Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

20
1 Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations melalui Symbolic Politics (Studi Kasus Baju Kotak-kotak dan “Blusukan” Jokowi Pra dan Pasca Pilgub DKI Jakarta Tahun 2012) Anita Fitria Sari Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok Jalan Lingkar Kampus Raya, Depok, 16424, Indonesia Email: [email protected] Abstrak Skripsi ini mengangkat topik mengenai praktik dari pendekatan political public relations yang dilakukan Jokowi pada masa pra (“to winphase) dan pasca (“to governphase) Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 dengan memanfaatkan strategi politik simbol (symbolic politics) berupa simbol politik Baju Kotak-kotak dan blusukan. Melihat dari perspektif kritis, penelitian ini bertujuan menguak proses di balik pendekatan political public relations Jokowi terkait dengan keberhasilannya menggalang dukungan suara dan memenangkan pemilihan yang terbilang mustahil dalam kalkulasi politik karena keterbatasan modal politik, serta terciptanya konsistensi dukungan partisipasi masyarakat Jakarta atas segala kebijakan yang diberlakukan Jokowi. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui teknik wawancara mendalam. Dari hasil penelitian diketahui bahwa narasi politik menjadi elemen kunci dari simbolisasi politik Jokowi yang berhasil menciptakan kesadaran semu (false consciousness) dengan cara mensistematisir kesadaran dalam rangka melanggengkan dukungan masyarakat. Abstract This thesis is discussing about Jokowi’s political public relations practice on pra (“to win” phase) and pasca (“to givern” phase) Jakarta Local Governor Election 2012 through symbolic politics which is expressed in form of Baju Kotak-kotak and “Blusukan”. Using critical prespective, this research is aimed to croak the real process of the approach which successfully brought Jokowi to gain high total votes dan won the election which is impossible in political calculation since his limited political capital; and also creates the consistency of local society high antusiasm to every single policies that he run. From the findings it is then known that political narrative is the key element of Jokowi political symbolization which is mindfully creating false consciousness by systemizing human consciousness in order to eternalize public supports. Keywords: Jokowi, political public relations, symbolic politics, baju kotak-kotak, blusukan, false consciousness Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Transcript of Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

Page 1: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

1    

Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations melalui Symbolic Politics (Studi Kasus Baju Kotak-kotak dan “Blusukan” Jokowi Pra dan Pasca

Pilgub DKI Jakarta Tahun 2012)

Anita Fitria Sari Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia,

Kampus UI Depok Jalan Lingkar Kampus Raya, Depok, 16424, Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Skripsi ini mengangkat topik mengenai praktik dari pendekatan political public relations yang dilakukan Jokowi pada masa pra (“to win” phase) dan pasca (“to govern” phase) Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 dengan memanfaatkan strategi politik simbol (symbolic politics) berupa simbol politik Baju Kotak-kotak dan blusukan. Melihat dari perspektif kritis, penelitian ini bertujuan menguak proses di balik pendekatan political public relations Jokowi terkait dengan keberhasilannya menggalang dukungan suara dan memenangkan pemilihan yang terbilang mustahil dalam kalkulasi politik karena keterbatasan modal politik, serta terciptanya konsistensi dukungan partisipasi masyarakat Jakarta atas segala kebijakan yang diberlakukan Jokowi. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui teknik wawancara mendalam. Dari hasil penelitian diketahui bahwa narasi politik menjadi elemen kunci dari simbolisasi politik Jokowi yang berhasil menciptakan kesadaran semu (false consciousness) dengan cara mensistematisir kesadaran dalam rangka melanggengkan dukungan masyarakat.

Abstract

This thesis is discussing about Jokowi’s political public relations practice on pra (“to win” phase) and pasca (“to givern” phase) Jakarta Local Governor Election 2012 through symbolic politics which is expressed in form of Baju Kotak-kotak and “Blusukan”. Using critical prespective, this research is aimed to croak the real process of the approach which successfully brought Jokowi to gain high total votes dan won the election which is impossible in political calculation since his limited political capital; and also creates the consistency of local society high antusiasm to every single policies that he run. From the findings it is then known that political narrative is the key element of Jokowi political symbolization which is mindfully creating false consciousness by systemizing human consciousness in order to eternalize public supports. Keywords: Jokowi, political public relations, symbolic politics, baju kotak-kotak, blusukan, false consciousness

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 2: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

2    

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 3: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

3    

1. Latar Belakang Perubahan langgam politik dari demokrasi perwakilan menjadi sistem pemilihan

langsung pasca runtuhnya konstruksi Orde Baru tahun 1998 (Sanit, 2002; Budiarjo, 1983) melahirkan agenda reformasi politik multipartai dan multicaleg (www.balipost.co.id, 18 November 2008). Agenda tersebut menyebabkan kompetisi yang ketat antarkandidat di ajang pemilihan kepala daerah sekaligus memaksa kandidat mau tidak mau mengadopsi, memodifikasi, dan mengimplementasikan berbagai strategi pemenangan dalam rangka mendapatkan dan/atau melanggengkan kekuasaan (frozen democracy). Political public relations kemudian muncul sebagai alternatif pendekatan yang banyak dimanfaatkan oleh kandidat untuk menjawab tantangan dinamika politik tersebut (Yutanti, 2004).

Pada dasarnya pendekatan political public relations merupakan ekspansi dari konsep traditional public relations ke ranah politik (Corthell, 2008). Pendekatan ini menawarkan cara membangun hubungan yang saling menguntungkan untuk mencapai tujuan politik tertentu dengan publik pemangku kepentingan utama maupun sekunder (Baines dalam Stromback dan Kiousis, 2011). Selain mengedepankan kemenangan saat pemilihan (“to win” phase), pendekatan ini juga menekankan relasi jangka panjang dengan konstituen pasca keterpilihan kandidat (“to govern” phase). Dalam konteks kontestasi politik di Indonesia, pendekatan political public relations ini dilaksanakan oleh politisi populis Joko Widodo (Jokowi) di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta tahun 2012.

Pendekatan political public relations yang dilakukan oleh Jokowi tidak hanya berhasil memenangkan Pilgub Jakarta yang terbilang mustahil dalam kalkulasi politik (“to win” phase), tetapi juga mampu menciptakan konsitensi antusiame masyarakat Jakarta untuk mendukung segala program Jokowi pasca keterpilihannya sebagai Gubernur DKI Jakarta periode jabatan 2012-2017 (“to govern” phase). Dilihat dari modal politik, Jokowi mutlak kalah jika dibandingkan dengan kandidat lainnya. Tingkat popularitas dan elektabilitas Jokowi hanya sebesar 17% (www.beritasatu.com, 27 Mei 2012) dan sulit untuk dinaikkan dalam tempo singkat. Selain itu, Jokowi juga hanya diusung oleh PDI-P dan Partai Gerindra (Lindawaty, 2012) serta pendanaan kampanye yang tidak lebih dari Rp 16 miliar (www.m.sindonews.com, 3 Agustus 2012). Ada juga faktor sentimen negatif karena pasangan Jokowi (Basuki Tjahaja Purnama) dinilai kurang representatif dari mayoritas segmen agama penduduk Jakarta (www.m.news.viva.co.id, 1 Juli 2012).

Anomali politik terjadi saat Jokowi langsung mengungguli pasangan incumbent di putaran pertama dengan perolehan suara mencapai 42,6% dan bertahan stabil di putaran kedua dengan perolehan suara sebesar 53,82% (KPUD Jakarta, 2012). Namun di saat bersamaan, anomali tersebut menunjukkan keberhasilan tim profesional Jokowi dalam mengidentifikasi konteks sosial, politik, dan historis dan membungkus figur Jokowi sesuai orientasi pemilih (Gadis, 2013) salah satunya diekspresikan ke dalam bentuk simbol-simbol politik yang tidak biasa atau inconventional political symbols berupa Baju Kotak-kotak dan blusukan Jokowi.

Konsistensi Jokowi dalam hal berpakaian dan cara berkampanye menjadikan Baju Kotak-kotak dan blusukan sebagai simbol politik ―atau penggunaan bentuk simbol-simbol tertentu di ranah politik dalam rangka mempresentasikan makna spesifik (Choudhury, 2004) guna menstimulasi sikap dan/atau tindakan politik tertentu (Kaufman, 2006)― yang mengarahkan ingatan masyarakat pada Jokowi (www.m.okezone.com, 29 Maret 2012) beserta profil historisnya ketika menjabat sebagai Walikota Solo. Selain fungsi asosiatif, Baju Kotak-kotak dan blusukan juga memiliki kekuatan (power) yang mampu menggerakkan kekuatan massa sehingga masyarakat dengan sukarela memberikan dukungan suaranya kepada Jokowi. Kekuatan simbol politik (political symbols) yang dimiliki Baju Kotak-kotak dan blusukan Jokowi dibuktikan melalui fenomena Jokowi

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 4: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

4    

Effect, yakni sebuah kepercayaan menggalang dukungan publik dengan meminjam popularitas Jokowi melalui imitasi strategi kampanye maupun atribut badaniah yang dikenakan Jokowi di Pilgub Jakarta 2012 (www.megapolitan.kompas.com, 1 September 2013).

Sebuah survei menyatakan bahwa atribut, kesamaan partai politik, maupun koalisi partai tidak berpengaruh terhadap keputusan pemilih (Lindawaty, 2012). Dengan kata lain, survei tersebut mengatakan bahwa dalam tataran pemain politik pun (meliputi kandidat yang mewakili partai politik maupun tim sukses) kekuatan simbol politik Baju Kotak-kotak dan blusukan mampu menciptakan kesadaran semu (false consciousness) ― pemain politik seolah buta atas fakta bahwa kesamaan atribut tidak berpengaruh terhadap keputusan pemilih dan tetap menjadikan simbol politik Jokowi tersebut sebagai alternatif pendongkrak popularitas dan mobilisator keberpihakan suara masyarakat.

Berbeda dengan Baju Kotak-kotak yang terlihat lebih berperan pada masa kampanye, simbol politik blusukan terlihat menonjol setelah Jokowi secara resmi dilantik dan menjalankan amanah masyarakat sebagai Gubernur Jakarta (“to govern” phase). Jokowi menggunakan simbol politik blusukan untuk meninjau langsung penanganan masalah-masalah di Jakarta, misalnya saat Jokowi memandori sendiri perbaikan tanggul Latuharhary yang jebol dan menyebabkan banjir ketika hujan deras menerjang Jakarta dalam beberapa hari pada pertengahan Januari 2013 (www.wartakota.tribunnews.com, 19 Januari 2013). Efeknya dari pelaksanaan simbol politik blusukan terlihat dari tingginya antusiasme masyarakat terhadap berbagai program kebijakan maupun proyek-proyek yang dicetuskan Jokowi. Salah satu contoh dukungan masyarakat pada tingkat ekstrim adalah, ancaman masyarakat yang akan menduduki kantor DPRD DKI Jakarta bila Jokowi benar dimakzulkan (www.republika.co.id, 27 Mei 2013) karena dinilai menghabiskan dana anggaran pemerintah Jakarta.

Di titik ini, simbol politik inconventional blusukan Jokowi juga diindikasikan telah menciptakan kesadaran semu (false consciousness) sehingga masyarakat dengan sukarela memberikan dukungan mereka pada semua kebijakan yang diberlakukan Jokowi dan berharap Jokowi akan membawa perubahan serupa seperti yang telah dilakukannya di Solo. Padahal tidak semua program yang dicanangkan Jokowi dapat direalisasikan secara sempurna. Contohnya adalah terlantar proyek pembangunan pasar tradisional seperti Pasar Windu Jenar, Pasar Ngarsopuro, dan masih banyak pasar lainnya (www.chirpstory.com, 17 September 2012), serta meningkatnya angka kemiskinan Kota Solo hingga mencapai 16% selama masa kepemimpinannya (www.beritaprima.com, 25 Agustus 2012). Namun fakta-fakta tersebut seolah tidak berpengaruh terhadap rasional keberpihakan masyarakat Jakarta sehingga mereka tetap dengan sukarela memberikan dukungannya (yang berupa partisipasi aktif dalam pelaksanaan program kebijakan) kepada Jokowi.

Beranjak dari pemaparan di atas, penelitian ini bertujuan untuk menguak proses di balik pendekatan political public relations yang dinyatakan dalam pertanyaan berikut:

RQ: Bagaimana pendekatan political public relations melalui strategi symbolic politics yang dilakukan Jokowi mampu mempertahankan dukungan masyarakat dari fase pra hingga pasca Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012?

2. Tinjauan Teoritis Political Public Relations

§ Pendekatan Political Public Relations Berbeda dengan komunikasi politik menjelaskan interaksi antara aktor politik, jurnalis,

dan opini publik, political public relations berfokus pada cara aktor politik mempengaruhi

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 5: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

5    

sejumlah gatekeepers untuk meraih konstituen (Chaffee, 1975; Franklin, 1994; McNair, 1995; Negerine, 1996; dalam Jackson, 2010). Jackson (2010) membedakan cara meraih konstituen ini ke dalam 8 kategori, meliputi:

1. Political relations with publics, yaitu jenis pendekatan yang mengumpulkan data tentang pemilih untuk bahan penyusunan pesan kampanye yang ditujukan untuk target khalayak yang spesifik,

2. Grunigian political paradigm, yaitu jenis pendekatan yang mendasarkan prinsip pembangunan hubungan saling menguntungkan. Adapun hasil riset dimanfaatkan secara asimetris untuk kepentingan partai politik atau kandidat daripada untuk menciptakan situasi yang saling menguntungkan (win-win situation),

3. Political hype, yaitu pendekatan yang membuat ‘kegaduhan’ atau publisitas untuk meraih konstituen,

4. The Art of Persuasion, yaitu pendekatan yang memanfaatkan beragam cara untuk mengubah sikap dan perilaku para pemilih,

5. Political relationship management, yaitu jenis pendekatan yang memelihara hubungan baik dengan pressure group dan lobbying group untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah (Kovacs, 2001; dalam Jackson, 2010).

6. Political reputation management, yaitu jenis pendekatan yang biasa digunakan untuk mengembalikan reputasi positif kandidat maupun partai politik, atau untuk motif diferensiasi,

7. Political Relations in Publics, yaitu pendekatan yang meraih elektorat dengan cara mendorong aliran informasi di dalam masyarakat (Ruler dan Vercic, 2002; dalam Jackson, 2010) dan pandangan-pandangan minoritas (Jackson, 2010) yang biasanya diwujudkan melalui proses dialogic (Bruning, Dials, dan Shirka, 2007),

8. Political community building, yaitu jenis pendekatan yang meraih elektorat dengan cara menciptakan perasaan sebagai komunitas atau sense of community, misalnya melalui program community building dan community development.

§ Pengembangan dan Diseminasi Pesan Politik Agar berfungsi efektif sebagai touch points dalam mempengaruhi pilihan suara

masyarakat, pengembangan pesan politik seringkali didasarkan pada hasil polling atau focus group discussion (FGD) (Lees-Marshment 2001, Worcester dan Baines 2006, Lilleker dan Negrine 2006; dalam Jackson, 2010; Converse, 1987) dan informasi dari kegiatan market intelegence (McLeod, Kosicki, dan Rucinski, 1988; dalam Bryant dan Thompson, 2002). Selain itu, efektivitas dan efisiensi pesan politik ditentukan oleh:

1. cara pengemasan, misalnya melalui televised pseudo events (Louw, 2009: 248-249 dalam Koch, 2011) yang sebenarnya adalah bentuk edukasi elektorat perihal sosok kandidat dan visi-misi programnya, dan lain-lain;

2. cara penyampaian, misalnya langsung disampaikan oleh news sources, melalui intermediasi media sebagai second hand reality, maupun third party opinion;

3. pemilihan saluran komunikasi, terdiri dari pertimbangan karakteristik tiap segmen target konstituen, jenis media yang biasa digunakan sebagai sumber referensi informasi, kecepatan dan tingkat distorsi informasi media.

Ketatnya kompetisi di ranah politik seringkali mendesak para praktisi political public relations untuk melakukan spinning atau spin doctoring– bagaimana sebuah fakta diolak-alik sehingga yang awalnya bersifat destruktif atau merugikan kandidat berubah menjadi positif atau menguntungkan kandidat (Morris dan Goldsworthy, 2008). Contoh spinning adalah pemanfaatan kelemahan lawan sebagai pondasi pembangunan blunder politik.

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 6: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

6    

§ Kampanye Elektoral Kampanye adalah rangkaian acara yang dirancang untuk berkomunikasi dengan

sekelompok audiens tertentu dan menggalang dukungan dari audiens tersebut (Lilleker, 2006). Untuk konteks kontestasi politik, Farell dan Schmit-Beck (2004; dalam Lilleker, 2006:58) menyebutnya dengan istilah kampanye pemilihan atau kampanye elektoral (political election campaign). Akumulasi kekecewaan publik kepada para politisi dimana perhatian mereka meningkat tajam pada masa pemilihan dan seketika hilang saat kandidat telah resmi terpilih (Blumler, 1996; Kaid dkk., 2008; Musialowska, 2008:23; dalam Koch, 2011) melahirkan alternatif permanent campaign.

Permanent campaign adalah perluasan penggunaan public relations yang tidak hanya dilakukan dalam masa kampanye (pemilihan) tetapi juga di masa pemerintahan kandidat terpilih (Denton dan Woodward, 1998). Permanent campaign mempersiapkan para politisi untuk kembali dipilih (re-election) jauh hari sebelum kampanye secara resmi dimulai (Needham, 2005) dan merupakan proses memanipulasi sumber-sumber persetujuan publik untuk terlibat dalam pemerintahan itu sendiri (Heclo, 2000:17; dalam Needham, 2005). Symbolic Politics

§ Pengertian Symbolic Politics Symbolic politics digunakan dalam berbagai cara dan konteks untuk mengarahkan

pada suatu fenomena tertentu. Secara garis besar, symbolic politics dapat dipahami secara sederhana sebagai penggunaan simbol-simbol dalam komunikasi politik (tipe A) maupun sebagai pengganti tindakan tidak efektif untuk kebijakan-kebijakan yang sebenarnya efektif dalam pencapaian tujuan-tujuan yang dideklarasikan (tipe B) (Blühdorn, 2007).

Bagan 1 Tipologi Pengertian Symbolic Politics

Sumber: Blühdorn, 2007

Symbolic politics tipe pertama (tipe AI), simbol politik digunakan sebagai representasi

kumpulan nilai-nilai sosial, pengetahuan dan praktik yang menuntun penginterpretasian, pemrosesan, dan menanggulangi isu-isu atau situasi-situasi yang spesifik. Selain itu, simbol politik tipe ini juga memobilisasi pola kognitif yang telah ada sebelumnya dan memicu bentuk-bentuk perilaku atau tindakan yang telah tersusun. Penggunaan simbol dalam pengertian ini (tipe AI) ditujukan sebagai alat integrasi politik dan mobilisasi, misalnya untuk menciptakan rasa kesatuan komunitas di antara orang-orang yang tergabung dalam suatu kelompok dan menyediakan narasi bersama (shared narrative) mengenai situasi mereka saat ini, tujuan politik dan agen politik kolektif mereka (tipe AI,1) atau untuk emansipasi dan pergerakan sosial demokratis (tipe AI,2).

Selain itu, simbol-simbol politik juga berfungsi sebagai strategi strategy of complexity reduction (tipe AII) yang timbul karena politik yang didasarkan pada kontak antara pembuat kebijakan (decision makers) dan mereka yang dipengaruhi oleh kebijakan tersebut, dimana diskursus politik seringkali menjadi pusat permasalahan, baik di luar

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 7: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

7    

dunia pengalaman personal maupun imajinasi warga masyarakat. Dalam konteks ini, symbolic politics berperan sebagai sebuah respon, pertama, terhadap kepentingan industri media (tipe AII,1) atau yang kedua, terhadap keinginan di tataran masyarakat grass roots untuk kesederhanaan (tipe AII,2) (Dörner, 1996:25; dalam Blühdorn, 2007).

Symbolic politics di pengertian kedua (tipe B) terkait dengan fungsi pengganti (substitute atau placebo) politik. Ada 2 kategori dari replacement action ini, meliputi subtitusi dari dilema politik yang tidak memiliki alternatif (tipe BI) atau replacement action tersebut merupakan pilihan stratejik yang secara sadar menghindari bentuk-bentuk tindakan alternatif (tipe BII). Sebuah dilema politik yang tidak memiliki alternatif pengganti, misalnya, dikatakan gagal bila sebuah pemerintahan sementara mengatasi masalah yang mendesak tetapi tidak mampu mencapai konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan yang spesifik dan tepat dalam penyelesaian masalah tersebut (tipe BI,1); atau sebuah dilema politik yang secara alamiah memang sedikit berbeda akan muncul jika efektivitas politik tidak boleh tidak ada, misalnya untuk menghasilkan dan menstabilkan kekuatan, bertentangan dengan bentuk lain dari efektivitas tersebut (tipe BI,2).

Jika pengganti politik lebih mengenai masalah pilihan stratejik daripada tekanan yang tidak memiliki jalan keluar, contohnya bila pengganti politik tersebut merupakan penghindaran yang disengaja dari tindakan politik yang tersedia secara teoritis, alternatif-alternatif yang lebih efektif (tipe BII), hal ini bisa jadi hanya masalah kenyaman misalnya usaha untuk menghindari atau setidaknya menunda implikasi tidak menyenangkan atas pengukuran kebijakan yang pada prinsipnya diterima sebagai hal yang perlu dan tepat (tipe BII,1); atau bisa jadi sebuah instrumen stratejik yang licik dan menakutkan yang digunakan oleh kekuatan elit untuk membohongi publik pada kepercayaan bahwa perhatiannya didengarkan dan dibicarakan, sementara elit politik diam-diam mengejar kepentingan mereka masing-masing yang mungkin bertentangan dengan kepentingan publik (tipe BII,2).

§ Ekspresifisme Simbol-simbol Politik Dalam perkembangannya, simbol politik yang digunakan dalam politik simbol tidak

hanya bersifat tangible dan dieskpresikan ke bentuk-bentuk yang konvensional (objek), tetapi juga mulai banyak dikembangkan simbol-simbol yang intangible dan tidak biasa (inconventional). Perkembangan tersebut didasarkan pada hakekat pengertian simbol itu sendiri ― yakni makna yang artinya dibentuk dan disampaikan (Gusfield, 1981). Ekspresifisme lain dari simbol politik berupa tindakan, peristiwa, kualitas, maupun relasi atau hubungan kini juga banyak dikembangkan untuk merepresentasikan makna tertentu (Choudhury, 2004), contohnya, peristiwa The Boston Tea Party yang merepresentasikan pemberontakan kolonial terhadap kekuasaan Inggris, Sneak on Pearl Harbour sebagai tanda dimulainya Perang Dunia II (Sears, 2001), dan lain sebagainya.

§ Pemaknaan Simbol Politik Orang-orang membutuhkan respon yang stabil atas simbol-simbol tertentu melalui

proses pengkondisian kelas (classical conditioning) (Sears, dkk, 1980; Sears, 1983; Sears, Huddy, dan Schaffer, 1986) karena pemaknaan simbol mempengaruhi evaluasi individu terhadap objek-objek sikap. Pemaknaan ini ditentukan dari keseluruhan penampilan yang termanifeskan melalui konten maupun struktur kognitif yang datang dari diri individu.

Symbolic processing digunakan untuk respon afektif atau kecenderungan yang kuat terhadap simbol-simbol politik. Symbolic processing adalah evaluasi dari objek-objek sikap merupakan kumulatif dan secara cepat terlepas dari informasi asalnya. Individu membuat penilaian evaluatif serelevan informasi yang masuk, lalu hanya menyimpan

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 8: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

8    

running tally, dengan mudah mendapatkan kembali dan memperbaharui ringkasan evaluasi tersebut dengan informasi yang didapat dan melupakan potongan-potongan informasi yang sebenarnya berkontribusi terhadap hal tersebut.

Sikap terhadap objek secara keseluruhan merefleksikan beberapa kombinasi dari kecenderungan-kecenderungan yang telah terkondisikan sebelumnya pada simbol-simbol spesifik. Sebagai hasilnya, proses politik simbol (symbolic politics) dicirikan dengan tanpa adanya pemikiran terlebih dahulu (unthinking), refleksif (reflesive), cenderung merespon ke sedikit objek-objek sikap daripada dengan kalkulasi cost and benefit (Lorge dan Curtiss, 1939; Osgood dan Tannenbaum, 1955; dalam Sears, 2001). Pada level paling sederhana, variasi penyusunan kata terkadang menunjukkan efek-efek dramatis pada evaluasi kebijakan publik. Oleh karena itu, dalam melakukan kampanye-kampanye politik memberikan berusaha menemukan isu-isu atau simbol-simbol yang dapat membangkitkan tanggapan emosional atau hits voters’ hot buttons (Sears, 2001).

§ Priming Symbols Prinsip priming symbols sama seperti agenda-setting effect yang memperlihatkan

penekanan pada isu-isu tertentu penyiaran berita di televisi sehingga meningkatkan bobot isu di evaluasi audien dari penampilan pemimpin (presidential performance) (Iyengar dan Kinder, 1987; dalam Sears, 2001). Priming menjadi kunci dalam aktivasi sikap presentasi objek sikap terhadap individu yang mempunyai asosiasi evaluasi yang kuat sehingga evaluasi berjalan secara otomatis (Fazio, 1989: 157; dalam Sears, 2001). Mengaktifkan konstruk yang mudah diakses melalui priming akan meningkatkan dampaknya pada sikap-sikap, penilaian-penilaian, dan perilaku lainnya. Misalnya, priming pada konstruk sifat tertentu akan memberikan formasi kesan yang lebih berbobot atau menonjol.

Priming sikap-sikap politik telah ditunjukkan secara nyata untuk meningkatkan dampaknya pada evaluasi kandidat. Sherman dkk (1990) mendeskripsikan seorang kandidat politik yang berpengalaman di satu area dan tidak berpengalaman di area lainnya (Sears, 2001). Evaluasi-evaluasi kandidat paling dipengaruhi oleh tingkat pengalamannya di satu area tersebut yang sebelumnya telah di-priming. Selain itu, konsistensi atas simbol-simbol tertentu juga mampu menciptakan fungsi asosiatif sebagai identitas politik.

Opini Publik dan False Consciousness

Bernays (1961:87) mengatakan bahwa pada dasarnya publik itu tidak memiliki opini. Menurutnya, opini publik terbentuk karena peranan institusi tertentu yang berusaha mengkreasikan opini tersebut untuk publik. Dalam rangka membentuk opini, di konteks politik, para politisi biasanya mengkreasikan strategi pencitraan karena elektorat menilai calon pemimpinnya dari performance-nya (Musialowska, 2008: 21; dalam Koch, 2011).

Namun di era bursa informasi saat ini, opini-opini (opinions), sikap-sikap (attitudes), dan perilaku (behavior) keputusan memilih seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh laporan atau pemberitaan politik oleh media massa (Page dkk., 1987; Ansolabehere dkk., 1993; Bartels 1993; Kepplinger dkk., 1994; Joslyn dan Ceccoli 1996; Zaller 1996; Dalton dkk., 1998; Kinder 1998; Schmitt-Beck 2000; Denemark 2002; Farrell dan Schmitt-Beck 2002; dalam Schmitt-Beck, 2004), tetapi juga oleh terpaan pemilih (voter’s exposure) melalui percakapan mengenai politik di kehidupan sehari-hari mereka (Schmitt-Beck, 2004).

Salah satu cara mengarahkan opini publik adalah dengan menciptakan kesadaran semu atau false consciousness. Istilah false mengarahkan pada pengertian dimana kondisi sosial sebagai sebuah dunia independen alam pikiran memiliki asumsi yang salah (Çelik, 2012). Selama ini false consciousness lebih banyak digunakan dalam konteks kapitalisme dimana

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 9: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

9    

kaum proletariat menggambarkan secara tidak sadar salah mengartikan posisi mereka sesungguhnya dalam masyarakat dan salah dalam memahami kepentingan asli mereka dalam produksi relasi sosial kapitalis (Çelik, 2012). Pada intinya, false consciousness menunjukkan ketidakmampuan seseorang dalam menyadari ketidaksetaraan, opresi, dan eksploitasi dalam sebuah kalangan masyarakat karena adopsi pandangan-pandangan yang menetralisir dan melegitimasi eksistensi golongan tertentu (Çelik, 2012).

3. Metode Penelitian Dalam rangka mengungkap ‘the real structure’ di balik segala konstruksi sosial semu

(Hidayat, 1999) simbol politik Baju Kotak-kotak dan blusukan Jokowi, penelitian ini menggunakan paradigma kritis, yakni suatu proses yang mengkaji kondisi-kondisi sosial yang seringkali tersembunyi (Yasir, 2012) atau pemahaman yang keliru atas suatu kondisi empiris (Neuman, 2011). Penelitian ini bersifat kritis eksplanatif yang menjelaskan fenomena secara bersamaan dengan kondisi atau alasan terjadinya peristiwa dan mengkritik kondisi, atau menunjukkan perbedaan, atau mengidentifikasi kontradiksi (Neuman, 2011: 128).

Data dari hasil wawancara mendalam kepada sejumlah informan dengan kriteria tertentu (Maxwell, 1997; dalam Charles Teddlie dan Fen Yu, 2007) diolah dan dianalisis dengan menggunakan teknik triangulations of sources (Patton, 2002) untuk menjaga kualitas penelitian yang meliputi credibility, dependability, dan confirmtability (Lincoln dan Guba (1985; dalam Flick, 2009:392-393). Terakhir, hasil analisis disajikan sesuai topik kunci atau by key topics (Hennink, Inge, dan Bailey, 2011: 290) agar tercipta pemahaman yang komprehensif.

4. Hasil Temuan dan Analisis

Pemunculan Jokowi sebagai calon DKI-1 Jokowi memulai karirnya dalam dunia politik dengan menjabat sebagai Walikota Solo

periode 2005-2010. Jokowi terpilih kembali untuk periode kedua dengan perolehan suara mencapai 91%. Keterpilihannya ini dikarenakan terobosan-terobosan kebijakan yang pro-rakyat, di antaranya revitaliasi pasar tradisional dan pembatasan pembangunan mall kartu sehat, kartu pintar, serta pengawasan dan pendampingan implementasi program kebijakan maupun proyek pembangunan yang dilakukan langsung oleh Jokowi melalui kegiatan blusukan (saat itu belum lahir terminologi blusukan). Namanya baru muncul di tingkat nasional setelah meledaknya pemberitaan Mobil Esemka.

Rentetan prestasi ini tertangkap oleh radar para pengamat dan ilmuwan politik melalui Survey Opinion Leader yang dilaksanakan oleh Cyrus Network, sebuah konsultan politik bekerja sama dengan intelektual Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan akhirnya lahir nama Jokowi. Pemunculan nama Jokowi masih harus melalui negosiasi politik dan tarik-menarik kepentingan karena adanya kontrak politik tertentu tentang pengusungan calon yang sebelumnya telah disepakati oleh PDI-P dengan partai lain. Sementara itu, para intelektual politik terus mengkomunikasikan perihal Jokowi di jaringan komunikasi wartawan progresif untuk mengaktifkan media agenda internal sekaligus mempengaruhi ketua umum partai yang saat itu belum mengambil keputusan mengenai calon yang akan diusungnya. Narasi Politik

Hasil penelitian ini menemukan bahwa kunci kekuatan simbol politik Baju Kotak-kotak dan blusukan yang dikonstruksikan Jokowi untuk mempertahankan dukungan dari pra hingga pasca pemilihan tersebut terletak pada narasi politik di belakangnya. Narasi

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 10: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

10    

politik Jokowi adalah rangkaian cerita mengenai profil dan jejak rekam politik Jokowi selama menjabat sebagai Walikota Solo yang dikonstruksikan oleh tim profesional Jokowi tujuh bulan sebelum masa pendaftaran kandidat Pilgub Jakarta dibuka. Penanaman citra positif ke dalam benak masyarakat melalui narasi politik ini didasarkan concept of intent atau kekuatan memori orang dalam mengingat kembali informasi yang diterimanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya orang-orang lebih mudah mengingat kembali informasi naratif daripada yang bersifat argumentatif. Dengan simbol-simbol tertentu, ingatan masyarakat akan terarahkan secara otomatis pada informasi-informasi tertentu tentang Jokowi yang favourable dan memarjinalkan informasi negatif.

Bagan 2 Proses Pembangunan Narasi Hingga Terciptanya Dukungan

Sumber: Dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan hasil wawancara

Narasi politik ini sudah terbentuk dan prosesnya tidak banyak diketahui orang dan

sengaja tidak diberitahukan kepada khalayak ramai. Pada intinya, narasi ini merupakan strategi permainan psikologis yang mencoba mensistematisir bawah sadar masyarakat Jakarta sehingga hanya fokus pada informasi yang favourable. Narasi yang telah terbentuk juga sulit dihilangkan atau bersifat permanen. Untuk kasus Jokowi, terdapat dua macam narasi politik. Pertama, narasi umum memiliki sifat jika telah dibangun dan melekat dalam memori masyarakat menjadikan simbol apapun yang kemudian digunakan kandidat tidak lagi bernilai signifikan. Sedangkan narasi jenis kedua mengandung prinsip bahwa penciptaan sebuah simbol politik akan selalu diikuti oleh proses mencari narasinya. Karena tanpa ada narasi di belakangnya, sebuah simbol tidak akan berarti apa-apa bagi masyarakat (lihat Mead, 1934 dan Blummer, 1969). Oleh karena itu kesesuaian simbol dengan kandidat menjadi penentu utama keberhasilan masyarakat untuk mengingat kembali pondasi narasi yang ditancapkan ke ingatan mereka.

Diseminasi narasi politik dilakukan melalui Koran Jakarta Baru yang diedarkan ke rumah-rumah penduduk Kota Jakarta. Cerita tentang Jokowi disusun rapi dalam bentuk cerita pendek dan bertahap. Keberhasilan usaha membangun narasi politik ini dibuktikan melalui tracking blog atau media sosial dimana masyarakat menceritakan (creating story) pengalaman berkesannya saat berinteraksi dengan Jokowi atau mendapati karakteristik personal Jokowi di dunia nyata sesuai dengan sosok yang digambarkan di Koran Jakarta Baru. Cerita atau testimoni yang muncul lalu saling dihubungkan. Pada titik ini terjadi amplifikasi dan ekspansi narasi politik dari ranah nyata ke ruang publik (public sphere) dunia maya.

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 11: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

11    

Narasi politik tentang Jokowi ini tidak hanya disampaikan secara eksplisit melalui pujian yang ditulis di Koran Jakarta Baru, tetapi juga secara implisit yang memanfaatkan kekuatan opinion leader dalam menggiring opini publik atas posisinya sebagai third party opinion yang seolah-olah netral. Legitimasi oleh third party opinion yang disampaikan melalui komentar atau tulisannya di media massa berperan efektif dalam menggiring opini masyarakat karena kepercayaan masyarakat pada kenetralan argumen yang disampaikan. Misalnya, siasat fake package penggunaan judul negatif pada artikel media massa padahal kontennya berisi pujian terhadap Jokowi. Selain berfokus pada Jokowi, pembangunan narasi juga dilakukan dengan menciderai reputasi lawan kandidat melalui blunder politik atau pemanfaatan kelemahan lawan sebagai pondasi cerita. Pada titik ini amplifikasi narasi politik kembali terjadi dengan memanfaatkan media massa sebagai saluran penyampaian legitimasi.

Narasi yang dibangun juga mendasarkan pada realita permasalahan masyarakat Jakarta sebagai touch point untuk menggerakan keberpihakan publik kepada Jokowi. Tujuannya, agar tercipta trust dan hope sehingga masyarakat mau memberikan dukungan suaranya dengan sukarela kepada Jokowi. Hasilnya, terkumpul sekitar 50.000 sukarelawan dan dukungan dari berbagai kalangan (JasMev, Cameo Project, APMISO, dan lain sebagainya) yang secara tidak langsung menjawab pertanyaan bagaimana minimnya dana kampanye bisa tetap mengantarkan Jokowi ke kursi nomer satu di DKI Jakarta.

Simbol Politik Inconventional Jokowi Simbol politik yang dikonstruksi oleh Jokowi di Pilgub Jakarta tahun 2012 berbeda dengan simbol-simbol politik yang pernah ada dalam sejarah kontestasi politik Indonesia sebelumnya. Tanpa memperlihatkan foto atau gambar Jokowi, nomor urut pasangan, maupun slogan kampanye, Baju Kotak-kotak tetap mampu mengarahkan ingat masyarakat kepada sosok Jokowi. Bukan hanya dikarenakan ekspresifisme simbol politik yang tidak biasa (inconventional), identifikasi Baju Kotak-kotak dan blusukan sebagai simbol politik inconventional juga dikarenakan fungsinya yang lebih dari sekedar identitas politik bagi Jokowi.

§ Baju Kotak-kotak Jokowi Sebagai simbol politik, Baju Kotak-kotak telah memenuhi kaidah dasar agar sesuatu

(object) bisa disebut sebagai sebuah simbol, yakni 1) sederhana. 2) mudah diingat, 3) mudah diproduksi massal, 4) tidak berasosiasi dengan sesuatu yang bersifat kontra-produktif di kepala publik, dan 5) bersifat beyond semua aturan yang membatasi ruang gerak penggunaannya. Meskipun muncul dari kreativitas spontan, penetapan Baju Kotak-kotak sebagai seragam kampanye sebelumnya telah melalui serangkaian pertimbangan, di antaranya keharusan unsur warna merah untuk menunjukkan aliansi partai, perkembangan tren pakaian mayoritas segmen masyarakat Jakarta, dan lain sebagainya. Untuk kasus Baju kotak-kotak Jokowi, narasinya dikonstruksi mengikuti simbol yang terlebih dahulu ada dan terceletuk spontan penuh improvisasi karena desakan pertanyaan media -“masyarakat agar tidak hidup terkotak-kotakan oleh kompleksitas masalah di Jakarta”.

Konsistensi Jokowi dalam mengenakan Baju Kotak-kotak di setiap kegiatan politiknya yang dibarengi dengan tingginya frekuensi pemberitaan mengenai Pilgub Jakarta sebagai salah satu agenda media periodik berdampak pada sosialisasi simbol politik kepada masyarakat sebagai identitas politik bagi Jokowi. Proses sosialisasi melalui mekanisme jurnalistik seperti inilah yang menjadikan Baju Kotak-kotak bersifat paten bagi Jokowi. Selain melalui publisitas media, akselerasi popularitas Jokowi sebagai kandidat pendatang baru di Pilgub Jakarta juga disumbang dari tren Baju Kotak-kotak yang menginspirasi masyarakat umum untuk mengkapitalisasinya.

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 12: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

12    

Secara fisik, Baju Kotak-kotak Jokowi menyerupai kemeja koboi atau tren busana ala country dimana motif kotak-kotak perpaduan warna merah, biru tua, dan putih menjadi corak tunggal yang menghiasi keseluruhan bagian pakaian. Namun pada perjalanannya, kemeja motif kotak-kotak dengan warna atau ukuran kotak-kotak yang berbeda pun tetap diidentifikasi sebagai Baju Kotak-kotak Jokowi karena telah paten dalam memori bawah sadar masyarakat.

§ Blusukan Jokowi Kata blusukan berasal dari Bahasa Jawa yaitu “bloesoek” atau “blusuk”. Kata tersebut

lalu diberi akhiran “-an” menjadi “bloesoekan” atau “blusukan” yang berarti “mlebu ing ngendi-endi” atau masuk kemana-mana (Poerwadarminta, 1939). Secara harfiah, istilah blusukan dapat didefinsikan sebagai aktivitas seseorang memasuki tempat-tempat asing. Jika dikaitkan dengan konteks politik, blusukan memiliki tiga pengertian sebagai berikut:

1. Kunjungan kandidat pemilu ke pemukiman warga sebagai strategi kampanye door-to-door;

2. Kegiatan kunjungan ke lokasi tertentu yang telah dijadwalkan sebelumnya atas kapasitasnya sebagai pemimpin (presidential visits),

3. Kegiatan kunjungan pemimpin untuk meninjau secara langsung permasalahan yang ada di masyarakat.

Di penelitian ini, blusukan yang dilakukan Jokowi dibedakan ke dalam dua masa periode, yakni di masa kampanye Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 (“to win” phase) dan setelah Jokowi resmi menjabat sebagai Gubernur Jakarta (“to govern” phase). Di periode kampanye atau pemenangan, blusukan berfungsi sebagai strategi kampanye yang mirip dengan strategi door-to-door dimana Jokowi mendatangi tempat tinggal elektorat. Sedangkan di masa kepemimpinannya sebagai gubernur, blusukan yang dilakukan Jokowi bertujuan untuk melakukan pengawasan secara langsung terhadap pembangunan proyek atau untuk menghimpun aspirasi dan/atau keluhan masyarakat atas permasalahan yang sedang mereka hadapi.

Terminologi blusukan muncul dan populer sebagai hasil dari ruang jurnalistik yang mencoba mengaitkannya dengan asal suku Jokowi. Istilah blusukan diberi label ‘Jokowi’ di setiap penyebutannya dalam pemberitaan media massa meski kegiatan blusukan sendiri sebenarnya telah dilakukan sejak lama oleh banyak orang, bahkan jauh sebelum pencalonan Jokowi di Pilgub DKI Jakarta. Efeknya, blusukan menjadi paten bagi Jokowi sehingga kegiatan kunjungan serupa yang dilakukan oleh kandidat pemilihan umum maupun pejabat lain akan langsung diidentifikasikan sebagai usaha mengimitasi Jokowi.

Adapun identifikasi blusukan sebagai salah satu simbol politik inconventional Jokowi dalam penelitian ini dikarenakan penggunaan ekspresi simbol yang tidak biasa, yakni yang berupa kegiatan, aktivitas, atau tindakan politik yang masuk-masuk ke tempat asing (lihat Sears, 2001). Atas fungsinya sebagai sebuah simbol politik, blusukan mengekspresikan konsistensi perhatian pemimpin terhadap permasalahan sehari-hari warganya yang kini gencar diberitakan secara kontras oleh media dimana publik ditinggalkan sebagai boneka mati yang diceritakan untuk dan terkadang diceritakan kepada, tetapi jarang diajak bercerita bersama (Blumler dkk., 2010:142; dalam Koch, 2011).

Oleh karena itu atas posisinya sebagai simbol politik (political symbol) di dalam strategi politik simbol (symbolic politics) pendekatan political public relations Jokowi, simbol politik blusukan tergolong ke dalam tipe BII,2 yang berperan sebagai instrumen stratejik licik yang digunakan oleh kekuatan elit untuk membohongi publik (atau lebih tepatnya menciptakan false consciousness) pada kepercayaan bahwa perhatiannya

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 13: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

13    

didengarkan dan dibicarakan, sementara elit politik diam-diam mengejar kepentingan mereka masing-masing (lihat Blühdorn, 2007).

Strategic Campaign

Dalam hierarki konsep popularitas, terdapat tiga tahap yang harus dilewati hingga akhirnya masyarakat dengan sukarela mau memberikan suaranya pada kandidat. Tahap pertama adalah popularitas atau keterkenalan, yakni tahapan dasar yang mengantarkan konstituen pada proses penilaian subjektif suka atau tidak suka (likeabilitas) ― tahap kedua. Terdapat dua macam cara untuk mendongkrak popularitas, yakni dengan cara positif yang memperkenalkan kandidat melalui langkah-langkah yang lebih etis dan sesuai dengan nilai-nilai normatif dalam masyarakat; atau kedua, dengan cara negatif yang menghalalkan segala cara, termasuk citra diri (self-image) dari kandidat tersebut. Dalam kalkulasi politik secara kasar, popularitas kandidat yang mengikuti kontestasi politik setidaknya memiliki tingkat popularitas di atas 90%.

Tahap kedua adalah likeabilitas atau kesukaan. Penetapan batas minimal angka popularitas didasarkan pada tahap ini dan selanjutnya (elektabilitas). Hal itu karena keterkenalan kandidat tidak menjamin potensial konstituen memiliki likeabilitas positif atau menyukai kandidat tersebut. Sehingga jumlah prosentase orang yang mengenal kandidat (popularity threshold) akan mengalami reduksi di tahap ini. Tahap ketiga atau terakhir adalah elektabilitas. Di tahap ini prosentase jumlah potensial konstituen kembali direduksi karena kesukaan konstituen kepada kandidat belum tentu mampu menciptakan kepercayaan dalam diri konstituen pada kemampuan kandidat untuk memimpinnya selama beberapa waktu ke depan. Tahap penilaian elektabilitas menjadi krusial karena berdampak langsung pada tataran konasi atau tindakan konsituen menjatuhkan pilihan suaranya pada kandidat tertentu.

Dari hasil survei Cyrus Network tahun 2012 diketahui bahwa tingkat efisiensi Jokowi mencapai 75,9% untuk likeablititas dan 44,7% untuk elektabilitas mengimplikasikan potensi keterpilihan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 jauh lebih besar dibandingkan dengan kelima kandidat lainnya. Secara tidak langsung, data tersebut mengatakan bahwa kampanye yang telah dilakukan oleh Jokowi berfungsi secara efektif dan efisien. Meski tidak disebutkan secara ekspilisit, data hasil suvei mengimplikasikan bahwa efisiensi dan efektivitas kampanye Jokowi juga disumbang dari dua simbol politik incoventional Baju Kotak-kotak dan blusukan.

§ To Win Campaign Di periode masa pemenangan (“to win” phase), simbol politik Baju Kotak-kotak dan

blusukan memiliki fungsi dan peran yang sama, yakni berupa penciptaan kepercayaan (public trust) dengan cara mengkonfirmasi harapan publik (public hope) yang terbentuk dari proses pembangunan narasi politik (lihat bagan 2). Secara logika, masyarakat tidak akan memberikan suaranya kepada Jokowi hanya karena Jokowi mengenakan Baju Kotak-kotak. Simbol politik Baju Kotak-kotak dalam kampanye stratejik fase pemenangan ini berfungsi sebagai identitas dalam menciptakan diferensiasi kandidat dan mendongkrak popularitas Jokowi. Selain itu, simbol politik Baju Kotak-kotak juga menjadi identitas penegas sikap, posisi, dan pilihan politik masyarakat sebagai pendukung Jokowi yang saat itu cenderung pragmatis. Mewabahnya Baju Kotak-kotak lalu mengubah pragmatisme masyarakat dan meyakinkan masyarakat bahwa kemenangan Jokowi di Pilgub Jakarta bukanlah sesuatu yang tidak mustahil dan menjadi pemersatu diantara pendukung Jokowi tersebut.

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 14: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

14    

Pada perjalanannya, simbol politik Baju Kotak-kotak berkembang fungsi menjadi alat kampanye untuk mendulang suara. Perubahan fungsi ini terjadi ketika Baju Kotak-kotak berpindah ke tangan masyarakat, baik karena dibagikan secara cuma-cuma maupun karena melibatkan secara aktif orang untuk membeli, dan orang tersebut mengenakannya di keramaian. Simbol politik Baju Kotak-kotak menjadi alat kampanye karena dengan mudah orang lain dapat mengidentifikasikan orang tersebut sebagai aliansi atau pendukung Jokowi. Saat dimana Baju Kotak-kotak menyebabkan tindakan aktif masyarakat untuk melakukan mengeluarkan uang dengan sukarela memperlihatkan bagaimana sebuah simbol politik atas fungsinya sebagai seragam kampanye mampu menciptakan kekuatan sosial yang besar dan hal semacam ini sangat mahal di dalam politik.

Sama dengan Baju Kotak-kotak, simbol politik blusukan juga memberikan diferensiasi politik bagi Jokowi. Adanya Jokowi sebagai satu-satunya kandidat yang aktif berkeliling untuk berinteraksi dan membaur dengan masyarakat menarik perhatian masyarakat dan media. Kemampuan Jokowi untuk mengkomunikasikan secara efektif sebuah agenda yang telah dirancang melalui media merupakan prasyarat untuk menggalang dukungan publik dan sekaligus menjadi penilaian kesuksesan pelaksanaan political public relations-nya. Berkat blusukan, Jokowi mampu menutup keterbatasan modal politik, menciptakan kepercayaan publik melalui proses interaksi stratejik (lihat sub poin permanent campaign), mendongkrak popularitas dan elektabilitasnya, serta berlaku efektif dalam memobilisasi dukungan suara masyarakat.

Mengenai peningkatan popularitas dan elektabilitas Jokowi yang tajam, hal tersebut merupakan efek dari blusukan yang memang direncanakan dan diharapkan (planned and intended effects) dan timbul secara langsung (directly generated) dari pelaksanaan blusukan itu sendiri. Di tataran masyarakat, blusukan menciptakan efek buzzing atau word of mouth (WOM) diantara sesama anggota masyarakat. Sedangkan di tataran media, blusukan menjadi satu kegiatan politik yang mengundang pelaku jurnalistik untuk datang dan meliput. Efek di tataran masyarakat maupun media ini memungkinkan untuk saling mempengaruhi ― frekuensi pembahasan tentang Jokowi di masyarakat (public agenda) akan menarik media untuk mengangkatnya sebagai bahasan pemberitaan di media massa (media agenda) atau sebaliknya.

Terakhir, peranan blusukan dalam menggiring opini publik merupakan efek tingkat konasi atau tindakan atas terciptanya kepercayaan publik. Meski tidak ada survei yang mengukur tentang signifkansi blusukan terhadap keputusan pilihan masyarakat pada Jokowi, tapi blusukan ke daerah basis lawan terbukti berhasil dalam mendulang dukungan suara masyarakat. Salah satu contoh konkretnya adalah tentang kekalahan perolehan suara Jokowi di Kepulauan Seribu karena warga masyarakatnya diungsikan oleh lawan kandidat sebagai usaha evakuasi dukungan suara (KPUD Jakarta, 2012).

Meski telah berfungsi secara efektif dan efisien, keterbatasan waktu yang dimiliki Jokowi karena masih dalam kapasitas sebagai Walikota Solo memaksa Jokowi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas blusukan. Oleh karena itu blusukan Jokowi juga dilakukan oleh sukarelawan yang mencapai jumlah 50.000. Selain itu, diadakan juga peta prioritas yang akan memandu blusukan Jokowi. Memanfaatkan teknologi geographic information system (GIS), akhirnya ditetapkan 77 prioritas dari total 267 kelurahan yang ada di Jakarta dengan daftar pemilih tetap (DPT) terpadat yang harus dikunjungi oleh Jokowi (±7-14 titik per hari yang harus di-blusuki Jokowi). Adapun kriteria kelurahannya meliputi:

1. Kelurahan dengan rata-rata anggota KK tertinggi 2. Kelurahan yang padat penduduk dengan tingkat pendidikan rendah 3. Kelurahan yang paling padat golongan putih

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 15: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

15    

4. Kelurahan dengan konsentrasi kelas ekonomi menengah ke bawah 5. Kelurahan yang keluarga padat suku Jawa 6. Kelurahan yang karakter agama penduduknya majemuk 7. Kelurahan yang padat penduduk miskin

§ Permanent Campaign Pada periode pemerintahan (“to govern” phase), hanya simbol politik blusukan yang

berperan. Di masa ini, simbol politik blusukan berperan sebagai metode kerja Jokowi dimana kunjungan Jokowi ditujukan untuk meninjau langsung lokasi bencana, mengawasi jalannya proyek pembangunan infrastruktur, maupun menghadiri acara-acara protokol atas kapasitasnya sebagai gubernur (presidential visits). Maka dari itu, simbol politik blusukan di masa kepemimpinan menjadi bersifat tentatif.

Meski demikian, simbol politik blusukan di periode kepemimpinan masih berfungsi sama dengan periode pemenangan, yakni memberikan ruang interaksi bagi Jokowi dan masyarakat dimana efek tindakan politik stratejik muncul ― Jokowi mendapat masukan untuk program kebijakannya mendatang dengan cara mendengar secara langsung aspirasi dan/atau keluhan masyarakat dan, di saat bersamaan masyarakat dekat dan diperhatikan karena dapat berinteraksi atau menyampaikan secara langsung perihal evaluasinya atas program kebijakan yang diberlakukan oleh pemimpinnya.

Konsistensi pelaksanaan simbol politik blusukan oleh Jokowi secara tidak langsung ingin menunjukkan konsistensi perhatian Jokowi kepada masyarakat Jakarta sekaligus menciptakan diferensiasi dengan pemimpin-pemimpin lainnya yang datang karena motif politis menjelang pemilihan dan menghilang setelah terpilih sebagai kepala daerah; atau pemimpin yang mendekat dengan kapasitasnya sebagai pejabat yang memiliki hierarki tinggi dan justru membentangkan jarak sosial yang telah ada.

Selain itu, konsistensi pelaksanaan blusukan secara implisit memperlihatkan usaha replikasi aksi politik seperti yang pernah dilakukannya ketika menjabat sebagai Walikota Solo. Di satu sisi, blusukan mengisyaratkan tendensi kesungguhan Jokowi dalam melayani masyarakat, di sisi lain blusukan Jokowi mengimplikasikan adanya usaha melanggengkan kekuasaan politik dengan cara mempertahankan dukungan masyarakat yang legitimasinya diciptakan dan didapatkan secara langsung melalui blusukan tersebut (meskipun praktik politicking yang berupa political deals di belakang blusukan turut menyumbang realisasi dukungan tersebut). Dengan kata lain, simbol politik blusukan Jokowi merupakan instrumen untuk melaksanakan permanent campaign.

Sebelum menjabat sebagai Gubernur Jakarta, Jokowi atas kapasitasnya sebagai walikota yang telah mendapatkan legitimasi hukum (legal legitimacy) menggunakan simbol politik blusukan untuk mendapatkan legitimasi informal (informal legitimacy) dari masyarakat Solo. Ditunjang dengan presidential resources atas posisinya sebagai walikota, upaya penggalangan legitimasi informal masyarakat menjadi lebih mudah direalisasikan. Legitimasi formal dan informal bersama-sama menciptakan kekuatan (power) untuk mendapatkan porsi dalam kekuasaan (authority) di kursi pemerintahan yang lebih tinggi, yakni Gubernur DKI Jakarta. Begitu juga dengan posisi Jokowi saat ini (belum genap setahun memimpin Jakarta) yang ramai digadang-gadang akan maju dalam pemilihan presiden tahun 2014. Simbol politik blusukan menjadi instrumen kunci sukses daur ulang proses elevasi politik (political elevation) yang dilakukan oleh Jokowi.

Keuntungan Politik

§ Break Time-Limit Campaign Rule

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 16: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

16    

Sesuai dengan keputusan resmi dari KPUD DKI Jakarta, masa kampanye terbuka (putaran pertama) hanya berlangsung selama dua minggu. Oleh karena itu, masa tersebut merupakan masa kritis karena dalam waktu yang relatif singkat masyarakat akan menilai dan mengkonfirmasi pesan politik yang selama ini mereka dapatkan dengan realitas yang sebenarnya di lapangan.

Namun dengan Baju Kotak-kotak, Jokowi tidak lagi harus merasa terkekang dengan periode masa kampanye yang singkat tersebut karena kapan saja Jokowi bisa tetap berkampanye mensosialisasikan dirinya. Seperti yang telah disebutkan di bagian sebelumnya, hal ini dikarenakan Baju Kotak-kotak bebas dari unsur gambar partai, foto kandidat, nama kandidat, nomor urut kandidat, maupun slogan-slogan bertema ajakan yang diusung kandidat. Dengan begitu, Baju Kotak-kotak bebas dari hukum perundang-undangan yang mengatur tentang alat peraga kampanye dan secara leluasa dapat dipakai hingga tempat pemungutan suara (TPS) di hari-H pencontrengan sekalipun. Hampir sama dengan simbol politik Baju Kotak-kotak, simbol politik blusukan Jokowi juga mampu menyiasati keterbatasan waktu kampanye tetapi dalam konteks elevasi politik atau pencalonan Jokowi pada pemilihan umum selanjutnya.

§ Alat Ukur Dukungan yang Baru

Di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2013 merupakan kali pertama dalam sejarah politik, seragam kampanye dikapitalisasi dan banyak diminati masyarakat. Awalnya, Baju Kotak-kotak rencananya akan disitribusikan secara cuma-cuma kepada masyarakat Jakarta. Namun pada perkembangannya, besarnya minat masyarakat untuk mengikuti tren kotak-kotak menginspirasi masyarakat sektor perdagangan informal untuk menjadikannya sebagai ladang usaha. Sebagai konsekuensinya, produksi dan distribusi Baju Kotak-kotak tidak lagi bisa diawasi karena masyarakat umum turut mengambil keuntungan ekonomi dari popularitas Baju Kotak-kotak Jokowi.

Bagi sebagian masyarakat yang memang bertujuan menunjukkan sikap, posisi, dan aliansi politiknya sebagai pendukung Jokowi, tindakan aktif mereka yang sukarela mengeluarkan pengorbanan finansial untuk mendapatkan Baju Kotak-kotak Jokowi menciptakan suatu alat ukur dukungan yang baru. Karena logikanya, Baju Kotak-kotak yang terdistribusi dalam volume yang relatif besar dan bukan dibagikan secara gratis, mengimplikasikan bahwa Jokowi tidak hanya menikmati keuntungan finansial, tetapi juga dukungan suaranya.

§ Menjawab Keterbatasan Pendanaan Kampanye

Tidak bisa dipungkiri bahwa perihal pendanaan dalam sebuah kampanye politik memiliki peran yang vital, terutama dalam mobilisasi massa pendukung, baik dalam artian praktik mobilisator finansial untuk mendapatkan dukungan suara masyarakat maupun kebutuhan finansial bagi tim sukses kandidat dalam melaksanakan rancangan program kampanye. Namun kemenangan Jokowi di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 lalu memperlihatkan anomali politik dimana dengan keterbatasan modal finansial Jokowi tetap mampu menduduki kursi DKI-1. Simbol politik Baju Kotak-kotak dan blusukan Jokowi menjawab permasalahan keterbatasan pendanaan kampanye tersebut.

Narasi politik yang berhasil mensistematisir kesadaran masyarakat menimbulkan harapan publik (public hope) bahwa nantinya Jokowi juga akan membawa perubahan seperti yang telah dilakukannya pada Solo. Harapan-harapan inilah yang kemudian menciptakan optimisme dan menggerakan dukungan masyarakat untuk sukarela melakukan berbagai hal agar Jokowi dapat memenangkan Pilgub Jakarta. Simbolisasi

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 17: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

17    

yang tepat mempersatukan skoci-skoci kekuatan sosial sehingga dapat berfungsi lebih efektif dan tidak bertabrakan satu sama lain.

Intervensi media dan Media Politicking

Keharusan untuk meraih elektorat yang berjumlah relatif besar karena perubahan langgam politik menjadikan peranan media sebagai saluran komunikasi massa mutlak dibutuhkan dalam penyampaian pesan politik yang efektif. Namun realitanya, media tidak lagi memainkan fungsi idealnya sebagai sarana edukasi politik, melainkan bagaimana fungsi ideal tersebut dimainkan oleh aktor politik untuk menggiring opini dan dukungan suara publik (vote getter). Untuk kasus Jokowi, keterlibatan media 1) dalam membangun atau membelokkan opini publik; 2) independensi media; 3) politicking media.

Pemilihan kepala daerah merupakan agenda periodik media dimana pemberitaannya dapat dipastikan muncul di periode-periode menjelang, saat, dan beberapa waktu setelah pemilihan. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 juga tidak luput dari sorotan intensif media karena ibukota sebagai pusat media massa nasional sekaligus bagaimana posisi yang selalu dijadikan kiblat dari berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Namun artifak imparsilitas ekspresifisme media di masa Orde Baru yang berpadu dengan kontrak ekonomi antara kandidat dan media berperan signifikan dalam menyetir arah pemberitaan media kandidat dan menentukan frekuensi pemberitaannya di wajah media yang bersangkutan.

Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta tahun 2012 menunjukkan bahwa porsi pemberitaan Jokowi relatif stabil di hampir seluruh jenis platform dan merek media yang ada. Kestabilan frekuensi pemberitaan mengenai Jokowi ini salah satunya disumbang oleh pelaksanaan simbol politik blusukan yang menarik media untuk meliput. Pemberitaannya juga cenderung lebih bervariatif karena simbol politik blusukan memanfaatkan publisitas dari news management activities, bukan pseudo-events yang oleh diselenggarakan peserta kontestasi politik dimana tendensi politis bisa dengan leluasa diatur oleh kandiat.

Intrik antara media dan politik yang kedua masih berkaitan dengan poin sebelumnya, yakni independensi media yang dipertanyakan. Tingginya tingkat kompetisi di antara kandidat Pilgub Jakarta tahun 2012 kemarin dimanfaatkan oleh beberapa media oportunis untuk memaksimalkan siraman politik dan menjanjikan berita setting-an sebagai pertukarannya. Mengenai praktik politicking media, biasanya kandidat menumbuhkan awareness dan simpati di masyarakat melalui media mainstream dengan cara membeli slot waktu siaran, halaman koran, blocking time di media audiovisual, kerjasama pembuatan advertorial dan lain-lain (AJI Jakarta, 2012). Pada kenyataannya, narasi politik tentang Jokowi yang terbentuk dalam diri pendukung Jokowi yang memiliki otoritas dalam ruang ruang jurnalistik berperan penting terhadap kenetralan pemberitaan. Terbatasnya akses langsung masyarakat ke ruang redaksi membuat praktik yang demikian tidak mudah dibongkar.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Jokowi turut memanfaatkan media dalam upaya diseminasi pesan politik yang efektif dan efisien. Sedangkan mengenai pertanyaan bagaimana Jokowi bisa mendapatkan frekuensi publisitas yang tinggi dengan tendensi tone pemberitaan yang relatif stabil positif, hal tersebut dikarenakan tiga hal, yakni 1) Jokowi sering mengadakan acara dan kegiatan yang pantas diliput oleh media, tepatnya melalui blusukan; 2) bahwa sebenarnya jumlah narasumber yang netral tidak banyak karena beberapa elit dan intelektual politik memiliki posisi sebagai pendukung Jokowi yang tidak diungkapkan secara terlihat sehingga segala komentarnya akan sangat dipercaya oleh masyarakat dan akhirnya mempengaruhi bagaimana opini masyarakat terhadap kandidat; 3) praktik politicking media di ruang redaksi.

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 18: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

18    

5. Kesimpulan

Simbol politik incoventional Baju Kotak-kotak dan blusukan sebagai instrumen politik simbol (symbolic politics) terbukti berperan aktif dalam pendekatan political public relations yang dilakukan oleh Jokowi untuk mempertahankan dukungan masyarakat Jakarta dari masa pra hingga pasca Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 lalu. Dari hasil temuan dan analisis dapat disimpulkan bahwa kunci keberhasilan kedua simbol politik incoventional dalam mempertahankan dukungan masyarakat terletak pada narasi politik yang dibangun jauh sebelum masa pemilihan dimulai. Narasi politik memainkan peranannya di tataran psikologis dengan cara mensistematisir kesadaran masyarakat sehingga hanya menonjolkan informasi-informasi tertentu tentang Jokowi.

Selain itu, meskipun media masih memegang peran utama dalam diseminasi dan amplifikasi narasi politik, tingginya kuantitas elektorat sebagai pemegang kendali keputusan yang harus diraih mengakibatkan pelibatan third party opinion untuk menyiasati mahalnya saluran komunikasi massa dan keterbatasan modal finansial menjadi signifikan dalam kasus Jokowi di Pilgub Jakarta lalu.

Terakhir, simbolisasi politik oleh Jokowi yang tepat bagaimanapun juga berperan final dalam menentukan keberhasilan otomatisasi dukungan masyarakat atas fungsinya sebagai konfirmatif aksi atas narasi-narasi politik yang telah terbangun dan melekat dalam memori publik.

6. Diskusi

Di tengah usaha pengungkapan the real process dari pendekatan political public relations Jokowi yang mencoba memanfaatkan simbol-simbol politik Baju Kotak-kotak dan blusukan untuk mempertahankan dukungan masyarakat, peneliti melihat satu diskursus yang menarik untuk ditelaah secara seksama, yakni mengenai penciptaan false consciousness berupa sistematisir kesadaran masyarakat dalam rangka mempertahankan dukungan masyarakat (dukungan suara di periode pemenangan atau “to win” phase dan dukungan yang berupa partisipasi aktif atas program kebijakan pada periode pemerintahan Jokowi atau “to govern” phase) itu sendiri.

Praktik false-ing consciousness melahirkan posisi dilematis untuk menilai etis atau tidaknya pendekatan political public relations Jokowi di pemilihan kemarin yang secara sengaja memainkan alam bawah sadar masyarakat untuk tujuan penciptaan dukungan. Di satu sisi, era reformasi politik yang terus mengumandangkan asas demokrasi bahwa publik berhak untuk bersuara dan berpendapat, menjadikan kebulatan tekad dalam mewujudkan perubahan sebagai suatu yang mustahil untuk direalisasikan. Hal itu karena kebebasan bersuara berdampak langsung pada warna-warni opini publik yang muncul. Sehingga, timbul anggapan bahwa permainan psikologis menjadi alternatif efektif untuk mendapatkan kebulatan tekad dan partisipasi aktif masyarakat pada tataran konatif.

Di sisi yang bersebrangan, penilaian positif mengenai etis atau tidaknya memainkan kesadaran atau kondisi psikologis masyarakat dalam rangka merealisasikan dukungan rakyat mengimplisitkan argumen logis bahwa pelaksanaan suatu program kebijakan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat mutlak membutuhkan partisipasi dari rakyat itu sendiri dan bahwa pembangunan narasi politik yang memainkan kesadaran masyarakat adalah tidak salah. Alasannya, masyarakat juga tidak dirugikan dan justru diuntungkan karena pelaksanaan kebijakan Jokowi secara konkret memberikan berbagai keuntungan tersendiri bagi masyarakat, misalnya dari aspek sosial dan ekonomi.

Hal tersebut menjadi satu diskusi menarik mengingat fenomena pembangunan simbol politik incoventional ini menjadi tren baru dalam politik Indonesia pasca kemenangan

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 19: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

19    

Jokowi di Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 dimana para peserta pemilihan umum kepala daerah di hampir seluruh wilayah Indonesia mencoba untuk mengimitasinya, mulai dari tataran sederhana misalnya pemakaian Baju Kotak-kotak yang persis dengan yang dikenakan Jokowi maupun tataran invensi baru seperti yang dilakukan Ahmad Heryawan (Aher) di Pilgub Jawa Barat 2013 dengan baju merah putih merahnya yang penuh esensi logis dan idealis.

7. Saran - Posisi dan sikap politik informan juga perlu dipertimbangkan selain mengedepankan

keterpercayaan dan kekayaan informasi atas keterlibatannya dalam proses konstruksi politik tersebut.

Referensi Bernays, Edward L. (1961). Crystallizing Public Opinion. New York: Liveright Publishing Corporation. Blühdorn, Ingolfur. (2007). Sustaining the Unsustainable: Symbolic Politics and the Politics of Simulation.

Environmental Politics Vol. 16, No. 2, 251-275. (April, 2007). Bruning, Stephen D., Dials, Melissa, dan Shirka, Amanda. (2007). Using Dialog to Build Organization-Public

Relationship, Engage Publics, and Positively Affect Organizational Outcomes. Public Relations Review 34 (2008), 25-31.

Bryant, Jennings dan Thompson, Susan. (2002). Fundamentals of Media Effects. New York: McGraw-Hill, Inc. Budiarjo, Miriam. (1983). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia. Çelik, Sinan Kadir. (2007). False Consciousness. Encyclopedia of Activism and Social Justice. Thousand Oaks,

California: Sage Publication, Inc., 546-548. Corthell, Austin. (2008). Public Relations and Politics: Background and Contemporary Practice Literature

Review and Case Studies. Public Relations Theory & Practice (JMC 68000) Public Relations Special Report 10/13/08.

Converse, Philip E. (1987). Changing Conception of Public Opinion in Political Process. Public Opinion Quarterly, Vol. 51, Issue Part 2: Suplement: 50th Anniversary Issue (1987), 12-24.

Coudhury, Enamul. (2004). The Politics of Symbol and The Symbolization of 9/11. The American Journal of Islamic Social Sciences 21(1), 73-96.

Cyrus Network. (2012). Laporan Hasil Survei Pra-Pemilukada Pemetaan Kekuatan dan Peluang Cagub-Cawagub Menjelang Pemilukada Provinsi Jakarta Tahun 2012, 8 – 16 April 2012.

Denton, Robert E. dan Woodward, Gary C. (1998). Political Communication in America. Edisi ke-3. Westport, Conn: Praeger.

Flick, Uwe. (2009). An Introduction to Qualitative Reasearch. Edisi ke-4. California: Sage Publications, Inc. Gadis. (2013). Branding Dalam Politik Elektoral (Kajian Komunikasi Politik Pasangan Joko Widodo dan Basuki

Tjahaja Purnama pada Pilkada DKI Jakarta 2012). Skripsi. Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

Geriya, I Wayan. (18 November 2008). Politik Simbol dan Simbol Politik. Diakses dari http:// www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailopiniindex&kid=1&id=994 pada tanggal 16 Agustus 2013 pukul 22.34 WIB.

Gusfield. (1981). Handoko, Ervan. (1 September 2013). LSI: “Jokowi Effect” Tidak Terjadi di Pilkada Tangerang. Diakses dari

http://megapolitan.kompas.com/read/2013/09/01/0607497/LSI.Jokowi.Effect.Tak.Terjadi.di.Pilkada.Tangerang pada tanggal 29 September 2013, pukul 23.11 WIB.

Hapsari, Endah. (27 Mei 2013). Dukung Jokowi, Warga Ancam Duduki DPRD. Diakses dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/05/26/mnehlb-dukung-jokowi-warga-ancam-duduki-dprd pada tanggal 2 Oktober 2013, pukul 9.55 WIB.

Haryanto, Ignatius, Theo Rika, dan Malik, Abdul. (2012). Foke atau Jokowi? Menguji Keberimbangan Media dalam Pemilihan Gubernur Jakarta 2012. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

Hennink, Monique, Hutter, Inge, dan Bailey, Ajay. (2011). Qualitative Research Methods. Thousand Oaks, California: Sage Publication, Inc.

Hidayat, Dedy N. (1999). Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi dalam Jurnal ISKI. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013

Page 20: Perspektif Kritis pada Praktik Political Public Relations ...

   

20    

Jackson, Nigel. (2010). Political Public Relations: Spin, Persuasion, or Relationship Building. The Annual Conference of The UK Political Studies Association (PSA) Media And Politics Specialist Group, Bournemouth (UK), 4-5 November 2010.

Kaufman, Stuart J. (2006). Symbolic Politics or Rational Choice? Testing Theories of Extreme Ethnic Violence. Presiden and Fellows of Harvard College and the Massachusetts Institute of Technology. International Security, Vol. 30, No. 4 (Spring 2006), pp. 45-86.

Koch, Thorsten. (2011). The Profesionalization of Political Marketing – A Detriment of Democratic Process. Departemen of Media and Communication, MA in Class Communication, University of Leicester, May, 2011.

Komisi Pemilihan Umum. (2012). Hasil Rekap Perhitungan Suara Pilgub Prov. DKI Putaran Kedua. Diakses dari http://www.kpujakarta.go.id/view/data/donwload/10 pada tanggal 28 Oktober 2013, pukul 17.31 WIB.

Lilleker, Darren G. (2006). Key Concepts in Political Communication. Thousand Oaks, California: Sage Publication, Inc.

Lindawaty, Debora Sanur. (2012). Efektivitas Mesin Partai politik Dalam Pemilihan Gubernur DKI 2012. Info Singkat Pemerintahan Dalam Negeri Volume IV, No.18/II/P3DI/September/2012.

Morris, Trevor dan Goldsworthy, Simon. (2008). Public Relations for Asia. New York: Palgrave MacMillan. Needham, Catherine. (2005). Brand Leaders: Clinton, Blair and the Limitations Of The Permanent Campaign.

Political Studies: 2005 Vol 53, 343–361. Neuman, W. Lawrence. (2011). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Edisi ke-7.

Boston: Pearson Education, Inc. Patton, Michael Quinn. (2002). Qualitative Research and Evaluation Methods. Edisi ke-3. Thousand Oaks,

California: Sage Publications, Inc. Poerwadarminta, W.J.S. (1939). Baosastra Jawa. Jakarta: Batavia J.B. Wolters’ Uitgevers-Maatschappij. Priliawito, Eko dan Junianto, Beno. (1 Juli 2012). Hasil Survei, Posisi Fauzi Bowo Belum Goyah? Posisi Foke

Masih Aman, Belum Ada Goyangan Serius Dari Lawan. Diakses dari http://m.news.viva.co.id/news/read/331660-hasil-survei--posisi-foke-belum-bisa-digoyang pada tanggal 16 Agustus 2013, pukul 12.00 WIB.

Sadikin, Rendy Adrikni. (19 Januari 2013). Jokowi Kembali Mandori Perbaikan Tanggul. Diakses dari http://wartakota.tribunnews.com/detil/berita/116942/Jokowi-Kembali-Mandori-Perbaikan-Tanggul pada tanggal 17 Oktober 2013, pukul 15.09 WIB.

Sanit, Arbi. (2002). Demokrasi, Kekuatan Masyarakat, dan Strategi Alternatif dalam Maruto M.D. dan Anwari M.W.K., Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat. Jakarta: Pustaka LP3EPS Indonesia.

Schmitt-Beck, Rüdiger. (2004). Political Communication Effects: The Impact of Mass Media and Personal Conversations On Voting. Frank Esser dan Barbara Pfetsch (Ed.). Comparing Political Communication: Theories, Cases, and Challenges. New York: Cambrigde University Press.Strömbäck, Jesper dan Kiousis, Spiro. (2011). Political Public Relations, Principles and Applications. New York: Routledge.

Sears, David O. (2001). “The Role of Affect in Symbolic Politics”. J.H. Kklinski (Ed.). Citizens and Politics: Perspectives from Political Psychology, pp. 14-40. New York: Cambrigde University Press.

Strömbäck, Jesper dan Kiousis, Spiro. (2011). Political Public Relations, Principles and Applications. New York: Routledge.

Teddlie, Charles dan Yu, Fen. (2007). Mixed Methods Sampling, A Typology With Examples. Journal of Mixed Methods Research Vol. 1, No. 1, Januari 2007. Sage Publications.

Virdhani, Marieska Harya. (29 Maret 2012). Makna Baju Kotak-kotak Bagi Pasangan Jokowi-Ahok. Diakses dari http://m.okezone.com/read/2012/03/29/505/602087 pada tanggal 16 Agustus 2013, pukul 19.04 WIB

Yasir. (2012). Paradigma Komunikasi Kritis: Suatu Alternatif Bagi Ilmu Komunikasi. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 1, Nomor, 1, Maret 2012, hlm. 1-55.

Yutanti, Widya. (2004). Aktivitas dan Strategi Kehumasan Partai Politik Menjelang Pemilu 2004 (Studi Pada Enam Partai Politik Besar di Kota Malang). Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang.

_________. (27 Mei 2012). Survei LSI, Tingkat Elektabilitas Jokowi Naik. Diakses dari http://www.beritasatu.com/megapolitan/50421-survei-lsi-tingkat-elektabilitas-jokowi-naik.html pada tanggal 16 Agustus 2013, pukul 10.26 WIB.

_________. (17 September 2012). Fakta Kegagalan Jokowi Urus Pasar Tradisional Solo. Diakses dari http://chirpstory.com/li/23060 pada tanggal 7 Oktober 2013, pukul 17.59 WIB.

_________. (25 Agustus 2012). Benarkah Jokowi Sukses Pimpin Solo? Diakses dari http://beritaprima.com/?p=2575 pada tanggal 29 September 2013, pukul 17.02 WIB.

Perspektif kritis..., Anita Fitria Sari, FISIP UI, 2013