Perkawinan yang Tidak dicatatkan
-
Upload
febrina-ayu-lestari -
Category
Documents
-
view
279 -
download
8
description
Transcript of Perkawinan yang Tidak dicatatkan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami
dari kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi biologis,
melahirkan keturunan, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan,
memelihara anak-anak tersebut menjadi anggota-anggota masyarakat yang
sempurna (volwaardig).
Di Indonesia sendiri telah terdapat hukum nasional yang mengatur dalam
bidang hukum perkawinan yaitu UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Aturan Pelaksanaannya PP Nomor 9 Tahun 1975.
Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 itu
tercantum tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk
sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk
seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputus begitu saja. Karena
itu, tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara
waktu saja seperti kawin kontrak.Pemutusan perkawinan dengan perceraian
hanya diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa.1
Dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa “
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Namun, di Indonesia yang merupakan suatu Negara yang memiliki
keragaman adat, budaya, bahasa, dan agama ini kita mengenal adanya suatu
perkawinan yang dilangsungkan tanpa dicatatkan.Adapun perkawinan ini dikenal
dengan istilah Perkawinan bawahtangan atau perkawinan siri.
Perkawinan bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan
aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat
nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam).
Padahal dalam sistem hukum Indonesia sendiri tidak mengenal istilah ‘kawin
bawah tangan’ dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam
sebuah peraturan.Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan
11. Riduan Syahrani, Seluk beluk Asas-asas hukum perdata, (BBandung : PT. Alumni, 2006)
Hukum Keluarga dan Waris
yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan
undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang
diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2.
Berdasarkan latar belakang diatas kami akan menjelaskan masalah –
masalah yang timbul dari pembahasan ini.
B. Identifikasi Masalah
1. Apakah dampak yang ditimbulkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan atau
perkawinan bawah tangan bagi pasangan suami isteri ?
2. Bagaimana penyelesaian yang dapat dilakukan bila perkawinan bawah tangan
sudah terjadi ?
Hukum Keluarga dan Waris
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Dalam
penjelasannya disebutkan bahwa :
“Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang
pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerihanian,
sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi
unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan yang penting ...”
Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara
seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri.
Ikatan lahir ini merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang
mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat.3 Ikatan lahir ini terjadi
dengan adanya upacara perkawinan yaitu berupa akad nikah bagi umat muslim.
Sebagai ikatan bathin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin
karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang
wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Ikatan bathin diawali dan ditandai
dengan adanya persetujuan dari calon mempelai untuk melangsungkan
perkawinan.4Selanjutnya ikatan bathin tercermin dari adanya kerukunan suami isteri
yang bersangkutan.Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan bathin merupakan dasar
utama dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.5
Asas – Asas perkawinan menurut KUHPerdata adalah :
Asas monogami, asas ini bersifat absolut/mutlak, tidak dapat dilanggar.
Perkawinan adalah perkawinan perdata sehingga harus dilakukan di depan
pegawai catatan sipil.
2Rumusan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang dituangkan dalam Pasal 1.3 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet. IV, 1976, hlm. 14-15.4Ibid, hlm. 15.5Ibid
Hukum Keluarga dan Waris
Perkawinan merupakan persetujuan antara seorang laki – laki dan seorang
perempuan di bidang hukum keluarga
Supaya perkawinan sah maka harus memenuhi syarat – syarat yang ditentukan
oleh undang – undang
Perkawinan mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban suami istri
Perkawinan menyebabkan pertalian darah
Perkawinan mempunyai akibat di bidang kekayaan suami istri.
Asas – Asas perkawinan menurut UU 1 Tahun 1974 :
Asas kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1)), yaitu harus ada kata sepakat antara
calon suami istri
Asas Monogami (Pasal 3 ayat 1 dan 2)
Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah
Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan istri
Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan tersebut
Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan istri tersebut.
Baik menurut KUHPerdata maupun UU no. 1 Tahun 1974 maka sebuah
perkawinan tersebut harus dicatatkan oleh pencatat nikah yang berwenang.
Pernikahan yang sah menurut undang-undang adalah pernikahan yang memenuhi
syarat - syarat yang ditentukan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Pencatatan ini dilakukan jika ketentuan dan peraturan sebagaimana Peraturan
menteri agama nomor 11 tahun 2007 teah dipenuhi.Pencatatan perkawinan pada
prinsipnya merupakan hak dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya
perlindungan terhadap istri maupun anak dalam memperoleh hak – hak waris dan
lain – lain.
Pernikahan yang tidak dicatatkan oleh lembaga pencatat yang berwenang
disebut juga dengan pernikahan siri.Dalam hal pernikahan siri atau perkawinan yang
tidak dicatatkan dalam administrasi Negara mengakibatkan perempuan tidak
memiliki kekuatan hukum dan hak status pengasuhan anak, hak waris dan hak – hak
lainnya sebagai istri selayaknya menurut ketentuan undang – undang sehingga
sangat merugikan pihak perempuan.
Untuk melangsungkan suatu perkawinan, kedua mempelai harus memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 6 s.d. 12 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berikut :
1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai;
Hukum Keluarga dan Waris
2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21
tahun;
3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai
wanita sudah mencapai 16 tahun;
4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan
darah/keluarga yang tidak boleh kawin;
5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain;
6. Bagi suami isteri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka
kawin untuk ketiga kalinya;
7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.
Menurut Undang-Undang Perkawinan, tujuan dari perkawinan yaitu untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.Ini berarti bahwa
perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau jangka waktu tertentu yang
direncanakan, tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh
begitu saja diputus.
Dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan dengan
tegas pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut pasal ini bahwa perkawinan harus didasarkan
pada agama dan kepercayaan masing-masing. Dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Hal tersebut bertujuan untuk
memberikan suatu kepastian hukum untuk status perkawinan tersebut.Dengan
adanya pencatatan tersebut, maka status perkawinan yang dilakukan menjadi sah
menurut hukum negara, walaupun sebenarnya sah menurut agama dan
kepercayaan masing-masing sudah cukup.
Sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia,
setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan
kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. Bagi yang beragama
Islamialah Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk.Sedangkan bagi yang
Hukum Keluarga dan Waris
beragama selain Islam ialah Kantor Catatan Sipil atau Instansi/Pejabat yang
membantunya.6
Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum
agama dan kepercayaan yang dianut, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai
Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.Sesaat setelah perkawinan
dilangsungkan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah
disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.Akta
perkawinan yang telah ditandatangani oleh kedua mempelai selanjutnya
ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri
perkawinan.Bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, akta
perkawinan tersebut ditandatangani juga oleh wali nikah atau yang
mewakilinya.Penandatanganan akta perkawinan biasanya dilakukan sesudah aqad
nikah dilakukan.Dengan ditandatanganinya akta perkawinan tersebut maka
perkawinan itu telah tercatat secara resmi menurut hukum negara.
Akta perkawinan merupakan akta otentik yang harus memuat hal-hal
sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
dan Penjelasannya serta ditambah pula dengan hal-hal lain yang dianggap
perlu.Akta perkawinan ini dibuat rangkap dua.Lembar pertama disimpan oleh
Pegawai Pencatat.Lembar kedua disimpan pada Panitera Pengadilan7 dalam
wilayah Kantor Pencatat Perkawinan itu berada.Sedangkan suami-isteri masing-
masing diberikan kutipannya.
Kebanyakan pendapat para ahli hukum dan sarjana hukum yang dianut oleh
umat Islam Indonesia mengatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila
dilakukan dengan memenuhi semua syarat dan rukun hukum agamanya dan
kepercayaannya itu.Sehingga menurut pendapat ini, pencatatan perkawinan
6 Tatacara pencatatan perkawinan pada dasarnya dilakukan sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 3 s.d. 9 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, sedangkan ketentuan-ketentuan khusus yang menyangkut tatacara pencatatan perkawinan yang diatur pada berbagai peraturan merupakan pelengkap, yaitu 1. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk dan beberapa Peraturan Menteri Agama yang berhubungan; 2. Reglement Catatan Sipil bagi orang Indonesia yang beragama Kristen di Jawa, Madura, Minahasa dan sebagainya (Stb. 1933 No. 75 jo. 1936 No. 607 dengan segala perubahannya); 3. Reglement Catatan Sipil untuk golongan Tionghoa (stb. 1917 No. 130 jo. 1919 No. 25 dengan segala perubahannya); 4. Reglement Catatan Sipil bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan (Stb. 1849 No. 25); 5.Daftar Catatan Sipil untuk perkawinan campuran (Stb. 190 No. 279).7Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam, Pengadilan Umum bagi lainnya (Lihat Pasal 63 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974).
Hukum Keluarga dan Waris
hanyalah merupakan tindakan administratif belaka, bukan menentukan sah tidaknya
perkawinan.8
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang telah terpenuhi ketentuan
Pasal 2 ayat (1) dan aya (2) Undang – undang no. 1 Tahun 1974 secara
komulatif9.Mahkamah Agung hanya mengakui sahnya suatu perkawinan jika telah
terpenuhinya ketentuan yang telah ditetapkan oleh agama yang dianutnya, dilakukan
di hadapan pejabat nikah yang berwenang dan dicatat oleh pejabat tersebut sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.Sejalan dengan itu dapat dipahami bahwa
pencatatan perkawinan merupakan syarat yang harus dipenuhi agar pernikahan sah
menurut agama dan menurut hukum positif.
Pada dasarnya kewajiban untuk mencatatkan perakawinan oleh pencatat nikah yang
berwenang memiliki dasar hukum yaitu :
1. Undang – undang No. 1 Tahun 1974, dalam pasal 2 ayat 2 mengatakan “Tiap –
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
2. PP Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan.
Bab II Pasal 2.
Ayat 1 berbunyi “Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatatan
sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatat nikah,
talak, dan rujuk.”
Ayat 2 berbunyi “Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama islam
dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil
sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai
pencatatan perkawinan”.
Ayat 3 berbunyi “dengan tidak mengurangi ketentuan – ketentuan yang khusus
berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan
yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana
ditentukan dalam pasal 3 sampai pasal 9 peraturan pemerintah”
8 Saidus Syahar., op.cit, hlm. 16.9 Abdul Mannan, Aneka Masalah Hukum Material dalam Praktek Pengadilan Agama, Jakarta. Pustaka Bangsa Press,2002, hal. 51
Hukum Keluarga dan Waris
Pasal 6, ayat 1 berbunyi “Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan
kehendak melangsungkan perkaawinan, meneliti apakah syarat – syarat
perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan
menurut undang – undang.”
Ada beberapa manfaat dengan adanya pencatatan pernikahan oleh pencatat
pernikahan yang berwenang yaitu :
a. Perkawinan dianggap sah sehingga suami atau istri mendapatkan perlindungan
hukum, dengan dicatatnya perkawinan maka secara otimatis baik pihak istri
ataupun suami mendapatkan perlindungan secara hukum. Contohnya adalah jika
terjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Jika sang istri mengadu pada
pihak yang berwajib, pengaduannya sebagai istri yang mendapatkan tindakan
kekerasan tidak akan dibenarkan. Alasannya adalah karena sang istri tidak
mampu menunjukkan bukti-bukti otentik akta pernikahan yang resmi.
b. Memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan.
Akta nikah yang merupakan bukti otentik dari pencatat pernikahan membatu
suami atau istri untuk melakukan kebutuhan lain yang berkaitan dengan hukum.
Misalnya hendak menunaikan ibadah haji, menikahkan anak perempuannya yang
sulung, pengurusan asuransi kesehatan dan lain sebagainya.
c. Legalitas formal pernikahan di hadapan hukum. Pernikahan yang dianggap legal
secara hukum adalah pernikahan yang dicatat oleh petugas Pencatat Nikah
(PPN) atau yang ditunjuk olehnya. Karenanya, walaupun secara agama sebuah
pernikahan sah tanpa dicatatkan oleh PPN, pada dasarnya illegal menurut
hukum.
d. Sebuah pernikahan yang dicatatkan secara resmi akan terjamin keamanannya
dari kemungkinan terjadinya pemalsuan dan kecurangan lainnya. Misalnya,
seorang suami atau istri hendak memalsukan nama mereka yang terdapat dalam
akta nikah untuk keperluan yang menyimpang. Dengan pencatatan yang resmi
maka hal tersebut dapat dihindarkan.
Dalam realitasnya masih banyak orang yang melangsungkan perkawinan
tanpa dicatatkan di kantor percatatan perkawinan (Kantor Urusan Agama bagi yang
beragama islam dan Kantor catatan sipil bagi yang non muslim). Terhadap
perkawinan semacam ini, sebagian ulama dan ahli hukum berpendapat bahwa
perkawinan seperti itu sah apabila dilakukan sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang
– Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu dilakukan menurut hukum
Hukum Keluarga dan Waris
masing – masing agamanya dan kepercayaannya. Sedangkan pencatatan
perkawinan merupakan tindakan administrasi saja, apabila tidak dilakukan tidak
mempengaruhi sahnya perkawinan yang telah dilaksanakan itu. Tetapi di pihak lain
menganggap perkawinan yang tidak dicatatkan tidak sah dan dikategorikan sebagai
nikah fasid (rusak), sehingga bagi pihak yang merasa dirugikan akibat dari
perkawinan tersebut dapat dimintakan pembatalan kepada Pengadilan Agama
karena ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) Undang – Undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan tersebut, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan
harus dilaksanakan secara komulatif, bukan anternatif, secara terpisah dan berdiri
sendiri10. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka
ketentuan tersebut bersifat imperative, artinya ketentuan tersebut bersifat
memaksa11.Akibat terjadinya penafsiran terhadap ketentuan tersebut, maka berbeda
pula putusan yang diberikan oleh para hakim dalam menyelesaikan perkara
pembatalan nikah yang diajukan ke pengadilan. Bagi hakim yang berpendapat
bahwa pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan
merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan, maka perkawinan baru dianggap sah apabila dilaksanakan
menurut ketentuan agama dan kepercayaannya itu serta dicatat sesuai ketentuan
yang berlaku. Pencatatan perkawinan merupakan hal yang wajib dilaksanakan
karena hal ini erat hubungannya dengan kemaslahatan manusia yang dalam konsep
syari’ah harus dilindungi. Oleh karena itu, perkawinan yang tidak tercatat merupakan
nikah fasid karena belum memenuhi syarat yang ditentukan dan belum dianggap
sah secara yuridis formal dan permohonan pembatalan perkawinan dapat
dikabulkan. Bagi hakim yang berpendapat bahwa pasal 2 (1) dan ayat (2) Undang –
undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan hal yang berdiri sendiri,
tidak saling berhubungan, maka perkawinan sudah dianggap sah apabila telah
dilakukan menurut ketentuan agama dan kepercayaannya, pencatatan hanya
merupakan pekerjaan administrasi, bukan sesuatu yang harus dipenuhi. Perkawinan
tersebut bukan nikah fasid, dan bila tidak ada pihak yang mengajukan permohonan
pembatalan kepada pengadilan, perkawinan tersebut tidak perlu dibatalkan,
permohonan pembatalan harus ditolak.
10 Abdul Mannan, Aneka Masalah Hukum Material dalam praktek Pengadilan Agama, Jakarta. Pustaka Bangsa Press, 2002, hal.50.11Soerjono Soekanto dan nPurnadi Purbacarakan, Aneka Cara Pembedahan Hukum. Bandung. PT. Citra Aditya,1998, hal.21
Hukum Keluarga dan Waris
BAB III
KASUS POSISI
Perkara permohonan yang diajukan oleh :
1. DARYONO, Jenis kelamin laki - laki, lahir di Cilacap pada tanggal 21 Maret
1954, beralamat di Dusun Tawangagung RT.003 RW.004, Desa Karang
tawang, Kecamatan Nusawungu,Kabupatn Cilacap.
2. SARINAH, Jenis kelamin Perempuan, lahir di Cilacap pada tanggal 01 April
1965, beralamat di Dusun Tawangagung RT.003 RW.004, Desa Karang
tawang, Kecamatan Nusawungu, Kabupaten Cilacap, selanjutnya disebut
sebagai PARAPEMOHON.
Register perkara perdata Permohonan Nomor : 16/Pd t.P / 2011/PN.Cl p .
tertanggal 21 Februari 2011 telah mengemukakan hal - hal sebagai berikut : - - - - - -
- - - - - -
1. Bahwa Para Pemohon telah melakukan perkawinan menurut tatacara adat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2. Bahwa karena kurang tahunya Para Pemohon mengenai perkawinan Para
Pemohon sampai saat ini belum didaftarkan di Kantor Catatan Sipil Cilacap .
3. Bahwa kini Para Pemohon sangat membutuhkan akte perkawinan tersebut
untuk kepentingan dikelak kemudian hari yang ada hubunganya dengan akte
perkawinan.
4. Bahwa Para Pemohon telah berusaha untuk mendapatkan akte perkawinan
tersebut ke Kantor Catatan Sipil akan tetapi usaha Pemohon belum berhasil ;
5. Bahwa untuk kepentingan tersebut perlu adanya penetapan dari Pengadilan
Negeri Cilacap ;
Dipersidangan Para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat - surat yang
diberitanda P- 1 sampai dengan P- 3, Yakni :
1. Foto copy Kutipan Surat Perkawinan Adat Nomor : 11/HPK/NS/V/1998
tanggal 20 Mei 1998 yang dikeluarkan oleh Himpunan Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kecamatan Nusawungu
(Bukti P- 1)
2. Foto copy Kartu Keluarga Nomor 3301051703080013 atas nama kepala
keluarga Daryono ; (Bukti P- 2)
Hukum Keluarga dan Waris
3. Foto copy Kartu Tanda Penduduk atas nama DARYONO dan SARINAH
( bukti P- 3) .
Para pemohon pada mendalilkan bahwa Para Pemohon telah menikah
dihadapkan Pemuka Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
pada tanggal 05 Mei 1998, akan tetapi perkawinan Para Pemohon sampai saat ini
belum didaftarkan di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Cilacap sehingga ketika
Pemohon hendak mendaftarkan perkawinan tersebut oleh petugas dari Kantor
Catatan Sipil dianggap telah terlambat, sedangkan adanya akta perkawinan tersebut
sangat diperlukan oleh Para pemohon untuk kepentingan Para Pemohon dikelak
kemudian hari yang ada hubunganya dengan akta perkawinan Para pemohon, oleh
karenanya menurut Para Pemohon diperlukan adanya Penetapan dari Pengadilan
Negeri Cilacap.
Dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi dapat diperoleh fakta hukum
dan oleh karenanya formil harus dipandang telah terbukti hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa benar Para pemohon telah menikah dihadapan Pemuka Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada tanggal 20 September
2009 di Cilacap.
2. Bahwa benar perkawinan tersebut sampai saat ini belum didaftarkan di
Kantor Catataan Sipil Kabupaten Cilacap.
3. Bahwa benar belum didaftarkanya perkawinan oleh Para Pemohon di Kantor
Catatan Sipil Cilacap menyebabkan Para Pemohon belum mempunyai akte
perkawinan
Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor : 23 Tahun 2006 ( Tentang
Administrasi Kependudukan ) Perkawinan adalah merupakan Peristiwa
Kependudukan dan peristiwa penting di alami oleh penduduk yang harus dilaporkan
kepada instansi Pelaksana atau UPTD instansi pelaksana.
Persyaratan dan Tata Cara Pencatatan Peristiwa Penting (termasuk
perkawinan) bagi penduduk yang agamanya belum di akui sebagai agama
berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan atau bagi Penghayat Kepercayaan
harus berpedoman pada Peraturan Perundang - Undangan, yang pengaturan lebih
lanjut mengenai hal ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor : 37 Tahun
2007 (Tentang PelaksanaanUndang- Undang Nomor : 23 Tahun 2006 ) .
Sesuaiketentuan pasal 81 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun
2007 di sebutkan“ Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan dihadapan
Hukum Keluarga dan Waris
Pemuka Penghayat Kepercayaan “ dan didalam ayat (2) ditegaskan “ Pemuka
Penghayat Kepercayaan sebagaimana di maksud pada ayat (1) ditunjuk dan di
tetapkan oleh organisasi Penghayat Kepercayaan untuk mengisi dan
menandatangani surat perkawinan Penghayat Kepercayaan .
Sesuai ketentuan pasal 82 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor : 37 Tahun
2007 Para Pemohon wajib melaporkan perkawinanya tersebut kepada instansi
pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana paling lambat 60 ( enampuluh ) hari
terhitung sejak perkawinan tersebut dilangsungkan .
Hukum Keluarga dan Waris
BAB IV
ANALISIS KASUS
A. Dampak Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Atau Perkawinan Bawah Tangan
Bagi Pasangan Suami Isteri
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Di Indonesia
sendiri peraturan mengenai perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan.Salah satu asas yang terkandung dalam Undang-
Undang Perkawinan adalah perkawinan dilakukan menurut agama dan harus
dicatat.Hal tersebut memiliki arti bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selain itu
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan).Pencatatan perkawinan untuk orang yang beragama Islam dilakukan
di Kantor Urusan Agama, sedangkan pencatatan perkawinan untuk orang yang
beragama selain Islam dan penganut kepercayaan dilakukan di Kantor Catatan
Sipil.
Dengan tidak dicatatkannya suatu perkawinan, perkawinan tersebut tetap
dianggap sah. Akan tetapi, akan timbul banyak konsekuensi yuridis berkaitan
dengan perkawinan tersebut. Perkawinan yang tidak dicatatkan akan memberikan
dampak antara lain :
a. Status perkawinan dari suami istri tersebut tidak akan mendapatkan
perlindungan hukum. Dengan dicatatnya perkawinan maka secara otimatis
baik pihak istri ataupun suami mendapatkan perlindungan secara hukum.
Contohnya adalah jika terjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Jika
sang istri mengadu pada pihak yang berwajib, pengaduannya sebagai istri
yang mendapatkan tindakan kekerasan tidak akan dibenarkan. Alasannya
adalah karena sang istri tidak mampu menunjukkan bukti-bukti otentik akta
pernikahan yang resmi.
b. Pasangan suami istri tersebut akan mengalami kesulitan berkaitan dengan
urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan.
Hukum Keluarga dan Waris
Dengan adanya akta nikah yang merupakan bukti otentik dari pencatat
pernikahan membatu suami atau istri untuk melakukan kebutuhan lain yang
berkaitan dengan hukum. Misalnya hendak menunaikan ibadah haji,
menikahkan anak perempuannya yang sulung, pengurusan asuransi
kesehatan dan lain sebagainya.
c. Berkaitan dengan Legalitas formal pernikahan di hadapan hukum.
Walaupun secara agama sebuah pernikahan sah tanpa dicatatkan oleh PPN,
pada dasarnya illegal menurut hukum.
d. Sebuah pernikahan yang tidak dicatatkan secara resmi maka tidak akan
terjamin keamanannya dari kemungkinan terjadinya pemalsuan dan
kecurangan lainnya. Misalnya, seorang suami atau istri hendak memalsukan
nama mereka yang terdapat dalam akta nikah untuk keperluan yang
menyimpang. Dengan pencatatan yang resmi maka hal tersebut tidak dapat
dihindarkan.
Selain hal-hal tersebut diatas, dengan dicatatkannya suatu perkawinan akan
memberikan kemudahan dalam hal mengurus dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan kepentingan keturunan di masa mendatang, seperti dalam hal
pengurusan akta kelahiran anak. Seperti yang kita ketahui salah satu syarat
pembuatan akta kelahiran anak adalah dengan menunjukkan surat nikah dari
kedua orangtuanya. Dengan tidak dapat ditunjukkannya surat nikah tersebut
maka anak akan mengalami kesulitan dalam membuat akta kelahiran. Padahal
akta kelahiran merupakan salah satu dokumen penting seseorang, seperti dalam
hal mendaftar sekolah.
Dari kasus yang telah disebutkan dalam BAB III, perkawinan yang dilakukan
oleh pemohon, yakni Daryono dan Sarinah dilakukan secara kepercayaan.Tetapi,
karena ketidaktahuan keduanya maka mereka tidak mecatatkan perkawinannya
ke Kantor Catatan Sipil sesuai dengan yang diamanatkan Pasal 2 Ayat 2 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974.Tetapi setelah perkawinan berlangsung lama para
pemohon merasakan dampak-dampak dari tidak dicacatkannya perkawinan dan
pemohon merasa sangat membutuhkan akte perkawinan tersebut untuk
kepentingan dikelak kemudian hari yang ada hubunganya dengan akte
perkawinan. Untuk itu demi kepentingannya, pemohon telah berusaha untuk
mendapatkan akte perkawinan tersebut ke Kantor Catatan Sipil akan tetapi usaha
Hukum Keluarga dan Waris
Pemohon belum berhasil tetapi untuk kepentingan tersebut perlu adanya
penetapan dari Pengadilan Negeri Cilacap ;
B. Penyelesaian Yang Dapat Dilakukan Bila Perkawinan Bawah Tangan Sudah
Terjadi
Mengumpulkan bukti-bukti terjadinya perkawinan dari mejelis agama
(masjid, gereja, wihara, dll) ataupun lembaga adat yang menikahkan
mereka.
Meminta surat pernyataan dari saksi-saksi pernikahan
Membuat surat permohonan terbukti menikah di pengadilan negeri dengan
surat permohonan, dan kelengkapan tersebut diatas
Setelah ada putusan pengadilan negeri, memintakan atau mendaftarkan
perkawinan dengan menunjukkan putusan itu ke Kantor Urusan Agama
(Muslim) atau Kantor Catatan Sipil (non-muslim) tergantung kepercayaan
masing-masing.
Setelah mendapatkan akta nikah simpan baik-baik sebagai arsip
sebilamana dibutuhkan. Apabila hilang laporkan segera ke kantor pencatat
nikah (KUA/KCS).
1. Bagi yang Beragama Islam
a. Mencatatkan perkawinan dengan itsbat nikah
Bagi yang beragama Islam, namun tak dapat membuktikan terjadinya
perkawinan dengan akte nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah
(penetapan/pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama (Pasal 7 KHI) Namun
Itsbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan: a. dalam rangka
penyelesaian perceraian; b. hilangnya akta nikah; c. adanya keraguan tentang sah
atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. perkawinan terjadi sebelum
berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan; e. perkawinan yang dilakukan
oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1/1974.
Artinya, bila ada salah satu dari kelima alasan di atas yang dapat dipergunakan,
anda dapat segera mengajukan permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama.
Sebaliknya, akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan. Tetapi
Hukum Keluarga dan Waris
untuk perkawinan dibawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan
dalam rangka penyelesaian perceraian. Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan
alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan, jika sebelumnya
sudah memiliki Akta Nikah dari pejabat berwenang.Apabila dalam perkawinan telah
dilahirkan anak-anak jangan lupa, bila telah memiliki Akte Nikah, harus segera
mengurus Akte Kelahiran anak-anak anda ke Kantor Catatan Sipil setempat agar
status anak pun sah di mata hukum. Jika pengurusan akte kelahiran anak ini telah
lewat 14 (empat belas) hari dari yang telah ditentukan, terlebih dahulu harus
mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak kepada Pengadilan Negeri
setempat. Dengan demikian, status anak-anak anda dalam akte kelahirannya bukan
lagi anak luar kawin.Tetapi perkawinan yang dilakukan dibawah tangan tidak akan
bisa membuat akte kelahiran karena syarat pembuatan akte kelahiran yang sah
adalah akta nikah.
b. Melakukan perkawinan ulang
Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam.
Namun, perkawinan harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang
berwenang pencatat perkawinan (KUA). Pencatatan perkawinan ini penting agar ada
kejelasan status bagi perkawinan. Namun, status anak-anak yang lahir dalam
perkawinan bawah tangan akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena
perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum
perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akte kelahiran, anak yang
lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak
yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam
perkawinan. Bila perkawinan di bawah tangan ingin diakhiri dan “dilegalkan”, ada
dua cara, yaitu dengan mencatatkan perkawinan dengan itsbat nikah dan menikah
ulang dengan mengikuti prosedur pencatatan KUA. “Bagi yang beragama Islam
pernikahan yang tidak dapat membuktikannya dengan akta nikah, dapat
mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/ pengesahan nikah) kepada
pengadilan agama sesuai Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 7 ”Akan sulit bila tidak
memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan. Biasanya untuk perkawinan di bawah
tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian
perceraian. Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam
Hukum Keluarga dan Waris
rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki akta nikah
dari pejabat berwenang,”.
Walaupun sudah resmi memiliki akta, status anak-anak yang lahir dalam
perkawinan di bawah tangan sebelum pembuatan akta tersebut akan tetap dianggap
sebagai anak di luar nikah, karena perkawinan ulang tidak berlaku terhadap status
anak yang dilahirkan sebelumnya.
2. Bagi yang beragama non-Islam (Kristen, Hindu dan Budha)
a. Perkawinan ulang dan pencatatan perkawinan
Perkawinan ulang dilakukan menurut ketentuan agama yang dianut. Penting
untuk diingat, bahwa usai perkawinan ulang, perkawinan harus dicatatkan di muka
pejabat yang berwenang. Dalam hal ini di Kantor Catatan Sipil. Jika Kantor Catatan
Sipil menolak menerima pencatatan itu, maka dapat digugat di PTUN (Peradilan
Tata Usaha Negara). http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm
b. Pengakuan anak
Jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan
pengakuan anak. Yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir
di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak
dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun, berdasarkan pasal 43 UU no
1 Tahun 1974 yang pada intinya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar
perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk
mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan
Pengakuan Anak. Namun bagaimanapun, pengakuan anak hanya dapat dilakukan
dengan persetujuan ibu, sebagaimana diatur dalam pasal 284 KUH Perdata.
Hukum Keluarga dan Waris
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah di paparkan di dalam bab sebelumnya terutama
di dalam bab analisa, maka dapat dikatakan bahwa apabila di dalam suatu
perkawinan tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil, maka hal tersebut akan
memberikan dampak yang sangat buruk terhadap pasangan suami isteri tersebut.
Mengapa demikian? Hal tersebut dikarenakan beberapa hal yakni:
a. Status perkawinan dari suami istri tersebut tidak akan mendapatkan
perlindungan hukum. Dengan dicatatnya perkawinan maka secara otimatis
baik pihak istri ataupun suami mendapatkan perlindungan secara hukum.
b. Pasangan suami istri tersebut akan mengalami kesulitan berkaitan dengan
urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan.
Dengan adanya akta nikah yang merupakan bukti otentik dari pencatat
pernikahan membatu suami atau istri untuk melakukan kebutuhan lain yang
berkaitan dengan hukum.
c. Berkaitan dengan Legalitas formal pernikahan di hadapan hukum.
Walaupun secara agama sebuah pernikahan sah tanpa dicatatkan oleh PPN,
pada dasarnya illegal menurut hukum.
d. Sebuah pernikahan yang tidak dicatatkan secara resmi maka tidak akan
terjamin keamanannya dari kemungkinan terjadinya pemalsuan dan
kecurangan lainnya.
Dengan adanya dampak-dampak yang seperti itu, perkawinan yang
seharusnya merupakan sesuatu hal yang memberikan sebuah kebahagian,
seperti apa yang terdapat di dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, akan
memberikan kesulitan bagi pasangan suami isteri yang tidak mencatatkan
perkawinannya di Kantor Catatan Sipil. Hal tersebut tidak hanya memiliki dampak
yang buruk bagi para pasangan yang menikah saja, akan tetapi juga bagi
keturunan mereka, baik mengenai akta kelahiran mereka, maupun pembagian
waris yang akan diterima oleh mereka.
Suatu perkawinan dapat dikatakan sah secara hukum apabila perkawinan
tersebut dicatatkan di Kantor Catatan Sipil sesuai dengan ketentuan yang berlaku
sebagaiman yang telah diatur didalam pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun
Hukum Keluarga dan Waris
1974.Maka dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan di Kantor Catatan
Sipili, pada dasarnya, merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
melaksanakan perkawinan. Dikarenakan dengan dicatatkannya suatu perkawinan
di KCS (Kantor Catatan Sipil), maka akan mempermudah segala urusan hukum
yang hendak akan dilaksanakan oleh para kedua belah pihak. Seperti apa yang
telah di jelaskan, contohnya dalam pengurusan akta kelahiran, ibadah haji,
menikahkan anak, maupun pendaftaran askes dan lain sebagainya.
B. Saran
Dalam melakukan suatu proses perkawinan, seharusnya para pihak telah
terlebih dahulu mengerti dan memahami mengenai tata tata cara pelaksanaan
proses perkawinan yang telah dimuat di dalam perundang-undangan di Indonesia
terutama yang termuat di dalam UU No. 1 Tahun 1974. Perlu diketahui pula oleh
para pasangan yang hendak menikah bahwa suatu perkawinan akan sah menurut
hukum apabila perkawinan tersebut dicatatkan di KCS, seperti apa yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Hal tersebut sangat penting dan perlu untuk dilakukan agar dapat
mempermudah segala sesuatu urusan yang nantinya akan berhubungan dengan
hukum seperti apa yang telah dijelaskan didalam bab analisa makalah ini. Selain
itu, seharusnya bagi para pasangan yang hendak menikah, hendaknya tidak
hanya melakukan perkawinan menurut kepercayaan atau adatnya masing-masing
saja, akan tetapi juga menurut peraturan perundang-undangan. Hal sedemikian
rupa agar tidak menjadi suatu perkara dikemudian hari seperti apa yang terdapat
di dalam kasus yang di bahas didalam makalah ini.
Oleh sebab itu secara keseluruhan, kami menyarankan bahwa agar tujuan
daripada perkawinan itu sendiri sebagaimana yang terdapat di dalam pasal 1 UU
No. 1 Tahun 1974, terselenggara dengan baik tanpa adanya suatu kesulitan yang
ditemui oleh para pasangan suami isteri, hendak perkawinan tersebut
dilaksanakan pula sesuai dengan ketentuan yang berlaku tanpa ada yang terlewat
agar tidak menjadi suatu perkara yang rumit dikemudian hari dan agar
mempermudah segala urusan-urusan yang berhubungan dengan perkawinan itu
sendiri atau yang berhubungan dengan Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan
Agama.
Hukum Keluarga dan Waris
DAFTAR PUSTAKA
Perundang-Undangan
Rumusan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Buku
Mannan., Abdul, 2002, Aneka Masalah Hukum Material dalam Praktek Pengadilan
Agama, Jakarta : Pustaka Bangsa Press.
Saleh., K. Wantjik, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia.
Soekanto., Soerjono, Purnadi Purbacarakan, 1998, Aneka Cara Pembedahan
Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya.
Syahar., Saidus.
Syahrani., Riduan, 2006, Seluk beluk Asas-asas hukum perdata, Bandung : PT.
Alumni.
Hukum Keluarga dan Waris