PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR AL-MISBAH...

106
i PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR AL-MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: Suripto Bero 21214003 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2018

Transcript of PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR AL-MISBAH...

  • i

    PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR

    AL-MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA

    SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

    Oleh:

    Suripto Bero

    21214003

    PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

    FAKULTAS SYARIAH

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

    SALATIGA

    2018

  • ii

  • iii

    PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR

    AL-MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA

    SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

    Oleh:

    Suripto Bero

    21214003

    PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

    FAKULTAS SYARIAH

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

    SALATIGA

    2018

  • iv

    Tri Wahyu Hidayati, M. Ag.

    Dosen IAIN Salatiga

    PENGESAHAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar

    Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

    KepadaYth.

    Dekan FakultasSyari’ah IAIN Salatiga

    Di Salatiga.

    Assalamu’alaikumWarahmatullahiWabarakatuh

    Denganhormat, setelah di laksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka

    naskah skripsi mahasiswa :

    Nama : Suripto Bero

    NIM : 212-14-003

    Judul : Perkawinan Beda Agama Perspektif Tafsir al-Misbah dan

    Buku Fiqh Lintas Agama.

    Dapat diajukan kepada Fakultas Syariah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam

    sidang munaqosyah.

    Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan

    sebagaimana mestinya.

    Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

    Salatiga, 26 September 2018

    Pembimbing,

    Tri Wahyu Hidayati, M. Ag.

    NIP.197411232000032002

  • v

    PENGESAHAN

    SkripsiBerjudul:

    PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR AL-MISBAH

    DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA

    Oleh:

    Suripto Bero

    NIM 212-14-003

    Telah di pertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Hukum

    Keluarga Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga,

    pada tanggal 28September 20186dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna

    memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH).

    Dewan Sidang Munaqosyah:

    KetuaPenguji : Muh. Hafidz, M. Ag.

    SekretarisPenguji : Tri Wahyu Hidayati, M. Ag.

    Penguji I : Dr. Ilyya Muhsin, M. SI.

    Penguji II : Luthfiana Zahriani, S. H., M. H.

    Salatiga, 1 Oktober 2018

    DekanFakultasSyariah IAIN

    Dr. SitiZumrotun, M.Ag

    NIP. 19670115 199803 2002

    KEMENTERIAN AGAMA RI

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

    FAKULTAS SYRI’AH Jl. NakulaSadewa V No. 9Telp (0298) 3419400 Fax. 323423 Salatiga5022

    Website:www.iainsalatiga.ac.idEmail : [email protected]

    http://www.iainsalatiga.ac.id/mailto:[email protected]

  • vi

    PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

    Saya yang bertandatangan di bawahini :

    Nama : Suripto Bero

    NIM : 212-14-003

    Jurusan : HukumKeluarga Islam

    Fakultas : Syariah

    Judul : PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR

    AL-MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA

    Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-bena rmerupakan hasil karya

    saya sendiri, buka njiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan

    orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode

    etik ilmiah.

    Salatiga, 1 Oktober 2018

    Yang menyatakan,

    Suripto Bero

    NIM21214003

  • vii

    MOTTO DAN PERSEMBAHAN

    Motto

    “Khoirunnas anfa’uhum linnas”

    Persembahan

    Untuk orang tuadan keluarga tercintaku

  • viii

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta

    alam yang berkuasa atas segala sesuatu. Berkat tuntutan, hidayah serta

    karuniaNya lah penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

    Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada baginda Nabi

    Muhamad SAW. Nabi akhir zaman yang akan selalu menjadi suritauladan bagi

    umat islam sampai yaumulqiyamah. Amin.

    Manusia tida kada yang sempurna. Begitupun dengan penulis, penulis

    hanyalah makhluk yang tiada mungkin tidak ada kekurangan. Penulis hanyalah

    manusia biasa yang semangatnya terkadang hidup dan padam , sehingga

    merupakan anugerah yang luar biasa dengan bekal niat dan dukungan dari banyak

    pihak yang pada akhirnya penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi yang

    berjudul: Perkawinan Beda Agama Perspektif Tafsir al-Misbah dan Buku Fiqh

    Lintas Agama. Atas terselesaikannya skripsi ini, penulis menghaturkan terima

    kaasih kepada:

    1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.

    2. Ibu Dr. Sit iZumrotunM.Ag, Selaku Dekan Fakults Syariah IAIN Salatiga.

    3. Bapak Sukron Ma’mun, M.Si,selaku Kepala Jurusan Hukum Keluarga Islam.

    4. Ibu Tri Wahyu Hidayati, M. Ag, selaku Pembimbing Skripsi

    5. Ibu Luthfiana Zahriani, S. H., M. H,selaku dosenPembimbing Akademik.

    6. Segenap Bapak Ibu petugas Perspustakaan IAIN Salatiga yang selalu setulus

    hati memberikan pelayanan terbaiknya.

  • ix

    7. Orang tua dan istri tercinta atas segala doa, bimbingan, arahan dan juga

    kesabarannya.

    8. Teman-teman Jurusan Hukum Keluarga Islam angkatan 2014.

    9. Pihak-pihak yang mendukungku dan memberikan banyak ilmu serta

    pengalaman.

    Penulis tidak mampu membalas dukungan, bimbingan serta motivasi yang

    telah diberikan selamaini, semoga semua itu menjadi amal shalih dan semoga

    Allah membalas amal shalih tersebut dengan balasan yang lebih baik. Penulis

    menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelalaian,

    oleh karenanya penulis berlapang dada untuk menerima kritik dan saran yang

    membangun demi perbaikan.

    Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi salah satu sumber ilmu yang

    bermanfaat dunia dan akhirat.Trima kasih.

    Salatiga, 1 Oktober 2018

    Penulis

  • x

    ABSTRAK

    Bero, Suripto. 2018. “Perkawinan Beda Agama Perspektif Tafsir al-Misbah dan

    Buku Fiqh Lintas Agama”.Skripsi.FakultasSyari’ah. Jurusan Hukum

    Keluarga Islam .Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

    PembimbingTri Wahyu Hidayati, M.Ag.

    Kata kunci: Perkawinan, Beda Agama.

    Tidak dipungkiri lagi bahwa perkawinan beda agama semakin marak

    terjadi di tengah kehidupan masyarakat, problematika ini menjadi akar

    permasalahan yang kemudian akan dibahas dalam Kitab Tafsir al-Misbah dan

    Buku Fiqh Lintas Agama. Penelitian ini bertujuan untuk (1)

    mengetahuibagaimana hukum perkawinan beda agama menurut Tafsir al-

    Misbah, (2) mengetahui bagaimanahukum perkawinan beda agama menurut

    Buku Fiqih Lintas Agama, (3) mengetahui apa persamaan dan perbedaan

    pemikiran kitab Tafsir al-Misbah dan Buku FiqihLintas Agama tentang

    perkawinan beda agama serta bagaimana relevansinya terhadap Peraturan

    Perundang -undangan di Negara Indonesia.

    Penelitian ini bersifat literatur atau kepustakaan yang menggunakan kajian

    terhadap buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Dalam penelitian ini

    menggunakan metode deskriptif-analitis yang penulis gunakan untuk mengungkap

    permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini.

    Penelitian ini menunjukkan hukum nikah beda agama dalam Tafsir al-

    Misbah adalahdibolehkan dengandasar QS. al-Maidah ayat 5 yang menyatakan

    kebolehan laki-laki muslim menikahi wanita Ahl al-Kitab dengan tujuan dakwah,

    dan larangan pernikahan beda agama yang bersandar pada QS. al-Baqarah ayat

    221 dengan alasan dikhawatirkan akan membuat runtuhnya bangunan rumah

    tangga karena perbedaan iman. Kemudian menurut Buku Fiqh Lintas Agama

    tentang pernikahan beda agama ini diperbolehkan berdasarkan QS. al-Maidah ayat

    5 yang menyatakan kebolehan laki-laki muslim menikahi wanita Ahl al-Kitab,

    dan karena berkembangnya zaman serta adanya ijtihad yang seringkali melahirkan

    produk hukum baru, maka bisa dimungkinkan wanita muslimah boleh menikah

    dengan laki-laki Ahl al-Kitab. Selanjutnya persamaan antara pemikiran M.

    Quraish Shihab dan Nur Cholis Madjid adalah keduanya membolehkan seorang

    laki-laki muslim menikah denga wanita Ahl al-Kitab, sedang perbedaannya yakni

    dalam pemikiran Nur Cholis Madjid ini lebih luas memaknai kebolehan wanita

    muslimah menikah dengan laki-laki Ahl al-kitab yang dimungkinkan bisa

    diperbolehkan karena perkembangan zaman dan ijtihad yang seringkali

    melahirkan produk hukum baru. Terkait dengan relevansinya dengan Perundang-

    undangan berdasarkan keempat penjelasan tersebut di atas terdapat kontrovesri

    dan ketidak sinambungan satu sama lain. KarenaUU No. 1 Tahun

    1974hanyamengaturtentangkeabsahansuatupernikahansajadantidakmengatursecar

    arincimengenaipernikahanbeda agama, sedangkan menurut Kompilasi Hukum

    Islam lebih melarang adanya perkawinan beda agama.

  • xi

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

    LEMBAR BERLOGO .................................................................................... ii

    HALAMAN JUDUL ...................................................................................... iii

    PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................. iv

    PENGESAHAN .............................................................................................. v

    PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ..................................................... vi

    MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................... vii

    KATA PENGANTAR ................................................................................ viii

    ABSTRAK ...................................................................................................... x

    DAFTAR ISI .................................................................................................. xi

    DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiv

    DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xv

    BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

    A. Latar BelakangPenelitian .......................................................... 1

    B. RumusanMasalah ...................................................................... 4

    C. TujuanPenelitian ........................................................................ 4

    D. KegunaanPenelitian ................................................................... 5

    E. TelaahPustaka ............................................................................ 5

    F. Metode Penelitian ...................................................................... 7

    1. PendekatanPenelitian ........................................................... 7

    2. Sumber Data ........................................................................ 8

    3. Analisis Data ...................................................................... 8

  • xii

    G. Penegasan Istilah . ................................................................... 10

    H. SistematikaPenulisan ............................................................... 11

    BAB IIKAJIAN PUSTAKA ......................................................................... 13

    A. Perkawinan dalam Hukum Islam ............................................. 13

    B. Syarat dan Rukun Perkawinan dalam Hukum Islam .............. 15

    C. Larangan Perkawinan dalam Hukum Islam ............................ 19

    D. Syarat dan Rukun Nikah dalam Peraturan Perundang-

    undangan dan Kompilasi Hukum Islam ................................... 21

    BAB III HUKUM NIKAH BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR AL-

    MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA.....................31

    A. Biografi M. Quraish Shihab ...................................................... 31

    B. Metode Tafsir al-Misbah .......................................................... 36

    C. Pemikiran Beda Agama menurut M. Quraish Shihab .............. 37

    D. Pemikiran Beda Agama menurut Buku Fiqh Lintas Agama .... 52

    E. Makna Kata Musyrik dan Ahl al-Kitab dalam Pandangan M.

    Quraish Shihab dan Nur Cholis Madjid ................................... 75

    F. Perkawinan Beda Agama dalam UU. No. 1 Tahun 1974 dan

    Kompilasi Hukum Islam ........................................................... 76

    BAB IV ANALISA ........................................................................................ 79

    A. Analisa tentang Hukum Beda Agamamenurut M. Quraish Shihab

    .................................................................................................. 79

    B. Analisa tentang Hukum Beda Agamamenurut Buku Fiqh Lintas

    Agama ....................................................................................... 82

  • xiii

    C. Analisa Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Kitab Tafsir al-

    Misbah dan Buku Fiqih Lintas Agama serta Relevansinya terhadap

    Peraturan Perundang-undangan di Negara Indonesia ............... 84

    BAB V PENUTUP ......................................................................................... 88

    A. Kesimpulan .............................................................................. 88

    B. Saran ........................................................................................ 91

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 92

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Rasulullah di utus oleh Allah SWT kemuka bumi ini sebagai rasul

    penutup dan penyempurna akhlak mansuia, begitu pula al-Quran sebagai

    sumber hukum yang pertama risalah yang dibawa Rasulullah juga

    merupakan kitab penyempurna dari kitab sebelumnya ( Zabur, Taurat dan

    Injil ). Rasul diutus mewujudkan ummat yang rahmatal lil alamin . “Rasa

    cinta dan kasih sayanglah yang menjadikan bumi tercipta, ber-putar

    menunjukkan setiap peradabannya.” Demikian Jalaluddin Rumi berujar.

    Menurutnya cintalah yang menjadi sebab semuanya. Rasa yang

    keberadaan-nya jauh di luar kuasa manusia, sejauh khayal yang terbang,

    manusia hanya dapat mewakilkannya dengan kata. Ia adalah fitrah

    pemberian Allah. Allah yang menganugerahkan rasa cinta dan kasih

    sayang kepada makhluk-Nya, karena memang Dia adalah Dzat yang

    selalu dipenuhi ribuan cinta. Ia ciptakan semburat rasa itu agar antara

    makhluk saling berkasih sayang, bertemu se-bagai makhluk Allah atas

    nama cinta, untuk suatu saat nanti kembali kepada-Nya karena cinta.

    Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang

    pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan

    bangsa Indonesia “ BHINEKA TUNGGAL IKA “. Dalam kondisi

    keberagaman seperti ini bisa saja terjadi interaksi sosial di antara

  • 2

    kelompok kelompok masyarakat yang berbeda kemudian berlanjut ke

    perkawinan.

    Agama sebagai aturan atau ketentuan dari langit yang mengatur

    hubungan antara makhluk dan Tuhannya atau sebagai sistem sosial

    merupakan sebuah kebutuhan pokok bagi manusia. Agama akan lebih

    dibutuhkan lagi bila kita pahami sebagai nilai nilai ruhaniah dan spiritual.

    Tak terkecuali agama Islam memiliki pandangan luhur dan syariat

    (aturan) berkaitan dengan pernikahan . Adanya pandangan suci terhadap

    pernikahan ini melahirkan paradigma dan apresiasi tinggi dan mulia

    terhadap pernikahan. Karena hanya dengan pernikahan relasi laki-laki dan

    perempuan dapat dibedakan dari kehidupan binatang. Hanya dengan

    pernikahan seseorang dianggap telah menempuh cara terbaik untuk

    menyalurkan kebutuhan biologis dan memperoleh keturunan.

    ُهَما يَا َها َزْوَجَها َوَبثَّ ِمن ْ أَي َُّها النَّاُس ات َُّقوا َربَُّكُم الَِّذي َخَلَقُكْم ِمْن نَ ْفٍس َواِحَدٍة َوَخَلَق ِمن ْ رَِجاال َكِثريًا َوِنَساًء َوات َُّقوا اللََّو الَِّذي َتَساَءُلوَن بِِو َواألْرَحاَم ِإنَّ اللََّو َكاَن َعَلْيُكْم َرِقيًبا

    Artinya:

    “Wahai Manusia bertakwalah kamu kepada Tuhanmu yang telah

    menciptakan kamu dari diri yang satu ( Adam ) dan Allah

    menciptakan pasangannya ( Hawa ) dari (diri) nya , dan dari

    keduanya Allah memperkembang biakan laki laik dan perempuan

    yang banyak. Bertakwalah Kepada Allah yang dengan nama-Nya

    kamu saling meminta dan peliharalah hubungan kekeluargaan”

    .(Qs An nisa :1)

    Perkawinan adalah fitrah kemanusian, maka dari itu Islam

    menganjurkan untuk menikah, karena nikah merupakan gharizah

    insaniyah ( naluri kemanusiaan ) bila gharizah insaniyah ini tidak

    terkecekupi dengan jalan yang sah maka akan mencari jalan jalan syetan

  • 3

    yang menjeruskan kelembah hitam ( “Aturan Pernikahan dalam Islam “

    Farid Fatcturohman ).

    Indonesia mendasarkan Negara dengan Ideologi Pancasila dan

    legitimasi atas agama di Indonesia mendapatkan perlindungan secara

    konstitusional, dan secara jelas disebutkan dalam UUD 1945 pasal 29

    yang berbunyi sebagai berikut (Rosadi & Rais, 2006:01):

    1. Negara berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

    2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

    agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya

    dan kepercayaannya itu.

    Seiring dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang

    terjadi kompleks. Berkaitan dengan perkawinan belakangan ini sering

    tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap

    problematis dalam kehidupan bermasyarakat.

    Sudah tidak dipungkiri lagi terkait pasangan yang berbeda agama

    dan keyakinan yang semakin marak dalam kehidupan kita, mereka

    mempertahankan agama dan keyakinan masing masing tetapi mereka

    tetap mempertahankan cinta mereka ke jenjang pernikahan. Problematika

    ini menjadi akar permasalahan yang akan kami bahas pada kesempatan

    ini tentang pendapat M Quraish Shihab Dalam tafsir Al Misbahnya dan

    Mohammad Monib, Ahmad Norcholish dalam Fiqh Lintas Agamanya.

  • 4

    B. Rumusan masalah

    Berdasarkan latar belakang masalah yang telah peneliti sampaikan

    di atas, maka peneliti dapat merumuskan beberapa rumusan masalah:

    1. Bagaimana Hukum Perkawinan Beda Agama menurut Tafsir al-

    Misbah?

    2. Bagaimana Hukum Perkawinan Beda Agama menurut Buku Fiqih

    Lintas Agama ?

    3. Apa Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Kitab Tafsir al-Misbah dan

    Buku Fiqih Lintas Agama tentang Perkawinan Beda Agama serta

    Bagaimana Relevansinya terhadap Peraturan Perundang -undangan di

    Negara Indonesia?

    C. Tujuan Penelitian

    Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa setiap

    kegiatan atau aktivitas yang dilakukan seseorang pasti mempunyai tujuan

    yang ingin dicapai. Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah:

    1. Bagaimana hukum perkawinan beda agama menurut tafsir al-

    Misbah

    2. Bagaimana hukum perkawinan beda agama menurut Buku Fiqh

    Lintas Agama

    3. Apa persamaan dan perbedaan pemikiran kitab tafsir al-Misbah dan

    Fiqih Lintas Agama tentang perkawinan beda agama serta bagaimana

    relevansinya terhadap Peraturan Perundang-undangan di Negara

    Indonesia.

  • 5

    D. Kegunaan Penelitian

    Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penulisan skripsi ini

    diantaranya adalah:

    1. Secara Teoritis

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara

    teoritis bagi dunia akademik dan hukum yang ada di Indonesia.

    2. Secara Praktis

    Adapun manfaat praktis yang diharapkan di antaranya:

    a. Memperkaya pemahaman ajaran hukum Islam sebagai hukum

    yang rohmattan li al-alamin bagi penduduk Indonesia yang

    dinamis.

    b. Diharapkan menjadi bahan pertimbangan konsep hukum di

    Indonesia yang sesuai dengan ideologi dan nilai-nilai luhur

    bangsa Indonesia.

    E. Telaah Pustaka

    Fenomena Perkawinan Beda Agama akan selalu menjadi hal yang

    kontroversi di tengah masyarakat luas, karena persoalan ini selain

    menyangkut keperdataan antar manusia juga menyangkut masalah

    keyakinan. Adapun penelitian ini sesungguhnya penelitian lanjutan,

    karena sebelumnya terdapat banyak penelitian yang berbicara tentang

    masalah Perkawinan Beda Agama diantaranya ada beberapa buku dan

    skripsi yang penulis temukan.

  • 6

    Pertama, di dalam skripsi yang disusun oleh Ahmad Hasan

    Mafatih tahun 2006 STAIN Surakarta yang berjudul “Perkawinan Antar

    Agama suatu Analisis Pandangan Muhammad Ali As-Shabuni tentang

    perkawinan Al Musyrikah dengan Ahl al-kitab”. Kesimpulan dalam

    skripsi ini menjelaskan bahwa As Shabuni memperbolehkan laki-laki

    muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kitab dan mengharamkan

    terjadinya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita musyrik.

    Sedangkan pernikahan antara wanita uslimah dengan laki-laki non

    muslim lain baik laki-laki Ahl al-kitab ataupun musyrik adalah haram.

    Kedua, skripsi yang berjudul “Nikah Beda Agama (Studi

    komparasi Pemikiran Nurcholish Madjid dan Siti Musdah Mulia)”.

    Skripsi ini disusun oleh Mar Atur Robikhah pada tahun 2011 UIN Sunan

    Kalijaga. di dalam skripsi ini membahas tentang hukum nikah beda

    agama menurut Nurcholish Madjid dan Siti Musdah Mulia. Kesimpulan

    dalam skripsi ini Nurcholish Madjid berpendapat bahwa pernikahan beda

    agama antara pria muslim dengan wanita non muslim atau Ahl al-Kitāb

    hukumnya boleh dengan pertimbangan dakwah untuk membentuk

    keluarga sakinah mawaddah dan rohmah. Pendapat tersebut dipengaruhi

    paham pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah jalan

    yang sama-sama menuju Tuhan yang sama. Berbeda dengan pendapat Siti

    Musdah Mulia yang membolehkan perempuan muslim menikah dengan

    laki-laki non muslim atau Ahl al-Kitāb dengan alasan potensi perempuan

    muslim dalam menentukan identitas agama anaknya lebih besar dari pada

  • 7

    potensi laki-laki muslim. Sehingga perempuan muslim lebih berhasil

    mengajak anak-anaknya ke lingkungan agama yang dianut ibunya.

    Ketiga, skripsi yang berjudul “Pernikahan Beda Agama Dalam

    Pemikiran Muslim (Studi Komparasi Antara Mahmud Syaltūt Dan M.

    Quraish Shihab)”. Skripsi ini disusun oleh Basoruddin pada tahun 2004

    UIN Sunan Kalijaga. Dalam skripsi ini membahas tentang hukum

    pernikahan beda agama menururt Mahmud Syaltūt Dan M. Quraish

    Shihab. Mahmud Syaltūt Dan M. Quraish Shihab sama-sama

    mengharamkan nikah beda agama dengan dasar hukum Q.S al Baqarah

    (2): 221 dan memperbolehkan laki-laki muslim nikah dengan perempuan

    Ahl al-Kitab, hanya pemaknaan redaksi ayat “wa al-muḥṣanāh min al-

    mu‟mināh wa al- muḥṣanāh min al-lażīn ūtu al-kitāb” saja yang dari

    masing-masing mempunyai pendapat yang berbeda, dengan metode yang

    berbeda pula.

    F. Metode Penelitian

    1. Pendekatan Penelitian

    Penelitian ini bersifat literatur (kepustakaan), sehingga

    penelitian ini menggunakan kajian terhadap buku-buku yang ada

    kaitannya dengan judul skripsi ini, yaitu Tafsir Al Misbah karangan

    M . Quraish Shihab Dan Fiqh Lintas Agama Karangan Mohammad

    Monib dan Ahmad Nurcholish dan buku lain yang membahas tentang

    Pernikahan beda Agama . Penelitian dilakukan dengan mencermati

    sumber-sumber tertentu, mencari, menelaah buku-buku artikel atau

  • 8

    lainnya yang berkaitan dengan Pernikahan Beda Agama (Nazir,

    1998:62).

    2. Sumber Data

    Dalam pengambilan dan pengumpulan data penelitian ini

    menggunakan metode pencarian data berupa buku, artikel, dokumen

    dan lain sebagainya. Penelitian ini berisi kutipan-kutipan data untuk

    memberi gambaran penyajian laporan (Arikunto, 1987:135).

    Sedangkan data-data tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

    a. Sumber Data Primer

    Sumber data primer adalah sumber data yang paling utama

    digunakan dan sesuai dengan permasalahan dalam peneliti ini.

    Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah Tafsir Al

    Misbah karangan M . Quraish Shihab dan Fiqh Lintas Agama

    karangan Mohommad Monib dan Ahmad Nurcholish.

    b. Sumber Data Sekunder

    Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-

    buku, artikel, dan sumber terkait lainnya.

    3. Analisis Data

    Untuk menganalisis data penulis menggunakan beberapa

    metode, yaitu:

    a. Metode Deskriptif

    Peneliti melakukan analisis data dengan metode deskripsi,

    yaitu menggambarkan pemikiran-pemikiran M. Quraish Shihab

  • 9

    Dan Mohammad Monib , Ahmad Nurcholish tentang materi

    yang terkait dengan penelitian.

    b. Metode Analisis

    Analisis data merupakan cara penanganan terhadap obyek

    ilmiah dengan jalan memilih-milih antara pengertian yang satu

    dengan pengertian yang lain untuk mendapatkan pengertian yang

    baru (Sumargono, 1989:21). Data yang terkumpul selanjutnya

    peneliti analisa dengan menggunakan teknik analisa data, dengan

    cara:

    1) Kategorisasi

    Kategorisasi adalah upaya memilah-milah setiap

    satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan

    (Moleong, 2011: 288). Peneliti melakukan kategorisasi

    dengan cara memilah setiap data yang didapatkan, data dari

    dokumen atau buku-buku terkait penelitian ini. Kategorisasi

    dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam menyatukan

    data-data tersebut.

    2) Sintesisasi

    Sintesisasi merupakan mencari kaitan antara satu

    kategori dengan kategori yang lain agar bertemu titik

    permasalahan (Moleong, 2011:289). Data yang telah

    dikategorikan oleh peneliti kemudian dicari titik temu satu

  • 10

    sama lain dan kemudian disatukan dalam pembahasan yang

    sama sehingga menjadi sebuah penjelasan yang utuh.

    3) Reflektif Thinking

    Metode Reflektif thinking yaitu berfikir yang

    prosesnya mondar-mandir antara yang empiris dengan yang

    abstrak. Empiris yang khusus dapat saja menstimulasi

    berkembangnya abstrak yang luas, dan menjadikan mampu

    melihat relevansi empiris pertama dengan empiris-empiris

    yang lain yang termuat dalam abstrak baru yang dibangunnya

    (Muhadjir, 1991: 66-67). Metode ini digunakan untuk

    melihat relevansi dalam kitab tafsir Al Misbah dan Fiqh

    Lintas Agama terhadap pernikahan beda agama dalam

    kehidupan sekarang dan Undang Undang Perkawinanan No

    1 tahun 1974.

    G. Penegasan Istilah

    Untuk menghindari kesalahan dalam memahami judul skripsi,

    maka penulis memberikan pengertian dan batasan skripsi ini, yaitu:

    1. Perkawinan

    Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata kawin

    yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan

    jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan

    disebut juga pernikahan, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa

    artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk

  • 11

    bersetubuh (wathi’). Kata nikah sendiri sering dipergunakan untuk

    arti persetubuhan, juga untuk arti akad nikah (Gozali, 2003: 7).

    Abdur Rahman Gazaly mengutip pendapat Muhammad Abu

    Israh memberikan definisi yang lebih, pernikahan ialah akad yang

    memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan

    keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadaka tolong

    menolong, dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan

    kewajiban bagi masing-masing (Gozali, 2006: 1).

    2. Perkawinan Beda Agama

    Perkawinan yang dilakukan oleh sepasang laki - laki dan

    perempuan yang berbeda agama atau pun kepercayaan.

    H. Sistematika Penulisan

    Bab I, dalam bab ini berisi tentang pendahuluan. Hal ini mencakup

    latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

    telaah pustaka, metode penelitian, penegasan istilah dan diakhiri dengan

    sistematika penulisan.

    Bab II, dalam bab ini berisikan penjelasan mengenai pernikahan

    menurut Hukum Islam dan Perundang-undangan.

    BAB III, dalam bab ini berisikan Biografi M. Quraish Shihab,

    Metode Tafsir al-Misbah, Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut

    Tafsir Al Misbah, Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Buku Fiqh

    Lintas Agama, Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Kitab Tafsir al-

    Misbah dan Fiqih Lintas Agama tentang Perkawinan Beda Agama serta

  • 12

    Relevansinya terhadap Peraturan Perundang-undangan di Negara

    Indonesia.

    BAB IV, dalam bab ini merupakan bagian inti dari penelitian

    skripsi yang berisikan Analisa Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut

    Tafsir Al Misbah, Analisa Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut

    Fiqh Lintas Agama, Analisa Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Kitab

    Tafsir al-Misbah dan Fiqih Lintas Agama tentang Perkawinan Beda

    Agama serta Relevansinya terhadap Peraturan Perundang-undangan di

    Negara Indonesia.

    BAB V, dalam bab ini berisikan tentang penutup, meliputi

    kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis lakukan dan saran.

  • 13

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    A. Perkawinan dalam Hukum Islam

    Perkawinan juga disebut pernikahan yang berasal dari bahasa Arab

    yaitu nakaha yang pempunyai arti mengumpulkan, saling memasukkan

    dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi‟). Nikah menurut arti asli

    adalah hubungan seksual, tetapi menurut arti majazi atau arti hukum

    adalah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai

    suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita (Idris, 2002: 1).

    Kata nakaha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti nikah atau

    kawin, seperti QS. An-Nisa’ ayat 22 di bawah ini:

    َوال تَ ْنِكُحوا َما َنَكَح آبَاؤُُكْم ِمَن النَِّساِء ِإال َما َقْد َسَلَف ِإنَُّو َكاَن فَاِحَشًة َوَمْقًتا(۲۲) َسِبيال َوَساءَ

    Artinya:

    ”Janganlah kamu menikahi perempuan yang telah pernah

    dinikahi oleh ayahmu kecuali apa yang telah berlalu” (QS.

    An-Nisa’: 22)

    Menurut Abu Yahya Zakariya Al-Anshari mendefinisikan Nikah

    menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum

    kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau dengan kata-kata

    yang semakna dengannya.

    Dari pengertian tersebut di atas dibuat hanya melihat dari satu segi

    saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dan

  • 14

    seorang wanita yang semula dilarang menjadi halal (Rahman, 2003: 9).

    Dari beberapa pendapat mengenai pengertian perkawinan tersebut banyak

    beberapa pendapat yang satu sama lain berbeda. Tetapi perbedaan

    tersebut sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan yang

    sungguh-sungguh antara pendapat satu dengan pendapat lainnya.

    Perbedaan tersebut hanya keinginan para perumus untuk memasukkan

    unsur-unsur yang sebanyak-banyaknya dalam merumuskan pengertian

    perkawinan di pihak yang lain. Dalam hukum Islam hukum perkawinan

    ada lima yang semuanya dikembalikan pada calon suami istri, yang

    adakalanya hukum menjadi (Soedarsono, 1994: 75):

    1. Mubah (jaiz), sebagaimana asal hukumnya;

    2. Sunnah, bagi orang yang sudah mampu baik secara dhohir

    maupun secara batin (culup mental dan ekonomi);

    3. Wajib, perkawinan hukumnya bisa menjadi wajib bagi mereka

    yang sudah mampu secara dhohir dan batin serta dikwatirkan

    terjebak dalam perbuatan zina;

    4. Haram, pernikahan bisa menjadi raram hukumnya bagi mereka

    yang berniat untuk menyakiti perempuan yang akan dinikahkan;

    5. Makruh, pernikahan bisa berubah menjadi makruh bagi mereka

    yang belum mampu member nafkah baik secara dhohir maupun

    batin.

  • 15

    B. Syarat dan Rukun Perkawinan dalam Hukum Islam

    Sebelum menginjak lebih jauh tentang syarat dan rukun

    perkawinan, maka harus dipahami apa makna syarat dan rukun itu sendiri.

    Adapun syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau

    tidaknya suatu pekerjaan yang berkaitan dengan ibadah, tetapi pekerjaan

    tersebut bukan ternasuk dalam rangkaian itu sendiri, seperti halnya

    menutup aurat dalam shalat atau dalam perkawinan dalam Islam bahwa

    calon suami atau istri harus beragama Islam. Sedangkan makna dari rukun

    itu sendiri adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan

    tidaknya suatu pekerjaan yang berkaitan dengan ibadah dan pekerjaan

    tersebut termasuk dalam rangkaian ibadah itu sendiri, seperti adanya

    calon pengantin laki-laki dan calon perempuan dalam perkawinan

    (Rahman, 2003: 46).

    Adapun syarat dalam pernikahan adalah merupakan dasar bagi

    sahnya perkawinan. Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi maka sah

    perkawinan itu dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban

    sebagai suami istri. Dalam hal hukum perkawinan, dalam menentukan

    mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di kalangan

    ulama, yang mana perbedaan di antara pendapat tersebut disebabkan

    karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu. Semua ulama

    sepakat dalam hal-hal yang terlibat dan harus ada dalam suatu perkawinan

    yaitu (Amir, 2007: 59):

    1. Akad nikah,

  • 16

    2. Mempelai laki-laki dan perempuan,

    Dalam kedua pempelai harus termasuk orang yang bukan muhrim,

    seperti dalam surat An-Nisa’ ayat: 22-23 yaitu:

    َوال تَ ْنِكُحوا َما َنَكَح آبَاؤُُكْم ِمَن النَِّساِء ِإال َما َقْد َسَلَف ِإنَُّو َكاَن فَاِحَشًة َوَمْقًتا َوَساءَ (۲۲َسِبيال )

    اُتُكْم َوَخاالُتُكْم َوبَ َناُت األِخ َوبَ َناُت ُحرَِّمْت َهاُتُكْم َوبَ َناُتُكْم َوَأَخَواُتُكْم َوَعمَّ َعَلْيُكْم أُمََّهاُت ِنَساِئُكْم َوَربَائُِبُكُم َهاُتُكُم الالِت أَْرَضْعَنُكْم َوَأَخَواُتُكْم ِمَن الرََّضاَعِة َوأُمَّ األْخِت َوأُمَّ

    ُجَناحَ َساِئُكُم الالِت َدَخْلُتْم ِِبِنَّ فَِإْن َلَْ َتُكونُوا َدَخْلُتْم ِِبِنَّ َفالِف ُحُجورُِكْم ِمْن نِ َعَلْيُكْم َوَحالِئُل أَبْ َناِئُكُم الَِّذيَن ِمْن َأْصالِبُكْم َوَأْن ََتَْمُعوا بَ ْْيَ األْختَ ْْيِ ِإال َما َقْد َسَلَف

    (۲۳) ِإنَّ اللََّو َكاَن َغُفورًا َرِحيًما Artinya:

    “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah

    dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah

    lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci

    Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”. “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-

    anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang

    perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;

    saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak

    perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-

    anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;

    ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan

    sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu

    yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu

    campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu

    (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu

    mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak

    kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam

    perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang

    telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah

    Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

    Dari ayat tersebut, maka muhrim dapat dibagi menjadi, yaitu:

    a) Ibu kandung;

  • 17

    b) Anak perempuan;

    c) Saudara perempuan baik saudara perempuan seibu-sebapak ;

    d) Saudara perempuan dari bapak termasuk semua anak-anak

    perempuan dari kakek atau nenek;

    e) Saudara perempuan dari ibu;

    f) Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki atau parempuan

    g) Ibu sesusuan

    h) Saudara sesusuan

    i) Mertua perempuan

    j) Anak tiri

    k) Istri anak kandung sendiri dan istri anak-anak keturunannya

    l) Dua saudara menjadi istri juga saudara perempuan bersama

    saudara ibu/bapaknya.

    3. Wali

    Bagi mempelai perempuan harus ada izin atau persetujuan

    dari wali, sedang bagi mempelai laki-laki izin atau persetujuan di

    perlukan selama belum dewasa. Sedangkan yang menjadi wali

    menurut urutan adalah (Samidjo, 1993: 125):

    a) Bapak

    b) Kakak

    c) Saudara laki-laki seibu sebapak

    d) Saudara laki-laki sebapak

    e) Anak saudara laki-laki seibu sebapak

  • 18

    f) Anak saudara sebapak

    g) Saudara laki-laki dari bapak, yang seibu sebapak

    h) Saudara laki-laki dari bapak, yang sebapak

    i) Anak laki-laki dari saudara laki-laki dari bapak, yang seibu

    sebapak

    j) Anak laki-laki dari Saudara laki-laki dari bapak, yang

    sebapak

    4. Dua orang saksi

    Dalam sahnya perkawinan harus ada sedikitnya dua orang

    saksi, yang syarat-syaratnya sebagai berikut:

    a) Seorang muslim

    b) Seorang merdeka

    c) Dewasa

    d) Pikiran sehat

    e) Kelakuan baik.

    5. Mahar atau mas kawin.

    Dalam Islam “Sadaq” berarti mas kawin dan juga disebut

    mahar, dalam perkawinan harus ada mahar atau mas kawin yaitu

    suatu pemberian dari pihak laiki-laki sesuai dengan permintaan

    pihak perempuan. Sedangkan besarnya mahar tidak dibatasi,

    Islam hanya memberikan prinsip pokok yaitu secara ma’ruf

    artinya dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan kemampuan

    suami.

  • 19

    C. Larangan Perkawinan dalam Hukum Islam

    Meskipun dalam pernikahan telah dipenuhi syarat dan rukun

    perkawinan belum tentu perkawinan itu sah, karena pernikahan tersebut

    harus lepas dari segala hal yang menghalanginya dan disebut juga

    larangan perkawinan. Sedangkan larangan perkawinan dalam pembahasan

    ini adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan perkawinan.

    Menurut hukum syara’ larangan pernikahan dalam Islam

    antaraseorang laki-laki dan seorang perempuan dibagi menjadi dua

    yaitu larangan abadi atau selamanya dalam arti sampai kapan pun dan

    dalam keadaan apapun laki-laki dan perempuan tidak boleh melakukan

    perkawinan yang disebut juaga Mahram Muabbad.

    Berdasarkan QS. an-Nisa ayat 23, wanita-wanita yang haram

    dinikahi untuk selamanya (mahram muabbad) karena pertalian nasab,

    yaitu (Tihami, 2009: 65):

    1. Ibu, perempuan yang ada hubungan darah dalam garis keturunan

    garis ke atas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu)

    2. Anak perempuan, wanita yang mempunyai hubungan darah

    dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak perempuan, cucu

    perempuan, baik dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan

    dan seterusnya ke bawah.

    3. Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja atau seibu

    saja.

  • 20

    4. Bibi, saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung

    ayah atau seibu dan seterusnya ke atas.

    5. Kemenakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan

    saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya ke

    bawah.

    Kemudian larangan yang kedua yaitu, larangan sementara waktu

    tertentu, jika suatu ketika bila keadaan dan waktu tertentu sudah berubah

    ia sudah tidak lagi menjadi haram dan pernikahan tersebut mahram

    muaqqat atau di sebut juga mahram ghairu muabbad.

    Mahram ghairu muabbad adalah larangan perkawinan yang

    berlaku untuk sementara waktu yang di sebabkan oleh hal tertentu.

    Larangan perkawinan (mahram ghairu muabbab) itu berlaku dalam hal-

    hal tersebut dibawah ini:

    a) Menikahi dua orang saudara dalam satu masa

    b) Poligami di luar batas

    c) Larangan karena ikatan perkawinan

    d) Larangan karena talak tiga

    e) Larangan karena ihram

    f) Larangan karena perzinaan

    g) larangan karena beda agama

  • 21

    D. Syarat dan Rukun Nikah dalam Perundang-undangan dan Kompilasi

    Hukum Islam

    Syarat-syarat perkawinan juga diatur dalam Perundang-undangan

    Indonesia yaitu dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

    Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam Undang-undang Nomor

    1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 1 sampai dengan 12. Syarat-syarat yang

    harus dilaksanakan sebelum pihak melangsungkan perkawinan terbagi

    atas syarat materil dan formil. Syarat materil adalah mengenai diri pribadi

    calon suami istri, sedangkan syarat formil adalah mengenai formalitas

    atau prosedur yang harus diikuti oleh calon suami istri sebelum maupun

    pada saat dilangsungkannya perkawinan (Badan Penelitian dan

    Pengembangan HAM Kementrerian Hukum dan HAM RI, hal 25). Dalam

    pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

    Perkawinan menyatakan:

    “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

    masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

    Dalam Pasal 2 ayat (2) menyatakan:

    “Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

    undangan yang berlaku.”

    Pada dasarnya sahnya suatu perkawinan menurut Undang-undang

    ialah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan

    kepercayaan setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan, setelah

    sah menurut agama dan kepercayaannya itu barulah Perkawinan tersebut

  • 22

    dicatat untuk mendapatkan pengakuan dari Negara (Badan Penelitian dan

    Pengembangan HAM Kementrerian Hukum dan HAM RI, hal. 25).

    Syarat materil terbagi menjadi 2 (dua) yaitu syarat materil umum

    yang berlaku bagi pernikahan pada umumnya dan syarat materil

    khusus bagi pernikahan tertentu. Syarat materil umum diatur pada pasal 6

    Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu:

    (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

    (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai

    umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang

    tua.

    (3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau

    dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehandaknya, maka

    izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang

    tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu

    menyatakan kehendaknya.

    (4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam

    keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin

    diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang

    mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas

    selama mereka masih hidup dalam keadaan menyatakan

    kehendaknya.

    (5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud

    dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih

  • 23

    diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan

    dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan

    perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin

    setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam

    ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.

    (6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai (5) pasal ini berlaku

    sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya

    itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

    Yang dimaksud dengan persetujuan kedua calon mempelai dalam

    ayat 1 adalah adanya persetujuan bebas tanpa adanya paksaan lahir dan

    bathin dari pihak manapun untuk melaksanakan perkawinan, karena pada

    hakikatnya perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat

    membentuk keluarga yang kekal dan bahagia (Badan Penelitian dan

    Pengembangan HAM Kementrerian Hukum dan HAM RI, hal. 26).

    Undang-undang ini juga mengatur tentang persyaratan umur minimal bagi

    calon suami dan calon istri serta beberapa alternatif lain untuk

    mendapatkan jalan keluar apabila ketentuan umur minimal tersebut

    belum terpenuhi. Mengenai masalah umur ini masih merupakan syarat

    materil yaitu tercantum dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun

    1974 Tentang Perkawinan yaitu:

    (1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19

    tahun (sembilan belas) tahun dan puhal wanita sudah mencapai

    usia 16 (enam belas) tahun.

  • 24

    (2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta

    dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh

    kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.

    (3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua

    orang tua tersebut Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-Undang ini,

    berlaku juga dalam permintaan dispensasi tersebut ayat (2) Pasal

    ini dengan tidak mengurani yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat

    (6).

    Syarat materil khusus yang berisi izin melangsungkan perkawinan

    dapat dilihat dalam pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun

    1974 Tentang Perkawinan tersebut (Badan Penelitian dan Pengembangan

    HAM Kementrian Hukum dan HAM RI, hlm. 27).

    Syarat-syarat formil dalam perkawinan juga terbagi 2 (dua) yaitu:

    1. Syarat formil yang dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan

    adalah:

    a. Perkawinan harus didahului oleh suatu pemberitahuan oleh

    kedua calon mempelai kepada pegawai pencatat nikah

    (pegawai Kantor Urusan Agama untuk yang beragama Islam

    dan pegawai Kantor Catatan Sipil untuk yang beragama

    selain Islam).

    b. Pemberitahuan harus dilengkapi dengan surat-surat

    pembuktian yang diperlukan sesuai dengan syarat-syarat

  • 25

    yang ditentukan oleh Undang-undang untuk pelaksanaan

    perkawinan.

    c. Pelaksanaan perkawinan baru dapat dilaksanakan setelah

    lampau tenggang waktu 10 (sepuluh) hari terhitung dari

    tanggal pemberitahuan.

    2. Syarat formil yang dilakukan pada saat dilangsungkannya

    perkawinan adalah:

    a. Perkawinan dilangsungkan oleh atau dilakukan di hadapan

    pegawai pencatat nikah (pegawai Kantor Urusan Agama

    untuk yang beragama Islam dan pegawai Kantor Catatan

    Sipil untuk yang beragama selain Islam).

    b. Perkawinan harus dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi.

    Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila telah

    dipenuhi syarat-syaratnya, baik syarat materil maupun syarat formil maka

    kedua mempelai telah resmi menjadi suami istri. Apabila syarat-syarat

    tersebut tidak dipenuhi maka dapat menimbulkan ketidakabsahan

    perkawinan yang bisa saja akan mengakibatkan batalnya suatu

    perkawinan (Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementrerian

    Hukum dan HAM RI, hal. 28). Sebagaimana diatur dalam Pasal 22

    Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang

    berbunyi:

    “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi

    syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

  • 26

    Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam

    Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

    yaitu:

    a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau

    isteri

    b. Suami atau isteri

    c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan diputuskan

    d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang

    ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara

    langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah

    perkawinan ini putus.

    Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang Rukun dan Syarat

    Perkawinan dalam Pasal 14 sampai dengan pasal 38. Berbeda dengan

    Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi

    Hukum Islam membahas rukun perkawinan mengikuti sistematika fikih

    yang mengaitkan rukun dan syarat sahnya perkawinan.

    Pada bagian

    kesatu Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam menyatakan, untuk

    melaksanakan perkawinan harus ada:

    a. Calon suami

    b. Calon istri

    c. Wali nikah

    d. Dua orang saksi dan

    e. Ijab Kabul

  • 27

    Kompilasi Hukum Islam menjelaskan lima rukun perkawinan

    sebagaimana fikih, dalam persyaratannya Kompilasi Hukum Islam

    mengikuti Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang

    melihat syarat hanya berkenaan dengan persetujuan kedua calon

    mempelai dan batasan umur. Pasal-pasal berikutnya juga membahas

    tentang wali (Pasal 19), saksi (Pasal 24), akad nikah (Pasal 27), namun

    sistematikanya diletakkan pada bagian yang terpisah dari pembahasan

    rukun. Kompilasi Hukum Islam tidak mengikuti skema fikih juga tidak

    mengikuti Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang hanya

    membahas persyaratan perkawinan menyangkut kedua calon mempelai.

    Bagian mengenai wali nikah, Pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam

    menyatakan:

    “Wali nikah alam perkawinan merupakan rukun yang harus

    dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk

    menikahkannya.

    Dalam Pasal 20 dinyatakan:

    1. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang

    memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan balig.

    2. Wali nikah terdiri dari:

    a. Wali nasab

    b. Wali hakim.

    Pada Pasal 21 dibahas empat kelompok wali nasab yang

    pembahasannya samadengan fikih Islam seperti pertama ,kelompok

  • 28

    kerabat laki-laki garis keturunan keatas. Kedua, kelompok kerabat

    saudara laki-laki kandung, seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga,

    kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara

    seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-

    laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-

    laki mereka.

    Menyangkut wali hakim dinyatakan pada Pasal 23 yang berbunyi:

    1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali

    nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak

    diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan.

    2. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat

    bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan

    Agama tentang wali tersebut.

    Mengenai saksi nikah Kompilasi Hukum Islam masih senada

    dengan apa yang berkembang dalam fikih. Pada bagian keempat

    Pasal 24 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa saksi nikah merupakan rukun

    nikah dan setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.

    Mengenai syarat saksi terdapat pada Pasal 25 yang berbunyi:

    “Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah

    seorang laki-laki muslim, adil, akil, balig, tidak terganggu ingatan dan

    tidak runa rungu atau tuli”.

    Pada Pasal 26 berbicara tentang keharusan saksi menghadiri akad

    nikah secara langsung dan menandatangani akta nikah secara langsung

  • 29

    dan menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah

    dilangsungkan (Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementrian

    Hukum dan HAM RI, hlm. 30).

    Bagian kelima Pasal 27 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang

    akad nikah, ijab kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas,

    beruntun dan tidak berselang waktu. Pasal 28 mengatur tentang kebolehan

    wali nikah untuk mewakilkan hak walinya kepada orang lain. Pasal 29

    memberi ruang kepada calon mempelai pria dimana dalam keadaan

    tertentu dapat mewakilkan dirinya kepada orang lain dengan syarat

    adanya surat kuasa dan pernyataan bahwa orang yang diberi kuasa adalah

    mewakili dirinya, diatur pula pada ayat (3), jika wali keberatan dengan

    perwakilan calon mempelai pria maka akad nikah tidak dapat

    dilangsungkan. Mahar sebagai syarat sah perkawinan juga diatur dalam

    Kompilasi Hukum Islam yaitu pada Pasal 30 sampai 38, dalam Pasal 30

    dinyatakan:

    ”Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon

    mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua

    belah pihak”.

    Pasal yang juga sangat penting diperhatikan adalah terdapat dalam

    Pasal 31 yang berbunyi:

    “Penentuan Mahar berdasarkan atas asas kesederhanaan dan

    kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran islam.”

  • 30

    Dengan demikian meskipun mahar itu wajib, namun dalam

    penentuannya tetaplah harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan

    kemudahan. Maksudnya, bentuk dan harga mahar tidak boleh

    memberatkan calon suami dan tidak pula boleh mengesankan asal ada

    atau apa adanya, sehingga calon istri tidak merasa dilecehkan atau

    disepelekan. Sejalan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

    Tentang Perkawinan, dalam Kompilasi Hukum Islam juga dikenal

    batalnya suatu perkawinan apabila syarat-syarat perkawinan tidak

    dipenuhi oleh suami isteri yang melangsungkan perkawinan maka

    perkawinanya tersebut dapat dibatalkan.

    Adapun perkawinan beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam

    secara ekspilisit dapat dilihat dari ketentuan empat pasal.

    1. Pada pasal 40 KHI, dinyatakan; Dilarang melangsungkan perkawinan

    antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:

    a. Karena wanita yang bersangutan masih terikat satu perkawinan

    dengan pria lain.

    b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria

    lain.

    c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam (Departemen Agama

    RI, Kompilasi Hukum Islam, 1993: 32).

    2. Pasal 44 KHI; ”Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan

    perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.”

    (Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, 1993: 33).

  • 31

    3. Pasal 61 KHI; ”Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk

    mencegah perkawinan kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama

    atau ikhtilaf al-din (Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum

    Islam, 1993: 39).

    4. Pasal 116 KHI; Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-

    alasan:

    a. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabok, pemadat,

    penjudi dan lain sebaginya yang sukar disembuhkan.

    b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun

    berturut-turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar

    kemampuannya.

    c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara (lima) tahun, atau

    hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

    d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan

    akibat tidak dapat menjalankannya sebagai suami atau istri.

    e. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan

    pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

    rumah tangga.

    f. Suami melanggar taklik talak.

    g. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

    ketidak rukunan dalam rumah tangga (Departemen Agama RI,

    Kompilasi Hukum Islam, 1993: 59).

  • 32

    BAB III

    HUKUM NIKAH BEDA AGAMA PERSPEKTIK TAFSIR AL-MISBAH

    DAN FIQIH LINTAS AGAMA

    A. Biografi M. Quraish Shibab

    M. Quraish Shihab atau yang biasa dikenal dengan nama Quraish

    Shihab lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan

    (Abuddin, 2005: 362). Beliau telah dilahirkan dan dibesarkan dalam

    lingkungan keluarga muslim yang taat beragama, yang sebagian orang

    menyebut sebagai keluarga Habib (Sayyid). Ayahnya bernama

    Abdurrahman Shihab (1905-1986), seorang ulama yang memiliki

    keturunan Arab yang terpelajar, guru besar tafsir di IAIN Alauddin,

    Ujung Pandang, dan termasuk salah satu pendiri Universitas Muslim

    Indonesia (UMI), Makasar (Junaidi, 2011: 24).

    Sebagai seorang yang memiliki pikiran maju, Abdurrahman yakin

    bahwa pendidikan adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan

    pandangannya yang demikian maju itu dapat dilihat dari latar belakang

    pendidikannya, yaitu Jami'atul Khair, lembaga pendidikan Islam tertua di

    Indonesia. Murid-murid belajar di lembaga ini diajari tentang gagasan-

    gagasan pembaruan dan pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena lembaga

    ini memiliki hubungan yang erat dengan sumber-sumber pembaruan di

    Timur Tengah seperti Hadramaut, Haramaian dan Mesir. Banyak guru-

    guru yang didatangkan ke lembaga tersebut, di antaranya Syaikh Ahmad

  • 33

    Soorkati yang berasal dari Sudan, Afrika. M. Quraish Shihab

    menyelesaikan sekolah dasarnya di kota Ujung pandang. Ia kemudian

    melanjutkan sekolah menengahnya di kota Malang sambil belajar agama

    di Pesantren Dar al-Hadits al-Fiqhiyah. Pada tahun 1958, ketika berusia

    14 tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studi, dan

    diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Setelah itu ia diterima sebagai

    mahasiswa di Universitas Al-Azhar dengan mengambil Jurusan Tafsir

    dan Hadis, Fakultas Ushuluddin hingga menyelesaikan Lc pada tahun

    1967. Kemudian ia melanjutkan studinya di jurusan dan universitas yang

    sama hingga berhasil mempertahankan tesisnya yang berjudul Al-

    Ijazasyri'i li Alquranal-Karim pada tahun 1969 dengan gelar M.A.

    Setelah menyelesaikan studinya dengan gelar M.A. tersebut, untuk

    sementara ia kembali ke Ujung Pandang. Dalam kurun waktu kurang

    lebih sebelas tahun (1969 sampai 1980) ia terjun ke berbagai aktivitas

    sambil menimba pengalaman empirik, baik dalam bidang kegiatan

    akademik di IAIN Alauddin maupun di berbagai institusi pemerintah

    setempat. Dalam masa menimba pengalaman dan karier ini, ia terpilih

    sebagai Pembantu Rektor III IAIN Ujung Pandang. Selain itu, ia juga

    terlibat dalam pengembangan pendidikan perguruan tinggi swasta wilayah

    Timur Indonesia dan diserahi tugas sebagai koordinator wilayah. Di

    tengah-tengah kesibukannya itu, ia juga aktif melakukan kegiatan ilmiah

    yang menjadi dasar kesarjanaannya. Beberapa penelitian telah

    dilakukannya. Di antaranya, ia meneliti tentang “Penerapan Kerukunan

  • 34

    Hidup Beragama di Timur Indonesia” (1975), dan “Masalah Wakaf di

    Sulawesi Selatan” (1978) (Abuddin, 2005: 363). Pada tahun 1980, M.

    Quraish Shihab kembali ke Mesir untuk meneruskan studinya di Program

    Pascasarjana Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis, Universitas Al-

    Azhar. Hanya dalam waktu dua tahun (1982) dia berhasil menyeiesaikan

    disertasinya yang berjudul “Nazm al-Durar li al- Biqai Tahqiq wa

    Dirasah” dan berhasil dipertahankan dengan nilai Suma Cum Laude.

    Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi M. Quraish

    Shihab untuk melanjutkan kariernya. Beliau pindah tugas dari IAIN

    Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini beliau

    aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Alquran di Program SI, S2 dan S3

    sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai

    dosen, beliau juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN

    Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu

    beliau dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama

    kurang lebih selama dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia

    diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik

    Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap Negara

    Republik Djibauti berkedudukan di Kairo.

    Kehadiran M. Quraish Shihab di Ibu kota Jakarta telah

    memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini

    terbukti dengan adanya berbagai kegiatan yang dijalankannya di tengah-

    tengah masyarakat. Selain mengajar, beliau juga dipercaya untuk

  • 35

    menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua Majelis

    Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashhih

    Alquran Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa

    organisasi profesional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan

    Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini berdiri.

    Selanjutnya beliau juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu

    Syariah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Dapertemen

    Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang beliau lakukan

    adalah sebagai Dewan Studia Islamika Indonesian Journal for Islamic

    Studies, Ulumul Qur‟an, Mimbar Ulama, dan Refleksi Jurnal Kajian

    Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta. Di samping

    kegiatan tersebut di atas, M. Quraish Shihab juga telah dikenal sebagai

    penulis dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar belakang

    keilmuan yang kokoh yang beliau tempuh melalui pendidikan formal

    serta ditopang oleh kemampuannya menyampaikan pendapat dan gagasan

    dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas, rasional, kecenderungan

    pemikiran yang moderat, beliau tampil sebagai penceramah penulis yang

    bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Kegiatan ceramah ini beliau

    lakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta, seperti Masjid al-Tin

    dan Fathullah, di lingkungan pejabat pemerintah seperti Istiqlal serta di

    sejumlah stasiun televisi atau media elektronik, khususnya di bulan

    Ramadhan. Beberapa stasiun televisi, seperti RCTI, Metro TV

    mempunyai program khusus selama Ramadhan yang diasuh olehnya.

  • 36

    Di tengah-tengah berbagai aktivitas sosial, keagamaan tersebut, M.

    Quraish Shihab juga tercatat sebagai penulis yang sangat prolifik. Buku-

    buku yang telah beliau tulis antara lain berisi tentang kajian di sekitar

    epistemologi al Qur’an hingga menyentuh permasalahan hidup dan

    kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Beberapa

    karya tulis yang telah dihasilkannya antara lain: disertasinya: Durar li al-

    Biqa'i (1982), Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam

    Kehidupan Masyarakat (1992), Wawasan Al-Qur'am Tafsir Maudlu'i atas

    Pelbagai Persoalan Umat (1996), Studi Kritis Tafsir al-Manar (1994),

    Mu'jizat Alquran Ditinjau dari Aspek Bahasa (1997), Tafsir al-Mishbah

    (hingga tahun 2004) sudah mencapai 14 jilid (Abuddin, 2005: 365).

    Selain itu beliau juga banyak menulis karya ilmiah yang berkaitan

    dengan masalah kemasyarakatan. Di majalah Amanah beliau mengasuh

    rubrik Tafsir al-Amanah", di Harian Pelita ia pernah mengasuh rubrik

    "Pelita Hati", dan di Harian Republika dia mengasuh rubrik atas namanya

    sendiri, yaitu M. Quraish Shihab Menjawab".

    Dari karyah karya tulis M. Quraish Shibab yang dianalisis

    Kusmana ditemukan kesimpulan bahwa secara umum karakteristik

    pemikiran keislaman M. Quraish Shihab adalah bersifat rasional dan

    moderat. Sifat rasional pemikirannya diabdikan tidak untuk, misalnya,

    memaksakan agama mengikuti kehendak realitas kontemporer, tetapi

    lebih mencoba memberikan penjelasan atau signifikansi khazanah agama

    klasik bagi masyarakat kontemporer atau mengapresiasi kemungkinan

  • 37

    pemahaman dan penafsiran baru tetapi dengan tetap sangat menjaga

    kebaikan tradisi lama. Dengan kata lain, beliau tetap berpegang pada

    adagium ulama al-muhafadzah bi al-qadim al-shalih wa al-akhdz hi al-

    jadid al-ashlah (memilihara tradisi lama yang masih relevan dan

    mengambil tradisi baru yang lebih baik) (Abuddin, 2005: 366).

    B. Metode Tafsir al-Misbah

    Adapun metode penyusunan Tafsir Al-Mishbah adalah

    menggunakan metode tahlily. Dalam menggunakan metode tahlily, M.

    Quraish Shihab terkesan menutupi kelemahan-kelemahan metode tahlily

    dengan menggunakan metode maudhu‟I di dalamnya, yang kemudian

    menjadi kelebihan tersendiri bagi ” Tafsir Al-Mishbah”. Hal ini terlihat

    dari caranya membahas setiap surat atau ayat, di mana ia selalu

    melakukan pengelompokan atas ayat-ayat dalam surat dimaksud sesuai

    dengan tema pokoknya. Misalnya Surah Waqi’ah, ayat-ayat dalam surah

    ini dikelompokkannya kedalam VI (enam) kelompok, yang jumlah ayat di

    masing-masing kelompok tidak sama, tergantung pada sub topik yang

    dikandungnya (Junaidi, 2011: 63). Sedangkan coraknya, Tafsir Al-

    Mishbah dapat dipahami sebagai tafsir yang bercorak Adabi Ijtima‟i,

    yaitu corak sastra/bahasa dan kemasyarakatan. Yang demikian karena

    aspek-aspek tersebutlah yang cukup menonjol (Junaidi, 2011: 65).

  • 38

    C. Pemikiran tentang Pernikahan Beda Agama menurut M. Quraish

    Shihab

    1. Surat Al Baqarah ayat 221 dan penafsiran dalam kitab al-

    Misbah:

    ٌر ِمْن ُمْشرَِكٍة َوَلْو َأْعَجَبْتُكْم َوال َوال تَ ْنِكُحوا اْلُمْشرَِكاِت َحَّتَّ يُ ْؤِمنَّ َوألَمٌة ُمْؤِمَنٌة َخي ٌْر ِمنْ ُمْشرٍِك َوَلْو أَْعَجَبُكْم أُولَِئَك تُ ْنِكُحوا اْلُمْشرِِكَْي َحَّتَّ يُ ْؤِمُنوا َوَلَعْبٌد ُمْؤِمٌن َخي ْ

    ُ آيَاتِِو لِلنَّاِس َلَعلَّ ُهْم يَْدُعوَن ِإََل النَّاِر َواللَُّو يَْدُعو ِإََل اْْلَنَِّة َواْلَمْغِفرَِة بِِإْذنِِو َويُ بَ ْيِّ

    ُرونَ (۲۲۱) يَ َتذَكَّ Artinya:

    “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,

    sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak

    yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun

    Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan

    orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)

    sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang

    mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia

    menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah

    mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan

    Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)

    kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

    (QS. Al Baqarah: 221)

    Pada ayat diatas dijelaskan bahwa pemilihan pasangan adalah batu

    pertama pondasi bangunan rumah tangga. Ia harus sangat kukuh, karena

    kalau tidak, bangunan tersebut akan roboh kendati hanya dengan sedikit

    goncangan, apalagi jika beban yang ditampungnya semakin berat dengan

    kelahiran anak-anak. Pondasi kokoh tersebut bukanlah kecantikan dan

    ketampanan, karena keduanya bersifat relatif, sekaligus cepat pudar,

    bukan juga harta benda, karena harta mudah didapat sekaligus mudah

    lenyap, bukan pula status sosial atau kebangsawanan karena ini pun

  • 39

    sementara, bahkan dapat lenyap seketika. Pondasi yang kokoh yang

    dimaksud adalah yang bersandar pada iman kepada Yang Maha Esa

    (Shihab, 2002: 472).

    Untuk itu, setiap pemilihan pasangan haruslah yang berdasarkan

    agama, keimanan yang kuat serta berlandaskan al qur’an supaya dalam

    mengarungi bahtera rumah tangga bisa berjalan lurus sesuai ajaran islam.

    Karena itu wajar jika dalam Tafsir Al-Mishbah pesan pertama kepada

    mereka yang bermaksud membina rumah tangga adalah: Dan janganlah

    kamu, wahai pria-pria muslim, menikahi, yakni menjalin ikatan

    perkawinan, dengan wanita-wanita musyrik, walaupun dia, yakni wanita-

    wanita musyrik itu, menarik hati kamu, karena ia cantik, bangsawan,

    kaya, dan lain-lain. Dan janganlah kamu, wahai para wali, menikahkan

    orang-orang musyrik para penyembah berhala, dengan wanita-wanita

    mukmin sebelum mereka beriman dengan iman yang benar.

    Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik

    walaupun dia menarik hati kamu karena ia gagah, bangsawan atau kaya

    dan lain-lain (Shihab, 2002: 473).

    Jadi menurut penjelasan Tafsir Al-Mishbah bahwa larangan

    pernikahan antara pria maupun wanita yang beragama islam dengan pria

    atau wanita yang beragama selain islam. Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir

    juga dijelaskan bahwa Allah mengharamkan atas orang-orang mukmin

    menikahi wanita-wanita yang musyrik dari kalangan penyembah berhala.

    kemudian jika makna yang dimaksud bersifat umum, berarti termasuk ke

  • 40

    dalam pengertian setiap wanita musyrik kitabiyah dan wasaniyah. hal

    yang sama juga dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair Mak-

    hul, Al Hasan, Ad Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ar Rabi' ibnu Anas, dan

    lain-lainnya. Menurut pendapat yang lain, bahkan yang dimaksud oleh

    ayat ini adalah orang-orang musyrik dari kalangan penyembah berhala,

    bukan Ahli Kitab secara keseluruhan.

    Makna pendapat ini berdekatan dengan pendapat yang pertama

    tadi (Ad Dimasyqi, 2004: 418) Dalam penjelasan tafsir diatas dijelaskan

    mengenai syirik. Sebagaimana dalam penjelas M. Quraish Shihab yang

    dimaksud dengan syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan

    sesuatu. Dalam pandangan agama, seorang musyrik adalah siapa yang

    percaya bahwa ada Tuhan bersama Allah, atau siapa yang melakukan satu

    aktivitas yang bertujuan utama ganda, pertama kepada Allah, dan kedua

    kepada selain- Nya. Dengan demikian, semua yang mempersekutukan-

    Nya dari sudut pandang tinjauan ini, adalah musyrik (Shihab, 2002: 473).

    Orang-orang Kristen yang percaya tentang Trinitas, adalah musyrik, dari

    sudut pandang di atas. Namun demikian, pakar-pakar al-Qur'an yang

    kemudian melahirkan pandangan hukum, mempunyai pandangan lain.

    Menurut pengamatan mereka, kata musyrik atau musyrikin dan

    musyrikat, digunakan al-Qur'an untuk kelompok tertentu yang

    mempersekutukan Allah. Mereka adalah para penyembah berhala, yang

    ketika turunnya al-Qur'an masih cukup banyak, khususnya yang

    bertempat tinggal di Mekah. Dengan demikian, istilah al-Qur'an berbeda

  • 41

    dengan istilah keagamaan di atas. Walaupun penganut agama Kristen

    percaya kepada Tuhan Bapa dan Tuhan Anak, namun al Qur'an tidak

    menamai mereka orang-orang musyrik, tetapi menamai mereka Ahl al-

    Kitab. Perhatikan antara lain firman-firman Allah berikut:

    ِمْن َخرْيٍ ِمْن َربُِّكْم َما يَ َودُّ الَِّذيَن َكَفُروا ِمْن أَْىِل اْلِكَتاِب َوال اْلُمْشرِِكَْي َأْن يُ نَ زََّل َعَلْيُكمْ

    (۱۰٥) َواللَُّو ََيَْتصُّ ِبَرْْحَِتِو َمْن َيَشاُء َواللَُّو ُذو اْلَفْضِل اْلَعِظيمِ Artinya:

    “Orang-orang kafir dari Ahl al-Kitab dan orang-orang

    musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan

    kepadamu dari Tuhanmu” (QS. al-Baqarah [2]: 105).

    َنةُ َْي َحَّتَّ تَْأتِيَ ُهُم اْلبَ ي ِّ َفكِّ (۱) ََلْ َيُكِن الَِّذيَن َكَفُروا ِمْن أَْىِل اْلِكَتاِب َواْلُمْشرِِكَْي ُمن ْ

    Artinya:

    “Orang-orang kafir, yakni Ahl al-Kitab dan orang-orang

    musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan

    meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka

    buktiyang nyata”. (QS. al-Bayyinah [98]: 1).

    Dari bacaan diatas orang kafir ada dua macam. Pertama, Ahl al-

    Kitab dan kedua, orang-orang musyrik. Itu istilah yang digunakan al

    Qur'an untuk satu substansi yang sama, yakni kekufuran dengan dua nama

    yang berbeda yaitu Ahl al-Kitab dan al-musyrikun. Ini lebih kurang sama

    dengan kata korupsi dan mencuri. Walau substansi keduanya sama, yakni

    mengambil sesuatu yang bukan haknya, tetapi dalam penggunaan,

    biasanya bila pegawai mengambil yang bukan haknya maka ia adalah

    koruptor, dan bila orang biasa bukan pegawai maka ia dinamai pencuri

    (Shihab, 2002: 474).

  • 42

    Perbedaan kata ini menjadi sangat perlu karena diayat lain dalam

    al Qur'an ditemukan izin bagi pria muslim untuk mengawini wanita-

    wanita Ahl al Kitab (QS. al-Ma'idah [5]: 5). Mereka yang memahami kata

    musyrik, mencakup Ahl al Kitab, menilai bahwa ayat al Ma'idah itu telah

    dihapus hukumnya oleh ayat al Baqarah di atas. Tetapi pendapat itu

    sangat sulit diterima, karena ayat al-Baqarah lebih dahulu turun dari ayat

    al Ma'idah, dan tentu saja tidak logis jika sesuatu yang datang terlebih

    dahulu menghapus hukum sesuatu yang belum datang atau yang datang

    sesudahnya. Ini akan lebih sulit lagi bagi yang berpendapat bahwa tidak

    ada ayat-ayat yang batal hukumnya. Belum lagi dengan riwayat-riwayat

    yang mengatakan bahwa sekian banyak sahabat Nabi saw. dan tabi'in

    yang menikah dengan Ahl al-Kitab. Khalifah Utsman Ibn 'Affan misalnya

    kawin dengan wanita Kristen, walau kemudian istrinya memeluk Islam;

    Thalhah dan Zubair, dua orang sahabat Nabi saw. terkemuka juga kawin

    dengan wanita Yahudi (Shihab, 2002: 474).

    Kalau penggalan ayat pertama ditujukan kepada pria muslim,

    maka penggalan ayat kedua ditujukan kepada para wali. Para wali

    dilarang mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan orang-orang

    musyrik. Paling tidak ada dua hal yang perlu digaris bawahi di sini.

    Pertama, ditujukannya penggalan kedua tersebut kepada wali, memberi

    isyarat bahwa wali mempunyai peranan yang tidak kecil dalam

    perkawinan putri-putrinya atau wanita-wanita yang berada di bawah

    perwaliannya. Peranan tersebut dibahas oleh para ulama dan

  • 43

    menghasilkan aneka pendapat. Ada yang berpendapat sangat ketat,

    sampai mensyaratkan persetujuan dan izin yang bersifat pasti dari para

    wali dalam penentuan calon suami putrinya. Tidak sah perkawinan dalam

    pandangan ini tanpa persetujuan itu. Tetapi ada juga yang hanya memberi

    sekadar hak untuk mengajukan tuntutan pembatalan jika perkawinan

    berlangsung tanpa restunya. Menurut penganut pandangan ini, tuntunan

    tersebut pun tidak serta merta dapat dibenarkan, kecuali setelah

    memenuhi sejumlah syarat. Bukan di sini tempatnya diuraikan (Shihab,

    2002: 475).

    Meskipun demikian, perlu diingat, bahwa perkawinan yang

    dikehendaki Islam, adalah perkawinan yang menjalin hubungan yang

    harmonis antar suami istri, sekaligus antar keluaraga, bukan saja keluarga

    masing- masing, tetapi juga antar keluarga kedua mempelai. Dari sini,

    perananan orang tua dalam perkawinan menjadi sangat penting, baik

    dengan member wewenang besar kepada orang tua, maupun hanya

    sekadar restu. Karena itu, walau Rasul saw. memerintahkan orang tua

    untuk meminta persetujuan anak gadisnya, namun karena tolok ukur anak

    tidak jarang berbeda dengan tolok ukur orang tua, maka tolok ukur anak,

    ibu dan bapak, harus dapat menyatu dalam mengambil keputusan

    perkawinan.

    Kedua, larangan mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan

    orang orang musyrik. Walaupun pandangan mayoritas ulama tidak

    memasukkan Ahl al Kitab dalam kelompok yang dinamai musyrik, tetapi

  • 44

    muslimah. Larangan tersebut, menurut ayat di atas, berlanjut hingga

    mereka beriman, sedang Ahl al Kitab, tidak dinilai beriman, dengan iman

    yang dibenarkan Islam. Bukankah mereka walau tidak dinamai musyrik

    tetapi dimasukkan dalam kelompok kafir? Apalagi dari ayat lain dipahami

    bahwa wanita-wanita muslimah tidak diperkenankan juga mengawini atau

    dikawinkan dengan pria Ahl al-Kitab, sebagaimana yang secara tegas

    dinyatakan oleh QS. al Mumtahanah [60]: 10, “ Mereka, wanita-wanita

    muslimah, tiada halal bagi orang-orang kafir, dan orang-orang kafir itu

    tiada halal pula bagi mereka."

    Ayat ini, walaupun tidak menyebut kata Ahl al Kitab, tetapi istilah

    yang digunakannya adalah “orang-orang kafir”, dan seperti dikemukakan

    di atas, Ahl al Kitab adalah salah satu dari kelompok orang-orang kafir.

    Dengan demikian, walaupun ayat ini tidak secara langsung menyebut Ahl

    al-Kitab, namun ketidak halalan tersebut tercakup dalam kata "orang-

    orang kafir". Alasan utama perkawinan beda agama adalah perbedaan

    iman, hal inilah yang menjadi dasar utama larangan tersebut. Perkawinan

    dimaksudkan agar terjalin hubungan yang harmonis, minimal antara

    pasangan suami istri dan anak-anaknya. Bagaimana mungkin

    keharmonisan tercapai jika nilai-nilai yang dianut oleh suami berbeda,

    apalagi bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh istri? Nilai-nilai

    mewarnai pikiran dan tingkah laku seseorang. Dalam pandangan Islam,

    nilai Ketuhanan Yang Maha Esa adalah nilai tertinggi, yang bagaimana

    pun tidak boleh dikorbankan. Ia harus dilestarikan dan diteruskan ke anak

  • 45

    cucu. Kalau nilai ini tidak dipercayai oleh salah satu pasangan, maka

    bagaimana ia dapat diteruskan kepada anak cucu? Di sisi lain, kalau

    pandangan hidup ini tidak diwujudkan dalam kehidupan nyata, maka

    apakah masih ada nilai lain yang akan diwujudkan dan dipraktekkan?

    Dapatkah seseorang mentoleransi inti kepercayaan atau bahkan

    mengorbankannya atas nama cinta, atau karena kekaguman pada

    kecantikan atau ketampanan, harta dan status sosial? Semua yang

    dikagumi itu tidak langgeng. Sedang perkawinan diharapkan langgeng.

    Yang langgeng dan dibawa mati adalah keyakinan, karena itu untuk

    langgengnya perkawinan, maka sesuatu yang langgeng harus menjadi

    landasannya. Itu pula sebabnya ayat di atas berpesan: Wanita yang status

    sosialnya rendah, tetapi beriman, lebih baik daripada wanita yang status

    sosialnya tinggi, cantik dan kaya, tetapi tanpa iman. Pernyataan ini Allah

    sampaikan dengan menggunakan redaksi pengukuhan sesungguhnya

    (Shihab, 2002: 476). Sementara sejumlah ulama menggaris bawahi ada

    faktor lain yang berkaitan dengan larangan perkawinan muslimah dengan

    non-muslim, yakni faktor anak. Menurut Mutawalli asy-Sya'rawi, dalam

    uraiannya tentang ayat ini menggaris bawahi, bahwa anak manusia adalah

    anak yang paling panjang masa kanak- kanaknya. Berbeda dengan lalat

    yang hanya membutuhkan dua jam, atau binatang lain yang hanya

    membutuhkan sekitar sebulan. Anak membutuhkan bimbingan hingga ia

    mencapai usia remaja. Orang tualah yang berkewajiban membimbing

    anak tersebut hingga ia dewasa. Nah, berapa tahun ia akan dibimbing oleh

  • 46

    orang tua yang tidak memiliki nilai-nilai ketuhanan, jika ibu atau

    bapaknya musyrik? Kalau pun sang anak kemudian beriman, dapat

    diduga bahwa imannya memiliki kekeruhan akibat pendidikan orang

    tuanya di masa kecil. Karena itu, Islam melarang perkawinan tersebut

    (Shihab, 2002: 476).

    Setelah menjelaskan larangan di atas, ayat ini melanjutkan uraian

    dengan menjelaskan lebih jauh sebab larangan itu, yakni karena Mereka

    mangajak kamu, dan anak-anak kamu yang lahir dari buah perkawinan,

    ke neraka dengan ucapan atau perbuatan dan keteladanan mereka, sedang

    Allah mengajak kamu dan siapa pun menuju amalan-amalan yang dapat

    mengantar ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.

    Penggalan ayat ini memberi kesan, bahwa semua yang mengajak

    ke neraka adalah orang-orang yang tidak wajar dijadikan pasangan hidup.

    Sementara pemikir muslim dewasa ini cenderung memasukkan semua

    non- muslim termasuk Ahl al Kitab dalam kelompok yang mengajak ke

    neraka, dan pada dasarnya mereka cenderung mempersamakan Ahl al

    Kitab dengan musyrik. Hemat penulis, mempersamakan mereka dengan

    musyrik bukan pada tempatnya, setelah al Qur'an membedakan mereka.

    Memang, kita harus membedakan mereka dengan kaum musyrikin, atau

    orang-orang komunis, karena paling sedikit Ahl al Kitab Yahudi dan

    Nasrani memiliki kitab suci dengan norma-norma akhlak, serta ketentuan-

    ketentuan yang bila mereka indahkan dapat mengantar kepada terciptanya

    satu perkawinan yang tidak otomatis buruk. Nilai kepercayaan kepada

  • 47

    Tuhan, mempunyai nilai yang sangat penting dalam mengarahkan

    seseorang menuju nilai-nilai moral. Ini tidak ditemukan pada penyembah

    berhala, apalagi di kalangan atheis. Namun demikian, kecenderungan

    melarang perkawinan seorang muslim dengan wanita Ahl al Kitab atas

    dasar kemaslahatan, bukan atas dasar teks al Qur'an, adalah pada

    tempatnya, sehingga paling tidak perkawinan tersebut dalam sudut

    pandangan hukum Islam adalah makruh. Sekali lagi digaris bawahi, ini

    adalah antar pria muslin dengan wanita Ahl al Kitab, bukan wanita

    muslimah dengan pria Ahl al Kitab, yang secara tegas dan pasti telah

    terlarang dan haram hukumnya. Ayat ini ditutup dengan firman-Nya:

    Allah menerangkan ayat-ayat-Nya, yakni tuntunan-tuntunan-Nya kepada

    manusia. Itu dijelaskan- Nya supaya kamu dapat mengingat, yakni

    mengambil pelajaran. Memang sungguh banyak pelajaran dari tuntunan di

    atas (Shihab, 2002: 477).

    2. Surat Al Maidah: 5

    اْلِكَتاَب ِحلٌّ َلُكْم َوَطَعاُمُكْم ِحلٌّ اْليَ ْوَم أُِحلَّ َلُكُم الطَّيَِّباُت َوَطَعاُم الَِّذيَن أُوتُوا َواْلُمْحَصَناُت ِمَن الَِّذيَن أُوتُوا اْلِكَتاَب ِمْن ََلُْم َواْلُمْحَصَناُت ِمَن اْلُمْؤِمَناتِ

    َأْخَداٍن َوَمْن َر ُمَساِفِحَْي َوال ُمتَِّخِذيقَ ْبِلُكْم ِإَذا آتَ ْيُتُموُىنَّ ُأُجوَرُىنَّ ُُمِْصِنَْي َغي ْ (٥) َيْكُفْر بِاإلميَاِن فَ َقْد َحِبَط َعَمُلُو َوُىَو ِف اآلِخرَِة ِمَن اْْلَاِسرِينَ

    Artinya:

    “Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan

    (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal

    bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan

    Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan

    diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita

    yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang

    diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas

  • 48

    kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan

    maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-

    gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak

    menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya

    dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi”. (Q.S.

    Al Maidah: 5)

    Ayat diatas, sekali Iagi Allah mengulangi pernyataan ayat lalu

    dan menambahkan bahwa penggalan arti dari ayat Pada hari ini

    dihalalkan bagi kamu, maksudnya bahwa kaum muslimin

    diperbolehkan memakan binatang sembelihan orang-orang non

    muslim yang telah diberi kitab. Sebagaimana penjelasan M. Quraish

    Shihab dalam tafsirnya, halal sembelihan orang-orang yang diberi al

    Kitab itu halal bagi kamu memakannya dan makanan kamu halal

    pula bagi mereka, sehingga kamu tidak berdosa bila memberinya

    kepada mereka. Dan dihalalkan juga bagi kamu menikahi wanita-

    wanita yang menjaga kebormatan di antara wanita- wanita yang

    beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara

    orang-orang yang diberi al-Kitab, yakni orang-orang Yahudi dan

    Nasrani sebelum kamu, bila kamu telah membayar imbalan, yakni

    mas kawin mereka, yakni telah melangsungkan akad nikah secara

    sah, pembayaran dengan maksud memelihara kesucian diri kamu,

    yakni menikahi sesuai tuntunan Allah, tidak dengan maksud

    berwarna dan tidak pula menjadikannya pasangan-pasangan yang

    dirahasiakan atau gundik-gundik. Dihalalkan kepada kamu

    pernikahan itu, sambil kiranya kamu mengingat bahwa barang siapa

    yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya. Jika

  • 49

    kekafiran tersebut dibawa mati dan ia di hari akhirat termasuk orang-

    orang merugi (Shihab, 2002: 29).

    Dalam Tafsir Al-Mishbah kata tha'am atau makanan yang

    dimaksud oleh ayat di atas adalah sembelihan, karena sebelum ini

    telah ditegaskan hal-hal yang diharamkan, sehingga selainnya

    otomatis halal, baik sebelum maupun setelah dimiliki Ahl al Kitab.

    Juga karena, sebelum ini terdapat uraian tentang penyembelihan dan

    perburuan, sehingga kedua hal inilah yang menjadi pokok masalah.

    Ada juga yang memahami kata makanan dalam arti buah- buahan,

    biji-bijian, dan semacamnya. Namun pendapat ini sangat lemah.

    Meskipun demikian, hendaknya perlu diingat bahwa tidak

    otomatis semua makanan Ahl al Kitab menjadi halal. Karena bias

    dimungkinkan makanan yang mereka hidangkan, telah bercampur

    dengan bahan-bahan haram, misalnya minyak babi atau minuman

    keras, dan bias juga adanya bahan yang najis tercampur didalamnya.

    Dalam konteks ini Sayyid Muhammad Tanthawi, mantan Mufti Mesir

    dan Pemimpin Tertinggi al-Azhar, menukil pendapat sementara

    ulama bermazhab Malik yang mengharamkan keju dan sebangsanya

    yang diproduksi di negara non-Muslim, dengan alasan bahwa

    kenajisannya hampir dapat dipastikan. Namun setelah menukil

    pendapat ini, Tanthawi menegaskan bahwa mayoritas ulama tidak

    berpendapat demikian, dan bahwa memakan keju dan semacamnya

    yang diproduksi di negeri-negeri non-Muslim dapat dibenarkan,

  • 50