Perdarahan Subdural

11
PERDARAHAN SUBDURAL Definisi Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terjadi di antara lapisan duramater dan araknoidea (subdural) akibat suatu trauma kapitis yang disadari atau tidak. Faktor Predisposisi Perdarahan subdural hampir selalu disebabkan oleh trauma kepala. Beberapa faktor yang merupakan predisposisi terjadinya trauma yaitu ukuran kepala yang relatif besar dibandingkan jalan lahir, rigiditas jalan lahir, persalinan terlalu cepat atau terlalu lama, dan persalinan sulit misalnya letak sungsang atau ekstraksi forceps. Sedangkan faktor predisposisi dari perdarahan subdural sendiri dapat dibagi menjadi : Faktor ibu : Primipara Primi tua Panggul sempit Faktor bayi : Cukup bulan, besar Prematur Persalinan : Presipitatus Partus lama Sungsang Presentasi muka, kaki, dahi Forceps 1

description

dev

Transcript of Perdarahan Subdural

PERDARAHAN SUBDURAL

PERDARAHAN SUBDURALDefinisi

Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terjadi di antara lapisan duramater dan araknoidea (subdural) akibat suatu trauma kapitis yang disadari atau tidak.

Faktor Predisposisi

Perdarahan subdural hampir selalu disebabkan oleh trauma kepala. Beberapa faktor yang merupakan predisposisi terjadinya trauma yaitu ukuran kepala yang relatif besar dibandingkan jalan lahir, rigiditas jalan lahir, persalinan terlalu cepat atau terlalu lama, dan persalinan sulit misalnya letak sungsang atau ekstraksi forceps. Sedangkan faktor predisposisi dari perdarahan subdural sendiri dapat dibagi menjadi :

Faktor ibu :Primipara

Primi tua

Panggul sempit

Faktor bayi :Cukup bulan, besar

Prematur

Persalinan :PresipitatusPartus lama

Sungsang

Presentasi muka, kaki, dahi

Forceps

Rotasi

Defisiensi Vitamin K

Patogenesis

Pada trauma kepala akan terjadi kompresi kepala dan pemanjangan pada aksis vertikal atau fronto-oksipital. Akibatnya terjadi regangan terhadap falks dan tentorium dengan tendensi robeknya tentorium pada pertemuan dengan falks. Walaupun laserasi tidak terjadi, regangan pada sinus venosus duramater tempat bridging vein (vena jembatan yang melintas dari ruang subaraknoidea atau korteks serebri ke ruang subdural) bermuara dapat robek dan terjadi perdarahan subdural yang hebat. Robekan falks terjadi bila terdapat pemanjangan fronto-oksipital hebat, yang sering ditemukan pada bayi yang lahir dengan presentasi muka atau dahi. Penggunaan forceps dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan kontusio serebri.

Pada masa akut cairan berwarna merah tua dan berbentuk bekuan. Lambat laun bekuan tadi mencair dan warnanya berubah coklat, yang disebut higroma subdural. Kemudian terbentuk selaput yang meliputi bekuan tersebut sehingga membentuk proses desak ruang yang berisi albumin dengan tekanan osmotik yang tinggi. Proses desak akut ini kemudian menarik air, sehingga menjadi besar dan menyebabkan tekanan intrakranial meninggi. Berlainan dengan orang dewasa atau anak yang besar, pada anak yang masih kecil, perdarahan ini dapat timbul kembali berulang kali meskipun telah beberapa kali dievakuasi. Hal ini disebabkan karena terjadinya pembesaran tengkorak dan terbentuknya suatu kantung yang mudah terisi darah kembali.Klasifikasi perdarahan subdural

Berdasarkan perjalanan waktu terjadinya gejala akibat perdarahan ini, perdarahan subdural dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

Perdarahan subdural akut

Merupakan perdarahan subdural dengan gejala klinis yang timbul segera atau beberapa jam, atau bahkan sampai 3 hari setelah terjadinya trauma. Umumnya disebabkan oleh robeknya pembuluh darah arteri yang menyertai fraktur tulang tengkorak. Perdarahan yang terjadi dapat hanya setebal 5mm, namun pada daerah yang cukup luas.

Pada pemeriksaan dengan CT Scan, akan didapatkan gambaran hiperdens berbentuk konkaf atau menyerupai bulan sabit, atau sering disebut Crescentic sign. Akan tetapi apabila penderita mengalami anemia berat, atau darah bercampur dengan cairan serebrospinal (sehingga mengencerkan hematoma), maka gambaran dapat menjadi isodens atau bahkan hipodens.

Perdarahan subdural subakut

Perdarahan yang terjadi memberikan gejala setelah 4 sampai 10 hari pasca trauma. Pada pemeriksaan dengan CT Scan, gambaran perdarahan yang dijumpai umumnya lebih tebal dibandingkan perdarahan subdural yang akut, dan memberikan campuran gambaran antara hiperdens, isodens, dan hipodens.Perdarahan subdural kronik

Gejala klinis baru muncul baru setelah lebih dari 10 hari, bahkan sampai beberapa bulan setelah terjadinya cedera kepala. Tidak jarang bahkan pasien tidak begitu ingat kapan mengalami benturan pada kepalanya. Perdarahan ini umumnya dialami oleh penderita lanjut usia atau peminum alkohol kronis, dimana telah mengalami atrofi jaringan otak sehingga jarak permukaan korteks dan sinus vena menjadi lebar dan sebagai dampaknya menjadi lebih rentan terhadap guncangan. Dalam kenyataannya, kerap dijumpai trauma yang terjadi relatif ringan saja sudah mampu menyebabkan perdarahan ini. Umumnya perdarahan bersumber pada robeknya pembuluh darah vena atau sinus.

Pada pemeriksaan dengan CT Scan dapat dijumpai gambaran perdarahan memberikan warna hipodens. Hal ini disebabkan kandungan zat besi dalam darah tersebut sudah difagositosis.Gejala klinis

Secara umum, gejala klinis perdarahan subdural menggambarkan adanya gejala kehilangan darah seperti pucat, gawat nafas, ikterus akibat hemolisis, atau menunjukkan gejala peninggian tekanan intrakranial seperti iritabel, kejang, letargi, tangis melengking, hipotonia, ubun-ubun menonjol, atau sutura melebar.

Gejala akut meliputi penurunan kesadaran, pupil anisokor, dan defisit neurologis terutama gangguan motorik. Defisit neurologis yang terjadi dapat karena efek penekanan, dapat pula akibat lesi perenkimnya, khususnya pada lesi yang campuran.

Pada pemeriksaan pupil mata, didapatkan midriasis pupil ipsilateral (Hutchinson pupillary sign), karena efek penekanan nervus oleh herniasi. Namun perlu diingat pula bahwa dilatasi pupil dapat disebabkan banyak hal, misalnya cedera kepala langsung, cedera nervus III, cedera mesensefalon, dan sebagainya.

Defisit motorik yang terjadi umumnya berupa hemiparesis kontralateral. Namun demikian dapat terjadi pula defisit motorik ipsilateral seandainya pedunkulus serebri kontralateral terdesak dan terhimpit ke arah tepi tentorium. Hal ini disebut Kernohans Syndrome. Dapat pula didapatkan defisit neurologis lainnya, misalnya abnormalitas saraf kranial lainnya. Gejala ini akan timbul sesuai dengan lokasi cedera jaringan otak dan perdarahan yang terjadi.

Perdarahan intrakranial dapat terjadi tepat di tempat benturan, di kontralateral tempat benturan, atau pada konveksitas serebrum unilateral pada sisi benturan, bisa juga bilateral. Paling sering di daerah temporal dan parietal, sedangkan daerah frontal dan oksipital lebih jarang. Benturan di belakang kepala dapat menyebabkan perdarahan subdural bilateral.

Jika perdarahan terjadi pada fossa posterior, gejala klinis yang dijumpai tidak memberikan gambaran yang khas, dan relatif tidak dapat dibedakan dengan bila disebabkan lesi lain pada bagian tersebut. Gejala berupa penurunan kesadaran, sakit kepala, muntah, kelumpuhan saraf kranial, dan kaku kuduk. Perdarahan pada fossa posterior umumnya terjadi karena laserasi sinus vena atau perdarahan dari kontusio serebeli dan robeknya bridging vein.

Gejala yang terjadi pada perdarahan subdural subakut, pada dasarnya serupa akan tetapi perjalanan munculnya keluhan dan tanda lebih lama dari yang akut. Sedangkan yang kronik akan menyebabkan perjalanan gejala yang lebih lambat lagi, sehingga dikatakan kerap seperti tumor serebri atau gejala intoksikasi obat, dimana gejala awalnya ringan dan terasa makin meningkat dari waktu ke waktu. Waktu antara saat terjadinya cedera kepala hingga mulai munculnya keluhan ini disebut sebagai latent interval. Gejala dapat berupa nyeri kepala yang sifatnya kronis dan progresif, hemiparese, anisokor pupil, muntah-muntah, iritabilitas, kaku kuduk, apatis, amnesia, gangguan kepribadian, tanda-tanda demensia, atau dapat pula terjadi kejang.

Perdarahan subdural lebih sering terdapat pada anak kecil berumur antara 2-6 bulan dengan lesi bilateral. Gejala yang timbul berupa pembonjolan ubun-ubun, muntah dan kejang-kejang. Sering pula ditemukan riwayat berat badan yang tidak bertambah, anoreksia, dan pertambahan lingkaran kepala yang abnormal. Pada pemeriksaan didapati anak sering panas akibat dehidrasi atau adanya darah dalam otak, kepala menonjol biparietal (pada hidrosefalus terjadi penonjolan ke frontal), dan terlihat gejala setting sun pada mata. Pada funduskopi tampak perdarahan retina pada 50-80% kasus.

Diagnosis

Diagnosis didasarkan pada riwayat kelahiran bayi disertai gambaran klinis yang ditemukan. Bila dalam riwayat kelahiran ditemukan adanya kesukaran lahir (misalnya kelahiran dengan tindakan atau kelahiran sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan kepala) dan pada bayi ditemukan kejang fokal, kelemahan otot fokal, ubun-ubun menonjol, sutura melebar, maka mungkin sekali bayi mengalami perdarahan subdural akut. Bila dijumpai dilatasi pupil yang unilateral, maka mungkin sekali terjadi timbunan darah subdural yang terletak homolateral dengan pupil yang melebar tersebut.

Untuk menegakkan diagnosis diperlukan bantuan pemeriksaan CT Scan, MRI, arteriografi dan bila mungkin dengan tap subdural. Tap subdural ini dikerjakan dengan melakukan pungsi aspirasi melalui sutura koronaria lateralis dari tepi ubun-ubun anterior, kira-kira 3-4 cm dari garis tengah untuk mencegah tusukan ke dalam sinus sagitalis. Biasanya hanya keluar beberapa tetes cairan jernih, tapi pada perdarahan subdural akan keluar cairan berdarah atau xantokrom. Tidak keluarnya cairan pada tap subdural belum tentu menandakan tidak adanya perdarahan subdural.

Rontgen kepala dapat dianggap tidak memberikan informasi yang berarti, kecuali bila ditemukan tanda fraktur tulang tengkorak. Pada kecurigaan perdarahan subdural jangan melakukan pungsi lumbal, karena akan menyebabkan herniasi jaringan otak ke dalam hiatus tentorii bila tekanan intrakranial meninggi.

Penatalaksaaan

Penatalaksanaan ditujukan untuk memantau keadaan umum serta volume darah dan sistem kardiovaskuler. Dalam penanganannya, perdarahan subdural akut dengan gejala yang progresif memburuk merupakan petunjuk perlunya dilakukan operasi untuk evakuasi perdarahan secepatnya. Pada kasus perdarahan kecil, misal 30cc, kadangkala masih memungkinkan untuk dicoba diberikan terapi konservatif dengan observasi yang ketat. Diharapkan akan terjadi lisis dan penyerapan darah dalam waktu sekitar 10 hari, walau hal ini dapat diikuti dengan terjadinya fibrosis dan pengapuran pada jaringan otak tersebut. Perdarahan yang terjadi akibat vena yang pecah kadangkala dapat berhenti sendiri, dikarenakan efek tekanan yang meningkat yang menyebabkan pembuluh darah ikut tertekan (terjadi tamponade oleh hematoma sendiri).Tindakan

Tindakan yang dikerjakan berupa resusitasi (intubasi, hiperventilasi, dan pemberian manitol atau furosemid). Bila keadaan sudah stabil, tap bilateral dengan jarum kateter no. 18 atau 20 untuk mengeluarkan 5-10 ml cairan berdarah dari tiap sisi akan mengurangi ketegangan ubun-ubun dan memperbaiki keadaan. Kateter tersebut tidak diangkat dan dihubungkan dengan closed drainage. Setelah itu dilakukan CT Scan. Operasi dilakukan bila terdapat perdarahan dengan tebal melebihi 5 mm. Bila terdapat dugaan adanya tekanan intrakranial meninggi, maka dilakukan pemantauan dan tindakan untuk mengatasinya.

Pada pasien yang tidak dioperasi, kateter subdural dilepas setelah 24 jam dan dilakukan CT Scan serial untuk menilai apakah terjadi pengisian kembali kantung hematoma dan berkembang menuju perdarahan yang kronik. Pada perdarahan subdural yang tidak akut dilakukan tindakan konservatif berupa tap subdural serial. Tap dilakukan tiap hari selama 2 minggu bergiliran kanan dan kiri. Bila tetap ada cairan, dianjurkan untuk melakukan operasi.

Dengan CT Scan dapat dinilai luasnya ruang subdural preoperasi dan dilakukan pengangkatan selaput subdural serta pemasangan pirau subdural-pleural atau subdural-peritoneal. Operasi ini bertujuan untuk mencegah timbulnya kembali cairan subdural dan mengurangi dead space.

Prognosis

Prognosis tergantung dari besar kecilnya perdarahan, gejala neurologis yang ada dan hasil tindakan intervensi bedah. Perdarahan subdural ini relatif lebih banyak terjadi daripada perdarahan epidural, dan memiliki angka mortalitas yang tinggi, antara 60-70% untuk yang sifatnya akut.

Berbeda dengan kasus yang akut, operasi evakuasi perdarahan pada perdarahan subdural kronik secara umum memberikan hasil prognosis baik, 90% akan sembuh. Selain itu cara operasi yang dilakukan juga relatif lebih mudah dan sederhana.

PAGE 1