PKJ 3 Kurikulum Dan Pembentuk Kepribadian

21
rikulum Jepang dan Pendidikan Sitsu ebagai Pembentuk Kepribadian Anak

description

kebudayaan jepang

Transcript of PKJ 3 Kurikulum Dan Pembentuk Kepribadian

PowerPoint Presentation

Kurikulum Jepang dan Pendidikan Sitsuke sebagai Pembentuk Kepribadian AnakKelompok 4Leonardus CMauza PMelissa GraceSiti FatimahVania ArdhianiPengertian KurikulumMenurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1983, kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan. Definisi tersebut kurang lebih sama di seluruh dunia, termasuk pula untuk kurikulum di Jepang. Dalam kurikulum sekolah Jepang terdapat perangkat mata pelajaran yang telah ditentukan oleh Kementerian Pendidikan. Susunan mata pelajaran tersebut berbentuk tetap dan tidak mengalami perubahan berarti sejak pertama dibentuk pasca Perang Dunia II, meskipun Garis Besar Panduan Belajar yang menaunginya terus mengalami perubahan. Perubahan dimaksudkan agar pendidikan selalu sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.Sistem belajar sekolah Jepang selama ini yang menekankan pada penghafalan pelajaran dan sentralisasi guru diharapkan tidak lagi ditemukan pada kurikulum ini. Proses belajar di kelas menekankan pada diskusi antara guru dan siswa, dan biasanya siswa dibagi lagi menjadi kelompok diskusi kecil. Guru yang semula menjadi satu-satunya sumber kebenaran selanjutnya cukup berperan sebagai moderator yang mengatur jalannya diskusi sesuai dengan pelajaran yang telah diajarkan sebelumnya. Dengan demikian, pertanyaan siswa tidak hanya terjawab oleh guru, namun juga dari hasil diskusi yang telah dilalui bersama teman-temannya. Apabila ada seorang siswa yang merasa tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik, maka guru akan mengulang pelajaran dan teman-temannya akan turut membantu sehingga semua siswa dapat menguasai pelajaran dengan baik.

Setelah mengalami kehancuran akibat kekalahan pada Perang Dunia II, pendidikan di jepang ditujukan untuk membangun kembali negeri dengan mempersiapkan masyarakatnya agar memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk industrialisasi. Pada perkembangannya, system ini dikenal sebagai system pendidikan yang terlalu berat dengan persaingan yang tinggi sehingga memicu berbagai permasalahan siswa seperti ijime dan keengganan untuk berangkat ke sekolah. Untuk itu pemerintah Jepang melalui Kementerian Pendidikan berusaha untuk membentuk sebuah system pendidikan baru yang lebih leluasa dan nyaman untuk siswa, dikenal dengan yutori kyouiku.Yutori kyouiku merupakan model pendidikan baru yang dibentuk pemerintah melalui reformasi pendidikan abad ke-21. model pendidikan ini dituangkan ke dalam revisi kurikulum tahun 1998 yang mulai diberlakukan tahun 2002. Dengan tujuan agar siswa merasa lebih nyaman dan dapat memacu perkembangan kepribadian siswa. Namun kurikulum ini tak lepas dari kritik yaitu penurunan kemampuan akademik siswa.Meskipun konsep pendidikan yutori telah ada sejak era tahun 1970-an, namun bagi sebagian besar masyarakat Jepang, istilah yutori kyouiku mengacu pada model pendidikan sesuai Reformasi Abad Ke-21 yang dicanangkan pemerintah 19 . Berangkat dari hal tersebut maka yutori kyouiku yang akan dijelaskan selanjutnya pada skripsi ini adalah kurikulum yang didasarkan pada revisi Garis Besar Panduan Belajar tahun 1998. Pada kurikulum yang akan dibahas berikut, perubahan yang terjadi tidak hanya terletak pada pengurangan jumlah jam dan konten pendidikan pada tiap pelajaran, tapi juga meliputi keseluruhan cara belajar di kelas. Berikut akan dijelaskan kurikulum yutori kyouiku Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Petama Jepang, dua jenjang pendidikan dasar Jepang yang mengalami dampak perubahan paling besar.

4ilustrasi proses belajar pada sebuah kelas Sekolah Dasar JepangPada pelajaran kehidupan di sebuah kelas tingkat awal Sekolah Dasar, Sensei (guru) memulai pelajaran dengan mengingatkan siswa mengenai tugas yang telah diberikan pada pertemuan sebelumnya. Siswa diminta untuk mencatat berbagai peraturan dan larangan di sebuah taman dekat sekolah. Sensei lalu mencatat berbagai peraturan dan larangan yang telah didata siswa di papan tulis. Setelah itu, Sensei memulai diskusi dengan sebuah pertanyaan. Ada sebuah peraturan yang mengatakan Dilarang membuang sampah sembarangan. Memangnya kenapa?. Tentu dengan cepat siswa saling berbebut untuk menjawab Karena nanti menjadi kotor atau Tidak indah. Selanjutnya Sensei bertanya, Ada larangan untuk tidak memetik bunga. Kenapa?. Seorang siswa menjawab Karena bunganya akan cepat layu, sementara siswa yang lain menjawab Kalau semua orang memetik bunga, tamannya akan menjadi kosong. Sensei lalu bertanya untuk menguji, Kalau begitu, kita boleh memetik daun? Atau mencabut rumput? Tentu tidak menjadi masalah karena jumlahnya jauh lebih banyak dari bunga, bukan?. Melalui ilustrasi di atas dapat diketahui tujuan dasar dari pendidikan yutori kyouiku, bahwa dengan situasi belajar yang nyaman, maka secara alamiah siswa akan termotivasi untuk mencari tahu lebih banyak mengenai sebuah pelajaran sekaligus menjadi solusi untuk mengurangi ketegangan siswa.

Kurikulum Yutori Kyouiku Sekolah Menengah Pertama JepangSeperti halnya Sekolah Dasar, pada Sekolah Menengah Pertama Jepang juga terdapat kurikulum yang mengatur perangkat mata pelajaran dan jumlah jamnya. Sesuai dengan Garis Besar Panduan Belajar yang telah dibentuk sejak tahun 1947, mata pelajaran dalam kurikulum Sekolah Menengah Pertama Jepang terbagi menjadi empat bagian, yakni mata pelajaran utama, mata pelajaran pilihan, pendidikan moral, dan kegiatan khusus. Seperti pada Sekolah Dasar, mata pelajaran utama terdiri dari pelajaran bahasa Jepang, ilmu sosial, matematika, ilmu alam, musik, kesenian, keterampilan rumah tangga, dan olahraga. Pendidikan moral dan kegiatan khusus juga memiliki bentuk yang kurang lebih sama. Satu hal yang membedakan, pada Sekolah Menengah Pertama ada yang dinamakan mata pelajaran pilihan. Jenis mata pelajaran ini berbeda-beda pada setiap sekolah, dengan mempertimbangkan lokasi sekolah dan kebutuhan siswa untuk menunjang kehidupan dewasanya.

Terdapat perbedaan signifikan antara cara belajar di Sekolah Menengah Pertama dengan jenjang sebelumnya.pada Sekolah Dasar, proses belajar di kelas lebih berorientasi pada diskusi antara guru dan murid untuk mendapatkan jawaban dari suatu masalah dan tidak terlalu terfokus pada usaha analisis pribadi oleh siswa. Sedangkan pada Sekolah Menengah Pertama, siswa diharapkan sudah mulai belajar menganilis suatu masalah dengan kemampuan sendiri. Sebagai catatan, pada jenjang ini pula tingkat permasalahan siswa paling tinggi dibandingkan dengan Sekolah Dasar maupun Sekolah Menengah Atas. Total siswa yang menolak untuk menghadiri sekolah mencapai 138.722 pada tahun 2000, yakni 1,23% dari jumlah total keseluruhan siswa. Jumlah kasus ijime atau penindasan terhadap seorang siswa oleh temannya mencapai 34.595 kasus pada tahun 1999, meskipun angka tersebut turun hingga angka 31.278 kasus pada tahun 2002. Jumlah tersebut belum termasuk kasus yang tidak dilaporkan dan juga jenis permasalahan lainnya seperti perusakan inventaris sekolah hingga aksi bunuh diri . Untuk itu diperlukan sebuah usaha untuk menanggulangi berbagai permasalahan yang telah disebutkan di atas, dan kurikulum yutori kyouiku diharapkan mampu menjadi salah satu solusi.

Tiga prinsip `mendidik` di sekolahJepang

`yutori kyouiku`(ikiru chikara (dan kokoro kyouiku (.Yutori kyouiku artinya memberikan space dan waktu yang leluasa kepada anak untuk berkembang. Dengan prinsip ini, sekolah di Jepang yang semula libur hanya dua kali hari Sabtu setiap bulan, berubah menjadi 5 hari sekolah. Setiap Sabtu semua sekolah libur. Kebijakan ini pun menyebabkan 30% content pelajaran dipangkas, dan diperkenalkan course baru yaitu `Sougouteki gakusyuu jikan` (integrated course, yang bertujuan untuk mempelajari materi yang lebih membumi. Mengapa demikian ? Karena siswa diajak untuk mengaplikasikan semua ilmu yang dipelajarinya di mata pelajaran yang lain untuk memahami fenomena alam, lingkungannya, kampungnya, dan orang-orang sekitarnya. Dengan kebijakan ini pula siswa hanya belajar materi pokok saja, sedangkan mata pelajaran yang sekunder disajikan dalam integrated course. Yutori kyouiku mulai dipertanyakan keefektifannya saat ini karena merosotnya prestasi akademik siswa-siswa Jepang di tingkat international (PISA dan TIMMS). Orang tua pun khawatir. Karenanya tahun 2005 Kementrian Pendidikan mengeluarkan kebijakan penerapan `zenkoku gakuryoku tesuto` (, yaitu test kemampuan akademik secara nasional.Ikiru chikara artinya potensi atau kemampuan untuk hidup. Dalam bahasa kerennya disebut `zest of living`. Sekolah harus mendidik siswa yang siap berkembang, sehat jasmani, memiliki keinginan untuk hidup (ini mungkin karena banyak anak Jepang yang lebih suka bunuh diri), plus mempunyai semangat bekerjasama yang baik. Aplikasi dari prinsip ini, di sekolah-sekolah Jepang diperkenalkan kegiatan `bukatsudou` (club activities), semacam eskul di Indonesia, yang memungkinkan para siswa berkembang sesuai minatnya. Dampak negatif dari kegiatan ini, banyak siswa yang tertidur di kelas selama jam pelajaran karena kecapekan.Kokoro kyouiku artinya pendidikan hati/kejiwaan. Anak Jepang harus bermental baja, tidak mudah putus asa, dan melakukan tindakan bunuh diri hanya karena diejek teman. Anak Jepang pun harus berkembang menjadi anak yang pemberani, dermawan, dan segala akhlak mulia lainnya. Bagaimana aplikasinya ? Di sekolah, guru harus memperhatikan kondisi satu per satu anak didik, membantu keterlambatan belajar mereka satu per satu, bekerjasama dengan orang tua. Dampak negatifnya : guru makin lama harus berada di sekolah, karena harus mengamati dan mendata plus mendiskusikan perkembangan anak didiknya dengan pejabat sekolah atau sesama guru.

Pendidikan memegang peranan yang signifikan pada masa pertumbuhan dan perkembangan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Pendidikan sedari dini, yang ditanamkan kepada siswa Jepang di sekolah dasar lebih ditekankan kepada pendidikan karakter dan pendidikan nilai-nilai moral. Sebagai contoh, dalam penyampaian mata pelajaran moral, tentang berbohong, pendekatan yang dilakukan oleh guru Jepang adalah tidak dengan mendoktrin tentang pentingnya untuk berlaku jujur, namun dengan mengajak anak-anak berdiskusi tentang akibat-akibat berbohong. Tidak ada yang malu bertanya dan mentertawakan teman yang sedang bertanya, bahkan dalam menjawab pertanyaan guru pun, semuanya beradu cepat serentak mengacungkan tangan seraya meneriakkan haik dengan lantang. Diskusi interaktif itu menggiring siswa untuk berpikir tentang pentingnya melaksanakan nilai-nilai moral yang akan diajarkan. Tidak ada proses menghafal, juga tidak ada tes tertulis untuk pelajaran moral ini. Untuk mengecek pemahaman siswa tentang pelajaran moral yang diajarkan, mereka diminta untuk membuat karangan, atau menuliskan apa yang mereka pikirkan tentang tema moral tertentu. Kadang mereka juga diputarkan film yang memiliki muatan moral yang akan diajarkan, kemudian mendiskusikan makna dari film tersebut.Shitsuke ( or ) Di dalam kurikulum pendidikan sekolah Jepang, ada pelajaran yang digolongkan ke dalam kelompok mata pelajaran dasar umum (kamoku), mata pelajaran pendidikan moral (doutoku kyouiku) yang memfokuskan pada pendidikan pengembangan fisik dan mental anak, mata pelajaran kekhususan (tokubetsu katsudo), dan mata pelajaran muatan local (sougouteki gakushuu) (Monbushou, 1977:205-209).Pendidikan moral merupakan pendidikan penanaman sitsuke pada anak Jepang. Setiap kegiatannya berlangsung dalam kehidupan anak secara bertahap sejalan dengan perkembangan fisik dan usianya. Setiap kegiatan mengarahkan anak pada proses pendewasaan.12Shitsuke (moral dan etika) adalah serangkaian pengetahuan berupa aturan-aturan, tata tertib, tata karma dan cara-cara yang benar yang merupakan etika dalam melakukan suatu tindakan kehidupan sehari-hari. Etika ini merupakan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap orang dalam mewujudkan moral yang berfungsi menjaga dan melestarikan ketertiban masyarakat (Shimizu;1989:4). Ini berarti bahwa shitshuke merupakan nilai moral dan etika masyarakat yang berlangsung terus-menerus dan menjadi kebiasaan di dalam kehidupan masyarakat.Shitsuke berhubungan dengan keterampilan sosial. Keterampilan sosial adalah keterampilaan seseorang dalam mengadakan hubungan sosial dengan shitsuke yang diajarkan kepadanya. Selain itu, keterampilan sosial menghubungkan pengetahuan dalam mengembangkan karakter dan kepribadian untuk menjadi prestasinya.

Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.

contoh penanaman shitsuke melalui pendidikan sekolah, yaitu penanaman rasa solidaritas dan kebersamaan di sekolah Jepang.

Salah satu contoh menarik yang mengajarkan tentang teamwork dan kepemimpinan, terlihat dari sistem keberangkatan siswa SD Jepang ke sekolah mereka. Siswa SD Jepang diharuskan berjalan kaki ke sekolah, mereka berkumpul di pos masing-masing tiap-tiap wilayah secara berkelompok, tidak ada yang berjalan sendiri, saling menunggu dan akan berangkat apabila anggota kelompok sudah lengkap, mereka berjalan berbaris di pimpin anggota kelas 6 yang berjalan di urutan paling depan. Jadwal masuk pintu gerbang sekolah hanya 10 menit, dari pukul 7:50-8:00. Menariknya, kelompok pertama yang mencapai gedung sekolah tidak akan memasuki gerbang sekolah terlebih dahulu, mereka berbaris rapi di depan gerbang, menunggu kedatangan kelompok yang lainnya. Begitu kelompok berikutnya tiba, mereka saling mengucapkan salam, ohayougozaimasu! (selamat pagi), disambut langsung dengan jawaban ohayougozaimasu! kembali.Lalu mereka menyambung barisan menanti teman-teman lainnya datang, membuat barisan menjadi semakin panjang. Begitu kelompok terakhir datang, kelompok-kelompok tersebut memasuki pintu gerbang dengan barisan yang rapi, tidak berpencar, tanpa ada keributan, dan hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Meskipun dalam cuaca dingin bersalju, semua siswa tetap melakukannya dengan penuh semangat, rasa sabar yang tinggi dan tanpa berkeluh kesah.Empat kali dalam seminggu, anak-anak kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. mereka harus membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain.Kebersahajaan juga diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Nilai moral jauh lebih penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak pernah menunjukkan atau bicara tentang materi. Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah di Jepang.Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah membersihkan WC, maka otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah tertanam dan terpateri di anak.Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan menyajikan minuman.Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain. Saya yakin, apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya melayani masyarakat, bukan malah minta dilayani.

Makan siang bersama. Pada usia 3-4 tahun anak-anak diharapkan sudah bisa mandi dan merapikan barang-barang pribadinya. Di Jepang, usia 3 tahun biasanya mulai masuk TK (Yochien) atau ada orang tua yang menitipkan anaknya di daycare (hoikuen).Di hoikuen semua hal dilakukan bersama-sama dari makan, tidur siang, dan mandi (saat musim panas). Saat mandi pengelompokan dipisah berdasarkan jenis kelamin, jadi tidak dicampur.Setelah makan, anak-anak diajarkan merapikan sendiri alat makannya, menaruhnya di bak cuci piring. Ketika tidur siang, masing-masing anak menggelar sendiri alas tidurnya. Ketika bangun dari tidur siang,anak-anak akan langsung merapikan sendiri alas tidurnya.Ketika musim panas, suhu di Jepang bisa mencapai 40 derajat Celsius. Maka sebelum tidur siang ada aktifitas mandi. Guru pembimbing hanya mencontohkan satu atau dua kali, selanjutnya anak-anak diharapkan sudah bisa mandi sendiri. Setelah itu anak-anak akan memakai bajunya sendiri.

Berangkat ke sekolah. Di usia 6 tahun ini, anak-anak sudah akan mencuci piringnya sendiri ketika selesai makan dan sudah bisa pulang dan pergi ke sekolah sendiri. Yang menentukan anak-anak akan sekolah di Sekolah Dasar tertentu adalah kantor kelurahan. Sebab kantor kelurahan akan mencarikan sekolah yang paling dekat dengan rumah si anak. Standar Sekolah Dasar di jepang semuanya memiliki kualitas yang sama, sehingga orang tua tidak perlu pusing-pusing memilih sekolah favorit atau sekolah terbaik.Biasanya sekolah memiliki peraturan dalam hal berangkat dan pulang sekolah seperti, tidak boleh di antar menggunakan mobil ke sekolah. Hal ini bertujuan agar anak menjadi mandiri dan membaur dengan teman-temannya. Sebab anak-anak ini akan berangkat dan pulang sekolah bersama teman-teman kelompoknya yang sudah ditentukan oleh pihak sekolah.Aktifitas berjalan ke sekolah ini juga menjadi salah satu pendidikan yang menetukan karakter orang Jepang agar tidak manja dan suka berjalan kaki karena sudah dibiasakan sedari kecil.Untuk menunjang keamanan anak-anak berangkat dan pulang sekolah sendiri anak-anak dibekali peluit (yang akan ditiup jika ada bahaya), tas dengan warna yang mencolok sehingga terlihat oleh pengguna kendaraan, dan telepon genggam yang hanya bisa digunakan untuk menelepon orang tua atau guru.

KesimpulanMasing-masing guru mempunyai cara sendiri dalam menanamkan pendidikan moral dan etika kepada anak yang menjadi muridnya. Salah satu hal yang sama yang dilakukan setiap guru di kelas ialah membentuk tim kerja dalam kelompok-kelompok kecil pada saat melakukan kegiatan program pendidikan sesuai dengan kurikulum.Di sekolah Jepang, dengan kurikulum yang ada mencoba mengajarkan anak-anak tentang kontrol diri yang sama pentingnya dengan mengajarkan pelajaran akademis. Secara bergiliran, kerjasama dan melihat kebutuhan orang lain sebelum diri sendiri terus-menerus diperkuat. Perilaku Egois dan melihat keluar untuk diri sendiri dengan mengorbankan orang lain tidak diperbolehkan. Selain itu, membangun kebiasaan disiplin dipraktekkan di sekolah agar terus berlangsung dalam kegiatan sosial nantinya.

Daftar PustakaMadubrangti, Diah. 2008. Undoukai. Depok: Akbar Media Sarana.Wojtan, Linda S. Free Resources for Teaching about Japan. Bloomington, IN: Midwest Program for Teaching about Japan, Indiana University, 1986. ED 270 3891. Hamzah Nur,PotretPendidikandiJepangSebagaiKonsepPencerahanPendidikan.Jurnal MEDTEK, Volume 2,Nomor 1, April 2010.Pendidikan Teknik Mesin FakultasTeknik Universitas Negeri Makassar.Amano,Yoshitaka.1990.Examinations;Universitiesandcolleges; Education; Education, Higher;History; Entrance examinations;Social aspects;Japan.University of Tokyo Press.Luhmer, Klaus. Moral education in Japan. (Journal of Moral Education, 1990)http://www.academia.edu/6205597/MENCERMATI_SISTEM_PENDIDIKAN_DI_JEPANG_SEBUAH_TELAAH_STUDI_PERBANDINGANhttp://www.padangmedia.com/3-Berita/78569-Pendidikan-Karakter-Jepang-Cerminan-Bangsa-Maju-.htmlhttp://edukasi.kompasiana.com/2011/07/03/moral-di-sd-jepang-377536.html