Perilaku Menolong
-
Upload
sasmito-jati -
Category
Documents
-
view
15 -
download
2
Transcript of Perilaku Menolong
Perilaku Menolong / Altruisme (Analisis pada Suku Kajang)
Dunia modern selalu identik dengan kegemerlapan dan keindahan, yang
menyilaukan mata. Tetapi dibalik itu, yang hidup bukanlah manusia yang hidup
seutuhnya, tetapi manusia yang sakit yang membutuhkan penanganan serius. Seperti
kata Thomas Hobbes dua abad yang lalu, Homo homini lupus. Inilah keadaan manusia
sekarang, manusia adalah serigala bagi sesamanya. Manusia modern lebih
mementingkan individualisme, kemewahan, kompetisi, dendam, dan anarkis.
Sehingga, akhir-akhir ini kita sering mendengar anjuran back to nature. Anjuran
ini, tidak datang begitu saja, tetapi dilandasi oleh rasa kerinduan akan hidup yang penuh
kebersamaan, saling percaya, saling mengasihi dan pengertian, jauh dari sifat yang
penuh dengan kemunafikan. Manusia modern sudah tidak tahan dengan kehidupan
yang memuakkan, yang sudah melanggar asas-asas kehidupan manusia sebagai
makhluk yang mulia.
Bangsa Indonesia memegang teguh altruisme dan hidup sederhana dalam
semboyan-semboyan seperti “dahulukan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi”, “gotong royong”, “musyawarah untuk mufakat”. Dalam setiap ajaran agama
manapun juga ditekankan tentang altruisme, dimana kita harus saling menolong, saling
mengasihi. Namun, pada zaman sekarang nilai yang begitu penting dan dapat menjadi
dasar untuk membentuk suatu negara menjadi lebih baik sudah terkikis. Masyarakat
mulai melupakan dan meninggalkan nilai tersebut
Anjuran dunia modern untuk kembali ke alam, memang semakin terasa. Alam
akan selalu menganjurkan keselarasan dalam hidup dan sikap arif bergaul dengannya.
Ini hanya kita dapati dari kehidupan orang-orang yang jauh dari hiruk-pikuknya
kehidupan kota. Kali ini kita akan membahas salah satu suku yang ada di Sulawesi
Selatan.
Suku Kajang atau biasa disebut dengan Tau Kajang adalah salah satu sub suku
dari suku Makassar. Dia termasuk suku Makassar Lakiung. Daerahnya terletak sekitar
200 km arah timur kota Makassar, tepatnya di Kabupaten Bulukumba. Secara
administratif, daerah ini termasuk dalam daerah kecamatan Kajang. Tetapi, kecamatan
Kajang sendiri secara adat terbagi dua antara suku dalam (Tau Kajang) dengan suku
luar (Tau Lembang). Dua suku ini, secara adat memiliki ikatan yang sangat kuat,
sehingga secara umum susah kita memisahkannya. Suku dalam (Tau Kajang) lebih
ketat mempertahankan adat istiadat dari pada suku luar (Tau Lembang) yang mudah
menerima hal-hal yang baru.
Rumusan Masalah
Konsep hidup masyarakat yang ideal akan berbeda setiap daerah dan suku.
Tetapi secara umum, masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat
menyimpang beribu-ribu kebijaksaan yang susah didapat pada masyarakat modern.
Suku Kajang adalah salah satu suku yang masih bertahan dari sekian banyak suku yang
sudah tergeser yang oleh sebagian orang disebut sebagai hidup “modern”. Orang-orang
Kajang adalah orang-orang yang memiliki sikap kearifan yang tinggi dalam mengelolah
alam dan bergaul dengan lingkungan serta orang-orang disekitarnya. Hidup mereka
ditunjukkan dengan sikap kebersamaan yang di perlihatkan dalam segala aspek
kehidupan. Dalam hal mengolah tanah misalnya, mereka mengadakan rera. Tidak
hanya sampai disitu, bahkan hampir disegala lini kehidupan orang Kajang selalu
mengerjakan kerja secara bersama-sama, membangun rumah, membajak sawah,
menuai padi dll.
Perilaku menolong (altruisme), bukanlah barang asing, bahkan merupakan suatu
aib jika seseorang tidak memperlihatkan sikap ini. Sikap hidup yang individualis
dianggap menyimpang. Manusia tidak dapat hidup sendiri dalam mengolah alam
ataupun mempertahankan diri dalam masyarakat yang masih tergantung dengan alam.
Kita bandingkan dengan kehidupan modern, dimana individualisme yang ditonjolkan,
sehingga manusia berada dalam keadaan yang selemah-lemahnya, karena
mengabaikan kehidupan social yang sehat.
Suku ini dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut Amma Toa. Amma Toa
berkewajiban memelihara adat-istiadat yang sudah ada beberapa generasi. Dalam
kehidupan sehari-hari, masyarakat Suku Kajang selalu berlandaskan pada pasang.
Salah satu bunyi pasang “Kajang, tana kamase-masea”. Tekanan hidup yang dialami
oleh masyarakat modern, hampir tidak pernah terlihat pada suku Kajang.
Sikap pasrah, dengan membangun relasi yang positif dengan orang lain, hidup
tanpa tekanan, membuat hidup masyarakat kajang sebagai masyarakat yang sehat
secara psikologis.
Pembahasan
Defenisi Perilaku Menolong
Altruisme adalah tindakan sukarela untuk menolong orang lain tanpa
mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun atau disebut juga sebagai tindakan tanpa
pamrih. Altruisme dapat juga didefinisikan tindakan memberi bantuan kepada orang lain
tanpa adanya antisipasi akan reward atau hadiah dari orang yang ditolong (Macaulay
dan Berkowitz, 1970). Definisi lain dari altruisme yaitu peduli dan membantu orang lain
tanpa mengharap imbalan (Myers, 1993). Menurut Batson; 1991, altruisme adalah
keadaan motivasional seseorang yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan orang
lain.
Altruisme merupakan kehendak pengorbanan kepentingan pribadi. Tindakan ini
seringkali disebut sebagai peniadaan diri atau pengosongan diri. Altruisme termasuk
sebuah dorongan untuk berkorban demi sebuah nilai yang lebih tinggi, entah bersifat
manusiawi atau ketuhanan. Tindakan altruis dapat berupa loyalitas. Kehendak altruis
berfokus pada motivasi untuk menolong sesama atau niat melakukan sesuatu tanpa
pamrih, berupa ketetapan moral terhadap sosok tertentu, terhadap organisasi tertentu,
maupun terhadap sebuah konsep abstrak (Konsep Ketuhanan).
Teori Perilaku Menolong
Perilaku menolong dapat dijelaskan dibeberapa macam teori yang memandang
dari mana timbulnya perilaku menolong itu.
a) Teori Psikoanalisis
Teori ini bersandar pada asumsi bahwa manusia pada dasarnya agresif dan
selfish (egois) secara instingtif. Dengan demikian, beberapa tokoh psikoanalisis
memandang altruisme sebagai pertahanan diri terhadap kecemasan dan konflik internal
diri kita sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa altruisme lebih bersifat self-serving
(melayani diri sendiri), bukan dimotivasi oleh kepedulian yang murni terhadap orang lain.
Meskipun diakui bahwa pengalaman sosialisasi yang positif dapat membuat kita
tidak terlalu selfish (lebih selfless), para tokoh psikoanalisis tetap memandang pada
dasarnya manusia bersifat selfish artinya manusia itu makhluk yang egois, perilaku
menolong itu muncul hanya karena suatu defens mechanism untuk mempertahankan
diri agar tetap eksis dan merasa aman.
b) Teori Belajar
Khususnya tokoh-tokoh aliran psikologi belajar yang menekankan reinforcement
seperti B.F. Skinner beranggapan bahwa kita cenderung mengulangi atau memperkuat
perilaku yang memiliki konsekuensi positif bagi diri kita. Mengenai altruisme, mereka
berpendapat, bahwa di balik perilaku yang tampaknya altruisme sesungguhnya adalah
egoisme atau kepentingan diri sendiri. Hampir sama dengan pandangan Psikoanalisa,
Teori belajar juga mengganggap manusia adalah makhluk yang selfish (egois). Hanya
saja, menurut teori belajar, sifat altrusitik ataupun selfish itu didapatkan dari lingkungan
pembelajaran.
c) Teori norma sosial
Teori ini bersumber dari pola hubungan masyarakat yang dilihat dari beberapa
aspek, diantaranya:
Norma timbal balik, membalas pertolongan dengan pertolongan
Norma tanggung jawab sosial, menolong orang lain tanpa mengharapkan
balasan.
Norma keseimbangan, bahwa manusia memiliki perilaku menolong karena untuk
mempertahankan keseimbangan.
d) Altrusme dalam Islam
Islam memandang bahwa perilaku menolong adalah merupakan fitrah manusia
yang dibawah sejak lahir, artinya manusia sudah mempunyai sifat-sifat itu dan
merupakan sifat dasar dalam membangun relasi social nantinya. Dalam masyarakat
Muslim pun, sangat mengajurkan perilaku ini, bahkan pada satu hadist disebutkan “tidak
akan masuk syurga orang yang membiarkan tetangganya mati kelaparan”.
Perilaku menolong adalah salah satu perilaku prososial yang lahir karena adanya
proses pembelajaran dilingkungan. Proses ini dimulai sejak anak mulai mengenal
lingkungan. Menurut Cialdini (1982) anak adalah individu yang berusia antara 10-12
tahun, yang merupakan masa peralihan antara tahapan presosialization (tahap dimana
anak tidak peduli pada orang lain, mereka hanya akan menolong apabila diminta atau
ditawari sesuatu agar mau melakukannya, tapi menolong itu tidak membawa dampak
positif bagi mereka), tahap awareness (tahap dimana anak belajar bahwa anggota
masyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka saling membantu, mengakibatkan
mereka menjadi lebih sensitif terhadap norma sosial dan tingkah laku prososial), dan
tahap internalization (15-16 tahun). Pada tahap ini perilaku menolong bisa memberikan
kepuasan secara intrinsik dan membuat orang merasa nyaman. Norma eksternal yang
memotivasi menolong selama tahap kedua sudah diinternalisasi. Lingkungan yang tidak
mendukung akan timbulnya perilaku altruism ini, kemungkinan besar hubungan antar
anggota masyarakat lebih bersifat individual. Pada dasarnya, menurut pandangan Islam,
perilaku menolong dan perilaku hidup prososial adalah merupakan fitrah manusia,
artinya kecenderungan untuk melakukan perilaku menolong sudah ada dalam diri
manusia, tinggal lingkungan memberikan support, apakah akan memunculkannya atau
tidak.
Faktor-Faktor yang Mmpengaruhi Perilaku Menolong
Menurut Wortman dkk. ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang
dalam memberikan pertolongan kepada orang lain.
1. Suasana hati.
Jika suasana hati sedang enak, orang juga akan terdorong untuk memberikan
pertolongan lebih banyak. Itu mengapa pada masa puasa, Idul Fitri atau menjelang
Natal orang cenderung memberikan derma lebih banyak. Merasakan suasana yang
enak itu orang cenderung ingin memperpanjangnya dengan perilaku yang positif. Riset
menunjukkan bahwa menolong orang lain akan lebih disukai jika ganjarannya jelas.
Semakin nyata ganjarannya, semakin mau orang menolong (Forgas & Bower).
Bagaimana dengan suasana hati yang buruk? Menurut penelitian Carlson &
Miller, asalkan lingkungannya baik, keinginan untuk menolong meningkat pada orang
yang tidak bahagia. Pada dasarnya orang yang tidak bahagia mencari cara untuk keluar
dari keadaan itu, dan menolong orang lain merupakan pilihannya. Tapi pakar psikologi
lain tidak meyakini peran suasana hati yang negatif itu dalam altruisme.
2. Empati.
Menolong orang lain membuat kita merasa enak. Tapi bisakah kita menolong
orang lain tanpa dilatarbelakangi motivasi yang mementingkan diri sendiri (selfish)?
Menurut Daniel Batson bisa, yaitu dengan empati (pengalaman menempatkan diri pada
keadaan emosi orang lain seolah-olah mengalaminya sendiri). Empati inilah yang
menurut Batson akan mendorong orang untuk melakukan pertolongan altruistis.
3. Meyakini Keadilan Dunia.
Faktor lain yang mendorong terjadinya altruisme adalah keyakinan akan adanya
keadilan di dunia (just world), yaitu keyakinan bahwa dalam jangka panjang yang salah
akan dihukum dan yang baik akan dapat ganjaran. Menurut teori Melvin Lerner, orang
yang keyakinannya kuat terhadap keadilan dunia akan termotivasi untuk mencoba
memperbaiki keadaan ketika mereka melihat orang yang tidak bersalah menderita.
Maka tanpa pikir panjang mereka segera bertindak memberi pertolongan jika ada orang
yang kemalangan.
4. Faktor Sosiobiologis.
Secara sepintas perilaku altruistis memberi kesan kontraproduktif, mengandung
risiko tinggi termasuk terluka dan bahkan mati. Ketika orang yang ditolong bisa selamat,
yang menolong mungkin malah tidak selamat. Perilaku seperti itu antara lain muncul
karena ada proses adaptasi dengan lingkungan terdekat, dalam hal ini orangtua. Selain
itu, meskipun minimal, ada pula peran kontribusi unsur genetik.
5. Faktor Situasional.
Apakah ada karakter tertentu yang membuat seseorang menjadi altruistis?
Belum ada penelitian yang membuktikannya. Yang lebih diyakini adalah bahwa
seseorang menjadi penolong lebih sebagai produk lingkungan daripada faktor yang ada
pada dirinya.
6. Faktor Penghayatan Terhadap Agama
Agama manapun didunia ini semuanya menganjurkan perilaku menolong.
Sehingga semakin tinggi tingkat penghayatan keagamaan seseorang, maka semakin
tinggi pula perilaku menolongnya. Perilaku menolong didasari karena sikap berbakti
kepada manusia sebagai wujud ketaatannya kepada Tuhan. Sebagai orang yang
beriman pada Tuhan, tentu saja spiritualitas ini dikembangkan melalui persatuan dengan
Tuhan, juga dengan sesama umat manusia dan alam semesta ciptaan-Nya. Dengan itu,
prososial akan menjadi ciri khas yang melekat dalam diri seseorang karena orang lain
disadari sebagai bagian dari hidupnya. Prososial bukan lagi berupa tindakan temporer
yang disertai pamrih pribadi.
Munculnya Perilaku Menolong Masyarakat Suku Kajang
Masyarakat yang masih memegang teguh adat-istiadat akan selalu kita jumpai
perilaku ini. Masyarakat Suku Kajang, menganggap hidup yang individualis adalah hidup
yang menyimpang dan antisosial dan dalam pergaulan dimasyarakat akan dikucilkan
karena dianggap melanggar norma dan tatanam adat yang ada.
Teori munculnya perilaku menolong, ataupun factor-faktor yang mempengaruhi
perilaku menolong, menjadikan lingkungan sebagai alat utama pembentuk sikap
menolong ini. Walaupun ada beberapa pandangan lain yang menganggap bahwa sikap
altruis itu sudah dibawah sejak lahir (Pandangan Islam), tetapi masih membutuhkan
lingkungan sebagai tempat sosialisasi dalam mengembangkan fitrah/potensi altruis ini.
Masyarakat Suku Kajang sebagai suku yang menjunjung tinggi sikap menolong (rera)
dan merupakan suatu norma dalam hubungan antar anggota suku (masyarakat)
membuat perilaku menolong tidak asing bagi masyarakat Kajang. Keadaan alam yang
masih sukar untuk ditaklukkan sendiri, sehingga masih membutuhkan bantuan orang
lain. Lingkungan Suku/daerah yang mendukung munculnya perilaku altruis memupuk
tumbuh suburnya sikap ini. Suku Kajang yang terkesan tertutup membuat suku ini jauh
dari pengaruh budaya-budaya lain yang bersifat negatif.
Penutup
Kemunculan sikap Altruisme sangat dipengaruhi oleh lingkungan sebagai tempat
sosialisasi pertama manusia, terutama anak yang masih dalam tahap perkembangan.
Lingkungan yang mendukung timbulnya perilaku ini, kemungkinan besar akan
menumbuhkan suatu sikap yang altruis dalam masyarakatnya. Begitupula sebaliknya,
lingkungan yang masyarakatnya hidup individual dan menutup diri, akan menciptakan
masyarakat yang tidak bersahabat, lebih mementingkan kepentingan sendiri tanpa
sedikitpun memikirkan kepentingan orang lain.
Masyarakat yang masih jauh dari pusat perkembangan zaman modern, misalnya
Suku Kajang yang masih memegang teguh adat istiadat, sikap altruis ini akan mudah
kita dapati. Karena pada dasarnya, sikap altruism ini ada pada setiap orang, dan budaya
tergantung pada seberapa besar lingkungan mengembangkannya. Di suku manapun,
perilaku ini akan kita lihat keberadaannya.
Daftar Pustaka
Sarwono, Sarlito Wirawan.2005 Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka
Faturochman.2006.Pengantar Psikologi Sosial.Yogyakarta: Penerbit Pinus
Sarwono, Sarlito Wirawan.2006.Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada
http://psikotikafif.wordpress.com/2008/10/11/hidup-selaras-dengan-alam-sebagai-kosmologi-suku-kajang-bulukumba-sulawesi-selatan/
Rera adalah kerja sama, dengan kata lain gotong royong
Pasang adalah aturan-aturan lisan yang dihapal turun temurun
Kajang, tanah yang bersahaja
David O. Sears.1990.Psikologi Sosial