PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v...

114
PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP RESTORAN DALAM PERSPEKTIF GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) OLEH LEMBAGA PENGKAJIAN PANGAN OBAT-OBATAN DAN KOSMETIKA MAJELIS ULAMA INDONESIA (LPPOM MUI) JAWA BARAT Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: TIKA ARRIZKIYA HARUM NIM: 1113048000049 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2018 M

Transcript of PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v...

Page 1: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP RESTORAN DALAM

PERSPEKTIF GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) OLEH LEMBAGA

PENGKAJIAN PANGAN OBAT-OBATAN DAN KOSMETIKA MAJELIS

ULAMA INDONESIA (LPPOM MUI) JAWA BARAT

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

TIKA ARRIZKIYA HARUM

NIM: 1113048000049

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1439 H/2018 M

Page 2: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

ii

Page 3: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

iii

Page 4: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

iv

Page 5: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

v

ABSTRAK

Tika Arrizkiya Harum. NIM 1113048000049. PERLINDUNGAN KONSUMEN

MUSLIM TERHADAP RESTORAN DALAM PERSPEKTIF GOOD CORPORATE

GOVERNANCE (GCG) OLEH LEMBAGA PENGKAJIAN PANGAN OBAT-OBATAN

DAN KOSMETIKA MAJELIS ULAMA INDONESIA (LPPOM MUI) JAWA BARAT.

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. x + 88 halaman + 5 halaman daftar pustaka

+ 9 halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan dan prosedur sertifikasi halal di

Indonesia. Selain itu juga untuk mengetahui penerapan prinsip Good Corporate

Governance (GCG) pada sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat

dan juga untuk mengetahui kendala dan hambatan dalam proses sertifikasi halal.

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian empiris yuridis.

Sedangkan jenis pendekatan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini meliputi dua

jenis pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan

pendekatan konsep (conceptual approach). Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah

dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan dua sumber data, yaitu sumber data

primer dan sumber data sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang

bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Dengan kata lain, bahan hukum primer

merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat. Sedangkan bahan hukum sekunder pada

dasarnya merupakan bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.

Selain itu, peneliti menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara

(interview) dan studi pustaka. Selanjutnya, metode analisis yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode analisis komparatif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa di Indonesia, status hukum mengenai halal

atau tidaknya suatu produk dapat dilihat dari apakah produk tersebut memiliki label halal

atau tidak. Dimana label halal ini sangat erat kaitannya dengan sertifikasi halal,

dikarenakan untuk memperoleh label halal pada suatu produk, pelaku usaha perlu

melaksanakan sertifikasi halal terlebih dahulu. Sertifikasi halal didefinisikan sebagai suatu

kegiatan pengujian secara sistematis untuk mengetahui apakah suatu produk yang

diproduksi telah memenuhi ketentuan halal atau belum. Akan tetapi, peraturan perundang-

undangan yang mengatur sertifikasi halal belum sepenuhnya memberikan kepastian

hukum bagi konsumen muslim terhadap produk pangan yang terdapat pada restoran di

Indonesia, dikarenakan sifat dari sertifikasi halal sebuah produk di Indonesia masih

bersifat sukarela (voluntary), yang artinya pelaksanaan sertifikasi halal saat ini masih

bergantung kepada kesadaran pelaku usaha. Selain itu, upaya perlindungan hukum yang

dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat adalah dengan menerapkan Prinsip Good

Corporate Governance (GCG), yaitu Transparency, Accountability, Responsibility,

Page 6: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

vi

Independency, dan Fairness, pada pelaksanaan proses sertifikasi halal sehingga sertifikat

halal yang dihasilkan dari proses sertifikasi tersebut benar-benar telah menjamin

keamanan bagi konsumen muslim dan tidak perlu diragukan lagi status hukum

kehalalannya.

Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Sertifikasi Halal, Good Corporate

Governance (GCG), Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan

Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Restoran.

Pembimbing : Ir. M. Nadratuzzaman Hosen, MS, M.Sc., Ph.D.

Daftar Pustaka : Tahun 2001 sampai Tahun 2017.

Page 7: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang hanya dengan hidayah dan rahmat-Nyalah,

penyusunan skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM

TERHADAP RESTORAN DALAM PERSPEKTIF GOOD CORPORATE

GOVERNANCE (GCG) OLEH LEMBAGA PENGKAJIAN PANGAN OBAT-OBATAN

DAN KOSMETIKA MAJELIS ULAMA INDONESIA (LPPOM MUI) JAWA BARAT”

dapat diselesaikan dengan baik, walaupun terdapat beberapa kendala yang dihadapi saat

proses penyusunan skripsi ini.

Selesainya penulisan skripsi ini tidak dapat dicapai tanpa adanya bantuan,

dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini,

dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat peneliti ingin mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan

Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan waktu luang, saran dan masukan

terhadap kelancaran proses penyusunan skripsi ini.

3. Ir. M. Nadratuzzaman Hosen, MS, M.Sc., Ph.D., Dosen Pembimbing yang dengan

sabar telah memberikan arahan dan masukan serta bimbingan, juga telah bersedia

meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya, terhadap proses penyusunan skripsi ini.

4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

khususnya Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu

pengetahuan yang sangat bermanfaat untuk peneliti.

5. Kedua orangtua yang sangat peneliti cintai, Titis Prihanto dan Tri Indriyanti, yang

sabar membimbing peneliti dari mulai lahir, sekarang, hingga seterusnya tanpa kenal

lelah serta telah memberikan dukungan materiil dan immateriil untuk peneliti. Juga

Page 8: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

viii

untuk adik-adik tersayang, Tyan Alhadi Dwianto dan Tizty Annur Triananda, yang

telah menjadikan motivasi peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Rekky Prasetio, teman dekat peneliti yang selalu memberikan dukungan dan menjadi

motivator peneliti dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu

memberkati langkah kaki kita.

7. Sahabat-sahabat yang peneliti sayangi, Kurnia Dwi Sulistiorini, Puti Shakina, Andhitta

A.D, Wardah Humaira, Pangki Ladipa, Fachrizal, Irfan Saputra, dan Topan

Rohmattulah (Grup UNO), yang selalu menemani dan mewarnai hari-hari peneliti

selama di kampus. Terima kasih peneliti ucapkan untuk 8 semester yang singkat ini

kawan.

8. Kerabat terdekat peneliti, Ghaida Choirunnisa, Idzni Fitri, Permata Dwi Anggani, dan

Zahra Fatimah yang selalu memberikan motivasi dan doa untuk peneliti. Terima kasih

atas dukungannya dan telah menjadi tempat bertukar pikiran dan berkeluh kesah

peneliti.

9. Keluarga besar Ilmu Hukum angkatan 2013, juga seluruh junior dan senior Ilmu

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak mungkin peneliti sebutkan satu

persatu.

10. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) ICORE 2016, khususnya Alif Anjas

Permana, Juwita Dwi Lestari, Nur Rizky Novianti, Munir, dan lainnya yang tidak

dapat peneliti sebutkan satu persatu. Tak lupa juga seluruh Penduduk Desa Gintung.

Terima kasih atas kerjasamanya dan bantuannya selama KKN dan pembuatan laporan

KKN.

11. Semua pihak terkait yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam

penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata, peneliti berharap semoga skripsi ini dapat menjadi referensi bagi adik-

adik kelas dan bermanfaat bagi setiap pembaca. Terima kasih.

Jakarta, Juli 2018

Tika Arrizkiya Harum

Page 9: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................................. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................................iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................. iv

ABSTRAK ......................................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ vii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ix

BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................. 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................ 8

D. Metode Penelitian. ........................................................................................... 9

E. Sistematika Penulisan .................................................................................... 12

BAB II : KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ............................. 14

A. Kerangka Konseptual ..................................................................................... 14

B. Kerangka Teori .............................................................................................. 15

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................................... ..32

D. Kerangka Pemikiran .....................................................................................34

BAB III: DATA PENELITIAN .................................................................................... 37

A. Pengertian dan Prinsip Good Corporate Governance (GCG) ....................... 37

B. Lembaga yang Berwenang dalam Proses Sertifikasi Halal ........................... 41

C. Prosedur Sertifikasi Produk Halal pada LPPOM MUI..................................46

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................. 56

A. Pengaturan Sertifikasi Halal sebagai Bentuk Legitimasi

Kehalalan Produk di Indonesia ...................................................................... 56

Page 10: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

x

B. Penerapan Prinsip Good Corporate Governance (GCG) dalam

Proses Sertifikasi Halal yang Dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa

Barat ............................................................................................................... 63

BAB V : PENUTUP ..................................................................................................... 87

A. Kesimpulan .................................................................................................... 87

B. Rekomendasi .................................................................................................. 88

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 89

LAMPIRAN -LAMPIRAN

Page 11: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perlindungan konsumen adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen. Oleh

karena itu, dalam perlindungan konsumen terkandung aspek hukum di dalamnya.

Adapun materi yang mendapatkan perlindungan dalam hal ini bukanlah bersifat

fisik, melainkan terlebih kepada hak-hak konsumen itu sendiri yang bersifat

abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan

perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.1

Perlindungan atas kepentingan konsumen tersebut diperlukan mengingat

bahwa dalam kenyataannya konsumen rentan berada di pihak yang dirugikan.2

Hal ini dikarenakan konsumen merupakan pemakai terakhir dari produk yang

diserahkan oleh pelaku usaha dan konsumen tidak mengetahui bahan baku dan

proses pembuatan produk tersebut. Ketidakseimbangan posisi antara konsumen

dan pelaku usaha ini perlu dikompensasi agar konsumen dapat mengkonsumsi

produk barang dan/atau jasa secara lebih aman.3

Atas dasar kondisi tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan hak dan

kewajiban konsumen, juga hak dan kewajiban serta tanggung jawab pelaku usaha

melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen).

Diharapkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini dapat melindungi

1 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 19.

2 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014, Cet. Ketiga), h. 4.

3 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014, Ed. Pertama, Cet. Keempat), h. 173.

Page 12: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

2

kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan

secara efektif di masyarakat.

Dalam hal makan dan minum, ajaran Islam menghendaki agar produk

pangan yang akan dikonsumsi oleh umat muslim terjamin kehalalan dan

kesuciannya.4 Di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya merupakan muslim,

yang jumlahnya mencapai 87,2% dari 237,6 juta jiwa penduduk Indonesia5, maka

dengan sendirinya Indonesia menjadi pasar konsumen muslim yang demikian

besar. Oleh sebab itu, jaminan akan produk halal menjadi suatu hal yang penting

untuk mendapatkan perhatian dari negara.

Sekarang ini, aneka jenis produk makanan olahan dan minuman beraneka

rasa dapat dengan mudah diperoleh di sekitar masyarakat. Yang mana semuanya

itu dibuat dari berbagai macam bahan yang telah diolah dengan mesin

berteknologi tinggi dan campuran bahan-bahan kimiawi lainnya sehingga sulit

dikenali asal usul bahan baku dari produk-produk tersebut. Maka untuk produk-

produk semacam ini, yang dalam proses produksinya telah tersentuh oleh

teknologi, hukumnya menjadi syubhat (meragukan), disebabkan tidak diketahui

halal atau tidaknya produk-produk tersebut. Oleh karena itu, dalam hal ini status

hukum kehalalan atas suatu produk menjadi informasi yang sangat penting

sebagai dasar konsumen muslim untuk memilih produk yang akan

dikonsumsinya.

Di Indonesia, konsumen mendapatkan informasi mengenai halal atau

tidaknya suatu produk dari melihat apakah produk tersebut memiliki label halal

atau tidak. Di mana label halal ini sangat erat kaitannya dengan sertifikasi halal,

dikarenakan untuk memperoleh label halal pada suatu produk, pelaku usaha perlu

4 M. Nadratuzzaman Hosen, dkk, Gerakan 3 H Ekonomi Syariah; Halal Memperoleh, Halal

Mengkonsumsi dan Halal Memanfaatkan, (Jakarta: Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, 2007), h. 1.

5 Indonesia-Investments, “Agama di Indonesia”, artikel diakses pada 14 April 2017 dari https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/agama/item69.

Page 13: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

3

melaksanakan sertifikasi halal terlebih dahulu. Sertifikasi halal didefinisikan

sebagai suatu kegiatan pengujian secara sistematis untuk mengetahui apakah

suatu produk yang diproduksi telah memenuhi ketentuan halal atau belum.

Tujuan akhir dari kegiatan sertifikasi halal, yaitu adanya pengakuan secara legal

formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal.6

Pengakuan secara legal formal ini adalah berupa diterbitkannya sertifikat halal

sebagai hasil dari kegiatan sertifikasi halal apabila produk yang dimaksudkan

telah memenuhi ketentuan sebagai produk halal. Sehingga, dengan berpegang

kepada sertifikat halal tersebut masyarakat akan merasa tenang dan tenteram

dalam mengkonsumsi produk pangan karena sudah jelas kehalalannya.7

Berbicara mengenai sertifikasi halal, pemerintah melalui Keputusan Menteri

Agama Republik Indonesia Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana

Pemeriksaan Pangan Halal menunjuk Majelis Ulama Indonesia (selanjutnya

disingkat menjadi MUI) sebagai lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan

pemeriksaan pangan halal. MUI dalam struktur kelembagaannya memiliki

lembaga khusus dalam menangani masalah teknis mengenai pelaksanaan proses

sertifikasi halal, yaitu Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika

Majelis Ulama Indonesia (selanjtunya disingkat menjadi LPPOM MUI). LPPOM

MUI memberikan sertifikat halal kepada para pelaku usaha yang secara sukarela

mendaftarkan produknya untuk disertifikasi. Namun, dikarenakan pendaftaran

sertifikasi yang masih bersifat sukarela ini, maka produk yang beredar di

kalangan konsumen muslim bukanlah produk-produk yang secara keseluruhan

memiliki label halal, sehingga belum jelas halal atau tidaknya produk-produk

tersebut.

6 LP POM MUI Jawa Timur, Bunga Rampai Petunjuk Produk Halal, (Surabaya: Lutfiansah

Mediatama, 2004), h. 39.

7 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia; Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika, (Jakarta: Gaung Persada Press Group, 2013, Cet. Pertama), h. 5.

Page 14: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

4

Secara struktural, kedudukan LPPOM MUI berada pada Pusat dan Provinsi,

termasuk salah satunya adalah di Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat

merupakan provinsi dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di Indonesia,

yaitu mencapai 41.763.592 jiwa,8

dari total jumlah penduduk Jawa Barat

mencapai 46 juta jiwa.9 Namun demikian, produk halal di Jawa Barat masih

terbilang sedikit, termasuk di antaranya adalah restoran-restoran yang telah

bersertifikat halal. Hal ini dapat dilihat dari jumlah restoran yang ada di Jawa

Barat, yaitu mencapai 2.853 restoran,10

akan tetapi hanya terdapat 39 restoran

yang telah mengantongi sertifikat halal.11

Ini membuktikan bahwa masih

banyaknya restoran di Jawa Barat yang belum memiliki sertifikat halal, yang

berarti perlindungan terhadap konsumen muslim masih sangat minim.

Padahal, pemerintah daerah Jawa Barat, melalui Pasal 8 Peraturan Daerah

Provinsi Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2015 tentang Pembinaan dan Pengawasan

Produk Barang Higienis dan Halal mewajibkan setiap barang yang diproduksi

dan beredar di Jawa Barat agar memenuhi standar higienis dan/atau halal, berupa

jaminan atau sertifikasi higienis dan/atau halal yang diterbitkan oleh

intansi/lembaga yang berwenang. Ini berarti, pemerintah Jawa Barat menilai

bahwa sertifikasi halal, termasuk pada restoran, sangatlah penting disebabkan

8 Sang Pencerah (The Muhammadiyah Post), “Persentase Jumlah Umat Islam Berbagai

Daerah di Indonesia”, artikel dikases pada 11 Juli 2018 dari http://sangpencerah.id/2014/12/persentase-jumlah-umat-islam-berbagai/.

9 Pemerintah Provinsi Jawa Barat, “Penduduk”, artikel diakses pada 01 April 2018 dari http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/75.

10 Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, “Jumlah Restoran/Rumah Makan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat, 2013-2016”, artikel diakses pada 01 April 2018 dari https://jabar.bps.go.id/statictable/2018/03/23/472/jumlah-restoran-rumah-makan-menurut-kabupaten-kota-.html.

11 Daftar Belanja Produk Halal LPPOM MUI dari edisi No. 119/Mei-Juni 2016 hingga edisi No. 130/Maret-April 2018.

Page 15: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

5

untuk memenuhi hak konsumen muslim, yaitu hak memiliki rasa keamanan dan

kenyamanan dalam mengkonsumsi pangan.

Selain banyaknya restoran yang belum bersertifikat halal, kasus

ditemukannya bahan pangan yang tidak halal pada restoran yang telah memiliki

sertifikat halal MUI menimbulkan keresahan konsumen muslim. Kasus ini

pernah terjadi pada restoran Solaria di Balikpapan yang terjadi pada Tahun 2015,

seperti yang dikutip dalam artikel di bawah ini,

Tim Gabungan Operasional Razia Daging Ilegal menemukan dua bumbu di

restoran Solaria, yang terletak di satu pusat perbelanjaan di Jalan Sudirman

Balikpapan positif mengandung bahan yang tidak halal. Sebanyak 20 jenis

bahan yang disita, dari 20 tersebut ada delapan yang sudah diuji, dan dua

diantaranya positif mengandung bahan yang tidak halal, atau mengandung

hewan babi.12

Walaupun kasus ini hanya terjadi di Balikpapan, akan tetapi kasus ini

berhasil menjadikan konsumen muslim ragu pada sertifikat halal MUI, sehingga

memunculkan pertanyaan pada kepastian dari sertifikat halal MUI tersebut,

apakah restoran yang telah memiliki sertifikat halal MUI benar-benar sudah

dapat dipastikan kehalalannya.

Tentunya, sebagai lembaga yang melakukan kegiatan sertifikasi halal,

LPPOM MUI memerlukan pengelolaan dan pengendalian internal yang baik,

khususnya dalam pelaksanaan sertifikasi halal pada sebuah produk. Salah satu

bentuk pengendalian internal yang sering digunakan dalam suatu lembaga atau

organisasi adalah melalui Good Corporate Governance (selanjutnya disingkat

menjadi GCG).

Corporate governance dapat dikatakan sebagai suatu sistem internal yang

meliputi kebijakan dan proses yang menyediakan kebutuhan para pemangku

kepentingan (stakeholders), dengan cara mengarahkan dan mengendalikan

12 Tribun Pontianak, “MUI Temukan Bumbu Resto Solaria Mengandung Babi”, artikel

diakses pada 12 Oktober 2016 dari http://pontianak.tribunnews.com/2015/11/24/mui-temukan-bumbu-resto-solaria-mengandung-babi.

Page 16: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

6

aktivitas manajemen menggunakan kecerdasan, objektivitas, akuntabilitas dan

integritas yang baik. Penerapan praktik GCG dapat memenuhi kewajiban

seutuhnya baik kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dan

masyarakat serta konsumen pada umumnya.13

Adapun efektivitas penerapan

Corporate Governance ditandai dengan terdapatnya keseimbangan (balance)

dari berbagai perangkat (subsystem) yang terdapat di dalam mekanisme sistem

Corporate Governance itu sendiri.14

Oleh karena itu, dalam proses sertifikasi

halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat terdapat hal yang perlu

diperhatikan, yaitu apakah proses sertifikasi halal pada praktiknya sudah

menerapkan prinsip GCG.

Tolak ukur untuk menilai apakah LPPOM MUI Jawa Barat sudah

menerapkan GCG adalah dari kelima prinsip GCG itu sendiri, yaitu

Transparency, Accountability, Responsibility, Independency, dan Fairness.

Sehingga dapat diketahui apakah proses sertifikasi halal yang dilakukan telah

memenuhi kepentingan stakeholders dan apakah proses sertifikasi halal yang

dilakukan oleh LPPOM MUI tersebut sudah sesuai dengan prosedur yang

berlaku, sehingga produk yang dihasilkan dari proses sertifikasi halal tersebut,

yaitu sertifikat halal yang dimiliki oleh setiap pelaku usaha sudah benar-benar

melindungi konsumen muslim.

Pengetahuan masyarakat selaku konsumen akan makanan halal saat ini

nampaknya sudah cukup tinggi, namun kesadaran untuk memverifikasi suatu

produk yang terjamin kehalalannya masih sangat lemah. Oleh karena itu, hal ini

harus didukung dengan aturan yang dapat memberikan legitimasi yang kuat.

13 Tunas, “Pengembangan Tata Kelola Perusahaan”, artikel dikases pada 27 Desember

2017 dari http://www.tunasgroup.com/prinsip-dasar-dan-pengembangan-tata-kelola-perusahaan/.

14 Niki Lukviarman, Corporate Governance, (Solo: Era Adicitra Intermedia, 2016), h. 130.

Page 17: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

7

Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan adanya kejelasan apakah

sertifikasi halal di Indonesia telah memiliki legitimasi yang kuat dan apakah

proses sertifikasi halal selama ini telah memberikan kepastian hukum sebagai

bentuk perlindungan kepada konsumen muslim. Maka, peneliti akan membahas

lebih jauh lagi mengenai pengaturan sertifikasi halal bagi restoran dan upaya

perlindungan hukum yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat bagi

konsumen muslim di Jawa Barat terhadap restoran yang telah melakukan

sertifikasi halal. Oleh karena itu, peneliti menyusun skripsi ini dengan judul

“Perlindungan Konsumen Muslim terhadap Restoran dalam Perspektif

Good Corporate Governance (GCG) oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-

obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Jawa

Barat”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka

dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan yang dapat diteliti, yakni

sebagai berikut:

a. Masih banyaknya restoran di Indonesia yang belum memiliki sertifikat

halal sehingga belum dapat memberikan perlindungan bagi konsumen

muslim.

b. Diperlukan penjelasan mengenai prosedur sertifikasi halal yang sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

c. Kesadaran konsumen untuk memverifikasi suatu produk yang terjamin

kehalalannya masih sangat lemah.

d. Diperlukan penerapan prinsip GCG dalam proses sertifikasi halal yang

dilakukan oleh LPPOM MUI.

Page 18: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

8

2. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya pembahasan yang telah dikemukakan pada latar

belakang di atas, maka pembahasan skripsi ini mengalami pembatasan yang

pembahasannya akan dibatasi pada perlindungan konsumen muslim terhadap

restoran dalam perspektif GCG yang dilakukan oleh LPPOM MUI di Jawa

Barat. Pembahasan juga terbatas hanya pada pengaturan sertifikasi halal

sebelum adanya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan

pembatasan masalah yang telah dijabarkan sebelumnya yaitu permasalahan

utama dalam penulisan skripsi ini adalah tidak adanya pengaturan yang kuat

mengenai sertifikasi halal di Indonesia sehingga perlindungan konsumen

muslim masih sangat lemah, maka pertanyaan penelitian dalam permasalahan

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana pengaturan sertifikasi halal menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan di Indonesia?

b. Apakah prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI

Jawa Barat sudah memenuhi prinsip Good Corporate Governance

(GCG)?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pengaturan sertifikasi halal menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan di Indonesia.

b. Untuk mengetahui prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh

LPPOM MUI Jawa Barat telah memenuhi prinsip Good Corporate

Governance (GCG) atau belum.

Page 19: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

9

2. Manfaat Penelitian

Selain tujuan yang ingin dicapai, tentunya peneliti berharap hasil

penelitian ini juga dapat memberi manfaat yang nyata. Manfaat penelitian

merupakan suatu dampak dari tercapainya tujuan dan terjawabnya rumusan

masalah secara akurat. Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, maka

manfaat penelitian skripsi antara lain:

a. Secara Teoritis

Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan

pengetahuan pembaca mengenai pengaturan sertifikasi halal di

Indonesia menurut ketentuan yang berlaku dan bentuk bentuk upaya

perlindungan hukum yang diberikan oleh LPPOM MUI Jawa Barat

untuk konsumen muslim terhadap restoran yang telah melakukan

sertifikasi halal.

b. Secara Praktis

Dari hasil penelitian ini, besar harapan peneliti agar sertifikasi halal di

Indonesia memiliki legitimasi yang kuat dan juga penerapan prinsip

GCG dan ketentuan-ketentuan atau prosedur yang telah ditetapkan

dalam melakukan sertifikasi halal oleh LPPOM MUI sebagai bentuk

perlindungan kepada konsumen muslim.

D. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian

empiris yuridis. Jenis penelitian hukum empiris yuridis adalah suatu

penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata

dan mengevaluasi bagaimana bekerjanya hukum di masyarakat. Dapat

dikatakan bahwa penelitian hukum ini dapat diambil dari fakta-fakta yang

ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah.

Page 20: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

10

Jenis pendekatan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini meliputi

dua jenis pendekatan, yaitu;

a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach), mengingat peneliti

berusaha menganalisis beberapa peraturan perundang-undangan sebagai

fokus penelitian, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012

tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang

Jaminan Produk Halal dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999

tentang Label dan Iklan.

b. Pendekatan Konseptual (conceptual approach), mengingat peneliti

berusaha menemukan konsep yang sesuai dalam pengaturan terkait

sertifikasi halal di Indonesia dan prinsip GCG yang diterapkan pada

sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat.

2. Data, Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data

Data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini berupa informasi terkait

pengaturan sertifikasi di Indonesia dan prinsip GCG yang diterapkan pada

sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat. Dalam

penelitian ini, peneliti menggunakan dua sumber data, yaitu sumber data

primer dan sumber data sekunder dengan uraian sebagai berikut:

a. Sumber Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,

artinya mempunyai otoritas.15

Dengan kata lain, bahan hukum primer

merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat.16

Sumber penelitian ini

15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2015), h. 181.

16 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014, Cet. Kedelapan), h. 31.

Page 21: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

11

yakni sejumlah undang-undang yang berlaku di Indonesia, yaitu

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan

Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan.

Kemudian untuk meneliti proses sertifikasi halal menurut ketentuan

LPPOM MUI peneliti menggunakan sumber primer berupa panduan

umum sertifikasi halal oleh LPPOM MUI.

b. Sumber Sekunder

Bahan hukum sekunder pada dasarnya merupakan bahan yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.17

Sumber

sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa Keputusan

Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana

Pemeriksaan Pangan Halal dan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat

Nomor 13 Tahun 2015 tentang Pembinaan dan Pengawasan Produk

Barang Higienis dan Halal.

Selanjutnya peneliti menggunakan metode pengumpulan data melalui

wawancara (interview) dan studi pustaka. Melalui studi pustaka peneliti

mengumpulkan berbagai referensi terkait, baik dalam bentuk buku-buku,

dokumen, media cetak maupun elektronik yang memiliki relevansi dengan

permasalahan yang sedang diteliti.

3. Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

analisis komparatif. Metode analisis komparatif bersifat membandingkan.

Analaisis ini dilakukan untuk membandingkan persamaan dan perbedaan dua

atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang diteliti berdasarkan kerangka

pemikiran tertentu. Dalam penelitian ini, metode analisis data komparatif

17 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum..., h. 32.

Page 22: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

12

digunakan dengan cara membandingkan antara peraturan perundang-

undangan yang ada, pedoman yang ditentukan oleh suatu lembaga tertentu

dan opini pakar hukum dalam memahami suatu ketentuan hukum.

4. Teknik Penulisan Skripsi

Teknik penyusunan dan penulisan skripsi ini berpedoman pada buku

Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan pada tahun 2017.

E. Sistematika Penulisan

Bab Pertama. Pada penelitian skripsi ini akan dimulai dengan bab

pendahuluan yang akan menjabarkan mengenai latar belakang dilakukannya

penelitian, identifikasi masalah, batasan masalah, dua pokok permasalahan dari

penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

Bab Kedua. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kajian pustaka yang

menguraikan mengenai kerangka konseptual, kerangka teori, berupa pengertian

hukum perlindungan konsumen, asas dan tujuan perlindungan konsumen, pihak-

pihak yang terkait dengan hukum perlindungan konsumen, hak dan kewajiban

konsumen serta pelaku usaha, pengertian halal dan haram, pengertian sertifikasi

halal, dan pengertian Good Corporate Governance (GCG). Selain itu terdapat

pembahasan tinjauan (review) kajian terdahulu dan juga kerangka pemikiran

dalam bab ini.

Bab Ketiga. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai tinjauan umum Good

Corporate Governance (GCG) dalam proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh

LPPOM MUI Jawa Barat yang menguraikan mengenai pengertian dan prinsip

Good Corporate Governance (GCG), lembaga yang berwenang dalam proses

sertifikasi halal, dan prosedur sertifikasi produk halal pada LPPOM MUI.

Bab Keempat. Bab ini merupakan penjabaran dari hasil penelitian dan

pembahasan yang menguraikan mengenai pengaturan sertifikasi halal sebagai

Page 23: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

13

bentuk legitimasi kehalalan produk di Indonesia dan penerapan prinsip Good

Corporate Governance (GCG) dalam proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh

LPPOM MUI Jawa Barat.

Bab Kelima. Pada bab ini akan berisikan kesimpulan dari hasil penelitian

dan rekomendasi yang diharapkan dalam memberi sumbangan pengetahuan.

Page 24: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

A. Kerangka Konseptual

1. Produk adalah barang yang terkait dengan makanan, minuman, obat,

kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta

barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

2. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk

pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air,

baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan

atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan,

bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses

penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

3. Makanan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang

haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut

bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan

penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa

genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai

dengan ketentuan hukum agama Islam.

4. Produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat

Islam.

5. Proses produk halal adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan

produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk.

6. Jaminan Produk Halal adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu

Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.

7. Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama

Indonesia (selanjutnya disingkat menjadi MUI) yang menyatakan kehalalan

suatu produk yang merupakan keputusan sidang Komisi Fatwa MUI

Page 25: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

berdasarkan proses audit yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan

Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (selanjutnya disingkat

menjadi LPPOM MUI).1

8. Sertifikasi Halal merupakan suatu proses untuk memperoleh sertifikat halal

melalui beberapa tahap untuk membuktikan bahwa bahan, proses produksi

dan Sistem Jaminan Halal memenuhi standar LPPOM MUI.2

B. Kerangka Teori

1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Pengertian perlindungan konsumen menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya

disebut dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen) adalah: “Segala

upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada

konsumen.”

Sedangkan menurut Business English Dictionary, perlindungan

konsumen adalah “protecting consumers againts unfair or illegal traders”.

Selain itu, Black’s Law Dictionary mendefinisikan perlindungan konsumen

sebagai ”a statute that safeguards consumers in the use goods and services”.

Menggabungkan pengertian perlindungan konsumen menurut Business

English Dictionary dan Black’s Law Dictionary di atas, perlindungan

konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan

hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi

kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri.3

1 LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal, (Jakarta: LPPOM MUI, 2008), h. 8.

2 LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal…, h. 8

3 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 21.

Page 26: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Karena posisi konsumen yang lemah, maka ia harus dilindungi oleh

hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan

perlindungan atau pengayoman kepada masyarakat.4 Oleh karena itu, dibuat

hukum perlindungan konsumen sebagai bentuk perlindungan atau

pengayoman yang diberikan pemerintah kepada para konsumen.

Menurut Zulham, hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan

asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam

hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara

penyedia dan penggunaannya, dalam kehidupan bermasyarakat. Tegasnya,

hukum perlindungan konsumen merupakan keseluruhan peraturan perundang-

undangan, baik undang-undang maupun peraturan perundang-undangan

lainnya serta putusan-putusan hakim yang substansinya mengatur mengenai

kepentingan konsumen.5

2. Asas-asas Perlindungan Konsumen

Ada sejumlah asas yang terkandung di dalam usaha memberikan

perlindungan hukum kepada konsumen. Perlindungan konsumen

diselenggarakan berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan

nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, yaitu:

a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha

secara keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan

penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk

4 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,

2014, Ed. Pertama, Cet. Keempat), h. 13.

5 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 23.

Page 27: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

menempatkan salah satu pihak di atas pihak lain atau sebaliknya, tetapi

adalah untuk memberikan kepada masing-masing pihak, dalam hal ini

konsumen dan para pelaku usaha, apa yang menjadi hak dan

kewajibannya.6

b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan

melaksanakan kewajibannya secara adil.

c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti

materiil ataupun spiritual. Artinya, tidak ada salah satu pihak yang

mendapatkan perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari

pada pihak lain.7

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan

hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang

dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan

mengancam ketenteraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.

Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen membebankan

sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah

larangan yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha dalam memproduksi dan

mengedarkan produknya.8

6 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT Citra

Aditya Bakti, 2014, Cet. Ketiga), h. 26.

7 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…, h. 26.

8 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…, h. 27.

Page 28: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin

kepastian hukum. Artinya, Undang-Undang Perlindungan Konsumen

mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang

terkandung di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen harus

diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak

memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas dan menjamin

terlaksananya Undang-Undang Perlindungan Konsumen sesuai dengan

bunyinya.9

3. Tujuan Perlindungan Konsumen

Di samping asas-asas di atas, dibutuhkan tujuan yang dapat dijadikan

petunjuk arah dari pelaksanaan perlindungan konsumen di Indonesia. Tujuan

perlindungan konsumen tersebut dirumuskan dalam Pasal 3 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri.

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau

jasa.

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan infomasi serta akses untuk

mendapatkan informasi.

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha.

9 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…, h. 27.

Page 29: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

4. Pihak-Pihak Terkait dengan Hukum Perlindungan Konsumen

Di dalam hukum perlindungan konsumen terdapat para pihak yang

terlibat dalam pelaksanaan maupun penegakkannya. Pihak-pihak yang terlibat

dalam hukum perlindungan konsumen, diantaranya adalah:

a. Konsumen

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer

(Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Secara harfiah

arti kata consumer adalah (lawan dari pelaku usaha) setiap orang yang

menggunakan barang.10

Selain itu Business English Dictionary

menyebutkan “consumer is person or company which buys and uses

goods and service”.11

Konsumen pada umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari

produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap

orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk

diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi.12

Pengertian konsumen

menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

adalah: “Setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Az. Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen,

yaitu:13

10 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 22. 11 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 15. 12 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…, h. 14. 13 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media,

2001), h. 17.

Page 30: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

1) Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa

digunakan untuk tujuan tertentu;

2) Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang

dan/atau jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial);

3) Konsumen akhir, adalah setiap orang alami yang mendapat dan

menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi

kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangga dan

tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).

Konsumen akhir merupakan pengguna atau pemanfaat akhir dari

suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang

menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk

lainnya. Sehingga konsumen yang dilindungi oleh Undang-Undang

Perlindungan Konsumen hanyalah konsumen yang menggunakan barang

dan/atau jasa untuk tujuan yang nonkomersial (konsumen akhir),

sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 Angka 2 Undang-

Undang Perlindungan Konsumen bahwa pengertian konsumen dalam

undang-undang ini adalah kosnumen akhir.14

b. Pelaku Usaha atau Produsen

Dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,

pelaku usaha adalah:

Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk

badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama

melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai

bidang ekonomi.

14 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…, h. 14.

Page 31: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Dalam penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang

termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN,

koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.

Berdasarkan Product Liability Directive yang merupakan pedoman

bagi negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dalam menyusun

ketentuan Hukum Perlindungan Konsumen, pengertian “produsen”

meliputi:15

1) Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang

manufaktur. Mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian

yang timbul dari barang yang mereka edarkan ke masyarakat,

termasuk bila kerugian timbul akibat cacatnya barang yang

merupakan komponen dalam proses produksinya.

2) Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk.

3) Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tanda-

tanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai produsen dari

suatu barang.

Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha adalah pihak

yang harus bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif berupa kerugian

yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap pihak ketiga, yaitu

konsumen.16

c. Pemerintah

Dalam hukum perlindungan konsumen, pemeritah bertanggung

jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang

menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta

dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Selain

15 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 41.

16 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…, h. 14.

Page 32: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

melaksanakan tugas pembinaan, pemerintah juga melaksanakan tugas

pengawasan bersama-sama dengan masyarakat dan lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Dengan adanya pengaturan

ini, diharapkan adanya peran aktif pemerintah dalam pengawasan

terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen. Jadi, titik berat fungsi

pengawasan ini tidak hanya terletak pada peran masyarakat dan lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat.17

Selain itu, upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari

produk yang merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur;

mengawasi; serta mengendalikan produksi, distribusi dan peredaran

produk sehingga konsumen tidak dirugikan, baik kesehatannya maupun

keuangannya.18

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan kebijakan yang akan

dilaksanakan, maka langkah-langkah yang dapat ditempuh pemerintah

adalah:19

1) Registrasi dan penilaian

2) Pengawasan produksi

3) Pengawasan distribusi

4) Pembinaan dan pengembangan usaha

5) Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga

5. Hak dan Kewajiban Konsumen

Perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang

diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.20

Secara umum dikenal ada 4

(empat) hak dasar konsumen yang diakui secara internasional, yaitu:

17 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2004), h. 180-181. 18 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…, h. 19. 19 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…, h. 19-20.

Page 33: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);

b. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);

c. Hak untuk memilih (the right to choose);

d. Hak untuk didengar (the right to be heard).

Selain itu, di Indonesia terdapat hak-hak konsumen lainnya yang diatur

dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakannya.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur secara

tidak diskriminatif.

h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

Akan tetapi, selain berhak untuk mendapatkan sesuatu, konsumen juga

harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-

Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan

dan keselamatan.

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang

dan/atau jasa.

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

20 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 30.

Page 34: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

6. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Selain mengatur hak dan kewajiban konsumen, Undang-Undang

Perlindungan Konsumen juga mengatur hak dan kewajiban bagi pelaku usaha.

Pengaturan mengenai hak dan kewajiban dimaksudkan untuk menciptakan

hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumennya, sekaligus

menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi perkembangan usaha dan

perekonomian nasional pada umumnya.21

Adapun hak-hak dari pelaku usaha

menurut Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/jasa yang

diperdagangkan.

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beritikad tidak baik.

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen.

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum

bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau

jasa yang diperdagangkan.

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan lainnya.

Selain itu, kewajiban dari pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 7

Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur

serta tidak diskriminatif.

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau

jasa yang berlaku.

21 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…, h. 71.

Page 35: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan

dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang

diperdagangkan.

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfataan barang dan/atau

jasa yang diperdagangkan.

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila

barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai

dengan perjanjian.

Selain hak dan kewajiban pelaku usaha, pada Pasal 8 Ayat (1) Undang-

Undang Perlindungan Konsumen juga diatur bahwa pelaku usaha dilarang:

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang

dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah

dalam hitungan sebagaimana dinyatakan dalam label atau etiket

barang tersebut;

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam

hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau

kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau

keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,

gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan

dalam label atau keterangan barang dan/atrau jasa tersebut;

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,

keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa

tersebut;

g. Tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,sebagaimana

pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang

memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi,

aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan

alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang

menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan

barang dalam bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan yang berlaku.

Page 36: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

7. Pengertian Halal dan Haram

Kata halalan berasal dari bahasa Arab dari lafadz halla yang berarti

„lepas‟ atau „tidak terikat‟. Dalam Kamus Istilah Fiqh, kata halal difahami

sebagai segala sesuatu yang boleh dikerjakan atau dimakan. Dengan

pengertian bahwa orang yang melakukannya tidak mendapat sanksi dari Allah

Swt. Istilah halal biasanya berhubungan dengan masalah makanan dan

minuman.22

Sedangkan pengertian halal menurut pendapat Imam Malik dan

Imam al-Thabari adalah sesuatu yang suci, tidak najis, dan tidak

diharamkan.23

Berbeda dengan halal, thayyib (baik) pijakannya pada kelayakan dan

standar kesehatan. Boleh jadi ada makanan yang tidak diharamkan agama,

tetapi tidak memenuhi standar kesehatan. Karenanya, dengan mengkonsumsi

makanan yang halal lagi thayyib, umat Islam menjadi sehat baik fisik maupun

jiwanya.24

Secara lugawi, thayyib berarti baik, lezat, menenteramkan, paling utama

dan sehat. Jadi, thayyib meliputi makanan yang tidak kotor dari segi zatnya,

tidak rusak (tidak kadaluarsa), dan tidak tercampur najis. Juga pangan yang

mengandung selera yang memakannya, tetapi tidak membahayakan fisik dan

akalnya. Dengan demikian pangan tersebut proporsional, aman, dan sehat.25

Dalam firman Allah Swt. Surat Al-Baqarah (2): 168:

22 M. Nadratuzzaman Hosen, dkk, Gerakan 3 H Ekonomi Syariah; Halal Memperoleh, Halal

Mengkonsumsi dan Halal Memanfaatkan, (Jakarta: Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, 2007), h. 2.

23 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut Al-Qur’an dan Hadits (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2013, Cet. Kedua), h. 15.

24 Anna Priangani Roswiem, Buku Saku Produk Halal; Makanan dan Minuman (Jakarta: Republika, 2015, Cet. Pertama), h. 1.

25 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia; Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika, (Jakarta: Gaung Persada Press Group, 2013, Cet. Pertama), h. 14-15.

Page 37: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

ض حللا طيباب ول حخب رأ ب في الأ يب أيهب انبس كهىا ي إه نكىأ عذو يبي يأطب عىا خطىاث انش

( ٨٦١: ٢)انبقرة /

Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa

yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah

syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

Lafadz haram pada asalnya berarti mencegah atau merintangi (al-man’u).

Oleh karena itu, setiap yang diharamkan (al-muhrimu) itu menjadi tercegah

atau terlarang.26

Istilah haram dapat dimaknai dengan sesuatu atau perkara-

perkara yang dilarang oleh syara’. Berdosa jika mengerjakannya dan

berpahala jika meninggalkannya, dan sebagai lawan halal. Haram juga biasa

disebut dengan maksiat atau perbuatan jahat.27

Larangan umat Muslim untuk mengkonsumsi makanan yang haram

terdapat dalam firman Allah Swt. Surat Al-Maidah (5): 3:

أخقت وانأ به وانأ أزير ويب أهم نغيأر للا ى انأخ و ونحأ يأخت وانذ يجأ عهيأكى انأ يت حر خرد قىرة وانأ ىأ

يأ بع إل يب رك ... )انئذة / وانطيحت ويب أكم انس ( ٣: ٥خىأ Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,

(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang

terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang

sempat kamu menyembelihnya.”

Makanan dikatakan halal paling tidak harus memenuhi tiga kriteria, yaitu

halal zatnya, halal cara memperolehnya dan halal cara pengolahannya.28

a. Halal zatnya

Makanan yang halal menurut zatnya adalah makanan yang dari dasarnya

halal untuk dikonsumsi dan telah ditetapkan kehalalannya dalam kitab

suci al-Quran dan hadits.

26 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia; Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap

Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika…, h. 12.

27 M. Nadratuzzaman Hosen, dkk, Gerakan 3 H Ekonomi Syariah; Halal Memperoleh, Halal Mengkonsumsi dan Halal Memanfaatkan…, h. 2.

28 Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis, (T.tt.: UIN Malang Press, 2009), h. 194.

Page 38: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

b. Halal cara memperolehnya

Makanan yang halal menurut cara memperolehnya merupakan makanan

yang diperoleh dengan cara yang baik dan sah. Makanan akan menjadi

haram apabila cara memperolehnya dengan jalan yang bathil karena itu

bisa merugikan orang lain dan dilarang oleh syariat.

c. Halal cara pengolahannya

Makanan yang halal menurut cara pengolahannya adalah makanan yang

semula halal dan akan menjadi haram apabila cara pengolahannya tidak

sesuai dengan syariat agama.

Makanan yang halal jika bercampur dengan makanan yang haram, maka

hukumnya menjadi haram. Hal ini berdasarkan kaidah fiqh yang menyatakan

bahwa apabila bercampur antara (makanan) halal dan haram, maka menjadi

haram berikut ini:29

ارا اجخع انحلل و انحراو غهب انحراوArtinya: “Apabila bercampur antara (makanan) halal dan haram, maka

menanglah yang haram.”

Produk makanan halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan

sesuai dengan syari‟at Islam, antara lain:30

a. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.

b. Tidak mengandung khamr dan produk turunannya.

c. Semua bahan asal hewan harus berasal dari hewan halal yang

disembelih menurut tata cara syari‟at Islam.

d. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-

bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran, dan lain

sebagainya.

e. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan,

tempat pengelolaan dan transportasi untuk produk halal tidak boleh

digunakan untuk babi dan/atau barang tidak halal lainnya.

29 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia; Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap

Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika…, h. 71-72.

30 Aisjah Girindra, LPPOM MUI Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal, (Jakarta: LP POM MUI, 2005), h. 123.

Page 39: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Penggunaan fasilitas produksi untuk produk halal dan tidak halal

secara bergantian tidak diperbolehkan.

Pada hakikatnya semua jenis pangan itu halal kecuali yang secara tegas

dinyatakan keharamannya baik dalam al-Quran maupun al-Sunnah. Maka dari

itu, selain dari yang diharamkan itu hukumnya adalah halal. Jumlah dan jenis

pangan yang diharamkan dalam kedua sumber hukum Islam tersebut lebih

sedikit jika dibandingkan dengan yang halal. Oleh karena itu, sebenarnya

yang dibutuhkan penjelasan dan perinciannya adalah pangan yang haram.

Dengan demikian, yang dibutuhkan oleh umat Islam sebenarnya adalah

“Sertifikat Haram”. Akan tetapi, dalam kenyataannya di lapangan, hal tersebut

tidak dapat diwujudkan karena sertifikat haram berdampak serius baik secara

ekonomis maupun politis. Oleh karena itu, yang diberlakukan adalah sertifikat

halal.31

8. Pengertian Sertifikasi Halal

Pengertian dari sertifikat adalah tanda yang digunakan pada produk

(barang dan/atau jasa) untuk menyatakan tentang bahan, cara pembuatan,

kualitas, ketepatan (akurasi), karakteristik, pengelolaan, pengolahan, dan

tenaga kerja dalam menghasilkan produk tersebut.32

Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia (MUI)

yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari‟at Islam.

Sertifikat Halal MUI ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin

pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang

berwenang, yaitu Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).33

31 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia; Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap

Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika…, h. 18-19.

32 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 114.

33LPPOM MUI, “Sertifikat Halal MUI”, artikel diakses pada 14 April 2017 dari http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/55/1360/page/1.

Page 40: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Sedangkan sertifikasi halal merupakan proses kegiatan pembuatan surat

keterangan halal (Fatwa Halal) atau suatu produk pangan yang dibuat secara

tertulis yang dikeluarkan oleh MUI sebagai pihak yang berwenang

mengeluarkan fatwa di Indonesia.34

Sertifikat halal merupakan suatu perlindungan bagi umat Islam selaku

konsumen dari mengkonsumsi pangan yang haram. Akan tetapi, sertifikasi

halal di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary), bukan wajib

(mandatory). Hal ini menjadi salah satu penyebab masih banyaknya produk

yang beredar di Indonesia yang belum melakukan sertifikasi halal.

Hasil dari kegiatan sertifikasi halal adalah diterbitkannya sertifikat halal

apabila produk yang dimaksudkan telah memenuhi ketentuan sebagai produk

halal. Tujuan akhir dari sertifikasi halal adalah adanya pengakuan secara legal

formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal.35

Berbeda dengan sertifikasi halal, labelisasi halal adalah pencantuman

tulisan atau pernyataan halal pada kemasan produk untuk menunjukkan bahwa

produk yang dimaksud berstatus sebagai produk halal. Tujuan dari labelisasi

adalah untuk mencegah penipuan serta untuk membantu konsumen

memaksimalkan pilihan mereka terhadap produk untuk kemanfaatan atau

kesejahteraan mereka. Maka, tujuan dari label adalah untuk memberikan

informasi sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan

kebebasan konsumen untuk menggunakan hak pilihnya karena konsumen

membuat keputusan berdasarkan informasi yang ada pada label.36

34 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia; Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap

Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika…, h. 13-14.

35 LP POM MUI Jawa Timur, Bunga Rampai Petunjuk Produk Halal, (Surabaya: Lutfiansah Mediatama, 2004), h. 39.

36 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 115-116.

Page 41: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Walaupun sertifikasi halal dan labelisasi halal merupakan dua kegiatan

yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Karena jika pelaku

usaha ingin mencantumkan label halal pada produknya, maka ia harus

memiliki sertifikat halal MUI terlebih dahulu. Tanpa sertifikat halal MUI,

maka iziin pencantuman label halal tidak akan diberikan oleh pemerintah.

Lembaga yang otoratif melaksanakan sertifikasi halal adalah MUI yang

secara teknis ditangani oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan

Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Sedangkan kegiatan

labelisasi halal dikelola oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan

POM).37

9. Pengertian Good Corporate Governance

Secara bahasa, Good Corporate Governance (selanjutnya disingkat

menjadi GCG) merupakan tata kelola perusahaan yang baik. Istilah

“Corporate Governance” pertama kali diperkenalkan Cadbury Committee

tahun 1992 dalam laporan yang dikenal dengan Cadbury Report. Menurut

Cadbury Report, pengertian Corporate Governance adalah: “Suatu sistem

yang berfungsi untuk mengarahkan dan mengendalikan organisasi.”38

Sedangkan menurut Sedarmayanti, pengertian GCG dapat disimpulkan

sebagai sistem, proses, dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan

antara berbagai pihak yang berkepentingan demi tercapainya tujuan

organisasi.39

GCG dimaksudkan untuk mengatur hubungan ini dan mencegah

37 Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal;

Studi Socio-legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015, Cet. Pertama), h. 118.

38 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik), (Bandung: CV Mandar Maju, 2007, Cet. Pertama), h. 53.

39 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik)…, h. 54.

Page 42: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

terjadinya kesalahan signifikansi dalam strategi korporasi dan untuk

memastikan kesalahan yang terjadi dapat segera diperbaiki.

Upaya penerapan praktik-praktik GCG merupakan salah satu langkah

penting yang dianggap dapat meningkatkan nilai perusahaan (corporate

value), selain tentunya mendorong pengelolaan perusahaan yang profesional,

transparan dan efisien. Penerapan praktik GCG dapat memenuhi kewajiban

seutuhnya baik kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dan

masyarakat serta konsumen pada umumnya.40

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Sepanjang pengetahuan peneliti, terdapat beberapa penelitian atau kajian

terdahulu yang membahas mengenai permasalahan perlindungan konsumen

terhadap sertifikasi halal, yaitu:

1. “Perlindungan Hukum bagi Konsumen Produk Pangan dalam Kemasan tanpa

Label Halal pada Usaha Kecil” yang disusun oleh Inayatul Aini, Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

tahun 2014, membahas tentang bagaimana Undang-Undang Perlindungan

Konsumen mengatur mengenai label halal bagi usaha kecil yang tidak

memiliki label halal serta upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh

konsumen dalam memperoleh perlindungan terhadap haknya, khususnya

dalam produk pangan tanpa label halal yang didasari oleh Undang-Undang

Perlindungan Konsumen. Hal yang membedakan skripsi tersebut dengan

penelitian peneliti adalah peneliti lebih menekankan apakah proses sertifikasi

halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat telah menerapkan

prinsip GCG sehingga dapat melindungi hak konsumen muslim.

40 Tunas, “Pengembangan Tata Kelola Perusahaan”, artikel dikases pada 27 Desember

2017 dari http://www.tunasgroup.com/prinsip-dasar-dan-pengembangan-tata-kelola-perusahaan/.

Page 43: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

2. “Perlindungan Konsumen terhadap Pemalsuan Sertifikasi dan Pencantuman

Label Halal secara Ilegal” yang disusun oleh Nadiah, Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014,

membahas tentang sanksi hukum apa yang dikenakan kepada pelaku usaha

yang menggunakan label halal secara ilegal dan bagaimana pengaturan

perlindungan hukum bagi konsumen terhadap pemalsuan sertifikasi halal

sebuah restoran tersebut. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti meneliti

upaya perlindungan bagi konsumen muslim yang dilakukan oleh LPPOM

MUI Jawa Barat terhadap restoran di Jawa Barat, bukan meneliti restoran

yang telah memiliki label halal tetapi secara ilegal.

3. “Hukum Perlindungan Konsumen (Edisi Revisi)”. Buku karya dari Dr.

Zulham, S.H.I., M.Hum. ini membahas mengenai proses sertifikasi dan

labelisasi produk halal serta membahas mengenai badan dan lembaga

perlindungan konsumen di Indonesia secara umum. Sedangkan yang

membedakan buku tersebut dengan penelitian ini, peneliti mengkhususkan

membahas mengenai prosedur sertifikasi halal serta upaya upaya

perlindungan bagi konsumen muslim yang dilakukan oleh LPPOM MUI

Jawa Barat terhadap restoran di Jawa Barat.

4. “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Pemberian Label Halal Pada

Produk Makanan Dan Minuman Perspektif Hukum Perlindungan

Konsumen”, jurnal yang disusun oleh Kurniawan, Budi Sutrisno, dan Dwi

Martini, Fakultas Hukum, Universitas Mataram tahun 2014, ini membahas

tentang betapa pentingnya label halal pada suatu produk makanan dan

menjelaskan proses sertifikasi halal suatu produk makanan. Selain itu, jurnal

tersebut menjelaskan sanksi apa yang diperoleh pelaku usaha yang

mencantumkan label halal pada produk makanannya secara tidak sah.

Sedangkan yang membedakan dengan penelitian ini, Peneliti tidak

membahas mengenai sanksi pelaku usaha yang menyalahgunakan label halal,

tetapi membahas penerapan prinsip GCG dalam proses sertifikasi halal.

Page 44: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa belum terdapat

kajian terdahulu yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti.

D. Kerangka Pemikiran

Perkembangan ekonomi yang pesat membuka peluang bisnis bagi

masyarakat. Aneka jenis produk makanan olahan, minuman beraneka rasa, kini

dapat dengan mudah diperoleh. Semua itu dibuat dari berbagai macam bahan

yang telah diolah dengan mesin berteknologi tinggi dan campuran bahan-bahan

kimiawi lainnya sehingga sulit dikenali asal usul bahan baku produk tersebut.

Hal ini menjadikan konsumen selaku pemakai terakhir dari produk pangan yang

dihasilkan oleh pelaku usaha tidak mengetahui bahan baku dan proses produk

pangan tersebut.

Ini tentu menjadi salah satu polemik bagi masyarakat di Indonesia yang

mayoritas masyarakatnya merupakan muslim. Oleh sebab itu, jaminan akan

produk halal menjadi suatu hal yang penting untuk mendapatkan perhatian dari

pemerintah. Umat muslim, selaku konsumen, memiliki hak untuk mengetahui

apakah makanan dan minuman yang akan dikonsumsinya halal atau haram.

Sehingga konsumen muslim mendapatkan kenyamanan atas makanan dan

minuman yang akan dikonsumsinya tersebut.

Mengenai hal ini, pada Pasal 7 huruf b Undang-Undang Perlindungan

Konsumen menyebutkan bahwa pelaku usaha berkewajiban untuk memberikan

informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang

dan/atau jasa. Dapat diambil kesimpulan secara implisit, bahwa pelaku usaha

restoran memiliki kewajiban memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur

mengenai produk pangan yang mereka jual halal atau haram. Tentunya pelaku

usaha restoran dapat memberikan informasi tersebut dengan cara melakukan

sertifikasi halal untuk menguji apakah produk pangan yang mereka jual aman

dikonsumsi oleh umat muslim atau tidak. Jika restoran tersebut lolos proses

sertifikasi halal dan telah jelas restoran tersebut dinyatakan halal, maka pelaku

Page 45: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

usaha mendapatkan sertifikat halal. Selain itu, perlindungan yang diberikan

kepada konsumen muslim lebih ditegaskan pada Pasal 4 Undang-Undang

Jaminan Produk Halal yang menyatakan bahwa produk yang masuk, beredar,

dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

Di Indonesia, status hukum mengenai halal atau tidaknya suatu produk dapat

dilihat dari apakah produk tersebut memiliki label halal atau tidak. Dimana label

halal ini sangat erat kaitannya dengan sertifikasi halal, dikarenakan untuk

memperoleh label halal pada suatu produk, pelaku usaha perlu melaksanakan

sertifikasi halal terlebih dahulu. Sertifikasi halal didefinisikan sebagai suatu

kegiatan pengujian secara sistematis untuk mengetahui apakah suatu produk

yang diproduksi telah memenuhi ketentuan halal atau belum.

Sertifikasi halal dilaksanakan melalui audit atau pemeriksaan oleh LPPOM

MUI Pusat/Daerah dan Penetapan Fatwa tentang produk makanan dan minuman

halal oleh Komisi Fatwa, sehingga menghasilkan sertifikat halal. Tentunya

dalam melaksanakan proses sertifikasi halal dari hulu sampai hilir harus

menerapkan prinsip GCG, sehingga sertifikat halal yang dihasilkan dari proses

sertifikasi tersebut benar-benar telah menjamin keamanan bagi konsumen

muslim. Setelah mendapatkan sertifikat halal, pelaku usaha diwajibkan menjaga

konsistensi kehalalan produk yang dijualnya dengan mengimplementasikan

Sistem Jaminan Halal (SJH) dalam produksi pada restorannya secara

berkesinambungan.

Penerapan prinsip GCG dari hulu sampai hilir dalam proses sertifikasi halal

dan penjagaan konsistensi kehalalan produk melalui implementasi Sistem

Jaminan Halal oleh pelaku usaha inilah yang merupakan bentuk dari

perlindungan konsumen. Adapun kerangka pemikiran peneliti dituangkan dalam

gambar di bawah ini:

Page 46: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Gambar II.I

Kerangka Pemikiran Sumber: Olahan Peneliti

Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal: Produk yang dijual di Indonesia wajib bersertifikat halal. Untuk mendapatkan Sertifikat Halal, maka pelaku usaha harus melakukan Sertifikasi Halal.

Implementasi Pasal 7 huruf b UU Perlindungan Konsumen adalah dengan Pelaku usaha memberikan informasi mengenai pangan yang dijual di restorannya melalui Sertifikat Halal. Untuk mendapatkan Sertifikat Halal, maka pelaku usaha harus melakukan Sertifikasi Halal.

SERTIFIKASI HALAL

LPPOM MUI Pusat/Daerah

Proses Audit

Penetapan Fatwa Komisi Fatwa MUI

Sertifikat Halal

Menjaga Konsistensi Kehalalan Produk

Implementasi Sistem Jaminan

Halal

Menerapkan Prinsip GCG

dari hulu sampai

hilir

Bentuk dari Perlindungan Konsumen

Page 47: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

37

BAB III

DATA PENELITIAN

A. Pengertian dan Prinsip Good Corporate Governance

Istilah “Corporate Governance” pertama kali diperkenalkan Cadbury

Committee tahun 1992 dalam laporan yang dikenal dengan Cadbury Report.

Menurut Cadbury Report, pengertian Corporate Governance adalah: “Suatu

sistem yang berfungsi untuk mengarahkan dan mengendalikan organisasi.”1

Selain itu, menurut Budiantoro, inti Corporate Governance adalah sistem tata

laksana perusahaan.2

Sedangkan menurut Sedarmayanti, pengertian Good Corporate Governance

(selanjutnya disingkat menjadi GCG) dapat disimpulkan sebagai sistem, proses,

dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang

berkepentingan demi tercapainya tujuan organisasi.3

Isu-isu yang menyangkut corporate governance sudah terjadi sejak tahun

1970-an sampai dengan sekarang, karena organisasi-organisasi publik maupun

privat tidak distrukturkan, tidak dioperasikan dan tidak dikendalikan dengan

prinsip-prinsip tersebut.4

Upaya penerapan praktik-praktik GCG merupakan salah satu langkah

penting yang dianggap dapat meningkatkan nilai perusahaan (corporate value),

selain tentunya mendorong pengelolaan perusahaan yang profesional, transparan

dan efisien. Penerapan praktik GCG dapat memenuhi kewajiban seutuhnya baik

kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dan masyarakat serta

1 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate

Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik) (Bandung: CV Mandar Maju, 2007, Cet. Pertama), h. 53.

2 Panji Ardiansyah, Etika Bisnis (Yogyakarta: Quadrant, 2017, Cet. Pertama), h. 434.

3 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik)…, h. 54.

4 Panji Ardiansyah, Etika Bisnis…, h. 430.

Page 48: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

konsumen pada umumnya.5

Adapun efektivitas penerapan Corporate

Governance ditandai dengan terdapatnya keseimbangan (balance) dari berbagai

perangkat (subsystem) yang terdapat di dalam mekanisme sistem Corporate

Governance itu sendiri.6

Prinsip-prinsip GCG digolongkan menjadi 5 (lima) buah prinsip dasar, yang

meliputi:

1. Transparansi (Transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan

proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan

informasi materiil dan relevan,7

dengan cara yang mudah diakses dan

dimengerti oleh stakeholders.8 Transparansi dilakukan dengan cara:

9

a. Mengungkapkan informasi secara benar, tepat waktu, memadai dan dapat

diperbandingkan serta mudah diakses;

b. Kebijakan dan informasi tentang perusahaan dan organ-organ perusahaan

harus tertulis dan dikomunikasikan kepada stakeholders yang berhak;

c. Informasi lain yang perlu diketahui publik (termasuk stakeholders) wajib

dikomunikasikan secara tertulis melalui website perusahaan;

d. Transparansi yang dianut perusahaan dilaksanakan tanpa mengurangi

kewajiban untuk melindungi informasi rahasia perusahaan.

5 Tunas, “Pengembangan Tata Kelola Perusahaan”, artikel dikases pada 27 Desember

2017 dari http://www.tunasgroup.com/prinsip-dasar-dan-pengembangan-tata-kelola-perusahaan/.

6 Niki Lukviarman, Corporate Governance (Solo: Era Adicitra Intermedia, 2016), h. 130.

7 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik)…, h. 57.

8 PT Pyridam Farma, Pedoman Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance), (T.tt.: T.tp., 2016), h. 5.

9 PT Pyridam Farma, Pedoman Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance)…, h. 5.

Page 49: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

2. Akuntabilitas (Accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan

pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana

secara efektif.10

Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk

mencapai kinerja yang berkesinambungan.11

Prinsip akuntabilitas dalam

perusahaan antara lain:12

a. Adanya kejelasan mengenai tugas dan tanggung jawab masing-masing

organ perusahaan secara terperinci;

b. Kesesuaian kompetensi semua organ perusahaan dan karyawan dengan

tugas dan tanggung jawab masing-masing dan pemahaman peran masing-

masing dalam pelaksanaan GCG;

c. Adanya sistem pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan

perusahaan;

d. Kinerja yang terukur dari semua jajaran dalam organisasi perusahaan

berdasarkan kriteria dan penilaian yang disepakati dan sesuai dengan

nilai Perusahaan (Corporate Value), sasaran usaha dan strategi

perusahaan dan dilengkapi sistem „reward and punishment‟;

e. Etika bisnis dan standar perilaku (code of conduct) sebagai dasar

pelaksanaan tugas dan tanggung-jawab setiap organ perusahaan dan

semua karyawan.

3. Pertanggungjawaban (Responsibility), yaitu kesesuaian di dalam

pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang

10 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate

Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik)…, h.57.

11 Komite Nasional Kebijakan Governance, Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia (Jakarta: T.tp., 2006), h. 5.

12 PT Pyridam Farma, Pedoman Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance)…, h. 5-6.

Page 50: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.13

Prinsip pertanggung-

jawaban diwujudkan perusahaan dengan cara:14

a. Menjadikan prinsip kehati-hatian sebagai pegangan, mematuhi anggaran

dasar dan kebijakan perusahaan serta perundang-undangan dan peraturan

yang berlaku;

b. Menjadi Good Corporate Citizen dengan cara meminimalkan dampak

negatif operasional perusahaan terhadap lingkungan dan memenuhi

tanggung-jawab sosial terhadap masyarakat disekitarnya.

4. Kemandirian (Independency), yaitu suatu keadaan di mana

perusahaan/organisasi dikelola secara profesional tanpa benturan

kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip

korporasi yang sehat.15

Untuk mencapai kemandirian, perusahaan wajib

memastikan bahwa:16

a. Setiap organ Perusahaan melaksanakan fungsi, tugas dan tanggung-jawab

masing-masing sesuai ketentuan yang termuat dalam anggaran dasar,

undang-undang dan peraturan yang berlaku;

b. Pencegahan terjadinya: dominasi dan/atau intervensi/tekanan antar organ

dan oleh pihak-pihak lain, saling lempar tanggung jawab, pengaruh

kepentingan tertentu dan benturan kepentingan, sehingga pengambilan

keputusan dapat terlaksana secara objektif dan profesional.

13 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate

Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik)…, h. 57.

14 PT Pyridam Farma, Pedoman Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance)…, h. 6.

15 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik)…, h. 57.

16 PT Pyridam Farma, Pedoman Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance)…, h. 6.

Page 51: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di

dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian

dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.17

Perwujudannya adalah

dengan cara memberikan perlakuan setara dan wajar kepada setiap dan

semua stakeholders sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan

kepada perusahaan.

B. Lembaga yang Berwenang dalam Proses Sertifikasi Halal

1. Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Sebagaimana diatur pada Pasal 1 Keputusan Menteri Agama Nomor 519

Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal, Majelis

Ulama Indonesia (selanjutnya disingkat menjadi MUI) ditunjuk oleh Menteri

Agama sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan halal yang

dinyatakan halal, yang dikemas untuk diperdagangkan di Indonesia.

Salah satu tugas pokok MUI adalah memberikan fatwa dan nasihat baik

kepada pemerintah dan kaum muslimin mengenai berbagai persoalan baik

yang berkaitan dengan persoalan-persoalan keagamaan maupun persoalan-

persoalan kemasyarakatan pada umumnya. Ini merupakan tugas pokok MUI

sebagai wadah berkumpulnya para ulama.18

Tugas MUI sebagai pemberi fatwa yang berkaitan dengan produk

pangan, obat-obatan dan kosmetika telah mengantarkan MUI sebagai

lembaga sertifikasi halal di Indonesia. Hal ini dilakukan dalam rangka

memberikan bimbingan dan layanan kepada umat dalam mengkonsumsi

berbagai produk yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

17 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate

Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik)…, h. 57.

18 Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal; Studi Socio-legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015, Cet. Pertama), h. 36.

Page 52: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Fatwa jenis ini dihasilkan oleh Komisi Fatwa MUI dan biasa disebut Fatwa

Halal. Selanjutnya, fatwa-fatwa tersebut kemudian diproses oleh MUI

menjadi Sertifikat Halal.

Kedudukan MUI terhadap produk halal adalah sentral dan sangat penting

karena keberadaan MUI diposisikan sebagai induk organisasi keislaman.

Dinamika MUI dalam melayani kepentingan umat Islam dalam hal sertifikasi

halal ditunjang dengan dibentuknya Komisi Fatwa MUI dan Lembaga

Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia

(selanjutnya disingkat menjadi LPPOM MUI) sebagai lembaga yang khusus

menangani hukum pangan, obat-obatan dan kosmetika.

2. Komisi Fatwa MUI

Komisi fatwa MUI adalah salah satu komisi dalam MUI yang bertugas

memberikan nasihat hukum Islam dan ijtihad untuk menghasilkan suatu

hukum Islam terhadap persoalan-persoalan yang sedang dihadapi umat Islam.

Keanggotaan komisi fatwa mewakili seluruh organisasi Islam yang ada di

Indonesia.19

Fatwa ulama memang tidak menjadi bagian dalam sistem hukum dan

perundang-undangan di Indonesia, bahkan dalam struktur kelembagaan

negara juga tidak dikenal kata mufti atau lembaga fatwa. Hakikat dasar fatwa

sesungguhnya hanyalah sebuah legal opinion yang tidak mengikat. Namun

kenyataannya, fatwa bagi umat Islam di Indonesia tidak saja dipahami

sebagai pendapat hukum yang tidak mengikat, tetapi fatwa ulama sudah

menjadi acuan dan pedoman pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan

sehari-hari.20

19 LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM MUI (Jakarta: LPPOM MUI,

2008), h. 10.

20 Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal; Studi Socio-legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia…, h. 37.

Page 53: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

MUI sebagai wadah perkhidmatan ulama kepada umat Islam di Indonesia

mempunyai beberapa fungsi dan tugas yang salah satunya adalah memberi

fatwa sebagaimana telah dijelaskan pula sebelumnya. Proses fatwa dilakukan

oleh Komisi Fatwa dan bertanggung jawab mengeluarkan fatwa yang perlu

memperhatikan sejumlah prinsip, kode etik dan persyaratan sangat ketat.21

Proses penetapan fatwa tentang produk makanan dan minuman halal pada

prinsipnya sama dengan penetapan fatwa pada umumnya. Perbedaannya

terletak pada proses rapat penetapan fatwa dilakukan bersama antara Komisi

Fatwa dengan LPPOM MUI selaku lembaga pemeriksa. LPPOM MUI

terlebih dahulu melakukan penelitian dan audit ke pabrik atau perusahaan

yang telah mengajukan permohonan sertifikat halal. Hasil audit tersebut

nantinya akan dibahas di LPPOM MUI dan dituangkan dalam “laporan hasil

auditing” yang selanjutnya dibawa ke dalam rapat Komisi Fatwa.

Prosedur dan mekanisme penetapan fatwa produk halal, secara singkat

dapat dijelaskan sebagai berikut:22

a. MUI memberikan pembekalan pengetahuan kepada auditor LPPOM MUI

tentang benda-benda haram menurut syari‟at Islam, dalam hal ini benda

haram li-dzatihi dan haram li-ghairihi yang karena cara penanganannya

tidak sesuai dengan syariat Islam. Para auditor harus memiliki

pengetahuan memadai tentang benda-benda haram tersebut.

b. Para auditor melakukan penelitian dan audit ke pabrik-pabrik

(perusahaan) yang meminta sertifikasi halal. Pemeriksaan yang dilakukan

meliputi: (i) pemeriksaan secara seksama terhadap ingredient produk,

21 Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal;

Studi Socio-legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia…, h. 39.

22 Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal; Studi Socio-legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia…, h. 41-42.

Page 54: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

baik bahan baku, bahan tambahan maupun bahan penolong; (ii)

pemeriksaan terhadap bukti-bukti pembelian bahan produk; (iii) cara

pemotongan hewan untuk produk hewani atau mengandung mengandung

unsur hewani.

c. Bahan-bahan tersebut kemudian diperiksa secara teliti dan tidak jarang

menggunakan laboratorium, terutama bahan-bahan yang dicurigai

sebagai benda haram atau mengandung benda haram untuk mendapatkan

kepastian.

d. Pemeriksaan terhadap suatu perusahaan tidak jarang dilakukan lebih dari

satu kali dan tidak jarang pula para auditor mengharuskan agar

mengganti suatu bahan yang dicurigai mengandung bahan yang haram

dengan bahan yang diyakini kehalalannya atau sudah bersertifikat halal

dari MUI.

e. Hasil pemeriksaan dan audit LPPOM MUI tersebut kemudian dituangkan

dalam laporan hasil auditing yang kemudian dibawa ke komisi fatwa

MUI untuk dibahas dalam rapat.

f. Dalam rapat komisi fatwa, direktur LPPOM MUI menyampaikan dan

menjelaskan isi laporan hasil auditing, dan kemudian dibahas secara teliti

dan mendalam oleh peserta rapat komisi.

g. Suatu produk yang masih mengandung bahan yang diragukan

kehalalannya atau terdapat bukti pembelian produk yang dipandang tidak

transparan oleh rapat komisi dikembalikan kepada LPPOM MUI untuk

dilakukan penelitian atau auditing ulang ke perusahaan yang

bersangkutan.

h. Produk yang diyakini kehalalannya oleh rapat komisi, diputuskan fatwa

halalnya oleh rapat komisi.

i. Hasil rapat komisi tersebut kemudian dituangkan dalam surat keputusan

fatwa produk halal yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris komisi

Page 55: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

fatwa. Selanjutnya diterbitkan sertifikat halal yang ditandatangani oleh

ketua komisi fatwa, direktur LPPOM MUI dan ketua umum MUI.

3. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis

Ulama Indonesia (LPPOM MUI)

LPPOM MUI dibentuk pada 6 Januari 1989 sebagai respon atas

keresahan masyarakat terhadap maraknya peredaran produk pangan yang

mengandung lemak babi.23

LPPOM MUI merupakan lembaga swasta yang

tidak ada hubungannya dengan pemerintah. Lembaga ini berada di bawah

MUI yang telah mengorbitkannya, hanya saja LPPOM MUI memiliki

kebebasan penuh dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, LPPOM

MUI merupakan badan otonom di bawah MUI. Namun Menteri Agama

Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, dan Ketua

Umum Majelis Ulama Indonesia masuk ke dalam jajaran Dewan Penasihat

Lembaga.24

LPPOM MUI adalah lembaga yang bertugas untuk meneliti, mengkaji,

menganalisis dan memutuskan apakah produk-produk baik pangan dan

turunannya, obat-obatan dan kosmetika aman dikonsumsi baik dari sisi

kesehatan dan dari sisi agama Islam (yakni halal dan baik untuk dikonsumsi

bagi umat Islam) khususnya di wilayah Indonesia, memberikan rekomendasi,

merumuskan ketentuan dan bimbingan kepada masyarakat.25

Tugas LPPOM MUI hanya melakukan pengkajian secara ilmiah terhadap

bahan-bahan pangan dan tidak berwenang dalam mengeluarkan fatwa.26

23 LP POM-MUI, Jurnal Halal: Menenteramkan Umat, Nomor 111/XVIII/2015, h. 14. 24 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut

Al-Qur’an dan Hadits (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2013, Cet. Kedua), h. 259. 25 Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal;

Studi Socio-legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia…, h. 46-47.

26 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut Al-Qur’an dan Hadits…, h. 259.

Page 56: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Kedudukan LPPOM MUI di Indonesia adalah sebagai lembaga semi otonom

yang memiliki tugas khusus di bidang keselamatan pangan umat Islam dari

zat-zat additive. Kedudukan LPPOM MUI berada pada MUI pusat dan

Provinsi. Dengan demikian jelaslah bahwa lembaga ini bukan termasuk

badan fatwa melainkan hanya sebagai badan penelitian saja.

Penetapan fatwa tentang kehalalan produk makanan, minuman, obat-

obatan dan kosmetika dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI setelah dilakukan

audit oleh LPPOM MUI serta melaporkannya kepada Komisi Fatwa tersebut.

Laporan dari LPPOM MUI kemudian dibawa ke dalam sidang Komisi

Fatwa. Komisi Fatwa MUI selanjutnya menetapkan halal atau tidaknya

produk tersebut berdasarkan berita acara penelitian yang disampaikan

LPPOM MUI. Setelah semua proses tersbeut dilalui, barulah kemudian

dikeluarkan sertifikat halal kepada produk tersebut.27

C. Prosedur Sertifikasi Produk Halal pada LPPOM MUI

1. Proses Sertifikasi Halal

Sebelum mengajukan sertifikasi halal, pelaku usaha harus memahami dan

memenuhi persyaratan sertifikasi halal sebagaimana tercantum dalam Halal

Assurance System 23000 (selanjutnya disebut sebagai HAS 23000) dan juga

mengikuti pelatihan Sistem Jaminan Halal (selanjutnya disingkat menjadi

SJH) yang diadakan oleh LPPOM MUI.28

Bagi pelaku usaha yang akan

27 Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal;

Studi Socio-legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia…, h. 48-49.

28 KlikLegal.com, “Ini Delapan Tahap untuk Mendapatkan Sertifikat Halal”, artikel diakses pada tanggal 27 Oktober 2017 dari https://kliklegal.com/ini-delapan-tahap-untuk-mendapatkan-sertifikat-halal/.

Page 57: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

mendaftarkan sertifikasi halal untuk produknya diwajibkan menerapkan 11

(sebelas) kriteria SJH yang telah ditetapkan di dalam HAS 23000, yaitu:29

1. Manajemen puncak perusahaan harus menetapkan kebijakan halal dan

mensosialisasikan kebijakan halal tersebut kepada seluruh pemangku

kepentingan (stakeholder) restoran. Kebijakan halal dituangkan

manajemen puncak perusahaan dalam bentuk tertulis.

2. Adanya Tim Manajemen Halal perusahaan.

3. Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis pelaksanaan pelatihan.

Pelatihan internal harus diadakan minimal setahun sekali dan pelatihan

eksternal harus diadakan minimal dua tahun sekali.

4. Bahan yang digunakan dalam pembuatan produk yang disertifikasi wajib

halal. Perusahaan harus memiliki dokumen pendukung untuk semua

bahan yang digunakan.

5. Merek serta desain produk yang disertifikasi tidak boleh mengarah

kepada produk haram atau tidak sesuai dengan syariat Islam atau yang

telah dinyatakan haram berdasarkan fatwa MUI.

6. Sarana atau fasilitas produksi yang dipakai hanya dikhususkan untuk

produksi halal dan tidak boleh dicampurkan/terkontaminasi dengan bahan

haram/najis.

7. Adanya prosedur tertulis aktivitas kritis, yaitu aktivitas pada rantai

produksi yang dapat mempengaruhi status kehalalan produk yang

disertifikasi.

8. Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis untuk menjamin

kemampuan telusur produk yang disertifikasi berasal dari bahan yang

halal dan diproduksi di fasilitas produksi yang memenuhi kriteria halal

(disetujui LPPOM MUI).

29 LPPOM MUI, “Persyaratan Sertifikasi Halal MUI”, artikel diakses pada 15 Januari 2018

dari http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/58/1366/page/1

Page 58: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

9. Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis untuk menangani produk

yang tidak sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan LPPOM MUI,

yaitu tidak dijual ke konsumen yang mempersyaratkan produk halal dan

jika terlanjur terjual maka harus ditarik kembali.

10. Perusahaan harus memiliki prosedur tertulis audit internal pelaksanaan

SJH. Audit internal dilakukan minimal 6 (enam) bulan sekali dan

dilaksanakan oleh auditor internal yang kompeten dan independen. Hasil

audit internal ini selanjutnya disampaikan kepada LPPOM MUI dalam

bentuk laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali.

11. Manajemen puncak harus melakukan kajian ulang manajemen minimal 1

(satu) kali dalam setahun untuk menilai efektifitas penerapan SJH dalam

perusahaannya dan merumuskan perbaikan berkelanjutan.

Sistem Jaminan Halal (SJH) merupakan bagian tak terpisahkan dalam

proses sertifikasi halal. SJH adalah kerangka kerja yang dipantau terus

menerus dan dikaji secara periodik untuk memberikan arahan yang efektif

bagi pelaksanaan kegiatan proses produksi halal. Hal ini perlu dilakukan

mengingat adanya peluang perubahan baik secara internal maupun eksternal.30

Sistem jaminan halal harus memuat lima komponen sebagai berikut:

a. Penetapan kebijakan halal perusahaan (Halal Policy); Penetapan

kebijakan halal adalah hal utama yang harus dilakukan oleh perusahaan.

Kebijakan halal merupakan pernyataan tertulis tentang komitmen

perusahaan untuk pemproduksi produk halal secara konsisten, mencakup

konsistensi dalam penggunaan dan pengadaan bahan baku, bahan

tambahan dan bahan penolong serta konsistensi dalam proses produksi

halal.

30 LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM MUI…, h. 13.

Page 59: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

b. Perencanaan sistem jaminan halal; Setelah melakukan penetapan

kebijakan halal, perusahaan menyusun perencanaan sistem jaminan halal

(planning). Perusahaan menyusun manual SJH standar.

c. Pelaksanaan sistem jaminan halal; Setelah menetapkan kebijakan halal

dan menyusun perencanaan SJH, perusahaan melaksanakan semua yang

telah direncanakan seperti tertulis dalam manual SJH yang telah disusun

sebelumnya. Hal ini didukung dengan bukti-bukti pelaksanaannya.

d. Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan sistem jaminan halal;

Selanjutnya, pelaku usaha melakukan pemeriksaan intern (audit internal)

serta mengevaluasi apakah sistem halal yang menjamin kehalalan produk

ini dilaksanakan sebagaimana mestinya atau tidak. Perusahaan memantau

dan mengevaluasi seberapa jauh pencapaian pelaksanaan dapat

memenuhi tujuan sesuai yang direncanakan.

e. Tindakan perbaikan dan pencegahan terhadap ketimpangan pelaksanaan

sistem jaminan halal. Terakhir, perusahaan melakukan tindakan

perbaikan dan pencegahan terhadap ketimpangan pelaksanaan sistem

jaminan halal (corrective action). Perusahaan memperbaiki kesalahan

dan belajar dari kesalahan serta meperbaiki perencanaannya untuk

mencapai hasil yang lebih baik.

Selain menerapkan SJH, perusahaan juga perlu melakukan pelatihan bagi

seluruh jajaran pelaksana SJH. Pelatihan harus melibatkan semua personal

yang pekerjaannya mungkin mempengaruhi status kehalalan produk. Tujuan

pelatihan ini adalah untuk meningkatkan pemahaman karyawan tentang

pengertian halal haram, pentingnya kehalalan suatu produk, titik kritis bahan

dan proses produksi, dan memahami SJH.31

Setelah menerapkan SJH dan

mengikuti pelatihan, barulah pelaku usaha mengajukan permohonan

31 LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM MUI…, h. 26.

Page 60: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

sertifikat halal kepada MUI. Prosedur untuk mendapatkan sertifikat halal

tersebut adalah sebagai berikut.32

a. Pelaku usaha yang mengajukan sertifikasi halal dapat melakukan

pendaftaran secara offline dan online. untuk pendaftaran secara offline,

perusahaan dapat melakukan pendaftaran di LPPOM MUI Pusat atau

Daerah (sesuai dengan wilayah perusahaan). Sedangkan untuk

pendaftaran secara online dapat dilakukan melalui website LPPOM MUI

(www.halalmui.org).

b. Pelaku usaha yang bersangkutan mengisi formulir. Terdapat tiga jenis

formulir yang disediakan oleh LPPOM MUI, yaitu formulir untuk produk

olahan, produk restoran dan penyembelihan hewan. Kemudian formulir

tersebut dikembalikan ke sekretariat LPPOM MUI dengan melampirkan:

(1) spesifikasi dan sertifikasi halal bahan baku, bahan tambahan, dan

bahan penolong; (2) sertifikat halal penyembelihan hewan untuk produk

yang menggunakan bahan yang berasal dari produk hewani; (3) SJH yang

diuraikan dalam panduan halal beserta prosedur baku pelaksanaannya.

Pelaku usaha juga harus harus menyiapkan dokumen sertifikasi halal,

antara lain:

1) daftar produk;

2) daftar bahan dan dokumen bahan;

3) data perusahaan;

4) data matriks produk;

5) diagram alir proses;

6) manual SJH bagi perusahaan baru atau revisi manual SJH bagi

perusahaan yang telah memiliki sertifikat halal sebelumnya;

7) sertifikat halal atau sertifikat SJH (bagi perusahaan yang telah

memiliki sertifikat halal sebelumnya);

32 LPPOM MUI, HAS 23000: Persyaratan Sertifikasi Halal, (T.tp.: t.t., 2012), h. 7-12

Page 61: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

8) daftar alamat seluruh fasilitas produksi;

9) bukti sosialisasi/diseminasi kebijakan halal kepada seluruh

stakeholder perusahaan;

10) bukti pelaksanaan pelatihan internal;

11) bukti pelaksanaan audit internal.

c. Pelaku usaha melakukan pembayaran akad melalui transfer ke rekening

LPPOM MUI. Kemudian pelaku usaha mengirimkan akad sertifikasi

yang sudah ditandatangani dan dicap beserta bukti transfer ke LPPOM

MUI. Setelah akad sertifikasi diterima, maka bagian keuangan akan

menginformasikan ke bagian auditing agar dapat dilakukan penjadwalan

audit.

d. Setelah itu, LPPOM MUI akan melakukan pemeriksaan kecukupan

dokumen. Jika hasil pemeriksaan menunjukkan belum terpenuhinya

persyaratan pendaftaran, maka Bidang Auditing mengirimkan Pre Audit

Memorandum yang berisi tentang semua kekurangan yang harus

ditindaklanjuti pelaku usaha. Setelah semua kekurangan dipenuhi

perusahaan dan dokumen dinyatakan lengkap dan akad sertifikasi lunas,

maka Bidang Auditing dapat melakukan penjadwalan audit.

e. Setelah waktu audit ditetapkan, Bidang Auditing memberikan jadwal

audit dan hal-hal lain yang berkaitan dnegan pelaksanaan audit secara

tertulis kepada perusahaan. Pada hari yang telah dijadwalkan, audit

dilaksanakan oleh Tim Auditor LPPOM MUI. Auditor akan melakukan

pemeriksaan dokumen, pengamatan/observasi lapangan dari penerimaan

bahan baku hingga penyimpanan produk akhir, pemeriksaan fisik bahan

dan pengambilan sampel (jika dibutuhkan). Audit dilaksanakan di semua

fasilitas yang berkaitan dengan produk yang disertifikasi. Untuk

restoran/katering, audit dilaksanakan di kantor pusat, gudang distribusi

dan outlet/gerai/tenpat penyajian, supplier, produsen produk titipan,

Page 62: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

tempat RPH (Rumah Potong Hewan)/RPA (Rumah Potong Ayam), bila

daging atau ayam tidak dilengkapi sertifikat halal.

f. Hasil pemeriksaan atau audit dan hasil laboratorium dievaluasi dalam

rapat ahli LPPOM MUI, yang meliputi audit kelengkapan dokumen dan

audit lapangan. Jika memenuhi persyaratan, maka hasil tersebut diajukan

kepada rapat Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya.

g. Pembahasan hasil audit yang dilakukan di lingkungan LPPOM MUI

(rapat auditor).

h. Setelah seluruh dokumen sertifikasi halal suatu restoran telah lengkap,

maka dokumen diajukan ke Komisi Fatwa untuk dilakukan pembahasan

dan penilaian dalam Rapat Komisi Fatwa, apakah restoran berhak

mendapatkan sertifikat halal atau tidak. Pembahasan laporan hasil audit

yang dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI bersama dengan LPPOM MUI

untuk menentukan status kehalalannya. Setelah melakukan pembahasan

secara mendalam dan komprehensif serta memperhatikan pendapat dan

pandangan yang berkembang, akhirnya ditetapkan Keputusan Fatwa yang

selanjutnya dituangkan ke dalam tulisan, yang disebut dengan Sertifikat

Halal.

i. Perusahaan yang lolos sertifikasi halal selanjutnya memperoleh Sertifikat

Halal. Sertifikat Halal dapat diambil di Kantor LPPOM MUI atau

dimintakan untuk dikirmkan ke alamat pelaku usaha. CD yang berisi file

logo halal MUI diberikan bersamaan dengan penyerahan sertifikat halal.

Untuk lebih jelasnya, berikut prosedur sertifikasi halal dalam bentuk

diagram alir di bawah ini:

Page 63: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Gambar IV.I

Diagram Alir Proses Sertifikasi Halal

Sumber: http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/58/1366/page/1

Selanjutnya, setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha tetap harus

menerapkan Sistem Jaminan Halal. Sistem Jaminan Halal (SJH) dianggap

efektif untuk diterapkan dalam proses berlakunya sertifikasi. Karena SJH

merupakan kerangka kerja yang harus dipantau terus-menerus dan dikaji

secara periodik untuk memberikan arahan yang efektif bagi pelaksanaan

kegiatan proses produksi halal, mengingat adanya peluang perubahan baik

secara internal maupun secara eksternal.

Page 64: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Dalam hal pengawasan SJH, Auditor Halal Internal perusahaan yang

bertugas mengawasi sistem produksi halal pada produk mereka. Di samping

itu, pelaku usaha juga wajib menandatangani perjanjian untuk menerima Tim

Sidak (inpeksi Mendadak) LPPOM MUI yang akan melakukan inspeksi

mendadak bila diperlukan. Perusahaan juga berkewajiban menyerahkan

laporan audit internal setiap enam bulan setelah terbitnya sertifikasi halal.

2. Tata Cara Pemeriksaan (Audit) di Lokasi Produsen

Pemeriksaan produk halal di lokasi perusahaan dilakukan dengan cara

sebagai berikut:

a. Surat resmi dikirim oleh LPPOM MUI ke perusahaan yang akan

diperiksa. Surat tersebut memuat jadwal audit pemeriksaan dan

persyaratan administrasi lainnya.

b. LPPOM MUI menerbitkan surat perintah pemeriksaan yang berisi: (i)

nama ketua tim dan anggota tim; (ii) penetapan hari dan tanggal

pemeriksaan.

c. Pada waktu yang telah ditentukan Tim Auditor yang telah dilengkapi

dengan surat tugas dan identitas diri, akan mengadakan pemeriksaan

(auditing) ke perusahaan yang mengajukan permohonan sertifikat halal.

Selama pemeriksaan, pelaku usaha diminta memberikan informasi yang

jujur dan jelas mengenai produknya.

d. Pemeriksaan (audit) produk halal meliputi: (i) manajemen produsen

dalam menjamin kehalalan produk; (ii) observasi lapangan; (iii)

pengambilan contoh, hanya untuk bahan yang dicurigai mengandung babi

atau turunannya, yang mengandung alkohol dan yang dianggap perlu.

3. Masa Berlaku dan Perpanjangan Sertifikat Halal

Apabila masa berlaku sertifikat halal telah habis, pelaku usaha yang

bersangkutan dapat mengajukan perpanjangan. Permohonan tersebut disertai

dengan formulir isian yang menjelaskan perkembangan terakhir produknya.

Apabila terjadi perubahan bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong

Page 65: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

serta jenin dan pengelompokkan produk, maka hal itu harus disampaikan

kepada LPPOM MUI. Untuk itu, pelaku usaha tersebut harus melengkapi

dokumen terbaru tentang bagan alir proses, spesifikasi, dan bukti pembelian

bahan yang dipakai. Setelah itu, proses selanjutnya sama seperti proses pada

saat pertama kali mengajukan sertifikat halal.33

Beberapa ketentuan masa berlaku sertifikat produk halal, yaitu:

a. Sertifikat halal hanya berlaku selama dua tahun. Tanggal mulai

berlakunya sertifikat halal adalah tanggal penetapan status halal produk

oleh rapat komisi fatwa.34

b. Tiga bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, LPPOM MUI

akan mengirmkan surat pemberitahuan kepada pelaku usaha yang

bersangkutan.

c. Dua bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, pelaku usaha

harus daftar kembali untuk sertifikat halal yang baru.

d. Pelaku usaha yang tidak memperbarui sertifikat halalnya tidak diizinkan

lagi menggunakan sertifikat halal tersebut dan dihapus dari daftar yang

terdapat yang terdapat dalam majalah resmi LPPOM MUI.

e. Jika sertifikat halal hilang, pemegang harus segera melaporkannya ke

LPPOM MUI.35

33 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia; Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap

Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika (Jakarta: Gaung Persada Press Group, 2013, Cet. Pertama)…, h. 131.

34 LPPOM MUI, HAS 23000: Persyaratan Sertifikasi Halal..., h. 11

35 Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal; Studi Socio-legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia…, h. 92-93.

Page 66: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

56

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Sertifikasi Halal sebagai Bentuk Legitimasi Kehalalan Produk

di Indonesia

Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat). Maka akibat dari

pernyataan negara hukum tersebut, di negara ini hukum menjadi pedoman,

acuan, ataupun dasar dalam bersikap dan bertindak. Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD 1945)

merupakan sumber hukum tertinggi yang menjadi landasan dan acuan bagi

pembentukan dan pelaksanaan ketentuan perundang-undangan lain yang berada

di bawahnya.

Pasal 28E Ayat (1) dan (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa negara

Indonesia tidak hanya memberikan jaminan kebebasan kepada penduduknya

untuk memilih dan memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya masing-

masing namun juga telah memberikan jaminan keamanan untuk melaksanakan

aktivitas keagamaannya secara penuh. Dengan demikian, untuk menjamin setiap

pemeluk agama beribadah dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing,

negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan untuk setiap

pemeluk agama tersebut.

Islam sebagai salah satu agama yang terikat pada hukum syariah, memiliki

hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam pelaksanaan ajaran agama

Islam dalam kehidupan sehari-hari, termasuk salah satunya adalah aspek pangan.

Pangan bagi umat Islam tidak hanya semata-mata sebagai pemenuhan kebutuhan

lahiriah tetapi juga merupakan bagian dari kebutuhan spiritual. Karena makanan

yang dikonsumsi juga mempengaruhi hubungan manusia dengan Tuhannya

(hablumminallah). Oleh karena itu, masalah halal dan haram dalam Islam

memiliki kedudukan yang sangat penting sehingga aspek kehalalan suatu pangan

Page 67: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

yang akan dikonsumsi oleh seorang muslim mutlak harus memperoleh

perlindungan.

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makanan halal adalah penyebab

diterimanya doa dan ibadah, sedangkan makanan haram penyebab ditolaknya

doa dan ibadah. Pendapat Imam Ibnu Katsir ini didasarkan pada satu hadits yang

menyatakan Rasulullah Saw bersabda bahwa Allah Maha Baik dan tidak

menerima kecuali sesuatu yang baik.1 Pernyataan Ibnu Katsir ini mengisyaratkan

bahwa pengaturan perihal adanya makanan yang diharamkan dalam agama Islam

pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan terhadap jasmani dan rohani

seorang muslim.

Selain itu, Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa pengharaman terhadap

suatu hal terjadi karena adanya suatu keburukan dan kemudharatan, karena itu

sesuatu yang mudharatnya mutlak adalah haram dan yang manfaatnya mutlak

adalah halal. Sedangkan yang mudharatnya lebih besar dibandingkan dengan

manfaatnya adalah haram dan yang manfaatnya lebih besar adalah halal.2

Berdasarkan penjabaran di atas, didapatkan sebuah kesimpulan bahwa Islam

sangat menekankan kewajiban bagi umatnya untuk mengkonsumsi pangan yang

halal dan thayyib, yaitu makanan yang baik serta bergizi. Umat muslim harus

menjaga makanannya dari unsur haram, baik secara langsung ataupun tidak

langsung. Maka umat muslim harus senantiasa waspada dan lebih kritis terhadap

perkembangan tekonologi pangan yang dapat menghasilkan berbagai macam

produk melalui proses tertentu, agar terhindar dari produk pangan haram. Begitu

pula apabila umat muslim ingin mengkonsumsi pangan pada sebuah restoran.

Mereka harus mengetahui produk pangan yang terdapat di restoran tersebut

1 M. Nadratuzzaman Hosen, dkk, Gerakan 3 H Ekonomi Syariah; Halal Memperoleh, Halal

Mengkonsumsi dan Halal Memanfaatkan, (Jakarta: Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, 2007), h. 23.

2 Yusuf Qardhawi, Halal Haram dalam Islam (Jakarta: Era Intermedia, t.th.), h. 52.

Page 68: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

sudah terjamin kehalalannya atau belum. Oleh karena itu, umat muslim perlu

mengetahui informasi yang jelas dan benar tentang kehalalan produk pangan

yang akan dikonsumsinya di restoran tersebut. Informasi mengenai kehalalan

produk pangan pada suatu restoran disampaikan kepada masyarakat melalui

sertifikat halal. Dengan demikian, restoran yang telah memiliki sertifikat halal

telah membuat umat muslim merasa tenang dan tenteram dalam mengkonsumsi

produk pangan karena sudah jelas informasi mengenai kehalalannya.

Apabila ditinjau dalam perspektif hukum positif di Indonesia, peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar pengaturan produk halal adalah

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen), Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (selanjutnya disebut dengan

Undang-Undang Pangan), Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang

Jaminan Produk Halal (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Jaminan

Produk Halal) dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label

dan Iklan Pangan.

Pada Pasal 4 huruf a dan c Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur

secara eksplisit bahwa konsumen berhak mendapatkan jaminan perlindungan

hukum atas hak-haknya sebagai berikut:

a. Hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa.

Berdasarkan Pasal 4 huruf a dan c Undang-Undang Perlindungan Konsumen

di atas, sudah jelas bahwa konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar,

jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa, demi keamanan,

kenyamanan dan keselamatan mereka. Artinya, dalam hal ini Undang-Undang

Perlindungan Konsumen secara implisit mengamanatkan bahwa umat muslim,

selaku konsumen, memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas

Page 69: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

dan jujur mengenai produk pangan yang akan dikonsumsinya halal atau haram,

sehingga konsumen muslim mendapatkan kenyamanan dan ketenteraman atas

produk pangan yang akan dikonsumsinya tersebut. Selanjutnya, Pasal 7 huruf b

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai kewajiban pelaku

usaha untuk “Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan”.

Berdasarkan Pasal 7 huruf b Undang-Undang Perlindungan Konsumen di

atas, sudah sangat jelas bahwa pelaku usaha memiliki kewajiban memberikan

informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang

dan/atau jasa. Artinya, dalam hal ini Undang-Undang Perlindungan Konsumen

secara implisit mengamanatkan bagi pelaku usaha pada bidang restoran agar

memberikan informasi mengenai status kehalalan produk pangan yang mereka

jual, apakah halal atau haram. Tentunya pelaku usaha dapat memberikan

informasi tersebut dengan cara melakukan sertifikasi halal untuk menguji apakah

produk pangan yang mereka jual aman dikonsumsi oleh umat muslim atau tidak.

Jika produk tersebut lolos proses sertifikasi halal dan telah jelas restoran tersebut

dinyatakan halal, maka pelaku usaha mendapatkan sertifikat halal dan dapat

mencantumkan label halal pada restorannya sebagai informasi bagi konsumen

muslim bahwa produk pangan yang dijualnya memang sudah teruji halal.

Selain dua pasal di atas, dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf h Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang tidak

mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal

yang dicantumkan dalam label. Artinya, pelaku usaha yang telah mencantumkan

label halal pada usahanya, wajib untuk mengikuti dan menjaga kesinambungan

ketentuan berproduksi secara halal.

Selain berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai pangan

yang akan dikonsumsinya, konsumen muslim juga memiliki hak dalam

Page 70: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

keamanan pangan. Hal ini sebagaimana disebutkan pada Pasal 67 Ayat (1)

Undang-Undang Pangan yang berbunyi:

(1) Keamanan pangan diselenggarakan untuk menjaga pangan tetap aman,

higienis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama,

keyakinan, dan budaya masyarakat.

Sudah jelas Pasal 67 Ayat (1) Undang-Undang Pangan mengamanatkan

bahwa masyarakat muslim selaku konsumen berhak untuk mendapatkan

keamanan pangan yang tidak bertentangan dengan agama dan keyakinannya,

yaitu pangan yang halal. Mengenai penyelenggaraan keamanan pangan, lebih

lanjut diatur pada Pasal 69 huruf g Undang-Undang Pangan bahwa

penyelenggaraan keamanan pangan salah satunya dilakukan melalui jaminan

produk halal bagi yang dipersyaratkan. Dengan demikian, secara implisit Pasal

69 huruf g Undang-Undang Pangan mengamanatkan bahwa konsumen muslim

berhak untuk mendapatkan pangan yang halal melalui jaminan produk halal.

Kemudian mengenai pengaturan labelisasi halal di Indonesia diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan

yang berbunyi:

Pasal 10

(1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang

dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan

menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam,

bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib

mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label.

Pasal 11

(1) Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 10 ayat (1), setiap orang yang memproduksi atau

memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk

diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut

pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari kedua pasal di atas, terdapat kesimpulan bahwa konsekuensi dari

pencantuman keterangan halal pada label pangan akan membawa konsekuensi

hukum berupa kewajiban untuk melengkapi pernyataan tersebut dengan fakta-

Page 71: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

fakta ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, termasuk pula konsekuensi

penjaminan dan pertanggungjawaban atas kebenaran informasi tersebut. Selain

itu, kesimpulan lainnya adalah bahwa pelaku usaha yang menyatakan bahwa

produknya halal bagi umat Islam diwajibkan untuk mencantumkan keterangan

halal atau tulisan halal pada label pangan yang diproduksinya.

Tentunya kebenaran pernyataan halal pada label pangan tidak sebatas hanya

dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang

digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam

proses produksinya. Dalam hal ini, untuk mendukung kebenaran pernyataan

halal, setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas

ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib terlebih dahulu

memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang

telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.3

Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan

Iklan Pangan juga menyatakan secara tegas pada penjelasan Pasal 11 Ayat (1)

bahwa pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela. Hal ini dapat

diartikan bahwa pelaksanaan sertifikasi halal untuk sebuah produk masih bersifat

sukarela (voluntary) dan bukan merupakan suatu kewajiban (mandatory). Dalam

kondisi yang demikian, apabila ditinjau dari perspektif konsumen muslim, maka

bentuk perlindungan hukum yang diberikan pemerintah mengenai kehalalan

suatu pangan belumlah maksimal, dikarenakan sifat dari sertifikasi halal sebuah

produk di Indonesia saat ini masih bersifat voluntary, bukan mandatory. Artinya,

pelaksanaan sertifikasi halal saat ini masih bergantung kepada kesadaran pelaku

usaha.

Walaupun begitu, kini telah terdapat peraturan perundang-undangan terbaru

yang mengatur lebih jelas mengenai produk halal di Indonesia, yaitu Undang-

3 Asep Syarifuddin Hidayat dan Mustolih Siradj, “Argumentasi Hukum Jaminan Produk

Halal”, Jurnal Bimas Islam, VIII, 1 (2015), h. 47-48.

Page 72: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Undang Jaminan Produk Halal. Berbeda dengan peraturan perundang-undangan

di atas, Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Produk Halal secara eksplisit

mewajibkan sertifikat halal untuk semua produk yang masuk, beredar dan

diperdagangkan di wilayah Indonesia. Artinya, undang-undang ini memberikan

kepastian dan jaminan hukum bagi konsumen untuk dapat mengkonsumsi

produk halal, dengan merubah sifat sertifikasi halal sebuah produk di Indonesia

yang tadinya bersifat voluntary menjadi mandatory.

Namun demikian, selanjutnya Pasal 67 Undang-Undang Jaminan Produk

Halal mengatur bahwa kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar

dan diperdagangkan di Indonesia sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 peraturan

perundang-undangan ini mulai berlaku 5 tahun terhitung sejak Undang-Undang

Jaminan Produk Halal diundangkan. Artinya, kewajiban sertifikasi halal mulai

diberlakukan pada tahun 2019 dengan cara bertahap. Selain itu, sampai dengan

saat ini, Undang-Undang Jaminan Produk Halal belum memiliki peraturan

pelaksana sehingga undang-undang tersebut belum dapat dilaksanakan

sepenuhnya.

Dari penjelasan di atas terdapat kesimpulan bahwa sertifikasi dan labelisasi

halal membantu konsumen untuk mengetahui status kehalalan dari sebuah

produk, sehingga memberikan keamanan, kenyamanan dan ketentraman bagi

konsumen untuk memilih berbagai produk yang terdapat di pasaran. Informasi

inilah yang dibutuhkan konsumen pada produk pangan halal. Dengan informasi

yang simetris konsumen dapat menentukan pilihannya untuk mengkonsumsi

produk pangan halal, karena informasi yang simetris merupakan kesejahteraan

bagi konsumen, sehingga dengan sertifikasi dan labelisasi halal ini tercipta

keadilan pasar bagi konsumen.

Page 73: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

B. Penerapan Prinsip Good Corporate Governance (GCG) dalam Proses

Sertifikasi Halal yang Dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat

Pada dasarnya, prinsip Good Corporate Governance (selanjutnya disingkat

menjadi GCG) diterapkan pada suatu perusahaan untuk mendorong terciptanya

pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-

undangan. Akan tetapi, sebenarnya GCG memiliki arti yang lebih luas, yaitu

sebagai sistem, proses, dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan

antara berbagai pihak yang berkepentingan demi tercapainya tujuan organisasi.4

Sehingga GCG tidak hanya dapat diterapkan untuk suatu perusahaan, tetapi juga

dapat diterapkan untuk suatu organisasi atau badan tertentu, dalam hal ini

Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama

Indonesia (selanjutnya disingkat menjadi LPPOM MUI) Jawa Barat.

Sertifikasi halal merupakan fatwa tertulis dari Majelis Ulama Indonesia

(selanjutnya disingkat menjadi MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk

sesuai dengan syari‟at Islam. Oleh karena itu, sertifikat halal menjadi acuan

untuk masyarakat muslim dalam mengkonsumsi suatu produk makanan pada

restoran. Dengan berpegang kepada sertifikat halal, masyarakat muslim akan

merasa tenang dan tenteram dalam mengkonsumsi produk pangan karena sudah

jelas kehalalannya. Maka, pemberian sertifikat halal pada restoran pada dasarnya

merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Apakah proses sertifikasi halal

yang telah dilalui suatu restoran sudah sesuai dengan prosedur dan ketentuan

Halal Assurance System 23000 (selanjutnya disebut dengan HAS 23000), yaitu

panduan lengkap yang diperlukan baik oleh instansi pemerintah, pelaku usaha

ataupun konsumen yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai proses

sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI.

4 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate

Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik), (Bandung: CV Mandar Maju, 2007, Cet. Pertama), h. 54.

Page 74: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan Agus Sugilar selaku

Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa Barat

mengenai prosedur sertifikasi halal suatu restoran yang dilakukan oleh LPPOM

MUI Jawa Barat, maka peneliti mendapatkan jawaban bahwa LPPOM MUI Jawa

Barat melakukan prosedur sertifikasi halal suatu restoran sesuai dengan yang

tercantum di dalam HAS 23000.5

Sedangkan prosedur sertifikasi halal yang harus dilewati oleh suatu restoran

adalah sebagai berikut:6

1. Pihak restoran harus memahami persyaratan sertifikasi halal yang tercantum

di HAS 23000 dan mengikuti pelatihan Sistem Jaminan Halal (selanjutnya

disingkat menjadi SJH) yang diadakan LPPOM MUI, baik pelatihan reguler

maupun pelatihan online (e-training).

2. Restoran harus menerapkan 11 (sebelas) kriteria SJH.

3. Restoran harus menyiapkan dokumen sertifikasi halal, antara lain

a. daftar produk;

b. daftar bahan dan dokumen bahan;

c. data restoran;

d. data matriks produk;

e. diagram alir proses;

f. manual SJH bagi perusahaan baru atau revisi manual SJH bagi restoran

yang telah memiliki sertifikat halal sebelumnya;

g. sertifikat halal atau sertifikat SJH (bagi restoran yang telah memiliki

sertifikat halal sebelumnya);

h. daftar alamat seluruh fasilitas produksi;

5 Agus Sugilar, Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa

Barat, Interview Pribadi, Bandung, 03 Januari 2018.

6 Agus Sugilar, Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa Barat, Interview Pribadi, Bandung, 03 Januari 2018.

Page 75: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

i. bukti sosialisasi/diseminasi kebijakan halal kepada seluruh stakeholder

restoran;

j. bukti pelaksanaan pelatihan internal;

k. bukti pelaksanaan audit internal.

4. Melakukan sign-up e-lppommui.org untuk mengisi profile restoran. Setelah

itu restoran mengisi data registrasi dan akan mendapatkan nomor registrasi

per kategori produk. Selanjutnya pihak restoran harus membayar biaya

registrasi sebesar Rp200.000,- (dua ratus ribu rupiah) ke LPPOM MUI.

5. Setelah mendapatkan persetujuan pembayaran dari Bidang Keuangan

LPPOM MUI, pihak restoran melakukan pendaftaran sertifikasi halal, yaitu

dengan mengunggah/upload seluruh data yang telah disebutkan di nomor 3

di atas secara online di sistem Certification Online – Service System

23000/CEROL-SS 23000 (selanjutnya disebut CEROL), yaitu sistem

pelayanan sertifikasi halal LPPOM MUI secara online melalui website e-

lppommui.org. Setelah selesai upload data, langkah selanjutnya adalah

pengisian HAS Questionare, yaitu kuesioner implementasi SJH yang wajib

diisi oleh pihak restoran yang akan melakukan sertifikasi.

6. Selanjutnya Tim Auditor LPPOM MUI yang ditunjuk untuk suatu restoran

yang mendaftar sertifikasi melakukan monitoring pre-audit, yaitu mengecek

4 menu monitoring: dokumen halal, data produk, data material, dan data

matriks produk yang telah diunggah oleh pihak restoran sebelumnya. Jika

terdapat ketidaksesuaian dalam dokumen tersebut, auditor akan menuliskan

komentar di kolom komentar yang nantinya dapat dilihat oleh pihak restoran

melalui akun CEROL miliknya, sehingga pihak restoran dapat merevisi

dokumen tersebut.

7. Pihak restoran melakukan pembayaran akad sertifikasi dengan langkah

sebagai berikut: mengunduh akad di CEROL, membayar biaya akad dan

menandatangani akad, untuk kemudian melakukan pembayaran di CEROL

Page 76: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

dan disetujui oleh Bendahara LPPOM MUI melalui email:

[email protected].

8. Setelah lolos pre-audit dan akad sudah disetujui, Tim Auditor LPPOM MUI

mengajukan jadwal audit ke restoran yang akan disertifikasi. Audit

dilaksanakan di semua fasilitas yang berkaitan dengan produk yang

disertifikasi. Setelah melakukan audit, Tim Auditor mengadakan Rapat

Auditor untuk mendiskusikan hasil audit dan penilaian SJH sebuah restoran.

9. Setelah mengunggah data sertifikasi, selanjutnya pihak restoran melakukan

monitoring pasca audit. Monitoring pasca audit dilakukan untuk mengetahui

adanya ketidaksesuaian pada hasil audit, dan jika terdapat ketidaksesuaian

tersebut, maka restoran harus melakukan perbaikan kembali.

10. Setelah seluruh dokumen sertifikasi halal suatu restoran telah lengkap, maka

dokumen diajukan ke Komisi Fatwa untuk dilakukan pembahasan dan

penilaian dalam Rapat Komisi Fatwa, apakah restoran berhak mendapatkan

sertifikat halal atau tidak.

11. Restoran yang lolos sertifikasi halal selanjutnya memperoleh Sertifikat

Halal. Sertifikat Halal dapat diunduh dalam bentuk softcopy di CEROL atau

dapat diambil aslinya di LPPOM MUI Jawa Barat.

Dalam melakukan prosedur sertifikasi halal di atas, tentunya LPPOM MUI

Jawa Barat memerlukan pengelolaan dan pengendalian internal yang baik agar

dapat menjaga prosedur sertifikasi halal yang dilakukan tetap mengikuti

ketentuan HAS 23000 dan tidak akan menyimpang dari ketentuan HAS 23000

tersebut. Salah satu bentuk pengendalian internal yang sering digunakan dalam

suatu lembaga atau organisasi adalah melalui GCG. Oleh karena itu, dalam

melakukan prosedur sertifikasi halal, LPPOM MUI Jawa Barat perlu

menerapkan prinsip GCG.

Penilaian penerapan GCG dalam pelaksanaan sertifikasi halal yang

dilakukan oleh LPPOM Jawa Barat dapat melalui analisis dari prinsip GCG itu

Page 77: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

sendiri, yaitu yang biasa disingkat dengan TARIF (Transparency,

Accountability, Responsibility, Independency, dan Fairness). Dari hasil

wawancara yang dilakukan peneliti kepada Agus Sugilar selaku Wakil Pimpinan

Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa Barat tentang penerapan

GCG dalam prosedur sertifikasi halal suatu restoran yang dilakukan oleh

LPPOM MUI Jawa Barat, maka peneliti mendapatkan jawaban mengenai konsep

penerapan prinsip GCG dalam prosedur sertifikasi halal sebagai berikut:7

1. Prinsip Transparansi/ Transparency

Prinsip Transparansi adalah keterbukaan dalam melaksanakan proses

pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi

materiil dan relevan, dengan cara yang mudah diakses dan dimengerti oleh

stakeholders. Pada LPPOM MUI Jawa Barat, Prinsip Transparansi sangat

penting untuk menyampaikan informasi mengenai segala hal yang berkaitan

dengan sertifikasi halal dengan cara yang mudah diakses dan dipahami baik

oleh instansi pemerintah, pelaku usaha ataupun konsumen yang ingin

mengetahui proses sertifikasi halal lebih dalam. Selain itu, Prinsip

Transparansi sangat penting diterapkan pada proses pengambilan keputusan

dalam penilaian dokumen-dokumen halal, penilaian SJH, hingga penetapan

suatu restoran berhak atau tidak mendapatkan Sertifikat Halal, agar pelaku

usaha yang tengah melakukan sertifikasi mengetahui hal-hal yang tidak

sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh LPPOM MUI dan dapat

memperbaiki ketidaksesuaian tersebut.

Dari hasil yang diperoleh peneliti, untuk menyampaikan informasi

mengenai sertifikat halal, LPPOM MUI memiliki website www.halalmui.org

yang dapat diakses oleh siapapun. Di dalam website tersebut terdapat menu

7 Agus Sugilar, Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa

Barat, Interview Pribadi, Bandung, 03 Januari 2018.

Page 78: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

khusus mengenai sertifikasi halal, yang terdiri dari submenu: Daftar

Lembaga Sertifikasi Halal, Sertifikasi Halal MUI, Prosedur Sertifikasi Halal

MUI, Persyaratan Sertifikasi Halal, E-Halal Registration, Regulasi LPPOM

MUI, User Manual Prosedur Sertifikasi Halal MUI, dan Prosedur Keluhan

dan Banding, sehingga siapa saja yang ingin mengetahui sertifikasi halal

lebih dalam hanya perlu mengakses website tersebut.

Dalam proses sertifikasi halal, LPPOM MUI telah menerapkan sistem

pelayanan sertifikasi halal secara online, yaitu melalui sistem CEROL.

Dengan adanya sistem ini para pelaku usaha dapat mengajukan permohonan

sertifikasi halal produk secara online tanpa batas waktu dan tempat, sehingga

pelayanan sertifikasi halal akan bisa lebih cepat dan lebih baik. CEROL

dapat dibuka langsung melalui website LPPOM MUI atau melalui website

www.e-lppommui.org. Selain itu, LPPOM MUI juga telah menyusun

Customer User Manual, yaitu petunjuk penggunaan sistem CEROL tersebut

hingga penjelasan lengkap mengenai pengisian data/dokumen di CEROL.

Sehingga para pelaku usaha yang akan melakukan proses sertifikasi halal

dapat dengan mudah menggunakan sistem CEROL tersebut.

Selain itu, LPPOM MUI Jawa Barat selalu mengadakan penyuluhan

setiap Senin sampai dengan Kamis. Penyuluhan berupa pengenalan SJH,

pengenalan template manual SJH, hal-hal apa yang harus dilakukan oleh

pelaku usaha dalam mensertifikasi halal produknya dan bagaimana cara

masuk/login ke sistem CEROL. Sehingga untuk pelaku usaha yang ingin

mendaftar sertifikasi halal dapat mengikuti penyuluhan tersebut. Target

minimal dari pelaksanaan penyuluhan tersebut adalah pelaku usaha sudah

mengerti sampai pada tahap registrasi dan pelaku usaha tersebut telah

memiliki akun di CEROL (pelaku usaha memiliki username dan nomor NIK

untuk mengakses CEROL selanjutnya). Setelah penyuluhan pembuatan akun

di CEROL, pihak LPPOM MUI Jawa Barat akan memberikan penyuluhan

tentang pengisian menu-menu di CEROL yang harus dilengkapi oleh pelaku

Page 79: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

usaha. Sehingga pelaku usaha mengerti dan dapat melengkapi menu-menu

tersebut secara mandiri.

Melalui sistem CEROL ini pula LPPOM MUI mencoba menerapkan

Prinsip Transparansi pada proses pengambilan keputusan dalam penilaian

dokumen halal yang telah diunggah oleh pelaku usaha yang tengah

mensertifikasi halal restorannya. Tim auditor LPPOM MUI wajib

memberikan komentar jika terdapat ketidaksesuaian dalam dokumen

tersebut. Komentar ini nantinya dapat dilihat oleh pihak restoran melalui

akun CEROL miliknya, sehingga pihak restoran dapat memperbaiki

ketidaksesuaian tersebut. Dalam hal ini, pihak restoran melakukan

monitoring proses sertifikasi restorannya melalui Menu Monitoring. Selain

itu, pihak restoran juga dapat berkomunikasi langsung kepada auditor yang

memeriksa restorannya jika ada permasalahan atau hal yang belum

dimengerti.

Dari penjabaran di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa LPPOM

MUI Jawa Barat telah menerapkan Prinsip Transparansi dalam proses

sertifikasi halal suatu restoran melalui pengadaan website akurat dan

lengkap, pengadaan penyuluhan setiap Senin-Kamis, dan sistem CEROL.

2. Prinsip Akuntabilitas/ Accountability

Akuntabilitas merupakan sistem yang kondusif bagi pengawasan efektif

dalam kinerja sebuah perusahaan. Hal tersebut akan terlihat pada kejelasan

pembagian wewenang antara unsur-unsur atau bagian yang berperan dalam

sebuah perusahaan, agar masing-masing bagian berjalan sesuai dengan

wewenang masing-masing. Pada LPPOM MUI Jawa Barat, Prinsip

Akuntabilitas sangat penting untuk memperjelas pembagian fungsi,

pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ-organ di LPPOM MUI Jawa

Barat agar bekerja sesuai dengan wewenang dan prosedurnya masing-masing

sehingga proses sertifikasi halal dapat terlaksana secara efektif.

Page 80: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Dari hasil yang diperoleh peneliti, untuk mempertanggung jawabkan

pekerjaannya, LPPOM MUI Jawa Barat mengadakan laporan

pertanggungjawaban masing-masing divisi setiap akhir tahun. Setelah itu,

Direktur LPPOM MUI Jawa Barat menyampaikan laporan tersebut ke

LPPOM MUI Pusat. Hal ini juga menunjukkan jalannya fungsi pengawasan

LPPOM MUI Pusat kepada LPPOM MUI daerah (dalam hal ini Jawa Barat).

Selain itu, mengenai laporan keuangan LPPOM MUI Jawa Barat, diaudit

oleh akuntan publik. Saat ini, laporan keuangan tersebut mendapatkan status

Wajar Tanpa Pengecualian dari akuntan publik. Suatu laporan keuangan yang

diberikan opini seperti ini, artinya auditor meyakini berdasarkan bukti-bukti

audit yang dikumpulkan, perusahaan/pemerintah (dalam hal ini LPPOM MUI

Jawa Barat) dianggap telah menyelenggarakan prinsip akuntansi yang berlaku

umum dengan baik, dan kalaupun ada kesalahan, kesalahannya dianggap tidak

material dan tidak berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan.

Mengenai pelanggaran dan sanksi, LPPOM MUI Jawa Barat

menanamkan komitmen kepada organ-organnya dengan komitmen

musyawarah, yang artinya jika terdapat permasalahan, maka permasalahan

tersebut akan diselesaikan secara musyawarah. Cara ini sebagai pencegahan

berkembangnya permasalahan tersebut menjadi pelanggaran yang fatal,

karena sebuah permasalahan sudah dapat terdeteksi dari awal dan dapat

diselesaikan dengan baik. Selain itu, organ-organ di LPPOM MUI Jawa Barat

sudah paham bahwa pekerjaan mereka memiliki tanggung jawab moral untuk

masyarakat. Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan Agus

Sugilar selaku Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM

MUI Jawa Barat, diperoleh hasil bahwa sampai saat ini tidak ada organ

LPPOM MUI Jawa Barat yang melakukan pelanggaran fatal sehingga harus

dilakukan penjatuhan sanksi.

Prinsip Akuntabilitas dilakukan LPPOM MUI Jawa Barat dalam

pengembangan organ-organnya agar bekerja secara maksimal melalui

Page 81: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

pengadaan pelatihan-pelatihan eksternal. Pelatihan eksternal dilakukan dengan

berkunjung ke LPPOM MUI Pusat. Melalui kegiatan ini, LPPOM MUI ingin

menunjukkan bahwa dimanapun itu, LPPOM MUI harus selalu sama, satu

kesatuan, satu entitas. Baik ditinjau dari prosedur dan kebijakan yang

dijalankan, LPPOM MUI harus satu entitas. Sehingga, ketika LPPOM MUI

sudah satu entitas, tidak bisa dibedakan lagi, mana LPPOM MUI pusat dan

mana LPPOM MUI daerah. Selain itu, dari hasil wawancara peneliti, sampai

dengan saat ini, tidak pernah terjadi permasalahan antar internal LPPOM

MUI. Sehingga peneliti mengambil kesimpulan bahwa LPPOM MUI Jawa

Barat telah melaksanakan prinsip Akuntabilitas untuk mencetak organ-organ

yang bertanggung jawab dan kompeten.

3. Prinsip Pertanggungjawaban/ Responsibility

Prinsip Pertanggungjawaban diwujudkan dengan cara menjadikan prinsip

kehati-hatian sebagai pegangan, mematuhi anggaran dasar dan kebijakan

perusahaan serta perundang-undangan dan peraturan yang berlaku. Prinsip ini

dimaksudkan agar LPPOM MUI Jawa Barat patuh pada hukum dan

mempunyai beban moral untuk kemaslahatan lingkungan, masyarakat dan

konsumen.

Dalam pelaksanaan proses sertifikasi halal, LPPOM MUI memiliki

pedoman tersendiri, yaitu HAS 23000. Sehingga pada saat melakukan proses

sertifikasi, LPPOM MUI Jawa Barat hanya perlu mengikuti prosedur yang

telah tercantum dalam HAS 23000 tersebut. Selain itu, LPPOM MUI Jawa

Barat melakukan proses sertifikasi halal melalui sistem CEROL yang

menjadikan Tim Auditor LPPOM MUI Jawa Barat harus bekerja sesuai

dengan sistem dan tidak dapat melenceng dari sistem tersebut. Proses audit

yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat adalah sebagai berikut:

a. Auditor memiliki akun CEROL masing-masing. Melalui akun CEROL

ini, seorang auditor diberitahukan tugasnya untuk melakukan audit suatu

restoran yang mengajukan sertifikasi ke LPPOM MUI Jawa Barat.

Page 82: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Setelah mengetahui dirinya bertugas meng-audit suatu restoran, maka

auditor tersebut login ke akun CEROL-nya. Audit suatu restoran

dilakukan oleh 3 orang auditor.

b. Sebelum melakukan audit, ketika auditor mendapatkan nama restoran

yang harus diaudit, auditor sudah melakukan pengecekan terlebih dahulu

dokumen halal yang telah diunggah oleh pihak restoran yang akan

diauditnya. Auditor akan mengecek dokumen halal, data produk, data

material, hingga data matrik restoran tersebut. Inilah yang disebut dengan

tahap “pre-audit”. Dalam tahapan ini, pihak restoran yang diaudit dapat

memonitoring-nya melalui akun CEROL miliknya.

c. Setelah auditor menilai dokumen halal milik restoran yang akan

disertifikasi, jika ditemukan dokumen yang tidak sesuai, maka auditor

memberikan komentar di kolom komentar yang terletak di samping

kanan dokumen-dokumen yang diunggah pihak restoran. Nantinya

komentar auditor ini akan langsung sampai ke pihak restoran dan pihak

restoran dapat segera membaca dan mempelajari komentar tersebut agar

dilakukan perbaikan dokumen yang tidak sesuai. Sehingga tahap “pre-

audit” dapat berlanjut ke tahap “audit” atau pemeriksaan lapangan.

d. Tim auditor melakukan pemeriksaan di lapangan dapat dijabarkan pada 2

(dua) jenis audit, yaitu audit kelengkapan dokumen (audit administrasi)

dan audit lapangan. Audit administrasi dilakukan untuk memeriksa

dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pembelian dan penggunaan

bahan baku atau bahan tambahan atau bahan penolong yang digunakan

dalam proses produksi. Dokumen-dokumen itu meliputi dokumen

pembelian bahan (PO dan DO), daftar isi gudang, kartu stok, dan bon

pengeluaran bahan dari gudang. Dalam audit administrasi ini dilakukan

pengecekan kesesuaian data antara yang tercantum dalam formulir

pendaftaran dengan yang ada di restoran.

Page 83: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Berbeda dengan audit administrasi, audit lapangan dilakukan untuk

memeriksa dan melakukan verifikasi terhadap proses produksi dari awal

sampai akhir, yaitu dari proses pengolahan bahan baku sampai menjadi

produk yang siap untuk dipasarkan. Bila dipandang perlu, tim auditor

dapat mengambil sample dari bahan yang digunakan untuk diperiksa di

laboratorium lebih lanjut. Sedapat mungkin audit tersebut dilakukan pada

saat perusahaan sedang berproduksi.

Dalam menjalankan tugasnya, para auditor harus memperhatikan dan

menjaga kode etik auditor. Auditor dituntut integritas moralnya sehingga

ia dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh kejujuran dan keberanian

dalam mengungkapkan data dan informasi yang terkait dengan bahan-

bahna yang haram, najis, dan syubhat. Oleh karena itu, audit yang

dilakukannnya harus bersifat obyektif, kritis, dan transparan yang

tercermin dalam ketelitian dan kecermatan dalam memeriksa data yang

diperlukan dalam rangka mencari kebenaran.

e. Setelah tahap “audit” atau pemeriksaan lapangan dilakukan, terdapat

pertemuan para auditor untuk mendiskusikan/membahas perusahaan yang

akan masuk ke sidang fatwa, yang disebut dengan Rapat Auditor. Dalam

Rapat Auditor, setiap auditor menyampaikan masalah yang ditemukan

dalam proses audit suatu restoran. Jika ditemukan masalah dalam suatu

restoran yang disertifikasi, maka auditor mencari solusi atas masalah

tersebut bersama-sama. Tetapi, jika proses audit suatu restoran tersebut

memenuhi persyaratan, maka hasil tersebut diajukan kepada rapat Komisi

Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya.

Hasil pemeriksaan tersebut menjelaskan laporan hasil audit secara

lengkap yang meliputi tanggal pelaksanaan audit, nama-nama tim

auditor, nama-nama pihak restoran yang mendampingi pelaksanaan audit,

status produk, jenis produk, bahan-bahan (baku, penolong, tambahan),

hal-hal yang diragukan, temuan di lapangan sebagai hasil verifikasi

Page 84: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

terhadap hal-hal yang diragukan tersebut, dan dokumen-dokumen

pendukung yang diperlukan.

HAS 23000 sebagai pedoman/acuan LPPOM MUI Jawa Barat dalam

melakukan proses audit suatu restoran yang tengah disertifikasi dan sistem

sertifikasi yang dijalankan secara online melalui CEROL merupakan

penerapan Prinsip Pertanggungjawaban yang dilakukan LPPOM MUI Jawa

Barat dalam pelaksanaan audit yang termasuk dalam salah satu proses

sertifikasi halal.

Setelah mendapatkan keputusan mengenai sertifikasi halal, jika pelaku

usaha memiliki dan tidak menerima hasil keputusan mengenai proses

sertifikasi halal tersebut, maka pelaku usaha dapat mengajukan keluhan dan

banding kepada LPPOM MUI. Dimana keluhan dan banding mengenai proses

sertifikasi halal tersebut dapat disampaikan melalui website

www.halalmui.org atau melalui email [email protected].

Banding dapat diajukan oleh pelaku usaha maksimal 28 (duapuluh

delapan) hari setelah keluarnya Sertifikat Halal dan/atau Status/Sertifikat SJH.

Pelaku usaha yang mengajukan keluhan akan menerima konfirmasi tanda

terima. Selanjutnya, bidang terkait yang bertanggung jawab memproses

keluhan dan banding akan menginformasikan kepada pelaku usaha

perkembangan keluhan yang diajukannya. Setelah keluhan dan banding telah

diproses, pelaku usaha menerima jawaban akhir.8

Selain itu, demi memenuhi tangung jawab sosial terhadap masyarakat,

LPPOM MUI Jawa Barat menerima pertanyaan dari masyarakat mengenai

informasi lengkap seputar sertifikat halal produk atau restoran apabila

ditemukan kejanggalan atau keraguan atas restoran atau produk makanan

tersebut. Pertanyaan tersebut dapat langsung ditanyakan melalui LPPOM

MUI Jawa Barat atau mengecek lewat situs e-lppommui.org,

8 LPPOM MUI, “Prosedur Keluhan dan Banding”, artikel diakses pada 15 Januari 2018

dari http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/147/1545/page/1.

Page 85: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

atau www.halalmui.org. Bisa juga dengan cara lain, yaitu dengan melalui

SMS, telepon atau kirim pengaduan ke email [email protected].

Mengenai pengaduan masyarakat, dari hasil wawancara peneliti dengan

Agus Sugilar selaku Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan

LPPOM MUI Jawa Barat, selama ini LPPOM MUI Jawa Barat belum pernah

menerima pengaduan masyarakat. Akan tetapi, LPPOM MUI Jawa Barat

lebih sering menerima pertanyaan seputar produk halal. Pertanyaan konsumen

tersebut lebih sering LPPOM MUI Jawa Barat terima melalui telepon atau e-

mail.9

Selain itu, tentunya pertanggungjawaban LPPOM MUI Jawa Barat

kepada pelaku usaha tidak hanya sampai kepada pemberian sertifikat halal

kepada pelaku usaha yang bersangkutan. Akan tetapi, harus adanya

pengontrolan dan pengawasan secara kontinyu kepada pelaku usaha yang

telah mendapatkan sertifikat halal agar pelaku usaha tersebut tetap menjaga

kehalalannya.

Pengawasan dilakukan dalam bentuk manual sistem jaminan halal. Di

dalam manual SJH terdapat tim manajemen halal. Tim manajemen halal atau

biasa disebut dengan halal internal auditor merupakan mata dan pengawasan

dari LPPOM MUI Jawa Barat. Halal internal auditor ini yang melakukan

komunikasi dengan LPPOM MUI Jawa Barat melalui pelaporan per enam

bulan.

Sampai dengan saat ini, belum pernah terdapat pelanggaran yang

dilakukan oleh halal internal auditor. Ini juga dikarenakan jumlah restoran

yang telah melakukan sertifikasi halal di Jawa Barat belum terlalu banyak.

Pengawasan yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat kepada halal

internal auditor dilakukan dengan sidak secara random dan tanpa

penjadwalan.

9 Agus Sugilar, Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa

Barat, Interview Pribadi, Bandung, 03 Januari 2018.

Page 86: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Dari penjabaran di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa LPPOM

MUI Jawa Barat telah menerapkan Prinsip Pertanggungjawaban dalam

proses sertifikasi halal suatu restoran melalui pelaksanaan sertifikasi halal

sesuai dengan HAS 23000, menerima keluhan dan banding, juga pertanyaan-

pertanyaan dari masyarakat yang dapat disampaikan baik secara langsung

ataupun tidak langsung ke LPPOM MUI Jawa Barat, dan pelaksanaan

pengkontrolan dan pengawasan secara kontinyu yang dilakukan LPPOM

MUI Jawa Barat kepada pelaku usaha yang telah mendapatkan sertifikat

halal.

4. Prinsip Kemandirian/ Independency

Prinsip Kemandirian merupakan suatu keadaan di mana suatu organisasi

dikelola secara profesional tanpa adanya benturan kepentingan dan

pengaruh/tekanan dari pihak manapun. Pada LPPOM MUI Jawa Barat,

Prinsip Kemandirian diperlukan agar dalam melakukan proses sertifikasi

halal, tidak ada pihak manapun yang dapat megintervensi keputusan yang

telah diambil. Seperti dalam proses audit sebuah restoran, pelaku usaha tidak

dapat mengintervensi seorang auditor agar auditor tersebut meloloskan proses

audit usaha miliknya.

Dalam hal ini, seorang auditor harus memiliki sifat amanah dalam

melaksanakan tugasnya sehingga ia tidak tergoda untuk menyalahgunakan

hak dan wewenangnya sebagai auditor LPPOM MUI Jawa Barat untuk

kepentingan pribadi, seperti menerima suap dari restoran yang disertifikasi

olehnya. Semua dapat dilakukan dengan baik mengingat tugas audit yang

diembannya merupakan ibadah kepada Allah dan amanat masyarakat yang

harus dipertanggung jawabkan dunia dan akhirat.

Dari hasil wawancara peneliti dengan Agus Sugilar selaku Wakil

Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa Barat,

selama ini LPPOM MUI Jawa Barat melakukan pemeriksaan sertifikasi halal

secara independen tanpa benturan kepentingan dari pihak manapun. Seluruh

Page 87: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

auditor di LPPOM MUI Jawa Barat memegang teguh kode etik auditor dan

dalam mengontrol para auditornya tersebut, LPPOM MUI Jawa Barat dapat

melakukannya dengan mudah dikarenakan jumlah auditor di LPPOM MUI

Jawa Barat hanya sekitar 12 orang.

Selain itu, diadakannya rapat auditor untuk membahas perusahaan yang

masuk ke sidang fatwa, dapat menghasilkan keputusan yang bijak dan

terciptanya lingkungan kerja yang lebih efektif, efisien, serta terciptanya

pengendalian internal yang efektif dan independen. Karena pada saat rapat

auditor dilakukan, semua auditor berkumpul untuk mendiskusikan dan

menyampaikan seluruh hasil audit pada suatu restoran yang telah diaudit

olehnya. Temuan audit, masalah di restoran, hingga bahan-bahan yang

digunakan oleh restoran tersebut, harus dibahas keseluruhan dan tidak ada

yang boleh ditutup-tutupi sesama auditor.

Selain berfungsi sebagai pengendalian internal auditor LPPOM MUI

Jawa Barat, hal ini juga bertujuan untuk mendapatkan solusi yang harus

disampaikan kepada restoran yang tengah diaudit, apabila terdapat

permasalahan dalam proses auditnya. Selain itu, semua auditor LPPOM MUI

Jawa Barat telah menyadari bahwa mereka memiliki tanggungjawab dunia

akhirat untuk suatu perusahaan.

Dari hasil wawancara peneliti dengan Agus Sugilar selaku Wakil

Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa Barat,

selama ini LPPOM Jawa Barat tidak pernah menerima intervensi dari pihak

manapun, apalagi suap. Sehingga peneliti menyimpulkan bahwa LPPOM

MUI Jawa Barat telah menerapkan Prinsip Kemandirian dalam melakukan

proses sertifikasi halal.

5. Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan/Fairness

Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan diwujudkan dengan cara memberikan

perlakuan setara dan wajar kepada setiap dan semua stakeholders dalam

memenuhi hak-hak stakeholders tersebut. Bagi LPPOM MUI Jawa Barat,

Page 88: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

dalam melakukan proses sertifikasi halal mereka diwajibkan untuk

memberikan perlakuan setara kepada setiap pelaku usaha atau pihak yang

mengajukan permohonan sertifikasi dalam melakukan proses audit setiap

usaha milik para pelaku usaha tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Agus Sugilar selaku Wakil

Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa Barat,

LPPOM Jawa Barat selama ini telah menerapkan keadilan dan kesetaraan

dalam memenuhi hak-hak pelaku usaha yang mengajukan permohonan

sertifikasi halal. Hal ini dibuktikan dengan adanya sistem CEROL. Setiap

pelaku usaha yang melakukan sertifikasi halal diharuskan menggunakan

sistem CEROL. Hal ini sejalan dengan tujuan dari sistem CEROL itu sendiri

yang diadakan untuk mencapai prinsip kesetaraan untuk seluruh pelaku usaha

yang melakukan sertifikasi halal. Sehingga tidak akan ada kecemburuan

antara pelaku usaha.

LPPOM MUI Jawa Barat senantiasa memperhatikan pelaku usaha yang

melakukan sertifikasi halal sehingga pelaku usaha menjadi prioritas utama

dalam mendapatkan informasi atau memenuhi kebutuhan mereka sesuai

dengan kebijakan dan prosedur yang berlaku. Dalam melakukan proses

sertifikasi halal, LPPOM MUI Jawa Barat tidak pernah membeda-bedakan

atau mengkhususnya suatu restoran yang mengajukan sertifikasi halal.

Sehingga peneliti menyimpulkan bahwa dalam melakukan proses sertifikasi

halal, LPPOM MUI Jawa Barat telah menerapkan Prinsip Kewajaran dan

Kesetaraan.

Untuk lebih jelasnya, berikut Penerapan GCG pada LPPOM MUI Jawa

Barat dalam Perspektif Prinsip TARIF (Transparency, Accountability,

Responsibility, Independency, dan Fairness) dalam bentuk tabel di bawah ini:

Page 89: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

No. Prinsip GCG Terpenuhi/Tidak Indikator

1. Transparency/

Transparansi

Terpenuhi 1. Untuk menyampaikan

informasi tentang

sertifikasi halal, LPPOM

MUI memiliki website

(www.halalmui.org)

yang dapat diakses oleh

siapapun.

2. Dalam proses sertifikasi

halal, LPPOM MUI Jawa

Barat telah menerapkan

sistem pelayanan

sertiifkasi halal secara

online, yaitu melalui

sistem CEROL.

3. Dalam pengambilan

keputusan saat

melaksanakan sertifikasi

halal, pihak pelaku usaha

dapat melakukan

monitoring kinerja

LPPOM MUI Jawa Barat

melalui akun CEROL

milik pelaku usaha yang

bersangkutan.

4. Pelaku usaha dapat

berkomunikasi langsung

dengan tim auditor yang

melakukan pemeriksaan

produknya.

2. Accountability/

Akuntabilitas

Terpenuhi 1. Kinerja LPPOM MUI

Jawa Barat diawasi oleh

LPPOM MUI Pusat

dengan cara Setiap akhir

tahun LPPOM MUI Jawa

Barat membuat laporan

pertanggungjawaban

masing-masing divisi.

Setelah itu, Direktur

LPPOM MUI Jawa Barat

menyampaikan laporan-

laporan tersebut ke

LPPOM MUI Pusat.

2. Laporan keuangan

LPPOM MUI Jawa Barat

diaudit oleh akuntan

Page 90: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

publik dan mendapatkan

status Wajar Tanpa

Pengecualian.

3. Jika terdapat

permasalahan internal

pada organ LPPOM MUI

Jawa Barat, maka

diselesaikan dengan cara

musyawarah.

4. Terdapat pelatihan untuk

internal LPPOM MUI

Jawa Barat.

3. Responsibility/

Pertanggungjawaban

Terpenuhi 1. LPPOM MUI Jawa Barat

melakukan proses

sertifikasi halal melalui

sistem CEROL, yang

artinya kinerja LPPOM

MUI Jawa Barat

dimonitor oleh sistem.

2. LPPOM MUI Jawa Barat

menerima pertanyaan

dari masyarakat

mengenai informasi

lengkap seputar

sertifikat halal produk

atau restoran apabila

ditemukan kejanggalan

atau keraguan atas

restoran atau produk

makanan tersebut.

3. Adanya pengontrolan

dan pengawasan secara

kontinyu kepada

pelaku usaha yang

telah mendapatkan

sertifikat halal agar

pelaku usaha tersebut

tetap menjaga

kehalalannya.

4. Independency/

Kemandirian

Terpenuhi 1. LPPOM Jawa Barat tidak

pernah menerima

intervensi dari pihak

manapun, apalagi suap.

2. Adanya rapat auditor

Page 91: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

setelah melakukan audit

pada sebuah restoran.

Semua temuan audit,

masalah di restoran,

hingga bahan-bahan

yang digunakan oleh

restoran tersebut, harus

dibahas keseluruhan

dan tidak ada yang

ditutup-tutupi sesama

auditor.

5. Fairness/

Kewajaran dan

Kesetaraan

Terpenuhi 1. Sertifikasi halal

dilakukan secara online

melalui sistem CEROL,

sehingga perlakuan

kepada semua pelaku

usaha sama.

2. LPPOM MUI Jawa Barat

tidak pernah membeda-

bedakan atau

mengkhususkan suatu

pelaku usaha yang

mengajukan sertifikasi

halal.

Tabel IV.I

Tabel Analisa Penerapan GCG pada LPPOM MUI Jawa Barat dalam Perspektif Prinsip

TARIF (Transparency, Accountability, Responsibility, Independency, dan Fairness)

Sumber: Analisa Peneliti 2018

Dari penjabaran di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa LPPOM

MUI Jawa Barat telah menerapkan kelima prinsip GCG dalam melakukan proses

sertifikasi halal. Hal tersebut juga disebabkan LPPOM MUI Jawa Barat sudah

melakukan proses sertifikasi halal dengan sebaik-baiknya dan sudah menerapkan

prinsip keterbukaan. Sehingga, produk sertifikat halal yang sudah dikeluarkan

MUI Jawa Barat, melalui proses sertifikasi oleh LPPOM Jawa Barat sudah tidak

perlu diragukan lagi. Selain itu, LPPOM MUI Jawa Barat selalu melakukan

usaha dari awal proses screening suatu produk seperti apa, dari mulai penamaan

produk tersebut, bentuk, sampai ke merek.

Page 92: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Selain itu, pengawasan kinerja LPPOM MUI Jawa Barat bukan hanya

berasal dari internal saja, tetapi juga berasal dari eksternal, yaitu LPPOM MUI

Pusat. Karena semua produk yang sudah disertifikasi nantinya akan masuk ke

database pusat untuk dicantumkan ke dalam daftar produk halal. Artinya,

LPPOM MUI Pusat juga membaca setiap hasil sertifikasi LPPOM MUI Jawa

Barat sehingga mereka juga turut serta dalam proses sertifikasi halal setiap

LPPOM MUI daerah.

Walaupun pelaksanaan proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM

MUI Jawa Barat telah menerapkan prinsip GCG, akan tetapi tetap saja pada

implementasinya LPPOM MUI Jawa Barat menemui kendala dalam melakukan

pemeriksaan sertifikasi halal. Beberapa diantaranya adalah:

1. Jumlah auditor yang terbatas. Jumlah auditor yang dimiliki oleh LPPOM

MUI Jawa Barat hanya 12 orang. Jumlah ini tidak dimungkinkan untuk

mencakup wilayah Provinsi Jawa Barat yang memiliki 17 kabupaten dan 9

kota dengan restoran yang tersebar di setiap kabupaten dan kota tersebut.10

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, jumlah restoran yang

terdapat di Jawa Barat mencapai jumlah kurang lebih 1500 restoran.

Tentunya jumlah ini sangat timpang dengan jumlah auditor yang hanya

berjumlah 12 orang. Berikut ini jumlah restoran di Jawa Barat yang

disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini:

JUMLAH RESTORAN DI JAWA

BARAT (PER-KABUPATEN)

No Kabupaten Jumlah

Restora

n

1 Bandung 216

2 Bogor 256

3 Sukabumi 86

4 Cianjur 74

10 Agus Sugilar, Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa

Barat, Interview Pribadi, Bandung, 03 Januari 2018.

Page 93: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

5 Garut 90

6 Tasikmalaya 115

7 Ciamis 73

8 Kuningan 58

9 Cirebon 59

10 Majalengka 52

11 Sumedang 40

12 Indramayu 37

13 Subang 57

14 Purwakarta 50

15 Karawang 49

16 Bekasi 188

Total Seluruh

Restoran di

Jawa Barat

1500

Tabel IV.I

Jumlah Restoran di Jawa Barat (Per-Kabupaten)

Sumber: Analisa Peneliti 2018

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kurangnya auditor menjadi

salah satu faktor penghambat proses sertifikasi halal.

2. Dalam hal penggunaan bahan. Bahan-bahan yang digunakan oleh restoran

belum didukung oleh dokumen halal yang ditetapkan. Terkadang juga

terdapat penggunaan barang yang memang tidak disarankan untuk

digunakan karena memang bahannya tidak halal. Akan tetapi, biasanya sulit

untuk restoran mengubah bahan tersebut, sehingga masih banyak restoran

yang tetap menggunakan bahan yang tidak disarankan ataupun bahan yang

tidak halal. Ini disebabkan karena biasanya restoran sudah mencoba

mengganti bahan tersebut memakai bahan yang halal, namun tidak laku atau

tidak enak, sehingga mereka kembali lagi memakai bahan yang tidak halal

yang biasa mereka pakai. Inilah yang terkadang menjadi penghambat

LPPOM MUI Jawa Barat dalam melakukan proses sertifikasi halal,

sehingga memerlukan waktu yang cukup lama.

Page 94: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

3. Karena restoran di Jawa Barat termasuk ke dalam lingkup daerah, hal ini

menjadikan sumber daya manusianya terbatas dan terkadang untuk

memahami suatu penjelasan mengenai sertifikasi halal tidaklah mudah.

4. Masih terdapatnya paradigma masyarakat yang menyatakan bahwa restoran

yang dimiliki oleh “Pak/Bu Haji” sudah pasti halal dan tetap digemari

walaupun tidak memiliki sertifikat halal, sehingga menyebabkan pelaku

usaha tidak berminat untuk mengurus sertifikasi halal restorannya tersebut.

Selain kendala yang dihadapi oleh LPPOM MUI Jawa Barat, beberapa

kendala yang dihadapi oleh pelaku usaha dalam melakukan sertifikasi halal,

yaitu:

1. Lokasi restoran yang jauh dari lokasi LPPOM MUI Jawa Barat menyebabkan

biaya yang diperlukan untuk sertifikasi lebih besar. Hal ini disebabkan

terdapatnya biaya transportasi dan akomodasi seperti penginapan yang

ditanggung oleh pelaku usaha, sehingga masih banyak pelaku usaha yang

memiliki restoran di luar Bandung (lokasi LPPOM MUI Jawa Barat) enggan

untuk melakukan sertifikasi halal.

2. Biaya sertifikasi halal yang dinilai memberatkan Usaha Mikro Kecil

Menengah (UMKM). Berikut ini rincian pembiayaan sertifikasi halal:11

a. Pembiayaan Sertifikat

1) Level A (Industri Besar)

Biaya Sertifikat Rp.2.000.000 s/d Rp.3.500.000 (di luar biaya: auditor,

registrasi, majalah jurnal, dan biaya pelatihan SJH)

2) Level B (Industri Kecil)

Biaya Sertifikat Rp.1.500.000 s/d 2.000.000 (di luar biaya : auditor,

registrasi, majalah jurnal, dan biaya pelatihan SJH)

3) Level C (Industri Mikro/Rumah Tangga)

11 LPPOM MUI KEPRI, “Biaya Sertifikat”, artikel diakses pada 15 Januari 2018 dari

http://www.halalmuikepri.com/biaya-sertifikat/.

Page 95: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Biaya Sertifikat Rp.1.000.000 (di luar biaya : auditor, registrasi,

majalah jurnal, dan biaya pelatihan SJH)

Catatan:

1) Kategori/level Pembiayaan Sertifikat Berdasarkan:

a) Jumlah Karyawan

Level A Jumlah Karyawan diatas 20 Orang

Level B Jumlah karyawan antara 10-20 Orang

Level C Jumlah Karyawan Kurang dari 10. 0rang

b) Kapasitas Produksi

c) Omset Perusahaan

2) Jika Perusahaan Mempunyai Outlet, maka akan dikenakan biaya

tambahan Rp200.000/Outlet.

3) Jika ada Penambahan Produk/Pengembangan Usaha,akan

dikenakan Biaya Tambahan :

a) level A : Rp.150.000/Produk

b) Level B : Rp.100.000/Produk

c) Level C : Rp. 50.000/Produk

b. Pelatihan

Pelatihan SJH diwajibkan bagi Perusahaan baik yang baru mengurus

maupun yang perpanjang sertifikat halal. Pelatihan dilaksanakan selama 2

(dua) hari dengan biaya :

1) Perusahaan : Rp.1.200.000/Orang

2) UKM : Rp. 500.000/Orang

3) Bagi Usaha Kecil/ Industri rumah tangga yang tidak mampu untuk

pembiayaan, LP POM MUI mempunyai kebijakan tersendiri untuk

subsidi pembiayaan. Ketentuan ini dilaksanakan dengan syarat

tertentu yang di tetapkan LP POM MUI daerah masing-masing.

Dari pembebanan biaya sertifikat di atas, sebagian restoran yang masuk

kategori UMKM atau industri kecil masih menilai pembiayan sertifikat halal

Page 96: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

tersebut cukup besar. Sehingga masih banyak UMKM yang tidak mengurus

sertifikat halal.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa

sertifikasi halal merupakan legitimasi kehalalan produk di Indonesia. Tujuan

akhir dari sertifikasi halal ini adalah adanya pengakuan secara legal formal

bahwa produk yang dikeluarkan pelaku usaha telah memenuhi ketentuan halal.

Tentunya pengakuan ini diwujudkan dalam bentuk sertifikat halal. Pelaksanaan

sertifikasi halal merupakan bentuk perlindungan hak-hak warna negara

Indonesia, khususnya masyarakat muslim. Ditinjau dari proses sertifikasi halal

yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat yang telah menerapkan prinsip

GCG, maka dalam hal ini LPPOM MUI Jawa Barat telah melakukan upaya

perlindungan hukum bagi konsumen muslim dan sertifikat halal yang

dikeluarkan MUI tidak perlu lagi diragukan kepastian hukumnya.

Walaupun begitu, ditinjau dari sifat sertifikasi halal sebuah produk di

Indonesia yang masih bersifat sukarela (voluntary), belum wajib (mandatory),

yang artinya pelaksanaan sertifikasi halal saat ini masih bergantung kepada

kesadaran pelaku usaha, maka bentuk perlindungan hukum yang diberikan

pemerintah mengenai kehalalan suatu pangan belumlah maksimal. Oleh karena

itu, diperlukan pengaturan yang mewajibkan pelaksanaan sertifikasi halal di

Indonesia demi melindungi konsumen muslim terhadap pangan yang beredar.

Selain itu, beberapa kendala yang telah dipaparkan di atas, seperti masih

terbatasnya jumlah auditor, banyaknya jumlah restoran yang belum tersertifikasi

halal, biaya sertifikasi halal, dan lokasi-lokasi restoran, terutama yang terdapat di

daerah-daerah merupakan hal-hal yang menjadi “pekerjaan rumah” dan harus

dipikirkan kembali oleh pemerintah.

Page 97: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

87

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Untuk menjawab pertanyaan penelitian, maka peneliti membuat kesimpulan

sebagai berikut:

1. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pengaturan produk halal

di Indonesia adalah Pasal 28E Ayat (1) dan (2) Undang-undang Dasar 1945,

Pasal 4 huruf a dan c, Pasal 7 huruf b, dan Pasal 8 Ayat (1) Huruf h Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 67

Ayat (1) dan Pasal 69 huruf g Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012

tentang Pangan, Pasal 4 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2014 tentang Jaminan Produk Halal (selanjutnya disebut dengan Undang-

undang Jaminan Produk Halal) dan Pasal 10 dan Pasal 11 Peraturan

Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, dapat disimpulkan

secara eksplisit bahwa sertifikasi dan labelisasi halal bertujuan untuk

membantu konsumen dalam mengetahui status kehalalan dari sebuah

produk, sehingga memberikan keamanan, kenyamanan dan ketentraman

bagi konsumen untuk memilih berbagai produk yang terdapat di pasaran.

Informasi inilah yang dibutuhkan konsumen pada produk pangan halal.

Dengan informasi yang simetris konsumen dapat menentukan pilihannya

untuk mengkonsumsi produk pangan halal, karena informasi yang simetris

merupakan kesejahteraan bagi konsumen, sehingga dengan sertifikasi dan

labelisasi halal ini tercipta keadilan pasar bagi konsumen. Akan tetapi, sifat

dari sertifikasi halal sebuah produk di Indonesia saat ini masih bersifat

voluntary, bukan mandatory. Artinya, pelaksanaan sertifikasi halal saat ini

masih bergantung kepada kesadaran pelaku usaha.

Page 98: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

2. Proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat telah

menerapkan prinsip Good Corporate Governance (yang selanjutnya

disingkat menjadi GCG). Ini dibuktikan bahwa dalam melakukan proses

sertifikasi halal, LPPOM MUI Jawa Barat telah menerapkan lima prinsip

GCG, yaitu TARIF (Transparency, Accountability, Responsibility,

Independency, dan Fairness) .

B. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti

mengajukan beberapa rekomendasi sebagai berikut:

1. Bagi konsumen, perlunya sikap kritis terhadap pangan yang akan

dikonsumsinya dan jangan mengkonsumsi pangan di restoran yang tidak

memiliki sertifikat halal. Dengan begitu, jika restoran yang tidak memiliki

sertifikat halal sepi pengunjung, maka ia akan melakukan proses sertifikasi

halal.

2. Bagi LPPOM MUI baik pusat maupun daerah, serta lembaga-lembaga lain

di Indonesia agar menerapkan prinsip GCG. Oleh karena itu, peneliti

menyarankan dibentuknya sebuah peraturan yang mewajibkan semua pihak

yang terkait untuk memperhatikan dan memenuhi persyaratan GCG dalam

melaksanakan proses sertifikasi halal.

3. Peneliti menyarankan agar pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksana

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

(Undang-Undang Jaminan Produk Halal) agar ketentuan yang terdapat di

dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal dapat dilaksanakan oleh

badan ataupun lembaga yang telah diberikan wewenang oleh undang-

undang tersebut guna memberikan perlindungan terhadap konsumen muslim.

Page 99: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

89

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Al-Quran Al-Karim.

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Cet.8. Jakarta:

Rajawali Pers, 2014.

Ardiansyah, Panji. Etika Bisnis. Cet.1. Yogyakarta: Quadrant, 2017.

Djakfar, Muhammad. Hukum Bisnis. T.tt.: UIN Malang Press, 2009.

Farma, PT Pyridam. Pedoman Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate

Governance). T.tt.: T.tp., 2016.

Girindra, Aisjah. LPPOM MUI Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal. Jakarta: LP POM

MUI, 2005.

Hosen, M. Nadratuzzaman, dkk. Gerakan 3 H Ekonomi Syariah; Halal Memperoleh,

Halal Mengkonsumsi dan Halal Memanfaatkan. Jakarta: Pusat Komunikasi

Ekonomi Syariah, 2007.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen, Ed. I, Cet. IV. Jakarta:

Sinar Grafika, 2014.

Komite Nasional Kebijakan Governance, Pedoman Umum Good Corporate

Governance Indonesia. Jakarta: T.tp., 2006.

LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminian Halal LPPOM MUI. Jakarta:

LPPOM MUI, 2008.

LPPOM MUI, HAS 23000: Persyaratan Sertifikasi Halal. T.tp.: t.t., 2012.

LP POM MUI Jawa Timur. Bunga Rampai Petunjuk Produk Halal. Surabaya:

Lutfiansah Mediatama, 2004.

Lukviarman, Niki. Corporate Governance. Solo: Era Adicitra Intermedia, 2016.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2015.

Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk

Halal; Studi Socio-legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-

Page 100: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia. Cet.1. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2015.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2004.

Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit

Media, 2001.

Qardhawi, Yusuf. Halal Haram dalam Islam. Jakarta: Era Intermedia, t.th.

Roswiem, Anna Priangani. Buku Saku Produk Halal; Makanan dan Minuman. Cet.1.

Jakarta: Republika, 2015.

Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate

Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik). Cet.1. Bandung: CV

Mandar Maju, 2007.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2004.

Shofie, Yusuf. Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia.

Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008.

Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Cet.3. Bandung: PT

Citra Aditya Bakti, 2014.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan

Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.

Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia; Studi atas Fatwa Halal MUI

terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika. Cet.1. Jakarta:

Gaung Persada Press Group, 2013.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek, Cet. IV. Jakarta: Sinar Grafika,

2008.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Hukum tentang Perlindungan Konsumen.

Jakarta: Gramedia, 2003.

Yaqub, Ali Mustafa. Kriteria Halal Haram untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika

Menurut Al-Qur’an dan Hadits. Cet.2. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2013.

Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2013.

Page 101: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan.

Internet

Akhmad, Dias. “Pengertian Buffet Service”. Artikel diakses pada tanggal 18

Desember 2016 dari http://www.restofocus.com/2015/05/pengertian-buffet-

service.html

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, “Jumlah Restoran/Rumah Makan Menurut

Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat, 2013-2016”, artikel diakses pada 01

April 2018 dari https://jabar.bps.go.id/statictable/2018/03/23/472/jumlah-

restoran-rumah-makan-menurut-kabupaten-kota-.html

Indonesia-Investments, “Agama di Indonesia”, artikel diakses pada 14 April 2017

dari https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/agama/item69.

KlikLegal.com. “Ini Delapan Tahap untuk Mendapatkan Sertifikat Halal”. Artikel

diakses pada tanggal 27 Oktober 2017 dari https://kliklegal.com/ini-delapan-

tahap-untuk-mendapatkan-sertifikat-halal/.

Kusumasari, Diana. “Bagaimana Pengaturan Sertifikasi Halal bagi Produk

Makanan?”. Artikel diakses pada tanggal 04 Deseber 2016 dari

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3808/bagaimana-pengaturan-

sertifikasi-halal-bagi-produk-makanan

LPPOM MUI. “Sertifikat Halal MUI”. Artikel diakses pada 14 April 2017 dari

http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/55/1360/page/

1.

LPPOM MUI, “Statistik Sertifikasi Halal Indonesia”, artikel diakses pada 28 Mei

2018 dari

http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/59/1368/page/

1.

Page 102: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

LPPOM MUI. “Visi Misi”. Artikel diakses pada 19 Desember 2017 dari

http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/131/1513/page

/1.

LPPOM MUI. “Prosedur Keluhan dan Banding”. Artikel diakses pada 15 Januari

2018 dari

http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/147/1545/page

/1

LPPOM MUI KEPRI. “Biaya Sertifikat”. Artikel diakses pada 15 Januari 2018 dari

http://www.halalmuikepri.com/biaya-sertifikat/.

Medore, Quriesh. “MUI Himbau Semua Restoran Segera Ajukan Sertifikat Halal”.

Artikel diakses pada tanggal 11 Juni 2016 dari

http://mui.or.id/homepage/berita/berita-singkat/mui-himbau-semua-restoran-

segera-ajukan-setifikat-halal.html

Pemerintah Provinsi Jawa Barat, “Penduduk”, artikel diakses pada 01 April 2018 dari

http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/75.

Republika.co.id, “Baru 48 Restoran di Indonesia yang Bersertifikat Halal”, artikel

diakses pada 14 April 2017 dari

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-

ekonomi/17/06/30/oscz2j330-baru-48-restoran-di-indonesia-yang-

bersertifikat-halal.

Sang Pencerah (The Muhammadiyah Post), “Persentase Jumlah Umat Islam Berbagai

Daerah di Indonesia”, artikel dikases pada 11 Juli 2018 dari

http://sangpencerah.id/2014/12/persentase-jumlah-umat-islam-berbagai/.

Tribun Pontianak. “MUI Temukan Bumbu Resto Solaria Mengandung Babi”. Artikel

diakses pada 12 Oktober 2016 dari

http://pontianak.tribunnews.com/2015/11/24/mui-temukan-bumbu-resto-

solaria-mengandung-babi

Tunas. “Pengembangan Tata Kelola Perusahaan”. Artikel dikases pada 27 Desember

2017 dari http://www.tunasgroup.com/prinsip-dasar-dan-pengembangan-tata-

kelola-perusahaan/.

Jurnal

LP POM-MUI. “Jurnal Halal: Menenteramkan Umat”. Nomor 111/XVIII/2015,

(2015): 7.

Page 103: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Hidayat, Asep Syarifuddin dan Mustolih Siradj. “Argumentasi Hukum Jaminan

Produk Halal”, Jurnal Bimas Islam, Nomor 1 (2015): 8.

Interview

Interview Pribadi dengan Agus Sugilar, Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan

Keuangan LPPOM MUI Jawa Barat, Bandung, 03 Januari 2018.

Page 104: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 105: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap
Page 106: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

“Transkrip Wawancara dengan Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan

LPPOM MUI Jawa Barat, Ir. H. Agus Sugilar”

Tika : Berapa besar perbandingan restoran di Jawa Barat yang telah memiliki dan yang

tidak memiliki label halal hingga saat ini?

Bapak Agus : Banyak yang belum, Mbak, saat ini untuk restoran. Kalau untuk masalah

persentase kita tidak memiliki datanya, ya, berapa jumlah restoran di Jawa Barat,

itu kita tidak memiliki datanya. Saya akui di Jawa Barat, kalau restoran itu yang

paling sedikit sebetulnya dalam melakukan sertifikasi halal.

Tika : Dengan masih adanya restoran yang tidak memiliki label halal, apakah hal ini

berarti mensertifikasi halal sebuah restoran tidak semudah mensertifikasi halal

produk makanan dan minuman kemasan? Jika ya, mengapa mensertifikasi halal

sebuah restoran tidak semudah mensertifikasi halal produk lainnya?

Bapak Agus : Tidak. Bukan masalah itu sebetulnya. Karena kembali lagi kepada sifat

sertifikasinya itu ya, mungkin. Sekarang tidak semuanya produsen aware dengan

sertifikasi halal. Konsumen sekarang sudah mulai cerdas, ya, oh ini sudah halal,

Mc Donalds, Kentucky, ini sudah halal. Kayak kita aja ya kalau kita keluar kota,

cari makan kalau memang tidak ada rumah makan yang belum bersertifikat halal

kan kesitu. Carinya Kentucky, lah, Mc Donalds, lah, kan kembali lagi ke situ. Jadi

kembali lagi kepada konsumen, mungkin juga konsumen tidak mendorong suatu

rumah makan harus halal, kan tidak juga. Kadang kan konsumen juga tidak mau

terlalu mengurusi hal ini, ya, yaudah, cari yang sudah halal saja. Tidak bisa

memaksakan, ya. Karena lagi-lagi sifat sertifikasi halal itu masih sukarela, belum

diwajibkan. Dan produsennya itu sendiri belum mengutamakan ke situ. Apalagi

kalau sifatnya kedaerahan. Di daerah itu kalau sudah miliknya Pak Haji, ya sudah,

diyakini sudah pasti halal. Jadi yang kritis-kritisnya, ya, yang seperti itu.

Tika : Dalam melakukan sertifikasi halal terhadap restoran-restoran yang ada di Jawa

Barat, apa saja kendala yang berasal dari internal ataupun eksternal yang dihadapi

oleh LPPOM MUI Jawa Barat?

Bapak Agus : Kalau proses sertifikasi kita kan sudah ada prosedurnya, ya, kita hanya perlu

menjalani itu. Karena ada dalam HAS 23000, ya, kita hanya tinggal mengikuti itu.

Cuma kendala yang menyebabkan misalnya suatu perusahaan prosesnya lama,

terutama untuk catering, restoran, rumah makan paling kendalanya dia agak

memakan waktu. Kenapa? Karena dalam hal penggunaan bahan. Bahan-bahan

yang digunakannya ini belum didukung oleh dokumen halal yang ditetapkan.

Misalnya kebutuhan dagingnya, nah, di Kota Bandung saja, Rumah Potong Halal

(RPH) nya saja hanya ada 5 (lima) buah yang milik pemerintah dan yang telah

tersertifikasi belum semuanya, baru beberapa. Belum lagi ada penggunaan barang

yang memang kita tidak sarankan untuk digunakan karena memang bahannya

tidak halal, ya, nah tetapi dalam satu sisi set-nya memang menginginkan itu,

karena kendala untuk rumah makan atau restoran itu adanya adalah di set. Kalau

set-nya dia punya khas dari menunya ini, gitu ya, dia harus menggunakan suatu

bahan. Nah untuk mengubah itu kan tidak mudah. Kendalanya mungkin sudah

Page 107: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

memakai bahan halal, namun tidak laku atau tidak enak, larinya kan ke situ

mereka. Seperti penggunaan angciu kan masih ada beberapa restoran yang

memakainya. Jadi kendalanya itu kembali lagi pada perusahaan masing-masing.

Tika : Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk proses sertifikasi halal dari awal hingga

akhir? Apakah selama ini proses sertifikasi halal di LPPOM Jawa Barat telah

sesuai dengan jangka waktu tersebut?

Bapak Agus : Proses sertifikasi halal dari awal sampai akhir, sebenarnya target sasarannya 29

(duapuluh sembilan) hari harus sudah selesai. Tapi ya itu tadi kembali pada

perusahaan. Apalagi sekarang CEROL itu menjadi wajib. Jadi semua itu sekarang

sudah melalui CEROL. Nah, tidak semua perusahaan telah memahami CEROL.

Walaupun kita sudah menyediakan ruang penyuluhan mengenai CEROL tersebut.

Nah yang belum paham mereka datang, lalu kita bantu mereka mulai dari

penyusunan manualnya sampai daftar di CEROL itu terjadwal, ya, dalam satu hari

dari Senin sampai Kamis itu diantara kita rolling, dua orang, untuk memberikan,

bukan pelatihan secara intens ya, hanya pengenalan bagaimana sih Sistem Jaminan

Halal, bagaimana sih masuk ke CEROL. Karena kalau untuk pelatihan intens kan

tidak cukup hanya dengan satu atau setengah hari. Tapi kita mengenalkan ini loh

manual SJH, ini loh template manual sistem jaminan halal itu seperti ini. Apa yang

harus dilakukan oleh perusahaan. Kayak sekarang ini, jam 10 tuh sudah ada orang

di atas, jadi untuk mereka yang ingin mendaftar sekarang kalau mau bikin manual,

silakan, pemahaman dulu tentang SJH. Nanti setelah istirahat, balik ke ruangan itu

untuk CEROL-nya. Minimal sampai ke registrasi, perusahaan tersebut punya akun

di CEROL, sampai ke username, dia punya nomor NIK nya segala macam. Nanti

kita tunjukin ini masuk kemana, kemana, nanti dia paham, dia kan tinggal ngerjain

di perusahaannya atau di rumah. Kalau masih kendala, ya, datang lagi sampai dia

paham. Karena tidak mudah, ya, apalagi kalau untuk lingkup provinsi kan,

menengah ke bawah, ya, perusahaannya, artinya kan sumber dayanya juga terbatas,

jadi untuk memahami itu kan tidak mudah.

Jadi jangka waktu sertifikasi halal itu kembali lagi kepada perusahaan masing-

masing. Tergantung masing-masing perusahaannya. Kalau sudah online, masuk ke

CEROL, kan perusahaannya sendiri yang memonitoring. Misalnya sampai 3 (tiga)

bulan kalau belum selesai, ya, belum selesai, belum bisa diaudit. Dia harus

memeriksa manual SJH, nanti SJH kan harus di upload juga ke CEROL. Nanti ada

juga di sini admin SJH, kita periksa SJH-nya, kalau belum memadai ya kita

kembalikan lagi ke perusahaan yang bersangkutan. Dokumen-dokumen juga sama,

daftar bahannya, produk, segala macam itu ada juga bagian admin yang cek

dokumen. Kalau dokumennya belum lengkap dikembalikan lagi ke perusahaan

yang bersangkutan.

Jadi intinya jangka waktu proses sertifikasi halal itu waktunya 29 (duapuluh

sembilan) hari tapi kembali lagi kepada perusahaan yang melakukan sertifikasi

tersebut bisa cepat atau lama. Bahkan ada juga yang kurang dari 29 hari untuk

menyelesaikan proses sertifikasi halal. Apalagi sistemnya sekarang sudah online

seperti ini. Kita sudah pantau semuanya, kalau sudah tidak ada masalah dalam

Page 108: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

audit, besok sidang fatwa, karena untuk sertifikasi kan tergantung sidang fatwa

juga. Kita kalau target sidang fatwa, itu terakhir kemarin kita bisa sidang sebulan

dua kali sidang fatwa. Sidang fatwa ini pada dasarnya bersifat kondisional, jadi

kalau sudah banyak yang harus sidang fatwa ya kadang itu tadi, sebulan dua kali.

Kalau misalnya dijadwalkan sebulan sekali, kalau memang tidak ada hal yang

disidangkannya juga untuk apa.

Tika : Kalau jangka waktu untuk auditnya bagaimana, Pak? Membutuhkan waktu berapa

lama?

Bapak Agus : Kalau jangka waktu untuk auditnya sendiri hanya butuh waktu seharian, kalau

misalnya tidak ada kendala. Seharian itu tuntas kalau tidak ada masalah. Kalau ada

masalah itu kita lihat, lalu jadwal ulang. Masalahnya biasanya terletak pada ada

bahan yang misalnya tidak direkomendasi atau bahan yang memang sudah

dinyatakan tidak halal. Kan kalau bahan yang dinyatakan jelas tidak halal, dari

sejak cek dokumen juga sudah terdeteksi. Cuma kalau permasalahan dalam audit

adanya temuan bahan yang belum masuk, ada SJH nya yang kurang disana sini,

karena untuk SJH nya kan status minimalnya harusnya kan B. Kalau penilaian B

itu kan artinya ada penilaian-penilaian khusus, ya dari tim SJH. Kemudian baru

dinyatakan layak proses sertifikasi. Nanti misalnya pada saat audit, nah itu

langsung tuh bagi perusahaan di CEROL-nya masukin apa yang kurang. Bahan

atau produk atau prosedur yang kurang. Tergantung dari perusahaan itu nanti.

Kalau memang diperlukan untuk audit lagi, ya kita jadwalkan untuk audit ulang.

Kalau memang dinyatakan, temuannya yang minor, gitu ya, ya itu bisa tidak

diaudit lagi dengan catatan perusahaan akan memperbaiki.

Tika : Bagaimana sih Pak, proses/tahapan pemeriksaan atau audit yang dilakukan oleh

LPPOM Jawa Barat terhadap suatu restoran?

Bapak Agus : Kan di CEROL sudah ada itu sudah jelas. Di CEROL itu apa yang dikerjakan

sebagai auditor, dari mulai cek dokumennya apa, cek materialnya apa, nantikan di

situ auditor sudah memberikan komen-komennya. Sehingga nanti di lapangan, di

perusahaannya, buka komennya, lalu dikonfirmasi.

Contohnya seperti ini, saya auditor, saya sudah punya akun CEROL. Misalnya

saya diberi tugas mengaudit sebuah restoran, nanti saya tinggal masuk ke CEROL,

lalu secara penjadwalan misalnya tiga hari ke depan saya harus audit, misalnya

Senin, nah itu antara besok (Kamis) itu sudah masuk ke saya nama perusahaan

yang harus saya audit. Kalau tahapannya biasa, kayak meneliti, seperti itu kan, ya

standarnya begitu.

Sebelum melakukan audit, ketika kita baru mendapatkan nama perusahaan dari

bagian auditing kita sudah mengecek terlebih dahulu dokumen halalnya,

produknya, sampai materialnya, ini kita sudah melakukan audit disini. Jadi nanti

saya lihat, saya menilai mengenai dokumen-dokumen yang sudah diberikan oleh

perusahaan dan nanti itu saya berikan komentar. Nah komen yang saya berikan

dalam CEROL ini nanti langsung sampai ke perusahaan. Jadi kalau perusahaan

yang sudah paham, dia baca komentar-komentar yang telah saya berikan kemudian

perusahaan telah mempelajari itu sehingga begitu saya akan melakukan audit di

Page 109: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

lapangannya perusahaan sudah mempersiapkan apa sih yang telah saya komen

sebelumnya itu.

Tika : Sampai dengan saat ini, Apakah pernah terdapat permasalahan dalam hal proses

pemeriksaan restoran di Jawa Barat? Misalnya tindakan curang yang dilakukan

oleh pelaku usaha, seperti menyuap tim auditor halal LPPOM MUI Jawa Barat

agar usahanya dapat lolos sertifikasi halal? Apakah di LPPOM Jawa Barat pernah

terjadi kasus seperti ini? Jika ada, bagaimana tim auditor menanggapinya?

Bapak Agus : Kalau kita kan sudah komitmen ya, kita disini semua sama. Kalau auditor kita di

Jawa Barat kan sedikit, kalau disini saja hanya ada 12 orang, jadi kan kontrolnya

gampang. Jadi kita pegang kode etik auditor itu mudah. Kita kontrol. Apalagi

sekarang sudah CEROL seperti ini. Jadi misalnya teman saya yang ditugaskan

untuk mengaudit seuatu perusahaan, saya kan bisa kontrol dari CEROL juga. Jadi

seandainya ada hal-hal yang ganjil, misalnya kenapa ini kok bisa lolos, itu bisa

terlihat. Apalagi tahapannya setelah audit, sebelum sidang fatwa itu ada rapat

auditor. Kita semua auditor itu berkumpul membahas perusahaan yang akan masuk

ke sidang fatwa. Itu semua bahan, semuanya dibuka. Temuan auditnya apa,

masalah di perusahaannya apa, itu dibahas semuanya dan tidak ada batasan apa-

apa lagi. Semua fungsinya sama sebagai auditor yang memilik tanggungjawab

dunia akhirat lah untuk suatu perusahaan. Sampai saat ini alhamdulillah sudah

bagus auditor di LPPOM Jawa Barat ini.

Dan sebaliknya jika ada suatu perusahaan yang menurut pengamatan saya, ini

bahan di perusahaan ini kok tidak begitu kritis permasalahannya, tidak begitu

kompleks, kenapa belum masuk sidang aja, misalnya begitu ya, kenapa niih

kendala di auditor. Nah itu kan juga termasuk kontrol juga. Jadi kita tanya kenapa

perusahaan ini belum masuk? Ada masalah apa? Oh masalahnya disini, apa tidak

bisa diselesaikan? Bisa tidak? Atau solusinya bagaimana? Cari solusinya,

sampaikan ke perusahaan.

Tika : Apakah dalam melakukan proses sertifikasi halal LPPOM Jawa Barat telah

menerapkan prinsip transparan? Yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses

pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil

dan relevan terkait sertifikasi halal yang sedang dilakukan?

Bapak Agus : Perusahaan kan punya di akunnya perusahaan disini yang namanya monitoring.

Dia dapat memonitor langsung di CEROL. Misalnya saya ditugaskan audit hari

Senin, nah saya belum ngapa-ngapain tuh, belum memeriksa dokumen-dokumen

yang sudah ia berikan/unggah, nah perusahaan juga bisa bertanya tuh. Ada apa?

Jadi mereka ada menu yang namanya Menu Monitoring, lalu ada menu pre audit,

audit, dan pasca audit. Nah jadi misalnya saya belum mengisi menu pre auditnya,

lalu perusahaan nanya kenapa kok Bapak belum ngasih pre audit?

Kan kalau disini perusahaan sudah tahu yang ditugaskan menjadi auditor untuk

perusahaan tersebut saya. Atau kadang perusahaan langsung menelpon ke

sekretariat, bisa minta nomornya Bapak/Ibu ini (yang menjadi auditor di

perusahaan tersebut). Nah nanti perusahaan komunikasi langsung ke auditornya.

Page 110: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Misalnya mengenai penjadwalan audit atau perusahaannya ada masalah apa,

negosiasi waktunya boleh tidak. Ya seperti itu.

Tika : Apakah dalam melakukan proses sertifikasi halal LPPOM Jawa Barat telah

menerapkan prinsip kemandirian? Yaitu tidak terdapatnya benturan kepentingan

dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun saat sedang melakukan sertifikasi halal?

Bapak Agus : Yang menekan kita siapa? Iya karena pelaku usaha juga tidak bisa melakukannya.

Ya ada suatu perusahaan yang misalnya kenal dengan pengurus MUI, kalau sudah

kenal begitu biasanya perusahaan minta dipercepat nih sertifikasinya. Nah, tapi

kan MUI nya juga sudah paham.

Ya kalau seperti itu kita tanggapi saja. Tapi di MUI itu sendiri juga kan bijaksana,

ya, perihal daftar misalnya. Kadang sudah daftar lewat sekretariat atau si

perusahaan langsung. Paling pak sekum panggil saya, Pak Agus ini, perusahaan ini

katanya daftarnya sudah lama, sudah sampai mana ini prosesnya? Lalu kemudian

saya cek, oh ternyata perusahaan ini malah belum diaudit. Nah saya sampaikan.

Belum diaudit pak, ini kendalanya disini, disini. Apalagi untuk rumah makan

seperti itu kan tidak mudah, ya, karena bahannya itu banyak sekali, tidak sedikit.

Yang namanya manual SJH, 11 kriteria ini yang kita sampaikan dalam penyuluhan

harian. Apa yang harus mereka buatkan. Mereka harus bikin prosedur tertulis,

prosedur-prosedur yang sederhana tapi harus tetap mereka buat karena itu jaminan

kita.

Tika : Apakah selama ini LPPOM Jawa Barat pernah menerima pengaduan konsumen,

seperti mengenai ditemukannya kejanggalan atas restoran atau produk makanan?

Bagaimana LPPOM Jawa Barat menindaklanjuti pengaduan konsumen tersebut?

Bapak Agus : Kalau mengadu sih sejauh ini tidak ada, tapi kalau bertanya iya. Kalau bertanya

sering. Konsumen yang ingin bertanya ke LPPOM Jawa Barat itu bisa langsung

melalui web kita, e-mail kita atau menghubungi langsung juga bisa. Lebih

seringnya kita menerima pertanyaan-pertanyaan itu lewat telepon atau e-mail.

Web LPPOM itu hanya satu, hanya pusat. Tidak ada web LPPOM daerah, kan

alamatnya satu halalmui.org. Jadi kalau misalnya ada pertanyaan dari masyarakat

yang masuk web, itu kan pusat yag mengelola, nanti dari pusat disampaikan ke

provinsi.

Tika : Apakah fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ-organ di LPPOM

Jawa Barat telah bekerja sesuai prosedurnya masing-masing sehingga pelaksanaan

sertifikasi halal terlaksana secara efektif? Apakah pernah terjadi pelanggaran yang

dilakukan oleh salah satu pekerja LPPOM Jawa Barat? Apa sanksi yang diterapkan

jika salah satu pekerja melakukan pelanggaran?

Bapak Agus : Setiap akhir tahun kan kita ada yang namanya lapor pertanggungjawaban masing-

masing. Yang pertama dari masing-masing intern dulu, yaitu setiap bagian-bagian

di LPPOM per-daerah. Nanti akhirnya dari pak direktur ke pusat, termasuk laporan

keuangan. Laporan keuangan kita diaudit oleh akuntan publik. Alhamdulillah

sudah dapat status Wajar Tanpa Pengecualian.

Mengenai pelanggaran dan sanksi, kalau kita kan dari awal apapun ada masalah

kan dimusyawarahkan. Jadi belum sampai ke pelanggaran yang fatal kan sudah

Page 111: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

terdeteksi dari awal. Jika ada yang melakukan kejanggalan jadi sudah

diberitahu/dinasihati terlebih dahulu. Karena kita paham jugalah kalau pekerjaan

ini tanggung jawabnya moral. Ya, alhamdulillah sampai saat ini tidak ada yang

melakukan pelanggaran fatal hingga pemberian sanksi.

Tika : Adakah upaya peningkatan atau pengembangan yang dilakukan LPPOM Jawa

Barat agar organ-organ di LPPOM Jawa Barat tetap bekerja secara maksimal?

Bapak Agus : Pengembangannya kalau dari kita kan ada pelatihan-pelatihan eskternal. Eskternal

itu artinya keluar dari kantor ini tapi untuk internal kitanya. Misalnya ke pusat,

karena pusat juga begitu aware terhadap provinsi/daerah. Apalagi sekarang yang

namanya LPPOM dimanapun itu harus selalu sama, satu kesatuan, satu entitas. Bai

prosedur, kebijakan, dan lain-lain itu harus satu entitas. Kalau sudah satu entitas itu

sudah tidak bisa dibedakan lagi, mana pusat, mana provinsi. Untuk mengejar ke

arah situ kan pusat juga tidak tinggal diam, semua auditornya diberikan pelatihan

dan pendidikan. Dan selama ini sampai saat ini alhamdulillah tidak pernah terjadi

permasalahan dalam internal dan mudah-mudahan memang tidak akan terjadi.

Tika : Apakah sertifikasi halal yang dilakukan LPPOM Jawa Barat selama ini telah

menerapkan keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak pelaku usaha yang

mengajukan permohonan sertifikasi halal dan juga konsumen?

Bapak Agus : InsyaaAllah. Itu target kita malahan. Dengan adanya CEROL itukan ya tujuannya

untuk mencapai itu. Dulu kan banyak ketidakpahaman, itu tadi kecurigaan-

kecurigaan itu, oh, perusahaan ini mah bisa cepet nih karena kenal sama pengurus

MUI, untuk menepis itu kita buktikan melalu pengadaan CEROL ini.

Tika : Sertifikasi halal adalah proses dari hulu sampai hilir, setelah MUI Jawa Barat

memberikan sertifikat halal kepada suatu restoran, apakah ada pengawasan lebih

lanjut yang dilakukan oleh MUI Jawa Barat kepada restoran tersebut agar restoran

tersebut tetap menjaga kehalalannya? Bagaimana MUI Jawa Barat mengontrol dan

mengawasi restoran tersebut agar tetap menjaga kehalalannya?

Bapak Agus : Yang namanya manual sistem jaminan halal itu adalah pengawasan. Di dalam

manual SJH itu ada namanya tim manajemen halal. Tim manajemen halal atau

biasa disebut dengan halal internal auditor itu merupakan mata dan pengawasan

kita, mereka yang melakukan komunikasi dengan kita. Sistemnya, pelaporan

mereka per enam bulan, atau untuk produk-produk tertentu yang high risk, itu ada

kita yang namanya sidak.

Sampai saat ini belum pernah ada pelanggaran yang dilakukan oleh halal internal

auditor. Ini juga dikarenakan jumlah restoran yang telah melakukan sertifikasi

halal di Jawa Barat ini juga belum banyak. Bahkan halal internal auditor ini kan

tugasnya untuk komunikasi dengan kita. Bahkan dia mau ganti kecap saja itu harus

komunikasi dulu dengan kita. Karena kecapnya belum masuk ke dalam daftar

bahan yang sudah disetujui, mereka harus bertanya dulu boleh tidak menggunakan

bahan ini. Bahan ini belum termasuk ke dalam daftar produk halal. Kan ada

prosedurnya harus izin dulu, konfirmasi ke kita. Nah pengawasan untuk halal

internal auditor ini kita lakukan dengan sidak yang kita lakukan secara random dan

tanpa penjadwalan.

Page 112: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

Tika : Apa yang dimaksud dengan Sistem Jaminan Halal sebagai salah satu strategi

implementasi Good Corporate Governance/Citizenship?

Bapak Agus : Yang diharapakan dari GCG itu tadi apa. Nah kan tadi SJH itu ada 11 kriteria, nah

dalam 11 kriteria itu termasuk dengan bahan, produk, proses produksinya, sampai

ke penelusuran (trust ability) nya. Itu kan harus secara tertulis. Administrasinya

harus benar-benar rapi. Nah itu yang terbuka kan, di situ ada catatan produksi, di

situ ada yang namanya formal tertulisnya. Intinya ini visinya, visi dari adanya SJH

ini tuh ke arah GCG ini.

Tika : Apakah sertifikat halal yang dimiliki oleh pelaku usaha sudah benar-benar

menjamin perlindungan bagi konsumen muslim?

Bapak Agus : Sebetulnya yang memanfaatkan sertifikat halal bukan hanya muslim saja. Orang

non muslim sebenarnya juga care dengan halal cukup tinggi. Jadi kalau untuk

Muslim itu, iya, sudah melindungi. Bahkan untuk non muslim. Itu banyak non

muslim yang bertanya mengenai halal, banyak non muslim yang memanfaatkan

sertifikasi halal, terlepas dari fungsinya untuk apa. Karena tidak semua non muslim

makan B2 kan. LPPOM MUI Jawa Barat sudah melakukan proses sertifikasi halal

dengan sebaik-baiknya, sudah seterbuka mungkin. Jadi sudah menerapkan prinsip

GCG itu secara tidak langsung. Jadi sertifikat halal ini sudah tidak perlu diragukan

lagi. Karena kita sudah berusaha dari awal, screening nya seperti apa, dari mulai

penamaan, bentuk, sampai ke merk.

Tika : Kalau untuk pengawasan LPPOM MUI Jawa Baratnya sendiri bagaimana, Pak?

Bapak Agus : Yang mengawasi kita itu bukan hanya intern kita saja, tetapi juga eksternal. Seperti

LPPOM pusat itu kan juga mengawasi kita. Karena semua produk yang sudah

disertifikasi itu kan masuk ke pusat, ke database pusat, ke daftar produk halal. Jadi

artinya mereka kan juga baca, mereka juga turut serta.

Kayak kemarin ada perusahaan yang hanya memberikan bentuk yang memang

tidak sesuai dan memang perusahaan yang salah, yang tidak memahami. Kan ada

moment apa, dia memberikan bentuk yang memang tidak diperbolehkan. Nah itu

kan dari pusat juga langsung konfirmasi. Atau ada penamaan. Karena untuk

masalah sertifikasi halal itu bukan hanya zatnya saja. Nama dan bentuk itu juga

berpengaruh. Sebuah nama produk tidak boleh memuat nama yang berhubungan

dengan yang tidak halal. Ataupun bentuk, seperti bentuk babi misalnya itu kan

tidak boleh. Itu sudah ada SK nya. Sampai saat ini kita saling memantau.

Jangankan itu, yang salah aplikasi saja dapat terpantau. Kita pernah ada dari

sertifikat itu untuk rumah potong ayam. Yang punya itu sudah beberapa kali

konsultasi. Saya bilang tidak boleh, tetap untuk restorannya harus diurus karena

yang namanya restoran itu bukan hanya ayam saja. Dan itu juga sistemnya sudah

berbeda. Itu harus diurus.

Nah ternyata ada yang beli ayamnya dia, karena ayamnya khas mungkin ya. Lalu

dibawa ke Kepulauan Riau, di sana dia buka counter rumah makan yang khusus

ayam itu. Dicantumin lah logo halalnya sama nomor sertifikat halalnya. Padahal

nomor sertifikat halal tersebut untuk rumah potong ayamnya. Nah LPPOM sana

kan langsung foto rumah makannnya tersebut, kirim ke kita. Nah kita langsung

Page 113: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap

berikan teguran untuk rumah potong ayam yang bersangkutan. Kita berikan bukti-

buktinya. Jadi ini bukti kita satu entitas, saling bantu membantu, saling care, saling

menjaga.

Tika : Nah, waktu kasus yang pernah beredar dulu mengenai penemuan bahan haram di

Solaria yang sudah mengantongi sertifikat halal, gimana tuh, Pak?

Bapak Agus : Dalam kasus Solaria di Kalimatan, terdapat kesalahan di tim analisa. Itu kan

menggunakan tes kit, spread test. Alat itu punya dua kategori. Satu, kategori yang

murni untuk B2 dan turunannya. Itu di speck alatnya juga sudah tertulis kalau dia

menggunakan alat yang salah. Kedua, spread test atau tes kit itu tujuannya bukan

untuk justifikasi. Kalau di dunia sains, yang namanya uji lab itu 2, yaitu kuantitatif

dan kualitatif. Nah spread test itu hanya kuantitaf saja, untuk praduga saja. Kayak

kita disini misalnya ada produk yang ada kecurigaan. Nah kita lakukan terlebih

dahulu spread test itu, positif atau negatif. Nah kalau misalnya positif itu kan tidak

hanya sampai disitu, itu harus langsung dilakukan analisa kualitatif, menggunakan

alat yang lebih canggih, PCR, dan melalui lab. Lab ini sendiri juga harus

memenuhi standar. Standarnya apa? Apakah lab ini mempunyai lingkup untuk

analisa B2 tidak? Makanya kan di lab juga ada KAN nomor sekian, punya SNI

sekian, kan gitu ya, itu adalah metode-metode untuk analisisnya. Nah dilihat tuh

apakah lab KAN nomor sekian itu mencakup lingkup B2 tidak. Kan tidak semua

lab memiliki itu. Kemudian tidak semua orang dapat melakukan analisa. Kalau di

dunia sains itu kan tidak sembarangan orang bisa ambil sample. Karena yang ambil

sample saja harus orang yang memiliki kompetensi untuk mengambil sample. Kan

seperti itu.

Nah, untuk kasus Solaria ini masih analisa kuantitatif, hanya untuk praduga saja,

tapi sudah langsung dipublikasikan. Itu bukan hanya Solaria. Ada beberapa kasus

lain seperti baso di Banten, itu kan juga salah analisanya. Jadi kasus-kasus ini

terjadi karena prosedurnya yang salah. Tidak bisa sekalipun itu tes kit, spread test,

menjadi dasar halal atau haram suatu bahan.

Page 114: PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · v abstrak tika arrizkiya harum. nim 1113048000049. perlindungan konsumen muslim terhadap