eksekusi objek jaminan fidusia dalam perjanjian kredit (studi pada ...
EKSEKUSI JAMINAN TERHADAP AKAD MURABAHAH YANG BELUM JATUH...
Transcript of EKSEKUSI JAMINAN TERHADAP AKAD MURABAHAH YANG BELUM JATUH...
i
EKSEKUSI JAMINAN TERHADAP AKAD MURABAHAH YANG BELUM
JATUH TEMPO: PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
(STUDI KASUS PUTUSAN NO. 362K/AG/2013) PENGADILAN AGAMA
PADANG
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
OLEH
DINDA MAHARANI
11140460000070
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
ii
EKSEKUSI JAMINAN TERHADAP AKAD MURABAHAH YANG BELUM
JATUH TEMPO: PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
(STUDI KASUS PUTUSAN NO. 362K/AG/2013) PA PADANG
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh
Dinda Maharani
11140460000070
Di Bawah Bimbingan
Dr. Abdurrauf, Lc., M.A
NIP. 197312152005011002
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul “Eksekusi Jaminan terhadap Akad Murabahah yang
Belum Jatuh Tempo: Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam (Studi Kasus
Putusan No. 362K/AG/2013) PA Padang” yang ditulis oleh Dinda Maharani, NIM
11140460000070, telah diujikan dalam sidang skripsi pada Selasa, 18 Desember
2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Januari 2019
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,
Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. NIP. 19691216 199603 1 001
Panitia Sidang:
Ketua : AM. Hasan Ali, M.A. (..................................)
NIP. 19751201 200501 1 005
Sekretaris : Dr. Abdurrauf, Lc., M.A. (..................................)
NIP. 19731215 200501 1 002
Pembimbing : Dr. Abdurrauf, Lc., M.A. (..................................)
NIP. 19731215 200501 1 002
Penguji 1 : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. (..................................)
NIP. 19670203 201411 1 001
Penguji 2 : Dr. Syahrul Adam, M.Ag. (..................................)
NIP. 19730504 200003 1 002
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini dibuat dengan sebenar-benarnya berdasarkan Panduan Penelitian
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017
2. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir untuk
memenuhi gelar strata satu (S1) Sarjana Hukum
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa penelitian ini merupakan plagiasi dari
karya orang lain, maka konsekuensinya saya bersedia menerima sanksi
berdasarkan hukum yang berlaku.
Jakarta, 3 Oktober 2018
Dinda Maharani
v
ABSTRAK
Dinda Maharani. NIM 11140460000070. EKSEKUSI JAMINAN
TERHADAP AKAD MURABAHAH YANG BELUM JATUH TEMPO:
PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (STUDI
KASUS PUTUSAN NO. 362K/AG/2013) PENGADILAN AGAMA
PADANG. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440
H/2018 M.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan pandangan Hukum Positif
dan Hukum Islam pada kasus eksekusi jaminan akad murabahah yang
belum jatuh tempo. Dengan adanya studi ini dapat mengetahui
perbandingan 2 (dua) perspektif hukum dalam mengatur eksekusi jaminan
ketika dalam kondisi jangka waktu perjanjian belum jatuh tempo. Studi ini
menghubungkan ketentuan perundang-undangan di Indonesia seperti UU
Hak Tanggungan, KUH Perdata, HIR, R.Bg dan sebagainya serta
ketentuan Hukum Islam seperti KHES, Fatwa DSN-MUI, dan Al-quran
Hadits dengan apa yang terjadi dalam proses putusan majelis hakim pada
putusan No. 362K/AG/2013.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah jenis penelitian normatif dan penelitian kepustakaan (library
research) dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-
undangan, putusan majelis hakim, buku-buku dan dokumen yang berkaitan
dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian bahwa pandangan Hukum Positif dan Hukum
Islam mengenai eksekusi jaminan menunjukkan perbedaan. Perbedaannya
dari segi etika, dalam Hukum Positif Indonesia terdapat ketentuan yang
memperbolehkan pihak kreditur memaksa mengeksekusi jaminan ketika
pihak debitur tidak mau melaksanakan isi putusan hakim walaupun jangka
waktu perjanjian belum jatuh tempo. Akan tetapi berbeda dengan Hukum
Islam proses penyitaan (eksekusi) jaminan dapat dilakukan apabila debitur
sudah benar-benar tidak mampu membayar atau tidak punya itikad baik.
Maka pihak kreditur bisa melakukan penyitaan terhadap jaminan yang
telah dilakukan pengikatan terhadap barang jaminan tersebut serta masa
berlaku perjanjian telah jatuh tempo.
Kata Kunci: Eksekusi Jaminan, Jatuh Tempo, Hukum Positif, Hukum
Islam.
Dosen Pembimbing : Dr. Abdurrauf, Lc., M.A
Daftar Pustaka : 1989 s.d 2016
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang
selalu menganugerahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya,
sahabat-sahabatnya, dan para pengikutya.
Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, dan masih terdapat kekurangan
di dalamnya. Namun, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
yang membaca dan khusunya bagi penulis. Penulis menyadari bahwa
terselesainya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak,
oleh karena itu penulis ucapkan rasa terima kasih tidak terhingga kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak A.M. Hasan Ali, MA. Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Abdurrauf, Lc., M.A. Sekretaris Program Studi Hukum
Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Sekaligus selaku dosen pembimbing skripsi,
terimakasih selalu membimbing, memberi pengarahan, dan
pembelajaran baru bagi penulis dengan kesabaran dan keikhlasan
dalam penyelesaian skipsi ini.
4. Bapak Drs. Hamid Farihi M.A. Pembimbing Akademik dan seluruh
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dan arahannya selama diperkuliahan maupun di luar
perkuliahan.
5. Kedua orang tua khususnya kepada Ibunda tercinta Suryanih yang
telah berusaha untuk menyekolahkan penulis sampai jenjang perguruan
tinggi. Serta Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan
untuk kakak dan adik penulis, Imam Azhari dan Samsul Amri yang
vii
selalu mendukung, mendoakan dan memberikan dorongan semangat
untuk penulis.
6. Terimakasih untuk sahabat-sahabat dari MAN 7 yang telah memberi
motivasi, masukan, dan semangat kepada penulis dari awal
perkuliahan sampai selesainya skripsi ini.
7. Semua Mahasiswa/i Hukum Ekonomi Syariah 2014 khususnya teman-
teman Kelas B yang tidak penulis sebutkan satu persatu terimakasih
telah membantu penulis dari awal perkuliahan sampai selesainya
skripsi ini. Semoga kita semua diberi kesuksesan dan kelancaran dalam
segala hal oleh Allah SWT.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................................................. 4
C. Pembatasan Masalah ............................................................................................. 5
D. Rumusan Masalah ................................................................................................. 5
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................. 5
F. Kerangka Teori...................................................................................................... 6
G. Metode Penelitian................................................................................................ 14
H. Sistematika Penulisan.......................................................................................... 16
BAB II TINJAUAN UMUM EKSEKUSI, JAMINAN DAN AKAD
MURABAHAH ................................................................................................ 18
A. Eksekusi .............................................................................................................. 18
1. Pengertian Eksekusi ...................................................................................... 11
2. Dasar Hukum Eksekusi ................................................................................. 21
3. Jenis Pelaksanaan Putusan Eksekusi ............................................................. 22
4. Pelaksanaan Eksekusi.................................................................................... 24
B. Jaminan ............................................................................................................... 29
1. Pengertian dan Dasar Hukum Jaminan ......................................................... 29
2. Tujuan dan Fungsi Jaminan .......................................................................... 33
3. Manfaat Benda Jaminan ................................................................................ 34
ix
4. Jaminan dalam Pembiayaan Konsumen ........................................................ 34
C. Murabahah .......................................................................................................... 37
1. Pengertian Murabahah .................................................................................. 37
2. Dasar Hukum Murabahah............................................................................. 38
3. Syarat dan Rukun Murabahah ...................................................................... 39
4. Implementasi Murabahah di Perbankan Syariah .......................................... 40
D. Review Study Terdahulu ..................................................................................... 42
BAB III EKSEKUSI JAMINAN BELUM JATUH TEMPO PERSPEKTIF
HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM ................................................ 46
A. Eksekusi Jaminan Perspektif Hukum Positif ...................................................... 46
B. Eksekusi Jaminan Perspektif Hukum Islam ........................................................ 50
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA JAMINAN TERHADAP AKAD
MURABAHAH YANG BELUM JATUH TEMPO .................................... 56
A. Duduk Perkara ..................................................................................................... 56
B. Analisis Putusan No. 362 K/AG/2013 PA Padang ............................................. 61
1. Analisis Kasus Perspektif Hukum Positif ..................................................... 64
2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Islam ....................................................... 67
BAB V PENUTUP ......................................................................................................... 73
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 73
B. Saran ................................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 75
LAMPIRAN ................................................................................................................... 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Era Globalisasi mendorong terjadinya peningkatan pembangunan
di segala bidang. Salah satunya dapat kita lihat dan rasakan yaitu
berkembangnya kegiatan industri dan perdagangan. Semakin
meningkatnya kegiatan industri dan perdagangan mengakibatkan
peningkatan dalam sektor dana. Namun pada kenyataannya tidak semua
orang memiliki dana yang cukup untuk mengembangkan usahanya, maka
dari sinilah tercipta suatu produk penyaluran dana dalam dunia perbankan
dan permodalan yang kita kenal dengan transaksi kredit/pinjaman.
Penyaluran dana yang terdapat di bank konvensional dan di bank
syariah mempunyai perbedaan yang esensial, baik dalam nama, akad,
maupun transaksinya. Dalam perbankan konvensional penyaluran dana ini
dikenal dengan nama kredit sedangkan diperbankan syariah adalah
pembiayaan.
Berbeda dengan pengertian kredit yang mengharuskan debitur
mengembalikan pinjaman dengan pemberian bunga kepada bank, maka
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah pengembalian pinjaman dengan
bagi hasil berdasarkan kesepakatan antara bank dan debitur.1
Menurut M.Syafi’I Antonio menjelaskan bahwa pembiayaan
merupakan salah satu tugas pokok bank yaitu pemberian fasilitas dana
untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit.2
Dalam Islam akad pembiayaan pinjaman disebut dengan
Murabahah. Murabahah adalah akad jual beli barang pada harga asal
dengan tambahan keuntungan yang disepakati.3 Dalam pelaksanaannya di
perbankan syariah, Murabahah merupakan skema yang paling dominan
1 Djawahir Hejazziey, Perbankan Syariah dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta:
Deepublish, 2014), h. 137. 2 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), h.160. 3 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h.101.
2
digunakan dibandingkan dengan produk akad syariah lainnya.4 Ini dipilih
oleh bank karena sebagai lembaga intermediary prinsip kehati-hatian
(prudential) bank bisa diterapkan dengan efektif dan efisien sehingga
resiko kerugian bank bisa diminimalisir.
Dalam pembayaran Murabahah secara angsur, bank sering
berhadapan resiko macet. Bank diperbolehkan bahkan “selalu” meminta
jaminan dari nasabah yang diikat dengan pembebanan Hak Tanggungan
maupun penjaminan lainnya. Sehingga ketika nasabah mengalami macet,
dapat dinilai sebagai wanprestasi dan bank berhak melelang sendiri atau
mengajukan permohonan eksekusi lelang baik kepada KPKNL maupun
Pengadilan Agama.5
Al-Quran menyatakan bahwa dianjurkan untuk menghadirkan
barang jaminan dalam bermuamalah. Hal tersebut dijelaskan di dalam Q.S.
Al-Baqarah: 283:
ضت قب ي ا كاتبا فس نى تجد تى ػه سفس إ ك
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang).”6
Berdasarkan penjelasan ayat, maka dalam kasus bank syariah
analisa pembiayaan merupakan tahapan yang penting harus dilakukan oleh
bank syariah, sebab dari analisa pembiayaan tersebut dapat mengukur
tingkat kemungkinan pembiayaan tersebut akan mengalami kegagalan,
sehingga bank syariah harus mengantisipasi kemungkinan terjadinya
kegagalan pembiayaan. Adapun faktor-faktor yang dianalisa yaitu prinsip
5C+1S yaitu character, capacity, capital, colateral, condition, dan
syariah.
4 Mardani, Hukum Periatan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 123.
5Abdul Salam, “Problem Hukum Eksekusi Hak Tanggungan atas Dasar Wanprestasi
terhadap Akad Murabahah”, Wakil Ketua Pengadilan Agama Mataram,http://arsip.pta-
mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/Artikel/Artikel_Abd_Salam_2017-04-
25_Eksekusi_Hak_Tanggunan_Atas_Dasar_Wanprestasi_dalam_Akad_Murabahah.pdf, diakses
pada tanggal 27 September 2018 pukul 11.00, h. 1. 6 Q.S. Al-Baqarah: 283.
3
Mengenai perjanjian jaminan lazimnya dikonstruksikan sebagai
perjanjian yang bersifat accessoir yaitu senantiasa merupakan perjanjian
yang dikaitkan dengan perjanjian pokok, mengabdi pada perjanjian pokok.
Dalam praktek perbankan nampak bahwa perjanjian pemberian kredit
(perjanjian pokok) dan perjanjian penjaminan (perjanjian accessoir) itu
tercantum dalam formulir (model) atau akte yang terpisah.7 Namun
walaupun dalam akte yang terpisah kedua akte itu berkaitan satu sama
lain.
Salah satu syarat yang dijadikan sebagai agunan atau jaminan
adalah berupa sertifikat tanah. Apabila terjadi cidera janji atau
wanprestasi, konsekuensinya jaminan tersebut dapat dijadikan pelunasan
Murabahah dengan cara menguangkan apa yang menjadi jaminan kredit
itu. Dalam praktek perbankan biasanya jaminan sertifikat tanah tersebut
dibebani hak tanggungan, guna memberikan perlindungan hukum bagi
kreditur apabila debitur terjadi wanprestasi atau cidera janji. Apabila
terjadi cidera janji, pihak bank yang ingin mengembalikan uangnya dari
debitur yang wanprestasi/ cidra janji, akan mengajukan permohonan
eksekusi ke Pengadilan Agama.8
Bagi bank mengajukan permohonan eksekusi lelang kepada
Pengadilan Agama terbuka meskipun wanprestasi belum jatuh tempo.
Akan tetapi eksekusi lelang pada akad Murabahah yang belum jatuh
tempo sering memunculkan perlawanan dari nasabah karena dirasakan
tidak sesuai keadilan. Hal yang perlu diketahui adalah, bahwa karakteristik
akad Murabahah sangat berbeda dengan akad murdharabah maupun
musyarakah dan akad-akad lainnya, apalagi dengan kredit konvensional.
Menurut Rumusan Kamar Agama dalam Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) RI Nomor 4 Tahun 2016, tanggal 9 Desember 2016,
halaman 9 pada angka 3, membenarkan eksekusi lelang Hak Tanggungan
7 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan san Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta, 2001), h. 37. 8 Nita Triana, “Eksekusi Hak Tanggungan pada Perbankan Syariah di Pengadilan Agama
Purbalingga”, Penelitian DIPA Institut Agama Islam Negri Purwokerto: 2016, h. 2.
4
yang belum jatuh tempo. Sebagai berikut: “Hak Tanggungan dan jaminan
utang lainnya dalam akad ekonomi syariah tetap dapat dieksekusi jika
terjadi wanprestasi meskipun belum jatuh tempo pelunasan sesuai dengan
yang diperjanjikan setelah diberi peringatan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku”.
Akad Murabahah pada unsurnya tidak ada modal/kredit dan tidak
ada bunga. Memang dalam Murabahah ada al-tsaman al-awwal (harga
perolehan bank), tetapi bank tidak mungkin mau hanya menuntut al-tsama
al-awwal, karena bank akan merasa rugi. Jika bank menuntut pelunasan
atas sisa kewajiban yang mestinya akan berakhir 6 tahun kemudian, maka
akan sangat memberatkan/merugikan nasabah. Disinilah dilematisnya
penerapan akad Murabahah pada perbankan syariah jika terjadi macet.9
Menurut Abdul Salam, eksekusi Jaminan Hak Tanggungan
mempunyai sifat-sifat istimewa mudah, sederhana dan pasti seperti sifat
putusan serta-merta. Akan tetapi untuk akad Murabahah sifat istemewa
Hak Tanggungan pada saat angsuran belum jatuh tempo perlu dikaji secara
yuridis, karena faktanya melahirkan ketidak adilan pada nasabah. Namun
jika eksekusi juga harus menunggu jatuh tempo, maka bank sebagai
lembaga intermediary akan dirugikan, disinilah dilematisnya eksekusi
lelang dalam akad Murabahah atas dasar gugatan wanprestasi.10
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis bermaksud untuk meneliti
tentang hukum eksekusi jaminan terhadap pembiayaan Murabahah yang
belum jatuh tempo yang berjudul “Eksekusi Jaminan Terhadap Akad
Murabahah Yang Belum Jatuh Tempo: Dalam Perspektif Hukum Positif
Dan Hukum Islam (Studi Putusan Kasus No. 362 K/AG/2013) Pengadilan
Agama Padang”.
B. Identifikasi Masalah
1. Apa yang menyebabkan nasabah kredit macet.
9 Abdul Salam, “Problem Hukum Eksekusi Hak Tanggungan atas Dasar Wanprestasi
terhadap Akad Murabahah”, h. 15. 10
Abdul Salam, “Problem Hukum Eksekusi Hak Tanggungan atas Dasar Wanprestasi
terhadap Akad Murabahah”, h. 3.
5
2. Bagaimana cara mengatasi nasabah yang kredit macet.
3. Bagaimana ketentuan pemberian jaminan kepada bank.
4. Bagaimana cara mencegah terjadinya eksekusi jaminan dari putusan
pengadilan.
C. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya
lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Di sini
penulis hanya akan membahas bagaimana pandangan hukum positif dan
hukum Islam terhadap dilakukannya eksekusi jaminan dalam akad
Murabahah yang belum jatuh tempo terhadap putusan No. 362
K/AG/2013.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam tentang
eksekusi jaminan terhadap akad murabahah yang belum jatuh tempo?
2. Bagaimana eksekusi jaminan dapat dilakukan sebelum jatuh tempo?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme eksekusi jaminan terhadap
akad murabahah yang belum jatuh tempo dalam kasus Putusan No.
362 K/AG/2013.
b. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Hukum Positif dan Hukum
Islam tentang eksekusi jaminan terhadap akad murabahah yang
belum jatuh tempo.
2. Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Bagi Penulis
Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis
tentang Eksekusi Jaminan Terhadap Akad Murabahah Yang
Belum Jatuh Tempo.
b. Bagi Pihak Akademis
6
Sebagai kontribusi ilmiah untuk menambah ilmu dan
wawasan pengetahuan. Selain itu skripsi ini diharapkan dapat
menjadi sumber rujukan atau informasi bagi semua kalangan yang
ingin mengetahui tentang Eksekusi Jaminan Terhadap Akad
Murabahah yang Belum Jatuh Tempo dari sudut pandang hukum
positif dan hukum Islam.
c. Bagi Masyarakat
Memberi informasi kepada masyarakat muslim pada
umumnya, khususnya para pelaku bisnis syariah tentang
bagaimana Hukum Pengeksekusian Jaminan Terhadap Akad
Murabahah Yang Belum Jatuh Tempo.
F. Kerangka Teori
1. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori kebebasan
berkontrak, teori pacta sunt servanda, keadilan, kepastian hukum dan
perbandingan hukum.
a. Teori Kebebasan Berkontrak
Menurut Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia,
kebebasan berkontrak terdapat pada ketentuan pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian)
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Menurut hukum perjanjian di Indonesia
seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun
yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-
orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian,
pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330
KUHPerdata. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa
setiap orang bebas untuk memilih pihak yang diinginkan untuk
membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak
cakap. Bahkan lebih lanjut dalam pasal 1331, ditentukan apabila
seseorang membuat perjanjian dengan pihak yang dianggap tidak
7
cakap menurut pasal 1330 KUHPerdata tersebut, maka perjanjian
itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang
tidak cakap.11
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepanjang
ketentuan perundang-undangan tidak menentukan bahwa suatu
perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu, maka para pihak
bebas untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendaki, yaitu
apakah perjanjian akan dibuat secara lisan atau tertulis atau
perjanjisuharjatian dibuat dengan akta dibawah tangan atau akta
autentik.
Asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak,
tetapi ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal
KUH Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan
asas tidak terbatas. Berikut adalah beberapa batasan dari asas
kebebasan berkontrak ini:12
a) Kesepakatan para pihak. Pasal 1320 ayat (1) menentukan
bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat
tanpa adanya sepakat dari para pihak yang membuatnya.
Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa
kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian
dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas
kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak.
b) Ketentuan perundang-undangan. Pasal 1320 jo. 1337
menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat
perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh
undang-undang. Jika isi perjanjian terdapat hal-hal yang
11
https://www.kompasiana.com/suwandymardan/55001bbaa33311d37250fc23/asas-
kebebasan-berkontrak-dalam-hukum-perjanjian-di-indonesia, diakses pada tanggal 3 Desember
2019 pukul 11. 35. 12
https://www.kompasiana.com/suwandymardan/55001bbaa33311d37250fc23/asas-
kebebasan-berkontrak-dalam-hukum-perjanjian-di-indonesia
8
dilarang oleh undang-undang maka perjanjian itu batal
demi hukum.
c) Itikad baik para pihak. Pasal 1338 ayat (3) menegaskan
bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik. Dari bunyi pasal tersebut menunjukkan bahwa
kebebasan berkontrak dibatasi oleh itikad baik masing-
masing pihak. Jika dalam perjanjian itu terdapat salah satu
pihak yang beritikad jahat, maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan atau ditarik kembali.
b. Teori Pacta Sunt Servanda
Teori Pacta Sunt Servanda (kontak itu mengikat) ini
sebenarnya berasal dari sistem hukum Eropa Kontinental (sejak
dari zaman Romawi), yang kemudian ditulis dalam kitab undang-
undang hukum perdata di Perancis (Code Napoleon) dan juga
ditulis hampir seluruh negara di dunia yang menganut sistem Eropa
Kontinental. Dan teori pacta sunt servanda ini juga sangat kuat
berlaku dalam bidang hukum internasional, sehingga teori tersebut
telah disebut di banyak traktat dan dokumen-dokumen
internasional, yang antara lain untuk menjadi dasar bagi tunduknya
berbagai negara terhadap traktat-traktat internasional yang telah
ditandatanganinya. Sebab, negara-negara yang berdaulat tidak akan
terikat kepada apa pun kecuali terhadap hal-hal yang telah
disetujuinya secara sukarela.13
Arti harfiah dari pacta sunt servanda adalah bahwa
“kontrak itu mengikat” secara hukum. Yang dimaksud dengan teori
pacta sunt servanda adalah suatu teori yang berasal dan
berkembang dalam tradisi hukum Eropa Kontinental, yang
mengajarkan bahwa terhadap suatu kontrak yang dibuat secara sah
dan sesuai hukum yang berlaku, serta sesuai pula dengan kebiasaan
13
Munir Fuady, Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory), (Jakarta: Kencana,
2013), h. 210.
9
dan kelayakan, sehingga diasumsi sebagai kontrak yang dibuat
dengan itikad baik, maka klausula-klausula dalam kontrak seperti
itu mengikat para pihak yang membuatnya, di mana kekuatan
mengikatnya setara dengan kekuatan mengikatnya sebuah undang-
undang, dan karenanya pula pelaksanaan kontrak seperti itu tidak
boleh baik merugikan pihak lawan dalam kontrak maupun
merugikan pihak ketiga di luar para pihak dalam kontrak tersebut.14
Apabila kontrak seperti itu tidak dipenuhi ketentuannya
oleh salah satu pihak tanpa alasan yang dapat dibenarkan oleh
hukum, maka pihak tersebut telah melakukan wanprestasi sehingga
harus ganti kerugian terhadap pihak lain sesuai hukum yang
berlaku, hal mana dapat dipaksakan berlakunya melalui campur
tangan pengadilan atau campur tangan pihak yang berkompeten
lainnya.
c. Teori Keadilan
Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan terdapat
dalam karyanya Nicomachean Ethics, Politics, dan Rhetoric.
Lebih khususnya, dalam Nicomachean Ethics, buku itu
sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat
umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat
hukumnya “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya
dengan keadilan.”15
Dalam bukunya Nicomachean Ethics,
Aristoteles telah menulis secara panjang lebar tentang keadilan. Ia
menyatakan keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan
hubungan antar manusia. Kada adil mengandung lebih dari satu
arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding,
yaitu yang semestinya. Di sini ditunjukkan, bahwa seseorang
14
Munir Fuady, Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory), h.211. 15
Carl Joachim Friedrich. Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nusamedia,
2004), h. 24.
10
dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih
dari bagian yang semestinya.16
Yang sangat penting bagi sudut pandangnya ialah pendapat
bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan.
Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan
numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik
mempersamakan tiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang
sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita
maksudkan ketika mengatakan bahwa semua warga adalah sama
di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap oranh apa
yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya,
dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan
banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.17
Keadilan merupakan bagian dari nilai yang bersifat abstrak
sehingga memiliki banyak arti dan konotasi. Dalam pandangan
Aristoteles, keadilan dibentuk menjadi dua bentuk, yaitukeadilan
distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam
hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana.
Keadilan distibutif yakni keadilan yang ditentukan oleh
pembuatan undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan
kebaikan bagi anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan
proposal. Keadilan korektif yaitu keadilan yang menjamin
mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-
serangan ilegal fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur
oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara
mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara
menganti rugi atas miliknya yang hilang.18
16
Dardji Darmohardjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan Bagaimana Filsafat
Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h.155. 17
Carl Joachim Friedrich. Filsafat Hukum Perspektif Historis, h. 24. 18
Muhammad Syukri Albani Nasution dkk, Hukum Dalam Pendekatan Filsafat, (Jakarta:
Kencana, 2016), h. 207.
11
Mengenai penjelasan lebih lanjut, kita bisa mendapatkan
dari apa yang dikatakan Aristoteles. Keadilan distributif “berfokus
pada distsribusi, honnor, kekayaan, dan barang-barang lain yang
sama-sama bisa didapatkan oleh anggota masyarakat.” Dengan
mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa
yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang
berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga.
Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai
dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.
Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan
sesuatu yang salah. Jika suatu perjanjian dilanggar atau kesalahan
dilakukan, maka keadilan korektif berupaya memberikan
kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu
kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu
diberikan kepada si pelaku. Keadilan korektif bertugas
membangun kembali kesetaraan atau kesetimbangan.19
d. Teori Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum adalah suatu jaminan bahwa suatu
hukum harus dijalankan dengan cara yang baik atau tepat. Adanya
kepastian hukum dalam suatu negara menyebabkan adanya upaya
pengaturan hukum dalam suatu perundang-undangan yang
ditetapkan oleh pemerintah. Pengertian asas kepastian hukum
dalam penyelenggaraan negara adalah sebuah konsep untuk
memastikan bahwa hukum dijalankan dengan baik sehingga tidak
menimbulkan kerugian bagi siapapun. Dalam asas kepastian
hukum, tidak boleh ada hukum yang saling bertentangan, hukum
harus dibuat dengan rumusan yang bisa dimengerti oleh
masyarakat umum. Dengan demikian, asas kepastian hukum akan
mengarahkan masyarakat untuk bersikap positif pada hukum maka
19
Carl Joachim Friedrich. Filsafat Hukum Perspektif Historis, h. 25.
12
masyarakat bisa lebih tenang dan tidak akan mengalami kerugian
akibat pelanggaran hukum dari orang lain.20
e. Teori Perbandingan Hukum
Istilah perbandingan hukum atau Comparative Law
(Inggris), Rechtsvergleichung (Jerman), atau Droit Compare
(Perancis) baru dikenal pada abad ke-19. Di Amerika Serikat pada
beberapa perguruan tinggi hukum istilah Comparative Law sering
diberi arti lain, yaitu sebagai “hukum peristilahan” yang termasuk
bidang studi hukum perdata. Rudolf B. Schleisinger mengatakan
bahwa Comparative Law atau perbandingan hukum merupakan
suatu metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh
pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu.
Para ahli yang menganalisis tentang konsep hukum
komparatif, meliputi Konrad Zweigert dan Hens Kotz, Peter de
Crus, Michael Bogdan, dan Gutteridge Konrad. Zweigert dan
Hens Kotz menyajikan pengertian hukum komparatif
(comparative law). Comparative law is:
“The comparison of the deffirent legal system in the world”
Comparative law didefinisilan sebagai sebuah perbandingan
sistem hukum tersebut.michael Bogdan mengemukakan pengertian
hukum komparatif, Hukum komparatif mencakup:
“membandingkan sistem-sistem hukum yang berbeda-beda dengan
tujuan menegaskan persamaan dan perbedaan masing-masing;
bekerja dengan menggunakan persamaan dan perbedaan yang
telah ditegaskan itu, misalnya menjelaskan asal usulnya,
mengevaluasi solusi-solusi yang dipergunakan dalam sistem huku
yang berbeda, mengelompokkan sistem-sistem hukum menjadi
20
http://www.pengertianmenurutparaahli.com/pengertian-asas-kepastian-hukum/, diakses
pada 3 Januari 2019 pukul 11.28.
13
keluarga-keluarga hukum, atau mencari kesamaan inti dlam sistem
hukum tersebut; dan menguraikan masalah-masalah metodologis
yang muncul berhubungan dengan tugas-tugas ini, termasuk
masalah-masalah metodologis yang terkait dengan sistem hukum
di luar negeri”.21
Perbandingan hukum adalah suatu metode penyelidikan
akan suatu cabang ilmu hukum, sebagaimana seringkali menjadi
anggapan sementara orang. Metode yang dipakai adalah
membanding-bandingkan salah satu lembaga hukum (legal
instution) dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum
yang kurang lebih sama dari sistem hukum yang lain. Dengan
membanding-bandingkan itu maka kita dapat menemuka unsur-
unsur persamaan, tetapi juga unsur perbedaan dari kedua sistem
hukum itu.
Perbandingan hukum tidak hanya dipakai dalam bidang-
bidang ilmu hukum yag menyangkut lebih dari satu sistem hukum
seperti Hukum Perdata Internasional dan Hukum Antar Golongan.
Kini metode perbandingan hukum juga dipakai dalam pembahasan
hukum pidana, hukum konstitusionil, hukum perburuhan, hukum
tanah, hukum internasional; pendeknya kini metode perbandingan
hukum telah dipakai disegala bidang hukum untuk memperluas
pengetahuan hukum kita. 22
Bagi dunia pengembangan Ilmu Hukum, metode penelitian
Perbandingan Hukum sangat bermanfaat, oleh karena metode ini
akan menunjukkan kepada orang yang menggunakannya, bahwa
sistem-sistem hukum yang berbed tidak hanya menunjukkan
kaedah-kaedah hukum, asas-asas hukum serta pranata-pranata
hukum yang berbeda, akan tetapi (hal mana yang mengejutkan
21
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata Comparative
Civil Law, (Jakarta: Rajawali Pres, 2015), h.3-5. 22
Suharjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, (Citra Adititya Bakti, 1991),
h.2-3.
14
adalah) bahwa seringkali dua sistem hukum yang sama sekali
tidak menunjukkan hubungan atau pertemuan historis, bagaimana
pun juga masih dapat memperlihatkan persamaan-persamaan
dalam konsep-konsep hukum atau asas-asas hukumnya.23
f. Kerangka Konseptual
Peta konsep dari permasalahan yang ada dalam putusan ini
adalah sebagai berikut:
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah
jenis penelitian Normatif. Penelitian normatif disebut juga penelitian
hukum doktriner, yaitu penelitian perpustakaan atau studi dokumen.
Disebut penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan
23
Suharjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, h.27.
Pengadilan Agama
Putusan 1
Putusan No.
907/PdtG/2011/PA.
Pdg
Eksekusi hak jaminan
akad Murabahah yang
belum jatuh tempo
Putusan Kasasi
Putusan No. 362
K/AG/2013
Putusan Banding
Putusan No. 46/Pdt.
G/2012/PTA
Hukum Positif Hukum Islam
15
atau ditunjukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau
bahan-bahan hukum lain.24
2. Jenis Data dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan yaitu data kualitatif, yaitu data yang
disajikan dalam bentuk kata verbal bukan dalam bentuk angka.25
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
a. Sumber Data Primer
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
mengikat, dan terdiri dari: Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-Undangan, KUH
Perdata dan lain-lain.26
Dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan
penelitian ini yaitu dokumen Pengadilan Agama Padang yang berupa
Putusan No. 362 K/AG/2013, UU nomor 4 tahun 1996 tentang hak
tanggungan, undang-undang perbankan, KHES, HIR, RBg.
b. Sumber Data Sekunder
Yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
misalnya Rancangan Undang-Undang (RUU), hasil penelitian
(hukum), hasil karya (ilmiah) dari kalangan hukum, dan sebagainya.27
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode
kepustakaan atau penelitian study pustaka (library research). Study
kepustakaan adalah upaya pengidentifikasian secara sistematis dan
24
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
h.13. 25
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rakesarasin, 1996),
h.2. 26
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), h.113. 27
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, h.114.
16
melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat
informasi yang berkaitan dengan tema, objek dan masalah penelitian
yang akan dilakukan.28
Dan kasus diambil dari Putusan Mahkamah
Agung Nomor Perkara: 362 K/AG/2013.
4. Analisis Data
Dalam pengolahan data, dilakukan dengan cara analisis data
kualitatif, yakni upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan
data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang
dapat dikelola, mengsintesiskannya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.29
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dalam penyusunan penulisan berpedoman
pada prinsip yang telah diatur di dalam buku pedoman skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum 2017, agar penulisan skripsi ini sesuai dengan
kaidah penulisan skripsi.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini oleh penulis akan dibagi
menjadi lima bab pembahasan yaitu:
BAB I PENDAHULUAN, yang berisikan mengenai Latar
Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Peneltian, Metodologi Penelitian dan
Teknik Penulisan yang Digunakan, Serta Kerangka Teori
Skripsi Ini.
28
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h.18. 29
Lexy J. Moloeng, Metodologi Peneltian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2012), h. 248.
17
BAB II TINJAUAN UMUM EKSEKUSI, JAMINAN DAN
AKAD MURABAHAH, yang erisikan dan membahas
konsep dasar eksekusi, dasar hukum eksekusi, jenis
pelaksanaan putusan eksesusi, konsep jaminan, pengertian
dan dasar hukum jaminan, tujuan dan fungsi jaminan,
manfaat benda jaminan, jaminan dalam pembiayaan
konsumen, konsep akad murabahah, pengertian, dasar
hukum, syarat serta rukun murabahah, dan implementasi
murabahah di Perbankan Syariah.
BAB III EKSEKUSI JAMINAN BELUM JATUH TEMPO
PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM
ISLAM, yang berisikan mengenai eksekusi jaminan
menurut perspektif Hukum Positif dan eksekusi jaminan
menurut perspektif Hukum Islam.
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA JAMINAN
TERHADAP AKAD MURABAHAH YANG BELUM
JATUH TEMPO, yang berisikan hasil penelitian yaitu
duduk perkara dan analisis putusan nomor perkara
362K/AG/2013 dalam perspektif hukum positif dan hukum
Islam.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN, Bab V merupakan bab
terakhir yang menguraikan jawaban pertanyaan dalam
perumusan masalah penelitian yang pertama dan kedua.
kesimpulan dari hasil analisa yang telah dilakukan penulis,
dimana penafsiran dirumuskan dan disimpulkan serta
memberikan saran-saran terhadap masalah yang perlu dikaji
kembali.
18
BAB II
TINJAUAN UMUM EKSEKUSI, JAMINAN DAN AKAD MURABAHAH
A. Eksekusi
1. Pengertian Eksekusi
Pembiayaan yang diberikan kepada masyarakat tentunya harus
disertai syarat-syarat yang dapat menjamin agar tidak terjadi kredit
macet yang dapat merugikan pihak kreditur. Oleh karena itu salah satu
syarat pemberian pembiayaan atau perkreditan adalah adanya jaminan.
Apabila terjadi kredit macet, konsekuensinya ialah jaminan
tersebut dapat dijadikan pelunasan kredit dengan cara menguangkan
jaminan kredit tersebut. Dalam pelaksanaannya pihak kreditur yang
ingin mengembalikan uangnya dari debitur yang wanprestasi/cidera
janji, akan mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama.
Pengertian eksekusi menurut M.Yahya Harahap, adalah
tindakan paksa yang dilakukan Pengadilan Negeri terhadap pihak yang
kalah dalam perkara supaya pihak yang kalah dalam perkara
menjalankan Amar Putusan Pengadilan sebagaimana mestinya.1
Sedangkan menurut R.Subekti eksekusi adalah upaya dari
pihak yang dimenangkan dalam putusan guna mendapatkan yang
menjadi haknya dengan bantuan kekuatan hukum, memaksa pihak yag
dikalahkan untuk melaksanakan bunyi putusan.2
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa eksekusi adalah
pelaksanaan putusan hakim yang pada hakikatnya merupakan
penyelesaian perkara bagi pihak yang bersengketa. Eksekusi dapat
dilaksanakan setelah putusan hakim berkekuatan hukum tetap.
Pelaksanaannya dapat dilakukan secara sukarela namun seringkali
pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakannya, sehingga perlu
bantuan dari pengadilan untuk melaksanakan secara paksa. Dalam hal
1 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Ekseksi Bidang Perdata, (Jakarta:
Gramedia Jakarta, 1991), h. 5. 2 Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Bina Cipta, 1989), h.128.
19
ini yang mengajukan permohonan tersebut adalah pihak yang
dimenangkan.
Pelaksanaan eksekusi secara paksa akan dilakukan ketika Ketua
Pengadilan Negeri memanggil pihak yang dikalahkan untuk ditegur
agar memenuhi keputusan dalam jangka waktu 8 hari setelah teguran
tersebut diberitahukan oleh Juru Sita Pengadilan Negeri (Pasal 196
HIR, 207 RBg). Jika dalam jangka waktu tersebut sudah lewat namun
tetap belum dilaksanankan maka Ketua Pengadilan Negeri karena
jabatannya memberi perintah agar putusan hakim dilaksanakan dengan
paksa dan bila perlu dengan bantuan alat negara.3
Dalam pelaksanaan eksekusi dikenal beberapa asas yang harus
dipegangi oleh pihak Pengadilan, yakni sebagai berikut:4
a. Putusan Pengadilan harus sudah berkekuatan hukum tetap.
Sifat putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah
tidak ada lagi upaya hukum, dalam bentuk putusan tingkat
pertama, bisa juga dalam bentuk putusan tingkat banding dan
kasasi. Sifat dari putusan sudah berkekuatan hukum tetap adalah
litis finiri opperte, maksudnya tidak bisa lagi disengketakan oleh
pihak-pihak yang berperkara.
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap mempunyai
kekuatan mengikat para pihak-pihak yang berperkara dan ahli
waris serta pihak-pihak yang mengambil manfaat atau mendapat
hak dari mereka. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
dapat dipaksa pemenuhannya melalui Pengadilan jika pihak yang
kalah tidak mau melaksanakannya secara sukarela.
b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela.
Sesuai dengan ketentuan pasal 196 HIR dan pasal 207 R.Bg
maka ada dua cara menyelesaikan pelaksanaan putusan yaitu
3 Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 188. 4 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
h.213.
20
dengan cara sukarela karena pihak yang kalah dengan sukarela
melaksanakan putusan tersebut, dan dengan cara paksa melalui
proses eksekusi oleh Pengadilan.
Pelaksanaan putusan Pengadilan secara paksa dilaksanakan
dengan bantuan pihak kepolisian sesuai dengan pasal 200 ayat (1)
HIR. Pelaksanaan secara paksa ini adalah akibat dari pihak yang
dikalahkan tidak mau memenuhi keputusan eksekusi dalam tempo
yang sudah ditentukan.
c. Putusan mengandung Amar Comdemnatoir
Pada prinsipnya, hanya putusan yang bersifat condemnatoir
yang bias dieksekusi, yaitu putusan yang amar atau diktumnya
mengandung unsur penghukuman. Putusan yang amar atau
diktumnya mengandung unsure penghukuman, tidak dapat
dieksekusi.5
Putusan yang bersifat Condemnatoir biasanya muncul dari
perkara yang bersifat contensius dengan proses pemeriksaan secara
contradictoir. Dan para pihak yang berperkara terdiri dari para
pihak Penggugat dan Tergugat yang bersifat partai.
d. Eksekusi di bawah pimpinan Ketua Pengadilan.
Menurut pasal 195 ayat (1) HIR dan pasal 206 ayat (1)
R.Bg bahwa yang berwenang melaksanakan eksekusi adalah
Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau
pengadilan yang pertama kali diajukan gugatan eksekusi tersebut
sesuai dengan kompetensi relatif. Jadi pengadilan tingkat banding
tidak diperkenankan melaksanakan eksekusi.
Sebelum melaksanakan eksekusi, Ketua Pengadilan Agama
terlebih dahulu mengeluarkan penetapan yang ditujukan kepada
5 Bambang Sugeng dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh
Dokumen Litigasi, (Jakarta: Kencana, 2013), h.106.
21
Panitera/Jurusita untuk melaksanakan eksekusi dan pelaksanaan
eksekusi tersebut di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.6
2. Dasar Hukum Eksekusi
Adapun dasar hukum yang mengatur tentang pelaksanaan
eksekusi di Indonesia tertuang dalam berbagai pasal-pasal sebagai
berikut:7
a. Pasal 195-Pasal 208 HIR dan Pasal 224 HIR/Pasal 206-Pasal 240
R.Bg dan Pasal 258 R.Bg. Pada Pasal 195 HIR dijelaskan definisi
dari eksekusi yaitu menjalankan putusan hakim oleh pengadilan.8
Dan pasal-pasal lainnya mengatur tentang bagaimana tata cara
menjalankan keputusan hakim terkait pelaksanaan eksekusi.
Adapun cara-cara eksekusi keputusan hakim dengan jalan menyita
dan menjual lelang barang-barang milik pihak yang kalah.
b. Pasal 225 HIR/Pasal 259 R.Bg. Mengatur tentang putusan yang
menghukum tergugat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.
Memberikan peraturan tentang eksekusi keputusan hakim yang
mengandung penghukuman kepada pihak yang kalah supaya
melakukan suatu perbuatan. Maksud dari “suatu perbuatan” adalah
melaksanakan keputusan hakim.
c. Pasal 209-Pasal 223 HIR/Pasal 242-Pasal 257 R.Bg. Mengatur
tentang ”sandera” (gijzeling) tidak lagi di berlakukan secara efektif.
Penyanderaan (gijzeling) ini dilakukan ketidak pihak yang kalah
tidak mau memenuhi keputusan hakim, yaitu menyandera pihak
yang kalah di dalam rumah lembaga pemasyarakatan dengan
maksud untuk memaksanya supaya memenuhi keputusan hakim.
d. Pasal 180 HIR/Pasal 191 R.Bg, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan
SEMA Nomor 4 Tahun 2001. Tentang pelaksanaan putusan yang
6 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2008). h.315. 7 M. Luqmanul Hakim Bastary, Eksekusi Putusan Perkara Perdata, www.pta-
bandung.go.id/uploads/arsip/1491Eksekusi_Perkara_Perdata.pdf, diakses pada tanggal 24 Juli
2018 pukul 14.20 WIB, h. 2. 8 Lihat Pasal 195 HIR.
22
belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu serta merta
(Uitvoerbaar bij voorraad) dan provisi. Maksud dari pelaksanaan
putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah
bahwa pengadilan boleh memerintahkan supaya keputusan hakim
itu dijalankan terlebih dahulu, meskipun pihak yang kalah
memebantah keputusan itu atau naik banding. Karena ada
anggapan bahwa keputusan hakim itu baru dapat dijalankan
sesudah keputusan itu memeperoleh kekuatan yang pasti yaitu
setelah perkawanan naik banding atau kasasi.
e. Pasal 1033 Rv (tentang eksekusi riil).
f. Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 yang
mengatur tentang pelaksanaan putusan pengadilan.
3. Jenis Pelaksanaan Putusan Eksekusi
Pelaksanaan eksekusi dapat dikatakan sama dengan
menguangkan bagian tertentu dari harta kekayaan pihak yang
dikalahkan /debitur dengan maksud untuk memenuhi putusan guna
kepentingan pihak yang menang/kreditur. Pada pelaksanaannya
terdapat 3 (tiga) jenis putusan eksekusi, sebagai berikut:9
a. Eksekusi untuk Membayar Sejumlah Uang
Dasar hukum pelaksanaan eksekusi sejumlah uang diatur
dalam Pasal 197-200 HIR dan Pasal 208-218 RBg. Apabila amar
putusan berisi penghukuman pembayaran sejumlah uang, berarti
Tergugat dipaksa untuk melunasi sejumlah uang kepada Penggugat
dengan jalan menjual lelang harta kekayaan Tergugat.10
Pelaksanaan jenis putusan ini dilakukan apabila pihak yang
kalah belum juga melaksanakan putusan hakim setelah lampau
tenggang waktu yang telah ditentukan. Eksekusi dilakukan dengan
penjualan lelang atas milik pihak yang perkaranya dikalahkan,
9 Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 195-198. 10
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
h.320.
23
dimana sebelum lelang diadakan ketua atau jaksa yang diberi kuasa
mengeluarkan perintah sita eksekusi (execotoir beslag) terhadap
barang milik pihak yang dikalahkan.
b. Eksekusi untuk Melakukan Suatu Perbuatan
Jenis eksekusi ini adalah eksekusi putusan yang
menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan sesuai waktu
yang diperjanjikan. Hal ini diatur dalam Pasal 225 HIR dan Pasal
259 RBg.
Pada kenyataannya orang tidak dapat dipaksakan untuk
memenuhi prestasi yang berupa perbuatan. Akan tetapi, dalam hal
ini pihak yang dimenangkan dapat meminta kepada hakim agar
kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang.11
c. Eksekusi Riil
Berbeda dari dua jenis pelaksanaan eksekusi sebelumnya
yang mengacu pada ketentuan HIR, masalah eksekusi riil ini tidak
diatur dalam ketentuan HIR melainkan ketentuannya terdapat pada
Pasal 1033 Rv. Yang dimaksud eksekusi riil adalah menjalankan
putusan Pengadilan secara nyata dan apabila perlu dengan paksaan.
Eksekusi riil tersebut hanya dapat diterapkan terhadap putusan
pengosongan suatu barang tetap oleh tergugat seperti tercantum
dalam pasal 1033 Rv (Reglement op de Rechtsvordering).12
Dalam pelaksanaannya apabila pihak yang dihukum untuk
mengosongkan itu tidak memenuhi surat perintah hakim
(pengadilan), maka pengadilan akan memerintahkan juru sita
dengan bantuan panitera pengadilan dan bila perlu dengan bantuan
alat kekuasaan Negara agar barang tetap tersebut dapat
dikosongkan.
11
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo,
2004), h.189. 12
M. Abdurrachman, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti,
2005), h.125.
24
4. Pelaksanaan Eksekusi
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a dan
beserta ayat (2), eksekusi atas jaminan benda jaminan Hak
Tanggungan dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara, yaitu: (1) parate
eksekusi, (2) titel eksekutorial, dan (3) penjualan di bawah tangan.
Parate eksekusi adalah menjalankan sendiri atau mengambil
sendiri apa yang menjadi haknya, dalam arti tanpa perantara hakim,
yang ditunjukan atas suatu barang jaminan untuk selanjutnya menjual
sendiri barang tersebut. Cara yang kedua adalah menggunakan titel
eksekutorial, maksudnya adalah kreditur pemegang Hak Tanggungan
dapat melakukan penjualan objek Hak Tanggungan dengan
memperhatikan ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku.
Sertifikat Hak Tanggungan mencantumkan irah-irah yang berbunyi
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
menunjukkan sertifikat tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial
yang menunjukkan alas hak bagi eksekusi.
Cara yang ketiga yakni eksekusi dengan cara penjualan di
bawah tangan yang diatur jaminan kebendaan atas tanah yang tertuang
pada Pasal 20 ayat (2) UUHT yang menyatakan atas kesepakatan
pembeli dengan pemegang hak tanggungan, maka penjualan objek hak
tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan, bilamana dengan
demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan semua pihak.13
a. Tahapan Pelaksanaan Eksekusi
1) Persiapan Sebelum Pelaksanaan Eksekusi
a) Mempelajari dan memahami penetapan Ketua PA tentang
perintah eksekusi terhadap barang-barang tergugat.
13
Anton Suyatno, Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui Eksekusi
Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan, (Jakarta: Kencana, 2016), h.126-
128.
25
b) Mempelajari dan memahami putusan pengadilan yang
menjadi dasar pelaksanaan eksekusi.
c) Merencanakan serta menentukan hari dan tanggal
pelaksanaan eksekusi.
d) Melaksanakan perhitungan tentang biaya proses dan
pelaksanaan eksekusi.14
2) Pelaksanaan Eksekusi
Pada prinsipnya, eksekusi dapat dilaksanakan setelah
dilampauinya tenggang waktu peringatan (aanmaning) kepada
tergugat yang dikalahkan/termohon eksekusi dan Ketua
Pengadilan Agama telah mengeluarkan Surat Penetapan
Perintah Eksekusi kepada Panitera dan Juru Sita. Pelaksanaan
eksekusi riil (Pasal 1033 Rv) adalah sebagai berikut:15
a) Juru sita berangkat bersama rombongan dan 2 orang saksi
menuju tempat objek eksekusi, menunggu kehadiran
pejabat terkait, satuan keamanan, pemohon, dan termohon
eksekusi.
b) Juru sita membacakan Surat Penetapan Perintah Eksekusi.
c) Juru sita membuat Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi
dengan menyebut secara rinci dan jelas terhadap barang-
barang yang dieksekusi, meliputi jenis, bentuk, letak, batas-
batas, dan ukurannya.
d) Juru sita menandatangani Berita Acara Pelaksanaan
Eksekusi tersebut dan 2 orang saksi.
e) Juru sita menyerahkan barang-barang tereksekusi kepada
pemohon eksekusi.
f) Juru sita membuat Salinan Berita Acara Eksekusi sebanyak
rangkap, disampaikan kepada Ketua PA sebagai laporan,
14
Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, h.242. 15
Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, h.243.
26
kepada pemohon dan termohon eksekusi, kepada petugas
register eksekusi dan arsip.
3) Pelaksanaan Eksekusi Pembayaran Uang16
a) Ketua PA membuat penetapan perintah peringatan
(aanmaning) kepada tergugat yang dikalahkan/termohon
eksekusi, agar melaksanakan putusan.
b) Juru sita memanggil pemohon eksekusi dan termohon
eksekusi untuk menghadiri sidang (insidentil) aanmaning.
c) Jika tenggang waktu aanmaning terlampaui (8 hari) sedang
termohon eksekusi tidak mau melaksanakan putusan
dengan sukarela, maka Ketua PA mengeluarkan penetapan
perintah kepada panitera atau juru sita untuk melaksanakan
sita eksekusi (executorial beslag).
d) Proses pelaksanaan sita eksekusi dilaksanakan sebagaimana
proses pelaksanaan sita jaminan.
e) Dalam melaksanakan harus didahulukan barang-barang
bergerak. Sekiranya tidak mencukupi putusan, maka sita
eksekusi dilakukan terhadap barang tidak bergerak.
f) Pelaksanaan sita eksekusi yang telah berkekuatan hukum
mengikat berdaya eksekutorial.
4) Pelaksanaan Lelang Eksekusi
Dalam praktik Pengadilan Agama penjualan lelang
seringkali dilakukan dalam melaksanakan putusan tentang
pembagian harta bersama atau harta warisan, bila pembagian
harta/barang tidak dapat dilakukan secara “in natura”.
Sesuai Pasal 200 ayat (1) HIR/Pasal 215 ayat (1) RBg,
penjualan lelang barang tersita hanya dapat dilakukan oleh
16
Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, h.243-244.
27
Kantor Lelang Negara. Persyaratan yang harus dipenuhi
sebagai persiapan lelang eksekusi, yaitu:17
a) Salinan/copy putusan PA;
b) Salinan/copy penetapan aanmaning;
c) Salinan/copy penetapan sita;
d) Salinan/copy berita acara pelaksanaan sita;
e) Salinan/copy perincian utang yang harus dipenuhi oleh
termohon eksekusi;
f) Salinan/copy pemberitahuan lelang kepada termohon
eksekusi;
g) Copy bukti kepemilikan tidak dikuasai, harus ada
pernyataan tertulis dari penjual bahwa barang-barang
tersebut tidak disertai dengan bukti kepemilikan dengan
alasan.
b. Eksekusi Objek Hak Tanggungan Sebelum Jatuh Tempo
Pelaksanaan eksekusi objek Hak Tanggungan atas alasan cidera
janji tidak digantungkan pada jatuh tempo perjanjian kredit. Hal ini
disebabkan pada UU No. 4 Tahun 1996 tidak mengatur lebih lanjut
faktor dari cidera janji. Pada pasal 6 hanya menegaskan cidera janji
menjadi dasar bagi pemegang Hak Tanggungan untuk melaksanakan
haknya menjual objek hak tanggungan. Hal itu diulangi kembali dalam
penjelasan pasal tersebut, yang mengatakan apabila debitur cider janji
pemegang Hak Tanggungan berhak menjual objek hak tanggungan
atas kekuasaan sendiri, jika dalam APHT dicantumkan klausul yang
demikian.
Penegasan yang sama diatur dalam Pasal 20 yaitu apabila
debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan berhak menjual objek
hak tanggungan dengan parate eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR.
Atau menjual berdasarkan kekuasaan sendiri apabila dalam APHT ada
17
Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, h.244.
28
klausul yang demikian atau melakukan penjualan di bawah tangan
sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) dan (3). Tetapi dalam pasal
ini pun tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai cidera janji.18
Oleh karena UUHT tidak mengatur mengenai cidera janji,
maka untuk menentukan apakah debitur cidera janji, dapat dirujuk
Pasal 1243 jo. Pasal 1763 KUH Perdata. Dalam ketentuan Pasal 1243
KUH Perdata, yang dimaksud dengan wanprestasi/cidera janji adalah
lalai memenuhi perjanjian; atau tidak menyerahkan atau memebayar
dalam jangka waktu yang ditentukan; atau tidak berbuat sesuai yang
dijanjikan dalam tenggang waktu yang ditentukan.lebih spesifik pada
Pasal 1763 KUHPerdata mengatakan, tidak mengembalikan pinjaman
sesuai dengan jumlah pinjaman dalam waktu yang ditentukan.19
Eksekusi objek Hak Tanggungan atas alasan cidera janji dapat
dilaksanakan meskipun perjanjian kredit belum jatuh tempo. Pasal 6
dan Pasal 20 UU No.40 Tahun 1996 memberi hak menjual objek hak
tanggungan atas alasan cidera janji. Makna menjual objek hak
tanggungan atas alasan cidera janji sama artinya dengan melakukan
eksekusi terhadap eksekusi terhadap objek hak tanggungan. Pasal 1267
KUH Perdata memberi hak opsi kepada kreditur untuk mengambil
tindakan apabila debitur wanprestasi, tanpa mempersoalkan apakah
perjanjian telah jatuh tempo atau tidak berupa ketentuan:
a) Meminta atau menuntut kepada pengadilan untuk memaksa
debitur memenuhi perjanjian, jika hal itu masih bisa dilakukan
oleh debitur.
b) Menuntut pembatalan perjanjian disertai dengan penggantian
biaya kerugian dan bunga.
Bertitik tolak pada ketentuan pasal-pasal di atas, sangat keliru
pendapat yang mengatakan eksekusi atas objek hak tanggungan tidak
dapat diminta atau dilaksanakan selama perjanjian belum jatuh tempo
18
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Ekseksi Bidang Perdata, h.201. 19
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Ekseksi Bidang Perdata, h.201.
29
meskipun debitur melakukan cidera janji atau wanprestasi. Adapun
penerapan yang tepat adalah sebagai berikut:
a) Apabila debitur melakukan cidera janji, eksekusi sah dan valid
dilaksanakan meskipun masa perjanjian belum berakhir;
b) Terhadap pelaksanaan eksekusi yang demikian, debitur tidak
dapat mengajukan partij verzet berdasarkan Pasal 207 HIR,
Pasal 225 RBg.20
B. Jaminan
1. Pengertian dan Dasar Hukum Jaminan
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda
yaitu zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur
menjamin dipenuhinya tagihannya di samping pertanggungjawaban
umum debitur terhadap barang-barangnya.21
Selain istilah jaminan,
dikenal juga istilah atau kata agunan. Dalam kamus besar Bahasa
Indonesia, tidak membedakan pengertian jaminan maupun agunan.
Baik jaminan atau agunan sama-sama memiliki arti “tanggungan”.
Namun dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 dan UU No. 10
Tahun 1998, membedakan pengertian dua istilah tersebut. Dimana
dalam UU No. 14 Tahun 1967 lebih cenderung menggunakan istilah
“jaminan” dari pada agunan.22
Menurut Undang-Undang No. 21 tahun 2008, agunan adalah
jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak
bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada Bank Syariah
dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah
Penerima fasilitas.23
Jadi maksud adanya jaminan ini untuk
20
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Ekseksi Bidang Perdata, h.202. 21
H.R.M. Anton Suyatno, Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui
Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan, (Jakarta: Kencana,
2016), h.81. 22
Djawahir Hejazziey, Hukum Perbankan Syariah, (Yogyakarta: Deepublish, 2013),
h.167. 23
Lihat Pasal 1 Ayat 26, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
30
mewujudkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya
kepata kreditur.
Ditinjau dari sifatnya, hak-hak jaminan ada yang bersifat
kebendaan dan ada yang bersifat hak perorangan. Tergolong jaminan
yang bersifat hak kebendaan, yaitu: hipotek, crediet verband, gadai,
dan fidusia. Ini merupakan lembaga-lembaga jaminan yang telah
dilembagakan sebagai jaminan yang bersifat kebendaan. Adapun
jaminan yang bersifat perorangan, yaitu: borgthocht (perjanjian
penggunaan), perutangan tanggung menanggung, perjanjian garansi.
Sesuai dengan perkembangan hukum jaminan di Indonesia,
jaminan kebendaan itu dapat dibagi lagi menjadi jaminan kebendaan
bergerak dan jaminan kebendaan tidak. Untuk kebendaan bergerak,
dapat dibebankan dengan lembaga hak jaminan gadai dan fidusia
sebagai jaminan utang, sementara untuk kebendaan tidak bergerak,
dapat dibebankan dengan hipotek, hak tanggungan, dan fidusia sebagai
jaminan utang atau borgtocht (personal guarantee), perikatan
tanggung menanggung, dan garansi bank (bank guarantee).24
Dari beberapa macam jaminan yang telah disebutkan di atas,
dalam penelitian ini hanya akan fokus pada jaminan hak tanggungan
saja. Karena objek jaminan yang relevan dengan penelitian ini adalah
berupa jaminan tanah, maka berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996
disebutkan bahwa hak jaminan yang dibebankan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah disebut juga dengan Hak
Tanggugan.25
Jaminan merupakan perjanjian yang bersifat accesoir atau
pelengkap, yang dapat diartikan bahwa jaminan akan lahir setelah
adanya perjanjian pokok, dalam hal ini perjanjian pokok yang
dimaksud adalah Perjanjian Kredit.
24
H.R.M. Anton Suyatno, Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui
Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan, (Jakarta: Kencana, 2016),
h.52. 25
Lihat Pasal 1 Ayat (1) UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggunggan (UUHT).
31
Hukum jaminan merupakan salah satu indikasi untuk
mempercepat pertumbuhan perekonomian, karena kreditur (bank)
sebagai penyedia dana pasti memerlukan jaminan sebagai
perlindungan hukum yang memadai ketika memberikan kredit kepada
debitur. Bahkan keberadaan Hukum Jaminan ini mempunyai peran
yang kuat serta dapat memeberikan kepastian hukum dan mudah dalam
eksekusinya sangat didambakan oleh para pelaku bisnis.26
Jaminan dalam fikih dikenal dengan kafalah, dhaman, dan
dalam pengertian yang lain jaminan juga disebut dengan rahn. Adapun
yang menjadi dasar hukum Islam boleh menggunakan system
penjaminan jaminan sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan
Hadits, yaitu:
a. Al-Qur’an
1) Firman Allah Q.S. Al-Baqarah 2: 282-283:
فاكتب... يس إنأجم تىبد آياإذاتدا 282اأاانر
إ يقبضت... نىتجداكاتبافسا تىػهسفس 282ك
Artinya: “Hai orang-orang beriman jika kamu bermuamalah tidak
secara utang piutang sampai waktu yang ditentukan
tuliskanlah...Dan jika kamu berada dalam perjalanan dan tidak
menemukan orang yang akan menulis hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang”.27
2) Firman Allah Q.S. Al-Mudatsir: 38:
ت اكسبتز ب فس كم
Artinya: “Setiap diri dipertanggung jawabkan atas apa yang
diusahakannya.”28
b. Hadist
26
Djawahir Hejazziey, Hukum Perbankan Syariah, h. 163. 27
Q.S. Al-Baqarah: 282-283. 28
Q.S. Al-Mudatsir: 38.
32
Adapun hadist yang menjadi dasar hukum rahn, sebuah
riwayat Rasulullah SAW pernah melakukan jual beli kepada
seorang Yahudi, kemudian Rasulullah SAW tidak mampu
membayarnya dan menyerahkan baju besinya sebagai barang
jaminan sebagaimana disebutkan dalam hadist sebagai berikut:
سهىاشتسطؼاياي ػه للا صه انب اأ ػ للا ػائشتزض ػ
فسدزػ إنأجم د
Artinya: “Dari Aisyah diriwayatkan bahwa Rasullullah SAW membeli
bahan pangan dengan menghutang sampai waktu yang ditentukan
dengan jaminan baju besinya. (HR. Bukhari).29
Ayat di atas menjelaskan bahwa ketika seseorang terlibat dalam
utang piutang maka diwajibkan mereka mencatatnya dengan maksud
sebagai bukti apabila salah satu dari mereka lupa atas utang piutang
tersebut. Namun apabila tidak dapat menuliskannya hendaklah
menyertakan suatu barang untuk dipegang pihak yang memberi hutang
sebagai jaminan atas tanggung jawabnya melunasi hutang tersebut.
Dan hadist diatas menjadi dasar hukum rahn yang menjadi rujukan
atau contoh karena hadist tersebut mendeskripsikan peristiwa rahn
yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Dalam hukum positif di Indonesia jaminan juga diatur dalam
beberapa ketentuan perundang-undangan yang berlaku, ketentuan yang
secara khusus atau berkaitan dengan jaminan dapat ditemukan dalam:30
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Dalam
KUH Perdata jaminan merupakan bagian dari hak benda yang
diatur dalam Pasal-Pasal Buku II dan Buku III.
29
M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, (Depok: Gema Insani, 2007),
h.26. 30
H.R.M. Anton Suyatno, Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui
Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan, (Jakarta: Kencana,
2016), h.83.
33
b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Ketentuan dalam
Pasal-Pasal KUHD ini berkaitan dengan pengaturan hukum
jaminan, dalam hal ini pembebanan hipotik atas kapal laut.31
2. Tujuan dan Fungsi Jaminan
Pemberian jaminan dari debitur ke kreditur sebagai pengikatan
perjanjian kredit pastinya mempunyai maksud dan tujuan tertentu. ada
beberapa maksud dan tujuan penguasaan/pengikatan jaminan antara
lain:
Pertama, guna memberikan hak dan kekuasaan kepada bank
untuk mendapatkan pelunasan dengan barang jaminan tersebut
bilamana nasabah cidera janji, yaitu tidak bisa membayar kembali
hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Kedua,
menjamin agar nasabah berperan dan/atau turut serta dalam transaksi
yang dibiayai, sehingga kemungkinan nasabah untuk meninggalkan
usaha/proyeknya dengan merugikan diri atau perusahaannya dapat
dicegah, atau diminimumkan kemungkinan untuk berbuat demikian.
Ketiga, tujuan jaminan ini dapat memberikan dorongan kepada
nasabah untuk memenuhi Akad Pembiayaan, khususnya mengenai
pelunasan agar sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati.
Dengan maksud agar nasabah tidak kehilangan kekayaan yang telah
dijaminkan kepada bank.32
Fungsi jaminan secara yuridis adalah untuk kepastian hukum
pelunasan hutang di dalam perjanjian kredit atau hutang piutang atau
kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian. Kepastian
hukum ini adalah dengan peningkatan jaminan melalui lembaga-
lembaga jaminan yanng dikenal dalam hukum Indonesia lembaga
31
Selain dua ketentuan diatas, pengaturan jaminan terdapat pula pada UU Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria. Dan UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah. 32
Djawahir Hejazziey, Hukum Perbankan Syariah, h.169.
34
jaminan kebendaan dapat berupa hak tanggungan, kredit verban,
fidusia, dan gadai.33
3. Manfaat Benda Jaminan
Pada dasarnya jaminan bukanlah syarat yang mutlak dipenuhi
dalam pembiayaan, namun jaminan dimaksudkan untuk menghindari
sikap debitur agar tidak main-main dengan pembiayaan yang diberikan
oleh kreditur. Dengan demikian pihak kreditur (bank) dapat meminta
suatu jaminan kepada debitur (nasabah) untuk dipegangnya.
Manfaat jaminan bagi kreditur adalah memberikan kepastian
hukum bagi kreditur serta terwujudnya suatu keyakinan pelunasan atas
pembiayaan yang diberikan oleh kreditur. Sedangkan manfaat jaminan
bagi debitur adalah terbukanya akses untuk memperoleh fasilitas kredit
dan tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya karena mendapat
dana dari kreditur.34
4. Jaminan dalam Pembiayaan Konsumen
Sebagai salah satu bentuk usaha dari lembaga pembiayaan,
pembiayaan konsumen pada dasarnya tidak menekankan pada aspek
jaminan. Namun, karena pembiayaan konsumen merupakan bentuk
bisnis, maka dalam kegiatan pembiayaan perusahaan pembiayaan
konsumen tidak bisa terhindar dari unsur risiko. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaannya perusahaan pembiayaan akan meminta jaminan
tertentu guna mengamankan pembiayaan yang diberikan dari
kemungkinan risiko.35
Jaminan yang ada dalam pembiayaan konsumen pada
prinsipnya sama dengan jaminan yang ada dalam kredit bank,
khususnya dalam pembiayaan kredit konsumen, yaitu terdapat jaminan
utama, jaminan pokok, dan jaminan tambahan.36
33
Mariam Darus Badrulzaman, Kerangka Hukum Jaminan Indonesia dalam Hukum
Jaminan Indonesia Seri Dasar Hukum Ekonomi 4, (Bandung: PT. Cita Aditya Bakti, 1998), h. 68. 34
Djawahir Hejazziey, Hukum Perbankan Syariah, h. 174. 35
Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Sinar Grafika , 2013), h. 104. 36
Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, h. 105.
35
a. Jaminan Utama
Sebagai pembiayaan dalam bentuk kredit, jaminan
utamanya adalah kepercayaan dari perusahaan pembiayaan
konsumen (kreditur) kepada debitur bahwa pihak debitur dapat
dipercaya dan sanggup membayar secara berkala (angsuran)
sampai lunas atas pembiayaan yang telah diterimanya.
Dengan demikian, perusahaan pembiayaan konsumen juga
menerapkan prinsip-prinsip umum yang berlaku dalam perkreditan
sama halnya seperti di bank. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah
the 5 C’s of credit, yaitu collateral, capacity, character, capital,
condition of economy.
b. Jaminan Pokok
Selain jaminan utama, perusahaan pembiayaan konsumen
biasanya meminta jaminan pokok, yaitu berupa barang yang dibeli
dengan dana perusahaan pembiayaan konsumen. Biasanya
jaminan tersebut dibuat dalam bentuk fiduciary transfer of
ownership (fiducia). Maka seluruh dokumen yang berkaitan
dengan kepemilikan barang yang bersangkutan akan dipegang oleh
pihak perusahaan pembiayaan konsumen (kreditor) sampai
angsuran dilunasi oleh konsumen.
c. Jaminan Tambahan
Walaupun tidak seketat pada jaminan untuk pemberian
kredit Bank, dalam pelaksanaannya sering juga perusahaan
pembiayaan konsumen meminta jaminan tambahan atas transaksi
pembiayaan konsumen. Biasanya jaminan tambahan terhadap
transaksi seperti ini berupa pengakuan utang (promissiry notes),
atau kuasa menjual barang, dan assignment of proceed (cessie) dari
asuransi.
Dalam Undang-Undang Pokok Perbankan terdapat prinsip
bahwa “kepercayaan” dipandang sebagai jaminan pokok pembayaran
kembali utang-utang debitur kelak. Sementara jaminan lainnya yang
36
bersifat kontraktual, seperti hak tanggungan atas tanah, gadai, hipotik,
dan fidusia merupakan jaminan tambahan. Dan jaminan utamanya
berupa jaminan atas barang yang dibiayai dengan kredit tersebut.37
Menurut sifatnya, ada jaminan yang bersifat umum dan khusus.
Jaminan yang bersifat umum diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata,
yang menyatakan: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak
maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru
akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan”.38
Dan Pasal 1132 KUH Perdata yang menyatakan:
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang
yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu
dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya
piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu
ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.39
Kedua pasal tersebut yang dimaksud jaminan yang bersifat
umum yaitu jaminan yang diberikan untuk kepentingan semua kreditur
dan menyangkut semua harta debitur.
Selain jaminan yang bersifat umum ada pula jaminan yang
bersifat khusus yang merupakan jaminan dalam bentuk penyerahan
barang tertentu secara khusus, sebagai jaminan atas pelunasan
kewajiban/utang debitur kepada kreditur tertentu, yang hanya berlaku
untuk kreditur tertentu tersebut baik secara kebendaan maupun
perorangan.40
Timbulnya jaminan khusus ini adalah karena adanya perjanjian
yang diadakan antara debitur dan kreditur yang dapat berupa: 41
37
https://andigunawan03.wordpress.com/2011/04/16/hak-jaminan/, diakses pada tanggal
25 September 2018, pukul 00.16 WIB. 38
Lihat Pasal 1131 KUH Perdata. 39
Lihat Pasal 1132 KUH Perdata. 40
H.R.M. Anton Suyatno, Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui
Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan, (Jakarta: Kencana,
2016), h. 84. 41
H.R.M. Anton Suyatno, Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui
Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan, h. 84.
37
1) Jaminan perseorangan (personlijk), yaitu adanya orang tertentu
yang sanggup membayar atau memenuhi prestasi jika debitur
cedera janji. Jaminan perorangan ini tunduk pada ketentuan hukum
perjanjian yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
2) Jaminan yang bersifat kebendaan yaitu adanya benda tertentu yang
dijadikan jaminan (zakelijk). Ilmu Hukum tidak membatasi
kebendaan yang dapat dijadikan jaminan, hanya saja kebendaan
yang dijaminkan tersebut haruslah merupakan milik dari pihak
yang memberikan jaminan kebendaan tersebut. Jenis jaminan ini
tunduk dan diatur dalam ketentuan Buku III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
C. Murabahah
1. Pengertian Murabahah
Pembiayaan yang dikenal di bank syariah adalah pembiayaan
yang menggunakan akad jual beli. Salah satu akad jual beli yang kini
dikembangkan oleh bank syariah adalah akad Murabahah.
Kata Murabahah berasal dari kata bahasa Arab بح yang انس
artinya keuntungan. Murabahah adalah akad jual beli atas barang
tertentu, dimana penjual (bank) menyebutkan harga pembelian barang
kepada pembeli (nasabah) kemudian menjual kepada pihak pembeli
dengan mensyaratkan keuntungan yang diharapkan sesuai jumlah
tertentu.42
Dalam Murabahah terkait dengan pengambilan keuntungan
tidak ada pembatasan dalam hukum berapa jumlah yang boleh diambil,
maka dengan demikian bebas menentukan berapapun margin untuk
suatu akad pembiayaan Murabahah. Namun, harus didasari atas
kesepakatan yang dilakukan dengan pihak nasabah.
Selain itu keuntungan yang sudah ditetapkan tidak boleh
berubah sepanjang akad, apabila terjadi kesulitan bayar dapat
42
Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2011), h.138.
38
dilakukan restrukturasi dan kalau kesulitan bayar karena lalai dapat
dikenakan denda. Lalu denda tersebut akan dianggap dana kebajikan.43
Tingkat keuntungan Murabahah bisa dalam bentuk lumpsum atau
persentase tertentu dari biaya perolehan.44
Murabahah pada mulanya bukan merupakan suatu cara atau
model pembiayaan (mode of financing), melainkan sekadar suatu sale
on cost-plus basis. Namun setelah adanya konsep pembayaran tertunda
(the concept of deferred payment), maka Murabahah telah digunakan
sebagai suatu cara pembiayaan dalam hal nasabah bermaksud untuk
membeli suatu komoditas dengan cara menyicil pembayaran harganya.
Meskipun demikian, ada 2 (dua) hal penting yang harus
diperhatikan (two essential point) dalam penggunaan murabahah
sebagai model pembiayaan. Pertama, murabahah jangan diterima
sebagai suatu mode pembiayaan Islam yang ideal atau sebagai
instrumen universal untuk keperluan semua jenis pembiayaan
(financing). Kedua, murabahah hendaknya hanya diterima sebagai
langkah peralihan menuju suatu sistem pembiayaan yang ideal dalam
bentuk musyarakah atau mudharabah. Murabahah hendaknya hanya
digunakan terbatas kepada hal-hal di mana musyarakah atau
mudharabah tidak dapat digunakan sebagai cara bagi bank untuk
memberikan fasilitas pembiayaan kepada nasabahnya.45
2. Dasar Hukum Murabahah
Murabahah adalah salah satu jenis jual beli yang dibenarkan
oleh syariah dan merupakan implementasi muamalat tijariyah
(interaksi bisnis).46
Karena murabahah ini merupakan salah satu
bentuk jual beli, mayoritas ulama berpendapat bahwa dasar hukum
43
Sri Nurhayati Wasilah, Akuntansi Syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Salemba 4, 2008),
h.176. 44
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011,
Cet. Ketiga), h.82. 45
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) h. 122-123. 46
Ah. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 118.
39
murabahah ini sama seperti dalam dasar hukum jual beli pada
umumnya.47
Dasar hukum akad murabahah tertuang dalam:
a. Firman Allah Q.S. Al-Baqarah 2: 275
با... وانس حس غ للاانب أحم ...
Artinya: “...Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba...”48
b. Firman Allah Q.S. An-Nisa 4: 29
تك أ كىبانباطمإال انكىب ءاياالتأكهاأي اأاانر
كى تجازةػتساض ي
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu”.49
Dua ayat di atas menjelaskan tentang jual beli, bahwa jual
beli itu diperbolehkan oleh Allah SWT. Jual beli yang dimaksud
adalah jual beli yang dimana kedua belah pihak suka sama suka
sehingga tidak timbul perasaan dirugikan dari salah satu pihak.
Begitu juga dengan murabahah karena akad murabahah termasuk
jual beli maka diperbolehkan dalam Islam.
3. Syarat dan Rukun Murabahah
Murabahah pada awalnya merupakan konsep jual beli yang
sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembiayaan. Namun
demikian, bentuk jual beli ini kemudian digunakan oleh perbankan
syariah dengan menambah beberapa konsep lain sehingga menjadi
bentuk pembiayaan. Akan tetapi, validitas transaksi seperti ini
47
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, h. 111. 48
Q.S. Al-Baqarah: 275. 49
Q.S. An-Nisa: 29.
40
tergantung pada beberapa syarat yang benar-benar harus diperhatikan
agar transaksi tersebut diterima secara Syariah.50
Beberapa syarat pokok murabahah, antara lain sebagai
berikut:51
a. Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah.
b. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
c. Kontrak harus bebas dari riba.
d. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas
barang sesudah pembelian.
e. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
Rukun dari akad murabahah yang harus dipenuhi dalam
transaksi ada beberapa, yaitu: 52
a. Pelaku akad, yaitu ba’i (penjual) adalah pihak yang memiliki
barang untuk dijual, dan musytari (pembeli) adalah pihak yang
memerlukan dan akan membeli barang;
b. Objek akad, yaitu mabi’ (barang dagangan) dan tsaman (harga);
dan
c. Shighah, yaitu Ijab dan Qabul.
4. Implementasi Murabahah di Perbankan Syariah
Penerapan murabahah di Lembaga Keuangan Syariah pada
dasarnya muncul karena nasabah membutuhkan suatu barang objek
tertentu, tetapi kemampuan finansial mereka tidak cukup untuk
melakukan pembayaran secara tunai. Karena alasan itulah maka
nasabah berhubungan dengan LKS.
Namun karena LKS pada umumnya tidak memiliki inventory
terhadap barang/objek yang dibutuhkan nasabah, maka LKS
menggunakan transaksi dengan akad murabahah yaitu melakukan
50
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, h. 82. 51
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), h. 102. 52
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, h. 82.
41
pembelian atas barang yang diinginkan nasabah kepada pihak lainnya
seperti kepada supplier/pemasok, dealer, developer, atau penyedia
barang lainnya. Dengan demikian, LKS bertindak selaku penjual di
satu sisi dan di sisi lain bertindak selaku pembeli, yang kemudian akan
menjualnya kembali kepada nasabah pemesan dengan harga jual yang
disepakati.53
Pada implementasinya murabahah dibagi menjadi 2 (dua)
jenis, yaitu murabahah dengan pesanan dan murabahah dengan tanpa
pesanan. Lembaga keuangan syariah sebagai penjual (ba’i) melakukan
pembelian barang setelah ada pemesanan dari konsumen sebagai
pembeli (musytari). Murabahah ini bersifat mengikat pihak pembeli
atau pihak yang berutang untuk membeli barang yang dipesannya.
Sedangkan dalam pelaksanaan murabahah dengan tanpa
pesanan, lembaga keuangan syariah sebagai penjual (ba’i)
menyediakan barang yang kemudian dibeli oleh nasabah. Murabahah
dengan tanpa pesanan ini tidak mengikat konsumen sebagai pembeli
(musytari) dan dapat membatalkan pembeliannya.54
Dalam mengimplementasikan murabahah di perbankan syariah
dapat dilakukan dengan melalui beberapa tahap. Tahap pertama
nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu
barang atau aset ke bank syariah. Setelah permohonan tersebut selesai
selanjutnya ada 2 (dua) hal kemungkinan yang terjadi. Pertama pihak
bank membeli aset yang dipesan oleh nasabah tersebut ke supplier atau
pedagang dan baru asset tersebut diserahkan ke nasabah. Atau
kemungkinan kedua bank memberi kuasa kepada nasabah untuk
membeli barang yang dibutuhkannya sendiri. Setelah itu, bank
kemudian menjual barang kepada nasabah (pemesan) dengan harga
beli plus margin/keuntungannya. Nasabah harus membelinya sesuai
53
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, h. 120. 54
Yadi Janwari, Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015),
h. 22
42
perjanjian yang disepakati. Kemudian tahap terakhir membuat kontrak
jual beli antar-bank dan nasabah. Bank boleh meminta jaminan kepada
nasabah atau membayar uang muka pada saat menandatangani
kesepakatan awal pemesanan.55
D. Review Study Terdahulu
No.
Identitas
Kesimpulan
Perbedaan
1. Eksekusi Hak
Tanggungan Akad
Murabahah di
Pengadilan
Agama Wonosari
(Tinjauan Hukum
Positif dan
Hukum Islam)
Wiradtun Hasanah
Fak. Syari’ah dan
Hukum
Universitas islam
Negeri Sunan
Kalijaga
Yogyakarta
Dalam skripsi ini
penulis menjelaskan
terkait prosedur
eksekusi hak
tanggungan dalam
akad murabahah dan
problem yang
dihadapi para pihak
dalam
penyelasaiannya di
Pengadilan Agama
Wonosari.
Dalam skripsi ini
penulis akan
membahas atau
meneliti terkait
mekanisme eksekusi
jaminan dengan lebih
fokus meneliti akad
murabahah yang
belum jatuh tempo.
2. Problem Hukum
Eksekusi hak
Tanggungan atas
Dasar
Wanprestasi
terhadap Akad
Dalam tulisan ini
penulis menjelaskan
terkait problem
hukum eksekusi hak
tanggungan atas
dasar wanprestasi
Dalam skripsi ini
penulis akan
membahas topik yang
serupa dengan tulisan
tersebut, tetapi penulis
akan meneliti lebih
55
Yadi Janwari, h. 22.
43
Murabahah
Drs. H. Abd.
Salam, S.H. M.H.
Wakil Ketua
Pengadilan
Agama Mataram
terhadap akad
murabahah yang
dilematis. Dalam
kondisi belum jatuh
tempo akan
merugikan pihak
bank namun disisi
lain merugikan pihak
nasabah dikarenakan
pihak nasabah
wanprestasi dan tidak
memenuhi tanggung
jawabnya.
lanjut permasalahan
tersebut dengan
mengaitkan studi
kasus putusan
pengadilan yang topik
permasalahannya
terkait. Dan penulis
akan mengkaji lebih
dalam dari dua
perspektif hukum,
yaitu dari hukum
positif dan hukum
Islam lalu
dibandingkan apakah
ada perbedaan atau
tidak.
3. Eksekusi Jaminan
Hak Tanggungan
sebagai Upaya
Penyelesaian
Pembiayaan
Bermasalah (Studi
pada PT Bank
Muamalat
Indonesia Cabang
Lampung)
Marnita PT Bank
Muamalat Cabang
Lampung
Dalam jurnal ini
penulis membahas
tentang prosedur
upaya penyelesaian
pembiayaan
bermasalah melalui
eksekusi jaminan hak
tanggungan.
Dalam skripsi ini
penulis akan
menjelaskan terkait
penyelesaian
pembiayaan akad
murabahah dengan
eksekusi jaminan
melewati jalur putusan
pengadilan.
4. Eksekusi Hak Dalam tulisan ini Dalam skripsi ini
44
Tanggungan pada
Perbankan
Syariah di
Pengadilan
Agama
Purbalingga
Penelitian Dipa
Dr. Hj. Nita
Triana, M. Si.
Institut Agama
Islam negeri
Purwokerto
penulis membahas
terkait pelaksanaan
eksekusi hak
tanggungan dalam
sengketa ekonomi
syariah di Pengadilan
Agama Purbalingga
yang disesuaikan
dengan Undang-
Undang.
menjelaskan terkait
eksekusi jaminan
terhadap akad
murabahah yang
belum jatuh tempo
dalam perspektif
Hukum Positif dan
Hukum Islam.
5. Strategi
Penyelesaian
Pembiayaan
Bermasalah
terhadap Akad
Murabahah dalam
Perspektif
Ekonomi Islam.
Laili Maulistina
Fak. Ekonomi dan
Bisnis Islam
Universitas Islam
Negeri Raden
Intan Lampung
Dalam skripsi ini
membahas terkait
strategi penyelesaian
pembiayaan
bermasalah akad
murabahah
perspektif ekonomi
Islam.
Dalam skripsi ini
penulis akan meneliti
terkait pembahasan
tidak hanya dari satu
perspektif tetapi dari
dua perspektif hukum
agar dapat
dibandingkan
kesesuaian dari dua
perspektif tersebut.
6. Sistem Penjualan
Jaminan pada
Pembiayaan
Dalam skripsi ini
menjelaskan terkait
sistem penetapan
Dalam skripsi ini
menjelaskan terkait
penyelesaian
45
Murabahah
Secara Non-
Lelang Analisis
Sistem Penetapan
Harga Jual Objek
Jaminan pada PT.
Bank Aceh
Syariah.
Syukri Rahmati
Fak. Syariah dan
Hukum
Universitas Islam
Negeri Ar-Raniry
Darussalam
Banda Aceh
harga jaminan dan
terkait penjualannya
pada pembiayaan
murabahah tetapi
bukan melalui jalur
lelang tetapi jual beli
langsung objek
jaminan tersebut.
pembiayaan akad
murabahah melalui
jalur litigasi terlebih
dahulu, karena
penelitan ini akan
menganalisis putusan
pengadilan.
Tabel 1.1 Review Study Terdahulu
46
BAB III
EKSEKUSI JAMINAN BELUM JATUH TEMPO PERSPEKTIF HUKUM
POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Eksekusi Jaminan Perspektif Hukum Positif
Kasus kredit bermasalah dalam dunia perbankan seringkali terjadi,
hal ini disebabkan karena debitur cidera janji atau wanprestasi. Debitur
dianggap cidera janji disebabkan salah satunya karena tidak mampu
membayar kredit yang diperjanjikan. Apabila setelah melalui proses
negoisasi antara keduanya tidak ditemukan juga jalan keluarnya, maka
akan ditempuh lewat jalur hukum.
Penyelesaian masalah seperti ini biasanya bank sebagai kreditur
akan meminta kepada Pengadilan untuk dilaksanakan eksekusi. Eksekusi
pada prinsipnya merupakan realisasi kewajiban pihak yang dikalahkan
dalam putusan hakim, untuk memenuhi prestasi yang terdapat dalam
putusan hakim. Oleh karena itu, dengan dilaksanakan eksekusi dapat
membantu penyelesaian masalah akibat kredit bermasalah tersebut.
Ketentuan tentang eksekusi terdapat dalam UU No. 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan (UUHT) yang berbunyi, “Apabila debitur cidera
janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual
obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum
serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.1
Ketentuan ini menjelaskan bahwa kreditur sebagai pemegang Hak
Tanggungan pertama dapat langsung datang ke Kantor Lelang untuk
melakukan pelelangan atas obyek Hak Tanggungan apabila upaya
perdamaian kedua pihak tidak tercapai.
Selain itu, ketentuan eksekusi juga diatur dalam Pasal 20 UUHT
menjelaskan tentang pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan dengan tujuan
dapat memperoleh pelunasan dari hasil lelang jaminan. Bahwa yang
melatarbelakangi eksekusi ini adalah disebabkan debitur tidak
1 Lihat Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
47
melaksanakan prestasinya sebagaimana mestinya, walaupun pihak debitur
telah diberikan somasi tiga kali berturut-turut oleh kreditur.
Adapun cara eksekusinya, menurut UU No. 4 tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan (UUHT) terdapat 3 (tiga) macam sebagai berikut:
1. Eksekusi Melalui Pengadilan
Eksekusi jaminan utang dapat dilakukan melalui pengadilan, sebab
dalam Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1996 menyatakan bahwa sertifikat
hak tanggungan yang memuat irah-irah “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sertifikat
hak tanggungan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial (dapat
dieksekusi) yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, dan berlaku sebagai pengganti
grosse akta hipotik sepajang mengenai hak tanggungan atas tanah.2
Irah-irah tersebutlah yang memberikan titel eksekutorial, yakni titel
yang mensejajarkan kekuatan akta tersebut dengan putusan pengadilan.
Dengan demikian, akta tersebut tinggal dieksekusi tanpa perlu lagi
putusan pengadilan.3
Caranya, dengan mengajukan permohonan eksekusi ke Ketua
Pengadilan Negeri di mana objek tanah (jaminan) itu berada. Dengan
permohonan penetapan dari Ketua Pengadilan untuk melakukan
eksekusi. Atas permohonan tersebut Ketua Pengadilan akan melakukan
aanmaning (peringatan) kepada debitur dan kemudian melakukan
pelelangan dengan bantuan kantor lelang.4
2. Eksekusi Atas Kekuasaan Sendiri
Meskipun tidak ditegaskan dalam undang-undang, eksekusi objek
hak tanggungan dapat juga dilakukan dengan jalan menjual lelang
2 Lihat Pasal 14 Ayat 2 dan 3 UU N0. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.
3 Munir Fuadi, Hukum Jaminan Utang, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013), h. 93.
4https://konsultanhukum.web.id/3-cara-mengeksekusi-tanah-benda-yang-menjadi-
jaminan-utang/, diakses pada tanggal 31 Juni 2018 pukul 10.51.
48
sendiri oleh krediturnya, tanpa ikut campur tangan kantor lelang
maupun pengadilan.5
Cara penjualan seperti ini dapat dianggap sebagai salah satu jenis
eksekusi parate (mengeksekusi tanpa lewat pengadilan), caranya
menjual objek hak tanggungan secara langsung dengan mengajukan
permohonan kepada Kantor Lelang Negara setempat untuk
dilaksanakan pelelangan umum atas tanah (objek tanggungan
tersebut).6
3. Eksekusi Melalui Penjualan di Bawah Tangan
Eksekusi melalui penjualan di bawah tangan maksudnya adalah
menjual objek hak tanggungan tersebut secara langsung tanpa harus
melalui penetapan pengadilan ataupun melalui kantor pelelangan
umum. Hal ini dapat dilakukan selama ada kesepakatan antara debitur
dan kreditur, dan jika dengan dilakukan cara ini akan memperoleh
harga tertinggi yang dapat menguntungkan semua pihak.7
Ketentuan lainnya terkait pelaksanaan eksekusi menurut HIR dan
RBg terdapat pada Pasal 195-197 HIR, Pasal 225 HIR, Pasal 208 RBg dan
Pasal 259 RBg. Pasal-pasal ini menjelaskan “ketika pihak yang menang
telah memperoleh keputusan hakim untuk menghukum pihak lawannya
maka ia berhak untuk memaksa pihak lawannya guna mematuhi keputusan
hakim tersebut”.8 Hak ini memang sudah selayaknya, karena kalau tidak
dengan cara memaksa pihak yang dikalahkan maka peradilan akan
dianggap tidak ada gunanya. Apabila pihak yang kalah itu lalai atau tidak
mau memenuhi putusan tersebut setelah tempo yang diberikan pengadilan
maka dalam kasus seperti ini pihak yang menang berhak menggunakan
bantuan alat-alat negara untuk mengeksekusi yang diperbolehkan oleh
undang-undang.
5 Lihat Pasal 20 ayat 1 huruf (a) j.o Pasal 6 UU Hak Tanggungan.
6 Munir Fuadi, Hukum Jaminan Utang, h. 92.
7 Lihat Pasal 20 ayat (2) dan (3), UU Hak Tanggungan.
8 Lihat Pasal 195-197, 225 HIR dan Pasal 208, 229 RBg.
49
Lalu bagaimana dengan kasus ketika debitur telat membayar
angsuran kreditnya namun pihak kreditur mengambil tindakan mengajukan
gugatan eksekusi ke pengadilan padahal tenggang waktu jatuh tempo
belum terjadi?
Dalam suatu perjanjian, terlebih dalam perjanjian kredit, umumnya
dicantumkan klausul cidera janji atau wanprestasi dalam perjanjian yang
menerangkan suatu keadaan yang dikarenakan kelalaiannya, debitur tidak
dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Dalam praktiknya, tergantung pada bentuk perjanjian yang disepakatinya,
terkadang ditemukan adanya batasan waktu seorang debitur dapat
dianggap telah berbuat wanprestasi.9
Batasan waktu ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1238 KUH
Perdata menyatakan, “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat
perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi
perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan” yang pada intinya
menjelaskan bahwa debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan
lewatnya batas waktu tersebut.10
Tetapi apabila dalam perjanjian tersebut
tidak mencantumkan batasan waktu, maka untuk menyatakan seseorang
debitur melakukan wanprestasi maka diperlukan surat peringatan tertulis
dari kreditur sebagai surat peringatan atau somasi yang ditujukan kepada
debitur.
Merujuk Pasal 6 UUHT, kreditur sebagai pemegang jaminan (hak
tanggungan) secara hukum berhak atas kekuasaan sendiri menjual obyek
Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan
lagi dari pemberi Hak Tanggungan (debitur) dengan tujuan mengambil
pelunasan atas piutangnya.11
9http://konsultasihukumgratis.blogspot.com/2010/12/sita-jaminan-dalam-perjanjian-
kredit.html, diakses pada 14 September 2018, pukul 6.48 WIB. 10
Lihat Pasal 1238 KUH Perdata. 11
Lihat Pasal 6 UU Hak Tanggungan.
50
Jadi, meskipun perjanjian belum jatuh tempo, jika debitur telah
dianggap melakukan wanprestasi maka kreditur dapat langsung melakukan
upaya hukum (eksekusi) atas barang yang telah dijaminkan.
Memang barang jaminan dapat dilelang sebelum lewat jangka
waktu pembayaran kredit dalam hal debitur melakukan tindakan
wanprestasi lainnya. Meski demikian, ada baiknya ditempuh upaya-upaya
secara administrasi terlebih dahulu untuk menyelesaikan kredit yang
bermasalah sebelum melakukan gugatan ke pengadilan dan mengeksekusi
barang jaminan. Adapun upaya-upaya administrasi yang dimaksud adalah
penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali
(reconditioning), dam penataan kembali (restructuring). Apabila setelah
melakukan upaya-upaya tersebut tidak membuahkan hasil barulah
dilanjutkan ke tahap gugatan ke pengadilan untuk pengeksekusian barang
jaminan.
B. Eksekusi Jaminan Perspektif Hukum Islam
Jaminan dalam hukum Islam terdapat 2 (dua) jenis istilah yaitu
Rahn dan Kafalah. Yang membedakan antara dua istilah jaminan ini
adalah objek jaminannya, kalau objek jaminan Rahn berupa barang dan
kalau objek Kafalah berupa orang lain sebagai penjaminan utangnya
(personal guaranty). Rahn adalah menahan salah satu harta milik si
peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.12
Kafalah
merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak
ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.13
Penulis tidak akan membahas tentang kafalah lebih lanjut, karena yang
relevan dengan tulisan ini adalah rahn.
Mengambil jaminan untuk menjamin utang, menurut Al-Qur’an
dan Sunnah pada dasarnya diperbolehkan. Al-Qur’an menyuruh umat
muslim untuk menuliskan kewajiban dan jika perlu mengambil jaminan
12
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema
Insani, 2001), h.128. 13
Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi,
(Yogyakarta: EKONISIA, 2008), h 84.
51
untuk utang tersebut. Nabi juga dalam beberapa kesempatan
mempersilahkan krediturnya untuk mengambil jaminan untuk utangnya.14
Dijelaskan dalam firman Allah SWT terkait Rahn dalam surat Al-
Baqarah:283 dan terkait Kafalah dalam surat Yusuf: 72.
1. Firman Allah SWT Q.S. Al-Baqarah: 283:
نىتجداكات تىػهسفس ك إ يقبضت... بافسا
Artinya: “Dan jika kamu berada dalam perjalanan dan tidak
menemukan orang yang akan menulis hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)…”.15
2. Firman Allah SWT Q.S. Yusuf: 72:
اع شػى قانافقدص أاب مبؼس ح جاءب ن هك ان
Artinya: “Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja,
dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan
makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”.16
Kedua ayat di atas menjelaskan tetang penyertaan jaminan dalam
bermuamalah. Yang membedakan antara keduanya adalah di ayat pertama
surat Al-Baqarah:283 menjelaskan penyertaan jaminan dalam bentuk
barang. Sedangkan di ayat kedua yaitu surat Yusuf:72 sama-sama terkait
jaminan tetapi objek jaminannya dalam bentuk orang. Maksud dari
“orang” disini adalah orang tersebut menjadi pihak ketiga sebagai
penjamin dari utang piutang yang dilakukan oleh dua pihak lainnya.
Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist menunjukkan bahwa transaksi
atau perjanjian gadai atau pembiayaan yang disertakan jaminan dibenarkan
dalam Islam bahkan Nabi pernah melakukannya. demikian juga jumhur
ulama telah sepakat kebolehan gadai dan tidak pernah berselisih pendapat
mengenai hal ini. Landasan ini kemudian diperkuat dengan fatwa DSN
N0, 25/DSN-MUI/III/2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan
14
Faturrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.125. 15
Q.S. Al-Baqarah: 283. 16
Q.S. Yusuf: 72.
52
menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn
diperbolehkan.17
Pada pelaksanaan di Bank Syariah penyertaan jaminan juga diatur
dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyatakan
bahwasanya pemerintah menegaskan kembali bahwa jaminan dari nasabah
(debitur) urgen bagi bank syariah. Jaminan yang dibutuhkan oleh bank
syariah bisa dalam bentuk jaminan pokok maupun jaminan tambahan.18
Apabila bank tidak memiliki jaminan apapun dari nasabah maka dalam hal
ini bank tidak dapat menagih haknya ketika nasabah melakukan
wanprestasi yang mengakibatkan kerugian bagi bank syariah.
Hal ini juga ditegaskan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No.
03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, berikut: “Jaminan dalam
Murabahah dibolehkan agar nasabah serius dengan pesanannya. Bank
dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat
dipegang”.19
Ketentuan ini menjelaskan terkait jaminan di akad
Murabahah, sebab pada prinsipnya Murabahah sama dengan pembiayaan
kredit yang membutuhkan penyertaan jaminan juga pada pelaksanaanya.
Walaupun sudah menyertakan jaminan dalam pembiayaan, tidak
menghindari terjadinya cidera janji yang dilakukan debitur. Dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, jika terjadi cidera janji/wanprestasu mengenai penyelesaian
sengketa ini diatir melalui Pasal 55. Dalam Pasal 55 sebagaimana
disebutkan bahwa:
a. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
b. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai dengan isi akad.
17
Lihat Fatwa DSN No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn. 18
Lihat Pasal 1 Ayat (26), UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 19
Fatwa DSN No. 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Himpunan Fatwa
Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional MUI, (Penerbit Erlangga, 2014), h.66.
53
c. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
boleh bertentangan dengan prinsip Syariah.20
Apabila debitur (nasabah) cidera janji dan cidera janjinya tersebut
bukan karena nasabah tidak mau melunasi kewajibannya tetapi karena
debitur tersebut dalam keadaan tidak mampu melaksanakan kewajibannya,
Prinsip Syariah menentukan agar kreditur memberikan kelonggaran
kepada debitur. Dengan demikian kreditur wajib melakukan penjadwalan
kembali (rescheduling) terhadap waktu-waktu pelunasan kewajiban
tersebut bahkan Al-Qur’an sangat memuji apabila kreditur bersedia
memberikan pembebasan utang (discharge) tersebut baik sebagian atau
seluruhnya.21
Hal tersebut berdasarkan ketentuan surat Al-Baqarah: 280
sebagaimana berikut:
تصدقاخ أ سسة ي إن فظسة ذػسسة كا إ تى ك نكىإ س
تؼه
Artinya: “Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka
berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian
atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetaui.”22
Ayat tersebut menjelaskan jika orang yang berutang dalam keadaan
kesulitan maka hendaklah undurkan pembayarannya sampai dia
berkelapangan. Jangan menagihnya jika kamu mengetahui dia sempit,
apalagi memaksanya membayar dengan sesuatu yang amat dia butuhkan,
bahkan apabila bagi pemberi hutang mengikhlaskannya dijanjikan oleh
Allah SWT pahala untuknya.
Untuk barang yang dijadikan agunan dalam hutang piutang maka
Syariat Islam mengaturnya dalam Hadist dari Abu Hurairah r.a. bahwa
Rasulullah bersabda, “Siapapun yang bangkrut (muflis), lalu krediturnya
mendapatkan barangnya sendiri pada si bangkrut, maka kreditur itu lebih
20
Pasal 55 UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 21
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-Produk Dan Aspek Hukumnya,
(Jakarta: Kencana, 2014), h. 218. 22
Q.S. Al-Baqarah: 280.
54
berhak untuk menarik kembali barangnya dari pada lainnya.” (Hadist
dikeluarkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah).23
Ketentuan pengeksekusian diatur dalam Fatwa DSN-MUI No,
25/DSN-MUI/III/2002 mengatur bahwa apabila telah jatuh tempo,
Murtahin (kreditur) harus memperingatkan Rahin (debitur) untuk segera
melunasi hutangnya. Dan jika Rahin (debitur) tetap tidak dapat melunasi
utangnya, maka Marhun (jaminan) dijual paksa/dieksekusi melalui lelang
sesuai syariah. Kemudian jasil penjualan objek jaminan digunakan untuk
melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar
serta biaya penjualan. Dan kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin
dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin (debitur). Dari ketentuan
fatwa di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa Hukum Islam juga
memerintahkan pengeksekusian jaminan jika debitur tidak melunasi
hutangnya setelah melewati jatuh tempo perjanjian sesuai dengan syariah.
Dalam penyitaan jaminan pada Rahn Tasjily24
, penyitaan yang
dilakukan harus dengan prosedur syariah. Dalam Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) dijelaskan pada pasal 364 ayat 1 tentang
penjualan harta rahn disebutkan bahwa kreditur harus memperingatkan
debitur untuk segera melunasi hutangnya apabila telah jatuh tempo.
Apabila belum ada peringatan dari kreditur untuk melunasi hutang dari
debitur, maka penyitaan belum bisa dilakukan. Setelah prosedur diatas
dipenuhi dan telah sampai pada waktu yang ditetapkan maka pihak
berhutang wajib untuk menyelesaikan hutangnya, jika ia mengalami
kesulitan dalam melunasi hutangnya hendaklah diberi kelonggaran seperti
yang di jelaskan oleh Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 280.25
23
Shahih Bukhari Nomor 2404 disarikan oleh Fathul Bari’; Shahih Muslim Nomor 1559
disarikan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani. 24
Rahn Tasjily adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang tetapi barang jaminan
tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan (pemanfaatan) Rahin (debitur) dan bukti
kepemilikannya diserahkan kepada murtahin (kreditur). 25
Lihat Pasal 364 Ayat 1, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), (Bandung:
Fokusmedia, 2008), h.81.
55
Sebelum penyitaan dilakukan hendaknya diberikan kelonggaran
atau kesempatan untuk melunasi kredit yang masih macet, dalam Islam
penyitaan tidak boleh serta-merta dilakukan tanpa melalui proses
pemberian jangka waktu tertetu untuk mengatasi kredit macet yang terjadi.
Setelah pemberian kelonggaran atau jangka waktu untuk pelunasan
tersebut telah dilakukan, sedangkan pihak debitur tetap tidak dapat
melunasinya, maka murtahin (kreditur) dapat meminta ganti rugi kepada
rahin (debitur).26
Penjualan barang jaminan setelah jatuh tempo adalah sah. Hal itu,
sesuai dengan maksud dari hakikat jaminan itu sendiri, yaitu sebagai
kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi harganya, bila yang berutang
tidak sanggup membayar utangnya dari orang yang berpiutang. Karena itu,
barang jaminan dapat dijual untuk membayar utang, dengan cara
mewakilkan penjualannya kepada yang adil dan terpercaya.27
Dalam praktek perbankan syariah, pembiayaan yang dilakukan
oleh bank syariah juga dilekatkan suatu jaminan kebendaan secara Hukum
Perdata yang berlaku di Indonesia. Hal ini memudahkan penyelesaian jika
terjadi wanprestasi. Jika diamati perjanjian yang dilakukan di perbankan
syariah adalah berdasarkan Hukum Islam dan prinsip-prinsip Hukum
Perjanjian Islam. Sedangkan mengenai perikatan jaminannya dilakukan
atau didasari pada Hukum Perdata Indonesia. Oleh sebab itu terjadi
percampuran 2 (dua) prinsip hukum yang dilakukan Perbankan Syariah.
Dan dalam proses eksekusi jaminan hutang, syariat Islam belum
mengatur tentang tata cara pelaksanaannya. Sehingga diperlukan kajian
terhadap jaminan pembiayaan bermasalahnya.28
26
Iffaty Nasyi’ah dan Asna Jazillatul Chusna, “Implementasi Prinsip Syariah Terhadap
Penyitaan Jaminan Fidusia, de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum”, Volume 4 Nomor 2, Desember
2012, h. 156. 27
Zainuddin, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.28. 28
Iffaty Nasyi’ah dan Asna Jazillatul Chusna, “Implementasi Prinsip Syariah Terhadap
Penyitaan Jaminan Fidusia”, Fiat Justisia Journal of Law, Volume 10 Issue 3, July-September
2016, h.527.
56
BAB 1V
PENYELESAIAN SENGKETA JAMINAN TERHADAP AKAD
MURABAHAH YANG BELUM JATUH TEMPO
A. Duduk Perkara
Duduk Perkara dari putusan Nomor 362K/AG/2013 PA PDG
adalah sebagai berikut.
PT. PERMODALAN NASIONAL MADANI (Persero) Pusat di
Jakarta Cabang Padang sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat
A/Terbanding I. Melawan EMIDAWATI.C. sebagai Termohon Kasasi
dahulu Penggugat/Pembanding dan KANTOR PELAYANAN
KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG (KPKNL) Bukit tinggi sebagai
Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat B/Terbanding II.
Kronologis kasus pada persidangan tingkat pertama sebagai
berikut, bahwa Penggugat (Emidawati) telah menggugat Tergugat A (PT.
Permodalan Nasional Madani) dan Tergugat B (KPKNL) dimuka
persidangan Pengadilan Agama Padang. Awal mula bahwa Penggugat
adalah nasabah Tergugat A pada Unit Layanan Mikro Syariah Lubuk
Buaya terkait dengan Murabahah dengan Kontrak No. 027/ULS-
LBB/MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009. Berdasarkan kontrak tersebut
Tergugat A melakukan take over pinjaman Penggugat sebesar Rp.
200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan akan dikembalikan kepada
Tergugat A dengan imbalan sebesar Rp. 153.600.000 (seratus lima puluh
tiga juta enam ratus ribu rupiah) atau setara dengan 76,5% (tujuh puluh
enam koma lima persen). Dan sebagai jaminan atas pembayaran kewajiban
Penggugat kepada Tergugat A, Penggugat menyerahkan 1 (satu) buah
Sertifikat Hak Milik No. 1 dengan luas 3.163 m2
atas nama Penggugat dan
Jaruni.
Namun dengan imbalan keuntungan tersebut, Penggugat merasa
bahwa 76,5% itu terlalu besar dan tidak sanggup ditanggung oleh
Penggugat. Menurut dalil Penggugat bahwa menurut syariat Islam
57
keuntungan hanya dapat diambil sebesar 10% (sepuluh persen) saja,
sehingga demikian keuntungan yang diperoleh Tergugat A dari Penggugat
adalah tidak sah dan harus dibatalkan. Berdasarkan Kontrak Murabahah
No. 027/ULS-LBB/MUS/VII/09 bahwa perjanjian jual beli/dan
pembiayaan ini berlaku untuk jangka waktu 48 (empat puluh delapan)
bulan, terhitung sejak 7 Juli 2009 sampai dengan 7 Juli 2013.
Sejak adanya Kontrak No. 027/ULS-LBB/MUS/VII/09 tertanggal
7 Juli 2009 awalnya Penggugat lancar-lancar saja dalam melaksanakan
kewajibannya kepada Tergugat A. Namun berjalannya waktu usaha
peternakan ayam Penggugat kurang berjalan lancar akibatnya Penggugat
tersebut mengalami kendala untuk memenuhi kewajibannya kepada
Tergugat A sehingga terjadi beberapa kali tunggakan yang nilainya
13.310.000 (tiga belas juta tiga ratus sepuluh ribu rupiah). Karena merasa
tidak terima dengan tunggakan Penggugat tersebut, Tergugat A melalui
suratnya tanggal 24 Juni 2011 telah memerintahkan Penggugat untuk
mengosongkan rumah yang terletak diatas tanah yang dijadikan jaminan
hutang tersebut.
Kemudian, pada tanggal 8 Juni 2011 petugas dari Tergugat A
datang ke lokasi dimana jaminan tanah itu berada untuk memberitahu
bahwa barang jaminan Penggugat tersebut akan dilelang. Akan tetapi
dengan kedatangan Tergugat A, Penggugat merasa keberatan dan
dipermalukan didepan tetangga dan keluarganya sehingga Penggugat
memperkarakan kasus ini ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Kota Padang (BPSK).
Akan tetapi dengan diadukannya perara ini ke BPSK Kota Padang
seluruh amar putusan dari Majelis BPSK Kota Padang tersebut sama sekali
tidak dipedulikan oleh Tergugat A. Bahkan Tergugat A tetap
memerintahkan Penggugat untuk mengosongkan rumahnya saja dan
berupaya melelang tanah dan rumah Penggugat ke Kantor Lelang Padang
pada tanggal 15 Desember dan telah mengumumkan lelang eksekusi hak
tanggungan pada surat kabar Harian Singgalang.
58
Menurut dalil Penggugat hal ini merupakan perbuatan melawan
hukum, karena sebagaimana diperjanjikan dalam Kontrak No. 027/ULS-
LBB/MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009, bahwa perjanjian pembiayaaan
ini berlaku untuk jangka waktu 48 (empat puluh delapan) bulan, terhitung
sejak tanggal 7 Juli 2009 sampai dengan tanggal 7 Juli 2013, dengan
demikian masih ada sisa waktu 20 bulan lagi barulah perjanjian tersebut
berakhir. Menurutnya perbuatan Tergugat A tersebut sangat merugikan
Penggugat, karena jika dilihat dari jangka waktu perjanjian masa jatuh
tempo masih jauh. Pelelangan jaminan tersebut barulah dapat dilaksanakan
apabila pada tanggal 7 Juli 2013 ini Penggugat tidak dapat menyelesaikan
kewajibannya barulah Penggugat dapat disebut telah ingkar janji. Karena
masa kontrak masih berlangsung dan belum jatuh tempi maka Tergugat A
tidak dapat melakukan pelelangan eksekusi hak tanggungan tersebut.
Bahwa berdasarkan dalil-dalil dan berbagai pertimbangan, Majelis
Hakim Pengadilan Agama Padang telah mengambil putusan untuk
menerima gugatan Penggugat dengan alasan bahwa margin keuntungan
yang diambil tegugat A tidak sah karena bertentangan dengan syariat
Islam dan perbuatan yang telah dilakukan Tergugat A adalah perbuatan
melawan hukum dan merugikan Penggugat dan menyatakan bahwa tidak
sah dilakukan lelang eksekusi atas hak tanggungan milik Penggugat.
Selanjutnya dikarena merasa tidak terima dengan amar putusan
tersebut, Tergugat menyangkal dalil gugatan dipersidangan sebelumnya
dan mengajukan gugatan balik (rekonvensi) dengan dalil-dalil sebagai
berikut:
- Bahwa Tergugat Rekonvensi (Emidawati) telah berhutang dan
mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pembiayaan yang telah
diberikan Penggugat berdasarkan Akad Murabahah No. 027/ULS-
LBBY/MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009 sebagaimana telah diubah
dengan Akad Restrukturasi/Rescheduling Murabahah No.
005/MUS/PDG-LBBY/RST/X/2010 tanggal 7 Oktober 2010.
59
- Bahwa terhitung sejak tanggal 7 Februari 2010 Tergugat telah tidak
melakukan pembayaran angsuran, sehingga Tergugat A/Penggugat
Rekonvensi menyampaikan Surat Peringatan Tertulis 3 (tiga) kali
berturut-turut.
- Bahwa setelah disampaikan Surat Peringatan, terhadap pembiayaan
Tergugat dilakukan upaya penyelamatan dengan dilakukannya
restrukturasi dengan harapan apabila angsuran diperkecil dan jangka
waktu diperpanjang Tergugat dapat melanjutkan pembayaran angsuran
tiap bulannya. Namun pada kenyataannya setelah dilakukan
restrukturasi pembiayaan Tergugat tetap tidak dapat melakukan
pembayaran angsuran.
- Bahwa dengan tidak melaksanakan pembayaran sesuai dengan jumlah
dan waktu angsuran maka Tergugat selaku debitur dapat dinyatakan
telah lalai/wanprestasi.
Persidangan tingkat pertama ini pada akhirnya dimenangkan oleh
pihak Tergugat A/Penggugat Rekonvensi (PT. Permodalan Nasional
Madani) dengan nomor putusan yaitu No. 907/PdtG/2011/PA.Pdg pada
tanggal 15 Agustus 2012. Karena merasa keberatan dengan putusan pada
tingkat pertama, Emidawati mengajukan perkara ini ke tingkat banding.
Dan usaha Emidawati pada persidangan ditingkat banding tidak sia-sia
dikarenakan dia memenangkan perkara tersebut dengan putusan No.
46/Pdt.G/2012/PTA.PDG tertanggal 26 Desember 2012. Namun tidak
berhenti sampai tingkat banding, pihak PT. Permodalan Nasional Madani
masih tidak mau menyerah akan hasil putusan tersebut kemudian kasus ini
dibawa pada tingkat Kasasi.
Alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Tergugat A
dalam memori kasasinya pada pokoknya ialah bahwa Pengadilan Tinggi
Agama telah salah dalam menerapkan hukum atau melanggar hukum serta
lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan sehingga putusan Pengadilan Tinggi Agama harus dibatalkan.
Berdasarkan pertimbangan, Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-
60
alasan dari Pemohon Kasasi tersebut dapat dibenarkan dan Pengadilan
Tinggi Agama Padang telah salah menerapkan hukum, pertimbangannya
sebagai berikut:
1. Menimbang berdasarkan fakta bahwa pada bulan Juni 2009
Penggugat telah mengajukan pembiayaan terhadap Tergugat A,
dan Penggugat sudah setuju prinsip pembayaran pada tanggal 2
Juli 2009 dan dilanjutkan dengan akad jual beli Murabahah pada
tanggal 7 Juli 2009 dengan jaminan sebidang tanah beserta
bangunan diatasnya. Awalnya Penggugat lancar-lancar saja
membayar angsuran pembiayaan tersebut. Namun setelah itu
angsuran macet, lalu diadakan restrukturasi akad Murabahah
dengan memperkecil cicilan dan memperpanjang masa
pengembalian pembiayaan, akan tetapi setelah dilakukan hal ini
tetap terjadi macet dalam pembayaran.
2. Menimbang persetujuan yang sudah di buat oleh Penggugat dan
Tergugat A telah dilakukan secara sukarela dan tanpa paksaan.
Mengenai besar kecilnya margin keuntungan yang diperoleh
Tergugat A otomatis telah masuk ke dalam persetujuan Penggugat,
maka tidak ada alasan hukum untuk mengingingkari perjanjian
yang telah dibuatnya.
3. Tentang keberatan Penggugat terhadap Tergugat A mengenai
perintah untuk mengosongkan rumah Penggugat dan pengumuman
tanah akan dilelang, hal ini sudah termasuk konsekuensi dari
perjanjian yang telah dibuat Penggugat dan Tergugat A.
Berdasarkan perjanjian Tergugat A telah diberi kuasa atas jaminan
tanah tersebut guna mendapat pelunasan piutannya dari Penggugat,
dengan demikian hal ini tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan
melawan hukum
Dalam isi putusan hakim memutuskan untuk mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. PERMODALAN
NASIONAL MADANI (Persero) Pusat di Jakarta cq. Cabang Padang dan
61
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang No.
46/Pdt.G/2012/PTA.PDG yang membatalkan putusan Pengadilan Agama
Padang No. 907/Pdt.G/2011/PA.PDG, dan menghukum Termohon Kasasi:
EMIDAWATI untuk membayar biaya perkara serta pengeksekusian
jaminan tanah miliknya untuk kepentingan pelunasan pembiayaan yang
dilakukannya kepada PT. Permodalan Nasional Madani (Persero).
B. Analisis Putusan No. 362 K/AG/2013 PA Padang
Awal mula permasalahan dari putusan No. 362 K/AG/2013 PA
Padang adalah dimulai dari kesepakatan antara pihak penggugat dan
tergugat dalam Perjanjian akad Murabahah No. 027/ULS-
LBBY/MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009 yang menyatakan bahwa
penggugat dan tergugat telah sama-sama terikat dalam sebuah perjanjian
dan perjanjian tersebut berlaku bagi yang membuatnya. Hal ini
berdasarkan pada pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan “Semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”. Pasal tersebut menjelaskan tentang asas
kebebasan berkontrak, yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak
adalah bahwa seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak
manapun yang dikehendakinya, yaitu bebas menentukan bentuk
kontraknya apakah dibuat secara lisan atau tertulis, isi kontraknya, dan
syaratnya. Asas kebebasan berkontrak ini bertujuan untuk melindungi hak
dan kewajiban para pihak yang membuat perjanjian.
Namun asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak,
tetapi ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH
Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak
terbatas. Berikut adalah beberapa batasan dari asas kebebasan berkontrak
ini:1
a) Kesepakatan para pihak. Pasal 1320 ayat (1) menentukan bahwa
perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya sepakat
1https://www.kompasiana.com/suwandymardan/55001bbaa33311d37250fc23/asas-
kebebasan-berkontrak-dalam-hukum-perjanjian-di-indonesia
62
dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung
pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi
perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas
kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak.
b) Ketentuan perundang-undangan. Pasal 1320 jo. 1337 menentukan
bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang
menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang. Jika isi
perjanjian terdapat hal-hal yang dilarang oleh undang-undang maka
perjanjian itu batal demi hukum.
c) Itikad baik para pihak. Pasal 1338 ayat (3) menegaskan bahwa
perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dari
bunyi pasal tersebut menunjukkan bahwa kebebasan berkontrak
dibatasi oleh itikad baik masing-masing pihak. Jika dalam perjanjian
itu terdapat salah satu pihak yang beritikad jahat, maka perjanjian
tersebut dapat dibatalkan atau ditarik kembali.
Menurut penulis terkait kebebasan berkontrak dalam perjanjian
pembiayaan murabahah No. 027/ULS-LBBY/MUS/VII/09 sudah sesuai,
karena perjanjian pembiayaan tersebut telah disepakati sejak awal oleh
kedua belah pihak, serta pihak debitur sudah menerima pembiayaan yang
diberikan pihak kreditur . Dengan demikian kedua belah pihak sudah
menyepakati isi perjanjian pembiayaan akad murabahah No. 027/ULS-
LBBY/MUS/VII/09.
Selain asas kebebasan berkontrak, terdapat asas lain yang harus ada
dalam sebuah kontrak perjanjian yaitu asas pacta sunt servanda. Yang
dimaksud asas pacta sunt servanda adalah “kontrak itu mengikat” dengan
kata lain para pihak yang terkait dengan kontrak harus menepati hak dan
kewajiban masing-masing atau memenuhi semua isi di dalam perjanjian
yang telah dibuat dan disepakati.
Namun dalam putusan No. 362 K/A/2013 dijelaskan bahwa para
pihak tidak merealisasikan asas pacta sunt servanda dengan baik. Faktanya
bahwa pihak debitur tidak menjalankan kewajibannya sesuai perjanjian
63
padahal sejak awal sudah sepakat untuk memenuhi kewajibannya kepada
kreditur. Hal ini disebabkan usaha peternakan ayam milik debitur kurang
berjalan lancar akibatnya mengalami kendala untuk memenuhi
kewajibanna sehingga terjadi tunggakan. Debitur tidak melakukan
pembayaran cicilan atas pelunasan hutangnya dan dianggap telah cidera
janji oleh kreditur.
Dan dampak dari hal ini pihak kreditur pun juga tidak memenuhi
hak dari debitur. Yaitu kreditur hendak mengeksekusi jaminan milik
debitur padahal jangka waktu perjanjian belum jatuh tempo. Hal ini
sebagaimana diperjanjikan dalam Kontrak No. 027/ULS-
LBB/MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009, bahwa perjanjian pembiayaaan
ini berlaku untuk jangka waktu 48 (empat puluh delapan) bulan, terhitung
sejak tanggal 7 Juli 2009 sampai dengan tanggal 7 Juli 2013, dengan
demikian masih ada sisa waktu 20 bulan lagi barulah perjanjian tersebut.
Dengan demikian hal ini tidak sesuai dengan asas pacta sunt servanda
yang seharusnya menjadikan perjanjian sebagai undang-undang dan secara
otomatis tidak dapat dilanggar oleh kedua belah pihak yang terkait. Karena
pembuatan perjanjian didasarkan pada asas kebebasan berkontrak yang
memang perjanjian ini dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak yang
ingin menciptakan sebuah perjanjian, dam asas pacta sunt servanda yang
menjadikan kontrak atau perjanjian tersebut sebagai undang-undang atau
aturan bagi para pihak yang membuat perjanjiannya.
Setelah pemberlakuan asas kebebasan berkontrak dan pacta sunt
servanda, terdapat asas lain yang berkaitan dengan analisis penelitian ini.
Karena pembahasan penulis fokus pada pandangan 2 (dua) segi hukum
maka asas yang berkaitan adalah perbandingan hukum, kepastian hukum
dan keadilan. Tiga asas ini saling berkaitan, menganalisis dengan cara
membandingkan dua sisi hukum yaitu hukum positif dan hukum Islam lalu
dipastikan bahwa hukum dijalankan dengan baik sehingga tidak
menimbulkan kerugian bagi siapapun. Dan dalam asas kepastian hukum,
tidak boleh ada hukum yang saling bertentangan, hukum harus dibuat
64
dengan rumusan yang bisa dimengerti oleh masyarakat umum dan
dampaknya terhadap keadilan bagi yang melaksanakannya. Adapun
analisis pebandingan hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Analisis Kasus Perspektif Hukum Positif
Berdasarkan kasus diatas dapat dipahami bahwa awal
permasalahan timbul karena Penggugat (Emidawati) sebagai nasabah
Tergugat A (PT. Permodalan Nasional Madani) tidak melaksanakan
kewajibannya terhadap Tergugat A. Sehingga berdampak pada
tindakan Tergugat A yang akan mengeksekusi jaminan tanah milik
Penggugat untuk kepentingan pelunasan hutangnya.
Ketentuan tentang jaminan atas tanah terdapat pada UU No. 4
Tahun 1996 (UUHT)2 dan UU No. 5 Tahun 1960 menyebutkan bahwa
jaminan atas tanah yaitu jaminan “berikut atau tidak berikut benda-
benda lain yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap keridur-kreditur lain.3
Berdasarkan pengertian tersebut bahwa jika debitur cidera janji,
kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama berhak menjual melalui
pelelangan umum atas benda tidak bergerak yang dijaminkan menurut
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Mengenai kreditur yang berhak menjual barang jaminan
sebagaimana disebutkan di atas, hal ini didukung oleh ketentuan Pasal
6 (UUHT). Jika dihubungkan dengan kasus perkara, akibat dari kredit
macet maka konsekuensinya sebidang tanah atas jaminan pembiayaan
yang dilakukan Penggugat (Emidawati) kepada Tergugat A (PT.
Permodalan Nasional Madani) terancam di eksekusi untuk tujuan
pelunasan hutangnya. Pelaksanaan eksekusi atas jaminan tanah
2 Pasal 1 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan bahwa yang dimaksud
dengan Hak Tanggungan adalah jaminan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah. 3 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
65
tersebut mengacu pada Pasal 6 UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan yang berbunyi “Apabila debitur cidera janji, pemegang
Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.4
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, penulis sependapat bahwa
Penggugat telah lalai karena perbuatannya dan dapat disebut telah
cidera janji, maka obyek jaminan tanah atas pembiayaan tersebut
berhak untuk dieksekusi guna mengambil pelunasan dari penjualan
jaminan tanah tersebut.
Lalu dalam dalil Tergugat A bahwa Penggugat tidak membayar
angsurannya selama beberapa bulan dan Tergugat menganggapnya
telah lalai/wanprestasi. Mengenai hal ini Penggugat (nasabah) dapat
dinyatakan lalai/wanprestasi dengan mengacu pada ketentuan Pasal
1238 KUH Perdata yang berbunyi, “Si berhutang adalah lalai, apabila
ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini
menetapkan bahwa si berhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya
waktu yang ditentukan”.5 Jika Pasal tersebut dihubungkan dengan
kasus yang terjadi, maka Penggugat sebagai nasabah memang dapat
dikatakan wanprestasi karena tidak melaksanakan kewajibannya
kepada Tergugat A dan setelah disampaikan somasi tiga kali tetap saja
terjadi kredit macet.
Akan tetapi pada Pasal 1238 KUH Perdata terdapat kata-kata
“dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Jika
dihubungkan dengan jangka waktu perjanjian antara Penggugat dan
Tergugat A bahwa pada Kontrak No. 027/ULS-LBB/MUS/VII/09
perjanjian pembiayaan tersebut berlaku untuk jangka waktu 48 (empat
puluh delapan) bulan, terhitung sejak tanggal 7 Juli 2009 sampai
4 Lihat Pasal 6 UU N0. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
5 Lihat Pasal 1238 KUH Perdata.
66
dengan 7 Juli 2013. Dengan demikian masih ada waktu selama 20
bulan lagi barulah perjanjian itu berakhir.
Menurut penulis tindakan Tergugat A untuk mengeksekusi
jaminan tanah milik Penggugat adalah tindakan yang kurang tepat,
disebabkan jika dihitung dari jangka waktu perjanjian tersebut masih
belum jatuh masa temponya. Pelelangan (eksekusi) atas jaminan
tersebut barulah dapat dilaksanakan apabila pada tanggal 7 Juli 2013
ternyata Penggugat belum juga menyelesaikan kewajibannya kepada
Tergugat A. Oleh karena itu sepanjang masa kontrak masih
berlangsung, maka Tergugat A tidak dapat melakukan pelelangan
eksekusi hak tanggungan (tanah) tersebut.
Alasan lain bahwa eksekusi jaminan tersebut tidak sah bahwa
pelaksanaan lelang Hak Tanggungan tersebut tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 20 angka (3) UU Hak
Tanggungan. Dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa persyaratan
pelaksanaan lelang eksekusi diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2
(dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.6 Namun
pada nyatanya pihak Tergugat mengumumkan lelang hanya melalui 1
(satu) surat kabar yaitu pada sebuah koran Harian Singgalang tanggal 1
Desember 2011. Dengan demikian, dikarenakan pengumuman yang
dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Hak Tanggungan
sehingga dapat dikatakan batal demi hukum (Pasal 20 angka (4) UU
Hak Tanggungan).
Pernyataan tersebut terdapat pada pertimbangan Pengadilan
Tinggi Agama Padang pada tingkat banding. Dan menurut penulis,
pertimbangan Hakim tersebut sudah sangat tepat sebagai alasan
memenangkan pihak debitur (Penggugat). Namun pada tingkat kasasi
hal ini berbanding terbalik sehingga pihak debitur (Penggugat) menjadi
pihak yang kalah dan Tergugat yang memenangkan kasus ini.
6 Lihat Pasal 20 Angka (3), UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
67
2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Islam
Perjanjian pembiayaan atas akad Murabahah antara Penggugat
dan Tegugat A dalam kontrak perjanjian jual beli/dan pembiayaan ini
berlaku selama 48 bulan terhitung dari tanggal 7 Juli 2009 sampai
dengan 7 Juli 2013. Penggugat sebagai nasabah sudah melaksanakan
kewajibannya dengan mengangsur hutangnya sebanyak 28 bulan
sehingga tersisa 20 bulan lagi untuk mencapai pelunasan.
Namun, Pertimbangan Majelis Hakim dalam putusannya
adalah termasuk hal yang memberatkan Penggugat (nasabah). Yang
memberatkan nasabah ialah terkait tindakan pengeksekusian jaminan
tanah yang akan dilakukan Tergugat A padahal masa jatuh tempo
dalam perjanjian tersebut belum tiba (masih 20 bulan lagi).
Menurut hukum Islam, sebelum dilakukan tindakan terakhir
yaitu mengeksekusi jaminan tersebut hendaklah debitur memberikan
keringanan terhadap hutangnya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 124
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yaitu, “Dalam hal
pembeli mengalami penurunan kemampuan dalam pembayaran cicilan,
maka ia dapat diberi keringanan”.7
Al-Quran menyatakan bahwa memberikan keringanan atas
utang piutang itu adalah perbuatan baik yang dianjurkan dan dapat
sama dengan bersedekah kepada orang yang sedang dalam kesulitan.
Hal tersebut dijelaskan di dalam Q.s. Al-Baqarah (2): 280:
ن س تصدقاخ أ سسة ي إن فظسة ذػسسة كا إ تى ك كىإ
)انبقسة282:2( تؼه
Artinya: “Dan jika orang yang berutang itu dalam kesukaran,
maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.”
7 Pasal 124 Ayat (2), Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Buku II tentang Akad,
(Bandung: FOKUSMEDIA, 2008), h.39.
68
Keringanan wajib diberikan kepada Penggugat karena
Penggugat melakukan tunggakan angsuran bukan karena dia tidak mau
melunasi kewajibannya tetapi karena Penggugat dalam keadaan tidak
mampu melaksanakan kewajibannya yang disebabkan usaha ternak
ayamnya dalam kondisi kurang lancar. Oleh karena itu Tergugat A
wajib memberikan keringanan kepada Penggugat dikarenakan dari
pihak Penggugat bisa dikatakan masih ada itikad baik untuk melunasi
hutangnya.
Berkaitan dengan pembiayaan yang dilakukan lembaga
pembiayaan syariah, Islam pada dasanya lebih mengutamakan adanya
kebaikan (kemaslahatan). Kemaslahatan tersebut dimanfaatkan untuk
pengembangan usaha di dalam masyarakat, adanya jaminan bukanlah
untuk menahan harta, akan tetapi untuk menghindari kemudharatan
dan lebih menjaga kepercayaan diantara pihak kreditur dan debitur
(nasabah) yang meminjam uang. Adapun kaidah fikih yang sesuai
dengan hal ini yaitu:
سزصالا نض
Artinya: “Kemudharatan itu harus dihilangkan”
Kemudharatan yang dimaksud ialah risiko yang bisa saja
terjadi apabila nasabah tidak dapat melunasi kewajibannya kepada
kreditur. Sebagai contoh jika pembiayaan tidak disertakan jaminan lalu
nasabah cidera janji bisa saja dia melarikan diri dan merugikan pihak
kreditur karena piutangnya belum dilunasi. Dengan demikian adanya
penyertaan jaminan akan terjadi rasa saling tanggung jawab dan akan
tertanam nilai-nilai dasar dari syariah yang timbul dari kepercayaan
kedua belah pihak dalam perjanjian pembiayaannya.
Pasal 363 KHES menyatakan “Apabila telah jatuh tempo,
pemberi gadai dapat diwakilkan kepada penerima gadai atau
penyimpan atau pihak ketiga untuk menjual harta gadainya”.8 Pasal
8 Pasal 363, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Buku II tentang Akad,
(Bandung: FOKUSMEDIA, 2008), h.81..
69
tersebut menjelaskan tentang gadai, tetapi jika dibandingkan dengan
pembiayaan Murabahah terdapat kesamaan yaitu pada prinsipnya
sama-sama mengikatkan suatu jaminan untuk kelangsungan
pembiayaan yang telah diberikan si kreditur kepada debitur. Jika
dihubungkan dengan perkara Nomor 362K/AG/2013, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa tindakan Tergugat A (kreditur) untuk
mengeksekusi atau menjual jaminan Penggugat adalah tindakan yang
tidak tepat karena dari isi pasal tersebut dijelaskan bahwa harta gadai
(jaminan) dapat dijual apabila telah jatuh tempo. Sedangkan masa
berlaku perjanjian Murabahah masih belum berakhir, maka jaminan
tanah dalam perjanjian pembiayaan akad Murabahah tersebut tidak
dapat dieksekusi.
Pengaturan lebih dijelaskan dalam Fatwa DSN MUI No.
47/DSN-MUI/II 2005 tentang Penyelesaian Piutang Bagi Nasabah
Tidak Mampu Bayar menyatakan “LKS boleh melakukan penyelesaian
(settlement) murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/
melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah
disepakati, dengan ketentuan:
a. Obyek murabahah atau jaminan lainnya dijual oleh nasabah
kepada atau melalui LKS dengan harga pasar yang
disepakati;
b. Nasabah melunasi sisa utangnya kepada LKS dari hasil
penjualan;
c. Apabila hasil penjualan melebihi sisa utang maka LKS
mengembalikan sisanya kepada nasabah;
d. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa utang maka sisa
utang tetap menjadi utang nasabah;
e. Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa utangnya,
maka LKS dapat membebaskannya.
Menurut penulis tindakan eksekusi jaminan terhadap akad
murabahah dalam kontrak No. 027/ULS-LBBY/MUS/VII/09
70
merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Karena
jika merujuk ketentuan-ketentuan Hukum Islam yang telah dipaparkan
sebelumnya, dijelaskan bahwa boleh menjual atau mengeksekusi
jaminan apabila waktu perjanjian pembiayaan telah jatuh tempo.
Walaupun Tergugat A (PT. Permodalan Nasional Madani) sebagai
kreditur telah melakukan upaya somasi ataupun rescheduling akad
terhadap kontrak perjanjian, maka tetap saja apabila jangka waktu
berlakunya perjanjian belum berakhir Penggugat sebagi debitur masih
mempunyai hak untuk mempertahankan harta jaminannya agar tidak
dieksekusi.
Selain itu terjadinya tunggakan dalam pembiayaan Murabahah
ini bukan disebabkan oleh kesengajaan Penggugat untuk tidak mau
membayar angsuran tiap bulannya, melainkan terjadi kendala dalam
usahanya yang menyebabkan dia tidak mampu melakukan
kewajibannya.
Menurut analisa penulis pertimbangan Majelis Hakim pada
tingkat kasasi perkara ini untuk memenangkan pihak Pemohon
Kasasi/Tergugat A (kreditur) adalah keputusan yang kurang adil.
Sebab jika dilihat dari persidangan sebelumnya di Pengadilan Tinggi
Agama Padang, pihak Termohon Kasasi/Penggugat telah
memenangkan perkara ini sebanyak 2 (dua) kali yaitu pada tingkat
pertama dan tingkat banding.
Pada dua persidangan sebelumnya Majelis Hakim Pengadilan
Agama Padang dalam putusannya mempertimbangkan dari segi
margin keuntungan yang diperoleh kreditur. Menurut dalil Penggugat
(debitur) margin keuntungan yang telah ditetapkan yaitu 76,5% terlalu
besar dan tidak sanggup ditanggung oleh Penggugat karena tidak
sesuai syariat Islam. Namun dalil tersebut tidak dapat diterima oleh
Pengadilan Tinggi Agama karena margin keuntungan tersebut
termasuk ke dalam kesepakatan kedua belah pihak dalam akad
Murabahah.
71
Perlu diketahui bahwa syariat Islam tidak ada batasan
keuntungan. Keuntungan bisa saja banyak, bisa pula sedikit. Kecuali
jika sudah ada batasan harga di pasaran dengan harga tertentu, maka
tidak boleh konsumen dikelabui saat itu. Produsen boleh saja menjual
barang tersebut sesukanya dengan harga yang ia inginkan walau
dengan keuntungan 30%, 50%, atau sampai 100%. Akan tetapi sebagai
seorang mukmin hendaknya memudahkan saudaranya. Hendaknya ia
tetap suka walau mendapatkan keuntungan sedikit.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa penetapan
margin keuntungan yang dianggap terlalu besar oleh Penggugat
(debitur) tidak bisa dijadikan alasan gugatan tersebut, sebab syariat
Islam pun tidak membatasi jumlah keuntungan yang dilakukan
umatnya dan mengenai jumlah margin keuntungan sebesar 76,5%
tersebut sudah menjadi kesepakatan bersama dalam perjanjian akad
Murabahah. Namun, sebagai umat muslim sebaiknya harus
memperhatikan kondisi pihak debitur sebelum menetapkan berapa
besar margin keuntungan yang akan diambil. Terkadang seseorang
lupa akan etika jual beli, sehingga memiliki kecenderungan untuk
meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya tanpa memerhatikan
orang lain (debitur).
Dua perspektif hukum di atas menjelaskan bahwa perbandingan
antara hukum positif dan hukum Islam saling bertentangan dalam
mengatur permasalahan eksekusi jaminan yang belum jatuh tempo. Dapat
diambil kesimpulan perspektif hukum positif membolehkan pelaksanaan
eksekusi jaminan walaupun masa jatuh tempo perjanjian belum berakhir,
dan sebaliknya dengan perspektif hukum Islam lebih bahwa
pengeksekusian baru dapat dilakukan apabila telah jatuh tempo. Perbedaan
pandangan hukum ini menjadikan tidak adanya kepastian hukum yang
mengatur tentang eksekusi jaminan yang belum jatuh tempo. Terlebih lagi
dalam hukum Islam belum diatur lebih lanjut mengenai prosedur
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan bab-bab terdahulu maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Eksekusi jaminan terhadap akad Murabahah yang belum jatuh tempo
perspektif hukum positif menurut UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan eksekusi jaminan diperbolehkan dengan tujuan
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil lelang jaminan tersebut.
Bahkan menurut ketentuan HIR dan R.Bg membolehkan pihak yang
menang untuk memaksa pihak lawannya guna mematuhi keputusan
hakim untuk menghukum dengan mengeksekusi jaminan.
Boleh tidaknya mengeksekusi jaminan sebelum jatuh tempo tiba
adalah tergantung pada perjanjian pembiayaan yang dilakukannya.
Klausul cidera janji biasanya dijelaskan batasan waktu seorang debitur
dapat dianggap telah berbuat wanprestasi. Namun, jika tidak ada
klausul tersebut menurut Pasal 6 UUHT secara hukum kreditur berhak
atas kekuasaanya sendiri untuk menjual obyek Hak Tanggungan
tersebut melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi
dari pihak debitur.
2. Sedangkan menurut Hukum Islam eksekusi jaminan yang belum jatuh
tempo adalah tidak sah. Karena eksekusi hak tanggungan atas akad
murabahah harus menunggu pelunasan jatuh tempo. Hal ini diatur
dalam Fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002. Alasan cidera janji
dalam KUHPerdata tidak tepat sebagai alasan gugat dalam akad
murabahah yang belum jatuh tempo. Seorang debitur dapat dikatakan
cidera janji dalam akad murabahah apabila nasabah tersebut telah
tidak memenuhi pembayaran angsuran dan telah jatuh tempo. Proses
penyitaan (eksekusi) jaminan dapat dilakukan apabila debitur sudah
benar-benar tidak mampu membayar atau tidak punya itikad baik maka
75
pihak kreditur bisa melakukan penyitaan terhadap jaminan yang telah
dilakukan pengikatan terhadap barang jaminan tersebut serta masa
berlaku perjanjian telah jatuh tempo. Hukum Islam tidak menentang
dilaksanakannya eksekusi jaminan, namun ketika debitur cidera janji
dikarenakan kondisi ketidak mampuannya maka syariat
memerintahkan kepada kreditur untuk memberikan keringanan dan
kelonggaran terlebih dahulu alih-alih langsung mengeksekusi jaminan
tersebut.
3. Eksekusi jaminan dapat dilakukan sebelum jatuh tempo merujuk pada
Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan dan Pasal 1267
KUHPerdata. Mengatur bahwa apabila debitur melakukan cidera janji,
eksekusi sah dan valid dilakukan meskipun masa perjanjian belum
berakhir. Dan terhadap pelaksanaan eksekusi yang demikian, debitur
tidak dapat mengajukan partij verzet (perlawanan terhadap sita
eksekusi) berdasarkan Pasal 207 HIR, Pasal 225 RBg.
B. Saran
1. Pemerintah hendaknya meninjau lagi tentang pertentangan kedua
hukum ini dan membuat peraturan lebih lanjut tentang teknis
pengeksekusian dari segi hukum Islam agar tidak membingungkan dan
merugikan masyarakat.
2. Majelis Hakim harus lebih meninjau kembali pada peraturan sumber
hukum Islam dalam pertimbangannya, karena perkara No. 362
K/AG/2013 dalam kontrak perjanjian pembiayaanya menggunakan
akad syariah yaitu akad Murabahah.
3. Bagi Tergugat (PT. Permodalan Nasional Madani), harap lebih
diperhatikan kembali mengenai masa berlaku perjanjian sebelum
mengambil keputusan mengeksekusi jaminan milik Penggugat
(Emidawati).
76
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdurrachman, M. 2005. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Penerbit Universitas
Trisakti.
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin. 2010. Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Al-Albani, M. Nashiruddin. 2007. Ringkasan Shahih Bukhari. Depok: Gema
Insani.
Ali, Mohammad Daud. 2015. HUKUM ISLAM Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pres.
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani Press.
Ascarya. 2011. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, Cet. Ketiga.
Badrulzaman, Mariam Darus. 1998. Kerangka Hukum Jaminan Indonesia dalam
Hukum Jaminan Indonesia Seri Dasar Hukum Ekonomi 4. Bandung: PT.
Cita Aditya Bakti.
Darmohardjo, Dardji. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan Bagaimana
Filsafat Hukum Di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Djamil, Fathurrahman. 2013. Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi di
Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Fatwa DSN No. 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. 2014. Himpunan
Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional MUI. Penerbit
Erlangga.
Fuadi, Munir. 2013. Hukum Jaminan Utang. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Fuady, Munir. 2013. Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory). Jakarta:
Kencana.
Harahap, M. Yahya. 2007. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang
Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
77
Hartono, Suharjati, 1991. Kapita Selekta Perbandingan Hukum. Citra Adititya
Bakti.
Hejazziey, Djawahir. 2014. Perbankan Syariah dalam Teori dan Praktik.
Yogyakarta: Deepublish.
HS, Salim. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo.
HS, Salim dan Erlies Septiana Nurbani. 2015. Perbandingan Hukum Perdata
Comparative Civil Law. Jakarta: Rajawali Pres.
Hutagalung, Sophar Maru. 2012. Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika.
Ismail. 2011. Perbankan Syariah. Jakarta: Kencana.
Jahar, Asep Saepudin, Euis Nurlaelawati dan Jaenal Aripin. 2013.Hukum
Keluarga, Pidana & Bisnis:Kajian Peundang-Undangan Indonesia, Fikih
dan Hukum Internasional. Jakarta:Kencana.
Janwari, Yadi. 2015. Lembaga Keuangan Syariah. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Lathif, Ah. Azharuddin. 2005. Fiqh Muamalat. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Joachim Friedrich, Carl. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nusamedia.
Manan, Abdul. 2008. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama.Jakarta: Kencana.
Mardani. 2013. Hukum Periatan Syariah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Moloeng, Lexy J. 2012. Metodologi Peneltian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Rakesarasin.
Purnamasari, Irma Devita. 2011. Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer: Kiat-
Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Jaminan
Perbankan. Bandung: Mizan Media Utama(MMU).
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. 2001. Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-
Pokok Hukum Jaminan san Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty
Offset Yogyakarta.
78
Sugeng, Bambang dan Sujayadi. 2013. Pengantar Hukum Acara Perdata dan
Contoh Dokumen Litigasi. Jakarta: Kencana.
Sunggono, Bambang. 2003. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Subekti. 1989. Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta.
Sudarsono, Heri. 2008. Bank & Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan
Ilustrasi. Yogyakarta: EKONISIA.
Sunaryo. 2013. Hukum Lembaga Pembiayaan. Jakarta: Sinar Grafika.
Suyatno, H.R.M. Anton. 2016. Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Kredit
Macet Melalui Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses
Gugatan Pengadilan. Jakarta: Kencana.
Syahdeini, Sutan Remi. 1996. Hak Tanggungan: Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan
Pokok dan Masalah-Masalah yang Dihadapi Oleh Pihak Perbankan,
Suatu Kajian Mengenai UUHT. Surabaya: Airlangga University Press.
Syukri Albani Nasution, Muhammad, dkk. 2016. Hukum Dalam Pendekatan
Filsafat. Jakarta: Kencana.
Waluyo, Bambang. 2008. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta: Sinar
Grafika.
Wasilah, Sri Nurhayati . 2008. Akuntansi Syari’ah di Indonesia. Jakarta: Salemba
4.
Zainuddin. 2005. Hukum Gadai Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Jurnal:
Nasyi’ah, Iffaty dan Asna Jazillatul Chusna. 2012. “Implementasi Prinsip Syariah
Terhadap Penyitaan Jaminan Fidusia, de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum”,
Volume 4 Nomor 2.
Triana, Nita. 2016. “Eksekusi Hak Tanggungan pada Perbankan Syariah di
Pengadilan Agama Purbalingga”. Penelitian DIPA Institut Agama Islam
Negri Purwokerto.
79
Website:
Bastary, M. Luqmanul Hakim. Eksekusi Putusan Perkara Perdata, www.pta-
bandung.go.id/uploads/arsip/1491Eksekusi_Perkara_Perdata.pdf, diakses
pada tanggal 24 Juli 2018 pukul 14.20 WIB.
https://andigunawan03.wordpress.com/2011/04/16/hak-jaminan/ diakses pada
tanggal 25 September 2018, pukul 00.16 WIB
https://konsultanhukum.web.id/3-cara-mengeksekusi-tanah-benda-yang-menjadi-
jaminan-utang/, diakses pada tanggal 31 Juni 2018 pukul 10.51 WIB.
http://www.pengertianmenurutparaahli.com/pengertian-asas-kepastian-hukum/,
diakses pada 3 Januari 2019 pukul 11.28.
Salam, Abdul. 2018. “Problem Hukum Eksekusi Hak Tanggungan atas Dasar
Wanprestasi terhadap Akad Murabahah”, Wakil Ketua Pengadilan Agama
Mataram,(http://arsip.pta-mataram.go.id/sys
content/uploads/file/eDoc/Artikel/Artikel_Abd_Salam_2017-04-
25_Eksekusi_Hak_Tanggunan_Atas_Dasar_Wanprestasi_dalam_Akad_M
urabahah.pdf) diakses pada tanggal 27 September 2018 pukul 11.00 WIB.
Undang-Undang:
Pasal 1 Ayat 26. UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Pasal 1131, 1132, 1238 KUH Perdata
Pasal 195-197, dan 225 HIR
Pasal 208 dan 229 RBg
Pasal 1, 6, 14, 20 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT)
Pasal 124, 363 dan 364 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah) KHES
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Fatwa DSN-MUI
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P U T U S A N
No. 362 K/AG/2013
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
M A H K A M A H A G U N G
memeriksa perkara perdata agama dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai
berikut dalam perkara :
PT. PERMODALAN NASIONAL MADANI (Persero) Pusat di
Jakarta cq. Cabang Padang di Jalan Ahmad Yani No. 39 A Padang,
dalam hal ini memberi kuasa kepada DENNY CHRISTYANTO, dan
kawan-kawan, berkantor di Jalan Ahmad Yani No. 39 A Padang,
Pemohon Kasasi dahulu Tergugat A/ Terbanding I;
m e l a w a n :
EMIDAWATI. C, bertempat tinggal di Toboh Apar Kenagarian Toboh
Gadang, Kecamatan Sintuak Toboh Gadang, Kabupaten Padang
Pariaman, dalam hal ini memberi kuasa kepada ASNIL ABDILLAH,
S.H. dan kawan-kawan, advokad, berkantor di Jl. Adinegoro No. 30
Petak 6 Ganting Lubuk Buaya, Kota Padang, Termohon Kasasi dahulu
Penggugat/Pembanding;
dan
PEMERINTAH RI Cq. KEMENTRIAN KEUANGAN RI. di Jakarta
Cq. DIREKTORAT JENDERAL KEKAYAAN NEGARA di
Jakarta Cq. KANTOR WILAYAH III PEKANBARU Cq.
KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG
Bukittinggi, Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat B/Terbanding II;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang Termohon
Kasasi dahulu sebagai Penggugat telah menggugat sekarang Pemohon Kasasi dan turut
Termohon Kasasi dahulu sebagai para Tergugat di muka persidangan Pengadilan
Agama Padang pada pokoknya atas dalil-dalil :
1 Bahwa Penggugat adalah nasabah Tergugat A pada Unit Layanan Mikro Syariah
Lubuk Buaya terkait dengan Murabahah sebagaimana tertuang dalam Kontrak No.
027/ULS-LBB/MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009;
Hal. 1 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
2 Bahwa berdasarkan Kontrak No. 027/ULS-LBB/MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009
tersebut, Tergugat A melakukan take over pinjaman Penggugat sebesar Rp
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan akan dikembalikan kepada Tergugat A dan
ditambah dengan imbalan sebagai keuntungan oleh Tergugat A sebesar Rp
153.600.000,- (seratus lima puluh enam juta rupiah), oleh karenanya Penggugat
mempunyai kewajiban kepada Tergugat A untuk membayarkan uang sejumlah Rp
353.600.000,- (tiga ratus lima puluh tiga juta enam ratus ribu rupiah);
3 Bahwa sebenarnya imbalan keuntungan Tergugat A sebesar Rp
153.600.000,- (seratus lima puluh tiga juta enam ratus ribu rupiah) atau setara
dengan 76,5% (tujuh puluh enam koma lima persen) dari take over pinjaman sebesar
Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tersebut adalah terlalu besar dan tidak
sanggup ditanggung oleh Penggugat, menurut syariat Islam keuntungan hanya dapat
diambil sebesar 10% (sepuluh persen) saja, sementara Penggugat harus membayar
keuntungan Tergugat A sebesar 76,5 % (tujuh puluh enam koma lima persen) atau
sejumlah Rp 153.600.000,- (seratus lima puluh tiga juta enam ratus ribu rupiah)
sehingga dengan demikian keuntungan yang akan diperoleh Tergugat A dari
Penggugat sebesar Rp 153.600.000,- (seratus lima puluh tiga juta enam ratus ribu
rupiah) adalah tidak sah karenanya harus dibatalkan;
4 Bahwa bila keuntungan Tergugat A 76,5 % (tujuh puluh enam koma lima persen)
dibanding dengan bunga bank konvensional, maka bunga setiap tahunnya yang
ditanggung Penggugat adalah sebesar 19.1 % atau setiap bulannya 1,6 %, setelah
Indonesia dilanda krisis ekonomi tahun 1998, tidak satupun bank yang menetapkan
bunga sebesar 19,1 % setiap tahunnya apalagi kredit untuk usaha rakyat, oleh karena
demikian, kewajiban yang dibebankan oleh Tergugat A kepada Penggugat sudah
tidak Islami lagi, jika memang demikian halnya, lembaga bank syariah hanya kedok
semata, sementara praktiknya ternyata lebih kejam dari bank konvensional, oleh
karena itu kewajiban untuk membayar keuntungan Tergugat A sebesar Rp.
153.600.000,- (seratus lima pluh tiga juta ena ratus ribu rupiah) haruslah dibatalkan
dan disesuaikan dengan syariat Islam;
5 Bahwa sesuai dengan Pasal 2 perjanjian di atas, kewajiban Penggugat sebesar Rp
353.600.000,- kepada Tergugat A tersebut akan dilakukan dengan cara diangsur
sebanyak 48 (empat puluh delapan) kali dengan membayarkan uang sebesar Rp.
7.366.667,- (tujuh juta tiga ratus enam puluh enam ribu enam ratus enam puluh tujuh
rupiah) setiap bulannya, dan karena demikian akan lunas pada tanggal 7 Juni 2013;
2
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
6 Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 Kontrak No. 027/ULS-LBB/MUS/ VII/09
tertanggal 7 juli 2009 dengan tegas menentukan, bahwa perjanjian jual beli/dan
pembiayaan ini berlaku untuk jangka waktu 48 (empat puluh delapan) bulan,
terhitung sejak 7 Juli 2009 sampai dengan 7 Juli 2013;
7 Bahwa sebagai jaminan atas pembayaran kewajiban Penggugat kepada Tergugat A
tersebut, Penggugat telah menyerahkan 1 (satu) buah Sertifikat Hak Milik No. 1,
luas 3.163 m2 tercatat atas nama Penggugat dan Jaruni, sebagaimana tertuang dalam
bukti tanda terima agunan/jaminan tambahan unit layanan modal mikro Syariah-AL
AMM No. 27/ ULS-LBB/MUS/VII/09 tertanggal 7 juli 2009;
8 Bahwa sekalipun keuntungan Tergugat A yang harus Penggugat bayarkan terlalu
besar dan tidak ada usaha yang dapat memperoleh keuntungan sebesar 76 %
tersebut, seperti usaha ternak ayam yang Penggugat usahakan berdasarkan uang Rp
200.000.000,- yang di take over Tergugat A tersebut, kecuali dalam berdagang
heroin itupun kalau tertangkap, namun sejak adanya Kontrak No. 027/ULS-LBB/
MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009 Penggugat lancar-lancar saja dalam
melaksanakan kewajiban kepada Tergugat A, sekalipun Penggugat mengalami
kerugian karena sering matinya ayam yang Penggugat usahakan, akan tetapi
belakangan ini Penggugat memang mengalami sedikit kendala untuk memenuhi
kewajiban kepada Tergugat A, hal ini dikarenakan usaha Penggugat tersebut kurang
lancar, akibatnya terjadi beberapa kali tunggakan yang nilainya berjumlah Rp
13.310.000,- (tiga belas juta tiga ratus sepuluh ribu rupiah);
9 Bahwa ternyata tunggakan Penggugat sebesar Rp 13.310.000,- tersebut tidak dapat
diterima oleh Tergugat A, tanpa ada pembinaan dari Tergugat A sebagai lembaga
keuangan, Tergugat A melalui suratnya tanggal 24 Juni 2011 telah memerintahkan
Penggugat untuk mengosongkan rumah di atas tanah yang dijadikan jaminan hutang
Penggugat tersebut;
10 Bahwa selain itu, pada tanggal 8 Juni 2011, telah datang petugas dari Tergugat A
(PT. PNM ULAMM Syariah) sebanyak 4 (empat) orang dengan menemui keluarga
dan tetangga Penggugat, dan petugas tersebut membeberkan kepada saudara dan
tetangga Penggugat tersebut bahwa barang jaminan Penggugat akan dilelang;
11 Bahwa atas perlakuan petugas tersebut, Penggugat merasa keberatan dan
dipermalukan, maka Penggugat memperkarakan Tergugat A pada badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Padang (BPSK) dengan tuntutan seperti
yang tertuang dalam kronologis dalam berkas pengaduan No. 143/ P3K/VI/2011,
dan berdasarkan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Padang
3
Hal. 3 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
(BPSK) tanggal 26 September 2011, No.100/ BPSK-PDG/Ptd/P3K/2011 telah
memberikan putusan yang amarnya :
“Bahwa sesuai dengan UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen dan
Pasal 40 huruf c Keputusan Menteri Perindustrian Perdagangan Republik Indonesia
No. 350/MPP/Kep/12/2001, Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota
Padang memutuskan :
1 Mengembalikan proses penyelesaian perjanjian kredit antara Ibu Emidawati. C
dengan PT. PNM ULAMM Syariah Lubuk Buaya Padang melalui mekanisme
perbankan dengan tetap mengemukakan jalan musyawarah dan mufakat
sehingga tercapai kesepakatan jumlah besarnya cicilan dan jangka waktu
penyelesaian kredit;
2 Kepada PT. PNM ULAMM Syariah Lubuk Buaya Padang diperintahkan
memberikan masa tenggang waktu pembayaran cicilan selama 6 (enam) bulan
kedepan setelah kesepakatan penyelesaian dicapai;
3 Atas terjadinya perbedaan pencatatan pembayaran yang disetorkan Ibu
Emidawati. C kepada PT. ULAMM Syariah tanggal 7 Oktober 2010 agar
dihitung ulang secara bersama oleh kedua belah pihak;
4 Keputusan Majelis BPSK ini agar dipatuhi oleh kedua belah pihak”;
12 Bahwa akan tetapi seluruh amar putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Kota Padang tersebut tidak diindahkan oleh Tergugat A sama sekali,
bahkan Tergugat A secara tanpa hak dan melawan hukum telah berupaya untuk
menguasai rumah Penggugat yang berada di atas tanah Sertifikat Hak Milik No. 1
tersebut dengan cara memerintahkan Penggugat untuk mengosongkannya, tidak itu
saja, Tergugat A telah berupaya melalui Kantor Lelang Padang untuk melelang
tanah dan rumah Penggugat tersebut pada tanggal 15 Desember 2011 di kantor
Tergugat A, hal itu diketahui dari surat Tergugat B kepada Tergugat A perihal
Penetapan Jadwal Lelang tertanggal 14 Nopember 2011;
13 Bahwa selanjutnya Tergugat A melalui Tergugat B (bukan Kantor Lelang Padang)
akan melelang barang jaminan hutang Penggugat, yaitu Tanah Hak Milik No. 1, luas
3.163 m2 tersebut pada tanggal 15 Desember 2011 di Kantor Tergugat A jalan A.
Yani No. 39 A Padang, hal ini Penggugat ketahui setelah membaca Harian
Singgalang terbitan tanggal 1 Desember 2011, di mana Tergugat A telah melakukan
pengumuman lelang eksekusi hak tanggungan;
14 Bahwa berdasarkan hal-hal di atas, maka menurut hukum tindakan Tergugat A yang
memerintahkan Penggugat untuk mengosongkan rumah Penggugat dan perbuatan
4
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Tergugat A yang telah berupaya melakukan lelang eksekusi hak tanggungan atas
barang jaminan hutang tersebut adalah merupakan perbuatan melawan hukum,
karena sebagaimana diperjanjikan dalam Kontrak No. 027/ULS-LBB/MUS/VII/09
tertanggal 7 Juli 2009, bahwa perjanjian pembiayaan ini berlaku untuk jangka waktu
48 (empat puluh delapan) bulan, terhitung sejak tanggal 7 Juli 2009 sampai dengan
tanggal 7 Juli 2013, masih ada sisa waktu selama 20 bulan lagi barulah perjanjian itu
berakhir, dengan demikian jelas tindakan Tergugat A tersebut sangat merugikan
Penggugat, pelelangan atas jaminan tersebut barulah dapat dilakukan manakala pada
tanggal 7 Juli 2013 ini ternyata Penggugat tidak dapat menyelesaikan kewajibannya
kepada Tergugat A, sehingga pada saat itulah, Penggugat dapat disebut sebagai
pihak yang telah ingkar janji, sepanjang masa kontrak masih berlangsung, maka
menurut hukum Tergugat A tidak dapat melakukan pelelangan eksekusi hak
tanggungan tersebut;
15 Bahwa dalam hal ini seharusnya Tergugat B menolak permintaan Tergugat A untuk
melakukan lelang eksekusi atas hak milik tersebut, karena selain alasan yang
disebutkan pada angka 9 di atas, Tergugat B tidak berwenang melakukan pelelangan
atas hak tanggungan tersebut, karena yang berwenang melakukan eksekusi atas hak
milik tersebut adalah Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Padang, bukan
Tergugat B;
16 Bahwa sebagai akibat perbuatan Tergugat A yang telah memerintahkan Penggugat
untuk mengosongkan rumah Penggugat, menyampaikan kepada tetangga dan
keluarga Penggugat akan melelang tanah tersebut dan pengumuman lelang yang
dilakukan oleh Tergugat A jelas telah menimbulkan kerugian moril bagi Penggugat
sekeluarga karena menanggung malu akibat perbuatan Tergugat A tersebut, padahal
semua itu belum saatnya dilakukan Tergugat A, sehingga dengan demikian adalah
wajar kerugian moril Penggugat tersebut menjadi kewajiban Tergugat A untuk
menanggulanginya, untuk itu adalah wajar dan patut Penggugat menuntut ganti
kerugian moril dengan uang sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah);
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Penggugat mohon kepada Pengadilan
Agama Padang agar memberikan putusan sebagai berikut :
1 Menerima gugatan Penggugat seluruhnya;
2 Menyatakan tidak sah margin keuntungan sebesar Rp 153.000.000,- (seratus
lima puluh tiga juta rupiah) yang akan diperoleh Tergugat A terkait dengan
murabahah sebagaimana tertuang dalam kontrak No. 027/ULS-LBB/MUS/
VII/09 tertanggal 7 Juli 2009 karena bertentangan dengan syari’at Islam;
5
Hal. 5 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
3 Menyatakan Penggugat berhutang kepada Tergugat A sebanyak Rp
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) sebagai akibat adanya take over atas
hutang Penggugat dikurangi dengan pembayaran yang telah dilakukan oleh
Penggugat kepada Tergugat A;
4 Menetapkan keuntungan yang wajar menurut syari’at Islam yaitu 10 % (sepuluh
persen) dari take over hutang Penggugat sebesar Rp 200.000.000,-
tersebut atau yang patut menurut syari’at Islam;
5 Menyatakan perbuatan Tergugat A yang telah memerintahkan Penggugat untuk
mengosongkan rumah Penggugat adalah perbuatan melawan hukum;
6 Menyatakan perbuatan Tergugat A yang telah melakukan pengumuman lelang
atas tanah dan rumah Penggugat adalah perbuatan melawan hukum;
7 Menyatakan tidak sah pengumuman lelang eksekusi hak tanggungan yang
dilakukan Tergugat A pada harian di Kota Padang;
8 Membatalkan lelang eksekusi hak tanggungan yang dilakukan oleh Tergugat B
dengan segala konsekwensi yuridisnya;
9 Menghukum Tergugat A untuk membayar ganti kerugian moril kepada
Penggugat sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah);
10 Menghukum Tergugat A dan Tergugat B membayar biaya yang timbul dalam
perkara ini;
Atau mohon putusan yang seadil-adilnya;
Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Tergugat telah menyangkal dalil-
dalil gugatan tersebut, dan sebaliknya mengajukan gugatan balik (rekonvensi) yang pada
pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut :
• Bahwa untuk menghindari hal-hal yang tidak perlu, maka seluruh dalil yang
telah dimasukkan dalam konvensi, mohon dianggap telah dimasukkan dalam
rekonvensi ini;
• Bahwa Tergugat telah berhutang dan mempunyai kewajiban untuk
mengembalikan pembiayaan yang telah diberikan oleh Penggugat berdasarkan
Akad Murabahah No. 027/ULS-LBBY/MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009,
sebagaimana telah diubah dengan Akad Restrukturisasi/ Rescheduling
Murabahah No. 005/MUS/PDG-LBBY/RST/X/2010 tanggal 7 Oktober 2010
(“Akad”);
• Bahwa atas pembiayaan yang diterima oleh Tergugat berdasarkan akad tersebut
pada angka 14 di atas, Tergugat memberikan agunan berupa tanah dan bangunan
6
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
terletak di Desa Toboh Gadang, Kecamatan Sintuak Toboh Gadang, Kecamatan
Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat luas + 3.163 m2 atas nama
Jaruni dan Emidawati C sebagaimana tercantum pada Sertifikat Hak Milik No.
52 tanggal 24 Maret 1981, Gambar Situasi No. 1627 tanggal 18 Juli 1980 yang
telah dilakukan pengikatan agunan secara sempurna berdasarkan Akta Pemberian
Hak Tanggungan No. 67/2009 tanggal 23 Juli 2009 yang dibuat di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah Devi Hasibuan, S.H. di Kabupaten Padang
Pariaman, selanjutnya diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan Peringkat I
(Pertama) No. 264/2009 dengan PT. Permodalan Nasional Madani (Persero)
selaku Pemegang Hak Tanggungan senilai Rp 250.000.000,- (dua ratus lima
puluh juta rupiah) diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Pariaman tanggal 4 Agustus 2009;
• Bahwa terhitung sejak tanggal 7 Februari 2010 Tergugat telah tidak melakukan
pembayaran angsuran sebagaimana diatur pada jadwal angsuran sebagaimana
terlampir dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari akad sebagaimana
diatur pada pasal 4 ayat (1) “Pembayaran kembali atas barang-barang) tesebut
oleh Nasabah kepada PNM/ULAMM dilakukan secara angsuran selama jangka
waktu tersebut dalam Pasal 3 dan diuraikan tersendiri dalam jadwal angsuran”,
sehingga Tergugat A/Penggugat Rekonvensi menyampaikan Surat Peringatan
Tertulis 3 (tiga) kali berturut-turut sebagai berikut :
a Surat No. S-029/PNM-LBBY/PDG/VII/10 tanggal 26 Juli 2010 perihal Surat
Peringatan I;
b Surat No. S-003/PNM-LBBY/PDG/VIII/10 tanggal 2 Agustus 2010 perihal Surat
Peringatan II;
c Surat No. S-048/PNM-LBBY/PDG/VIII/10 tanggal 20 Agustus 2010 perihal Surat
Peringatan III;
• Bahwa setelah disampaikan Surat Peringatan, terhadap pembiayaan Tergugat
dilakukan upaya penyelamatan dengan dilakukannya restrukturisasi atas
pembiayaan berdasarkan Surat Persetujuan Prinsip Pembiayaan No. 005/ULS-
LBBY/SPM/RST/X/10 tangggal 7 Oktober 2010 yang kemudian dituangkan
dalam Akad Restrukturisasi/Rescheduling Murabahah No. 005/MUS/PDG-
LBBY/RST/X/2010 tanggal 7 Oktober 2010 dengan harapan apabila angsuran
diperkecil dan jangka waktu pembiayaan diperpanjang, Tergugat dapat
melanjutkan pembayaran angsuran kewajiban tiap-tiap bulannya, namun pada
7
Hal. 7 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
kenyataannya setelah dilakukan restrukturisasi pembiayaan Tergugat tetap tidak
dapat melakukan pembayaran angsuran, sehingga Penggugat terpaksa
melayangkan kembali Surat Peringatan Tertulis 3 (tiga) kali berturut-turut
sebagai berikut :
a Surat No. S.../PNM-LBBY/PDG/I/11 tanggal 4 Januari 2011 perihal Surat
Peringatan I;
b Surat No. S-023/PNM-LBBY/PDG/II/11 tanggal 23 Februari 2011 perihal Surat
Peringatan II;
c Surat No. S-029/PNM-LBBY/PDG/III/11 tanggal 7 Maret 2011 perihal Surat
Peringatan III;
• Bahwa dengan tidak melakukan pembayaran sesuai dengan jumlah dan tanggal-
tanggal angsuran sebagaimana tercantum dalam jadwal angsuran maka Tergugat
selaku debitur dapat dinyatakan telah lalai/wanprestasi, terlebih lagi kepada
Tergugat telah dilayangkan Surat Peringatan tertulis secara berturut-turut untuk
kedua kalinya namun Tergugat tetap tidak melaksanakan kewajibannya untuk
melakukan pembayaran sesuai dengan tanggal-tanggal dan jumlah sebagaimana
tercantum dalam jadwal angsuran yang merupakan lampiran yang menjadi satu
kesatuan dan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari akad, maka Tergugat
dapat dinyatakan telah lalai/wanprestasi dengan mengacu pada ketentuan Pasal
1238 KUH Perdata sebagai berikut :
”Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta
sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini
menetapkan, bahwa siberhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan”;
• Bahwa sudah menjadi kewajiban Tergugat untuk melakukan pembayaran sesuai
dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam Perjanjian Kredit, hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 1763 KUH Perdata sebagai berikut :
”Siapa yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikan dalam jumlah
dan keadaan yang sama, dan pada waktu yang telah ditentukan”;
• Bahwa dengan wanprestasinya Tergugat maka sisa kewajiban Tergugat per 31
Januari 2011 adalah sebagai berikut :
Pokok : Rp 141.319.100,-;
Tunggakan Bunga : Rp 21.583.500,-;
Tunggakan Denda : Rp 7.831.342,-;
8
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Pinalti : Rp 6.475.050,-;
Total : Rp 177.208.992,-;
• Bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dengan tidak dilunasinya
kewajiban Tergugat sebesar Rp. 177.208.992.- (seratus tujuh puluh tujuh juta dua
ratus delapan ribu sembilan ratus sembilan puluh dua rupiah) kepada Penggugat
hal mana telah dipertegas dengan telah disampaikannya Surat Peringatan 1, 2,
dan 3 kepada Tergugat, telah jelas dan nyata dapat dinyatakan lalai/wanprestasi;
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Penggugat dalam rekonvensi
menuntut kepada Pengadilan Agama Padang supaya memberikan putusan sebagai
berikut :
1 Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2 Menyatakan Tergugat telah melakukan Wanprestasi;
3 Menghukum Tergugat untuk melunasi seluruh sisa kewajibannya sebesar Rp
177.208.992,- (seratus tujuh puluh tujuh juta dua ratus delapan ribu sembilan
ratus sembilan puluh dua rupiah) berdasarkan Akad Murabahah No. 027/ULS-
LBBY/MUS/VII/09 tertanggal 7 Juli 2009, sebagaimana telah diubah dengan
Akad Restrukturisasi/Rescheduling Murabahah No. 005/MUS/ PDG-LBBY/
RST/X/2010 tanggal 7 Oktober 2010 secara serta merta dan seketika;
4 Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun ada verzet,
banding, kasasi ataupun upaya hukum lainnya (uit voorbaar bij vooraad);
atau apabila pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo
et bono);
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Agama Padang telah mengambil
putusan, yaitu putusan No. 907/PdtG/2011/PA.Pdg tanggal 15 Agustus 2012 M.
bertepatan dengan tanggal 27 Ramadhan 1433 H. yang amarnya sebagai berikut :
DALAM KONVENSI
• Menolak gugatan Penggugat seluruhnya;
DALAM REKONVENSI
• Menolak gugatan Penggugat seluruhnya;
DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI
• Menghukum Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk membayar biaya
perkara yang hingga kini dihitung sebesar Rp 746.000,- (tujuh ratus empat puluh
enam ribu rupiah);
9
Hal. 9 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat putusan
Pengadilan Agama tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Padang
dengan putusan No. 46/Pdt.G/2012/PTA.PDG tanggal 26 Desember 2012 M bertepatan
dengan tanggal 12 Shafar 1434 H yang amarnya sebagai berikut :
• Menyatakan permohonan banding yang diajukan oleh Penggugat Konvensi/
Tergugat Rekonvensi/Pembanding dapat diterima;
• Membatalkan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 907/Pdt.G/2011/
PA.Pdg. tanggal 15 Agustus 2012 M. bertepatan dengan tanggal 27 Ramadhan
1433 H.;
MENGADILI SENDIRI :
DALAM KONVENSI :
1 Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2 Menyatakan perbuatan Tergugat I yang telah memerintahkan Penggugat untuk
mengosongkan rumah Penggugat adalah perbuatan melawan hukum;
3 Menyatakan perbuatan Tergugat I yang telah melakukan pengumuman lelang
atas tanah dan rumah Penggugat adalah perbuatan melawan hukum;
4 Menyatakan tidak sah pengumuman lelang eksekusi hak tanggungan yang
dilakukan Tergugat I pada harian di Kota Padang;
5 Membatalkan lelang eksekusi hak tanggungan yang dilakukan oleh KPKNL
Padang dengan segala konsekwensi yuridisnya;
6 Menyatakan gugatan Penggugat untuk selainnya tidak dapat diterima;
DALAM REKONVENSI :
• Menyatakan gugatan Penggugat Rekonvensi tidak dapat diterima;
DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI :
• Membebankan kepada Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk
membayar biaya perkara pada tingkat pertama sebesar Rp 2.373.000,- (dua juta
tiga ratus tujuh puluh tiga ribu rupiah);
• Membebankan kepada Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi/ Pembanding
dan Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi/Terbanding I, untuk membayar
biaya perkara pada tingkat banding secara tanggung renteng sebesar Rp
150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah);
Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada Tergugat
A/Terbanding I pada tanggal 17 Januari 2013 kemudian terhadapnya oleh Tergugat A/
Terbanding I dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 21
10
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Januari 2013 diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 29 Januari 2013
sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi No. 907/Pdt.G/2011/PA.Pdg yang
dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Padang, permohonan mana diikuti oleh memori
kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama
tersebut pada tanggal 11 Februari 2013;
Bahwa setelah itu oleh Penggugat/Pembanding yang pada tanggal 12 Februari
2013 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Tergugat A/Terbanding I diajukan
jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama Padang pada
tanggal 4 Maret 2013;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam tenggang waktu dan
dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu permohonan
kasasi tersebut formal dapat diterima;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Tergugat
A dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah:
Bahwa judex facti Pengadilan Tinggi Agama telah salah dalam menerapkan hukum atau
melanggar hukum serta lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan sehingga putusan judex facti Pengadilan Tinggi Agama harus
dibatalkan;
Bahwa Pemohon Kasasi/Tergugat A keberatan dan dengan tegas menolak putusan
banding berikut pertimbangannya, dengan dalil-dalil sebagai berikut :
1 Bahwa perlu disampaikan apabila Termohon Kasasi/Penggugat merasa jatuh
tempo akad tanggal 7 Juli 2013 hal mana menjadi pertimbangan judex facti
Pengadilan Tinggi Agama sudah seharusnya judex facti Pengadilan Tinggi
Agama memerintahkan Termohon Kasasi semula Pembanding /Penggugat untuk
tunduk pada kewajibannya untuk melakukan pembayaran angsuran setiap bulan
sampai dengan tanggal 7 Juli 2013 sebagaimana telah diatur dalam akad dan
jadwal angsuran, dan pada kenyataannya Termohon Kasasi/Penggugat tidak
melaksanakan kewajibannya dan atas kelalaian Termohon Kasasi/Penggugat,
Pemohon Kasasi/Tergugat A telah menyampaikan Surat Peringatan 3 (tiga) kali
berturut-turut dengan demikian sesuai dengan Pasal 1238 KUHPerdata maka
Termohonan Kasasi/Penggugat dapat dinyatakan telah wanprestasi;
2 Bahwa judex facti Pengadilan Tinggi Agama dalam pertimbangannya telah salah
dalam menerapkan hukum atau melanggar hukum serta lalai memenuhi syarat-
11
Hal. 11 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan sehingga putusan
judex facti Pengadilan Tinggi Agama harus dibatalkan;
3 Bahwa pada pertimbangan hukumnya judex facti Pengadilan Tinggi Agama
menyatakan sebagai berikut: “Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal di atas,
menurut hukum tindakan Tergugat I yang memerintahkan Penggugat untuk
mengosongkan rumah Penggugat dan perbuatan Tergugat I yang telah berupaya
melakukan lelang eksekusi hak tanggungan atas barang jaminan hutang tersebut
adalah perbuatan melawan hukum, karena sebagaiman diperjanjikan dalam
kontrak No. 027/ULS-LBBY/MUS/ VII/09 tertanggal 7 Juli 2009, bahwa
perjanjian pembiayaan ini berlaku untuk jangka waktu 48 (empat puluh delapan)
bulan, terhitung sejak tanggal 7 Juli 2009 sampai dengan tanggal 7 Juli 2013,
jadi masih ada sisa waktu selama 20 bulan lagi barulah perjanjian ini berakhir.
Dengan demikian jelas tindakan Tergugat I tersebut sangat merugikan
Penggugat. Pelelangan atas jaminan tersebut barulah dapat dilakukan manakala
pada tanggal 7 Juli 2013 ini ternyata Penggugat tidak dapat menyelesaikan
kewajibannya kepada Tergugat I, sehingga pada saat itulah, Penggugat dapat
disebut sebagai pihak yang telah ingkar janji. Sepanjang masa kontrak masih
berlangsung maka menurut hukum, Tergugat I tidak dapat melakukan pelelangan
eksekusi atas hak tanggungan tersebut”;
4 Bahwa pendapat judex facti Pengadilan Tinggi Agama telah keliru dan tidak
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, dan tidak mempertimbangkan
bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/ Tergugat A atas
ketidakmampuan Termohon Kasasi/Penggugat, Pemohon Kasasi/Tergugat A
telah menyampaikan Surat Peringatan 3 (tiga) kali berturut-turut yaitu :
a Surat No. S-029/PNM-LBBY/PDG/VII/10 tanggal 26 Juli 2010 Perihal Surat
Peringatan I;
b Surat No. S-003/PNM-LBBY/PDG/VIII/10 tanggal 2 Agustus 2010 perihal Surat
Peringatan II;
c Surat No. S-048/PNM-LBBY/PDG/VIII/10 tanggal 20 Agustus 2010 perihal
surat Peringatan III;
(Vide Bukti TA-4a, 4b, 4c);
5 Bahwa kemudian setelah disampaikan peringatan tertulis berturut-turut terhadap
Termohon Kasasi/Penggugat diberikan kesempatan untuk meringankan
pembayaran angsuran maka terhadap Akad (jual-beli) Murabahah No. 027/ULS-
LBBY/MUS/VII/09 tanggal 7 Juli 2009 (Vide Bukti TA–2) dilakukan
12
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
restrukturisasi pembiayaan berdasarkan Akad Restrukturisasi/Rescheduling
Murabahah No. 005/MUS/ PDG-LBBY/RST/ X/2010 tanggal 7 Oktober 2010
(Vide Bukti TA-6) dengan harapan Termohon Kasasi/Penggugat dapat dengan
lancar melakukan pembayaran angsuran setiap bulannya. Namun pada
perjalanannya, Termohon Kasasi/ Penggugat tidak dapat melakukan pembayaran
angsuran sebagaimana diatur dalam Akad Restrukturisasi/Rescheduling
Murabahah No.005/MUS/ PDG-LBBY/RST/X/2010 tanggal 7 Oktober 2010,
karenanya Pemohon Kasasi/Tergugat A kembali harus menyampaikan Surat
Peringatan 3 (tiga) kali berturut-turut sebagai berikut:
a Surat No. S …/PNM-LBBY/PDG/I/11 tanggal 4 Januari 2011 Perihal Surat
Peringatan I;
b Surat No. S-023/PNM-LBBY/PDG/II/11 tanggal 23 Februari 2011 Perihal Surat
Peringatan II;
c Surat No. S-029/PNM-LBBY/PDG/III/11 tanggal 7 Maret 2011 Perihal Surat
Peringatan III;
(Vide Bukti TA-7a, 7b, 7c);
6 Bahwa dengan mengacu pada ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata sebagai
berikut: “Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri,
ialah jika menetapkan, bahwa siberhutang harus dianggap lalai sendiri dengan
lewatnya waktu yang ditentukan”. Dengan telah diberitahukannya kepada
Termohon Kasasi semula Pembanding/ Penggugat atas kelalaiannya dalam
melakukan pembayaran angsuran jelas bahwa Termohon Kasasi semula
Pembanding/Penggugat dapat dinyatakan wanprestasi, dengan demikian hak
Pemohon Kasasi semula Terbanding I/Tergugat A untuk melakukan penjualan
atas agunan baik secara sukarela maupun pelelangan dimuka umum telah terbit
sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Pasal 6 dan 14 ayat (2) dan (3);
7 Bahwa dengan demikian segala perbuatan yang dilakukan oleh Pemohon Kasasi/
Tergugat A telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan dengan
demikian tidak ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Pemohon
Kasasi/Tergugat A dalam proses penjualan agunan pembiayaan Termohon
Kasasi I/Penggugat sebagaimana dipertimbangkan oleh judex facti Pengadilan
Tinggi Agama;
13
Hal. 13 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
8 Bahwa pada intinya gugatan yang diajukan oleh Termohon Kasasi/ Pembanding
adalah akal-akalan saja untuk menghindari, mengulur-ulur waktu untuk
melakukan kewajibanya membayar angsuran sebagaimana telah diatur dalam
akad Murabahah maupun akad Restrukturisasi/ Rescheduling Murabahah,
karenanya atas gugatan Termohon Kasasi/ Penggugat layak untuk ditolak atau
setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima;
9 Bahwa Pemohon Kasasi/Tergugat A sepakat terhadap pertimbangan judex facti
Pengadilan Tinggi Agama sehubungan dengan besaran margin yang
diperjanjikan, bahwa jelas Akad Murabahah berikut Akad Restruktur adalah
kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan
dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Bahwa akad dan akad
Restrukturisasi telah sesuai dengan syariat Islam, peraturan perundang-
undangan, ketertiban umum dan/atau kesusilaan sebagaimana diatur pada Pasal
26 Kompilasi Hukum Ekonomi Islam (KHES). Akad Murabahah dan akad
Restruktur yang dibuat oleh dan antara Pemohon Kasasi/Tergugat A dengan
Termohon Kasasi/Penggugat telah memenuhi ketentuan Pasal 27 huruf (a) jo
Pasal 29 KHES yang mana hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata, dengan demikian akad-akad tersebut berlaku sebagai nash syari’ah
bagi Pemohon Kasasi/ Penggugat dan mengikat bagi para pihak sebagaimana
diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata;
10 Bahwa dengan demikian jelas bahwa Termohon Kasasi/Penggugat tidak dapat
mengajukan permohonan pembatalan perjanjian dengan alasan margin
keuntungan Pemohon Kasasi/Penggugat terlalu besar, padahal sebelumnya
terhadap margin tersebut Termohon Kasasi /Penggugat telah menyepakatinya;
Dalam Rekonvensi
1 Bahwa Termohon Kasasi semula Pembanding/Penggugat/Tergugat Rekonvensi
telah berhutang dan mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pembiayaan
yang telah diberikan oleh Pemohon Kasasi/ Tergugat A/Penggugat Rekonvensi
berdasarkan akad Murabahah No. 027/ULS-LBBY/MUS/VII/09 tanggal 7 Juli
2009 (Vide Bukti TA–2), sebagaimana telah diubah dengan akad Restrukturisasi/
Rescheduling Murabahah No. 005/MUS/PDG-LBBY/RST/X/2010 tanggal 7
Oktober 2010 (“Akad”)(Vide Bukti TA-6);
2 Bahwa atas pembiayaan yang diterima oleh Termohon Kasasi semula
Pembanding/Penggugat/Tergugat Rekonvensi memberikan agunan berupa tanah
dan bangunan terletak di Desa Toboh Gadang, Kecamatan Sintuk Toboh Gadang,
14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Kecamatan Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat luas + 3.163 m2 atas nama
Jaruni dan Emidawati C sebagaimana tercantum pada Sertifikat Hak Milik No. 52
tanggal 24 Maret 1981, Gambar Situasi tanggal 18 Juli 1980 No. 1627 (Vide Bukti
TA–8), yang telah dilakukan pengikatan agunan secara sempurna berdasarkan
Akta Pemberian Hak Tanggungan No. 67/2009 tanggal 23 Juli 2009 yang dibuat
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah Devi Hasibuan, SH di Kab. Padang
Pariaman (Vide Bukti TA–9), selanjutnya diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan
Peringkat I (Pertama) No. 264/2009 dengan PT Permodalan Nasional Madani
(Persero) selaku Pemegang Hak Tanggungan senilai Rp. 250.000.000,- (dua ratus
lima puluh juta rupiah) diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kab. Pariaman
tanggal 4 Agustus 2009 (Vide Bukti TA– 10);
3 Bahwa terhitung sejak tanggal 7 Februari 2010 Termohon Kasasi/ Penggugat/
Tergugat Rekonvensi telah tidak melakukan pembayaran angsuran sebagaimana
diatur pada jadwal angsuran sebagaimana terlampir dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari akad sebagaimana diatur pada pasal pasal 4 ayat (1) “Pembayaran
kembali atas barang-barang tesebut oleh Nasabah kepada PNM/ULAMM
dilakukan secara angsuran selama jangka waktu tersebut dalam Pasal 3 dan
diuraikan tersendiri dalam jadwal angsuran”, sehingga Tergugat A/Penggugat
Rekonvensi menyampaikan Surat Peringatan Tertulis 3 (tiga) kali berturut-turut
sebagai berikut:
a Surat No. S-029/PNM-LBBY/PDG/VII/10 tanggal 26 Juli 2010
perihal Surat Peringatan I;
b Surat No. S-003/PNM-LBBY/PDG/VIII/10 tanggal 2 Agustus
2010 perihal Surat Peringatan II;
c Surat No. S-048/PNM-LBBY/PDG/VIII/10 tanggal 20 Agustus
2010 perihal Surat Peringatan III; (Vide Bukti TA – 4a, 4b, 4c);
4 Bahwa setelah disampaikan Surat Peringatan, terhadap pembiayaan Penggugat/
Tergugat Rekonvensi dilakukan upaya penyelamatan dengan dilakukannya
restrukturisasi atas pembiayaan berdasarkan Surat Persetujuan Prinsip Pembiayaan
No. 005/ULS-LBBY/SPM/RST/X/10 tangggal 7 Oktober 2010 (Vide Bukti TA–5)
yang kemudian dituangkan dalam Akad Restrukturisasi/Rescheduling Murabahah
No. 005/MUS/PDG-LBBY/RST/X/ 2010 tanggal 7 Oktober 2010 (Vide Bukti
TA–6) dengan harapan apabila angsuran diperkecil dan jangka waktu pembiayaan
diperpanjang Termohon Kasasi/Penggugat/Tergugat Rekonpensi dapat
melanjutkan pembayaran angsuran kewajiban tiap-tiap bulannya, namun pada
15
Hal. 15 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
kenyataannya setelah dialkukan restrukturisasi pembiayaan Termohon Kasasi/
Penggugat/Tergugat Rekonvensi tetap tidak dapat melakukan pembayaran
angsuran, sehingga Pemohon Kasasi semula Terbanding I/Tergugat A/Penggugat
Rekonvensi terpaksa melayangkan kembali Surat Peringatan Tertulis 3 (tiga) kali
berturut-turut sebagai berikut:
a Surat No. S..../PNM-LBBY/PDG/I/11 tanggal 4 Januari 2011
perihal Surat Peringatan I;
b Surat No. S-023/PNM-LBBY/PDG/II/11 tanggal 23 Februari
2011 perihal Surat Peringatan II;
c Surat No. S- 029/PNM-LBBY/PDG/III/11 tanggal 7 Maret 2011
perihal Surat Peringatan III;
(Vide Bukti TA – 7a, 7b, 7c)
5 Bahwa dengan tidak melakukan pembayaran sesuai dengan jumlah dan tanggal-
tanggal angsuran sebagaimana tercantum dalam jadwal angsuran maka Termohon
Eksekusi Penggugat/Tergugat Rekonvensi selaku debitur dapat dinyatakan telah
lalai/wanprestasi, terlebih lagi kepada Termohon Eksekusi/Penggugat/Tergugat
Rekonvensi telah dilayangkan Surat Peringatan tertulis secara berturut-turut untuk
kedua kalinya namun tetap tidak melaksanakan kewajibannya untuk melakukan
pembayaran sesuai dengan tanggal-tanggal dan jumlah sebagaimana tercantum
dalam jadwal angsuran yang merupakan lampiran yang menjadi satu kesatuan dan
bagian yang tidak dapat terpisahkan dari akad, maka Termohon Eksekusi/
Penggugat/Tergugat Rekonvensi dapat dinyatakan telah lalai/wanprestasi dengan
mengacu pada ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata sebagai berikut:
”Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta
sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini
menetapkan, bahwa siberhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan”;
6 Bahwa dengan wanprestasinya Termohon Eksekusi semula Penggugat/Tergugat
Rekonpensi maka sisa kewajiban Termohon Eksekusi / Penggugat/Tergugat
Rekonpensi per 31 Januari 2011 adalah sebagai berikut :
Pokok : Rp 141.319.100,-;
Tunggakan Margin : Rp 21.583.500,-;
Tunggakan Denda : Rp 7.831.342,-;
Pinalti : Rp 6.475.050,-;
Total : Rp 177.208.992,-;
16
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
7 Bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dengan tidak dilunasinya
kewajiban Termohon Kasasi/Penggugat/Tergugat Rekonvensi sebesar Rp
177.208.992,- (seratus tujuh puluh tujuh juta dua ratus delapan ribu sembilan ratus
sembilan puluh dua rupiah) kepada Pemohon Kasasi/ Tergugat A/Penggugat
Rekonvensi hal mana telah dipertegas dengan telah disampaikannya Surat
Peringatan 1, 2, dan 3 kepada Termohon Kasasi/ Penggugat/Tergugat Rekonvensi,
telah jelas dan nyata dapat dinyatakan lalai/Wanprestasi;
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
berpendapat :
mengenai alasan-alasan kasasi :
Bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Pengadilan Tinggi Agama
Padang salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
• Bahwa berdasarkan fakta hukum dapat diketahui bahwa pada
bulan Juni 2009 Penggugat telah mengajukan aplikasi
pembiayaan terhadap Tergugat A pada Penggugat, dan
Penggugat sudah setuju prinsip pembayaran pada tanggal 2 Juli
2009 dan dilanjutkan dengan perjanjian atau akad jual beli
murabahah pada tanggal 7 Juli 2009 dengan jaminan sebidang
tanah beserta bangunan yang berada di atasnya. Awalnya
Penggugat sangat lancar membayar angsuran kredit tersebut,
tetapi setelah itu angsuran macet, lalu diadakan restrukturisasi
(penjadwalan kembali) akad murabahah pada tanggal 7 Oktober
2010 dengan memperkecil cicilan dan memperpanjang masa
pengembalian pembiayaan. Tetapi hal ini tetap macet;
• Bahwa persetujuan yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat A
telah dilakukan secara sukarela, suka sama suka tanpa paksaan
dari pihak lain, besar kecilnya margin keuntungan yang
diperoleh Tergugat A telah masuk komponen yang disetujui
oleh Penggugat, maka tidak ada alasan hukum untuk
mengingkari perjanjian (akad) yang telah dibuatnya (vide Pasal
21 (c) KHES jo Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata);
• Dengan demikian margin keuntungan yang diperoleh Tergugat
A tidak dapat dikatakan tidak Islami atau bertentangan dengan
17
Hal. 17 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
syariah, sebab ia bukan riba/bunga sebagaimana yang
dikemukakan Penggugat dalam memori kasasi;
• Tentang keberatan Penggugat terhadap Tergugat A yang telah
memerintahkan untuk mengosongkan rumah Penggugat dan
telah melakukan pengumuman lelang atas tanah dan rumah
Penggugat, hal ini adalah konsekuensi dari perjanjian Penggugat
dengan Tergugat A dan tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan
melanggar hukum, lagi pula Tergugat A telah diberi kuasa
untuk melakukan apapun guna mendapat kembali piutangnya
dari Penggugat;
Bahwa oleh karena itu putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang harus
dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan pertimbangan berikut
ini :
• bahwa setelah memeriksa dan mempelajari dengan saksama
pertimbangan dan putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama
Padang, Mahkamah Agung berpendapat bahwa pertimbangan
dan putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Padang tersebut
telah benar dan tepat sehingga diambil alih sebagai
pertimbangan dan putusan Mahkamah Agung sendiri;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, terdapat cukup
alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : PT.
PERMODALAN NASIONAL MADANI (Persero) Pusat di Jakarta cq. Cabang
Padang tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang No. 46/
Pdt.G/2012/PTA.PDG tanggal 26 Desember 2012 M. bertepatan dengan tanggal 12
Shafar 1434 H. yang membatalkan putusan Pengadilan Agama Padang No. 907/
Pdt.G/2011/PA.PDG tanggal 15 Agustus 2012 M bertepatan dengan tanggal 27
Ramadhan 1433 H serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar
putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
Menimbang, bahwa oleh karena Termohon Kasasi berada di pihak yang kalah,
maka ia harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Undang-
Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang No 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3
18
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Tahun 2009, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 serta peraturan
perundang-undangan lain yang bersangkutan;
M E N G A D I L I :
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : PT. PERMODALAN
NASIONAL MADANI (Persero) Pusat di Jakarta cq. Cabang Padang tersebut;
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang No. 46/Pdt.G/ 2012/
PTA.Pdg tanggal 26 Desember 2012 M. bertepatan dengan tanggal 12 Shafar 1434 H.
yang membatalkan putusan Pengadilan Agama Padang No. 907/Pdt.G/2011/PA.Pdg
tanggal 15 Agustus 2012 M. bertepatan dengan tanggal 27 Ramadhan 1433 H.;
MENGADILI SENDIRI :
DALAM KONVENSI
• Menolak gugatan Penggugat seluruhnya;
DALAM REKONVENSI
• Menolak gugatan Penggugat Rekovensi seluruhnya;
DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI
Menghukum Termohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam
semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp 500.000,-
(lima ratus ribu rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada
hari Jum’at tanggal 26 Juli 2013 oleh Dr. H. HABIBURRAHMAN, S.H., M.Hum.,
Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis,
Prof. Dr. H. ABDUL MANAN, S.H., S.I.P., M.Hum. dan Dr. H. HAMDAN, S.H.,
M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota
tersebut dan dibantu oleh Drs. ALAIDIN Panitera Pengganti, dengan tidak dihadiri
oleh para pihak;
Hakim-Hakim Anggota : Ketua,
Ttd. Ttd.
Prof. Dr. H. ABDUL MANAN, S.H.,S.I.P., M.Hum. Dr. H. HABIBURRAHMAN, M.Hum.
Ttd.
19
Hal. 19 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Dr. H. HAMDAN, S.H., M.H.
Biaya kasasi: Panitera Pengganti,
1 Meterai …………... Rp 6.000,- Ttd.
2 Redaksi ………….. Rp 5.000,- Drs. ALAIDIN
3 Administrasi kasasi Rp 489.000,-
Jumlah Rp 500.000,-
Untuk Salinan
Mahkamah Agung RI
an. Panitera
Plt. Panitera Muda Perdata Agama,
Drs. H. ABD. GHONI, S.H.,M.H.Nip. 19590414 198803 1 1005
20
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
21
Hal. 21 dari 20 hal. Put. No. 362 K/AG/2013
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21