCF (CI

No.42053), hijau S (CI No.44090), indigotin (CI No.73015),

karmoisin (CI No. 14720), kuning FCF (CI No.73015), kuning

Page 90: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

kuinolin (CI No.47005), merah allura (CI No.16035), ponceau 4R

(CI No.16255), tartrazin (CI No.19140).

10) Penyedap Rasa dan Aroma, Penguat Rasa (Flavour, Flavour

Enhancer)

Penyedap Rasa dan Aroma, Penguat Rasa adalah bahan tambahan

makanan yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa

dan aroma.

1) Penyedap Rasa dan Aroma, jenis yang diizinkan ditambahkan

dalam makanan terdapat 75 jenis diantaranya adalah alil

isotiosianat,alil kaproat,alil sikloheksil propionat, alpha-amyl

sinamaldehida, anisaldehida, asam butirat, asam kaproat, asam

sinamat,benzaldehida, benzil alkohol, benzil asesat, benzil

propionat, d-borneol, butil asesat, butil butirat, desil aldehida, desil

alkohol, etil butirat.

2) Penguat Rasa (Flafour Enchancer), dengan batas maksimum

penggunaan secukupnya antara lain jenis asam guanilat, asam l-

glutamat, asam inosinat, kalium dan natrium 5 ribonucleotida.

11) Sekuestran (Sequestrant)

Sukestran adalah bahan tambahan makanan yang dapat mengikat ion

logam yang ada dalam makanan. Jenis sukestran yang diizinkan dalam

makanan antara lain asam fosfat, asam sitrat, dikalium fosfat,

dinatrium difosfat, dinatrium edetat, dinatrium fosfat, isopropil sitrat,

kalium pirofosfat, kalium tripirofosfat, kalsium dinatrium edetat,

kalsium sitrat,monogliserida sitrtat, monokalium fosfat, mononatrium

fosfat, natrium pirofosfat, natrium polifosfat, natrium sitrat, natrium tri

polifosfat, oksistearin, stearil sitrat, trikalium fosfat, trinatrium fosfat.

Bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan,

menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1168/Menkes/Per/X/1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri

Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/ Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan

Makanan, antara lain :

Page 91: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

1) Asam Borat (Boric Acid) dan senyawanya

Meskipun bukan pengawet makanan, asam borat yang lebih

dikenal dengan istilah boraks sering pula digunakan sebagai pengawet

makanan. Boraks juga dikenal dengan sebutan garam bleng, bleng,

atau pijer. Boraks yang disebut juga asam borat, natrium tetra borax

atau sodium borat bersifat toksik atau meracun untuk manusia. Dalam

kondisi toksis yang kronis (karena mengalami kontak dalam jumlah

sedikit demi sedikit namun dalam jangka waktu panjang) akan

mengakibatkan tanda-tanda merah pada kulit, seizure, dan gagal ginjal.

Boraks juga dapat mengakibatkan iritasi pada kulit, mata atau saluran

respirasi, mengganggu kesuburan dan janin. Dosis letal (dosis yang

dapat mengakibatkan kematian) pada dewasa 20 gram, sedangkan pada

anak-anak dan binatang kesayangan kurang dari 5 gram (Nurheti

Yuliarti,2007:49-50).

2) Asam Salisilat dan garamnya (Salicylic Acid and its salt)

Asam salisilat seringkali ditemukan pada buah dan sayur. Zat

ini sebenarnya merupakan suatu antiseptic yang memperpanjang masa

keawetan. Asam salisilat bersifat sangat iritatif sehingga sebenarnya

asam salisilat hanya baik digunakan sebagai obat luar (lotion) .Sampai

saat ini asam salisilat memang masih digunakan sebagai obat yang

diberikan secara oral (lewat mulut). Namun demikian, obat ini akan

menimbulkan efek samping berupa gangguan lambung, pusing,

berkeringat, mual dan muntah. Asam salisilat apabila digunakan secara

terus menerus dapat pula mengakibatkan kekurangan zat besi,

sedangknan apabila asam salisilat diberikan dalam jumlah besar dapat

mengakibatkan pendarahan lambung (Nurheti Yuliarti, 2007:33-34).

3) Dietilpirokarbonat (Diethylpirocarbonate DEPC)

Bahan berbahaya ini sering digunakan oleh produsen makanan

dan minuman untuk pengawet. DEPC berfungsi sebagai anti mikroba

untuk jamur, ragi, dan bakteri pada produk-produk minuman ringan

(nonkarbonasi), minuman sari buah dan minuman hasil fermentasi.

Page 92: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

Saat ini DEPC sudah dilarang penggunaannya mengingat bahayanya

terhadap kesehatan (Nurheti Yuliarti,2007 :52).

4) Dulsin (Dulcin)

Dulsin adalah jenis pemanis yang dilarang penggunaannya

telah dilarang di Indonesia. Dulsin dikenal dengan nama sucrol dalam

perdagangan. Dulsin dalam bahan pangan digunakan sebagai

pengganti sukrosa bagi orang yang perlu berdiet. Konsumsi dulsin

yang berlebihan akan menimbulkan dampak yang membahayakan bagi

kesehatan (Nurheti Yuliarti,2007:30).

5) Kalium Klorat (Potassium Chlorate)

Kalium klorat telah dinyatakan dilarang untuk bahan tambahan

makanan. Bahan ini seringkali digunakan oleh sejumlah pedagang

makanan untuk mengawetkan makanan. Akibat penggunaan bahan ini

untuk konsumsi akan muncul berbagai gangguan kesehatan seperti

iritasi saluran pernapasan, gangguan fungsi ginjal, hemolisis sel darah

merah dan methemoglobinemia akan terjadi pada orang yang

mengkonsumsinya dalam jumlah besar (Nurheti Yuliarti,2007:51).

6) Kloramfenikol (Chloramphenicol)

Kloramfenikol sebenarnya merupakan suatu antibiotika.

Antibiotika ini sering disalahgunakan untuk pengawet susu.

Kloramfenikol berbahaya jika dikonsumsi setiap waktu karena

merupakan suatu antibiotika yang tidak sembarangan dapat

dikonsumsi (Nurheti Yuliarti, 2007 :52).

7) Minyak Nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils)

Minyak nabati yang dibrominasi dapat menstabilkan peneyedap

rasa dan aroma dalam minuman ringan.

8) Nitrofurazon (Nitrofurazone)

Nitrofurazon merupakan bahan sintetik yang bersifat

bakterisida pada hewan.

9) Formalin (Formaldehyde)

Page 93: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

Formalin merupakan gas formaldehid yang tersedia dalam

bentuk larutan 40%. Bahan ini bisa diperoleh dengan mudah di toko-

toko kimia. Formalin sebenarnya adalah bahan pengawet yang

digunakan dalam dunia kedokteran, misalnya sebagai bahan pengawet

mayat (Cahyo Saparinto dan Diana Hidayati, 2006:62-63).

Kesalahan fatal yang dilakukan oleh para produsen makanan

adalah menggunakan formalin sebagai bahan pengawet makanan . Hal

ini disebabkan oleh kurangnya informasi tentang formalin dan

bahanya, tingkat kesadaran kesehatan masyarakat yang masih rendah,

harga formalin yang sangat murah dan kemudahan memperoleh

formalin. Selain itu, formalin efektif digunkan sebagai pengawet.

Penggunannya hanya dalam jumlah sedikit. Sebaliknya, konsumen

mau menerima bahan makanan yang mengandung formalin karena

ketidaktahuan mereka dan kecenderungan untuk mendapatkan

makanan yang murah dan awet. Selain itu konsumen belum bisa

membedakan produk yang diawetkan dengan pengawet pangan dan

produk yang diawetkan dengan formalin (Cahyo Saparinto dan Diana

Hidayati, 2006:63).

Penggunaan formalin sebagai pengawet makanan bisa

menimbulkan gangguan kesehatan. Formalin tidak dapat hilang dengan

pemanasan. Efek samping penggunaan formalin tidak secara langsung

akan terlihat. Efek ini hanya terlibat secara kumulatif, kecuali jika

seseorang mengalami keracunan formalin dengan dosis tinggi. Oleh

karena itu penggunaan formalin dalam makanan tidak dapat ditoleransi

dalam jumlah sekecil apapun.Keracunan formalin dapat menyebabkan

iritasi lambung dan alergi. Formalin juga bersifat karsinogen

(menyebabkan kanker) dan mutagen (menyebabkan perubahan fungsi

sel). Dalam kadar yang sangat tinggi formalin bisa menyebabkan

kegagalan peredaran darah yang bermuara pada kematian.

10) Kalium Bromat (Potassium Bromate)

Page 94: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80

Kalium bromat tidak boleh digunakan sebagai bahan tambahan

makanan karena merupakan bahn kimia yang dalam dosis berlebih

dalam tubuh dapat mengakibatkan muntah-muntah, diare,

methemoglobinea dan reinjury (Nurheti Yuliarti, 2007:53).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

239/Men.Kes/Per/V/85 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan

sebagai Bahan Berbahaya sebagaimana telah diubah dengan Keputusan

Direktur Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 00386/C/SK/90 tentang

Perubahan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor :

239/Menkes/Per/V/85 Tentang Zat warna Tertentu yang Dinyatakan

sebagai Bahan Berbahaya ada beberapa jenis zat pewarna yang dinyatakan

berbahaya dan dilarang penggunaannya bagi obat dan makanan, kecuali

mendapat izin Kepala BPOM antara lain:

1) Auramine (C.I Basic Yellow 2), nomor indeks warna 41000.

2) Alkanet, nomor indeks warna 75520.

3) Butter Yellow (C.I. Solvent Yellow 2), nomor indeks warna 11020.

4) Black 7984 (Food Vlack 2), nomor indeks warna 27755.

5) Burn Unber (Pigment Brown 7), nomor indeks warna 77491.

6) Chrysoidine (C.I. Basic Orange 2), nomor indeks warna 11270.

7) Chrysoine S (C.I Food Yellow 8), nomor indeks warna 14270.

8) Citrus Red No. 2, nomor indeks warna 12156.

9) Chocolate Brown FB (Food Brown 2).

10) Fast Red E (C. I Food Red 4), nomor indeks warna 16045.

11) Fast Yellow AB (C. I Food Yellow 2), nomor indeks warna 13015.

12) Guinea Green B (C. I Acid Green No. 3), nomor indeks warna 42085.

13) Indanthrene Blue RS (C. I Food Blue 4), dengan indeks warna 69800.

14) Magenta ( C. I Basic Violet 14), dengan nomor indeks warna 42510.

15) Metanil Yellow (Ext. D&C Yellow No. 1), dengan indeks warna 13065.

16) Oil Orange SS (C. I Solvent Orange 2), nomor indeks warna 12100.

17) Oil Orange XO (C. I Solvent Orange 7), nomor indeks warna 12140.

18) Oil Orange AB (C. I Solvent Yellow 5), nomor indeks warna 11380.

Page 95: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81

19) Oil Yellow AB (C. I Solvent Yellow 6), nomor indeks warna 11390 .

20) Orange G (C. I Food Orange 4), nomor indeks warna 16230.

21) Orange GGN (C. I Food Orange 2), nomor indeks warna 15980.

22) Orange RN (Food Orange 1), nomor indeks warna 15970.

23) Orchid and Orcein.

24) Ponceau 3R (Acid Red 1), nomor indeks warna 16155.

25) Ponceau SX (C. I Food Red 1), nomor indeks warna 14700.

26) Ponceau 6R (C. I Food Red 8), nomor indeks warna 16290.

27) Sudan I (C. I Solvent Yellow 14), nomor indeks warna 12055.

28) Scarlet GN (Food Red 2), nomor indeks warna 14815.

29) Violet 6 B, nomor indeks warna 42640.

Selain itu, ada beberapa jenis zat pewarna tertentu yang dinyatakan

sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan, dan kosmetika antara lain :

1) Jingga K1 (C.I. Pigment Orange 5,D&C Orange No. 17),dengan

nomor indeks warna C.I Nomor 12075.

2) Merah K3 (C. I Pigment Red 53,D&C Red No. 8), dengan nomor

indeks warna C.I Nomor 15585.

3) Merah K4 (C. I. Pigment Red 53 : 1,D&C Red No. 9),dengan nomor

indeks warna C.I Nomor 15585: 1.

4) Merah K10 (Rhodamine B, D&C Red No. 9,C.I. Food Red 15),dengan

nomor indeks warna C.I Nomor 45170.

5) Merah K11, dengan nomor indeks warna C.I Nomor 45170:1.

Dari berbagai jenis pewarna tekstil yang disalahgunakan sebagai

pewarna makanan, yang paling banyak digunakan adalah rhodamin b dan

metanyl yellow. Padahal keduanya dapat mengakibatkan gangguan

kesehatan yang mungkin baru muncul bertahun-tahun setelah kita

mengonsumsinya (Nurheti Yuliarti, 2007 :91). Penggunaan rhodamin b

pada makanan pada jangka waktu lama (kronis) akan mengakibatkan

gangguan fungsi hati maupun kanker, namun apabila terpapar rhodamin b

dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan terjadi keracunan

rhodamin b. Bila rhodamin b tersebut masuk melalui makanan maka akan

Page 96: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

mengakibatkan iritasi pada saluran pencernaan dan mengakibatkan gejala

keracunan dengan air kencing yang berwarna merah ataupun merah muda.

Methanyl yellow adalah senyawa kimia azo aromatic amin yang dapat

menimbulkan tumor dalam jaringan hati, kandung kemih, saluran

pencernaan atau jaringan kulit (Nurheti Yuliarti, 2007:92-93).

2. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Penggunaan BTM Dalam

Produk Pangan yang Dikonsumsi oleh Anak

Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk

terus menerus meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat

Indonesia secara adil dan merata dalam segala aspek kehidupan serta

diselenggarakan secara terpadu, terarah, dan berkesinambungan dalam

rangka mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, baik

material maupun spiritual, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut Sagung Seto yang mengutip pendapat dari Prof.Dr.Ir.

M.Aman Wirakartakusumah, pangan merupakan kebutuhan dasar yang

sangat penting baik bagi setiap insan baik secara fisiologis, psikologis,

sosial maupun antropologis. Pangan selalu terkait dengan upaya manusia

untuk mempertahankan hidupnya (Sagung Seto, 2001:1).

Sumber daya manusia yang berkualitas selain merupakan unsur

terpenting yang perlu memperoleh prioritas dalam pembangunan, juga

sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan. Peningkatan

kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan, antara lain, oleh kualitas

pangan yang dikonsumsinya. Kebutuhan akan pangan merupakan

kebutuhan dasar bagi manusia. Kebutuhan ini berkaitan erat dengan

kesehatan dan keselamatan manusia yang mengkonsumsinya, oleh karena

itu tanggung jawab pelaku usaha di bidang pangan dan pengolahan pangan

merupakan tanggung jawab besar dan berat, sehingga pelaku usaha harus

bisa menjamin keamanan produknya.

Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang

Pangan menyebutkan bahwa ”badan usaha yang memproduksi pangan

Page 97: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

83

olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan usaha

yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggung

jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan

orang lain yang mengkonsumsinya”.

Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pelaku usaha dalam

menjaga keamanan pangan terkait dengan penggunaan BTM dalam produk

makanan, khususnya dalam hal ini adalah makanan yang dikonsumsi anak-

anak, maka Pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang

Pangan yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan ketentuan Pasal 11 dan

Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan,

Mutu, dan Gizi Pangan, melarang setiap orang yang memproduksi pangan

yang diedarkan menggunakan BTM yang dilarang penggunaannya untuk

makanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI

Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan

Juncto Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan

Tambahan Makanan dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

239/MEN.KES/PER/V/85 Tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan

sebagai Bahan Berbahaya. Selain daripada itu, pelaku usaha juga dilarang

menggunakan BTM yang diizinkan penggunaannya dalam dosis tertentu

melampaui ambang batas maskimal yang ditetapkan sebagaimana diatur

dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan Juncto

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan.

Penggunaan BTM dalam produk pangan yang tidak mempunyai

resiko terhadap kesehatan manusia dapat dibenarkan, namun penggunaan

bahan yang yang dilarang sebagai BTM atau penggunaan BTM secara

berlebihan sehingga melampaui ambang batas maksimal tidak dibenarkan

Page 98: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

karena dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia yang

mengkonsumsinya.

Selanjutnya untuk bahan yang akan digunakan sebagai BTM

tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia sebagaimana

dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor RI 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan

Makanan, wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya. Penggunaan

BTM tersebut dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk

diedarkan dilakukan setelah memperoleh persetujuan pemerintah.

Berdasaran Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan

Nomor : 02592/B/SK/VIII/91 tentang Penggunaan Bahan Tambahan

Makanan yang menindaklanjuti ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan

Tambahan Makanan, pada Pasal 1 ayat (2) dijelaskan bahwa menggunakan

bahan tambahan lain dalam makanan atau menggunakan dengan tujuan

lain, selain yang diizinkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan hanya

dapat diizinkan setelah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal

Pengawas Obat dan Makanan yang saat ini diubah namanya menjadi

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Memperhatikan ketentuan tersebut maka dalam penggunaan BTM

ke dalam makanan, khususnya makanan yang dikonsumsi oleh anak-anak

wajib menggunakan BTM yang diizinkan oleh pemerintah, yaitu bahan

tambahan makanan yang diziinkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI

Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/88 tentang Bahan Tambahan

Makanan.

Tentang keamanan pangan yang menggunakan BTM apabila

dikaitkan dengan Pasal 4 huruf a UUPK, Pasal 10 Undang-Undang Nomor

Page 99: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

85

7 Tahun 1996 tentang Pangan yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan

ketentuan Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun

2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, maka dapat dikatakan

bahwa konsumen dalam penggunaan produk pangan olahan yang

mengandung BTM telah dilindungi hak-haknya dalam hal kenyamanan,

keamanan dan keselamatan.

Bagi konsumen, mereka memerlukan produk yang aman bagi

kesehatan tubuh atau keamanan jiwa, serta pada umumnya untuk

kesejahteraan keluarga atau rumah tangganya. Dengan demikian yang

diperlukan adalah kaidah-kaidah hukum yang menjamin syarat-syarat

aman setiap produk bagi konsumsi manusia, dilengkapi dengan informasi

benar, jujur dan bertanggungjawab (Celina Tri Siwi K,2008:26).

Tanggung jawab erat kaitannya dengan kewajiban. Menurut Pasal

7 UUPK, kewajiban pelaku usaha antara lain:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi

penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur

serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang

dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan

dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang

diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas

kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan

barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; memberi

kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai

dengan perjanjian.

Sesuai dengan ketentuan di atas, apabila dikaitkan dengan

tanggung jawab pelaku usaha untuk menjamin keamanan pangan yang

diproduksi, maka pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar,

jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Pelaku

Page 100: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86

usaha yang memproduksi pangan dalam kemasan, dalam memproduksi

dan mengedarkan pangan sudah seharusnya memenuhi kewajiban tersebut

dalam hal penggunaan BTM dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh

anak. Sudah seharusnya anak sebagai konsumen menerima informasi yang

benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan atas keamanan

pangan terkait penggunaan BTM.

Perdagangan pangan yang menggunakan bahan pewarna yang

tidak diperuntukkan bagi pangan atau perbuatan-perbuatan lain yang

akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapat mengancam

kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anak-anak pada

umumnya dilakukan melalui penipuan pada label pangan atau melalui

iklan. Label dan iklan pangan yang tidak jujur dan atau menyesatkan

berakibat buruk terhadap perkembangan kesehatan manusia. Dalam

hubungannya dengan masalah label dan iklan pangan maka masyarakat

perlu memperoleh informasi yang benar, jelas dan lengkap baik mengenai

kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai

pangan yang beredar di pasaran. Informasi pada label pangan atau melalui

iklan sangat diperlukan bagi masyarakat agar supaya masing-masing

individu secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan atau

mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yang jelas maka

kecurangan-kecurangan dapat terjadi.

Salah satu tujuan dari perlindungan konsumen seperti tertuang

dalam Pasal 3 UUPK, yaitu “menciptakan sistem perlindungan konsumen

yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta

akses untuk mendapatkan informasi”. Informasi merupakan hal yang

penting bagi konsumen. Dalam suatu kemasan pangan, informasi biasanya

dalam bentuk label. Tujuan pemberian label pada pangan yang dikemas

sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah agar masyarakat

yang membeli dan atau mengkonsumsi pangan memperoleh informasi

yang benar dan jelas tentang setiap produk pangan yang dikemas, baik

Page 101: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

87

menyangkut asal, keamanan, mutu, kandungan gizi, maupun keterangan

lain yang diperlukan sebelum memutuskan akan membeli dan atau

mengkonsumsi pangan tersebut. Dengan membaca informasi yang tertera

pada label maka konsumen dapat menentukan produk pangan yang cocok

untuk dikonsumsi.

Penyampaian informasi kepada konsumen tersebut dapat berupa

representasi, peringatan, maupun instruksi. Peringatan dan instruksi

mempunyai fungsi yang berbeda. Instruksi terutama telah diperhitungkan

untuk menjamin efisiensi penggunaan produk, sedangkan peringatan

dirancang untuk menjamin keamanan penggunaan produk. Peringatan

yang merupakan bagian pemberian informasi kepada konsumen ini

merupakan pelengkap dari proses produksi. Peringatan yang diberikan

kepada konsumen memegang peranan penting dalam kaitan dengan

keamanan suatu produk (Celina Tri Siwi K,2008:44-45). Ketentuan

mengenai pemasangan label berlaku bagi pangan yang telah melalui

proses pengemasan akhir dan siap untuk diperdagangkan (pre-packaged),

tetapi tidak berlaku bagi perdagangan pangan yang dibungkus di hadapan

pembeli.

Orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan

hukum maupun tidak yang memproduksi atau memasukkan pangan yang

dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib

mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.

Menurut Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang

Pangan juncto Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999

tentang Label dan Iklan Pangan, label sekurang-kurangnya memberikan

keterangan tentang :

a. nama produk;

b. daftar bahan yang digunakan;

c. berat bersih atau isi bersih;

d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan

ke dalam wilayah Indonesia;

Page 102: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

88

e. keterangan tentang halal; dan

f. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa.

Penggunaan bahan tambahan makanan pada makanan, termasuk

makanan yang dikonsumsi oleh anak wajib mencantumkan keterangan

atasnya dan pencantuman ini ditempatkan dalam daftar bahan pangan yang

digunakan. Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang

Label dan Iklan Pangan menyebutkan bahwa :

(1) Untuk pangan yang mengandung Bahan Tambahan Pangan, pada

label wajib dicantumkan golongan Bahan Tambahan Pangan.

(2) Dalam hal Bahan Tambahan Pangan yang digunakan memiliki

nama Bahan Tambahan Pangan dan atau kode internasional, pada

label dapat dicantumkan nama Bahan Tambahan dan kode

internasional dimaksud, kecuali Bahan Tambahan Pangan berupa

pewarna.

(3) Dalam hal Bahan Tambahan Pangan berupa pewarna, selain

pencantuman golongan dan nama Bahan Tambahan pangan, pada

Label wajib dicantumkan indeks pewarna yang bersangkutan.

Pencantuman nama golongan bahan tambahan pangan diperlukan

agar setiap orang yang mengkonsumsi pangan secara jelas dapat

mengetahui jenis-jenis bahan tambahan pangan yang dipergunakan.

Kewajiban untuk mencantumkan nomor kode internasional memudahkan

bagi setiap orang yang memproduksi ataupun mengkonsumsi pangan

tertentu sekaligus memudahkan pengawasannya.

Pasal 15 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/

MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan megatur

bahwa pada makanan yang mengandung BTM, maka pada labelnya harus

dicantumkan nama golongan BTM. Makanan yang mengandung BTM

golongan antioksidan, pemanis buatan, pengawet, pewarna dan penguat

rasa pada label tidak hanya mencantumkan golongan BTM, tetapi harus

mencantumkan pula nama BTM dan indeks khusus untuk pewarna.

Ditegaskan dalam Pasal 25 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

722/ MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan yang

menyebutkan bahwa “dilarang mengedarkan makanan dan bahan

tambahan makanan yang tidak berlabel“. Ketentuan tersebut dengan jelas

Page 103: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

89

melarang setiap orang untuk mengedarkan makanan kemasan yang tidak

mencantumkan label.

Selanjutnya Pasal 6 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan

Makanan Nomor Hk .00.05.5.1.4547 tentang Persyaratan Penggunaan

Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan diatur

bahwa “Produk pangan yang menggunakan pemanis buatan harus

mencantumkan jenis dan jumlah pemanis buatan dalam komposisi bahan

atau daftar bahan pada label”.

Keputusan Kepala BPOM RI Nomor Hk.00.05.5.1.4547

mensyaratkan bahwa produk pangan yang menggunakan pemanis buatan

harus mencantumkan jenis dan jumlah pemanis buatan dalam komposisi

bahan atau daftar bahan pada label. Selain itu orang perseorangan atau

badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak yang

memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah

Indonesia untuk diperdagangkan dan menambahkan pemanis buatan pada

pangan wajib mencantumkan peringatan Fenilketonuria: mengandung

fenilalanin, yang ditulis dan terlihat jelas pada label jika makanan atau

minuman atau sediaan menggunakan pemanis buatan aspartam.

Selanjutnya wajib mencantumkan peringatan: konsumsi

berlebihan dapat mengakibatkan efek laksatif, yang ditulis dan terlihat

jelas pada label makanan atau minuman atau sediaan yang menggunakan

pemanis buatan laktitol atau manitol atau sorbitol, yang apabila diyakini

dikonsumsi lebih dari 20 gram laktitol perhari atau 20 gram manitol

perhari atau 50 gram sorbitol perhari.

Peraturan Kepala BPOM RI Nomor : HK.00.06.1.52.6635 tentang

Larangan Pencantuman Informasi Bebas Bahan Tambahan Pangan Pada

Label dan Iklan Pangan melarang pencantuman informasi bebas BTP pada

label dan iklan pangan. Informasi bebas bahan tambahan pangan tersebut

meliputi pernyataan dan atau tulisan dengan menggunakan kata “bebas”,

“tanpa”, “tidak mengandung” atau kata semakna lainnya.

Page 104: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

90

Sebagai contoh beberapa jajanan anak dalam kemasan yang

menambahkan bahan tambahan makanan, antara lain :

a. Permen Marbels Colors yang diproduksi oleh PT.Perfetti Van Melle

Indonesia-Bogor dengan lisensi Perfetti Van Melle Benelux B.V

Netherlands dalam label mencantumkan komposisi yang terkandung di

dalammya antara lain : gula ; sirup glukosa; minyak nabati; pengatur

keasaman : asam sitrat, tepung beras; pengental : GOM Arab, GOM

Gellan; perisa : nanas, stroberi, jeruk, blackurrant, apel; ekstrak :

nanas, stroberi, jeruk, blackurrant, apel; pengemulsi : ester sukrosa,

asam lemak; pewarna : tartrazin C I 19140, kuning FCF CI 15985,

indigotin CI 73015, biru berlian CI 42090, karmoisin CI 14720, merah

allura CI 16035; pelapis : karnauba wax.

b. Simba Chocho Rillas yang diproduksi oleh PT. Simba Indosnack

Makmur dalam label mencantumkan komposisi yang terkandung di

dalammya antara lain : tepung gandum; coklat bubuk; pasta coklat;

susu bubuk; gula; ekstrak malt; garam beryodium; pengemulsi letisin

kedelai; perisa coklat; kalsium karbonat; pewarna alami karamel (E-

150 C).

c. Garuda Kacang Atom yang diproduksi oleh PT. Garudafood Putra

Putri Jaya dalam label mencantumkan komposisi yang terkandung di

dalammya antara lain : tepung tapioka; kacang tanah; minyak nabati;

bawang putih; garam; gula; penguat rasa mononatrium glutamate,

pemanis buatan (Aceculfam-K5,63 mg/saji) ADI :15 mg/kg berat

badan, aspartam 0,92 mg/saji : ADI 50 mg/kg berat badan. Selain itu

pada kemasan juga tertulis “mengandung gula dan pemanis buatan”

dan “mengandung Fenilalanin, tidak cocok untuk penderita

Fenilketonuria”. Peringatan tersebut wajib dicantumkan karena dalam

garuda kacang atom mengandung pemanis buatan jenis aspartam.

d. Mie Gemez Enaak yang diproduksi oleh PT.Siantar Top Sidoarjo

Indonesia dalam label mencantumkan komposisi yang terkandung di

dalammya antara lain :tepung terigu; tepung tapioka; minyak sayur;

Page 105: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

91

bawang merah; bawang putih; perisa ayam; kecap; gula; penguat rasa :

mononatrium glutamat, garam, natrium karbonat, natrium polifosfat,

guar gum; pemanis sukralosa, pewarna makanan coklat HT CI 20285,

pewarna tartrazin CI 19140, pewarna makanan kuning FCF CI 15985.

e. Alpenliebe Lollipop Bluez yang diproduksi oleh PT. Perfetti Van

Melle Indonesia-Bogor lisensi Perfetti Fan Melle S.p.A.,Lainate (MI)

Italy dalam label mencantumkan komposisi yang terkandung di

dalammya antara lain : gula; sirup maltosa; minyak nabati; krim susu;

pengatur keasaman : asam laktat, natrium laktat; pewarna : titanium

dioksida CI 77891, biru berlian CI 42090, perisa : stroberi, vanilla,

garam; pengemulsi : letisin kedelai, ekstrak stroberi.

f. Pop Ice yang diproduksi oleh PT.Forisa Nusapersada dalam label

mencantumkan komposisi antara lain : gula; coklat bubuk; krim nabati;

susu bubuk; krim nabati; susu bubuk; perisa coklat; pemanis buatan

aspartam ≤ 0,04 g/sachet (ADI 50 mg/kg berat badan/hari); natrium

siklamat ≤ 0,02 g/sachet (ADI 11 mg/kg berat badan /hari);

acesulfame-K ≤ 0,059 / sachet (ADI 15 mg/kg berat badan /hari).

Fenilketonuria : Mengandung Fenilalanin, peringatan ini

dicantumkan karena pop ice mengandung pemanis buatan jenis

aspartam.

Mengandung gula dan pemanis buatan.

g. Milkuat susu caramel yang diproduksi oleh PT.Danone Dairy

Indonesia dalam label mencantumkan komposisi antara lain : air; susu

segar; gula pasir; susu bubuk full cream; pemantap nabati; trikalsium

fosfat; garam; perisa caramel; dinatrium fosfat; perisa krim; premiks

vitamin; pemanis buatan (aspartam 12,5 mg /saji dan asesulfam K

12,3 mg/saji); pewarna karamel.

Megandung Fenilalanin: tidak cocok untuk penderita

feniketonurik.

Mengandung gula dan pemanis buatan. Tidak cocok untuk bayi.

Page 106: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

92

Berdasarkan contoh jajanan anak dalam kemasan yang diproduksi

oleh pabrikan di atas terlihat bahwa pelaku usaha yang menambahkan

BTM kedalam jajanan anak yang diproduksi dalam bentuk kemasan sudah

melaksanakan tanggung jawabnya untuk menjamin keamanan pangan

yang diproduksi dengan menggunakan BTM yang diizinkan dalam batas

penggunaan yang sesuai. Pelaku usaha jajanan anak pabrikan juga

melaksanakan tanggung jawabnya untuk memberikan informasi yang jelas

dalam penggunaan BTM. Informasi diberikan dengan mencantumkan

golongan BTM yang digunakan pada label kemasan. Selain itu makanan

jajanan anak yang menggunakan penguat rasa juga telah mecantumkan

nama BTM golongan penguat rasa (garuda kacang atom, mie gemez enak).

Pelaku usaha yang menambahan pewarna sintetis dalam jajanan anak yang

diproduksi selain telah mencantumkan golongan dan nama pewarna

(BTM), pada label juga telah mencantukan indeks pewarna yang

bersangkutan. Selanjutnya pelaku usaha yang menambahkan pemanis

buatan juga telah melaksanakan tanggung jawabnya dengan mencantukan

jenis dan jumlah pemanis buatan. Pelaku usaha yang menambahkan

pemanis buatan jenis aspartam dalam jajanan anak yang diproduksinya

(garuda kacang atom, pop ice, milkuat susu caramel) juga telah

melaksanakan tanggung jawabnya dengan mencantumkan peringatan

Fenilketonuria: mengandung fenilalanin, yang ditulis dan terlihat jelas

pada label sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 Keputusan

Kepala BPOM RI Nomor HK.00.05.5.1.4547.

Kewajiban mencantumakan keterangan tentang penggunaan BTM

tidak berarti menunjukkan bahwa produk yang memakai BTM tersebut

tidak aman, akan tetapi pencantuman tersebut lebih bersifat informasi,

sebab pada dasarnya produk pangan yang beredar di pasaran merupakan

produk pangan yang aman untuk dikonsumsi artinya produk pangan

tersebut bebas dari bahan-bahan yang berbahaya bagi manusia serta cara

pengolahannya harus menjamin keamanan produk tersebut. Oleh karena

itu, informasi berupa pencantuman keterangan mengenai BTM yang

Page 107: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

93

digunakan lebih ditujukan untuk memenuhi hak konsumen berupa hak

untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya.

Konsumen dalam hal ini diberi kebebasan untuk memilih apakah

konsumen akan mengkonsumsi produk pangan yang menggunakan BTM

atau produk pangan yang tidak menggunakan BTM. Dengan pencantuman

label penggunaan BTM pada kemasan pangan, maka konsumen produk

pangan telah diberikan dan dilindungi haknya dalam memilih dan

menentukan produk yang mengandung BTM atau yang tidak mengandung

BTM.

Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya, diketahui bahwa pelanggaran terhadap ketentuan penggunaan

BTM justru banyak ditemukan pada pelaku usaha kecil atau pelaku usaha

rumahan, termasuk pelaku usaha jajanan yang menjajakan dagangannya di

sekitar sekolah. Untuk memperkuat fakta hukum tersebut, sebagai contoh

penulis melakukan klarifikasi terhadap instansi pengawas produk pangan

yang beredar di Kota Surakarta yaitu Dinas Kesehatan dan Dinas

Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta.

Berdasarkan pengawasan yang dilakukan terhadap pelaku usaha

yang bergerak dalam bidang pangan yang dalam hal ini adalah makanan

yang dikonsumsi anak, diperoleh fakta bahwa penyimpangan yang masih

banyak ditemukan adalah makanan kemasan hasil industri rumah tangga,

makanan yang dihasilkan oleh pelaku usaha kecil menengah serta

makanan yang dijajakan secara keliling yang dikemas dihadapan pembeli.

Berdasarkan hasil pengambilan sampel makanan yang dilakukan Dinas

Kesehatan Kota (DKK) tahun 2009 lalu, dari 43 sampel makanan yang

diperiksa diketahui 9,3% mengandung bahan berbahaya seperti boraks,

formalin, dan pewarna untuk tekstil, misalnya rodhamin. Pada tahun 2010,

dari 413 sampel, sekitar 9,2% di antaranya mengandung bahan berbahaya.

Untuk tahun 2011 diambil 318 sampel meliputi di swalayan, sekolah dan

pasar, hasilnya 58 (18%) sampel tidak memenuhi syarat, yaitu masih

terdapat kandungan borak, formalin, methanil yellow, rhodamin b dan

Page 108: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

94

penggunaan bahan tambahan makan yang tidak sesuai dengan dosis yang

ditentukan. Dari pengambilan sampel tersebut 10 sampel dari 150 sampel

yang diambil di sekolah-sekolah di Kota Surakarta mengandung bahan

tambahan tidak sesuai ketentuan. Penyimpangan yang ditemukan paling

banyak adalah di pasar. Penyimpangan yang dilakukan umumnya

dilakukan oleh pelaku usaha kecil yang menjual pangan dikemas

dihadapan pembeli yang tidak mempunyai kewajiban mendaftarkan

dagangannya dan dibebaskan dari ketentuan pelabelan serta pangan

kemasan hasil industri rumahan.

Sebagai contoh penulis juga melihat produk makanan anak berupa

jelly yang dihasilkan oleh industri rumah tangga pangan yang

menggunakan BTM. Produk jelly ini melaksanakan tanggung jawab dalam

menjamin keamanan pangan dengan menggunakan BTM yang diizinkan,

namun belum melaksanakan tanggung jawabnya dalam hal pencantuman

label, produk jelly jus doremi yang dihasilkan oleh industri rumah tangga

pangan indo rasa jaya nomor sertifikasi P-IRT No. 208337201158 dalam

label tertulis komposisi pewarna makanan dan pemanis, namun tidak

disebutkan nama dan nomor indeks bahan pewarna makanan yang

digunakan. Selain itu untuk pemanis juga tidak memenuhi persyaratan

pelabelan penggunaan pemanis buatan dalam produk pangan sebagaimana

diatur pada Pasal 6 Keputusan Kepala BPOM Nomor HK. 00.05.5.1.4547.

Contoh lain adalah camilan sejenis kerupuk dengan merek rindu

mas yang dihasilkan oleh industri rumah tangga pangan angkasa dengan

nomor sertifikasi P-IRT No.206331301224 yang dalam komposisi

menyebutkan tepung tapioka, bawang, gula, garam, penyedap rasa,

natrium siklamat, natrium sakarin, egg yellow dan sunset yellow. Makanan

tersebut mengandung pemanis buatan berupa siklamat dan sakarin,

seharusnya mencantumkan jumlah pemanis buatan yang digunakan dalam

label kemasan. Selanjutnya karena makanan tersebut menggunakan

pewarna maka seharusnya tidak hanya mencantumkan nama pewarna

Page 109: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

95

makanan yang digunakan namun juga indeks pewarna yang bersangkutan.

Hal ini tentu tidak sejalan dengan prinsip kejelasan bagi konsumen.

Berdasarkan hasil tersebut selanjutnya penulis melakukan

klarifikasi terhadap pelaku usaha usaha yang memproduksi dan

mengedarkan makanan yang dikonsumsi oleh anak. Menurut pelaku usaha

yang menproduksi dan memperdagangkan makanan dan minuman jajanan

anak di sekitar sekolah, diperoleh fakta bahwa pelaku usaha tersebut

umumnya menggunakan BTM dalam jajanan yang dijual. Bahan tambahan

pangan yang biasa ditambahkan adalah vitsin (msg), pengawet, pewarna

sintetis dan pemanis buatan. Pelaku usaha kecil yang menjajakan jajanan

anak ini tidak mengetahui mengenai standar-standar dalam penggunaan

BTM, mereka belum pernah mendapat sosialisasi mengenai cara produksi

pangan yang baik. Pelaku usaha ini merasa bahwa makanan yang mereka

jajakan memang sudah aman dikonsumsi. Pelaku usaha di bidang jajanan

anak ini mengaku menggunakan bahan tambahan karena pembeli jajanan

mereka (anak-anak) lebih suka makanan yang gurih, berwarna cerah,

untuk bakso ojek dilengkapi dengan saus, selain itu juga disebabkan oleh

faktor kurangnya pengetahuan mengenai peraturan.

Peraturan mengenai penggunaan BTM diberlakukan secara sama

bagi setiap orang yang menggunakannya dalam rangka pengolahan

pangan, tidak dibedakan antara pelaku usaha yang memproduksi dan

mengedarkan makanan untuk dikonsumsi orang dewasa dan makanan

untuk dikonsumsi anak, selain itu tidak dibedakan pula antara untuk

pelaku usaha besar dan pelaku usaha rumahan.

Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, maka dapat diketahui

bahwa perlindungan terhadap konsumen anak belum berjalan secara baik.

Pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab pelaku usaha untuk

menyediakan pangan yang aman dan bermutu dalam rangka pemenuhan

hak-hak konsumen anak atas keamanan dalam mengkonsumsi produk

makanan terkendala pada pelaku usaha pangan jajanan anak golongan

kecil dengan modal dan pengetahuan yang terbatas.

Page 110: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

96

Memperhatikan kondisi yang demikian maka diperlukan adanya

regulasi yang secara khusus mengatur mengenai pangan anak. Regulasi

tentang pangan anak ini ditujukan bagi pelaku usaha yang memproduksi

pangan yang pemasarannya ditujukan untuk usia anak. Mengatur pula

mengenai BTM tertentu yang diizinkan dan aman untuk makanan anak,

misalnya dapat menggunaan bahan tambahan alami atau menggunakan

bahan tambahan makanan sintetis namun batasnya lebih rendah

dibandingkan dengan yang digunakan bagi pangan yang ditujukan bagi

orang dewasa dikarenakan detoks orang pada anak berbeda dengan detoks

orang dewasa.

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen (UUPK) diharapkan akan membawa pengaruh

baik bagi kondisi perekonomian Indonesia. Artinya, perilaku pelaku usaha

yang tidak etis dan cenderung memanfaatkan ketidaktahuan dan

ketidakberdayaan konsumen untuk memperoleh keuntungan yang besar

bagi usahanya dapat dihentikan. Hal ini dapat dijamin oleh Undang-

Undang Perlindungan Konsumen melalui hak gugat bagi konsumen yang

merasa dirugikan kepentingannya oleh karena mengkonsumsi produk

tertentu (Endang Sri Wahyuni, 2003:174-175).

Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah mengatur

hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha, dan telah melahirkan

2 (dua) bentuk tanggung jawab, yaitu: tanggung jawab produk (product

liability) dan tanggung jawab profesional (professional liability) (Shidarta,

2004:80). Secara umum, tanggung jawab pelaku usaha termuat dalam

Pasal 19 hingga Pasal 28 UUPK.

Prinsip mengenai tanggung jawab merupakan perihal yang sangat

penting dalam hukum perlindungan konsumen. Secara umum, prinsip-

prinsip tanggung jawab dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability)

adalah prinsip yang cukup umum namun berlaku dalam hukum pidana

Page 111: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

97

dan perdata. Harus dipenuhi 4 (empat) unsur pokok, yaitu adanya

perbuatan, ada unsur kesalahan, ada kerugian yang diderita dan adanya

hubungan kausalitas antara kesalahan dengan kerugian.

b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab

(presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan , ia

tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada tergugat.

Prinsip ini mengadopsi beban pembuktian terbalik, sebagaimana

ditegaskan dalam Pasal 19, 22 dan 23 (dapat dilihat pada ketentuan

Pasal 28 UUPK). Dasar dari beban pembuktian terbalik adalah

seseorang dianggap tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat

membuktikan sebaliknya.

c. prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab

Prinsip ini diterapkan pada hukum pengangkutan, yakni kehilangan

atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi tangan, yang biasanya

dibawa atau diawasi penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab

dari konsumen sendiri. Pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dimintai

pertanggungjawabannya.

d. Prinsip tanggung jawab mutlak

Konsepsi tanggung jawab dalam pengaturan UUPK secara mendasar

mempunyai perbedaan dengan pengaturan tanggung jawab dalam

KUH Perdata. Menurut KUH Perdata bahwa tanggung jawab pelaku

usaha untuk memberikan ganti kerugian didapat setelah konsumen

yang menderita kerugian dapat membuktikan bahwa kerugian yang

timbul merupakan kesalahan dari pelaku usaha. Sedangkan dalam

UUPK mengatur kewajiban sebaliknya, dimana pelaku usaha

berkewajiban membuktikan bahwa kerugian yang diderita konsumen

bukan merupakan dari akibat kesalahan/kelalaian pelaku usaha,

sekalipun dalam hal ini pihak konsumen yang pertama mengajukan

dalil kerugian tersebut (Pasal 19 s/d 28 UUPK), dan inilah yang

dikenal dengan tanggung jawab mutlak (strict liability).

Page 112: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

98

Dalam prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) memberikan

pengertian bahwa tergugat selalu bertanggungjawab tanpa melihat ada

atau tidaknya kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah,

tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai sesuatu tidak

relevan untuk dipermasalahkan apakah pada hakekatnya ada atau tidak

ada. Namun demikian, hal ini tidak selamanya diterapkan secara

mutlak, karena dalam tanggung jawab mutlak sekalipun masih tetap

ada pengecualian yang membebaskan tergugat dari tanggung

jawabnya. Pengecualian yang dimaksud antara lain adalah keadaan

force majeure, atau suatu kondisi terpaksa yang terjadi karena keadaan

alam dan tidak mungkin dihindari.

e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan

Prinsip ini dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian

standar yang dibuat pelaku usaha. Semestinya merujuk pada UUPK,

pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang

merugikan konsumen, termasuk membatasi minimal tanggung

jawabnya karena harus ada peraturan perundang-undangan yang jelas

(Shidarta, 2004:73-80)

Pelaku usaha di bidang pangan wajib bertanggung jawab apabila

produk yang dihasilkan, termasuk dalam hal penggunaan bahan tambahan

makanan dalam produk pangan menimbulkan kerugian (product liability).

Mengenai tanggung jawab pelaku usaha secara umum, diatur dalam Pasal

19 ayat (1) dan (2) UUPK. UUPK telah menggunakan prinsip semi-strict

liability sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 Bab IV tentang

Tanggung Jawab Pelaku Usaha, sebagai berikut (Celina Tri Siwi

K,2008:106-107):

(1) Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat

mengkonsumsi barang dan/ jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

pengembalian uang, atau penggantian barang dan/atau jasa yang

sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau

Page 113: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

99

pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)

hari setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

tidak menghapuskan tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih

jelas mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Kesalahan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan kesalahan tersebut

merupakan kesalahan konsumen.

Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen ini, sejalan dengan ketentuan Pasal 41 Undang -

Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pasal 41 yang

menyebutkan bahwa :

(1) Badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan

dan atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi

tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggung

jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap

kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut.

(2) Orang perseorangan yang kesehatannya terganggu atau ahli waris

dari orang yang meninggal sebagai akibat langsung karena

mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan berhak mengajukan

gugatan ganti rugi terhadap badan usaha dan atau orang

perseorangan dalam badan usaha, sebagaimana dimaksud pada ayat

(1).

(3) Dalam hal terbukti bahwa pangan olahan yang diedarkan dan

dikonsumsi tersebut mengandung bahan yang dapat merugikan dan

atau membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang

dilarang, maka badan usaha dan atau orang perseorangan dalam

badan usaha, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib

mengganti segala kerugian yang secara nyata ditimbulkan.

(4) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal

badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha dapat

membuktikan bahwa hal tersebut bukan diakibatkan kesalahan atau

kelalaiannya, maka badan usaha dan atau orang perseorangan

dalam badan usaha tidak wajib mengganti kerugian.

Pelaku usaha yang menggunakan BTM pada produk pangan pada

umumnya dan pelaku usaha di bidang pengolahan pangan jajanan anak

pada khususnya wajib bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi atau

kompensasi sesuai dengan tingkat kerugian yang diderita oleh konsumen,

Page 114: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

100

apabila dalam penggunaan BTM tersebut menimbulkan kerugian bagi

konsumen. Tanggung jawab ini dapat diartikan sebagai tanggung jawab

para pelaku usaha untuk produk yang dibawanya kedalam peredaran, yang

menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada

produk tersebut. Kata produk diartikannya sebagai barang, baik yang

bergerak maupun yang tidak bergerak (tetap). Tanggung jawab itu dapat

bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan undang-undang

(gugatannya atas perbuatan melawan hukum), namun dalam tanggung

jawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir (tortuous liability).

Pelaku usaha bertanggungjawab secara langsung atas kerugian

yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan oleh

pelaku usaha yang menggunakan bahan tambahan berbahaya tersebut.

Pertanggungjawaban produk tersebut didasarkan pada perbuatan melawan

hukum (tortuous liability). Unsur-unsur dalam tortuous liability antara lain

adalah unsur perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian dan

hubungan kasualitas antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian

yang timbul. Unsur kesalahan merupakan salah satu syarat untuk meminta

pertanggungjawaban. Dengan demikian eksistensi unsur kesalahan masih

terkandung di dalamnya, namun dilakukan pengalihan beban pembuktian

unsur kesalahan tersebut dari penggugat (konsumen) kepada tergugat

(produsen) (shifting the burden of proof).

Pasal 41 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan

membebankan tanggung jawab kepada badan usaha yang memproduksi

pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan

usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut

bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap

kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut. Tanggung

jawab ini tidak hanya berlaku bagi badan usaha, baik yang berbentuk

badan hukum maupun tidak, tetapi juga bagi orang perseorangan yang

diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut, khususnya

Page 115: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

101

mereka yang bertanggung jawab di bidang pengawasan keamanan pangan

pada badan usaha yang bersangkutan.

Pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi apabila orang

perseorangan yang terganggu kesehatannya atau ahli waris orang yang

meninggal sebagai akibat langsung karena mengkonsumsi pangan olahan

yang diedarkan mengajukan gugatan ganti rugi, dan terbukti bahwa

pangan olahan yang diedarkan dan dikonsumsi tersebut mengandung

bahan yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia atau

bahan lain yang dilarang. Ganti rugi yang dimaksud setinggi-tingginya

500.000.000 juta rupiah untuk setiap orang yang dirugikan

kesehatan/kematian yang ditimbulkan. Apabila pelaku usaha yang

dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999

tentang Pangan tidak diketahui / tidak berdomisili di Indonesia, pihak yang

bertanggung jawab membayar ganti rugi adalah orang yang mengedarkan

dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia.

Ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Pangan, hanya mewajibkan

pelaku usaha memberikan ganti rugi apabila orang perseorangan yang

terganggu kesehatannya atau ahli waris orang yang meninggal sebagai

akibat langsung karena mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan.

Dalam pasal ini tidak dijelaskan apabila dampak pangan yang

mengandung BTM yang mengancam manusia dalam jangka panjang.

Misalnya, kerusakan organ tubuh setelah dalam jangka panjang

mengkonsumsi makanan tertentu. Secara hukum, belum tegas dinyatakan

untuk memberikan sanksi pada efek jangka panjang karena sulit

dibuktikan.

Pasal 41 sampai dengan Pasal 44 Undang -Undang Nomor 7 Tahun

1996 tentang Pangan yang membebankan tanggung jawab industri pangan

untuk menjamin keamanan pangan yang diproduksinya, sejalan dengan

ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, yang menetapkan kewajiban para pelaku usaha

untuk menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau

Page 116: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

102

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa

yang berlaku. Sehingga tanggung jawab industri pangan merupakan aspek

penting dalam mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak konsumen

sebagai pemakai produk-produk pangan sebagaimana tersebut dalam

ketentuan Pasal 4 UUPK.

Menurut Erman Rajagukguk,dkk. yang mengutip pendapat

Nahattands V.Lambock menjelaskan bahwa tanggunggugat produk

merupakan terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia yang secara populer

sering disebut dengan “product liability” adalah suatu konsepsi hukum

yang intinya dimaksudkan memberikan perlindungan kepada konsumen

yaitu dengan jalan membebaskan konsumen dari beban untuk

membuktikan bahwa kerugian konsumen timbul akibat kesalahan dalam

proses produksi dan sekaligus melahirkan tanggung jawab produsen untuk

memberikan ganti rugi (Erman Rajagukguk, dkk, 2000:22).

Pelaku usaha bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang

ditimbulkannya. Tanggung jawab pelaku usaha berupa sanksi keperdataan,

sanksi administratif dan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UUPK.

Dalam hal ini, bukan hanya pelaku usaha yang bertanggung jawab, akan

tetapi pemerintah juga ikut bertanggung jawab berkaitan dengan fungsinya

memberikan pengawasan atas produk pangan yang beredar di pasaran.

3. Tanggung Jawab Pengawasan dan Pembinaan Penyelenggaraan

Perlindungan Konsumen Produk Pangan

Untuk menjamin dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku

usaha serta tanggung jawab pelaku usaha maka dilakukan pembinaan dan

pengawasan dalam rangka penyelenggaraan perlindungan konsumen.

Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan diatur dalam Pasal 29

dan Pasal 30 UUPK.

Pasal 29 UUPK menyebutkan bahwa :

(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan

perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak

konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban

konsumen dan pelaku usaha.

Page 117: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

103

(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan

konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh

Menteri dan/atau menteri teknis terkait.

(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan

koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.

Pasal 112 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Kesehatan menjelaskan bahwa Pemerintah berwenang dan bertanggung

jawab mengatur dan mengawasi produksi, pengolahan, pendistribusian,

makanan dan minuman. Lebih jelasnya bentuk pengawasan tersebut diatur

dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang

Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen

menegaskan bahwa :

(1) Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha

dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa,

pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual

barang dan/atau jasa.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan

dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan

penjualan barang dan/atau jasa.

(3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat

disebarluaskan kepada masyarakat.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dan atau menteri teknis

terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang

tugas masing-masing.

Berdasar ketentuan Pasal 29 UUPK tersebut, tanggung jawab atas

pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen berada di tangan

pemerintah. Dalam melaksanakan pembinaan penyelenggaraan

perlindungan konsumen terkait produk pangan, pelaksanaannya

diserahkan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang

berkoordinasi dengan menteri dan/atau menteri teknis terkait. Terkait

dengan penggunaan bahan tambahan makanan pada produk makanan yang

dikonsumsi oleh anak, maka menteri yang melakukan pembinaan meliputi:

a. Menteri Perindustrian dan Perdagangan; dan

b. Menteri Kesehatan.

Page 118: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

104

Pasal 30 UUPK mengatur ketentuan mengenai pengawasan. Dalam

ketentuan tersebut dijelaskan bahwa pengawasan terhadap

penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan

peraturan perundang-undangannya dilaksanakan oleh :

a. Pemerintah;

b. Masyarakat; dan

c. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

Pasal 30 ayat (2) menyatakan bahwa pengawasan oleh pemerintah

dilakukan oleh menteri dan/ atau menteri teknis terkait. Pengawasan

terhadap keamanan pangan yang mengandung BTM oleh pemerintah telah

dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

berkoordinasi dengan menteri kesehatan serta menteri perindustrian dan

perdagangan. Makanan berlabel diawasi dan dikendalikan BPOM-RI,

sedangkan makanan tidak berlabel oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Sebagai bentuk konsekuensi dari otonomi daerah, maka instansi

teknis pembinaan dan pengawasan berada di tangan pemerintah daerah.

Beberapa instansi yang terkait dengan pengawasan keamanan pangan

dalam penggunaan BTM adalah balai besar pengawasan obat dan makanan

(BBPOM), dinas kesehatan, dan dinas perindustrian dan perdagangan.

Pembinaan dan pengawasan yang dimaksud dalam praktiknya dilakukan

oleh Dinas Kesehatan yang berkoordinasi dengan BPOM terkait dengan

pemberian izin edar. Dalam rangka pengawasan kemanan, mutu dan gizi

pangan olahan baik yang diproduksi di dalam negeri atau yang

dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dalam

kemasan eceran sebelum diedarkan wajib memiliki surat persetujuan

pendaftaran yang diterbitkan oleh Kepala BPOM. Pangan olahan yang

akan didaftarkan harus memenuhi kriteria keamanan dan mutu pangan.

Parameter keamanan, yaitu batas maskimum cemaran mikroba, cemaran

fisik, dan cemaran kimia, termasuk kadar penggunaan BTM yang

ditambahkan dalam pangan. Parameter mutu, yaitu pemenuhan

persyaratan mutu sesuai dengan standar dan persyaratan yang berlaku serta

Page 119: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

105

cara produksi pangan yang baik untuk pangan olahan yang diproduksi di

dalam negeri atau cara distribusi pangan yang baik untuk pangan olahan

yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia.

Pengawasan dan pembinaan salah satunya dilaksanakan

berdasarkan kewenangan dalam pemberian izin edar bagi produk makanan

olahan. Badan Pengawasan Obat dan Makanan melaksanakan pengawasan

dengan mengeluarkan kode MD untuk makanan produksi dalam negeri

dan kode ML untuk makanan produksi luar negeri. Pengawasan terhadap

produk makanan olahan yang beredar tidak hanya berhenti dengan

penerbitan izin MD dan ML, namun ditindaklanjuti dengan melakukan

pengambilan sampel pangan yang beredar di pasaran untuk diuji di

laboratorium.

Pengawasan terhadap barang yang telah beredar di pasaran

dilakukan oleh BPOM yang berkoordinasi dengan dinas kesehatan serta

dinas perindustrian dan perdagangan melakukan pengawasan terhadap

produk pangan, dalam hal ini produk makanan yang dikonsumsi anak yang

beredar di pasaran. Untuk pengawasan yang berada dibawah kewenangan

dari Dinas Kesehatan (Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota c.q Dinas

Kesehatan) adalah khusus untuk kategori pemberian izin khusus bagi

makanan hasil industri rumah tangga. Berdasarkan Surat Keputusan

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor : HK.00.05.5.1640,

tanggal 30 April 2003 tentang Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan

Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga ( SPP-IRT ), industri

rumah tangga yang memproduksi pangan olahan wajib memiliki sertifikasi

produksi pangan industri rumah tangga yang dikeluarkan oleh dinas

kesehatan setempat (kabupaten/kota) dimana industri makanan rumah

tangga tersebut berada.

Berdasarkan klarifikasi yang telah penulis lakukan dengan pihak

dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surakarta, diperoleh fakta

bahwa di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surakarta terdapat

bidang pengawasan dan perlindungan konsumen yang mempunyai tugas

Page 120: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

106

pokok dan fungsi terkait dengan pembinaan dan pengawasan

penyelenggaraan perlindungan konsumen yaitu melaksanakan pengawasan

barang dan/jasa yang beredar di wilayah Kota Surakarta, meliputi barang

yang beredar di toko-toko, mall, swalayan, distributor, termasuk yang ada

di pasar. Pelaksanaan fungsi pengawasan ini dilaksanakan berdasarkan

amanat UUPK yang tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan

terhadap konsumen.

Pengawasan yang dilakukan terhadap barang yang beredar oleh

Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surakarta dilaksanakan oleh

tim rutin yang beranggotakan pihak-pihak interen dari Dinas Perindustrian

dan Perdagangan Kota Surakarta. Tim rutin ini melaksanakan pengawasan

sebanyak 10 (sepuluh) kali dalam satu tahun anggaran dengan seratus

obyek.

Selain tim rutin, dibentuk pula tim terpadu yang melibatkan satuan

kerja perangkat daerah (SKPD) terkait, yang dalam pengawasan pangan

yang dikonsumsi anak yang beredar terkait penggunaan BTM, adalah

dinas perindustrian dan perdagangan serta dinas kesehatan. Pengawasan

yang dilakukan oleh tim terpadu ini biasanya dilakukan menjelang

momen-momen tertentu misalnya natal, hari raya idul fitri, tahun baru,dan

lain-lain. Pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Kota Surakarta dilakukan dengan mengadakan sidak ke toko,

mall, distributor, swalayan untuk melakukan pengecekan terhadap

kesesuaian label, kandungan bahan tambahan berbahaya, tanggal

kadaluwarsa dan ketentuan-ketentuan lain yang terkait dengan keamanan

pangan. Dalam rangka pencegahan terhadap peredaran pangan yang tidak

sesuai ketentuan, maka Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota

Surakarta juga melakukan sidak ke grosir-grosir. Selain itu apabila diduga

suatu produk mengandung BTM yang tidak sesuai dengan ketentuan

(misal karena warnanya mencolok) atau makanan-makanan yang diperiksa

ditemukan indikasi mengandung bahan pengawet yang akan menimbulkan

dampak untuk kesehatan konsumen maka makanan tersebut akan diambil

Page 121: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

107

untuk selanjutnya diperiksa di laboratorium oleh Dinas Kesehatan Kota

Surakarta. Jika ternyata hasil laboratorium menyatakan bahwa pangan

yang bersangkutan positif mengandung BTM tidak sesuai dengan

ketentuan maka pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota

Surakarta akan melarang pelaku usaha yang bersangkutan untuk menjual

produk tersebut dan mengembalikan kepada pihak produsen agar barang

tersebut tidak beredar lagi di pasaran dengan dibuat dalam berita acara

yang ditandatangani piha pelaku usaha disertai komitmen dari pelaku

usaha (grosir/distributor) untuk tidak lagi mengedarkan produk yang

bersangkutan.

Selain melalui pengawasan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Kota Surakarta juga melakukan upaya pembinaan terhadap pelaku usaha

di bidang pangan mengenai penggunan bahan tambahan makanan dan

bahaya bahan yang timbul bila tidak sesuai ketentuan. Penyuluhan

dilakukan terhadap pelaku usaha yang terdaftar di Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Kota Surakarta.

Selanjutnya penulis memperhatikan pengawasan produk pangan

yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota Surakarta sebagai institusi

yang berwenang melakukan pengawasan terhadap industri rumah tangga

pangan dan makanan jajanan yang tidak berlabel di Kota Surakarta. Dinas

Kesehatan Kota Surakarta melakukan pengawasan baik terhadap makanan

berlabel maupun tidak berlabel. Dinas Kesehatan Kota Surakarta memiliki

kewenangan untuk memberikan izin bagi/sertifikasi bagi pelaku usaha

yang tergolong Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP).

Pelaku usaha industri rumah tangga pangan dalam rangka

pengurusan izin harus melalui tahapan kursus singkat/penyuluhan tentang

keamanan pangan yang dilakukan oleh Tim dari Dinas Kesehatan Kota

Surakarta. Penyuluhan meliputi pula sosialisasi peraturan perundangan

tentang keamanan pangan, penggunaan BTM, label dan iklan pangan.

Penyuluhan ini dimaksudkan agar pelaku usaha makanan industri rumah

tangga mempunyai pengetahuan mengenai cara produksi makanan yang

Page 122: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

108

bermutu dan aman, sehingga diharapkan pelaku usaha memproduksi

makanan yang aman untuk dikonsumsi, termasuk dalam penambahan

bahan tamahan makanan dalam produk makanan yang dikonsumsi anak.

Pengawasan yang dilakukan tidak hanya sebatas penerbitan izin

produk makanan hasil industri rumah tangga, melainkan juga setelah

produk tersebut beredar diikuti dengan kewajiban untuk melaksanakan

pemantauan dan penyuluhan keamanan pangan. Kegiatan pemantauan

dilakukan dengan pengambilan sampel terhadap produk pangan yang telah

dipasarkan untuk dilakukan pengujian di laboratorium.

Sertifikasi pemberian izin oleh dinas kesehatan kepada pelaku

usaha produk pangan industri rumah tangga mempunyai jangka waktu 3

(tiga) tahun. Setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun berakhir, maka harus

dilakukan registrasi ulang dan dilakukan pemeriksaan kembali mengenai

terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang ditetapkan dalam proses

produksi, termasuk mengenai penggunaan bahan tambahan dalam produk

pangan tersebut. Jangka waktu 3 (tiga) tahun tersebut dimaksudkan

sebagai sarana pemantauan survailan kemanan pangan.

Selain pengawasan terhadap makanan hasil industri rumah tangga,

pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Surakarta juga

menjangkau pangan tidak berlabel jajanan, meliputi jajanan yang dijajakan

di tempat (sentra pedagang) maupun yang dijajakan secara keliling. Untuk

jenis makanan jajanan siap saji yang biasanya mempunyai masa simpan

kurang dari 7 (tujuh) hari pada suhu kamar tidak ada kewajiban secara

hukum untuk mendaftarkan makanan yang dijajakannya baik kepada

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) maupun dinas kesehatan.

Pengawasan untuk makanan jajanan baik yang dijajakan di tempat

(sentra pedagang) makanan yang dijajakan secara keliling dilaksanakan

oleh Dinas Kesehatan Kota Surakarta dengan melakukan pemantauan atas

hygiene dan sanitasi pangan. Untuk jajanan anak yang dijajakan secara

keliling di sekolah-sekolah aspek pengawasan meliputi mutu dan

keamanan pangan. Pengawasan terhadap mutu pangan dilakukan dengan

Page 123: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

109

melakukan pengujian terhadap kandungan gizi, sedangkan aspek

keamanan yaitu terkait dengan bahan tambahan yang terkandung di dalam

pangan apakah terjadi penyimpangan atau tidak. Pengawasan dilakukan

dalam rangka agar jajanan anak yang beredar di pasaran tidak

mengandung bahan berbahaya yang dapat mengganggu kesehatan

konsumen.

Apabila hasil pengujian di laboratorium terbukti menunjukkan

bahwa produk makanan anak yang dijajakan keliling mengandung bahan

tambahan yang dilarang bagi makanan dan /atau mengandung BTM yang

melebihi batas penggunaan sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan

Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/1998 tentang Bahan

Tambahan Makanan Juncto Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988

tentang Bahan Tambahan Makanan, maka terhadap pelaku usaha dan

konsumen produk makanan yang bersangkutan mula-mula akan dilakukan

tindakan represif.

Tindakan represif yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Surakarta

dapat berupa pendekatan kepada para pelaku usaha yang besangkutan,

penyuluhan mengenai bahaya penggunaan bahan tambahan yang dilarang,

memberian informasi baik kepada pelaku usaha maupun kepada konsumen

terkait penggunaan bahan tambahan terhadap produk makanan. Informasi

diberikan secara langsung di lapangan. Apabila setelah pembinaan

dilakukan dan pelaku usaha masih melakukan pelanggaran maka akan

dilakukan teguran baik secara lisan maupun secara tertulis. Dalam

melakukan pengawasan pelaku usaha keliling ini, Dinas Kesehatan Kota

Surakarta menemui kendala yaitu tempat pelaku usaha yang berdagang

secara berpindah-pindah menyulitkan petugas Dinas Kesehatan Kota

Surakarta dalam memberikan pembinaan jika ternyata setelah hasil

laboratorium keluar dan terbukti pelaku usaha yang bersangkutan

menggunakan BTM tidak sesuai ketentuan.

Page 124: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

110

Selain itu, upaya lain yang ditempuh adalah dengan melakukan

pendekatan kepada konsumen, dalam hal jajanan anak maka konsumen

yang dimaksud dalam hal ini adalah konsumen anak. Dalam kaitannya

dengan konsumen anak, dinas kesehatan menginformasikan kepada pihak

sekolah mengenai hasil pengkajian terhadap jajanan yang beredar di

lingkungan sekolahnya mengandung bahan yang berbahaya, agar

selanjutnya pihak sekolah menginformasikan kepada siswa-siswanya.

Selanjutnya terhadap pelaku usaha yang terbukti menggunakan bahan

berbahaya dalam makanan jajanan anak yang telah dilakukan pembinaan

dan terguran namun masih saja tidak mengindahkan peraturan mengenai

penggunaan BTM terhadap produknya, maka Dinas Kesehatan Kota

Surakarta dapat melaporkannya kepada aparat penegak hukum yang

berwenang, namun sampai saat ini belum ada kasus yang sampai

dilaporkan ke pejabat yang berwenang mengingat pelaku usaha yang

melakukan pelanggaran adalah pelaku usaha kecil dengan modal terbatas

yang apabila diambil tindakan tegas akan mematikan usahanya. Selain itu

jumlah industri pangan rumahan yang terlalu banyak mengakibatkan

sulitnya pengawasan kandungan dalam produk makanan yang dihasilkan.

Disinyalir banyak campuran bahan makanan berbahaya yang

terkandung dalam industri makanan rumahan beredar luas di masyarakat,

khususnya di masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Yang paling

dominan dari produk-produk makanan yang mengandung zat berbahaya

ini banyak ditujukan untuk konsumen anak sekolah. Pada dasarnya

pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Surakarta dan

Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surakarta sudah dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan, namun terbatasnya sumber daya manusia dan

anggaran yang ada di Dinas Kesehatan Kota Surakarta dan Dinas

Perdagangan dan Perindustrian Kota Surakarta menjadi hambatan untuk

menjangkau seluruh obyek pengawasan. Pembinaan yang dilakukan

terhadap pelaku usaha yang biasa menjajakan makanan secara keliling pun

Page 125: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

111

belum ada program rutin yang dijalankan. Hal inilah yang menyebabkan

pengawasan yang dilakukan menjadi kurang berjalan efektif.

Indonesia menganut multiple agency system (sistem berbagai

lembaga) dalam pengorganisasian pengawasan mutu pangan. Kewenangan

pengawasan tersebar terlalu luas ke banyak kementerian dan lembaga.

Pengawasan dilakukan secara sektoral dan terpecah-pecah oleh lembaga-

lembaga nasional, provinsi, dan daerah/lokal. Pelaksanaan pengawasan di

lapangan dirasakan masih sangat lemah, padahal perangkat peraturan

perundang-undangan dalam perlindungan konsumen sudah cukup

memadai. Karena itu, perlu dilakukan harmonisasi ketentuan-ketentuan

yang ada agar terjalin koordinasi yang efektif antar instansi terkait. Akibat

belum adanya harmonisasi selama ini, pelaksanaan kontrol di lapangan

belum sepenuhnya berjalan efektif.

Pembagian tugas tiap lembaga dalam pengawasan pangan telah

tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004. Namun,

deskripsi spesifik tugas tiap lembaga belum jelas, sehingga tampak saling

tumpang tindih satu sama lain. Penerapan multiple agency system

membutuhkan sebuah lembaga khusus yang dapat menaungi peranan

lembaga-lembaga lain, sehingga wewenang pengawasan mutu dapat

terpadu dan terpusat. Selain itu, lemahnya kewenangan dan daya rentang

kendali BPOM sebenarnya dapat diperkuat dengan segera membuat

Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan.

Selain pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah melalui dinas-

dinas terkait, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat

(LPKSM) juga memiliki peranan penting dalam rangka memberikan

perlindungan kepada konsumen agar hak-hak konsumen dipenuhi. Pasal

10 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pengawasan dan

Pembinaan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa

pengawasan yang dilakukan oleh LPKSM dilakukan terhadap barang

dan/atau jasa yang beredar di pasar yang diduga tidak memenuhi unsur

keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keselamatan konsumen dengan

Page 126: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

112

cara penelitian, pengujian dan atau survei. Hasil pengawasan dapat

disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri

dan menteri teknis. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi

tentang resiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label,

pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dalam dunia

usaha.

Berdasarkan klarifikasi yang telah penulis lakukan terhadap pihak

yayasan kepedulian untuk konsumen anak (Yayasan Kakak), sebagai

lembaga yang telah terdaftar di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota

Surakarta sebagai LPKSM diketahui bahwa Yayasan Kakak bergerak di

bidang perlindungan konsumen dengan segmen khusus bagi konsumen

anak. Dalam rangka melaksanakan perlindungan terhadap konsumen anak

Yayasan Kakak telah melakukan kegiatan monitoring jajanan anak yang

beredar masyarakat. Lingkup pengawasan yang dilakukan adalah terhadap

produk yang beredar di supermarket, toko-toko dan pasar tradisional yang

menjual makanan kering yang dibungkus dalam kemasan dan belum

menjangkau jajanan anak yang diperjual belikan secara keliling oleh

pelaku usaha rumahan ke sekolah-sekolah. Pada tahun 1997 Yayasan

Kakak melakukan melakukan analisis label terhadap 73 merk makanan

kemasan, selanjutnya pada tahuan 2007 dilakukan penelitian terhadap pola

konsumsi anak terhadap makanan jajanan yang dilakukan di Kalurahan

Sangkrah Kota Surakarta. Menjelang hari raya Idul Fitri tahun 2008

Yayasan Kakak juga melakukan monitoring terhadap barang yang beredar

di pasar. Hasil dari monitoring ini akan diinformasikan kepada publik

dalam bentuk tulisan dan melalui siaran radio. Selain disampaikan kepada

masyarakat Yayasan Kakak juga melakukan hearing terhadap hasil

pengawasan yang dilakukan dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Kota Surakarta. Pengawasan yang dilaksanakan oleh Yayasan Kakak

terhadap peredaran produk yang beredar di pasar belum dapat dilakukan

Page 127: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

113

secara berkala/rutin, hal ini dikarenakan terbatsnya sumber daya manusia

dan anggaran yang dimiliki Yayasan Kakak.

Selain itu, dalam rangka memberikan perlindungan bagi

konsumen anak Yayasan Kakak juga pernah melaksanakan road show ke

beberapa sekolah dasar di kota Surakarta untuk memberikan pendidikan

konsumen kepada anak-anak, misalnya mengenai bahaya BTM,

bagaimana memilih makanan yang aman, ciri makanan yang mengandung

borak, pewarna, agar anak menjadi konsumen yang kritis dan mampu

melindungi dirinya sendiri. Yayasan Kakak juga menerima pengaduan dari

konsumen yang merasa dirugikan hak-haknya untuk memberikan bantuan

hukum, namun sampai saat ini Yayasan Kakak belum pernah menerima

pengaduan terkait konsumen anak yang dirugikan hak-haknya akibat

mengkonsumsi jajanan anak yang mengandung BTM. Jarangnya

konsumen anak yang melaporkan kerugian yang dialami akibat

mengkonsumsi jajanan anak yang mengandung bahan tambahan makanan

dikarenakan nilai kerugian yang diderita tidak terlalu besar. Dampak

jangka pendek akibat mengonsumsi makanan yang mengandung BTM

biasanya hanya muntah, pusing, mual, alergi sehingga konsumen tidak

terlalu memperhatikan. Masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian

konsumen tentang keamanan pangan tercermin dari sedikitnya konsumen

yang menuntut produsen untuk menghasilkan produk pangan yang aman

dan bermutu serta klaim konsumen jika produk pangan yang dibeli tidak

sesuai informasi yang tercantum pada label maupun iklan. Pengetahuan

dan kepedulian konsumen yang tinggi akan sangat mendukung usaha

peningkatan pendidikan keamanan pangan bagi para produsen pangan.

Sampai saat ini memang peran Yayasan Kakak lebih condong kepada

upaya preventif atau pencegahan untuk melindungi konsumen anak.

Dengan adanya pembinaan dan pengawasan diharakan pemenuhan

hak-hak konsumen dapat terjamin dan sebaliknya pelaksanaan tanggung

jawab terjamin dan sebaliknya kewajiban pelaku usaha sebagai produsen

dapat dipastikan. Upaya perlindungan terhadap konsumen, khususnya

Page 128: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

114

konsumen anak tidak akan bisa berjalan tanpa adanya pengawasan baik

oleh pemerintah, masyarakat maupun lembaga perlindungan konsumen.

Page 129: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

115

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di dalam bab sebelumnya, maka

dapat disimpulkan bahwa:

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

belum mampu memberikan perlindungan hukum bagi anak terhadap

penggunaan BTM dalam jajanan anak. Belum ada pasal-pasal dalam UUPK

yang secara eksplisit memberikan perlindungan khusus bagi anak sebagai

golongan konsumen yang tidak terinformasi. Memang pengertian konsumen

dalam UUPK tidak membedakan konsumen berdasarkan usia, sehingga anak

juga termasuk subyek yang dilindungi dalam UUPK, namun dikarenakan

pengaturan dalam UUPK dan peraturan-peraturan lain yang bersifat sektoral

mengenai penggunaan bahan tambahan makanan dalam produk pangan masih

bersifat umum sehingga belum mampu secara efektif dalam memberikan

perlindungan terhadap konsumen anak.

2. Dalam penggunaan BTM dalam produk pangan yang dikonsumsi anak, pelaku

usaha bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap

kesehatan orang lain yang mengkonsumsinya (Pasal 41 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan). Jika dikaitkan dengan hak

konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang mengandung resiko

terhadap keamanan konsumen, wajib disertai informasi yang benar, jelas dan

jujur, karena tanggung jawab erat kaitannya dengaan kewajiban. Mencermati

konsepsi tanggung jawab pelaku usaha tersebut apabila dikaitan dengan

penggunaan BTM dalam produk jajanan anak, dari sisi pelaku usaha tanggung

jawab untuk menjamin keamanan pangan dan memberikan informasi belum

sepenuhnya terpenuhi. Memang pelaku usaha pabrikan (industri besar) yang

memproduksi jajanan anak umumnya telah memenuhi tanggung jawabnya

dalam menjamin keamanan pangan dengan menggunaan BTM yang diizinkan

dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang

Page 130: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

116

3. Bahan Tambahan Makanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan

atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 dan

memberikan informasi yang jelas dalam label tentang kandungan BTM yang

digunakan, namun pelaku usaha kecil menengah belum sepenuhnya

memenuhi tanggung jawab tersebut. Pelaku usaha kecil menengah umumnya

belum mengetahui mengenai peraturan penggunaan BTM dalam produk

pangan, sehingga dalam penggunaan BTM dalam jajanan anak pelaku usaha

tersebut belum menjamin keamanan produk pangan yang dihasilkan. Selain itu

tangggung jawab untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur

mengenai penggunaan BTM juga belum dilaksanakan dengan baik oleh

industri rumah tangga pangan. Hal ini mengakibatkan pemenuhan hak-hak

konsumen anak atas keamanan dalam mengkonsumsi produk makanan belum

terpenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa Law in Action dari UUPK belum

sesuai dengan Law in The Book (ketentuan yang tertuang dalam teori). Pelaku

usaha harus memahami bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk

memberikan apa yang menjadi hak konsumen diantaranya adalah memberikan

informasi dan menjamin keamanan pangan yang diproduksi dan diedarkan

sesuai dengan UUPK dalam penggunaan BTM dalam produk jajanan anak, hal

tersebut terkait dengan keamanan dan keselamatan konsumen anak sebagai

generasi penerus bangsa.

B. Saran

1. Bagi pemerintah : hendaknya memperketat pengawasan peredaran zat-zat

berbahaya yang dilarang untuk ditambahkan ke dalam makanan sehingga

tidak membuka peluang bagi pelaku usaha yang bergerak di bidang jajanan

anak untuk melakukan penyimpangan dalam penggunaan bahan tambahan

makanan dan pemerintah seharusnya mengambil tindakan tegas bagi pelaku

usaha yang terbukti melakukan penyimpangan dalam penggunaan bahan

tambahan makanan. Selain itu pemerintah diharapkan lebih proaktif dalam

Page 131: digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to user PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

melaksanakan tanggung jawab pembinaan terhadap konsumen dan pelaku

usaha.

2. Bagi pelaku usaha: diharapkan dapat beritikad baik dalam melakukan kegiatan

usaha dan lebih menyadari tanggug jawabnya dalam menjaga keamanan

pangan.

3. Bagi konsumen : perlu dilakukan sosialisasi mengenai hak-hak konsumen

sebagaimana telah dilindungi oleh UUPK untuk lebih meningkatkan

pengetahuan dan pemahaman konsumen.