PERBEDAAN TUTURAN TAWAR-MENAWAR LAKI-LAKI DAN …repository.ub.ac.id/663/1/Toriqoh Ningratul...
Transcript of PERBEDAAN TUTURAN TAWAR-MENAWAR LAKI-LAKI DAN …repository.ub.ac.id/663/1/Toriqoh Ningratul...
PERBEDAAN TUTURAN TAWAR-MENAWAR
LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
DI PASAR RAYA MOJOSARI MOJOKERTO
(ANALISIS SOSIOLINGUISTIK)
SKRIPSI
OLEH
TORIQOH NINGRATUL FIRDAUS
135110707111006
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
PERBEDAAN TUTURAN TAWAR-MENAWAR
LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
DI PASAR RAYA MOJOSARI MOJOKERTO
(ANALISIS SOSIOLINGUISTIK)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Brawijaya
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
TORIQOH NINGRATUL FIRDAUS
135110707111006
PENIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
Halaman persetujuan pembimbing skripsi
iii
iv
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian berjudul Perbedaan Tuturan Tawar-Menawar Laki-Laki dan
Perempuan di Pasar Raya Mojosari Mojokerto (Analisis Sosiolinguistik) ini
merupakan tugas akhir perkuliahan untuk mendapat gelar S1 di Prodi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Brawijaya Malang. Proses penggarapan
penelitian ini tidak lepas dari rangkaian perjalanan panjang dengan keringanan
tangan dari beberapa pihak sebagai berikut.
1. Bapak Wahyu Widodo, S.S., M.Hum., pembimbing, pengarah, serta mata
air inspirasi yang telah mengantarkan saya dari keringnya pengetahuan
meneliti menuju ketuntasan menulis.
2. Dr. Eti Setiawati, M.Pd, penguji, yang telah mencurahkan segala
kebermanfaatan ilmu beliau demi kesempurnaan penulisan skripsi saya.
3. Bapak Nanang Bustanul Fauzi, M.Pd., Kepala Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberikan kelancaran dalam
proses perencanaan, pengerjaan, pelaksanaan, hingga penyelesaian
penelitian ini.
4. Bapak Machsun dan Ibu Maria Ulfah, orang tua saya, yang tiada henti
menyuntikkan motivasi setiap hari agar semangat senantiasa terbentuk
tanpa henti.
5. Seluruh Bapak/Ibu dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia
FIB UB, yang telah membentuk saya dari seseorang yang lemah dalam
Bahasa Indonesia menjadi seseorang yang kritis dalam memahami segala
fenomena Bahasa Indonesia, baik pada bidang Pendidikan, Sastra,
maupun Linguistik.
6. Fakultas Ilmu Budaya dan Universitas Brawijaya, yang telah menjadi
ladang subur bagi saya untuk menggali dan mengolah ilmu.
7. Ibu Siti Aisyah (pedagang), Mbak Fitri (pedagang), Cak Mat (pedagang),
dan seluruh masyarakat Pasar Raya Mojosari, yang telah berbaik hati
menyediakan tempat bagi saya untuk mengambil data penelitian.
8. Saudara Hidayatul Mahmudah, mahasiswa Diksasindo UB angkatan
2015, yang telah menjadi proof reader skripsi saya sehingga kelemahan
kepenulisan saya bisa terdeteksi.
9. Teman-teman Diksasindo FIB UB angkatan 2011—2016, yang telah
menjadi bagian dari terbentuknya pengetahuan dan kedewasaan saya
selama menjadi mahasiswa.
Apalah arti seorang raja jika tanpa singgasana, istana, prajurit, dan rakyat-
rakyatnya. Begitupun saya, bagaimana bisa seorang mahasiswa mampu melakukan
penelitian hingga usai tanpa adanya rangkaian pengetahuan yang dibentuk oleh
beberapa pihak secara bertahap dan perlahan. Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih
yang tidak teruraikan. Selanjutnya, penelitian saya tentunya masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu, masukan dari pembaca sangat saya butuhkan demi perbaikan
pada penulisan saya selanjutnya.
Penulis,
vi
ABSTRAK
Firdaus, Toriqoh Ningratul. Perbedaan Tuturan Tawar-Menawar Laki-Laki
dan Perempuan di Pasar Raya Mojosari Mojokerto (Analisis Sosiolinguistik).
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Brawijaya.
Pembimbing : Wahyu Widodo
Kata Kunci : bahasa tawar-menawar, gender, pasar tradisional
Tawar-menawar biasa terjadi di pasar tradisional, salah satunya di Pasar Raya
Mojosari, pasar terbesar di Mojokerto. Negosiasi dilakukan penjual dan pembeli
untuk memperoleh harga yang disepakati. Bahasa yang diujarkan dalam proses
tawar-menawar tidak lepas dari faktor sosial yang memengaruhi terbentuknya pola
tutur, salah satunya gender. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengungkap
bagaimana pengaruh gender terhadap proses tawar-menawar dan bagimana
perbedaan proses tawa-menawar pada laki-laki dan perempuan. Fokus penelitian
terdapat pada (1) struktur teks tawar-menawar, (2) pemarkah linguistik (jenis
kalimat, diglosia, dan partikel) yang digunakan masyarakat pasar, serta (3)
perbedaan bahasa tawar-menawar laki-laki dan perempuan. Penelitian ini adalah
penelitian etnografi dengan teknik pengambilan data simak libat cakap. Analisis
menggunakan metode padan sehingga dapat diketahui kontras bahasa laki-laki dan
perempuan.
Struktur teks tawar-menawar di pasar tradisional berbeda dengan teks perdagangan
di barat dan toko modern lainnya. Teks tawar-menawar memiliki struktrur unik,
yakni Krb (keakraban) dan Prt (pertimbangan) yang menjadi ciri khas bahasa di
pasar. Kedua struktur unik tersebut sangat sering terjadi, terutama pada perempuan.
Selanjutnya, jenis kalimat yang digunakan masyarakat pasar cenderung beruas –
contohnya satu kalimat digunakan untuk bertanya dan memerintah— sehingga
kalimat tersebut berfungsi ganda. Penutur perempuan cenderung mengguakan jenis
kalimat tanya, menginginkan, dan mengharapkan. Sedangkan laki-laki
menggunakan kalimat yang bersifat menyatakan, memerintah, dan mengharuskan.
Keberadaan tingkat tutur dalam Bahasa Jawa membuat dua kode digunakan secara
bersamaan di pasar. Seorang penutur cenderung menggunakan ragam Jawa ngoko
saat bermitra tutur laki-laki. Sebaliknya, saat mitra tutur adalah perempuan, ragam
yag digunakan adalah Jawa kromo. Penutur perempuan menggunakan jenis partikel
lebih banyak dari laki-laki.
Berdasarkan analisis struktur dan pemarkah linguistik tersebut, perbedaan bahasa
laki-laki dan perempuan dalam proses tawar-menawar terdapat pada (1) sifat hal
yang dibicarakan, (2) sikap terhadap kesantunan berbahasa, (3) kekatifan bertutur
di ranah publik, (4) minat bertanya, (5) jumlah hal yang dibicarakan, dan (6) kontak
mata saat berhadapan dengan lawan tutur.
vii
ABSTRACT
Firdaus, Toriqoh Ningratul. Male and Female Bargain Differences in Pasar
Raya Mojosari Mojokerto (Sociolinguistic Analysis). Indonesian Language and
Literature Education Study Program, Faculty of Cultural Studies, Universitas
Brawijaya.
Supervisor : Wahyu Widodo
Keywords : bargaining language, gender, traditional market.
Bargain is a common thing in traditional market. It is also happen in Mojosari Raya
Market, the biggest market in Mojokerto. Negotiation was made by the seller and
the buyer to obtain the fixed price. The language spoken in the process of bargaining
cannot be separated from social factors that influence the formation of speech
patterns, one of which is gender. Therefore, this study will reveal how gender
influence the bargaining process and how is the difference of male and female in
the bargaining process. This research focused on the (1) the text structure of
bargain, (2) linguistic markers (types of sentences, diglossia, and particles) used by
market society, and (3) male and female bargaining differences.
This research is an ethnography research which applied Involved Conversation
Observation Technique as the technique in collecting the data. In analyzing the data.
This research used identity method so that male and female language contras can
be known.
The text structure of bargaining in traditional markets is different from western
trading texts and other modern stores. The bargain text has an unique structure,
namely Krb (familiarity) and Prt (considerations) that become the characteristic of
the language in the market. Both unique structures are very common, especially in
female. Furthermore, the types of sentences used by the market society tend to be
overlapped – For example one sentence is used to ask and govern— so the sentence
has a double function. Female speakers tend to used the type of interrogative
sentence, desirative (want), and opative (hope). While the male speaker used
stating, commanding, and requiring sentences. The existence of speech levels in the
Javanese language makes two codes used simultaneously in the market. A speaker
tends to use Javanese ngoko if the interlocutor is a male. Conversely, if the
interlocutor is a female, the variety used is Javanese kromo. Female speakers used
more types of particles than male.
Based on the analysis of the structure and the linguistic marker, male and female
differences in bargaining process were (1) the nature of the thing that being
discussed, (2) the attitude toward the language politeness, (3) speech activeness in
the public sphere, (4) the interest to ask, (5) the number of the things discussed, and
(6) eye contact when facing the interlocutor.
viii
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ................................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI SKRIPSI .......................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................ iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xi
DAFTAR SIMBOL ............................................................................................. xii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 13
1.3 Tujuan ..................................................................................................... 13
1.4 Definisi Istilah ........................................................................................ 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pasar Tradisional .................................................................................... 15
2.2 Pasar Raya Mojosari ............................................................................... 15
2.3 Tawar-Menawar ...................................................................................... 16
2.4 Struktur Teks Tawar-Menawar ............................................................... 17
2.5 Jenis Kalimat dalam Bahasa Jawa .......................................................... 18
2.6 Diglosia ................................................................................................... 21
2.7 Partikel .................................................................................................... 22
2.8 Bahasa dan Gender ................................................................................. 23
2.9 Penelitian Sebelumnya............................................................................ 24
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ....................................................................................... 31
3.2 Waktu Pengambilan Data ....................................................................... 32
3.3 Metode Penyediaan Data ........................................................................ 33
3.4 Metode Analisis Data ............................................................................. 35
3.5 Metode Penyajian Data ........................................................................... 38
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Struktur Teks .......................................................................................... 39
4.1.1 Pola Umum Struktur Teks yang Digunakan Para Penutur
di Pasar Raya Mojosari ............................................................... 41
4.1.2 Struktur Unik dalam Proses Tawar Menawar di Pasar Raya
Mojosari ....................................................................................... 42
ix
4.1.3 Perbedaan Struktur Teks yang Digunakan Laki-Laki dan
Perempuan .................................................................................... 47
4.2 Pemarkah Linguistik ............................................................................... 48
4.2.1 Jenis Kalimat ................................................................................ 48
4.2.1.1 Jenis Kalimat yang Digunakan Para Penutur di Pasar
Raya Mojosari ................................................................. 48
4.2.1.2 Jenis Kalimat Unik yang Digunakan Para Penutur di
Pasar Raya Mojosari ......................................................... 52
4.2.1.3 Perbedaan Kecenderungan Jenis Kalimat yang
Digunakan Laki-Laki dan Perempuan .............................. 57
4.2.2 Diglosia ......................................................................................... 57
4.2.2.1 Kode-Kode Bahasa yang Digunakan Para Penutur di
Pasar Raya Mojosari ......................................................... 58
4.2.2.2 Perbedaan Kecenderungan Ragam Bahasa Jawa yang
Digunakan Laki-Laki dan Perempuan .............................. 59
4.2.3 Partikel .......................................................................................... 61
4.2.3.1 Partikel yang Digunakan Para Penutur di Pasar Raya
Mojosari ........................................................................... 62
4.2.3.2 Perbedaan Partikel yang Digunakan Laki-Laki dan
Perempuan ........................................................................ 63
4.3 Perbedaan Bahasa Laki-Laki dan Perempuan di Pasar Raya
Mojosari ................................................................................................. 65
4.3.1 Sifat Hal yang Dibicarakan........................................................... 65
4.3.1.1 Isi Struktur Krb (Keakraban) ........................................... 66
4.3.1.2 Cara Meyakinkan ............................................................. 66
4.3.1.3 Hubungan Temuan dengan Teori Gender ........................ 69
4.3.2 Sikap Terhadap Kesantunan Berbahasa ....................................... 70
4.3.2.1 Pilihan Ragam Bahasa...................................................... 70
4.3.2.2 Sapaan .............................................................................. 74
4.3.2.3 Hubungan Temuan dengan Teori Gender ........................ 77
4.3.3 Keaktifan Bertutur di Ranah Publik ............................................. 79
4.3.3.1 Dominansi Bertutur .......................................................... 79
4.3.3.2 Macam Partikel ................................................................ 80
4.3.3.3 Hubungan Temuan dengan Teori Gender ........................ 80
4.3.4 Minat Bertanya ............................................................................. 83
4.3.4.1 Jenis Kalimat yang Dituturkan ......................................... 83
4.3.4.2 Isi Struktur Prt (Pertimbangan) ........................................ 84
4.3.4.3 Hubungan Temuan dengan Teori Gender ........................ 86
4.3.5 Jumlah Hal yang Dibicarakan....................................................... 87
4.3.5.1 Orientasi Perbincangan .................................................... 87
4.3.5.2 Hubungan Temuan dengan Teori Gender ........................ 89
4.3.6 Kontak Mata Saat Berhadapan dengan Lawan Tutur ................... 90
4.3.6.1 Gelagat Saat Melayani Pembeli ....................................... 91
x
4.3.6.2 Hubungan Temuan dengan Teori Gender ........................ 93
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ................................................................................................. 94
5.2 Saran ....................................................................................................... 95
5.2 Saran untuk Kajian Linguistik ......................................................... 95
5.2 Saran untuk Penulis Buku Teks Sekolah Menengah ....................... 96
5.2 Saran untuk Pengkaji Ilmu Komunikasi .......................................... 97
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 99
LAMPIRAN
Lampiran 1: Analisis Struktur Teks dan Pemarkah Linguistik .................. 102
Lampiran 2: Persentase Jenis Kalimat ........................................................ 146
Lampiran 3: Persentase Penggunaan Ragam Bahasa Kromo dan
Ngoko .................................................................................... 147
Lampiran 4: Persentase Jumlah Partikel ..................................................... 148
Lampiran 5: Foto Penelitian ....................................................................... 149
Lampiran 6: Berita Acara Bimbingan Skripsi ............................................ 158
xi
DAFTAR SINGKATAN
1. B : Beruas
2. Ban : Baju Anak-Anak
3. Bcm : Baju Campur
4. ber : Bertingkat
5. Blk : Baju Laki-Laki
6. cam : Campuran
7. des : Desiratif
8. imp : Imperatif
9. ind : Indikatif
10. int : Interogatif
11. kec : Kecaraan
12. kew : Kewaktuan
13. kon : Konsesif
14. Lk : Laki-Laki
15. M : Majemuk
16. obl : Obligatif
17. opa : Opatif
18. Pb : Pembeli
19. PbLk : Pembeli Laki-Laki
20. Pbn : Pembelian.
21. PbPr : Pembeli Perempuan
22. pem : Pemilikan
23. per : Perlawanan
24. Pj : Penjual
25. PjLk : Penjual Laki-Laki
26. Pjn : Penjualan
27. PjPr : Penjual Perempuan
28. PmPj : Pemenuhan Penjualan
29. PngPj : Pengawalan Penjualan
30. PnPJ : Penanyaan Penjualan
31. Pny : Penyelesaian
32. Pr : Perempuan
33. PRM : Pasar Raya Mojosari
34. PrPj : Permintaan penjualan
35. PT : Pasar Tradisional
36. PtPb : Penutupan pembelian
37. seb : Sebab
38. set : Setara
39. Sl : Salam
40. sub : Subjungtif
41. sya : Syarat
42. T : Tunggal
43. TM : Tawar-Menawar
44. tuj : Tujuan
xii
DAFTAR SIMBOL
1. ^ : diikuti
2. …n : struktur teks yang diikuti tanda ini berarti bahwa struktur tesebut
bisa berulang hingga beberapa kali
3. ‘….’ : titik-titik berisi kalimat yang merupakan gloss atau arti dari
kalimat asing –seperti Bahasa Jawa dan Inggris—yang diartikan ke
dalam Bahasa Indonesia
4. / : simbol ini berada pada urutan kodifikasi data yang menjadi
pemisah dari urutan kode-kode tersebut
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1.1 Contoh Analisis Struktur Teks TM .................................................................... 6
1.2 Percakapan Penjual dan Pembeli tentang Keran Rumah yang Belum
Dimatikan .......................................................................................................... 8
2.1 Analisis Struktur Teks pada Transaksi Jual-Beli Panggangan ......................... 18
2.2 Pemetaan Penelitian Terdahulu ........................................................................ 24
3.1 Contoh Pengodifikasian Data ........................................................................... 37
4.1 Percakapan Transaksi ke-6 ............................................................................... 40
4.2 Percakapan Keakraban antara Penjual Perempuan dengan Pembeli
Perempuan ....................................................................................................... 43
4.3 Percakapan Keakraban Penjual Laki-Laki dengan Pembeli Laki-Laki ........... 44
4.4 Percakapan Pertimbangan (Prt) antara Penjual Perempuan dengan Pembeli
Perempuan .................................................................................................... 45
4.5 Percakapan Pertimbangan antara Penjual Perempuan dan Pembeli
Laki-Laki ...................................................................................................... 46
4.6 Perbedaan Isi Struktur Teks Keakraban (Krb) dan Pertimbangan (Prt) pada
Laki-Laki dan Perempuan............................................................................. 47
4.7 Pola Kenderungan Penggunaan Jenis Kalimat yang Digunakan Laki-Laki
dan Perempuan.............................................................................................. 57
4.8 Hubungan Gender dengan Pilihan Ragam Bahasa........................................... 61
4.9 Macam-Macam Partikel yang Digunakan Penutur di Pasar Raya Mojosari .... 63
4.10 Perbedaan Bahasa Laki-Laki dan Perempuan di Pasar Raya Mojosari ......... 64
4.11 Percakapan Penjual Laki-Laki Meyakinkan Pembeli dengan Penyebutan
Merek ............................................................................................................ 67
4.12 Percakapan Penjual Perempuan yang Meyakinkan Pembeli dengan
Kalimat Keakraban ....................................................................................... 67
4.13 Percakapan Penjual Laki-Laki dengan Pembeli Laki-Laki yang
Menggunakan Ragam Jawa Ngoko .............................................................. 71
4.14 Percakapan Penjual Laki-Laki dengan Pembeli Perempuan yang
Menggunakan Ragam Jawa Kromo .............................................................. 71
4.15 Percakapan Penjual Perempuan dengan Pembeli Perempuan yang
Menggunakan Ragam Jawa Kromo .............................................................. 73
4.16 Hubungan Gender dengan Pilihan Ragam Bahasa ........................................ 74
4.17 Percakapan Berisi Sapaan Bro yang Digunakan Penjual Laki-Laki untuk
Memanggil Pembeli Laki-Laki ..................................................................... 74
4.18 Percakapan Berisi Panggilan Bu Kaji dan Bu Nyai yang digunakan Penjual
Perempuan untuk memanggil Pembeli Perempuan ...................................... 75
4.19 Struktur Prt (Pertimbangan) pada Pembeli Laki-Laki ................................... 84
4.20 Struktur Prt (Pertimbangan) pada Pembeli Perempuan ................................. 85
4.21 Percakapan Penjual Perempuan yang Menanyakan Alamat Rumah Pembeli
Perempuan .................................................................................................... 88
4.22 Percakapan Penjual Perempuan dengan Pembeli Perempuan tentang
Hal-Hal yang Bersifat Fungsional ................................................................ 89
xiv
4.23 Gelagat Penjual Laki-Laki ............................................................................. 92
4.24 Gelagat Penjual Perempuan ........................................................................... 93
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
4.1 Arah Pandangan Penjual Laki-Laki Saat Melayani Pembeli ........................ 91
4.2 Arah Pandangan Penjual Perempuan Saat Melayani Pembeli ...................... 91
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1: Analisis Struktur Teks dan Pemarkah Linguistik ......................................... 102
2: Persentase Jenis Kalimat ............................................................................... 146
3: Persentase Penggunaan Ragam Bahasa Kromo dan Ngoko ......................... 147
4: Jumlah Partikel .............................................................................................. 148
4: Foto Penelitian .............................................................................................. 149
5: Berita Acara Bimbingan Skripsi ................................................................... 158
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada Bab ini, pemaparan yang dijelaskan meliputi (1) latar belakang, (2)
rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, serta (4) definisi istilah.
1.1 Latar Belakang
Penjual dan pembeli melakukan transaksi penukaran barang dengan uang
di pasar tradisional. Pasar tradisional memiliki gambaran sosial budaya
masyarakat yang bersangkutan (Sumintarsih, dkk, 2011:17), seperti (1) penataan
kios yang sederhana –bangunan semi permanen yang berjajar dan berdempet-
dempet–, (2) penggunaan teknologi yang sederhana –penjualan sayur tanpa lemari
pendingin dan penghitungan jumlah belanjaan dengan kalkulator biasa, serta (3)
pemberlakuan proses tawar-menawar.
Geertz (1977:11) menyebut pedagang di pasar sebagai Masyarakat Pasar.
Geertz (1977:11) mengklasifikasi struktur sosial pada Masyarakat Pasar
Mojokuto yang terdiri atas (1) priyayi, (2) wong dagang, (3) wong cilik, dan (4)
wong Cina. Priyayi adalah golongan atas yang meliputi pegawai negeri dan
pegawai pabrik berpangkat tinggi. Wong dagang adalah para pedagang asli Jawa
yang mencakup pedagang tekstil, tembakau, barang kelontong, dan sebagainya.
Wong cilik merupakan golongan orang kecil yang terdiri atas buruh tak bertanah,
petani kecil, dan tukang marginal (tukang kayu dan tukang batu). Wong Cina
adalah golongan pedagang keturunan Cina yang melakukan perdagangan di Jawa.
2
Meskipun sama-sama berdagang, golongan ke-4 sengaja dipisah dengan wong
dagang karena wong Cina berada di luar sistem sosial Jawa. Proses akulturasi ini
sudah pernah diusahakan oleh wong Cina, tetapi dasar mereka tetap asing.
Selain keempat golongan di atas, Geertz (1977:12) juga menambahkan
satu lagi golongan, yakni pedagang Arab. Mereka adalah para pedagang
keturunan Arab asli yang berjualan tekstil, tembakau, dan besi. Orang-orang Arab
ini adalah pendatang dari pantai utara Pulau Jawa yang selama berabad-abad
melakukan perdagangan dan penyebaran agama. Geertz menyebut para pedagang
ini sebagai orang Islam yang saleh karena identitas fisik dan psikis masyarakat
Timur Tengah melekat pada diri mereka. Organisasi yang dijalankan sangat maju
sehingga menjadi ancaman besar bagi pedagang Jawa dan Cina.
Dari pengantar deskripsi tersebut, penggolongan Masyarakat Pasar
ternyata masih relevan hingga sekarang, seperti di Kecamatan Mojosari,
Kabupaten Mojokerto Jawa Timur. Mojosari adalah daerah yang berorientasi
sebagai Masyarakat Pasar. Kecamatan dengan luas 28,85 km2 ini telah memiliki
beberapa tempat perbelanjaan yang terdiri atas empat swalayan besar (Ria, Prabu,
Metro, dan Duta) serta dua pasar tradisional. Jarak antarpusat perbelanjaan
tersebut kurang dari seratus meter. Jalan raya tempat mengakses tempat-tempat
tersebut juga dipenuhi oleh toko-toko, kantor pemerintah, serta pusat pelayanan
masyarakat –seperti rumah sakit, kantor polisi, dan sebagainya–. Dengan luas
yang tak lebih dari 30 km2 tersebut, kecamatan kecil yang tengah
mengembangkan diri untuk menjadi kota ini ternyata memiliki pasar tradisional
terbesar di Mojokerto, yakni Pasar Raya Mojosari (PRM).
3
Keberadaan PRM dan beberapa pusat perbelanjaan telah menjadikan
Mojosari sebagai masyarakat pasar sehingga terdapat penggolongan struktur
sosial. Di dalam PRM, ada golongan priyayi, yakni para pembeli yang bekerja
sebagai pegawai. Pedagang lokal (Jawa) adalah pedagang yang paling banyak
jumlahnya. Mereka menjual pakaian, sepatu, sandal, tas, sembako, sayuran, dan
sebagainya. Pedagang Cina berperan sebagai grosir dan penjual emas. Pedagang
Arab menjual buku, kitab, minyak wangi, peralatan salat, dan bunga hias.
Pasar Raya Mojosari (PRM) adalah pasar tradisional yang berada di bawah
naungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kabupaten Mojokerto.
Selain PRM, Pemkab Mojokerto juga memiliki lima pasar tradisional lainnya
meliputi (1) Pasar Niaga, (2) Pasar Pugeran, (3) Pasar Dinoyo, (4) Pasar Kedung
Maling, dan (5) Pasar Kutorejo. PRM terletak di Jalan Pemuda Kecamatan
Mojosari. Jumlah pedagang PRM sebanyak 776 pedagang dalam los dan 359
pedagang luar los (lesehan) (Disperindag Pemkab Mojokerto, 2015:6). Jenis
dagangan yang dijual berupa pakaian, sandal, sepatu, sembako, sayuran, ikan,
makanan, dan burung. Daya listrik yang terpasang sejumlah 13.500 Watt dan
pemakaian listrik sebesar 2.750 Volt (Disperindag Pemkab Mojokerto, 2015:6).
Hal tersebut menunjukkan bahwa PRM merupakan pasar tradisional terbesar di
Kabupaten Mojokerto. Banyaknya jumlah pembeli dan pedagang memperkaya
aktivitas tawar-menawar harga barang di dalam pasar.
PRM dipilih sebagai objek penelitian karena beberapa pertimbangan
berikut.
4
1. PRM merupakan pasar tradisional terbesar di Kabupaten Mojokerto.
Masyarakat yang berasal dari luar Kecamatan Mojosari berbelanja di PRM.
Pengunjung yang banyak dan beragam mampu memperkaya data yang
diambil.
2. PRM adalah pasar tradisional yang masih bertahan di tengah banyaknya
jumlah toko-toko besar. Toko-toko modern tersebut menawarkan barang
dengan harga bandrol tanpa proses TM. Hal tersebut dapat memengaruhi daya
tawar pembeli PRM yang memiliki skemata tentang harga di sekitar.
Di PRM, kesepakatan harga diperoleh melalui proses tawar-menawar.
Tawar-menawar (selanjutnya disingkat TM) merupakan hal yang lazim terjadi di
pasar tradisional. Dalam konsep Jawa, TM adalah proses memperoleh harga di
bawah harga biasa (Alexander dan Alexander, 1987:44). Penjual menawarkan
barang dengan harga tinggi kemudian pembeli menawarnya dengan harga rendah.
Sedikit demi sedikit, penjual menurunkan harga. Pembeli juga menaikkan harga
hingga mereka mencapai harga-temu. Proses TM menguji kepekaan pembeli
dalam memahami harga pasar. Selain itu, TM juga merupakan ajang bagi penjual
untuk memimpin pembeli yang tidak mengetahui informasi tentang harga kisaran
barang (Alexander dan Alexander, 1987:44).
Alexander dan Alexander (1987:47—53) menemukan beberapa teknik TM
yang biasa dilakukan di pasar tradisional. Teknik tersebut meliputi (1)
kemampuan berbicara penjual, (2) pengubahan satuan mata uang, (3) penukaran
barang, (4) kepergian pembeli, dan (5) pemberian bonus. Pertama, kemampuan
berbicara penjual adalah kecakapan dalam memengaruhi pembeli agar tertarik dan
5
setuju dengan harga penawaran. Pembicara yang handal sangat diperlukan dalam
proses TM. Kedua, pengubahan satuan mata uang seperti penggunaan petong
talen di mana talen berarti Rp. 25,- sehingga petong talen berarti 7 x 25 = Rp.
175,-. Ketiga, pengubahan barang, yakni menunjukkan barang lain dengan harga
yang lebih murah mendekati keinginan pembeli. Keempat, kepergian pembeli
adalah tindakan pembeli meninggalkan toko. Mereka berpura-pura tidak terlalu
tertarik dengan barang. Mereka berharap dipanggil kembali oleh penjual. Kelima,
pemberian bonus berupa barang tambahan ketika harga yang disepakati melebihi
harapan penjual.
TM memang sebuah proses yang kompleks. Penjual dan pembeli seolah
bertarung menggunakan pelbagai cara demi mendapatkan harga yang diinginkan.
Namun, di balik kegiatan yang menguji kepandaian berargumen tersebut,
Alexander dan Alexander (1987:47) mengatakan, “walaupun sebagian proses TM
berlangsung secara agresif, ramai, dan kadang sengit, bakul selalu mengakhiri
kegiatan dengan ucapan terima kasih dan jabatan tangan”. Hal ini menunjukkan
bahwa meskipun penjual dan pembeli melakukan proses TM yang alot,
masyarakat Jawa mampu melakukan pengontrolan diri dengan kembali pada
hakikat keramahannya.
Penggunaan bahasa dalam TM dikaji menggunakan struktur teks
perdagangan Halliday dan Hasan. Halliday dan Hasan (1992:83—87) mengatakan
ada tiga jenis unsur teks yakni unsur wajib, pilihan, dan pengulangan. Pertama,
unsur wajib terdiri atas (1) PrPj (permintaan penjualan), (2) PmPj (pemenuhan
penjualan), (3) Pj (penjualan), (4) Pb (pembelian), dan (5) PtPb (penutupan
6
pembelian). Kedua, unsur pilihan meliputi (1) PngPj (pengawalan penjualan), (2)
PnPJ (penanyaan penjualan), (3) Pny (penyelesaian), dan (4) Sl (salam). Ketiga,
unsur pengulangan mencakup (1) PnPJ (penanyaan penjualan), (2) PrPj
(permintaan penjualan), dan (3) PmPj (pemenuhan penjualan).
Berikut ini adalah contoh penerapan analisis struktur bahasa TM di PRM.
Tabel 1.1 Contoh Analisis Struktur Teks TM Percakapan Struktur
Pb : piro petene?
‘berapa petainya?’
PnPj
Pj : pitung ewu
‘tujuh ribu’
PmPj
Pb : Halah, limang ewu
‘halah, lima ribu’
Pj : ga oleh mbak
‘tidak boleh mbak.
Pb : moh limang ewu.
‘tidak mau lima ribu’
Pj : aduh mbak kulakane tok iku
‘aduh mbak. Dari pengepulnya itu, kalo segitu’
TM
Pb : iyo wes limangewu, iki duite
‘yaudah limaribu, ini uangnya’
Pj : hoawalah yowis buk kurang rongewu yo?
‘hoalah yaudah bu kurang duaribu ya?
PtPb
Pb : Ga wes podo ae.
‘Tidak, sama aja’
Pb : yowes suwun buk oalah rek rek
‘yaudah terimakasih bu, owalah owalah’
Pny
Pedagang laki-laki memiliki cara berbicara yang berbeda dengan pedagang
perempuan. Pedagang laki-laki memiliki intonasi tinggi sehingga memberikan
kesan tegas saat menawarkan barang pada pembeli yang lalu-lalang. Adapun
pedagang perempuan bernada lebih luwes dan penuh rasa keakraban. Berikut
adalah contoh penawaran yang diucapkan oleh pedagang laki-laki.
7
(1) Ayo, Mbak dipilih-dipilih kudunge
‘Ayo, Mbak dipilih-pilih kerudungnya’
(2) Golek opo, Mbak? Daster a?
‘Cari apa, Mbak? Daster?’
Intonasi yang digunakan pedagang laki-laki tegas dan sedikit menantang.
Ketegasan dapat dilihat dari lambang intonasi yang diakhiri dengan angka 333 di
setiap ujung kalimat. Hal tersebut berbeda dengan penjual perempuan yang
menawarkan barang dengan kalimat berikut.
(3) Monggo, Mbak, pados nopo? Kene lho roke ayu-ayu.
Sampean melebu ae ndelok-ndelok sik
‘Mari, Mbak, cari apa? Mari sini roknya cantik-cantik. Kamu masuk
saja, lihat-lihat dulu’
Kalimat tersebut diucapkan dengan lembut. Susunan katanya juga lebih panjang
dan terkesan bersahabat. Setiap ujung kalimat selalu diakhiri dengan intonasi
menurun 321.
Selain itu, perempuan juga lebih sering menawar daripada laki-laki.
“Wanita Jawa merupakan pelaku utama dalam kegiatan TM. Mereka mengulang-
ulang tawaran dan menambah harga sedikit demi sedikit” (Alexander dan
Alexander, 1987:44). Hal tersebut berbeda dengan cara laki-laki melakukan
penawaran. Laki-laki hanya melakukan sedikit proses penawaran.
Di samping itu, percakapan tawar-menawar di pasar tidak hanya berisi
percakapan jual-beli saja. Beberapa penanyaan seperti alamat rumah dan
kehidupan sehari-hari kerap dilakukan untuk membangun keakraban. Hal ini lebih
sering terjadi pada perempuan. Mereka membicarakan aktivitas pagi ini,
8
bagaimana anak bersekolah, dan hal-hal ringan lainnya seperti yang nampak pada
data berikut.
Tabel 1.2 Percakapan Penjual dan Pembeli tentang Keran Rumah yang
Belum Dimatikan Percakapan Struktur
Pb: Ben dino nang pasar ae.
Iki maeng gupuh kabeh setliko
‘Setiap hari ke pasar saja lho, ini tadi terburu-buru karena setrika’
Pj: Wis dicopot iki maeng?
‘Sudah dcopot tadi?’
Pb: Empun.
Tasniki banyu mak tak tinggal nganu uwamber.
Ketang nggerojoke nang njobo
‘Sudah, Kemarin airnya ibu saya tinggal sampai meluber. Untung saja
mengalirnya keluar’
Pj: Oh engge
‘Oh iya’
Pb: Tandone amber
‘Tandonya meluber’
Pj: Bek e ditinggal nggodog banyu
‘Saya kira ditinggal merebus airnya’
Pb: Mboten, nek memean iku enten tonggo rodok adoh kulo bel sing diserahi.
Niku wernone ngenten?
‘Tidak. Kalau jemuran itu ada tetangga agak jauh saya telepon yang diberi
amanah. Itu warnanya gini?’
Pj: Enggeh
‘Iya
7/Bcm/Pr
/Pr/Krb1
Penawaran yang berulang kali dilakukan dan pembicaraan hal-hal yang
tidak ada sangkut-pautnya dengan jual-beli pada perempuan menunjukkan bahwa
perempuan memiliki dominansi yang lebih daripada laki-laki saat memasuki ranah
jual-beli di pasar. Padahal, dalam kehidupan lain (di luar pasar), laki-laki justru
lebih dominan dalam bertutur. Perempuan adalah subordinat dari laki-laki
sehingga kedudukan mereka selalu berada di bawah. Namun, dominansi ini justru
terbalik saat berada di pasar. Untuk itu, hal inilah yang menjadi penyebab
9
mengapa perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan di pasar tradisional sangat
menarik untuk dikaji.
Beberapa penelitian tentang bahasa di pasar sudah pernah dilakukan, yakni
satu penelitian di tahun 2012, dua penelitian di tahun 2014, dan tiga penelitian di
tahun 2016. Pertama, penelitian berjudul Register Perdagangan di Beteng Trade
Center Solo :Sebuah Kajian Sosiolinguistik oleh Sanjaya pada tahun 2012.
Sanjaya (2012:1—15) menggolongkan register yang digunakan di Beteng Trade
Center Solo ke dalam ragam lisan dan tulisan. Ragam lisan diambil dari
percakapan TM sedangkan ragam tulisan diambil dari bahasa promosi produk.
Ragam lisan memiliki tiga jenis register yakni (1) berdasarkan kategori (terdiri
atas nomina, verba, adjektiva, dan adverbia), (2) tuturan ringkas (terdiri atas
pemendekan dan sinkatan), serta (3) sapaan. Ragam tulisan mencakup empat
kelompok meliputi (1) pemendekan, (2) pelepasan, (3) akronim, dan (4)
penyingkatan.
Gaya bahasa yang digunakan dalam register tulisan (promosi) bersifat
hiperbola. Register yang digunakan di Beteng Trade Center Solo memiliki fungsi
dalam pelaksanaan proses TM. Fungsi spesifiknya adalah untuk menawarkan
barang, menilai barang, menanyakan barang, meminati barang, menawar harga,
dan menandai kegagalan transaksi. Adapun fungsi lain, yakni untuk
mengungkapkan perasaan dan untuk bercanda sehingga mampu mengurangi
ketegangan (Sanjaya, 2012:1—15).
Kedua, penelitian Saputra pada tahun 2014 tentang pola komunikasi tawar-
menawar di Pasar Klewer Surakarta. Ia berpendapat bahwa TM adalah proses
10
yang selalu ada di pasar tradisional. Tanpa proses tersebut, pasar akan kehilangan
gaungnya atau diistilahkan dalam Bahasa Jawa, “pasar ilang kumandange”.
Saputra (2014:10—18) mendata tiga hal yang meliputi (1) pesan-pesan yang
muncul saat TM, (2) faktor yang menentukan kesepakatan TM, dan (3) hambatan
dalam proses TM.
Ketiga, penelitian yang dilakukan pada tahun yang sama, yakni 2014.
Sudono dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah mengatakan bahwa bahasa yang
paling dominan digunakan dalam interaksi antara Pj dan Pb di Pasar Winong
adalah bahasa Jawa karena bahasa tersebut dipakai oleh hampir seluruh penduduk
di Kecamatan Winong. Adapun kode yang digunakan oleh Pj dan Pb yang
berwujud tingkat tutur lebih didominasi oleh penggunaan bahasa Jawa ngoko.
Kode yang berwujud ragam ringkas (restricted code) lebih banyak digunakan oleh
Pj dan Pb karena komunikasi ragam transaksi membutuhkan model komunikasi
yang ringkas, singkat, dan tidak bertele-tele. Hanya sedikit sekali ditemukan
penggunaan ragam lengkap. Kode yang berwujud bahasa Jawa dialek Pati sangat
dominan digunakan jika dibandingkan dengan bahasa Jawa standar atau bahasa
Jawa baku karena hampir semua masyarakat di Kabupaten Pati merupakan
penutur dialek Pati.
Keempat, penelitian oleh Annisa dkk di 2016 dengan judul Campur Kode
dalam Transaksi Jual Beli pada Media Online Shop di Singaraja dan Denpasar.
Mereka menemukan tiga jenis campur kode yang ditemukan, yakni (1) campur
kode ke dalam (33,7%), (2) campur kode ke luar (43,5%), dan (3) campur kode
11
campuran (22,8%). Bentuk campur kode terdiri atas campur kode pada tataran (1)
kalimat (65,35%), (2) frasa (14,80%), dan (3) klausa (19,80%).
Kelima, Tindak Tutur Ilokusi dalam Interaksi Jual Beli di Pasar Burung
Jaya Jember (Kajian Pragmatik) yang diteliti oleh Wati dkk pada 2016. Mereka
menemukan bentuk dan strategi tidak tutur di pasar burung. Tuturan penjual
terdiri atas (a) memberitahukan harga burung, (b) penjelaskan keadaan burung, (c)
berjanji menyediakan pesanan, dan (d) memuji pembeli. Adapun bentuk tuturan
penjual terdiri atas a) mengeluhkan kualitas barang; b) memesan aksesoris
burung; c) menawar dagangan; d) memohon kemurahan harga burung; e) berjanji
membayar kekurangan uang kepada penjual; f) mengucapkan terima kasih kepada
penjual; g) mengkritik kualitas burung; h) membatalkan transaksi; serta i)
memaafkan penjual.
Strategi tawar-menawar penjual dan pembeli. Strategi penjual terdiri atas
a) menawarkan dengan menyapa pembeli; b) menawarkan dengan memuji barang
dagangan; c) menurunkan harga; d) menyetujui tawaran setelah ditawar; e)
menyetujui tawaran untuk pelaris; f) menyetujui tawaran karena langganan; g)
menolak tawaran dengan dalih merugi; serta h) menolak tawaran dengan daih
harga naik. Adapun strategi pembeli, yakni a) menawar dengan memohon; b)
menawar dengan gaya akrab; c) menawar dengan mencela dagangan; d) menawar
dengan persuasi bahwa harga terlalu mahal; e) serta menawar dengan gaya
ancaman.
Keenam, penelitian di 2016 oleh Cleopatra tentang Kesantunan Berbahasa
dalam Interaksi Jual Beli di Pasar Pekan Sunggal Kecamatan Medan Sunggal
12
Kabupaten Deli Serdang. Cleopatra (2016:1—6) mendata bentuk-bentuk
kesantunan bahasa yang digunakan dalam sebuah pasar tradisional. Wujud
kesantunan berbahasa di Pasar Sunggal dalam interaksi jual beli merupakan
tuturan yang digunakan penjual dan pembeli dalam proses TM. Jenis kalimat yang
digunakan meliputi kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat perintah. Bentuk
kesantunan berbahasa di Pasar Sunggal yaitu berbentuk makna permintaan,
suruhan, ajakan, permohonan. Strategi kesantunan berbahasa yang sering muncul
dalam tuturan penjual dan pembeli di Pasar Sunggal adalah strategi tuturan yang
kurang santun dan strategi tuturan yang yang agak santun.
Keenam penelitian di atas memiliki persamaan dengan penelitian saya.
Persamaan tersebut terdapat pada sumber data yang dikaji yakni masyarakat tutur
Pj dan Pb di PT. Mereka menemukan (1) register perdagangan, (2) wujud kode
pilihan bahasa, (3) campur kode, (4) tindak tutur ilokusi, dan (5) bentuk
kesantunan bahasa yang digunakan dalam proses TM di PT. Celah yang belum
tersentuh oleh keenam penelitian di atas, yakni analisis struktur teks TM dan
perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan di PT. Untuk itu, saya mengkaji hal
yang belum diteliti tersebut dalam penelitian ini. Keterbaruan yang ada dalam
penelitian saya terdiri atas (1) penganalisisan struktur teks TM secara utuh, (2)
penganalisisan linguistic marker (sapaan, partikel, dan campur kode), serta (3)
pembandingan bahasa laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada faktor
ekstralingual (usia, status sosial, dan pendidikan).
13
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini memiliki beberapa rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah struktur teks proses tawar-menawar yang terjadi di Pasar
Raya Mojosari?
2. Bagaimanakah wujud pemarkah linguistik yang terjadi pada proses
tawar-menawar di Pasar Raya Mojosari?
3. Bagaimanakah perbedaan tuturan tawar-menawar laki-laki dan
perempuan di Pasar Raya Mojosari?
1.3 Tujuan
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan untuk menjelaskan beberapa hal
sebagai berikut.
1. Struktur teks proses tawar-menawar yang terjadi di Pasar Raya Mojosari.
2. Wujud pemarkah linguistik bahasa tawar-menawar di Pasar Raya
Mojosari.
3. Perbedaan tuturan tawar-menawar laki-laki dan perempuan di Pasar Raya
Mojosari.
1.4 Definisi Istilah
1. Pasar tradisional : tempat jual beli yang memiliki gambaran sosial
masyarakat (terkait ekonomi, teknologi, struktur sosial, politik, dan
kekerabatan (Sumintarsih, dkk, 2011:17).
14
2. Tawar-menawar : proses mendapatkan barang di bawah harga biasa
(Alexander dan Alexander, 1987:44—48).
3. Struktur teks Halliday dan Hasan : struktur yang digunakan untuk
memecah teks perdagangan. Pertama, unsur wajib terdiri atas (1) PrPj
(permintaan penjualan), (2) PmPj (pemenuhan penjualan), (3) Pj
(penjualan), (4) Pb (pembelian), dan (5) PtPb (penutupan pembelian).
Kedua, unsur pilihan meliputi (1) PngPj (pengawalan penjualan), (2)
PnPJ (penanyaan penjualan), (3) Pny (penyelesaian), dan (4) Sl (salam).
Ketiga, unsur pengulangan mencakup (1) PnPJ (penanyaan penjualan),
(2) PrPj (permintaan penjualan), dan (3) PmPj (pemenuhan penjualan)
(Halliday dan Hasan, 1992:83—87)
4. Kalimat tunggal : kalimat yang memiliki satu klausa bebas tanpa klausa
terikat (Wedhawati, dkk, 2001:426—531).
5. Kalimat majemuk : kalimat yang memiliki dua klausa atau lebih
(Wedhawati, dkk, 2001:426—531).
6. Kalimat beruas : . kalimat yang tersusun setidaknya oleh dua ruas
(satuan gramatikal) dengan jeda sebagai pemisah secara fungsional
(Wedhawati, dkk, 2001:426—531).
7. Diglosia : Situasi dalam masyarakat yang memiliki dua kode berbeda dan
masing-masing memiliki fungsi yang terpisah (Wardaugh, 2006:89).
8. Partikel : kata yang hanya memiliki unsur gramatikal. Ciri-ciri partikel
ada dua, yakni (1) tidak dapat diderivasi atau diinfleksikan dan (2) tidak
memiliki makna leksikal (Wedhawati, 2001:372)
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Beberapa kajian pustaka yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (1)
pasar tradisional, (2) Pasar Raya Mojosari, (3) tawar-menawar, (4) struktur teks
tawar-menawar, (5) Jenis Kalimat dalam Bahasa Jawa, (6) diglosia, (7) partikel,
(8) bahasa dan gender, serta (9) penelitian sebelumnya yang terkait.
2.1 Pasar Tradisional
Sumintarsih, dkk (2011:17) mengatakan, “pasar tradisional adalah tempat
jual beli yang memiliki gambaran sosial masyarakat (terkait ekonomi, teknologi,
struktur sosial, politik, dan kekerabatan)”. Gambaran yang paling utama dari PT
adalah sangat bervariasinya barang, sangat beragamnya nilai transaksi perorangan
(selling point), dan jumlah pedagang yang sangat besar. Pedagang di pasar terbagi
menjadi dua golongan utama, yakni juragan dan bakul. Juragan adalah pedagang
besar yang biasanya laki-laki atau pedagang Cina. Bakul adalah pedagang kecil
yang biasanya memasok barang dari juragan (Alexander, 2000:292).
2.2 Pasar Raya Mojosari
Pasar Raya Mojosari (PRM) adalah pasar tradisional yang berada di bawah
naungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kabupaten Mojokerto.
Selain PRM, Pemkab Mojokerto juga memiliki lima pasar tradisional lainnya
meliputi (1) Pasar Niaga, (2) Pasar Pugeran, (3) Pasar Dinoyo, (4) Pasar Kedung
16
Maling, dan (5) Pasar Kutorejo. PRM terletak di Jalan Pemuda Kecamatan
Mojosari Kabupaten Mojokerto.
Jumlah pedagang PRM sebanyak 776 pedagang dalam los dan 359
pedagang luar los (lesehan) (Disperindag Pemkab Mojokerto, 2015:6). Jenis
dagangan yang dijual berupa pakaian, sandal, sepatu, sembako, sayuran, ikan,
makanan, dan burung. Daya listrik yang terpasang sejumlah 13.500 Watt dan
pemakian listrik sebesar 2.750 Volt (Disperindag Pemkab Mojokerto, 2015:6). Hal
tersebut menunjukkan bahwa PRM merupakan pasar tradisional terbesar di
Kabupaten Mojokerto. Banyaknya jumlah pembeli dan pedagang memperkaya
aktivitas tawar-menawar harga barang di dalam pasar.
2.3 Tawar-Menawar
Salah satu hal yang menjadi ciri khas PT adalah keberadaan proses tawar
menawar (TM). Dalam konsep Jawa, TM adalah proses mendapatkan barang di
bawah harga biasa. Kegiatan ini adalah ajang bagi penjual untuk memimpin
pembeli yang tidak mengetahui informasi tentang harga kisaran barang. Penjual
berusaha menyembunyikan informasi harga jika pembeli melakukan tawar-
menawar untuk menguji harga barang. Pada umumnya, harga barang di pasar naik
ketika masa panen sudah tidak ada dan persediaan barang menurun. Namun, harga
barang menjadi turun di masa panen dan setelah hari raya. Di masa panen, penjual
percaya bahwa pembeli sedang membawa banyak uang sehingga sebagian dari
mereka kurang hati-hati dalam melakukan proses TM (Alexander dan Alexander,
1987:44—48).
17
Barang yang memiliki daya tawar rendah adalah makanan sedangkan barang
yang memiliki daya tawar tinggi adalah barang-barang yang mahal seperti baju,
peralatan tembaga, dan sebagainya (Alexander dan Alexander, 1987:47).
Informasi mengenai harga barang adalah hal yang sangat langka di PT. Pelabelan
harga tidak dilakukan oleh para pedagang. Kegiatan transaksi dilakukan dalam
rundingan yang dilakukan secara berbisik-bisik. Harga sangat bervariasi dari satu
transaksi ke transaksi lain (Geertz, 1978 dalam Alexander, 2000:295). Hal
tersebuat dianggap sebagai peluang oleh para pedagang karena penyebaran
informasi harga tidak akurat (Plattner, 1985 dalam Alexander, 2000:295).
Keberhasilan seorang penjual dalam TM bergantung pada dua keahlian
dagang, yakni kemampuan merundingkan harga dan kemampuan
mempertahankan reputasi sebagai yang mampu membayar harga sesuai dengan
yang disepakati. Bakul harus memiliki keahlian TM termasuk menilai mutu
barang sebagai kunci keberhasilan. Dari sudut pandang pembeli, meraka juga
harus memiliki keahlian dalamTM. Pembeli yang cerdik harus gigih, berkali-kali
mengulang tawaran, dan menaikkan harga sedikit demi sedikit dalam rentang
waktu yang lama. Hal tersebut bertujuan untuk meyakinkan bakul bahwa pembeli
telah memahami harga kisaran pasar (Alexander, 2000:296).
2.4 Struktur Teks Tawar-Menawar
Penggunaan bahasa dalam TM dikaji menggunakan struktur teks
perdagangan Halliday dan Hasan. Halliday dan Hasan (1992:83—87) mengatakan
ada tiga jenis unsur teks yakni unsur wajib, pilihan, dan pengulangan. Pertama,
18
unsur wajib terdiri atas (1) PrPj (permintaan penjualan), (2) PmPj (pemenuhan
penjualan), (3) Pj (penjualan), (4) Pb (pembelian), dan (5) PtPb (penutupan
pembelian). Kedua, unsur pilihan meliputi (1) PngPj (pengawalan penjualan), (2)
PnPJ (penanyaan penjualan), (3) Pny (penyelesaian), dan (4) Sl (salam). Ketiga,
unsur pengulangan mencakup (1) PnPJ (penanyaan penjualan), (2) PrPj
(permintaan penjualan), dan (3) PmPj (pemenuhan penjualan).
Berikut ini adalah contoh analisis struktur teks TM menggunakan teori
Halliday dan Hasan pada data yang ditemukan di PRM.
Tabel 2.1 Analisis Struktur Teks pada Transaksi Jual-Beli Panggangan Percakapan Struktur
Pb : Panggangan, Pak? PrPj
Pj : Sing iki empat puluh, tiga lapan ae gawe samean
‘Yang ini empat puluh, tida delapan saja lah buat kamu’
PmPj
Pb : Gak tiga lima ae ah buk?
‘Tidak tiga lima saja ta, Buk?’
Pj : Tiga lima. Yowes gawe pelaris wis. Gak popo
‘Tiga lima. Ya sudah buat pelaris. Tidak apa-apa’
TM
Pb : Yoiki mantep iki (sambl membayar)
‘Ya ini mantap ini’
PtPb
Pb : Suwun, Mas yo?
‘Makasih, Mas ya?’
Pj : Inggih, monggo, Buk
‘Iya, mari, Buk’
Pny
2.5 Jenis Kalimat dalam Bahasa Jawa
Wedhawati, dkk (2001:426—531) membagi jenis kalimat dalam Bahasa
Jawa ada tiga, yakni (1) kalimat tunggal, (2) kalimat majemuk, dan (3) kalimat
beruas. Kalimat tunggal adalah kalimat yang memiliki satu klausa bebas tanpa
klausa terikat. Kalimat majemuk adalah kalimat yang memiliki dua klausa atau
lebih. Kaimat beruas adalah kalimat yang tersusun setidaknya oleh dua ruas
19
(satuan gramatikal) dengan jeda sebagai pemisah secara fungsional. Contohnya
Adhiku // dhuwite ilang ‘Adikku // uangnya hilang’.
2.5.1 Jenis Kalimat Tunggal
Salah satu jenis kalimat tunggal adalah kalimat tunggal berdasarkan modus
verbal. Wedhawati, dkk (2001:426—531) merumuskan macam-macamnya
sebagai berikut.
1. Kalimat indikatif, yakni kalimat yang modus verbalnya bersifat netral.
Contohnya Maman gawe wedang teh ‘Maman membuat minuman teh’.
2. Kalimat imperatif, yakni kalimat yang modus verbalnya menyatakan perintah,
ajakan, atau larangan. Contohnya Jangane wenehana uyah! ‘Sayurnya berilah
garam!’.
3. Kalimat interogatif, yakni kalimat yang modus verbalnya menyatakan
pertanyaan. Contohnya Sapa sing tuku klambi? ‘Siapa yang membeli baju?’.
4. Kalimat desideratif, yakni kalimat yang modus verbalnya menyatakan
keinginan. Contohnya Mujiono adreng njaluk sepedha motor Supra ‘Mujiono
sangat ingin dibelikan sepeda motor Supra’.
5. Kalimat obligatif, yakni kalimat yang modus verbalnya menyatakan
keharusan. Contohnya Pemilu kudu dileksanakake kanthi temen ‘Pemilu
harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh’.
6. Kalimat opatif, yakni kalimat yang modus verbalnya menyatakan harapan.
Contohnya Gusti paringa kawelasan dhumaten kawula ‘Semoga Tuhan
memberi belas kasih kepada saya’.
20
7. Kalimat subjungtif, yakni kalimat yang modus verbalnya menyatakan
ketidakpastian atau keragu-raguan. Contohnya Udana, aku mangkat ‘Hujan
pun, saya berangkat’.
2.5.2 Jenis Kalimat Majemuk
1. Majemuk setara, yakni kalimat majemuk yang klausa pertamanya bukan
bagian dari klausa lain. Kalimat ini tidak ada hubungan hirarki antar dua
klausa.
2. Majemuk bertingkat, yakni dua klausa atau lebih yang salah satunya adalah
bagian dari klausa yang lain.
3. Majemuk gabung, yakni gabungan majemuk setara dengan majemuk
bertingkat.
2.5.3 Jenis Kalimat Beruas
1. Hubungan makna pemilikan, yakni hubungan makna antara pemilik dan
termilik. Contohnya pak lurah // rawuhe telat ‘pak lurah, datangnya
terlambat’.
2. Hubungan makna perlawanan, yakni hubungan makna yang menunjukkan
ruas pertama menyampaikan satu keadaan dan ruas kedua menginformasikan
hal sebaliknya. Contohnya tuna satak // bathi sanak ‘rugi harta, (tetapi)
untung persaudaraan’.
3. Hubungan makna kewaktuan, yakni hubungan yang memperlihatkan bahwa
waktu kejadian dari peristiwa di gatra (ruas depan) depan bersamaan atau
21
berdekatan dengan gatra di belakang. Contohnya bubar omong mangkono //
Darkum gage ninggal aku ‘selesai berkata begitu, Darkum segera
meninggalkan aku.
4. Hubungan makna sebab, yakni ruas depan menyebabkan kejadian di ras
belakang. Contohnya kudanan deres // saiki awakku krasa meriang ‘(karena)
kehujanan, sekarang tubuhku terasa tidak enak’.
5. Hubungan makna kecaraan, yakni ruas depan merupakan cara melakukan
peristiwa di ruas belakang. Contohnya ngguya-ngguyu // dheweke nyedhaki
aku ‘tersenyum-senyum, dia mendekati saya’.
6. Hubungan makna tujuan, yakni peristiwa di ruas depan adala sasaran atau
maksud dari ruas belakang. Contohnya ndadekake omah mau // aku kudu
cepak 7 yuta maneh ‘menjadikan rumah itu, saya harus punya 7 juta lagi’.
7. Hubungan makna konsesif, yakni peristiwa di ruas belakang tidak sesuai
dengan ruas depan. Contohnya dadi juara kelas // Adi tetep ora sombong
‘menjadi juara kelas, Andi tetap tidak sombong’.
8. Hubungan makna syarat, yakni peristiwa di ruas depan adalah keharusan
untuk peristiwa di ruas belakang. Contohnya dideleng saka blegere // uwong
mau jelas Pak Burhan ‘(jika) dilihat dari perawakannya // orang itu jelas Pak
Burhan’.
2.6 Diglosia
Situasi dalam masyarakat yang memiliki dua kode berbeda dan masing-
masing memiliki fungsi yang terpisah. Satu kode hanya digunakan pada sebuah
22
kondisi dan kode lain digunakan pada situasi lain (Wardaugh, 2006:89).
Contohnya dalam Bahasa Jawa. Bahasa Jawa memiliki dua ragam bahasa, yakni
kromo dan ngoko. Ragam kromo dugunakan untuk erbicara dengan lawan tutur
yang lebih tua dan dihormati. Ragam ngoko digunakan untuk berbicara dengan
lawan tutur yang lebih muda. Dua situasi berbeda inilah yang disebut sebagai
diglosia.
2.7 Partikel
Partikel adalah kata yang hanya memiliki unsur gramatikal. Kehadirannya
mirip dengan imbuhan karena biasanya hanya terdiri atas satu suku kata. Ciri-ciri
partikel ada dua, yakni (1) tidak dapat diderivasi atau diinfleksikan dan (2) tidak
memiliki makna leksikal (Wedhawati, 2001:372). Wedhawati (2001:372—379)
membagi jenis partikel menjadi tiga, yakni partikel pelunak, partikel pelengkap,
dan partikel pementing.
Pertama, partikel pelunak digunakan dalam ragam informal serta
membentuk gatra utama dan pelengkap. Contohnya kok dan mbok. Kedua, partikel
pelengkap digunakan dalam ragam informal dan berfungsi membentuk gatra
pelengkap. Contohnya dhing, je, ya, dan ta. Ketiga, partikel pementing digunakan
pada ragam formal dan berfungsi menandai frase. Contohnya ta pada kalimat yen
ta kowe wani maju, yo endang! ‘jika kamu berani maju, segeralah!’ (Wedhawati,
2001:372—379).
23
2.8 Bahasa dan Gender
Perempuan mulai banyak yang memasuki dunia kerja. Mereka dituntut
menjadi professional dan menyesuaikan diri dengan bahasa yang menjadi norma
dalam dunia kerja. Bagi perempuan, tidak mudah mengubah cara berbicara, cara
berkompromi, serta menunjukkan sifat-sifat lain yang sering muncul pada laki-
laki. Hal ini membuat wanita merasa terjepit di antara dua sisi. Sisi pertama,
wanita diharapkan mengadopsi gaya laki-laki yang asertif, keras, tegas, dan
berani. Di sisi lain, perempuan yang berlaku seperti gaya laki-laki tersebut akan
sering mendapatkan julukan “perempuan kok agresif dan menantang?”. Namun,
ada juga pendapat bahwa jika perempuan bekerja pada bidang yang kebanyakan
laki-laki, ia tetap bisa menunjukkan sikap feminim, suportif, dan penuh empati
(Kuntjara, 2012:164).
Orang yang lebih berkuasa biasanya lebih sering bertanya dari pada yang
kurang berkuasa. Perempuan biasanya menjawab pertanyaan dari yang lebih
berkuasa diharapkan mampu mengubah kebiasaan itu saat memasuki dunia kerja.
Namun, banyak perempuan lebih sering merasa nyaman dengan percakapan yang
bersifat pertemanan. Adapun pertanyaan lebih sering diajukan sebagai strategi
untuk mengisi percakapan ketimbang benar-benar untuk mencari informasi baru
(Kuntjara, 2012:166).
Ada beberapa cara yang dilakukan seseorang untuk memerintah seperti
memerintah secara gamblang, lebih halus dengan meminta tolong, dan
menambahkan beberapa alasan. Selain itu, perintah juga bisa berupa pernyataan
tidak langsung berupa sindirian. Semakin perintah itu diberikan secara jelas,
24
semakin kita merasakan bahwa orang yang memberi perintah lebih berkuasa dari
yang diperintah (Kuntjara, 2012:166—167).
2.9 Penelitian Sebelumnya
Berikut ini adalah beberapa penelitian yang terkait dengan judul penelitian
ini.
Tabel 2.2 Pemetaan Penelitian Terdahulu Nama
Peneliti
dan Judul
Tahun Hasil Perbedaan Kekurangan
Sanjaya, A.
R.
Register
Perdaganga
n Di Beteng
Trade
Center Solo
: Sebuah
Kajian
Sosiolinguist
ik
2012 Peneliti menggolongkan register
yang digunakan di Beteng Trade Center
Solo ke dalam ragam lisan dan tulisan.
Ragam lisan diambil dari percakapan TM
sedangkan ragam tulisan diambil dari
bahasa promosi produk. Pertama, ragam
lisan memiliki tiga jenis register yakni (1)
berdasarkan kategori (terdiri atas nomina,
verba, adjektiva, dan adverbia), (2) tuturan
ringkas (terdiri atas pemendekan dan
sinkatan), serta (3) sapaan. Kedua, ragam
tulisan mecakup empat kelompok meliputi
(1) pemendekan, (2) pelepasan, (3)
akronim, dan (4) penyingkatan.
Gaya bahasa yang digunakan dalam
register tulisan (promosi) bersifat
hiperbola. Register yang digunakan di
Beteng Trade Center Solo memiliki fungsi
dalam pelaksanaan proses TM. Fungsi
spesifiknya adalah untuk menawarkan
barang, menilai barang, menanyakan
barang, meminati barang, menawar harga,
dan menandai kegagalan transaksi.
Adapun fungsi lain, yakni untuk
mengungkapkan perasaan dan melucu
dalam mengurangi ketegangan
Penelitian ini
berfokus
pada bentuk-
bentuk
register yang
digunakan
saat TM di
pasar
radisional.
Selain itu,
Sanjaya juga
menambahka
n data lain
berupa ragam
tulis dari
iklan di
pasar.
Dua ragam
bahasa, yakni
tulis dan lisan
yang digunakan
sebagai sumber
data kurang
seimbang.
Ragam tulis
yang diambil
dari bahasa
promosi produk
adalah keluaran
pabrik dan tidak
berasal dari
gambaran sosial
pasar.
Sudono, A.
Wujud Kode
Pilihan
Bahasa
Dalam Jual
Beli di
Pasar
2014 Bahasa yang paling dominan
digunakan dalam interaksi antara Pj dan Pb
di Pasar Winong adalah bahasa Jawa
karena bahasa dipakai oleh hampir seluruh
penduduk di Kecamatan Winong. Adapun
kode yang digunakan oleh Pj dan Pb yang
berwujud tingkat tutur lebih didominasi
oleh penggunaan bahasa Jawa ngoko.
Peneliti
menunjukkan
jenis kode
bahasa yang
sering
digunakan di
pasar
tradisional.
Penggolongan
antara Bahasa
Jawa Standar
dan Bahasa Jawa
Krama kurang
jelas garis
perbedaannya.
25
Tradisional
Kecamatan
Winong,
Kabupaten
Pati
Kode yang berwujud ragam ringkas
(restricted code) lebih banyak digunakan
oleh Pj dan Pb karena komunikasi ragam
transaksi membutuhkan model komunikasi
yang ringkas, singkat, dan tidak bertele-
tele. Hanya sedikit sekali ditemukan
penggunaan ragam lengkap.
Kode yang berwujud bahasa Jawa
dialek Pati sangat dominan digunakan jika
dibandingkan dengan bahasa Jawa standar
atau bahasa Jawa baku karena hampir
semua masyarakat di Kabupaten Pati
merupakan penutur dialek Pati.
Annisa, dkk.
Campur
Kode dalam
Transaksi
Jual Beli
pada Media
Online Shop
di Singaraja
dan
Denpasar
2016 Ada tiga jenis campur kode yang
ditemukan, yakni (1) campur kode ke
dalam (33,7%), (2) campur kode ke luar
(43,5%), dan (3) campur kode campuran
(22,8%).
Bentuk campur kode terdiri atas
campur kode pada tataran (1) kalimat
(65,35%), (2) frasa (14,80%), dan (3)
klausa (19,80%).
Peneliti
mendata
jumlah
campur kode
yang ada di
dalam pasar.
Peneliti hanya
mendata jumlah
campur kode
secara kuantitaif
dan tidak
menafsirkan
kemunculan
jumlah tersebut
dalam bahasa
jual-beli.
Wati, dkk
Tindak Tutur
Ilokusi
dalam
Interaksi
Jual Beli di
Pasar
Burung Jaya
Jember
(Kajian
Pragmatik)
2016 Wati, dkk menemukan bentuk dan
strategi tidak tutur di Pasar Burung
tersebut.
Pertama, bentuk tuturan penjual dan
pembeli. Tuturan penjual terdiri atas (a)
memberitahukan harga burung, (b)
penjelaskan keadaan burung, (c) berjanji
menyediakan pesanan, dan (d) memuji
pembeli. Adapun bentuk tuturan penjual
terdiri atas a) mengeluhkan kualitas
barang; b) memesan aksesoris burung; c)
menawar dagangan; d) memohon
kemurahan harga burung; e) berjanji
membayar kekurangan uang kepada
penjual; f) mengucapkan terima kasih
kepada penjual; g) mengkritik kualitas
burung; h) membatalkan transaksi; serta i)
memaafkan penjual.
Kedua, strategi tawar-menawar penjual
dan pembeli. Strategi penjual terdiri atas:
a) menawarkan dengan menyapa pembeli;
b) menawarkan dengan memuji barang
dagangan; c) menurunkan harga; d)
menyetujui tawaran setelah ditawar; e)
menyetujui tawaran untuk pelaris; f)
menyetujui tawaran karena langganan; g)
menolak tawaran dengan dalih merugi; h)
menolak tawaran dengan daih harga naik;
serta. Adapun strategi pembeli, yakni a)
menawar dengan memohon; b) menawar
dengan gaya akrab; c) menawar dengan
Ada temuan
baru berupa
pemberian
janji penjual
pada pembeli
untuk
meyakinkan
pembeli
bahwa
kualitas
barang tidak
diragukan
lagi.
Kata “ilokusi”
pada judul
membingungkan
pembaca karena
kata tersebut
tidak terdapat di
KBBI sehingga
pembaca
kesulitan
melacak makna
kata “ilokusi”.
26
mencela dagangan; d) menawar dengan
persuasi bahwa harga terlalu mahal; e)
serta menawar dengan gaya ancaman.
Cleopatra,
A. R.
Kesantunan
Berbahasa
dalam
Interaksi
Jual Beli di
Pasar Pekan
Sunggal
Kecamatan
Medan
Sunggal
Kabupaten
Deli
Serdang
2016 Peneliti mendata bentuk-bentuk
kesantunan bahasa yang digunakan dalam
sebuah pasar tradisional. Wujud
kesantunan berbahasa di Pasar Sunggal
dalam interaksi jual beli merupakan
tuturan yang digunakan penjual dan
pembeli dalam proses TM. Pertama, jenis
kalimat yang digunakan meliputi kalimat
berita, kalimat tanya, dan kalimat perintah.
Kedua, bentuk kesantunan berbahasa di
Pasar Sunggal yaitu berbentuk makna
permintaan, suruhan, ajakan, permohonan.
Ketiga, strategi kesantunan berbahasa yang
sering muncul dalam tuturan penjual dan
pembeli di Pasar Sunggal adalah strategi
tuturan yang kurang santun dan strategi
tuturan yang yang agak santun.
Peneliti
mendata
wujud
kesantunan
bahasa.
Peneliti tidak
menghubungkan
hasil penelitian
dengan aspek
sosiolinguistik
masyarakat.
2.9.1 Penelitian Sebelumnya tentang Register Perdagangan di Beteng Trade
Center Solo
Register perdagangan dikaji oleh Sanjaya (2012). Sanjaya (2012:1—15)
menggolongkan register yang digunakan di Beteng Trade Center Solo ke dalam
ragam lisan dan tulisan. Ragam lisan diambil dari percakapan TM sedangkan
ragam tulisan diambil dari bahasa promosi produk. Pertama, ragam lisan memiliki
tiga jenis register yakni (1) berdasarkan kategori (terdiri atas nomina, verba,
ajektiva, dan adverbia), (2) tuturan ringkas (terdiri atas pemendekan dan sinkatan),
serta (3) sapaan. Kedua, ragam tulisan mecakup empat kelompok meliputi (1)
pemendekan, (2) pelepasan, (3) akronim, dan (4) penyingkatan.
Gaya bahasa yang digunakan dalam register tulisan (promosi) bersifat
hiperbola. Register yang digunakan di Beteng Trade Center Solo memiliki fungsi
dalam pelaksanaan proses TM. Fungsi spesifiknya adalah untuk menawarkan
27
barang, menilai branag, menanyakan barang, meminati barang, menawar harga,
dan menandai kegagalan transaksi. Adapun fungsi lain, yakni untuk
mengungkapkan perasaan dan melucu dalam mengurangi ketegangan (Sanjaya,
2012:1—15).
2.9.2 Penelitian Sebelumnya tentang Wujud Kode Pilihan Bahasa Dalam
Jual Beli di Pasar Tradisional Kecamatan Winong, Kabupaten Pati
Sudono, A dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah melakukan penelitian
ini pada tahun 2014. Bahasa yang paling dominan digunakan dalam interaksi
antara Pj dan Pb di Pasar Winong adalah bahasa Jawa karena bahasa tersebut
dipakai oleh hampir seluruh penduduk di Kecamatan Winong. Adapun kode yang
digunakan oleh Pj dan Pb yang berwujud tingkat tutur lebih didominasi oleh
penggunaan bahasa Jawa ngoko. Kode yang berwujud ragam ringkas (restricted
code) lebih banyak digunakan oleh Pj dan Pb karena komunikasi ragam transaksi
membutuhkan model komunikasi yang ringkas, singkat, dan tidak bertele-tele.
Hanya sedikit sekali ditemukan penggunaan ragam lengkap. Kode yang berwujud
bahasa Jawa dialek Pati sangat dominan digunakan jika dibandingkan dengan
bahasa Jawa standar atau bahasa Jawa baku karena hampir semua masyarakat di
Kabupaten Pati merupakan penutur dialek Pati.
28
2.9.3 Penelitian Sebelumnya tentang Campur Kode dalam Transaksi Jual
Beli pada Media Online Shop di Singaraja dan Denpasar
Pada tahun 2016, Annisa, dkk melakukan penelitian ini. Mereka
menemukan tiga jenis campur kode yang ditemukan, yakni (1) campur kode ke
dalam (33,7%), (2) campur kode ke luar (43,5%), dan (3) campur kode campuran
(22,8%). Bentuk campur kode terdiri atas campur kode pada tataran (1) kalimat
(65,35%), (2) frasa (14,80%), dan (3) klausa (19,80%).
2.9.4 Penelitian Sebelumnya tentang Tindak Tutur Ilokusi dalam Interaksi
Jual Beli di Pasar Burung Jaya Jember (Kajian Pragmatik)
Pada tahun yang sama, 2016, Wati, dkk juga meneliti bahasa tawar-
menawar. Mereka menemukan bentuk dan strategi tidak tutur di Pasar Burung
tersebut. Pertama, bentuk tuturan penjual dan pembeli. Tuturan penjual terdiri
atas (a) memberitahukan harga burung, (b) penjelaskan keadaan burung, (c)
berjanji menyediakan pesanan, dan (d) memuji pembeli. Adapun bentuk tuturan
penjual terdiri atas a) mengeluhkan kualitas barang; b) memesan aksesoris
burung; c) menawar dagangan; d) memohon kemurahan harga burung; e) berjanji
membayar kekurangan uang kepada penjual; f) mengucapkan terima kasih kepada
penjual; g) mengkritik kualitas burung; h) membatalkan transaksi; serta i)
memaafkan penjual.
Kedua, strategi tawar-menawar penjual dan pembeli. Strategi penjual terdiri
atas: a) menawarkan dengan menyapa pembeli; b) menawarkan dengan memuji
barang dagangan; c) menurunkan harga; d) menyetujui tawaran setelah ditawar; e)
29
menyetujui tawaran untuk pelaris; f) menyetujui tawaran karena langganan; g)
menolak tawaran dengan dalih merugi; serta h) menolak tawaran dengan daih
harga naikAdapun strategi pembeli, yakni a) menawar dengan memohon; b)
menawar dengan gaya akrab; c) menawar dengan mencela dagangan; d) menawar
dengan persuasi bahwa harga terlalu mahal; e) serta menawar dengan gaya
ancaman.
2.9.5 Penelitian Sebelumnya tentang Kesantunan Berbahasa dalam Interaksi
Jual Beli di Pasar Pekan Sunggal Kecamatan Medan Sunggal
Kabupaten Deli Serdang
Penelitian ini dilakukan oleh Cleopatra. Cleopatra (2016:1—6) mendata
bentuk-bentuk kesantunan bahasa yang digunakan dalam sebuah pasar tradisional.
Wujud kesantunan berbahasa di Pasar Sunggal dalam interaksi jual beli
merupakan tuturan yang digunakan penjual dan pembeli dalam proses TM.
Pertama, jenis kalimat yang digunakan meliputi kalimat berita, kalimat tanya, dan
kalimat perintah. Kedua, bentuk kesantunan berbahasa di Pasar Sunggal yaitu
berbentuk makna permintaan, suruhan, ajakan, permohonan. Ketiga, strategi
kesantunan berbahasa yang sering muncul dalam tuturan penjual dan pembeli di
Pasar Sunggal adalah strategi tuturan yang kurang santun dan strategi tuturan yang
yang agak santun.
30
2.9.6 Celah Penelitian (Research Gap)
Kelima penelitian di atas memiliki persamaan dengan penelitian saya.
Persamaan tersebut terdapat pada sumber data yang dikaji yakni masyarakat tutur
Pj dan Pb di PT. Mereka menemukan (1) register perdagangan, (2) wujud kode
pilihan bahasa, (3) campur kode, (4) tindak tutur ilokusi, dan (5) bentuk
kesantunan bahasa yang digunakan dalam proses TM di PT. Celah yang belum
tersentuh oleh kelima penelitian di atas, yakni analisis struktur teks TM dan
perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan di PT. Untuk itu, saya mengkaji hal
yang belum diteliti tersebut dalam penelitian ini. Kedua hal tersebut sekaligus
menjadi pembeda antara penelitian sebelumnya dengan penelitian saya.
31
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini menjelaskan metode penelitian yang meliputi (1) jenis penelitian,
(2) waktu pengambilan data, (3) metode penyediaan data, (4) metode analisis data,
dan (5) metode penyajian data.
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian Proses Tawar Menawar Laki-Laki dan Perempuan di Pasar Raya
Mojosari Kabupaten Mojokerto (Analisis Sosiolinguistik) ini menggunakan
metode etnografi. “Tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk
asli, hubungannya dengan kehidupan, dan untuk mendapatkan pandangannya
mengenai dunianya” (Malinowski, 1922:25 dalam Spradley, 1997:3). Peneliti
tidak hanya mempelajari masyarakat, tetapi juga belajar dari masyarakat
(Spradley, 1997:3).
Teknik pengumpulan data dalam penelitian etnografi adalah observasi-
partisipasi dan wawancara terbuka dalam jangka waktu yang relatif lama, bukan
kunjungan singkat dengan daftar pertanyaan terstruktur, seperti pada teknik survei
(Spradley, 1997:xvi). Untuk itu, pengenalan dan pendekatan mendalam telah
dilakukan. Informan menduduki posisi utama dalam pengolahan data penelitian
etnografi. Tahap pengenalan dan permohonan izin telah dilakukan dengan empat
toko yang dijadikan sasaran penelitian. Masyarakat yang diteliti adalah
masyarakat Pasar Raya Mojosari Kabupaten Mojokerto. Pengambilan data
32
dilakukan dengan teknik perekaman transaksi jual-beli dan pembuatan catatan
lapang.
3.2 Waktu Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan selama satu bulan, yakni bulan Maret hingga
April. Bulan ini bertepatan dengan Bulan Rajab dalam kalender Hijriyah dan
Jawa. “Puncak keramaian pasar terdapat pada bulan Ramadan. Pembeli
berbondong-bondong datang ke pasar untuk membeli segala kebutuhan Hari Raya
Idul Fitri, seperti baju baru, sepatu baru, kue lebaran, alat salat, gorden, hingga
barang-barang kecil seperti taplak meja dan lap. Dua bulan sebelumnya, yakni
Rajab dan Ruwah kondisi pasar stabil” (Aisyah, wawancara 28 Maret 2017).
“Menjelang Ramadan (Ruwah akhir), pasar mulai ramai dikunjungi para pembeli
yang merayakan Megengan” (Nurillah, wawancara 28 Maret 2017).
Berdasarkan pendapat tersebut, Rajab adalah bulan yang tepat untuk
melakukan pengambilan data karena pada bulan tersebut, kondisi pasar tidak
dalam puncak keramaian. Jika pengambilan data dilakukan pada saat Ramadan
(puncak keramaian pasar), daya tawar sangat kecil karena jumlah permintaan
(pembeli) lebih besar dari jumlah ketersediaan barang. Oleh karena itu, bulan
yang stabil (Rajab) sangat cocok dijadikan sebagai waktu pengambilan data.
Selama satu bulan pengambilan data, terdapat tiga hari tanggal merah.
“Selain Ramadan, keramaian pasar juga terjadi saat hari Minggu dan tanggal
merah (hari besar nasional)” (Nurillah, wawancara 28 Maret 2017). Keberadaan
tiga hari tanggal merah ini diharapkan mampu menunjukkan keberagaman pola
33
tawar menawar di hari biasa dan di hari libur. Hari libur memungkinkan
kedatangan pembeli dari berbagai status sosial, termasuk para buruh dan pegawai
yang sedang berlibur.
Pengambilan data dilakukan pada pukul 07.00—12.00 WIB. Pasar Raya
Mojosari memulai aktivitas pada dini hari (pukul 02.00 WIB). Hal tersebut
ditandai oleh keramaian pedagang sayur dan ikan. Pada pukul 07.00, pedagang
sayur dan ikan mulai berkurang dan digantikan oleh pedagang pakaian, gerabah,
tas, sepatu, dan sebagainya. Kios pakaian, gerabah, tas, dan sepatu memiliki daya
tawar tinggi. Oleh karena itu, pengambilan data dilakukan di toko-toko tersebut
pada pukul 07.00—12.00.
3.3 Metode Penyediaan Data
Sampel dipilih dengan menggunakan teknik penarikan sampel secara
sistematis. “Cara ini dilakukan dengan menentukan persentase jumlah sampel
yang diambil” (Mahsun, 2014:235). Saya memilih transaksi TM di kios yang
menjual barang-barang dengan daya tawar tinggi, seperti baju, gerabah, sepatu,
dan tas. Sembako, makanan, dan sayur sengaja tidak dipilih karena tidak ada
proses TM di sana.
Baju, gerabah, tas, dan sepatu memiliki daya tawar karena barang-barang ini
berharga tinggi. Jenis, model, dan merek sangat beragam dan sulit dikenali
sehingga penjual biasa menawarkan harga barang terlebih dahulu sedangkan
barang kebutuhan sehari-hari —seperti sembako, sayur, dan buah-buahan—
adalah komoditas yang umum dijumpai. Sawi yang dijual pedagang A sama
34
dengan sawi yang dijual pedagang B. Hal itu menyebabkan harga kisaran barang
sudah banyak dipahami pembeli dan pedagang pun tidak akan menawarkan harga.
Begitu juga pada peracangan (pedagang sembako). Rokok X adalah barang yang
dijual di toko mana saja karena banyak dicari dan dibeli orang setiap hari. Oleh
karena itu, harga rokok X sudah umum diketahui masyarakat. Pedagang tidak
akan menawarkan dagangannya.
Ada tiga lokasi yang saya pilih sebagai tempat pengambilan sampel, yakni
satu kios dengan pedagang laki-laki dan dua kios dengan pedagang perempuan.
Transaksi yang dipilih adalah transaksi pada pembeli perempuan dan pembeli
laki-laki dengan kategori berikut.
1. Kategori usia terdiri atas (a) remaja (15—25 tahun), (b) dewasa (26—40
tahun), dan (c) tua (41—60 tahun).
2. Kategori status sosial terdiri atas (a) tidak bekerja, (b) buruh pabrik, dan (c)
pegawai pemerintah.
3. Kategori pendidikan terdiri atas (a) tidak sekolah, (b) SD atau SMP, dan (c)
SMA atau perguruan tinggi.
Penyediaan data dilakukan dengan dua metode, yakni metode SBLC (Simak
Bebas Libat Cakap) dan metode wawancara. SBLC atau yang biasa dikenal
sebagai teknik sadap dipilih untuk mendapatkan peristiwa berbahasa agar berjalan
alami (Mahsun, 2014:242—243). SBLC memerlukan bantuan catatan lapang
untuk mendeskripsikan hal-hal yang tidak terekam dalam SBLC.
35
Informasi yang dimuat dalam catatan lapang adalah sebagai berikut.
1. Tanggal penyimakan, jenis dagangan, dan jenis kelamin pedagang.
2. Kriteria informan yang meliputi jenis kelamin, usia, status sosial, dan
pendidikan pembeli.
3. Status kekerabatan antara penjual dan pembeli.
Selanjutnya, metode wawancara. Metode ini digunakan untuk
mewawancarai penjual. Hal-hal yang ditanyakan meliputi usia, status sosial, dan
pendidikan. Penjual diwawancarai sebelum pengambilan data dilakukan.
3.4 Metode Analisis Data
Penganalisisan data menggunakan metode yang biasa digunakan dalam ilmu
Sosiolinguistik, yakni metode padan. Metode padan merupakan cara menganalisis
data dengan “menghubung-bandingkan antar unsur yang bersifat lingual –jika itu
berupa metode padan lingual– atau menghubung-bandingkan unsur yang
ekstralingual –jika itu metode pada ekstralingual—“ (Mahsun, 2014:259).
Perbandingan yang dilakukan adalah tuturan laki-laki dengan tuturan perempuan
saat TM di PRM. Unsur intralingual yang menjadi bagian penelitian ini adalah
struktur teks dan beberapa pemarkah linguistik (jenis kalimat, diglosia, dan
partikel). Unsur ekstralingual bahasa TM di PRM, yakni usia, status sosial, dan
pendidikan penutur.
36
Berikut ini adalah langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini.
3.4.1 Pengelompokan Data Berdasarkan Jenis Kelamin
Data dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin penutur sebagai berikut.
1. Penjual laki-laki dan pembeli laki-laki.
2. Penjual perempuan dan pembeli perempuan.
3. Penjual laki-laki dan pembeli perempuan.
4. Penjual perempuan dan pembeli laki-laki.
3.4.2 Pengodifikasian dan Penganalisisan Struktur Teks
Kodifikasi menggunakan urutan (1) nomor transaksi, (2) jenis barang yang
dijual, (3) jenis kelamin penjual, (4) jenis kelamin pembeli, serta (5) struktur teks
dan nomor struktur. Kelima elemen kodifikasi dipisah menggunakan garis miring
“/”. Nomor data adalah urutan dari seluruh data dari angka satu. Jenis barang yang
dijual disingkat menjadi (a) Ban (Baju Anak), (b) Bcm (Baju Campur), dan (c)
Blk (Baju Laki-Laki). Jenis kelamin disingkat menjadi “Lk” untuk laki-laki dan
“Pr” untuk perempuan. Struktur teks memiliki jenis sebagai berikut.
1. PngPj (pengawalan penjualan).
2. PnPJ (penanyaan penjualan).
3. PrPj (permintaan penjualan).
4. PmPj (pemenuhan penjualan).
5. Pj (penjualan).
6. Pb (pembelian).
7. PtPb (penutupan pembelian).
37
8. Pny (penyelesaian).
9. Sl (salam).
Contohnya pada kodifikasi 1/Ban/Pr/Lk/PtPb1. Artinya adalah percakapan
tersebut berada pada transaksi ke-1 dengan jenis barang yang dijual adalah baju
anak-anak (Ban). Penjual berjenis kelamin perempuan (Pr) dan pembelinya laki-
laki (Lk). Struktur teks dialog tersebut adalah penutupan penjualan (PtPb) yang
ke-1.
Kode diberikan pada setiap struktur di tiap data. Satu data berarti satu
transaksi jual-beli yang dilakukan oleh penjual dengan pembeli. Berikut adalah
contoh pemberian kode pada sebuah percakapan.
Tabel 3.1 Contoh Pengodifikasian Data Percakapan Kodifikasi
Pb : Panggangan, Pak? 1/G/Pr/Lk/PrPj
Pj : Sing iki empat puluh, tiga lapan ae gawe samean
‘Yang ini empat puluh, tida delapan saja lah buat kamu’
1/G/Pr/Lk/PmPj
Pb : Gak tiga lima ae ah buk?
‘Tidak tiga lima saja ta, Buk?’
Pj : Tiga lima. Yowes gawe pelaris wis. Gak popo
‘Tiga lima. Ya sudah buat pelaris. Tidak apa-apa’
1/G/Pr/Lk/TM
Pb : Yoiki mantep iki (sambl membayar)
‘Ya ini mantap ini’
1/G/Pr/Lk/PtPb
Pb : Suwun, Mas yo?
‘Makasih, Mas ya?’
Pj : Inggih, monggo, Buk
‘Iya, mari, Buk’
1/G/Pr/Lk/Pny
3.4.3 Pendataan Pola Struktur, Penganalisisan Pemarkah Linguistik, dan
Penafsiran
Pendataan pola adalah menganalisis pola umum struktur teks yang terdapat
pada seluruh trasaksi. Selanjutnya, dianalisislah perbedaan bahasa laki-laki dan
38
perempuan dari segi struktur teksnya. Setelah itu, penganalisisan berlanjut pada
penentuan pemarkah linguistik (jenis kalimat, diglosia, serta partikel) yang
menjadi pembeda bahasa laki-laki dengan perempuan. Hasil analisis pola struktur
dan tiga pemarkah linguistik tersebut digunakan sebagai acuan untuk menentukan
perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan.
3.5 Metode Penyajian Data
Penyajian data dilakukan dengan dua metode, yakni metode formal dan
informal. Metode formal adalah penyajian menggunakan tanda-tanda dan lambang
sedangkan metode informal menggunakan kata-kata (Sudaryanto, 1993 dalam
Mahsun, 2014:123). Lambang-lambang yang digunakan pada metode formal
adalah sebagai berikut.
1. Kodifikasi data telah dijelaskan pada bagian di atas. Kodifikasi memadukan
tanda angka, singkatan huruf, dan pemisahan menggunakan garis miring (/).
2. Tanda petik tunggal (‘…’), yakni tanda yang dipakai untuk menandai glos
atau makna dari percakapan Pj dan Pb yang menggunakan Bahasa Jawa.
Penyajian data yang berupa kata-kata berisi hasil analisis, temuan, dan
pengontrasan perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan. Pertama, pola umum –
seperti struktur teks, jenis kalimat, diglosia, dan pertikel—yang digunakan para
penutur di PRM dijabarkan. Kemudian, perbedaan empat hal tersebut digunakan
untuk menemukan perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan. Terakhir, pola
perbedaan tersebut dihubungkan dengan teori gender yang dikemukakan oleh
Tanen, Wardaugh, Labov, Sumarsono, dan sebagainya.
39
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagian ini menjelaskan tiga hal, yakni struktur teks, pemarkah linguistik,
serta perbedaan bahasa Lk dan Pr pada proses tawar-menawar di Pasar Raya
Mojosari. Struktur teks dan pemarkah linguistik dalam teks TM di PRM
dijabarkan pada bagian 4.1 dan 4.2. Selanjutnya, hasil analisis 4.1 dan 4.2 tersebut
digunakan untuk menemukan ciri pembeda bahasa Lk dan Pr di bagian 4.3.
4.1 Struktur Teks
Struktur teks mengacu pada teori Halliday dan Hasan (1992:83—87) yang
memecah teks perdagangan menjadi tiga, yakni unsur wajib, pilihan, dan
pengulangan. Pertama, unsur wajib terdiri atas (1) PrPj (Permintaan Penjualan),
(2) PmPj (Pemenuhan Penjualan), (3) Pjn (Penjualan), (4) Pbn (Pembelian), dan
(5) PtPb (Penutupan Pembelian). Kedua, unsur pilihan meliputi (1) PngPj
(Pengawalan Penjualan), (2) PnPJ (Penanyaan Penjualan), (3) Pny (Penyelesaian),
dan (4) Sl (Salam). Ketiga, unsur pengulangan mencakup (1) PnPJ (Penanyaan
Penjualan), (2) PrPj (Permintaan Penjualan), dan (3) PmPj (Pemenuhan
Penjualan).
40
4.1.1 Pola Umum Struktur Teks yang Digunakan Para Penutur di Pasar
Raya Mojosari
Berikut ini adalah salah satu hasil analisis struktur teks tawar-menawar di
Pasar Raya Mojosari.
Tabel 4.1 Percakapan Transaksi ke-6 Transaksi Ke- 6 (Suara 007)
Tanggal Pengambilan Data 23 Maret 2017
Kodifikasi Data 6/Bcm/Pr/Lk
Usia, Pendidikan Pj Tua, SMP
Usia, Status Sosial, Pendidikan Pb Remaja, -, -
Keterangan tambahan -
Percakapan Struktur
Pj: Golek opo, Mas?
‘Cari apa, Mas?’
6/Bcm/Pr/Lk/PngPj1
Pb: Katok, Buk.
‘Celana dalam, Bu’
6/Bcm/Pr/Lk/PrPj1
Pj: Oalah, iki lho pean milih-milih. 6/Bcm/Pr/Lk/PmPj1
Sak mene a?
‘Oalah, ini lho kamu milih. Segini a?’
6/Bcm/Pr/Lk/PnPj1
Pb: Sak menten ngge buk?
‘Segini ya, Bu’
Pj: L yo cukup.
Iki XL.
6/Bcm/Pr/Lk/Prt1
Pb: Pintenan niki?
‘Berapaan ini?’
Pj: Iki rongpuluh sakmene.
‘Ini duapuluh segini’
6/Bcm/Pr/Lk/PnPj4
Pb: Limabelas mboten atok a? Limabelas.
‘Limabelas apakah tidak boleh? Limabelas’
6/Bcm/Pr/Lk/PrPj4
Pj: Lho, lapo sampean wis langganan ae ditawakno.
Nek towo selawe telu limo sampean iku.
‘Lho, ngapain kamu sudah langganan kok ditawarkan. Kalau saya
tawarkan duapuluh lima kamu itu’
6/Bcm/Pr/Lk/PmPj4
Pb: Niki, Buk. (Membayar).
‘Ini, Bu (Membayar)’
6/Bcm/Pr/Lk/Pbn
Pj: Enggeh. (Memberikan kembalian). 6/Bcm/Pr/Lk/Pjn
Matur suwun.
Pelaris sing nukoni Wak Yai.
Nek gak anu sampean ijolno yah?
‘Iya. (Memberikan kembaian. Terima kasih. Pelaris, yang membeli
Pak Kyai. Kalau tidak anu kamu tukar ya?’
Pb: Engge.
‘Iya’
6/Bcm/Pr/Lk/PtPb1
41
Penjual mengawali transaksi (PngPj) dengan cara menawarkan barang
dagangannya ke pembeli. PngPj yang terjadi pada data di atas adalah Pj yang
menanyai Pb mencari barang apa. Selanjutnya, Pb meminta barang yang ia
inginkan (PrPj) berupa celana dalam. Pj memenuhi permintaan tersebut dengan
menunjukkan celana dalam (PmPJ). Untuk mendapat kriteria barang yang pas, Pj
melakukan penanyaan kepada Pb tentang ukuran celana dalam yang diinginkan
(PnPj).
Setelah itu, Pb melakukan pertimbangan dalam memilih barang (Prt). Proses
pertimbangan dilakukan Pb dengan menanyai Pj apakah ukuran segini cukup
untuk orang yang sangat besar. Pj pun menjawab bahwa celana dalam ukuran L
cukup untuk ukuran yang diinginkan. Saat barang yang diinginkan sudah terpilih,
proses PnPj terulang kembali dengan penanyaan harga barang. Pj menanyai Pb
berapa harga celana dalam tersebut. Pj menjawab bahwa harganya dua puluh ribu.
Pb selanjutnya menawar harga barang melalui proses PrPj yang berbunyi, “apakah
tidak boleh lima belas?”. Pj memenuhi permintaan penawaran harga tersebut
dengan menjawab bahwa Pj tidak menawarkan harga jika langganan yang
membeli (PmPj). Terakhir, Pb melakukan proses pembayaran pada struktur
penjualan (Pjn) dan pembelian (Pbn). Transaksi di atas ditutup melalui ucapan
terima kasih (PtPb).
Berdasarkan tiga belas transaksi yang dianalisis, struktur umum yang
terbentuk dalam transaksi TM adalah sebagai berikut.
(4) PngPj^PrPj...n^PnPj..n^PmPj..n^Prt^PnPj^PrPj..n^PmPj..n^Krb…n^Pbn^Pjn^PtPb^Pny…n
42
4.1.2 Struktur Unik dalam Proses Tawar-Menawar di Pasar Raya Mojosari
Teks TM di PT memiliki ciri khusus yang mampu membedakannya dengan
teks perdagangan lain. Ada dua struktur unik dalam teks tawar-menawar, yakni
(1) Keakraban (Krb) dan (2) Pertimbangan (Prt). Berikut ini adalah penjelasan dua
struktur unik tersebut.
Pertama, struktur unik keakraban. Keakraban berarti hal atau keadaan
akrab, kekariban (Sunendar, dkk, 2016). Saya mengakronimkannya menjadi Krb.
Percakapan di pasar tidak hanya memuat hal-hal yang bersifat transaksional jual-
beli, tetapi juga hal-hal fungsional seperti percakapan kehidupan pribadi untuk
membentuk kedekatan emosional antarpenutur. Di toko modern (swalayan),
percakapan yang terjadi hanya bersifat transaksional (total belanjaan) namun di
pasar tradisional, percakapan yang terjadi bersifat fungsional.
Struktur keakraban selalu muncul hampir di seluruh transaksi, baik pada
transaksi sesama gender, maupun berbeda gender. Semakin rendah tenggang
sosial –ada kedekatan-- yang terjadi antara penjual dan pembeli, maka proses Krb
akan semakin lama. Sebaliknya, semakin tinggi tenggang sosial –tidak ada
kedekatan-- penjual dan pembeli, maka Krb akan semakin pendek.
Keakraban (Krb) yang terjadi pada laki-laki berbeda dengan Krb pada
perempuan. Penjual dan pembeli perempuan melakukan Krb dengan perbincangan
seputar alamat rumah, bagaimana kehidupan di rumah, bagaimana anak pulang
sekolah, hingga hal kecil seperti mematikan keran di rumah, dan hal-hal lain yang
menyangkut ranah domestik. Berikut ini adalah data percakapan keakraban antara
PjPr dan PbPr.
43
Tabel 4.2 Percakapan Keakraban antara Penjual Perempuan dengan
Pembeli Perempuan Percakapan Struktur
Pb: Iyo timbang jajan-jajan.
‘Iya daripada jajan-jajan’
Pj: Iyo timbang jajan-jajan.
Piro aku lho tuku roti jareku beke piro telungpuluhlimo cuwilik.
Ala rek tuwas ae tuku anu.
Eruh ngunu wani ikine lho.
Saiki ungsum ngunu-ngunu.
‘Iya daripada jajan-jajan. Aku beli roti tak kira berapa tigapuluh lima sangat
kecil. Aduh, nyesel beli ani. Tahu begitu lebih baik beli ini. Sekarang
musimnya gini-gini’
11/Bcm/Pr/P
r/Krb4
Percakapan di atas berisi penjual perempuan yang sedang menceritakan
pengalamannya setelah memebeli roti. Sebelumnya, pembeli perempuan memulai
kekaraban dengan menyatakan bahwa lebih baik membeli selimut daripada
membeli jajan sebagai hantaran pernikahan. Kemudian Pj menjawab pernyataan
tersebut dengan pengalamannya memebeli roti yang ternyata harganya lebih
mahal dari selimut, sehingga membeli selimut sebagai hantaran pernikahan lebih
baik daripada roti yang berukuran kecil. Pebincangan seputar pengalam pribadi ini
merupakan perbincangan khas para perempuan yang berkutat pada ranah
domestik.
Berbeda dengan hal tersebut, penjual dan pembeli laki-laki justru
membicarakan pekerjaan, pendidikan anak, dan hal-hal lain yang menyangkut
status sosial. Contohnya pada data berikut.
44
Tabel 4.3 Percakapan Keakraban Penjual Laki-Laki dengan Pembeli Laki-
Laki Percakapan Struktur
Pj: Pun gedhe a anake?
‘Sudah besar anaknya?’
Pb2: Pun gedhe
‘Sudah besar’
Pj2: Kelas pinten?
‘Kelas berapa?’
Pb2: SMA kelas kale, Cak Mat
‘SMA kelas dua, Cak Mat’
Pj: O sekolah pundi?
‘O sekolah mana?’
Pb2: Aliyah mriku Sedati
‘Aliya situ Sedati’
Pj: Oh Sedati.
‘Oh Sedati’
16/Blk/Lk/PrLk/Krb7
Percakapan di atas berisi percakapan PjLk yang menanyai PbLk tentang usia anak
dan di mana tempat anak menempuh pendidikan. Pendidikan anak mampu
menunjukkan status sosial seseorang.
Kedua, struktur unik pertimbangan. Pertimbangan adalah pendapat tentang
baik dan buruknya sesuatu (Sunendar, dkk, 2016). Dalam hal ini, saya
akronimkan menjadi Prt. Hal yang dipertimbangkan oleh Pb adalah kualitas dan
kuantitas barang seperti warna, ukuran, dan sebagainya. Proses pertimbangan
dilakukan melalui pendiskusian antara Pb dan Pj. Hal ini hanya terjadi di pasar
tradisional dan tidak terjadi di pasar modern. Seorang Pb di pasar modern tidak
mungkin menanyi penjaga kasir tentang barang mana yang lebih cocok untuk Pb.
Percakapan di pasar modern hanya bersifat transaksional.
Proses pertimbangan PbPr lebih panjang daripada PbLk. Hal tersebut dapat
kita lihat dengan membandingkan data transaksi ke-13 dengan data transaksi ke-6.
Transaksi ke-13 dengan pembeli perempuan memiliki struktur Prt yang panjang
dan diulang beberapa kali. Berikut ini adalah datanya.
45
Tabel 4.4 Percakapan Pertimbangan (Prt) antara Penjual Perempuan
dengan Pembeli Perempuan Percakapan Struktur
Pb: Seneng ungu ta kuning arek e iki?
‘Suka ungu atau kuning anak ini’
Pj: Yo loro ngunu ae wis.
‘Ya dua gitu saja lah’
Pb: Masaalah.
‘Masya Allah’
Pj: Hehe.
‘Hehe’
Pb: Ngomonge ma tumbasno sing kuning ae.
‘Bialangnya Ma, belikan yang kuning saja’
Pj: Yo kuninga ae.
Nek gak anu ijolno ngunu ae.
13/Bcm/Pr/Pr/
Prt1
Sing kuning niki beke yo.
‘Iya saya bilangkan kalau gitu. Yang kuning ini saja mungkin ya’
Pj: Yo nek arek e njaluk kuning kek ono kuning ae.
‘Ya kalau anaknya minta kuning ya kasih saja kuning’
13/Bcm/Pr/Pr/
Prt2
Pb: Oh. Apik iki, Yah.
‘Oh bagus ini, Yah’
Pj: Tapi lek anak sampean sak munu cukup.
‘Tapi kalau anak kamu segitu cukup’
Pb: Arek e lho niku gimbul.
‘Anaknya lho gendut’
Pj: Lha yo cukup iku nomer anu.
Wong awak e lho rong kilan.
Nek gak anu yo diuncalno se.
Kapan-kapan lapo gupuh-gupuh.
‘Lha iya cukup itu nomor anu. Badanya dua kil. Kalau tidak anu ya
dilempar sini. Kapan-kapan saja tidak usah terburu-buru’
Pb: Hehehe. Diuncalno.
‘Hehehe. Dilemparkan’
Pj: Kan wis eruh nggen e.
TK besar ta TK kecil?
‘Kan sudah tahu tempatnya. TK besar atau TK kecil?’
Pb: TK kecil.
‘TK kecil’
Pj: Lha yo, iku TK besar cukup.
‘Lha iya, itu TK besar cukup’
Pb: Tapi larene lho padet ngonten lho.
‘Tapi anaknya lho padat gitu lho’
Pj: Haha iyo. Poret.
‘Haha, iya, besar’
13/Bcm/Pr/Pr/
Prt3
Percakapan di atas adalah proses pertimbangan yang dilakukan PbPr. Dalam
satu transaksi, perempuan melakukan Prt hingga tiga kali. Pada Prt1
46
(13/Bcm/Pr/Pr/Prt1), PbPr kebingungan memilih baju warna kuning atau ungu. Ia
berkata jika anaknya memesan warna kuning. Kemudian, PjPr menyarankan untuk
mengambil kuning saja. Setelah melakukan perbincangan lain, PbPr kembali
menunjukkan kebimbangangannya dalam memilih warna kuning pada Prt2
(13/Bcm/Pr/Pr/Prt2). Pj pun kembali menyarakan kuning saja jika anak benar-
benar meminta kuning. Beberapa saat kemudian, pertimbangan terjadi lagi pada
Prt3 (13/Bcm/Pr/Pr/Prt3). Kali ini, PbPr mempertimbangkan apakah ukuran
tersebut cukup untuk anaknya. Penjual pun akhirnya memberi kesempatan pada
Pb untuk menukarkan barang jika ukurannya kurang besar.
Berbeda dengan perempuan yang mampu mengulangi Prt hingga tiga kali,
Prt laki-laki hanya sedikit seperti yang nampak pada data berikut.
Tabel 4.5 Percakapan Pertimbangan antara Penjual Perempuan dan Pembeli
Laki-Laki Percakapan Struktur
Guwedhe engkok lah molor, Mas.
Sak munu iku wis.
Iku ae kegedhen.
‘L ya cukup. Ini XL. Silahkan, cari apa lagi? (Menawarkan barang pada
pembeli yang lalu-lalang). Besar sekali nanti juga molor, Mas. Sebesar itu lah.
Itu aja kebesaran’
Pb: Engge sak mas niku tiyange.
‘Iya, sebesar Mas itu orangnya’
Pj: He’em cukup guwedhe iki soale.
‘Iya. Cukup. Sangat besar ini’
6/Bcm/Pr
/Lk/Prt2
Percakapan di atas menunjukkan bahwa PbLk tidak terlalu panjang dalam
menentukan pilihan barang pada proses pertimbangan. Laki-laki hanya bertanya
satu kali tentang ukuran yang pas untuknya. Setelah penjual menyarankan ukuran
XL saja, PbLk langsung mengiayakan pemilihan barang dan meneruskan
47
percakapan pada proses selanjutnya, yakni penanyaan harga. Hal ini menunjukkan
bahwa proses pertimbangan pada laki-laki lebih pendek daripada perempuan.
Kedua struktur baru –keakraban (Krb) dan pertimbangan (Prt)—tersebut
termasuk dalan jenis struktur pilihan. Keakraban dan pertimbangan tidak wajib
ada dalam setiap transaksi tawar-menawar. Keakraban dan pertimbangan muncul
sebagai upaya penutur untuk membentuk kedekatan dengan lawan tutur. Tanpa
kehadiran dua struktur tersebut, proses jual-beli masih bisa berlangsung.
.
4.1.3 Perbedaan Struktur Teks yang Digunakan Laki-Laki dan Perempuan
Berdasarkan hasil analisis strutur teks percakapan TM di PRM, ada
perbedaan isi struktur kekaraban dan pertimbangan pada laki-laki dan perempuan.
Berikut ini adalah tabel perbedaannya.
Tabel 4.6 Perbedaan Isi Struktur Teks Keakraban (Krb) dan Pertimbangan
(Prt) pada Laki-Laki dan Perempuan Struktur Teks Lk Pr
Krb (Keakraban) Berisi pembicaraan seputar status
sosial
Berisi pembicaraan di wilayah
domestik
Prt (Pertimbangan) Pendek Panjang
Perbedaan bahasa Lk dan Pr terdapat pada isi strutur Krb dan Prt yang
mereka tuturkan. Pada struktur Krb, Lk membicarakan hal-hal yang menyangkut
status sosial mereka, seperti pendidikan anak dan pekerjaan. Adapun Pr
membicarakan hal-hal di wilayah domestik untuk membentuk kedekatan. Pada
struktur Prt, Lk melakukan proses tersebut lebih pendek daripada Pr.
48
4.2 Pemarkah Linguistik
Pemarkah linguistik yang digunakan untuk mengupas perbedaan bahasa Lk
dan Pr di PRM ada tiga, yakni (1) jenis kalimat, (2) diglosia, dan (3) partikel.
4.2.1 Jenis Kalimat
Ada empat golongan yang dibandingkan, yakni penjual laki-laki (PjLk),
penjual perempuan (PjPr), pembeli laki-laki (PbLk), dan pembeli perempuan
(PbPr). Jenis kalimat yang digunakan mengacu pada jenis kalimat dalam Bahasa
Jawa menurut Wedhawati, dkk (2001:427—535). Wedhawati, dkk (2001:427—
535) membagi kalimat ke dalam tiga jenis, yakni kalimat tunggal (T), beruas (B),
dan majemuk (M). Kalimat T memiliki sub-jenis tunggal induktif (T-ind), tunggal
imperatif (T-imp), tunggal interogatif (T-int), tunggal desiratif (T-des), tunggal
obligatif (T-obl), tunggal opatif (T-opa), dan tunggal subjungtif (T-sub). Kalimat
B memiliki sub-jenis beruas kepemilikan (B-pem), beruas perlawanan (B-per),
beruas kewaktuan (B-kew), beruas sebab (B-seb), beruas kecaraan (B-kec), beruas
tujuan (B-tuj), beruas konsesif (B-kon), dan beruas syarat (B-sya). Kalimat M
memiliki sub-jenis majemuk setara (M-set), majemuk bertingkat (M-ber), dan
majemuk ampuran (M-cam).
4.2.1.1 Jenis Kalimat yang Digunakan Para Penutur di Pasar Raya Mojosari
Pertama, jenis kalimat yang digunakan PjLk ada 12 jenis, yakni T-ind, T-
imp, T-int, T-des, T-sub, B-per, B-seb, B-kec, B-tuj, B-sya, M-set, dan M-ber.
Jenis kalimat yang tidak digunakan adalah T-obl, T-opa, B-pem, B-kew, B-kon,
49
dan M-cam. Kedua, jenis kalimat yang digunakan PjPr ada 13 jenis, yakni T-ind,
T-imp, T-int, T-des, T-opa, T-sub, B-pem, B-kew, B-seb, B-kec, B-kon, M-set,
dan M-ber. Kalimat yang tidak digunakan PjPr meliputi T-obl, B-per, B-tuj, B-
sya, dan B-cam.
Ketiga, kalimat yang digunakan PbLk lebih sedikit, yakni 10 jenis, meliputi
T-ind, Timp, T-int, T-ob, T-opa, T-sub, B-kew, B-seb, B-kec, dan B-tuj. Kalimat
yang tidak digunakan PbLk terdiri atas T-des, B-pem, B-per, B-kon, B-sya, dan
semua jenis kalimat majemuk (M-set, M-ber, M-cam). Keempat, jenis kalimat
yang digunakan PbPr ada 12, yakni T-ind, T-imp, T-int, T-des, T-obl, T-opa, T-
sub, B-seb, B-kec, B-kon, M-set, dan M-ber. Kalimat yang tidak digunakan PbPr
meliputi B-pem, B-kew, B-per, B-tuj, B-sya, dan M-cam.
Berikut ini adalah contoh beberapa jenis kalimat yang digunakan penutur di
PRM.
(5) T-ind
Pokemon pun mboten medal, Mbak.
‘Pokemon sudah tidak keluar, Mbak’. (14/Blk/Lk/Pr/PmPj1)
Kalimat di atas kalimat indikatif karena verba pun mboten medal ‘sudah
tidak keluar’ bersifat netral (tidak memerintah atau menanyakan). Penyataan
bahwa pokemon sudah tidak keluar memang sesuai dengan kenyataan dan tidak
mempunyai unsur bertanya atau memerintah.
(6) T-imp
Sampean ukur, Mbak!
‘Silahkan diukur, Mbak!’ (16/Blk/Lk/PrLk/PnPj5)
Kalimat di atas termasuk dalam jenis imperatif karena memiliki unsur
menyuruh lawan tutur. Kalimat tersebut memunculkan respon berupa tidakan
50
untuk mengukur baju. Saat mendengar lawan tutur mengucapkan kalimat di atas,
pendengar akan melakukan hal yang diperintahkan tersebut.
(7) T-int
Ukuran nopo?
‘Ukuran apa?’ (15/Blk/Lk/LkPr/Pny1)
Kalimat di atas memunculkan respon lawan tutur untuk menjawab
pertanyaan tersebut. Pendengar yang mendengarnya akan menjawab dengan
ukuran L, XL, dan sebagainya. Inilah yang menyebabkan kalimat di atas tergolong
interogatif atau kalimat tanya.
(8) T-des
Lho tak duduhno!
‘Lho akan saya tunjukkan!’ (16/Blk/Lk/PrLk/PmPj13)
Desiratif adalah kalimat yang modus verbalnya menyatakan keinginan.
Keinginan yang dimaksud berupa tindakan yang akan dilakukan. Jadi, kalimat di
atas adalah kalimat yang menyatakan bahwa penutur akan melakukan tindakan,
yakni menunjukkan contoh barang pada pembeli, bukan sedang dilakukan. Oleh
karenanya, kalimat di atas termasuk desiratif.
(9) T-obl
Ojok iku arek e!
‘Jangan itu anaknya!’ (16/Blk/Lk/PrLk/Prt4)
Kalimat di atas termasuk T-obl karena berisi keharusan. PbLk menyuruh
PbPr untuk tidak membeli baju dengan sebuah warna. Larangan itu bersifat wajib,
sehingga bermakna sesuatu yang harus dipatuhi (keharusan).
(10) T-opa
Mbenjeng Sabtu ngge?
‘Besok Sabtu ya?’ (2/Ban/Pr/Pr/PtPb1)
51
Kalimat di atas termasuk ke dalam jenis T-opa karena memuat harapan.
Harapan diwujudkan dalam bentuk janji dari Pj ke Pb bahwa barang yang
diinginkan akan ada besok Sabtu.
(11) T-sub
Paling mbenjeng bek e, Mbak.
‘Mungkin besok mungkin, Mbak’. (16/Blk/Lk/PrLk/PmPj3)
Kalimat subjungtif adalah kalimat yang modus verbalnya berupa
ketidakpastian. Kata paling ‘mungin’ menunjukkan ketidakpastian kedatangan
barang. Selain itu, penambahan partikel bek e ‘mungkin’ semakin mempertajam
ketidakpastian kalimat di atas.
(12) B-kec
Apik, Bro koyok Lea.
‘Bagus, Bro seperti Lea’. (15/Blk/Lk/LkPr/PmPj6)
Kalimat di atas termasuk B-kec karena ruas pertama apik, Bro ‘bagus, Bro’
memiliki kesamaan dengan makan koyok Lea ‘seperti Lea’. Baju bagus dan
menyerupai merek ternama Lea memiliki satu tujuan atau cara yang sama, yakni
memuji kualitas barang. Oleh karena itu, kalimat di atas termasuk jenis kecaraan.
(13) B-sya
Nek towo nggih mboten towo nggih tigalima
‘Kalau menawarkan ya tidak menawarkan yah tigalima’.
(14/Blk/Lk/Pr/PnPj)
Kalimat di atas termasuk B-sya karena ruas kedua mboten towo ‘tidak
menawarkan’ adalah syarat agar harga menjadi nggih telulimo ‘ya tigalima’.
(14) M-set
Niki merek sami tapi sing seratuslima.
‘Ini merek yang sama tapi yang seratuslima’. (16/Blk/Lk/PrLk/Pjn1)
Pemenggalan klausa yang terjadi pada kalimat di atas adalah niki merek
sami // tapi sing seratuslima ‘ini merek yang sama tapi yang seratuslima’. Kalimat
52
di atas tergolong M-set karena klausa pertama bukan bagian dari klausa kedua.
Selain itu, jika urutan klausa diubah menjadi tapi sing seratuslima // niki merek
sami ‘tapi yang seratuslima // ini merek yang sama’ tidak berterima.
(15) M-ber
Engken bek e anu sampean tukaraken ngge ya?
‘Nanti kalau tidak anu silahkan Anda tukarkan ya?’
(16/Blk/Lk/PrLk/Prt9)
Kalimat di atas termasuk M-ber karena klausa pertama engken bek e anu
‘nanti kalau anu’ adalah bagian dari klausa kedua sampean tukaraken ngge ya?
‘silahkan Anda tukarkan ya?’. Selain itu, saat posisi kalusa kedua diletakkan di
depan menjadi engken sampean tukaraken bek e anu ngge ya? ‘nanti silahkan
Anda tukarkan kalau tidak anu ya?’ berterima.
4.2.1.2 Jenis Kalimat Unik yang Digunakan Para Penutur di Pasar Raya
Mojosari
Selain beberapa jenis kalimat di atas, bahasa TM di PRM juga memuat
kalimat yang memiliki jenis ganda. Contohnya kalimat interogatif (int) yang
disajikan dalam bentuk kalimat beruas (B), sehingga menjadi kalimat beruas
interogatif (B-kec-int), kalimat imperatif (int) yang disajikan dalam bentuk
kalimat beruas, sehingga menjadi kalimat beruas imperatif (B-kec-imp), kalimat
majemuk (M) yang hanya memiliki satu klausa, sehingga saya namai setengah
majemuk (1/2M), dan sebagainya. Jenis unik ini ada 26 macam, berikut ini adalah
beberapa contohnya.
(16) T-opa-obl
Bek e telungpuluh wis!
‘Saya kira tigapuluh lah!’ (5/Bcm/Pr/Pr/PrPj5)
53
Kalimat di atas berisi harapan berupa barangkali harga barang hanya
tigapuluh. Hal ini menjadi angan Pb. Namun, penambahan partikel wis ‘lah’
membuat kalimat di atas juga berfungsi sebagai kalimat perintah. untuk itu, dalam
satu kalimat tunggal, seorang Pb melakukan penawaran harga barang dengan
harapan yang diakhiri dengan perintah.
(17) B-kec-int
Lihat a, Mbak sing pink?
‘Mau lihat, Mbak yang pink?’ (1/Ban/Pr/Pr/PmPj1)
Int adalah jenis dari kalimat T. Namun, konteks perdagangan membuat
kalimat tanya diucapkan melalui beberapa ruas kalimat seperti pada kalimat di
atas. Keberuasan pertama pada bagaian lihat a, Mbak ‘mau lihat’ dan yang pink
‘yang pink’. Dua klausa diucapkan dalam satu kalimat hingga menimbulkan
pertanyaan.
(18) B-tuj-obl
Areke iku cegak rame biasa ae!
‘Anaknya itu biar tidak rame biasa saja!’ (16/Blk/Lk/PrLk/Prt4)
Tiga pemenggalan ruas di kalimat di atas adalah areke iku // cegak rame //
biasa ae! ‘anaknya itu // biar tidak rame // biasa saja!’. Pemilihan warna baju yang
biasa dan tidak ramai motifnya merupakan tujuan agar anak memperoleh baju
yang pas. Ketiga ruas tersebut disuguhkan dalam bentuk perintah yang berisi
keharusan, sehingga membuat kalimat (29) termasuk jenis B-tuj-obl.
(19) B-seb-imp
Receh lo gak onok receh beluas!
‘Receh saja lo tidak ada receh sama sekali!’ (13/Bcm/Pr/Pr/Pjn1)
Ruas receh lo ‘uang receh saja’ adalah permintaan pembeli karena penjual
tidak mempuyai kembalian gak onok receh beluas ‘tidak ada receh sama sekali’.
54
Kedua ruas itu memunculkan tindakan Pb untuk melakukan tindakan pembayaran
menggunakan uang receh. Untuk itu, kalimat di atas termasuk jenis B-seb-imp.
(20) B-kec-int-imp
Kurang gedhe yo kurang gedhe dicobak gak popo dicobak pean lebokno!
‘Kurang besar ya kurang besar dicoba tidak apa-apa dicoba kamu
masukkan!’ (15/Blk/Lk/LkPr/PnPj10)
Kalimat B pada nomer di atas memuat beberapa ruas yang masing-masing
memuat int dan imp. Ruas korang gedhe yo ‘kurang besar ya’ berjenis int. Ruas
pean lebokno ‘kamu masukkan’ memiliki unsur memerintah (imp). Dengan
demikian, kalimat di atas termasuk B-kec-int-imp.
(21) B-kew-M-ber
Mboten niki riyen mangke lek tumbas mriki malih.
‘Tidak ini dulu nanti kalau beli ke sini lagi’. (6/Bcm/Pr/Lk/PngPj3)
Kalimat di atas berisi perpaduan kalimat B dengan M. Keberuasan yang
terjadi adalah mboten niki riyen // mangke lek tumbas // mriki malih ‘tidak ini dulu
// nanti kalau beli // ke sini lagi’. Ruas dua dan tiga adalah bentuk kalimat M-ber.
Termasuk M-ber karena ruas 3 adalah bagian dari klausa di ruas 2.
(22) B5-kec
Sak ndulit wis jangkep gawe pelaris gak towo aku satus telungpuluh.
‘Sedikit sudah pas buat pelaris tidak menawarkan saya seratus tigapuluh’.
(1/Ban/Pr/Pr/PmPj3)
Kalimat yang diucapkan masyarakat pasar sangat bertumpuk-tumpuk.
Bahkan, ketertumpukan itu bisa mencapai lima ruas seperti kalimat di atas.
Pemenggalan ruasnya adalah sak ndulit // wis jangkep // gawe pelaris // gak towo
// aku satus telungpuluh ‘sedikit sudah pas buat pelaris tidak menawarkan saya
seratus tigapuluh’.
(23) M-ber-imp
Mangke bek aken kirang ageng dituker nggih!
55
‘Nanti kalau kurang besar ditukar ya!’ (16/Blk/Lk/PrLk/PrPj6)
Kalimat di atas termasuk M-ber karena klausa bek aken kirang ageng ‘kalau
kurang besar’ adalah bagian dari klausa dituker nggih ‘ditikar ya’. Selain itu,
kalimat ini juga memuat unsur memerintah lawan tutur untuk menukarkan barang
di kemudian hari. Oleh karenanya, kalimat di atas tergolong ke M-ber-imp.
(24) ½M
Tapi insya Allah katah sing pados.
‘Tapi insya Allah banyak yang cari’. (2/Ban/Pr/Pr/PmPj2)
½M artinya kalimat majemuk yang terbentuk hanya setengah bagian saja
atau satu klausa saja. Sebelum kata tapi di kalimat di atas seharusnya memuat
kalimat yang mengontraskan klausa setelah kata tapi. Ternyata, kalimat di atas
mengontraskan tuturan yang diucapkan lawan tutur sebelum ia mengucapkan
kalimat di atas.
(25) Mles
Mak muni Tin melu Bu Siti riyen.
‘Ibu bilang Tin ikut Bu Siti dulu’. (7/Bcm/Pr/Pr/Pny1)
Mles adalah jenis kalimat majemuk yang mengalami pelesapan konjungsi.
Kalimat di atas seharusnya memiliki konjungsi nek ‘kalau’ menjadi mak muni nek
Tin melu Bu Siti riyen ‘ibu bulang kalau Tin ikut Bu Siti dulu’. Pelesapan
dilakukan untuk mempersingkat perbincangan dan mementingkan inti pesan,
sehingga kaidah berbahasa di PRM tidak terlalu dihiraukan.
Pasar tradisional adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli. Kegiatan
yang terjadi adalah seputar penukaran barang dengan uang, sehingga bahasa yang
digunakan berorientasi pada tercapainya kesepakatan pembelian barang. Kalimat-
kalimat yang digunakan penutur PRM sangat singkat dan padat akan fungsi.
56
Beberapa kalimat diucapkan secara bertumpuk-tumpuk (beruas) untuk
menyampaikan pesan, seperti bertanya (int), memerintah (imp), menyatakan (ind),
dan mengharuskan (obl). Keberuasan atau ketertumpukan kalimat terjadi dalam
satu ucapan penutur, sehingga tuturan memiliki fungsi lebih dari satu. Contohnya
pada jenis B-kec-int-imp. Penutur menggunakan kalimat tersebut untuk bertanya
sekaligus memerintah dan mengajak. Ketertumpukan bisa sampai mencapai lima
ruas (gatra) pada jenis B5-kec.
Selanjutnya, kalimat majemuk juga padat akan fungsi. Selain kalimat
beruas, kalimat majemuk juga digunakan penutur PRM untuk melakukan proses
transaksi jual-beli seperti menanyakan (int), memberitahukan (ind), dan meminta
(imp). Saking padatnya, penggunaan konjungsi dalam kalimat majemuk juga bisa
dihilangkan atau dilesapkan seperti pada jenis Mles.
Hal tersebut menunjukkan bahwa ragam bahasa lisan penutur PRM sangat
kuat. Satu kalimat yang diucapkan bisa memiliki banyak pesan dan fungsi yang
bertumpuk-tumpuk. Kemajemukan kalimat juga digunakan untuk melakukan
penanyaan dan permintaan dalam satu waktu. Ini berarti bahwa bahasa menduduki
fungsi sekunder dalam transaksi di pasar. Bahasa bukan menjadi hal yang utama
karena hal yang utama dalam pasar adalah terjadinya penukaran barang dengan
uang. Kalimat yang digunakan saling bertumpukan tanpa memperhatikan kaidah
asalkan tujuan kesepakatan antara penjual dan pembeli tercapai.
57
4.2.1.3 Perbedaan Kecenderungan Jenis Kalimat yang Digunakan Laki-Laki
dan Perempuan
Berdasarkan penghitungan jenis kalimat (lihat lampiran 2), berikut ini
adalah pola kecenderungan penggunaan kalimat para penutur di PRM.
Tabel 4.7 Pola Kenderungan Penggunaan Jenis Kalimat yang Digunakan
Laki-Laki dan Perempuan Jenis Kalimat Lk Pr
Tunggal
Ind ✓
Imp ✓
Int ✓
Des ✓
Obl ✓
Opa ✓
Sub ✓ ✓
Tabel tersebut menunjukkan bahwa Lk cenderung menggunakan kalimat
ind, imp, dan obl. Hal ini berarti bahwa Lk lebih sering menyatakan (indikatif),
memerintah (imperatif), dan mengharuskan. Berbeda dengan Lk, Pr justru lebih
cenderung menggunakan kalimat int, des, dan opa. Perempuan cenderung
bertanya (int), memiliki keinginan (des), dan berharap.
4.2.2 Diglosia
Situasi dalam masyarakat yang memiliki dua kode berbeda dan masing-
masing memiliki fungsi yang terpisah. Satu kode hanya digunakan pada sebuah
kondisi dan kode lain digunakan pada situasi lain (Wardhaugh, 2006:89). Diglosia
yang terjadi di PRM adalah penggunaan Bahasa Jawa ragam kromo dan ngoko.
Kromo dan ngoko memiliki fungsi masing-masing. Kromo digunakan saat
58
berhadapan dengan lawan tutur orang yang lebih tua, ngoko digunakan saat
berhadapan dengan lawan tutur yang sama usia atau lebih muda.
4.2.2.1 Kode-Kode Bahasa yang digunakan Para Penutur di Pasar Raya
Mojosari
Ada beberapa kode yang digunakan oleh masyarakat tutur PRM, yakni
Bahasa Jawa Kromo, Bahasa Jawa Ngoko, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
Bahasa Ngapak, dan Bahasa Arab. Keenam kode tersebut digunakan secara
bergantian dan bercampur saat melakukan transaksi jual-beli (lihat lampiran 1
untuk mengetahui contohnya). Namun, kode utama yang digunakan di PRM
adalah Jawa kro dan ngo, sehingga memunculkan situasi diglosia. Berikut ini
adalah contoh kro dan ngo yang digunakan di PRM.
(26) kro
Monggo mersakne nopo, Mbak?
‘Silahkan cari apa, Mbak?’ (1/Ban/Pr/Pr/PrPj1)
Kalimat di atas memuat Bahasa Jawa ragam kro seluruhnya. Kro merupakan
ragam Bahasa Jawa yang tinggi.
(27) ngo
Busanae ngene a, Mbak?
‘Busananya ini ya, Mbak?’ (1/Ban/Pr/Pr/PrPj1)
Seluruh kata di di atas adalah ragam ngo. Ngoko merupakan ragam Bahasa
Jawa di level rendah.
59
4.2.2.2 Perbedaan Kecenderungan Ragam Bahasa Jawa yang Digunakan
Laki-Laki dan Perempuan
Pertama, pemilihan ragam bahasa pada PjLk. Transaksi 14, 15, dan 16 (lihat
lampiran 3) menunjukkan jumlah kode kro PjLk lebih banyak daripada PbPr.
Selain itu, ngo PjLk juga lebih sedikit dari PbPr. Ini berarti bahwa PjLk lebih
memilih untuk menggunakan bahasa yang lebih sopan dalam melayani Pr.
Meskipun PbPr berusia berusia sama atau lebih muda dari PjLk, PjLk tetap
menggunakan ragam halus.
Kedua, pemilihan kode bahasa PjPr. Ada dua jenis usia PjPr dalam data
penelitian ini, yakni dewasa dan tua. PjPr dewasa lebih konservatif terhadap
ragam halus (kro). Transaksi 1, 2, dan 3 (lihat lampiran 3) menunjukkan jumlah
kro PjPr lebih banyak daripada PbPr. Selain itu, ngo PjPr juga lebih sedikit
daripada PbPr. Ini membuktikan bahwa PjPr dewasa lebih memilih ragam halus.
Hal yang berbeda justru terjadi pada PjPr tua. PjPr tua menggunakan bahasa
sesuai norma penggunaan tingkat tutur dalam Bahasa Jawa. Transaksi 5, 6, 7, 10,
dan 13 memuat tuturan PjPr lebih banyak pada ngo dan lebih sedikit pada kro.
Usia Pb di lima transaksi tersebut lebih muda daripada Pj, sehingga PjPr tua lebih
banyak menggunakan ragam kasar.
Ketiga, pemilihan kode bahasa PbLk. Kode mereka dipengaruhi oleh usia
penutur dan gender lawan tutur. Transaksi 6 dan 15 dilakukan oleh PbLk di usia
yang sama, yakni dewasa. Mereka lebih muda dari Pj. Di transaksi 6, PjLk
cenderung menggunakan ragam halus. Jumlah kro lebih banyak dan jumlah ngo
lebih sedikit. Hal ini terjadi karena lawan tuturnya adalah PjPr. Sebaliknya,
60
transaksi 15 justru menunjukkan PbLk lebih berorientasi pada ragam kasar (ngo
lebih banya). Hal ini terjadi karena lawan tuturnya adalah laki-laki (PjLk). Ini
menunjukkan bahwa gender lawan tutur memengaruhi pilihan kode bahasa. PjLk
akan lebih halus saat menghadapi lawan tutur perempuan.
Keempat, pemilihan kode bahasa PbPr. Transaksi 1 dan 2 dilakukan oleh
pentur dalam satu rentang usia yang sama, yakni dewasa. PbPr lebih condong
menggunakan ngo daripada kro. Saat berhadapan dengan PjPr yang lebih tua
darinya (transaksi 5, 6, 7, dan 13), PbPr menggunakan bahasa sebagaimana
mestinya, yakni kro. Namun, hal yang berbeda terjadi saat lawan tutur berbeda
gender. Transaksi 14 dan 15 menunjukkan PbPr lebih banyak menggunakan
ragam kasar. Padahal, lawan tuturnya lebih tua darinya. Hal ini terjadi karena Pj
adalah Lk. Jadi, dapat dikatakan bahwa PbPr dewasa menggunakan ragam kasar
(kro) saat berlawan turur PjPr sama usia dan PjLk lebih tua. PbPr menggunakan
ragam halus (kro) saat lawan tuturnya adalah PbPr berusia leih tua darinya.
Ada sebuah kasus yang nampak berbeda dengan simpulan tersebut. Pada
transaksi 11, PbPr yang berusia lebih muda dari PjPr tidak menggunakan kro
sama sekali dalam bertutur. Setelah diselidiki dalam catatan lapang transaksi ke-
11 (lihat lampiran 1), ternyata PbPr beretnis Madura. Sebagai penutur asli yang
berbahasa dan berbudaya Madura, PbPr tentu belum terlalu memahami
kesantunan berbahasa di Jawa dan bagaimana kro digunakan.
Berdasarkan pemaparan pemilihan kode pada para penutur di PRM,
simpulan hubungan gender dengan proses pilihan ragam bahasa adalah sebagai
berikut.
61
Tabel 4.8 Hubungan Gender dengan Pilihan Ragam Bahasa PjLk PjPr PbLk PbPr
Lawan tutur
Lk
Kasar Netral Kasar Kasar
Lawan tutur Pr Halus Halus Halus Halus
Tabel di atas menunjukkan bahwa pilihan penggunaan ragam bahasa
ditentukan oleh lawan tutur. Apapun gender penutur, selama ia berlawan tutur Lk,
mereka cenderung menggunakan ragam kasar. Sebaliknya, apapun gender
penutur, selama ia berlawan tutur Pr, kode bahasa yang dipilih adalah ragam
halus.
4.2.3 Partikel
Partikel adalah kata yang hanya memiliki unsur gramatikal. Kehadirannya
mirip dengan imbuhan karena biasanya hanya terdiri atas satu suku kata. Ciri-ciri
partikel ada dua, yakni (1) tidak dapat diderivasi atau diinfleksikan dan (2) tidak
memiliki makna leksikal (Wedhawati, 2001:372). Wedhawati (2001:372—379)
membagi jenis partikel menjadi tiga, yakni partikel pelunak, partikel pelengkap,
dan partikel pementing.
Pertama, partikel pelunak digunakan dalam ragam informal serta
membentuk gatra utama dan pelengkap. Contohnya kok dan mbok. Kedua, partikel
pelengkap digunakan dalam ragam informal dan berfungsi membentuk gatra
pelengkap. Contohnya dhing, je, ya, dan ta. Ketiga, partikel pementing digunakan
pada ragam formal dan berfungsi menandai frase. Contohnya ta pada kalimat yen
ta kowe wani maju, yo endan! ‘jika kamu berani maju, segeralah!’ (Wedhawati,
2001:372—379).
62
4.2.3.1 Partikel yang Digunakan Para Penutur di Pasar Raya Mojosari
Penutur di PRM menggunakan banyak sekali partikel saat berbicara. Berikut
ini adalah contoh kalimat yang menggunakan partikel.
(28) Busanae ngene a, Mbak?
‘Busananya ini ya, Mbak?’ (1/Ban/Pr/Pr/PrPj1)
Partikel a pada kalimat di atas termasuk jenis partikel pelengkap karena
keberadaannya untuk melengkapi klausa di depannya. Fungsi partikel a adalah
mempertajam bentuk tanya pada kalimat di atas.
(29) Satus, Mbak yo?
‘Seratus, Mbak ya?’ (1/Ban/Pr/Pr/PrPj2)
Kalimat di atas memiliki partikel berjenis sama, yakni partikel pelengkap.
Kemunculan yo semakin mempertajam permintaan dan pertanyaan pada kalimat
di atas.
(30) Satus rongpuluh wis!
‘Seratus duapuluh lah!’ (1/Ban/Pr/Pr/PrPj3)
Kata wis sebenarnya memiliki makna ‘sudah’. Namun, ia bisa termasuk ke
dalam partikel seperti pada kalimat di atas. Kata wis termasuk dalam partikel
pelengkap karena kedudukannya melengkapi permintaan kalimat di atas.
(31) Lha iku.
‘Lha itu’. (4Bcm/Pr/Pr/PmPj3)
Kata lha tergolong dalam partikel pelunak karena berada di depan klausa.
Fungsinya untuk menunjukkan ruas utama iku ‘itu’. Sebagaimana namanya,
partikel lha digunakan untuk melunakkan kata iku.
(32) Wong mek seket ae lho, Mbak Mah.
‘Orang Cuma limapuluh saja lho, Mbak Mah. (11/Bcm/Pr/Pr/PmPj2)
63
Partikel wong digunakan sebagai partikel pelunak di kalimat di atas.
Kehadirannya melunakkan pernyataan bahwa harga hanya limapuluh. Selain
partikel pelunak, lho juga muncul sebagai pertikel pelengkap untuk memperkuat
pernyataan kalimat di atas.
4.2.3.2 Perbedaan Partikel yang digunakan Laki-Laki dan Perempuan
PjLk menggunakan 15 macam partikel, PjPr 22 macam partikel, PbLk 9
macam partikel, dan PbPr 20 macam partikel. Berikut ini adalah partikel-partikel
yang digunakan oleh Lk dan Pr di PRM.
Tabel 4.9 Macam-Macam Partikel yang Digunakan Penutur di Pasar Raya
Mojosari PjLk PjPr PbLk PbPr
a a a a
ae a ae ae ae
kan ae a ae wis ae a
kok are e ala
lak eh ngge an
lhe ilo o e
lho jek an se kan
ngge kok ta kok
ngge an lak yo lha
ngge ya lha lho
se lho mbok
sih lho he ngge
ta ngge nopo o
wis open pok o
yo po'o pun
pun se
sih ta
ta wis
talah wong
wis yo
wong
yo
15 Macam 22 Macam 9 Macam 20 Macam
64
Tabel di atas menunjukkan bahwa macam partikel yang digunakan Pr, baik
PjPr maupun PbPr lebih banyak daripada macam partikel yang dgunakan Lk
(PjLk dan PbLk). Wedhawati (2001:372) menjelaskan bahwa partikel adalah kata
yang hanya memiliki fungsi gramatikal dan bentuknya seperti imbuhan karena
biasanya hanya terdiri atas satu suku kata. Bedanya, partikel mampu berdiri
sendiri. Dalam hal ini, partikel bisa dikatakan sebagai imbuhan atau tambahan saja
yang mampu mempertajam makna kalimat. Oleh karena itu, dalam ragam tutur, Pr
lebih banyak menggunakannya daripada Lk.
4.3 Perbedaan Bahasa Laki-Laki dan Perempuan di Pasar Raya Mojosari
Analisis struktur teks dan pemarkah linguistik telah dilakukan pada
tigabelas data TM di PRM. Berdasarkan pengamatan dan penghitungan, diperoleh
perbedaan signifikan pola berbahasa Lk dan Pr dalam proses TM. Berikut ini
adalah garis besar perbedaannya.
Tabel 4.10 Perbedaan Bahasa Laki-Laki dan Perempuan di Pasar Raya
Mojosari No Aspek Perbedaan Laki-Laki Perempuan
1 Sifat hal yang dibicarakan Kompetitif Kooperatif
Bukti temuan
Isi Struktur Krb
Tentang pekerjaan dan
pendidikan anak yang
mampu menunjukkan
status
Tentang kehdupan
sehari-hari yang
ringan, untuk
membentuk kedekatan
Cara Meyakinkan Penyebutan merek
barang Kalimat persahabatan
2 Sikap terhadap kesantunan
berbahasa Menyukai hal kasar Menyukai hal baik
Bukti temuan
Pilihan Ragam
Bahasa Jawa Ngoko Jawa Kromo
Sapaan Bro Bu Kaji dan Bu Nyai
3. Keaktifan bertutur di ranah
publik Pasif di publik, Aktif di publik
65
Bukti temuan Dominansi bertutur Inferior Superior
Macam Partikel Sedikit Banyak
4. Minat bertanya
Bertanya
menunjukkan
kelemahan
Bertanya digunakan
untuk menjalin
keakraban
Bukti temuan
Jenis kalimat yang
dituturkan
Menyatakan,
memerintah, dan
mengharuskan
Menanyakan,
menginginkan, dan
mengharapkan
Isi Struktur Prt Pendek Panjang
5 Jumlah hal yang dibicarakan Satu hal Menyebar
Bukti temuan Orientasi
Perbincangan Satu hal Banyak hal
6 Kontak mata saat berhadapan
dengan lawan tutur
Menyebar ke segala
arah Fokus ke lawan tutur
Bukti temuan Gelagat saat
melayani pembeli Melakukan hal lain
Fokus menghadap ke
pembeli
4.3.1 Sifat Hal yang Dibicarakan
Sifat hal yang dibicarakan berhubungan dengan karakter isi atau ide pokok
dari hal-hal yang dibicarakan. Saat melakukan sebuah diskusi, hal yang dibahas
oleh laki-laki adalah hal yang bersifat kompetitif, yakni hal-hal yang berkaitan
dengan prestise dan status yang mampu menunjukkan kedudukan sosial
seseorang. Berbeda dengan kaum laki-laki, kaum perempuan justru lebih suka
mendiskusikan hal-hal yang mampu membentuk kerjasama antarpenutur
(kooperatif). Saat seorang penutur Pr membicarakan sebuah topik, lawan tutur Pr
akan menanggapinya dengan perkataan yang mendukung gagasan penutur, bukan
perkataan yang bersifat menyaingi penutur.
Sifat hal yang dibicarakan Lk dan Pr dapat dibuktikan melalui dua hasil
analisis, yakni (1) analisis struktur Krb dan (2) analisis cara meyakinkan. Berikut
adalah penjelasannya.
66
4.3.1.1 Isi Struktur Krb (Keakraban)
Struktur Krb (Keakraban) merupakan strutur unik yang saya temukan pada
percakapan TM di PRM. Struktur ini berisi dialog Pj dan Pb yang bersifat
fungsional (hal-hal di luar proses jual-beli yang berfungsi membentuk kedekatan).
Fungsi Krb adalah membentuk rasa akrab antara Pj dan Pb, sehingga Krb berisi
penanyaan alamat rumah, penanyaan kesibukan sehari-hari, dan sebagainya.
Subbab 4.1.2 memuat penjelasan tentang Krb beserta contoh datanya. Krb
yang terjadi pada laki-laki berbeda dengan Krb yang terjadi pada perempuan. Pr
melakukan Krb dengan perbincangan seputar alamat rumah, kehidupan di rumah,
anak pulang sekolah, hingga hal kecil seperti mematikan keran di rumah. Berbeda
dengan hal tersebut, laki-laki justru membicarakan pekerjaan, pendidikan anak,
dan hal-hal lain yang menyangkut status sosial kehidupan (periksa kembali
subbab 4.1.2).
4.3.1.2 Cara Meyakinkan
Seorang pembeli selalu menawar harga barang. Hal tersebut menuntut
penjual mengeluarkan kemampuan retorikanya untuk menggiring dan meyakinkan
pembeli agar menerima harga yang ditawarkan. Dalam menyikapi permintaan
penurunan harga, PjLk memiliki gaya yang berbeda dengan PjPr. PjLk
meyakinkan Pb dengan penyebutan merek, sedangkan PjPr membujuk pembeli
dengan menggunakan kalimat-kalimat persahabatan. Berikut adalah dialog PjLk
dalam meyakinkan pembeli.
67
Tabel 4.11 Percakapan Penjual Laki-Laki Meyakinkan Pembeli dengan
Penyebutan Merek Percakapan Struktur
Pb: Gak eruh. Luarang eh.
‘Tidak tahu. Mahal’
Pb2: Wong durung riyoyo ae
‘Belum Hari Raya saja lo’
Pj: Nek larang-larang pean balekno rene. Boxis ancen nisore
iki, Bro. Nek Boxis paling sekitar sangangpuluh
sangangpuluh limo.
‘Kalau mahal-mahal kamu kembalikan sini. Boxis memang
bawahnya ini, Bro. kalau Boxis mungkin sekitar
sembilanpuluh sembilanpuluh lima’
Pb: Pas. Piro iki?
‘Pas. Berapa ini?’
Pj: Regane seratus limadua
‘Harganya seratus limadua’
Pb: Lho
‘Lho’
Pj: Seje karo Boxis iki lo. He, iki sing nomer telungpuluh
menisor, iki regane sangangpuluh limo nek Boxis
wolungpuluh mek an. Larang iki adoh.
‘Beda sama Boxis ini lo. Hai, ini yang nomor tigapuluh ke
bawah, ini harganya sembilanpuluh lima kalau cuma Boxis
delapanpuluh. Lebih mahal ini’
15/Blk/Lk/LkPr/PnPj8
15/Blk/Lk/LkPr/PnPj14
15/Blk/Lk/LkPr/PrPj11
15/Blk/Lk/LkPr/PmPj9
Berdasarkan data di atas, penjual kerap kali menyebutkan merek Boxis sebagai
merek yang paling bagus. Hal tersebut mampu meyakinkan pembeli bahwa merek
yang baik berarti memiliki kualitas yang baik pula, sehingga harga yang diberikan
bukanlah harga yang mahal.
Berbeda dengan pria, penjual perempuan justru menggunakan kalimat
persahabatan dalam meyakinkan pembeli. Berikut adalah datanya.
Tabel 4.12 Percakapan Penjual Perempuan yang Meyakinkan Pembeli
dengan Kalimat Keakraban Percakapan Struktur
Pb: Gak selawe ta niki?
‘Tidak dualima ini?’
13/Bcm/Pr/Pr/PrPj6
Pj: Lho kulak e lho gak oleh wolulikur.
Ambek sampean lapo ditawakno ilo?
Iku nek towo petangpuluh lho iku.
13/Bcm/Pr/Pr/PmPj6
68
‘Lho ambilnya saja tidak boleh dualapan. Sama kamu ngapain
ditawarkan? Itu kalau nawarin empatpuluh lho itu’
Pb: Kulo bien lah mbeto-mbeto katok niku biyen lhak niku a.
Gawe salen-salen enak mboten keringeten
‘Saya dulu bawa celana itu dulu. Untuk ganti-ganti enak tidak
keringetan’
Pj: Engge kaine lak adem
‘Iya, kainnya dingin’
Pb: Engge. Podo karo kaos olahraga ngunu ae seketewu
‘Iya. Sama seperti kaos olahraga gitu aja limapuluh ribu’
Pj: Lha ngge. Anu trining iku a?
‘Lha iya. Anu itu trining ta?’
Pb: Ngene iki dereng njaite dereng anune
‘Gini ini belum jahitnya dan anunya’
Pj: Lha yo Mbak Ifa ambek sampean nek anu yo petangpuluhlimo.
Bolodewek
‘Lha iya Mbak Ifa buat kamu. Kalau anu ya empatpuluh lima.
Saudara sendiri’
Pb: Tin biyen tumut mriki a?
‘Tin dulu ikut sini ya?’
Pj: Iyo sing Tin
‘Iya, Tin’
Pb: Mak muni Tin melok Bu Siti biyen
‘Ibu bilang kalau Tin ikut Bu Siti dulu’
Pj: Ambek sopo iku
‘Dengan siapa itu’
Pb: Enak Ning Tin melok Bu Siti bien.
Kulo sien tumbas ning Bu Siti
‘Enak kalau Tin ikut Bu Siti dulu. Saya dulu beli di Bu Siti’
Pj: Ambek Sri?
‘Sama Sri?’
Pb: Mbak Sriyatin
‘Mbak Sriyatin’
Pj: Heem. Nek biyen diceluk Sri
‘Iya. Kalau dulu dipanggil Sri’
7/Bcm/Pr/Pr/Pny1
Kalimat yang bergaris bawah menunjukkan percakapan yang sangat
bersahabat. Penjual menjawab permintaan penurunan harga dengan pernyataan
bahwa pembeli adalah teman dekat penjual, sehingga tidak usah menawar harga
barang lagi.
Lihatlah bagaimana percakapan data 7/Bcm/Pr/Pr/Pny1 di atas. Mulanya, Pb
berkata bahwa baju tersebut nyaman digunakan sebagai baju ganti. Penjual
mendukung argumen tersebut dengan pendapat bahwa kainnya memang dingin.
69
Kemudian, Pb berkata jika baju olahraga mahal dan harus menjahitkan terlebih
dahulu, sehingga lebih mahal. Keluhan ini dimanafatkan Pj mengeluarkan kalimat
keakraban bahwa harga di sini akan lebih mahal jika bukan Pb yang membeli
karena Pb memiliki kedekatan dengan Pj. Pb yang merasa sangat dekat dengan Pj
pun menjawab Pj dengan bahasan seputar kerabat Pb yang pernah menjadi
karyawan Pj. Hal tersebut menunjukkan bagaimana para wanita selalu berusaha
kooperatif dalam berbicara. Tanggapan setiap pernyataan bersifat saling
mendukung, bukan saling menyaingi satu sama lain.
4.3.1.3 Hubungan Temuan dengan Teori Gender
Perbedaan bahasa Lk dan Pr yang ditinjau dari analisis isi struktur Krb dan
cara meyakinkan berhubungan dengan teori Tannen (dalam CSU Fullerton
HCOM, 2013). Tannen menjelaskan bahwa dalam berbahasa, laki-laki lebih
kompetitif, sedangkan perempuan lebih kooperatif. Pembahasan tentang
pekerjaan, kesibukan, pendidikan anak, serta penekanan pada penyebutan merek
barang menunjukkan sebuah status dan prestise. Hal tersebut adalah representasi
dari jiwa kompetitif laki-laki.
Berbeda dengan gaya berbicara Lk, PjPr justru menggunakan kalimat-
kalimat kooperatif untuk merayu pembeli yang menawar harga dan untuk
menjalin keakraban. Hal tersebut terjadi sebagai naluri seorang wanita yang lebih
suka menjalin kebaikan dan kerja sama.
70
4.3.2 Sikap Terhadap Kesantunan Berbahasa
Sikap terhadap kesantunan berbahasa berhubungan dengan perbedaan Lk
dan Pr dalam memilih gaya berbahasa, apakah memilih hal-hal yang dekat dengan
kesantunan berbahasa, atau justru menjauhi norma yang ada. Berdasarkan hasil
temuan, laki-laki lebih memilih untuk tidak memperhatiakn kesantunan
berbahasa, sedangkan perempuan lebih menjaga cara berbahasanya agar sesuai
dengan kaidah yang benar. Hal ini saya buktikan melalui dua hasil analisis, yakni
pada (1) analisis pilihan ragam bahasa dan (2) analisis penggunaan sapaan.
4.3.1.1 Pilihan Ragam Bahasa
Hudson (dalam Wardaugh, 2006:25) menjelaskan bahwa ragam bahasa
adalah seperangkat materi linguistik yang memiliki penyebaran yang sama. Lebih
rinci lagi, Ferguson (dalam Wardaugh, 2006:25) mengartikan ragam bahasa
sebagai pola tutur homogen yang dapat dianalisis secara sinkronis serta memiliki
perbendaharaan semantik, sehingga memiliki fungsi dalam konteks komunikasi
formal. Dalam Bahasa Jawa, ragam bahasanya adalah kromo dan ngoko.
Ada perbedaan ragam bahasa yang digunakan Lk dan Pr di pasar. PjLk
cenderung menggunakan Bahasa Jawa ragam ngoko kepada pembeli laki-laki.
Namun, PjLk cenderung menggunakan Bahasa Jawa ragam kromo untuk pembeli
perempuan. Hal tersebut terdapat pada data 15/Blk/Lk/LkPr. Pedagang adalah
laki-laki yang menjual pakain laki-laki. Usianya lebih tua dari pembeli. Pembeli
adalah sepasang suami-istri yang terlibat dalam satu transaksi. Pb2 adalah PbPr,
Pb adalah PbLk, dan Pj adalah PjLk.
71
Tabel 4.13 Percakapan Penjual Laki-Laki dengan Pembeli Laki-Laki yang
Menggunakan Ragam Jawa Ngoko Percakapan Struktur
Pb2: Pas a, Yah?
‘Pas, Yah?’
Pb: Pas. Piro iki?
‘Pas. Berapa ini?’
Pj: Regane seratus limadua
‘Harganya seratus limadua’
Pb: Lho
‘Lho’
Pj: Seje karo Boxis iki lo. He, iki sing nomer telungpuluh menisor,
iki regane sangangpuluh limo nek Boxis wolungpuluh mek an.
Larang iki adoh.
‘Beda sama Boxis ini lo. Hai, ini yang nomor tigapuluh ke
bawah, ini harganya sembilanpuluh lima kalau cuma Boxis
delapanpuluh. Lebih mahal ini’
15/Blk/Lk/LkPr/PnPj13
15/Blk/Lk/LkPr/PnPj14
15/Blk/Lk/LkPr/PrPj11
15/Blk/Lk/LkPr/PmPj9
Percakapan di atas menunjukkan bahwa ragam bahasa yang digunakan antar
lelaki adalah ngoko. Tidak ada penggunaan bahasa kromo pada data tersebut.
Sebaliknya, saat PjLk melakukan percakapan dengan PbPr, Pj langsung
mengubah ragam bahasa ke ragam yang lebih sopan, yakni kromo.
Tabel 4.14 Percakapan Penjual Laki-Laki dengan Pembeli Perempuan yang
Menggunakan Ragam Jawa Kromo Percakapan Struktur
Pb2: Gak.
‘Tidak’
15/Blk/Lk/LkPr/PrPj15
Pj: Iku ancen sing sae, Mbak celonoe.
‘Itu memang yang bagus, Mbak celananya’
15/Blk/Lk/LkPr/PmPj13
Pb2: Biasae lho.
‘Biasanya lho’
15/Blk/Lk/LkPr/PrPj16
Pj: Larang niki timbang Boxis.
Nek niki ukuran besar.
Niki nomer kecil mawon sembilanlima.
15/Blk/Lk/LkPr/PmPj14
Ojok kandel-kandel, Mbak gak enak.
‘Lebih mahal ini daripada Boxis. Kalau ini ukuran besar. Ini
nomor kecil saja sembilanlima. Jangan tebal-tebal, Mbak tdak
enak’
Pb2: Mboten, tumbas teng mriki tasniki warna hitam
‘Tidak, beli ke sini kemarin warna hitam’
Pj: Sing enten tulisane MU niku a?
‘Yang ada tulisannya MU itu?’
Pb2: Mboten, polos.
‘Tidak, polos’
15/Blk/Lk/LkPr/Prt3
72
Pj: Sing regone piro?
Telulimo podho?
Sami tapi nek aku seneng sing tipis.
Mboten, ongkepan soale.
‘Yang harganya berapa? Tigalima sama? Sama. Tapi kalau saya
suka yang tipis. Tidak mudah gerah soalnya’
Pb2: Regane kan
‘Hrganya kan’
Pj: Sami, nek regane tigalima sami.
‘Sama, kalau harganya tigalima sama’
Percakapan di atas adalah proses penawaran harga antara penjual laki-laki dan
pembeli perempuan. Ada beberapa perubahan ragam bahasa dari ngoko ke kromo.
Beberapa kata yang termasuk bentuk kromo, yakni sae ‘bagus’, niki ‘ini’, mboten
‘tidak’, mriki ‘di sini’, tasniki ‘kemarin’, enten ‘ada’, niku ‘itu’, dan sami ‘sama’.
Chaer dan Agustina (2010:62) menjelaskan, “variasi atau ragam bahasa itu
dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman
fungsi bahasa itu’. Dalam kasus ini, keragaman sosial yang terjadi adalah jenis
kelamin penutur. Laki-laki cenderung ngoko dan perempuan cenderung kromo.
Variasi bahasa yang terjadi termasuk ke jenis sosiodialek, yakni “variasi bahasa
yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial penuturnya” (Chaer dan
Agustina, 2010:64).
Proses diglosia dalam satu waktu yang dilakukan penjual laki-laki
menunjukkan bagaimana keluwesan seorang pedagang dalam melayani pembeli.
Saat berinteraksi dengan perempuan, pedagang menggunakan ragam baku agar
lebih dekat dengan pembeli. Sebaliknya, saat berinteraksi dengan laki-laki,
pedagang mengalihkan kodenya menjadi bahasa nonbaku agar terkesan lebih
jantan, sehingga memperoleh kedekatan dengan pembeli. Peribahasa yang
berbunyi, “pembeli adalah raja” merupakan prinsip seorang pedagang. Seorang
73
pedagang selalu mencari cara sebaik mungkin –salah satunya mengakrabkan diri
melalui pengalihan ragam bahasa pembeli— agar pembeli merasa nyaman dan
mengulangi pembelian di waktu berikutnya.
Pada beberapa data, interaksi jual-beli sesama perempuan justru semakin
kuat lagi penggunaan ragam kromonya.
Tabel 4.15 Percakapan Penjual Perempuan dengan Pembeli Perempuan
yang Menggunakan Ragam Jawa Kromo Percakapan Struktur
Pb: Niki nomer paling alit a niki?
‘Ini nomer paling kecil?’
Pj: Sak pinten? (Sambil menyuguhkan barang pilihan lain)
“Seberapa? (Sambil menyuguhkan barang pilihan lain)’
Pb: Niki delapan belas. Cantik sajane.
‘Ini delapanbelas. Cantik sebenarnya’.
Pj: Sami nomere. Biru enten, Pink enten. Kegeden pean ijol.
‘Sama nomernya. Biru ada, Pink ada. Kebesaran Anda tukar’.
Pb: Niku pinten, Mbak?
‘Itu berapa, Mbak?’
Pj: Delapanlima tunik.
‘Delapanlima tunik’.
Pb: Niki?
‘Ini?’
Pj: Lima puluh. Damel ngaji enak.
‘Limapuluh. Untuk ngaji enak’
3/Bcm/Pr/Pr/PrPj1
3/Bcm/Pr/Pr/PmPj1
3/Bcm/Pr/Pr/Prt1
3/Bcm/Pr/Pr/PnPj1
3/Bcm/Pr/Pr/PnPj2
Usia kedua penutur di atas masih dalam kategori yang sama, yakni dewasa.
Namun, mereka begitu hati-hati dalam menjaga tuturannya agar tetap dalam
variasi bahasa kromo, sehingga unsur kromo lebih mendominasi percakapan.
Unsur kromo dalam percakapan di atas meliputi niki ‘ini’, alit ‘kecil’, pinten
‘berapa’, enten ‘ada’, sami ‘sama’, pean ‘kamu’, niku ‘itu’, dan damel ‘untuk’.
Selain beberapa contoh di atas, analisis perbedaan kecenderungan
penggunaan ragam bahasa pada subbab 4.2.2.2 menghasilkan simpulan pola
sebagai berikut.
74
Tabel 4.16 Hubungan Gender dengan Pilihan Ragam Bahasa PjLk PjPr PbLk PbPr
Lawan
tutur Lk
Kasar Netral Kasar Kasar
Lawan
tutur Pr
Halus Halus Halus Halus
Tabel tersebut menjelaskan bahwa saat berlawan tutur dengan Lk, penutur
cenderung menggunakan ragam kasar. Adapun saat berlawan tutur Pr, seorang
penutur lebih condong menggunakan ragam halus.
4.3.1.2 Sapaan
Sapaan yang biasa digunakan dalam Bahasa Jawa meliputi Mas ‘kakak laki-
laki, Mbak ‘kakak perempuan’, Pak ‘orang tua laki-laki’, Bu ‘orang tua
perempuan, Ning ‘kakak perempuan’, Cak ‘kakak laki-laki, dan sebagainya. Lain
dengan hal itu, ada panggilan-panggilan khusus yang diberlakukan di Pasar Raya
Mojosari seperti Bro, Bu Kaji, dan Bu Nyai. Pedagang laki-laki menyapa pembeli
dengan sebutan bro sebagaimana nampak pada data berikut.
Tabel 4.17 Percakapan Berisi Sapaan Bro yang Digunakan Penjual Laki-
Laki untuk Memanggil Pembeli Laki-Laki Percakapan Struktur
Pj: Nomer pinten, Mas Bro? Petangpuluh punjul hehe.
‘Nomor berapa, Mas Bro? Empatpuluh lebih hehe’
Pb: Lha engge. Standar a iku, Pak?
‘Lha iya. Standar itu, Pak?’
Pj: Standard. Gak nok sing komprang, Bro. Mosok onok nomer
gedhe komprang.
‘Standard. Tidak ada yang komprang, Bro. masak ada nomor
besar komprang’
Pj: Nek larang-larang pean balekno rene. Boxis ancen nisore iki,
Bro. Nek Boxis paling sekitar sangangpuluh sangangpuluh
limo.
‘Kalau mahal-mahal kamu kembalikan sini. Boxis memang
bawahnya ini, Bro. kalau Boxis mungkin sekitar sembilanpuluh
15/Blk/Lk/LkPr/PnPj1
15/Blk/Lk/LkPr/PnPj5
15/Blk/Lk/LkPr/PnPj8
75
sembilanpuluh lima’
Pj: Petangpuluh disek. Sedeng ta gak wetenge. Wtenge disek, Bro
wetenge disek, Bro wetenge disek, Bro wetenge disek, Bro
wetenge disek, hehehe. Kurang gedhe?
‘Empatpuluh dulu. Muat atau tidak perutnya. Pertnya dulu, Bro
perutnya dulu, Bro perutnya dulu, Bro perutnya dulu, Bro
perutnya dulu, hehehe. Kurang besar?’
Pj: Gak onok nek sing gedhe iku. Sing gedhe biru tok. Apik, Bro
koyok Lea.
‘Tidak ada kalau yang besar itu. Yang besar biru saja. Bagus,
Bro seperti Lea’
Pj: Yo runu-runuo nek ditawakno, Bro. Nek aku gatak tawakno,
Bro. Adane karo sopo ae. Sampean milih, Mbak sampean milih.
Kuatah pilihane.
‘Ya ke sana-sanao lak ditawarkan, Bro. kalau saya tidak pernah
saya tawarkan. Seperti sama siapa saja lo. Kamu milih, Mbak
kamu pilih. Banyak pulihannya’
15/Blk/Lk/LkPr/PnPj9
15/Blk/Lk/LkPr/PmPj6
15/Blk/Lk/LkPr/PmPj7
Selanjutnya, panggilan khusus bagi perempuan terdapat pada data berikut.
Tabel 4.18 Percakapan Berisi Panggilan Bu Kaji dan Bu Nyai yang
digunakan Penjual Perempuan untuk memanggil Pembeli
Perempuan Percakapan Struktur
Pj: Ket biyen nggih tigalima, Bu Kaji pean iku yok opo sih? Hehe
‘Dari dulu ya tigalima, Bu Kaji kamu itu bagaimana sih? Hehe’
Pb: Emoh ojok celuk Bu Kaji aku durung Kaji. Wis tigapuluh wis
ya?
‘Tidak jangan dipanggil Bu Kaji saya belum Haji. Sudah
tigapuluh ya?’
Pj: Plaris sing nukoni Bu Nyai
‘Pelaris yang membeli Bu Nyai’
Pj: Gak oleh, Bu Nyai. Petang puluh engkok luwontor eman
sampean.
‘Tidak boleh, Bu Nyai. Empatpuluh nanti luntur kasihan kamu’
Pj: Biasane sing onok lha onok bungae open iku, Mbak. Nutupi
bungae engkok. Iki petangpuluhwolu babah wis. Wis a iki ae a?
Yopo, Bu Nyai sing iku a? Sangangpuluh iku a? Alah kapiken
iku gawe nganu ae.
‘Biasanya ada lha ini ada bunganya soalnya, Mbak. Menutupi
bunganya nanti. Ini empatpuluh tidak apa-apa lah. Sudah ini
saja? Bagaimana, Bu Nyai yang itu ta? Sembilanpuluh itu ta?
Alah terlalu bagus itu buat itu saja lo’
14/Blk/Lk/Pr/PmPj2
14/Blk/Lk/Pr/PrPj3
11/Bcm/Pr/Pr/PmPj4
11/Bcm/Pr/Pr/PnPj9
76
Panggilan khusus Bro, Bu Kaji, dan Bu Nyai diucapkan penjual saat menawarkan
barang, mengajak pembeli mencoba barang, meyakinkan pembeli tentang harga,
dan megakhiri transaksi. Panggilan khusus digunakan untuk mengakrabkan diri
melalui sapaan berprestise bagi laki-laki dan berprestise bagi perempuan.
Kemunculannya hanya ada pada saat-saat tertentu.
Pertama, saat penjual menawarkan barang. Sapaan khusus digunakan untuk
memberi kesan pertama yang bersahabat. Kedua, saat penjual mengajak pembeli
mencoba barang. Hal ini dilakukan agar pembeli semakin nyaman karena penjual
bermurah hati mempersilahkan pembeli mencoba barang. Ketiga, saat penjual
meyakinkan pembeli bahwa harga barang memang murah. Seorang pejual
melakukan panggilan ini agar pembeli yakin bahwa harga yang ditawarkan sudah
sangat murah. Terakhir, saat mengakhiri transaksi. Panggilan khusus
menunjukkan kepuasan penjual karena transaksi sudah selesai dengan harga yang
telah disepakati.
Sapaan Bro merupakan bentuk pemendekan kata Bahasa Inggris Brother
yang bermakna ‘saudara laki-laki’. Kata tersebut masuk ke Jawa Timur pada
kisaran tahun 2006—2007. Awal mula, kata tersebut sering digunakan oleh anak
gaul punk, metal, bahkan preman. Bro digunakan pada sebuah hubungan
pertemanan yang sudah sangat akrab karena makna aslinya merujuk pada saudara
kandung, sehingga hanya teman dekat yang menjabat panggilan itu. Penjual laki-
laki menyapa pembeli laki-laki dengan panggilan tersebut untuk menunjukkan
keterbukaan penjual. Walaupun sebenarnya, mereka tidak benar-benar menjadi
teman akrab dan hanya bertemu pada saat melakukan transaksi jual-beli saja.
77
Selanjutnya, sapaan khusus Bu Kaji dan Bu Nyai. Sebagaimana Bro, kedua
sapaan tersebut juga digunakan penjual untuk mengakrabkan diri dengan pembeli.
Bu Kaji adalah sebutan untuk wanita yang sudah melakukan ibadah haji. Adapun
Bu Nyai adalah sebutan untuk wanita yang menjadi istri Pak Kyai –ahli ilmu
agama yang biasanya menjadi pemilik TPQ (Taman Pendidikan Quran) dan
pondok pesantren--. Dua sebutan tersebut hanya disandang oleh segelintir orang
saja, sehingga menjadikan julukan tersebut berprestise. Berbeda dengan pria yang
memilih sebutan kelas rendahan (tampak jantan), para wanita justru menggunakan
sapaan dengan sebutan yang merujuk pada sosok yang agamais dan terpandang.
4.3.2.3 Hubungan Temuan dengan Teori Gender
Analisis pilihan kode bahasa dan sapaan yang digunakan Lk dan Pr
menunjukkan bahwa Lk menyukai hal-hal yang bersifat kasar, rendah, dan
menjauhi norma berbahasa. Adapun perempuan, mereka lebih menyukai hal-hal
yang bersifat halus, baik, dan dekat dengan norma berbahasa.
Labov (dalam Sumarsono, 2014:115) menjelaskan bahwa ada prestise
tersembunyi dalam diri laki-laki. Mereka menganggap bahwa konotasi kelas
rendah (yang kasar) lebih berprestise untuk digunakan. Sikap ini tidak
diungkapkan secara nyata, tetapi disadari sebagai nilai yang menyimpang.
Walaupun diketahui bahwa bahasa ngoko itu ragam rendah dan sapaan bro biasa
digunakan oleh kelas rendahan –preman, punk, dan metal- yang mendapat citra
buruk di mata masyarakat, para pria tetap merasa bahwa penggunaan bro dapat
menambah pretise mereka.
78
Hal tersebut tentu berbeda dengan motivasi para perempuan yang lebih
memilih hal-hal yang halus, baik, dan mendekati norma kesantunan. Penelitian
sosiologi menunjukkan bahwa perempuan lebih sadar kedudukannya daripada
laki-laki, sehingga mereka juga lebih sadar akan penggunaan bahasa yang baik
(Sumarsono, 2014:112). Hal tersebut berpengaruh terhadap pemilihan kode
bahasa kromo dan penggunaan sapaan yang tepat untuk PbPr (Bu Kaji dan Bu
Nyai yang memiliki referensi berupa tokoh yang baik, anggun, agamais, dan
dihormati masyarakat).
Lebih lanjut, Wardaugh (2006:318) juga menjelaskan bahwa dalam
berbicara, laki-laki cenderung melawan norma keteraturan dan perempuan
menjaga norma tersebut. Kemunculan ngoko-kromo yang didasarkan pada gender
penutur di Pasar Raya Mojosari berhubungan dengan teori bahasa dan jenis
kelamin yang dipaparkan oleh Sumarsono (2014:98—99), “para wanita secara
konsekuen menggunakan bentuk-bentuk yang lebih mendekati bentuk-bentuk
ragam baku atau logat dengan prestise tinggi dibandingkan dengan bentuk-bentuk
yang digunakan pria”.
Laki-laki lebih memilih ngoko, ragam Bahasa Jawa yang dianggap lebih
rendah dan kasar. Mereka tidak merasa malu ketika menggunakannya. Bahasa
kelas bawah dianggap para pria sebagai kejantanan. Sumarsono (2014112—113)
menerangkan bahwa bahasa ragam nonbaku (rendah) adalah bahasa yang biasa
dipakai para pekerja. Kelas pekerja memiliki unsur kekerasan dan dekat dengan
status kejantanan. Oleh karena itu, laki-laki lebih suka menggunakan bentuk
kromo daripada ngoko. Laki-laki yang menggunakan ragam perempuan (baku)
79
berarti ia bertindak seperti perempuan dan memiliki identitas wanita, sehingga
lingkungan akan mencemoohnya.
4.3.3 Keaktifan Bertutur di Ranah Publik
Keaktifan bertutur di ranah publik adalah intensitas kecakapan seseorang
saat berbicara di depan umum. Perbedaan keaktifan bertutur di ranah publik
diperoleh dari hasil analisis (1) dominansi bertutur dan (2) penggunaan partikel.
Pada analisis dominansi bertutur, Lk tidak aktif berbicara (inferior) saat berada di
PRM. Adapun perempuan justru lebih aktif (superior). Selanjutnya, analisis
penggunaan partikel menunjukkan jika jenis partikel yang digunakan Lk lebih
sedikit daripada Pr. Berikut ini adalah pemaparan lebih lanjut mengenai dua hal
tersebut.
4.3.3.1 Dominansi Bertutur
Para pembeli di Pasar Raya Mojosari yang berjenis kelamin laki-laki
bersifat inferior dalam berbicara di depan khalayak pasar. Adapun pembeli
perempuan lebih memimpin atau superior dalam melakukan transaksi. Hal ini
dapat dilihat pada proses jual beli saat pedagang laki-laki melayani pasangan
suami-istri. Transaksi utuh dapat dilihat di lampiran 1, yakni data 16/Blk/PrLk.
Suami-istri membeli pakaian untuk anak mereka di rumah. Usia pembeli sama
dengan usia penjual. Data tersebut menunjukkan bagaimana perempuan lebih
dominan melakukan perbincangan, mulai dari pemilihan barang, penawaran,
80
hingga pembelian. Sesekali sang suami berbicara hanya seputar pertimbangan
pemilihan barang saja.
4.3.3.2 Macam Partikel
Analisis penggunaan partikel telah dijelaskan pada subbab 4.2.3. Hasil
analisis menunjukkan bahwa jenis partikel yang digunakan Pr lebih banyak
daripada laki-laki. Partikel biasa digunakan sebagai imbuhan dan fungsinya
adalah untuk mempertajam makna. Untuk itu, kemunculan banyaknya partikel
pada tuturan Pr adalah salah satu penanda keaktifan berbicara mereka di ranah
publik. Kemantapan tuturan mereka perkuat dengan kehadiran partikel-partikel
tersebut. Bahkan, Wardhaugh (2006:320) mengatakan bahwa keperempuanan
wanita Jawa ditandai dengan tuturan yang menggunakan partikel ne atau wa. Saya
menyimpulkan bahwa, semakin banyak penggunaan partikel, semakin
menunjukkan keperempuanan tuturan itu.
4.3.3.3 Hubungan Temuan dengan Teori Gender
Dua analisis di atas adalah bukti jika Pr lebih aktif berbicara di depan publik
daripada Lk. Hal tersebut sangat berbeda dengan teori yang dikemukakan Tannen
(dalam CUNY TV, 2015) tentang penggunaan bahasa Lk dan Pr. Tannen (dalam
CUNY TV, 2015) menyebutkan dua ranah lingkungan berbicara, yakni ranah
publik dan ranah privat. Laki-laki cenderung aktif berbicara di ranah publik dan
diam di ranah privat. Begitu pula sebaliknya, perempuan cenderung diam jika
berada di ranah publik dan banyak bicara di ranah privat.
81
Ternyata, di lingkungan pasar tradisional, hal yang terjadi berbanding
terbalik dengan teori tersebut. Meskipun berada di ranah publik –dalam hal ini
adalah pasar--, kemampuan berbicara laki-laki tidak tampak di sini. Justru
perempuan yang dikenal mempunyai sikap diam di depan publik menjadi lebih
aktif berbicara. Melihat keberadaan hal tersebut, maka tidak berlebihan, jika
Alexander dan Alexander (1987:44) menyebut wanita Jawa sebagai pelaku utama
di pasar. Perempuan Jawa sangat telaten dalam melakukan penawaran. Mereka
mengulang tawaran dan hanya menambahkan harga tawaran sedikit demi sedikit
jika penjual tidak menyetujui harga tawaran pembeli.
Saya berasumsi bahwa kedominanan perempuan Jawa dalam proses jual-
beli dipengaruhi oleh peran mereka yang berkutat pada ranah dapur, sumur, dan
kasur ‘dapur, sumur, dan kamar tidur’. Pengelolaan segala barang kebutuhan yang
terletak di tiga tempat tersebut sangat dipahami oleh perempuan, sehingga mereka
akan berhati-hati saat hendak membeli keperluan dapur, sumur, dan kamar tidur.
Pertama, dapur adalah tempat perempuan Jawa mengolah makanan yang
akan dihidangkan untuk keluarga. Di sana terdapat peralatan memasak dan bahan
makanan seperti sembako, sayur, buah, dan sebagainya. Kedua, sumur adalah
tempat perempuan Jawa mandi, mengambil air, mencuci baju, alat makan, dan
barang rumah tangga lainnya. Di dapur terdapat sabun cuci, sabun mandi, sampo,
sikat gigi, dan lain-lain. Ketiga, kamar tidur adalah tempat perempuan Jawa
beristirahat, tidur, melaksanakan tugas sebagai seorang istri, mnidurkan anak dan
mengganti pakaian anak. Di kamar tidur terdapat pakaian, bantal, guling, alat rias,
dan sebagainya.
82
Barang-barang yang berada di tiga tempat tersebut adalah barang kebutuhan
pokok sehari-hari yang berukuran tidak terlalu besar. Barang-barang tersebut
banyak dijumpai di pasar tradisional. Karena dapur, sumur, dan kamar tidur
adalah wilayah kekuasaan perempuan, maka para perempuan sangat lihai dalam
mengelolanya, termasuk dalam proses pembeliannya. Mereka sangat berhati-hati
dalam membeli barang yang mereka kuasai, sehingga tuturan mereka menjadi
lebih dominan –karena lebih mengerti-- daripada laki-laki saat di pasar.
Adapun peran laki-laki dalam rumah tangga adalah mengatur perabot-
perabot besar seperti kursi tamu, meja makan, dan kendaraan. Oleh karena itu,
pembelian barang-barang besar dan mahal –seperti kursi tamu, meja makan, dan
kendaraan— lebih sering dilakukan laki-laki daripada perempuan. Perempuan
hanya dominan pada pembelian perabot-peraot kecil yang tidak terlalu mahal di
pasar tradisional.
Selain asumsi tersebut, saya juga berasumsi bahwa kedominanan perempuan
di pasar tradisional dipengaruhi oleh masuknya perempuan di dunia kerja. Sejak
masa orde baru, pemerintah telah mencanangkan program PKK (Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga) sebagai upaya untuk memberdayakan perempuan desa,
sehingga mereka mendapat keterampilan tertentu, seperti mengolah makanan,
membuat kerajinan, dan berdagang. Kebijakan ini mampu mendorong para
perempuan desa untuk ikut memasuki dunia kerja dalam rangka mendukung
ekonomi keluarga (Newberry, 2013:141). Hal ini mengakibatkan perempuan Jawa
sudah tidak hanya berdiam di rumah saja, tetapi juga keluar dan memasuki dunia
kerja.
83
Newberry (2013:138) menjelaskan bahwa perempuan desa telah
menunjukkan ciri utama pekerja perempuan dan laki-laki kota. Jarang ada
perempuan dewasa yang belum bekerja untuk mendapat uang kontan selama
hidupnya. Hal ini menyebabkan perempuan Jawa sadar akan perjuangan
memperoleh uang dan lebih hati-hati dalam membelanjakannya. Kehati-hatian
perempuan diwujudkan dalam bentuk menawar harga serendah-rendahnya agar
pembeli tidak mendapat harga yang salah.
4.3.4 Minat Bertanya
Minat bertanya berhubungan dengan seberapa besar seseorang bertanya
kepada lawan tutur. Berdasarkan hasil temuan, Pr lebih suka bertanya daripada
Lk. Hal tersebut dibuktikan melalui dua hal, yakni (1) analisis jenis kalimat yang
dituturkan dan (2) analisis isi struktur Prt. Berikut adalah penjabarannya.
4.3.4.1 Jenis Kalimat yang Dituturkan
Jenis kalimat yang digunakan Lk dan Pr di PRM telah dibahas dengan rinci
pada bagian 4.2.1. Pada analisis tersebut, Lk cenderung menggunakan kalimat
untuk menyatakan, memerintah, dan mengharuskan. Adapun perempuan lebih
cenderung menggunakan kalimat untuk menanyakan, mengingingkan, dan
mengharapkan.
Lk cenderung menyatakan, memerintah, dan mengharuskan adalah
representasi alamiah dari seorang lelaki yang ditakdirkan memiliki sifat tegas,
keras, dan memiliki jiwa kepemimpinan yang lebih besar dari Pr. Pr menggunakan
84
kalimat tanya, keinginan, dan harapan karena kodratnya sebagai makhluk yang
memiliki tingkat ketegasan di bawah Lk. Bagi Pr, memerintah dan mengharuskan
adalah hal yang terlalu berani serta kurang pantas jika dilakukan. Ini adalah wujud
sistem patriarki yang memandang Lk memiliki kedudukan lebih dari Pr.
4.3.4.2 Isi Struktur Prt (Pertimbangan)
Perbedaan isi struktur Prt Lk dan Pr telah dijelaskan pada bagian 4.1.2 dan
4.1.3. Perbedaan tersebut berbunyi bahwa proses Prt pada Lk lebih pendek
daripada proses Prt pada Pr. Prt adalah proses Pb menentukan pilihan barang yang
akan dibeli. Proses ini dilakukan dengan menanyai Pj, menanyai rekan belanja,
atau menanyai diri sendiri. Proses pertimbangan bagi Pr sangat sulit, sehingga
membutuhkan percakapan yang panjang. Sedangkan Lk tidak terlalu bimbang
dalam menentukan pilihan barang.
Berikut adalah proses Prt PbLk pada transaksi 6/Bcm/Pr/Lk/Prt1.
Tabel 4.19 Struktur Prt (Pertimbangan) pada Pembeli Laki-Laki Percakapan Struktur
Pb: Sak menten ngge buk?
‘Segini ya, Bu’
Pj: L yo cukup.
Iki XL.
6/Bcm/Pr/Lk/Prt1
Guwedhe engkok lah molor, Mas.
Sak munu iku wis.
Iku ae kegedhen.
‘L ya cukup. Ini XL. Silahkan, cari apa lagi? (Menawarkan barang
pada pembeli yang lalu-lalang). Besar sekali nanti juga molor,
Mas. Sebesar itu lah. Itu aja kebesaran’
Pb: Engge sak mas niku tiyange.
‘Iya, sebesar Mas itu orangnya’
Pj: He’em cukup guwedhe iki soale.
‘Iya. Cukup. Sangat besar ini’
6/Bcm/Pr/Lk/Prt2
85
Tabel percakapan di atas menunjukkan bahwa PbLk hanya mengeluarkan
satu kalimat pada masing-masing struktur Prt. Ini berarti bahwa PbLk bukanlah
orang yang sulit dalam menentukan pilihan barang. Dalam kata lain, pendirian
mereka kuat dan tidak mudah bimbang. Berbeda dengan PbLk, PbPr justru
melakukan proses yang panjang saat Prt. Berikut adalah datanya.
Tabel 4.20 Struktur Prt (Pertimbangan) pada Pembeli Perempuan Percakapan Struktur
Pb: Seneng ungu ta kuning arek e iki?
‘Suka ungu atau kuning anak ini’
Pj: Yo loro ngunu ae wis.
‘Ya dua gitu saja lah’
Pb: Masaalah.
‘Masya Allah’
Pj: Hehe.
‘Hehe’
Pb: Ngomonge ma tumbasno sing kuning ae.
‘Bialangnya Ma, belikan yang kuning saja’
Pj: Yo kuning ae.
Nek gak anu ijolno ngunu ae.
13/Bcm/Pr/Pr/Prt1
Pb: Sing kuning niki beke yo.
‘Yang kuning ini saja mungkin ya’
Pj: Yo nek arek e njaluk kuning kek ono kuning ae.
‘Ya kalau anaknya minta kuning ya kasih saja kuning’
13/Bcm/Pr/Pr/Prt2
Pb: Oh. Apik iki, Yah.
‘Oh bagus ini, Yah’
Pj: Tapi lek anak sampean sak munu cukup.
‘Tapi kalau anak kamu segitu cukup’
Pb: Arek e lho niku gimbul.
‘Anaknya lho gendut’
Pj: Lha yo cukup iku nomer anu.
Wong awak e lho rong kilan.
Nek gak anu yo diuncalno se.
Kapan-kapan lapo gupuh-gupuh.
‘Lha iya cukup itu nomor anu. Badanya dua kil. Kalau tidak anu ya
dilempar sini. Kapan-kapan saja tidak usah terburu-buru’
Pb: Hehehe. Diuncalno.
‘Hehehe. Dilemparkan’
Pj: Kan wis eruh nggen e.
TK besar ta TK kecil?
‘Kan sudah tahu tempatnya. TK besar atau TK kecil?’
Pb: TK kecil.
‘TK kecil’
Pj: Lha yo, iku TK besar cukup.
‘Lha iya, itu TK besar cukup’
Pb: Tapi larene lho padet ngonten lho.
‘Tapi anaknya lho padat gitu lho’
13/Bcm/Pr/Pr/Prt3
86
Pj: Haha iyo. Poret.
‘Haha, iya, besar’
Tabel di atas menunjukkan bahwa pada struktur Prt1, PbPr menggunakan 2
kalimat. Pada Prt2, ia menggunakan 1 kalimat. Pada Prt 3, ia menggunakan
hingga 5 kalimat. Di Prt1, PbPr kebingungan membelikan anak warna kuning atau
merah. Kemudian ia mengatakan bahwa anaknya memesan warna kuning. Setelah
melalui tahap perbincangan (struktur) lain, Pb dan Pj kembali melakukan Prt yang
ke-2. Di Prt2, PbPr masih kebingungan dengan memunculkan kalimat
ketidakpastian sing kuning niki beke yo ‘yang kuning ini saja mungkin ya’. Pb
juga sudah menyarankan untuk membeli yang kuning saja jika anak memesan
kuning. Namun, Prt ke-3 masih kembali terjadi dengan PbPr yang kebingungan
akan ukuran anaknya.
4.3.4.3 Hubungan Temuan dengan Teori Gender
Kecenderungan Pr menggunakan kalimat tanya dan panjangnya proses Prt
yang dilakukan Pr menunjukkan bahwa perempuan lebih mudah mengalami
dilema dalam menentukan barang. Kedilemaannya biasa diwujudkan dalam
bentuk penanyaan pendapat lawan tutur tentang barang yang bagus. Tannen
(dalam UMD Policy Watch, 2017) menjelaskan bahwa dalam pola tutur, laki-laki
menghindari proses bertanya karena bagi mereka, bertanya berarti menunjukkan
kelemahan mereka. Berbeda dengan hal tersebut, perempuan justru gemar
melakukan penanyaan untuk membentuk keeratan hubungan antar-sesama.
87
Inilah yang menjadi dasar mengapa laki-laki tidak cenderung menggunakan
kalimat tanya dan mengapa proses Prt PbLk lebih pendek daripada PbPr. Bagi
PbLk, banyak bertanya, banyak pertimbangan, berarti banyak kelemahan. Bagi
PbPr, banyak bertanya, banyak pertimbangan, semakin erat hubungan terbentuk.
4.3.5 Jumlah Hal yang Dibicarakan
Jumlah hal yang dibicarakan adalah banyaknya ide pokok atau topik yang
dibicarakan dalam suatu transaksi. Penelitian ini menunjukkan bahwa Lk
senantiasa fokus membicarakan satu hal, sedangkan perempuan membicarakan
banyak hal dan menyebar dari satu topik ke topik lain. Berikut adalah pemaparan
orientasi perbincangan dalam proses TM.
4.3.5.1 Orientasi Perbincangan
Pembeli laki-laki senantiasa fokus pada transaksi jual beli yang hendak
dilakukan. Sebaliknya, pembeli perempuan tidak hanya melakukan percakapan
seputar pembelian saja. Mereka bisa merambah pada perbincangan di luar
perdagangan. Hal ini saya sebut sebagai struktur keakraban (Krb). Bukti
kefokusan pembeli laki-laki dapat dilihat di lampiran data 6/Bcm/Pr/Lk. Pembeli
laki-laki –berusia remaja-- mencari celana dalam dan celana pendek pada
pedagang perempuan –berusia tua--. Tidak ditemukan struktur Krb sama sekali.
Hal yang dibahas hanya seputar permintaan barang, pendeskripsian ukuran dan
detail barang, harga, dan pembayaran.
88
Berbeda dengan hal tersebut, pembeli perempuan sering menambahkan
perbincangan di luar transaksi jual-beli seperti yang nampak pada data berikut.
Tabel 4.21 Percakapan Penjual Perempuan yang Menanyakan Alamat
Rumah Pembeli Perempuan Percakapan Struktur
Pj: Sampean pinarak, Mbak.
‘Silahkan duduk, Mbak’
Pj: Tas teko sekolah a iku?
‘Baru dari sekolah itu?’
Pb: Engge.
‘Iya’.
Pj: Owh. Guwedhe, Shiva Shiva.
‘Owh. Besar. Shiva Shiva’.
Pj: Pundi dalem e, Ning?
‘Dimana rumanya, Mbak?’
Pb: Pesanggrahan.
‘Pesanggrahan’
Pj: Owh Pesanggrahan. Koncoku bien yo Pesanggrahan. Mbak Nur
Fuadah. (Memberikan uang kembali). Wis gawe pelaris.
Dungakno laris yo, Pak Yai, yo?
‘Owh Pesanggrahan. Teman saya dulu juga Pesanggrahan.
Mbak Nur uadah. (Memberikan uang kembali). Sudah buat
pelaris. Doakan laris ya, Pak Yai ya?’
Pb: Hehe Engge.
‘Hehe iya’
5/Bcm/Pr/Pr/Krb1
5/Bcm/Pr/Pr/Krb2
5/Bcm/Pr/Pr/Krb3
Dalam satu transaksi, ada tiga topik yang dibahas dalam struktur Krb di atas.
Topik tersebut meliputi pemersilahkanan duduk, penanyaan seputar anak, dan
penanyaan alamat rumah.
Selain itu, ada juga Krb yang membicarakan hal-hal kecil seperti setrika
yang belum dicopot di rumah, pengalaman membeli jajan untuk peningset, hingga
pembicaraan seputar SPG rokok yang lewat di depan toko. Berikut adalah
datanya.
89
Tabel 4.22 Percakapan Penjual Perempuan dengan Pembeli Perempuan
tentang Hal-Hal yang Bersifat Fungsional Percakapan Struktur
Pb: Ben dino nang pasar ae, iki maeng gupuh kabeh setliko
‘Setiap hari ke pasar saj lo, ini tadi terburu-buru karena setrika’
Pj: Wis dicopot iki maeng?
‘Sudah dcopot tadi?’
Pb: Empun. Tasniki banyu mak tak tinggal nganu uwamber. Ketang
nggerojoke nang njobo
‘Sudah, Kemarin airnya ibu saya tinggal sampai meluber.
Untung saja mengalirnya keluar’
Pj: Oh engge
‘Oh iya’
Pb: Tandone amber
‘Tandonya meluber’
Pj: Bek e ditinggal nggodog banyu
‘Saya kira ditinggal merebus airnya’
Pb: Mboten. Nek memean iku enten tonggo rodok adoh kulo bel
sing diserahi. Niku wernone ngenten
‘Tidak. Kalau jemuran itu ada tetangga agak jauh saya telepon
yang diberi amanah. Itu warnanya gini?’
Pj: Enggeh
‘Iya’
Pj: Ayu-ayune sih wong dodol rokok iki. Rokok a iku?
‘Cantik-cantiknya ya orang jual rokok itu? Rokok ta itu?’
Pb: Iyo timbang jajan-jajan.
‘Iya daripada jajan-jajan’
Pj: Iyo timbang jajan-jajan. Piro aku lho tuku roti jareku bek e piro
telungpuluhlimo cuwilik. Ala rek tuwas ae tuku anu. Eruh
ngunu wani ikine lho. Saiki ungsum ngunu-ngunu.
‘Iya daripada jajan-jajan. Aku beli roti tak kira berapa tigapuluh
lima sangat kecil. Aduh, nyesel beli ani. Tahu begitu lebih baik
beli ini. Sekarang musimnya gini-gini’
7/Bcm/Pr/Pr/Krb1
11/Bcm/Pr/Pr/Krb3
11/Bcm/Pr/Pr/Krb4
Percakapan-percakapan keakaraban yang dilakukan oleh penjual dan pembeli
perempuan keluar secara naluriah sebagai kodrat wanita yang gemar
membicarakan banyak hal.
4.3.5.2 Hubungan Temuan dengan Teori Gender
Tannen (1994:99) menjelaskan bahwa laki-laki lebih jujur daripada
perempuan. Apa yang mereka bicarakan sangat jelas dan fokus terhadap satu hal.
Sebaliknya, pembicaraan perempuan meliputi banyak topik yang saling
90
berhubungan. Hal ini juga tercermin dalam gaya bicara pada ranah jual beli.
Pembeli laki-laki hanya berbicara tentang barang yang diinginkan kemudian
kembali pulang. Adapun pembeli perempuan bisa menambahkan hingga tiga
percakapan di luar pembelian barang seperti yang dijelaskan di atas.
Sebuah artikel di The Telegraph (10 Juni 2009) bahkan memuat tulisan yang
berjudul Gossip is Good for Women’s Health, Scientist Claim. Para pria
berpendapat bahwa gossip adalah hal yang sangat dekat denga para wanita.
Namun ternyata, ilmuan telah membuktikan bahwa gosip sagat baik bagi
kesehatan wanita. Penelitian yang diketuai oleh Proesor Stephanie Brown di
Universitas Michigan ini menemukan peningkatan jumlah hormon progesteron
pada perempuan yang telah melakukan percakapan dengan teman mereka.
Hormon yang mampu mengurangi rasa resah dan stress ini diproduksi oleh indung
telur. Ia juga berfungsi untuk persiapan kehamilan. Selain itu, progesteron juga
mampu mengurangi produksi hormon oesterogen yang dapat menyebabkan
kanker.
4.3.6 Kontak Mata Saat Berhadapan dengan Lawan Tutur
Saat berbicara, seseorang tidak hanya mengeluarkan unsur verbal, tetapi
juga unsur nonverbal. Unsur tersebut meliputi gelagat seseorang saat berbicara
seperti pandangan mata dan arah tubuh. Penutur Lk jarang mempertahankan arah
pandangan matanya pada lawan tutur. Berbeda dengan hal tersebut, penutur Pr
justru selalu fokus mengarahkan pandangan matanya saat berbicara dengan lawan
tutur. Berikut adalah penjelasannya.
91
4.3.6.1 Gelagat
Gelagat adalah “gerak-gerik; tingkah laku” (Sunendar, dkk, 2016). Jadi,
gelagat berhubungan dengan tingkah laku khas pembeda laki-laki dan perempuan
di PRM selama melakukan proses transaksi jual-beli. Lihatlah perbedaan gambar
PjLk dan PjPr di bawah ini.
Gambar 4.1 menunjukkan bagaimana kenampakan fisik PjLk yang sedang
melayani Pb. PjLk nampak tidak memusatkan perhatian dan pandangannya
kepada pembeli. Padahal, ia sedang melangsungkan percakapan transaksi.
Pandangan mata PjLk tertuju ke Pb hanya pada beberapa waktu saja, kemudia ia
kembali melakukan aktivitas lain seperti menata barang, menghitung, dan
sebagainya. Hal yang berbeda justru terjadi pada PbPr. Gambar 4.2 menunjukkan
arah pandangan mata PbPr begitu fokus ke pembeli. PjPr mengarahkan badannya
ke Pb selama transaksi berlangsung. Ini menunjukkan bahwa PjPr lebih mampu
bertahan dalam memfokuskan perhatiannya kepada lawan tutur.
Gambar 4.1 Arah Pandangan
Penjual Laki-Laki
Saat Melayani Pembeli
Gambar 4.2 Arah Pandangan
Penjual Perempuan
Saat Melayani Pembeli
92
Selain itu, gelagat penjual laki-laki juga bisa dilihat pada keterangan
percakapan berikut.
Tabel 4.23 Gelagat Penjual Laki-Laki Percakapan Struktur
Pj: Milih-milih, Mbak milih-milih, Mbak. (Mengarahkan pandangan
mata ke pembeli beberapa saat kemudian menata barang kembali)
‘Silahkan memilih-milih, Mbak’
16/Blk/Lk/PrLk/PngPj
Pb: Damel yugane
‘Untuk anaknya’
16/Blk/Lk/PrLk/PrPj1
Pj: Niku-niku, Mbak. (menunjuk barang) 16/Blk/Lk/PrLk/PmPj1
Pendek nopo panjang? (mengarahkan pandangan ke pembeli)
‘Itu, Mbak. Pendek atau panjang?’
Pb: Panjang
‘Panjang’
16/Blk/Lk/PrLk/PnPj1
Pb2: Ternyata mrene iki mau dibelokno rene
‘Ternyata ke sini tadi dibelokkan ke sini’
Pj: Hahaha (menyerahkan barang kemudian kembali melakukan
aktivitas lain)
‘Hahaha’
16/Blk/Lk/PrLk/Krb1
Keterangan percakapan di atas yang bergaris bawah menunjukkan
bagaimana sikap penjual laki-laki saat melayani pembeli. Pada keterangan
pertama, penjual mengarahkan pandangan mata ke pembeli beberapa saat
kemudian menata barang kembali. Pada keterangan kedua, penjual mengarahkan
padangannya ke pembeli karena melakukan proses penanyaan barang. Terakhir,
penjual tertawa sambil menyerahkan barang dan setelah itu kembali melakukan
aktivitas lain. Ini menunjukkan bahwa gelagat penjual laki-laki tidak bisa bertahan
lama saat menghadapi lawan tuturnya.
Selanjutnya, berikut ini adalah gelagat penjual perempuan.
93
Tabel 4.24 Gelagat Penjual Perempuan Percakapan Struktur
Pb : (Melihat dan memegang barang)
Pj : Monggo, mersakne nopo, Mbak? (arah pandangan mata menuju
pembeli)
Ngge niku tunik niku.
‘Silahkan, cari apa, Mbak? Ya itu tunik itu’.
Pb : Busanae ngene a, Mbak?
‘Busananya ini ya, Mbak?’
1/Ban/Pr/Pr/PrPj1
Pb : Lihat a Mbak sing pink? (arah pandangan mata menuju pembeli)
‘Mau lihat, Mbak yang pink?’
1/Ban/Pr/Pr/PmPj1
Pb : Berapa iku, Mbak?
‘Berapa yang itu, Mbak?’
Pj : Satus telung puluh. (arah pandangan mata menuju pembeli)
‘Seratus tigapuluh’.
1/Ban/Pr/Pr/PnPj1
Pb : Satus, Mbak yo?
‘Seratus, Mbak ya?’
1/Ban/Pr/Pr/PrPj2
Pj : Mboten angsal pas niki. (arah pandangan mata menuju pembeli)
‘Tidak boleh, pas ini’
1/Ban/Pr/Pr/PmPj2
Empat keterangan percakapan yang bergaris bawah di atas menunjukkan bahwa
pandangan mata penjual selalu mengarah ke pembeli. Hal ini menunjukkan bahwa
penjual perempuan lebih tahan berlama-lama dalam memfokuskan padangannya
ke lawan tutur.
4.3.6.2 Hubungan Temuan dengan Teori Gender
Perbedaan gelagat yang terjadi pada Pjlk dan PjPr di PRM sesuai dengan
teori gender yang dikemukakan Tannen (1996:90) bahwa saat dua laki-laki
diminta duduk berhadapan, pandangan mata mereka menyebar kemana-mana.
Sesekali mereka melirik satu sama lain tapi hal tersebut sangat jarang terjadi. Lain
dengan hal tersebut, perempuan yang diminta duduk berhadapan justru mampu
bertahan mengarahkan padangan ke lawan bicaranya. Ini berarti bahwa gelagat
PjLk dan PjPr sesuai dengan teori yang dikemukakan Tannen (1996:90) tersebut.
94
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Sebagai penutup, bab ini berisi hasil ekstraksi dari seluruh penelitian. Untuk
itu, bab ini memuat (1) simpulan dan (2) saran.
5.1 Simpulan
Tuturan di pasar tradisional memiliki konstruksi struktur teks yang berbeda
dengan struktur teks jual-beli di barat dan toko modern lainnya. Struktur unik Krb
adalah struktur yang hanya dimiliki oleh percakapan di pasar. Kemunculan Krb
menunjukkan bahwa percakapan di pasar tidak hanya bersifat transaksional, tetapi
juga fungsional. Ini menunjukkan bahwa tawar-menawar adalah proses memasuki
ranah privat antarpenutur. Saat penjual dan pembeli memiliki kedekatan --kedua
belah pihak saling mengetahui ranah privat masing-masing--, harga barang akan
dengan mudah diturunkan.
Pemarkah linguistik (jenis kalimat, diglosia, dan partikel) yang muncul
dalam bahasa tawar-menawar dipengaruhi oleh gender penuturnya. Pada jenis
kalimat, laki-laki cenderung menggunakan kalimat menyatakan, memerintah, dan
mengharuskan dan perempuan cenderung menanyakan, menginginkan, dan
mengharapkan. Pada proses diglosia, perempuan menggunakan ragam bahasa
yang lebih halus daripada laki-laki. Sementara pada penggunaan partikel,
perempuan juga memiliki jenis yang lebih banyak daripada laki-laki.
95
Ada enam aspek perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan pada proses
tawar-menawar. Pertama, sifat hal yang dibicarakan. Sifat hal yang dibicarakan
laki-laki cenderung kompetitif dan perempuan kooperatif. Kedua, sikap terhadap
kesantuanan berbahasa. Laki-laki menyukai hal kasar dan perempuan menyukai
hal baik. Ketiga, keaktifan bertutur di ranah publik. Perempuan lebih aktif
berbicara di depan publik daripada laki-laki. Keempat, minat bertanya. Perempuan
lebih suka bertanya daripada laki-laki karena bagi laki-laki, bertanya
menunjukkan kelemahan mereka. Kelima, jumlah hal yang dibicarakan. Laki-laki
membicarakan satu dal dan perempuan banyak hal (menyebar). Keenam, kontak
mata saat berhadapan dengan lawan tutur. Arah pandangan laki-laki menyebar dan
perempuan fokus kepada lawan tutur.
Keenam aspek perbedaan tersebut menunjukkan bahwa perempuan lebih
aktif berbicara memalui kalimat-kalimat yang baik, sopan, dan membentuk
kekaraban. Dengan demikian, perempuan adalah pihak yang menjadi panglima
dalam dunia perdagangan Jawa. Penguasaan mereka terhadap kebutuhan dapur,
sumur, dan kasur serta keluwesan mereka menjalin keakraban dalam berbahasa
menjadi magnet tersendiri bagi perempuan Jawa sehingga mereka begitu pandai
dalam berdagang.
5.2 Saran
5.2.1 Saran untuk Kajian Linguistik
Gender adalah salah satu faktor yang mampu memengaruhi pembentukan
pola tutur. Namun ternyata, pola tutur gender dalam satu situasi bisa berbeda
96
dengan pola tutur di situasi lain. Contohnya penelitian saya ini. Saya menemukan
bahwa pola bahasa laki-laki dan perempuan di pasar tradisional berbeda dengan
pola bahasa laki-laki dan perempuan milik Tannen (dalam CUNY TV, 2015).
Sebagian besar penelitian Tannen mengambil situasi kehidupan sehari-hari
sebagai objek penelitian, sedangkan penelitian saya menggunakan situasi
perdagangan di pasar tradisional Jawa yang sarat akan nilai budaya lokal,
sehingga pola tutur yang dihasilkan di dua situasi ini berbeda. Oleh karena itu,
kajian bahasa dan gender hendaknya diperluas lagi lagi pada situasi lain karena
unsur lokalitas juga mampu membentuk perbedaan pola tutur sebuah gender.
5.2.2 Saran untuk Penulis Buku Teks Sekolah Menengah
Proses tawar-menawar telah masuk dalam dunia pendidikan melalui teks
negosiasi yang dipelajari oleh siswa pada Matapelajaran Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris. Teks negosiasi merupakan percakapan yang dilakukan untuk
mencapai titik temu dari beberapa orang yang memiliki perbedaan, salah satunya
perbedaan keinginan harga antara penjual dan pembeli di pasar tradisional. Karena
proses negosiasi (tawar-menawar) sangat kental dengan nilai sosial budaya
Indonesia –seperti perbincangan yang tidak hanya bersifat transaksional, tetapi
juga fungsional--, akan lebih baik jika pemberian contoh teks dan materi teks
negosiasi ditambahi dengan struktur khas Indonesia, yakni struktur Krb
(Keakraban) dan Prt (Pertimbangan). Dengan demikian, teks negosiasi yang
digunakan dalam matapelajaran SMP dan SMA terasa lebih kontekstual dan lebih
sesuai dengan kondisi negosiasi di sekitar mereka.
97
Selanjutnya, teks negosiasi di buku teks SMA yang berlatar di pasar
tradisional hendaknya menggunakan contoh konkret tuturan-tuturan yang ada di
pasar tradisional. Contoh-contoh teks harus diambil dari percakapan sebenarnya di
pasar. Pengalihbahasaan dari Bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia sebisa mungkin
dilakukan dengan mempertahankan ciri khas yang menempel dalam Bahasa Jawa.
Contohnya pada penggunaan partikel lho dan a pada kalimat lho gak oleh
kurang a? ‘lho tidak boleh kurang a? Dua partikel tersebut tetap dipertahankan
keberadaannya karena “Bahasa Jawa adalah bahasa yang mendasarkan diri pada
ekspresi rasa yang kental” (Widodo, 2017:37). Pemertahanan kemunculan lho
dan a pada teks Bahasa Indonesia merupakan salah satu upaya yang oleh Widodo
(2017:36) sebagai usaha mempertahankan Bahasa Jawa agar tidak membeku
dalam proses yang bersifat perspektif, tetapi intuitif. Untuk itu, teks-teks pada data
di penelitian ini bisa dijadikan sebagai sumbangan materi contok teks pada materi
teks negosiasi untuk sekolah menengah karena teks-teks dalam diperoleh melalui
data penelitian secara langsung di pasar tradisional. Selain itu, teks juga telah
dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia dengan tidak menghilangkan unsur intuitif
Bahasa Jawanya.
5.2.3 Saran untuk Pengkaji Ilmu Komunikasi
Kemampuan bernegosiasi adalah hal yang penting dalam proses tawar-
menawar. Jika ingin mendapatkan harga yang murah saat berbelanja di pasar
tradisional, kedekatan yang intens antara penjual dan pembeli sangat dibutuhkan.
Ada sebuah kepercayaan di masyarakat pasar bahwa tenggang sosial yang rendah
98
antara penjual dan pembeli mampu membuat penjual memberikan harga murah.
Kedekatan tersebut bisa dibentuk melalui banyaknya intensitas pembeli
melakukan pembelian. Seorang penjual yang sudah mengenal wajah pembeli tidak
akan ragu memberikan harga murah. Untuk itu, pembentukan kedekatan
merupakan strategi yang sangat penting dalam proses tawar-menawar.
99
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S. 2017. Wawancara dilakukan saat observasi pada 28 Maret 2017 di
Pasar Raya Mojosari. Beliau adalah salah satu pedagang di sana.
Alexander, J. 2000. “Wanita Pengusaha di Pasar Jawa”. Jurnal Budaya Pasar:
Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru. Editor
Hefner, R. W. Jakarta, PT Pustaka LP3ES Indonesia. Hlm. 285—314.
Alexander, J. dan Alexander, P. 1987. Striking a Bargain in Javanese Markets.
Jurnal Man, Vol. 2 No. 1: hlm. 42—68.
Ambarwati, N. Tanpa tahun. Kekerasan Verbal Bahasa Indonesia dalam Wacana
Pasar Tradisional di Kota Denpasar. Online, (https://www.myscience
work.com/publication/show/2a901e8d29362acd29af070dabc60a4e),
diakses pada 11 Februari 2017.
Annisa, dkk. 2016. “Campur Kode dalam Transaksi Jual Beli pada Media Online
Shop di Singaraja dan Denpasar”. Jurnal Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 4 No. 2: hlm 1—11.
Chaer, A. & Agustine, L. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta.
Cleopatra, A. R. 2016. Kesantunan Berbahasa dalam Interaksi Jual Beli di Pasar
Pekan Sunggal Kecamatan Medan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.
Online, (http://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/kjb/article/view/
3837), diakses pada 7 Februari 2017.
CSU Fullerton HCOM. (27 Desember 2013). Deborah Tannen: Gender-Specific
Language Rituals. Diperoleh dari https://m.youtube.com/watch?
v=tUxnBxsfoU.
CUNY TV. (14 Agustus 2015). The Open Mind: Language, Sex and Power, Part
1. Diperoleh dari https://www.youtube.com/watch?v=o0wgJAKsv
GE&t=201s.
Disperindag Pemkab Mojokerto (Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Pemerintah Kabupaten Mojokerto). 2015. Data Potensi Pasar Raya
Mojosari Tahun 2015
Geertz, Clifford. 1977. Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi
Ekonomi di Dua Kota Indonesia. Penerjemah S. Supomo. Jakarta:
Gramedia.
100
Halliday, M. A. K. & Hasan, R. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-Aspek
Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Kuntjara, E. 2012. Gender, Bahasa, dan Kekuasaan. Jakarta: Libri.
Mahsun. 2014. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Pers.
Narbuko, C. & Akhmadi, A. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.
Newberry, J. 2013. Back Door Java. Penerjemah Bernadetta Esti Sumarah dan
Masri Marris. Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia.
Nurillah, D. N. 2017. Salah satu pedagang di Pasar Raya Mojosari. Wawancara
dilakukan pada 28 Maret 2017.
Sanjaya, A. R. 2012. Register Perdagangan di Beteng Trade Center Solo: Sebuah
Kajian Sosiolinguistik. Skripsi tidak diterbitkan. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Online,
(http://eprints.ums.ac.id/19170/), diakses pada 1 Januari 2017.
Saputra, S. D. 2014. Komunikasi Tawar-Menawar dalam Perdagangan: Studi
Deskriptif Kualitatif Pola Komunikasi Tawar-Menawar pada Penjual
dan Pembeli di Pasar Klewer Surakarta. Skripsi tidak diterbitkan.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Online,
(https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/37844/MTEyNzg2/Kom
unikasi-Tawar-Menawar-Dalam-Perdagangan-Studi-Deskripitif-Kuali
tatif-Pola-Komunikasi-Tawar-Menawar-Pada-Penjual-Dan-Pembeli-
Di-Pasar-Klewer-Surakarta-IMAGE0006.pdf), diakses pada 3 Januari
2017.
Spradley, J. P. 1997. Metode Etnografi. Penerjemah Eliabeth, M. Z. Penerjemah
Misbah ula Eliabeth. Penyunting Amirudin. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.
Sudono, A. 2014. “Wujud Kode Pilihan Bahasa Dalam Jual Beli di Pasar
Tradisional Kecamatan Winong, Kabupaten Pati”. Jurnal Widyariset,
Vol. 17 No. 1: hlm.35—48.
Sumarsono. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumintarsih, dkk. 2011. Eksistensi Pasar Tradisional: Relasi dan Jaringan Pasar
Tradisional di Kota Surabaya, Jawa Timur. Yogyakarta: Balai
Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional.
101
Sunendar, dkk. 2016. KBBI V 0.1.5 Beta (15), (Offline). Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia (diunduh dari kbbi.kemendikbud.go.id).
Tannen, D. 1994. Gender and Discourse. New York: Oxford University Press.
Tanpa Nama. (2009, 10 Juni). Gossip is Good for Women's Health, Scientists
Claim. The Telegraph, diperoleh dari http://www.telegraph.co.uk/
women/womens-health/5496680/Gossip-is-good-for-womens-health-
scientists-claim. Html.
UMD Policy Watch. (11 Januari 2017 2017). Deborah Tannen (Part 1). Diperoleh
dari https://www.youtube.com/watch?v=bZj-7-osm84&t=8s.
Wahyuni, S. 2015. Qualitative Research Methods: Theory and Pratice 2nd
Edition. Jakarta Selatan: Salemba Empat.
Wardaugh, R. 2006. An Introduction to Sociolinguistics: Fifth Edition. Oxford:
Blackwell Publishing.
Wati, dkk. 2016. “Tindak Tutur Ilokusi dalam Interaksi Jual Beli di Pasar Burung
Jaya Jember (Kajian Pragmatik)”. Jurnal Publika Budaya, Vol. 1 No.
1: hlm 1—11.
Wedhawati, dkk. 2001. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Jakarta: Pusat Bahasa.
Widi, R. K. 2010. Asas Metodologi Penelitian: Sebuah Pengenalan dan Penuntun
Langkah demi Langkah Pelaksanaan Penelitian. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Widodo, W. 2017. “Hal yang Rumpang dan Timpang dalam Kebijakan
Perencanaan Bahasa Jawa”. Jurnal Linguistik Indonesia, Vol. 35 No.
1: hlm 33—52.