PERILAKU KELOMPOK UNDP (UNITED NATIONS DEVELOPMENT PROGRAMME) DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN DI...
description
Transcript of PERILAKU KELOMPOK UNDP (UNITED NATIONS DEVELOPMENT PROGRAMME) DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN DI...
1
PERILAKU KELOMPOK UNDP (UNITED NATIONS DEVELOPMENT
PROGRAMME) DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA
STUDI KASUS PROGRAM PE-PP
(PARTNERSHIP FOR E-PROSPERITY FOR THE POOR)
TAHUN 2004-2008
JURNAL
Disusun Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Hubungan Internasional
dengan Peminatan International Development
di Fakultas Ilmu Hubungan Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang
OLEH :
DEVI RENATHA
NIM. 0811240008
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
2
ABSTRACT
UNDP (United Nations Development Program) represents an international
organization with the duty to campaign the development program for the
developing countries. Indeed, UNDP attempts to build a global consensus to
determine policy and program in the development matters. A program
recommended by UNDP is e-development. It is said that e-development based
development program is a program with information and communication
technologies as the device. This program is aimed to open the access of
information and communication for the poor community. UNDP Grant Program
for Indonesia is known as Partnership for e-Prosperity for the Poor (Pre-Poor)
that is implemented in the form of telecenter development.
This program triggers a debate about the benefit and the weakness. E-
development has been implemented in six (6) regions of Indonesia. However, in
majority, its implementation potential is emphasized on the rural. It indicates that
the behavior of epistemic community is important to articulate the program.
Epistemic community is a network of experts to provide important information to
the policy-maker by interpreting a problem of science (knowledge) and offering
the solution to this problem. This network is run through set of strategies of
disseminating idea and value of certain issue.
This final paper is examining how group behavior (epistemic community)
of UNDP in the development sector is influencing the community group through
technology (ICT4PR) in the implementation of Pe-PP.
Keywords: UNDP, ICT4PR, epistemic community, e-development, telecenter,
strategies of disseminating idea and value
1. Masuknya Program Pengentasan Kemiskinan Berbasis TIK di Indonesia
Dalam sub-bab ini secara khusus akan membahas mengenai garis besar
sejarah masuknya program Pe-PP di Indonesia. Pembahasan tersebut akan dibagi
kedalam 2 (dua) periodesasi yakni sidang Konferensi World Summit on the
Information Society (WSIS) tahun 2003-2005 dan Program Partnership for e-
3
Prosperity for the Poor (Pe-PP) United Nations Development Programme
(UNDP) tahun 2004-2007. Penjelasan tersebut dimaksudkan agar pembaca lebih
memahami mengenai bagaimana gambaran tentang pembangunan berbasis e-
development atau pembangunan berbasis TIK di Indonesia.
1.a Konferensi World Summit on the Information Society (WSIS) pada
Tahun 2003-2005 Sebagai Landasan Operasional
Periode ini merupakan masa dimana WSIS dianggap sebagai titik awal
mula menyebarnya program e-development atau pembangunan berbasis TIK di
berbagai negara berkembang. WSIS adalah “suatu konferensi tingkat tinggi atau
forum pertemuan sidang puncak para pemimpin negara-negara didunia dalam
rangka membangun masyarakat informasi yang terpusat pada manusia, yang
inklusif dan berorientasi pada pembangunan” (ITU,2005:6).
Dijelaskan oleh UNDP (2007:3) bahwa masyarakat informasi adalah
masyarakat yang demokratis dengan menggunakan proses komunikasi yang
terpusat dan bersifat horizontal. Proses komunikasi tersebut berbasis pada
pengetahuan masyarakat (knowledge based society) dan pemanfaat informasi,
serta pengetahuan secara tepat. Diharapkan pertumbuhan ekonominya nanti akan
berbasis pada informasi dan pengetahuan serta perkembangan teknologi infomasi
(UNDP, 2007:3).
Konferensi tingkat internasional tersebut diatas didasarkan pada
pemikiran, tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip piagam perserikatan PBB, hukum
internasional dan multilateralisme (ITU,2005:6). Tidak hanya itu WSIS juga
4
didasarkan pada penghormatan dan penjunjungan tinggi terhadap Deklarasi
Universal Hak Azasi Manusia (ITU,2005:7).
Sehingga diharapkan bangsa dimanapun dapat menciptakan, mengakses,
menggunakan dan berbagi informasi dan pengetahuan. Serta mendayagunakan
kemampuan mereka sepenuhnya. Dalam rangka mencapai tujuan dan maksud
pembangunan yang disepakati secara internasional, termasuk tujuan pembangunan
milenium (Millennium Development Goals/MDGs).
Bisa dikatakan bahwa forum WSIS merupakan suatu momen penting di
dunia teknologi dan informasi atau telematika. Sebab dengan adanya forum
tersebut teknologi secara formal (legitimasi) mulai diakui sebagai sarana utama
dalam rangka memecahkan masalah-masalah pembangunan bangsa-bangsa di
dunia.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Nagy Hanna (2009:3) dalam bukunya
From Envisioning to Design e-development atau pembangunan berbasis TIK : The
Experience of Srilanka, bahwa e-development atau pembangunan berbasis TIK
dianggap sebagai wajah baru (inovasi) dalam pembangunan yang ditengarai oleh
konferensi tingkat internasional, khususnya sidang PBB melalui WSIS.
Konferensi internasional inilah yang menjadi konsensus negara anggota untuk
menerapkan program e-development atau pembangunan berbasis TIK di
negaranya. Hal ini menurut Haas (1992:375) merupakan suatu metode kerja dari
epistemic community ICT4PR-UNDP dalam think tank (wadah berfikir) sebagai
upaya pengaruh suatu program yang berbentuk inovasi kebijakan.
5
Dalam sambutannya (pada WSIS tahun 2003), Kofi Annan
(Moedjiono,2006:9-11) selaku Sekretaris Jenderal PBB menyatakan bahwa
pertemuan atau sidang tersebut bertujuan untuk penyelesaian masalah (summit of
solutions) dalam menjembatani atau merubah masalah-masalah kesenjangan
digital (digital divide) menjadi peluang digital (digital oppotunity). Hal ini selaras
dengan apa yang diungkapkan oleh Jill Steans dan Llyod Pettiford (2009:126-127)
yang berpendapat bahwa interaksi aktor non-negara tersebut menciptakan
masalah-masalah yang membutuhkan kerjasama untuk memecahkannya
diberbagai bidang.
Dalam sidang WSIS tersebut telah disepakati 4 hasil dokumen keluaran
(Moedjiono,2006:15), yaitu dua (2) dokumen keluaran pada tahap I di Geneva,
Swiss dan dua dokumen keluaran pada tahap II di Tunis, Tunisia
(Moedjiono,2006:11).
Dokumen pada keluaran tahap I di Geneva, Swiss adalah Deklarasi
Prinsip-prinsip (Geneva Declaration of Principles) dan Rencana Aksi (Geneva
Plan of Action). Dokumen ini keluar pada tanggal 12 Desember 2003. Geneva
Declaration of Principles adalah deklarasi yang menyatakan keinginan dan
komitmen pemerintah berbagai negara untuk membangun masyarakat informasi
secara menyeluruh(Moedjiono,2006:17-20). Geneva Plan of Action adalah
deklarasi yang menerjemahkan dan mewujudkan keinginan bersama untuk
mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka mengatasi
„kesenjangan digital‟(Moedjiono,2006:33-35).
6
Sedangkan dokumen keluaran pada tahap II di Tunis, Pernyatan/
Komitmen Politis Tunisia(Tunis Commitment) dan Agenda untuk mewujudkan
Masyarakat Informasi (Tunis Agenda for the Information Society). Dokumen ini
keluar pada tanggal 18 November tahun 2005. Tunis Commitment adalah
„payung‟ komitmen politik kepala negara dalam mewujudkan masyarakat
informasi (Moedjiono,2006:62-66). Tunis Agenda for the Information Society
merupakan pedoman operasional untuk mewujudkan masyarakat
informasi(Moedjiono,2006:71-77).
Indonesia merupakan salah satu negara yang telah menandatangani
konvensi internasional tersebut. Sehingga pemerintah Indonesia terikat secara
konsensus untuk merespon (follow-up) untuk memanfaatkan teknologi informasi
dan teknologi sebagai inovasi dalam upaya pembangunan di Indonesia.
Hal inilah yang melatar belakangi Indonesia mau dan harus menerapkan
model pembangunan berbasis TIK atau e-development atau pembangunan
berbasis TIK. Sebab berdasarkan hasil-hasil kesepakatan sesuai dengan dokumen
keluaran tersebut (ITU,2005:6-15), diharapkan masing-masing negara segera
menindaklanjutinya dengan membuat konsep strategis pembangunan telematika
nasional (national e-Strategy), yang melibatkan semua pemangku kepentingan
(stakeholder) dan selalu melaporkan kemajuan hasilnya, yang kemudian akan
dicantumkan dalam Dokumen Buku Emas (Golden Book-Stocktakings).
Gambaran peran masing-masing stake-holders di bidang telematika adalah
sebagai berikut (Moedjiono,2006:6-7)) :
1. Pemerintah (Nasional maupun Lokal)
7
a. Menciptakan kebijakan dan aturan yang komprehensif (transparan,
pengurangan resiko dan keikutsertaan semua pemangku kepentingan).
b. Mengukur dan memonitor maslah-masalah kesenjangan digital.
c. Mengidentifikasi permaslahan dan menyelenggarakan konsultai terbuka.
d. Mempromosikan e-strategi. Yakni strategi yang didasarkan pada
pembangunan yang memanfaatkan teknologi dan informasi sebagai
alatnya.
e. Mempromosikan kompetisi.
2. Sektor swasta (penyedia barang/perangkat keras, penydia jasa aplikasi
perangkat lunak serta kelompok wirausaha industri telematika):
a. Memperkuat dan memberdayakan hubungan masyarakat.
b. Melatih tenaga kerja yang bersemangat tinggi.
c. Memperluas pasar.
d. Mempromosikan kesadran tentang keuntungan pemberdayaan teknologi
telematika.
e. Mempromosikan penggunaan jasa bidang telematika.
3. Masyarakat madani/ sipil (individu, perorangan, media, lembaga swadaya
masyarakat dan institusi akademis) :
a. Menyampaikan kebutuhan sosial masyarakt yang sangat urgent atau
penting.
b. Responsif terhadap kebutuhan dan batasan-batasan kultural masyarakat.
c. Menyempurnakan legitimasi dan kepemilikan proyek-proyek yang
menjadi lingkupnya.
8
4. Organisasi internasional :
a. Mendorong terwujudnya koordinasi untuk pembuatan standar-standar
kebijakan bersama.
b. Menyediakan forum –forum untuk saling berbgai pengetahuan,
pengalaman dan sumber daya.
c. Mempromosikan kerjasama.
d. Menyediakan tenaga ahli.
Untuk meyakinkan terlaksananya hasil-hasil kesepakatan ini, sekjen PBB
selalu mendorong dan memantau lancarnya pelaksanaan kerjasama ini dibidang
telematika melalui berbagai kegiatan dan ketentuan yang tercantum dalam
agenda/arahan aksi Action Lines(ITU,2006:6). Masing-masing agenda akan
dimoderatori oleh berbagai pihak yang telah ditunjuk, sebagai moderator
pelaksana, sesuai dengan yang tercantum dalam dokumen kesepatakan.
Hal tersebut diatas telah mencerminkan adanya pengaruh PBB pada
Indonesia. Pengaruh dapat dilihat dari kesepakatan dan perjanjian Indonesia
dalam Konferensi WSIS. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Gramsci (1971:12),
bahwa pengaruh ditandai dengan adanya power berupa konsensus yang telah
disepakati.
1.b Program Partnership for e-Prosperity for the Poor (Pe-PP)
United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2004-2007
Periode ini merupakan fokus utama dalam penelitian penulis. Pe-PP adalah
“sebuah program kemitraan dalam stategi pengurangan kemiskinan melalui
9
pemanfaatan teknologi infomasi dan komunikasi (TIK)” (UNDAF,2002:1).
Program ini merupakan hasil kerjasama antara Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS) dan UNDP. Adapun bantuan yang diberikan oleh UNDP
yakni berupa hibah senilai USD 1.479.795,-. Program bantuan ini dimulai pada
tahun 2004. Tujuan dari kerjasama tersebut adalah berupaya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat miskin melalui kemitraan dan pemanfaatan TIK
(UNDP,2004:1-6).
Dalam kerjasamanya, UNDP membentuk kelompok khusus untuk
membahas program-program pengentasan kemiskinan melalui TIK di Indonesia.
Kelompok dibawah naungan UNDP ini di sebut sebagai tim ICT4PR
(UNDP,2004:5). Wujud nyata dari pemanfaatan TIK tersebut berbentuk
pembangunan telecenter. Telecenter merupakan salah satu wadah dari model
pemanfaatan keunggulan TIK yang diarahkan untuk menyediakan pusat
pelayanan akses informasi bagi masyarakat pedesaan. Pelayanan akses tersebut
berbasis internet dan dikelola oleh masyarakat (UNDP:4-6). Kegiatan tersebut
selaras dengan visi dan misi dari WSIS yang dideklarasikan di Geneva, Swiss
pada tahun 2003 (Moedjiono,2006:13). Visi dan misi WSIS tersebut adalah
membangun masyarakat informasi dengan memanfaatkan teknologi dan
informasi teknologi yang ada (UNDP:4-6).
Tujuan dari pendirian telecenter di pedesaan ini adalah untuk
meningkatkan pengetahuan, pendapatan, kualitas sumber daya manusia
masyarakat miskin (petani dan nelayan) terutama dalam hal pengelolaan usaha
dan pemasaran hasil usaha (UNDP,2004:9).
10
Dalam implementasi program Pe-PP ini, penentuan lokasi pilot project
telecenter di tentukan oleh beberapa syarat. Pertama, kondisi lokasi tersebut
terdiri dari daerah-daerah yang kondisinya 30-40 % adalah miskin. Kondisi
miskin tersebut juga dipertimbangkan oleh tim dari BPDE, Dinas Infokom, Dinas
Pertanian, dan Bapemas. Kedua, komitmen yang kuat dari pemerintah lokal.
Ketiga, terdapat sumber daya potensial dalam proses pembangunan masyarakat
miskin. Dari hasil pertimbangan tersebut akhirnya dipilihlah 6 (enam) kawasan
fokus regional untuk pembangunan pilot project pembangunan telecenter yakni di
provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Jawa Timur, Jawa
Tengah dan Papua (UNDP,2004:9-12).
Menurut Hardjono (2006:419) pendekatan program Pe-PP di Indonesia ini
dititik beratkan pada pembangunan masyarakat informasi yang bersifat bottom-up.
Bottom-up adalah pembangunan masyarakat yang berakar pada kebutuhan
masyarakat itu sendiri(Hardjono, 2006:419).
Selain pendirian telecenter, dalam program Pe-PP juga melakukan
pendekatan partisipasi (partisipatory). Pendekatan tersebut dilakukan melalui
pendampingan intensif selama satu tahun kepada kelompok-kelompok masyarakat
desa. Tujuannya adalah agar mereka dapat menjadi kelompok mandiri yang terus
menerus meningkatkan kapasitas dirinya (Hardjono, 2006:419).
Pendampingan kepada masyarakat pedesaan dan kelompok miskin ini
merupakan proses yang disebut dengan infomobilisasi. Karena dengan
pendampingan ini, maka layanan dan informasi yang diberikan telecenter adalah
benar-benar yang dibutuhkan masyarakat.Kegiatan infomobilisasi inilah yang
11
kemudian dilakukan oleh para epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP dalam
penyebaran ide pembangunan berbasis e-development atau pembangunan berbasis
TIK.
2. Pola Pengaruh Epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP dalam
Program E-development atau pembangunan berbasis TIK di Indonesia
Dalam sub-bab ini akan membahas bagaimana pengaruh epistemic
community ICT4PR-UNDP UNDP dalam program e-development atau
pembangunan berbasis TIK di Indonesia. Penelitian terhadap kasus ini dilihat dari
pilar pengaruh UNDP, power yang di miliki UNDP, dan strategi pengaruh
epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP dalam program e-development atau
pembangunan berbasis TIK. Pembahasan akan disesuaikan dengan kerangka
pemikiran peneliti, yakni mengenai pola perilaku kelompok UNDP di bidang TIK.
Analisa mengenai hal tersebut akan dibahas secara mendalam sebagai berikut :
2.a Pilar Pengaruh Epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP di
Indonesia
Menurut Gramsci (1976:213-214), terdapat dua (2) pilar penting dalam
pengaruh. Dua pilar tersebut adalah konsesus dan legitimasi. Suatu aktor harus
memiliki dua pilar penting tersebut agar dapat menjalankan tugasnya sebagai
aktor peng-hegemon. Begitu halnya dengan para pakar (epistemic community
ICT4PR-UNDP) UNDP yang tidak serta merta dapat menjadi aktor hegemon
dalam penyebaran ide dan nilai e-development atau pembangunan berbasis TIK.
12
Konsesus didapatkan dari kesepakatan/konsensus (Memorandum of
Understanding/ MoU) UNDP dan Indonesia melalui program bantuan
pembangunan Pe-PP pada tahun 2004 (UNDP,2004:1). Kesepakatan tersebut
harus diimplementasikan oleh kedua pihak. Agar Indonesia dapat menerapkan ide
dan nilai pembangunan yang di usung oleh UNDP sesuai dengan konsesus yang
ada.
Indonesia merupakan salah satu negara yang telah menandatangani
konvensi internasional WSIS. Dimana WSIS telah mensyaratkan anggotanya
untuk turut berkontribusi dalam menciptakan masyarakat informasi (ITU,2005:6-
15). Terciptanya masyarakat informasi tersebut diharapkan dapat berkontribusi
pada pencapaian MDG‟s. Sehingga pemanfaatan teknologi informasi dan
teknologi menjadi perhatian utama dalam upaya pembangunan masyarakat di
Indonesia.
Hal inilah yang melatar belakangi Indonesia mau dan harus menerapkan
model pembangunan berbasis TIK atau e-development atau pembangunan
berbasis TIK. Sebab berdasarkan hasil-hasil kesepakatan yang sesuai dengan
dokumen keluaran tersebut (ITU,2005:6-15), diharapkan masing-masing negara
segera menindaklanjutinya. Tindak lanjut yang diharapkan adalah dengan
membuat konsep strategis pembangunan telematika nasional (national e-
Strategy). Konsep strategis yang melibatkan semua pemangku kepentingan
(stakeholder) dan selalu melaporkan kemajuan hasilnya, yang kemudian akan
dicantumkan dalam Dokumen Buku Emas (Golden Book-Stocktakings).
13
Adapun upaya pengaruh yang dilakukan oleh para pakar UNDP dalam
program tersebut adalah dengan bercermin pada prioritas nasional. Prioritas
nasional tersebut berasal dari United Nation Development Assitance Framework
(UNDAF) for the Republic Indonesia tahun 2002-2005. UNDAF merupakan suatu
framework berdasarkan Common Country Assesment (CCA) untuk mengurangi
kemiskinan dan keadilan sosial yang dapat berkontribusi pada prioritas
pembangunan Indonesia (UNDP,2004:3).
Bantuan UNDP untuk mencapai tujuan tersebut ditempuh melalui
beberapa hal. Pertama, membangun sebuah strategi nasional. Proses
pembangunan strategi TIK untuk pemberdayaan manusia yang fokus dalam
pengentasan kemiskinan. Dimana pengentasan kemiskinan tersebut tidak terlepas
dari konteks MDG‟s. Kedua, membuat formulasi teknis. Pembuatan sebuah projek
bantuan teknikal ini ditujukan untuk mempermudah implementasi yang
diselaraskan dengan strategi nasional Indonesia.
Seperti halnya yang telah diungkapkan oleh Gramsci(1976:57-58), bahwa
supremasi sebuah kelompok dapat mewujudkan diri dalam dua hal yakni, sebagai
dominasi kepemimpinan intelektual dan moral untuk menundukkan aktor lain
dimana konsesus adalah wujud dari power yang dimiliki aktor tersebut. Dalam
kasus ini, para pakar epistemic community ICT4PR-UNDP dibawah naungan
UNDP bertindak sebagai kelompok yang mendominasi kepemimpinan intelektual
dalam penyebaran ide dan nilai program e-development atau pembangunan
berbasis TIK.
14
Gramsci (1976:213-214) mensyaratkan bahwa kebijakan yang dikeluarkan
oleh aktor hegemon harus sesuai dengan kepentingan masyarakat. Syarat yang
diberikan oleh UNDP pada pemerintah Indonesia sangat sesuai dengan syarat
yang diajukan oleh Gramsci (1976:213-214). Dimana program e-development
atau pembangunan berbasis TIK merupakan salah satu cara pengentasan
kemiskinan yang menyangkut hidup masyarakat miskin di Indonesia. Agar dapat
mengubah kehidupannya lebih baik dan dapat berkontribusi pada pembangunan
negara serta poin pertama dalam MDGs (UNDP,2004:13-16).
Dalam situasi pengaruhk seperti itulah, konsesus mengambil bentuk
berupa komitmen aktif yang didasarkan secara mendalam pada pandangan bahwa
posisi superior dari kelompok penguasa adalah legitimate. Indonesia yang
memberikan persetujuannya harus benar-benar menganggap bahwa kepentingan
dari kelompok dominan merupakan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Dan bahwa kelompok tersebut berperan untuk mempertahankan tatanan sosial
sebagaimana yang dikehendaki oleh semua orang (Femia,1987:42).
Holub (1992:43) berpendapat bahwa persetujuan tersebut diperoleh
melalui sistem dan struktur kepercayaan, nilai, norma, dan praktik keseharian
yang secara tidak disadari melegitimasi tatanan yang ada. Sehingga apa yang telah
menjadi konsensus bersama dapat menjadi menghasilkan dasar hukum yang
formal di Indonesia, seperti halnya pengesahan UU RI no.11 tahun 2008.
Selain persetujuan (konsensus), aspek penting lainnya adalah legitimasi.
Menurut Gramsci (dalam Masykur,2008:9-10), persetujuan yang diberikan oleh
15
kelompok atau kelas yang dipimpin sama artinya dengan legitimasi bagi kelas
atau kelompok yang memimpin. UNDP telah mendapatkan legitimasinya melalui
konsesus (persetujuan) dengan pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan
program e-development atau pembangunan berbasis TIK di Indonesia. Legitimasi
yang dihasilkan merupakan jalan bagi para epistemic community ICT4PR-UNDP
untuk menyebarkan persepsi tentang ide dan nilai e-development atau
pembangunan berbasis TIK ke masyarakat.
Cox (dalam Bieler, 2004:87-88) menambahkan bahwa dalam skala global,
pengaruh didasarkan pada koherensi antara konfigurasi kekuatan material, imaji
kolektif tentang tatanan dunia yang ada (meliputi norma-norma tertentu). Serta
seperangkat institusi yang berfungsi untuk mengoperasionalkan imaji tersebut
secara universal. Dalam hal ini UNDP sebagai aktor hegemon berfungsi untuk
mengoperasionalkan norma-norma dan persepsi tentang keefektifan e-
development atau pembangunan berbasis TIK dalam pengurangan kemiskinan
melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.
16
2.b Strategi Pengaruh Epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP di
Indonesia
Pada sub-bab ini akan menjelaskan mengenai bagaimana strategi yang
dilakukan oleh epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP dalam penyebaran
ide dan nilai e-development atau pembangunan berbasis TIK di Indonesia. Strategi
ini disebut dengan diffusion of information and learning strategy. Penjelasan lebih
lanjut akan ditinjau dari bagaimana implementasi yang telah dilakukan selama
berjalankan program bantuan Pe-PP dalam kurun waktu 2004-2008. Tinjauan
tersebut dilihat dari metode kerja yang diusung oleh Haas (1992:375), yakni
inovasi kebijakan (policy inovation), difusi kebijakan (policy diffusion), dan
seleksi kebijakan (policy selection).
Dilihat dari sebelumnya program ini berjalan, kondisi teknologi informasi
dan komunikasi (TIK) di Indonesia relatif tertinggal dibanding dengan negara
lain. Bila dilihat dengan menggunakan indeks pengembangan TIK yang
dikembangkan UNCTAD-UNDP tahun 2003, Indonesia menduduki peringkat ke-
77 dari 171 negara (UNCTAD,2003:1). Berlanjut pada survei tahun 2004,
Indonesia menempati peringkat ke-59 dari 64 negara yang disurvei
(UNCTAD,2004:1)..
Ditinjau dari Networked Readiness Index (NRI), yaitu derajat angka
sebuah komunitas siap untuk berpartisipasi dalam Dunia Terhubung Jaringan
(Networked World), Indonesia menempati peringkat ke-59 dari 75 negara yang
disurvei (NRI,2003:7). Dari segi penggunaan komputer, Indonesia menempati
peringkat ke-29 dari 44 negara yang disurvei (NRI,2003:7).
17
Berdasarkan tinjauan data diatas kesenjangan penggunaan TIK di
Indonesia termasuk pada kelompok rendah, khususnya di negara-negara Asia. Hal
tersebut berarti bahwa distribusi pengguna komputer dan internet belum merata.
Oleh sebab itu, pemanfaatan potensi TIK untuk membantu upaya pemerintah
Indonesia dalam mengentas masyarakat dari kemiskinan menghadapi banyak
hambatan. Salah satunya adalah kondisi infrastruktur Indonesia yang masih
miskin dan terbelakang (UNDP,2006:6).
Dijelaskan oleh UNDP (2004:2), bahwa pada tahun 2004, infrastruktur
Indonesia hanya melayani 1-5% penduduk Indonesia. Akibatnya, pembahasan
TIK banyak berpusat pada pengunaan TIK untuk pengembangan industri, bisnis,
dan pemerintahan. Hal terrsebut yang menyebabkan masih adanya gap
(kesenjangan) informasi pada masyarakat miskin.
Walaupun terdapat hambatan-hambatan tersebut, pemerintah Indonesia
tetap mencoba melaksanakan komitmen hasil sidang WSIS. Dengan
mengimplementasikan ide dan nilai e-development atau pembangunan berbasis
TIK melalui kerjasama anatara UNDP dan pemerintah Indonesia (Bappenas)
dalam program Pe-PP berbentuk pembangunan telecenter. Menurut Santoso
(2011:120) telecenter merupakan TIK dalam bentuk pusat komunitas multimedia
(terutama di pedesaan) yang bertindak sebagai titik akses untuk keterhubungan
komunitas, pengembangan kemampuan lokal, pengembangan materi dan
komunikasi, serta berfungsi sebagai pusat penerapan strategi TIK.
Dipaparkan oleh Hardjono (2006:418-419) bahwa telecenter percontohan
yang didirikan Pe-PP telah memfasilitasi kelompok-kelompok masyarakat dalam
18
membangun kultur informasi dan komunikasi. Dalam proses ini, terdapat unsur
pemahaman atas kondisi saat ini, pengenalan atas faktor-faktor penunjang, dan.
Strategi Global yang dilakukan oleh epistemic community ICT4PR-UNDP
UNDP ini mengacu pada program ICT for Poverty Reduction (ICT4PR). ICT4PR
( adalah program global yang menjadi kesepakatan negara-negara yang mengikuti
World Summit on the Information Society (WSIS).
Konferensi Internasional yang pertama kali digelar pada tahun 2003 di
Geneva ini menghasilkan Deklarasi Prinsip-prinsip Geneva, Rencana Aksi
Geneva, dan Agenda Tunisia untuk masyarakat Informasi. berdasarkan hasil
kesepakatan itu, diharapkan masing-masing negara menindak lanjuti dengan
membuat konsep strategis telematika nasional (national e-strategy). Konsep e-
strategy tersebut melibatkan semua pemangku kepentingan, yakni pemerintah
(lokal maupun nasional), sektor swasta, masyarakat, dan organisasi internasional.
Pada level nasional, strategi yang dilakukan oleh epistemic community
ICT4PR-UNDP UNDP mengacu pada kebijakan Garis-garis Bantu Haluan
Negara 1999-2004 (GBHN) dan Program Pembangunan Nasional 2000-2004
(PROPENAS). Berdasarkan pada PROPENAS tahun 2000-2004, pengurangan
kemiskinan adalah kunci dari pembangunan. Kunci pembangunan tersebut secara
detail terdiri dari pertumbuhan investasi, sumberdaya manusia, akses yang layak,
dan kesempatan.
Strategi yang dilakukan oleh epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP
didasarkan pada refleksi prioritas nasional (Indonesia) yang tertuang dalam
United Nations Development Assistance Framework (UNDAF) tahun 2002-2005.
19
Strategi penyebaran ide dan pembelajaran program e-development atau
pembangunan berbasis TIK ini oleh epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP
ini menemui beberapa kendala. Kendala utamanya adalah mengubah persepsi dan
mengenalkan teknologi sebagai alat pemenuhan kebutuhan masyarakat miskin.
Masyarakat miskin Indonesia (khususnya pedesaan) yang pada awalnya kurang
memahami penggunaan teknologi tersebut, merasa kesulitan dengan adanya
teknologi baru tersebut (Muslim,2007:19).
Para epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP ini bertugas untuk
mengpengaruh dalam memberikan mekanisme bantuan untuk menghadapi
keadilan sosial dan pengurangan kemiskinan. Hal tersebut dilakukan melalui cara
mempromosikan kebijakan-kebijakan yang sensitif terhadap kemiskinan dan
standar kesepakatan pengurangan kemiskinan. Selain itu mereka juga bertugas
untuk mempromosikan kesejahteraan untuk masyarakat miskin melalui akses
informasi. Serta mendukung mobilisasi dan organisasi agar berkontribusi dalam
ketenaga kerjaan, aset produktif, dan pendapatan masyarakat miskin.
Menurut Haas (1992:375), kegiatan promosi tersebut merupakan bentuk
inovasi kebijakan (policy inovation). Dalam metode kerja dari epistemic
community ICT4PR-UNDP, inovasi kebijakan digunakan untuk pembentukan
frame bahwa terdapat permasalahan kemiskinan yang salah satunya disebabkan
oleh kesenjangan akses informasi. Permasalahan tersebut kemudian dipahami
sebagai suatu masalah yang dapat di tangani dengan memberikan peluang digital
bagi masyarakat miskin melalui program e-development atau pembangunan
berbasis TIK.
20
Epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP menggunakan TIK sebagai
alat yang krusial dalam program Pe-PP. Sehingga dibutuhkan waktu 1 (satu) tahun
persiapan untuk implementasi program bantuan Pe-PP (UNDP,2004:14).
Pemberdayaan teknologi informasi dan komunikasi diarahkan pada pembangunan
manusia (Human Development) bertujuan untuk membangun sebuah strategi
rasional yang fokus pada pengurangan kemiskinan pada konteks MDGs dan
merumuskan sebuah proyek bantuan teknik.
Implementasi dari dilakukannya pengaruh epistemic community ICT4PR-
UNDP UNDP dalam program e-development atau pembangunan berbasis TIK di
Indonesia, dapat gambarkan sebagaimana berikut :
21
Gambar 1. Implementasi program Pe-PP oleh kelompok ICT4PR-UNDP
dalam di Indonesia
Telecentre 2... Telecentre 1
Regional Consultation for
Selection of pilot location and host organization determining management arrangement
Assesment for Baseline Establishment/ Etnohgraphic Action Research for
Understading local context identifying demands, challenges and opportunities
Info-mobilisation/Telecentre Set –up for Reaching oaut the poor/community matching demand and supply of information system developing local info contents.
Trainings Telecenter management and maintenance Basic computer literacy for community Info-mobilisation/ leadership training Community specific training on demand Training by partners
Support for Community Development Developign or improving income generation activities for the poor improving social service provision
Sustained operation and evolution of telecentre as community development centre
Forging partnership for *Resources *Information/contents *Networking *Social Service Provision *Economic Opportunity
Empowering Community through *Awareness building *Leadership cultivation *Trainings *Community mobilisation *Access to Information *Access to social service * Participating in economic activities
Knowledge Sharing and Networking *Documentation and dissemination of experiences and practices *Building and maintaining the networks of partners and similar initiatives *Advocacy and poolicy up-streaming
22
Sumber : Diolah dari UNDP. 2004. Partnership for e- Prosperity for the Poor
(Pe-PP) 2004-2007. Diunduh tanggal 15 Februari 2012. Pada :
http://www.undp.or.id/archives/prodoc/ProDoc-Pe-PP.pdf. Hlm. 8
Berdasarkan gambar tersebut para epistemic community ICT4PR-UNDP
melakukan pengaruh melalui serangkaian proyek strategi dalam
mengimplementasikan program e-development atau pembangunan berbasis TIK
ini. Serangkaian proyek strategi ini merupakan bentuk dari difusi kebijakan
(policy diffusion) yang merupakan metode kerja dari epistemic community
ICT4PR-UNDP (Haas,1992;375). Difusi kebijakan tersebut ditempuh melalui
strategi kunci untuk mencapai tujuan program e-development atau pembangunan
berbasis TIK(lihat Schware,2005:1). Strategi kunci tersebut yakni pertama,
demonstrasi pilot (Demonstration Pilots). Demonstrasi pilot ini secara langsung
akan memberikan pengalaman baru yang akan membawa pada pemahaman yang
signifikan tentang bagaimana TIK dapat membantu masyarakat miskin.
Pemahaman tersebut berupa perencanaan dan pembuatan kebijakan TIK untuk
pengurangan kemiskinan (UNDP, 2004:5).
Kedua, melakukan kerjasama yang sinergi (forging partnership for
synergy). Seperti halnya yang diungkapkan oleh Nagy Hanna (2007:4) bahwa e-
development atau pembangunan berbasis TIK membutuhkan yang hubungan yang
sinergi dan holistik antar aktor pembangunan. Dalam MoU (UNDP,2004:6) juga
dijelaskan bahwa program e-development atau pembangunan berbasis TIK
membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat, pemerintah, pihak swasta, dan
organisasi non-pemerintah lokal.
23
Akan tetapi hasil temuan peneliti menyebutkan bahwa UNDP dalam
program ini tidak bekerjasama dengan pihak swasta. Contohnya saja tidak
terjalinnya hubungan kerjasama antara pihak UNDP dan Microsoft (World Bank,
2005:146). Hal tersebut disebabkan oleh pencitraan (branding) dan persepsi
masyarakat (public image) yang akan lebih menguntungkan pihak Microsoft.
Ketiga adalah penguatan komunitas (Community Empowerment).
Epistemic community ICT4PR-UNDP melakukan penguatan terhadap komunitas
miskin untuk keberlanjutan program e-development atau pembangunan berbasis
TIK itu sendiri. Dijelaskan bahwa penguatan komunitas miskin ini merupakan
jalan terbaik dalam mengatasi kemiskinan yang multidimensional (UNDP,
2004:5). Pengutan komunitas tersebut dilakukan oleh epistemic community
ICT4PR-UNDP UNDP melalui serangkaian kegiatan partisipasi masyarakat.
Partisipasi masyarakat ini didasarkan pada akses kegiatan informasi dan
komunikasi.
Keempat, penyebarluasan ide dan jaringan (Knowledge Sharing and
Networking). Seperti halnya yang diungkapkan oleh Peter M. Haas (1992:3),
bahwa tugas utama dari para epistemic community ICT4PR-UNDP ini adalah
penyebaran ide dan nilai baru pada masyarakat. Penyebaran ide dan pembentukan
jaringan oleh epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP dalam program e-
development atau pembangunan berbasis TIK ini disebut dengan infomobilisasi
(Information Economy Report,2007:277).
24
Untuk memahami lebih jauh bagaimana infomobilisasi pengaruh epistemic
community ICT4PR-UNDP UNDP dalam program e-development atau
pembangunan berbasis TIK di Indonesia pada tingkat lokal dapat dilihat pada
gambar berikut.
25
Gambar 2. Manajemen Epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP tingkat
Lokal
Pilot 4..
Pilot 3
Pilot 2
Pilot 1
National and local Partnes for Policy Changes
Advisory Board
KOMINFO TKTI
Menkokesra Menko ekon
Bappenas KPK
Donor working group Programme Manager
National Implementation Team
National Program me Director
Executive Agency
Implementing Agency (host org)
Project Officer
Infomobilisation team (2-3)
Telecenter staf
Steering Commitee
Local Government
DPRD
NGOs
Press/ Academics
Private Sector
Community Leaders
Beneficiary community
Representative from Designated local
from host org. Gov. officer
26
Sumber : Diolah dari UNDP. 2004. Partnership for e- Prosperity for the Poor
(Pe-PP) 2004-2007. Diunduh tanggal 15 Februari 2012. Pada :
http://www.undp.or.id/archives/prodoc/ProDoc-Pe-PP.pdf. Hlm. 18.
Berdasarkan gambaran di atas, dapat dipahami bahwa program e-
development atau pembangunan berbasis TIK membutuhkan hubungan yang
holistik antar aktor pembangunan. Hal ini menuntut adanya hubungan yang saling
bersinergi antara pemerintah Indonesia, masyarakat, dan pihak lain guna
keberlanjutan program e-development atau pembangunan berbasis TIK. Seperti
yang diungkapkan oleh Nagy Hanna (2007:1) bahwa pembangunan e-
development atau pembangunan berbasis TIK membutuhkan hubungan holistik
yang saling bersinergi antar aktor pembangunan.
Sehingga UNDP memjaring sebuah tim kader epistemic lokal sebagai
aktor difusi kebijakan dalam level nasional. Proses penjaringan tersebut dilakukan
secara ketat oleh UNDP. Penjaringan kader tersebut ditempuh melalui proses
seleksi yang dilakukan oleh UNDP, Bappenas, dan BPDE (sekarang Kominfo).
Kader yang telah dipilih bertugas untuk mensosialisasikan, mempromosikan, dan
mendekatkan program (kegiatan infomobilisasi) e-development atau
pembangunan berbasis TIK pada masyarakat lokal.
Kegiatan infomobilisasi di tingkat lokal melalui badan pemerintah
Indonesia menjadi kegiatan wajib yang dilakukan oleh epistemic community
ICT4PR-UNDP tersebut. Sebab kebanyakan masyarakat miskin (terutama kaum
orang tua) merasa bahwa penggunaan internet itu bukan kebutuhan utama mereka.
Terdapat kecanggungan dalam memanfaatkannya. Hal ini dipicu oleh masih
27
terdapatnya mayarakat miskin yang buta huruf dan menganggap bahwa untuk
mengoperasikan peralatan TIK itu dianggap terlalu sulit(Suti‟ah,2012:1). Hal
tersebut merupakan metode kerja seleksi kebijakan (policy selection) oleh
epistemic community ICT4PR-UNDP dalam upaya pengaruh program e-
development atau pembangunan berbasis TIK (Haas,1992:375-382).
Jadi inilah merupakan tugas penting bagi tim kader epistemic community
ICT4PR-UNDP lokal untuk mendekatkan program e-development atau
pembangunan berbasis TIK pada masyarakat. Seperti halnya yang diungkapkan
oleh Suti‟ah (2012;1), bahwa untuk mendekatkan program tersebut ditempuh
dengan beberapa jalan yakni membuat radio komunitas dan pendampingan pada
masyarakat. Sedangkan untuk kelompok masyarakat yang berpotensi untuk
belajar akan difasilitasi secara teknis melalui kursus komputer dan pendampingan
untuk mengakses internet. Sehingga masyarakat tidak merasa dipaksa untuk ikut
berpartisipasi dalam program tersebut.
Diharapkan dengan adanya pengaruh di tingkat lokal ini, dapat
mengalihkan proses dan ketrampilan metodologi kepada masyarakat. Sehingga
masyarakat mampu menjadi pelaku dalam proses pemecahan masalah mereka
sendiri. Bukan sekedar konsumen pemecahan masalah yang sudah dikembangkan
oleh suatu lembaga pengembangan masyarakat(Hardjono,2006:420). Masyarakat
difasilitasi oleh epistemic community ICT4PR-UNDP untuk mengidentifikasi
kebutuhan informasi dan komunikasinya, serta diberdayakan agar dapat
mengakses informasi dan berkomunikasi melalui telecenter
28
Dengan kata lain apa yang dilakukan oleh epistemic community ICT4PR-
UNDP ini adalah membantu masyarakat untuk mengubah persepsi. Persepsi
tersebut mengenai pengidentifikasian masalah. Pengidentifikasian masalah yang
di angkat adalah isu atas apa yang ingin dikehendaki dan dicapai pada masa
mendatang.
Kegiatan epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP yang dilakukan
pada strategi tingkat lokal ini merupakan upaya pengaruh untuk menciptakan
pembangunan yang bersifat bottom-up dan partisipatif. Hal tersebut sangat
penting, sebab pada pendekatan awalnya program ini bersifat top-down. Sehingga
dengan adanya pembangunan yang bersifat bottom-up ini masyarakat diharapkan
dapat mandiri dalam pencapaian kesejahteraan hidupnya.
Dari beberapa literatur yang ada, terdapat temuan masalah dalam
implementasi program tersebut. Berdasarkan Suti‟ah (2012:1) masih terdapat
Ego-Sektoral pada tingkat pemerintahan tinggi. Misalnya, program penggagas
dalam kerjasama UNDP adalah BPDE (sekarang menjadi Kominfo), maka yang
menjalankan hanya BPDE. Sektor lain tidak mau merespon. Contohnya, bila
terdapat kebijakan pembangunan telecenter di Provinsi, maka kabupaten tidak
bertanggung jawab. Permasalahan struktural amat kental dimana kemudian terjadi
pembicaraan mengenai siapa yang memiliki wewenang dalam pengelolaan apakah
itu pusat, provinsi, atau kabupaten. Contohnya, ketika tim epistemic community
ICT4PR-UNDP UNDP mengalami kesulitan untuk dapat diterima dikabupaten,
karena dianggap hal tersebut merupakan project dari pemerintah pusat (Suti‟ah,
2012:1).
29
Hal tersebut harus dipahami sebagai keterbatasan kemampuan epistemic
community ICT4PR-UNDP untuk menjangkau setiap permasalahan yang ada.
Sebab kembali lagi bahwa program yang di canangkan oleh UNDP ini merupakan
simultan dalam bantuan teknis. Diharapkan dengan adanya program simultan ini
pemerintah Indonesia dapat menangkap substansi dari program e-development
atau pembangunan berbasis TIK untuk direplika menjadi sebuah inovasi program
pembangunan.
3. Implikasi Program Pe-PP UNDP Di Indonesia Tahun 2004-2008
Sub-bab ini akan membahas mengenai implikasi dari implementasi
program e-development atau pembangunan berbasis TIK UNDP di Indonesia.
Pembahasan implikasi ini didasarkan pada data sekunder yang telah diolah oleh
peneliti. Data sekunder tersebut berasal dari berbagai sumber resmi pilihan. Hal
ini bertujuan untuk memberikan data yang valid dan menghindari data yang tidak
dapat dibuktikan kebenarannya.
Program e-development atau pembangunan berbasis TIK merupakan
program yang tidak hanya menekankan pada teknologi saja, akan tetapi lebih
fokus pada pemberdayaan manusia yang memakainya (Schware, 2005:12). Dilihat
dari pengertian tersebut, dampak program e-development atau pembangunan
berbasis TIK dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia. Program e-
development atau pembangunan berbasis TIK di setiap provinsi dilihat dari Indeks
Pembangunan Manusia Provinsi dan Nasional periode tahun 2004-2008
menunjukkan peningkatan secara perlahan di setiap provinsi (BPS,2010:1).
30
Ditunjukkan oleh Badan Pusat Statistik (2000:1) Indonesia bahwa di Jawa
Timur pada tahun 2004 dari angka 66.80 naik menjadi 70.38 pada tahun 2008. Di
Jawa Tengah, tahun 2004 dari angka 68.90 meningkat menjadi 71.60 di tahun
2008. Indeks angka pembangunan manusia juga meningkat di provinsi Sulawesi
Tengah, pada tahun 2004 indeks menunjukkan angka 67.30 naik menjadi 70.09 di
tahun 2008. Sulawesi Tenggara, pada tahun 2004 dari 66.70 naik menjadi 69.00
pada tahun 2008. Pada tahun 2004 di Gorontalo dari angka 65.40 naik ke angka
69.29 di tahun 2008. Begitu pula di Provinsi Papua, dimana angka indeks
pembangunan manusia pada tahun 2004 dari 60.90 naik menjadi 64.00
(BPS,1996-2010:1). Peningkatan angka itu merupakan suatu bentuk keberhasilan
program e-development atau pembangunan berbasis TIK didasarkan pada Indeks
Pembangunan Manusia.
Peningkatan tersebut sebenarnya tak serta merta program tersebut
dinyatakan berhasil secara menyeluruh. Adapun yang menjadi batu sandungan
dalam implementasi program e-development atau pembangunan berbasis TIK
tersebut. Berikut beberapa hambatan yang telah menjadi temuan peneliti dari
beberapa literatur yang ada.
World Bank (2005: 34-68) dalam Indonesia: Telecenter Evaluation Report
Volume II, dijelaskan bahwa program e-development atau pembangunan berbasis
TIK yang berbentuk telecenter di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Adapun
faktor penyebabnya adalah pemerintah Indonesia yang minim akan pengalaman
tentang pembangunan berbasis e-development atau pembangunan berbasis TIK.
Sehingga pembangunan berbasis e-development atau pembangunan berbasis TIK
31
tersebut harus dibantu oleh kaum profesional dalam penerapan untuk
pemberdayaan masyarakat miskin, khususnya yang berada di wilayah pedesaan
(World Bank, 2005:56-57).
Selaras dengan laporan World Bank di atas (2005:34-68), Asianti Oetjoyo
(2006:410) selaku Kepala Badan Pengelolaan Data Elektronik Jawa Timur (BPDE
Jatim) menambahkan bahwa terdapat faktor-faktor penyebab dalam hambatan
program e-development atau pembangunan berbasis TIK di Indonesia, khususnya
pembangunan telecenter. Hal tersebut disampaikan beliau pada Konferensi
Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi pada tanggal 3-4 mei 2006 di
Bandung.
Dijelaskan oleh Asianti Oetojo S (2006:410) bahwa faktor pertama adalah
kurang sinerginya program pemerintah kabupaten setempat dengan program
telecenter . Hal tersebut diakibatkan karena mekanisme penyusunan anggaran dan
organisasi pembina telecenter di kabupaten belum tentu instansi/ dinas pengelola
TIK (Oetojo, Asianti. 2006:410).
Kedua, keengganan sebagian anggota masyarakat untuk berkunjung ke
telecenter (Oetojo, Asianti. 2006:410). Hal tersebut diakibatkan karena telecenter
dianggap peralatan yang canggih dan mahal oleh sebagian besar masyarakat
miskin. Sehingga mereka enggan untuk memanfaatkan pelayanan yang ada.
Ketiga, keresahan anggota tani (Oetojo, Asianti. 2006:410). Karena
penanggungjawab (host) telecenter lebih memperhatikan anggota keluarga
32
dibandingkan dengan kelompok tani dan masyarakat sekitarnya. Akibatnya, para
kelompok tertentu merasa resah bila ingin berkunjung ke telecenter.
Keempat, terbatasnya pemahaman anggota tim pengelola (Oetojo, Asianti.
2006:410). Terbatasnya pemahaman anggota pengelola terhadap
tanggungjawabnya sebagai tim pemberdaya masyarakat. Sehinggan hal tersebut
mengurangi kebersamaan antara tim pengelola dan penanggung jawab telecenter
(host) yang menimbulkan kesan kurang aktifnya pengelola
Kelima, biaya yang disiapkan oleh UNDP terbatas (Oetojo, Asianti.
2006:410). Dalam hal ini, keberlanjutan telecenter berada pada tangan tim
pengelola dan masyarakat. Kemandirian dalam keberlanjutan telecenter amat
diharapkan.
Keenam, belum stabilnya sarana komunikasi (telepon) di pedesaan
(Oetojo, Asianti. 2006:410). Ketujuh, penempatan gedung telecenter berada di
komunitas kelompok tertentu, mengakibatkan komunitas kelompok yang lain
enggan berkunjung ke telecenter (Oetojo, Asianti. 2006:410).
Dari beberapa peneliti sebelumnya banyak temuan yang implikasinya
terfokus terhadap aspek keterkaitan penerapan e-development atau pembangunan
berbasis TIK dalam bentuk telecenter untuk pengentasan kemiskinan. Dari sinilah
peneliti melihat celah implikasi yang belum dikaji secara umum. Implikasi
tersebut adalah kajian mengenai transformasi sosial.
Terlepas dari implikasi positif dan negatif diatas. Sebenarnya apa yang
dilakukan oleh para epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP tersebut adalah
33
menciptakan „kultur informasi dan komunikasi‟ (Hardjono,2006:419-450).
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Belger (dalam Haas,1992:2) bahwa apa
yang dilakukan oleh epistemic community ICT4PR-UNDP ini pada realitasnya
adalah melakukan konstruksi sosial. Kontruksi sosial tersebut merupakan hasil
dari penyebaran ide dan pembelajaran kepada masyarakat melalui epistemic
community ICT4PR-UNDP.
Pembangunan kultur informasi dan komunikasi ini dianggap sebagai suatu
jalan untuk menjadikan masyarakat sebagai subjek dan bukan objek
pembangunan. Diharapkan dari pembangunan persepsi dan kultur tersebut
masyarakat dapat mengidentifikasi masalah dan potensi yang mereka hadapi,
merencanakan kegiatan-kegiatan dan melaksanakannya.
Dengan kata lain, kultur informasi dan komunikasi ini tercipta dan
menjadi bagian dari masyarakat dimana mereka secara sadar dan sukarela
memanfaatkan sarana dan prasarana teknologi informasi dan komunikasi untuk
membangun komunitasnya.
4. Kesimpulan
Pola perilaku kelompok ICT4PR-UNDP untuk pencapaian MDG‟s poin
pertama (pengurangan kemiskinan) melalui TIK dalam program Pe-PP di
Indonesia pada tahun 2004-2008 dilakukan melalui pola bottom-up. Pola perilaku
yang bersifat bottom-up tersebut melalui serangkaian penyebaran ide dan nilai,
yakni policy inovation, policy diffusion, policy selection, policy persistence.
34
Epistemic community ICT4PR-UNDP menggunakan inovasi kebijakan
untuk menentukan suatu forum yang tepat untuk menempatkan isu yang ingin
diangkat. Epistemic community yang merupakan para pakar pembangunan UNDP
di bidang pengentasan kemiskinan melalui TIK memberikan suatu ide yang
inovatif dalam pembangunan. Ide tersebut merupakan pengembangan dari
konferensi tingkat internasional yakni WSIS. Pengembangan dari konferensi
tersebut disebut dengan pembangunan berbasis e-development. Basis
pembangunan tersebut kemudian diimplementasikan di Indonesia dalam program
Pe-PP.
Pada tahap difusi kebijakan (policy diffusion), anggota dari epistemic
community aktif dalam upaya penyebaran kebijakan pada level nasional. Mereka
menyebarkan ide melalui komunikasi dengan kolega dari organisasi-organisasi
lain, selama konferensi, publikasi, dan tempat lain untuk saling bertukar
informasi. Para pakar ICT4PR-UNDP melakukan upaya penyebaran kebijakan
pada level nasional dengan membentuk sebuah tim kader epistemic community
lokal. Tim tersebut di seleksi secara ketat dan melalui penjaringan yang dilakukan
oleh pihak UNDP dan Bappenas. Tim epistemic community lokal ini kemudian
dibagi menjadi beberapa tim untuk menjadi penanggung jawab program di tiap
kawasan di Indonesia. Penjaringan tim epistemic lokal ini diharapkan dapat
mempermudah implementasi dari program pembangunan itu sendiri.
. Pada seleksi kebijakan (policy selection), Epistemic community ICT4PR
bekerja untuk membangun sebuah pengaruh terhadap suatu isu tertentu (upaya
promosi). Jika tidak terdapat kebijakan dan pembuat hukum (lawmakers) tidak
35
mengenal suatu isu, sebuah epistemic community dapat membingkai isu tersebut
dan menjelaskan pada pembuat kebijakan. Jika pembuat kebijakan (policy
makers) sudah mengenal (familiar) dengan isu tersebut, maka mereka akan
meminta sebuah epistemic community untuk meluruskan isu tersebut untuk
mengesahkannya menjadi kebijakan.
Para pakar UNDP bekerja untuk membangun sebuah frame bahwa salah
satu faktor penyebab kemiskinan adalah kesenjangan informasi. Di Indonesia,
pembangunan dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi tersebut
juga telah menjadi komitmen dalam konsesus WSIS dan MDG‟s. Sehingga
pemerintah Indonesia menyetujui adanya program Pe-PP tersebut sebagai bentuk
respon (follow-up) mengurangi kemiskinan dan bentuk kontribusi pada
pencapaian tujuan WSIS dan MDG‟s. Upaya promosi ini dilakukan oleh tim kader
epistemic community lokal melalui pendekatan partisipasi (sosialisasi dan
pendampingan masyarakat).
Sedangkan dalam proses kebijakan persistensi (policy persistence), upaya
pendesakkan pengaruh pada pembuatan kebijakan. Metode ini diartikan sebagai
keberlanjutan konsensus tentang ide dan hasil antar anggota epitemic community.
Ketika konsensus dalam ide dan hasil berkurang, otoritas dari epistemic
community ini akan menyusut dan pembuat hukum akan mengacuhkan saran dari
epistemic community tersebut. Terdapat beberapa kendala dalam implementasi
program Pe-PP yang disebabkan oleh kurang sinerginya aktor pemangku
kepentingan yang ada di Indonesia. Hal ini menyebabkan kurang responsifnya
masyarakat dalam program debutan para pakar pembangunan UNDP tersebut.
36
Sebab program yang di rasa lebih memihak para korporasi yang bergerak di
bidang TIK.
DAFTAR PUSTAKA
Antoniades, A. 2003. “Epistemic Communities, Epistemes and the Construction
of World Politics.” Global Society.
Aminuddin, Faishal dkk. 2009. Globalisasi dan Neo liberalisme: Pengaruh dan
Dampaknya Bagi Demokratisasi Indonesia. Logung Pustaka.
Anonymous. 2006. Indonesia 2005-2025 : Buku Putih. Jakarta.
--------------. 2004. Partnership for e-Prosperity for the Poor 2004-2007. Diunduh
tanggal 15 Februari 2012. Pada :
http://www.undp.or.id/archives/prodoc/ProDoc-Pe-PP.pdf
-------------. 2005. Information and Communication Technologies for Rural
Development : an Evaluation of Telecenters in Indonesia.
Washington D.C : The World Bank Group.
-------------. 2005. Telecenter dan Masyarakat. Diunduh tanggal 24 November
2011. Pada : http://telecenter.cyberdesa.com/telecenter.html
-------------. 2007. E-Bulletin Telecenter : Partneship for e-Prosperity for the Poor
(Pe-PP). Volume 1, Issue 1.
Basrowi & Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Bieler, Andreas dan David Morton. 2004. A Critical Theory Route to Hegemony,
World Order and Historical Change : Neo-Gramscian Perspective in
International Relations, Capital adn Class. Academic Research
Library.
37
BPS. 2009. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2009. Jakarta : BPS Published.
BPS. 2010. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2010. Jakarta : BPS Published.
Clarke, Matthew. 2003. E-Development? Development and the New Economy.
Finlandia.
Cox, Robert W. t,t. Gramci, Hegemony, and International Relations : An Essay in
Method. Diunduh tanggal 15 Maret 2012. Pada :
http://tucnak.fsv.cuni.cz/~plech/Cox_Gramsci.PDF
Elster, Jon. 1983. Explaining Technical Change. Cambridge : Cambridge
University Press.
Faisal, Sanapiah. 1966. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta : Raja Grafindo.
FAO. 2007. Information and Communications Technologies Benefit Fishing
Communities : Policies to Support Improved Communications for
Development. Diunduh tanggal 23 Februari 2012. Pada :
http://www.sflp.org/brief/eng/policybriefs.html
Femia, Joseph V. 1987. Gramci’s Political Thought : Hegemony, Consciousness,
and The Revolutionary Process. New York : Oxford University Press.
Gill. Stephen. 1993. Gramsci, Historical Materialism and International
Relationa. Cambridge : Cambridge University Press.
Gomez, Ricardo dan Hunt, Patrick. 1999. Telecentre Evaluation : Report of an
International Meeting on Telecentre Evaluation. Canada.
Haas, Peter M. 1992. Introduction : Epistemic Communities and International
Policy Coordination. Cambridge University Press.
38
Hanna, Naggy K. 2007. E-development in Action. Gateway Foundation.
Hanna, Naggy K. 2009. From Envisioning to Designing e-Development : The
Experience of Sri Lanka. Washington : The World Bank.
Holub, Renate. 1992. Antonio Gramsci : Beyond Marxism and Postmodernism.
London : Routledge.
Holzner, Burkhart dan Marx, John H. 1979. Knowledge Application : The
Knowledge System in Society. Boston : Allyn & Bacon.
Lakin, Matthew. 2009. David Owen, New Labour and the Social Market Economy
: The Renewal of Social Democratic Politics. The University of
Nottingham.
Latchem, Colin. 2001. Telecentres : Case Studies and Key Issues. Vancouver :
The Commonwealth of Learning.
Mark, John. H. 1979. Knowledge Application : The Knowledge System in Society.
Boston.
Mc.Celland, Charles. 1990. Ilmu Hubungan Internasional : Teori dan Sistem.
Jakarta : Rajawali.
Mohtar, Mas‟oed. 1990. Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi.
Jakarta: LP3ES
Muhammad Idrus. 2007. Metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial (Pendekatan
kualitatif dan kuantitatif). Yogyakarta: UII Press.
Muslim, Acep. 2009. Pengoptimalan Peran Telecenter untuk Pengembangan
Agribisnis di Pedesaan. Bandung : Universitas Padjajaran.
39
Nye, Joseph S. 2004. Soft Power : The Means to Succes in World Politics-
Wielding Soft Power. Di unduh tanggal 15 Maret 2012. Pada: http://belfercenter.hks.harvard.edu/files/joe_nye_wielding_soft_power.pdf
Oetojo, Asiati. 2006. Dampak yang Dihadapi pada Pengelolaan Program
Kemitraan dalam Strategi Pengurangan Kemiskinan melalui
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (Telecenter) di
Pedesaan Jawa Timur. Bandung : Konferensi Nasional Teknologi
Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia.
Pedju, Ary Mochtar. Sains, Pendidikan China Vs Kita.Kolom Opini, Kompas 24
Nov 2005.
Puskowanjati. 2007. Improving Rural Connectivity for Sustainable Livehoods
Project.
Rahayu, Endah Lestianti. 2006. Implementasi Program Partnership For E-
Prosperity For The Poor (Pe-PP) Sebagai Upaya Penanggulangan
Kemiskinan di Pedesaan (Studi Pada Telecenter Semeru di Desa
Kertosari Kecamatan Pasrujambe Kecamatan Lumajang). Malang :
Universitas Brawijaya.
Sanapiah, Faisal. 2005. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Schuurman, Frans J. 2000. Paradigms Lost, Paradigms Regained?Development
Studies in the twenty-first century. Commonwealth of Australia.
Schware, Robert. 2005. E-Development: From Excitement to Effectiveness.
Washington, D.C : The World Bank Group.
Stalker, Peter. 2008. Millenium Development Goals (Cetakan ke-Dua). Di unduh
tanggal 28 Maret 2012. Pada :
http://www.undp.or.id/pubs/docs/Let%20Speak%20Out%20for%20M
DGs%20-%20ID.pdf
40
Steans, Jill. Dkk. 2009. Hubungan Internasional : Perspektif dan Tema.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
SuaraMerdeka. 2005. Pemerintah Siapkan Sekitar 1.000 Pusat Data. Diunduh
tanggal 12 Oktober 2011. Pada :
http://suaramerdeka.com/cybernews/harian/0512/14/nas2.htm
Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia
Ketiga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Suti‟ah. 2012. Wawancara tentang Telecenter di Jawa Timur. Malang : LPKP.
Syamsudin, Zaenul. 2008. Statistik Potensi Desa. Jakarta : Badan Pusat Statistik.
Thomas, Jayan Jose dan Parayil, Govindan. 2006. Bridging the Social and Digital
Divides in Andhra Pradesh and Kerala : A Capabilities Approach.
India.
Tulung, Lingkan E.(t.thn). Factors Determining Whether Lessons Drawing
Succeds or Fails. Menado : Universitas Sam Ratulangi.
UNDP. 2008. MDG‟s and e-Development Cluster : Strategic Programme Frame
Work. Diunduh tanggal 5 Januari. Pada :
http://www.undp.org.bd/library/policypapers/MDGs%20and%20e-
Development%20Cluster%20Strategic%20Framework.pdf
Vuving, Alexander L. 2009. How Soft Power Works. Di unduh tanggal 15 Maret
2012. Pada:
http://www.apcss.org/Publications/Vuving%20How%20soft%20powe
r%20works%20APSA%202009.pdf
Wahab, Solichin Abdul. 1993. Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi Ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Bumi Aksara.
41
Walsham, Geoff. 2009. ICT The Broader Development Of India : An Analysis Of
The Literature. Cambridge University.