Bab V Konsumsi Film Indonesia - repository.uksw.edu€¦ · kuliah dulu, kami punya hobi yang sama:...

29
199 Bab V Konsumsi Film Indonesia Pada bagian ini peneliti akan menjelaskan hasil wawancara dengan para penonton sebagai pengguna atau ―penikmat‖ film Indonesia. Jika pada bagian sebelumnya telah diuraikan peran pembuat film dalam industri perfilman di Indonesia, maka pada bagian ini akan digali dan dijelaskan bagaimana masyarakat yang menonton hasil karya para film maker tersebut mengapresiasinya. Untuk itu penulis telah mekukan beberapa wawancara terpisah dengan beberapa narasumber yang telah penulis kenal, atau yang baru dikenal saat menonton film yang sama di bioskop. Penulis melontarkan beberapa pertanyaan terstruktur yang telah penulis susun sebelumnya, namun dalam menyikapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, narasumber bisa saja bertanya-balik dan melontarkan pertanyaan yang lain. Dengan demikian, bentuk wawancara lebih cenderung bersifat semi- terstruktur. Wawancara dilakukan atas film-film Indonesia Pasca Reformasi, sehubungan sulitnya mencari penonton yang berasal dari masa atau rezim sebelumnya. Dengan demikian, analisis dan interpretasi data pada penelitian ini memang difokuskan pada film Indonesia kontemporer, yaitu era Pasca Reformasi. Wawancara telah dilaksanakan terhadap duaratus lima puluh tiga (253) responden di tujuh kota dan dua kabupaten yang mewakili kota-kota di Indonesia. Rentang usia responden dimulai dari usia pelajar (SMA) dan mahasiswa –antara 18-25 tahun-- untuk daerah Kota Bandung, Kabupaten Jatinangor, Sumatera Utara (Kabupaten Sidikalang dan Kota Medan), Kota Nias, dan Kota Salatiga. Sementara di kota-kota lain, narasumber yang berhasil diwawancarai memiliki rentang usia antara 35-55 tahun, yaitu dengan profesi karyawan atau ibu rumah tangga, yang berada di kota Jakarta, Denpasar, dan Lombok.

Transcript of Bab V Konsumsi Film Indonesia - repository.uksw.edu€¦ · kuliah dulu, kami punya hobi yang sama:...

199

Bab V

Konsumsi Film Indonesia

Pada bagian ini peneliti akan menjelaskan hasil wawancara

dengan para penonton sebagai pengguna atau ―penikmat‖ film

Indonesia. Jika pada bagian sebelumnya telah diuraikan peran pembuat

film dalam industri perfilman di Indonesia, maka pada bagian ini akan

digali dan dijelaskan bagaimana masyarakat yang menonton hasil karya

para film maker tersebut mengapresiasinya. Untuk itu penulis telah

mekukan beberapa wawancara terpisah dengan beberapa narasumber

yang telah penulis kenal, atau yang baru dikenal saat menonton film

yang sama di bioskop. Penulis melontarkan beberapa pertanyaan

terstruktur yang telah penulis susun sebelumnya, namun dalam

menyikapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, narasumber bisa saja

bertanya-balik dan melontarkan pertanyaan yang lain. Dengan

demikian, bentuk wawancara lebih cenderung bersifat semi-

terstruktur.

Wawancara dilakukan atas film-film Indonesia Pasca

Reformasi, sehubungan sulitnya mencari penonton yang berasal dari

masa atau rezim sebelumnya. Dengan demikian, analisis dan

interpretasi data pada penelitian ini memang difokuskan pada film

Indonesia kontemporer, yaitu era Pasca Reformasi. Wawancara telah

dilaksanakan terhadap duaratus lima puluh tiga (253) responden di

tujuh kota dan dua kabupaten yang mewakili kota-kota di Indonesia.

Rentang usia responden dimulai dari usia pelajar (SMA) dan mahasiswa

–antara 18-25 tahun-- untuk daerah Kota Bandung, Kabupaten

Jatinangor, Sumatera Utara (Kabupaten Sidikalang dan Kota Medan),

Kota Nias, dan Kota Salatiga. Sementara di kota-kota lain, narasumber

yang berhasil diwawancarai memiliki rentang usia antara 35-55 tahun,

yaitu dengan profesi karyawan atau ibu rumah tangga, yang berada di

kota Jakarta, Denpasar, dan Lombok.

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

200

Wawancara bertujuan untuk menggali respon konsumen yaitu

penonton film layar lebar di Indonesia, dan melihat sejauh mana

apresiasi penonton terhadap film Indonesia. Apa saja komentar-

komentar dan masukan mereka terhadap perfiman nasional saat ini,

dirangkum dan dijelaskan ke dalam beberapa tabel berikut ini.

Apa Kata Penonton?

Wawancara pertama dilakukan dengan teman-teman di

Jakarta. Pada awalnya, penulis hanya mewawancarai sahabat-sahabat

lama yang dulu satu kuliah di FE Unpar, yaitu Meita, Wifi, Toar,

Christine, dan Nelson. Kemudian dilanjutkan dengan teman-teman

dan saudara dari sahabat-sahabat penulis tersebut.

Wawancara kedua dan ketiga dilakukan dengan teman-teman

penulis yang berdomisili di Lombok dan Bali. Pada awal mula bertanya

pendapat mereka tentang film Indonesia, penulis berkomunikasi via whatsapp. Berikutnya ketika penulis berkunjung ke Bali bulan

Desember 2015, penulis bisa bertemu langsung dan mengkonfirmasi

jawaban-jawaban mereka atas hasil wawancara. Sayang, pada

kunjungan tersebut penulis tidak sempat bertemu dengan teman-

teman di Lombok.

Wawancara keempat dilakukan penulis dengan keponakan

yang sedang kuliah di Jatinangor yaitu Natasha dan teman-

temannyavia Line. Hanya sedikit narasumber yang penulis dapatkan,

sebelas orang saja. Itupun dari mereka yang diwawancarai sangat

sedikit (hampir tidak ada) yang dapat meluangkan waktu nonton film

di bioskop, berhubung mereka semua sibuk kuliah. Setiap hari hanya

berkutat di asrama dan ruang kuliah saja. Mereka baru punya waktu

luang di akhir minggu atau hari libur yang biasanya dimanfaatkan

untuk pulang ke Bandung, atau kota lain, berkumpul dengan

keluarganya.

Wawancara kelima dilakukan oleh penulis terhadap responden

di Bandung, yaitu teman-teman mengajar di Unpar dan mahasiswa di

Konsumsi Film Indonesia

201

Fakultas Ekonomi Unpar. Selain itu, penulis juga mewawancarai

teman-teman yang bekerja di tempat lain seperti Tomas dan Saut, yang

dulu sama-sama kuliah di Fakultas Ekonomi Unpar. Cukup banyak

responden yang penulis dapatkan, ada sejumlah 55 orang.

Wawancara keenam dan ketujuh penulis lakukan terhadap

keponakan penulis yang berdomisili di Kabupaten Sidikalang,

Sumatera Utara. Berhubung penulis tidak bisa berkunjung ke sana,

wawancara dilakukan melalui whatsapp dan telepon. Cukup banyak

responden yang menjawab pertanyaan penulis, ada limapuluh orang.

Di Sidikalang rupanya belum ada bioskop, jika ingin menonton mereka

harus berangkat ke Kota Medan yang jaraknya sekitar tiga jam

perjalanan atau lebih.

Berikutnya penulis melakukan wawancara terhadap Timothy –

anak penulis yang pertama—dengan teman-temannya di jurusan

Hubungan Internasional UKSW, Salatiga. Di awal, penulis melakukan

wawancara via Line (media sosial), kemudian disambung dengan tatap

muka ketika penulis kebetulan berkunjung ke kos Timothy bulan

November 2015. Sayangnya, di Salatiga sekarang tidak ada lagi bioskop.

Timothy dan teman-teman harus berangkat ke Solo untuk menonton

film ―The Fifth Wave‖.

Wawancara kedelapan dilakukan terhadap responden di Nias,

yaitu beberapa mahasiswa Fakultas Ekonomi Unpar yang berasal dari

Nias. Wawancara dilakukan di kampus Fakultas Ekonomi Program

Studi DIII, Jalan Aceh nomor 53 Bandung. Dari sembilan orang yang

diwawancarai, hanya dua saja yang bisa menonton film ke bioskop

karena tempat tinggalnya dekat ke pusat kota. Sisanya yang tujuh

orang hanya bisa menyaksikan film Indonesia di televisi berhubung

daerah tempat tinggal mereka sangat jauh dengan pusat Kota Nias.

Biarpun begitu mereka semua yang menonton dari televisi saja, cukup

bangga dan menggemari film Indonesia.

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

202

Wawancara dengan Penonton di Jakarta:

―tidak punya waktu untuk menonton...‖

Tabel 5.1. Wawancara dengan 23 Penonton di Jakarta (3-4 Oktober 2015)

No Nama Umur/ Jns Klmn

FI Atau FA

Genre yang

disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun

1 Meita P-45 FA Action, Thriller,

Drama Kurang inovatif < 10 kali

2 Siska P- FA Drama Alurnya flat/datar < 10 kali

3 Billy Y L- FA Action Kurang Inovatif < 10 kali

4 Yoseph L- FA Action Kurang inovatif, ending ketebak,

jadul/kuno < 10 kali

5 Harsono L- FA Action Kurang inovatif < 10 kali

6 Cliff L- FA Thriller Kurang inovatif < 10 kali

7 Vidya M P- FA Komedi cerita kurang jelas < 10 kali

8 Andrienan

to S L- FA Thriller Kurang inovatif < 10 kali

9 Andreas A L- FA Action Kurang Inovatif < 10 kali

10 Christine P- FA Drama Kurang inovatif < 10 kali

11 Siska Tjoa P- FA Thriller Ending ketebak < 10 kali

12 Toar L-48 FA Thriller Pilihan terbatas < 10 kali

13 Christine P-44 FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali

14 Nelson P-47 FA Drama Ending ketebak < 10 kali

15 Wifi P-44 FA Drama kolosal

Ending ketebak < 10 kali

16 Sepupu

Wifi P-40 FA Action Kurang inovatif < 10 kali

17-

23

Teman-teman Wifi

(7)

P/L (35-40)

FA

Drama, komedi, action, thriller

Kurang inovatif, ending cerita

ketebak, udah males nonton FI

< 10 kali

Keterangan: FA: FilmAsing FI:Film Indonesia

Meita, Toar, Christine, Nelson, dan Wifi adalah teman-teman

penulis satu fakultas di Unpar (angkatan 1987-1991, jurusan Akuntansi

dan Manajemen) yang sekarang berdomisili di Jakarta. Ketika kami

kuliah dulu, kami punya hobi yang sama: menonton film di bioskop.

Sekarang ini ketika penulis bertanya, hobi mereka masih belum

berubah, pulang bekerja ingin refreshing dengan cara makan bersama

atau nonton bersama di bioskop. Sebagian sudah berumah tangga dan

memiliki 1-2 anak, dua yang lain masih single. Pada tanggal 3 Oktober

Konsumsi Film Indonesia

203

2015, penulis berkesempatan bertemu dengan Meita dan makan sore di

sebuah restoran di Plaza Semanggi, di seberang kantor Meita. Hari itu

sebenarnya penulis membuat janji untuk bertemu dengan Wifi dan

Sisca juga, hanya saja, keduanya batal ke tempat/restoran yang

disepakati berhubung ada pekerjaan kantor yang harus diselesaikan.

Penulis pada saat itu berbincang-bincang tentang film

Indonesia. Meita tidak menampik bahwa film Indonesia masa kini

sudah banyak berbeda dengan masa lalu, namun dalam banyak hal,

teknik penggarapan dan lain-lain masih harus dikembangkan dan

diperbaharui lagi. Tambahan wawancara berikutnya (dari teman-

teman Meita di kantor dan di gereja) didapatkan penulis melalui

whatsapp keesokan harinya, tanggal 4 Oktober 2015.

Dari hasil bincang-bincang dengan Meita dan teman-

temannya, penulis menemukan bahwa teman-teman di Jakarta yang

sebaya dengan penulis lebih banyak yang menyukai makan bersama

ketimbang nonton bersama di bioskop. Alasannya, antara lain karena:

menonton tidak harus di bioskop, di rumah via DVD atau siaran

televisi swasta juga bisa. Di samping itu, jarak satu lokasi ke lokasi lain

di Jakarta cukup jauh, sehingga untuk membuat janji menonton

bersama di satu tempat akan menyulitkan orang lain yang lokasinya

cukup jauh. Perlu effort dan perjuangan yang cukup besar untuk

membuat janji bertemu di Jakarta. Makan bersama sudah pasti

menyenangkan, tapi menonton bersama belum tentu menyenangkan

jika film yang ditonton ternyata bukan film yang bagus.

Jika ada momen dan kesempatan untuk menonton bersama,

mereka biasanya cukup selektif, hanya mau menonton film-film bagus

saja. Film yang dikategorikan bagus biasanya film yang sudah ada

resensi box office sebelumnya di luar negeri, atau film yang mendapat-

kan penghargaan (award). Film asing sudah terbukti lebih bagus

menurut mereka ketimbang film Indonesia. Mereka sangat jarang

menonton film Indonesia, bahkan beberapa menyatakan tidak pernah

menonton film Indonesia.

Di Jakarta, bioskop tersedia cukup banyak tersebar di beberapa

wilayah. Ada 61 bioskop (ditambah 17 bioskop di Bekasi) ―Grup XXI‖

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

204

dan 10 bioskop dari ―Grup Blitz Megapleks‖ dan ―CGV Blitz‖. Harga

tiket masuk bervariasi bergantung pada lokasi dan hari menonton,

rata-rata untuk hari biasa (Senin-Kamis) harga tiketnya antara

Rp.25.000-40.000, hari Jumat Rp 35.000-50.000, dan hari

Sabtu/Minggu antara Rp 40.000-60.000. Untuk bioskop dengan jenis

premiere (lux) harga tiket berkisar antara Rp 60.000-100.000

tergantung harinya. Harga tiket masuk di bioskop pinggir Jakarta

(Depok, Bekasi) akan lebih murah dari bioskop yang berlokasi di pusat

kota Jakarta. Di samping itu, lokasi bioskop di dalam mall terkenal juga

akan lebih mahal daripada bioskop yang tidak di dalam mall. Dari

semua responden yang diwawancarai tidak ada kesulitan untuk

membeli tiket masuk.

Duapuluh tiga responden yang mewakili penonton di Jakarta

100% menyukai film asing. Film-film bergenre action, drama dan

thriller merupakan jenis film yang paling disukai. Genre action memi-

liki rating tertinggi, yaitu disukai sebanyak 30% penonton, genre

drama 26%, dan genre thriller juga 26%. Sisanya menyukai film

dengan genre komedi. Responden yang mewakili penonton di Jakarta

menyatakan bahwa film Indonesia kurang menarik karena pilihannya

terbatas, kurang inovatif, ending cerita sudah bisa ditebak, dan alurnya

datar. Menonton bioskop menjadi sebuah kegiatan yang harus diran-

cang jauh-jauh hari untuk mereka yang bekerja full-time di Jakarta.

Berikut adalah dokumentasi wawancara dengan Meita, Wifi,

dan teman-temannya di Jakarta:

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 5.1. Meita dkk. Gambar 5.2. Wifi dkk.

Konsumsi Film Indonesia

205

Wawancara dengan Penonton di Lombok:

―film Indonesia... apa itu?‖

Yaya dan Vivi adalah dua teman penulis yang saat ini

berdomisili di Lombok dan pinggir kota Lombok. Yaya dan Vivi

merupakan sahabat penulis saat sekolah di SD (SDK Paulus III

Bandung) yang kemudian tinggal dan berwirausaha di Kota Lombok –

kami berjumpa lagi ketika reuni SD. Berikut adalah hasil wawancara

dengan teman-teman di Lombok.

Tabel 5.2. Wawancara dengan 2 Penonton di Lombok: Karyawan, Pengusaha

(Tanggal 3 Oktober 2015)

No Nama Umur/ Jns Klmn

FI Atau FA

Genre yang

disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun

24 Yaya L-47 FA Action, Thriller

Kurang inovatif, skenario jelek.

< 10 kali

25 Vivi P-46 FA Drama Kurang inovatif, akting payah.

< 10 kali

Keterangan: FA: Film Asing FI:Film Indonesia

Baik Yaya maupun Vivi sebagai perwakilan responden di

Lombok, keduanya lebih menyukai film asing. Film-film bergenre

drama, action, dan thriller (suspense) merupakan jenis film yang paling

disukai. Mereka menyatakan bahwa film Indonesia kurang inovatif,

aktingnya payah, dan skenario jelek. Mereka menyatakan jarang

menonton film ke bioskop. Tidak ada dokumentasi dalam bentuk foto

yang bisa penulis dapatkan dan lampirkan pada laporan ini. Di samping

itu, saat penulis melakukan wawancara, belum ada bioskop di Lombok.

Baru pada tanggal 13 Oktober 2015 penulis menemukan berita di

website Cinema 21 bahwa bioskop ―LEM XXI‖ telah dibuka di Lombok

dengan harga tiket seperti bioskop di Jakarta.

Wawancara dengan Penonton di Bali:

―rindu film Indonesia, yang benar-benar Indonesia‖

Di Bali hanya tersedia lima bioskop, semuanya ada di Kota

Denpasar dan merupakan ―Grup XXI‖. Yanthy Sipayung adalah sahabat

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

206

penulis sejak kuliah di Unpar, setelah menikah ia tinggal dengan

suaminya di Denpasar, Bali. Ia dan rekan-rekan sekerjanya dapat

penulis wawancarai pada awal bulan Oktober tahun 2015 melalui

komunikasi media sosial (whatsapp) yang disambung dengan

pertemuan langsung di akhir bulan Desember di Kuta, Bali.

Di Bali sekarang sudah ada lima bioskop --ketika penulis

terakhir menonton sekitar tahun 2012/2013 di Bali baru ada dua

bioskop: di ―Galeria XXI‖ Ngurah Rai dan di ―Beach Walk XXI‖ Kuta.

Yanthy dan kawan-kawan merupakan responden dari kalangan pekerja

dan pengusaha dengan rentang usia 35-55 tahun. Kebanyakan sudah

berkeluarga, namun ada beberapa yang belum. Mereka lebih nyaman

dengan nama singkatan saja. Berikut adalah rangkuman wawancara

dengan mereka:

Tabel 5.3. Wawancara dengan 51 Penonton di Denpasar, Bali: Karyawan dan

Pengusaha (Tanggal 2-3 Oktober 2015) No Nama Umur/

Jns Klmn

FI Atau FA

Genre yang

disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun

26 YS P-45 FA Drama Kurang totalitas < 10 kali

27 HAH L-49 FA Laga Kurang inovatif < 10 kali

28 DS P-55 FA Lokasi syuting FA menawan, akting jempolan, cerita diadaptasi dari novel

< 10 kali

29 PYCOP P-35 FI Drama Justru suka FI < 10 kali

30 SB P-47 FA Drama Wardrobe dan

akting berlebih-an, tdk natural. Gak ada soul. Kurang research.

< 10 kali

31 IGAY P-32 FA Drama Kurang inovatif, kurang mendidik

< 10 kali

32 AAKS L-33 FA Komedi Sinematografi kurang bagus, kayak sinetron, edit kurang, cerita standar, angle kamera monoton.

< 10 kali

Konsumsi Film Indonesia

207

No Nama Umur/ Jns

Klmn

FI Atau FA

Genre yang

disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun

33 HL P-47 FA Thriller Kurang profesional, cerita membo-sankan, akting kurang, tidak punya karakter/ ciri khas

< 10 kali

34 RGK P-42 FA Komedi Ending ketebak < 10 kali

35 FTMS P-42 FA Drama FA lebih banyak kisah nyata

< 10 kali

36 RA P-35 FA Komedi Suara dan gambar tidak sejernih FA

< 10 kali

37 FHS L-46 FA Laga Kurang inovatif < 10 kali

38 IS P-47 FI Drama FI juga bagus < 10 kali

39 KS P-46 FA Drama FA lebih intelek dan berbobot

< 10 kali

40 YC P-40 FA Drama Semua kurang: inovasi, jadul, ending ketebak.

< 10 kali

41 LS P-40 FA Drama Kurang inovatif < 10 kali

42 PF P-46 FA Drama Ending ketebak, jadul, cerita tidak sinkron masak org miskin wajahnya terawat dan sering ke salon?

< 10 kali

43 PAS LP-39 FA Laga Jadul, dana kurang, setting lokasi kurang

< 10 kali

44 FJ P-35 FA Drama FA efeknya bagus

< 10 kali

45 PSM L-35 FA Laga Kurang inovatif, latah. FA lebih serius membuat

< 10 kali

46 AS P-42 FA Drama Kurang inovatif, ending ketebak

< 10 kali

47 LT P-41 FA Drama Film Asing lebih kreatif dari segi ide maupun animasi

< 10 kali

48 IF P-35 FA Thriller All < 10 kali

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

208

No Nama Umur/ Jns

Klmn

FI Atau FA

Genre yang

disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun

49 MR P-36 FA Thriller Ending ketebak < 10 kali

50 RN L-35 FA Laga Tidak sesuai dengan norma agama. Cerita-nya aneh, masak naga parkir di depan rumah

< 10 kali

51 MK P-47 FI Drama Lain-lain < 10 kali

52 AD P-48 FA Komedi Ending ketebak < 10 kali

53 LB L-45 FA Thriller Film Indonesia ceritanya aneh, mengada-ada, gampang ditebak

< 10 kali

54 SC P-46 FA Drama Ending ketebak < 10 kali

55 ER P-41 FA Laga Ending ketebak < 10 kali

56 GT P-45 FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali

57 C P-35 FA Drama Cerita dan akting pemain tidak bagus

< 10 kali

58 TAS P-39 FA Laga Ending ketebak, tidak ada pesan yang berarti dari ceritanya

< 10 kali

59 NMI P-46 FA Drama Ending ketebak < 10 kali

60 RP L-35 FA Laga Ending ketebak < 10 kali

61 YS P-44 FA Drama Kurang inovatif, cerita tidak menarik

< 10 kali

62 AW P-46 FA Drama Kurang inovatif < 10 kali

63 MR L-42 FA Laga Penceritaan dan teknik kurang menarik secara emosional maupun intelektual

< 10 kali

64 KA P-43 FA Drama Film asing lebih intelektual dan berbobot

< 10 kali

65 TR P-35 FA Komedi Ending ketebak < 10 kali

66 TK P-46 FA Drama Aktor kurang menjiwai peran, jalan cerita dipaksakan

< 10 kali

Konsumsi Film Indonesia

209

No Nama Umur/ Jns

Klmn

FI Atau FA

Genre yang

disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun

67 LJ P-35 FA Komedi Cerita ngalor-ngidul, ekspresi berlebihan, kurang mendidik, tidak nyambung, perlu film tentang kebiasaan2 yang mem-bangun dan mengangkat bangsa

< 10 kali

68 CW P-37 FA Drama Kurang inovatif < 10 kali

69 MT P-37 FA Drama FI monoton, FA banyak pilihan cerita. FI ikut-ikutan kalo ada yang lagi booming.Perlu komedi yang lebih berkelas, tidak urakan. Perlu tokoh yang manusiawi dan membumi, tidak judging. Buat cerita yang humanis , angkat kekayaan budaya Indonesia.

< 10 kali

70 SYD P-44 FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali

71 MYN P-48 FA Drama Kurang inovatif < 10 kali

72 SZ L-43 FA Laga Kurang inovatif < 10 kali

73 NC P-39 FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali

74 YA P-37 FA Drama Ending ketebak < 10 kali

75 SRB P-34 FA Drama Kurang inovatif < 10 kali

76 LR P-42 FI Drama Film Indonesia cenderung copy-paste, mana yang laku itu diulang terus sampai bosan.

< 10 kali

Keterangan: FA: Film Asing FI:Film Indonesia

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

210

Sebanyak limapuluh satu responden yang mewakili penonton

di Bali memberikan testimony yang unik, karena mereka ternyata

cukup kritis (lebih kritis dari penonton di kota lain!) mengemukakan

pendapatnya. Cita rasa terhadap seni yang cukup tinggi tercermin

dalam jawaban-jawaban mereka. Bukan hanya isi cerita yang masih

dianggap kurang mewakili budaya asli Indonesia, namun juga dari sisi

penggarapan dan teknik pembuatan banyak dikritisi. Sebanyak 7,8%

menyatakan menyukai film Indonesia biarpun sering diulang-ulang

sampai bosan 53% menyukai film bergenre drama, sisanya menyukai

komedi (18,7%) dan laga/action (19,6%). Sebenarnya mereka senang

juga menonton di bioskop, tapi karena harga tiket saat ini Rp 60.000

saja untuk weekday dan Rp 100.000 ketika weekend maka, menurut

Yanthy (mewakili teman-temannya) mereka tidak bisa sering-sering

menonton di bioskop.

Mengapa responden di Denpasar Bali sangat kritis dengan film

Indonesia saat ini? Di samping akting dan wardrobe pemain yang

dirasa berlebihan, tidak natural, dan ending cerita yang sering bisa

ditebak; mereka memberi banyak masukan untuk film Indonesia. Di

antaranya adalah, film Indonesia diminta untuk mengangkat budaya

khas Indonesia, ceritanya lebih membumi dan tidak perlu menghakimi

(judging). Film Indonesia harus lebih humanis, mengandung pesan

yang bermanfaat, pilihan setting lokasi yang lebih baik, angle kamera

harus lebih jago, proses editing dan teknologi harus lebih bagus,

komedinya harus berkelas dan tidak urakan. Bobot intelektual harus

ditingkatkan. Dapat dilihat bahwa, responden di Bali sangat

menghargai budaya asli Indonesia. Tidak berarti bahwa mereka tidak

menyukai film Indonesia, hanya saja, mereka ingin budaya asli

Indonesia dikemas dengan kreatif dan tampilan yang lebih baik.

Berikut adalah dokumentasi dengan Yanthy dan teman-

temannya di Bali:

Konsumsi Film Indonesia

211

Gambar 5.3. Yanthy dkk. Gambar 5.4. Penulis dengan Yanthy-Wijaya

Wawancara dengan Penonton di Jatinangor:

―tiket mahal, kuliah padat‖

Natasha (Tasha) adalah keponakan penulis yang sedang kuliah

di Fakultas Kedokteran Unpad, Jatinangor. Ia dan sahabat-sahabatnya

adalah penyuka film, namun kurang menyukai menonton film

Indonesia. Pada saat Tasha masih SMA di Bandung, ia kerap nonton di

bioskop dengan teman-teman atau keluarga. Kondisi berubah ketika

Tasha kemudian pindah ke Jatinangor untuk melanjutkan kuliah di

Unpad. Berikut adalah petikan wawancara dengan Tasya dan kawan-

kawan yang telah dirangkum dalam satu tabel.

Tabel 5.4. Wawancara dengan 11Penonton di Jatinangor:

Mahasiswa Kedokteran Unpad (4-5 Oktober 2015)

No Nama Umur/ Jns Klmn

FI Atau FA

Genre yang disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun

77 Natasha P-19 FA Thriller Kurang inovatif < 10 kali

78 Levina Felicia

P-19 FA Drama Kurang inovatif < 10 kali

79 Dellaneira Setiadi

P-19 FA Drama, Alay < 10 kali

80 Yolanda Ardelia

P-19 Drama, Ending ketebak < 10 kali

81 Reisia P. B.

L-18 FA Thriller, Action

Ending ketebak,

kurang Inovatif, < 10 kali

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

212

82 Johanna Regina

P-19 FA Thriller, Drama

Kurang inovatif, Alay

< 10 kali

83 Ali Akbar L-19 FA Komedi, Laga

Kurang inovatif < 10 kali

84 Newa Fauziah

P-19 FA Komedi Ending ketebak, lebay

< 10 kali

85 Yogi Subandra

L-19 FA Laga Kurang inovatif, ending ketebak

< 10 kali

86 Rievanda Ayu N.

P-19 FA Drama, Komedi

Kurang inovatif < 10 kali

87 Dimas Hari

L-21 FA Thriller, Action

Kurang inovatif < 10 kali

Keterangan: FA: Film Asing FI:Film Indonesia

Sebelas responden yang mewakili penonton di Jatinangor

semuanya (100%) lebih menyukai film asing. Film-film bergenre

thriller, drama, dan action menempati urutan tertinggi jenis film yang

disukai. Mereka menyatakan bahwa film Indonesia kurang menarik

karena kurang inovatif, ending cerita bisa ditebak, dan alay/lebay

(dibuat-buat). Semuanya jarang menonton film Indonesia di bioskop,

sibuk kuliah.

Salah satu sebabnya, karena bioskop sangat terbatas di

Jatinangor, hanya ada satu yaitu yang berlokasi di dalam mall Jatos.

Letaknya cukup jauh dari kampus Unpad. Karena mereka rata-rata

tinggal di asrama di dalam kampus, maka untuk pergi menonton adalah

suatu kegiatan yang butuh pengorbanan, karenanya jarang sekali

dilakukan. Pada saat akhir minggu atau hari libur pun, Tasha dan

kawan-kawan lebih senang pulang ke Bandung dan kota kelahiran

masing-masing yang lain.

Gambar 5.5. Natasha dkk (Jatinangor)

(milik pribadi)

Konsumsi Film Indonesia

213

Wawancara dengan Penonton di Bandung:

―film asing masih lebih bagus, tiket mahal, mending unduh film Korea di laptop...‖

Penulis juga melakukan wawancara dengan beberapa penonton

di Bandung, yang terbanyak berasal dari kalangan mahasiswa di

Fakultas Ekonomi Unpar. Sisanya, ada beberapa teman sejak kuliah dan

beberapa teman pengajar. Wawancara di Bandung, tempat tinggal

penulis, ternyata tidak semudah yang penulis perkirakan. Ini

disebabkan mayoritas mahasiswa yang menjadi narasumber ternyata

tidak semua dapat dan mau menonton film di bioskop. Kendala utama

adalah masalah keuangan, juga padatnya jadwal kuliah. Ternyata dari

51 orang mahasiswa yang diwawancarai, menyatakan bahwa mereka

lebih suka download film dari youtube dan menonton dari laptop di

kampus, berhubung ada fasilitas wifi! Itupun bukan film Indonesia

yang ditonton, tapi film Korea. Menonton hanya sesekali jika ditraktir

pacar atau teman yang sedang ulang tahun.

Bagi empat narasumber lain yaitu teman-teman penulis yang

sudah bekerja tidak ada kendala keuangan untuk pergi menonton film

di bioskop. Masalahnya hanya dari segi waktu saja, pekerjaan membuat

mereka kekurangan waktu untuk menonton. Itu saja.

Berikut adalah cuplikan wawancara dengan responden di

Bandung, yang dirangkum pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.5. Wawancara dengan 55 Penonton di Bandung

Mahasiswa dan Karyawan (4-7 Oktober 2015)

No Nama Umur/

Jns Klmn

FI Atau FA

Genre yang

disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun

88 Herlina Irawati

P FI Drama Kurang inovatif <10 kali

89 Febryan Aditya

L FI Thriller Kurang inovatif <10 kali

90 Evianna Dian P.

P FA Drama Kurang mendidik,

jiplak >20 kali

91 Jefry L FA Drama Kurang menarik 10 – 20

kali

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

214

No Nama Umur/

Jns Klmn

FI Atau FA

Genre yang

disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun

92 Fransisca Agustina

P FA Thriller Kurang inovatif 10 – 20

kali

93 Chyntiya

Margaretha P FA

Horor (mistis)

Ending-nya ketebak

<10 kali

94 Theodore L FA Laga / action

Kurang inovatif <10 kali

95 Rinda Yanti

P FA Drama Kurang inovatif <10 kali

96 Chrysilla P FA Horror mistis)

Ending-nya ketebak

<10 kali

97 Tasya Maria

P FA Komedi Kurang inovatif <10 kali

98 Victoria Jessica

P FA Komedi Ending-nya

ketebak 10 – 20

kali

99 Misty Ayu P FA Drama Jadul <10 kali

100 Fadhil L FA Laga / action

Kurang inovatif <10 kali

101 Benhur Salaga

L FA Drama Kurang mendidik <10 kali

102 Gabriella

Octavianie P FA Drama Kurang mendidik <10 kali

103 Himawan L FA Komedi Kurang inovatif <10 kali

104 Fita

Fitriana P FA Thriller

Ending-nya

ketebak <10 kali

105 Tari P FA Drama Jadul <10 kali

106 Reni P FI komedi Kurang inovatif <10 kali

107 Alfonsius Ganesha

L FA Thriller Kurang inovatif <10 kali

108 Veronica P FA Drama Ending-nya

ketebak <10 kali

109 Santa

Novelia P FI Drama

Ending-nya ketebak

<10 kali

110 Angelina

Dhini P FA

Drama, komedi

Kurang inovatif <10 kali

111 Angga Yogi

L FA Thriller Ending-nya

ketebak <10 kali

112 Celis P FA Drama Ending-nya

ketebak <10 kali

113 Caroline Gultom

P FA Komedi Kurang inovatif <10 kali

114 Yudha L FA Drama Jadul 10 – 20

kali

115 Ruth

Anastasya P FA Drama

Kurang inovatif

<10 kali

Konsumsi Film Indonesia

215

No Nama Umur/

Jns Klmn

FI Atau FA

Genre yang

disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun

116 Cica

Irawati P FA

Drama, komedi, horror

Ending-nya ketebak

<10 kali

117 Delima P FI Drama Kurang inovatif 10 – 20

kali

118 Yolanda P FA Laga / action

Ending-nya ketebak

<10 kali

119 Christian L FI komedi Ending-nya

ketebak <10 kali

120 Penina P FA Komedi Kurang inovatif <10 kali

121 Putri

Fatmasari P FA

Komedi, drama

Ending-nya

ketebak <10 kali

122 Rery P FA Drama Ending-nya

ketebak <10 kali

123 Agnes P FA Komedi Ending-nya

ketebak <10 kali

124 Evie

Veronica P FI

Laga / action

Kurang inovatif <10 kali

125 Clara P FA Drama Kurang inovatif <10 kali

126 Regina P FA Laga / action

Ending-nya ketebak

>20 kali

127 Michael L FA Laga / action

Suka menjiplak <10 kali

128 Putri

Anastasya P FA Drama

Ending-nya ketebak

<10 kali

129 Yopie L FA Drama Kurang inovatif <10 kali

130 Getha P FA Drama Jadul <10 kali

131 Sofyan

Suryana L FA

Laga / action

Kurang inovatif <10 kali

132 Anita

Irensya P FI

Laga / action

Kurang inovatif <10 kali

133 Debora P FI Drama Kurang inovatif 10 – 20

kali

134 Dina

Septianingsih

P FI Drama Kurang inovatif 10 – 20

kali

135 Bernandus Guntur

L FI Komedi Kurang inovatif <10 kali

136 Febe

Devina P FA Thriller Kurang inovatif <10 kali

137 Antonius

Oce L FA

Laga/ action

Ending-nya ketebak

<10 kali

138 Ais P FA Komedi Kurang inovatif <10 kali

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

216

No Nama Umur/

Jns Klmn

FI Atau FA

Genre yang

disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun

139 Pak Tomas

L-47 FA Action Kurang Inovatif < 10 kali

140 Pak Saut S

L-47 FA Action, Thriller

Kualitas kurang < 10 kali

141 Pak Albert Tobing

L-35 FA & FI

Drama, Action, Thriller

FI sudah semakin baik. Kagum dengan film “SITI”

>20 kali

142 Ibu Tiurma M

P-35 FA Drama, Action

Kualitas FA seringkali lebih baik

10 – 20 kali

Keterangan: FA: Film Asing FI:Film Indonesia

Dari limapuluh lima responden yang mewakili penonton di

Bandung, 20,7% menyatakan menyukai film Indonesia, sementara

sisanya (79,3%) menyukai film asing. 13% menyatakan senang

menonton film (termasuk film Indonesia) di bioskop, 2% saja yang

mengatakan sangat senang menonton film di bioskop, dan sisanya 85%

menyatakan jarang menonton di bioskop. Ini disebabkan 51 orang yang

menjadi responden adalah mahasiswa yang kebanyakan menonton film

di laptop mereka –via youtube atau media internet lain—ketika

menggunakan fasilitas wifi di kampus.Yang lebih lucu sekaligus

mengenaskan adalah, ketika para mahasiswa ini bertemu dengan Sheila

Timothy yang sempat berkunjung menjadi dosen tamu di perkuliahan

Kewirausahaan Kreatif, mahasiswa tidak tahu film ―Tabula Rasa‖ yang

dibuat oleh Lala, berhubung pengetahuan mereka tentang film

Indonesia saat ini sangat kurang. Mereka baru tahu ada film-film

Indonesia yang bagus seperti ―Modus Anomali‖, ―Pintu Terlarang‖, dan

―Tabula Rasa‖ yang dibuat oleh Lala Timothy pada saat kuliah umum

tersebut. Sayangnya, ketika mau menonton film tersebut di bioskop,

filmnya sudah lama tidak ditayangkan lagi.

Film-film bergenre drama, komedi, dan action menempati

urutan tertinggi jenis film yang disukai, yaitu drama 45,3%; komedi

24,5%; action 20,7%. Mereka menyatakan bahwa film Indonesia masih

kurang dari segi inovasi, alur cerita (ending masih bisa ditebak), kurang

mendidik, dan suka menjiplak. Ada satu jawaban yang menarik dari

Konsumsi Film Indonesia

217

seorang responden yaitu Bapak Albert Tobing, yang menyatakan

bahwa film Indonesia sudah semakin bagus.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 5.6. dan 5.7. Icha dkk. (Bandung)

Wawancara dengan Penonton di Sidikalang:

―film Indonesia sudah bagus, sayang tidak bisa nonton di bioskop, tapi film asing lebih bagus...‖

Tabel 5.6. Wawancara dengan 50 Penonton di Sidikalang:

Pelajar dan mahasiswa (2-3 Oktober 2015)

No Nama Umur/ Jns Klmn

FI Atau FA

Genre yang

disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun

143 Martha 15 FI Romantis, komedi

Ending ketebak < 10 kali

144 Bonur 17 FA Action Ending ketebak < 10 kali

145 Ezra 17 FA Action Ending ketebak < 10 kali

146 Iren 17 FI Romantis, komedi

Ending ketebak < 10 kali

147 Mawar 17 FI Romantis, komedi

Ending ketebak < 10 kali

148 Shinta 17 FI Romantis, komedi

Ending ketebak < 10 kali

149 Antoni 17 FA Action Ending ketebak < 10 kali

150 Elfandi 17 FA Action Ending ketebak < 10 kali

151 Kelvin 17 FA Action,

komedi Jadul < 10 kali

152 Putra 17 FA Action, komedi

Jadul < 10 kali

153 Ester 17 FI Romantis, komedi

Ending ketebak < 10 kali

154 Bosman, 17 FA Action, Ending ketebak < 10 kali

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

218

No Nama Umur/ Jns Klmn

FI Atau FA

Genre yang

disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun

-179

Azriel, Fiaz, Ezra, Putri, Binsyah, Chintya, Mayang, Afrianto, Marquano, Maikel, Michael, Aziz, Dinda, Christin, Eko, Sita, Ina, Nadia, Irayomi, Yuyun, July, Yusvera, Yuni, Natasha, Sagita (26)

komedi, romantic

180181

Ika dan Sondang

16 FI Romantis, komedi

Senang FI < 10 kali

182-186

Jones, Elgi, Verdy, Heri, William (5)

17 FA Action Jadul < 10 kali

187-193

Agung, Rahmat, Christo-pher, Desi, Aktif, Bima, David (7)

17 FA Action Kurang Inovatif < 10 kali

Keterangan: FA: Film Asing FI: Film Indonesia

Limapuluh responden yang mewakili penonton di Kabupaten

Sidikalang, Sumatera Utara, menyatakan menyukai film asing sebanyak

98%, hanya 2% yang menyukai film Indonesia. Semua menyatakan

jarang menonton film (kurang dari 10 kali dalam setahun). Film-film

bergenre komedi merupakan jenis film yang paling disukai (66%),

sisanya menyukai film bergenre action dan romantis (34%). Mereka

menyatakan bahwa film Indonesia masih bisa ditebak ending

ceritanya, ‗jadul‘ (kuno), dan kurang inovatif.

Konsumsi Film Indonesia

219

Patut disayangkan bahwa di daerah-daerah seperti Sidikalang

yang masih sangat menghargai budaya asli dan film Indonesia, justru

tidak ada bioskop yang bisa mereka datangi. Bioskop terdekat ada di

Kota Medan. Mereka hanya bisa menikmati film Indonesia di televisi

saja.

Sumber: Dokumentasi pribadi

Gambar 5.8. Martha dkk (Sidikalang)

Wawancara dengan Penonton di Salatiga:

―bioskop jauh, harga tiket mahal, film Indonesia kurang bermutu‖

Tabel 5.7. Wawancara dengan 51 Penonton di Salatiga:

Mahasiswa HI UKSW (15-21November 2015)

No Nama (Umur 18-25)

FI Atau FA

Genre yang disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton

setahun & alasan

194 Frisaldy Salama

FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali (tidak ada bioskop di kota saya)

195 Jhon Megahar-ri N

FA Komedi Jadul >20 kali (tidak ada bioskop)

196 Reni Erlita

FA Komedi Ending ketebak < 10 kali (film Indo punya kesan “dirty jokes”dan tidak senonoh

197 Putu Gede

FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali (tidak ada bioskop)

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

220

No Nama (Umur 18-25)

FI Atau FA

Genre yang disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton

setahun & alasan

198 Stevie Yanuza

FA Laga Ending ketebak < 10 kali (bioskop terdekat jauh sekali)

199 Arnoldo Giovani

FA Laga Kurang inovatif, kurang ciri khas, banyak meniru FA

< 10 kali

200 Fajar FA Laga Kurang inovatif >20 kali (tidak ada kendala)

201 Reza Refianto

FA Drama Ending ketebak 10 – 20 kali

202 Risma Yanti

FA Drama Ending ketebak > 20 kali

203 Calvin FA Laga Kurang inovatif, kurang rame cerita

< 10 kali

204 Dionisius Linardi

FA Laga Kurang inovatif < 10 kali

205 Atalitha FA Laga Kurang segalanya 10-20 kali (harga tiket bioskop mahal)

206 Gerry FA Komedi Ada yang bagus sih, tapi ide cerita sering kiblat FA, kurang „greget‟

< 10 kali (tidak ada kendala bioskop)

207 Cicilia Maria

FA Komedi Ending ketebak < 10 kali

208 Liana Samang un

FA Komedi Ending ketebak < 10 kali (ngabisin duit, kebanyakan film tdk brmutu)

209 Stanley Jeremiah

FI Horor Kurang inovatif < 10 kali (tidak ada kendala)

210 Aldo Sloan

FA Komedi Jelek, tidak mengedukasi, hanya menambah modal penguasa

< 10 kali (tergantung mood dan menarik/ tidaknya film yang diputar)

211 David A. FA Komedi Semua alur ketebak

> 20 kali

212 Arvian FI Komedi Sebenarnya sudah mulai bagus, hanya dirusak film horor yang andalkan pornografi

< 10 kali (ngga punya waktu menonton ke bioskop karena sering main motor)

Konsumsi Film Indonesia

221

No Nama (Umur 18-25)

FI Atau FA

Genre yang disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton

setahun & alasan

213 Veronica FA Komedi Kurang inovatif >20 kali

214 Isak FA Laga Kurang menarik < 10 kali (bioskop terdekat jauh sekali)

215 Nandare- tta

FA Laga Ending ketebak < 10 kali (bioskop terdekat jauh)

216 Dyah FA Drama Kurang inovatif < 10 kali

217 Naomi FA Thriller Ending ketebak < 10 kali

218 Pamela FA Thriller Tidak mendidik, mostly tdk ada value

< 10 kali (tidak tertarik nonton)

219 Stephani FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali (jarang ada yang mau diajak nonton bareng)

220 Kirana FI Komedi Kurang inovatif < 10 kali

221 Panji Adinugroho

FA Drama Kurang inovatif < 10 kali (ngga ada bioskop di sini, ngga punya gebetan untuk diajak nonton)

222 Miristika FA Komedi Ending ketebak < 10 kali (harga tiket mahal)

223 Jeremias Massie

FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali

224 Reynald Aditia

FA Komedi Ending ketebak < 10 kali (ngga ada bioskop di sini)

225 Moni FA Laga Kurang inovatif 10-20 kali (ngga ada bioskop di sini)

226 Christin FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali

227 Elizabeth Eluay

FA Thriller Kurang inovatif, beda dengan dulu

10-20 kali

228 Tabitha FA Drama Kurang inovatif < 10 kali

229 Joel Lumbangaol

FA Thriller Ending ketebak < 10 kali (ngga ada bioskop di sini)

230 Dilla FA Horor Ending ketebak < 10 kali (bioskop terdekat jauh sekali)

231 Gita FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali (nonton film Indon ngga menarik, malesin)

232 Diah Ayu FA Thriller Kurang inovatif < 10 kali

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

222

No Nama (Umur 18-25)

FI Atau FA

Genre yang disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton

setahun & alasan

233 Joshua Galih

FA Laga Ending ketebak < 10 kali (bioskop terdekat jauh sekali)

234 Aditya Maha-nani

FA Laga Kurang inovatif < 10 kali (bioskop terdekat jauh sekali)

235 Mima FA Semua genre suka

Kurang inovatif, ending ketebak

< 10 kali (bioskop terdekat jauh)

236 Isha FA Komedi Kurang inovatif, ending ketebak

> 20 kali (bioskop terdekat jauh sekali+harga tiket mahal)

237 Teddy FI Komedi, Laga, Thriller

Film Indon sudah mulai meninggalkan unsur2 seks yang dulu dominan

< 10 kali (ngga ada bioskop di sini, bioskop terdekat XXI jarang putar film Indo)

238 Allifia FA Horor Ending ketebak < 10 kali (di sini ngga ada bioskop)

239 Benedict FA Laga Kurang inovatif < 10 kali

240 Timothy FA Laga, thriller Genre laga sudah mulai bagus, juga film tentang perjuangan bangsa, tokoh semakin dijiwai

> 20 kali (menonton di Bandung atau Semarang)

241 Mark FA Laga, thriller Jadul, kurang menarik, tidak sebagus FA

10-20 kali

242 Eddy Koehua

FA Komedi, horor Kurang inovatif < 10 kali

243 Tyas FA Komedi, drama

Kurang inovatif, jadul, ending ketebak

10-20 kali

244 Yesaya FA Laga, komedi Gitu-gitu aja, kurang spesial effect

< 10 kali

Limapuluh responden yang merupakan mahasiswa jurusan

Hubungan Internasional di UKSW, mewakili penonton di Salatiga

menyatakan bahwa mereka lebih menyukai film asing (91%). Genre

film yang paling digandrungi adalah komedi (43,8%) kemudian laga

(28,2%) dan thriller (17,4%). Sebanyak 13% menyatakan sangat senang

Konsumsi Film Indonesia

223

menonton film di bioskop (bisa lebih dari 20 kali dalam setahun), 8,6%

cukup sering ke bioskop (antara 10 sampai 20 kali setahun), dan sisanya

jarang menonton ke bioskop. Hal ini disebabkan karena di Kota

Salatiga sekarang tidak ada lagi bioskop, sehingga mereka sulit untuk

pergi menonton, bioskop terdekat ada di kotas Semarang (XXI) itupun

harga tiketnya cukup mahal (berkisar antara Rp 30.000 sampai Rp

60.000). Sedangkan di Kota Solo dan Yogyakarta (bioskop XXI dan

Blitz) harga tiket lebih murah, namun jaraknya lebih jauh, di

perjalanan makan waktu dua dan tiga jam.

Responden di Salatiga memiliki karakteristik yang berbeda

dengan responden di Bandung, misalnya, biarpun mereka sama-sama

mahasiswa. Responden di Salatiga, yaitu para mahasiswa HI ini

menunjukkan sikap yang lebih kritis dengan penceritaan di film

Indonesia. Menurut sebagian dari mereka ―alurnya gampang ditebak‖

dan ―mengandalkan dirty jokes‖ sehingga orang tua melarang untuk

menonton film Indonesia. Ternyata kreatifitas dan inovasi yang

dilakukan para film maker Pasca Reformasi belum bisa menghilangkan

persepsi penonton di era Orde Baru yang dominan dengan cerita-cerita

sex-horor di film-film mereka. Selain itu ditemukan juga bahwa untuk

mereka menonton lebih asyik dilakukan jika dilakukan bersama,

berama-ramai dengan teman sekelompok, atau bersama dengan

pasangan (pacar) bagi yang sudah punya. Tampaknya, tidak ada yang

suka menonton film sendirian.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 5.9. Timothy dkk (UKSW, Salatiga)

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

224

Wawancara dengan Penonton di Nias:

―film Indonesia sudah bagus, sayang tidak ada bioskop, kalau mau nonton jauh sekali‖

Tabel 5.8. Wawancara dengan 9 Penonton di Nias

Mahasiswa (26 November 2015)

No Nama (Umur 18-20)

FI Atau FA

Genre yang disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton

setahun & alasan

245 Nirani Hasrat

FI Komedi Suka, tapi jadul 10-20 kali (bioskop terdekat jauh sekali)

246 Fatiso Gulo

FA Laga Suka, tapi efek kurang

< 10 kali (bioskop terdekat jauh sekali)

247 Gusu Soli D. G.

FI Horor Suka, biarpun ending ketebak

10-20 kali (bioskop terdekat jauh sekali)

248 Kristiani Gulo

FI Horor Suka, tapi jadul 10-20 kali (tidak ada bioskop di kota saya)

249 Katarina Zai

FI Horor Suka 10-20 kali (bioskop terdekat jauh sekali)

250 Yuta Yantinia

FI Komedi Suka < 10 kali (tidak ada bioskop di kota saya)

251 Rini M. W.

FI Komedi Suka, biarpun kurang inovatif

10-20 kali (bioskop terdekat jauh sekali)

252 Sadari Gulo

FA Drama, Laga Suka, tapi kurang bagus

<10 kali

253 Putri K. FI Komedi, Drama

Bagus <10 kali

Enam responden yang berhasil diwawancara sebagai perwa-

kilan dari penonton di Nias, menyatakan lebih suka menonton film

Indonesia (83%) biarpun ceritanya ‗jadul‘ alur cerita bisa ditebak, dan

kurang inovatif. Hal ini disebabkan di kota tersebut belum ada bioskop,

bioskop terdekat cukup jauh, sehingga mereka lebih sering menonton

televisi. Meskipun demikian, 50% menyatakan bahwa mereka cukup

sering (antara 10 sampa 20 kali) pergi menonton ke bioskop.

Konsumsi Film Indonesia

225

Responden dari Nias yang juga terdiri dari para mahasiswa,

ternyata juga memiliki karakteristik yang berbeda dengan penonton di

Bandung atau Salatiga. Ditemukan bahwa sebagian besar dari mereka

menyukai film Indonesia, biarpun hanya menonton di televisi saja.

Mereka masih menantikan adanya film-film Indonesia yang lain dan

dibukanya bioskop di Kota Nias, khususnya daerah tempat tinggal

mereka.

Hasil wawancara dengan seluruh penonton tersebut jika

dirangkum memberikan gambaran sebagai berikut. Dengan rentang

umur antara 17-55 tahun, yaitu para pelajar SMA, mahasiswa, pekerja

(karyawan), pengusaha, dan ibu rumah tangga, film Indonesia

tampaknya masih cukup disukai dan menjadi primadona –terutama di

kota-kota kecil di luar Jawa yaitu Nias dan Sidikalang. Selain

menonton di bioskop, mereka lebih senang menonton film dan

sinetron Indonesia di televisi. Ini disebabkan kurang atau tidak adanya

bioskop di kota mereka atau kalaupun ada harga tiketnya terlalu mahal.

Di kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Bandung, dan Bali

(Denpasar) serta Lombok, juga daerah-daerah tempat belajar seperti

Kota Salatiga dan Kabupaten Jatinangor, yang terjadi sebaliknya. Film

asing lebih disukai daripada film Indonesia, lebih dari 90% responden

menyatakan hal tersebut. Karenanya, bisa dimaklumi mereka hampir

tidak ada atau tidak tahu tentang film ―Siti‖ yang menjadi fenomena

awal yang diangkat dalam penelitian ini. Sekalipun demikian, teman-

teman di Bali tampak masih menaruh harapan akan munculnya film

Indonesia dengan penceritaan yang lebih asli dan kemasan yang lebih

baik. Hal ini disebabkan mereka sangat menghargai budaya Indonesia.

Menurut para responden, film Indonesia banyak yang harus

diperbaiki dan dibenahi, dari segi ide dan alur cerita, penokohan yang

lebih natural (lebih menjiwai), setting yang lebih cocok, komedi yang

lebih berkelas, lebih intelek, dan teknologi terkini, serta harga tiket

lebih murah. Penonton di daerah ini jauh lebih kritis dan

menginginkan banyak perbaikan dalam industri film Indonesia.

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

226

Hasil wawancara dengan para penonton tersebut lebih lanjut

akan dibandingkan dengan hasil wawancara dari para pembuat film

(mavie-maker) berikut ini dan pengusaha bioskop. Dengan begitu,

akan didapatkan gambaran yang lebih menyeluruh dan penafsiran

yang lebih kompleks. Pendapat movie-maker bisa mendukung atau

berlawanan dengan pendapat penonton.

Kategorisasi Temuan

Hasil wawancara dan rangkuman (dalam bentuk narasi)

dikategorisasi ke dalam beberapa temuan pada Tabel 5.9.

Tabel 5.9. Kategori Temuan-temuan dari Penonton

Asal Kota Menonton Film “Siti”

Menyukai Film

Indonesia

Menyukai Film Asing

Alasan

1. Jakarta Tidak, film apa itu?

Kurang Ya Tidak punya banyak waktu

2. Lombok Tidak Tidak Ya Film Indonesia tidak bagus

3. Bali Tidak, film apa itu?

Ya Ya Suka juga film Indonesia, tapi film asing lebih baik. Penggarapan ceritanya, teknologi-nya, penokohan/ aktingnya, dll.

4. Jatinangor Tidak Tidak Ya Kurang waktu menon-ton, sibuk kuliah

5. Bandung Ya (ada) Tergantung filmnya apa

Ya Film Indonesia sudah mulai bagus

6. Sidikalang Tidak Suka Ya Film komedi dan drama Indonesia paling suka

7. Salatiga Tidak Kurang suka, tapi ada

Ya Film laga Indonesia sudah lebih bagus, biar pun akting drama masih “alay”

8. Nias Tidak Suka Tidak Film Indonesia masih sering ditonton biar pun “jadul” dan kurang efek.

Konsumsi Film Indonesia

227

Jika deskripsi kategorisasi temuan itu digambarkan dalam bentuk

grafik, maka bentuknya seperti yang ditampilkan dalam Gambar 5.10.

sumber: Manurung, E.M., 2016

Gambar 5.10. Grafik Responden Penyuka Film Indonesia : Film Asing

0 20 40 60

Jakarta

Lombok

Denpasar

Jatinangor

Bandung

Sidikalang

Salatiga

Nias

Suka Film Asing

Suka Film Indonesia