Pert Terpadu

download Pert Terpadu

of 16

Transcript of Pert Terpadu

  • 8/3/2019 Pert Terpadu

    1/16

    2002 Program Pasca Sarjana IPB Posted 27 October,2002Group 6 PresentationScience Philosophy (PPs 702)Graduate Program / S3Institut Pertanian BogorOctober 2002

    Instructors:Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

    Prof Dr Zahrial CotoDr Bambang Purwantara

    PERTANIAN TERPADU SUATU STRATEGIUNTUK MEWUJUDKAN PERTANIANBERKELANJUTAN

    OLEH :

    KELOMPOK 6La Ode Safuan (AGR)

    Irba U. Warsono (PTK)Gusti Ayu K.S. (AGR)

    Luluk Prihastuti E (AGR)Sri Wahyuni (IPN)

    Hestin (AGR)Eva Oktavidiati (AGR)

    Endang Hernawan (IPK)R u d i (IPK)

    Desyanti (IPK)Elis NH (IPK)

    Made Suwena (BIO)I. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Pengaruh jangka panjang dari perkembangan dunia pertanian dan industri

    dalam sistem petanian moderen, ternyata menghasilkan dampak negatif yang besar

    terhadap ekosistim alam. Pencemaran oleh bahan-bahan kimia beracun akibat

    tingginya intensitas pemakaian pupuk, pestisida dan herbisida telah lama diketahui.

    Demikian pula dengan ketahanan (resistensi) hama yang semakin meningkat

    terhadap pestisida akibat penyemprotan yang semakin tinggi serta pencemaran air

    tanah maupun sungai oleh senyawa nitrat akibat peggunaan pupuk yang berlebihan.

    Pertanian moderen juga telah mengurangi keragaman spesies tanaman secara

    drastis akibat penerapan sistem monokultur secara besar-besaran. Ekosistem alam

    yang semula tersusun sangat kompleks, berubah menjadi ekosistem yang

    mailto:[email protected]:[email protected]
  • 8/3/2019 Pert Terpadu

    2/16

    susunannya sangat sederhana akibat berkurangnya spesies tanaman tersebut. Hal

    ini bertentangan dengan konsep pertanian berkelanjutan, yang selain memperhatikan

    pemenuhan kebutuhan manusia yang selalu meningkat dan berubah, sekaligus

    mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber

    daya alam.

    Sistem pertanian semakin tergantung pada input-input luar sebagai berikut :

    kimia buatan (pupuk, pestisida), benih hibrida, mekanisasi dengan pemanfaatan

    bahan bakar minyak dan juga irigasi. Konsumsi terhadap sumber-sumber yang tidak

    dapat diperbaharui, seperti minyak bumi dan fosfat sudah dalam tingkat yang

    membahayakan. Bersamaan dengan meningkatnya kebutuhan akan produk

    pertanian, maka teknologi baru untuk pengembangan varietas baru, seperti jagung,

    padi, gandum serta tanaman komersial lainnya juga nampak semakin menantang.

    Namun demikian, pemanfaatan input buatan yang berlebihan dan tidak seimbang,

    bisa menimbulkan dampak besar, bukan hanya terhadap ekologi dan lingkungan,

    tetapi bahkan terhadap situasi ekonomi, sosial dan politik diantaranya dengan adanya

    ketergantungan pada impor peralatan, benih serta input lainnya. Akibat selanjutnya

    adalah menyebabkan ketidakmerataan antar daerah dan perorangan yang telah

    memperburuk situasi sebagian besar petani lahan sempit yang tergilas oleh revolusi

    hijau (Sach, 1987 dalam Reijntjes, Haverkort, dan Bayer, 1999).

    Dalam rangka memasuki revolusi hijau kedua ini kita belajar dari kenyataan

    bahwa teknologi maju dan mahal akan memproduksi barang yang mahal pula

    termasuk makanan. Pengkajian kembali teknologi yang tidak hanya berorientasi

    kepada penggunaan energi secara maksimal dan intensif akan tetapi juga berusaha

    menerapkan low input sustainable agriculture (LISA). Untuk Indonesia dan negara

    berkembang lainnya, dua tujuan harus tetap sejalan dan seimbang yaitu peningkatan

    produktivitas dan produksi di satu pihak dan pencapaian keberlanjutan sistem

    produksi, peningkatan kesejahteraan petani dan pelestarian lingkungan di lain pihak

    yang memerlukan langkah terobosan di bidang penelitian (Tiharso, 1992).

    Untuk mengantisipasi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan, maka sangatdibutuhkan adanya suatu sistem pertanian yang efisien dan berwawasan lingkungan,

    yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya setempat secara optimal bagi

    tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan.

    1.2. Permasalahan

  • 8/3/2019 Pert Terpadu

    3/16

    Peningkatan input energi seperti pupuk kimia, pestisida maupun bahan -bahan

    kimia lainnya dalam pertanian dengan tanpa melihat kompleksitas lingkungan

    disamping membutuhkan biaya usahatani yang tinggi, juga merupakan penyebab

    utama terjadinya kerusakan lingkungan. Penggunaan pupuk dan pestisida di luar

    kontrol akan dapat merusak tanah dan tolerannya suatu jenis hama dan penyakit

    tertentu terhadap pestisida disamping juga dapat menghilangkan jenis predator dan

    parasitoid yang bermanfaat. Bahan-bahan kimia tersebut dapat tetap tinggal sebagai

    residu pada hasil tanaman, tanah tercuci ke dalam air sungai akibatnya dapat

    berbahaya bagi kehidupan manusia maupun hewan.

    Dari uraian di atas, maka dapat diketahui permasalahan-permasalahan yang

    ada dan akan muncul dalam usaha peningkatan produksi pertanian selama ini, yaitu

    diantaranya :

    1. Penggunaan paket teknologi seperti pupuk anorganik dan pestisida secara tidak

    terkontrol dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan, disamping

    dibutuhkan biaya usahatani yang tinggi.

    2. Berkurangnya keragaman spesies tanaman secara drastis akibat penerapan

    sistem monokultur secara besar-besaran. Ekosistem alam yang semula tersusun

    sangat kompleks, berubah menjadi ekosistem yang susunannya sangat sederhana

    akibat berkurangnya spesies tanaman tersebut.

    3. Adanya ketergantungan pada impor peralatan, benih serta input lainnya

    menyebabkan dibutuhkan biaya usahatani yang semakin tinggi.

    4. Adanya ketidakmerataan antar daerah dan perorangan yang telah memperburuk

    situasi sebagian besar petani lahan sempit yang tergilas oleh revolusi hijau

    Melihat permasalahan-permasalahan tersebut, guna mempertahankan dan

    meningkatkan produksi pertanian sekaligus menjaga kelestarian lingkungan, maka

    pengelaolaan sumberdaya secara efektif dari segi ekologi maupun ekonomi mutlak

    dilakukan. Pertanyaan yang timbul kiranya langkah-langkah apa saja yang mungkin

    dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut ?

    1.3. TujuanSehubungan dengan permasahan-permasalahan yang dihadapi dalam usaha

    pembangunan petanian, dikaitkan dengan beberapa alternatif pemecahan masalah

    yang akan dikemukan pada bab II berikut, maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk

    mengkaji lebih jauh peluang-peluang yang mungkin dapat dilakukan dalam usaha

    mewujudkan pertanian berkelanjutan melalui pertanian secara terpadu.

  • 8/3/2019 Pert Terpadu

    4/16

    II. ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

    2.1. Pengertian Sistem Pertanian BerkelanjutanSistem usahatani tradisional sebahagian terbukti berkelanjutan, tetapi sistem

    ini dipandang terlalu lamban untuk dapat memenuhi perkembangan kebutuhan

    pangan dan kebutuhan masyarakat lainnya yang sejalan dengan proses

    pembangunan dan kemajuan yang makin cepat. Modifikasi dan peningkatan sistem

    tradisional ini diperlukan dengan masukan unsur teknologi unggul hasil penelitian

    tanpa mengabaikan sifat keberlanjutan. Sistem pertanian berkelanjutan bukan

    merupakan sistem usahatani tradisional yang stagnan tanpa masukan input dari luar,

    melainkan dengan menggunakan input luar secara arif mendasarkan pada

    produktivitas tinggi jangka panjang dengan pertimbangan sosio-ekonomi, budaya dan

    pemeliharaan sumber daya alam serta lingkungan. Oleh karena itu dalam

    menerapkan pertanian berkelanjutan diperlukan dukungan sumberdaya manusia,

    pengetahuan dan teknologi, permodalan, hubungan produk dan konsumen, serta

    masalah keseimbangan misi pertanian dalam pembangunan.

    Suatu agroekosistem yang keanekaragamnnya tinggi akan memberi jaminan

    yang lebih tinggi bagi petani. Namun, keanekaragaman tidak selalu mengakibatkan

    kestabilan, bahkan dapat menyebabkan ketidakstabilan jika komponen-

    komponennya tidak dipilih dengan baik, misalnya beberapa jenis pohon merupakan

    inang hama atau penyakit berbahaya bagi tanaman; dan tanaman, hewan atau pohon

    bisa bersaing dalam ketenagakerjaan, unsur hara dan air (Dover dan Talbot, 1987).

    Jika keanekaragaman fungsional bisa dicapai dengan mengkombinasikan spesies

    tanaman dan hewan yang memiliki sifat saling melengkapi dan berhubungan dalam

    interaksi sinergetik dan positif, maka bukan hanya kestabilan yang dapat diperbaiki,

    namun juga produktivitas sistem pertanian dengan input yang lebih rendah.

    Komponen-komponen agroekosistem juga bisa sinergetik dalam fungsinya,

    misalnya barisan tumbuhan pada garis luar suatu bidang lahan yang mengkonservasi

    air dan tanah serta memproduksi pakan ternak dan bahan pangan; pagar tanaman di

    sekitar lahan untuk melindungi dari serangan hewan atau angin sekaligus sebagai

    penghasil bahan bakar, pangan, pakan hewan atau obat - obatan. Tanaman dan

    hewan yang bermanfaat ganda sangatlah penting. Baik tanaman maupun hewan

    mengkombinasikan berbagai fungsi misalnya, rumput untuk pagar hidup dan sebagai

    pakan hewan, atau hewan yang menghasilkan pupuk kandang, susu dan tenaga serta

    berfungsi sebagai cadangan modal.

  • 8/3/2019 Pert Terpadu

    5/16

    Pemanfaatan keanekaragaman fungsional sampai pada tingkat yang

    maksimal mengakibatkan sistem pertanian yang kompleks dan terpadu yang

    menggunakan sumberdaya dan input yang ada secara optimal. Tantangannya adalah

    menemukan kombinasi tanaman, hewan dan input yang mengarah pada produktivitas

    yang tinggi, keamanan produksi serta konservasi sumberdaya yang relatif sesuai

    dengan keterbatasan lahan, tenaga kerja dan modal.

    2.2. Alternatif Pemecahan Masalah

    Beberapa alternatif yang dapat dikemukakan dalam usaha mewujudkanpertanian berkelanjutan melalui pertanian secara terpadu adalah dengan cara :sistem tanam ganda; komplementari hewan ternak dan tumbuhan; usaha terpadupeternakan dan perkebunan; agroforestry; pemeliharaan dan peningkatansumberdaya genetik; dan pengelolaan hama terpadu2.2.1. Sistem Tanam Ganda (Multiple cropping)

    Pertanaman ganda (Multiple cropping), yaitu intensifikasi pertanaman

    dalam dimensi waktu dan ruang. Bentuknya adalah penanaman dua jenis tanaman

    atau lebih pada lahan yang sama dalam kurun waktu satu tahun. Menurut bentuknya,

    pertanaman ganda ini dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : pertanaman

    tumpangsari (Intercropping) dan pertanaman berurutan (Sequential Cropping).

    Hampir semua petani dengan lahan sempit di daerah tropis masih terus melakukan

    budidaya ganda. Selama dua dasawarsa yang lalu, para ilmuwan semakin menyadari

    bahwa hal ini merupakan praktek yang sangat cocok untuk memaksimalkan produksi

    dengan input luar yang rendah sekaligus meminimalkan resiko dan melestarikan

    sumberdaya alam. Secara lebih khusus, manfaat-manfaat budidaya ganda bagi

    petani lahan sempit berikut ini telah diidentifikasikan (Papendick et al., 1976; Beets

    1982; Francis 1986; Altieri 1978; Hoof 1987) :

    Pada hampir semua sistem budidaya ganda yang dikembangkan oleh petani

    lahan sempit, tingkat produktivitas yang dapat dipanen per satuan luas lebih tinggi

    dari pada budidaya tanam tunggal dengan tingkat pengelolaan yang sama.

    Keuntungan panen bisa berkisar antara 20 % sampai 60 % (Steiner 1984; Francis

    1986). Perbedaan ini sebagai akibat berbagai faktor, seperti tingkat pertumbuhan

    yang lebih tinggi, penurunan kerugian yang disebabkan oleh gulma, serangga danpenyakit serta pemanfaatan yang lebih efisien terhadap sumber daya air, sinar

    matahari dan unsur hara yang ada.

    Kalau beberapa tanaman budidaya tumbuh sekaligus, kegagalan salah satu

    tanaman dapat dikompensasikan oleh tanaman yang lain (baik itu sebagai hasil

  • 8/3/2019 Pert Terpadu

    6/16

    panen sebenarnya ataupun dalam hal nilai uangnya). Hal ini mengurangi resiko

    usaha tani.

    Sistem budidaya ganda, khususnya dengan rumput dan pohon perennial,

    tampaknya kurang rentan terhadap erosi tanah (karena penutupan tanah lebih baik

    dan lebih banyak penghalang pada aliran air dan udara). Sistem tersebut juga lebih

    baik dalam memanfaatkan ruang yang ada bagi pertumbuhan akar dan tajuk,

    mendaur ulang air dan unsur hara yang ada dengan lebih efisien dan memiliki

    kapasitas penyangga yang lebih besar terhadap periode ataupun peristiwa yang

    merugikan (kekeringan, serangan hama, kebutuhan uang tunai dalam jumlah besar

    secara mendadak dan sebagainya) dibanding sistem budidaya tanaman tunggal.

    Dengan kata lain, mereka memanfaatkan dan memberikan perlindungan yang lebih

    baik pada modal usahatani alami.

    Untuk meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani di lahan kering

    dapat dilakukan melalui pertanaman secara tumpangsari, karena pertanaman secara

    tumpangsari pada lahan kering dapat memelihara kelembaban dan kadar air tanah

    serta mengurangi erosi dan meningkatkan kesuburan tanah (Samosir, 1996).

    Tumpangsari merupakan salah satu bentuk program intensifikasi pertanian

    alternatif yang tepat untuk melipatgandakan hasil pertanian pada daerah-daerah yang

    kurang produktif. Keuntungannya adalah selain diperoleh panen lebih dari sekali

    setahun, juga menjaga kesuburan tanah dengan mengembalikan bahan organik yang

    banyak dan penutupan tanah oleh tajuk tanaman. Dalam sistem pertanaman

    tumpangsari, agar diperoleh hasil yang maksimal maka tanaman yang

    ditumpangsarikan harus dipilih sedemikian rupa sehingga mampu memanfaatkan

    ruang dan waktu seefisien mungkin serta dapat menurunkan pengaruh kompetitif

    yang sekecil-kecilnya (Prajitno, 1988). Selanjutnya Harera dan Moris (1984)

    menjelaskan bahwa jenis tanaman yang digunakan dalam tumpangsari harus memiliki

    pertumbuhan yang berbeda, bahkan bila memungkinkan dapat saling melengkapi.

    Tanaman tumpangsari jagung dapat dilakukan dengan padi gogo, palawija lain atau

    sayuran yang dilakukan dengan tujuan ; (1) penganekaragaman penggunaanmakanan, (2) mengurangi resiko kegagalan panen, dan (3) meningkatkan intensitas

    tanam (Sutoro, Soelaeman dan Iskandar, 1988 dalam Safuan dan Boer, 2000).

    Tabel 1. Rata-rata nilai LER sistem pertanaman tumpangsari jagung dengan padigogo dan kacang-kacangan serta nilai setelah dikonversi ke rupiah/ha.

    Perlakuan LER Nilai Jual (Rp)Jagung 1 6.516.670

  • 8/3/2019 Pert Terpadu

    7/16

    PadiKedelaiKacang HijauKacang TanahJagung/PadiJagung/Kedelai

    Jagung/Kacang HijauJagung/Kacang Tanah

    1111

    1.341.08

    1.471.35

    8.790.3302.413.3304.041.6708.800.000

    10.386.6705.006.660

    7.636.67010.333.330

    Sumber : Safuan dan Boer (2000)Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai LER untuk semua jenis tumpangsari lebih

    besar dari satu, yang berarti bahwa tumpangsari menguntungkan. Nilai LER tertinggi

    diperoleh pada tumpangsari jagung dengan kacang hijau sebesar 1,47. Nilai tersebut

    menunjukkan bahwa terdapat keuntungan sebesar 47% apabila dilakukan

    tumpangsari jagung dengan kacang hijau, selanjutnya diikuti oleh LER jagung dengan

    kacang tanah sebesar 1,35 dan jagung dengan padi gogo sebesar 1,34 dan yang

    terendah adalah jagung dengan kedelai sebesar 1,08 yang berarti bahwa keuntungan

    tumpangsari hanya 0.8%.

    Berdasarkan hasil pendapatan kotor maka pendapatan tertinggi diperoleh

    pada tumpangsari jagung dengan padi gogo sebesar Rp. 10.338.670 dan jagung

    dengan kacang tanah sebesar Rp. 10.333.330.

    2.2.2. Komplementari Hewan Ternak dan Tumbuhan

    Integrasi sumber-sumber hewan ternak dan tumbuhan untuk memperoleh out

    put biomassa yang optimal dalam lingkungan ekologi dan sosio-ekonomi tertentu

    harus menjadi tujuan dalam sistem pertanian berkelanjutan. Interaksi yang sesuai

    diantara komponen-komponen harus menghasilkan respon komplementari (saling

    melengkapi) dan sinergetik sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi

    produksi dan memperkuat viabilitas ekonomi dari sistem pertanian yang terpadu.

    Menurut CAST (1988) bahwa strategi terbaik untuk menciptakan viabilitas ekonomi

    adalah fleksibilitas sistem pertanian dalam produksi pangan dan sandang.

    Fleksibilitas usaha tersebut dapat dicapai melalui penurunan biaya input dan

    peningkatan diversifikasi usaha. Suatu perpaduan agro-ekosistem harus mampu

    memberikan pengaruh stabilitas yang tinggi terhadap fluktuasi jangka pendek dalam

    harga komoditas.

    Sumber daya yang paling terbatas dalam sistem pertanian berkelanjutan

    secara umum adalah kemampuan pengelolaan yang diperlukan untuk

    mengembangkan dan memelihara diversifikasi usaha pada tingkatan optimal. Sistem

  • 8/3/2019 Pert Terpadu

    8/16

    pertanian monokultur lebih banyak diusahakan dan umumnya kurang kompleks

    dibandingkan sistem pertanian campuran atau integrasi.

    Sistem produksi ternak herbivora yang dikombinasi dengan lahan-lahan

    pertanian dapat disesuaikan dengan keadaan tanaman pangan. Ternak tidak

    berkompetisi pada lahan yang sama. Tanaman pangan dengan komponen utama

    dan ternak menjadi komponen kedua. Ternak dapat digembalakan di pinggir atau

    pada lahan yang belum ditanami dan pada lahan setelah pemanenan hasil sehingga

    ternak dapat memanfaatkan limbah tanaman pangan, gulma, rumput, semak dan

    hijauan pakan yang tumbuh disekitar tempat tersebut. Sebaliknya ternak dapat

    mengembalikan unsur hara dan memperbaiki struktur tanah melalui urin dan

    fecesnya. Mott (1974) melaporkan bahwa dari nitrogen tumbuhan dan mineral yang

    dimakan hewan di areal penggembalaan, sekitar 75 95 persen nitrogen dan 90

    95 persen mineral dikembalikan ke tanah. Contoh penerapan sistem ini di Sumatera

    dilaporkan bahwa sumbangan ternak terhadap total hasil usahataninya adalah

    sebanyak 17 persen, sedangkan di Cina sebanyak 29 persen (Moningka, dkk.,

    1993).

    2.2.3. Usaha Terpadu Peternakan dan PerkebunanSistem tumpangsari tumbuhan dan ternak pada umumnya banyak

    dipraktekkan dengan tanaman perkebunan. Tujuan sistem ini adalah untuk

    pemanfaatan lahan secara optimal, namun belum banyak mendapat perhatian. Di

    dalam sistem tumpangsari ini tanaman perkebunan sebagai komponen utama dan

    tanaman rumput dan ternak yang merumput diatasnya merupakan komponen kedua.

    Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa integrasi antara tanaman perkebunan dan

    peternakan dapat meningkatkan kualitas tanah, produksi kelapa, produksi kopra, hasil

    buah sawit segar dan keuntungan ekonomis serta meningkatkan hasil ternak,

    menurunkan biaya penyiangan dan mempermudah pengumpulan buah kelapa.

    Moningka dkk. (1993) menjelaskan keuntungan-keuntungan dari sistem ini antara lain

    : (1) tersedianya tanaman peneduh bagi ternak sehingga dapat mengurangi stress

    karena panas, (2) meningkatkan kesuburan tanah melalui proses kembaliya air seni

    dan feces ke dalam tanah, (3) meningkatkan kualitas pakan ternak, membatasi

    pertumbuhan gulma, (4) mengurangi penggunaan herbisida, (5) meningkatkan hasil

    tanaman perkebunan dan (6) meningkatkan keuntungan ekonomis termasuk hasil

    ternaknya.

  • 8/3/2019 Pert Terpadu

    9/16

    Pola keterpaduan dalam usahatani dengan pemanfaatan areal pertanaman

    kelapa masih belum nampak nyata, disebabkan masih merupakan usaha sampingan

    atau tradisional. Akibatnya petani lambat menerima inovasi dan ternak belum dapat

    ditangani dengan serius. Padahal adanya sistem yang demikian mempunyai nilai

    positif baik bagi tanaman rumput atau ternak maupun tanaman kelapa. Keuntungan

    yang diperoleh dengan keberadaan sistem peternakan di bawah pohon kelapa berupa

    : (1) menaikan sumber pendapatan petani, (2) menekan kompetisi gulma dan biaya

    pengendalian gulma, (3) sumber makanan ternak, (4) produksi manur untuk

    memelihara kesuburan tanah, dan (5) pemanfaatan tataguna tanah yang baik.

    Padang pengembalaan di bawah perkebunan kelapa di daerah tropis sangat

    baik untuk penggembalaan ternak. Hal ini harus diikuti dengan manajemen padang

    pengembalaan yang baik, supaya kontinyuitas produksi dan kualitas tanaman

    makanan dapat dipertahankan dan produksi utama tidak dirugikan (Shelton, 1987).

    Pemeliharaan ternak ruminansia bersamaan dengan perkebunan harus terus

    dikembangkan dan diperbaharui agar dicapai suatu kondisi yang optimal untuk semua

    komponen produksi.

    Penambahan tanaman legum pada padang rumput, diharapkan dapat

    menaikan nitrogen dan bahan organik tanah di daerah-daerah yang tererosi dan

    kurang kesuburannya yang disebabkan oleh pengelolaan tanah yang buruk. Peranan

    leguminosa pada padang pengembalaan, mampu memanfaatkan nitrogen bebas dari

    udara dengan bantuan rhizobium di dalam nodul-nodul leguminosa tersebut. Di

    dalam nodul inilah bakteri bertempat tinggal dan berkembang biak serta dapat

    melakukan kegiatan fiksasi nitrogen bebas dari udara. Oleh karena itu, penanaman

    campuran merupakan sumber dari protein dan mineral yang berkadar tinggi bagi

    ternak, juga memperbaiki kesuburan tanah. Selanjutnya Reksohadiprodjo (1981)

    menyatakan bahwa fungsi leguminosa dalam padang pengembalaan adalah

    menyediakan atau dapat memberikan nilai makanan yang lebih baik terutama protein,

    fosfor dan kalsium.

    Untuk mepertahankan pertumbuhan tanaman, baik untuk tanaman kelapamaupun untuk tanaman selanya, perlu dilakukan pemupukan. Pupuk yang diberikan

    dapat berupa pupuk buatan atau pupuk organik. Pupuk organik seperti pupuk

    kandang sangat membantu dalam memperbaiki sifat-sifat tanah sperti permeabilitas

    tanah, porositas tanah, struktur tanah, daya menahan air dan kapasitas tukar kation

    tanah. Disamping itu, pupuk kandang juga dapat memperbaiki sifat biologi dan kimia

  • 8/3/2019 Pert Terpadu

    10/16

    tanah, sehingga dapat memperbaiki lingkungan perakaran tanaman yang nantinya

    dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta memperoleh

    hasil yang lebih tinggi (Hardjowigeno, 1989). Dalam sistem usaha terpadu

    peternakan dan tanaman perkebunan, maka kebutuhan pupuk kandang dapat

    dipenuhi dari kotoran ternak yang diusahakan secara bersama-

    sama.

    2.2.4.Agroforestry

    Pengembangan pertanian komersil khususnya tanaman musiman

    mensyaratkan perubahan sistem produksi secara total menjadi monokultur dengan

    masukan energi, modal dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar.

    Di pihak lain sistem-sistem produksi asli (salah satunya agroforestry) selalu

    dianggap sebagai sistem yang hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri.

    Dukungan terhadap pertanian komersial petani kecil lebih diarahkan sebagai upaya

    penataan kembali secara keseluruhan sistem produksi, ketimbang sebagai

    pendekatan terpadu mengembangkan sistem-sistem yang sudah ada. Agroforestry

    umumnya dianggap sebagai kebun dapur, tidak lebih dari sekedar pelengkap sistem

    pertanian lain, hanya khusus untuk konsumsi sendiri, dan menghasilkan hasil-hasil

    ikutan seperti kayu bakar (Michon, 1985).

    Agroforestry mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat.

    Peran utama agroforestry bukanlah produksi bahan pangan melainkan sebagai

    sumber penghasilan pemasukan uang dan modal. Seringkali agroforestry menjadi

    satu-satunya sumber uang tunai keluarga petani. Agroforestry memasok 50 - 80%

    pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produksi langsung dan kegiatan lain

    yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan dan pemasaran hasilnya

    (Michon, 1985) . Contoh kegiatan tersebut misalnya adalah aktivitas penanaman

    hutan dengan sistem tumpangsari, kegiatan penebangan, aktivitas angkutan hasil

    hutan, pembinaan industri rakyat, pembinaan sutra alam, lebah madu dan sebagainya

    (DS Fattah, 1999b).

    Keunikan konsep pertanian komersil agroforestry adalah karena bertumpupada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak berkonsentrasi pada satu spesies

    saja. Produksi komersial ternyata sejalan dengan produksi dan fungsi lain yang lebih

    luas. Hal ini menimbulkan beberapa konsekuensi menarik bagi petani.

    Di daerah-daerah tropis, agroekosistem yang secara ideal mendekati ekosistem

    klimaks merupakan sistem agroforestri, yaitu di daerah-daerah yang lebih kering,

  • 8/3/2019 Pert Terpadu

    11/16

    sistem yang menyerupai savana dengan pohon-pohon disana sini, semak belukar dan

    rumput-rumputan perennial dan di daerah-daerah yang lebih lembab, sistem yang

    menyerupai hutan-hutan yang lebih lebat.

    Dalam rancangan agroforestri ini, ciri ekosistem alami digabungkan dengan

    kebutuhan usaha tani. Penutupan tanah yang lebih baik diperoleh dengan

    memasukan spesies perennial dan /atau dengan menebarkan tanaman yang

    menutupi permukaan tanah. Ini akan mengurangi pengaruh dari hujan secara

    langsung, menahan sedimen dan mengurangi evaporasi sehingga akan tersedia lebih

    banyak air. Tajuk vegetatif dan seresah akan mengurangi suhu tanah dan akhirnya

    mengurangi kecepatan dekomposisi dan mineralisasi. Keanekaragaman spesies

    tanaman, misalnya dengan tajuk dan perakaran yang berbeda, dapat meningkatkan

    sumberdaya yang tersedia di atas dan di bawah permukaan tanah dan dapat

    memanfaatkannya secara efisien. Sebagai contoh adalah sinar matahari dengan

    pengaturan tajuk yang lebih baik, atau volume unsur hara dan air tanah dengan

    pengakaran yang lebih dalam dan struktur akar yang lebih baik sehingga menurunkan

    perembesan unsur hara.

    Meskipun tidak memungkinkan akumulasi modal secara cepat dalam bentuk

    aset-aset yang dapat segera diuangkan, diversifikasi tanaman merupakan jaminan

    petani terhadap acaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko

    perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga satu

    komoditas, spesies ini dapat dengan mudah dibiarkan saja, hingga suatu saat

    pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak mengakibatkan

    gangguan ekologi terhadap sistem kebun. Petak kebun tetap utuh dan produktif dan

    spesies yang ditelantarkan akan tetap hidup dalam struktur kebun dan selalu siap

    untuk dipanen sewaktu-waktu. Sementara itu spesies-spesies baru dapat

    diperkenalkan. Akan tetap ada tanaman yang siap dipanen, malahan komoditas baru

    dapat diperkenalkan tanpa merobah sistem produksi yang ada.

    Ciri keluwesan yang lain adalah perubahan nilai ekonomi yang mungkin

    dialami beberapa spesies. Sepsies yang sudah puluhan tahun berada di dalam kebundapat tiba-tiba mendapat nilai komersil baru akibat evolusi pasar, atau pembangunan

    infrastruktur seperti pembangunan jalan baru.

    Agroforestry juga memang berperan sebagai kebun dapur yang memasok

    bahan makanan pelengkap (sayuran, buah, rempah, bumbu). Selain itu melalui

    keanekaragaman sumber nabati dan hewani agroforestri dapat menggantikan peran

  • 8/3/2019 Pert Terpadu

    12/16

    hutan alam dalam menyediakan hasil-hasil yang akhir-akhir ini semakin langka dan

    mahal seperti kayu, rotan, bahan atap, tanaman obat dan binatang buruan.

    Tabel 2. Perincian Pendapatan Rata-rata Petani per Tahun per Hektar menurut JenisTanaman di Kebun Campuran Selama Tahun 1996.

    Strata

    Pendapatan Rata-rata (Rp/th/ha) Jumlah

    Bambu T. Pokok T. Kebun T. Buah Palawija

    I 167.804 1.468.293 111.463 192.195 113.170 2.052.925

    II 471.578 2.273.684 21.052 133.414 110.526 3.010.254

    III 687.500 5.589.286 153.571 535.714 385.714 7.351.785

    Rata-rata

    442.294 3.110.421 95.362 287.107 203.137

    Sumber : Riva (1998).2.2.5. Pemeliharaan dan Peningkatan Sumberdaya Genetik

    Penggunaan benih varietas unggul sudah tidak dapat dipisahkan dari sistemproduksi pertanian terutama tanaman pangan yang masih menggunakan benih

    sebagai satu-satunya sumber perbanyakan tanaman. Penggunaan varietas unggul

    memang secara nyata dapat meningkatkan hasil panen, namun pada dasarnya

    varietas unggul merupakan varietas yang memiliki respon tinggi terhadap dosis

    pemupukan tinggi sehingga apabila dikembangkan pada daerah yang menggunakan

    input luar dalam tingkat yang rendah, maka resiko kerugian hasil panen akan menjadi

    lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lokal.

    Promosi varietas unggul telah mengakibatkan banyak sekali varietas lokal yanghilang (erosi genetik). Ini berarti bencana bagi petani yang harus menghasilkan

    tanaman dengan input luar yang rendah dalam kondisi yang beragam dan rawan

    resiko, juga untuk alasan ekonomi maupun ekologi harus berproduksi dengan input

    kimia yang lebih sedikit pada masa yang akan datang, padahal mereka memiliki

    sumberdaya alam termasuk varietas lokal yang cukup potensial untuk

    dikembangkan .

    Untuk menunjang pertanian berkelanjutan yang menggunakan faktor-faktor

    penunjang produksi (pupuk dan pestisida) dalam jumlah minimal, maka diperlukansuatu perbaikan sistem pengadaan benih ditingkat petani menuju pada sistem benih

    unggul lokal yang lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang

    menguntungkan. Oleh karena itu ditingkat petani perlu diarahkan untuk dapat

    mengelola sumberdaya genetik yang dimiliki (varietas unggul lokal) dengan sebaik-

  • 8/3/2019 Pert Terpadu

    13/16

    baiknya, baik dalam hal konservasi varietas, penanganan, maupun penyimpanan

    benih hingga benih siap digunakan.

    Konservasi semacam ini sangat penting dilakukan sebagai suatu pendekatan

    yang berorientasi pada petani dalam memasok benih. Suatu pendekatan yang dapat

    diupayakan dalam pengelolaan sumberdaya genetik adalah pembentukan unit-unit

    suplai benih yang dibuat dengan cara membentuk unit-unit pertanian kecil untuk

    memproduksi benih unggul yang cukup memadai untuk kebutuhan lokal. Tentu saja

    para petani tersebut memerlukan arahan dari unit-unit inspeksi benih terpusat. Jika

    petani telah terbiasa dengan teknik tersebut, mereka dapat mengambil alih perawatan

    penangkaran hingga akhirnya menjadi yayasan benih yang bisa memenuhi kebutuhan

    sendiri. Pengadaan benih dapat dilakukan pada tingkat desa dengan teknik-teknik

    yang bersifat padat karya sehingga mengurangi biaya transportasi, yang sekarang

    menjadi bagian utama yang menentukan harga benih. Apabila sistem ini telah

    berjalan dengan baik maka kebutuhan petani terhadap 4 (empat) tepat benih ( tepat

    mutu, jumlah, waktu, dan harga) dapat terpenuhi.

    2.2.6. Pengelolaan Hama TerpaduPengendalian hama terpadu adalah upaya mengendalihan tingkat populasi atau

    tingkat serangan organisme terhadap tanaman dengan menggunakan dua atau lebih

    teknik pengendalian dalam satu kesatuan untuk mencegah atau mengurangi kerugian

    secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup. Perlindungan tanaman dilakukan

    melalui kegiatan pencegahan, pengendalian dan eradikasi. Dalam

    perkembangannya, istilah pengendalian berubah menjadi pengelolaan untuk lebih

    menekankan pada usaha untuk mengurangi populasi organisme yang harus ditangani

    secara terus menerus sejak dari penanaman, misalnya dengan menentukan jenis

    tanaman , cara pembukaan lahan, penggarapan tanah, jarak tanam, dan sebagainya.

    Oleh karena itu istilah pengelolaan hama terpadu dianggap lebih tepat dibandingkan

    dengan pengendalian hama terpadu.

    Konsep pengelolaan hama terpadu ini sangat sesuai dengan konsep yang

    diusulkan oleh Peterson pada tahun 1973 yaitu : 1) Secara terpadu memperhatikan

    semua hama penting, 2) Tidak bertujuan untuk mendapatkan suatu keadaan yang

    bebas hama, tetapi untuk mengendalikan populasi hama agar kerusakan yang terjadi

    selalu di bawah ambang ekonomi, 3) Menggabungkan berbagai cara yang

    kompatibel. Sesedikit mungkin memakai cara buatan tetapi lebih mementingkan

  • 8/3/2019 Pert Terpadu

    14/16

    penekanan hama oleh faktor-faktor alami, 5) Selalu didasari oleh pertimbangan

    ekologi.

    Berdasarkan konsep tersebut maka konsep pengelolaan hama terpadu yang

    lebih sempuna adalah perlu melibatkan pemerintah seperti Direktorat Imigrasi dimulai

    dari pencegahan masuknya hama dari luar negri. Untuk lebih jelasnya, konsep

    pengelolaan yang lebih sempuna yaiu : 1) Pengendalian hama tumbuhan dengan

    peraturan-peratutan pemerintah. Hama-hama dari luar negri dicegah masuknya

    dengan peraturan karantina, sedangkan penyakit yang baru saja masuk dicoba

    dihilangkan dengan usaha eradikasi agar tidak meluas, 2) Penanaman kultivar yang

    tahan penyakit dan berproduksi tinggi, 3) Pengendalian dengan cara kultur teknis, 4)

    Pengendalian dengan cara biologis, 5) Pengendalian secara fisik, serta alternatif

    terakhir, 6) Pengendalian secara kimia.

    Pengelolaan penyakit pada pertanian berkelanjutan harus didasari dengan

    kesadaran akan lingkungan, dan kesadaran akan biaya. Jika kerusakan berat sekali

    dan semua usaha yang dilakukan tidak memberikan hasil, maka tanaman tersebut

    harus diganti

    III. P E N U T U P

    Guna mempertahankan dan meningkatkan produksi pertanian sekaligus

    menjaga kelestarian lingkungan, maka pengelaolaan sumberdaya secara efektif dari

    segi ekologi maupun ekonomi mutlak dilakukan. Berbagai bentuk pendekatan yang

    dapat diterapkan, diantaranya adalah : sistem tanam ganda; komplementari hewan

    ternak dan tumbuhan; usaha terpadu peternakan dan perkebunan; agroforestry;

    pemeliharaan dan peningkatan sumberdaya genetik; dan pengelolaan hama terpadu

    Berbagai pendekatan tersebut di atas dilaksanakan secara terpadu, dan untuk

    mendukung keberkelanjutannya, harus di dukung oleh inovasi teknologi yang di

    rancang berdasarkan kesesuaian dengan kondisi wilayah baik bio-fisik maupun

    sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal.

    DAFTAR PUSTAKA

    Anonim, 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan. Agroforestri Khas Indonesia. SebuahSumbangan Masyarakat. International Centre For Research In Agroforestry.Bogor, Indonesia.

    Coumber of Agricultural Science & Technology (CAST). 1988. Longterm Viability ofU.S Agriculture. CASR Report No.114

    Dover,M. dan Talbot,L.M., 1987. To Feed The Earth: agroecology for sustainabledevelopment. Washington DC : World Resources Intitute.

  • 8/3/2019 Pert Terpadu

    15/16

    DS Fattah, Abdul., 1999a. Strategi Pengelolaan Hutan Indonesia Sebagai Amanah.Pola Aneka Sejahtera.

    _____________., 1999b. Rimbawan Amanah. Debut Press.

    Francis,C.A., 1986. Introduction : Distribution and Importance of Multiple Cropping.In C.A. Francis (editor) Multiple Cropping Systems. Macmillan Publishing Co.,

    New York.

    Hardjowigeno, S., 1989. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta

    Harera, W.T. dan r.A. Morris., 1984. Polycultur Research in Multiple Cropping.Departemen IRRI Los Banos Laguna. The Philippines.

    Michoom, G., 1985. De Ihomme de la foret au paysan de I arbre. AgroforestriesIndonesiannes. PhD. Thesis. University of Montpellier. France.

    Monika, WT et al. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas MaretUniversitas Press. Surakarta.

    Motr.1974. Nutrient Recycling in Pastures. In D.A. Mays (editor) Forage Fertilization.American Society of Agronomy Madison, Wisconsin.

    Prajitno, D., 1988. Pengelolaan Teknologi Produksi Tanaman Dalam MemantapkanSwasembada Pangan Khususnya di Lahan marginal. Kertas Kerja disajikanpada Diskusi Panel PERAGI, Bogor.

    Reijntjes,C., B.Haverkot dan A. W. Bayer., 1999. Pertanian Masa Depan Pengantaruntuk Pertanian berkelanjutan Dengan Input Luar Rendah.kanisius.Yogyakarta.

    Reksohadiprodjo, S., 1981. Produksi Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE UGM.Yogyakarta.

    Riva,W.F., 1998. Pengelolaan Kebun Campuran Tradisional dan KontribusinyaTerhadap Pendapatan Rumah Tangga. Studi Kasus di Kampung Naga

    Salawu Jawa Barat. Dalam Kehutanan Masyarakat Beragam Pola PartisipasiMasyarakat Dalam Pengelolaan Hutan. IPB dan The Ford Foundation. Hal.37 47.

    Sadjad, S., 1993. Dari Benih Kepada Benih. PT. Grasindo. Jakarta.

    Safuan,L.O. dan D. Boer., 2000. Peningkatan Produktivitas Lahan Kering Melaluisystem Pertanaman Tumpangsari Tanaman Jagung Dengan Padi Gogo danKacang-Kacangan. Agriplus. Nomor 27 : 44-50.

    Samosir, S.S.R., 1996. Pengelolaan Lahan Kering. Makalah disampaikan padaSeminr Nasional II Budidaya Lahan Kering. Dalam Rangka Dies Natalis XVUnhalu, Kendari.

    Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada UniersityPress. Jogjakarta.

    Shelton, H.M., 1987. Improvement of Forage Productivity in Plantation Crop. ACIARBord of Management Thirtyfirst Meeting.

    Triharso, 1992. Pembangunan Pertanian Berwawasan Lingkungan YangBerkelanjutan. ISAAA 1992. http:// psi.ut.ac.id/Jurnal/5triharso.htm. 1-25.9/23/2002.

  • 8/3/2019 Pert Terpadu

    16/16

    Triharso, 1994. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada University Press.Jogjakarta.