perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

165
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuhan Yang Maha Esa telah menganugerahi bangsa Indonesia kekayaan berupa sumber daya yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, dan sumber daya buatan. Sumber daya alam dan buatan yang dapat dijadikan objek dan daya tarik wisata berupa keadaan alam, flora dan fauna, hasil karya manusia, serta peninggalan sejarah dan budaya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki tersebut kemudian dapat dijadikan modal bagi pembangunan dan peningkatan kepariwisataan, dimana usaha untuk itu sudah sejak lama dikembangkan oleh Indonesia khususnya Provinsi Bali. Provinsi Bali merupakan daerah pariwisata yang dikenal baik oleh para wisatawan domestik maupun mancanegara. Keindahan alam serta keunikan budaya merupakan daya tarik dari pulau dewata ini. Hingga dengan saat ini pariwisata masih merupakan salah satu potensi utama yang diandalkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Pariwisata di Provinsi Bali mempunyai peranan penting untuk memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, memperbesar pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, oleh karenanya segenap sumber daya yang bernilai kepariwisataan digali dan dikembangkan secara serius dan prestisius. Kondisi seperti ini membawa konsekuensi pesatnya pertumbuhan pembangunan di bidang pariwisata, salah satunya adalah pembangunan sarana akomodasi bagi wisatawan yang berkunjung 1

Transcript of perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

Page 1: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuhan Yang Maha Esa telah menganugerahi bangsa Indonesia kekayaan

berupa sumber daya yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam

hayati, sumber daya alam nonhayati, dan sumber daya buatan. Sumber daya alam

dan buatan yang dapat dijadikan objek dan daya tarik wisata berupa keadaan

alam, flora dan fauna, hasil karya manusia, serta peninggalan sejarah dan budaya.

Kekayaan sumber daya yang dimiliki tersebut kemudian dapat dijadikan modal

bagi pembangunan dan peningkatan kepariwisataan, dimana usaha untuk itu sudah

sejak lama dikembangkan oleh Indonesia khususnya Provinsi Bali. Provinsi Bali

merupakan daerah pariwisata yang dikenal baik oleh para wisatawan domestik

maupun mancanegara. Keindahan alam serta keunikan budaya merupakan daya

tarik dari pulau dewata ini.

Hingga dengan saat ini pariwisata masih merupakan salah satu potensi

utama yang diandalkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Pariwisata di Provinsi Bali

mempunyai peranan penting untuk memperluas dan memeratakan kesempatan

berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, memperbesar

pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran

rakyat, oleh karenanya segenap sumber daya yang bernilai kepariwisataan digali

dan dikembangkan secara serius dan prestisius. Kondisi seperti ini membawa

konsekuensi pesatnya pertumbuhan pembangunan di bidang pariwisata, salah

satunya adalah pembangunan sarana akomodasi bagi wisatawan yang berkunjung

1

Page 2: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

2

ke Bali. Sarana akomodasi ini menjadi salah satu peluang usaha yang cukup

banyak diminati baik oleh masyarakat lokal maupun investor asing. Kondisi

tersebut mengakibatkan merebaknya sarana akomodasi pariwisata di Bali, dimana

salah satu bentuk dari sarana akomodasi pariwisata tersebut adalah pondok wisata.

Aktivitas pembagunan usaha akomodasi pariwisata tersebut tentu saja

menggunakan lahan dan ruang sebagai tempat menampung kegiatan yang

dimaksud. Ini berarti berhubungan erat dengan masalah lingkungan tempat

aktivitas pembangunan tersebut berlangsung. Asep Warlan Yusuf mengistilahkan

antara lingkungan hidup dengan ruang memiliki hubungan resiprokal yang

bersifat komplementer, dimana masing-masing saling melengkapi dan saling

mengisi.1 Pemanfaatan ruang akan berdampak terhadap kelestarian lingkungan

hidup dan sebaliknya pengelolaan lingkungan hidup akan mempengaruhi ruang

tempat unsur-unsur lingkungan hidup berada.2 Penggunaan lahan oleh setiap

aktivitas pembangunan sedikitnya akan mengubah rona lingkungan awal menjadi

rona lingkungan baru, sehingga terjadi perubahan kesinambungan lingkungan

yang kalau tidak dilakukan pengelolaan secara cermat dan bijaksana akan

berpotensi menimbulkan kemerosotan kualitas lingkungan, merusak bahkan

memusnahkan kehidupan habitat tertentu dalam suatu ekosistem.3

Untuk mencegah kemerosotan kualitas lingkungan maka diperlukan adanya

upaya pengendalian terhadap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi

1 Asep Warlan Yusuf dalam I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum

Perizinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung, h. 56.

2 I Made Arya Utama, Ibid. 3 H. Juniarso Ridwan dan Achmad Sodich, 2008, Hukum Tata Ruang dalam Konsep

Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa Bandung h. 42.

Page 3: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

3

membahayakan lingkungan. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk

mengendalikan usaha dan/atau kegiatan yang dapat membahayakan lingkungan

adalah melalui instrumen perizinan. Dari sisi hukum administrasi negara, izin

merupakan salah satu wujud tindak pemerintahan. Tindak pemerintahan menurut

Philipus M. Hadjon berarti tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh

administrasi negara dalam melaksanakan tugas pemerintahan.4 Izin sebagai suatu

ketetapan pada hakikatnya adalah tindakan hukum sepihak berdasarkan

kewenangan publik yang memperbolehkan atau memperkenankan menurut

hukum bagi seseorang/badan hukum untuk melakukan suatu kegiatan.5 Izin

sebagai norma penutup diharapkan mampu untuk mengendalikan setiap aktivitas

manusia agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini

merupakan tugas dan kewenangan pemerintah untuk menjaga ketertiban dan

keamanan dimana merupakan tugas klasik yang sampai dengan saat ini masih

tetap dipertahankan. Dari segi hukum lingkungan izin merupakan salah satu

bentuk upaya pengelolaan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup, dimana

dalam pelaksanaanya dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan aspek-

aspek hukum lingkungan diantaranya adalah aspek penataan ruang.

Apabila ditinjau dari aspek penataan ruang maka pengembangan usaha

akomodasi pariwisata di Bali saat ini tidak hanya marak dikembangkan pada

kawasan dataran rendah, melainkan mulai merambah ke kawasan dataran tinggi

yang sebagian besar kawasannya ditetapkan sebagai kawasan lindung. Pada

4 Philipus M. Hadjon, 1985, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan

(Bestuurshandeling), Djumali, Surabaya, h. 1. 5 I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan

Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung.

Page 4: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

4

dasarnya kawasan lindung merupakan kawasan dimana seluruh fungsi ruang

berhubungan dengan kelestarian lingkungan, memproduksi oksigen, perlindungan

manusia dari berbagai kemungkinan terjadinya bencana dan malapetaka, serta

tempat berlangsungnya konservasi alam. Ironisnya, dalam menata dan mengelola

ruang manusia sering dihadapkan berbagai benturan kepentingan. Hal ini

disebabkan antara lain karena pada kawasan lindung tidak jarang tersimpan

sedemikian banyak potensi sumberdaya alam bernilai ekonomi tinggi. Di

dalamnya juga, seringkali manusia mendapatkan berbagai kesempatan baru untuk

memperoleh kemanfaatan baru bagi kehidupan sehingga fungsi kawasan lindung

kadang kala tidak dapat dilakukan dengan sempurna. Hal ini tercermin dalam

pengertian kawasan lindung yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali

No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun

2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16) yang

memberikan celah dapat dilakukannya kegiatan budidaya dalam kawasan lindung.

Pengertian mengenai Kawasan lindung diatur dalam Pasal 1 angka 26 Peraturan

Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa ”kawasan

lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi

kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya

buatan.” Adanya frasa “fungsi utama” dalam pengertian kawasan lindung tersebut

menimbulkan peluang penafsiran adanya fungsi lain disamping fungsi utama dari

kawasan lindung yang mana fungsi lain tersebut dapat dijadikan pembenar bagi

adanya kegiatan budidaya.

Page 5: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

5

Provinsi Bali memiliki kawasan lindung seluas 175.577 ha atau 31,2% dari

luas daerah Provinsi Bali, dimana kawasan lindung tersebut berdasarkan

spesifikasinya terbagi atas beberapa jenis kawasan dan salah satunya adalah

Kawasan Taman Wisata Alam. Ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam

Pasal 42 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009, yang

menyatakan bahwa:

Kawasan lindung mencakup: a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya; b. Kawasan perlindungan setempat; c. Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya; d. Kawasan rawan bencana alam; e. Kawasan lindung geologi; f. Kawasan lindung lainnya.

Dalam uraian dari ketentuan pasal tersebut memang tidak disebutkan secara

eksplisit mengenai kedudukan taman wisata alam sebagai bagian dari kawasan

lindung, namun berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1990

tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49) dinyatakan bahwa taman

wisata alam dikatagorikan dalam kawasan pelestarian alam. Sehingga dengan

demikian taman wisata alam merupakan bagian dari kawasan lindung. Adapun

ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1990 menyatakan

bahwa:

Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri dari: a. Taman nasional b. Taman hutan raya c. Taman wisata alam.

Page 6: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

6

Kawasan taman wisata alam yang digolongkan sebagai kawasan lindung ini

mempunyai panorama alam yang menarik. Keindahan, keunikan dan kekhasan

yang dimiliki oleh Taman Wisata Alam ini kemudian menjadi daya tarik bagi para

pemilik modal untuk mengembangkan usaha akomodasi pariwisata khususnya

pondok wisata pada kawasan tersebut.

Pengusahaan pondok wisata pada taman wisata alam dimungkinkan oleh

beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan seperti Peraturan Pemerintah

No. 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa,

Taman nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 44). Hal tersebut dapat dijumpai dalam

beberapa ketentuan pasal sebagai berikut:

a. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa:

Dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, huruf c, dan huruf d dapat dilakukan kegiatan mengunjungi, melihat, menikmati keindahan alam, keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta dapat dilakukan kegiatan membangun sarana kepariwisataan.

b. Ketentuan Pasal 7 ayat (1)menyatakan bahwa:

Pengusahaan pariwisata alam meliputi: a. usaha penyediaan jasa wisata alam; dan b. usaha penyediaan sarana wisata alam.

c. Ketentuan Pasal 7 ayat 3 menyatakan bahwa:

Usaha penyediaan sarana wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat meliputi: a. wisata tirta; b. akomodasi; dan c. sarana wisata petualangan

Page 7: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

7

d. Penjelasan Pasal 7 ayat (3) Huruf b menyatakan bahwa:

Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa hotel, villa, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan pariwisata.

Dari uraian ketentuan PP No. 36 Tahun 2010 diatas dinyatakan dengan tegas

bahwa dalam kawasan taman wisata alam dapat diselenggarakan usaha akomodasi

pariwisata berupa pondok wisata sebagai bentuk pengusahaan pariwisata alam di

bidang usaha penyediaan sarana wisata alam.

Ketentuan lain yang mengatur mengenai hal yang serupa ditemukan dalam

Pasal 101 ayat (6) Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 48) yang menyatakan bahwa:

Peraturan zonasi untuk taman wisata alam dan taman wisata alam laut disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; b. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a; c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan

sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada

huruf c.

Dari uraian pasal di atas dapat diketahui bahwa sama seperti ketentuan

sebelumnya, PP No. 26 tahun 2008 juga memberikan kesempatan bagi dapat

dibangunya pondok wisata pada kawasan taman wisata alam sebagai wujud dari

bangunan penunjang kegiatan wisata alam sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

Namun tidak demikian dengan ketentuan penataan ruang pada tingkat

daerah di Provinsi Bali dapat dijumpai pada Peraturan Daerah Provinsi Bali No.

16 Tahun 2009 dimana didalamnya memuat substansi baru mengenai arahan

Page 8: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

8

zonasi kawasan taman wisata alam yaitu dalam Pasal 109 ayat (5) yang

menyatakan bahwa:

Arahan peraturan zonasi taman wisata alam sebagaimana dimaksud Pasal 106 ayat (4) huruf e, mencakup: a. pengembangan zonasi kawasan menjadi zona inti dan zona pemanfaatan; b. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; c. pelarangan kegiatan selain yang dimaksud dalam huruf b; dan d. pelarangan pendirian pembangunan pada zona pemanfaatan.

Dengan demikian berdasarkan Pasal 109 ayat (5) huruf d Perda No. 16 Tahun

2009 jelas bahwa tidak dimungkinkan bagi adanya kegiatan pembangunan pondok

wisata pada zona pemanfaatan kawasan taman wisata alam.

Berdasarkan uraian peraturan tersebut di atas maka jelas nampak adanya

konflik norma. Adapun konflik norma yang terjadi adalah karena disatu sisi Perda

No. 16 tahun 2009 menyatakan bahwa pada zona pemanfaatan kawasan taman

wisata alam tidak diperkenankan untuk diadakan pembangunan pondok wisata,

sedangkan di sisi lain dalam PP No. 36 Tahun 2010 menyatakan dengan tegas

bahwa dalam dalam blok pemanfaatan kawasan taman wisata alam dapat

diselenggarakan usaha akomodasi pariwisata dimana salah satu bentuknya adalah

pondok wisata. Hal ini tentunya perlu mendapat perhatian yang lebih serius

mengingat dimungkinkanya pembangunan akomodasi pariwisata pada kawasan

lindung khususnya dalam hal ini pada kawasan taman wisata alam dikhawatirkan

akan berpotensi menimbulkan kerusakan, dan pencemaran lingkungan yang akan

mengakibatkan terganggunya fungsi lindung dari kawasan taman wisata alam

tersebut.

Page 9: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

9

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian tersebut di atas maka yang menjadi permasalahan yang akan

dibahas adalah sebagai berikut:

1. Dapatkah pengusahaan pondok wisata dilakukan pada kawasan taman

wisata alam yang digolongkan sebagai kawasan lindung di Provinsi

Bali?

2. Upaya apakah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau

Pemerintahan Daerah untuk memberi kepastian hukum terkait adanya

konflik norma dalam pengaturan izin pengusahaan bagi pondok wisata

pada kawasan taman wisata alam?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1.Tujuan Umum

Secara umum penelitian atas beberapa permasalahan yang telah

dikemukakan di atas adalah bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum atau

untuk menambah khasanah pengetahuan di bidang Hukum Administrasi Negara,

khususnya di bidang Hukum Tata Ruang dan Hukum Perizinan.

1.3.2.Tujuan Khusus

Sehubungan dengan tujuan umum maka adapun tujuan khusus yang ingin

dicapai lebih lanjut dalam penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui apakah sebenarnya dapat diselenggarakan

pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam.

Page 10: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

10

2. Untuk mengetahui upaya apakah yang dapat dilakukan pemerintah yang

berwenang guna untuk melindungi taman wisata alam terkait dengan

pengembangan istrumen perizinan.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan melalui penelitian terhadap kedua permasalahan

yang dibahas dalam proposal tesis ini terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat

praktis. Secara teoritis adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini

adalah dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan

ilmu hukum. Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi penulis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan dan pemahaman perizinan sebagai instrumen yang dapat

digunakan untuk mengendalikan kegiatan dan/atau usaha yang dapat

membahayakan kelestarian fungsi lindung dari kawasan taman wisata

alam.

2. Bagi Pemerintah hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan atau masukan serta pengetahuan akan adanya konflik norma

mengenai pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam,

serta upaya yang dapat dilakukan pemerintah dalam mengatasi

permasalahn tersebut .

3. Bagi masyarakat hasil penelitian ini akan memberikan pengetahuan dan

pemahaman yang lebih mendalam mengenai dapat tidaknya dilakukan

pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam, sehingga

Page 11: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

11

dapat memaksimalkan peran serta masyarakat dalam mengawasi

kegiatan pembangunan.

1.5. Landasan Teoritis

Berikut ini adalah beberapa landasan yuridis yang digunakan dalam

membahas paper ini:

1.5.1. Konsep Negara Hukum

Terdapat dua tradisi besar gagasan Negara Hukum di dunia, yaitu Negara

Hukum dalam tradisi Eropa Kontinental yang disebut Rechtsstaat dan Negara

Hukum dalam tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan Rule of Law.Frederich

Julius Stahl mengungkapkan setidaknya terdapat empat unsur dari rechstaat,

yaitu:6

1. Jaminan terhadap Hak Asasi Manusia

2. Adanya pembagian kekuasaan

3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan

4. adanya peradilan administrasi Negara yang berdiri sendiri (independent)

Kemudian A.V. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law adalah sebagai

berikut:7

1. Supremasi absolut atau predominasi dari aturan-aturan hukum untuk

menentang dan meniadakan kesewenang-wenangan, dan kewenangan

bebas yang begitu luas dari pemerintah;

6 Adi Sulistiyono, 2007, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma Moral,

Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press) Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah, Cetakan ke I, h. 32

7 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembaentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, h.75

Page 12: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

12

2. persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua

golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh

ordinary court ini berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik

pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum

yang sama.

3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum

konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekwensi dari hak-hak

individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan, singkatnya

prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen

sedemikian diperluas sehingga membatasi posisi crown dan pejabat-

pejabatnya.

Berdasarkan ketentuan UUD Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 1 ayat

(3) menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, sehingga tidak

diragukan lagi bahwa Indonesia adalah sebagai negara hukum karena secara tegas

ditetapkan dalam bentuk norma hukum tertinggi. namun selama ini seringkali

konsep negara hukum disamakan begitu saja dengan konsep rechtstaat dan

konsep the rule of law. Hal ini dapat dimaklumi karena bangsa Indonesia

mengenal istilah negara hukum melalui konsep rechtstaat yang pernah

diberlakukan Belanda pada masa pendudukannya di Indonesia, pada

perkembangan selanjutnya terutama sejak perjuangan menumbangkan apa yang

dalam periodisasi politik disebut perjuangan menumbangkan orde lama negara

hukum begitu saja diganti dengan the rule of law.8 Indonesia seyogianya tidak

8 Ibid, h. 66-67

Page 13: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

13

begitu saja mengalihkan konsep the rule of law atau konsep rechstaat sebagai

Jiwa dan isi dari negara hukum Indonesia, karena pada dasarnya Indonesia telah

memiliki konsep negara hukumnya sendiri, yaitu negara hukum Pancasila. Hal ini

dapat dilihat dalam hubungannya dengan Alenia ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945

yang menyatakan bahwa:

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social, maka (untuk mencapai tujuan negara tersebut) disusunlah Kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu UUD Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila.

Mencermati bunyi dari Alenia ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 di atas

dapat ditarik benang merah bahwa sebenarnya konsep negara hukum Indonesia

merupakan perpaduan tiga unsur yaitu Pancasila, hukum nasional dan tujuan

negara. Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan utuh. Pancasila merupakan

dasar pembentukan hukum nasional. Hukum nasional disusun sebagai sarana

untuk mencapai tujuan negara. Tidak ada artinya hukum nasional disusun apabila

tidak mampu mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kehidupan yang sejahtera

dan bahagia dalam naungan ridha Illahi.9

Adapun unsur-unsur negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila

menurut Sri Soemantri Martosoewignjo adalah sebagai berikut:10

9 Sudjito bin Atmoredjo, Negara Hukum dalam Perspektif Pancasil, dalam Kongres

Pancasila kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI dan Gadjah Mada, Balai Senat UGM, Yogyakarta, 30, 31, dan 1 Juni 2009.

10 Sri Soemantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, h. 11.

Page 14: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

14

a. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga

negara;

b. Adanya pembagian kekuasaan negara;

c. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya pemerintah harus

selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku baik yang tertulis maupun

yang tidak tertulis;

d. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya

merdeka.

Sedangkan unsur-unsur minimal yang harus dimiliki oleh negara hukum

berdasarkan pandangan Bagir Manan adalah sebagai berikut:11

a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum

b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya

c. Adanya kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa

terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas);

d. Ada pembagian kekuasaan.

Dari unsur-unsur negara hukum yang diuraikan di atas, terdapat dua unsur

yang bertalian erat dengan usulan penelitian ini, yaitu unsur semua tindakan harus

berdasar hukum dan unsur adanya pengakuan terhadap jaminan hak asasi

manusia. Unsur semua tindakan harus berdasarkan atas hukum memiliki arti

bahwa setiap tindakan penyelenggara negara serta warga negara harus dilakukan

berdasarkan dan di dalam koridor hukum, maka konsekuensinya hukum harus

dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,

11 Bagir Manan, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia dalam I Made

Arya Utama, Op. Cit. h. 15

Page 15: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

15

dengan kata lain setiap orang warga negara Indonesia harus patuh dan tunduk

pada norma hukum yang berlaku. Terkait dengan hal tersebut maka dalam

pengusahaan pariwisata alam khususnya pengusahaan pondok wisata yang akan

dilaksanakan pada kawasan taman wisata alam hendaknya tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia sebagai salah satu unsur negara

hukum telah dipenuhi oleh negara Indonesia. Jaminan hak asasi manusia tersebut

dimuat dalam berbagai instrument yuridis, salah satu bentuk jaminan hak asasi

manusia adalah diaturnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hal

tersebut diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan

bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan. Salah satu cara untuk mewujudkan hak tersebut adalah

dengan mengintegrasikan pertimbangan kelestarian lingkungan dalam setiap izin

dari suatu kegiatan dan/atau usaha yang akan diselenggarakan.

1.5.2. Teori Pembentukan Peraturan Perundang undangan

Peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting dan tidak bisa

diabaikan terutama dalam suatu negara hukum. Pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik akan menunjang terjaminnya suatu kepastian

hukum, karena dari suatu peraturan perundang-undangan akan dapat diramalkan

atau diharapkan apa yang akan dilakukan oleh subjek pengaturan dari peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan. Pembentukan peraturan perundang-

undangan secara ideal dilandasi paling tidak oleh tiga hal, yaitu:

Page 16: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

16

1. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

2. Politik hukum (peraturan perundang-undangan) yang baik

3. Sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang memadai.

Ad.1. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

Untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik perlu

diperhatikan berbagai asas hukm yang berkembang. Van der Viles membedakan

antara asas-asas formal dan material, yaitu:12

Asas-asas formal pembentukan peraturan perundang-undangan, meliputi: 1. Asas tujuan yang jelas 2. Asas organ/lembaga yang tepat 3. Asas perlunya peraturan 4. Asas dapat dilaksanakan 5. Asas konsesnsus

Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan, meliputi: 1. Asas tentang terminology dan sistematika yang benar 2. Asas tentang dapat dikenali 3. Asas pengakuan yang sama dalam hukum 4. Asas kepastian hukum 5. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual

Selanjutnya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang

baik di Indonesia diatur dalam Pasal 5 UU no. 10 Tahun 2004, yang menyatakan

bahwa:

Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan perundang-undangan yang baik yang meliputi:

a. Kejelasan tujuan b. Kelembagaan atau organ yang tepat c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan d. Dapat dilaksanakan e. Kedayaunaan dan kehasilgunaan f. Kejelasan rumusan g. Keterbukaan

12 Van der Viles dalam Widodo Ekatjahjana, 2008, Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, Dasar-dasar dan Teknik Penyusunannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 26

Page 17: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

17

Ad.2. Politik hukum yang baik

Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari konsep

politik hukum berada pada ruang konfigurasi yang tidak bebas nilai. Nilai-nilai

yang berasal dari aspek social, budaya, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya

saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Dengan

demikian, pembentukan peraturan perundang-undangan dalam konsep politik

hukum tidak hanya memiliki satu konfigurasi, tetapi lebih.13

Politik hukum nasional secara konstitusional dapat ditemukan dalam UUD

NRI 1945. Pasal 1 UUD NRI 1945 memberikan landasan bagi konsep politik

hukum (peraturan perundang-undangan) nasional di Indonesia yang hendak

diimplementasikan. Adapun ketentuan Pasal 1 UUD NRI 1045 menyatakan

sebagai berikut:

(1) Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republic. (2) Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-

undang dasar. (3) Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

Berdasarkan rumusan Pasal 1 UUD NRI 1945 itu maka konsep politik

hukum (pembentukan peraturan perundang-undangan) nasional Indonesia paling

tidak dilandasi oleh tiga prinsip yang fundamental sebagai berikut:

a. Prinsip negara hukum

b. Prinsip negara kesatuan dengan bentuk republic

c. Prinsip demokrasi

13 Widodo Ekatjahjana, Ibid, h. 6

Page 18: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

18

Prinsip negara hukum yang dianut dalam Pembukaan UUD NRI 1945

adalah prinsip welfare state, dimana mengisyaratkan agar dalam pembentukan

politik perundang-undangan nasional berorientasi pada tujuan untuk:

a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia

b. Memajukan kesejahteraan umum

c. Mencerdaskan kehidupan bangsa

d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan social.

Prinsip negara kesatuan mengisyaratkan agar setiap pembentukan politik

perundang-undangan nasional, bingkai dan limitasinya adalah negara kesatuan

dengan bentuk pemerintahan republik. Maka pembentukan dan materi peraturan

perundang-undangan baik di Pusat maupun di Daerah tidak boleh lepas dari kedua

hal tersebut. Sedangkan prinsip demokrasi mengisyaratkan agar setiap

pembentukan politik perundang-undangan nasional senantiasa melibatkan peran

serta rakyat.14

Ad.3 Sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang memadai

Setiap peraturan perundang-undangan harus dapat diuji keabsahan

hukumnya melalui lembaga pengujian peraturan perundang-undangan. Lemabaga

pengujian ini dapat berupa lembaga yudisial, lembaga non yudisial, ataupun

campuran, yaitu lembaga yudisial dan lembaga non yudisial.15

Dalam system pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia

seharusnya yang dikembangkan adalah jenis pengujian secara yudisialoleh badan

14 Ibid, h.9 15 Ibid, h.21

Page 19: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

19

yudisial, karena di dalam UUD NRI dengan jelas disebutkan bahwa “Negara

Indonesia adalah negara hukum”. Pengujian yang bersifat non yudisial dapat

dilakukan oleh lembaga di luar badan yudisial sepanjang lembaga tersebut

menguji (meninjau) produk peraturan perundang-undangan yang dibuatnya

sendiri.16

1.5.3. Konsep Desentralisasi

Di dalam unitary state atau negara kesatuan, penyelenggaraan

pemerintahannya dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:

a. Tidak mengadakan pembagian wilayah negara atas daerah-daerah

(biasanya untuk negara yang wilayahnya kecil). Disini prinsip yang

digunakan, adalah:

sentralisasi, artinya dalam negara kesatuan hanya ada satu

pemerintahan yaitu Pemerintahan Pusat yang mempunyai

kekuasaan atau wewenang tertinggi dalam segala lapangan

pemerintahan;

konsentrasi, artinya menyelenggarakan segala macam urusan negara

hanya oleh alat perlengkapan pemerintah pusat yang berkedudukan

di pusat pemerintahan negara saja (dilawankan dengan

dekonsentrasi).17

b. Membagi wilayah negara atas daerah-daerah yang oleh Pemerintah Pusat

daerah-daerah tersebut diberikan hak dan wewenang untuk mengatur dan

mengurus rumah tangga daerahnya. Untuk mengatur dan mengurus

16 Ibid, 17 Joeniarto, 1979, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Alumni, Bandung, hal.24.

Page 20: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

20

rumah tangganya tersebut, daerah memiliki pemerintahannya sendiri

yang disebut Pemerintahan Daerah. Daerah-daerah semacam ini disebut

daerah otonom atau local autonomy. Daerah-daerah otonom ini dibentuk

berdasarkan prinsip desentralisasi.

c. Membagi wilayah negara atas daerah-daerah, tetapi oleh Pemerintah

Pusat tidak diberikan hak dan wewenang untuk mengurus rumah tangga

daerah. Pemerintah Pusat menempatkan alat-alat perlengkapan

Pemerintah Pusat di daerah-daerah sebagai perpanjangan tangan

Pemerintah Pusat di daerah. Daerah-daerah seperti ini disebut dengan

wilayah administratif. Pembentukan daerah/wilayah administratif ini

adalah berdasarkan prinsip dekonsentrasi.

Dalam konteks negara Indonesia, negara Indonesia adalah negara kesatuan.

Sebagai negara kesatuan maka kedaulatan negara adalah tunggal tidak tersebar

pada negara-negara bagian seperti dalam negara federal/serikat. Karena itu pada

dasarnya sistem pemerintahan dalam negara kesatuan adalah sentralisasi, artinya

pemerintah pusat memegang kekuasaan penuh. Namun mengingat negara

Indonesia sangat luas, dengan jumlah penduduk yang banyak dan tingkat

heterogenitas yang begitu komples tentu pemerintah pusat tidak mungkin dapat

secara efektif menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan tanpa melibatkan

perangkat daerah dan menyerahkan beberapa kewenangannya kepada daerah

otonom. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan dimaksud salah satunya

diperlukan desentralisasi disamping dekonsentrasi. Baik dekonsentrasi maupun

desentralisasi bermula dari sentralisasi oleh karenanya konsep sentralisasi dan

Page 21: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

21

desentralisasi bukanlah konsep yang dikotomis tapi merupakan satu rangkaian

kesatuan (kontinum).

Secara etimologis istilah “desentralisasi” berasal dari bahasa Latin, yaitu

“de” yang berarti lepas dan “centrum” yang berarti pusat.Jadi desentralisasi

adalah melepaskan dari pusat.18 Desentralisasi yang berasal dari sentralisasi yang

mendapat awal de berarti melepas atau menjauh dari pemusatan. Desentralisasi

tidak putus sama sekali dengan pusat, tapi hanya menjauh dari pusat.19

Menurut Koesoemahatmadja, di dalam arti ketatanegaraan dengan

desentralisasi itu dimaksud adanya pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari

pusat kepada daerah-daerah, yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerah-

daerah otonomi). Desentralisasi adalah juga cara atau sistem untuk mewujudkan

asas demokrasi, yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta

dalam pemerintahan negara.20

Secara yuridis, menurut Pasal 1 angka 6 UU.No.32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor

125) menyatakan bahwa desentralisasi adalah Penyerahan wewenang

pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI. Sedangkan pengertian

dekonsentrasi berdasarkan Pasal 1 angka 8 UU No. 32 Tahun 2004 adalah

Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai

18 Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah – Pasang Surut Hubungan Kewenangan

antara DPR dan Kepala Daerah, PT.Alumni, Bandung, hal.115. 19 Hanif Nurcholis, 2007Teori dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah,

PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, ,hal.9. 20 Koesoemahatmadja, RDH., 1979, Pengantar Ke Arah Sistim Pemerintahan Daerah Di

Indonesia, Binacipta, Bandung, hal.14.

Page 22: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

22

wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Dari

pengertian yuridis tersebut, maka desentralisasi adalah penyerahan urusan

pemerintahan atau penyerahan wewenang (menggunakan kata penyerahan);

sedangkan, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan

(menggunakan kata pelimpahan).

Bagir Manan menyatakan bahwa perlunya desentralisasi (pembentukan

pemerintahan daerah) tidak semata-mata untuk mencapai efisiensi dan efektivitas

pemerintahan saja akan tetapi karena adanya berbagai tuntutan seperti tuntunan

negara hukum, tutntutatn negara kesejahteraan, tuntutan demokrasi, serta tuntutan

kebhinekaan seperti berikut ini.21

a. Tuntutan negara hukum

Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum (rechstaat). Adapun cirri

negara hukum adalah adanya pembagian kekuasaan dan pemencaran

kekuasaan. Pembagian dan pemencaran itu merupakan upaya mencegah

bertumpuknya kekuasaan pada satu pusat pemerintahan, sehingga beban

pekerjaan yang dijalankan menjadi lebih ringan. Adanya pemencaran

kekuasaan itu juga pada hakikatnya dalam rangka “check and balances”

penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

b. Tuntutan negara kesejahteraan

Negara kesejahteraan ini adalah negara hukum yang memperhatukan pada

upaya mewujudkan kesejahteraan orang banyak. UUD 1945 baik dalam

pembukaan maupun batang tubuh memuat berbagai ketentuan yang

21 Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH)

Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, h.17

Page 23: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

23

meletakkan kewajiban pada negara atau pemerintah untuk mewujudkan

kesejahteraan bagi orang banyak. Bahkan sila Kelima Pancasila dengan tegas

menyatakan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Konsekuensinya diperlukan perangkat pemerintahan terdekat yang dapat

memahami maupun menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat dengan cepat.

c. Tuntutan Demokrasi

Pada sila keempat Pancasila disebutkan “Kerakyatan yang dipimpin oleh

hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Kerakyatan atau

kedaulatan rakyat adalah demokrasi. Dalam batang tubuh UUD NRI 1945

ditegaskan “Kedaulatan ada di tangan rakyat”. Kerakyatan demokrasi

menghendaki partisipasi daerah otonom yang disertai Badan Perwakilan

sebagai wadah yang memperluas kesempatan rakyat berpartisipasi.

d. Tuntutan Kebhinekaan

Rakyat dan Bangsa Indonesia dikaji dari aspek social, ekonomi, budaya

maupun agama merupakan masyarakat yang pluralistic yang mempunyai sifat

dan kebutuhan yang berbeda-beda. Untuk mewujudkan keadilan,

kesejahteraan, dan keamanannya maka tidak mungkin memaksa untuk adanya

keseragaman, karena setiap penyeragaman dapat meningkatkan gangguan

terhadap rasa keadilan, kesejahteraan dan keamanan. Dengan demikian daerah

otonom pada hakikatnya dapat dipandang sebagai sarana untuk mewadahi

perbedaan tersebut dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika

Dalam membahas desentralisasi berarti secara tidak langsung membahas

pula mengenai otonomi . Hal ini disebabkan kedua hal tersebut merupakan satu

Page 24: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

24

rangkaian yang tak terpisahkan apalagi dalam kerangka negara kesatuan Republik

Indonesia. Istilah “autonomie” berasal dari bahasa Yunani (autos = sendiri; nomos

= undang-undang) dan berarti “perundangan sendiri” (zelfwetgeving). Tetapi

menurut perkembangannya sejarahnya di Indonesia, otonomi itu selain

mengandung arti “perundangan” (regeling), mengandung pula arti

“pemerintahan” (bestuur). Dengan diberikannya hak dan kekuasaan perundangan

dan pemerintahan kepada badan-badan otonomi, badan-badan tersebut dengan

inisiatifnya sendiri dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan jalan

mengadakan peraturan-peraturan daerah. 22 Menurut Amrah Muslimin, otonomi

berarti pemerintahan sendiri (auto = sendiri, nomes = pemerintahan).23

Ateng Syafrudin mengemukakan, istilah otonomi mempunyai makna

kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas

atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus

dipertanggungjawabkan. Dalam pemberian tanggung jawab terkandung dua

unsur:24

1. Pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan

serta kewenangan untuk melaksanakannya;

2. Pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan

menetapkan sendiri bagaimana menyelesaikan tugas itu.

Bagir Manan menyatakan, otonomi adalah kebebasan dan kemandirian

satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan

22 Koesoemahatmadja, RDH. Op.Cit., hal.15. 23 Amrah Muslimin,1978 Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Cetakan ke-1, Alumni,

Bandung.,hal.6. 24 Juanda, Op.Cit.,hal.126.

Page 25: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

25

pemerintahan.25 Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas

dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan

pemerintahan yang lebih rendah tersebut. Kebebasan dan kemandirian merupakan

hakikat isi otonomi. Kebebasan dan kemandirian dalam otonomi bukan

kemerdekaan. Kebebasan dan kemandirian itu adalah kebebasan dan kemandirian

dalam ikatan kesatuan yang lebih besar. Otonomi sekadar subsistem dari sistem

kesatuan yang lebih besar. Dari segi hukum tata negara khususnya teori bentuk

negara, otonomi adalah subsistem dari negara kesatuan. Otonomi adalah

fenomena negara kesatuan. Segala pengertian dan isi otonomi adalah pengertian

dan isi negara kesatuan. Negara kesatuan merupakan landasan dari pengertian dan

isi otonomi.26

Dalam arti yuridis, Pasal 1 angka 5 UU.No.32 Tahun 2004 memberikan

pengertian mengenai otonomi daerah sebagai “Hak, wewenang, dan kewajiban

Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-

undangan”. Sedangkan pengertian Daerah Otonom menurut Pasal 1 angka 6

UU.No.32 Tahun 2004, adalah “Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI”

Mengenai daerah otonom, Utrecht mengemukakan desentralisasi territorial

di wujudkan dengan diadakannya pemerintahan sendiri di daerah-daerah

25 Bagir Manan. Op.Cit., h. 26 Bagir Manan dalam Juanda, Ibid, hal.126-127.

Page 26: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

26

tertentu yang dapat mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan asas otonomi

(swatantra). Daerah semacam itu disebut daerah otonom (daerah swatantra).27

Dari pengertian tersebut, daerah otonom adalah daerah-daerah tertentu yang

memiliki pemerintahan sendiri (self government) yang dapat mengurus rumah

tangganya sendiri berdasarkan asas otonomi. Pemerintahan sendiri ini disebut

pemerintahan daerah otonom (local self government). Daerah yang menerima

penyerahan wewenang dari pusat dengan cara desentralisasi atau devolusi

(penyerahan hak/tugas) menjadi daerah otonom. Daerah tersebut memiliki

kebebasan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan rumah tangganya

(kepentingannya sendiri) yang diperbolehkan oleh undang-undang tanpa campur

tangan langsung dari pemerintah pusat. Dengan desentralisasi atau devolusi

terbentuk sebuah daerah (otonom) dengan batas-batas yang jelas, yang

masyarakatnya diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum.28

Daerah otonom mempunyai kewenangan mengatur (rules making =

regeling) dan mengurus (rules application=bestuur). Dalam istilah administrasi

publik masing-masing wewenang tersebut lazim disebut wewenang membentuk

kebijakan (policy making) dan wewenang melaksanakan kebijakan (policy

executing). Mengatur merupakan perbuatan menciptakan norma hukum yang

berlaku umum. Dalam konteks otonomi daerah, norma hukum tertuang dalam

Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Sedangkan mengurus

merupakan perbuatan menerapkan norma hukum yang berlaku umum pada situasi

27Utrecht, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia; Pustaka Tinta Mas,

Surabaya, hal.342. 28 Hanif Nurcholis, Op.Cit. hal.28-29.

Page 27: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

27

konkrit dan individu (beschikking) atau perbuatan material berupa pelayanan dan

pembangunan objek tertentu.29

Terkait dengan uraian di atas maka dalam penyelenggaraan desentralisasi

mensyaratkan akan adanya pembagian pembagian urusan pemerintahan

antarpemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut

didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan

yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan pemerintah. Urusan pemerintahan

yang dimaksud meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter,

yustisi, dan agama. Disamping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang

bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penangannya dalam bagian

atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan

Pemerintah Daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent

senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah dan ada

bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota.

1.5.4. Teori Wewenang

Kata wewenang berasal dari kata wenang, yang menurut Kamus Umum

Bahasa Indonesia wenang (wewenang) diartikan sebagai hak dan kekuasaan

(untuk melakukan sesuatu). Sedangkan :kewenangan juga diberikan arti yang

sama.30 Indroharto mengemukakan, bahwa dalam arti yuridis, pengertian

29 Ibid, hal.25-26. 30 Poerwadarminta, 1987, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

,hal.1150.

Page 28: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

28

wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-

undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.31

Dari perspektif hukum administrasi negara, Indroharto32 maupun Philipus

M.Hadjon33 menyebutkan tiga sumber untuk memperoleh wewenang

pemerintahan, yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat.

Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu

ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan

suatu wewenang pemerintahan yang baru. Yang memberikan atribusi wewenang

pemerintahan itu dibedakan antara:

1. yang berkedudukan sebagai “original legislator”: yang dinegara kita

adalah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sebagai pembentuk

Konstitusi, dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) bersama-sama

Presiden sebagai melahirkan Undang-undang;

2. yang bertindak sebagai “delegated legislator”: seperti Presiden yang

berdasar pada suatu ketentuan Undang-undang mengeluarkan suatu

Peraturan Pemerintah di mana diciptakan wewenang pemerintahan

kepada badan/pejabat pemerintahan tertentu.

Delegasi adalah pelimpahan wewenang yang telah ada oleh badan/pejabat

pemerintahan yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif

31 Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara; Buku I; Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.68. 32 Ibid, hal.90. 33 Philipus M.Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan

Pemerintahan Yang Bersih, Pidato penerimaan jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Senin, 10 Oktober 1994, hal.7.

Page 29: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

29

kepada badan/pejabat pemerintahan lainnya. Dalam hal pelimpahan wewenang

pemerintahan melalui delegasi ini terdapat syarat-syarat sebagai berikut:34

1. delegasi harus difinitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi

menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;

2. delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

3. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarkhi

kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;

4. adanya kewajiban mempertanggungjawabkan dari penerima delegasi

(delegataris) kepada delegans;

5. delegans dapat memberikan instruksi tentang penggunaan wewenang

tersebut kepada delegataris.

Mandat adalah pelimpahan tugas (penugasan) oleh pejabat atasannya

(pemberi mandat) kepada bawahannya (penerima mandat) untuk “atas nama”

pejabat atasannya melakukan suatu tindakan hukum dan mengambil serta

mengeluarkan keputusan-keputusan administrasi tertentu.

Dalam kaitannya dengan Pemerintah Daerah, menurut Sarwoto yang

mengkaji dalam perspektif hukum tata negara, adapun kekuasaan hukum atau

kewenangan dari Pemeritah Daerah untuk menyelenggarakan urusan

pemerintahan dapat diperoleh melalui dua cara, yakni:

1. pengakuan kekuasaan (attributie);

2. pelimpahan kekuasaan (overdracht).

34 Ridwan,HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, Cet.Kedua, UII Press, Yoyakarta,

hal.76.

Page 30: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

30

Pelimpahan kekuasaan sendiri dapat dibedakan lagi atas dua macam, yakni

pemberian kuasa (mandaatverlening) dan pendelegasian (delegatie). Atas dasar

pembagian tersebut maka hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah

Daerah menurut beliau dapat dikualifikasikan menjadi dua macam, yakni:

a. hubungan dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi;

b. hubungan yang berkaitan dengan pelaksanaan dekonsentrasi dan

tugas pembantuan.35

1.5.5. Konsep Perizinan.

Perizinan merupakan kata benda yang dibentuk dari kata izin dengan

mendapat imbuhan per-an.36 Perizinan merupakan bentuk jamak dari kata izin

yang oleh W.J.S. Poerwadarminta diartikan dengan perkenaan atau pernyataan

mengabulkan tiada melarang atau surat yang menyatakan boleh melakukan

sesuatu.37

NM.Spelt dan JBJM.Ten Berge membedakan penggunaan istilah perizinan

dan izin, dimana perizinan merupakan pengertian izin dalam arti luas, sedangkan

istilah izin digunakan untuk pengertian izin dalam arti sempit. Pengertian

perizinan (izin dalam arti luas) adalah suatu persetujuan dari penguasa

berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan

tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Dengan

memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk

35 I Made Arya Utama, Op.Cit., hal.81. 36 Hasan Alwi, dkk, Tata Bahasa Buku Bahasa Indonesia, dalam I Made Arya Utama, Ibid,

h. 87. 37 I Made Arya Utama, Ibid.

Page 31: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

31

melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang.38 Sedangkan

yang pokok dari izin dalam arti sempit (izin) ialah bahwa suatu tindakan dilarang,

terkecuali diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang

disangkutkan dengan perkenaan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu

bagi tiap-tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah untuk hanya memberi perkenan

dalam keadaan-keadaan khusus, tetapi agar tindakan-tindakan yang

diperkenankan dilakukan dengan cara-cara tertentu (dicantumkan berbagai

persyaratan dalam ketentuan-ketentuan yang bersangkutan). Terkait dengan uraian

tersebut Michael Faure and Nicole Niessen mengartikan izin sebagai berikut “The

basic idea of a permit system is that the law explicitly forbids a certain activity,

and subsequently rules that this activity is only allowed when a competent

authority has issued permit.39”

Izin adalah “Keputusan Administrasi Negara / Tata Usaha Negara”. Ini

berarti bahwa dengan izin dibentuk suatu hubungan hukum tertentu. Dalam

hubungan ini oleh administrasi negara / pemerintah dicantumkan syarat-syarat

dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh pihak

yang memperoleh izin. Penolakan izin hanya dilakukan jika kriteria yang

ditetapkan oleh penguasa tidak dipenuhi atau bila karena suatu alasan tertentu

tidak mungkin member izin kepada semua orang.40

38 NM Spelt, dan JBJM Ten Berge, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh

Philipus M.Hadjon, Yuridika, Surabaya, hal.2. 39 Marjan Peeters, “Elaborting on Integration of environmental legislation: the case of

Indonesia” dalam Faure, Michael and Niessen, Nicole, Editor, 2006,Environmental Law in Development, Lessons from the Indonesian Experience, Edward Eglar Publishing, USA, h. 107

40 NM Spelt, dan JBJM Ten Berge,Op.Cit., h.3.

Page 32: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

32

Hal di atas menunjukkan bahwa penetapan perizinan sebagai salah satu

instrument hukum dari pemerintah ialah untuk mengendalikan kehidupan

masyarakat agar tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku, serta

membatasi aktifitas masyarakat agar tidak merugikan orang lain.41

1.5.6. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mengelola sumber-

sumber daya alam secara rasional dan bijaksana untuk memenuhi kebutuhan

generasi sekarang tanpa harus mengabaikan kebutuhan generasi mendatang. Hal

tersebut diungkapkan oleh H.W.O. Okoth-Ogendo yang menyatakan bahwa

“….Sustainable development as development that meets the needs of the present

without compromising the ability of future generations to meet their own

needs.”42

Untuk pembangunan yang berkelanjutan itu dilakukan melalui pendekatan

ekosistem yakni kegiatan pembangunan yang memperhatikan kepentingan

lingkungan hidup yang menjadi subjek sekaligus objek pembangunan atau yang

disebut sebgai pembangunan berwawasan lingkungan. Dengan kata lain asas

pembangunan berwawasan lingkungan merupakan suatu sarana untuk

mewujudkan pembangunan berkelanjutan.43 Dalam menciptakan pembangunan

berkelanjutan tersebut maka pengelolaan sumber alam dalam segala usaha

pendayagunaannya tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan dan

41 Tatik Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, dalam I Made

Arya Utama, Op.Cit., h. 24. 42 H.W.O. Okoth-Ogendo, “Governance and sustainable in Africa”, dalam Konrad Ginther,

Erick Denters and Paul J.I.M. de Waart, Editor, 1994, Sustainable Development and Good Governance, London, Martinus Nijhoff Publisher, hal. 105

43 I Made Arya Utama,Op.Cit.,, h. 153

Page 33: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

33

kelestarian kemampuannya, dengan merubah pola pendekatan yang use oriented

ke arah environment oriented yaitu mengelola lingkungan hidup tanpa harus

merusak dan/atau mencemarkannya.44

Keberhasilan pengelolaan lingkungan yang berbasis environment oriented

dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan dapat dicapai apabila ditunjang

oleh sikap administrasi pemerintahan yang secara efektif dan terpadu

memberikan perlindungan hukum bagi lingkungan itu sendiri. Pasal 1 angka 2

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor

140) memberikan pengertian Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi

lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,

pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Dengan demikian

perlindungan hukum terhadap lingkungan hidup dapat diartikan sebagai upaya

yang dilakukan melalui instrument yuridis guna melestarikan fungsi lingkungan

hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.

Adapun salah satu instrumen yuridis administrasi untuk mencegah dan

menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan adalah perizinan.45

44 Ibid, h.76-77 45 Fuad Amsyari “Problematika Pengendalian Pencemaran Lingkungan” dalam Kumpulan

Materi Kursus Perizinan Lingkungan Sebagai Instrumen Pencegahan Pencemaran Lingkungan, PPLH Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya, 6-7 Juni 2000, h. 4

Page 34: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

34

1.5.7. Asas Preferensi

Di dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki

(kewerdaan atau urutan). Ada peraturan yang lebih tinggi dan ada

peraturan yang lebih rendah. Perundang-undangan suatu negara merupakan

suatu sistem yang tidak menghendaki atau membenarkan atau membiarkan

adanya pertentangan atau konflik di dalamnya. Jika ternyata ada

pertentangan yang terjadi dalam suatu sistem peraturan

perundang-undangan maka salah satu dari keduanya harus ada yang

dimenangkan dan ada yang dikalahkan. Oleh karena itu diperlukan

asas-asas yang mengatur mengenai kedudukan masing-masing peraturan

perundang-undangan, terkait dengan hal tersebut setidaknya terdapat 3 asas

(adagium) dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang dikenal sebagai

asas preferensi, yaitu:

1. Asas lex superior derogat legi inferiori,

Terkait Asas lex superior derogat legi inferiori Kusnu Goesniadhie

menyatakan bahwa:

Peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi yang mengatur materi normative yang sama. Jika terjadi pertentangan, maka peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi akan mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah, dank arena adanya hirarki dalam peraturan perundang-undangan maka hal demikian berlaku asas lex superior derogate legi inferiori.46

46 Kusnu Goesniadhie, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan

yang baik, A3, Malang.h. 36.

Page 35: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

35

Hal tersebut sebagaimana dimaksud oleh Gert-Fredrik Malt yang

menyatakan bahwa:

“the lex superior principle points to the formaland substantive reasons for assuming, given a set of different opinions covering the same situation an emanating from different sources (persons, procedures, values), that one (in principle and which one) should be considered as representing the ultimate or most fundamental and important opinion of the utterer (or a body of utterers, such as the society as a whole?) and that is the valid one. In a world where points of view, values, and opinions may differ (disagree) such an assumption will promote the necessary and maximal orientatition of the total set of opinions in the sistem toward coherence and unity (of order, of value, of opinion, of acts, avoiding anarchy) and efficiency in the application of means and end.”47

2. Asas lex posteriori derogate legi priori Selanjutnya terkait Asas lex superior derogat legi inferiori Gert-Fredrik

Malt menyatakan bahwa:

“The lex posterior principle thus points to the formal and substantive reasons for assuming, given an older and more recent statement (concerning fact, values, and norms), that the latter represents the ultimate (actual) opinion of the utterer and is also the valid one. In a changing world such an assumption will promote a necessary and maximal orientation of the total set of opinions in the sistem towards the actual (present).”48 Hal senada mengenai asas ini diungkapkan oleh Kusnu Goesniadhie yang

menyatakan bahwa:

Pertentangan dapat terjadi antara peraturan perundang-undangan yang lama dengan peraturan perundang-undangan yang baru, yang mengatur materi normatif yang sama. Kalau diundangkan peraturan perundang-undangan yang baru dengan tidak mencabut peraturan perundang-undangan yang lama yang mengatur materi normatif yang sama sedangkan kedua-duanya saling bertentangan satu sama lain, maka peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan peraturan perundang-

47 Gert-Fredrik Malt, “Methods for the solution of Conflict between Rule in a sistem of

Positive Law” dalam Bob Brouwer, et.al., Editor, Coherence and Coflict in Law, Procceedings of the 3rd Benelux-Scandinavian Symposium in Legal Theory. h. 211

48 Gert-Fredrik Malt, Op.Cit., h..208

Page 36: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

36

undangan yang lama, hal demikian berlaku asas lex posteriori derogate legi priori.49

3. Asas lex specialis derogate legi generali

Terkait dengan asas lex specialis derogate legi generali, Gert-Fredrik Malt

menyatakan bahwa:

“The lex specialis principle points to the formal and substantive reasons for assuming, given a more general and a more specific statement, coverting the same situation, that the latter represents the ultimate opinions of the utterer and also the valid one in relation to the situation. In a complex world, such as assumtions will promote necessary and maximal orientatios of the total set of opinions in the sistem toward the concrete (reality).50 Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Kusnu Goesniadhie yang

menyatakan bahwa:

Pertentangan dapat terjadi antara peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, sedangkan kedua-duanya mengatur materi normatif yang sama. Jika terjadi demikian maka peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus akan mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, hal demikian akan berlaku asas lex specialis derogate legi generali.51

Adapun tipe penyelesaian yang berkaitan dengan asas preferensi hukum

sebagaimana diuraikan diaas yaitu sebagai berikut:52

1. Pengingkaran (disavowal)

Langkah ini seringkali merupakan suatu paradok, dengan mempertahankan

bahwa tidak ada konflik norma. Seringkali konflik itu terjadi berkenaan

49 Kusnu Goesniadhie, Op.Cit.,h. 36 50 Gert-Fredrik Malt, Op.Cit. h. 209 51 Kusnu Goesniadhie, Op.Cit. h. 37 52 P.W. Brouwer et.al. Coherence and Conflict in Law dalam Philipus M. Hadjon dan

Tatiek Sri Djatmiati, 2009, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h.al.31

Page 37: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

37

dengan asas lex spesialis dalam konflik pragmatis atau dalam konflik

logika diinterpretasi sebagai pragmatis.

2. Reinterpretasi

Dalam kaitan penerapan 3 asas preferensi hukum harus dibedakan:

Cara yang pertama adalah reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti

asas-asas preferensi, menginterpretasi kembali norma yang utama

dengan cara yang lebih fleksibel.

Cara yang kedua dengan menginterpretasi norma preferensi dan

kemudian menerapkan norma tersebut dengan mengenyampingkan

norma yang lain.

3. Pembatalan (invalidation)

Ada dua macam pembatalan, yaitu:

a. pembatalan abstrak dan formal dilaksanakan misalnya oleh suatu

lembaga khusus. Di Indonesia Pembatalan Peraturan Pemerintah ke

bawah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.

b. Pembatalan praktikal, yaitu tidak menerapkan norma tersebut

dalam kasus konkrit.

4. Pemulihan (remedy)

Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan satu ketentuan. Misal:

dalam hal satu norma yang unggul dalam arti Overruled norm, berkaitan

dengan aspek ekonomi maka sebagai ganti membatalkan norma yang

kalah maka dengan cara memberikan kompensasi.

Page 38: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

38

1.5.8. Teori Pernjenjangan Norma

Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen mengembangkan teori

gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans

Nawiasky dalam bukunya yang berjudul “Algemeine rechtslehre” mengemukakan

bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen maka suatu norma hukum dari negara

manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang.norma yang dibawah

berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, sampai pada

suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.53

Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan

berjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan

pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok

besar, yaitu:

Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara)

Kelompok II : Staatsgerundgesetz (aturan dasar Negara/aturan Pokok Negara)

Kelompok III : Formell Gesetz (undang-undang formal)

Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan

otonom).

Berdasarkan rumusan Pasal 7 Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan(Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 53) dinyatakan tentang jenis dan hirarki peraturan

perundang-undangan yang dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 7:

53 Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, ,Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta,

h. 44-45.

Page 39: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

39

(1) Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan daerah.

Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 merupakan

Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara. Norma fundamental

negara ini merupakan norma hukum tertinggi yang merupakan landasan dasar

bagi pengaturan negara itu lebih lanjut. Sifat norma hukumnya masih secara garis

besar dan merupakan norma hukum tunggal, dalam arti belum dilekati oleh norma

hukum yang berisi sanksi.

Batang Tubuh UUD Negara Republik Indonesia 1945 merupakan

Staatsgrundgesetz atau aturan dasar negara/aturan pokoknegara yang merupakan

garis-garis besar atau pokok-pokok kebijaksanaan negara untuk menggariskan tata

cara membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum. Sifat dari

norma hukumnya masih bersifat garis besar dan pokok dan merupakan norma

hukum tunggal, belum dilekati oleh norma hukum sanksi. Undang-undang

dikatagorikan dalam Fomell Gesetz sementara Peraturan Pemerintah, Peraturan

Presiden, serta Peraturan Daerah digolongkan dalam Verordnung & Autonome

Satzung.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitaian yang digunakan dalam proposal penelitian ini

adalah penelitian hukum normative. Penelitian ini beranjak dari adanya konflik

norma antara Perda No. 16 Tahun 2009 dengan beberapa peraturan perundang-

Page 40: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

40

undangan seperti PP No. 36 Tahun 2010 dan Keputusan Presiden No 32 Tahun

1990 dimana konflik norma yang terjadi adalah terkait dengan dapat atau tidaknya

dilakukan pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam.

1.6.2. Jenis Pendekatan

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan, dengan

pendekaan tersebut diharapkan dapat memperoleh informasi mengenai masalah

yang diteliti.

Pendekatan yang digunakan untuk membahas permasalahan pada proposal

tesis ini adalah dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (The

Statute Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and

Conceptual Approach).

Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approcah) dilakukan dengan

menelaah peraturan perundang-undangan. Pendekatan ini digunakan untuk

mengkaji adanya permasalahan hukum dalam peraturan perundang-undangan

yang terkait dengan permasalahan yang akan di bahas dalam proposal penelitian

hukum ini.

Pendekatan analisis konsep hukum (analytical and Conceptual Approcah)

yaitu beranjak dari peraturan perundang-undangan maupun pandangan-pandangan

dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum Dengan mempelajari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan

menemukan ide-ide yang relevan dengan isu yang dihadapi54.

54 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta,hal. 93

Page 41: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

41

Dengan beberapa pendekatan hukum yang digunakan tersebut diharapkan

dapat diperoleh pemecahan yang tepat terhadap kedua pokok permasalahan yang

akan dibahas dalam proposal tesis ini.

1.6.3. Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan

mengikat secara umum55

2. Bahan-bahan hukum primer diperoleh dari peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan pokok permasalahan yang akan diteliti

antara lain:

a. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1990 Nomor 49);

b. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 53)

c. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor

125)

55 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2001, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan

singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13

Page 42: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

42

d. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 140)

e. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan

Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132)

f. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis

Mengenai Dampak Lingkungan hidup (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1999 Nomor 59)

g. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan

Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman nasional, Taman

Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1994 Nomor 25)

h. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2008 Nomor 48)

i. Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan

kawasan Lindung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1990 Nomor 49)

j. Peraturan Menteri No. 11 Tahun 2006 tentang Jenis REncana Usaha

dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis

Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Page 43: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

43

k. Keputusan Kepala Bapedal No 56 Tahun 1994 tentang Pedoman

Dampak Penting

l. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029

(Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16)

3. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan

lebih lanjut terhadap bahan hukum primer,56 dalam penulisan tesis ini

digunakan bahan hukum sekunder seperti:

a. Buku-buku mengenai hukum perizinan, hukum tata ruang, hukum

administrasi negara;

b. Makalah-makalah yang berasal dari seminar maupun pidato

mengenai hukum perizinan dan hukum lingkungan;

c. Artikel-artikel yang terkait dengan permasalahan yang di bahas baik

yang dimuat dalam media cetak mauapun media elektronik.

4. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder 57. Bahan

hukum tersier yang dugunakan dalam penulisan ini adalah Kamus

Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

1.6.4. Teknik Pengumpulan Sumber Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini

adalah denngan menggunakan gabungan antara metoda bola salju dan metoda

sistem kartu. Metoda bola salju (snowball method) adalah metoda dimana bahan

56 Ibid 57 Soerjono Soekanto, 1986,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal.251-262

Page 44: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

44

hukum dikumpulkan melalui beberapa literature kemudian dari beberapa literature

tersebut diambil sejumlah sumber yang mendukung literature tersebut. Bahan

hukum yang diperoleh kemudian dikumpulkan dengan menggunakan sistem kartu

(card sistem). Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji berpendapat bahwa kartu yang

perlu disiapkan yaitu58 kartu kutipan yang dipergunakan untuk mencatat atau

mengutip data beserta sumber darimana data tersebut diperoleh (nama

pengarang/penulis,judul buku/artikel, halaman, dan sebagainya)

Dalam penelitian ini bahan hukum primer dicatat dalam kartu kutipan adalah

mengenai substansi yang terkait dengan masalah yang dibahas. Selanjutnya dalam

kartu kutipan atas bahan hukum sekunder dicatat mengenai pendapat para ahli

yang dikemukakan dalam kepustakaan yang dibahas beserta komentar atas

pendapatnya. Selanjutnya bahan sekunder yang diperoleh melalui studi

kepustakaan digunakan sebagai pendukung hasil penelitian.

1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh terkait dengan kedua pokok permasalahan

yang akan diteliti selanjutnya dibahas melalui beberapa teknik analisis yaitu

teknik deskripsi, interpretasi, konstruksi, sistematisasi, evaluasi, dan

argumentasi.59 Adapun teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik deskripsi, sistematisasi, evaluasi, dan argumentasi.

Analisis bahan hukum dalam penelitian ini diawali dengan melakukan

teknik deskripsi. Teknik deskripsi adalah penguraian suatu bahan hukum yang

58 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2004, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 53

59 Anonim, 2003, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 8-9.

Page 45: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

45

telah dikumpulkan. Dalam hal ini deskripsi dilakukan terhadap beberapa peratutan

perundang-undangan yang menunjukkan adanya konflik dan kekaburan norma

mengenai dapat dibangunnya sarana akomodasi pariwisata dalam kawasan taman

wisata alam, yang dimulai dari PP No. 36 Tahun 2010, dilanjutkan dengan PP No.

26 Tahun 2008 dan kemudian Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009.

Bahan hukum yang telah dideskripsikan tersebut kemudian disistemasi, dievaluasi

dan diberikan argumentasi. Teknik sistematisasi adalah upaya mencari kaitan

rumusan suatu konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun

yang tidak sederajat.60 Dalam usulan penelitian ini teknik ini digunakan dengan

mengkaitkan rumusan konsep hukum dari kedua pokok permasalahan yang

terdapat antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun tidak

sederajat. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju

atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu

pandangan, proposisi, pernyataan norma, keputusan, baik yang tertera dalam

bahan primer maupun bahan hukum sekunder.61 Teknik ini digunakan untuk

menentukan tepat atau tidak tepatnya pernyataan norma yang terkait dengan

dapat dilakukannya pembangunan sarana akomodasi pada kawasan taman wisata

alam. Kemudian terhadap penilaian tersebut diberikan alasan-alasan yang bersifat

penalaran hukum atau yang disebut dengan teknik armumentasi untuk

mengahasilkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas.

60 Ibid 61 Ibid

Page 46: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

46

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI

PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALIAN DALAM PENGUSAHAAN PONDOK WISATA

PADA KAWASAN TAMAN WISATA ALAM

2.1 Perizinan Sebagai Instrumen Pengendalian

Instrumen pengendalian merupakan bagian dari upaya perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang No. 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam

Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan

fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,

pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.” Hal yang serupa juga diatur

dalam pasal selanjutnya yaitu dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi: a. perencanaan; b. pemanfaatan; c. pengendalian; d. pemeliharaan; e. pengawasan; dan f. penegakan hukum.

Dari kedua ketentuan tersebut diketahui bahwa upaya pengendalian merupakan

bagian dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan

fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 13 Pengendalian pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan hidup meliputi:

46

Page 47: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

47

a. pencegahan; b. penanggulangan; dan c. pemulihan.

Selanjutnya sesuai dengan Pasal 14 instrumen pencegahan pencemaran

dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas:

a. KLHS; b. tata ruang; c. baku mutu lingkungan hidup; d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup; e. Amdal; f. UKL-UPL; g. perizinan; h. instrumen ekonomi lingkungan hidup; i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup; j. anggaran berbasis lingkungan hidup; k. analisis risiko lingkungan hidup; l. audit lingkungan hidup; dan m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhandan/atau perkembangan ilmu

pengetahuan.

Diantara ke tiga belas instrumen pencegahan tersebut perizinan merupakan

instrumen yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai ujung tombak dalam

mengendalikan aktivitas rakyatnya. Esensi dari tindakan hukum pemerintah

berupa perizinan adalah melarang seseorang atau suatu badan hukum tertentu

melakukan suatu kegiatan dan/atau usaha tanpa mendapatkan

persetujuan/perkenan terlebih dahulu dari badan atau pejabat tata usaha negara

yang berwenang. Sehingga setiap usaha dan/atau kegiatan baru dapat

dilaksanakan setelah mendapatkan izin terlebih dahulu dari pejabat yang

berwenang.

Dalam setiap rencana kegiatan, penanggungjawab kegiatan dan atau usaha

akan selalu dibebani oleh suatu instrument perlindungan yang disebut izin dalam

Page 48: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

48

rangka menata ketertiban sebagai instrument preventif.62 Siti Sundari Rangkuti

menyatakan bahwa perizinan merupakan instrument yang sangat penting dalam

rangka pengendalian lingkungan.63

Izin merupakan wewenang yang bersifat hukum publik, wewenang tersebut

dapat berupa wewenang ketatanegaraan (staasrechtelijk bevoehdheid), bisa juga

berupa wewenang administrasi (administratiefrechtelijk bevoehdheid). Wewenang

menerbikan izin bisa berupa wewenang terikat (gebonden bevoehdheid) dan bisa

juga berupa wewenang bebas (discretionary power).64 Dengan wewenang tersebut

penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan menggunakan sarana izin

sebagai sarana yuridis untuk mengatur tingkah laku masyarakat. Dengan memberi

izin pemerintah memperkenankan pemohon melakukan tindakan-tindakan yang

sebenarnya dilarang. Dengan kata lain melalui perizinan diberikan perkenan untuk

melakukan sesuatu yang diliarang, berarti esensi dari perizinan adalah

dilarangnya suatu tindakan, kecuali diperkenankan dengan izin.

Perizinan dengan karakteristik yuridisnya sebagai perbuatan hukum bersegi

satu dapat membebankan kewajiban-kewajiban tertentu secara sepihak kepada

masyarakat.65 Oleh karena itu instrumen perizinan merupakan salah satu wujud

keputusan pemerintah yang paling banyak dipergunakan dalam Hukum

Administrasi untuk mempengaruhi dan mengendalikan tindakan masyarakat agar

mau mengikuti cara yang dianjurkan oleh peraturan perundang-undangan yang

62 Taufik Iman Santoso, 2008, Amdal, Setara Press, Malang, h. 35 63 Siti Sundari Rangkuti, Hukum lingkungan dan Kebijakan Publik, Airlangga University

Press, Surabaya, h. 3 64 Philipus M. Hadjon, 1995, Aspek-Aspek Hukum Administrasi dari KTUN, Bandung. 65 I Made Arya Utama, Op.Cit.,h. 133

Page 49: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

49

berlaku.66 Dengan karakteristik yang demikian pemerintah dapat memprsyaratkan

setiap rencana kegiatan dan/atau usaha yang memiliki dampak terhadap

lingkungan hidup agar dilakukan atas persetujuan Pemerintah dalam bentuk

perizinan berwawasan lingkungan hidup. 67

Izin sebagai sarana yuridis dari pemerintah, pada hakekatnya ditetapkan

untuk mengkonkritisasikan wewenangnya dengan beberapa tujuan (motif)

tertentu. Menurut Spelt dan Ten Berge, tujuan (motif) menggunakan sistem

perizinan dapat berupa:68

Kegiatan mengarahkan (mengendalikan–‘sturen’) akivitas-aktivitas

tertentu (misalnya izin bangunan);

Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan);

Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin tebang, izin

membongkar pada monmen-monumen);

Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah

padat penduduk);

Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin

berdasarkan “Drank-en Horecawet, dimana pengurus harus memenuhi

syarat-syarat tertentu).

Dalam kaitannya dengan izin yang diperlukan dalam pengusahaan pondok wisata

pada kawasan taman wisata alam, maka adapun motif yang terkandung di

dalamnya adalah motif untuk mengarahkan/mengendalikan. Motif untuk

66 N.M. Spelt dan J.B.J.M. Ten Berge, Op.Cit.h.2. 67 I Made Arya Utama, Op.Cit., h. 153 68 Ibid, h.4-5.

Page 50: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

50

mengarahkan/mengendalikan adalah untuk mengarahkan agar aktivitas yang

dilaksanakan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan disini adalah dimaksudkan

agar usaha yang dijalankan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan usaha yang akan diselenggarakan, untuk proses

perizinan terkait usaha tersebut perlu memperhatikan beberapa peraturan

peraturan perundang-undangan khususnya dibidang lingkungan, seperti peraturan

di bidang konservasi, kemudian peraturan di bidang tata ruang, dan tentunya

bertumpu pada undang-undang yang menjadi payung dari semua peraturan di

bidang lingkungan hidup yaitu Undang-Undang tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana esensi dari seluruh peraturan tersebut

pada dasarnya menuntut agar usaha yang dilaksanakan tidak menimbulkan

kerusakan dan pencemaran yang dapat merusak kualitas lingkungan khususnya

pada kawasan taman wisata alam itu sendiri. Sehingga kualitas lingkungan dari

kawasan taman wisata alam tetap terjaga.

2.2. Pengertian Usaha Pondok Wisata

Untuk mendukung kegiatan perekonomian di Provinsi Bali sebagian besar

masyarakatnya memiliki usaha yang bergerak di bidang pariwisata salah satu

bentuk usaha di bidang pariwisata adalah usaha akomodasi pariwisata. Usaha

akomodasi adalah suatu usaha yang menggunakan suatu bangunan atau sebagian

bangunan yang disediakan secara khusus, dimana setiap orang dapat menginap

Page 51: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

51

dengan atau tanpa makan dan memperoleh pelayanan serta menggunakan fasilitas

lainnya dengan melakukan pembayaran.69

Dalam pengertian umum akomodasi pariwisata di dalamnya menyangkut

hotel, penginapan, villa, peristirahatan, bungalow, homestay dan sebagainya.

Semua jenis akomodasi dibangun sebagai tempat beristirahat para wisatawan

selama berada di Tourist Destination Area.70

Dalam ketentuan Undang-undang No. 10 tahun 2009 tentang

Kepariwisataan ditentukan bahwa pondok wisata merupakan salah satu bentuk

usaha akomodasi pariwisata, yaitu ditemukan dalam Penjelasan pasal 14 ayat (1)

huruf f, berikut akan diuraikan terlebih dahulu bunyi Pasal 14 ayat (1) yang

menyatakan bahwa:

(1) Usaha pariwisata meliputi, antara lain: a. daya tarik wisata; b. kawasan pariwisata; c. jasa transportasi wisata; d. jasa perjalanan wisata; e. jasa makanan dan minuman; f. penyediaan akomodasi; g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi; h. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran; i. jasa informasi pariwisata; j. jasa konsultan pariwisata; k. jasa pramuwisata; l. wisata tirta; dan m. spa. Dalam penjelasan Pasal 14 huruf f dinyatakan bahwa “Yang dimaksud

dengan usaha penyediaan akomodasi adalah usaha yang menyediakan pelayanan

69 Yayuk Sri Perwani, 1992, Teori dan Petunjuk Praktek Housekeeping untuk akademi

Perhotelan, Make a Room, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 1-2. 70 Yayu Indrawati, “Persepsi Wisatawan Lanjut Usia pada Fasilitas Akomodasi dan

Aktivitas Pariwisata Bernuansa Seni Budaya di Desa Sanur”, diunduh dari URL: http://www.isi-dps.ac.id/download/6-Yayu-Pariwisata.pdf diunduh pada tanggal 21 April 2010

Page 52: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

52

penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya. Usaha

penyediaan akomodasi dapat berupa hotel, vila, pondok wisata, bumi perkemahan,

persinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan

pariwisata.” Ketentuan yang sama juga diatur dalam Pasal 58 Peraturan

Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996, menyatakan bahwa:

Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa: a. usaha hotel; b. usaha pondok wisata; c. usaha bumi perkemahan;dan d. usaha persinggahan karavan.

Dari uraian penjelasan Pasal 14 huruf f UU No. 10 tahun 2009 dan Pasal 58

Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 diketahui bahwa usaha pondok

wisata merupakan bagian dari usaha penyediaan akomodasi, dimana berdasarkan

Pasal 14 huruf f UU No. 10 Tahun 2009 usaha penyediaan akomodasi adalah

salah satu bentuk dari usaha pariwisata. Selanjutnya berikut ini akan diuraikan

beberapa pengertian mengenai usaha pondok wisata, yaitu:

Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 11

Tahun 2007 Tentang Retribusi Izin Usaha Hotel Melati Dan Pondok Wisata

Di Kabupaten Buleleng menyatakan bahwa:

Pondok Wisata adalah rumah atau bagian dari rumah penduduk yang difungsikan sebagai akomodasi wisata dengan fasilitas yang lebih sederhana daripada hotel dan disewakan untuk jangka waktu tertentu.

Badan Pusat Statistik, memberikan pengertian pondok wisata sebagai berikut:

Usaha Pondok Wisata adalah suatu usaha perorangan dengan menggunakan sebagian rumah tinggalnya untuk penginapan bagi orang dengan perhitungan pembayaran harian71

71 Badan Pusat Statistik, “Konsep dan Definisi Statistik Hotel dan Akomodasi Lainnya di

Indonesia” di unduh dari:URL:http://www.bps.go.id/aboutus.php?id_subyek=16&tabel=1&fl=2, pada tanggal 15 Mei 2010.

Page 53: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

53

Direktorat Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Bappenas menyatakan bahwa:

Pondok wisata (home stay) yaitu usaha penyediaan jasa pelayanan penginapan bagi umum dengan pembayaran harian yang dilakukan perseorangan dengan menggunakan sebagian atau seluruhnya dari tempat tinggalnya.72

Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan telekomunikasi

Nomor 74/PW.105/MPPT-85 tentang Peraturan Usaha Pondok Wisata Pondok

wisata adalah salah satu usaha perorangan dengan mempergunakan sebagian dari

rumah tinggalnya untuk penginapan bagi setiap orang dengan perhitungan

pembayaran harian. Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan:

Tidak termasuk dalam pengertian pondok wisata menurut peraturan ini adalah:

a. Hotel, Losmen, Penginapan Remaja (Youth Hostel) dan Perkemahan;

b. Asrama Haji, Asrama, dan Rumah Pemondokan bagi Mahasiswa dan Pelajar;

c. Tempat penginapan yang dikelola oleh instansi Pemerintah maupun Swasta yang khusus digunakan sebagi tempat peristirahatan bagi karyawannya.

Pasal 4 (1) Pengusahaan Pondok Wisata adalah usaha penyediaan pelayanan

penginapan; (2) Pengusahaan pondok wisata dapat menyediakan jasa pelayanan

makanan dan minuman sebagai jasa tambahan; (3) Pengusahaan pondok wisata harus memenuhi persyaratan sebagaimana

terlampir dalam keputusan ini. Dengan demikian pada dasarnya usaha pondok wisata adalah usaha yang

menggunakan rumah atau bagian dari tempat tinggal yang difungsikan sebagai

akomodasi wisata dengan fasilitas yang lebih sederhana daripada hotel dan

disewakan untuk jangka waktu tertentu dengan perhitungan pembayaran harian.

Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dari sebuah pondok wisata,

72 Direktorat Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Bappenas, “Konsep dan Definisi Seputar Pariwisata”, diunduh dari: URL: http://www.budpar.go.id, pada tanggal 15 Mei 2010.

Page 54: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

54

persyaratan itu diatur dalam Lampiran Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan

Telekomunikasi Nomor: KM.74/PW.105/MPPT-85. Adapun lampiran Keputusan

Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Nomor: KM.74/PW.105/MPPT-85

menyebutkan persyaratan dari sebuah pondok wisata, yaitu sebagai berikut:

Unsur Persyaratan Uraian Persyaratan

1. Kamar a. Kamar yang disewakan harus merupakan bagian dari rumah tinggal

b. Jumlah Kamar yang disewakan maksimal 5 (lima) buah.

c. Luas kamar tidur minimal 2,70 m2 per orang.

d. Tata Udara diatur dengan baik

e. Tersedia Persyaratan Penghunian kamar f. Perlengkapan Kamar tidur:

1) Tempat tidur 2) Bantal dengan sarung bantal

3) seprai 4) Selimut

5) Kaca rias 6) Asbak

7) Keranjang sampah

2. Kamar Mandi a. Dilengkapi dengan bak mandi, ember, dan gayung

b. Ventilasi diatur dengan baik

c. Tersedia air dengan cukup

3. Lain-lain a. Lingkungan rumah yang dijadikan pondok wisata harus dijaga kebersihannya

b. Tersedia alat pemadam kebakaran

c. Tersedia tempat pembuangan sampah yang

Page 55: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

55

tertutup

Selanjutnya untuk kegiatan yang wajib diselenggarakan dalam usaha pondok

wisata diatur dalam ketentuan Pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun

1996, yang menyatakan bahwa:

(1) Kegiatan usaha pondok wisata meliputi : a. penyediaan kamar tempat menginap; b. penyediaan tempat atau pelayanan makan dan minum; dan c. pelayanan pencucian pakaian/binatu.

(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a merupakan pelayanan pokok yang wajib diselenggarakan oleh penyelenggara usaha pondok wisata

Sehubungan dengan pengertian, syarat, serta kegiatan yang wajib

diselenggarakan oleh sebuah pondok wisata, juga terdapat fasilitas yang dapat

dibangun guna menunjang pengusahaan pondok wisata itu sendiri, berikut ini

akan diuraikan mengenai fasilitas yang dapat dibangun dalam kaitannya dengan

pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam, ketentuan

mengenai fasilitas pondok wisata ini diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan

No. 167/Kpts-II/1994 tentang Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam

di Kawasan Pelestarian Alam. Adapun beberpa ketentuan yang mengatur

mengenai fasilitas yang dapat dibangun guna menunjang usaha pondok wisata

pada kawasan taman wisata alam akan diuraikan sebagai berikut:

Pasal 6 menyatakan bahwa: Jenis sarana pariwisata alam yang dapat dibangun adalah:

a. Sarana akomodasi b. Rumah makan dan minuman c. Sarana wisata tirta d. Sarana wisata budaya e. Sarana angkutan umum f. Kios cinderamata.

Page 56: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

56

Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa: Jenis sarana akomodasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf a meliputi:

a. Pondok wisata alam/pondok apung b. Bumi Perkemahan c. Karavan d. Penginapan remaja e. Fasilitas Akomodasi f. Fasilitas pelayanan umum dan kantor.

Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa: Fasilitas akomodasi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf e tersebut di atas meliputi:

a. pertemuan b Ruang makan dan minum c. Fasilitas untuk bermain anak d. Gudang

Pasal 7 ayat (3) menyatakan bahwa: Fasilitas pelayanan umum dan kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f meliputi:

a. Fasilitas pelayanan informasi; b. Fasilitas pelayanan telekomunikasi c. Fasilitas pelayanan administrasi d. Fasilitas pelayanan angkutan e. Fasilitas pelayanan penukaran uang f. Fasilitas pelayanan cucian g. Telepon umum h. Mushola i. Pos PPPk/Poliklinik j. Menara untuk pengintaian dan pemandangan k. Tempat sampah l. Kantor m. Mess karyawan n. Pemadam kebakaran

Pasal 13 menyatakan bahwa: Jenis Prasarana untuk menunjang sarana pengusahaan pariwisata alam yang dapat dibangun adalah:

a. Jalan b. Jembatan c. Areal parker d. Jaringan listrik e. Jaringan air minum f. Jaringan telepon g. Jaringan drainase/saluran

Page 57: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

57

h. Sistem pembuangan limbah i. Dermaga/Pelabuhan tambat j. Helipad.

Pasal 22 menyatakan bahwa: Fasilitas pelengkap sarana dan prasarana pengusahaan pariwisata alam yang dapat dibangun adalah :

a. Penataan tanaman pada bagian-bagian tertentu; b. Papan-papan petunjuk; c. Ornamen-ornamen, monument, bangku dan meja piknik d. Fasilitas umum

Pasal 24 menyatakan bahwa: Papan-papan petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 huruf b, yang dibangun dapat berupa:

a. Papan nama b. Papan informasi c. Papan petunjuk arah d. Papan larangan/peringatan e. Papan bina cinta alam, dan f. Papan rambu lalulintas.

Pasal 25 menyatakan bahwa: Ornamen-ornamen, monument, bangku dan meja piknik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c, yang dibangun disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan budaya setempat. Pasal 26 menyatakan bahwa: Fasilitas umum terdiri atas:

a. Toilet b. Hidran air minum

2.3. Kawasan Taman Wisata Alam di Provinsi Bali

Selain merupakan destinasi wisata yang diminati karena kebudayaannya,

Provinsi Bali juga memiliki potensi daya tarik wisata alam yang memikat.

Terdapat beberapa objek yang menyuguhkan panorama alam yang indah dengan

keaslian alamnya yang masih terjaga, beberapa objek dengan kriteria tersebut

dapat dijumpai dalam suatu kawasan yang disebut sebagai taman wisata alam.

Page 58: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

58

Pada kawasan taman wisata alam ini wisatawan bisa menikmati suasana alam

yang masih sangat asri dan lingkungan yang relatif masih alami.

Penetapan suatu kawasan sebagai kawasan taman wisata alam adalah apabila

kawasan tersebut memenuhi kriteria yang ditetapkan sebagai taman wisata alam

sebagaimana diatur Pasal 57 ayat (8) PP No. 26 Tahun 2006 jo. Pasal 51 ayat 5

Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 menyatakan bahwa:

Taman wisata alam dan taman wisata alam laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf h ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa dan ekosistemnya

yang masih asli serta formasi geologi yang indah, unik, dan langka; b. memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata; c. memiliki luas yang cukup untuk menjamin pelestarian sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya untuk dimanfaatkan bagi kegiatan wisata alam; dan

d. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan kegiatan wisata alam.

Berdasarkan kriteria tersebut terdapat beberapa kawasan di Provinsi Bali

yang ditetapkan sebagai kawasan taman wisata alam, sebaran kawasan taman

wisata alam di provinsi Bali dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal 45 ayat 6

yang menyatakan bahwa:

Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam di darat maupun di laut yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Sebaran Taman Wisata Alam di provinsi Bali adalah: 1. TWA Buyan-Tamblingan di Kabupaten Buleleng seluas 1.491,16 ha, 2. TWA Batur-Bukit Payung di Kabupaten Bangli seluas 2.075,00 ha, 3. TWA Penelokan di Kabupaten Bangli seluas 574,27 ha, 4. TWA Sangeh di Kabupaten Badung seluas 13,97 ha; 5. TWA Laut terdapat di Kawasan Taman Nasional Bali Barat di

wilayah Kabupaten Buleleng 6. TWA Laut Nusa Lembongan di Kabupaten Klungkung seluas 300 ha.

Adapun uraian dari sebaran kawasan taman wisata alam sebagaimana

dimaksud Pasal 45 ayat 6 adalah sebagai berikut:

Page 59: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

59

1. TWA Buyan-Tamblingan

Secara administrative pemerintahan kawasan Taman Wisata Alam Danau

Buyan Tamblingan termasuk dalam wilayah Kecamatan Sukasada dan kecamatan

Banjar, kabupaten Buleleng dan kabupaten Tabanan, provinsi Bali. Kawasan ini

termasuk dalam kelompok hutan Gunung Batukahu (RTK 4) yang telah

ditetapkan sebagai hutan tutupan berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia

Belanda tanggal 29 Mei 1927 No. 28. Berdasarkan surat Keputusan Menteri

Kehutanan No. 144/Kpts-II/1996 tanggal 4 april 1996 tentang penetapan sebagian

kawasan hutan Batukahu (RTK 4) yang terletak di Kabupaten Tabanan dan

Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, seluas 1.336,50 Ha sebagai Taman Wisata

Alam Danau Buyan-Danau Tamblingan (tidak termasuk danau Buyan).

Selanjutnya dengan Surat keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen

Kehutanan No. 140/Kwl-5/1997 tanggal 22 Januari 1997 diadakan revisi terhadap

luas kawasan taman Wisata Alam Danau Buyan-Danau Tamblingan menjadi

1.703 Ha (sudah termasuk Danau Buyan dan Danau Tamblingan)

Dengan terdapatnya dua damau yang cukup luas dikelilingi hutan yang

masih asri serta tebing-tebing curam yang menawan, menjadikan kawasan ini

mempunyai panorama alam yang menarik. Keadaan peraiaran danau yang tenang

dan udara pegunungan yang sejuk dan nyaman memberikan kesempatan untuk

melaksanakan kegiatan wisata alam. Di beberapa lokasi pinggir danau terdapat

pula beberapa buah pura yang dibangun diantara pepohonan yang besar dan lebat,

sehingga dapat menambah potensi yang tidak hanya indah tetapi unik dan khas.

Page 60: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

60

2. TWA Sangeh

Taman Wisata alam Sangeh terletak di desa Sangeh, kecamatan Abiansemal,

Kabupaten Badung. Status kawasan ini sebelumnya adalah cagar alam, namun

dengan terbitnya Surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor: II/Kpts-II/1993

tanggal 16 Februari tahun 1993 berubah menjadi taman wisata alam dengan luas

13.969 Ha. Daya tarik objek TWA sangeh adalah adanya kehidupan kera abu-

abu, kemudian terdapat tegakan murni pohon Pala yang sangat khas dan

mendominsasi kawasan tersebut, selain itu terdapat pula bangunan pura dalam

kawasan tersebut, seperti Pura Bukit Sari dan Pura Melanting.

3. TWA Penelokan

Taman Wisata Alam Penelokan terletak di Desa Penelokan, Kecamatan

Kintamani, Kabupaten Bangli, yang masuk dalam Register Tanah Kehutanan

(RTK) 8 Hunung Abang-Agung. Status kawasan ini ditetapkan dengan Surat

Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 655/Kpts/Um/10/1978 tanggal 29 Oktober

1978 dengan luas 574.275 Ha.

Kawasan taman wisata alam ini terletak diketinggian antara 1.200-1.500 m

dpl dengan udara yang sejuk dan mempunyai panorama yang sangat indah dan

unik karenan dari kawasan ini dapat dilihat keindahan Gunung Batur dan

Danaunya. Apabila udara cerah, dapat pula dilihat puncak Gunung Agung yang

menjulang di sebelah tenggara.

4. TWA Gunung Batur Bukit Payang

Taman Wisata Gunung Batur Bukit Payang terletak di desa Penelokan,

Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Status kawasan ini ditetapkan dengan

Page 61: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

61

Surat Keputusan Menteri Pertamian Nomor:321/Kpts/Um/11/1982 tanggal 10

Nopember 1982 dengan luas 2.075 Ha. Kawasan taman wisata ini memiliki udara

yang sejuk, panorama yang indah dan unik karena dari kawasan ini dapat dilihat

keindahan Gunung Batur dan danaunya.

5. TWA Laut Nusa Lembongan dan TWA Laut terdapat di Kawasan Taman Nasional Bali Barat

Daya Tarik dari taman wisata alam ini adalah pasirnya yang putih, airnya

bersih dan jernih, dan merupakan tempat yang bagus untuk menyaksikan

keindahan matahari terbenam. Aktivitas wisata laut yang bisa dilakukan di TWA

ini adalah, kano, banana boat, bahkan diving dan snorkeling dimana terdapat

ratusan ikan warna-warni, gundukan batu karang putih, hingga rumput laut,

terlihat memesona di kedalaman laut yang jernih.

Secara yuridis pengertian taman wisata alam dapat dijumpai dalam beberapa

ketentuan, salah satunya dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 16, UU No. 5 Tahun

1990 yang menyatakan bahwa “Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian

alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.” Status

taman wisata alam sebagai bagian dari kawasan pelestarian alam juga dapat

ditemukan dalam Pasal 29 ayat (1) UU No. 5 Tahun yang menyatakan bahwa:

Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri dari: d. Taman nasional e. Taman hutan raya f. Taman wisata alam

Kawasan pelestarian alam menurut struktur pola penataan ruang merupakan

bagian dari kawasan lindung, hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 42 ayat (1)

Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa:

Page 62: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

62

Kawasan lindung mencakup: g. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya; h. Kawasan perlindungan setempat; i. Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya; j. Kawasan rawan bencana alam; k. Kawasan lindung geologi; l. Kawasan lindung lainnya

Dengan demikian taman wisata alam merupakan bagian dari kawasan

lindung. Dalam kedudukannya sebagai kawasan lindung, kawasan taman wisata

alam berdasarkan Pasal 85 ayat (1) huruf a Perda Provinsi Bali No 16 Tahun 2009

ditetapkan sebagai kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan

daya dukung lingkungan hidup, bunyi Pasal 80 ayat (1) huruf a yang menetapkan

kawasan taman wisata alam sebagai kawasan strategis provinsi dari sudut

kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup adalah sebagai berikut:

Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf e, mencakup: a. Taman Nasional Bali Barat di Kabupaten Jembrana dan Buleleng,

Kawasan Taman Hutan Raya Prapat Benoa (Ngurah Rai) di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, Taman Wisata Alam (TWA) Daratan yang mencakup TWA Danau Buyan-Tamblingan di Kabupaten Buleleng, TWA Batur-Bukit Payung dan TWA Penelokan di Kabupaten Bangli, TWA Sangeh di Kabupaten Badung; TWA Bawah Laut di Nusa Lembongan Kabupaten Klungkung, TWA Bawah Laut Pulau Menjangan di Kabupaten Jembrana, Cagar Alam atau Hutan Lindung Batukaru di Kabupaten Tabanan;

Adapun kriteria taman wisata alam tersebut sehingga ditetapkan sebagai

kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung

lingkungan hidup berdasarkan Pasal 90 adalah sebagai berikut:

Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85, ditetapkan dengan kriteria: a. merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati;

Page 63: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

63

b. merupakan aset daerah berupa kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem;

c. memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro; d. memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air; e. memberikan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam; dan f. memberikan perlindungan terhadap daerah pesisir.

Terhadap Kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan strategis provinsi dari

sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, diperlukan strategi

untuk dapat melestarikan dan meningkatkan fungsi dan daya dukung lingkungan

hidup dari kawasan tersebut, adapun strategis pelestarian dan peningkatan fungsi

daya dukung lingkungan tersebut diatur dalam Pasal 13 ayat (1) yang menyatakan

sebagai berikut:

Strategi pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, mencakup: a. menetapkan kawasan strategis provinsi yang berfungsi lindung; b. mencegah pemanfaatan ruang di kawasan strategis provinsi yang

berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan; c. membatasi pemanfaatan ruang di sekitar kawasan strategis provinsi

yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan; d. membatasi pengembangan sarana dan prasarana di dalam dan di sekitar

kawasan strategis provinsi yang dapat memicu perkembangan kegiatan budidaya intensif;

Page 64: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

64

BAB III

PENGUSAHAAN PONDOK WISATA PADA KAWASAN TAMAN

WISATA ALAM DI PROVINSI BALI

3.1. Pengaturan Pengusahaan Pondok Wisata Pada Kawasan Taman

Wisata Alam dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan.

3.1.1. Pengertian dan Jenis Peraturan Perundang-undangan

Peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting dan tidak bisa

diabaikan terutama dalam suatu negara hukum. Sebagaimana diketahui bahwa

salah satu unsur dari negara hukum adalah pemerintahan berdasarkan peraturan

perundang-undangan atau yang sering disebut sebagai asas legalitas, asas legalitas

merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap

penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum. Asas

legalitas ini akan menunjang berlakunya kepastian hukum, sebab suatu kepastian

hukum akan terjadi karena suatu peraturan dapat membuat setiap tindakan yang

akan dilakukan pemerintah itu dapat diramalkan atau diperkirakan yaitu dengan

melihat kepada peraturan-perundang-undangan yang berlaku, maka pada asasnya

lalu akan dapat dilihat atau diharapkan apa yang akan dilakukan oleh aparat

pemerintah yang bersangkutan.73

Istilah peraturan perundang-undangan berasal dari kata dasar undang-

undang, dimana undang-undang dapat diartikan secara formal maupun materiil.74

Undang-undang secara formal adalah produk kekuasaan legislatif, sedangkan dari

73 Ridwan HR, Op.Cit., h. 97. 74 Yohanes Usfunan, 2004, “Perancangan Peraturan Perundang-undangan yang baik

Manciptakan Pemerintahan yang Bersih dan Demokratis”, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Hukum Tata Negara FH UNUD, 1 Me1 2004, Denpasar, Universitas Udayana, h. 13

64

Page 65: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

65

segi materiil kata undang-undang dimaksudkan sebagai peraturan perundang-

undangan yaitu setiap keputusan yang dikeluarkan oleh yang berwenang dan

mempunyai kekuatan mengikat, hal ini sejalan dengan pengertian peraturan

perundang-undangan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (LNRI Tahun

2004 Nomor 53) yang menyatakan bahwa “Peraturan Perundang-undangan adalah

peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang

berwenang dan mengikat secara umum.”

Selain pengertian perundang-undangan yang diuraikan di atas, Maria Farida

Indrati Soeprapto mengartikan peraturan perundang-undangan sebagai suatu

keputusan dari suatu lembaga pemerintahan yang dibentuk berdasarkan atribusi

dan delegasi. Atribusi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan oleh Undang-Undang Dasar atau undang-undang kepada lembaga

negara/pemerintah.Kewenangan tersebut melekat terus-menerus dan dapat

dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-

batas yang diberikan.75 Sebagai contoh, atribusi yang diberikan oleh Pasal 5 ayat

(1) UUD NRI 1945 yang menyatakan Presiden berhak mengajukan rancangan

undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Disisi lain ada delegasi

kewenangan yaitu pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-

undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik pelimpahan itu

dinyatakan secara tegas atau tidak. Berbeda dengan atribusi, pada delegasi

75 Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan

Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, h. 35

Page 66: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

66

kewenangan tersebut tidak diberikan melainkan diwakilkan. Selain itu

kewenangan delegasi ini bersifat sementara, dalam arti kewenangan ini

diselenggarakan sepanjang pelimpahan itu masih ada.76Contoh delegasi adalah

kewenangan pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan

undang-undang sebagaimana mestinya.

Dengan demikian kata peraturan perundang-undangan mencakup peraturan

yang merupakan produk kekuasaan legislatif dan produk kekuasaan eksekutif.

Sebagaimana diketahui bahwa seiring dengan perkembangan tugas-tugas

pemerintahan, khususnya dalam ajaran welafare state, memberikan kewenangan

yang luas kepada administrasi negara termasuk kewenangan dalam bidang

legislasi, maka peraturan peraturan hukum dalam hukum administrasi negara

disamping dibuat oleh lembaga legislatif juga ada peraturan-peraturan yang dibuat

secara mandiri oleh administrasi negara77. Bahkan jika diukur dari segi jumlah

sebagian besar peraturan perundang-undangan dibentuk oleh administrasi negara,

hal tersebut diungkapkan oleh HWR Wade yang menyatakan bahwa “There is no

more characteristic asminidtrative activity than legislation. Measured merely by

volume, more legislation is produced by the executive government than by

legislature”.78 Kewenangan legislasi bagi pemerintah tidak dapat dielakkan dalam

suatu negara kesejahteraan, Bagir manan menyebutkan ketidakmungkinan

76Ibid 77Ridwan HR, Op.Cit., h. 35 78 H.W.R. Wade, 1986, Administrative Law, Fifth Edition, Oxford University Press, Oxford,

h. 733

Page 67: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

67

meniadakan kewenangan eksekutf untuk ikut membentuk peraturan perundang-

undangan, yaitu sebagai berikut:79

1. Paham pembagian kekuasaan yang lebih menekankan pada perbedaan

fungsi daripada pemisahan organ terdapat dalam ajaran pemisahan

kekuasaan. Dengan demikian, fungsi pembentukan peraturan perundang-

undangan tidak harus terpisah dari fungsi penyelenggaraan

pemerintahaan. Fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan

dapat juga dilekatkan pada administrasi negara, baik sebagai kekuasaan

mandiri atau sebagai kekuasaan yang dijalankan secara bersama-sama

dengan badan legislatif.

2. Dalam suatu negara kesejahteraan diperlukan berbagai instrumen hukum

yang tidak mungkin semata-mata diserahkan pada legislatif untuk

menyelenggarakan kesejahteraan umum, administrasi negara diperlukan

untuk mengatur tanpa mengabaikan asas-asas negara berdasarkan hukum

dan asas-asas umum pemerintahan yang layak. Dalam keadaan demikian

makin tumbuh kekuasaan administrasi negara di bidang pembentukan

peraturan perundang-undangan.

3. Untuk menunjang perubahan masyarakat yang berjalan makin cepat dan

kompleks diperlukan percepatan pembentukan hukum, hal ini

mendorong administrasi negara untuk berperan lebih besar dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan.

79Bagir Manan, 1995, Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, Makalah pada penataran Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Unhas, Ujung Pandang, 31 Agustus 1995, dalam Ridwan HR, Ibid, h.140-141.

Page 68: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

68

4. Berkembangnya berbagai jenis peraturan perundang-undangan, mulai

dari UUD sampai pada peraturan perundang-undangan tingkat daerah.

Badan legislatif tidak membentu segala jenis peraturan perundang-

undangan melainkan terbatas pada undang-undang dan UUD, jenis

lainnya dibuat oleh administrasi negara.

Dalam praktek, diakui bahwa organ legislatif tidak memiliki instrumen

pelaksana, waktu, dan sumberdaya memadai untuk merumuskan secara detail

berbagai hal yang berkenaan dengan undang-undang sehingga diserahkan kepada

eksekutif. Meskipun sebagian besar peraturan perundang-undangan itu dibentuk

oleh organ eksekutif bukan berarti eksistensi lembaga legislatif dalam suatu

negara hukum menjadi tidak perlu. Kewenangan legislasi bagi pemerintah atau

organ eksekutif itu pada dasarnya berasal dari undang-undang, sesuai dengan asas

legalitas dalam negara hukum, yang berarti berasal dari persetujuan parlemen.

Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan

adalah segala aturan tertulis yang dibuat oleh penguasa yang berwenang. adapun

jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat ditemukan

dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004, dari jenis

peraturan perundang-undangan yang ada sebagian besar merupakan produk

hukum dari badan eksekutif, adapun bunyi rumusan Pasal 7 ayat (1) tersebut

adalah sebagai berikut:

Pasal 7: (2) Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:

a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden

Page 69: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

69

e. Peraturan daerah.

UUD adalah peraturan perundang-undangan yang tertinggi dalam suatu

negara, yang menjadi dasar segala peraturan perundang-undangan. Dengan kata

lain bahwa semua peraturan perundang-undangan harus tunduk pada UUD atau

tidak boleh bertentangan dengan UUD.80 Di sisi lain UUD merupakan dokumen

hukum yang mengandung aturan-aturan ketentuan-ketentuan yang pokok atau

dasar-dasar mengenai ketatanegaraan daripada suatu negara yang lazim

kepadanya diberi sifat luhur dan kekal dan apabila akan mengadakan

perubahannya hanya boleh dilakukan dengan prosedur yang berat kalau

dibandingkan dengan cara pembuatan atau perubahan bentuk-bentuk peraturan

dan ketetapan yang lainnya.81Dimana perubahan dan penetapan terhadap UUD

berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUD NRI 1945 merupakan kewenangan

MPR.

Undang-undang adalah produk hukum yang dibuat oleh DPR bersama

dengan presiden, dasar hukum kewenangan DPR bersama dengan presiden

membentuk undang-undang dapat dilihat dari Pasal 5 ayat(1) UUD NRI 1945

yang menyatakn bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang

kepada Dewan Perwakilan Rakyat”, selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (1) UUD

NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang

kekuasaan membentuk undang-undang”, dan dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 10

Tahun 2004 menyatakan bahwa “Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-

80 K. Wantjik Saleh, Perkembangan perundang-undangan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 10-11 dalam Titik Triwulan Tutik, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pascaamandemen UUD 1945, Cerdas Pustaka Publisher, Jakarta, h. 51

81 Dasril Radjab, 1994, Selayang Pandang Tentang Sumber-Sumber Hukum Tatanegara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 27

Page 70: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

70

undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan

bersama Presiden.”

Perppu merupakan bentuk peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh

presiden sendiri berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 22 ayat (1)

UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan yang

memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti

undang-undang”, dan Pasal 1 ayat (4) UU No. 10 tahun 2004 yang menyatakan

bahwa “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan

Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan

yang memaksa.”

Peraturan Pemerintah ialah bentuk peraturan yang menurut UUD NRI 1945

dapat dibuat oleh Presiden untuk melaksanakan lebih lanjut suatu undang-undang

sebagaimana mestinya, kewenangan ini diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UUD NRI

1945 jo. Pasal 1 ayat (5) UU No. 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa

Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh

Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

Peraturan Presiden merupakan peraturan perundang-undangan yang

dibentuk oleh presiden berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (6) UU No. 10 tahun

2004 yang menyatakan bahwa “Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-

undangan yang dibuat oleh Presiden”, sedangkan dasar kewenangan pembentukan

peraturan presiden tidak secara tegas disebutkan dalam UUD NRI 1945, dalam

Pasal 4 ayat 1 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia

memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar”, sebagai

Page 71: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

71

pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di negara Indonesia, Presiden adalah

pemegang kekuasaan eksekutif dan sekaligus pemegang kekuasaan

legislatif.82Menurut Jellinek83 pemerintah dalam arti formal mengandung

kekuasaan mengatur dan kekuatan memutus sedangkan pemerintahan dalam arti

material mengandung unsur melaksanakan.Dengan kekuasaan mengatur terlihat

dari jalur legislatif Presiden harus menempatkan persetujuan DPR yaitu dalam

membentuk suatu undang-undang, sedangkan apabila presiden mengatur dalam

kekuasaan eksekutif dengan membentuk suatu peraturan presiden berupa

penjabaran lebih lanjut dari undang-undang maupun peraturan pemerintah.

Peraturan daerah merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk

oleh Pemerintah Daerah atau salah satu unsur Pemerintah Dearah yang berwenang

membuat peraturan daerah. Kewenangan Pemerintah Dearah dalam membentuk

peraturan daerah adalah konsekuensi dianutnya desentralisasi sebagaimana diatur

dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara Kesatuan

Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas

kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai

pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Artinya, Negara

Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 adalah desentralisasi, bukan

sentralisasi sehingga pemerintahan daerah diadakan dalam kaitan

desentralisasi.Selanjutnya, Pasal 18 ayat(6) UUD 1945 menetapkan,

“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-

peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.” Artinya,

82 I Made Subawa, dkk., 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 38

83 Jellinek dalam I Made Subawa, dkk, Ibid.

Page 72: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

72

peraturan daerah merupakan sarana legislasi dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah.peraturan daerah disini adalah aturan daerah dalam arti

materiil yang bersifat mengikat warga dan penduduk daerah otonom. Kewenangan

pemerintah daerah dalam membetuk peraturan daerah juga diatur dalam beberapa

pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004, yaitu Pasal 25 huruf c dinyatakan bahwa

“Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenangmenetapkan peraturan daerah

yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD”, selanjutnya dalam Pasal 42

ayat (1) huruf a menyatakan bahwa”DPRD mempunyai tugas dan

wewenangmembentuk peraturan daaerah yang di bahas dengan Kepala Daerah

untuk mendapatpersetujuan bersama”, dan kemudian dalam Pasal 136 ayat (1)

menyatakan bahwa ”Peraturan daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah

mendapat persetujuan bersama DPRD”

Di samping jenis peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan

secara eksplisit dalam Pasal 7 ayat (1) sebagaimana diuraikan di atas, masih

terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang diakui dalam Pasal 7 ayat

(4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Adapun bunyi ketentuan Pasal 7 ayat

(4) menyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih

tinggi.” Selanjutnya dalam Penjelasanya disebutkan bahwa “Jenis Peraturan

Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang

dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,

Page 73: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

73

Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga,

atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah

atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,

Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,

Kepala Desa atau yang setingkat”.Dengan demikian setiap lembaga/pejabat

negara tertentu dapat saja memiliki kewenangan membentuk peraturan

perundang-undangan. Kewenangan yang diberikan atau dipunyai oleh lembaga

atau pejabat itu dapat berbentuk kewenangan atributif atau kewenangan

delegatif/derivatif.

3.1.2. Konflik Norma Pengaturan Pengusahaan Pondok Wisata pada Kawasan Taman Wisata Alam

Peraturan perundang-undangan pada hakikatnya diperlukan untuk

mengarahkan dan mengendalikan prilaku warga masyarakat maupun pejabat

pemerintah agar sesuai dengan yang ditetapkan dalam ketentuan yang

bersangkutan. Agar tujuan tersebut dapat terlaksana tentunya penormaan tindakan

pemerintahan yang diformulasikan dalam produk hukum tidak boleh kabur

ataupun terjadi suatu konflik norma antara norma yang satu dengan yang lainnya

sehingga menimbulkan kebingungan bagi pemerintah dalam mengambil suatu

keputusan.84 Namun dalam kenyataannya dalam Pengaturan Pengusahaan Pondok

Wisata pada Kawasan Taman Wisata Alam masih dapat ditemukan adanya

konflik norma, konflik norma terjadi apabila norma dari suatu peraturan

bertentangan dengan norma pada peraturan lainnya, Hans Kelsen menyatakan

bahwa “A conflict exist between two norms when that which one of them decrees

84 Ibid, 167

Page 74: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

74

to be obligatory is incompatible with that which the other decrees to be

obligatory, so that the observance or application of one norm necessarily or

possibly involves the violation of the other.”85 Konflik norma ini dapat ditemukan

dalam produk hukum yang mengatur mengenai dapat tidaknya dibangun usaha

pondok wisata pada kawasan taman wisata alam. Dapat dilaksanakan usaha

pondok wisata pada kawasan taman wisata alam tersebut dapat diatur dalam UU

tentang Konservasi beserta peraturan pelaksananya, namun ketentuan ini

bertentangan dengan pengaturan penataan ruang di Provinsi Bali yang diatur

dalam Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009.

a. Pengaturan terkait Pengusahaan Pondok Wisata Pada Kawasan Taman Wisata Alam dalam Peraturan Perundang-undangan di bidang Penataan Ruang

Ruang merupakan sumber daya alam yang harus dikelola bagi sebesar-besar

kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

yang menegaskan bahwa “Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.” Dalam konteks ini ruang harus dilindungi dan dikelola secara

terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan, untuk itu diperlukan suatu penataan

ruang.

Ruang mengandung pengertian sebagai “wadah yang meliputi ruang daratan,

ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan

mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan

hidupnya”.Ruang itu terbatas dan jumlahnya relatif tetap, sedangkan aktivitas

85 Hans Kelsen, General Theory of Norms, Translated by Michael Hartney, Oxford

University Press, New York, 1991, Hal 123

Page 75: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

75

manusia dan pesatnya perkembangan penduduk memerlukan ketersediaan ruang

untuk beraktivitas senantiasa berkembang setiap hari.Untuk itu ruang yang

sifatnya terbatas perlu ditata agar dapat dimanfaatkan secara efektif dan efesien.

Tata ruang memiliki arti susunan ruang yang teratur, dalam kata teratur

terkandung terkandung pengertian serasi dan sederhana sehingga mudah dipahami

dan dilaksanakan. Karena itu pada tata ruang yang ditata adalah tempat berbagai

kegiatan serta sarana dan prasarananya.86 Suatu tata ruang yang baik dapat

dihasilkan dari kegiatan menata ruang yang baik disebut penataan ruang. Dalam

pengertian ini, penataan ruang terdiri dari tiga kegiatan utama, yaitu perencanaan

tata ruang, perwujudan tata ruang, dan pengendalian tata ruang.87

Perencanaan tata ruang merupakan kegiatan merumuskan dan menetapkan

manfaat ruang dan kaitannya atau hubungan antara berbagai manfaat ruang,

berdasarkan kegiatan-kegiatan yang perlu dan dapat dilaksanakan untuk

memenuhi kebutuhan manusia di masa yang akan datang.88 Selanjutnya yang

dimaksud perwujudan tata ruang adalah kegiatan di lapangan untuk menetapkan

bagian-bagian ruang yang diperlukan untuk berbagai kegiatan sesuai dengan

rencana tata ruang.89 Sedangkan pengendalian pemanfaatan ruang adalah setiap

kegiatan yang ditujukan untuk menjaga agar kegiatan pemanfaatan ruang, dengan

atau tanpa bangunan dilaksanakan sesuai dengan tata ruang, dengan kata lain

pengendalian pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk megarahkan

pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah

86 M. Daud Silalahi, 2001, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, PT. Alumni, Bandung, h. 80

87Ibid. 88Ibid. 89Ibid

Page 76: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

76

ditetapkan90. Salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yang populer

adalah perizinan. Instrumen perizinan mengendalikan setiap kegiatan pemanfaatan

ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan

demikian untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang telah sesuai dengan

peruntukannya dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan di bidang

penataan ruang. Terkait dengan hal tersebut maka untuk mengetahui apakah dapat

diterbitkan izin terhadap usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam

maka perlu diuji kesesuaian antara rencana pemanfaatan kawasan taman wisata

alam dengan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang,

diantaranya adalah PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional, dan Perda Provnsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi.

Pasca diterbitkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang menyebabkan terjadinya perubahan dalam hal penataan ruang,

dimana daerah mempunyai hak untuk melaksanakan penataan ruang di daerahnya.

Pergantian sistem pemerintahan tersebut berdampak positif terhadap penataan

ruang diantaranya adalah Pemerintah Daerah dapat mengawasi pembangunan di

daerahnya secara bertanggungjawab penuh sehingga pembangunan sesuai dengan

aspirasi masyarakatnya. Dalam upaya pengendalian pemanfaatan ruang perlu

ditindaklanjuti melalui pengaturan zona (zone regulation). Peraturan Zonasi

(Zoning Regulation) adalah ketentuan yang mengatur tentang klasifikasi zona,

90Ibid

Page 77: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

77

pengaturan lebih lanjut mengenai pemanfaatan lahan, dan prosedur pelaksanaan

pembangunan.91 Dengan kata lain peraturan zonasi adalah ketentuan yang harus

dan tidak boleh dilaksanakan pada suatu zona pemanfaatan ruang yang dapat

berupa ketentuan tentang bangunan, penyediaan sarana dan prasarana,

permukiman, dan ketentuan lain yang dibutuhkan dalam mewujudkan ruang yang

nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Di Provinsi Bali arahan peraturan zonasi

ditemukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang baru yaitu dalam

Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi, diaturnya substansi baru mengenai arahan peraturan zonasi

kawasan taman wisata alam. ditemukan dalam Pasal 109 ayat (5) yang

menyatakan bahwa:

Arahan peraturan zonasi taman wisata alam sebagaimana dimaksud Pasal 106 ayat (4) huruf e, mencakup: a. pengembangan zonasi kawasan menjadi zona inti dan zona pemanfaatan; b. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; c. pelarangan kegiatan selain yang dimaksud dalam huruf b; dan d. pelarangan pendirian pembangunan pada zona pemanfaatan.

Mencermati substansi Pasal 109 ayat (5) diketahui bahwa Perda Provinsi Bali No.

16 Tahun 2009 tidak menghendaki adanya pendirian bangunan apapun pada

kawasan taman wisata alam, walau pada zona pemanfaatannya sekalipun. Hal ini

tercermin dari bunyi ketentuan Pasal 109 ayat (5) huruf b tersebut tersebut yang

menyatakan bahwa kawasan taman wisata alam hanya dapat digunakan untuk

91 Agus Parmono, Urgensi Pengaturan Zona Dalam Upaya Pengendalian Pemanfaatan

Ruang Daerah Berkelanjutan, dalam http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=122, diunduh pada tanggal 18 April 2010

Page 78: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

78

kegiatan wisata alam, kemudian dalam huruf c secara tegas tidak

memperbolehkan adanya pemanfaatan ruang selain untuk kegiatan wisata alam,

yang selanjutnya dalam huruf d menyatakan pelarangan bagi adanya pendirian

bangunan pada zona pemanfaatan. Sehingga jelas bahwa Perda No. 16 Tahun

2009 tidak memberikan peluang bagi didirikannya pondok wisata pada zona

pemanfaatan di kawasan taman wisata alam.

Selanjutnya satu tingkat di atas peraturan Daerah No. 16 Tahun 2009

terdapat peraturan pemerintah yang mengatur pula mengenai pemanfaatan

kawasan taman wisata alam yaitu Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008

tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2008 Nomor 48), ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam

Pasal 101 ayat (6) yang menyatakan bahwa:

Peraturan zonasi untuk taman wisata alam dan taman wisata alam laut disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; b. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a; c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan

sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada

huruf c.

Dari uraian bunyi pasal tersebut dapat dilihat bahwa pasal 101 ayat (6) khususnya

dalam ketentuan huruf c, memperbolehkan akan adanya pendirian bangunan

dalam hal untuk menunjang kegiatan wisata alam. Pondok wisata dapat

dikatagorikan sebagai bangunan penunjang kegiatan wisata alam karena pondok

wisata dapat dimanfaatkan sebagai tempat peristirahatan bagi mereka yang sedang

melakukan kegiatan wisata alam. Dengan diperkenankannya adanya pendirian

Page 79: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

79

bangunan penunjang kegiatan wisata alam maka dengan sendirinya PP No. 26

Tahun 2008 ini bertentangan dengan Perda No. 16 Tahun 2009.

b. Pengaturan Usaha Pondok Wisata pada Kawasan Taman Wisata Alam pada Peraturan perundang-undangan di bidang Konservasi.

Merujuk pada beberapa peraturan perundang-undangan di bidang

konservasi, kawasan taman wisata alam merupakan kawasan pelestarian alam

yang salah satu peruntukannya adalah dapat dimanfaatkan sebagai tempat bagi

kegiatan wisata alam. Selanjutnya dalam menunjang kegiatan tersebut beberapa

peraturan perundang-undangan memberikan kemungkinan bagi dapat

diselenggarakannya usaha sarana pariwisata alam pada kawasan tersebut, salah

satu usaha yang dapat diselenggarakan adalah usaha pondok wisata. Adapun

pengaturan yang menjadi dasar bagi dapat diselenggarakannya usaha pondok

wisata pada kawasan taman wisata alam akan diuraikan sebagai berikut:

Pasal 31 ayat (1) UU No.5 Thn 1990 menyebutkan bahwa: Di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam.

Hal senada juga disebutkan dalam Pasal Pasal 1 angka 8 PP No.68 Thn 1998

tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132) yang menyatakan bahwa:

Kawasan Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam.

Dari kedua ketentuan tersebut dinyatakan bahwa kawasan taman wisata alam

merupakan kawasan pelestarian alam yang di dalamnya dapat diselenggarakan

kegiatan wisata alam / rekreasi alam. Adapun yang dimaksud dengan wisata alam

Page 80: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

80

secara yuridis dapat ditemukan dalam pasal 1 ayat (4) PP No. 36 Tahun 2010

yang menyatakan bahwa “Wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian

dari kegiatan tersebut dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk

menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di taman nasional, taman hutan

raya dan taman wisata alam.” Selanjutnya untuk menunjang kegiatan pariwisata

pada kawasan taman wisata alam maka di dalamnya dapat diselenggarakan

pengusahaan pariwisata alam. Pasal 1 ayat (1) PP No. 36 Tahun 2010 memberikan

pengertian “Pengusahaan pariwisata alam adalah suatu kegiatan untuk

menyelenggarakan usaha pariwisata alam di suaka margasatwa, taman nasional,

taman hutan raya, dan taman wisata alam berdasarkan rencana pengelolaan.”

Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan apa yang dimaksud dengan Usaha

pariwisata alam adalah “usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi

pemenuhan kebutuhan wisatawan d an penyelenggaraan pariwisata alam.”

Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengusahaan Pariwisata alam dijabarkan dalam

pasal berikutnya, yang akan diuraikan sebagai berikut:

a. Ketentuan Pasal 4 yang menyatakan bahwa: Pengusahaan pariwisata alam dilakukan dalam: a. suaka margasatwa; b. taman nasional; c. taman hutan raya; dan d. taman wisata alam.

b. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa:

Dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, huruf c, dan huruf d dapat dilakukan kegiatan mengunjungi, melihat, menikmati keindahan alam, keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta dapat dilakukan kegiatan membangun sarana kepariwisataan.

Page 81: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

81

c. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan (3) menyatakan bahwa: (1) Pengusahaan pariwisata alam meliputi:

a. usaha penyediaan jasa wisata alam; dan b. usaha penyediaan sarana wisata alam.

(3) Usaha penyediaan sarana wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat meliputi: a. wisata tirta; b. akomodasi; dan c. sarana wisata petualangan

d. Penjelasan Pasal 7 ayat (3) Huruf b menyatakan bahwa: Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa hotel, villa, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan pariwisata.

e. Ketentuan Pasal 8 ayat (1), (2), dan (5) menyatakan bahwa: (1) Pengusahaan pariwisata alam hanya dapat dilakukan setelah memperoleh

izin pengusahaan. (2) Izin pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh:

a. Menteri, untuk pengusahaan pariwisata alam yang dilakukan di dalam suaka margasatwa, taman nasional kecuali zona inti, dan taman wisata alam; atau

b. Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya, untuk pengusahaan pariwisata alam yang dilakukan di dalam taman hutan raya.

(5) Permohonan izin pengusahaan yang diajukan oleh badan usaha dan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c dapat diberikan untuk izin usaha penyediaan jasa wisata alam dan/atau izin usaha penyediaan sarana wisata alam.

f. Pasal 9 ayat (3) menyatakan bahwa:

Dalam hal izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk usaha penyediaan sarana wisata alam, hanya dapat diberikan pada: a. zona pemanfaatan taman nasional; b. blok pemanfaatan taman wisata alam; dan c. blok pemanfaatan taman hutan raya.

g. Pasal 18 huruf d, e, dan f menyatakan bahwa: Izin usaha penyediaan sarana wisata alam diberikan dengan ketentuan: a. luas areal yang diizinkan untuk dibangun sarana wisata alam paling

banyak 10% (sepuluh per seratus) dari luas areal yang ditetapkan dalam izin;

b. sarana wisata alam yang di bangun untuk wisata tirta dan akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b, harus semi permanen dan bentuknya disesuaikan dengan arsitektur budaya setempat; dan

Page 82: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

82

c. dalam melaksanakan pembangunan sarana wisata alam disesuaikan dengan kondisi alam dengan tidak mengubah bentang alam.

Dari uraian ketentuan Pasal tersebut diketahui bahwa dalam kawasan taman

wisata alam dapat dilaksanakan kegiatan pengusahaan pariwisata alam yaitu

dengan menyelenggarakan berbagai jenis usaha sarana pariwisata alam, salah satu

bentuknya adalah usaha sarana akomodasi berupa pondok wisata. Selanjutnya

ditemukan adanya pembatasan kawasan yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat

diselenggakannya kegiatan pengusahaan pariwisata alam pada kawasan taman

wisata alam yaitu dibatasi hanya pada blok pemanfaatannya saja. Kemudian

dalam Pasal 18 diatur mengenai ketentuan yang berkenaan dengan luas kawasan

yang dapat di bangun, bahan bangunan yang digunakan dan penyesuaian

bangunan dengan kondisi dan bentang alam.

Induk dari PP No. 36 Tahun 2010 yaitu UU No. 5 tahun 1990 juga memuat

ketentuan yang memungkinkan bagi diadakannya kegiatan pengusahaan

pariwisata alam berupa usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam,

yaitu dalam Pasal 34 yang menyatakan sebagai berikut:

(1) Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah.

(2) Di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan.

(3) Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat.

(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan mengenai dapat diselenggarakannya usaha pondok wisata pada

kawasan taman wisata alam memang tidak dinyatakan secara ekspisit, namun

Page 83: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

83

secara tersirat dapat ditemukan dalam ketentuan ayat (2) dan (3), dari ketentuan

ayat tersebut ditentukan bahwa bagi yang telah memperoleh hak pengusahaan

dapat memanfaatkan kawasan taman wisata alam untuk membangun sarana

kepariwisataan. Jenis dari sarana kepariwisataan yang dimaksud dapat ditemukan

dalam Pasal 7 ayat (3) jo. Penjelasan Pasal 7 ayat 3 huruf b PP No. 36 tahun 2010

yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu dimana salah satu bentuknya adalah

pondok wisata.

Pengaturan mengenai dapat dibangunya pondok wisata pada kawasan taman

wisata alam selanjutnya dapat ditemukan dalam Surat Keputusan Dirjen PHPA

No. 129 Tahun 1996 yang didalamnya memuat beberapa ketentuan, diantaranya

adalah mengenai hal-hal yang boleh dilakukan pada kawasan taman wisata alam

yaitu

1. Dalam blok pemanfaatan dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan kawasan dan potensinya dalam bentuk kegiatan penelitian, pendidikan, dan wisata alam;

2. Kegiatan pengusahaan wisata alam dapat diberikan kepada pihak ketiga, baik koperasi, BUMN, swasta, maupun perorangan;

3. Blok pemanfaatan dapat digunakan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan penangkaran jenis sepanjang untuk menunjang kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, restocking, dan budidaya oleh masyarakat setempat;

4. Dalam blok pemanfaatan dapat dibangun sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan dan wisata alam (Pondok wisata, bumi perkemahan, karavan, penginapan remaja, usaha makan dan minuman, sarana wisata tirta, angkutan wisata, wisata budaya, dan penjualan cinderamata) yang dalam pembangunannya harus memperhatikan gaya arsitektur daerah setempat;

Setelah menguraikan beberapa peraturan yang memberikan landasan bagi

dapat dibangunya pondok wisata pada kawasan taman wisata alam pada ketentuan

berikut ini yaitu Pasal 4 Kepmenhut No.167/Kpts-II/1994 memberikan syarat dari

Page 84: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

84

bentuk bangunan/sarana yang dibangun pada kawasan taman wisata alam, yaitu

dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Ukuran panjang, lebar dan tinggi bangunan/sarana disesuaikan dengan perbandingan/proporsi untuk setiap bentuk arsitektur daerah/lokal dengan memperhatikan kondisi fisik kawasan tersebut;

b. Pembangunan sarana yang diperkenankan maksimum 2 (dua) lantai; c. Tidak mengubah karakteristik bentang alam yang ada. d. Pembangunan sarana dan prasarana pariwisata tersebut tidak

memanfaatkan danau, melainkan di luar sempadan danau (radius 50 m dari danau).

Berdasarkan uraian peraturan tersebut di atas maka jelas nampak adanya

konflik norma. Adapun konflik norma yang terjadi adalah karena disatu sisi Perda

No. 16 tahun 2009 menyatakan bahwa pada zona pemanfaatan kawasan taman

wisata alam tidak diperkenankan untuk diadakan pembangunan pondok wisata,

sedangkan pada beberapa peraturan perundang-undangan yang lain memberikan

landasan hukum bagi dapat dilaksanakannya pendirian bangunan pondok wisata.

Adanya konflik norma diantara peraturan tersebut menimbulkan

kebingungan dan ketidakpastian hukum bagi pejabat dalam mengambil keputusan

terhadap adanya permohonan izin untuk memanfaatkan blok pemanfaatan

kawasan taman wisata alam sebagai lokasi pengusahaan pondok wisata.

Pengaturan penggunaan lahan yang jelas secara hukum tentunya sangat

diperlukan untuk menjadi landasan utama dan sebagai acuan untuk menentukan

apakah suatu permohonan pemanfaatan akan sesuai dengan rencana atau tidak.

Klasifikasi penggunaan lahan yang jelas menentukan izin dapat diberikan atau

ditolak hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 37 ayat (7) UU No. 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007

Nomor 68) menyatakan bahwa “Setiap pejabat pemerintah yang berwenang

Page 85: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

85

menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai

dengan rencana tata ruang.”

3.1.3. SinkronIsasi Hukum terkait adanya Konflik Norma Pengaturan Pengusahaan Pondok Wisata Pada Kawasan Taman Wisata Alam.

Peraturan perundang-undangan pada hakikatnya diperlukan untuk

mengarahkan dan mengendalikan prilaku warga masyarakat maupun pejabat

pemerintah. Dalam hal ini kebutuhan akan peraturan perundang-undangan yang

harmonis tentunya menjadi sangat diperlukan untuk mewujudkan ketertiban,

menjamin kepastian dan perlindungan hukum. Namun penerapan peraturan

perundang-undangan dalam jumlah banyak secara bersamaan dalam waktu yang

sama dan ruang yang sama, membawa potensi terjadinya konflik norma diantara

peraturan perundang-undangan tersebut. Hal ini mengingat masing-masing

peraturan perundang-undangan memiliki tujuan, strategi untuk mencapai tujuan,

dan pedoman untuk melaksanakan strategi.92

Secara teoritis peraturan perundang-undangan merupakan suatu sistem yang

tidak menghendaki adanya pertentangan antara unsur-unsur atau bagian-bagian di

dalamnya. Bertallanfy menyatakan bahwa “sistem are complexes of elements in

interaction, to which certain law can be applied”.93Menurut Bertallanfy, sistem

adalah himpunan unsur-unsur yang saling mempengaruhi, untuk mana hukum

tertentu menjadi berlaku. Hukum positif tersusun dalam suatu tatanan, mulai dari

92 Kusnu Goesniadhie, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan

Yang Baik, A3 dan Nasa Media, Malang, h. 9 93Bertallanfy dalam Kusnu Goesniadhie, Ibid.h. 21

Page 86: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

86

hukum dasar sampai pada hukum yang paling konkrit dan individual, dimana

harus bersumber pada tata nilai dasar yang mengandung penilaian-penilaian etis.94

Menurut Kelsen “An order is a sistem of rules. Law is not, as it is sometimes

said, a rule. It is a set of rule having the kind of unity weunderstand by sistem”95

Hukum adalah seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur

semacam kesatuan atau daya pengikat yang dipahami sebagai suatu sistem. UUD

serta segala peraturan perundang-undangan penjabaran dan pelaksanaannya, juga

memiliki kesatuan atau daya pengikat bangsa Indonesia sebagai suatu sistem

dalam negara.96Peraturan perundang-undangan saling berkaitan dan merupakan

bagian dari suatu sistem, yaitu sistem hukum nasional. Ditinjau dari sistem hukum

nasional, peraturan perundang-undangan yang mengatur izin dalam usaha pondok

wisata pada kawasan taman wisata alam telah terjadi suatu konflik karena belum

sinergisnya peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral.

Dalam hal terjadi suatu konflik norma maka perlu diadakan suatu upaya

sinkronosasi peraturan perundang-undangan. Sinkronisasi adalah penyelarasan

dan penyelerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

peraturan perundang-undangan lain yang telah ada yang mengatur suatu bidang

tertentu. Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur

dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi

(suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka

94 Hans Kelsen dalam Kusnu Goesniadhie, Op.Cit., hal 21 95Hans Kelsen, ”General Theory of Law and State”,diunduh dari: URL:

http://books.google.co.id/books?id=4dAr24lK4BEC , diunduh pada tanggal 6 Sepetmber 2010 96Kusnu Goesniadhie, hal 22

Page 87: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

87

semakin detail dan operasional materi muatannya.97Adapun tujuan dari kegiatan

sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu

yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan

bidang tersebut secara efisien dan efektif.

Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan dua

cara, yaitu:98

1. Sinkronisasi Vertikal

Dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan

yang berlaku dalam suatu bidang tertentu tidak saling bertentangan antara satu

dengan yang lain dengan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi,

dalam hal ini harus memperhatikan hirarkhi peraturan perundang-undangan,

dalam sinkronisasi vertical harus juga diperhatikan kronologis tahun dan nomor

penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

2. Sinkronisasi Horisontal.

Dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan perundang-undangan

yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi

horisontal juga harus dilakukan secara kronologis, yaitu sesuai dengan urutan

waktu ditetapkannya peraturan perundangan-undangan yang bersangkutan.

Sebagaimna telah diuraikan sebelumnya telah terjadi konflik norma terkait

dapat tidaknya dibangun pondok wisata pada kawasan taman wisata alam, yaitu

konflik antara Perda 16 Tahun 2006 dengan UU No. 5 tahun 1990 jo. PP No. 36

97 Pt Tribina Matra Carya Cipta, Prosedur Penyusunan Sinkronisasi dalam

http://www.penataanruang.net/ta/Lapan04/P2/SinkronisasiUU/Bab4.pdf , diunduh pada tanggal 22 Agustus 2010

98Ibid

Page 88: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

88

Tahun 2010 jo. PP No. 26 Tahun 2008. Melihat pada jenis peraturan perundang-

undangan yang mengalami konflik norma maka dapat disimpulkan telah terjadi

konflik norma yang bersifat vertikal. Sehingga dalam pemecahannya perlu

memperhatikan asas hirarki peraturan perundang-undangan.

Secara teoritis mengenai hirarki peraturan perundang-undangan dapat diikuti

pandangan Hans Kelsen dan Hans Nawiasky bahwa norma-norma dalam negara

tersusun secara hirarkis, dari yang paling umum yang bersifat abstrak hingga ke

jenjang yang lebih khusus. Di puncak dari norma itu terdapat norma dasar

(grundnorm, atau ursprungsnorm atau basicnorm) yang merupakan asas-asas

hukum yang bersifat abstrak, karena itu disebut pula abstracte norm. Karena

bersifat abstrak, norma dasar itu perlu dikonkretkan melalui suatu norma antara

(tussennorm) yang tetuang ke dalam peraturan perundang-undangan sehingga

menjadi norma yang nyata (concrete norm). Dengan demikian maka norma-norma

dalam negara itu tersusun dalam kesatuan yang utuh menurut struktur

piramida.Pandangan Hans Kelsen itu dikembangkan oleh Hans Nawiasky yang

mengatakan bahwa norma-norma hukum itu tersusun dari atas ke bawah, yaitu99:

Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara)

Staatsgerundgesetz (aturan dasar Negara/aturan Pokok Negara)

Formell Gesetz (undang-undang formal)

Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan otonom).

99Maria Farida Indrati Soeprapto,Op.Cit., h. 44-45.

Page 89: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

89

Berdasarkan rumusan Pasal 7 Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan tentang jenis dan hirarki

peraturan perundang-undangan yang dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 7: (1) Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:

a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan daerah.

Dengan demikian, peraturan perundang-undangan di Indonesia tersusun dari atas

ke bawah sebagai suatu pertanggaan yang secara keseluruhan merupakan suatu

piramida. Pada posisi puncak terdapat UUD NRI 1945 sebagai norma dasar

disusul oleh undang-undang, dan seterusnya dikonkretkan dalam peraturan

perunadangan yang normanya lebih riil. Hal itu mengandung arti bahwa peraturan

perundnag-undangan yang lebih tinggi merupakan pedoman dalam pembentukan

peraturan perundangan di bawahnya.Sebaliknya peraturan perundangan yang ada

di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan yang ada di atasnya.

Dalam hal terjadi konflik norma sebagaimana yang diuraikan di atas, maka

tedapat beberapa asas yang dapat dapat dipilih sesuai dengan konflik antar

peaturan mana yang terjadi, adapun asas-asas yang dapat digunakan dalam

menyelesaikan konflik norma yaitu:100

1. Asas lex superior derogat legi inferiori, yaitu peraturan yang lebih

tinggi akan melumpuhkan peraturan yang lebih rendah. Jadi jika ada

suatu peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang

100 Soeroso, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 135

Page 90: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

90

lebih tinggi, maka yang digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi

tersebut.

2. Asas lex specialis derogat legi generali, yaitu pada peraturan yang

sederajat, peraturan yang lebih khusus melumpuhkan peraturan yang

umum. Jadi dalam tingkatan perundang-undangan yang sederajat yang

mengatur mengenai materi yang sama, jika ada pertentangan diantara

keduanya maka yang digunakan adalah peruran yang lebih khusus.

3. Asas lex posteriori derogat legi priori, yaitu pada peraturan yang

sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama.

Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara

otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak berlaku lagi.

Berdasarkan jenis pertentangan perundang-undangan yang terjadi maka adapun

asas yang dapat digunakan untuk menentukan peraturan perundang-undangan

mana yang berlaku adalah asas lex superior derogat legi inferiori, yaitu dimana

peraturan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan yang lebih rendah.

Dengan diberlakukannya asas ini maka ketentuan yang berlaku dari adanya

konflik norma yang sedang berlangsung adalah peraturan perundang-undangan

yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi yaitu UU No. 5 tahun 1990 jo. PP No.

36 Tahun 2010 jo. PP No. 26 Tahun 2008, dengan berlakunya substansi dari

peraturan perundang-undangan trsebut maka pada kawasan taman wisata alam

dapat diselenggarakan usaha pondok wisata.

Page 91: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

91

3.2. Perlindungan Kelestarian Lingkungan beserta Fungsi dari Kawasan

Taman Wisata Alam melalui Instrumen Perizinan.

3.2.1. Urgensi Perizinan sebagai Instrumen Pengendalian Usaha Pondok Wisata Pada Kawasan Taman Wisata Alam

Segala sesuatu di dunia ini erat hubungannya satu dengan yang lain, antara

manusia dengan manusia, antara manusia dengan hewan, antara manusia dengan

tumbuh-tumbuhan dan bahkan antara manusia dengan benda mati sekalipun.

Manusia adalah sebagian dari ekosistem, manusia adalah pengelola dari sistem

tersebut. Alam dipengaruhi oleh manusia dan manusia dipengaruhi oleh alam.101

Atas dasar peranan manusia tersebut, khususnya terkait dengan pembangunan

perlu adanya upaya yang dapat dapat dilakukan untuk mencegah kerusakan

maupun pencemaran lingkungan.

Manusia melakukan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya

melalui kegiatan pembangunan. Pembangunan pada hakikatnya adalah perubahan,

dalam suatu pembangunan keseimbangan lingkungan dirubah ke keseimbangan

yang baru. Sebagai salah satu tujuan wisata, Provinsi Bali sudah sejak lama

menitikberatkan pembangunannya pada bidang pariwisata. Pembangunan di

bidang pariwisata seperti sarana akomodasi pariwisata kini mulai merambah

kawasan lindung, salah satunya adalah kawasan taman wisata alam. Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, taman wisata alam merupakan kawasan

pelestarian alam, selanjutnya berdasarkan struktur pola ruang kawasan pelestarian

alam merupakan bagian dari kawasan lindung, sebagai kawasan lindung Perda

Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Bali menetapkan

101 Koesnardi Hardjosoemantri, 1994, Hukum Lingkungan, Cet.2, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 2. Lihat juga R. M. Gatot P. Soemartono, 2004, Hukum Lingkungnan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h.12

Page 92: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

92

taman wisata alam sebagai kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi

dan daya dukung lingkungan hidup, adapun latar belakang taman wisata alam

ditetapkan sebagai sebagai kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi

dan daya dukung lingkungan hidup karena berdasarkan Pasal 42 ayat (1) kawasan

tersebut merupakan:

a. merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati; b. merupakan aset daerah berupa kawasan lindung yang ditetapkan bagi

perlindungan ekosistem; c. memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro; d. memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air; e. memberikan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam; dan f. memberikan perlindungan terhadap daerah pesisir.

Ditetapkannya kawasan taman wisata alam dengan berbagai status tersebut

tidak menutup kemungkinan bagi adanya pembangunan sarana wisata di

dalamnya, hal ini dipertegas dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990

tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1990 Nomor 49) yang tidak menentang adanya kegiatan budidaya pada

kawasan lindung, dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) Keppres tersebut

menyatakan bahwa “Di dalam kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan budi

daya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung.” Formulasi rumusan pasal

yang demikian dapat ditafsirkan bahwa pada kawasan lindung dapat

diselenggarakan kegiatan pengusahaan pondok wisata sepanjang tidak

mengganggu fungsi lindung.

Pembangunan sarana wisata tentu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan

para wisatawasan, namun perlu disadari bahwa adanya perubahan-perubahan

dalam lingkungan akibat pembangunan tersebut tidak hanya memberi dampak

Page 93: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

93

positif dari segi ekonomis tapi juga mengandung risiko adanya pencemaran dan

kerusakan lingkungan yang dapat mengakibatkan turunya kualitas lingkungan

hidup.

Dalam lingkungan hidup terdapat suatu hubungan timbal balik antara

komponen-komponen pembentuk lingkungan hidup. Hubungan timbal balik

tersebut dapat dilihat antara manusia dengan lingkungan, dimana aktivitas

manusia mempengaruhi lingkungan, sebaliknya kelangsungan hidup dan

kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya.102 Demikian

pula yang terjadi dalam kaitannya dengan aktivitas manusia berupa pengusahaan

sarana wisata pada kawasan taman wisata alam. Dalam hal adanya pengusahaan

srana wisata pada kawasan taman wisata alam, maka antara manusia dengan

semua komponen baik hidup dan tak hidup di kawasan tersebut akan terjadi suatu

hubungan timbal balik. Aktivitas manusia tersebut sedikit tidaknya akan

mempengaruhi lingkungan dimana usaha pondok wisata tersebut dilangsungkan.

Dampak dari pengaruh yang diterima oleh lingkungan terhadap adanya usaha

tersebut, nantinya tidak hanya mempengaruhi komponen biotik dan abiotik

pembentuk lingkungan, namun dalam jangka panjang juga akan mempengaruhi

kelangsungan hidup manusia.

Lingkungan sebagai sumber daya alam merupakan aset yang dapat

dipergunakan untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini sesuai dengan ketentuan

Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi, air, dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-

102M. Daud Silalahi, 2001, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum

Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, h. 9

Page 94: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

94

besarnya kemakmuran rakyat.” Begitu pentingnya peran lingkungan bagi

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka manusia didalam hidupnya harus

melindungi dan mengamankan lingkungan agar terjaga kelestariannya dan

dimanfaatkan secara berkesinambungan, untuk itu diperlukan perlindungan dan

pengelolaan yang baik terhadap lingkungan agar terhindar dari pencemaran dan

kerusakan, selanjutnya bentuk perlindungan dan pengelolaan tersebut perlu

dituangkan dalam bentuk peraturan. Peraturan tersebut ditujukan untuk mengatur

tingkah laku manusia tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan

terhadap lingkungan, yang pelaksanaan peraturan tersebut dapat dipaksakan

dengan suatu sanksi oleh pihak yang berwenang. Keseluruhan peraturan yang

mengatur berbagai aspek lingkungan tersebut disebut sebagai hukum lingkungan.

Menurut Danusaputro103 hukum lingkungan adalah hukum yang mendasari

penyelenggaraan perlindungan dan tata pengelolaan serta peningkatan ketahanan

lingkungan hidup. Beliau membedakan antara hukum lingkungan modern yang

berorientasi kepada lingkungan atau environment-oriented law dan hukum

lingkungan klasik yang berorientasi pada penggunaan lingkungan atau use-

oriented law, hal ini didasari oleh perkembangan pemikiran manusia terhadap

lingkungan.

Zaman dahulu manusia percaya dan yakin akan kemampuan sistem alam

untuk menanggulangi gangguan atau bahaya lingkungan secara alamiah, begitu

pula halnya dengan manusia, mereka mempunyai daya penyesuaian diri atas

perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan atas dasar terapan ilmu dan

103 St. Munajat Danusaputro, 1980, Hukum Lingkungan, Buku V;Sektoral jilid 5, Binacipta ,

Bandung, h. 35-36.

Page 95: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

95

teknologi ciptaannya sendiri. Sehingga hukum yang tercipta pada masa itu adalah

hukum lingkungan klasik yang hanya berorientasi pada penggunaannya saja yaitu

menetapkan ketentuan-ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama sekali

untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan

dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal

mungkin, dan dalam jangka waktu sesingkat-singkatnya.104

Seiring dengan kenyataan bahwa lingkungan tidak bisa begitu saja

merehabilitasi keadaanya sendiri maka anggapan manusia akan kebebasannya

terhadap alam lingkungannya mulai pudar.105 Karena hubungan yang terjadi

adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya untuk

memperoleh keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.106 Maka kemudian

berubahlah pola pemikiran menuju ke arah environment oriented sehingga

memunculkan aturan-aturan yang berorientasi kepada kepentingan alam. Hukum

tersebut juga dikenal sebagai hukum lingkungan modern dimana didalamnya

menetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan

manusia dengan tujuan untuk melindungi dan mengamankan kepentingan alam

artinya berupa keharusan untuk melindungi dan mengamankan alam terhadap

kemerosotan mutu dan kerusakaannya untuk menjamin kelestariannya agar dapat

secara terus menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi

mendatang.

Sebenarnya di Indonesia peraturan yang mengatur tentang masalah

lingkungan hidup bukan merupakan hal yang baru, karena cukup banyak

104 M. Daud Silalahi, Op.Cit., h. 6-8 105 Ibid 106 Barry Commoner dalam M. Daud Silalahi, Ibid, h. 8

Page 96: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

96

peraturan hukum di bidang lingkungan hidup yang telah berlaku baik pada zaman

Hindia Belanda, Jepang maupun zaman kemerdekaan. Hasil inventarisasi hukum

lingkungan pada tahun 1976 telah menghasilkan Himpunan Peraturan Perundang-

undangan di bidang Lingkungan Hidup yang terdiri atas:107

1. 22 Undang-undang dan Ordonansi

2. 38 Peraturan Pemerintah dan verordening

3. 5 Keputusan Presiden

4. 2 Instruksi Presiden

5. 45 Keputusan/Peraturan Menteri

6. 4 Keputusan Direktur Jendral;dan

7. Sejumlah Peraturan Daerah Tingkat I dan II

Setelah zaman kemerdekaan, produk hukum pemerintah kolonial ini masih

berlaku berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Setiap

peraturan perundang-undangan hasil inventarisasi tersebut masing-masing berdiri

sendiri dan tidak ada ikatan antara yang satu dengan lainnya, sehingga

keefektivitasannya menjadi berkurang. Berbagai peraturan tentang lingkungan

hidup tersebut masih bersifat sektoral, tersebar dan tidak lengkap serta banyak

yang tidak bisa dijalankan karena sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip

lingkungan hidup. Untuk itu kemudian dipandang perlu diadakan suatu

penyempurnaan dari berbagai peraturan tersebut yang masih berlaku, disamping

pembentukan ketentuan pokok yang dapat merangkum segala macam peraturan

107 R.M. Gatot P. Soemartono, Op.Cit., h. 60

Page 97: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

97

yang ada ke dalam satu wadah yang secara konsisten menerapkan prinsip-prinsip

pengelolaan lingkungan hidup yang sudah digariskan.

Alasan lain perlunya disusun Undang-Undang Lingkungan Hidup adalah

adanya petunjuk di dalam Repelita III, Bab 7 tentang “Sumber Alam dan

Lingkungan Hidup” yang menyatakan bawa “Sementara itu, bersamaan dengan

pembuatan peraturan perundang-undangan secara sektoral sesuai dengan

kepentingan perlindungan dan pembangunan lingkungan hidup di masing-masing

bidang, begitu pula segera digarap suatu undang-undang yang memuat ketentuan-

ketentuan pokok tentang masalah lingkungan yang menyangkut pengaturan:108

(a) Permukiman manusiawi dan lingkungan hidup;

(b) Pengelolaan sumber daya alam;

(c) Pencemaran lingkungan hidup;dan

(d) Yurisdiksi departemen-departemen di bidang lingkungan hidup.

Undang-Undang yang memuat asas serta prinsip-prinsip pokok tentang

perlindungan dan pengembangan lingkungan hidup ini beserta sanksi-sanksinya

akan merupakan dasar bagi semua peraturan perundang-undangan yang lainnya

yang diciptakan secara sektoral.”

Berdasarkan hal tersebut maka dibentuklah suatu Undang-Undang tentang

Lingkungan Hidup (UULH) yang diundangkan pada tanggal 11 Maret 1982,

yaitu UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup. Dengan lahirnya UU

Nomor 4 Tahun 1982 tercipta suatu sistem yang ‘memayungi’ semua peraturan

perundang-undangan yang bersifat sektoral. UULH bertindak sebagai ‘umbrela

108 Ibid, h.61

Page 98: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

98

act’ atau payung hukum yaitu payung bagi penyusunan peraturan perundang-

undangan yang akan dibentuk, selain daripada itu ia juga berfungsi sebagai

payung untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan

yang memuat segi-segi lingkungan hidup yang kini telah berlaku. Dengan

demikian, UULH dapat dikatakan sebagai tonggak pemisah antara peraturan lama

(yaitu sebelum berlakunya UULH) dan peraturan baru, serta menjadikannya

sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh dalam suatu sistem. UU Nomor 4

Tahun 1982 telah mengalami beberapa pergantian, yaitu melalui UU Nomor 23

Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan yang terakhir dengan

UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup. Undang-Undang ini merupakan salah satu alat yang kuat dalam

melindungi lingkungan hidup. Di dalamnya diatur berbagai upaya dalam

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk menjamin kelestarian

lingkungan hidup beserta fungsinya ditengah maraknya pembangunan yang

mengatasnamakan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Undang-

undang ini dalam penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang-undangan

sektoral. Hal ini mengingat pengelolaan lingkungan hidup memerlukan koordinasi

dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh departemen dan lembaga

pemerintah non-departemen sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab

masing-masing. Yang kemudian keseluruhan peraturan perundang-undangan

tersebut disebut sebagai hukum lingkungan.

Pembangunan tidak selalu hanya membawa dampak positif, oleh karena itu

konsep pembangunan yang akan diselenggarakan haruslah memperhatikan

Page 99: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

99

dampak lingkungan, jauh ke depan, demi generasi masa depan. Untuk

mengantisipasi hal tersebut telah diatur upaya perlindungan dan pengelolaan

lingkungan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan hidup di Indonesia.

Terhadap kegiatan pembangunan sarana wisata pada kawasan taman wisata alam

tersebut dapat dilakukan upaya pengendalian agar fungsi lindung dari kawasan

taman wisata alam tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya. Upaya

pengendalian dapat dilakukan melalui pengitegrasian studi kelayakan lingkungan

terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.

Sejak awal perencanaan usaha dan/atau kegiatan sudah harus diperkirakan

perubahan rona lingkungan hidup akibat pembentukan suatu kondisi lingkungan

hidup yang baru, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan, yang

timbul sebagai akibat diselenggarakannya usaha dan/atau kegiatan pembangunan,

Dengan diintegrasikanya studi kelayakan lingkungan dalam suatu rencana usaha

dan/atau kegiatan diharapkan dapat mencegah atau meminimalisir dampak negatif

yang ditimbulkan terhadap lingkungan hidup. Namun untuk mencapai sasaran

tersebut studi kelayakan lingkungan tidak berdiri sendiri, agar berjalan efektif

maka dalam pelaksanaanya dikaitkan dengan instrumen perizinan. Persyaratan

yang terkait dengan perlindungan lingkungan hidup berupa studi kelayakan

lingkungan dibebankan sebagai syarat dalam suatu permohonan izin suatu usaha

dan/atau kegiatan. Dikaitkannya studi kelayakan lingkungan dalam system

perizinan karena izin dipandang sebagai instrumen yang efektif dalam

mengendalikan tingkah laku masyarakat

Page 100: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

100

3.2.2. Kewenangan Pemerintah dalam Mengendalikan Usaha Pondok Wisata Pada Kawasan Taman Wisata Alam melalui Instrumen Perizinan.

Izin merupakan instrument hukum administrasi negara yang paling sering

digunakan pemerintah dalam mengandalikan tingkah laku warganya. Izin

dipandang dapat mengendalikan setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi

menimbulkan dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan, hal ini didasarkan

pada esensi dari izin itu sendiri yang melarang seseorang atau suatu badan hukum

tertentu melakukan suatu kegiatan dan/atau usaha tanpa mendapatkan

persetujuan/perkenan terlebih dahulu dari badan atau pejabat tata usaha negara

yang berwenang.109 Izin memiliki fungsi yang bersifat preventif karena instrumen

izin tersebut tidak bisa dilepaskan dari perintah dan kewajiban yang harus ditaati

oleh pemegang izin.110 Hal tersebut juga berlaku bagi orang atau badan usaha

yang akan menyelengggarakan usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata

alam, ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010

melarang adanya usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam tanpa

mendapatkan izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang, sehingga usaha

tersebut baru bisa dilaksanakan apabila telah diberi perkenan terlebih dahulu oleh

badan atau pejabat yang berwenang. Adapun bunyi dari ketentuan Pasal 8 ayat (1)

PP No. 36 Tahun 2010 menyatakan bahwa “Pengusahaan pariwisata alam hanya

dapat dilakukan setelah memperoleh izin pengusahaan”, dan izin pengusahaan

untuk menyelenggarakan usaha akomodasi disebut dengan izin penyediaan sarana

wisata alam.

109 NM Spelt, dan JBJM Ten Berge,Op.Cit, h.2 110 N.H.T Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta, h.239.

Page 101: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

101

Izin merupakan otoritas dan monopoli dari penguasa atau pemerintah, tidak

ada lembaga lain di luar pemerintah yang bisa memberikan izin. Hal ini berkaitan

dengan prinsip kekuasaan negara atas semua sumber daya alam demi kepentingan

hidup orang banyak.111

Izin merupakan salah satu bentuk turut campur pemerintah dalam kehidupan

rakyatnya, dalam perspektif hukum penyelenggaraan perizinan berbasis pada teori

negara hukum modern (negara hukum demokratis) yang merupakan perpaduan

antara konsep negara hukum dan konsep negara kesejahteraan.112 Sejak

ditinggalkannya negara ‘penjaga malam’, yang menempatkan pemerintah hanya

selaku penjaga ketertiban dan keamanan serta tidak diperkenankannya campur

tangan dalam kehidupan masyarakat, negara melalui pemerintah beserta

perangkatnya terlihat aktif dalam kehidupan masyarakat.113 Sebagaimana

diketahui bahwa kegagalan implementasi nachtwachtersstaat kemudian

memunculkan gagasan yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang

bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya, yaitu welfare state.114 Pemerintah

mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk mengusahakan kesejahteraan bagi

warganya. Sejak itu negara turut serta secara aktif dalam pergaulan

kemasyarakatan, sehingga lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin luas.

Administrasi negara diserahi tugas untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum

dengan cara ikut serta secara aktif dalam berbagai kehidupan rakyatnya di bidang

111 N.H.T Siahaan, Loc.Cit. 112 Adrian Sutedi, 2010, Hukum Perizinan, dalam Sektor Pelayanan Publik, SInar Grafika,

Jakarta, h. 1 113 I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2009, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara,

Refika Aditama, Bandung, h. 121 114 Ridwan HR, Op.Cit., h. 15

Page 102: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

102

ekonomi, sosial, budaya, medis, perpajakan dan sebagainya. Peran pemerintah

dalam berbagai kegiatan masyarakat semakin nyata. Salah satu campur tangan

pemerintah terhadap aktivitas masyarakat yang begitu terasa dalam hal ini adalah

melalui instrumen perizinan. Melalui perizinan pemerintah mencampuri,

mengarahkan, mengendalikan berbagai aktivitas dan sepak terjang warganya.115

Pemerintah dalam melakukan suatu perbuatan termasuk dalam

mengeluarkan suatu izin harus didukung oleh suatu kewenangan. Berdasarkan

Prajudi Atmosudirdjo kewenangan biasanya terdiri dari beberapa wewenang

(kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap

suatu bidang pemerintahan atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan

wewenang hanya mengenai suatu onderdil tertentu saja.116 Indroharto

mengemukakan, bahwa dalam arti yuridis, pengertian wewenang adalah

kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk

menimbulkan akibat-akibat hukum.117 Kewenangan di dalamnya terkandung hak

dan kewajiban sebagaimana yang diungkapkan oleh P. Nicolai sebagai berikut:

Het vermogen tot het verrichten van bepalde rechtshandelingen (handelingen die op rechtsgevolg gerichtzijn dus ertoe strekken dat bepaalde rectshtsgevolgen onstaan of teniet gaan). Een recht houdt in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepalde feitelijke handeling te verichten van een of n ate laten, of de (rechtens gegeven) aanspraak op vet verrichten van een handeling door een ander. Een plicht impliceert een verplichting om een bepalde hendeling te verichten of n ate laten.118 (kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu {yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan

115 Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Perizinan, Problem dan Upaya Pembanahan, PT. Grasindo

Jakarta, h. X 116 Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,

hal. 73-74. 117 Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara; Buku I; Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.68. 118 P Nicolai dalam Ridwan HR, hal. 102

Page 103: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

103

mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum}. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu)

Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan itu berasal dari peraturan

perundang-undangan yang berlaku. R.J.H.M. Huisman menyatakan pendapat

sebagai berikut:

Een bestuurorgan kan zich geen bevoegdheid toeeigenen. Slechts de wet kan bevoeghdhen verlenen. De wetgever kan een bevoegdheid niet alleen attribueren aan een bestuurorgaan, maar ook aan ambtenaren (bijvoorbeeld belastinginspecteur voor het milieu enz.), of zelf aan privaatrechtelijke rechtspersonen.119 (Organ pemerintahan tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang. Pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan tetapi juga terhadap para pegawai {misalnya inspektur pajak, inpektur lingkungan, dan sebagainya} atau terhadap badan khusus (seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus untuk perkara sewa tanah} atau bahkan terhadap badan hukum privat).

Pemikiran yang diungkapkan oleh Huisman bahwa suatu kewenangan lahir

melalui peraturan perundangan adalah sejalan dengan konsep negara hukum yang

dianut Indonesia, dimana salah satu unsur dari negara hukum adalah pemerintah

berdasarkan peraturan perundang-undangan atau yang sering disebut sebagai asas

legalitas, berdasarkan asas ini maka wewenang pemerintah berasal dari peraturan

perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan

perundang-undangan.

Alenia keempat Pembukaan UUD Negara RI 1945 adalah kaidah dasar yang

melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia.

119 R.J.H.M. Huisman, Algemeen Bestuursrecht, een Inleiding, Kobra, Amsterdam, h. 7

Page 104: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

104

Ketentuan yang terdapat didalamnya menegaskan kewajiban negara dan tugas

pemerintah untuk melindungi segenap sumber-sumber insani Indonesia dalam

lingkungan hidup Indonesia guna kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan

segenap umat manusia.120 Karena Pembukaan UUD Negara RI 1945 menjiwai

batang tubuh UUD Negara RI 1945, maka UUD Negara RI 1945 menciptakan

tujuan-tujuan itu dalam pasal-pasalnya, seperti dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3)

yang menyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.” Kata dikuasai dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) tersebut

bukanlah berarti dimiliki oleh negara, melainkan harus diartikan memberikan

wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia

untuk pada tingkat tertinggi mengatur dan mengawasi pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya alam.121 Hal ini kemudian menjadi dasar kewenangan

bagi pemerintah maupun pemerintah daerah untuk mengawasi pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya alam yang dapat dilakukan melalui instrumen perzinan.

Dalam kaitannya dengan izin yang diperlukan dalam usaha pondok wisata

pada kawasan taman wisata adalah menjadi kewenangan dari Pemerintah Pusat.

Izin tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 menjadi

urusan pemerintahan di bidang kehutanan hal tersebut disebabkan karena usaha

yang akan dilakukan memanfaatkan kawasan hutan. Berdasarkan ketentuan Pasal

29 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1990 jo. Pasal 6 dan Pasal 7 UU Nomor

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan taman wisata alam merupakan

120 Rachmadi Usman, 2003, Pembaharuan Hukum Lingkungan Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 34.

121 Ibid.

Page 105: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

105

kawasan pelestarian alam yang masuk dalam katagori hutan konservasi. Adapun

bunyi ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa: Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri dari: a. Taman nasional b. Taman hutan raya c. Taman wisata alam.

Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa:

Pemerintah menetapkan hutan beradasarkan fungsi pokok sebagai berikut: a. Hutan konservasi b. Hutan lindung, dan c. Hutan produksi.

Pasal 7 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa:

Hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri atas: a. Kawasan hutan suaka alam b. Kawasan hutan pelestarian alam c. Taman buru

Karena kawasan taman wisata alam merupakan kawasan pelestarian alam

yang masuk dalam katagori hutan konservasi, maka dalam pemanfaatannya

berhubungan dengan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.

Berdasarkan Lampiran Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 huruf aa

tentang pembagian urusan pemerintahan bidang kehutanan, pada No. 49, Sub

bidang Pengusahaan Pariwisata Alam pada Kawasan Pelestarian Alam, dan

Pengusahaan Taman Buru, Areal Buru dan Kebun Buru, adapun pembagian

urusan pemerintahan bidang kehutanan yang terkait dengan izin dalam

pemanfaatam kawasan taman wisata alam bagi terselenggaranya usaha pondok

wisata adalah sebagai berikut:

Page 106: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

106

Kewenangan pemerintah pusat adalah Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian perizinan usaha pariwisata alam pada kawasan pelestarian alam dan pengusahaan taman buru.

Kewenangan pemerintah provinsi adalah Pertimbangan teknis pengusahaan pariwisata alam dan taman buru serta pemberian perizinan pengusahaan kebun buru skala provinsi.

Kewenangan Pemerintah Kabupaten Kota adalah Pertimbangan teknis

pengusahaan pariwisata alam dan taman buru serta pemberian perizinan pengusahaan kebun buru skala kabupaten/kota.

Dari ketentuan pembagian urusan pemerintahan tersebut dapat diketahui

bahwa pemberian izin bagi usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam

menjadi kewenangan dari pemerintah pusat. Sedangkan kewenangan pemerintah

daerah baik provinsi maupun kabupaten hanyalah memberikan pertimbangan

teknis terhadap adanya permohonan izin pengusahaan pariwisata alam tersebut.

Penjabaran lebih lanjut mengenai kewenangan pemerintah pusat dalam

memberikan izin pengusahaan pariwisata alam pada kawasan taman wisata alam

dapat dilihat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor. 5 tahun 1990, yaitu dalam

Pasal 34 yang menyatakan sebagai berikut:

(1) Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah.

(2) Di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan.

(3) Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat.

Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa pengelolaan kawasan taman wisata alam

merupakan kewenangan dari pemerintah pusat. Dimana untuk kepentingan

pariwisata, dalam kawasan taman wisata alam dapat diselenggarakan usaha sarana

Page 107: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

107

pariwisata dan untuk menyelenggarakan usaha sarana pariwisata tersebut perlu

terlebih dahulu memperoleh hak pengusahaan atas kawasan taman wisata alam

dari pemerintah. Pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Kehutanan, hal tersebut

diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat 2 huruf a PP No. 36 Tahun 2010 menyatakan

bahwa “Izin pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh

Menteri, untuk pengusahaan pariwisata alam yang dilakukan di dalam suaka

margasatwa, taman nasional kecuali zona inti, dan taman wisata alam”.

Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 12 menyatakan bahwa “Menteri adalah menteri

yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.”

Sehubungan dengan hal tersebut berikut ini akan diuraikan mekanisme

perizinan dalam permohonan Izin pengusahaan yang diatur dalam PP No. 36

Tahun 2010.

Pasal 13 menyatakan bahwa: (1) Permohonan izin usaha penyediaan sarana wisata alam diajukan oleh

pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b dan huruf c kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.

(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan penilaian atas persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4).

(3) Dalam hal permohonan yang diajukan tidak sesuai dengan persyaratan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya mengembalikan permohonan kepada pemohon.

(4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memenuhi persyaratan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya memberikan persetujuan prinsip usaha penyediaan sarana wisata alam kepada pemohon.

(5) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.

Page 108: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

108

Pasal 10 (1) Permohonan izin pengusahaan pariwisata alam sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 8 ayat (3) harus dilengkapi dengan persyaratan administrasi dan teknis.

(2) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi pemohon perorangan meliputi: a. identitas pemohon; b. nomor pokok wajib pajak; dan/atau c. sertifikasi keahlian.

(3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi pemohon badan usaha dan koperasi meliputi: a. akte pendirian badan usaha atau koperasi; b. surat izin usaha perdagangan; c. nomor pokok wajib pajak; d. surat keterangan kepemilikan modal atau referensi bank; e. profile perusahaan; dan f. rencana kegiatan usaha jasa yang akan dilakukan.

(4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang harus dipenuhi oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) berupa pertimbangan teknis dari: a. pengelola kawasan konservasi pada areal yang dimohon; dan b. satuan kerja perangkat daerah yang membidangi urusan

kepariwisataan di daerah.

Pasal 14 ayat (1) menyetakan bahwa: (1) Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

ayat (5), pemohon wajib: a. membuat peta areal rencana kegiatan usaha yang akan dilakukan

dengan skala paling besar 1:5.000 (satu banding lima ribu) dan paling kecil 1:25.000 (satu banding dua puluh lima ribu);

b. melakukan pemberian tanda batas pada areal yang dimohon; c. membuat rencana pengusahaan pariwisata alam; d. menyusun dan menyampaikan dokumen upaya pengelolaan lingkungan

dan upaya pemantauan lingkungan; dan e. membayar iuran usaha pariwisata alam sesuai ketentuan peraturan

perundangundangan.

Berdasarkan uraian tersebut izin usaha penyediaan sarana wisata alam

diterbitkan diawali dengan adanya permohonan tertulis yang disertai pemenuhan

syarat izin usaha oleh pemrakarsa usaha. Pemrakarsa usaha dalam hal ini dibatasi,

dimana berdasarkan Pasal 8 ayat 5 pihak yang dapat menyelenggarakan usaha

sarana wisata alam di batasi hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha dan

Page 109: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

109

Koperasi. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan dan penilaian permohonan,

penilaian pertama ialah penilaian untuk memperoleh persetujuan prinsip yaitu

dilakukan terhadap pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

10 ayat (3) dan (4), selanjutnya setelah memperoleh persetujuan prinsip pemohon

dibebankan kewajiban untuk memenuhi ketentuan pasal 14 ayat (1). Dalam hal

pemegang persetujuan prinsip telah menyelesaikan kewajiban sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai

kewenangannya memberikan izin usaha penyediaan sarana wisata alam.

3.2.3. Peran Perizinan dalam menjaga Kelestarian Lingkungan beserta Fungsinya terkait adanya Pengusahaan Pondok Wisata pada Kawasan Taman Wisata Alam

Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

rakyat tidak terhindar dari resiko yang dapat ditimbulkan oleh pembangunan itu

sendiri yaitu berupa turunya kemampuan daya dukung lingkungan yang

mengakibatkan merosotnya kualitas lingkungan.122 Untuk itu upaya untuk

mendayagunakan sumber daya yang terkandung dalam lingkungan hidup dengan

tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat hendaknya dilakukan dengan

tetap memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup

melalui pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.

Prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup

pada hakikatnya merefleksikan makna yang sarat harapan untuk memadukan

lingkungan hidup ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan,

kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa depan. Prinsip ini secara teoritis

122 Niniek Suparni. 1994. Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan,

Sinar Grafika, Jakarta, h. 125

Page 110: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

110

merupakan kebutuhan pembangunan yang sulit terelakan dalam dinamika

pembangunan dewasa ini. Esensi dari prinsip ini adalah berupaya memadukan

lingkungan hidup dan pembangunan sebagai dua hal yang tidak terpisahkan satu

sama lain dalam rutinitas pembangunan nasional.123 Filosofi yang digunakan

kalangan ahli seperti Emil Salim mendeskripsikan bahwa unsur lingkungan itu

melarut dalam pembangunan. Unsur lingkungan tidak terpisah dari pembangunan

sebagaimana dipisahkannya gula dari air teh, tetapi lingkungan dilarutkan dalam

pembangunan berkelanjutan seperti gula melarut dalam air the manis.124

Menyadari adanya potensi dampak negatif yang mungkin dapat ditimbulkan

dari usaha sarana wisata terhadap lingkungan hidup, begitu pula lingkungan yang

tidak bisa begitu saja merehabilitasi dirinya sendiri, maka diperlukan upaya

pengendalian terhadap usaha dan/atau kegiatan yang dapat menimbulkan

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan salah satunya adalah dengan

mendayagunakan instrumen hukum administrasi negara berupa izin.

Agar tujuan perizinan sebagai instrument pengendalian dalam mencegah

kerusakan dan pencemaran lingkungan dapat dicapai, maka pelaksanaanya

dikaitkan dengan studi kelayakan lingkungan yang dicantumkan sebagai syarat

dalam permohonan izin tersebut. Studi kelayakan tersebut berupa AMDAL dan

UKL-UPL.

123 Syamsutarya Bethan, 2008, Menerapkan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan

Hidup dalam Aktivitas Industri Nasional, sebuah Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan antar Generasi, Alumni, Bandung, hal. 132

124 Emil Salim, 1991, “Pembangunan berkelanjutan (Strategi Alternatif dalam Pembangunan Dekade Semilan Puluhan)” Artikel pada Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi) LP3ES, Jakarta, dalam Syamsutarya Bethan, Ibid.

Page 111: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

111

1. AMDAL

Pengaturan mengenai AMDAL dapat ditemukan dalam berbagai pengaturan

seperti:

a. UU No. 32 Tahun 2009

b. PP No. 27 Tahun 1999

c. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 40 Tahun 2000

d. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 41 Tahun 2000

e. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 11 Tahun 2006

f. Keputusan Bapedal No. 56 Tahun 1994

g. Keputusan Bapedal No. 8 Tahun 2000

h. Keputusan Bapedal No. 9 Tahun 2000

Pasal 22 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 mengatur bahwa “Setiap rencana

usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar

dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak

lingkungan hidup”, adapun pengertian dari analisis mengenai dampak lingkungan

(Amdal) dapat ditemukan dalamPasal 1 angka 1 PP No. 27 Tahun 1999 tentang

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup menyatakan bahwa:

“Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan”

Page 112: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

112

Dengan demikian AMDAl merupakan hasil studi mengenai dampak suatu

kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi

proses pengambilan keputusan.125

Adapun kriteria yang digunakan sebagai acuan dari dampak penting yang

dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 dapat ditemukan dalam

Pasal 22 ayat (2) UU No. 32 Tahun 1999 jo. Pasal 5 ayat (1) PP No. 27 Tahun

1999, menyatakan bahwa:

Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria: a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha

dan/atau kegiatan; b. luas wilayah penyebaran dampak; c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; e. sifat kumulatif dampak; f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Selanjutnya adapun kriteria jenis kegiatan dan/atau usaha yang ditenggarai

dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan diatur dalam

Pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 3 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1999 menyatakan bahwa:

Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi :

a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak

terbaharui; c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan

pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;

d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;

e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya;

125 Muhammad Erwin, 2008, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan

Pembangunan Lingkungan Hidup , Refika Aditama, Bandung, h. 44

Page 113: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

113

f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik; g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati; h. penerpan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk

mempengaruhi lingkungan hidup; i. kegiatan yang mempunyai resiko tinggi, dan atau mempengaruhi

pertahanan negara. Selenjutnya pada Lampiran I Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 11

Tahun 2006 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi

dengan Amalisis Mengenai Dampak Lingkungan merinci berbagai jenis usaha

atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL, adapun bidang usaha dan/atau

kegiatan tersebut meliputi:

a. Bidang Pertahanan b. Bidang Pertanian c. Bidang Perikanan d. Bidang Kehtanan e. Bidang Perhubungan f. BIdang Teknologi Satelit g. Bidang Perindustrian h. Bidang Pekerjaan Umum i. Bidang Sumber daya Energi dan Miniral j. Bidang Pariwisata k. Bidang Pengembangan Nuklir l. Bidang Pengelolaan Limbah B3 m. Bidang Rekayasa Genetika

Untuk bidang Pariwisata, pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan

adalah gangguan terhadap ekosistem, hidrologi, bentang alam, dan potensi konflik

social, adapun jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL bidang

pariwisata menurut Kepmen LH No 11 tahun 2006 akan diuraikan sebagai

berikut:

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus 1. a. Kawasan

Pariwisata Semua Besaran Berpotensi menimbulkan

perubahan fungsi lahan/kawasan,gangguan lalu lintas, pembebasan lahan, dan

Page 114: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

114

sampah b. Taman Rekreasi 100 ha

2. Lapangan Golf (tidak termasuk driving range)

Semua Besaran Berpotensi menimbulkan dampak dari penggunaan pestisida/herbisida, limpasan air permukaan (run off), serta kebutuhan air yang relative besar.

Amdal adalah sebuah proses perencanaan yang digunakan untuk

memprediksi, menganalisa dan mengartikan dampak nyata dari sebuah proposal

atau rencana pembangungan terhadap lingkungan serta untuk menyediakan

informasi yang bisa digunakan dalam proses pengambilan keputusan apakah

proposal tersebut akan disetujui atau tidak. Dokumen AMDAL terdiri dari:

• Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-

ANDAL)

• Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)

• Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)

• Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)

Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai

oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah

rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan

apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak. Adapun prosedur

AMDAL terdiri dari :

a. Proses penapisan (screening) wajib AMDAL

Proses penapisan atau kerap juga disebut proses seleksi kegiatan wajib

AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib

menyusun AMDAL atau tidak

Page 115: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

115

b. Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat

Berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa

wajib mengumumkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan

dalam peraturan tersebut, menanggapi masukan yang diberikan, dan

kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum

menyusun KA-ANDAL

c. Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL (scoping)

Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL adalah proses

untuk menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam studi

ANDAL (proses pelingkupan). Setelah selesai disusun, pemrakarsa

mengajukan dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL

untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk

penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh

penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.

d. Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL

Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL,

dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah

disepakati (hasil penilaian Komisi AMDAL). Proses penilaian ANDAL,

RKL, dan RPL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen

ANDAL, RKL dan RPL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai.

Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian ANDAL,

RKL dan RPL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh

penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.

Page 116: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

116

2. UKL-UPL

Dasar huum bagi UKL-UPL dapat ditemukan dalam berbagai peraturan

perundang-undangan sebagai nerikut:

a. UU No. 32 Tahun 2009

b. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 86 Tahun 2002

Bagi kegiatan dan/atau usaha yang tidak memenuhi kriteria dampak besar

dan penting sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 3 ayat (1) PP No.

27 Tahun 1999, kepadanya diwajibkan untuk melakukan upaya pengelolaan

lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup. Hal ini diatur dalam

Pasal 34 ayat (1) UU No. 32 Tahun 1999 jo. Pasal 3 ayat 4 tahun 1999

menyatakan bahwa:

Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup yang pembinaannya berada pada instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan. Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan

menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang

tersedia. UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk

pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan

atau kegiatan

Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi

dengan menggunakan formulir isian yang berisi :

1) Identitas pemrakarsa

2) Rencana Usaha dan/atau kegiatan

Page 117: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

117

Uraian secara singkat rencana usaha atau kegiatan yang akan

dilaksanakan oleh pemrakarsa, yang mencakup antara lain:

a. Jenis rencana usaha atau kegiatan

b. Rencana lokasi yang tepat dari rencana usahanatau kegiatan, dan

apakah telah sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) atau

tidak.

c. Jarak rencana lokasi usaha dengan sumber daya atau kegiatan lain di

sekitarnya, seperti hutan, sungai, pemukman, industry, dan lain-lain

serta hubungan keterkaitanya.

d. Sarana/fasilitasyang direncanakan mencakup:

a) Luas areal yang digunakan untuk usaha atau kegiatan

b) Peralatan yang digunakan termasuk jenis dan kapasitasnya

c) Jenis bahan baku serta bahan tambahan maupun bahan lain yang

dipergunakan

d) Sumber air dan penggunaannya

e) Sumber energy

f) Tenaga kerja yang digunakan

3) Komponen Lingkungan

Uraian singkat mengenai sumber/sumber alam/komponen lingkungan yang

diperkirakan terkena dampak, seperti: sungai, udara, flora, fauna, dan lain-

lain.

4) Dampak Lingkungan yang akan terjadi

Page 118: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

118

Dampak-dampak yang akan muncul baik yang berupa limbah atau polusi

maupun benuk lainnya yang mencakup:

a. Sumber dampak;

b. Jenis dampak dan ukurannya;

c. Sifat dan tolak ukur dampak.

5) Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup

a. Upaya pengelolaan lingkungan yang memuat uraian rinci mengenai

upaya pengelolaan lingkungan yang harus dilaksanakan oleh

pemrakarsa

b. Upaya pemantauan lingkungan yaitu uraian secara rinci mengenai

upaya pemantauan lingkungan yang harus dilaksanakan oleh

pemrakarsa, khususnya yang berkaitan langsung dengan sifat kegiatan

utamanya atau khasnya yang mencakup antara lain:

6) Jenis dampak yang dipantau;

7) Lokasi pemantauan;

8) Waktu pemantauan

9) Cara Pemantauan.

6) Pelaporan

Uraian secara rinci mengenai mekanisme laporan dari pelaksanaan upaya

pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan pada saat

rencana usaha atau kegiatan dilaksanakan (Instansi Pembina, BAPEDAL,

Pemprov,Pemkab/Pemkot setempat).

Page 119: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

119

7) Pernyataan pelaksanaan

Pernyataan pemrakarsa untuk melaksanakan upaya pengelolaan

lingkunganatas rencana usaha atau kegiatan yang dilengkapi dengan tanda

tangan pemrakarsa.

Terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib AMDAL atau UKL UPL

maka wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan

lingkungan hidup, hal ini diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 32 Tahun 1999

dinyatakan bahwa “Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-

UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib membuat surat

pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.”

Upaya pencegahan terhadap potensi kerusakan dan/atau pencemaran yang

ditimbulkan dari usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan

hidup melalui pengkajian atau studi kelayakan secara cermat terhadap usaha

pondok wisata yang akan dilakukan pada kawasan taman wisata alam merupakan

tindakan yang sangat penting dalam rangka mencegah adanya pencemaran dan

kerusakan lingkungan dari kawasan taman wisata alam. studi kelayakan tersebut

diselipkan sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin bagi

pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam tersebut.

Pengintegrasian studi kelayakan lingkungan dalam proses memperoleh izin

terkait usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam telah dilakukan, hal

ini dapat dilihat dari syarat yang diwajibkan untuk dipenuhi dalam memperoleh

izin usaha penyediaan sarana wisata. Adapun ketentuan mengenai syarat ysng

memuat kewajiban studi kelayakan lingkungan sebagai syarat dalam permohonan

Page 120: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

120

izin penyediaan sarana usaha wisata alam diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1)

huruf d PP No. 36 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa:

Pasal 14 (1) Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

ayat (5), pemohon wajib: a. membuat peta areal rencana kegiatan usaha yang akan dilakukan

dengan skala paling besar 1:5.000 (satu banding lima ribu) dan paling kecil 1:25.000 (satu banding dua puluh lima ribu);

b. melakukan pemberian tanda batas pada areal yang dimohon; c. membuat rencana pengusahaan pariwisata alam; d. menyusun dan menyampaikan dokumen upaya pengelolaan

lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan; dan e. membayar iuran usaha pariwisata alam sesuai ketentuan peraturan

perundangundangan. (2) Biaya yang diperlukan dalam melakukan pemberian tanda batas

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibebankan pada pemohon. (3) Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dihitung berdasarkan

luas areal yang diizinkan untuk usaha penyediaan sarana wisata alam atau jenis kegiatan usaha penyediaan jasa wisata alam.

(4) Dalam hal pemegang persetujuan prinsip telah menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya memberikan izin usaha penyediaan sarana wisata alam.

Dari uraian ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf d dapat dilihat

dicantumkannya dokumen UKL-UPL sebagai kewajiban yang harus dilampirkan

dalam permohonan izin usaha penyediaan sarana wisata alam, namun hal ini

bertentangan dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup jo. angka I.7.

Keputusan Kepala Bapedal No. 56 tahun 1994 jenis yang menyatakan bahwa studi

kelayakan yang seharusnya wajib dimiliki terhadap usaha dan atau kegiatan yang

akan dilangsungkan pada kawasan lindung adalah AMDAL. Adapun bunyi

ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup jo. angka I.7. Keputusan

Kepala Bapedal No. 56 tahun 1994 akan diuraikan sebagai berikut:

Page 121: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

121

a. Pasal 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 11 Tahun 2006 yang

menyataka bahwa:

Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam lampiran I Peraturan Menteri ini tetapi lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan lindung sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup,

b. Angka I.7 Keputusan Kepala Bapedal No. 56 Tahun 1994 Tentang

Pedoman Mengenai Dampak Penting yang menyatakan bahwa:

Suatu rencana usaha atau kegiatan yang akan dibangun di kawasan lindung yang telah berubah peruntukkannya atau lokasi rencana usaha atau kegiatan tersebut berbatasan langsung dengan kawasan lindung, termasuk dalam kategori menimbulkan dampak penting. Yang dimaksud dengan kawasan lindung menurut Penjelasan Pasal 7 UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang adalah sebagai berikut : a. Kawasan Hutan Lindung b. Kawasan Bergambut c. Kawasan Resapan Air d. Sempadan Pantai e. Sempadan Sungai f. Kawasan Sekitar Danau/Waduk g. Kawasan Sekitar Mata Air h. Kawasan Suaka Alam (terdiri dari Cagar Alam, Suaka Margasatwa,

Hutan Wisata, Daerah Perlindungan Plasma Nutfah, dan Daerah Pengungsian Satwa)

i. Kawasan Suaka Alam Laut dan Perairan lainnya (termasuk perairan laut, perairan darat, wilayah pesisir, muara.sungai, gugusan karang atau terumbu karang, dan atol yang mempunyai ciri khas berupa keragaman dan/atau keunikan ekosistem)

j. Kawasan Pantai Berhutan Bakau (mangrove) k. Taman Nasional l. Taman Hutan Raya m. Taman Wisata Alam n. Kawasan Cagar Budaya dan ilmu Pengetahuan (termasuk daerah karst

berair, daerah dengan budaya masyarakat istimewa, daerah lokasi situs purbakala atau peninggalan sejarah bernilai tinggi)

o. Kawasan Rawan Bencana Alam

Pengintegrasian Amdal sebagai syarat memperoleh izin bagi usaha pondok

wisata pada kawasan taman wisata alam pernah dilakukan oleh peraturan

pelaksana dari PP sebelumnya yang saat ini digantikan oleh PP No. 36 Tahun

Page 122: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

122

2010. Pencantuman Amdal sebagai syarat memperoleh izin bagi usaha pondok

wisata pada kawasan taman wisata alam ditemukan dalam Pasal 7 dan Pasal 8

Kep.Menhut.No.446/Kpts-II/1996 Tentang Tata Cara Permohonan, Pemberian,

Dan Pencabutan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam dan yang akan diuraikan

berikut ini.

Pasal 6 Menteri berdasarkan saran dan pertimbangan dimaksud dalam pasal 5, menyatakan menerima atau menolak permohonan izin pengusahaan pariwisata alam tersebut selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diteriamnya saran dan pertimbangan dari Ketua Tim Pertimbangan.

Pasal 7 Dalam hal Menteri memberikan persetujuan untuk proses lebih lanjut atas permohonan izin pengusahaan pariwisata alam tersebut, Ketua Tim Pertimbangan selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak menerima persetujuan Menteri, memberitahukan kepada pemohon untuk menyusun rencana karya pengusahaan pariwisata alam yang dilengkapi dengan rencana tapak (site plan) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.

Pasal 8 (1) Penyusunan Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam serta

kelengkapanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan atas biaya pemohon, dan harus selesai serta diserahkan kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam selambat-lambatnya dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah dikeluarkannya surat pemberitahuan dari Ketua Tim Pertimbangan.

(2) Dalam penilaian Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam tersebut apabila dipandang perlu dapat dilakukan peninjauan lapangan oleh instansi struktural yang terkait.

(3) Hasil penilaian Rencana Kerja Pengusahaan Pariwisata Alam dan AMDAL oleh Ketua Komisi Pusat AMDAL Departemen Kehutanan disampaikan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam kepada Menteri, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya rencana karya pengusahaan pariwisata alam dari permohonan.

Page 123: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

123

Pengintegrasian studi kelayakan lingkungan hidup berupa Amdal dalam

proses permohonan izin yang diperlukan dalam usaha pondok wisata pada

kawasan taman wisata alam merupakan langkah preventif dalam memberikan

perlindungan terhadap lingkungan telah dilakukan oleh Keputusan Menteri

Kehutanan Nomor: 446/Kpts-II/1996. Namun melalui PP no 36 Tahun 2010

kewajiban Amdal sebagai syarat memperoleh izin usaha ini telah diganti dengan

kewajiban melampirkan dokumen UKL UPL

Page 124: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

124

BAB IV

UPAYA PEMERINTAH PUSAT DAN/ATAU PEMERINTAHAN DAERAH

MEMBERI KEPASTIAN HUKUM TERKAIT ADANYA

KONFLIK NORMA PENGATURAN IZIN PENGUSAHAAN BAGI

PONDOK WISATA PADA KAWASAN TAMAN WISATA ALAM

4.1. Pentingnya Harmonisasi Hukum dalam Proses Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan

Perizinan sebagai dokumen hukum tentunya bersumber dan/atau sebagai

penjabaran produk hukum yang sifatnya lebih umum dan berkedudukan lebih

tinggi.126 Produk hukum seperti peraturan perundang-undangan yang menjadi

dasar hukum dari suatu perizinan memiliki fungsi untuk mewujudkan kepastian

hukum (rechtszekerheid, legal certainty).

Untuk berfungsinya kepastian hukum suatu peraturan perundang-undangan

harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yang diantaranya adalah konsisten dalam

perumusan, dimana dalam peraturan perundang-undangan yang sama harus

terpelihara hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya. Namun kondisi tidak

harmonis (disharmoni) dalam bidang peraturan perundang-undangan sangat besar

potensinya, adanya konflik norma ini kemudian dapat menimbulkan kebingungan

bagi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam membuat suatu keputusan

terkait suatu permohonan izin yang menjadi kewenangannya.

Adanya konflik norma pada peraturan perundang-undangan yang menjadi

landasan hukum bagi izin usaha penyediaan sarana wisata alam memang sangat

126 I Made Arya Utama, Op.Cit., h. 105

124

Page 125: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

125

potensial terjadi karena begitu banyaknya peraturan perundang-undangan di

negara kita yang mengatur satu objek atau substansi yang sama.

Pada umumnya ada 6 (enam) faktor yang menyebabkan disharmoni hukum,

yaitu sebagai berikut:127

a. Pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering dalam kurun waktu yang berbeda;

b. Pejabat yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan berganti-ganti baik karena dibatasi oleh masa jabatan, alih tugas atau penggantian;

c. Pendekatan sektoral dalam pembentukan peraturan perundang-undangan lebih kuat dibanding pendekatan sistem;

d. Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin hukum;

e. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan masih terbatas;

f. Belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.

Adanya konflik norma antara suatu peraturan dengan peraturan perundang-

undangan yang lain, baik secara vertical maupun horizintal seharusnya tidak akan

terjadi apabila dilakukan upaya pencegahan sejak dini. Oleh karena itu,

pengharmonisasian suatu rancangan peraturan perundang-undangan sebelum

ditetapkan menjadi langkah yang sangat penting dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan.

Pengharmonisasian merupakan salah satu dari rangkaian proses

pembentukan peraturan perundang-undangan disamping perencanaan, persiapan,

teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan

penyebarluasan. Diantara rangkaian proses tersebut, proses pengharmonisasian

127A.A. Oka Mahendra, 01 April 2010 Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan

diunduh dari URL: http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html, diunduh pada tanggal 14 Juni 2010

Page 126: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

126

mempunyai peran yang sangat penting yaitu dimaksudkan agar tidak terjadi atau

mengurangi tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Untuk itu dapat

dikatakan pengharmonisasian peraturan perundang-undangan adalah128 proses

yang diarahkan untuk menuju keselerasan dan keserasian antara satu peraturan

perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga

tidak terjadi tumpang tindih, inkonsistensi atau konflik/perselisihan dalam

pengaturan. Dalam kaitannya dengan sistem asas hierarki peraturan perundang-

undangan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya maka proses tersebut

mencakup harmonisasi semua peraturan perundang-undangan termasuk peraturan

daerah baik secara vertikal maupun horisontal.

Upaya pengharmonisasian peraturan perundang-undangan dilakukan selain

untuk memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, juga terdapat 3 (tiga) alasan lain

yang menjadi dasar pertimbangan, yaitu:129

1. Peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral dari sistem

hukum;

Peraturan perundang-undangan sebagai suatu sistem atau sub sistem dari

sistem yang lebih besar tentu harus memenuhi ciri-ciri tertentu, yang antara

128 Murti, Muhammad Sapta, “Harmonisasi Peraturan Daerah dengan peraturan perundang-

undangan lainnya (Analisis Urgensi, Aspek Pengaturan,dan Permasalahan)”, diunduh dari URL: http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/422-harmonisasi-peraturan-daerah-dengan-peraturan-perundang-undangan-lainnya.html diunduh pada tanggal 13 Juni 2010

129 Wicipto Setiadi, “Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-undangan”, diunduh dari URL: http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/232-proses-pengharmonisasian-sebagai-upaya-meningkatkan-kualitas-peraturan-perundang-undangan.html

Page 127: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

127

lain: ada saling keterkaitan dan saling tergantung serta merupakan satu

kebulatan yang utuh, disamping ciri-ciri lainnya. Dalam sistem peraturan

perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis, ciri-ciri tersebut dapat

diketahui dari ketentuan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2004.

Pasal 2 Undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan bahwa “Pancasila

merupakan sumber dari segala sumber hukum negara”. Penjelasan pasal

tersebut menjelaskan bahwa “Penempatan Pancasila sebagai sumber dari

segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan

Pancasila sebagai dasar ideologi negara serta sekaligus dasar filosofi bangsa

dan negara, sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan

tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam

Pancasila”.

Kemudian Pasal 3 ayat (1) Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan

bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

merupakan hukum dasar peraturan perundang-undangan”. Penjelasan Pasal 3

ayat (1) menjelaskan bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum dasar negara merupakan sumber

hukum bagi pembentukan peraturan perudang-undangan di bawah Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945”.

Selanjutnya Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

menentukan bahwa “Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah

Page 128: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

128

sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan”. Penjelasan Pasal 7

ayat (5) menentukan bahwa yang dimaksud dengan “hierarki” adalah

penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan

pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak

boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Adapun hierarki peraturan perundang-undangan dapat dijumpai dalam Pasal 7

ayat (1), (2), (3) dan (4) yang menyatakan bahwa:

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.

(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat

daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan

rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan

perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi

(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal ini merupakan pasal yang terpenting dalam kaitannya dengan

harmonisasi peraturan perundang-undangan, terkait dengan peraturan daerah,

pasal ini kemudian bertalian dengan ketentuan Pasal 136 ayat (4) Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa “Peraturan daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan

Page 129: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

129

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi”. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ini memberikan

gambaran tentang heirarki peraturan perundang-undangan yang merupakan

jawaban dari ketentuan Pasal 136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004. Dari hierarki yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor

10 tahun 2004 maka keberadaan dan substansi peraturan daerah tidak boleh

bertentangan dengan UUD NRI 1945, Undang-Undang, Peraturan

Pemerintah, dan Peraturan Presiden. Selain itu berkaitan pula dengan Pasal 12

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa “Materi muatan

Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka

penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung

kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi”. Karena peraturan daerah merupakan penjabaran

dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka materi yang

diatur dalam peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan tersebut.

Berdasarkan asas hierarki, yang dimaksud dengan peraturan perundang-

undangan merupakan satu kesatuan sistem yang memiliki ketergantungan,

keterkaitan satu dengan yang lain. Untuk itu peraturan daerah dilarang

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dengan demikian hal yang mendasar dalam penyusunan rancangan peraturan

daerah adalah kesesuaian dan kesinkronannya dengan peraturan perundang-

undangan lainnya. Dalam hal terjadi pertentangan antara peraturan daerah

Page 130: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

130

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka diperlukan

suatu pengharmonisasian.

Dari ketentuan di atas, maka dapat dikatakan bahwa terjadi saling

keterkaitan dan saling ketergantungan satu peraturan perundang-undangan

dengan peraturan perundang-undangan lain yang merupakan satu kebulatan

yang utuh. Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum

negara harus mengalir dalam materi muatan peraturan perundang-undangan.

Demikian pula Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-

undangan di bawah Undang-Undang Dasar. Peraturan perundang-undangan

yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Pengharmonisasian dilakukan untuk menjaga

keselarasan, kemantapan, dan kebulatan konsepsi peraturan perundang-

undangan sebagai sistem agar peraturan perundang-undangan berfungsi

secara efektif.

2. Peraturan perundang-undangan dapat diuji (judicial review) baik secara

materiel maupun formal.

Pasal 24 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 menentukan antara lain bahwa “Mahkamah Agung berwenang

menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap

Undang-Undang. Kemudian Pasal 24 C ayat (1) antara lain menentukan

bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar”. Berhubung dengan itu, pengharmonisasian

Page 131: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

131

rancangan peraturan perundang-undangan sangat strategis fungsinya sebagai

uapaya preventif untuk mencegah diajukannya permohonan pengujian

peraturan perundang-undangan kepada kekuasaan kehakiman yang

berkompeten. Putusan kekuasaan kehakiman dapat menyatakan bahwa suatu

materi muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari peraturan perundang-

undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau tidak mempunyai

dampak yuridis, sosial dan politis yang luas. Karena itu pengharmonisasian

suatu peraturan perundang-undangan perlu dilakukan secara cermat dan tepat.

3. Menjamin proses pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan

secara taat asas demi kepastian hukum.

Proses pembentukan peraturan perundang-undangan perlu dilakukan

secara taat. Asas dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan

yang baik harus memenuhi berbagai persyaratan yang berkaitan dengan

sistem, asas, tata cara penyampaian dan pembahasan, teknis penyusunan serta

pemberlakuannya dengan membuka akses kepada masyarakat untuk

berpartisipasi.

Setidak-tidaknya ada 2 (dua) aspek yang diharmonisasikan pada waktu

menyusun peraturan perundang-undangan, yaitu yang berkaitan dengan aspek

konsepsi materi muatan dan aspek teknik penyusunan peraturan perundang-

undangan.130

1. Yang berkenaan dengan konsepsi materi muatan peraturan perundang-

undangan mencakup:

130Ibid

Page 132: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

132

a) Pengharmonisasian konsepsi materi muatan rancangan peraturan

perundang-undangan dengan Pancasila. Nilai-nilai Pancasila harus

menjadi sumber dalam setiap peraturan perundang-undangan, sehingga

nilai-nilai tersebut menjadi aktual dan memberikan batas kepada

peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Setiap peraturan

perundang-undangan secara substansial semestinya menjabarkan nilai-

nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial.

Pancasila merupakan cita hukum (rechtsidee), cita hukum tidak hanya

berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif, yaitu yang menguji

apakah suatu hukum positif adil atau tidak, melainkan juga sekaligus

sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa

tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum.

b) Pengharmonisan konsepsi materi muatan rancangan peraturan

perundang-undangan dengan Undang-Undang Dasar. Materi muatan

rancangan peraturan perundang-undangan harus diselaraskan dengan

ketentuan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara.

Pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan

Undang-Undang Dasar selain berkaitan dengan pasal-pasal tertentu yang

dijadikan dasar pembentukannya dan pasal-pasal yang terkait, juga

dengan prinsip-prinsip negara hukum dan negara demokrasi baik di

bidang social, politik maupun ekonomi.

c) Pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan

asas pembentukan dan asas materi muatan peraturan perundang-

Page 133: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

133

undangan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menggolongkan asas

peraturan perundang-undangan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu: asas

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi

muatan, dan asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-

undangan yang bersangkutan.

Ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan

bahwa “Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik

adalah sebagai berikut: kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ

pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat

dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan

keterbukaan”.

Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan

bahwa “asas materi muatan peraturan perundang-undangan adalah

sebagai berikut: kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan,

bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan, ketertiban kepastian hukum, dan/atau keseimbangan,

keserasian, dan kesejahteraan”. Disamping itu masih ada asas lain sesuai

dengan bidang hukum yang diatur, misalnya asas legalitas dalam hukum

pidana, asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata. Asas hukum

adalah penting untuk dapat melihat jalur “benang merah” dari sistem

hukum positif yang ditelusuri dan diteliti. Melaluai asas-asas tersebut

dapat dicari apa yang menjadi tujuan umum aturan tersebut.

Page 134: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

134

Asas peraturan perundang-undangan sangat bermanfaat bagi penyiapan,

penyusunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

Asas tersebut berfungsi untuk memberi pedoman dan bimbingan dalam

proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

d) Pengharmonisasian materi/muatan rancangan peraturan perundang-

undangan secara horizontal agar tidak tumpang tindih dan saling

bertentangan, karena hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian

hukum dan ambiguitas dalam penerapannya. Dalam pelaksanaan

pengharmonisasian secara horizontal sudah tentu berbagai peraturan

perundang-undangan sederajat yang terkait perlu dipelajari secara cermat

agar konsepsi materi muatan peraturan perundang-undangan yang erat

berhubungan satu sama lain selaras. Pembentuk peraturan perundang-

undangan tentu perlu melakukan koordinasi dengan instansi yang terkait,

yang secara substansial menguasai materi muatan suatu peraturan

perundang-undangan dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-

undangan lain.

e) Pengharmonisasian materi muatan rancangan peraturan perundang-

undangan dengan konvensi/perjanjian internasional. Konvensi/ perjanjian

internasional juga harus diperhatikan agar peraturan perundang-undangan

nasional tidak bertentangan dengan konvensi/perjanjian internasional,

terutama yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia.

f) Pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan

putusan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung atas pengujian

Page 135: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

135

terhadap peraturan perundang-undangan. Putusan Mahkamah Konstitusi

atau Mahkamah Agung atas pengujian terhadap peraturan perundang-

undangan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus

dipertimbangkan oleh perancang peraturan perundang-undangan dalam

menyusun peraturan perundang-undangan.

g) Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pengharmonisasian rancangan

peraturan perundang-undangan dengan teori hukum, pendapat para ahli

(dogma), yurisprudensi, hukum adat, norma-norma tidak tertulis,

rancangan peraturan perundang-undangan, rancangan pasal demi pasal

dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dan kebijakan-

kebijakan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang akan

disusun.

2. Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan baik menyangkut

kerangka peraturan perundang-undangan, hal-hal khusus, ragam bahasa dan

bentuk peraturan perundang-undangan. Teknik penyusunan peraturan

perundang-undangan tertuang dalam lampiran Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004. Pengabaian terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-

undangan akibatnya memang tidak sefatal pengabaian keharusan harmonisasi

atas susbtansi peraturan perundang-undangan. Pengabaian terhadap teknik

penyusunan peraturan perundang-undangan, tidak dapat menjadi alasan

batalnya peraturan perundang-undangan atau alasan untuk melakukan

yudicial review. Apabila kita mengabaikan teknik penyusunan peraturan

Page 136: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

136

perundang-undangan, maka peraturan perundang-undangan tersebut kurang

baik dalam segi penyusunan.

Dengan demikian dalam proses harmonisasi diperlukan ketelitian,

kecermatan, dan keakuratan dalam mengidentifikasikan peraturan perundang-

undangan yang terkait, analisis norma-norma yang dinilai bersesuaian atau

bertentangan. Dalam proses tersebut perlu dipastikan prinsip-prinsip peraturan

perundang-undangan yang harus dipegang teguh oleh para penyusun misalnya

bahwa Rancangan Peraturan daerah dibuat untuk melaksanakan Peraturan

Pemerintah maka rancangan peraturan daerah tidak dapat mengatur sesuatu hal

yang melebihi amanat peraturan pemerintah tersebut.

Internalisasi pengharmonisasian hukum dalam proses pembetukan peraturan

perundang-undangan tingkat pusat telah diatur dalam berbagai peraturan

perundang-undangan, diantaranya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 68

Tahun 2005 yang mengatur tentang pembentukan Panitia Antardepartemen,

pengajuan surat permintaan keanggotaan Panitia Antardepartemen kepada

Menteri dan menteri/pimpinan lembaga terkait; dan penegasan keikutsertaan

wakil dari Kementerian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan

perundang-undangan dalam setiap Panitia Antardepartemen dimaksudkan untuk

melakukan pengharmonisasian Rancangan Undang-Undang dan teknik

perancangan perundang-undangan. Dalam Peraturan Presiden tersebut juga diatur

mengenai teknik-teknik pelaksanaan pengharmonisasian termasuk mekanisme

penyelesaian dalam hal terdapat perbedaan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 61

Tahun 2005 diatur mengenai pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan

Page 137: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

137

konsepsi Rancangan Undang-Undang dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 17,

yang pada intinya menentukan bahwa Rancangan Undang-Undang sebelum

dimintakan persetujuan Presiden sebagai Prolegnas terlebih dahulu dilakukan

pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-

Undang.

Berbeda hal nya dengan peraturan di tingkat daerah yang hingga saat ini

belum memiliki landasan hukum tentang internalisasi pengharmonisasian dalam

proses pembentukan peraturan daerah. Hal ini tentunya membawa potensi besar

bagi adanya peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian harmonisasi Rancangan peraturan

daerah dengan peraturan perundang-undangan perlu didukung oleh aturan yang

jelas dan tegas apabila dikehendaki untuk senantiasa diintergrasikan sebagai

syarat formal penyusunan peraturan daerah seperti halnya proses

pengharmonisasian, pemantapan, dan pembulatan konsepsi Rancangan Undang-

Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden,

termasuk Rancangan Instruksi Presiden yang dilaksanakan sesuai Peraturan

Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU,

Rperppu, RPP, dan RanPrepres, dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005

tentang Prolegnas.

Model pengharmonisasian peraturan perundang-undangan ditingkat Pusat

dapat diadaptasi dalam proses penyusunan peraturan daerah dan dimungkinkan

untuk dibuatkan payung hukumnya berdasar pada ketentuan Pasal 18 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 bahwa tata cara mempersiapkan

Page 138: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

138

rancangan perda yang berasal dari gubernur, bupati/walikota diatur dengan

Peraturan Presiden.131 Perpres ini semestinya segera dibentuk karena ada

kemungkinan daerah mengabaikan harmonisasi Raperda dengan peraturan

perundang-undangan lainnya dengan alasan tidak ada dasar hukum dan pedoman

teknis yang cukup kuat selama Perpres tersebut belum ditetapkan.132 Pentingnya

pengaturan pengharmonisasian bagi Raperda diatur dalam Perpres tersebut agar

selaras dengan pengaturan di DPRD dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16

Tahun 2010 dimana Pasal 53 Peraturan Pemerintah tersebut mengatur bahwa

Badan Legislasi Daerah bertugas melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan

pemantapan konsepsi rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi

dan/atau gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah tersebut

disampaikan kepada pimpinan DPRD. Ketentuan Pasal 53 Peraturan Pemerintah

tersebut sesuai dengan ketentuan pengharmonisasian, pembulatan, dan

pemantapan konsepsi di DPR sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor

27 Tahun 2009 dimana proses tersebut melekat dalam tugas dari Badan Legislasi.

4.2. Upaya Pemerintahan Daerah dalam Memberi Kepastian Hukum terkait Adanya Konflik Norma dalam Pengaturan Izin Pengusahaan Bagi Pondok Wisata pada Kawasan Taman Wisata Alam

Peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis yang sangat penting

dalam sistem hukum kita dan mengikat publik haruslah mengandung kepastian,

sehingga akibat dari tindakan tertentu yang sesuai atau yang bertentangan dengan

hukum dapat diprediksi. Dengan demikian peraturan perundang-undangan dapat

131 Supriadi, “Harmonisasi Perda Dengan Peraturan Perundang-undangan Lainnya”,

diunduh dari URL: http://excellent-lawyer.blogspot.com/2010/04/harmonisasi-perda-dengan-peraturan.html, diunduh pada tanggal 16 Juni 2010

132Ibid

Page 139: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

139

menjadi sarana yang penting untuk menjaga hubungan yang sinergis antarwarga

masyarakat dan antara warga masyarakat dengan pemerintah untuk mewujudkan

tujuan bersama secara dinamis, tetapi tertib dan teratur. Namun pada kenyataanya

disharmonisasi hukum berupa konflik norma masih dapat dijumpai yaitu dalam

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan izin usaha penyediaan sarana

wisata alam.

Terhadap adanya pertentangan/konflik norma antara suatu peraturan dengan

peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi maka dapat dilakukan

pengujian peraturan perundang-undangan. Pengujian peraturan perundang-

undangan secara terminologi bahasa terdiri dari perkataan pengujian dan

peraturan perundang-undangan. Pengujian berasal dari kata ‘uji’ yang memiliki

arti percobaan untuk mengetahui mutu sesuatu, sehingga ‘pengujian’ diartikan

sebagai proses, cara, perbuatan menguji. Sedangkan peraturan perundang-

undangan berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 2004 diartikan sebagai

peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang

berwenang yang mengikat secara umum. Dengan demikian, pengujian peraturan

perundang-undangan dapat diartikan sebagai proses untuk menguji peraturan

tertulis baik yang dibentuk oleh lembaga negara maupun pejabat yang berwenang

yang memiliki kekuatan mengikat secara umum.

Dalam perspektif pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia

dikenal adanya 2 (dua) peristilahan, yaitu toetsingsrecht dan kontrol normatif.

Pada umumnya istilah toetsingsrecht diartikan sebagai hak atau kewenangan

untuk menguji atau hak uji. Pengertian menguji atau melakukan pengujian

Page 140: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

140

merupakan proses untuk memeriksa, menilai, dan memutuskan objeknya.

Pemahaman menguji atau melakukan pengujian dalam perspektif toetsingsrecht

adalah memeriksa, menilai dan memutuskan terhadap tingkat konstitusionalitas

suatu peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan

yang derajatnya lebih tinggi oleh suatu lembaga negara yang oleh undang-undang

dasar dan/atau oleh undang-undang diberikan kewenangan.133

Pengertian toetsingsrecht memang cukup luas sehingga peristilahan yang

timbul tergantung dengan subjek dan objek dalam pengujian tersebut. Jika hak

atau kewenangan menguji diberikan kepada lembaga kekuasaan kehakiman maka

proses pengujiannya disebut sebagai judicial review atau pengujian oleh lembaga

judicial atau pengadilan. Namun jika pengujian dilakukan bukan oleh lembaga

peradilan maka hal itu tidak dapat disebut dengan judicial review. Sebutan yang

tepat tergantung kepada lembaga yang melakukan pengujian.134 Apabila

pengujian itu dilakukan oleh lembaga legislatif maka proses pengujian tersebut

disebut sebagai legislative review. Demikian pula jika pengujian tersebut

dilakukan oleh lembaga eksekutif maka pengujian semacam itu disebut sebagai

executive review.

Oemar Seno Adjie mengartikan legislative review sebagai peninjauan

kembali produk hukum oleh lembaga pembuatnya, yaitu Presiden bersama-sama

dengan DPR. Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia legilatif review ini pernah

dilakukan melalui ketetapan MPRS No. XIX/MPR/1966 yang menugaskan

133 Sri Soemantri Martosoewignjo dalam Zainal Arifin Hoesein, 2009, Judicial Review Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 39

134 Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta Pusat, h. 1-2

Page 141: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

141

kepada Pemerintah bersama-sama DPR untuk mengadakan peninjauan kembali

(legislative review) terhadap produk hukum legislatif (Presiden dan DPR).

Dalam hal executive review, hak atau kewenangan untuk menguji diberikan

kepada lembaga eksekutif atau kepada pemerintah. Hal ini misalnya Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menentukan bahwa “Menteri diberi

kewenangan untuk membatalkan peraturan daerah yang dinilai bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”,135 dimana dalam

rangka pengawasan Menteri Dalam Negeri diberikan kewenangan untuk menguji

peraturan daerah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, diberi kewenangan untuk

menyatakan batal atau membatalkan berlakunya peraturan daerah yang dibentuk

oleh Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, atau Walikota) dengan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota). Mekanisme ini disebut

sebagai mekanisme pengujian juga, tetapi tidak dilakukan oleh lembaga

kehakiman (judiciary) ataupun legislator melainkan oleh lembaga pemerintahan

eksekutif tingkat atas (pusat). 136

Selanjutnya toetsingsrecht dalam arti judicial review dapat dilakukan

manakala prinsip kekuasaan negara menganut pemisahan kekuasaan atau

separation of power dan checks and balances. Judicial review merupakan bagian

dari prinsip kontrol secara judicial atas produk peraturan perundang-undangan

agar tidak bertentangan dengan norma hukum secara hierarkis. Menurut Jimly jika

135 Fatmawati, 2005, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem

Hukum Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. IX 136 Jimly Asshiddiqie, 2006, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta Pusat, h. 74

Page 142: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

142

objek yang diuji adalah undang-undang terhadap UUD maka hal tersebut disebut

sebagai constitutional review, tetapi jika peraturan di bawah undang-undang

terhadap undang-undang maka disebut sebagai legal review. Berdasarkan Pasal

24C UUD NRI 1945 pengujian undang-undang terhadap UUD dilakukan oleh

Mahkamah Konstitusi, sedangkan berdasarkan Pasal 24A UUD NRI pengujian

peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dilakukan oleh

Mahkamah Agung.

Pengujian peraturan perundang-undangan dalam perspektif kontrol normatif

diartikan sebagai suatu mekanisme penyelarasan norma hukum oleh lembaga

negara karena adanya usulan atau desakan masyarakat terhadap berbagai produk

hukum yang dihasilkan oleh lembaga negara yang diberikan kewenangan oleh

konstitusi untuk melakukan tugas itu.

Sebagai kontrol normatif, maka pengujian dapat dilakukan oleh lembaga

pembuatnya sendiri atau juga dapat dilakukan oleh lembaga di luar lembaga

pembuat peraturan tersebut. Apabila pengujian dilakukan oleh lembaga

pembuatnya dapat disebut pengujian internal atau pengawasan internal, tetapi jika

yang melakukan pengujian adalah lembaga di luar lembaga pembuatnya dapat

disebut pengujian eksternal atau pengawasan eksternal.137

Lembaga pembuat peraturan perundang-undangan dimungkinkan menguji

produk hukumnya sendiri. Apabila kewenangan pembentukan peraturan

perundang-undangan dilekatkan pada legislatif maka kontrol normatif pengujian

tersebut disebut legislative review. Apabila kewenangan pembentukan peraturan

137 Paulus Effendi Lotulung dalam Zainal Arifin Hoesein h. 57

Page 143: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

143

tersebut adalah eksekutif atau pemerintah, maka kontrol normatif pengujian

tersebut disebut executive review.

Dalam kaitannya dengan pengujian peraturan perundang-undangan dalam

pespektif toetsingsrecht maka terhadap konflik norma yang terjadi antara Perda

Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36

Tahun 2010 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2007 jo. Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1990 maka pengujian dapat dilakukan oleh 2 (dua) lembaga yaitu

Mahkamah Agung dan Menteri Dalam Negeri,

a. Executive Review oleh Departemen Dalam Negeri

Executive review perda dilakukan oleh pemerintah c.q Departemen Dalam

Negeri merupakan pengujian peraturan (toetzingrecht) yang lahir dari

kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan (otonomi)

pemerintahan daerah. Sebagai konsekuensi dari penerapan asas desentralisasi

adalah daerah memiliki kebebasan dan kemandirian dalam mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangannya. Namun

demikian, kebebasan dan kemandirian daerah dalam mengatur urusan

pemerintahan itu harus tetap dalam ikatan negara kesatuan. Untuk menjaga agar

kebebasan itu tidak keluar dari ikatan negara kesatuan maka diperlukan

pengawasan sebagai media kontrol terhadap pemerintah daerah. Pengawasan

dilaksanakan sebagai suatu usaha preventif atau juga untuk memperbaikinya

apabila terjadi kekeliruan sebagai tindakan represif. Dalam hal pengawasan

represif Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk menguji dan

membatalkan peraturan yang dibentuk oleh pemerintah daerah apabila

Page 144: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

144

bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi. Dengan demikian pengujian yang dilakukan oleh pemerintah

pusat terhadap suatu peraturan daerah adalah dalam rangka pengawasan

pemerintah pusat terhadap pemerintahan daerah.

Dalam rangka pengawasan terhadap peraturan daerah, pemerintah pusat

dapat melakukan 2 (dua) macam pengawasan yaitu pengawasan preventif dan

pengawasan represif.138 Pengawasan preventif dilakukan oleh Menteri Dalam

Negeri disebut dengan executive preview, sedangkan dalam hal pengawasan

represif disebut sebagai executive review. Executive preview adalah pengujian

yang dilakukan oleh pemerintah eksekutif terhadap rancangan peraturan daerah.

Jadi, dalam hal executive preview, yang menjadi bahan pengujian adalah

rancangan peraturan daerah yang belum diberlakukan atau belum diundangkan.

Sedangkan executive review adalah pengujian yang dilakukan pemerintah

eksekutif terhadap peraturan daerah yang sudah berlaku. Pengawasan preventif

dilakukan terhadap rancangan perda yang bermuatan APBD, pajak daerah dan

retribusi daerah serta perda tata ruang.139 Pengawasan preventif terhadap

rancangan perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang

kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur, sedangkan Pengawasan preventif

terhadap rancangan perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata

ruang provinsi dilakukan oleh pemerintah (pusat).140 Selanjutnya pengawasan

138 Irawan Soejito, 1984, Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,

Bina Aksara, Jakarta, h. 201 139Nazad na Komunitas Hukum Tata Negara Indonesia, “Analisis Normatif Evaluasi Dan

Pengujian Peraturan Daerah Oleh Pemerintah Pusat”, diunduh dari URL: http://bs-ba.facebook.com/group.php?gid=68003490816 diunduh pada tanggal 17 September 2010.

140 Hanif Nucholis, Op.Cit., h. 325

Page 145: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

145

represif dilakukan terhadap seluruh perda yang sudah dibuat oleh pemerintah

daerah, termasuk perda yang pada dasarnya sudah dilakukan pengawasan

preventif. Pengujian peraturan daerah oleh pemerintah ini dilakukan dengan

melibatkan beberapa lembaga, yaitu Departemen Dalam Negeri, Departemen

Keuangan terhadap perda bermuatan keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum

terhadap perda tata ruang, serta departemen sektoral sumberdaya alam terhadap

perda yang bermuatan sumberdaya alam. Tidak jarang proses evaluasi/pengujian

perda oleh pemerintah dilakukan lintas departemen yang dikoordinasikan oleh

Departemen Dalam Negeri selaku ‘pembina’ pemerintah daerah. Pengujian

peraturan daerah merupakan kewenangan pemerintah dalam rangka pengawasan

terhadap penyelenggaraan otonomi daerah oleh pemerintah daerah.

Pengujian peraturan daerah oleh pemerintah atau yang dalam pengujian

peraturan dikenal dengan istilah executive review lahir dari kewenangan

pengawasan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Dalam rangka pengawasan daerah Pasal 145 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 memberikan perintah bahwa peraturan daerah yang dibuat oleh

DPRD bersama Kepala Daerah agar disampaikan kepada Pemerintah paling lama

7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Selanjutnya Pasal 145 ayat (2) menyatakan

bahwa “Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan

dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.” Kemudian dalam Pasal 145 ayat (3)

menyebutkan bahwa “Keputusan pembatalan Peraturan daerah sebagaimana

dimaksud ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam

Page 146: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

146

puluh) hari sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat

(1)”. Selanjutnya Pasal 145 ayat (4) menyebutkan bahwa “Apabila

provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan

Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat

dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat

mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung”.

b. Judicial Review oleh Mahkamah Agung

Erat kaitannya dengan fungsi Mahkamah Agung yang bersifat yudisial,

kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian peraturan perundang-

undangan lahir dari kewenangan yang disebut judicial review. Dalam keadaan

demikian, maka Mahkamah Agung adalah lembaga kehakiman yang diberi tugas

menyelesaikan konflik norma yang timbul dari lahirnya suatu produk peraturan

perundang-undangan. Dalam menjalankan fungsi demikian itu, Mahkamah Agung

bersifat pasif menunggu diajukannya permohonan keberatan dari para pihak yang

berkepentingan di daerah.

Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang

terhadap Undang-Undang, dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam menjalankan

kekuasaan kehakiman sebagai kewenangan atributif yang ditentukan dalam:

1. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945; 2. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 3. Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman; 4. Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;

Page 147: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

147

5. Pasal 31A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; dan

6. Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil.

Dalam ketentuan aturan tersebut, Mahkamah Agung berwenang melakukan

pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang

yang mengalami konflik norma dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi. Kewenangan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di

bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang oleh Mahkamah Agung

tersebut kemudian dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan

perundang-undangan oleh lembaga kehakiman.

Apabila dikaitkan dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan

yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka

Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji terhadap Peraturan Pemerintah,

Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Kewenangan Mahkamah Agung

melakukan pengujian terhadap tiga jenis peraturan di atas didasarkan atas standar

atau ukuran yaitu adanya pertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi, atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

Ketentuan mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 31 A ayat (3) huruf b

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang menyatakan

bahwa:

Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa:

Page 148: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

148

1) materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau

2) pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;”

Dasar permohonan pada bagian pertama dikenal dengan istilah pengujian

aspek materiil (materiele toetsingsrecht). Dalam hal ini Mahkamah Agung

mempunyai wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu

produk hukum isinya sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi derajatnya. Sedangkan pada bagian kedua, dikenal dengan istilah pengujian

aspek formil (formele toetsingsrecht) dalam hal ini Mahkamah Agung memiliki

wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum telah dibuat melalui cara-

cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-

undangan.

Terkait dengan adanya suatu konflik norma yang terjadi maka apabila suatu

materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari isi suatu peraturan bertentangan

dengan perundang-undangan yang lebih tinggi, sesuai dengan ketentuan Pasal 31

ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 peraturan perundang-

undangan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Adapun bunyi ketentuan Pasal 31 ayat (2) menyatakan bahwa “Mahkamah Agung

menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang

atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.” Selanjutnya

dalam ayat (4) menyatakan bahwa “Peraturan perundang-undangan yang

dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai

Page 149: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

149

kekuatan hukum mengikat.” Dimungkinkan dapat terjadi dalam proses pengujian

Mahkamah Agung hanya menemukan satu ayat, atau satu pasal, atau satu bagian

materi muatan dalam peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila hal ini terjadi, maka

seluruh materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari Peraturan Daerah

dianggap tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Untuk melaksanakan kewenangan pengujian peraturan perundang-

undangan, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil. Dalam pasal 2 ayat (4) Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 ditentukan bahwa “Permohonan

keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 hari (seratus delapan puluh) hari

sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.” Batasan

waktu membawa konsekuensi terbatasnya hak warga negara untuk mengajukan

permohonan pengujian peraturan perundang-undangan yang dianggap bermasalah

di kemudian hari setelah 180 hari yang dibatasi oleh Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 2004 tersebut. Hal yang perlu dicermati sebagai kelemahan dari

penyelesaian konflik norma melalui judicial review di Mahkamah Agung.

Dari uraian tersebut diketahui bahwa baik executive review yang dilakukan

oleh Departemen Dalam Negeri maupun judicial review oleh Mahkamah Agung

masing-masing memiliki tenggang waktu pengujian, dalam rangka pengawasan

represif ditetapkan bahwa Peraturan Daerah yang dibuat oleh DPRD bersama

Kepala Daerah agar disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari

setelah ditetapkan, selanjutnya keputusan pembatalan peraturan daerah

Page 150: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

150

sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama

60 (enam puluh) hari sejak diterimanya peraturan daerah. Sehingga setelah batas

waktu yang ditetapkan tersebut pemerintah pusat tidak lagi mempunyai

kewenangan untuk menguji peraturan daerah. Demikian pula dengan judicial

review oleh Mahkamah Agung juga memiliki batas waktu pengajuan permohonan

keberatan kepada Mahkamah Agung yaitu dalam tenggang waktu 180 hari sejak

ditetapkan peraturan perundang-undangan yang akan diajukan permohonan

judicial review.

Dengan adanya batas waktu tersebut maka telah tertutup upaya pengujian

baik terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 maupun terhadap

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009. Peraturan Pemerintah

Nomor 36 Tahun 2010 ditetapkan pada tanggal 12 Februari 2010, sehingga tidak

dapat diajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung. Demikian pula

terhadap Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 yang ditetapkan

pada tanggal 28 Desember 2009 telah melewati batas waktu untuk dapat diuji

melaui executive review maupun judicial review. Keadaan yang demikian tidak

dapat dibiarkan, karena dari adanya konflik norma peraturan perundang-undangan

ini dapat mengakibatkan beberapa dampak berupa:

a. Terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya;

b. Timbulnya ketidakpastian hukum;

c. Peraturan perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien;

d. Disfungsi hukum, artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan

pedoman berperilaku kapada masyarakat.

Page 151: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

151

Selain pengujian peraturan perundang-undangan dalam pespektif

toetsingsrecht maka terhadap Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 juga dapat

dilakukan upaya kontrol normatif. Kontrol normatif secara internal dilakukan oleh

lembaga pembuat perda itu sendiri, yaitu Gubernur bersama DPRD. Sedangkan

control normatif secara eksternal dapat dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan

Mahkamah Agung, namun sebagaimana telah diuraikan sebelumnya telah tertutup

upaya pengujian Perda No. 16 Tahun 2009 oleh Menteri Dalam Negeri maupun

Mahkamah Agung karena terbentur dengan adanya batas waktu untuk dapat

diujinya Perda tersebut.

Oleh karena itu dibutuhkan adanya upaya pro aktif dari pemerintahan daerah

untuk mengevaluasi produk hukumnya sendiri yang tengah mengalami konflik

norma dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau yang disebut

sebagai kontrol internal. Dalam pengujian peraturan yang dilakukan oleh lembaga

yang membuatnya sendiri, maka perlu dibedakan antara legislative act dan

executive act. Yang pertama, yaitu legislative act, adalah peraturan-peraturan

yang ditetapkan oleh lembaga legislatif atau melalui proses legislasi, sedangkan

yang kedua (executive act) merupakan peraturan-peraturan yang murni ditetapkan

oleh lembaga atau instansi pemerintah eksekutif. Dalam struktur peraturan

perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yang

dapat disebut sebagai produk legislatif adalah Undang-Undang dan peraturan

daerah. Sementara itu, peraturan dibawah undang-undang seperti peraturan

pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan gubernur dan lainnya

merupakan bentuk peraturan yang ditetapkan oleh lembaga eksekutif (executive

Page 152: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

152

act). Legislative act dapat dinilai, diuji, dan direvisi oleh lembaga yang

membuatnya sendiri sesuai dengan keperluan melalui prosedur legislative review.

Begitu pula terhadap executive act dapat dinilai, diuji, dan direvisi oleh lembaga

yang membuatnya sendiri sesuai dengan keperluan melalui prosedur executive

review.141 Adapun tidak lanjut yang dapat dilakukan terkait mekanisme executive

review maupun legislative review adalah dengan merubah atau mencabut

peraturan perundang-undangan yang mengalami konflik norma.

1. Perubahan Peraturan Perundang-undangan.

Perubahan suatu perundang-undangan dilakukan apabila terdapat ketentuan-

ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut yang telah tidak sesuai

lagi dengan situasi atau kondisi yang berlaku dalam masyarakat.

Perubahan suatu peraturan perundang-undangan dapat meliputi hal-hal sebagai

berikut:142

a. Menambah atau menyisipkan ketentuan baru, menyempurnakan atau

mengapus ketentuan yang sudah ada baik yang berbentuk Bab, Bagian,

Paragraf, Pasal, ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca dan

lain-lainnya.

b. Mengganti suatu ketentuan dengan ketentuan lain, baik yang berbentuk

Bab, Bagian, Paragraf, Pasal, ayat, maupun perkataan, angka, huruf,

tanda baca dan lain-lainnya.

Perlu diperhatikan pula bahwa perubahan terhadap suatu peraturan tidak

boleh mengakibatkan:

141 Fatmawati, Op.Cit., h. X-XII 142 Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Proses dan Teknik

Perubahannya, Buku 2, Kanisius, Yogyakarta, h179

Page 153: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

153

a. perubahan sistematika peraturan yang dirubah;

b. perubahan terhadap lebih dari 50% materi peraturan atau perubahan

terhadap esensi peraturan yang dirubah.

Bila terjadi perubahan seperti butir a dan b, maka sebaiknya peraturan tersebut

dicabut dan disusun kembali dalam peraturan perundang-undangan yang baru

mengenai masalah tersebut.

2. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan

Berdasarkan Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 suatu

pencabutan perundang-undangan dilakukan jika peraturan perundang-undangan

yang lama tidak diperlukan lagi dan diganti dengan peraturan perundang-

undangan yang baru, peraturan perundang-undangan yang baru harus secara tegas

mencabut peraturan perundang-undangan yang tidak diperlukan itu. Ada 2 (dua)

jenis pencabutan peraturan perundang-undangan, yaitu:143

a. Pencabutan dengan penggantian.

Suatu pencabutan dengan penggatian terjadi apabila suatu peraturan

perundang-undangan yang ada digantikan dengan suatu peraturan perundang-

undangan yang baru dan sederajat.

b. Pencabutan tanpa penggantian

Pencabutan tanpa penggantian adalah mencabut peraturan perundang-

undangan yang ada melalui peraturan perundang-undangan yang sederajat

tanpa disertai dengan penggantian terhadap peraturan yang dicabut.

143 Ibid

Page 154: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

154

Terkait uraian tersebut maka upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah

Pemerintahan Daerah untuk menjamin adanya suatu kepastian hukum adalah

dengan melakukan legislative review oleh Gubernur dan DPRD terhadap Perda

Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009, dimana hasil dari legislative review tersebut

berupa perubahan terhadap ketentuan Pasal yang mengalami konflik norma.

Perubahan dilakukan dengan mengganti bunyi ketentuan pasal yang mengalami

disharmonisasi dengan menerapkan asas preferensi, yaitu dengan merubah

ketentuan Pasal 109 ayat (5) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun

2009. Dalam mengadakan perubahan terhadap suatu perundang-undangan,

terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:144

a. Perubahan suatu perundang-undangan dilakukan oleh pejabat yang

berwenang membentuknya, berdasarkan pada prosedur yang berlaku, dan

dengan suatu peraturan-perundang-undangan yang sejenis (atau setingkat);

b. Perubahan suatu peraturan perundang-undangan diharapkan dilakukan

secara baik tanpa mengubah sistematika dari peraturan perundang-

undangan yang diubah;

c. Dalam suatu perubahan, perumusan Judul hendaknya disebut peraturan

perundang-undangan mana yang diubah dan untuk perubahan yang kedua

kali dan selanjutnya disebutkan dengan jelas perubahan yang keberapa

kalinya.

144Ibid, h. 180-181

Page 155: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

155

d. Dalam konsiderans dari peraturan perundang-undangan yang diubah harus

dikemukakan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan lainnya

mengapa peraturan yang bersangkutan perlu diadakan perubahan;

e. Batang tubuh suatu peraturan perundang-undangan yang diubah hanya

terdiri dari 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka romawi. Dalam kedua

pasal tersebut dimuat ketentuan sebagai berikut:

1) Pasal I memuat segala sesuatu perubahan dengan diawali

penyebutan peraturan perundang-udangan yang diubah dan urutan

perubahan-perubahan tersebut hendaknya ditulis dengan angka

arab 1, 2, 3 dan selanjutnya;

2) Pasal II memuat ketentuan mengenai mulai berlakunya peraturan

perubahan tersebut.

f. Apabila suatu peraturan perundang-undangan sudah mengalami perubahan

berulang lagi, maka sebaiknya peraturan perundang-undangan tersebut

dicabut dan diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru;

g. Apabila pembuat peraturan perundang-undangan berniat mengubah suatu

peraturan perundang-undangan secara besar-besaran, maka demi

kepentingan pemakai peraturan perundang-undangan tersebut dipandang

lebih baik apabila dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru.

Page 156: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

156

BAB V

PENUTUP

5.1. Simpulan

Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka

simpulan yang dapat ditarik terhadap kedua permasalahan yang di bahas adalah:

1. Usaha pondok wisata dapat dilaksanakan hanya pada blok pemanfaatan

kawasan taman wisata alam. Usaha tersebut dapat diselenggarakan

apabila pemrakarsa usaha (pemohon izin dalam hal ini dibatasi hanya

Badan Hukum dan Koperasi) telah memperoleh izin usaha penyediaan

sarana wisata alam dari Menteri Kehutanan. Untuk memperoleh izin

tersebut pemrakarsa usaha harus mengajukan permohonan yang telah

dilengkapi dengan persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

2. Bahwa adapun upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintahan Daerah

untuk memberi kepastian hukum terkait adanya konflik norma dalam

pengaturan izin pengusahaan bagi pondok wisata pada kawasan taman

wisata alam adalah dengan melakukan legislative review oleh Gubernur

dan DPRD terhadap Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009. Hasil

legislative review tersebut berupa perubahan ketentuan pasal yang

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu terhadap Pasal

109 ayat (5) Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 dan Pasal 14 ayat

(1) huruf d PP No. 36 Tahun 2010.

156

Page 157: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

157

5.2. Saran

Beberapa saran yang dapat disampaikan berkenaan dengan hasil

pembahasan terhadap kedua permasalahan yang dikaji dalam tesis ini adalah:.

1. Untuk menghindari potensi terjadinya konflik norma antara perda

dengan peraturan di atasnya maka perlu segera dibentuk peraturan

presiden yang memberi landasan hukum bagi internalisasi

pengharmonisasian dalam proses pembentukan perda.

2. Hendaknya pemerintah memiliki konsep paradigma berpikir yang peduli

terhadap lingkungan yang dicerminkan dalam pembentukan regulasi

yang tepat terkait pengelolaan kawasan taman wisata alam, dimana

pemanfaatan kawasan seharusnya sesuai dengan fungsi dari kawasan

tersebut, sehingga dalam kawasan taman wisata alam yang memiliki

kedudukan sebagai kawasan lindung sebaiknya tidak diperbolehkan

adanya kegiatan pembangunan sarana akomodasi pariwisata.

Page 158: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

158

DAFTAR PUSTAKA

1.BUKU

Anonim, 2003, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar

Asshiddiqie, Jimly 2006, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta Pusat

__________, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta Pusat

Astawa, I Gde Pantja dan Suprin Na’a, 2009, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, Refika Aditama, Bandung

Atmosudirdjo, Prajudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta

Bethan, Syamsutarya, 2008, Menerapkan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam Aktivitas Industri Nasional, sebuah Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan antar Generasi, Alumni, Bandung

Brouwer, Bob, et.al., Editor, Coherence and Coflict in Law, Procceedings of the 3rd Benelux-Scandinavian Symposium in Legal Theory

Danusaputro, St. Munajat, 1980, Hukum Lingkungan, Buku V;Sektoral jilid 5, Binacipta , Bandung,

Ekatjahjana, Widodo, 2008, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Teknik Penyusunannya, Citra Aditya Bakti, Bandung

Erwin, Muhamad, 2008, Hukum Lingkungan, dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung.

Fatmawati, 2005, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta

Faure, Michael and Niessen, Nicole, Editor, 2006,Environmental Law in Development, Lessons from the Indonesian Experience, Edward Eglar Publishing, USA

Ginther, Konradet.all., Editor, 1994, Sustainable Development and Good Governance, Martinus Nijhoff Publisher, London.

Page 159: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

159

Goesniadhie, Kusnu, 2009, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan yang baik, A3, Malang

Hadjon, Philipus M., 1985, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan (Bestuurshandeling), Djumali, Surabaya

__________, 1995, Aspek-Aspek Hukum Administrasi dari KTUN, Bandung.

__________, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembaentukan Peradilan Administrasi, Peradaban,

Hardjosoemantri, Koesnardi, 1994, Hukum Lingkungan, Cet.2, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Hoesein, Zainal Arifin, 2009, Judicial Review Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

H.W.R. Wade, 1986, Administrative Law, Fifth Edition, Oxford University Press, Walton street

Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Buku I; Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

Joeniarto, 1979, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Alumni, Bandung,

Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah – Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPR dan Kepala Daerah, PT.Alumni, Bandung

Kelsen, Hans, 1991,General Theory of Norms, Translated by Michael Hartney, Oxford University Press, New York,

Koesoemahatmadja, RDH., 1979, Pengantar Ke Arah Sistim Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Binacipta, Bandung

Manan, Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta,

Martosoewignjo, Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta

Muslimin, Amrah, 1978 Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Cetakan ke-1, Bandung.

Page 160: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

160

N.H.T Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta

NM Spelt, dan JBJM Ten Berge, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M.Hadjon, Yuridika, Surabaya

Nurcholis, Hanif, 2007Teori dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta

Perwani, Yayuk Sri, 1992, Teori dan Petunjuk Praktek Housekeeping untuk akademi Perhotelan, Make a Room, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Pudyatmoko, Y. Sri, 2009, Perizinan, Problem dan Upaya Pembanahan, PT. Grasindo Jakarta

Poerwadarminta, 1987, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta

Radjab, Dasril, 1994, Selayang Pandang Tentang Sumber-Sumber Hukum Tatanegara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta

Rangkuti, Siti Sundari, Hukum lingkungan dan Kebijakan Publik, Airlangga University Press, Surabaya

Ridwan, H. Juniarso dan Sodich, Achmad, 2008, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa Bandung.

Ridwan,HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, Cet.Kedua, UII Press, Yoyakarta,

Santoso, Taufik Iman, 2008, Amdal, Setara Press, Malang

Sastrawijaya, A. Tresna, 2000, Pencemaran Lingkungan, Rineka Cipta, Jakarta.

Silalahi, M. Daud, 2001, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, PT. Alumni, Bandung,

Soeroso, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

Soejito, Irawan, 1984, Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Bina Aksara, Jakarta

Soekanto, Soerjono, 1986,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta

Soekanto, Soerjono dan Mamuji, Sri, 2001, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Page 161: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

161

Soemartono, R. M. Gatot P., 2004, Hukum Lingkungnan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

Soeprapto, Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Buku 1, Kanisius, Yogyakarta

__________, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Proses dan Teknik Perubahannya, Buku 2, Kanisius, Yogyakarta

Subawa, I Made, dkk., 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar

Suparni. Niniek, 1994. Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta

Sutedi, Adrian, 2010, Hukum Perizinan, dalam Sektor Pelayanan Publik, SInar Grafika, Jakarta

Sulistiyono, Adi, 2007, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma Moral, Cetakan ke I, Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press) Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tutik, Titik Triwulan, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Usman, Rachmadi, 2003, Pembaharuan Hukum Lingkungan Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Utama, I Made Arya, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung.

Utrecht, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia; Pustaka Tinta Mas, Surabaya

2. MAKALAH

Atmoredjo, Sudjito bin, Negara Hukum dalam Perspektif Pancasil, dalam

Kongres Pancasila kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI dan Gadjah

Mada, Balai Senat UGM, Yogyakarta, 30, 31, dan 1 Juni

Page 162: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

162

Amsyari, Fuad, “Problematika Pengendalian Pencemaran Lingkungan” dalam

Kumpulan Materi Kursus Perizinan Lingkungan Sebagai Instrumen

Pencegahan Pencemaran Lingkungan, PPLH Lembaga Penelitian

Universitas Airlangga, Surabaya, 6-7 Juni 2000

Hadjon, Philipus M,. “Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam

Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih”, Pidato penerimaan jabatan

Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Senin, 10 Oktober

1994

Manan, Bagir, 1995, “Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, Makalah pada penataran Hukum

Administrasi Negara”, Fakultas Hukum Unhas, Ujung Pandang, 31

Agustus 1995

Usfunan, Yohanes, 2004, “Perancangan Peraturan Perundang-undangan yang baik

Manciptakan Pemerintahan yang Bersih dan Demokratis”, Pidato

pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Hukum Tata Negara

FH UNUD, 1 Me1 2004, Denpasar, Universitas Udayana

3. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49)

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9)

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53)

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125)

Page 163: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

163

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3)

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140)

Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132)

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59)

Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 25)

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48)

Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan Lindung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49)

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil

Keputusan Kepala Bapedal No. 56 Tahun 1994 mengenai Pedoman Dampak Penting.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16)

Page 164: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

164

4. ARTIKEL DALAM FORMAT ELEKTRONIK

Mahendra, A.A. Oka, “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan” diunduh dari http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html, diunduh pada tanggal 14 Juni 2010

Parmono, Agus, “Urgensi Pengaturan Zona Dalam Upaya Pengendalian Pemanfaatan Ruang Daerah Berkelanjutan,” diunduh dari http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=122 diunduh pada tanggal 18 April 2010

Badan Pusat Statistik, “Konsep dan Definisi Statistik Hotel dan Akomodasi Lainnya di Indonesia” di unduh dari: URL:http://www.bps.go.id/aboutus.php?id_subyek=16&tabel=1&fl=2, pada tanggal 15 Mei 2010.

Direktorat Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Bappenas, “Konsep dan

Definisi Seputar Pariwisata”, diunduh dari: URL: http://www.budpar.go.id, diunduh pada tanggal 15 Mei 2010

Indrawati, Yayu, “Persepsi Wisatawan Lanjut Usia pada Fasilitas Akomodasi dan Aktivitas Pariwisata Bernuansa Seni Budaya di Desa Sanur”diunduh dari URL: http://www.isi-dps.ac.id/download/6-Yayu-Pariwisata.pdf, pada tanggal 21 April 2010

Murti, Muhammad Sapta, “Harmonisasi Peraturan Daerah dengan peraturan perundang-undangan lainnya (Analisis Urgensi, Aspek Pengaturan,dan Permasalahan)”, diunduh dari URL: http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/422-harmonisasi-peraturan-daerah-dengan-peraturan-perundang-undangan-lainnya.html diunduh pada tanggal 13 Juni 2010

Nazad na Komunitas Hukum Tata Negara Indonesia, “Analisis Normatif Evaluasi Dan Pengujian Peraturan Daerah Oleh Pemerintah Pusat”, diunduh dari URL: http://bs-ba.facebook.com/group.php?gid=68003490816, diunduh pada tanggal 10 September 2010.

PT Tribina Matra Carya Cipta, “Prosedur dan Penyusunan Sinkronisasi” diunduh dari http://www.penataanruang.net/ta/Lapan04/P2/SinkronisasiUU/Bab4.pdf, diunduh pada tanggal 22 Agustus 2010

Setiadi, Wicipto, “Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-undangan” diunduh dari URL: http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/232-proses-pengharmonisasian-sebagai-upaya-meningkatkan-kualitas-peraturan-perundang-undangan.html, diunduh pada tanggal 20 juni 2010

Page 165: perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata ...

165

Sudarmadji, “Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup, dan Otonomi Daerah”, dalam http://geo.ugm.ac.id/archives/125, diunduh pada tanggal 20 Juni 2010

Supriadi, “Harmonisasi Perda Dengan Peraturan Perundang-undangan Lainnya”, diunduh dari http://excellent-lawyer.blogspot.com/2010/04/harmonisasi-perda-dengan-peraturan.html, diunduh pada tanggal 16 Juni 2010