PERBANDINGAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI JAMINAN PADA … · 2013. 4. 23. · BAB III KONSEP PENERAPAN...

111
PERBANDINGAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI JAMINAN PADA AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH DI BANK SYARIAH MANDIRI CABANG WARUNG BUNCIT Oleh HINDAYANTI NIM. 107046100539 KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011

Transcript of PERBANDINGAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI JAMINAN PADA … · 2013. 4. 23. · BAB III KONSEP PENERAPAN...

PERBANDINGAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI JAMINAN

PADA AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

DI BANK SYARIAH MANDIRI CABANG WARUNG BUNCIT

Oleh

HINDAYANTI

NIM. 107046100539

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar sarjana (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 9 Juni 2011

(HINDAYANTI)

KATA PENGANTAR

بسم الِله الزَ حمهِ الزَ حِيمِ

Puja dan puji serta sukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang

berjudul: “Perbandingan Konsep dan Implementasi Jaminan pada Akad Pembiayaan

Mudhârabah dan Musyârakah di Bank Syariah Cabang Warung Buncit”

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa bimbingan dari semua pihak baik berupa

moril maupun materil, dapat membantu skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan

terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM, Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag. Ketua Program Studi Muamalat Ekonomi Islam.

3. Bapak Drs. Noryamin Aini,M.A sebagai Dosen Pembimbing Akademik.

4. Bapak Dr. H. Fuad Thohari, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang memberikan

arahan dalam penulisan skripsi ini.

5. Kepada seluruh dosen di lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah

memberikan ilmu kepada penulis selama belajar di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kepada pimpinan perpustakaan utama dan perpustakaan Fakultas UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis memanfaatkan dan meminjam buku yang berhubungan dengan pembahasan

skripsi ini.

7. Bapak Ridwan, staf Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit dan karyawan

lainnya.

8. Bapak, ibu, kakak-kakakku dan adikku tercinta.

9. Kepada Dimas, Zurrahmah Arif, Salmi Hayati dan teman lainnya yang telah banyak

membantu saya.

Semoga semua yang telah mereka berikan baik berupa bimbingan dan bantuan

dalam rangka penyelesaian skripsi ini mendapat imbalan yang berlipat ganda dari Allah

SWT, Amin.

Jakarta, 9 Juni 2011

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 6

D. Kajian Pustaka (Review Studi Terdahulu) 8

E. Kerangka Teori dan Konsep 10

F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 16

G. Sistematika Penulisan 18

BAB II PANDANGAN ULAMA TENTANG KEDUDUKAN JAMINAN

PADA AKAD MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

A. Pengertian Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah 20

B. Landasan Hukum Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah 22

C. Jenis-Jenis Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah 27

D. Rukun dan Syarat Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah 30

E. Pandangan Ulama tentang Kedudukan Jaminan pada Akad

Mudhârabah dan Musyârakah 33

BAB III KONSEP PENERAPAN JAMINAN PADA AKAD

MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

A. Karakteristik Pembiayaan Akad Mudhârabah dan Musyârakah 39

B. Konsep Jaminan menurut Hukum Positif 44

C. Konsep Jaminan menurut Hukum Islam 51

D. Konsep Penerapan Jaminan pada Akad Mudhârabah dan Musyârakah 58

BAB IV PERBANDINGAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI JAMINAN

PADA AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN

MUSYARAKAH DI BANK SYARIAH MANDIRI CABANG

WARUNG BUNCIT

A. Profil Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit 61

B. Perbedaan Akad Mudhârabah dan Musyârakah 66

C. Aplikasi Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah di Bank Syariah

Mandiri Cabang Warung Buncit 68

D. Implementasi Jaminan pada Akad Pembiayaan Mudhârabah dan

Musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit 71

E. Analisis Perbandingan Konsep dan Implementasi Jaminan pada

Akad Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah di Bank Syariah

Cabang Warung Buncit 73

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 79

B. Saran-Saran 82

DAFTAR PUSTAKA 84

LAMPIRAN-LAMPIRAN 87

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Para rentenir di dalam membantu petani tidak hanya berupa pinjaman uang

yang berbunga tinggi, tetapi juga memberikan pinjaman dalam membentuk beras,

pangan dan keperluan lainnya, yang ke semua pembayarannya dilakukan dalam

bentuk uang sehingga praktis masih menerapkan sistem bunga yang bersifat

mencekik.1

Dengan adanya bank syariah, jika pengusaha kekurangan modal untuk

menjalankan usahanya maka pengusaha dapat meminjam modal kepada bank syariah.

Bank syariah mendorong para pengusaha untuk mengembangkan usahanya dengan

prinsip bagi hasil. Penyaluran pembiayaan yang diberikan bank syariah merupakan

kegiatan utama bank untuk memperoleh laba namun rawan risiko karena dalam

penyaluran pembiayaan dapat mengakibatkan wanprestasi sehingga dapat merugikan

bank.

Bank syariah merupakan lembaga intermediasi dalam menghimpun dan

menyalurkan dana kepada masyarakat berdasarkan prinsip syariah. Keinginan

masyarakat menggunakan jasa perbankan syariah tanpa bunga membuat

perkembangan perbankan syariah semakin baik, sehingga bank syariah banyak

diminati masyarakat.

1 Sumitro Warkum, Asas-asas Perbankan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.129.

Pembiayaan perbankan syariah yang didasarkan pada akad bagi hasil,

menempatkan bank sebagai pihak penyandang dana. Untuk iu bank berhak atas

kontraprestasi berupa bagi hasil sebesar nisbah terhadap pendapatan atau keuntungan

yang diperleh oleh pemilik usaha (mudhârib). Sedangkan apabila bank hanya

bertindak sebagai penghubung antara pengusaha dengan nasabah, maka ia berhak atas

kontraprestasi berupa fee.2

Bentuk penyaluran dana yang ditunjukan untuk kepentingan investasi dalam

perbankan islam secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu

musyârakah dan mudhârabah. Musyârakah adalah akad bagi hasil ketika dua atau

lebih pengusaha milik dana/modal bekerjasama sebagai mitra usaha, membiayai

investasi usaha baru atau yang sudah berjalan.3 Musyârakah merupakan pembiayaan

berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu,

dimana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana dengan ketentuan bahwa

keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Seorang mitra dapat melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya dan

dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. Pada

prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk

menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.

2Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, 2007), h. 138.

3Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 51.

Jaminan pada dasarnya dalam sebuah kontrak bagi hasil mudhârabah, eksistensi

dari jaminan tidak dibutuhkan, mengingat didalamnya sudah mengatur mengenai

risiko bagi para pihak ketika terjadi kerugian. Tingkat urgenitas dari jaminan ini

adalah berkaitan dengan kekhawatiran shâhibul mâl mengenai kemungkinan

terjadinya penyelewengan yang dilakukan mudhârib. Dengan kata lain moral hazard

menjadi faktor mengapa jaminan menjadi penting. Adanya jaminan juga diharapkan

dapat mengcover kemungkinan terjadinya total loss. Akan tetapi jaminan ini masih

menjadi perdebatan para ulama.4

Mudhârabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak di mana

pemilik modal (shâhibul mâl) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola

(mudhârib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan

kerjasama dengan konstribusi 100% modal dari shâhibul mâl dan keahlian dari

mudhârib. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati.5

Perbedaan yang esensial dari musyârakah dan mudhârabah terletak pada

besarnya konstribusi atas manajemen dan keuangan. Dalam mudhârabah, modal

hanya berasal dari satu pihak. Sedangakan dalam musyârakah modal berasal dari dua

pihak atau lebih.

4Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, h. 134.

5Karnaen Perwataatmadja, Apa dan bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992),

cet.1 h. 33.

Dalam literatur fiqh, musyârakah dan mudhârabah berbentuk perjanjian

kepercayaan (uqud al-amanah) yang merupakan tingkat kejujuran yang tinggi dan

menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran

untuk kepentingan bersama.6

Pada dasarnya bila jaminan diperbolehkan dalam kondisi dan situasi tertentu,

shâhibul mâl dapat meminta agunan sebagai jaminan modal mudhârabah dari

mudhârib, maka tentunya dia juga dapat menyita agunan tersebut bila berbentuk

barang, atau meminta pertanggung jawaban dari pemberi surat rekomendasi (memo)

untuk mengganti kerugian akibat kesalahan mudhârib.7

Menjaminkan barang-barang yang tidak mengandung risiko biaya perawatan

dan tidak menimbulkan manfaat, seperti menjadikan bukti pemilikan bukan

barangnya, sebagaimana yang berkembang sekarang ini agaknya lebih baik untuk

menghindarkan perselisihan antara kedua belah pihak sehubungan dengan risiko dan

manfaat barang jaminan. Pihak yang berhutang menjaga amanah atas pelunasan

hutang, sedangkan pihak pemegang jaminan bersikap amanah atas barang yang

dipercayakan sebagai jaminan.8

Jika barang jaminan dapat dimanfaatkan maka dapat

diadakan kesepakatan baru mengenai pemanfaatan barang jaminan.

6Ahmad Rodoni, Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Bestari Buana Murni, 2008), h. 28.

7Bank Muamalat, Konsep Al-Mudharabah, (Jakarta: Grup Rekayasa Bisnis), h. 27.

8Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalat Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.179.

Jaminan merupakan suatu hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang

atas suatu barang bergerak. Jaminan atau gadai dalam fiqh disebut rahn, yang menurut

bahasa adalah nama barang yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan atau

menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat

diambil kembali sebagai tebusan. Pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai

jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan.9 Salah satu bank yang melakukan

pelaksanaan jaminan pada pembiayaan mudhârabah dan musyârakah adalah BSM

Cabang Warung Buncit.

Masalah yang timbul kemudian adalah dalam pengajuan pembiayaan

mudhârabah dan musyârakah di BSM Cabang Warung Buncit, dalam penyaluran

pembiayaan diperlukan adanya jaminan atau agunan. Pada prinsipnya, dalam

pembiayaan mudhârabah dan musyârakah tidak ada jaminan, tetapi untuk

menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan. Namun bagi

masyarakat kalangan bawah dan menengah masih sulit melakukan pinjaman dengan

adanya jaminan tersebut. Untuk itulah penulis merasa perlu untuk membahas

mengenai bagaimana perbandingan konsep dan implementasi jaminan pada akad

pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung

Buncit

9Dewan Syariah Nasional (DSN), Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN, 2002),

h.1.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka disini penulis merumuskan

perbandingan konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah

dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit. Untuk itu, dalam

memudahkan pemahaman sekaligus pengantar dalam skripsi ini, penulis memandang

perlu mengadakan penulisan. Setelah mengidentifikasi permasalahan yang ada, maka

penulis merumuskannya dalam pertanyaaan sebagai berikut :

1. Bagaimana pandangan ulama tentang kedudukan jaminan pada akad mudhârabah

dan musyârakah?

2. Bagaimana konsep penerapan jaminan pada akad mudhârabah dan musyârakah?

3. Apakah konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah

dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit sudah sesuai

dengan prinsip jaminan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam pembahasan skripsi ini,

penulisan bertujuan untuk:

1. Mengetahui pandangan ulama tentang kedudukan jaminan pada akad

mudhârabah dan musyârakah.

2. Mengetahui perbedaan konsep penerapan jaminan pada akad mudhârabah dan

musyârakah.

3. Mengetahui gambaran tentang kesesuaian konsep dan implementasi jaminan

pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri

Cabang Warung Buncit .

Manfaat Penelitian :

a. Manfaat Akademis

Penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan konstribusi berupa buku

bacaan perpustakaan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Perbankan

Syariah.

b. Manfaat Praktis

Penelitian skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan yang

berarti bagi Lembaga Perbankan, khususnya Perbankan Syariah dan sekaligus

dapat memberikan penjelasan tentang penerapan jaminan dalam pembiayaan

mudhârabah dan musyârakah.

c. Masyarakat

Penelitian skripsi ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat,

khususnya para nasabah untuk selalu menyertakan jaminan dalam rangka

mendapatkan pembiayaan mudhârabah dan musyârakah dari Bank Syariah

Mandiri Cabang Warung Buncit.

D. Kajian Pustaka

Setelah membuka daftar skripsi tahun sebelumnya maka dapat di simpulkan

bahwa belum ada skripsi sebelumnya yang membahas mengenai perbandingan

konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan

musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit. Skripsi sebelumnya

yang membahas mengenai jaminan dan telah terdaftar dalam pustaka skripsi UIN

Syarif Hidayatullah adalah :

1. Aplikasi Agunan dalam Pembiayaan Mudharabah dan Murabahah, (Studi Kasus

PT.BMI,Tbk.), Irawati FSH / Muamalat / Perbankan Syariah, 2007). Dalam

skripsi ini dibahas mengenai aplikasi agunan dalam pembiayaan mudharabah dan

murabahah. Tinjauannya adalah pada teknis operasional pembiayaan

mudharabah dan murabahah di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.

2. Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap jaminan di pegadaian syariah

oleh Elis Nuryani. 2006. Pembahasan mengenai tinjauan hukum islam terhadap

jaminan di pegadaian syariah, peneliti mengemukakan hadis-hadis dan juga

pendapat beberapa ulama tentang pelelangan barang jaminan.

3. Penjaminan barang gadai dalam perspektif Islam dan aplikasinya pada Bank

Syariah (studi kasus pada BNI Syariah) oleh Livia, 201046100855, 2005.

Pembahasan mengenai Gadai dalam perbankan Syariah ditetapkan dalam 2

produk perbankan yaitu sebagai produk pelengkap dan produk pinjaman/ produk

sendiri.

4. Konsep dan aplikasi pembiayaan Ar-rahn usaha mikro pada pegadaian syariah

cabang Dewi Sartika oleh Ahmad Fauki, 2010. Pembahasan mengenai konsep

pembiayaan ARRUM serta aplikasinya pada pegadaian syariah cabang Dewi

Sartika.

5. Fungsi jaminan dalam pembiayaan mudharabah (studi pada LKS Berkah Madani

Kelapa Dua, 2008. Pembahasan mengenai pandangan hukum islam mengenai

penyertaan jaminan.

Dalam penelitian ini penulis mengkaji bagaimana perbandingan konsep dan

implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank

Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya

terlihat pada fokus penelitian yang permasalahannya ada terhadap perbandingan

konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan

musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit.

E. Kerangka Teori dan Konsep

Musyârakah merupakan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu

usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana dengan

kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan di tanggung bersama sesuai dengan

kesepakatan. Musyârakah merupakan istilah yang sering dipakai dalam konteks skim

pembiayaan syariah.10

Syarat umum musyârakah:11

a. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan besama-

sama menyediakan dana atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha

tertentu.

b. Nasabah bertindak sebagai penegelola usaha dan bank sebagai mitra usaha dapat

ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang

disepakati.

c. Bank berdasarkan kesepakatan dengan nasabah dapat menunjuk nasabah untuk

mengelola usaha

d. Pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan atau barang.

e. Jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, pembagian keuntungan ditentukan

berdasarkan kesepakatan antara bank dan nasabah.

f. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama sesuai kesepakatan.

10Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, h. 49.

11Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, h. 136.

g. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila

nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana diuat dalam akad karena

kelalaian atau kecurangan.

Objek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)

Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak, atau yang nilainya sama.

Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti dan

sebagainya. Jika modal dalam bentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai

dan disepakati oleh para mitra para pihak, tidak boleh meminjam, meminjamkan,

menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyârakah kepada pihak lain, kecuali

atas dasar kesepakatan. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyârakah tidak ada

jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta

jaminan.

Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan

musyârakah. Akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. seorang

mitra dapat melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya dan dalam hal ini ia

boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. Setiap mitra

melaksanakan kerja dalam musyârakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya.

Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam akad.

Keuntungan harus dikuantitatifkan dengan jelas untuk menghindarkan

perbedaandan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau ketika penghentian

musyârakah. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar

seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan

bagi seorang mitra. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan

melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya. Sistem

pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.

Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham

masing-masing dalam modal. Dalam persengketaan, biaya operasional dibebankan

pada modal bersama. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika

terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui

Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Mudhârabah adalah akad bagi hasil ketika pemilik dana/modal (pemodal), biasa

disebut shâhibul mâl, menyediakan modal 100% kepada pengusaha sebagai

pengelola, biasa disebut mudhârib, untuk melakukan aktivitas produktif dengan

syarat bahawa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi diantara meeka menurut

kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad.12

Kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam transaksi mudhârabah yaitu

kepercayaan dari shâhibul mâl kepada mudhârib. Kepercayaaan merupakan unsur

terpenting karena dalam transaksi mudhârabah, shâhibul mâl tidak boleh meminta

jaminan atau agunan dari mudhârib dan tidak boleh ikut campur di dalam

pengelolaan.

12Warkum, Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam, h.129.

Sebagai bentuk kontrak, mudhârabah merupakan akad bagi hasil ketika pemilik

dana/modal (pemodal), yang disebut shâhibul mâl menyediakan modal (100%)

kepada pengusaha sebagai pengelola (mudhârib), untuk melakukan aktivitas

produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi di antara

mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad (besarnya juga

dipengaruhi oleh kekuatan pasar). Shâhibul mâl (pemodal) adalah pihak yang

memiliki modal, dan mudhârib (pengelola) adalah pihak yang pandai berbisnis, tetapi

tidak memiliki modal.

Apabila usaha tersebut mengalami kegagalan sehingga terjadi kerugian yang

sampai mengakibatkan sebagian atau seluruh modal shâhibul mâl habis, maka yang

menanggung kerugian keuangannya adalah shâhibul mâl sendiri kecuali apabila

kerugian tersebut terjadi akibat kecurangan yang dilakukan oleh mudhârib. Agunan

atau jaminan tersebut disita sebagai pengganti kerugian atau kehilangan modal yang

harus ditanggung oleh mudhârib dalam kondisi seperti diatas.13

Sistem penyelesaian sengketa menurut hukum Islam yaitu melalui perdamaian,

arbitrase dan pengadilan kekuasaan kehakiman. Dalam PBI No. 7/46/2005, terkait

dengan penyelesaian sengketa dalam Perbankan Syariah diatur dalam ketentuan Bab

III pasal 20 tentang penyelesaian sengketa sebagai berikut:

13Bank Muamalat, Konsep Al-Mudharabah, h. 28.

1. Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana

diperjanjikan dalam akad atau jika terjadi perselisihan diantara bank dan nasabah

maka upaya penyelesaian dilakukan melalui musyawarah.

2. Dalam hal musyawarah sebagaiamana dimaksud pada ayat 1 tidak mencapai

kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui alternatif

penyelesaian sengketa atau badan arbitrase syariah.

Tata cara pengajuan kredit :

a. Mencari informasi mengenai jenis produk perbankan yang akan di gunakan,

informasi di peroleh dari bagian layanan nasabah.

b. Setelah melakukan negoisasi untuk memperoleh informasi, yaitu tahap pendataan

yang akan di layani oleh bagian pemberi kredit dan tahap investigasi.

c. Bila di setujui maka selanjutnya adalah akad atau transaksi, di Bank akan di wakili

oleh bagian hukum dan investigasi. Sedangkan proses pengucuran dana akan

dilakukan bagian Teller.

d. Keputusan akan di putuskan oleh bagian komite pembiayaan.

Untuk mendapatkan fasiltas pembiayaan harus melalui beberapa tahapan yaitu :

a. Tahap permohonan (aplikasi), wawancara, pemeriksaan lokasi usaha, evaluasi dan

penilaian, negosiasi, keputusan pembiayaan, pembukaan rekening, dokumentasi,

pencairan dan monitoring.

b. Perjanjian pembiayaan pada bank dibuat dengan sederhana, sehingga pada

umumnya hanya mengatur tentang pokok dari hak dan kewajiban para pihak saja.

c. Sebagai barang jaminan, nasabah debitur dapat menyerahkan barang tidak

bergerak atau menyerahkan barang bergerak seperti BPKB kendaraan bermotor,

emas, sertifikat deposito dan lain-lain yang kemudian diikat dengan akte otentik

perjanjian pengikatan jaminan yang dibedakan berdasarkan benda yang

dijaminkan.

d. Secara yuridis pada persetujuan akad pembiayaan belum terdapat perlindungan

yang memadai terhadap nasabah debitur pada perjanjian pembiayaan, namun pada

prakteknya bank memberikan keringan-keringan yang memadai bagi nasabah

untuk melunasi kembali piutangnya.

e. Perjanjian pembiayaan bank tidak secara tegas menyatakan wanprestasinya

seorang debitur, hanya ditentukan bahwa hak-hak bank hanya dapat dilaksanankan

jika telah lewat jangka waktu dan nasabah lalai dalam memenuhi kewajibannya.

Untuk penyelesaiannya diutamakan penyelesaian secara musyawarah, akan tetapi

jika musyawarah tidak membawa penyelesaian, maka dilaksanakan hak-hak atas

barang jaminan dengan tahapan penarikan jaminan, penjualan dengan lelang

terbuka, penyelesaian melalui lembaga Peradilan..

F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Metode penelitian yang digunakan adalah analisis ANN dalam bukunya

”Ruqyah Syar‟iyyah: Teori, Model dan Sistem Ekonomi” oleh Dr.Ir.H.Murasa

Sarkaniputra dan Disertasi Dr. Euis Amalia, M.Ag yang berjudul ”Reformasi

Kebijakan Bagi Penguatan Peran Lembaga Keuangan Mikro dan Usaha Kecil Mikro

di Indonesia (Analisis Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam). Metode penelitian

ini digunakan karena berhasil tidaknya suatu penelitian dipengaruhi oleh tepat

tidaknya dalam memilih metode yang akan dipakai. Dalam penelitian, metode yang

digunakan adalah metode deskriptif kualitatif yaitu suatu penelitian yang

menggambarkan atau menerangkan data secara kualitatif, dimana data yang

terkumpul berdasarkan proses pemaparan.

Proses pegumpulan data dilakukan penulis untuk menghasilkan penelitian

kualitatif menggunakan data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari Bank Syariah

Mandiri Cabang Mampang Prapatan. Untuk memperoleh data primer ini, penulis

mengadakan wawancara secara langsung dengan pihak yang telah ditunjuk oleh

Bank Syariah Mandiri Cabang Mampang Prapatan.

b. Data Sekunder

Dokumentasi atau arsip yang berhubungan dengan penelitian.

Penelitian kepustakaan (library research dari buku, artkiel dan karya ilmiah yang

berkaitan dengan penelitian).

Dalam rangka menyusun dan mengumpul bahan skripsi ini, penulis

menggunakan dua macam teknik pengumpulan data yaitu :

a. Penelitian Kepustakaan

Untuk menambah referensi serta kekayaan literatur, penelitian ini mengkaji

lebih dalam literatur yang ada, baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil

penelitian terdahulu.

b. Penelitian Lapangan

Penulis juga langsung terjun ke lapangan penelitian untuk mendapatkan data

hasil pengamatan lapangan atau informasi dari responden. Dengan menggunakan

metode deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia,

suatu objek, suatu kondisi, suatu pemikiran, atau suatu peristiwa pada masa

sekarang.

Adapun teknik penulisan, penulis merujuk kepada sistem penulisan skripsi yang

terdapat di dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta 2009.

G. Sistematika Penulisan

Pengolahan data menjelaskan bagaimana suatu data dianalisis atau diolah, dan

teknik memberikan gambaran terperinci, penulisan ini disusun bab demi bab yang

menunjukan bagaimana perbandingan konsep dan pelaksanaan jaminan pada akad

pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung

Buncit.

Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian

pustaka, kerangka teori dan konsep, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab ke dua berisi pandangan ulama tentang kedudukan jaminan pada akad

mudhârabah dan musyârakah, yang mencakup teori yang digunakan dalam penelitian.

Teori yang digunakan yaitu pengertian pembiayaan mudhârabah dan musyârakah,

landasan hukum pembiayaan mudhârabah dan musyârakah, jenis-jenis pembiayaan

mudhârabah dan musyârakah, rukun dan syarat pembiayaan mudhârabah dan

musyârakah, pandangan ulama tentang kedudukan jaminan pada akad mudhârabah

dan musyârakah.

Bab ke tiga merupakan konsep penerapan jaminan pada akad mudhârabah dan

musyârakah. Bab ini berisi karakteristik pembiayaan akad mudhârabah dan

musyârakah, konsep penerapan jaminan dalam akad mudhârabah dan musyârakah

menurut hukum positif, konsep penerapan jaminan dalam akad mudhârabah dan

musyârakah menurut hukum islam.

Bab ke empat tentang perbandingan konsep dan implementasi jaminan pada

akad pembiayaan mudharabah dan musyarakah di Bank Syariah Cabang Warung

Buncit.. Mengangkat pembahasan dari perbedaan, persamaan jaminan pada akad

pembiayaan mudhârabah dan musyârakah, juga analisis perbandingan konsep dan

implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank

Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit.

Bab ke lima adalah bagian penutup yang berisi kesimpulan hasil analisis dan

saran-saran yang bermanfaat.

BAB II

PANDANGAN ULAMA TENTANG KEDUDUKAN JAMINAN PADA AKAD

MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

A. Pengertian Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah

Secara teknis, mudhârabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak

dimana pihak pertama (shâhibul mâl) menyediakan seluruh (100%) modal,

sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudhârabah

dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi

ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si

pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si

pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.1

Dalam mengaplikasikan mudhârabah, penyimpanan atau deposan bertindak

sebagai shâhibul mâl (pemilik modal) dan bank sebagai mudhârib (pengelola). Dana

tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan mudhârabah. Dalam

pembiayaan mudhârabah, hasil usahanya akan dibagi berdasarkan nisbah yang

disepakati.2

1Ahmad Al-Syarbasi, Al-Mu’jam Al-Iqtishad Al-islam, (Beirut: Daar Al-„Alamil Kutub, 1987) dalam

Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah; Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: 2001), cet. ke-1, h.95. Lihat juga

Nrjjatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil Dalam Hukum Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima

Yasa, 1996), h. 15-18.

2Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1987), h. 73.

Mudhârabah adalah produk pembiayaan pada bank syariah yang berdasarkan

prinsip bagi hasil. Pada akad mudhârabah hubungan kontrak terjadi antara penyedia

dana (shâhibul mâl) dengan pengusaha (mudhârib). Akad Mudhârabah hampir sama

dengan akad musyârakah.

Mudharâbah, modal sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal (shâhibul

mâl), keuntungan dibagi atas persetujuan bersama, kerugian materi akan ditanggung

penuh oleh pemilik modal jika kerugian dalam berusaha tidak disebabkan oleh

kelalain si pengusaha, shâhibul mâl tidak boleh ikut campur dalam pengelolaan

usaha, tetapi boleh ikut mengawasi jalannya usaha.

Dapat disimpulkan bahwa akad mudhârabah adalah akad yang dilakukan oleh

nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha atau

pembiayaan yang bersifat produktif. Nasabah akan memberikan bagi hasil

berdasarkan keuntungan dalam kesepakatan.

Sedangkan musyârakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih

untuk suatu usaha tertentu di mana-mana masing pihak memberikan konstribusi dana

dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai

dengan kesepakatan.3

Dalam Musyârakah, keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas

untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau

penghentian musyârakah.

3Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek. h. 90.

Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh

keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang

mitra. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah

tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya. Sistem pembagian

keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad. Kerugian modal di bagi

berdasarkan persentase modal masing-masing.

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa pembiayaan musyârakah

dilakukan oleh dua orang pemilik modal atau lebih untuk menjalankan suatu proyek.

Semua pihak berhak ikut serta dalam manajemen proyek. Proporsi pembagian laba

tidak harus sebanding dengan persentase penyertaan modal, karena pada prinsipnya

penyertaan tidak hanya modal tetapi juga keahlian dan waktu. Apabila terjadi

kerugian masing-masing pihak bertanggung jawab sesuai proporsi modal masing-

masing.

B. Landasan Hukum Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah

Mudhârabah yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak

pertama menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua mudhârib, nasabah

bertindak selaku pengelola dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai

kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.

Landasan hukum positif terdapat dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang

perbankan, yakni pada ketentuan pasal 1 ayat 13 yang mendefinisikan mengenai

prinsip syariah dimana mudhârabah secara eksplisit merupakan salah satu akad yang

dipakai dalam produk pembiayaan perbankan syariah.5

Akad mudhârabah berdasarkan UU no 21 tahun 2008 tentang perbankan

syariah dan Fatwa DSN No.7/DSN-MUI/IV/2000. Mengenai pembiayaan

mudhârabah ini diatur dalam pasal 36 huruf b poin kedua PBI No.6/24/PBI/2004

tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,

yang intinya menyatakan bahwa bank wajib melaksanakan prinsip syariah dan prinsip

kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi penyaluran dana

melalui prinsip bagi hasil berdasarkan akad mudhârabah.

Dalam Fatwa DSN No.2/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 1 April 2000 bahwa

dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan dana lembaga keuangan syariah

(LKS), pihak LKS dapat menyalurkan dananya kepada pihak lain dengan cara

mudhârabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak dimana pihak

pertama (LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (nasabah) bertindak

selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi diantara mereka sesuai kesepakatan

yang dituangkan dalam kontrak.

5Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, 2007), h. 126.

Ada juga yang mengatakan diambil dari kata dharb (mengambil) keuntungan

dengan saham yang dimiliki. Disebut juga dengan qiradh, karena diambil dari kata

muqaradhah, yang artinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang dikatakan

Dua orang penyair melakukan muqaradhah

Yakni saling membandingkan syair-syair mereka. Adapun yang dimaksud

dengan qiradh disini, yaitu perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal

yang dimiliki pihak pemodal, sehingga keduanya seimbang.

QS. Al Baqarah 198

Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari

Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah

di Masyarilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang

ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar

termasuk orang-orang yang sesat.

Firman Allah QS. al-Nisa‟ [4]: 29 :

يَا أَيُهَا الَذِيهَ آمَىُىاْ لَا تَأْكُلُىاْ أَمْىَالَكُمْ بَيْىَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَا أَن تَكُىنَ

تِجَارَةً عَه تَزَاضٍ مِىكُمْ وَلَا تَقْتُلُىاْ أَوفُسَكُمْ إِنَ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً

“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil)

harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

berlaku dengan sukarela di antaramu”.6

Allâh Ta'ala berfirman : (QS al Muzzammil:20)

Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu, orang-orang yang berjalan

di muka bumi mencari sebagian karunia Allah dan orang-orang lain yang berperang

di jalan Allah.

6Dewan Syariah Nasional (DSN), Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN, 2000),

h.1.

Musyârakah adalah kemitraan antara bank dan nasabah untuk bersama-sama

memberikan modal dengan cara membeli saham untuk membiayai suatu investasi.7

Musyârakah merupakan pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak

atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan

kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung

bersama sesuai dengan kesepakatan. Dasar hukum musyârakah berdasarkan UU no

21 tahun 2008 tentang perbankan syariah dan Fatwa DSN No.8/DSN-MUI/IV/2000.

Secara teknis pembiayaan musyârakah ini diatur dalam pasal 36 huruf b poin

kedua PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan

usaha berdasarkan prinsip syariah yang initinya menyatakan bahwa bank wajib

melaksanakan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan

usahanya yang meliputi penyaluran dana melalui prinsip bagi hasil berdasarkan akad

musyârakah.8

Firman Allah QS. al-Ma‟idah [5]: 1:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.9

7Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan

Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007), h. 57.

8Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, h. 128.

9Dewan Syariah Nasional (DSN), Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN, 2000),

h.1.

C. Jenis-jenis Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah

Secara umum, mudhârabah terbagi menjadi dua jenis yaitu mudhârabah

muthlaqah dan mudhârabah muqayyadah. Mudhârabah muthlaqah dalam perbankan

syariah pada umumnya diterapkan di sisi penghimpun dana. Sedangkan dalam

kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat, bank akan cenderung memilih akad

mudhârabah muqayadah untuk memudahkan monitoring dari bank terhadap usaha

nasabah.10

1. Mudhârabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shâhibul mâl dan

mudhârib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis

usaha, waktu dan daerah bisnis. Pemilik dana memberikan dana kepada

pengusaha dan memberikan kekuasaan mutlak kepada pengusaha untuk

menggunakan dana tersebut selama kegiatan yang dilakukan dianggap

meguntungkan. Pengelola bertanggung jawab mengelola dana tersebut sebaik-

baiknya.

2. Mudhârabah muqayyadah adalah kebalikan dari mudhârabah muthlaqah.

Mudhârib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Pemilik

dana menentukan batasan-batsan tertentu kepada pengusaha dalam menjalankan

usahanya. Misalnya jenis usaha, tempat usaha, jangka waktu usaha dan lainnya.

10Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, h. 131.

Musyarâkah ada dua jenis yaiu musyârakah pemilikan dan musyârakah akad

(kontrak). Dalam musyârakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam

sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.11

Musyârakah akad terbagi dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau

lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyârakah.

Merekapun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.

Musyârakah akad terbagi menjadi :

1. Syirkah al-inan adalah kontrak dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan

suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak

berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati di antara

mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja

atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka.

Mayoritas ulama membolehkan jenis musyârakah ini.

2. Syirkah a‟maal adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima

pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu.

Musyârakah ini kadang-kadang disebut musyârakah abdan atau sanaa‟i.

Misalnya, kerja sama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek atau

kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah

kantor.

11Ibid., h. 91.

3. Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi

dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit

dari suatu perusahaaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi

dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang

disediakan oleh tiap mitra.

Jenis al-musyârakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit

berdasar pada jaminan tersebut. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut

sebagai musyârakah piutang.

4. Syirkah mufawadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih.

Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi

dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama,

dengan demikian, syarat utama dari jenis musyârakah ini adalah kesamaan dana

yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh masing-

masing pihak.12

12Al-Mabsuth, vol. XI, h. 203 dan sesudahnya; Abu Bakar Ibn Mas‟ud Al-Kasani, Al-Bada‟i

Was Sana‟i fi Tartib Ash-Shara‟i, (Beirut: Darul Kitab Al-Arabi), edisi ke-2, vol. VI, h. 72 dalam

Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah; dari Teori ke Praktek, (Jakarta: 2001), cet. ke-1, h. 92.

D. Rukun dan Syarat Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah

Rukun mudhârabah yaitu adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor dan

pengelola, objek transaksi kerjasama yaitu modal, usaha dan keuntungan, dan akad

lafal perjanjian. Menurut Zulkifli, rukun mudhârabah yaitu pemilik modal, pemilik

usaha, proyek, modal, ijab dan qabul serta nisbah bagi hasil.13

Rukun-rukun syirkah ini ada tiga:

a. Dua pihak transaktor yang memiliki kompetensi beraktivitas. Boleh dilakukan

bersama non muslim, asal dia tidak dibiarkan mengoperasikan modal sendirian,

karena khawatir akan memasuki berbagai bentuk usaha yang diharamkan.

b. Objek transaksi yakni modal, usaha dan keuntungan. Modal syaratnya harus

diketahui dan harus ada ketika dilakukan transaksi pembelian, tidak boleh berupa

hutang di tangan orang yang kesulitan membayarnya. Sementara berkaitan dengan

usaha, masing-masing dari transaktor bebas beroperasi sesuai dengan kebiasaan

dikalangan para pedagang. Masing-masing juga bisa menyerahkan tugasnya

kepada pihak lain. Adapun tentang keuntungan, syaratnya harus diketahui

prosentasenya.

c. Pelafalan perjanjian, yakni yang disebut ijab qabul. Pelafalan ini dapat dilakukan

dengan segala cara yang dapat mengindikasikan kearah terlaksananya perjanjian,

baik berupa ucapan maupun tindakan.

13Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2007), cet.

ke-3, h. 57.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun akad mudhârabah

adalah Ijab dan Qabul. Sedangkan menurut Jumhur, rukun mudhârabah terdiri atas

shâhibul mâl dan mudhârib, modal, pekerjaan, keuntungan, ijab dan qabul.14

Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa akad mudhârabah dibagi ke dalam dua

golongan yaitu mudhârabah fasidah dan mudhârabah shohihah. Jika mudhârabah

yang dilakukan itu jatuh kepada fasid, menurut ulama Hanafiyah, Syafi‟iyah dan

Hanabilah, maka pekerja itu hanya berhak menerima upah kerja sesuai dengan

standar yang berlaku di daerah itu. Sementara seluruh keuntungan menjadi milik

shâhibul mâl.

Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa dalam mudhârabah fasidah, status pekerja

tetap seperti dalam mudhârabah shahihah. Artinya bahwa pengelola tetap

mendapatkan bagian dari keuntungan. Namun yang terpenting adalah proses dan

faktor yang menyebabkan adanya unsur ketidak jelasan tersebut.15

Adapun syarat-syarat mudhârabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan

Jumhur Ulama di atas adalah :

a. Orang yang berakal harus cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai

wakil.

b. Mengenai modal disyaratkan : berbentuk uang, jelas jumlahnya, tunai, dan

diserahkan sepenuhya kepada mudhârib (pengelola).

14Azharuddin lathif, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 135.

15Ibid., h. 37.

Oleh karenanya jika modal itu berbentuk barang, menurut Ulama Fiqh tidak

diperbolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya.

c. Yang terkait dengan keuntungan disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus

jelas dan bagian masing-masing diambil dari keuntungan dagang itu.

Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa akad mudhârabah pelaku akad, objek

akad, dan ijab kabul. Adapun syaratnya adalah modal harus berupa uang, modal harus

jelas dan diketahui jumlahnya, modal harus tunai bukan utang, modal harus

diserahkan kepada mitra kerja.

Rukun dari akad musyârakah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada

beberapa, yaitu :16

1. Pelaku akad yaitu para mitra usaha

2. Objek akad yaitu modal, kerja, dan keuntungan

3. Ijab dan Kabul

Syarat-syarat umum syirkah :

Jenis usaha fisik yang dilakukan dalam syirkah ini harus dapat diwakilkan

kepada orang lain. Hal ini penting karena dalam kenyataan, sering kali satu patner

mewakili perusahaan untuk melakukan dealing dengan perusahaan lain.

Keuntungan yang didapat nanti dari hasil usaha harus diketahui dengan jelas.

Masing-masing patner harus mengetahui saham keuntungannya. Keuntungan harus

disebar kepada semua patner.

16Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 52.

Syarat-syarat khusus:

Modal yang disetor berupa barang yang dihadirkan. Tidak diperbolehkan modal

masih berupah utang atau uang yang tidak dapat dihadirkan ketika akad. Tidak

disyaratkan modal yang disetor oleh para patner itu dicampur satu sama lain.

Modal harus berupa uang kontan. Tidak diperbolehkan modal dalam bentuk

harta yang tidak bergerak atau barang. Karena barang-barang ini tidak dapat dijadikan

ukuran sehingga akan menimbulkan persengketaan di kemudian hari karena

keuntungan yang dihasilkannya juga menjadi tidak jelas proporsinya dengan modal

yang disetor akibat sulitnya dinilai.

Dapat ditarik kesimpulan rukun musyârakah sama dengan mudhârabah yaitu

pelaku akad, objek akad, dan ijab kabul. Adapun syarat musyârakah adalah

keuntungan yang didapat nanti dari hasil usaha harus diketahui dengan jelas. Modal

yang disetor harus berupa barang yang dihadirkan, tidak diperbolehkan modal masih

berupa hutang.

E. Pandangan Ulama tentang Jaminan dalam akad Mudhârabah dan Musyârakah

Di Indonesia, praktek pengenaan jaminan untuk pembiayaan mudhârabah dan

musyârakah sah adanya baik berdasarkan UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan

maupun menurut peraturan Bank Indonesia. Bahkan Majelis Ulama melalui lembaga

Dewan Syari‟ah Nasional (DSN) juga membolehkan praktek jaminan tersebut.

Dalam fiqih Islam, mudhârabah merupakan salah satu bentuk kerjasama

antara shâhibul mâl (investor) dengan seorang pihak kedua (mudhârib) yang

berfungsi sebagai pengelola dalam berdagang. Istilah mudhârabah oleh ulama fiqh

Hijaz menyebutkan dengan Qiradh.

Mudhârabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan.

Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang

memukul kakinya dalam menjalankan usaha.17

Secara terminologi, para Ulama Fiqh

mendefinisikan mudhârabah atau qiradh dengan: “Pemilik modal (investor)

menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan,

sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut

kesepakatan”.

Musyârakah di dalam bahasa arab berasal dari kata syaraka yang artinya

pencampuran atau keikutsertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu

dengan sejumlah modal yang di tetapkan berdasarkan perjanjian untuk bersama-sama

menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan dan kerugian dalam bagian

yang ditentukan.

Pada dasarnya dalam akad mudhârabah dan musyârakah tidak ada jaminan,

akan tetapi untuk menghindari terjadinya kemungkinan adanya penyimpangan dan

untuk memberi rasa tenang bagi kedua pihak maka lembaga keuangan syariah dapat

meminta jaminan kepada nasabah.

17Muhammad Syafi‟i antoni, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, hal. 95.

Namun menurut pandangan ulama dalam jaminan, mengingat hubungan

antara investor dengan mudhârib adalah hubungan yang bersifat gadai dan mudhârib

adalah orang yang dipercaya, maka tidak ada jaminan oleh mudhârib kepada investor.

Investor tidak dapat menuntut jaminan apapun dari mudhârib untuk mengembalikan

modal dengan keuntungan. Jika investor mempersyaratkan pemberian jaminan dari

mudhârib dan menyatakan hal ini dalam syarat kontrak, maka kontrak mudhârabah

mereka tidak sah, demikian menurut Malik dan Syafi‟i.

Meskipun dalam fiqih tidak diperbolehkan investor untuk menuntut jaminan

dari mudhârib, bank-bank Islam umumnya benar-benar meminta jaminan. Hal ini

mereka lakukan untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan dan keuntungan

yang diharapkan dari modal ini diberikan kepada bank pada saat yang ditetapkan

dalam kontrak. Jaminan dapat diberikan dari mudhârib sendiri maupun dari pihak

ketiga. Jaminan yang diminta oleh bank bank Islam tersebut tidak dibuat untuk

memastikan kembalinya modal, tetapi untuk memastikan bahwa kinerja mudhârib

sesuai dengan syarat-syarat kontrak.

Asy-Syafi‟i mengatakan Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan

barang berkriteria jelas dalam serah terima. Jika kriteria tidak berbeda (dengan

aslinya), maka wajib tidak ada keputusan. Mahzab Maliki berpendapat, gadai wajib

dengan akad (setelah akad) orang yang menggadaikan (rahn) dipaksakan untuk

menyerahkan borg (jaminan) untuk dipegang oleh yang memegang gadaian

(murtahin). Jika borg sudah berada di tangan pemegang gadaian (murtahin) orang

yang menggadaikan (rahin) mempunyai hak memanfaatkan, berbeda dengan

pendapat Imam Asy-Syafi‟i yang mengatakan, hak memanfaatkan berlaku selama

tidak merugikan atau membahayakan pemegang gadaian.18

Pada dasarnya biaya pemeliharaan barang gadai adalah kewajiban bagi rahin

dalam kedudukannya sebagai pemilik yang sah. Namun apabila marhun (barang

gadaian) menjadi kekuasaan murtahin dan murtahin mengizinkan untuk memelihara

marhun, maka yang menanggung biaya pemeliharaan marhun adalah murtahin.

Sedangkan untuk mengganti biaya pemeliharaan tersebut, apabila murtahin diizinkan

rahin, maka murtahin dapat memungut hasil marhun sesuai dengan biaya

pemeliharaan yang telah dikeluarkan.

Para ahli hukum Islam kontemporer, di antaranya adalah Muhammad Abdul

Mun‟im Abu Zaid dalam bukunya Nahwa Tathwiri Nidhami al-Mudharabah fi al-

Masharif al-Islamiyah, menyatakan bahwa jaminan untuk pembiayaan mudhârabah

dalam praktek perbankan syari‟ah diperbolehkan dan sangat penting keberadaannya

atas dasar 2 (dua) alasan berikut ini:

1. Pada konteks perbankan syari‟ah saat ini mudhârabah yang dilakukan berbeda

dengan mudhârabah tradisional yang hanya melibatkan dua pihak shâhibul mâl

dan mudhârib, di mana keduanya sudah saling bertemu secara langung.

18Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta:

Ekonisia, 2003), h. 160.

Sementara praktek mudhârabah di perbankan syari‟ah saat ini, bank berfungsi

sebagai lembaga intermediari memudhârabahkan dana shâhibul mâl yang

jumlahnya banyak kepada mudhârib lain, dan shâhibul mâl yang jumlahnya

banyak tersebut tidak bertemu langsung dengan mudhârib sehingga mereka tidak

bisa mengetahui dengan pasti kredibilitas dan kapabilitas mudhârib. Oleh karena

itu, untuk menjaga kepercayaan dari nasabah investor, bank syari‟ah harus

menerapkan asas prudential, di antaranya dengan mengenakan jaminan kepada

nasabah penerima pembiayaan.

2. Situasi dan kondisi masyarakat saat ini telah berubah dalam hal komitmen

terhadap nilai-nilai akhlak yang luhur, seperti kepercayaan (trust) dan kejujuran.

Berkaitan dengan hal ini, Abdul Mun‟im Abu Zaid dalam karyanya yang lain “Al-

Dhaman fi al-Fiqh al-Islamy” juga menyatakan bahwa faktor terbesar yang

menjadi hambatan perkembangan perbankan syari‟ah, khususnya dalam bidang

investasi adalah rendahnya moralitas para nasabah penerima dana pembiayaan

dalam hal kejujuran (al-shidq) dan memegang amanah (al-amanah). Oleh sebab

itu, larangan jaminan dalam mudhârabah karena bertentangan dengan prinsip

dasarnya yang bersifat amanah bisa berubah karena adanya perubahan kondisi

obyektif masyarakat dalam bidang moralitas. sesuai dengan kaidah al hukmu

yaduru ma‟a illat wujudan wa „adaman. Artinya: keberadaan hukum ditentukan

oleh ada atau tidaknya „illat (alasan). Jika „illat berubah maka akibat hukumnya

pun berubah. Namun demikian, meskipun jaminan dalam mudhârabah dalam

praktek perbankan saat ini diperbolehkan, tetapi disyaratkan bahwa jaminan

tersebut harus didasarkan pada tujuan menjaga agar tidak terjadi moral hazard

berupa penyimpangan oleh pengelola dana (taqshir al-amiil), bukan bertujuan

mengembalikan modal bank atau sebagai ganti rugi (dhaman) setiap kerugian atas

kegagalan usaha mudhârib secara mutlak. Oleh karena itu, jaminan hanya dapat

dicairkan apabila pengelola dana terbukti melakukan pelanggaran (ta‟addi),

kelalaian (taqshir), atau menyalahi kesepakatan yang telah ditentukan

(mukhalafatu al syurut). Di samping itu, kewajiban adanya jaminan dalam

mudhârabah tidak harus dibebankan kepada mudhârib tetapi bank dapat meminta

jaminan kepada pihak ketiga yang akan menjamin mudhârib bila melakukan

kesalahan.

BAB III

KONSEP PENERAPAN JAMINAN

PADA AKAD MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

A. Karakteristik Pembiayaan Akad Mudhârabah dan Musyârakah

Pembiayaan mudhârabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS

kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif. Dalam pembiayaan ini LKS

sebagai shâhibul mâl (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek

(usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudhârib atau pengelola

usaha. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan

ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).

Mudhârib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan

sesuai dengan syari‟ah dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau

proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.1

Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai

dan bukan piutang. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat

dari mudhârabah kecuali jika mudhârib (nasabah) melakukan kesalahan yang

disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan

mudhârabah tidak ada jaminan, namun agar mudhârib tidak melakukan

penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudhârib atau pihak ketiga.

1Dewan Syarian Nasional (DSN), Himpunan fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN, 2000),

h.3.

Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudhârib terbukti melakukan

pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad. Kriteria

pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh

LKS dengan memperhatikan fatwa DSN. Biaya operasional dibebankan kepada

mudharib. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau

melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi

atau biaya yang telah dikeluarkan.

Pembiayaan musyârakah: pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh

para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad),

dengan memperhatikan hal-hal berikut:2

a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak.

b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.

c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan

cara-cara komunikasi modern.

Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal

berikut:

a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.

b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra

melaksanakan kerja sebagai wakil.

2Dewan Syarian Nasional (DSN), Himpunan fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN, 2000),

h.2.

c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis

normal.

d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan

masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas

musyârakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan

kelalaian dan kesalahan yang disengaja.

e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk

kepentingannya sendiri.

Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian): modal yang diberikan

harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset

perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk

aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.

Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau

menghadiahkan modal musyârakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.

Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyârakah tidak ada jaminan, namun untuk

menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.

Kerja: Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan;

musyârakah akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang

mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia

boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. Setiap mitra

melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya.

Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.

Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan

perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian

musyarakah. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar

seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan

bagi seorang mitra.

Dengan pengertian di atas, kesimpulan dari karakteristik akad musyârakah adalah:

a. Dalam pembiayaan musyârakah setiap mitra tidak dapat menjamin modal mitra

lainnya, namun setiap mitra dapat meminta mitra lainnya untuk menyediakan

jaminan atas kelalaian atau kesalahan yang di sengaja.

b. Keuntungan atau pendapatan musyârakah dibagi di antara mitra musyârakah

berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian musyârakah dibagi diantara mitra

musyârakah secara proporsional berdasarkan modal yang disetorkan Keuntungan

dibagi menggunakan nisbah yang disepakati dan menggunakan nilai realisasi

keuntungan jaminan modal, setiap mitra dapat meminta mitra lainnya untuk

menyediakan jaminan atas kelalaian atau kesalahan yang di sengaja.

c. Perjanjian: untuk menghindari persengketaan di kemudian hari, sebaiknya akad

kerjasama dibuat secara tertulis dan dihadiri para saksi. Akad atau perjanjian

tersebut harus mencakup berbagai aspek antara lain terkait dengan besaran modal

dan penggunaannya (tujuan usaha musyârakah), pembagian kerja diantara mitra,

nisbah yang digunakan sebagai dasar pembagian laba, periode pembagian laba

dan lain sebagainya.

d. Persengketaan: Apabila terjadi perselisihan diantara dua belah pihak maka dapat

diselesaikan secara musyawarah diantara mereka berdua atau melalui badan

arbitrase syari‟ah.

Sedangkan karakteristik akad mudhârabah:

a. Shâhibul mâl (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha),

sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudhârib atau pengelola

usaha.

b. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari

mudhârabah kecuali jika mudhârib (nasabah) melakukan kesalahan yang

disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.

c. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudhârabah tidak ada jaminan, namun agar

mudhârib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari

mudhrâib atau pihak ketiga.

B. Konsep Jaminan menurut Hukum Positif

1. Pengertian Jaminan

Jaminan dalam kamus Bahasa Indonesia, jaminan berasal dari kata jamin yang

artinya adalah menanggung. Jaminan adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima

atau garansi atau janji seseorang untuk menanggung utang atau kewajiban tersebut

tidak terpenuhi.3

Jaminan adalah segala sesuatu yang diserahkan debitur kepada kreditur untuk

menjamin suatu hutang piutang dalam masyarakat. Menurut UU no.10 tahun 1998

pasal 1 ayat 23 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah agunan

tambahan yang diserahkan nasabah kepada bank dalam pemberian fasilitas

pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.4

Dalam peraturan perundang-undangan, kata jaminan terdapat dalam Pasal 1131

dan Pasal 1132 KUHPerdata, dan dalam Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU yang diubah.

Pengertian jaminan terdapat dalam SK Direksi Bank Indonesia No.23/69/KEP/DIR

pada tanggal 28 februari 1991, yaitu: "Suatu keyakinan kreditur bank atas

kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan".

3Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(Jakarta, Balai Pustaka, 1989), h. 348.

4Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003), cet.

ke-3, h.73.

Dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank

wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas i‟tikad dan

kemampuan serta kesanggupan nasabah untuk melunasi hutangnya atau

mengembalikan pembiayaan yang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.5

2. Dasar Hukum Jaminan

Bahwa dasar hukum jaminan menurut hukum positif adalah Undang-undang

Perbankan No. 10 tahun 1998, peraturan Bank Indonesia No.8/3/PBI/2006 pasal 40

dinyatakan bahwa bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip

syariah wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan

kegiatan usahanya, artinya bank tidak mungkin memberikan fasilitas tanpa adanya

jaminan dan pasal 24 UU Perbankan No.14 tahun 1967 yang dinyatakan bahwa bank

tidak akan memberikan kredit tanpa adanya jaminan.

Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional

No.25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman

dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn

diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Ketentuan umum :

1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang)

sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

5Satrio, Hukum Jaminan Kebendaan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2007), cet. ke-5, h.3.

2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya marhun tidak

boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin.

3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin,

namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan

penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.

4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan

berdasarkan jumlah pinjaman.

5. Penjualan marhun

a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera

melunasi utangnya.

b. Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual

paksa/dieksekusi.

c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan

dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi

kewajiban rahin.

b. Ketentuan khusus

1. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi

perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan

melalui Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui

musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian

hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana

mestinya.

3. Manfaat Jaminan

Manfaat benda jaminan bagi debitur adalah untuk memperoleh fasilitas kredit

dan tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya. Fungsi jaminan juga

memberikan dorongan kepada debitor untuk memenuhi janjinya, khususnya

mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar

debitor dan pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah

dijaminkan kepada bank.

Sedangkan manfaat benda jaminan bagi kreditur yaitu terwujudnya keamanan

yang terdapat dalam transaksi dagang yang ditutup dan memberikan kepastian hukum

bagi kreditur. Jaminan menjamin agar debitor berperan serta dalam transaksi untuk

membiayai usahanya sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau

proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau

sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil.6

Jaminan merupakan pernyataan yang sifatnya menjamin suatu pembayaran

tertentu yang dikaitkan dengan pembayaran kewajiban nasabah kepada pihak bank.

Apabila sesuatu pembiayaan mengalami kredit macet, maka pihak bank harus

bertanggung jawab atas pembiayaan tersebut.7

4. Macam-macam jaminan

Penggolongan Jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu:

1. Jaminan yang bersifat umum.

Merupakan jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan

menyangkut semua harta benda milik debitur, sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 1131 KUHPerdata.

Yaitu "segala harta/hak kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun

yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di masa

mendatang, menjadi tanggungan untuk semua perikatan perorangan".

6Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,

2003), cet. ke-2, h. 286.

7Bank Muamalat Indonesia, Buku Panduan Pelaksanaan Pembiayaan, (Jakarta: BMT Tbk, 1996),

h.30.

2. Jaminan yang bersifat khusus.

Merupakan jaminan yang diberikan dengan penunjukan atau penyerahan atas

suatu benda/barang tertentu secara khusus, sebagai jaminan untuk melunasi

utang/kewajiban debitur, baik secara kebendaan maupun perorangan, yang

hanya berlaku bagi kreditur tertentu saja.

3. Jaminan yang bersifat kebendaan dan perorangan.

Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas

suatu benda tersebut. Penggolongan jaminan berdasarkan/bersifat kebendaan

dilembagakan dalam bentuk: hipotik (Pasal 1162 KUHPerdata), hak

tanggungan, gadai (pand), dan fidusia.

Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud

maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang

tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang

Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan

pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.

Sedangkan jaminan yang bersifat perorangan, dapat berupa borgtogh (personal

guarantee) yang pemberi jaminannya adalah pihak ketiga secara perorangan, dan

jaminan perusahaan, yang pemberi jaminannya adalah suatu badan usaha yang

berbadan hukum.

5. Eksekusi Jaminan

Eksekusi berasal dari kata “executie”, yang artinya melaksanakan putusan

hakim, dimana maksud eksekusi adalah melaksanakan secara paksa putusan

pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, guna menjalankan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Eksekusi putusan perdata berarti menjalankan putusan dalam perkara perdata

secara paksa sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku karena pihak

tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela.8 Menurut Undang-Undang

Hipotik, eksekusi jaminan mengandung hak bagi pelaksanaan pemenuhan piutangnya

terhadap benda jaminan. Jika piutangnya sudah dapat ditagih dan debiturnya ternyata

wanprestasi, maka seorang kreditur memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi

secara langsung terhadap benda yang menjadi jaminan tanpa perantara hakim.9

Menjalankan putusan pengadilan, tidak lain dari pada melaksanakan isi putusan

pengadilan, yakni melaksanakan ”secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan

alat-alat negara apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankannya secara sukarela.

Pada masa belakangan ini, menurut Yahya hampir baku dipergunakan istilah hukum

eksekusi.

8Wildan Suyuthi, Sekitar Acara dan Hukum Perdata Agama, (PUSDIKLAT: Pegawai Mahkamah

Agung RI, 2005), h. 64.

9Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-pokok Hukum Jaminan

Perorangan, (Yogyakarta: Liberty Ofset, 2001), cet. ke-2, h. 34.

Dengan pengertian di atas, maka pada prinsipnya eksekusi merupakan realisasi

kewajiban yang dikalahkan dalam putusan hakim, untuk memenuhi prestasi yang

tercantum dalam amar putusan hakim. Dengan kata lain eksekusi terhadap putusan

yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (BHT), di mana proses ini merupakan

tahap terakhir dalam proses acara berperkara di pengadilan, termasuk juga terhadap

sengketa perkara di bidang Bisnis Syari‟ah.

C. Konsep Jaminan menurut Hukum Islam

1. Pengertian Jaminan

Jaminan dalam hukum islam dikenal dengan istilah dhaman. Dhaman artinya

adalah jaminan hutang atau dengan kata lain menghadirkan seseorang atau barang ke

tempat tertentu untuk diminta pertanggung jawabannya atas barang jaminan.

Dalam kamus istilah fiqh, jaminan adalah suatu jenis perjanjian dengan cara

memberikan barang yang dijadikan sebagai penguat kepercayaan dalam masalah

hutang piutang.10 Jika ditinjau dari segi istilah, dhaman dalam hukum positif sama

dengan penanggungan hutang yaitu suatu perjanjian dimana pihak ketiga menangguh

tempo guna kepentingan yang berhutang mengikatkan diri untuk memenuhi

perikatannya si berhutang manakala ia tidak mampu memenuhinya.

10M. Abdul Mudjieb, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 132.

Tidak ada penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah. Namun

kiranya seseorang dapat menanggung diri sebagai penanggung untuk suatu perikatan,

walaupun perikatan itu dapat dibatalkan dengan suatu tanggungan yang hanya

mengenal dirinya pribadi si berhutang, misalnya dalam hal belumnya adanya sifat

kedewasaan.11

Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari

fasilitas pembayaran yang diberikan. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn

sebagai harta yang bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan rahn

dengan, “menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang

mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun

sebagiannya”.

Sedangkan ulama Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Hanbali mendefinisikan gadai

(rahn) yaitu menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan

pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu. Para

ulama Mazhab Hambali (Al-Hanabilah) menjelaskan bahwa dhaman ialah

menyanggupi hak yang telah tetap atau bakal tetap atas orang lain karena beserta hak

tersebut masih tetap pada orang yang dijamin atau mrnyanggupi untuk mendatangkan

orang yang memikul suatu hak.12

11Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995), h. 10.

12Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, jilid IV, (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1994), h. 376.

6. Dasar Hukum Jaminan

Berdasarkan Surat Al-Baqarah ayat 283:

Jika (hendak bermuamalah secara tidak tunai) engkau dalam perjalanan

sedangkan engkau tidak menemukan seorang penulis, maka hendaklah ada barang

jaminan. Jika kamu sekalian saling mempercayai, maka hendaklah orang yang

dipercayai tersebut selalu menjaga kepercayaan tersebut. (Al-Baqarah: 283). 13

Pada hakekatnya, para ulama kontemporer berfatwa dan berpendapat tentang

bolehnya bagi shahibul maal untuk meminta suatu jaminan dari „amil berpijak pada

kaedah ushul fiqh yaitu „Al Mashaalih Al Mursalah” yang mengacu kepada

kebutuhan, kepentingan, kebaikan dan mashlahat umum selama tidak bertentangan

dengan prinsip dan dalil syari‟at dan benar-benar membawa kepada kebaikan

bersama yang tidak berdampak menyulitkan serta merugikan orang atau pihak lain

secara umum.14

13Ghufron A.Mas‟adi, Fiqh Muamalat Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, h.176.

14Bank Muamalat, Konsep Al-Mudharabah, (Jakarta: Grup Rekayasa Bisnis), h. 27.

7. Manfaat Jaminan

Tujuan jaminan menurut islam adalah turut dan melaksanakan serta menjunjung

tinggi kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan

nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar jaminan.

Secara spesifik, tujuan jaminan menurut islam adalah menghindari praktek ijon,

pegadaian gelap, riba dan pinjaman yang tidak wajar lainnya.15

Manfaat jaminan :

a. Memberikan dorongan kepada debitor untuk memenuhi janjinya, khususnya

mengenai pembiayaan kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui

agar debitor dan pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan

yang telah dijaminkan kepada bank

b. Memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak lembaga keuangan bahwa

kreditnya akan tetap kembali dengan cara mengeksekusi jaminan kredit.

c. Memberikan hak dan kekuasaan pada lembaga keuangan untuk mendapat

pelunaan dari agunan apabila debitor melakukan cidera janji yaitu untuk

pengembalian dana yang telah ditentukan oleh debitor pada waktu yang telah

ditentukan.

15Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta: FEUI, 2001), cet. ke-4, h.503.

Manfaat jaminan adalah proses cepat. Dalam Perbankan Syariah, nasabah dapat

memperoleh pinjaman yang diperlukan dalam waktu relatif cepat baik proses

administrasi maupun penaksiran barang jaminan. Manfaat lain dari adanya jaminan

adalah caranya cukup mudah yakni dengan membawa jaminan beserta bukti

kepemilikan jaminan. Manfaat jaminan yang tidak kalah pentingnya adalah jaminan

keamanan atas jaminan yang diserahkan dengan standar keamanan yang telah teruji

dan diasuransikan.16

8. Macam-Macam Jaminan

Jaminan yg tergolong dalam jaminan umum ialah seluruh harta debitur yang

dijadikan jaminan atas utang debitur. Jaminan khusus ialah jaminan kebendaan dan

jaminan perorangan. Jaminan perorangan adalah jaminan seseorang dari pihak ketiga

yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari debitur.

Selain jaminan perorangan, jenis lain dari jaminan adalah jaminan kebendaan.

Jaminan kebendaan adalah suatu tindakan berupa suatu penjamin yang dilakukan oleh

kreditur terhadap debiturnya, atau antara si berpiutang dengan seorang pihak ketiga

guna memenuhi kewajiban-kewajiban debitur.17

16Muhammad Firdaus, Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah, (Jakarta: Reinansan, 2005),

cet. ke-1, h. 18.

17Azharuddin Lathif, Pengantar Hukum Bisnis; Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam, (Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), cet. ke-1, h. 199.

Pemberian jaminan kebendaan selalu berupaya menyendirikan suatu bagian dari

kekayaan seseorang, si pemberi jaminan dan menyediakan guna pemenuhan

kewajiban seorang debitur. Kekayaan tersebut dapat berupa kekayaan debitur sendiri

atau kekayaan pihak ketiga. Pemberian jaminan kebendaan ini kepada kreditur

tertentu, memberikan kepada debitur tersebut suatu hak istimewa terhadap kreditur

lainnya.

9. Eksekusi Jaminan

Proses eksekusi jaminan harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan

perdata kepada Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga

turunnya putusan pengadilan.

Jenis eksekusi dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) bentuk , yaitu:

1. Melaksanakan suatu perbuatan

Jika seseorang dihukum akan melakukan suatu perbuatan, dan ternyata ia

tidak melakukannya, maka pihak yang dimenangkan, memiliki wewenang untuk

meminta pertolongan pada ketua Pengadilan agar kepentingannya didapatkan.

2. Eksekusi Riil

Eksekusi riil yaitu melakukan suatu “tindakan nyata/riil” seperti

menyerahkan sesuatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah,

melakukan suatu perbuatan tertentu, dan menghentikan suatu perbuatan atau

keadaan. Misalnya meyerahkan barang, pengkosongan sebidang tanah atau

rumah, pembongkaran, menghentikan suatu perbuatan tertentu, dan lain-lain.

Eksekusi riil ini dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata, sesuai dengan

putusan tanpa memerlukan lelang.

3. Eksekusi membayar sejumlah uang

Yaitu eksekusi yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar

sejumlah uang. Ini kebalikannya dari eksekusi riil, dimana eksekusi tidak dapat

dilakukan langsung sesuai dengan amar putusan tanpa pelelangan terlebih

dahulu. Dengan kata lain, eksekusi yang hanya dijalankan dengan pelelangan

terlebih dahulu, hal ini disebabkan nilai yang akan dieksekusi itu bernilai uang.18

Adapun proses eksekusi jaminan pada BSM Cabang Warung Buncit tidak jauh

beda dengan proses eksekusi jaminan. Jaminan yang diagunkan nasabah kepada BSM

Cabang Warung Buncit dapat dilakukan penyitaan.

Masalah eksekusi jaminan pada bank syariah tergantung kebijakan manajemen.

Ada yang memberlakukan upaya rescheduling yaitu dengan cara melakukan

penjadwalan ulang tagihan, reconditioning berupa penyelamatan terhadap kondisi

nasabah dan pembiayaan ulang dalam bentuk Al-Qardhul Hasan dan jaminan harus

tetap ada sebagai persyaratan jaminan.19

18Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta : Liberty, 1998), h.181.

19Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: AMI YKPN, 2005), cet. ke-2.

D. Konsep Penerapan Jaminan pada Akad Mudhârabah dan Musyârakah

Jaminan adalah sesuatu benda atau barang yang dijadikan sebagai tanggungan

dalam bentuk pinjaman uang. Jaminan menurut kamus diartikan sebagai tanggungan.

Jaminan adalah sesuatu yg diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan

bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yg dapat dinilai dengan uang yg timbul dari

suatu perikatan. Dalam hukum islam jaminan identik dengan kata rahn. Secara

etimologi, rahn berarti harta yang jadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang

bersifat mengikat.20

Pada dasarnya dalam akad mudhârabah dan musyârakah tidak ada jaminan,

akan tetapi untuk menghindari terjadinya kemungkinan adanya penyimpangan dan

untuk memberi rasa tenang bagi kedua pihak maka lembaga keuangan syariah dapat

meminta jaminan kepada nasabah. Biasanya bila terjadi perselisihan para pihak

sepakat untuk menyelesaikan melalui musyawarah. Apabila musyawarah tidak

menghasilkan kesepakatan, maka perselisihan sepakat untuk diselesaikan melalui

Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).

Praktek pengenaan jaminan untuk pembiayaan mudhârabah dan musyârakah

berdasarkan UU No.10 tahun 1998 tentang perbankan maupun menurut peraturan

Bank Indonesia. Bahkan Majelis Ulama melalui lembaga Dewan Syari‟ah Nasional

(DSN) yang membolehkan praktik jaminan tersebut.

20Azharuddin lathif, Pengantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam, (Jakarta: UIN Jakarta

Press, 2009), cet. ke-1, h. 208.

Dalam cara penentuan jaminan, pada dasarnya jaminan bukan menjadi tujuan

bank, yang menjadi tujuan bank adalah pemberian pembiayaan usaha. Jadi

pembiayaan usaha itulah nomor satu yang dilakukan bank. Sementara, jaminan atau

agunan hanyalah salah satu cara bank untuk menjamin apakah peminjam itu akan

melaksanakan kewajibannya dengan baik. Jaminan dianggap sebagai jalan keluar

kedua atau jalan keluar terakhir pada saat nasabah tidak melaksanakan kewajibannya

dengan baik jaminan itulah yang dicairkan untuk melunasi kewajibannya.

Bila terjadi wanprestasi dan pihak nasabah tidak bisa mengembalikan modal

pinjaman maka dilakukan pelelangan jaminan. Pada prinsipnya, islam membolehkan

jual-beli barang yang halal dengan cara lelang yang dalam fiqh disebut sebagai akad

Ba‟I muzayadah. Praktek lelang dalam bentuknya yang sederhana pernah dilakukan

oleh Rasulullah SAW.

Lelang itu sendiri merupakan suatu bentuk penjualan barang di depan umum

kepada penawar tertinggi. Lelang dapat berupa penawaran barang tertentu kepada

penawar yang pada mulanya membuka lelang dengan harga rendah, kemudian

semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga

tertinggi.

Ketentuan Umum Fatwa DSN yang memuat tentang lelang/penjualan marhun

yakni Fatwa DSN No: 25/DSN-MUI/2002 yaitu:

1. Apabila telah jatuh tempo, murtahin (Pegadaian Syariah) harus memperingatkan

rahin (nasabah) untuk segera melunasi hutangnya.

2. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka marhun dijual paksa /

dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.

3. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan

dan penyimpanan (jasa simpan-pen) yang belum dibayar serta biaya penjualan

(bea lelang pembeli, bea lelang penjual dan dana sosial- pen ).

4. Kelebuhan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi

kewajiban rahin.

BAB IV

PERBANDINGAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI JAMINAN

PADA AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

DI BANK SYARIAH MANDIRI CABANG WARUNG BUNCIT

A. Profil Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit

1. Sejarah dan Tujuan Pendirian

BSM merupakan anak perusahaan dari Bank Mandiri. Pertama didirikan pada

tanggal 1 November 1999. Pemegang saham BSM Cabang Warung Buncit adalah

99,999999% milik PT Bank Mandiri Tbk. dan 0,000001% milik PT Mandiri

Sekuritas. Bank Mandiri merupakan Bank komersial terbesar di Indonesia.

BSM Cabang Warung Buncit memiliki Dewan Pengawas Syariah yang diketuai

oleh Prof. KH. Ali Yafie, komisaris independen Ahmad Marzuki, direktur utama

Yuslam Fauzi. Adanya Bank Syariah Mandiri untuk menawarkan sistem perbankan

secara prinsip syariah, yang tidak memakai sistem riba.1

Bank Syariah Mandiri berkembang pesat selama lebih kurang 11 tahun, hal ini

dibuktikan dengan aset tahun 2011 sebesar 32,59 Triliun. BSM memiliki Cabang

pembantu di Cilitan, Kemang, Ciracas, dan Kantor Layanan Kas Syariah di Plaza

Mandiri dan Departemen Pertanian.

1Wawancara Pribadi dengan Ridwan. Jakarta, 14 Maret 2011.

Tujuan didirikan BSM Cabang Warung Buncit yaitu untuk mempromosikan

akad syariah dan mengembangkan penerapan prinsip-prinsip syariah kedalam

perbankan dan bisnis lainnnya.2

2. Visi dan Misi

Visi BSM Cabang Warung Buncit adalah menjadi bank syariah terpercaya

pilihan mitra usaha. Adapun moto BSM lebih adil dan menentramkan. Adapun misi

BSM adalah :

- Mewujudkan pertumbuhan dan keuntungan yang berkesinambungan

- Mengutamakan penghimpunan dana konsumer dan penyaluran pembiayan pada

segmen UMKM

- Merekrut dan mengembangkan pegawai yang profesional pada lingkungan kerja

yang sehat

- Mengembangkan nilai-nilai syariah universal

- Menyelenggarakan operasional perbankan sesuai standar perbankan yang sehat

3. Prinsip Operasional BSM

BSM Cabang Warung Buncit melakukan kegiatan operasionalnya mengacu

kepada prinsip syariah yang terkandung dalam al-qur‟an dan hadis Rasulullah SAW.

2Wawancara Pribadi dengan Ridwan. Jakarta, 14 Maret 2011.

a. Mudhârabah adalah akad kerja sama antara dua pihak, di mana pihak pertama

menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan

dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.

b. Musyârakah (syirkah/syarikah/serikat/kongsi) adalah bentuk umum dari usaha

bagi hasil dimana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan

manajemen usaha, dengan proporsi bisa sama atau tidak. Keuntungan dibagi

sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut

proporsi modal.

c. Murâbaha adalah transaksi jual beli barang antara bank dan nasabah.3

merupakan akad jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan

yang disepakati. Penjual harus memberi tahu harga produk yang dibeli dan

menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Jual beli ini dapat

dilakukan untuk pembelian secara pesanan.

d. Salam adalah akad jual beli barang pesanan yang pembelian barangnya

diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayarannya dilakukan di muka secara

penuh.

e. Istishna adalah akad jual beli barang antara pemesan dengan penerima pesanan.

Spesifikasi dan harga pesanan disepakati di awal akad dengan pembayaran

dilakukan secara bertahap sesuai kesepakatan.

3Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, 2007), h. 126.

f. Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui

pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas

barang itu sendiri. Ijarah serupa dengan kegiatan leasing dalam system

keuangan tradisional.4

4. Produk dan Jasa

Produk dan jasa di BSM Cabang Warung Buncit yaitu penghimpunan dana,

pembiayaan dan pelayanan jasa.5

a. Giro wadiah adalah simpanan pihak ketiga pada bank syariah (perorangan atau

badan hukum, dalam mata uang rupiah atau valuta asing) dengan prinsip

syariah, penarikannya dapat dilakukan sewaktu-waktu dengan menggunakan

cek, bilyet giro atau pemindah-bukuan lainnya.

b. Tabungan mudhârabah adalah jenis simpanan pada bank syariah yang

penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu.

Tabungan ini merupakan simpanan yang berprinsip mudhârabah (bagi hasil)

yang dapat dipergunakan oleh bank dengan imbalan bagi hasil bagi si

penyimpan dana.

4Ibid., h. 70

5Wawancara Pribadi dengan Ridwan. Jakarta, 14 Maret 2011.

c. Deposito mudhârabah merupakan suatu kerjasama antara dua pihak dimana

pihak pertama selaku pemilik dana (shâhibul mâl) menyediakan dana, dan

pihak kedua selaku pengelola dana (mudhârib) bertanggung jawab atas

pengelolaan dana.

Untuk itu pihak bank akan memberitahukan kepada pihak deposan mengenai

nisbah dan tata cara pemberian keuntungan dan perhitungan pembagian

keuntungan serta risiko yang dapat timbul dari penyimpanan dana. Apabila

telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut dicantumkan dalam akad. Periode

penyimpanan dana ditentukan berdasarkan periode bulanan. Bank dapat

memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan deposito kepada pemilik dana.

Deposito mudhârabah hanya dapat ditarik sesuai dengan jangka waktu yang

disepakati dimuka.

Prinsip Jasa (Fee Based Services) adalah suatu prinsip penetapan imbalan

sehubungan dengan kegiatan usaha lain bank syariah yang lazim dilakukan terdiri

dari:

a. Kafalah: akad pemberian jaminan yang diberikan suatu pihak kepada pihak lain

sebagai pemberi jaminan yang bertanggung jawab atas pembayaran kembali

suatu utang yang menjadi hak penerima jaminan.

b. Hiwalah: akad pemindahan piutang nasabah (muhil) kepada bank (muhal’alaih)

dari nasabah lain (muhal). Muhil meminta muhal’alaih untuk membayarkan

terlebih dahulu piutang yang timbul dari jual beli. Pada saat piutang tersebut

jatuh tempo, muhal akan membayar kepada muhal’alaih. Muhal akan

memperoleh imbalan sebagai jasa pemindahan piutang.

c. Wakalah: akad pemberian kuasa dari dari pemberi kuasa (muwakhil) kepada

penerima kuasa (wakil) untuk melaksankan tugas (taukil) atas nama pemberi

kuasa.

d. Rahn: akad penyerahan barang harta (marhun) dari nasabah (rahin) kepada

bank (murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh utang.

B. Perbedaan Akad Mudhârabah dan Musyârakah

Mudhârabah dan musyârakah atau yang sering dikenal dengan istilah profit and

loss sharing (PLS) adalah dua model perkongsian yang direkomendasikan dalam

Islam karena bebas dari sistem riba. Mudhârabah biasanya diterapkan pada produk-

produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana mudhârabah

diterapkan pada:

a. tabungan berjangka, tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti

tabungan haji, tabungan kurban, deposito biasa;

b. deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus

untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau ijarah saja.

Adapun pada sisi pembiayaan, mudhârabah diterapkan untuk :

a. pembiayaan modal kerja, seperti pembiayaan modal kerja perdagangan dan jasa;

b. investasi khusus, disebut juga dengan mudhârabah muqayyadah, dimana sumber

dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah

ditetapkan oleh shahib al-mal (bank).6

Pada prinsipnya musyârakah tidak jauh berbeda dengan mudhârabah karena

keduanya merupakan sistem perkongsian (kemitraan) antara dua belah pihak atau

lebih untuk mengelola suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai

porsi (nisbah) yang disepakati bersama pada awal perjanjian (akad).

Mudhârabah dan musyârakah memiliki perbedaan pada beberapa hal, yaitu:

1. dalam aqad mudhârabah, shâhibul mâl menyediakan seluruh dana yang

dibutuhkan mudhârib, sedang dalam musyârakah kedua belah pihak ikut andil

dalam pemodalan (equity participation).

2. dalam manajemen mudhârabah, shâhibul mâl tidak diperkenankan melakukan

intervensi dalam bentuk apapun selain hak pengawasan untuk mengantisipasi

terjadinya penyelewengan, sedang dalam musyârakah masing-masing pihak dapat

turut dalam manajemen.7

6Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktek, h. 97.

7Ibid., h. 97

3. mudhârabah bagi hasil (porsi nisbah) ditentukan pada awal akad yang diberikan

setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudhârib selesai dijalankan, sedang

dalam musyârakah porsi nisbah bagi hasil yang diperoleh sangat ditentukan oleh

besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan frekuensi keikutsertaan dalam proses

manajemen.

4. mudhârabah kerugian ditanggung oleh shâhibul mâl selama kerugian tersebut

bukan disebabkan oleh kelalaian dari pihak mudharib, sedang dalam musyârakah

kedua pihak sama-sama menanggung kerugian tersebut.

C. Aplikasi Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah di Bank Syariah Mandiri

Cabang Warung Buncit

Adapun aplikasi pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di BSM Cabang Warung

Buncit adalah sebagai berikut:

Ketika nasabah mengajukan pembiayaan mudhârabah atau musyârakah pada

BSM Cabang Warung Buncit maka pihak bank akan menanyakan tentang

kepemilikan rekening di bank tersebut. Apabila nasabah belum mempunyai rekening

maka nasabah diharuskan membuka rekening tabungan. Nasabah diharuskan mengisi

formulir pembukaan rekening dan melampirkan photo copy Kartu Tanda Penduduk

dan setoran awal sebesar 80 ribu.8

8Wawancara Pribadi dengan Ridwan. Jakarta, 14 Maret 2011.

Setelah menjadi nasabah BSM Cabang Warung Buncit, maka ia akan

mendapatkan nomor rekening dan buku tabungan, lalu mengisi persyaratan dukumen

untuk permohonan pembiayaan mudhârabah atau musyârakah.

Persyaratan tersebut diantaranya mengisi formulir permohonan pembiayaan,

photo copy kartu keluarga, pas foto, apabila sudah menikah maka mengisi surat

persetujuan suami-istri, melampirkan photo copy surat nikah, rekening tabungan,

telepon, rekening listrik dan photo copy jaminan bila berupa BPKB atau sertifikat

tanah/SHM (Surat Hak Milik) dan SPPT PBB untuk tanah.

Setelah persyaratan dokumen lengkap, maka tahap selanjutnya akan dianalisis

sebagai bahan pertimbangan pihak bank. Dalam pembiayaan mudhârabah atau

musyârakah di BSM Cabang Warung Buncit minimal pembiayaan adalah 50 juta dan

maksimal tidak terbatas sesuai permintaan nasabah. Sedangkan pembiayaan dibawah

50 juta akan masuk ke UMKM, dan dalam pembiayaan harus disertakan jaminan

yang nominalnya diatas nilai pinjaman.

Tahap selanjutnya setelah pendataan maka pelaksana Marketing Support

melakukan survei untuk melihat secara langsung kondisi nasabah tersebut dan

melakukan analisis apakah nasabah tersebut memenuhi kriteria 5C yaitu character,

capital, condition, coleteral dan capacity. Penilaian terhadap karakter dapat dilakukan

denggan melihat watak dan sifat untuk menjadi tolak ukur tentang kesanggupan dan

kemauan nasabah untuk membayar.9

9Wawancara Pribadi dengan Ridwan. Jakarta, 14 Maret 2011.

Untuk menilai nasabah yang mengajukan pembiayaan bisa dilihat dari

kelayakan usaha yang dilakukan dengan melihat kondisi ekonomi, sosial, dan politik.

atau melihat kondisi keuangan tagihan listrik, tagihan telepon apakah lancar atau

mengalami kemacetan.

Setelah tahap survei maka Komite Pembiayaan Bank Syariah Mandiri Cabang

Warung Buncit yang menerima dan mempertimbangkan pengajuan pembiayaan

mudhârabah atau musyârakah yang diajukan nasabah.

Jika pembiayaan mudhârabah atau musyârakah ini ditolak maka pihak bank

akan mengembalikan seluruh data dan dokumen yang telah diserahkan. Tahap akhir

adalah pencairan dana yang dilakukan di bagian keuangan. Pihak BSM Cabang

Warung Buncit akan melakukan monitoring kepada pengelola dana dengan

memantau pembayaran cicilan oleh nasabah yang melakukan pinjaman modal. Hal

tersebut untuk menghindari risiko wanprestasi yang tidak membayar cicilan tidak

tepat waktu. Bila terjadi kemacetan maka akan diberi teguran, surat peringatan

sampai eksekusi jaminan.

D. Implementasi Jaminan pada Akad Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah

di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit

Jaminan yang diberlakukan di BSM Cabang Warung Buncit besarnya mencapai

80%. Hal tersebut dilakukan agar nasabah memiliki tanggung jawab untuk

mengembalikan pinjaman kepada BSM Cabang Warung Buncit, jaminan tersebut

merupakan syarat yang menentukan dibatalkan atau disetujui dalam pengajuan

pembiayaan mudhârabah dan musyârakah.

Bila tidak ada jaminan dalam permohonan pembiayaan, maka pihak bank tidak

akan menyetujui permohonan tersebut, karena BSM Cabang Warung Buncit

melakukan prinsip kehati-hatian agar nasabah tidak lari dari tanggung jawab

pengembalian pinjaman, dimana dengan menerapkan adanya jaminan bila nasabah

tidak mampu membayar cicilan tersebut maka jaminan tersebut yang digunakan

sebagai tebusannya.

Jaminan yang diserahkan pihak nasabah kepada BSM Cabang Warung Buncit

adalah surat-surat kepemilikan bukan barangnya secara langsung. Jaminan barang

tersebut dapat digunakan nasabah sehari-hari. Hal ini bertujuan untuk mempermudah

peminjam (nasabah) dalam melaksanakan kesahariannya. Surat-surat diamankan

pihak bank sebagai jaminan pembiayaan dan sewaktu-waktu dapat digunakan bila

nasabah mengalami wanprestasi. Namun bila perjanjian bank dan nasabah selesai dan

pihak nasabah telah mengembalikan modal pinjaman beserta keuntungan bagi hasil

maka jaminan tersebut akan dikembalikan pihak nasabah.

Pihak bank akan memberikan toleransi dengan memberikan jangka waktu

kepada nasabah dalam mengembalikan pinjaman bila terjadi kemacetan dalam

pengembalian pinjaman. Namun bila jangka waktu yang diberikan, nasabah belum

bisa mengembalikannya maka pihak bank akan memberi surat teguran atau surat

pemberitahuan keterangan telambat. Jika dalam waktu seminggu belum juga dapat

mengembalikan dana pinjaman maka akan diberikan surat peringatan.10

Surat peringatan akan diberikan sebanyak tiga kali dalam batas waktu

pengembalian, apabila nasabah juga belum mampu mengembalikan maka pihak bank

memberikan surat peringatan keras dimana peringatan tersebut akan melakukan

eksekusi jaminan bila nasabah tidak dapat lagi mengembalikan pinjamannnya. Tujuh

hari berikutnya pihak bank akan memanggil pihak nasabah. Jika belum ada respon

pertanggung jawaban nasabah, maka pihak Bank Syariah Mandiri akan mengeksekusi

jaminan nasabah. Jaminan eksekusi akan dijual atau dilelang atas persetujuan nasabah

sesuai perjanjian yang telah ditentukan.

Setelah jaminan dilelang atau dijual maka hasil penjualan akan diberikan

kepada pihak bank dan bila ada kelebihan dari sisa pinjaman dari hasil penjualan akan

diberikan kepada nasabah. Biaya dalam eksekusi jaminan akan dilimpahkan

sepenuhnya pada pemilik jaminan.

10Wawancara Pribadi dengan Ridwan. Jakarta, 14 Maret 2011.

E. Analisis Perbandingan Konsep dan Implementasi Jaminan pada Akad

Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah di Bank Syariah Cabang Warung

Buncit

Analisis kesesuaian konsep dan implementasi menggunakan ANN (Artificial Neuron

Network). Adapun variabel yang digunakan adalah:

1. Keamanan bank 3. Pemenuhan janji

2. Kepastian hukum 4. Kelanjutan kerjasama

Tingkat kesesuaian konsep dan implementasi sistem jaminan di BSM Cabang Warung

Buncit setinggi 90%, score (1-5).

No Manfaat Jaminan Score Bobot Output

1 Keamanan bank 5 0.3 1.5

2 Kepastian hukum 4 0.3 1.2

3 Pemenuhan janji 4 0.2 0.8

4 Kelanjutan kerjasama 4 0.1 0.4

Jumlah output 3.9

Dalam penelitian ini, analisis bersifat kompleks (antara variabel saling berpengaruh).

Adapun fungsi transformasi ditunjukan oleh rumus ANN: YT

= [1 / (1 + e-Y

)]

Dimana Y adalah output dari proses hubungan yang saling mempengaruhi perkalian

antara nilai score dan nilai bobot tiap-tiap variabel.

Diketahui Y adalah 3.9 atau 39% (jumlah keseluruhan output)

YT

= [1 / (1 + e-Y

)]

YT

= [1 / (1 + e-3.9

)]

YT

= [1 / (1 + 0.02)]

YT

= 0.98 atau 98%

Setelah dihitung dengan rumus ANN, nilai yang dihasilkan adalah 0.98 atau 98%,

artinya kebijakan yang dilakukan oleh manajemen dapat diteruskan pada tahun-tahun

berikutnya.

Adanya jaminan di BSM Cabang Warung Buncit mengacu pada Undang-

undang Perbankan No.10 tahun 1998 Pasal 1 No.23 yaitu agunan adalah jaminan

tambahan yang diserahkan nasabah kepada debitur kepada bank dalam rangka

pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

Meskipun dalam fiqih tidak diperbolehkan investor untuk menuntut jaminan

dari mudhârib, bank-bank Islam umumnya benar-benar meminta jaminan. Hal ini

mereka lakukan untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan dan keuntungan

yang diharapkan dari modal ini diberikan kepada bank pada saat yang ditetapkan

dalam kontrak. Jaminan dapat diberikan dari mudhârib sendiri maupun dari pihak

ketiga. Jaminan yang diminta oleh bank bank Islam tersebut tidak dibuat untuk

memastikan kembalinya modal, tetapi untuk memastikan bahwa kinerja mudhârib

sesuai dengan syarat-syarat kontrak.

Ada beberapa hal yang mendasari bank dalam memberikan nilai jaminan:

1. Untuk usaha yang dijamin dengan menggunakan uang tunai yang nilainya seratus

persen. Jadi, kalau misalnya Anda meminjam uang dengan jaminan sebesar Rp

100 juta maka nilainya dihitung sama Rp 100 juta.

2. Untuk usaha yang memiliki jaminan tanah maka ada beberapa ketentuan karena

untuk jaminan tanah ini ada beberapa hak antara lain tanah milik, tanah hak guna

bangunan, dan tanah hak sewa. Untuk tanah hak milik, bank memberikan nilai

antara 70% hingga 80%. Untuk tanah hak guna bangunan nilainya antara 60%

sampai 70%, jaminan hak sewa itu tergantung banknya tetapi biasanya sekitar

50%. Kebanyakan persentase untuk bank ini menggunakan nilai PBB (pajak bumi

dan bangunan) yang biasanya nilainya setengah dari harga pasar dan nilai likuidasi

yaitu nilai saat menjual barang jaminan (untuk nilai ini biasanya sudah

diperhitungkan biaya lelang, biaya notaris). Sebaliknya, bank jarang menggunakan

nilai pasar (atau nilai jual sekarang).

3. Jaminan persediaan baik persediaan barang maupun persediaan piutang. Dalam

jaminan persediaan ini dikenal adanya resi gudang. Akibat resi gudang ini, nilai

persediaan barang bisa naik nilainya antara 50% hingga 60%, tapi kalau tanpa resi

gudang, maka jaminan persediaan barang tidak ada nilainya atau jika ada maka

nilainya sangat rendah. Hal ini disebabkan karena jaminan ini tidak bisa dipegang.

Penilaian bank atas barang jaminan bersifat konservatif dalam arti benar-benar

menjamin kepentingan bank karena diharapkan nilai jaminan itu saat dieksekusi

harganya akan sama dengan yang diperkirakan oleh bank. Perkiraan bank itu

berdasarkan pengalaman pada saat bank mengeksekusi atau pada saat menjual barang

jaminan, karena menjual jaminan pada saat kolaps harganya akan jauh dibandingkan

menjual pada saat usaha sedang berkembang. Oleh karena itu, bank mengambil nilai

pada saat perusahaan macet. Pada prinsipnya, bank memang bukan membayar barang

jaminan tetapi membiayai usaha.

Apabila nasabah tidak mampu mengembalikan pinjaman maka pihak bank akan

mengeksekusi atau melakukan pelelangan terhadap jaminan nasabah. Jual beli ini

diperbolehkan karena bukan merupakan jual beli atas jual beli orang lain. Jual beli

barang jaminan dengan cara lelang akan disebut sah apabila memenuhi syarat-syarat

dalam jual beli, adanya syarat kejelasan dalam hal wujud barang, kualitas, ukuran

ataupun harga. Dan pada dasarnya jual beli lelang barang jaminan diperbolehkan

menurut perspektif hukum islam.

Di dalam Al-Qur‟an tidak ada aturan pasti yang mengatur tentang lelang, begitu

juga dengan hadits. Berdasarkan definisi lelang, dapat disamakan (diqiyaskan)

dengan jual beli di mana ada pihak penjual dan pembeli. Di mana bank dalam hal ini

sebagai pihak penjual dan masyarakat yang hadir dalam pelelangan tersebut sebagai

pihak pembeli.

Ketentuan Umum Fatwa DSN yang memuat tentang lelang/penjualan marhun

dalam Fatwa DSN No: 25/DSN-MUI/2002, yaitu:

a. Apabila telah jatuh tempo, murtahin (bank) harus memperingatkan rahin

(nasabah) untuk segera melunasi hutangnya.

b. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka marhun (barang

jaminan) dijual paksa / dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.

c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan

dan penyimpanan (jasa simpan-pen) yang belum dibayar serta biaya penjualan

(bea lelang pembeli, bea lelang penjual dan dana sosial- pen ).

d. Kelebuhan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi

kewajiban rahin.

Di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit dalam praktiknya:

a. Pihak nasabah yang telah jatuh tempo maka bank memberikan surat pemberitahuan

keterangan terlambat dan surat peringatan sebanyak 3x. Bila nasabah tidak

menghiraukan maka pihak bank akan memanggil nasabah dan mengeksekusi

langsung jaminan tersebut. Dilihat dari praktiknya, dalam hal peringatan bank

terhadap nasabah pada saat jatuh tempo, maka dapat dikatakan BSM telah sesuai

dengan ketentuan Fatwa Dewan Syariah No.25/DSN-MUI/III/2002.

b. Sanksi atas nasabah yang tidak dapat melunasi hutangnya. Fatwa DSN

memberikan ketentuan apabila nasabah tetap tidak dapat melunasi hutangnya,

maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah. BSM dalam

praktiknya, marhun yang telah jatuh tempo dan akhirnya tidak dapat ditebus oleh

rahin oleh BSM dijual. Adapun maksud dari penjualan marhun tersebut adalah

sebagai salah satu upaya pengembalian uang pinjaman beserta jasa simpan yang

tidak dapat dilunasi sampai batas waktu yang telah ditentukan. Jika dilihat dari

praktiknya, dalam hal perlakuan terhadap marhun yang jatuh tempo dan tidak

ditebus, maka BSM telah sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional

No.25/DSN-MUI/III/2002.

c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang rahin, biaya

pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar, serta biaya penjualan (biaya

lelang pembeli, biaya lelang penjual, dan dana sosial). Dilihat dari praktiknya,

dalam hal perlakuan terhadap hasil penjualan marhun, maka BSM telah sesuai

dengan ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.25/DSN-MUI/III/2002.

d. Hasil penjualan marhun diakui dan dicatat pada saat terjadinya transaksi sebesar

lakunya marhun tersebut. Kalaupun ada uang dari kelebihan penjualan marhun

menjadi hak milik rahin. Adapun yang dimaksud dengan uang kelebihan

penjualan adalah selisih antara harga lakunya penjualan dikurangi dengan uang

pinjaman ditambah jasa simpan ditambah biaya penjualan. Dilihat dari praktiknya,

perlakuan terhadap kelebihan hasil penjualan marhun di BSM, telah sesuai dengan

ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.25/DSN-MUI/III/2002.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan penulis, maka penulis

menyimpulkan sebagai berikut:

1. Pandangan ulama tentang kedudukan jaminan pada akad mudhârabah dan

musyârakah: menurut Malik dan Syafi‟I mengingat hubungan antara investor

dengan mudhârib adalah hubungan yang bersifat gadai dan mudhârib adalah orang

yang dipercaya maka tidak ada jaminan. Namun para ahli hukum Islam

kontemporer, di antaranya adalah Muhammad Abdul Mun‟im Abu Zaid dalam

bukunya Nahwa Tathwiri Nidhami al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyah,

menyatakan bahwa jaminan dalam praktek perbankan syari‟ah diperbolehkan

karena untuk menjaga kepercayaan dari nasabah investor, bank syari‟ah harus

menerapkan asas prudential dan kondisi masyarakat yang telah berubah dalam hal

komitmen terhadap nilai-nilai akhlak, seperti kepercayaan dan kejujuran. Oleh

sebab itu, larangan jaminan dalam mudhârabah yang prinsip dasarnya bersifat

amanah bisa berubah karena adanya perubahan kondisi obyektif masyarakat dalam

bidang moralitas. Meskipun jaminan dalam mudhârabah dalam praktek perbankan

saat ini diperbolehkan, tetapi disyaratkan bahwa jaminan tersebut harus didasarkan

pada tujuan menjaga agar tidak terjadi moral hazard berupa penyimpangan.

2. Konsep penerapan jaminan pada akad mudhârabah dan musyârakah:

Pada dasarnya dalam akad mudhârabah dan musyârakah tidak ada jaminan, akan

tetapi untuk menghindari terjadinya kemungkinan adanya penyimpangan dan untuk

memberi rasa tenang bagi kedua pihak maka lembaga keuangan syariah dapat

meminta jaminan kepada nasabah. Praktek pengenaan jaminan untuk pembiayaan

mudhârabah dan musyârakah berdasarkan UU No.10 tahun 1998 tentang perbankan

maupun menurut peraturan Bank Indonesia. Bahkan Majelis Ulama melalui

lembaga Dewan Syari‟ah Nasional (DSN) yang membolehkan praktik jaminan

tersebut. Bila terjadi wanprestasi dan pihak nasabah tidak bisa mengembalikan

modal pinjaman maka dilakukan eksekusi / pelelangan jaminan. Pada prinsipnya,

islam membolehkan jual-beli barang yang halal dengan cara lelang yang dalam fiqh

disebut sebagai akad Ba‟I muzayadah, berdasarkan ketentuan umum Fatwa DSN

No: 25/DSN-MUI/2002.

3. Konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan

musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit sudah sesuai dengan

prinsip jaminan karena mengacu pada Undang-undang Perbankan No.10 tahun

1998, Fatwa DSN No.7/DSN-MUI/IV/2000 dan Fatwa DSN No.8/DSN-

MUI/IV/2000 yang membolehkan lembaga keuangan syariah meminta jaminan.

Apabila nasabah tidak mampu mengembalikan pinjaman maka pihak bank akan

mengeksekusi atau melakukan pelelangan terhadap jaminan nasabah berdasarkan

Fatwa DSN No: 25/DSN-MUI/2002. Implementasi bank tentang pelelangan sudah

sesuai Fatwa DSN No: 25/DSN-MUI/2002 yaitu:

a. Pihak nasabah yang telah jatuh tempo maka bank memberikan surat

pemberitahuan keterangan terlambat dan surat peringatan sebanyak 3x. Bila

nasabah tidak menghiraukan maka pihak bank akan memanggil nasabah dan

mengeksekusi langsung jaminan tersebut.

b. Sanksi atas nasabah yang tidak dapat melunasi hutangnya. Fatwa DSN

memberikan ketentuan apabila nasabah tetap tidak dapat melunasi hutangnya,

maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah. BSM dalam

praktiknya, marhun yang telah jatuh tempo dan akhirnya tidak dapat ditebus

oleh rahin oleh BSM dijual. Adapun maksud dari penjualan marhun tersebut

adalah sebagai salah satu upaya pengembalian uang pinjaman beserta jasa

simpan yang tidak dapat dilunasi sampai batas waktu yang telah ditentukan.

c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang rahin, biaya

pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar, serta biaya penjualan

(biaya lelang pembeli, biaya lelang penjual, dan dana sosial).

d. Hasil penjualan marhun diakui dan dicatat pada saat terjadinya transaksi sebesar

lakunya marhun tersebut. Kalaupun ada uang dari kelebihan penjualan marhun

menjadi hak milik rahin. Adapun yang dimaksud dengan uang kelebihan

penjualan adalah selisih antara harga lakunya penjualan dikurangi dengan uang

pinjaman ditambah jasa simpan ditambah biaya penjualan.

Dari analisis tingkat kesesuaian konsep dan implementasi sistem jaminan di BSM

Cabang Warung Buncit, dengan menggunakan analisis ANN (Artificial Neuron

Network) diketahui tingkat kesesuaian antara konsep dan implementasi setinggi

0.98 atau 98%. Artinya kebijakan yang dilakukan oleh manajemen dapat diteruskan

pada tahun-tahun berikutnya.

B. Saran-Saran

Adapun masukan atau saran-saran yang bermanfaat dari penulis untuk

pembahasan skripsi ini adalah :

1. Hendaknya nasabah yang melakukan pinjaman di Bank Syariah Mandiri Cabang

Warung Buncit diharapkan memiliki rasa tanggung jawab penuh untuk

mengembalikan modal pinjaman atas pinjaman yang diberikan.

2. Pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah, untuk pembiayaan

pinjaman yang relatif kecil, sebaiknya di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung

Buncit diberikan toleransi pinjaman tanpa jaminan agar masyarakat kelas kecil

dan menengah dapat melakukan pinjaman di bank.

3. Dalam akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah, diharapkan peminjam

dan bank bersifat amanah agar masing-masing pihak memiliki rasa kepercayaan

yang penuh dalam menjalankan usahanya.

4. Dana pinjaman yang diberikan untuk pembiayaan mudhârabah dan musyârakah

adalah dana milik pribadi bank dan tabungan nasabah sehingga dengan adanya

jaminan merupakan alternatif agar peminjam mengembalikan dana pinjamannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Mudjieb M. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Abdul, Mudjieb M. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, cet ke-3.

Al-Jaziri, Abdurrahman. Fiqh Empat Mazhab. jilid IV, Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1994.

Anshori, A.Ghofur. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, 2007.

Antonio, M.Syafi‟i. Bank Syariah; dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press, 2001,

cet. ke-1.

Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Bank Muamalat Indonesia. Buku Panduan Pelaksanaan Pembiayaan. Jakarta: BMT Tbk,

1996.

Bank Muamalat. konsep Al-Mudharabah. Jakarta: Grup Rekayasa Bisnis.

Dewan Syariah Nasional (DSN). Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Jakarta: DSN,

2000.

Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bhakti,

2003.

Firdaus, Muhammad. Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah. Jakarta: Reinansan,

2005, cet. ke-1.

Harahap, Yahya. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta: Sinar

Grafika, 2007.

Lathif, Azharuddin. Fiqh Muamalah. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.

Lathif, Azharuddin. Pengantar Hukum Bisnis; Pendekatan Hukum Positif dan Hukum

Islam. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, cet. ke-1.

Mas‟adi, Ghufron A. Fiqh Muamalat Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1998.

Muhammad. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: AMI YKPN, 2005, cet. ke-2.

Perwataatmadja, Karnaen. Apa dan bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti

Wakaf, 1992.

Renaisan. Mengatasi Masalah dan Penggadaian Syariah. Jakarta: 2005.

Rodoni. Ahmad, Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Bestari Buana Murni, 2008.

Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Bandung: Al-Ma‟arif, 1987, juz XII.

Satrio. Hukum Jaminan Kebendaan. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2007, cet. ke-5.

Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: FEUI, 2001, cet. ke-4.

Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum

Perbankan Indonesi., Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007.

Soedewi Masjchoen Sofwan, Sri. Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-pokok Hukum

Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty Ofset, 2001, cet. ke-2.

Subekti. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995.

Subekti. Hukum Acara Perdata. Jakarta : BPHN, 1977.

Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonosia, 2003,

cet.ke-2.

Sumitro, Warkum. Asas-asas Perbankan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Suyuthi, Wildan. Sekitar Acara dan Hukum Perdata Agama. PUSDIKLAT: Pegawai

Mahkamah Agung RI, 2005.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989, cet. ke-2.

Undang-undang Perbankan No.7 Tahun 1992. Jakarta: Sinar Grafika, 1992, cet. ke-3.

Undang-undang Perbankan No. 10 tahun 1998. Jakarata: Sinar Grafika, 2001, cet. ke-1.

Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2003, cet. ke-2.

Wawancara Pribadi dengan Ridwan. Jakarta. 14 Meret 2011.

Zulkifli, Sunarto. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Jakarta: Zikrul Hakim,

2007, cet. ke-3.

Hasil Wawancara : Perbandingan Konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan

mudhârabah dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang

Warung Buncit

Responden : Ridwan

Jabatan : Consumer Financing Executive

Hari/Tanggal : Senen, 14 Maret 2011

Tempat : Kantor BSM Cabang Warung Buncit

Gedung Fortune Lantai Dasar

Jl. Mampang Prapatan No. 96

Jakarta Selatan

Telp. (021) 7989007, 7989009

Fax. (021) 7989006

Pertanyaan dan jawaban

X : Bagaimana Profil Umum BSM Cabang Warung Buncit?

Y : Pemegang Saham PT Bank Mandiri Tbk (99,9999999%) dan PT Mandiri Sekuritas

(0,000001%), tanggal berdiri pada 1 November 1999, Modal disetor : IDR 1 Triliun,

Modal ditempatkan : IDR 558 Milyar. Bank Mandiri dimiliki pemerintah Indonesia

sebesar 30%, merupakan Bank komersial terbesar di Indonesia, Aset lebih dari Rp

300 triliun, dengan DPS oleh Prof. KH Ali Yafie.

X : Apa visi BSM Cabang Warung Buncit?

Y : Menjadi Bank Syariah terpercaya pilihan mitra syariah

X : Apa misi BSM Cabang Warung Buncit?

Y : Mewujudkan pertumbuhan dan keuntungan yang berkesinambungan,

mengutamakan penghimpunan dana consumer dan penyaluran pembiayaan pada

segmen UMKM, merekrut dan mengembangkan pegawai professional dalam kerja

lingkungan yang sehat, mengembangkan nilai-nilai syariah universal, dan

menyelenggarakan operasional Bank sesuai standar perbankan yang sehat

X : Apa tujuan didirikan BSM Cabang Warung Buncit?

Y : Untuk mengimplementasian nilai keislaman berdasarkan prinsip syariah dalam

perbankan

X : Produk apa yang ditawarkan BSM Cabang Warung Buncit?

Y : Penghimpunan dana, pembiayaaan dan pelayanan jasa. Penghimpunan dana terdiri

dari giro wadiah, tabungan mudhârabah wadiah dan deposito mudhârabah. Dan

produk pembiayaan terdiri dari mudhârabah, musyârakah, ijarah, salam, istisna.

X : Bagaimana aplikasi pembiayaan mudhârabah?

Y : Aplikasi pembiayaan mudhârabah harus disertakan jaminan yang berupa BPKB atau

SHM (Surat Hak Milik). Dimana Bank memberikan Dana atau modal 100% kepada

nasabah, dan keuntungan sesuai nisbah bagi hasil.

X : Bagaimana aplikasi pembiayaan musyârakah?

Y : Aplikasi musyârakah juga harus disertakan jaminan yang berupa sertifikat tanah

atau SHM,dan BPKB. Pembiayaan musyârakah dimana Bank bekerjasama antara

dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, masing-masing pihak memberikan

konstribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan di

tanggung bersama sesuai dengan kesepakatan

X : Darimana sumber pembiayaan mudhârabah dan musyârakah pada BSM cabang

Warung Buncit?

Y : Berasal dari nasabah dan simpanan berjangka. Dana tersebut merupakan dana milik

masyarakat dan milik pribadi BSM Cabang Warung Buncit.

X : Berapa jumlah minimal dan maksimal untuk pembiayaan mudhârabah dan

musyârakah?

Y : Jumlah minimal untuk pembiayaan mudhârabah dan musyârakah sama yaitu

minimal 50 juta dan maksimal tidak terbatas sesuai permohonan nasabah. Untuk

pembiayaan di bawah 50 juta masuk ke dalam pembiayaan UMKM.

X : Apakah dalam setiap pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di BSM Cabang

Warung Buncit harus menyertakan jaminan?

Y : Ya, karena jaminan merupakan salah satu prosedur pembiayaan yang ditetapkan

manajemen BSM Cabang Warung Buncit dengan menggunakan prinsip prudential

demi mengamankan dana masyarakat yang disalurkan kepada nasabah yang

membutuhkan.

X : Dalam bentuk apa jaminan itu diberikan nasabah kepada BSM Cabang Warung

Buncit?

Y : Jaminan dapat berupa slip gaji dan agunan berupa BPKB, sertifikat tanah atau SHM

(Sertifikat Hak Milik).

X : Langkah apa yang ditempuh BSM Cabang Warung Buncit bila terjadi wanprestasi

atau kemacetan pada usaha nasabah?

Y : Memberikan tempo (waktu) kepada nasabah yang telah ditentukan BSM Cabang

Warung Buncit sampai usaha tersebut membaik dan bila usaha tersebut memburuk

maka akan dilakukan eksekusi jaminan.

X : Bagaimana eksekusi jaminan dilakukan?

Y : Eksekusi jaminan dilakukan apabila waktu toleransi yang telah ditentukan Bank

belum dipenuhi kewajibannya maka BSM Cabang Warung Buncit akan

menerbitkan SPKT (Surat Pemberitahuan Keterangan Telambat). Jika dalam

seminggu berikutnya nasabah belum melunasi pinjamannya maka diberikan surat

peringantan 1 kepada nasabah. Jika selama 1 bulan dan tiga kali surat peringatan

berturut-turut tidak dihiraukan maka pihak bank akan memanggil nasabah yang

besangkutan untuk mengeksekusi jaminan untuk penyelesaian tunggakan nasabah

yang tersisa.

X : Bagaimana eksekusi prosedur jaminan?

Y : Eksekusi jaminan dilakukan setelah disetujui pemilik jaminan tersebut dan eksekusi

jaminan dilelang atau dijual dihadapan pemilik barang jaminan tersebut. Harga yang

diperoleh dari harga penjualan tersebut akan diberikan kepada Bank terhadap sisa

pembayaran yang belum terlunasi. Bila terdapat kelebihan dari penjualan tersebut

akan dikembalikan kepada nasabah tersebut. Dalam pembiayaan eksekusi jaminan

menjadi tanggungan pemilik jaminan.

X : Kendala apa yang dihadapi BSM Cabang Warung Buncit dalam menerapkan pada

pembiayaan mudhârabah dan musyârakah?

Y : Salah satunya yaitu bagi nasabah yang enggan untuk menyertakan jaminan. Dan

pada saat jatuh tempo, pihak nasabah tidak mau menjual jaminan maka di selesaikan

di pengadilan perbankan (Arbitrase Syariah).

Jakarta, 4 April 2011

Mengetahui,

Yang mewancarai PT. Bank Syariah Mandiri

Kantor Cabang Warung Buncit

Hindayanti