performance kambing perah pada ketinggian tempat yang berbeda di kabupaten malang

5
PERFORMAN KAMBING PERAH PADA KETINGGIAN TEMPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN MALANG Dairy Goat Performance Level In Different Places In The District Malang Langgeng Wahyono (NPM: 208.04.1.0005) Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Islam Malang Wonosobo-Ngadirojo-Pacitan e-mail: [email protected] ABSTRAK Ternak lokal asli Indonesia kambing Peranakan Etawah merupakan kekayaan negeri yang cukup penting kedudukannya, baik dilihat dari hasil produknya sebagai sumber protein hewani maupun sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat. Namun sampai saat ini penyebaran kambing Peranakan Etawah ini masih sangat terbatas. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut perlu pemeliharaan yang maksimal supaya pertumbuhanya dapat berkembang dengan baik. Salah satu penanganan yang harus dilakukan adalah dengan memperhatikan Performance dari kambing Peranakan Etawa dan kemungkinan faktor-faktor yang mempengaruhi Performance tersebut. hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan, wawasan dan pengalaman dalam bidang berternak kambing Peranakan Etawah. Materi yang di gunakan menggunakan 90 peternak dan 90 anak kambing Peranakan Ettawa pada ketiga tempat dengan populasi kambing pada setiap lokasi sebagai berikut:Desa Jambangan kecamatan Dampit sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing. Desa Wonorejo Kecamatan Lawang sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing. Desa Mulyoasri Kecamatan Ampelgading sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing.Metode Pengumpulan Data Pada penelitian ini menggunakan metode Deskriptif. Dengan pengambilan data menggunakan obserfasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan performa kambing perankan ettawah di Kabupaten Malang dengan Fhitung = 0,76 Ftabel = 3,10 pada bobot lahir antar ketinggian (P<0,05) dan Fhitung = 16,54 Ftabel=3,10 pada bobot sapih antar ketinggian juga tidak terdapat pengaruh yang nyata (P<0,05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pada ketinggian 796 m Dpl (Ampel Gading ) adalah daerah yang ideal untuk meningkatkan performance Kambing PE ditinjau dari ketersedian pakan hijauan yang tidak dibatasi oleh musim. Kata kunci : Ketinggian tempat, Pertumbuhan, Bobot lahir dan Bobot sapih ABSTRACT Indonesian native cattle crossbreed Etawah goat wealth of the country is a pretty important position, in terms of product yield as a source of protein as well as a source of income for the community. But until now the spread of crossbreed Etawah goats are still very limited. So to overcome this need maintenance so that maximum growth can thrive. One more thing to do is to look at crossbreed Etawa Performance of goats and the possible factors that affect the Performance. This research is expected to enhance the knowledge, insight and experience in the field of crossbreed Etawah goatling. The material is in use using 90 farmers and 90 goatling crossbreed Ettawa on third place with goat population in each location as follows: Pot sub Village Dampit by 30 farmers and 30 goatling. Wonorejo District Lawang village by 30 farmers and 30 goatling. Village District Ampelgading Mulyoasri by 30 farmers and 30 goatling. Data Collection Methods In this study, descriptive method. By taking data using obserfasi, interviews and documentation. The results of this study indicate that there is a performance difference goat crossbreed ettawah in Malang with Ftabel Fhitung = 0.76 = 3.10 between height on birth weight (P <0.05) and Fhitung = 16.54 F table = 3.10 in weight weaning between height also there is no significant effect (P <0.05). The results of this study indicate that the height of 796 m above sea level (Ampelgading) is an ideal area to improve performance in terms of PE goats feed forage availability is not limited by season. Keywords: Altitude, growth, birth weight and weaning weight

description

jurnal

Transcript of performance kambing perah pada ketinggian tempat yang berbeda di kabupaten malang

Page 1: performance kambing perah pada ketinggian tempat yang berbeda di kabupaten malang

PERFORMAN KAMBING PERAH PADA KETINGGIAN TEMPAT YANG

BERBEDA DI KABUPATEN MALANG

Dairy Goat Performance Level In Different Places In The District Malang

Langgeng Wahyono (NPM: 208.04.1.0005)

Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Islam Malang

Wonosobo-Ngadirojo-Pacitan

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Ternak lokal asli Indonesia kambing Peranakan Etawah merupakan kekayaan negeri yang cukup

penting kedudukannya, baik dilihat dari hasil produknya sebagai sumber protein hewani maupun sebagai

sumber pendapatan bagi masyarakat. Namun sampai saat ini penyebaran kambing Peranakan Etawah ini masih

sangat terbatas. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut perlu pemeliharaan yang maksimal supaya

pertumbuhanya dapat berkembang dengan baik. Salah satu penanganan yang harus dilakukan adalah dengan

memperhatikan Performance dari kambing Peranakan Etawa dan kemungkinan faktor-faktor yang

mempengaruhi Performance tersebut. hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan,

wawasan dan pengalaman dalam bidang berternak kambing Peranakan Etawah. Materi yang di gunakan

menggunakan 90 peternak dan 90 anak kambing Peranakan Ettawa pada ketiga tempat dengan populasi

kambing pada setiap lokasi sebagai berikut:Desa Jambangan kecamatan Dampit sebanyak 30 peternak dan 30

anak kambing. Desa Wonorejo Kecamatan Lawang sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing. Desa

Mulyoasri Kecamatan Ampelgading sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing.Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini menggunakan metode Deskriptif. Dengan pengambilan data menggunakan obserfasi,

wawancara dan dokumentasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan performa kambing perankan ettawah di

Kabupaten Malang dengan Fhitung = 0,76 Ftabel = 3,10 pada bobot lahir antar ketinggian (P<0,05) dan Fhitung

= 16,54 Ftabel=3,10 pada bobot sapih antar ketinggian juga tidak terdapat pengaruh yang nyata (P<0,05). Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa Pada ketinggian 796 m Dpl (Ampel Gading ) adalah daerah yang ideal untuk

meningkatkan performance Kambing PE ditinjau dari ketersedian pakan hijauan yang tidak dibatasi oleh musim.

Kata kunci : Ketinggian tempat, Pertumbuhan, Bobot lahir dan Bobot sapih

ABSTRACT

Indonesian native cattle crossbreed Etawah goat wealth of the country is a pretty important position, in

terms of product yield as a source of protein as well as a source of income for the community. But until now the

spread of crossbreed Etawah goats are still very limited. So to overcome this need maintenance so that

maximum growth can thrive. One more thing to do is to look at crossbreed Etawa Performance of goats and the

possible factors that affect the Performance. This research is expected to enhance the knowledge, insight and

experience in the field of crossbreed Etawah goatling. The material is in use using 90 farmers and 90 goatling

crossbreed Ettawa on third place with goat population in each location as follows: Pot sub Village Dampit by 30

farmers and 30 goatling. Wonorejo District Lawang village by 30 farmers and 30 goatling. Village District

Ampelgading Mulyoasri by 30 farmers and 30 goatling. Data Collection Methods In this study, descriptive

method. By taking data using obserfasi, interviews and documentation. The results of this study indicate that

there is a performance difference goat crossbreed ettawah in Malang with Ftabel Fhitung = 0.76 = 3.10 between

height on birth weight (P <0.05) and Fhitung = 16.54 F table = 3.10 in weight weaning between height also

there is no significant effect (P <0.05). The results of this study indicate that the height of 796 m above sea level

(Ampelgading) is an ideal area to improve performance in terms of PE goats feed forage availability is not

limited by season.

Keywords: Altitude, growth, birth weight and weaning weight

Page 2: performance kambing perah pada ketinggian tempat yang berbeda di kabupaten malang

PENDAHULUAN

Kambing PE merupakan kambing hasil

persilangan antara kambing lokal Indonesia dengan

kambing lokal dari India, yaitu antara kambing

Kacang dan kambing Etawah, sehingga memiliki sifat

diantara kedua tetua kambing tersebut (Atabany,

2001). Persilangan antara kedua kambing ini terjadi

pada zaman penjajahan pemerintah Belanda di

Indonesia. Hasil persilangan kedua kambing ini

menghasilkan ternak kambing dengan tipe produksi

dwi guna (penghasil susu dan daging). Kambing PE

dapat beradaptasi dengan kondisi iklim Indonesia.

Ternak lokal atau asli Indonesia seperti kambing

Peranakan Etawah merupakan kekayaan negeri yang

cukup penting kedudukannya, baik dilihat dari hasil

produknya sebagai sumber protein hewani yang bagus

maupun sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat.

Namun sampai saat ini penyebaran kambing

Peranakan Etawah ini masih sangat terbatas dengan

total populasi sekitar 11 juta ekor, tersebar tidak

merata diseluruh wilayah Indonesia dan hanya 60%,

dari populasi tersebut ada di Pulau Jawa dan Madura

(Direktorat Jenderal Peternakan, 1992). Sehingga dari

pernyataan tersebut dapat menjadi acuan

pemeliharaan kambing tersebut supaya pertumbuhan

dapat berkembang dengan baik.

Pertumbuhan pada kambing menurut Williams

(1982) adalah perubahan bentuk atau ukuran seekor

ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume

ataupun massa. Pertumbuhan dapat dinilai sebagai

peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot

yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta

diberi pakan, minum dan mendapat tempat berlindung

yang layak. Peningkatan sedikit saja ukuran tubuh

akan menyebabkan peningkatan yang proporsional

dari bobot tubuh, karena bobot tubuh merupakan

fungsi dari volume. Pertumbuhan ternak dapat

dibedakan menjadi pertumbuhan sebelum kelahiran

(prenatal) dan pertumbuhan setelah terjadi kelahiran

(postnatal) . Pertumbuhan post natal biasanya dibagi

menjadi pertumbuhan pra sapih dan pasca sapih.

Pertumbuhan pra sapih sangat tergantung pada jumlah

dan mutu susu yang dihasilkan oleh induknya Pada

kambing , pertumbuhan pra sapih dipengaruhi oleh

bobot lahir, produksi susu induk, umur induk, jenis

kelamin anak dan umur penyapihan. Pertumbuhan

pasca sapih (lepas sapih) sangat ditentukan oleh

bangsa, jenis kelamin, mutu pakan yang diberikan,

umur dan bobot sapih serta lingkungan seperti suhu

udara, kondisi kandang, pengendalian parasit dan

penyakit lainnya.

Bobot sapih mempunyai korelasi positif dengan

bobot lahir dan pertambahan bobot hidup harian

(Lasley, 1978). Hal ini sama hal nya menurut Acker

(1983) bahwa kambing anak yang mempunyai bobot

lahir yang lebih berat akan tumbuh lebih cepat,

sehingga akan mencapai bobot sapih yang lebih berat

pula. Sebagai diutarakan oleh Kemp et al., (1988)

yang menyatakan bahwa bobot lahir dapat dijadikan

tolok ukur untuk memprediksi pertumbuhan

selanjutnya.

Mengingat kompleksnya faktor yang

mempengaruhi Performance pada kambing Peranakan

Etawah maka pengamatan ternak secara langsung di

lapang (pada daerah baru) menjadi penting untuk

dilakukan. Sehingga perlu dilakukan penelitian

terhadap Performance Kambing Perah Pada

Ketinggian Tempat Yang Berbeda di Kabupaten

Malang .

MATERI DAN METODE

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tiga tempat yaitu

Lawang, Dampit dan Ampelgading Kabupaten

Malang. Pada bulan Juli – November 2012.

Materi Penelitian

Penelitian tentang perbedaan performance

kambing peranakan etawa pada ketinggian tempat

berbeda di Kabupaten Malang menggunakan 90

peternak kambing Peranakan Ettawa pada ketiga

tempat dengan populasi kambing pada setiap lokasi

sebagai berikut:

1. Desa Jambangan kecamatan Dampit 450 m Dpl

sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing.

2. Desa Wonorejo Kecamatan Lawang 500 m Dpl

sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing.

3. Desa Mulyoasri Kecamatan Ampelgading 769 m

Dpl sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing.

Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini menggunakan metode

Deskriptif. Penelitian Deskriptif merupakan dasar

bagi semua penelitian. Penelitian Deskriptif dapat

dilakukan secara kuantitatif agar dapat dilakukan

analisis statistik (Sulistyo- Basuki, 2006: 110). Dalam

setiap kegiatan penelitian selalu ada kegiatan

pengumpulan data. Metode pengumpulan data dalam

penelitian ini menurut Sulistyo-Basuki (2006: 147)

meliputi:

1. Observasi

Metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah observasi langsung difokuskan pada

pengamatan kandang kambing , menimbang

ternak sesuai dengan variabel yaitu bobot lahir

dan bobot sapih.

2. Wawancara

Wawancara dengan setiap peternak terkait

kondisi ternak, pakan, lingkungan, serta

permasalahannya.

3. Dokumentasi

Pemotretan bertujuan untuk mendokumentasikan

semua aktivitas yang dilakukan oleh peneliti

untuk mendapatkan data yang valid.

Page 3: performance kambing perah pada ketinggian tempat yang berbeda di kabupaten malang

HASIL PENEITIAN DAN PEMBAHASAN

Bobot Lahir Antar Ketinggian

Setelah dilakukan analisis Anova satu arah

menggunakan perhitungan dengan Excel diperolah

tabel Anova satu arah sebagai berikut : Dari

perhitungan tersebut diperoleh hasil perhitungan

Fhitung 0,7 dan F tabel 3,10 dengan taraf signifikasi

5% = 0,05. Karena Fhitung < Ftabel maka Ho Ditrima

yang artinya tidak ada perbedaan berat lahir kambing

peranakan etawah antar ketinggian berbeda.

Setelah dilakukan uji BNT dapat dilihat

secara signifikan bahwa berat lahir antar ketinggian

tidak ada perbedaan dan selisih rata-rata tidak

terlampau jauh sehingga dinotasikan dengan simbol

huruf “a”.

Tabel 2: Tabel Uji Bnt Berat Lahir

Perlakuan Rataan Selisih Notasi 5%

K 450 3,06

a

K 769 3,23 0,2 a

K 500 3,26 0,03 a

Bobot Sapih Antar Ketinggian

Setelah dilakukan analisis Anova satu arah

menggunakan perhitungan dengan Excel diperolah

tabel Anova satu arah sebagai berikut: Dari

perhitungan tersebut diperoleh hasil perhitungan

Fhitung 16,54 dan F tabel 3,10 dengan taraf

signifikasi 5% = 0,05. Karena Fhitung>Ftabel maka

Ho Ditolak yang artinya ada perbedaan berat lahir

kambing peranakan etawah antar ketinggian berbeda.

Setelah dilakukan uji BNT dapat dilihat

secara signifikan bahwa bobot sapih antar ketinggia

ada perbedaan dan terlihat selisih rata-rata sehingga

dinotasikan dengan simbol huruf “a dan b”.

Tabel 4. Tabel Uji BNT Berat Sapih

Perlakuan Rataan Selisih Notasi

5%

K 450 17,86

a

K 769 20,16 2.3 b

K 500 21,06 0,9 b

PEMBAHASAN

Pengaruh ketinggian tempat terhadap berat lahir

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa

pengaruh ketinggian tempat terhadap bobot lahir di

ketinggian tempat berbeda yaitu Ampelgading

dengan ketinggian 769 m Dpl, Lawang dengan

ketinggian 500 Dpl dan Dampit dengan ketinggian

450 Dpl tidak ada perbedaan secara nyata . diperoleh

Fhitung 0,76 dan F tabel 3,10 sehingga sesuai dengan

hepotesis Fhit < Ftabel yang artinya Ha Ditrima dan

tidak ada perbedaan. Setelah di uji ulang

menggunakan uji BNT terlihat selisih rata-rata tidak

jauh berbeda. Hal ini sebabkan ketersedian pakan

hijauan yang melimpah dan didukung suhu udara

(27oC – 30

oC) yang ideal untuk pertumbuhan anak

Kambing Ettawah. Hal ini sesuai dengan pendapat

Hafez (1968) yang menyatakan bahwa kambing akan

menunjukan penurunan konsumsi pakan pada suhu

35oC. Kemudian Smith dan Mangkoewidjojo (1988),

bahwa untuk daerah tropis lebih tinggi suhu

lingkungannya untuk suhu nyaman bagi kambing

berkisar antara 18oC sampai 30

oC. Kemudian Johnson

(1985), menyatakan bahwa sumber daya manusia,

sumber daya alam dan teknologi merupakan faktor

saling terkait dalam pembangunan pertanian yang di

payungi oleh suatu kelembagaan sebagai faktor

penggerak suatu kesatuan sistem. Tetapi menurut

Mulyono (2003) bahwa kambing Peranakan Ettawa

lebih cocok diusahakan di dataran sedang (500 – 700

m Dpl) sampai dataran rendah yang panas dengan

suhu antara 21oC – 25

oC.

Soegijatno (2003) menyatakan bahwa Faktor

musim dan lokasi pemeliharaan ikut berpengaruh

terhadap berat lahir anak, karena erat kaitannya

dengan ketersedian hijauan dilapang. Pada musim

hujan vegetasi yang tumbuh lebih beragam dan

produksi hijauan lebih tinggi dibandingkan musim

kemarau, sehingga anak yang dilahirkan pada musim

hujan berat lahirnya akan tinggi. Pengaruh iklim yang

ekstrim terhadap ternak yaitu penurunan feed intake

(pakan yang dimakan), ganguan terhadap

pertumbuhan dan mengakibatkan kematian embrio

dan adanya fetus yang kerdil (Williamson and Payne,

1993). Kurnianto, Johari dan Kurniawan (2007)

melaporkan berat lahir kambing PE jantan sebesar

3,34+0,48 dan pada betina 3,12+0,44 kg. Secara

umum, potensi genetik jantan terhadap betina dalam

hal bobot lahir itu sendiri mempengaruhi perbedaan

berat lahir jenis kelamin jantan dengan jenis kelamin

betina. Faktor hormon androgen yang terdapat pada

sistem hormonal kambing jantan diduga

menyebabkan bobot lahir kambing PE jantan lebih

tinggi dibandingkan dengan kambing PE berjenis

kelamin betina.

Pengaruh ketinggian tempat terhadap berat sapih

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa

pengaruh ketinggian tempat terhadap bobot lahir di

ketinggian tempat berbeda yaitu Ampelgading

dengan ketinggian 769 m Dpl, Lawang dengan

ketinggian 500 m Dpl dan Dampit dengan ketinggian

450 Dpl tidak ada perbedaan sangat nyata. diperoleh

Fhitung 16,549 dan F tabel 3,10 sehingga sesuai

dengan hepotesis Fhitung > Ftabel yang artinya Ha

ditrima dan ada perbedaan. Setelah di uji ulang

menggunakan uji BNT terlihat selisih rata-rata

berbeda. Pada daerah Ampel gading dengan

ketinggian 769 Dpl diperoleh rata-rata 20,16, pada

daerah Dampit pada ketinggian 450 Dpl diperoleh

rata-rata 17,86 dan pada daerah lawang dengan

ketinggian 500 Dpl diperolah rata-rata 21,06. Rata-

Page 4: performance kambing perah pada ketinggian tempat yang berbeda di kabupaten malang

rata bobot Sapih pada daerah Lawang dengan

ketinggian 500 Dpl relatif tinggi. Hal ini dikarenakan

tingkat pengetahuan peternak yang sebagian besar

sudah mengetahui tentang manajeman pemberian

pakan dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada.

Hal ini sesuai dengan pendapat Johnson (1985), yang

mengatakan bahwa sumber daya manusia, sumber

daya alam dan teknologi merupakan faktor saling

terkait dalam pembangunan pertanian yang di payungi

oleh suatu kelembagaan sebagai faktor penggerak

suatu kesatuan sistem produksi guna menunjang

keberlanjutan pertanian. Menurut Makka (2004),

model – model yang dapat di replikasi diberbagai

wilayah sesuai dengan kondisi agroekosistem dan

pola usaha petani setempat.ketersedian pakan hijauan

yang melimpah dan di dukung oleh suhu yang ideal

(27oC – 30

oC) untuk pertumbuhan kambing.

Kemudian berat sapih dapat digunakan sebagai

evaluasi produksi susu induk, kemampuan

memelihara dan kemampuan tumbuh anak kambing

(Aryati, 2008). Tipe kelahiran juga turut

mempengaruhi dalam pencapaian bobot sapih, hal ini

lebih disebabkan karena terbatasnya produksi susu

induk, sehingga induk jika punya anak kembar maka

jumlah susu yang terbatas tersebut harus dibagi dua,

beda halnya jika pada kelahiran tunggal seekor anak

akan lebih banyak menerima susu sampai sebelum

disapih, selain itu faktor induk juga sangat besar

mempengaruhi bobot sapih (Toelihere, 1981).

Hal ini juga sesuai dengan pendapat Smith

dan Mangkoewidjojo (1988), bahwa untuk daerah

tropis lebih tinggi suhu lingkungannya untuk suhu

nyaman bagi kambing berkisar antara 18oC sampai

30oC. Johnson (1985), mengatakan bahwa sumber

daya manusia, sumber daya alam dan teknologi

merupakan faktor saling terkait dalam pembangunan

pertanian yang dipayungi oleh suatu kelembagaan

sebagai faktor pengerak suatu kesatuan sistem. Berat

sapih atau berat umur 90 hari secara umum dapat di

jadikan kriteria seleksi ternak. Berat sapih yang tinggi

diharapkan akan menghasilkan laju pertambahan

bobot badan pasca sapih yang tinggi pula (Elieser,

dkk, 2006). Seleksi untuk meningkatkan berat sapih

maupun bobot setelah sapih mengakibatkan

peningkatan yang nyata terhadap efisiensi produksi

(Kurnianto, dkk, 2007).

Kesimpulan

Berat lahir pada ketinggian yang berbeda

(Ampelgading, Dampit, Lawang) terdapat

perbedaan yang signifikan. Berat sapih pada

ketinggian yang berbeda (Ampelgading, Dampit,

Lawang) juga terdapat perbedaan yang signifikan.

Untuk mendapatkan bobot lahir dan bobot sapih

yang tinggi maka di sarankan ternak kambing

dipelihara pada ketinggian 769 m Dpl

(Ampelgading).

Saran

Zona nyaman untuk mendapatkan Performance

Kambing PE yang maksimal disarankan kambing

dipelihara pada ketinggian 796 m Dpl, ditinjau dari

ketersediaan pakan yang continuitas dan beragam,

suhu udara pada ketinggian 796 m Dpl juga berperan

terhadap kenyamanan dan khususnya produksi susu

kambing PE.

DAFTAR PUSTAKA

Acker., D. 1983. Animal Science and Industry.

Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, New

Jersey.

Anggorodi., R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum.

Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.

Anggorodi., 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum.

Gramedia, Jakarta.

Arikunto., 1998. Prosedur Penelitian Suatu

Pendekatan. Rhineka Cipta. Jakarta.

Arikunto., S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu

Pendekatan Praktek. PT. Rineka Cipta.

Jakarta.

Atabany., A. 2001. Studi kasus produksi kambing

Peranakan Ettawah dan kambing Seanen

pada peternakan kambing PT Barokah dan

PT Taurus Dairy Farm.

Direktorat Jenderal Peternakan . 1992 . Buku Statistik

Petemakan .1992. Direktorat Jenderal

Peternakan, Jakarta.

Elieser., S, Doloksaribu. M, Mamalia. F dan

Pamungkas. F. A. 2006. Produktifitas

Kambing Hasil persilangan Kacang

Dengan Pejantan Boer (Bobot Lahir,

Bobot Sapih dan Mortalitas).

Eliezer., S., M. Doloksaribu, F. Mahmilia, A. Tarigan

dan E. Romjali. 2006. Bobot Lahir

Beberapa Genotip Kambing Hasil

Persilangan. Loka Penelitian Kambing

Potong Sei Putih. Sumatera Utara.

http://peternakan.litbang.deptan.go.id

Gatenby., dkk. 1994. Management of sheep in the

Humid Tropic experiencies in north

Sumatra. Second symposium on sheep

production in Malaysia, 22-24 November

1994, Faculty of Vatenery Medicine and

animal Science University Agriculture

Malaysia, serdang. Center for Tipical

Animal Production and disease Studies.

Page 5: performance kambing perah pada ketinggian tempat yang berbeda di kabupaten malang

Hadi., S. 2000. Metodologi Research (Jilid I)

Yogyakarta: Penerbit Andi.

Hafez., E. S. 1968. Adaptation of domestic animals.

Lea and Febinger, Philadelphia.

Johnson., Bruce, F. dan Peter Kilby, 1985.

Agriculture and Structural Transformation.

Oxford University Press. New York.

Kemp.,et al. 1988. Phenotypic and genetic parameter

estimates for gestation length. Calving ease

and birth weigh in Simental cattle. Can. J.

Anim. Sci. 68: 291.

Kurnianto., E., S.dkk. 2007. Komponen Ragam Bobot

Badan Kambing Peranakan Ettawah di

Balai Pembibitan Ternak Kambing

Sumberrejo kabupaten Kendal. Fakultas

Peternakan Universitas Diponegoro.

Semarang.

Kurnianto., E, Johari. S, Kurniawan. H. 2007.

Komponen Ragam Bobot Badan Kambing

Peranakan Etawa Di Balai Pembibitan

Ternak Kambing Sumber rejo Kabupaten

Kendal.eprints.undip.ac.id/.../EDKVariance

_Component_32(4)2007p236-244.pdf.

(Diakses tanggal 29 Desember 2012)

Lasley.,1978. Genetics in Animal. Redwood Burn

Limite, Trowbridge and Eshes,

Butterworths, London.

Makka Djafar, 2004. Tantangan dan Peluang

Pengembangan Agribisnis Kambing

Ditinjau dari Aspek Pewilayahan Sentra

Produksi Ternak. Prosiding Lokakarya

Nasional Kambing Potong. „Bogor.

Mulyono., S. 2003. Teknik Pembibitan Kambing dan

Domba. Cetakan Ke -V. Penerbit PT

Penebar Swadaya, Jakarta.

Pamungkas., et al. 1994. Tampilan litter size dan

persentase hidup sapih domba ekor gemuk

yang berbeda dan faktor ketinggian tempat

dan tingkat pola pemeliharaan. Pros.

Seminar Nasional Sains dan Teknologi

Peternakan Bogor, 25 – 26 Januari 1994.

Balitnak, Ciawi- Bogor. hlm. 441 – 447.

Smith., J,B. dan Mangkuwidjoyo, S. 1988.

Pemeliharaan, Pembiakan dan

Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah

Tropis. Cetakan Pertama. UI Press. Jakarta.

Soedjana., T.D. 1993. Ekonomi pemeliharaan ternak

ruminansia kecil. Dalam: Produksi

kambing dan domba di Indonesia. Sebelas

Maret University Press, Surakarta. hlm.

367- 417.

Sulistyo-Basuki., 2006. Metode Penelitian. Jakarta:

Wedatama Widya Sastra dan Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya Universitas

Indonesia.

Soegijatno., 2003. Pengaruh Makanan dan Hormon

Gonadotropin Terhadap Jumlah dan Bobot

Lahir Anak Kambing Lokal. Jurnal

Produksi Ternak Fakultas Peternakan

Universitas Jendral Soedirman: 5-10.

Tillman,.A.D., H. Hartadi, S. Prawirokusumo dan S.

Lebdosoekoedjo. 1991. Ilmu Makanan

Ternak Dasar. Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta.

Williams IH., 1982. A Course Manual in Nutrition

and Growth. Australian Vice Choncellors-

Committee, Melbourne..