EKSEKUSI JAMINAN TERHADAP AKAD MURABAHAH YANG BELUM JATUH...

110
i EKSEKUSI JAMINAN TERHADAP AKAD MURABAHAH YANG BELUM JATUH TEMPO: PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 362K/AG/2013) PENGADILAN AGAMA PADANG Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) OLEH DINDA MAHARANI 11140460000070 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2018 M

Transcript of EKSEKUSI JAMINAN TERHADAP AKAD MURABAHAH YANG BELUM JATUH...

i

EKSEKUSI JAMINAN TERHADAP AKAD MURABAHAH YANG BELUM

JATUH TEMPO: PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

(STUDI KASUS PUTUSAN NO. 362K/AG/2013) PENGADILAN AGAMA

PADANG

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

OLEH

DINDA MAHARANI

11140460000070

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2018 M

ii

EKSEKUSI JAMINAN TERHADAP AKAD MURABAHAH YANG BELUM

JATUH TEMPO: PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

(STUDI KASUS PUTUSAN NO. 362K/AG/2013) PA PADANG

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh

Dinda Maharani

11140460000070

Di Bawah Bimbingan

Dr. Abdurrauf, Lc., M.A

NIP. 197312152005011002

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2018 M

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “Eksekusi Jaminan terhadap Akad Murabahah yang

Belum Jatuh Tempo: Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam (Studi Kasus

Putusan No. 362K/AG/2013) PA Padang” yang ditulis oleh Dinda Maharani, NIM

11140460000070, telah diujikan dalam sidang skripsi pada Selasa, 18 Desember

2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Januari 2019

Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,

Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. NIP. 19691216 199603 1 001

Panitia Sidang:

Ketua : AM. Hasan Ali, M.A. (..................................)

NIP. 19751201 200501 1 005

Sekretaris : Dr. Abdurrauf, Lc., M.A. (..................................)

NIP. 19731215 200501 1 002

Pembimbing : Dr. Abdurrauf, Lc., M.A. (..................................)

NIP. 19731215 200501 1 002

Penguji 1 : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. (..................................)

NIP. 19670203 201411 1 001

Penguji 2 : Dr. Syahrul Adam, M.Ag. (..................................)

NIP. 19730504 200003 1 002

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini dibuat dengan sebenar-benarnya berdasarkan Panduan Penelitian

Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017

2. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir untuk

memenuhi gelar strata satu (S1) Sarjana Hukum

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa penelitian ini merupakan plagiasi dari

karya orang lain, maka konsekuensinya saya bersedia menerima sanksi

berdasarkan hukum yang berlaku.

Jakarta, 3 Oktober 2018

Dinda Maharani

v

ABSTRAK

Dinda Maharani. NIM 11140460000070. EKSEKUSI JAMINAN

TERHADAP AKAD MURABAHAH YANG BELUM JATUH TEMPO:

PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (STUDI

KASUS PUTUSAN NO. 362K/AG/2013) PENGADILAN AGAMA

PADANG. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440

H/2018 M.

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan pandangan Hukum Positif

dan Hukum Islam pada kasus eksekusi jaminan akad murabahah yang

belum jatuh tempo. Dengan adanya studi ini dapat mengetahui

perbandingan 2 (dua) perspektif hukum dalam mengatur eksekusi jaminan

ketika dalam kondisi jangka waktu perjanjian belum jatuh tempo. Studi ini

menghubungkan ketentuan perundang-undangan di Indonesia seperti UU

Hak Tanggungan, KUH Perdata, HIR, R.Bg dan sebagainya serta

ketentuan Hukum Islam seperti KHES, Fatwa DSN-MUI, dan Al-quran

Hadits dengan apa yang terjadi dalam proses putusan majelis hakim pada

putusan No. 362K/AG/2013.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah jenis penelitian normatif dan penelitian kepustakaan (library

research) dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-

undangan, putusan majelis hakim, buku-buku dan dokumen yang berkaitan

dengan judul skripsi ini.

Hasil penelitian bahwa pandangan Hukum Positif dan Hukum

Islam mengenai eksekusi jaminan menunjukkan perbedaan. Perbedaannya

dari segi etika, dalam Hukum Positif Indonesia terdapat ketentuan yang

memperbolehkan pihak kreditur memaksa mengeksekusi jaminan ketika

pihak debitur tidak mau melaksanakan isi putusan hakim walaupun jangka

waktu perjanjian belum jatuh tempo. Akan tetapi berbeda dengan Hukum

Islam proses penyitaan (eksekusi) jaminan dapat dilakukan apabila debitur

sudah benar-benar tidak mampu membayar atau tidak punya itikad baik.

Maka pihak kreditur bisa melakukan penyitaan terhadap jaminan yang

telah dilakukan pengikatan terhadap barang jaminan tersebut serta masa

berlaku perjanjian telah jatuh tempo.

Kata Kunci: Eksekusi Jaminan, Jatuh Tempo, Hukum Positif, Hukum

Islam.

Dosen Pembimbing : Dr. Abdurrauf, Lc., M.A

Daftar Pustaka : 1989 s.d 2016

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang

selalu menganugerahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu

tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya,

sahabat-sahabatnya, dan para pengikutya.

Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, dan masih terdapat kekurangan

di dalamnya. Namun, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

yang membaca dan khusunya bagi penulis. Penulis menyadari bahwa

terselesainya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak,

oleh karena itu penulis ucapkan rasa terima kasih tidak terhingga kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak A.M. Hasan Ali, MA. Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Abdurrauf, Lc., M.A. Sekretaris Program Studi Hukum

Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Sekaligus selaku dosen pembimbing skripsi,

terimakasih selalu membimbing, memberi pengarahan, dan

pembelajaran baru bagi penulis dengan kesabaran dan keikhlasan

dalam penyelesaian skipsi ini.

4. Bapak Drs. Hamid Farihi M.A. Pembimbing Akademik dan seluruh

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu

pengetahuan dan arahannya selama diperkuliahan maupun di luar

perkuliahan.

5. Kedua orang tua khususnya kepada Ibunda tercinta Suryanih yang

telah berusaha untuk menyekolahkan penulis sampai jenjang perguruan

tinggi. Serta Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan

untuk kakak dan adik penulis, Imam Azhari dan Samsul Amri yang

vii

selalu mendukung, mendoakan dan memberikan dorongan semangat

untuk penulis.

6. Terimakasih untuk sahabat-sahabat dari MAN 7 yang telah memberi

motivasi, masukan, dan semangat kepada penulis dari awal

perkuliahan sampai selesainya skripsi ini.

7. Semua Mahasiswa/i Hukum Ekonomi Syariah 2014 khususnya teman-

teman Kelas B yang tidak penulis sebutkan satu persatu terimakasih

telah membantu penulis dari awal perkuliahan sampai selesainya

skripsi ini. Semoga kita semua diberi kesuksesan dan kelancaran dalam

segala hal oleh Allah SWT.

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................... iv

ABSTRAK ....................................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .................................................................................................... vi

DAFTAR ISI ................................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah .............................................................................................. 4

C. Pembatasan Masalah ............................................................................................. 5

D. Rumusan Masalah ................................................................................................. 5

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................. 5

F. Kerangka Teori...................................................................................................... 6

G. Metode Penelitian................................................................................................ 14

H. Sistematika Penulisan.......................................................................................... 16

BAB II TINJAUAN UMUM EKSEKUSI, JAMINAN DAN AKAD

MURABAHAH ................................................................................................ 18

A. Eksekusi .............................................................................................................. 18

1. Pengertian Eksekusi ...................................................................................... 11

2. Dasar Hukum Eksekusi ................................................................................. 21

3. Jenis Pelaksanaan Putusan Eksekusi ............................................................. 22

4. Pelaksanaan Eksekusi.................................................................................... 24

B. Jaminan ............................................................................................................... 29

1. Pengertian dan Dasar Hukum Jaminan ......................................................... 29

2. Tujuan dan Fungsi Jaminan .......................................................................... 33

3. Manfaat Benda Jaminan ................................................................................ 34

ix

4. Jaminan dalam Pembiayaan Konsumen ........................................................ 34

C. Murabahah .......................................................................................................... 37

1. Pengertian Murabahah .................................................................................. 37

2. Dasar Hukum Murabahah............................................................................. 38

3. Syarat dan Rukun Murabahah ...................................................................... 39

4. Implementasi Murabahah di Perbankan Syariah .......................................... 40

D. Review Study Terdahulu ..................................................................................... 42

BAB III EKSEKUSI JAMINAN BELUM JATUH TEMPO PERSPEKTIF

HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM ................................................ 46

A. Eksekusi Jaminan Perspektif Hukum Positif ...................................................... 46

B. Eksekusi Jaminan Perspektif Hukum Islam ........................................................ 50

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA JAMINAN TERHADAP AKAD

MURABAHAH YANG BELUM JATUH TEMPO .................................... 56

A. Duduk Perkara ..................................................................................................... 56

B. Analisis Putusan No. 362 K/AG/2013 PA Padang ............................................. 61

1. Analisis Kasus Perspektif Hukum Positif ..................................................... 64

2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Islam ....................................................... 67

BAB V PENUTUP ......................................................................................................... 73

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 73

B. Saran ................................................................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 75

LAMPIRAN ................................................................................................................... 79

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era Globalisasi mendorong terjadinya peningkatan pembangunan

di segala bidang. Salah satunya dapat kita lihat dan rasakan yaitu

berkembangnya kegiatan industri dan perdagangan. Semakin

meningkatnya kegiatan industri dan perdagangan mengakibatkan

peningkatan dalam sektor dana. Namun pada kenyataannya tidak semua

orang memiliki dana yang cukup untuk mengembangkan usahanya, maka

dari sinilah tercipta suatu produk penyaluran dana dalam dunia perbankan

dan permodalan yang kita kenal dengan transaksi kredit/pinjaman.

Penyaluran dana yang terdapat di bank konvensional dan di bank

syariah mempunyai perbedaan yang esensial, baik dalam nama, akad,

maupun transaksinya. Dalam perbankan konvensional penyaluran dana ini

dikenal dengan nama kredit sedangkan diperbankan syariah adalah

pembiayaan.

Berbeda dengan pengertian kredit yang mengharuskan debitur

mengembalikan pinjaman dengan pemberian bunga kepada bank, maka

pembiayaan berdasarkan prinsip syariah pengembalian pinjaman dengan

bagi hasil berdasarkan kesepakatan antara bank dan debitur.1

Menurut M.Syafi’I Antonio menjelaskan bahwa pembiayaan

merupakan salah satu tugas pokok bank yaitu pemberian fasilitas dana

untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit.2

Dalam Islam akad pembiayaan pinjaman disebut dengan

Murabahah. Murabahah adalah akad jual beli barang pada harga asal

dengan tambahan keuntungan yang disepakati.3 Dalam pelaksanaannya di

perbankan syariah, Murabahah merupakan skema yang paling dominan

1 Djawahir Hejazziey, Perbankan Syariah dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta:

Deepublish, 2014), h. 137. 2 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani

Press, 2001), h.160. 3 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h.101.

2

digunakan dibandingkan dengan produk akad syariah lainnya.4 Ini dipilih

oleh bank karena sebagai lembaga intermediary prinsip kehati-hatian

(prudential) bank bisa diterapkan dengan efektif dan efisien sehingga

resiko kerugian bank bisa diminimalisir.

Dalam pembayaran Murabahah secara angsur, bank sering

berhadapan resiko macet. Bank diperbolehkan bahkan “selalu” meminta

jaminan dari nasabah yang diikat dengan pembebanan Hak Tanggungan

maupun penjaminan lainnya. Sehingga ketika nasabah mengalami macet,

dapat dinilai sebagai wanprestasi dan bank berhak melelang sendiri atau

mengajukan permohonan eksekusi lelang baik kepada KPKNL maupun

Pengadilan Agama.5

Al-Quran menyatakan bahwa dianjurkan untuk menghadirkan

barang jaminan dalam bermuamalah. Hal tersebut dijelaskan di dalam Q.S.

Al-Baqarah: 283:

ضت قب ي ا كاتبا فس نى تجد تى ػه سفس إ ك

Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak

memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan

yang dipegang (oleh yang berpiutang).”6

Berdasarkan penjelasan ayat, maka dalam kasus bank syariah

analisa pembiayaan merupakan tahapan yang penting harus dilakukan oleh

bank syariah, sebab dari analisa pembiayaan tersebut dapat mengukur

tingkat kemungkinan pembiayaan tersebut akan mengalami kegagalan,

sehingga bank syariah harus mengantisipasi kemungkinan terjadinya

kegagalan pembiayaan. Adapun faktor-faktor yang dianalisa yaitu prinsip

5C+1S yaitu character, capacity, capital, colateral, condition, dan

syariah.

4 Mardani, Hukum Periatan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 123.

5Abdul Salam, “Problem Hukum Eksekusi Hak Tanggungan atas Dasar Wanprestasi

terhadap Akad Murabahah”, Wakil Ketua Pengadilan Agama Mataram,http://arsip.pta-

mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/Artikel/Artikel_Abd_Salam_2017-04-

25_Eksekusi_Hak_Tanggunan_Atas_Dasar_Wanprestasi_dalam_Akad_Murabahah.pdf, diakses

pada tanggal 27 September 2018 pukul 11.00, h. 1. 6 Q.S. Al-Baqarah: 283.

3

Mengenai perjanjian jaminan lazimnya dikonstruksikan sebagai

perjanjian yang bersifat accessoir yaitu senantiasa merupakan perjanjian

yang dikaitkan dengan perjanjian pokok, mengabdi pada perjanjian pokok.

Dalam praktek perbankan nampak bahwa perjanjian pemberian kredit

(perjanjian pokok) dan perjanjian penjaminan (perjanjian accessoir) itu

tercantum dalam formulir (model) atau akte yang terpisah.7 Namun

walaupun dalam akte yang terpisah kedua akte itu berkaitan satu sama

lain.

Salah satu syarat yang dijadikan sebagai agunan atau jaminan

adalah berupa sertifikat tanah. Apabila terjadi cidera janji atau

wanprestasi, konsekuensinya jaminan tersebut dapat dijadikan pelunasan

Murabahah dengan cara menguangkan apa yang menjadi jaminan kredit

itu. Dalam praktek perbankan biasanya jaminan sertifikat tanah tersebut

dibebani hak tanggungan, guna memberikan perlindungan hukum bagi

kreditur apabila debitur terjadi wanprestasi atau cidera janji. Apabila

terjadi cidera janji, pihak bank yang ingin mengembalikan uangnya dari

debitur yang wanprestasi/ cidra janji, akan mengajukan permohonan

eksekusi ke Pengadilan Agama.8

Bagi bank mengajukan permohonan eksekusi lelang kepada

Pengadilan Agama terbuka meskipun wanprestasi belum jatuh tempo.

Akan tetapi eksekusi lelang pada akad Murabahah yang belum jatuh

tempo sering memunculkan perlawanan dari nasabah karena dirasakan

tidak sesuai keadilan. Hal yang perlu diketahui adalah, bahwa karakteristik

akad Murabahah sangat berbeda dengan akad murdharabah maupun

musyarakah dan akad-akad lainnya, apalagi dengan kredit konvensional.

Menurut Rumusan Kamar Agama dalam Surat Edaran Mahkamah

Agung (SEMA) RI Nomor 4 Tahun 2016, tanggal 9 Desember 2016,

halaman 9 pada angka 3, membenarkan eksekusi lelang Hak Tanggungan

7 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum

Jaminan san Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta, 2001), h. 37. 8 Nita Triana, “Eksekusi Hak Tanggungan pada Perbankan Syariah di Pengadilan Agama

Purbalingga”, Penelitian DIPA Institut Agama Islam Negri Purwokerto: 2016, h. 2.

4

yang belum jatuh tempo. Sebagai berikut: “Hak Tanggungan dan jaminan

utang lainnya dalam akad ekonomi syariah tetap dapat dieksekusi jika

terjadi wanprestasi meskipun belum jatuh tempo pelunasan sesuai dengan

yang diperjanjikan setelah diberi peringatan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku”.

Akad Murabahah pada unsurnya tidak ada modal/kredit dan tidak

ada bunga. Memang dalam Murabahah ada al-tsaman al-awwal (harga

perolehan bank), tetapi bank tidak mungkin mau hanya menuntut al-tsama

al-awwal, karena bank akan merasa rugi. Jika bank menuntut pelunasan

atas sisa kewajiban yang mestinya akan berakhir 6 tahun kemudian, maka

akan sangat memberatkan/merugikan nasabah. Disinilah dilematisnya

penerapan akad Murabahah pada perbankan syariah jika terjadi macet.9

Menurut Abdul Salam, eksekusi Jaminan Hak Tanggungan

mempunyai sifat-sifat istimewa mudah, sederhana dan pasti seperti sifat

putusan serta-merta. Akan tetapi untuk akad Murabahah sifat istemewa

Hak Tanggungan pada saat angsuran belum jatuh tempo perlu dikaji secara

yuridis, karena faktanya melahirkan ketidak adilan pada nasabah. Namun

jika eksekusi juga harus menunggu jatuh tempo, maka bank sebagai

lembaga intermediary akan dirugikan, disinilah dilematisnya eksekusi

lelang dalam akad Murabahah atas dasar gugatan wanprestasi.10

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis bermaksud untuk meneliti

tentang hukum eksekusi jaminan terhadap pembiayaan Murabahah yang

belum jatuh tempo yang berjudul “Eksekusi Jaminan Terhadap Akad

Murabahah Yang Belum Jatuh Tempo: Dalam Perspektif Hukum Positif

Dan Hukum Islam (Studi Putusan Kasus No. 362 K/AG/2013) Pengadilan

Agama Padang”.

B. Identifikasi Masalah

1. Apa yang menyebabkan nasabah kredit macet.

9 Abdul Salam, “Problem Hukum Eksekusi Hak Tanggungan atas Dasar Wanprestasi

terhadap Akad Murabahah”, h. 15. 10

Abdul Salam, “Problem Hukum Eksekusi Hak Tanggungan atas Dasar Wanprestasi

terhadap Akad Murabahah”, h. 3.

5

2. Bagaimana cara mengatasi nasabah yang kredit macet.

3. Bagaimana ketentuan pemberian jaminan kepada bank.

4. Bagaimana cara mencegah terjadinya eksekusi jaminan dari putusan

pengadilan.

C. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,

penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya

lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Di sini

penulis hanya akan membahas bagaimana pandangan hukum positif dan

hukum Islam terhadap dilakukannya eksekusi jaminan dalam akad

Murabahah yang belum jatuh tempo terhadap putusan No. 362

K/AG/2013.

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam tentang

eksekusi jaminan terhadap akad murabahah yang belum jatuh tempo?

2. Bagaimana eksekusi jaminan dapat dilakukan sebelum jatuh tempo?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme eksekusi jaminan terhadap

akad murabahah yang belum jatuh tempo dalam kasus Putusan No.

362 K/AG/2013.

b. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Hukum Positif dan Hukum

Islam tentang eksekusi jaminan terhadap akad murabahah yang

belum jatuh tempo.

2. Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:

a. Bagi Penulis

Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis

tentang Eksekusi Jaminan Terhadap Akad Murabahah Yang

Belum Jatuh Tempo.

b. Bagi Pihak Akademis

6

Sebagai kontribusi ilmiah untuk menambah ilmu dan

wawasan pengetahuan. Selain itu skripsi ini diharapkan dapat

menjadi sumber rujukan atau informasi bagi semua kalangan yang

ingin mengetahui tentang Eksekusi Jaminan Terhadap Akad

Murabahah yang Belum Jatuh Tempo dari sudut pandang hukum

positif dan hukum Islam.

c. Bagi Masyarakat

Memberi informasi kepada masyarakat muslim pada

umumnya, khususnya para pelaku bisnis syariah tentang

bagaimana Hukum Pengeksekusian Jaminan Terhadap Akad

Murabahah Yang Belum Jatuh Tempo.

F. Kerangka Teori

1. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori kebebasan

berkontrak, teori pacta sunt servanda, keadilan, kepastian hukum dan

perbandingan hukum.

a. Teori Kebebasan Berkontrak

Menurut Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia,

kebebasan berkontrak terdapat pada ketentuan pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian)

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya. Menurut hukum perjanjian di Indonesia

seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun

yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-

orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian,

pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330

KUHPerdata. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa

setiap orang bebas untuk memilih pihak yang diinginkan untuk

membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak

cakap. Bahkan lebih lanjut dalam pasal 1331, ditentukan apabila

seseorang membuat perjanjian dengan pihak yang dianggap tidak

7

cakap menurut pasal 1330 KUHPerdata tersebut, maka perjanjian

itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang

tidak cakap.11

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepanjang

ketentuan perundang-undangan tidak menentukan bahwa suatu

perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu, maka para pihak

bebas untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendaki, yaitu

apakah perjanjian akan dibuat secara lisan atau tertulis atau

perjanjisuharjatian dibuat dengan akta dibawah tangan atau akta

autentik.

Asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak,

tetapi ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal

KUH Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan

asas tidak terbatas. Berikut adalah beberapa batasan dari asas

kebebasan berkontrak ini:12

a) Kesepakatan para pihak. Pasal 1320 ayat (1) menentukan

bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat

tanpa adanya sepakat dari para pihak yang membuatnya.

Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa

kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian

dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas

kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak.

b) Ketentuan perundang-undangan. Pasal 1320 jo. 1337

menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat

perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh

undang-undang. Jika isi perjanjian terdapat hal-hal yang

11

https://www.kompasiana.com/suwandymardan/55001bbaa33311d37250fc23/asas-

kebebasan-berkontrak-dalam-hukum-perjanjian-di-indonesia, diakses pada tanggal 3 Desember

2019 pukul 11. 35. 12

https://www.kompasiana.com/suwandymardan/55001bbaa33311d37250fc23/asas-

kebebasan-berkontrak-dalam-hukum-perjanjian-di-indonesia

8

dilarang oleh undang-undang maka perjanjian itu batal

demi hukum.

c) Itikad baik para pihak. Pasal 1338 ayat (3) menegaskan

bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan

itikad baik. Dari bunyi pasal tersebut menunjukkan bahwa

kebebasan berkontrak dibatasi oleh itikad baik masing-

masing pihak. Jika dalam perjanjian itu terdapat salah satu

pihak yang beritikad jahat, maka perjanjian tersebut dapat

dibatalkan atau ditarik kembali.

b. Teori Pacta Sunt Servanda

Teori Pacta Sunt Servanda (kontak itu mengikat) ini

sebenarnya berasal dari sistem hukum Eropa Kontinental (sejak

dari zaman Romawi), yang kemudian ditulis dalam kitab undang-

undang hukum perdata di Perancis (Code Napoleon) dan juga

ditulis hampir seluruh negara di dunia yang menganut sistem Eropa

Kontinental. Dan teori pacta sunt servanda ini juga sangat kuat

berlaku dalam bidang hukum internasional, sehingga teori tersebut

telah disebut di banyak traktat dan dokumen-dokumen

internasional, yang antara lain untuk menjadi dasar bagi tunduknya

berbagai negara terhadap traktat-traktat internasional yang telah

ditandatanganinya. Sebab, negara-negara yang berdaulat tidak akan

terikat kepada apa pun kecuali terhadap hal-hal yang telah

disetujuinya secara sukarela.13

Arti harfiah dari pacta sunt servanda adalah bahwa

“kontrak itu mengikat” secara hukum. Yang dimaksud dengan teori

pacta sunt servanda adalah suatu teori yang berasal dan

berkembang dalam tradisi hukum Eropa Kontinental, yang

mengajarkan bahwa terhadap suatu kontrak yang dibuat secara sah

dan sesuai hukum yang berlaku, serta sesuai pula dengan kebiasaan

13

Munir Fuady, Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory), (Jakarta: Kencana,

2013), h. 210.

9

dan kelayakan, sehingga diasumsi sebagai kontrak yang dibuat

dengan itikad baik, maka klausula-klausula dalam kontrak seperti

itu mengikat para pihak yang membuatnya, di mana kekuatan

mengikatnya setara dengan kekuatan mengikatnya sebuah undang-

undang, dan karenanya pula pelaksanaan kontrak seperti itu tidak

boleh baik merugikan pihak lawan dalam kontrak maupun

merugikan pihak ketiga di luar para pihak dalam kontrak tersebut.14

Apabila kontrak seperti itu tidak dipenuhi ketentuannya

oleh salah satu pihak tanpa alasan yang dapat dibenarkan oleh

hukum, maka pihak tersebut telah melakukan wanprestasi sehingga

harus ganti kerugian terhadap pihak lain sesuai hukum yang

berlaku, hal mana dapat dipaksakan berlakunya melalui campur

tangan pengadilan atau campur tangan pihak yang berkompeten

lainnya.

c. Teori Keadilan

Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan terdapat

dalam karyanya Nicomachean Ethics, Politics, dan Rhetoric.

Lebih khususnya, dalam Nicomachean Ethics, buku itu

sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat

umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat

hukumnya “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya

dengan keadilan.”15

Dalam bukunya Nicomachean Ethics,

Aristoteles telah menulis secara panjang lebar tentang keadilan. Ia

menyatakan keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan

hubungan antar manusia. Kada adil mengandung lebih dari satu

arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding,

yaitu yang semestinya. Di sini ditunjukkan, bahwa seseorang

14

Munir Fuady, Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory), h.211. 15

Carl Joachim Friedrich. Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nusamedia,

2004), h. 24.

10

dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih

dari bagian yang semestinya.16

Yang sangat penting bagi sudut pandangnya ialah pendapat

bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan.

Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan

numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik

mempersamakan tiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang

sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita

maksudkan ketika mengatakan bahwa semua warga adalah sama

di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap oranh apa

yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya,

dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan

banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.17

Keadilan merupakan bagian dari nilai yang bersifat abstrak

sehingga memiliki banyak arti dan konotasi. Dalam pandangan

Aristoteles, keadilan dibentuk menjadi dua bentuk, yaitukeadilan

distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam

hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana.

Keadilan distibutif yakni keadilan yang ditentukan oleh

pembuatan undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan

kebaikan bagi anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan

proposal. Keadilan korektif yaitu keadilan yang menjamin

mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-

serangan ilegal fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur

oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara

mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara

menganti rugi atas miliknya yang hilang.18

16

Dardji Darmohardjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan Bagaimana Filsafat

Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h.155. 17

Carl Joachim Friedrich. Filsafat Hukum Perspektif Historis, h. 24. 18

Muhammad Syukri Albani Nasution dkk, Hukum Dalam Pendekatan Filsafat, (Jakarta:

Kencana, 2016), h. 207.

11

Mengenai penjelasan lebih lanjut, kita bisa mendapatkan

dari apa yang dikatakan Aristoteles. Keadilan distributif “berfokus

pada distsribusi, honnor, kekayaan, dan barang-barang lain yang

sama-sama bisa didapatkan oleh anggota masyarakat.” Dengan

mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa

yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang

berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga.

Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai

dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.

Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan

sesuatu yang salah. Jika suatu perjanjian dilanggar atau kesalahan

dilakukan, maka keadilan korektif berupaya memberikan

kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu

kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu

diberikan kepada si pelaku. Keadilan korektif bertugas

membangun kembali kesetaraan atau kesetimbangan.19

d. Teori Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum adalah suatu jaminan bahwa suatu

hukum harus dijalankan dengan cara yang baik atau tepat. Adanya

kepastian hukum dalam suatu negara menyebabkan adanya upaya

pengaturan hukum dalam suatu perundang-undangan yang

ditetapkan oleh pemerintah. Pengertian asas kepastian hukum

dalam penyelenggaraan negara adalah sebuah konsep untuk

memastikan bahwa hukum dijalankan dengan baik sehingga tidak

menimbulkan kerugian bagi siapapun. Dalam asas kepastian

hukum, tidak boleh ada hukum yang saling bertentangan, hukum

harus dibuat dengan rumusan yang bisa dimengerti oleh

masyarakat umum. Dengan demikian, asas kepastian hukum akan

mengarahkan masyarakat untuk bersikap positif pada hukum maka

19

Carl Joachim Friedrich. Filsafat Hukum Perspektif Historis, h. 25.

12

masyarakat bisa lebih tenang dan tidak akan mengalami kerugian

akibat pelanggaran hukum dari orang lain.20

e. Teori Perbandingan Hukum

Istilah perbandingan hukum atau Comparative Law

(Inggris), Rechtsvergleichung (Jerman), atau Droit Compare

(Perancis) baru dikenal pada abad ke-19. Di Amerika Serikat pada

beberapa perguruan tinggi hukum istilah Comparative Law sering

diberi arti lain, yaitu sebagai “hukum peristilahan” yang termasuk

bidang studi hukum perdata. Rudolf B. Schleisinger mengatakan

bahwa Comparative Law atau perbandingan hukum merupakan

suatu metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh

pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu.

Para ahli yang menganalisis tentang konsep hukum

komparatif, meliputi Konrad Zweigert dan Hens Kotz, Peter de

Crus, Michael Bogdan, dan Gutteridge Konrad. Zweigert dan

Hens Kotz menyajikan pengertian hukum komparatif

(comparative law). Comparative law is:

“The comparison of the deffirent legal system in the world”

Comparative law didefinisilan sebagai sebuah perbandingan

sistem hukum tersebut.michael Bogdan mengemukakan pengertian

hukum komparatif, Hukum komparatif mencakup:

“membandingkan sistem-sistem hukum yang berbeda-beda dengan

tujuan menegaskan persamaan dan perbedaan masing-masing;

bekerja dengan menggunakan persamaan dan perbedaan yang

telah ditegaskan itu, misalnya menjelaskan asal usulnya,

mengevaluasi solusi-solusi yang dipergunakan dalam sistem huku

yang berbeda, mengelompokkan sistem-sistem hukum menjadi

20

http://www.pengertianmenurutparaahli.com/pengertian-asas-kepastian-hukum/, diakses

pada 3 Januari 2019 pukul 11.28.

13

keluarga-keluarga hukum, atau mencari kesamaan inti dlam sistem

hukum tersebut; dan menguraikan masalah-masalah metodologis

yang muncul berhubungan dengan tugas-tugas ini, termasuk

masalah-masalah metodologis yang terkait dengan sistem hukum

di luar negeri”.21

Perbandingan hukum adalah suatu metode penyelidikan

akan suatu cabang ilmu hukum, sebagaimana seringkali menjadi

anggapan sementara orang. Metode yang dipakai adalah

membanding-bandingkan salah satu lembaga hukum (legal

instution) dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum

yang kurang lebih sama dari sistem hukum yang lain. Dengan

membanding-bandingkan itu maka kita dapat menemuka unsur-

unsur persamaan, tetapi juga unsur perbedaan dari kedua sistem

hukum itu.

Perbandingan hukum tidak hanya dipakai dalam bidang-

bidang ilmu hukum yag menyangkut lebih dari satu sistem hukum

seperti Hukum Perdata Internasional dan Hukum Antar Golongan.

Kini metode perbandingan hukum juga dipakai dalam pembahasan

hukum pidana, hukum konstitusionil, hukum perburuhan, hukum

tanah, hukum internasional; pendeknya kini metode perbandingan

hukum telah dipakai disegala bidang hukum untuk memperluas

pengetahuan hukum kita. 22

Bagi dunia pengembangan Ilmu Hukum, metode penelitian

Perbandingan Hukum sangat bermanfaat, oleh karena metode ini

akan menunjukkan kepada orang yang menggunakannya, bahwa

sistem-sistem hukum yang berbed tidak hanya menunjukkan

kaedah-kaedah hukum, asas-asas hukum serta pranata-pranata

hukum yang berbeda, akan tetapi (hal mana yang mengejutkan

21

Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata Comparative

Civil Law, (Jakarta: Rajawali Pres, 2015), h.3-5. 22

Suharjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, (Citra Adititya Bakti, 1991),

h.2-3.

14

adalah) bahwa seringkali dua sistem hukum yang sama sekali

tidak menunjukkan hubungan atau pertemuan historis, bagaimana

pun juga masih dapat memperlihatkan persamaan-persamaan

dalam konsep-konsep hukum atau asas-asas hukumnya.23

f. Kerangka Konseptual

Peta konsep dari permasalahan yang ada dalam putusan ini

adalah sebagai berikut:

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah

jenis penelitian Normatif. Penelitian normatif disebut juga penelitian

hukum doktriner, yaitu penelitian perpustakaan atau studi dokumen.

Disebut penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan

23

Suharjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, h.27.

Pengadilan Agama

Putusan 1

Putusan No.

907/PdtG/2011/PA.

Pdg

Eksekusi hak jaminan

akad Murabahah yang

belum jatuh tempo

Putusan Kasasi

Putusan No. 362

K/AG/2013

Putusan Banding

Putusan No. 46/Pdt.

G/2012/PTA

Hukum Positif Hukum Islam

15

atau ditunjukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau

bahan-bahan hukum lain.24

2. Jenis Data dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan yaitu data kualitatif, yaitu data yang

disajikan dalam bentuk kata verbal bukan dalam bentuk angka.25

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

a. Sumber Data Primer

Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang

mengikat, dan terdiri dari: Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-Undangan, KUH

Perdata dan lain-lain.26

Dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan

penelitian ini yaitu dokumen Pengadilan Agama Padang yang berupa

Putusan No. 362 K/AG/2013, UU nomor 4 tahun 1996 tentang hak

tanggungan, undang-undang perbankan, KHES, HIR, RBg.

b. Sumber Data Sekunder

Yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,

misalnya Rancangan Undang-Undang (RUU), hasil penelitian

(hukum), hasil karya (ilmiah) dari kalangan hukum, dan sebagainya.27

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode

kepustakaan atau penelitian study pustaka (library research). Study

kepustakaan adalah upaya pengidentifikasian secara sistematis dan

24

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),

h.13. 25

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rakesarasin, 1996),

h.2. 26

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2003), h.113. 27

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, h.114.

16

melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat

informasi yang berkaitan dengan tema, objek dan masalah penelitian

yang akan dilakukan.28

Dan kasus diambil dari Putusan Mahkamah

Agung Nomor Perkara: 362 K/AG/2013.

4. Analisis Data

Dalam pengolahan data, dilakukan dengan cara analisis data

kualitatif, yakni upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan

data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang

dapat dikelola, mengsintesiskannya, mencari dan menemukan pola,

menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan

memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.29

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dalam penyusunan penulisan berpedoman

pada prinsip yang telah diatur di dalam buku pedoman skripsi Fakultas

Syariah dan Hukum 2017, agar penulisan skripsi ini sesuai dengan

kaidah penulisan skripsi.

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini oleh penulis akan dibagi

menjadi lima bab pembahasan yaitu:

BAB I PENDAHULUAN, yang berisikan mengenai Latar

Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah,

Tujuan dan Manfaat Peneltian, Metodologi Penelitian dan

Teknik Penulisan yang Digunakan, Serta Kerangka Teori

Skripsi Ini.

28

Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h.18. 29

Lexy J. Moloeng, Metodologi Peneltian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2012), h. 248.

17

BAB II TINJAUAN UMUM EKSEKUSI, JAMINAN DAN

AKAD MURABAHAH, yang erisikan dan membahas

konsep dasar eksekusi, dasar hukum eksekusi, jenis

pelaksanaan putusan eksesusi, konsep jaminan, pengertian

dan dasar hukum jaminan, tujuan dan fungsi jaminan,

manfaat benda jaminan, jaminan dalam pembiayaan

konsumen, konsep akad murabahah, pengertian, dasar

hukum, syarat serta rukun murabahah, dan implementasi

murabahah di Perbankan Syariah.

BAB III EKSEKUSI JAMINAN BELUM JATUH TEMPO

PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM

ISLAM, yang berisikan mengenai eksekusi jaminan

menurut perspektif Hukum Positif dan eksekusi jaminan

menurut perspektif Hukum Islam.

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA JAMINAN

TERHADAP AKAD MURABAHAH YANG BELUM

JATUH TEMPO, yang berisikan hasil penelitian yaitu

duduk perkara dan analisis putusan nomor perkara

362K/AG/2013 dalam perspektif hukum positif dan hukum

Islam.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN, Bab V merupakan bab

terakhir yang menguraikan jawaban pertanyaan dalam

perumusan masalah penelitian yang pertama dan kedua.

kesimpulan dari hasil analisa yang telah dilakukan penulis,

dimana penafsiran dirumuskan dan disimpulkan serta

memberikan saran-saran terhadap masalah yang perlu dikaji

kembali.

18

BAB II

TINJAUAN UMUM EKSEKUSI, JAMINAN DAN AKAD MURABAHAH

A. Eksekusi

1. Pengertian Eksekusi

Pembiayaan yang diberikan kepada masyarakat tentunya harus

disertai syarat-syarat yang dapat menjamin agar tidak terjadi kredit

macet yang dapat merugikan pihak kreditur. Oleh karena itu salah satu

syarat pemberian pembiayaan atau perkreditan adalah adanya jaminan.

Apabila terjadi kredit macet, konsekuensinya ialah jaminan

tersebut dapat dijadikan pelunasan kredit dengan cara menguangkan

jaminan kredit tersebut. Dalam pelaksanaannya pihak kreditur yang

ingin mengembalikan uangnya dari debitur yang wanprestasi/cidera

janji, akan mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama.

Pengertian eksekusi menurut M.Yahya Harahap, adalah

tindakan paksa yang dilakukan Pengadilan Negeri terhadap pihak yang

kalah dalam perkara supaya pihak yang kalah dalam perkara

menjalankan Amar Putusan Pengadilan sebagaimana mestinya.1

Sedangkan menurut R.Subekti eksekusi adalah upaya dari

pihak yang dimenangkan dalam putusan guna mendapatkan yang

menjadi haknya dengan bantuan kekuatan hukum, memaksa pihak yag

dikalahkan untuk melaksanakan bunyi putusan.2

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa eksekusi adalah

pelaksanaan putusan hakim yang pada hakikatnya merupakan

penyelesaian perkara bagi pihak yang bersengketa. Eksekusi dapat

dilaksanakan setelah putusan hakim berkekuatan hukum tetap.

Pelaksanaannya dapat dilakukan secara sukarela namun seringkali

pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakannya, sehingga perlu

bantuan dari pengadilan untuk melaksanakan secara paksa. Dalam hal

1 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Ekseksi Bidang Perdata, (Jakarta:

Gramedia Jakarta, 1991), h. 5. 2 Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Bina Cipta, 1989), h.128.

19

ini yang mengajukan permohonan tersebut adalah pihak yang

dimenangkan.

Pelaksanaan eksekusi secara paksa akan dilakukan ketika Ketua

Pengadilan Negeri memanggil pihak yang dikalahkan untuk ditegur

agar memenuhi keputusan dalam jangka waktu 8 hari setelah teguran

tersebut diberitahukan oleh Juru Sita Pengadilan Negeri (Pasal 196

HIR, 207 RBg). Jika dalam jangka waktu tersebut sudah lewat namun

tetap belum dilaksanankan maka Ketua Pengadilan Negeri karena

jabatannya memberi perintah agar putusan hakim dilaksanakan dengan

paksa dan bila perlu dengan bantuan alat negara.3

Dalam pelaksanaan eksekusi dikenal beberapa asas yang harus

dipegangi oleh pihak Pengadilan, yakni sebagai berikut:4

a. Putusan Pengadilan harus sudah berkekuatan hukum tetap.

Sifat putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah

tidak ada lagi upaya hukum, dalam bentuk putusan tingkat

pertama, bisa juga dalam bentuk putusan tingkat banding dan

kasasi. Sifat dari putusan sudah berkekuatan hukum tetap adalah

litis finiri opperte, maksudnya tidak bisa lagi disengketakan oleh

pihak-pihak yang berperkara.

Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap mempunyai

kekuatan mengikat para pihak-pihak yang berperkara dan ahli

waris serta pihak-pihak yang mengambil manfaat atau mendapat

hak dari mereka. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap

dapat dipaksa pemenuhannya melalui Pengadilan jika pihak yang

kalah tidak mau melaksanakannya secara sukarela.

b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela.

Sesuai dengan ketentuan pasal 196 HIR dan pasal 207 R.Bg

maka ada dua cara menyelesaikan pelaksanaan putusan yaitu

3 Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 188. 4 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,

h.213.

20

dengan cara sukarela karena pihak yang kalah dengan sukarela

melaksanakan putusan tersebut, dan dengan cara paksa melalui

proses eksekusi oleh Pengadilan.

Pelaksanaan putusan Pengadilan secara paksa dilaksanakan

dengan bantuan pihak kepolisian sesuai dengan pasal 200 ayat (1)

HIR. Pelaksanaan secara paksa ini adalah akibat dari pihak yang

dikalahkan tidak mau memenuhi keputusan eksekusi dalam tempo

yang sudah ditentukan.

c. Putusan mengandung Amar Comdemnatoir

Pada prinsipnya, hanya putusan yang bersifat condemnatoir

yang bias dieksekusi, yaitu putusan yang amar atau diktumnya

mengandung unsur penghukuman. Putusan yang amar atau

diktumnya mengandung unsure penghukuman, tidak dapat

dieksekusi.5

Putusan yang bersifat Condemnatoir biasanya muncul dari

perkara yang bersifat contensius dengan proses pemeriksaan secara

contradictoir. Dan para pihak yang berperkara terdiri dari para

pihak Penggugat dan Tergugat yang bersifat partai.

d. Eksekusi di bawah pimpinan Ketua Pengadilan.

Menurut pasal 195 ayat (1) HIR dan pasal 206 ayat (1)

R.Bg bahwa yang berwenang melaksanakan eksekusi adalah

Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau

pengadilan yang pertama kali diajukan gugatan eksekusi tersebut

sesuai dengan kompetensi relatif. Jadi pengadilan tingkat banding

tidak diperkenankan melaksanakan eksekusi.

Sebelum melaksanakan eksekusi, Ketua Pengadilan Agama

terlebih dahulu mengeluarkan penetapan yang ditujukan kepada

5 Bambang Sugeng dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh

Dokumen Litigasi, (Jakarta: Kencana, 2013), h.106.

21

Panitera/Jurusita untuk melaksanakan eksekusi dan pelaksanaan

eksekusi tersebut di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.6

2. Dasar Hukum Eksekusi

Adapun dasar hukum yang mengatur tentang pelaksanaan

eksekusi di Indonesia tertuang dalam berbagai pasal-pasal sebagai

berikut:7

a. Pasal 195-Pasal 208 HIR dan Pasal 224 HIR/Pasal 206-Pasal 240

R.Bg dan Pasal 258 R.Bg. Pada Pasal 195 HIR dijelaskan definisi

dari eksekusi yaitu menjalankan putusan hakim oleh pengadilan.8

Dan pasal-pasal lainnya mengatur tentang bagaimana tata cara

menjalankan keputusan hakim terkait pelaksanaan eksekusi.

Adapun cara-cara eksekusi keputusan hakim dengan jalan menyita

dan menjual lelang barang-barang milik pihak yang kalah.

b. Pasal 225 HIR/Pasal 259 R.Bg. Mengatur tentang putusan yang

menghukum tergugat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.

Memberikan peraturan tentang eksekusi keputusan hakim yang

mengandung penghukuman kepada pihak yang kalah supaya

melakukan suatu perbuatan. Maksud dari “suatu perbuatan” adalah

melaksanakan keputusan hakim.

c. Pasal 209-Pasal 223 HIR/Pasal 242-Pasal 257 R.Bg. Mengatur

tentang ”sandera” (gijzeling) tidak lagi di berlakukan secara efektif.

Penyanderaan (gijzeling) ini dilakukan ketidak pihak yang kalah

tidak mau memenuhi keputusan hakim, yaitu menyandera pihak

yang kalah di dalam rumah lembaga pemasyarakatan dengan

maksud untuk memaksanya supaya memenuhi keputusan hakim.

d. Pasal 180 HIR/Pasal 191 R.Bg, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan

SEMA Nomor 4 Tahun 2001. Tentang pelaksanaan putusan yang

6 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,

(Jakarta: Kencana, 2008). h.315. 7 M. Luqmanul Hakim Bastary, Eksekusi Putusan Perkara Perdata, www.pta-

bandung.go.id/uploads/arsip/1491Eksekusi_Perkara_Perdata.pdf, diakses pada tanggal 24 Juli

2018 pukul 14.20 WIB, h. 2. 8 Lihat Pasal 195 HIR.

22

belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu serta merta

(Uitvoerbaar bij voorraad) dan provisi. Maksud dari pelaksanaan

putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah

bahwa pengadilan boleh memerintahkan supaya keputusan hakim

itu dijalankan terlebih dahulu, meskipun pihak yang kalah

memebantah keputusan itu atau naik banding. Karena ada

anggapan bahwa keputusan hakim itu baru dapat dijalankan

sesudah keputusan itu memeperoleh kekuatan yang pasti yaitu

setelah perkawanan naik banding atau kasasi.

e. Pasal 1033 Rv (tentang eksekusi riil).

f. Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 yang

mengatur tentang pelaksanaan putusan pengadilan.

3. Jenis Pelaksanaan Putusan Eksekusi

Pelaksanaan eksekusi dapat dikatakan sama dengan

menguangkan bagian tertentu dari harta kekayaan pihak yang

dikalahkan /debitur dengan maksud untuk memenuhi putusan guna

kepentingan pihak yang menang/kreditur. Pada pelaksanaannya

terdapat 3 (tiga) jenis putusan eksekusi, sebagai berikut:9

a. Eksekusi untuk Membayar Sejumlah Uang

Dasar hukum pelaksanaan eksekusi sejumlah uang diatur

dalam Pasal 197-200 HIR dan Pasal 208-218 RBg. Apabila amar

putusan berisi penghukuman pembayaran sejumlah uang, berarti

Tergugat dipaksa untuk melunasi sejumlah uang kepada Penggugat

dengan jalan menjual lelang harta kekayaan Tergugat.10

Pelaksanaan jenis putusan ini dilakukan apabila pihak yang

kalah belum juga melaksanakan putusan hakim setelah lampau

tenggang waktu yang telah ditentukan. Eksekusi dilakukan dengan

penjualan lelang atas milik pihak yang perkaranya dikalahkan,

9 Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 195-198. 10

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,

h.320.

23

dimana sebelum lelang diadakan ketua atau jaksa yang diberi kuasa

mengeluarkan perintah sita eksekusi (execotoir beslag) terhadap

barang milik pihak yang dikalahkan.

b. Eksekusi untuk Melakukan Suatu Perbuatan

Jenis eksekusi ini adalah eksekusi putusan yang

menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan sesuai waktu

yang diperjanjikan. Hal ini diatur dalam Pasal 225 HIR dan Pasal

259 RBg.

Pada kenyataannya orang tidak dapat dipaksakan untuk

memenuhi prestasi yang berupa perbuatan. Akan tetapi, dalam hal

ini pihak yang dimenangkan dapat meminta kepada hakim agar

kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang.11

c. Eksekusi Riil

Berbeda dari dua jenis pelaksanaan eksekusi sebelumnya

yang mengacu pada ketentuan HIR, masalah eksekusi riil ini tidak

diatur dalam ketentuan HIR melainkan ketentuannya terdapat pada

Pasal 1033 Rv. Yang dimaksud eksekusi riil adalah menjalankan

putusan Pengadilan secara nyata dan apabila perlu dengan paksaan.

Eksekusi riil tersebut hanya dapat diterapkan terhadap putusan

pengosongan suatu barang tetap oleh tergugat seperti tercantum

dalam pasal 1033 Rv (Reglement op de Rechtsvordering).12

Dalam pelaksanaannya apabila pihak yang dihukum untuk

mengosongkan itu tidak memenuhi surat perintah hakim

(pengadilan), maka pengadilan akan memerintahkan juru sita

dengan bantuan panitera pengadilan dan bila perlu dengan bantuan

alat kekuasaan Negara agar barang tetap tersebut dapat

dikosongkan.

11

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo,

2004), h.189. 12

M. Abdurrachman, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti,

2005), h.125.

24

4. Pelaksanaan Eksekusi

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a dan

beserta ayat (2), eksekusi atas jaminan benda jaminan Hak

Tanggungan dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara, yaitu: (1) parate

eksekusi, (2) titel eksekutorial, dan (3) penjualan di bawah tangan.

Parate eksekusi adalah menjalankan sendiri atau mengambil

sendiri apa yang menjadi haknya, dalam arti tanpa perantara hakim,

yang ditunjukan atas suatu barang jaminan untuk selanjutnya menjual

sendiri barang tersebut. Cara yang kedua adalah menggunakan titel

eksekutorial, maksudnya adalah kreditur pemegang Hak Tanggungan

dapat melakukan penjualan objek Hak Tanggungan dengan

memperhatikan ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku.

Sertifikat Hak Tanggungan mencantumkan irah-irah yang berbunyi

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang

menunjukkan sertifikat tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial

yang menunjukkan alas hak bagi eksekusi.

Cara yang ketiga yakni eksekusi dengan cara penjualan di

bawah tangan yang diatur jaminan kebendaan atas tanah yang tertuang

pada Pasal 20 ayat (2) UUHT yang menyatakan atas kesepakatan

pembeli dengan pemegang hak tanggungan, maka penjualan objek hak

tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan, bilamana dengan

demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang

menguntungkan semua pihak.13

a. Tahapan Pelaksanaan Eksekusi

1) Persiapan Sebelum Pelaksanaan Eksekusi

a) Mempelajari dan memahami penetapan Ketua PA tentang

perintah eksekusi terhadap barang-barang tergugat.

13

Anton Suyatno, Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui Eksekusi

Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan, (Jakarta: Kencana, 2016), h.126-

128.

25

b) Mempelajari dan memahami putusan pengadilan yang

menjadi dasar pelaksanaan eksekusi.

c) Merencanakan serta menentukan hari dan tanggal

pelaksanaan eksekusi.

d) Melaksanakan perhitungan tentang biaya proses dan

pelaksanaan eksekusi.14

2) Pelaksanaan Eksekusi

Pada prinsipnya, eksekusi dapat dilaksanakan setelah

dilampauinya tenggang waktu peringatan (aanmaning) kepada

tergugat yang dikalahkan/termohon eksekusi dan Ketua

Pengadilan Agama telah mengeluarkan Surat Penetapan

Perintah Eksekusi kepada Panitera dan Juru Sita. Pelaksanaan

eksekusi riil (Pasal 1033 Rv) adalah sebagai berikut:15

a) Juru sita berangkat bersama rombongan dan 2 orang saksi

menuju tempat objek eksekusi, menunggu kehadiran

pejabat terkait, satuan keamanan, pemohon, dan termohon

eksekusi.

b) Juru sita membacakan Surat Penetapan Perintah Eksekusi.

c) Juru sita membuat Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi

dengan menyebut secara rinci dan jelas terhadap barang-

barang yang dieksekusi, meliputi jenis, bentuk, letak, batas-

batas, dan ukurannya.

d) Juru sita menandatangani Berita Acara Pelaksanaan

Eksekusi tersebut dan 2 orang saksi.

e) Juru sita menyerahkan barang-barang tereksekusi kepada

pemohon eksekusi.

f) Juru sita membuat Salinan Berita Acara Eksekusi sebanyak

rangkap, disampaikan kepada Ketua PA sebagai laporan,

14

Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, h.242. 15

Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, h.243.

26

kepada pemohon dan termohon eksekusi, kepada petugas

register eksekusi dan arsip.

3) Pelaksanaan Eksekusi Pembayaran Uang16

a) Ketua PA membuat penetapan perintah peringatan

(aanmaning) kepada tergugat yang dikalahkan/termohon

eksekusi, agar melaksanakan putusan.

b) Juru sita memanggil pemohon eksekusi dan termohon

eksekusi untuk menghadiri sidang (insidentil) aanmaning.

c) Jika tenggang waktu aanmaning terlampaui (8 hari) sedang

termohon eksekusi tidak mau melaksanakan putusan

dengan sukarela, maka Ketua PA mengeluarkan penetapan

perintah kepada panitera atau juru sita untuk melaksanakan

sita eksekusi (executorial beslag).

d) Proses pelaksanaan sita eksekusi dilaksanakan sebagaimana

proses pelaksanaan sita jaminan.

e) Dalam melaksanakan harus didahulukan barang-barang

bergerak. Sekiranya tidak mencukupi putusan, maka sita

eksekusi dilakukan terhadap barang tidak bergerak.

f) Pelaksanaan sita eksekusi yang telah berkekuatan hukum

mengikat berdaya eksekutorial.

4) Pelaksanaan Lelang Eksekusi

Dalam praktik Pengadilan Agama penjualan lelang

seringkali dilakukan dalam melaksanakan putusan tentang

pembagian harta bersama atau harta warisan, bila pembagian

harta/barang tidak dapat dilakukan secara “in natura”.

Sesuai Pasal 200 ayat (1) HIR/Pasal 215 ayat (1) RBg,

penjualan lelang barang tersita hanya dapat dilakukan oleh

16

Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, h.243-244.

27

Kantor Lelang Negara. Persyaratan yang harus dipenuhi

sebagai persiapan lelang eksekusi, yaitu:17

a) Salinan/copy putusan PA;

b) Salinan/copy penetapan aanmaning;

c) Salinan/copy penetapan sita;

d) Salinan/copy berita acara pelaksanaan sita;

e) Salinan/copy perincian utang yang harus dipenuhi oleh

termohon eksekusi;

f) Salinan/copy pemberitahuan lelang kepada termohon

eksekusi;

g) Copy bukti kepemilikan tidak dikuasai, harus ada

pernyataan tertulis dari penjual bahwa barang-barang

tersebut tidak disertai dengan bukti kepemilikan dengan

alasan.

b. Eksekusi Objek Hak Tanggungan Sebelum Jatuh Tempo

Pelaksanaan eksekusi objek Hak Tanggungan atas alasan cidera

janji tidak digantungkan pada jatuh tempo perjanjian kredit. Hal ini

disebabkan pada UU No. 4 Tahun 1996 tidak mengatur lebih lanjut

faktor dari cidera janji. Pada pasal 6 hanya menegaskan cidera janji

menjadi dasar bagi pemegang Hak Tanggungan untuk melaksanakan

haknya menjual objek hak tanggungan. Hal itu diulangi kembali dalam

penjelasan pasal tersebut, yang mengatakan apabila debitur cider janji

pemegang Hak Tanggungan berhak menjual objek hak tanggungan

atas kekuasaan sendiri, jika dalam APHT dicantumkan klausul yang

demikian.

Penegasan yang sama diatur dalam Pasal 20 yaitu apabila

debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan berhak menjual objek

hak tanggungan dengan parate eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR.

Atau menjual berdasarkan kekuasaan sendiri apabila dalam APHT ada

17

Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, h.244.

28

klausul yang demikian atau melakukan penjualan di bawah tangan

sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) dan (3). Tetapi dalam pasal

ini pun tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai cidera janji.18

Oleh karena UUHT tidak mengatur mengenai cidera janji,

maka untuk menentukan apakah debitur cidera janji, dapat dirujuk

Pasal 1243 jo. Pasal 1763 KUH Perdata. Dalam ketentuan Pasal 1243

KUH Perdata, yang dimaksud dengan wanprestasi/cidera janji adalah

lalai memenuhi perjanjian; atau tidak menyerahkan atau memebayar

dalam jangka waktu yang ditentukan; atau tidak berbuat sesuai yang

dijanjikan dalam tenggang waktu yang ditentukan.lebih spesifik pada

Pasal 1763 KUHPerdata mengatakan, tidak mengembalikan pinjaman

sesuai dengan jumlah pinjaman dalam waktu yang ditentukan.19

Eksekusi objek Hak Tanggungan atas alasan cidera janji dapat

dilaksanakan meskipun perjanjian kredit belum jatuh tempo. Pasal 6

dan Pasal 20 UU No.40 Tahun 1996 memberi hak menjual objek hak

tanggungan atas alasan cidera janji. Makna menjual objek hak

tanggungan atas alasan cidera janji sama artinya dengan melakukan

eksekusi terhadap eksekusi terhadap objek hak tanggungan. Pasal 1267

KUH Perdata memberi hak opsi kepada kreditur untuk mengambil

tindakan apabila debitur wanprestasi, tanpa mempersoalkan apakah

perjanjian telah jatuh tempo atau tidak berupa ketentuan:

a) Meminta atau menuntut kepada pengadilan untuk memaksa

debitur memenuhi perjanjian, jika hal itu masih bisa dilakukan

oleh debitur.

b) Menuntut pembatalan perjanjian disertai dengan penggantian

biaya kerugian dan bunga.

Bertitik tolak pada ketentuan pasal-pasal di atas, sangat keliru

pendapat yang mengatakan eksekusi atas objek hak tanggungan tidak

dapat diminta atau dilaksanakan selama perjanjian belum jatuh tempo

18

M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Ekseksi Bidang Perdata, h.201. 19

M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Ekseksi Bidang Perdata, h.201.

29

meskipun debitur melakukan cidera janji atau wanprestasi. Adapun

penerapan yang tepat adalah sebagai berikut:

a) Apabila debitur melakukan cidera janji, eksekusi sah dan valid

dilaksanakan meskipun masa perjanjian belum berakhir;

b) Terhadap pelaksanaan eksekusi yang demikian, debitur tidak

dapat mengajukan partij verzet berdasarkan Pasal 207 HIR,

Pasal 225 RBg.20

B. Jaminan

1. Pengertian dan Dasar Hukum Jaminan

Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda

yaitu zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur

menjamin dipenuhinya tagihannya di samping pertanggungjawaban

umum debitur terhadap barang-barangnya.21

Selain istilah jaminan,

dikenal juga istilah atau kata agunan. Dalam kamus besar Bahasa

Indonesia, tidak membedakan pengertian jaminan maupun agunan.

Baik jaminan atau agunan sama-sama memiliki arti “tanggungan”.

Namun dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 dan UU No. 10

Tahun 1998, membedakan pengertian dua istilah tersebut. Dimana

dalam UU No. 14 Tahun 1967 lebih cenderung menggunakan istilah

“jaminan” dari pada agunan.22

Menurut Undang-Undang No. 21 tahun 2008, agunan adalah

jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak

bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada Bank Syariah

dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah

Penerima fasilitas.23

Jadi maksud adanya jaminan ini untuk

20

M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Ekseksi Bidang Perdata, h.202. 21

H.R.M. Anton Suyatno, Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui

Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan, (Jakarta: Kencana,

2016), h.81. 22

Djawahir Hejazziey, Hukum Perbankan Syariah, (Yogyakarta: Deepublish, 2013),

h.167. 23

Lihat Pasal 1 Ayat 26, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

30

mewujudkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya

kepata kreditur.

Ditinjau dari sifatnya, hak-hak jaminan ada yang bersifat

kebendaan dan ada yang bersifat hak perorangan. Tergolong jaminan

yang bersifat hak kebendaan, yaitu: hipotek, crediet verband, gadai,

dan fidusia. Ini merupakan lembaga-lembaga jaminan yang telah

dilembagakan sebagai jaminan yang bersifat kebendaan. Adapun

jaminan yang bersifat perorangan, yaitu: borgthocht (perjanjian

penggunaan), perutangan tanggung menanggung, perjanjian garansi.

Sesuai dengan perkembangan hukum jaminan di Indonesia,

jaminan kebendaan itu dapat dibagi lagi menjadi jaminan kebendaan

bergerak dan jaminan kebendaan tidak. Untuk kebendaan bergerak,

dapat dibebankan dengan lembaga hak jaminan gadai dan fidusia

sebagai jaminan utang, sementara untuk kebendaan tidak bergerak,

dapat dibebankan dengan hipotek, hak tanggungan, dan fidusia sebagai

jaminan utang atau borgtocht (personal guarantee), perikatan

tanggung menanggung, dan garansi bank (bank guarantee).24

Dari beberapa macam jaminan yang telah disebutkan di atas,

dalam penelitian ini hanya akan fokus pada jaminan hak tanggungan

saja. Karena objek jaminan yang relevan dengan penelitian ini adalah

berupa jaminan tanah, maka berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996

disebutkan bahwa hak jaminan yang dibebankan atas tanah beserta

benda-benda yang berkaitan dengan tanah disebut juga dengan Hak

Tanggugan.25

Jaminan merupakan perjanjian yang bersifat accesoir atau

pelengkap, yang dapat diartikan bahwa jaminan akan lahir setelah

adanya perjanjian pokok, dalam hal ini perjanjian pokok yang

dimaksud adalah Perjanjian Kredit.

24

H.R.M. Anton Suyatno, Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui

Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan, (Jakarta: Kencana, 2016),

h.52. 25

Lihat Pasal 1 Ayat (1) UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggunggan (UUHT).

31

Hukum jaminan merupakan salah satu indikasi untuk

mempercepat pertumbuhan perekonomian, karena kreditur (bank)

sebagai penyedia dana pasti memerlukan jaminan sebagai

perlindungan hukum yang memadai ketika memberikan kredit kepada

debitur. Bahkan keberadaan Hukum Jaminan ini mempunyai peran

yang kuat serta dapat memeberikan kepastian hukum dan mudah dalam

eksekusinya sangat didambakan oleh para pelaku bisnis.26

Jaminan dalam fikih dikenal dengan kafalah, dhaman, dan

dalam pengertian yang lain jaminan juga disebut dengan rahn. Adapun

yang menjadi dasar hukum Islam boleh menggunakan system

penjaminan jaminan sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan

Hadits, yaitu:

a. Al-Qur’an

1) Firman Allah Q.S. Al-Baqarah 2: 282-283:

فاكتب... يس إنأجم تىبد آياإذاتدا 282اأاانر

إ يقبضت... نىتجداكاتبافسا تىػهسفس 282ك

Artinya: “Hai orang-orang beriman jika kamu bermuamalah tidak

secara utang piutang sampai waktu yang ditentukan

tuliskanlah...Dan jika kamu berada dalam perjalanan dan tidak

menemukan orang yang akan menulis hendaklah ada barang

tanggungan yang dipegang”.27

2) Firman Allah Q.S. Al-Mudatsir: 38:

ت اكسبتز ب فس كم

Artinya: “Setiap diri dipertanggung jawabkan atas apa yang

diusahakannya.”28

b. Hadist

26

Djawahir Hejazziey, Hukum Perbankan Syariah, h. 163. 27

Q.S. Al-Baqarah: 282-283. 28

Q.S. Al-Mudatsir: 38.

32

Adapun hadist yang menjadi dasar hukum rahn, sebuah

riwayat Rasulullah SAW pernah melakukan jual beli kepada

seorang Yahudi, kemudian Rasulullah SAW tidak mampu

membayarnya dan menyerahkan baju besinya sebagai barang

jaminan sebagaimana disebutkan dalam hadist sebagai berikut:

سهىاشتسطؼاياي ػه للا صه انب اأ ػ للا ػائشتزض ػ

فسدزػ إنأجم د

Artinya: “Dari Aisyah diriwayatkan bahwa Rasullullah SAW membeli

bahan pangan dengan menghutang sampai waktu yang ditentukan

dengan jaminan baju besinya. (HR. Bukhari).29

Ayat di atas menjelaskan bahwa ketika seseorang terlibat dalam

utang piutang maka diwajibkan mereka mencatatnya dengan maksud

sebagai bukti apabila salah satu dari mereka lupa atas utang piutang

tersebut. Namun apabila tidak dapat menuliskannya hendaklah

menyertakan suatu barang untuk dipegang pihak yang memberi hutang

sebagai jaminan atas tanggung jawabnya melunasi hutang tersebut.

Dan hadist diatas menjadi dasar hukum rahn yang menjadi rujukan

atau contoh karena hadist tersebut mendeskripsikan peristiwa rahn

yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Dalam hukum positif di Indonesia jaminan juga diatur dalam

beberapa ketentuan perundang-undangan yang berlaku, ketentuan yang

secara khusus atau berkaitan dengan jaminan dapat ditemukan dalam:30

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Dalam

KUH Perdata jaminan merupakan bagian dari hak benda yang

diatur dalam Pasal-Pasal Buku II dan Buku III.

29

M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, (Depok: Gema Insani, 2007),

h.26. 30

H.R.M. Anton Suyatno, Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui

Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan, (Jakarta: Kencana,

2016), h.83.

33

b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Ketentuan dalam

Pasal-Pasal KUHD ini berkaitan dengan pengaturan hukum

jaminan, dalam hal ini pembebanan hipotik atas kapal laut.31

2. Tujuan dan Fungsi Jaminan

Pemberian jaminan dari debitur ke kreditur sebagai pengikatan

perjanjian kredit pastinya mempunyai maksud dan tujuan tertentu. ada

beberapa maksud dan tujuan penguasaan/pengikatan jaminan antara

lain:

Pertama, guna memberikan hak dan kekuasaan kepada bank

untuk mendapatkan pelunasan dengan barang jaminan tersebut

bilamana nasabah cidera janji, yaitu tidak bisa membayar kembali

hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Kedua,

menjamin agar nasabah berperan dan/atau turut serta dalam transaksi

yang dibiayai, sehingga kemungkinan nasabah untuk meninggalkan

usaha/proyeknya dengan merugikan diri atau perusahaannya dapat

dicegah, atau diminimumkan kemungkinan untuk berbuat demikian.

Ketiga, tujuan jaminan ini dapat memberikan dorongan kepada

nasabah untuk memenuhi Akad Pembiayaan, khususnya mengenai

pelunasan agar sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati.

Dengan maksud agar nasabah tidak kehilangan kekayaan yang telah

dijaminkan kepada bank.32

Fungsi jaminan secara yuridis adalah untuk kepastian hukum

pelunasan hutang di dalam perjanjian kredit atau hutang piutang atau

kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian. Kepastian

hukum ini adalah dengan peningkatan jaminan melalui lembaga-

lembaga jaminan yanng dikenal dalam hukum Indonesia lembaga

31

Selain dua ketentuan diatas, pengaturan jaminan terdapat pula pada UU Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria. Dan UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah. 32

Djawahir Hejazziey, Hukum Perbankan Syariah, h.169.

34

jaminan kebendaan dapat berupa hak tanggungan, kredit verban,

fidusia, dan gadai.33

3. Manfaat Benda Jaminan

Pada dasarnya jaminan bukanlah syarat yang mutlak dipenuhi

dalam pembiayaan, namun jaminan dimaksudkan untuk menghindari

sikap debitur agar tidak main-main dengan pembiayaan yang diberikan

oleh kreditur. Dengan demikian pihak kreditur (bank) dapat meminta

suatu jaminan kepada debitur (nasabah) untuk dipegangnya.

Manfaat jaminan bagi kreditur adalah memberikan kepastian

hukum bagi kreditur serta terwujudnya suatu keyakinan pelunasan atas

pembiayaan yang diberikan oleh kreditur. Sedangkan manfaat jaminan

bagi debitur adalah terbukanya akses untuk memperoleh fasilitas kredit

dan tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya karena mendapat

dana dari kreditur.34

4. Jaminan dalam Pembiayaan Konsumen

Sebagai salah satu bentuk usaha dari lembaga pembiayaan,

pembiayaan konsumen pada dasarnya tidak menekankan pada aspek

jaminan. Namun, karena pembiayaan konsumen merupakan bentuk

bisnis, maka dalam kegiatan pembiayaan perusahaan pembiayaan

konsumen tidak bisa terhindar dari unsur risiko. Oleh karena itu, dalam

pelaksanaannya perusahaan pembiayaan akan meminta jaminan

tertentu guna mengamankan pembiayaan yang diberikan dari

kemungkinan risiko.35

Jaminan yang ada dalam pembiayaan konsumen pada

prinsipnya sama dengan jaminan yang ada dalam kredit bank,

khususnya dalam pembiayaan kredit konsumen, yaitu terdapat jaminan

utama, jaminan pokok, dan jaminan tambahan.36

33

Mariam Darus Badrulzaman, Kerangka Hukum Jaminan Indonesia dalam Hukum

Jaminan Indonesia Seri Dasar Hukum Ekonomi 4, (Bandung: PT. Cita Aditya Bakti, 1998), h. 68. 34

Djawahir Hejazziey, Hukum Perbankan Syariah, h. 174. 35

Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Sinar Grafika , 2013), h. 104. 36

Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, h. 105.

35

a. Jaminan Utama

Sebagai pembiayaan dalam bentuk kredit, jaminan

utamanya adalah kepercayaan dari perusahaan pembiayaan

konsumen (kreditur) kepada debitur bahwa pihak debitur dapat

dipercaya dan sanggup membayar secara berkala (angsuran)

sampai lunas atas pembiayaan yang telah diterimanya.

Dengan demikian, perusahaan pembiayaan konsumen juga

menerapkan prinsip-prinsip umum yang berlaku dalam perkreditan

sama halnya seperti di bank. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah

the 5 C’s of credit, yaitu collateral, capacity, character, capital,

condition of economy.

b. Jaminan Pokok

Selain jaminan utama, perusahaan pembiayaan konsumen

biasanya meminta jaminan pokok, yaitu berupa barang yang dibeli

dengan dana perusahaan pembiayaan konsumen. Biasanya

jaminan tersebut dibuat dalam bentuk fiduciary transfer of

ownership (fiducia). Maka seluruh dokumen yang berkaitan

dengan kepemilikan barang yang bersangkutan akan dipegang oleh

pihak perusahaan pembiayaan konsumen (kreditor) sampai

angsuran dilunasi oleh konsumen.

c. Jaminan Tambahan

Walaupun tidak seketat pada jaminan untuk pemberian

kredit Bank, dalam pelaksanaannya sering juga perusahaan

pembiayaan konsumen meminta jaminan tambahan atas transaksi

pembiayaan konsumen. Biasanya jaminan tambahan terhadap

transaksi seperti ini berupa pengakuan utang (promissiry notes),

atau kuasa menjual barang, dan assignment of proceed (cessie) dari

asuransi.

Dalam Undang-Undang Pokok Perbankan terdapat prinsip

bahwa “kepercayaan” dipandang sebagai jaminan pokok pembayaran

kembali utang-utang debitur kelak. Sementara jaminan lainnya yang

36

bersifat kontraktual, seperti hak tanggungan atas tanah, gadai, hipotik,

dan fidusia merupakan jaminan tambahan. Dan jaminan utamanya

berupa jaminan atas barang yang dibiayai dengan kredit tersebut.37

Menurut sifatnya, ada jaminan yang bersifat umum dan khusus.

Jaminan yang bersifat umum diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata,

yang menyatakan: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak

maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru

akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan

perseorangan”.38

Dan Pasal 1132 KUH Perdata yang menyatakan:

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang

yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu

dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya

piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu

ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.39

Kedua pasal tersebut yang dimaksud jaminan yang bersifat

umum yaitu jaminan yang diberikan untuk kepentingan semua kreditur

dan menyangkut semua harta debitur.

Selain jaminan yang bersifat umum ada pula jaminan yang

bersifat khusus yang merupakan jaminan dalam bentuk penyerahan

barang tertentu secara khusus, sebagai jaminan atas pelunasan

kewajiban/utang debitur kepada kreditur tertentu, yang hanya berlaku

untuk kreditur tertentu tersebut baik secara kebendaan maupun

perorangan.40

Timbulnya jaminan khusus ini adalah karena adanya perjanjian

yang diadakan antara debitur dan kreditur yang dapat berupa: 41

37

https://andigunawan03.wordpress.com/2011/04/16/hak-jaminan/, diakses pada tanggal

25 September 2018, pukul 00.16 WIB. 38

Lihat Pasal 1131 KUH Perdata. 39

Lihat Pasal 1132 KUH Perdata. 40

H.R.M. Anton Suyatno, Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui

Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan, (Jakarta: Kencana,

2016), h. 84. 41

H.R.M. Anton Suyatno, Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui

Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan, h. 84.

37

1) Jaminan perseorangan (personlijk), yaitu adanya orang tertentu

yang sanggup membayar atau memenuhi prestasi jika debitur

cedera janji. Jaminan perorangan ini tunduk pada ketentuan hukum

perjanjian yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata.

2) Jaminan yang bersifat kebendaan yaitu adanya benda tertentu yang

dijadikan jaminan (zakelijk). Ilmu Hukum tidak membatasi

kebendaan yang dapat dijadikan jaminan, hanya saja kebendaan

yang dijaminkan tersebut haruslah merupakan milik dari pihak

yang memberikan jaminan kebendaan tersebut. Jenis jaminan ini

tunduk dan diatur dalam ketentuan Buku III Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata.

C. Murabahah

1. Pengertian Murabahah

Pembiayaan yang dikenal di bank syariah adalah pembiayaan

yang menggunakan akad jual beli. Salah satu akad jual beli yang kini

dikembangkan oleh bank syariah adalah akad Murabahah.

Kata Murabahah berasal dari kata bahasa Arab بح yang انس

artinya keuntungan. Murabahah adalah akad jual beli atas barang

tertentu, dimana penjual (bank) menyebutkan harga pembelian barang

kepada pembeli (nasabah) kemudian menjual kepada pihak pembeli

dengan mensyaratkan keuntungan yang diharapkan sesuai jumlah

tertentu.42

Dalam Murabahah terkait dengan pengambilan keuntungan

tidak ada pembatasan dalam hukum berapa jumlah yang boleh diambil,

maka dengan demikian bebas menentukan berapapun margin untuk

suatu akad pembiayaan Murabahah. Namun, harus didasari atas

kesepakatan yang dilakukan dengan pihak nasabah.

Selain itu keuntungan yang sudah ditetapkan tidak boleh

berubah sepanjang akad, apabila terjadi kesulitan bayar dapat

42

Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2011), h.138.

38

dilakukan restrukturasi dan kalau kesulitan bayar karena lalai dapat

dikenakan denda. Lalu denda tersebut akan dianggap dana kebajikan.43

Tingkat keuntungan Murabahah bisa dalam bentuk lumpsum atau

persentase tertentu dari biaya perolehan.44

Murabahah pada mulanya bukan merupakan suatu cara atau

model pembiayaan (mode of financing), melainkan sekadar suatu sale

on cost-plus basis. Namun setelah adanya konsep pembayaran tertunda

(the concept of deferred payment), maka Murabahah telah digunakan

sebagai suatu cara pembiayaan dalam hal nasabah bermaksud untuk

membeli suatu komoditas dengan cara menyicil pembayaran harganya.

Meskipun demikian, ada 2 (dua) hal penting yang harus

diperhatikan (two essential point) dalam penggunaan murabahah

sebagai model pembiayaan. Pertama, murabahah jangan diterima

sebagai suatu mode pembiayaan Islam yang ideal atau sebagai

instrumen universal untuk keperluan semua jenis pembiayaan

(financing). Kedua, murabahah hendaknya hanya diterima sebagai

langkah peralihan menuju suatu sistem pembiayaan yang ideal dalam

bentuk musyarakah atau mudharabah. Murabahah hendaknya hanya

digunakan terbatas kepada hal-hal di mana musyarakah atau

mudharabah tidak dapat digunakan sebagai cara bagi bank untuk

memberikan fasilitas pembiayaan kepada nasabahnya.45

2. Dasar Hukum Murabahah

Murabahah adalah salah satu jenis jual beli yang dibenarkan

oleh syariah dan merupakan implementasi muamalat tijariyah

(interaksi bisnis).46

Karena murabahah ini merupakan salah satu

bentuk jual beli, mayoritas ulama berpendapat bahwa dasar hukum

43

Sri Nurhayati Wasilah, Akuntansi Syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Salemba 4, 2008),

h.176. 44

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011,

Cet. Ketiga), h.82. 45

Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi di Lembaga

Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) h. 122-123. 46

Ah. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 118.

39

murabahah ini sama seperti dalam dasar hukum jual beli pada

umumnya.47

Dasar hukum akad murabahah tertuang dalam:

a. Firman Allah Q.S. Al-Baqarah 2: 275

با... وانس حس غ للاانب أحم ...

Artinya: “...Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan

riba...”48

b. Firman Allah Q.S. An-Nisa 4: 29

تك أ كىبانباطمإال انكىب ءاياالتأكهاأي اأاانر

كى تجازةػتساض ي

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling

memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan

jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara

kamu”.49

Dua ayat di atas menjelaskan tentang jual beli, bahwa jual

beli itu diperbolehkan oleh Allah SWT. Jual beli yang dimaksud

adalah jual beli yang dimana kedua belah pihak suka sama suka

sehingga tidak timbul perasaan dirugikan dari salah satu pihak.

Begitu juga dengan murabahah karena akad murabahah termasuk

jual beli maka diperbolehkan dalam Islam.

3. Syarat dan Rukun Murabahah

Murabahah pada awalnya merupakan konsep jual beli yang

sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembiayaan. Namun

demikian, bentuk jual beli ini kemudian digunakan oleh perbankan

syariah dengan menambah beberapa konsep lain sehingga menjadi

bentuk pembiayaan. Akan tetapi, validitas transaksi seperti ini

47

Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi di Lembaga

Keuangan Syariah, h. 111. 48

Q.S. Al-Baqarah: 275. 49

Q.S. An-Nisa: 29.

40

tergantung pada beberapa syarat yang benar-benar harus diperhatikan

agar transaksi tersebut diterima secara Syariah.50

Beberapa syarat pokok murabahah, antara lain sebagai

berikut:51

a. Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah.

b. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.

c. Kontrak harus bebas dari riba.

d. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas

barang sesudah pembelian.

e. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan

pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.

Rukun dari akad murabahah yang harus dipenuhi dalam

transaksi ada beberapa, yaitu: 52

a. Pelaku akad, yaitu ba’i (penjual) adalah pihak yang memiliki

barang untuk dijual, dan musytari (pembeli) adalah pihak yang

memerlukan dan akan membeli barang;

b. Objek akad, yaitu mabi’ (barang dagangan) dan tsaman (harga);

dan

c. Shighah, yaitu Ijab dan Qabul.

4. Implementasi Murabahah di Perbankan Syariah

Penerapan murabahah di Lembaga Keuangan Syariah pada

dasarnya muncul karena nasabah membutuhkan suatu barang objek

tertentu, tetapi kemampuan finansial mereka tidak cukup untuk

melakukan pembayaran secara tunai. Karena alasan itulah maka

nasabah berhubungan dengan LKS.

Namun karena LKS pada umumnya tidak memiliki inventory

terhadap barang/objek yang dibutuhkan nasabah, maka LKS

menggunakan transaksi dengan akad murabahah yaitu melakukan

50

Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, h. 82. 51

Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani

Press, 2001), h. 102. 52

Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, h. 82.

41

pembelian atas barang yang diinginkan nasabah kepada pihak lainnya

seperti kepada supplier/pemasok, dealer, developer, atau penyedia

barang lainnya. Dengan demikian, LKS bertindak selaku penjual di

satu sisi dan di sisi lain bertindak selaku pembeli, yang kemudian akan

menjualnya kembali kepada nasabah pemesan dengan harga jual yang

disepakati.53

Pada implementasinya murabahah dibagi menjadi 2 (dua)

jenis, yaitu murabahah dengan pesanan dan murabahah dengan tanpa

pesanan. Lembaga keuangan syariah sebagai penjual (ba’i) melakukan

pembelian barang setelah ada pemesanan dari konsumen sebagai

pembeli (musytari). Murabahah ini bersifat mengikat pihak pembeli

atau pihak yang berutang untuk membeli barang yang dipesannya.

Sedangkan dalam pelaksanaan murabahah dengan tanpa

pesanan, lembaga keuangan syariah sebagai penjual (ba’i)

menyediakan barang yang kemudian dibeli oleh nasabah. Murabahah

dengan tanpa pesanan ini tidak mengikat konsumen sebagai pembeli

(musytari) dan dapat membatalkan pembeliannya.54

Dalam mengimplementasikan murabahah di perbankan syariah

dapat dilakukan dengan melalui beberapa tahap. Tahap pertama

nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu

barang atau aset ke bank syariah. Setelah permohonan tersebut selesai

selanjutnya ada 2 (dua) hal kemungkinan yang terjadi. Pertama pihak

bank membeli aset yang dipesan oleh nasabah tersebut ke supplier atau

pedagang dan baru asset tersebut diserahkan ke nasabah. Atau

kemungkinan kedua bank memberi kuasa kepada nasabah untuk

membeli barang yang dibutuhkannya sendiri. Setelah itu, bank

kemudian menjual barang kepada nasabah (pemesan) dengan harga

beli plus margin/keuntungannya. Nasabah harus membelinya sesuai

53

Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga

Keuangan Syariah, h. 120. 54

Yadi Janwari, Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015),

h. 22

42

perjanjian yang disepakati. Kemudian tahap terakhir membuat kontrak

jual beli antar-bank dan nasabah. Bank boleh meminta jaminan kepada

nasabah atau membayar uang muka pada saat menandatangani

kesepakatan awal pemesanan.55

D. Review Study Terdahulu

No.

Identitas

Kesimpulan

Perbedaan

1. Eksekusi Hak

Tanggungan Akad

Murabahah di

Pengadilan

Agama Wonosari

(Tinjauan Hukum

Positif dan

Hukum Islam)

Wiradtun Hasanah

Fak. Syari’ah dan

Hukum

Universitas islam

Negeri Sunan

Kalijaga

Yogyakarta

Dalam skripsi ini

penulis menjelaskan

terkait prosedur

eksekusi hak

tanggungan dalam

akad murabahah dan

problem yang

dihadapi para pihak

dalam

penyelasaiannya di

Pengadilan Agama

Wonosari.

Dalam skripsi ini

penulis akan

membahas atau

meneliti terkait

mekanisme eksekusi

jaminan dengan lebih

fokus meneliti akad

murabahah yang

belum jatuh tempo.

2. Problem Hukum

Eksekusi hak

Tanggungan atas

Dasar

Wanprestasi

terhadap Akad

Dalam tulisan ini

penulis menjelaskan

terkait problem

hukum eksekusi hak

tanggungan atas

dasar wanprestasi

Dalam skripsi ini

penulis akan

membahas topik yang

serupa dengan tulisan

tersebut, tetapi penulis

akan meneliti lebih

55

Yadi Janwari, h. 22.

43

Murabahah

Drs. H. Abd.

Salam, S.H. M.H.

Wakil Ketua

Pengadilan

Agama Mataram

terhadap akad

murabahah yang

dilematis. Dalam

kondisi belum jatuh

tempo akan

merugikan pihak

bank namun disisi

lain merugikan pihak

nasabah dikarenakan

pihak nasabah

wanprestasi dan tidak

memenuhi tanggung

jawabnya.

lanjut permasalahan

tersebut dengan

mengaitkan studi

kasus putusan

pengadilan yang topik

permasalahannya

terkait. Dan penulis

akan mengkaji lebih

dalam dari dua

perspektif hukum,

yaitu dari hukum

positif dan hukum

Islam lalu

dibandingkan apakah

ada perbedaan atau

tidak.

3. Eksekusi Jaminan

Hak Tanggungan

sebagai Upaya

Penyelesaian

Pembiayaan

Bermasalah (Studi

pada PT Bank

Muamalat

Indonesia Cabang

Lampung)

Marnita PT Bank

Muamalat Cabang

Lampung

Dalam jurnal ini

penulis membahas

tentang prosedur

upaya penyelesaian

pembiayaan

bermasalah melalui

eksekusi jaminan hak

tanggungan.

Dalam skripsi ini

penulis akan

menjelaskan terkait

penyelesaian

pembiayaan akad

murabahah dengan

eksekusi jaminan

melewati jalur putusan

pengadilan.

4. Eksekusi Hak Dalam tulisan ini Dalam skripsi ini

44

Tanggungan pada

Perbankan

Syariah di

Pengadilan

Agama

Purbalingga

Penelitian Dipa

Dr. Hj. Nita

Triana, M. Si.

Institut Agama

Islam negeri

Purwokerto

penulis membahas

terkait pelaksanaan

eksekusi hak

tanggungan dalam

sengketa ekonomi

syariah di Pengadilan

Agama Purbalingga

yang disesuaikan

dengan Undang-

Undang.

menjelaskan terkait

eksekusi jaminan

terhadap akad

murabahah yang

belum jatuh tempo

dalam perspektif

Hukum Positif dan

Hukum Islam.

5. Strategi

Penyelesaian

Pembiayaan

Bermasalah

terhadap Akad

Murabahah dalam

Perspektif

Ekonomi Islam.

Laili Maulistina

Fak. Ekonomi dan

Bisnis Islam

Universitas Islam

Negeri Raden

Intan Lampung

Dalam skripsi ini

membahas terkait

strategi penyelesaian

pembiayaan

bermasalah akad

murabahah

perspektif ekonomi

Islam.

Dalam skripsi ini

penulis akan meneliti

terkait pembahasan

tidak hanya dari satu

perspektif tetapi dari

dua perspektif hukum

agar dapat

dibandingkan

kesesuaian dari dua

perspektif tersebut.

6. Sistem Penjualan

Jaminan pada

Pembiayaan

Dalam skripsi ini

menjelaskan terkait

sistem penetapan

Dalam skripsi ini

menjelaskan terkait

penyelesaian

45

Murabahah

Secara Non-

Lelang Analisis

Sistem Penetapan

Harga Jual Objek

Jaminan pada PT.

Bank Aceh

Syariah.

Syukri Rahmati

Fak. Syariah dan

Hukum

Universitas Islam

Negeri Ar-Raniry

Darussalam

Banda Aceh

harga jaminan dan

terkait penjualannya

pada pembiayaan

murabahah tetapi

bukan melalui jalur

lelang tetapi jual beli

langsung objek

jaminan tersebut.

pembiayaan akad

murabahah melalui

jalur litigasi terlebih

dahulu, karena

penelitan ini akan

menganalisis putusan

pengadilan.

Tabel 1.1 Review Study Terdahulu

46

BAB III

EKSEKUSI JAMINAN BELUM JATUH TEMPO PERSPEKTIF HUKUM

POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. Eksekusi Jaminan Perspektif Hukum Positif

Kasus kredit bermasalah dalam dunia perbankan seringkali terjadi,

hal ini disebabkan karena debitur cidera janji atau wanprestasi. Debitur

dianggap cidera janji disebabkan salah satunya karena tidak mampu

membayar kredit yang diperjanjikan. Apabila setelah melalui proses

negoisasi antara keduanya tidak ditemukan juga jalan keluarnya, maka

akan ditempuh lewat jalur hukum.

Penyelesaian masalah seperti ini biasanya bank sebagai kreditur

akan meminta kepada Pengadilan untuk dilaksanakan eksekusi. Eksekusi

pada prinsipnya merupakan realisasi kewajiban pihak yang dikalahkan

dalam putusan hakim, untuk memenuhi prestasi yang terdapat dalam

putusan hakim. Oleh karena itu, dengan dilaksanakan eksekusi dapat

membantu penyelesaian masalah akibat kredit bermasalah tersebut.

Ketentuan tentang eksekusi terdapat dalam UU No. 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan (UUHT) yang berbunyi, “Apabila debitur cidera

janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual

obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum

serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.1

Ketentuan ini menjelaskan bahwa kreditur sebagai pemegang Hak

Tanggungan pertama dapat langsung datang ke Kantor Lelang untuk

melakukan pelelangan atas obyek Hak Tanggungan apabila upaya

perdamaian kedua pihak tidak tercapai.

Selain itu, ketentuan eksekusi juga diatur dalam Pasal 20 UUHT

menjelaskan tentang pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan dengan tujuan

dapat memperoleh pelunasan dari hasil lelang jaminan. Bahwa yang

melatarbelakangi eksekusi ini adalah disebabkan debitur tidak

1 Lihat Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

47

melaksanakan prestasinya sebagaimana mestinya, walaupun pihak debitur

telah diberikan somasi tiga kali berturut-turut oleh kreditur.

Adapun cara eksekusinya, menurut UU No. 4 tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan (UUHT) terdapat 3 (tiga) macam sebagai berikut:

1. Eksekusi Melalui Pengadilan

Eksekusi jaminan utang dapat dilakukan melalui pengadilan, sebab

dalam Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1996 menyatakan bahwa sertifikat

hak tanggungan yang memuat irah-irah “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sertifikat

hak tanggungan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial (dapat

dieksekusi) yang sama dengan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, dan berlaku sebagai pengganti

grosse akta hipotik sepajang mengenai hak tanggungan atas tanah.2

Irah-irah tersebutlah yang memberikan titel eksekutorial, yakni titel

yang mensejajarkan kekuatan akta tersebut dengan putusan pengadilan.

Dengan demikian, akta tersebut tinggal dieksekusi tanpa perlu lagi

putusan pengadilan.3

Caranya, dengan mengajukan permohonan eksekusi ke Ketua

Pengadilan Negeri di mana objek tanah (jaminan) itu berada. Dengan

permohonan penetapan dari Ketua Pengadilan untuk melakukan

eksekusi. Atas permohonan tersebut Ketua Pengadilan akan melakukan

aanmaning (peringatan) kepada debitur dan kemudian melakukan

pelelangan dengan bantuan kantor lelang.4

2. Eksekusi Atas Kekuasaan Sendiri

Meskipun tidak ditegaskan dalam undang-undang, eksekusi objek

hak tanggungan dapat juga dilakukan dengan jalan menjual lelang

2 Lihat Pasal 14 Ayat 2 dan 3 UU N0. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.

3 Munir Fuadi, Hukum Jaminan Utang, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013), h. 93.

4https://konsultanhukum.web.id/3-cara-mengeksekusi-tanah-benda-yang-menjadi-

jaminan-utang/, diakses pada tanggal 31 Juni 2018 pukul 10.51.

48

sendiri oleh krediturnya, tanpa ikut campur tangan kantor lelang

maupun pengadilan.5

Cara penjualan seperti ini dapat dianggap sebagai salah satu jenis

eksekusi parate (mengeksekusi tanpa lewat pengadilan), caranya

menjual objek hak tanggungan secara langsung dengan mengajukan

permohonan kepada Kantor Lelang Negara setempat untuk

dilaksanakan pelelangan umum atas tanah (objek tanggungan

tersebut).6

3. Eksekusi Melalui Penjualan di Bawah Tangan

Eksekusi melalui penjualan di bawah tangan maksudnya adalah

menjual objek hak tanggungan tersebut secara langsung tanpa harus

melalui penetapan pengadilan ataupun melalui kantor pelelangan

umum. Hal ini dapat dilakukan selama ada kesepakatan antara debitur

dan kreditur, dan jika dengan dilakukan cara ini akan memperoleh

harga tertinggi yang dapat menguntungkan semua pihak.7

Ketentuan lainnya terkait pelaksanaan eksekusi menurut HIR dan

RBg terdapat pada Pasal 195-197 HIR, Pasal 225 HIR, Pasal 208 RBg dan

Pasal 259 RBg. Pasal-pasal ini menjelaskan “ketika pihak yang menang

telah memperoleh keputusan hakim untuk menghukum pihak lawannya

maka ia berhak untuk memaksa pihak lawannya guna mematuhi keputusan

hakim tersebut”.8 Hak ini memang sudah selayaknya, karena kalau tidak

dengan cara memaksa pihak yang dikalahkan maka peradilan akan

dianggap tidak ada gunanya. Apabila pihak yang kalah itu lalai atau tidak

mau memenuhi putusan tersebut setelah tempo yang diberikan pengadilan

maka dalam kasus seperti ini pihak yang menang berhak menggunakan

bantuan alat-alat negara untuk mengeksekusi yang diperbolehkan oleh

undang-undang.

5 Lihat Pasal 20 ayat 1 huruf (a) j.o Pasal 6 UU Hak Tanggungan.

6 Munir Fuadi, Hukum Jaminan Utang, h. 92.

7 Lihat Pasal 20 ayat (2) dan (3), UU Hak Tanggungan.

8 Lihat Pasal 195-197, 225 HIR dan Pasal 208, 229 RBg.

49

Lalu bagaimana dengan kasus ketika debitur telat membayar

angsuran kreditnya namun pihak kreditur mengambil tindakan mengajukan

gugatan eksekusi ke pengadilan padahal tenggang waktu jatuh tempo

belum terjadi?

Dalam suatu perjanjian, terlebih dalam perjanjian kredit, umumnya

dicantumkan klausul cidera janji atau wanprestasi dalam perjanjian yang

menerangkan suatu keadaan yang dikarenakan kelalaiannya, debitur tidak

dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian.

Dalam praktiknya, tergantung pada bentuk perjanjian yang disepakatinya,

terkadang ditemukan adanya batasan waktu seorang debitur dapat

dianggap telah berbuat wanprestasi.9

Batasan waktu ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1238 KUH

Perdata menyatakan, “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat

perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi

perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus

dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan” yang pada intinya

menjelaskan bahwa debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan

lewatnya batas waktu tersebut.10

Tetapi apabila dalam perjanjian tersebut

tidak mencantumkan batasan waktu, maka untuk menyatakan seseorang

debitur melakukan wanprestasi maka diperlukan surat peringatan tertulis

dari kreditur sebagai surat peringatan atau somasi yang ditujukan kepada

debitur.

Merujuk Pasal 6 UUHT, kreditur sebagai pemegang jaminan (hak

tanggungan) secara hukum berhak atas kekuasaan sendiri menjual obyek

Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan

lagi dari pemberi Hak Tanggungan (debitur) dengan tujuan mengambil

pelunasan atas piutangnya.11

9http://konsultasihukumgratis.blogspot.com/2010/12/sita-jaminan-dalam-perjanjian-

kredit.html, diakses pada 14 September 2018, pukul 6.48 WIB. 10

Lihat Pasal 1238 KUH Perdata. 11

Lihat Pasal 6 UU Hak Tanggungan.

50

Jadi, meskipun perjanjian belum jatuh tempo, jika debitur telah

dianggap melakukan wanprestasi maka kreditur dapat langsung melakukan

upaya hukum (eksekusi) atas barang yang telah dijaminkan.

Memang barang jaminan dapat dilelang sebelum lewat jangka

waktu pembayaran kredit dalam hal debitur melakukan tindakan

wanprestasi lainnya. Meski demikian, ada baiknya ditempuh upaya-upaya

secara administrasi terlebih dahulu untuk menyelesaikan kredit yang

bermasalah sebelum melakukan gugatan ke pengadilan dan mengeksekusi

barang jaminan. Adapun upaya-upaya administrasi yang dimaksud adalah

penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali

(reconditioning), dam penataan kembali (restructuring). Apabila setelah

melakukan upaya-upaya tersebut tidak membuahkan hasil barulah

dilanjutkan ke tahap gugatan ke pengadilan untuk pengeksekusian barang

jaminan.

B. Eksekusi Jaminan Perspektif Hukum Islam

Jaminan dalam hukum Islam terdapat 2 (dua) jenis istilah yaitu

Rahn dan Kafalah. Yang membedakan antara dua istilah jaminan ini

adalah objek jaminannya, kalau objek jaminan Rahn berupa barang dan

kalau objek Kafalah berupa orang lain sebagai penjaminan utangnya

(personal guaranty). Rahn adalah menahan salah satu harta milik si

peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.12

Kafalah

merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak

ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.13

Penulis tidak akan membahas tentang kafalah lebih lanjut, karena yang

relevan dengan tulisan ini adalah rahn.

Mengambil jaminan untuk menjamin utang, menurut Al-Qur’an

dan Sunnah pada dasarnya diperbolehkan. Al-Qur’an menyuruh umat

muslim untuk menuliskan kewajiban dan jika perlu mengambil jaminan

12

Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema

Insani, 2001), h.128. 13

Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi,

(Yogyakarta: EKONISIA, 2008), h 84.

51

untuk utang tersebut. Nabi juga dalam beberapa kesempatan

mempersilahkan krediturnya untuk mengambil jaminan untuk utangnya.14

Dijelaskan dalam firman Allah SWT terkait Rahn dalam surat Al-

Baqarah:283 dan terkait Kafalah dalam surat Yusuf: 72.

1. Firman Allah SWT Q.S. Al-Baqarah: 283:

نىتجداكات تىػهسفس ك إ يقبضت... بافسا

Artinya: “Dan jika kamu berada dalam perjalanan dan tidak

menemukan orang yang akan menulis hendaklah ada barang

tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)…”.15

2. Firman Allah SWT Q.S. Yusuf: 72:

اع شػى قانافقدص أاب مبؼس ح جاءب ن هك ان

Artinya: “Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja,

dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan

makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”.16

Kedua ayat di atas menjelaskan tetang penyertaan jaminan dalam

bermuamalah. Yang membedakan antara keduanya adalah di ayat pertama

surat Al-Baqarah:283 menjelaskan penyertaan jaminan dalam bentuk

barang. Sedangkan di ayat kedua yaitu surat Yusuf:72 sama-sama terkait

jaminan tetapi objek jaminannya dalam bentuk orang. Maksud dari

“orang” disini adalah orang tersebut menjadi pihak ketiga sebagai

penjamin dari utang piutang yang dilakukan oleh dua pihak lainnya.

Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist menunjukkan bahwa transaksi

atau perjanjian gadai atau pembiayaan yang disertakan jaminan dibenarkan

dalam Islam bahkan Nabi pernah melakukannya. demikian juga jumhur

ulama telah sepakat kebolehan gadai dan tidak pernah berselisih pendapat

mengenai hal ini. Landasan ini kemudian diperkuat dengan fatwa DSN

N0, 25/DSN-MUI/III/2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan

14

Faturrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga

Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.125. 15

Q.S. Al-Baqarah: 283. 16

Q.S. Yusuf: 72.

52

menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn

diperbolehkan.17

Pada pelaksanaan di Bank Syariah penyertaan jaminan juga diatur

dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyatakan

bahwasanya pemerintah menegaskan kembali bahwa jaminan dari nasabah

(debitur) urgen bagi bank syariah. Jaminan yang dibutuhkan oleh bank

syariah bisa dalam bentuk jaminan pokok maupun jaminan tambahan.18

Apabila bank tidak memiliki jaminan apapun dari nasabah maka dalam hal

ini bank tidak dapat menagih haknya ketika nasabah melakukan

wanprestasi yang mengakibatkan kerugian bagi bank syariah.

Hal ini juga ditegaskan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No.

03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, berikut: “Jaminan dalam

Murabahah dibolehkan agar nasabah serius dengan pesanannya. Bank

dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat

dipegang”.19

Ketentuan ini menjelaskan terkait jaminan di akad

Murabahah, sebab pada prinsipnya Murabahah sama dengan pembiayaan

kredit yang membutuhkan penyertaan jaminan juga pada pelaksanaanya.

Walaupun sudah menyertakan jaminan dalam pembiayaan, tidak

menghindari terjadinya cidera janji yang dilakukan debitur. Dengan

lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah, jika terjadi cidera janji/wanprestasu mengenai penyelesaian

sengketa ini diatir melalui Pasal 55. Dalam Pasal 55 sebagaimana

disebutkan bahwa:

a. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh

pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

b. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa

selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa

dilakukan sesuai dengan isi akad.

17

Lihat Fatwa DSN No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn. 18

Lihat Pasal 1 Ayat (26), UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 19

Fatwa DSN No. 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Himpunan Fatwa

Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional MUI, (Penerbit Erlangga, 2014), h.66.

53

c. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak

boleh bertentangan dengan prinsip Syariah.20

Apabila debitur (nasabah) cidera janji dan cidera janjinya tersebut

bukan karena nasabah tidak mau melunasi kewajibannya tetapi karena

debitur tersebut dalam keadaan tidak mampu melaksanakan kewajibannya,

Prinsip Syariah menentukan agar kreditur memberikan kelonggaran

kepada debitur. Dengan demikian kreditur wajib melakukan penjadwalan

kembali (rescheduling) terhadap waktu-waktu pelunasan kewajiban

tersebut bahkan Al-Qur’an sangat memuji apabila kreditur bersedia

memberikan pembebasan utang (discharge) tersebut baik sebagian atau

seluruhnya.21

Hal tersebut berdasarkan ketentuan surat Al-Baqarah: 280

sebagaimana berikut:

تصدقاخ أ سسة ي إن فظسة ذػسسة كا إ تى ك نكىإ س

تؼه

Artinya: “Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka

berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian

atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetaui.”22

Ayat tersebut menjelaskan jika orang yang berutang dalam keadaan

kesulitan maka hendaklah undurkan pembayarannya sampai dia

berkelapangan. Jangan menagihnya jika kamu mengetahui dia sempit,

apalagi memaksanya membayar dengan sesuatu yang amat dia butuhkan,

bahkan apabila bagi pemberi hutang mengikhlaskannya dijanjikan oleh

Allah SWT pahala untuknya.

Untuk barang yang dijadikan agunan dalam hutang piutang maka

Syariat Islam mengaturnya dalam Hadist dari Abu Hurairah r.a. bahwa

Rasulullah bersabda, “Siapapun yang bangkrut (muflis), lalu krediturnya

mendapatkan barangnya sendiri pada si bangkrut, maka kreditur itu lebih

20

Pasal 55 UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 21

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-Produk Dan Aspek Hukumnya,

(Jakarta: Kencana, 2014), h. 218. 22

Q.S. Al-Baqarah: 280.

54

berhak untuk menarik kembali barangnya dari pada lainnya.” (Hadist

dikeluarkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah).23

Ketentuan pengeksekusian diatur dalam Fatwa DSN-MUI No,

25/DSN-MUI/III/2002 mengatur bahwa apabila telah jatuh tempo,

Murtahin (kreditur) harus memperingatkan Rahin (debitur) untuk segera

melunasi hutangnya. Dan jika Rahin (debitur) tetap tidak dapat melunasi

utangnya, maka Marhun (jaminan) dijual paksa/dieksekusi melalui lelang

sesuai syariah. Kemudian jasil penjualan objek jaminan digunakan untuk

melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar

serta biaya penjualan. Dan kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin

dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin (debitur). Dari ketentuan

fatwa di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa Hukum Islam juga

memerintahkan pengeksekusian jaminan jika debitur tidak melunasi

hutangnya setelah melewati jatuh tempo perjanjian sesuai dengan syariah.

Dalam penyitaan jaminan pada Rahn Tasjily24

, penyitaan yang

dilakukan harus dengan prosedur syariah. Dalam Kompilasi Hukum

Ekonomi Syariah (KHES) dijelaskan pada pasal 364 ayat 1 tentang

penjualan harta rahn disebutkan bahwa kreditur harus memperingatkan

debitur untuk segera melunasi hutangnya apabila telah jatuh tempo.

Apabila belum ada peringatan dari kreditur untuk melunasi hutang dari

debitur, maka penyitaan belum bisa dilakukan. Setelah prosedur diatas

dipenuhi dan telah sampai pada waktu yang ditetapkan maka pihak

berhutang wajib untuk menyelesaikan hutangnya, jika ia mengalami

kesulitan dalam melunasi hutangnya hendaklah diberi kelonggaran seperti

yang di jelaskan oleh Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 280.25

23

Shahih Bukhari Nomor 2404 disarikan oleh Fathul Bari’; Shahih Muslim Nomor 1559

disarikan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani. 24

Rahn Tasjily adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang tetapi barang jaminan

tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan (pemanfaatan) Rahin (debitur) dan bukti

kepemilikannya diserahkan kepada murtahin (kreditur). 25

Lihat Pasal 364 Ayat 1, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), (Bandung:

Fokusmedia, 2008), h.81.

55

Sebelum penyitaan dilakukan hendaknya diberikan kelonggaran

atau kesempatan untuk melunasi kredit yang masih macet, dalam Islam

penyitaan tidak boleh serta-merta dilakukan tanpa melalui proses

pemberian jangka waktu tertetu untuk mengatasi kredit macet yang terjadi.

Setelah pemberian kelonggaran atau jangka waktu untuk pelunasan

tersebut telah dilakukan, sedangkan pihak debitur tetap tidak dapat

melunasinya, maka murtahin (kreditur) dapat meminta ganti rugi kepada

rahin (debitur).26

Penjualan barang jaminan setelah jatuh tempo adalah sah. Hal itu,

sesuai dengan maksud dari hakikat jaminan itu sendiri, yaitu sebagai

kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi harganya, bila yang berutang

tidak sanggup membayar utangnya dari orang yang berpiutang. Karena itu,

barang jaminan dapat dijual untuk membayar utang, dengan cara

mewakilkan penjualannya kepada yang adil dan terpercaya.27

Dalam praktek perbankan syariah, pembiayaan yang dilakukan

oleh bank syariah juga dilekatkan suatu jaminan kebendaan secara Hukum

Perdata yang berlaku di Indonesia. Hal ini memudahkan penyelesaian jika

terjadi wanprestasi. Jika diamati perjanjian yang dilakukan di perbankan

syariah adalah berdasarkan Hukum Islam dan prinsip-prinsip Hukum

Perjanjian Islam. Sedangkan mengenai perikatan jaminannya dilakukan

atau didasari pada Hukum Perdata Indonesia. Oleh sebab itu terjadi

percampuran 2 (dua) prinsip hukum yang dilakukan Perbankan Syariah.

Dan dalam proses eksekusi jaminan hutang, syariat Islam belum

mengatur tentang tata cara pelaksanaannya. Sehingga diperlukan kajian

terhadap jaminan pembiayaan bermasalahnya.28

26

Iffaty Nasyi’ah dan Asna Jazillatul Chusna, “Implementasi Prinsip Syariah Terhadap

Penyitaan Jaminan Fidusia, de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum”, Volume 4 Nomor 2, Desember

2012, h. 156. 27

Zainuddin, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.28. 28

Iffaty Nasyi’ah dan Asna Jazillatul Chusna, “Implementasi Prinsip Syariah Terhadap

Penyitaan Jaminan Fidusia”, Fiat Justisia Journal of Law, Volume 10 Issue 3, July-September

2016, h.527.

56

BAB 1V

PENYELESAIAN SENGKETA JAMINAN TERHADAP AKAD

MURABAHAH YANG BELUM JATUH TEMPO

A. Duduk Perkara

Duduk Perkara dari putusan Nomor 362K/AG/2013 PA PDG

adalah sebagai berikut.

PT. PERMODALAN NASIONAL MADANI (Persero) Pusat di

Jakarta Cabang Padang sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat

A/Terbanding I. Melawan EMIDAWATI.C. sebagai Termohon Kasasi

dahulu Penggugat/Pembanding dan KANTOR PELAYANAN

KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG (KPKNL) Bukit tinggi sebagai

Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat B/Terbanding II.

Kronologis kasus pada persidangan tingkat pertama sebagai

berikut, bahwa Penggugat (Emidawati) telah menggugat Tergugat A (PT.

Permodalan Nasional Madani) dan Tergugat B (KPKNL) dimuka

persidangan Pengadilan Agama Padang. Awal mula bahwa Penggugat

adalah nasabah Tergugat A pada Unit Layanan Mikro Syariah Lubuk

Buaya terkait dengan Murabahah dengan Kontrak No. 027/ULS-

LBB/MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009. Berdasarkan kontrak tersebut

Tergugat A melakukan take over pinjaman Penggugat sebesar Rp.

200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan akan dikembalikan kepada

Tergugat A dengan imbalan sebesar Rp. 153.600.000 (seratus lima puluh

tiga juta enam ratus ribu rupiah) atau setara dengan 76,5% (tujuh puluh

enam koma lima persen). Dan sebagai jaminan atas pembayaran kewajiban

Penggugat kepada Tergugat A, Penggugat menyerahkan 1 (satu) buah

Sertifikat Hak Milik No. 1 dengan luas 3.163 m2

atas nama Penggugat dan

Jaruni.

Namun dengan imbalan keuntungan tersebut, Penggugat merasa

bahwa 76,5% itu terlalu besar dan tidak sanggup ditanggung oleh

Penggugat. Menurut dalil Penggugat bahwa menurut syariat Islam

57

keuntungan hanya dapat diambil sebesar 10% (sepuluh persen) saja,

sehingga demikian keuntungan yang diperoleh Tergugat A dari Penggugat

adalah tidak sah dan harus dibatalkan. Berdasarkan Kontrak Murabahah

No. 027/ULS-LBB/MUS/VII/09 bahwa perjanjian jual beli/dan

pembiayaan ini berlaku untuk jangka waktu 48 (empat puluh delapan)

bulan, terhitung sejak 7 Juli 2009 sampai dengan 7 Juli 2013.

Sejak adanya Kontrak No. 027/ULS-LBB/MUS/VII/09 tertanggal

7 Juli 2009 awalnya Penggugat lancar-lancar saja dalam melaksanakan

kewajibannya kepada Tergugat A. Namun berjalannya waktu usaha

peternakan ayam Penggugat kurang berjalan lancar akibatnya Penggugat

tersebut mengalami kendala untuk memenuhi kewajibannya kepada

Tergugat A sehingga terjadi beberapa kali tunggakan yang nilainya

13.310.000 (tiga belas juta tiga ratus sepuluh ribu rupiah). Karena merasa

tidak terima dengan tunggakan Penggugat tersebut, Tergugat A melalui

suratnya tanggal 24 Juni 2011 telah memerintahkan Penggugat untuk

mengosongkan rumah yang terletak diatas tanah yang dijadikan jaminan

hutang tersebut.

Kemudian, pada tanggal 8 Juni 2011 petugas dari Tergugat A

datang ke lokasi dimana jaminan tanah itu berada untuk memberitahu

bahwa barang jaminan Penggugat tersebut akan dilelang. Akan tetapi

dengan kedatangan Tergugat A, Penggugat merasa keberatan dan

dipermalukan didepan tetangga dan keluarganya sehingga Penggugat

memperkarakan kasus ini ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Kota Padang (BPSK).

Akan tetapi dengan diadukannya perara ini ke BPSK Kota Padang

seluruh amar putusan dari Majelis BPSK Kota Padang tersebut sama sekali

tidak dipedulikan oleh Tergugat A. Bahkan Tergugat A tetap

memerintahkan Penggugat untuk mengosongkan rumahnya saja dan

berupaya melelang tanah dan rumah Penggugat ke Kantor Lelang Padang

pada tanggal 15 Desember dan telah mengumumkan lelang eksekusi hak

tanggungan pada surat kabar Harian Singgalang.

58

Menurut dalil Penggugat hal ini merupakan perbuatan melawan

hukum, karena sebagaimana diperjanjikan dalam Kontrak No. 027/ULS-

LBB/MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009, bahwa perjanjian pembiayaaan

ini berlaku untuk jangka waktu 48 (empat puluh delapan) bulan, terhitung

sejak tanggal 7 Juli 2009 sampai dengan tanggal 7 Juli 2013, dengan

demikian masih ada sisa waktu 20 bulan lagi barulah perjanjian tersebut

berakhir. Menurutnya perbuatan Tergugat A tersebut sangat merugikan

Penggugat, karena jika dilihat dari jangka waktu perjanjian masa jatuh

tempo masih jauh. Pelelangan jaminan tersebut barulah dapat dilaksanakan

apabila pada tanggal 7 Juli 2013 ini Penggugat tidak dapat menyelesaikan

kewajibannya barulah Penggugat dapat disebut telah ingkar janji. Karena

masa kontrak masih berlangsung dan belum jatuh tempi maka Tergugat A

tidak dapat melakukan pelelangan eksekusi hak tanggungan tersebut.

Bahwa berdasarkan dalil-dalil dan berbagai pertimbangan, Majelis

Hakim Pengadilan Agama Padang telah mengambil putusan untuk

menerima gugatan Penggugat dengan alasan bahwa margin keuntungan

yang diambil tegugat A tidak sah karena bertentangan dengan syariat

Islam dan perbuatan yang telah dilakukan Tergugat A adalah perbuatan

melawan hukum dan merugikan Penggugat dan menyatakan bahwa tidak

sah dilakukan lelang eksekusi atas hak tanggungan milik Penggugat.

Selanjutnya dikarena merasa tidak terima dengan amar putusan

tersebut, Tergugat menyangkal dalil gugatan dipersidangan sebelumnya

dan mengajukan gugatan balik (rekonvensi) dengan dalil-dalil sebagai

berikut:

- Bahwa Tergugat Rekonvensi (Emidawati) telah berhutang dan

mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pembiayaan yang telah

diberikan Penggugat berdasarkan Akad Murabahah No. 027/ULS-

LBBY/MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009 sebagaimana telah diubah

dengan Akad Restrukturasi/Rescheduling Murabahah No.

005/MUS/PDG-LBBY/RST/X/2010 tanggal 7 Oktober 2010.

59

- Bahwa terhitung sejak tanggal 7 Februari 2010 Tergugat telah tidak

melakukan pembayaran angsuran, sehingga Tergugat A/Penggugat

Rekonvensi menyampaikan Surat Peringatan Tertulis 3 (tiga) kali

berturut-turut.

- Bahwa setelah disampaikan Surat Peringatan, terhadap pembiayaan

Tergugat dilakukan upaya penyelamatan dengan dilakukannya

restrukturasi dengan harapan apabila angsuran diperkecil dan jangka

waktu diperpanjang Tergugat dapat melanjutkan pembayaran angsuran

tiap bulannya. Namun pada kenyataannya setelah dilakukan

restrukturasi pembiayaan Tergugat tetap tidak dapat melakukan

pembayaran angsuran.

- Bahwa dengan tidak melaksanakan pembayaran sesuai dengan jumlah

dan waktu angsuran maka Tergugat selaku debitur dapat dinyatakan

telah lalai/wanprestasi.

Persidangan tingkat pertama ini pada akhirnya dimenangkan oleh

pihak Tergugat A/Penggugat Rekonvensi (PT. Permodalan Nasional

Madani) dengan nomor putusan yaitu No. 907/PdtG/2011/PA.Pdg pada

tanggal 15 Agustus 2012. Karena merasa keberatan dengan putusan pada

tingkat pertama, Emidawati mengajukan perkara ini ke tingkat banding.

Dan usaha Emidawati pada persidangan ditingkat banding tidak sia-sia

dikarenakan dia memenangkan perkara tersebut dengan putusan No.

46/Pdt.G/2012/PTA.PDG tertanggal 26 Desember 2012. Namun tidak

berhenti sampai tingkat banding, pihak PT. Permodalan Nasional Madani

masih tidak mau menyerah akan hasil putusan tersebut kemudian kasus ini

dibawa pada tingkat Kasasi.

Alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Tergugat A

dalam memori kasasinya pada pokoknya ialah bahwa Pengadilan Tinggi

Agama telah salah dalam menerapkan hukum atau melanggar hukum serta

lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-

undangan sehingga putusan Pengadilan Tinggi Agama harus dibatalkan.

Berdasarkan pertimbangan, Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-

60

alasan dari Pemohon Kasasi tersebut dapat dibenarkan dan Pengadilan

Tinggi Agama Padang telah salah menerapkan hukum, pertimbangannya

sebagai berikut:

1. Menimbang berdasarkan fakta bahwa pada bulan Juni 2009

Penggugat telah mengajukan pembiayaan terhadap Tergugat A,

dan Penggugat sudah setuju prinsip pembayaran pada tanggal 2

Juli 2009 dan dilanjutkan dengan akad jual beli Murabahah pada

tanggal 7 Juli 2009 dengan jaminan sebidang tanah beserta

bangunan diatasnya. Awalnya Penggugat lancar-lancar saja

membayar angsuran pembiayaan tersebut. Namun setelah itu

angsuran macet, lalu diadakan restrukturasi akad Murabahah

dengan memperkecil cicilan dan memperpanjang masa

pengembalian pembiayaan, akan tetapi setelah dilakukan hal ini

tetap terjadi macet dalam pembayaran.

2. Menimbang persetujuan yang sudah di buat oleh Penggugat dan

Tergugat A telah dilakukan secara sukarela dan tanpa paksaan.

Mengenai besar kecilnya margin keuntungan yang diperoleh

Tergugat A otomatis telah masuk ke dalam persetujuan Penggugat,

maka tidak ada alasan hukum untuk mengingingkari perjanjian

yang telah dibuatnya.

3. Tentang keberatan Penggugat terhadap Tergugat A mengenai

perintah untuk mengosongkan rumah Penggugat dan pengumuman

tanah akan dilelang, hal ini sudah termasuk konsekuensi dari

perjanjian yang telah dibuat Penggugat dan Tergugat A.

Berdasarkan perjanjian Tergugat A telah diberi kuasa atas jaminan

tanah tersebut guna mendapat pelunasan piutannya dari Penggugat,

dengan demikian hal ini tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan

melawan hukum

Dalam isi putusan hakim memutuskan untuk mengabulkan

permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. PERMODALAN

NASIONAL MADANI (Persero) Pusat di Jakarta cq. Cabang Padang dan

61

membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang No.

46/Pdt.G/2012/PTA.PDG yang membatalkan putusan Pengadilan Agama

Padang No. 907/Pdt.G/2011/PA.PDG, dan menghukum Termohon Kasasi:

EMIDAWATI untuk membayar biaya perkara serta pengeksekusian

jaminan tanah miliknya untuk kepentingan pelunasan pembiayaan yang

dilakukannya kepada PT. Permodalan Nasional Madani (Persero).

B. Analisis Putusan No. 362 K/AG/2013 PA Padang

Awal mula permasalahan dari putusan No. 362 K/AG/2013 PA

Padang adalah dimulai dari kesepakatan antara pihak penggugat dan

tergugat dalam Perjanjian akad Murabahah No. 027/ULS-

LBBY/MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009 yang menyatakan bahwa

penggugat dan tergugat telah sama-sama terikat dalam sebuah perjanjian

dan perjanjian tersebut berlaku bagi yang membuatnya. Hal ini

berdasarkan pada pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan “Semua

persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya”. Pasal tersebut menjelaskan tentang asas

kebebasan berkontrak, yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak

adalah bahwa seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak

manapun yang dikehendakinya, yaitu bebas menentukan bentuk

kontraknya apakah dibuat secara lisan atau tertulis, isi kontraknya, dan

syaratnya. Asas kebebasan berkontrak ini bertujuan untuk melindungi hak

dan kewajiban para pihak yang membuat perjanjian.

Namun asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak,

tetapi ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH

Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak

terbatas. Berikut adalah beberapa batasan dari asas kebebasan berkontrak

ini:1

a) Kesepakatan para pihak. Pasal 1320 ayat (1) menentukan bahwa

perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya sepakat

1https://www.kompasiana.com/suwandymardan/55001bbaa33311d37250fc23/asas-

kebebasan-berkontrak-dalam-hukum-perjanjian-di-indonesia

62

dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung

pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi

perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas

kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak.

b) Ketentuan perundang-undangan. Pasal 1320 jo. 1337 menentukan

bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang

menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang. Jika isi

perjanjian terdapat hal-hal yang dilarang oleh undang-undang maka

perjanjian itu batal demi hukum.

c) Itikad baik para pihak. Pasal 1338 ayat (3) menegaskan bahwa

perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dari

bunyi pasal tersebut menunjukkan bahwa kebebasan berkontrak

dibatasi oleh itikad baik masing-masing pihak. Jika dalam perjanjian

itu terdapat salah satu pihak yang beritikad jahat, maka perjanjian

tersebut dapat dibatalkan atau ditarik kembali.

Menurut penulis terkait kebebasan berkontrak dalam perjanjian

pembiayaan murabahah No. 027/ULS-LBBY/MUS/VII/09 sudah sesuai,

karena perjanjian pembiayaan tersebut telah disepakati sejak awal oleh

kedua belah pihak, serta pihak debitur sudah menerima pembiayaan yang

diberikan pihak kreditur . Dengan demikian kedua belah pihak sudah

menyepakati isi perjanjian pembiayaan akad murabahah No. 027/ULS-

LBBY/MUS/VII/09.

Selain asas kebebasan berkontrak, terdapat asas lain yang harus ada

dalam sebuah kontrak perjanjian yaitu asas pacta sunt servanda. Yang

dimaksud asas pacta sunt servanda adalah “kontrak itu mengikat” dengan

kata lain para pihak yang terkait dengan kontrak harus menepati hak dan

kewajiban masing-masing atau memenuhi semua isi di dalam perjanjian

yang telah dibuat dan disepakati.

Namun dalam putusan No. 362 K/A/2013 dijelaskan bahwa para

pihak tidak merealisasikan asas pacta sunt servanda dengan baik. Faktanya

bahwa pihak debitur tidak menjalankan kewajibannya sesuai perjanjian

63

padahal sejak awal sudah sepakat untuk memenuhi kewajibannya kepada

kreditur. Hal ini disebabkan usaha peternakan ayam milik debitur kurang

berjalan lancar akibatnya mengalami kendala untuk memenuhi

kewajibanna sehingga terjadi tunggakan. Debitur tidak melakukan

pembayaran cicilan atas pelunasan hutangnya dan dianggap telah cidera

janji oleh kreditur.

Dan dampak dari hal ini pihak kreditur pun juga tidak memenuhi

hak dari debitur. Yaitu kreditur hendak mengeksekusi jaminan milik

debitur padahal jangka waktu perjanjian belum jatuh tempo. Hal ini

sebagaimana diperjanjikan dalam Kontrak No. 027/ULS-

LBB/MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009, bahwa perjanjian pembiayaaan

ini berlaku untuk jangka waktu 48 (empat puluh delapan) bulan, terhitung

sejak tanggal 7 Juli 2009 sampai dengan tanggal 7 Juli 2013, dengan

demikian masih ada sisa waktu 20 bulan lagi barulah perjanjian tersebut.

Dengan demikian hal ini tidak sesuai dengan asas pacta sunt servanda

yang seharusnya menjadikan perjanjian sebagai undang-undang dan secara

otomatis tidak dapat dilanggar oleh kedua belah pihak yang terkait. Karena

pembuatan perjanjian didasarkan pada asas kebebasan berkontrak yang

memang perjanjian ini dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak yang

ingin menciptakan sebuah perjanjian, dam asas pacta sunt servanda yang

menjadikan kontrak atau perjanjian tersebut sebagai undang-undang atau

aturan bagi para pihak yang membuat perjanjiannya.

Setelah pemberlakuan asas kebebasan berkontrak dan pacta sunt

servanda, terdapat asas lain yang berkaitan dengan analisis penelitian ini.

Karena pembahasan penulis fokus pada pandangan 2 (dua) segi hukum

maka asas yang berkaitan adalah perbandingan hukum, kepastian hukum

dan keadilan. Tiga asas ini saling berkaitan, menganalisis dengan cara

membandingkan dua sisi hukum yaitu hukum positif dan hukum Islam lalu

dipastikan bahwa hukum dijalankan dengan baik sehingga tidak

menimbulkan kerugian bagi siapapun. Dan dalam asas kepastian hukum,

tidak boleh ada hukum yang saling bertentangan, hukum harus dibuat

64

dengan rumusan yang bisa dimengerti oleh masyarakat umum dan

dampaknya terhadap keadilan bagi yang melaksanakannya. Adapun

analisis pebandingan hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Analisis Kasus Perspektif Hukum Positif

Berdasarkan kasus diatas dapat dipahami bahwa awal

permasalahan timbul karena Penggugat (Emidawati) sebagai nasabah

Tergugat A (PT. Permodalan Nasional Madani) tidak melaksanakan

kewajibannya terhadap Tergugat A. Sehingga berdampak pada

tindakan Tergugat A yang akan mengeksekusi jaminan tanah milik

Penggugat untuk kepentingan pelunasan hutangnya.

Ketentuan tentang jaminan atas tanah terdapat pada UU No. 4

Tahun 1996 (UUHT)2 dan UU No. 5 Tahun 1960 menyebutkan bahwa

jaminan atas tanah yaitu jaminan “berikut atau tidak berikut benda-

benda lain yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu, untuk

pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang

diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap keridur-kreditur lain.3

Berdasarkan pengertian tersebut bahwa jika debitur cidera janji,

kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama berhak menjual melalui

pelelangan umum atas benda tidak bergerak yang dijaminkan menurut

peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Mengenai kreditur yang berhak menjual barang jaminan

sebagaimana disebutkan di atas, hal ini didukung oleh ketentuan Pasal

6 (UUHT). Jika dihubungkan dengan kasus perkara, akibat dari kredit

macet maka konsekuensinya sebidang tanah atas jaminan pembiayaan

yang dilakukan Penggugat (Emidawati) kepada Tergugat A (PT.

Permodalan Nasional Madani) terancam di eksekusi untuk tujuan

pelunasan hutangnya. Pelaksanaan eksekusi atas jaminan tanah

2 Pasal 1 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan bahwa yang dimaksud

dengan Hak Tanggungan adalah jaminan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan

tanah. 3 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

65

tersebut mengacu pada Pasal 6 UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan yang berbunyi “Apabila debitur cidera janji, pemegang

Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak

Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta

mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.4

Berdasarkan bunyi pasal tersebut, penulis sependapat bahwa

Penggugat telah lalai karena perbuatannya dan dapat disebut telah

cidera janji, maka obyek jaminan tanah atas pembiayaan tersebut

berhak untuk dieksekusi guna mengambil pelunasan dari penjualan

jaminan tanah tersebut.

Lalu dalam dalil Tergugat A bahwa Penggugat tidak membayar

angsurannya selama beberapa bulan dan Tergugat menganggapnya

telah lalai/wanprestasi. Mengenai hal ini Penggugat (nasabah) dapat

dinyatakan lalai/wanprestasi dengan mengacu pada ketentuan Pasal

1238 KUH Perdata yang berbunyi, “Si berhutang adalah lalai, apabila

ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah

dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini

menetapkan bahwa si berhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya

waktu yang ditentukan”.5 Jika Pasal tersebut dihubungkan dengan

kasus yang terjadi, maka Penggugat sebagai nasabah memang dapat

dikatakan wanprestasi karena tidak melaksanakan kewajibannya

kepada Tergugat A dan setelah disampaikan somasi tiga kali tetap saja

terjadi kredit macet.

Akan tetapi pada Pasal 1238 KUH Perdata terdapat kata-kata

“dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Jika

dihubungkan dengan jangka waktu perjanjian antara Penggugat dan

Tergugat A bahwa pada Kontrak No. 027/ULS-LBB/MUS/VII/09

perjanjian pembiayaan tersebut berlaku untuk jangka waktu 48 (empat

puluh delapan) bulan, terhitung sejak tanggal 7 Juli 2009 sampai

4 Lihat Pasal 6 UU N0. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

5 Lihat Pasal 1238 KUH Perdata.

66

dengan 7 Juli 2013. Dengan demikian masih ada waktu selama 20

bulan lagi barulah perjanjian itu berakhir.

Menurut penulis tindakan Tergugat A untuk mengeksekusi

jaminan tanah milik Penggugat adalah tindakan yang kurang tepat,

disebabkan jika dihitung dari jangka waktu perjanjian tersebut masih

belum jatuh masa temponya. Pelelangan (eksekusi) atas jaminan

tersebut barulah dapat dilaksanakan apabila pada tanggal 7 Juli 2013

ternyata Penggugat belum juga menyelesaikan kewajibannya kepada

Tergugat A. Oleh karena itu sepanjang masa kontrak masih

berlangsung, maka Tergugat A tidak dapat melakukan pelelangan

eksekusi hak tanggungan (tanah) tersebut.

Alasan lain bahwa eksekusi jaminan tersebut tidak sah bahwa

pelaksanaan lelang Hak Tanggungan tersebut tidak memenuhi

persyaratan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 20 angka (3) UU Hak

Tanggungan. Dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa persyaratan

pelaksanaan lelang eksekusi diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2

(dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.6 Namun

pada nyatanya pihak Tergugat mengumumkan lelang hanya melalui 1

(satu) surat kabar yaitu pada sebuah koran Harian Singgalang tanggal 1

Desember 2011. Dengan demikian, dikarenakan pengumuman yang

dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Hak Tanggungan

sehingga dapat dikatakan batal demi hukum (Pasal 20 angka (4) UU

Hak Tanggungan).

Pernyataan tersebut terdapat pada pertimbangan Pengadilan

Tinggi Agama Padang pada tingkat banding. Dan menurut penulis,

pertimbangan Hakim tersebut sudah sangat tepat sebagai alasan

memenangkan pihak debitur (Penggugat). Namun pada tingkat kasasi

hal ini berbanding terbalik sehingga pihak debitur (Penggugat) menjadi

pihak yang kalah dan Tergugat yang memenangkan kasus ini.

6 Lihat Pasal 20 Angka (3), UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

67

2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Islam

Perjanjian pembiayaan atas akad Murabahah antara Penggugat

dan Tegugat A dalam kontrak perjanjian jual beli/dan pembiayaan ini

berlaku selama 48 bulan terhitung dari tanggal 7 Juli 2009 sampai

dengan 7 Juli 2013. Penggugat sebagai nasabah sudah melaksanakan

kewajibannya dengan mengangsur hutangnya sebanyak 28 bulan

sehingga tersisa 20 bulan lagi untuk mencapai pelunasan.

Namun, Pertimbangan Majelis Hakim dalam putusannya

adalah termasuk hal yang memberatkan Penggugat (nasabah). Yang

memberatkan nasabah ialah terkait tindakan pengeksekusian jaminan

tanah yang akan dilakukan Tergugat A padahal masa jatuh tempo

dalam perjanjian tersebut belum tiba (masih 20 bulan lagi).

Menurut hukum Islam, sebelum dilakukan tindakan terakhir

yaitu mengeksekusi jaminan tersebut hendaklah debitur memberikan

keringanan terhadap hutangnya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 124

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yaitu, “Dalam hal

pembeli mengalami penurunan kemampuan dalam pembayaran cicilan,

maka ia dapat diberi keringanan”.7

Al-Quran menyatakan bahwa memberikan keringanan atas

utang piutang itu adalah perbuatan baik yang dianjurkan dan dapat

sama dengan bersedekah kepada orang yang sedang dalam kesulitan.

Hal tersebut dijelaskan di dalam Q.s. Al-Baqarah (2): 280:

ن س تصدقاخ أ سسة ي إن فظسة ذػسسة كا إ تى ك كىإ

)انبقسة282:2( تؼه

Artinya: “Dan jika orang yang berutang itu dalam kesukaran,

maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan

(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu

mengetahui.”

7 Pasal 124 Ayat (2), Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Buku II tentang Akad,

(Bandung: FOKUSMEDIA, 2008), h.39.

68

Keringanan wajib diberikan kepada Penggugat karena

Penggugat melakukan tunggakan angsuran bukan karena dia tidak mau

melunasi kewajibannya tetapi karena Penggugat dalam keadaan tidak

mampu melaksanakan kewajibannya yang disebabkan usaha ternak

ayamnya dalam kondisi kurang lancar. Oleh karena itu Tergugat A

wajib memberikan keringanan kepada Penggugat dikarenakan dari

pihak Penggugat bisa dikatakan masih ada itikad baik untuk melunasi

hutangnya.

Berkaitan dengan pembiayaan yang dilakukan lembaga

pembiayaan syariah, Islam pada dasanya lebih mengutamakan adanya

kebaikan (kemaslahatan). Kemaslahatan tersebut dimanfaatkan untuk

pengembangan usaha di dalam masyarakat, adanya jaminan bukanlah

untuk menahan harta, akan tetapi untuk menghindari kemudharatan

dan lebih menjaga kepercayaan diantara pihak kreditur dan debitur

(nasabah) yang meminjam uang. Adapun kaidah fikih yang sesuai

dengan hal ini yaitu:

سزصالا نض

Artinya: “Kemudharatan itu harus dihilangkan”

Kemudharatan yang dimaksud ialah risiko yang bisa saja

terjadi apabila nasabah tidak dapat melunasi kewajibannya kepada

kreditur. Sebagai contoh jika pembiayaan tidak disertakan jaminan lalu

nasabah cidera janji bisa saja dia melarikan diri dan merugikan pihak

kreditur karena piutangnya belum dilunasi. Dengan demikian adanya

penyertaan jaminan akan terjadi rasa saling tanggung jawab dan akan

tertanam nilai-nilai dasar dari syariah yang timbul dari kepercayaan

kedua belah pihak dalam perjanjian pembiayaannya.

Pasal 363 KHES menyatakan “Apabila telah jatuh tempo,

pemberi gadai dapat diwakilkan kepada penerima gadai atau

penyimpan atau pihak ketiga untuk menjual harta gadainya”.8 Pasal

8 Pasal 363, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Buku II tentang Akad,

(Bandung: FOKUSMEDIA, 2008), h.81..

69

tersebut menjelaskan tentang gadai, tetapi jika dibandingkan dengan

pembiayaan Murabahah terdapat kesamaan yaitu pada prinsipnya

sama-sama mengikatkan suatu jaminan untuk kelangsungan

pembiayaan yang telah diberikan si kreditur kepada debitur. Jika

dihubungkan dengan perkara Nomor 362K/AG/2013, maka dapat

diambil kesimpulan bahwa tindakan Tergugat A (kreditur) untuk

mengeksekusi atau menjual jaminan Penggugat adalah tindakan yang

tidak tepat karena dari isi pasal tersebut dijelaskan bahwa harta gadai

(jaminan) dapat dijual apabila telah jatuh tempo. Sedangkan masa

berlaku perjanjian Murabahah masih belum berakhir, maka jaminan

tanah dalam perjanjian pembiayaan akad Murabahah tersebut tidak

dapat dieksekusi.

Pengaturan lebih dijelaskan dalam Fatwa DSN MUI No.

47/DSN-MUI/II 2005 tentang Penyelesaian Piutang Bagi Nasabah

Tidak Mampu Bayar menyatakan “LKS boleh melakukan penyelesaian

(settlement) murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/

melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah

disepakati, dengan ketentuan:

a. Obyek murabahah atau jaminan lainnya dijual oleh nasabah

kepada atau melalui LKS dengan harga pasar yang

disepakati;

b. Nasabah melunasi sisa utangnya kepada LKS dari hasil

penjualan;

c. Apabila hasil penjualan melebihi sisa utang maka LKS

mengembalikan sisanya kepada nasabah;

d. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa utang maka sisa

utang tetap menjadi utang nasabah;

e. Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa utangnya,

maka LKS dapat membebaskannya.

Menurut penulis tindakan eksekusi jaminan terhadap akad

murabahah dalam kontrak No. 027/ULS-LBBY/MUS/VII/09

70

merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Karena

jika merujuk ketentuan-ketentuan Hukum Islam yang telah dipaparkan

sebelumnya, dijelaskan bahwa boleh menjual atau mengeksekusi

jaminan apabila waktu perjanjian pembiayaan telah jatuh tempo.

Walaupun Tergugat A (PT. Permodalan Nasional Madani) sebagai

kreditur telah melakukan upaya somasi ataupun rescheduling akad

terhadap kontrak perjanjian, maka tetap saja apabila jangka waktu

berlakunya perjanjian belum berakhir Penggugat sebagi debitur masih

mempunyai hak untuk mempertahankan harta jaminannya agar tidak

dieksekusi.

Selain itu terjadinya tunggakan dalam pembiayaan Murabahah

ini bukan disebabkan oleh kesengajaan Penggugat untuk tidak mau

membayar angsuran tiap bulannya, melainkan terjadi kendala dalam

usahanya yang menyebabkan dia tidak mampu melakukan

kewajibannya.

Menurut analisa penulis pertimbangan Majelis Hakim pada

tingkat kasasi perkara ini untuk memenangkan pihak Pemohon

Kasasi/Tergugat A (kreditur) adalah keputusan yang kurang adil.

Sebab jika dilihat dari persidangan sebelumnya di Pengadilan Tinggi

Agama Padang, pihak Termohon Kasasi/Penggugat telah

memenangkan perkara ini sebanyak 2 (dua) kali yaitu pada tingkat

pertama dan tingkat banding.

Pada dua persidangan sebelumnya Majelis Hakim Pengadilan

Agama Padang dalam putusannya mempertimbangkan dari segi

margin keuntungan yang diperoleh kreditur. Menurut dalil Penggugat

(debitur) margin keuntungan yang telah ditetapkan yaitu 76,5% terlalu

besar dan tidak sanggup ditanggung oleh Penggugat karena tidak

sesuai syariat Islam. Namun dalil tersebut tidak dapat diterima oleh

Pengadilan Tinggi Agama karena margin keuntungan tersebut

termasuk ke dalam kesepakatan kedua belah pihak dalam akad

Murabahah.

71

Perlu diketahui bahwa syariat Islam tidak ada batasan

keuntungan. Keuntungan bisa saja banyak, bisa pula sedikit. Kecuali

jika sudah ada batasan harga di pasaran dengan harga tertentu, maka

tidak boleh konsumen dikelabui saat itu. Produsen boleh saja menjual

barang tersebut sesukanya dengan harga yang ia inginkan walau

dengan keuntungan 30%, 50%, atau sampai 100%. Akan tetapi sebagai

seorang mukmin hendaknya memudahkan saudaranya. Hendaknya ia

tetap suka walau mendapatkan keuntungan sedikit.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa penetapan

margin keuntungan yang dianggap terlalu besar oleh Penggugat

(debitur) tidak bisa dijadikan alasan gugatan tersebut, sebab syariat

Islam pun tidak membatasi jumlah keuntungan yang dilakukan

umatnya dan mengenai jumlah margin keuntungan sebesar 76,5%

tersebut sudah menjadi kesepakatan bersama dalam perjanjian akad

Murabahah. Namun, sebagai umat muslim sebaiknya harus

memperhatikan kondisi pihak debitur sebelum menetapkan berapa

besar margin keuntungan yang akan diambil. Terkadang seseorang

lupa akan etika jual beli, sehingga memiliki kecenderungan untuk

meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya tanpa memerhatikan

orang lain (debitur).

Dua perspektif hukum di atas menjelaskan bahwa perbandingan

antara hukum positif dan hukum Islam saling bertentangan dalam

mengatur permasalahan eksekusi jaminan yang belum jatuh tempo. Dapat

diambil kesimpulan perspektif hukum positif membolehkan pelaksanaan

eksekusi jaminan walaupun masa jatuh tempo perjanjian belum berakhir,

dan sebaliknya dengan perspektif hukum Islam lebih bahwa

pengeksekusian baru dapat dilakukan apabila telah jatuh tempo. Perbedaan

pandangan hukum ini menjadikan tidak adanya kepastian hukum yang

mengatur tentang eksekusi jaminan yang belum jatuh tempo. Terlebih lagi

dalam hukum Islam belum diatur lebih lanjut mengenai prosedur

72

pengeksekusian, hal ini dapat menimbulkan kebingungan dan kerugian

bagi masyarakat.

73

74

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan bab-bab terdahulu maka dapat

disimpulkan bahwa:

1. Eksekusi jaminan terhadap akad Murabahah yang belum jatuh tempo

perspektif hukum positif menurut UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan eksekusi jaminan diperbolehkan dengan tujuan

mengambil pelunasan piutangnya dari hasil lelang jaminan tersebut.

Bahkan menurut ketentuan HIR dan R.Bg membolehkan pihak yang

menang untuk memaksa pihak lawannya guna mematuhi keputusan

hakim untuk menghukum dengan mengeksekusi jaminan.

Boleh tidaknya mengeksekusi jaminan sebelum jatuh tempo tiba

adalah tergantung pada perjanjian pembiayaan yang dilakukannya.

Klausul cidera janji biasanya dijelaskan batasan waktu seorang debitur

dapat dianggap telah berbuat wanprestasi. Namun, jika tidak ada

klausul tersebut menurut Pasal 6 UUHT secara hukum kreditur berhak

atas kekuasaanya sendiri untuk menjual obyek Hak Tanggungan

tersebut melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi

dari pihak debitur.

2. Sedangkan menurut Hukum Islam eksekusi jaminan yang belum jatuh

tempo adalah tidak sah. Karena eksekusi hak tanggungan atas akad

murabahah harus menunggu pelunasan jatuh tempo. Hal ini diatur

dalam Fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002. Alasan cidera janji

dalam KUHPerdata tidak tepat sebagai alasan gugat dalam akad

murabahah yang belum jatuh tempo. Seorang debitur dapat dikatakan

cidera janji dalam akad murabahah apabila nasabah tersebut telah

tidak memenuhi pembayaran angsuran dan telah jatuh tempo. Proses

penyitaan (eksekusi) jaminan dapat dilakukan apabila debitur sudah

benar-benar tidak mampu membayar atau tidak punya itikad baik maka

75

pihak kreditur bisa melakukan penyitaan terhadap jaminan yang telah

dilakukan pengikatan terhadap barang jaminan tersebut serta masa

berlaku perjanjian telah jatuh tempo. Hukum Islam tidak menentang

dilaksanakannya eksekusi jaminan, namun ketika debitur cidera janji

dikarenakan kondisi ketidak mampuannya maka syariat

memerintahkan kepada kreditur untuk memberikan keringanan dan

kelonggaran terlebih dahulu alih-alih langsung mengeksekusi jaminan

tersebut.

3. Eksekusi jaminan dapat dilakukan sebelum jatuh tempo merujuk pada

Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan dan Pasal 1267

KUHPerdata. Mengatur bahwa apabila debitur melakukan cidera janji,

eksekusi sah dan valid dilakukan meskipun masa perjanjian belum

berakhir. Dan terhadap pelaksanaan eksekusi yang demikian, debitur

tidak dapat mengajukan partij verzet (perlawanan terhadap sita

eksekusi) berdasarkan Pasal 207 HIR, Pasal 225 RBg.

B. Saran

1. Pemerintah hendaknya meninjau lagi tentang pertentangan kedua

hukum ini dan membuat peraturan lebih lanjut tentang teknis

pengeksekusian dari segi hukum Islam agar tidak membingungkan dan

merugikan masyarakat.

2. Majelis Hakim harus lebih meninjau kembali pada peraturan sumber

hukum Islam dalam pertimbangannya, karena perkara No. 362

K/AG/2013 dalam kontrak perjanjian pembiayaanya menggunakan

akad syariah yaitu akad Murabahah.

3. Bagi Tergugat (PT. Permodalan Nasional Madani), harap lebih

diperhatikan kembali mengenai masa berlaku perjanjian sebelum

mengambil keputusan mengeksekusi jaminan milik Penggugat

(Emidawati).

76

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdurrachman, M. 2005. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Penerbit Universitas

Trisakti.

Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin. 2010. Metode Penelitian Hukum.

Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Al-Albani, M. Nashiruddin. 2007. Ringkasan Shahih Bukhari. Depok: Gema

Insani.

Ali, Mohammad Daud. 2015. HUKUM ISLAM Pengantar Ilmu Hukum dan Tata

Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pres.

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta:

Gema Insani Press.

Ascarya. 2011. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, Cet. Ketiga.

Badrulzaman, Mariam Darus. 1998. Kerangka Hukum Jaminan Indonesia dalam

Hukum Jaminan Indonesia Seri Dasar Hukum Ekonomi 4. Bandung: PT.

Cita Aditya Bakti.

Darmohardjo, Dardji. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan Bagaimana

Filsafat Hukum Di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Djamil, Fathurrahman. 2013. Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi di

Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.

Fatwa DSN No. 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. 2014. Himpunan

Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional MUI. Penerbit

Erlangga.

Fuadi, Munir. 2013. Hukum Jaminan Utang. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Fuady, Munir. 2013. Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory). Jakarta:

Kencana.

Harahap, M. Yahya. 2007. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang

Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.

77

Hartono, Suharjati, 1991. Kapita Selekta Perbandingan Hukum. Citra Adititya

Bakti.

Hejazziey, Djawahir. 2014. Perbankan Syariah dalam Teori dan Praktik.

Yogyakarta: Deepublish.

HS, Salim. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: PT Raja

Grafindo.

HS, Salim dan Erlies Septiana Nurbani. 2015. Perbandingan Hukum Perdata

Comparative Civil Law. Jakarta: Rajawali Pres.

Hutagalung, Sophar Maru. 2012. Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika.

Ismail. 2011. Perbankan Syariah. Jakarta: Kencana.

Jahar, Asep Saepudin, Euis Nurlaelawati dan Jaenal Aripin. 2013.Hukum

Keluarga, Pidana & Bisnis:Kajian Peundang-Undangan Indonesia, Fikih

dan Hukum Internasional. Jakarta:Kencana.

Janwari, Yadi. 2015. Lembaga Keuangan Syariah. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Lathif, Ah. Azharuddin. 2005. Fiqh Muamalat. Jakarta: UIN Jakarta Press.

Joachim Friedrich, Carl. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nusamedia.

Manan, Abdul. 2008. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan

Agama.Jakarta: Kencana.

Mardani. 2013. Hukum Periatan Syariah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Moloeng, Lexy J. 2012. Metodologi Peneltian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:

Rakesarasin.

Purnamasari, Irma Devita. 2011. Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer: Kiat-

Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Jaminan

Perbankan. Bandung: Mizan Media Utama(MMU).

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. 2001. Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-

Pokok Hukum Jaminan san Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty

Offset Yogyakarta.

78

Sugeng, Bambang dan Sujayadi. 2013. Pengantar Hukum Acara Perdata dan

Contoh Dokumen Litigasi. Jakarta: Kencana.

Sunggono, Bambang. 2003. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada.

Subekti. 1989. Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta.

Sudarsono, Heri. 2008. Bank & Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan

Ilustrasi. Yogyakarta: EKONISIA.

Sunaryo. 2013. Hukum Lembaga Pembiayaan. Jakarta: Sinar Grafika.

Suyatno, H.R.M. Anton. 2016. Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Kredit

Macet Melalui Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses

Gugatan Pengadilan. Jakarta: Kencana.

Syahdeini, Sutan Remi. 1996. Hak Tanggungan: Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan

Pokok dan Masalah-Masalah yang Dihadapi Oleh Pihak Perbankan,

Suatu Kajian Mengenai UUHT. Surabaya: Airlangga University Press.

Syukri Albani Nasution, Muhammad, dkk. 2016. Hukum Dalam Pendekatan

Filsafat. Jakarta: Kencana.

Waluyo, Bambang. 2008. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta: Sinar

Grafika.

Wasilah, Sri Nurhayati . 2008. Akuntansi Syari’ah di Indonesia. Jakarta: Salemba

4.

Zainuddin. 2005. Hukum Gadai Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.

Jurnal:

Nasyi’ah, Iffaty dan Asna Jazillatul Chusna. 2012. “Implementasi Prinsip Syariah

Terhadap Penyitaan Jaminan Fidusia, de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum”,

Volume 4 Nomor 2.

Triana, Nita. 2016. “Eksekusi Hak Tanggungan pada Perbankan Syariah di

Pengadilan Agama Purbalingga”. Penelitian DIPA Institut Agama Islam

Negri Purwokerto.

79

Website:

Bastary, M. Luqmanul Hakim. Eksekusi Putusan Perkara Perdata, www.pta-

bandung.go.id/uploads/arsip/1491Eksekusi_Perkara_Perdata.pdf, diakses

pada tanggal 24 Juli 2018 pukul 14.20 WIB.

https://andigunawan03.wordpress.com/2011/04/16/hak-jaminan/ diakses pada

tanggal 25 September 2018, pukul 00.16 WIB

https://konsultanhukum.web.id/3-cara-mengeksekusi-tanah-benda-yang-menjadi-

jaminan-utang/, diakses pada tanggal 31 Juni 2018 pukul 10.51 WIB.

http://www.pengertianmenurutparaahli.com/pengertian-asas-kepastian-hukum/,

diakses pada 3 Januari 2019 pukul 11.28.

Salam, Abdul. 2018. “Problem Hukum Eksekusi Hak Tanggungan atas Dasar

Wanprestasi terhadap Akad Murabahah”, Wakil Ketua Pengadilan Agama

Mataram,(http://arsip.pta-mataram.go.id/sys

content/uploads/file/eDoc/Artikel/Artikel_Abd_Salam_2017-04-

25_Eksekusi_Hak_Tanggunan_Atas_Dasar_Wanprestasi_dalam_Akad_M

urabahah.pdf) diakses pada tanggal 27 September 2018 pukul 11.00 WIB.

Undang-Undang:

Pasal 1 Ayat 26. UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Pasal 1131, 1132, 1238 KUH Perdata

Pasal 195-197, dan 225 HIR

Pasal 208 dan 229 RBg

Pasal 1, 6, 14, 20 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT)

Pasal 124, 363 dan 364 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah) KHES

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Fatwa DSN-MUI

80

LAMPIRAN

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

P U T U S A N

No. 362 K/AG/2013

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

M A H K A M A H A G U N G

memeriksa perkara perdata agama dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai

berikut dalam perkara :

PT. PERMODALAN NASIONAL MADANI (Persero) Pusat di

Jakarta cq. Cabang Padang di Jalan Ahmad Yani No. 39 A Padang,

dalam hal ini memberi kuasa kepada DENNY CHRISTYANTO, dan

kawan-kawan, berkantor di Jalan Ahmad Yani No. 39 A Padang,

Pemohon Kasasi dahulu Tergugat A/ Terbanding I;

m e l a w a n :

EMIDAWATI. C, bertempat tinggal di Toboh Apar Kenagarian Toboh

Gadang, Kecamatan Sintuak Toboh Gadang, Kabupaten Padang

Pariaman, dalam hal ini memberi kuasa kepada ASNIL ABDILLAH,

S.H. dan kawan-kawan, advokad, berkantor di Jl. Adinegoro No. 30

Petak 6 Ganting Lubuk Buaya, Kota Padang, Termohon Kasasi dahulu

Penggugat/Pembanding;

dan

PEMERINTAH RI Cq. KEMENTRIAN KEUANGAN RI. di Jakarta

Cq. DIREKTORAT JENDERAL KEKAYAAN NEGARA di

Jakarta Cq. KANTOR WILAYAH III PEKANBARU Cq.

KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG

Bukittinggi, Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat B/Terbanding II;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang Termohon

Kasasi dahulu sebagai Penggugat telah menggugat sekarang Pemohon Kasasi dan turut

Termohon Kasasi dahulu sebagai para Tergugat di muka persidangan Pengadilan

Agama Padang pada pokoknya atas dalil-dalil :

1 Bahwa Penggugat adalah nasabah Tergugat A pada Unit Layanan Mikro Syariah

Lubuk Buaya terkait dengan Murabahah sebagaimana tertuang dalam Kontrak No.

027/ULS-LBB/MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009;

Hal. 1 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

2 Bahwa berdasarkan Kontrak No. 027/ULS-LBB/MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009

tersebut, Tergugat A melakukan take over pinjaman Penggugat sebesar Rp

200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan akan dikembalikan kepada Tergugat A dan

ditambah dengan imbalan sebagai keuntungan oleh Tergugat A sebesar Rp

153.600.000,- (seratus lima puluh enam juta rupiah), oleh karenanya Penggugat

mempunyai kewajiban kepada Tergugat A untuk membayarkan uang sejumlah Rp

353.600.000,- (tiga ratus lima puluh tiga juta enam ratus ribu rupiah);

3 Bahwa sebenarnya imbalan keuntungan Tergugat A sebesar Rp

153.600.000,- (seratus lima puluh tiga juta enam ratus ribu rupiah) atau setara

dengan 76,5% (tujuh puluh enam koma lima persen) dari take over pinjaman sebesar

Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tersebut adalah terlalu besar dan tidak

sanggup ditanggung oleh Penggugat, menurut syariat Islam keuntungan hanya dapat

diambil sebesar 10% (sepuluh persen) saja, sementara Penggugat harus membayar

keuntungan Tergugat A sebesar 76,5 % (tujuh puluh enam koma lima persen) atau

sejumlah Rp 153.600.000,- (seratus lima puluh tiga juta enam ratus ribu rupiah)

sehingga dengan demikian keuntungan yang akan diperoleh Tergugat A dari

Penggugat sebesar Rp 153.600.000,- (seratus lima puluh tiga juta enam ratus ribu

rupiah) adalah tidak sah karenanya harus dibatalkan;

4 Bahwa bila keuntungan Tergugat A 76,5 % (tujuh puluh enam koma lima persen)

dibanding dengan bunga bank konvensional, maka bunga setiap tahunnya yang

ditanggung Penggugat adalah sebesar 19.1 % atau setiap bulannya 1,6 %, setelah

Indonesia dilanda krisis ekonomi tahun 1998, tidak satupun bank yang menetapkan

bunga sebesar 19,1 % setiap tahunnya apalagi kredit untuk usaha rakyat, oleh karena

demikian, kewajiban yang dibebankan oleh Tergugat A kepada Penggugat sudah

tidak Islami lagi, jika memang demikian halnya, lembaga bank syariah hanya kedok

semata, sementara praktiknya ternyata lebih kejam dari bank konvensional, oleh

karena itu kewajiban untuk membayar keuntungan Tergugat A sebesar Rp.

153.600.000,- (seratus lima pluh tiga juta ena ratus ribu rupiah) haruslah dibatalkan

dan disesuaikan dengan syariat Islam;

5 Bahwa sesuai dengan Pasal 2 perjanjian di atas, kewajiban Penggugat sebesar Rp

353.600.000,- kepada Tergugat A tersebut akan dilakukan dengan cara diangsur

sebanyak 48 (empat puluh delapan) kali dengan membayarkan uang sebesar Rp.

7.366.667,- (tujuh juta tiga ratus enam puluh enam ribu enam ratus enam puluh tujuh

rupiah) setiap bulannya, dan karena demikian akan lunas pada tanggal 7 Juni 2013;

2

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

6 Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 Kontrak No. 027/ULS-LBB/MUS/ VII/09

tertanggal 7 juli 2009 dengan tegas menentukan, bahwa perjanjian jual beli/dan

pembiayaan ini berlaku untuk jangka waktu 48 (empat puluh delapan) bulan,

terhitung sejak 7 Juli 2009 sampai dengan 7 Juli 2013;

7 Bahwa sebagai jaminan atas pembayaran kewajiban Penggugat kepada Tergugat A

tersebut, Penggugat telah menyerahkan 1 (satu) buah Sertifikat Hak Milik No. 1,

luas 3.163 m2 tercatat atas nama Penggugat dan Jaruni, sebagaimana tertuang dalam

bukti tanda terima agunan/jaminan tambahan unit layanan modal mikro Syariah-AL

AMM No. 27/ ULS-LBB/MUS/VII/09 tertanggal 7 juli 2009;

8 Bahwa sekalipun keuntungan Tergugat A yang harus Penggugat bayarkan terlalu

besar dan tidak ada usaha yang dapat memperoleh keuntungan sebesar 76 %

tersebut, seperti usaha ternak ayam yang Penggugat usahakan berdasarkan uang Rp

200.000.000,- yang di take over Tergugat A tersebut, kecuali dalam berdagang

heroin itupun kalau tertangkap, namun sejak adanya Kontrak No. 027/ULS-LBB/

MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009 Penggugat lancar-lancar saja dalam

melaksanakan kewajiban kepada Tergugat A, sekalipun Penggugat mengalami

kerugian karena sering matinya ayam yang Penggugat usahakan, akan tetapi

belakangan ini Penggugat memang mengalami sedikit kendala untuk memenuhi

kewajiban kepada Tergugat A, hal ini dikarenakan usaha Penggugat tersebut kurang

lancar, akibatnya terjadi beberapa kali tunggakan yang nilainya berjumlah Rp

13.310.000,- (tiga belas juta tiga ratus sepuluh ribu rupiah);

9 Bahwa ternyata tunggakan Penggugat sebesar Rp 13.310.000,- tersebut tidak dapat

diterima oleh Tergugat A, tanpa ada pembinaan dari Tergugat A sebagai lembaga

keuangan, Tergugat A melalui suratnya tanggal 24 Juni 2011 telah memerintahkan

Penggugat untuk mengosongkan rumah di atas tanah yang dijadikan jaminan hutang

Penggugat tersebut;

10 Bahwa selain itu, pada tanggal 8 Juni 2011, telah datang petugas dari Tergugat A

(PT. PNM ULAMM Syariah) sebanyak 4 (empat) orang dengan menemui keluarga

dan tetangga Penggugat, dan petugas tersebut membeberkan kepada saudara dan

tetangga Penggugat tersebut bahwa barang jaminan Penggugat akan dilelang;

11 Bahwa atas perlakuan petugas tersebut, Penggugat merasa keberatan dan

dipermalukan, maka Penggugat memperkarakan Tergugat A pada badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Padang (BPSK) dengan tuntutan seperti

yang tertuang dalam kronologis dalam berkas pengaduan No. 143/ P3K/VI/2011,

dan berdasarkan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Padang

3

Hal. 3 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

(BPSK) tanggal 26 September 2011, No.100/ BPSK-PDG/Ptd/P3K/2011 telah

memberikan putusan yang amarnya :

“Bahwa sesuai dengan UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen dan

Pasal 40 huruf c Keputusan Menteri Perindustrian Perdagangan Republik Indonesia

No. 350/MPP/Kep/12/2001, Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota

Padang memutuskan :

1 Mengembalikan proses penyelesaian perjanjian kredit antara Ibu Emidawati. C

dengan PT. PNM ULAMM Syariah Lubuk Buaya Padang melalui mekanisme

perbankan dengan tetap mengemukakan jalan musyawarah dan mufakat

sehingga tercapai kesepakatan jumlah besarnya cicilan dan jangka waktu

penyelesaian kredit;

2 Kepada PT. PNM ULAMM Syariah Lubuk Buaya Padang diperintahkan

memberikan masa tenggang waktu pembayaran cicilan selama 6 (enam) bulan

kedepan setelah kesepakatan penyelesaian dicapai;

3 Atas terjadinya perbedaan pencatatan pembayaran yang disetorkan Ibu

Emidawati. C kepada PT. ULAMM Syariah tanggal 7 Oktober 2010 agar

dihitung ulang secara bersama oleh kedua belah pihak;

4 Keputusan Majelis BPSK ini agar dipatuhi oleh kedua belah pihak”;

12 Bahwa akan tetapi seluruh amar putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen Kota Padang tersebut tidak diindahkan oleh Tergugat A sama sekali,

bahkan Tergugat A secara tanpa hak dan melawan hukum telah berupaya untuk

menguasai rumah Penggugat yang berada di atas tanah Sertifikat Hak Milik No. 1

tersebut dengan cara memerintahkan Penggugat untuk mengosongkannya, tidak itu

saja, Tergugat A telah berupaya melalui Kantor Lelang Padang untuk melelang

tanah dan rumah Penggugat tersebut pada tanggal 15 Desember 2011 di kantor

Tergugat A, hal itu diketahui dari surat Tergugat B kepada Tergugat A perihal

Penetapan Jadwal Lelang tertanggal 14 Nopember 2011;

13 Bahwa selanjutnya Tergugat A melalui Tergugat B (bukan Kantor Lelang Padang)

akan melelang barang jaminan hutang Penggugat, yaitu Tanah Hak Milik No. 1, luas

3.163 m2 tersebut pada tanggal 15 Desember 2011 di Kantor Tergugat A jalan A.

Yani No. 39 A Padang, hal ini Penggugat ketahui setelah membaca Harian

Singgalang terbitan tanggal 1 Desember 2011, di mana Tergugat A telah melakukan

pengumuman lelang eksekusi hak tanggungan;

14 Bahwa berdasarkan hal-hal di atas, maka menurut hukum tindakan Tergugat A yang

memerintahkan Penggugat untuk mengosongkan rumah Penggugat dan perbuatan

4

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Tergugat A yang telah berupaya melakukan lelang eksekusi hak tanggungan atas

barang jaminan hutang tersebut adalah merupakan perbuatan melawan hukum,

karena sebagaimana diperjanjikan dalam Kontrak No. 027/ULS-LBB/MUS/VII/09

tertanggal 7 Juli 2009, bahwa perjanjian pembiayaan ini berlaku untuk jangka waktu

48 (empat puluh delapan) bulan, terhitung sejak tanggal 7 Juli 2009 sampai dengan

tanggal 7 Juli 2013, masih ada sisa waktu selama 20 bulan lagi barulah perjanjian itu

berakhir, dengan demikian jelas tindakan Tergugat A tersebut sangat merugikan

Penggugat, pelelangan atas jaminan tersebut barulah dapat dilakukan manakala pada

tanggal 7 Juli 2013 ini ternyata Penggugat tidak dapat menyelesaikan kewajibannya

kepada Tergugat A, sehingga pada saat itulah, Penggugat dapat disebut sebagai

pihak yang telah ingkar janji, sepanjang masa kontrak masih berlangsung, maka

menurut hukum Tergugat A tidak dapat melakukan pelelangan eksekusi hak

tanggungan tersebut;

15 Bahwa dalam hal ini seharusnya Tergugat B menolak permintaan Tergugat A untuk

melakukan lelang eksekusi atas hak milik tersebut, karena selain alasan yang

disebutkan pada angka 9 di atas, Tergugat B tidak berwenang melakukan pelelangan

atas hak tanggungan tersebut, karena yang berwenang melakukan eksekusi atas hak

milik tersebut adalah Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Padang, bukan

Tergugat B;

16 Bahwa sebagai akibat perbuatan Tergugat A yang telah memerintahkan Penggugat

untuk mengosongkan rumah Penggugat, menyampaikan kepada tetangga dan

keluarga Penggugat akan melelang tanah tersebut dan pengumuman lelang yang

dilakukan oleh Tergugat A jelas telah menimbulkan kerugian moril bagi Penggugat

sekeluarga karena menanggung malu akibat perbuatan Tergugat A tersebut, padahal

semua itu belum saatnya dilakukan Tergugat A, sehingga dengan demikian adalah

wajar kerugian moril Penggugat tersebut menjadi kewajiban Tergugat A untuk

menanggulanginya, untuk itu adalah wajar dan patut Penggugat menuntut ganti

kerugian moril dengan uang sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah);

Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Penggugat mohon kepada Pengadilan

Agama Padang agar memberikan putusan sebagai berikut :

1 Menerima gugatan Penggugat seluruhnya;

2 Menyatakan tidak sah margin keuntungan sebesar Rp 153.000.000,- (seratus

lima puluh tiga juta rupiah) yang akan diperoleh Tergugat A terkait dengan

murabahah sebagaimana tertuang dalam kontrak No. 027/ULS-LBB/MUS/

VII/09 tertanggal 7 Juli 2009 karena bertentangan dengan syari’at Islam;

5

Hal. 5 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

3 Menyatakan Penggugat berhutang kepada Tergugat A sebanyak Rp

200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) sebagai akibat adanya take over atas

hutang Penggugat dikurangi dengan pembayaran yang telah dilakukan oleh

Penggugat kepada Tergugat A;

4 Menetapkan keuntungan yang wajar menurut syari’at Islam yaitu 10 % (sepuluh

persen) dari take over hutang Penggugat sebesar Rp 200.000.000,-

tersebut atau yang patut menurut syari’at Islam;

5 Menyatakan perbuatan Tergugat A yang telah memerintahkan Penggugat untuk

mengosongkan rumah Penggugat adalah perbuatan melawan hukum;

6 Menyatakan perbuatan Tergugat A yang telah melakukan pengumuman lelang

atas tanah dan rumah Penggugat adalah perbuatan melawan hukum;

7 Menyatakan tidak sah pengumuman lelang eksekusi hak tanggungan yang

dilakukan Tergugat A pada harian di Kota Padang;

8 Membatalkan lelang eksekusi hak tanggungan yang dilakukan oleh Tergugat B

dengan segala konsekwensi yuridisnya;

9 Menghukum Tergugat A untuk membayar ganti kerugian moril kepada

Penggugat sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah);

10 Menghukum Tergugat A dan Tergugat B membayar biaya yang timbul dalam

perkara ini;

Atau mohon putusan yang seadil-adilnya;

Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Tergugat telah menyangkal dalil-

dalil gugatan tersebut, dan sebaliknya mengajukan gugatan balik (rekonvensi) yang pada

pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut :

• Bahwa untuk menghindari hal-hal yang tidak perlu, maka seluruh dalil yang

telah dimasukkan dalam konvensi, mohon dianggap telah dimasukkan dalam

rekonvensi ini;

• Bahwa Tergugat telah berhutang dan mempunyai kewajiban untuk

mengembalikan pembiayaan yang telah diberikan oleh Penggugat berdasarkan

Akad Murabahah No. 027/ULS-LBBY/MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009,

sebagaimana telah diubah dengan Akad Restrukturisasi/ Rescheduling

Murabahah No. 005/MUS/PDG-LBBY/RST/X/2010 tanggal 7 Oktober 2010

(“Akad”);

• Bahwa atas pembiayaan yang diterima oleh Tergugat berdasarkan akad tersebut

pada angka 14 di atas, Tergugat memberikan agunan berupa tanah dan bangunan

6

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

terletak di Desa Toboh Gadang, Kecamatan Sintuak Toboh Gadang, Kecamatan

Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat luas + 3.163 m2 atas nama

Jaruni dan Emidawati C sebagaimana tercantum pada Sertifikat Hak Milik No.

52 tanggal 24 Maret 1981, Gambar Situasi No. 1627 tanggal 18 Juli 1980 yang

telah dilakukan pengikatan agunan secara sempurna berdasarkan Akta Pemberian

Hak Tanggungan No. 67/2009 tanggal 23 Juli 2009 yang dibuat di hadapan

Pejabat Pembuat Akta Tanah Devi Hasibuan, S.H. di Kabupaten Padang

Pariaman, selanjutnya diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan Peringkat I

(Pertama) No. 264/2009 dengan PT. Permodalan Nasional Madani (Persero)

selaku Pemegang Hak Tanggungan senilai Rp 250.000.000,- (dua ratus lima

puluh juta rupiah) diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten

Pariaman tanggal 4 Agustus 2009;

• Bahwa terhitung sejak tanggal 7 Februari 2010 Tergugat telah tidak melakukan

pembayaran angsuran sebagaimana diatur pada jadwal angsuran sebagaimana

terlampir dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari akad sebagaimana

diatur pada pasal 4 ayat (1) “Pembayaran kembali atas barang-barang) tesebut

oleh Nasabah kepada PNM/ULAMM dilakukan secara angsuran selama jangka

waktu tersebut dalam Pasal 3 dan diuraikan tersendiri dalam jadwal angsuran”,

sehingga Tergugat A/Penggugat Rekonvensi menyampaikan Surat Peringatan

Tertulis 3 (tiga) kali berturut-turut sebagai berikut :

a Surat No. S-029/PNM-LBBY/PDG/VII/10 tanggal 26 Juli 2010 perihal Surat

Peringatan I;

b Surat No. S-003/PNM-LBBY/PDG/VIII/10 tanggal 2 Agustus 2010 perihal Surat

Peringatan II;

c Surat No. S-048/PNM-LBBY/PDG/VIII/10 tanggal 20 Agustus 2010 perihal Surat

Peringatan III;

• Bahwa setelah disampaikan Surat Peringatan, terhadap pembiayaan Tergugat

dilakukan upaya penyelamatan dengan dilakukannya restrukturisasi atas

pembiayaan berdasarkan Surat Persetujuan Prinsip Pembiayaan No. 005/ULS-

LBBY/SPM/RST/X/10 tangggal 7 Oktober 2010 yang kemudian dituangkan

dalam Akad Restrukturisasi/Rescheduling Murabahah No. 005/MUS/PDG-

LBBY/RST/X/2010 tanggal 7 Oktober 2010 dengan harapan apabila angsuran

diperkecil dan jangka waktu pembiayaan diperpanjang, Tergugat dapat

melanjutkan pembayaran angsuran kewajiban tiap-tiap bulannya, namun pada

7

Hal. 7 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

kenyataannya setelah dilakukan restrukturisasi pembiayaan Tergugat tetap tidak

dapat melakukan pembayaran angsuran, sehingga Penggugat terpaksa

melayangkan kembali Surat Peringatan Tertulis 3 (tiga) kali berturut-turut

sebagai berikut :

a Surat No. S.../PNM-LBBY/PDG/I/11 tanggal 4 Januari 2011 perihal Surat

Peringatan I;

b Surat No. S-023/PNM-LBBY/PDG/II/11 tanggal 23 Februari 2011 perihal Surat

Peringatan II;

c Surat No. S-029/PNM-LBBY/PDG/III/11 tanggal 7 Maret 2011 perihal Surat

Peringatan III;

• Bahwa dengan tidak melakukan pembayaran sesuai dengan jumlah dan tanggal-

tanggal angsuran sebagaimana tercantum dalam jadwal angsuran maka Tergugat

selaku debitur dapat dinyatakan telah lalai/wanprestasi, terlebih lagi kepada

Tergugat telah dilayangkan Surat Peringatan tertulis secara berturut-turut untuk

kedua kalinya namun Tergugat tetap tidak melaksanakan kewajibannya untuk

melakukan pembayaran sesuai dengan tanggal-tanggal dan jumlah sebagaimana

tercantum dalam jadwal angsuran yang merupakan lampiran yang menjadi satu

kesatuan dan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari akad, maka Tergugat

dapat dinyatakan telah lalai/wanprestasi dengan mengacu pada ketentuan Pasal

1238 KUH Perdata sebagai berikut :

”Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta

sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini

menetapkan, bahwa siberhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang

ditentukan”;

• Bahwa sudah menjadi kewajiban Tergugat untuk melakukan pembayaran sesuai

dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam Perjanjian Kredit, hal ini

sesuai dengan ketentuan Pasal 1763 KUH Perdata sebagai berikut :

”Siapa yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikan dalam jumlah

dan keadaan yang sama, dan pada waktu yang telah ditentukan”;

• Bahwa dengan wanprestasinya Tergugat maka sisa kewajiban Tergugat per 31

Januari 2011 adalah sebagai berikut :

Pokok : Rp 141.319.100,-;

Tunggakan Bunga : Rp 21.583.500,-;

Tunggakan Denda : Rp 7.831.342,-;

8

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Pinalti : Rp 6.475.050,-;

Total : Rp 177.208.992,-;

• Bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dengan tidak dilunasinya

kewajiban Tergugat sebesar Rp. 177.208.992.- (seratus tujuh puluh tujuh juta dua

ratus delapan ribu sembilan ratus sembilan puluh dua rupiah) kepada Penggugat

hal mana telah dipertegas dengan telah disampaikannya Surat Peringatan 1, 2,

dan 3 kepada Tergugat, telah jelas dan nyata dapat dinyatakan lalai/wanprestasi;

Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Penggugat dalam rekonvensi

menuntut kepada Pengadilan Agama Padang supaya memberikan putusan sebagai

berikut :

1 Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2 Menyatakan Tergugat telah melakukan Wanprestasi;

3 Menghukum Tergugat untuk melunasi seluruh sisa kewajibannya sebesar Rp

177.208.992,- (seratus tujuh puluh tujuh juta dua ratus delapan ribu sembilan

ratus sembilan puluh dua rupiah) berdasarkan Akad Murabahah No. 027/ULS-

LBBY/MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009, sebagaimana telah diubah dengan

Akad Restrukturisasi/Rescheduling Murabahah No. 005/MUS/ PDG-LBBY/

RST/X/2010 tanggal 7 Oktober 2010 secara serta merta dan seketika;

4 Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun ada verzet,

banding, kasasi ataupun upaya hukum lainnya (uit voorbaar bij vooraad);

atau apabila pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo

et bono);

Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Agama Padang telah mengambil

putusan, yaitu putusan No. 907/PdtG/2011/PA.Pdg tanggal 15 Agustus 2012 M.

bertepatan dengan tanggal 27 Ramadhan 1433 H. yang amarnya sebagai berikut :

DALAM KONVENSI

• Menolak gugatan Penggugat seluruhnya;

DALAM REKONVENSI

• Menolak gugatan Penggugat seluruhnya;

DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI

• Menghukum Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk membayar biaya

perkara yang hingga kini dihitung sebesar Rp 746.000,- (tujuh ratus empat puluh

enam ribu rupiah);

9

Hal. 9 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat putusan

Pengadilan Agama tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Padang

dengan putusan No. 46/Pdt.G/2012/PTA.PDG tanggal 26 Desember 2012 M bertepatan

dengan tanggal 12 Shafar 1434 H yang amarnya sebagai berikut :

• Menyatakan permohonan banding yang diajukan oleh Penggugat Konvensi/

Tergugat Rekonvensi/Pembanding dapat diterima;

• Membatalkan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 907/Pdt.G/2011/

PA.Pdg. tanggal 15 Agustus 2012 M. bertepatan dengan tanggal 27 Ramadhan

1433 H.;

MENGADILI SENDIRI :

DALAM KONVENSI :

1 Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2 Menyatakan perbuatan Tergugat I yang telah memerintahkan Penggugat untuk

mengosongkan rumah Penggugat adalah perbuatan melawan hukum;

3 Menyatakan perbuatan Tergugat I yang telah melakukan pengumuman lelang

atas tanah dan rumah Penggugat adalah perbuatan melawan hukum;

4 Menyatakan tidak sah pengumuman lelang eksekusi hak tanggungan yang

dilakukan Tergugat I pada harian di Kota Padang;

5 Membatalkan lelang eksekusi hak tanggungan yang dilakukan oleh KPKNL

Padang dengan segala konsekwensi yuridisnya;

6 Menyatakan gugatan Penggugat untuk selainnya tidak dapat diterima;

DALAM REKONVENSI :

• Menyatakan gugatan Penggugat Rekonvensi tidak dapat diterima;

DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI :

• Membebankan kepada Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk

membayar biaya perkara pada tingkat pertama sebesar Rp 2.373.000,- (dua juta

tiga ratus tujuh puluh tiga ribu rupiah);

• Membebankan kepada Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi/ Pembanding

dan Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi/Terbanding I, untuk membayar

biaya perkara pada tingkat banding secara tanggung renteng sebesar Rp

150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah);

Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada Tergugat

A/Terbanding I pada tanggal 17 Januari 2013 kemudian terhadapnya oleh Tergugat A/

Terbanding I dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 21

10

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Januari 2013 diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 29 Januari 2013

sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi No. 907/Pdt.G/2011/PA.Pdg yang

dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Padang, permohonan mana diikuti oleh memori

kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama

tersebut pada tanggal 11 Februari 2013;

Bahwa setelah itu oleh Penggugat/Pembanding yang pada tanggal 12 Februari

2013 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Tergugat A/Terbanding I diajukan

jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama Padang pada

tanggal 4 Maret 2013;

Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah

diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam tenggang waktu dan

dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu permohonan

kasasi tersebut formal dapat diterima;

Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Tergugat

A dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah:

Bahwa judex facti Pengadilan Tinggi Agama telah salah dalam menerapkan hukum atau

melanggar hukum serta lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan

perundang-undangan sehingga putusan judex facti Pengadilan Tinggi Agama harus

dibatalkan;

Bahwa Pemohon Kasasi/Tergugat A keberatan dan dengan tegas menolak putusan

banding berikut pertimbangannya, dengan dalil-dalil sebagai berikut :

1 Bahwa perlu disampaikan apabila Termohon Kasasi/Penggugat merasa jatuh

tempo akad tanggal 7 Juli 2013 hal mana menjadi pertimbangan judex facti

Pengadilan Tinggi Agama sudah seharusnya judex facti Pengadilan Tinggi

Agama memerintahkan Termohon Kasasi semula Pembanding /Penggugat untuk

tunduk pada kewajibannya untuk melakukan pembayaran angsuran setiap bulan

sampai dengan tanggal 7 Juli 2013 sebagaimana telah diatur dalam akad dan

jadwal angsuran, dan pada kenyataannya Termohon Kasasi/Penggugat tidak

melaksanakan kewajibannya dan atas kelalaian Termohon Kasasi/Penggugat,

Pemohon Kasasi/Tergugat A telah menyampaikan Surat Peringatan 3 (tiga) kali

berturut-turut dengan demikian sesuai dengan Pasal 1238 KUHPerdata maka

Termohonan Kasasi/Penggugat dapat dinyatakan telah wanprestasi;

2 Bahwa judex facti Pengadilan Tinggi Agama dalam pertimbangannya telah salah

dalam menerapkan hukum atau melanggar hukum serta lalai memenuhi syarat-

11

Hal. 11 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan sehingga putusan

judex facti Pengadilan Tinggi Agama harus dibatalkan;

3 Bahwa pada pertimbangan hukumnya judex facti Pengadilan Tinggi Agama

menyatakan sebagai berikut: “Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal di atas,

menurut hukum tindakan Tergugat I yang memerintahkan Penggugat untuk

mengosongkan rumah Penggugat dan perbuatan Tergugat I yang telah berupaya

melakukan lelang eksekusi hak tanggungan atas barang jaminan hutang tersebut

adalah perbuatan melawan hukum, karena sebagaiman diperjanjikan dalam

kontrak No. 027/ULS-LBBY/MUS/ VII/09 tertanggal 7 Juli 2009, bahwa

perjanjian pembiayaan ini berlaku untuk jangka waktu 48 (empat puluh delapan)

bulan, terhitung sejak tanggal 7 Juli 2009 sampai dengan tanggal 7 Juli 2013,

jadi masih ada sisa waktu selama 20 bulan lagi barulah perjanjian ini berakhir.

Dengan demikian jelas tindakan Tergugat I tersebut sangat merugikan

Penggugat. Pelelangan atas jaminan tersebut barulah dapat dilakukan manakala

pada tanggal 7 Juli 2013 ini ternyata Penggugat tidak dapat menyelesaikan

kewajibannya kepada Tergugat I, sehingga pada saat itulah, Penggugat dapat

disebut sebagai pihak yang telah ingkar janji. Sepanjang masa kontrak masih

berlangsung maka menurut hukum, Tergugat I tidak dapat melakukan pelelangan

eksekusi atas hak tanggungan tersebut”;

4 Bahwa pendapat judex facti Pengadilan Tinggi Agama telah keliru dan tidak

sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, dan tidak mempertimbangkan

bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/ Tergugat A atas

ketidakmampuan Termohon Kasasi/Penggugat, Pemohon Kasasi/Tergugat A

telah menyampaikan Surat Peringatan 3 (tiga) kali berturut-turut yaitu :

a Surat No. S-029/PNM-LBBY/PDG/VII/10 tanggal 26 Juli 2010 Perihal Surat

Peringatan I;

b Surat No. S-003/PNM-LBBY/PDG/VIII/10 tanggal 2 Agustus 2010 perihal Surat

Peringatan II;

c Surat No. S-048/PNM-LBBY/PDG/VIII/10 tanggal 20 Agustus 2010 perihal

surat Peringatan III;

(Vide Bukti TA-4a, 4b, 4c);

5 Bahwa kemudian setelah disampaikan peringatan tertulis berturut-turut terhadap

Termohon Kasasi/Penggugat diberikan kesempatan untuk meringankan

pembayaran angsuran maka terhadap Akad (jual-beli) Murabahah No. 027/ULS-

LBBY/MUS/VII/09 tanggal 7 Juli 2009 (Vide Bukti TA–2) dilakukan

12

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

restrukturisasi pembiayaan berdasarkan Akad Restrukturisasi/Rescheduling

Murabahah No. 005/MUS/ PDG-LBBY/RST/ X/2010 tanggal 7 Oktober 2010

(Vide Bukti TA-6) dengan harapan Termohon Kasasi/Penggugat dapat dengan

lancar melakukan pembayaran angsuran setiap bulannya. Namun pada

perjalanannya, Termohon Kasasi/ Penggugat tidak dapat melakukan pembayaran

angsuran sebagaimana diatur dalam Akad Restrukturisasi/Rescheduling

Murabahah No.005/MUS/ PDG-LBBY/RST/X/2010 tanggal 7 Oktober 2010,

karenanya Pemohon Kasasi/Tergugat A kembali harus menyampaikan Surat

Peringatan 3 (tiga) kali berturut-turut sebagai berikut:

a Surat No. S …/PNM-LBBY/PDG/I/11 tanggal 4 Januari 2011 Perihal Surat

Peringatan I;

b Surat No. S-023/PNM-LBBY/PDG/II/11 tanggal 23 Februari 2011 Perihal Surat

Peringatan II;

c Surat No. S-029/PNM-LBBY/PDG/III/11 tanggal 7 Maret 2011 Perihal Surat

Peringatan III;

(Vide Bukti TA-7a, 7b, 7c);

6 Bahwa dengan mengacu pada ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata sebagai

berikut: “Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan

sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri,

ialah jika menetapkan, bahwa siberhutang harus dianggap lalai sendiri dengan

lewatnya waktu yang ditentukan”. Dengan telah diberitahukannya kepada

Termohon Kasasi semula Pembanding/ Penggugat atas kelalaiannya dalam

melakukan pembayaran angsuran jelas bahwa Termohon Kasasi semula

Pembanding/Penggugat dapat dinyatakan wanprestasi, dengan demikian hak

Pemohon Kasasi semula Terbanding I/Tergugat A untuk melakukan penjualan

atas agunan baik secara sukarela maupun pelelangan dimuka umum telah terbit

sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Pasal 6 dan 14 ayat (2) dan (3);

7 Bahwa dengan demikian segala perbuatan yang dilakukan oleh Pemohon Kasasi/

Tergugat A telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan dengan

demikian tidak ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Pemohon

Kasasi/Tergugat A dalam proses penjualan agunan pembiayaan Termohon

Kasasi I/Penggugat sebagaimana dipertimbangkan oleh judex facti Pengadilan

Tinggi Agama;

13

Hal. 13 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

8 Bahwa pada intinya gugatan yang diajukan oleh Termohon Kasasi/ Pembanding

adalah akal-akalan saja untuk menghindari, mengulur-ulur waktu untuk

melakukan kewajibanya membayar angsuran sebagaimana telah diatur dalam

akad Murabahah maupun akad Restrukturisasi/ Rescheduling Murabahah,

karenanya atas gugatan Termohon Kasasi/ Penggugat layak untuk ditolak atau

setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima;

9 Bahwa Pemohon Kasasi/Tergugat A sepakat terhadap pertimbangan judex facti

Pengadilan Tinggi Agama sehubungan dengan besaran margin yang

diperjanjikan, bahwa jelas Akad Murabahah berikut Akad Restruktur adalah

kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan

dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Bahwa akad dan akad

Restrukturisasi telah sesuai dengan syariat Islam, peraturan perundang-

undangan, ketertiban umum dan/atau kesusilaan sebagaimana diatur pada Pasal

26 Kompilasi Hukum Ekonomi Islam (KHES). Akad Murabahah dan akad

Restruktur yang dibuat oleh dan antara Pemohon Kasasi/Tergugat A dengan

Termohon Kasasi/Penggugat telah memenuhi ketentuan Pasal 27 huruf (a) jo

Pasal 29 KHES yang mana hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 1320

KUHPerdata, dengan demikian akad-akad tersebut berlaku sebagai nash syari’ah

bagi Pemohon Kasasi/ Penggugat dan mengikat bagi para pihak sebagaimana

diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata;

10 Bahwa dengan demikian jelas bahwa Termohon Kasasi/Penggugat tidak dapat

mengajukan permohonan pembatalan perjanjian dengan alasan margin

keuntungan Pemohon Kasasi/Penggugat terlalu besar, padahal sebelumnya

terhadap margin tersebut Termohon Kasasi /Penggugat telah menyepakatinya;

Dalam Rekonvensi

1 Bahwa Termohon Kasasi semula Pembanding/Penggugat/Tergugat Rekonvensi

telah berhutang dan mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pembiayaan

yang telah diberikan oleh Pemohon Kasasi/ Tergugat A/Penggugat Rekonvensi

berdasarkan akad Murabahah No. 027/ULS-LBBY/MUS/VII/09 tanggal 7 Juli

2009 (Vide Bukti TA–2), sebagaimana telah diubah dengan akad Restrukturisasi/

Rescheduling Murabahah No. 005/MUS/PDG-LBBY/RST/X/2010 tanggal 7

Oktober 2010 (“Akad”)(Vide Bukti TA-6);

2 Bahwa atas pembiayaan yang diterima oleh Termohon Kasasi semula

Pembanding/Penggugat/Tergugat Rekonvensi memberikan agunan berupa tanah

dan bangunan terletak di Desa Toboh Gadang, Kecamatan Sintuk Toboh Gadang,

14

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Kecamatan Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat luas + 3.163 m2 atas nama

Jaruni dan Emidawati C sebagaimana tercantum pada Sertifikat Hak Milik No. 52

tanggal 24 Maret 1981, Gambar Situasi tanggal 18 Juli 1980 No. 1627 (Vide Bukti

TA–8), yang telah dilakukan pengikatan agunan secara sempurna berdasarkan

Akta Pemberian Hak Tanggungan No. 67/2009 tanggal 23 Juli 2009 yang dibuat

dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah Devi Hasibuan, SH di Kab. Padang

Pariaman (Vide Bukti TA–9), selanjutnya diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan

Peringkat I (Pertama) No. 264/2009 dengan PT Permodalan Nasional Madani

(Persero) selaku Pemegang Hak Tanggungan senilai Rp. 250.000.000,- (dua ratus

lima puluh juta rupiah) diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kab. Pariaman

tanggal 4 Agustus 2009 (Vide Bukti TA– 10);

3 Bahwa terhitung sejak tanggal 7 Februari 2010 Termohon Kasasi/ Penggugat/

Tergugat Rekonvensi telah tidak melakukan pembayaran angsuran sebagaimana

diatur pada jadwal angsuran sebagaimana terlampir dan menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dari akad sebagaimana diatur pada pasal pasal 4 ayat (1) “Pembayaran

kembali atas barang-barang tesebut oleh Nasabah kepada PNM/ULAMM

dilakukan secara angsuran selama jangka waktu tersebut dalam Pasal 3 dan

diuraikan tersendiri dalam jadwal angsuran”, sehingga Tergugat A/Penggugat

Rekonvensi menyampaikan Surat Peringatan Tertulis 3 (tiga) kali berturut-turut

sebagai berikut:

a Surat No. S-029/PNM-LBBY/PDG/VII/10 tanggal 26 Juli 2010

perihal Surat Peringatan I;

b Surat No. S-003/PNM-LBBY/PDG/VIII/10 tanggal 2 Agustus

2010 perihal Surat Peringatan II;

c Surat No. S-048/PNM-LBBY/PDG/VIII/10 tanggal 20 Agustus

2010 perihal Surat Peringatan III; (Vide Bukti TA – 4a, 4b, 4c);

4 Bahwa setelah disampaikan Surat Peringatan, terhadap pembiayaan Penggugat/

Tergugat Rekonvensi dilakukan upaya penyelamatan dengan dilakukannya

restrukturisasi atas pembiayaan berdasarkan Surat Persetujuan Prinsip Pembiayaan

No. 005/ULS-LBBY/SPM/RST/X/10 tangggal 7 Oktober 2010 (Vide Bukti TA–5)

yang kemudian dituangkan dalam Akad Restrukturisasi/Rescheduling Murabahah

No. 005/MUS/PDG-LBBY/RST/X/ 2010 tanggal 7 Oktober 2010 (Vide Bukti

TA–6) dengan harapan apabila angsuran diperkecil dan jangka waktu pembiayaan

diperpanjang Termohon Kasasi/Penggugat/Tergugat Rekonpensi dapat

melanjutkan pembayaran angsuran kewajiban tiap-tiap bulannya, namun pada

15

Hal. 15 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

kenyataannya setelah dialkukan restrukturisasi pembiayaan Termohon Kasasi/

Penggugat/Tergugat Rekonvensi tetap tidak dapat melakukan pembayaran

angsuran, sehingga Pemohon Kasasi semula Terbanding I/Tergugat A/Penggugat

Rekonvensi terpaksa melayangkan kembali Surat Peringatan Tertulis 3 (tiga) kali

berturut-turut sebagai berikut:

a Surat No. S..../PNM-LBBY/PDG/I/11 tanggal 4 Januari 2011

perihal Surat Peringatan I;

b Surat No. S-023/PNM-LBBY/PDG/II/11 tanggal 23 Februari

2011 perihal Surat Peringatan II;

c Surat No. S- 029/PNM-LBBY/PDG/III/11 tanggal 7 Maret 2011

perihal Surat Peringatan III;

(Vide Bukti TA – 7a, 7b, 7c)

5 Bahwa dengan tidak melakukan pembayaran sesuai dengan jumlah dan tanggal-

tanggal angsuran sebagaimana tercantum dalam jadwal angsuran maka Termohon

Eksekusi Penggugat/Tergugat Rekonvensi selaku debitur dapat dinyatakan telah

lalai/wanprestasi, terlebih lagi kepada Termohon Eksekusi/Penggugat/Tergugat

Rekonvensi telah dilayangkan Surat Peringatan tertulis secara berturut-turut untuk

kedua kalinya namun tetap tidak melaksanakan kewajibannya untuk melakukan

pembayaran sesuai dengan tanggal-tanggal dan jumlah sebagaimana tercantum

dalam jadwal angsuran yang merupakan lampiran yang menjadi satu kesatuan dan

bagian yang tidak dapat terpisahkan dari akad, maka Termohon Eksekusi/

Penggugat/Tergugat Rekonvensi dapat dinyatakan telah lalai/wanprestasi dengan

mengacu pada ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata sebagai berikut:

”Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta

sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini

menetapkan, bahwa siberhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang

ditentukan”;

6 Bahwa dengan wanprestasinya Termohon Eksekusi semula Penggugat/Tergugat

Rekonpensi maka sisa kewajiban Termohon Eksekusi / Penggugat/Tergugat

Rekonpensi per 31 Januari 2011 adalah sebagai berikut :

Pokok : Rp 141.319.100,-;

Tunggakan Margin : Rp 21.583.500,-;

Tunggakan Denda : Rp 7.831.342,-;

Pinalti : Rp 6.475.050,-;

Total : Rp 177.208.992,-;

16

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

7 Bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dengan tidak dilunasinya

kewajiban Termohon Kasasi/Penggugat/Tergugat Rekonvensi sebesar Rp

177.208.992,- (seratus tujuh puluh tujuh juta dua ratus delapan ribu sembilan ratus

sembilan puluh dua rupiah) kepada Pemohon Kasasi/ Tergugat A/Penggugat

Rekonvensi hal mana telah dipertegas dengan telah disampaikannya Surat

Peringatan 1, 2, dan 3 kepada Termohon Kasasi/ Penggugat/Tergugat Rekonvensi,

telah jelas dan nyata dapat dinyatakan lalai/Wanprestasi;

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung

berpendapat :

mengenai alasan-alasan kasasi :

Bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Pengadilan Tinggi Agama

Padang salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:

• Bahwa berdasarkan fakta hukum dapat diketahui bahwa pada

bulan Juni 2009 Penggugat telah mengajukan aplikasi

pembiayaan terhadap Tergugat A pada Penggugat, dan

Penggugat sudah setuju prinsip pembayaran pada tanggal 2 Juli

2009 dan dilanjutkan dengan perjanjian atau akad jual beli

murabahah pada tanggal 7 Juli 2009 dengan jaminan sebidang

tanah beserta bangunan yang berada di atasnya. Awalnya

Penggugat sangat lancar membayar angsuran kredit tersebut,

tetapi setelah itu angsuran macet, lalu diadakan restrukturisasi

(penjadwalan kembali) akad murabahah pada tanggal 7 Oktober

2010 dengan memperkecil cicilan dan memperpanjang masa

pengembalian pembiayaan. Tetapi hal ini tetap macet;

• Bahwa persetujuan yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat A

telah dilakukan secara sukarela, suka sama suka tanpa paksaan

dari pihak lain, besar kecilnya margin keuntungan yang

diperoleh Tergugat A telah masuk komponen yang disetujui

oleh Penggugat, maka tidak ada alasan hukum untuk

mengingkari perjanjian (akad) yang telah dibuatnya (vide Pasal

21 (c) KHES jo Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata);

• Dengan demikian margin keuntungan yang diperoleh Tergugat

A tidak dapat dikatakan tidak Islami atau bertentangan dengan

17

Hal. 17 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

syariah, sebab ia bukan riba/bunga sebagaimana yang

dikemukakan Penggugat dalam memori kasasi;

• Tentang keberatan Penggugat terhadap Tergugat A yang telah

memerintahkan untuk mengosongkan rumah Penggugat dan

telah melakukan pengumuman lelang atas tanah dan rumah

Penggugat, hal ini adalah konsekuensi dari perjanjian Penggugat

dengan Tergugat A dan tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan

melanggar hukum, lagi pula Tergugat A telah diberi kuasa

untuk melakukan apapun guna mendapat kembali piutangnya

dari Penggugat;

Bahwa oleh karena itu putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang harus

dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan pertimbangan berikut

ini :

• bahwa setelah memeriksa dan mempelajari dengan saksama

pertimbangan dan putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama

Padang, Mahkamah Agung berpendapat bahwa pertimbangan

dan putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Padang tersebut

telah benar dan tepat sehingga diambil alih sebagai

pertimbangan dan putusan Mahkamah Agung sendiri;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, terdapat cukup

alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : PT.

PERMODALAN NASIONAL MADANI (Persero) Pusat di Jakarta cq. Cabang

Padang tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang No. 46/

Pdt.G/2012/PTA.PDG tanggal 26 Desember 2012 M. bertepatan dengan tanggal 12

Shafar 1434 H. yang membatalkan putusan Pengadilan Agama Padang No. 907/

Pdt.G/2011/PA.PDG tanggal 15 Agustus 2012 M bertepatan dengan tanggal 27

Ramadhan 1433 H serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar

putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;

Menimbang, bahwa oleh karena Termohon Kasasi berada di pihak yang kalah,

maka ia harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Undang-

Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan

Undang-Undang No 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3

18

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Tahun 2009, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan

perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 serta peraturan

perundang-undangan lain yang bersangkutan;

M E N G A D I L I :

Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : PT. PERMODALAN

NASIONAL MADANI (Persero) Pusat di Jakarta cq. Cabang Padang tersebut;

Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang No. 46/Pdt.G/ 2012/

PTA.Pdg tanggal 26 Desember 2012 M. bertepatan dengan tanggal 12 Shafar 1434 H.

yang membatalkan putusan Pengadilan Agama Padang No. 907/Pdt.G/2011/PA.Pdg

tanggal 15 Agustus 2012 M. bertepatan dengan tanggal 27 Ramadhan 1433 H.;

MENGADILI SENDIRI :

DALAM KONVENSI

• Menolak gugatan Penggugat seluruhnya;

DALAM REKONVENSI

• Menolak gugatan Penggugat Rekovensi seluruhnya;

DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI

Menghukum Termohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam

semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp 500.000,-

(lima ratus ribu rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada

hari Jum’at tanggal 26 Juli 2013 oleh Dr. H. HABIBURRAHMAN, S.H., M.Hum.,

Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis,

Prof. Dr. H. ABDUL MANAN, S.H., S.I.P., M.Hum. dan Dr. H. HAMDAN, S.H.,

M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka

untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota

tersebut dan dibantu oleh Drs. ALAIDIN Panitera Pengganti, dengan tidak dihadiri

oleh para pihak;

Hakim-Hakim Anggota : Ketua,

Ttd. Ttd.

Prof. Dr. H. ABDUL MANAN, S.H.,S.I.P., M.Hum. Dr. H. HABIBURRAHMAN, M.Hum.

Ttd.

19

Hal. 19 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Dr. H. HAMDAN, S.H., M.H.

Biaya kasasi: Panitera Pengganti,

1 Meterai …………... Rp 6.000,- Ttd.

2 Redaksi ………….. Rp 5.000,- Drs. ALAIDIN

3 Administrasi kasasi Rp 489.000,-

Jumlah Rp 500.000,-

Untuk Salinan

Mahkamah Agung RI

an. Panitera

Plt. Panitera Muda Perdata Agama,

Drs. H. ABD. GHONI, S.H.,M.H.Nip. 19590414 198803 1 1005

20

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

21

Hal. 21 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21