PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR AL...
Transcript of PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR AL...
i
PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR
AL-MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
Suripto Bero
21214003
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2018
ii
iii
PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR
AL-MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
Suripto Bero
21214003
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2018
iv
Tri Wahyu Hidayati, M. Ag.
Dosen IAIN Salatiga
PENGESAHAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
KepadaYth.
Dekan FakultasSyari’ah IAIN Salatiga
Di Salatiga.
Assalamu’alaikumWarahmatullahiWabarakatuh
Denganhormat, setelah di laksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka
naskah skripsi mahasiswa :
Nama : Suripto Bero
NIM : 212-14-003
Judul : Perkawinan Beda Agama Perspektif Tafsir al-Misbah dan
Buku Fiqh Lintas Agama.
Dapat diajukan kepada Fakultas Syariah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam
sidang munaqosyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan
sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 26 September 2018
Pembimbing,
Tri Wahyu Hidayati, M. Ag.
NIP.197411232000032002
v
PENGESAHAN
SkripsiBerjudul:
PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR AL-MISBAH
DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA
Oleh:
Suripto Bero
NIM 212-14-003
Telah di pertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Hukum
Keluarga Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga,
pada tanggal 28September 20186dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH).
Dewan Sidang Munaqosyah:
KetuaPenguji : Muh. Hafidz, M. Ag.
SekretarisPenguji : Tri Wahyu Hidayati, M. Ag.
Penguji I : Dr. Ilyya Muhsin, M. SI.
Penguji II : Luthfiana Zahriani, S. H., M. H.
Salatiga, 1 Oktober 2018
DekanFakultasSyariah IAIN
Dr. SitiZumrotun, M.Ag
NIP. 19670115 199803 2002
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYRI’AH Jl. NakulaSadewa V No. 9Telp (0298) 3419400 Fax. 323423 Salatiga5022
Website:www.iainsalatiga.ac.idEmail : [email protected]
vi
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertandatangan di bawahini :
Nama : Suripto Bero
NIM : 212-14-003
Jurusan : HukumKeluarga Islam
Fakultas : Syariah
Judul : PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR
AL-MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-bena rmerupakan hasil karya
saya sendiri, buka njiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, 1 Oktober 2018
Yang menyatakan,
Suripto Bero
NIM21214003
vii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
“Khoirunnas anfa’uhum linnas”
Persembahan
Untuk orang tuadan keluarga tercintaku
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta
alam yang berkuasa atas segala sesuatu. Berkat tuntutan, hidayah serta
karuniaNya lah penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada baginda Nabi
Muhamad SAW. Nabi akhir zaman yang akan selalu menjadi suritauladan bagi
umat islam sampai yaumulqiyamah. Amin.
Manusia tida kada yang sempurna. Begitupun dengan penulis, penulis
hanyalah makhluk yang tiada mungkin tidak ada kekurangan. Penulis hanyalah
manusia biasa yang semangatnya terkadang hidup dan padam , sehingga
merupakan anugerah yang luar biasa dengan bekal niat dan dukungan dari banyak
pihak yang pada akhirnya penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi yang
berjudul: Perkawinan Beda Agama Perspektif Tafsir al-Misbah dan Buku Fiqh
Lintas Agama. Atas terselesaikannya skripsi ini, penulis menghaturkan terima
kaasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dr. Sit iZumrotunM.Ag, Selaku Dekan Fakults Syariah IAIN Salatiga.
3. Bapak Sukron Ma’mun, M.Si,selaku Kepala Jurusan Hukum Keluarga Islam.
4. Ibu Tri Wahyu Hidayati, M. Ag, selaku Pembimbing Skripsi
5. Ibu Luthfiana Zahriani, S. H., M. H,selaku dosenPembimbing Akademik.
6. Segenap Bapak Ibu petugas Perspustakaan IAIN Salatiga yang selalu setulus
hati memberikan pelayanan terbaiknya.
ix
7. Orang tua dan istri tercinta atas segala doa, bimbingan, arahan dan juga
kesabarannya.
8. Teman-teman Jurusan Hukum Keluarga Islam angkatan 2014.
9. Pihak-pihak yang mendukungku dan memberikan banyak ilmu serta
pengalaman.
Penulis tidak mampu membalas dukungan, bimbingan serta motivasi yang
telah diberikan selamaini, semoga semua itu menjadi amal shalih dan semoga
Allah membalas amal shalih tersebut dengan balasan yang lebih baik. Penulis
menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelalaian,
oleh karenanya penulis berlapang dada untuk menerima kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan.
Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi salah satu sumber ilmu yang
bermanfaat dunia dan akhirat.Trima kasih.
Salatiga, 1 Oktober 2018
Penulis
x
ABSTRAK
Bero, Suripto. 2018. “Perkawinan Beda Agama Perspektif Tafsir al-Misbah dan
Buku Fiqh Lintas Agama”.Skripsi.FakultasSyari’ah. Jurusan Hukum
Keluarga Islam .Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
PembimbingTri Wahyu Hidayati, M.Ag.
Kata kunci: Perkawinan, Beda Agama.
Tidak dipungkiri lagi bahwa perkawinan beda agama semakin marak
terjadi di tengah kehidupan masyarakat, problematika ini menjadi akar
permasalahan yang kemudian akan dibahas dalam Kitab Tafsir al-Misbah dan
Buku Fiqh Lintas Agama. Penelitian ini bertujuan untuk (1)
mengetahuibagaimana hukum perkawinan beda agama menurut Tafsir al-
Misbah, (2) mengetahui bagaimanahukum perkawinan beda agama menurut
Buku Fiqih Lintas Agama, (3) mengetahui apa persamaan dan perbedaan
pemikiran kitab Tafsir al-Misbah dan Buku FiqihLintas Agama tentang
perkawinan beda agama serta bagaimana relevansinya terhadap Peraturan
Perundang -undangan di Negara Indonesia.
Penelitian ini bersifat literatur atau kepustakaan yang menggunakan kajian
terhadap buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Dalam penelitian ini
menggunakan metode deskriptif-analitis yang penulis gunakan untuk mengungkap
permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini.
Penelitian ini menunjukkan hukum nikah beda agama dalam Tafsir al-
Misbah adalahdibolehkan dengandasar QS. al-Maidah ayat 5 yang menyatakan
kebolehan laki-laki muslim menikahi wanita Ahl al-Kitab dengan tujuan dakwah,
dan larangan pernikahan beda agama yang bersandar pada QS. al-Baqarah ayat
221 dengan alasan dikhawatirkan akan membuat runtuhnya bangunan rumah
tangga karena perbedaan iman. Kemudian menurut Buku Fiqh Lintas Agama
tentang pernikahan beda agama ini diperbolehkan berdasarkan QS. al-Maidah ayat
5 yang menyatakan kebolehan laki-laki muslim menikahi wanita Ahl al-Kitab,
dan karena berkembangnya zaman serta adanya ijtihad yang seringkali melahirkan
produk hukum baru, maka bisa dimungkinkan wanita muslimah boleh menikah
dengan laki-laki Ahl al-Kitab. Selanjutnya persamaan antara pemikiran M.
Quraish Shihab dan Nur Cholis Madjid adalah keduanya membolehkan seorang
laki-laki muslim menikah denga wanita Ahl al-Kitab, sedang perbedaannya yakni
dalam pemikiran Nur Cholis Madjid ini lebih luas memaknai kebolehan wanita
muslimah menikah dengan laki-laki Ahl al-kitab yang dimungkinkan bisa
diperbolehkan karena perkembangan zaman dan ijtihad yang seringkali
melahirkan produk hukum baru. Terkait dengan relevansinya dengan Perundang-
undangan berdasarkan keempat penjelasan tersebut di atas terdapat kontrovesri
dan ketidak sinambungan satu sama lain. KarenaUU No. 1 Tahun
1974hanyamengaturtentangkeabsahansuatupernikahansajadantidakmengatursecar
arincimengenaipernikahanbeda agama, sedangkan menurut Kompilasi Hukum
Islam lebih melarang adanya perkawinan beda agama.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR BERLOGO .................................................................................... ii
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................. iv
PENGESAHAN .............................................................................................. v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ..................................................... vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................ viii
ABSTRAK ...................................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar BelakangPenelitian .......................................................... 1
B. RumusanMasalah ...................................................................... 4
C. TujuanPenelitian ........................................................................ 4
D. KegunaanPenelitian ................................................................... 5
E. TelaahPustaka ............................................................................ 5
F. Metode Penelitian ...................................................................... 7
1. PendekatanPenelitian ........................................................... 7
2. Sumber Data ........................................................................ 8
3. Analisis Data ...................................................................... 8
xii
G. Penegasan Istilah . ................................................................... 10
H. SistematikaPenulisan ............................................................... 11
BAB IIKAJIAN PUSTAKA ......................................................................... 13
A. Perkawinan dalam Hukum Islam ............................................. 13
B. Syarat dan Rukun Perkawinan dalam Hukum Islam .............. 15
C. Larangan Perkawinan dalam Hukum Islam ............................ 19
D. Syarat dan Rukun Nikah dalam Peraturan Perundang-
undangan dan Kompilasi Hukum Islam ................................... 21
BAB III HUKUM NIKAH BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR AL-
MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA.....................31
A. Biografi M. Quraish Shihab ...................................................... 31
B. Metode Tafsir al-Misbah .......................................................... 36
C. Pemikiran Beda Agama menurut M. Quraish Shihab .............. 37
D. Pemikiran Beda Agama menurut Buku Fiqh Lintas Agama .... 52
E. Makna Kata Musyrik dan Ahl al-Kitab dalam Pandangan M.
Quraish Shihab dan Nur Cholis Madjid ................................... 75
F. Perkawinan Beda Agama dalam UU. No. 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam ........................................................... 76
BAB IV ANALISA ........................................................................................ 79
A. Analisa tentang Hukum Beda Agamamenurut M. Quraish Shihab
.................................................................................................. 79
B. Analisa tentang Hukum Beda Agamamenurut Buku Fiqh Lintas
Agama ....................................................................................... 82
xiii
C. Analisa Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Kitab Tafsir al-
Misbah dan Buku Fiqih Lintas Agama serta Relevansinya terhadap
Peraturan Perundang-undangan di Negara Indonesia ............... 84
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 88
A. Kesimpulan .............................................................................. 88
B. Saran ........................................................................................ 91
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 92
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rasulullah di utus oleh Allah SWT kemuka bumi ini sebagai rasul
penutup dan penyempurna akhlak mansuia, begitu pula al-Quran sebagai
sumber hukum yang pertama risalah yang dibawa Rasulullah juga
merupakan kitab penyempurna dari kitab sebelumnya ( Zabur, Taurat dan
Injil ). Rasul diutus mewujudkan ummat yang rahmatal lil alamin . “Rasa
cinta dan kasih sayanglah yang menjadikan bumi tercipta, ber-putar
menunjukkan setiap peradabannya.” Demikian Jalaluddin Rumi berujar.
Menurutnya cintalah yang menjadi sebab semuanya. Rasa yang
keberadaan-nya jauh di luar kuasa manusia, sejauh khayal yang terbang,
manusia hanya dapat mewakilkannya dengan kata. Ia adalah fitrah
pemberian Allah. Allah yang menganugerahkan rasa cinta dan kasih
sayang kepada makhluk-Nya, karena memang Dia adalah Dzat yang
selalu dipenuhi ribuan cinta. Ia ciptakan semburat rasa itu agar antara
makhluk saling berkasih sayang, bertemu se-bagai makhluk Allah atas
nama cinta, untuk suatu saat nanti kembali kepada-Nya karena cinta.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang
pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan
bangsa Indonesia “ BHINEKA TUNGGAL IKA “. Dalam kondisi
keberagaman seperti ini bisa saja terjadi interaksi sosial di antara
2
kelompok kelompok masyarakat yang berbeda kemudian berlanjut ke
perkawinan.
Agama sebagai aturan atau ketentuan dari langit yang mengatur
hubungan antara makhluk dan Tuhannya atau sebagai sistem sosial
merupakan sebuah kebutuhan pokok bagi manusia. Agama akan lebih
dibutuhkan lagi bila kita pahami sebagai nilai nilai ruhaniah dan spiritual.
Tak terkecuali agama Islam memiliki pandangan luhur dan syariat
(aturan) berkaitan dengan pernikahan . Adanya pandangan suci terhadap
pernikahan ini melahirkan paradigma dan apresiasi tinggi dan mulia
terhadap pernikahan. Karena hanya dengan pernikahan relasi laki-laki dan
perempuan dapat dibedakan dari kehidupan binatang. Hanya dengan
pernikahan seseorang dianggap telah menempuh cara terbaik untuk
menyalurkan kebutuhan biologis dan memperoleh keturunan.
هما يا ها زوجها وبث من أي ها الناس ات قوا ربكم الذي خلقكم من ن فس واحدة وخلق من رجالا كثيرا ونساء وات قوا اللو الذي تساءلون بو والأرحام إن اللو كان عليكم رقيبا
Artinya:
“Wahai Manusia bertakwalah kamu kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu ( Adam ) dan Allah
menciptakan pasangannya ( Hawa ) dari (diri) nya , dan dari
keduanya Allah memperkembang biakan laki laik dan perempuan
yang banyak. Bertakwalah Kepada Allah yang dengan nama-Nya
kamu saling meminta dan peliharalah hubungan kekeluargaan”
.(Qs An nisa :1)
Perkawinan adalah fitrah kemanusian, maka dari itu Islam
menganjurkan untuk menikah, karena nikah merupakan gharizah
insaniyah ( naluri kemanusiaan ) bila gharizah insaniyah ini tidak
terkecekupi dengan jalan yang sah maka akan mencari jalan jalan syetan
3
yang menjeruskan kelembah hitam ( “Aturan Pernikahan dalam Islam “
Farid Fatcturohman ).
Indonesia mendasarkan Negara dengan Ideologi Pancasila dan
legitimasi atas agama di Indonesia mendapatkan perlindungan secara
konstitusional, dan secara jelas disebutkan dalam UUD 1945 pasal 29
yang berbunyi sebagai berikut (Rosadi & Rais, 2006:01):
1. Negara berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.
Seiring dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang
terjadi kompleks. Berkaitan dengan perkawinan belakangan ini sering
tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap
problematis dalam kehidupan bermasyarakat.
Sudah tidak dipungkiri lagi terkait pasangan yang berbeda agama
dan keyakinan yang semakin marak dalam kehidupan kita, mereka
mempertahankan agama dan keyakinan masing masing tetapi mereka
tetap mempertahankan cinta mereka ke jenjang pernikahan. Problematika
ini menjadi akar permasalahan yang akan kami bahas pada kesempatan
ini tentang pendapat M Quraish Shihab Dalam tafsir Al Misbahnya dan
Mohammad Monib, Ahmad Norcholish dalam Fiqh Lintas Agamanya.
4
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah peneliti sampaikan
di atas, maka peneliti dapat merumuskan beberapa rumusan masalah:
1. Bagaimana Hukum Perkawinan Beda Agama menurut Tafsir al-
Misbah?
2. Bagaimana Hukum Perkawinan Beda Agama menurut Buku Fiqih
Lintas Agama ?
3. Apa Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Kitab Tafsir al-Misbah dan
Buku Fiqih Lintas Agama tentang Perkawinan Beda Agama serta
Bagaimana Relevansinya terhadap Peraturan Perundang -undangan di
Negara Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa setiap
kegiatan atau aktivitas yang dilakukan seseorang pasti mempunyai tujuan
yang ingin dicapai. Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah:
1. Bagaimana hukum perkawinan beda agama menurut tafsir al-
Misbah
2. Bagaimana hukum perkawinan beda agama menurut Buku Fiqh
Lintas Agama
3. Apa persamaan dan perbedaan pemikiran kitab tafsir al-Misbah dan
Fiqih Lintas Agama tentang perkawinan beda agama serta bagaimana
relevansinya terhadap Peraturan Perundang-undangan di Negara
Indonesia.
5
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penulisan skripsi ini
diantaranya adalah:
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara
teoritis bagi dunia akademik dan hukum yang ada di Indonesia.
2. Secara Praktis
Adapun manfaat praktis yang diharapkan di antaranya:
a. Memperkaya pemahaman ajaran hukum Islam sebagai hukum
yang rohmattan li al-alamin bagi penduduk Indonesia yang
dinamis.
b. Diharapkan menjadi bahan pertimbangan konsep hukum di
Indonesia yang sesuai dengan ideologi dan nilai-nilai luhur
bangsa Indonesia.
E. Telaah Pustaka
Fenomena Perkawinan Beda Agama akan selalu menjadi hal yang
kontroversi di tengah masyarakat luas, karena persoalan ini selain
menyangkut keperdataan antar manusia juga menyangkut masalah
keyakinan. Adapun penelitian ini sesungguhnya penelitian lanjutan,
karena sebelumnya terdapat banyak penelitian yang berbicara tentang
masalah Perkawinan Beda Agama diantaranya ada beberapa buku dan
skripsi yang penulis temukan.
6
Pertama, di dalam skripsi yang disusun oleh Ahmad Hasan
Mafatih tahun 2006 STAIN Surakarta yang berjudul “Perkawinan Antar
Agama suatu Analisis Pandangan Muhammad Ali As-Shabuni tentang
perkawinan Al Musyrikah dengan Ahl al-kitab”. Kesimpulan dalam
skripsi ini menjelaskan bahwa As Shabuni memperbolehkan laki-laki
muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kitab dan mengharamkan
terjadinya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita musyrik.
Sedangkan pernikahan antara wanita uslimah dengan laki-laki non
muslim lain baik laki-laki Ahl al-kitab ataupun musyrik adalah haram.
Kedua, skripsi yang berjudul “Nikah Beda Agama (Studi
komparasi Pemikiran Nurcholish Madjid dan Siti Musdah Mulia)”.
Skripsi ini disusun oleh Mar Atur Robikhah pada tahun 2011 UIN Sunan
Kalijaga. di dalam skripsi ini membahas tentang hukum nikah beda
agama menurut Nurcholish Madjid dan Siti Musdah Mulia. Kesimpulan
dalam skripsi ini Nurcholish Madjid berpendapat bahwa pernikahan beda
agama antara pria muslim dengan wanita non muslim atau Ahl al-Kitāb
hukumnya boleh dengan pertimbangan dakwah untuk membentuk
keluarga sakinah mawaddah dan rohmah. Pendapat tersebut dipengaruhi
paham pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah jalan
yang sama-sama menuju Tuhan yang sama. Berbeda dengan pendapat Siti
Musdah Mulia yang membolehkan perempuan muslim menikah dengan
laki-laki non muslim atau Ahl al-Kitāb dengan alasan potensi perempuan
muslim dalam menentukan identitas agama anaknya lebih besar dari pada
7
potensi laki-laki muslim. Sehingga perempuan muslim lebih berhasil
mengajak anak-anaknya ke lingkungan agama yang dianut ibunya.
Ketiga, skripsi yang berjudul “Pernikahan Beda Agama Dalam
Pemikiran Muslim (Studi Komparasi Antara Mahmud Syaltūt Dan M.
Quraish Shihab)”. Skripsi ini disusun oleh Basoruddin pada tahun 2004
UIN Sunan Kalijaga. Dalam skripsi ini membahas tentang hukum
pernikahan beda agama menururt Mahmud Syaltūt Dan M. Quraish
Shihab. Mahmud Syaltūt Dan M. Quraish Shihab sama-sama
mengharamkan nikah beda agama dengan dasar hukum Q.S al Baqarah
(2): 221 dan memperbolehkan laki-laki muslim nikah dengan perempuan
Ahl al-Kitab, hanya pemaknaan redaksi ayat “wa al-muḥṣanāh min al-
mu‟mināh wa al- muḥṣanāh min al-lażīn ūtu al-kitāb” saja yang dari
masing-masing mempunyai pendapat yang berbeda, dengan metode yang
berbeda pula.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bersifat literatur (kepustakaan), sehingga
penelitian ini menggunakan kajian terhadap buku-buku yang ada
kaitannya dengan judul skripsi ini, yaitu Tafsir Al Misbah karangan
M . Quraish Shihab Dan Fiqh Lintas Agama Karangan Mohammad
Monib dan Ahmad Nurcholish dan buku lain yang membahas tentang
Pernikahan beda Agama . Penelitian dilakukan dengan mencermati
sumber-sumber tertentu, mencari, menelaah buku-buku artikel atau
8
lainnya yang berkaitan dengan Pernikahan Beda Agama (Nazir,
1998:62).
2. Sumber Data
Dalam pengambilan dan pengumpulan data penelitian ini
menggunakan metode pencarian data berupa buku, artikel, dokumen
dan lain sebagainya. Penelitian ini berisi kutipan-kutipan data untuk
memberi gambaran penyajian laporan (Arikunto, 1987:135).
Sedangkan data-data tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data yang paling utama
digunakan dan sesuai dengan permasalahan dalam peneliti ini.
Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah Tafsir Al
Misbah karangan M . Quraish Shihab dan Fiqh Lintas Agama
karangan Mohommad Monib dan Ahmad Nurcholish.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-
buku, artikel, dan sumber terkait lainnya.
3. Analisis Data
Untuk menganalisis data penulis menggunakan beberapa
metode, yaitu:
a. Metode Deskriptif
Peneliti melakukan analisis data dengan metode deskripsi,
yaitu menggambarkan pemikiran-pemikiran M. Quraish Shihab
9
Dan Mohammad Monib , Ahmad Nurcholish tentang materi
yang terkait dengan penelitian.
b. Metode Analisis
Analisis data merupakan cara penanganan terhadap obyek
ilmiah dengan jalan memilih-milih antara pengertian yang satu
dengan pengertian yang lain untuk mendapatkan pengertian yang
baru (Sumargono, 1989:21). Data yang terkumpul selanjutnya
peneliti analisa dengan menggunakan teknik analisa data, dengan
cara:
1) Kategorisasi
Kategorisasi adalah upaya memilah-milah setiap
satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan
(Moleong, 2011: 288). Peneliti melakukan kategorisasi
dengan cara memilah setiap data yang didapatkan, data dari
dokumen atau buku-buku terkait penelitian ini. Kategorisasi
dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam menyatukan
data-data tersebut.
2) Sintesisasi
Sintesisasi merupakan mencari kaitan antara satu
kategori dengan kategori yang lain agar bertemu titik
permasalahan (Moleong, 2011:289). Data yang telah
dikategorikan oleh peneliti kemudian dicari titik temu satu
10
sama lain dan kemudian disatukan dalam pembahasan yang
sama sehingga menjadi sebuah penjelasan yang utuh.
3) Reflektif Thinking
Metode Reflektif thinking yaitu berfikir yang
prosesnya mondar-mandir antara yang empiris dengan yang
abstrak. Empiris yang khusus dapat saja menstimulasi
berkembangnya abstrak yang luas, dan menjadikan mampu
melihat relevansi empiris pertama dengan empiris-empiris
yang lain yang termuat dalam abstrak baru yang dibangunnya
(Muhadjir, 1991: 66-67). Metode ini digunakan untuk
melihat relevansi dalam kitab tafsir Al Misbah dan Fiqh
Lintas Agama terhadap pernikahan beda agama dalam
kehidupan sekarang dan Undang Undang Perkawinanan No
1 tahun 1974.
G. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahan dalam memahami judul skripsi,
maka penulis memberikan pengertian dan batasan skripsi ini, yaitu:
1. Perkawinan
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata kawin
yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan
jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan
disebut juga pernikahan, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa
artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk
11
bersetubuh (wathi’). Kata nikah sendiri sering dipergunakan untuk
arti persetubuhan, juga untuk arti akad nikah (Gozali, 2003: 7).
Abdur Rahman Gazaly mengutip pendapat Muhammad Abu
Israh memberikan definisi yang lebih, pernikahan ialah akad yang
memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan
keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadaka tolong
menolong, dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan
kewajiban bagi masing-masing (Gozali, 2006: 1).
2. Perkawinan Beda Agama
Perkawinan yang dilakukan oleh sepasang laki - laki dan
perempuan yang berbeda agama atau pun kepercayaan.
H. Sistematika Penulisan
Bab I, dalam bab ini berisi tentang pendahuluan. Hal ini mencakup
latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
telaah pustaka, metode penelitian, penegasan istilah dan diakhiri dengan
sistematika penulisan.
Bab II, dalam bab ini berisikan penjelasan mengenai pernikahan
menurut Hukum Islam dan Perundang-undangan.
BAB III, dalam bab ini berisikan Biografi M. Quraish Shihab,
Metode Tafsir al-Misbah, Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut
Tafsir Al Misbah, Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Buku Fiqh
Lintas Agama, Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Kitab Tafsir al-
Misbah dan Fiqih Lintas Agama tentang Perkawinan Beda Agama serta
12
Relevansinya terhadap Peraturan Perundang-undangan di Negara
Indonesia.
BAB IV, dalam bab ini merupakan bagian inti dari penelitian
skripsi yang berisikan Analisa Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut
Tafsir Al Misbah, Analisa Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut
Fiqh Lintas Agama, Analisa Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Kitab
Tafsir al-Misbah dan Fiqih Lintas Agama tentang Perkawinan Beda
Agama serta Relevansinya terhadap Peraturan Perundang-undangan di
Negara Indonesia.
BAB V, dalam bab ini berisikan tentang penutup, meliputi
kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis lakukan dan saran.
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Perkawinan dalam Hukum Islam
Perkawinan juga disebut pernikahan yang berasal dari bahasa Arab
yaitu nakaha yang pempunyai arti mengumpulkan, saling memasukkan
dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi‟). Nikah menurut arti asli
adalah hubungan seksual, tetapi menurut arti majazi atau arti hukum
adalah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai
suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita (Idris, 2002: 1).
Kata nakaha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti nikah atau
kawin, seperti QS. An-Nisa’ ayat 22 di bawah ini:
ولا ت نكحوا ما نكح آباؤكم من النساء إلا ما قد سلف إنو كان فاحشة ومقتا
(۲۲) سبيلا وساء
Artinya:
”Janganlah kamu menikahi perempuan yang telah pernah
dinikahi oleh ayahmu kecuali apa yang telah berlalu” (QS.
An-Nisa’: 22)
Menurut Abu Yahya Zakariya Al-Anshari mendefinisikan Nikah
menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum
kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau dengan kata-kata
yang semakna dengannya.
Dari pengertian tersebut di atas dibuat hanya melihat dari satu segi
saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dan
14
seorang wanita yang semula dilarang menjadi halal (Rahman, 2003: 9).
Dari beberapa pendapat mengenai pengertian perkawinan tersebut banyak
beberapa pendapat yang satu sama lain berbeda. Tetapi perbedaan
tersebut sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan yang
sungguh-sungguh antara pendapat satu dengan pendapat lainnya.
Perbedaan tersebut hanya keinginan para perumus untuk memasukkan
unsur-unsur yang sebanyak-banyaknya dalam merumuskan pengertian
perkawinan di pihak yang lain. Dalam hukum Islam hukum perkawinan
ada lima yang semuanya dikembalikan pada calon suami istri, yang
adakalanya hukum menjadi (Soedarsono, 1994: 75):
1. Mubah (jaiz), sebagaimana asal hukumnya;
2. Sunnah, bagi orang yang sudah mampu baik secara dhohir
maupun secara batin (culup mental dan ekonomi);
3. Wajib, perkawinan hukumnya bisa menjadi wajib bagi mereka
yang sudah mampu secara dhohir dan batin serta dikwatirkan
terjebak dalam perbuatan zina;
4. Haram, pernikahan bisa menjadi raram hukumnya bagi mereka
yang berniat untuk menyakiti perempuan yang akan dinikahkan;
5. Makruh, pernikahan bisa berubah menjadi makruh bagi mereka
yang belum mampu member nafkah baik secara dhohir maupun
batin.
15
B. Syarat dan Rukun Perkawinan dalam Hukum Islam
Sebelum menginjak lebih jauh tentang syarat dan rukun
perkawinan, maka harus dipahami apa makna syarat dan rukun itu sendiri.
Adapun syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau
tidaknya suatu pekerjaan yang berkaitan dengan ibadah, tetapi pekerjaan
tersebut bukan ternasuk dalam rangkaian itu sendiri, seperti halnya
menutup aurat dalam shalat atau dalam perkawinan dalam Islam bahwa
calon suami atau istri harus beragama Islam. Sedangkan makna dari rukun
itu sendiri adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan yang berkaitan dengan ibadah dan pekerjaan
tersebut termasuk dalam rangkaian ibadah itu sendiri, seperti adanya
calon pengantin laki-laki dan calon perempuan dalam perkawinan
(Rahman, 2003: 46).
Adapun syarat dalam pernikahan adalah merupakan dasar bagi
sahnya perkawinan. Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi maka sah
perkawinan itu dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban
sebagai suami istri. Dalam hal hukum perkawinan, dalam menentukan
mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di kalangan
ulama, yang mana perbedaan di antara pendapat tersebut disebabkan
karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu. Semua ulama
sepakat dalam hal-hal yang terlibat dan harus ada dalam suatu perkawinan
yaitu (Amir, 2007: 59):
1. Akad nikah,
16
2. Mempelai laki-laki dan perempuan,
Dalam kedua pempelai harus termasuk orang yang bukan muhrim,
seperti dalam surat An-Nisa’ ayat: 22-23 yaitu:
ولا ت نكحوا ما نكح آباؤكم من النساء إلا ما قد سلف إنو كان فاحشة ومقتا وساء (۲۲سبيلا )
اتكم وخالاتكم وب نات الأخ وب نات حرمت هاتكم وب ناتكم وأخواتكم وعم عليكم أمهات نسائكم وربائبكم هاتكم اللات أرضعنكم وأخواتكم من الرضاعة وأم الأخت وأم
جناح سائكم اللات دخلتم بن فإن ل تكونوا دخلتم بن فلاف حجوركم من ن عليكم وحلائل أب نائكم الذين من أصلابكم وأن تمعوا ب ي الأخت ي إلا ما قد سلف
(۲۳) إن اللو كان غفورا رحيما
Artinya:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah
dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”. “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-
anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan
sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dari ayat tersebut, maka muhrim dapat dibagi menjadi, yaitu:
a) Ibu kandung;
17
b) Anak perempuan;
c) Saudara perempuan baik saudara perempuan seibu-sebapak ;
d) Saudara perempuan dari bapak termasuk semua anak-anak
perempuan dari kakek atau nenek;
e) Saudara perempuan dari ibu;
f) Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki atau parempuan
g) Ibu sesusuan
h) Saudara sesusuan
i) Mertua perempuan
j) Anak tiri
k) Istri anak kandung sendiri dan istri anak-anak keturunannya
l) Dua saudara menjadi istri juga saudara perempuan bersama
saudara ibu/bapaknya.
3. Wali
Bagi mempelai perempuan harus ada izin atau persetujuan
dari wali, sedang bagi mempelai laki-laki izin atau persetujuan di
perlukan selama belum dewasa. Sedangkan yang menjadi wali
menurut urutan adalah (Samidjo, 1993: 125):
a) Bapak
b) Kakak
c) Saudara laki-laki seibu sebapak
d) Saudara laki-laki sebapak
e) Anak saudara laki-laki seibu sebapak
18
f) Anak saudara sebapak
g) Saudara laki-laki dari bapak, yang seibu sebapak
h) Saudara laki-laki dari bapak, yang sebapak
i) Anak laki-laki dari saudara laki-laki dari bapak, yang seibu
sebapak
j) Anak laki-laki dari Saudara laki-laki dari bapak, yang
sebapak
4. Dua orang saksi
Dalam sahnya perkawinan harus ada sedikitnya dua orang
saksi, yang syarat-syaratnya sebagai berikut:
a) Seorang muslim
b) Seorang merdeka
c) Dewasa
d) Pikiran sehat
e) Kelakuan baik.
5. Mahar atau mas kawin.
Dalam Islam “Sadaq” berarti mas kawin dan juga disebut
mahar, dalam perkawinan harus ada mahar atau mas kawin yaitu
suatu pemberian dari pihak laiki-laki sesuai dengan permintaan
pihak perempuan. Sedangkan besarnya mahar tidak dibatasi,
Islam hanya memberikan prinsip pokok yaitu secara ma’ruf
artinya dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan kemampuan
suami.
19
C. Larangan Perkawinan dalam Hukum Islam
Meskipun dalam pernikahan telah dipenuhi syarat dan rukun
perkawinan belum tentu perkawinan itu sah, karena pernikahan tersebut
harus lepas dari segala hal yang menghalanginya dan disebut juga
larangan perkawinan. Sedangkan larangan perkawinan dalam pembahasan
ini adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan perkawinan.
Menurut hukum syara’ larangan pernikahan dalam Islam
antaraseorang laki-laki dan seorang perempuan dibagi menjadi dua
yaitu larangan abadi atau selamanya dalam arti sampai kapan pun dan
dalam keadaan apapun laki-laki dan perempuan tidak boleh melakukan
perkawinan yang disebut juaga Mahram Muabbad.
Berdasarkan QS. an-Nisa ayat 23, wanita-wanita yang haram
dinikahi untuk selamanya (mahram muabbad) karena pertalian nasab,
yaitu (Tihami, 2009: 65):
1. Ibu, perempuan yang ada hubungan darah dalam garis keturunan
garis ke atas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu)
2. Anak perempuan, wanita yang mempunyai hubungan darah
dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak perempuan, cucu
perempuan, baik dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan
dan seterusnya ke bawah.
3. Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja atau seibu
saja.
20
4. Bibi, saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung
ayah atau seibu dan seterusnya ke atas.
5. Kemenakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan
saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya ke
bawah.
Kemudian larangan yang kedua yaitu, larangan sementara waktu
tertentu, jika suatu ketika bila keadaan dan waktu tertentu sudah berubah
ia sudah tidak lagi menjadi haram dan pernikahan tersebut mahram
muaqqat atau di sebut juga mahram ghairu muabbad.
Mahram ghairu muabbad adalah larangan perkawinan yang
berlaku untuk sementara waktu yang di sebabkan oleh hal tertentu.
Larangan perkawinan (mahram ghairu muabbab) itu berlaku dalam hal-
hal tersebut dibawah ini:
a) Menikahi dua orang saudara dalam satu masa
b) Poligami di luar batas
c) Larangan karena ikatan perkawinan
d) Larangan karena talak tiga
e) Larangan karena ihram
f) Larangan karena perzinaan
g) larangan karena beda agama
21
D. Syarat dan Rukun Nikah dalam Perundang-undangan dan Kompilasi
Hukum Islam
Syarat-syarat perkawinan juga diatur dalam Perundang-undangan
Indonesia yaitu dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 1 sampai dengan 12. Syarat-syarat yang
harus dilaksanakan sebelum pihak melangsungkan perkawinan terbagi
atas syarat materil dan formil. Syarat materil adalah mengenai diri pribadi
calon suami istri, sedangkan syarat formil adalah mengenai formalitas
atau prosedur yang harus diikuti oleh calon suami istri sebelum maupun
pada saat dilangsungkannya perkawinan (Badan Penelitian dan
Pengembangan HAM Kementrerian Hukum dan HAM RI, hal 25). Dalam
pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan menyatakan:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dalam Pasal 2 ayat (2) menyatakan:
“Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.”
Pada dasarnya sahnya suatu perkawinan menurut Undang-undang
ialah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan, setelah
sah menurut agama dan kepercayaannya itu barulah Perkawinan tersebut
22
dicatat untuk mendapatkan pengakuan dari Negara (Badan Penelitian dan
Pengembangan HAM Kementrerian Hukum dan HAM RI, hal. 25).
Syarat materil terbagi menjadi 2 (dua) yaitu syarat materil umum
yang berlaku bagi pernikahan pada umumnya dan syarat materil
khusus bagi pernikahan tertentu. Syarat materil umum diatur pada pasal 6
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu:
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang
tua.
(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehandaknya, maka
izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang
tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas
selama mereka masih hidup dalam keadaan menyatakan
kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih
23
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan
dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Yang dimaksud dengan persetujuan kedua calon mempelai dalam
ayat 1 adalah adanya persetujuan bebas tanpa adanya paksaan lahir dan
bathin dari pihak manapun untuk melaksanakan perkawinan, karena pada
hakikatnya perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat
membentuk keluarga yang kekal dan bahagia (Badan Penelitian dan
Pengembangan HAM Kementrerian Hukum dan HAM RI, hal. 26).
Undang-undang ini juga mengatur tentang persyaratan umur minimal bagi
calon suami dan calon istri serta beberapa alternatif lain untuk
mendapatkan jalan keluar apabila ketentuan umur minimal tersebut
belum terpenuhi. Mengenai masalah umur ini masih merupakan syarat
materil yaitu tercantum dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan yaitu:
(1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19
tahun (sembilan belas) tahun dan puhal wanita sudah mencapai
usia 16 (enam belas) tahun.
24
(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh
kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua
orang tua tersebut Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-Undang ini,
berlaku juga dalam permintaan dispensasi tersebut ayat (2) Pasal
ini dengan tidak mengurani yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(6).
Syarat materil khusus yang berisi izin melangsungkan perkawinan
dapat dilihat dalam pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan tersebut (Badan Penelitian dan Pengembangan
HAM Kementrian Hukum dan HAM RI, hlm. 27).
Syarat-syarat formil dalam perkawinan juga terbagi 2 (dua) yaitu:
1. Syarat formil yang dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan
adalah:
a. Perkawinan harus didahului oleh suatu pemberitahuan oleh
kedua calon mempelai kepada pegawai pencatat nikah
(pegawai Kantor Urusan Agama untuk yang beragama Islam
dan pegawai Kantor Catatan Sipil untuk yang beragama
selain Islam).
b. Pemberitahuan harus dilengkapi dengan surat-surat
pembuktian yang diperlukan sesuai dengan syarat-syarat
25
yang ditentukan oleh Undang-undang untuk pelaksanaan
perkawinan.
c. Pelaksanaan perkawinan baru dapat dilaksanakan setelah
lampau tenggang waktu 10 (sepuluh) hari terhitung dari
tanggal pemberitahuan.
2. Syarat formil yang dilakukan pada saat dilangsungkannya
perkawinan adalah:
a. Perkawinan dilangsungkan oleh atau dilakukan di hadapan
pegawai pencatat nikah (pegawai Kantor Urusan Agama
untuk yang beragama Islam dan pegawai Kantor Catatan
Sipil untuk yang beragama selain Islam).
b. Perkawinan harus dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila telah
dipenuhi syarat-syaratnya, baik syarat materil maupun syarat formil maka
kedua mempelai telah resmi menjadi suami istri. Apabila syarat-syarat
tersebut tidak dipenuhi maka dapat menimbulkan ketidakabsahan
perkawinan yang bisa saja akan mengakibatkan batalnya suatu
perkawinan (Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementrerian
Hukum dan HAM RI, hal. 28). Sebagaimana diatur dalam Pasal 22
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang
berbunyi:
“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
26
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam
Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau
isteri
b. Suami atau isteri
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan diputuskan
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang
ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara
langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah
perkawinan ini putus.
Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang Rukun dan Syarat
Perkawinan dalam Pasal 14 sampai dengan pasal 38. Berbeda dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi
Hukum Islam membahas rukun perkawinan mengikuti sistematika fikih
yang mengaitkan rukun dan syarat sahnya perkawinan.
Pada bagian
kesatu Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam menyatakan, untuk
melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon suami
b. Calon istri
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi dan
e. Ijab Kabul
27
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan lima rukun perkawinan
sebagaimana fikih, dalam persyaratannya Kompilasi Hukum Islam
mengikuti Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang
melihat syarat hanya berkenaan dengan persetujuan kedua calon
mempelai dan batasan umur. Pasal-pasal berikutnya juga membahas
tentang wali (Pasal 19), saksi (Pasal 24), akad nikah (Pasal 27), namun
sistematikanya diletakkan pada bagian yang terpisah dari pembahasan
rukun. Kompilasi Hukum Islam tidak mengikuti skema fikih juga tidak
mengikuti Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang hanya
membahas persyaratan perkawinan menyangkut kedua calon mempelai.
Bagian mengenai wali nikah, Pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam
menyatakan:
“Wali nikah alam perkawinan merupakan rukun yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya.
Dalam Pasal 20 dinyatakan:
1. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan balig.
2. Wali nikah terdiri dari:
a. Wali nasab
b. Wali hakim.
Pada Pasal 21 dibahas empat kelompok wali nasab yang
pembahasannya samadengan fikih Islam seperti pertama ,kelompok
28
kerabat laki-laki garis keturunan keatas. Kedua, kelompok kerabat
saudara laki-laki kandung, seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga,
kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara
seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-
laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-
laki mereka.
Menyangkut wali hakim dinyatakan pada Pasal 23 yang berbunyi:
1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali
nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak
diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan.
2. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan
Agama tentang wali tersebut.
Mengenai saksi nikah Kompilasi Hukum Islam masih senada
dengan apa yang berkembang dalam fikih. Pada bagian keempat
Pasal 24 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa saksi nikah merupakan rukun
nikah dan setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Mengenai syarat saksi terdapat pada Pasal 25 yang berbunyi:
“Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah
seorang laki-laki muslim, adil, akil, balig, tidak terganggu ingatan dan
tidak runa rungu atau tuli”.
Pada Pasal 26 berbicara tentang keharusan saksi menghadiri akad
nikah secara langsung dan menandatangani akta nikah secara langsung
29
dan menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah
dilangsungkan (Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementrian
Hukum dan HAM RI, hlm. 30).
Bagian kelima Pasal 27 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang
akad nikah, ijab kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas,
beruntun dan tidak berselang waktu. Pasal 28 mengatur tentang kebolehan
wali nikah untuk mewakilkan hak walinya kepada orang lain. Pasal 29
memberi ruang kepada calon mempelai pria dimana dalam keadaan
tertentu dapat mewakilkan dirinya kepada orang lain dengan syarat
adanya surat kuasa dan pernyataan bahwa orang yang diberi kuasa adalah
mewakili dirinya, diatur pula pada ayat (3), jika wali keberatan dengan
perwakilan calon mempelai pria maka akad nikah tidak dapat
dilangsungkan. Mahar sebagai syarat sah perkawinan juga diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam yaitu pada Pasal 30 sampai 38, dalam Pasal 30
dinyatakan:
”Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon
mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua
belah pihak”.
Pasal yang juga sangat penting diperhatikan adalah terdapat dalam
Pasal 31 yang berbunyi:
“Penentuan Mahar berdasarkan atas asas kesederhanaan dan
kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran islam.”
30
Dengan demikian meskipun mahar itu wajib, namun dalam
penentuannya tetaplah harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan
kemudahan. Maksudnya, bentuk dan harga mahar tidak boleh
memberatkan calon suami dan tidak pula boleh mengesankan asal ada
atau apa adanya, sehingga calon istri tidak merasa dilecehkan atau
disepelekan. Sejalan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, dalam Kompilasi Hukum Islam juga dikenal
batalnya suatu perkawinan apabila syarat-syarat perkawinan tidak
dipenuhi oleh suami isteri yang melangsungkan perkawinan maka
perkawinanya tersebut dapat dibatalkan.
Adapun perkawinan beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam
secara ekspilisit dapat dilihat dari ketentuan empat pasal.
1. Pada pasal 40 KHI, dinyatakan; Dilarang melangsungkan perkawinan
antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangutan masih terikat satu perkawinan
dengan pria lain.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam (Departemen Agama
RI, Kompilasi Hukum Islam, 1993: 32).
2. Pasal 44 KHI; ”Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.”
(Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, 1993: 33).
31
3. Pasal 61 KHI; ”Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk
mencegah perkawinan kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama
atau ikhtilaf al-din (Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum
Islam, 1993: 39).
4. Pasal 116 KHI; Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-
alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabok, pemadat,
penjudi dan lain sebaginya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara (lima) tahun, atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankannya sebagai suami atau istri.
e. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
f. Suami melanggar taklik talak.
g. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga (Departemen Agama RI,
Kompilasi Hukum Islam, 1993: 59).
32
BAB III
HUKUM NIKAH BEDA AGAMA PERSPEKTIK TAFSIR AL-MISBAH
DAN FIQIH LINTAS AGAMA
A. Biografi M. Quraish Shibab
M. Quraish Shihab atau yang biasa dikenal dengan nama Quraish
Shihab lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan
(Abuddin, 2005: 362). Beliau telah dilahirkan dan dibesarkan dalam
lingkungan keluarga muslim yang taat beragama, yang sebagian orang
menyebut sebagai keluarga Habib (Sayyid). Ayahnya bernama
Abdurrahman Shihab (1905-1986), seorang ulama yang memiliki
keturunan Arab yang terpelajar, guru besar tafsir di IAIN Alauddin,
Ujung Pandang, dan termasuk salah satu pendiri Universitas Muslim
Indonesia (UMI), Makasar (Junaidi, 2011: 24).
Sebagai seorang yang memiliki pikiran maju, Abdurrahman yakin
bahwa pendidikan adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan
pandangannya yang demikian maju itu dapat dilihat dari latar belakang
pendidikannya, yaitu Jami'atul Khair, lembaga pendidikan Islam tertua di
Indonesia. Murid-murid belajar di lembaga ini diajari tentang gagasan-
gagasan pembaruan dan pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena lembaga
ini memiliki hubungan yang erat dengan sumber-sumber pembaruan di
Timur Tengah seperti Hadramaut, Haramaian dan Mesir. Banyak guru-
guru yang didatangkan ke lembaga tersebut, di antaranya Syaikh Ahmad
33
Soorkati yang berasal dari Sudan, Afrika. M. Quraish Shihab
menyelesaikan sekolah dasarnya di kota Ujung pandang. Ia kemudian
melanjutkan sekolah menengahnya di kota Malang sambil belajar agama
di Pesantren Dar al-Hadits al-Fiqhiyah. Pada tahun 1958, ketika berusia
14 tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studi, dan
diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Setelah itu ia diterima sebagai
mahasiswa di Universitas Al-Azhar dengan mengambil Jurusan Tafsir
dan Hadis, Fakultas Ushuluddin hingga menyelesaikan Lc pada tahun
1967. Kemudian ia melanjutkan studinya di jurusan dan universitas yang
sama hingga berhasil mempertahankan tesisnya yang berjudul Al-
Ijazasyri'i li Alquranal-Karim pada tahun 1969 dengan gelar M.A.
Setelah menyelesaikan studinya dengan gelar M.A. tersebut, untuk
sementara ia kembali ke Ujung Pandang. Dalam kurun waktu kurang
lebih sebelas tahun (1969 sampai 1980) ia terjun ke berbagai aktivitas
sambil menimba pengalaman empirik, baik dalam bidang kegiatan
akademik di IAIN Alauddin maupun di berbagai institusi pemerintah
setempat. Dalam masa menimba pengalaman dan karier ini, ia terpilih
sebagai Pembantu Rektor III IAIN Ujung Pandang. Selain itu, ia juga
terlibat dalam pengembangan pendidikan perguruan tinggi swasta wilayah
Timur Indonesia dan diserahi tugas sebagai koordinator wilayah. Di
tengah-tengah kesibukannya itu, ia juga aktif melakukan kegiatan ilmiah
yang menjadi dasar kesarjanaannya. Beberapa penelitian telah
dilakukannya. Di antaranya, ia meneliti tentang “Penerapan Kerukunan
34
Hidup Beragama di Timur Indonesia” (1975), dan “Masalah Wakaf di
Sulawesi Selatan” (1978) (Abuddin, 2005: 363). Pada tahun 1980, M.
Quraish Shihab kembali ke Mesir untuk meneruskan studinya di Program
Pascasarjana Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis, Universitas Al-
Azhar. Hanya dalam waktu dua tahun (1982) dia berhasil menyeiesaikan
disertasinya yang berjudul “Nazm al-Durar li al- Biqai Tahqiq wa
Dirasah” dan berhasil dipertahankan dengan nilai Suma Cum Laude.
Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi M. Quraish
Shihab untuk melanjutkan kariernya. Beliau pindah tugas dari IAIN
Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini beliau
aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Alquran di Program SI, S2 dan S3
sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai
dosen, beliau juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN
Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu
beliau dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama
kurang lebih selama dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia
diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik
Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap Negara
Republik Djibauti berkedudukan di Kairo.
Kehadiran M. Quraish Shihab di Ibu kota Jakarta telah
memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini
terbukti dengan adanya berbagai kegiatan yang dijalankannya di tengah-
tengah masyarakat. Selain mengajar, beliau juga dipercaya untuk
35
menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashhih
Alquran Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa
organisasi profesional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini berdiri.
Selanjutnya beliau juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu
Syariah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Dapertemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang beliau lakukan
adalah sebagai Dewan Studia Islamika Indonesian Journal for Islamic
Studies, Ulumul Qur‟an, Mimbar Ulama, dan Refleksi Jurnal Kajian
Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta. Di samping
kegiatan tersebut di atas, M. Quraish Shihab juga telah dikenal sebagai
penulis dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar belakang
keilmuan yang kokoh yang beliau tempuh melalui pendidikan formal
serta ditopang oleh kemampuannya menyampaikan pendapat dan gagasan
dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas, rasional, kecenderungan
pemikiran yang moderat, beliau tampil sebagai penceramah penulis yang
bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Kegiatan ceramah ini beliau
lakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta, seperti Masjid al-Tin
dan Fathullah, di lingkungan pejabat pemerintah seperti Istiqlal serta di
sejumlah stasiun televisi atau media elektronik, khususnya di bulan
Ramadhan. Beberapa stasiun televisi, seperti RCTI, Metro TV
mempunyai program khusus selama Ramadhan yang diasuh olehnya.
36
Di tengah-tengah berbagai aktivitas sosial, keagamaan tersebut, M.
Quraish Shihab juga tercatat sebagai penulis yang sangat prolifik. Buku-
buku yang telah beliau tulis antara lain berisi tentang kajian di sekitar
epistemologi al Qur’an hingga menyentuh permasalahan hidup dan
kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Beberapa
karya tulis yang telah dihasilkannya antara lain: disertasinya: Durar li al-
Biqa'i (1982), Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (1992), Wawasan Al-Qur'am Tafsir Maudlu'i atas
Pelbagai Persoalan Umat (1996), Studi Kritis Tafsir al-Manar (1994),
Mu'jizat Alquran Ditinjau dari Aspek Bahasa (1997), Tafsir al-Mishbah
(hingga tahun 2004) sudah mencapai 14 jilid (Abuddin, 2005: 365).
Selain itu beliau juga banyak menulis karya ilmiah yang berkaitan
dengan masalah kemasyarakatan. Di majalah Amanah beliau mengasuh
rubrik Tafsir al-Amanah", di Harian Pelita ia pernah mengasuh rubrik
"Pelita Hati", dan di Harian Republika dia mengasuh rubrik atas namanya
sendiri, yaitu M. Quraish Shihab Menjawab".
Dari karyah karya tulis M. Quraish Shibab yang dianalisis
Kusmana ditemukan kesimpulan bahwa secara umum karakteristik
pemikiran keislaman M. Quraish Shihab adalah bersifat rasional dan
moderat. Sifat rasional pemikirannya diabdikan tidak untuk, misalnya,
memaksakan agama mengikuti kehendak realitas kontemporer, tetapi
lebih mencoba memberikan penjelasan atau signifikansi khazanah agama
klasik bagi masyarakat kontemporer atau mengapresiasi kemungkinan
37
pemahaman dan penafsiran baru tetapi dengan tetap sangat menjaga
kebaikan tradisi lama. Dengan kata lain, beliau tetap berpegang pada
adagium ulama al-muhafadzah bi al-qadim al-shalih wa al-akhdz hi al-
jadid al-ashlah (memilihara tradisi lama yang masih relevan dan
mengambil tradisi baru yang lebih baik) (Abuddin, 2005: 366).
B. Metode Tafsir al-Misbah
Adapun metode penyusunan Tafsir Al-Mishbah adalah
menggunakan metode tahlily. Dalam menggunakan metode tahlily, M.
Quraish Shihab terkesan menutupi kelemahan-kelemahan metode tahlily
dengan menggunakan metode maudhu‟I di dalamnya, yang kemudian
menjadi kelebihan tersendiri bagi ” Tafsir Al-Mishbah”. Hal ini terlihat
dari caranya membahas setiap surat atau ayat, di mana ia selalu
melakukan pengelompokan atas ayat-ayat dalam surat dimaksud sesuai
dengan tema pokoknya. Misalnya Surah Waqi’ah, ayat-ayat dalam surah
ini dikelompokkannya kedalam VI (enam) kelompok, yang jumlah ayat di
masing-masing kelompok tidak sama, tergantung pada sub topik yang
dikandungnya (Junaidi, 2011: 63). Sedangkan coraknya, Tafsir Al-
Mishbah dapat dipahami sebagai tafsir yang bercorak Adabi Ijtima‟i,
yaitu corak sastra/bahasa dan kemasyarakatan. Yang demikian karena
aspek-aspek tersebutlah yang cukup menonjol (Junaidi, 2011: 65).
38
C. Pemikiran tentang Pernikahan Beda Agama menurut M. Quraish
Shihab
1. Surat Al Baqarah ayat 221 dan penafsiran dalam kitab al-
Misbah:
ر من مشركة ولو أعجبتكم ولا ولا ت نكحوا المشركات حت ي ؤمن ولأمة مؤمنة خي ر من مشرك ولو أعجبكم أولئك ت نكحوا المشركي حت ي ؤمنوا ولعبد مؤمن خي
آياتو للناس لعل هم يدعون إل النار واللو يدعو إل النة والمغفرة بإذنو وي ب ي
رون (۲۲۱) ي تذك
Artinya:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
(QS. Al Baqarah: 221)
Pada ayat diatas dijelaskan bahwa pemilihan pasangan adalah batu
pertama pondasi bangunan rumah tangga. Ia harus sangat kukuh, karena
kalau tidak, bangunan tersebut akan roboh kendati hanya dengan sedikit
goncangan, apalagi jika beban yang ditampungnya semakin berat dengan
kelahiran anak-anak. Pondasi kokoh tersebut bukanlah kecantikan dan
ketampanan, karena keduanya bersifat relatif, sekaligus cepat pudar,
bukan juga harta benda, karena harta mudah didapat sekaligus mudah
lenyap, bukan pula status sosial atau kebangsawanan karena ini pun
39
sementara, bahkan dapat lenyap seketika. Pondasi yang kokoh yang
dimaksud adalah yang bersandar pada iman kepada Yang Maha Esa
(Shihab, 2002: 472).
Untuk itu, setiap pemilihan pasangan haruslah yang berdasarkan
agama, keimanan yang kuat serta berlandaskan al qur’an supaya dalam
mengarungi bahtera rumah tangga bisa berjalan lurus sesuai ajaran islam.
Karena itu wajar jika dalam Tafsir Al-Mishbah pesan pertama kepada
mereka yang bermaksud membina rumah tangga adalah: Dan janganlah
kamu, wahai pria-pria muslim, menikahi, yakni menjalin ikatan
perkawinan, dengan wanita-wanita musyrik, walaupun dia, yakni wanita-
wanita musyrik itu, menarik hati kamu, karena ia cantik, bangsawan,
kaya, dan lain-lain. Dan janganlah kamu, wahai para wali, menikahkan
orang-orang musyrik para penyembah berhala, dengan wanita-wanita
mukmin sebelum mereka beriman dengan iman yang benar.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik
walaupun dia menarik hati kamu karena ia gagah, bangsawan atau kaya
dan lain-lain (Shihab, 2002: 473).
Jadi menurut penjelasan Tafsir Al-Mishbah bahwa larangan
pernikahan antara pria maupun wanita yang beragama islam dengan pria
atau wanita yang beragama selain islam. Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir
juga dijelaskan bahwa Allah mengharamkan atas orang-orang mukmin
menikahi wanita-wanita yang musyrik dari kalangan penyembah berhala.
kemudian jika makna yang dimaksud bersifat umum, berarti termasuk ke
40
dalam pengertian setiap wanita musyrik kitabiyah dan wasaniyah. hal
yang sama juga dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair Mak-
hul, Al Hasan, Ad Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ar Rabi' ibnu Anas, dan
lain-lainnya. Menurut pendapat yang lain, bahkan yang dimaksud oleh
ayat ini adalah orang-orang musyrik dari kalangan penyembah berhala,
bukan Ahli Kitab secara keseluruhan.
Makna pendapat ini berdekatan dengan pendapat yang pertama
tadi (Ad Dimasyqi, 2004: 418) Dalam penjelasan tafsir diatas dijelaskan
mengenai syirik. Sebagaimana dalam penjelas M. Quraish Shihab yang
dimaksud dengan syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan
sesuatu. Dalam pandangan agama, seorang musyrik adalah siapa yang
percaya bahwa ada Tuhan bersama Allah, atau siapa yang melakukan satu
aktivitas yang bertujuan utama ganda, pertama kepada Allah, dan kedua
kepada selain- Nya. Dengan demikian, semua yang mempersekutukan-
Nya dari sudut pandang tinjauan ini, adalah musyrik (Shihab, 2002: 473).
Orang-orang Kristen yang percaya tentang Trinitas, adalah musyrik, dari
sudut pandang di atas. Namun demikian, pakar-pakar al-Qur'an yang
kemudian melahirkan pandangan hukum, mempunyai pandangan lain.
Menurut pengamatan mereka, kata musyrik atau musyrikin dan
musyrikat, digunakan al-Qur'an untuk kelompok tertentu yang
mempersekutukan Allah. Mereka adalah para penyembah berhala, yang
ketika turunnya al-Qur'an masih cukup banyak, khususnya yang
bertempat tinggal di Mekah. Dengan demikian, istilah al-Qur'an berbeda
41
dengan istilah keagamaan di atas. Walaupun penganut agama Kristen
percaya kepada Tuhan Bapa dan Tuhan Anak, namun al Qur'an tidak
menamai mereka orang-orang musyrik, tetapi menamai mereka Ahl al-
Kitab. Perhatikan antara lain firman-firman Allah berikut:
من خير من ربكم ما ي ود الذين كفروا من أىل الكتاب ولا المشركي أن ي ن زل عليكم
(۱۰٥) واللو يتص برحتو من يشاء واللو ذو الفضل العظيم Artinya:
“Orang-orang kafir dari Ahl al-Kitab dan orang-orang
musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan
kepadamu dari Tuhanmu” (QS. al-Baqarah [2]: 105).
نة ي حت تأتي هم الب ي فك (۱) ل يكن الذين كفروا من أىل الكتاب والمشركي من
Artinya:
“Orang-orang kafir, yakni Ahl al-Kitab dan orang-orang
musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan
meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka
buktiyang nyata”. (QS. al-Bayyinah [98]: 1).
Dari bacaan diatas orang kafir ada dua macam. Pertama, Ahl al-
Kitab dan kedua, orang-orang musyrik. Itu istilah yang digunakan al
Qur'an untuk satu substansi yang sama, yakni kekufuran dengan dua nama
yang berbeda yaitu Ahl al-Kitab dan al-musyrikun. Ini lebih kurang sama
dengan kata korupsi dan mencuri. Walau substansi keduanya sama, yakni
mengambil sesuatu yang bukan haknya, tetapi dalam penggunaan,
biasanya bila pegawai mengambil yang bukan haknya maka ia adalah
koruptor, dan bila orang biasa bukan pegawai maka ia dinamai pencuri
(Shihab, 2002: 474).
42
Perbedaan kata ini menjadi sangat perlu karena diayat lain dalam
al Qur'an ditemukan izin bagi pria muslim untuk mengawini wanita-
wanita Ahl al Kitab (QS. al-Ma'idah [5]: 5). Mereka yang memahami kata
musyrik, mencakup Ahl al Kitab, menilai bahwa ayat al Ma'idah itu telah
dihapus hukumnya oleh ayat al Baqarah di atas. Tetapi pendapat itu
sangat sulit diterima, karena ayat al-Baqarah lebih dahulu turun dari ayat
al Ma'idah, dan tentu saja tidak logis jika sesuatu yang datang terlebih
dahulu menghapus hukum sesuatu yang belum datang atau yang datang
sesudahnya. Ini akan lebih sulit lagi bagi yang berpendapat bahwa tidak
ada ayat-ayat yang batal hukumnya. Belum lagi dengan riwayat-riwayat
yang mengatakan bahwa sekian banyak sahabat Nabi saw. dan tabi'in
yang menikah dengan Ahl al-Kitab. Khalifah Utsman Ibn 'Affan misalnya
kawin dengan wanita Kristen, walau kemudian istrinya memeluk Islam;
Thalhah dan Zubair, dua orang sahabat Nabi saw. terkemuka juga kawin
dengan wanita Yahudi (Shihab, 2002: 474).
Kalau penggalan ayat pertama ditujukan kepada pria muslim,
maka penggalan ayat kedua ditujukan kepada para wali. Para wali
dilarang mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan orang-orang
musyrik. Paling tidak ada dua hal yang perlu digaris bawahi di sini.
Pertama, ditujukannya penggalan kedua tersebut kepada wali, memberi
isyarat bahwa wali mempunyai peranan yang tidak kecil dalam
perkawinan putri-putrinya atau wanita-wanita yang berada di bawah
perwaliannya. Peranan tersebut dibahas oleh para ulama dan
43
menghasilkan aneka pendapat. Ada yang berpendapat sangat ketat,
sampai mensyaratkan persetujuan dan izin yang bersifat pasti dari para
wali dalam penentuan calon suami putrinya. Tidak sah perkawinan dalam
pandangan ini tanpa persetujuan itu. Tetapi ada juga yang hanya memberi
sekadar hak untuk mengajukan tuntutan pembatalan jika perkawinan
berlangsung tanpa restunya. Menurut penganut pandangan ini, tuntunan
tersebut pun tidak serta merta dapat dibenarkan, kecuali setelah
memenuhi sejumlah syarat. Bukan di sini tempatnya diuraikan (Shihab,
2002: 475).
Meskipun demikian, perlu diingat, bahwa perkawinan yang
dikehendaki Islam, adalah perkawinan yang menjalin hubungan yang
harmonis antar suami istri, sekaligus antar keluaraga, bukan saja keluarga
masing- masing, tetapi juga antar keluarga kedua mempelai. Dari sini,
perananan orang tua dalam perkawinan menjadi sangat penting, baik
dengan member wewenang besar kepada orang tua, maupun hanya
sekadar restu. Karena itu, walau Rasul saw. memerintahkan orang tua
untuk meminta persetujuan anak gadisnya, namun karena tolok ukur anak
tidak jarang berbeda dengan tolok ukur orang tua, maka tolok ukur anak,
ibu dan bapak, harus dapat menyatu dalam mengambil keputusan
perkawinan.
Kedua, larangan mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan
orang orang musyrik. Walaupun pandangan mayoritas ulama tidak
memasukkan Ahl al Kitab dalam kelompok yang dinamai musyrik, tetapi
44
muslimah. Larangan tersebut, menurut ayat di atas, berlanjut hingga
mereka beriman, sedang Ahl al Kitab, tidak dinilai beriman, dengan iman
yang dibenarkan Islam. Bukankah mereka walau tidak dinamai musyrik
tetapi dimasukkan dalam kelompok kafir? Apalagi dari ayat lain dipahami
bahwa wanita-wanita muslimah tidak diperkenankan juga mengawini atau
dikawinkan dengan pria Ahl al-Kitab, sebagaimana yang secara tegas
dinyatakan oleh QS. al Mumtahanah [60]: 10, “ Mereka, wanita-wanita
muslimah, tiada halal bagi orang-orang kafir, dan orang-orang kafir itu
tiada halal pula bagi mereka."
Ayat ini, walaupun tidak menyebut kata Ahl al Kitab, tetapi istilah
yang digunakannya adalah “orang-orang kafir”, dan seperti dikemukakan
di atas, Ahl al Kitab adalah salah satu dari kelompok orang-orang kafir.
Dengan demikian, walaupun ayat ini tidak secara langsung menyebut Ahl
al-Kitab, namun ketidak halalan tersebut tercakup dalam kata "orang-
orang kafir". Alasan utama perkawinan beda agama adalah perbedaan
iman, hal inilah yang menjadi dasar utama larangan tersebut. Perkawinan
dimaksudkan agar terjalin hubungan yang harmonis, minimal antara
pasangan suami istri dan anak-anaknya. Bagaimana mungkin
keharmonisan tercapai jika nilai-nilai yang dianut oleh suami berbeda,
apalagi bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh istri? Nilai-nilai
mewarnai pikiran dan tingkah laku seseorang. Dalam pandangan Islam,
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa adalah nilai tertinggi, yang bagaimana
pun tidak boleh dikorbankan. Ia harus dilestarikan dan diteruskan ke anak
45
cucu. Kalau nilai ini tidak dipercayai oleh salah satu pasangan, maka
bagaimana ia dapat diteruskan kepada anak cucu? Di sisi lain, kalau
pandangan hidup ini tidak diwujudkan dalam kehidupan nyata, maka
apakah masih ada nilai lain yang akan diwujudkan dan dipraktekkan?
Dapatkah seseorang mentoleransi inti kepercayaan atau bahkan
mengorbankannya atas nama cinta, atau karena kekaguman pada
kecantikan atau ketampanan, harta dan status sosial? Semua yang
dikagumi itu tidak langgeng. Sedang perkawinan diharapkan langgeng.
Yang langgeng dan dibawa mati adalah keyakinan, karena itu untuk
langgengnya perkawinan, maka sesuatu yang langgeng harus menjadi
landasannya. Itu pula sebabnya ayat di atas berpesan: Wanita yang status
sosialnya rendah, tetapi beriman, lebih baik daripada wanita yang status
sosialnya tinggi, cantik dan kaya, tetapi tanpa iman. Pernyataan ini Allah
sampaikan dengan menggunakan redaksi pengukuhan sesungguhnya
(Shihab, 2002: 476). Sementara sejumlah ulama menggaris bawahi ada
faktor lain yang berkaitan dengan larangan perkawinan muslimah dengan
non-muslim, yakni faktor anak. Menurut Mutawalli asy-Sya'rawi, dalam
uraiannya tentang ayat ini menggaris bawahi, bahwa anak manusia adalah
anak yang paling panjang masa kanak- kanaknya. Berbeda dengan lalat
yang hanya membutuhkan dua jam, atau binatang lain yang hanya
membutuhkan sekitar sebulan. Anak membutuhkan bimbingan hingga ia
mencapai usia remaja. Orang tualah yang berkewajiban membimbing
anak tersebut hingga ia dewasa. Nah, berapa tahun ia akan dibimbing oleh
46
orang tua yang tidak memiliki nilai-nilai ketuhanan, jika ibu atau
bapaknya musyrik? Kalau pun sang anak kemudian beriman, dapat
diduga bahwa imannya memiliki kekeruhan akibat pendidikan orang
tuanya di masa kecil. Karena itu, Islam melarang perkawinan tersebut
(Shihab, 2002: 476).
Setelah menjelaskan larangan di atas, ayat ini melanjutkan uraian
dengan menjelaskan lebih jauh sebab larangan itu, yakni karena Mereka
mangajak kamu, dan anak-anak kamu yang lahir dari buah perkawinan,
ke neraka dengan ucapan atau perbuatan dan keteladanan mereka, sedang
Allah mengajak kamu dan siapa pun menuju amalan-amalan yang dapat
mengantar ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Penggalan ayat ini memberi kesan, bahwa semua yang mengajak
ke neraka adalah orang-orang yang tidak wajar dijadikan pasangan hidup.
Sementara pemikir muslim dewasa ini cenderung memasukkan semua
non- muslim termasuk Ahl al Kitab dalam kelompok yang mengajak ke
neraka, dan pada dasarnya mereka cenderung mempersamakan Ahl al
Kitab dengan musyrik. Hemat penulis, mempersamakan mereka dengan
musyrik bukan pada tempatnya, setelah al Qur'an membedakan mereka.
Memang, kita harus membedakan mereka dengan kaum musyrikin, atau
orang-orang komunis, karena paling sedikit Ahl al Kitab Yahudi dan
Nasrani memiliki kitab suci dengan norma-norma akhlak, serta ketentuan-
ketentuan yang bila mereka indahkan dapat mengantar kepada terciptanya
satu perkawinan yang tidak otomatis buruk. Nilai kepercayaan kepada
47
Tuhan, mempunyai nilai yang sangat penting dalam mengarahkan
seseorang menuju nilai-nilai moral. Ini tidak ditemukan pada penyembah
berhala, apalagi di kalangan atheis. Namun demikian, kecenderungan
melarang perkawinan seorang muslim dengan wanita Ahl al Kitab atas
dasar kemaslahatan, bukan atas dasar teks al Qur'an, adalah pada
tempatnya, sehingga paling tidak perkawinan tersebut dalam sudut
pandangan hukum Islam adalah makruh. Sekali lagi digaris bawahi, ini
adalah antar pria muslin dengan wanita Ahl al Kitab, bukan wanita
muslimah dengan pria Ahl al Kitab, yang secara tegas dan pasti telah
terlarang dan haram hukumnya. Ayat ini ditutup dengan firman-Nya:
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya, yakni tuntunan-tuntunan-Nya kepada
manusia. Itu dijelaskan- Nya supaya kamu dapat mengingat, yakni
mengambil pelajaran. Memang sungguh banyak pelajaran dari tuntunan di
atas (Shihab, 2002: 477).
2. Surat Al Maidah: 5
الكتاب حل لكم وطعامكم حل الي وم أحل لكم الطيبات وطعام الذين أوتوا والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من لم والمحصنات من المؤمنات
أخدان ومن ر مسافحي ولا متخذيق بلكم إذا آت يتموىن أجورىن مصني غي (٥) يكفر بالإيمان ف قد حبط عملو وىو ف الآخرة من الاسرين
Artinya:
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan
Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
48
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-
gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya
dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi”. (Q.S.
Al Maidah: 5)
Ayat diatas, sekali Iagi Allah mengulangi pernyataan ayat lalu
dan menambahkan bahwa penggalan arti dari ayat Pada hari ini
dihalalkan bagi kamu, maksudnya bahwa kaum muslimin
diperbolehkan memakan binatang sembelihan orang-orang non
muslim yang telah diberi kitab. Sebagaimana penjelasan M. Quraish
Shihab dalam tafsirnya, halal sembelihan orang-orang yang diberi al
Kitab itu halal bagi kamu memakannya dan makanan kamu halal
pula bagi mereka, sehingga kamu tidak berdosa bila memberinya
kepada mereka. Dan dihalalkan juga bagi kamu menikahi wanita-
wanita yang menjaga kebormatan di antara wanita- wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi al-Kitab, yakni orang-orang Yahudi dan
Nasrani sebelum kamu, bila kamu telah membayar imbalan, yakni
mas kawin mereka, yakni telah melangsungkan akad nikah secara
sah, pembayaran dengan maksud memelihara kesucian diri kamu,
yakni menikahi sesuai tuntunan Allah, tidak dengan maksud
berwarna dan tidak pula menjadikannya pasangan-pasangan yang
dirahasiakan atau gundik-gundik. Dihalalkan kepada kamu
pernikahan itu, sambil kiranya kamu mengingat bahwa barang siapa
yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya. Jika
49
kekafiran tersebut dibawa mati dan ia di hari akhirat termasuk orang-
orang merugi (Shihab, 2002: 29).
Dalam Tafsir Al-Mishbah kata tha'am atau makanan yang
dimaksud oleh ayat di atas adalah sembelihan, karena sebelum ini
telah ditegaskan hal-hal yang diharamkan, sehingga selainnya
otomatis halal, baik sebelum maupun setelah dimiliki Ahl al Kitab.
Juga karena, sebelum ini terdapat uraian tentang penyembelihan dan
perburuan, sehingga kedua hal inilah yang menjadi pokok masalah.
Ada juga yang memahami kata makanan dalam arti buah- buahan,
biji-bijian, dan semacamnya. Namun pendapat ini sangat lemah.
Meskipun demikian, hendaknya perlu diingat bahwa tidak
otomatis semua makanan Ahl al Kitab menjadi halal. Karena bias
dimungkinkan makanan yang mereka hidangkan, telah bercampur
dengan bahan-bahan haram, misalnya minyak babi atau minuman
keras, dan bias juga adanya bahan yang najis tercampur didalamnya.
Dalam konteks ini Sayyid Muhammad Tanthawi, mantan Mufti Mesir
dan Pemimpin Tertinggi al-Azhar, menukil pendapat sementara
ulama bermazhab Malik yang mengharamkan keju dan sebangsanya
yang diproduksi di negara non-Muslim, dengan alasan bahwa
kenajisannya hampir dapat dipastikan. Namun setelah menukil
pendapat ini, Tanthawi menegaskan bahwa mayoritas ulama tidak
berpendapat demikian, dan bahwa memakan keju dan semacamnya
yang diproduksi di negeri-negeri non-Muslim dapat dibenarkan,
50
selama belum terbukti bahwa makanan tersebut telah bercampur
dengan najis (Shihab, 2002: 29).
Dijelaskan pula mengenai perbedaan pendapat ulama
tentang cakupan makna alladzina utu al kitab . Setelah para ulama
sepakat bahwa paling tidak mereka adalah penganut agama Yahudi
dan Nasrani, mereka kemudian berbeda pendapat apakah penganut
agama itu adalah generasi masa lalu dan keturunannya saja, atau
termasuk para penganut kedua agama itu hingga kini, baik yang
leluhurnya telah memeluknya maupun yang baru memeluknya. Ada
yang menolak menamai penganut Yahudi dan Nasrani dewasa ini
sebagai Ahl al Kitab. Kalau pendapat ini mempersempit pengertian
Ahl al Kitab, bahkan meniadakan wujudnya dewasa ini, maka ada
lagi ulama yang memperluas maknanya, sehingga memasukkan
dalam pengertian utu al - kitab, semua penganut agama yang
memiliki kitab suci atau semacam kitab suci hingga dewasa ini.
Sebagaimana pendapat Syeikh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
misalnya, menilai halal sembelihan penganut agama Budha dan
Hindu (Shihab, 2002: 30). Menurut M. Quraish Shihab penegasan
kata ( و ) wa tha'amukum / makanan kamu setelahsebelumnya
ditegaskan kata) wa tha'amuhum / makanan mereka (Ahl al Kitab)
adalah untuk menggarisbawahi bahwa dalam soal makanan
dibenarkan hukum timbal balik, tetapi dalam soal pernikahan tidak
ada timbal balik itu, dalam arti pria Muslim dapat menikah dengan
51
wanita Ahl al Kitab, tetapi pria Ahl al Kitab tidak dibenarkan
menikah dengan wanita Muslimah (Shihab, 2002: 30).
Secara gamblang membolehkan pernikahan antar pria Muslim
dengan wanita Ahl al Kitab, tetapi izin ini adalah sebagai jalan keluar
kebutuhan mendesak ketika itu, di mana kaum muslimin sering
bepergian jauh melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke keluarga
mereka, sekaligus juga untuk tujuan dakwah. Bahwa wanita
Muslimah tidak diperkenankan nikah dengan pria non-Muslim, baik
Ahl al Kitab lebih-lebih kaum musyrikin, karena mereka tidak
mengakui kenabian Muhammad saw. Pria Muslim mengakui
kenabian Isa, serta menggarisbawahi prinsip toleransi beragama,
lakum dinukum wa liya din, Pria yang biasanya, bahkan seharusnya,
menjadi pemimpin rumah tangga dapat mempengaruhi istrinya,
sehingga bila suami tidak mengakui ajaran agama yang dianut sang
istri maka dikhawatirkan akan terjadi pemaksaan beragama baik
secara terang-terangan maupun terselubung (Shihab, 2002: 31).
Telah disebutkan dalam al-Qur’an kata wa al-muhshanat /
wanita-wanita yang menjaga, kehormatan merupakan isyarat bahwa
yang seharusnya dinikahi adalah wanita-wanita yang menjaga
kehormatannya, baik wanita mukminah maupun Ahl al Kitab. Ada
juga yang memahami kata tersebut ketika dirangkaikan dengan utu
al-kitab dalam arti wanita-wanita merdeka. Memang kata itu dapat
berarti merdeka, atau yang terpelihara kehormatannya, atau yang
52
sudah nikah. Selanjutnya didahulukannya penyebutan wanita-wanita
mukminah memberi isyarat bahwa mereka yang seharusnya
didahulukan, karena betapapun, persamaan agama dan pandangan
hidup sangat membantu melahirkan ketenangan, bahkan sangat
menentukan kelanggengan rumah tangga. Ditutupnya ayat di atas
yang menghalalkan sembelihan Ahl al Kitab serta pernikahan pria
Muslim dengan wanita Yahudi dan Nasrani, dengan ancaman barang
siapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan
seterusnya, merupakan peringatan kepada setiap yang makan, dan
atau merencanakan pernikahan dengan mereka, agar berhati-hati
jangan sampai hal tersebut mengantar mereka kepada kekufuran,
karena akibatnya adalah siksa akhirat nanti.
Di sisi lain, ditempatkannya ayat ini sesudah pernyataan
keputusasaan orang-orang kafir dan sempurnanya agama Islam,
memberi isyarat bahwa dihalalkannya hal-hal tersebut antara lain
karena umat Islam telah memiliki kesempurnaan tuntunan agama dan
karena orang-orang kafir sudah sedemikian lemah, sehingga telah
berputus asa untuk mengalahkan kaum muslimin atau
memurtadkannya. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa izin tersebut
bertujuan pula untuk menampakkan kesempurnaan Islam serta
keluhuran budi pekerti yang diajarkan dan diterapkan oleh suami
terhadap para istri penganut agama Yahudi atau Kristen itu, tanpa
harus memaksanya untuk memeluk agama Islam. Atas dasar
53
keterangan di atas, maka sangat pada tempatnya jika dikatakan bahwa
tidak dibenarkan menjalin hubungan pernikahan dengan wanita Ahl al
Kitab bagi yang tidak mampu menampakkan kesempurnaan ajaran
Islam, lebih-lebih yang diduga akan terpengaruh oleh ajaran non
Islam, yang dianut oleh calon istri atau keluarga calon istrinya
(Shihab, 2002: 32).
D. Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Buku Fiqih Lintas
Agama
Mengenai topik perkawinan beda agama ini, para ulama selalu
berpegang pada tiga ayat antara lain; QS. al-Baqarah ayat 221, QS. al-
Mumtahanah ayat 10, QS. al-Mâidah ayat 5, termasuk juga Nurcholish
dan para pemikir Paramadina dalam buku fikih lintas agama; membangun
masyarakat inklusif-pluralis yang menyepakatinya. Namun, disini ada
perbedaan mengenai cara pandang Nurcholish dan para pemikir
paramadina dalam istinbath hukum (pengambilan hukum) yang
membolehkan kawin beda agama justru atas dasar legitimasi QS. al-
Mâidah ayat 5 yang selanjutnya akan dikupas lebih mendalam. Ada
baiknya peneliti hadirkan kembali tiga ayat fenomenal tersebut.
Pertama, al-Qur an surat al-Baqarah ayat 221:
ر من مشركة ولو أعجبتكم ولا ت نكحوا المشركات حت ي ؤمن ولأمة مؤمنة خي ر من مشرك ولو أعجبكم ولا ت نكحوا المشركي حت ي ؤمنوا ولعبد مؤمن خي آياتو للناس أولئك يد عون إل النار واللو يدعو إل النة والمغفرة بإذنو وي ب ي
54
رون لعلهم (٦٦۱) ي تذك Artinya:
“Janganlah kamu kawini perempuan-perempuan musyrik
sebelum mereka beriman. Perempuan budak yang beriman
lebih baik daripada perempuan musyrik sekalipun ia
menarik hatimu. Dan juga janganlah kamu mengawinkan
(perempuanmu) dengan laki-laki musyrik sebelum mereka
beriman. Seorang laki-laki budak beriman lebih baik
daripada seorang laki-laki musyrik sekalipun ia menarik
hatimu. Mereka (kaum musyrik) akan membawa ke dalam
api (neraka)”.
Kedua, Al-Qur an surat al-Mumtahanah ayat 10:
يا أي ها الذين آمنوا إذا جاءكم المؤمنات مهاجرات فامتحنوىن اللو أعلم بإيمانن
ار لا ىن حل لم (۱۰) فإن علمتموىن مؤمنات فلا ت رجعوىن إل الكف Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-
perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka
hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah sungguh
mengetahui keimanan mereka. Bila kamu mengetahui
bahwa mereka benar-benar beriman, janganlah kamu
mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka
tidak halal bagi laki-laki kafir itu laki-laki kafir itu tak
halal bagi mereka (perempuan-perempuan mukmin)”.
Ketiga, al-Qur an surat al-Mâidah ayat 5:
أوتوا الكتاب حل لكم وطعامكم حل الي وم أحل لكم الطيبات وطعام الذين من ق بلكم لم والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب
ر مساف إذا (٥) حي ولا متخذي أخدانآت يتموىن أجورىن مصني غي Artinya:
“Pada hari ini dihalalkan bagi kamu semua barang yang
baik. Dan makanan (sembelihan) Ahli Kitab adalah halal
bagi kamu, dan makanan kamu juga halal bagi mereka.
Demikian pula (dihalalkan bagimu mengawini)
55
perempuan-perempuan yang suci di antara perempuan-
perempuan mukmin, serta perempuan-perempuan yang suci
di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu jika
kamu berikan kepada mereka maskawin, bukan dengan
zina dan bukan dengan diam-diam mengambil mereka
sebagai gundik”.
Dua ayat yang pertama diatas menurut ar-Razi termasuk kedalam
ayat Madaniyah yang pertama kali turun dan membawa pesan khusus
agar orang-orang Muslim untuk tidak menikahi wanita musyrik atau
sebaliknya. Ayat tersebut sebagai ayat eksplisit yang menjelaskan hal-hal
yang halal (mâ yuhallu) dan hal-hal yang dilarang (mâ yu hramu) (Ar-
Razi, 1996: 65) dan menikahi orang musyrik merupakan salah satu perintah
Tuhan dalam kategori haram dan dilarang. Jika ayat tersebut dibaca
secara literal dapat disimpulkan seketika bahwa menikahi non-muslim
baik perempuan atau laki-laki hukumnya adalah haram. Cara pandang
demikian dikarenakan sebagian masyarakat muslim masih
beranggapan bahwa yang termasuk dalam kategori musyrik adalah non-
muslim, yang termasuk di dalamnya adalah Kristen dan Yahudi. Dalam
hal ini Nurcholish dan para pemikir Paramadina dalam buku tersebut
mempertanyakan mengenai apakah non-muslim (Kristen dan Yahudi)
termasuk kedalam kategori musyrik, jika tidak demikian, maka perlu
memperjelas maksud musyrik dalam Qur’an (Madjid, 2005: 155).
Sebagian ulama berpendapat bahwa dalam beberapa ayat di dalam
Al-Qur an menyebutkan Kristen dan Yahudi sebagai musyrik. Hal
demikian seperti halnya pada QS. at-Taubah ayat 30 dan 31 sebagai
berikut:
56
وقالت الي هود عزي ر ابن اللو وقالت النصارى المسيح ابن اللو ذلك ق ولم بأف واىهم
(۳۰) يضاىئون ق ول الذين كفروا من ق بل قات لهم اللو أن ي ؤفكون وا ذوا أحبارىم ورىبان هم أربابا من دون اللو والمسيح ابن مرم وما أمروا إلا لي عبد ات
ا يشركون (۳۱) إلا واحدا لا إلو إلا ىو سبحانو عم
Artinya:
“Orang-orang Yahudi berkata Uzair putera Allah dan
orang Nasrani berkata Al-Masih itu putera Allah.
Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka,
meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu. Dilaknati
Allah-lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling.”
(30)
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-
rahib mereka selain Tuhan selain Allah dan juga (mereka
mempertuhankan) Al-Masih putera maryam; padahal
mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Maha Esa,
tiada Tuhan yang berhak disembah selain Ia. Maka Suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (31)
Kategori musyrik terhadap dua agama samawi tersebut
dikarenakan orang-orang Yahudi menganggap Uzair sebagai anak Tuhan,
sementara Kristen menganggap Isa Al-Masih sebagai anak Tuhan (Ar-
Razi, 2005: 61). Tetapi pandangan demikian menurut Nurcholish, tidak
serta merta dapat dijadikan peganggan, karena terdapat ayat lain yang
memberikan paradigma berbeda tentang musyrik (Madjid, 2005: 155)
misalnya dalam Surat al-Baqarah ayat 105 disebutkan:
ن أىل الكتاب ولا المشركي أن ي ن زل عليكم من خير من ربكم ما ي ود الذين كفروا م
(۱۰٥) واللو يتص برحتو من يشاء واللو ذو الفضل العظيم
Artinya:
“Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang
(kafir) musyrik tidak mengingikan diturunkannya suatu
kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan
57
siapa yang dikehendaki Nya (untuk diberi) rahmat-Nya
(kenabian) dan Allah mempunyai karunia yang besar”.
Kemudian surat al-Bayyinah ayat 1 Allah juga
menyebutkan:
نة ي حت تأتي هم الب ي فك (۱) ل يكن الذين كفروا من أىل الكتاب والمشركي من
Artinya:
“Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang
kafir musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan
melepaskan (kepercayaan mereka) sebelum datang kepada
mereka bukti yang nyata”.
Menurut pandangan dalam buku fikih lintas agama, dua ayat ini
dan beberapa ayat-ayat lain, al-Qur an menyebutkan kata penghubung wa
(dan) antara kata kafir Ahli Kitab dengan kafir Musyrik. Hal ini berarti
bahwa kedua kata tersebut (baik Ahli Kitab dan Musyrik) mempunyai arti
dan makna yang berbeda. Syirik sebagai bentuk tindakan dari pelaku
(musyrik), hemat peneliti adalah mempersekutukan sesuatu dengan
sesuatu. Dalam pandangan seperti demikian, seorang musyrik adalah
siapa saja yang percaya bahwa ada Tuhan selain Tuhan. Jika hal demikian
dibawa pada hal yang lebih general, maka siapa saja yang
mempersekutukan Tuhan adalah musyrik. Orang-orang Kristen yang
percaya tentang Trinitas misalnya, maka mereka termasuk kedalam
kategori musyrik jika mengacu pada pandangan tersebut.
Lain halnya dengan Quraish Shihab yang memberi pengertian
yang sama namun dengan penyebutan yang berbeda terhadap dua ayat
diatas itu (Shihab, 2002: 474). Menurutnya, memang dua ayat ini
58
menjelaskan ada dua macam orang kafir, pertama Ahli Kitab, dan kedua
orang-orang musyrik. Itu adalah istilah yang digunakan oleh al-Qur an
untuk satu substansi yang sama, yakni kekufuran dengan dua nama yang
berbeda, yaitu Ahli Kitab dan al-Musyrikun. Ini lebih kurang sama
dengan kata korupsi dan mencuri. Walaupun substansi keduannya sama,
yakni mengambil sesuatu yang bukan haknya, tetapi dalam
penggunaannya berbeda, seperti pegawai yang mengabil bukan haknya
disebut sebagai koruptor, sementara bila orang biasa bukan pegawai
dinamai dengan pencuri.
Untuk memperjelas polemik mengenai kafir dalam perbedaan
pendapat yang ada ini, ada baiknya kirannya dijelaskan lebih dulu
beberapa keterangan tentang klasifikasi dan makna kafir, dengan maksud
agar dapat menangkap gambaran yang jelas, apa dan siapa sebenarnya
yang dimaksud dengan kafir itu. Dengan demikian, diharapkan akan dapat
memberikan hipotesa sementara yang mungkin dapat mengarah pada
sebuah jawaban sebagai jawaban diatas. Kafir dalam pengertian etimologi
berarti menutupi, istilah-istilah kafir (kufr) dalam al-Qur an terulang
sebanyak 525 kali yang kesemuannya dirujukkan kepada arti menutupi.
Yaitu, menutup-nutupi nikmat dan kebenaran, baik kebenaran dalam arti
Tuhan (sebagai sumber kebenaran) maupun kebenaran dalam arti ajaran-
ajaran-Nya yang disampaikan melalui para rasul-Nya (Cawidu, 1991; 31).
59
Dalam hal ini terdapat tingkatan kekafiran yang mempunyai bobot
yang berbeda-beda, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur an
sebagai berikut:
1. Kafir (kufr) ingkar, yaitu kekafiran dalam arti pengingkaran
terhadap eksistensi Tuhan, Rasul-rasulnya, dan seluruh ajaran
yang mereka bawa,
2. Kafir (kufr) juhud, yaitu kekafiran dalam arti pengingkaran
terhadap ajaran-ajaran Tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa
yang diingkarinya itu adalah benar. Kafir juhud ini tidak jauh
berbeda dengan kafir ingkar, hanya saja kafir juhud subjek
hukum sebenarnya sadar akan kekliruannya,
3. Kafir munafik (kufr nifaq), yaitu kekafiran yang mengakui
Tuhan, Rasul dan ajaran-ajarannya dengan lidah tetapi
mengingkari dengan hati, menampakkan keimanan namun
sejatinya menyembunyikan kekafiran.
4. Kafir (kufr), syirik yang berarti mempersekutukan Tuhan dengan
menjadikan sesuatu selain dari-Nya sebagai sesembahan, objek
pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan
dambaan. Syirik digolongkan sebagai bentuk kekafiran sebab
pebuatan tersebut mengingkari kekuasaan Tuhan disamping
mengingkari Nabi-nabi dan wahyu-Nya.
5. Kafir (kufr), nikmat yakni tidak mensyukuri nikmat Tuhan dan
menggunakan nikmat tersebut pada hal-hal yang tidak diridhoi-
60
Nya. Dalam hal ini bisa jadi orang-orang muslim pun termasuk di
dalamnya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur an sebagai
berikut, Surat Ali- Imrân ayat 97:
نات مقام إب راىيم ومن دخلو كان آمنا وللو على الناس حج الب يت فيو آيات ب ي
(۷۹) من استطاع إليو سبيلا ومن كفر فإن اللو غن عن العالمي
Artinya:
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata (diantarannya)
Maqam Ibrahim, barang siapa memasukinya (Baitullah itu)
menjadi amanlah dia, mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orng yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa yang
mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah
Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam
semesta”.
Dan surat al-Naml ayat 40
ا رآه قال الذي عنده علم من الكتاب أنا آتيك بو ق بل أن ي رتد إليك طرفك ف لما لون أأشكر أم أكفر ومن شكر فإن مستقرا عنده قال ىذا من فضل رب ليب
(٤۰) يشكر لن فسو ومن كفر فإن رب غن كرم
Artinya:
“Berkatalah seseorang yang mempunyai ilmu dari Ahli
kita, Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum
matamu berkedip. Maka tatkala Sulaiman melihat
singgasana itu terletak dihadapannya, ia pun berkata: ini
termasuk karunia Tuhan untuk mencoba aku apakah aku
bersyukur atau mengingkari akan (nikmat-Nya). Dan
barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia
bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang
siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha
Kaya lagi Maha Mulia”.
6. Kafir (kufr) murtad, yaitu kembali menjadi kafir sesudah atau
beriman kepada Allah kemudian keluar dari Islam.
61
7. Kafir Ahli Kitab, ialah non-muslim yang percaya kepada Nabi
dan kitab suci yang diwahyukan Tuhan melalui Nabi kepada
mereka.
Selain kategori tersebut diatas, sebenarnya masih ada lagi
beberapa jenis kekafiran yang lain. Dengan demikian dapat diambil
sebuah kesimpulan sementara, bahwa istilah kafir mencakup makna yang
cukup luas, dimana di dalamnya terdapat istilah-istilah yang lebih khusus
yang arti dan maknanya berbeda satu sama lain (Madjid, 2005: 157).
Allah secara jelas dan eksplisit, menyatakan dalam kitab suci-Nya tentang
Ahli Kitab, bahwa kepercayaan mereka didasarkan pada perbuatan syirik,
seperti yang mereka katakana. Hal demikian tertuang dalam firman-Nya
surat al-Mâidah ayat 17 sebagai berikut:
راد لقد كفر الذين قالوا إن اللو ىو المسيح ابن مرم قل فمن يملك من اللو شيئا إن أ و و ماوات والأرض أن ي هلك المسيح ابن مرم وأم يعا وللو ملك الس من ف الأرض ج
ن هما يلق ما يشاء واللو على كل شيء قدير (۱۹) وما ب ي
Artinya:
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata
sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putera Maryam
katakanlah: Maka siapakah (gerangan) yang dapat
menghalangi kehendak Allah, jika Ia hendak
membinasakan Al-Masih putera Maryam itu beserta ibunya
dan seluruh orang-orang yang berada di bumi
semuannya?. Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan
bumi dan apa yang di antara keduannya, Dia menciptakan
apa yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu”.
62
Pada surat yang sama ayat 73 juga disebutkan:
ا لقد كفر الذين قالوا إن اللو ثالث ثلاثة وما من إلو إلا إلو واحد وإن ل ي نت هوا عم
هم عذاب أليم ن الذين كفروا من (۹۳) ي قولون ليمس
Artinya:
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan
bahwasannya Allah salah satu dari yang tiga padahal
sekali-kali tidak ada Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak
behenti dari apa yang mereka katakan itu pasti orang-
orang yang kafir diantara meeka kan ditimpa siksaan yang
pedih”.
Begitu pula dengan orang-orang Yahudi yang disebutkan dalam
firman-Nya pada surat at-Taubah ayat 30 sebagai berikut:
وقالت الي هود عزي ر ابن اللو وقالت النصارى المسيح ابن اللو ذلك ق ولم بأف واىهم
(۳۰) ون يضاىئون ق ول الذين كفروا من ق بل قات لهم اللو أن ي ؤفك
Artinya:
“Orang-orang Yahudi berkata Uzair putera Allah dan
orang Nasrani berkata Al-Masih itu putera Allah.
Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka,
meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu. Dilaknati
Allah-lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling”.
Perkataan Ahli Kitab ini (baik Nasrani dan Yahudi) adalah
merupakan perbuatan syirik kepada Tuhan, namun sebagai wahyu yang
datang langsung dari Allah telah memilih dan menempatkan kata dari
istilah yang berbeda, oleh karena al- Qur an tidak pernah menyebut
keduanya sebagai musyrik sebagai panggilan dan istilah bagi mereka,
yang ada di dalamnya adalah penyebutan Ahli Kitab (Madjid, 2005: 171).
Hal yang dapat dipahami dengan baik dari ayat-ayat al-Qur an
tersebut diatas menurut buku fikih lintas agama tersebut adalah bahwa
63
setiap perbuatan syirik tidak berarti menjadikan secara langsung
pelakunya disebut sebagai musyrik. Hal demikian dikarenakan, pada
kenyataannya Yahudi dan Nasrani telah melakukan perbuatan syirik,
namun Allah tidak menyebut dan memanggil keduannya sebagai musyrik,
melainkan dengan menyebut Ahli Kitab (Madjid, 2005: 171). Hal ini
seperti firman-Nya pada QS. An-Nisa ayat 171:
ا المسيح عيسى ابن يا أىل الكتاب لا ت غلوا ف دينكم ولا ت قولوا على اللو إ لا الق إن ثلاثة مرم رسول اللو وكلمتو ألقاىا إل مرم وروح منو فآمنوا باللو ورسلو ولا ت قولوا
ا اللو إلو واحد سبحانو أن يك را لكم إن ماوات وما ف ان ت هوا خي ون لو ولد لو ما ف الس
(۱۹۱) وكفى باللو وكيلا الأرض
Artinya:
“Wahai Ahli Kitab janganlah kamu melampui batas dalam
agama mu, dan jangan kamu mengatakan terhadap Allah
kecuali yang benar. Sesungguhnya Al-masih Isa putera
Maryam itu adalah utusan Allah da yang diciptakan
dengan kalimat-Nya yang disampaikannya kepada Maryam
(dan dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu
kepada Allah dan rasul-rasulnya, dan janganlah kami
mengatakan bahwa Tuhan itu tiga berhentilah dari
(ucapan) itu karena itu lebih baik bagimu. Sesungguhnya
Allah Tuhan yang Maha Esa”.
Juga dalam QS. Ali- Imran ayat 64:
نكم ألا ن عبد إلا اللو ولا نشرك ن نا وب ي قل يا أىل الكتاب ت عالوا إل كلمة سواء ب ي بو شيئا ولا ي تخذ ب عضنا ب عضا أربابا من دون اللو فإن ت ولوا ف قولوا اشهدوا بأنا
(٦٤) مسلمون
Artinya:
“Katakanlah Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada
satu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
64
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak
(pula) sebagian kita menjadikan sebagaian yang lain
sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka
katakanlah kepada mereka: saksikanlah bahwa kami
adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.
Kemudian QS. al-Mâidah ayat 5:
وطعام الذين أوتوا الكتاب حل لكم وطعامكم حل لم الي وم أحل لكم الطيبات والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من ق بلكم إذا
ر مسافحي ولا م بالإيمان تخذي أخدان ومن يكفر آت يتموىن أجورىن مصني غي (٥) ف قد حبط عملو وىو ف الآخرة من الاسرين
Artinya:
“Pada hari ini dihalalkan bagi kamu semua barang yang
baik. Dan makanan (sembelihan) Ahli Kitab adalah halal
bagi kamu, dan makanan kamu juga halal bagi mereka.
Demikian pula (dihalalkan bagimu mengawini)
perempuan-perempuan yang suci di antara perempuan-
perempuan mukmin, serta perempuan-perempuan yang suci
di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu jika
kamu berikan kepada mereka maskawin, bukan dengan
zina dan bukan dengan diam-diam mengambil mereka
sebagai gundik”.
Menurut buku para pemikir Paramadina dalam buku tersebut,
mengatakan sebuah analogi logis dari fenomena diatas, dapat pula
dikembangkan bahwa orang- orang muslim pun bisa melakukan
perbuatan syirik, yang senyatannya memang ada, namun mereka tidak
dapat disebut sebagai musyrik (Madjid, 2005: 173). Sebab sebagai
konsekuensi logisnya, jika salah seorang dari suami-istri dari keluarga
muslim sudah disebut musyrik, maka perkawinan mereka batal dengan
sendirinya dan diwajibkan bercerai, akan tetapi kenyataan tersebut tidak
65
pernah diterima. Teramat banyak dalam kenyataan hidup pada orang-
orang yang beragama termasuk orang-orang muslim, telah melakukan
perbuatan syirik dalam kehidupan sehari-harinya. Kemusyrikan demikian
telah disebutkan oleh Allah dalah firman-Nya, diantaranya QS. An-Nisa
ayat 36
والمساكي مىواعبدوا اللو ولا تشركوا بو شيئا وبالوالدين إحسانا وبذي القرب واليتابيل وما ملكت أيمانكم والار ذي القرب والار النب والصاحب بالنب وابن الس
ب من كان متالا فخورا (۳٦) إن اللو لا ي
Artinya:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukannya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”.
Ayat diatas memberi pengertian bahwa orang yang mempertuhan
hawa nafsu, harta, kedudukan, kehormatan dan lain sebagainnya, pada
hakikatnya ia telah melakukan perbuatan syirik kepada Allah. Dengan
demikian apakah pelaku-pelaku dari prilaku yang demikian dapat
dikategoikan sebagai kaum musyrik dan sebagai konsekuesnsi logisnya
diharamkan mengawininya oleh orang-orang Islam?. Para pemikir
Paramadina berpendapat tidak, hal ini dikarenakan dalam QS. al-Baqarah
ayat 221 tidak membicarakan perihal kemusyrikan sebagaimana yang
dimaksud tersebut diatas (Madjid, 2005: 159).
66
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa setiap perbuatan
Syirik tidak secara langsung dapat menyebutkan pada pelakunya yang
teridentifikasi musyrik, tetapi sebaliknya bahwa setiap orang yang
terkategorikan musyrik sudah tentu ia adalah pelaku syirik. Oleh sebab
itu, untuk memperjelas identitas musyrik ini, maka sangat perlu untuk
mengidentifikasi mengenai orang-orang yang di kategorikan oleh al-Qur
an sebagai orang musyrik, yang di haramkan bagi orang muslim untuk
mengawininya. Dalam hal ini, buku fikih lintas agama memberikan
pembedaan sekaligus pendefinisian yang cukup jelas terhadap kosa-kata
Musyrik, Ahli Kitab dan Mukmin.
a. Musyrik
Dalam arti sesungguhnya tidak hanya mempersekutukan
Allah tapi juga tidak mempercayai salah satu dari kitab samawi,
baik yang telah mengalami penyimpangan ataupun masih asli, di
samping juga tidak ada seorang Nabi pun yang di percayainya.
b. Ahli Kitab
Sementara Ahli Kitab adalah orang yang mempercayai
salah seorang Nabi dari Nabi-nabi dan salah satu kitab dari kitab-
kitan samawi, baik sudah terjadi penyimpangan pada mereka
dalam bidang akidah maupun amalannya.
c. Mukmin
Sedangkan yang disebut sebagai orang mukmin adalah
orang-orang yang percaya kepada risalah Nabi Muhammad baik
67
mereka terlahir dalam keadaan Islam atau pun tidak yang
kemudian memeluk Islam, baik berasal dari Ahli Kitab maupun
Musyrik, atau bisa jadi berasal dari agama mana saja.
Berdasar pada pengklasifikasian yang dibuat oleh mereka ini,
dengan memperhatikan beberapa ayat sebagaiamana yang mereka
sebutkan diatas, maka cukup jelas perbedaan antara orang-orang yang
terkategorikan musyrik dengan Ahli Kitab. Dengan demikian, seharusnya
tidak dapat dicampur-adukkan pengertian diantara keduannya, dimana
orang-orang Musyrik diartikan sebagai Ahli Kitab, dan sebaliknya, Ahli
Kitab diartikan sebagai Musyrik. Interpretasi itu mendapat dukungan dari
Abduh sebagai berikut, jika merujuk pada pengaharaman mengawini
perempuan musyrikah yang terdapat pada QS. al-Baqarah ayat 221,
Abduh berpendapat tidak tepat bila ayat tersebut dipahami bahwa yang
dimaksudkan dengan perempuan musyrikah adalah perempuan Ahli
Kitab. Selanjutanya ia berpendapat, bahwa perempuan yang haram
dikawini oleh orang-orang muslim dalam QS. al-Baqarah ayat 221
tersebut perempuan-perempuan musyrik Arab (Ridha, 93).
Dari pendapat ini, mereka mengambil kesimpulan, jika sampai
sekarang orang-orang musyrik Arab sebagaimana yang dimaksud oleh
Abduh masih ada, maka hukum mengenai pengharam untuk menikahinya
dapat diberlakukan. Tetapi jika tidak ada, maka dengan sendirinya tidak
ada satu kepercayaan dan agama pun yang menjadi kendala dalam
melakukan perkawinan ( dengan siapa saja termasuk Ahli Kitab).
68
Selanjutnya berdasarkan argumentasi ini, maka pandangan yang
memasukkan non-muslim sebagai musyrik, menurut buku fikih lintas
agama ditolak dengan beberapa alasan, antara lain:
Pertama, dalam sejumlah ayat yang lain, al-Qur an membedakan
antara orang-orang musyrik dengan Ahli Kitab (Kristen dan Yahudi).
Dalam bebarapa ayat-Nya al-Qur an menggunakan huruf waw/wa yang
dalam gramatika bahasa Arab disebut athfun (athof), yang memberi arti
pembedaan antara kata sebelumnya dengan kata yang sesudahnya. Atas
dasar ini, terdapat perbedaan antara kata Musyrik dengan Ahli Kitab.
Pendapat demikian dikutip oleh mereka dari interpretasi yang dilakukan
oleh Abu Ja far ibn jari al-Thabari yang menafsirkan kata Musyrik
sebagai orang yang bukan Ahli Kitab. Musyrik yang dimaksud dalam QS.
al-Baqarah ayat 221 sama sekali bukan Kristen dan Yahudi, tetapi yang
dimaksud dengan musyrik pada ayat tersebut adalah orang-orang musyrik
Arab yang tidak mempunyai kitab suci.
Kedua, larangan menikahi Musyrik dikarenakan kekhawatiran
wanita musyrik atau laki-laki musyrik memerangi orang-orang Islam. Hal
ini dapat dilihat dari sebab penurunan (asbâb an-nuzul) ayat tersebut yang
diturunkan dalam situasi dimana terjadi ketegangan antara orang-orang
muslim dengan orang-orang musyrik Arab. Melihat konteks asbâb an-
nuzul tersebut memberi pengertian yang cukup jelas, bahwa yang
dimaksud dengan musyrik adalah orang-orang yang suka memerangi
kaum muslim. hal ini sesuai dengan pendapat Ar-Razi yang menolak
69
makna musyrik yang ditujukan pada kalangan paganis Arab
(penyembah berhala) tetapi lebih tepat ditujukan bagi mereka yang
memerangi Islam, oleh karenanya kaum musyrik disini bukanlah dalam
pengertian ahl al-dzimmah.
Ketiga, membaca sosio-historis dalam masyarakat Arab pada
waktu itu terdapat tiga kelompok masyarakat yang disebut sebagai
kelompok lain (al-âkhar ), yaitu Musyrik, Kristen dan Yahudi. Yang
disebut musyrik adalah mereka yang mempunyai kedudukan yang tinggi
dan berada di posisi penting dalam masyarakat Arab yang kesemuannya
itu berpusat di Makkah. Mereka mempunyai sesembahan (patung) hibal
yang paling besar diantara semua kelompok yang terbuat dari batu akik
dan bentuknya menyerupai manusia. Di sekeliling patung tersebut
terdapat patung-patung kecil yang berjumlah 360 buah. Sedangkan
Kristen merupakan kekuatan yang sangat besar di dataran Arab. Mereka
adalah kelompok orang Kristen Syam yang lari ke Arab sebagai jalan
keluar kezaliman Romawi. Mereka menempati puncak gunung dan bukit-
bukit melalui padang Afrika. Kedatangan orang-orang Kristen ini
menyebabkan sejumlah Kabilah Arab memeluk agama Kristen,
diantaranya; Kabilah Ghassan, Taghallub, Tanukh, Lakhm, Kharam dan
lain sebagainnya.
Dan yang dimaksud dengan Yahudi adalah mereka yang juga lari
dari Syam, karena kediktatoran Romawi dan Persia, namun mereka
berpusat di Madinah. Jumlah mereka teramat besar hingga hampir
70
menyamai separuh penduduk Madinah. Di antaranya adalah keturunan
Qaynaqa, Nadhir dan Qurayzah. Sebagian mereka ada yang mengikuti al-
Khumayri yang pergi menuju wilayah selatan Arab besama orang-orang
Yahudi, sehingga mereka menyebarkan agamanya di Yaman. Dari sini,
lalu mereka tersebar diantara Yatsrib, Khaybar, Tabuk, Tayma dan
Yaman.
Komposisi masyarakat demikian menunjukkan bahwa ada
distingsi (perbedaan) yang jelas antara kaum Musyrik, Kristen dan
Yahudi. Yang membedakan antara musyrik dengan Kristen dan Yahudi,
adalah terletak pada ajaran monoteisme. Musyrik sepertinya murni
sebagai kekuatan politik yang diantara ambisinya adalah kekuasaan dan
kekayaan. Sedangkan Yahudi dan Kristen adalah mereka yang sedikit
banyak mempunyai persinggungan teologis dengan Islam. Walaupun
terdapat ketegangan antara mereka dengan komunitas muslim, tetapi
setidaknya terdapat beberapa upaya bersama untuk membangun sebuah
kepahaman bersama yang dibuktikan dengan diterbitkannya Piagam
Madinah yang merupakan kesepakan antara komunitas muslim, Kristen
dan Yahudi (Madjid, 2005: 161).
Bahkan ketiga agama samawi telah bersepakat untuk menjadi
umat yang satu (ummatan wâhidatan ). Dalam beberapa ayat al-Qur an pun
secara eksplisit menyebut mereka yang beragama Yahudi, Kristen dan
kaum Shabi ah dan mereka yang beramal saleh akan mendapatkan
71
imbalan yang setimpal dihari kiamat nanti sebagaimana penjelasan pada
(QS. al-Baqarah ayat 62)
ابئي من آمن باللو والي وم الآخر إن الذين آمنوا والذين ىادوا والنصارى والصم ولا خوف عليهم ولا ىم يزنون (٦۲) وعمل صالا ف لهم أجرىم عند رب
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang
Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin,
siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman
kepada Allah, hari kemudian, dan beramal shaleh, maka
mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka
bersedih hati”.
Pada ayat yang lain juga disebutkan sejumlah Pendeta dan Pastor
yang tidak sombong, dan apabila mereka mendengar ayat-ayat Tuhan
yang disampaikan oleh rasul mereka mengeluarkan air mata. Hal
demikian menunjukkan sikap kebenaran terhadap Islam sebagai ajaran.
QS. al-Mâidah ayat 82-83.
Keempat, alasan yang cukup fundamental dibolehkannya nikah
beda agama terutama dengan non-muslim adalah berdasarkan QS. al-
Mâidah ayat 5:
الي وم أحل لكم الطيبات وطعام الذين أوتوا الكتاب حل لكم وطعامكم حل لم والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من ق بلكم إذا
ر مسافحي ولا متخذي أخدان ومن يكفر بالإيمان آت يتموىن أجورىن مصني غي (٥) ف قد حبط عملو وىو ف الآخرة من الاسرين
72
Artinya:
“Pada hari ini dihalalkan bagi kamu semua barang yang
baik. Dan makanan (sembelihan) Ahli Kitab adalah halal
bagi kamu, dan makanan kamu juga halal bagi mereka.
Demikian pula (dihalalkan bagimu mengawini)
perempuan-perempuan yang suci di antara perempuan-
perempuan mukmin, serta perempuan-perempuan yang suci
di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu jika
kamu berikan kepada mereka maskawin, bukan dengan
zina dan bukan dengan diam-diam mengambil mereka
sebagai gundik”.
Ayat ini merupakan ayat Madaniyah yang diturunkan setelah
ayat yang melarang pernikahan orang muslim dengan orang musyrik,
sehingga mereka beriman. Para pemikir Paramadina dalam buku tersebut
mensinyalir ayat ini bisa disebut ayat revolusi karena secara eksplisit
menjawab beberapa keraguan bagi masyarakat muslim pada saat itu.
Namun, ayat ini mulai membuka ruang bagi perempuan Kristen dan
Yahudi (Ahli Kitab) untuk melakukan pernikahan dengan orang-orang
muslim (Madjid, 2005: 152).
Menurut pandangan dalam buku itu, ayat ini bisa berfungsi dua hal
sekaligus. Pertama, sebagai ayat yang kedudukannya menghapus
(nasikh), kedua, sebagai ayat pengkhususan (mukhashish) dari ayat
sebelumnya yang melaranag pernikahan dengan orang-orang musyrik.
Dalam kaidah fiqh bisa diambil kesimpulan, bila terdapat dua ayat yang
bertentangan antara satu dengan yang lainnya, maka diambil ayat yang
paling akhir turunnya. Salah satu legitimasi yang cukup untuk dijadikan
sandaran mengenai pembolehan perkawinan beda agama (orang-orang
muslim dengan non-muslim) oleh mereka dalam buku fikih lintas agama
73
ini, adalah berdasarkan tindakan kasus-kasus yang dialami oleh Sahabat-
sahabat Nabi yang menikah dengan perempuan Yahudi atau Kristen.
Namun Sayyid Sabiq mencatat diantara sekian sahabat yang menyikapi
diam dengan fenomena itu, ada satu Sahabat yang mengharamkannya,
yakni Ibnu Umar (Sabiq, 1985: 106).
Dengan demikian, pandangan buku itu selanjutnya berkaitan
dengan persoalan pernikahan laki-laki non-muslim dengan perempuan
muslimah, yang merupakan wilayah ijtihadi dan terkait dengan konteks-
konteks tertentu, diantarannya adalah konteks dakwah pada waktu itu,
sehingga perkawinan antar agama adalah sesuatu yang terlarang. Namun
demikian, Karena kedudukan hukum kerapkali dilahirkan melalui proses
ijitihad, maka bisa dimungkinkan jika dicetuskan pendapat baru, bahwa
wanita muslimah boleh menikah dengan laki-laki non-muslim atau
perkawinan beda agama secara lebih luas sangat diperbolehkan, apapun
aliran dan kepercayaannya (Madjid, 2005: 154). Hal demikian merujuk
pada spirit (semangat) yang dibawa al-Qur an itu sendiri.
Pertama, bahwa Pluralitas Agama adalah merupakan sunnatullah
yang tidak bisa dihindarkan. Tuhan menyebut agama-agama Samawi
dan mereka membawa ajaran amal saleh sebagai orang-orang yang akan
bersamanya di surga nanti, sebagaimana firman-Nya pada QS. al-
Baqarah ayat 62
ابئي من آمن باللو والي وم الآخر إن الذين آمنوا والذين ىادوا والنصارى والصم ولا خوف عليهم ولا (٦۲) ىم يزنون وعمل صالا ف لهم أجرىم عند رب
74
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang
Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin,
siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman
kepada Allah, hari kemudian, dan beramal shaleh, maka
mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mere
bersedih hati”.
Tuhan juga menyebutkan secara eksplisit perbedaan jenis kelamin
dan suku sebagai tanda agar satu dengan lainnya saling mengenal.
Dengan demikian, perkawinan beda agama dapat dijadikan salah satu
ruang diamana antar penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih
dekat.
Kedua, bahwa tujuan dari diberlangsungkannya pernikahan adalah
untuk membangun tali kasih (al-mawaddah) dan tali sayang (al-rahmah).
Dengan demikian, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana
untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing
pemeluk agama yang dimulai dengan tali kasih dan tali sayang melalui
hubungan keluarga.
Ketiga, semangat yang dibawa Islam adalah pembebasan, bukan
sebaliknya yakni belenggu. Adanya tahapan-tahapan yang dilakukan oleh
al-Qur an sejak adanya larangan pernikahan orang muslim dengan orang
musyrik, kemudian membuka jalan bagi pernikahan dengan Ahli Kitab
merupakan sebuah tahapan yang evolutif (Madjid, 2005: 163). Oleh
karennya agama lain terlebih pemeluknya bukan diposisikan sebagai
kelas kedua atau Ahl al-Dzimmah tetapi lebih disejajrkan sebagai warga
Negara. Tidak dapat dipungkiri, bahwa terutama Nurcholish secara
75
pribadi sebagai seorang pemikir modern sekaligus para aktor intelektual
komunitas Paramadina, memandang kehadiran masalah-masalah yang ada
tentunya dengan kaca mata modern pula, sehingga tidak jarang (dan bisa
ditebak secara langsung), refrensi yang ia dan mereka gunakan sebagai
legitimasi atas ide dan gagasan tersebut selalu mengacu pada konsepsi
maupun hasil dari para pemikir kontemporer.
E. Makna Kata Musyrik dan Ahl al-Kitab dalam Pandangan M.
Quraish Shihab dan Nur Cholis Madjid.
Sebagaimana dalam penjelasan M. Quraish Shihab yang dimaksud
dengan syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Dalam
pandangan agama, seorang musyrik adalah siapa yang percaya bahwa ada
Tuhan bersama Allah, atau siapa yang melakukan satu aktivitas yang
bertujuan utama ganda, pertama kepada Allah, dan kedua kepada selain-
Nya. Dengan demikian, semua yang mempersekutukan-Nya dari sudut
pandang tinjauan ini, adalah musyrik (Shihab, 2002: 473). Sedangkan ahl
al-kitab adalah semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, di
manapun, dari keturunan siapa pun mereka (Shihab, 368).
Pengertian musyrik menurut Nur Cholis Madjid, dalam arti
sesungguhnya tidak hanya mempersekutukan Allah tapi juga tidak
mempercayai salah satu dari kitab samawi, baik yang telah mengalami
penyimpangan ataupun masih asli, di samping juga tidak ada seorang
Nabi pun yang di percayainya. Sementara Ahli Kitab adalah orang yang
mempercayai salah seorang Nabi dari Nabi-nabi dan salah satu kitab dari
76
kitab-kitan samawi, baik sudah terjadi penyimpangan pada mereka dalam
bidang akidah maupun amalannya (Madjid, 2005: 159).
F. Perkawinan Beda Agama dalam UU. No. 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam
Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan menyatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu.”
Dalam Pasal 2 ayat (2) menyatakan: “Tiap-tiap Perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pada dasarnya sahnya suatu perkawinan menurut Undang-undang
ialah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan, setelah
sah menurut agama dan kepercayaannya itu barulah Perkawinan tersebut
dicatat untuk mendapatkan pengakuan dari Negara (Badan Penelitian dan
Pengembangan HAM Kementrerian Hukum dan HAM RI, hal. 25).
Adapun perkawinan beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam
secara ekspilisit dapat dilihat dari ketentuan empat pasal.
1. Pada pasal 40 KHI, dinyatakan: Dilarang melangsungkan perkawinan
antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangutan masih terikat satu perkawinan
dengan pria lain.
77
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam (Departemen Agama
RI, Kompilasi Hukum Islam, 1993: 32).
2. Pasal 44 KHI; ”Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.”
(Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, 1993: 33).
3. Pasal 61 KHI; ”Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk
mencegah perkawinan kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama
atau ikhtilaf al-din (Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum
Islam, 1993: 39).
4. Pasal 116 KHI; Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-
alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabok, pemadat,
penjudi dan lain sebaginya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara (lima) tahun, atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankannya sebagai suami atau istri.
78
e. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
f. Suami melanggar taklik talak.
g. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga (Departemen Agama RI,
Kompilasi Hukum Islam, 1993: 59).
Jadi perspektif mengenai perkawinan beda agama dalam UU. No.
1 Tahun 1974 memang tidak secara detail menyebutkan keabsahan
tentang perkawinan beda agama. Hanya menyebutkan “Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu” (dalam Pasal 2 ayat 1) dan “Tiap-tiap
Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku” ( Pasal 2 ayat 2). Kemudian berbeda dengan pandangan dalam
Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan larangan menikah antara pria
muslim dengan wanita non muslim (Pasal 40 KHI) dan wanita muslimah
dengan laki-laki non muslim (Pasal 44 KHI).
79
BAB IV
ANALISA
A. Analisa tentang Hukum Perkawinan Beda Agama menurut Tafsir
al-Misbah
1. Alasan kebolehan
Dalam surat Al Maidah ayat 5 membolehkan pernikahan
antar pria Muslim dengan wanita Ahl al-Kitab, tetapi izin ini adalah
sebagai jalan keluar kebutuhan mendesak ketika itu, dimana kaum
muslimin sering bepergian jauh melaksanakan jihad tanpa mampu
kembali ke keluarga mereka, sekaligus juga untuk tujuan dakwah.
Akan tetapi wanita Muslimah tidak diperkenankan menikah dengan
pria non-Muslim, baik Ahl al-Kitab lebih-lebih kaum musyrikin,
karena mereka tidak mengakui kenabian Nabi Muhammad Saw.
Sedangkan Laki-laki Muslim mengakui kenabian Isa, serta
menggaris bawahi prinsip toleransi beragama “lakum dinukum wa
liya din”. Laki-laki non muslim bilamana menjadi pemimpin rumah
tangga dapat mempengaruhi istrinya, sehingga bila suami tidak
mengakui ajaran agama yang dianut sang istri maka dikhawatirkan
akan terjadi pemaksaan beragama baik secara terang-terangan
maupun terselubung (Shihab, 2002: 31).
Di sisi lain, ditempatkannya ayat ini sesudah pernyataan
keputusasaan orang-orang kafir dan sempurnanya agama Islam. Ini
80
memberi isyarat bahwa dihalalkannya hal-hal tersebut antara lain
karena umat Islam telah memiliki kesempurnaan tuntunan agama
dan karena orang-orang kafir sudah sedemikian lemah, sehingga
telah berputus asa untuk mengalahkan kaum muslimin atau
memurtadkannya. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa izin tersebut
bertujuan pula untuk menampakkan kesempurnaan Islam serta
keluhuran budi pekerti yang diajarkan dan diterapkan oleh suami
terhadap para istri penganut agama Yahudi atau Kristen itu, tanpa
harus memaksanya untuk memeluk agama Islam. Atas dasar
keterangan di atas, maka sangat pada tempatnya jika dikatakan
bahwa tidak dibenarkan menjalin hubungan pernikahan dengan
wanita Ahl al Kitab bagi yang tidak mampu menampakkan
kesempurnaan ajaran Islam, lebih-lebih yang diduga bisa
terpengaruh oleh ajaran non Islam yang dianut oleh calon istri atau
keluarga calon istrinya (Shihab, 2002: 32).
2. Alasan Keharaman
Dalam tafsir surat Al Baqarah ayat 221, Allah secara tegas
melarang pernikahan antara orang muslim dengan non muslim. Hal
ini dipicu karena mereka memiliki beda prinsip dengan agama
islam. Sehingga apabila mereka menikah maka dikhawatirkan
mereka akan bercampur dan menjadi keruh imannya. M. Quraish
Shihab melarang pernikahan antara orang Muslim dengan non
Muslim, Ahl al-Kitab, dan lain-lainnya. Sebagaimana dijelaskan
81
dalam tafsirnya: Dan janganlah kamu wahai laki-laki muslim
menikahi yakni menjalin ikatan perkawinan, dengan wanita-wanita
musyrik, walaupun wanita-wanita musyrik itu menarik hati kamu.
Karena ia cantik, bangsawan, kaya, dan lain-lain. Dan janganlah
kamu wahai para wali, menikahkan orang-orang musyrik para
penyembah berhala, dengan wanita-wanita mukmin sebelum
mereka beriman dengan iman yang benar Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik walaupun dia
menarik hati kamu karena ia gagah, bangsawan atau kaya dan lain-
lain (shihab, 2002: 473).
Jadi dari uraian di atas secara gamblang menerangkan dua
alasan yang membolehkan maupun melarang adanya pernikahan
beda agama. Pertama, berdasarkan QS. al-Maidah ayat 5 yang
menerangkan kebolehan laki-laki muslim menikahi wanita Ahl al-
Kitab, perizinan ini sebagai alternatif keadaan mendesak pada saat
itu dimana para muslimin yang melakukan jihad tidak bisa pulang
kepada keluarga mereka di kampung halaman, sekaligus sebagai
tujuan dakwah. Disisi lain juga untuk menampakan kesempuranaan
islam di tengah melemahnya orang kafir serta untuk menunjukkan
keluhuran budi pekerti yang diajarkan dan diterapkan oleh suami
terhadap para istri penganut agama Yahudi atau Kristen itu, tanpa
harus memaksanya untuk memeluk agama Islam. Akan tetapi
perizinan ini tidak dibenarkan bagi mereka yang hendak melakukan
82
pernikahan beda agama bilamana tidak kuat imannya maupun tidak
mampu untuk menampakkan budi pekerti luhur serta kesempurnaan
agama Islam. Kedua, QS. al-Baqarah ayat 221 yang secara tegas
melarang pernikahan antara orang muslim dengan non muslim.
Yang mana dalam hal ini karena mereka memiliki beda prinsip
dengan agama islam. Kemudian bila dilakukan pernikahan diantara
mereka, dikhawatirkan mereka akan bercampur dan menjadi keruh
imannya serta tidak menutup kemungkinan akan terjadi runtuhnya
bangunan rumah tangga karena keharmonisan yang semestinya
didapati ini tidak tercapai.
B. Analisa tentang Hukum Perkawinan Beda Agama menurut Buku
Fiqih Lintas Agama
QS. Al-Maidah Ayat 5, ini merupakan ayat Madaniyah yang
diturunkan setelah ayat yang melarang pernikahan orang muslim
dengan orang musyrik, sehingga mereka beriman. Ayat ini bisa disebut
ayat revolusi karena secara eksplisit menjawab beberapa keraguan bagi
masyarakat muslim pada saat itu. Namun, ayat ini mulai membuka
ruang bagi perempuan Kristen dan Yahudi (Ahli Kitab) untuk
melakukan pernikahan dengan orang-orang muslim (Madjid, 2005:
152).
Menurut pandangan dalam buku Fiqh Lintas Agama, ayat ini
bisa berfungsi dua hal sekaligus. Pertama, sebagai ayat yang
kedudukannya menghapus (nasikh), kedua, sebagai ayat pengkhususan
83
(mukhashish) dari ayat sebelumnya yang melaranag pernikahan dengan
orang-orang musyrik. Dalam kaidah fiqh bisa diambil kesimpulan, bila
terdapat dua ayat yang bertentangan antara satu dengan yang lainnya,
maka diambil ayat yang paling akhir turunnya. Salah satu legitimasi
yang cukup untuk dijadikan sandaran mengenai pembolehan
perkawinan beda agama (orang-orang muslim dengan non-muslim) oleh
mereka dalam buku fikih lintas agama ini, adalah berdasarkan tindakan
kasus-kasus yang dialami oleh Sahabat-sahabat Nabi yang menikah
dengan perempuan Yahudi atau Kristen. Namun Sayyid Sabiq mencatat
diantara sekian sahabat yang menyikapi diam dengan fenomena itu, ada
satu Sahabat yang mengharamkannya, yakni Ibnu Umar (Sabiq, 1985:
106).
Dengan demikian, pandangan buku Fiqh Lintas Agama ini
selanjutnya berkaitan dengan persoalan pernikahan laki-laki non-
muslim dengan perempuan muslimah, yang merupakan wilayah ijtihadi
dan terkait dengan konteks-konteks tertentu, diantarannya adalah
konteks dakwah pada waktu itu, sehingga perkawinan antar agama
adalah sesuatu yang terlarang. Namun demikian, Karena kedudukan
hukum kerapkali dilahirkan melalui proses ijitihad, maka bisa
dimungkinkan jika dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita muslimah
boleh menikah dengan laki-laki non-muslim atau perkawinan beda
agama secara lebih luas sangat diperbolehkan, apapun aliran dan
kepercayaannya (Madjid, 2005: 154).
84
Dari pemaparan di atas didapati argumen yang menyatakan
kebolehan adanya pernikahan beda agama, berbeda dengan apa yang di
sampaikan dalam tafsir al-Misbah bahwasannya kebolehan pernikahan
beda agama ini diperuntukkan bagi laki-laki muslim, bukan untuk
wanita muslimah. Sedang pemikiran dalam Fiqih Lintas Agama ini
lebih luas lagi pemaknaannya, seiring berkembangnya zaman dan
sering kali didapati proses ijtihad yang kemudian melahirkan hukum
baru maka bisa dimungkinkan jika dicetuskan pendapat baru, bahwa
wanita muslimah boleh menikah dengan laki-laki non-muslim atau
perkawinan beda agama secara lebih luas sangat diperbolehkan.
C. Analisa Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Kitab Tafsir al-
Misbah dan Fiqh Lintas Agama serta Relevansinya terhadap
Peraturan Perundang-undangan di Negara Indonesia
Dari kedua pemikiran baik Tafsir al-Misbah maupun Fiqh Lintas
Agama mengenai perkawinan beda agama terdapat persamaan dan
perbedaan dari keduanya. Pertama, persamaan dari keduanya adalah
kebolehan seorang laki-laki muslim menikah dengan wanita Ahl al-
Kitab. Lebih lanjut dijelaskan dalam Tafsir al-Misbah perizinan
pernikahan beda agama ini ditujukan bagi mereka laki-laki muslim
yang mampu dan kuat imannya untuk menunjukkan budi pekerti yang
luhur dan kesempurnaan agama Islam. Bilamana tidak mampu dalam
hal yang disebutkan tadi maka perizinan dibolehkannya laki-laki
muslim menikahi wanita Ahl al-Kitab ini tidak dibenarkan.
85
Kedua, dalam Tafsir al-Misbah cenderung tidak
memperkenankan pernikahan beda agama. Dikhawatirkan karena
adanya perbedaan keimanan akan menimbulkan permasalahan yang
kemudian dapat meruntuhkan bangunan rumah tangga, karena tujuan
keharmonisan yang didamba dalam rumah tangga tidak didapati.
Selanjutnya dalam pemikiran Fiqh Lintas Agama cenderung lebih
memberikan kebolehan pernikahan beda agama, yang tidak saja laki-
laki muslim boleh menikahi wanita Ahl al-Kitab akan tetapi sebaliknya
seiring berkembangnya zaman dan sering kali didapati proses ijtihad
yang kemudian melahirkan produk hukum baru maka bisa
dimungkinkan jika dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita muslimah
boleh menikah dengan laki-laki non-muslim atau perkawinan beda
agama secara lebih luas sangat diperbolehkan.
Selanjutnya dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1
menyebutkan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dalam Pasal 2 ayat (2) menyatakan: “Tiap-tiap Perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pada dasarnya sahnya suatu perkawinan menurut Undang-undang
ialah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan, setelah
sah menurut agama dan kepercayaannya itu barulah Perkawinan tersebut
86
dicatat untuk mendapatkan pengakuan dari Negara (Badan Penelitian dan
Pengembangan HAM Kementrerian Hukum dan HAM RI, hal. 25).
Adapun perkawinan beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam
secara ekspilisit dapat dilihat dari ketentuan empat pasal.
1. Pada pasal 40 KHI, dinyatakan: Dilarang melangsungkan perkawinan
antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangutan masih terikat satu perkawinan
dengan pria lain.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam (Departemen Agama
RI, Kompilasi Hukum Islam, 1993: 32).
2. Pasal 44 KHI; ”Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.”
(Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, 1993: 33).
Jadi, berdasarkan keempat penjelasan yang tersebut diatas
terdapat kontrovesri dan ketidak sinambungan satu sama lain. Karena
menurut pemikiran M. Qurasih Shibab cenderung tidak
memperkenankan perkawinan beda agama, menurut Nur Cholis Madjid
lebih memberikan kebolehan perkawinan beda agama, UU No. 1 Tahun
1974 hanya mengatur tentang keabsahan suatu pernikahan saja dan
tidak mengatur secara rinci mengenai pernikahan beda agama,
87
sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam lebih melarang adanya
perkawinan beda agama.
88
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukum nikah beda agama dalam Kitab Tafsir al-Misbah
menjelaskan dua alasan yakni kebolehaan dan larangan pernikahan
beda agama. Pertama, kebolehan pernikahan beda agama
didasarkan pada QS. al-Maidah ayat 5 yang menjelaskan kebolehan
laki-laki muslim menikahi wanita Ahl al-Kitab, sedang ini tidak
berlaku bagi wanita muslimah menikah dengan laki-laki Ahl al-
Kitab. Yang mana ini merupakan salah satu jalan keluar dari sebuah
keterpaksaan pada waktu itu dimana para mujahid tidak bisa
kembali pulang kepada keluarga mereka, sekaligus untuk tujuan
dakwah, serta untuk menunjukkan kesempurnaan islam di tengah
melemahnya orang-orang kafir dan menunjukkan budi pekerti luhur
bagi mereka yang mampu dan kuat imannya kepada orang-orang
Ahl al-Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Namun, perizinan
ini tidak dibenarkan bilamana mereka yang hendak melakukan
pernikahan beda agama tidak mempunyai iman yang kuat dan tidak
mampu menampakkan budi pekerti luhur serta kesempurnaan
agama Islam.
Kedua, larangan pernikahan beda agama yang disandarkan
pada QS. al-Baqarah ayat 221 yang menjelaskan adanya larangan
89
seorang muslim menikah dengan non muslim. Hal ini karena
dikhawatirkan keduanya berbebeda prinsip dan akan terjadi keruh
imannya dan dimungkinkan runtuhnya bangunan rumah tangga
karena pondasi iman yang lemah dan keharmonisan dalam rumah
tangga tidak tercapai.
2. Hukum nikah beda agama menurut Buku Fiqih Lintas Agama
menyatakan kebolehan pernikahan beda agama yang disandarkan
pada QS. al-Maidah ayat 5, bahwasannya laki-laki muslim boleh
menikahi wanita Ahl al-Kitab. Dan seiring berkembangnya zaman
serta adanya kedudukan hukum yang kerapkali dilahirkan oleh
proses ijtihad. Maka, dimungkinkan jika dicetuskan pendapat baru,
bahwa wanita muslimah boleh menikah dengan laki-laki non-
muslim atau perkawinan beda agama secara lebih luas sangat
diperbolehkan, apapun aliran dan kepercayaannya.
3. Dari pemikiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah dan
dalam pemikiran Fiqh Lintas Agama, keduanya membolehkan
pernikahan beda agama yang didasarkan pada QS. al-Maidah ayat
5. Akan tetapi dalam tafsir al-Misbah memberikan kebolehan
pernikahan beda agama bagi mereka laki muslim yang kuat
imannya dan mampu dalam menampakkan kesempurnaan Islam
dan budi pekerti luhur kepada mereka Ahl al-Kitab dari kalangan
Yahudi dan Nasrani. Dan tidak dibenarkan kebolehan bagi mereka
laki-laki muslim yang tidak mampu menampakkan budi pekerti
90
luhur dan kesempurnaan Islam untuk menikah dengan mereka
wanita Ahl al-Kitab. Selanjutnya dalam UU No. 1 Tahun 1974
menyebutkan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pada
dasarnya sahnya suatu perkawinan menurut Undang-undang ialah
apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan,
setelah sah menurut agama dan kepercayaannya itu barulah
Perkawinan tersebut dicatat untuk mendapatkan pengakuan dari
Negara. Kemuduian menurut Kompilasi Hukum Islam berdasarkan
Pasal 40 dan Pasal 44 menyatakan adanya larangan perkawinan
beda agama antara pria muslim dengan wanita non muslim maupun
sebaliknya. Jadi, berdasarkan keempat penjelasan yang tersebut
diatas terdapat kontrovesri dan ketidak sinambungan satu sama lain.
Karena menurut pemikiran M. Qurasih Shibab cenderung tidak
memperkenankan perkawinan beda agama, menurut Nur Cholis
Madjid lebih memberikan kebolehan perkawinan beda agama, UU
No. 1 Tahun 1974 hanya mengatur tentang keabsahan suatu
pernikahan saja dan tidak mengatur secara rinci mengenai
pernikahan beda agama, sedangkan menurut Kompilasi Hukum
Islam lebih melarang adanya perkawinan beda agama.
91
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan kepada pembaca
dan masyarakat luas adalah sebagai berikut:
1. Semoga dengan penelitian ini dapat memberikan wacana bagi
pembaca sekalian serta masyarakat luas untuk mempertimbangkan
dalam memutuskan pernikahan yang bersangkutan dengan beda
keyakinan dan segala resikonya.
2. Untuk pembaca dan masyarakat luas agar lebih bijak dalam
menanggapi beberapa pendapat mengenai pernikahan beda agama
yang tertulis dalam penelitian ini.
92
DAFTAR PUSTAKA
Ad Dimasyqi, Al Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir. 2004. Tafsir Al Qur‟an Al
„Adhim (Tafsir Ibnu Kasir). Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Abidin , Ahmad Zaenal. 2014. Pernikahan Antar Agama Menurut M. Quraish
Shihab. Kontemplasi Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. 1.
Amir, Syarifuddin. 2007. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta:
Kencana.
Arikunto, Suharsimi. 1987. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek).
Jakarta: Rineka Cipta.
Ar-Razi, Muhammad. 1996. Tafsir Al-Kabîr wa Mafâtih Al-Ghayb. Beirut: Dâr al-
Fikr.
Basorudin. 2004. Pernikahan Beda Agama dalam Pemikiran Muslim (Studi
Komparasi antara Mahmūd Syalţuţ Dan Quraish Shihab)”. Skripsi: Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Cawidu, Harifuddin. 1991. Konsep Kufr dalam Al-Qur an. Jakarta: Bulan
Bintang.
Junaidi, Mahbub. 2011. Rasionalitas Kalam M. Quraish Shihab telaah pemikiran
kalam dalam tafsir al mishbah. Solo Sukoharjo: CV Angkasa Solo.
Madjid, Nurcholish dkk. 2005. Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat
Inklusif-Pluralis. Jakarta: Paramadina.
Mafatih, Ahmad Hasan Mafatih. 2006. Perkawinan Beda Agama Suatu Analisis
Pandangan Muhammad Ali As-Shabuni tentang Perkawinan Al-Musyrikah
dengan Al-Kitab. Skripsi: STAIN Surakarta.
Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Mohd Idris, Ramulyo.2002. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Al_Qur‟an Dan Terjemahannya, Jakarta: 1971.
Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di
Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo.
93
Nazir, Moh. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghaha Indonesia.
Rahman, Ghazali Abd. 2006. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana.
Rais, Isnawati. 2006. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: Departemen
Agama RI Badan Litbang dan Diklat.
Ridha, Rasid. Tafsîr al-Manâr jilid VI . Beirut: Dâr al-Ma rifah.
Robikhah, Mar Atur. 2011. Nikah Beda Agama (Studi komparasi Pemikiran
Nurcholish Madjid dan Siti Musdah Mulia). Skripsi: Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Rosyadi R, & Ahmad Rois. 2006. Formalisasi Syari‟at Islam Dalam Prespektif
Tata Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sabiq, Sayyid. 1985. Fiqh al- Sunnah Juz. II . Bairut: Dâr al-Kitab al-Arabi.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.
Soemargono, Soegono. 1989. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Nur
Cahaya
Soemiati. Hukum Perkawinwn Islam Dan Undang-undang Perkawinan.
Yogyakarta: Liberty.
Sudarsono. 1991. Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Samidjo. 1993. Pengantar Hukum Indonesia. Bandung: CV Armico.
Tihami, Sahrani Sohari. 2009. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta: Rajawali pres.