perkembangan filsafat di masa dulu, sekarang dan akan datang
-
Upload
anastasia-meirina-handojo -
Category
Documents
-
view
393 -
download
36
description
Transcript of perkembangan filsafat di masa dulu, sekarang dan akan datang
PERKEMBANGAN FILSAFAT DI MASA DAHULU,SEKARANG,DAN DI MASA YANG
AKAN DATANG
LATAR BELAKANG
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari
kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh
kenyataan (realitas).
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita sebut
sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran,
fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan
dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban
mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati.
Kegiatan manusia yang memiliki tingkat tertinggi adalah filsafat yang
merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin
bagi manusia . Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu
pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran (801 -
873 M).
Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio
yang bertanya. Obyek materinya semua yang ada. Maka menjadi tugas filsafat
mempersoalkan segala sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan
universal.Ilmu filsafat sering diartikan sebagai ilmu tentag bertanya atau berpikir
tentang segala sesuatu (apa saja dan bahkan tentang pemikiran itu sendiri) dari segala
sudut pandang. Thinking about thinking.
Meski bagaimanapun banyaknya gambaran yang kita dapatkan tentang
filsafat, sebenarnya masih sulit untuk mendefinisikan secara konkret apa itu filsafat
dan apa kriteria suatu pemikiran hingga kita bisa memvonisnya, karena filsafat
bukanlah sebuah disiplin ilmu. Sebagaimana definisinya, sejarah dan perkembangan
filsafat pun takkan pernah habis untuk dikupas. Tapi justru karena itulah mengapa
fisafat begitu layak untuk dikaji demi mencari serta memaknai segala esensi
kehidupan.
PEMBAHASAN
Kajian Filsafat
Definisi kata filsafat bisa dikatakan sebagai sebuah problem falsafi pula.
Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang mempelajari
seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan mendasar
(radikal).Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di
awang-awang (tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam
kehidupan kita sehari-hari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit (atau lebih bisa
dikatakan tidak tunggal), karena menggunakan metode berpikir sebagai cara
pergulatannya dengan realitas hidup kita.
Ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-
percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk
itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir
dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini
secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi,
mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa .
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah
dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984),
filsafat merupakan pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan
kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti:
logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.
Beberapa filsuf mengajukan beberapa definitif pokok filsafat seperti: Upaya
spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh
realitas. Upaya untuk melukiskan hakekat realitas akhir dan dasar serta nyata, Upaya
untuk menentukan batas-batas jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakekatnya,
keabsahannya, dan nilainya. Penyelidikan kritis dan radikal atas pengandaian-
pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang
pengetahuan. Sesuatu yang berupaya untuk membantu kita melihat apa yang kita
katakan dan untuk mengatakan apa yang kita lihat.
Kalau menurut tradisi filsafati yang diambil dari zaman Yunani Kuno, orang
yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497
S.M.) , setelah dia membaca tulisan Herakleides Pontikos (penganut ajaran
Aristoteles) yang memakai kata sophia. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos”
(pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-
mata oleh Tuhan.
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari
bahasa Arab yang juga diambil dari bahasa Yunani; philosophia.Dalam bahasa ini,
kata tersebut merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia =
persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya
adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi yang dipungut
dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan
aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut
"filsuf".
Dalam istilah Inggris, philosophy, yang berarti filsafat, juga berasal dari kata
Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan ke dalam bahasa tersebut sebagai
cinta kearifan. Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu,
filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu
ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan
meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual,
pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam
memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).
Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti semesta dalam hal
makna (hakikat) dan nilai-nilainya (esensi) yang tidak cukup dijangkau hanya dengan
panca indera manusia sekalipun.Bidang filsafat sangatlah luas dan mencakup secara
keseluruhan sejauh dapat dijangkau oleh pikiran. Filsafat berusaha untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dan sifat dasar alam semesta tempat manusia
hidup serta apa yang merupakan tujuan hidupnya. Filsafat menggunakan bahan-bahan
dasar deskriptif yang disajikan bidang-bidang studi khusus dan melampaui deskripsi
tersebut dengan menyelidiki atau menanyakan sifat dasarnya, nila-nilainya dan
kemungkinannya.Tujuannya adalah pemahaman dan kebijaksanaan. Karena itulah
filsafat merupakan pendekatan yang menyeluruh terhadap kehidupan dan dunia. Suatu
bidang yang berhubungan erat dengan bidang-bidang pokok pengalaman manusia.
Munculnya Filsafat
Akibat dari berkembangnya kesusasteraan Yunani dan masuknya ilmu
pengetahuan serta semakin hilangnya kepercayaan akan kebenaran yang diberikan
oleh pemikiran keagamaan, peran mitologi yang sebelumnya mengikat segala aspek
pemikiran kemudian secara perlahan-lahan digantikan oleh logos (rasio/ ilmu).
Pada saat inilah, para filsofof kemudian mencoba memandang dunia dengan cara yang
lain yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu berpikir secara ilmiah. Dalam
mencari keterangan tentang alam semesta, mereka melepaskan diri dari hal-hal mistis
yang secara turun-temurun diwariskan oleh tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai
berpikir sendiri. Di balik aneka kejadian yang diamati secara umum, mereka mulai
mencari suatu keterangan yang memungkinkan mereka mampu mengerti kejadian-
kejadian itu. Dalam artian inilah, mulai ada kesadaran untuk mendekati problem dan
kejadian alam semesta secara logis dan rasional.
Sebab hanya dengan cara semacam ini, terbukalah kemungkinan bagi pertanyaan-
pertanyaan lain dan penilaian serta kritik dalam memahami alam semesta. Semangat
inilah yang memunculkan filosof-filosof pada jaman Yunani. Filsafat dan ilmu
menjadi satu.
Filsafat, terutama Filsafat Barat, muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke
7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berfikir-fikir dan berdiskusi akan
keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan
diri kepada agama pada saat itu yang dianggap sebagai “tirai besi keilmuan” lagi
untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah
yang berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir.
Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta
pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
Sejarah Perkembangan Awal Filsafat Dunia di Masa Yang Lalu,Masa
Kini dan Masa Yang Akan Datang
Meski istilah philosophia pertama kali dimunculkan oleh Pythagoras, namun
orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales (640-546 S.M.) dari
Mileta (sekarang di pesisir barat Turki). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan
aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran
filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk
mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie,
1999).
Dalam buku History and Philosophy of Science karangan L.W.H. Hull (1950),
menulis setidaknya sejarah filsafat dan ilmu dapat dibagi dalam beberapa periode,
termasuk di dalamnya tokoh-tokoh yang terkenal pada periode itu.
a. Periode pertama, filsafat Yunani abad 6 SM
Pada masa ini ahli filsafatnya adalah Thales, Anaximandros, dan Anaximenes yang
dianggap sebagai bapak-bapak fisafat dari Mileta. Thales berpendapat bahwa sumber
kehidupan adalah air. Makhluk yang pertama kali hidup adalah ikan dan menusia
yang pertama kali terlahir dari perut ikan. Thales juga berpendapat bahwa bumi
terletak di atas air. Tentang bumi, Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis
berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain.
Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai pemikir pertama yang
mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan jagat raya. Udara di alam
semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.
Setelah mereka bertiga, Yunani kemudian memiliki pemikir-pemikir terkenal yang
lebih berpengaruh lagi terhadap perkembangan fisafat, seperti Socrates, Plato,
Aristoteles, Phythagoras, Hypocrates, dan lain sebagainya.
b. Periode Kedua, Periode setelah kelahiran Al Masih (Abad 0-6 M)
Pada masa ini pertentangan antara gereja yang diwakili oleh para pastur dan para raja
yang pro kepada gereja, dengan para ulama filsafat. Sehingga pada masa ini filsafat
mengalami kemunduran. Para raja membatasi kebebasan berfikir sehingga filsafat
seolah-olah telah mati suri. Ilmu menjadi beku, kebenaran hanya menjadi otoritas
gereja, gereja dan para raja yang berhak mengatakan dan menjadi sumber kebenaran.
c. Periode Ketiga, Periode kejayaan Islam (Abad 6-13 M)
Pada masa ini dunia Kristen Eropa mengalami abad kegelapan, ada juga yang
menyatakan periode ini sebagai periode pertengahan. Masa keemasan atau
kebangkitan Islam ditandai dengan banyaknya ilmuan-ilmuan Islam yang ahli
dibidang masing-masing, berbagai buku inilah diterbitkan dan ditulis. Di antara
tokoh-tokoh tersebut adalah Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam
hokum Islam, Al-farabi ahli astronomi dan matematika, Ibnu Sina ahli kedokteran
dengan buku terkenalnya yaitu The Canon of Medicine. Al-kindi ahli filsafat, Al-
ghazali intelek yang meramu berbagai ilmu sehingga menjadi kesatuan dan
kesinambungan dan mensintesis antara agama, filsafat, mistik dan sufisme . Ibnu
Khaldun ahali sosiologi, filsafat sejarah, politik, ekonomi, social dan kenegaraan.
Anzahel ahli dan penemu teori peredaran planet. Tetapi setelah perang salib terjadi
umat Islam mengalami kemundurran, umat Islam dalam keadaan porak-poranda oleh
berbagai peperangan.
Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat
dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama
mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles,
melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354 – 430 M), yang kemudian
diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480 – 524 M) dan John Scotus. Pendapat
kedua menyatakan bahwa orang Eropah belajar filsafat orang-orang Yunani dari
buku-buku filasafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh
filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin
(1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles
seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi
bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah
menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa
seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat
dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di
Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles
dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam.
Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan mengajarkan
filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM) adalah Socrates (469 –
399 SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM). Setelah itu diteruskan oleh
muridnya yang bernama Aristoteles (384 – 322 SM). Setelah zaman Aristoteles,
sejarah tidak mencatat lagi generasi penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun
801 M. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab filsafat karangan Plato dan
Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman
Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya Plato dan Aristoteles
tersebut ke dalam Bahasa Arab.
Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus
mengembangkan filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina,
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhamad Iqbal, dan
Ibnu Rushd.
Berbeda dengan filosof-filosof Islam pendahulunya yang lahir dan besar di Timur,
Ibnu Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol). Filosof Islam lainnya yang lahir di barat
adalah Ibnu Baja (Avempace) dan Ibnu Tufail (Abubacer).
Ibnu baja dan Ibnu Tufail merupakan pendukung rasionalisme Aris-toteles. Akhirnya
kedua orang ini bisa menjadi sahabat.
Sedangkan Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol meskipun
seorang dokter dan telah mengarang Buku Ilmu Kedokteran berjudul Colliget, yang
dianggap setara dengan kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai
seorang filosof.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik
untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama,
telah memancing kemarahan pemuka-pemuka agama, sehingga mereka meminta
kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai
atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula
oleh Al-Kindi dalam bukunya Falsafah El-Ula (First Philosophy). Al-Kindi
menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna,
oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai.
Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama yang
diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan Al-Ghazali
yang berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan pula oleh pihak gereja
untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah pada Zaman Renaisance.
Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat menyebabkan seseorang
menjadi atheis. Untuk mencapai kebenaran sejati menurut Al-Ghazali hanya ada satu
cara yaitu melalui tasawuf (mistisisme). Buku karangan Al-Ghazali ini kemudian
ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam karyanya Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of
the Incoherence).
Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan
dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan-perguruan Islam. Hoesin
(1961) menyatakan bahwa pelarangan penyebaran filsafat Ibnu Rushd merupakan titik
awal keruntuhan peradaban Islam yang didukung oleh maraknya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002)
yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan
berkembangnya filsafat dan mengalami kemunduran dengan kematian filsafat.
Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor terhadap karangan Ibnu
Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham pembela Ibnu Rushd
(Averroisme) dan paham yang menentangnya. Kalangan yang menentang ajaran
filsafat Ibnu Rushd ini antara lain pendeta Thomas Aquinas, Ernest Renan dan Roger
Bacon. Mereka yang menentang Averroisme umumnya banyak menggunakan
argumentasi yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut-el-Falasifah.
Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang diperdebatkan oleh kalangan filosof di
Eropah Barat pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah masalah yang diperdebatkan oleh
filosof Islam.
d. Periode Keempat, Periode kebangkitan Eropa (Abad 12-17)
Bersamaannya dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropah mengalami
kebangkitan. Pada masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan karangan dan
terjemahan filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rushd
diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Pada zaman itu Bahasa Latin menjadi bahasa
kebudayaan bangsa-bangsa Eropah. Penterjemahan karya-karya kaum muslimin
antara lain dilakukan di Toledo, ketika Raymund menjadi uskup Besar Kristen di
Toledo pada Tahun 1130 – 1150 M. Hasil terjemahan dari Toledo ini menyebar
sampai ke Italia. Dante menulis Divina Comedia setelah terinspirasi oleh hikayat Isra
dan Mikraj Nabi Muhammad SAW. Universitas Paris menggunakan buku teks
Organon karya Aristoteles yang disalin dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Latin oleh
John Salisbury pada tahun 1182.
Seperti halnya yang dilakukan oleh pemuka agama Islam, berkembangnya filsafat
ajaran Ibnu Rushd dianggap dapat membahayakan iman kristiani oleh para pemuka
agama Kristen, sehingga sinode gereja mengeluarkan dekrit pada Tahun 1209, lalu
disusul dengan putusan Papal Legate pada tahun 1215 yang melarang pengajaran dan
penyebaran filsafat ajaran Ibnu Rushd.
Pada Tahun 1215 saat Frederick II menjadi Kaisar Sicilia, ajaran filsafat Islam mulai
berkembang lagi. Pada Tahun 1214, Frederick mendirikan Universitas Naples, yang
kemudian memiliki akademi yang bertugas menterjemahkan kitab-kitab berbahasa
Arab ke dalam Bahasa latin. Pada tahun 1217 Frederick II mengutus Michael Scot ke
Toledo untuk mengumpulkan terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa latin karangan
kaum muslimin. Berkembangnya ajaran filsafat Ibnu Rushd di Eropah Barat tidak
lepas dari hasil terjemahan Michael Scot. Banyak orientalis menyatakan bahwa
Michael Scot telah berhasil menterjemahkan Komentar Ibnu Rushd dengan judul de
coelo et de mundo dan bagian pertama dari Kitab Anima.
Pekerjaan yang dilakukan oleh Kaisar Frederick II untuk menterje-mahkan karya-
karya filsafat Islam ke dalam Bahasa Latin, guna mendorong pengembangan ilmu
pengetahuan di Eropah Barat, serupa dengan pekerjaan yang pernah dilakukan oleh
Raja Al-Makmun dan Harun Al-Rashid dari Dinasti Abbasiyah, untuk mendorong
pengembangan ilmu pengetahuan di Jazirah Arab.
Setelah Kaisar Frederick II wafat, usahanya untuk mengembangkan pengetahuan
diteruskan oleh putranya. Untuk tujuan ini putranya mengutus orang Jerman bernama
Hermann untuk kembali ke Toledo pada tahun 1256. Hermann kemudian
menterjemahkan Ichtisar Manthiq karangan Al-Farabi dan Ichtisar Syair karangan
Ibnu Rushd. Pada pertengahan abad 13 hampir seluruh karya Ibnu Rushd telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, termasuk kitab tahafut-et-tahafut, yang
diterjemahkan oleh Colonymus pada Tahun 1328.
e. Periode Filsafat Modern (Abad 17-20 M)
Dikenal Juga sebagai abad Äufklarung. Pada masa ini Kristen yang berkuasa dan
menjadi sumber otoritas kebenaran mengalami kehancuran, dan juga awal abad
kemunduran bagi umat Islam. Berbagai pemikiran Yunani muncul, alur pemikiran
yang mereka anut adalah rasionalitas, empirisrme, dan Kritisme. Peradaban Eropa
bangkit melampaui dunia islam. Masa ini juga memunculkan intelektual Gerard Van
Cromona yang menyalin buku Ibnu Sina, ”The canon of medicine”, Fransiscan Roger
Bacon, yang menganut aliran pemikiran empirisme dan realisme berusaha menentang
berbagai kebijakan gereja dan penguasa pada waktu itu. Dalam hal ini Galileo dan
Copernicus juga mengalami penindasan dari penguasa. Masa ini juga menyebabkan
perpecahan dalam agama Kristen, yaitu Kristen Katolik dan Protestan. Perlawanan
terhadap gereja dan raja yang menindas terus berlangsung Revolusi ilmu pengetahuan
makin gencar dan meningkat. Pada masa ini banyak muncul para ilmuwan seperti
Newton dengan teori gravitasinya, John Locke yang menghembuskan perlawanan
kepada pihak gereja dengan mengemukakan bahwa manusia bebas untuk berbicara,
bebas mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, serta hak
berfikir. Hal serupa juga dilakuklan ole J.J .Rousseau mengecam penguasa dalam
bukunya yang berjudul Social Contak.
Hal berbeda terjadi didunai Islam, pada masa ini umat Islam tertatih untuk
bangkit dari keterpurukan spiritual. Intelektual Islam yang gigih menyeru umat Islam
untuk kembali pada ajaran al-Quran dan Hadis. Pada masa krisis moral dan peradaban
muncul ilmuwan lainnya yaitu Muhammad Abduh. Muhammad Abduh berusaha
membangkitkan umat Islam untuk menggunakan akalnya. Ia berusaha mengikis habis
taklid. Hal tersebut dilakukan oleh Muhammad Abduh agara umat Islam menemukan
ilmu yang berasal dari al-Quran dan hadis.
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari
kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia
sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran
rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti
berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah
sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran
kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.
Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam
buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang
jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan
segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian
yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh
pengetahuan.
Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa
dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat
lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi
manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang
paling jelas dan sempurna.
Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh
pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan
yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU
Semenjak tahun 1960 filsafat ilmu mengalami perkembangan yang sangat
pesat, terutama sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang
ditopang penuh oleh positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran
kuantitatif sebagai andalan utamanya. Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu
berlangsung secara mengesankan
Pada periode ini berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya mungkin
dianggap sesuatu yang mustahil, namun berkat kemajuan ilmu dan teknologi dapat
berubah menjadi suatu kenyataan. Bagaimana pada waktu itu orang dibuat tercengang
dan terkagum-kagum, ketika Neil Amstrong benar-benar menjadi manusia pertama
yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Begitu juga ketika manusia berhasil
mengembangkan teori rekayasa genetika dengan melakukan percobaan cloning pada
kambing, atau mengembangkan cyber technology, yang memungkinkan manusia
untuk menjelajah dunia melalui internet. Belum lagi keberhasilan manusia dalam
mencetak berbagai produk nano technology , dalam bentuk mesin-mesin micro-chip
yang serba mini namun memiliki daya guna sangat luar biasa.
Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia
terhadap kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa
positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah
membuktikan kehebatan dan memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi
yang besar dalam membangun peradaban manusia seperti sekarang ini.
Namun, dibalik keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan persoalan-
persoalan baru yang tidak sederhana, dalam bentuk kekacauan, krisis dan chaos yang
hampir terjadi di setiap belahan dunia ini. Alam menjadi marah dan tidak ramah lagi
terhadap manusia, karena manusia telah memperlakukan dan mengexploitasinya tanpa
memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya. Berbagai gejolak sosial hampir
terjadi di mana-mana sebagai akibat dari benturan budaya yang tak terkendali.
Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi raksasa ternyata
telah menjadi boomerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Raksasa-raksasa
teknologi yang diciptakan manusia itu seakan-akan berbalik untuk menghantam dan
menerkam si penciptanya sendiri, yaitu manusia.
Berbagai persoalan baru sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi
yang dikembangkan oleh kaum positivisme-empirik, telah memunculkan berbagi
kritik di kalangan ilmuwan tertentu. Kritik yang sangat tajam muncul dari kalangan
penganut “Teori Kritik Masyarakat”, sebagaimana diungkap oleh Ridwan Al
Makasary (2000:3). Kritik terhadap positivisme, kurang lebih bertali temali dengan
kritik terhadap determinisme ekonomi, karena sebagian atau keseluruhan bangunan
determinisme ekonomi dipancangkan dari teori pengetahuan positivistik. Positivisme
juga diserang oleh aliran kritik dari berbagai latar belakang dan didakwa
berkecenderungan mereifikasi dunia sosial. Selain itu Positivisme dipandang
menghilangkan pandangan aktor, yang direduksi sebatas entitas pasif yang sudah
ditentukan oleh “kekuatan-kekuatan natural”. Pandangan teoritikus kritik dengan
kekhususan aktor, di mana mereka menolak ide bahwa aturan aturan umum ilmu
dapat diterapkan tanpa mempertanyakan tindakan manusia. Akhirnya “ Teori Kritik
Masyarakat” menganggap bahwa positivisme dengan sendirinya konservatif, yang
tidak kuasa menantang sistem yang eksis.
Senada dengan pemikiran di atas, Nasution (1996:4) mengemukan pula tentang kritik
post-positivime terhadap pandangan positivisme yang bercirikan free of value, fisikal,
reduktif dan matematika.
Usaha untuk menghasilkan ilmu sosial yang bebas nilai makin ditinggalkan
karena tak mungkin tercapai dan karena itu bersifat “self deceptive” atau penipuan diri
dan digantikan oleh ilmu sosial yang berdasarkan ideologi tertentu. Hesse (1980)
mengemukakan bahwa kenetralan dalam penelitian sosial selalu merupakan problema
dan hanya merupakan suatu ilusi. Dalam penelitian sosial tidak ada apayang disebut
“obyektivitas”. “ Knowledge is a’socially contitued’, historically embeded, and
valuationally. Namun ini tidak berarti bahwa hasil penelitian bersifat subyektif
semata-mata, oleh sebab penelitian harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara
empirik, sehingga dapat dipercaya dan diandalkan. Macam-macam cara yang dapat
dilakukan untuk mencapai tingkat kepercayaan hasil penelitian
Jelasnya, apabila kita mengacu kepada pemikiran Thomas Kuhn dalam
bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962) bahwa perkembangan filsafat
ilmu, terutama sejak tahun 1960 hingga sekarang ini sedang dan telah mengalami
pergeseran dari paradigma positivisme-empirik,–yang dianggap telah mengalami titik
jenuh dan banyak mengandung kelemahan–, menuju paradigma baru ke arah post-
positivisme yang lebih etik.
Terjadinya perubahan paradigma ini dijelaskan oleh John M.W. Venhaar bahwa
perubahan kultural yang sedang terwujud akhir-akhir ini, –perubahan yang sering
disebut purna-modern, meliputi persoalan-persoalan :
(1) antihumanisme
(2) dekonstruksi
(3) fragmentasi identitas. Ketiga unsur ini memuat tentang berbagai problem yang
berhubungan dengan fungsi sosial cendekiawan dan pentingnya paradigma kultural,–
terutama dalam karya intelektual untuk memahami identitas manusia.
PENUTUP
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita
sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran,
fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan
dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban
mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati. Kalau ilmu
diibiratkan sebagai sebuah pohon yang memiliki berbagai cabang pemikiran, ranting
pemahaman, serta buah solusi, maka filsafat adalah tanah dasar tempat pohon tersebut
berpijak dan tumbuh.
Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio
yang bertanya. Sedang objek materinya ialah semua yang ada yang bagi manusia
perlu dipertanyakan hakikatnya. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan segala
sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal.
TUGAS FILSAFAT
” Perkembangan Filsafat di masa lalu,masa kini,dan masa depan”
Di susun oleh :
Tjia Nova Ruliana Kp C/3062880
Fakultas ekonomiUniversitas Surabaya
2008