Perkembangan Resiliensi Peserta Didik

15
MAKALAH PERKEMBANGAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Disusun Oleh: AWARI SUSANTI PROGRAM PROPESI GURU UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU

Transcript of Perkembangan Resiliensi Peserta Didik

Page 1: Perkembangan Resiliensi Peserta Didik

MAKALAH

PERKEMBANGAN RESILIENSI PESERTA DIDIK

Disusun Oleh:AWARI SUSANTI

PROGRAM PROPESI GURUUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU

PEKANBARU2013

Page 2: Perkembangan Resiliensi Peserta Didik

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Yang Maha Kuasa, atas limpahan segala rahmatNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah Perkembangan Resiliensi Peserta Didik.

Penulisan makalah ini diambil dari berbagai sumber yang masih belum sempurna, karena keterbatasan dan kemampuan penyusun. Oleh sebab itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan.

Akhirnya tidak lupa penulis menyampaikan ucapan terima kasih dengan harapan mudah-mudahan makalah ini dapat membantu dan bermanfaat. Aamiin…

Pekanbaru 8 Oktober 2013

Penyusun

Page 3: Perkembangan Resiliensi Peserta Didik

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai guru atau pendidik kita harus mempunyai pengetahuan, kreatifitas juga wawasan yang luas untuk memahami peserta didiknya. Selain itu kita harus mengerti psikokologi anak, kemampuan anak, kelemahan anak dan keinginan anak yang mempunyai bakat tertentu. Memahami peserta didik, merupakan sikap yang harus dimiliki dan dilakukan guru, agar guru dapat mengetahui aspirasi / tuntutan peserta didik yang bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam penyusunan program yang tepat bagi peserta didik, sehingga kegiatan pembelajaran pun akan dapat memenuhi kebutuhan, minat mereka dan tepat berdasarkan dengan perkembangan resiliensi mereka.

Resiliensi merupakan istilah yang relatif baru dalam khasanah psikologi, terutama psikologi perkembangan. Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan kontemporer yang muncul dari lapangan psikiatri, psikologi, dan sosiologi tentang bagaimana anak, remaja, dan orang dewasa sembuh dari kondisi stres, trauma dan resiko dalam kehidupan mereka.

Grotberg (1995: 10) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan.

Menurut Reivich dan Shatte (1999: 26), resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa resilience yaitu kapasitas individu untuk mengatasi, dan meningkatkan diri dari keterpurukan, dengan merespon secara sehat dan produktif untuk memperbaiki diri, sehingga mampu menghadapi dan mengatasi tekanan hidup sehari-hari.

1.2. Rumusan Masalah1. Bagaimana menigkatkan perkembangan resiliensi pada peserta didik.

1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui perkembangan resiliensi peserta didik.

Page 4: Perkembangan Resiliensi Peserta Didik

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ResiliensiMenurut Grotberg (1995) ada tiga kemampuan yang membentuk resiliensi.

Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah ‘I Have’. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah ‘I Am’, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah’I Can’.

A. I Have Faktor I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam meningkatkan daya lentur. Sebelum anak menyadari akan siapa dirinya (I Am) atau apa yang bisa dia lakukan (I Can), anak membutuhkan dukungan eksternal dan sumberdaya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan yang meletakkan fondasi, yaitu inti untuk mengembangkan resilience. Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya adalah adalah sebagai berikut 1. Trusting relationships (mempercayai hubungan) : Orang tua, anggota

keluarga lainnya, guru, dan teman-teman yang mengasihi dan menerima anak tersebut. Anak-anak dari segala usia membutuhkan kasih sayang tanpa syarat dari orang tua mereka dan pemberi perhatian primer (primary care givers), tetapi mereka membutuhkan kasih sayang dan dukungan emosional dari orang dewasa lainnya juga. Kasih sayang dan dukungan dari orang lain kadang-kadang dapat mengimbangi terhadap kurangnya kasih sayang dari orang tua.

2. Struktur dan aturan di rumah : Orang tua yang memberikan rutinitas dan aturan yang jelas, mengharapkan anak mengikuti perilaku mereka, dan dapat mengandalkan anak untuk melakukan hal tersebut. Aturan dan rutinitas itu meliputi tugas-tugas yang diharapkan dikerjakan oleh anak. Batas dan akibat dari perilaku tersebut dipahami dan dinyatakan dengan jelas. Jika aturan itu dilanggar, anak dibantu untuk memahami bahwa apa yang dia lakukan tersebut salah, kemudian didorong untuk memberitahu dia apa yang terjadi, jika perlu dihukum, kemudian dimaafkan dan didamaikan layaknya orang dewasa. Orang tua tidak mencelakakan anak dengan hukuman, dan tidak ada membiarkan orang lain mencelakakan anak tersebut.

3. Role models : Orang tua, orang dewasa lain, kakak, dan teman sebaya bertindak dengan cara yang menunjukkan perilaku anak yang diinginkan dan dapat diterima, baik dalam keluarga dan orang lain. Mereka menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu, seperti berpakaian atau menanyakan informasi dan hal ini akan mendorong anak untuk meniru mereka. Mereka menjadi model moralitas dan dapat mengenalkan anak tersebut dengan aturan-aturan agama.

4. Dorongan agar menjadi otonom : Orang dewasa, terutama orang tua, mendorong anak untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan berusaha mencari bantuan yang mereka perlukan untuk membantu anak menjadi otonom. Mereka memuji anak tersebut ketika dia menunjukkan sikap inisiatif dan otonomi. Orang dewasa sadar akan temperamen anak,

Page 5: Perkembangan Resiliensi Peserta Didik

sebagaimana temperamen mereka sendiri, jadi mereka dapat menyesuaikan kecepatan dan tingkat tempramen untuk mendorong anak untuk dapat otonom.

5. Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan keamanan : Anak-anak secara individu maupun keluarga, dapat mengandalkan layanan yang konsisten untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh keluarganya yaitu rumah sakit dan dokter, sekolah dan guru, layanan sosial, serta polisi dan perlindungan kebakaran atau layanan sejenisnya.

B. I Am Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Faktor ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri anak. Ada beberapa bagian-bagian dari faktor dari I Am yaitu :1. Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik : Anak tersebut sadar bahwa

orang menyukai dan mengasihi dia. Anak akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain.

2. Mencintai, empati, dan altruistic : Anak mengasihi orang lain dan menyatakan kasih sayang tersebut dengan banyak cara. Dia peduli akan apa yang terjadi pada orang lain dan menyatakan kepedulian itu melalui tindakan dan kata-kata. Anak merasa tidak nyaman dan menderita karena orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk berhenti atau berbagi penderitaan atau kesenangan.

3. Bangga pada diri sendiri : Anak mengetahui dia adalah seseorang yang penting dan merasa bangga pada siapakah dirinya dan apa yang bisa dilakukan untuk mengejar keinginannya. Anak tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkannya. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteemmembantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.

4. Otonomi dan tanggung jawab : Anak dapat melakukan sesuatu dengan caranya sendiri dan menerima konsekuensi dari perilakunya tersebut. Anak merasa bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.

5. Harapan, keyakinan, dan kepercayaan : Anak percaya bahwa ada harapan baginya dan bahwa ada orang-orang dan institusi yang dapat dipercaya. Anak merasakan suatu perasaan benar dan salah, percaya yang benar akan menang, dan mereka ingin berperan untuk hal ini. Anak mempunyai rasa percaya diri dan keyakinan dalam moralitas dan kebaikan, serta dapat menyatakan hal ini sebagai kepercayaan pada Tuhan atau makhluk rohani yang lebih tinggi.

C. I Can “I can” adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai seting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan

Page 6: Perkembangan Resiliensi Peserta Didik

bantuan saat membutuhkannya. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi faktor I can yaitu :

1. Berkomunikasi : Anak mampu mengekspresikan pemikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengarkan apa yang dikatakan orang lain serta merasakan perasaan orang lain.

2. Pemecahan masalah : Anak dapat menilai suatu permasalahan, penyebab munculnya masalah dan mengetahui bagaimana cara mecahkannya. Anak dapat mendiskusikan solusi dengan orang lain untuk menemukan solusi yang diharapkan dengan teliti. Dia mempunyai ketekunan untuk bertahan dengan suatu masalah hingga masalah tersebut dapat terpecahkan.

3. Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan : Anak dapat mengenali perasaannya, memberikan sebutan emosi, dan menyatakannya dengan kata-kata dan perilaku yang tidak melanggar perasaan dan hak orang lain atau dirinya sendiri. Anak juga dapat mengelola rangsangan untuk memukul, melarikan diri, merusak barang, berbagai tindakan yang tidak menyenangkan.

4. Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain : Individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi

5. Mencari hubungan yang dapat dipercaya : Anak dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal.

2.2 Meningkatkan Resiliensi Peserta Didik.

Langkah- langkah yang harus kita telusuri dalam meningkatkan resiliensi diri yaitu :

Mengendalikan diri sendiri, bagaimanakah kebiasaan kita dalam bersikap. Hindari terjebak dalam situasi tertentu, seperti menyalahkan diri sendiri. Keyakinan kuat apakah yang selama ini menghambat kemampuan kita

untuk bangkit, Tanpa disadari, sering kita dipengaruhi keyakinan kuat tentang hal tertentu, misalnya keyakinan bahwa orang lain dan dunia bersikap dan menginginkan sesuatu dari kita.

Tantangan keyakinan, artinya komponen kunci dari daya lenting adalah kemampuan mengatasi masalah. Sejauh mana kemampuan kita dalam mengatasi masalah sehari-hari.

Menjaga perspektif dalam hidup, seperti apakah kita sering tenggelam dalam kondisi tertekan dan menghabiskan waktu untuk terus mencemaskan hal yang belum tentu terjadi.

Tenang dan tetap menjaga pusat perhatian, jangan sampai kita dikuasai stres dan situasi emosional.

Page 7: Perkembangan Resiliensi Peserta Didik

Daya lenting dalam hal tenggang waktu, apakah kita selalu dikuasai pikiran negatif yang muncul dalam benak kita sehingga sulit bagi kita menghadapi kenyataan hidup.

Ketika perubahan dan tekanan hidup berlangsung begitu cepat, seseorang perlu mengembangkan kemampuan dirinya sedemikian rupa untuk mampu melewati itu semua secara efektif. Untuk mampu menjaga kesinambungan hidup yang optimal, maka kebutuhan akan kemampuan untuk menjadi resiliensi akan semakin meningkat.

2.3 Perkembangan Resiliensi Peserta Didik.

Beberapa hasil penelitian mendukung bahwa rendahnya tingkat resiliensi dalam diri individu akan menimbulkan kerentanan terhadap resiko dari adversitas. Masten (1994; dalam Davis, 2009) melakukan penelitian longitudinal dan cross sectional. Topik yang diteliti adalah tingkat resiliensi anak dikaitkan dengan berbagai permasalahan keluarga disfungsi seperti orangtua dengan gangguan jiwa, kesulitan finansial, ibu remaja, penyakit kronis, kriminalitas, penelantaran dan penganiayaan. Setelah 20 tahun masa penelitian diperoleh hasil yang mengindikasikan bahwa anak yang tumbuh dalam keluarga disfungsi, atau yang mengalami penelantaran dan penganiayaan cenderung memiliki resiliensi diri yang rendah dan tumbuh menjadi orang dewasa yang rentan, dikarenakan dalam perkembangannya lebih banyak peristiwa yang memicu stress dan kurang mampu mengatasi tekanan yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut. Morland (1996; dalam Barnard, 1999:40), mengemukakan bahwa terdapat kecenderungan faktor-faktor resiliensi yang rendah dalam diri anak atau remaja terutama yang berasal dari kelompok sosioekonomi rendah dan yang telah mengalami dukacita kehilangan orangtua. Irawati (2008; dalam kompas.com, 2010) melakukan penelitian terhadap resiliensi remaja dari keluarga brokenhome. Hasil penelitian mengungkap bahwa hanya 17% dari remaja brokenhome yang mampu membekali diri dengan kemampuan resiliensi dalam menghadapi berbagai persoalan yang datang setelah perceraian orangtua, sebanyak 58% cenderung mengalami masalah kepribadian dan 26% terlibat dalam aksi kenakalan remaja.

Rendahnya resiliensi anak bangsa bukanlah suatu hal yang layak dibiarkan, remaja perlu diajari bagaimana mengembangkan resiliensi dalam diri mereka, agar mereka memiliki bekal kemampuan untuk bangkit dan bertahan dalam situasi yang sarat perubahan dan tekanan seperti yang sedang terjadi di era globalisasi saat ini. Individu yang resilien merupakan komponen dasar pembentuk keluarga atau organisasi yang resilien dan keluarga atau organisasi yang resilien merupakan prasyarat terciptanya masyarakat atau komunitas yang resilien, dengan masyarakat atau komunitas yang resilien maka kokohnya ketahanan bangsa bukan suatu hal yang mustahil untuk diwujudkan. Sejumlah fakta empiris mengenai pengalaman adversitas dan kaitannya dengan kecenderungan terhadap berbagai gangguan perilaku semakin menambah penekanan pentingnya resiliensi dalam diri remaja. Hal ini mengisyaratkan perlunya upaya sistematis yang lebih terkoordinasi dan terprogram dengan baik dalam rangka meningkatkan resiliensi remaja, khususnya remaja dengan pengalaman terhadap adversitas dan beresiko

Page 8: Perkembangan Resiliensi Peserta Didik

tinggi terhadap gangguan perilaku dan kegagalan akademik di sekolah. Meskipun mengalami berbagai adversitas yang memiliki dampak signifikan, siswa dengan tingkat resiliensi tinggi akan mampu mengelola dampak negatif dari adversitas menjadi kekuatan dan keterampilan untuk bertahan dalam lingkungan sarat tekanan dan untuk bangkit kembali menuju keberfungsian normal. Oleh karena itu resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis siswa. Tanpa adanya resiliensi, tidak akan ada keberanian, ketekunan, rasionalitas, insight. Bahkan resiliensi diakui sangat menentukan gaya berpikir dan keberhasilan siswa dalam kehidupan, termasuk keberhasilan dalam belajar di sekolah (Desmita, 2009:199).

Sebagai lembaga yang mengakomodir peran remaja sebagai siswa atau peserta didik, sekolah memiliki peran sentral dalam mendukung perkembangan berbagai karakteristik resiliensi dan memberikan faktor protektif bagi karakteristik tersebut. Berbagai literatur tentang resiko dan resiliensi menyebutkan bahwa sekolah merupakan lingkungan kritis bagi siswa dalam mengembangkan kapasitas untuk keluar dari adversitas, menyesuaikan diri dengan tekanan-tekanan, dan menghadapi problem-problem, serta mengembangkan berbagai kompetensi sosial, akademik dan vokasional yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari proses pendidikan di sekolah. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa layanan bimbingan dan konseling di sekolah juga turut bertanggung jawab dalam mendukung pengembangan karakteristik yang mendukung peningkatan resiliensi siswa. Berkenaan dengan hal tersebut, konselor sekolah memiliki tanggung jawab etis untuk memfasilitasi perkembangan pribadi, sosial dan akademik seluruh siswa di sekolah tersebut sampai level tertinggi melalui layanan bimbingan dan konseling yang bermutu dan tepat sasaran. Namun, untuk dapat memberikan layanan bermutu dan tepat sasaran seperti yang diharapkan, konselor tidak hanya dituntut untuk memiliki profesionalisme tapi juga pengetahuan dan keterampilan yang memadai seputar teori dan pendekatan konseling.

Para peneliti memandang resiliensi sebagai suatu proses yang dinamis dibanding sebagai suatu sifat. Hal ini berarti bahwa resiliensi merupakan kapasitas individu yang diperoleh melalui proses belajar dan pengalaman lingkungan.  Resiliensi merupakan sikap dan keterampilan yang dapat dipelajari dan dikembangkan oleh setiap individu, namun untuk dapat mendukung perkembangan resiliensi dan membantu individu memelihara kemampuan resiliensi dalam diri mereka, diperlukan lingkungan yang fasilitatif, kondusif dan motivasional. Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat terutama sangat berperan penting dalam mendukung perkembangan berbagai karakteristik resiliensi dan memberikan faktor protektif bagi karakteristik tersebut (Desmita, 2006:198).  

Sekolah merupakan lingkungan yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan anak dan remaja.  Dengan demikian jelas bahwa sekolah merupakan lingkungan kedua setelah keluarga yang sangat memungkinkan membantu siswa mengembangkan resiliensi.

Page 9: Perkembangan Resiliensi Peserta Didik

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Penutup

Resiliensi bermakna kemampuan seseorang untuk bangkit dari keterpurukan yang terjadi dalam perkembangannya. Dimana ada tekanan yang mengganggu orang-orang dengan resiliensi tinggi akan mudah untuk kembali ke keadaan normal. Orang yang resilien lebih mudah dalam mengatur regulasi emosi. Mereka cepat memutus perasaan yang tak sehat, yang kemudian justru membantunya tumbuh menjadi orang yang lebih kuat.

Page 10: Perkembangan Resiliensi Peserta Didik

DAFTAR PUSTAKA

http://www.belajarpsikologionline.com.

http://id.wikipedia.org/wiki/Resiliensi.

http://mariaherlina.multiply.com/journal/item/13/Bukan_korban_tetapi_orang_yang_berhasil_selamat_Survivor .

Grothberg, E. (1995). A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening the Human Spirit. The Series Early Childhood Development : Practice and Reflections. Number8. The Hague : Benard van Leer Voundation.

Grothberg, E. (1999). Tapping Your Inner Strength, Oakland, CA : New Harbinger Publication, Inc.

Reivick, K & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skills for Overcoming Life’s Inevitable Obstacles. New york: Broadway Books