performance kambing perah pada ketinggian tempat yang berbeda di kabupaten malang
-
Upload
langit-biru -
Category
Documents
-
view
504 -
download
4
description
Transcript of performance kambing perah pada ketinggian tempat yang berbeda di kabupaten malang
PERFORMAN KAMBING PERAH PADA KETINGGIAN TEMPAT YANG
BERBEDA DI KABUPATEN MALANG
Dairy Goat Performance Level In Different Places In The District Malang
Langgeng Wahyono (NPM: 208.04.1.0005)
Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Islam Malang
Wonosobo-Ngadirojo-Pacitan
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Ternak lokal asli Indonesia kambing Peranakan Etawah merupakan kekayaan negeri yang cukup
penting kedudukannya, baik dilihat dari hasil produknya sebagai sumber protein hewani maupun sebagai
sumber pendapatan bagi masyarakat. Namun sampai saat ini penyebaran kambing Peranakan Etawah ini masih
sangat terbatas. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut perlu pemeliharaan yang maksimal supaya
pertumbuhanya dapat berkembang dengan baik. Salah satu penanganan yang harus dilakukan adalah dengan
memperhatikan Performance dari kambing Peranakan Etawa dan kemungkinan faktor-faktor yang
mempengaruhi Performance tersebut. hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan,
wawasan dan pengalaman dalam bidang berternak kambing Peranakan Etawah. Materi yang di gunakan
menggunakan 90 peternak dan 90 anak kambing Peranakan Ettawa pada ketiga tempat dengan populasi
kambing pada setiap lokasi sebagai berikut:Desa Jambangan kecamatan Dampit sebanyak 30 peternak dan 30
anak kambing. Desa Wonorejo Kecamatan Lawang sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing. Desa
Mulyoasri Kecamatan Ampelgading sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing.Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini menggunakan metode Deskriptif. Dengan pengambilan data menggunakan obserfasi,
wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan performa kambing perankan ettawah di
Kabupaten Malang dengan Fhitung = 0,76 Ftabel = 3,10 pada bobot lahir antar ketinggian (P<0,05) dan Fhitung
= 16,54 Ftabel=3,10 pada bobot sapih antar ketinggian juga tidak terdapat pengaruh yang nyata (P<0,05). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa Pada ketinggian 796 m Dpl (Ampel Gading ) adalah daerah yang ideal untuk
meningkatkan performance Kambing PE ditinjau dari ketersedian pakan hijauan yang tidak dibatasi oleh musim.
Kata kunci : Ketinggian tempat, Pertumbuhan, Bobot lahir dan Bobot sapih
ABSTRACT
Indonesian native cattle crossbreed Etawah goat wealth of the country is a pretty important position, in
terms of product yield as a source of protein as well as a source of income for the community. But until now the
spread of crossbreed Etawah goats are still very limited. So to overcome this need maintenance so that
maximum growth can thrive. One more thing to do is to look at crossbreed Etawa Performance of goats and the
possible factors that affect the Performance. This research is expected to enhance the knowledge, insight and
experience in the field of crossbreed Etawah goatling. The material is in use using 90 farmers and 90 goatling
crossbreed Ettawa on third place with goat population in each location as follows: Pot sub Village Dampit by 30
farmers and 30 goatling. Wonorejo District Lawang village by 30 farmers and 30 goatling. Village District
Ampelgading Mulyoasri by 30 farmers and 30 goatling. Data Collection Methods In this study, descriptive
method. By taking data using obserfasi, interviews and documentation. The results of this study indicate that
there is a performance difference goat crossbreed ettawah in Malang with Ftabel Fhitung = 0.76 = 3.10 between
height on birth weight (P <0.05) and Fhitung = 16.54 F table = 3.10 in weight weaning between height also
there is no significant effect (P <0.05). The results of this study indicate that the height of 796 m above sea level
(Ampelgading) is an ideal area to improve performance in terms of PE goats feed forage availability is not
limited by season.
Keywords: Altitude, growth, birth weight and weaning weight
PENDAHULUAN
Kambing PE merupakan kambing hasil
persilangan antara kambing lokal Indonesia dengan
kambing lokal dari India, yaitu antara kambing
Kacang dan kambing Etawah, sehingga memiliki sifat
diantara kedua tetua kambing tersebut (Atabany,
2001). Persilangan antara kedua kambing ini terjadi
pada zaman penjajahan pemerintah Belanda di
Indonesia. Hasil persilangan kedua kambing ini
menghasilkan ternak kambing dengan tipe produksi
dwi guna (penghasil susu dan daging). Kambing PE
dapat beradaptasi dengan kondisi iklim Indonesia.
Ternak lokal atau asli Indonesia seperti kambing
Peranakan Etawah merupakan kekayaan negeri yang
cukup penting kedudukannya, baik dilihat dari hasil
produknya sebagai sumber protein hewani yang bagus
maupun sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat.
Namun sampai saat ini penyebaran kambing
Peranakan Etawah ini masih sangat terbatas dengan
total populasi sekitar 11 juta ekor, tersebar tidak
merata diseluruh wilayah Indonesia dan hanya 60%,
dari populasi tersebut ada di Pulau Jawa dan Madura
(Direktorat Jenderal Peternakan, 1992). Sehingga dari
pernyataan tersebut dapat menjadi acuan
pemeliharaan kambing tersebut supaya pertumbuhan
dapat berkembang dengan baik.
Pertumbuhan pada kambing menurut Williams
(1982) adalah perubahan bentuk atau ukuran seekor
ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume
ataupun massa. Pertumbuhan dapat dinilai sebagai
peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot
yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta
diberi pakan, minum dan mendapat tempat berlindung
yang layak. Peningkatan sedikit saja ukuran tubuh
akan menyebabkan peningkatan yang proporsional
dari bobot tubuh, karena bobot tubuh merupakan
fungsi dari volume. Pertumbuhan ternak dapat
dibedakan menjadi pertumbuhan sebelum kelahiran
(prenatal) dan pertumbuhan setelah terjadi kelahiran
(postnatal) . Pertumbuhan post natal biasanya dibagi
menjadi pertumbuhan pra sapih dan pasca sapih.
Pertumbuhan pra sapih sangat tergantung pada jumlah
dan mutu susu yang dihasilkan oleh induknya Pada
kambing , pertumbuhan pra sapih dipengaruhi oleh
bobot lahir, produksi susu induk, umur induk, jenis
kelamin anak dan umur penyapihan. Pertumbuhan
pasca sapih (lepas sapih) sangat ditentukan oleh
bangsa, jenis kelamin, mutu pakan yang diberikan,
umur dan bobot sapih serta lingkungan seperti suhu
udara, kondisi kandang, pengendalian parasit dan
penyakit lainnya.
Bobot sapih mempunyai korelasi positif dengan
bobot lahir dan pertambahan bobot hidup harian
(Lasley, 1978). Hal ini sama hal nya menurut Acker
(1983) bahwa kambing anak yang mempunyai bobot
lahir yang lebih berat akan tumbuh lebih cepat,
sehingga akan mencapai bobot sapih yang lebih berat
pula. Sebagai diutarakan oleh Kemp et al., (1988)
yang menyatakan bahwa bobot lahir dapat dijadikan
tolok ukur untuk memprediksi pertumbuhan
selanjutnya.
Mengingat kompleksnya faktor yang
mempengaruhi Performance pada kambing Peranakan
Etawah maka pengamatan ternak secara langsung di
lapang (pada daerah baru) menjadi penting untuk
dilakukan. Sehingga perlu dilakukan penelitian
terhadap Performance Kambing Perah Pada
Ketinggian Tempat Yang Berbeda di Kabupaten
Malang .
MATERI DAN METODE
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tiga tempat yaitu
Lawang, Dampit dan Ampelgading Kabupaten
Malang. Pada bulan Juli – November 2012.
Materi Penelitian
Penelitian tentang perbedaan performance
kambing peranakan etawa pada ketinggian tempat
berbeda di Kabupaten Malang menggunakan 90
peternak kambing Peranakan Ettawa pada ketiga
tempat dengan populasi kambing pada setiap lokasi
sebagai berikut:
1. Desa Jambangan kecamatan Dampit 450 m Dpl
sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing.
2. Desa Wonorejo Kecamatan Lawang 500 m Dpl
sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing.
3. Desa Mulyoasri Kecamatan Ampelgading 769 m
Dpl sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing.
Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini menggunakan metode
Deskriptif. Penelitian Deskriptif merupakan dasar
bagi semua penelitian. Penelitian Deskriptif dapat
dilakukan secara kuantitatif agar dapat dilakukan
analisis statistik (Sulistyo- Basuki, 2006: 110). Dalam
setiap kegiatan penelitian selalu ada kegiatan
pengumpulan data. Metode pengumpulan data dalam
penelitian ini menurut Sulistyo-Basuki (2006: 147)
meliputi:
1. Observasi
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah observasi langsung difokuskan pada
pengamatan kandang kambing , menimbang
ternak sesuai dengan variabel yaitu bobot lahir
dan bobot sapih.
2. Wawancara
Wawancara dengan setiap peternak terkait
kondisi ternak, pakan, lingkungan, serta
permasalahannya.
3. Dokumentasi
Pemotretan bertujuan untuk mendokumentasikan
semua aktivitas yang dilakukan oleh peneliti
untuk mendapatkan data yang valid.
HASIL PENEITIAN DAN PEMBAHASAN
Bobot Lahir Antar Ketinggian
Setelah dilakukan analisis Anova satu arah
menggunakan perhitungan dengan Excel diperolah
tabel Anova satu arah sebagai berikut : Dari
perhitungan tersebut diperoleh hasil perhitungan
Fhitung 0,7 dan F tabel 3,10 dengan taraf signifikasi
5% = 0,05. Karena Fhitung < Ftabel maka Ho Ditrima
yang artinya tidak ada perbedaan berat lahir kambing
peranakan etawah antar ketinggian berbeda.
Setelah dilakukan uji BNT dapat dilihat
secara signifikan bahwa berat lahir antar ketinggian
tidak ada perbedaan dan selisih rata-rata tidak
terlampau jauh sehingga dinotasikan dengan simbol
huruf “a”.
Tabel 2: Tabel Uji Bnt Berat Lahir
Perlakuan Rataan Selisih Notasi 5%
K 450 3,06
a
K 769 3,23 0,2 a
K 500 3,26 0,03 a
Bobot Sapih Antar Ketinggian
Setelah dilakukan analisis Anova satu arah
menggunakan perhitungan dengan Excel diperolah
tabel Anova satu arah sebagai berikut: Dari
perhitungan tersebut diperoleh hasil perhitungan
Fhitung 16,54 dan F tabel 3,10 dengan taraf
signifikasi 5% = 0,05. Karena Fhitung>Ftabel maka
Ho Ditolak yang artinya ada perbedaan berat lahir
kambing peranakan etawah antar ketinggian berbeda.
Setelah dilakukan uji BNT dapat dilihat
secara signifikan bahwa bobot sapih antar ketinggia
ada perbedaan dan terlihat selisih rata-rata sehingga
dinotasikan dengan simbol huruf “a dan b”.
Tabel 4. Tabel Uji BNT Berat Sapih
Perlakuan Rataan Selisih Notasi
5%
K 450 17,86
a
K 769 20,16 2.3 b
K 500 21,06 0,9 b
PEMBAHASAN
Pengaruh ketinggian tempat terhadap berat lahir
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa
pengaruh ketinggian tempat terhadap bobot lahir di
ketinggian tempat berbeda yaitu Ampelgading
dengan ketinggian 769 m Dpl, Lawang dengan
ketinggian 500 Dpl dan Dampit dengan ketinggian
450 Dpl tidak ada perbedaan secara nyata . diperoleh
Fhitung 0,76 dan F tabel 3,10 sehingga sesuai dengan
hepotesis Fhit < Ftabel yang artinya Ha Ditrima dan
tidak ada perbedaan. Setelah di uji ulang
menggunakan uji BNT terlihat selisih rata-rata tidak
jauh berbeda. Hal ini sebabkan ketersedian pakan
hijauan yang melimpah dan didukung suhu udara
(27oC – 30
oC) yang ideal untuk pertumbuhan anak
Kambing Ettawah. Hal ini sesuai dengan pendapat
Hafez (1968) yang menyatakan bahwa kambing akan
menunjukan penurunan konsumsi pakan pada suhu
35oC. Kemudian Smith dan Mangkoewidjojo (1988),
bahwa untuk daerah tropis lebih tinggi suhu
lingkungannya untuk suhu nyaman bagi kambing
berkisar antara 18oC sampai 30
oC. Kemudian Johnson
(1985), menyatakan bahwa sumber daya manusia,
sumber daya alam dan teknologi merupakan faktor
saling terkait dalam pembangunan pertanian yang di
payungi oleh suatu kelembagaan sebagai faktor
penggerak suatu kesatuan sistem. Tetapi menurut
Mulyono (2003) bahwa kambing Peranakan Ettawa
lebih cocok diusahakan di dataran sedang (500 – 700
m Dpl) sampai dataran rendah yang panas dengan
suhu antara 21oC – 25
oC.
Soegijatno (2003) menyatakan bahwa Faktor
musim dan lokasi pemeliharaan ikut berpengaruh
terhadap berat lahir anak, karena erat kaitannya
dengan ketersedian hijauan dilapang. Pada musim
hujan vegetasi yang tumbuh lebih beragam dan
produksi hijauan lebih tinggi dibandingkan musim
kemarau, sehingga anak yang dilahirkan pada musim
hujan berat lahirnya akan tinggi. Pengaruh iklim yang
ekstrim terhadap ternak yaitu penurunan feed intake
(pakan yang dimakan), ganguan terhadap
pertumbuhan dan mengakibatkan kematian embrio
dan adanya fetus yang kerdil (Williamson and Payne,
1993). Kurnianto, Johari dan Kurniawan (2007)
melaporkan berat lahir kambing PE jantan sebesar
3,34+0,48 dan pada betina 3,12+0,44 kg. Secara
umum, potensi genetik jantan terhadap betina dalam
hal bobot lahir itu sendiri mempengaruhi perbedaan
berat lahir jenis kelamin jantan dengan jenis kelamin
betina. Faktor hormon androgen yang terdapat pada
sistem hormonal kambing jantan diduga
menyebabkan bobot lahir kambing PE jantan lebih
tinggi dibandingkan dengan kambing PE berjenis
kelamin betina.
Pengaruh ketinggian tempat terhadap berat sapih
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa
pengaruh ketinggian tempat terhadap bobot lahir di
ketinggian tempat berbeda yaitu Ampelgading
dengan ketinggian 769 m Dpl, Lawang dengan
ketinggian 500 m Dpl dan Dampit dengan ketinggian
450 Dpl tidak ada perbedaan sangat nyata. diperoleh
Fhitung 16,549 dan F tabel 3,10 sehingga sesuai
dengan hepotesis Fhitung > Ftabel yang artinya Ha
ditrima dan ada perbedaan. Setelah di uji ulang
menggunakan uji BNT terlihat selisih rata-rata
berbeda. Pada daerah Ampel gading dengan
ketinggian 769 Dpl diperoleh rata-rata 20,16, pada
daerah Dampit pada ketinggian 450 Dpl diperoleh
rata-rata 17,86 dan pada daerah lawang dengan
ketinggian 500 Dpl diperolah rata-rata 21,06. Rata-
rata bobot Sapih pada daerah Lawang dengan
ketinggian 500 Dpl relatif tinggi. Hal ini dikarenakan
tingkat pengetahuan peternak yang sebagian besar
sudah mengetahui tentang manajeman pemberian
pakan dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada.
Hal ini sesuai dengan pendapat Johnson (1985), yang
mengatakan bahwa sumber daya manusia, sumber
daya alam dan teknologi merupakan faktor saling
terkait dalam pembangunan pertanian yang di payungi
oleh suatu kelembagaan sebagai faktor penggerak
suatu kesatuan sistem produksi guna menunjang
keberlanjutan pertanian. Menurut Makka (2004),
model – model yang dapat di replikasi diberbagai
wilayah sesuai dengan kondisi agroekosistem dan
pola usaha petani setempat.ketersedian pakan hijauan
yang melimpah dan di dukung oleh suhu yang ideal
(27oC – 30
oC) untuk pertumbuhan kambing.
Kemudian berat sapih dapat digunakan sebagai
evaluasi produksi susu induk, kemampuan
memelihara dan kemampuan tumbuh anak kambing
(Aryati, 2008). Tipe kelahiran juga turut
mempengaruhi dalam pencapaian bobot sapih, hal ini
lebih disebabkan karena terbatasnya produksi susu
induk, sehingga induk jika punya anak kembar maka
jumlah susu yang terbatas tersebut harus dibagi dua,
beda halnya jika pada kelahiran tunggal seekor anak
akan lebih banyak menerima susu sampai sebelum
disapih, selain itu faktor induk juga sangat besar
mempengaruhi bobot sapih (Toelihere, 1981).
Hal ini juga sesuai dengan pendapat Smith
dan Mangkoewidjojo (1988), bahwa untuk daerah
tropis lebih tinggi suhu lingkungannya untuk suhu
nyaman bagi kambing berkisar antara 18oC sampai
30oC. Johnson (1985), mengatakan bahwa sumber
daya manusia, sumber daya alam dan teknologi
merupakan faktor saling terkait dalam pembangunan
pertanian yang dipayungi oleh suatu kelembagaan
sebagai faktor pengerak suatu kesatuan sistem. Berat
sapih atau berat umur 90 hari secara umum dapat di
jadikan kriteria seleksi ternak. Berat sapih yang tinggi
diharapkan akan menghasilkan laju pertambahan
bobot badan pasca sapih yang tinggi pula (Elieser,
dkk, 2006). Seleksi untuk meningkatkan berat sapih
maupun bobot setelah sapih mengakibatkan
peningkatan yang nyata terhadap efisiensi produksi
(Kurnianto, dkk, 2007).
Kesimpulan
Berat lahir pada ketinggian yang berbeda
(Ampelgading, Dampit, Lawang) terdapat
perbedaan yang signifikan. Berat sapih pada
ketinggian yang berbeda (Ampelgading, Dampit,
Lawang) juga terdapat perbedaan yang signifikan.
Untuk mendapatkan bobot lahir dan bobot sapih
yang tinggi maka di sarankan ternak kambing
dipelihara pada ketinggian 769 m Dpl
(Ampelgading).
Saran
Zona nyaman untuk mendapatkan Performance
Kambing PE yang maksimal disarankan kambing
dipelihara pada ketinggian 796 m Dpl, ditinjau dari
ketersediaan pakan yang continuitas dan beragam,
suhu udara pada ketinggian 796 m Dpl juga berperan
terhadap kenyamanan dan khususnya produksi susu
kambing PE.
DAFTAR PUSTAKA
Acker., D. 1983. Animal Science and Industry.
Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, New
Jersey.
Anggorodi., R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum.
Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.
Anggorodi., 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum.
Gramedia, Jakarta.
Arikunto., 1998. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan. Rhineka Cipta. Jakarta.
Arikunto., S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. PT. Rineka Cipta.
Jakarta.
Atabany., A. 2001. Studi kasus produksi kambing
Peranakan Ettawah dan kambing Seanen
pada peternakan kambing PT Barokah dan
PT Taurus Dairy Farm.
Direktorat Jenderal Peternakan . 1992 . Buku Statistik
Petemakan .1992. Direktorat Jenderal
Peternakan, Jakarta.
Elieser., S, Doloksaribu. M, Mamalia. F dan
Pamungkas. F. A. 2006. Produktifitas
Kambing Hasil persilangan Kacang
Dengan Pejantan Boer (Bobot Lahir,
Bobot Sapih dan Mortalitas).
Eliezer., S., M. Doloksaribu, F. Mahmilia, A. Tarigan
dan E. Romjali. 2006. Bobot Lahir
Beberapa Genotip Kambing Hasil
Persilangan. Loka Penelitian Kambing
Potong Sei Putih. Sumatera Utara.
http://peternakan.litbang.deptan.go.id
Gatenby., dkk. 1994. Management of sheep in the
Humid Tropic experiencies in north
Sumatra. Second symposium on sheep
production in Malaysia, 22-24 November
1994, Faculty of Vatenery Medicine and
animal Science University Agriculture
Malaysia, serdang. Center for Tipical
Animal Production and disease Studies.
Hadi., S. 2000. Metodologi Research (Jilid I)
Yogyakarta: Penerbit Andi.
Hafez., E. S. 1968. Adaptation of domestic animals.
Lea and Febinger, Philadelphia.
Johnson., Bruce, F. dan Peter Kilby, 1985.
Agriculture and Structural Transformation.
Oxford University Press. New York.
Kemp.,et al. 1988. Phenotypic and genetic parameter
estimates for gestation length. Calving ease
and birth weigh in Simental cattle. Can. J.
Anim. Sci. 68: 291.
Kurnianto., E., S.dkk. 2007. Komponen Ragam Bobot
Badan Kambing Peranakan Ettawah di
Balai Pembibitan Ternak Kambing
Sumberrejo kabupaten Kendal. Fakultas
Peternakan Universitas Diponegoro.
Semarang.
Kurnianto., E, Johari. S, Kurniawan. H. 2007.
Komponen Ragam Bobot Badan Kambing
Peranakan Etawa Di Balai Pembibitan
Ternak Kambing Sumber rejo Kabupaten
Kendal.eprints.undip.ac.id/.../EDKVariance
_Component_32(4)2007p236-244.pdf.
(Diakses tanggal 29 Desember 2012)
Lasley.,1978. Genetics in Animal. Redwood Burn
Limite, Trowbridge and Eshes,
Butterworths, London.
Makka Djafar, 2004. Tantangan dan Peluang
Pengembangan Agribisnis Kambing
Ditinjau dari Aspek Pewilayahan Sentra
Produksi Ternak. Prosiding Lokakarya
Nasional Kambing Potong. „Bogor.
Mulyono., S. 2003. Teknik Pembibitan Kambing dan
Domba. Cetakan Ke -V. Penerbit PT
Penebar Swadaya, Jakarta.
Pamungkas., et al. 1994. Tampilan litter size dan
persentase hidup sapih domba ekor gemuk
yang berbeda dan faktor ketinggian tempat
dan tingkat pola pemeliharaan. Pros.
Seminar Nasional Sains dan Teknologi
Peternakan Bogor, 25 – 26 Januari 1994.
Balitnak, Ciawi- Bogor. hlm. 441 – 447.
Smith., J,B. dan Mangkuwidjoyo, S. 1988.
Pemeliharaan, Pembiakan dan
Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah
Tropis. Cetakan Pertama. UI Press. Jakarta.
Soedjana., T.D. 1993. Ekonomi pemeliharaan ternak
ruminansia kecil. Dalam: Produksi
kambing dan domba di Indonesia. Sebelas
Maret University Press, Surakarta. hlm.
367- 417.
Sulistyo-Basuki., 2006. Metode Penelitian. Jakarta:
Wedatama Widya Sastra dan Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia.
Soegijatno., 2003. Pengaruh Makanan dan Hormon
Gonadotropin Terhadap Jumlah dan Bobot
Lahir Anak Kambing Lokal. Jurnal
Produksi Ternak Fakultas Peternakan
Universitas Jendral Soedirman: 5-10.
Tillman,.A.D., H. Hartadi, S. Prawirokusumo dan S.
Lebdosoekoedjo. 1991. Ilmu Makanan
Ternak Dasar. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Williams IH., 1982. A Course Manual in Nutrition
and Growth. Australian Vice Choncellors-
Committee, Melbourne..