PERKAWINAN SALEP TARJHA PADA MASYARAKAT...
-
Upload
vuongtuyen -
Category
Documents
-
view
230 -
download
0
Transcript of PERKAWINAN SALEP TARJHA PADA MASYARAKAT...
PERKAWINAN SALEP TARJHA PADA MASYARAKAT
KECAMATAN PANGARENGAN KABUPATEN SAMPANG
MADURA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
Skripsi
diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
gelar sarjana syariah (SSY)
Oleh :
Siti Rochmah
NIM : 108044100060
PROGRAM STUDI AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
-\
PERKAWINAN SALEP TARJHA PADA MASYARAKAT MADURADITINJAU DARI HUKUM ISLAM
skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu syaratmencapai gelar Sarjana Syariah (S.SV)
Oleh
SITI ROCHMAH
108044100060
Dibawah Bimbingan
(n-
NIP. 19500306197603 1001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMAPROGRAM STUDI AHWAL AL.SYAKHSIYAII
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SAYARIF HIDAYATULLAHJAKART A
t432HJ20tl
PENGESAHAN PA}IITIA SKRIPSI
Skripsi berjudul PERKAWINAN sALEp TARIHA PADA IvL{SYAIL{KATKECAMATAN PANGARENGAN KABUPATEN SAMPANG MADURADITINJAU DARI HUKUM ISLAM telah diujikan dalam sidang MunaqasyahFakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HidauatulahJakarta pada 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai rututt satu syaratmemperoleh gelar Sarjana Syariah (S. sy) pada Program Studi peradilan Agama.
Jakarta, 17 Juni 2011
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Panitia Ujian
1. Ketua Drs. H. A. Basiq Djalil. S.H. M.ANIP. 1 95003061 97603 1001
Hj. Rosdiana. M.ANrP. 1 9690 6102003122001
Drs. H. A. Basiq Djalil. S.H. M.ANIP. 1 95003061 97603 1001
2. Sekretaris
3. Pembimbing
4. Penguji I
5. Penguji II
DR. Moh. Ali Wafa. S.Ag. M. Ag (.....NIP. 150321584
NIP. I 9550505 198203 1 012
p9
i
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Segala puji, dan syukur diucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Kanjeng
Nabi Muhammad SAW yang telah menuntut umatnya kejalan yang benar.
Begitu juga salam sejahtera semoga senantiasa Allah curahkan kepada keluarga,
para sahabat dan seluruh umatnya hingga akhir zaman
Tidak terasa perjalanan panjang menempuh studi di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta telah berakhir. Satu tahap perjalanan akademis yang
merupakan perjalanan kecil dari balik kehidupan, telah penulis telusuri dengan
segala suka dan duka, bahagia bercampur haru mengiringi rasa syukur atas
karunia ini tidak dapat penulis sembunyikan dari lubuk hati yang paling dalam.
Akhirnya penulis tersadarkan bahwa perjalanan skripsi ini telah
memberikan perjalanan hidup yang akan melekat dalam sanubari, sekecil
apapun pekerjaan yang kita lakukan, apabila kita hadapidengan penuh
penghayatan dan keikhlasan, maka tidak akan menghasilkan kesia-siaan, dan
seberat apapun pekerjaan bila kita nikmati sebagai tahapan pelajaran hidup
yang harus kita lalu, maka tidak akan terasa sulit.
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan
karena mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai
ii
ungkapan rasa hormat yang dalam, penulis menyampaikan terimakasih kepada
Bapak:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MM. selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan
kewenangan yang dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis
untuk menyusun skripsi ini.
2. Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H., MA., selaku ketua Program Study dan
Pembimbing Skripsi. Kemudian Hj. Rosdiana, MA, selaku sekretaris
jurusan Ahwal Syakhsiyyah yang telah banyak memberikan motivasi dan
dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Seluruh dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tidak lupa juga kepada staf perpustakaan, karyawan
yang banyak membantu penulis memfasiltasi dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
4. Teristimewa kepada Ayahanda H. Yusuf Muzahdi dan ibunda Hj. Aisyah,
serta seluruh skeluarga yang sangat saya cintai dan sayangi. Terima kasih
banyak atas bantuan kalian terutama dari segi keuangan, dan dukungan
kalian yang tidak terlupakan. Terima kasih juga atas doa dan pengorbanan
kalian yang tidak terhingga serta senantiasa memberi semangat tanpa jemu
sehingga penulis menyelesaikan belajar disini dengan selamat dan
sempurna.
iii
5. Terkhusus kepada suami saya yaitu H. Ahmad Romdoni yang telah
membantu dan selalu memberikan semangat serta motivasi dalam proses
penyelesaian skripsi ini. Dan teman-teman angkatan 2007/2008 jurusan
Akhwalu Syakhsiyyah, terima kasih atas kebersamaan kalian dalam
menemani penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Akhir kata semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan masukan yang
positif kepada para pembaca. Semoga bantuan yang diberikan kepada penulis
akan mendapat imbalan dari Allah SWT. Penulis amat menyadari bahwa dalam
penulisan skripsi ini banyak kekurangan, kekhilafan, dan kesalahan. Maka
kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dalam rangka
perbaikan, dan kesempurnaan tulisan ini.
Kepada Allah SWT penulis memohon dan mendoakan semoga jasa baik
yang telah kalian sumbangkan menjadi ladang amal sholeh dan mendapat
balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin
Jakarta, 17 Juni 2011
Penulis
Siti Rochmah
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasl karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Srata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 Juni 2011
Penulis
Siti Rochmah
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………..….…...i
LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………….….......iv
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..…..vi
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………….…1
A. Latar belakang masalah..........................................................................1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah.......................................................6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..............................................................7
D. Metode Penelitian..................................................................................7
E. Review Studi Terdahulu…………………………………………….…9
F. Sistematika Penulisan...........................................................................11
BAB ll PERKAWINAN DALAM ISLAM……………………………………13
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan…………………………..13
B. Rukun dan Syarat Perkawinan.............................................................20
C. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan..........................................................25
D. Wanita Yang Haram Dinikahi Dalam Islam.........................................28
BAB lll PERKAWINAN DALAM ADAT MADURA……………………… 35
A. Profil Pulau Madura............................................................................35
B. Sistem Perkawinan Dan Adat Istiadat.................................................41
C. Perkawinan Dalam Adat Madura.......................................................45
vi
BAB IV IMPLIKASI PERKAWINAN SALEP TARJHA………………...….54
A. Aturan Adat Tentang Perkawinan Salep Tarjha................................54
B. Praktik Perkawinan Salep Tarjha.......................................................60
C. Analisa Penulis....................................................................................62
BAB V PENUTUP………………………………………………………………66
A. Kesimpulan......................................................................................66
B. Saran................................................................................................67
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………68
LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………………....72
1. Wawancara Dengan Sesepuh………………………………………..72
2. Wawancara Dengan Ulama………………………………………….73
3. Wawancara Dengan Pelaku Salep Tarjha……………………...……74
4. Surat Permohonan Wawancara…………………………….………..75
5. Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi………….….76
6. Dokumentasi Penelitian……………………………...……………...77
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah menciptakan manusia hanya dua jenis yaitu perempuan dan lelaki
untuk dijadikan pasangan, seperti manusia pertama yang diciptakan Allah yaitu
Adam dan Hawa. Sehingga dari cikal bakal inilah terbentuk istilah perkawinan
yang mana diceritakan bahwa adam menikahkan secara silang antara anak-
anaknya yaitu sesama saudara kembar tidak boleh menikah.1 Allah SWT
menerapkan aturan-aturan tertentu dan melarang hal-hal tertentu pula, karena
justru dengan aturan-aturan dan batasan-batasan tertentu inilah manusia
menjadi makhluk yang mulia dari makhluk yang lain.
Dalam masalah perkawinan misalnya untuk memilih pasangan hidupnya
manusia haruslah melalui suatu ikatan (aqad). Perjanjian atau akad ini
merupakan cerminan kerelaan antara kedua pasangan serta pihak keluarga
sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat. Hal
ini sangat penting bagi manusia itu sendiri agar dapat menjaga kemuliaan dan
kefitrahannya.2
Mengingat betapa besar dan pentingnya arti sebuah perkawinan tidaklah
mengherankan jika berbagai macam aturan muncul demi menjaga tujuan dan
1 Sufiz, “Kumpulan Kisah Teladan Para Sufi”, artikel diakses pada 20 desember 2010 dari
web www.sufiz.com.
2 Sayid Sabiq, Fiqh Sunah (Beirut: Dar Al Kutub 1987), cet-8, jilid 3, h. 68.
2
eksitensi perkawinan tersebut, baik aturan agama, perundang-undangan Negara,
bahkan aturan adat juga mengatur masalah perkawinan ini sedemikin rupa.
Terlepas dari permasalahan apakah perundang-undangan atau aturan adat itu
bersumber dari hukum agama atau tidak, namun yang jelas ketiga hukum ini
sangat berperan penting dalam mengatur masyarakat.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, heterogenitas
suku, budaya, agama, dan adat istiadat sangat mempengaruhi dalam
pelaksanaan hukum masyarakat itu sendiri. Keanekaragaman hukum ini akan
sangat lebih terasa jika hukum tersebut berkaitan langsung dengan nilai-nilai
atau prinsip-prinsip keluarga (hukum keluarga), terutama dalam masalah
perkawinan.
Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu
bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang
bersangkutan dari abad ke abad. Oleh karena itu, maka tiap bangsa di dunia ini
memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak
sama. Justru oleh karena ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan, bahwa
adat itu merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada
bangsa yang bersangkutan.3
Dalam aturan adat ataupun aturan agama dijelaskan bahwa dalam masalah
perkawinan, seseorang itu dilarang menikah dengan orang-orang tertentu dan
3 Surojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: Pt Gunung Agung,
1982), cet-4, h.13.
3
anjuran menikah dengan orang tertentu pula. Larangan ini disebabkan karena
adanya hubungan tertentu antara seseorang dengan yang lainnya. Walaupun
antara kedua hukum ini memiliki dasar pertimbangan yang berbeda, namun
baik dalam agama ataupun istiadat, memperoleh keturunan serta menjaga
hubungan kekerabatan merupakan salah satu tujuan penting dari suatu
perkawinan.4
Hidup dalam masyarakat juga memiliki berbagai aturan yang berkaitan
dengan masalah perkawinan, ada aturan adat yang lebih mengutamakan
perkawinan dengan kerabat ada juga yang yang tidak boleh kawin kecuali
dengan seseorang di luar klan atau sukunya. keunikan-keunikan aturan ini tidak
lain adalah demi untuk menjaga prinsip-prinsip adat yang lainnya.
Kendati berbagai macam aturan tentang masalah perkawinan ini telah
ditetapkan adat, namun dalam masyarakat tetap saja ditemukan berbagai bentuk
pelanggaran terhadap aturan tersebut. Permasalahan ini dapat terjadi bukan
hanya karena kurangnya kesadaran masyarakat mengenai fungsi dari larangan
adat ini, akan tetapi juga karena keterkaitan mengenai relevansi aturan adat itu
sendiri dengan pemahaman serta pola fikir masyarakat yang semakin maju.
Perubahan serta perkembangan pola pikir ini akan dapat menyebabkan adanya
interpretasi baru mengenai relevansi aturan adat tersebut dengan perubahan
yang sedang terjadi didalam masyarakat.
4 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Jakarta: Pt Pradya Paramitha 1987), cet-2,
h. 22.
4
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu bentuk aturan
perkawinan dalam adat adalah bahwa seseorang itu dilarang melangsungkan
perkawinan dengan kerabat. Contoh larangan adat seperti ini terdapat pada
masyarakat Madura yang mana melarang pernikahan Salep Tarjha yakni
pernikahan silang antara 2 (dua) orang bersaudara (sataretanan) putra-putri.5
Contoh : Ali dan Arin adalah dua orang bersaudara (kakak-adik) yang
dinikahkan secara silang dengan Rina dan Rizal yang juga dua orang
bersaudara (kakak-adik). Dalam hal ini perlu digarisbawahi bahwa suatu
perkawinan itu akan disebut sebagai perkawinan Salep Tarjha, apabila orang
yang menikah tersebut adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan saudara
kandung yang kemudian keduanya dinikahkan secara silang dengan 2 (dua)
orang saudara kandung juga. Jadi, apabila modelnya tidak seperti ini, maka
tidak disebut dengan perkawinan Salep Tarjha.
Pada dasarnya, larangan terjadinya perkawinan Salep Tarjha berkaitan
erat dengan adanya keyakinan masyarakat akan mitos-mitos yang berkaitan
dengan perkawinan tersebut. Tentunya mitos-mitos tersebut tidak terlepas dari
ajaran dan doktrin yang ditanamkan oleh nenek moyang mereka secara turun
temurun kepada keturunannya. Masyarakat Madura memiliki keyakinan bahwa
perkawinan ini dapat mendatangkan musibah dan bencana bagi pelaku maupun
keluarganya.
5 Myhidayah Weblog, “Perkawinan Salep Tarjha”, artikel diakses pada 24 desember 2010 dari
web myhidayah wordpress.com.
5
Perkawinan Salep Tarjha dalam Islam dibolehkan hal ini dapat dilihat
dari surat An-Nisa ayat 23 tentang wanita yang haram dinikahi karena
hubungan kerabat. Yang mana dijelaskan bahwa Diharamkan menikah karena
ada hubungan darah, hubungan perkawinan dan hubungan persusuan6
Para ulama di Madura menggunakan ayat tersebut sebagai landasan
bahwa pernikahan Salep Tarjha boleh dilakukan karna pernikahan antara
saudara ipar tidak ada dalam surat An-Nisa ayat 23. menurut ulama Madura
Perkawinan salep tarjha, secara normatif boleh-boleh saja dilakukan, karena di
dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits maupun menurut pandangan para ulama yang
sudah terkodifikasi di dalam kitab-kitab fiqh klasik (kitab kuning) tidak
didapatkan satupun adanya larangan terhadap model perkawinan Salep Tarjha
tersebut. Oleh karenanya, siapapun yang melakukan perkawinan model tersebut
dibenarkan dan tidak dilarang
Dari ayat dan pendapat ulama di atas jelas bahwa hukum perkawinan
Salep Tarjha dalam Islam adalah boleh, oleh karena itu sehubungan dengan
status hukum perkawinan ini terlihat ada pertentangan antara hukum Islam
dengan ketentuan adat masyarakat Madura yang melarang perkawinan.
Untuk mengetahui permasalahan lebih dalam dan detail maka penulis
berkeinginan untuk meneliti permasalahan ini dengan judul: Perkawinan Salep
Tarjha Pada Masyarakat Madura Ditinjau Dari Hukum Islam.
6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Prenada Media,2007),
h. 110-111.
6
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini agar dapat dipahami secara mudah dan
diharapkan nantinya dapat memberikan pemahaman yang mendalam penulis
lebih menitik beratkan analisa masalah terhadap norma-norma atau aturan-
aturan adat Madura, yaitu larangan melangsungkan perkawinan bagi mereka
yang melakukan Salep Tarjha. Karena larangan dan segala permasalahan yang
berhubungan dengan perkawinan menurut hukum Islam itu luas, maka penulis
memberi batasan penyusunan skripsi ini adalah pada hal-hal yang hanya
berkaitan dengan larangan perkawinan salep tarjha ditinjau dari segi hukum
Islam.
2. Rumusan Masalah
Masalah dari penelitian ini adalah adanya kesenjangan antara teori (das
sollen) dengan praktek (das sein). Menurut Al-Quran, hadist, Fiqh, dan
Peraturan Perundang-undangan tidak dilarang model perkawinan Salep Tarjha.
Kenyataannya di lapangan pada masyarakat Madura itu di larang.
Rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana aturan adat Madura Kecamatan Pangarengan terhadap
perkawinan salep tarjha?
b. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap perkawinan Salep Tarjha?
c. Bagaimana implikasi perkawinan salep tarjha terhadap masyarakat
Kecamatan Pangarengan Madura?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui aturan adat Madura Kecamatan Pangarengan
tentang perkawinan Salep Tarjha.
b. Untuk mengetahui aturan hukum Islam mengenai perkawinan Salep
Tarjha.
c. Untuk mengetahui implikasi perkawinan Salep Tarjha pada
masyarakat Kecamatan Pangarengan Madura.
1. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan
solusi dalam memecahkan permasalahan jika ada pertentangan antara
adat dan hukum Islam. Sekaligus dapat memberikan jawaban yang
memuaskan bagi masyarakat yang masih belum paham tentang kedua
konsep hukum tersebut.
b. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu dijadikan sebagai rujukan yang
memiliki alasan ilmiah berkaitan dengan status hukum perkawinan
tersebut dalam konteks perpaduan antara hukum Islam dan hukum
adat. Sekaligus dapat menambah ilmu pengetahuan tentang adat yang
beraneka ragam di Indonesia.
8
D. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian empiris atau sering juga disebut
penelitian hukum non doctrinal merupakan penelitian yang bertolak pada data
primer.7 Yakni data yang diperoleh langsung dari objek penelitian, seperti
masyarakat sebagai sumber pertama dalam suatu penelitian. penulis
menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografis. Agus Salim
dalam bukunya yang berjudul teori dan pradigma penelitian sosial mengatakan
bahwa etnografis secara sederhana dapat diartikan sebagai gambaran sebuah
kebudayaan yaitu sebuah gambaran kebudayaan dari sebuah masyarakat yang
merupakan hasil konstruksi peneliti dari berbagai informasi yang diperolehnya
selama melakukan penelitian di lapangan degan fokus permasalahan tertentu.8
2. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu dalam penelitian dimulai pada bulan desember 2010 sampai
dengan selesai. Sedangkan lokasi penelitian ini adalah masyarakat Madura yang
bertempat tinggal di Jakarta.
3. sumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah sumber penelitian yang diperoleh secara langsung
dari sumber asli. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dengan
7 Yayan Sopyan, Metode Penelitian (Jakarta: 2009), h. 27.
8 Agus Salim, Teori Dan Pradigma Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2001), cet-1, h. 152.
9
melalui keterangan dari sesepuh, tokoh agama, pelaku perkawinan
salep tarjha itu sendiri dan orang-orang yang dianggap berkompeten
dalam masalah perkawinan tersebut.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri
pengumpulannya oleh peneliti jadi berasal dari data kedua, ketiga dan
seterusnya. Berkaitan dengan hal ini maka data sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini berupa literatur-literatur ilmiah,
dokumen-dokumen, maupun buku-buku yang berkaitan dengan
penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mendapatkan data dalam penelitian ini
adalah melalui wawancara mendalam.Wawancara adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap
muka antara penulis atau pewawancara dengan informan dengan menggunakan
instrument pengumpulan data yang dinamakan interview guide (panduan
wawancara)9
5. Teknik Penulisan
Adapun pedoman yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah buku
pedoman penulisan skripsi fakultas syariah dan hukum yang diterbitkan tahun
2007.
9 Mohamad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia 1989), h. 234.
10
E. Review Studi Terdahulu
Dalam rangka perbandingan kajian skripsi yang penulis bahas dengan
beberapa skripsi yang telah dibahas sebelumnya, maka penulis mengambil
skripsi-skripsi yang memiliki kesamaan jenis masalah yang diteliti dari skripsi
yang ada di perpustakaan fakultas Syariah dan perpustakaan umum. Dari kedua
perpustakaan ini, penulis menemukan 3 skripsi yang dapat penulis dijadikan
sebagai Review Studi Terdahulu. Skripsi-skripsi tersebut adalah sebagai
berikut:
Skripsi yang berjudul Larangan Perkawinan Satu Suku Dalam
Masyarakat Kampar Timur-Riau Dilihat Dari Hukum Islam, yang ditulis oleh
Muhammad Nur. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa menurut adat Kampar
perkawinan satu suku bagi orang yang masih dalam satu kenegrian atau satu
adat tidak dibenarkan karena mereka ini saudara yang mempunyai ketunggalan
leluhur. Perkawinan satu suku ini sangat tabu bagi masyarakat kampar bahkan
dianggap dapat mendatangkan malapetaka bagi yang melakukannya. Larangan
perkawinan tersebut juga dinilai masyarakat kampar sebagai perluasan dari
larangan perkawinan dalam Islam.
Skripsi ini tidak jauh beda dengan yang ditulis oleh Muhammad Nur
adalah skripsi Rahmat Hidayat yang berjudul Perkawinan Satu Suku Dalam
Masyarakat Minangkabau Menurut Pandangan Hukum Islam (Studi Kasus Di
Daerah Bamu Hampu). Disini dibahas tentang pelanggaran perkawinan satu
suku didasarkan karena hubungan kekeluargaan, juga akan menimbulkan cacat
11
atau lemah keturunan, dan demi menjaga keharmonisan hubungan sosial, baik
hubungan antar keluarga maupun dengan masyrakat yang ada di kampong
Bamu Hampu. Perkawinan satu suku pada dasarnya boleh akan tetapi untuk
menghindari kemudharatan yang muncul dari perkawinan satu suku yaitu
menyebabkan lemahnya keturunan maka ada baiknya hal itu ditinggalkan.
Skripsi selanjutnya adalah Kajian Hukum Islam Tentang Perkawinan
Endogamy Pada Masyarakat Kelurahan Kebon Dalem Cilegon Banten yang
ditulis oleh Amarullah. Skripsi ini membahas tentang perkawinan dengan
kerabat (endogamy) ala masyarakat Kelurahan Kebon Dalem.
Setelah melakukan tinjauan terhadap skripsi-skripsi diatas, maka penulis
dapat menemukan perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan dengan skripsi
yang penulis bahas sekarang. Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Nur dan
Rahmat Hidayat secara umum membahas larangan perkawinan satu suku
sedangkan skripsi yang ditulis oleh Amarullah membahas tentang kebolehan
perkawinan endogamy yang lebih cenderung dilihat dari konteks kafaah dalam
tinjauan hukum Islam. Skripsi yang penulis bawa sekarang berbeda dengan
yang ditulis oleh skripsi terdahulu. Penulis membawa istilah pernikahan kerabat
dengan istilah Salep Tarjha yaitu perkawinan antara dua orang bersaudara
dengan dua orang bersaudara lainnya yang dinikahkan secara silang sehingga
hanya ada satu mertua. Yang mana diatur dalam adat Madura dilarang
sedangkan dalam hukum Islam dibolehkan pernikahan tersebut. Sehingga
adanya pertentangan antara hukum Islam dan adat.
12
f. Sistematika Penulisan
Pertama membahas tentang pendahuluan yang berisi tentang latar
belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penulisan
Kedua membahas tentang konsep perkawinan dalam Islam. Yang meliputi
arti perkawinan, dasar hukum ,tujuan perkawinan, rukun dan syarat
perkawinan, wanita-wanita yang haram dinikahi dalam hukum Islam.
Ketiga membahas perkawinan dalam adat Madura yang menjelaskan
sekilas profil pulau Madura, sosial budaya dan adat istiadat, serta perkawinan
dalam adat Madura.
Keempat membahas tentang implikasi perkawinan Salep Tarjha, yang
meliputi aturan adat masyarakat madura tentang perkawinan salep tarjha,
praktek dalam perkawinan salep tarjha pada masyarakat Madura, serta analisis
penulis.
Kelima membahas Penutup yang meliputi tentang Kesimpulan dan Saran.
13
BAB II
HUKUM PERKAWINAN DALAM ISLAM
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan
1. Perkawinan Menurut Bahasa
Kata كاذ (nikah) berasal dari bahasa arab كر – كر كسا - كازا –
yang secara etimologi berarti: ص dalam ,(bercampur) اإلخرال ط ,(menikah) انرض
bahasa arab, lafadz nikah bermakna انعقذ (berakad), طء dan (bersetubuh) ان
راع .(bersenang-senang) اإلسر1
Sedangkan Al-Azhari mengatakan akar kata nikah dalam ungkapan
bahasa arab berarti hubungan badan. Sementara itu Al-Farisi mengatakan: “ jika
mereka mengatakan bahwa si fulan menikah maka yang dimaksud adalah
mengadakan akad, akan tetapi, jika dikatakan bahwa ia menikahi isterinya,
maka yang dimaksud adalah berhubungan badan.”2
Definisi yang hampir sama dengan diatas juga dikemukakan oleh rahmat
hakim, bahwa kata nikah berasal dari bahasa arab “nikahun” yang merupakan
mashdar dari “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan.3
1 Munawwir, Fi Al- Lughoti Wa Al-A’lam, (Beirut: Dar El-Machreq Sarl, 2002), h. 836
2 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi Lengkap, Alih Bahasa, Abdul
Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,1996), cet ke-1, h. 375
3 Tihami Dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2009), h. 7.
14
Beberapa penulis juga terkadang menyebut pernikahan dengan
perkawinan. Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata “kawin”,
yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis
melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh”4
2. Perkawinan Menurut istilah
Ada beberapa definisi nikah menurut istilah yang dikemukakan para ahli
Fiqh, namun pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang berarti kecuali pada
redaksinya (phraseologie) saja. Dalam pengertian lain, secara etimologi
pengertian nikah adalah:
a. Menurut ulama Hanafiyah nikah adalah:
رعح قصذا ذ يهك ان 5انكاذ عقذ ف
Artinya: “Nikah adalah akad yang disengaja dengan tujuan mendapatkan
kesenangan”
b. Menurut ulama asy-Syafi„iyah nikah adalah:
ا يعا ح أ ذض كاذ أ طء تهفظ إ يهك انكاذ عقذ رض6
Artinya: “Nikah adalah akad yang mengandung maksud untuk memiliki
kesenangan (wathi‟) disertai lafadz nikah, kawin atau yang
semakna”.
c. Menurut ulama Malikiyah nikah adalah:
4 Anonimous, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, 1994), h. 456.
5 Wahbah zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy Wa Adillatuhu JUZ 7, (Damaskus: Darul Fikr,
1409M/1989H), h. 29
6 Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-’Arba‘ah, cet. ke-1 (Mesir: Daar al-
Irsyad Littiba‟ah Wa Nasyr, 1400H/1979M), juz 4, h. 2
15
انكاذ عقذ عهى يدشد يرعح انرهزر تاديح7
Artinya: “Nikah adalah akad yang semata-mata untuk mendapatkan
kesenangan dengan sesama manusia”.
d. Menurut ulama Hanabilah nikah adalah:
راع فعح اإلسر ح عهى ي ذض كاذ أ 8انكاذ عقذ تهفظ إ
Artinya: “Nikah adalah akad dengan lafadz nikah atau kawin untuk
mendapatkan manfaat bersenang-senang”.
Dari beberapa pengertian di atas, yang tampak adalah kebolehan hukum
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk melakukan pergaulan
yang semula dilarang (yakni bersenggama). Dewasa ini, sejalan dengan
perkembangan zaman dan tingkat pemikiran manusia, pengertian nikah
(perkawinan) telah memasukkan unsur lain yang berhubungan dengan nikah
maupun yang timbul akibat dari adanya perkawinan tersebut.
Definisi-definisi yang diberikan oleh ulama terdahulu sebagai mana
terlihat dalam kitab-kitab fiqh klasik tersebut diatas begitu pendek dan
sederhana hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan, yaitu
kebolehan melakukan hubungan kelamin setelah berlangsungnya perkawinan
itu.
Ulama kontemporer memperluas jangkauan definisi yang disebutkan
ulama terdahulu. Diantaranya yang disebutkan Ahmad Ghandur dalam bukunya
7 Ibid., h. 3
8 Ibid., h. 4
16
Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Fi Al-Tasyri‟ Al-Islamiy:
سا يذي انطثع اإل ا سقق يا رقاضا شأج ت ان انشخم ذ زم انعششج ت عقذ ف
انساج دعم اخثاخ عه قا قثم صازث ا زق ي
Artinya: “Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan
perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan dan
menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan
kewajiban”.9
Sedangkan menurut Sajuti Thalib perkawinan ialah suatu perjanjian yang
suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun
menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia.10
Adapun pengertian yang dikemukakan dalam Undang-undang
Perkawinan (UU no. 1 tahun 1974), adalah:
“Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.”11
Bunyi pasal 1 UU Perkawinan ini dengan jelas menyebutkan tujuan
perkawinan yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal yang didasarkan pada
ajaran agama. Tujuan yang diungkap pasal ini masih bersifat umum yang
perinciannya dikandung pasal-pasal lain berikut penjelasan Undang-undang
9 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2007), cet ke-2, h. 39.
10
Muhammad Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam,(Jakarta: IND-HILL-CO, 1990), h. 1.
11
Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, pasal 1.
17
tersebut dan peraturan pelaksanaannya. Dalam penjelasan ini disebutkan bahwa
membentuk keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan,
yang juga merupakan tujuan perkawinan, di mana pemeliharaan dan pendidikan
menjadi hak dan kewajiban orang tua.
3. Dasar Hukum Perkawinan
Pernikahan atau perkawinan itu pada dasarnya adalah suci dan mulia, ia
mengandung manfaat yang banyak dalam kehidupan ini baik untuk dunia
maupun untuk hari akherat kelak.12
Dasar hukum perkawinan banyak disebutkan dalam Al-Quran dan sunnah
rasulullah, diantaranya adalah firman allah dalam surat ar-rum ayat 21 yang
berbunyi:
ف ح إ سز دج كى ي خعم ت ا اخا نرسكا إن فسكى أص أ خهق نكى ي ءار أ ي
رانك نآآخ و رفكش نق
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Dan dari hadits Rasulullah yang menyebutkan :
د قال يسع ت عثذانه ص : ع ل انه ا سس كى )قال ن اسرطاع ي ا يعشش انشثاب ي
ج فإ رض انثاءج فه ن و فإ تا نص نى سرطع فعه ي نهفشج أزص أغض نهثصش
12
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993) h.
26
18
(خاء يرفق عه13
Artinya: “Dari Abdullah bin Mas‟ud. Ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw
kepada kami: Hai para pemuda, siapa diantara kamu yang mampu
untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk
menjaga mata dan kemaluan, dan barang siapa tidak kuasa,
hendaklah ia berpuasa sebab puasa itu menjadi penjaga baginya.
Muttafaq Alaih”.
hukum asal nikah itu sendiri adalah :
س : فؤ يا زكى انكاذ فقال اند ب إن ذ ي 14
Artinya: “adapun hukum nikah itu adalah, para ahli ulama berkata: hukum
nikah itu adalah sunnah hukumnya.
Perkawinan merupakan kebutuhan alami manusia. Tingkat kebutuhan dan
kemampuan masing-masing individu untuk menegakkan kehidupan berkeluarga
berbeda-beda, baik dalam hal kebutuhan biologis (gairah seks) maupun biaya
dan bekal yang berupa materi. Dari tingkat kebutuhan yang bermacam-macam
ini, para ulama mengklasifikasikan hukum perkawinan dengan beberapa
kategori.
Yaitu yang biasa disebut dengan ahkamul khamsah, hukum yang lima
macam: wajib sunnah, jaiz, makruh, dan haram bisa diterapkan kepada
seseorang tertentu secara kondisional dalam kaitan melaksanakan nikahnya.15
13
Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram,Terjemah A. Hassan(Bandung: CV
Penerbit Dipenogoro, 2002), h. 431
14
Imam Qadhi Al Qurtubi, Bidayatul Mujtahid Fi Nihayatul Muqtasid, (Semarang: Kuryata
Futara, juz 2) h. 2
15
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 1995), h. 27
19
jadi hukum perkawinan dengan melihat keadaan orang-orang tertentu
sebagai berikut:
Wajib : menikah wajib hukumnya bagi orang-orang yang sanggup
memberi nafkah lahir dan batin dan khawatir akan melakukan perzinahan.
a. Mandub : menikah mandub (sunnah) hukumnya bagi orang-orang yang
menginginkan keturunan tapi tidak pernah khawatir akan berbuat zina jika
tidak menikah, baik orang yang bersangkutan menginginkan atau tidak
menginginkannya, walaupun pernikahan dapat membuatnya
meninggalkan ibadah-ibadah yang tidak wajib.
b. Makruh : menikah makruh hukumnya bagi orang-orang yang tidak ingin
menikah serta tidak menginginkan keturunan, dan jika orang yang
bersangkutan menikah, ternyata pernikahan membuatnya meninggalkan
ibadah-ibadah yang tidak wajib.
c. Mubah : menikah mubah hukumnya bagi orang-orang yang tidak terdesak
oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin atau tidak khawatir
akan berbuat zina dan jika orang yang bersangkutan menikah, tidak
membuatnya berhenti melakukan ibadah yang tidak wajib.
d. Haram : menikah haram hukumnya bagi orang-orang yang mendatangkan
bahaya bagi isterinya, atau jika menikah ia justru akan memberikan nafkah
lewat jalan haram.16
16
Syekh Imam Abu Muhammad, Qurratul „Uyun Kitab Seks Islam, Penerjemah Fuad
Syaifuddin Nur, (Jakarta: Bismika, 2009), h. 12
20
B. SYARAT DAN RUKUN PERKAWINAN
Perkawinan dalam islam memiliki lima unsur yang harus dipenuhi secara
kumulatif. Pemenuhan lima rukun itu dimaksudkan agar perkawinan yang
merupakan perbuatan hukum ini dapat berakibat hukum, yakni timbulnya hak
dan kewajiban.17
Dalam upacara pernikahan terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi.
Keduanya terdapat perbedaan. Rukun nikah adalah merupakan bagian dari
hakikat akan kelangsungan perkawinan seperti laki-laki, perempuan, wali, saksi
dan sebagainya.
Sedangkan syarat nikah adalah sesuatu yang pasti atau harus ada ketika
pernikahan berlangsung, tetapi tidak termasuk pada salah satu bagian dari
hakikat pernikahan, misalnya syarat saksi harus laki-laki, dewasa, baligh, dan
sebagainya.18
Dengan demikian rukun perkawinan supaya perkawinan tersebut
dapat dilangsungkan harus ada lima unsur dan setiap rukun harus disertai oleh
syaratnya yang meliputi:
1. Akad Nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah
17
Lutfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, (Tanggerang: Cv Pamulang,
2005), h. 4
18
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, (Yogyakarta,
Darussalam, 2004), h. 50.
21
penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak
kedua.19
syarat-syarat sahnya akad adalah sebagai berikut:
a. Kedua belah pihak yang mengadakan akad harus mumayyiz.
b. Ijab dan kabul dilaksanakan di satu tempat dan waktu.20
c. Akad biasanya harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki.
Qabul adalah penerimaan dari pihak laki-laki.21
d. Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan
secara lengkap dan bentuk mahar yang di sebutkan
e. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus
walaupun sesaat.
f. Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat
membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan
ditujukan untuk selamanya
g. Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang
UU perkawinan tidak mengatur tentang akad perkawinan, namun KHI
secara jelas mengatur akad perkawinan dalam pasal 27, 28, dan 29.
19
Amir Syarifuddin, Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fikih Munakahat Dan Undang-
Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 20007), cet ke-2, h.61.
20
Mahmud ash-shabbagh, Keluarga Bahagia Dalam Islam, Penerjemah Yudian Wahyudi
Asmin, Zaenal Muhtadin, (Yogyakarta: cv. Pustaka mantiq, 1993), cet 5, h.75-76
21
Amir Syarifuddin, Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fikih Munakahat Dan Undang-
Undang Perkawinan, h. 62
22
2. Laki-Laki Dan Perempuan Yang Kawin
Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan
tidak boleh lain dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan,
karena ini yang tersebut dalam Al-Quran. Adapun syarat-syarat yang mesti
dipenuhi untuk laki-laki dan perempuan yang akan kawin adalah sebagai
berikut:22
a. Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya,
baik menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang
berkenaan dengan dirinya.
b. Keduanya sama-sama beragama Islam.
c. Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan. Seperti
larangan karena hubungan nasab, musaharah dan persusuan.
d. Kedua belah pihak setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang
akan mengawininya.
e. Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan
perkawinan.
3. Wali
Wali memegang peranan penting terhadap kelangsungan suatu
pernikahan. Menurut Maliki dan Syafii, bahwa keberadaan wali termasuk salah
satu rukun nikah. Maka jika perikahan tanpa dihadiri oleh wali dari pihak
perempuan adalah batal atau tidak sah.
22
Ibid., h. 64.
23
Sedangkan menurut Hanafi dan Hanbali bahwa wali merupakan syarat
nikah. Maka wali hanya dikhususkan untuk perempuan yang masih kecil dan
belum baligh. Sedangkan perempuan dewasa yang sudah bisa mencari nafkah
sendiri boleh menikahkan dirinya sendiri dan tanpa wali.23
syarat-syarat wali
a. Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila
tidak berhak menjadi wali.
b. Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
c. Muslim tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk
muslim.
d. Orang merdeka.
e. Tidak berada dalam pengampunan atau mahjur alaih.
f. Berpikiran baik
g. Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar.
h. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.
4. saksi
Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada
kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak
yang berakad di belakang hari.
Dasar hukum kesaksian saksi dalam akad pernikahan ada yang dalam
bentuk ayat Al- Quran dan hadis.
23
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, h. 59-63
24
Adapun ayat Al-Quran adalah surat At-Thalaq ayat 2:
كى ي عذل ي ا ر ذ أش ف عش ت فاسق ف أ عش ت فؤيسك أخه فإرا تهغ
ادج نه ا انش أق
Artinya : "Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah".
Adapun hadis nabi adalah dari Muslim Ibnu Khalid dan Sa‟id telah
menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraij, dari Abdullah Ibnu Usman Ibnu
Khaitsam, dari Said Ibnu Jubair dan mujahid, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan:24
يششذ ن ذي عذل ال كاذ إال تشا
Artinya : "tiada nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan
seorang wali yang mursyid."
Saksi dalam pernikahan mesti memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang.
b. Kedua saksi itu adalah beragama Islam.
c. Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka.
d. Kedua saksi itu adalah laki-laki.
e. Kedua saksi itu bersifat adil dan tidak pernah melakukan dosa besar.
f. Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.
24
Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafii, Penerjemah Bahrun Abu Baker,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo), 2006, cet 3, juz 2, h. 980
25
C. HIKMAH DAN TUJUAN PERNIKAHAN
1. Tujuan Perkawinan
Sebagai lembaga hukum, perkawinan sudah tentu memiliki tujuan yang
diatur oleh pranata hukum. Karena hakikat perkawinan pada dasarnya bukan
hanya sebagai media pemenuhan kebutuhan biologis semata, tetapi lebih dari
pada itu yakni pemenuhan hak dan kewajiban antar kedua belah pihak (suami-
isteri).25
Adapun tujuan perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan, hidup seseorang akan
seperti makanan tanpa garam terasa hambar dan tidak nyaman jika selama
hidupnya tidak mempunyai keturunan.
b. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan
kasih sayangnya.
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan yang ada di muka bumi ini.
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang halal.
e. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan
menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat
dan pembawaan seseorang.
25
Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, h. 3
26
f. Membangun rumah tangga untuk membangun masyarakat yang tentram
atas dasar cinta dan kasih sayang. 26
g. Menciptakan ketenangan jiwa bagi suami dan isteri karena telah ada
seseorang yang diharapkan dapat menjadi teman dalam suka maupun
duka dalam mengarungi kehidupan di dunia sampai akhirat.
h. Pendewasaan diri bagi pasangan suami isteri sehingga melalui pernikahan
diharapkan suami dan isteri makin mandiri dan makin berprestasi karena
keduanya saling mendukung bagi kemajuan masing-masing.
i. Melahirkan generasi yang jauh berkualitas daripada pasangan suami-isteri
itu sendiri. Suami dan isteri dapat sama-sama belajar hal-hal positif dari
orang tua masing-masing.27
2. Hikmah Perkawinan
Sesungguhnya pernikahan tidak sekedar memadukan dua orang manusia
berbeda jenis kelamin. Ada banyak hikmah yang terkandung dalam pernikahan.
Hikmah seperti tertera dibawah ini terkait dengan kemaslahatan suatu umat atau
masyarakat.
a. Melestarikan spesies manusia melalui proses reproduksi yang elegan,
yaitu dengan jalan yang halal dan diridhoi Allah.
26
Zakiah Darajat Dkk, Ilmu Fikih (Jakarta: Depag RI, 1985) jilid 3 h. 64.
27
Sururin, Masfufah, Najib, Nur Rofiah, Muzainah Zaen, Panduan Fasilitator & Pelatih
Pendidikan Kesehatan Reproduksi Bagi Calon Pengantin, (Jakarta: Pucuk Pimpinan Fatayat Nadhlatul
Ulama, 2006), h. 45.
27
b. Menyalurkan hasrat libido kepada lawan jenis secara halal sehingga
kehormatan manusia terpelihara dengan baik.
c. Mengatur hubungan antara laki-laki dan wanita sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah sehingga terjalin kerja sama yang produktif dalam sebuah
paying bernama keluarga.
d. Bahu-membahu mendidik anak-anak sehingga terbentuklah generasi
pelanjut yang lebih baik.
Selain itu masih ada lagi hikmah pernikahan yang lain. Hikmah
pernikahan ini akan dirasakan langsung oleh yang bersangkutan (suami-istri).
Adams, seorang pakar psikologi, mengungkapkan beberapa hikmah pernikahan
bagi suami dan istri sebagai berikut.28
a. Usia orang menikah lebih panjang daripada orang yang tidak menikah.
Disebabkan semua hormon yang ada di tubuh manusia berfungsi dengan
baik, karena kalau tidak nikah hormon testoron tidak berfungsi.
b. Kemungkinan orang yang menikah menjadi gila jauh lebih kecil daripada
orang yang membujang.
c. LP (lembaga pemasyarakatan) lebih banyak dihuni oleh orang yang
membujang daripada orang yang menikah.
d. Kasus bunuh diri lebih banyak dilakukan oleh orang yang membujang
daripada orang yang menikah.
28
Mohammad zaka al-Farisi, when I love you Menuju Sukses Hubungan Suami Istri, (Jakarta,
Gema Insani, 2008), h. 15.
28
D. WANITA YANG HARAM DINIKAHI DALAM ISLAM
Dalam Islam ditetapkan bahwa laki-laki tidak bebas memilih perempuan
untuk dijadikan isteri. Ada ketentuan yang baku tentang perempuan yang boleh
dinikahi dan yang tidak. Perempuan yang boleh dinikahi adalah perempuan
yang bukan muhrim bagi laki-laki yang bersangkutan seperti saudara
perempuan, anak tiri, anak sendiri, dan sebagainya.29
Perempuan-perempuan yang haram dinikahi dikatagorikan ke dalam dua
bagian. yaitu mahram muabbad (larangan perkawinan untuk selamanya) dan
mahram muaqqat (larangan perkawinan untuk sementara).
1. Bagian Pertama Adalah Perempuan Yang Haram Dinikahi Untuk
Selama-lamanya:
a. Hubungan Nasab
keharaman ini didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 23
yang berbunyi:
خد اخ ا ت ش تآخ ا خآذكى آذكى ع اخآذكى تآذكى كى ايآذكى زشيـد عه
Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu anak-anakmu yang
perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara
bapakmu yang perempuan Saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan”.
Berdasarkan ayat diatas, dapat diuraikan perempuan yang haram dikawini
karena hubungan nasab adalah:
29
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, h. 118
29
1) Ibu: yaitu perempuan yang ada hubungan darah dalam garis lurus ke atas,
yakni, ibu, nenek, baik dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya keatas.
2) Anak perempuan: yaitu perempuan yang mempunyai hubungan darah
dalam garis lurus ke bawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan dari
anak laki-laki maupun anak perempuan dan seterusnya kebawah.
3) Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja.
4) Bibi: yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, baik sekandung seayah atau
seibu dan seterusnya ke atas.
5) Kemenakan perempuan: yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau
saudara perempuan dan seterusnya kebawah.30
b. Hubungan Susuan
Hubungan didasarkan pada lanjutan surat An-Nisa ayat 23 di atas:
انشضآعح اخآذكى ي ذ اسضعكى ايآذكى ا
Artinya: “Ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan”.
Hadis Bukhari Muslim yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra:
انث ص ا أ اهلل ع عثاط سض إت ضج فقال. و.ع ح ز ذ عه إت اال ذسم ن: اس أ
ح اخ ا إت انشضاعح أ انسة , ي انشضاعح يا سشو ي (يرفق عه)سشو ي
Artinya: “dari Ibnu Abbas r.a, bahwa sesungguhnya nabi di ingini oleh anak
perempuan (pamannya Hamzah). Maka nabi mengatakan (kepada
30
Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tiggi Agama Iain Jakarta, Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Cv Yulina, 1984), h. 84-
92
30
Ibnu Abbas) bahwa sesungguhnya dia tidak halal bagiku karena dia
adalah saudara perempuanku sepersusuan, dan diharamkan karena
saudara sepersusuan hal-hal yang diharamkan karena saudara
kelahiran (seketurunan)”. (HR. Muttafaqun Alaihi).31
Oleh karena itu, pada hakikatnya, wanita wanita yang diharamkan karena
sebab satu susuan ini sama dengan wanita-wanita yang diharamkan karena
faktor keturunan. Hanya saja, dalam sebab satu susu ini ditambahkan bahwa
wanita yang menyusui posisinya sama dengan ibu kandung.32
Dengan demikian, wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi lantaran satu
susu ini adalah sebagai berikut:
1) Ibu susuan termasuk dalam ibu susuan ini adalah : ibu yang menyusukan,
yang melahirkan ibu susuan, dan seterusnya garis lurus keatas.
2) Anak susuan ialah: anak yang disusukan isteri, anak yang disusukan anak
perempuan, anak yang disusukan isteri anak laki-laki, dan seterusnya
dalam garis lurus ke bawah.
3) Saudara susuan ialah : yang dilahirkan ibu susuan, yang disusukan ibu
susuan, yang dilahirkan isteri ayah susuan, anak yang disusukan isteri
ayah susuan, yang disusukan ibu, yang disusukan isteri dari ayah.
4) Paman susuan ialah : saudara dari ayah susuan, saudara dari ayahnya ayah
susuan.
31
Sayid Imam Muhammad ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, (Mesir: Darussalam) juz 3,
h. 217.
32
Asep Saepullah, Serial Fiqh Munakahat, Diakses Pada Minggu 24-04-2011, Dari Www.Indonesianschool.org
31
5) Bibi susuan ialah : saudara dari ibu susuan, saudara dari ibu dari ibu
susuan.
6) Anak saudara laki-laki atau perempuan ialah: anak dari saudara susuan,
cucu dari saudara susuan, dan seterusnya ke bawah. Orang-orang yang
disusukan oleh saudara sesusuan, yang disusukan oleh anak saudara
sesusuan, yang disususkan oleh saudara perempuan, yang disusukan oleh
isteri saudara laki-laki, dan seterusnya garis lurus kebawah dalam
hubungan nasab dan susuan.33
c. Hubungan Mushaharah.
Keharaman itu disebutkan dalam lanjutan ayat 23 surat An-Nisa:
ا نى ذك فإ ذ دخهرى ت سائكى ا سكى ي ستآئثكى االذ ف زد أيآخ سائكى
أصتكى ي ائكى انز زئم أت فال خاذ عهكى دخهرى ت
Artinya: “Ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)”
Adapun perempuan yang diharamkan menurut Al-Qur‟an sebab ada
hubungan mushaharah34
ada empat orang, ialah:
1) Isteri ayah, terus keatas.
33
Amir Syarifuddin, Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fikih Munakahat Dan Undang-
Undang Perkawinan, h. 120-121
34
Hubungan mushaharah adalah bila seorang laki-laki melakukan perkawinan dengan seorang
perempuan, maka terjadilah hubungan antara si laki-laki dengan kerabat si perempuan.
32
2) Ibu isteri terus keatas, baik sebab hubungan nasab atau satu susuan, baik
si suami sudah menjimak isterinya atau belum.
3) Anak tiri, yakni anak perempuan sang isteri, jika memang sudah
menjimak ibunya.
4) Isteri anak laki-laki atau perempuan, terus kebawah.35
2. Mereka Yang Haram Dikawini Dalam Waktu Tertentu, Tidak Untuk
Selama-Lamanya.
a. Dua perempuan bersaudara haram dikawini oleh seorang lelaki
dalam waktu yang bersamaan. Maksudnya mereka haram dimadu.
Apabila perempuan itu meninggal dunia atau dicerai maka boleh
suami menikahi saudara isterinya.36
Keharaman mengumpulkan wanita dalam satu waktu perkawinan
itu disebutkan dalam lanjutkan ayat 23 surat An-Nisa:
خر ا ا ت ع ذد أ
Artinya: “dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara sekaligus”.
Keharaman mengumpulkan dua wanita dalam satu ikatan
perkawinan, juga diperlakukan sama terhadap dua wanita yang
mempunyai hubungan keluarga bibi dan kemenakan. Larangan ini
35
Syekh Muhammad Bin Qasim Al-Ghazy, Terjemah Fathul Qarib Jilid 2, Penerjemah
Achmad Sunarto, (Surabaya: Alhidayah, 1992), h. 41
36
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, h. 119
33
dinyatakan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah:
انث صه اهلل عه سهى قال شج أ ش ات ال: ع ا ر ع شأج ان ع ت ال د
ا خانر شأج ان ت
Artinya: “dari Abu Huraira, sesungguhnya rasulullah saw. Berkata :
janganlah mengumpulkan seorang perempuan (sebagai istri)
dengan pamannya dan bibinya.” (HR. muttafaqun alaihi)37
b. Perempuan yang terikat perkawinan dengan laki-laki lain. Haram
dinikahi oleh seorang laki-laki. Keharaman ini disebutkan dalam
surat an-Nisa ayat 24:
انساء سصآخ ي ان
Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami”
c. Perempuan yang sedang berada dalam masa iddah, baik iddah cerai
maupun iddah ditinggal mati berdasarkan firman allah surat al-
baqarah ayat 228 dan ayat 234.
d. Perempuan yang ditalak tiga, haram kawin lagi dengan bekas
suami, kecuali mantan isteri tersebut sudah kawin lagi dengan orang
lain dan telah berhubungan kelamin serta dicerai oleh suami
terakhir itu dan telah habis masa iddahnya berdasarkan firman Allah
SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 229-230.
37
Sayyid Imam Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani, Subul Al-Salam, (Mesir: Darussalam), Juz
3, h. 124.
34
e. Perempuan yang sedang melakukan ihram, baik umrah maupun
haji, tidak boleh kawin atau dikawini.
Hal ini berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam
Muslaim dari Usman bin Affan:
قال اهلل ع عفا سض إت عث ل اهلل ص: ع سشو. و.قال سس كر ان ال
ال خطة كر ال (سا يسهى)
Artinya: “orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh
menikahkan, dan tidak pula boleh meminang”.38
f. Perempuan musyrik. Maksudnya ialah wanita yang menyembah
selain allah. Ketentuan ini kita dapati pada surat Al-Baqarah ayat
24. adapun berdasarkan surat Al-Maidah ayat 5, wanita ahli kitab
yakni nashrani dan yahudi yang boleh dikawini.
g. Perempuan haram dinikahi oleh seseorang yang telah mempunayi
isteri empat orang. Dalam surat An-Nisa ayat 3, seorang laki-laki
boleh mempunyai istri maksimal empat orang saja. Haram kawin
lagi dengan wanita yang kelima dan seterusnya kecuali salah satu
dari mereka itu diceraikan dan telah habis masa iddahnya.
38
An-Nawawi, Shoheh Muslim, (Iskandaria: Dar-Al-Riyan, 1989 M/1407 H),juz 5, h.193.
35
35
BAB III
PERKAWINAN DALAM ADAT MADURA
A. Profil Pulau Madura
1. Identifikasi
Pulau Madura terletak pada parallel 6‟ 45‟ LS – 7‟ 15‟ LS dan pada
meridian 112‟ 15‟ BT – 114‟ 05‟ BT, membujur dari arah barat ke timur
ditambah dengan 77 buah pulau-pulau. Pulau itu dipisahkan dari jawa oleh selat
madura, yang menghubungkan laut jawa dengan laut bali.1
Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa
Timur. Pulau Madura besarnya kurang lebih 5.250 km2 (lebih kecil daripada
pulau Bali), dengan penduduk sekitar 4 juta jiwa.2
Suku Madura merupakan etnis dengan populasi besar di Indonesia,
jumlahnya sekitar 20 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-
pulau sekitarnya, seperti Gili Raja, Sapudi, Raas, dan Kangean. Selain itu,
orang Madura tinggal di bagian timur Jawa biasa disebut wilayah Tapal kuda,
dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura yang berada di
Situbondo dan Bondowoso, serta timur Probolinggo, Jember, jumlahnya paling
banyak dan jarang yang bisa berbahasa Jawa, juga termasuk Surabaya Utara,
serta sebagian Malang.
1 Hub De Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan, Ekonomi Dan
Islam, Seri Terjemahan KITLV-LIPI, Jakarta: PT Gramedia, 1989, h.3.
2 M. Subhan Zamzami, “Profil Madura”, artikel diakses pada 17 april 2011 dari
http://madurastudies.wordpress.com/
36
Disamping suku Jawa dan Sunda, orang Madura juga banyak yang
bertransmigrasi ke wilayah lain terutama ke Kalimantan Barat dan Kalimantan
Tengah, serta ke Jakarta,Tanggerang, Depok, Bogor, Bekasi, dan sekitarnya,
juga Negara Timur Tengah khususnya Saudi Arabia. Orang Madura pada
dasarnya adalah orang yang suka merantau karena keadaan wilayahnya yang
tidak baik untuk bertani. Orang Madura senang berdagang, terutama besi tua
dan barang-barang bekas lainnya. Selain itu banyak yang bekerja menjadi
nelayan dan buruh, serta beberapa ada yang berhasil menjadi, Tekonokrat,
Biokrat, Mentri atau Pangkat tinggi di dunia militer.3
Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta
sifatnya yang temperamental dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga
dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura
sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan
naik haji. Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat.
2. Gambaran umum Kecamatan Pengarengan Kabupaten Sampang
Kabupaten Sampang secara administrasi terletak dalam wilayah Propinsi
Jawa Timur yang secara geografis terletak di antara 113o08‟ - 113o39‟ Bujur
Timur dan 6o 05‟ - 7o13‟ Lintang Selatan. Kabupaten Sampang terletak ± 100
Km dari Surabaya. Batas-batas wilayah Kabupaten Sampang adalah : • Sebelah
3 Wikipedia Ensiklopedia Bebas, “Pulau Madura”, artikel diakses 17 april 2011 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Madura
37
Utara : Laut Jawa • Sebelah Selatan : Selat Madura • Sebelah Barat : Kabupaten
Bangkalan. • Sebelah Timur : Kabupaten Pamekasan.4
Untuk menyesuaikan penelitian ini maka peneliti mengambil lokasi
penelitian di Kecamatan Pengarengan Kabupaten Sampang Madura.
Masyarakat Pengarengan merupakan sekelompok masyarakat yang memegang
teguh prinsip hukum-hukum Islam dan norma hukum adat-istiadat
a. Kondisi Penduduk dan Jenis Pekerjaan Atau Mata Pencaharian
Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010 Kabupaten data agregat per
kecamatan oleh badan pusat statistik Kabupaten Sampang luas wilayah
Kecamatan Pengarengan adalah dengan luas hanya 42,7 Km2 atau (3,46 %)
dari luas Sampang yang berbatasan dengan Kecamatan Torjun disebelah Utara,
sebelah Timur Kecamatan Sampang, sebelah Selatan Selat Madura dan sebelah
Barat Kecamatan Jrengik.
Sedangkan jumlah penduduk menurut badan pusat statistik Sampang
2010 bisa dilihat pada tabel dibawah ini sebagai berikut.
Tabel. 1
Jumlah Penduduk Kecamatan Pangarengan Kabupaten Sampang
No
kecamatan
Jumlah penduduk menurut jenis kelamin
Laki-laki Perempuan
1 Pangarengan 10.350 10.752
Jumlah Penduduk 21102
4 Wikipidea Ensiklopedia Bebas, “Kabupaten Sampang” artikel diakses 19 juni 2011 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten Sampang
38
Dari tabel di atas dapat di simpulkan Sex ratio Kecamatan Pangarengan
adalah jumlah penduduk perempuan lebih besar daripada jumlah penduduk
laki-laki sebesar 402 orang lebih banyak perempuan.5
Sedangkan jenis pekerjaan atau mata pencaharian Kecamatan
Pangarengan terdiri dari pertanian, perternakan, perikanann, perdagangan,
angkutan, industry, penggalian, pertukangan dan jasa. melihat dari kondisi
masyarakat Pengarengan secara agraris mereka mengandalkan sawah dan
tambak sebagai mata pencahariannya meskipun tanahnya tandus dan sulit untuk
ditanami. Adapun masyarakat yang bertani itu masih mengandalkan air hujan
sebagai salah satu faktor yang membuat tanamannya hidup.
Sedangkan tambak digunakan sebagai produksi garam di musim kemarau
dan memasang ikan pada waktu musim penghujan. Suasana kemarau sinar
matahari di desa Pengarengan sangat panas karena pohon-pohon sulit untuk
tumbuh besar dan bertahan lama..
b. Kondisi Sosial Keagamaan
Desa Pangarengan dengan jumlah penduduk sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas, dapat dikategorikan sebagai desa yang agamis. Hal ini
terlihat dari data yang telah diperoleh, bahwa sekitar 41,44 % dan tidak
ditemukan agama lain selain agama Islam.
5 Djukdjuk widhilaksana, “hasil sensus penduduk 2010 Kabupaten data agregat per
kecamatan oleh badan pusat statistik Kabupaten Sampang” Artikel diakses pada 19 juni 2011 dari web
http://docs.google.com
39
sosial masyarakat Desa Pangarengan, seperti yang terlihat dalam cara
mereka berpakaian dan berinteraksi. Agama dianggap hal yang suci atau sakral
yang harus dibela dan merupakan pedoman hidup bagi manusia. Mereka
menganggap, kiyai merupakan sosok seseorang yang harus dihormati setelah
orangtua.
Di Desa Pangarengan, fanatisme terhadap kiyai sebagai orang lebih
memahami agama daripada orang biasa, sehingga hal itu menjadi simbol-
simbol yang digunakan untuk menaikkan status sosial seseorang. Seorang kiai
(keyae) biasanya dianggap memiliki kelebihan magis spiritual dan sangat dekat
dengan Tuhan karena ketakwaan dan ketaatannya dalam menjalankan ibadah.
Peranan dan fungsi kiai (keyae), selain sebagai pembina umat atau disebut
juga sebagai penerus para nabi, juga mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam
kepada para santri dalam suatu lembaga pondok pesantren. Peran Kiai (keyae)
adalah pemimpin informal di desa ini, semua masalah keluarga dan masyarakat
yang sulit dipecahkan diserahkan padanya untuk diselesaikan.6
c. Kondisi Pendidikan
Kesadaran masyarakat Pengarengan tentang pentingnya arti sebuah
pendidikan semakin bertambah dari waktu ke waktu. pendidikan orang-
orangtua dahulu tidak sekomplit sekarang, sebab itu pentingnya pendidikan
untuk masa depan anak mereka agar mengenyam pendidikan lebih tinggi.
6 Abdur Rozaki, “Peran Kiyai”, artikel diakses pada 19 juni 2011 pada web
http://rukib.wordpress.com
40
Bertambahnya sektor pendidikan di desa masyarakat dewasa ini,
menandakan tingkat pendidikan formal yang ada dan ditempuh oleh masyarakat
Desa Pangarengan semakin berkembang, mulai dari tingkat pendidikan
TamanKanak-kanak (TK)/Taman Pendidikan al-Qur‟an, Sekolah Dasar
(SD)/Madrasah diniyah/Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTS), dan
Madrasah Aliyah (MA).
Bagi keluarga yang menginkan anaknya mengerti tentang agama Islam
maka mereka mewakilkan pada lembaga pendidikan non formal seperti
memondokkan di pesantren, yang berada diluar Desa Pengarengan.
Sedangkan bagi mereka yang hanya menempuh pendidikan seperti ngaji
dimushalla secara non formal dengan cara nyolok7 menganggap lebih bisa
mengawasi keberadaan anaknya dan juga bisa membentu orangtuanya
sewaktuwaktu.
B. Sistem perkawinan dan Adat istiadat
1. Sistem kekerabatan
Dalam antropologi istilah “kekerabatan” sering dipergunakan dalam arti
kerabat dan perkawinan, akan tetapi kedua hal itu dapat dibedakan. Kerabat
merupakan hubungan darah sedangkan hubungan perkawinan diberi istilah
7 Nyolok adalah istilah yang digunakan untuk santri yang belajar dan mengikuti kegiatan di
pondok pesantren atau dimushalla namun tidak menetap (mukim) di asrama pondok pesantren tersebut
(pulang-pergi)
41
affinity. Dengan demikian, orang tua dengan anak adalah kerabat sedangkan
suami dan istri adalah affines.8
Sistem kekerabatan suku Madura adalah parental yaitu sistem
kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki (ayah) dan
perempuan (ibu). Sekalipun orang-orang madura menganut prinsip kekerabatan.
bilateral/parental (tiap individu dalam masyarakat termasuk kerabat kedua
orang-tuanya), tetapi pada umumnya di Madura sepasang suami isteri setelah
kawin hidup berkumpul di lingkungan kerabat isteri (uxorilokal).
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Madura dikenal tiga kategori sanak
keluarga atau kerabat, yaitu taretan dalem (kerabat inti atau batih), taretan
semma‟ (kerabat dekat), dan taretan jauh (kerabat jauh). Di luar ketiga kategori
ini disebut sebagai oreng lowar (orang luar) atau "bukan saudara".9
Keluarga batih atau keluarga inti orang-orang Madura adalah terdiri dari
sepasang suami-isteri beserta dengan anak-anaknya, yang belum kawin. Dalam
keluarga batih orang Madura, suami adalah pemimpin dan penanggung
jawabnya. Sedangkan isteri adalah yang mengendalikan, memelihara merawat
rumah tangga serta anak-anaknya. Taretan semma (kerabat dekat) orang-orang
Madura terdiri dari ayah dan putra, saudara laki-laki dan saudara perempuan,
kakek dan nenek, paman dan bibi keponakan laki-laki dan keponakan
8 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1983), cet-
2, h.42. 9 Latif wiyata, “modal rekonsiliasi orang madura”artikel diakses pada 18 april 2011 dari
http://kabarmadura07.blogspot.com/2008/07/modal-rekonsiliasi-orang-madura.html
42
perempuan. Dan yang dimaksud taretan jauh (kerabat jauh) adalah terdiri dari
sepupu laki-laki dan sepupu perempuan, termasuk kerabat dari hubungan
perkawinan seperti ipar dan lain-lain.10
2. Sistem Perkawinan
Menurut paham ilmu bangsa-bangsa (ethnologi) dilihat dari keharusan
dan larangan mencari calon isteri bagi setiap pria, maka perkawinan dapat
berlaku dengan sistim endogamy (harus kawin satu suku) dan sistim exogamy
(harus kawin dengan kerabat luar atau beda suku) yang kebanyakan dianut oleh
masyarakat adat bertali darah, dan dengan sistim eleutherogami (terserah mau
nikah dengan dalam atau luar suku) sebagaimana yang berlaku pada
kebanyakan masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi hukum islam.11
Sehingga sistem perkawinan yang dianut adat madura adalah eleutherogami
karena masyarakat madura yang mayoritas beragama islam. Dan dalam
melakukan sesuatu harus berlandaskan ajaran islam, walaupun dalam
kebiasaannya masih endogamy, yaitu harus sesama orang madura. Agar mudah
dalam berkomunikasi dan tahu adat.
3. Sopan Santun Pergaulan
Di samping agama Islam, orang Madura sangat mengutamakan adat.
Lebih-lebih dalam adat pergaulan, bahwa yang muda wajib hormat dengan
10
Helene Bouvier, Seni Musik Dan Pertunjukan Dalam Masyarakat Madura, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia 2002, Perpustakaan Nasional h. 364
11
Hilman hadikusuma, hukum perkawinan adat, Bandung, PT Citra Aditiya Bakti,1990, cet
4, h. 68
43
bersopan santun dengan yang lebih tua, telah diadatkan dikalangan orang
Madura. Didalam pergaulan di lingkungan kerabat, derajat tingkat yang lebih
rendah wajib hormat kepada yang lebih tua seperti (orangtuanya, paman bibi
dari pihak ibu atau bapaknya, nenek-kakeknya dan pada juju‟nya).12
Sikap hormat ini di wujudkan dalam bentuk pakaian yang dipakainya,
sikap waktu menghadap termasuk mimic dan tutur bahasa. Dilengkapi dengan
sembah tata krama khusuz dan dulu kerabat yang lebih rendah harus duduk di
bawah lantai melepas alas kaki menyungguhkan makanan dan minuman tidak
boleh berdiri tegak tapi harus barsimpuh di lantai. Lebih-lebih kepada Ulama,
di kalangan masyarakat Madura di anggap sebagai pemimpin non Formil sebab
para Ulama tersebut dianggap menyelamatkan mereka di akhirat, Perasaan lebih
hormat kepada yang lebih tua lebih tinggi pangkatnya, sering disertai perasaan
sungkan. Makin ke bagian barat Madura keketatan dalam adat Sopan santun
pargaulan makin mengendor.
4. Bahasa
Bahasa Madura sekalipun satu, tapi terbagi dalam 3 dialek bahasa Madura
dialèk Sumenep, dialek Pamekasan/Sampang dan dialek bangkalan misalnya
orang Sumenep menyebut celana dengan “salebbar” Orang
pamekasan/Sampang mengatakan “Slebbar”dan orang Bangkalan mengatakan
“lebbar”. Untuk bahasa Madura didaerah Sumenep dalam pengucapannya
12
Adat dan upacara perkawinan daerah jawa timur, h. 103-104.
44
berirama, karenanya ke dengarannya halus. Bahasa Madura mengenal tingkat-
tingkat bahasa yaitu:13
1. tingkat bahasa tertinggi, yaitu bahasa Madura”Keraton‟atau istana
sekarang masih banyak dipakai dan divariasi oleh kalangan bangsawan.
bahasa ini adalah bahasa yang terhalus.
2. tingkat bahasa enggi-bunten”yaitu bahasa halus.
3. tingkat bahasa enggi-enten yaitu bahasa setengah halus
4. tingkat bahasa iyyah-enje yaitu bahasa tingkat bawah
Penggunaan bahasa Madura yang terhalus (bahasa Madura Kraton).
umunmya diergunakan oleh para keluarga bangsawan, digunakan untuk orang
yang lebih tua dan lebih tinggi derajatnya. Bahasa Madura halus “enggi-
bunten” digunakan dikalangan priyayi,orang biasa yang sederajat atau. kepada
orang yang lebih tua dan lebih tinggi derajat dalam kerabatnya. Bahasa enggi-
enten‟ biasanya dipakai debagai bahasa sopan oleh orang yang lebih Tua lebih
tinggi derajatnya kepada yang lebib muda/lebih rendah derajatnya atau kawan-
kawan yang akrab.
Sedangkan penggunaan bahasa tingkat “iyyah- enja‟” diantara penduduk
kebanyakan, digunakan oleh orang tua/lebih tinggi derajatnya kepada yang
lebih muda dan lebih rendah derajatnya. Atau digunakan antara sahabat karib.
Dengan orang yang baru dikenalnya, dipergunakan bahasa “enggi-bunten”.
13
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, “Bahasa Madura”, artikel diakses pada 19 april 2011 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Madura
45
C. PERKAWINAN DALAM ADAT MADURA
1. Adat Sebelum Perkawinan
a. Pemilihan Jodoh
Sebelum menikah harus memilih pasangannya yang benar-benar cocok
dan dapat membimbingnya di dunia dan di akherat agar terciptanya perkawinan
yang ideal. Sehingga dalam adat Madura tidak sembarangan dalam menentukan
pasangannya. Cara memilih jodoh untuk Perkawinan yang ideal menurut adat
Madura apabila:
1) Seagama (Islam) dan taqwa
2) Satu suku agar dipermudah dalam berkomunikasi dan beradat.
3) Menurut pertimbangan bibit, bebet-bobot sudah tepat. Dan harus
anak syah, bukan hasil zina, serta tahu adat.
4) Dalam lingkungan kerabat sendiri, mencegah incest, menghindari
umur wanitanya lebih tua.
5) Usia yang pantas bagi anak perempuan kawin ialah setelah akil
baliq (sebab bila agak tua sedikit belum mendapatkan jodoh sudah
dipergunjingkan orang sebagai “peraben towa ta‟paju
alake”(perawan tua gak laku).
6) Menurut orang Madura si laki-laki harus “lanceng kepanceng”
(Jejaka) dan si perempuan harus “peraben” (perawan).14
14
adat dan upacara perkawinan daerah jawa timur”, buku diambil dari rumah anjungan jawa
timur di taman mini Indonesia indah, h. 120
46
b. Prosesi Pertunangan Ngangene
Kalau sudah ada kecocokan mengenai calonnya maka mulailah ada
seorang dua orang kerabat keluarga pemuda “ngangene”(mencari berita) atau
“nyalabar” atau “re-sarean” mencari-cari ) apa si gadis tersebut sudah punya
tunangan apa belum. Tapi informasi ini tidak langsung dari orang tua si gadis,
tapi tetangga si gadis atau kerabat si gadis.15
a. Prosesi Pertunangan Nerabas Pagar
Bila ternyata si gadis belum ada yang punya, maka tahap kedua yaitu
“Nerabas Pagar” (Menerobos Pagar) dilaksanakan oleh utusan keluarga si
pemuda datang menanyakan sendiri kepada orang tua si gadis, apa anak
gadisnya sudah ada yang punya artinya apa sudah “abakalan”(tunangan). Dan
apabila orang tua si gadis berkenan pada si pemuda anak gadisnya, maka
hubungan itu dikonkritkan dengan “Nale‟e Pagar” (mengikat pagar).
d. Prosesi Pertunangan Nale‟e Pagar
Acara “nale‟e pagar” ini di tandai dengan dikirimkan utusan resmi pihak
keluarga pemuda dengan membawa surat. Sedangkan isi surat adalah
menginginkan anak gadisnya untuk dijodohkan dengan anaknya. Bilamana
dalam acara “nale„a pagar” pihak keluarga pemuda tidak berpesan minta
balasan, maka pihak keluarga si gadis akan datang ke pihak keluarga pemuda
15
Ibid., h. 123
47
untuk mengantarkan hantaran balasan berupa seperangkat pakaian bagi pemuda
serta kue-kue Hal ini disebut “tongkebban” (artinya ditengkurapkan).16
e. Prosesi Pertunangan Lamaran
Setelah acara nale‟e pagar dilanjutkan dengan meresmikan pertunangan
yang disebut oleh orang madura dengan lamaran. Pertunangan ini menjadi
resmi Kalau orang tua si pemuda mengirimkan “penyengset” (bahasa tinggi
Madura yang berarti ikat pinggang).17
Biasanya dalam penyengset berupa
pisang susu maka pihak pemuda minta agar segera (kesusu) disusul dengan
perkawinan. Jumlah dari pisang tersebut menandakan jumlah bulan (bila 3 sisir
berarti 3 bulan) Sedangkan kue-kue tak boleh lupa disertai kue “ tettel”18
Hal di
atas dijalankan oleh keluarga-keluarga madura yang masih berpegang pada adat
dan terutama di desa-desa. Kalau di kota-kota sering disertai dengan resepsi
pertunangan yang mempertemukan kedua muda-mudi tersebut, lengkap dengan
saling mempertukarkan cincin.
f. Nyeddek Temo
Setelah resmi bertunangan jika beberapa bulan kemudian pihak laki-laki
ingin ingin melangsungkan perkawinan maka pihak pemuda mengirimkan
16
Tongkebban adalah Upacara balasan berupa kunjungan dari pihak wanita kepada pihak
keluarga pria.
17
Penyengset adalah pengikat dalam ikatan tunangan berupa hantaran atau seserahan pihak
laki-laki kepada pihak perempuan yang terdiri dari seperangkat pakaian dan beraneka ragam kue dan
buah. 18
tettel” makanan dari beras ketan yang sifatnya rekat yang melambangkan agar hubungan
yang rekat atau lengket.
48
utusan yang terdiri dari kaum laki-laki saja guna mengadakan “nyeddek‟ temo”
(mendesak pertemuan) untuk membicarakan hari perkawinan kedua muda-mudi
itu. Para utusan keluarga pemuda dan pihak si gadis haruslah orang yang ahli
dalam perhitungan hari perkawinan yang baik. Masih umum dalam hal ini
kedua keluanga tersebut minta pertimbangan Ulama.
Setelah hari dan tanggal pernikahan telah ditentukan, sang calon
pengantin perempuan akan melakukan persiapan kecantikan di rumahnya.
Persiapan kecantikan tubuh dalam adat Madura dilakukan 40 hari sebelum
waktu pesta pernikahan. Selama 40 hari, sang calon pengantin perempuan
dipingit dirumah. Dipingit berarti tidak boleh keluar rumah selama waktu yang
ditentukan untuk perawatan kecantikan kulit sang perempuan.
2. Upacara-upacara pelaksanaan perkawinan
Penyelenggaraan perkawinan dulu di Madura berlangsung selama 3 hari 3
malam sekarang hanya cukup sehari semalam saja, sekalipun ada beberapa
daerah dan adat yang harus berlangsung selama 3 hari. 19
Pada hari pertama biasanya dilangsungkan aqad nikah, dan terdapat 3
bentuk akad nikah yaitu:
Ada upacara aqad nikah yang diselenggarakan beberapa hari sebelum
resepsi perkawinan,
19
Lilik rosida irmawati, “media budaya madura dalam adat pernikahan”, artikel diakses pada
1mei 2011 dari http://budayamadura.blog.com/
49
ada juga yang melangsungkan “kabin moso” yaitu sébelum bersanding
dipelaminan, calon mempelai yang baru masuk ruang resepsi
melaksanakan aqad nikah dulu,
dan ada juga Apabila pagi harinya melaksanakan aqad nikah maka
malam hari nya diselenggarakan resepsinya.
Di rumah keluarga calon mempelai laki-laki sebelum melangsungkan
upacara aqad nikah, maka diadakan rasol kabin (tumpeng untuk selamatan
kawin) yang berbentuk pembacaan do‟a dan makan barsama. Peserta upacara
tersebut hanya kaum pria, terutama mereka yang akan mengantar calon
mempelai laki-laki untuk aqad nikah. Setelah makan bersama rombongan
pengantar calon mempelai laki-laki teresebut, dilepas menuju keluarga calon
mempelai perempuan.
Waktu penyelenggaraan aqad nikah di rumah keluarga calon mempelai
perempuaan umumnya pagi hari. sekitar jam O90.O-1O.OO atau setelah
sembahyang Dhuhur. Penghulu umumnya diundang ke rumah keluarga
mempelai perempuan untuk menikahkan. Penghulu menikahkan si anak gadis
dengan calon suaminya sesuai dengan ketentuan agama dan perundang-
undangan. Akhir dari akad nikah selalu disertai dengan doa dan khotbah
nikah.20
20
Adat dan upacara perkawinan daerah jawa timur, hal. 129
50
Menjelang resepsi malam yang pertama mempelai perempuan di paras
oleh penghias. Dulu “pangennyas” (juru rias pengantin) sebelum merias
pengantin berpuasa dan bersembahyang hajad untuk memohon kepada Tuhan
Yang Maha kuasa agar mampu memberikan “pangabar” (kemantin yang
diriasnya menjadi cantik bercahaya).21
Hiasan di “tarop” selalu ada hiasan lambang-lambang seperti. Janur
kuning lambang keperawanan (peraban sonte), dan pohon pisang yang sedang
“nongkol” (jantung pisang ) sebagai lambang “lanceng kapaceng” ( jejaka ).
Juga hiasan daun beringin sebagai lambang “ rampa„naong baringen korong “
(kehendak mengayomi dan membantu keluarga yang tak punya).
Pada resepsi malam yang kedua kesibukan perayaan berpindah ke rumah
keluarga pengantin laki-laki Malam kedua tersebut adalah malam “mantan
amaen” artinya berkunjung ke rumah keluarga pihak kemantin laki-laki.
Kerabat dari kedua pihak hadir ikut meramaikan. Kedua pengantin bersanding
di pelaminan dengan berpakaian kraton Pada malam kedua tersebut keduanya
masih tidur terpisah dengan pengawasan orang tua. 22
Pada resepsi malam ketiga kedua pengantin bersanding dipelaminan
dengan berpakaian bangsawan. Pada malam itu “nangga mamaca”.23
Pada
21
Wawancara pribadi dengan perias manten, afiah, Jakarta 16 mei 2011
22
Adat dan upacara perkawinan daerah jawa timur, h. 130
23
(nangga mamaca) mengundang hiburan panggung dangan cerita-cerita percintaaan, hal ini
memang dibuat begitu agar kedua pengantin makin dimabuk asmara
51
malam itu untuk kedua pengantin tidak diadakan lagi kamar yang terpisah atau
tempat tidur yang terpisah, tapi cukup satu kamar dan satu tempat tidur
beralaskan seprai putih bersih, harum oleh bau dupa dan bunga melati. Malam
itu harus sudah jadi hubungan seks antara kedua pengantin tersebut.
Pagi harinya diadakan selamatan “nase ponar “ (nasi kuning dan beras
ketan), “asambel Nye‟or” (sambal kelapa) ada kue-kue berbentuk kelamin laki-
laki dan perempuan diantaranya diantar-antarkan kepada kerabat dan tetangga,
seakan-akan suatu pemberitahuan dengan lambang, bahwa kedua pengantin
tersebut sudah melaksanakan hubungan seks sebagai suami isteri dengan
Sempurna.
Sekarang acara tiga malam tersebut dijadikan satu malam saja, tapi
berganti pakaian tiga kali, dan “ngonjong mantu”24
yang terpisah beberapa hari
dari acara resepsi perkawinan dipihak keluarga pengantin perempuan.
3. Upacara-Upacara Sesudah Perkawinan.
Setelah selesai upacara-upacara perkawinan kedua pengantin baru itu
yang hidup dilingkungan keluarga isterinya melaksanakan tugas sehari-hari.
Dulu pengantin baru itu kira-kira 2 sampai 3 bulan tidak boleh bekerja dan
belanja sendiri. Semuannya di tanggung orang tua isterinya. Baru setelah orang
tua isterinya menganggap kedua pengantin itu sudah bisa berdiri sendiri mulai
dilepas untuk bertanggung jawab sendiri.
24
Ngonjong manto adalah kegiatan silaturrahmi yang wajib dilakukan beberapa hari setelah
resepsi oleh pengantin baru untuk mengunjungi semua kerabatnya baik pihak suami atau istri.
52
Mengenai hidup perorangan yang segera melibatkan kedua pengantin
baru itu terbagi dalam beberapa tahap sesuai dengan kejadian penting dalam
usia-usia tertentu yang hanya dijalani sekali saja dalam hidupnya. Tahap-tahap
tersebut adalah: 25
a. Pellet kandung (jawa tingkepan),
Pellet kandung yaitu apabila usia kandungan pertama si isteri mencapai 7
bulan. maka perawatan atas diri si isteri itu ditangani oleh orang tuanya.
Upacara ini diselenggarakan waktu malam hari, di tempat kerabat isterinya.
Yang di undang selain kerabat isterinya, juga kerabat suaminya.
Didalam rumah ada acara memijat kandungan untuk membetulkan letak
bayinya yang dilakukan oleh nyi dukun bayi, diluar para undangan pria atau
wanita (tempat-terpisah) membaca surah Yasin (agar ganteng seperti Nabi
yusuf) bila laki-laki dan surah maryam (agar cantik dan baik seperti maryam).
Si isteri terus dibawa ke “pakeban‟ (kamar mandi) untuk dimandikan air
“kom-koman” (air bunga) ditempatkan dibelanga (penay)26
oleh suaminya dan
para“Seppo”.. Semuanya ditujukan untuk kemudahan melahirkan, selamat dan
agar bayi adalah calon manusia yang berbudi luhur, taqwa dan berguna.
b. Upacara Kelahiran
Begitu bayi lahir maka segera dibersihkan dan dimandikan, Bapaknya
atau kakeknya membisikkan adzan di te1inga kanan bayi dan iqamath di telinga
25
Adat dan upacara perkawinan daerah jawa timur, h. 132 26
(“penay”) adalah wadah tradisional dari tanah, yang melambangkan kesederhanaan
53
kirinya. Ari-ari dan tali pusar yang telah di potong diberi ramuan rempah-
rempah diberi tu1isan arab dimasukkan kedalam “polo” (periuk kecil bertutup
di tanam di belakang rumah) kalau bayi perempuan (agar tidak suka keluar
rumah dan betul-betul menjadi ibu rumah tangga) di tanam dimuka rumah kalau
bayi laki-laki (agar menjadi penjaga rumah yang baik). Di atas pendaman ari-ari
tersebut, ditanam pandan duri dan selama 7 malam diberi lampu.27
27
Adat Dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Timur, h. 134
54
BAB IV
IMPLIKASI PERKAWINAN SALEP TARJHA
A. ATURAN ADAT TENTANG PERKAWINAN SALEP TARJHA
Masyarakat Madura di satu sisi merupakan masyarakat yang agamis
dengan menjadikan Islam sebagai agama dan keyakinannya, Hal ini tercermin
dalam ungkapan “Abhantal syahadat, asapo’ iman, apajung Allah”1, yang
menggambarkan bahwa orang Madura itu berjiwa Agama Islam.
Akan tetapi di sisi lain mereka juga masih mempertahankan adat dan
tradisi yang terkadang bertentangan dengan ketentuan Syari’at Islam, karena
adat dan tradisi yang dipertahankan tersebut hanya berlandaskan pada mitos-
mitos yang tidak dapat dirasionalisasikan dan cenderung bertentangan dengan
Aqidah Islamiyah, seperti larangan untuk melakukan perkawinan dengan model
Salep Tarjha ini salah satunya.
Salep Tarjha ini merupakan salah satu model perkawinan yang benar
secara syariat Islam dan ketentuan perundang-undangan yang ada di Indonesia,
akan tetapi dilarang berdasarkan ketentuan adat-istiadat dan tradisi masyarakat
Madura. Karena diyakini dapat membawa bencana dan musibah seperti
mengalami sakit-sakitan (ke’sakean), kesulitan dalam mencari rezeki dan akan
selalu melarat dalam kehidupannya, atau bahkan bisa meninggal dunia (pendek
omor).
1Abhantal syahadat, asapo iman, apajung Allah adalah ungkapan dalam bahasa Madura yang
memiliki arti berbantalkan syahadat, berselimutkan iman, berpayungkan Allah. Ungkapan ini
menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang sudah mendarah daging dalam masyarakat
55
Dalam hal ini, selama penulis melakukan penelitian di lingkungan orang
madura yang berada di Jakarta, mendapatkan informasi dari tokoh agama, tokoh
adat/sesepuh2(seperti kakek,nenek) dan beberapa orang masyarakat yang
menjadi informan, menerangkan dan menjelaskan kepada penulis bahwa yang
dimaksud Salep Tarjha adalah sebagai berikut.
1. Pengertian Perkawinan Salep Tarjha
menurut bahasa madura Salep Tarjha jika diartikan kedalam bahasa
Indonesia maka dapat diartikan sebagai berikut: saling tarik menarik atau,
Saling tendang atau, saling mendahului atau, menerobos.
Sunarmi yang kerap dipanggil embah endu’ sebagai salah seorang
sesepuh Madura mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Salep Tarjha itu
apabila ada seorang laki-laki dan perempuan bersaudara/kakak adik yang
menikah dengan seorang laki-laki dan perempuan yang juga bersaudara. Jadi,
laki-laki dan perempuan tersebut menjadi menantu satu orang, seperti Rohimah
dan Mad’sehri yang keduanya menjadi menantu Pak Misnali. Rohimah dan
Mad’sehri itu adalah dua orang bersaudara, laki-laki dan perempuan. 3
Dari paparan dan penjelasan tokoh sesepuh Madura di atas, mengenai
pengertian Salep Tarjha maka dapat disimpulkan bahwa suatu perkawinan akan
disebut sebagai perkawinan Salep Tarjha apabila orang yang menikah tersebut
2 Sesepuh adalah orang yang paling tua di keluarganya seperti kakek atau nenek yang masih
memegang teguh adat istiadat madura. dan menjadi penasehat perkawinan agar selamat semua
turunannya berdasarkan adat istiadat madura.
3Sunarmi, wawancara pribadi, Jakarta, tanggal 12 mei 2011.
56
adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan saudara kandung yang
kemudian keduanya dinikahkan secara silang dengan 2 (dua) orang saudara
kandung juga.
Kisah perkawinan Salep Tarjha ini mengingatkan penulis tentang cerita
kisah anak nabi adam yaitu Qabil dan Habil. Menurut aturan hukum
perkawinan yang berlaku kala itu, Qabil boleh mengawini Labuda, dan Habil
harus kawin dengan Iqlima. Dan perkawinan itu harus disilang, antara yang
lahir kembar terdahulu dengan yang lahir kembar sesudahnya, asal jangan
dengan yang sama-sama lahir atau kembarannya. Namun karena di mata Qabil,
wajah Labuda tidak secantik Iqlima, ia menolak aturan itu. Sehingga terjadilah
peristiwa pembunuhan pertama yang terjadi di muka bumi.
2. Pendapat Yang Melarang Salep Tarjha
Pada dasarnya, larangan terjadinya perkawinan Salep Tarjha berkaitan
erat dengan adanya keyakinan masyarakat akan mitos-mitos4 yang berkaitan
dengan perkawinan tersebut. Masyarakat Madura memiliki keyakinan bahwa
perkawinan ini dapat mendatangkan musibah dan bencana bagi pelaku maupun
keluarganya, berupa: rezekinya akan sulit, sakit-sakitan (ke’sakean) atau
bahkan meninggal dunia. Kenyataan ini kami pahami dari hasil wawancara
yang dilakukan dengan sejumlah sesepuh Madura, dimana para sesepuh ini
membenarkan hal tersebut, disamping juga menjelaskan bahwa adanya
4 Mitos adalah semacam tahayyul sebagai akibat ketidaktahuan manusia, tetapi bawah
sadarnya memberitahukan tentang adanya sesuatu kekuatan yang menguasai dirinya.
57
keyakinan masyarakat tentang mitos-mitos tersebut tidak terlepas dari ajaran
dan doktrin yang ditanamkan oleh nenek moyang mereka terima secara turun
temurun.5
Salah seorang sesepuh Madura yang bernama Halimatussya’diyeh
mengatakan Sesungguhnya Salep Tarjha itu dilarang karena biasanya orang
yang melakukan perkawinan Salep Tarjha itu ada yang kalah salah satu dari
kedua pasangan tersebut, bisa salah satunya meninggal atau rezekinya
melarat/sulit, dan Halimatussya’diyeh tidak tahu kepastiannya karena ini cuma
kata orang-orang dulu (nenek moyang). Tapi, menurutnya apa yang dikatakan
orang-orang dulu itu benar.6
Dari pemaparan dan penjelasan tentang mitos-mitos Salep Tarjha di atas,
dapat dipahami bahwa mitos itu adalah sebuah cerita yang memberikan
pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Dalam perkawinan Salep
Tarjha ini, adanya mitos-mitos yang diyakini oleh masyarakat terkait dengan
perkawinan tersebut, pada dasarnya telah memberikan pedoman dan petunjuk
kepada masyarakat untuk melarang keluarganya melakukan perkawinan Salep
Tarjha karena kekhawatiran atau ketakutan mereka akan dampak negatif yang
ditimbulkan akibat pelanggaran terhadap mitos-mitos yang telah diyakini secara
turun temurun dari nenek moyang mereka. Dan diantara fungsi mitos itu adalah
5Nurima, Rohimah, Ummi Kultsum, maulana, embah endu, Rifa’I, Halimatussya’diyeh,
wawancara terpisah, Jakarta, 12-15 mei 2011
6 Halimatussya’diyeh, wawancara pribadi, Jakarta 12 mei 2011
58
menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib yang mempengaruhi
dan menguasai manusia. Adanya kekhawatiran dan ketakutan masyarakat akan
dampak negatif yang ditimbulkan akibat pelanggaran terhadap mitos-mitos
Salep Tarjha tersebut, merupakan bentuk kesadaran masyarakat akan adanya
kekuatan-kekuatan ajaib yang mempengaruhi dan menguasai mereka.7
3. Pendapat Yang Membolehkan Salep Tarjha
Kebudayaan sebagai suatu hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi)
manusia, selalu menarik untuk dikaji dan dipelajari. Dalam hal ini, dilarangnya
perkawinan Salep Tarjha berdasarkan ketentuan adat istiadat masyarakat
Madura, sangat menarik untuk dikaji dan ditelusuri berdasarkan pandangan dan
pemahaman para tokoh agama menjadi penting untuk diwawancarai kerena
mereka merupakan representasi masyarakat yang selalu menjadi panutan dan
rujukan masyarakat Madura.
Setelah dilakukan penelusuran melalui wawancara dengan para tokoh
agama setempat, dapatlah dipahami bahwa pada dasarnya model perkawinan
Salep Tarjha menurut mereka boleh-boleh saja karena di dalam al-Qur’an dan
al-Hadits maupun menurut pandangan para ulama yang sudah terkodifikasi di
dalam kitab-kitab fiqh klasik tidak didapatkan satupun adanya larangan
terhadap model perkawinan Salep Tarjha tersebut.
7 C.A. van Peursen, “Cultuur in Stroomversnelling - een geheel bewerkte uitgave van
Strategie Van De Cultuur”, diterjemahkan Dick Hartoko, Strategi Kebudayaan (Cet. IV; Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1993), hal. 37.
59
Hal ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh salah seorang tokoh
agama Pangarengan Sampang Madura, yaitu KH. Zainal Abidin. Pada waktu
peneliti mewawancarainya di sela-sela kesibukan aktifitas beliau yang sedang
melakukan perjalanan wali songo di Jakarta yang mengatakan Istilah Salep
Tarjha itu hanyalah ucapan para sesepuh yang tidak perlu dipercayai karena
tidak ada sama sekali pembahasannya di dalam kitab-kitab fiqh, dalam Islam
larangan perkawinan karena hubungan kekerabatan telah diatur dalam surah
annisa ayat 23. dan model perkawinan seperti salep tarjha ini di bolehkan. Oleh
karena itu, para ulama, para alim, para kiai (keyae) di Madura banyak yang
melakukan perkawinan Salep Tarjha ini dalam rangka memberikan contoh dan
membuktikan kepada masyarakat bahwa mitos itu tidak boleh dipercayai, sebab
apabila percaya terhadap mitos-mitos seperti mitos Salep Tarjha tersebut,
rezekinya melarat/sulit, cepat meninggal dunia dan lain sebagainya, maka hal
ini bisa merusak terhadap aqidah.8
Demikianlah pandangan dan penjelasan para tokoh agama yang berkaitan
dengan perkawinan Salep Tarjha, dimana keseluruhan dari tokoh agama yang
menjadi informan dalam penelitian ini sepakat bahwa pada dasarnya istilah
Salep Tarjha itu secara normatif boleh-boleh saja karena tidak ada satupun
ketentuan hukum baik dari al-Qur’an, al-Hadits, kitab-kitab fiqh maupun
pendapat para ulama yang melarang seseorang untuk melakukan perkawinan
8 KH. Zainal Abidin, wawancara pribadi, jakarta 15 mei 2011.
60
dengan model Salep Tarjha. Oleh karena itu, kepercayaan terhadap mitos-
mitos yang berkenaan dengan hal tersebut tidak dibenarkan menurut ketentuan
agama Islam dan dapat merusak aqidah.
B. PRAKTIK PERKAWINAN SALEP TARJHA
Penjelasan mengenai Salep Tarjha telah diterangkan dengan jelas di atas.
Bahwa perkawinan Salep Tarjha, itu perkawinan yang dibenarkan menurut
hukum Islam dan dilarang oleh adat madura. Walaupun sudah dibenarkan oleh
hukum Islam akan tetapi masih banyak yang menghindari dan percaya akan
musibah yang ditimbulkan oleh perkawinan Salep Tarjha. Berdasarkan
pengetahuan penulis dari beberapa kasus yang ada, serta ditambah dengan
keterangan dari para informan, praktik perkawinan Salep Tarjha dapat
dikisahkan sebagai berikut
Kasus pertama ialah perkawinan Mad dei dengan Salma dan adiknya Ma
de’i menikah dengan kakaknya Salma. Keterangan ini penulis dapatkan dari
sepupu Mad’dei yang menjelaskan bahwa perkawinan mereka sempat dilarang
oleh orang tua dan embahnya dikarenakan adiknya telah menikah dengan
kakaknya Salma sehingga perkawinan tersebut Salep Tarjha. Walaupun tidak
direstui oleh orang tua dikarenakan sudah saling mencintai mereka tetap
melangsungkan perkawinan. Beberapa bulan kemudian tersiar kabar kehidupan
Mad de’i dan Salma melarat dan isterinya sakit-sakitan.9
9 Muhammad kholid, wawancara pribadi, Jakarta, 5 mei 2011.
61
Kasus kedua penulis mendapatkan informasi dari pak Sarip salah seorang
orang tua pelaku (pelanggar) perkawinan Salep Tarjha, beliau menjelaskan
keadaan anaknya yang mendapatkan rizki yang cukup, dan waktu pertama kali
menikah anaknya sempat sakit-sakitan agak lama, kalau menurut orang Madura
sakit anaknya itu disebabkan Salep Tarjha, akan tetapi pak Sarip tidak percaya
sama sekali akan adanya salep tarjha, ia hanya memasrahkan diri pada yang
maha kuasa Allah SWT dan selalu berdoa agar anaknya diberi kesembuhan.
Sebab pak Sarip mempunyai keyakinan bahwa kalau memang sudah waktunya
sakit, ya tetap sakit, kalau sudah waktunya mati, ya tetap mati, siapapun itu,
sebab yang menentukan hal tersebut adalah tuhan. Sekarang anaknya sudah
sehat dan bisa pergi naek haji.10
Kasus ketiga penulis langsung mendapatkan informasi dari pelaku Salep
Tarjha itu sendiri yaitu oleh Hasan, salah seorang pelaku perkawinan Salep
Tarjha . Hasan tidak percaya sama sekali dengan perkawinan Salep Tarjha,
walupun Hasan menikahi saudara ipar adiknya yang kata orang-orang disebut
salep tarjha, keadaan Hasan hingga saat ini tidak apa-apa dan tidak ada masalah
dalam kesehatan maupun rizkinya, karena menurutnya semua hal di dunia ini
sudah diatur oleh yang maha kuasa Allah SWT.11
Menurut hemat penulis praktik perkawinan Salep Tarjha dari tiga kasus
yang telah dijelaskan diatas dapat menghapus mitos Salep Tarjha yang
10
Sarip, wawancara pribadi, Jakarta 5 mei 2011
11
Hasan, wawancara pribadi, Jakarta, 6 mei 2011
62
berkembang di masyarakat Madura karena dampak negatif Salep Tarjha tidak
terbukti benar. Dari ketiga kasus diatas terdapat penerimaan dan penolakan
dalam adat dan tradisi lama. Penerimaan tradisi lama dilakukan dengan
mempercayai dampak negatif dari perkawinan salep tarjha. Sedangkan
penolakan tradisi lama ditandai dengan tidak percaya akan dampak negatif
salep tarjha. Penerimaan tradisi lama disebabkan kurangnya pengetahuan
agama maupun umum serta kuatnya adat Madura dalam mematuhi sesepuhnya.
Sedangkan penolakan akan tardisi lama disebabkan mengikuti berkembangnya
zaman dan ilmu pengetahuan.
C. Analisis Penulis
Skripsi yang diteliti oleh penulis yaitu perkawinan Salep Tarjha pada adat
Madura ditinjau dari hukum Islam. Penulis menekankan pada deskripsi dan
interpretasi perilaku budaya. Dalam mengumpulkan data menggunakan
pendekatan partisipasi terlibat, hidup bersama dengan kelompok yang diteliti
dalam waktu yang relatif lama.
Masyarakat Madura di satu sisi merupakan masyarakat yang agamis
dengan menjadikan Islam sebagai agama dan keyakinannya, Hal ini tercermin
dalam ungkapan “Abhantal syahadat, asapo’ iman, apajung Allah”12
, yang
menggambarkan bahwa orang Madura itu berjiwa Agama Islam.
12
Abhantal syahadat, asapo iman, apajung Allah adalah ungkapan dalam bahasa Madura yang
memiliki arti berbantalkan syahadat, berselimutkan iman, berpayungkan Allah. Ungkapan ini
menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang sudah mendarah daging dalam masyarakat
63
Akan tetapi di sisi lain mereka juga masih mempertahankan adat dan
tradisi yang terkadang bertentangan dengan ketentuan syari’at Islam, karena
adat dan tradisi yang dipertahankan tersebut hanya berlandaskan pada mitos-
mitos13
yang tidak dapat dirasionalisasikan dan cenderung bertentangan dengan
aqidah Islamiyah, seperti larangan untuk melakukan perkawinan dengan model
Salep Tarjha ini salah satunya.
Istilah Salep Tarjha merupakan sebuah istilah yang diberikan oleh
sesepuh/nenek moyang masyarakat Madura bagi perkawinan silang antara 2
(dua) orang bersaudara (sataretanan) putra-putri. Contoh : Andi dan Andini
adalah dua orang bersaudara (kakak-adik) yang dinikahkan secara silang
dengan Rizka dan Rifki yang juga dua orang bersaudara (kakak-adik).
Dalam perkawinan Salep Tarjha ini, adanya mitos-mitos yang diyakini
oleh masyarakat terkait dengan perkawinan tersebut, pada dasarnya telah
memberikan pedoman dan petunjuk kepada masyarakat Madura untuk melarang
keluarganya melakukan perkawinan Salep Tarjha karena kekhawatiran atau
ketakutan mereka akan dampak negatif yang ditimbulkan akibat pelanggaran
terhadap mitos-mitos yang telah diyakini secara turun temurun dari nenek
moyang mereka.
Oleh karena itu penulis mengambil kesimpulan penyebab sebagian
masyarakat Madura melarang terhadap perkawinan salep tarjha dilatar
13
Mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada
sekelompok orang
64
belakangi oleh beberapa faktor sebagai berikut :
1. Perkawinan Salep Tarjha ini diyakini dapat membawa bencana atau
musibah bagi pelaku maupun keluarganya, yakni berupa sulit/melarat
rezekinya, sakit-sakitan (ke’sakean), anak/keturunan pelaku perkawinan
tersebut lahir dengan kondisi tidak normal (cacat) dan lain sebagainya.
2. Perkawinan Salep Tarjha merupakan istilah yang diberikan oleh sesepuh
(kakek/nenek) yang mana dalam adat pergaulan Madura sangat
diwajibkan menghormati yang lebih tua dan sesepuhnya. Jika membantah
dikhawatirkan mendapat bala’.
3. Karena faktor kultur adat istiadat yang di warisi turun temurun oleh
leluhur/ nenek moyang mereka dari zaman dahulu sampai sekarang.
Dan penulis juga mengambil kesimpulan dari hasil penelitian dari tokoh
agama dan kitab-kitab mengenai perkawinan Salep Tarjha dalam pandangan
hukum Islam sebagai berikut:
1. Larangan perkawinan salep tajha penulis artikan dengan larangan
menikahi saudara ipar. Yang mana jika diqiyaskan kedalam hukum Islam
menjadi larangan perkawinan karena hubungan kekerabatan.
2. Sebagaimana dalam Al-Qur’an diatur mengenai larangan karena
hubungan kerabat terdapat dalam surat an-Nisa ayat 23. Dalam surat
tersebut tidak terdapat akan larangan menikahi saudara ipar.
65
3. Kemudian kepercayaan sebagian masyarakat madura terhadap salep tarjha
itu bisa mendatangkan musibah hanyalah sebuah mitos yang tidak boleh
dipercayai apalagi diyakini sebab sudah cukup jelas bahwa yang
mengatur rizki dan sakit hanyalah Allah SWT yang tak satu orangpun
mengetahuinya apalagi bisa menentukan.
4. Dari tiga paparan di atas penulis memasukan hal-hal tersebut kedalam
kaidah kaidah hukum Islam. Yang mana perkawinan salep tarjha itu
dikategorikan pada Urf Fasid yaitu suatu adat yang bertentangan dengan
syara’ atau menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.14
5. Jadi perkawinan Salep Tarjha itu termasuk mengharamkan yang halal
yaitu perkawinan Salep Tarjha yang benar secara syariat Islam dan
ketentuan perundang-undangan yang ada di Indonesia akan tetapi dilarang
berdasarkan ketentuan adat istiadat masyarakat madura.
6. perkawinan Salep Tarjha sarat akan kandungan mitos-mitos yang masih
bertahan dalam kehidupan sebagian masyarakat Madura yang terkenal
religius itu. Penerimaan terhadap tradisi lama biasanya berwujud dalam
tindakan partisipatif dalam mematuhi dan mempercayai berbagai aturan
adat. Sedangkan penolakan dalam tradisi lama biasanya berwujud dalam
percobaan melanggar untuk membuktikan bahwa kepercayaan tersebut
tidaklah benar adanya.
14
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2002), cet.kedelapan, h. 131.
66
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan adalah jawaban masalah berdasarkan data yang diperoleh
dari masalah yang diteliti dan harus menampakkan konsistensi kaitan antara
rumusan masalah dan tujuan penelitian. Jadi penelitian mengenai perkawinan
Salep Tarjha pada masyarakat Madura ditinjau dari hukum Islam dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam adat masyarakat Pangarengan Madura dikenal dengan istilah Salep
Tarjha yang diberikan oleh sesepuh atau nenek moyang secara turun
temurun bagi perkawinan silang antara 2 (dua) orang bersaudara putra-
putri yang dinikahkan secara silang dengan putra putri yang juga dua
orang bersaudara. Masyarakat Madura memiliki keyakinan bahwa
perkawinan ini dapat mendatangkan musibah dan bencana bagi pelaku
maupun keluarganya.
2. Dalam hukum Islam perkawinan Salep Tarjha boleh-boleh saja
dilakukan, karena di dalam al-Qur’an dan al-Hadits maupun menurut
pandangan para ulama yang sudah terkodifikasi di dalam kitab-kitab fiqh
klasik (kitab kuning) tidak didapatkan satupun adanya larangan terhadap
model perkawinan Salep Tarjha tersebut. Oleh karenanya, siapapun yang
melakukan perkawinan model tersebut dibenarkan dan tidak dilarang.
67
3. Adanya perbedaan pemahaman antara para kiai (keyae) dan sesepuh
masyarakat tentang kepercayaan terhadap mitos perkawinan Salep Tarjha
tersebut pada akhirnya berimplikasi pada terkotaknya masyarakat ke
dalam 2 (dua) golongan, yaitu yang melarang dan membolehkan
perkawinan Salep Tarjha
a. Saran-saran
1. Bagi para ulama/kiai (keyae)
Diharapkan kepada para ulama/kiai (keyae) untuk menanamkan
pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang aqidah Islamiyah
dengan cara melakukan pendekatan persuasif secara intens kepada
masyarakat, khususnya kepada sesepuh masyarakat.
2. Bagi sesepuh masyarakat
Bagi sesepuh masyarakat diharapkan untuk senantiasa melakukan dialog
dengan para ulama/kiai (keyae) dalam rangka mengkaji dan memahami
budaya perspektif agama Islam sehingga jelaslah mana budaya yang perlu
dilestarikan dan mana budaya yang harus ditinggalkan
3. Bagi Masyarakat
Masyarakat diharapkan untuk arif dan bijaksana dalam mengikuti tradisi
atau adat-istiadat yang diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang
(bengaseppo). Oleh karenanya perlu melakukan kajian budaya secara
lebih intensif dan mendalam sehingga dapat memahami mana budaya
yang harus diikuti dan mana budaya yang tidak harus diikuti.
67
68
DAFTAR PUSTAKA
Abdur Rozaki, “Peran Kiyai”, artikel diakses pada 19 juni 2011 pada web
http://rukib.wordpress.com
Abid As-Sindi, Syekh Muhammad. Musnad Syafii Juz 2, cet.III. Penerjemah Bahrun
Abu Baker. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006.
Abidin, Zainal. Wawancara pribadi. Jakarta, 15 mei 2011
Abu Muhammad, Syekh Imam. Qurratul ‘Uyun Kitab Seks Islam. Penerjemah Fuad
Syaifudiin Nur. Jakarta: Bismika.
Adat Dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Timur. Buku Diambil Dari Rumah
Anjungan Jawa Timur Di Taman Mini Indonesia Indah.
Al-Farisi, Mohammad Zaka. When I Love You Menuju Sukses Hubungan Suami Istri.
Jakarta, Gema Insani, 2008.
Al-Ghazy, Syekh Muhammad Bin Qasim. Terjemah Fathul Qarib Jilid 2. Penerjemah
Achmad Sunarto. Surabaya: Alhidayah, 1992.
Al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-’Arba‘ah juz 4, cet.1.
Beirut: Darul kutub al-Ilmiyah, 1988.
al-Kahlani, Sayid Imam Muhammad ibn Ismail. Subul al-Salam Juz 3. Mesir:
Darussalam.
Al Qurtubi, Imam Qadhi. Bidayatul Mujtahid Fi Nihayatul Muqtasid juz 2,
Semarang: Kuryata Futara.
al-Asqalani, Al-Hafidh Ibnu Hajar. Bulughul Maram, Terjemah A. Hassan. Bandung:
CV Penerbit Dipenogoro, 2002.
An-Nawawi. Shoheh muslim juz 3. Iskandaria: dar-al-riyan, 1989 m/1407.
Anonimous. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, 1994.
Ash-shabbagh, Mahmud. Keluarga Bahagia Dalam Islam. Penerjemah Yudian
Wahyudi Asmin, Zaenal Muhtadin. Yogyakarta: CV. Pustaka Mantiq.
69
Asmawi, Mohammad. Nikah dalam Perbincangan Dan Perbedaan. Yogyakarta,
Darussalam, 2004.
Bakri, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Rumah Tangga. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1993.
Bouvier, helene. “Seni Musik Dan Pertunjukan Dalam Masyarakat Madura”. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia 2002, perpustakaan nasional.
C.A. van Peursen, “Cultuur in Stroomversnelling - een geheel bewerkte uitgave van
Strategie Van De Cultuur”, diterjemahkan Dick Hartoko, Strategi
Kebudayaan, Cet. IV. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993.
Darajat, Zakiah dkk. Ilmu Fikih jilid 3. Jakarta: Depag RI, 1985.
Djukdjuk widhilaksana, MM. “hasil sensus penduduk 2010 Kabupaten data agregat
per kecamatan oleh badan pusat statistik Kabupaten Sampang” Artikel
diakses pada 19 juni 2011 dari web http://docs.google.com
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Bandung, PT Citra Aditiya
Bakti,1990.
Hub de Jonge. Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan, Ekonomi
Dan Islam. seri terjemahan KITLV-LIPI. Jakarta: PT Gramedia, 1989.
Idris Ramulyo, Muhammad. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: IND-HILL-
CO, 1990.
Irmawati, Lilik Rosida. “Media Budaya Madura Dalam Adat Pernikahan”, artikel
diakses pada 1 mei 2011 dari
http://budayamadura.blog.com/2011/01/07/adat-pernikahanmadura
Khallaf, Abdul Wahab. Kaidah-Kaidah hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, cet.VII.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002.
Kusuma , Hilman hadi. hukum perkawinan adat. Jakarta: PT Pradya Paramitha, 1987,
cet2.
Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 1995.
Munawwir. Fi Al-Lughoti Wa Al-A’lami. Beirut: Dar el-Machreq Sarl, 2002.
Nazir, Mohamad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989
70
Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tiggi Agama Iain Jakarta,
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag. Ilmu
Fiqih. Jakarta: CV Yulina, 1984.
Sabiq, sayyid. Fiqh Sunah. Beirut: Dar Al Kutub 1987, cet-8, jilid 3 Zamzami,
Subhan. “profil Madura”, artikel diakses pada 17 april 2011 dari
http://madurastudies.wordpress.com/
Saepullah, Asep. “Serial Fiqh Munakahat”. Diakses Pada Minggu 24-04-2011, Dari
www.Indonesianschool.org
Salim, Agus. teori dan pradigma penelitian social. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogyakarta, 2001, cet 1.
Semangat Pesmaba UMM, “Letak Madura’, artikel diakses pada 17 april 2011 dari
http://eeyie.student.umm.ac.id/2010/08/18/letak-madura/
Slamet, Eddy Juwono. “Madura Masa Lalu Kini Dan Masa Yang Akan Datang”,
artikel diakses pada 18 april 2011, dari
http://www.scribd.com/doc/43036095/Madura-Masa-Lalu-Kini-Dan-
Masa-Yang Akan-Datang
Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
1983.
Sopyan, Yayan. Metode penelitian. Jakarta, 2009 cet 1
Sufiz. kumpulan kisah teladan para sufi. artikel diakses pada 20-12-2010 dari web
www.sufiz.com
Surkalam, Lutfi. Kawin kontrak dalam hukum nasional kita. Tanggerang: CV
Pamulang, 2005.
Sururin, Masfufah dkk. Panduan Fasilitator &Pelatih Pendidikan Kesehatan
Reproduksi Bagi Calon Pengantin. Jakarta: Pucuk Pimpinan Fatayat
Nadhlatul Ulama, 2006.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
Dan Undang-Undang Perkawinan, cet.II. Jakarta: Prenada Media, 2007.
Tihami dan Sahrani, Sohari. Fiqh Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2009.
71
Uwaidah, Syaikh kamil muhammad. Fiqih Wanita Edisi Lengkap, cet.1. Alih Bahasa,
Abdul Ghoffar. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,1996.
weblog, Myhidayah. “perkawinan salep tarjha”. artikel diakses pada 24-12-2010 dari
web myhidayah wordpress.com.
Wignjodipuro, Surojo. Pengantar dan asas-asas hukum adat. Jakarta: PT Gunung
Agung, 1982, cet4.
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, “Bahasa Madura”, artikel diakses pada 19 april 2011
dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Madura.
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, “Pulau Madura”, artikel diakses pada 17 april 2011
dari http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Madura
Wikipidea Ensiklopedia Bebas, “Kabupaten Sampang” artikel diakses 19 juni
2011 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten Sampang
Wiyata, Latif. “modal rekonsiliasi orang madura”artikel diakses pada 18 april 2011
dari http://kabarmadura07.blogspot.com/2008/07/modal-rekonsiliasi-
orang-madura.html
Zuhaili, Wahbah. al-Fiqhu al-Islamy Wa Adillatuhu JUZ 7, cet.III. Damaskus: Darul
Fikr, 1409M/1989H
.
.
72
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Wawancara Dengan Sesepuh
Nama : Endu’ / Ibu Sunarmi
Jabatan : Sesepuh perempuan Madura
Tanggal : 12 Mei 2011
Pertanyaan : Apa yang dimaksud dengan perkawinan Salep Tarjha?
Jawaban : Yang dimaksud dengan Salep Tarjha itu bing, apabila ada seorang
laki-laki dan perempuan bersaudara/kakak adik yang menikah
dengan seorang laki-laki dan perempuan yang juga bersaudara. Jadi,
laki-laki dan perempuan tersebut menjadi menantu satu orang.
Pertanyaan : Mengapa perkawinan Salep Tarjha dilarang?
Jawaban : perkawinan Salep Tarjha itu menurut orang-orang dulu, “jelek”
sebab biasanya berakibat negatif terhadap harta bendanya (hartanya
cepat habis dll), kadangkala salah satu dari kedua pasangan yang
melakukan perkawinan Salep Tarjha itu cepat meninggal dunia. Oleh
karena itulah, perkawinan Salep Tarjha sampai masa sekarang tetap
tidak diperbolehkan/dilarang karena dikhawatirkan akan tertimpa
musibah tersebut.).
Pertanyaan : Apa saja factor yang melarang perkawinan Salep Tarjha
Jawaban : tidak tahu kepastiannya karena ini cuma kata orang-orang dulu. Tapi,
menurutnya apa yang dikatakan orang dulu itu benar.
73
2. Wawancara Dengan Ulama
Nama : KH.Zainal Abidin
Jabatan : Ulama Besar Madura
Tanggal : 15 Mei 2011
Pertanyaan : Apa yang dimaksud dengan perkawinan Salep Tarjha
Jawaban : istilah Salep Tarjha itu hanyalah perkataan nenek moyang yang tidak
boleh di percayai.
Pertanyaan : Apa hukum perkawinan salep tarjha menurut hukum Islam?
Jawaban : perkawinan Salep Tarjha hukumnya menurut agama Islam itu boleh
dilakukan karena tidak bertentangan dengan perkawinan yang
dilarang dalam hukum Islam. Dan musibah yang akan terjadi jika
melakukan salep tarjha tidak boleh dipercayai. Karena jodoh, rizki,
sehat dan mati sudah ditentukan oleh allah.
Pertanyaan : Bagaimana mitos perkawinan Salep Tarjha menurut anda
Jawaban : para ulama, para alim, para kiai (keyae) di Madura banyak yang
melakukan perkawinan Salep Tarjha ini dalam rangka memberikan
contoh dan membuktikan kepada masyarakat bahwa mitos itu tidak
boleh dipercayai, sebab apabila percaya terhadap mitos-mitos seperti
mitos Salep Tarjha tersebut, rezekinya melarat/sulit, cepat meninggal
dunia dan lain sebagainya, maka hal ini bisa merusak terhadap
aqidah.
74
3. Wawancara Dengan Pelaku Salep Tarjha
Nama : Hasan
Jabatan : Pedagang (pelaku Perkawinan Salep Tarjha)
Tanggal : 6 Mei 2011
Pertanyaan : Apa alasan anda melakukan perkawinan Salep Tarjha?
Jawaban : karena saya mencintai isteri saya dan isteri saya mencintai saya dan
mau menerima apa adanya. Saya tidak percaya sama sekali dengan
perkawinan Salep Tarjha. Itu kan hanya perkataan-perkataan orang
dulu, setahu saya ketika belajar di madrasah dulu kata guru saya
perkawinan Salep Tarjha itu boleh dan mitos-mitos seputar Salep
Tarjha tidak boleh dipercayai.
Pertanyaan : Apa dampak perkawinan Salep Tarjha setelah anda menikah?
Jawaban : Walau saya dan adik saya kata orang-orang (masyarakat) termasuk
Salep Tarjha karena adik saya dinikahi kakaknya istri saya, kok tidak
ada apa-apa/tidak ada masalah, semua hal di dunia ini tergantung
menurut ketentuan tuhan).
Jakarta, 06 Mei 2011
Hasan
KEMENTERIAN AGAMAUNIVERSITAS ISLAM NE,GEITT (UIN)S YARJF' HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN IIUKUMJrn. rr. H. Juanda No. e5 ciputat Jakarta 154i2, rndonesia il?lt;.1P"t;,,i),ll1rtlf3l:,Jr3],"1:i iil,ffrfrJl"t6?lf;Al "."
Lampiran : -
Perihal : Mohon Kesediaan MeniadiPqmbimbinq SIripsi
Kepada Yang Terhormat,Drs.H.A.Basiq Djalil, SH, MA(Dosen Fakultas syariah dan Hukum urN syarif Hidayatullah, Jakarta)Di-
JAKARTA
Assalamu' alaikum Wr. Wb.
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakartamengharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing skripsi mahasiswa :Nama : Siti Rochmah
NIMProdi/KonsentrasiJudul Skripsi
Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut :'1. Topik bahasan dan outline bila dianggap perlu dapat dilakukan perubahan danpenyempurnaan.
2. Tehnik penulisan agar merujuk kepada buku "Pedoman Karya llmiah di UIN SyarifHidayatullah Jakarta"
Demikian atas kesediaan saudara kami ucapkan terima kasih
Wassalamu'alaikum W. W.
:108044100060: Ahwal al Syakhshiyah/peradilan Agama', Perkawinan Sa/ep Tarjha pada Masyarakat Maduraditinjau d ari Hukum I siam
'An. DekanKetua Prodi
( r..
Fakultas Syariah dan HukumAhw.4l Syakhshiyah
NIP=195003 0 6 i97 603 7001. '. ' :.. ,:./
: ..1 ,..,.-r, ;..: '. . .:t-''"
';:]..;.- .'1:-i;1/Tembusa n :
1. Kasubag Akademik2. Sekretaris Program3. Arsip
&kemahasiswaan Fakultas Syariah dan HukumStudi Ahwal al Syakhshiyah
Basio D MA
KEIVIENTERIAN AGA1\4AL]NIVERSITAS ISLAM NEGERI (LIIN)SYARTF TTTDAyATTJLLArI JAKAirra-
FAKIJLTAS SYARIAII DAN ITf]KU1VIJln- lr. H. Juanda No. 95 Ciprrtat Jakarta 15412 lndonesia Tetp. (62-21 ) 7 47 1 1 537 . 7 4O1 925 F ax t6z-21 ) 7 4g1 A21
WebsrLe : www. uin jkt.ac.id b.- mail : [email protected]
NorrrorLarnpiranFIal
Un.O1 / Fa / KM.00.02l 36 9F-t / 2011
Perrnohon an D at a / Wawancara
Kepada YthBpk. KH. Zainal AbidinDi-
Ternpat
A s s slnrru' nlailonn IN r.VW.
rrrenerarrgkan bahr,rra :
NarnaNorrror PokokTempat/Tanggal LahirSerrrester'Ju rusan/ Korrserr I r.rsiAlair-rat
Telp /I{p
Ternbusan:1.Ytir. L)ekan Fakultas syariah clar-r Hukurrr uIN Jaktrrtrr.2.Arsip.
Jakarta, Jurri 2071
Pimpinan Fakultas Svariah cian Hukurn UIN Syarif Hiclayatullal-r Jakarta
Siti Rochmah108044100060|akarta, 28 Februart 7989VIII (Delapan)SAS / PAJl.Kayu Tinggi Cempaka Ir-Ldah Rt.03/09 No.og Cakur-rg fak.rrraTirnur081807215005
adalai-r benar neahasiswa Fakultas Svariah clarr Hukurr-r UIN Syarif Hidayatullah Jakartayang sedang rnenvelesaikan skripsi dengan Topik/ Judul :
" Perlcawinan Salep'farjhcr Pada Masqarakat Madura Ditinjau Dari Hulcum Islcrm,,
untuk rnelengkapi bahan/data yangberkaitan clengarn penulisan/perrrbahasan topik /iudul di atas, dirnohon kiranya Bapak/ Ibu/ Saucl ara/'i clapat rnerrbantu/ ,r-,er-re.ir-n.-1yang bersangkutan untuk berwawancara.
Atas kesecliaan Bapak/ Ibu / Sauclara / i, karni ucapkan banyak terima kasih.
WnssnLant tt' nhiku rrL Wr.Wb.
A.n DEKAN,Pernban id. Akaclernik
"1: ,. "' r:,.1 :. l,r r
M.A. t5
77
Dokumentasi Penelitian
01
Wawancara Dengan saudara Hasan
02
Rumah Tanean Lajang rumah adat Madura
78
03 04
Musik tradisional Daoll Combo Karapan Sapi Madura di Kecamatan
Pangarengan
05
Memasuki Kabupaten Sampang
06 07
79
Tugu Monumen Sampang Tempat Bersejarah Sampang
08
Batik Madura
09
Gladak’ (tambak garam) di Pangarengan, Sampang Madura
10
80