PERBANDINGAN PANCASILA di Era Orde Lama, Orde baru dan Reformasi.docx

download PERBANDINGAN PANCASILA di Era Orde Lama, Orde baru dan Reformasi.docx

of 5

Transcript of PERBANDINGAN PANCASILA di Era Orde Lama, Orde baru dan Reformasi.docx

Pancasila pada masa rezim SoekarnoBAGAIMANA Soekarno sebagai Presiden pertama Republik Indonesia menerapkan Pancasila sebagai dasar idiologi negara Republik Indonesia? Untuk mengetahui jawabannya, marilah kita ikuti penilaian Mr. Mohammad Roem yang beliau sampaikan dalam risalah pidato Dies Natalisnya pada UISU, Januari 1969.Mr. Mohammad Roem menyatakan:Dalam perkembangan negara kita selama 24 tahun ini,21) maka terjadilah satu tragedi besar.Ir. Soekarno sebagai pemimpin rakyat pada saat yang bersejarah dalam usaha mencari dasar luas yang sama-sama dapat disetujui, yaitu Pancasila, kemudian sebagai Presiden terbawa oleh kekua-saan, yang manusia memang sifatnya tidak mampu memikul terlalu lama, meninggalkan kata sepakat itu.Pengikut-pengikut Lenin, yaitu orang-orang Komunis, diterima sebagai Pancasilais, sebagai orang yang ber-Tuhan, sedang dalam filsafatnya tidak ada tempat untuk percaya kepada Tuhan. Tidak saja kaum Komunis diterima sebagai Pancasilais malah dalam gagasan Nasakom, kaum Komunis menjadi golongan mutlak, di samping golongan Agama dan Nasionalis.Dalam 5 azimat Revolusi, Nasakom menjadi azimat nomor satu. Dalam kata pengantar dari Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 45 yang ditulis pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno menerangkan bahwa Undang-undang Dasar 45 itu sungguh-sungguh suatu ciptaan Nasional, yang dipercik oleh 62 orang putra/putri Indonesia. Ke-62 orang itu ialah anggota-anggota Badan Penye-lidik Usaha Persiapan Kemerdekaan dan terdiri dari pemimpin-pemimpin yang terkenal dari segala lapisan seluruh kepulauan Indonesia, termasuk juga pemimpin dari golongan keturunan Arab, Tionghoa dan Belanda.Pengetahuan bahwa Pancasila itu kata sepakat dari karya 62 orang de beste zonen van het land, lebih menimbulkan rasa kepercayaan daripada anggapan yang di masa Orde Lama di indok-trinasikan, bahwa penggalian Pancasila hanya dikerjakan oleh satu orang saja. Dan kata sepakat itu dicapai dengan jalan yang sulit. Pertukaran pikiran berlangsung berhari-hari, kadang-kadang tegang. Tetapi senantiasa dalam suasana per-damaian, dengan penuh keikhlasan, didorong oleh kesadaran bahwa dalam saat yang bersejarah itu, mereka harus mendapatkan dasar bagi negara yang akan merdeka, yang tahan uji berabad-abad akan datang.Kalau ada yang harus kita akui dari Ir. Soekarno sendiri ialah nama dari lima dasar itu, yaitu Pancasila. Tetapi kemudian pada bagian akhir Ir. Soekarno mengadakan perasan.Pertama lima sila itu diperas menjadi tiga, yaitu Kebangsaan dan Perikemanusiaan diperas menjadi Sosionalisme, Demokrasi dan Keadilan sosial menjadi Sosiodemokrasi, Ketuhanan tetap Ketuhanan. Perasan lebih lanjut ialah tiga sila itu menjadi hanya satu, maka Ketuhanan yang Maha Esa pun musnah, dan satu sila itu ialah Gotong-Royong.Meskipun waktu Ir. Soekarno mengucapkan : Alangkah hebatnya negara Gotong-Royong, dengan gaya yang semua kita dapat bayangkan dapat tepuk tangan riuh rendah, tetapi alham-dulillah perasan-perasan itu tidak sampai masuk di preambule UUD 45. Lebih-lebih waktu gagasan Gotong-Royong itu terjalin rapat sekali dengan gagasan Presiden tentang Nasakom, gagasan berakhir dengan peristiwa Lubang Buaya.Tentu tidak ada orang yang menolak dasar Gotong-Royong.Gotong-Royong adalah ciri atau sila tersendiri yang hidup dalam masyarakat Indonesia sejak berabad-abad. Tetapi saya rasa terlalu jauh untuk mengganti lima sila itu dengan Gotong-Royong. Terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak dapat dihilangkan atau diselipkan dalam Gotong-Royong bagi orang-orang yang memandang agamanya dengan sungguh-sungguh. Kata sepakat bagi dasar negara yang merdeka itu terutama tercapai dalam sila Ketuhanan Yang Maha Easa, sila pertama dalam preambule UUD 45.Kalau sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu menjadi sila pertama memang sangat tepat , sebab tergantung dari kemampuan kita mengartikan dan mengisi sila pertama itu, sila lainnya dapat dilaksanakan dalam negara dengan sebaik-baiknya..?

Pancasila di Era Orde BaruEra Orde Baru dalam sejarah republik ini merupakan masa pemerintahan yang terlama, dan bisa juga dikatakan sebagai masa pemerintahan yang paling stabil. Stabil dalam artian tidak banyak gejolak yang mengemuka, layaknya keadaan dewasa ini. Stabilitas yang entah semu atau memang riil tersebut, diiringi juga dengan maraknya pembangunan di segala bidang. Era pembangunan, era penuh kestabilan, yang saat ini menimbulkan romantisme dari banyak kalangan di negara ini, ditandai dengan semakin gencarnya campaign piye kabare di seantero pelosok nusantara. Menariknya, dua hal yang menjadi warna Indonesia di era Orde Baru, yakni stabilitas dan pembangunan, serta merta tidak lepas dari keberadaan Pancasila. Pancasila menjadi alat bagi pemerintah (baca: Soeharto) untuk semakin menancapkan kekuasaan di Indonesia. Pancasila begitu diagung-agungkan; Pancasila begitu gencar ditanamkan nilai dan hakikatnya kepada rakyat; dan rakyat tidak memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang mengganjal, kala itu tentunya.Gencarnya penanaman nilai-nilai Pancasila di era Orde Baru salah satunya dilatarbelakangi hal bahwa rakyat Indonesia harus sadar jika dasar negara Indonesia adalah Pancasila itu sendiri. Masyarakat pada masa itu memaknai pancasila sebagai hal yang patut dan penting untuk ditanamkan, ujar Hendro Muhaimin, peneliti di Pusat Studi Pancasila UGM. Selain itu menurutnya pada era Orde Baru semua orang menerima Pancasila dalam kehidupannya, karena Pancasila sendiri adalah produk dari kepribadian dalam negeri sendiri, dan yang menjadi keprihatinan khalayak pada masa itu adalah Pemerintahnya, bukan Pancasilanya. Hendro Muhaimin juga menambahkan bahwa Pemerintah di era Orde Baru sendiri terkesan menunggangi Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar negara sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Pada dasarnya, yang salah bukanlah Pancasila, karena Pancasila dibuat dari penggalian kepribadian bangsa ini, dari cerminan bangsa Indonesia, maka para pemegang kekuasaan pada rezim itu, yang menggunakan Pancasila secara politis, adalah pihak yang seharusnya bertanggungjawab akan gejolak-gejolak yang terjadi, ujarnya. Namun disamping hal-hal tersebut, penanaman nilai-nilai Pancasila di era Orde Baru juga dibarengi dengan praktik dalam kehidupan sosial rakyat Indonesia. Kepedulian antarwarga sangat kental, toleransi di kalangan masyarakat cukup baik, dan budaya gotong-royong kala itu sangat dijunjung tinggi. Selain itu, contoh dari gencarnya penanaman nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi, yang menyatakan bahwa semua organisasi, apapun bentuknya, baik itu organisasi masyarakat, komunitas, perkumpulan, dan sebagainya haruslah mengunakan Pancasila sebagai asas utamanya. Apabila ada asas-asas organisasi lain yang ingin ditambahkan sebagai asasnya, tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Oleh karena itu, muncul juga anggapan bahwa Pancasila dianggap sebagai pembius bangsa, karena telah melumpuhkan kebebasan untuk berorganisasi.Demokrasi Pancasila: Wajah Semu Era Orde BaruTermasuk di dalam P4, melalui Ketetapan MPR (TAP MPR) No. II/MPR/1978 (sudah dicabut), adalah 36 butir Pancasila sebagai ciri-ciri manusia Pancasilais. Pemerintah Orde Baru mengharapkan melalui 36 butir Pancasila, yang serta merta wajib hukumnya untuk dihafal, akan terbentuk suatu tatanan rakyat Indonesia yang mempraktikkan kesemuanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, lalu terciptalah negara Indonesia yang adil dan makmur, jaya di segala bidang. Akan tetapi, justru penghafalan itu yang menjadi bumerangnya. Cita-cita yang terkembang melalui P4 hanya keluar dari mulut saja, tanpa ada pengamalan yang berarti untuk setiap butir yang terkandung di dalamnya, meskipun tidak terjadi secara general. Sebagai contoh adalah mengenai pelaksanaan demokrasi di era Orde Baru. Berwajahkan Demokrasi Pancasila, akan tetapi dalam kenyataannya bak jauh panggang dari api. Penataran itu sifatnya hanya menghafal, kemudian mengenai proses pelaksanaan secara langsung dari 36 butir Pancasila, dulu melalui kegiatan seperti gotong-royong kerja bakti warga. Tetapi pelaksanaan demokrasi pada saat Orde Baru itu sangat minim, ujar Hendro Muhaimin. Kebebasan tanpa koersi yang menjadi pilar utama dari prinsip demokrasi secara umum, dipadukan dengan nilai-nilai Pancasila yang terkandung melalui kelima silanya, sejatinya merupakan sebuah kombinasi yang apabila dilaksanakan sesuai hakikatnya oleh Pemerintah Orde Baru tentu akan memberikan dampak positif bagi kehidupan rakyat Indonesia pada saat itu. Akan tetapi, justru koersilah yang menjadi senjata pemerintah untuk menciptakan kehidupan yang, berdasarkan standar yang dibangun pada saat itu, bernuansa ketertiban dan keselarasan.Pancasil di Era ReformasiMenurut Panitia Lima (Bung Hatta, Subardjo, Maramis, Sunarjo, Pringgodigdo) Pancasila dapat dipahami bukan hanya dengan membaca teksnya, melainkan dengan mempelajari terjadinya teks itu. Fleksibilitas Pancasila yang akan mampu membingkai nasionalisme menjadi aset penting bagi kehidupan era ini, sebab anekaragam sosial dan kemajemukan budaya (agama, suku, geografis, pengalaman sejarah) dan kehidupan paradoks butuh ''kesadaran bersama yang baru secara rohaniah'' sebagai bangsa.

Jika mencermati keberadaan Pancasila dalam kehidupan politik yang banyak mengalami perubahan konstitusional dan rezim kekuasaan (1945 - 1978) Pancasila selalu dipertahankan. Menurut Yamin (1959), hal demikian memperlihatkan Pancasila mengandung kenyataan yang hidup dan tumbuh dalam sanubari orang per orang dalam masyarakat, sehingga Pancasila selalu dipertahankan oleh rakyat Indonesia yang mendukung tiap-tiap negara nasional yang lahir di atas bumi tumpah darah Indonesia. Dengan Pancasila rakyat Indonesia telah bersatu dalam revolusi dan dalam perjuangan sejak hari proklamasi. Pancasila merupakan kristalisasi daripada intisari perjuangan kemerdekaan nasional di abad ke-20.

Menurut Sartono Kartodirdjo, Pancasila akan menjadi penentu dalam orientasi tujuan sistem sosial - politik, kelembagaan dan kaidah-kaidah pola kehidupan, yang bukan hanya menjadi faktor determinan, juga sebagai payung ideologis bagi pelbagai unsur dalam masyarakat yang bersifat majemuk.

Pancasila sebagai asas kerohanian dibutuhkan era ini yang karakternya memperlihatkan euforia keanekaragaman dan kejamemukan dengan corak paradoks (nilai-nilai budaya yang mengontrol) serta ketegangan antara kesadaran individualisme dan kolektivisme dalam penyesuaian (dimana individualisme tanpa kolektivisme akan merusak sedang kolektivisme tanpa individualisme akan menghancurkan).

Fleksibilitas Pancasila yang akan mampu membingkai nasionalisme menjadi sebagai aset penting bagi kehidupan era ini, sebab anekaragam sosial dan kemajemukan budaya (agama, suku, geografis, pengalaman sejarah) dan kehidupan paradoks butuh ''kesadaran bersama yang baru secara rohaniah'' sebagai bangsa.

Di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit politik dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam melakukan implementasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan vitalnya. Sebab utamannya sudah umum kita ketahui, karena rejim Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang otoriter.

Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari kedirian bangsa ini, Pancasila harus tetap sebagai ideologi kebangsaan. Pancasila harus tetap menjadi dasar dari penuntasan persoalan kebangsaan yang kompleks seperti globalisasi yang selalu mendikte, krisis ekonomi yang belum terlihat penyelesaiannya, dinamika politik lokal yang berpotensi disintegrasi, dan segregasi sosial dan konflik komunalisme yang masih rawan. Kelihatannya, yang diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebih konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.