Perkembangan Konsep Tektonik
-
Upload
happy-christin-natalia-sirait -
Category
Documents
-
view
95 -
download
9
Transcript of Perkembangan Konsep Tektonik
RESUME GEOTEKTONIK TEORI FIXISM vs MOBILISM
Teori fixism merupakan satu dari dua teori pemikiran dalam tektonik, yang berdasarkan
pada asumsi bahwa letak lempeng-lempeng tektonik bersifat tetap, tidak berpindah, pada
permukaan bumi dan pergerakan tektonik secara vertikal memegang peranan penting dalam
perkembangan kerak di bumi. Teori ini merupakan salah satu prinsip dasar dalam geologi hingga
tahun 1600-an (Krill, 2011).
Mobilism merupakan teori yang mengatakan bahwa pergeseran horizontal kerak di
permukaan bumi relatif terhadap lainnya dan terhadap kutub bumi dalam waktu geologi. Mobilism
bertentangan dengan fixism, berdasarkan hipotesa yang mengatakan bahwa pergeseran dan
perkembangan kerak berlangsung hanya secara vertikal (Krill, 2011). Ide tentang pergerakan kerak
ini berkembang di abad ke-19, tetapi hipotesis ini sudah ada pada tahun 1912, oleh seorang
geofisika Jerman, Alfred Wegener, yang dikenal dengan teori pengapungan benua.
Para penganut teori fixism, seperti V. V. Belousov dan ilmuwan Amerika H. A. Meyerhoff,
membantah teori mobilism yang berasumsi bahwa pergerakan horizontal lempeng besar di litosfer
tidak mungkin terjadi dan pergerakan horizontal hanya terjadi pada daerah yang lebih kecil di kerak
sepanjang sesar anjak dan patahan mendatar (Krill, 2011).
GERAK-GERAK VERTIKAL DAN HORIZONTAL Sebelum abad ke-19, para ahli geologi menyatakan bahwa bumi mengalami pendinginan
atau kontraksi seiring berjalannya waktu, contohnya jalur-jalur pegunungan yang merupakan
akibat dari proses kontraksi gaya-gaya vertikal di bawah pegunungan. Tidak ada yang memikirkan
kemungkinan bahwa pegunungan-pegunungan ini disebabkan gaya lateral sebab model ini akan
sangat bertentangan dengan model bumi yang stabil. Tetapi Alfred Wegener berani menentang
teori tersebut dan mengatakan bahwa pegunungan-pegunungan tersebut disebabkan gaya lateral
melalui proses pergerakan benua yang hanyut (Teixell, 2009).
Di dalam tektonik dikenal adanya dua pergerakan, yaitu gerak epirogenetik dan orogenetik
yang diklasifikasikan berdasarkan luas daerah dan kecepatan geraknya (Saleeby, 2013).
a. Gerak epirogenetik (Gambar 1) merupakan gerakan dari dalam bumi yang memiliki arah
horizontal dan vertikal sehingga membentuk turun naiknya lapisan kulit bumi yang
sangat lambat dan terjadi di suatu daerah yang luas. Gerak ini yang membentuk kontinen
atau benua. Gerak ini dibedakan menjadi dua, yaitu:
Epirogenetik positif
Epirogenetik positif yaitu gerakan menurunnya suatu daratan, sehingga terlihar
permukaan air laut naik.
Epirogenetik negatif
Epirogenetik negatif, yaitu gerakan naiknya suatu daratan, sehingga permukaan air
laut turun.
Gambar 1 Tipe-tipe gerak epirogenetik
(http://ilmubatugeologi.blogspot.co.id/2015/09/gerak-vertikal-dan-horizontal-kulit-bumi.html)
b. Gerak Orogenetik merupakan gerakan lempeng yang lebih cepat pada wilayan yang
lebih sempit. Proses ini yang membentuk pegunungan. Ada dua macam bentuk
permukaan bumi akibat tenaga orogenetik, yaitu:
Lipatan (fold) (Gambar 2) merupakan suatu bentuk rupa bumi yang mengalami
pengerutan karena tektonik horizontal pada kulit bumi yang sifatnya elastis. Lipatan
yang terlipat ke atas dapat disebut antiklin, sedangkan lipatan yang terlipat ke bawah
dapat disebut sinklin (Sapiie, 2010).
Patahan atau sesar (fault) (Gambar 3) merupakan suatu bentuk rupa bumi yang
patah atau retak karena tektonik horizontal pada kulit bumi yang melebihi batas
elastis, sedangkan untuk tekanan vertikal sendiri karena akibat pembebanan batuan
diatasnya. Pergeseran bidang batuan tersebut terjadi secara vertikal atau horizontal
(Sapiie, 2010).
Gambar 2 Tipe-tipe lipatan akibat gerak orogenetik
(http://ilmubatugeologi.blogspot.co.id/2015/09/gerak-vertikal-dan-horizontal-kulit-bumi.html)
Gambar 3 Tipe-tipe sesar akibat gerak orogenetik
(http://ilmubatugeologi.blogspot.co.id/2015/09/gerak-vertikal-dan-horizontal-kulit-bumi.html)
TEORI GEOSINKLIN Teori geosinklin pertama kali dikemukakan oleh James Hall (1857; dalam Kopf1, 1948)
dalam pertemuan American Association for the Advancement of Science di Montreal. Prinsip dasar
teori ini adalah “the direction of any mountain chain corresponds with the original line of greatest
accumulation, or that line along which the coarser and more abundant sediments were deposited.”
(Arah pembentukan barisan pegunungan sesuai dengan sumber akumulasi terbesar, atau dengan
kata lain mengikuti garis sepanjang butiran kasar dan sedimen lainnya diendapkan). Hall
menggunakan daerah pegunungan Appalachian sebagai objek pengamatannya.
Hall berpikir bahwa pembentukan di daerah Applachian disebabkan oleh lapisan batuan
(strata) yang mengalami perlipatan, tetapi lipatan ini bukanlah faktor yang menyebabkan
rangkaian pegunungan menjadi lebih tinggi. Hall menambahkan bahwa penurunan lapisan sedimen
disebabkan oleh material kerak yang dangkal sepanjang aliran lateral di bawah sumber material
sedimen (Appalachian) dan di bawah tanjung, sehingga menyebabkan daerahnya meningkat. Teori
ini baru dapat diterima setelah adanya doktrin isostasi (Knopf1, 1948).
Pada tulisan ilmiahnya yang pertama, 1873 (Knopf1, 1948), Dana menamakan bagian
penurunan di kerak sebagai geosinklin. Dalam tulisannya, Dana menambahkan ide dasar pada teori
Hall bahwa selama peruntuhan lipatan besar geosinklin di dorong oleh tekanan lateral, yang
membentuk lipatan yang tinggi, yang dikenal dengan sinklinorium.
Pada akhirnya, di tahun 1895, Dana menyempurnakan teori geosinklin ini dengan
mengatakan bahwa rangkaian pegunungan geosinklin terdiri dari dua prinsip yaitu (1) tahap
persiapan selama akumulasi sedimen dalam geosinklin, dengan menentukan bagian rangkaian
pegunungan kemudian dan (2) pembuatan pegunungan, dalam waktu singkat, selama lapisan
batuan itu terlipat dan tersesarkan (Knopf1, 1948).
Pada tahun 1924 (Knopf2, 1960), Still mengatakan bahwa geosinklin, dalam artian luas,
merupakan sebuah cekungan sekular sedimentasi. Selain itu Still juga mengeluarkan beberapa
klasifikasi geosinklin, sebagai berikut:
a. Ortogeosinklin (Alpinotype geosynclines)
a.1. Zona Eugeosinklin : digunakan untuk menggambarkan ketebalan lapisan stratigrafi
yang memiliki kelimpahan batuan vulkanik yang sementara.
a.2. Zona Miogeosinklin : digunakan untuk membedakan ketebalan lapisan stratigrafi
tanpa atau sedikit kehadiran batuan vulkanik sementara.
b. Parageosinklin (Germanotype geosyncline pada basement yang terkonsolidasi) : situasi
yang terjadi ada basement terkonsolidasi, pada kraton.
TEORI PENGAPUNGAN BENUA Pada tahun 1912, Alfred Wegener, seorang Meteorologis dan Geofisika Jerman,
mengemukakan teorinya tentang pengapungan benua (Continental Drift), dia mengatakan bahwa
sekitar 200 juta tahun yang lalu, superkontinen, Pangea, mulai pecah menjadi bagian-bagian yang
kecil. Wegener memang bukan orang pertama yang mengemukakan bahwa benua-benua
kemungkinan bergerak, sebelumnya ada Snyder di Prancis dan Taylor di Amerika, tetapi Wegener-
lah yang mengemukakannya secara sistematik ketika dia mengamati adanya kesamaan garis pantai
antara Benua Amerika Selatan dan Benua Afrika (Gambar 4) (Sapiie, 2010).
Gambar 4 Hasil pengamatan Wegener pada batas tepi pantai Benua Amerika dan Benua Afrika
(https://yudi81.wordpress.com/2010/12/04/teori-tektonik-lempeng/)
Wegener mulai menantang aliran fixist dengan beberapa pemikiran lain (Sapiie, 2010), yaitu:
a. Wegener menyangkal adanya daratan penghubung (land bridge) yang semula berupa
kerak benua, yang kemudian runtuh menjadi kerak samudra melalui bukti seismologi
berupa kecepatan perjalanan gelombang P dan S pada kerak samudra dan benua.
b. Aliran fixist menyatakan bahwa rangkaian pegunungan terjadi akibat kontraksi,
Wegener menyatakan bahwa kerut (wrinkle) dapat saja terjadi, namun tidak begitu besar.
Kerut tersebut tidak sanggup menyebabkan gerakan horizontal sehingga menyebabkan
terjadinya pegunungan.
c. Wegener juga menyatakan pandangan bumi mengalami pendinginan itu muncul
sebelum ditemukannya radium. Wegener memandang sistem panas internal (internal
heat system) sebagai kondisi kesetimbangan antara produksi panas radioaktif di inti
bumi dengan kehilangan panasnya (thermal loss in to space).
d. Selain itu, pada tahun 1915-1922, Wegener merekonstruksi adanya Pangea. Ia menarik
batas benua pada batas luar paparan benua (continental shelf).
Bukti-bukti lain yang mendukung teori ini tidak hanya berasal dari pemikiran Wegener
sendiri tetapi dari beberapa ahli yang ada pasa saat itu (Sapiie, 2010), seperti:
1. Paleontologi dan Biologi
Sebelum Wegener, para ahli paleontologi telah mengumpulkan data yang
memperlihatkan keserupaan dan perbedaan kondisi flora dan fauna dari kedua benua
(Benua Afrika dan Benua Amerika). Hasil penelitian tersebut memberikan kesimpulan
bahwa memang ada gabungan benua (Pangea) sehingga adanya keserupaan flora dan
fauna berlangsung (Gambar 5). Namun sesudah itu, terjadi evolusi radiasi secara
terpisah sehingga mengurangi keserupaan flora dan fauna.
Gambar 5 Bukti plaeontologi dan biologi yang menunjukkan kesamaan flora dan fauna
(http://geosmanda.blogspot.co.id/2013/10/teori-apungan-benua-continental-drift.html)
2. Iklim purba (paleoclimate)
Wegener dan Koppen (ahli klimatologi) menyertakaan bukti-bukti paleoiklim dengan
mengamati lapisan sedimen yang ada. Dari bukti sedimentologi yang digunakan adalah
(1) lithified till (tillite) yang mengindikasikan adanya es (glacier), (2) lapisan batubara
mengindikasikan iklim basah yang berada dekat dengan ekuator, (3) lapisan garam dan
gipsum mengindikasikan iklim padang (desert), (4) distribusi Pectoperis (pohon pakis)
yang menggambarkan daerah ekuator dan distribusi Glossopteris pada lapisan tillite.
3. Arah kutub bumi (polar wandering) dan pengapungan benua (continental drift)
Wegener merekonstruksi gerakan kutub dari Kapur hingga sekarang (Gambar 6).
Namun, ia juga menerangkan bahwa polar kutub tersebut berbeda terhadap benua
Amerika Selatan dan Benua Afrika. Menurutnya, perbedaan tersebut berhubungan
dengan gerakan pengapungan benua.
Gambar 6 Arah kutub bumi
(http://geosmanda.blogspot.co.id/2013/10/teori-apungan-benua-continental-drift.html)
Meskipun banyak bukti yang berhasil dikumpulkan yang dapat mendukung teorinya,
Wegener sadar tentang kesulitan untuk menerangkan gaya yang menyebabkan pengapungan benua
ini. Ia memprediksi bahwa solusinya masih akan ditemukan pada waktu yang lama.
TEORI PEMEKARAN LANTAI SAMUDRA Konsep pemekaran lantai samudra pertama kali dikemukakan oleh Harry Hess pada tahun
1960. Konsep tersebut pada dasarnya merupakan suatu anggapan bahwa bagian kulit bumi yang
ada di dasar samudra Atlantik, tepatnya dipematang tengah samudra atau mid oceanic ridge
mengalami pemekaran. Bukti-bukti lain tentang adanya pemekaran lantai samudra adalah data-
data yang dihasilkan dari pengukuran kemagnetan purba (paleomagnetic) dan penentuan umur
batuan (rock dating) (Pichon, 2013).
Mineral-mineral yang menyusun batuan, seperti mineral magnetik dapat merekam arah
magnet bumi saat pembentukannya. Studi paleomagnetik dilakukan terhadap sampel batuan yang
diambil dibagian pematang tengah samudra hingga ke bagian tepi benua yang menunjukkan
terjadinya polaritas arah magnet bumi yang berubah-ubah dan selang waktu 400.000 tahun sekali
(Gambar 7) (Meinesz, 1947).
Polaritas arah magnet bumi yang terekam pada batuan punggung tengah samudra dapat
digunakan untuk merekonstruksi posisi dan proses pemisahan antara benua Amerika dan Afrika
yang semula berimpit (Meinesz, 1947).
Axial rift valley merupakan tempat keluarnya magma basaltik, jika pemekaran samudra merupakan
proses kontinyu maka magma basaltik akan bergerak menjauhi rift. Lempeng litosfer di kedua
sisinya mengalami akresi dengan kecepatan yang sama. Hasilnya, kerak samudra yang terbentuk
dalam suatu kesatuan waktu membentuk dua laps sejajar dengan lebar yang sama dan memiliki
kesamaan umur yang sama yang semakin tua bergerak menjauhi pusat pemekaran. Zona lava
dalam paleomagneetik akan menunjukkan ciri normal dan reserve yang biasa di sebut garis
magentik (Meinesz, 1947).
Teori Hess ini mendapat dukungan bukti dari mahasiswa tingkat sarjana di Inggris, yaitu
Frederick J. Vine dan D. H. Matthes. Keduanya menyatakan bahwa saat lava meluap dan memadat
di retakkan tengah samudra, lava basal mendapatkan perkutban magnet sesuai keadaan saat lava
itu memadat (Pichon, 2013).
Mid-Oceanic Ridge (MOR) adalah suatu rangkaian pegunungan yang berada di laut dalam
(sekitar 1500 – 2000 m dpl) dengan panjang sekitar 70.000 km. MOR mulai dikenal pada
pertengahan abad ke-20 yaitu saat mulai berkembangnya konsep sea floor spreading (Gambar 8)
yang selanjutnya dijadikan bukti akan kebenaran teori pengapungan benua (continental drift)
(Sapiie, 2010).
Gambar 7 bukti paleomagnetik yang dilakukan
(http://geosmanda.blogspot.co.id/2013/10/teori-apungan-benua-continental-drift.html)
MOR terbentuk akibat adanya aktivitas tektonik lempeng yang saling menjauh (divergen).
Pergerakan tersebut akibat adanya gaya ttarikan (tensional force) yang digerakkan oleh arus
konveksi yang berada di mantel bumi (astenosfer). Karena terjadinya rifting (pemekaran) di
sepanjang MOR, maka maka akan menimbulkan ruang kosong diantara di daerah pemekaran
tersebut. Kemudian kekosongan tersebut akan diisi oleh magma yang nantinya akan membentuk
kerak samudera yang baru. Magma yang terbentuk dari proses tersebut akan bersifat basa. Arus
konveksi sebenarnya berfungsi sebagai penggerak dan litosfer sebagai ban yang berjalan (Sapiie,
2010).
Gambar 8 Model pemekaran lantai samudra
(https://yudi81.wordpress.com/2010/12/04/teori-tektonik-lempeng/)
TEORI ARUS KONVEKSI Pada tahun 1929, Arthur Holmes, mengemukakan pergerakan lempeng akibat adanya arus
konveksi panas, dia berhipotesa bahwa bila suatu massa dipanaskan maka dia akan naik ke
permukaan karena densitasnya yang rendah, dan akhirnya mengalami pendinginan hingga
densitasnya naik kembali, perubahan suhu ini dipercaya mampu menghasilkan suatu arus panas
dan menggerakkan lempeng-lempeng bumi (Sapiie, 2010).
Harry Hess dan R. Deitz (1960) menggunakan beberapa bukti yang menguatkan bahwa arus
konveksi dari mantel bumi itu memang ada (Gambar 9). Bukti ini ditunjang dengan penemuan-
penemuan seperti pematang tengah samudra di lantai samudra dan beberapa temuan anomali
geomagnetik. Hipotesa tersebut menganggap bahwa bagian kulit bumi ada di dasar Atlantik
tepatnya di pematang tenga samudra mengalami pemekaran yang diakibatkan oleh gaya tarikan
yang digerakkan oleh arus konveksi yang berada di bagian mantel bumi.
Dalam teori ini dijelaskan tiga hal utama, yaitu:
A. Proses gerakan permukaan bumi oleh arus konveksi pada astenosfir (Gambar 10).
Pergerakan lantai samudra (litosfir) ke arah kiri dan kanan di sepanjang sumbu
pemekaran Pematang Tengah Samudra lebih disebabkan oleh arus konveksi yang
berasal dari lapisan mantel bumi (astenosfir). Arus konveksi inilah yang menggerakan
kerak samudra (lempeng samudra) yang berfungsi sebagai ban berjalan (conveyor-belt).
Gambar 9 Model arus konveksi di pematang tengah samudra
(https://yudi81.wordpress.com/2010/12/04/teori-tektonik-lempeng/)
B. Selain itu dia juga menjelaskan bahwa lempeng yang menunjam lebih berat daripada
lempeng di atasnya (Gambar 10), karenanya akan menarik lempeng ini ke bawah, yang
dikenal dengan mekanisme slab-pull. Akibat dari gravitasi, bagian atas dari lempeng di
lokasi pematang terdorong ke atas, yang dikenal dengan slab-push.
C. Hal ketiga yang dijelaskan mengenai adanya plume (aliran magma yang membumbung)
yang bergerak ke atas (Gambar 10). Ide ini menjelaskan bahwa ada beberapa plume
yang sangat besar yang menggerakkan arus konveksi ke arah atas di dalam mantel bumi,
sedangkan lempeng yang menunjam menggerakkan arus konveksi ke arah bawah dan
menyempurnakan perputaran arus konveksi.
Gambar 10 Model arus konveksi
(https://yudi81.wordpress.com/2010/12/04/teori-tektonik-lempeng/)
TEORI LEMPENG TEKTONIK Dr. Robert D. Ballard, menulis dalam exploring Our Living Planet di tahun 1983: “Plate
tectonics not only vindicated Wegener, it transformed geology as profoundly as the theories of
evolution and relativity transformed biology and physics” (Oberrecht,) (Lempeng tektonik tidak
hanya membenarkan teori Wegener, itu mengubah pandangan geologi dalam hal evolusi dan
perubahan relativtas dalam biologi dan fisika).
Tektonik berasal dari kata “tektonos” (dalam Bahasa Yunani) yang berarti berkaitan dengan
konstruksi. Dalam geologi, tektonik memperhatikan formasi dan struktur kerak bumi.
Berdasarkan teori ini, litosfer terdiri dari tujuh lempeg besar dan 18 lempeng kecil yang saling
bergerak dan berinteraksi. Batas-batas lempeng yang saling berinteraksi, seperti konvergen,
divergen, dan transform, membentuk aktivitas seismik bumi dan vulkanisme (Sapiie, 2010).
Berikut adalah penjelasan batas-batas lempeng yang saling berinteraksi (Sapiie, 2010):
a. Divergen
Divergen merupakan pergerakan lempeng yang saling menjauh satu dengan yang lainnya
(Gambar 11), kemudian terbentuk rekahan pada lantai samudra dan keluarnya magma yang
berasal dari mantel bumi.
b. Konvergen
Konvergen merupakan gerak antara dua lempeng yang saling mendekat (Gambar 11).
Gerak lempeng yang konvergen dapat dibagi lagi menjadi tiga bagian, berdasarkan jenis
lempeng yang saling bergerak relatif, yaitu:
Konvergen benua-benua
Ketika dua lempeng benua saling bertemu maka keduanya akan menunjukkan
bentukan yang tinggi di permukaan bumi, karena komposisi dari keedua lempeng
tersebut yang sama beratnya. Bentukan tersebut akan membentuk pegunungan di
sepanjang jalur subduksi tersebut.
Konvergen benua-samudra
Jika samudra dan benua bergerak saling mendekat, maka lempeng samudra akan
terletak pada bagian bawah lempeng benua yang masanya lebih ringan dari lempeng
samudra, salah satu contohnya ialah terbentuknya trench.
Tapi bisa juga terjadi peristiwa lempeng samudra berada di atas lempeng benua yang
dikenal dengan koalisi.
Konvergen samudra-samudra
Saat dua lempeng samudra saling bertemu maka salah satunya akan menyubduksi
lempeng yang lainnya. Hasil dari pergerakan lempeng tersebut akan dapat
menghasilkan busur kepulauan di bawah laut yang kemudian menghasilkan magma
yang dapat membentuk gunung bawah laut.
c. Transform
Transform merupakan zona antara kedua lempeng yang saling bergerak horizontal yang
dikenal dengan gerak transform (Gambar 11). Pada umumnya, jenis transform ini
ditemukan pada dasar samudra, yang membentuk punggungan samudra.
Gambar 11 Jenis-jenis pergerakan lempeng
(https://yudi81.wordpress.com/2010/12/04/teori-tektonik-lempeng/)
DAFTAR PUSTAKA Knopf1. A., 1948, The Geosynclinal Theory, Buletin of The Geological Society of America, Vol.
59, p.649-670. (http://gsabulletin.gsapubs.org diakses pada 19 Januari 2016).
Knopf2, A., 1960, Analysis of Some Recent Geosynclinal Theory, American Journal of Science,
Bradley Volume, Vol. 258 A., p.126-136. (http://earth-geology-yale.edu diakses pada
19 Januari 2016).
Krill, A., 2011, Fixists vs Mobilists In The Geology Contest of The Century 1844-1969, Norwey:
Allan Krill. (http://folk.ntnu.no/krill/fixists_cover_contents.pdf diakses pada 21
Januari 2016).
Meinesz, F. A. V., 1947, Major Tectonic Phenomena and The Hypothesis of Convection currents
in The Earth, Third William Smith Lecture, 1947.
(http://jgslegacy.lyellcollection.org/content/103/1-4/191.short diakses pada 23 Januari
2016)
Pichon, X. L., 2013, The “Revolution” of Plate Tectonics in Earth Sciences and the Relationship
Between Science, Reason, and Truth, Euresis Journal Vol. 5 Summer 2013
(http://www.euresisjournal.org/public/article/pdf/LePichon.pdf diakses pada 19 Januari
2016)
Saleeby, J., Saleeby, Z., Le Pourhiet, L., 2013, Epeirogenic Transients Related to Mantle
Lithosphere Removal in The Southern Sierra Nevada Region, California: Part II.
Implication of Rock Uplift and Basin Subsidence Relations, Geology Society of
America 2013, p. 394-425.
(http://tectonics.caltech.edu/publications/pdf/Saleeby_GEOS2013.pdf diakses pada 23
Januari 2016)
Sapiie, B., 2010, Catatan Kuliah Tektonofisik, Bandung: Penerbit ITB
Teixell, A., Bertotti, G., de Lamotte, D. F., Charroud, M., 2009, The Geology of Vertical
Movements of The Lithosphere: An Overview, ScienceDirect Tectonophysics, p. 1-8,
Elsevier.
https://yudi81.wordpress.com/2010/12/04/teori-tektonik-lempeng/ (diakses pada 24 Januari
2016)
http://ilmubatugeologi.blogspot.co.id/2015/09/gerak-vertikal-dan-horizontal-kulit-bumi.html
(diakses pada 24 Januari 2016)
http://geosmanda.blogspot.co.id/2013/10/teori-apungan-benua-continental-drift.html (diakses
pada 24 Januari 2016)