Perilaku Tidak Jujur Dan Solidaritas Negatif

11
Nama : Julia Widhia Lestari Kelas : A NIM : 1102008126 Perilaku Tidak Jujur dan Solidaritas Negatif di Pandang dari Segi Etika dan Hukum Islam Di masa sekarang perilaku tidak jujur sangat banyak ditemukan. Tidak hanya ditemukan dilingkungan sekolah, di lingkungan para pemimpin negarapun memiliki perilaku tidak jujur dan juga solidaritas negatif yang menguntungkan. Dalam kesempatan ini saya ingin menjelaskan contoh-contoh perilaku tidak jujur dan juga solidaritas negatif yang sering kita temukan disekitar kita. Menyontek Budaya Menyontek Akar Tabiat Korupsi. Budaya menyontek yang mewarnai kehidupan siswa maupun mahasiswa harus dihapuskan. Sebab, menyontek merupakan manifestasi ketidakjujuran, yang pada akhirnya memunculkan perilaku korupsi. Jika budaya menyontek tidak diberantas, sekolah dan kampus menjadi bagian dari ”pembibitan” koruptor di Indonesia. Menurut Mukhtar Khalid, kejujuran merupakan ”barang langka” di Indonesia kini. Banyak orang pintar yang lulus perguruan

description

medicine

Transcript of Perilaku Tidak Jujur Dan Solidaritas Negatif

Nama : Julia Widhia Lestari

Kelas : A

NIM : 1102008126

Perilaku Tidak Jujur dan Solidaritas Negatif di Pandang dari Segi Etika dan Hukum Islam

Di masa sekarang perilaku tidak jujur sangat banyak ditemukan. Tidak hanya ditemukan dilingkungan sekolah, di lingkungan para pemimpin negarapun memiliki perilaku tidak jujur dan juga solidaritas negatif yang menguntungkan.

Dalam kesempatan ini saya ingin menjelaskan contoh-contoh perilaku tidak jujur dan juga solidaritas negatif yang sering kita temukan disekitar kita.

Menyontek

Budaya Menyontek Akar Tabiat Korupsi. Budaya menyontek yang mewarnai kehidupan siswa maupun mahasiswa harus dihapuskan. Sebab, menyontek merupakan manifestasi ketidakjujuran, yang pada akhirnya memunculkan perilaku korupsi. Jika budaya menyontek tidak diberantas, sekolah dan kampus menjadi bagian dari pembibitan koruptor di Indonesia.Menurut Mukhtar Khalid, kejujuran merupakan barang langka di Indonesia kini. Banyak orang pintar yang lulus perguruan tinggi, tapi sangat langka orang pintar yang jujur. Di sejumlah kasus korupsi, ternyata pelakunya adalah orang pintar yang notabene terpandang dari segi kecendekiawanannya.

Jika dia pejabat, maka pejabat yang pintar. Kepandaiannya digunakan untuk melakukan korupsi. Yang lebih memprihatikan lagi pada umumnya pelaku korupsi beragama Islam yang terdidik, tutur Mukhtar Khalid.Dalam pandangan Ceppy Nasahi, semaraknya perilaku menyontek telah menyulitkan guru mengukur tingkat keberhasilan pendidikan. Menyontek berakibat sulitnya mengukur kadar kesuksesan proses belajar-mengajar.Perilaku menyontek yang dilakukan siswa atau mahasiswa, menurut Ceppy Nasahi, pada hakikatnya merupakan perbuatan membohongi diri sendiri. Jika dibiarkan, maka banyak pihak yang dirugikan. Rekan yang disontek tentunya telah terampas kemampuannya.Menyontek cenderung serumpun dengan perbuatan korupsi. Ketika masih belajar di sekolah dan di kampus sudah gemar menyontek, maka itu pertanda ketika sudah menjadi 'orang' bekerja di suatu instansi akan cenderung melakukan korupsi, ujar Ceppy.Seraya menyebutkan sejumlah kasus korupsi yang terjadi di berbagai instansi, termasuk sekolah dan kampus, Ceppy berpendapat, sulitnya pemberantasan kasus korupsi karena korupsi tumbuh dan berkembang secara massal dan sejak dini di bangku sekolah serta kampus. Karenanya, di sekolah Al Ma'soem, dilarang siswa menyontek. Yang menyontek akan meraih sanksi 100 poin yang bermakna dikeluarkan dari sekolah, ujar Ceppy.(http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/042007/04/0704.htm Rabu 4 April 2007)

KorupsiSudah merupakan suatu yang tidak aneh perkataan korupsi di kalangan segala level supra dan infra level masyarakat sering didengungkan. Media masa setiap hari, baik elektronik maupun cetak, sudah amat penuh dengan berita-berita korupsi. Korupsi yang terjadi atau diberitakan tersebut menandakan bahwa korupsi di negara kita merupakan wabah yang amat sulit diobati, dengan menggunakan perangkat hukum yang ada sekarang. Mulai dari Undang-undang Pemberantasan Korupsi sampai KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan lain-lain. Indonesia mencatat rekor peringkat tiga korupsi terbesar di dunia, bahkan Jabar dan DKI mencatat rekor daerah terkorup.Apapun namanya korupsi ini sudah terjadi sejak zaman menggunakan kekuasaannya untuk menguras kekayaan negara dan memeras rakyat. Perpindahan kekuasaan dari kolonial kepada Pemerintah Republik, tidak serta merta memperbaiki citra pemerintah, malahan justru prilaku korup penguasa berlanjut dan lebih parah dari zaman kolonial. Ketika terjadi pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru yang menjadi isu korupsi saat itu di mana masyarakat makan robur, ternyata korupsi makin menjadi-jadi, bahkan Orde Reformasi yang menjadi harapan, kandas sejak awal. Seminar Internasional tentang Korupsi di Bali Januari tahun 2008 sebagai indicator betapa korupsi di Indonesia, bukan hanya merupakan fenomena pemerintahan, tetapi juga sebagai perhatian dunia bahwa korupsi sudah merusak sendi-sendi ekonomi yang amat fundamental. Dari orde ke orde pemerintah Indonesia tidak mampu pencerahan untuk mampu mencegah terjadinya korupsi di Indonesia yang ramai dikunjungi orang, pelatihan ESQ, dan lembaga-lembaga (majlia) dzikir belum mampu menangkal korupsi. Di sisi lain mungkin ada kesalahan terapi atau kesalahan dalam menerapkan hukum karena pegawai lembaga anti korupsi pun yang seharusnya mengawasi tindak pidana korupsi tidak berperan sebagaimana mestinya. Para koruptor sekarang mulai ditangkap secara intensif; para oknum polisi, hakim, jaksa, eksekutif, legslatif, bahkan sampai tingkat oknum pengurus LSM yang berkoar melawan korupsi; tokoh-tokoh seperti mereka yang tidak berhak mendapat BLT malahan mendapatkannya, padahal dahulu perkataan korupsi konotasinya adalah pegawai, pejabat eksekutif, dan atau legislatif. Saat ini semua orang bisa digelari koruptor Dalam bahasa Arab korupsi disebut al fasad (kerusakan), dan muharabah karena sudah merusak segala aspek kehidupan.Korupsi sudah membudaya di Indonesiakata mantan Wakil Presiden, HM. Hatta. Budaya baru di Indonesia adalah korupsi dan koruptor, jauh dari itu korupsi sudah menjadi wabah. Menurut bahasa, korup sebagai, 1) buruk, rusak fasad (Arab), busuk, suka menerima uang sogok risywah (Arab), dapat disogok (memakai kekuasaan untuk kepentingan pribadi). Mengorup 1) merusak (ifsad), 2) menyelewengkan (jur) menggelapkan (ghulul) barang (uang) milik perusahaan (negara) tempat kerjanya. Korupsi ialah penyelewengan atau penggelapan (ghulul)uang negara atau perusaahaan dsb untuk kepentingan pribadi atau orang lain, bahkan korupsi waktu, yaitu menggunakan waktu pada waktu dinas bukan peruntukannya. (Lihat KBBI, 1989 : 462 dan kamus-maus bahasa bahasa Arab. Kamus al-Maurid (Munir Balabak, 1981: 220), menerjemahkan korupsi ke dalam bahasa Arab yaitu fasad, risywah, sebagaimana disepakati oleh Librairie du Liban (1983: 72) bahwa terjemah ke dalam bahasa Arab fasad. Namun, di kalangan fuqaha belum ada kesepakatan dengan definisi tersebut. Hal ini menunjukkan konsep korupsi amat kompleks karena akan menembus berbagai macam makna yang intinya ada pengkhianatan, penggelapan, dan pengrusakan, dengan implikasi hukum yang berbeda. Menurut seorang yang dapat dipercaya dalam suatu ceramahnya, diasumsiakan bahwa pada masa Orde Baru korupsi dinilai lebih sedikit (25 Triliun), sementara sekarang pada Orde Reformasi membengkak luar biasa (diperkirakan175 triliun.) Diharap asumsi ini tidak benar, tetapi faktanya sepertinya membuktikan, mulai dari Penyelah gunaan uang pembangunan, uang BLBI, illegal loging sampai DAU-Depag, orang yang mestinya menyelidiki kaum koruptor, malah tak sedikit penyidik yang diduga korupsi, hakim dan jaksa, yang harus mengadili para koruptor malah banyak yang menjadi tersangka korupsi. Benar, kata Yosua, Jeruk makan jeruk. penyidik menyidik penyidik dan jaksa menuduh jaksa, hakim menghukum hakim. Tahun 2008 ini kasus BI yang Gubenurnya digonjang ganjing sebagai Saksi Korupsi, bahkan anggota KY yang mestinya meneliti calon hakim malah korupi juga (sudah dijatuhi ponis 6 tahun). Pelaksanaan Hukum Pidana Korupsi yang sekarang belum mampu mengurangi korupsi dan menghilangkan korupsi, maka para koruptor perlu diberi hukuman yang berefek menjerakan, bukan hanya sekedar memenjarakan. Dalam hukum Islam, bagai para pencuri harus dihukum potong tangan. Memang banyak orang yang sangat takut dengan hukuman ini, baik dari kalangan muslim apalagi non-Muslim. Sebutan bagi para pendengung syariat Islam sebagai fundamentalis, ekstrimis, bahkan mungkin disebut teroris. Di Indonesia tuduhan terhadap partai Islam yang ingin menegakkan Syariat dinilai partai tiran yang akan kembali ke zaman kuno, orang yang tak beradab, dan sekaligus melanggar HAM Itulah sebabnya pendekar Syariat Islam selalu dihujat, lewat media dan seminar-seminar. Untuk memberantas korupsi perlu langkah-langkah politis dan hukum agar problem ini tidak berlarut dan mewariskan stigma terhadap generasi yang akan datang. Bila mengacu pada definisi yang terdapat alam kamus KBBI dan yang dikemukakan penyusun kamu Inggris Arab di atas, maka korupsi bisa dikategorikan kepada dua pendapat yaitu membuat kerusakan (ifsad), dan penyelewengan (jur) atau penggelapan (ghulul). Menurut Syikh Ahmad al- Duwaisy (1998, XII: 36), al-glulul huwa akhdz al-syai min al-ghanimah qabl qismat al-imam, mengambil sesuatu dari harta rampasan (ghanimah) sebelum dibagikan oleh kepala negara). Ayat ini berkaitan dengan pengkhiatan pada laporan harta ghanimah pada Rasul saw, sebagai kepala negara. Namun, dalam kasus korupsi, bagi orang yang merusak (ifsad), maka hukumannya dianalogikan kepada perampokan (hirabah) yang disebut dalam surat al-Maidah: 33 yang hukumannya ada empat alternatif, yaitu dibunuh, disalib atau dipotong tangannya. Pertama, korupsi dinilai risywah dan ghulul. Dalam Alquran dan hadis tidak dijelaskan hukuman bagi orang yang melakukan penyuapan (risywah), pengkhianatan dengan penggelapan atau khianat (ghulul) ini. Hanya Allah menerangkan dalam Ali Imran: 161 sebagai: Tidak mungkin seorang Nabi akan berkhianat (ghulul). Barang siapa berkhianat, maka pada hari kiamat ia akan dengan dengan hasil pengkhianatannya. Kemudian, setiap nyawa akan menerima balasan sesuai dengan yang diperbuatnya. Tidak ada yang diperlakukan tidak adil. Majlis Ulama Indonesia mengambil ayat dan hadits yang berkaitan dengan khianat ini sebagai landasan hukum korupsi, dan ghulul diartikan berkhianat atau korupsi. Korupsi dan risywah (sogokan) hanya dinilai haram dan pemerintah dan masyarakat berkewajiban memberantasnya (Fatwa MUI, 2003: 275) tanpa menyebutkan hukum pidananya. Demikian pula hadis-hadis yang berkaitan dengan khianat atau ghulul ini menjadi landasan Syari yang dikemukakan MUI, seperti hadis yang menerangkan bahwa pegawainya yang diutus ke daerah untuk mengambil sadaqah, lalu mereka memilah-milah mana buat dirinya mana buat Nabi (Pemerintah). Menurut Abu Hurairah suatu waktu Rasulullah berpidato,Sungguh aku akan menemukan salah seorang di antara kalian akan datang pada hari kiamat dengan memanggul unta di pundaknya dengan bersuara, Wahai Rasulullah, tolonglah aku ini, maka nanti aku akan menjawab, Aku tidak punya kemampuan sedikitpun dari siksa Allah, dan aku sudah menyampaikannya dahulu.. (HR. Bukhari dan Muslim). Rasul pada hadits ini tidak menyebutkan hukuman pidana yang melakukan penggelapan, sogokan atau korupsi. Hanya menceritakan hukuman di akhirat belaka. Agaknya, MUI menyerahkan hukumannya kepada ulil amri (pemerintah), yaitu tazir yang berat dan tidaknya hukuman berdasarkan ijtihad, yaitu peraturan perundang-undangan. Di sini memerlukan ketetapan ijtihad para ulama yang lebih menukik pada penegakan keadilan, yaitu kekayaan apapun milik negara yang diperuntukkan untuk kepentingan rakyat harus dipelihara dengan prinsip hifzh mal harus ditegakkan, maka hukuman yang keras harus ditegakkan agar menjerakan.Kedua, mengartikan korupsi dengan ifsad, maka hukumannya akan dianalogikan kepada hirabah. Bila analogi atau qiyas ini diterima, maka acuan yang dipakai landasan hukum adalah surat al-Maidah: 33. yang berbunyi,

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,Pada ayat ini ada beberapa alternatif, yaitu dibunuh, disalib, potong tangan dan kakinya secara silang, dan dibuang. Para fuqaha menyebut saat sekarang dibuang diartikan dengan dipenjara. Bila melihat kepada terjemah bahasa korupsi adalah fasad atau ifsad, maka koruptor adalah sama dengan hirabah dan menyebarkan kerusakkan di muka bumi, yaitu merampok kekayaan publik yang mengakibatkan rusaknya tatanan basis ekonomi. Hukumannya adalah salah satu di antara empat alternatif di atas, maka hukuman yang menjerakan adalah dengan dihukum mati. Menurut fuqaha, hukuman mati jika perampok itu membunuh saja; bila disertai perampokan harus disalib; bila merampok tanpa pembunuhan dipotong tangannya dan bila hanya mengganggu masyarakat, tanpa mengganggu jiwa dan harta harus dibuang ke tempat lain (dipenjara di tempat yang jauh). Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2002, hukuman mati merupakan hukum maksimal dan hukuman minimalnya adalah hukuman penjara tiga tahun. Menurut penulis UU tersebut, sudah senafas dengan surat al-Maidah: 33. Pada tahun 2003 koruptor satu milyar ke atas disidik oleh KPK dan tentu saja dengan kewajiban mengembalikan uang yang dikorup, mengganti kerugian negara, dan wajib membayar denda. Seperti juga ayat di atas, mufassir mewajibkan mengembalikan uang yang diambil karena hubungannya dengan huhuq al-insan (hak-hak manusia).Hukum yang keras seperti itu karena mereka sudah melakukan kejahatan dua kali, yaitu berkhianat pada Allah dan Rasul serta berkhianat pada umatdan masyarakat umumnya. Untuk itu, maka persoalan di Indonesia, tampaknya bukan pada tataran hukum, tetapi pada tataran implementasi hukum itu sendiri, sehingga korupsi tidak bisa dihilangkan atau minimal ditekan. Nilai-nilai universal Alquran dan sunnah memang memberikan perspektif preventif terhadap pelaku kejahatan yang intinya ialah sebagai upaya memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara keturunan, memelihara harta, dan memelihara akal. Islam bersifat lebih preventif alam menentukan hukuman-hukuman bagi pelaku kejahatan. Ungkapan yang digunakan, baik menggunakan ghulul atau fasad, pada akhirnya harus sampai pada titik balik bahwa koruptor harus bisa dijerat dengan hukuman yang keras.Tawuran

Dalam seminar yang bertema Pencegahan Tawuran dan Anarkisme untuk Tetap Tegaknya NKRI di Jakarta, Kamis, pakar hukum Prof Dr Loebby Loqman dan pengamat politik Dr Imam Prasodjo berpendapat, konflik komunal di masyarakat kita sering dipicu oleh adanya keinginan untuk membalas dendam. Fenomena ini, kata Loebby, tampil jelas setiap kali terjadi tawuran pelajar. Yang bermain di situ bukan hanya emosi dan solidaritas negatif para pelajar, melainkan juga adanya keinginan kuat di kalangan anak-anak muda itu untuk melakukan balas dendam terhadap "musuh" bersama sekolahnya. "Demi solidaritas negatif antarsesama teman sekolah itulah, mereka pergi menyerbu pelajar sekolah lain. Atau tak jarang juga, mereka beramai-ramai menyerbu sekolah tertentu yang sejak lama dipersepsikan sebagai musuh bersama sekolahnya," ungkap Loebby di seminar yang diprakarsai Gepenta (Gerakan Nasional Peduli Anti-Narkoba dan Tawuran).Hal senada juga dikatakan Dr Imam Prasodjo. Fenomena konflik komunal dengan aksi kekerasan di masyarakat-termasuk tawuran "abadi" antarpelajar dan tawuran antarwarga Ibu Kota, antara lain di Manggarai dan Matraman-harus disikapi serius. Sumber pemicu paling berbahaya hingga memunculkan konflik horisontal itu, demikian pendapat Imam, adalah karena pengaruh atmosfer lingkaran kebencian guna memuaskan rasa ingin balas dendam terhadap kelompok lain yang dianggap "musuh bersama"."Tawuran antarpelajar adalah contoh paling jelas, termasuk tawuran antarwarga di beberapa wilayah di Pulau Jawa, termasuk yang terjadi di Jakarta seperti konflik 'abadi' di Jalan Matraman dan Jalan Tambak, dan masih banyak lagi," ungkapnya.Menurut Imam, tawuran-tawuran 'abadi' seperti itu jangan dibiarkan sampai berlarut-larut. Lingkaran kebencian dan nafsu ingin balas dendam kepada "musuh" kelompok, apa pun caranya harus bisa dipotong, karena konflik horizontal ini bisa melebar dan meluas akibat ditunggangi sentimen-sentimen keagamaan, perbedaan budaya dan agama, serta kepentingan politik. "Masyarakat harus waspada hal ini," kata Imam.Solidaritas adalah persekongkolan untuk menyembunyikan kebusukan, bahkan solidaritas sebagai upaya bersama saling melindungi ketidakjujuran (Kompas, 16/11). Begitulah pemikiran kritis St Kartono yang tertuang dalam "Ihwal Kekerasan di Sekolah" menanggapi masalah kekerasan di sekolah, khususnya kasus SMA 34, Pondok Labu, dan SMA Pangudi Luhur, Jakarta Selatan.

Sebenarnya tidak perlu heran dengan adanya mentalitas itu karena solidaritas sudah menjadi tren di kalangan masyarakat luas. Anak-anak belajar dari orang dewasa dan lingkungannya. Solidaritas negatif itu dapat dilihat dan dicontoh oleh anak-anak dalam perilaku solidaritas ngawur para pejabat dalam korupsi, kolusi dan nepotisme. Menjadi orang jujur akan hancur. Sangat ironis.

Tatkala solidaritas itu sudah merambah dunia pendidikan, dengan meminjam judul buku Andrias Harefa, ini merupakan "keberhasilan" besar anak-anak kita Menjadi Manusia Pembelajar. Bahkan dunia pendidikan kita layak mendapatkan penghargaan dari University of Chicago karena sudah menerapkan contextual teaching and learning (CTL), seperti halnya Elaine B Johnson. Solidaritas anak-anak sangat kontekstual dan berhubungan erat dengan solidaritas golongan pecundang bangsa. Satire itu hendaknya menggugah nurani kita.

Ketika anak-anak di sekolah berperilaku tidak sesuai dengan pola pikir orang dewasa, dengan mudahnya orang dewasa menuduh nakal. Ketika anak mendapat nilai jelek, dengan sinisnya orang dewasa mengatakan bodoh. Sangat mengerikan bukan? Belajar dari karya Dorothy Law Notle, jika anak hidup dalam suasana penuh kritik, ia akan belajar untuk menyalahkan.

Tatkala kenakalan atau kriminalitas anak-anak tampak nyata, sosok pribadi anak menjadi kambing hitam atas segala perilakunya. Dianggap tidak bermoral, bahkan dengan mantap menyerahkan kasus itu kepada yang berwajib. Seperti dalam tulisan St Kartono, pentingnya sanksi yang memiliki efek jera kepada anak yang melakukan kekerasan dengan mengembalikan mereka kepada orangtua atau menyerahkan kepada polisi.

Sekolah siap menjadi pengadilan. Celakanya, pengadilan sekolah itu hanya memproses akibat yang ditimbulkan dari suatu kasus, sedangkan mengapa (sebab) kasus itu bisa muncul tidak diadili. Anak didik menjadi korban kejamnya sistem peradilan pendidikan yang semu.

Joshua dalam film Ekskul mati mengenaskan dengan menembakkan pistol ke kepalanya. Joshua menjadi korban kekerasan kepala sekolah, guru, orangtua, dan teman. Inikah yang dimaksud dengan jera? Siswa lain akan jera kalau melakukan kenakalan. Permasalahan pokoknya adalah bukan masalah pembagian wilayah antara sekolah dan polisi atau aparat hukum.

Sebenarnya masalah pendampingan oleh pendidik dan orangtua terhadap anak-anak menjadi masalah penting. Para siswa butuh teman untuk bicara dan mencurahkan isi hatinya, bukan orang yang sok hebat dan menasihati terus-menerus yang seperti banyak orangtua dan guru lakukan. Saat anak-anak menjadi nakal, brutal, dan anarkis, bukan 100 persen kesalahan mereka, justru guru dan orangtua juga ambil peran besar di sana.

Sebenarnya kekerasan mental sudah dilakukan oleh guru dan orangtua kepada para siswa yang melakukan kekerasan dan yang ditimpa kekerasan itu. Segala perilaku kekerasan yang dilakukan para siswa merupakan cerminan dari pendampingan dan perhatian guru dan orangtua yang sangat rendah. Di sisi lain, penderitaan dan kesengsaraan para siswa yang dianiaya dan ditindas oleh teman-temannya merupakan cerminan ketidakpedulian dan kurangnya kepekaan guru dan orangtua akan nasib mereka. Siapkah aparat hukum untuk memprosesnya?

Pada akhirnya secara konsep saya sepakat dengan St Kartono bahwa yang mempunyai otoritas mendidik adalah guru, bukan sis- wa senior. Dan kepala sekolah berperan besar menghentikan tradisi kekerasan yang berlangsung di sekolahnya. Hanya bedanya, bukan siswa yang menjadi obyek dari konsep itu, tetapi kekerasan guru dan kepala sekolah itu sendiri, bahkan orangtua juga. Hendaknya mereka bisa mendidik dirinya sendiri dengan menyadari dan menghentikan kekerasan mental yang sudah mereka lakukan. Hentikan tradisi kekerasan guru, kepala sekolah, dan orangtua!