Penetapan Status Anak Dari Perkawinan Yang Tidak...
Transcript of Penetapan Status Anak Dari Perkawinan Yang Tidak...
Penetapan Status Anak Dari Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan
(Analisis Putusan Nomor 597 K/Ag/2015)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Ania Fitriah
1110044100029
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H/2017 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan asli hasil karya saya yang diajukan untuk
memenuhisalah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juli 2017
Ania Fitriah
1110044100029
ABSTRAK
Ania Fitriah. NIM 1110044100029. PENETAPAN STATUS ANAK DARI
PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN (ANALISIS PUTUSAN
NOMOR 597 K/AG/2015). Program Studi Hukum Keluarga (Akhwalul
Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1438 H/2017 M. Ix + 100 halaman 10 halaman lampiran.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum dan pertimbangan hakim
dalam putusan nomor 597 K/Ag/2015 yang mengabulkan Penetapan status anak
pada perkawinan yang tidak dicatatkan, kemudian meninjau putusan tersebut
menurut perspektif Hukum Fiqih dan Hukum Positif. Penetapan status anak selalu
dihubungkan dengan pencatatan perkawinan, dalam Pasal 2 Undang Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 adalah Perkawinan sah bila dilakukan menurut
agamanya masing- masing, dan setiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan
perundang- undangan yang berlaku. Penetapan status anak pada perkawinan yang
tidak dicatatkan harus mempunyai syarat- syarat yang berlaku menurut
perundang- undangan dan syariat Islam, dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam
(KHI) adanya calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab kabul.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Hukum Normatif dan library
reasearch dengan melakukan pengkajian terhadap putusan majelis hakim,
peraturan perundang- undangan, buku- buku, dan kitab- kitab yang berkaitan
dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian, dasar hukum dan pertimbangan majelis hakim dalam
putusan nomor 597/K/Ag/2015 secara umum telah sesuai Hukum Fiqih dan
Hukum Positif, yaitu menerima Penetapan status anak pada perkawinan yang
tidak dicatatkan. Perkawinan yang sesuai dengan ketentuan syarat dan rukun
perkawinan, meskipun tidak dicatatkan, terlihat dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 99, dan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak dan di dukung oleh adanya Putusan MK Nomor 46/PUU-
VIII/2010, bahwa anak juga mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya dan
kelurga ayahnya, sehingga dapat disimpulkan majelis hakim dalam memutuskan
putusan tersebut lebih menekankan pada aspek kemaslahatan anak.
Kata Kunci: Asal- usul Anak, Pencatatan Perkawinan, Mahmakah Agung.
Pembimbing : Afwan Faizin, MA
Daftar Pustaka : Tahun 1974 s.d 2017
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puja dan puji syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkah rahmat
nikmat serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Penetapan Status Anak Dari Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan”. Shalawat serta
salam penulis curahkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang
selalu memberi syafaat kepada umatnya dari setiap lafadz sholawat yang terucap.
Penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari
dukungan, arahan, dan bantuan banyak pihak, dengan segala kerendahan hati dan
rasa syukur penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
beserta jajaran dan staf Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag selaku Ketua Program Studi Hukum
Keluarga serta Bapak Arip Purkon, S.HI., M.A selaku Sekretaris Program
Studi Hukum Keluarga yang telah bekerja dengan maksimal.
3. Bapak Afwan Faizin, MA. Menjadi pembimbing skripsi yang telah banyak
membimbing, memberikan masukan serta pencerahan, motivasi semangat
dan ilmunya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu-
ilmu yang tak ternilai harganya, seluruh staff dan karyawan perpustakaan
Fakultas Syariah dan Hukum, perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan bagian tata usaha Fakultas Syariah yang telah
memberikan pelayanan yang terbaik.
5. Saya Persembahkan untuk Suami tercinta Andi Firman, MPd.I yang tiada
hentinya memberikan cinta, semangat, dan doa untuk terus mengingatkan
dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Teristimewa untuk orang tua penulis yaitu ayahanda tercinta Drs. H. M.
Dasuki, MMPd, ibunda tercinta Hj. Tamimah Herawati, MMPd yang
telah memberikan motivasi serta arahan yang tak pernah putus serta tiada
ii
henti mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan. Dan juga kepada
kakak- kakak, dan adik penulis Machrul Falaq, ST, Khozin Arif, M.E,
Kiki Mardhotillah, S.Pd.I, Ulfiah Rachmah, LC, dan Darojatul Hurumat
yang selalu memberikan doa, dukungan dan semangat kepada penulis.
7. Keluarga besar serta dewan guru Yayasan Al- Hidayah, khususnya staff
dan guru- guru SMP Dasta Karya, Sahabat tersayang Rina Zahrona, Mimi
Muthiatillah, Maula Qonita, dan Citra Rahmah yang selalu menemani dan
mendukung dalam setiap perjuangan menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman- teman program studi Akhwalul Syakhsyiyah angkatan 2010 yang
telah memberikan saran dan motivasi kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan banyak yang
perlu diperbaiki lebih dalam. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis harapkan
demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan setiap pembaca dan umumnya serta menjadi amal baik di
sisi Allah SWT. Semoga setiap bantuan do’a, motivasi yang telah diberikan
kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Wasslamu’alaikum, Wr. Wb
Jakarta, Juli 2017
Ania Fitriah
iii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................iii
LAMPIRAN ......................................................................................................... v
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................... 7
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian .............................. 7
D. Metode Penelitian.................................................................... 9
E. Riview Studi Terdahulu …....................................................11
F. Sistematika Penulisan …........................................................12
BAB II Status Anak Menurut Hukum Fiqih
A. Pengertian Status Anak Menurut Hukum Fiqih …..................14
B. Kedudukan Status Anak Menurut Hukum Fiqih ....................20
C. Hubungan Nasab Dalam Hukum Fiqih...................................23
1. Pengertian Nasab ............................................................23
2. Sebab- sebab Nasab.........................................................28
3. Dasar Hukum Nasab .......................................................29
D. Hak Anak Dalam Hukum Fiqih ..............................................29
E. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan Perspektif
Hukum Fiqih ..........................................................................38
BAB III Status Anak Menurut Hukum Positif
A. Pengertian Status Anak Menurut Hukum Positif …..............42
B. Kedudukan Status Anak Menurut Hukum Positif ..................46
C. Hubungan Nasab Dalam Hukum Positif ................................48
iv
1. Pengertian Nasab ............................................................48
2. Sebab- sebab Nasab ........................................................49
3. Dasar Hukum Nasab .......................................................54
D. Hak Anak Dalam Hukum Positif ...........................................56
E. Dasar Hukum Pencatatan perkawinan perspektif
Hukum Positif .......................................................................74
BAB IV Analisis Putusan Nomor 597 K/Ag/2015 Dalam Prespektif
Hukum Fiqih dan Positif
A. Putusan Mahkamah Agung Nomor : 597/K/Ag/2015 ............79
1. Duduk Perkara ............................................................... 79
2. Alasan- Alasan Kasasi.....................................................81
3. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung........................84
4. Amar Putusan..................................................................86
B. Tinjauan Hukum Fiqih Terhadap Putusan Nomor :
597 K/Ag/2015 .................................................. ...................87
C. Tinjauan Hukum Positif Terhadap Putusan Nomor :
597 K/Ag/2015 ......................................................................93
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …....................................................................... 98
B. Rekomendasi …......................................................................99
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1. Surat Mohon Kesediaan Pembimbing Skripsi
2. Putusan Mahkamah Agung No. 597 K/Ag/2015
3. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 0346/Pdt.P/2014/PA
JS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Pasal 1 Undang - Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
selanjutnya disebut Undang – Undang Perkawinan menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan perkawinan, adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Dalam Al-Qur’an surat An-Nisâ; ayat 19, Allah SWT
berfirman ;
مب ببعض لتذهبىا تعضلىهه وال كرهب النسبء ترثىا أن لكم يحل ال آمنىا الذيه أيهب يب
أن فعسى كرهتمىهه فإن ببلمعروف وعبشروهه مبينة بفبحشة يأتيه أن إال آتيتمىهه
كثيرا خيرا فيه هالل ويجعل شيئب تكرهىا
Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan
bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (QS. An-Nisa :
19)
Sesungguhnya ikatan lahir batin adalah untuk saling membahagiakan
antara suami istri seumur hidup, jadi ikatan lahir batin harus ada, tidak hanya
cukup lahir atau batin saja, karena tanpa adanya ikatan batin, ikatan lahir akan
menjadi rapuh. Sedangkan tujuan perkawinannya adalah membentuk keluarga
( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
2
Sedangkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan,
bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing -
masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sebagai salah satu perbuatan
hukum, perkawinan mempunyai akibat hukum yang erat sekali hubungannya
dengan sahnya perbuatan hukum itu. Perkawinan tidak hanya menyatukan
seorang pria dan wanita dalam sebuah rumah tangga, namun perkawinan
membawa konsekwensi hukum, baik kepada suami maupun istri yang telah
menikah secara sah.
Para pakar hukum dari kalangan teoritis dan praktisi hukum juga masih
bersilang pendapat tentang pengertian yuridis sahnya suatu perkawinan. Ada
dua pendapat para pakar hukum mengenai masalah ini. Pertama, Ahli hukum
yang berpegang pada cara penafsiran legisme (kebahasaan). Mereka
berpendapat bahwa perkawinan yang dilakukan menurut cara berdasarkan
aturan agama dan keyakinan dua belah pihak yang melakukan perkawinan
adalah sah, sedangkan pencatatn perkawinan bukanlah syarat sah perkawinan,
tetapi hanya sebagai syarat kelengkapan administrasi perkawinan.
Kedua, Ahli hukum yang berpegang pada cara penafsiran sistematis
(penafsiran Undang-undang dengan asumsi bahwa antara Pasal yang satu
dengan yang lainya saling menjelaskan dan merupakan satu-kesatuan).
Mereka berpendapat bahwa pencatatan perkawinan adalah syarat sahnya
sebuah perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan yang tidak dicatat dianggap
tidak mempunyai kekuatan hukum. Sebagaimana diketahui, bahwa dasar
terbentuknya sebuah keluarga adalah perkawinan. Dari pengertian
perkawinan tersebut di atas, jelaslah bahwa perkawinan merupakan lembaga
suci dan berkekuatan hukum.
Disisi lain, menurut M. Quraish Shihabpula, perkawinan yang tidak
tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena
dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan. 1 Pernikahan apa pun selain
yang tercatat secara resmi di negara hukumnya tidak sah. 2
1 M. Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2006),h. 216. 2 Dadang Hawari, Marriage Counseling (Konsultasi Perkawinan), (Jakarta: FKUI, 2006), h. 83
3
Dalam hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, berbagai
konsekwensi hukum tersebut sebenarnya sudah diatur, antara lain
menyangkut hak dan kewajiban antara suami istri secara timbal balik,
tanggung jawab suami istri tehadap anak – anaknya, juga konsekwensi
terhadap harta kekayaan dalam perkawinan serta akibat hukumnya terhadap
pihak ketiga. Berhubung dalam perkawinan mempunyai risiko dan segala
konsekwensi hukum, maka perlu adanya pemahaman masyarakat tentang
hukum perkawinan, yaitu yang mengatur syarat-syarat perkawinan, tata cara
pelaksanaan, kelanjutan dan berakhirnya perkawinan.
Dalam penjelasan Pasal 1 Undang – Undang Perkawinan, dinyatakan
bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya,
ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan agama / kerokhanian, sehingga perkawinan bukan
saja mempunyai unsur lahir / jasmani, tetapi unsur batin / rokhani juga
mempunyai peranan penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat
hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan,
pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Sungguh sangat ideal tujuan perkawinan yang diinginkan oleh Undang-
Undang Perkawinan, yang tidak hanya melihat dari segi perjanjian lahiriah
saja, tetapi juga merupakan suatu ikatan batin antara suami istri yang
ditujukan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, tanpa berakhir
dengan perceraian dan mendapatkan keturunan / anak yang baik dan sehat.
Anak sebagai hasil dari suatu perkawinan, merupakan bagian yang sangat
penting kedudukannya dalam keluarga, maka orang tua mempunyai
kewajiban penuh untuk memelihara dan mendidik anak- anaknya dengan
sebaik – baiknya hingga dewasa, dapat berdiri sendiri atau telah menikah3.
Kedudukan anak dalam Undang- undang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua , yaitu anak yang sah dan anak
yang dilahirkan di luar perkawinan. Dalam undang- undang Perkawinan dan
3 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : Uii Pres, 2010) h. 11
4
Kompilasi Hukum Islam anak yang sah, adalah anak yang dilahirkan dalam
atau akibat perkawinan yang sah.
Menurut Undang – Undang Perkawinan Pasal 42 , yaitu “ Anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah
“, Pasal 43, (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Artinya si anak tidak
mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, baik yang berkenaan dengan
pendidikan maupun warisan. Dalam Undang- Undang Perkawinan Pasal 43
ayat (2) dikatakan bahwa, “Kedudukan anak luar nikah selanjutnya akan
diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Akan tetapi sampai saat ini Peraturan
Pemerintah yang dimaksud tersebut belum juga diterbitkan. Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan
Undang- Undang tersebut tidak mengatur mengenai status anak tersebut.
Anak luar nikah tersebut tidak dapat dinasabkan kepada bapaknya sehingga ia
tidak akan mempunyai hubungan baik secara hukum maupun kekerabatan
dengan bapaknya. Sehingga secara yuridis formal ayah tidak wajib
memberikan nafkah kepada anak itu, walaupun secara biologis anak itu
adalah anaknya sendiri. Jadi hubungan kekerabatan hanya berlangsung secara
manusiawi bukan secara hukum.
Akan tetapi kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya
No. 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
menyatakan “ Anak yang lahir di luar nikah mempunyai hubungan hukum
dengan ayah biologisnya” , tidak lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibu.
Putusan MK ini mencerminkan prinsip persamaan di hadapan hukum
(equality before the law ) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1)
yang berbunyi : “Setiap anak berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum,
dengan demikian bahwa hukum harus memberi perlindungan dan kepastian
hukum yang adil terhadap status setiap anak yang dilahirkan dan hak- hak
yang ada padanya, termaksud kepada anak yang dilahirkan dilur pernikahan
yang sah menurut peraturan perundang- undangan.
5
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang
Perlindungan Anak, menyebutkan Anak adalah seseorang yang belum genap
berusia 18 (delapan belas) tahun, serta termasuk anak yang masih dalam
kandungan pun masih dikategorikan sebagai anak-anak.
Anak yang masih dalam kandugan maupun yang telah di lahirkan
mendapatkan perlindugan hukum dari Pemerintah. Perlindungan hukum
tersebut bentuknya bermacam-macam, salah satunya yaitu untuk
mendapatkan akta kelahiran anak, hal tersebut telah diperkuat dalam Pasal 28
B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang mana isi pasal tersebut menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Hal yang menyebabkan anak tidak mendapatkan akta kelahiran adalah
perkawinan yang tidak dicatatkan oleh orangtua anak tersebut, padahal
diketahui bahwa Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dijelaskan bahwa syarat sahnya perkawinan yaitu :4
(1) Perkawinan sah apabila dilakukan menurut masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, dan di dalam ayat;
(2) menyebutkan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Melihat pentingnya pencatatan akta kelahiran bagi anak maka setiap anak
diharuskan memiliki akta kelahiran, akta kelahiran ini dapat diperoleh apabila
perkawinan dilakukan secara sah menurut agama dan perundang-undangan
yang berlaku di Negara Indonesia. Sah menurut peraturan perundang-
undangan maksudnya yaitu perkawinan tersebut di catat di Kantor Urusan
Agama kecamatan di tiap-tiap daerah pasangan yang melakukan perkawinan
bagi pasangan yang beragama islam, namun bagi pasangan yang beagaman
non islam pencatatan perkawinan tersebut dilakukaan di kantor catatn sipil.
Oleh karena itu pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan mengatur mengenai tata cara untuk mendapatkan akta
4 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
6
kelahiran anak bagi anak yang tidak dapat memiliki akta kelahiran, tapi masih
menimbulkan pertanyaan bagaimana bukti-bukti yang memenuhi syarat.
Pasal tersebut menyebutkan :5
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta
kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang.
(2) Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada
maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal
usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti
berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3) Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini maka
instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum
pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi
anak yang bersangkutan.
Dilihat dari pasal tersebut, apabila anak diluar nikah yang tidak memiliki
akta kelahiran, maka akta kelahiran mengenai asal usul anak dapat
dimintakan penetapannya ke Pengadilan. Hal ini dapat dilihat dari penetapan
yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dalam Penetapan
Nomor ; 0346/Pdt.P/2014/PA JS tersebut dimintakan oleh pasangan David
Allen Clive Delbridge dan Anastasia , disebut sebagai pemohon I dan
pemohon II. Para pemohon mengajukan permohonan penetapan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, karena anak mereka yang bernama
Devon David Delbridge dalam akte kelahirannya dicatatkan hanya
mempunyai hubungan nasab dengan pemohon II, yaitu ibunya. Maka mereka
meminta akte kelahiran baru agar dicatatkan mempunyai hubungan nasab
dengan pemohon II. Dalam kasus ini hakim menolak penetapan yang di
ajukan oleh para pemohon.
Dalam hal ini, pertimbangan hukum yang digunakan hakim untuk
mengabulkan permohonan pemohon tersebut hanya sebatas konsepsi pada
5 Pasal 55 ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
7
ketentuan yang termuat pada pasal 2 ayat (1) Undang-undang perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, pasal 55 Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, dan pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002. Dalam
artian bahwa, dasar penetapan tersebut tidak mengacu putusan MK yang
menyatakan bahwa anak yang lahir di luar nikah mempunyai hubungan
hukum dengan ayah biologisnya. Para pemomohon mengajukan kasisi ke
Mahkamah Agung, dalam putusan Mahkamah Agung Nomor ; 597
K/Ag/2015, Kasus tersebut diterima.
Bahwa berdasarkan dari 2 putusan kasus tersebut terdapat perbedaan
putusan oleh hakim tentang penetapan permohonan asal usul anak, padahal
menurut penulis, pernikahan yang dilakukan oleh kedua pasangan tersebut
sama-sama pernikahan yang tidak sah secara hukum nasional, sehingga
mengakibatkan perbedaan akibat hukum bagi si anak. Oleh karena itu penulis
ingin mengangkat penelitian mengenai Penetapan Status Anak Dari
Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas
dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Di sini penulis hanya akan
membahas apa saja dasar hukum dan syarat- syarat yang diterima Mahkamah
Agung dalam menerima Putusan Nomor 597 K/Ag/2015, Dalam undang-
undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam anak yang sah, adalah anak
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Pasal 55 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa asal usul seorang
anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang otentik.
2. Perumusan Masalah
Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
8
a. Bagaimana pertimbangan hukum dan syarat- syarat pada putusan
Nomor 597 K/Ag/2015 yang mengabulkan penetapan status anak pada
perkawinan yang tidak dicatatkan ?
b. Bagaimana Tinjauan Hukum Positif terhadap Putusan Nomor 597
K/Ag/2015 ?
c. Bagaimana Tinjauan Hukum Fikih terhadap Putusan Nomor 597
K/Ag/2015 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Mengacu pada permasalahan yang telah disebutkan di atas, penelitian ini
bertujuan :
a. Untuk Mengetahui Dasar Hukum Putusan Nomor 597 K/Ag/2015
Yang Mengabulkan Penetapan Status Anak Pada Perkawinan Yang
Tidak Dicatatkan.
b. Untuk Mengetahui Tinjauan Hukum Positif Terhadap Putusan
Nomor 597 K/Ag/2015.
c. Untuk Mengetahui Tinjauan Hukum Fikih Terhadap Putusan Nomor
597 K/Ag/2015.
2. Manfaat Penelitian
Untuk memberikan hasil penulisan yang berguna, serta diharapkan mampu
menjadi dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi pelaksanaan
secara teoritis maupun praktis, maka penelitian ini sekiranya bermanfaat
diantaranya :
a. Secara Akademik
Menambah ilmu pengetahuan dibidang hukum perdata serta
mengembangkan ilmu dibidang syariah, khususnya dalam bidang perkawinan
mengenai status anak pada perkawinan yang tidak dicatatkan.
b. Secara Lembaga Pustaka
9
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan ilmiah
dalam memperkaya studi analisis yurisprudensi.
c. Secara Pribadi
Untuk memperluas pengetahuan hukum bagi penulis, khususnya mengenai
Keperdataan Islam dibidang perkawinan serta meningkatkan kualitas penulis
dalam membuat karya tulis ilmiah serta untuk memenuhi salah satu syarat
guna memperoleh gelar S1 dalam bidang hukum.
d. Secara Umum
Pengembangan wawasan hukum terhadap perkara-perkara yang ada pada
perkawinan yaitu perkara penetapan status anak pada perkawinan yang tidak
dicatatkan.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang ditempuh oleh penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini adalah dengan menggunakan metode penulisan, sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
a. Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa ucapan, tulisan, atau perilaku yang dapat diamati
dari subjek itu sendiri, (Putusan yang telah di terima oleh hakim
Mahkamah Agung).
b. Penelitian Kepustakaan
Penulisan ini dilakukan dengan menggunakan pengkajian dari buku-
buku yang mengacu dan berhubungan dengan pembahasan skripsi ini
yang dianalisis data-datanya. Studi kepustakaan (library reseach),
yaitu untuk memperoleh landasan teoritis yang ada kaitannya dengan
judul penulis yang dibahas, dimana penelitian yang dilakukan dengan
cara mengkaji buku-buku, makalah, artikel maupun website.
c. Penelitian Hukum Normatif
10
Penelitian ini dilakukan meneliti bahan pustaka yang ada6, penulis
menganalisis Putusan No. Nomor 597 K/Ag/2015, Undang- undang
dalam Hukum positif, dan Hukum Islam.
2. Jenis Data
a. Data Primer
Bahan hukum primer, yaitu semua bahan/materi hukum yang
mempunyai kedudukan mengikat secara yuridis. Bahan hukum primer
terdiri dari peraturan perundang- undangan yang terkait dengan
penelitian ini.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, internet
dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan perkara status
anak pada perkawinan yang tidak dicatatkan.
3. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
Bahan hukum dikumpulkan melalui prosedur inventarisasi dan
identifikasi peraturan perundang- undangan , serta klarifikasi dan
sistematisasi bahan hukum sesuai permasalahan penelitian. Oleh karena
itu, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara
membaca, menelaah, mencatat membuat ulasan bahan- bahan pustaka
yang ada kaitannya dengan hukum status anak.
4. Teknik Analisis Data
Kegiatan yang dilakukan dalam analisis data penelitian hukum
normatif dengan cara data yang diperoleh di analisis secara deskriptif
analisis yaitu analisa terhadap data yang tidak bisa di hitung. Bahan
hukum yang diperoleh selanjutnya dilakukan pembahasan, pemeriksaan
dan pengelempokan ke dalam bagian- bagian tertentu untuk diolah
menjadi data informasi.
5. Teknik Penulisan Skripsi
6 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Cetakan ke- 11. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 13- 14
11
Teknik penulisan yang digunakan adalah deskriptif analisis, yaitu
dengan cara menggambarkan permasalahan yang didasari pada data-data
yang ada, lalu dianalisis lebih lanjut untuk kemudian diambil kesimpulan.
Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah tahun 2017.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
1. Ahmad Saidi, Akhwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Hukum Keluarga
Tahun 2015, Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Status Anak Lahir
Di Luar Nikah Perspektif Maqasid Syari’ah.
Mengetahui bagaimana hakim Mahkamah Konstitusi memutus
perkara status anak yang lahir di luar pernikahan. Pada penelitian ini
penulis menganalisis bagaimana putusan mahkamah konstitusi terhadap
status anak yang lahir diluar nikah menurut maqasid syari’ah.
2. M. Mashud Ali, Akhwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Perbandingan
Hukum Tahun 2014, Parktik Perkawinan Siri Dan Akibat Hukum
Terhadap Kedudukan Istri, Anak Serta Harta Kekayaannya (Analisis
Perbandingan Fikuh Dan Hukum Positif).
Mengetahui bagaimana Parktik Perkawinan Siri Dan Akibat
Hukum Terhadap Kedudukan Istri, Anak Serta Harta Kekayaannya
(Analisis Perbandingan Fikuh Dan Hukum Positif)
3. Muh. Rizki Prasetya , Akhwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan
Agama Tahun 2010, Hilangnya Hak- Hak Anak Dan Istri Akibat Nikah
Dibawah Tangan.
Menyajikan analisis tentang Hilangnya Hak- Hak Anak Dan Istri
Akibat Nikah Dibawah Tangan.
4. Miftahul Rohmah, Perbandingan Mahzab Dan Hukum, Konsentrasi
Perbandingan Hukum Tahun 2011, Perkawinan Di Bawah Tangan Dan
Solusi Hukumnya Di Indonesia Dan Malaysia.
12
Menyajikan analisis tentang Perkawinan Di Bawah Tangan Dan
Solusi Hukumnya Di Indonesia Dan Malaysia.
Dari review yang saya lakukan, terlihat bahwa para peneliti memang
sudah banyak yang membahas mengenai masalah status anak dari perkawinan
yang tidak dicatatkan. Dari kasus peneliti diatas, maka penulis sangat
membedakan penelitian dalam masalah status anak ini yaitu berdasarkan
putusan Mahkamah Agung. Ketidakserasian dalam Hukum Positif di
Indonesia tentang status anak pada perkawinan yang tidak dicatatkan,
menarik sekali bagi penulis untuk membahasnya, dikarenakan penelitian-
penelitian yang telah dilakukan sebelum pembahasan skripsi ini memberikan
inspirasi pada penulis untuk mengkaji lebih lanjut ditinjau dari segi mana dan
apa yang menjadi dasar seorang hakim dalam menerima putusan tersebut.
Penulis ingin lebih fokus dengan analisis terhadap Penetapan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 597 K/Ag/2015 tentang status anak , agar
pembahasan skripsi ini tidak melebar. Dengan demikian penulis
menggarisbawahi bahwasanya bahasan ini tidak ada kesamaan isi dan
pertimbangan hakim karena berdasarkan data yang diperoleh di Mahkamah
Agung.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini dibagi dalam lima bab, yaitu
sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, kajian tinjauan terdahulu, dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisikan status anak menurut hukum fiqih yang meliputi
pengertian status anak menurut hukum fiqih, kedudukan status anak menurut
hukum fiqih, hubungan nasab dalam hukum fiqih, hak anak dalam hukum
fiqih, dan dasar hukum pencatatan perkawinan perspektif hukum fiqih.
13
Bab ketiga berisikan status anak menurut hukum positif, pengertian status
anak menurut hukum positif, kedudukan status anak menurut hukum positif,
hubungan nasab dalam hukum positif, hak anak dalam hukum positif, dan dasar
hukum pencatatan perkawinan perspektif hukum positif.
Bab keempat mengenai analisis penulis terhadap Penetapan Status Anak
pada perkawinan yang tidak dicatatkan pada putusan nomor 597 K/Ag/2015
yang meliputi putusan mahkamah agung nomor 597 K/Ag/2015 , tinjauan
hukum fiqih terhadap putusan nomor 597 K/Ag/2015, dan tinjauan hukum
positif terhadap putusan nomor 597 K/Ag/2015.
Bab kelima merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-
saran.
14
BAB II
STATUS ANAK MENURUT HUKUM FIQIH
A. Pengertian Status Anak
Pengakuan anak dalam literatur hukum islam disebut dengan “Istilhaq”
atau “iqrar” yang berarti pengakuan seorang laki- laki secara suka rela
terhadap anak bahwa ia mempunyai hubungan darah dengan anak tersebut,
baik anak tersebut berstatus di luar nikah atau anak tersebut tidak diketahui
asal usulnya. 1 menrut Fatchur Rahman yang dikatakan dengan nasab, ialah
mengakui orang lain yang tidak diketahui asal-mula nasabnya sebagai
nasabnya sendiri atau sebagai nasab keluarga.2
Pengertian anak dalam Islam disosialisasikan sebagai makhluk ciptaan
Allah SWT yang arif dan berkedudukan mulia yang keberadaanya melalui
proses penciptaan yang berdimensi pada kewenangan kehendak Allah SWT.
Secara rasional, seorang anak terbentuk dari unsur gaib yang transcendental
dari proses ratifiksi sain (ilmu pengetahuan) dengan unsur-unsur ilmiah yang
diambil dari nilai-nilai material alam semesta dan nilai-nilai spiritual yang
diambil dari proses keyakinan (tauhid Islam).
Adapun kedudukan/status anak adalah anak kandung, anak angkat, anak
susu, anak pungut, anak tiri, dan anak luar nikah, berikut pembahasannya:
a. Anak Kandung
Anak kandung dapat juga dikatakan anak yang sah, pengertianya adalah
anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah antara ibu dan bapaknya.
Dalam hukum positif dinyatakan anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Anak yang sah mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarganya,
orang tua berkewajiban untuk memberikan nafkah hidup,
pendidikan yang cukup, memelihara kehidupan anak tersebut sampai ia
dewasa atau sampai ia dapat berdiri sendiri mencari nafkah. Anak yang sah
1 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Pedata Islam, (Jakarta: Prenada Media Group,
2014) h. 76 2 Facthur Rahman Djamil, Pengakuan Anak Luar Kawin dan Akibat Hukumnya, (Jakarta:
PT. Pustaka Firdaus, 1994), h. 72
15
merupakan tumpuan harapan orang tuanya dan sekaligus menjadi penerus
keturunanya.
b. Anak angkat
Pengertian anak angkat dalam hukum Islam adalah yang dalam
pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari biaya pendidikan dan sebagainya
beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan pengadilan. Dengan adanya pengangkatan anak,
maka anak angkat itu tidak mengakibatkan berubahnya hubungan hukum
antara anak angkat dengan orang tua angkatnya baik dalam hubungan
keturunan/darah maupun dalam hubungan muhrim. Sehingga status anak
angkat terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya ia tidak mewarisi
tetapi memperolehnya melalui wasiat dari orang tua angkatnya, apabila
anak angkat tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka ia
diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang
tua angkatnya.
Dalam hukum Islam, lembaga (peraturan) pengangkatan anak, anak angkat
itu tidak mempunyai hubungan darah antara orang tua angkat dengan anak
angkatnya. Hal ini berarti bahwa didalam hukum Islam anak angkat tidak
dijadikan dasar mewarisi, karena prinsip dasar untuk mewarisi adalah
hubungan darah dan perkawinan, demikian juga pengangkatan anak tidak
mengakibatkan halangan untuk melangsungkan perkawinan.
c. Anak tiri
Mengenai anak tiri ini dapat terjadi apabila dalam suatu perkawinan
terdapat salah satu pihak baik isteri atau suami, maupun kedua belah pihak
masing-masing membawa anak kedalam perkawinanya. Anak itu tetap
berada pada tanggung jawab Orang tuanya, apabila didalam suatu
perkawinan tersebut pihak istri membawa anak yang dibawah umur
(belum dewasa) dan menurut keputusan pengadilan anak itu masih
mendapat nafkah dari pihak bapaknya samapai ia dewasa, maka keputusan
itu tetap berlaku walaupun ibunya telah kawin lagi dengan peria lain.
Kedudukan anak tiri
ini baik dalam Hukum Islam maupun dalam Hukum Adat, Hukum
16
Perdata Barat tidak mengatur secara rinci. Hal itu karena seorang anak
tiri itu mempunyai ibu dan bapak kandung, maka dalam hal kewarisan ia
tetap mendapat hak waris dari harta kekayaan peninggalan (warisan) dari
ibu dan bapak kandungnya apabila ibu dan bapak kandungnya meninggal
dunia.
d. Anak piara/asuh
Anak piara/asuh lain juga dari anak-
anak tersebut diatas, karena mengenai piara/asuh ini ia hanya dibantu
dalam hal kelangsungan hidupnya maupun kebutuhan hidupnya baik untuk
keperluan sehari-hari maupun untuk biaya pendidikan. Dalam hal anak
piara ini ada yang hidupnya mengikuti orang tua asuh, namun hubungan
hukumnya tetap dan tidak ada hubungan hukum dengan orang tua asuh.
Selain dari pada itu ada juga anak piara/asuh yang tetap mengikuti orang
tua kandungnya, namun untuk biaya hidup dan biaya pendidikanya
mendapatkan dari orang tua asuh. Sehingga dengan demikian dalam hal
pewarisan, maka anak piara/asuh sama sekali tidak mendapat bagian,
kecuali apabila orang tua asuh memberikan hartanya melalui hibah atau
kemungkinan melalui surat wasiat.
e. Anak luar nikah
Anak luar nikah adalah anak yang lahir dari hasil hubungan kelamin luar
Nikah. Mengenai status anak luar nikah, bahwa anak itu hanya
dibangsakan pada ibunya, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Maka hal ini
berakibat pula pada hilangnya kewajiban tanggung jawab ayah kepada
anak dan hilangnya hak anak kepada ayah.
Menurut imam jauhari cara menentukan asal usul anak ada tiga yaitu
dengan cara perkawinan sah atau fasid, pengakuan nasab, dan kesaksian,3
menentukan asal- usul anak dengan cara perkawinan sah atau fasid,
maksudnya adalah seorang suami pergi jauh meninggalkan istrinya bertahun-
tahun. Setelah dia kembali ternyata istrinya telah menikah dengan orang lain,
dan pada istri itu ada anak yang dia duga adalah anak kandungnya, akrena itu
3 Imam Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2007),h. 25
17
dia mengajukan perkara pengakuan anak ke pengadilan . atau sebaliknya, jika
misalnya seorang pejabat diam- diam kawin lagi dengan seorang perempuan
disuatu daerah, kemuadian perempuan itu ditelantarkannya dalam keadaan
hamil. Istri itu kemudian melahirkan. Beberapa tahun kemudian, anak yang
dilahirkannya itu menuntut agar diakui sebagai anak. Dalam contoh- contoh
diatas, maka harus dubuktikan antara lain adalah adanya perkawinan yang
sah, serta pengakuan dari si ibu bahwa benar anak itu adalah anaknya.
Selanjutnya menentukan asal- usul anak dengan cara kesaksian,artinya
adalah si fulan menemukan seorang bayi yang tidak diketahui siapa orang
tuanya, kemudian dipelihara dengan baik. Sekian tahun kemudian anak itu
menjadi seorang penyanyi yang terkenal dan kaya. Tiba- tiba suatu saat
datang seorang ibu atau seorang laki- laki mengajukan gugatan bahwa anak
temuan itu adalah anaknya yang dia buang atau hilang sekian tahun yang lalu.
Dalam kasus seperti ini, tentu tidak bisa secara merta pengakuannya tersebut
harus diterima. Diperlakukan pembuktian baik dengan pemeriksaan golongan
darah atau pemeriksaan DNA atau alat bukti lain. Kejadian sebaliknya bisa
saja terjadi, dimana anak yang dibuang/anak temuan, menuntut pengakuan
sebagai anak terhadap seseorang yang diduganya sebagai orang tuanya.
Adapun menentukan asal- usul anak dengan cara pengakuan nasab atau
dakwaan nasab, dapat dilakukan sebagai berikut ;
1. Pengakuan atas diri sendiri
Umpanya bapak mengakui anak, ataupun anak mengakui bapak,
seperti ia berkata “ ini adalah anak saya”, atau ”ini adalah bapak saya”.
Pengakuan ini sah dibuat walaupun ia sedang sakit berat yang membawa
mati dengan empat syarat yang akan datang yang disepakati oleh
kebanyakan fuqaha di dalam mazhab- mazhab. Syarat- syarat itu akan
diuraikan sebagai berikut :4
a. Orang yang mengakui tidak diketahui nasab, yaitu tidak diketahui
nasabnya dari bapak lain. Seandainya ia ketahui mempunyai nasabnya
4 H.A.Mukhsin Asyrof, Mengupas Permasalahan Istilahan Dalam Hukum Islam, (Jakarta:
Gema Insani, 2009).h. 46
18
dari bapak yang lan. Seandainya ia diketahui mempunyai nasab dari
bapak yang lain (bukan yang membuat pengakuan ), maka
pengakuannya batal karena syarat menghukumkan ketetapan nasab
dari bapak itu dan bila yakin ketetapan pada nasab dari seseorang, ia
tidak lagi menerima perpindahan dari padanya kepada orang lain.
Sesungguhnya nabi SAW melaknat orang yang menasabkan
keturunan tidak kepada bapaknya atau orang yang mewakilkan tidak
pada walinya.
b. Para ulama membuat pengecualian terhadap li‟an, bahwa tidak sah
dakwan terhadap orang lain bahwa itu anaknya.
c. Pengakuan dapat dibenarkan dengan orang yang mengakui bahwa
anak itu kemungkinan mempunyai pertalian nasab dengan orang yang
membuat pengakuan.
d. Anak yang dili‟an dapat mengetahui kebenaran terhadap bapaknya
tersebut, asalkan memenuhi syarat- syaratnya.
Berdasarkan keterangan diatas, apabila orang yang membuat
pengakuan nasab ialah seorang istri ataupun perempuan yang sedang
berada dalam iddah, maka disyaratkan juga suaminya turut setuju mengaku
anak yang diakui oleh istrinya itu adalah anaknya juga. Ataupun istri dapat
membuktikan bahwa ia yang melahirkan anak yang diakui dari suaminya
itu karena pengakuan itu meletakkan nasab kepada orang lain. Dan ini
tidak boleh diterima kecuali ia membenarkannya atau dengan bukti saksi.
Ikrar batal jika orang yang diakui itu adalah anaknya dari zina, karena
zina tidak layak menjadi sebab bagi keteapan nasab, lantaran nasab tidak
boleh dicapai dengan cara yang diharamkan. Apabila telah sempurna ikrar
nasab tersebut dengan syarat- syarat yang telah ditentukan, maka sahlah
nasab orang yang diakui dari orang yang membuat pengakuan dan ikrarnya
itu. Dan tidak boleh menarik balik pengakuannya.
2. Pengakuan terhadap orang lain
Pengakuan dengan nasab yang diletakkan kepada orang lain, yaitu
ikrar keturunan yang merupakan cabang dari asal nasab. Contohnya
19
seseorang berikrar katanta, “ini adalah saudara saya”, “ ini adalah bapak
saudara saya”, atau yang lain- lainnya.5 Pengakuan itu adalah sah dengan
syarat- syarat di atas serta satu syarat tambahan, yaitu pembenaran orang
lain. Apabila seseorang berkata, “ini adalah saudara saya”, maka keteapan
nasabnya disisi Ulama Hanafi dengan syarat bapaknya mengiakan
pengakuan anak itu, atau ada bukti saksi menunjukkan sah pengakunnya
itu atau dua orang waris mengiakan pengakuan itu jika bapaknya telah
mati karena ikrar hanya menjadi hujjah bagi orang yang membuat
pengakuan saja. Ia hanya mempunyai wilayah (kuasa) atas diri sendiri,
tidak pada orang lain.6
3. Pengakuan sebagai anak terhadap anak temuan
Menurut sayyid sabiq yang dimaksud dengan “al-Laqith” (anak
temuan) adalah anak kecil yang belum baligh, yang ditemukan dan dia
memungutnya maerupakan fardhu kifayah, sama hukumnya memungut
barang hilang lainnya. Seorang yang menemukan anak temuan tersebut
berkewajiban untuk memberi nafkah, jika ia tidak memiliki harta, maka ia
dapat meminta bantuan kepda baitul mal guna untuk membiyai hidup dan
biaya lai- lain yang diperlukan anak tersebut.7
Seperti telah disebutkan, salah satu objek permasalah istilhaq adalah
anak temuan atau yang tidak dketahui nasabnya. Bahkan dalam beberapa
kajian istilhaq, maka maslah anak yang tidak diketahui nasabnya inilah
yang sering jadi pokok bahasa utama. Sehingga terkesan pengakuan anak
atau pengesahan anak (istilhaq) itu hanya ada pada anak yang tidak
diketahui nasabnya saja.
Sebagaimana telah dijelaskan, seorang anak mustalhiq, yang telah
resmi disahkan sebagai anak dari seseorang maka kedududkannya sama
seperti anak sah lainnya, dan di nasabkan kepada ayah yang mengakuinya.
Artinya pengakuan atau pengesahan anak tersebut mempunyai akibat
5 H. Taufiq, Pengakuan Anak Wajar Menurut Hukm Perdata Tertulis dan Hukum Islam,
(Jakarta: Dirbinbapersis Depag RI, 1995), h. 62 6 Ahmad Husni, Ahkam Syai/ayah fi Ahwalisy Syashiyah ‘ala Mazhabil Imam Abu hanifah
(kairo; daar al- kutub), h. 56 7 Sayyid sabiq, fiqh sunnah jilid 7, penerjemah Moh. Thalib, (Bandung; al- Ma’arif,
1994)h. 92
20
hukum keperdataan yang nyata, baik di bidang hukum kewarisan maupun
perkawinan.
Hanya saja yang juga dicatat disini, adalah pengakuan anak dari anak
temuan yang tidak diketahui nasabnya, oleh orang yang menemukannya
atau oleh orang yang jelas- jelas tidak ada hubungan darah dengan anak
temuan tersebut, adalah merupakan pengakuan anak yang terbatas, sebagai
hukum yang khusus, yang diberlakukan lebih banyak atas pertimbangan
pada kemashlahatan si anak temuan. Artinya meskipun nasabnya
dinisbatkan pada orang yang mengakuinya, tetapi tidak mempunyai akibat
hukum keperdataan baik di bidang hukum perkawinan maupun hukum
kewarisan. Yakni tidak dapat menjadi ahli waris, tidak juga menjadi
mawani’un nikah.
B. Kedudukan Status Anak Menurut Hukum Fiqih
Status atau kedudukan merupakan seseuatu yang amat penting bagi
seorang anak karena nantinya akan menentukan hak- hak dan kedudukan
anak tersebut dengan ornga tuanya. Dalam wacana fiqh, ketika seorang laki-
laki mengadakan hubungan seksual dengan perempuan di luar pernikahn yang
sah kemuadian terjadi kehamilan dari hubungn tersebut, maka langkah
penyelamatan nasab anak tersebut dilakukam dengan pernikahan antara laki-
laki dan perempuan tersebut. Dalam hal ini sangat terkait dengan menikahi
wanita hamil mahzab syafi‟i mengatakan sah- sah saja dilangsungkan
perneikahan dengan pasangan zina sang perempuan tapi makruh hukumnya
untuk berhubungan intim sampai perempuan itu melahirkan.8 Mahzab hanafi
menyebutkan sah akad nikahnya, namun haram hubungan intim sampai
dengan melahirkan dan meewati masa nifas.9 Sedangkan hambali dan maliki
serta ulama madinah menyatakan secara tegas haram menikahkan pasangan
tersebut dan menunggu sampai melahirkan.
8 Muhammad Jawad Mugniyah, Al Ahwal al- Syakhsiyyah a’la Mazahibil Al-Khamsnh,
jilid. VI (Beirut: Dar al-‘Ilm, Lil Malyin, t.th), h. 601 9 Abi ‘Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Suwarah, Al-Jami al- Shahih Wa Huwa Sunan al-
Turmudzi,”Kitab Nikah”, bab”al ja’a Fi a- Rajuli Yasytani al- Jariyati Wahiya Hamil”, jilid III (Beirut: Dar al-Kutub al- Alamiyah, t.th), h. 473
21
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas mengenai pendapat para
ulama tentang status akad wanita hamil akibat zina maka selanjutnya akan
terkait dengan masalah ada tidaknya „iddah bagi wanita hamil akibat zina,
sehingga akan terdapat perbedaan diantara para ulama.
Umumnya mereka konsisten dengan pendapatnya, baik yang berpendapat
wanita hamil akibat zina itu wajib „iddah maupun tidak, namun sebagian
ulama Hanafiyah (Abu Hanifah dan Muhammad) kurang konsisten, dimana
setelah meyakini akad nikah bagi wanita hamil akibat zina hukumnya sah,
keduanya berpendapat bahwa wanita tersebut tidak boleh disetubuhi, pedahal
salh satu tujuan dari akad adalah untuk menghalalkan persetubuhan. Bahkan
arti nikah sendiri bagi para ahli ushul Hanafiyah adalah “setubuh”.
Dalam kehati- hatian, yang palong hati- hati tentunya para ualam dari
mazhab Malikiyah dan Hanabilah. Mereka melarang wanita hamil akibat zina
melakukan pernikahan, bahkan hanabilah mewajibkan bertobat sebelum
melangsungkan akad nikah10
.
Tujuan disyariatkannya nikah adalah agar terpelihara keturunan nasab,
sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT di dalam Al- Qur‟an
surat an- Nahl (16) ayat 72 yang berbunyi :
جعل لكم مه أوفسكم أزواجا وجعل لكم مه أزواجكم بىيه وحفدة ورزقكم مه والله
الطيبات أفبالباطل يؤمىون وبىعمت الله هم يكفرون
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu istri- istri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagimu dari istri- istri kamu itu, anak- anak dan cucu- cucu,
dan memberimu rezki dari yang baik- baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?” QS. An- Nahl:
72)
Perngertian nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan
darah melalui akad pernikahan yang sah. Dari pengertian tersebut maka nasab
10 Al- Basri, Abu al- Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib, Al- Mawardi, al- Nukad wa al-
‘Uyun: Tafsir al-Mawardi, ed. Ibn ‘Abd al- Rahim, jilid.IV (Beirut: Dar al- Kutub al’Ilmiyyah- Muassasah al Kutub al- Saqafiyah,t.th) h.74.
22
dapat dihubungkan dengan darah dan perkawinan yang sah. Semua anak yang
dilahirkan di dunia ini, baik itu sebagai anak kandung, anak angkat, anak
zina, mempunyai kedudukan tersendiri adanya kedudukan tersebut
mempengaruhi dalam menentukan perwalian, nasab, warisan, dan hadhanah.
Terkait dengan anak diluar nikah, prespektif fiqh dan menjelma menjadi
kesepakatan dalam hukum islam bahwa anak luar nikah tidak dianggap
sebagai anak sah karena itu berakibat hukum ;
a. Tidak adanya hubungan nasab kepada laki- laki yang mencampuri ibunya
secara tidak sah. Secara yuridis formal ayah tidak wajib memberikan
nafkah meski secara biologis dan geneologis anak itu adalah anaknya
sendiri.
b. Tidak saling mewarisi
Sebagai akibat lebih lanjut dari tidak adanya hubungan nasab, antara anak
zina dengan laki- laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah, maka
mereka tidak dapat saling mewari satu sama lain.
c. Tidak dapat menjadi wali bagi anak luar nikah
Pada dasarnya nasab anak luar nikah dihubungkan dengan ibunya ketika
suami dari ibunya menolak anak tersebut, sesuai dengan hadis nabi 11
:
لبل لضى انب جد ع أب ب ع شع ر ب ع ع ي سهى أ عه صهى انه
ال رد."را أحد ال هحك ب ب فئ ر ب حرة عب ي ب ، أ هك أيت نى ي كب
أب داد اب يبج انداري انحدذ حس األنبب
Artinya: “Dari amri bin syuaib dari ayahnya, dari kakeknya abu hurairah
dia berkata : telah bersabda Rasulullah SAW ; anak itu tidak dinasabkan
pada ayah biologisnya meski ayahnya mengatakan itu adalah anaknya”.
(HR. Ahmad, Abu Daud, Ad-Darmy, dihasankan Al-Albani).
C. Hubungan Nasab Dalam Hukum Fiqih
11
Syihabuddin Ahmad Ibnu Ali, Fath al- Bary (Kairo : Musthafa al- Babi al- Halabiy, 1378 H/ 1959 M).juz 2. N. Hadits, h. 52.
23
1. Pengertian Nasab
Shaykh Hasanayn Muhammad Makhluf, seorang mufti dari Mesir,
membuat terminologi anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai
akibat dari hubungan suami isteri yang tidak sah. Hubungan suami isteri
yang tidak sah sebagimana dimaksud adalah hubungan badan
(senggama/wathi’) antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan
yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan.12
Selain itu, hubungan suami isteri yang tidak sah tersebut, dapat terjadi
atas dasar suka sama suka ataupun karena pemerkosaan, baik yang
dilakukan oleh orang yang telah menikah ataupun belum menikah.
Meskipun istilah anak zina merupakan istilah yang populer dan melekat
dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak
mengadopsi istilah tersebut.
Hal tersebut bertujuan agar anak sebagai hasil hubungan zina, tidak
dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya
akibat perbuatan dosa yang telah dilakukan ibu kandungnya dan ayah
genetiknya. Untuk lebih mendekatkan makna tersebut, Pasal 44 ayat (1)
Undang- undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwasanya “seorang
suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya,
bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan
kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut”.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, anak zina yang didefinisikan oleh
Shaykh Hasanyn adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah,
sebagaimana pada Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan
bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibu dan keluarga ibunya”. Berdasarkan definisi
pendekatan diatas, maka mkana anak zina adalah janin atau
pembuahannya merupakan akibat dari zina atau tanpa ikatan pernikahan
dan dilahirkan diluar pernikahan sebagai akibat dari perbuatan zina.
Dengan demikian sejalan dengan Pasal 43 ayat (1) Undang- Undang No.
12
Sebagaimana dikutip Abd Al- Rahman Al-Jaziiry, Al- Fiqh ‘ala Al- Madzaahib Al- Arba’ah, Jilid V, Mesir: Al- Maktabah Al- Tijariyah Al- Kubra’, tt.
24
1 tahun 1974 yang rumusannya sama dengan pasal 100 Kompilasi
Hukum Islam.
Berdasarkan terminologi, anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan
seorang perempuang yang tidak berada dalam ikatan perkawinan yang
sah dengan pria genetik yang sah. Sedangkan pengertian luar nikah
adalah hubungan seorang pria dan wanita yang dapat melahirkan
keturunan dan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah
menurut hukum positif dan agama yang dianutnya.13
Anak yang lahir di luar perkawinan menurut istilah yang digunakan
dalam hukum perdata dinamakan natuurlijk kind (anak alami).
Pendekatan istilah anak zina sebagai anak yang lahir di luar perkawinan
yang sah, berbeda dengan pengertian anak zina yang ada dalam hukum
perdata. Dalam hukum perdata, istilah anak zina dalah anak yang
dilahirkan dari hubungan dua orang, laki- laki dan perempuan yang
bukan suami isteri, dimana salah seorang atau kedua- duanya terikat
perkawinan dengan orang lain. Oleh sebab itu, anak luar kawian yang ada
dalam hukum perdata adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar
perkawinan dan istilah lain yang tidak bisa diartikan sebagai anak zina.14
Dalam al- Qur‟an kata nasab disebut di tiga tempat, yaitu dalam surah al-
Furqan : 54 dan al- Shaffat : 158, masing- masing dalam bentuk mufrad
(nasab) dan dalam al- Mu‟minun: 101 dalam bentuk jamak (anshab).
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan
manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu
Maha Kuasa”(QS. Al- Furqan : 54)
13 Abd. Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam,( Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1999) h. 34 14
Sebagaimana dikutip Wahbah Al-Zuhaily, Fiqh Al- Islam Wa Adillatuhu, Juz VIII, (Bairut: Dar Al- fikr, 1985)
25
“Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin. Dan
sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret
(ke neraka)”(QS. Al- Shaffat : 158)
“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di
antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya”.
QS. Al-Mu‟minun : 101)
Secara etimilogis nasab bearti al- qarabah (kekerabatan).15
Menurut
al- Lubily, isilah nasab sudah dikenal maksudnya, yaitu jika engkau
menyebut seseorang maka engkau akan mengatakan fulan bin fulan, atau
menisbatkannya pada sebuah suku, Negara atau pekerjaan.16
Nasab dalam hukum perkawinan indonesia dapat didefinisikan sebagai
sebuah hubungan darah (keturunan) antara eorang anak dengan ayahnya,
karena adanya akad nikah yang sah. Nasab merupakan nikmat yang
paling besar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada hamba- Nya,
sebagaimna firman Allah dalam surat al- Furqan ayat 54 diatas, oleh
karenanya Islam sangat menekankan pentingnya hubungan nasab/ darah
(Rahim/Arham). Dalam sejumlah ayat dan hadis terdapat perintah
menjaga hubungan darah (silaturahmi) dan kecaman keras terhadap
orang yang memutuskan hubungan darah.
15 Ibn Manzur, Al-Qamus al- Muhit, Juz I, h. 125. 16
Akhmad Jalaluddin, “Nasab : Antara Hubungan Darah dan Hukum Serta Implikasinya Terhadap Kewarisan”, (Surakarta : Jurnal Publikasi Ilmiah UMS : Ishraqi, No. 1, Juni X, 2012), h. 67
26
Lebih penting lagi adalah hubungan darah dengan orang yang menuru
kannya. Al-Qur‟an melarang memutuskan penisbatan (nasab) seseorang
dari ayah kandungnya. Karena itulah Islam melarang adopsi yang
berakibat memutuskan nasab anak tersebut dari orang tua kandungnya
dan sebaliknya menasabkannya kepada orang tua angkatnya.
Dalam hadis diriwayatkan al- Bukhariy, Muslim, Ahmad, Abu Dawud,
Ibn Majah17
:
Artinya: Diriwayatkan dari Sa'd bin Abu Waqqash dan dari Abu
Bakrah, Syu'bah berkata; Ini adalah orang pertama yang melepaskan
anak panah fi sabilillah sedangkan yang ini adalah orang pertama yang
turun dari benteng Tha`if untuk bergabung dengan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam. Sesungguhnya mereka berdua
menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Barangsiapa mengakui orang lain sebagai ayah kandungnya, padahal ia
tahu bahwa orang itu bukan ayah kandungnya, maka surga haram
atasnya. (Riwayat Bukhori dan Muslim dan Ahmad, dan Abu daud dan
Ibn Majah)
Islam telah menetapkan bahwa setiap anak yang dilahirkan ke dunia
mempunyai hak- hak yang tentu saja menjadi kewajiban orang tua untuk
memenuhi hak tersebut. Ada 5 bagian hak anak yaitu : Nasab (garis
keturunan), penyusuan, pemeliharaan/pengasuhan, perwakilan dengan
17 Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, hlm. 2/19
27
berbagai jenisnya yaitu perwalian atas jiwa dan perwalian atas harta serta
nafkah.18
Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi yang dikemukakan
oleh ulama yang dapat disimpulkan bahwasanya nasab adalah legalitas
hubungan kekeluargaan yang berdasarkan tali darah, sebagai salah satu
akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senggama subhat.
Nasab merupakan sebuah pengakuan syara‟ bagi hubungan seorang anak
dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut
menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan
demikian anak itu berhak mendapatkan hak- hak sebagai akibat adanya
hubungan nasab. Menurut Hazairin, Islam dengan mengacu pada al-
Qur‟an dan as-Sunnah mengatur sistem bilateral/parental. Selanjutnya
Ulama Fiqh menjadikannya lebih cenderung patrilineal.19
Dalam kamus istilah fiqh, nasan adalah keturunan, ahli waris atau
keluarga yang berhak menerima harta warisan karena pertalian darah atau
keturunan, yaitu anak (laki- laki/ perempuan) dan lain sebagainya.20
Dalam kamus istilah agama kata nasab dalam Al-Qur‟an bearti keturunan
dan hubungan kekeluargaan.21
Hubungan diluar nikah atau zina adalah munculnya perbuatan dalam
arti yang sebenar- benarnya dari seorang yang baligh, berakal sehat,
sadar bahwa yang dilakukannya itu perbuatan haram, dan tidak dipaksa.
Para ulama mazhab sepakat bahwa, bila zina terbukti, maka tidak ada hak
waris mewarisi antara anak yang dilahirkan melalui perzinaan dengan
orang- orang yang lahir dari mani orangtuanya. Sebab, anak itu secara
syar‟i tidak memiliki kaitan nasab yang sah dengannya. 22
18 Al Abdulan Majid Mahmud Muthlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, alih bahasa
Harits Fadly dan Ahmad Khotib, Cet 1, (Solo: Era Media, 2005), h. 520 19 Haizirin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an (Jakarta: Tintamas, 1982), h.
26 20 M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi’i adalah A.M, Kamus Istilah Fiqh, Cet. I
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 243. 21 M. Shodiq, Kamus Istilah Agama (Jakarta: Bonafida Cipta Pratama, 1991), h. 242. 22
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab ( Jakarta: Basrie Press, 1994), h. 113
28
Sedangkan anak zina di nisbatkan kepada ibu yang mengandungnya,
itupun bukan dari hakikatnya. Sementara ulama berpendapat, bahwa
manusia akan dipanggil dengan menisbahkan namanya kepada ibunya.
Hal ini bukan saja sebagai penghormatan kepada Isa putra Maryam as,
tetapi juga untuk menutup malu anak- anak zina. Pendapat ini didasarkan
oleh pemahaman ayat 71 surah Al-Isra dengan memahami kata imam
pada ayat tersebut dalam arti bentuk jamak dari umm (Ibu). 23
2. Sebab- sebab Nasab
Ada tiga hal yang menetapkan sahnya suatu keturunan menurut
syari‟at Islam, yaitu :
a. Hubungan suami- istri yang terjadi dalam perkawinan yang
sah.
Perkawinan yang sah, maksudnya perkawinan yang sudah
resmi, antara seorang pria dengan wanita.24
Jika dari hubungan
itu istri hamil, kemudian melahirkan anak, maka anak yang
dilahirkan itu adalah anak yang sah, dengan arti bahwa bapak
dan ibu dari anak itu dapat diketahui dengan pasti sesuai
dengan ketentuan- ketentuan agama.25
b. Pengakuan (ikrar)
Di dalam hal pengakuan ada dua macam pengakuan keturunan,
yaitu:
1) Pengakuan yang langsung seperti seorang bapak mengakui
bahwa seseorang adalah anak laki- laki atau anak
perempuannya.
2) Pengakuan yang tidak langsung seperti seorang mengakui
bahwa seorang adalah cucunya.
c. Pembuktian (bayyinah)
Keturunan dapat juga ditetapkan berdasarkan adanya bukti
yang sah menurut agama Islam, yaitu saksi- saksi yang terdiri
23 M. Quraish Shihab, M Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut
Anda Ketahui (Tangerang: Lentera Hati, 2008), hlm. 512. 24 Zakaria ahmad al-Barry, Hukum Anak- anak dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1977), h. 567 25 Murni Djamal, M.A, Ilmu Fiqh, Jilid II (Jakarta: IAIN, 1984), h. 172.
29
dari dua orang laki- laki atau satu orang laki- laki dan dua
orang wanita26
.
3. Dasar Hukum Nasab
Dasar hukum nasab adalah firman Allah yang berbunyi:
An- nahl ayat 72
حفدة اجكى ب أز جعم نكى ي اجب فسكى أز أ جعم نكى ي انه
انطببث ى كفررزلكى ي ج انه ع ب .أفببنببطم ؤي
Artinya: “Allah menjadikan bagimu isteri-isteri dari jenismu sendiri
dan menjadikan bagimu dari isteri-isterimu itu anak-anak dan cucu-
cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik. Maka mengapakah
mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?”
(QS. an-Nahl: 72)
D. Hak Anak Dalam Hukum Fiqih
Sebagai seorang Muslim tentu saja kita harus memahami dan mengetahui
mengenai hak dan kedudukan anak di dalam HukumIslam apalagi kita sendiri
berperan sebagai anak, namun tidak hanya itu saja melainkan anak juga harus
bisa mengetahui hak maupun kedudukan atas dirinya dari kedua orang tuanya
dan anak juga diharuskan untuk bisa berbakti, menaati dan berbuat baik
terhadap kedua orang tuanya.
Disamping itu juga sebagai orang tua harus bisa memberikan contoh
yang baik terhadap anak di dalam keluarga tanpa harus memberikan didikan
yang keras terhadap anak, karena anak sangat bergantung pengharapan
keluarga dikemudian hari karena ialah ujung cita- cita dalam segenap
kepayahan.
26
Zakaria Ahmad al-Barry, Hukum Anak- anak dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977),h. 67
30
Sebagai anak juga dirinya berhak untuk mendapatkan perlindungan dan
kasih sayang dari kedua orang tuanya, karena dari situlah anak akan bisa
mewujudkan karakter dirinya sebagai anak dan merasakan kenyamanan dari
rasa cita kedua orang tuanya terhadap dirinya sendiri. Oleh sebab itu Nabi
Muhammad SAW sangat sayang kepada anak- anak sampai punggungnya
diperkuda- kuda oleh anak- anak disaat dirinya sedang sujud di waktu shalat,
sampai anak- anak dipangkunya ketika sedang mengerjakan ibadah dan
apabila dia hendak sujud diletakannya anak itu kesampingnya dan bila
hendak tegak di punggungnya kembali.
Beliau bersabda : “Rumah yang tidak ada anak- anak, tidaklah ada
berkat didalamnya”.(Abu Syaikh, Ibnu Hibban)27
Dalam hadist lain Rasul bersabda : “anak- anak adalh setengan dari
harum- haruman surga (Turmidzi) peliharalah anak- anakmu dan
perbaikilah budi pekerti mereka. Sesungguhnya anak- anak iitu adalah
hadiah Allah kepadamu”. (HR. Bukhari).28
Pengertian anak dalam Hukum Islam dan hukum keperdataan yang
dihubungkan dengan keluarga. Anak dalam hubungannya dengan keluarga,
seperti anak kandung, anak laki- laki dan anak perempuan, anak sah dan anak
tidak sah, anak sulung dan anak bungsu, anak tiri dan anak angkat, anak piara,
anak pungut, anak kemenakan, anak pisang, anak sumbang (anak haram) dan
sebagainya.29
Adapun sebenarnya pengertian anak dalam islam
disosialisasikan sebagai mahkluk ciptaan Allah SWT yang arif dan
berkedudukan mulia yang keberadaannya melaui proses penciptaan yang
berdimensi pada kewenangan kehendak Allah SWT.30
Penjelasan status anak dalam agama Islam ditegaskan dalam al- Qur‟an
surat al- isra ayat 70, yang artinya :
انط ى ي ب رزل انبحر ى ف انبر ب ه ح ى نمد كريب ب آدو ب فضه ببث
خهمب حفضهب عهى كثر ي
27 Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983) , h. 223 28 Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983) , h. 223 29
Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983) , h. 41 30 Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983) , h. 223
31
Artinya :”Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak- anak adam.
Kami angkut mereka didarat dan dilautan, kami beri mereka rezeki dari
yang baik- baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptaan.” (QS. Al-
Isra : 70)
Dengan begitu bahwa al-Qur‟an akidah Islam meletakan kedudukan anak
sebagai suatu makhluk yang mulia, diberikan rezeki yang baik- baik dan
memiliki nilai plus, semua diperoleh melalui kehendak sang Pencipta Allah
SWT. Dalam hukum Islam terdapat bermacam- macam kedudukan/ status
anak, sesuai dengan sumber asal- usul anak itu sendiri, sumber asal itulah
yang akan menentukan kedudukan status seorang anak.
Adapun kedudukan/ status anak dalam hukum Islam adalah anak
kandung, anak angkat, anak susu, anak pungut, anak tiri, dan anak luar
nikah,31
masing- masing anak tersebut diatas, mendapat perhatian khusus
dalam syariat Islam yang menentukan kedudukan/statusnya, baik dalam
keturunan dan kewarisan, maupun perwalian. Berikut macam- macam dari
kedudukan anak dalam Islam adalah sebagai berikut :
1. Anak kandung
Anak kandung dapat juga dikatakan anak yang sah, pengertiannya adalah
anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah antara ibu dan bapaknya.
Dalam hukum positif dinyatakan anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.32
Dalam
pandangan hukum Islam, ada 4 (empat) syarat supaya nasab anak itu
dianggap sah, yaitu :
a. Kehamilan bagi seorang isteri bukan hal yang mustahil, artinya
normal dan wajar untuk hamil. Imam Hanafi tidak mensyaratkan
seperti ini, menurut beliau meskipun suami isteri tidak melakukan
31 Lihat Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Lihat juga Pasal 99
huruf a Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam 32
Lihat Psal 42 UU Nomor 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Lihat juga Pasal 99 huruf a Instruksi Presiden Nomor 1Tahun 1991 Tentang Perkawinan.
32
hubungan seksual, apabila anak lahir dari seorang isteri yang dikawini
secara sah maka anak tersebut adalah anak sah.
b. Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan sedikit-
dikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang ini
terjadi ijma‟ para pakar hukum Islam (fuqha) sebagai masa terpendek
dari suatu kehamilan.
c. Anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang
panjangnya kehamilan. Tentang hal ini masih dipersilisihkan oleh
para pakar hukum Islam.
d. Suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga li‟an. Jika
seorang laki- laki ragu tentang batas minimal maksimal kehamilan
terlampui maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari anak yang
dikandung oleh istrinya dengan cara li‟an.33
Anak yang sah mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarganya,
orang tua berkewajiban untuk memberikan nafkah hidup, pendidikan yang
cukup, memelihara kehidupan anak tersebut sampai ia dewasa atau sampai ia
dapat berdiri sendiri mencari nafkah. Anak yang sah merupakan tumpuan
harapan orang tuanya dan sekaligus menjadi penerus keturunannya.34
2. Anak Angkat
Anak angkat dalam hukum Islam, dapat dipahami dari maksud
firman Allah SWT dalam surat al- Ahzab ayat 4 dan 5 :
اجكى انالئ يب جعم أز ف ف ج لهب نرجم ي يب جعم انه
يب جعم أدعبءكى بحكى أي ي ر كى حظب ا نكى بأف بءكى ذنكى ل أب
دي انسبم ) مل انحك د ٤انه ألسط ع ى ى ببئ ( ادع
كى س عه ن انكى ي اكى ف اند ى فئخ ا آببء نى حعه فئ جبح انه
ب ) غفرا رح انه كب دث لهبكى يب حع نك ب أخطأحى ب (٥ف
33 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiil dalam Praktek Peradilan Agama,
(Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003) , h. 102 34
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiil dalam Praktek Peradilan Agama, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003) , h. 103
33
Artinya : “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah
hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu
zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu
sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah
perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya
dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). 5. Panggilah mereka (anak-
anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-
bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu
seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa
yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja
oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. al-Ahzab: 4-5)
Pengertian anak angkat dalam hukum Islam adalah yang dalam
pemeliharaan untuk hidupnya sehari- hari biaya pendidikn dan
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang
tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.35
Dengan adanya
pengangkatan anak, maka anak angkat itu tidak mengakibatkan
berubahnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua
angkatnya baik dalam hubungan keturunan/darah maupun dalam
hubungan muhrim. Sehingga status anak angkat terhadap harta
peninggalan orang tua angkatnya ia tidak warisi tetapi memperolehnya
melalui wasiat dari orang tua angkatnya, maka ia diberi wasiat wajibah
sebanyak- banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.36
Dalam hukum Islam, lembaga (peraturan) pengangkatan anak,
anak angkat itu tidak mempunyai hubungan darah antara orang tua
angkat dengan anak angkatnya. Hal ini berarti bahwa di dalam hukum
Islam anak angkat tidak dijadikan dasar mewarisi, karena prinsip dasar
untuk mewarsisi adalah hubungan darah dan perkawinan, demikian juga
35 Lihat Pasal 171 huruf h Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam 36
Lihat Pasal 209 ayat 2 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
34
pengangkatan anak tidak mengakibatkan halangan untuk melangsungkan
perkawinan.
3. Anak tiri
Mengenai anak tiri dapat terjadi apabila dalam suatu perkainan
terdapat salah satu pihak baik isteri atau suami, maupun kedua belah
pihak masing- masing membawa anak kedalam perkawinannya. Anak itu
tetap berada pada tanggung jawab orang tuanya, apabila didalam suatu
perkawinan tersebut pihak isteri membawa anak yang di bawah umur
(belum dewasa) dan menurut keputusan Pengadilan anak itu Islam masih
mendapat nafkah dari pihak bapaknya sampai ia dewasa, maka keputusan
itu tetap berlaku walaupun ibunya telah kawin lagi dengan pria lain.
Kedudukan anak tiri ini baik dalam Hukum Islam maupun dalam
hukum adat, Hukum Perdata Barat tidak mengatur secara rinci. Hal itu
karena seorang anak tiri itu mempunyai ibu dan bapak kandung, maka
dalam hal kewarisan ia tetap mendapat hak waris dari harta kekayaan
penginggalan (warisan) dari ibu dan bapak kandungnya apabila ibu dan
bapak kandungnya meninggal dunia.37
4. Anak piara/asuh
Anak piara/asuh lain juga dari anak- anak tersebut diatas, karena
mengenai piara/ asuh ini ia hanya dibantu dalam hal kelangsungan
hidupnya maupun kebutuhan hidupnya baik untuk keperluan sehari- hari
maupun untuk biaya pendidikan.38
Dalam hal anak piara ini ada yang
hidupnya mengikuti orang tua asuh, namun hubungan hukumnya tetap
dan tidak ada hubungan hukum dengan orang tua asuh. Selain dari pada
itu ada juga anak piara/asuh yang tetap mengikuti orang tua kandungnya,
namun untuk biaya hidup dan biaya pendidikannya mendapatkan dari
orang tua asuh. Sehingga dengan demikian dalam hal pewarisan, maka
anak piara/asuh sama sekali tidak mendapat bagian, kecuali apabila orang
37 Imam Jauhari, Advokasi Hak-Hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan Perundang-
Undangan, (Medan : Pustaka Bangsa, 2008) h. 87 38
Imam Jauhari, Advokasi Hak-Hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan Perundang- Undangan, (Medan : Pustaka Bangsa, 2008) h. 9
35
tua asuh memberikan hartanya melalui hibah atau kemungkinan melalui
hibah atau kemungkinan melalui surat wasiat.
5. Anak luar nikah
Anak luar nikah adalah anak yang lahir dari hasil hubungan
kelamin luar nikah,39
dalam Hukum Islam anak tersebut dapat dianggap
anak di luar nikah adalah :
1. Anak zina, adalah anak yang lahir dari hasil hubungan kelamin
tanpa pernikahan, karena perbuatan yang dilakukan oleh orang
yang menyebabkan kelahiran anak tersebut.
2. Anak mula’anah, adalah anak yang dilahirkan oleh seorang
isteri yang mana keberadaan anak itu dibantah oleh suami
sebagai anaknya dan menuduh isterinya telah berbuat zina
dengan pria lain dengan cara melakukan sumpah li‟an terhadap
istrinya.
3. Anak shubhat, adalah anak yang dilahirkan dari seorang wanita
yang digauli dengan cara syubhat dalam hal ini, menurut jawad
mughaniyah yaitu seorang laki- laki manggauli seorang wanita
yang haram atasnya karena tidak tahu dengan keharaman itu.40
Mengenai status anak luar nikah, baik didalam hukum nasional maupun
hukum Islam bahwa anak itu hanya dibansakan pada ibunya, bahwa anak
yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya
dan keluarga ibunya.41
Maka hal ini berakibat pula pada hilangnya kewajiban
tanggung jawab ayah kepada anak dan hilangnya hak anak kepada ayah.
Didalam hukum Islam dewasa dilihat sejak ada tanda- tanda perubahan
badaniah baik bagi laki- laki maupun perempuan. Apabila tanda- tanda ini
tidak kelihatan maka seorang anak dianggap telah dewasa apabila telah
mencapai usia 15 tahun.
39 Imam Jauhari, Advokasi Hak-Hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan Perundang-
Undangan, (Medan : Pustaka Bangsa, 2008) h. 202 40 Huzaemah Tahido, Kedudukan Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Islam, (Jakarta:
Makalah Kowani, 2001) h . 2 41
Lihat Pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 100 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
36
Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara pria dan
wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut zina. Hubungan seksual
tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya gadis, bersuami atau janda, jejaka,
beristri atau duda sebagaimana yang berlaku pada hukum perdata.
Setelah adanya kedudukan anak dalam ketentuan hukum Islam
kemuadian akan timbulnya suatu pemberian hak atau melahirkan hak anak
yang harus diakui/diyakini, dan diamankan sebagai implementasi amalan
yang diterima oleh anak dari orang tua, masyarakat, bangsa dan Negara.
Ketentuan tersebut ditegaskan dalam Surat al-Isra‟ayat 31 yang artinya :
لخه إبكى إ ى رزل نبدكى خشت إيهبق ح خطئب نب حمخها أ ى كب
كبرا
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak- anak karena takut
kemiskinan. Kamilah yang memberi rizki kepada mereka dan juga kepada
kamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar “(QS.
Al-Isra : 31)
Hak anak dalam pandangan Islam ini memiliki aspek yang universal
terhadap kepentingan anak, yaitu meletakan hak anak dalam pandangan
Islam, memberikan gambaran bahwa tujuan dasar kehidupan umat Islam
adalah membangun umat manusia yang memegang teguh ajaran Islam dengan
demikian, hak anak dalam pandangan Islam meliputi aspek hukum dalam
lingkungan hidup seseorang untuk Islam. Cara pandang yang dimaksud tidak
saja memposisikan umat Islam yang harus tunduk pada hukum- hukum Islam
seperti hukum Pidana Islam, hukum Perdata Islam, Hukum Perkawinan
Islam, hukum Tata Negara Islam dan hukum waris sebagai formalitas-
formalitas wajib yang harus ditaati oleh umat Islam dan apabila dilanggar
maka perbuatan tersebut akan mendapat laknat dan siksaan dari Allah SWT
baik diatas dunia maupun di akhirat kelak. Pada tindakan lain seorang umat
Islam harus taat dalam menegakkan hak azasi anak yang dapat diletakan atas
dasar hukum Peerdata, hukum Pidana, dan hukum Tata Negara yang berlaku
dalam ruang lingkup wilayah Indonesia.
37
Hak menurut Pengertian umum yaitu suatu ketentuan yang dengannya
syara‟ menetapkan suatu kekuasaan atu suatu beban hukum. Demikian ini
adalah sebagai hak wali bertasharruf atas tiap- tiap anak yang dibawah
perwaliannya. Hak- hak anak yang mutlak dalam dimensi akidah dan
pandangan kehidupan agama Islam, terdiri dari :
1. Hak untuk melindungi anak ketika masih berada dalam kandungan atau
rahim ibunya terdapat dalam al-Qur‟an Surat al-Baqarah ayat 233
2. Hak untuk disusui selama dua tahun terdapat dalam al-Qur‟an Surat
Luqman ayat 14
3. Hak untuk diberi pendidikan, ajaran, pembinaan, tuntutan dan akhlak
yang benar terdapat dalam al-Qur‟an Surat al-Mujadilah ayat 11
4. Hak untuk mewarisi harta kekayaan milik kedua orang tuanya terdapat
dalam al-Qur‟an Surat an-Nisa‟ ayat 2,6 dan 10
5. Hak untuk mendapatkan nafkah dari orang tuanya terdapat dalam surat
al-Qashah ayat 12
6. Hak untuk mempertahankan agama dan aqidahnya, biladipaksa untuk
murtad oleh pelaksana hadhanah terdapat dalam surat Luqman ayat 51. 42
Hak asasi anak dalam pandangan Islam dikelompokkan secara umum ke
dalam bentuk hak asasi anak yang meliputi subsistem berikut ini :
1. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan
2. Hak dalam kesucian keturunan
3. Hak anak dalam menerima pemberian nama yang baik
4. Hak anak dalam menerima susuan
5. Hak anak dalam mendapat asuhan, perawatan pemeliharaan
6. Hak dalam memiliki harta benda atau hak warisan demi
kelangsungan hidup anak yang bersangkutan
7. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.43
E. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan Perpektif Fiqih
42 Imam Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Keluarga Poligami, (Jakarta:
Pustaka Bangsa Press, 2003), h. 87 43
Imam Jauhari, Hak- Hak Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2003), h. 21
38
Pada mulanya syariat islam baik dalam Al-Qur‟an atau al- Sunnah tidak
mengatur secara konkret tentang adanya pencatatan perkawinan.44
Pencatatan
perkawinan tidak diberi perhatian yang serius oleh fikih walaupun ada ayat
al- Qur‟an menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalat.45
Mengenai pencatatan transaksi mu‟amalah, terdapat aturan yang jelas dan
tegas di dalam al-Qur‟an. Ketentuan ini diungkap dalam surat al- baqarah
ayat 282 yang dikenal oleh para ulama dengan ayat al- mudayanah (ayat
hutang piutang) :
ك كتت ث ن فبكتج إن أجم يس تى ثذ آيا إرا تذا ب انز ى ب أ
هم انز عه ن كتت فه انه ب عه كتت ك ؤة كبتت أ نب كبتت ثبنعذل
ب أ انحك سف انز عه كب ئب فئ ش جخس ي نب سث تك انه ن انحك
ضع ي ذ ذا ش استش ثبنعذل ن هم فه م ستطع أ نب فب أ
تضم ذاء أ انش ي تشض ي ايشأتب فشجم نى كب سجه سجبنكى فئ
ب فتزك إحذا نب تسؤيا أ ذاء إرا يب دعا ؤة انش نب ب انؤخش ش إحذا
أ أد بدح و نهش أل ذ انه رنكى ألسط ع كجشا إن أجه صغشا أ نب تكتج
تك ب تشتبثا إنب أ بح أنب تكتج كى ج س عه كى فه ب ث تجبسح حبضشح تذش
فسق ثكى تفعها فئ إ ذ نب ش نب ضبس كبتت عتى ذا إرا تجب أش
كى عه ء عهىاتما انه ثكم ش انه انه
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau
lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
44 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2013), h. 91 45 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1974 Sampai KHI), (Jakarta: Kencana, 2004), h. 120
39
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu),
kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara
kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi
saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah
kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu” (QS. Al- Baqarah: 282)
Secara garis besar, ayat ini berbicara tentang anjuran bahwa menurut
sebgian ulama bersifat kewajiban untuk mencatat hutang piutang dan
mempersaksikannya di hadapan pihal ketiga yang di hadapan pihak ketiga
yang dipercaya. Selain itu, ayat ini juga menekankan perlunya menulis hutang
walaupun hanya sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya.
Tujuannya untuk menghindarkan terjadinya sengketa di kemudian hari.46
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa adanya bukti autentik sangat
diperlukan untuk menjaga kepastian hukum bahkan secara redaksional
menunjukkan bahwa catatan didahulukan daripada kesaksian, yang dalam
perkawinan persaksian menjadi salah satu rukun yang harus dilaksanakan.
Pada hal yang penting sebagai keniscayaan jaman dan kebutuhan legalitas
hukum adalah adanya pencatatan perkawinan.47
Suatu perkawinan, pencatatan
46 M. Quraih Shihab, Tafsir al- Misbah, vol. 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 602 47
Yayan Sopyan, Islam- Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: UIN Syarih Hidayatullah), h. 127- 129
40
mutlak diperlukan. Adapun fungsi dan kegunaan pencatatan adalah untuk
memeberikan jaminan hukum terhadap perkawinan yang dilakukan, bahwa
perkawinan itu dilaksanakan dengan sungguh- sungguh, berdasarkan i‟tikad
baik, serta suami sebagai pihak yang melakukan transaksi benar- benar akan
menjalankan segala konsekuensi atau akibat hukum dari perkawinan yang
dilaksanakannya itu.
Pencatatan perkawinan dalam bentuk akta nikah sangat diperlukan di
dunia modern seperti sekarang ini, seseorang yangmenkah tanpa dicatat oleh
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau tidak mempunyai akta nikah, maka
nikahnya tidak sah menurut undang- undang yang berlaku di suatu negara.48
Adapun pencatatan perkawinan ini sesuai dengan kaidah Ushul Fiqh,
yakni Al- Mashlahatul Mursalah.
“Bahwa terdpat satu makna yang dirasa ketentuan itu cocok dengan akal
sedang dalil yang disepakati tentang (hal tersebut) tidak terdapat”
Maksud dari kiadah Ushul Fiqh diatas adalah bahwa di dalam Al-Qur‟an
tidak dijelaskan secara terperinci mengenai pencatatan perkawinan, maka
berdasarkan Maslahatul Mursalah untuk kedepannya pencatatan perkawinan
akan mendapatkan bukti percatatan perkawinan yaitu akta nikah, maka
pencatatan perkawinan hukumnya wajib.
Perlu kita perhatikan pula Q.S An-Nisa ayat 59:
بصعتى ت كى فئ أن انؤيش ي أطعا انشسل آيا أطعا انه ب انز ب أ
و ان ثبنه تى تؤي ك انشسل إ إن انه ء فشد ش ف ش انآخش رنك خ
م تؤ اأحس
Artinya ; “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
48 Mardani, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2001),h. 86
41
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”(QS. An-Nisa :59)
Kemudian berdasarkan ayat diatas dijelaskan bahwa diwajibkan
melaksanakan keputusan pemerintah, dalam hal ini tentang pencatatan
perkawinan. Oleh karena itu setiap warga Negara yang ingin menikah harus
mendaftarkan perkawinannya ke pada instansi yang berwenang.
42
BAB III
STATUS ANAK MENURUT HUKUM POSITIF
A. Pengertian Status Anak Menurut Hukum Positif
Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari
perkawinan anatar seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tidak
menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak
pernah melakukan pernikahan tetap dikatakan anak1.
Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang
merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia
bagi pembangunan Nasional. Anak adalah asset bangsa.Masa depan bangsa
dan Negara dimasa yang akan datang berada ditangan anak sekarang.Semakin
baik keperibadian anak sekarang maka semakin baik pula kehidupan masa
depan bangsa.Begitu pula sebaliknya, Apabila keperibadian anak tersebut
buruk maka akan buruk pula kehidupan bangsa yang akan datang.
Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan
masa yang panjang dalam rentang kehidupan.Bagi kehidupan anak, masa
kanak-kanak seringkali dianggap tidak ada akhirnya, sehingga mereka tidak
sabar menunggu saat yang didambakan yaitu pengakuan dari masyarakat
bahwa mereka bukan lagi anak-anak tapi orang dewasa
Menurut Hurlock (1980), manusia berkembang melalui beberapa tahapan
yang berlangsung secara berurutan, terus menerus dan dalam tempo
perkembangan yang tertentu, terus menerus dan dalam tempo perkembangan
yang tertentu dan bias berlaku umum.
Untuk lebih jelasnya tahapan perkembangan tersebut dapat dilihat pada
uraian tersebut: – Masa pra-lahir : Dimulahi sejak terjadinya konsepsi lahir –
Masa jabang bayi : satu hari-dua minggu. – Masa Bayi : dua minggu-satu
tahun. – Masa anak : – masa anak-anak awal : 1 tahun-6 bulan, Anak-anak
1 Chairinniza Graha, Keberhasilan Anak Di Tangan Orang Tua,( Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2007), h. 4
43
lahir : 6 tahun-12/13 tahun. – Masa remaja : 12/13 tahun-21 tahun – Masa
dewasa : 21 tahun-40 tahun. – Masa tengah baya : 40 tahun-60 tahun. – Masa
tua : 60 tahun-meninggal2.
Dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam
bidang ilmu pengetahuan (the body of knowledge) tetapi dapat di telah dari
sisi pandang sentralistis kehidupan. Misalnya agama, hukum dan sosiologi
menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan
social. Untuk meletakan anak kedalam pengertian subjek hukum maka
diperlukan unsur-unsur internal maupun eksternal di dalam ruang lingkup
untuk menggolongkan status anak tersebut. Unsur- unsur tersebut adalah
sebagai berikut3:
a. Unsur internal pada diri anak. Subjek Hukum: sebagai manusia anak juga
digolongkan sebagai human right yang terkait dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan. Ketentuan dimaksud diletakkan pada anak dalam
golongan orang yang belum dewasa, seseorang yang berada dalam
perwalian, orang yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum.
Persamaan hak dan kewajiban anak : anak juga mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dengan dengan orang dewasa yang diberikan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan dalam melakukan perbuatan
hukum. Hukum akan meletakan anak dalam posisi seabagai perantara
hukum untuk dapat disejajarkan dengan kedudukan orang dewasa atau
untuk disebut sebagai subjek hukum.
b. Unsur eksternal pada diri anak. Ketentuan hukum atau persamaan
kedudukan dalam hukum (equality before the low) dapat memberikan
legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untuk
berbuat peristiwa hukum yang ditentukan oleh ketentuan peraturan-
peraturan hukum itu sendiri, atau meletakan ketentuan hukum yang
2 Dawn Lighter, M.A, 50 Cara Efektif Menanamkan Tingkah Laku Positif Pada Anak,
(Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 5 3 Dede Lilis Ch.,S.Sos.,M.Si, Media Anak Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014), h. 23
44
memuat perincian tentang klasifikasi kemampuan dan kewenangan
berbuat peristiwa hukum dari anak yang bersangkutan. Hak-hak privilege
yang diberikan Negara atau pemerintah yang timbul dari UUD dan
peraturan perundang-undangan .
Salah satu implikasi status anak adalah distribusi keuangan (waris atau
hibah). Terdapat perbedaan aturan untuk anak kandung dan bukan anak
kandung. Oleh sebab itu status seorang anak harus diberi kejelasan. Berikut
ini 5 status anak menurut Hukum Positif di Indonesia4, yaitu
1. Anak sah
Menurut UU Perkawinan, anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah (pasa 42 dan 43 UU Perkawinan
No 1 tahun 1974). Bagaimana dengan bayi tabung? Pasal 99 Kompilasi
Hukum Islam menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, serta hasil perbuatan
suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Jadi
bayi tabung menurut Kompilasi Hukum Islam, termasuk anak sah. Anak
sah berhak mendaptkan segala hak yang diberikan kepadanya, salah
satunya adalah pembagian waris. Anak sah dibuktikan dengan adanya akta
lahir, jika tidak ada akta lahir, harus dibuat surat kenal lahir yang
ditetapkan pengadilan.
2. Anak angkat
Anak angkat ini adanya dalam UU no 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak, PP no 54 tahun 2007 tentang pengangkatan anak.
Seseorang boleh mengangkat anak untuk kepentingan terbaik anak sesuai
dengan kebiasaan setempat dan peraturan perundang-undangang yang
berlaku. Orang tua angkat juga harus seagama dengan anak angkat. Orang
asing boleh mengangkat anak, sebagai pilihan terakhir.
4
45
Anak angkat memiliki hak waris atas orang tua asal, karena adanya
hubungan darah dengan orang tua asal. Selain itu anak angkat juga berhak
mewarisi harta gono gini orang tua angkatnya seperti halnya anak sah.
3. Anak luar kawin
Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan bukan dari sebuah
perkawinan yang sah. Anak luar kawin dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
anak luar kawin yang diakui dan tidak diakui. Anak luar kawin yang dapat
diakui sahnya adalah hubungan laki-laki dan perempuan yang belum
kawin atau tidak sedarah. Anak luar kawin yang tidak dapat diakui adalah
hubungan laki-laki yang salah satunya sudah terikat perkawinan yang sah.
Anak luar kawin memiliki hak mewarisi kekayaan orang tuanya, namun
besarnya hanya sepertiga dari hak anak kandung (jika memiliki anak
kandung). Kalau tidak memiliki anak kandung, maka bagiannya setengah
bagian dan paling banyak tiga per empat bagian.
4. Anak sumbang dan anak zina
Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana salah satu atau
kedua-duanya, terikat perkawinan dengan orang lain. Anak sumbang
adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan, yang antara keduanya berdasarkan ketentuan
undang-undang ada larangan untuk saling menikahi. Anak zina tidak
memiliki hak waris dari ibu atau ayah, tetapi mereka berhak mendapatkan
nafkah.
5. Anak asuh
Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang, lembaga untuk
diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan dan kesehatan,
karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin
tumbuh kembang anak secara wajar. Anak asuh tidak mewarisi kekayaan
orang tua. Anak asuh dapat menerima kekayaan orang tua asuh dengan
cara hibah atau wasiat, tetapi tidak dengan waris.
46
B. Kedudukan Status Anak Menurut Hukum Positif
Hukum positif di Indonesia membedakan antara keturunan yang sah dan
keturunan yang tidak sah. Keturunan yang sah didasarkan atas adanya
perkawinan yang sah, dalam arti bahwa yang satu adalah keturunan yang lain
berdasarkan kelahiran dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah,
anak- anak yang demikian disebut anak sah. Sedangkan keturunan yang tidak
sah adalah keturunan yang tidak didasarkan atas suatu perkawinan yang sah,
anak yang demikian disebut anak luar kawin.5
Menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalan atau akibat perkawinan yang
sah, meskipun anak tersebut lahir dari perkawinan wanita hamil yang usia
kandungannya kurang dari 6 (enam) bulan lamanya sejak ia menikah resmi.
Mengenai anak sah maupun anak luar kawin, Undang- Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah mengaturnya dalam Pasal 42, 43, dan
44, yaitu:
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah.
Pasal 43
1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dn keluarga ibunya.
2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah
Pasal 44
5 J. Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang- Undang (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2000), h. 5
47
1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh
istrinya bilamana ia dapat membuktikan bawa istrinya telah berzina
dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
permintaan pihak yang berkepentingan.
Kewenangan Mahkamah, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi serta Pasal 29 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
salah satu kewenangan Konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar maka permohonan
pemohon untuk menguji Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 terhadap UUD 1945 merupakan kewenangan
Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2000 Tanggal 13
Februari 2012, dalam Pasal 43 ayat (1) di atas harus dibaca, “ Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya serta dengan laki- laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya”.6 Putusan MK ini mencerminkan prinsip
persamaan di hadapan hukum (equality before the law ) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi : “Setiap anak berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum, dengan demikian bahwa hukum
6 Syafran Sofyan, Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Status Anak Luar Kawin
(www.jimlyschool.com)
48
harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status
setiap anak yang dilahirkan dan hak- hak yang ada padanya, termaksud
kepada anak yang dilahirkan dilur pernikahan yang sah menurut peraturan
perundang- undangan.
Anak luar kawin yang diakui secara sah adalah salah satu ahli waris
menurut undang- undang yang diatur dalam KUHPerdata berdasarkan Pasal
208 jo Pasal 863 KUHPerdata. Anak luar kawin yang berhak mewarisi
tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti sempit, mengingat doktrin
mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu anak luar
kawin, anak zina, dan anak sumbang, sesuai dengan penyebutan di dalam
Pasal 272 jo Pasal 283 KUHPerdata (tentang anak zina dan sumbang). Anak
luar kawin yang berhak mendapatkan waris adalah sesuai dengan
pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Dengan demikian, bagi anak yang lahir dari perkawinan siri atau anak luar
kawin bisa mendapatkan pengakuan sebagai anak yang sah dan mendapatkan
hubungan perdata bukan hanya dengan ibunya saja, tapi dengan ayah dan
keluarga ayahnya, apabila hubungan darahnya dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi atau bukti- bukti yang lain. Sehingga
hubungan perdata dengan ayah atau ibunya dilindungi dan terjamin secara
hukum.
C. Hubungan Nasab Dalam Hukum Positif
1. Pengertian Nasab
Nasab dalam hukum perkawinan Indonesia dapat didefinisikan
sebagai sebuah hubungan darah (keturunan) antara seorang anak dengan
ayahnya, karena adanya akad nikah yang sah. Hal ini dapat dipahami dari
beberapa ketentuan, diantaranya pasal 42 dan 45 serta 47 undang- undang
perkawinan. Pasal 42 dinyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 45 (1)
kedua orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) ini berlaku sampai anak
49
itu kawin atau anak itu dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku
terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus. Pasal 47 (1) anak yang
belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama
mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. (2) orang tua mewakili anak
tersebut mengenai perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan.7
Dan pada pasal 98 dan 99 kompilasi hukum islam. Pasal 98
menyatakan (1) batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa
adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun
mental atau belum pernah melangsingkan perkawinan. (2) orang tuanya
mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan
diluar pengadilan. (3) pengadilan agama dapat menunjuk salah satu
kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila
kedua orang tuanya tidak mampu.
Pasal 99 : anak yang sah adalah (1) anak yang dilahirkandalam
atau akibat perkawinan sah. (2) hasil pembuahan suami istri yang sah
diluar rahim yang dilahirkan oleh istri tersebut.8
Dalam hukum perkawinan Indonesia hubungan ini tidak dikritik
beratkan pada salah satu garis keturunan ayah atau ibunya, melainkan
kepada keduanya secara seimbang. Namun seorang anak menjadi
tanggungjawab bersama antara istri dan suami.
2. Sebab- sebab Nasab
Seorang anak, dilihat dalam Hukum Perkawinan Indonesia secara
langsung memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Ini dapat dipahami
dari pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa anak
yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
7 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Presindo, 1995), h. 23
8 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Presindo, 1995), h. 137
50
Penentuan nasab anak kepada bapaknya dalam hukum perkawinan
Indonesia didasarkan pada :
1) Perkawinan yang sah.
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut
hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya. Setiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang- undangan
yang berlaku.
Penetapan nasab berdasarkan perkawinan yang sah, diatur dalam
beberapa ketentuan yaitu : Pertama, UU No. 1 Tahun 1974 pasal 42
yang berbunyi: “ anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah”.9 Kedua, Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pasal 99 yang menytakan : “anak sah adalah : (a) anak
yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. (b) hasil
pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh
istri tersebut”.10
Dapat di pahami dari peraturan- peraturan tersebut, seorang anak
dapat dikategorikan sah, bila memenuhi salah satu dari 3 syarat :
a. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, dengan dua
kemungkinan. Pertama, setelah terjadi akad nikah yang sah istri
hamil, dan kemuadian melahirkan. Kedua, sebelum akad nikah
istri telah hamil terlenih dahulu, dan kemudian melahirkan setelah
akad nikah. Inilah yang dapat ditangkap dari pasal tersebut, namun
kita perlu pertanyaan yang besar, apakah memang demikian.
b. Anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Contoh,
istri hamil dan kemudian suami meninggal. Anak yang dikandung
istri adalah anak sah sebagai akibat dari adanya perkawinan yang
sah.11
9 R. Subekti, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradya Paramitha, 1996),
h. 550 10 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Presindo, 1995), h. 138 11
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), h. 95
51
c. Anak yang dibuahi di luar rahim oleh pasangan suami istri yang
sah, dan kemudian dilahirkan oleh istrinya. Ketentuan ini untuk
menjawab kemajuan teknologi tentang bayi tabung.
2) Perkawinan yang dibatalkan
Kompilasi Hukum Islam pasal 76 menyatakan batalnya
perkawinan tidak akan memutuskan hukum antara anak dan orang
tuanya. Selanjutnya perkawinan dapat dibatalkan hanya keputusan
Pengadilan. Suatu perkawinan dapat dibatalkan dengan syarat- syarat
sebagaimana yang tertuang dalam Undang- Undang Perkawinan pasal
22-28.
Pasal 22 : Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak
memenuhi syarat- syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 23 :
yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu : Para keluarga
dari garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; Suami atau
istri; Pejabat perkawinan hanya selama perkawinan belum diputuskan;
pejabat yang ditunjuk tersebut UU Perkawinan pasal 16 ayat (2) dan
setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu
putus.
Pasal 24 : Barang siapa karena perkawinan masih terikat diri
dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya
perkawinan dapat mengajukan pembatalan yang baru dengan tidak
mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU Perkawinan.
Pasal 25: Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada
Pengadilan dalam daerah hukum di aman perkawinan dilangsungkan
atau di tempat tinggal kedua suami istri, Suami atau istri.
Pasal 26: (1) perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai
pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah
atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat
diminta pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas dari suami atau istri jaksa dan suami atau istri. (2) hak
52
untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam
ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai
suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat
pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan
harus diperbaharu supaya sah.
Pasal 27: (1) seorang suami atau istri dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan
dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. (2) seorang
suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
salah sangka mengenai diri suami atau istri. (3) apabila ancaman itu
telah berhenti, atau bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup
sebagai suami istri, dan tidak dipergunakan haknya untuk mengajukan
permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 28: (1) batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan
Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak
saat berlangsungnya perkawinan. (2) keputusan tidak berlaku surut
terhadap : anak- anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; suami
istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta
bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya
perkawinan lain yang lebih dahulu; orang ketiga lainnya tidak
termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak- hak
dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Seterusnya sebagaimana yang diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam Pasal 70- 76 yang menyatakan: Pasal 70: Perkawinan batal
apabila: (a) Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak
melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri,
sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i.
(b) Seseorang menikahi istrinya yang telah di li’annya. (c) Seseorang
53
menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya,
kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang
kemudian bercerai lagi ba’da dhukul dari pria tersebut dan telah habis
masa iddahnya. (d) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang
mempunyai hubungan darah, semenda dan susunan sampai serajat
tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 UU No. 1
Tahun 1974, yaitu: Berhubungan darah dalam garis keturunan lirus ke
bawah atau ke atas; berhubungan darah dalam garis keturunan
menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara
orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; Berhubungan
susuan, yaitu orang tua susuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan
bibi dan paman sesusuan; (e) Istri adalah saudara kandung atau
sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri- istrinya.
Pada pasal 71: Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: (a)
Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; (b)
Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih sebagai
istri orang lain yang mafqud; (c) Perempuan yang dikawini ternyata
kemudian diketahui masih dalam iddah dari suami lain; (d)
perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana
yang ditetapkan pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 (e) Perkawinan yang
dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak; (f) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72: (1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah
ancaman yang melanggar hukum (2) seorang suami atau istri dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu
berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka itu
menyadari keadaannya, dan dalam jangka 6 (enam) bulan setelah itu
masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan
haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya
gugur.
54
Pasal 73:Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan yaitu: Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas
dari suami atau istri; suami atau istri; pejabat yang berwenang
mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang- Undang; para
pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam
rukun dan syarat perkawinan menurut Hukum Islam dan peraturan
perundang- undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
Selanjutnya pada pasal 74: (1) Permohonan pembatalan perkawinan
dapat diajukan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal
suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan. (2) Batalnya
suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama
mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.
Pasal 75: dijelaskan bahwa keputusan pembatalan perkawinan
tidak berlaku surut terhadap: (a) Perkawinan yang batal karena salh
satu dari suami istri murtad; (b) Anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut; (c) Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak- hak
dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Selanjutnya pasal 76: Batalnya suatu perkawinan tidak akan
memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.12
Dapat dipahami dari maksud ketentuan tidak berakhirnya hubungan
hukum antara seorang anak dengan orang tuanya, jika perkawinan
kedua orang tuanya dibatalkan oleh pengadilan adalah untuk
memberikan perlindungan hukum dan didasarkan pada pertimbangan
masa depan si anak.
3. Dasar Hukum Nasab
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003
Tentang Perlindungan Anak, menyebutkan Anak adalah seseorang yang
12 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Presindo, 1995), h. 129
55
belum genap berusia 18 (delapan belas) tahun, serta termasuk anak yang
masih dalam kandungan pun masih dikategorikan sebagai anak-anak.
Anak yang masih dalam kandugan maupun yang telah di lahirkan
mendapatkan perlindugan hukum dari Pemerintah. Perlindungan hukum
tersebut bentuknya bermacam-macam, salah satunya yaitu untuk
mendapatkan akta kelahiran anak, hal tersebut telah diperkuat dalam Pasal
28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang mana isi pasal tersebut menyatakan bahwa setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Hal yang menyebabkan anak tidak mendapatkan akta kelahiran
adalah perkawinan yang tidak dicatatkan oleh orangtua anak tersebut,
padahal diketahui bahwa Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dijelaskan bahwa syarat sahnya perkawinan
yaitu :13
(1) Perkawinan sah apabila dilakukan menurut masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, dan di dalam ayat;
(2) menyebutkan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Melihat pentingnya pencatatan akta kelahiran bagi anak maka
setiap anak diharuskan memiliki akta kelahiran, akta kelahiran ini dapat
diperoleh apabila perkawinan dilakukan secara sah menurut agama dan
perundang-undangan yang berlaku di Negara Indonesia. Sah menurut
peraturan perundang-undangan maksudnya yaitu perkawinan tersebut di
catat di Kantor Urusan Agama kecamatan di tiap-tiap daerah pasangan
yang melakukan perkawinan bagi pasangan yang beragama islam, namun
bagi pasangan yang beagaman non islam pencatatan perkawinan tersebut
dilakukaan di kantor catatn sipil.
Oleh karena itu pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan mengatur mengenai tata cara untuk
13 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
56
mendapatkan akta kelahiran anak bagi anak yang tidak dapat memiliki
akta kelahiran, tapi masih menimbulkan pertanyaan bagaimana bukti-bukti
yang memenuhi syarat. Pasal tersebut menyebutkan :14
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta
kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang.
(2) Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada
maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal
usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti
berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3) Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini maka
instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum
pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi
anak yang bersangkutan.
Dilihat dari pasal tersebut, apabila anak diluar nikah yang tidak memiliki
akta kelahiran, maka akta kelahiran mengenai asal usul anak dapat
dimintakan penetapannya ke Pengadilan.
D. Hak Anak Dalam Hukum Positif
Pasal 1 ayat (12) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak menjelaskan bahwa yang dimaksud hak anak adalah
bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi
oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Dalam
kaitannya dengan orang tuanya, hak anak menurut hukum adalah :
a. Hak Nafkah,
Nafkah berati belanja, kebutuhan pokok yang dimaksudkan adalah
kebutuhan pokok yang diperlukan oleh orang- orang yang
membutuhkannya. Mengingat banyaknya kebutuhan yang diperlukan oleh
keluarga tersebut maka dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa
kebutuhan pokok minimal adalah pangan, sedangkan kebutuhan yang lain
14 Pasal 55 ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
57
tergantung kemampuan orang yang berkewajiban membayar atau
menyediakannya dan memenuhinya.15
Pasal 2 UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak
merumuskan hak- hak anak sebagai berikut: “ Anak berhak atas
kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih
sayang baik dalam keluarga maupun didalam asuhan khusus untuk
tumbuh dan berkembang dengan wajar”.
Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan
dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa untuk
menjadi warga negara yang baik anak berhak atas pemeliharaan dan
perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan dan menghambat pertumbuhan dan perkembangan yang
wajar.16
Pada Pasal 321 KUH. Perdata disebutkan bahwa “Tiap- tiap anak
berwajib memberi nafkah kepada kedua orang tuanya dan para keluarga
sedarahnya dalam garis ke atas, apabila mereka dalam keadaan miskin”.
Selanjutnya dalam Pasal 323 KUH. Perdata dijelaskan bahwa “
Kewajiban- kewajiban yang timbul karena ketentuan- ketentuan dalam
kedua pasal yang lalu, adalah bertimbal balik”.
Menurut pasal tersebut, maka timbul hubungan timbal- balik untuk
menafkahi antara orang tua dan anak apabila salah satu dari keduanya
tidak mampu. Sudah barang tentu anak adalah tanggung jawab orang
tuanya untuk diberi nafkah sampai dapat berdiri sendiri atau menikah dan
orang tua menjadi tanggung jawab anaknya apabila sudah berusia lanjut
ataupun tak mampu mencari nafkah.
Pada dasarnya pemberian nafkah kepada anak dimulai sejak masa
dalam kandungan, sesuai dengan Pasal 2 KUH. Perdata yang
15 Safuddin Mujtaba dan Imam Jamhari (I), Hak- hak Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta:
Pustaka Bangsa Press, 2003), h. 84 16
Yusuf Thalib, Pengaturan Hak Anak Dalam Hukum Positif, (Jakarta: BPHN, 1984), h. 132
58
menyebutkan, “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan,
dianggap sebagai telah dilahirkan, bilman juga kepentingan di anak
menghendakinya”.
Adapun mengenai ketentuan nafkah yang diberikan, disesuaikan
antara kebutuhan yang diberi nafkah dengan pendapatan serta kekayaan
yang memberi nafkah. Hal ini diatur dalam Pasal 329a KUH Perdata yang
berbunyi,
“Nafkah yang diwajibkan menurut buku ini, termasuk yang
diwajibkan untuk pemeliharaan dan pendidikan seorang anak di bawah
umur, harus ditentukan menurut perbandingan kebutuhan pihak yang
berhak atas pemeliharaan itu, dengan pendapatan dan kemampuan pihak
yang wajib membayar, dihubungkan dengan jumlah dan keadaan orang-
orang yang menurut buku ini menjadi tanggungannya”.17
Dan Pasal 383 KUH. Perdata yang menyatakan, “Wali harus
menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan bagi anak belum
dewasa menurut kemempuan harta kekayaannya dan harus mewakili
anak belum dewasa itu dalam segala tindakan perdata”.
b. Hak Perwalian
Seperti diketahui bahwa dalam KUH. Perdata ada juga disebutkan
pengertian dari Perwalian itu, yaitu Pasal 330 ayat (3) menyatakan
:”Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan
orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana
teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima, dan keenam bab ini”.
Pada umumnya didalam sistem perwalian menurut KUH. Perdata
memiliki beberapa asas, yakni :
1. Asas tak dapat dibagi- bagi (Ondeelbaarheid)
Pada tiap- tiap perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam
Pasal 331 KUH. Perdata. Asas tak dapat dibagi- bagi ini mempunyai
pengecualian dalam dua hal, yaitu :
17 R. Subekti dan Titrosudibio. Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, h. 89
59
a) Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup
paling lama (langs tlevendeouder), maka kalau ia kawin lagi
suaminya manjadi medevoogd atau wali serta, Pasal 351 KUH
Perdata.
b) Jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder)
yang mengurus barang- barang minderjarige diluar Indonesia
didasarkan Pasal 361 KUH Perdata.18
2. Asas kesepakatan dari keluarga
Keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal
keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga
itu, sedang pihak keluarga kalau tidak datang sesudah diadakan
panggilan dapat dituntut berdasarkan Pasal 524 KUH Perdata.19
3. Orang – orang yang tidak dapat ditunjuk sebagai wali.
Ada 3 (tiga) macam perwalian, yaitu :
1. Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama.
Pasal 345 KUH Perdata menyatakan :”Apabila salah satu dari
kedua orang tua meninggal dunia, amak perwalian terhadap
anak- anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku
oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah
dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya”.
Ketentuan ini tidak mengadakan pengecualian bagi suami istri
yang hidup terpisah, karena perkawinan yang terjadi oleh
perceraian atau pisah tempat tidur. Jadi apabila ayah yang
menjadi wali setelah perceraian dan kemudian meninggal
dunia, maka dengan sendirinya (van rechtswege) ibu menjadi
wali atas anak tersebut.
Anak luar kawin yang diakui berada di bawah perwalian. Oleh
karena kekuasaan orang tua hanya ada bila terdapat
perkawinan, maka seorang anak luar kawin yang diakui
18
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum, h. 233 19 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum, h. 233
60
dengan sendirinya (menurut hukum/ van rechtsweg) berada di
bawah perwalian ayah atau ibu yang telah mengakuinya.
Kecuali, bila ayah ibu dikecualikan untuk menjadi wali atau
kehilangan hak untuk menjadi wali (Pasal 353 ayat (1)
KUH.Perdata).
2. Perwalian yang ditunjuk oleh ayah atau ibi dengan suatu
tetamen atau akte khusus.
Pasal 355 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa :”
Masing- masing orang tua, yang melakukan kekuasaan orang
tua atau perwalian bagi seorang anaknya atau lebih berhak
mengangkat seorang wali bagi anak- anak itu, jika kiranya
perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun
karena penetapan Hakim menurut ayat terakhir pasal 353,
tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain “. Dengan kata
lain, orang tua masing- masing yang menjadi wali atau
memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali kalau
perwalian tersebut memang masih terbuka.
3. Perwalian yang diangkat oleh Hakim
Pasal 359 KUH Perdata menentukan :” Semua minderjarige
yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua dan yang
diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang wali
setelah mendengar pendapat atau memanggil keluarga
sedarah atau semenda.
Dalam ayat 2 pasal tersebut dikatakan bahwa bila seorang
tidak mungkin melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian,
maka Pengadilan Negeri akan mengangkat seorang wali
sementara selama orang tua atau wali yang dimaksud tidak
dapat melakukan kekuasaannya sampai pihak yang
berkepentingan (orang tua atau wali) tersebut meminta
kembali haknya. Pengangkatan seorang wali sementara
dilakukan pula apabila hidup matinya ayah atau ibunya tidak
61
diketahui atau dalam hal tidak diketahui tempat kediamannya
(Pasal 359 ayat (3) KUH Perdata).
4. Orang – orang yang berwenang menjadi wali.
Pasal 379 KUH. Perdata menyebutkan lima golongan orang
yang dikecualikan atau tidak boleh menjadi wali, yaitu ;
1) Orang- orang sakit ingatan (krankzinnigen)
2) Minderjarigen
3) Orang yang diletakkan dibawah pengampunan (curatele)
4) Mereka yang dipecat atau dicabut (ontzet) dari kekuasaan
orang tua atau perwalian atau penetapan pengadilan.
5) Para ketua, wakil ketua, sekretaris Balai Harta
Peninggalan, kecuali atas anak- anak tiri pejabat- pejabat
itu sendiri.
Pada Pasal 332 b ayat (1) KUH Perdata menyatakan
“perempuan bersuami tidak boleh menerima perwalian tanpa
bantuan dan izin tertulis dari suaminya”. Akan tetapi jika
suami tidak memberikan izin maka dalam Pasal 332 b (2)
KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa bantuan dari
pendamping (bijstand) itu dapat digantikan dengan kekuasaan
dari hakim. Selanjutnya Pasal 332 b ayat 2 KUH Perdata
menyatakan :
“Apabila si suami telah memberikan bantuan atau izin itu
atau apabila ia kawin dengan perempuan itu setelah
perwalian bermula, sepertipun apabila si perempuan tadi
menurut pasal 112 atau pasal 114 dengan kuasa dari hakim
telah menerima perwalian tersebut, maka si wali perempuan
bersuami atau tidak bersuami, berhak melakukan segala
tindakan- tidakan perdata berkenaan dengan perwalian itu
tanpa pemberian kuasa atau bantuan ataupun juga dan atau
tindakan- tindakan itupun bertanggung jawab pula “.
62
Sehubungan dengan kewenangan perhmpunan, yayasan dan
lembaga- lembaga sebagai wali atas penunjukkan ayah atau
ibu, maka dalam Pasal 355 ayat (2) KUH Perdata dikatakan
bahwa badan hukum tidak boleh diangkat menjadi wali,
kecuali bila perwalian itu diperintahkan oleh Pengadilan.
5. Mulainya Perwalian
Dalam Pasal 331a KUH Perdata, ditemukan mulai berlaknya
perwalian untuk setiap jenis perwalian, yaitu :
1) Jika seorang wali diangkat oleh hakim, dimulai dari saat
pengangkatan jika ia hadir dalam pengangkatan itu, bila ia
tidak hadir maka perwalian itu dimulai saat pengangkatan
itu diberitahukan kepadanya.
2) Jika seorang wali diangkat oleh salah satu orang tua,
dimulai dari saat orang tua itu meninggal dunia dan
sesudah wali dinyatakan menerima pengangkatan tersebut.
3) Bagi wali menurut undang- undang dimuali dari saat
terjadinya peristiwa yang menimbulkan perwalian itu,
misalnya kematian salah seorang orang tua.
Berdasarkan Pasal 362 KUH Perdata maka setiap wali yang
diangkat kecuali badan hukum harus mengangkat sumpah
dimuka Balai Harta Peninggalan.
6. Hal Melakukan Perwalian
Pengawasan atas diri pupil (orang yang menentukan perwalian
). Dalam Pasal 383 (1) KUH Perdata, “Setiap wali harus
menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan terhadap
pribadi si belum dewasa sesuai dengan harta kekayaannya
dan ia harus mewakilinya dalam segala tindakan- tindakan.”
Artinya wali bertanggung jawab atas semua tindakan anak
yang menjadi perwaliannya.
Dalam ayat 2 Pasal tersebut ditentukan, “si belum dewasa
harus menghormati walinya.” Artinya si anak yang
63
memperoleh perwaliannya berkewajiban menghormati si
walinya.
Pasal 383 (1) KUH Perdata juga menyebutkan :”... pun ia
harus mewakilinya dalam segala tindakan- tindakan perdata”.
Namun demikian pada keadaan tertentu pupil dapat bertindak
sendiri atau didampingi oleh walinya, misalnya dalam hal
pupil itu akan menikah.
7. Barang- barang yang Tak Termasuk Pengawasan Wali
Menurut Pasal 385 (2) KUH Perdata, barang- barang tersebut
adalah berupa barang- barang yang dihadiahkan atau
diwariskan kepada pupil dengan ketentuan barang tersebut
akan diurus oleh seorang pengurus atau beberapa pengurus.
8. Tugas dan Kewajiban Wali
Adapun kewajiban wali adalah :
a. Kewajiban memberitahukan kepada Balai Harta
Peninggalan. Pasal 368 KUH Perdata apabila kewajiban ini
tidak dilaksanakan wali maka ia dapat dikenakan sanksi
berupa wali dapat dipecat dan dapat diharuskan membayar
biaya- biaya dan ongkos- ongkos.
b. Kewajiban mengadakan investarisasi mengenai harta si
anak yang diperwakilannya (Pasal 386 ayat 1 KUH
Perdata).
c. Kewajiban- kewajiban untuk mengadakan jaminan (Pasal
335 KUH Perdata).
d. Kewajiban menentukan jumlah yang dapat dipergubakan
tiap- tiap tahun oleh anak tersebut dan biaya pengurusan.
(Pasal 338 KUH Perdata).
e. Kewajiban wali untuk menjual perabotan rumah tangga
minderjarigen dan semua barang bergerak dan tidak
memberikan buah atau hasil atau keuntungan kecuali
64
barang- barang yang diperbolehkan disimpan innatira
dengan izin Weeskamer. (Pasal 389 KUH Perdata)
f. Kewajiban untuk mendaftarkan surat- surat piutang negara
jika ternyata dalam harta kekayaan minderjarigen ada surat
piutang negera. (Pasal 392 KUH Perdata)
g. Kewajiban untuk menanam (belegen) sisa uang milik
minderjarigen setelah dikurangi biaya penghidupan
tersebut.
9. Berakhirnya Perwalian
Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua keadaan, yaitu :
1) Dalam hubungan dengan keadaan si anak, dalam hal ini
perwalian berakhir karena :
a. Si anak telah menjadi dewasa (meerderjarig)
b. Matinya si anak
c. Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya
d. Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui
2) Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini perwalian
dapat berakhir karena :
a. Ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali
b. Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian
(Pasal 380 KUHP Perdata). Syarat utama untuk
pemecatan adalah karena lebih mementingkan
kepentingan anak minderjarig itu sendiri.
Alasan lain yang dapat memintakan pemecatan atas wali
didalam Pasal 382 KUHPerdata menyatakan :
1) Jika wali berkelakuan buruk
2) Jika dalam melaksanakan tugasnya wali tidak cakap
atau menyalahgunakan kecakapannya
3) Jika wali dalam keadaan pailit
4) Jika wali untuk dirinya sendiri atau keluarganya
melakukan perlawanan terhadap si anak tersebut
65
5) Jika wali dijatuhi hukuman pidana yang telah
berkekuatan hukum tetap
6) Jika wali alpa memberitahukan terjadinya perwalian
kepada Balai Hart Peninggalan (Pasal 368
KUHPerdata).
7) Jika wali tidak memberikan pertanggung jawaban
kepada Balai Harta Peninggalan (Pasal 372
KUHPerdata).
10. Perhitungan dan Tanggung jawab
Pasal 409 KUH. Perdata menentukan bahwa di setiap akhir
perwaliannya, seorang wali wajib mengadakan perhitungan
tanggung jawab penutup. Perhitungan itu dilakukan :
1) Dalam hal perkawinan yang sama sekali dihentikan, yaitu
kepada minderjarige atau kepada ahli warisnya
2) Dalam hal perwalian yang dihentikan karena dir (person)
wali, yaitu kepada yang menggantikannya
3) Dalam minderjarige yang sesudah berada di bawah
perwalian, kembali lagi beradadi bawah kekuasaan orang
tua, yaitu kepada ayag atau ibu minderjarige itu.
11. Wali Pengawas
Pengangkatan wali pengawas sealu terjadi dalam setiap
perwalian. Wali wajib menjaga adanya wali pengawas (Pasal
368 KUH. Perdata). Sebagaimana dikatakan diatas, bila wali
tidak memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan tentang
terjadinya perwalian, maka wali itu dapat dipecat. Kewajiban
wali pengawas adalah :
1) Mengadakan pengawasan terus kepada wali
2) Menyatakan pendapatnya terhadap berbagai tindakan yang
harus dilakukan oleh wali atas perintah hakim atau dengan
persetujuan hakim.
66
3) Bertindak bersama- sama dengan wali atau ikut hadir
dalam tindakan- tindakan tertentu
4) Bertindak bila ada kepentingan yang bertentangan antara
wali dengan minderjarige
5) Bertindak bila wali tidak hadir atau perwalian itu terulang
c. Hak Waris
Pengertian waris diatur dalam Pasal 833 KUH Perdata yakni
pewarisan sebagai suatu proses perpindahan hak milik dari seseorang
kepada orang lain atas segala barang, segala hak dan segala piutang dari
seseorang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya. Pada
dasarnya pewarisan adalah suatu perpindahan segala hak dan kewajiban
seseorang yang meninggal kepada para ahli warisnya. Dan secara singkat
dapat juga dikatakan bahwa definisi dari hukum waris menurut KUH
Perdata ini adalah perpindahan harta kekayaan dari orang yang meninggal
kepada orang yang masih hidup, jadi bukan hanya ahli waris dalam
pengertian keluarga dekat (sebagaimana hukum Islam), namun juga orang
yang meninggal dunia sebagai ahli warisnya.
Pada dasarnya dalam sistem kewarisan dalam KUH Perdata adalah
pewarisan sebagai proses perpindahan harta peninggalan dari seseorang
yang meninggal dunia kepada ahli warisnya, akan tetapi proses tersebut
tidak dapat terlaksana apabila unsurnya tidak lengkap. Adapun unsur-
unsur tersebut adalah :
1) Orang yang meninggalkan harta (erflater)
Elflater adalah orang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta
untuk orang- orang (ahli waris) yang masih hidup.
2) Harta warisan (erfenis).
Mengenai harta warisan ini dalam KUH Perdata dikategorikan
menjadi :
a. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang
termasuk di dalamnya piutang yang hendak ditagih yang disebut
dengan istilah activa;
67
b. Harta kekayaan yang merupakan hutang- hutang yang harus
dibayar pada saat meninggal dunia atau passiva;
c. Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan
masing- masing suami isteri, harta bersama dan sebagainya.
3) Ahli Waris ( erfegnaam)
Ahli waris adalah anggota keluarga yang masih hidup yang
menggantikan kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan
karena meninggalnya pewaris. Ahli waris dalam sistem kewarisan
Kitab Undang- Undang Hukum Perdata secara garis besar terbagi
menjadi dua macam yakni :
a. Ahli waris menurut Undang undang (ab intestato) adalah ahli
waris yang mempunyai hubungan darah dengan si pewaris.
Mewaris berdasarkan undang- undang ini adalah yang paling
diutamakan mengingat adanya ketentuan legitime portie yang
dimikili oleh setiap ahli waris ab intestato ini. Dalam Pasal 832
KUH Perdata, dinyatakan bahwa yang berhak menjadi ahli waris
adalah keluarga sederajat baik sah maupun di luar kawin yang
diakui, serta suami isteri yang hidup terlama.20
b. Berdasarkan penggantian (bij plaatvervuling) ahli waris yang
menerima ahli waris dengan cara menggantikan, yakni ahli waris
yang menerima warisan yang telah meninggal dunia terlebih
dahulu dari pewaris. Ahli waris bij plaatvervuling ini diatur dalam
Pasal 841 samap Pasal 848 KUH Perdata.21
Adapun ahli waris dan bagian- bagiannya secara lebih spesifik
diklasifikasikan berdasarkan urutan di mana mereka terpanggil untuk
menjadi ahli waris dibagi menjadi empat macam yang disebut
golongan ahli waris, terdiri dari :
1) Golongan pertama: terdiri dari anak- anak dan keturunnya baik
atas kehendak sendiri maupun karena penggantian dan suami atau
20
R. Subekti dan Titrosudibio, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, h. 221 21 R. Subekti dan Titrosudibio, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, h. 224 - 225
68
isteri yang hidup telama. Bagian anak adalah sama dengan tidak
membedakan laki- laki dan perempuan besar, besar maupun kecil.
(Pasal 852 KUH Perdata ) dan bagian suami atau isteri
dipersamakan dengan anak sah (Pasal 852a KUH Perdata).
2) Golongan kedua yaitu orang tua, saudara laki- laki, saudara
perempuan, dan keturunan saudara laki- laki dan perempuan
tersebut22
;
a. Bagian orang tua (Pasal 854-855 KUH Perdata)
1. ⅓ bagian jika tidak ada suami atau isteri yang ada hanya
ibu atau bersama 2 saudara,
2. ½ bagian jika hanya seorang ibu/ bapak bersama seorang
saudara,
3. ¼ jika bersama lebih dari dua orang saudara.
b. Bagian saudara (Pasal 854 KUH Perdata)
1. ⅓ jika seorang diri atau ahli waris hanya ibu, bapak dan
seorang saudara dan atau ahli waris hanya bapak atau ibu
bersama 2 orang saudara.
2. ½ jika berdua dan bersama dengan ahli waris ibu/ bapak.
3. ¾ jika lebih dari 2 orang dan atau bersama dengan ahli
waris terdiri dari bapak/ibu.
3) Golongan ketiga adalah sekalian keluarga yang dalam garis lurus
ke atas, baik dari garis ayah (kakek) maupun ibu (nenek) yakni
ayah dan ibu dari ayah dan ibu ayah dan ibu dari pewaris. Yang
terdekat mandapat ½ bagian dengan mengenyampingkan segala
ahli waris lain (Pasal 850, 853 dan 858 KUH Perdata) dan dibagi
dua (kloving) satu bagian untuk keluarga pihak bapak dan yang
lainnya bagian pihak ibu.
4) Golongan keempat adalah sanak keluarga lainnya dalam garis
menyimpang sampai dengan derajat ke enam. Golongan ini diatur
dalam Pasal 858 KUH Perdata, yang menyatakan :
22 R. Subekti dan Titrosudibio, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, h. 227-228
69
“bila tidak ada saudara laki- laki dan perempuan dan juga tidak
ada keluarga sedarah yang masih hidup dalam salah satu garis ke
atas, maka separuh dari harta peninggalan itu menjadi bagian
dari keluarga sedarah dalam garis ke atas yang masih hidup.
Sedangkan separuh lagi menjadi bagian dari keluarga sedarah
garis kesamping dari garis ke atas lainnya, kecuali hal yang
tercantum dalam pasal berikut”
Ahli waris berdasarkan wasiat adalah orang yang ditunjuk atau
diangkat oleh pewaris denga surat wasiat sebagai ahli warisnya
(erfstelling), yang kemudian disebut dengan ahli waris ad tetamento.
Wasiat atau testamen dalam kuh Perdata adalah pernyataan seseorang
tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia. Pada
asasnya suatu pernyataan kemauan terakhir itu ialah keluar dari satu
pihak saja (eenzijdig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali
(herroepen) oleh pewasiat baik secara tegas (uitdrukklijk) atau secara
diam- diam (stilzwijdend).23
Aturan testamen yang terdapat dalam Pasal 874 KUH Perdata ini
mengandung suatu syarat bahwa testamen tidak boleh bertentangan
dengan legitime portie dalam pasal 913 KUH Perdata. Dan paling lazim
adalah suatu tetamen berisi apa yang dinamakan erfstelling yaitu
penunjukkan seseorang atau nenerapa orang menjadi ahli waris yang
akan mendapat harta warisan seluruh atau sebagian dari harta warisan.
Dalam pasal 830 KUH Perdata disebutkan bahwa pewarisan hanya
terjadi karena kematian, ini berarti hanya kematian sajalah yang
menjadi sebab mewaris (terjadinya pewarisan ). Karenanya adalah yang
paling penting menetukan saat meninggalnya itu. Biasanya dianggap
sebagai yang menentukan ialah saat jantung berhenti berdenyut atau
saat nafasnya berhenti berhembus. Kemudian secara spesifik mengenai
sebab- sebab para ahli waris berhak menerima warisan adalah :
23 R. Subekti dan Titrosudibio, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, h. 232
70
1) Hidup pada saat warisan terbuka. Seorang ahli waris menerima
warisan adalah karena ia masih hidup pada saat warisan terbuka
sebagaimana dalam Pasal 836 KUH Perdata dengan
pengecualiannya sebagaimana Pasal 2 ayat (2) KUH Perdata.24
2) Bukan orang yang dinyatakan tidak patut (onwaardig). Orang
yang menjadi ahli waris tidak dinyatakan orang yang tidak patut
untuk menerima warisan, berdasar Pasal 838 KUH Perdata.25
3) Tidak menolak warisan. Orang yang tidak menolak (verwerpwn)
adalah orang yang masih hidup dan tidak diwakili dengan cara
penggantian sebagaimana di atur dalam Pasal 1060 KUH
Perdata.26
Berdasarkan Pasal 838 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata) yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan
karenanya dikecualikan dari pewarisnya ialah27
:
1) Mereka yang dengan putusan hakim dihukum karena
dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh si
yang meninggalkan;
2) Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan
karena secara fitnah telah mengadakan pengajuan terhadap si
meninggal, ialah suatu pengajuan telah malakukan tindakan
kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun
lamanya atau hukuman yang lebih berat;
3) Mereka dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si
yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat
wasiatnya;
4) Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan
surat wasiat si yang meninggal dunia.
d. Pengakuan Terhadap Anak di Luar Perkawinan
24 R. Subekti dan Titrosudibio, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, h. 222 25 R. Subekti dan Titrosudibio, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, h. 223 26
R. Subekti dan Titrosudibio, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, h. 273 27 R. Subekti dan Titrosudibio, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, h. 223
71
Anak yang lahir diluar kawin perlu diakui oleh ayah atau ibunya
supaya ada hubungan hukum. Sebab kalau tidak ada pengakuan maka
tidak terdapat hubungan hukum. Meskipun sorang anak itu dilahirkan
oleh seorang ibu, ibu itu harus tega mengakui anak itu. Kalau tidak maka
tidak ada hubungan hukum antara ibu dan anak. Pengakuan ini adalah
suatu hal yang lain sifat dari pengesahan. Dengan pengakuan seorang
anak itu tidak menjadi anak sah. Anak yang lahir di luar perkawinan itu,
baru menjadi anak sah jika kedua orang tuanya kemuadian kawin, setelah
kedua orang tua itu mengakuinya, atau jika pengakuan itu dilakukan
dalam akta perkawinan sendiri.28
Menurut pendapat R. Soebakti bahwa hubungan tali kekeluargaan
beserta dengan segala akibat- akibatnya terutama hak mewarisi antara
anak dan orang tuanya baru bisa terjadi apabila ada pengakuan dari orang
tuanya. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 272 KUH Perdata yang
berbunyi29
, “Kecuali anak- anak yang dibenihkan dalam zina, atau dalam
sumbang. Tiap- tiap anak yang diperbuahkan diluar perkawinan, dengan
kemudian kawinnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, apabila kedua
orang tua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan
Undang- Undang, atau apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta
perkawinan sendiri”.
Berkenaan dengan Pasal diatas, dapat ditegaskan bahwa pengakuan
yang dilakukan oleh kedua orang tuanya dari anak luar kawin, yang dapat
diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, akan tetapi ia tidak
dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan yang
sah dan tidak termasuk anak zina dan anak sumbang. Dan pasal diatas
dipertegas dalam Pasal 280 KUH Perdata yang berbunyi, “dengan
pengakuan yang dilakukan terhadap anak luar kawin, timbulah hubungan
perdata antara si anak dan abapk atau ibunya”.
28 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta; Rineka Cipta,
2015), h. 146 29
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, (Jakarta; Balai Pustaka, 2014), h. 68
72
Dalam hal status hukum anak yang dilahirkan dari perbuatan zina
dan penodaan darah tidak diperkenankan untuk diakui orang tuanya.
Kecuali anak penodaan darah dapat diakui apabila orang tuanya
mendapatkan dispensasi untuk menikah, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 273 KUH Perdata.
Menurut KUH Perdata ada tiga tingkatan status hukum dari anak luar
kawin yaitu:
1. Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua orang
tuanya.
2. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua
orang tuanya.
3. Anak di luar perkawinan itu menjadi anak sah, sebagai akibat kedua
orang tuanya melangsungkan perkawinan sah.30
Sesuai dengan Klasifikasi di atas dapat di pahami bahwa untuk
menjadikan seorang anak luar kawin sah di mata hukum dan memperoleh
haknya selaku anak dalam hal waris, maka anak luar kawin perlu
mendapat sebuah pengakuan dari salah satu atau kedua orang tuanya. Jika
kedua orang tuanya melangsungkan perkawinan belum memberikan
pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum perkawinan, amak
pengesahan anak hanya dapat dilakukan dengan surat pengesahan dari
Kepala Negara.
Pengakuan ini adalah suatu hal pengesahan orang tua terhadap anak
yang lahir di luar perkawinan, dan pengesahan ini hanya dapat dilakukan
dengan ketentuan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (B.W) Pasal
272, sedang untuk pengakuan terhadap anak luar kawin dimuat dalam
Pasal 281, Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan melalui:
1. Dalam akta kelahiran di anak.
2. Dalam akta perkawinan ayah dan ibu kalau kemudian kawin.
30 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sunar Grafika, 1992), h. 41
73
3. Dalam akta yang dibuat oleh Pegawai Catatn Sipil dan kemudian
dibukukan dalam daftar kehadiran menurut tanggal dibuatnya akta
tadi.
4. Dalam akta otentik lain. Dalam hal ini tiap- tiap orang yang
berkepentingan dapat menurut supaya pengakuan ini dicatat dalam
akta kelahiran anak.31
Anak yang lahir dari perkawinan wanita hamil adalah anak sah dari
kedua orang tuanya, sehingga ia memiliki hak- hak yang wajib dipenuhi
oleh kedua orang tuanya. Hal ini diatur dalam Pasal 42 s/d 44 Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Maka dari itu anak luar kawin yang dapat mewarisi adalah anak yang
diakui dengan sah oleh kedua ibu bapaknya, karena menurut Kitan
Undang- Undang Hukum Perdata (B.W.) asasnya adalah, bahwa mereka
mempunyai hubungan hukum dengan pewaris yang berhak menerima
harta warisan menurut undang- undang dan hubungan hukum tersebut
karena adanya pengakuan dari kedua orang tuanya. Pengakuan dari ibu
dan bapak sebagai anak yang sah dan hanya dapat dibuktikan dengan akta
otentik. Dengan mutlak mendapatkan hak waris, hal ini termuat dalam
Pasal 916 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang berbunyi,
“Bagian mutlak anak diluar kawin yang telah diakui dengan sah, adalah
setengah dari bagian yang menurut Undang- Undang sedianya harus
diwarisinya dalam pewarisan karena kematian”
Pasal 873 yang berbunyi : “Jika salah seorang keluarga sedarah
tersebut meninggal dunia dengan tidak meninggalkan sanak saudara
dalam derajat yang mengizinkan kewarisan, maupun suami istri yang
lebih hidup lama, maka si anak luar kawin berhak menuntut warisan
untuk dirinya sendiri dengan mengesampingkan negara”32
31 R. Subekti dan Titosudibio, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Burgelijk
Wetboek) dengan tambahan undang- undang Agraria dan Undang- Undang Perkawinan, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2001), h. 69
32 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, (Jakarta; Balai
Pustaka, 2014), h. 210
74
Sedang anak zina dan anak sumbang tidak dapat mewarisi, akan tetapi
bagi mereka diberikan hak untuk menuntut pemberian nafkah seperlunya,
dan besar nafkah sesuai dengan kemampuan ibu dan bapaknya.33
E. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan Prespektif Hukum Positif
Sebelum terjadinya Undang- Undang Perkawinan Nasional, perkawinan
merupakan kumpulan kaidah (lembaga hukum) yang bertitik berat pada segi
perdataannya sebagai perikatan.
Pasal 2 Undang Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 terdiri dari 2 ayat :
ayat 1 tentang sahnya, ayat 2 tentang pendaftarannya. Pasal 2 tersebut
berbunyi:
1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2) Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan
yang berlaku
Pasal 1 ayat (1) undang- undang nomor 22 tahun 1946 itu menentukan.
Nikah yang dilakukan menurut agama islam diawasi oleh Pegawai
pencatatn nikah yang diangkat oleh mentri agama atau oleh pegawai yang
ditunjuk olehnya. Disini terlihat bahwa pegawai pencatatan nikah itu
hanya bertugas mengawasi terlaksana perkawinan agar perkawinan itu
berlangsung menurut ketentuan- ketentuan agama islam.
Bagi yang tidak mendaftarkan perkawinan atau yang enggan
melangsungkan perkawinan di hadapan pegawai pencatat nikah, maka
akan menanggung risiko yuridis, perkawinannya diskualifikasikan sebagai
perkawinan liar dalam bentuk kumpul kebo atau compassionate
marriage.34
Pada Kompilasi hukum islam, masalah pencatatan perkawinan
diatur dalam pasal 5-7.
Pasal 5
33 Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Renika Cipta, 2004), hal. 90 34
Abdul Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 295
75
1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap
perkawinan harus dicatat.
2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-
undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang- undang No. 32 Tahun 1954
Pasal 6
1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan
harus dilansungkan dihadapan dan di bawah pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah
2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 7
1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang
dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah,
dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
3) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal- hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya Akta Nikah;
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 dan
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang- undang No. 1 Tahun
1974
4) Yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau
istri, anak- anak mereka, wali nikah dan pihak yang
berkepentingan dengan perkawinan itu.
76
Aturan- aturan di dalam Kompilasi Hukum Islam sudah melangkah
lebih jauh dan tidak hanya bicara masalah administratif. Pertama, didalam
pasal 5 ada klausul yang menyatakan agar terjaminnya ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam. Ketertiban disini menyangkut ghayat
al-tasyri’ (tujuan hukum Islam) yaitu menciptakan kemaslahatan bagi
masyarakat. Kedua pada pasal 6 ayat (2) ada klausul tidak mempunyai
kekuatan hukum. Jadi perkawinan yang tidak dicatat dipandang tidak
sah.35
Formalitas yang berkaitan dengan penctatan perkawinan diatur dalam
PP No. 9 Tahun 1974 tentang pelaksanaan UU No. 1 Thaun 1974 tentang
perkawinan. Peraturan tentang pencatatan pernikahan ini telah pula diatur
dalam UU No. 22 Tahun 1946 yang berlaku sejak 2 november a954
melalui UU No. 32 Tahun 1954, yakni UU Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk.36
Menurut Khairuddin Nasution yang dikutip oleh Amiur Nuruddin dan
Azhari Akmal Tarigan, bahwa Undang- undang Perkawinan bukanlah
Undang- undang pertama yang mengatur tentang pencatatan perkawinan
bagi Muslim Indonesia. Sebelumnya sudah ada Undang- undang No. 22
Tahun 1946, yang mengatur tentang perceraian Nikah, Talak, dan Rujuk.
Di dalam Undang- undang No. 22 Tahun 1946 disebutkan: (i) perkawinan
diawasi oleh Pegawai pencatat nikah (ii) bagi pasangan yang melakukan
perkawinan tanpa pengawasan dari Pegawai pencatat nikah dikenakan
hukuman karena merupakan satu pelanggaran.37
Tujuan utama dari adanya pencatatan perkawinan adalah untuk
menciptakan ketertiban yang berkaitan dengan administratif kenegaraan
yang diharapkan akan mengarah kepada terciptanya ketertiban sosial
35 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1974 Sampai KHI), (Jakarta: Kencana, 2004), h. 324
36 Abdul Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 298
37 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1974 Sampai KHI), (Jakarta: Kencana, 2004), h. 134
77
kemasyarakat. Dengan adanya tertib administrasi kenegaraan itu
diharapkan peristiwa- peristiwa perkawinan di indonesia dapat dikontrol
sehingga tidak ada pihak- pihak (terutama perempuan) yang dirugikan.
Dengan kata lain, peraturan perundang- undangan ini dibuat bukannya
tanpa tujuan. Ketentuan pencatat perkawinan itu hanya masalah
administrasi Negara saja dan tidak ada hubungannya dengan kategori sah
atau tidaknya sebuah perkawinan.38
Perkawinan mempunyai dampak yang luas, baik dalam hubungan
kekeluargaan pada khususnya, maupun pada kehidupan bermasyarakat dan
bernegara pada umumnya. Ada hal yang penting sebagai keniscayaan
jaman dan kebutuhan legalitas hukum adalah adanya pencatat
perkawinan.39
Unsur kebijakan Negara dapat terlihat pada beberapa aturan
perkawinan. Jika merujuk pada doktrin hukum islam klasik, perkawinan
dianggap sah jika akad (ijab dan qabul) diucapkan di hadapan saksi, yang
terdiri dari satu orang muslim laki- laki atau dua orang muslim perempuan.
Fiqih tidak mengatur adanya pencatatan atau pendaftaran, namun untuk
mewujudkan tujuan kemaslahatan bagi pasangan dan keluarga, pencatatn
diatur dalam undang- undang di beberapa Negara muslim. Meskipun detail
dan prinsip- prinsip yang digunakan untuk membuat aturan itu efektif
berbeda- beda, aturan pencatatan dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan pada pasangan, Istri dan anak- anak utamanya.
Melalui kompilasi indonesia mengatur bahwa perkawinan harus
dilaksanakan dengan hadirnya pencatat perkawinan yang resmi atau harus
didaftarkan. Pasangan yang tidak mendaftarkan perkawinan akan
mendapatkan sanksi atau akibat dari gagalnya upaya pencatatan, yaitu
mereka tidak akan memperoleh bantuan hukum ketika memerlukan, ini
berarti bahwa kompilasi tidak memberi ruang bagi perkawinan yang tidak
terdaftar.
38 Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemology Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), h. 253 39
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: PT Wahana Semesta Intermedia, 2012), h. 129
78
Pencatatan perkawinan hanya merupakan masalah asministrasi yang
jika tidak terpenuhi tidak menyebabkan pernikahan dianggap tidak sah.
Mendudukan pendaftaram sebagai murni persoalan administratif,
kompilasi tidak mengatur sanksi bagi mereka yang tidak mematuhinya.
Undang- undang 1975 yang menjelaskan penerapan undang- undang
perkawinan menyebut sanksi itu tetapi ia diterapkan hanya pada para
pencatatan tidak mendaftar perkawinan, dia akan di denda 7.500 rupiah.
Undang- undang ini cenderung yang tidak mendaftarkan perkawinannya
akan dihukum membayar denda.40
Agaknya masalah pencatatan perkawinan ini tidak hanya
diperdebatkan apakah sebagai syarat sah atau syarat administratif. Tetapi
bagaimana dibangun cara pandang baru dalam rangka pembaharuan
hukum keluarga islam di Indonesia. Menurut pendapat Atho’ Muzhar yang
dikutip oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, beliau
menyatakan bahwa pencatatan perkawinan harus dilihat sebagai bentuk
baru cara mengumumkan (mengi’lankan perkawinan).41
40 Alimin dan Euis Nurlaelawati, Potret Admanistrasi Keperdataan Islam di Indonesia,
(Ciputat, Tangerang Selatan: Orbit Publishing, 2003), h. 22-24 41 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1974 Sampai KHI), (Jakarta: Kencana, 2004), h. 135
79
BAB IV
Analisis Putusan Nomor: 597 K/Ag/2015 Dalam Perspektif
Hukum Fiqih dan Hukum Positif
A. Putusan Mahkamah Agung Nomor 597 K/Ag/2015
1. Duduk Perkara
Dalam putusan nomor 597 K/Ag/2015 dijelaskan bahwa Pemohon
I dan Pemohonan II telah melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam pada bulan Juli 2009, dengan dihadiri oleh wali nikah dan saksi-
saksi, dari perkawinan Pemohon I dan Pemohon II tersebut telah
dikaruniai seorang anak laki- laki bernama DDD, lahir pada tanggal 8
Juni 2010 di jakarta, sesuai dengan Kutipan Akta Kelahiran Nomor
18281/KLU/JP/2010, tertanggal 16 Juni 2010, tetapi karena perkawinan
Pemohon I dan Pemohon II tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama
setempat, maka dalam Bukti P-1 tersebut, disebutkan bahwa anak
Pemohon I dan Pemohon II bernama DDD tersebut dicatatkan hanya
mempunyai hubungan nasab dengan Pemohon II.
Pada tanggal 4 Mei 2014, Pemohon I dan Pemohon II telah
melangsungkan perkawinan uang menurut agama Islam dan dicatatkan
pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, sesuai
dengan kutipan Akta Nikah, yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama
Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta, Nomor
465/30/V/2014, tanggal 5 Mei 2014, akan tetapi Kutipan Akta Nikah
Pemohon I dan Pemohon II tersebut di atas tidak dapat dijadikan dasar
untuk dilakukannya pembaruan Akta Kelahiran anak laki- laki dari hasil
perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II yang bernama DDD
tersebut, anak Pemohonan I dan Pemohon II sejak lahir dan sampai saat
ini tinggal bersama- sama serta dipelihara, dididik serta dirawat langsung
oleh Pemohon I dan Pemohon II.
Pemohon I dan Pemohon II mengakui sepenuhnya bahwa DDD
benar- benar anak kandung dari perkawinan Pemohon I dan Pemohon II
80
serta yang dilahirkan dari rahim Pemohon II, hingga saat ini tidak ada
orang/pihak mana pun yang menyangkal atau berkerabatan/ menolak
terhadap status maupun keberadaan DDD sebagai anak kandung Pemohon
I dan Pemohon II, untuk memberikan kepastian hukum dan hak serta
untuk kepentingan masa depan anak Pemohon I dan Pemohon II bernama
DDD tersebut, Pemohon I dan Pemohon II memerlukan Penetapan Asal
Usul Anak dari Pengadilan yang berwenang agar dapat ditegaskan dan
ditetapkan hubungan nasab dan status DDD tersebut sebagai anak sah dari
seorang ayah bernama DACD (Pemohon I) dan seorang ibu bernama AN
(Pemohon II), berikut segala akibatnya, termasuk pula untuk dapat
dijadikan dasar dikeluarkan/diperbaruinya akta kelahiran anak Pemohon I
dan Pemohon II tersebut.
Maka sesuai dan didasarkan pada ketentuan Pasal 55 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur bahwa
―Bila asal usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka
mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang
berwenang‖, juncto Pasal 103 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, dalam
Buku I tentang Perkawinan, menyatakan bahwa ―Bila akta kelahiran dan
alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada , maka Pengadilan
Agama dapat mengeluarkan pendapat tentang asal usul seorang anak
setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan pada bukti-
bukti yang sah‖, sedangkan dalam ayat (3) disebutkan: ―bahwa atas dasar
ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2), instansi pencatat kelahiran
yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan
akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan‖,
Berlandaskan semua fakta, bukti serta ketentuan hukum tersebut di
atas, kiranya permohonan Penetapan Asal Usul Anak atasanak Pemohon I
dan Pemohon II bernama DDD telah sesuai dengan peraturan dan hukum
yang berlaku, berdasarkan hal- hal tersebut di atas Para Pemohon telah
memohon kepada Pengadilan Agama Jakarta Selatan agar memberikan
putusan sebagai berikut :
81
1. Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II seluruhnya;
2. Menetapkan Davon David Delbridge, lahir di ajkarta pada tanggal 8
Juni 2010, sebagai anak sah yang lahir dari perkawinan Pemohon I dan
Pemohon II;
3. Memerintahkan kepada Kantor Suku Dnias Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Administrasi Jakarta Selatan untuk menertibkan
atau memeperbarui akta kelahiran Davon David Delbridge tersebut;
4. Menetapkan biaya perkara menurut hukum;
5. Apabila Pengadilan Agama Jakarta Selatan berpendapat lain, mohon
penetapan yang seadil- adilnya;
Dan amar di Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah menolak
keseluruhannya, Maka Pemohon I dan Pemohon II mengajukan kasasi kepada
Mahkamah Agung pada tanggal 23 April 2015 sebagaimana ternyata dari
Akta Permohonan Kasasi Nomor 0346/Pdt.P/2014/PA.JS. yang dibuat oleh
Wakil Panitera Pengadilan Agama Jakarta Selatan, permohonan kasasi a quo
beserta alasan- alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan tersebut pada tanggal 6 Mei 2015.
2. Alasan- alasan Kasasi
Alasan- alasan yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi/Para Pemohon
dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah:
1. Para Pemohon Kasasi keberatan terhadap Penetapan a quo karena judex
facti salah dalam pertimbangan hukumnya yang pada bagiannya
merugikan kepentingan masa depan dan hak- hak anak Para Pemohon
Kasasi;
2. Judex facti dalam pertimbangan hukumnya terpaku dan mendasarkan dari
sisi hukum perdata formal semata- mata tanpa mempertimbangkan dari
sisi hukum yang lebih luas dan mendasar yang dapat memberikan
perlindungan, keadilan, dan kepastian hukum terhadap hak asasi anak Para
Pemohon Kasasi, sebagaimana yang dimaksud dalam:
82
a. Pasal 28 B ayat (2) Undang—Undang Dasar 1945 yang
menyatakan:‖Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari ...........‖,
b. Pasal 28 D ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945 ysng
menyatakan: ― Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum‖
c. Pasal 28 G ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945 yang
menyatakan: ― Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi;
d. Pasal 28 H ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945 yang
menyatakan: ―Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin,.......‖;
e. Pasal 28 H ayat (2) Undang – Undang Dasar 1945 yang
menyatakan: ―Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama
guna mencapai persamaan dan keadilan:
f. Karenanya judex facti telah salah dalm penerapan hukum yang
berakibat terabaikannya semua hak dasar anak dari Para Pemohon
Kasasi untuk mendapatkan perlindungan diri pribadi dan martabat
yang hakiki untuk melangsungkan hidup, tumbuh dan berkembang
dengan mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan serta
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum, memperoleh kesempatan yang sama dalam mencapai
persamaan dan keadilan.
3. Judex facti tidak memepertimbangkan pula kepentingan dan hak asasi
manusia anak Para Pemohon Kasasi yang wajib dijamin, dilindungi serta
dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, maupun
83
pemerintah seumumnya maupun secara khusus untuk dapat hidup,
tumbuh, dan berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabatnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang- Undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak;
4. Judex facti telah salah dalam mempertimbangkan hukum atas Surat
Catatan Nikah Islami (P-8). Judex facti hanya mempertimbangkan
kekuatan pembuktian atas bukti surat di atas, tanpa dan secara salah tidak
memepertimbangkan secara material fakta hukum dari bukti P-8;
5. Fakta hukum dalam bukti P-8 yang diperkuat oleh bukti keterangan saksi-
saksi dalam persidangan, senyata- nyatanya secara hukum Para Pemohon
Kasasi telah menikah secara syariiat Islam, yang berarti pernikahan Para
Pemohon Kasasi telah sesuai dengan ketentuan syarat dan rukun
perkawinan menurut hukum munakahat Islam, sekalipun persyaratan
administratif sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan junto Pasal 5 ayat (1)
dan (2) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, baru dipenuhi kemudian
dengan dilakukannya pernikahan ulang Para Pemohon Kasasi secara resmi
dan tercatat di Kantor Urusan Agama Kecamatan Pancoran, Jakarta
Selatan, pada tanggal 4 Mei 2014, sesuai dengan bukti P-2;
6. Pernikahan Para Pemohon Kasasi yang dilakukan menurut hukum
munakahat Islam pada dasarnya tidak menyalahi atau bertentangan
dengan, dankarenanya sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini ditegaskan pula
dalam Kompilasi Hukum Islam, dimana dalam Pasal 4 secara tegass
dinyatakan bahwa ―Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan‖,
7. Berdasarkan fakta- fakta hukum di atas, tidak terbantahkan lagi bahwa
DDD, adalah anak sah dari pernikahan yang sah dari Para Pemohon Kasasi
semula Para Pemohon, karenanya judex facti pertimbangan dan penerapan
84
hukum judex facti yang menyatakan bahwa DDD lahir dari perkawinan
yang tidak sah/belum dicatatkan/tidak berkekuatan hukum adalah keliru
dan salah;
8. Pertimbangan atau dalil Para Pemohon Kasasi sebagaimana tersebut di
atas adalah sesuai dengan dalil fiqhiyah yang tercantum dalam kitab Al
Fiqh Al Islami wa Adillatuhu jilid V halaman 690 sebagai berikut :
―Pernikahan, baik yang sah maupun yang fasid adalah merupakan sebab
untuk menetapkan nasab di dalam suatu kasus. Maka apabila telah nyata
terjadi suatu pernikahan, walaupun pernikahan itu fasid (rusak) atau
pernikahan yang dilakukan secara adat, yang terjadi dengan cara- cara
akad pernikahan yang dilakukan secara adat, yang terjadi dengan cara-
cara akad tertentu (tradisional) tanpa didaftarkan di dalam akta pernikahan
secara resmi, dapat ditetapkan banwa nasab anak yang dilahirkan oleh
perempuan tersebut sebagai anak dari suami istri (yang bersangkutan)‖;
3. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung
Hakim Mahkamah Agung mempertimbangakan putusan tersebut
dengan alasan- alasan yang dapat dibenarkan, karena menurut mereka
judex facti telah salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai
berikut:
a. Berdasarkan Pasal 42 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Pasal 99 huruf a Kompilasi Hukum Islam anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang
sah. Tentang perkawinan yang sah, Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang
Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskannya sebagai perkawinan yang
dilakukan menurut hukum agama dan penjelasan ini dipertegas oleh
Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa ―Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan
Pasal 2 ayat (1) Indang- Undang Nomor 1 Tahun 1974‖. Hal ini
menjelaskan bahwa pencatatan perkawinan sebagai syarat sah
85
perkawinan bagi orang Islam belum menjadi hukum positif di
Indonesia;
b. Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II telah melaksanakan
perkawinan berdasrkan hukum Islam pada tahun 2009 tetapi tidak di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau dengan kata lain tidak tercatat,
dan memperoleh anak yang diberi David Devon Delbridge pada
tanggal 8 Juni 2010, maka bila berpegang teguh kepada bunyi Pasal 2
ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 4 Kompilasi
Hukum Islam, dan Pasal 42 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo.
Pasal 99 huruf a Kompilasi Hukum Islam, anak bernama DDD adalah
anak sah dari Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II;
c. Menyangkut hak anak dari perlindungan atas anak Pengadilan Agama
seharusnya mendasari pertimbangannya dengan asas ―kepentingan
yang terbaik bagi anak‖ yaitu mempertimbangkan hak tumbuh
kembang anak baik dari aspek psikologis perkembangan anak maupun
dari aspek peraturan perundang- undangan sebagaimana diatur dalam
Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 2 dan Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 23 Thun 2003 tentang Perlindungan Anak;
d. Menurut hukum Islam, penetapan Asal usul anak atau penetapan nasab
juga dilakukan dengan memperhatikan kepentingan anak, yaitu cukup
perkawinan tersebut ( Ibnu Qudamah, Al- Mughni, VIII: 96 atau
Wahbah Zuhaili, Al- Fiqhu al- Islam wa Adillatuh, VII: 690). Cara lain
ialah berbentuk pengakuan (iqrar), dan apabila ada keberatan dari
pihak lain baru diperlukan pembuktian (bayyinah) ;
Oleh karena itu Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan harus
dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini
dengan pertimbangan berikut ini;
1. Anak Pemohon I dan Pemohon II yaitu lahir dari perkawinan yang
sah, meskipun tidak tercatat yang kemudian dilakukan tajdid nikah
86
(nikah resmi) dan memperoleh Akta Nikah dan demi kepentingan
anak, maka anak yang bernama DDD dinyatakan sebagai anak sah
dari Pemohon I dan Pemohon II;
2. berdasarkan pertimbangan di atas, dengan tidak perlu
mempertimbangkan alasan kasasi lainnya, menurut pendapat Mahkamah
Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari
Para Pemohon Kasasi: DACD dan kawan dan membatalkan Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 0346/Pdt.G/2014/PA.JS.,
tanggal 09 April 2015 M, yang bertepatan dengan tanggal 19 Jumadil
Akhir 1436 H., serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini.
4. Amar Putusan
Dalam amar putusan nomor 597 K/Ag/2015, Hakim Mahkamah Agung
menyatakan bahwa dalam perkara ini mengenai sengketa di bidang
perkawinan, yaitu :
1. Sesuai dengan Pasal 89 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun
2006 dan perubahan kedua dengan Undang- Undang Nomor 50 Tahun
2006 dan perubahan kedua dengan Undang- Undang Nomor 50 Tahun
2009 maka biaya perkara dibebankan kepada Para Pemohon Kasasi;
2. Hakim Agung telah memperhatikan pasal- pasal dari Undang- Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-
Undang Nomor 14 Thun 1985 tentang Mahkamah Agung,
sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun
2009, Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3
Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang- Undang Nomor 50
Tahun 2009 serta peraturan perundang- undangn lain yang
bersangkutan;
3. Mengadili, Mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon
Kasasi, dan Membatalkan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
87
Nomor 0346/Pdt.G/2014/PA. JS., tanggal 09 April 2015 M.
Bertepatan dengan tanggal 19 Jumadil Akhir 1436 H.;
4. Mengadili sendiri:
a. Mengabulkan permohonan Para Pemohon;
b. Menyatakan anak yang bernama DDD, lahir di Jakarta pada
tanggal 8 Juni 2010 adalah anak sah dari hasil perkawinan
Pemohon I (DACD) dan Pemohon II (AN),
c. Memerintahkan kepada Kepala Kantor Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Jakarta Selatan Untuk menerbitkan dan/atau
memperbarui Akta Kleahiran anak yang bernama DDD;
d. Membebankan kepada Para Pemohon untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat pertama sejumlah rp. 216.000,00 (dua ratus
enam belas ribu rupiah);
Membebankan kepada Para Pemohon Kasasi/ Para Pemohon
untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sejumlah
Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);
B. Tinjauan Hukum Fiqih Terhadap Putusan Nomor : 597 K/Ag/2015.
Dalam putusan Nomor 597 K/Ag/2015, hakim memutuskan untuk
menerima Pemohon I dan II, agar anaknya DDD memiliki nasab apada ayah
biologisnya, dengan asumsi bahwa meskipun pernikahan mereka tidak
dicatatkan, namun pernikahan mereka terjadi secara sah menurut syariat
Islam yang berarti pernikahan mereka telah sesuai dengan ketentuan syarat
dan rukun perkawinan menurut hukum munakahat Islam, meskipun mereka
melakukan pernikahan ulang (tajdid nikah ).
Dalam putusan tersebut, hakim mempertimbangkan bahwa dalil para
Pemohon Kasasi sesuai dengan dalil fiqhiyyah yaitu, ―Pernikahan, baik yang
sah maupun yang fasid adalah merupakan sebab untuk menetapkan nasab di
dalam suatu kasus‖. Maka apabila telah nyata terjadi suatu pernikahan,
walaupun pernikahan itu fasid (rusak) atau pernikahan yang dilakukan secara
adat, yang terjadi dengan cara- cara akad tertentu (tradisional) tanpa
didaftarkan di dalam akta pernikahan secara resmi, dapat ditetapkan bahwa
88
nasab anak yang dilahirkan oleh perempuan tersebut sebagai anak dari suami
istri (yang bersangkutan).
Hakim juga menyatakan bahwa menurut hukum Islam, Penetapan asal usul
anak atau penetapan dengan adanya pernikahan tanpa memandang sah atau
tidaknya perkawinan tersebut. 1Cara lain ialah berbentuk pengakuan (iqrar),
dan apabila ada keberatan dari pihak lain baru diperlukan pembuktian
(bayyinah).
Menurut kaidah hukum Islam, salah satu tujuan penerapan hukum adalah
untuk maslahat, bahkan dalam mazhab Maliki dikenal maslahah mursalah
sebagai salah satu metode pengembangan hukum ( istimbath al-ahkam).
Hukum Islam sangat memperhatikan harmonisasi kehidupan manusia. Beban
hukum yang dibawa manusia bukanlah untuk membinasakan manusia tetapi
sebaliknya yaitu untuk mengantarkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan
akhirat. Namun demikian, menetapkan hukum dengan pertimbangan maslahat
tidak berarti dapat menghalalkan yang jelas-jelas dilarang dan mengharamkan
yang dibolehkan.
Pertimbangan maslahat juga tidak boleh mengabaikan kemungkinan
kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh hukum tersebut. Ada kaidah lainnya
dalam hukum Islam ―Menolak kerusakan harus diutamakan dari mewujudkan
suatu kemaslahatan‖.2 Penambahan pasal 43 ayat (1) yang dilakukan oleh MK
melalui Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 tidak sebatas dengan hak
perlindungan tetapi memiliki makna yang sangat luas seperti halnya makna
yang melekat pada anak sah. Jika dihubungkan dengan UU RI/1/1974,
pengertian anak luar kawin memuat dua makna yang secara prinsip berbeda:
a. Anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah secara agama, tetapi
tidak memiliki legalitas, karena perkawinan kedua orang tuanya tidak
dicatatkan sesuai dengan ketetuan perundang-undangan yang berlaku.
b. Anak yang lahir dari orang tua yang tanpa pernikahan yang sah secara
agama atau anak hasil zina. Sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-
1 ( Wahbah Zuhaili, Al- Fiqhu al- Islam wa Adillatuh, VII: 690). 2 Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz II, (Beirut: Daar al-Kutb al-
Islamiyah, t.th), h. 50.
89
undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 4 Inpres RI
Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan ketentuan
perkawinan menurut hukum Islam pada umumnya, terhadap anak yang
dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah secara agama, Putusan
MK Nomor 46/PUU-VII/2012 sudah tepat dan sesuai dengan hukum
Islam.
Menurut ketentuan hukum Islam, perkawinan sah apabila syarat dan
rukunnya telah terpenuhi. Jika perkawinan sah menurut agama Islam, maka
segala akibat hukumnya juga sah dan anak tersebut memiliki hubungan nasab
dengan kedua orang tuanya. Suatu perbuatan hukum yang sah, mengandung
makna bahwa hubungan hukum dan akibat hukum menjadi sah pula.
Perbuatan hukum yang sah sehubungan dilakukannya perkawinan yang sah
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan menunjukkan bahwa
pasangan suami isteri tersebut adalah sah. Demikian pula dengan akibat
hukum lainnya, misalnya terjadinya hubungan kekeluargaan yang berakibat
timbulnya larangan perkawinan, dan juga terhadap harta kekayaan, maupun
anak yang dilahirkan akibat perkawinan tersebut.3
Fiqh menganut pemahaman yang cukup tegas berkenaan dengan anak
yang sah. Kendatipun tidak ditemukan definisi yang jelas dan tegas
berkenaan dengan anak yang sah, namun dilihat dari definisi ayat-ayat al-
Qur'an dan Hadis, dapat diberikan batasan, anak yang sah adalah anak yang
lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah. Selain itu, disebut
sebagai anak zina (walad al-zina) yang hanya memiliki hubungan nasab
dengan ibunya. Mengenai definisi anak luar nikah, terdapat banyak
pengertian yang disuguhkan oleh para yuris Islam. Walaupun demikian,
dalam tulisan ini hanya dimuat beberapa pengertian, diantaranya yaitu
menurut Amir Syarifuddin, beliau mengistilahkannya dengan anak zina.4
Menurutnya, Anak zina adalah anak yang dilahirkan dari suatu perbuatan
3 Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatatkan menurut
Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Dinar Grafika) , h. 2010, h. 157. 4 Al-Mughni (IX/129-134), cet. Darul Hadits.
90
zina, yaitu hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan yang tidak
terikat dalam nikah yang sah meskipun ia lahir dalam suatu perkawinan yang
sah dengan laki-laki yang melakukan zina atau dengan laki-laki lain.
Sedangkan menurut Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Anak zina adalah
anak yang dilahirkan ibunya dari hasil hubungan badan di luar nikah yang sah
menurut Islam.5
Fiqh tidak memberikan definisi yang tegas tentang anak yang sah, namun
para ulama mendefinisikan anak zina sebagai kontra anak yang sah. Anak
zina adalah anak yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah. Dan
anak li'an adalah anak yang secara hukum tidak dinasabkan kepada bapaknya,
setelah suami istri saling meli'an dengan sifat tuduhan yang jelas. Definisi di
atas membicarakan dua jenis status anak. Anak zina yang lahir dari hubungan
yang tidak sah (zina) dan anak li'an. Apabila terjadi perkawinan antara suami
dan istri secara sah, kemudian istri mengandung dan melahirkan anaknya,
maka suami dapat mengingkari kesahan anak itu apabila:
a. Istri melahirkan anak sebelum masa kehamilan.
b. Melahirkan anak setelah lewat batas maksimal masa kehamilan dari masa
perceraian.
Dalam surah al-Ahqaf ayat 15 dijelaskan secara kumulatif, jumlah
mengandung dan menyapih yaitu 30 (tiga puluh) bulan. Sedangkan dalam
surat Luqman dijelaskan batas maksimal menyapih adalah 2 tahun (24 bulan).
Jadi masa hamil yang paling sedikit adalah 30 puluh bulan dikurangi 24 bulan
sama dengan enam bulan.
Menurut Ibn Abbas dan disepakati para ulama yang menafsirkan bahwa
ayat pertama menunjukkan bahwa tenggang waktu mengandung dan
menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya
setelah bayi disusukan secara sempurna membutuhkan waktu dua tahun atau
dua puluh empat bulan. Berarti bayi membutuhkan waktu 30-24 = 6 bulan di
5 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, (terj, Abdul Ghoffar), cet. 27,
(Jakarta: Al-Kautsar, 2008), h. 577-578
91
dalam kandungan6. Pendapat ini agaknya disepakati oleh ahli fiqh yang
diperoleh dengan menangkap dalil isyarah al-Qur'an. Bahkan Wahbah al-
Zuhaily menyebutnya sebagai satu bentuk pengambilan hukum yang sahih7.
Jika dianalisis pandangan fikih berkenaan dengan anak sah ini dapatlah
dipahami bahwa anak sah dimulai sejak terjadinya konsepsi atau. pembuahan
sel telur (ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita calon ibu dan
konsepsi ini haruslah terjadi di dalam perkawinan yang sah. Dari sinilah
penetapan anak sah tersebut dilakukan.
Dengan demikian menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat dianggap
sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir
sekurangkurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang
iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus.
Mengenai tenggang waktu ini ada aliran di antara ahli fiqh yang berpendapat
seorang anak lahir setelah melampaui tenggang iddah sesudah perkawinan
terputus, adalah anak sah dari bekas suaminya asal dapat dianggap bahwa
kelahirannya disebabkan oleh perbuatan bersetubuh antara bekas suami istri
itu.
Dengan adanya perbedaan pandangan tersebut, ditetapkanlah tenggang
waktu maksimun selama empat tahun, asal saja nyata bahwa dalam waktu
empat tahun tadi ibunya tidak ada mengeluarkan kotoran. Dengan demikian,
apabila bayi lahir kurang dari enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak
tersebut tidak dapat dihubungkan kekerabatannya dengan bapaknya
kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. la hanya memiliki hubungan
nasab dengan ibunya saja.
Mengenai nasab pendapat, Amir Syarifuddin menuturkan bahwa hubungan
nasab antara anak zina (luar nikah) dengan ayahnya tidak ditentukan oleh
sebab alamiah seperti pada ibu anak tersebut, tetapi hubungan tersebut
6 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998) , hlm. 224. 7 Musthafa Rahman, Anak Luar Nikah: Status dan Implikasi Hukumnya,( Jakarta: Atmaja,
2003), hlm. 45.
92
disebabkan oleh hukum, artinya telah berlangsung hubungan akad nikah yang
sah atau tidak, sehingga sah tidaknya suatu hubungan akan menentuan apakah
anak mempuyai hak-haknya selaku anak kepada ayahnya ataupun tidak8.
Begitu juga halnya penjelasan Fathur Raman bahwa anak zina atau anak luar
nikah adalah tidak mempunyai hubungan nasab dan secara sempit tidak
memunyai hubungan saling mewarisi dengan bapak dan keluarga bapaknya9.
Jika dilihat dari sisi kehamilan seorang wanita, fikih Islam telah memuat
ketentuan-ketentuan terhadap ketetapan nasab dengan batas kehamilan
tersebut secara akurat. Dalam hal ini, ada tiga syarat nasab anak menjadi sah
kepada kedua orang tuanya, yaitu:
1. Kehamilan bagi seorang wanita bukan hal yang mustahil, artinya
normal dan wajar untuk hamil. Imam hanafi sebagai mana dikutip oleh
Abdul Manan bahwa tidak mensyaratkan seperti ini, menurutnya
meskipun suami isri tidak melakkan hubungan seksual, kemudian anak
lahir dari seorang istri yang dikawini secara sah, maka anak tersebut
adala anak sah.
2. Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan minimal
enam bulan sejak perkawinan dilaksanaka. Tentang hal ini terjadi ijma’
dikalangan fuqaha sebagai masa terpendek dari masa kehamilan.
3. Anak yana lahir tersebut terjadi dalam waktu kurang dari masa
maksimal kehamilan, adapun dala hal ini ulama berselisih paham. Dari
ketiga syarat tersebut di atas dapat dipahami bahwa sahnya hubungan
nasab, berawal dari suatu pekawinan yang sah karena telah terjadi akad
perawinan (peristiwa hukum). Selain adanya hubungan perkawinan
yang sah, harus pula terjadi hubungan biologis antara suamiistri.
Meskipun begitu, yang berlaku secara umum adalah bahwa hubungan
nasab tetap sah tanpa terjadi hubungan biologis antara suami dan istri,
8 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, cet. 3, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008), hlm. 148-149 9 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, cet. 10, (Yogyakarta: PT Al-Ma’arif Bandung, 1971), hlm.
594
93
selanjutnya akan tidak sah apabila hanya ada hubungan biologis tanpa
adanya akad nikah yang sah.
Jadi pada perkara ini, Pemohon I dan Pemohon II tidak memiliki bukti
Pencatatan Perkawinan mereka pada KUA setempat, namun mereka sudah
melangsungkan pernikahan secara syariat Islam yang terjadi pada Tahun
2009, hanya saja tidak dicatatkan, meskipun melakukan pernikahan ulang
secara resmi dan tercatat di KUA Kecamatan Pancoran Jaksel, pada tanggal 4
Mei 2014. Hakim menerima perkara tersebut dengan pertimbangan
kemaslahatan pada anak- anak mereka, dan syarat- syarat yang mencukupi
seperti adanya saksi- saksi pernikahan mereka yang mereka hadirkan dalam
persidangan, dalam hukum Fiqih jika perkawinan mereka dilakukan secara
sah, maka anak mereka pun bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya.
C. Tinjauan Hukum Positif Terhadap Putusan Nomor : 597 K/Ag/2015
Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan
pula bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dalam penjelasan umum disebutkan bahwa
pencatatan perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang
dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akta resmi yang juga dimuat
dalam daftar pencatatan. Perbuatan pencatatan tidak menentukan sahnya
suatu perkawinan, tetapi menyatakan bahwa peristiwa itu memang ada dan
terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif10
.
Merujuk kepada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yang menentukan bahwa
suatu perkawinan harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya dan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku, maka ketentuan ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipilih keberlakuannya. Apabila hanya memenuhi salah satu ketentuan saja,
10
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia,( Jakarta: Ghalia Indonesia:, 1976), h. 16
94
maka peristiwa perkawinan tersebut belum memenuhi unsur hukum yang
ditentukan oleh undang-undang.
Pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor
9 tahun 1975 yang menyatakan bahwa:
Bagi yang beragama Islam pencatatannya oleh pegawai pencatat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954
tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk.
Bagi mereka yang bukan Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai
pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
Dengan kata lain bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut
agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), pada
umumnya dilaksanaan bersamaan dengan upacara akad nikah karena petugas
pencatat nikah dari KUA hadir dalam acara akad nikah tersebut. Sedang bagi
yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di
Kantor Catatan Sipil setelah kedua mempelai melakukan pernikahan menurut
agamanya masing- masing. Misalnya bagi mereka yang memeluk agama
Katholik atau Kristen, terlebih dahulu kedua mempelai melakukan prosesi
penikahan di gereja, dengan membawa bukti (surat kawin) dari gereja barulah
pernikahan tersebut dicatatkan di Kantor Catatan Sipil setempat.
Pada 17 Februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi melalui sembilan
hakimnya yang diketuai oleh Moh. Mahfud MD, mengabulkan sebagian
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti. H.
Mochtar Ibrahim. Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan
atau alat bukti lain ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Mengenai pencatatan perkawinan, sebagaimana yang diatur pada Pasal 2
ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, Mahkamah Konstitusi
95
mempertimbangkan penjelasan umum angka 4 huruf b yang menyatakan:
“...bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-
tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya
kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte
yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut
menurut Mahkmah dapat dilihat dari dua perspektif. Dari perspektif Negara,
pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi Negara memberikan
jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi
manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab Negara dan
harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang
diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (vide) Pasal 28I
ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945. Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap
sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut mahkamah tidak
bertentangan dengan ketentuan Konstitusional karena pembatasan ditetapkan
dengan Undang- Undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain,
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat yang
demokratis (vide Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945).
Pada Hukum Positif, putusan Nomor : 597 K/Ag/2015 tersebut, mengacu
pada hak anak dan perlindungan atas anak ―asas kepentingan yang terbaik
bagi anak‖, yaitu mempertimbangkan hak tumbuh kembang anak baik dari
aspek psikologis perkembangan anak maupun dari aspek peraturan perundang-
undangan sebagaimana di atur pada Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Kewajiban dasar
manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan,
tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya hak asasi manusia‖ dan
96
Pasal 2 dan Pasal 7 ayat (1) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak yaitu, “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”.
Menurut hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status anak dibedakan
menjadi dua: pertama, anak sah. kedua, anak luar nikah. Anak sah
sebagaimana yang dinyatakan UU No. Tahun 1974 pasal 42: adalah dalam
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan : ― anak sah adalah
: (a) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. (b).
Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut‖
Bila dicermati secara analisis, sepertinya bunyi pasal tentang anak sah ini
memimbulkan kerancuan, anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah. Bila dinyatakan ―anak yang lahir akibat
perkwinan yang sah‖ tidak ada masalah, namun ― anak yang lahir dalam masa
perkawinan yang sah‖ini akan memimbulkan suatu kecurigaan bila pasal ini
dihubungkan dengan pasal yang membolehkan wanita hamil karenan zina,
menikah dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan perempuan hamil
karena zina dengan laki laki yang menghamilinya adalah perkawinan yang
sah. Seandainya beberapa bulan sesudah perkawinan yang sah itu berlansung,
lahir anak yang dikandungnya, tentu akan berarti anak yang lahir anak sah dari
suami yang mengawininya bila masa kelahiran telah enam bulan dari waktu
pernikahan.
Yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan
dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana yang dsebutkan dalam
peraturan perundang-undangan Nasional antara lain:
1. UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
97
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang
lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya dan keluarga ibunya
Pada akhirnya bila dicermati dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia tentang Hukum Perkawinan, menyatakan bahwa status
nasab anak di luar nikah mempunyai hubungan keperdataan hanya kepada
ibunya dan keluarga ibunya. Hubungan ini biasa disebut dengan kekuasaan
orang tua, yakni timbulnya hak dan kewajiban antara orang tua dan anak.
Implementasinya adalah bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan
yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban dengan ibu dan kelaurga
ibunya. Agaknya dapat dinyatakan mafhum mukhalafah dari pernyataan
tersebut bahwa anak itu tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan
bapak biologisnya dalam bentuk nasab, hak dan kewajiban secara timbal
balik.
Dapat dipahami bahwa hakim Mahkamah Agung menerima putusan
tersebut adalah untuk memberikan perlindungan hukum dan didasarkan pada
pertimbangan masa depan si anak, sesuai Undang- Undang yang berlaku pada
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/ 2010 Tentang Pengujian
Pencatatan Perkawinan dan Status Hukum Anak yang Dilahirkan dari
Perkawinan yang Tidak Tercatat, bertujuan sebagai Access to justice atau
akses menuju keadilan diartikan sebagai kesempatan atau kemampuan setiap
warga Negara tanpa membedakan latar belakangnya (ras, agama, keturunan,
pendidikan atau tempat lahirnya) untuk memperoleh keadilan melalui lembaga
peradilan. Dalam kasus ini Pemohon I dan II yang meminta untuk penetapan
asal usul anak mereka agar ditetapkan memiliki hubungan nasab dengan
Pemohon I atau ayah biologisnya.
98
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab- bab sebelumya, pada bab ini penulis
menarik kesimpulan yang sesuai dengan permasalahan yang telah
dirumuskan:
1. Dasar hukum dan pertimbangan majelis hakim dalam putusan nomor 597
K/Ag/2015 yang mengabulkan Penetapan asal usul anak kepada
bapaknya pada perkawinan yang tidak dicatatkan, secara umum telah
sesuai dengan hukum Fiqih, karna pernikahan mereka terjadi secara sah
menurut syariat Islam yang berarti pernikahan mereka telah sesuai
dengan ketentuan syarat dan rukun perkawinan, meskipun tidak
dicatatkan.
2. Dasar hukum dan pertimbangan majelis hakim dalam putusan nomor 597
K/Ag/2015 yang mengabulkan Penetapan asal usul anak kepada
bapaknya pada perkawinan yang tidak dicatatkan, secara umum telah
sesuai dengan hukum positif indonesia, pada Undang – Undang tentang
Perlindungan Anak dan di dukung oleh adanya Putusan MK Nomor
46/PUU-VIII/2010, Dalam putusan MK tersebut, jika semula ia hanya
memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, maka
sekarang juga mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya dan
kelurga ayahnya, tanpa mempersoalkan pernikahan orang tuanya, sesuai
realitas yang ada.
3. Dalam pembuktian asal usul anak, Pasal 55 Undang-Undang tentang
perkawinan ditegaskan bahwa Asal-usul seoarang anak hanya dapat
dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang, Bila akte kelahiran tersebut tidak sah, maka
pengadilan dapat mengeluarkan penetapan asal usul seorang anak setelah
diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang
memenuhi syarat, atas dasar ketentuan pengadilan tersebut, maka instansi
99
pencatatan kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang
mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
B. Rekomendasi
1. Kepada Masyarakat yang akan atau telah melangsungkan perkawinan,
hendaklah mencatatkan perkawinannya dihadapan pejabat yang
berwenang, guna mendapatkan kepastian hukum mengenai pernikhannya
serta untuk melindungi istri dan anaknya.
2. Kepada pemerintah agar lebih mempermudah proses pencatatan
perkawinan tersebut, sepserti memperhatikan letak lokasi Kantor Urusan
Agama supaya dapat lebih mudah dijangkau oleh masyarakat yang tinggal
di daerah yang terpencil mengingat pentingnya pencatatan perkawinan
karna menyangkut istri dan anak.
3. Kepada Majlis Hakim agar lebih memperhatikan untuk menerima
perkara- perkara nasab anak yang harus dinasabkan pada bapak
biologisnya, mengacu pada kemaslahatan anak, yang harus mendapatkan
keadilan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Presindo, 1995
Afandi, Ali. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta; Rineka
Cipta, 2015
Al-Barry, Zakaria ahmad. Hukum Anak- anak dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1977
Al- Zuhaily, Wahbah, Fiqh Al- Islam Wa Adillatuhu. Bairut: Dar Al- fikr, 1985
Al- Syathibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz II. Beirut: Daar
al-Kutb al-Islamiyah, t.th
Alimin dan Euis Nurlaelawati. Potret Admanistrasi Keperdataan Islam di
Indonesia. Ciputat, Tangerang Selatan: Orbit Publishing, 2003
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta ; Uii Pres, 2010
Dahlan, Abdul Aziz , Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1999.
Djamal , Ilmu Fiqh. Jilid II. Jakarta: IAIN, 1984
Djubaedah, Neng. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatatkan
menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Jakarta: Dinar
Grafika, 2010
Graha, Chairinniza. Keberhasilan Anak Di Tangan Orang Tua. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2007
Haizirin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an. Jakarta: Tintamas,
1982
Hamka. Lembaga Hidup. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983
Hawari, Marriage Counseling (Konsultasi Perkawinan), Jakarta: FKUI, 2006.
Jalaluddin, Akhmad. “Nasab : Antara Hubungan Darah dan Hukum Serta
Implikasinya Terhadap Kewarisan”. Surakarta : Jurnal Publikasi Ilmiah
UMS : Ishraqi, No. 1, Juni X, 2012
J. Satrio. Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang- Undang.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000
Jauhari, Imam. Advokasi Hak-Hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan
Perundang- Undangan. Medan : Pustaka Bangsa, 2008
Jauhari, Imam. Hak- Hak Anak dalam Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Bangsa
Press, 2003
Jauhari, Imam. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Keluarga Poligami.
Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2003
Lighter, Dawn. 50 Cara Efektif Menanamkan Tingkah Laku Positif Pada Anak.
Yogyakarta: Kanisius, 1999
Lilis, Dede. Media Anak Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2014
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Materiil dalam Praktek Peradilan Agama.
Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003
Manzur, Ibn. Al-Qamus al- Muhit
Mardani. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2001
Muhammad, Abdul Kadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1993
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab. Jakarta: Basrie Press, 1994
Mujieb, M. Abdul, dkk. Kamus Istilah Fiqh, Cet. I. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994
Mujtaba, Safuddin dan Imam Jamhari. Hak- hak Anak Dalam Hukum Islam.
Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2003
Muthlub, Al Abdulan Majid Mahmud. Panduan Hukum Keluarga Sakinah. Cet 1.
Solo: Era Media, 2005
Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1974 Sampai
KHI). Jakarta: Kencana, 2004
Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2013
Rahman, Musthafa. Anak Luar Nikah: Status dan Implikasi Hukumnya. Jakarta:
Atmaja, 2003
Rahman, Fatchur. Ilmu Waris, cet. 10. Yogyakarta: PT Al-Ma’arif Bandung, 1971
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1998
R. Subekti. Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Jakarta : Pradya Paramitha,
1996
Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1976
Shihab, M. Quraish. M Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang
Patut Anda Ketahui. Tangerang: Lentera Hati, 2008
Shihab, M. Quraish. Perempuan. Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Shihab, M. Quraih. Tafsir al- Misbah, vol. 1. Jakarta: Lentera Hati, 2004
Shodiq, Muhammad, Kamus Istilah Agama. Jakarta: Bonafida Cipta Pratama,
1991
Shomad, Abdul. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010
Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009
Soimin, Soedharyo. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sunar Grafika, 1992
Sopyan, Yayan. Islam- Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional. Jakarta: UIN Syarih Hidayatullah, 2004
Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Jakarta; Balai
Pustaka, 2014
Sudarsono. Hukum Waris dan Sistem Bilateral. Jakarta: Renika Cipta, 2004
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam, cet. 3. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008
Syaukani, Imam. Rekonstruksi Epistemology Hukum Islam Indonesia. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2006
Tahido, Huzaemah. Kedudukan Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Islam.
Jakarta: Makalah Kowani, 2001.
Thalib, Yusuf. Pengaturan Hak Anak Dalam Hukum Positif. Jakarta: BPHN, 1984
Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. Fiqih Wanita, cet. 27. Jakarta: Al-Kautsar,
2008
Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Marthalena Pohan. Hukum Orang dan
Keluarga (Personen en Familie-Recht), Surabaya: Airlangga University
PressSurabaya, 1991
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional. Jakarta: PT Wahana Semesta Intermedia, 2012
.."i,---1il.lt -/' -, .\i i/ \r,..."li \
;,,:J 'L
\l ', ! i1,, : ,l
\"''',, :i'f.i\. .:
\i ,l'*..ii".-;,.'
PUTTJSAN
Nomor 597 t{JAgl2015
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKA].I KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
memeriksa perkara perdata agama dalam tingkat kasasi telah memutuskan
sebagai berikut dalam perkara antara:
1. DAVID ALLEN CLIVE DELBRIDGE, umur 50 tahun, agama
lslam, pekerjaan Swasta, Warga Negara Australia, pemegang
Passport Australia, Nornor E- 4027 459',
2. ANASTASIA, lahir di Jakarta pada tanggal 27 April 1977,
pekerjaan Swasta, Warga Negara lndonesia, Pemegang Kartu
Tanda Penduduk Nomor 317401670477005, keduanya memilih
domisili hukum di Kantor kuasa hukumnya Gedung Graha
lratna 1t.15, Suite B, Jalan H.R. Rasuna Said, Blok X-1, Kav.1
& 2, Jakarta 'i2950, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
lllAWAN SOETANTO, S.H., dan MAORIZAL. S H., Para
Acivokat, berkantor di Gedung Graha lrama Lt.15, Suite B,
Jalan H.R. Rasuna Said, Blok X-l, Kav l & 2. Jakarla 1295A.
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 21 April 2015, Para
F'emohon Kasasi dahulu Para Pemohon;
Mahkamah Agung tersebut;
Mennbaca s;urat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat.sur€rt tersebut ternyata bahwa Para
Pemohon Kasasi dahulu sebagai Para Pemohon telah mengajukan permohonan
Pengesahan Anak di muka persidangan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon I dan Pemohon ll telah melangsungkan perkawinan
menurut agama lslam pada bulan Juli 2009, dengan dihadiri oleh wali nikah
dan saksi-saksi;
2. Bahwa dari perkawinan Pemohon I dan Pemohon ll tersebut telah dikarunia
seorang anak laki-laki bernama Devon David Delbridge, lahir pada tanggal
B Juni 2010 di Jakarta, sesuai dengan Kutipan Akta K.elahiran Nomor
18281IKLUIJPl20'10, tertanggal 16 Juni 2010;
lal. 1 dari I haL Putusan Nornor 597 4Agl20'5
6.
3. Bahwa oleh karena perkawinan Pemohon ldan Pemohon ll tidak dicatatkan
pada Kantor tJrusan Agama setempat, maka dalam Bukti P-1 tersebut,
disebutkan bahwa anak Pemohon ldan Pemohon ll bernama Devon David
Delbridge tersebut dicatatkan hanya mempunyai hubungan nasab dengan
Pemohon ll;
4. Bahwa pada tanggal 4 Mei 201t1, Pemohon I dan Pemohon ll ielah
melangsungkan perkawinan ulang menurut agama lslam dan dicatatkan
pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, sesuai
dengan Kutipan Akia Nikah, yang dikeluarkan oleh l(antor Urusan Agama
Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta, Nomor
46513tJN12014, tanggal 5 Mei 2014;
Bahwa namun demikian Kutipan Akta Nikah Pemohon I dan Pemohon ll
tersebut di atas tidak dapat dijadikan dasar untuk dilakukannya pembaruan
Akta Kelahiran anak laki-laki dari har;il perkawinan antara Pemohon ldengan
Pemohon ll yang bernama Devon David Delbridge tersebut;
Bahwa anak Pemohon I dan Pemohon ll bernama Dbvon David Delbridge
tersebut sejak lahir dan sampai saat ini tinggal bersama-sama serta
diperlihara, dididik sena dirawat langsung oleh Pemohon I dan Pemohon ll;
Bahwa Pemohon I maupun Pemohon ll mengakui sepenuhnya bahwa
Devon David Delbridge benar-benar anak kandung dari perkawinan
Pemohon ldan Pemohon ll serta yang dilahirkan dari rahim Pemohon ll;
8. Bahwa hingga saat ini tidak ada orang/pihak mana pun yang menyangkal
atau berkeberatan/menolak terhadap status maupun keberadaan Devon
David Delbridge sebagai anak kandung Pemohon I dan Pemohon ll;
9. Bahwa untuk memberikatt kepastian hukum dan hak serta untuk
kepentingan masa depan anak Pemohon ldan Pemohon ll bernama Devon
David Delbriclge tersebut, Pemohon ldan Pemohon ll memerlukan{
Penetapan Asal Usul Anak dari Pengadilan yang berwenang agar dapat
ditegaskan dan ditetapkan hubungan nasab dan status Devon David
Delbridge tersebut sebagai anak salr dari seorang ayah bernama David Allen
Clive Delbridge (Pemohon l) dan seorang ibu bernama Anastasia (Pemohon
ll), berikut segala akibatnya, termasuk pula untuk'dapat dijadikan dasar
dikeluarkan/diperbaruinya akta kelahiran anak Pemohon ldan Pemohon ll
tersebut. Hal rnana adalah sesuai dan didasarkan pada ketentuan Pasal 55
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur
bahwa "bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka
mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang
1 7.II
.!
I
I
Hal.2 dari I hal. Putusan Nomor 597 KJAgl2015
,.|,t.
0346/Pdt.P/2014iPA.JS. yang dibuat oleh Wakil Panitera Pengadilan Agama
Jakarta Selata, oermohonan mana diikuti dengan memori kasasi yang memuat
alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan tersebut pada tanggal 6 Mei 2015;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasa nnya
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam
undang-undang, rnaka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut secara
formal dapat diterima;
ALASAN-ALASAN KASASI
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Para Pemohon
Kasasi/Para Pemohon dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah:
1. Bahwa Para Pemohon Kasasi keberatan terhadap Penetapan a quo karena
judex facti salah _ dalam pertimbangan hukumnya yang pada bagiannya
merugikan kepenringan masa depan dan hak-hak anak Para Pemohorr
Kasasi;
2. Bahwa judex facti dalan pertimbangan hukumnya terpaku dan mendasarkan
dari sisi hukum perdata formal semiata-rnata tanpa mempertimbangkan dari
sisi hukum yang lebih luas dan mendasar yang dapat memberikan
perlindungan, keadilan dan kepastian hukum terhadap hak asasi anak Para
Pemohon Kasasi, sebagaimana yang dimaksud dalam:
(i) Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undhng Dasar 1945 yang menyatakan.
"Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari .. . , .";
(ii) Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan.'
"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum":
(iii) Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undarig Dasar 1945 yang menyatakan:
"setiap orang berhak atas perlindungah diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi;
(iv) Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan.
"Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dzrn batin, .... ";
(v) Pasal 28 H ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan.
"Setiap orang mendapat kenrudahan dan perlakr"ran khusus untuk
memperoleh kesempatan dan marrfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan:
i I
I
Hal. 4 dari I hal. Putusan Nomor 597 KlAgl2015
J.
Karenanya iudex facti telah salah dalam penerapan hukum yang berakibat
terabaikannya semua hak dasar anak dari Para Pemohon Kasasi untuk
mendapatkan perlindungan diri pribadi dan martabat yang hakiki untuk
melangsungkan hidup, tunrbuh dan berkembang dengan mendapatkan
pengakuan,jaminan,perlindungansertakepastianhukumyangadilserta
perlakuan yang sama di hadapan hukum, memperoleh kesempatan yang
sama dalam mencapai persamaan dan keadilan'
Bahwa Tudex factl tidak mempertimbangkan pula kepentingan dan hak asasi
manusia anak Para Pemohon Kasasi yang wajib dijamin, di|indungi serta
dipenuhi oleh orang iua, keluarga, masyarakat, negara, maupun pemerintah
seumumnya maupun secara khusus untuk dapat hidup, tumbuh dan
berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya'
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 20'14
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak;
Bahwa judex facti telah salah dalam mempertiinbangkan'hukum atas Surat
catatan Nikah lslami (P-B). Judex facti hanya mempedimbangkan kekuatan
pembuktian atas bukti surai di atas, tanpa dan secara salah tidak
mempertimbangkan secara material fakta hukum dari bukti P-8,
BahwasesuaidenganfaktahukunrdalambuktiP.Syangdiperkuatoleh
bukti keterangan saksi-saksi dalam persidangan, senyata-nyatanya secara
hukum Para Penohon Kasasi telah menikah secara syari'at lslam, yang
berarti pernikahan Para Pe:nohon Kasasi teiah sesuai dengan ketentuan
syarat dan rukun perkawinan menurut hukum munakahat lslam, sekalipun
persyaratan administratif sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahurr 1974 tentang Perkawinan iuncto Pasal
5 ayat (1) dan (2) Kornpilasi Hukum lslam di lndonesia, baru dipenuhi
kemudian dengan dilakukannya pernikahan ulang Para Pemohon Kasasi
secara resmi cian tercatat di Kantor Urusan Agama Kecamatan Pancoran,
Jakarta Selatan, pada tanggal 4 Mei2014, sesuai dengan bukti P-2,
Bahwa dengan demikian pernikahan Para Pemohon Kasasi yang dilakukan
menurut hukum munakat lslanr pada dasarnya tidak menyalahi atau
bertentangan dengan, dan karenanya sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Hal ini
ditegaskan pula dalam Kompilasi Hukum lslam, dimana dalam Pasal 4
secara tegas dinyatakan bahwa "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
4
I/\/ ira, I v.
.)I
i
\
6.
l-.lal. 5 dari I hal. Putusan Nomor 597 KlAgl2015
menurut htrkunr lslam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentanfJ Perkar't'inan";
7. Bahwa berdasarkan faktajakta hukum di atas' tidak terbantahkan lagi
bahwa Devon David Delbridge, adalah anak sah dari pernikahan yang sah
dari Para Pemohon Kasasi semula Para Pemohon' karenanya iudex facti
pertimbangan dan penerapan hukurn iudex facti yang menyatakan bahwa:
Devon David Delbridge lahir dari pekawinan yang tidak sah/belum
dicatatkanitidak berkekuatan hukum adalah keliru dan salah'
8. Bahwa pertimbangan atau dalil Para Pemohon Kasasi sebagaimana tersebut
di atas adalah sesuai dengan dalil fiqhiyah yang tercantunr dalam kitab Al
Fiqh Al lslami wa Adillatuhu jilid V halaman 690 sebagai berikut:
"Pernikahan, baik yang sah maupun yang fasid adatah merupakan sebab
untuk menetapkan nasab di dalam suatu kasus Maka apabila telah nyata
terjadi suatu pernikahan, walaupun pernikahan itir fasid (rusak) atau
pernikahan yang dilakukan secara adat' yang teriadi dengan cara-cara akad
tertentu (tradisional) tanpa didaftarkan di dalam akta pernikahan secara
resmi, dapat ditetapkan bahwa nasab anak yang dilahirkan oleh perempuan
tersebut sebagai anak clari suami istri (yang bersangkutan)";
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
mempertimbangkan sebagai berikut:
mengenai alasan ke'6 sampai dengan alasan ke-8:
Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, karena judex facti
telah salah menerapkan hukum, dengarr pertimbangan sebagai berikut:
-BahwaberdasarkanPasal42lJndang-UndangNomorlTahunl9T4tentang Perkawinan dan Pasal 99 huruf a' Kompilasi Hukum lslam anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang
sah. Tentang perkawinan yang sah, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 menjelaskannya sebagai perkawinan yang dilakukan menurut
hukum agama dan penjelasan ini dipertegas oleh Pasal 4 Kompilasi Hukum
lslam yang menyatakan bahwa "perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum lslam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974". Hal ini menjelaskan bahwa pencatatan perkawinan
sebagai syarert sah perkawinan bagi
positif di lndorresia;
orang lslam belum meniadi hukum
- Bahwa Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi ll telah melaksanakan
perkawinan berdasarkan hukum lslam pada tahun 2009 tetapi tidak di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau dengan kata lain tidak tercatat' dan
I
!
t,
memperoleh anak yang diberi nama Devon David Delbridge pada tanggal
B Juni 2010, maka bila berpeglang teguh kepada bunyi Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor t Tafrun 1974 io' Pasal 4 Kompilasi Hukum lslam'
dan Pasal 42 tJndang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 io' Pasal 99 huruf a
Kompilasi Hukum lslam' un"k b"'nu'nu Devon David Delbridge adalah anak
sah ciari Pemohon Kasasi I dan Pemr:hon Kasasi ll'
Bahwa menyangkut hak anak dan perlindungan atas anak Pengadilan
Agama seharusnya mendasari pertirnbangannya dengan asas "kepentingan
yang terbaik bagi anak" yaitu mempertimbangkan hak tumbuh kembang
anak baik dari aspek psikologis perkembangan anak maupun dari aspek
peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan pasar 2 dan pasar 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2003 tentang Perlindungan Anak;
Bahwa meuurut Hukum rsram, penetapan asal usur anak atau penetapan
nasab ]uga dilakukan dengan memperhatikan' kepentingan anak' yaitu cukup
,Cengan adanya pernikahan ianpa memandang sah atau tidaknya
perkawinan tersebut (lbnu Qudamah' Al-Mughni' Vlll: 96 atau Wahbah
Zuhaili, Al-Fiqhu al-lslam wa Adillatuh' Vll: 690) Cara lain ialah berbentuk
pengakuan (iqra), dartapabila ada keberatan dari pihak lain baru dtperlLtkan
pembuktian (baYYin ah)'
Bahwa oleh karena itu Putusan Pengadilan Agama Jakart' ::l:ti:
harus dibatalkart dan Mahkarnah Agung akan mengadili sendiri perkara ini
dengan Pertimbangan berikut ini:
Menimbang, bahwa oleh karena anak Pemohon ldan Pemohon ll lahir
dari perkawinan yang sah' meskipun tidak tercatat yang kemudian dilakukan
tajdid nikatt (nikah resmi) dan memperoleh Akta Nikah dan demr kepentingan
anak, maka anak yang bernama Devon David Delbridge dinyatakan sebagai
anak sah dari Pernohon ldan Pemohon ll;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas' dengan tidak
perlu mempertimbangkan alasan kasasi lainnya' menurui pendapat Mahkamah
Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasl dari Para
Pemohon Kasasi: DAVID ALLEN CLIVE DELBRIDGE dan kawan dan
membatalkan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
0346/Pdt.G/2014/PAJS, tanggal 09 April 2015 M bertepatan Cengan tanggal
19 Jumadii Akhir 1436 H ' serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara
ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini'
/I
Menimbang, bahwa oleh karena perkara ini mengenai sengketa di bidang
perkawinan, sesuai dengan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 7 Tahun '1989
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua dengan Undang-tJndang Nomor 50 Tahun 2009 maka biaya
perkara dibebankan kepada Para Pemohon Kasasi;
Memperhatikan pasal-pasal dari tJndang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan ki3dua dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama'
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 serta
peraturan perunda ng-undangan lain yang bersangkutan'
MENGADILI:
Mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1' DAVII)
ALLEN CLIVE DELBRIDGE, 2. ANAST'ASll\ tersebut;
Membatalkan Putrtsan Pengaclilan Agama Jakarta Selatan Nomor
0346/Pdt.G/2014IPA.JS.,tanggal09April2015M'bertepatandengantanggal
19 Jumadil Akhir 1436 H.;
MENGADILI SENDIRI:
1. Mengabulkan permohonan Para Petnohon;
2.MenyatakananakyangbernamaDEVoNDAV|DDELBR|DGE,lahirdi
JakartapadatanggalBJuni20l0adalahanaksahdarihasilperkawinan
Pemohon I (DAVID ALLEN CLIVE DELBRIDGE) dan Pemohon ll
(T,NASTASIA);
3. lvlemerintahkan kepada Kepala Kantor Dinas Kependudukan dan
Pencatatan sipil Kota Jakarta selatan untuk menerbitkan daniatau
memperbarui Akta Kelahiran anak yang bernama DEVON DAVID
DELBRIDGE;
4. Membebankan kePada
dalam tingkat Pertama
rupiah);
MembebankankepadaParaFemohonKasasi/ParaPemohonuntuk
membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah);
Para Penrohon untuk membayar biaya perkara
sejumlah Ro216.000,00 (dua ratus enam belas ribu
Anggota-Anggota:
Ttd.
1. Meterai2. Redaksi
Demikian dlputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung
pada hari Senin, tanggal 28 September 2015, oleh Dr' H' MUKHTAR
ZAMZAMI, S.H., M'H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah
Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H. I\MRAN SUADI, S'H', M'H" M'M' dan
Dr. H. PURWOSUSILO, S.H., M.H', Hal<im-Hakim Agung sebagai Anggota dan
diucapkan dalanr sidang terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal
30 septernber 2015, oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota dan
dibantu oleh Drs. H. SAHIDIN MUSTAFA, S'H., M'H', Panitera Pengganti'
dengan tidak dihacliri oleh kedua belah pihak.
Ketua Majelis,
Ttd,
Dr. H. MUKHTAR ZAMZAMI, S'H', M'H.
Dr. H. AMRAN StlADl, S.H., M.H., M.M.
Ttd.
Dr. H. PURWOSUSILO, S.H., M.H.
Biaya Kasasi:
Rp 6.000,00
Rp 5.000,00 Drs. H. SAHIDIN MUSTAFA, S.H., M.H.
3. Adm iniqlrcsiKasasl-Bp4le.00QJq
Jumlah Rp500.000,00
Untuk Salirran
MAHKAMAH AGUNG - RI.
Paniteia )f0dxpe rdata Agama
L GHONI, S,H., M.H.
- llP, 904141988031005
Panitera Pengganti;
Ttd.
I
/
berwenang",junctoPasall03ayat(2)KompilasiHukumlslam,dalamBukul
tentang Perkawianan, menyatakan bahwa "bila akta kelahiran dan alat bukti
lainnya tersebr"rt dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah
mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan pada bukti-buki yang sah";
sedangkan dalam ayat (3; disebutkan: "bahwa atas dasar ketetapan
Pengadilan Agama tersebut ayat (2), instansi pencatat kelahiran yang ada
dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta
kelahiran bagi anak yang bersangkutan";
10. Bahwa herlanclaskan semua fakta, bukti serta ketentuan hukum tersebut di
atas, kiranya permohonan Penetapan Asal Usul Anak atas anak Pemohon I
dan Pemohon ll bernama Davon David Delbridge telah sesuai dengan
peraturan dan hukunr yang berlaku,
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Para Pemohon mohon
kepacJa Pengadilan Agama Jakarta Selatan agar memberikan' putusan sebagai
berikut:
1. t\4engabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon ll seluruhnya;
2. Menetapkan Davon David Delbridge, lahir di Jakarta pada tanggal B Juni
2010, sebagai anak sah yang lahir dari perkawinan Pemohon I dan
Pemohon ll;
3. Memerintahkan kepada Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kota Administrasi Jakarta Selatan untuk menerbitkan atau
memperbarui akta kelahiran Davon David Delbridge tersebut;
4. Menetapkan biaya perkara menurut hukum;
5. Apabila Pengadilan Agama Jakarta Selatan berpendapat lain mohon
penetapan yang seadil-adilnya;
Bahwa terhadap permohonan tersebut Pen$adilan Agarra Jakarta
Selatan telah menjatuhkan Putusan Nomor 0346/Pdt.Gl2014lPAJS., tanggal
09 April 2015 M. bertepatan dengan tanggal 19 Jumadil Akhir 1436 H., yang
amarnya sebagai berikut:
1. Menolak permohonan Para Pemohon seluruhnya,
2. Membebankan kepada Para Pemohorl untuk membayar biaya perkara
sejumlah Rp216.000,00 (dua ratus enarn belas ribu rupiah),
Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini dibacakan kepada Para
Pemohon pada tanggal 9 April 2015 kemudian terhadapnya oleh Para
Pemohon, (dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tanggal 21 April 2015), diajukan permohonan kasasi pada tanggal 23 April
2015 sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Kasasi Nomor
PENGADILAN
,i
AGAMA JAKARTA SELATAN
SALINAN PENETAPAN
Nomor : 0346/Pdt.P12014lPA JS
JENIS PERKARA
Asal UsulAnak
Yang diajukan oleh
David Allen Clive Delbridge
Sebagai Pemohon
$\)i tE-B
#r... Jl 0iar;rll At n *DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadiliperkara tertentu pada tingkat pertama daram sidang majeris terah menjatuhkanPenetapan perkara Asa/ tJsul Anak yang diajuka n oteir :
'1. David Allen Clive Delbridge, umur 50 tahun, agama lslam,Swasta, Warga Negara Australia, pemegangAustralia No.E 4027459, sebagai pemohon
1..
lahir di Jakarta. pada tanggat 27 April .1g77, swasia, WargaNegara Indonesia, Agama isiam, pemegang Kartu TandaPenduduk No. 3174O.t6Z0477005,pemohon IDalam hal ini pemohon I dan ll diwakili kuasanya IRAWANSOETANTO, SH dan MAORIZAL, SH., advokat pada kantorHukum TRAWAN SOETANTO & RE;GN, berkantor diGedung Graha lrama Lt. 1 5, Suite B, Jl, H. R Rasuna Said,Blok X-1, Kav.1 & 2, Jakaria 12gSO, berdasarkan suratkuasa tertanggal 17 Desember 2014, selanjutnya disebutPara Pemohon .
Pengadilan Agama tersebut;Telah mempelajari surat_surat yang berkaitan dengan perkararini;Telah mendengar keterangan pemohon I dan ll serta para saksi di mukasidang;
DUDUK PERKARAMenimbang, bahwa para pemohon dalam surat permohonannya
tanggal 22 Desember 2014 dan perubahannya tertanggal 12 Februari 2O1S
Salinan
2. ANASTASIA,
PENETAPANNomor 0346/pdt.p/2014lpA JS.
pekerjaan
Passport
Hal. I dari 12 hat. put. No. 0346/pdt.p/2014lpAJS
telah mengajukan permohonan Asal Usul Anak, yang telah didaftar diKepaniteraan pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan Nomor0346lPdt.Pt2014ipA JS., tanggal 23 Desember 2014, mengajukan daljl-dalitsebagai berikut:
1. Bahws pemohon I dan pemohon l!
menurut agama lslam pada bulan Juli 2OOg,
saksi-saksi,
telah melangsungkan perkawinan
dengan dihadiri oleh wali nrkah dan
2 Bahwa dari perkawinan pemohon r dan pemohon , tersebut terahdikarunia seorang anak raki-raki bernama DEV'N DAV,D DELBRTDGE, rahirpada tanggar 8 Juni 2o1o di Jakarta, sesuai dengan.Kutipan Akta KerahiranNo.18281/KLU/Jp/2o10, tertanggal 16 Juni 2010 (Bukti p_ 1);
3' Bahwa oreh karena perrawinan pemohon t'dan pemonon I tidakdicaiaikan pacia Kantor Urusan Agama setempat, maka cjaiam ijukti p-1tersebut, disebutkan bahwa anak pe,.nohon rdan pemohon, bernama DEVoNDAVID DELBRIDGE tersebut dicatatkan hanya mempunyat hubungan nasabdengan Pemohon-ll;
4. Bahwa pada tanggal 4 Mei 2014, pemohon I dan pemohon ll telahmelangsungkan perkawinan ulang menurut agama lslam dan dicatatkan padaKantor Urusan Agama Kecamatan pancoran, Jakarta Selatan, sesuai denganKUTIPAN AKTA NIKAH, yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan AgamaKecamatan Pancoran, Kotamadya Jakarta Selatan, propinsi DKI Jakarta,No.465/30/V/20.14, tangggat E Mei 2014 (Bukti p-2);
S Bahwa namun demikian Kutipan Akta Nikah pemohon rdan pemohon,tersebut di atas tidak dapat dijadikan dasar untuk dirakukannya pembaharuanakta Kerahiran anak raki-raki dari hasii perkawinan antara pemohon r denganPemohon ll yang bernama DEVON DAVID DELBRIDGE tersebut;
Hal.2 da-j 12 hat. put. No. 0346/pdt.p/20i4lpAJS
6. Bahwa anak Pemohon ldan Pemohon ll bernama DEVON DAVID
DELBRIDGE tersebut sejak lahir dan sampai saat ini tinggal bersama-sama
serta diperlihara, dididik serta dirawat langsung oleh Pemohon I dan Pemohon
il;
7. Bahwa Pemohon I maupun Pemohon ll mengakui sepenuhnya bahwa
DEVON DAVID DELBRIDGE benar-benar anak kandung dari perkawinan
Pemohon ldan Pemohon ll serta yang dilahirkan dari rahim Pemohon ll;
8. Bahwa hingga saat ini tidak ada orang/pihak mana pun yang
menyangkal atau berkeberatan/menolak terhadap status maupun keberadaan
DEVON DAVID DELBRIDGE sebagai anak kandung Pemohon I dan Pemohon.
o Bahwa untuk memberikan kepastian hukJm dan hak serta untuk
kepentingan masa depan anak Pemohon ldan Pemohon ll bernama DEVON
DAVID DELBRIDGE tersebut, Pemohon ldan Pemohon ll memerlukan
Peneiapan Asal Usul ,Anak Cari Pengadilan yang ben*enang agar dapat
ditegaskan dan ditetapkan hubungan nasab dan status DEVON DAVID
DELBRIDGE tersebut sebagai anak sah dari seorang ayah bernama DAVID
ALLEN CLIVE DELBRIDGE (Pemohon l) ' dan seorang ibu bernama
ANASTASIA (Pemohon ll), berikut segala akibatnya, termasuk pula untuk dapat
dijadikan dasar dikeluarkan/ diperbaharuinya akta kelahiran anak Pemohon I
dan Pemohon ll tersebut; Hal mana adalah sesuai dan didasarkan pada
ketentuan Pasal 55 Undang-Undang No. '1 tahun 1974 tentang Perkawinan
yang mengatur bahwa "bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta
otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan
yang beruenang", juncto pasal 103 ayal (2) Kompilasi Hukum lslam, dalam
Buku ltentang Perkawianan, menyatakan bahwa "bila akta kelahiran dan alat
bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan pada bukti-buki yang sah"; sedangkan
Hal. 3 dari 12 hal. Put. llo. 0346/Pdt. P/201 4/PAJ S
dalam ayat (3)nya disebutkan: "bahwa atas dasar ketetapan Pengadilan Agama
tersebut ayat (2), instansi Pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum
Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta keiahiran bagi anak yang
bersangkutan".
10. Bahwa berlandaskan senrua fakta, bukti serta ketentuan hukum tersebut
diatas, kiranya permohonan Penetapan Asal Usul Anak atas anak Pemohon I
dan Pemohon ll bernama DAVON DAVID DELBRIDGE telah sesuai dengan
peraturan dan hukum yang berlaku.
Berdasarkan semua fakta, bukti serta dasar hukum tersebut, Pemohon I dan
Pemohon ll dengan ini mengajukan permohonan Penetapan Asal Usul Anak
sebagaimana tersebut di atas kepada Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan
menjatuhkan Penetapan sebagai berikut :
1. Mengabulkan perrnohona Pemohon I dan Perhohon ll untuk seluruhnya;
2. Menetapkan DAVON DAV!D DELBKIDGE, lahir di Jakarta pada tangEal
8 Juni 2010, sebagai anak sah yang lahrr dari perkawinan Pernohon I dan
Pen rohcn !1,
3. Memerintahkan kepada Kantor Suku Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Administrasi Jakarta Selatan untuk menerbitkan atau
memperbaharui akta kelahiran DAVON DAVID DELBRIDGE tersebut;
4. Menetapkan biaya perkara menurut hukum.
Atau apabila Pengadilan Agama Jakaita Selatan berpendapat lain, mohon
penetapan yang seadil-adilnya.
Menimbang, bahwa pada hari dan tanggal sidang yang telah ditetapkan,
Para Pemohon hadlr didampingi kuasa hukumnya, dan lvlajelis Hakim telah
memberikan nasehat agar persoalan yang diajukan oleh Para Pemohon
diselesaikan diluar persidangan saja, namun Para Pemohon melalui kuasanya
tetap diputuskan melalui persidangan .
HaL4dati r2 hat. Put. No. 0346/Pdt.P/2014/PAJS
Menimbang, bahwa selanjutnyapermohonan Para pemohon bese(adipertahankan oleh para pemohon;
membacakan suratyang isinya tetap
Majelis Hakim
perubahannya
Menimbang, bahwa untuk
telah mengajukan alat bukti surat
membuktikan dalil-dalilnya, para pemohon
berupa:
1. Fotokopi Kutipan Akta Kelahiran atas nama Devon David Delbrige,Nomor 18281/K[UlJpt2OjO, tanggal 16 Juni 2010, yang dikeluarkan olehSuku Dinas Kependudukan dan pencatatan Sipil Kota AdministrasiJakarta Pusat. Bukti surat tersebut terah diberi materai cukup dan terahdicocokkan dengan aslinya yang ternyata sesuai, lalu oleh Ketua Majelisdibubuhi tanggal dan diparaf serta diberi tanda p.1;
2 Fotokopi Kutipan Buku Nikah Nomor 465r3oNr2o14 tanggar 04 Mei 2014yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan pancoian Jakarta Selatan. Buktisurat tersebut telah diberi materai cukup dan telah dicocokkan denganaslinya yang te, rtyata sesuai, lalu oleh Ketua Majelis cjibubuhi tanggaldan dipar.af serta diberi tanda p.2,
3. Fotokopi Kutipan Buku Nikah atas nama David Allen Clive Delbrigedengan Anastasia Nomor 46'l3)l\,/t2014 tanggal 04 Mei 2014 yangdikeluarkan oleh KUA Kecamatan pancoran Jakarta Selatan. Bukti surattersebut terah diberi materai cukup dan terah dicocokkan dengan asrinyayang ternyata sesuai, talu oleh Ketua Majelis dibubuhi tanggal dandiparaf serta diberi tanda p.3;
4. Fotokopi Kartu Keluarga Nomor 31740.1280.1 11.lOO9 atas nama KepalaKeluarga Anastasia, alamat Jl. Swadaya ll No.28 Rt. 009 Rw. 08Kelurahan Manggarai Jakarta selatan. Eukti surat @rsebut telah diber.irnaterai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya yang ternyatasesuai, raru oreh Ketua Majeris dibubuhi tanggar dan diparaf serta diberitanda P.4;
5. Fotokopi Kartu Tanda penduduk Nomor 3174Oi6704710005 atas namaAnastasia. Bukti surat tersebut terah diberi materai cukup dan terah
Hal. 5 dari 12 hat. Put. No. 0346/pdt.p/20,14lpAJS
dicocokkan dengan aslinya yang ternyata sesuai, lalu oleh Ketua Majelisdibubuhi tanggal dan diparaf serta diberi tanda p.5;
6. Fotokopi Pasport No. E 4027459, yang dikeluarkan oleh pemerintah
Australia, atas nama David Allen Clive Delbrige, yang berlaku hinggatanggal 27 Aprir 2020. Bukti surat tersebut terah diberi materai cukup dantelah dicocokkan dengan aslinya yang ternyata sesuai, lalu oleh KetuaMajelis dibubuhi tanggal dan diparaf serta diberi tanda p.6;
7. Fotokopi Kartu izin Tinggal Terbatas/Limited Stay permit Card, No.2C11JE4713AN, yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal lmigrasi,Departemen Kehakiman atas nama David Allen Clive Delbrige. Buktisurat tersebut terah diberi materai cukup dan terah dicocokkan denganaslinya yang ternyata sesuai, lalu oleh Ketua Majelis dibubuhi tanggaldan diparaf sella diberi tanda p.7;
8. Fotokopi Catatan Nikah lslamy atas nama para pemohon, yangdikeluarkan Al Hikmah Islamic Centre tertanggal 24 Oktober 20C9. Buktisurat tersebut terah diberi materai cukup dan terah dicocokkan denganaslinya yang ternyata sesuai, lalu oleh Ketua ir,4ajelis dibubuhi tanggaldan diparaf ser.ta diberi tanda p.B;
Menimbang, bahwa para pemohon juga mengajukan saksi saksi antara lainsebagai berikut :
'1. Yuliana binti Sanusi, umur'50 tahun, agama lslam, pekerjaan ibu rumahtangga, tempat kediaman di Jl. Swadaya ll Rt. OO9 Rw. 08 No.28Kelurahan Manggarai Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan;
. Bahwa saksi adalah ibu kandung dari pemchon ll, Hubunganantara pemohon ldan pemohon ll adalah suami istri.
. Bahwa para pemohon menikah siri pada tahun 2009, yang
menjadi wali nikah pemohon ll adalah ayah kandung pemohon llyang bernama Firmansyah.
r Bahwa yang hadir pada saat itu adalah orangtua dan adik-adikkandung pemohon ll.
Hal. 6 dari 12 hal. Put. No. 0346/pdt.p/2014lpAJS
. Bahwa setelah menikah siri para pemohon dikaruniai 1 oranganak laki-laki yang bernama Devon David Delbridge, yang lahirpada tanggal 08 Juni 20j 0.
. Bahwa pada tanggal 05 Mei 2014 pernikahan para pemohontelah didaftarkan di KUA Kecamatan pancoran dan sudahmendapat nomor registrasj dari KUA pancoran.
n Bahwa tujuan para pemohon mengajukan permohonan asal usulanak adalah untuk mencantumkan nama ayahnya (pemohon l)dibelakang nama anak para pemohon yang bernama DevonDavid Delbridge. Karena dalam akte kelahiran hanya tertera namaibunya saja (pemohon ll)
lvan Ardiansyah bin Firmansyah, umur 36 tahun, agama lslam,pekerjaan Wiraswasta, tempat kediaman Jl. Swadaya ll Rt. 009 Rw. 0gNo.28 Kelurahan Manggarai Kecamatan Tebet,. Jakarta Se.latan.;
. Bahwa saksi adalah adik kandung dari pemohon ll, Hubunganantara Pemohon ldar: pemohon li acialah suami istii.
. Bahwa Para pemohon menikah siri pada tahun 2OOg, yangmenjacii waii nifah pemohon ll adalah ayah kandung pemohon llyang bernama Firmansyah.
. Bahwa Yang hadir pada saat itu adalah orangtua dan adik_adikkandung Pemohon ll.
o Bahwa setelah menikah siri para pemohon dikar.uniai 1 oranganak lakiiaki yang bernama Devon Darrid Delbridge, yang lahirpada tanggal 08 Juni 2010.
o Bahwa pada tanggal 0E Mei 2014 pernikahan para pernohon
telah didaftarkan di KUA Kecamatan pancoran dan sudahmendapat nomor registrasi dari KUA pancoranl
r Bahwa tujuan para pemohon mengajukan permohonan asal usulanak adalah untuk mencantumkan nama ayahnya (pemohon l)dibelakang nama anak para pemohon yang bernama DevonDavld Delbridge. Karena dalam akte kelahii.an hany.a tertera namaibunya saja (pemohon ll).
Hal.7 dari 12 hat. put. No. 0346/pdt.p/2014/PAJS
Menimbang, bahwa para pemohon melalui kuasanya menyatakan cukupdengan bukti bukti yang sudah diajukan
Menimbang, bahwa kemudian para pemohon melalui kuasanya ielahrnengajukan kesirnpuran yakni tetap seperti permohonan semura .
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian penetapan ini, segalayang dicatat dalam berita acara sidang merupakan bagtan yang tak terplsahkandari penetapan ini;
PERTIMB,ANGAN HUKUMMenimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan pemohon adarah
sebagaimana telah diuraikan di atas;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti p_5 terbukti bahwa pemohon llberalamat di Jalan Swadaya ll No.2g Rt 09 Rw 0g Kelurahan ManggaraiKecamatan Tebet Jakarta selatan, bahwa salah satu pemohon yakni pemohonlr berdomisiri diwirayah Jakarta seratan, maka berdasarkan ketentuan passr .! 18HIR Pengadilan Agama Jakarta Selatan berwenang mengadili perkara a quo .
fulenimbang, bahwa perkara a quc adalah permohonan tentang asai usulanak yang masih berkaitan dengan perkawinan, maka sesuai ketentuan pasal49 Undang Undang No.7 tahun 1gg9 tentang peraciilan Agarna yang telahdirubah dengan Undang undang No.3 tahun 2006 dan peiubahan keduadengan undang undang No.50 tahun 2009 adarah kewenangan pengadilanAgama .
Menimbang, bahwa para pemohon mengajukan permohonanpada pokoknya aiasan pemohon sebagai berikut:
1. Mohon agar Davon David Delbridge , lahir di Jakarta pada tanggal 8 Juni2010, ditetapkan sebagai anak sah yang lahir dari perkawinan pemohonI dan Pemohon ll .
2. Mohon agar pengadilan memerintahkan kepada lGntor Suku DinasKepenciudukan dan pencatatan sipir Kota Administrasi Jakarta seratanuntuk menerbitkan atau memperbarui akta kelahiran Davon DavidDelbridge .
yang
Hal. 8 dari 12 hat. put. No. 0346/pdt.p/Zoi4lpAJS
Menimbang, bahwa sehubungan dengan dalilPara Pemohon tersebut, telah diajukan bukti tertulisdua orang saksi fakta .
Menimbang, tjahwa bukti p-B berupa fotokopisecara lslami, adalah surat biasa, bukan akta,diserahkan kepada penilaian hakim;
Meninlbang, bahwa bukti p_1 berupa akta kelahiran an. Devon DavidDelbridge ' yang dikeruarkan oreh pejabat yang berwenang yaitu Suku Dinaskependudukan dan catatan Sipir Jakarta pusat, adarah fotokopi dari aktaotentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikatsepanjang relevan dengan pokok perkara yang akan dibuktikan;
Menimbang, bahwa bukti p_2 dan p_3 berupa akta nikah (pemohon Idan'menikah pada 4 Mei 2014) . adarah berupa fatokopi dari akta otentik danmempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat sepanjang relevandengan pokok perkara yang akan dibuktikan;
Menimbang, bahwa bukti p_4 cian p-5 berupa fotokopi sesuai asli dari KKcian KTP an. Kepala keluarga Anastasia. adalah mertrnakan )trr. ^+--Lt, A^_mempunyai kekuatan pembuktian
""r'urn. .." ;;;r; .;ffi ff:;dengan pokok perkara yang akan dibuktikan;
Menimbang, bahwa p_6 dan p_7 adalah forokopi dari paspcr dan Suratkgtefa,roan iTin t;n.a^-r ,^-i h-- ,v,,yyq, ud, rerl|onor_t I, adalah merupakan akta otentikmempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikai sepanjang relevandengan pokok perkara yang akan dibuktikan;
dalil yang diajukan oleh
berupa P-l s/d p-g dan
Menimbang, bahwa saksi saksi yang dihadirkan oleh para Femohonadalah ibu kandung dan adik kandung dari pemohon ll, yang menurutketentuan pasal 1909 KuHperdata jo pasal ,145 ayat(j) HIR dapat ciibebaskandari memberikan kesaksian, namun karena keterangan saksi tersebutberkenaan dengan kedudukan keperdataan, maka sesuai dengan ketentuanPasal 19'10 KUH perdata jo pasat 145 ayat (2) HlR, dapat diterima sepanjangberkaitan dengan perkara yang akan dibuktikan .
Menimbang, bahwa permohonan pemohon Nomor 1 (satu) agar DavonDavid Delbridge , lahir di Jakarta pada tanggal I Juni 20.10, OltetaptJn .Jn.,
dari Surat catatan nikah
kekuatan pembuktiannya
Hal. 9 dari 12 hat. put. No. 0346/pdt. ptZOl4tpAJS
anak sah yang lahir dari perkawinan pemohon ldan pemohon ll, majelismem pertim bangkan sebagai berikut
Menimbang, bawha berdasarkan pasal 42 Undang_undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa anak yang sah adarahanak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.Disamping jtu anak yang sah juga anak yang lahjr dalam perkawinan yangtelah diitsbatkan;
Menimbang, bahwa bukti yang diajukan oleh para pemohon yang
berkaitan dengan perkawinan adalah p-2, p-3 dan p-g , meskipun bukti p_2 danP-3 adalah akta Otentik yang menyatakan bahwa pemohon ldan pemohon 2adalah suarni isteri sah sejak 4 Mei 2014 , sementara anak yang akanditetapkan sebagai anak sah adalah lahir pada tanggal. g Juni 2010, sedangkanbukti P-8 adalah surat biasa yang tidak didukung bukti iainnya dan harusdikesampingkan , jadi menurut majelis tidak ada bukti yang mendukungbahwa Devon David Derbridge rahir dari perkawinan y.ng..n ( baik itu aktanikah maupur r oernikahan yang ietah d jisbatkan ) sehingga !a dapet dijadikananak sah .
ivilenimbang, bahwa berdasarkan pertirnbangan iersebui oleh karenaDevon David Delbridge lahir dari perkawinan yang tidak sah /belum dicatatkan/tidak berkekuatan hukum , maka permohonan Fara pemohon agar anak yangyang bersangkutan ditetapkan sebagai anak sah tidak terbukti dan harusditolak.
Menimbang, bahwa permohonan para pemohon yang 2 (kedua) yaitu
agar Pengadilan memerintahkan kepada Kantor Suku Dinas Kependudukandan Pencatatan sipil Kota Administrasi Jakarta pusat untuk menerbitkan ataumemperbarui akta kelahiran Davon David Delbridge majelis pertimbangkan
sebagai berikut. (
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan para pemohon angka 1
(satu) agar Devon David Delbridge ditetapkan sebagai anak sah telah ditolakoleh Majelis Hakim, maka permohonan pemohon yang kedua agar pengadilan
memerintahkan suku Dinas Kependudukan dan pencatatan sipil Jakarta pusat
Hal. 10 dari 12 hat. put. No. 0346/pdt.p/2014lpAJS
untuk memperbarui akta kerahiran an, Devon David Derbridge tidak perrudipertimbangkan lagi dan harus dikesampingkan .
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan pertimbangan tersebutdiatas maka permohonan para pemohon harus ditolak untuk seluruhnya .
Menimbang, bahwa oleh karena perkara tersebut dalam bidangperkawinan, maka berdasarkan ketentuan pasal g9 ayat (i) Undang-UndangNomor 7 Tahun 19g9 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang_UndangI,lomor 3 Tahun 2006, dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor50 Tahun 2OOg, maka para pemohon dibebankan untuk membayar biayaperkara;
Mengingat, bunyi dari pasal-pasal dari peraturan perundang-undanganyang berlaku serta dalil-dalil yang berkaitan dengan perkara ini;
MENETAPKAN1. Menolak permohonan para pemohon seluruhnya;2. l'v1en-ibeba nkan kepada para pemohon untijk membayar Diaya perkara
sejurniah Rp. 216.000,00 ( dua r.atus enam belas ribu rupiah);
Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majeiis yangdilangsungkan pada hari Kamis tanggal 9 April 2015 Masehi, bertepatandengan tariggal 1 9 Jumadrl Akhir" .,t436
Hijriyah, oleh kami Drs. Nasrul, M.A.sebagai Ketua Majelis, Drs. yusran, M.H. dan Drs. Mustopa, S.H. masing_mcsing sebagai Hakim Anggota, putusan tersebut diucapkan dalam sidangterbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis tersebut dengandidampingi oleh Hakim Anggota dan dibantu oleh Siti Makbullah, S. H. seOa-gaiPanitera Pengganti serta dihadiri oleh Kuasa para pemohon
.
Hakim Anggota,
ttd
Drs. Yusran, M.H.
Ketua Majelis,
ttd
Drs. Nasrul, M.A.
Hal. 11 dari 12 hat. put. No. 0346/pdt.p/2014lpAJS
\
Hakim Anggota,
ttd
Drs. Mustopa, S.H.
Perincian biaya:
1. Pendaftaran
2. Proses
3. Panggilan
4. Redaksi
5. Materai
Jumlah
Rp. 30.000
Rp. 75.000
Rp. 100.000
Rp. 50C0
: Rp. 216.000
( ciua ratus enarn belas ribu rupiah)
Untuk salinan sesuai aslinya
Pengadilan Agama .jakai-ta Selatan
Panitera Pengganti,
ttd
Siti Makbullah, S.H
P@/-:rSuryr'n,S.H.
Hal. '12 dari 12 hat. Put. No. 0346/pdt.p/2014/PAJS