digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to...
Transcript of digilib.uns.ac.id/Pertang... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id JAJANAN ANAK commit to...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP
PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM) DALAM
JAJANAN ANAK
(Suatu Telaah Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Konsumen)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan
Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
VITRIYANI TRI UTAMI
NIM.E. 0008255
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Vitriyani Tri Utami
NIM : E0008255
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul
“PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP
PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM) DALAM
JAJANAN ANAK (Suatu Telaah Perlindungan Terhadap Anak Sebagai
Konsumen)” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya
dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam
daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka
saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum
(skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Juni 2012
yang membuat pernyataan
Vitriyani Tri Utami
NIM. E0008255
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Vitriyani Tri Utami. E0008255. 2012. PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU
USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN
(BTM) DALAM JAJANAN ANAK (Suatu Telaah Perlindungan Terhadap
Anak Sebagai Konsumen). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui apakah Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mampu memberikan
perlindungan hukum bagi anak terhadap penggunaan BTM dalam jajanan anak.
Penulisan hukum ini termasuk penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif
dengan menggunakan sumber bahan hukum, meliputi bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Selanjutnya dimintakan klarifikasi terhadap konsumen
anak, pelaku usaha di bidang jajanan anak, dan instansi pengawas produk
pangan jajanan anak di Kota Surakarta (Dinas Kesehatan Kota Surakarta dan
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta). Teknik pengumpulan
bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan cara studi kepustakaan dan
cyber media. Dalam penulisan hukum ini, penulis menggunakan analisis dengan
metode deduksi yang berpangkal dari premis mayor yaitu Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan berbagai peraturan
perundang-undangan yang relevan terkait penggunaan BTM dalam produk
pangan. Selanjutnya peneliti mengajukan premis minor yaitu mengenai
perlindungan hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen bagi anak terhadap penggunaan BTM dalam jajanan
anak dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap penggunaan BTM dalam produk
pangan yang dikonsumsi oleh anak. Dari hal tersebut kemudian ditarik suatu
kesimpulan atau conclusion.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh simpulan. Kesatu, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen belum mampu memberikan
perlindungan hukum bagi anak sebagai konsumen terhadap penggunaan bahan
tambahan makanan dalam jajanan anak. Substansi perlindungan dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen masih bersifat
umum dan belum ada pasal-pasal yang secara eksplisit memberikan perlindungan
khusus bagi anak sebagai golongan konsumen yang tidak terinformasi. Kedua,
pelaku usaha bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksi dan
memberikan informasi yang benar jelas, dan jujur dalam penggunaan BTM.
Tanggung jawab pelaku usaha untuk menjamin keamanan pangan yang
diproduksi dan pemberian informasi yang jelas dalam penggunaan BTM belum
sepenuhnya terpenuhi, khususnya oleh golongan pelaku usaha kecil menengah.
Hal ini mengakibatkan hak konsumen anak atas keamanan, keselamatan dan
kenyamanan serta hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur dalam
mengkonsumsi jajanan anak belum sepenuhnya terpenuhi.
Kata kunci : perlindungan konsumen, konsumen anak, bahan tambahan makanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
Vitriyani Tri Utami. E0008255. BUSINESS LIABILITY FOR THE USE OF
FOOD ADDITIVES IN CHIDREN FOOD (A Study of the Protection of
Children as Consumers). Faculty of Law Sebelas Maret University.
The writing of this law aims to determine whether the Act No. 8 of 1999 on
Consumer Protection have been able to provide legal protection for children
toward the use of food additives in children food. Including of this law is a
normative legal research prescriptive using sources of law, include primary and
secondary legal materials. Further, requested the clarification of the child
consumer, entrepreneurs in the field of child snacks and child snack food product
regulatory agency in Surakarta (Health Department of Surakarta and Industry
and Trade Department of Surakarta). Techniques of collecting legal material in
this study are by study literature and cyber media. In the writing of this law, the
authors use the deduction method of analysis stemming from the major premise
that is the Act No. 8 of 1999 on Consumer Protection and other relevant laws and
regulations related to the use of food additives in food products. Further
researcher proposes that the minor premise of the legal protection of the Act No.
8 of 1999 on Consumer Protection for children against the use of food additives in
food products consumed by children. Of this is then drawn a conclusion.
Based on the conclusion of this study. First, the Act No. 8 of 1999 on
Consumer Protection has not been able to provide legal protection for children as
a consumer against the use of food additives in children food. Substance in the
protection of the Act No. 8 of 1999 on Consumer Protection is stiil common and
there are no provisions that explicitly provide special protection for children as a
group of consumers who are not informed. Second, businesses responsible for the
safety of food produced and provide the correct information is clear, and honest
in the use of food additives. Responsibility of businesses to ensure the safety of
food produced and the provision of clear information in the use of food additives
has not been completely fulfilled, especially by small and medium business group.
This resulted in the consumer rights of the child to the security, the safety and
comfort as well as the right to correct information, clearly and honestly in a child
consume snacks have not been completely fulfilled.
Key words : consumer protection, child consumer, food additives
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
Orang yang berbahagia adalah orang yang bisa mengambil pelajaran
dari orang lain.
(Ibnu Mas`ud radhiyallahu`anhu)
Saya bisa melakukan dan saya akan melakukan apa yang saya takutkan.
(Elanor Roosevelt)
Usaha disertai doa adalah kunci keberhasilan.
(Vitriyani Tri Utami)
Perubahan tanpa visi melahirkan kekacauan
Perubahan tanpa skill melahirkan kecemasan
Perubahan tanpa insentif melahirkan penolakan
Perubahan tanpa resource melahirkan frustasi
Perubahan tanpa action plan melahirkan kegagalan
(Rhenald Kasali,Ph.D.)
Motivasi yang paling kuat dan dasyat itu justru dari dalam diri (niat).
(Vitriyani Tri Utami)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini didedikasikan kepada:
1. Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan Penelitian Hukum ini .
2. Ibu dan ayahku tercinta, ibu Sri Hartini dan bapak Widodo yang selama ini
telah memberi kasih sayang dan doa serta dukungannya sehingga penulis
dapat menyelesaikan Penulisan Hukum ini.
3. Kakak-kakakku tersayang Widiastuti, Amd., Wahyu Widiatmoko, M.Adi
W.,Amd., Enny yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan
dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum ini.
4. Keponakanku tersayang Althaf Al Adn dan Rubismo Gibran Saverio.
5. Sahabat-sahabatku , Rizha Putri Riadhini, Al-Drie Agni S.I., Rani Permata
F., Yuni Lastantri D.,Intan Kusuma M., yang senantiasa memberikan
dukungan dan menjadi partner diskusi yang baik dalam proses
penyelesaian Penulisan Hukum ini.
6. Teman-temanu selama magang di Boyolali, Fauzhia W., Ardhani N.,
Twinike S.,Nungki L., Warih adi S., Uce Ade W.
7. Semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya penulisan
hukum ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala
kebaikan Bapak, Ibu, rekan-rekan menjadi amalan dan mendapat balasan
kebaikan dari Allah SWT.
8. Almamater tercinta Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis akhirnya dapat
menyelesaikan Penulisan Hukum (skripsi) yang berjudul
“PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP
PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM) DALAM
JAJANAN ANAK (Suatu Telaah Perlindungan Terhadap Anak Sebagai
Konsumen)”.
Penulisan hukum ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi syarat
memperoleh gelar sarjana (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Penulisan hukum ini membahas tentang perlindungan yang diberikan
oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bagi
anak terhadap penggunaan bahan tambahan makanan dalam jajanan anak serta
tanggung jawab pelaku usaha dalam penggunaan bahan tambahan makanan dalam
produk jajanan anak. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini
terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu penulis dengan besar hati akan
menerima segala masukan yang dapat memperkaya pengetahuan penulis di
kemudian hari.
Dengan selesainya penulisan hukum ini maka dengan segala kerendahan
hati penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah memberikan bantuannya dalam penulisan hukum ini :
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.
2. Bapak Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin
dalam penyusunan penulisan hukum ini.
3. Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si. selaku Ketua Bagian Hukum
Administrasi Negara dan Dosen Pembimbing yang telah memberikan
kelancaran dan dengan penuh kesabaran memberikan bantuan, bimbingan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
dan pengarahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum
ini.
4. Bapak Prof.Dr.Supanto,S.H.,M.Hum selaku pembimbing akademik yang
telah memberikan nasihat dan bimbingan selama penulis menuntut ilmu di
Fakultas Hukum UNS.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang dengan keikhlasan dan kemuliaan hati telah meberikan bekal ilmu
kepada penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
6. Bapak dan Ibu di Bagian Akademik, Bagian Kemahasiswaan, Bagian Tata
Usaha dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
7. PPH FH UNS, yang telah memberikan kesempatan bagi penyusun untuk
membuat serta menyelesaikan penulisan hukum ini.
Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu semoga
segala bantuan Bapak, Ibu, Saudara, dan Saudari yang diberikan kepada penyusun
akan mendapat balasan dari Allah SWT.
Akhirnya penyusun berharap penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi
pihak-pihak yang membutuhkan, Amin
Surakarta, Juni 2012
Penulis
Vitriyani Tri Utami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI iii
PERNYATAAN iv
ABSTRAK v
HALAMAN MOTTO vii
HALAMAN PERSEMBAHAN viii
KATA PENGANTAR ix
DAFTAR ISI xi
DAFTAR SKEMA xiv
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Perumusan Masalah 8
C. Tujuan Penelitian 9
D. Manfaat Penelitian 9
E. Metode Penelitian 10
F. Sistematika Penulisan Hukum 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 17
A. Kerangka Teori............................................................... ........ 17
1. Tinjauan Umum tentang Perlindungan
Konsumen ........................................................................ 17
a. Pengertian Perlindungan Konsumen ........................... 17
b. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ................. 18
2. Tinjauan Umum tentang Konsumen dan
Pelaku Usaha..................................................................... 19
a. Istilah dan Pengertian Konsumen............................... 19
b. Hak dan Kewajiban Konsumen................................... 21
c. Pengertian Pelaku Usaha .......................................... ... 26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
d. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha .............................. 28
e. Tanggung Jawab Pelaku Usaha. ................................. 29
3. Tinjauan Umum tentang Bahan Tambahan
Makanan (BTM)................................................................ 31
a. Pengertian BTM....................................................... 31
b. Penggunaan BTM..................................................... 33
c. Jenis dan Pengelompokan BTM............................... 36
4. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Anak.................... 38
a. Pengertian Anak....................................................... 38
b. Perlindungan Anak.................................................... 39
B. Kerangka Pemikiran................................................................ 43
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHAN............................... 46
A. Perlindungan Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) Bagi Anak
Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM)
Dalam Jajanan Anak................................................................ 46
1. Gambaran Umum Peredaran Jajanan Anak....................... 46
2. Perlindungan Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) Bagi
Anak Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Makanan
(BTM) dalam Jajanan Anak............................................... 52
B. Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Penggunaan
Bahan Tambahan Makanan (BTM) dalam Produk
Pangan yang Dikonsumsi oleh Anak................................ ...... 72
1. Standar Norma Penggunaan BTM di Indonesia................ 72
2. Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Penggunaan
BTM dalam Produk Pangan yang Dikonsumsi oleh
Anak................................................................................... 82
3. Tanggung Jawab Pengawasan dan Pembinaan dan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Produk
Pangan................................................................................. 103
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
BAB IV PENUTUP .................................................................................. 115
A. Kesimpulan .......................................................................... 115
B. Saran..................................................................... ............... 116
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR SKEMA
Halaman
Skema 1. Skema Kerangka Pemikiran ................................................. 43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan
khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah
menghasilkan variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Realita
yang demikian pada satu sisi mempunyai manfaat bagi konsumen karena
kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat
terpenuhi serta semakin terbukanya kebebasan untuk memilih beraneka
macam jenis dan kualitas barang dan/atau jasa.
Di sisi lain, kondisi dan fenomena yang demikian dapat pula
mengakibatkan kedudukan konsumen dan pelaku usaha tidak seimbang dan
konsumen berada pada posisi yang lemah. Pelaku usaha menjadikan
konsumen sebagai obyek aktivitas bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya.
Salah satu produk yang dimanfaatkan konsumen adalah produk
pangan. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan, disebutkan bahwa “Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari
sumber hayati dan air, baik yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan
atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan,
bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman”.
Produk pangan bagi setiap manusia merupakan kebutuhan pokok,
sehingga setiap orang senantiasa dihadapkan pada keadaan untuk menentukan
atau memilih produk pangan di pasaran. Derasnya peredaran produk-produk
pangan sebagai akibat terbukanya pasar melahirkan iklim persaingan yang
ketat dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan untuk mendapatkan
keuntungan yang besar. Tidak jarang dalam transaksi ekonomi yang terjadi
terdapat permasalahan-permasalahan yang menyangkut persoalan sengketa
dan ketidakpuasan konsumen akibat produk yang di konsumsinya tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
memenuhi kualitas standar bahkan tidak jarang produk pangan tersebut
juga membahayakan bagi konsumen. Akibatnya masyarakat sebagai
konsumen sangat dirugikan bahkan dapat mengancam kesehatan dalam jangka
panjang, oleh karena itu adanya jaminan kepastian atas mutu, jumlah, dan
keamanan produk pangan yang diperolehnya di pasar menjadi urgen.
Fakta tersebut membuat pelaku usaha mempunyai posisi yang kuat
dibandingkan konsumen. Pelaku usaha menjadi pihak yang mengetahui bahan
dasar, pengolahan, pengemasan, serta pendistribusian produk pangan. Hal ini
memberikan konsekuensi bagi pelaku usaha untuk dapat memastikan bahwa
kualitas dari produknya aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas. Pelaku
usaha wajib menjamin mutu pangan yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu yang berlaku untuk menjamin keamanan
dan kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa
sebagai pemakai akhir.
Dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk
yang mengandung resiko terhadap keamanan konsumen wajib disertai
informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas. Informasi yang diberikan
harus benar, jelas dan jujur. Setiap produk yang diperkenalkan kepada
konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar
konsumen tidak mempunyai gambaran yang keliru atas suatu produk.
Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti secara lisan
kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan
dalam kemasan (barang) (Shidarta,2004:23-24).
Menurut Chandra Dewi Puspitasari yang mengutip tulisan dalam
majalah TRUST yang berjudul Canggih Tapi Membahayakan Telinga
disebutkan bahwa dalam praktik sering ditemukan pelaku usaha yang sengaja
memanipulasi informasi atau memberikan informasi secara tidak lengkap
sehingga membahayakan dan merugikan konsumen. Selanjutnya Chandra
Dewi Puspitasari yang mengutip pendapat Professor David Harland dalam
pendapatnya mensinyalir bahwa kapasitas barang dan jasa dapat merugikan
atau membunuh konsumen yang disebabkan hanya karena adanya informasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
yang kurang lengkap untuk membantu mereka mengenal, apakah barang dan
jasa itu telah memenuhi syarat keamanan. Kombinasi kemajuan metode
komunikasi massa dan teknik pemasaran yang semakin rumit mengakibatkan
konsumen menjadi lebih bertanggung jawab atas klaim yang menyesatkan,
yang mungkin dibuat oleh pelaku usaha (Chandra Dewi Puspitasari.
Peningkatan Kesadaran Hak - Hak Konsumen Produk Pangan Sebagai
Upaya Mewujudkan Kemandirian Konsumen Di Kabupaten Bantul.
http://eprints.uny.ac.id/4054/1/PERLINDUNGAN_KONSUMEN-DIPA.pdf).
Konsumen, khususnya konsumen produk pangan, seringkali menderita
kerugian akibat mengkonsumsi produk pangan tertentu.
Konsumen seringkali berada pada posisi yang kurang menguntungkan
dan lemah daya tawarnya. Salah satunya disebabkan karena mereka belum
memahami hak-hak mereka sebagai konsumen yang sebetulnya dilindungi
oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK). Disamping itu, dari sisi pelaku usaha pemahaman mengenai
kewajiban terhadap konsumen juga belum mencukupi. Ketika terjadi
permasalahan atau kerugian dari penggunaan suatu produk pangan tertentu,
umumnya konsumen dihadapkan pada kesulitan untuk mendapatkan
penyelesaian dari pelaku usaha, karena konsumen berada dalam posisi tawar
yang tidak seimbang (inequality of bargaining power). Terkadang jika
konsumen mengadukan permasalahannya kepada pelaku usaha juga tidak
mendapatkan penyelesaian yang memuaskan, hal tersebut membuat konsumen
sangat tidak berdaya. Konsumen hanya bisa pasrah terhadap kondisi yang
dialaminya, karena tidak mungkin dengan kekuatan konsumen seorang diri
bisa mengubah perilaku bisnis dari pelaku usaha.
Sebagai gambaran dapat diperhatikan jajanan anak sekolah, contohnya
pada pangan olahan tahu, bakso, mie basah, dan ikan. Sungguh menarik untuk
dikonsumsi berbagai aneka macam bentuk dan warna pangan yang dikemas
secara sederhana. Bermula dari upaya menekan biaya produksi, pelaku usaha
kecil menengah tidak jarang menggunakan alternatif bahan baku dari bahan
berbahaya dengan harga relatif murah. Bahkan dengan memanfaatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
keterbatasan informasi pada label dan rendahnya daya beli konsumen, terdapat
oknum pelaku usaha yang masih memperjualbelikan pangan substandar. Tentu
hal ini sangat meresahkan karena apabila dikonsumsi, pangan ini akan
mempunyai efek samping, baik secara langsung maupun dalam jangka
panjang, yang merugikan konsumen dari aspek keamanan, keselamatan,
kesehatan dan lingkungan (K3L) (BPKN. Konsumen Waspadailah Pangan
Berbahaya dan Substandar.
http://www.bpkn.go.id/adm/uploads/kajian/2429Kajian%20pangan.pdf).
Makanan jajanan anak merupakan sumber potensial yang mempunyai
nilai komoditas dan menunjang perekonomian dalam jalur informal karena
banyak jajanan anak yang dibuat dalam skala kecil sebagai industri rumahan
(home industry). Jajanan anak telah menjadi bagian dari keseharian anak.
Anak yang membeli dan/atau mengkonsumsi makanan jajanan merupakan
konsumen. Dalam kepustakaan ekonomi dikenal dengan istilah konsumen akhir
dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan/pemanfaatan akhir
dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang
menginginkan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk
lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) merupakan konsumen akhir
(Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen).
Konsumen harus mendapatkan perlindungan hukum sebagai konsumen.
Seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa “Perlindungan konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen”.
Kesibukan orang tua zaman sekarang membawa dampak pada pola
konsumsi anak. Dahulu orang tua masih mempunyai waktu memberikan bekal
makanan dan minuman untuk anak-anak mereka, namun saat ini orang tua
cenderung lebih suka memberikan uang saku untuk jajan anak-anaknya karena
dianggap lebih praktis. Pada lain sisi sebagian besar anak sebenarnya belum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
mampu memilih jajanan yang sehat, bahkan anak-anak mudah terpengaruh oleh
iklan produk jajanan.
Anak adalah generasi penerus bangsa yang harus senantiasa dilindungi
sebagai bagian dari hak asasi manusia. Anak-anak Indonesia kini tengah
menghadapi bahaya serius yang seringkali tidak disadari oleh orang tua
mereka. Tidak jarang ketidaktahuan atau ketidakmampuan orang tua yang
mendekatkan anak pada bahaya peredaran makanan yang mengandung bahan
tambahan makanan berbahaya.
Banyaknya persaingan pasar yang memproduksi bahan pangan
menjadikan para pelaku usaha kurang memperhatikan mutu, keamanan, dan
kualitas barang yang diproduksi dan dipasarkan. Banyak produsen jajanan
anak yang tidak memperhatikan keamanan produknya. Mereka lebih
memikirkan keuntungan yang dihasilkan, yaitu dengan modal sekecil-kecilnya
tetapi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan
aspek keamanan dan keselamatan konsumen. Begitu juga dengan para
konsumen yang tidak terlalu memperhatikan mutu serta kualitas, para
konsumen cenderung hanya memperhatikan harga yang murah sehingga
banyak konsumen yang tidak memperoleh manfaat dari bahan pangan tersebut
secara maksimal.
Bahan kimia berbahaya yang tidak ditujukan untuk makanan justru
ditambahkan ke dalam makanan. Tidak jarang pelaku usaha juga
menggunakan bahan tambahan makanan yang dibatasi penggunaannya oleh
pemerintah secara berlebihan yang tentunya sangat membahayakan konsumen.
Hal ini terjadi karena banyak hal yang ingin dicapai, diantaranya pedagang
ingin makanannya menjadi awet, sementara ia tidak mempunyai pengetahuan
mengenai cara pengawetan makanan yang benar. Terkadang mungkin saja
pelaku usaha mengetahui bahwa suatu pengawet (misalnya formalin)
berbahaya untuk ditambahkan ke dalam makanan, tetapi tetap saja dilakukan
mengingat harganya sangat murah. Di samping itu juga disebabkan
ketidaktahuan konsumen terhadap berbagai jenis makanan berbahaya yang
ada. Terlebih lagi konsumen sulit membedakan ciri-ciri makanan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
mengandung bahan berbahaya sehingga bahan-bahan tersebut semakin sering
ditambahkan ke dalam makanan. Hal lain yang menyebabkan produsen
menambahkan bahan berbahaya adalah tingkah laku konsumen itu sendiri.
Sejumlah konsumen, khususnya konsumen anak menginginkan makanan
dengan warna yang mencolok sehingga produsen terdorong menambahkan
pewarna tekstil untuk mendapatkan warna yang diinginkan (Nurheti
Yuliarti,2007:8-9).
Penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) dalam proses produksi
pangan perlu diwaspadai bersama, baik produsen maupun konsumen. Dampak
penggunaannya dapat berakibat positif maupun negatif untuk masyarakat.
Penyimpangan dalam pemakaiannya akan membahayakan kita bersama,
khususnya generasi muda sebagai penerus bangsa (Wisnu Cahyadi,2006:250).
Jajanan-jajanan berbahaya ini sangat mudah didapatkan oleh anak-
anak, karena biasanya dijajakan di sekolah-sekolah, baik sekolah dasar (SD)
maupun sekolah menengah pertama (SMP), terutama di sekolah-sekolah yang
mayoritas siswanya berasal dari kalangan menengah ke bawah. Harga jajanan
anak berbahaya pun relatif jauh lebih murah dibandingkan dengan makanan
sejenis yang hanya menggunakan bahan-bahan yang aman.
Banyaknya pangan jajanan anak sekolah (PJAS) mengadung bahan
berbahaya tercermin dari hasil pengawasan Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) sampai Oktober 2010. Dari 1.845 sampel yang diuji, 563
makanan yang dijajakan di lingkungan sekolah di sejumlah kota besar di
Indonesia terbukti tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Rinciannya, 48
sampel (13,15%) ditemukan masih mengandung zat formalin, 130 sampel
(35,62%) mengandung boraks, 49 (13,42%) bercampur dengan rhodamin b,
lima sampel mengandung methanil yellow, 11 sampel terdapat unsur benzoat
berlebih, 15 sampel mengandung sakarin berlebih, 107 sampel mengandung
siklamat. Selain itu, 191 sampel juga tidak memenuhi paramaeter uji cemaran
mikroba, seperti terdapat bakteri ecoli (Media Indonesia. Bahan Berbahaya
Ancam Tunas Bangsa.
http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
836:bahan-berbahaya-ancam-tunas-bangsa&catid=16:cakrawala indonesia&
Itemid= 59).
Ketidakjelasan perlindungan terhadap konsumen anak ditunjukkan
dengan tingkat keracunan pangan di Indonesia yang cukup tinggi. Dari seluruh
kasus, sebagian besar menimpa kelompok usia anak-anak, baik saat di rumah
maupun di sekolah. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia mencatat,
pada tahun 2008, jumlah korban keracunan pangan Indonesia mencapai
25.268 orang, dengan 8.943 kasus. Sementara tahun 2009, jumlah korban
berkurang menjadi 7.815 orang dengan 3.239 kasus. Pada rentang waktu 2010
sampai dengan 2011, jumlah itu kembali meningkat dengan korban
didominasi kalangan anak-anak. Dari semua kasus tersebut, 56,52% terjadi di
tempat tinggal atau rumah, dan sekitar 26% terjadi di sekolah. Kasus
keracunan umumnya disebabkan produsen makanan mencampurkan bahan
kimia berbahaya seperti formalin, boraks, pewarna tekstil kedalam makanan
yang diproduksi, dan diperdagangkan (Harian Umum Tabengan.
Palangkaraya.http://media.hariantabengan.com/index/detailkesehatanberitaph
oto/id/12510).
Pada tahun 2011 juga terjadi rentetan kasus keracunan makanan yang
menimpa anak-anak. Bulan Juni 2011 ada dua kasus keracunan makanan yang
menimpa masyarakat Sragen, beberapa korban diantaranya kemungkinan
besar adalah anak-anak. Pada tanggal 4 Juli 2011 sebanyak 13 anak keracunan
sosis goreng. Selanjutnya tanggal 17 Juli 2011 sebanyak tujuh siswa
keracunan tempura dan empat diantaranya kritis (Shoim Sahriyati. Siapa
Melindungi Konsumen Anak?. http://harianjoglosemar.com/berita/siapa-
melindungi-konsumen-anak49291.html). Beberapa bulan terakhir juga ramai
diberitakan mengenai kasus keracunan es krim yang menimpa 47 siswa
Sekolah Dasar Lego Wetan, Kecamatan Bringin, Kabupaten Ngawi, Jawa
Timur. Es krim tersebut dibeli dari pedagang makanan dan minuman di luar
sekolah (Siwi Tri Puji. Jajan Es Krim Usai Upacara, 47 Siswa SD Keracunan.
http://www.republika.co.id).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Kasus keracunan lain yang cukup mengkhawatirkan juga terjadi di
Medan, Sumatera Utara. Lembaga Advokasi Perlindungan Konsumen (LAPK)
Sumatera Utara menyatakan, dugaan keracunan jajanan di Kota Medan dan
sekitarnya yang tidak kunjung reda menerpa anak-anak mapun siswa/siswi
sekolah dasar (SD). Kasus keracunan jajanan tersebut sudah sangat
meresahkan para orang tua. Hal tersebut mengindikasikan keamanan jajanan
anak sudah mengkhawatirkan. Sampai saat ini tidak ada satupun kasus
keracunan menemui titik terang penyelesaian (Prawira Setiabudi. LAPK :
Jajanan Anak Memprihatinkan.
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=
183172:lapk-jajanan-anak- memprihatinkan&catid=14:medan&Itemid=27).
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian yang tertuang dalam bentuk penulisan hukum dengan judul
“PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP
PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BMT) DALAM
JAJANAN ANAK (Suatu Telaah Perlindungan Terhadap Anak Sebagai
Konsumen)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan
sebelumnya, serta agar permasalahan yang diteliti menjadi lebih jelas dan
penulisan penelitian hukum mencapai tujuan yang diinginkan, maka
permasalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) telah mampu memberikan perlindungan hukum bagi
anak terhadap penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) dalam
jajanan anak?
2. Bagaimanakah tanggung jawab pelaku usaha terhadap penggunaan bahan
tambahan makanan (BTM) dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh
anak?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
C. Tujuan Penelitian
“Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan isu hukum
yang timbul” (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 41), berdasarkan hal tersebut
maka penelitian ini mempunyai tujuan obyektif dan tujuan subyektif sehingga
mampu mencari pemecahan isu hukum terkait. Adapun tujuan yang hendak
dicapai peneliti adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk memahami dan menganalisa perlindungan hukum yang
diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) bagi anak terhadap penggunaan
bahan tambahan makanan (BTM) dalam jajanan anak.
b. Untuk memahami dan menganalisa tanggung jawab pelaku usaha
terhadap penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) dalam produk
pangan yang dikonsumsi oleh anak.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah wawasan penulis dalam bidang Hukum Administrasi
Negara terutama yang berhubungan dengan perlindungan hukum bagi
anak terhadap penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) dalam
jajanan anak dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap penggunaan
bahan tambahan makanan (BTM) pada produk makanan yang
dikonsumsi anak.
b. Untuk melatih kemampuan penulis dalam menerapkan konsep-konsep
ataupun teori-teori hukum yang diperoleh penulis selama masa
perkuliahan dalam mendukung penulisan hukum ini.
D. Manfaat Penelitian
Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian hukum ini akan dapat
bermanfaat baik bagi penulis, orang lain dan juga bagi bidang ilmu yang
diteliti. Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dibidang hukum pada umumnya dan Hukum
Administrasi Negara pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur dalam dunia kepustakaan Hukum Administrasi Negara (HAN)
mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap penggunaan
bahan tambahan makanan (BTM) dalam jajanan anak (Suatu Telaah
Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Konsumen).
c. Hasil penelitian hukum ini dapat dipakai sebagai bahan untuk
mengadakan penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan
referensi bagi peneliti selanjutnya dalam rangka pengembangan ilmu
hukum terutama Hukum Administrasi Negara.
b. Penelitian hukum ini diharapkan dapat menjadi wahana bagi penulis
mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus
untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penulis dalam menerapkan
ilmu yang diperoleh.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006 :35).
Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang
timbul. Oleh karena itulah, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di
dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk
memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya atas isu yang diajukan
(Peter Mahmud Marzuki, 2006 :41).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Berdasar uraian diatas maka untuk memperoleh hasil yang diharapkan
dalam penulisan hukum ini, metode penelitian yang digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum secara umum dapat dikategorikan menjadi
penelitian doktrinal dan penelitian non doktrinal. Dalam penelitian ini,
penulis menggunakan penelitian hukum doktrinal atau disebut juga
penelitian hukum yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan.
Penelitian doktrinal adalah suatu penelitian hukum yang bersifat
preskriptif bukan deskriptif sebagaimana ilmu sosial dan ilmu alam (Peter
Mahmud Marzuki, 2006 : 33).
2. Sifat Penelitian
Penelitian hukum ini bersifat preskriptif dan teknis atau terapan.
Sifat preskriptif disini dapat diartikan bahwa penelitian ini mempelajari
tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep
hukum, dan norma-norma hukum. Sedangkan sifat teknis atau terapan
menggambarkan bahwa penelitian ini menetapkan standar prosedur,
ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum
(Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 22). Sifat preskriptif dalam penelitian ini
tercermin ketika penulis mempelajari aturan-aturan hukum yang berlaku
terkait dengan perlindungan hukum bagi anak terhadap penggunaan bahan
tambahan makanan dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh anak.
3. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah
pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case
approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2006 :93).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statue approach). Pendekatan perundang-undangan
(statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan
regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peratuan perundang-undangan
yang berhubungan dengan tema sentral penelitian.
4. Jenis Bahan Hukum
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi
sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
Sedangkan bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,
2006: 141).
5. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan untuk menyusun penulisan hukum
ini dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer
1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan.
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK).
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
5) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
6) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
7) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Kemanan,
Mutu dan Gizi Pangan.
8) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 239/Men.Kes/Per/V/85
Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya.
9) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988
tentang Bahan Tambahan Makanan Juncto Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan.
10) Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan obat dan Makanan
Departemen Kesehatan RI Nomor 00386/C/SK/II/90 tentang
Perubahan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
239/Men.Kes/Per/V/85 Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan
Sebagai Bahan Berbahaya.
11) Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI
Nomor HK.00.05.5.1.4547 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan
Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku referensi, jurnal-
jurnal hukum yang terkait, dan media massa yang mengulas tentang
perlindungan anak sebagai konsumen jajanan anak serta tanggung
jawab pelaku usaha terhadap penggunaan bahan tambahan makanan
(BTM) dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh anak.
6. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini teknik yang digunakan untuk mengumpulkan
bahan hukum yaitu:
a. Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan sangat penting sebagai dasar teori maupun
sebagai data pendukung. Dalam studi kepustakaan ini peneliti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
mengkaji dan mempelajari buku-buku, arsip-arsip, dan dokumen
maupun peraturan-peraturan yang ada hubungannya dengan masalah
penelitian.
b. Cyber media
Pengumpulan data melalui internet dengan cara melalui e-mail
dan download berbagai artikel yang berkaitan dengan perlindungan
hukum bagi anak sebagai konsumen terhadap penggunaan bahan
tambahan makanan dalam jajanan anak dan tanggung jawab pelaku
usaha terhadap penggunaan bahan tambahan makanan dalam produk
pangan yang dikonsumsi oleh anak.
7. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis sumber hukum dengan
logika deduktif. Menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat
Philipus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogime
yang diajarkan oleh Aristoteles, bahwa penggunaan metode deduksi ini
berpangkal dari pengajuan premis mayor (aturan hukum) kemudian
diajukan premis minor (fakta hukum). Dari kedua hal tersebut kemudian
ditarik suatu kesimpulan atau conclusion. (Peter Mahmud
Marzuki,2006:47). Jadi dapat disimpulkan bahwa logika deduktif atau
pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif yaitu menjelaskan suatu
hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang
lebih khusus.
Mengingat penelitian ini adalah penelitian doktrinal maka
pengumpulan data utama yang ditempuh dengan melakukan penelitian
kepustakaan dan studi dokumen yang dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
a. Menginventarisasi dan mengkaji peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan penulisan hukum ini.
b. Menginventarisasi dan mengkaji serta memilih secara selektif bahan-
bahan bacaan lainnya seperti buku-buku referensi, jurnal-jurnal hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
terkait, surat kabar, bulletin yang menunjang dan memperkaya
penulisan hukum ini.
Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber hukum
yang diolah, sehingga dapat menjawab pertanyaan tentang perlindungan
hukum UUPK bagi anak sebagai konsumen terhadap penggunaan bahan
tambahan makanan dalam jajanan anak dan tanggung jawab pelaku usaha
terhadap penggunaan bahan tambahan makanan dalam produk pangan
yang dikonsumsi anak.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan,
penganalisaan, serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun
sistematika penulisan hukum ini sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan
hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka
teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis akan
menguraikan tinjauan umum. Sedangkan dalam kerangka
pemikiran disajikan dalam bentuk bagan, kemudian diikuti
dengan deskripsi atas bagan kerangka pemikiran.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya yaitu
perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
bagi anak terhadap penggunaan bahan tambahan makanan dalam
jajanan anak dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
penggunaan bahan tambahan makanan dalam produk pangan
yang dikonsumsi oleh anak.
BAB IV : PENUTUP
Penutup adalah bagian akhir dari penulisan hukum ini yang
menguraikan secara singkat tentang kesimpulan akhir dari
pembahasan dan jawaban atas rumusan permasalahan, dan
diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas hasil
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen
a. Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK) yaitu “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen”.
Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan
tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya
demi untuk kepentingan perlindungan konsumen (Ahmadi Miru
dan Sutarman Yodo,2004:1).
Piranti hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan
untuk mematikan pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan
konsumen mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong
lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan
melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi
perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari
tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-
akibat dari pemakaian barang dan jasa tersebut.
Perlindungan hukum kepada konsumen merupakan hal yang
semakin penting disebabkan antara lain faktor-faktor (Erman
Rajagukguk, dkk,2000:93) :
1) kedudukan konsumen yang relatif lemah dibandingkan produsen;
2) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai motor
penggerak produktivitas dan efisiensi produsen dalam
menghasilkan barang jasa; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
3) perubahan konsep pemasaran yang mengarah pada pelanggan
dalam konteks lingkungan eksternal yang lebih luas pada situasi
ekonomi global.
Perspektif hukum perlindungan konsumen dikembangkan tidak
saja atas dasar hak-hak konsumen, tetapi juga dasar tanggung jawab
produsen terhadap produk yang dihasilkan (product liability) yang
keduanya bermuara pada penerapan etika bisnis yang universal (Erman
Rajagukguk, dkk,2000:93-94). Pengaturan perlindungan konsumen
dilakukan dengan (Erman Rajagukguk,dkk,2000:7) :
1) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur keterbukaan akses informasi, serta menjamin kepastian
hukum;
2) melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan
kepentingan seluruh pelaku usaha;
3) meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;
4) memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha
yang menipu dan menyesatkan; dan
5) memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan
perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan
pada bidang-bidang lain.
b. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Ketentuan Pasal 2 UUPK menyebutkan ada lima asas
perlindungan konsumen :
1) Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan. Perlindungan konsumen
tidak dimaksudkan untuk mematikan pelaku usaha, namun untuk
mendorong iklim usaha yang sehat, tangguh, dan produk
berkualitas.
2) Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
3) Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Konsumsi terhadap
suatu produk tidak menyebabkan gangguan bagi kesehatan (fisik
dan mental).
5) Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha
maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.
Melalui kelima asas perlindungan konsumen tersebut di atas,
terdapat komitmen UUPK untuk mewujudkan tujuan perlindungan
konsumen sebagaimana termuat dalam Pasal 3 UUPK sebagai berikut:
1) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri;
2) mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkan dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa;
3) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan
informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggungjawab dalam berusaha; dan
6) meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
2. Tinjauan Umum tentang Konsumen dan Pelaku Usaha
a. Istilah dan Pengertian Konsumen
Menurut Celina Tri Siwi K. yang mengutip pendapat
AZ.Nasution, istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda).
Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi
mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari
produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Begitu pula kamus
besar inggris-indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai
atau konsumen (Celina Tri Siwi K, 2008 : 22).
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah
konsumen sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada UUPK.
Pengertian konsumen menurut UUPK dalam Pasal 1 ayat (2) yakni
”Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”.
Unsur-unsur definisi konsumen (Shidarta, 2004 : 5-9) :
1). Setiap Orang;
2). Pemakai;
3). Barang dan/atau jasa;
4). Yang tersedia dalam masyarakat;
5). Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup
lain; dan
6). Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan.
Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni
hanya konsumen akhir. Penjelasan Pasal 2 UUPK menyebutkan
bahwa:
Dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir
dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau
pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara
adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai
bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian
konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.
Pengertian konsumen dalam penjelasan UUPK adalah
konsumen akhir bukan konsumen antara (intermediate consumers)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
sebagaimana terdapat dalam kepustakaan ekonomi. Konsumen akhir
adalah pengguna atau pemanfaat akhir barang dari suatu produk,
sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan
suatu produk sebagai bagian dari proses produksi lain. Para ahli hukum
pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah pemakai terakhir
dari benda dan jasa (Uiteindelijke gebruiker van goerderen en
diensten) (Badan Pembinaan Hukum Nasional,1986:57).
Ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi
hanya dengan menampungnya dalam satu jenis undang-undang, seperti
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Hukum
perlindungan konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi dengan
berbagai bidang dan cabang hukum lain, karena pada setiap bidang dan
cabang hukum senantiasa terdapat pihak yang berpredikat konsumen.
Sidharta yang mengutip tulisan Edmond Cahn dalam Law in the
Consumer Perspective menjelaskan bahwa disadari atau tidak, setiap
manusia adalah konsumen. Dalam perspektif yang lebih luas, bahkan
ada anggapan bahwa kita adalah konsumen dari produk politik yang
disebut hukum (Sidharta, 2004:1).
Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban
produk cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, tetapi juga korban
bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai
memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai (Ahmadi Miru
dan Sutarman Yodo,2004:7).
b. Hak dan Kewajiban Konsumen
Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan
hukum. Dalam perlindungan hukum mengandung aspek hukum.
Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar
fisik, melainkan termasuk hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan
kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan
perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen
(Celina Tri Siwi K,2008:30). Langkah untuk meningkatkan martabat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
dan kesadaran konsumen harus diawali dengan upaya untuk
memahami hak-hak konsumen, yaitu dapat dijadikan sebagai landasan
perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut.
Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo yang mengutip
pendapat Meriam Darus Badrulzaman disebutkan bahwa Masyarakat
Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) menyepakati
lima hak dasar konsumen, sebagai berikut (Ahmadi Miru dan
Sutarman Yodo,2004: 39-40) :
1) hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op
bescherming van zijn gezendheid);
2) hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming
van zijn economiche belangen);
3) hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding);
4) hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming);
5) hak untuk didengar (recht om te worden gehord).
Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen
sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat
J.F Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu
terdiri atas (Shidarta,2004:19-20) :
1) hak untuk mendapat keamanan (the right to safety);
2) hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);
3) hak untuk memilih (the right to choose);
4) hak untuk didengar (the right to be heard).
Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Empat hak ini
mengacu kepada President Kennedy`s 1962 Consumer`s Bill of Right.
Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang
tergabung dalam The International Organization of Consumers Union
(UOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan
pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-
hak tersebut. Mereka bebas untuk menerima semua atau sebagian.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), misalnya,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
memutuskan untuk menambahkan satu hak lagi sebagai pelengkap
empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca
hak konsumen. Dalam UUPK, empat hak dasar yang dikemukakan
oleh John F.Kennedy tersebut juga diakomodasikan.
Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UUPK
adalah sebagai berikut :
1) hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
2) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
5) hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7) hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur
secara tidak diskriminatif;
8) hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan
9) hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan
lainnya.
Di samping hak-hak dalam Pasal 4, juga terdapat hak-hak
konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya
dalam Pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha.
Kewajiban dan hak merupakan anatomi dalam hukum, sehingga
kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.
Memperhatikan hak-hak yang disebut di sebutkan di atas, maka
secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 (sepuluh) macam hak
konsumen, yaitu sebagai berikut (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,
2004,40-47):
1) Hak atas keamanan dan keselamatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk
menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam
penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga
konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis)
apabila mengkonsumsi suatu produk.
2) Hak untuk memperoleh informasi
Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar
konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu
produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat
memilih produk yang diinginkan/sesuai kebutuhannya serta
terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan
produk. Informasi dapat disampaikan baik secara lisan, maupun
secara tertulis, baik yang dilakukan dengan mencantumkan label
yang melekat pada kemasan produk, maupun melalui iklan-iklan
yang disampaikan oleh produsen, baik melalui media cetak
maupun media elektronik.
3) Hak untuk memilih
Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan
kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai
kebutuhannya tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak
untuk memilih ini konsumen berhak memutuskan untuk membeli
atau tidak terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk
memilih kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya.
4) Hak untuk didengar
Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak
dirugikan lebih lanjut, atau hak menghindarkan diri dari kerugian.
Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang
diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa
pengaduan atas adanya kerugian yang dialami akibat penggunaan
suatu produk, atau yang berupa pertanyaan /pendapat tentang suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan
konsumen.Hak ini dapat disampaikan baik secara perseorangan,
maupun secara kolektif, baik yang disampaikan secara langsung
maupun yang diwakili oleh suatu lembaga tertentu.
5) Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup
Hak ini merupakan hak yang sangat mendasar, karena menyangkut
hak untuk hidup. Setiap orang (konsumen) berhak untuk
memperoleh kebutuhan dasar (barang dan jasa) untuk
mempertahankan hidupnya (secara layak).
6) Hak untuk memperoleh ganti kerugian
Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan
keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya
penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan
konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang
telah merugikan konsumen baik berupa kerugian materi, maupun
kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian)
konsumen.
7) Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen
Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan
agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan
yang diperlukan agar dapat terhidar dari kerugian akibat
penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut,
konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih
suatu produk yang dibutuhkan.
8) Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat
Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi
setiap konsumen dan lingkungan.
9) Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang
diberikannya
Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian
akibat permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu barang yang
jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas
barang atau jasa yang diperolehnya.
10) Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut
Hak ini dimaksudkan untuk memilihkan keadaan konsumen yang
telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur
hukum.
Disamping memperoleh hak-hak tersebut di atas, UUPK juga
mencantukan kewajiban yang dibebankan kepada konsumen pada
Pasal 5, yaitu berupa kewajiban untuk :
1) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/ atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan;
2) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/ atau jasa;
3) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; dan
4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Pengaturan mengenai hak dan kewajiban konsumen dalam
UUPK dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh hasil yang
optimal dan jaminan kepastian hukum.
c. Pengertian Pelaku Usaha
Pengertian pelaku usaha secara eksplisit dijelaskan dalam
UUPK. Pasal 1 angka 3 UUPK menyebutkan bahwa :
Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 1 angka 3 UUPK
disebutkan bahwa yang termasuk pelaku usaha adalah perusahaan,
korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, importer,
pedagang, distributor, dan lain-lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo yang mengutip
pendapat Johannes Gunawan, pengertian pelaku usaha yang
dimaksudkan dalam Pasal 1 angka 3 UUPK memiliki cakupan yang
cukup luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan
sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen tersebut memiliki persamaan dengan
pengertian pelaku usaha dalam Masyarakat Eropa terutama Belanda,
bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah pembuat
produk jadi (finished product); penghasil bahan baku; pembuat suku
cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen,
dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau
tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk
tertentu; importer suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan,
disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam
transaksi perdagangan; pemasok (supplier), dalam hal identitas dari
produsen atau importer tidak dapat ditemukan (Ahmadi Miru dan
Sutarman Yodo,2004:8-9).
Menurut Celina Tri Siwi Kristiyanti yang mengutip makalah
Agus Brotosusilo yang berjudul “Aspek-aspek Perlindungan Terhadap
Konsumen Dalam Sistem Hukum di Indonesia” menjelaskan bahwa
berdasarkan Directive, pengertian produsen meliputi (Celina Tri Siwi
K,2008:41-42) :
1) Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang
manufaktur. Mereka ini bertanggung jawab atas segala
kerugian yang timbul dari barang yang mereka edarkan ke
masyarakat termasuk bila kerugian timbul akibat cacatnya
barang yang merupakan komponen dalam proses produksinya;
2) Produsen bahan mentah;
3) Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek ataupun
tanda-tanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai
produsen dari suatu barang;
4) Setiap orang yang mengimpor suatu produk ke dalam
lingkungan Economic Community, apakah untuk dijual,
disewakan, dikontrakkan, atau bentuk distribusi lain di dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
perdagangan bisnisnya dianggap sebagai produsen dan harus
bertanggung jawab sebagai produsen.
Dari kedua peraturan tersebut dapat dilihat perbedaan batasan-
batasan tentang produsen. Dalam Directive, sudah jelas diatur siapa
saja yang dikategorikan sebagai produsen. Sementara dalam UUPK
definisi pelaku usaha didefinisikan secara luas.
d. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak-hak produsen dapat ditemukan antara lain pada faktor-
faktor yang membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian
yang diderita oleh konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat
pada produk, yaitu apabila (Celina Tri Siwi K,2008:42) :
1) produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan;
2) cacat timbul dikemudian hari;
3) cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen;
4) barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan
produksi;
5) cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh
penguasa.
Dalam Pasal 6 UUPK, produsen disebut sebagai pelaku usaha
yang mempunyai hak sebagai berikut :
1) hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
2) hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
3) hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Adapun dalam Pasal 7 UUPK diatur kewajiban pelaku
usaha, sebagai berikut :
1) beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha, yang meliputi
semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
2) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
4) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
5) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi
jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau
yang diperdagangkan;
6) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
e. Tanggung jawab pelaku usaha
Tanggung jawab terdiri dari kata tanggung dan jawab, yang
kemudian terbentuk beberapa kata seperti bertanggungjawab,
mempertanggung jawabkan, penanggung jawab dan pertanggung
jawaban. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata tanggung jawab
berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi
sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya)
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1988:899). Selanjutnya dari
kata tanggung jawab tersebut diturunkan kata-kata sebagai berikut
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1988:901) :
1) Bertanggung jawab berarti kewajiban memegang, memikul
tanggung jawab;
2) Mempertanggung jawabkan berarti memberi jawab dan
menanggung segala akibatnya kalau ada kesalahan.
Tanggung jawab pelaku usaha meliputi tanggung jawab produk
(product liability) dan tanggung jawab professional (professional
liability).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
1) Tanggung jawab produk (Product Liability)
Istilah product liability diterjemahkan secara bervariasi ke
dalam bahasa Indonesia seperti tanggung gugat produk atau juga
tanggung jawab produk. Pengertian product liability menurut
Henry Cambell dalam Black Law Dictionary mendefinisikan
product liability sebagai berikut (Celina Tri Siwi K,2008,100-101):
“Refers to legal liability of manufactures and sellers to
compensate buyer, users, and even bystanders, for damages or
injuries sufferd because of defect in good purchase”.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan product liability adalah
suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang
menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari
orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk
menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau dari orang
atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor)
produk tersebut (Erman Rajagukguk,dkk,2000:46).
Dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat
dilakukan atas landasan adanya (Shidarta,2004:81) :
a) pelanggaran jaminan (breach of warranty);
b) kelalaian (negligence);
c) tanggung jawab mutlak (strict liability).
2) Tanggung jawab professional (Professional Lliability)
Tanggung jawab professional berhubungan dengan jasa.
Menurut Komar Kantaatmadja, tanggung jawab profesional adalah
tanggung jawab hukum (legal liability) dalam hubungan dengan
jasa professional yang diberikan kepada klien (Shidarta,2004:82).
Sumber persoalan dalam tanggung jawab professional ini
dapat timbul karena mereka (para penyedia jasa professional) tidak
memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka
atau akibat kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan
terjadinya perbuatan melawan hukum. Jenis jasa yang diberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
ada dua, yaitu jasa yang diperjanjikan menghasilkan sesuatu
(resultaat verbintenis) dan jasa yang diperjanjikan mengupayakan
sesuatu (inspanningsverbintenis)(Shidarta,2004:82-83).
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat
penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus
pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam
menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh
tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.
Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-
undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap
memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang
dipikul oleh pelanggar hak konsumen(Siharta,2004 : 72).
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum
dapat dibedakan sebagai berikut (Shidarta,2004: 73-84) :
1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability
based on fault).
2) Praduga selalu bertanggung jawab (presumption liability).
3) Praduga tidak selalu bertanggungjawab (presumption of
nonliability).
4) Tanggung jawab mutlak (strict liability).
3. Tinjauan Umum Tentang Bahan Tambahan Makanan (BTM)
a. Pengertian Bahan Tambahan Makanan (BTM)
Menurut Indra Chahaya S. yang mengutip pendapat Puspita
menyebutkan bahwa bahan tambahan makanan (BTM) atau food
additives adalah senyawa (atau campuran berbagai senyawa) yang
sengaja ditambahkan ke dalam makanan dan terlibat dalam proses
pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan dan bukan merupakan
bahan (ingredient) utama (Indra Chahaya S,2003: 39).
FAO dan WHO dalam kongresnya di Roma pada tahun 1956
menetapkan definisi food additive adalah bahan-bahan yang
ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah sedikit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
yaitu untuk memperbaiki warna, bentuk, cita rasa, tekstur, atau
memperpanjang masa simpan. Food additive yang digunakan harus
mempunyai sifat-sifat antara lain dapat mempertahankan nilai gizi
makanan tersebut, tidak mengurangi zat-zat esensial di dalam
makanan, dapat mempertahankan atau memperbaiki mutu makanan,
dan menarik bagi konsumen tetapi tidak merupakan suatu penipuan
(F.G.Winarno,dkk,1980:66).
Menurut Lia Daniaty yang mengutip pendapat Khomsan
menjelaskan bahwa keberadaan bahan tambahan makanan adalah
untuk membuat makanan tampak lebih berkualitas, lebih menarik,
serta rasa dan teksturnya lebih sempurna. Zat-zat itu ditambahkan
dalam jumlah sedikit, namun hasilnya sungguh menakjubkan (Lia
Daniaty,2009:9).
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
menggunakan istilah bahan tambahan pangan (BTP) untuk menjelaskan
pengertian bahan tambahan makanan (BTM). Menurut penjelasan Pasal
10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan “Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah
bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau
bentuk pangan, antara lain, bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti
gumpal, pemucat, dan pengental”.
Pengertian mengenai bahan tambahan pangan juga terdapat dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu
dan Gizi Pangan. Dalam Pasal 1 angka 18 Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan disebutkan
bahwa “bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke
dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan”.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, yang
dimaksud dengan bahan tambahan makanan adalah :
Bahan tambahan makanan adalah bahan yang biasanya tidak
digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
ingredien khas makanan, rnempunyai atau tidak mempunyai
nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan
untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada
pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan,
pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk
menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau
tidak langsung) suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas
makanan tersebut.
b. Pengggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM)
Sejak pertengahan abad ke-20 ini, peranan bahan tambahan
pangan (BTP) khususnya pengawet menjadi semakin penting sejalan
dengan kemajuan teknologi produksi bahan tambahan pangan sintetis.
Food additives and preservatives have been used for thousands of
years. In industrialized nations, the last 50 years have seen a
significant increase in the number of preservatives and additives
introduced to foods before they go to market. The growth in the use
of food additives has increased enormously in the past 30 years,
totaling now over 200,000 tonnes per year. Food additives are
substances added to food in order to preserve its flavour or
improve its taste and appearance. Some of them have been used for
centuries, e.g. in preserving food by pickling with vinegar, salting
meat or fish, adding sugar, or using sulphur dioxide in wines.
Lately many new additives of both natural and artificial origin
have been introduced to food (Barbara Wróblewska, 2009:287).
Dalam proses produksi pangan, seringkali pengusaha
menggunakan bahan tambahan pangan untuk mempengaruhi sifat atau
bentuk makanan. Penggunaan bahan tambahan makanan diatur dalam
Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2004, yakni setiap orang yang memproduksi makanan untuk
diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan
tambahan pangan yang dinyatakan terlarang, dan wajib menggunakan
bahan tambahan pangan yang diizinkan. Bahan yang digunakan
sebagai bahan tambahan pangan, tetapi belum diketahui dampaknya
bagi kesehatan manusia, wajib diperiksa keamanannya terlebih dahulu,
dan dapat digunakan dalam kegiatan atau proses produksi makanan
untuk diedarkan, setelah memperoleh persetujuan Badan Pengawas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Obat dan Makanan (BPOM) (Cahyo Saparinto dan Diana
Hidayati,2006:58).
Bahan tambahan makanan ditambahkan untuk memperbaiki
karakter pangan agar kualitasnya meningkat. Bahan tambahan makanan
(BTM) yang ditambahkan adalah untuk membantu teknologi
pengolahan pangan. Penggunaan bahan tambahan makanan sebetulnya
sudah digunakan sejak lama oleh nenek moyang kita. Pada awalnya
bahan tambahan makanan yang digunakan oleh masyarakat merupakan
bahan tambahan makanan alami yaitu diekstrak langsung dari bahan
hasil pertanian, seperti bahan pewarna hijau yang berasal dari daun
suji atau daun pandan, bahan pewarna kuning dari kunyit, bahan
pengawet menggunakan garam dan asap, dan lain sebagainya.
Food additives are used in or on food (at any stage) to affect the
keeping quality, texture, consistency, taste, odour, alkalinity or
acidity, or to serve any other technological function in relation to
food (Labelling in Food Regulations, 1984). In other words, they
make a food look, taste or smell better or improve its texture or
keeping qualities. Some of these miscellaneous substances prevent
the deterioration of food or its contamination with bacteria or
fungi. Others, such as colouring agents, could be omitted without
difficulty. The claim that all additives are harmful and unnecessary
is not, however, tenable (M H Lessof, 1992:518).
Tujuan penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) secara
umum adalah untuk (Cahyo Saparinto dan Diana Hidayati,2006 :10) :
1) meningkatkan nilai gizi makanan,
2) memperbaiki nilai sensori makanan,
3) memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan.
4) selain tujuan-tujuan tersebut, bahan tambahan makanan sering
digunakan untuk memproduksi makanan untuk kelompok
konsumen khusus, seperti penderita diabetes, pasien yang baru
mengalami operasi, orang-orang yang menjalankan diet rendah
kalori atau rendah lemak, dan sebagainya.
Pengggunaan bahan tambahan makanan dibenarkan apabila
(Cahyo Saparinto dan Diana Hidayati,2006 :10) :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
1) dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan;
2) tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang
salah atau tidak memenuhi persyaratan;
3) tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang
bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk makanan, dan;
4) tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan makanan.
Menurut Barbara Wróblewska dalam tulisannya yang berjudul
Influence of food additives and contaminants (nickel and chromium)
on hypersensitivity and other adverse health reactions,
mengungkapkan bahwa :
The application of some of the additives to food is open to
debates and disagreements whether they should be allowed at
all. Moreover, many claim that certain substances may be the
cause of different health disturbances such as allergies,
migraines, hyperactivity in children, and several other adverse
reactions. The exact mechanism of the influence of food
additives on health has not been fully recognized yet (Barbara
Wróblewska, 2009:287).
Penggunaan bahan tambahan makanan harus dapat menjaga
produk tersebut dari hal-hal yang merugikan konsumen. Oleh karena
itu penggunaan bahan tambahan makanan tidak diperkenankan
apabila:
1) menutupi adanya teknik pengolahan dan penanganan yang salah;
2) menipu konsumen;
3) menyebabkan penurunan nilai gizi;
4) pengaruh yang dikehendaki bisa diperoleh dengan pengolahan
secara lebih baik dan ekonomis.
c. Jenis dan Pengelompokan Bahan Tambahan Makanan (BTM)
Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi
dua golongan besar, yaitu sebagai berikut (Wisnu Cahyadi,2006:1-2) :
1) Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke
dalam makanan, dengan mengetaui komposisi bahan tersebut dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita
rasa, dan membantu pengolahan.
2) Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu
bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut,
terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup
jumlah banyak akibat proses produksi, pengolahan, dan
pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residu atau
kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan
produksi bahan mentah atau penggunaannya yang masih terus
terbawa ke dalam makanan yang akan dikonsumsi.
Apabila dilihat dari asalnya, bahan tambahan pangan dapat
berasal dari sumber alamiah seperti letisin, asam sitrat, dan lain
sebagainya. Bahan ini juga dapat disintetis dari bahan kimia yang
mempunyai sifat serupa dengan bahan alamiah sejenis, baik susunan
kimia maupun sifat metabolismenya, misalnya beta-karoten dan asam
askornat. Pada umumnya bahan sintetis mempunyai kelebihan, yaitu
lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah, tetapi ada pula
kelemahannya yaitu sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga
mengandung zat-zat berbahaya bagi kesehatan, kadang-kadang bersifat
karsinogenetik yang dapat merangsang terjadinya kanker pada hewan
atau manusia. Penggunaan bahan tambahan pangan sebaiknya dengan
dosis di bawah ambang batas yang ditentukan. Jenis bahan tambahan
pangan (BTP) ada 2 (dua) yaitu GRAS (Generally Recognized as
Safe), zat ini aman dan tidak berefek toksik misalnya gula (glukosa).
Sedangkan jenis lainnya ADI (Acceptable Daily Intake), jenis ini
selalu ditetapkan batas penggunaan hariannya (daily intake) demi
menjaga/melindungi kesehatan konsumen(Wisnu Cahyadi, 2006:2).
Bahan tambahan makanan dikelompokkan berdasarkan tujuan
penggunaannya di dalam makanan. Menurut ketentuan yang
ditetapkan, ada beberapa kategori bahan tambahan makanan. Pertama,
bahan tambahan makanan yang bersifat aman, dengan dosis yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
dibatasi. Kedua, bahan tambahan makanan yang digunakan dengan
dosis tertentu, dan dengan demikian dosis maksimum penggunaanya
juga telah ditetapkan. Ketiga, bahan tambahan makanan yang aman
dalam dosis yang yang tepat, serta telah mendapatkan izin beredar dari
instansi yang berwenang( Nurheti Yuliarti,2007:7).
Pengelompokan bahan tambahan makanan yang diizinkan
digunakan pada makanan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan
antara lain adalah :
1) Antioksidan (Antioxidant),
2) Antikempal (Anticaking Agent),
3) Pengatur Keasaman (Acidity Regulator),
4) Pemanis Buatan (Artificial Sweetener),
5) Pemutih dan Pematang Tepung (Flafour Treatment Agent),
6) Pengemulsi, Pemantap, Pengental (Emulsifier, Stabilizer,
Thickener),
7) Pengawet (Preservative),
8) Pengeras (Firming Agent),
9) Pewarna (Colour),
10) Penyedap Rasa dan Aroma, Penguat Rasa (Flavour, Flavour
Enhancer),
11) Sekuestran (Sequestrant).
Bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan,
menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor :
1168/Menkes/Per/X/1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kesehatan No. 722/Menkes/ Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan
Makanan, antara lain :
1) Asam Borat (Boric Acid) dan senyawanya,
2) Asam Salisilat dan garamnya (Salicylic Acid and its salt),
3) Dietilpirokarbonat (Diethylpirocarbonate DEPC),
4) Dulsin (Dulcin),
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
5) Kalium Klorat (Potassium Chlorate),
6) Kloramfenikol (Chloramphenicol),
7) Minyak Nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils),
8) Nitrofurazon (Nitrofurazone),
9) Formalin (Formaldehyde),
10) Kalium Bromat (Potassium Bromate).
4. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Anak
a. Pengertian Anak
Ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, memberikan batas pengertian anak dalam Pasal 1
angka 1 adalah sebagai berikut : “Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan”.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak secara
umum agar anak menjadi penerus bangsa yang berkualitas, sehingga
harus dijamin agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
Untuk menjamin kesejahteraan anak maka perlu adanya perlindungan
terhadap anak secara hukum.
b. Perlindungan Anak
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,
yang dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai
manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan
bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Hak asasi anak
dilindungi di dalam Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia yang menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dari sisi kehidupan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi
penerus cita-cita bangsa.
Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk
menjaga dan memelihara hak asasi anak sesuai dengan kewajiban yang
dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka
penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah
bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak,
terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara
optimal dan terarah (Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak).
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”.
Tujuan diadakannya pengaturan mengenai perlindungan
terhadap anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak yang
meliputi non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak
untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, serta
penghargaan terhadap pendapat anak. Hal yang mengatur tentang anak
termasuk juga tentang hak-hak yang dimiliki oleh anak telah di atur
oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Anak. Pasal 1 angka 12 yang menyebutkan bahwa “hak anak adalah
bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan
dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan
negara”.
Hak-hak anak diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak disebutkan bahwa ” Setiap anak berhak untuk
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Tanggung jawab penyelenggaraan perlindungan anak berada
pada negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua. Negara
dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati
dan menjamin hak asasi setiap anak. Salah satu kewajiban orang tua
yang diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak adalah memelihara, mendidik dan
melindungi anak. Selanjutnya masyarakat juga diberi kesempatan
untuk berperan dalam perlindungan anak yang dapat dilakukan baik
oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial
masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat,
lembaga keagamaan, badan usaha maupun media massa.
Ditinjau secara garis besar maka dapat disebutkan bahwa
perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua pengertian yaitu (Irma
Setyowati S,1990 :13) :
1) Perlindungan yang bersifat yuridis, yang meliputi perlindungan
dalam :
a) bidang hukum publik;
b) bidang hukum keperdataan.
2) Perlindungan yang bersifat non yuridis, meliputi :
a) bidang sosial;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
b) bidang kesehatan;
c) bidang pendidikan.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan
perlindungan anak yang efektif, rasional positif, bertanggungjawab
dan bermanfaat adalah sebagai berikut (Shanty Dellyana,1988:19-
20):
1) para partisipan harus mempunyai pengertian-pengertian yang
tepat;
2) harus dilakukan bersama;
3) kerjasama dan koordinasi;
4) perlu diteliti masalah yang dapat merupakan faktor kriminogen
atau faktor victimogen;
5) mengutamakan perspektif yang dilindungi dan bukan perspektif
yang melindungi;
6) perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan /dinyatakan
dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan
bermasyarakat;
7) pihak anak harus diberikan kemampuan dan kesempatan untuk
ikut serta melindungi diri sendiri;
8) harus mempunyai dasar-dasar filosofis, etis dan yuridis;
9) tidan boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi;
10) harus didasarkan atas pengembangan hak dan kewajiban
asasinya.
Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan
nasional. Melindungi anak adalah melindungi manusia, adalah
membangun manusia seutuhnya. Hakekat pembangunan nasional
adalah pembangunan manusia seutuhnya. Anak berhak memperoleh
perlindungan, yang berarti bahwa semua anak harus dijamin dan
dilindungi hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pengertian di atas dapat diartikan bahwa dalam segala situasi
anak-anak harus dipastikan memperoleh hak-haknya agar bisa tumbuh
dan berkembang secara optimal. Termasuk dalam kaitannya dengan
posisi anak sebagai konsumen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Anak-anak memiliki hak-hak yang harus dilindungi untuk bisa
mencapai kualitas hidup yang optimal. Merujuk dari pengertian
konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen diartikan bahwa setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan. Menurut pengertian ini, anak juga bisa
diartikan sebagai konsumen karena anak juga banyak menggunakan
barang dan jasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
B. Kerangka Pemikiran
Skema. 1
Perlindungan Bagi Anak Sebagai
Konsumen Terhadap Penggunaan
Bahan Tambahan Makanan
(BTM) dalam Jajanan Anak.
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
5. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999
6. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001
7. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 239/Men.Kes/Per/V/85
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
722/Menkes/Per/IX/1988 juncto Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1168/MENKES/PER/X/1998
10. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan obat dan
Makanan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 00386/C/SK/II/90
11. Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.00.05.5.1.4547
1. Perlindungan yang diberikan oleh Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen bagi anak terhadap
penggunaan bahan tambahan makanan dalam
jajanan anak.
2. Tanggung jawab pelaku usaha terhadap
penggunaan bahan tambahan makanan dalam
produk makanan yang dikonsumsi oleh anak.
1. Mampu atau tidaknya Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK) memberikan perlindungan hukum bagi
anak terhadap penggunaan BTM dalam jajanan
ana.
2. Terpenuhi atau tidaknya tanggung jawab pelaku
usaha dalam menjamin keamanan pangan dan
pemberian informasi yang jelas dalam penggunaan
BTM dalam produk pangan yang dikonsumsi anak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Keterangan :
Kerangka pemikiran diatas merupakan alur pemikiran penulis dalam
mengangkat, menggambarkan, menelaah, menjabarkan serta menemukan jawaban
atas permasalahan hukum yang penulis angkat dalam penelitian hukum ini yaitu
perlindungan bagi anak sebagai konsumen terhadap penggunaan bahan tambahan
makanan (BTM) dalam jajanan anak. Dalam penulisan hukum ini anak
ditempatkan sebagai konsumen yang berhak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi produk makanan jajanan.
Pada dasarnya undang-undang perlindungan anak telah memberikan
perlindungan bagi anak dengan baik, namun ada salah satu aspek mengenai anak
yang juga harus terlindungi namun tidak terdapat dalam undang-undang
perlindungan anak. Aspek tersebut adalah anak sebagai konsumen. Ketidaktahuan
anak mengenai apa yang dilakukan dalam kedudukannya sebagai konsumen
ternyata dimanfaatkan oleh pelaku usaha makanan untuk menciptakan makanan
yang sekiranya disukai anak dengan menambahkan BTM dalam makanan yang
dijualnya. Penggunaan BTM pada makanan sebenarnya diperbolehkan apabila
sesuai dengan ketentuan, namun pada kenyataannya banyak produsen makanan
menambahkan BTM melebihi dosis yang diperbolehkan, bahkan menambahkan
bahan tambahan yang telah dilarang penggunaannya bagi makanan. Hal ini dapat
menimbulkan gangguan kesehatan pada konsumen anak pada khususnya,
mengingat anak dengan segala keterbatasannya belum mampu memilih jajanan
yang aman. Padahal produk makanan jajanan sudah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari anak.
Dalam mengkaji dan menganalisis isu hukum yang penulis angkat dalam
penelitian ini, penulis menggunakan peraturan perundang-undangan yang terkait
yaitu UUPK yang merupakan payung hukum dari peraturan-peraturan lain yang
menyangkut perlindungan konsumen dan peraturan-peraturan lain yang terkait
dengan topik penulisan hukum ini, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996
Tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Peraturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2004 tentang Kemanan, Mutu dan Gizi Pangan, Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 239/Men.Kes/Per/V/85 Zat Warna Tertentu yang
Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan Juncto Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang
Bahan Tambahan Makanan, Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor 00386/C/SK/II/90
tentang Perubahan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
239/Men.Kes/Per/V/85 Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan
Berbahaya, Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.00.05.5.1.4547 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan
Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan.
Dalam penulisan hukum ini, premis minor atau fakta hukum yang penulis
angkat adalah mengenai masalah perlindungan hukum UUPK bagi anak terhadap
penggunaan BTM dalam jajanan anak dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap
penggunaan BTM dalam produk pangan yang dikonsumsi anak. Berdasarkan
analisis kesesuaian antara premis mayor (peraturan perundang-undangan) tersebut
di atas dan isu hukum (premis minor) yang penulis angkat dalam penulisan
hukum ini, penulis menarik kesimpulan apakah UUPK sudah mampu atau belum
dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak terkait penggunaan BTM
dalam produk jajanan anak dan terpenuhi atau tidaknya tanggung jawab pelaku
usaha yang memproduksi produk jajanan anak atas keamanan pangan dan
pemberian informasi yang benar, jujur dan jelas dalam penggunaan BTM.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) Bagi Anak Terhadap Penggunaan
Bahan Tambahan Makanan (BTM) dalam Jajanan Anak
1. Gambaran Umum Peredaran Jajanan Anak
Di Indonesia banyak terjadi permasalahan konsumen khususnya
pada bidang pangan, diantaranya yang paling mengkhawatirkan
masyarakat adalah kasus-kasus tentang masalah penyalahgunaan bahan
berbahaya pada produk pangan ataupun bahan yang diperbolehkan tetapi
melebihi batas yang telah ditentukan. Berdasarkan informasi dan data yang
tersedia mengenai mengenai keamanan pangan, dapat diidentifikasi empat
masalah utama keamanan pangan di Indonesia. Pertama, masih banyaknya
produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan yang beredar
di masyarakat, kedua kasus penyakit dan keracunan melalui makanan
sebagian besar belum dilaporkan dan diidentifikasi penyebabnya, ketiga
banyak ditemukan sarana produksi dan distribusi pangan yang tidak
memenuhi persyaratan, terutama industri rumah tangga, industri jasa boga,
dan penjual makanan jajanan dan yang keempat rendahnya pengetahuan
dan kepedulian konsumen tentang keamanan pangan (Sri Anggrahini,
1997:2).
Salah satu bentuk penyalahgunaan zat pewarna untuk sembarang
bahan pangan adalah penggunaan zat pewarna kulit atau tekstil sebagai
bahan tambahan makanan. Hal tersebut dapat terjadi karena ketidaktahuan,
keterbatasan informasi, kesengajaan, dan atau faktor yang lain. Residu
logam berat dari zat pewarna tersebut, sangat berbahaya bagi pengguna
makanan (Setijo Pitojo dan Zumiati,2009:1).
Wiwit Rahayu dan Emi Widiyanti yang mengutip pendapat
Kusharto menjelaskan bahwa jajanan adalah makanan yang dibeli dalam
keadaan siap dikonsumsi. Jajanan merupakan makanan yang sangat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
populer dan sangat beranekaragam jenisnya. Pada kenyataannya
orang, terutama anak-anak sekolah lebih senang jajan daripada makan
hidangan yang disediakan dirumah. Kesukaan untuk jajan ditemukan pada
semua lapisan masyarakat (Wiwit Rahayu dan Emi Widiyanti,2003:99).
Menurut Wied Harry yang mengutip tulisan Emmy L.S. Noegroho,
Ketua Pelaksana Yayasan Kepedulian untuk Konsumen Anak (Kakak) di
Surakarta, dalam buku Rahasia Kecerdasan Anak Memaksimalkan
Perkembangan Otak menjelaskan bahwa jajanan ringan dalam kemasan
yang populer dengan sebutan "chiki" atau "chitos" saat ini dijual di banyak
tempat. Meskipun kini merek makanan seperti itu sudah sangat banyak,
tetapi konsumen lebih mengenal istilah "chiki" atau "chitos" untuk
menyebut makanan jajanan ringan dalam kemasan. Iklan-iklan yang
menggiurkan juga mempengaruhi pola konsumsi. Hal ini terungkap dalam
penelitian LP2K, yang memperlihatkan hasil bahwa anak lebih senang
membelanjakan uangnya untuk membeli makanan seperti yang diiklankan
di televisi daripada menabung atau mengkonsumsi makanan yang dibuat
orangtuanya sendiri. Hasil penelitian Yayasan Kepedulian untuk
Konsumen Anak (Yayasan Kakak) agustus tahun 1997 menunjukkan
tidak kurang dari 73 merek makanan jajanan dalam kemasan beredar
dengan berbagai bentuk dan rasa. Bahan dasar makanan jajanan ini pun
beragam, mulai dari kentang, tepung terigu, tepung jagung, tepung
tapioka, tepung beras, hingga buah nangka. Makanan ini mempunyai rasa
dan warna yang beranekaragam, dan diharapkan akan tahan lama, oleh
karena itu makanan ini tidak terlepas dari BTM. Makanan jajanan ringan
dalam kemasan tidak bergizi juga banyak mengandung zat-zat kimia
tambahan yang dapat merugikan kesehatan dan proses tumbuh kembang
anak. Hasil analisis label yang dilakukan yayasan kakak, dari 73 merek
makanan jajanan ringan terdapat 11 produk yang memakai pewarna
tartrazine, tujuh produk menggunakan pewarna sunset yellow, satu produk
memakai pewarna erythrosine, dua produk menggunakan pewarna FD &
Blue1, dan satu produk memakai pewarna carmoisine. Sejumlah ahli
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
sudah meneliti bahaya beberapa jenis BTM, termasuk yang digunakan
dalam makanan jajanan ringan. Pewarna erytrhrosine dapat menimbulkan
alergi saluran pernapasan, membuat anak menjadi hiperaktif, dan
menimbulkan efek kurang baik pada otak dan perilaku. Pewarna tartrazine
bisa menimbulkan efek reaksi alergi khususnya pada orang yang
sensitif pada asam asetil-siklik dan asam benzoat, selain dapat
menimbulkan asma dan membuat anak hiperaktif. Sunset yellow
memberikan dampak negatif yang sama (Wied Harry. Anak dan
Bahaya Bahan Tambahan Makanan.
http://javaleste.multiply.com/journal/item/434/ANAK_BAHAYA_BAHA
N_TAMBAHAN_PANGAN_?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fi
tem).
Indra Chahaya S. yang mengutip tulisan Winarno dalam buku
Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen menjelaskan bahwa berdasarkan
survei oleh steetfood project (1998) di Jakarta, Bogor, Rangkasbitung, dan
di kota kecil seperti Cikampek, Rengasdengklok, Pacet dan Cikampek
ternyata banyak pedagang makanan jajanan yang menggunakan bahan
pewarna buatan ke dalam dagangannya khususnya minuman. Beberapa
pedagang karena ketidaktahuannya telah menggunakan beberapa bahan
pewarna yang dilarang digunakan untuk makanan seperti rhodhamin b,
methanil yellow, dan amarant. Dari 251 jenis minuman yang diambil
contoh, ternyata 8% jenis minuman yang berwarna merah di daerah
Jakarta mengandung rhodamin b, di Bogor sebanyak 14,5%, dan
Rangkabitung 17%, sedangkan di kota kecil dan di desa-desa 24%
minuman yang benwarna merah temyata juga mengandung rhodamin b
(Indra Chahaya S, 2003:38).
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Jawa Barat merilis
hasil pengkajiannya terhadap sejumlah makanan anak-anak yang dijual di
beberapa wilayah di Bandung, Jawa Barat. Hasilnya sebanyak 80% dari
jajanan yang diobservasi mengandung bahan-bahan yang membahayakan
kesehatan, seperti formalin, boraks, natrium siklamat, rhodamin, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
sakarin. Pengkajian itu dilakukan sejak Mei 2003 hingga akhir September
2003. Berbagai zat berbahaya terdapat pada jajanan anak-anak buatan
rumah tangga, bukan makanan kemasan yang dijual di supermarket.
Jajanan yang mengandung bahan tambahan berbahaya ditemukan pada
aneka jajanan yang dijual di sekolah dasar ataupun sekolah menengah
pertama. Jajanan yang disukai anak-anak dan produksi rumahan ini mudah
ditemui di sekolah-sekolah, misalnya yang dijual di halaman sekolah dasar
(SD) negeri Cibiru di kawasan Bandung Timur. Para pedagang di daerah
itu menjual makanan seperti bakso goreng, cakwe, dan cireng (aci
goreng). Makanan tersebut dilengkapi dengan saus tanpa merek yang
berwarna merah. Saus tersebut dibeli di pasar dengan harga yang relatif
jauh lebih murah dibandingkan dengan saus bermerek. Pedagang-
pedagang tersebut tidak mengetahui apabila saus itu mengandung zat
pewarna dan bahan pengawet (Riza Sofyat. Menyala Padahal Berbahaya.
http://www.majalahtrust.com/danlainlain/kesehatan/403.php).
Selain itu, pedagang di halaman SD Cibiru yang menjual minuman
sejenis sirup, sirupnya bukan sirup dari kemasan bermerek yang dijual di
supermarket atau di toko. Bahan-bahan sirupnya berasal dari jeruk dan
sakarin (pemanis buatan) yang dibeli di pasar. Ramuan sirup dibuat
sendiri dengan menambahkan sedikit gula pasir ke dalam delapan liter
campuran sirup. Pedagang es sirup ini tidak mengetahui bahaya memakai
pemanis buatan untuk makanan yang dijajakannya. Sepengetahuannya,
pemanis buatan juga sudah biasa dipakai banyak pedagang. Pengakuan
pedagang es sirup di depan SD Cibiru, sebagaimana banyak pedagang
kelas bawah, kurang memperhatikan aspek keamanan pangan dan
cenderung tidak perduli. Menurut hasil pengkajian BPOM, jajanan anak-
anak seperti itulah yang berbahaya. Sebab makanan tersebut dibuat dengan
mencampurkan zat berbahaya, misalnya formalin atau boraks untuk
pengenyal bakso, lantas rhodamin untuk bahan pewarna sirup dan saus,
kemudian sakarin untuk pemanis sirup (Riza Sofyat. Menyala Padahal
Berbahaya. http://www.majalahtrust.com/danlainlain/kesehatan/403.php).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ)
pada tahun 2005 menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 47 produk
makanan anak -anak yang mengandung pemanis dan pewarna berbahaya.
Survei lainnya, seperti yang dilaporkan harian Pos Kota tertanggal 13
Januari 2010 yang mengutip pernyataan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) DKI Jakarta menyebutkan bahwa ada 40% makanan
jajanan anak-anak yang menggunakan zat berbahaya, terutama zat
pewarna (Haafizhah Kurniasih. Mengatasi Problema Peredaran
Makanan Berbahaya.http://coretanfifi.wordpress.com/2010/11/29/mengata
si-problema-peredaran makanan-berbahaya/).
Menurut Purtiantini yang mengutip tulisan Suci menyebutkan
survei oleh BPOM tahun 2004 di sekolah dasar (seluruh Indonesia)
dan sekitar 550 jenis makanan yang diambil untuk sampel pengujian
menunjukkan bahwa 60% jajanan anak sekolah tidak memenuhi standar
mutu dan keamanan. Disebutkan bahwa 56% sampel mengandung
rhodamin dan 33% mengandung boraks. Survei BPOM tahun 2007,
sebanyak 4.500 sekolah di Indonesia, membuktikan bahwa 45% jajanan
anak sekolah berbahaya (Purtiantini,2010 :17).
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan fakta
baru. Sekitar 60% jajanan anak sekolah seperti minuman ringan, es
cendol, dan kue ringan lainnya tidak layak konsumsi karena mengandung
zat pewarna tekstil serta 50% di antaranya mengandung unsur mikroba.
Kedua unsur ini membahayakan kesehatan manusia sebab zat pewarna
tekstil dan mikroba pada anak-anak akan menyebabkan reaksi alergi,
asma, dan hiperaktif pada anak serta efek kurang baik terhadap otak dan
perilaku anak. Survei yang dilakukan BPOM Pusat tahun 2005 dan
dilakukan di 18 propinsi berpenduduk padat di Indonesia di mana 816
sampel yang diambil terindikasi zat tersebut (Juli Prasetio Utomo. 60%
Jajanan Anak Berbahaya.
http://www.indomedia.com/bpost/012006/4/nusantara/nusa1.htm).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Wirasto yang mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Eddy
Setyo Mudjajanto dari Institut Pertanian Bogor (IPB), menemukan banyak
penggunaan zat pewarna rhodamin b dan metanil yellow pada produk
makanan industri rumah tangga. Rhodamin b dan metanil yellow sering
dipakai untuk mewarnai kerupuk, makanan ringan, terasi, kembang gula,
sirup, biskuit, sosis, makaroni goreng, minuman ringan, cendol, manisan,
gipang, dan ikan asap. Makanan yang diberi zat pewarna ini biasanya
berwarna lebih terang. Selain itu menurut Wirasto yang mengutip tulisan
Trestiati menjelaskan bahwa zat warna nonpangan tersebut juga ditemukan
pada makanan dan minuman jajanan anak SD di SD Kecamatan Margaasih
Kabupaten Bandung dalam kadar yang cukup besar antara 7,841-3226,55
ppm. Rhodamin b dan metanil yellow merupakan zat warna sintetik yang
umum digunakan sebagai pewarna tekstil. Walaupun memiliki toksisitas
yang rendah, namun pengkonsumsian rhodamin b dalam jumlah yang
besar maupun berulang-ulang menyebabkan sifat kumulatif yaitu iritasi
saluran pernafasan, iritasi kulit, iritasi pada mata, iritasi pada saluran
pencernaan, keracunan, dan gangguan hati/liver (Wirasto, 2008:2-3).
Meskipun dosis penggunaan setiap BTM ditetapkan pada kadar
aman bagi manusia, namun kelebihan dosis dapat terjadi karena konsumsi
makanan hasil olahan pabrik setiap harinya sangat beragam. Kelebihan
dosis dan perbedaan daya tahan tubuh menentukan tingkat dampak negatif
BTM bagi kesehatan. Yang paling banyak terkena dampaknya adalah
anak-anak, karena pada jaman sekarang banyak sekali jajanan yang
mengandung BTM, terlebih lagi organ detoks anak-anak belum seefektif
organ detoks orang dewasa. Sangat disayangkan, di banyak keluarga,
anak-anak justru yang lebih banyak mengkonsumsi makanan kemasan
(contohnya snack, biskuit, cereal, chips, dan lain-lain) sehingga BTM ini
mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap mereka (Purwanti. Bahan
Tambahan Makanan (Zat Aditif).
http://studifarmasi.blogspot.com/2011/04/bahan-tambahan-makanan-zat-
aditif.html).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan peraturan yang
diatur dalam UUPK. Seharusnya konsumen mendapatkan jaminan
terhadap makanan yang dikonsumsinya, dalam hal kesehatan dan
kelayakan makanan. Karena akan memberi dampak terhadap asupan gizi
konsumen, khususnya konsumen anak.
Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa konsumen,
khususnya konsumen anak menjadi pihak yang sering dirugikan.
Konsumen harus menanggung resiko besar yang membahayakan
kesehatan dan jiwanya karena itikad tidak baik pelaku usaha dan tidak
diberikan informasi yang benar dan jujur. Masih banyak pelaku usaha di
bidang pangan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan dalam
menggunakan BTM. Bahan tambahan makanan yang paling sering
digunakan adalah pewarna yang dilarang untuk makanan (rhodhamin b
dan methanil yellow) dan pemanis buatan (sakarin, siklamat, aspartam)
yang digunakan melebihi dosis yang ditentukan. Selain itu boraks dan
formalin juga sering digunakan untuk mengawetkan produk makanan yang
diperdagangkan. Jajanan anak yang mengandung BTM berbahaya lebih
banyak ditemukan pada produk makanan hasil industri rumah tangga
dibandingkan yang dijual di supermarket. Entah hal ini karena kurangnya
pendidikan konsumen atau memang kurangnya pengawasan dari
pemerintah terkait kebijakan peredaran barang dan/atau jasa bagi
masyarakat.
2. Perlindungan Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) Bagi Anak Terhadap Penggunaan
Bahan Tambahan Makanan (BTM) dalam Jajanan Anak
Anak-anak mempunyai hak untuk meperoleh perlindungan khusus,
kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara
sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat yang sama.
Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi di
mana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapun
perlindungan anak ini juga merupakan perwujudan adanya keadilan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
suatu masyarakat (Shanty Dellyana,1988:5-6). Dengan demikian
perlindungan anak sedapat mungkin harus diusahakan dalam berbagai
bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat, termasuk dalam
kedudukan anak sebagai konsumen.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak pada dasarnya telah memberikan perlindungan hukum secara formal
bagi anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak telah memberikan perlindungan yang baik terhadap anak, tetapi ada
satu aspek dari anak yang juga perlu mendapat perlindungan namun belum
diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Aspek perlindungan anak yang belum diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu
anak dalam kedudukannya sebagai konsumen. Aktivitas anak sebagai
konsumen sangatlah beranekaragam. Hampir setiap anak melakukan
aktivitas jual beli jajanan anak untuk dikonsumsi setiap harinya.
Ketidakmampuan dan ketidaktahuan anak untuk memilih jajanan yang
sehat dimanfaatkan oleh pelaku usaha di bidang jajanan anak untuk
menciptakan pangan yang disukai anak-anak, baik dari segi rasa maupun
warna yang menarik, tanpa memperhatikan kualitas dan aspek kemanan
pangan. Keadaan yang demikianlah yang membuat anak layak dan dapat
dikategorikan sebagai konsumen dalam UUPK. Sebagai konsumen yang
mempunyai keterbatasan dalam menentukan produk yang aman, maka
anak sebagai konsumen perlu mendapat perlindungan, dan khususnya
menjadi tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan.
Pengertian konsumen dalam UUPK menekankan bahwa konsumen
diartikan sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Unsur-unsur
definisi konsumen (Shidarta, 2004 : 5 – 9) :
a. Setiap Orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Subyek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang
berstatus sebagai pemakai barang dan/ atau jasa. Istilah “orang”
sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual
yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan
hukum (rechtperson). Hal ini berbeda dengan pengertian yang
diberikan untuk “pelaku usaha” dalam pasal 1 angka (3), yang secara
eksplisit membedakan kedua pengertian persoon di atas, dengan
menyebut kata-kata : “orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu
yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu pada
sebatas pada orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup
juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum.
b. Pemakai
Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, kata
“pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate
consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam
rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau
jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli.
Artinya, yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus
memberikan prestasinya dengan cara membayar uang, untuk
memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar
hubungan antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus
kontraktual (the privity of contrac). Konsumen memang tidak sekedar
pembeli (buyer atau koper), tetapi semua orang (perorangan atau badan
usaha) yang mengkonsumsi barang dan/ atau jasa. Jadi, yang paling
penting terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction)
berupa peralihan barang dan atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan
dalam menggunakannya.
c. Barang dan/atau jasa
Berkaitan dengan istilah barang dan/ atau jasa, sebagai pengganti
terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah
berkonotasi barang atau jasa. UUPK mengartikan barang sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat
dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan,
atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak menjelaskan
perbedaan istilah-istilah “ dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”.
Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk
pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen.
d. Yang tersedia dalam masyarakat
Barang atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus
tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang semakin komplek
dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat
konsumen.
e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan
dalam definisi ini mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan.
Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan
keluarga, tetapi juga barang dan/jasa itu diperuntukkan bagi orang lain
(di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup
lain, seperti hewan dan tumbuhan.
f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan
Memperhatikan pengertian konsumen yang dimaksud dalam
UUPK, anak termasuk subyek yang dilindungi oleh undang-undang ini.
Pengertian konsumen dalam UUPK tidak membedakan konsumen
berdasarkan usia. Dalam kehidupan sehari-hari anak tidak terlepas dari
kegiatan mengkonsumsi suatu produk yang menempatkannya pada
kedudukannya sebagai konsumen. Anak banyak menggunakan barang dan
jasa yang tersedia di masyarakat. Anak-anak sebagai konsumen memiliki
hak-hak yang harus dilindungi untuk bisa mencapai kualitas hidup yang
optimal. Dalam rangka mencapai kualitas hidup yang optimal dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
membangun manusia indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada
falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan
konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945, maka konsumen anak
sudah seharusnya mendapatkan perlindungan oleh UUPK.
Dalam perlindungan konsumen, secara garis besar dapat ditempuh
dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer,
yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi
yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan
kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap
kepentingan ekonomi konsumen (hak atas keamanan dan keselamatan).
Konsumen tidak cukup dilindungi hanya berdasarkan kebijakan
komplementer (memberikan informasi) saja, tetapi juga harus
menindaklanjuti dengan kebijakan kompensatoris guna meminimalisasi
resiko yang ditanggung konsumen. Misalnya dengan mencegah produk
berbahaya untuk tidak mencapai pasar sebelum lulus pengujian.
Pada dasarnya setiap konsumen harus selalu waspada terhadap
keamanan, keselamatan dan kesehatan dalam mengkonsumsi suatu
produk, akan tetapi karena anak belum mampu menentukan produk
khususnya jajanan anak yang aman untuk dikonsumsi, maka anak menjadi
bagian dari konsumen yang masih membutuhkan arahan dari orang
dewasa di sekitarnya dalam menentukan pilihan. Menentukan barang yang
aman dan menjamin keselamatan serta kesehatan, menjadi suatu hal yang
cukup sulit bagi anak. Keterbatasan mereka untuk menentukan pilihan
tanpa diberikan bekal pengetahuan yang memadai, menjadikan anak sulit
untuk menentukan keputusan yang terbaik bagi diri mereka.
Memperhatikan keadaan anak yang demikian maka seharusnya anak
mendapatkan perlindungan khusus dalam kedudukannya sebagai
konsumen.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan
nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka
membangun manusia indonesia seutuhnya yang berlandaskan falsafah
kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi
negara Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan adanya peraturan perlindungan konsumen, maka
diharapkan disatu pihak dapat menghindarkan hal-hal yang merugikan
konsumen, dilain pihak dapat mendukung kegiatan produsen, dalam hal ini
dapat (Badan Pembinaan Hukum Nasional,1986:106) :
a. Mencegah beredarnya barang dan jasa yang tidak memenuhi syarat;
b. Mencegah terjadinya persaingan yang tidak wajar diantara
produsen;dan
c. Memberikan jaminan kepada konsumen sehingga kepercayaan
masyarakat akan menguntungkan produsen dalam pemanfaatan modal.
Tanpa adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi konsumen,
maka akan semakin banyak peredaran produk-produk yang tidak bermutu.
Yang lebih mengkhawatirkan yaitu bahwa, kesejahteraan rakyat yang
dicita-citakan menjadi lebih sulit terwujud (Sudaryatmo,1999:84).
Substansi UUPK memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk di
dalamnya konsumen anak berupa hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal
4. Mengingat kewajiban dan hak adalah anatomi dalam hukum, maka hak
konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 tersebut menimbulkan
konsekuensi berupa kewajiban bagi pelaku usaha sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 dan tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana diatur dalam
Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 UUPK. Dalam rangka melindungi hak-
hak konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka UUPK
menetapkan larangan-larangan bagi pelaku usaha sebagaimana diatur
dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17.
Selanjutnya untuk menjamin dipenuhinya hak-hak konsumen dan
dilaksanakannya kewajiban pelaku usaha maka diatur pula ketentuan
mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
dan Pasal 30 dan sanksi administratif maupun sanksi pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 60 sampai dengan 63 UUPK.
Perlindungan konsumen adalah perlindungan hukum yang
diberikan kepada konsumen, termasuk konsumen anak dalam kegiatannya
untuk memenuhi kebutuhan hidup dan hal-hal yang dapat merugikan
konsumen itu sendiri. UUPK menetapkan tujuan perlindungan konsumen
antara lain adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka
untuk maksud tersebut UUPK memberikan jaminan hak kepada konsumen
termasuk konsumen anak yaitu hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa sebagaimana
tercantum dalam Pasal 4 huruf a UUPK. Barang dan/atau jasa yang dalam
penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi tidak aman
dan membahayakan keselamatan konsumen tidak layak untuk diedarkan di
masyarakat. Dengan adanya hak tersebut maka menimbulkan kewajiban
bagi pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya, pelaku usaha harus berhati-hati mulai dari tahap produksi
sampai dengan produk sampai pada kosumen, termasuk dalam
menggunakan BTM dalam jajanan anak. Sejalan dengan hal tersebut,
berdasarkan ketentuan Pasal 7 huruf d, pelaku usaha wajib menjamin mutu
barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
Dalam penggunaan BTM dalam produk pangan, wajib didasarkan pada
ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan
Tambahan Makanan.
Dalam UUPK, itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha
karena meliputi semua tahapan dalam melakukan setiap kegiatan
usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
beritikad baik dimulai sejak barang barang dirancang atau diproduksi
sampai pada tahap purna penjualan. Hal ini disebabkan karena
kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang
dirancang atau diproduksi oleh produsen, sedangkan bagi konsumen
kemungkinan untuk dapat merugikan pelaku usaha mulai pada saat
melakukan transaksi dengan pelaku usaha.
Kedudukan konsumen khususnya konsumen anak yang sangat
awam terhadap barang-barang yang dikonsumsinya dan adanya kesulitan
untuk meneliti sebelumnya mengenai keamanan dan keselamatan di dalam
mengkonsumsi barang tersebut. Kondisi dan fenomena tersebut dapat
mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak
seimbang dan konsumen selalu berada pada posisi yang lemah. Untuk
meningkatkan harkat dan martabat konsumen maka perlu ditingkatkan
kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap
pelaku usaha yang bertanggung jawab. Maka kewajiban untuk menjamin
keamanan suatu produk agar tidak menimbulkan kerugian bagi konsumen
dibebankan kepada pelaku usaha, karena pihak pelaku usahalah yang
mengetahui komposisi dan masalah-masalah yang menyangkut keamanan
suatu produk tertentu dan keselamatan di dalam mengkonsumsi produk
tersebut. Kerugian-kerugian yang diderita oleh konsumen merupakan
akibat kurangnya tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen.
Pasal 8 ayat (1) huruf a UUPK, melarang pelaku usaha untuk
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak
sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam hal ini pelaku usaha dilarang
memperdagangkan produk jajanan anak yang menggunakan bahan
tambahan yang dilarang untuk makanan dan/atau menggunakan BTM
yang diizinkan melebihi dosis yang ditentukan. Pasal 8 ayat (3) UUPK
juga melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang yang rusak,
cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
lengkap dan benar atas barang yang dimaksud. Ketentuan tersebut dengan
jelas melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang yang
tercemar, termasuk tercemar zat kimia yang dilarang ditambahkan pada
produk pangan, seperti boraks, formalin dan rhodhamin b.
Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo yang mengutip
pendapat Nurmadjito dalam Husni Syawali dan Heni Imaniyati, pada
intinya substansi Pasal 8 UUPK tertuju pada dua hal, yaitu larangan
memproduksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang dimaksud. Larangan-larangan yang
dimaksudkan ini, hakikatnya menurut Nurmadjito yaitu untuk
mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat
merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai
dengan informasi pengusaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain
sebagainya (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,2004:65).
Larangan-larangan yang tertuju pada “produk” sebagaimana diatur
dalam Pasal 8 UUPK adalah untuk memberikan perlidungan terhadap
kesehatan/ harta konsumen dari penggunaan barang dengan kualitas yang
di bawah standar atau kualitas yang lebih rendah daripada nilai harga yang
dibayar. Dengan adanya perlindungan yang demikian, maka konsumen
tidak akan diberikan dengan kualitas yang lebih rendah daripada harga
yang dibayarkan, atau yang tidak sesuai dengan informasi yang
diperolehnya (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,2004 :66).
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi produk pangan yang dijamin oleh UUPK telah sesuai
dengan hak anak untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang sebagaimana
dijamin dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak. Hak tumbuh dan berkembang meliputi segala
bentuk pendidikan (formal maupun non formal) dan hak untuk mencapai
standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral
dan sosial anak. Untuk mencapai standar hidup yang layak bagi
perkembangan anak, maka pelaku usaha wajib menjamin mutu barang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan. Produk jajanan
anak yang diproduksi dan/atau diperdagangkan harus berdasarkan standar
mutu barang dan/atau jasa yang berlaku, sehingga tidak membahayakan
keamanan dan keselamatan anak selaku konsumen. Dengan terpenuhinya
jajanan anak yang aman bagi kesehatan, maka anak akan dapat tumbuh
dan berkembang secara optimal.
Selain hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/jasa, Pasal 4 huruf c UUPK juga menjamin hak
konsumen termasuk konsumen anak untuk mendapatkan informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi suatu produk. Menurut Gunawan
Wijaya dan Ahmad Yani, informasi merupakan hal yang penting bagi
konsumen, karena melalui informasi tersebut konsumen dapat
mempergunakan hak pilihnya secara benar. Hak memilih tersebut
merupakan hak dasar yang tidak dapat dihapuskan oleh siapapun juga.
Dengan mempergunakan hak pilihnya tersebut, konsumen dapat
menentukan cocok tidaknya barang dan/atau jasa yang
ditawarkan/diperdagangkan tersebut dengan kebutuhan dari diri masing-
masing konsumen (Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani,2003 : 6).
Dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang
mengandung resiko terhadap keamanan konsumen, wajib disertai
informasi.
Sidharta yang mengutip artikel dalam Warta Konsumen tahun
XXIV No. 12 Desember 1998 menjelaskan Prof. Hans W.Micklitz,
seorang ahli hukum konsumen dari jerman, dalam ceramah di Jakarta, 26
sampai dengan 30 Oktober 1998 membedakan konsumen berdasarkan hak
ini. Menurutnya, secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen,
yaitu konsumen yang terinformasi (well informed) dan konsumen tidak
terinformasi. Tipe konsumen yang terinformasi memiliki ciri-ciri antara
lain memiliki tingkat pendidikan tertentu; mempunyai sumber daya
ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar; dan
lancar berkomunikasi. Konsumen tipe ini cenderung tidak memerlukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
perlindungan, sedangkan tipe konsumen yang tidak terinformasi memiliki
ciri-ciri kurang berpendidikan; termasuk kategori kelas menengah ke
bawah; dan tidak lancar berkomunikasi sehingga perlu dilindungi, dan
khususnya menjadi tangggung jawab negara untuk memberikan
perlindungan. Selain ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasikan,
karena hal-hal khusus dapat juga dimasukkan kelompok anak-anak, orang
tua, dan orang asing (yang tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa
setempat) sebagai jenis konsumen yang wajib dilindungi oleh negara
( Sidharta,2004:24-25).
Hak atas informasi ini menimbulkan konsekuensi bagi pelaku
usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi suatu produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b
UUPK. Kewajiban pelaku usaha atas informasi, disebabkan karena
informasi disamping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan
informasi yang memadai dari pelaku usaha merupakan cacat produk (cacat
informasi), yang sangat akan merugikan konsumen. Ketentuan Pasal 4
huruf c dan Pasal 7 huruf b UUPK ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal
10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yang menyatakan “Setiap anak berhak menyatakan dan didengar
pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai
dengan nilai-nilai kemanusiaan”. Informasi yang diberikan kepada anak
tentunya haruslah disesuaikan dengan tingkat kecerdasan dan usia anak
sehingga dapat diterima dan dipahami oleh anak.
Terkait dengan penggunaan BTM pada jajanan anak, maka
konsumen berhak mendapatkan informasi mengenai kandungan BTM
yang terdapat dalam makanan tersebut. Kewajiban pelaku usaha di bidang
pangan untuk memberikan informasi kandungan BTM telah diatur dalam
Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan, Pasal 15 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Pasal 6 Keputusan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.5.1.4547 tentang
Persyaratan Penggunaan Pemanis Buatan Dalam Produk Pangan.
Pasal 4 huruf h memberikan hak kepada konsumen yang
mengalami kerugian akibat mengkonsumsi suatu produk untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila produk
yang diterima tidak sebagaimana mestinya. Konsumen juga mempunyai
hak untuk menuntut ganti kerugian dari pelaku usaha yang dijamin oleh
undang-undang, yang dalam UUPK dikenal dengan istilah “product
liability”. Dengan adanya hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal
4 huruf h, menuntut konsekuensi bagi pelaku usaha untuk memberikan
kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan, termasuk dalam penggunaan BTM dalam jajanan anak
yang tidak sesuai ketentuan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Pasal 4 huruf i menjamin hak konsumen yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan terkait, dalam hal ini ketentuan Pasal 41
ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pangan
memberikan hak kepada orang perseorangan yang kesehatannya terganggu
atau ahli waris dari orang yang meninggal sebagai akibat langsung karena
mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan berhak mengajukan gugatan
ganti rugi terhadap pelaku usaha. Untuk konsumen anak yang mengalami
kerugian akibat mengkonsumsi suatu produk, maka hak menuntut ganti
kerugian dapat diwakilkan kepada orang tua atau walinya.
Pasal 19 ayat (1) UUPK mewajibkan pelaku usaha untuk
bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan. Memperhatikan substansi Pasal 19
ayat (1) dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi :
a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;
b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran; dan
c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Berdasarkan hasil kajian peredaran pangan jajanan anak yang telah
dipaparkan sebelumnya, anak-anak dan makanan jajanan merupakan dua
hal yang sulit untuk dipisahkan. Anak-anak memiliki kegemaran untuk
mengkonsumsi jenis makanan jajanan secara berlebihan, khususnya anak-
anak usia sekolah dasar (6-12 tahun). Dalam keseharian banyak dijumpai
anak-anak yang selalu dikelilingi penjual makanan jajanan, baik yang ada
di rumah, di lingkungan tempat tinggal hingga di sekolah. Makanan
jajanan tersedia dan disajikan dalam kemasan plastik maupun makanan
cepat saji atau fast food. Padahal masih banyak jajanan yang beredar yang
mengandung bahan tambahan tidak sesuai dengan ketentuan yang tentunya
dapat membahayakan keamanan dan keselamatan jiwa konsumen. Maka
sudah seharusnya, apabila pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan tersebut di atas mengenai tanggung jawab dan kewajibannya
dan menimbulkan kerugian terhadap konsumen maka pelaku usaha harus
bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 19
UUPK.
Dalam hal ini peranan pemerintah sebagai pengawas dan
pembimbing ke arah terciptanya keserasian antara kepentingan konsumen
dan kewajiban pelaku usaha sangat diperlukan. Untuk memenuhi tujuan
dari UUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, perlu dilakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan
konsumen secara memadai.
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, menurut pembentuk
undang-undang, akan dilakukan melalui dua strategi dasar, yaitu di satu
sisi melalui upaya memberdayakan konsumen, yang akan ditempuh
dengan cara meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kepedulian,
kemampuan dan kemandirian konsumen, untuk melindungi dirinya
sendiri. Sedangkan disisi lain ditempuh melalui upaya untuk menciptakan
dan mendorong iklim usaha yang sehat dan tangguh serta mendorong
tumbuhnya sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 29 dan Pasal 30
UUPK secara tidak langsung juga telah memberikan perlindungan yang
sesuai kepada konsumen anak sebagaimana dilindungi dalam Pasal 20
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
mengatur bahwa tanggung jawab penyelenggaraan perlindungan anak
berada pada negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.
Namun demikian, dalam UUPK belum menjelaskan tentang adanya
tanggung jawab orang tua dalam rangka pengawasan perlindungan
konsumen anak sebagai golongan konsumen yang terinformasi. Negara
dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan
menjamin hak asasi setiap anak, termasuk hak anak untuk tumbuh
kembang.
Pemerintah dalam upaya perlindungan konsumen mempunyai
peranan yang sangat penting selaku penengah di antara kepentingan
pelaku usaha dan kepentingan konsumen, agar masing-masing pihak dapat
berjalan seiring tanpa saling merugikan satu sama lain. Pemerintah harus
bertanggungjawab atas pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
perlindungan konsumen, untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan
pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku
usaha.
Peran pemerintah sebagai pengawas merupakan fungsi yang
penting untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen dan dalam hal ini
konsumen anak pada khususnya dari bahaya makanan yang mengaandung
bahan tambahan berbahaya. Tanpa adanya pengawasan yang baik,
dikhawatirkan konsumen tidak akan terlindungi dari bahaya tersebut. Oleh
karena itu, peraturan yang dikeluarkan akan menjadi suatu jaminan yang
dapat menekan pelaku usaha untuk dapat mengedarkan makanan yang
mengandung BTM yang diizinkan sesuai dengan ketentuan. Pada akhirnya
pemerintah sebagai penengah dalam upaya mencari pemecahan masalah
apabila terjadi sengketa antara pelaku usaha dan konsumen yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
disebabkan pelanggaran terhadap berbagai peraturan yang telah ditetapkan
yang mengakibatkan kerugian terhadap konsumen. Sebagai upaya agar
berbagai norma tersebut dapat dipatuhi, UUPK mencantumkan ketentuan
mengenai sanksi yang dapat ditetapkan kepada konsumen dan pelaku
usaha yang melanggar norma-norma yang telah ditetapakan, baik sanksi-
sanksi keperdataan, sanksi-sanksi administratif, maupun sanksi-sanksi
pidana.
UUPK merupakan peraturan payung (umbrella act) dari peraturan
perundang-undangan lain yang juga memberikan perlindungan kepada
konsumen. UUPK hanya berisi ketentuan-ketentuan yang sifatnya umum,
sedangkan ketentuan khusus ada pada berbagai peraturan perundang-
undangan yang lebih bersifat sektoral. Terkait dengan perlindungan
terhadap konsumen dari penggunaan BTM, maka peraturan perundang-
undangan lain yang bersifat sektoral terkait penggunaan BTM meliputi
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor
69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklam Pangan, Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan,
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang
Bahan Tambahan Makanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan,
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 239/Men.Kes/Per/V/85 tentang
Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya,
Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan obat dan Makanan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 00386/C/SK/II/90, Keputusan
Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.00.05.5.1.4547 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan
Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Pengaturan UUPK dalam memberikan perlindungan terhadap
konsumen terkait dengan penggunaan BTM pada produk pangan telah
sejalan dengan prinsip perlindungan anak sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
mengatur bahwa anak berhak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan anak. Secara implisit ketentuan tersebut sesuai dengan hak
konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a UUPK.
Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
UUPK belum secara eksplisit memberikan perlindungan bagi anak, UUPK
belum mampu memberikan perlindungan hukum bagi anak terhadap
penggunaan BTM dalam jajanan anak. Belum ada pasal-pasal dalam
UUPK yang secara eksplisit memberikan perlindungan hukum secara
khusus bagi anak. Memang UUPK secara implisit juga telah memberikan
perlindungan terhadap anak, mengingat pengertian konsumen dalam
UUPK tidak dibedakan berdasarkan usia, namun pengaturan dalam UUPK
masih bersifat umum sehingga UUPK belum dapat secara efektif
memberikan perlindungan terhadap konsumen anak. Belum ada kecocokan
antara pengaturan dalam UUPK dengan pelaksanaan sehari-hari.
Memperhatikan gambaran umum peredaran jajanan anak yang telah
dipaparkan sebelumnya diketahui bahwa dari tahun ke tahun masih saja
ditemukan makanan yang mengandung BTM yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan. Pelaku usaha di bidang jajanan anak
belum memenuhi kewajibannya untuk menjamin mutu barang yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan sesuai dengan standar mutu yang
berlaku. Hal ini mengakibatkan hak-hak konsumen anak terkait
penggunaan BTM dalam jajanan anak sebagaimana telah dilindungi dalam
UUPK dan peraturan-peraturan yang bersifat sektoral terkait penggunaan
BTM ternyata belum sepenuhnya ditaati dan dilaksanakan oleh pelaku
usaha di bidang pangan jajanan anak.
Berdasarkan klarifikasi yang telah penulis lakukan terhadap
konsumen anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
diperoleh fakta bahwa pada umumnya setiap harinya mereka
mengkonsumsi makanan jajanan baik ketika disekolah maupun dirumah.
Jajanan anak sudah menjadi keseharian dari anak, terutama ketika berada
di sekolah. Hal ini disebabkan karena pada umumnya anak tidak sempat
sarapan dirumah, sehingga makanan jajanan menjadi asupan energi bagi
anak. Jajanan yang dikonsumsi sangat beranekaragam jenisnya, tidak
hanya produk jajanan yang dibungkus dalam kemasan yang dikenal
dengan sebutan chiki yang diproduksi oleh pabrikan, namun juga makanan
yang dijajakan secara keliling baik di depan sekolah maupun di sekitar
rumah, seperi tempura, cimol, bakso ojek, arum manis, es cincau, cireng,
es dawet, siomay dan berbagai makanan jajanan lain.
Dalam memilih jajanan, konsumen anak cenderung memilih
makanan dengan kemasan yang menarik dan warna yang mencolok,
rasanya gurih, memberikan hadiah di dalamnya, serta harga yang relatif
murah namun membuat mereka kenyang. Dalam mengkonsumsi jajanan
jenis minuman, anak lebih suka es yang warnanya mencolok, rasanya
manis dan menyegarkan. Hal ini jugalah yang menyebabkan pelaku usaha
menambahkan BTM ke dalam jajanan anak.
Konsumen anak tidak memperhatikan keterangan yang tercantum
di luar kemasan makanan yang mereka konsumsi, dikarenakan mereka
tidak mengetahui adanya kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang
bahwa konsumen memiliki kewajiban untuk membaca atau mengikuti
petunjuk informasi sebelum mengkonsumsi suatu barang sebagaimana
telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUPK. Konsumen anak tidak
mengetahui jika yang tertulis pada label kemasan adalah informasi
mengenai produk yang bersangkutan. Hal tersebut terjadi dikarenakan
anak termasuk kategori golongan konsumen yang tidak terinformasi
dikarenakan kondisi khusus yang ada padanya (ketidaktahuan dan
ketidakmampuan).
Konsumen memiliki kemampuan yang terbatas dalam
mengumpulkan dan mengolah informasi tentang makanan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
dikonsumsinya sehingga mereka mempunyai keterbatasan dalam menilai
makanan dan menghindari resiko dari produk-produk makanan yang tidak
bermutu dan tidak aman bagi kesehatannya. Konsumen anak juga tidak
mengetahui kandungan apa yang ada dalam produk jajanan yang mereka
konsumsi. Konsumen memiliki kemampuan yang terbatas dalam
mengumpulkan dan mengolah informasi tentang makanan yang
dikonsumsinya, sehingga mereka mempunyai keterbatasan dalam menilai
makanan dan sulit untuk menghindari resiko dari produk-produk makanan
yang tidak bermutu dan tidak aman bagi kesehatan. Anak tidak memiliki
kemampuan seleksi rasional atas pilihan makanan yang sehat dan layak
konsumsi. Secara umum dan sederhana, yang mereka ketahui dan percayai
makanan yang dijual dan beredar pasti dijamin keamanannya. Akhirnya
konsumen anak dengan senang dan tanpa sadar mengkonsumsi produk-
produk makanan tersebut karena penampilan yang menarik dengan harga
yang lebih murah.
Saat ini situasi anak-anak sangat jauh dari perlindungan, dengan
tidak amannya konsumsi pangan anak-anak akan membawa dampak besar
pada tidak sehatnya jiwa dan raga anak-anak bangsa ini. Peredaran jajanan
anak yang mengandung BTM berbahaya mengancam keberlangsungan
hidup anak. Dengan demikian ada pengabaian bagi pemenuhan hak-hak
dasar anak, terutama hak untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembang.
Dengan dikonsumsinya informasi yang tidak tepat bagi anak-anak akan
berdampak pada banyak hal negatif pada anak. Hal ini menunjukkan
bahwa hak-hak konsumen anak sebagaimana tertuang dalam undang-
undang belum terjamin pemenuhannya.
Apabila hal demikian dibiarkan terus terjadi maka akan berdampak
besar pada perkembangan anak sebagai generasi penerus bangsa.
Pengaturan perlindungan konsumen dalam UUPK masih bersifat global,
belum menyentuh ketentuan perlindungan dan perlakuan pada situasi
khusus terhadap kelompok-kelompok rentan seperti anak-anak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Keberadaan anak sebagai salah satu unsur dari masyarakat kelak
mempunyai peran yang cukup penting dalam berinteraksi dan perlu dalam
menata kehidupannya. Dalam kehidupan manusia sebagai makhluk
bermasyarakat, eksistensi anak merupakan bagian dari masyarakat yang
mempunyai posisi yang sangat rentan dari berbagai kondisi yang tidak
berdaya dan masih tergantung pada orang lain disekitarnya. Dalam
ketidakberdayaan ini menyebabkan anak sering diperlakukan salah oleh
orang dewasa, baik yang dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja.
Akibat perlakuan salah tersebut pertumbuhan dan perkembangan anak
menjadi terganggu. Apabila kondisi seperti tersebut tercipta dimasyarakat
maka keberadaan suatu bangsa akan memprihatinkan.
Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan
pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan
menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu
ketertiban, kemanan, dan pembangunan nasional. Maka ini berarti bahwa
perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan
pembangunan nasional yang memuaskan.
Dari konsep diatas pelaksanaan pembangunan nasional yang baik
sebagai sarana terciptanya suatu negara yang maju, diperlukan sumber
daya manusia yang berkualitas dan handal. Berdasar dari keinginan untuk
menciptakan generasi penerus bangsa yang berkualitas dan handal, oleh
karenanya keberadaan anak dalam kehidupan perlu diberikan perlindungan
khusus agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan
kehidupan masa kanak-kanak pada umumnya adalah masa mencari ilmu
dan pengetahuan. Perlindungan khusus melalui upaya perhatian khusus itu
sudah merupakan suatu kewajiban yang harus diberikan oleh negara.
Persoalan perlindungan konsumen bukan hanya pada pencarian
siapa yang bersalah dan apa hukumannya, melainkan juga mengenai
pendidikan terhadap konsumen dan penyadaran kepada semua pihak
tentang perlunya keselamatan dan keamanan di dalam berkonsumsi.
Dengan demikian, orang akan terhindar dari kemungkinan kerugian,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
seperti cacat, terkena penyakit, bahkan meninggal atau dari kerugian yang
menimpa harta bendanya.
Anak merupakan golongan konsumen yang tidak terinformasi
karena kondisi khusus yang melekat padanya, padahal setiap konsumen
termasuk anak memilliki hak atas informasi (terinformasi/ well informed)
sehingga kebutuhan akan pendidikan konsumen menjadi sangat urgen. Hal
ini diarenakan anak sebagai konsumen tidak mengetahui secara jelas
kandungan apa saja yang ada pada makanan yang ia makan selama ini.
Karena itu konsumen memerlukan bimbingan dan perlindungan dari
semua fihak yang terlibat dalam proses penyediaan makanan, terutama
dari pemerintah dan pihak legislatif.
Dengan banyaknya fakta terkait kurang optimalnya perlindungan
konsumen anak, terlebih pendidikan terhadap konsumen, maka perlu
dilakukan sosialisasi (pendidikan informal) yang lebih intensif kepada
konsumen anak oleh orang tua dan orang dewasa yang berada di sekitar
konsumen anak (pendamping). Pada saat anak berada di rumah maka yang
bertanggungjawab melakukan pendampingan dalam memilih suatu produk
adalah orang tua, namun ketika anak sedang berada di sekolah maka pihak
yang bertanggung jawab melakukan pendampingan bagi konsumen anak
adalah para guru. Oleh karena, baik orang tua maupun guru sebagai
pendamping konsumen anak hendaknya juga dibekali pengetahuan dan
pemahaman yang cukup mengenai hak-hak sebagai seorang konsumen dan
cara memilih produk pangan yang aman, sehingga dapat berperan secara
optimal dalam mendampingi konsumen anak.
Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang tentunya bekerjasama dengan Badan Perlindungan
Konsumen Nasional (BPKN), Kementerian Kesehatan, Kementerian
Perindustrian dan Perdagangan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) dapat membuat suatu kebijakan menjadikan pendidikan
konsumen sebagai kurikulum pendidikan formal di sekolah. Integrasi
dalam pendidikan formal mengenai perlindungan konsumen akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
menjamin pendidikan yang sifatnya terus menerus sehingga anak mampu
lebih selektif dan berhati-hati dalam memilih produk serta menjadi
konsumen yang cerdas. Kecerdasan anak dalam posisi mereka sebagai
konsumen harus diasah dan dipertajam terus menerus.
B. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan
Makanan (BTM) Dalam Produk Pangan yang Dikonsumsi oleh Anak
1. Standar Norma Penggunaan BTM di Indonesia
Pengelompokan Bahan Tambahan Makanan (BTM) yang diizinkan
digunakan pada makanan dalam batas tertentu menurut Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan
Makanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan
RI Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 antara lain
adalah :
1) Antioksidan (Antioxidant)
Antioksidan berfungsi untuk menghambat oksidasi lemak atau
melindungi komponen-komponen makanan yang bersifat tidak jenuh,
terutama lemak dan minyak. Tujuan utamanya ditambahkan ke dalam
produk pangan adalah untuk memperpanjang daya simpan dan
meningkatkan stabilitas makanan dan banyak mengandung lemak.
Jenis antioksidan yang diizinkan dalam makanan antara lain asam
askorbat serta garam kalium, garam kalium dan garam natrium; asam
eritorbat serta garam natrium, askorbil palmitat; askorbil stearat
(Ascorbil Stearate); butil hidroksianisol (BHA); butil hidrogsianisol
tersier (BHT).
2) Antikempal (Anticaking Agent)
Fungsi zat antikempal adalah untuk mencegah atau mengurangi
kecepatan pengempalan makanan yang mempunyai sifat hidroskopis
atau mudah menyerap air. Senyawa antikempal umumnya bersifat
tidak toksik dan ikut terserap oleh metabolisme tubuh, penggunaannya
perlu memperhatikan ambang batas pemakaian yang dianjurkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
(Cahyo Saparinto dan Diana Hidayati,2006 :31-32). Jenis bahan
antikempal yang diizinkan ditambahkan dalam makanan antara lain
alumunium silikat, kalsium alumunium silikat, kalsium silikat,
magnesium karbonat, magnesium oksida serta magnesium silikat,
miristat, palmitat dan stearat dalam bentuk garam dengan Al, Ca, Na,
Mg, K, NH4, natrium alumino silikat.
3) Pengatur Keasaman (Acidity Regulator)
Pengatur asam adalah senyawa kimia yang bersifat kimia yang bersifat
asam dan berfungsi untuk mengasamkan, menetralkan, dan
mempertahankan derajat keasaman dalam proses pengolahan bahan
makanan. Dengan penambahan bahan pengasam diharapkan makanan
yang dihasilkan memiliki cita rasa khas, warna stabil, dan lebih tahan
lama (Cahyo Saparinto dan Diana Hidayati, 2006 :33-34). Jenis bahan
pengasam antara lain alumunium ammonium sulfat, alumunium
kalium sulfat, alumunium natrium sulfat, amonium bikarbonat,
amonium hidroksida, ammonium karbonat, asam adipat.
4) Pemanis Buatan (Artificial Sweetener)
Pemanis buatan adalah bahan tambahan yang dapat menyebabkan rasa
manis pada pangan tetapi tidak memiliki nilai gizi. Pengertian pemanis
buatan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor : Hk.00.05.5.1.4547 Tentang Persyaratan
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan Dalam Produk
Pangan adalah “Pemanis buatan adalah bahan tambahan pangan yang
dapat menyebabkan rasa manis pada produk pangan yang tidak atau
sedikit mempunyai nilai gizi atau kalori, hanya boleh ditambahkan ke
dalam produk pangan dalam jumlah tertentu”. Beberapa pemanis
sintetis yang telah dikenal dan banyak digunakan adalah sakarin,
siklamat, aspartam, sorbitol (Wisnu Cahyadi, 2006:68)
5) Pemutih dan Pematang Tepung (Flafour Treatment Agent).
Pemutih dan pematang tepung adalah bahan tambahan makanan yang
dapat mempercepat proses pemutihan dan atau pematang tepung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
sehigga dapat memperbaiki mutu pemanggangan. Jenis pemutih dan
pematang tepung yang diizinkan dalam makanan antara lain asam
askorbat, aseton peroksida, azodikarbonamida, kalsium stearoil z-
laktilat, natrium stearil fumarat, natrium stearoil-z-laktilat, l-sisteina.
6) Pengemulsi, Pemantap, Pengental (Emulsifier, Stabilizer, Thickener)
Pengemulsi, pemantap dan pengental adalah bahan tambahan makanan
yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan system
disperse yang homogen pada makanan. Jenis pengemulsi, pemantap,
pengental yang diizinkan dalam makanan terdapat 88 jenis diantaranya
adalah agar; amonium alginate; amonium postatidat; asam alginat;
aseptil dipati adipat; asetil dipati fosfat; asetil dipati gliserol; dekstrin,
pati gosong,putih dan kuning; dikalium fosfat; dikalsium fosfat;
dinatrium difosfat; dinatrium fosfat.
7) Pengawet (Preservative)
Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang mencegah atau
menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap
makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Jenis pengawet
antara lain asam benzoate (benzoad acid), asam propionat, asam
sorbat, belerang dioksida, etil p-hidrok-sibenzoat, kalium benzoate,
kalium bisulfit, kalium metabisulfit, kalium nitrat, kalium nitrit, kalium
propionat, kalium sorbat, kalium sulfit, kalsium benzoat, kalsium
propionat, kalsium sorbat, metal p-hidroksibenzoat, natrium benzoat,
natrium bisulfit, natrium metabisulfit, natrium nitrat, natrium nitrit,
natrium propionat, natrium sulfit, nisin, propel-p hidroksibenzoat.
8) Pengeras (Firming Agent)
Pengeras adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperkeras
atau mencegah melunaknya makanan. Jenis pengeras antara lain
alumunium amonium sulfat, alumunium kalium sulfat, alumunium
natrium sulfat, alumunium sulfat (anhidrat), kalsium glukonat, kalsium
karbonat, kalsium klorida, kalsium laktat, kalsium sitrat, kalsium
sulfat, monoalsium fosfat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
9) Pewarna (Colour)
Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki
atau memberi warna pada makanan. Pewarna terdiri atas pewarna
alami dan pewarna sintetis. Pewarna sintetis mempunyai kelebihan,
yaitu warnanya homogen dan penggunaannya sangat efisien karena
hanya memerlukan jumlah yang sedikit, akan tetapi, kekurangannya
adalah jika pada saat proses terkontaminasi logam berat, pewarna ini
akan berbahaya bagi kesehatan kita (Nurchasanah,2008:128).
Selanjutnya menurut Indra Chahaya S yang mengutip pendapat
Winarno dan Sulistyowati, hal-hal yang memberikan dampak negatif
tersebut bila bahan pewarna sintetik ini dimakan dalam jumlah kecil
namun berulang; bahan pewarna sintetik dimakan dalam waktu lama;
kelompok masayarakat luas dengan daya tahan yang berbeda-beda,
yaitu tergantung pada umur, jenis kelamin, berae badan, mutu
makanan sehari-hari dan keadaan fisik; berbagai masayarakat yang
mungkin menggunakan bahan pewarna sintetik secara berlebihan;
penyimpangan bahan pewarna sintetik oleh pedagang bahan kimia
yang tidak memenuhi persyaratan (Indra Chahaya S,2003:43). Jenis
pewarna yang diizinkan dalam makanan antara lain :
(1) Pewarna alami, terdiri atas anato (CI No.75120), beta-Apo-8
karotenal (CI No. 80820), acid Beta-Apo-8 karotenoat (CI No.
40825), kantasantin (CI No. 40850), karamel ammonia sulfit
proses, karamel, karmin (CI.No.75470), beta karoten (CI.75130),
klorofil (CI.No. 75810), klorofil tembaga komplek (CI. No.75810),
kurkumin (CI.No.75300), ribovlavin, titanium dioksida (CI No.
77891).
(2) Pewarna sintetis, yang terdiri atas biru berlian (CI.No.42090),
coklat HT (CI No.20285), eritrosin (CI No.45430), hijau FCF (CI
No.42053), hijau S (CI No.44090), indigotin (CI No.73015),
karmoisin (CI No. 14720), kuning FCF (CI No.73015), kuning
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
kuinolin (CI No.47005), merah allura (CI No.16035), ponceau 4R
(CI No.16255), tartrazin (CI No.19140).
10) Penyedap Rasa dan Aroma, Penguat Rasa (Flavour, Flavour
Enhancer)
Penyedap Rasa dan Aroma, Penguat Rasa adalah bahan tambahan
makanan yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa
dan aroma.
1) Penyedap Rasa dan Aroma, jenis yang diizinkan ditambahkan
dalam makanan terdapat 75 jenis diantaranya adalah alil
isotiosianat,alil kaproat,alil sikloheksil propionat, alpha-amyl
sinamaldehida, anisaldehida, asam butirat, asam kaproat, asam
sinamat,benzaldehida, benzil alkohol, benzil asesat, benzil
propionat, d-borneol, butil asesat, butil butirat, desil aldehida, desil
alkohol, etil butirat.
2) Penguat Rasa (Flafour Enchancer), dengan batas maksimum
penggunaan secukupnya antara lain jenis asam guanilat, asam l-
glutamat, asam inosinat, kalium dan natrium 5 ribonucleotida.
11) Sekuestran (Sequestrant)
Sukestran adalah bahan tambahan makanan yang dapat mengikat ion
logam yang ada dalam makanan. Jenis sukestran yang diizinkan dalam
makanan antara lain asam fosfat, asam sitrat, dikalium fosfat,
dinatrium difosfat, dinatrium edetat, dinatrium fosfat, isopropil sitrat,
kalium pirofosfat, kalium tripirofosfat, kalsium dinatrium edetat,
kalsium sitrat,monogliserida sitrtat, monokalium fosfat, mononatrium
fosfat, natrium pirofosfat, natrium polifosfat, natrium sitrat, natrium tri
polifosfat, oksistearin, stearil sitrat, trikalium fosfat, trinatrium fosfat.
Bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan,
menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1168/Menkes/Per/X/1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/ Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan
Makanan, antara lain :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
1) Asam Borat (Boric Acid) dan senyawanya
Meskipun bukan pengawet makanan, asam borat yang lebih
dikenal dengan istilah boraks sering pula digunakan sebagai pengawet
makanan. Boraks juga dikenal dengan sebutan garam bleng, bleng,
atau pijer. Boraks yang disebut juga asam borat, natrium tetra borax
atau sodium borat bersifat toksik atau meracun untuk manusia. Dalam
kondisi toksis yang kronis (karena mengalami kontak dalam jumlah
sedikit demi sedikit namun dalam jangka waktu panjang) akan
mengakibatkan tanda-tanda merah pada kulit, seizure, dan gagal ginjal.
Boraks juga dapat mengakibatkan iritasi pada kulit, mata atau saluran
respirasi, mengganggu kesuburan dan janin. Dosis letal (dosis yang
dapat mengakibatkan kematian) pada dewasa 20 gram, sedangkan pada
anak-anak dan binatang kesayangan kurang dari 5 gram (Nurheti
Yuliarti,2007:49-50).
2) Asam Salisilat dan garamnya (Salicylic Acid and its salt)
Asam salisilat seringkali ditemukan pada buah dan sayur. Zat
ini sebenarnya merupakan suatu antiseptic yang memperpanjang masa
keawetan. Asam salisilat bersifat sangat iritatif sehingga sebenarnya
asam salisilat hanya baik digunakan sebagai obat luar (lotion) .Sampai
saat ini asam salisilat memang masih digunakan sebagai obat yang
diberikan secara oral (lewat mulut). Namun demikian, obat ini akan
menimbulkan efek samping berupa gangguan lambung, pusing,
berkeringat, mual dan muntah. Asam salisilat apabila digunakan secara
terus menerus dapat pula mengakibatkan kekurangan zat besi,
sedangknan apabila asam salisilat diberikan dalam jumlah besar dapat
mengakibatkan pendarahan lambung (Nurheti Yuliarti, 2007:33-34).
3) Dietilpirokarbonat (Diethylpirocarbonate DEPC)
Bahan berbahaya ini sering digunakan oleh produsen makanan
dan minuman untuk pengawet. DEPC berfungsi sebagai anti mikroba
untuk jamur, ragi, dan bakteri pada produk-produk minuman ringan
(nonkarbonasi), minuman sari buah dan minuman hasil fermentasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Saat ini DEPC sudah dilarang penggunaannya mengingat bahayanya
terhadap kesehatan (Nurheti Yuliarti,2007 :52).
4) Dulsin (Dulcin)
Dulsin adalah jenis pemanis yang dilarang penggunaannya
telah dilarang di Indonesia. Dulsin dikenal dengan nama sucrol dalam
perdagangan. Dulsin dalam bahan pangan digunakan sebagai
pengganti sukrosa bagi orang yang perlu berdiet. Konsumsi dulsin
yang berlebihan akan menimbulkan dampak yang membahayakan bagi
kesehatan (Nurheti Yuliarti,2007:30).
5) Kalium Klorat (Potassium Chlorate)
Kalium klorat telah dinyatakan dilarang untuk bahan tambahan
makanan. Bahan ini seringkali digunakan oleh sejumlah pedagang
makanan untuk mengawetkan makanan. Akibat penggunaan bahan ini
untuk konsumsi akan muncul berbagai gangguan kesehatan seperti
iritasi saluran pernapasan, gangguan fungsi ginjal, hemolisis sel darah
merah dan methemoglobinemia akan terjadi pada orang yang
mengkonsumsinya dalam jumlah besar (Nurheti Yuliarti,2007:51).
6) Kloramfenikol (Chloramphenicol)
Kloramfenikol sebenarnya merupakan suatu antibiotika.
Antibiotika ini sering disalahgunakan untuk pengawet susu.
Kloramfenikol berbahaya jika dikonsumsi setiap waktu karena
merupakan suatu antibiotika yang tidak sembarangan dapat
dikonsumsi (Nurheti Yuliarti, 2007 :52).
7) Minyak Nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils)
Minyak nabati yang dibrominasi dapat menstabilkan peneyedap
rasa dan aroma dalam minuman ringan.
8) Nitrofurazon (Nitrofurazone)
Nitrofurazon merupakan bahan sintetik yang bersifat
bakterisida pada hewan.
9) Formalin (Formaldehyde)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Formalin merupakan gas formaldehid yang tersedia dalam
bentuk larutan 40%. Bahan ini bisa diperoleh dengan mudah di toko-
toko kimia. Formalin sebenarnya adalah bahan pengawet yang
digunakan dalam dunia kedokteran, misalnya sebagai bahan pengawet
mayat (Cahyo Saparinto dan Diana Hidayati, 2006:62-63).
Kesalahan fatal yang dilakukan oleh para produsen makanan
adalah menggunakan formalin sebagai bahan pengawet makanan . Hal
ini disebabkan oleh kurangnya informasi tentang formalin dan
bahanya, tingkat kesadaran kesehatan masyarakat yang masih rendah,
harga formalin yang sangat murah dan kemudahan memperoleh
formalin. Selain itu, formalin efektif digunkan sebagai pengawet.
Penggunannya hanya dalam jumlah sedikit. Sebaliknya, konsumen
mau menerima bahan makanan yang mengandung formalin karena
ketidaktahuan mereka dan kecenderungan untuk mendapatkan
makanan yang murah dan awet. Selain itu konsumen belum bisa
membedakan produk yang diawetkan dengan pengawet pangan dan
produk yang diawetkan dengan formalin (Cahyo Saparinto dan Diana
Hidayati, 2006:63).
Penggunaan formalin sebagai pengawet makanan bisa
menimbulkan gangguan kesehatan. Formalin tidak dapat hilang dengan
pemanasan. Efek samping penggunaan formalin tidak secara langsung
akan terlihat. Efek ini hanya terlibat secara kumulatif, kecuali jika
seseorang mengalami keracunan formalin dengan dosis tinggi. Oleh
karena itu penggunaan formalin dalam makanan tidak dapat ditoleransi
dalam jumlah sekecil apapun.Keracunan formalin dapat menyebabkan
iritasi lambung dan alergi. Formalin juga bersifat karsinogen
(menyebabkan kanker) dan mutagen (menyebabkan perubahan fungsi
sel). Dalam kadar yang sangat tinggi formalin bisa menyebabkan
kegagalan peredaran darah yang bermuara pada kematian.
10) Kalium Bromat (Potassium Bromate)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Kalium bromat tidak boleh digunakan sebagai bahan tambahan
makanan karena merupakan bahn kimia yang dalam dosis berlebih
dalam tubuh dapat mengakibatkan muntah-muntah, diare,
methemoglobinea dan reinjury (Nurheti Yuliarti, 2007:53).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
239/Men.Kes/Per/V/85 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan
sebagai Bahan Berbahaya sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Direktur Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 00386/C/SK/90 tentang
Perubahan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor :
239/Menkes/Per/V/85 Tentang Zat warna Tertentu yang Dinyatakan
sebagai Bahan Berbahaya ada beberapa jenis zat pewarna yang dinyatakan
berbahaya dan dilarang penggunaannya bagi obat dan makanan, kecuali
mendapat izin Kepala BPOM antara lain:
1) Auramine (C.I Basic Yellow 2), nomor indeks warna 41000.
2) Alkanet, nomor indeks warna 75520.
3) Butter Yellow (C.I. Solvent Yellow 2), nomor indeks warna 11020.
4) Black 7984 (Food Vlack 2), nomor indeks warna 27755.
5) Burn Unber (Pigment Brown 7), nomor indeks warna 77491.
6) Chrysoidine (C.I. Basic Orange 2), nomor indeks warna 11270.
7) Chrysoine S (C.I Food Yellow 8), nomor indeks warna 14270.
8) Citrus Red No. 2, nomor indeks warna 12156.
9) Chocolate Brown FB (Food Brown 2).
10) Fast Red E (C. I Food Red 4), nomor indeks warna 16045.
11) Fast Yellow AB (C. I Food Yellow 2), nomor indeks warna 13015.
12) Guinea Green B (C. I Acid Green No. 3), nomor indeks warna 42085.
13) Indanthrene Blue RS (C. I Food Blue 4), dengan indeks warna 69800.
14) Magenta ( C. I Basic Violet 14), dengan nomor indeks warna 42510.
15) Metanil Yellow (Ext. D&C Yellow No. 1), dengan indeks warna 13065.
16) Oil Orange SS (C. I Solvent Orange 2), nomor indeks warna 12100.
17) Oil Orange XO (C. I Solvent Orange 7), nomor indeks warna 12140.
18) Oil Orange AB (C. I Solvent Yellow 5), nomor indeks warna 11380.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
19) Oil Yellow AB (C. I Solvent Yellow 6), nomor indeks warna 11390 .
20) Orange G (C. I Food Orange 4), nomor indeks warna 16230.
21) Orange GGN (C. I Food Orange 2), nomor indeks warna 15980.
22) Orange RN (Food Orange 1), nomor indeks warna 15970.
23) Orchid and Orcein.
24) Ponceau 3R (Acid Red 1), nomor indeks warna 16155.
25) Ponceau SX (C. I Food Red 1), nomor indeks warna 14700.
26) Ponceau 6R (C. I Food Red 8), nomor indeks warna 16290.
27) Sudan I (C. I Solvent Yellow 14), nomor indeks warna 12055.
28) Scarlet GN (Food Red 2), nomor indeks warna 14815.
29) Violet 6 B, nomor indeks warna 42640.
Selain itu, ada beberapa jenis zat pewarna tertentu yang dinyatakan
sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan, dan kosmetika antara lain :
1) Jingga K1 (C.I. Pigment Orange 5,D&C Orange No. 17),dengan
nomor indeks warna C.I Nomor 12075.
2) Merah K3 (C. I Pigment Red 53,D&C Red No. 8), dengan nomor
indeks warna C.I Nomor 15585.
3) Merah K4 (C. I. Pigment Red 53 : 1,D&C Red No. 9),dengan nomor
indeks warna C.I Nomor 15585: 1.
4) Merah K10 (Rhodamine B, D&C Red No. 9,C.I. Food Red 15),dengan
nomor indeks warna C.I Nomor 45170.
5) Merah K11, dengan nomor indeks warna C.I Nomor 45170:1.
Dari berbagai jenis pewarna tekstil yang disalahgunakan sebagai
pewarna makanan, yang paling banyak digunakan adalah rhodamin b dan
metanyl yellow. Padahal keduanya dapat mengakibatkan gangguan
kesehatan yang mungkin baru muncul bertahun-tahun setelah kita
mengonsumsinya (Nurheti Yuliarti, 2007 :91). Penggunaan rhodamin b
pada makanan pada jangka waktu lama (kronis) akan mengakibatkan
gangguan fungsi hati maupun kanker, namun apabila terpapar rhodamin b
dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan terjadi keracunan
rhodamin b. Bila rhodamin b tersebut masuk melalui makanan maka akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
mengakibatkan iritasi pada saluran pencernaan dan mengakibatkan gejala
keracunan dengan air kencing yang berwarna merah ataupun merah muda.
Methanyl yellow adalah senyawa kimia azo aromatic amin yang dapat
menimbulkan tumor dalam jaringan hati, kandung kemih, saluran
pencernaan atau jaringan kulit (Nurheti Yuliarti, 2007:92-93).
2. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Penggunaan BTM Dalam
Produk Pangan yang Dikonsumsi oleh Anak
Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk
terus menerus meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
Indonesia secara adil dan merata dalam segala aspek kehidupan serta
diselenggarakan secara terpadu, terarah, dan berkesinambungan dalam
rangka mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, baik
material maupun spiritual, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut Sagung Seto yang mengutip pendapat dari Prof.Dr.Ir.
M.Aman Wirakartakusumah, pangan merupakan kebutuhan dasar yang
sangat penting baik bagi setiap insan baik secara fisiologis, psikologis,
sosial maupun antropologis. Pangan selalu terkait dengan upaya manusia
untuk mempertahankan hidupnya (Sagung Seto, 2001:1).
Sumber daya manusia yang berkualitas selain merupakan unsur
terpenting yang perlu memperoleh prioritas dalam pembangunan, juga
sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan. Peningkatan
kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan, antara lain, oleh kualitas
pangan yang dikonsumsinya. Kebutuhan akan pangan merupakan
kebutuhan dasar bagi manusia. Kebutuhan ini berkaitan erat dengan
kesehatan dan keselamatan manusia yang mengkonsumsinya, oleh karena
itu tanggung jawab pelaku usaha di bidang pangan dan pengolahan pangan
merupakan tanggung jawab besar dan berat, sehingga pelaku usaha harus
bisa menjamin keamanan produknya.
Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan menyebutkan bahwa ”badan usaha yang memproduksi pangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan usaha
yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggung
jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan
orang lain yang mengkonsumsinya”.
Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pelaku usaha dalam
menjaga keamanan pangan terkait dengan penggunaan BTM dalam produk
makanan, khususnya dalam hal ini adalah makanan yang dikonsumsi anak-
anak, maka Pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan ketentuan Pasal 11 dan
Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan,
Mutu, dan Gizi Pangan, melarang setiap orang yang memproduksi pangan
yang diedarkan menggunakan BTM yang dilarang penggunaannya untuk
makanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan
Juncto Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan
Tambahan Makanan dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
239/MEN.KES/PER/V/85 Tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan
sebagai Bahan Berbahaya. Selain daripada itu, pelaku usaha juga dilarang
menggunakan BTM yang diizinkan penggunaannya dalam dosis tertentu
melampaui ambang batas maskimal yang ditetapkan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan Juncto
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan.
Penggunaan BTM dalam produk pangan yang tidak mempunyai
resiko terhadap kesehatan manusia dapat dibenarkan, namun penggunaan
bahan yang yang dilarang sebagai BTM atau penggunaan BTM secara
berlebihan sehingga melampaui ambang batas maksimal tidak dibenarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
karena dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia yang
mengkonsumsinya.
Selanjutnya untuk bahan yang akan digunakan sebagai BTM
tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor RI 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan
Makanan, wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya. Penggunaan
BTM tersebut dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk
diedarkan dilakukan setelah memperoleh persetujuan pemerintah.
Berdasaran Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
Nomor : 02592/B/SK/VIII/91 tentang Penggunaan Bahan Tambahan
Makanan yang menindaklanjuti ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan
Tambahan Makanan, pada Pasal 1 ayat (2) dijelaskan bahwa menggunakan
bahan tambahan lain dalam makanan atau menggunakan dengan tujuan
lain, selain yang diizinkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan hanya
dapat diizinkan setelah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal
Pengawas Obat dan Makanan yang saat ini diubah namanya menjadi
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Memperhatikan ketentuan tersebut maka dalam penggunaan BTM
ke dalam makanan, khususnya makanan yang dikonsumsi oleh anak-anak
wajib menggunakan BTM yang diizinkan oleh pemerintah, yaitu bahan
tambahan makanan yang diziinkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/88 tentang Bahan Tambahan
Makanan.
Tentang keamanan pangan yang menggunakan BTM apabila
dikaitkan dengan Pasal 4 huruf a UUPK, Pasal 10 Undang-Undang Nomor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
7 Tahun 1996 tentang Pangan yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan
ketentuan Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, maka dapat dikatakan
bahwa konsumen dalam penggunaan produk pangan olahan yang
mengandung BTM telah dilindungi hak-haknya dalam hal kenyamanan,
keamanan dan keselamatan.
Bagi konsumen, mereka memerlukan produk yang aman bagi
kesehatan tubuh atau keamanan jiwa, serta pada umumnya untuk
kesejahteraan keluarga atau rumah tangganya. Dengan demikian yang
diperlukan adalah kaidah-kaidah hukum yang menjamin syarat-syarat
aman setiap produk bagi konsumsi manusia, dilengkapi dengan informasi
benar, jujur dan bertanggungjawab (Celina Tri Siwi K,2008:26).
Tanggung jawab erat kaitannya dengan kewajiban. Menurut Pasal
7 UUPK, kewajiban pelaku usaha antara lain:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.
Sesuai dengan ketentuan di atas, apabila dikaitkan dengan
tanggung jawab pelaku usaha untuk menjamin keamanan pangan yang
diproduksi, maka pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Pelaku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
usaha yang memproduksi pangan dalam kemasan, dalam memproduksi
dan mengedarkan pangan sudah seharusnya memenuhi kewajiban tersebut
dalam hal penggunaan BTM dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh
anak. Sudah seharusnya anak sebagai konsumen menerima informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan atas keamanan
pangan terkait penggunaan BTM.
Perdagangan pangan yang menggunakan bahan pewarna yang
tidak diperuntukkan bagi pangan atau perbuatan-perbuatan lain yang
akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapat mengancam
kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anak-anak pada
umumnya dilakukan melalui penipuan pada label pangan atau melalui
iklan. Label dan iklan pangan yang tidak jujur dan atau menyesatkan
berakibat buruk terhadap perkembangan kesehatan manusia. Dalam
hubungannya dengan masalah label dan iklan pangan maka masyarakat
perlu memperoleh informasi yang benar, jelas dan lengkap baik mengenai
kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai
pangan yang beredar di pasaran. Informasi pada label pangan atau melalui
iklan sangat diperlukan bagi masyarakat agar supaya masing-masing
individu secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan atau
mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yang jelas maka
kecurangan-kecurangan dapat terjadi.
Salah satu tujuan dari perlindungan konsumen seperti tertuang
dalam Pasal 3 UUPK, yaitu “menciptakan sistem perlindungan konsumen
yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta
akses untuk mendapatkan informasi”. Informasi merupakan hal yang
penting bagi konsumen. Dalam suatu kemasan pangan, informasi biasanya
dalam bentuk label. Tujuan pemberian label pada pangan yang dikemas
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah agar masyarakat
yang membeli dan atau mengkonsumsi pangan memperoleh informasi
yang benar dan jelas tentang setiap produk pangan yang dikemas, baik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
menyangkut asal, keamanan, mutu, kandungan gizi, maupun keterangan
lain yang diperlukan sebelum memutuskan akan membeli dan atau
mengkonsumsi pangan tersebut. Dengan membaca informasi yang tertera
pada label maka konsumen dapat menentukan produk pangan yang cocok
untuk dikonsumsi.
Penyampaian informasi kepada konsumen tersebut dapat berupa
representasi, peringatan, maupun instruksi. Peringatan dan instruksi
mempunyai fungsi yang berbeda. Instruksi terutama telah diperhitungkan
untuk menjamin efisiensi penggunaan produk, sedangkan peringatan
dirancang untuk menjamin keamanan penggunaan produk. Peringatan
yang merupakan bagian pemberian informasi kepada konsumen ini
merupakan pelengkap dari proses produksi. Peringatan yang diberikan
kepada konsumen memegang peranan penting dalam kaitan dengan
keamanan suatu produk (Celina Tri Siwi K,2008:44-45). Ketentuan
mengenai pemasangan label berlaku bagi pangan yang telah melalui
proses pengemasan akhir dan siap untuk diperdagangkan (pre-packaged),
tetapi tidak berlaku bagi perdagangan pangan yang dibungkus di hadapan
pembeli.
Orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun tidak yang memproduksi atau memasukkan pangan yang
dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.
Menurut Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Pangan juncto Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan, label sekurang-kurangnya memberikan
keterangan tentang :
a. nama produk;
b. daftar bahan yang digunakan;
c. berat bersih atau isi bersih;
d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan
ke dalam wilayah Indonesia;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
e. keterangan tentang halal; dan
f. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa.
Penggunaan bahan tambahan makanan pada makanan, termasuk
makanan yang dikonsumsi oleh anak wajib mencantumkan keterangan
atasnya dan pencantuman ini ditempatkan dalam daftar bahan pangan yang
digunakan. Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan menyebutkan bahwa :
(1) Untuk pangan yang mengandung Bahan Tambahan Pangan, pada
label wajib dicantumkan golongan Bahan Tambahan Pangan.
(2) Dalam hal Bahan Tambahan Pangan yang digunakan memiliki
nama Bahan Tambahan Pangan dan atau kode internasional, pada
label dapat dicantumkan nama Bahan Tambahan dan kode
internasional dimaksud, kecuali Bahan Tambahan Pangan berupa
pewarna.
(3) Dalam hal Bahan Tambahan Pangan berupa pewarna, selain
pencantuman golongan dan nama Bahan Tambahan pangan, pada
Label wajib dicantumkan indeks pewarna yang bersangkutan.
Pencantuman nama golongan bahan tambahan pangan diperlukan
agar setiap orang yang mengkonsumsi pangan secara jelas dapat
mengetahui jenis-jenis bahan tambahan pangan yang dipergunakan.
Kewajiban untuk mencantumkan nomor kode internasional memudahkan
bagi setiap orang yang memproduksi ataupun mengkonsumsi pangan
tertentu sekaligus memudahkan pengawasannya.
Pasal 15 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/
MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan megatur
bahwa pada makanan yang mengandung BTM, maka pada labelnya harus
dicantumkan nama golongan BTM. Makanan yang mengandung BTM
golongan antioksidan, pemanis buatan, pengawet, pewarna dan penguat
rasa pada label tidak hanya mencantumkan golongan BTM, tetapi harus
mencantumkan pula nama BTM dan indeks khusus untuk pewarna.
Ditegaskan dalam Pasal 25 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
722/ MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan yang
menyebutkan bahwa “dilarang mengedarkan makanan dan bahan
tambahan makanan yang tidak berlabel“. Ketentuan tersebut dengan jelas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
melarang setiap orang untuk mengedarkan makanan kemasan yang tidak
mencantumkan label.
Selanjutnya Pasal 6 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Nomor Hk .00.05.5.1.4547 tentang Persyaratan Penggunaan
Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan diatur
bahwa “Produk pangan yang menggunakan pemanis buatan harus
mencantumkan jenis dan jumlah pemanis buatan dalam komposisi bahan
atau daftar bahan pada label”.
Keputusan Kepala BPOM RI Nomor Hk.00.05.5.1.4547
mensyaratkan bahwa produk pangan yang menggunakan pemanis buatan
harus mencantumkan jenis dan jumlah pemanis buatan dalam komposisi
bahan atau daftar bahan pada label. Selain itu orang perseorangan atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak yang
memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah
Indonesia untuk diperdagangkan dan menambahkan pemanis buatan pada
pangan wajib mencantumkan peringatan Fenilketonuria: mengandung
fenilalanin, yang ditulis dan terlihat jelas pada label jika makanan atau
minuman atau sediaan menggunakan pemanis buatan aspartam.
Selanjutnya wajib mencantumkan peringatan: konsumsi
berlebihan dapat mengakibatkan efek laksatif, yang ditulis dan terlihat
jelas pada label makanan atau minuman atau sediaan yang menggunakan
pemanis buatan laktitol atau manitol atau sorbitol, yang apabila diyakini
dikonsumsi lebih dari 20 gram laktitol perhari atau 20 gram manitol
perhari atau 50 gram sorbitol perhari.
Peraturan Kepala BPOM RI Nomor : HK.00.06.1.52.6635 tentang
Larangan Pencantuman Informasi Bebas Bahan Tambahan Pangan Pada
Label dan Iklan Pangan melarang pencantuman informasi bebas BTP pada
label dan iklan pangan. Informasi bebas bahan tambahan pangan tersebut
meliputi pernyataan dan atau tulisan dengan menggunakan kata “bebas”,
“tanpa”, “tidak mengandung” atau kata semakna lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
Sebagai contoh beberapa jajanan anak dalam kemasan yang
menambahkan bahan tambahan makanan, antara lain :
a. Permen Marbels Colors yang diproduksi oleh PT.Perfetti Van Melle
Indonesia-Bogor dengan lisensi Perfetti Van Melle Benelux B.V
Netherlands dalam label mencantumkan komposisi yang terkandung di
dalammya antara lain : gula ; sirup glukosa; minyak nabati; pengatur
keasaman : asam sitrat, tepung beras; pengental : GOM Arab, GOM
Gellan; perisa : nanas, stroberi, jeruk, blackurrant, apel; ekstrak :
nanas, stroberi, jeruk, blackurrant, apel; pengemulsi : ester sukrosa,
asam lemak; pewarna : tartrazin C I 19140, kuning FCF CI 15985,
indigotin CI 73015, biru berlian CI 42090, karmoisin CI 14720, merah
allura CI 16035; pelapis : karnauba wax.
b. Simba Chocho Rillas yang diproduksi oleh PT. Simba Indosnack
Makmur dalam label mencantumkan komposisi yang terkandung di
dalammya antara lain : tepung gandum; coklat bubuk; pasta coklat;
susu bubuk; gula; ekstrak malt; garam beryodium; pengemulsi letisin
kedelai; perisa coklat; kalsium karbonat; pewarna alami karamel (E-
150 C).
c. Garuda Kacang Atom yang diproduksi oleh PT. Garudafood Putra
Putri Jaya dalam label mencantumkan komposisi yang terkandung di
dalammya antara lain : tepung tapioka; kacang tanah; minyak nabati;
bawang putih; garam; gula; penguat rasa mononatrium glutamate,
pemanis buatan (Aceculfam-K5,63 mg/saji) ADI :15 mg/kg berat
badan, aspartam 0,92 mg/saji : ADI 50 mg/kg berat badan. Selain itu
pada kemasan juga tertulis “mengandung gula dan pemanis buatan”
dan “mengandung Fenilalanin, tidak cocok untuk penderita
Fenilketonuria”. Peringatan tersebut wajib dicantumkan karena dalam
garuda kacang atom mengandung pemanis buatan jenis aspartam.
d. Mie Gemez Enaak yang diproduksi oleh PT.Siantar Top Sidoarjo
Indonesia dalam label mencantumkan komposisi yang terkandung di
dalammya antara lain :tepung terigu; tepung tapioka; minyak sayur;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
bawang merah; bawang putih; perisa ayam; kecap; gula; penguat rasa :
mononatrium glutamat, garam, natrium karbonat, natrium polifosfat,
guar gum; pemanis sukralosa, pewarna makanan coklat HT CI 20285,
pewarna tartrazin CI 19140, pewarna makanan kuning FCF CI 15985.
e. Alpenliebe Lollipop Bluez yang diproduksi oleh PT. Perfetti Van
Melle Indonesia-Bogor lisensi Perfetti Fan Melle S.p.A.,Lainate (MI)
Italy dalam label mencantumkan komposisi yang terkandung di
dalammya antara lain : gula; sirup maltosa; minyak nabati; krim susu;
pengatur keasaman : asam laktat, natrium laktat; pewarna : titanium
dioksida CI 77891, biru berlian CI 42090, perisa : stroberi, vanilla,
garam; pengemulsi : letisin kedelai, ekstrak stroberi.
f. Pop Ice yang diproduksi oleh PT.Forisa Nusapersada dalam label
mencantumkan komposisi antara lain : gula; coklat bubuk; krim nabati;
susu bubuk; krim nabati; susu bubuk; perisa coklat; pemanis buatan
aspartam ≤ 0,04 g/sachet (ADI 50 mg/kg berat badan/hari); natrium
siklamat ≤ 0,02 g/sachet (ADI 11 mg/kg berat badan /hari);
acesulfame-K ≤ 0,059 / sachet (ADI 15 mg/kg berat badan /hari).
Fenilketonuria : Mengandung Fenilalanin, peringatan ini
dicantumkan karena pop ice mengandung pemanis buatan jenis
aspartam.
Mengandung gula dan pemanis buatan.
g. Milkuat susu caramel yang diproduksi oleh PT.Danone Dairy
Indonesia dalam label mencantumkan komposisi antara lain : air; susu
segar; gula pasir; susu bubuk full cream; pemantap nabati; trikalsium
fosfat; garam; perisa caramel; dinatrium fosfat; perisa krim; premiks
vitamin; pemanis buatan (aspartam 12,5 mg /saji dan asesulfam K
12,3 mg/saji); pewarna karamel.
Megandung Fenilalanin: tidak cocok untuk penderita
feniketonurik.
Mengandung gula dan pemanis buatan. Tidak cocok untuk bayi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Berdasarkan contoh jajanan anak dalam kemasan yang diproduksi
oleh pabrikan di atas terlihat bahwa pelaku usaha yang menambahkan
BTM kedalam jajanan anak yang diproduksi dalam bentuk kemasan sudah
melaksanakan tanggung jawabnya untuk menjamin keamanan pangan
yang diproduksi dengan menggunakan BTM yang diizinkan dalam batas
penggunaan yang sesuai. Pelaku usaha jajanan anak pabrikan juga
melaksanakan tanggung jawabnya untuk memberikan informasi yang jelas
dalam penggunaan BTM. Informasi diberikan dengan mencantumkan
golongan BTM yang digunakan pada label kemasan. Selain itu makanan
jajanan anak yang menggunakan penguat rasa juga telah mecantumkan
nama BTM golongan penguat rasa (garuda kacang atom, mie gemez enak).
Pelaku usaha yang menambahan pewarna sintetis dalam jajanan anak yang
diproduksi selain telah mencantumkan golongan dan nama pewarna
(BTM), pada label juga telah mencantukan indeks pewarna yang
bersangkutan. Selanjutnya pelaku usaha yang menambahkan pemanis
buatan juga telah melaksanakan tanggung jawabnya dengan mencantukan
jenis dan jumlah pemanis buatan. Pelaku usaha yang menambahkan
pemanis buatan jenis aspartam dalam jajanan anak yang diproduksinya
(garuda kacang atom, pop ice, milkuat susu caramel) juga telah
melaksanakan tanggung jawabnya dengan mencantumkan peringatan
Fenilketonuria: mengandung fenilalanin, yang ditulis dan terlihat jelas
pada label sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 Keputusan
Kepala BPOM RI Nomor HK.00.05.5.1.4547.
Kewajiban mencantumakan keterangan tentang penggunaan BTM
tidak berarti menunjukkan bahwa produk yang memakai BTM tersebut
tidak aman, akan tetapi pencantuman tersebut lebih bersifat informasi,
sebab pada dasarnya produk pangan yang beredar di pasaran merupakan
produk pangan yang aman untuk dikonsumsi artinya produk pangan
tersebut bebas dari bahan-bahan yang berbahaya bagi manusia serta cara
pengolahannya harus menjamin keamanan produk tersebut. Oleh karena
itu, informasi berupa pencantuman keterangan mengenai BTM yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
digunakan lebih ditujukan untuk memenuhi hak konsumen berupa hak
untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya.
Konsumen dalam hal ini diberi kebebasan untuk memilih apakah
konsumen akan mengkonsumsi produk pangan yang menggunakan BTM
atau produk pangan yang tidak menggunakan BTM. Dengan pencantuman
label penggunaan BTM pada kemasan pangan, maka konsumen produk
pangan telah diberikan dan dilindungi haknya dalam memilih dan
menentukan produk yang mengandung BTM atau yang tidak mengandung
BTM.
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya, diketahui bahwa pelanggaran terhadap ketentuan penggunaan
BTM justru banyak ditemukan pada pelaku usaha kecil atau pelaku usaha
rumahan, termasuk pelaku usaha jajanan yang menjajakan dagangannya di
sekitar sekolah. Untuk memperkuat fakta hukum tersebut, sebagai contoh
penulis melakukan klarifikasi terhadap instansi pengawas produk pangan
yang beredar di Kota Surakarta yaitu Dinas Kesehatan dan Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta.
Berdasarkan pengawasan yang dilakukan terhadap pelaku usaha
yang bergerak dalam bidang pangan yang dalam hal ini adalah makanan
yang dikonsumsi anak, diperoleh fakta bahwa penyimpangan yang masih
banyak ditemukan adalah makanan kemasan hasil industri rumah tangga,
makanan yang dihasilkan oleh pelaku usaha kecil menengah serta
makanan yang dijajakan secara keliling yang dikemas dihadapan pembeli.
Berdasarkan hasil pengambilan sampel makanan yang dilakukan Dinas
Kesehatan Kota (DKK) tahun 2009 lalu, dari 43 sampel makanan yang
diperiksa diketahui 9,3% mengandung bahan berbahaya seperti boraks,
formalin, dan pewarna untuk tekstil, misalnya rodhamin. Pada tahun 2010,
dari 413 sampel, sekitar 9,2% di antaranya mengandung bahan berbahaya.
Untuk tahun 2011 diambil 318 sampel meliputi di swalayan, sekolah dan
pasar, hasilnya 58 (18%) sampel tidak memenuhi syarat, yaitu masih
terdapat kandungan borak, formalin, methanil yellow, rhodamin b dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
penggunaan bahan tambahan makan yang tidak sesuai dengan dosis yang
ditentukan. Dari pengambilan sampel tersebut 10 sampel dari 150 sampel
yang diambil di sekolah-sekolah di Kota Surakarta mengandung bahan
tambahan tidak sesuai ketentuan. Penyimpangan yang ditemukan paling
banyak adalah di pasar. Penyimpangan yang dilakukan umumnya
dilakukan oleh pelaku usaha kecil yang menjual pangan dikemas
dihadapan pembeli yang tidak mempunyai kewajiban mendaftarkan
dagangannya dan dibebaskan dari ketentuan pelabelan serta pangan
kemasan hasil industri rumahan.
Sebagai contoh penulis juga melihat produk makanan anak berupa
jelly yang dihasilkan oleh industri rumah tangga pangan yang
menggunakan BTM. Produk jelly ini melaksanakan tanggung jawab dalam
menjamin keamanan pangan dengan menggunakan BTM yang diizinkan,
namun belum melaksanakan tanggung jawabnya dalam hal pencantuman
label, produk jelly jus doremi yang dihasilkan oleh industri rumah tangga
pangan indo rasa jaya nomor sertifikasi P-IRT No. 208337201158 dalam
label tertulis komposisi pewarna makanan dan pemanis, namun tidak
disebutkan nama dan nomor indeks bahan pewarna makanan yang
digunakan. Selain itu untuk pemanis juga tidak memenuhi persyaratan
pelabelan penggunaan pemanis buatan dalam produk pangan sebagaimana
diatur pada Pasal 6 Keputusan Kepala BPOM Nomor HK. 00.05.5.1.4547.
Contoh lain adalah camilan sejenis kerupuk dengan merek rindu
mas yang dihasilkan oleh industri rumah tangga pangan angkasa dengan
nomor sertifikasi P-IRT No.206331301224 yang dalam komposisi
menyebutkan tepung tapioka, bawang, gula, garam, penyedap rasa,
natrium siklamat, natrium sakarin, egg yellow dan sunset yellow. Makanan
tersebut mengandung pemanis buatan berupa siklamat dan sakarin,
seharusnya mencantumkan jumlah pemanis buatan yang digunakan dalam
label kemasan. Selanjutnya karena makanan tersebut menggunakan
pewarna maka seharusnya tidak hanya mencantumkan nama pewarna
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
makanan yang digunakan namun juga indeks pewarna yang bersangkutan.
Hal ini tentu tidak sejalan dengan prinsip kejelasan bagi konsumen.
Berdasarkan hasil tersebut selanjutnya penulis melakukan
klarifikasi terhadap pelaku usaha usaha yang memproduksi dan
mengedarkan makanan yang dikonsumsi oleh anak. Menurut pelaku usaha
yang menproduksi dan memperdagangkan makanan dan minuman jajanan
anak di sekitar sekolah, diperoleh fakta bahwa pelaku usaha tersebut
umumnya menggunakan BTM dalam jajanan yang dijual. Bahan tambahan
pangan yang biasa ditambahkan adalah vitsin (msg), pengawet, pewarna
sintetis dan pemanis buatan. Pelaku usaha kecil yang menjajakan jajanan
anak ini tidak mengetahui mengenai standar-standar dalam penggunaan
BTM, mereka belum pernah mendapat sosialisasi mengenai cara produksi
pangan yang baik. Pelaku usaha ini merasa bahwa makanan yang mereka
jajakan memang sudah aman dikonsumsi. Pelaku usaha di bidang jajanan
anak ini mengaku menggunakan bahan tambahan karena pembeli jajanan
mereka (anak-anak) lebih suka makanan yang gurih, berwarna cerah,
untuk bakso ojek dilengkapi dengan saus, selain itu juga disebabkan oleh
faktor kurangnya pengetahuan mengenai peraturan.
Peraturan mengenai penggunaan BTM diberlakukan secara sama
bagi setiap orang yang menggunakannya dalam rangka pengolahan
pangan, tidak dibedakan antara pelaku usaha yang memproduksi dan
mengedarkan makanan untuk dikonsumsi orang dewasa dan makanan
untuk dikonsumsi anak, selain itu tidak dibedakan pula antara untuk
pelaku usaha besar dan pelaku usaha rumahan.
Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, maka dapat diketahui
bahwa perlindungan terhadap konsumen anak belum berjalan secara baik.
Pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab pelaku usaha untuk
menyediakan pangan yang aman dan bermutu dalam rangka pemenuhan
hak-hak konsumen anak atas keamanan dalam mengkonsumsi produk
makanan terkendala pada pelaku usaha pangan jajanan anak golongan
kecil dengan modal dan pengetahuan yang terbatas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Memperhatikan kondisi yang demikian maka diperlukan adanya
regulasi yang secara khusus mengatur mengenai pangan anak. Regulasi
tentang pangan anak ini ditujukan bagi pelaku usaha yang memproduksi
pangan yang pemasarannya ditujukan untuk usia anak. Mengatur pula
mengenai BTM tertentu yang diizinkan dan aman untuk makanan anak,
misalnya dapat menggunaan bahan tambahan alami atau menggunakan
bahan tambahan makanan sintetis namun batasnya lebih rendah
dibandingkan dengan yang digunakan bagi pangan yang ditujukan bagi
orang dewasa dikarenakan detoks orang pada anak berbeda dengan detoks
orang dewasa.
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) diharapkan akan membawa pengaruh
baik bagi kondisi perekonomian Indonesia. Artinya, perilaku pelaku usaha
yang tidak etis dan cenderung memanfaatkan ketidaktahuan dan
ketidakberdayaan konsumen untuk memperoleh keuntungan yang besar
bagi usahanya dapat dihentikan. Hal ini dapat dijamin oleh Undang-
Undang Perlindungan Konsumen melalui hak gugat bagi konsumen yang
merasa dirugikan kepentingannya oleh karena mengkonsumsi produk
tertentu (Endang Sri Wahyuni, 2003:174-175).
Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah mengatur
hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha, dan telah melahirkan
2 (dua) bentuk tanggung jawab, yaitu: tanggung jawab produk (product
liability) dan tanggung jawab profesional (professional liability) (Shidarta,
2004:80). Secara umum, tanggung jawab pelaku usaha termuat dalam
Pasal 19 hingga Pasal 28 UUPK.
Prinsip mengenai tanggung jawab merupakan perihal yang sangat
penting dalam hukum perlindungan konsumen. Secara umum, prinsip-
prinsip tanggung jawab dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability)
adalah prinsip yang cukup umum namun berlaku dalam hukum pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
dan perdata. Harus dipenuhi 4 (empat) unsur pokok, yaitu adanya
perbuatan, ada unsur kesalahan, ada kerugian yang diderita dan adanya
hubungan kausalitas antara kesalahan dengan kerugian.
b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab
(presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan , ia
tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada tergugat.
Prinsip ini mengadopsi beban pembuktian terbalik, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 19, 22 dan 23 (dapat dilihat pada ketentuan
Pasal 28 UUPK). Dasar dari beban pembuktian terbalik adalah
seseorang dianggap tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat
membuktikan sebaliknya.
c. prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab
Prinsip ini diterapkan pada hukum pengangkutan, yakni kehilangan
atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi tangan, yang biasanya
dibawa atau diawasi penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab
dari konsumen sendiri. Pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dimintai
pertanggungjawabannya.
d. Prinsip tanggung jawab mutlak
Konsepsi tanggung jawab dalam pengaturan UUPK secara mendasar
mempunyai perbedaan dengan pengaturan tanggung jawab dalam
KUH Perdata. Menurut KUH Perdata bahwa tanggung jawab pelaku
usaha untuk memberikan ganti kerugian didapat setelah konsumen
yang menderita kerugian dapat membuktikan bahwa kerugian yang
timbul merupakan kesalahan dari pelaku usaha. Sedangkan dalam
UUPK mengatur kewajiban sebaliknya, dimana pelaku usaha
berkewajiban membuktikan bahwa kerugian yang diderita konsumen
bukan merupakan dari akibat kesalahan/kelalaian pelaku usaha,
sekalipun dalam hal ini pihak konsumen yang pertama mengajukan
dalil kerugian tersebut (Pasal 19 s/d 28 UUPK), dan inilah yang
dikenal dengan tanggung jawab mutlak (strict liability).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
Dalam prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) memberikan
pengertian bahwa tergugat selalu bertanggungjawab tanpa melihat ada
atau tidaknya kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah,
tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai sesuatu tidak
relevan untuk dipermasalahkan apakah pada hakekatnya ada atau tidak
ada. Namun demikian, hal ini tidak selamanya diterapkan secara
mutlak, karena dalam tanggung jawab mutlak sekalipun masih tetap
ada pengecualian yang membebaskan tergugat dari tanggung
jawabnya. Pengecualian yang dimaksud antara lain adalah keadaan
force majeure, atau suatu kondisi terpaksa yang terjadi karena keadaan
alam dan tidak mungkin dihindari.
e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan
Prinsip ini dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian
standar yang dibuat pelaku usaha. Semestinya merujuk pada UUPK,
pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang
merugikan konsumen, termasuk membatasi minimal tanggung
jawabnya karena harus ada peraturan perundang-undangan yang jelas
(Shidarta, 2004:73-80)
Pelaku usaha di bidang pangan wajib bertanggung jawab apabila
produk yang dihasilkan, termasuk dalam hal penggunaan bahan tambahan
makanan dalam produk pangan menimbulkan kerugian (product liability).
Mengenai tanggung jawab pelaku usaha secara umum, diatur dalam Pasal
19 ayat (1) dan (2) UUPK. UUPK telah menggunakan prinsip semi-strict
liability sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 Bab IV tentang
Tanggung Jawab Pelaku Usaha, sebagai berikut (Celina Tri Siwi
K,2008:106-107):
(1) Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/ jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang, atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak menghapuskan tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih
jelas mengenai adanya unsur kesalahan.
(5) Kesalahan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan kesalahan tersebut
merupakan kesalahan konsumen.
Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen ini, sejalan dengan ketentuan Pasal 41 Undang -
Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pasal 41 yang
menyebutkan bahwa :
(1) Badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan
dan atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi
tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggung
jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap
kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut.
(2) Orang perseorangan yang kesehatannya terganggu atau ahli waris
dari orang yang meninggal sebagai akibat langsung karena
mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan berhak mengajukan
gugatan ganti rugi terhadap badan usaha dan atau orang
perseorangan dalam badan usaha, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Dalam hal terbukti bahwa pangan olahan yang diedarkan dan
dikonsumsi tersebut mengandung bahan yang dapat merugikan dan
atau membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang
dilarang, maka badan usaha dan atau orang perseorangan dalam
badan usaha, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
mengganti segala kerugian yang secara nyata ditimbulkan.
(4) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal
badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha dapat
membuktikan bahwa hal tersebut bukan diakibatkan kesalahan atau
kelalaiannya, maka badan usaha dan atau orang perseorangan
dalam badan usaha tidak wajib mengganti kerugian.
Pelaku usaha yang menggunakan BTM pada produk pangan pada
umumnya dan pelaku usaha di bidang pengolahan pangan jajanan anak
pada khususnya wajib bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi atau
kompensasi sesuai dengan tingkat kerugian yang diderita oleh konsumen,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
apabila dalam penggunaan BTM tersebut menimbulkan kerugian bagi
konsumen. Tanggung jawab ini dapat diartikan sebagai tanggung jawab
para pelaku usaha untuk produk yang dibawanya kedalam peredaran, yang
menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada
produk tersebut. Kata produk diartikannya sebagai barang, baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak (tetap). Tanggung jawab itu dapat
bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan undang-undang
(gugatannya atas perbuatan melawan hukum), namun dalam tanggung
jawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir (tortuous liability).
Pelaku usaha bertanggungjawab secara langsung atas kerugian
yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan oleh
pelaku usaha yang menggunakan bahan tambahan berbahaya tersebut.
Pertanggungjawaban produk tersebut didasarkan pada perbuatan melawan
hukum (tortuous liability). Unsur-unsur dalam tortuous liability antara lain
adalah unsur perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian dan
hubungan kasualitas antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian
yang timbul. Unsur kesalahan merupakan salah satu syarat untuk meminta
pertanggungjawaban. Dengan demikian eksistensi unsur kesalahan masih
terkandung di dalamnya, namun dilakukan pengalihan beban pembuktian
unsur kesalahan tersebut dari penggugat (konsumen) kepada tergugat
(produsen) (shifting the burden of proof).
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
membebankan tanggung jawab kepada badan usaha yang memproduksi
pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan
usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut
bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap
kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut. Tanggung
jawab ini tidak hanya berlaku bagi badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun tidak, tetapi juga bagi orang perseorangan yang
diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut, khususnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
mereka yang bertanggung jawab di bidang pengawasan keamanan pangan
pada badan usaha yang bersangkutan.
Pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi apabila orang
perseorangan yang terganggu kesehatannya atau ahli waris orang yang
meninggal sebagai akibat langsung karena mengkonsumsi pangan olahan
yang diedarkan mengajukan gugatan ganti rugi, dan terbukti bahwa
pangan olahan yang diedarkan dan dikonsumsi tersebut mengandung
bahan yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia atau
bahan lain yang dilarang. Ganti rugi yang dimaksud setinggi-tingginya
500.000.000 juta rupiah untuk setiap orang yang dirugikan
kesehatan/kematian yang ditimbulkan. Apabila pelaku usaha yang
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999
tentang Pangan tidak diketahui / tidak berdomisili di Indonesia, pihak yang
bertanggung jawab membayar ganti rugi adalah orang yang mengedarkan
dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia.
Ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Pangan, hanya mewajibkan
pelaku usaha memberikan ganti rugi apabila orang perseorangan yang
terganggu kesehatannya atau ahli waris orang yang meninggal sebagai
akibat langsung karena mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan.
Dalam pasal ini tidak dijelaskan apabila dampak pangan yang
mengandung BTM yang mengancam manusia dalam jangka panjang.
Misalnya, kerusakan organ tubuh setelah dalam jangka panjang
mengkonsumsi makanan tertentu. Secara hukum, belum tegas dinyatakan
untuk memberikan sanksi pada efek jangka panjang karena sulit
dibuktikan.
Pasal 41 sampai dengan Pasal 44 Undang -Undang Nomor 7 Tahun
1996 tentang Pangan yang membebankan tanggung jawab industri pangan
untuk menjamin keamanan pangan yang diproduksinya, sejalan dengan
ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, yang menetapkan kewajiban para pelaku usaha
untuk menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa
yang berlaku. Sehingga tanggung jawab industri pangan merupakan aspek
penting dalam mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak konsumen
sebagai pemakai produk-produk pangan sebagaimana tersebut dalam
ketentuan Pasal 4 UUPK.
Menurut Erman Rajagukguk,dkk. yang mengutip pendapat
Nahattands V.Lambock menjelaskan bahwa tanggunggugat produk
merupakan terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia yang secara populer
sering disebut dengan “product liability” adalah suatu konsepsi hukum
yang intinya dimaksudkan memberikan perlindungan kepada konsumen
yaitu dengan jalan membebaskan konsumen dari beban untuk
membuktikan bahwa kerugian konsumen timbul akibat kesalahan dalam
proses produksi dan sekaligus melahirkan tanggung jawab produsen untuk
memberikan ganti rugi (Erman Rajagukguk, dkk, 2000:22).
Pelaku usaha bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang
ditimbulkannya. Tanggung jawab pelaku usaha berupa sanksi keperdataan,
sanksi administratif dan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UUPK.
Dalam hal ini, bukan hanya pelaku usaha yang bertanggung jawab, akan
tetapi pemerintah juga ikut bertanggung jawab berkaitan dengan fungsinya
memberikan pengawasan atas produk pangan yang beredar di pasaran.
3. Tanggung Jawab Pengawasan dan Pembinaan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen Produk Pangan
Untuk menjamin dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku
usaha serta tanggung jawab pelaku usaha maka dilakukan pembinaan dan
pengawasan dalam rangka penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan diatur dalam Pasal 29
dan Pasal 30 UUPK.
Pasal 29 UUPK menyebutkan bahwa :
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak
konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban
konsumen dan pelaku usaha.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan
konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan
koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Pasal 112 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Kesehatan menjelaskan bahwa Pemerintah berwenang dan bertanggung
jawab mengatur dan mengawasi produksi, pengolahan, pendistribusian,
makanan dan minuman. Lebih jelasnya bentuk pengawasan tersebut diatur
dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
menegaskan bahwa :
(1) Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha
dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa,
pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual
barang dan/atau jasa.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan
penjualan barang dan/atau jasa.
(3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
disebarluaskan kepada masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dan atau menteri teknis
terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang
tugas masing-masing.
Berdasar ketentuan Pasal 29 UUPK tersebut, tanggung jawab atas
pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen berada di tangan
pemerintah. Dalam melaksanakan pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen terkait produk pangan, pelaksanaannya
diserahkan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang
berkoordinasi dengan menteri dan/atau menteri teknis terkait. Terkait
dengan penggunaan bahan tambahan makanan pada produk makanan yang
dikonsumsi oleh anak, maka menteri yang melakukan pembinaan meliputi:
a. Menteri Perindustrian dan Perdagangan; dan
b. Menteri Kesehatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
Pasal 30 UUPK mengatur ketentuan mengenai pengawasan. Dalam
ketentuan tersebut dijelaskan bahwa pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangannya dilaksanakan oleh :
a. Pemerintah;
b. Masyarakat; dan
c. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
Pasal 30 ayat (2) menyatakan bahwa pengawasan oleh pemerintah
dilakukan oleh menteri dan/ atau menteri teknis terkait. Pengawasan
terhadap keamanan pangan yang mengandung BTM oleh pemerintah telah
dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
berkoordinasi dengan menteri kesehatan serta menteri perindustrian dan
perdagangan. Makanan berlabel diawasi dan dikendalikan BPOM-RI,
sedangkan makanan tidak berlabel oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Sebagai bentuk konsekuensi dari otonomi daerah, maka instansi
teknis pembinaan dan pengawasan berada di tangan pemerintah daerah.
Beberapa instansi yang terkait dengan pengawasan keamanan pangan
dalam penggunaan BTM adalah balai besar pengawasan obat dan makanan
(BBPOM), dinas kesehatan, dan dinas perindustrian dan perdagangan.
Pembinaan dan pengawasan yang dimaksud dalam praktiknya dilakukan
oleh Dinas Kesehatan yang berkoordinasi dengan BPOM terkait dengan
pemberian izin edar. Dalam rangka pengawasan kemanan, mutu dan gizi
pangan olahan baik yang diproduksi di dalam negeri atau yang
dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dalam
kemasan eceran sebelum diedarkan wajib memiliki surat persetujuan
pendaftaran yang diterbitkan oleh Kepala BPOM. Pangan olahan yang
akan didaftarkan harus memenuhi kriteria keamanan dan mutu pangan.
Parameter keamanan, yaitu batas maskimum cemaran mikroba, cemaran
fisik, dan cemaran kimia, termasuk kadar penggunaan BTM yang
ditambahkan dalam pangan. Parameter mutu, yaitu pemenuhan
persyaratan mutu sesuai dengan standar dan persyaratan yang berlaku serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
cara produksi pangan yang baik untuk pangan olahan yang diproduksi di
dalam negeri atau cara distribusi pangan yang baik untuk pangan olahan
yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia.
Pengawasan dan pembinaan salah satunya dilaksanakan
berdasarkan kewenangan dalam pemberian izin edar bagi produk makanan
olahan. Badan Pengawasan Obat dan Makanan melaksanakan pengawasan
dengan mengeluarkan kode MD untuk makanan produksi dalam negeri
dan kode ML untuk makanan produksi luar negeri. Pengawasan terhadap
produk makanan olahan yang beredar tidak hanya berhenti dengan
penerbitan izin MD dan ML, namun ditindaklanjuti dengan melakukan
pengambilan sampel pangan yang beredar di pasaran untuk diuji di
laboratorium.
Pengawasan terhadap barang yang telah beredar di pasaran
dilakukan oleh BPOM yang berkoordinasi dengan dinas kesehatan serta
dinas perindustrian dan perdagangan melakukan pengawasan terhadap
produk pangan, dalam hal ini produk makanan yang dikonsumsi anak yang
beredar di pasaran. Untuk pengawasan yang berada dibawah kewenangan
dari Dinas Kesehatan (Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota c.q Dinas
Kesehatan) adalah khusus untuk kategori pemberian izin khusus bagi
makanan hasil industri rumah tangga. Berdasarkan Surat Keputusan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor : HK.00.05.5.1640,
tanggal 30 April 2003 tentang Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan
Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga ( SPP-IRT ), industri
rumah tangga yang memproduksi pangan olahan wajib memiliki sertifikasi
produksi pangan industri rumah tangga yang dikeluarkan oleh dinas
kesehatan setempat (kabupaten/kota) dimana industri makanan rumah
tangga tersebut berada.
Berdasarkan klarifikasi yang telah penulis lakukan dengan pihak
dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surakarta, diperoleh fakta
bahwa di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surakarta terdapat
bidang pengawasan dan perlindungan konsumen yang mempunyai tugas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
pokok dan fungsi terkait dengan pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan perlindungan konsumen yaitu melaksanakan pengawasan
barang dan/jasa yang beredar di wilayah Kota Surakarta, meliputi barang
yang beredar di toko-toko, mall, swalayan, distributor, termasuk yang ada
di pasar. Pelaksanaan fungsi pengawasan ini dilaksanakan berdasarkan
amanat UUPK yang tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan
terhadap konsumen.
Pengawasan yang dilakukan terhadap barang yang beredar oleh
Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surakarta dilaksanakan oleh
tim rutin yang beranggotakan pihak-pihak interen dari Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Kota Surakarta. Tim rutin ini melaksanakan pengawasan
sebanyak 10 (sepuluh) kali dalam satu tahun anggaran dengan seratus
obyek.
Selain tim rutin, dibentuk pula tim terpadu yang melibatkan satuan
kerja perangkat daerah (SKPD) terkait, yang dalam pengawasan pangan
yang dikonsumsi anak yang beredar terkait penggunaan BTM, adalah
dinas perindustrian dan perdagangan serta dinas kesehatan. Pengawasan
yang dilakukan oleh tim terpadu ini biasanya dilakukan menjelang
momen-momen tertentu misalnya natal, hari raya idul fitri, tahun baru,dan
lain-lain. Pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kota Surakarta dilakukan dengan mengadakan sidak ke toko,
mall, distributor, swalayan untuk melakukan pengecekan terhadap
kesesuaian label, kandungan bahan tambahan berbahaya, tanggal
kadaluwarsa dan ketentuan-ketentuan lain yang terkait dengan keamanan
pangan. Dalam rangka pencegahan terhadap peredaran pangan yang tidak
sesuai ketentuan, maka Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota
Surakarta juga melakukan sidak ke grosir-grosir. Selain itu apabila diduga
suatu produk mengandung BTM yang tidak sesuai dengan ketentuan
(misal karena warnanya mencolok) atau makanan-makanan yang diperiksa
ditemukan indikasi mengandung bahan pengawet yang akan menimbulkan
dampak untuk kesehatan konsumen maka makanan tersebut akan diambil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
untuk selanjutnya diperiksa di laboratorium oleh Dinas Kesehatan Kota
Surakarta. Jika ternyata hasil laboratorium menyatakan bahwa pangan
yang bersangkutan positif mengandung BTM tidak sesuai dengan
ketentuan maka pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota
Surakarta akan melarang pelaku usaha yang bersangkutan untuk menjual
produk tersebut dan mengembalikan kepada pihak produsen agar barang
tersebut tidak beredar lagi di pasaran dengan dibuat dalam berita acara
yang ditandatangani piha pelaku usaha disertai komitmen dari pelaku
usaha (grosir/distributor) untuk tidak lagi mengedarkan produk yang
bersangkutan.
Selain melalui pengawasan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kota Surakarta juga melakukan upaya pembinaan terhadap pelaku usaha
di bidang pangan mengenai penggunan bahan tambahan makanan dan
bahaya bahan yang timbul bila tidak sesuai ketentuan. Penyuluhan
dilakukan terhadap pelaku usaha yang terdaftar di Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kota Surakarta.
Selanjutnya penulis memperhatikan pengawasan produk pangan
yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota Surakarta sebagai institusi
yang berwenang melakukan pengawasan terhadap industri rumah tangga
pangan dan makanan jajanan yang tidak berlabel di Kota Surakarta. Dinas
Kesehatan Kota Surakarta melakukan pengawasan baik terhadap makanan
berlabel maupun tidak berlabel. Dinas Kesehatan Kota Surakarta memiliki
kewenangan untuk memberikan izin bagi/sertifikasi bagi pelaku usaha
yang tergolong Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP).
Pelaku usaha industri rumah tangga pangan dalam rangka
pengurusan izin harus melalui tahapan kursus singkat/penyuluhan tentang
keamanan pangan yang dilakukan oleh Tim dari Dinas Kesehatan Kota
Surakarta. Penyuluhan meliputi pula sosialisasi peraturan perundangan
tentang keamanan pangan, penggunaan BTM, label dan iklan pangan.
Penyuluhan ini dimaksudkan agar pelaku usaha makanan industri rumah
tangga mempunyai pengetahuan mengenai cara produksi makanan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
bermutu dan aman, sehingga diharapkan pelaku usaha memproduksi
makanan yang aman untuk dikonsumsi, termasuk dalam penambahan
bahan tamahan makanan dalam produk makanan yang dikonsumsi anak.
Pengawasan yang dilakukan tidak hanya sebatas penerbitan izin
produk makanan hasil industri rumah tangga, melainkan juga setelah
produk tersebut beredar diikuti dengan kewajiban untuk melaksanakan
pemantauan dan penyuluhan keamanan pangan. Kegiatan pemantauan
dilakukan dengan pengambilan sampel terhadap produk pangan yang telah
dipasarkan untuk dilakukan pengujian di laboratorium.
Sertifikasi pemberian izin oleh dinas kesehatan kepada pelaku
usaha produk pangan industri rumah tangga mempunyai jangka waktu 3
(tiga) tahun. Setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun berakhir, maka harus
dilakukan registrasi ulang dan dilakukan pemeriksaan kembali mengenai
terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang ditetapkan dalam proses
produksi, termasuk mengenai penggunaan bahan tambahan dalam produk
pangan tersebut. Jangka waktu 3 (tiga) tahun tersebut dimaksudkan
sebagai sarana pemantauan survailan kemanan pangan.
Selain pengawasan terhadap makanan hasil industri rumah tangga,
pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Surakarta juga
menjangkau pangan tidak berlabel jajanan, meliputi jajanan yang dijajakan
di tempat (sentra pedagang) maupun yang dijajakan secara keliling. Untuk
jenis makanan jajanan siap saji yang biasanya mempunyai masa simpan
kurang dari 7 (tujuh) hari pada suhu kamar tidak ada kewajiban secara
hukum untuk mendaftarkan makanan yang dijajakannya baik kepada
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) maupun dinas kesehatan.
Pengawasan untuk makanan jajanan baik yang dijajakan di tempat
(sentra pedagang) makanan yang dijajakan secara keliling dilaksanakan
oleh Dinas Kesehatan Kota Surakarta dengan melakukan pemantauan atas
hygiene dan sanitasi pangan. Untuk jajanan anak yang dijajakan secara
keliling di sekolah-sekolah aspek pengawasan meliputi mutu dan
keamanan pangan. Pengawasan terhadap mutu pangan dilakukan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
melakukan pengujian terhadap kandungan gizi, sedangkan aspek
keamanan yaitu terkait dengan bahan tambahan yang terkandung di dalam
pangan apakah terjadi penyimpangan atau tidak. Pengawasan dilakukan
dalam rangka agar jajanan anak yang beredar di pasaran tidak
mengandung bahan berbahaya yang dapat mengganggu kesehatan
konsumen.
Apabila hasil pengujian di laboratorium terbukti menunjukkan
bahwa produk makanan anak yang dijajakan keliling mengandung bahan
tambahan yang dilarang bagi makanan dan /atau mengandung BTM yang
melebihi batas penggunaan sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/1998 tentang Bahan
Tambahan Makanan Juncto Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988
tentang Bahan Tambahan Makanan, maka terhadap pelaku usaha dan
konsumen produk makanan yang bersangkutan mula-mula akan dilakukan
tindakan represif.
Tindakan represif yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Surakarta
dapat berupa pendekatan kepada para pelaku usaha yang besangkutan,
penyuluhan mengenai bahaya penggunaan bahan tambahan yang dilarang,
memberian informasi baik kepada pelaku usaha maupun kepada konsumen
terkait penggunaan bahan tambahan terhadap produk makanan. Informasi
diberikan secara langsung di lapangan. Apabila setelah pembinaan
dilakukan dan pelaku usaha masih melakukan pelanggaran maka akan
dilakukan teguran baik secara lisan maupun secara tertulis. Dalam
melakukan pengawasan pelaku usaha keliling ini, Dinas Kesehatan Kota
Surakarta menemui kendala yaitu tempat pelaku usaha yang berdagang
secara berpindah-pindah menyulitkan petugas Dinas Kesehatan Kota
Surakarta dalam memberikan pembinaan jika ternyata setelah hasil
laboratorium keluar dan terbukti pelaku usaha yang bersangkutan
menggunakan BTM tidak sesuai ketentuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
Selain itu, upaya lain yang ditempuh adalah dengan melakukan
pendekatan kepada konsumen, dalam hal jajanan anak maka konsumen
yang dimaksud dalam hal ini adalah konsumen anak. Dalam kaitannya
dengan konsumen anak, dinas kesehatan menginformasikan kepada pihak
sekolah mengenai hasil pengkajian terhadap jajanan yang beredar di
lingkungan sekolahnya mengandung bahan yang berbahaya, agar
selanjutnya pihak sekolah menginformasikan kepada siswa-siswanya.
Selanjutnya terhadap pelaku usaha yang terbukti menggunakan bahan
berbahaya dalam makanan jajanan anak yang telah dilakukan pembinaan
dan terguran namun masih saja tidak mengindahkan peraturan mengenai
penggunaan BTM terhadap produknya, maka Dinas Kesehatan Kota
Surakarta dapat melaporkannya kepada aparat penegak hukum yang
berwenang, namun sampai saat ini belum ada kasus yang sampai
dilaporkan ke pejabat yang berwenang mengingat pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran adalah pelaku usaha kecil dengan modal terbatas
yang apabila diambil tindakan tegas akan mematikan usahanya. Selain itu
jumlah industri pangan rumahan yang terlalu banyak mengakibatkan
sulitnya pengawasan kandungan dalam produk makanan yang dihasilkan.
Disinyalir banyak campuran bahan makanan berbahaya yang
terkandung dalam industri makanan rumahan beredar luas di masyarakat,
khususnya di masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Yang paling
dominan dari produk-produk makanan yang mengandung zat berbahaya
ini banyak ditujukan untuk konsumen anak sekolah. Pada dasarnya
pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Surakarta dan
Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surakarta sudah dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan, namun terbatasnya sumber daya manusia dan
anggaran yang ada di Dinas Kesehatan Kota Surakarta dan Dinas
Perdagangan dan Perindustrian Kota Surakarta menjadi hambatan untuk
menjangkau seluruh obyek pengawasan. Pembinaan yang dilakukan
terhadap pelaku usaha yang biasa menjajakan makanan secara keliling pun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
belum ada program rutin yang dijalankan. Hal inilah yang menyebabkan
pengawasan yang dilakukan menjadi kurang berjalan efektif.
Indonesia menganut multiple agency system (sistem berbagai
lembaga) dalam pengorganisasian pengawasan mutu pangan. Kewenangan
pengawasan tersebar terlalu luas ke banyak kementerian dan lembaga.
Pengawasan dilakukan secara sektoral dan terpecah-pecah oleh lembaga-
lembaga nasional, provinsi, dan daerah/lokal. Pelaksanaan pengawasan di
lapangan dirasakan masih sangat lemah, padahal perangkat peraturan
perundang-undangan dalam perlindungan konsumen sudah cukup
memadai. Karena itu, perlu dilakukan harmonisasi ketentuan-ketentuan
yang ada agar terjalin koordinasi yang efektif antar instansi terkait. Akibat
belum adanya harmonisasi selama ini, pelaksanaan kontrol di lapangan
belum sepenuhnya berjalan efektif.
Pembagian tugas tiap lembaga dalam pengawasan pangan telah
tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004. Namun,
deskripsi spesifik tugas tiap lembaga belum jelas, sehingga tampak saling
tumpang tindih satu sama lain. Penerapan multiple agency system
membutuhkan sebuah lembaga khusus yang dapat menaungi peranan
lembaga-lembaga lain, sehingga wewenang pengawasan mutu dapat
terpadu dan terpusat. Selain itu, lemahnya kewenangan dan daya rentang
kendali BPOM sebenarnya dapat diperkuat dengan segera membuat
Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan.
Selain pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah melalui dinas-
dinas terkait, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
(LPKSM) juga memiliki peranan penting dalam rangka memberikan
perlindungan kepada konsumen agar hak-hak konsumen dipenuhi. Pasal
10 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pengawasan dan
Pembinaan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa
pengawasan yang dilakukan oleh LPKSM dilakukan terhadap barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar yang diduga tidak memenuhi unsur
keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keselamatan konsumen dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
cara penelitian, pengujian dan atau survei. Hasil pengawasan dapat
disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri
dan menteri teknis. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi
tentang resiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label,
pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dalam dunia
usaha.
Berdasarkan klarifikasi yang telah penulis lakukan terhadap pihak
yayasan kepedulian untuk konsumen anak (Yayasan Kakak), sebagai
lembaga yang telah terdaftar di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota
Surakarta sebagai LPKSM diketahui bahwa Yayasan Kakak bergerak di
bidang perlindungan konsumen dengan segmen khusus bagi konsumen
anak. Dalam rangka melaksanakan perlindungan terhadap konsumen anak
Yayasan Kakak telah melakukan kegiatan monitoring jajanan anak yang
beredar masyarakat. Lingkup pengawasan yang dilakukan adalah terhadap
produk yang beredar di supermarket, toko-toko dan pasar tradisional yang
menjual makanan kering yang dibungkus dalam kemasan dan belum
menjangkau jajanan anak yang diperjual belikan secara keliling oleh
pelaku usaha rumahan ke sekolah-sekolah. Pada tahun 1997 Yayasan
Kakak melakukan melakukan analisis label terhadap 73 merk makanan
kemasan, selanjutnya pada tahuan 2007 dilakukan penelitian terhadap pola
konsumsi anak terhadap makanan jajanan yang dilakukan di Kalurahan
Sangkrah Kota Surakarta. Menjelang hari raya Idul Fitri tahun 2008
Yayasan Kakak juga melakukan monitoring terhadap barang yang beredar
di pasar. Hasil dari monitoring ini akan diinformasikan kepada publik
dalam bentuk tulisan dan melalui siaran radio. Selain disampaikan kepada
masyarakat Yayasan Kakak juga melakukan hearing terhadap hasil
pengawasan yang dilakukan dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kota Surakarta. Pengawasan yang dilaksanakan oleh Yayasan Kakak
terhadap peredaran produk yang beredar di pasar belum dapat dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
secara berkala/rutin, hal ini dikarenakan terbatsnya sumber daya manusia
dan anggaran yang dimiliki Yayasan Kakak.
Selain itu, dalam rangka memberikan perlindungan bagi
konsumen anak Yayasan Kakak juga pernah melaksanakan road show ke
beberapa sekolah dasar di kota Surakarta untuk memberikan pendidikan
konsumen kepada anak-anak, misalnya mengenai bahaya BTM,
bagaimana memilih makanan yang aman, ciri makanan yang mengandung
borak, pewarna, agar anak menjadi konsumen yang kritis dan mampu
melindungi dirinya sendiri. Yayasan Kakak juga menerima pengaduan dari
konsumen yang merasa dirugikan hak-haknya untuk memberikan bantuan
hukum, namun sampai saat ini Yayasan Kakak belum pernah menerima
pengaduan terkait konsumen anak yang dirugikan hak-haknya akibat
mengkonsumsi jajanan anak yang mengandung BTM. Jarangnya
konsumen anak yang melaporkan kerugian yang dialami akibat
mengkonsumsi jajanan anak yang mengandung bahan tambahan makanan
dikarenakan nilai kerugian yang diderita tidak terlalu besar. Dampak
jangka pendek akibat mengonsumsi makanan yang mengandung BTM
biasanya hanya muntah, pusing, mual, alergi sehingga konsumen tidak
terlalu memperhatikan. Masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian
konsumen tentang keamanan pangan tercermin dari sedikitnya konsumen
yang menuntut produsen untuk menghasilkan produk pangan yang aman
dan bermutu serta klaim konsumen jika produk pangan yang dibeli tidak
sesuai informasi yang tercantum pada label maupun iklan. Pengetahuan
dan kepedulian konsumen yang tinggi akan sangat mendukung usaha
peningkatan pendidikan keamanan pangan bagi para produsen pangan.
Sampai saat ini memang peran Yayasan Kakak lebih condong kepada
upaya preventif atau pencegahan untuk melindungi konsumen anak.
Dengan adanya pembinaan dan pengawasan diharakan pemenuhan
hak-hak konsumen dapat terjamin dan sebaliknya pelaksanaan tanggung
jawab terjamin dan sebaliknya kewajiban pelaku usaha sebagai produsen
dapat dipastikan. Upaya perlindungan terhadap konsumen, khususnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
konsumen anak tidak akan bisa berjalan tanpa adanya pengawasan baik
oleh pemerintah, masyarakat maupun lembaga perlindungan konsumen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di dalam bab sebelumnya, maka
dapat disimpulkan bahwa:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
belum mampu memberikan perlindungan hukum bagi anak terhadap
penggunaan BTM dalam jajanan anak. Belum ada pasal-pasal dalam UUPK
yang secara eksplisit memberikan perlindungan khusus bagi anak sebagai
golongan konsumen yang tidak terinformasi. Memang pengertian konsumen
dalam UUPK tidak membedakan konsumen berdasarkan usia, sehingga anak
juga termasuk subyek yang dilindungi dalam UUPK, namun dikarenakan
pengaturan dalam UUPK dan peraturan-peraturan lain yang bersifat sektoral
mengenai penggunaan bahan tambahan makanan dalam produk pangan masih
bersifat umum sehingga belum mampu secara efektif dalam memberikan
perlindungan terhadap konsumen anak.
2. Dalam penggunaan BTM dalam produk pangan yang dikonsumsi anak, pelaku
usaha bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap
kesehatan orang lain yang mengkonsumsinya (Pasal 41 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan). Jika dikaitkan dengan hak
konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang mengandung resiko
terhadap keamanan konsumen, wajib disertai informasi yang benar, jelas dan
jujur, karena tanggung jawab erat kaitannya dengaan kewajiban. Mencermati
konsepsi tanggung jawab pelaku usaha tersebut apabila dikaitan dengan
penggunaan BTM dalam produk jajanan anak, dari sisi pelaku usaha tanggung
jawab untuk menjamin keamanan pangan dan memberikan informasi belum
sepenuhnya terpenuhi. Memang pelaku usaha pabrikan (industri besar) yang
memproduksi jajanan anak umumnya telah memenuhi tanggung jawabnya
dalam menjamin keamanan pangan dengan menggunaan BTM yang diizinkan
dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
3. Bahan Tambahan Makanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 dan
memberikan informasi yang jelas dalam label tentang kandungan BTM yang
digunakan, namun pelaku usaha kecil menengah belum sepenuhnya
memenuhi tanggung jawab tersebut. Pelaku usaha kecil menengah umumnya
belum mengetahui mengenai peraturan penggunaan BTM dalam produk
pangan, sehingga dalam penggunaan BTM dalam jajanan anak pelaku usaha
tersebut belum menjamin keamanan produk pangan yang dihasilkan. Selain itu
tangggung jawab untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai penggunaan BTM juga belum dilaksanakan dengan baik oleh
industri rumah tangga pangan. Hal ini mengakibatkan pemenuhan hak-hak
konsumen anak atas keamanan dalam mengkonsumsi produk makanan belum
terpenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa Law in Action dari UUPK belum
sesuai dengan Law in The Book (ketentuan yang tertuang dalam teori). Pelaku
usaha harus memahami bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk
memberikan apa yang menjadi hak konsumen diantaranya adalah memberikan
informasi dan menjamin keamanan pangan yang diproduksi dan diedarkan
sesuai dengan UUPK dalam penggunaan BTM dalam produk jajanan anak, hal
tersebut terkait dengan keamanan dan keselamatan konsumen anak sebagai
generasi penerus bangsa.
B. Saran
1. Bagi pemerintah : hendaknya memperketat pengawasan peredaran zat-zat
berbahaya yang dilarang untuk ditambahkan ke dalam makanan sehingga
tidak membuka peluang bagi pelaku usaha yang bergerak di bidang jajanan
anak untuk melakukan penyimpangan dalam penggunaan bahan tambahan
makanan dan pemerintah seharusnya mengambil tindakan tegas bagi pelaku
usaha yang terbukti melakukan penyimpangan dalam penggunaan bahan
tambahan makanan. Selain itu pemerintah diharapkan lebih proaktif dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
melaksanakan tanggung jawab pembinaan terhadap konsumen dan pelaku
usaha.
2. Bagi pelaku usaha: diharapkan dapat beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usaha dan lebih menyadari tanggug jawabnya dalam menjaga keamanan
pangan.
3. Bagi konsumen : perlu dilakukan sosialisasi mengenai hak-hak konsumen
sebagaimana telah dilindungi oleh UUPK untuk lebih meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman konsumen.