PERCERAIAN KARENA SKANDAL PERSELINGKUHAN...
-
Upload
truongdung -
Category
Documents
-
view
247 -
download
1
Transcript of PERCERAIAN KARENA SKANDAL PERSELINGKUHAN...
“PERCERAIAN KARENA SKANDAL PERSELINGKUHAN”
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor:
2478/Pdt.G/2012/PAJT)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
KHOERUN
NIM: 1110044200021
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017 M
iv
ABSTRAK
KHOERUN. NIM: 1110044200021. Perceraian Karena Skandal
Perselingkuhan (Analisis Putusan Nomor: 2478/Pdt.G/2012/PAJT). Konsentrasi
Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439H/2017M.x+60 halaman dan
lampiran-lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetagui proses penyelesaian perkara
perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur dan untuk mengetahui pertimbangan
hakim dalam memutus perkara perceraian yang disebabkan karena perselingkuhan
pada putusan Nomor. 2478/Pdt.G/2012/PAJT.
Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif , sumber data
terdiri dari data primer dan data skunder. Data primer berupa putusan nomor
2478/Pdt.G/2012/PAJT dan data skundernya berupa Undang-undang, Kompilasi
Hukum Islam, Buku-buku, Dokumen-dokumen yang terkait dengan tema. Tehnik
pengumpulan data dilakukan dengan study dokumentasi, wawancara dan study
pustaka dan tehnik analisis data dilakukan dengan analisis Konten.
Hasil penelitian menunjukan bahwa penyelesaian perkara perceraian sama
dengan penyelesaian perkara pada umumnya di Pengadilan Agama yaitu dengan
mendaftarkan perkara tersebut dan mengikuti persidangan sesuai dengan hari yang
ditetapkan dengan putusan sebagai hasil akhir. Dalam penelitian ini juga menunjukan
bahwa hakim Pengadilan Agama menjadikan perselingkuhan sebagai faktor penyebab
terjadinya keretakan memicu pertengkaran, ketidakharmonisan dan perselisihan
terus-menerus dalam rumah tangga. Oleh karena itu berdasarkan fakta di atas hakim
Pengadilan Agama Jakarta timur menisbatkan perselingkuhan sebagai alasan
perceraian kedalam Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam
Kata Kunci :Perceraian, Perselingkuhan, dan Pertimbangan Hakim PA
Jakarta Timur Nomor 2478/Pdt.G/2012/PAJT.
Pembimbing : Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A.
DaftarPustaka : 1994-2016
v
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji
dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis panjatkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya
serta orang-orang yang masih istiqomah pada ajarannya.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh
setiap mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam menyelesaikan
pendidikannya.
Selama penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat petunjuk dan bimbingan
dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga
penyelesaian skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Untuk itu penulis
ucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada yang terhormat:
1. Orang tuaku tercinta Bapak Sarma (Alm) dan Ibu Wastiyem terkasih yang telah
mencurahkan kasih sayang kepada penulis, tak henti-hentinya memberikan
nasehat, dukungan baik moril dan materil yang tak terhingga, motivasi serta doa
yang tak pernah lelah dipanjatkan untuk penulis, memberikan semangat kepada
penulis hingga penulis dapat menyelesaikan studi S1 ini.
2. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
3. Bapak Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
4. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, Ketua dan Sekertaris Bapak Indra
Rahmatullah S.H.I, M.H. Program Studi Hukum Keluarga Ahwal Syakhshiyyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, periode 2016-2020.
5. Bapak Drs. H. Supriyadi Ahmad, M.A., dosen pembimbing yang senantiasa
ikhlas meluangkan waktunya untuk memberi arahan, koreksi, dan kesabarannya
vi
untuk memberikan bimbingan yang sangat berarti demi kelancaran dalam
penyusunan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, serta Karyawan-
karyawan dan Staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas yang telah
memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Kakak-kakak ku tercinta Khosidah, Cas Mirah, Casmita, Nur Aidah, Syarifa,
Nurjaya, dan Kholifah yang telah mencurahkan kasih sayang kepada penulis, tak
henti-hentinya memberikan nasehat, dukungan baik moril dan materil yang tak
terhingga, motivasi serta doa yang tak pernah lelah dipanjatkan untuk penulis, dan
ponakan-ponakan ku Okana Dewi, Faisal Aryanto, Nur Faridah serta seluruh
keluarga yang selalu mendoakan dan memberi semangat penulis dalam menimba
ilmu untuk menyelesaikan studi S1
8. Teman-teman seperjuangan di Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2010
9. Teman-teman IKBAL Munjul Cirebon (Ikatan Keluarga Besar Alumni), Sanggar
Belalang dan KKN Get wolles.
Hanya kepada Allah SWT penulis berharap dan berdo’a agar beliau-beliau
mendapat balasan dari Allah SWT dengan sebaik-baik balasan.Amiin…
Sebagai kata akhir, penulis panjatkan doa semoga skripsi ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amiin ya Rabbal Alamiin.
Jakarta, 19 Oktober 2017
KHOERUN
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .............................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 6
D. Review Studi Terdahulu .............................................................. 7
E. Metodologi Penelitan ................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan .................................................................. 10
BAB II TEORI PERCERAIAN DAN PERSELINGKUHAN
A. Perceraian .................................................................................... 11
1. Macam-macam Perceraian ............................................... 14
2. Alasan-alasan Perceraian ................................................. 18
B. Perselingkuhan ............................................................................. 27
1. Penyebab perselingkuhan ................................................. 28
2. Dampak dari perselingkuhan............................................ 30
3. Perselingkuhan Dalam Islam............................................ 32
viii
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR
A. Sejarah Lahirnya .......................................................................... 35
B. Dasar Hukum ............................................................................... 37
C. Dasar Pelaksanaan Tugas ............................................................. 37
D. Visi dan Misi ................................................................................ 40
E. Wilayah Yuridiksi ........................................................................ 40
F. Prosedur pengajuan perkara perceraian di Pengadilan Tinggi
Agama ......................................................................................... 42
BAB IV ANALISIS TERHADAP PERCERAIAN KARENA SKANDAL
PERSELINGKUHAN DALAM PUTUSAN NOMOR
2478/Pdt.G/2012/PAJT
A. Gambaran Umum Putusan Nomor: 2478/Pdt.G/2012/PAJT ....... 45
B. Duduk Perkara Nomor: 2478/Pdt.G/2012/PAJT ......................... 45
C. Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim...................................... 47
D. Amar Putusan ............................................................................... 49
E. Analisis Penulis ............................................................................ 49
F. Analisis Penulis terhadap penyebab munculnya perselingkuhan 52
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 55
B. Saran-saran ................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 58
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. FORMAT WAWANCARA
2. HASIL WAWANCARA
3. SURAT PERMOHONAN DATA WAWANCARA
ix
4. SURAT KETERANGAN HASIL WAWANCARA DARI PA JT
5. STRUKTUR ORGANISASI PA JT 2015
6. DENAH LOKASI MENUJU KANTOR PA JT
7. PETA WILAYAH HUKUM PA JT
8. SALINAN PUTUSAN PA JT NOMOR:2478/Pdt.G/2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah satu hubungan hukum yang biasa
dilakukan oleh manusia sejak zaman Nabi Adam a.s sehingga apabila dilihat
dari sisi historis, hukum yang paling awal (pertama) dikenal manusia adalah
hukum keluarga, khususnya hukum perkawinan yang ditandai dengan
perkawinan Nabi Adam a.s dengan Istrinya Siti Hawa. Manusia meyakini
benar bahwa Nabi Adam a.s adalah manusia pertama dan istri serta anak-
anaknya yang hidup sezaman dengan Nabi Adam a.s dipandang sebagai
generasi manusia pertama, maka hukum telah ada sejak generasi Nabi Adam
a.s dan keluarganya.1
Dalam Pasal 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
memberikan definisi Perkawinan adalah : “Ikatan lahir bathin antara seorang
pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal
1).Hal ini menunjukan bahwa kebahagiaan memang merupakan suatu tujuan
utama dari perkawinan, namun tidak semua manusia yang kawin dapat
mewujudkan kebahagiaan itu. Karena kebahagiaan dalamperkawinan itu
membutuhkan komitmen, kesadaran, dan pengertian dari kedua pasangan.
Sedangkan Perkawinan menurut hukum Islam yaitu ikatan yang sangat
kuat atau mitsaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya adalah ibadah.2 Karena perkawinan dapat mengurangi
kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk
perzinahan. Orang yang berkeinginan untuk melakukan perkawinan, tetapi
belum mempunyai persiapan bekal (fisik dan nonfisik) dianjurkan oleh Nabi
1 M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), Cet. Ke 1, h. 3-4
2 Instruksi Presiden RI Nomor 1 tahun 1991, KHI di Indonesia, (Jakarta: Humaniora
Utama Press, 2001), h. 14
2
Muhammad SAW, untuk berpuasa, orang berpuasa memiliki kekuatan atau
penghalang dari berbuat tercela yang sangat keji, yaitu perzinahan.3
Islam telah mewajibkan segenap pasangan suami istri supaya
menunaikan kewajiban masing-masing, di antara kewajibannya adalah bahwa
masing-masing pihak dari keduanya harus mengerahkan segenap usaha dan
upayanya untuk menciptakan dan mewujudkan rasa cinta, kasih sayang, saling
membantu, saling toleran dan ikhlas dalam menghadapi pasangannya. Karena
kebahagiaan masing-masing dari keduanya tergadai oleh kebahagiaan
pasangannya. Hal ini sesuai dalam pasal 77 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang berbunyi: Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Perkawinan bagi umat Islam
bukanlah sekedar suatu ikatan lahiriyah antara seorang wanita dan pria untuk
memenuhi kebutuhan biologisnya saja, akan tetapi perkawinan juga
merupakan sunnah Rasul dan suatu perbuatan suci yang bertujuan
mendapatkan kebahagiaan hidup untuk mencapai ketenangan (sakinah) dalam
kehidupan rumah tangga. Oleh karenanya perkawinan harus dilaksanakan
sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.4
Dalam perkawinan tidak selamanya berjalan baik, terkadang
pasangan suami isteri dihadapkan pada permasalahan rumah tangga yang
berujung pada perceraian.Mahkamah Agung RI dalam putusannya Nomor 38
K/AG/1980 tanggal 5 Oktober 1981 juga sudah mengikuti ketentuan bahwa
perceraian dapat dilaksanakan apabila perkawinan sudah pecah dan sukar
untuk dirukunkan kembali, tanpa melihat siapa yang bersalah dari perselisihan
itu.5 Islam merupakan agama yang inklusif dan toleran memberi jalan keluar,
ketika suami istri yang tidak dapat lagi meneruskan perkawinan, dalam arti
adanya ketidak cocokan pandangan hidup dan percekcokan rumah tangga
3Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.7
4 Hamdan Rasyid, Fikih Indonesia Himpunan Fatwa-fatwa Aktual al-Mawardi, (Jakarta:
Prima, 2003), cet. 1, h. 171.
5Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta: kencana,
2008)
3
yang tidak bisa didamaikan lagi, maka Islam memberikan jalan keluar yang
dalam istilah fiqh disebut Thalaq (perceraian).
Agama Islam membolehkan suami istri bercerai, tentunya dengan
alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu (sangat) dibenci Allah
SWT.6Pada dasarnya perkawinan dilakukan untuk selamanya sampai matinya
seorang dari suami istri tersebut, inilah yang dikehendaki agama Islam.
Namun, dalam keadaan tertentu ada hal-hal yang menghendaki putusnya
perkawinan itu dalam arti bilamana hubungan perkawinan tetap dilanjutkan
maka kemudharatan akan terjadi, dalam hal ini Islam membenarkan putusnya
perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga.
Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.7
Melihat status perceraian, seperti di singgung di atas, sebetulnya
kedudukannya lebih pada situasi darurat (emergency). Selebihnya, ia
mengandung pengertian bahwa, perceraian dilakukan jika sudah menghadapi
jalan buntu dan sama sekali tidak ada jalan keluar yang lain.8
Dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan disebutkan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah
satu pihak meninggal dunia, karena perceraian, dank arena adanya putusan
Pengadilan. Kemudian dalam Pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa “Untuk
melaksanakan perceraian harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak
akan hidup sebagai suami isteri”. Ketentuan ini dipertegas dalam penjelasan
Pasal 39 ayat (2) tersebut dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 disebutkan bahwa alasan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan
perceraian adalah:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
6 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama,(Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), cet. Ke-2, h.102
7 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 1994), h.339 8 Sarlito Wirawan Sarwono, Apa dan Bagaimana Mengatasi Problema Keluarga,
((Jakarta: Pustaka Antara, 1996), h. 150
4
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa
alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak lain
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
menyebabkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami isteri
6. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.9
Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam Pasal
116 Kompilasi Hukum Islam dengan penambahan dua ayat yaitu: (a) suami
melanggar taklik talak dan (b) peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Jadi, seharusnya faktor “perselingkuhan” bukan menjadi suatu alasan
perceraian, karena dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia tidak
terdapat alasan perceraian karena “perselingkuhan”.
Perceraian karena hal ini harus diwaspadai, karena dapat mengganggu
keutuhan dan kelanjutan masa depan kehidupan keluarga. Dengan adanya hal
tersebut jangan sampai menjurus kepada suatu perceraian yang merusak
keutuhan rumah tangga suatu perkawinan. Karena hal tersebut bukan
merupakan yang dapat dijadikan alasan dalam suatu perkawinan atau urusan
keluarga.
Dalam kasus cerai talak yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta
Timur antara Ahmad ( nama samaran) umur 38 tahun dengan Yuni ( nama
samara) 31 tahun, pada awalnya di luar sepengetahuan sang suami sang isteri
berselingkuh dengan pria lain yang memang sengaja ditutup-tutupi. Namun
seiring berjalannya waktu semua itu diketahui oleh sang suami yang merasa
9Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, h. 261
5
curiga dengan tingkah laku isteri yang kerap kali kurang bersyukur atas nafkah
yang sudah diberikan dari hasil kerja suami dan kurang menghormati suami
sebagai kepala keluarga. Sehingga pada akhirnya diketahui bahwa sang isteri
ini ternyata telah berselingkuh bahkan sudah menikah lagi dengan pria lain.
Sang suami sebagai Pemohon merasa sudah tidak nyaman dan tidak
bisa lagi membina rumah tangga dengan Termohon. Pemohon yang menikah
dengan Termohon pada tangga 10 Maret 2001 dan dikarunia dua orang anak,
selama menikah kehidupan rumah tangga antara pemohon dan termohon
dalam keadaan rukun. Namun melihat perilaku istri sebagai ibu dari anak-
anaknya telah menyimpang dalam rumah tangga tentunya akan menimbulkan
rasa tidak nyaman dari pasangan, tentunya dapat mengganggu keharmonisan
bahtera rumah tangga.
Di lihat dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menelaah
tentang perbedaan alasan yang diajukan pemohon dengan hasil putusan hakim
yang berbeda dengan alasan yang diajukan pemohon. khususnya mengenai
putusnya perkawinan karena Cerai Talak ke dalam bentuk skripsi yang
berjudul “PERCERAIAN KARENA SKANDAL PERSELINGKUHAN ”
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor:
2478/Pdt.G/2012/PAJT).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dan untuk
mempermudah pembahasan, maka tulisan ini dibatasi pada perkara
Perceraiankarena Skandal Perselingkuhan Analisis Putusan Pengadilan Agama
Jakarta Timur Perkara Nomor 2478/Pdt.G/2012/PAJT.
Masalah dalam Skripsi ini dibatasi sebagai berikut:
1. Cerai talak dimaksudkan sebagai Permohonan seorang suami terhadap
istrinya untuk bercerai melalui pengadilan
2. Skandal Perselingkuhan sebuah kasus penyelewengan atau ketidak setiaan
pasangan suami isteri dengan melibatkan pihak ketiga sebagai teman
perselingkuhannya.
6
3. Lokasi penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Timur di Jl. Raya PKP No.
24 Kel. Kelapa Dua Wetan Kec. Ciracas Kodya Jakarta Timur, Telp (021)
87717549 Kode pos 13750 Indonesia
4. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No.2478/Pdt.G/2012/PJT) dan
wawancara dengan Hakim yang menyidangkan perkara tersebut
Adapun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Proses penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan
Agama Jakarta Timur?
2. Bagaimana Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Timur dalam memutus perkara perceraian yang disebabkan
karena Skandal Perselingkuhan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan agar penulis mendapatkan jawaban yang
konkrit dan pasti dari permasalahan yang selama ini mengganjal dalam
hati penulis, disamping itu penulis juga ingin menambah pengetahuan dan
mendapatkan ilmu baru dari permasalahanSkandal Perselingkuhan dalam
perkawinan. Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan di atas maka
tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui proses penyelesaikan perkara perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta Timur
2) Untuk mengetahui pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Timur dalam memutus perkara perceraian karena
perselingkuhan.
b. Manfaat Penelitian
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi
mahasiswa khususnya di bidang Hukum Keluarga Islam
2) Hasil penelitian ini berguna bagi akademisi serta masyarakat secara
umum dalam persoalan Hukum Islam di Indonesia terutama seputar
perceraian.
7
3) Selain bermanfaat bagi beberapa pihak, hasil penelitian ini juga
diharapkan dapat menambah jumlah koleksi perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum maupun perpustakaan umum.
D. Review Studi Terdahulu
Dari sekian banyak literature skripsi yang ad di Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis
menemukan data yang berhubungan dengan pembahasan penelitian ini antara
lain:
1. Judul Skripsi: Facebook Sebagai Pemicu Perselingkuhan Yang
Berdampak Pada Perceraian (Analisis Putusan PA Tegal Nomor:
0061/Pdt.G/2011/PA.TG). Yuli Astuti, FSH UIN JKT, 2012.
Penyebab terjadinya perceraian dalam skripsi ini dikarenakan
perilaku isteri yang menyimpang karena berselingkuh dengan pria lain melalui
jejaring sosialfacebook, lalu mulai melakukan hubungan baik melalui telepon,
sms maupun chatting room via facebook, dan selalu tidak menerima bila
ditegur. Berawal dari masalah inilah si suami mengajukan permohonan cerai
terhadap isterinya.
2. Penyelesaian Perceraian Suami Selingkuh Analisis Putusan Perkara
Nomor 2293/Pdt.G/2009/PAJS) Wahyu Nurhuda, FSH UIN JKT
2012.
Sebab terjadinya perceraian dalam skripsi ini dikarenakan suami
selingkuh, alasan suami selingkuh dan mengajukan talak kepada isteri
dikarenakan tidak ada lagi rasa percaya isteri kepada suami, disamping itu si
isteri mempunyai sifat yang keras dan sangat egois. Pada mulanya, suami
mengajukan perceraian kepada isteri untuk pertama kalinya, tetapi hakim
Pengadilan Agama tidak menerima permohonan perceraian karena tidak
cukup alasan untuk mengajukan perceraian disamping itu si isteri pun tidak
mau untuk diceraikan. Lalu pada permohonan perceraian untuk yang kedua
kalinya, hakim Pengadilan Agama baru memutuskan Perceraian dan
dijatuhkannya talak kepada isteri, karena alasan-alasan suami sudah dapat
8
dijadikan alasan perceraian dan isteri pun menerima karena si isteri sudah
tidak sanggup lagi menerima perlakuan dan tindakan suami.
Dari tinjauan riview atau kajian terdahulu yang sudah dibahas di atas
perbedaan dengan skripsi saya yaitu: lebih terkonstarsi secara mendalam
mengenai permasalahan yang terjadi antara pasangan suami isteri yang dilatar
belakangi karena isteri berselingkuh dan pertimbangan Majelis Hakim dalam
memutus perkara tersebut.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif
dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Penelitian dengan
menggunakan pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang
atau pelaku yang diamati. Sedangkan yang dimaksud penelitian dengan
menggunakan metode deskriptif analitis adalah metode yang
menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan di lapangan.
2. Kriteria dan Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri atas data primer
dan data sekunder.
a. Data Primer
Didapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor
2478/Pdt.G/2012/PAJT.
b. Data Sekunder
Data Sekunder ini adalah data yang diperoleh dengan cara
mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang
berhubungan dengan masalah-masalah yang diajukan. Terdiri dari Al-
Quran, Al-Hadist, Undang-undang, Kompilasi Hukum Islam dan
peraturan-peraturan lainnya, buku-buku ilmiah serta buku-buku yang
berkaitan dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
9
Untuk memperoleh data, penulis menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data yaitu:
a. Studi dokumentasi
Untuk mengetahui data tentang alasan-alasan perceraian, duduk
perkara dan putusan hakim
b. Wawancara
Wawancara merupakan suatu kegiatan dalam proses memperoleh
keterangan yang dilakukan dengan cara tanya jawab antara informan atau
si penanya dengan si penjawab.
Dalam penelitian ini, wawancara di arahkan kepada sumber data
yaitu informan (interview) yang diasumsikan memiliki keterikatan
langsung dengan perjalanan objek penelitian yakni Hakim yang
menyidangkan perkara tersebut karena Hakim tersebut yang mengetahui
fakta yang terjadi dipersidangan
c. Studi pustaka
Penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggunakan buku-
buku, kitab-kitab fiqih, dan perundang-undangan yang berhubungan
dengan skripsi ini
d. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan upaya mencari dan mengumpulkan
data serta menata secara sistematis berdasarkan pada konsep teori tentang
perceraian karena skandal perselingkuhan dengan data-data yang diperoleh
penulis dari studi dokumentasi dan studi pustaka sebagai upaya
meningkatkan pemahaman penulis berkaitan dengan pembahasan.
Teknik analisis data dalam penulisan ini, yaitu dengan cara analisis
Putusan Hakim dalam perkara yang terjadi di pengadilan Agama Jakarta
Timur dan teknik analisis data melalui buku-buku hukum, Undang-
undang, dan wawancara dengan Hakim
e. Teknik Penulisan
Dalam teknik penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi
ini berpedoman pada Buku “Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan
10
oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2012”. 10
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima Bab, tiap-tiap Bab terdiri dari beberapa sub
Bab bahasan agar lebih terarah dan sistematis, maka penulis
mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa Bab sebagai berikut:
Bab Pertama, berisi Latar Belakang Masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, berisi kajian Teoritis tentang Perceraian, membahas tentang
pengertian perceraian, macam-macam perceraian dan menguraikan Teori
Umum Perselingkuhan
Bab ketiga, berisi Profil Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Timur
Bab Keempat, berisi Analisis Perkara dan Pertimbangan Majelis Hakim
Dalam Putusan Perkara Nomor: 2478/Pdt.G/2012/PAJT.
Bab lima, berisi penutup, yang berisikan tentang, kesimpulan dan Saran-
saran yang dikemukakan oleh penulis. Juga melampirkan daftar pustaka dan
lampiran-lampiran yang dianggap penting.
10
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 32
11
BAB II
TEORI PERCERAIAN DAN PERSELINGKUHAN
A. Perceraian
Secara etimologi, kata talak berasal dari kata “ طالقا -يطلق –طلق “ yang
berarti melepaskan tali, meniggalkan atau bercerai (perempuan) dari
suaminya.1Talak dalam Islam merupakan jalan keluar terakhir yang akan
ditempuh suami istri dalam mengakhiri kemelut Rumah tangga.
Adapun definisi talak secara terminologi, penulis mengemukakan
beberapa pendapat, ada tiga definisi talak yang dikemukakan oleh ulama
fikih.2
1) Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali
Talak adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau
untuk masa yang akan datang dengan lafal khusus. Ungkapan “secara
langsung” dalam definisi tersebut adalah talak yang hukumnya langsung
berlaku ketika lafal talak selesai diucapkan, tanpa terkait dengan syarat
atau masa yang akan datang.
2) Mazhab Syafi’i
Talak adalah pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang
semakna dengan itu.Definisi ini mengandung pengertian bahwa hukum
talak itu berlaku secara langsung, baik dalam talak raj’i maupun dalam
talak ba’in.
3) Mazhab Maliki
Talak adalah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya
kehalalan hubungan suami isteri.3
Perbedaan ketiga definisi di atas terlihat dalam kasus seorang suami
yang menjatuhkan talakraj’i pada istrinya.Menurut ulama Mazhab Hanafi dan
1 Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab Indonesia (Jakarta, PT. Hidakarya Agung, 1990),
h. 239
2 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 1999),
h. 1776 3 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam.. h. 1777
12
Hambali, perceraian melalui talakraj’i ini belum termasuk menghapuskan
seluruh akibat talak, kecuali apabila iddah wanita itu habis.Mereka
berpendapat bahwa apabila dalam masa iddah suami menggauli istrinya,
maka perbuatan itu boleh saja dan dianggap sebagai pertanda rujuknya
suami.Ulama Mazhab Maliki mengatakan, perbuatan itu jika disertai niat
berarti rujuk.Akan tetapi, ulama Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa suami
tidak boleh menggauli istrinya yang sedang dalam masa iddah dan perbuatan
itu bukanlah pertanda rujuk.Karena, menurut mereka, rujuk itu harus
dilakukan dengan perkataan atau pernyataan dari suami secara jelas, bukan
dengan perbuatan.
Talak (pelepasan perkawinan oleh suami), dapat terjadi dengan sebuah
ungkapan yang ditujukan kepada pihak istri, ia mestilah dijatuhkan kepada
istri yang sedang dalam keadaan suci, dan suami belum menggaulinya selama
periode suci tersebut, lebih jauh hendaknya pihak istri sedang dalam keadaan
hamil. Sebuah thalaq diiringi sebuah periode masa tunggu selama tiga kali
masa suci yang dinamakan iddah.Selama masa tersebut pihak suami tetap
berkewajiban menyediakan nafkah yang setidaknya berupa tempat tinggal
dan kebutuhan makanan. Sejumlah uang tebusan yang dinamakan muth’ah
secara moral ditambahkan sebagai kewajiban suami selain kebutuhan nafkah
istri yang tercerai tersebut, tetapi ia bukan sebuah persyaratan hukum yang
harus dipenuhi. Thalaq dapat secara serta merta dirujuk kembali oleh pihak
suami selama masih dalam periode iddah. Setelah berlangsung rujuk maka
mereka kembali pad ikatan perkawinan seperti sedia kala.4
Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) istilah talak
diartikan sebagai ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131. Pasal 129 KHI menyatakan
Soerang suami yang akan mengajukan talak kepada isterinya mengajukan
permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama
4 Cyril Glasse; penerjemah, Ghufron A. Mas’adi, Ensiklopedi Islam (ringkas), (Jakarta,
PT Raja Grafindo Persada, 1999) Ed. 1, cet ke- 2, h. 412
13
tempattinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan siding
untuk keperluan itu. Pasal 130 KHI menyatakan: “Pengadilan Agama dapat
mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan
tersebut dapat dimitai upaya hokum banding atau kasasi.”
Sedangkan Pasal 131 KHI berbunyi:5(1) Pengadilan Agama yang
bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam
waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya
untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
maksud menjatuhkan talak. (2) Setelah Pengadilan Agama menasehati kedua
belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang
bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga.
Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk
mengikrarka talak. (3) Setelah keputusan mempunyai hukum tetap, suami
mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh
isteri atau kuasanya. (4) Bila suami tidak mengikrarkan talak dalam tempo 6
(enam) bulan terhitung sejak keputusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar
talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak ikrar suami
untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh. (5)
Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat
penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti
perceraian bagi bekas suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar
talak dikirimkan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang mewilayahi tempat
tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-
masing diberikan kepada suami isteri dan helai ke empat disimpan oleh
Pengadilan Agama.
Dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa
dasar hukum perceraian adalah Pasal 39 ayat 1 yang berbunnyi “Perceraian
hanya dapat di lakukan didepan sidang Pengadilan setelah yang
5 H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (KHI), (Jakarta: Akademika Pressindo,
1995) Ed. 1, h. 143
14
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak’’.6
1. Macam-macam Perceraian
Putusnya perkawinan, menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan ada tiga macam, seperti yang tercantum dalam Pasal 38
Undang-undang Perkawinan, perkawinan dapat putus karena:(1)Kematian, (2)
Perceraian, dan (3) Atas keputusan Pengadilan.
Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menggolongkan secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan ini
kepada tiga golongan, yaitu:7
a) Kematian
Putusnya perkawinan karena kematian adalah berakhirnya
perkawinan yang disebabkan oleh salah satu pihak dari pasangan
suami isteri meninggal dunia.
Putusnya perkawinan yang disebabkan oleh kematian tidak
menimbulkan banyak persoalan, apalagi kematian tersebut terjadi di
hadapan dan di tempat kediaman bersama, sehingga tidak ada masalah
yang perlu diperbincangkan lagi.Dengan meninggalnya salah seorang
dari pasangan suami isteri maka dengan sendirinya putuslah ikatan
perkawinan.Pihak yang masih hidup boleh menikah lagi bilamana
persyaratan yang telah ditentukan oleh ketentuan yang berlaku
dipenuhi sebagaimana mestinya.8
b) Perceraian
Perceraian adalah penghapusan hubungan perkawinan dengan
putusan Hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.
Menurut Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyatakan
6 Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, M.A., S.H., Himpunan Undang-undang
Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya Di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 337. 7 Suyuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta:UI Press, 1986), cet ke-5, h.
119 8 Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Indonesia dan Malaysia (Bandung:
Rosda Karya, 1991), h. 194
15
bahwa “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian
dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”.
Undang-undang membedakan antara perceraian atas kehendak
suami dan perceraian atas kehendak istri. Hal ini karena karakteristik
hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian,
sehingga proses perceraian atas kehendak suami berbeda dengan
perceraian atas kehendak isteri.9Perceraian atas kehendak suami
disebut cerai talak; sedangkan cerai atas tuntutan isteri disebut
ceraigugat.
Cerai talak adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami terhadap
isterinya, sehingga perkawinan mereka menjadi putus.10
Istilah cerai talak
terdapat pula dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 Pasal
14 yang merupakan penegasan dari Pasal 39 Undang-undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974 1974 Pasal 66 ayat (1). Seorang suami yang beragama
Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada
Pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar
talak.11
Pemeriksaan permohonan tersebut dilaksanakan oleh Majelis
Hakim selambat-lambatnaya 30 hari setelah berkas atas surat permohonan
di daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama.12
Cerai talak ini hanya khusus bagi yang beragama Islam, seperti
dirumuskan oleh Pasal 14 Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975
bahwa “Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam, yang akan mencerai isterinya, mengajukan surat kepada
Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia
9 H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), cet ke-3, h. 206. 10
Departemen Agama RI, Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam (KHI), (Jakarta: Dirjen
Bimbaga Islam, 1997), h. 65 11
Abdul Manan dan M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata ; Wewenang Peradilan
Agama,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), cet 5, h. 28 12
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta : Graha Ilmu,
2011), h.77
16
bermaksud mencerai isterinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta
kepada Pengadilan diadakan sidang untuk keperluan itu’’.13
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan
dalam Pasal 117, bahwa talak adalah ikrar suami di hadapan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satupenyebab putusnya
perkawinan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 129, 130 dan 131.14
Dari ketentuan di atas, dalam hubungan dan pelaksanaannya, jelas
bahwa pengajuan pemberitahuan keinginan cerai itu harus dilakukan
dengan cara lisan atau tertulis (surat) ke Pengadilan Agama dengan
maksud agar persoalan yang diadukan lebih jelas. Perlu juga ditegaskan
disini, bahwa keinginan tersebut berasal dari pihak suami, dan yang
diajukan tersebut bukan “Surat Permohonan” melainkan “Surat
Pemberitahuan” yang memberitahukan bahwa ia akan menceraikan
isterinya dan untuk itu ia meminta kepada Pengadilan agar mengadakan
sidang untuk menyelesaikan perceraian itu, agar perceraian itu mempunyai
kekuatan hukum.15
Cerai gugat yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai
melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan
gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (istri) dengan
tergugat (suami) perkawinan.
Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat
permohonan yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang
kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga Pengadilan Agama
mengabulkan permohan dimaksud. Oleh karena itu, khulu’ termasuk cerai
gugat. Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan
memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan
suaminya.
13
Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, M.A, S.H., Himpunan Undang-undang
Perdata Islam, h. 357. 14
H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (KHI),(Jakarta: Akademika Pressindo,1995),
h. 141 15
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978), cet
ke-1, h. 37
17
Kompilasi Hukum Islam membedakan cerai gugat dengan khulu’.
Namun demikian, ia mempunyai kesamaan dan perbedaan diantara
keduanya. Persamaannya adalah keinginan untuk bercerai datangnya dari
pihak istri. Adapun perbedaannya, yaitu cerai gugat tidak selamanya
membayar uang iwad (uang tebusan), sedangkan khulu’ uang iwad (uang
tebusan) menjadi dasar akan terjadinya khulu atau perceraian.16
Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 73 ayat 1 gugatan
perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila
penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa
izin tergugat. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 132 ayat (1) gugatan
perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang
daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seizin suami.17
Talak dibedakan menjadi 5 (lima) macam, yaitu: (1) talak raj’i,
yaitu talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri
dalam masa iddah; (2)talak bain sugra, yaitu talakyang tidak boleh
dirujuk,akan tetapi boleh melakukan akad nikah baru dengan bekas
suaminya meskipun dalam masa iddah; (3) talak bain kubra yaitu talak
yang terjadi untuk ketiga kalinya, talak ini tidak dapat dirujuk dan tidak
dapat dinikahi kembali kecuali pernikahan itu dilakukan setelah bekas
isteri menikah dengan orang lain kemudian terjadi perceraian ba’da al-
dukhul dan habis masa iddahnya; (4) talak sunni adalah talak yang
dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yag sedang suci dan
tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut; (5) talak bid’i yaitu talak
yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam
keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada
waktu dalam keadaan suci tersebut.
16
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2006), h. 85 17
Abdul Manan dan M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata ; Wewenang Peradilan
Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet ke-5, h. 51
18
Mengenai pembagian talak tersebut di atas diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dari Pasal 118 sampai dengan 122.
Sedangkan gugatan perceraian adalah: perceraian yang disebabkan
adanya gugatan terlebih dahulu oleh salah satu pihak, yaitu gugatan yang
dikeluarkan oleh pihak isteri ke Pengadilan. Sedangkan mengenai
putusnya hubungan perkawinan berdasarkan gugatan cerai yang dilakukan
oleh pihak isteri kepada Pengadilan dengan alasan-alasan yang dapat
dipergunakan untuk mengajukan tuntutan perceraian.
c) Atas Keputusan Pengadilan
Putusnya perkawinan karena putusan Pengadilan adalah
berakhirnya perkawinan yang didasarkan atas putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.18
Sebenarnya secara
teoritis hampir tidak ada perbedaan antara perceraian dengan putusan
Pengadilan. Sebab perceraian itu sendiripun harus berdasarkan
putusan Pengadilan Letak perbedaannya adalah:
- Alasan yang dipergunakan untuk mencapai putusan Pengadilan
tersebut
- Perceraian merupakan proses yang memperlihatkan adanya
perselisihan antara suami isteri
Alasan-alasan yang dipergunakan dalam putusnya perkawinan
berdasarkan putusan Pengadilan tidak terinci dan tertentu seperti
alasan-alasan perceraian yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975.
2. Alasan-alasan Perceraian
Yang dimaksud dengan alasan perceraian disini adalah suatu kondisi
dimana suami atau istri mempergunakannya sebagai alasan untuk mengakhiri
atau memutuskan tali perkawinan mereka.Di Indonesia masalah perceraian
telah diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkwinan.
Sebagai warga Negara Indonesia sudah kita harus mentaati dan menjalankan
18
Salim HS.Pengantar Hukum Perdata tertulis, (Jakarta Fakultas Syariah dan Hukum,
2007), h. 77
19
peraturan yang ada. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
pasal 39 ayat 1 menerangkan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan
didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Dalam hal terjadinya perceraian haruslah memenuhi beberapa alasan-
alasan perceraian, sehingga perceraian tersebut dapat terlaksana, hal ini sesuai
dengan pasal 39 ayat 2 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
yang berbunyi: “untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa
antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri”.19
Didalam muatan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan adalah untuk mengatur dan membatasi penggunaan dan
kebolehan talak dengan berbagai syarat yang disesuaikan dengan Hukum
Islam, dan tatacara penggunaan talak mesti melalui campurtangan Pengadilan
Agama yang diberi kewenangan untuk menilai dan mempertimbangkan
apakah dasar alasan suami untuk mentalak isteri menurut Hukum Islam.
Karena itulah, menurut al-Sayyid Sabiq, penentuan syarat-syarat layak
tidaknya suatu perceraian dikabulkan Pengadilan didasarkan pada prinsip
meringankan urusan manusia dan menjauhkann segala kesempitan serta
berpijak pada jiwa Syariat Islam yang penuh dengan kemudahan.20
Dalam kitab-kitab Fiqih klasik cukup banyak yang bisa dijadikan
alasan perceraian, baik dari pihak isteri maupun dari pihak suami. Namun,
dalam pembahasan kali ini, penulis hanya mendeskripsikan alasan-alasan
perceraian yang recover dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1995 Pasal 19 jo. KHI Pasal 116.
Dalam KHI Pasal 116 disebutkan bahwa alasan-alasan perceraian
dibagi menjdai delapan, yaitu:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
19
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 P asal 39 ayat 2 20
Sayyid Sabiq, fiqh Sunnah, (Bairut: Dar al-Tsaqofiyah al-Islamiya), h. 206
20
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemampuannya
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik-talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.
a) Secara umum, “Zina” bagi orang yang terikat perkawinan ialah
hubungan kelamin (sexual intercourse) yang dilakukan oleh suami
atau isteri dengan seseorang pihak ketiga yang berlainan seks.21
Kebiasaan itu selain melanggar larangan agama juga merugikan diri
sendiri, keluarga dan masyarakat. Hingga, bila suami atau isteri ada
yang punya kebiasaan tersebut, lantas salah satu pihak menggugat,
maka Pengadilan bisa mengabulkan.
Pembuktian telah terjadinya perbuatan zina dapat dilakukan
dengan:
1) Pengakuan dari si pelaku perbuatan zina
2) Kesaksian penglihatan mata empat orang saksi yang
menyaksikan terjadinya perbuatan zina disertai dengan
sumpah
21
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional ( Medan: CV. Zahir Trading Co.
1975), cet ke-1, h. 136
21
3) Bukti terjadinya kehamilan pada pelaku si wanita di luar
pernikahan yang sah atau di luar hubungan suami isteri
yang sah dan bukan pula wat’i syubhat
4) Pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran forensic terutama apabila ditemukannya sperma
dan DNA di dalam rahim si wanita yang bukan milik si
suami bagi wanita yang sudah menikah atau sperma dan
DNA pria di dalam rahim si wanita yang belum menikah
5) Pembuktian melalui VCD dapat dilakukan apabila dapat
dibuktikan melalui teknologi yang lebih canggih tentang
kebenaran tidak ada pemalsuan gambar yang diperoleh
melalui VCD tersebut.
Jadi, alasan zina, adalah alasan yang dapat dipergunakan dalam
Hukum Islam untuk meminta cerai. Isteri yang berbuat zina memberi hak
kepada suami untuk menceraikannya, dan sebaliknya.
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan alasan yang sah setelah perkawinan
berlangsung.
Jadi, bila suami meninggalkan isteri atau isteri meninggalkan
suami selama 2 Tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah,
maka bisa dijadikan alasan perceraian. “Meninggalkan pihak lain”
setidaknya harus memenuhi kriteria di bawah ini, yaitu: pertama, tindakan
meninggalkan pihak lain sebagai kesadaran kehendak bebas (will fully
desert and absens); kedua, bukan karena ada suatu sebab memaksa yang
tak dapat dielakan, seperti suami atas perintah jabatan dipindahkan
ketempat lain; ketiga, tindakan disersi tersebut tanpa ada izin dan
persetujuan pihak lain; keempat, pebuatan tersebut harus berturut-turut
untuk waktu minimal 2 Tahun.22
Selanjutnya, dalam mengomentari masalah ini, M. Yahya Harahap
mengungkapkan “Bagaimana pun dalam mempertimbankan permintaan
22
M Yahya Harahap, Hukum... h. 140
22
cerai dengan alasan meninggalkan tempat kediaman bersama sesuatu hal
yang mesti dijadikan dasar untuk mengambil kesimpulan harus ditentukan
faktor-faktor”.
1. Apa sebab terjadinya peristiwa itu.
2. Dan dipihak siapa letaknya kesalahan yang menjadi sebab isteri atau suami
pergi meninggalkan tempat kediaman bersama tersebut.
3. Dan gugatan dengan sendirinya gugur apabila sebelum ada putusan yang
meninggalkan tempat kediaman bersama tersebut.
c) Salah satu pihak mendapat hukman penjara 5 Tahun atau hukumannya
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
Dari rumusan tersebut, dipahami bahwa baik suami maupun isteri
dapat menuntut perceraian jika salah satu pihak mendapat hukuman badan
(life Imprisonment), namun hal itu baru merupakan alasan, bila hukuman
badan tersebut dijatuhkan setelah terjadi perkawinan.
Permasalahan alasan ini sangat sederhana, dan penerapannya tidak
memerlukan penafsiran. Artinya, dalam Pasal Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 jo. Pasal 74 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 telah
menentukan bahwa salinan putusan pidana yang bersangkutan (suami
isteri) langsung dianggap mempunyai kekuatan pembuktian yang
menentukan (beslisende bewijskracht) atau mempunyai kekuatan
pembuktian yang memaksa (dwirgend bewijskracht).23
Karena dalam Pasal
yang dimaksud terdapat kalimat yang berbunyi: “Untuk mendapatkan
Putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan
salinan putusan pengadilan yang memutuskan perkara disertai keteranan
yang menyatakan bahwa putusan itu, telah mempunyai kekuatan hukum
tetap”.
Dari penegasan di atas, telah jelas bahwa salinan putusan pidana
dalam perkara perceraian yang didasarkan atas alasan mendapat hukuman
penjara 5 tahun.
23
M .Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Pustaka Kartini, 1997), cet ke-3, h. 259
23
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
Kekejaman dan penganiayaan berat masih bersifat Universal dan
belum ada standar baku. Maka, ia masih membutuhkan peluang interpensi
dan penafsiran-penafsiran.24
Secara umum, kekejaman terhadap mental
seperti penghinaan, penistaan, caci maki, selalu marah akibat cemburu
yang berlebihan dan tak beralasan, atau suami berlaku diktator, sering
berlaku kasar serta berkata kotor. Sebab, kekejaman itu semua pada
dasarnya sama dengan penderitaan batin yang dapat meghancurkan
ketenangan jiwa dan pikiran yang berdampak membahayakan jasmani
maupun rohani.
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami isteri.
Maksud cacat badan atau penyakit di sini ialah cacat jasmani
atau rohani yang tidak dapat dihilangkan atau sekalipun dapat sembuh atau
hilang tapi dalam waktu cukup lama. Sehingga, kondisi tersebut dapat
menghalangi salah satu pihak menjalankan kewajiban masing-masing
sebagai suami isteri. Namun, para ulama fiqh beda pendapat dalam
mengkategorikan penyakit apa saja yang dapat dijadikan alasan tersebut.25
Secara umum dapat disebutkan bahwa lemah syahwat (Impotensi),
gila, penyakit sopak, bisa dijadikan alasan perceraian. Demikian menurut
pendapat sahabat Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khatab, seperti dikutip
oleh Kamal Muchtar.
Selanjutnya, dalam memeriksa perkara permohonan perceraian
alasan-alasan cacat badan atau penyakit, sedang pengadilan memerlukan
alat bukti, apakah benar salah satu pihak suami isteri mendapat cacat
24
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, h. 142-144 25
Kamal Muhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,(Jakarta: Bulan Bintang,
1974), cet ke-1, h. 195.
24
badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban
masing-masing, bisa dibuktikan lewat pemeriksaan diri ke Rumah Sakit.26
Namun, bukan fakta-fakta cacat atau penyakit yang harus
dibuktikan. Hal ini ditekankan agar hakim tidak gampang mengabulkan
perceraian atas alasan cacat atau sakit. Akan tetapi, tidak dianjurkan agar
bersikap kaku. Barangkali, secara kasuistik dapat dipegang pendapat yang
dikemukakan Dr Musthafa al-Siba’iy yang dirangkumnya dari pendapat
Ibnu Syikah al-Zuhri, Syuraih dan Abu Tsaur yang antara lain dapat
disadur. “kalau penyakit itu sudah parah sehingga telah menghancurkan
sendi-sendi kesejahteraan dan kehidupan rumah tangga, maka dapat
dibenarkan terjadinya perceraian.27
f) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah
tangga.
Alasan ini menurut bahasa Al-Quran disebut Syiqaq. Menurut
definisi, Syiqaq adalah perceraian yang terjadi karena percekcokan terus
menerus antara suami dengan isteri, sehingga memerlukan campur tangan
2 orang Hakam (Juru damai) dari pihak suami maupun dari pihak isteri.28
Dalam penjelasan Pasal 76 ayat 1 Undang-undang No. 7 Tahun 1989,
dikatakan: “Syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus
antara suami isteri”.29
Untuk mendapatkan keputusan perceraian karena
alasan Syiqaq harus ada saksi-saksi dari kerabat dekat suami maupun
isteri, yang nantinya akan diangkat pengadilan sebagai Hakam. Dalam
penjelasan Pasal 76 ayat 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, dikatakan
bahwa Hakam adalah orang yang ditetapkan Pengadilan dan pihak
26
Undang-undang Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989). (Jakarta: Sinar Grafika,
1996), cet ke-1, h. 31 27
Musthafa As Sibay, Wanita Diantara Hukum dan Undang-undang(Jakarta: Bulan
Bintang), h. 204 28
A. Zuhdi Muhdor, Memahami Hukum Perkawinan ( Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk),
(Bandung: Al-Bayan, 1995), cet ke-2, h. 97.
29
UUPA (UU No. 7 Tahun 1989), h. 31
25
keluarga suami atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk mencapai
upaya penyelesaian perelisihan terhadap syiqaq”.
Selain itu peran hakim amat dibutuhkan untuk bisa mendamaikan
perselisihan suami istri, sehingga sedini mungkin perceraian bisa
dihindarkan. Mengenai masalah syiqaq, al-Qur’an telah menjelaskan
dalam surat an-Nisa, ayat (4):
Artinya: "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya”.
Pada umumnya, perselisihan dan percekcokan yang sering terjadi
dalam kehidupan suami istri disebabkan oleh beberapa faktor berikut:
1. Perselisihan yang menyangkut keuangan
2. Faktor hubungan seksual
3. Faktor berlainan agama atau ketidak patuhan dalam menjalankan
ajaran agama maupun ibadah
4. Faktor cara mendidik anak-anak30
g) Suami melanggar ta’lik talak berarti penggantungan talak. Sedang
menurut definisi hukum Indonesia semacam ikrar yang dengan ikrar
itu suami menggantungkan terjadinya talak atas istrinya bila ternyata
dikemudian hari melanggar salah satu atau semua yang diikrarkannya
itu.
30
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, h. 145-146
26
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1 point (e),
menjelaskan bahwa “Ta’lik talak ialah perjanjian yang diucapkan
mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah
berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang
mungkin terjadi dimasa yang akan datang”.31
Ta’lik talak dalam KHI termasuk kategori “perjanjian perkawinan”
namun, perjanjian ini juga sifatnya tidak wajib dalam setiap perkawinan.
meski begitu, bila sekali ta’lik talak sudah diperjanjikan, maka tidak dapat
disebut kembali.
Menurut Pasal 46 ayat 2 KHI, bila keadaan yang diisyaratkan
dalam ta’lik talak benar-benar terjadi, kemudian dengan tidak sendirinya
talak jatuh. Namun agar talak benar-benar jatuuh, istri harus mengajukan
perkaranya ke Pengaadilan Agama.
Pengucapan ikrar dan shigat ta’lik talak biasanya dilakukan ketika
akad nikah berlangsung. Setelah akad nikah biasanya pihak istri meminta
pegawai pencatat nikah menganjurkan agar suami mengucapkan shigat
ta’lik talak.32
Shigat ta’lik talak berisi, bila sewaktu-waktu suami:
1. Meninggalkan istri selama 2 tahun berturut-turut
2. Tidak memberi nafkah wajib kepada istrinya 3 bulan lamanya
3. Menyakiti badan atau jasmani istrinya
4. Membiarkan atau tidak memperdulikan istrinya 6 bulan lamanya
kemudian istrinya tidak ridho dan mengajukan haknya kepada
Pengadilan Agama, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima
oleh Pengadilan, dan istrinya membayar uang sebesar Rp. 1000,00
(seribu rupiah) sebagai iwad (pengganti), maka jatuhlah talak satu
suami kepada istrinya.
h) Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
31
H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (KHI), (Jakarta: Akademika Pressindo,
1995), h. 17 32
H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Pasal 46 ayat 2
27
Dalam ajaran islam murtad bisa berdampak hukum, yakni
perubahan kedudukan suami istri dalam perkawinan.33
Dalam bahasa lain,
peralihan Agama atau murtad dikategorikan perkara “Fasakh” yang berarti
batal atau rusak.
Maksudnya, fasakh ialah perceraian yang disebabkan oleh
timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh suami atau isteri atau
keduanya, sehingga mereka tidak sanggup untuk melaksanakan kehidupan
suami isteri dalam mencapai tujuannya.
Tentang murtad yang menyebabkan fasakh, Mahdiah, SH.,
menyatakan “Sering kita jumpai didalam masyarakat dimana seorang laki-
laki beragama Islam menikah dengan seorang peremuan Kristen yng
kemudian masuk Islam sebelum akad nikah atau sebaliknya. Rumah
tangga semula berjalan dengan baik tapi mungkin kurang menghayati
ajaran Islam atau karena pembinaannya yang kurang mantap, maka
kemudian keluar dari Islam atau disebut murtad. Dengan demikian
keluarnya dari agama Islam perkawinan tersebut fasakh”.34
B. Perselingkuhan
Kata perselingkuhan berasal dari kata “selingkuh”, mendapat awalan
“per” dan akhiran “an”, yang secara bahasa berarti “tidak berterus terang, tidak
jujur, suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri, curang dan
cemburu”.35
Menurut Wikipedia, perselingkuhan adalah hubungan antara individu
baik laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah ataupun yang belum
menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya. Walaupun demikian,
pengertian 'berselingkuh' dapat berbeda tergantung negara, agama, dan budaya.
33
Kamal Muhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), cet ke-1, h. 207 34
Mahdiah, Permasalahan Hukum Perkawinan dan Kewarisaan, (Jakarta: Pustaka
Panjiimas,1994) cet ke-1, h. 31 35
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pembangunan
Bahasa yang meliputi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta, Bali Pustaka, 1989), h.
802
28
Pada zaman sekarang, istilah perselingkuhan digunakan juga untuk
menyatakan hubungan yang tidak setia dalam pacaran.36
Sedangkan di dalam masyarakat kita dewasa ini, perselingkuhan
diartikan dengan kecurangan dalam hubungan cinta antara seseorang dengan
pasangannya, dan biasanya perselingkuhan itu diikuti dengan perbuatan-
perbuatan mendekati zina bahkan perzinaan itu sendiri, dengan
selingkuhannya. Adapula masyarakat mengartikan Selingkuh berarti ketidak
jujuran suami atau isteri dalam hubungan bersuami isteri atau ikatan
perkawinan, yang di masyarakat biasanya disebut dengan adanya PIL (pria
idaman lain) atau WIL (wanita idaman lain).
Fenomena perselingkuhan di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini
sungguh memprihatinkan. Meskipun perselingkuhan merupakan masalah yang
sangat privat namun media massa terutama elektronik setiap hari
membongkarnya terus-menerus. Perselingkuhan tidak hanya terjadi di kota-
kota besar, tapi juga di desa-desa dan kampung-kampung. Perselingkuhan
bukan hanya dilakukan oleh orang-orang yang berada, tapi juga dilakukan oleh
orang-orang yang tidak mampu dari segi finansial.37
1. Penyebab perselingkuhan
Penyebab perselingkuhan amat beragam dan biasanya tidak hanya
disebabkan oleh satu hal saja. Ketidakpuasan dalam perkawinan merupakan
penyebab utama yang dikeluhkan oleh pasangan, tetapi adapula Faktor-faktor
penyebab terjadinya tindakan selingkuh yang dirangkum oleh Harley
(Suciptawati dan Susilawati, 2005) sebagai tidak bertemunya kebutuhan suami
dan istri dalam rumah tangga. Harley (Suciptawati dan Susilawati, 2005)
menguraikan daftar lima kebutuhan utama pria dan wanita sebagai berikut:
kebutuhan istri meliputi kebutuhan akan kasih sayang (affection), percakapan
(conversation), ketulusan dan keterbukaan (honesty andopenness), komitmen
finansial (financial commitment) dan komitmen keluarga (family
36
Diakses pada 5 maret 2015 http://id.wikipedia.org/wiki/Perselingkuhan, pukul 20. 11
WIB 37
Diakses pada 5 maret 2015 http://www Masalah Anak dan
Keluarga.com/atc/oim/54767db77.htm, Pukul 19. 22 WIB
29
commitment). Sedangkan kebutuhan suami meliputi kebutuhan seksual (sexual
fulfillment), kebersamaan dalam rekreasi (recreational companionship),
memiliki pasangan yang menarik (an attractive spouse), dukungan dalam
rumah tangga (domestic support) dan kekaguman (admiration). Menurut hasil
penelitian survey yang dilakukan Suciptawati dan Susilawati (2005), faktor
dominan penyebab munculnya perselingkuhan adalah karena tidak bisa
menguasai diri dan ingin mencari selingan, kurangnya komunikasi, serta
kurangnya perhatian pasangan terutama untuk kebutuhan batin. Sebagian besar
responden menjawab setuju bahwa seseorang melakukan perselingkuhan
karena kurangnya ketenteraman dalam rumah tangga pelaku selingkuh.38
Staheli (dalam Satiadarma, 2001) mengemukakan berbagai alasan
yang dikemukakan sejumlah wanita yang berselingkuh tentang alasan
perselingkuhan mereka, seperti meningkatnya rasa percaya diri ketika merasa
diperhatikan pria, adanya keinginan akan pengalaman seksual yang lebih luas
yang tidak dibatasi oleh hanya satu pasangan saja, suatu keinginan mencari
kedekatan emosional yang mereka harapkan dapat mereka peroleh dari orang
lain, mengusir rasa kesepian yang mereka alami, keinginan mendapatkan kasih
sayang, serta kegairahan yang ditimbulkan dari suatu hubungan perselingkuhan
yang membuat mereka merasa diri menjadi lebih muda, dimana hal ini juga
merupakan upaya menyangkal proses penuaan yang mereka alami.
Berdasarkan berbagai sumber yang dirangkum oleh Ginanjar (2009), ada
sejumlah alasan terjadinya perselingkuhan:
a. Kecemasan menghadapi masa transisi; seperti misalnya
memiliki anak pertama, anak memasuki usia remaja, anak
yang telah dewasa meninggalkan rumah, dan memasuki
masa pensiun.
b. Pasangan muda menimbulkan gairah baru sehingga menjadi
semacam pelarian dari perkawinan yang tidak
membahagiakan.
38
Devi Khairatul Jannah. "Faktor Penyebab Dan Dampak Perselingkuhan Dalam
Pernikahan Jarak Jauh." EMPATHY Jurnal Fakultas Psikologi 2.1 (2013).
30
c. Tidak tercapainya harapan-harapan dalam perkawinan dan
ternyata diperoleh dari pasangan selingkuh.
d. Perasaan kesepian.
e. Suami dan/atau istri memiliki ide tentang perkawinan dan
cinta yang tidak realistis. Ketika perkawinan mulai
bermasalah, pasangan menganggap bahwa cinta mereka
sudah padam.
f. Kebutuhan yang besar akan perhatian.
g. Terbukanya kesempatan untuk melakukan perselingkuhan,
yaitu kemudahan bertemu dengan lawan jenis di tempat
kerja, tersedianya hotel dan apartemen untuk mengadakan
pertemuan rahasia, dan berbagai sarana komunikasi yang
mendukung perselingkuhan.
h. Kebutuhan seks yang tidak terpenuhi dalam perkawinan.
i. Ketidakhadiran pasangan, baik secara fisik maupun
emosional, misalnya pada pasangan bekerja di kota yang
berbeda, pasangan yang terlalu sibuk berkarir, dan
pasangan yang sering bepergian dalam jangka waktu yang
lama.
j. Perselingkuhan yang sudah sering terjadi dalam keluarga
besar, sehingga menyebabkan memudarnya nilai-nilai
kesetiaan.39
2. Dampak dari perselingkuhan
I. Dampak buruk terhadap pasangan
Perasaan Marah
Rasa tidak percaya bahwa pasangannya berselingkuh
menimbulkan rasa kecewa yang besar. rasa kecewa yang besar
selanjutnya mengalami eskalasi sedemikian rupa sehingga individu
yang bersangkutan tidak mampu lagi untuk mengatasinya. Ia merasa
39
Devi Khairatul Jannah. "Faktor Penyebab Dan Dampak Perselingkuhan Dalam
Pernikahan Jarak Jauh." EMPATHY Jurnal Fakultas Psikologi 2.1 (2013).
31
frustasi dan rasa frustasi atas ketidakberdayaaanya ini menimbulkan
amarah di dalam dirinya. Kemarahan individu tersebut diarahkan pada
berbagai pihak.
1. Marah kepada pasangan yang telah ingkar janji
2. Marah kepada pihak ketiga sebagai pelaksana terjadinya
perselingkuhan
3. Marah kepada lingkungan sosial yang dianggapnya memberikan
dukungan terlaksananya perselingkuhan
4. Bahkan tidak jarang pula marah kepada semesta alam, kepada
Yang Maha Kuasa, karena ia menganggap telah ditimpakan
beban yang demikian berat untuk ditanggungnya
5. Marah kepada diri sendiri, karena kemudian ia menilai dirinya
sebagai individu yang telah gagal membina kelangsungan
perkawinan
II. Dampak buruk terhadap anak
Banyak anak-anak yang ketenangan hidupnya terganggu akibat
salah satu orangtuanya terlibat hubungan dengan orang ketiga. Maka dari
itu, orang tua harus bersikap bijak dalam menghadapi masalah
perselingkuhan pasangannya.
Perasaan Malu
Perasaan malu muncul terutama jika perselingkuhan orangtua
menjadi bahan pembicaraan teman dan keluarga besar. Selain itu,
ketegangan serta perubahan rutinitas keluarga yang disebabkan
perselingkuhan bisa membuat anak merasa tidak sejahtera di rumah.
Perasaan ini juga dapat terbawa ke lingkungan sekitar, misalnya di
sekolah atau di kelompok teman sepermainannya. 40
40
Monty P. Satiadarma, Menyikapi Perselingkuhan (Jakarta, Pustaka Populer Obor.
2001), cet ke-1, h. 36
32
3. Perselingkuhan Dalam Islam
Dalam al-Qur’an surat al-Isra ayat 32 Allah berfirman;
Artinya: “ Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” (Q.S. Al-
Isra’ (17) : 32)
Dari segi ayat di atas, dapat kita ketahui bahwa, mendekati zina
saja kita dilarang apalagi sampai melakukan perbuatan yang dilarang oleh
agama. Ayat ini juga melarang seorang laki-laki dan perempuan
mendekati perzinaan. Sedangkan perbuatan perselingkuhan merupakan
salah satu jalan untuk melakukan perzinaan.
Dalam Islam tidak ada istilah perselingkuhan mungkin istilah ini
bisa diqiyaskan dengan qadzaf yang berarti menuduh berbuat zina. Dengan
demikian qadzaf termasuk dosa besar. Syariat telah mewajibkan hukuman
delapan puluh kali dera bagi orang yang menuduh berzina (qadzif)
Syarat-syarat qadzaf
1. Islam, berakal, baligh
2. Orang yang menuduh berzina (qadzif) itu dikenal ditengah-
tengah masyarakat sebagai orang yang suci, taat beribadah dan
shahih
3. Adanya tuntutan dari maqdzuf (tertuduh bebuat zina)
dijatuhkan hukuman had bagi qadzif
4. Si qadzif tidak mendatangkan empat orang saksi, sebgaimana
yang difirmankan Allah SWT “mereka tidak mendatangkan
empat orang saksi”
Yang menjadi dasar penetapan had qadzaf
1. Pengakuan dari qadzif sendiri
2. Kesaksian dua orang laki-laki yang adil
33
Allah SWT telah mengharamkan qadzaf ditengah-tengah kaum
muslimin, dalam al-Qur’an surat an-Nuur ayat 4-5;
Artinya: “dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah
kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah
orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan
memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang” ( Q.S, an-Nuur 4-5)
Gugurnya had qadzaf
Had qadzaf dinyatakan gugur jika si qadzif (penuduh) dapat
mendatangkan empat orang saksi, karena dengan adanya empat orang saksi itu
berarti alternative negative yang mengharuskan hukuman had menjadi lenyap.
Dengan demikian, saksi-saksi tersebut akan memperkuat tuduhan perzinaan itu.
Dan had zina harus diberikan kepada tertuduh berbuat zina, karena dia benar-
benar telah berzina.
Tuduhan istri berbuat zina terhadap suaminya
Jika seorang istri menuduh suaminya berbuat zina, maka dia harus
dijatuhi hukuman had, jika syarat-syarat untuk menjatuhkannya tidak
terpenuhi. Tetapi jika suami yang menuduh istrinya berzina dan dia tidak
mendatangkan bukti-bukti konkrit, maka dia tidak dapat dijatuhi hukuman had,
hanya saja dia harus bersumpah. Jika suami tidak dapat mendatangkan bukti-
34
bukti dan juga tidak mau bersumpah, maka dia pun harus dijatuhi hukaman
had qadzaf.41
41
Diakses pada 12 februari 2015. Memandang perselingkuhan,
http;//www.eramuslim.com. Pukul 10.00 WIB
35
BAB III
GAMBARAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR
A. Sejarah Lahirnya
Sejarah kelahiran Pengadilan Agama Jakarta Timur erat berkait mata
rantainya dengan sejarah pembentukan Pengadilan Agama pada umumnya
diseluruh kepulauan Indonesia, terutama di wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.
Secara khusus sejarah lahirnya Pengadilan Agama Kelas IA Jakarta
Timur adalah dibidani oleh Menteri Agama RI sebagaimana tersebut dalam
Keputusan Menteri Agama RI Nomor 67 Tahun 1963 jo. Nomor 4 Tahun
1967. adapun secara kronologis saat-saat lahirnya Pengadilan Agama Jakarta
Timur sebagai berikut :
a. Pada saat itu Pengadilan Agama di tanah tumpah darah si Pitung ini hanya
memiliki satu Pengadilan Agama yaitu “Pengadilan Agama Istimewa
Jakarta Raya” yang dibantu 2 (dua) Kantor Cabang Pengadilan Agama
Jakarta Tengah. Kemudian warga Ibukota ini kian bertambah sehingga
terbitlah Keputusan Menteri Agama Nomor 67 tahun 1963 yang berbunyi
antara lain “Membubarkan Kantor-kantor Cabang Pengadilan Agama
(bentuk lama) dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.
b. Pada tahun 1966 Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta melalui
keputusan beliau Nomor Ib.3/I/I/1966 tanggal 12 Agustus 1966
membentuk Ibukota negara ini menjadi 5 (lima) wilayah dengan sebutan
Kota Administratif.1
Dengan pembentukan kota Administratif tersebut, secara yuridis formil
keberadaan Pengadilan Agama Istimewa berikut 2 (dua) kantor cabangnya
dipadang sudah tidak aspiratif lagi untuk melayani kepentingan masyrakat
pencari keadilan yang berdomisili di 5 (lima) wilayah.
1Diakses pada 3 februari 2015 http://pa-jakartatimur.go.id/v2/profil-pengadilan/sejarah-
pa-jaktim.html, pukul, 17.10 WIB
36
Secara cerdik, Kepala Inspektorat Peradilan Agama menyambut baik
kebijakan Gubernur dimaksud seraya megnajukan nota usul kepada Direktorat
Peradilan Agama melalui surat beliau Nomor B/I/100 tanggal 24 Agustus 1966
tentang usul pembentukan kantor cabang Pengadilan Agama dalam Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Raya sesuai dengan pembagian 5 (lima) wilayah
administrasi yang baru terbentuk. Dengan memetik rekomendasi brilian tersebut,
secara sigap Direktur Peradilan Agama meneruskan nota usul dimaksud kepada
Menteri Agama RI melalui surat beliau Nomor B/I/1049 tanggal 19 September
1966 tentang persetujuan atas usul Kepala Inspektorat Pengadilan Agama. Kedua
surat pejabat teras Pengadilan Agama tersebut menjadi bahan pertimbangan
Keputusan Menteri Agama RI Nomor 4 Tahun 1967 tentang Perubahan Kantor-
kantor Cabang Pengadilan Agama dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya,
tanggal 17 Januari 1967 yang berbunyi antara lain sebagai berikut :
1. Membubarkan Kantor-kantor Cabang Pengadilan Agama (bentuk lama)
dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, yaitu :
a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara dan
b. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat
2. Membentuk Kantor-kantor Cabang Pengadilan Agama yang baru
sederajat/setara dengan Kantor Pengadilan Agama Tingkat II, yaitu:
a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara
b. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat
c. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan
d. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur
3. Pengadilan Agama Istimewa Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya yang
daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Raya, adalah Kantor Induk Pengadilan Agama Jakarta Raya,
ditetapkan berkedudukan di Kota Jakarta Pusat dan secara khusus
bertugas pula sebagai Pengadilan Agama sehari-hari bagi wilayah
kekuasaan Jakarta Pusat.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, akhirnya melalui
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor
37
Ib.3/I/I/1966 tanggal 12 Agustus 1966, maka pada tanggal 18 Februari 1967
diresmikanlah sebutan maupun operasional Pengadilan Agama di 5 (lima)
wilayah Daerah Khusus Ibukota, terutama Pengadilan Agama Jakarta
menjadi sebagai berikut :
1. Pengadilan Agama Jakarta Pusat
2. Pengadilan Agama Jakarta Utara
3. Pengadilan Agama Jakarta Barat
4. Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan
5. Pengadilan Agama Jakarta Timur
B. Dasar Hukum
Pengadilan Agama Jakarta Timur, dibentuk dan berdiri berdasarkan
Keputusan Menteri Agama RI No. 4 tahun 1967 tertanggal 17 Januari
1967.Pendirian Pengadilan Agama Di Wilayah Hukum Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta.2
C. Dasar Pelaksanaan Tugas
Dasar pelaksanaan tugas bersifat teknis Fugsional teknis Yustisial
adalah sebagai berikut :
a. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24, 25 dan 29 ayat (2)
b. Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1988 tentang GBHN
c. Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1983 tentang GBHN
d. Undang-undang No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Hakim.
e. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
f. Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
g. Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
h. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksnaan Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
2 Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Timur Tahun 2014
38
i. Peraturan pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan tanah
milik.
j. Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan
perceraian bagi pegawai Negeri sipil jo Peraturan Pemerintah Nomor 45
tahun 1990
k. Peraturan menteri Agama RI Nomor 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim.
l. Keputusuan Mahkamah Agung RI Nomor KMA/013/SK/III/88 tentang
Pola Pembinaan Pengendalian Administrasi Perkara Peradilan Agama jo
KMA/001/SK/I/1991 jo KMA/004/SK/II/1992.
m. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 tahun 1990 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989.
Dasar pelaksanaan tugas yang bersifat tekhnis administrasi adalah
sebagai berikut :
1. Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 jo, Undang-undang Nomor 43 tahun
1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian;
2. Keputusan Presiden RI Nomor 44 tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Organisasi Departemen.
3. Keputusan Presiden RI Nomor 15 tahun 1984 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen jo
to Kepres Nomor 164 tahun 2000.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1975 jo 96 tahun 2000 tentang
formasi PNS.
6. Peraturan Pemeirntah Nomor 5 tahun 1976 jo 97 tahun 2000 tentang
Formasi PNS.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1976 jo, Nomor 98 tahun 2000
tentang Pengadaan PNS.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat
PNS.
39
9. Peraturan Pemerintah Nomor 100 tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS
Dalam Jabatan Struktural.
10. Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000 tentang Pendidikan dan
Pelatihan Jabatan PNS.
11. Keputusan Menteri Agama Nomor 18 tahun 1975 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama yang telah disempurnakan
jo KMA RI Nomor 75 tahun 1984 jo Nomor 01 tahun 2001.
12. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 61 tahun 1980 tentang
Keseragaman Sistem Pembukuan Dilingkungan Departemen Agama.
13. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 7 tahun 1983 tentang Tata Cara
Persuratan Dilingkungan Departemen Agama jo Peraturan Menteri
Agama RI Nomor 3 tahun 1990 tentang Penyempurnaan Lampiran
Keputusan Menteri Agama RI Nomor 7 tahun 1983 sepanjang yang
menyangkut badan Peradilan Agama.
14. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 51 tahun 1984 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pembukuan Inventarisasi Departemen Agama.
15. Keputusan Menteri Agama RI nomor 81 tahun 1984 tentang Penerapan
Sistem Kearsipan Kartu Kendali (Arsip Dinamis) di Lingkungan
Departemen Agama.
16. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 162 tahun 1988 tentang Biaya
Perkara pada Badan Peradilan Agama.
17. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 120 tahun 1988 tentang Pemberian
Kuasa Pendelegasian Wewenang Pengangkatan Pemberhentian Pegawai
Negeri Sipil dilingkungan Departemen Agama.
18. Peraturan Menteri Agama RI Nomor 1 tahun 1979 tentang Tata Cara
pengambilan Sumpah Jabatan/Pegawai Negeri Sipil dilingkungan
Departemen Agama.
Petunjuk-petunjuk dan surat-surat edaran dari :
a. Mahkamah Agung Republik Indonesia;
b. Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama RI;
40
c. Ditjen Anggaran Departemen Keuangan RI;
d. Badan Administrasi Kepegawaian Negera RI;
e. Ditbinbapera Islam Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama RI;
f. Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.
D. Visi dan Misi
a. Visi
Mewujudkan supramasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang
mandiri, efektif, efisien, serta mendapatkan kepercayaan publik,
professional dan memberikan pelayanan hukum yang berkualitas, etis,
terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab
panggilan pelayanan publik.
b. Misi
Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan Undang-undang dan
peraturan serta memenuhi rasa keadilan masyarakat;
Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen, bebas dari
campur tangan pihak lain;
Memperbaiki akses pelayanan di bidang peradilan kepada masyarakat;
Memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan;
Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien dan bermartabat serta
dihormati.
Melakukan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan
transparan.3
E. Wilayah Yurisdiksi
Wilayah yurisdiksi yang dimaksud pada pembahasan ini bermuara
pada istilah kewenangan memeriksa, memutuskan dan meyelesaikan suatu
perkara bagi penngadilan.
Dalam istilah “kewenangan” mengadili ini sebagaimana
bersinonim dengan kata “kekuasaan”. Adapun yang dimaksud dengan
kewenangnan dan kekuasaan dan atau pada HIR dikenal pula dengan
3Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Timur Tahun 2014
41
istilah kompetensi. Adapun pembahasan kompetensi ini terbagi kepada 2
(dua) aspek yaitu:
1. Kompetensi Absolut, yaitu kewenangan atau kekuasaan untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara bagi
Pengadilan yang menyangkut pokok perkara itu sendiri. Pada Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebut pada
Bab III yang berjudul “KEKUASAAN PENGADILAN” pasal 49 ayat
(1) yang berbunyi “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkata ditingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang :
A. Perkawinan;
B. Kewarisan, Wasiat dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam;
C. Wakaf dan Shodaqoh
2. Kompetensi Relatif, yaitu kewenangan atau kekuasaan untuk
memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan suatu perkara bagi
pengadilan yang berhubungan dengan wilayah atau domisili pihak atau
para pihak pencari keadilan. Hal demikian tersebut pada ketentuan
sebagai berikut :
a. HIR pasal 118 ayat (1 s/d 4) jo pasal 142 (2) dan
b. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 pasal 66 ayat 1 s/d 5.
Tentang kompentensi relatif ini bagi Pengadilan Agama yang
berkedudukan di 5 (lima) wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta
telah ditetapkan pada saat kelahirannya yaitu dalam Keputusan
Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1967 yang berbunyi antara lain :
b. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara yang daerah
hukumnya meliputi kekuasaan Kota Jakarta Utara.
c. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat yang daerah
hukumnya meliputi kekuasaan Kota Jakarta Barat.
d. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Sealtan yang daerah
hukumnya meliputi kekuasaan Kota Jakarta Selatan.
42
e. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur yang daerah
hukumnya meliputi kekuasaan Kota Jakarta Timur.
f. Khusus untuk Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya
ditetapkan sebagai Kantor Induk Pengadilan Agama Jakarta Raya
yang daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah kekuasaan Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, adalah juga sebagai Pengadilan Agama
yang daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan Kota Jakarta
Pusat.
F. Prosedur Pengajuan Perkara Perceraian di Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta
Prosedur atau alur pengajuan perkara di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
sebagai berikut :
1. Pihak berpekara datang ke Pengadilan Agama dengan membawa
surat gugatan atau permohonan.
2. Pihak berpekara menghadap petugas Meja I dan menyerahkan
surat gugatan atau permohonan, minimal 5 (lima) rangkap.
Untuk surat gugatan ditambah sejumlah tergugat. Dokumen
yang perlu diserahkan kepada Meja I adalah :
a. Surat kuasa khusus (dalam hal penggugat atau pemohon
menguasakan kepada pihak lain)
b. Fotokopi kartu tanda advokat bagi yang menggunakan
jasa advokat.
c. Surat kuasa insidentil harus ada keterangan tentang
hubungan keluarga dari kepala desa/lurah dan/atau surat
izin khusus dari atasan bagi PNS/POLRI/TNI.
3. Petugas Meja I (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap
perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan dan menaksir panjar
biaya perkara yang kemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkiraan
harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut,
didasarkan pada pasal 182 ayat (1) HIR atau pasal 90 Undang-
43
undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan etos undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang
peradilan agama dan terakhir undang-undang nomor 50 tahun
2009.
Catatan yang perlu diketahui oleh pihak berperkara:
a. Bagi yng tidak mampu dapat di izinkan berperkara secara
prodeo (Cuma-cuma) ketidakmampuan tersebut dibuktikan
dengan melampirkan surat dari lurah atau kepada desa setempat
yang di legalisasi oleh camat.
b. Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara di taksir
RP.0.00 dan di tulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM) didasarkan Pasal 237-245 HIR.
c. Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu atau
berperkara secara prodeo ini di tulis dalam surat gugatan atau
permohonan bersama-sama (menjadi satu) dengan gugatan
perkara dalam posita surat gugatan atau permohonan untuk
berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya.
4. Petugas Meja I menyerahkan kembali surat gugatan atau
permohonan kepada pihak berperkara disertai dengan Surat Kuasa
Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap 3 (tiga).
5. Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (kasir) surat
gugatan atau permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM).
6. Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM) kepada pihak berperkara sebagai dasar penyetoran panjar
biaya perkara ke bank.
7. Pihak berperkara datang ke loket layanan bank dan mengisi slip
penyetoran panjar biaya perkara. Pengisian data dalam slip bank
tersebut sesuai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM),
seperti nomor urut, dan besarnya biaya penyetoran. Kemudian
44
pihak berperkara menyerahkan slip bank yang telah di isi dan
menyetorkan uang sebesar yang tertera dalam slip bank tersebut.
8. Setelah pihak berperkara menerima slip bank yang telah divalidasi
dari petugas layanan bank, pihak berperkara menunjukan slip bank
tersebut dan menyerahkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM)
kepada pemegang kas.
9. Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan
kembali kepada pihak berperkara. Pemegang kas kemudian
memberi tanda lunas dalam Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM) dan menyerahkan kembali kepada pihak berperkara asli
dan tindakan pertama Surat Untuk Membayar (SKUM) serta surat
gugatan atau permohonan yang bersangkutan.
10. Pihak berperkara menyerahkan kepada petugas meja II surat
gugatan atau permohonan sebanyak jumlah tergugat di tambah 2
(dua) rangkap serta tindakan pertama Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM).
11. Petugas meja II mendaftar atau mencatat surat gugatan atau
permohonan dalam register bersangkutan serta memberi nomor
register pada surat gugatan atau permohonan tersebut yang di ambil
dari nomor pendaftaran yang diberikan oleh pemegang kas.
12. Petugas meja II menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat
gugatan atau permohonan yang telah di beri nomor register kepada
pihak berperkara.4
Pihak atau pihak-pihak berperkara akan di panggil oleh juru sita
atau juru sita pengganti untuk menghadap ke persidangan setelah
ditetapkan Susunan Majelis Hukum (PMH) dan dari sidang
Pemeriksa Perkaranya (PHS). Selanjutnya dalam proses
persidangan hanya memutus perkara tersebut.
4 Dikutip dari www.pta-Jakarta.go.id (tanggal 07 juli 2015 pukul 08.00 WIB).
45
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PERCERAIAN KARENA SKANDAL
PERSELINGKUHAN DALAM PUTUSAN NOMOR 2478/Pdt.G/2012/PAJT
A. Gambaran Umum Putusan Nomor 2478/Pdt.G/2012/PAJT
1. Posisi Kasus
Berdasarkan surat Permohonan tertanggal 15 Oktober 2012 yang telah
terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Timur pada tanggal 15
Oktober 2012 dengan register Nomor: 2478/Pdt.G/2012/PAJT, dari
Pemohon yang identitasnya sebagai berikut:
a. Sukarno bin sarap umur 30 tahun, agama islam, pendidikan terakhir
SLTA/sederajat, perkerjaan wiraswasta, tempat tinggal dijalan
angsana II RT 10 RW 6 No 290 kelurahan mekar jaya kecamatan
sukma jaya kota depok. Untuk selanjutnya disebut Pemohon.
Melawan Termohon yang identitasnya sebagai berikut:
b. Yeni binti akun umur 31 tahun agama islam, pendidikan terakhir
SLTA/sederajat, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal
dijalan kampuang asam RT 02 RW 01 No 12 kelurahan cijantung
Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur.
B. Duduk Perkara Nomor. 2478/Pdt.G/2012/PAJT
Tentang duduk perkaranya atau motif Pemohon mengajukan
Permohonan Cerai talak ke Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah sebagai
sebagai berikut:1
1. Pada hari sabtu tanggal 10 Maret 2001, telah melangsungkan pernikahan
antara pemohon dan termohon di hadapan pejabat PPN KUA Kecamatan
Pasar Rebo Kota Jakarta Timur dengan Akta Nikah Nomor :
146/40/III/2001, yang dikeluarkan pada tanggal 12 maret 2001;
2. Selama perkawinan Pemohon dan Termohon telah bercampur (ba’da
dukhul) dan telah dikaruniai 2(dua) orang anak yang bernama :
a) Azania Wedana, lahir tanggal 21 Oktober 2001
1 Salinan Putusan Nomor : 2478/Pdt. G/2012/PAJT. h. 1-2
46
b) Raihan Fikra Ramadhan, lahir tanggal 05 November 2005.
3. Kehidupan rumah tangga Pemohon dan Termohon berjalan dengan rukun
dan harmonis, meskipun ada perselisihan tetapi hal itu dapat diselesaikan
dengan baik, namun sejak tahun 2009 rumah tangga Pemohon dan
Termohon mulai goyah, ini disebabkan karenaterjadi perselisihan dan
pertengkaran secara terus-menerus yang sulit diatasi.
4. Perselisihan dan pertengkaran antara Pemohon dan Termohon semakin
tajam dan memuncak terjadi pada bulan September tahun 2011;
5. Sebab-sebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran tersebut karena;
a) Termohon kurang menghargai dan menghormati Pemohon sebagai
imam, suami dan kepala keluarga
b) Termohon diketahui telah menikah lagi dengan pria lain
c) Termohon tidak taat, tidak mendengar nasehat dari Pemohon, sehingga
Pemohon merasa sudah tidak bisa lagi membina rumah tangga dengan
Termohon
d) Termohon kurang bersyukur atas nafkah yang sudah diberikan
Pemohon dari hasil pekerjaan Pemohon, sehingga Pemohon sudah
merasa tidak nyaman untuk hidup berumah tangga denga Termohon
e) Termohon jika terjadi perselisihan sering meminta cerai kepada
Pemohon.
6. Akibat dari perselisihan tersebut, akhirnya pada bulan September tahun
2011, antara Pemohon dan Termohon sudah pisah rumah dan pisah
ranjang;
7. Pemohon telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan jalan/cara
bermusyawarah atau berbicara dengan Termohon secara baik-baik tetapi
tidak berhasil;
8. Hal-hal yang telah diuraikan diatas dirasa cukup oleh Pemohon untuk
mengajukan permohonan izin cerai talak ini;
9. Berdasar pada alasan-alasan tersebut, Pemohon berkesimpulan bahwa
rumah tangga antara Pemohon dan Termhon tidak dapat dipertahankan
47
lagi, oleh karenanya Pemohon mohon kepada Ketua Pengadilan
Agama Jakarta Timur segera memeriksa dan mengadili perkara ini.
C. Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim
Bedasar pada surat permohan Pemohon, ditambah dengan keterangannya dan
para saksi di depan sidang, ditemukan fakta-fakta hukum sebagai berikut:2
1. Bahwa pernikahan yang terjadi antara Pemohon dan Termohon berdasar
syariat Islam dan sudah dicatatkan di KUA;
2. Bahwa selama pernikahan berlangsung, Pemohon dan Termohon telah
bergaul sebagaimana layaknya suami isteri dan telah dikaruniai dua orang
anak;
3. Bahwa semula keadaan rumah tangga Pemohon dan Termohon berjalan
harmoni sehingga pada tahun 2009 kehidupan rumah tangga Pemohon dan
Termohon mulai goyah dan berubah menjadi tidak harmonis, hal itu
disebabkan karena Temohon kurang menghargai dan menghormati
Pemohon sebagai imam, suami dan kepala keluarga, Termohon diketahui
telah menikah lagi dengan pria lain, Termohon tidak taat, tidak mendengar
nasehat dari Pemohon.
4. Bahwa akibat dari pertengkaran dan perselisihan yang terjadi antara
Pemohon dan Termohon, keduanya pisah rumah selama 2 tahun hingga
sekarang;
5. Bahwa atas pertengkaran yang terjadi, Pemohon telah berupaya untuk
menyelesaikannya dengan jalan musyawarah, namun hal itu tidak berhasil;
6. Berdasar atas hal-hal yang telah dipaparkan di atas, Pemohon merasa telah
memiliki cukup alasan untuk mengajukan perceraian.
Bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan, Pemohon dan
Termohon telah datang menghadap sendiri dipersidangan. Berdasar pada
Pasal 130 ayat (1) HIR Majelis Hakim telah berupaya untuk mendamaikan
kedua belah pihak agar rukun kembali dan sesuai dengan Peraturan
Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2009 tentang prosedur mediasi, Ketua
Majelis memerintahkan kepada Pemohon dan Termohon untuk melakukan
2SalinanPutusanNomor: 2478/Pdt. G/2012/PAJT. h. 1-2
48
mediasi dengan menunjuk seseorang mediator namun upaya tersebut tidak
berhasil. Kemudian pemeriksaan perkara dimulai dengan membacakan surat
permohonan Pemohon yang isinya tetap dipertahankan Pemohon.3
Bahwa karena dalil yang diajukan oleh Pemohon didasarkan pada
alasan perselisihan dan pertengkaran, hal tersebut dibenarkan oleh para saksi
yang didatangkan dihadapan sidang, yang mana saksi pertama tersebut (saksi
1 dan saksi 2) mempunyai hubungan keluarga dengan Pemohon, maka secara
formal dapat diterima. Sedangkan sepengetahuan/penglihatan saksi-saksi atas
perselisihan dan pertengkaran Pemohon dan Termohon di dasarkan saksi-
saksi telah mendengar dan melihat langsung sifat Termohon yang telah
berselingkuh dengan pria lain, suka marah-marah dengan berkata kasar dan
juga suka berbohong. Majelis Hakim telah mendengarkan keterangan para
saksi tersebut, maka terpenuhilah ketentuan Pasal 22 ayat (2) Peraturan
Pemerinntah No. 9 Tahun 1975;
Pertengkaran dan perselisihan yang terjadi antara Pemohon dan
Termohon menyebabkan keduanya pisah rumah dan sudah tidak
melaksanakan kewajiban masing-masing sebagai suami isteri sehingga dapat
disimpulkan bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah tidak
harmonis lagi.4
Hal-hal yang telah dipaparkan di atas menjadi bukti bahwa
perkawinan Pemohon dan Termohon telah pecah, dan untuk mempertahankan
perkawinan yang telah pecah tersebut merupakan perbuatan yang sia-sia
karena akan menimbulkan kemudharatan bagi keduanya, sehingga perceraian
merupakan jalan keluar yang terbaik.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis
Hakim berpendapat bahwa permohonan Pemohon untuk mengajukan cerai
talak telah sesuai dengan maksud pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah
No. 9 tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, sehingga
3SalinanPutusanNomor : 2478/Pdt. G/2012/PAJT. h. 3
4SalinanPutusanNomor : 2478/Pdt. G/2012/PAJT. h. 5
49
permohonan Pemohonn dapat dikabulkan dengan memberi izin kepada
Pemohon untuk menjatuhkan talak raj’i terhadap Termohon di depan sidang
Pengdilan Agama Jakarta Timur;
Karena perkara ini merupakan perkara cerai talak, maka sesuai dengan
Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, Pemohon berkewajiban untuk
memberikan nafkah iddah kepada Termohon selama Termohon berada dalam
masa iddah;
Perkara ini termasuk bidang perkawinan, maka menurut ketentuan
pasal 89 ayat (1) Undang-undang No. 7 tahun 1989 sebagaimana diubah
menjadi Undang-undang No. 3 tahun 2006 dan Undang-undang No. 50
tahun 2009 tentang Pengadilan Agama, biaya perkara dibebankan kepada
Pemohon.
D. Amar Putusan
Adapun amar Hakim dalam perkara Nomor. 2478/Pdt.G/2012/PAJT).
1. Mengabulkan permohonan pemohon.
2. Memberi izin kepada Pemohon (Sukarno bin Sanap) untuk
menjatuhkan talak satu raj’ie terhadap Termohon (Yeni binti Akun)
dihadapan sidang Pengadilan Agama Jakarta Timur setelah putusan
ini mempunyai kekuatan hukum tetap.
3. Memerintahkan panitera kepengadilang agama jakarta timur untuk
mengirimkan salinan putusan perkara ini kepada pegawai pencatat
nikah kepada KUA (Kantor Urusan Agama) untuk mencatat
perceraian tersebut.
4. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara ini
sebesar Rp.866.000,- (delapan ratus enam puluh enam ribu rupiah).
E. Analisis Penulis
berdasarkan duduk perkara dan pertimbangan hakim yang telah di
kemukakan di atas dapatlah diketahui bahwa Termohon selingkuh dengan
pria lain dan akhirnya antara Pemohon dan Termohon terjadi pertengkaran
yang berakhir pada perceraian. Jika mencermati duduk perkara diatas
sebenarnya motif utama adanya perceraian adalah karena Termohon
50
selingkuh dengan pria lain. Majelis hakim melihat seperti dalam
pertimbangannya bahwa dasar hukum putusnya perceraian ini karena
terjadinya pertengkaran yang sudah tidak bisa dirukunkan kembali, seperti
dalam Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975, jo. Pasal 116 huruf (f) KHI
tanpa melihat awal terjadinya pertengkaran, yaitu karena Termohon selingkuh
dengan pria lain.
Memang dalam PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 dan KHI Pasal 116 tidak
menyebutkan adanya alasan perceraian dikarenakan adanya perselingkuhan.
Oleh karena itu, jika terjadi perselingkuhan maka alasannya pasti telah terjadi
perselisihan dan pertengkaran antara suami dan istri secara terus menerus dan
tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Dalam PP No.
9 Tahun 1975 Pasal 19 menyebutkan alasan-alasan perceraian sebagai
berikut:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal laindiluar kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penajara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih beratsetelah perkawinanberlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibansebagai suami/istri;
6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.5
Dalam KHI juga menyebutkan alasan-alasan perceraian sebagai berikut:
5 Aminur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari fikih, UU No. Tahun 1974 sampai KHI) (Jakarta:Kencana, 2004), h. 218-219.
51
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menajdi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal laindiluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penajara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih beratsetelah perkawinanberlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
beratyang membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri;
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga;
g. Suami melanggar taklik-talak;
h. Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga.6
Dalam cerai talak yang menjadi Pemohon adalah dari pihak suami. Jika
seorang suami mencerai talak istrinya, maka idealnya yang menjadi penyebab
keretakan rumah tangga berasal dari pihak istri, sehingga suami merasa hak-
hak dan kewajibannya sebagai seorang suami terhadap istri telah dilanggar.
Dengan berbagai alasan perceraian yang diperbolehkan seperti yang telah
diatur dalam Undang-undang perkawinan dan KHI, seorang suami boleh
mengajukan cerai talak terhadap istrinya. sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam posita, dalam perkara ini ternyata Termohon telah berselingkuh dengan
pria lain. Alasan ini menjadi salah satu faktor terjadinya perselisihan antara
Pemohon dan Termohon. Sedangkan dalam Undang-undang, tidak ada satupun
pasal yang menyebutkan tentang alasan cerai talak karena istri selingkuh.
6 Aminur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari fikih, UU No. Tahun 1974 sampai KHI) (Jakarta:Kencana, 2004), h.221-222.
52
Perkara yang dasar-dasarnya tidak terdapat dalam perundang-undangan atau
kitab-kitab fikih tidak boleh menjadi suatu alasan bagi hakim untuk tidak mau
memutuskan perkara yang telah diajukan di pengadilan, hakim harus tetap
mencari hukumnya baik dengan menganalogikan dengan Undang-undang yang
ada atau dengan metode penemuan hukum sepanjang dipandang adil dan
mengandung kemaslahatan bagi kedua belah pihak.
Untuk memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya kepada para
pencari keadilan seperti ditekankan Jeremy Bentham, hakim dalam memutus
perkaranya harus benar-benar memegang teguh pada prinsip keadilan sesuai
dengan dasar dan pertimbangan hukum yang ada.7 Karena itu, jika dasar
pertimbangan yang bersifat materiil belum bersedia, maka langkah yang
ditempuh oleh hakim di Peradilan Agama adalah menggali dan menemukan
hukum (rechstvinding law), dalam khazanah Islam dengan istilah ijtihad.
Tidak mustahil jika perkara cerai talak ini bisa diputuskan oleh majelis
hakim dilatarbelakangi oleh dasar-dasar hukum yang ada serta pertimbangan-
pertimbangan majelis hakim dalam menganalisa perkara cerai talak karena istri
selingkuh.
F. Analisis Penulis terhadap penyebab munculnya perselingkuhan
Berdasarkan pembahasan pada bab 2 di atas alasan yang dikemukakan
sejumlah wanita yang berselingkuh tentang alasan perselingkuhan mereka
adalah seperti meningkatnya rasa percaya diri ketika merasa diperhatikan pria,
adanya keinginan akan pengalaman seksual yang lebih luas yang tidak dibatasi
oleh hanya satu pasangan saja, suatu keinginan mencari kedekatan emosional
yang mereka harapkan dapat mereka peroleh dari orang lain, mengusir rasa
kesepian yang mereka alami, keinginan mendapatkan kasih sayang, serta
kegairahan yang ditimbulkan dari suatu hubungan perselingkuhan yang
membuat mereka merasa diri menjadi lebih muda dan ada faktor dominan
penyebab munculnya perselingkuhan adalah karena tidak bisa menguasai diri
7 DR. Jaenal Abidin M.A. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
(Jakarta:Kencana,2008), h.286
53
dan ingin mencari selingan, kurangnya komunikasi, kurangnya perhatian
pasangan terutama untuk kebutuhan batin, serta terbukanya kesempatan untuk
melakukan perselingkuhan, yaitu kemudahan bertemu dengan lawan jenis di
tempat kerja, tersedianya hotel dan apartemen untuk mengadakan pertemuan
rahasia, dan kemajuan teknologi sebagai sarana komunikasi yang mendukung
perselingkuhan.
Sedangkan menurut Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Dra. Hj.
Nuroniah, S.H., M.H. Mengatakan dalam hukum Indonesia juga memaparkan
bahwa perselingkuhan itu tidak diatur secara pasti dalam peraturan perundang-
undangan, karena perselingkuhan dimasukkan ke dalam alasan pemicu
retaknya rumah tangga. Jadi di Pengadilan Agama, perkara selingkuh
umumnya diangkat sebagai perkara pertengkaran yang terus-menerus, apabila
ada masalah mengenai perselingkuhan maka hakim menyinggung kepada
perkara pertengkaran dan percekcokan. Dikarenakan dalam Undang-undang
tidak diatur masalah itu, akan sulit bagi hakim untuk memutus perkara
perselingkuhan sebagai alasan perceraian.
Sehingga belum ada aturan yang dapat dijadikan pijakan atau
pertimbangan hukum yang jelas dan konkrit bagi hakim dalam menangani
perkara tersebut. Karena apabila perkawinan tersebut tetap dipertahankan,
sudah dapat dipastikan kemudharatan yang lebih besar akan melanda rumah
tangga tersebut. Maka tidak ada jalan lain selain harus bercerai dan diceraikan,
dengan alasan kemudharatan yang lebih kecil harus didahulukan, sebelum
datang kemudharatan yang lebih besar, serta menolak kerusakan didahulukan
daripada menarik kemaslahatan.
Ditinjau dari segi yuridis, pertimbangan hakim sudah sesuai dengan
peraturan Perundang-undangan yang berlaku, dan tidak bertentangan dengan
tujuan hukum yang ditentukan, akan tetapi pertimbangan hakim yang dijadikan
alasan pertimbangan hukum kurang menunjukkan adanya pertimbangan yang
merujuk kepada hal yang sangat urgen tentang perselingkuhan sebagai alasan
perceraian, sebagaimana Undang-undang Nomor 1 Tahun 19974 jo. PP Nomor
54
9 Tahun 1975 dan KHI Pasal 116 bahwa perceraian dapat diajukan jika suami
istri berselisih dan bertengkar terus-menerus.8
Oleh karena itu, menurut penulis sudah saatnya ada peraturan yang
mengakomodir penanganan perceraian dengan alasan karena adanya
perselingkuhan dari salah satu pihak sehingga menjadi adanya perceraian.
Karena itu, jika dasar pertimbangannya yang bersifat materiil belum tersedia,
maka langkah yang ditempuh oleh hakim di Peradilan Agama adalah menggali
dan menemukan hukum (rechtsvindinglaw), dalam khazanah Islam dikenal
istilah ijtihad.9
8 Wawancara dengan Dra. Hj. Nuroniah, S.H, M.H. Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Timur di Pengadilan Agama Jakarta Timur tanggal 10 April 2015. 9 Muhammad Bin Abdul Karim bin Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, al-milal wa al-nihal,
juz I, ( Cairo: Mustafa al –Babi al-Halabi,1976), h. 205
55
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan dan uraian yang penulis kemukakan pada bab
sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses Administrasi perkara dan tahap penyelesaian perkara perceraian di
Pengadilan Agama yakni sebagai berikut:
Proses Administrasi perkara
a. Pihak berperkara datang ke Pengadilan Agama dengan
membawa surat Permohonan atau Gugatan. Permohonan atau
Gugatan dapat diajukan dalam bentuk surat tertulis, secara
lisan, atau dengan kuasa yang ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Agama dengan membawa surat bukti identitas diri
yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP)
b. Pemohon wajib membayar uang muka biaya ongkos perkara
Rp. 30.000,-
c. Panitera pendaftaran perkara menyampaikan Permohonan
kepada bagian perkara, sehingga Permohonan secara resmi
dapat diterima dan didaftarkan dalam Buku Register Perkara
d. Setelah didaftar, permohonan diteruskan kepada Ketua
Pengadilan Agama dan diberi catatan mengenai nomor, tanggal
perkara, dan ditentukan hari sidangnya
e. Ketua Pengadilan Agama menentukan Majelis Hakim yang
akan mengadili dan menentukan hari siding
f. Hakim Ketua atau Anggota Majelis Hakim yang akan
memberikan perkara memeriksa kelengkapan surat
Permohonan
g. Panitera memanggil pemohon dan termohon dengan membawa
surat panggilan siding secara patut dan
h. Semua proses pemeriksaan perkara dicatat dalam BAP
56
2. Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur tidak
dimasukannya perselingkuhan kedalam Undang-undang sebagai alasan
perceraian itu dikarenakan perselingkuhan merupakan faktor penyebab
terjadinya perselisihan dan pertengkaran, bahkan sampai perceraian.
Dalam hal ini, Undang-undang RI dan Kompilasi Hukum Islam tidak
menyebutkan perselingkuhan sebagai alasan perceraian, sehingga belum
ada aturan yang dapat dijadikan pijakan atau pertimbangan hukum yang
jelas dan konkrit bagi hakim dalam menangani perkara tersebut. Karena
apabila perkawinan tersebut tetap dipertahankan, sudah dapat dipastikan
kemudharatan yang lebih besar akan melanda rumah tangga tersebut.
Maka tidak ada jalan lain selain harus bercerai dan diceraikan, dengan
alasan kemudharatan yang lebih kecil harus didahulukan, sebelum datang
kemudharatan yang lebih besar, serta menolak kerusakan didahulukan
daripada menarik kemaslahatan.
Ditinjau dari segi yuridis, pertimbangan hakim sudah sesuai dengan
peraturan Perundang-undangan yang berlaku, dan tidak bertentangan
dengan tujuan hukum yang ditentukan, akan tetapi pertimbangan hakim
yang dijadikan alasan pertimbangan hukum kurang menunjukkan adanya
pertimbangan yang merujuk kepada hal yang sangat urgen tentang
perselingkuhan sebagai alasan perceraian, sebagaimana Undang-undang
Nomor 1 Tahun 19974 jo. PP Nomor 9 Tahun 1975 dan KHI Pasal 116
bahwa perceraian dapat diajukan jika suami istri berselisih dan bertengkar
terus-menerus
B. Saran
1. Bagi pasangan suami istri agar lebih bijak lagi dalam mengambil
keputusan Khususnya dalam perkara Perceraian dan dalam berbagai hal
lainnya, dan lebih memahami lagi tentang hak dan kewajibanya masing-
masing dalam menjalani rumah tangga. Sehingga mampu untuk mencapai
tujuan dari pernikahan tersebut yaitu menjadikan keluarga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah.
57
2. Bagi Majelis Hakim Pengadilan Agama, agar dalam memutus
Permohonan Cerai talak harus dan selalu memperhatikan alasan-alasan
yang diajukan serta selalu mengupayakan upaya perdamaian mengingat
putusnya perkawinan akan berdampak sangat luas, yang menyangkut
kebahagiaan manusia serta masa depan anak-anak yang lahir dari hasil
pernikahan tersebut. Dan lebih bijaksana dalam menangani suatu perkara
sehingga tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
3. Kepada pemerintah diharapkan mampu melihat alasan-alasan yang terjadi
pada masyarakat yang mampu mengakibatkan terjadinya perceraian.
Sehingga pemerintah dapat mengeluarkan regulasi yang lebih baik dan
lebih bijaksana demi masyarakat.
58
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, H. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI). Jakarta:
Akademika Pressindo, 1992.
Abidin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2008.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002. Cet. Ke-2
Arto, H. A. Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2000. Cet Ke-3
As Sibay, Musthafa. Wanita Diantara Hukum dan Undang-undang. Jakarta:
Bulan Bintang.
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Departemen Agama RI. Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam (KHI). Jakarta:
Dirjen Bimbaga Islam, 1997.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve,
1999.
Glasse, Cyril; penerjemah, Ghufron A. Mas’adi. Ensiklopedi Islam (ringkas).
Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1999. Ed. 1. Cet. Ke- 2
Harahap, M. Yahya. Hukum Perkawinan Nasional. Medan: CV. Zahir Trading
Co. 1975. Cet. Ke-1
Harahap, M .Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama.
Jakarta: Pustaka Kartinii, 1997. Cet. Ke-3
Instruksi Presiden RI Nomor 1 tahun 1991. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Jakarta: Humaniora Utama Press, 2001.
Jannah, Devi Khairatul "Faktor Penyebab Dan Dampak Perselingkuhan Dalam
Pernikahan Jarak Jauh." EMPATHY Jurnal Fakultas Psikologi 2.1,
2013.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan
Pembangunan Bahasa yang meliputi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Jakarta, Bali Pustaka, 1989.
58
59
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana, 2008.
Manan Abdul dan M. Fauzan. Pokok-pokok Hukum Perdata ; Wewenang
Peradilan Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002. Cet. Ke-5
Mardani. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2011.
Mahdiah. Permasalahan Hukum Perkawinan dan Kewarisaan. Jakarta: Pustaka
Panjiimas, 1994.
Karim Abdul, Bin Muhammad bin Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, al-milal wa
al-nihal, Juz I. Cairo: Mustafa al –Babi al-Halabi, 1976.
Muhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang, 1974. Cet. Ke-1
Muhdor, A. Zuhdi Memahami Hukum Perkawinan ( Nikah, Talak, Cerai dan
Rujuk). Bandung: Al-Bayan, 1995.
Nurudin, Aminur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari fikih, UU No. Tahun 1974
sampai KHI). Jakarta: Kencana, 2004.
Rasyid, Hamdan. Fikih Indonesia Himpunan Fatwa-fatwa Aktual al-Mawardi.
Jakarta: Prima, 2003. Cet. Ke-1
Rasyidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Indonesia dan Malaysia.
Bandung: Rosda Karya, 1991.
Setiadarma, Monty P. Menyikapi Perselingkuhan. Jakarta, Pustaka Populer Obor.
2001. Cet ke-1
Sabiq, Sayyid. Fiqh sunnah. Beirut: Daa al-Tsaqofiyah al-Islamiyah,
Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1978. Cet. Ke-1
Shihab, M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah; pesan, kesan dan keserasian al-
Qur’an. Jakarta lentera hati, 2002. Cet ke-1
Suma, M. Amin. Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya Di Negara Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.
60
Suma, M. Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004. Cet. Ke-1
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 1994.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press, 1986. Cet.
ke-5
Undang-undang Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989). Jakarta: Sinar Grafika,
1996. Cet. Ke-1
Undang-undang Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989). Jakarta: Sinar
Grafika, 1996.
Yunus, Muhammad. Kamus Bahasa Arab Indonesia. Jakarta, PT. Hidakarya
Agung, 1990.
Salinan Putusan Nomor : 2478/Pdt. G/2012/PAJT.
Wawancara dengan Ibu Dra. Hj. Nuroniah, SH., MH. Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Timur, di Pengadilan Agama Jakarta Timur, 10 April 2015
http;//www.eramuslim.com. Memandang perselingkuhan,
http://www Masalah Anak dan Keluarga.com/atc/oim/54767db77.htm
http://www.fatwatarjih.com
http//images.dank5.multiply.multiplycontent.com
http://pa-jakartatimur.go.id/v2/profil-pengadilan/sejarah-pa-jaktim.html
http://pa-jakartatimur.go.id/v2/profil-pengadilan/struktur-organisasi-pa-
jaktim.html
FORMAT WAWANCARA
1. Apa alasan mengajukan perceraian di Pengadilan Agama?
2. Bagaimana proses Administrasi perkara perceraian di Pengdilan Agama?
3. Bagaimana tahap penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan Agama?
4. kenapa perselingkuhan tidak masuk dalam alasan peceraian?
5. Jika perselingkuhan masuk kedalam alasan perceraian bagaimana cara pembuktiannya?
6. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara perceraian yang disebabkan
perselingkuhan?
HASIL WAWANCARA
NAMA : Dra. Hj. Nuroniah, SH.,MH.
Jabatan : Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur
Hari / tanggal : Jumat, 10 April 2015
Tempat : Ruang Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur
1. Apa alasan mengajukan perceraian di Pengadilan Agama?
Jawab: Alasan untuk mengajukan perceraian kepengadilan Agama sudah di atur dalam
Undang-undang baik itu No 1 tahun 1974 maupun Undang-undang penetapan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 19 PP. No 9 tahun 1975
2. Bagaimana Proses Administrasi perkara perceraian di Pengdilan Agama?
Jawab: Proses Administrasi perkara yakni sebagai berikut;
a. Pemohon atau kuasanya datang ke bagian pendaftaran perkara di Pengadilan
Agama. Untuk menyatakan bahwa ia ingin mengajukan Permohonan.
Permohonan dapat diajukan dalam bentuk surat tertulis, secara lisan, atau
dengan kuasa yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama dengan
membawa surat bukti identitas diri yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP)
b. Pemohon wajib membayar uang muka biaya ongkos perkara
c. Panitera pendaftaran perkara menyampaikan Permohonan kepada bagian
perkara, sehingga Permohonan secara resmi dapat diterima dan didaftarkan
dalam Buku Register Perkara
d. Setelah didaftar, permohonan diteruskan kepada Ketua Pengadilan Agama
dan diberi catatan mengenai nomor, tanggal perkara, dan ditentukan hari
sidangnya
e. Ketua Pengadilan Agama menentukan Majelis Hakim yang akan mengadili
dan menentukan hari siding
f. Hakim Ketua atau Anggota Majelis Hakim yang akan memberikan perkara
memeriksa kelengkapan surat Permohonan
g. Panitera memanggil pemohon dan termohon dengan membawa surat
panggilan siding secara patut dan
h. Semua proses pemeriksaan perkara dicatat dalam BAP
3 Bagaimana tahapan penyelesaian perkara perceraian di Pengdilan Agama?
Jawab: Tahap penyelesaian perkara yakni sebagai berikut;
a. Tahap I
Pengajuan permohonan yang disusul dengan pengajuan jawaban, masing-masing
dari Pemohon dan Termohon
b. Tahap II
Pengajuan replik yang disusul dengan pengajuan duplik, masing-masing dari
Pemohon dan Termohon
c. Tahap III
Penarikan kesimpulan sebagai hasil pemeriksaan persidangan sejauh itu
d. Tahap VI
Pengajuan bukti-bukti atau pembuktian dari kedua belah pihak.
e. Tahap V
Penarikan kesimpulan akhir yang menuju kepenjatuhan putusan hakim
4 kenapa perselingkuhan tidak masuk dalam alasan peceraian ?
Jawab: itu dikarenakan perselingkuhan merupakan factor penyebab terjadinya
perselisihan dan pertengkaran, bahkan sampai perceraian. Dalam hal ini,
Undang-undang RI dan Hukum Islam tidak menyebutkan perselingkuhan
sebagai alasan perceraian,sehingga belum ada aturan yang dapat dijadikan
pijakan atau pertimbangan hukum yang jelas dan konkrit bagi hakim dalam
menangani perkara tersebut.
5 Jika perselingkuhan masuk kedalam alasan perceraian bagaimana cara pembuktiannya?
Jawab: Cara membuktikan perselingkuhan kedalam alasan perceraian itu harus dengan
4 orang saksi yang sehat, berakal, islam dan juga adil. Dasarnya ada didalam Al-
Qur’an dan persaksikanlah dengan 2 (dua) orang saksi yang adil
6 Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara perceraian yang disebabkan
perselingkuhan ?
Jawab: pertimbangan hakim dalam menghadapi perselingkuhan, karena sebagai praktisi
hukum itu akan kesulitan membedakan antara selingkuh dan berzina maka yang
diangkat adalah masalah perselisihan dan pertengkaran terus-menerus. Belum
tentu selingkuh itu berzina, bisa saja cuma makan bareng, jalan bareng.
Makannya hakim dalam memilah-milah kata selingkuh dia akan larikan
kemasalah percekcokan.
Foto peneliti dengan Hakim Dra. Hj. Nuroniah, SH.,MH. Pengadilan Agama
Jakarta Timur pada tanggal 10 April 2015
Foto peneliti dengan Hakim Dra. Hj. Nuroniah, SH.,MH. Pengadilan Agama
Jakarta Timur pada tanggal 10 April 2015
KETUA
Dra. H. ZULKARNAIN, S.H.,M.H.
WAKIL KETUA
Drs. H. CHAZIM MAKSALINA, MH
PANITERA /SEKRETARIS
H. AHMAD MAJID, SH., MH
WAKIL PANITERA WAKIL SEKRETARIS
H. HAFANI BAIHAQI LC, SH ANDI SUBHI, S.Sos
PANMUD HUKUM PANMUD GUGATAN PANMUD PERMOHONAN KASUB BAG UMUM KASUB BAG KEUANGAN KASUB BAG KEPEGAWAIAN
Drs. MOH TAUFIK, M.H. ASIS HIDAYANTI, SH Dra. IDA FITRIYANI MUHAMMAD ZUHRI DEWI UTARI, SE SUKARTA, S.Pd
1. Dani Nurwahyudi, SH 2. Andi Sundari, SH
1. KEMAS M IRFAN, H
1. SITI MAHBUBAH, S.Ag 2. SRI KOMALASARI 3. MONIKA SEPTI INDRIYANI, A.Md 4. MURTAKIYAH, SH
1. R. YADI SW 2. HANDIKA
IMOM,S.Kom
3. ANDI FAJARYANI, SH
WINAHYA V, A.Md
PANITERA PENGGANTI JURUSITA JURUSITA PENGGANTI
1. Ulhelmi, BA 2. Dra. Siti Nurhayati 3. Drs. H. Ujang S
4. Hj. Spa Ichtiyatun,MH 5. Mastanah,SH 6. Yulisma, SH 7. Andar A,SH.MH
8. Fathony, SH 9. Eva Zulhaefah,SH 10. Rita Syuriyah, SH 11. Windarti , SH 12. Sri Muyati, S.Ag 13. Rahmah S, SH.MH
14. Nurlaelah, SH 15. Siti Faradilla APS, S.AG 16. Syarif Maulana,SH 17. Dwiarti Yuliani, SH 18. Rohimah, SH 19. Hj. Alfiah Yuliastuti, SH
1. Moh Sidik 2. Ade Husniati 3. Prio Rinato 4. Agus Alwi
1. Veny Rahmawaty
2. Sirajuddin Haris 3. M Dirwansyah R 4. Yuspa 5. Iman Suwardi
6. Marhamah 7. Hisni Mubarok, SHI 8. Achmad Mubarok, SHI 9. Sanjaya Langgeng S 10. Muh Arsy 11. DESY PUSPASARI,
A.Md
HAKIM
1. Dra. Hj. Ai Zainab, SH
2. Dra. Nur’aini Saladdin, SH.MH
3. Drs. H. Ismet Ilyas, SH.
4. Drs. Ahmad Zawawi
5. Drs. H. Dalih Efendy, SH., M.Esy
6. Drs. Wawan Iskandar
7. Drs. Jajat Sudrajat, SH., MH
8. Drs. Syiar Rifai
HAKIM
9. Hj. Nuroniah, SH.MH
10. Drs. Sultoni, MH
11. Hj. Yustimar B, SH
12. Dra. Orba Susilawati,MHI
13. Drs. Amril Mawardi, SH
14. Hj. Shafwah, SH, MH
15. Drs. M. Danil, MA
16. Drs. H. Chalid L, MH
STRUKTUR ORGANISASI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR 2015
KEADAAN 01 FEB 2015
Denah Lokasi Menuju Kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur
Peta Wilayah Hukum Pengadilan Agama Jakarta Timur