Perda No. 8 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pembentuk · Kantor/Lembaga di Iingkungan Pemerintah...

30
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, Menimbang : a. bahwa Tata Cara Pembentukan dan Teknik Penyusunan Peraturan Daerah telah diatur dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 20 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pembentukan dan Teknik Penyusunan Peraturan Daerah; b. bahwa sehubungan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, maka ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a perlu ditinjau kembali dan disesuaikan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Daerah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dengan mengubah Undang-. Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2851); 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2004,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan SALINAN

Transcript of Perda No. 8 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pembentuk · Kantor/Lembaga di Iingkungan Pemerintah...

LEMBARAN DAERAHKABUPATEN BANDUNG

NOMOR 8 TAHUN 2010

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

NOMOR 8 TAHUN 2010

TENTANG

TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANDUNG,

Menimbang : a. bahwa Tata Cara Pembentukan dan Teknik Penyusunan PeraturanDaerah telah diatur dan ditetapkan dalam Peraturan DaerahKabupaten Bandung Nomor 20 Tahun 2000 tentang Tata CaraPembentukan dan Teknik Penyusunan Peraturan Daerah;

b. bahwa sehubungan dengan telah diterbitkannya Undang-UndangNomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf aperlu ditinjau kembali dan disesuaikan;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud padahuruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentangTata Cara Pembentukan Peraturan Daerah;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang PembentukanDaerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Barat(Berita Negara Tahun 1950) sebagaimana telah diubah denganUndang-Undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang PembentukanKabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dengan mengubahUndang-. Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang PembentukanDaerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Barat(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 31,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2851);

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang PembentukanPeraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 4389);

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang PemerintahanDaerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun2004,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir denganUndang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Keduaatas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

SALINAN

2

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang PembagianUrusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan DaerahProvinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentangJenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah;

6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentangProsedur Penyusunan Produk Hukum Daerah;

7.10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2006 tentangLembaran Daerah dan Berita Daerah;

11.

8.12. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 6 Tahun 2004tentang Transparansi dan Partisipasi Dalam PenyelenggaraanPemerintahan di Kabupaten Bandung (Lembaran DaerahKabupaten Bandung Tahun 2004 Nomor 29 Seri D);

13.

9.14. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 17 Tahun 2007tentang Urusan Pemerintahan Kabupaten Bandung (LembaranDaerah Kabupaten Bandung Tahun 2007 Nomor 17).

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG

Dan

BUPATI BANDUNG

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG TATA CARA PEMBENTUKANPERATURAN DAERAH.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

1. Daerah adalah Kabupaten Bandung.

2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Bandung.

3. Bupati adalah Bupati Bandung.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRDadalah DPRD Kabupaten Bandung.

5. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Bandung.

6. Sekretariat Daerah adalah Sekretariat Daerah Kabupaten Bandung.

7. Bagian Hukum adalah Bagian Hukum Sekretariat DaerahKabupaten Bandung.

3

8. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPDadalah Dinas/Badan/Kantor/Lembaga di Iingkungan PemerintahKabupaten Bandung.

9. Pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnyadisingkat Pimpinan SKPD adalah Kepala Dinas/Badan/Kantor/Lembaga di Iingkungan Pemerintah Kabupaten Bandung.

10. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yangdibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang danmengikat secara umum.

11. Tata Cara Pembentukan Peraturan Daerah adalah prosespembuatan peraturan daerah yang pada dasarnya dimulai dariperencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan,pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.

12. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disingkat Prolegdaadalah instrumen perencanaan program pembentukan peraturandaerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.

13. Naskah Akademik adalah naskah yang dapatdipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yangberisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingindiwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturanRancangan Peraturan Daerah, termasuk di dalamnya kajianakademik dan/atau naskah lain yang dipersamakan.

14. Rancangan Peraturan Daerah yang selanjutnya disingkat Raperdaadalah Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung.

15. Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Kabupaten Bandungyang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah denganpersetujuan bersama Kepala Daerah.

16. Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Daerah atau Berita Daerah.

17. Lembaran Daerah adalah penerbitan resmi pemerintah daerahyang digunakan utuk mengundangkan peraturan daerah.

18. Tim Asistensi adalah Tim yang dibentuk oleh Bupati yang bertugasmemberikan asistensi dalam pembahasan Rancangan PeraturanDaerah menjadi Peraturan Daerah.

19. Pemrakarsa adalah Perangkat Daerah dan DPRD.

BAB II

TUJUAN DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2

Tujuan pembentukan peraturan daerah adalah:

1. memberikan landasan yuridis dalam membentuk peraturan daerah;

2. memberikan pedoman dan arahan dalam rangka tertibpembentukan peraturan daerah sesuai dengan asas-asaspembentukan peraturan perundang-undangan yang balk; dan

3. menyelenggarakan pembentukan peraturan daerah yangtransparan, akuntabel dan partisipatif.

4

Pasal 3

Ruang lingkup tata cara pembentukan peraturan daerah meliputi :

1 . prolegda;

2. persiapan;

3. teknik perancangan;

4. partisipasi masyarakat;

5 . pembahasan;

6. penetapan dan pengundangan; dan

7. penyebarluasan/sosialisasi.

BAB III

ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

Pasal 4

Dalam membentuk peraturan daerah harus berdasarkan pada asaspembentukan peraturan perundang-undangan yang balk yang meliputi:

a. kejelasan tujuan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturandaerah harus mempunyal tujuan yang jelas yang hendak dicapai;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, adalah bahwasetiap peraturan daerah harus dibuat oleh lembaga/pejabat yangberwenang, sehingga peraturan daerah tersebut dapat dibatalkanatau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yangtidak berwenang;

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, adalah bahwa dalampembentukan peraturan daerah harus benar-benar memperhatikanmateri muatan yang tepat dengan peraturan daerahnya;

d. dapat dilaksanakan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturandaerah harus memperhitungkan efektivitas peraturan daerahtersebut di dalam masyarakat, balk secara filosofis, yuridis, maupunsosiologis;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan, adalah bahwa setiap peraturandaerah dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan danbermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa,dan bernegara;

f. kejelasan rumusan, adalah bahwa setiap peraturan daerah,sistematika dan pilihan kata atau terminotogi, serta bahasahukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidakmenimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya;dan

g. keterbukaan, adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturandaerah mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, danpembahasan bersifat transparan dan terbuka, sehingga seluruhlapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-Iuasnyauntuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturandaerah.

Pasal 5

Materi muatan peraturan daerah mengandung asas:

a. pengayoman, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan

5

daerah harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangkamenciptakan ketentraman masyarakat;

b. kemanusiaan, adalah bahwa setiap materi muatan peraturandaerah harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negaradan penduduk indonesia secara proporsional;

c. kebangsaan, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan daerahharus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yangpluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip NegaraKesatuan Republik Indonesia;

d. kekeluargaan, adalah bahwa setiap materi muatan peraturandaerah harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakatdalam setiap pengambilan keputusan;

e. kenusantaraan, adalah bahwa setiap materi muatan peraturandaerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yangberdasarkan pancasila;

f. bhineka tunggal ika, adalah bahwa materi muatan peraturan daerahharus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dangolongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yangmenyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupanbermasyarakat, berbangsa, dan bemegara;

g. keadilan, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan daerahharus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiapwarga negara tanpa kecuali;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, adalahbahwa setiap materi muatan peraturan daerah tidak boleh berisihal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang,antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial;

i. ketertiban dan kepastian hukum, adalah bahwa setiap materimuatan peraturan daerah harus dapat menimbulkan ketertibandalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum;dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, adalah bahwa setiapmateri muatan peraturan daerah harus mencerminkankeseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentinganindividu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

BAB IV

MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

Pasal 6

Materi muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalamrangka penyetenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, danmenampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjutperaturan perundangundangan yang lebih tinggi.

Pasal 7

1. Peraturan daerah dapat memuat ancaman pidana kurunganselamalamanya 6 (enam) bulan dan atau denda setinggi-tingginyaRp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

2. Peraturan daerah dapat memuat ancaman denda selain

6

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan yang diaturdalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

BAB V

PERENCANAAN PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH

Pasal 8

Perencanaan penyusunan peraturan daerah dilakukan dalam suatuProgram Legislasi Daerah.

Pasal 9

(1) Rancangan peraturan daerah balk yang berasal dari DewanPerwakilan Rakyat Daerah maupun dari Bupati disusunberdasarkan Prolegda.

(2) Dalam keadaan tertentu yaitu kondisi yang memerlukanpengaturan yang tidak tercantum dalam Program LegislasiDaerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Bupati dapatmengajukan Rancangan Peraturan Daerah, di luar sebagaimanadimaksud pada ayat (1).

Pasal 10

(1) Penyusunan rancangan Prolegda di lingkungan DewanPerwakilan Rakyat Daerah dikoordinasikan oleh Badan Legislasi.

(2) Penyusunan rancangan Prolegda di lingkungan PemerintahDaerah dikoordinasikan oleh Bagian Hukum.

Pasal 11

(1) Badan Legislasi dalam mengkoordinasikan penyusunanrancangan Prolegda di lingkungan Dewan Perwakilan RakyatDaerah dapat meminta atau memperoleh bahan dan/ataumasukan dari Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi dan/ataukelompok masyarakat.

(2) Ketentuan Iebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegdadi lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimanadimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) diatur dalam Tata Tertib DewanPerwakilan Rakyat Daerah dengan memperhatikan peraturanperundangundangan yang berlaku.

Pasal 12

(1) Bagian Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2),dalam mengkoordinasikan penyusunan rancangan Prolegda dilingkungan Pemerintah Daerah dapat meminta atau memperolehbahan dan/atau masukan dari SKPD, Perguruan Tinggi dan/ataukelompok masyarakat.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegdadi lingkungan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud padaayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

7

Pasal 13

(1) Hasil penyusunan rancangan Prolegda di lingkungan DewanPerwakilan Rakyat Daerah dan hasil penyusunan rancanganProlegda di lingkungan Pemerintah Daerah sebagaimanadimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12, dibahas bersama antaraDewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Pemerintah Daerahdalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi.

(2) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),selanjutnya disusun menjadi Prolegda yang merupakankesepakatan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerahdan Pemerintah Daerah yang dituangkan dalam bentuk notakesepahaman (Memorandum of Understanding) dan selanjutnyaditetapkan dalam Peraturan Bupati.

BAB VI

PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

Bagian Kesatu

Persiapan

Pasal 14

Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari Dewan PerwakilanRakyat Daerah atau Bupati, masing-masing sebagai kepala pemerintahdaerah kabupaten.

Pasal 15

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancanganperaturan daerah yang berasal dari Bupati diatur dengan PeraturanBupati.

Pasal 16

(1) Rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh Bupatidisiapkan oleh Pimpinan SKPD atau pejabat yang ditunjuk olehBupati sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.

(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsirancangan peraturan daerah yang berasal dari Bupati,dikoordinasikan oleh Bagian Hukum.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persiapan rancanganperaturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaturdengan Peraturan Bupati.

Pasal 17

(1) Rancangan peraturan daerah yang berasal dari DewanPerwakilan Rakyat Daerah dapat disiapkan oleh anggota komisi,gabungan komisi, atau alat kelengkapan Dewan PerwakilanRakyat Daerah yang khusus menangani bidang legislasi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persiapan rancangan

8

peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaturdalam Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 18

(1) Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh Bupatidisampaikan dengan surat pengantar Bupati kepada DewanPerwakilan Rakyat Daerah oleh Bupati.

(2) Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh DewanPerwakilan Rakyat Daerah disampaikan oleh Pimpinan DewanPerwakilan Rakyat Daerah kepada Bupati.

Pasal 19

(1) Pemrakarsa dalam menyusun rancangan peraturan daerah dapatterlebih dahulu menyusun Naskah Akademik mengenai materiyang akan diatur dalam rancangan peraturan daerah.

(2) Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) palingsedikit memuat :

BAB I Pendahuluan.

A. Latar belakang.

B. Permasalahan.

C. Tujuan dan kegunaan.

D. Metode Pendekatan.

BAB II Ruang Lingkup Naskah Akademik.

A. Ketentuan Umum.

B. Asas dan Tujuan.

C. Materi Muatan.

D. Ketentuan Sanksi.

E. Ketentuan Peralihan.

F. Ketentuan Penutup.

BAB III Kesimpulan dan Saran.

BAB IV Lampiran.

Bagian Kedua

Pembahasan

Pasal 20

(1) Pembahasan rancangan peraturan daerah di Dewan PerwakilanRakyat Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerahbersama Bupati.

(2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan.

(3) Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat(2) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DewanPerwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang

9

legislasi dan rapat paripurna.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan rancanganperaturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diaturdengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 21

(1) Rancangan peraturan daerah dapat ditarik kembali sebelumdibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah danBupati.

(2) Rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas hanya dapatditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DewanPerwakilan Rakyat Daerah dan Bupati.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembalirancangan peraturan daerah diatur dengan Peraturan Tata TertibDewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 22

(1) Pembahasan menitikberatkan pada substansi atau materirancangan peraturan daerah.

(2) Substansi atau materi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)meliputi:

a. latar belakang, tujuan, dan ruang lingkup pengaturan;

b. rumusan, implikasi, bahasa, penegakan dan keterkaitan antarnorma;

c. hal lainnya yang berkaitan dengan materi muatan rancanganperaturan daerah yang bersangkutan.

(3) Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)dilakukan dalam rapat komisi atau gabungan komisi atau rapatpanitia khusus yang dilakukan bersama antara DPRD denganBupati atau pejabat yang ditunjuk/ditugaskan.

Pasal 23

Apabila dalam satu masa sidang, Bupati dan Dewan Perwakilan RakyatDaerah menyampaikan rancangan peraturan daerah, mengenai materiyang sama, maka yang dibahas adalah rancangan peraturan daerahyang disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sedangkanrancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh Bupati digunakansebagai bahan untuk dipersandingkan.

Bagian Ketiga

Penetapan

Pasal 24

(1) Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama olehDewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati disampaikan olehPimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada Bupati untukditetapkan menjadi Peraturan Daerah.

10

(2) Penyampaian rancangan peraturan daerah sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu palinglambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

Pasal 25

(1) Rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalamPasal 22 ditetapkan oleh Bupati dengan membubuhkan tandatangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) harisejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama olehDewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati.

(2) Dalam hal rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksudpada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Bupati dalam waktu palinglambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan peraturan daerahtersebut disetujui bersarna, maka rancangan peraturan daerahtersebut sah menjadi peraturan daerah dan wajib diundangkan.

(3) Dalam hal sahnya rancangan peraturan daerah sebagaimanadimaksud pada ayat (2), maka kalimat pengesahannya berbunyi:Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.

(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud padaayat

(5) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerahsebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah ke dalamLembaran Daerah.

BAB VII

PENOMORAN DAN AUTENTIFIKASI

Pasal 26

(1) Penomoran dan autentifikasi peraturan daerah dilakukan olehKepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah.

(2) Penomoran peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat(1) menggunakan nomor bulat.

Pasal 27

Peraturan daerah yang telah ditetapkan dan diberikan nomor harusdiundangkan dalam Lembaran Daerah.

BAB VIII

PERUBAHAN DAN PENCABUTAN PERATURAN DAERAH

Bagian Kesatu

Perubahan Peraturan Daerah

Pasal 28

Perubahan peraturan daerah dilakukan dengan :

a. menyisipkan atau menambah materi ke dalam peraturan daerah;atau

11

b. menghapus atau mengganti sebagian materi peraturan daerah.

Pasal 29

Perubahan peraturan daerah dapat dilakukan terhadap:

a. seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal dan/atauayat; atau

b. kata, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca.

Pasal 30

Jika peraturan daerah yang diubah mempunyai nama singkatan,peraturan daerah perubahan dapat menggunakan nama singkatanperaturan daerah yang diubah.

Pasal 31

Batang tubuh peraturan daerah perubahan terdiri atas:

a. Pasal I memuat judul peraturan daerah yang diubah, denganmenyebutkan Lembaran Daerah yang diletakkan di antara tandabaca kurung serta memuat materi atau norma yang diubah;

b. Jika peraturan daerah telah diubah Iebih dari satu kali, Pasal Imemuat, selain mengikuti ketentuan pada butir a, juga tahun dannomor dari peraturan daerah perubahan yang ada serta LembaranDaerah yang diletakkan di antara tanda baca kurung dan dirincidengan huruf-huruf (abjad) kecil (a, b, c, dan seterusnya);

c. Pasal H memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku, dan dalamhal tertentu, Pasal II juga dapat memuat ketentuan peralihan dariperaturan daerah perubahan, yang maksudnya berbeda denganketentuan peralihan dari peraturan daerah yang diubah.

Pasal 32

Jika dalam peraturan daerah perubahan ditambahkan atau disisipkanbab, bagian, paragraf, atau pasal baru, maka bab, bagian, paragraf,atau pasal baru tersebut dicantumkan pada tempat yang sesuai denganmateri yang bersangkutan.

Pasal 33

Jika dalam 1 (satu) pasal yang terdiri dad beberapa ayat disisipkan ayatbaru, penulisan ayat baru tersebut diawali dengan angka Arab sesuaidengan angka ayat yang disisipkan dan ditambah huruf kecil a, b, c danseterusnya, yang diletakkan di antara tanda baca kurung.

Pasal 34

Jika dalam peraturan daerah dilakukan penghapusan atas suatu bab,bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka urutan bab, bagian, paragraf,pasal atau ayat tersebut tetap dicantumkan dengan diberi keterangandihapus.

12

Pasal 35

Perubahan peraturan daerah yang mengakibatkan sistematikaperaturan daerah berubah, materi peraturan daerah berubah lebih dari50% (lima puluh per seratus), atau esensinya berubah, maka peraturandaerah yang diubah dapat dicabut dan disusun kembali dalamperaturan daerah yang baru.

Pasal 36

(1) Peraturan daerah yang telah sering mengalami perubahansehingga menyulitkan pengguna peraturan daerah, maka peraturandaerah tersebut dapat disusun kembali dalam naskah sesuaidengan perubahan-perubahan yang telah dilakukan denganmengadakan penyesuaian pada:

a. urutan bab, bagian paragraf, pasal, ayat, angka, atau butir;

b. penyebutan-penyebutan; dan

c. ejaan.

(2) Penyusunan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilaksanakan oleh Bupati dengan mengeluarkan suatu penetapan.

(3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalamlampiran yang tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.

Bagian Kedua

Pencabutan

Pasal 37

Apabila peraturan daerah tidak diperlukan lagi dan diganti denganperaturan daerah yang baru, peraturan daerah yang baru harus secarategas mencabut peraturan daerah yang tidak diperlukan tersebut.

Pasal 38

Peraturan daerah hanya dapat dicabut melalui peraturan daerah yangsetingkat atau produk hukum yang Iebih tinggi.

Pasal 39

]ika peraturan daerah yang baru mengatur kembali suatu materi yangsudah diatur dan sudah diberlakukan, pencabutan peraturan daerah itudinyatakan dalam salah satu pasal dalam ketentuan penutup dariperaturan daerah yang baru dengan menggunakan rumusan dicabutdan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 40

Jika pencabutan peraturan daerah dilakukan dengan peraturanpencabutan tersendiri, peraturan pencabutan itu hanya memuat 2 (dua)pasal yang ditulis dengan angka Romawi, yaitu sebagai berikut :

a. Pasal I memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunyaperaturan daerah atau yang sudah diundangkan tetapi belum mulai

13

berlaku;

b. Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya peraturandaerah pencabutan yang bersangkutan.

Pasal 41

Pencabutan peraturan daerah yang menimbulkan perubahan dalamperaturan daerah lain yang terkait, tidak mengubah peraturan daerahlain yang terkait tersebut, kecuali ditentukan lain secara tegas.

Pasal 42

Peraturan daerah atau ketentuan yang telah dicabut, dengan sendirinyatidak berlaku lagi.

BAB IX

PENGUNDANGAN DAN PENYEBARLUASAN

Bagian Kesatu

Pengundangan

Pasal 43

(1) Agar setiap orang mengetahuinya, peraturan daerah harusdiundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah.

(2) Pengundangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakanpemberitahuan formal suatu peraturan daerah sehinggamempunyai daya ikat terhadap masyarakat.

Pasal 44

Pengundangan peraturan daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah.

Pasal 45

Peraturan daerah mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikatpada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam peraturandaerah yang bersangkutan.

Pasal 46

Untuk menjamin keresmian dan keterkaitan antara materi peraturandaerah dengan penjelasan, dicatat dalam Tambahan LembaranDaerah.

Pasal 47

(1) Peraturan daerah yang mempunyai penjelasan dicantumkannomor Tambahan Lembaran Daerah.

(2) Nomor Tambahan Lembaran Daerah sebagaimana dimaksudpada ayat (1) merupakan kelengkapan dan penjelasan dari

14

Lembaran Daerah.

Bagian KeduaPenyebarluasan

Pasal 48

(1) Pemerintah daerah wajib menyebarluaskan peraturan daerahyang telah diundangkan dalam lembaran daerah dan peraturandibawahnya yang telah diundangkan dalam berita daerah.

(2) Penyebarluasan lembaran daerah dapat dilakukan melalui mediacetak, media elektronik dan/atau melalui cara-cara Iainnya.

(3) Penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dariDewan Perwakilan Rakyat Daerah dilaksanakan oleh SekretariatDewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(4) Penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dariBupati dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.

Pasal 49

Dalam rangka penyebarluasan melalui media elektronik sebagaimanadimaksud pada Pasal 48 ayat (2), Pemerintah Daerahmenyelenggarakan Sistem Informasi Peraturan Perundang-undangariyang berbasis Internet.

BAB X

TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH

Pasal 50

(1) Penyusunan rancangan peraturan daerah dilakukan sesuai denganteknik penyusunan peraturan daerah.

(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan daerahsebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiranyang tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.

(3) Teknik penyusunan Peraturan Bupati, Peraturan Bersama KepalaDaerah, dan Keputusan Bupati harus berpedoman pada teknikpenyusunan yang diatur dalam peraturan daerah ini.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan terhadap teknikpenyusunan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat(2) diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB XI

PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 51

(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atautertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancanganperaturan daerah.

(2) Pelaksanaan partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada

15

ayat (1) dilakukan melalui konsultasi publik, pertemuan para ahli,dialog, diskusi, seminar dan/atau forum-forum lainnya yang efektifuntuk membangun komunikasi dengan masyarakat.

(3) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diutamakan bagi masyarakat dan pemangku kepentingan yangterkena dampak langsung dari pengaturan peraturan daerah yangbersangkutan.

BAB XII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 52

Hal-hal yang belum cukup di atur dalam Peraturan Daerah ini,sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalamPeraturan Bupati.

Pasal 53

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, Peraturan Daerah KabupatenBandung Nomor 20 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pembentukan danTeknik Penyusunan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah KabupatenBandung Tahun 2000 Nomor 35 Seri D), dan segala ketentuanpelaksanaannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 54

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundanganPeraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran DaerahKabupaten Bandung.

Ditetapkan di Soreangpada tanggal 6 September 2010

BUPATI BANDUNG

ttd

OBAR SOBARNA

Diundangkan di Soreangpada tanggal 6 September 2010

SEKRETARIS DAERAHKABUPATEN BANDUNG

ttd

SOFIAN NATAPRAWIRA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNGTAHUN 2010 NOMOR 8

16

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNGNOMOR : 8 TAHUN 2010TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

SISTEMATIKA TEKNIK PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DANKERANGKA PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH

I. Sistematika Teknik Pembentukan Peraturan Daerah adalah sebagai berikut :

A. JUDUL.

B. PEMBENTUKAN.

1. Frase “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”.

2. Jabatan Pembentuk Peraturan Daerah.

3. Konsiderans.

4. Dasar Hukum.

5. Diktum.

C. BATANG TUBUH.

1. Ketentuan Umum.

2. Materi Pokok yang Diatur.

3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan).

4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan).

5. Ketentuan Penutup.

D. PENUTUP.

E. PENJELASAN. (jika diperlukan)

F. LAMPIRAN. (jika diperlukan)

II. Uraian Sistematika dan Kerangka Penyusunan Peraturan Daerah adalah sebagaiberikut :

A. JUDUL

1. Judul Peraturan Daerah memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahunpengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Daerah.

2. Nama Peraturan Daerah dibuat secara singkat dan mencerminkan isi PeraturanDaerah.

3. Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjintanpa diakhiri tanda baca.

Contoh:

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNGNOMOR 17 TAHUN 2007

TENTANG

URUSAN PEMERINTAHAN KABUPATEN BANDUNG

4. Pada judul Peraturan Daerah Perubahan ditambahkan frase perubahan atas didepan nama Peraturan Daerah yang diubah.

17

Contoh:

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNGNOMOR ..... TAHUN .....

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATENBANDUNG NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG ANGGARAN

PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAHTAHUN ANGGARAN 2009

5. Jika Peraturan Daerah telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kataperubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan beberapakali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya.

Contoh:

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

NOMOR .... TAHUN .....

TENTANG

PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR .... TAHUN .... TENTANG

B. PEMBUKAAN

Pembukaan Peraturan Daerah terdiri atas:

1. Frase ”Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”;

2. Jabatan Pembentuk Peraturan Daerah;

3. Konsiderans;

4. Dasar Hukum; dan

5. Diktum.

6.

B.1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Daerah sebelum nama jabatanpembentuk Peraturan Daerah dicantumkan frase DENGAN RAHMATTUHAN YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapitalyang diletakkan di tengah marjin.

B.2. Jabatan Pembentuk Peraturan Daerah

Jabatan pembentuk Peraturan Daerah ditu lis seluruhnya dengan hurufkapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda bacakoma.

B.3. Konsiderans

1. Konsiderans diawali dengan kata Menimbang.

2. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokokpokok pikiran yangmenjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Daerah.

3. Pokok-pokok pikiran pada konsiderans Peraturan Daerah memuat unsurfilosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakangpembuatannya.

4. Pokok-pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Daerahdianggap perlu untuk dibuat adalah kurang tepat karena tidakmencerminkan latar belakang dan alasan dibuatnya Peraturan Daerahtersebut.

18

5. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap-tiap pokokpikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuanpengertian.

6. Tiap-tiap pokok pikiran diawali huruf abjad dan dirumuskan dengan satukalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda bacatitik koma.

Contoh:

Menimbang : a. bahwa ........;

b. bahwa ........;

c. bahwa .........

d.

7. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butirpertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut:

Contoh:

Menimbang : a. bahwa ;

b. bahwa

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimanadimaksud dalam huruf a dan huruf b perlumembentuk Peraturan Daerahtentang ;

B.4. Dasar Hukum

1. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.

2. Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan PeraturanDaerah dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkanpembuatan Peraturan Daerah tersebut.

3. Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukumhanya Peraturan Perundangundangan yang tingkatannya sama ataulebih tinggi.

4. Peraturan Daerah yang akan dicabut dengan Peraturan Daerah yangakan dibentuk atau Peraturan Daerah yang sudah diundangkan tetapibelum resmi berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar hukum.

5. Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dijadikan dasarhukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tataurutan Peraturan Perundang-undangan dan jika tingkatannya samadisusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan ataupenetapannya.

6. Dasar hukum yang diambil dari pasal (-pasal) dalam Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis denganmenyebutkan pasal atau beberapa pasal yang berkaitan Frase Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudahpenyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan hurufkapital.

Contoh :

Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945;

7. Dasar hukum yang bukan Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukupmencantumkan nama judul Peraturan Perundang-undangan.

19

Penulisan undang-undang, kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden perludilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesiadan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkandi antara tanda baca kurung.

Contoh:

Mengingat : 1. .....;

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 200 tentangPembentukan Peraturan Perundang undangan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 4389);

8. Dasar hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan jamanHindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial HindiaBelanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis lebih duluterjemahannya dalam Bahasa Indonesia dan kemudian judul asliBahasa Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor Staatsbladyang dicetak miring di antara tanda baca kurung.

Contoh:

Mengingat : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboekvan Koophandel, Staatsblad 1847: 23);

2. ..............;

9. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang-undangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, danseterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.

Contoh:

Mengingat : 1. .............;

2. .............;

3 .............;

B.5. Diktum

1. Diktum terdiri atas:

a. kata Memutuskan;

b. kata Menetapkan;

c. nama Peraturan Daerah.

2. Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi diantara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua sertadiletakkan di tengah marjin.

3. Sebelum kata Memutuskan dicantumkan frase Dengan PersetujuanBersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATENBANDUNG dan BUPATI BANDUNG yang ditulis sepenuhnya denganhuruf kapital dan diletakkan di tengah marjin.

Contoh:

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATENBANDUNG

20

dan

BUPATI BANDUNG

MEMUTUSKAN :

4. Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yangdisejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Hurufawal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengantanda baca titik dua.

Contoh:

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG TATA CARAPEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH.

C. BATANG TUBUH

1. Batang tubuh Peraturan Daerah memuat semua substansi Peraturan Daerahdalam pasal (-pasal).

2. Substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam:

a. Ketentuan Umum;

b. Materi Pokok yang Diatur;

c. Ketentuan Pidana (jika diperlukan);

d. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan);

e. Ketentuan Penutup.

3. Dalam pengelompokkan substansi sedapat mungkin dihindari adanya BabKetentuan Lain atau sejenisnya. Materi yang bersangkutan, diupayakanuntuk masuk ke dalam bab yang ada atau dapat pula dimuat dalam babtersendiri dengan judul yang sesuai dengan materi yang diatur.

4. Substansi yang berupa sanksi administrasi atau sanksi keperdataan ataspelanggaran norma tersebut, dirumuskan menjadi satu bagian (pasal)dengan norma yang memberikan sanksi administrasi atau sanksikeperdataan.

5. Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapatlebih dari satu pasal, sanksi administrasi atau sanksi keperdataandirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengandemikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksipidana, sanksi perdata, dan sanksi administrasi dalam satu bab.

6. Sanksi administrasi dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran,pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif atau dayapaksa polisional. Sanksi keperdataan dapat berupa, antara lain, gantikerugian.

7. Pengelompokan materi Peraturan Daerah dapat disusun secara sistematisdalam buku, bab, bagian, dan paragraf.

8. Jika Peraturan Daerah mempunyai materi yang ruang lingkupnya sangat luasdan mempunyai banyak pasal, pasal (- pasal) tersebut dapat dikelompokanmenjadi: buku (jika merupakan kodifikasi), bab, bagian, atau paragraf.

9. Pengelompokkan materi dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukanatas dasar kesesuaian materi.

10. Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut:

a. bab dengan pasal (-pasal) tanpa bagian dan paragraf;

21

b. bab dengan bagian dan pasal (-pasal) tanpa paragraf; atau

c. bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal (-pasa l).

11. Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnyaditulis dengan huruf kapital.

Contoh:

BAB I

KETENTUAN UMUM

12. Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan hurufdan diberi judul.

13. Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagianditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidakterletak pada awal frase.

Contoh:

Bagian Ketiga

Penetapan Peraturan Daerah

14. Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul.

15. Huruf awal dari kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraf ditulisdengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak padaawal frase.

Contoh:

Paragraf 1

Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota

16. Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan Daerah yang memuat satunorma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat,jelas, dan lugas.

17. Materi Peraturan Daerah lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yangsingkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang masing-masingpasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi yang menjadi isi pasal itumerupakan satu rangkaian yang tidak bisa dipisahkan.

18. Pasal diberi nomor urut angka Arab.

19. Huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai satuan ditulis dengan hurufkapital.

Contoh:

Pasal 10

Pengundangan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah dilaksanakanoleh Sekretaris Daerah.

20. Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat.

21. Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab di antara tanda baca kurungtanpa diberi tanda baca titik.

22. Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalamsatu kalimat utuh.

23. Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan hurufkecil.

22

Contoh:

Pasal 12

(1) Penyusunan rancangan peraturan daerah dilakukan dengan teknikpenyusunan Peraturan Daerah.

(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Daerah sebagaimanadimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidakterpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

24. Jika satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, maka di sampingdirumuskan dalam bentuk kalimat dengan rincian, dapat puladipertimbangkan penggunaan rumusan dalam bentuk tabulasi.

Contoh:

Pasal 14

Yang dapat diberi hak pilih adalah Warga Negara Indonesia yang telahberusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin dan telah terdaftar padadaftar pemilih.

Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika dirumuskan sebagaiberikut:

Contoh rumusan tabulasi:

Pasal 14

Yang dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang:

a. telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin; dan

b. telah terdaftar pada daftar pemilih.

25. Dalam membuat rumusan pasal atau ayat dengan bentuktabu lasi hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. setiap rincian harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuandengan frase pembuka;

b. setiap rincian diawali dengan huruf (abjad) kecil dan diberi tanda bacatitik;

c. setiap frase dalam rincian diawali dengan huruf kecil;

d. setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma;

e. jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur yang lebih kecil, makaunsur tersebut dituliskan masuk ke dalam;

f. di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut diberitanda baca titik dua;

g. pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan abjadkecil yang diikuti dengan tanda baca titik; angka Arab diikuti dengantanda baca titik; abjad kecil dengan tanda baca kurung tutup; angkaArab dengan tanda baca kurung tutup;

h. pembagian rincian hendaknya tidak melebihi empat tingkat. Jika rincianmelebihi empat tingkat, perlu dipertimbangkan pemecahan pasal yangbersangkutan ke dalam pasal atau ayat lain.

26. Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rinciankumulatif, ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang rincian keduadari rincian terakhir.

27. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatifditambahkan kata atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincianterakhir.

23

28. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif danalternatif, ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan di belakang rinciankedua dari rincian terakhir.

29. Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur ataurincian.

Contoh:

a. Tiap-tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dan seterusnya.

Contoh:

Pasal 9

(1) .....:

(2) .....:

a. ....;

b. ....; (dan, atau, dan/atau)

c. ....

b. Jika suatu rincian memerlukan lebih lanjut, rincian itu ditandai denganangka Arab 1, 2, dan seterusnya.

Contoh:

Pasal 12

(1) ......

(2) .....:

a. ....;

b. ....; (dan, atau, dan/atau)

c. .....

1. ....;

2. ....; (dan, atau, dan/atau)

3. ....

c. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincianitu ditandai dengan huruf a), b), dan seterusnya.

Contoh:

Pasal 20

( 1 ) ....

( 2 ) ....

( 3 ) ....:

a. ....

b. ....; (dan, atau, dan/atau)

c. ....:

1. ...;

2. ...; (dan, atau, dan/atau)

3. ...:

a) ...;

b) ...; (dan, atau, dan/atau)

c) ...

24

d. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincianitu ditandai dengan angka 1), 2), dan seterusnya.

Contoh:

Pasal 22

(1) ....

(2) ....

a. ... ;

b. ...; (dan, atau, dan/atau)

c. ...:

1. ...

2. ...(dan, atau, dan/atau)

3. ...:

a) ....;

b) ....; (dan, atau, dan/atau)

c) ....:

1. ...;

2. ...; (dan, atau, dan/atau)

3. ...

C.1. Ketentuan Umum

1. Ketentuan umum diletakkan dalam bab kesatu. Jika dalam PeraturanDaerah tidak dilakukan pengelompokkan bab, ketentuan umumdiletakkan dalam pasal (-pasal) awal.

2. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.

3. Ketentuan umum berisi:

a. batasan pengertian dan definisi;

b. singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan;

c. hal-hal yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal)berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud,dan tujuan.

4. Frase pembuka dalam ketentuan umum peraturan daerah berbunyi”Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : ”.

5. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi,singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannyadiberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapitalserta diakhiri dengan tanda baca titik.

6. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atauistilah yang digunakan berulangulang di dalam pasal (-pasal)selanjutnya.

7. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atauistilah itu diperlukan pengertiannya untuk satu bab, bagian atau paragraftertentu, dianjurkan agar kata atau istilah itu diberi definisi.

8. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalamketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasanpengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama

25

dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalamperaturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.

9. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronimberfungsi, untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah makabatasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perludiberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan sedemikian rupasehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.

10. Uraian penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikutiketentuan sebagai berikut:

a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebihdahulu dari yang berlingkup khusus;

b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yangdiatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan

c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnyadiletakkan berdekatan secara berurutan.

C.2. Materi Pokok yang Diatur

1. Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuanumum, dan jika tidak ada pengelompokan bab, materi pokok yang diaturdiletakkan setelah pasal (-pasal) ketentuan umum.

2. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukanmenurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.

Contoh:

a. Pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi,seperti pembagian dalam KUHP:

1. Kejahatan terhadap keamanan negara;

2. Kejahatan terhadap Presiden;

3. Kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya;

4. Kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan;

5. Kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya.

b. Pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalamhukum acara pidana, dimulai dalam penyelidikan, penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama,tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.

c. Pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung,Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.

C.3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)

1. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhanpidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma laranganatau perintah.

2. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asasumum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu KUHP,karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yangdapat dipidana menurut Peraturan Perundangundangan lain, kecuali jikaoleh Undang-Undang ditentukan lain.

3. Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perludipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana

26

dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku.

4. Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuanpidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelumbab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak ada,letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup.

5. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara jelas normalarangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal (-pasal)yang memuat norma tersebut.

6. Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuanpidana dirumuskan dengan frase setiap orang.

Contoh :

Pasal 81

Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merekyang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik oranglain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yangdiproduksi dan atau diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalamPasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahundan denda paling banyak Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah).

7. Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek itudirumuskan secara tegas, misalnya orang asing, pegawai negeri, saksi.

Contoh :

Pasal 95

Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkaratindak pidana narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana denganpidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyakRp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

8. Sehubungan adanya pembedaan antara tindakan kejahatan dantindakan pelanggaran di dalam KUHP, rumusan ketentuan pidana harusmenyatakan secara tegas apakah perbuatan yang diancam denganpidana itu dikualifikasikan sebagai pelanggaran atau kejahatan.

Contoh :

BAB VI

KETENTUAN PIDANAPasal 33

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal ..., dipidana denganpidana kurungan paling lama atau denda paling banyak Rp. ...,00

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalahpelanggaran.

C.4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)

1. Ketentuan peralihan memuat penyesuaian terhadap Peraturan Daerahyang sudah ada pada saat Peraturan Daerah baru mulai berlaku, agarPeraturan Daerah tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkanpermasalahan hukum.

2. Ketentuan peralihan dimuat dalam bab Ketentuan Penutup. Jika dalamPeraturan Daerah tidak diadakan pengelompokan bab, pasal yangmemuat ketentuan peralihan ditempatkan sebelum pasal yang memuatketentuan penutup.

27

3. Pada saat suatu Peraturan Daerah dinyatakan mulai berlaku, segalahubungan hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi baiksebelum, pada saat, maupun sesudah Peraturan Daerah yang baru itudinyatakan mulai berlaku, tunduk pada Peraturan Daerah yang baru.

4. Di dalam Peraturan Daerah yang baru, dapat dimuat pengaturan yangmemuat penyimpangan sementara bagi tindakan hukum atau hubunganhukum tertentu.

5. Penyimpangan sementara itu berlaku juga bagi ketentuan yangdiberlakusurutkan.

6. Hindari frase ... mulai berlaku efektif pada tanggal ... atau yangsejenisnya, karena frase ini menimbulkan ketakpastian mengenai saatresmi berlakunya suatu Peraturan Daerah: saat Pengundangan atau saatberlaku efektif.

7. Penyimpangan terhadap saat mulai berlaku Peraturan Daerahhendaknya dinyatakan secara tegas dengan menetapkan bagian-bagianmana dalam Peraturan Daerah itu yang berbeda saat mulai berlakunya.

Contoh :

Pasal 45

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2),ayat (3), dan ayat (4) mulai berlaku pada tanggal ... .

8. Pada dasarnya saat mulai berlakunya Peraturan Daerah tidak dapatditentukan lebih awal daripada saat pengundangannya.

9. Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan Daerahlebih awal daripada saat pengundangannya (artinya, berlaku surut), perludiperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis,berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan;

b. rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadaptindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu yangsudah ada, perlu dimuat dalam ketentuan peralihan; dan

c. awal dari saat mulai berlaku Peraturan Daerah sebaiknya ditetapkantidak lebih dahulu dari saat rancangan Peraturan Daerah tersebutmulai diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat rancanganPeraturan Daerah itu disampaikan ke DPRD.

10. Saat mulai berlaku Peraturan Daerah, pelaksanaannya tidak bolehditetapkan lebih awal daripada saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan yang men dasarinya.

C.5. Ketentuan Penutup

1. Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak dilakukanpengelompokan bab, ketentuan penutup ditempatkan dalam pasal -(pasal) terakhir.

2. Pada umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan mengenai:

a. penunjukan organ atau perlengkapan yang melaksanakan PeraturanDaerah;

b. nama singkat;

c. status Peraturan Daerah yang sudah ada;

d. saat mulai berlaku Peraturan Daerah.

3. Ketentuan penutup dapat memuat peraturan pelaksanaan yang bersifat:

a. menjalankan (eksekutif), misalnya, penunjukan pejabat tertentu yang

28

diberi kewenangan untuk memberikan izin, mengangkat pegawai,dan lain- lain;

b. mengatur (legislatif), misalnya, memberikan kewenangan untukmembuat peraturan pelaksanaan.

4. Jika materi dalam Peraturan Daerah baru menyebabkan perlunyapenggantian seluruh atau sebagian materi Peraturan Daerah lama, didalam Peraturan Daerah baru harus secara tegas diatur mengenaipencabutan seluruh atau sebagian Peraturan Daerah lama.

5. Rumusan pencabutan diawali dengan frase ”Pada saat PeraturanDaerah ini berlaku”, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan denganPeraturan Daerah pencabutan tersendiri.

6. Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Daerah hendaknya tidakdirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas PeraturanDaerah mana yang dicabut.

7. Untuk mencabut Peraturan Daerah yang telah diundangkan dan telahmulai berlaku, gunakan frase dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Contoh:

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor... Tahun ... tentang ... (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Tahun.... Nomor ....) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

D. PENUTUP

1. Penutup merupakan bagian terakhir Peraturan Daerah dan memuat:

a. rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Daerahdalam Lembaran Daerah;

b. penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Daerah;

c. pengundangan Peraturan Daerah; dan

d. akhir bagian penutup.

2. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Daerah dalamLembaran Daerah Kabupaten Bandung berbunyi sebagai berikut:

Contoh :

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan PeraturanDaerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah KabupatenBandung.

3. Penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Daerah memuat:

a. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan;

b. nama jabatan;

c. tanda tangan pejabat; dan

d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat.

4. Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakkan disebelah kanan.

5. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir namajabatan diberi tanda baca koma.

29

Contoh untuk penetapan:

Ditetapkan di Bandung

pada tanggal

BUPATI BANDUNG,tanda tangan

NAMA

6. Pengundangan Peraturan Daerah memuat:

a. tempat dan tanggal pengundangan;

b. nama jabatan yang berwenang mengundangkan;

c. tanda tangan; dan

d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat.

7. Tempat tanggal Pengundangan Peraturan Daerah diletakkan di sebelah kiri(dibawah penandatanganan pengesahan atau penetapan).

8. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir namajabatan diberi tanda baca koma.

Contoh:

Diundangkan di Bandung

pada tanggal

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BANDUNG,

tandan tangan

NAMA

9. Pada akhir bagian penutup dicantumkan Lembaran Daerah KabupatenBandung beserta tahun dan nomor dari Lembaran Daerah Kabupaten Bandungtersebut.

10.Penulisan frase Lembaran Daerah Kabupaten Bandung ditulis seluruhnyadengan huruf kapital.

Contoh:

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN .... NOMOR ....

E. PENJELASAN

1. Setiap Peraturan Daerah dapat diberi penjelasan, jika diperlukan.

2. Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan penyusunan rancanganperaturan daerah.

3. Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan Daerah yang bersangkutan.

Contoh :

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNGNOMOR .... TAHUN ....

TENTANG

TATA BANGUNAN

30

4. Penjelasan Peraturan Daerah memuat penjelasan umum dan penjelasan pasaldemi pasal.

5. Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali denganangka Romawi dan ditulis seluruhnya dengan huruf Kapital.

Contoh:

I. UMUM

II. PASAL DEMI PASAL

6. Penjelasan umum uraian secara sitematis mengenai latar belakang pemikiran,maksud, dan tujuan penyusunan Peraturan Daerah yang telah tercantumsecara singkat dalam butir konsideran, serta asas-asas, tujuan, atau pokok-pokok yang terkandung dalam batang tubuh Peraturan Daerah.

7. Dalam penyusunan penjelasan pasal demi pasal harus diperhatikan agarrumusannya:

a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;

b. tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam batang tubuh;

c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batangtubuh;

d. tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian yang telah dimuat didalam ketentuan umum.

F. LAMPIRAN (jika diperlukan)

Dalam hal Peraturan Daerah memerlukan lampiran, hal tersebut harus dinyatakandalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan bagianyang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah yang bersangkutan. Pada akhirlampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yangmengesahkan/menetapkan Peraturan Daerah yang bersangkutan.

BUPATI BANDUNG

ttd

OBAR SOBARNA