Perlindungan biodiversitas pangan Indonesia

18
TANTANGAN HUKUM DALAM PERLINDUNGAN BIODIVERSITAS PANGAN INDONESIA 1 Wahyu Yun Santosa 2 A. Pendahuluan Tahun 2010 dicanangkan sebagai Tahun Internasional Keanekaragaman Hayati (International Year of Biodiversity) oleh PBB. Tema yang diusung adalah “Biodiversity is Life, Biodiversity is Our Life”. Puncak semangat biodiversitas dunia ini ditandai dengan pelaksanaan Conference of the Parties (COP) 10 Convention on Biodiversity (CBD) di Nagoya, Japan pada bulan Oktober kemarin. Arah pencanangan Tahun Internasional Biodiversitas ini ditujukan pada beberapa hal: (1) menekankan pentingnya biodiversitas bagi kesejahteraan umat manusia, (2) merefleksikan pencapaian upaya- upaya dalam menyelamatkan keanekaragaman hayati, serta (3) mendorong agar upaya tersebut dilipatgandakan guna mengurangi laju kepunahan biodiversitas. Salah satu poin penting yang berhasil dirumuskan pada pertemuan Nagoya kemarin adalah Protocol Nagoya on Access and Benefit Sharing (Protocol ABS). Secara konseptual, protokol ini dapat menjamin adilnya pembagian keuntungan bagi negara-negara berkembang yang kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk Indonesia di dalamnya. Keadilan dalam pembagian keuntungan dalam pemanfaatan biodiversitas di negara berkembang, terutama kita fokuskan pada Indonesia, kerap menjadi satu problem klasik yang krusial. Dengan disepakatinya Protokol ABS, negara-negara berkembang yang kaya biodiversitas akan mendapatkan keuntungan 1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Lingkungan Hidup “Semangat Perjuangan dari Jogja, Kembalikan Indonesiaku Hijau” 23 Desember 2010, Auditorium Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta. 2 Dosen Hukum Lingkungan FH UGM. Dapat dikontak pada [email protected] 1

Transcript of Perlindungan biodiversitas pangan Indonesia

Page 1: Perlindungan biodiversitas pangan Indonesia

TANTANGAN HUKUM DALAM

PERLINDUNGAN BIODIVERSITAS PANGAN INDONESIA1

Wahyu Yun Santosa2

A. Pendahuluan

Tahun 2010 dicanangkan sebagai Tahun Internasional Keanekaragaman

Hayati (International Year of Biodiversity) oleh PBB. Tema yang diusung

adalah “Biodiversity is Life, Biodiversity is Our Life”. Puncak semangat

biodiversitas dunia ini ditandai dengan pelaksanaan Conference of the Parties

(COP) 10 Convention on Biodiversity (CBD) di Nagoya, Japan pada bulan

Oktober kemarin. Arah pencanangan Tahun Internasional Biodiversitas ini

ditujukan pada beberapa hal: (1) menekankan pentingnya biodiversitas bagi

kesejahteraan umat manusia, (2) merefleksikan pencapaian upaya-upaya

dalam menyelamatkan keanekaragaman hayati, serta (3) mendorong agar

upaya tersebut dilipatgandakan guna mengurangi laju kepunahan

biodiversitas.

Salah satu poin penting yang berhasil dirumuskan pada pertemuan

Nagoya kemarin adalah Protocol Nagoya on Access and Benefit Sharing

(Protocol ABS). Secara konseptual, protokol ini dapat menjamin adilnya

pembagian keuntungan bagi negara-negara berkembang yang kaya akan

keanekaragaman hayati, termasuk Indonesia di dalamnya. Keadilan dalam

pembagian keuntungan dalam pemanfaatan biodiversitas di negara

berkembang, terutama kita fokuskan pada Indonesia, kerap menjadi satu

problem klasik yang krusial. Dengan disepakatinya Protokol ABS, negara-

negara berkembang yang kaya biodiversitas akan mendapatkan keuntungan

jika keanekaragaman hayati yang mereka miliki digunakan, misalnya untuk

kebutuhan industri farmasi atau untuk dikembangkan oleh negara-negara

maju. Selain itu, akses negara-negara maju untuk memperoleh

keanekaragaman hayati itu juga harus sesuai dengan Protokol ABS.

Dengan adanya protokol ABS ini, memang, tersisip satu harapan atas

dilema yang selama ini selalu menghantui kekayaan hayati kita yang begitu

melimpah. Sudah menjadi rahasia publik, jikalau “cakar paten” kerap menjadi

1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Lingkungan Hidup “Semangat Perjuangan dari Jogja, Kembalikan Indonesiaku Hijau” 23 Desember 2010, Auditorium Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta.2 Dosen Hukum Lingkungan FH UGM. Dapat dikontak pada [email protected]

1

Page 2: Perlindungan biodiversitas pangan Indonesia

ancaman dalam pengelolaan biodiversitas Indonesia. Sekian banyak

kekayaan biotik kita raib dari genggaman ketika suatu penelitian atas

biodiversitas berujung pada penguasaan pihak asing melalui hak paten. Maka

sangatlah beralasan, jikalau Protokol ini diapresiasi sebagai hasil perjuangan

panjang negara berkembang yang kaya akan keanekaragaman hayati.

Meskipun demikian, pertanyaan lebih lanjut yang kiranya (seperti biasa)

perlu diajukan adalah what next?. Tentunya ini menjadi (sekali lagi) rutinitas

di birokrasi kita setiap terdapat perkembangan baru rejim hukum

internasional, meskipun terkadang tanpa pengharapan jelas. Rejim

perubahan iklim bukti riil dari stagnansi yang terjadi ketika pertanyaan “apa

selanjutnya” tidak segera terjawab maupun berusaha dijawab. Dalam

perspektif legal, suatu kepastian hukum diperlukan untuk ikut menjawab

pertanyaan ini. Seperti misalnya mengenai ketiadaan pengaturan tentang

pengelolaan sumber daya genetik Indonesia.

Atas dasar latar belakang singkat tersebut, kiranya menjadi perlu untuk

mengangkat topik mengenai tantangan hukum (legal challenges) yang perlu

untuk kita diskusikan bersama dalam membicarakan potensi biodiversitas

Indonesia, termasuk di dalamnya biodiversitas kehutanan. Tantangan hukum

yang perlu dijawab nantinya akan meliputi level perlindungan hukum

(protection), pengaturan secara normatif (regulation), serta

pertanggungjawaban hukum (liability) dalam kaitannya dengan perlindungan

biodiversitas Indonesia.

B. Kerangka Hukum dalam Perlindungan Biodiversitas

Upaya frameworking pengelolaan biodiversitas telah dilakukan baik

pada di tingkat lokal (nasional) maupun global (internasional). Di tingkat

global, terdapat Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (United

Nations Conventions on Biological Diversity atau CBD), yang merupakan salah

satu produk KTT Bumi (Earth Summit) 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Konvensi

ini mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1994, melalui ratifikasi dalam

bentuk UU Nomor 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman

Hayati.

Undang-undang ini menggariskan tiga konsep dasar dalam pelaksanaan

konservasi yaitu: (1) konservasi keanekaragaman hayati, (2) pemanfaatan

berkelanjutan dari komponennya, dan (3) pembagian keuntungan yang adil

2

Page 3: Perlindungan biodiversitas pangan Indonesia

dan merata dari penggunaan sumber daya genetis, termasuk akses yang

memadai serta alih teknologi, dan melalui sumber pendanaan yang sesuai.

Kesepakatan lain yang ditandatangani oleh pemerintah di tingkat

internasional misalnya: CITES (Konvensi Perdagangan Internasional Spesies

Flora dan Fauna Liar yang Terancam–Convention on International Trade in

Endangered Species of Wild Flora and Fauna), yang diratifikasi melalui

Keppres No. 43 Tahun 1978, dan Konvensi Ramsar mengenai Lahan Basah

yang diratifikasi melalui Keppres No.48 Tahun 1991.

Di tingkat nasional, kebijakan mengenai pelestarian keanekaragaman

hayati adalah UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAH) yang mengatur konservasi

ekosistem dan spesies terutama di kawasan lindung. Namun demikian,

perundangan ini belum dapat dikatakan komprehensif karena cakupannya

masih berbasis kehutanan dan pelestarian hanya di kawasan lindung. Padahal

di luar kawasan lindung banyak sekali eksosistem yang mengalami ancaman

yang setara. Panduan (guidelines) dalam pelaksanaan perlindungan dan

konservasi tersebut terdapat dalam dokumen Indonesia Biodiversity Strategy

and Action Plan (IBSAP) yang disusun BAPPENAS pada 2003.

Upaya lain dalam menjamin adanya kepastian hukum dalam

pengelolaan biodiversitas dilakukan pada tahun 2004 melalui ratifikasi

Protokol Cartagena melalui UU Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan

Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity

(Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi tentang

Keanekaragaman Hayati.3 Pengesahan Protokol Cartagena ini, pada satu

membawa tahapan baru dalam kerangka hukum perlindungan biodiversitas

di Indonesia. Hal ini dikarenakan lingkup pengaturan yang ada dalam Protokol

Cartagena membahas mengenai protokol keamanan yang perlu diterapkan

dalam pengelolaan Organisme Hasil Modifikasi Genetika (OHMG). Ancaman

terhadap biodiversitas dari perkembangan bioteknologi ini menjadi nyata

seiring majunya pencapaian teknologi, terutama di negara-negara maju.

Indonesia mengadopsi Protokol tersebut sebagai hukum Nasional untuk

dijabarkan dalam kerangka peraturan dan kelembagaan sehingga dapat:4

1. Mengakses informasi mengenai OHMG;

3 Pengesahan Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity. Press release Pada Rapat Paripurna Dewan 16 Juli 2004.4 Manfaat Indonesia Mengesahkan Protokol Cartagena, diunduh dari http://www.indonesiabch.org/beritadetail.php?id=11#Manfaat

3

Page 4: Perlindungan biodiversitas pangan Indonesia

2. Meningkatkan pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati

secara berkelanjutan;

3. Memperoleh manfaat secara optimal dari penggunaan bioteknologi

moderen secara aman yang tidak merugikan keanekaragaman hayati dan

kesehatan manusia;

4. Memperkuat landasan pengawasan perpindahan lintas batas OHMG,

mengingat Indonesia memilki garis pantai terpanjang kedua di dunia yang

berpotensi sebagai tempat keluar dan masuknya OHMG secara illegal;

5. Mempersiapkan kapasitas daerah untuk berperan aktif dalam melakukan

pengawasan dan pengambilan keputusan atas perpindahan lintas batas

OHMG;

6. Mewujudkan kerja sama antar Negara di bidang tanggap darurat untuk

menanggulangi bahaya yang terjadi akibat perpindahan lintas batas

OHMG yang tidak disengaja;

7. Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di

bidang keamanan hayati baik di pusat maupun di daerah;

8. Memperkuat koordinasi nasional dan daerah khususnya pemahaman

secara lebih komprehensif bagi seluruh lemabaga pemerintahan terkait

terhadap lalu lintas OHMG yang merugikan bagian atau komponen

keanekaragaman hayati Indonesia. Koordinasi juga mencakup perwakilan

Republik Indonesia di luar negeri sebagai bagian terdepan dan jembatan

bagi lalu lintas informasi mengenai perkembagan bioteknologi;

9. Menggalang kerja sama internasional untuk mencegah perdagangan

illegal produk OHMG.

Protokol Cartagena disusun berdasarkan prinsip pendekatan kehati-

hatian (precautionary approach) sebagaimana tercantum dalam prinsip ke 15

Deklarasi Rio yang berarti bila terdapat ancaman serius atau kerusakan yang

tidak dapat dipulihkan, kekurangan ilmu pengetahuan seharusnya tidak

dipakai sebagai alasan untuk mencegah kerusakan lingkungan.5

Ruang lingkup Protokol meliputi perpindahan lintas batas, persinggahan,

penanganan dan pemanfaatan semua OHMG yang dapat mengakibatkan

kerugian terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan

keanekaragaman hayati. Dalam pengaturan Protokol, OHMG dikategorikan

menjadi tiga jenis pemanfaatan yaitu OHMG yang diintroduksikan ke

5 Report of the Compliance Committee under the Cartagena Protocol on Biosafety on the Work of its Sixth Meeting. Compliance Committee under the Cartagena Protocol on Biosafety Sixth Meeting, 4-6 November 2009, Montreal.

4

Page 5: Perlindungan biodiversitas pangan Indonesia

lingkungan; OHMG yang ditujukan untuk pemanfaatan langsung sebagai

pangan atau pakan atau untuk pengolahan; dan OHMG untuk pemanfaatan

terbatas (penelitian).

Permasalahannya, adanya aturan-aturan tersebut tidak sepenuhnya

diberlakukan secara tegas, sehingga upaya konservasi dan pengelolaan

keanekaragaman dan kekayaan hayati secara berkesinambungan berjalan

parsial, sektoral, serta setengah hati. Berbagai kerusakan hutan terjadi; ilegal

loging, kebakaran hutan, sindikat penjualan hewan dilindungi, kerusakan

ekosistem pesisir, ataupun kerusakan terumbu karang yang dari tahun ke

tahun semakin meningkat.

Memprihatinkan memang, jika konservasi dan pelestarian sumber daya

alam yang merupakan tanggung jawab bersama baik pemerintah, swasta,

akademisi, maupun masyarakat hingga kini masih timpang pelaksanaannya

sehingga menyebabkan ancaman bagi sumber biodiversitas di Indonesia.

Permasalahan ego sektoral pihak-pihak yang terkait dengan aspek konservasi

kerap dipersalahkan di dalam hal ini. Meskipun tidak sepenuhnya tepat,

namun sejatinya isu perlindungan hukum biodiversitas akan bersinggungan

dengan bermacam aspek. Setidaknya ketika kita membicarakan biodiversitas,

terdapat beberapa isu sosio-ekonomi yang memiliki keterkaitan erat. Aspek

tersebut di antaranya: isu pemerataan kemanfaatan (distribution of benefits),

tenaga kerja, pasar bebas (globalisasi), persaingan usaha, HaKI (property

rights), public opinion, serta isu etika, budaya dan agama.

C. Biodiversitas Pangan dan Aspek Perkembangan Teknologi

Perkembangan pesat dari bioteknologi, terutama di dalam bioteknologi

modern dan rekayasa genetika, memungkinkan kita untuk menghasilkan

varietas baru yang memiliki “kandungan” beragam dari organisme yang

beragam pula sesuai keinginan ataupun kebutuhan. Konsep ini pada mulanya

tidak mungkin dilaksanakan dengan metode perkembangbiakan yang

tradisional. Pada satu sisi kita melihat celah terbukanya penambahan

karakter biodiversitas. Meskipun juga dari perkembangan teknologi ini kita

melihat bahwa aspek penyimpangan dan risikonya juga terbuka lebar.

Di dalam Protokol Cartagena, yang kemudian diratifikasi dalam UU No.

21 Tahun 2004, disebutkan bahwa produk dari bioteknologi modern disebut

organisme hidup hasil rekayasa atau living modified organisms (LMOs). Istilah

5

Page 6: Perlindungan biodiversitas pangan Indonesia

ini berbeda dengan terminologi yang lebih umum dan populer yaitu

genetically modified organisms (GMOs) meskipun secara umum konsepnya

sama. Dari sinilah derivasi bentuk dari hasil bioteknologi menjadi sangat

beragam. Ada Di dalam dunia pertanian, sejak tahun 1997 dikenal istilah

produk bioteknologi pertanian hasil rekayasa genetika (Genetically Engineered

Agricultural Biotechnology Products – GEABPs), yang kemudian diubah

menjadi Produk Pertanian Rekayasa Genetika (Genetically Engineered

Agricultural Products – GEAPs), dan terakhir disebut Produk Rekayasa

Genetika (Genetically Engineered Products – GEPs).

Apabila diterapkan secara tepat, aplikasi bioteknologi modern pada

bidang pertanian memiliki potensi nyata dalam memberikan kontribusi untuk

meningkatkan produktivitas pertanian, mengurangi kemiskinan dan

mewujudkan suatu keamanan/ketahanan pangan. Namun demikian, terdapat

beberapa perbedaan persepsi mengenai dampak bioteknologi modern,

terutama dalam hal dampak jangka panjangnya bagi lingkungan,

biodiversitas dan kesehatan masyarakat.

Prospek yang besar dari bioteknologi modern, dan pada sisi lain adanya

perbedaan persepsi atas keamanan produk tersebut telah menstimulasi

perkembangan peraturan dalam penilaian dan pengujian LMOs. Pada level

internasional, the Convention on Biological Diversity (CBD) mengatur masalah

ini, yang dilanjutkan pada tahun 2000 dengan ditandatanganinya “Cartagena

Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity” di Montreal

Canada.6

Protokol Cartagena mengatur transfer yang aman, penanganan, dan

pemanfaatan LMOs. Tujuan dari protokol ini sendiri untuk menjamin level

perlindungan yang optimal terkait dengan transfer yang aman, penanganan,

dan pemanfaatan LMOs hasil bioteknologi modern yang berpotensi akan

dampak negatif terhadap konservasi dan pemanfaatan biodersitas yang

sustainable. Terlebih dalam hal memiliki dampak yang signifikan terhadap

kesehatan masyarakat ataupun permasalahan pencemaran yang lintas batas.

D. Aspek Keamanan Pangan Nasional

Keamanan pangan merupakan syarat penting yang harus melekat pada

pangan yang hendak dikonsumsi oleh semua masyarakat Indonesia. Pangan

yang bermutu dan aman dapat dihasilkan dari dapur rumah tangga maupun 6 Disebut “Cartagena” untuk mengutip tempat penandatanganan protokol ini oleh para Negara anggota CBD.

6

Page 7: Perlindungan biodiversitas pangan Indonesia

dari industri pangan. Oleh karena itu industri pangan adalah salah satu faktor

penentu beredarnya pangan yang memenuhi standar mutu dan keamanan

yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Keamanan pangan bukan hanya merupakan isu dunia tapi juga menyangkut

kepedulian individu. Jaminan akan keamanan pangan adalah merupakan hak

asasi konsumen. Pangan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat

esensial dalam kehidupan manusia. Walaupun pangan itu menarik, nikmat,

tinggi gizinya jika tidak aman dikonsumsi, praktis tidak ada nilainya sama

sekali.

Dalam permasalahan krisis bahan pangan yang kerap melanda

Indonesia, tidak ada salahnya kita kembali mempertanyakan tentang produk

bioteknologi modern yang masih menjadi polemik diantara para ilmuwan

dengan masyarakat pada umumnya. Apakah yang sebetulnya

dipertentangkan, kenapa terdapat penolakan oleh sebagian masyakat dan

sebaliknya malah menerima bahkan ingin mengembangkannya lebih lanjut.

Kelompok yang menerima terutama di kalangan ilmuwan berpendapat bahwa

bioteknologi dapat menjadi salah satu solusi di saat terjadinya krisis bahan

pangan seperti saat ini. Namun yang menolak lebih mengedepankan aspek

keamanan produk pangan tersebut.

Polemik yang berkepanjangan antara kelompok yang setuju dengan

tidak setuju terhadap produk bioteknologi modern diduga juga dipicu oleh

banyaknya kepentingan yang terlibat (politik, ekonomi, agama dan etika).

Untuk menghadapi banyaknya kepentingan tersebut di atas, maka sikap

kehati-hatian dapat terus diupayakan. Selain itu pertimbangan-pertimbangan

mengenai ketersediaan sistem kebijakan dan perangkat hukum yang efektif

untuk melindungi masyarakat dan lingkungan dari pengaruh-pengaruh yang

buruk juga menjadi pertimbangan tersendiri.

Berbicara tentang produk bioteknologi, yang juga dikenal dengan

produk transgenik merupakan produk yang dihasilkan dari rekayasa genetika,

dimana dalam proses ini dimungkinkan terjadinya introduksi gen dari satu

organisme ke organisme lain yang berbeda spesies seperti gen dari bakteri,

virus atau tanaman, sehingga kehadiran teknologi ini memberikan wahana

baru bagi pemulia tanaman untuk memperoleh kelompok gen baru yang lebih

luas sumbernya. Isolasi gen dari bakteri, jamur dan virus telah berhasil

7

Page 8: Perlindungan biodiversitas pangan Indonesia

dipindahkan ke tanaman untuk memperbaiki sifat tanaman menjadi tahan

cekaman biotik seperti serangga hama, penyakit atau terhadap herbisida.7

Untuk menjamin keamanan produk bioteknologi, prinsip kehati-hatian

dalam penggunaan produk tersebut baik sebagai bahan pangan, pakan atau

untuk obat-obatan harus bersumber pada persepsi risiko yang dapat diterima

(acceptable risk). Dilihat dari manfaat dan risiko produk bioteknologi yang

beragam maka juga diperlukan kesediaan untuk menerima resiko itu sendiri,

oleh karena itu yang terpenting adalah mencari solusi bagaimana prinsip

kehati-hatian tersebut diterjemahkan ke dalam undang-undang, kebijakan

dan praktek pengelolaan manfaat dan risiko.

Jika kita ingin mengadopsi suatu teknologi baru tentu saja tidak

mungkin tanpa resiko sama sekali, pekerjaan yang sederhana saja pasti

mengandung suatu resiko yang terpenting dari semuanya itu adalah

bagaimana menyikapi dan mengantisipasi risiko yang muncul tersebut

seminimal mungkin. Dalam hal inilah prinsip kehati-hatian (precautionary

approach) diperlukan sebelum produk bioteknologi itu dilepas ke lingkungan

atau dikonsumsi sebagai bahan makanan, obat atau pakan ternak.

Perangkat peraturan untuk pelepasan produk bioteknologi tanaman,

ikan hewan dan pakan saat ini telah dimiliki Indonesia yang tertuang dalam

Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2005. Indonesia menaruh perhatian

terhadap bioteknologi melalui dukungan pada peraturan produk rekayasa

genetika tersebut diantaranya PP No. 21/2005 tentang Keamanan Hayati

Produk Rekayasa Genetika, selain itu Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan

Produk Rekayasa Genetika yang dikeluarkan BPOM pada 2008.8 Peraturan ini

merupakan peningkatan atau penyempurnaan dari peraturan yang

sebelumnya dari Keputusan Bersama Empat Menteri Tahun 1999 serta

khusus dibuat untuk mengatur produk bioteknologi di Indonesia.9 Peraturan

Pemerintah ini dibuat atas dasar pendekatan kehati-hatian dan mengacu

pada Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati. Protokol ini sebelumnya

telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No 21 Tahun 2004.

Salah satu badan pengimplementasi dari Protokol Cartagena adalah

Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH) yang merupakan perangkat dari KKH.

BKKH ini merupakan kewajiban suatu Negara yang telah meratifikasi Protokol

7 Watson. 1953, Op. Cit.8 http://www.mediaindonesia.com/read/2009/12/04/109686/23/2/Adopsi-Bioteknologi-Perlu-Kemauan-Politik artikel tertanggal 4 Desember 2009. Diakses terakhir pada 12 Mei 2010.9 http://www.indonesiabch.org/

8

Page 9: Perlindungan biodiversitas pangan Indonesia

Cartagena untuk mendirikannya. Karena Indonesia telah menandatangani

dan meratifikasi Protokol sejak Tahun 2004 melalui Undang-Undang No 21

Tahun 2004, maka kewajiban bagi Indonesia untuk mendirikan BKKH sebagai

wacana informasi publik dan pertukaran informasi dalam bidang bioteknologi

modern yang belum dicakup dalam protokol lain. BKKH digunakan untuk

memfasilitasi konsultasi publik terhadap hasil pengkajian TTKH. Sehingga

masukan dari masyarakat tersebut melalui BKKH akan dijadikan sebagai

bahan pertimbangan oleh TTKH dalam memberikan rekomendasi keamanan

hayati produk bioteknologi tersebut kepada pemerintah. Kehadiran BKKH ini

sebagai wadah yang dapat dijadikan wahana komunikasi antara pemangku

kepentingan dengan Institusi terkait serta mengelola dan menyajikan

informasi kepada publik mengenai prosedur, penerimaan permohonan,

proses dan ringkasan hasil pengkajian seperti yang tercantum dalam PP No

21 Tahun 2005 pasal 31.

Selain Protokol Cartagena, dalam rangka pengaturan keamanan hayati

suatu produk bioteknologi pertanian hasil rekayasa genetik, Departemen

pertanian telah pengeluarkan Keputusan Menteri No. 856/Kpts/HK.330/1997

tentang ketentuan keamanan hayati Produk Pertanian Hasil Rekayasa

Genetik (PBPHRG).10

Keamanan hayati PBPHRG dimaksudkan bahwa PBPHRG bersangkutan

tidak mengganggu, merugikan dan/atau membahayakan kesehatan manusia,

keanekaragaman hayati, dan lingkungan. Untuk pelaksanaan SK Mentan

tersebut diperlukan pengujian PBPHRG secara cermat, mengikuti prosedur

dan standar protokol yang baku. Keamanan hayati PBPHRG perlu diuji secara

bertahap di fasilitas uji terbatas (biosafety containment) mulai dari tingkat

labortorium, rumah kaca/kandang/kolam hingga lapangan terbatas. Pedoman

pengujian keamanan hayati PBPHRG ini ada yang bersifat umum dan ada

yang bersifat khusus, karena teknik pengujian yang berbeda sesuai dengan

jenisnya.

Oleh karena itu, pedoman ini terdiri dari lima seri, yaitu umum,

tanaman, hewan, ikan, dan jasad renik. Apabila hasil pengujian diberbagai

tahapan tersebut tidak menemukan faktor-faktor yang dapat menimbulkan

bahaya dan kerugian bagi masyarakat sera lingkungan, maka produksi dan

adaptibilitas PPBPHRG dapat diuji lebih lanjut. Hasil pengujian ini dilakukan

melalui perbandingan kesamaan substansial dengan produk pangan sejenis

10 Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 17 Tahun 2007.

9

Page 10: Perlindungan biodiversitas pangan Indonesia

yang diolah secara tradisional tanpa menggunakan proses bioteknologi.

Perbandingan ini difokuskan pada:

a. Phenotypic dan genotypic character dari organisme;

b. Komposisi kimiawi dari produk baku dan produk olahan;

c. Efek biologis; dan

d. Penggunaan makanan.

Penerapan konsep kesamaan substansial ini pada hakekatnya bukan

sebagai evaluasi keamanan, tetapi lebih menunjukkan keamanan dari

makanan baru dibandingkan dengan makanan konvensional. Pendekatan ini

khususnya dilakukan ketika terdapat keberatan akan makanan bioteknologi

yang asal organismenya seringkali merupakan sumber makanan tradisional

dan ini, atau makanan turunannya, dapat digunakan sebagai pembanding.

Penerapan konsep kesamaan substansial memberikan jaminan tingkat

kepercayaan untuk keamanan dari makanan yang dihasilkan melalui

bioteknologi bahwa paling tidak setingkat dengan yang terdapat dalam

produk yang dihasilkan melalui pemeliharaan secara tradisional dimana

mengurangi prosedur formal tetapi beberapa parameter yang sama diujikan.

Karenanya, di masa lampau, peternak/petanam telah menolak varietas baru

dengan perubahan yang signifikan dari induknya (fenotipnya) atau dengan

penyimpangan tingkat racun alaminya.

Rekayasa genetika akan menghasilkan produk yang mengandung gen

baru, karena itu sepertinya mereka tidak akan mempunyai kesamaan

substansial dengan organisme induknya. Sebuah pengecualian adalah

rekayasa genetika modifikasi ragi pengembang dimana gen yang

bertanggungjawab terhadap formasi karbon dioksida dipindahkan ke tempat

dimana mereka dapat dikontrol dari yang sudah ada, dan lebih kuat.

Walaupun jika hasil rekayasa dan organisme induknya tidak mempunyai

kesamaan substansial, membandingkan mereka dapat mengungkapkan

bahwa hasil rekayasa mempunyai efek yang tidak diinginkan yang harus

diperhatikan terhadap implikasi keamanan pangannya.

Pengolahan organisme hasil rekayasa genetika (contoh ekstraksi minyak

atau perlakuan dengan suhu tinggi) dapat menghilangkan atau mendegradasi

gen baru atau produk itu sendiri. Hal ini juga memungkinkan bahwa gen baru

ditujukan hanya sebagai bagian dari organisme tidak digunakan sebagai

makanan (misalnya kerontokan tanaman dimana hanya biji-bijianya yang

dikonsumsi). Dalam kasus tersebut sangat memungkinkan untuk

10

Page 11: Perlindungan biodiversitas pangan Indonesia

mendemonstrasikan kesamaan substansial antara makanan yang dihasilkan

melalui rekayasa genetika dengan yang dihasilkan dengan cara tradisional,

perlu dipertimbangkan perubahan-perubahan alami yang terjadi antara

makanan turunan dengan strains yang tidak direkayasa. Jika kesamaan

substansial terhadap makanan yang sudah ada dapat dibuktikan, tidak ada

lagi masalah keamanan pangan yang perlu dikhawatirkan.

E. Tantangan Hukum dalam Perlindungan Biodiversitas Pangan

Indonesia

Tantangan hukum dalam perlindungan biodiversitas pangan bisa jadi

akan sangat beragam dan sekaligus multitafsir, baik pada saat menentukan

hukum apa yang dapat diterapkan, serta dalam hal menerapkan aturan

tersebut pada sekumpulan fakta yang ada terkait perkembangan teknologi

pangan. Aspek legal dalam perlindungan biodiversitas pangan setidaknya

meliputi tiga aspek, yaitu: perlindungan hukum (protection), peraturan

hukumnya (regulation), dan pertanggung jawaban hukum (liability).

Pada aspek pertama, yaitu perlindungan hukum (protection), upaya

proteksi perlu diberikan baik pada pengelola biodiversitas pangan (industri,

swasta, NGOs, pemerintah) maupun kepada pemanfaat/pengguna

biodiversitas pangan.

Pada aspek ini, setidaknya proteksi dapat diterapkan dalam pengaturan

mengenai persaingan usaha, paten (HaKI), dan sekaligus perlindungan

konsumen. Terkait dengan persaingan usaha, pada dasarnya keberadaan

hukum ditujukan untuk mengupayakan secara optimal terciptanya

persaingan usaha yang sehat (fair competition) dan efektif pada suatu pasar

tertentu, yang mendorong para pelaku usaha melakukan efisiensi agar

mampu bersaing dengan para pesaingnya. Persaingan usaha yang sehat

merupakan salah satu kunci sukses bagi sistem ekonomi pasar yang wajar,

hal ini dapat diimplementasikan dalam 2 (dua) hal yaitu melalui penegakan

hukum persaingan, dan kebijakan pemerintah yang kondusif terhadap

perkembangan sektor ekonomi.

Perkembangan pada bioteknologi tanaman maupun pangan, baik dari

segi harga pemasaran, inovatif dan varietas tamanam tidak terhindarkan dari

suatu persaingan. Meski banyak perlindungan hukum yang telah diberikan

oleh Pemerintah,namun masih banyak celah yang dapat digunakan oleh para

11

Page 12: Perlindungan biodiversitas pangan Indonesia

pelaku usaha ataupun para pemegang hak tertentu untuk melakukan suatu

penguasaan atas suatu bidang tertentu.

Hal tersebut dapat kita lihat pada pasal 50 huruf a dan b UU No.5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat

yang memberikan suatu pengecualian terhadap perbuatan dan perjanjian

yang dapat menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak

sehat, yaitu perbuatan dan perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan

undang-undang, dan perjanjian yang berkaitan dengan Hak Kekayaan

Intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk

industry, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia dagang serta perjanjian

yang berkaitan dengan waralaba.

Dalam kaitannya dengan paten, paten tidak dapat serta merta dikaitkan

sebagai bentuk monopoli. Hal ini disebabkan karena pada Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan

tidak sehat, terdapat pengecualian dalam Pasal 50 huruf b yaitu untuk

“perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti

lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, disain produk industri dan rahasia

dagang serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba”.11

Paten merupakan cara untuk mengkomersialisasi hasil invensinya yang

mana berbeda berbeda dengan monopoli. Namun, analisis yang dilakukan

pada penggunaan rahasia dagang menunjukkan timbulnya praktek monopoli

dan persaingan usaha tidak sehat dalam penggunaan hak paten. Ketentuan

dalam Undang-Undang tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

(UU PUTS) ternyata justru membuka ruang bagi terciptanya monopoli dan

persaingan tidak sehat dalam penggunaan hak paten dan rahasia dagang

sebagai bentuk perlindungan invensi.

Dalam hal permasalahan yang tersebut sebelumnya, maka proteksi

dalam hak konsumen menjadi celah yang dapat diperkuat tersendiri. Hal ini

perlu menjadi fokus pembahasan tersendiri mengingat kerangka hukum yang

selama ini tidaklah sebanding dengan tantangan hukum yang mungkin timbul

akibat penggunaan teknologi dalam biodiversitas pangan. Sebagai contoh,

hingga saat ini belum ada pengaturan mengenai kewajiban pencantuman ada

tidaknya proses rekayasa teknologi dalam label makanan.

Kedua, dalam hal kerangka hukum yang ada (regulations).

Sebagaimana telah dipaparkan pada sub judul sebelumnya, Indonesia telah

11 Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Praktik Monopoli dan Larangan Persaingan Usaha Tidak Sehat

12

Page 13: Perlindungan biodiversitas pangan Indonesia

memiliki “a minimum set of standard” dalam perlindungan biodiversitas,

termasuk pangan. Peraturan tentang kesehatan, lingkungan, pangan,

eksport-import, maupun HaKI telah menjadi bukti bahwa kerangka hukum

untuk menjamin perlindungan telah ada. Permasalahan sejatinya terletak

pada delegasi kewenangan dan koordinasi antar pemegang kewenangan

tersebut. Seringkali tidak integralnya level koordinasi berpengaruh besar

dalam penafsiran peraturan dan implementasinya.

Ketiga, dalam kaitannya dengan aspek pertanggungjawaban hukum.

Secara mendasar pertanggungjawaban hukum telah termuat secara baik di

dalam peraturan perundang-undangan kita. Tidak hanya aspek

pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dan perdata (civil liability)

yang telah termuat dalam regulasi. Namun juga aspek lebih berkembang,

seperti tanggung jawab mutlak (strict liability), kewajiban akan CSR

(corporate social and environment liability), class action, legal standing,

maupun juga tanggungjawab pidana bagi korporasi (corporate liability).

F. Penutup

Indonesia memiliki kekayaan plasma nutfah yang melimpah, termasuk

juga dalam kaitannya dengan biodiversitas pangan. Pangan sebagai asupan

pokok masyarakat, menjadi sangat krusial bahasannya jika kita

mempersandingkan pengelolaan biodiversitas pangan dengan kerangka

hukum yang ada. Beragamnya biodiversitas pangan serta seabreg peraturan

yang ada tidak menjadi jaminan bahwa pelestarian dan perlindungan

biodiversitas pangan telah terpenuhi.

Indonesia sekarang ini lebih seperti negara manufaktur karena

mengimpor berbagai macam produk, dan produk impor inilah yang dianggap

lebih menunjang riset. Hal in akan menjadi blunder bagi perlindungan

biodiversitas pangan nasional jika tidak segera dibenahi. Dalam artian bahwa

penguasaan atas “hak kepemilikan” sudah semestinya dipegang oleh Bangsa

sendiri. Sayangnya, penguasaan paten atas biodiversitas pangan (termasuk

yang berasal dari Indonesia) masih banyak dipegang oleh negara maju.

Pada akhirnya, masa depan perlindungan biodiversitas Indonesia, juga

terletak pada genggaman generasi muda yang saat ini sedang menggagas

mengenai apa yang dapat diberikan sebagai bagian dari semangat

perjuangan cendekiawan muda Yogya bagi Negeri. Pertama, janganlah

13

Page 14: Perlindungan biodiversitas pangan Indonesia

gamang untuk meneliti dan memajukan potensi lokal yang ada. Berjuta

biodiversitas yang ada di Nusantara bukan “sajian” bagi bangsa asing untuk

disantap, melainkan potensi untuk dikembangkan dan digarap oleh kita

bersama. Kedua, perlunya interdisplinery dalam pemahaman konteks

biodiversitas Indonesia dan aspek perlindungannya. Maka, ketika

membicarakan biodiversitas pangan, bukan berarti hanya konsumsi satu

pihak semata. Terlebih, efektivitas perlindungan biodiversitas Indonesia tidak

akan terjamin tanpa sinergi dan keterpaduan sekian banyak komponen yang

terkait.

G. Rujukan Bacaan

Boettiger, Sara and Karel Schubert, Agricultural Biotechnology and Developing

Countries: The Public Intellectual Property Resource for Agriculture (PIPRA)

in Charles R. McManis, 2007, Biodiversity and the Law: intellectual property,

Biotechnology and Traditional Knowledge Earthscan, U.K.

Hermansyah. 2008, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha, Yogyakarta, Kencana

Prenada Media Group,

HIVOS, 2002. The World as a Testing Ground Risks of Genetic Engineering in

Agriculture. Diterjemahkan oleh Ida Rohauli. 2005, Bumi Kita Menjadi

Ladang Uji Coba (dengan diperkaya materi perkembangan bioteknologi

Indonesia). Konphalindo.

Krisnawati, Andriana. 2009, Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman Dalam

Perspektif Hak Paten dan Pemuliaan Tanaman. Jakarta: Penerbit Grasindo.

Purwaningsih, Endang. 2005, Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights:

Kajian Hukum Terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual dan Kajian

Komparatif Hukum Paten, Ghalia Indonesia, Bogor.

Widayanti, Hesty dan Ika Krishnayanti (eds). 2003, Bioteknologi: Imperialisme

Modal dan Kejahatan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press.

14