PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH...
Transcript of PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH...
PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
PADA PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
JAKARTA TIMUR
Skrpsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
SHOFA FATHIYAH
NIM : 1110043200028
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H / 2015 M
iii
LEMBARAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana
Strata satu (S1) di Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya
atau merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 2 Juli 2015
Shofa Fathiyah
iv
ABSTRAK
Tatanan sistem peradilan agama mempunyai tujuan utama yaitu
sebuah keadilan. Demi mencapai tujuan tersebut, negara membentuk sistem
hukum yang meliputi substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bentuk perlindungan dan
pemenuhan hak korban kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Agama.
Metode yang digunakan penulis adalah jenis penelitian kualitatif
dengan pendekatan hukum normatif. Penulis menggunakan dua jenis data
yaitu data Primer dan data Sekunder. Primer yang digunakan adalah
perpustakaan, arsip dan putusan pengadilan agama Jakarta Timur, sedangkan
sumber sekunder berupa undang-undang yang diterapkan di Indonesia yang
terkait kitab fikih, buku-buku dan Kompilasi Hukum Islam.
Teori yang digunakan dalam penulisan adalah teori keadilan,
penegakan hukum, pemenuhan hak dan perlindungan korban kekerasan dalam
rumah tangga. Dari analisis maka dapat diperoleh hasil bahwa hakim
pengadilan agama Jakarta Timur belum memberikan pemenuhan hak dan
perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga sesuai dengan
undang-undang yang telah di atur.
Shofa Fathiyah, 1110043200028. Perlindungan korban kekerasan
dalam rumah tangga pada perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta
Timur. Perbandingan Hukum, Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
Dengan kata kunci : perlindungan korban kekerasan di Pengadilan
Agama.
Di bawah bimbingan : H. Kamarusdiana, S.Ag, MH. selaku dosen
Hukum Acara Peradilan Agama.
Daftar pustaka : Tahun 1983 s.d Tahun 2014
v
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر الر بسم للاه
Assalamu’alaikum Wr Wb
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT yang
senantiasa memberikan taufik dan hidayah-Nya yang senantiasa memberikan
rahmat yang berlimpah kepada penulis, sehingga penulis diberikan
kemampuan, kekuatan serta ketabahan hati dalam menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta
keluarga dan para sahabatnya. Kemudahan serta pertolongan Allah yang
selalu diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA PADA PERKARA PERCERAIAN DI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR.”
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak kekurangan di
dalamnya dan masih jauh dari kesempurnaan dalam hal ini tidak terlepas dari
sifat manusia yang penuh salah dan lupa. Selanjutnya karya ini tidaklah dapat
terselesaikan tanpa adanya dukungan dari kawan-kawan serta pihak-pihak
yang terkait dalam memberikan dukungan dan memberikan sumbangsih ide
vi
serta waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Oleh karena itu penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si selaku Ketua Prodi
Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Hj. Siti Hanna, S.Ag., MA, selaku Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab
dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo, selaku Pembimbing Akademik,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. H. Kamarusdiana, S.Ag. MH, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang
telah berkenan meluangkan waktu dan mencurahkan segala perhatiannya
untuk memberikan pencerahan serta pengarahan yang begitu baik bagi
penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima Kasih yang
sebesar-besarnya.
6. Pimpinan serta karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Pimpinan serta karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas
vii
untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku-buku ataupun lainnya,
sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.
7. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah banyak mencurahkan ilmu pengetahuan kepada penulis
selama menjalani masa pendidikan berlangsung.
8. Ayahanda tercinta Syaiful Bahry, MH dan ibunda tercinta Iik Mastariah,
Mpd yang selalu mendukung dan memberikan segalanya kepada ananda,
agar ananda dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Adik-adik tersayang, Mutia Nurhanani dan Muhammad Imam Rafy.
10. Teman berkeluh kesah Apriyanto Fitri Wibowo dan Tania S.Kom yang
selalu memberikan semangat dan dukungannya kepada penulis agar
menyelesaikan Skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuangan yang tidak bisa disebutkan satu per satu
Perbandingan Hukum angkatan 2010 yang selalu memberikan motivasi
dan kenangan dalam menjalani pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah.
Jakarta, 2 Juli 2015
Shofa Fathiyah
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................iii
ABSTRAK ..................................................................................................iv
KATA PENGANTAR ...............................................................................v
DAFTAR ISI ............................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………........1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………........8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian…………….……………......9
D. Kajian (Review) Studi Terdahulu….....……………………….9
E. Metode Penelitian……………………………………………10
F. Sistematika Penulisan ………………………………….……13
BAB II KAJIAN TENTANG TEORI PENEGAKAN HUKUM DAN
KEADILAN DI INDONESIA
A. Teori Penegakan Hukum.........................................................15
B. Teori Keadilan.........................................................................19
ix
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Perceraian Menurut Hukum di Indonesia...............................29
B. Proses dan Akibat Perceraian..................................................36
C. Bentuk dan Faktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga………45
D. Perlindungan Korban Menurut Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga ..........................................52
E. Perlindungan Korban Menurut Undang-Undang Perlindungan
Anak........................................................................................55
BAB IV PERLINDUNGAN HAK KORBAN KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA
TIMUR
A. Tinjauan Terhadap Kasus Perceraian di Pengadilan Agama
Jakarta Timur...........................................................................57
B. Bentuk Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga…........…………………………………………........ 59
C. Implementasi Perlindungan Hak Isteri dan Anak Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Pengadilan Agama Jakarta
Timur........................................................................................62
BAB V PENUTUP
x
A. Kesimpulan………………………......……………........….....70
B. Saran……………………………………………………….....71
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
1. Permohonan Melakukan Wawancara di Pengadilan
2. Keterangan Telah Melakukan Wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Timur
3. Salinan Putusan Perkara No: 2546.Pdt.G/2011/PAJT.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Warga Negara Indonesia adalah salahsatu unsur pembentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan merupakan bagian penting dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.1 Dengan demikian menjadi relevan
apabila tujuan didirikannya Negara diarahkan kepada perwujudan masyarakat
yang sejahtera, berdaulat, adil dan makmur sebagaimana tertuang dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.2
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum
(rechtstaat), bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat) dan Pemerintahan
berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas). Amanat tersebut tentu didasarkan pada tujuan
untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan
tertib serta menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum.3
1 Supriatnoko, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Penaku, 2008), Cet ke-2, Hal.7.
2 Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam
UUD 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Jakarta: Sinar
Grafika, 2002), Pertama 1999-Keempat 2002, Hal.4.
3 Wildan Suyuthi Mustofa, Pemecahan Permasalahan Acara Perdata Peradilan Agama,
(Jakarta: Tatanusa, 2002), Hal.1.
2
Demi mencapai tujuan tersebut, Negara membentuk sistem hukum yang
meliputi substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Kehadiran sistem
hukum tersebut merupakan bentuk konkret pertanggungjawaban negara atas
kewajibannya untuk mewujudkan keadilan yang dinantikan oleh Warga Negara.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen
Kedua memandatkan pelaksanaan hak asasi manusia dalam semua kebijakan
Negara. Pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia berdasarkan falsafah dan
ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan ketentuan Perundang-
undangan yang berlaku. Pasal 27 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 pada hakekatnya menyatakan bahwa negara mewujudkan dan
memastikan setiap Warga Negara memiliki kesetaraan hukum dan keadilan serta
berhak untuk menikmati hak atas kesejahteraan. Dengan demikian upaya
mempromosikan, melindungi dan memenuhi hak warga negara harus terlaksana
sesuai dengan derajat dan martabat kemanusiaannya.
Secara faktual saat ini kondisi ideal seperti dimandatkan dalam konstitusi
Republik Indonesia, belum dapat berjalan dengan optimal. Indikatornya terlihat
dari tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bukan saja
angkanya yang terus meningkat, namun masih banyak kasus yang tidak
terlaporkan karena ketakutan korban terhadap stigma masyarakat serta layanan
yang masih belum optimal memberikan rasa keadilan bagi perempuan dan anak
korban kekerasan. Dalam konstruksi pemenuhan hak asasi manusia maka hal
tersebut merupakan bagian dari negara terhadap pemenuhan hak korban atas
kebenaran, keadilan dan pemulihan. Ketiga hak itulah yang sudah seharusnya
3
dipenuhi oleh negara. Hak atas kebenaran mewajibkan pemenuhan hak korban
untuk mengetahui posisi pengungkapan kasus yang sedang dihadapi melalui
berbagai sistem Peradilan yang disediakan oleh Negara. Hak atas keadilan
memberikan kewajiban kepada negara agar sistem dan mekanisme yang di bangun
oleh negara dapat memberikan rasa adil, termasuk memberi efek jera dan
pendidikan pada pelaku. Hak atas pemulihan mengharuskan negara membangun
sistem dan mekanisme perlindungan dan pemulihan korban sehingga korban dapat
pulih seperti semula.
Peradilan Agama sebagai suatu sistem dalam menemukan keadilan
menjadi bagian penting terhadap pemenuhan hak-hak perempuan dan anak korban
kekerasan. Pasal 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan
bahwa: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini”.
Pengadilan Agama didedikasikan untuk menjadi lembaga yang menerima,
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama secara adil
bagi warga negara beragama Islam.4 Mengingat mayoritas warga negara Indonesia
beragama Islam maka tidak dapat di pungkiri bahwa keberadaan Pengadilan
Agama menjadi salah satu tumpuan para pencari keadilan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Agama dilakukan oleh
Pengadilan Agama yang bertindak sebagai peradilan tingkat pertama, bertempat
4 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000), Hal.10.
4
kedudukan di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten. Peradilan tingkat banding
dilakukan oleh Pengadilan Tinggi yang bertempat kedudukan di Ibukota
Provinsi.5
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan
umat Manusia, dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakan dan
dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat, dalam rumah
tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami istri) mereka saling
berhubungan agar mendapatkan keturunan sebagai penerus generasi yang berada
dalam rumah tangga disebut “keluarga”. Keluarga yang dicita-citakan dalam
ikatan perkawinan yang sah adalah keluarga sejahtera dan bahagia yang selalu
mendapat ridha dari Allah SWT.6 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan
sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
Pencantuman berdasarkan ketuhanan yang maha esa adalah karena Negara
Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah ketuhanan
yang maha esa bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama, kerohanian sehingga perkawinan mempunyai unsur lahir atau jasmani
5 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007), Hal.100.
6 Abdul Manan, Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008),
Hal.1.
5
tetapi juga memiliki unsur batin atau rohani.7 Kuat lemahnya perkawinan yang
ditegakan dan dibina oleh suami istri tersebut sangat tergantung pada kehendak
dan niat suami istri yang melaksanakan perkawinan tersebut. Perkawinan yang di
bangun dengan cinta yang semu (tanpa lahir batin), maka perkawinan yang
demikian itu biasanya tidak berumur lama dan berakhir dengan suatu perceraian.8
Perspektif Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
masalah perceraian terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Perceraian merupakan salah satu penyebab dari putusnya
perkawinan, sebagaimana diatur dalam pasal 38 bahwa perkawinan dapat putus
karena : a. kematian, b. perceraian c. atas keputusan Pengadilan.9
Dalam perkara putusan perceraian di Pengadilan khususnya hakim harus
memenuhi asas prinsip dasar sesuai dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
pasal 28 ayat 1 yaitu yang berkaitan dengan hakim dan kewajibannya yaitu:
Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim dapat memberikan putusan yang
sesuai dengan hukum dan rasa keadilan bagi Masyarakat. Kita bisa menyimpulkan
bahwa segala perkara yang diajukan ke pengadilan maka dalam memberikan
putusannya hakim harus sesuai dengan kewenangan kekuasaannya.10
7 Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Study Kritis Perkembangan Hukum
Islam dari Fikih. UU No.1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Prenada Group, 2004), cet-3, Hal. 43.
8 Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Hal. 1.
9 Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (PT Prenadya Paramita,1999), Hal. 549.
10 M Fauzan, Pokok Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), cet-1, Hal.7.
6
Penggunaan hak cerai dengan sewenang-wenang dengan dalih bahwa
perceraian itu hak suami harus segera dihilangkan. Pemikiran yang keliru ini
harus segera diperbaiki dan dihilangkan dalam Masyarakat. Hak cerai tidak
dipegang oleh suami saja, tetapi istri pun dapat menggugat suaminya untuk
meminta cerai apabila ada hal-hal yang menurut keyakinannya rumah tangga yang
dibina itu tidak mungkin diteruskan.11
Pelaksanaan perceraian menurut pasal 39
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 hanya dapat dilakukan di depan Sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat
hidup rukun sebagai suami isteri. Tingginya perkara perceraian yang diajukan ke
Pengadilan Agama dengan alasan adanya kekerasan dalam rumah tangga. Kondisi
tersebut menunjukkan adanya harapan besar dari korban kekerasan dalam rumah
tangga untuk terbebas dari kekerasan yang dialaminya dengan mencari keadilan di
Pengadilan Agama.
Kekosongan hukum tersebut dalam konstruksi pemenuhan hak asasi
manusia adalah bagian dari pengabaian Negara terhadap pemenuhan hak korban
atas kebenaran, keadilan dan pemulihan yang seharusnya sudah di penuhi oleh
negara. Sementara itu pasca dimasukannya Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Perlindungan Anak
sebagai landasan hukum formil dan materil di dalam Buku II Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, belum banyak hakim yang
merujuk kepada Undang-undang ini dalam pertimbangan hukum.
11
Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Hal. 9.
7
Gambaran di atas menunjukkan bahwa kekosongan hukum dalam
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga melalui Pengadilan Agama dan
sekaligus pemenuhan hak perempuan dan anak korban kekerasan dalam rumah
tangga yang menempuh proses hukum di Pengadilan Agama perlu ditangani
segera sebagai wujud konkret komitmen Negara untuk menciptakan terwujudnya
masyarakat yang adil. Kekosongan hukum tersebut selanjutnya diharapkan dapat
di isi melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung sebagai
lembaga pemegang kekuasaan tertinggi bidang Yudikatif, sekaligus sebagai
lembaga yang menaungi keberadaan Peradilan Agama. Hadirnya Undang-undang
nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
adalah upaya untuk pencegahan sekaligus peniadaan tindak kekerasan dalam
rumah tangga dalam hal ini melindungi khususnya perempuan sebagai isteri
dalam rumah tangga.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk menggali lebih
dalam sejauh mana hukum memberikan perlindungan kepada korban akibat
kekerasan dalam rumah tangga yang kerap terjadi. Perlindungan hak-hak korban
yang ada di dalam aspek perdata di Pengadilan Agama Jakarta Timur yang di atur
dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan
Undang-undang Perlindungan Anak. Sering kita jumpai terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga yang mengakibatkan persoalan hak dan kewajiban mantan
suami dan isteri. Penulis ingin meneliti bagaimana ketentuan hukum memberikan
perlindungan bagi isteri yang mengajukan perceraian di Pengadilan Agama
Jakarta Timur dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga mendapatkan hak-
8
haknya yang di atur dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004 dan Undang-undang Perlindungan Anak
Nomor 35 Tahun 2014 dengan judul PERLINDUNGAN KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PADA PERKARA
PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Beranjak dari fakta yuridis dan kenyataan hukum di atas agar
penelitian terfokus pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan
permasalahan, maka permasalahan dari penelitian ini dapat diidentifikasi
bahwa Pengadilan Agama yang dimaksud adalah Pengadilan Agama
Jakarta Timur dan penelitian terarah kepada pokok yang menjadi obyek
penelitian mengenai perlindungan kepada hak istri dan anak dalam proses
perceraian.
2. Perumusan Masalah
Permasalahan yang menjadi objek penelitian dapat dirumuskan
sebagai berikut:
a. Bagaimana bentuk perlindungan korban kekerasan dalam rumah
tangga pada proses perkara perceraian di Pengadilan Agama?
b. Bagaimana implementasi pemenuhan hak isteri dan anak korban
kekerasan dalam rumah tangga pada proses perkara di Pengadilan
Agama Jakarta Timur?
9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah sebagaimana tersebut di atas, maka
tujuan penelitian yaitu:
1. Mengetahui bentuk perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga
pada proses perkara perceraian di Pengadilan Agama.
2. Mengetahui Implementasi pemenuhan hak istri dan anak korban kekerasan
dalam rumah tangga pada proses perkara di Pengadilan Agama Jakarta
Timur.
Adapun kegunaan dari penelitian skripsi ini adalah:
1. Bagi praktisi hukum khususnya lembaga peradilan dalam lingkungan
Peradilan Agama untuk bahan masukan dalam penyusunan dan
pembentukan Surat Edaran Mahkamah Agung yang mengatur tentang
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dan pemenuhan hak
perempuan dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan
Agama.
2. Bagi Masyarakat untuk mengetahui bahwa mereka mempunyai hak-hak
agar memastikan tidak teraniaya oleh pihak-pihak tertentu yang tidak
bertanggung jawab.
D. Kajian Studi Terdahulu
Dalam penyusunan penelitian ini terdapat beberapa karya ilmiah yang
serupa namun memiliki fokus permasalahan yang berbeda. Penelitian sebelumnya
banyak sekali yang membahas permasalahan perceraian di Pengadilan Agama,
10
baik berupa skripsi maupun berupa tulisan-tulisan. Dari beberapa hasil penelitian
yang telah Penulis baca maka ada beberapa yang penulis anggap bisa dijadikan
review (kajian) antara lain:
No Nama Judul
Skripsi
Kesimpulan Perbedaan
1
2
Yuli
Halimah
Tuksa’diah
Lina
Ervina
Perceraian
Akibat
Kekerasan
Dalam Rumah
Tangga
Perlindungan
Hukum Anak
Korban
Tindak
Kekerasan
Dalam Rumah
Tangga
(Analisis
Komparatif
antara Hukum
Islam dengan
Hukum
Positif)
Pertimbangan
Hakim dalam
memutus perkara
perceraian akibat
kekerasan dalam
rumah tangga dan
faktor-faktor apa
saja yang
mempengaruhi
Putusan Hakim
dalam perkara
perceraian akibat
kekerasan dalam
rumah tangga di
Jakarta Selatan.
Bentuk
perlindungan
hukum menurut
hukum Islam dan
hukum positif
terhadap anak
korban tindak
kekerasan dalam
rumah tangga.
Penulis membahas
Implementasi
proses dan
pertimbangan
majelis hakim
dalam memberikan
putusan
perlindungan dan
pemenuhan hak
isteri dan anak
sebagai korban
kekerasan dalam
rumah tangga di
Pengadilan Agama
Jakarta Timur.
Penulis membahas
bentuk
perlindungan isteri
dan anak korban
kekerasan dalam
rumah tangga
dalam proses
perceraian di
Pengadilan Agama
Jakarta Timur.
E. Metode Penelitian
Untuk mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan
metode sebagai berikut:
11
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian
kualitatif yang bersifat pendekatan hukum normatif yang memiliki
persamaan dengan penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.
2. Sumber Data dan Proses Pengumpulan Data
a. Data Primer
Data primer yang didapat untuk penulisan ini berasal dari studi
dokumentasi yaitu penelitian yang dilakukan di perpustakaan, arsip
dan lain-lain.12
Penulis menjadikan “putusan” Pengadilan Agama
Jakarta Timur sebagai data primer untuk kemudian penulis melakukan
analisis hukum terhadap pertimbangan hakim tentang putusan.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data pendukung yang menjelaskan tentang
bahan hukum primer, seperti literature-literatur dan dokumen-dokumen
antara lain: Perundang-undangan yaitu Undang-undang Perkawinan
nomor 1 tahun 1974, Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-undang
nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Kompilasi Hukum
Islam, buku-buku fiqih dan umum yaitu pendapat-pendapat para ahli
hukum yang disusun dalam bentuk buku, internet dan bahan informasi
12
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),
Hal.50.
12
lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang di teliti juga hasil-
hasil penilitian hasil karya dari kalangan hukum.
3. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan
data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Wawancara yaitu percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewe) yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu.13
Dalam pelaksanaan
penelitian, interview bukan alat yang terpisah atau khusus, melainkan
merupakan suplemen bagi metode dan teknik lainnya. Interview
adalah percakapan dengan cara bertatap muka yang tujuannya
memperoleh informasi factual dengan cara mengajukan pertanyaan
dan penjelasan kepada hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur.
b. Studi Kepustakaan yaitu setelah data penulis peroleh dari studi
kepustakaan kemudian di analisis dengan cara menggunakan analisis
isi dan analisis kualitatif. Analisis kualitatif dalam penelitian ini
dilakukan dengan melihat, memahami dan menghubungkan data yaitu
keputusan hakim yang di dapat dalam peraturan dengan literatur yang
berhubungan dengan topik penelitian.
13
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2007), Hal. 186.
13
4. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
menggunakan deskriptif analisis dengan pendekatan konten analisis yaitu
penganalisis isi (conten analysis) dengan menggunakan uraian-uraian
untuk memberi gambaran, sehingga menjadi sistematis dan menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Data yang ada dianalisis sehingga
dapat membantu sebagai dasar aturan dan pertimbangan hukum yang
berguna dalam pengambilan putusan perceraian dengan alasan kekerasan
dalam rumah tangga.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini disesuaikan dengan ketentuan yang
berlaaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian akan disajikan dalam pembahasan dengan sistematika
penulisan sebagai berikut:
Bab. I : Pendahuluan. Bab ini memuat dan membahas mengenai: Latar
Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan
dan Kegunaan Penelitian, Kajian Studi Terdahulu, Metode
Penelitian dan Sistematika Penulisan.
14
Bab. II : Kajian tentang Teori Penegakan Hukum dan Keadilan di Indonesia.
Bab ini memuat dan membahas mengenai: Teori Penegakan
Hukum dan Teori Keadilan.
Bab. III : Tinjauan Umum Tentang Perceraian dan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Bab ini memuat dan membahas mengenai: Perceraian
Menurut Hukum di Indonesia, Proses dan Akibat Perceraian,
Bentuk dan Faktor-Faktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
Perlindungan Korban Menurut Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga Dan Perlindungan Korban
Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak
Bab. IV : Perlindungan Hak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di
Pengadilan Agama Jakarta Timur. Bab ini memuat dan membahas
mengenai: Tinjauan Terhadap Kasus Perceraian di Pengadilan
Agama Jakarta Timur, Bentuk Perlindungan Hukum Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Pengadilan Agama dan
Implementasi Perlindungan Hak Isteri Dan Anak Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Pengadilan Agama Jakarta
Timur.
Bab. V : Penutup. Bab ini memuat mengenai Kesimpulan dan Saran.
29
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG
PERCERAIAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Perceraian Menurut Hukum di Indonesia
1. Perceraian Menurut Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam
Perceraian dibolehkan dalam Islam karena pernikahan dianggap
sebagai sebuah kontrak yang dapat diputuskan karena kehendak
keduannya atau karena kehendak salah satu pihaknya. Bertentangan
dengan kepercayaan umum, Islam juga memperbolehkan perempuan dapat
membatalkan pernikahannya dalam bentuk perceraian yang dikenal
khulu.1 Talak walaupun dihalalkan, tetapi hal yang tidak disukai Allah
SAW.Dalam agama Islam perceraian pada prinsipnya dilarang. Hal ini
dapat kita lihat dari Sabda Rasulullah SAW :2
به عبد انحمص حدثىا محمد به خاند عه معرف به واصم حدثىا كثر
عه محارب به دثار عه ابه عمر عه انىب صهى هللا عهه وسهم قال :
ابغض انحالل انى هللا تعانى انطالق
Artinya: “Katsir bin Ubaid al Himshi menceritakan kepada kami (Abu
Dawud) ia berkata Muhammad bin Khalid menceritakan
kepadanya dan ia dari Mu’arrif bin Washil dan ia dari Muharib
bin Ditsar dari ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah Ta’ala adalah
Thalaq.3
1 Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk, Menuju Hukum Keluarga; Progresif, Responsif Gender,
dan Akomodatif Anak, (Suka-Pres, 2013), Hal.255.
2 M.Ali Hasan, Berumah Tangga Dalam Islam (Jakarta: Prenada Media, 2003), Hal.16
3 Sunan Abu Dawud, Nu’jam Al-Mufahrash Li Alfadz An-Nabawiy, Juz II, Bab Karahatut
Thalaq, Hal.934. diterjemahkan oleh M. Fuad Abdul Baqi. HR. Ahmad Ibn Yunus.
30
Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden
Nomor 1 tahun 1991) telah dijumpai dalam pasal 117 talak ikrar suami
dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab
putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 129, 130, 131.4
Kompilasi Hukum Islam mengenai perceraian telah diatur dalam
pasal 113 sampai dengan pasal 148 dengan melihat isi pasal-pasal tersebut
dapat diketahui bahwa prosedur bercerai tidak mudah, karena harus
memiliki alasan-alasan yang kuat dan alasan-alasan tersebut harus benar-
benar menurut hukum. Hal ini ditegaskan sesuai dengan Kompilasi
Hukum Islam pada pasal 115 yang isinya perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.5
Sesuai dengan tersebut yang dimaksud dengan perceraian perspektif
Kompilasi Hukum Islam adalah proses pengucapan ikrar talak yang harus
dilakukan di depan persidangan dan disaksikan oleh para hakim
Pengadilan Agama. Apabila pengucapan ikrar talak itu dilakukan diluar
persidangan maka talak tersebut merupakan talak liar yang dianggap tidak
sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk
bercerai (talak) harus disampaikan di hadapan sidang Pengadilan.
4 Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), Hal. 112.
5 Kompilasi Hukum Islam (KHI), Bab XVI Pasal 115, Hal. 21.
31
Tampaknya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti terdapat pada pasal 66 ayat
1 yang berbunyi: seseorang suami yang beragama Islam yang akan
menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk
mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak.6
Perceraian adalah pelepasan tali perkawinan, baik menurut fikih
Islam maupun menurut ketentuan sebagaimana tertuang dalam Kompilasi
Hukum Islam, perceraian dapat dibagi ke dalam beberapa macam yaitu:
a. Thalak
Thalak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama
sesuai dengan pasal 117 Kompilasi Hukum Islam. Rukun-rukun thalak
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Pengertian bahwa thalak adalah melepaskan ikatan perkawinan,
maka tentu thalak itu terjadi pada pasangan suami istri yang telah
terikat dalam perkawinan yang sah tanpa ikatan perkawinan tentu
tidak ada thalak.
2) Sighot talak dilihat dari sisi kalimatnya dapat berupa kalimat yang
jelas (sharih) dan dapat pula berupa kalimat sindiran (kinayah).
Sighot talak yang jelas merupakan kalimat jelas bahwa suami
menyatakan thalak kepada istrinya, sementara kalimat sindiran
yaitu kalimat yang diucapkan hanya merupakan kalimat yang
mengandung pengertian thalak di dalamnya, talak dengan tahrim
(pengharaman) seperti kalimat: “kamu haram bagiku”.7
6 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), Cet. 1, Hal. 221.
7 Abu Bakar Jabir Al-Jazair, Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim,Hal. 603.
32
3) Suami yang hendak menceraikan istrinya harus benar-benar dalam
kondisi yang sadar atau waras akal atau keinginan yang penuh
sehingga jika suami dalam kondisi gila, tidur atau dalam kondisi
emosional, maka ucapan thalaknya tidak dianggap sebagai thalak.
4) Perbuatan hukum yang disebut thalak merupakan perbuatan yang
tidak hanya berakibat hukum kepada pasangan suami istri yang
bercerai namun juga jelas menimbulkan pengaruh kepada pihak
lain dan karenanya tindakan hukum thalak tidak dibenarkan hanya
dilakukan secara rahasia tetapi harus disaksikan minimal oleh dua
orang saksi yang adil. Hal itu sebagaimana Firman Allah SWT
dalam Surat At-Thalak (65) ayat 2:
وأشهدوا ذوي عدل مىكم وأقمىا انش هادة لل
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu
karena Allah”.
b. Khulu
Khulu‟ artinya tebusan. Khulu ialah menebus dirinya dari
suaminya yang tidak disukainya dengan sejumlah uang yang ia
serahkan kepada suaminya sehingga dengan demikian ia terlepas
darinya.8 Perceraian dengan jalan khulu menimbulkan akibat yaitu
perkawinan putus dengan talak khul‟i, berkurangnya jumlah talak dan
tidak dapat dirujuk sesuai dengan pasal 161 Kompilasi Hukum Islam
dan bekas suami bebas dari kewajiban untuk membayar nafkah iddah
terhadap bekas istri sesuai dengan pasal 155 Kompilasi Hukum Islam.9
8 Abu Bakar Jabir Al-Jazair, Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, Hal. 605.
9 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Hal. 235.
33
c. Fasakh.
Perceraian karena fasakh lebih dikatakan sebagai pembatalan
nikah karena adanya suatu sebab. Nabi membubarkan perkawinannya
dengan seorang perempuan dari Bani Ghifar karena perempuan
tersebut memiliki suatu penyakit lain yang menghalangi keharmonisan
hubungan suami istri seperti penyakit kegilaan, kusta, penyakit
menular dan lain sebagainya. Selain karena adanya penyakit tertentu,
perceraian karena fasakh juga dapat terjadi karena salah seorang dari
pasangan suami istri murtad atau karena ternyata pasangan suami istri
tersebut memiliki hubungan yang dilarang melakukan perkawinan.10
d. Li‟an
Li‟an berasal dari kata “La‟n” yang berarti laknat. Perceraian
karena li‟an merupakan akibat dari tuduhan seorang suami kepada
istrinya bahwa istrinya tersebut telah melakukan zina, “aku melihatmu
berzina” kemudian kasusnya dibawa ke hadapan hakim. Di depan
hakim, suami diminta mendatangkan bukti-bukti yaitu empat orang
saksi yang bersaksi melihat istrinya berzina. Jika suami tidak bisa
mendatangkan bukti-bukti tersebut, maka Hakim menerapkan li‟an
(saling melaknat) kepada keduanya.11
Perceraian akibat li‟an maka
suami istri tersebut putus perkawinannya untuk selama-lamanya sesuai
dengan pasal 125 Kompilasi Hukum Islam dan tidak sahnya
10
Umar Mansyur, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut Teori dan Praktek,
Hal. 98.
11 Abu Bakar Jabir Al-Jazair, Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, Hal. 609.
34
perkawinan (batal demi hukum) perkawinan antara bekas suami istri
tersebut sesuai dengan pasal 70 huruf b Kompilasi Hukum Islam.12
e. Dzihar
Dzihar artinya punggung. Namun menurut istilah fikih dzihar
adalah ucapan suami kepada istrinya dengan kata lain: “Engkau
dengan aku seperti punggung ibuku”. Dzihar diharamkan karena Allah
Ta‟ala menamakannya kemungkaran dan kedustaan melakukan dzihar.
f. Talak Ta‟lik
Thalak pada umumnya berlaku seketika, namun adakalanya
ucapan thalak digantungkan pada suatu syarat dengan dikaitkan pada
waktu tertentu yang akan datang. Suami dalam menjatuhkan thalaknya
digantungkan kepada suatu syarat, seperti ucapan: “jika saya tidak
memberikan nafkah kepada engkau tiga bulan berturut-turut, maka
jatuhlah thalak saya satu kepadamu”.
2. Perceraian menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dimaksud
dengan perceraian adalah putusnya perkawinan. Adapun yang dimaksud
dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami dan istri yang
12
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Hal. 233.
35
mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga antara suami dan istri
tersebut.
Pengertian perceraian dapat dijelaskan dari beberapa perspektif
hukum berikut:
a. Perceraian menurut hukum Islam yang dipositifkan dalam pasal 38 dan
pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mencakup sebagai
berikut:
1) Perceraian dalam pengertian cerai talak yaitu perceraian yang
diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada
Pengadilan Agama yang dianggap terjadi dan berlaku beserta
segala akibat hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan di
depan sidang Pengadilan Agama sesuai pasal 14 sampai pasal 18
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
2) Perceraian dalam pengertian cerai gugat yaitu perceraian yang
diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada
Pengadilan Agama yang dianggap terjadi dan berlaku beserta
segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai pasal 20
sampai pasal 36.
b. Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah pula
dipositifkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
dijabarkan dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 yaitu perceraian yang
gugatan cerainya yang diajukan oleh dan atas inisiatif suami atau istri
kepada Pengadilan Negeri yang dianggap terjadi beserta segala akibat
hukumnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan
oleh Pegawai Pencatat di Kantor Catatan Sipil sesuai pasal 20 dan
pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
36
Perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan
dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan
itu.13
Namun, Subekti tidak menyatakan pengertian perceraian sebagai
penghapusan perkawinan itu dengan kematian atau yang disebut dengan
istilah “cerai mati”. Jadi, pengertian perceraian menurut Subekti lebih
sempit daripada pengertian menurut pasal 38 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 sebagaimana telah diuraikan di atas. Maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa perceraian itu walaupun diperbolehkan oleh agama,
tetapi pelaksanaannya harus berdasarkan suatu alasan yang kuat dan
merupakan jalan terakhir yang ditempuh suami istri, apabila cara-cara lain
yang telah diusahakan sebelumnya tetap tidak dapat mengembalikan
keutuhan kehidupan rumah tangga suami istri tersebut.
B. Proses dan Akibat Perceraian
1. Proses Perceraian
Pasal 73 ayat 1 telah menetapkan secara permanen bahwa dalam
perkara cerai gugat yang bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat
adalah “istri”. Pada pihak lain “suami” ditempatkan sebagai pihak
tergugat. Dengan demikian masing-masing telah mempunyai jalur tertentu
dalam upaya menuntut perceraian. Jalur suami melalui upaya cerai talak
dan jalur istri melalui upaya cerai gugat.14
13
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Internusa, 1985), hal. 42.
14 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Hal. 234.
37
Gugatan cerai (cerai gugat) diatur dalam pasal 40 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974, pasal 20 sampai pasal 36 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, pasal 113 sampai pasal 148 Kompilasi Hukum
Islam. Tata cara penyelesaian cerai gugat diatur sebagai berikut:
a. Cerai gugat diajukan oleh istri yang melakukan perkawinan menurut
agama Islam sesuai penjelasan pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975.
b. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Agama sesuai pasal
40 ayat 1 Jo. pasal 94 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
c. Surat gugatan cerai memuat nama, umur dan tempat kediaman
penggugat yaitu istri dan tergugat yaitu suami, alasan-alasan yang
menjadi dasar perceraian, petitum perceraian.
d. Gugatan cerai dapat diajukan berdasarkan alasan atau alasan-alasan
yang diatur dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1997, pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
pasal 51 dan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.15
e. Gugatan cerai prosesnya di Kepaniteraan Gugatan dan dicatat dalam
Register Induk Perkara Gugatan.
f. Pemanggilan pihak-pihak yaitu pemanggilan pihak-pihak dalam
perkara cerai gugat dilakukan sama dengan panggilan dalam perkara
cerai talak, panggilan terhadap para pihak yang tempat kediamannya
berada di wilayah pengadilan lain dan dilakukan melalui Pengadilan
Agama di tempat kediaman pihak yang dipanggil.
g. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat
gugatan perceraian didaftarkan di Kepaniteraan dan dilakukan dalam
sidang tertutup, demikian pula pemeriksaan terhadap saksi-saksi sesuai
pasal 80 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal 33 Peraturan
15
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Hal. 237.
38
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Adapun mengenai asas-asas yang
menjadi pedoman pemeriksaan perkara cerai gugat sama dengan asas
umum yang berlaku dalam pemeriksaan perkara cerai talak.16
h. Tenggang waktu antara pendaftar perkara dengan pemeriksaan sama
dengan dalam perkara cerai talak.
i. Kumulasi gugat atau samenvoeging van vordering adalah
penggabungan dari lebih satu tuntutan hukum ke dalam satu gugatan
atau beberapa gugatan digabungkan menjadi satu.17
Penggabungan
gugat hanya diperkenankan dalam batas-batas tertentu, yaitu apabila
penggugat atau para penggugat dan tergugat itu-itu juga orangnya.
Tujuan diterapkannya kumulasi gugat adalah untuk menyederhanakan
proses dan menghindarkan yang saling bertentangan.18
Gugatan soal
penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami
istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun
sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap dan
tata cara pemeriksaan kumulasi perkara ini sama dengan dalam perkara
cerai talak.
j. Upaya perdamaian dalam perkara gugatan cerai dilakukan sama seperti
dalam perkara cerai talak.
k. Gugat provisionil selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas
permohonan penggugat, ketentuan pasal 78 Undang-undang
Pengadilan Agama dan tujuannya berupa tindakan sementara atau
interim measure dari pengadilan selama proses pemeriksaan perkara
berlangsung ditetapkan lebih dulu kepastian yang menjamin nafkah
yang ditanggung oleh suami, menentukan hal-hal yang perlu untuk
menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak dan menentukan hal-hal
yang perlu menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
16
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Hal. 238.
17
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika,2001), Hal. 102.
18
Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan, (Jakarta:
2002) Buku II, Hal. 118.
39
bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau
barang-barang yang menjadi hak istri.19
l. Pembuktian tentang alasan-alasan cerai gugat dilakukan sama seperti
dalam perkara cerai talak, kecuali dalam hal cerai dengan alasan zina,
pelanggaran ta‟lik talak dan pelanggaran terhadap perjanjian
perkawinan.
m. Putusan Pengadilan Agama setelah memeriksa gugatan cerai dan
berkesimpulan bahwa istri punya alasan yang cukup untuk bercerai,
alasan-alasan cerai tersebut telah terbukti dan kedua belah pihak tidak
mungkin lagi didamaikan, maka Pengadilan Agama memutuskan
bahwa gugatan cerai dikabulkan dengan suatu “putusan”. Putusan
tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum sesuai pasal 81
Undang-undang Pengadilan Agama.
n. Terhadap “putusan” tersebut para pihak dapat mengajukan banding.20
o. Gugat Balik dalam bidang perceraian pada umumnya menyangkut hal-
hal yang merupakan asesor dari gugat pokok perceraian seperti hak
perawatan dan biaya nafkah anak, hak pembagian harta bersama dan
lain sebagainya. Gugat balik tidak dapat diajukan dalam tingkat
banding bila dalam tingkat pertama tidak diajukan.
2. Akibat Perceraian
a. Hak Bekas Suami Istri Menurut Hukum Islam
Seorang istri yang telah diceraikan oleh suaminya dan seorang
suami yang telah menceraikan istrinya atau suami istri yang telah
diputuskan perkawinannya selain fasakh, lian atau dzihar mempunyai
hak yang tidak dapat diambil begitu saja. Hak tersebut dikaitkan
19
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Hal. 259.
20 Mukti Atho, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Juli 2007),
cet ke-5, Hal. 224-227.
40
dengan keinginannya salah satu pihak untuk kembali berumah tangga
terbagi kepada dua kelompok besar, yaitu:
1) Hak Rujuk
Rujuk adalah sikap dari suami yang telah menceraikan
istrinya dan bermaksud kembali membina rumah tangga dengan
istrinya yang telah diceraikannya tersebut. Hak rujuk ini hanya
berlaku pada perceraian dalam bentuk thalak raj‟i dan istri yang
diceraikannya tersebut masih dalam masa iddah yaitu masa tunggu
selama tiga kali suci bagi istri yang diceraikannya dalam keadaan
suci dan sampai istrinya tersebut melahirkan jika istri yang
diceraikan dalam keadaan hamil. Ketentuan hukum Islam sejalan
dengan bunyi pasal 165 Kompilasi Hukum Islam bahwa: rujuk
yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan
tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
2) Hak Menikah Dengan Istri Yang Telah Diceraikan
Khusus dalam perceraian dalam bentuk thalak raj‟i ternyata
istri yang telah diceraikan telah habis masa iddahnya, maka jika
suami berkeinginan untuk membina rumah tangga kembali maka ia
dapat melakukannya dengan cara pernikahan baru. Begitu juga
dalam perceraian dalam bentuk thalak ba‟in sugro sementara jika
perceraian yang dijatuhkan dalam bentuk thalak ba‟in kubro maka
pasangan suami istri tersebut tidak lagi dapat melakukan
pernikahan ulang sebelum istri yang diceraikan menikah dengan
41
laki-laki lain dan mereka telah melakukan hubungan sebagaimana
layaknya hubungan suami istri.
3) Hak Melakukan Pernikahan Dengan Pasangan Baru
Pasangan suami istri yang telah bercerai jika tidak
dimungkinkan untuk melakukan rujuk atau menikah kembali
dengan istri yang telah diceraikannya tersebut maka masing-
masing pihak suami atau istri mempunyai kebebasan untuk
menikah lagi dengan pasangan barunya.
b. Kesimpulan-Kesimpulan Syara‟ tentang Talak
Ketika laki-laki menjatuhkan talak kepada istrinya secara
berurutan, ia memiliki memiliki berbagai kewajiban dan hak yaitu
sebagai berikut:
1) Istri yang telah diceraikan menjadi perempuan lain yang tidak
boleh untuk bersama-sama dengan mantan suaminya. Ia tidak
boleh menampakkan perhiasan baginya.
2) Sebagian hal-hal yang mencegah pernikahan menjadi penghalang
yang terjadi dalam pernikahannya tetap berlaku, maka sebagai
contoh tidak boleh bekas suami tersebut yang telah bercerai
menikahi ibu bekas isterinya.
3) Jika terjadi talak pada perempuan setelah berhubungan maka wajib
bagi istri untuk „iddah selama tiga kali quru‟ sebelum kembali
dalam kebebasannya dan bisa menikah untuk kedua kali, jika ia
dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai ia melahirkan.
4) Wajib bagi laki-laki untuk memberikan nafkah pada masa iddah,
memberikan nafkah anak jika mereka memiliki anak.
5) Jika salah satunya meninggal sebelum habis masa iddahnya, maka
yang hidup mewarisi dari yang meninggal. Selama talak yang
42
terjadi bukan talak ba‟in qubra (untuk ketiga kali atau setelah
saling melaknat) atau pada talak ba‟in sugra (bagian kecil) dari ila‟
atau dzihar karena hak mewarisi menjadi batal sejak terjadinya
talak.
6) Secara syara perempuan yang telah berkumpul memiliki hak atas
semua mahar yang ditunda secara langsung kecuali jika disebutkan
dalam akad bahwa ia memberikan secara lebih adil.21
c. Harta bersama
Pembagian harta bersama hanya berlaku bagi negara yang
secara adat (urf) menyatukan harta suami dan harta istri bertujuan
mewujudkan kebersamaan dalam membina rumah tangga. Dengan
demikian harta yang diperoleh setelah terjadinya akad nikah dianggap
harta bersama suami istri tesebut tanpa mempersoalkan jerih payah
siapa yang lebih banyak dalam memperoleh harta.
Permasalahan pembagian harta bersama telah di atur dalam
pasal 35 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 untuk menjamin
keutuhan dan terpeliharanya harta bersama, bisa dilakukan dengan
jalan meletakkan sita merital yang penjagaannya diserahkan kepada
istri. Demikian kira-kira tujuan yang terkandung dalam pasal 78
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. pasal 24 ayat 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
d. Pemeliharaan Anak (Hadhanah)
Hadhanah wajib diberikan kepada anak-anak yang masih kecil
untuk menjaga badan mereka, akal mereka dan agama mereka.
21
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga: Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, Hal. 344.
43
Hadhanah bila terjadi perceraian, maka ibu lebih berhak terhadap anak
untuk selanjutnya melakukan hadhanah karena ibu dianggap lebih
mengerti dengan kebutuhan anak dalam masa umur tersebut dan lebih
bisa memperhatikan kasih sayangnya.
Hak atas pemeliharaan anak tersebut berlaku sampai anak
mencapai mummayyiz yang dipekirakan berumur tujuh atau delapan
tahun. Pada masa mummayiz seorang anak secara sederhana telah
mampu membedakan antara yang bermanfaat dan tidak bermanfaat
serta yang sekiranya membahayakan dirinya, telah mampu makan dan
berpakaian sendiri. Oleh karena itu, dia telah dianggap mampu untuk
menjatuhkan pilihannya sendiri.
e. Nafkah Setelah Perceraian
Nafkah ialah makanan, pakaian dan tempat tinggal yang
diberikan pada orang yang wajib diberi itu semua. Perbedaan pendapat
yang ada hanya terletak pada banyak tidaknya dan baik buruknya,
karena itu semua tergantung kepada kaya tidaknya pemberi nafkah dan
status penerima nafkah. Oleh karena itu, lebih baik hal ini diserahkan
kepada hakim.22
Hakim seharusnya memberikan penjelasan yang rinci
tentang akibat hukum yang akan diberikan kepada siapapun yang
tersangkut masalah hukum tersebut. Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat
241 dan al-Azhab ayat 49 menegaskan suami yang menceraikan
istrinya juga berkewajiban memberikan mut‟ah dan ma‟ruf. Surat At-
22
Abu Bakar Jabir Al-Jazair, Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim,Hal. 619.
44
Talaq ayat 6 menegaskan kewajiban suami yang menceraikan istrinya
tidak terbatas hanya dengan pemberiah mut‟ah, akan tetapi juga
kewajiban untuk menyediakan tempat tinggal dan nafkah selama masa
iddah.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor:
328/K/Ag/2008 tanggal 17 September 2008 dengan menjatuhkan
pertimbangan hukum sebagai berikut: “Bahwa sesuai ketentuan Pasal
41 huruf (c) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 149
Kompilasi Hukum Islam, meskipun gugatan diajukan oleh istri, akan
tetapi tidak terbukti istri telah berbuat nusyuz, maka Mahkamah Agung
berpendapat Tergugat harus dihukum untuk memberikan nafkah,
maskan dan kiswah selama masa iddah kepada Penggugat dengan
alasan istri menjalankan masa iddah dan tujuan iddah itu antara lain
untuk istibra, dimana istibra tersebut menyangkut kepentingan suami.”
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 381/K/Ag/2006 tanggal 14
Febuari 2007, Pertimbangan hukum sebagai berikut: “Bahwa oleh
karena itu jumlah nilai mut’ah, nafkah, kiswah, dan maskan selama
masa iddah tersebut, sebagaimana akan ditetapkan dalam putusan ini:
Bahwa seorang ayah wajib menanggung nafkah dan hadhanah untuk
anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun, maka berdasarkan pasal
80 ayat (4) Jo. pasal 149 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam, Pemohon
selaku seorang ayah dihukum untuk membayar nafkah 3 (tiga) orang
anak kepada termohon sejak thalak dijatuhkan sampai ketiga orang
45
anak tersebut berumur 21 tahun (dewasa) yang jumlahnya akan
ditetapkan dalam amar putusan ini.23
Selain itu di Al-Qur‟an ayat 66
menegaskan bahwa kewajiban orang tua untuk menjaga dirinya dan
keluarganya dari api neraka. Wanita yang ditalak dengan talak ba‟in
sejak masa iddah-nya dan orang yang wajib memberinya nafkah ialah
suami yang mentalaknya itu dengan syarat wanita tersebut hamil
karena Allah Ta’ala berfirman:
وإن كه أوالت حمم فأوفقىا عههه حت ى ضعه حمههه
Artinya: “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang
hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin.” (Ath-Thalaq: 6).24
C. Bentuk Dan Faktor Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau
sejumlah orang yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang atau sejumlah
orang yang berposisi lemah (dipandang lemah atau dilemahkan) yang dengan
sarana kekuatannya, baik secara fisik atau pun non fisik untuk menimbulkan
penderitaan kepada obyek kekerasan.25
Secara etimologi kekerasan berasal dari
kata “keras” yang berarti padat dan tidak mudah berubah bentuknya atau tidak
mudah pecah. Sedangkan kata kekerasan itu sendiri adalah perihal yang bersifat,
berinci keras, perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan
23
Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk, Menuju Hukum Keluraga Progresif, Responsif Gender dan
Akomodatif Hak Anak, Hal. 261-263.
24 Abu Bakar Jabir Al-Jazair, Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, Hal. 618.
25 Mufidah, Psikolog Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN Malang: 2008),
cet ke-1, Hal. 267.
46
cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik barang orang
lain.26
Soerdjono Soekanto mendefinisikan bahwa kejahatan kekerasan dengan
suatu istilah yang dipergunakan bagi terjadinya cidera mental dan fisik. Kejahatan
kekerasan sebenarnya merupakan bagian dari proses kekerasan yang kadang-
kadang diperbolehkan sehingga jarang disebut sebagai kekerasan. Masyarakat
biasanya membuat kategori-kategori tertentu mengenai tingkah laku yang
dianggap keras atau tidak. Semakin sedikit terjadinya kekerasan dalam suatu
masyarakat, semakin besar kekhawatiran yang ada bila itu terjadi.27
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan dan penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis dan atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkungan rumah tangga Undang-undang tersebut tidak hanya
ditunjukan kepada perempuan, namun realitas menunjukan bahwa korban
terbanyak dari kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan dan anak.
Minimnya kesadaran keadilan cara pandang terhadap perempuan, menyebabkan
banyak orang dengan mudah melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Kehidupan rumah tangga yang diasumsikan dibangun untuk menumbuhkan
26
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1996) edisi ke-2 cet VII, Hal. 484-485.
27 Soerjono Soekanto dan Puoji Santoso, Kamus Kriminologi, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985), Hal. 104.
47
keamanan dan kedamaian, justru berbalik bagi perempuan menjadi tempat yang
paling rentan terhadap segala bentuk kekerasan.28
Kasus kekerasan dalam rumah tangga seringkali tidak terungkap ke
permukaan karena dianggap sebagai aib yang akan mempermalukan keluarga.
Begitu juga ketika dipertanyakan tentang alasan perceraian, terkadang kekerasan
dalam rumah tangga tidak diungkap karena korban mendapat ancaman dari pelaku
apabila hal tersebut di buka pada Persidangan. Padahal jika hal tersebut di buka
pada persidangan maka implikasi hukum pidana bagi pelaku akan ada pasca
terjadinya perceraian.29
1. Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga amatlah
beragam bentuknya. Tindak kekerasan dapat dibedakan dengan beberapa
aspek yaitu:
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik bisa muncul dalam berbagai bentuk dan rupa,
mulai dari menampar, menempeleng, memukul, membanting
menendang, membenturkan ke benda lain sampai bisa jadi menusuk
dengan pisau bahkan membakar. Berbagai kasus kekerasan dalam
rumah tangga yang terjadi, kekerasan fisik yang dialami perempuan
banyak yang mengakibatkan cidera berat, cacat permanen, bahkan
28
Faqihuddin Abdul Kodir, Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, Hal. 55.
29 Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk, Menuju Hukum Keluarga: Progresif, Responsif, dan
Akomodatif Hak Anak, (Suka-Press 2013), Hal.265.
48
kehilangan nyawa. Bisa jadi kekerasan fisik itu tidak memiiiliki
dampak atau hilang bekas fisiknya, tetapi hampir selalu memiliki
implikasi psikologis dan sosial pada korbannya.
b. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf
c Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 pemaksaan hubungan seksual
yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga tersebut dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan yang mengarah
kepada serangan terhadap seksualitas seseorang, bisa berupa
pemaksaan hubungan seksual, pemukulan dan bentuk-bentuk
kekerasan lain yang menyertai hubungan intim, bisa sebelum atau
sesudah hubungan intim, pemaksaan sebagai posisi dan kondisi
hubungan seksual ataupun pemaksaan pada istri untuk terus menerus
hamil atau menggugurkan kehamilan.
Kekerasan tidak saja berdampak pada organ seks atau
reproduksi secara fisik, namun juga berdampak pada kondisi psikis
atau mental perempuan dan anak-anak dalam rumah tangga. Kekerasan
seksual tidak lagi didefinisikan sebagai kejahatan kesusilaan, namun
49
lebih dimaknai sebagai kekerasan yang mengancam integritas tubuh
seseorang.30
c. Kekerasan Psikologi
Kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya dan penderitaan psikis berat pada
seseorang. Kekerasan non-fisik atau kekerasan mental yakni kekerasan
yang mengarah pada serangan terhadap metal atau psikis seseorang,
merupakan yang paling banyak terjadi dalam kasus-kasus yang
dilaporkan lembaga-lembaga pendamping. Bisa berbentuk ucapan-
ucapan menyakitkan, kata-kata kotor, bentakan, penghinaan, ancaman.
Perempuan dijadikan sasaran pelampiasan bisa jadi karena faktor-
faktor yang ada diluar rumah tangga.
d. Kekerasan Ekonomi (Penelantaran Rumah Tangga)
Penelantaran rumah tangga yaitu setiap orang yang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut
hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang tersebut. Termasuk dalam pengertian penelantaran adalah setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di
luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
30
Faqiihuddin Abdul Kodir, Komnas Perempuan: Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Hal. 115.
50
Konstruksi masyarakat di Indonesia, laki-laki ditempatkan sebagai
kepala rumah tangga yang berkewajiban untuk mencari dan memberi
nafkah kepada istri, tetapi tidak sedikit dari mereka yang
menelantarkan istri dan anak-anaknya secara ekonomi. Melarang istri
bekerja tetapi juga tidak memberikan uang atau pendapatan yang
cukup untuk keluarga.31
2. Faktor-faktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Ada banyak faktor sosial yang melestarikan adanya kekerasan
dalam rumah tangga dan menyulitkan korban memperoleh dukungan dan
pendampingan dari masyarakat. Pertama, adanya ketimpangan relasi
antara laki-laki dan perempuan, baik di rumah tangga maupun dalam
kehidupan publik. Ketimpangan ini yang memaksa perempuan dan laki-
laki untuk mengambil peran-peran gender tertentuyang pada akhirnya
berujung pada perilaku kekerasan. Posisi keluarga misalnya, kebanyakan
masyarakat percaya bahwa suami adalah pemimpin bahkan penguasa
keluarga. Istri diposisikan seperti milik penuh suami yang berada pada
kontrol dan pengawasannya. Kedua, ketergantungan istri terhadap suami
secara penuh, terutama masalah ekonomi yang membuat istri benar-benar
berada di bawah kekuasaan suami. Posisi rentan ini sering menjadi
pelampiasan bagi suami, ketika dia menghadapi persoalan-persoalan yang
sebenarnya berada di luar rumah tangga. Banyak penelitian yang
menunjukan beberapa suami yang mengalami kekerasan atau pelecehan di
31
Faqiihuddin Abdul Kodir, Komnas Perempuan: Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Hal. 59.
51
tempat kerja, dia lalu melampiaskannya di rumah kepada istri atau anak-
anak. Suami akan menggunakan ketergantungan ekonomi istri untuk
mengancamnya jika tidak mengikuti apa yang diinginkan dan memenuhi
apa yang dibutuhkan. Ketiga, sikap kebanyakan masyarakat terhadap
kekerasan dalam rumah tangga yang cenderung abai. Keempat, keyakinan
yang berkembang di masyarakat termasuk yang mungkin bersumber dari
tafsir agama bahwa perempuan harus mengalah, bersabar atas segala
persoalan keluarga, harus pandai menjaga rahasia keluarga, keyakinan
tentang pentingnya keluarga ideal yang penuh dan lengkap, tentang istri
shalihah juga kekhawatiran terhadap proses perceraian dan akibat dari
perceraian.32
Pada referensi lain dikemukakan bahwa faktor yang sangat
dominan sebagai penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
adalah sebagai berikut:
a. Budaya patriarkhi adalah budaya masyarakat yang meletakkan laki-
laki sebagai mahluk istimewa, memiliki nilai lebih unggul diutamakan
dan meletakkan perempuan sebagai mahluk yang memiliki
kekurangan, lemah, berperan hanya sebatas kasur, dapur dan sumur.
b. Sistem sosial kita (keluarga) mendorong perempuan untuk tergantung
kepada suami khususnya secara ekonomi, ini membuat perempuan
berada di bawah kuasa suami. Akibatnya, relasi antara suami dan istri
tidak setaraatau relasi kuasa yang timpang.
c. Perilaku hasil meniru (role modeling), dimana anak laki-laki yang
tumbuh dalam lingkungan yang ayahnya suka memukul ibunya
32
Faqiihuddin Abdul Kodir, Komnas Perempuan: Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Hal. 64-65.
52
cenderung akan meniru pola yang sama ketika ia sudah memiliki
pasangan (istri). Itulah mengapa banyak kasus kekerasan terhadap istri
dalam rumah tangga dilakukan oleh mereka yang berasal dari keluarga
yang ayahnya keras.33
Banyak faktor yang menyebabkan korban kekerasan dalam rumah
tangga tidak melaporkan penderitaan yang menimpanya, antara lain:
Pertama, si pelaku dengan si korban memiliki hubungan keluarga atau
hubungan karena perkawinannya. Kedua, keengganan korban mengadukan
kekerasan yang telah menimpanya dapat juga disebabkan masih
dipertahankannya pola pikir bahwa apa yang terjadi di dalam keluarga,
sekalipun itu perbuatan-perbuatan kekerasan, sepenuhnya merupakan
permasalahan rumah tangga pribadi dengan melaporkan dianggap
membuka aib keluarga. Ketiga, kurang percayanya masyarakat kepada
sistem hukum Indonesia sehingga mereka tidak memiliki kepastian bahwa
mereka akan berhasil keluar dari cengkraman si pelaku.34
D. Perlindungan Korban Menurut Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Korban kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami penderitaan atau
kerugian yang sangat beragam seperti materil, fisik maupun psikis sehingga
perlindungan yang diberikan kepada korbanpun harus beragam pula. Tidak sedikit
33
Siti Musdah Mulia, dkk, Meretas Jalan Awal Kehidupan Manusia: Modul Pelatihan
Hak-hak Reproduksi dalam Perspektif Pluralisme, (Jakarta: LKAJ, 2003), Hal. 55.
34 Ali Yusuf As-Subki, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), Hal.135.
53
korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami penderitaan secara beruntun
pada waktu bersamaan. Oleh karena itu, guna mengurangi beban penderitaan yang
dialami oleh korban kekerasan dalam rumah tangga, Undang-undang memberikan
hak korban kekerasan dalam rumah tangga untuk mendapatkan perlindungan dari
pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau
pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari Pengadilan, pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
medis, penanganan secara khusus berkait dengan kerahasiaan korban,
pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan
pelayanan bimbingan rohani.
Kekerasan dalam rumah tangga juga telah merampas kebebasan korban,
mereduksi kemampuan korban dan mengambil akses-akses ekonomi korban.
Dampak yang sangat kompleks dan luas ini coba diakomodasi Undang-undang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana disebutkan dalam pasal
39,40,41,42.35
Korban kekerasan dalam rumah tangga memperoleh perlindungan
dalam bentuk pelayanan kesehatan, berdasarkan pasal 21 Undang-undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.36
Pasal 40
mengatur tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar
profesinya dan dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
35
Faqiihuddin Abdul Kodir, Komnas Perempuan: Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Hal.116-117.
36 Ali Yusuf As-Subki, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta: Grafika
Offset,2010), Hal. 135.
54
memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban dan sesuai dengan pasal 22
pekerja sosial yang akan memberikan pelayanan kepada korban diharuskan untuk
melalakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi
korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan
perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari
Pengadilan, mengantarkan korban ke rumah yang aman atau tempat tinggal
alternative dan melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan
kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang
dibutuhkan korban.
Pengungkapan kebenaran adanya kekerasan dalam rumah tangga yang
kemudian menjadi penyebab terjadinya perceraian semakin terkuak, kemampuan
para hakim Pengadilan Agama yang secara arif, bijaksana dan cerdas mengungkap
fakta hukum terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Secara responsif,
para hakim mengintegrasikan keberlakuan delik pidana yang tercantum dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga dalam perkara perceraian yang ditanganinya. Meskipun akhirnya
dalam putusan, para hakim Pengadilan Agama tidak secara langsung dan serta
merta menghukum pelaku dengan hukuman badan sebagaimana yang berlaku
dalam sistem peradilan pidana di Peradilan Umum, tetapi mengintegrasikan rasa
keadilan korban melalui antara lain nafkah hadhanah, Iddah, perlindungan dan
nafkah hidup paska perceraian dan pemenuhan hak-hak korban kekerasaan.
55
E. Perlindungan Korban Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak
Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak Anak (KHA) oleh
pemerintah Indonesia pada tahun 1990, melalui Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 36 tahun 1990, merupakan salah satu langkah terpenting yang
paling menjanjikan dalam upaya peningkatan kebijakan perlindungan anak di
Indonesia. Keputusan Presiden tentang konvensi anak inilah yang kemudian
berproses menjadi cikal bakal lahirnya Undang-undang Nomor 35 tahun 2014
tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan Anak menurut Undang-
undang tersebut adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.37
Sedangkan yang dimaksud dengan
Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin, melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.38
Perlindungan Anak di Indonesia sendiri setidaknya ada dua mazhab besar
yang mewakili dua perspektif besar yang saling bersebrangan satu dengan lainnya,
yakni mengacu pada konsep hak anak sebagai bentuk sebagai hak atas
perlindungan (child protection) dan pemberian kebebasan kepada anak (child
liberation). Dalam hal ini negara berpretensi menjamin hak dan memberikan
perlindungan penuh kepada anak-anak. Dalam kasus-kasus kekerasan dan
eksploitasi anak dalam keluarga, misalnya kebanyakan di latar belakangi oleh
37
Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk, Menuju Hukum Keluarga: Progresif, Responsif, dan
Akomodatif Hak Anak, Hal. 349.
38 Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Hal. 107.
56
pandangan bahwa anak adalah aset bagi orang tua dan kelurganya cenderung
membuat anak-anak sangat rentan pada berbagai bentuk kekerasan dan ekspoitasi
dalam rumah tangga.39
Selain Undang-undang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga yang secara khusus mengatur penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga, pengaturan tentang kekerasan dalam rumah tangga juga diatur dalam
Undang-undang Pelindungan Anak. Undang-undang tersebut secara tegas
mengatur perihal kekerasan dalam rumah tanggarangga mewujudkan kepentingan
terbaik untuk anak, the best interest of child.
Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan Undang-
undang perlindungan anak juga menegaskan bahwa anggota keluarga yang
kedudukannya di rumah tangga sebagai anak-anak ini mempunyai hak yang harus
dilindungi dari segala bentuk kekerasan dan penelantaran.40
Berkaitan dengan hak
anak, pasal 105 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang hak asuh anak di
bawah usia 12 tahun maka diasuh oleh ibunya. Sedangkan di atas 12 tahun anak
akan memilih ikut ayah atau ibunya, ketentuan ini seharusnya dilengkapi dengan
kewajiban bagi orangtua untuk memastikan perkembangan psikologi anak tetap
tumbuh dan berkembang secara wajar ketika berada di bawah pengasuhan
salahsatu orang tuanya. Untuk itu penerapan ketentuan ini perlu dilengkapi
dengan kewajiban menghadirkan psikolog dalam rangka memantau
perkembangan mental anak selama proses pengasuhan pasca perceraian.
39
Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk, Menuju Hukum Keluarga: Progresif, Responsif, dan
Akomodatif Hak Anak, Hal. 352.
40 Faqiihuddin Abdul Kodir, Komnas Perempuan: Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Hal. 125.
57
BAB IV
PERLINDUNGAN HAK KORBAN`KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR
A. Tinjauan Terhadap Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur
Kasus perceraian yang terjadi di lingkungan Pengadilan Agama Jakarta
Timur pada tahun 2013 cukup tinggi, yakni mencapai angka 3351. Jumlah tersebut
terdiri dari kasus cerai talak yang berjumlah 1030 kasus dan cerai gugat 2321 kasus.
Sisa Perkara Tahun 2013 di Pengadilan Agama Timur, yakni mencapai angka 1016
terdiri dari cerai talak yang berjumlah 35 kasus dan cerai gugat 981 kasus.
Faktor penyebab kasus perceraian yang sering terjadi cukup variatif,
berdasarkan data Pengadilan Agama Jakarta Timur terdiri dari beberapa alasan:
1. Cemburu dengan jumlah 246 perkara (9%). Kecemburuan ini biasanya ada
sifat curiga antara pihak suami atau istri yang menyebabkan timbulnya
konflik yang tidak selesai sehingga salah satu pihak menjadikan perceraian
sebagai jalan keluar.
2. Poligami tidak sehat sebanyak 213 perkara (7,8%).
3. Ekonomi dengan jumlah 549 perkara (20%). Faktor ini merupakan persoalan
yang cukup fundamental dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga.
Kemudian hal ini menjadi salah satu faktor perceraian karena pihak suami
tidak ada usaha keras untuk mencari nafkah guna memberikan penghidupan
kepada keluarga.
4. Tidak ada tanggung jawab dengan jumlah 510 perkara (18,6%). Suami tidak
memberikan nafkah yang layak sebagaimana kewajibannya.
58
5. Penganiayaan dengan jumlah 294 perkara (10,7%). Kekerasan dalam rumah
tangga yaitu tindakan represif yang biasanya dilakukan oleh pihak suami
kepada istri sehingga menimbulkan penganiayaan berupa fisik maupun psikis.
6. Gangguan pihak ketiga dengan jumlah 336 perkara (12,3%). Kasus seperti ini
biasanya sering kita dengar dengan selingkuh yang menimbulkan kemarahan
besar antara salah satu pihak yang berada pada posisi setia. Adanya pihak
ketiga dijadikan alasan penggugat untuk mengajukan perceraian.
7. Tidak ada keharmonisan dengan jumlah 585 perkara (21,4%). Faktor cerai
yang terakhir ini ada berbagai macam sebab diantaranya di mulai dari
permasalahan ekonomi sampai pada perasaan.1
Data diatas terkait masalah cerai dengan alasan kekerasan dalam rumah
tangga yakni mencapai 1938 perkara (70,7%) mengenai kekerasan fisik,
psikologi dan ekonomi. Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa faktor tidak
harmonis menempati posisi tertinggi sebesar (21,4%) sebagai penyebab
perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur tahun 2013. Menyusul faktor
1 Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Timur 2013 diakses pada 20 Desember 2014
dari http://www.pa-jakartatimur.go.id/Laporan%20Tahunan/Laporan%20Tahunan%202013.pdf.
24%
13%
12% 20%
22% 9%
Faktor Penyebab Perceraian Tahun 2013 Tidak ada Keharmonisan
Gangguan Pihak Ketiga
kekerasan fisik
Tidak ada Taggung Jawab
ekonomi
Poligami Tidak Sehat
59
ekonomi di tempat kedua (20%) dan tidak tanggung jawab menjadi faktor ketiga
terbanyak (18,6%).
B. Bentuk Perlindungan Hukum Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di
Pengadilan Agama
Pasal 22 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga menjelaskan bahwa tugas dari seorang konseling
kepada korban kekerasan adalah melakukan konseling untuk menguatkan dan
memberikan rasa aman bagi korban serta memberikan informasi mengenai hak-hak
korban untuk mendapatkan perlindungan dan penetapan perintah perlindungan dari
Pengadilan. Pelayanan yang sifatnya rohani berdasarkan Undang-undang tersebut
khusus untuk upaya pemulihan korban seorang tenaga kesehatan, pekerja sosial dan
relawan pendamping dapat melakukan kerjasama sesuai seperti yang diatur dalam
pasal 42. Ketentuan pentingnya peran pendampingan dalam proses hukum untuk
kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam Undang-
undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga didasarkan pada berbagai
pertimbangan yaitu kehadiran pendamping diharapkan dapat menguatkan korban
yang masih dalam keadaan terpuruk sehingga sulit menyampaikan keinginannya
karena keterbatasan jumlah Advokat maka kehadiran pendamping yang pada
awalnya berperan memberikan pendampingan tidak jarang juga memainkan
perannya sebagai “paralegal” karena pendamping juga berperan untuk menjelaskan
60
hak-hak hukum korban dan akibat-akibat yang harus dijalani pada saat proses dan
pasca putusan Pengadilan.2
Undang-undang perlindungan anak menyatakan bahwa anak berhak
mendapat perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi ekonomi, penelantaran,
perlakuan seksual, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan
salah lainnya. Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban kekerasan harus
mendapatkan upaya rehabilitasi sesuai dengan Undang-undang yang sudah diatur,
baik dalam lembaga maupun di luar lembaga. Kebijakan perlindungan istri dan anak
korban kekerasan mempunyai tujuan untuk memberikan jaminan keamanan berupa
perlindungan terhadap istri dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga dalam
proses persidangan di Pengadilan dan menyediakan fasilitas sarana dan prasarana
bagi perempuan dan Anak di ruang Pengadilan dalam rangka memberikan
perlindungan dan menciptakan situasi yang kondusif bagi perempuan dan anak di
Pengadilan Agama (ruang konseling, ruang laktasi, ruang ramah anak, ruang tunggu
yang didampingi petugas keamanan di Pengadilan).
Rumusan kebijakan mendasarkan kepada ketentuan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1999 tentang
Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
2 Faqiihuddin Abdul Kodir, Komnas Perempuan: Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Hal. 121.
61
tentang Peradilan Agama, maka dengan ini diharapkan hal-hal yaitu selama proses
pemeriksaan cerai sebelum sidang pembuktian, istri dapat mengajukan hak asuh
anak, nafkah anak, nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut‟ah dan harta bersama. Istri
dalam gugatan dapat mengajukan permohonan istri sebagai korban kekerasan dalam
rumah tangga untuk didampingi oleh seorang pendamping, permohonan penetapan
perintah perlindungan sesuai dengan pasal 30 Undang-undang Nomor 24 tahun 2004,
permohonan penetapan agar suami meninggalkan rumah kediaman bersama sampai
ada putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, permohonan agar suami
tetap memberikan biaya nafkah selama proses pemeriksaan perkara kepada istri dan
anak-anak sesuai dengan pasal 41 huruf c undang-undang nomor 1 tahun 1974 jo
pasal 149 Kompilasi Hukum Islam dan penetapan agar suami membayar biaya
pemulihan istri dan anak perawatan fisik dan psikis korban tindakan kekerasan dalam
rumah tangga sesuai dengan pasal 39 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan Undang-Undang Perlindungan
Anak. Penetapan besarnya Mut‟ah bagi korban kekerasan dalam rumah tangga harus
mempertimbangkan rasa keadilan dan kebutuhan pemulihan psikologi dan fisik
korban kekerasan dalam rumah tangga. Dalam rangka untuk memberikan
perlindungan hukum kepada korban maka hakim secara ex-officio berwenang
mengeluarkan penetapan berupa tidakan konseling untuk kepentingan pemulihan
korban sesuai dengan pasal 39 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan penetapan kepada pelaku untuk
biaya pemulihan fisik maupun psikis korban.
62
C. Implementasi Perlindungan Hak Istri dan Anak Korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Di Pengadilan Agama Jakarta Timur
Perkara perceraian dengan alasan adanya kekerasan dalam rumah tangga
berupa kekerasan fisik, psikologi, ekonomi sesuai data sebanyak 1.838 kasus
(70,7%) dan perkara berdasarkan adanya kekerasan dalam rumah tangga di antaranya
perkara No.2546.Pdt.G/2011/PAJT, 3220.Pdt.G/2013/PAJT, 257.Pdt.G/2014/PAJT
dalam analisis ini bahwa berdasarkan amar putusan yang sudah ada di Pengadilan
Agama Jakarta Timur tidak ada perintah Hakim untuk memberikan penetapan
perlindungan kepada korban kekerasan, biaya pemulihan baik fisik maupun psikis
korban kekerasan dan tidak adanya pemenuhan hak-hak yang telah diatur dalam
Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Putusan yang ada
hanya di putus berdasarkan posita dari pihak penggugat, dalam perkara perceraian
yang di putus hanya perceraiannya saja tidak ditambahkan dari sisi pemenuhan hak-
hak korban kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber, Orba Susilawati selaku
Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur mengatakan bahwa Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Timur sudah mengetahui adanya hak-hak korban kekerasan dalam
rumah tangga yang mengalami kekerasan fisik maupun trauma psikis dan seharusnya
hal ini sudah terpenuhi di Pengadilan Agama dan Hakim mengakui bahwa ini sebuah
tuntutan terutama di kota-kota besar seperti Jakarta bahwa hakim seharusnya
memberikan tim advokasi kepada korban yang mengalami trauma akan tetapi dalam
pelaksanaannya Pengadilan Agama Jakarta Timur selama ini belum memberikan
63
perlindungan terhadap korban yang mengalami kekerasan. Namun demikian, hakim
beralasan tidak bisa menjalankan ketentuan dalam Undang-undang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga ini dikarenakan hakim tidak berani memberikan
putusan sebab hakim terikat dengan asas ultra petita dan dalam mengeluarkan
penetapan konseling guna pemulihan psikis korban, hakim membutuhkan sekian
departemen, instansi untuk bekerjasama. Kerjasama ini berupa gangguan psikis yang
membutuhkan kerjasama dari dokter ataupun psikiater dan berupa konseling yang
dapat didatangkan secara pribadi korban yaitu dokter psikiater atau dari Departemen
Agama ataupun Departemen Sosial tidak hanya sebatas Undang-undang saja namun
hakim membutuhkan MoU atau kerja sama dengan istansi lainnya.3
Berpandangan bahwa hakim seharusnya menerapkan Undang-undang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga meskipun tidak diminta oleh para pihak
demi tercapainya rasa keadilan, sehingga hakim harus melakukan ijtihad dan
melaksanakan Undang-undang sesuai dengan peraturan, maka sudah menjadi tugas
hakim untuk memberikan hak yang seharusnya di dapat para pencari keadilan, sesuai
dengan amanat Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman pasal 5 ayat (2), yang menyatakan pengadilan membantu para pencari
keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan
untuk tercapainya keadilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan quot. Terkait
dengan hal itu, seorang hakim mempunyai hak yang melekat karena jabatannya
3Wawancara Pribadi dengan Orba Susilawati, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur. 07
November 2014.
64
dimana dalam memutus suatu perkara seorang hakim dapat keluar dari aturan baku
selama ada argumen logis dan sesuai aturan Undang-undang.
Hakim dapat memutus lebih dari apa yang diminta karena jabatannya, secara
eksplisit Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
mengatakan bahwa “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberi nafkah dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istrinya”, sangat
dilematis jika hal ini dikaitkan dengan pernyataan bunyi pasal 178 ayat 3 HIR dan
pasal 189 RBg ayat 3, yang menyatakan hakim tidak dapat menjatuhkan putusan atas
perkara yang tidak digugat atau memberi daripada selain apa yang di gugat. Dengan
kata lain peran aktif dari hakim seakan-akan bertentangan dengan asas Ultra Petitum
Partium, bahwa dalam proses memeriksa dan mengadili perkara Hakim dilarang
memberi hal-hal yang tidak diminta. Selain itu jika kita melihat beberapa
Yurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya
berpendapat bahwa mengabulkan lebih dari yang dituntut, memutuskan sebagian saja
dari semua yang diajukan atau memutus hal-hal yang tidak dituntut sepanjang ada
hubungannya serta tidak melanggar pasal 178 ayat 3 HIR, sehingga pasal tersebut
tidak berlaku mutlak oleh karena itu hakim dapat menggunakan ex-officionya dalam
memberikan perlindungan kepada korban dan pemenuhan hak-hak korban dalam
mencapai keadilan.
Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga memberikan
hak kepada korban untuk mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga,
pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya baik sementara maupun
65
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, mendapatkan
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis dan psikis korban. Pengadilan
Agama Jakarta Timur dalam perkara perceraian akibat kekerasan dalam rumah
tangga korban kekerasan mengenai penetapan perlindungan sesuai dengan Undang-
undang yang mengatur di atas, belum ada Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur
yang memberikan penetapan perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah
tangga walaupun Hakim sudah melihat kedua Undang-undang ini sebagai dasar
hukum perceraian dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga, namun hakim
selama ini masih belum memberikan perlindungan pada proses perkara persidangan
perceraian maupun dalam bentuk putusannya dan Pengadilan Agama Jakarta Timur
belum memberikan petugas keamanan terhadap perempuan dan anak korban
kekerasan dalam rumah tangga.
Lebih lanjut Orba Susilawati, mengemukakan bahwa selama ini korban yang
mengalami kekerasan fisik ataupun trauma psikis tidak mendapatkan pendampingan
dari Pengadilan Agama Jakarta Timur yang sudah ada hanya sebatas mendampingi
dari paralegal namun hanya sebatas mendampingi saja mereka sendiri belum
mengerti fungsi untuk apa mereka duduk di sana, hanya sekedar mendampingi dan
mau apa setelah itu mereka tidak tahu, misalnya setelah ini pendamping minta
perlindungan kepada Departemen Sosial agar tidak terulang lagi dan adanya trauma
si korban pendamping mengejar lagi pelaku untuk membayar segala biaya selama ini
peran Pendamping pun tidak sampai kesitu, tugasnya tidak tuntas. Orba Susilawati
mengatakan bahwa sejauh ini korban kekerasan dalam rumah tangga tidak
66
mendapatkan informasi apapun mengenai hak-hak korban yang dilindungi hukum
dari pekerja sosial maupun dari Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur yang
mengakibatkan kekurangtahuan korban adanya hak-hak yang dilindungi hukum.
Hakim sejauh ini hanya memberikan sebuah himbauan berupa nasihat saja agar hal
ini tidak terulang lagi. Hakim tidak sampai mengarahkan korban untuk ke Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia disebabkan Hakim Pengadilan Agama beralasan bahwa
hakim membutuhkan payung hukum untuk melakukannya.4 Hak-hak tersebut kadang
tidak diketahui oleh si korban sehingga koban enggan untuk melaporkan perilaku
kekerasan yang menimpa dirinya. Oleh karena itu, meski Hakim Pengadilan Agama
hanya bertugas pada perkara-perkara perdata, namun Hakim dapat memberikan
informasi ini jika ternyata ada indikasi perilaku kekerasan dalam kasus yang sedang
ditangani. Pencantuman hak-hak ini, dalam penanganan kekerasan dalam rumah
tangga tidak saja mengedepankan unsur hukumnya saja tetapi juga
mempertimbangkan aspek lain yang berkaitan dengan yang di alami korban, oleh
karena itu mendengar „suara‟ korban adalah bagian penting dalam proses pengakuan
dan pemenuhan hak-hak korban. Bahwa untuk mendapatkan hak-hak istri dan anak
yang menjadi koban kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana tersebut di atas
membutuhkan biaya yang tidak selamanya dapat dipikul oleh koban kekerasan dalam
rumah tangga.
4Wawancara Pribadi dengan Orba Susilawati, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur. 07
November 2014.
67
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban yang di atur dalam
Undang-undang perlindungan anak bahwa anak yang menjadi korban kekerasan
dalam rumah tangga yang mengalami trauma psikis maupun kekerasan fisik tidak
mendapatkan rehabilitasi sesuai dengan Undang-undang yang mengatur.
Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan dan mempertimbangkan bahwa banyak
kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terungkap dalam pemeriksaan perkara
perceraian, sering terjadi perebutan hak asuh anak, sulitnya pelaksanaan eksekusi
putusan terkait soal hak pengasuhan dan nafkah anak agar anak terhindar dari
penelantaran. Anak yang ditelantarkan akibat perceraian, berhak memperoleh
perlindungan sesuai dengan pasal 13 huruf c. Berdasarkan ketentuan tersebut,
terdapat kekosongan hukum untuk pemenuhan hak-hak anak khususnya berupa hak
nafkah anak terbebas dari kondisi penelantaran anak. Pasal 41 huruf c Kompilasi
Hukum Islam mengatur bahwa biaya kehidupan anak ditanggung oleh ayah atau
bapaknya. Oleh karena itu, diperlukan Surat Edaran Mahkamah Agung yang
mengatur pemenuhan hak nafkah anak agar terhindar dari kondisi penelantaran.
Penetapan agar suami membayar biaya pemulihan istri dan anak perawatan
fisik dan mental korban karena tindakan kekerasan dalam rumah tangga dan
penetapan besarnya mut‟ah bagi korban kekerasan dalam rumah tangga harus
mempertimbangkan rasa keadilan dan kebutuhan pemulihan psikologi maupun fisik
korban kekerasan dalam rumah tangga. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur
menjawab bahwa saat ini hakim sudah melihat Undang-undang kekerasan dalam
rumah tangga sebagai dasar hukum perceraian dengan alasan kekerasan dalam rumah
68
tangga akan tetapi hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur belum menggunakan ex
officio nya dalam memutus perkara tersebut melihat kepada hak-hak korban,
memberikan perlindungan kepada korban dan memberikan putusan untuk
mengembalikan korban seperti semula dengan menghukum pelaku untuk
bertanggung jawab dalam pemulihan fisik maupun psikis koban kekerasan.5
Sistem hukum tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan
pengaturan (regulations), namun mencakup bidang yang luas meliputi struktur,
lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya hukum (legal structure). Menurut
Lawrence Friedman unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal
structure) meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga
terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan dan Kehakiman. Substansi hukum
(legal substance) adalah norma, peraturan maupun Undang-undang dan budaya
hukum (legal culture) adalah kebiasaan maupun prilaku dari masyarakat mengenai
pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau
dilaksanakan.6 Ketiadaan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah
tangga juga mengindikasikan bahwa keadilan yang diinginkan oleh istri dan anak di
Pengadilan Agama Jakarta Timur belum terpenuhi karena Undang-undang kekerasan
dalam rumah tangga tidak diterapkan oleh hakim Pengadilan Agama disebabkan
5 Wawancara Pribadi dengan Orba Susilawati, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur. 07
November 2014.
6 Kalo, Syafrudin. "Penegak Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan
Masyarakat”. Artikel diakses pada 20 Desember 2014 dari
http://www.bibliopedant.com/Oo4nfjc0YgsskUsG9MM6.
69
faktor masyarakatnya tidak tahu hak-hak yang dilindungi hukum (budaya hukum)
dan hakim sebagai unsur penegak hukum tidak mau menerapkan Undang-undang
yang sudah mengatur berarti ada kelemahan penerapan hukum. Hakim beralasan
bahwa hakim tidak mau bertentangan dengan asas ultra petitum partium namun
apabila merujuk kepada pasal 178 ayat 2 HIR menjelaskan tentang sifat hakim yang
harus aktif dan berusaha memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan
perkara. Terwujudnya penegakan hukum yang adil dan menjamin kepastian hukum
merupakan harapan seluruh warga masyarakat yang memiliki rasa keadilan, sudah
ada Undang-undang yang mengatur tetapi tidak bisa ditegakan karena struktur dan
budaya hukumnya mengakibatkan substansi hukum yaitu Undang-undangnya tidak
dilaksanakan seperti yang sudah diatur. Undang-undang penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga seharusnya diterapkan dengan menggunakan ex-officio hakim
dikarenakan substansi hukumnya sudah ada.
Hakim mengatakan yang sudah ada sekarang dalam pertimbangan hakim
mencamtumkan pasal atau Undang-undang yang mendukung terhadap terjadinya
gugatan perceraian tersebut yaitu Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-
undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Kompilasi Hukum Islam dan
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan pelaksanaannya Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1975 akan tetapi dalam pemenuhan hak-hak yang menjadi korban
kekerasan dalam rumah tangga dan perlindungan kepada korban dalam rumah tangga
tidak ada putusan di Pengadilan Agama Jakarta Timur dari Hakim dalam
memberikan pemenuhan hak dan perlindungan korban kekerasan tersebut.
70
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga juga harus ditopang oleh teks-teks
keagamaan yang lebih memahami situasi dan kondisi diskriminatif gender pada
perempuan. Penafsiran kembali atas teks-teks keagamaan adalah keniscayaan, karena
fakta menunjukan terhadap pemahaman keagamaan yang justru kontradiktif dengan
misi penghapusan kekerasan terhadap perempuan menuju keadilan bagi perempuan,
sebagaimana ditegaskan oleh KH Husein Muhammad bahwa kita perlu membangun
kembali makna kedilan substantif dan nyata.
Pemaknaan keadilan bagi perempuan dalam konteks ini, harus didasarkan
pada pengalaman-pengalaman perempuan sebagai korban ketimpangan relasi gender
karena pemenuhan keadilan secara mendasar harus dengan menunjukan
pemihakannya kepada korban. Hal ini yang lebih mendasar, pemaknaan keadilan
harus didasarkan pada paradigma hak asasi manusia, melalui paradigma ini
perempuan didudukan secara sejajar dengan seluruh potensi kemanusiaan yang
dimiliki sebagaimana laki-laki. Konstruksi sosial yang menjamin keadilan gender
diharapkan lahir menjadi basis pendefisian kembali tatanan hukum, aturan budaya,
regulasi dan kebijakan, tidak terkecuali pemahaman-pemahaman keagamaan yang
disebut dengan fikih.7
7 Faqihuddin Abdul Kodir, Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, Hal. 8.
70
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Bentuk perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga pada proses
perceraian di Pengadilan Agama adalah:
a. Istri dapat mengajukan hak asuh anak, nafkah anak, nafkah madhiyah,
nafkah iddah, mut‟ah, harta bersama
b. Korban kekerasan dalam rumah tangga didampingi oleh seorang
pendamping dan mendapatkan perlindungan dari petugas Pengadilan
Agama pada proses persidangan.
c. Penetapan suami memberikan biaya nafkah selama proses pemeriksaan
dan membayar biaya pemulihan istri dan anak serta perawatan fisik dan
mental korban karena tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
d. Penetapan besarnya Mut‟ah harus mempertimbangkan rasa keadilan
korban kekerasan dalam rumah tangga. Maka hakim secara ex officio
berwenang mengeluarkan penetapan berupa tidakan konseling bagi para
pihak.
2. Implementasi bentuk perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga di
Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah
a. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam memutus perceraian
dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadikan Undang-
71
undang Perlindungan Anak, Undang-undang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan pelaksanaannya Undang-undang
nomor 9 tahun 1975 dalam pertimbangan hukum memutus perkara,
namun dalam proses persidangan dan amar putusannya tidak
mencerminkan perlindungan, pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban
sehingga dirasa kurang berpihak pada adil gender.
b. Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Timur tidak berani memutus karena
terikat dengan asas ultra petita, amar putusan hanya terbatas pada apa
yang telah diminta atau dituntut sebagaimana termuat dalam petitum
penggugat,
c. Seharusnya hakim dapat menggunakan ex officio yang memiliki dasar
hukum yang kuat dalam memberikan perlindungan, pemulihan dan
pemenuhan hak-hak korban kekerasan.
B. SARAN
1. Majelis Hakim harus memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak
korban dengan meggunakan ex-officio dalam memutus putusan perceraian
dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga
2. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur seharusnya menggunakan ex officio
dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak melihat kepada
72
Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan Undang-
undang Perlindungan Anak.
3. Dibutuhkan berupa Surat Edaran Mahkamah Agung dalam memberikan MoU
Pengadilan Agama dengan instansi yang terkait dalam pemulihan korban
kekerasan.
4. Masyarakat seharusnya mengetahui dan memahami adanya hak-hak yang
sudah diatur dalam Undang-undang Perlindungan Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI
A. Buku
Abdul Kodir, Faqiihuddin. Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang
Kekerasan dalam Rumah Tangga, Jakarta: Komnas Perempuan, 2013.
Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta: Kencana,
2010.
Ali Hasan, M. Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Atho, Mukti. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet.V.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Juli 2007.
Atmasasmita, Romli. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: Eresco,
2003.
As-Subki, Yusuf. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: Grafika
Offset, 2010.
Bakar Jabir Al-Jazair, Abu. Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, cet.IV.
Jakarta: Darul Falah, 2002.
Ghani Abdullah, Abdul. Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press.
Fauzan, M. Pokok Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Mahkamah Syari’ah di Indonesia, cet.I. Jakarta: Kencana, 2005.
J. Moleong, Lexy. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007.
Kelsen, Hans. Dasar-Dasar Hukum Normatif, Prinsip-Prinsip untuk
Mewujudkan Keadilan dalam Hukum dan Politik, Penerjemah Nurulita
Yusron, Bandung: Nusa Media.
M Manullang, Fernando. Menggapai Hukum Berkeadilan, Jakarta: Kompas,
2007.
Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama, Buku II. Jakarta: 2002.
Manan, Abdul. Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana,
2008.
----------Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000.
----------Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Manan, Abdul dan Fauzan, M. Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang
Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Mansyur Syah, Umar. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut Teori
dan Prakter, Garut: Al-Umaro,1997.
Mufidah. Psikolog Keluarga Islam Berwawasan Gender, cet.I. Malang: UIN
Malang, 2008.
Musdah Mulia, Siti, dkk. Meretas Jalan Awal Kehidupan Manusia: Modul
Pelatihan Hak-hak Reproduksi dalam Perspektif Pluralisme, Jakarta:
LKAJ, 2003.
Nuruddin, Aminur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di
Indonesia, cet.I. Jakarta: Kencana, 2004.
Ruhaini Dzuhayatin, Siti, dkk. Menuju Hukum Keluarga; Progresif, Responsif
Gender dan Akomodatif Anak, Suka-Pres, 2013.
Saraswati, Rika. PerempuandanPenyelesaianKekerasandalamRumahTangga,
Bandung: PT. Citra AdityaBakti, 2006.
Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Jakarta: Rajawali, 1983.
----------Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cet.V. Jakarta:
Raja Grafindo, 2004.
Soekanto, Soerjono dan Santoso, Puoji. Kamus Kriminologi, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985.
Soemodihardjo, R. Dyatmiko Kapita Selekta Penegakan Hukum di Indonesia,
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006.
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT Prenadya Paramita,1999.
----------Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Internusa, 1985.
Supriatnoko. Pendidikan Kewarganegaraan, cet II. Jakarta: Penaku, 2008.
Suyuthi Mustofa, Wildan. Pemecahan Permasalahan Acara Perdata Peradilan
Agama, Jakarta: Tatanusa, 2002.
Syamsuddin, Aziz. Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar,edisi ke-2 cet VII. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Tim Redaksi Fokus media, “Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Kompilasi Hukum Islam”.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika,
2002.
Yahya Harahap, M. Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
----------Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007.
Yusuf As-Subki, Ali. Fiqh Keluarga: Pedoman Berkeluarga Dalam Islam,
Jakarta: Amzah 2010.
----------Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: Grafika Offset, 2010.
Zaenal Fanani, Ahmad. Berfilsafat dalam Putusan Hakim Teori dan Praktik,
Bandung: Mandar Maju, 2014.
B. Peraturan Perundang-undangan
KompilasiHukum Islam (KHI)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, dalam UUD1945
Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
C. Internet
Anwar, Yesmil dan Adang. “Pengantar Sosiologi Hukum”. Artikel diakses pada
1 april 2015 dari https://books.google.co.id/books.
Artikel diakses pada 1 april 2015 dari
https://masalahukum.wordpress.com/2013/10/05/teori-penegakan-
hukum/.
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Timur 2013. diakses pada 20
Desember 2014 dari http://www.pa-
jakartatimur.go.id/Laporan%20Tahunan/Laporan%20Tahunan%202013.p
df.
Syafrudin, Kalo. "Penegak Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan Rasa
Keadilan Masyarakat”. Artikel diakses pada 20 Desember 2014 dari
http://www.bibliopedant.com/Oo4nfjc0YgsskUsG9MM6.
Zaenal Fanani, Ahmad. Teori Keadilan dalam Perspektif Hukum Islam”. Artikel
diakses pada 25 Desember 2014 dari www.badilag.net.