Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review...

26

Transcript of Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review...

Page 1: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki
Page 2: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki
Page 3: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL1

Sejak zaman pra kemerdekaan, Sumberdaya Hutan (SDH) bagi berbagai komunitas di Indonesia telah memiliki nilai ekonomi dan ekologi, serta makna sosial, budaya, dan politik. Dengan kata lain, SDH juga berperan dalam pembentukan peradaban kehidupan manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki konsep dan pandangan tersendiri tentang penguasaan dan pengelolaan sumberdaya hutan. Dalam prakteknya, pengelolaan hutan oleh masyarakat juga telah lama dikenal dengan nama lokal seperti: gampong di Aceh, tombak di Tapanuli Utara, repong di Lampung, talun di Jawa Barat, tembawang di Kalimantan Barat, lembo dan simpukng di Kalimantan Timur, mamar di Nusa Tenggara Timur dan sebagainya.

Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial

Page 4: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL2 3

Bahkan dari bukti sejarah yang ada, masyarakat Jawa kuno pada abad ke-9 di masa kerajaan Medang (Mataram Kuno) telah mengenal istilah tuha alas, juru alas, pasuk alas dan tuha buru yang menunjukkan peran dari masyarakat yang ditunjuk untuk mengawasi hutan dan mengelola perburuan satwa. Informasi seperti ini antara lain terdapat pada prasasti Jurungan (876 M), Tunahan (872), Haliwangbang (877), Mulak (878), Mamali (878), Kwak I (879), Taragal (830), Kubukubu (905), Sarsahan (908), dan Kaladi (909).1

Menurut catatan, pada masa itu sebagian besar hutan di Pulau Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur, ditumbuhi pohon- pohon jati yang ”keadaannya hampir murni dalam larikan-larikan teratur”.2 Perdebatan terjadi di kalangan ahli kehutanan Eropa, yaitu antara kelompok ahli yang menganggap hutan jati sebagai hutan alam namun dipelihara oleh masyarakat setempat, dengan kelompok ahli yang menganggap bahwa pohon-pohon jati itu ditanam oleh orang-orang Hindu yang berasal dari Hidustan, India. Pendapat kelompok yang kedua ini dapatlah disebut sebagai cikal bakal pendapat tentang pengelolaan hutan oleh rakyat yang berkembang di kemudian hari.3

Ketika kerajaan Majapahit mulai berkuasa, untuk memperluas wilayahnya ke pulau-pulau lain di Nusantara serta menguasai rantai perdagangan komersil di wilayah Nusantara, mereka mendukung para saudagar Cina yang membangun industri perkapalan di wilayah utara Jawa. Industri perkapalan ini memasok kebutuhan kapal dagang dan kapal perang.4 Bahan-bahan utama yang digunakan oleh industri perkapalan adalah kayu-kayu tropis, termasuk kayu jati yang berasal dari hutan-hutan jati di Pulau Jawa.5 Periode di mana terjadi pengambilan kayu jati dalam skala komersil untuk memenuhi kebutuhan industri perkapalan ini disebut sebagai masa awal penambangan kayu (timber extraction).6

1 Susantio D _ (Arkeolog : Sinar Harapan, Jumat, 17 November 2006)2 Djadjapertjunda 2001, hal 813 Siscawati dan Muhshi (2008)4 Raffles(1816)5 Simon (2001)6 Hasano Simon (2001)

Eksploitasi hutan di Jawa yang dimulai sejak jaman kejayaan Majapahit dilanjutkan oleh armada dagang Belanda VOC yang memasuki wilayah kepulauan Nusantara pada abad pada akhir abad ke-16 . Pembabatan hutan di Jawa dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan kayu yang diperlukan bagi pembangunan pemukiman dan benteng VOC, serta pembuatan kapal-kapal VOC.7

Pada akhir abad 18 kondisi hutan di Jawa mulai mengalami degradasi yang sangat serius. Kondisi ini membuat pemerintah kolonial Belanda menugaskan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels untuk melakukan rehabilitasi dan reforestasi kawasan hutan pada awal abad 19. Untuk itu Daendels membentuk Dienst van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan) serta mengeluarkan

7 Simon (2001)

Page 5: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL4 5

Peraturan Pemangkutan Hutan di Jawa yang selanjutnya dikembangkan menjadi Baschordonantie voor Java en Madoera 1865 (Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura 1865), disusul dengan peraturan Domeinverklaring 1870 yang mengklaim bahwa tanah hutan (forest land) yang tidak dibebani hak privat menjadi domain negara.8 Dengan berlandaskan pada rangkaian peraturan tersebut, jawatan kehutanan kolonial (Boschwezen) membuat batas politik dan administratif terhadap kawasan hutan dan pertanian, dan mulai membangun hutan jati dengan menerapkan prinsip-prinsip kehutanan ”modern.”9

Dalam rangka meningkatkan pengamanan hutan dari gangguan ”pencurian” kayu dan menekan biaya produksi, jawatan kehutanan kolonial mulai melibatkan masyarakat lokal sebagai buruh, antara lain dalam proses pemanenan kayu.10 Selain itu, jawatan kolonial juga memanfaatkan tenaga masyarakat setempat dalam pembuatan hutan tanaman yang dimulai sejak tahun 1873, melalui aktivitas yang dikenal sebagai tumpangsari. Salah satu rimbawan kolonial yang mengembangkan konsep ini adalah Buurman van Vreeden.11 Metode tumpangsari diadopsi dari konsep taungya yang

8 Soepardi (1974), Peluso (1992), Simon (2001)9 Siscawati dan Muhshi (2008)10 Peluso (1992)11 Perum Perhutani (1996)

dikembangkan jawatan kehutanan kolonial Inggris di Myanmar/Burma. Konsep dasar taungya sendiri diadopsi dari sistem hutan kerakyatan masyarakat adat Karen.12

Sementara itu, beberapa ahli kehutanan kolonial mulai mengembangkan kajian tentang pola-pola pengelolaan kekayaan hutan oleh masyarakat. Salah satu pemikiran yang berkembang adalah pendapat ilmiah yang mengatakan bahwa pohon-pohon jati di Jawa ditanam oleh para pendatang yang berasal dari Hindustan, India.13 Seperti telah disebutkan, pemikiran ini dianggap sebagai cikal bakal kajian tentang kehutanan masyarakat. Beberapa ahli kehutanan kolonial lainnya mulai meneliti sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat di beberapa tempat di kepulauan Nusantara. Salah satu sistem hutan kerakyatan di Kalimantan Barat, yaitu tembawang, pertama kali dilaporkan oleh ilmuwan Belanda tahun 1848. Sementara, keberadaan kebun damar di Lampung dan kebun kemenyan di Sumatra Utara, yang keduanya merupakan kebun campur yang dikelola dengan meniru pola hutan alam, dilaporkan oleh ilmuwan Belanda sekitar tahun 1850.14

12 Siscawati dan Muhshi (2008)13 Djadjapertjunda (2001)14 Brookefieldetal,(1995).

Page 6: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL6 7

Pada tahun 1942-1945 sebelum kemerdekaan kondisi rawan pangan dan kemiskinan yang parah membuat pemerintah memberikan hak milik kepada masyarakat yang mengelola hutan untuk tujuan pangan. Mengiringi kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960, pemerintah pada tahun 1960-an mencanangkan dan memberikan hak kepada masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan di beberapa wilayah di Lampung dalam bentuk Hak Garap Keluarga selama 10 tahun. Masyarakat yang terbukti menggarap dengan baik akan memperoleh hak milik. Program ini berjalan sampai dengan tahun 1965 dan bukti kepemilikan tanah dari prose-proses ini sering diabaikan (Sirait 2008, Komunikasi Personal).15

Dalam UU nomor 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan konsep dan istilah Perhutanan Sosial masih belum muncul. Bahkan pengurusan Hutan Milik yang dilakukan oleh pemiliknya diatur dengan bimbingan Menteri dan dapat dituntut apabila bertentangan dengan aturan dan kepentingan umum. Kemudian dalam UU Pokok Kehutanan No. 41/1999, sebagai kebijakan yang menggantikan UU Pokok Kehutanan tahun 1967, pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal dimasukkan kedalam keseluruhan kerangka kerja kehutanan yang sah, walaupun sistem lokal ini masih berada di bawah kehutanan pemerintah.

Penyelenggaraan Kongres Kehutanan Dunia ke 8 pada tahun 1978 di Jakarta yang mengusung tema Forest for People dianggap sebagai tonggak awal perhutanan sosial dunia. Ini adalah respons dunia kehutanan terhadap dampak-dampak negara dari sistem pengelolaan hutan yang dominan ketika itu. Pada tahap ini program perhutanan sosial diadopsi dan secara bertahap dan dilembagakan ke dalam sistem pengelolaan hutan oleh negara, meskipun hak kepemilikan dan pemanfaatan oleh masyarakat tradisional masih dianggap tidak sah.

15 Siscawati dan Muhshi (2008)

Istilah Social Forestry sendiri, pertamakali dipublikasikan oleh Jack Westoby seorang ekonom kehutanan FAO pada tahun 1968. Social Forestry dipandang sebagai strategi pembangunan kehutanan, yaitu suatu pendekatan pembangunan kehutanan yang mempunyai tujuan memproduksi manfaat hutan untuk perlindungan dan rekreasi bagi masyarakat (Tewari 83).16

16 Awang (2002)

Page 7: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL8 9

Perkembangan Kebijakan Perhutanan Sosial

Perhutani yang mendapat tugas mengelola hutan di Jawa telah mulai melakukan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) pada tahun 1972 yang ditandai dengan program tumpang sari Ma-Lu (Mantri Lurah) dan Ma-Ma (Magelang Magetan). Selanjutnya Ford Foundation pada tahun 1980-an mendukung Pehutanan Sosial di Jawa dan pada tahun 1984-1985 melaksanakan studi di luar Jawa (Kalimantan, Sulawesi, dan Papua). Hasil studi ini kemudian mendorong lahirnya kebijakan HPH Bina Desa dengan terbitnya SK Menteri Kehutanan: 691/1991. Selanjutnya HPH Bina Desa dirubah menjadi PMDH (Pembinaan Masyarakat Desa Hutan) dengan SK Menhut: 69/1995 jo SK Menhut.523/1997. Pada masa itu kegiatan tumpang sari Perhutani hanya memberikan kesempatan kepada masyarakat menanam padi, jagung dan palawija di sela-sela pohon jati. Sementara program HPH Bina Desa dan PMDH yang dilakukan pengusaha hutan memisahkan masyarakat dari hutan. Kegiatannya berupa bantuan sosial, pembangunan jalan, jembatan dan masjid serta mengajari masyarakat menanam padi secara menetap dan meninggalkan perladangan.

Page 8: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL10 11

Demikian juga dengan kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang diperkenalkan pertama kali oleh pemerintah dengan SK Menhut:622/1995.DalamSKMenhutini,HKmdidefinisikansebagai”kegiatan pemerintah dalam mengelola hutan sesuai fungsinya dengan mengikutsertakan masyarakat”. Terdapat sedikit kemajuan dalam kebijakan ini dibandingkan dengan sebelumnya, dimana partisipasi masyarakat dalam mengelola hutan tidak diakui bahkan dalam banyak kasus masyarakat diusir dari kawasan hutan secararepresif.NamunjikakitacermatidefinisiHKmdalamSKMenhut ini, terlihat masih dominannya peranan pemerintah dalam menunjuk dan menentukan masyarakat mana yang dapat ikut serta. Sementara masyarakat sendiri ditempatkan sebagai pihak yang diikutsertakan dalam pengelolaan hutan dan hanya berhak memungut dan memanfaatkan hasil hutan non kayu. HKm generasi awal ini berupa penunjukan masyarakat oleh pemerintah untuk ikut serta dalam pengelolaan hutan. Jadi perhutanan sosial pada masa-masa awal ini masih melihat masyarakat sebagai obyek dan bukan sebagai subyek pengelola hutan.

Sesaat sebelum era reformasi bergulir, peristiwa penting yang juga turut menandai era baru perhutanan sosial adalah keluarnya SK Menteri Kehutanan tahun 1998 yang menetapkan (daerah) Krui sebagai Kawasan dengan Tujuan Istimewa (KdTI), yang sebenarnya tidak memiliki dasar hukum pada tingkatan yang lebih tinggi, sehingga dapat dilihat sebagai sebuah terobosan dari Menteri Kehutanan yang cukup progresif ketika itu.17

Ruang partisipasi masyarakat diperluas dalam SK Menhutbun No. 677/Kpts-II/1998.DalamSKiniHKmdidefinisikansebagaihutannegara yang dicadangkan dan ditetapkan oleh Menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari. Masyarakat yang dalam SK sebelumnya hanya diikutsertakan saja, dalam SK ini masyarakat yang sudah membentuk kelembagaan koperasi diberikan hak untuk mengusahakan hutan baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk diusahakan.

17 Lindayati, 2003, op.cit., dan Fay & Sirait, 2003, op.cit.

Hak pengusahaan ini diberikan melalui SK Menhut yang kewenangannya dapat dilimpahkan ke Kantor Wilayah Kehutanan. SK Menhut ini kemudian disempurnakan menjadi SK Menhutbun No. 865/1999. Perbedaan SK ini dengan sebelumnya adalah penggantian istilah ”pengusahaan” dengan ”pemanfaatan”. Disamping itu SK ini memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan pengaturan operasional mandiri dalam mengelolahutan.HalinidapatkitalihatdalamdefinisiSKinimengenai HKm ” Hutan negara yang dicadangkan dan ditetapkan oleh Menteri untuk dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dengan kewenangan untuk menyelenggarakan pengaturan operasional mandiri dalam mengelola hutan secara lestari”. SK Menhut No: 677/199 jo SK Menhut No: 865/1999 merupakan tonggak penting karena memberikan landasan hukum bagi penempatkan masyarakat sebagai subyek pengelola hutan.

Page 9: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL12 13

Pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan UU No. 41 Tahun 1999 yang merupakan revisi UU Kehutanan No. 5 Tahun 1967. UU 41/1999 mempunyai kandungan yang cukup padat mengenai partisipasi serta pengakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat, namun secara tekstual partsipasi serta pengakuan dan penghormatan tersebut terlihat kabur dan hanya berupa assesori dan pelengkap saja. Meskipun demikian UU 41/1999 telah meletakkan landasan hukum mengenai pemanfaatan hutan dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Pengaturan mengenai hal tersebut dijumpai pada penjelasan pasal 5 ayat 1 UU Kehutanan. Dikatakan bahwa pemanfaatan hutan negara yang tujuan utamanya untuk memberdayakan masyarakat diberi istilah dengan hutan kemasyarakatan.

Dalam rangka menyelaraskan peraturan pelaksanaan HKm dengan UU 41/1999, kemudian Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/1998 jo No. 865/1999 tentang Hutan Kemasyarakatan disempurnakan dan digantikan oleh Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Dalam SK ini yang dimaksud dengan HKm adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya.

Masyarakat dengan kelembagaan koperasi mendapat hak pengeloaan HKm melalui izin yang dikeluarkan oleh Bupati setelah Menteri menetapkan wilayah pengelolaan HKm di kabupaten tersebut. Izin yang diberikan meliputi dua tahap, yakni izin sementara(3-5tahun)danizindefinitif(25tahun).

SK Menhut No.31/Kpts-II/2001 sudah dianggap sebagai bentuk penyesuaian terhadap UU Kehutanan sekalipun tidak mengikut logika pembagian jenis dan izin pemanfaatan hutan yang dikembangkan oleh UU Kehutanan. Menurut UU Kehutanan jenis pemanfaatan hutan dibagi ke dalam: [1] pemanfaatan kawasan hutan; [2] pemanfaatan jasa lingkungan; [3] pemanfataan hasil hutan; dan [4] pemungutan hasil hutan. Seluruh jenis pemanfaatan di atas dilaksanakan dengan pemberian izin. Karena jenis izin disesuaikan dengan jenis pemanfaatan maka izin yang diperkenalkan oleh UU Kehutanan menjadi: [1] izin pemanfaatan kawasan; [2] izin pemanfaatan jasa lingkungan; [3] izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; [4] izin pemanfaatan hasil hutan kayu; [5] izin pemungutan hasil hutan bukan kayu; dan [6] izin pemungutan hasil hutan kayu. Sementara SK Menhut No. 31/2001 hanya mengenal satu izin yang dinamakan izin kegiatan hutan kemasyarakatan. Izin ini memberikan hak pengelolaan kepada pemegang izinnya.

Page 10: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL14 15

Berdasarkan SK Menhutbun No. 865/1999 dan SK Menhut No.31/2001, Menteri Kehuhutanan telah menerbitkan 26 izin sementara HKM 3 - 5 tahun yang terletak di Propinsi Aceh (13), Jambi (2), Lampung (4), Kalimantan Barat (1), Kalimantan Tengah (3), Sulawesi Selatan (1), Nusa Tenggara Barat (1) dan Irian Jaya (1). Kedua puluh enam izin tersebut tidak bisa diperpanjang menunggu penetapan wilayah pengelolaan HKm oleh Menhut. Demikian juga nasib usulan penetapan wilayah HKm yang diajukan oleh 8 kabupaten, yaitu : Kabupaten Gunung Kidul & Kulon Progo (DIY), OKI, OKU dan Lahat (Sumsel), Lampung Tengah dan Lampung Timur (Lampung), Sikka dan Kupang (NTT), dan Tanah Toraja (Sulsel). Proses perizinan HKm menjadi terhenti karena tidak jelasnya pengaturan dalam SK Menhut No. 31/2001 mengenai penetapan wilayah HKm.

Belum sempat Keputusan Menhut No. 31/2001 ditindaklanjuti dengan SK Menhut mengenai Tata Cara Penetapan Wilayah HKm, pemerintah menetapkan PP No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Dalam PP ini dikatakan bahwa pemberdayaan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat dalam pemanfaatan hutan (Pasal 51 ayat 1). Selain itu, PP ini juga mengatakan bahwa untuk mewujudkan pemberdayaan dapat dilakukan melalui hutan kemasyarakatan (Penjelasan Pasal 51 ayat 1). Pengaturan dalam PP 34/200 ini relatif berbeda dengan pengaturan UU 41/1999. UU 41/1999 meletakkan pemberdayaan masyarakat sebagai tujuan dan pemanfaatan sebagai instrument. Sementara PP 34/2002 meletakkan pemanfaatan hutan sebagai tujuan dan pemberdayaan masyarakat sebagai instrument.

Logika yang menempatkan pemberdayaan sebagai instrument dan pemanfaatan sebagai tujuan mengunakan cara berpikir bahwa masyarakat miskin sekitar hutan perlu diberdayakan sampai suatu saat masyarakat mampu dan mandiri dalam memanfaatkan hutan. Setelah masyarakat mampu dan mandiri dalam memanfaatkan hutan, masyarakat harus mampu bersaing dengan masyarakat yang lain dalam mendapatkan legalitas mengikuti prosedur perizinan

yang ada sesuai PP 34/2002. Logika PP 34/2002 tidak mengenal perlakuan khusus dalam prosedur perizinan. Sementara SK Menhut No. 31/2002 memberikan perlakuan khusus dalam perizinan HKm dalam hal jenis izin yang satu paket dan melalui proses permohonan. Logika ini mengkaomodasi kondisi masyarakat miskin sekitar hutan dari sisi hukum tidak berdaya karena keberadaaan dan usaha mereka untuk bertahan hidup dengan memanfaatkan sumberdaya hutan dari kawasan hutan adalah illegal. Jadi pemberdayaan dan prosedur perizinan ibarat ayam dan telur. Artinya pemberdayaan tidak akan terjadi jika tidak ada kemudahan dalam prosedur perizinan. Demikian juga prosedur perizinan tidak akan bisa diakses kalau tidak ada pemberdayaan. Sehingga pemberdayaan dan legalitas atau kemudahan dalam prosedur perizinan harus dilakukan secara paralel.

Di tengah kerancuan pengaturan HKm (dalam UU 41/1999; SK 31/2001; dan PP 34/2002) serta ketidakjelasan prosedur penetapan wilayah HKm, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomer P.01/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau Sekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry. Dalam Permenhut ini yang dimaksud dengan Social Forestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka mengingkatkan kesejahteraan dan mewujudkan kelestarian hutan. Permen ini hanya mengatur pengertian, maksud, tujuan, prinsip, rambu-rambu, strategi dan para pihak yang terkait. Walaupun Permen ini masih tetap mengakui kegiatan-kegiatan pemberdayaan yang telah dilakukan sebelumnya seperti : HKm, dan PHBM. Namun dalam praktiknya Permen ini menimbulkan dualisme peraturan organik (pelaksana) dimana di satu sisi dianggap SK Menhut No. 31/2001 masih berlaku sementara ada Permenhut No.P.01/2004 yang juga mengatur masalah yang sama. Dualisme peraturan organik ini mengakibatkan kebingungan di tingkat Pemerintah Daerah dan membuat semakin tidak jelas dan terhentinya kebijakan mengenai hak masyarakat dalam mengelola hutan.

Page 11: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL16 17

Hak Masyarakat yang Lebih Jelas dalamPP No. 6/2007

Revisi PP 34/2002 merupakan tindak lanjut kebijakan Presiden SBY mengenai restrukturisasi sektor pertanian dalam hal ini kehutanan. Dorongan awal revisi dimulai dari sulitnya perkembangan investasi hutan tanaman. PP 34/2002 tidak membuat pengaturan mengenai hutan tanaman, namun pengusahaan hutan tanaman disamakan dengan pengusahaan hutan alam. Dalam perkembangannya kemudian pertimbangan revisi PP 34/2002 sebagaimana disebutkan (Menimbang huruf b): bahwa dalam rangka meningkatkan laju pertumbuhan pembangunan nasional berkelanjutan diperlukan beberapa langkah strategis yang dapat mendorong pertumbuhan investasi, percepatan pembangunan hutan tanaman, pengendalian degradasi hutan dan peningkatan perekonomian nasional termasuk perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar hutan melalui deregulasi dan debirokratisasi yang dilandasi prinsip good governance dan pengelolaan hutan lestari. Jadi pada dasarnya revisi dilakukan dalam rangka mendorong investasi terutama investasi hutan tananman dan lebih menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada rakyat miskin (pro poor). Ringkasnya dikenal dengan istilah pro growth, pro job, dan pro poor.

Page 12: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL18 19

Proses revisi PP34/2002 sendiri melaluai proses yang cukup panjang. Dimulai pada bulan Oktober 2005 dengan dikekuarkannya Keputusan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan No. 128/II-KUM/2005 tentang Pembentukan Tim Penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyempurnaan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan. Panjangnya proses revisi ini terjadi karena tarik menarik kepentingan serta pandangan dan persepsi yang berbeda baik di dalam maupun antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil. Dua masalah yang proses negosiasinya cukup alot adalah masalah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Pemberdayaan Masyarakat.

Setelah melalui negosiasi yang panjang akhirnya pada Tanggal 8 Januari 2007 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan diundangkan. PP 34/2002 mengatur hak-hak masyarakat dalam pemanfaatan hutan pada Bagian Pemberdayaan Masyarakat Setempat Di Dalam atau Sekitar Hutan yang terdiri dari satu Pasal (Pasal 51). Pasal 51 ini hanya mengatur maksud, fasilitasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk pemberdayaan masyarakat, dan HKm sebagai salah satu bentuk dari Pemberdayaan Masyarakat. Sementara PP 6/2007 membuat lebih jelas aturan mengenai hak-hak masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Selain HKm, PP 6/2007 juga memperkenalkan Hutan Desa dan Kemitraan. PP ini mengatur Lokasi, Nama Izin/Hak, Prosedur Penetapan Areal Kerja, Subyek Pemegang Izin/Hak, Kewenangan Pemberian Izin/Hak, Syarat Pemberian Izin/Hak, Jangka Waktu Izin, Kegiatan yang Diperbolehkan, Kewajiban Pemegang Iizin/Hak, dan Pembatasan dan Larangan. Pengaturan tersebut ditempatkan pada Bagian Pemberdayaan Masyarakat Setempat yang terdiri dari 17 Pasal, yaitu Pasal 83 – Pasal 99.

Pemberdayaan masyarakat setempat dilakukan untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil. Pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui pengembangan

kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat setempat merupakan kewajiban Pemerintah, Provinsi, Kabupaten/Kota yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab KPH (Pasal 83 ayat 1 dan 2). Pemberdayaan Masyarakat Setempat dilakukan melalui : Hutan Desa, HKm, dan Kemitraan (Pasal 84). Pemberdayaan masyarakat setempat dilakukan melalui hutan kemasyarakatan (HKm) untuk areal yang belum dibebani izin/hak. Pemberdayaan masyarakat setempat dilakukan melalui Kemitraan untuk areal yang telah dibebani izin/hak. Yang dimaksud an izin antara lain izin pemanfaatan hutan. Yang dimaksud dengan hak adalah hak pengelolaan hutan seperti PERUM PERHUTANI. Sementara yang dimaksud hutan desa adalah hutan Negara yang dikelola oleh desa yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.

Selain mengatur Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat dan Kemitraan Kehutanan., terdapat juga pengaturan tentang Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi (Pasal 42) berupa pemanfaatan hasil kayu dengan bagi hasil penjualan tegakan berdasarkan besarnya investasi yang dikeluarkan. Disamping itu dalam aturan peralihan secara jelas mengakui keberadaan izin sementara HKm (Pasal 140 huruf i) dan Sosial Forestry yang selama ini dibangun untuk selanjutnya diperoses sesuai ketentuan HKm dalam peraturan pemerintah ini (Pasal 140 huruf h dan penjelasannya).

Page 13: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL20 21

Jenis Hak/

Izin

Fungsi

HutanJenis Kegiatan

Jangka

Waktu

Penerima

Hak/Izin

Hutan Desa

Pasal 85 - 95

Hak

Pengelolaan

Hutan

Produksi

& Hutan

Lindung

Pemungutan kayu

dan non kayu; pe-

manfaatan kawasan,

jasa lingkngan, non

kayu untk HL dan pe-

manfaatan kayu hasil

tanaman untuk HP

35 tahun Lembaga

Pengelola

Hutan Desa

(LPHD)

HKm

Pasal 92- 98

IzinPeman-

faatan Hutan

Hutan

Produksi

& Hutan

Lindung

Sama dengan Hutan

Desa

35 tahun Hutan Desa

Pasal 85

- 95

HTR

Pasal 41-42

Izin Usaha

Pemanfaatan

Kayu

Hutan

Produksi

Pemanfaatan Kayu 60 tahun Pero-

rangan,

Kelompok

Masyarakat

dan Kop-

erasi

KEMITRAAN

Pasal 99

MoU dengan

Pengelola/

Pemegang

Izin

Hutan

Produksi,

Hutan

Lindung

& Kawasa

Konservasi

Sesuai MoU Sesuai

MoU

Kelompok

Masyarakat

dan Kop-

erasi

Tabel 1. Perhutanan Sosial sesuai P.6/2007 jo P.3/2008 Hutan Desa

Pemberdayaan masyarakat setempat melalui hutan desa dilakukan dengan memberikan hak pengelolaan kepada lembaga desa. Hak pengelolaan hutan desa meliputi kegiatan tata areal, penyusunan rencana pengelolaan areal, pemanfaatan hutan serta rehabilitasi dan perlindungan hutan desa. Hak pengelolaan hutan desa dapat diberikan pada hutan produksi dan hutan lindung. Pemanfaatan hutan pada hutan lindung, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Sedangkan pemanfaatan pada hutan produksi, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Menteri menetapkan areal kerja hutan desa berdasarkan usulan bupati/walikota sesuai dengan kriteria yang ditentukan dan rencana pengelolaan yang disusun oleh kepala KPH atau pejabat yang ditunjuk. Berdasarkan penetapan areal kerja hutan desa : a)Menteri, memberikan IUPHHK dalam hutan desa dengan tembusan kepada gubernur, bupati/walikota dan kepala KPH; b) Gubernur memberikan hak pengelolaan hutan desa. Gubernur yang dinilai siap secara kelembagaan dapat dilimpahkan oleh Menteri untuk memberikan IUPHHK hutan desa. Dalam memberikan hak pengelolaan hutan Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya memberikan fasilitasi yang meliputi pengembangan kelembagaan, pengembangan usaha, bimbingan teknologi, pendidikan dan latihan, serta akses terhadap pasar.

Kewajiban lembaga desa sebagai pemegang hak pengelolaan hutan desa, adalah: a) melaksanakan pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari yang dituangkan dalam peraturan desa; b). menyusun rencana pengelolaan hutan desa bersama kepala KPH atau pejabat yang ditunjuk sebagai

Page 14: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL22 23

bagian dari rencana pengelolaan hutan; c).menyusun rencana kerja hak pengelolaan hutan desa selama jangka waktu berlakunya hak pengelolaan hutan desa; d).melaksanakan penataan batas hak pengelolaan hutan desa; e).melakukan perlindungan hutan; atau f). melaksanakan penatausahaan hasil hutan. Disamping itu, setiap pemanfaatan hasil hutan pada hak pengelolaan hutan desa dikenakan PSDH dan/atau DR. Larangan untuk hak pengelolaanb huta desa adalah penggunaan untuk kepentingan lain di luar rencana pengelolaan hutan. Hak pengelolaan hutan desa tidak bisa dipindahtangankan dan diagunkan serta merubah status dan fungsi kawasan hutan.

Kritik terhadap pengaturan hutan desa ini adalah penempatannya pada Bab Pemanfataan Hutan padahal sesuai dengan UU 41/1999 Penjelasan Pasal 5 ayat (1) hutan desa mendapatkan hak pengelolaan hutan. Jadi menempatkan hak pengelolaan hutan desa pada Bab yang mengatur mengenai pemanfaatan hutan telah mereduksi hak pengelolaan masyarakat desa yang diatur dalam UU 41/1999 maupun disebutkan dalam PP 6/2007. Reduksi berikutnya yang dilakukan PP 6/2007 adalah prosedur perizinan yang harus dilalui oleh lembaga desa untuk dapat memanfaatkan hutan. Padahal hak yang diperoleh berdasarkan PP ini adalah hak pengelolaan hutan desa. Kerancuan ini terjadi karena perbedaan interpretasi terhadap UU 41/1999. Interpretasi pertama berpandangan bahwa hak pengelolaan itu adalah monopoli pemerintah dan hanya dapat dilimpahkan kepada BUMN dalam hal ini Perhutani. Sementara interpretasi yang lain berpandangan bahwa yang menjadi hak monopoli pemerintah adalah pengurusan hutan dan pengelolaan hutan nasional bukan pengelolaan hutan secara mikro. Dalam penyusunan draft Permen Hutan Desa yang sedang dilakukan oleh Ditjen. RLPS saat ini juga masih ada perdebatan terutama mengenai prosedur perizinan IUPHHK hutan desa. Satu pihak masih menginginkan prosedur perizinan IUPHHK hutan desa disamakan dengan prosedur IUPHHK yang biasa untuk masyarakat umum. Sementara RLPS menginginkan prosedur perizinan IUPHHK hutan desa dengan perlakuan khusus untuk masyarakat sekitar hutan yang masih miskin.

Page 15: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL24 25

Pemberdayaan masyarakat setempat melalui hutan kemasyarakatan dilakukan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan. Hutan kemasyarakatan dapat diberikan pada : a).hutan konservasi, kecuali cagar alam, dan zona inti taman nasional; b). hutan lindung; atau c). hutan produksi Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan pada hutan lindung, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan bukan kayu. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan pada hutan produksi, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu (hasil tanaman) dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.

Menteri menetapkan areal kerja hutan kemasyarakatan atas usulan bupati/walikota berdasarkan permohonan masyarakat setempat sesuai rencana pengelolaan yang disusun oleh kepala KPH atau pejabat yang ditunjuk. Berdasarkan penetapan areal kerja : a). Menteri, memberikan IUPHHK dalam hutan kemasyarakatan pada areal kerja hutan kemasyarakatan, b). Gubernur, pada areal kerja hutan kemasyarakatan lintas kabupaten/kota yang ada dalam wilayah kewenangannya dan bupati/walikota, pada areal kerja hutan kemasyarakatan yang ada dalam wilayah kewenangannya memberikan izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan. Izin usaha pemanfaatan hutan diberikan kepada kelompok masyarakat setempat. Sedangkan IUPHHK dalam hutan kemasyarakatan diberikan kepada kelompok masyarakat setempat yang berbentuk koperasi. Gubernur yang dinilai siap secara kelembagaan dapat dilimpahkan oleh Menteri untuk memberikan IUPHHK HKm.

Dalam memberikan izin pemanfaatan hutan kemasyarakatan Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya memberikan fasilitasi yang meliputi pengembangan kelembagaan, pengembangan usaha, bimbingan

Hutan Kemasyarakatan (HKm)

Page 16: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL26 27

teknologi, pendidikan dan latihan, akses terhadap pasar serta pembinaan dan pengendalian. Fasilitasi dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam bentuk: a). Fasilitasi bimbingan teknologi, dan pendidikan dan latihan diberikan oleh Pemerintah; b). Fasilitasi akses terhadap pasar dan investasi yang diberikan oleh Pemerintah Propinsi; c) Fasilitasi pengembangan kelembagaan dan pengembangan usaha diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Pelaksanaan fasilitasi dapat dibantu oleh pihak terkait antara lain: perguruan tinggi lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat;lembaga swadaya masyarakat;lembaga keuangan;Koperasi; dan BUMN/BUMD/BUMS. Pihak terkait dapat melakukan fasilitasi pemberdayaan masyarakat sepanjang memiliki kesepakatan dengan masyarakat setempat dan melakukan koordinasi dengan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah setempat.

Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan diberikan dengan jangka waktu selama 35 tahun. Kewajiban pemegang izin usaha pemanfaatan HKm adalah melaksanakan pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari. Sementara kewajiban pemegang IUPHHK dalam HKm adalah: a). Dikenakan DR; b). menyusun rencana kerja IUPHHK dalam HKm selama berlakunya izin; c).melaksanakan penataan batas IUPHHK dalam HKm; d).melakukan perlindungan hutan; atau e). melaksanakan penatausahaan hasil hutan. Sementara larangan untuk adalah penggunaan untuk kepentingan lain di luar rencana pengelolaan. Izin usaha pemanfaatan hutan HKm maupun IUPHHK dalam HKm dilarang untuk dipindahtangankan dan diagunkan serta merubah status dan fungsi kawasan hutan.

Kritik terhadap pengaturan mengenai HKm adalah tiba-tiba munculnya IUPHHK dalam HKm, padahal pengaturan HKm pada pasal dan ayat sebelumnya menyebutkan istilah izin usaha HKm. Sehingga munculnya IUPHHK dalam pengaturan HKm ini terkesan seperti dipaksakan. Masalah ini memang merupakan negosiasi yang alot, karena Departemen Kehutanan masih kuat mempertahankan izin kayu yang sentralistik yang salah satu sebabnya adalah pengalaman buruk dalam desentralisasi

izin kayu 100 ha. Dalam wacana terkahir yang disampaikan bahwa kewenangan penetapan areal kerja HKm dan pemberian IUPHHK HKm akan didesentralisasikan ke Gubernur yang dapat dilimpahkan ke Bupati.

Saat ini Draft 11 Permen HKm sudah selesai pembahasan secara internal Dephut. Rencana akan disosialisasikan ke salah dua dari tiga lokasi, yaitu : Lampung, DIY, atau NTB. Dalam aturan peralihan Draft Permen HKm dinyatakan bahwa izin sementara HKm yang sudah dikeluarkan dapat langsung ditetapkan sebagai areal kerja HKm. Direktorat Jenderal RLPS akan melakukan evaluasi terhadap izin-izin sementara yang pernah dikeluarkan sebagai bahan untuk pengambilan keputusan mengenai kepastian hukum lokasi HKm tersebut. Informasi dari Diitjen RLPS juga menyatakan akan diadakan launching pencadangan areal kerja HKm seluas + 2 juta ha yang pernah diusulkan oleh 22 Provinsi. Setelah Permen HKm diterbitkan, Izin-izin sementara HKm di Lampung Barat dan DIY rencana akan langsung diproses untuk penetapan areal kerja HKm Salah satu dari Lampunga Barat atau DIY akan dijadikan lokasi launching pencadangan areal kerja HKm.

Page 17: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL28 29

Hutan Tanaman Rakyat (HTR)

Hak-hak masyarakat dalam pemanfaatan hutan dalam PP 6/2007 tidak hanya terdapat pada Bagian Pemberdayaan Masyarakat Setempat, namun terdapat juga pada Bagian Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi Paragraf 5 Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi dalam Pasal 40-41 tentang Hutan Tanaman Rakyat (HTR); Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disebut HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.

Alokasi dan penetapan areal HTR dilakukan oleh Menteri Kehutanan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izin/hak lain dan letaknya diutamakan dekat dengan industri hasil hutan. Alokasi dan penetapan areal HTR ini susuai PP 6/2007 dilakukan oleh Menteri berdasarkan usulan KPH atau pejabat yang ditunjuk. Namun dalam Draft Permen Tata Cara Permohonan Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat Dalam Hutan Tanaman yang disiapkan BPK, Departemen Kehutanan proactive menyiapkan alokasi areal HTR. Alokasi dan penetapan areal HTR oleh Menteri akan disampaikan kepada Bupati/Walikota. Bupati/Walikota melakukan sosialisasi ke desa terkait mengenai alokasi dan penetapan areal HTR. Sosialisasi dapat dilakukan Bupati/Walikota dengan menggunakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di Pusat, Provinsi atau di Kabupaten/Kota.

Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dapat berupa: tanaman sejenis; dan tanaman berbagai jenis. Jenis tanaman pokok sejenis adalah tanaman hutan berkayu yang

Page 18: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL30 31

hanya terdiri dari satu jenis (species) beserta varietasnya. Jenis tanaman pokok berbagai jenis adalah tanaman hutan berkayu yang dikombinasikan dengan tanaman budidaya tahunan yang berkayu, atau jenis lain yang ditetapkan oleh Menteri. Luas areal HTR paling luas 15 ha (lima belas hektar) untuk setiap Kepala Keluarga pemohon atau bagi koperasi luasnya disesuaikan dengan kemampuan usahanya; Letak areal HTR harus berada dalam satu lokasi yang telah ditetapkan oleh Menteri. Tanaman yang dihasilkan dari IUPHHK pada HTR merupakan asset pemegang izin usaha, dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku.

Subyek pemegang IUPHHK HTR adalah perorangan atau koperasi. Koperasi adalah Koperasi dalam skala usaha mikro, kecil, menengah dan dibangun oleh masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar hutan. Untuk mendukung pembangunan HTR maupun HTI Departemen Kehutanan dan Departemen Keuangan sudah membentuk BP2H (Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan). Untuk pelayanan di daerah bantuan untuk pembangunan HTR akan disalurkan melalui BP2HP (Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan Produksi). Pemegang IUPHHK-HTR mempunyai hak melakukan kegiatan sesuai izin, kemudahan mendapatkan dana untuk pembiayaan pembangunan HTR, bimbingan dan penyuluhan teknis, dan peluang ke pemasaran hasil hutan.

Pemegang IUPHHK-HTR mempunyai hak melakukan kegiatan sesuai izin, kemudahan mendapatkan dana untuk pembiayaan pembangunan HTR, bimbingan dan penyuluhan teknis, dan peluang ke pemasaran hasil hutan. Pemegang IUPHHK-HTR wajib menyusun RKU IUPHHK-HTR dan RKT. Penyusunan RKU IUPHHK-HTR dan RKT disusun oleh UPT atau oleh konsultan yang bergerak di bidang kehutanan atau oleh lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kehutanan. Biaya penyusunan RKUPHHK-HTR dan RKT dibebankan kepada Pemerintah. Dalam hal Pemegang IUPHHK-HTR meminjam dana pembangunan HTR kepada BP2H, maka pemegang IUPHHK-HTR wajib melunasi pinjaman tersebut kepada BP2H dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sesuai informasi terakhir yang disampaikan ke Draft Permen Tata Cara Permohonan Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat Dalam Hutan Tanaman sudah selesai dibahas internal Dephut. Sudah ada kesepakatan bahwa kewenangan pemberian IUPHHK HTR ada di Gubernur yang dapat dilimpahkan ke Bupati. Dalam draft awal yang yang disiapkan Ditjen. BPK kewenangan pemberian IUPHHK HTR dilimpahkan ke Bupati/Walikota, namun dalam PP 6/2007 sebagai landasan hukumnya kewenangan pemberian izin oleh Menteri hanya dilimpahkan sampai Gubernur. Draft BPK ini bisa dipahami karena IUPHHK HTR itu diberikan kepada perorangan atau koperasi. Akan sangat jauh jika kewenangan pemberian izin ada di Menteri atau Gubernur.

Masalah yang lain adalah, diperkenalkannya tiga Pola HTR, yaitu : Pola Mandiri,Pola Kemitraan, dan Pola Developer. HTR Pola Mandiri adalah HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga pemegang IUPHHK-HTR. HTR Pola Kemitraan adalah HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga pemegang IUPHHK-HTR bersama dengan mitranya berdasarkan kesepakatan bersama dengan difasilitasi oleh pemerintah agar terselenggara kemitraan yang menguntungkan kedua pihak. HTR Pola Developer adalah HTR yang dibangun oleh BUMN atau BUMS dan selanjutnya diserahkan oleh Pemerintah kepada Kepala Keluarga pemohon IUPHHK-HTR dan biaya pembangunannya menjadi tanggug jawab pemegang IUPHHK-HTR dan dikembalikan secara mengansur sejak Surat Keputusan IUPHHK-HTR diterbitkan. Masalah pola HTR ini juga belum geitu jelas terutama yang terkait dengan pengaturan penyaluran kredit dari BP2H/BP2HP kepada masyarakat atau koperasi pemegang IUPHHK HTR.

Page 19: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL32 33

Bentuk pemberdayaan yang lain adalah Kemitraaan sesuai Pasal 99 PP No. 6 Tahun 2007. Pemberdayaan masyarakat setempat dapat dilaksanakan melalui kemitraan apabila : kawasan hutan yang bersangkutan telah diberikan izin pemanfaatan hutan; atau kawasan hutan yang bersangkutan telah diberikan hak pengelolaan hutan kepada badan usaha milik negara (BUMN) bidang kehutanan. Salah satu model Kemitraan ini adalah program PHBM Perhutani yang melakukan bagi hasil produksi dengan masyarakat petani. Oleh karena seringkali masyarakat tidak punya posisi tawar menghadapi perusahaaan, maka PP ini mewajibkan Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya, untuk memfasilitasi terbentuknya kemitraan antara masyarakat setempat dengan pemegang izin usaha pemanfaatan hutan atau pemegang hak pengelolaan hutan. Kemitraan dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemegang izin pemanfaatan hutan atau pemegang hak pengelolaan dengan masyarakat setempat. Pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan tidak mengubah kewenangan dari pemegang izin pemanfaatan hutan atau pemegang hak pengelolaan kepada masyarakat setempat.

Sebenarnya juga pasal yang awalnya dimasukkan untuk mengakomodir pemanfaatan kayu hasil rehabilitasi yang dilakukan masyarakat adalah Pasal 42 tentang Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi (HTHR). Namun dalam PP ini kesempatan untuk memanfaatkan hasil hutan kayu hasil rehabilitasi ternyata dibuka luas tidak hanya untuk masyarakat setempat. Bahkan cenderung kesempatan ini diberikan kepada aktor-aktor yang berkemampuan seperti BUMN, BUMS, BUMD, Koperasi atau perorangan. Usaha pemanfaatan hasil kayu pada HTHR ini dilakukan melalui penjualan tegakan. Kegiatan penjualan tegakan meliputi kegiatan pemanenan, pengamanan, dan pemasaran. BUMN, BUMS, BUMD, Koperasi atau perorangan sebagai pemegang IUPHHK HTHR

Kemitraan dan HTHR

Page 20: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL34 35

membayar harga tegakan yang dipungut sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Agar kontribusi masyarakat dalam melakukan rehabilitasi tidak diabaikan, dinyatakan bahwa koperasi yang anggotanya memiliki investasi saat rehabilitasi, maka masing-masing anggota koperasi membayar harga tegakan setelah dilakukan pembagian laba usaha secara proposional dengan Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota. Masyarakat harus mendapatkan dampingan dalam melakukan perhitungan harga kayu dan keuntungan penjualannya.

PP 3/2008 dengan peraturan operasionalnya merupakan tonggak penting perkembangan perhutanan sosial di Indonesia, karena untuk pertama kali masyarakat memperoleh hak/izin mengelola dan memanfaatkan hutan selama 35 tahun. Hal ini ditandai dengan PencananganPenetapanArealKerjadanPemberianIzinDefinitifHKm oleh Wakil Presiden Yusuf Kalla pada tanggal 27 Desember 2007 di Gunung Kidul Yogyakarta.

Namun perkembangan perhutanan sosial selanjutnya berjalan sangat lambat. Kelompok masyarakat yang mengajukan HKm dan Lembaga Desa yang mengajukan HD bisa menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan SK PAK (Penetapan Areal Kerja) dari Menteri serta menunggu bertahun-tahun pula untuk mendapatkan HPHD dari gubernur dan IUPHKm dari Bupati. Selain itu pemberian hak/perizinan sering kali dikaitkan dengan event-event politik, dan di lapangan masyarakat untuk memperoleh areal kerja sering kali berkompetisi dengan investor. Capain HD, HKm, maupun HTR sampai tahun 2014 masih sangat rendah. Dari 5 juta ha yang ditargetkan untuk HD hanya tercapai 67,737 ha HPHD (1%), dari 2 juta ha target untuk HKm hanya tercapai 94,372 IUPHKm (4,7%), dan dari 5,4 juta ha target HTR hanya tercapai 146,324 IUPHHK-HTR (2,7%).18

18 Data diolah dari Laporan Satgas IX, KLHK dalam publikasi FKKM & RRI, 2015

Page 21: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL36 37

Salah satu agenda prioritas Pemerintah saat ini adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor ekonomi domestik yang strategis. Pemerintah telah membuat kebijakan berupa alokasi lahan hutan negara untuk program Perhutanan Sosial (PS) seluas 12,7 juta ha yang akan direalisasikan selama periode 2015-2019. Upaya ini dicanangkan sebagai sebuah program nasional yang bertujuan untuk melakukan pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan ekonomi melalui tiga pilar, yaitu: lahan, kesempatan usaha dan sumberdaya manusia. Perhutanan Sosial juga merupakan legalitas bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan untuk mengelola kawasan hutan negara seluas 12,7 juta hektar.

Melalui diskusi marathon dengan kalangan masyarakat sipil, Kementerian Lingkungan dan Kehutanan telah menerbitkan perangkat kebijakan sebagai landasan hukum dalam rangka mendukung pencapain target 12,7 juta hektar perhutanan sosial. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/2016 tanggal 25 Oktober 2016 tentang Perhutanan Sosial merupakan regulasi yang mengatur penyelenggaraan dan prosedur pemberian akses legal bagi masyarakat dalam mengelola hutan. Akses legal pemanfaatan sumberdaya hutan dan pengelolaan kawasan hutan dibuat dalam lima skema pengelolaan, yaitu Skema Hutan Desa (HD) hutan negara yang hak pengelolaannya diberikan kepada lembaga desa untuk kesejahteraan desa. Hutan Kemasyarakatan (HKm), yaitu hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Hutan Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS), adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalm rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Hutan Adat (HA), dimana hutan ini adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hutan adat. Skema terakhir adalah Kemitraan Kehutanan, yang merupakan kerjasama antara

Kebijakan Perhutanan Sosial Saat Ini masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan hutan, jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan (lebih jelas lihat Tabel 1).

Kategori

Perhutanan

Sosial

LokasiBentuk Hak/

Izin

Pemberi

Hak/Izin Pemohon

Status dan

jangka waktu

Hutan Adat Wilayah Adat,

diluar Hutan

Negara

Hutan Hak Menteri LHK Masyakat Adat Hak

Menguasai/

Hak Milik

Hutan Desa HP & HL HPHD Menteri LHK/

Gubernur

Koperasi Desa/

BUMDes

35 tahun

dan dapat

diperpanjang

Hutan

Kemasyarakatan

HP dan HL IUPHKm Menteri LHK/

Gubernur

Kelompok

Masyarakat/

Koperasi

Hutan Tanaman

Rakyat

HP IUPH-

HK-HTR

Menteri LHK/

Gubernur

Perseorangan/

Kelompok/

koperasi

Kemitraan

Kehutanan

HP, HL, HK Kesepakatan - Masyarakat

setempat/

Kelompok

Prosedur dan persyaratan pengajuan perhutanan sosial lebih sederhana dibanding prosedur dan persyaratan pada peraturan sebelumnya dan dapat diajukan secara on line/daring (Perdirjen No.P.15/PSKL/SET/PSL.0/11/2016). Untuk areal kawasan hutan

Page 22: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL38 39

yang bisa diusulkan perhutanan sosial ditetapkan Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) yang direvisi setiap enam bulan sekali. Revisi pertama PIAPS ditetapkan dengan SK Menteri LHK No. SK.4865/Menlhk-PKTL/REN/PLA.0/9/2017 tentang Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial. Meskipun areal kawasan hutan di luar PIAPS dapat juga diusulkan untuk perhutanan sosial. Dengan adanya PIAPS, Penetapan Areal Kerja (PAK) untuk HD dan HKm pada peraturan sebelumya tidak diperlukan lagi. Disamping itu PIAPS ini mengamankan areal kawasan hutan untuk akses masyarakat, karena di lapangan sering terjadi kompetisi dengan investor usaha kehutanan skala besar seperti hutan tanaman industri. Berdasarkan SK.4865/Menlhk-PKTL/REN/PLA.0/9/2017 Tentang Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (Revisi 1), Pemerintah telah menyiapkan areal seluas 13.887.068,82 Ha. Dari target alokasi lahan Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta ha, terdapat 1117 Desa yang berada di dalam areal PIAPS, 3510 Desa berjarak kurang dari 3 km dari PIAPS dan sebanyak 1974 Desa berjarak antara 3 – 5 km dari lokasi dalam PIAPS. Dengan demikian dapat disimpulkan saat ini terdapat sedikitnya 6601 Desa berada di dalam dan berjarak di bawak 5 km dari PIAPS. Namun demikian dari luas target 12, 7 juta ha hanya sekitar 4.3 juta ha yang tercatat terdapat komunitas dan pendampingnya dan masyarakat berada dalam kawasan tersebut sebanyak 322 komunitas dan 73 pendamping.

Dalam rangka percepatan pencapaian target perhutanan sosial telah dibentuk Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) melalui SK.33/PSKL/SET/PSL.0/5/2016 tentang Pembentukan Pokja PPS. Saat ini telah dibentuk 21 Pokja PPS di Provinsi melalui SK Gubernur , diantaranya Sumut, Sumbar, Sumsel, Kalbar, Kalsel, Jambi, Lampung, Kaltara, Kalteng, Kaltim, Gorontalo, Sulbar, Sulsel, Sulteng, Sultra, Sulut, Maluku, NTT, Papua Barat, dan Bengkulu. Namun demikian keberadaan Pokja PPS juga tidak terlepas dari berbagai kendala permasalahan diantaranya kurangnya ketersediaan dana serta dukungan yang cukup dari beberapa Pemerintah Daerah sehingga menyebabkan banyak Pokja yang tidak berfungsi dan tidak berjalan efektif. Kemudian

beberapa Anggota POKJA masih dirasa tidak/kurang memiliki kapasitas untuk melakukan pendampingan dan kemampuan GIS.

Capaian perhutanan sosial sampai saat ini masih jauh dari target 12,7 juta pada tahun 2019. Hingga bulan November 2017 capain perhutanan sosial baru mencapai 1.301.070,24 ha, yang merupakan capain komulatif sejak tahun 2007. Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) diantaranya menyampaikan bahwa masih menumpuknya usulan yang belum dapat ditindak-lanjuti karena dokumen permohonan usulan banyak yang belum memenuhi persyaratan; kemudian terkait dengan keterbatasan SDM, baik di Ditjen PSKL, Pokja PPS, Pendamping dan penyuluh serta kurangnya tenaga pendamping di tiap lokasi perhutanan sosial. Selain itu tata laksana pengajuan izin perhutanan sosial juga masih dirasa kurang disosialisasikan.

Informasi tentang perhutanan sosial dan prosedur pengusulannya tidak samapai kepada masyarakat pada tingkat akar rumput di desa maupun kepada pemerintah kabupaten/kota. Meskipun demikian usulan perhutanan sosial banyak yang menumpuk menunggu untuk ditindaklanjuti di Direktorat Jenderal PSKL. Usulan yang banyak ini pada umumnya berasal dari daerah dimana Lembaga Donor dan LSM banyak melaksanakan program seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Titik kritis dalam proses pengajuan dan penerbitan hak/izin perhutanan sosial adalah pada: proses penyusunan dokumen dan pengajuaan usulan; proses verifikasiteknislapangan,danprosesdraftingSuratKeputusanHak/Izin Perhutanan Sosial.

Page 23: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL40 41

No Skema

Pra Kabinet

Kerja 2007-

2014

Kabinet KerjaTotal (Ha)

2015 2016 2017

1 HD 78,072.00 63,587.00 81,129.83 446,730.38 669,519.21

2 HKM 153,725.15 20,945.06 2,465.46 109,343.31 286,478.98

4 HTR 198,594.87 2,815.42 14,131.00 23,426.61 238,967.90

4 KEMITRAAN 18,712.22 16,300.99 24,468.89 30,158.81 89,640.91

5 HUTAN ADAT 13,121.99 3,341.25 16,463.24

Jumlah 449,104.23 103,648.47 122,195.18 613,000.36 1,301,070.24

Tabel 3. Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017)19

Proses penyusunan dokumen dan kelengkapan usulan perhutanan sosial tidak dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri. Penyusunan dhokumen dan kelengkapan usulan ini memerlukan pendampingan. Usulan sering dikembalikan apabila tidak lengkap seperti: tidak ada peta shp, daftar anggota kelompok tani tidak dilengkapi nomer induk kependudukan (NIK), Perdes tentang LPHD dan Surat Keputusan Kades tentang Personalia LPHD tidak tepat sesuai Peraturan Dirjen PSKL dan sebagainya. Dokumen usulan yang sampai di Kementerian LHK, masuk ke Biro Umum, kemudian dicatat oleh Bagian Tata Usaha Kementerian. Setiap dokumen yang masuk dibaca oleh Menteri LHK Ibu Siti Nurbaya dan hanya membutuhkan waktu baca hanya setengah atau satu hari lalu langsung didisposisi ke Dirjen PSKL, kecuali jika daerahnya ada masalah. Dirjen PSKL kemudian mendisposisikan lagi ke Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial (PKPS) dan Direktur PKPS mendisposisikan kepada Subdit yang sesuai dengan permohonan masyarakat (Subdit Penyiapan HD, Subdit Penyiapan HKm, Subdit Penyiapan HTR, dan Subdit Penyiapan Kemitraan).

19 Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan

Apabila dokumen usulan sudah memenuhi persyaratan, Dirjen PSKL akan memerintahkan kepada Balai PSKL untuk melakukan verifikasiteknislapangan.BalaiPSKLakanmengembalikanperintahverifikasikeDitjenPSKL,apabilatidakmemilikianggarandan tidak ada orang.20 Apabila dokumen usulan tidak memenuhi persyaratan atau kurang lengkap, Direktorat PKPS menghubungi organisasi pendamping untuk memperbaiki dan melengkapai persyaratan.

Tabel 3. Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017)21

Dokumenusulanperhutanansosialyangsudahdiverifikasiakandiproses drafting Surat Keputusan dan petanya oleh Subdit sesuai skema perhutanan sosial. Draft SK beserta peta kemudian disampaikan kepada Bagian Hukum PSKL. Pada Bagian Hukum, draft SK dan peta akan dikoreksi dan diperbaiki dan SK yang sudah diperbaiki dimintakan nomer SK di Bagian Tata Usaha Menteri LHK. Permintaan nomer pada Bagian Tata Usaha Menteri karena Dirjen PSKL akan menandatangani SK tersebut atas nama Menteri LHK. Biasanya prose koreksi dan perbaikan draft SK serta pemberian nomer SK memerlukan waktu yang cukup lama karena keterbatasan sumberdaya manusia.

20 SorayaAfif(2017)21 SorayaAfif(2017)

Page 24: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

LEGAL REVIEW PERHUTANAN SOSIAL42 43

1. Bekerja bersama-sama dengan Pemerintah Daerah dan Kementerian Desa dan PDTT, Sekretariat RAPS, dan para pihak melakukan sosialisasi dan assessment ke desa-desa yang berada di areal PIAPS dana atau berada di kawasan hutan dalamrangkaidentifikasipotensidesahutandanskemaperhutanan sosial yang tepat untuk desa tersebut.

2. Menyelenggarakan Coaching Clinic di tingkat kabupaten atau provinsi untuk dan melatih dan membantu desa-desa hasil assessment pada point (1) menyusun dokumen usulan perhutanan sosial.

3. KegiatanverifikasiyangdiselenggarakanolehBalaiPSKLbekerjasama dengan Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota, KPH dan Pokja PPS setempat. Sementara kegiatan verifikasiyangdilaksanakanolehDirektoratPKPSbekerjasamadengan Sekretariat RAPS dan para pihak.

Rekomendasi

Diagram 2. Rekomendasi Tata Laksana Perizinan PS

4. Kegiatan drafting SK perhutanan sosial dilaksanakan oleh Bagian Hukum PSKL bekerjasama dengan Sekretariat RAPS ( Sekretariat RAPS perlu membentuk Tim Legal Drafting).

5. Kegiatan pembuatan peta sebagai lampiran SK dilaksanakan oleh Direktorat PKPS berkerjasama dengan dengan Sekretariat RAPS ( Sekretariat RAPS perlu membentuk Tim GIS).

6. Perlu dilakukan pertemuan secara ruguler antara Direktorat PKPS dengan Sekretariat RAPS untuk memantau perkembangan proses legalitas perhutanan sosial dan mendiskusikan kerjasama dan dukungan yang diperlukan untuk percepatan.

7. Penguatan dan pendampingan KPH dan Pokja PPS dalam rangka fasilitasi perhutanan sosial paska legalitas.

Page 25: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki

44

Page 26: Perkembangan Konsep Perhutanan Sosial - mfp.or.idmfp.or.id/attachments/article/88/Legal Review Perhutanan Sosial.pdf · manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki