Perbandingan Bahasa Abad XX

28
E. Perbandingan Bahasa Abad XX Sejak datangnya aliran TGG itulah Perbandingan Bahasa bangkit kembali, berkembang dari waktu ke waktu. Pusat perhatian tidak saja pada bahasa-bahasa Indo-Eropa dengan segala cabangnya, melainkan juga bahasa-bahasa lain yang pada waqktu-waktu lalu belum banyak mendapat perhatian atau belum pernah dijamah sama sekali, seperti bahasa-bahasa di pedalaman Afrika, bahasa-bahaqsa di Amerika Utara atau pun Selatan, serta bahasa-bahsa di wilayah Nusantara (Austronesia). Khusus untuk bahasa-bahasa Nusantara (Austronesia), nampaknya mendapat porsi yang lebih dari pada yang lain, bahkan Blust (1980) menamakan abad ini sebagai abad Austronesia. Agaknya pernyataan ini beralasan juga mengingat bahasa di mana-mana terdapat pusat bahasa Nusantara (Austronesia), seperti Leiden, Melbourne, Hawaii dan Sebagainya. Haisl studi mereka setiap tahun sekali didiskusikan dalam seminar Tical, suatu forum ilmiah yang khusus membicarakan bahasa-bahasa Austronesia. Seminar Tical yang ke-4 diadakan di Bali. Obyek studi Perbandingan Bahasa Nusantara (Austroneisa) yang dilakukan sebagian besar berkisar pada masalah Hukum Bunyi, Rekonstruksi Bahasa Proto, “Sobgrouping”, serta Teori Migrasi. Masalah Hukum Bunyi bahasa Nusantara pertama kali dibicarakan oleh H.N. Van der tuuk, kemudian diteruskan oleh muridnya yang bernama J.L.A. Brandes. Hasil penelitian brandes tentang HUkum Bunyi diterbitkan dalam disertasi yang berjudul “Bidgrade tot de Vergelijkende Klankleer der Westerscge Afdeeling van Maleisch Polynesische Taalfamilie” (sumbangan kepada perbandingan fonem-fonem dalam bahasa-bahasa Herperanesia atau Melayu Polynesia). Hukum R-G-H serta R-D-L adalah hasil gemilang atas jerih payah mereka itu. Branstetter menambah khasanah Hukum Bunyi ini dengan menemukan Hukum Bunyi Pepet bahasa Nusantara. Selain menemukan akan Hukum Pepet, Branstetter juga menemukan teori tentang akar kata bahasa Nusanatra. Dikatakannya “Suku kedua suatu kata dasar adalah akar kata, dan itu mempunyai arti”

Transcript of Perbandingan Bahasa Abad XX

Page 1: Perbandingan Bahasa Abad XX

E. Perbandingan Bahasa Abad XXSejak datangnya aliran TGG itulah Perbandingan Bahasa bangkit kembali,

berkembang dari waktu ke waktu. Pusat perhatian tidak saja pada bahasa-bahasa Indo-Eropa dengan segala cabangnya, melainkan juga bahasa-bahasa lain yang pada waqktu-waktu lalu belum banyak mendapat perhatian atau belum pernah dijamah sama sekali, seperti bahasa-bahasa di pedalaman Afrika, bahasa-bahaqsa di Amerika Utara atau pun Selatan, serta bahasa-bahsa di wilayah Nusantara (Austronesia).

Khusus untuk bahasa-bahasa Nusantara (Austronesia), nampaknya mendapat porsi yang lebih dari pada yang lain, bahkan Blust (1980) menamakan abad ini sebagai abad Austronesia. Agaknya pernyataan ini beralasan juga mengingat bahasa di mana-mana terdapat pusat bahasa Nusantara (Austronesia), seperti Leiden, Melbourne, Hawaii dan Sebagainya. Haisl studi mereka setiap tahun sekali didiskusikan dalam seminar Tical, suatu forum ilmiah yang khusus membicarakan bahasa-bahasa Austronesia. Seminar Tical yang ke-4 diadakan di Bali.

Obyek studi Perbandingan Bahasa Nusantara (Austroneisa) yang dilakukan sebagian besar berkisar pada masalah Hukum Bunyi, Rekonstruksi Bahasa Proto, “Sobgrouping”, serta Teori Migrasi.

Masalah Hukum Bunyi bahasa Nusantara pertama kali dibicarakan oleh H.N. Van der tuuk, kemudian diteruskan oleh muridnya yang bernama J.L.A. Brandes. Hasil penelitian brandes tentang HUkum Bunyi diterbitkan dalam disertasi yang berjudul “Bidgrade tot de Vergelijkende Klankleer der Westerscge Afdeeling van Maleisch Polynesische Taalfamilie” (sumbangan kepada perbandingan fonem-fonem dalam bahasa-bahasa Herperanesia atau Melayu Polynesia). Hukum R-G-H serta R-D-L adalah hasil gemilang atas jerih payah mereka itu.

Branstetter menambah khasanah Hukum Bunyi ini dengan menemukan Hukum Bunyi Pepet bahasa Nusantara. Selain menemukan akan Hukum Pepet, Branstetter juga menemukan teori tentang akar kata bahasa Nusanatra. Dikatakannya “Suku kedua suatu kata dasar adalah akar kata, dan itu mempunyai arti”

Dempwolff juga berniat dalam hal ini. Paper-paper yang dibuatnya antara lain berjudul, “Bunyi-bunyi labial dalam bahasa Austronesia (1920) serta Hukum Bunyi R-D-L (1924-1925). Hukum BUnyi R-D-L-nya Dempwolff sebenarnya sama dengan brandes, hanya diperluas sampai ke Oceania.

Rekonstruksi Bahasa Nusantara Proto nampaknya banyak menarik perhatian para ahli perbandingan bahasa. Mereka itu antara lain Dempwolff, Dyen, Grace, Dahl serta Blust.

1. DempwolffHasil penelitian Dempwolff tentang Rekonstruk diterbitkan dalam tiga jilid buku (1934-1938). Buku pertama membicarakan bahasa Proto Austronesia. Cara yang ditempuh ialah dengan metode induksi yang diterapkan pada tiga bahasa Austronesia, ialah bahasa Jawa, Tagalog, serta Toba Batak. Dari sini diperoleh sistem bunyi bahasa Austronesia. Buku kedua, mencoba secara deduksi hasil yang diperoleh itu dalam 8 bahasa Nusantara yang lain, ialah bahasa Melayu, Ngaju Dayak, Malagasi, Sa’a, Fiji, Tonga, Samoa, serta Futuna. Kemudian, buku ketiga berisi daftar kata yang berisi kurang lebih 2200 kata bahasa Austronesia Proto. Dari sinilah mulai ada dasar membandingkan bahasa Austonesia secara tepat.

Page 2: Perbandingan Bahasa Abad XX

2. Ispdora DyenDyen pada tahun a958 menerbitkan buku tentang rekonstruksi yang berjudul, “The Proto Malayo-Polynesian Larengeal”. Buku ini berisi perbaikan teori Dempwolff fonem proto h.Dalam hal rekonstruksi ini Dyen sangat mementingkan kelengkapan dan ketelitian. Setiap bunyi yang berbeda diusahakan penendaaan yang berbeda pulqa, sehingga pada fonem *R1, *R2, *R3, *R4, kemudian *S1, *S2, *S3, *S4, *S5 dan sebagainya. Akibatnya fonem menjadi terlalu banyak dan tidak terbatas. Berbeda dengan Dempwolff yang menggunkan sistem yang lebih konservatif, namun pasti. Jumlah fonem terbatas dan lebih sedikit.

3. GraceGrace banyak berbicara tentang rekonstruksi bahasa-bahasa di Ocenia. Dalam penelitiannya ditemukan beberapa fonem Proto merger menjadi satu fonem saja dalam bahasa Ocenia. Merger tersebut adalah.a) PAN POC PAN POC*b p Batu ‘batu’ - patu*p pitu ‘tujuh’ - pitu

Tebu ‘tebu’ - topuSapuy ‘api’ - api

b)PAN POC PAN POC*aw O lanaw ‘langau’ - lano*e enem ‘enam’ - onamc)PAN POC PAN POC*S s *Susu Susun*z/Z *Zalan Salan

*QuZan Qusan

4. Otto Cristian dahlHasil-hasil penelitian Dahl tentang bahasa Asutronesia ditulis dalam buku yang berjudul, “Proto Asutonesia” (1976). Di sana Dahl membicarakan berbagai hal tentang rekonstruksi tersebut, seperti fonem-fonem serta kosa kata bahasa Austronesia Proto yang direkonstruksi oleh Dempwolff serta Dyen. Hampir sama dnegan Dempwolff, fonem Austronesia Proto hasil rekonstruksi Dahl berjumlah 29 buah, suatu jumlah yang cukup sederhana dibanding dengan fonem Dyen yang begitu banyak.

5. Robet BlustBlust lulusan Universitas Hawaii tahun 1974 mengkhususkan diri pada Perbandingan Bahasa Historis terutama bahasa-bahasa Nusantara. Dia menjadi seorang ahli Austronesia yang sangat produktif. Pada tahun 1980 sudah sekitar 549 artrikel yang dipublikasikan, meneliti 43 bahasa di Sarawak pada tahun 1971, serta 32 bahasa di Papua New Guinea. Dlaam bidang rekonstruksi, publikasi yang penting antara lain buku “The Proto-Oceanic Palatal” (1978), “Proto Austronesian Addenda” (1970, serta “Proto –western Malayo Polynesian Vocatives” (1979). Fonem Proto cipataan Blust berjumlah 35 buah, di sana direkonstruksi juga fonem vokal rangkap sejumlah 4 buah,

Page 3: Perbandingan Bahasa Abad XX

ialah *ey, *ay, *uy, dan *ua. Vokal rangkap ini tidak ada dalam ejaan-ejaan hasil rekonstruksi para ahli sebelumnya.“Subgrouping” juga menjadi topik pembicaraan yang cukup hangat di kalangan ahli Austronesia (Nusantara). Berbagai pendapatmuncul, yang satu berbeda dengan yang lain, dan dengan teori yang berbeda-beda pula. Nama-nama seperti Dempwolff, Boolmfield, C.A. Mees, Gleason, Dyen, Dahl serta Blust menyemarakkan pembicaraan tentang “Subgrouping” bahasa Nusantara ini. Dengan eori masing-masing mencoba mengelompokkan bahasa Nusantara ini menurut jauh dan dekatnya hubungan bahasa-bahasa itu.Demwolff menyebut Austronesia dengan Urmelanisch, kemudian mengelompokkannya menjadi tiga ialah Indoesich, Melanesisch, serta Polynesich, sedang Bloomfield menyebut Austronesia dengan Melayu-Polynesia, kemudian mengelompokkan bahasa itu menjadi empat bagian kecil ialah Malaya (Indonesia), Melanesia, Mikronesia, serta Polynesia. Msama dengan Blommfield, Gleason juga menyebut Asutronesia dengan Melayu Polynesia, kemudian membedakannya menjadi Melayu Polinesia Barat dan Timur. Selanjutnya masing-masing bagian masih dikelompokkan pula menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. Berbeda dengan ketiganya, Dempwolff, Blommfield, serta Gleason, Blust mengatakan bahasa Melayu Polynesia adalah bagian dari Austronesia sesuai dengan ciri-ciri yang ada, bahasa Austronesia dibedakan menjadi bahasa Formusa serta bahasa Melayu Polynesia Barat, Timur Tengah, serta Timur. Masing-masing bagian tersebut merupakan satu kelompok bahasa yang terdiri dari bahasa-bahasa yang lebih kecil.Teori yang dipergunakan Blust dalam hal “Subgrouping” ini ialah teori “ESLF”, suatu teori yang bersifat kualitatif, yang melihat ada tidaknya pengelompokan berdasarkan inovasi bersama. Bahasa itu hidup, oleh karenanya mengalami perkembangan serta perkembangan itulah yang dinamakan inovasi.Dyen berbeda dengan Blust; dia membuat “Subgrouping” dengan teori Leksikostatistik, suatu teori yang bersifat kuantitatif, ialah menghitung leksikal bahasa-bahasa yang akan dibuat “Subgrouping” dengan menggunakan rumus-rumus statistik.Teori Migrasi meruapakan kerja selanjutnya sesudah Rekonstruksi dan “Subgrouping”. Oleh karena itu teori Migrasi ini cukup menggairahkan para ahli bahasa Austronesia. Teori Migrasi membicarakan perpindahan penduduk, kemudian juga perpindahan bahasa, dari tempat asal. Tujuan studi ini ialah menemukan tempat asal (Home Land) bahasa Austronesia.Sejarah Migrasi bahasa Nusantara (Austronesia) agak berliku-liku, perpindahan tidak terjadi sekali saja, melainkan bertahap. Perpindahan baru mengaburkan bukti perpindahan yang alama (Anceaux, 1981). Oleh karena itulah tidak mengherankan apabila pendapat tentang tanah asal bahasa Nusantara (Austronesia) menjaid bermacam-macam. Hal ini nampaknya pada pendapat-pendapat berikut.

Page 4: Perbandingan Bahasa Abad XX

a. tanah asal ada di bagian barat, ialah sekitar Vietnam. Para halsi seperti H. Kern, C.A. Mees, Hondrocourt, Wulff, Benedict, serta Blust menemukan bukti-bukti kuat tanah asal berada di sebelah barat;

b. Tanah asal ada di luar Wilayah Austronesia, ialah Amerika Selatan. Thor Reyeldahl mendapat bukti-bukti adanya arus perpindahan dari timur ke barat di daerah Polinesia. Oleh karena itu tanah asal bahasa Nusantara sangat mungkin berada di daerah Amerika Selatan. Pandapat ini di tentang oleh Heine Geldern dan De josselin de jong. Mereka berpendapat, berdasarkan bukti-bukti yang ada, rupa-rupanya ada arah migrasi yang balik ke barat ke daerah Polinesia. Jadi tanah asal tetap berada di bagian barat.

c. Tanah asal berada di Nusantara bagian timur, ialah Melanesia. Bertolak dari teori Sapir, bahwa jika di suatu tempat di situ banyak terdapat keragaman yang besar, di situlah tempat paling mungkin sebagai asal terpencarnya berbagai bahasa (Anceaux, 1981), dyen melihat Melanesia memenuhi persyaratan ini. Dio daerah ini banyak mengandung keragaman yang tinggi (high diversity) dan di wilayah barat hanya sedikit terdapat keragaman, seperti di Formusa (golongan Atayalik dan Tsou) serta pulau-pulau barat Sumtera (mentawai dan Enggano).

Teori yang diguanakan para ahli untuk menemukan tanah asal bahasa Nusantara bermacam-macam. H. Kern misalnya, dia menggunakan perbandingan kosa kata nama-nama tumbuhan tropis, nama-nama biantang laut, nama kendaraan laut, dan kosa kata ‘selatan’. Dari sini dapat diperkirakan di mana tanah asal itu. Dyen menentukan tanah asal dengan menggunakan teori leksikostatistik. Pada tahun 1956 dia menerbitkan sebuah buku tentang teori migrasi yang berjudul, “Language Distributuon and Migration Theory”. Berbeda dengan Dyen, Blust menentukan tanah asal dengan teori Subgrouping. Selain dari pada itu digunakan juga teori “Worten und Sachen” (kata dan barang) buku yang ditulisnya berjudul, “Aurtronesian Culture History”. Slamet Mukyana melakukannya dengan membandingkan bahasa Asia Tenggara dengan bahasa Austronesia dari segi kata bilangan, kata ganti, kata tunjuk, kata Tanya, kata kerja, dan sebagainya. Dan kedua bahasa tersebut menunjukkan adanya hubungan, diperkirakan tanah asal berada di Asia Tenggara. Hasil penelitian Slamet Mulyana dibukukan dengan judul, “Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara” (1975).Sebegitu jauh belum ada kesepakatan di antara para ahli tentang tanah asal bahasa Austronesia itu. Ini menunjukkan bahwa tanah asal itu tidak dapat ditemukan hanya dengan teori kebahasaan, nampaknya diperlukan bukti-bukti dari disiplin ilmu lain seperti Anthropologi, Ethnologi, Sejarah Kebudayaan, Prasejarah, dan sebagainya untuk melengkapi bukti-bukti kebahasaan.Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, masalah yang juga berkembang dalam studi Austronesia ini adalah klasifikasi bahasa, Geografi Dialek, atau masalah Kontak Bahasa yang lain. Klasifikasi bahasa, khususnya Klasifikasi Bahasa Struktural, banyak dibicarakan oleh Sudaryanto, sedangkan Geografi Dialek banyak digarap oleh Ayat Rochaedi.

Page 5: Perbandingan Bahasa Abad XX

F. Latihan1. dalam rangka studi Perbandingan Bahasa, ada yang mengatakan perlu

diketahui perbandingan-perbandingan bahasa di masa lampau, apa saja yang telah dilakukan, dan apa pula yang dapat dikembangkan di masa sekarang maupun di masa depan. Benarkah pengetahuan Sejarah Perbandingan Bahasa dapat membantu studi perbandingan bahasa masa kini? Bagaimanakah pendapat Anda tentang hal ini? Mengapa demikian?

2. zaman romantik adalah masa yang paling menentukan bagi perkembangan selanjutnya. Jelaskan pernyataan itu! Mengapa demikian?

3. penemuan bahasa Sansekerta ternyata menjadi penyulut kegairahan baru dalam hal perbandingan bahasa, baik secara kontrastif maupun secara histories. Mengapa hal ini dapat terjadi? Selanjutnya, apa yang Anda ketahui tentang Panini? Apa pula dengan buku “Astadyasi”? buku itu di tulis antara th 600 SM – 300 SM, benarkah penulis buku itu berumur 300 tahun? Jelaskan jawaban Anda!

4. Abad ke 19 dikatakan sebagai abad Historis Komparatif. Mengapa disebut demikian? Adakah keistimewaan abad ini dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya? Hal-hal penting apakah yang ditemukan pada abad ini? Apa pulakah penemuan abad ini yang sampai sekarang tetap dipakai oleh peneliti-peneliti perbandingan bahasa masa kini?

5. Dikatakan, abad ke-20 adalah abad Austronesia. Mengapa dikatakan demikian? Teori baru apakah yang muncul pada abad ini? Bagaimanakah penggunaan dalam perbandingan bahasa Austronesia?

G. Ringkasan1. Kegiatan perbandingan bahasa khususnya perbandingan historis, maju

pesat pada abad ke-19. keadaan ini merupakan hasil semangat zaman Romantik.

2. Namun, tidak berarti sebelum masa itu tidak ada kegiatan-kegiatan di bidang ini. Apada abad ke-18, bahkan pada masa-masa sebelumnya kegiatan perbandingan bahasa sudah dirintis orang. Scaliger (1540-1609) misalnya, telah merintis perbandingan bahasa yang mengarah pada kekerabatan bahasa Indo-Eropa, Dante (1265-1321) telah membandingkan dialek-dialek bahasa daerah di Eropa.Usaha ini dilanjutkan oleh Leibnitz (1646-1716) dengan membuat kekeluargaan bahasa Eropa-Asia. Meskipun ada kekurangannya, ialah tidak diperhitungkan soal pinjaman bahasa, usaha ini sudah merupakan langkah maju yang pantas diperhitungkan. Rintisan tentang Hukum Bunyi juga sudha dilakukan, ialah oleh Lamberten Karte (1674-1731) namun sayang Kate itu tidak ada kelanjutannya.

3. pada abad ke-18 muncul aliran yang sangat besar pengaruhnya pada ilmu perbandingan Bahasa, ialah aliran Romantik dengan kegiatan Poliglatismenya. Dari sini ditemukan bahasa Sansekerta yang mengagumkan itu. Nama Jines (1746-1794) dan Pnini menjadi terkenal di antara ahli-ahli perbandingan bahasa Eropa waktu itu. Joneslah yang

Page 6: Perbandingan Bahasa Abad XX

berasumsi bahwa bahas a Sansekerta menunjukkan kekeluargaan yang dekat dengan bahasa Yunani dan Romawi.

4. Asumsi Jones ini menggugah semangat ahli-ahli perbandingan bahasa Eropa pada waktu itu. Untuk mendalami bahasa Sansekerta, membuktikan kebenaran asumsi tersebut. Usaha ini antara lain dilakukan oleh Schleigel (1770-1829), Ramus Rask (1787-1832), Bopp (1791-1867), Jacob Grimm (1785-1863) ialah ahli-ahli perbandingan bahasa abad ke-19.

5. pada waktu itu mulai dibicarakan lagi masalah Hukum Bunyi. Mula-mula oleh Ramus Rask kemudian dilanjutkan oleh Grimm. Dari sini munculkan Hukum Bunyi Grimm, yang dikemudian hari disempurnakan oleh Verner dan akhirnya oleh kelompok Neo Grammarien.

6. masalah lain yang muncul pada abad ke-19, ialah masalah klasifikasi bahasa dengan melihat corak-corak bahasanya. Klasifikasi jenis ini mengimbangi klasifikasi genetis yang muncul sebelumnya. Usaha pencorakan bahasa ini dilakukan oleh Bopp, Van Humbolt, Serta August Schleider.

7. Schleider juga memunculkan isu tentang penemuan bahasa induk serta masalah rekonstruksi bahasa Proto Germania. Teori Schleider tenatng bahasa induk terkenal dengan teori pohon atau “family tree”

8. pada abad ke-19 muncullah aliran baru yang bernama junggramatiker atau Neo-Grammarian (ahli tata bahasa baru). Aliran ini menyempurnakan Hukum Bunyi yang telah ada sebelumnya, dengan slogannya yang terkenal ialah “Hukum Bunyi Tanpa Terkecuali”. Hukum Bunyi ini sanatv terkenal dan dipergunakan oleh ahli-ahli perbandingan bahasa sampai sekarang. Mereka mencari hubungan bahasa-bahasa secara genetis serta mencari kesamaan antar bahasa. Kalau ada perbedaan, perbedaan itu diteragkan dalam Hukum Bunyi.

9. kegiatan perbandingan bahasa mulai menyusut sejak munculnya strukturalisme yang dipelopori oleh Ferdinan de Soussure, aliran ini lebih mementingkan bahasa ditinjau dari fungsinya, tempatnya pada struktur bahasa, serta hubungannya dengan elemen bahasa yang lain. Selain berkembang di Eropa, strukturalisme juga berkembang di Amerika dengan tokoh Bloomfield. Pengikut aliran Blommfield membentuk aliran struktural baru yang semakin jauh dari perbandingan bahasa.

10. dengan munculnya aliran TGG yang dipelopori oleh Chomsky, perbandingan bahasa muncul kembali, bangkit dan berkembang dari waktu ke waktu. Pusat perhatiannya tidak saja pada bahasa-bahasa Eropa, melainkan juga bahasa-bahasa lain di belahan dunia ini. Seperti Afrika, Amerika, serta Nusantara (Austronesia).

11. khusus untuk bahasa-bahasa Nusantara nampaknya mendapatkan porsi lebih daripada bahasa-bahasa lain. Bahkan, disebutnya abad XX sebagai abad Austronesia. Nama ahli-ahli perbandingan Austronesia cukup banyak, antara lain Vander Tuuk, H. Kern, Branstetter, Dyen, Dempwolff, Grace, Dahl, Blust, Liamzon, serta ahli-ahli bangsa Indonesia sendiri seperti Slamet Mulyono dan sebagainya.

Page 7: Perbandingan Bahasa Abad XX

12. obyek garapan perbandingan bahasa Nusantara biasanya berkisar pada masalah-masalah Hukum Bunyi, Rekonstruksi, “Subgrouping”, serta teori migrasi. Masalah kontak bahasa seperti pinjaman bahasa, serta Geografi Dialek hanya dibicarakan sedikit.

BAB IIIKLASIFIKASI BAHASA

A. PendahuluanIstilah klasifikasi bahasa seperti digunakan dalam Sapir (1949), Gleason (!961), dan Lehmann (1966) sering juga disebut dengan tipologi oleh Horn (1970), Verhaar (1973), serta Jakobson (1963), berarti cabang lingusitik yang meneliti corak ke semua bahasa yang ada di dunia. Bahasa-bahasa yang coraknya sama atau mirip diklasifikasikan menjadi satu kelompok.Kedua istilah tersebut ialah klasifikasi dan tipologi sering digunakan secara berganti-ganti. Greenberg sendiri akhirnya menggunakan kedua istilah itu bergantian. Dalam Greenberg (1957) digunakan istilah klasifikasi (classification), dan dalam Greenberg (1963, 1966,1973) digunakan baik tipologi (typology) maupun klasifikasi (classification). Lehman (1973) menggunakan istilah klasifikasi tipologi (typology classification). Kepustakaan linguistic menampilkan istilah “typology classification” di samping istilah “structural typology” dan istilah “language typology” berdampingan dengan “typological linguistics”Bila dilihat sejarahnya (dapat dilihat pada bab II), penelitian bahasa bermula dari dunia barat ialah pada abad 16 di zaman humanisme. Tokoh yang menonjol pada waktu itu ialah J.J Scaliger (1940-1609), G.W. Leibnitz (1646-1716), serta Lamberten Kate (1674-1713). Pada waktu itu nampak ada kecenderungan kuat bahwa perbandingan atas berbagai kesamaan corak bahasa diarahkan kepada maslaah kekerabatan bahasa. Kecenderungan itu nampak jelas dalam karya-karya Franz Bopp (1791-1867), R.K. Rusk (1787-1820) dan Jacob Grimm (1785-1863). Ketiganya membandingkan kesamaan corak bahasa yang ada untuk mengetahui kekeluargaan bahasa Indo-German.Meskipun demikian, ada juga usaha pencorakan yang tidak dikaitkan dengan kekerabatan bahasa tetapi semata-mata hanya melihat wujud luar bahasa yang ada. Usaha ke arah ini dimulai oleh Fr. Von Schlegel (1772-1829). Menurut Schlegel, bahasa di dunia dapat dikelompokkan menjadi tiga macam. Pertama, bahasa fleksi, kedua, bahasa aglutinasi, dan ketiga bahasa isolasi (Wojowasito, 1967). Baginya bahasa fleksi ialah bahasa yang tertinggi berturut-turut menurun sampai ke bahasa isolasi. Franz Bopp juga membicarakan klasifikasi bahasa. Menurutnya bahasa dapat dibagi menjadi tiga jenis, ialah pertama, bahasa tanpa akar dan tenaga pembentukan, seperti bahasa Cina, kedua, bahasa dengan akar kata yang terdiri dari satu suku kata, dan dapat mengadakan pembentukan, seperti bahasa Indo-German, serta ketiga, bahasa dengan akar kata yang terdiri dua suku kata dan tyiga konsonan mutlak, seperti bahasa Semit.

Page 8: Perbandingan Bahasa Abad XX

Oleh W. von Humbolt (1767-1835) tiga jenis klasifikasi yang terdahulu ditambah dengan satu jenis klasifikasi lagi. Keempatnya ialah, pertama bahasa monosilabel, istilah Schleigel bahasa isolasi dan Franz bop bahasa tanpa akar kata, kedua, bahasa aglutinasi, ketiga, bahasa fleksi dan keempat bahasa inkorporasi. Dari keempat tipe itu, tipe keempat merupakan tipe yang tertinggi. Kelak oleg August Schleicher (1821-1868) tipe yang keempat, yaitu inkorporasi dimasukkan ke dalam tipe kedua ialah aglutinasi.Demikianlah sampai abad XIX ada dua corak klasifikasi bahasa ialah pertama, berkaitan dengan masalah kekerabatan bahasa, ialah klasifikasi genetic, dan kedua, tidak berkaitan dengan kekerabatan bahasa, yaitu klasifikasi structural. Dalam perkembangan selanjutnya pada awal abad XX dua jenis klasifikasi itu bertambah dengan dua jenis lagi ialah klasifikasi areal serta klasifikasi sosiolingual.Klasifikasi areal atau geografis menghasilkan pengelompokan bahasa berdasarkan areal. Bahasa-bahasa dimasukkan ke dalam kelompok areal apabila bahasa-bahasa yang bersangkutan memiliki corak yang kurang lebih sama karena kontak bahasa. Dengan kontak itu terjadilah pengaruh timbal balik antra bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya. Hal ini akan nampak pada pinjaman serta pangaruh unsur-unsur lingual, mungkin dalam bidang bunyi, makna, dan sebagainya.Adapun klasifikasi sosiolingual atau sosiolinguistik berkaitan dengan pemakaian bahasa dalam “multilinguisme nasional”. Bahasa yang berbeda-beda yang terdapat dalam masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang seperti Asia, Afrika, serta Amerika Latin ternyata menimbulkan banyak persoalan. Dengan klasifikasi sosiolingual persoalan-persoalan yang timbul dapat di atasi, oleh karena itu studi itu menyarankan teknik pemerian situasi-situasi sosiolinguistis nasional (Stewart, 1972).Walaupun dikenal empat macam klasifikasi bahasa, namun yang lebih terkenal sampai sekarang hanyalah dua yang terdahulu yaitu klasifikasi strukturtal dan klasifikasi genetik. Dua yang terakhir kurang begitu terkenal.Menurut Greenbert (1957) klasifikasi areal membutuhkan syarat mutlak ialah hasil-hasil klasifikasi genetik. Hanya dengan pengetahuan yang mendalam tentang hubungan kekerabatan bahasa yang menjadi bidang garapan klasfifikasi genetik, maka klasifikasi areal yang membutuhkan pengetahuan mengenal latar belakang kemiripan unsur lingual itu dapat bekerja dengan baik. Karena ketergantungan yang cenderung mutlak bagi klasifikasi areal itulah menyebabkan perkembangannya tidak selancar klasifikasi struktural atau genetik.Sementara itu, rupa-rupa klasifikasi sosiolingual dapat dihipotesiskan juga berhubungan dengan kalsifikasi genetik itu (Sudaryanto, 1980) karena adanya aneka hubungan yang dijadikan dasar ukuran pengelompokan secara lingual itu berhubungan dengan segi-segi historis bahasa-bahasa yang bersangkutan. Karena keadaan inilah serta kemudian usianya klasifikasi sosiolingual belum dapat berkembang.Berikut ini akan dibicarakan keempat klasifikasi yang ada meskipun dalam porsi yang berbeda.

B. Klasifikasi Struktural

Page 9: Perbandingan Bahasa Abad XX

Seperti disebutkan di atas, klasifikasi structural yang juga sering disebut dengan klasifikasi typologies, adalah pengelompokan bahasa atas dasar tipe atau corak struktur bahasanya. Pengelompokan inihanya semata-mata melihat bentuk luarnya saja (surface features), apa yang nampak saja dipermukaan tanpa melihat ke kedalaman bahasa.Menurut Greenbert (1957) ada tiga ciri yang diusulkan untuk menandai klasifikasi ini, ialah exhaustive (terbatas), Unique (khas), serta arbitaire (acak). Dengan tuntas dimaksudkan semua bahasa (pasti akan) termasuk ke dalam bahasa yang ada di dunia ini akan dapat digolong-golongkan secara tuntas dan dapat dimasukkan ke dalam kelompok tertentu. Dan dengan khas, setiap bahasa hanya dapat masuk ke dalam salah satu kelompok saja, dan tidak ada bahasa yang menangkap keanggotaan kelompoknya. Adapun acak atau sewenang-wenang, adalah bebas mempergunakan kriteria apa saja, dan tidak terkait pada suatu kriteria tertentu. Jadi dapat didasarkan kepada kemiripan fonem-fonemnya, kemiripan morfem-morfemnya, kemiripan konstituen sintaksisnya, atau kombinasi kemiripan dari beberapa unsur lingual yang ada. Oleh karena itu klasifikasi jenis ini sangat memungkinkan akan menghasilkan tipe-tipe bahasa yang sangat banyak macamnya.Meskipun sifatnya yang terlalu acak, namun klasifikasi jenis ini dapat memberikan prospek yang lebih luas karena pilihan kriterianya yang bermacam-macam. Lagi pula, hanya dengan klasifikasi jenis inilah dapat diketahui secara mendalam struktur internal bahasa yang akan diklasifikasikan serta perubahan bahasa yang mungkin terjadi sepanjang abad.Klasifikasi struktural sama sekali tidak memperhatikan dimensi waktu serta ruang. Kapan bahasa itu hidup serta di mana bahasa itu dipergunakan tidak menjadi persoalan selama memiliki kemiripan struktur maka mungkinlah untuk digolongkan menjadi dua corak. Bahasa Hindi, misalnya, meskipun secara historis dekat dengan bahasa Inggris, tetapi merupakan bahasa bertipe VO, sementara bahasa Inggris bertipe OV.Demikianlah, hasil klasifikasi struktural ini mungkin tidak berkaitan dengan hasil klasifikasi lainnya, seperti genetic, misalnya. Bahasa Jawa termasuk kelompok bahasa bertipe VO sementara bahasa Asmat (Irian) yang serumpun dengan bahasa Jawa termasuk bahasa yang bertipe OV. Demikian juga yang kita temui dalam bahasa Indonesia. Secara sintaksis bahasa Indonesia bertipe VO. Bahasa Hibrani (Spanyol) ternyata juga mempunyai corak serupa, sehingga kedua bahasa itu merupakan satu klasifikasi meskipun secara genetis tidak sekerabat.Mengenai tipe VO dan OV dapat dijelaskan dengan keterangan di bawah ini.Menurut Verhaar (1978), dalam bahasa jepang ada kalimat,Teebulu no ue de wa hana o mimasu

Meja dari atas PO melihat = V

di PP bunga

Keterangan: PP = Penanda pokok

Page 10: Perbandingan Bahasa Abad XX

PO = penanda obyek

(Di atas meja itu saya melihat bunga) V O

Nampak dalam skema di atas konstruksi sintaksis bahasa Jepang yang OV berkebalikan dengan konstruksi bahasa Indonesia yang bertipe VO Hana o mimasu (bunga melihat) adalah bersusunan OV, yang dalam bahasa Indonesia menjadi melihat bunga yang bersusunan VO.Klasifikasi struktural yang terkenal dan berpengaruh sampai sekarang adalah klasifikasi structural tradisi Sapir-Greenberg-Lehman. Klasifikasi yang mereka lakukan berkaitan satu sama lain, yang pertama mendasari yang kedua, yang kedua mendasari yang ketiga.Sapir (1949). Yang dikatakan oleh Sudaryanto (1979), dalam klasifikasinya yang disebutnya “klasifikasi konseptual”, mendasarkan diri pada wujud formal dan bagaimana wujud formalnya dalam bahasa dari berbagai konsep gramatikal. Menurutnya ada empat konsep, ialah:

a. konsep dasar (konkret)b. konsep derivasional (kurang konkret dari a, lebih konkret dari c)c. konsep rasional yang konkretd. konsep semata-mata relasional (abstrak sekali)

Berdasarkan konsep dasar dan konsep relasional itu maka semua bahasadikelompokkan menjadi empat corak bahasa.

1. Simple pure relational (konsep dasar dan semata-mata relasional)Kelompok ini bercirikan pertama, tidak dapat mengubah unsur akar, dan kedua hubungan sintaksisnya dengan penjajaran. Contoh: bahasa Cina dan Tibet Modern.

2. Complex pure relational (konsep dasar dan semata-mata relasional serta konsep derivasional)Ciri kelompok ini, pertama dapat mengubah unsur akar dan kedua hubungan sintaksis dengan pengurutan. Contohnya bahasa Camboja, Turki, Tibet Kuno, serta Polinesia.

3. Simple mixed relational (konsep dasar dan konsep relational kongkrit)Ciri tipe ini adalah pertama, tidak dapat mengubah unsur akar dan kedua hubungan sintaksisnya bukan hanya dengan urutan saja, tetapi dengan hubungan konsep-konsep. Sebagai contoh, bahasa Bantu dan Perancis.

4. Comlpex mixed relational (konsep dasar, konsep derivational, serta konsep relasional konkret)Ciri tipe ini, pertama, tidak dapat merubah unsur akar, dan kedua, hubungan sintaksisnya dinyatakan dengan hubungan konsep-konsep. Contohnya bahasa Arab dan India.

Usaha sapir ini sebagai titik awal merupakan permulaan yang baik. Waktu itu Sapir belum melihat kepada bagian bahasa oleh Greenberg,dan selanjutnya dikembangkan lebih lanjut oleh Lehman. Karena itulah klasifikasi strukturtal tradisi Sapir-Greenberg-Lehman.

Page 11: Perbandingan Bahasa Abad XX

Yang menarik perhatian dari Sapir ini adalah, grammatikal relational dipandang sangat penting oleh Sapir. Klasifikasi bahasa urutan kata merupakan dasar klasifikasi yang cukup berfaedah dan dapat dipertanggungjawabkan.Greenberg, mengaitkan relasi ini dengan masalah pembatas (modifier). Menurutnya, dalam bahasa ada unsur pembatas dan yang dibatasi. Ada pembatas di depan, di belakang, atau di depan dan di belakang. Pembatas ini dijadikan dasar bagi Greenberg untuk mempertimbangkan klasifikasi yang disebut klasifikasi urutan besar. Atas dasar itu kemudian ditemukan bahas-bahasa,1. Tipe Pr (preposisi di depan objek) dan Po (preposisi di belakang objek)2. Tipe VSO, SVO, SOV, OVS, dan OSV3. Tipe AN dan NA (ajektif nomen dan nomen ajektif)Greenberg, dalam hal ini melihat pada adanya kebersamaan gejala sejajar dan berdampingan, tidak mencari mengapa demikian. Hal ini akan dijawab kemudian oleh Lehmann.Menurut Lehmann, hubungan dengan dimensi kausalitas itu terjadi karena adanya Sentralitas verba pengisi predikat. Verba itu sentra dalam bahasa, dalam arti verbalah yang pertama-tama menentukan adanya struktur dalam bahasa beserta perubahannya. Meskipun dikatakan Lehmann itu kelanjutan dari Greenberg, namun ada juga perbedaannya, antara lain dalam hal,1. Lehmann tidak mempersoalkan S lagi, karena itu bukan unsur primer dalam

kalimat2. O merupakan unsure peserta pertama bagi verba3. Bahasa-bahasa di dunia di ats ajeg VO, ajeg OV dan tidak ada tidak ajeg VO atau

tidak ajeg OV4. dengan adanya sentralitas verba itu, keselarasan urutan harus dijelaskan dan

dipandang sebagai akibat dari kedudukan sentral itu. Demikianlah V menjadi penguasa bagi O (V sebagai penguasa dan O sebagai yang dikuasai) istilah ini menurut Greenberg adalah, V sebagai pemilik dan O sebagai termilik, atau V sebagai pembatas dan O sebagai yang dibatasi. Dlam frasa kuda hitam, kuda adalah yang dibatasi dan hitam sebagai pembatas.

Sekarang, bagaimanakah apabila kita melihat ketiganya Sapir-Greenberg-Lehman secara bersama-sama. Dari ketiganya dapat dilihat bahwa:a. ketiganya merupakan satu jalur ialah pandangan bahwa urutan memiliki peranan

yang cukuup penting dalam studi klasifikasi sktrukturalb. jalur itu tidak hanya menghubungkan, tetapi juga mengembangkan. Dapat dilihat

secara berturut-turut, Sapir belum memunculkan keselarasan urutan, meskipun unsurnya ditata secara berurutan. Baru dari Greenberglah keselrasan urutan itu muncul, tetapi ada waktu itu dia belum tahu mengapa terjadi begitu, apa dasarnya. Jawaban pertanyaan itu akhirnya diberikan oleh Lehmann. Dasar keselarasan urutan sudah ada dan Lehman mencoba menjelaskan.

c. Jenis klasifikasi structural tradisi Sapir-Greenberg-Lehmann itu makin berkembang sekarang, dengan segala kemajuannya dan kritik yang mengkutinya. Apa yang belum dikemukakan dan diperhitungkan dalam karya Sapir (1949), Greenberg (1966), dan Lehmann (1972; 1973; 1974), mulai diteliti baik oleh pelopornya, dalam hal ini Greenberg dan Lehmann, maupun oleh para ahli yang

Page 12: Perbandingan Bahasa Abad XX

berminat dalam bidang ini. Hal yang belum dikemukakan sebelumnya yang dimaksud ialah konstruksi-konstruksi, serta dasar yang menyebabkannya.

Di Indonesia usaha-usaha klasifikasi bahasa Indonesia secara stukrtural juga sudah dilakukan. Jalur yang ditempuh selama ini sesuai dengan klasifikasi structural tradisi Sapir-Greenberg-Lehmann. Sutan Takdir Alisyahbana menemukan Hukum DM yang termasyhur itu; meskipun hokum DM itu dirumuskan lebih secara semantis daripada secara secara sintaksis, namun ahli bahasa inilah yang menjadi ahli pertama menemukan dasar dari penemuan Greenberg. Bila Sutran Takdir menemukan dasar dari penemuan Greenberg, maka Lehmann dikoreksi oleh Sudaryanto (1979). Sudaryanto menemukan misalnya,

a. Konsep VO terlalu sempit, kokstituen tidak mutlak harus O, tetapi bisa juga yang lain.

b. Verba dalam konstruksi itu tidak mutlak transitif, tetapi bisa juga intransitive.

c. Konstruksi sintaksis bahasa Indonesia dilihat dari klasifikasi structural atas dasar susunan beruntun adalah ajeg bersusunan VO.

Sebelum E. Masinambow (1976) juga menyingung masalah konstruksi VO dan OV ini. Di Halmahera ada dua jenis bahasa, bahasa Halmahera Utara dan Halmahera Selatan yang bersusun VO. Dalam kehidupan sehari-hari orang Halmahera Utara berkontak dengan orang Halmahera Selatan. Dari sini terjadilah kontak bahasa dan sangat mungkin terjadi interferensi antara bahasa VO dan OV. Inferensi inilah yang dicoba menerangkannya.J. Verhaar (1978) seotang ahli dalam bidang klasifikasi structural juga mencoba melihat bahasa Indonesia dari klasifikasi tersebut. Bahasa Indonesia dipandang secara structural dengan mengembangkan konsep VO dan OV tradisi Sapir-Greenberg-Lehmann. Verhaar berpendapat, pada umumnya orang menganggap konsep VO dan OV merupakan dua konsep yang berbeda. Padahal kedua konsep itu sebenarnya tidak berbeda melainkan sama. Kesamaan itu terletak pada:a. Unsur Q (penegas verbal) selalu bersebarangan dengan V. Q menolak berdekatan

dengan V. konstruksinya akan selalu QOV dan VOQ.b. VO adalah cermin dari OVc. VO dan VO sama-sama mempunyai preposisiKalaupun ‘berbeda’, bedanya hanya pada cerminan itu (defisiensi cerminan). Defisiensinya ialah susunan OV tidak mempunyai pronominal relatif sedang susunan VO mempunyai pronominal relatif.Verhaar juga melihat, bahasa Indonesia sebagai bahasa bersusunan VO mengalami perluasan ke kanan. Perluasan tersebut dinyatakan dengan:a. Preposisi opsional, misalnya dalam, mengenai tentang tentang di situ adalah

preposisi opsional.b. Perulangan, misalnya dalam, hancur berkeping-keping.

Perluasan ke kanan itu menurut Verhaar mempunyai sifat perulangan semantis, disamping pengulangan lain dituntut oleh pola urutan VO.Perluasan ke kanan tersebut ternyata tidak lepas dari kritik. Kritik yang pertama, ialah perluasan ke kanan itu tidak perlu sebab itu “redundan”, suatu hal yang seharusnya dihindari. Selanjutnya perluasan ke kanan ini juga dikritik karena perluasan ini bisa

Page 13: Perbandingan Bahasa Abad XX

menyebabkan ambiguitas dalam bentuk yang tidak mungkin dalam tipe OV. Mislanya, dalam kalimatSaya mengambil tas dibawah mejaTidak jelas apakah konstituen di bawah meja itu merupakan keterangan tempat, modifikasi verba, ataukah atribut pada kata tasb. Ambiguitas ini muncul karena hal semacam itu tidak mungkin muncul dalam bahasa Jepang yang bertipe OV.Mengenai kata yang, yang ini adalah perangkai yang berfungsi mengadakan perluasan ke kanan, selain dua hal yang telah disebut di atas.Masih dalam kaitannya dengan konsep VO dan OV ini, menurut Parera (1981), bahasa Toba Batak merupakan satu kelompok dengan bahasa malagasi karena kesamaan susunan sintaksisnya, ialah sama-sama bersusunan VO. Hal ini akan nampak pada contoh di bawah ini.Bahasa Toba Batak:

Mengisap sandu nasida di jabu V O S(mereka sedang mengisap candu di rumah)

Bahasa Malagasi: Manasa lamba (he’an ny ankizy) ny zazavavy V O S(gadis itu sedang mencuci pakaian untuk anak-anak)

Demikian klasifikasi structural terus berkembang dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Salah satu kelebihanya adalah dapat melihat kekhasan dan kedalaman bahasa, suatu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh klasifikasi model lain. Adapun kritik yang sering dilontarkan ke alamat klasifikasi ini adalah terlalu bebasnya criteria pensorakan. Unsure apa pun dapat mengawali klasifiksi ini. Akhirnya pengklsifikasiannya menjadi terlalu banyak. Yang kedua, klasifikasi structural tidak dapat menyeleksi unsur-unsurpinjaman. Persamaan yang ada antara bahasa-bahasa yang diidentifikasikan, terjadi karena pengaruh pinjaman ataukah asli bahasa sulit untuk dideteksi. Tentu saja hal ini akan mengganggu validitas pengklasifikasian bahasa yang diteliti.

C. Klasifikasi GenetisKlasifikasi genetis berusaha menjelaskan kekerabatan bahasa. Bahasa yang sekerabat dikelompokkan menjadi satu kelas kerabat yang sama. Selanjutnya, karena adanya kekerabatan itu diasumsikan ada suatu bahasa induk yang menurunkan bahasa-bahasa menurunkan bahasa-bahasa masa kini. Bahasa induk tersebut direkonstruksi secara hipotetik. Langkah selanjutnya ialah mencari pula tanah asal bahasa induk itu , seklaigus arah penyebaran. Kemudian juga melihat dan menghitung umur bahasa dan kapan suatu bahasa berpisah dari induknya dan menjadi bahasa-bahasa masa kini.Klasifikasi Genetis juga memperhatikan hal-hal yang bersangkutan dengan kontak agar kekerabatan bahasa yang diambil benar-benar murni bahasa itu dan tidak tercemar oleh adanya pinjaman bahasa yang disebabkan oleh adanya kontak bahasa tersebut.Seperti jenis klasifiukasi yang lain, dalam usaha menjelaskan pengelompokan bahasa, klasifikasi genetis ini memiliki cara sendiri yang khas. Pada prinsipnya klasifikasi ini mutlak berpegang pada kemiripan-kemiripan semua unsure lingual, seperti kemiripan jenis konstituen sintaksisnya, serta kemiripan dari segi makna leksikal bahasa-bahasa yang diidentifikasikan pengelompokannya.

Page 14: Perbandingan Bahasa Abad XX

Pada abad XIX klasifikasi genetis berkembang pesat, waktu itu yang menjadi pusat perhatian hanyalah kemiripan sistem fonem dan tata bunyi. Aspek lingual yang lain hanya berperan sebagai pelengkap. Baru pada abad berikutnya, ialah abad XX usaha perbandingan ke arah kekerabatan ini juga mempertimbangkan unsure lingual yang lain. Lehman(1974) misalnya, mencoba menjelaskan kekerabatan bahasa berdasarkan bukti-bukti sintaksis. Kemudian, bahasa-bahasa di dunia terbagi atas kerabat bahasa ialah bahasa Indo-Eropa, bahasa Afro-Asia, bahasa-bahasaa lain di Afrika, Bahasa-bahasa di Asia, serta bahasa-bahasa di Amerika.Mengenai keluarga bahasa Indo-Eropa, Lehmann selanjutnya mengatakan, terdapat bukti-bukti yang kuat adanya kemiripan-kemiripan pada berbagai unsur lingual antara bahasa-bahasa di Eropa dan sebagian Asia, ialah bahasa Sansekerta. Kemiripan itu nampak pada bentuk kosa kata dasarnya (basic vocabulary), fonem dan tata bunyi, infleksi, pembentukan kata majemuk, dan unsure sintaksisnya. Adapun bahasa Roman mempunyai kemiripan dalam bidang morfologi dan sintaksis.Kemudian, para ahli perbandingan yang lain juga melakukan hal yang sama, mengelompokkan bahasa Indo-Eropa adalah kekerabatan bahasa yang paling mulus dan paling luas dibicarakan orang selama ini. Hasil kekerabatannya pun paling mantap dibandingkan yang lain. Mengenai kekerabatan bahasa Austronesia atau Nusantara, akhir-akhir ini juga cukup banyak dibicarakan orang, seperti Dyen dengan menggunakan teori Leksiko—Statistiknya, Blust dengan teori ESLF-nya, dan sebagainya. Hasil yang diperoleh nampak belum mantap benar, satu sama lain masih menunjukkan perbedaan-perbedaan kecil di sana-sini. (mengenai kekerabatan bahasa ini selanjutnya dapat diikuti pada bab VI buku ini atau pada buku kedua tentang perbandingan bahasa yang berjudul “Perbandingan Bahasa Nusantara Historis”)Klasifikasi genetis atau genealogis bersifat noarbitraire, sebab satu-satunya cara sebagian besar klasifikasi adalah garis keturunan, dan tidak bisa lain selain itu. Klasifikasi ini sepenuhnya cenderung mempertimbangkan dimensi waktu, dismaping hanya secara kecil memperhatikan modalitas ruang. Jalur yang ditempuhnya secara menyolok adalah jalur vertical, dan bukan jalur horizontal seperti yang berlaku pada klasifikasi structural. Karena itulah, klasifikasi genetic ini tidak memberi kebebasan memilih kriteria sebagai dasar klasifikasi. Dengan mempergunakan criteria garis keuturunan itu bahasa-bahasa di dunia pada umumnya dan Nusantara pada khususnya diklasifikasikan menjadi klasifikasi-klasifikasi tertentu sampai tidak ada sisa exhausive. Atas dasar ini tidak ada satu bahasa pun yang boleh masuk ke dalam lebih dari satu klasifikasi, dengan kata lain tidak ada bahasa yang merangkap keanggotaan klasifikasinya. Keadaan ini disebut unique.Secara teori, semua bahasa yang ada akan terbagi secara tuntas dalam klasifikasi-klasifikasi kekerabatan, namun kenytaannya belum semua bahasa di dunia secara jelas dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi-klasifikasi tertentu secara genetic. Misalnya, bahasa suku Aborigin di Australia, bahasa Halmahera utara, bahasa Papua, bahasa Afrika tengah dan selatan, serta bahasa-bahasa Amerika. Hal ini disebabkan belum diketahuinya secara menyeluruh bahasa yang ada di dunia (setipa saat dapat ditemukan bahasa baru di suatu tempat yang sebelumnya belum dijamah manusia, khususnya linguis) selain daripada itu, dapat juga terjadi suatu bahasa mati, tidak diperguanakan orang lagi, tanpa peninggalan tertulis, sehingga sulit di lacak saat ini.

Page 15: Perbandingan Bahasa Abad XX

Klasifikasi bahasa genetik ini merupakan produk dari cabang ilmu bahasa yang bernama Linguistik Historus Komparatif, ialah suatu cabang ilmu bahasa yang mempersoalkan bahasa dengan mengingat segi-segi waktu serta dengan memperhatikan perubahan unsur-unsur bahasa yang terjadi dalam bidang waktu tersebut. Data-data suatu bahasa dari dua periode atau lebih diperbandingkan untuk memperoleh kaidah-kaidah perubahan yang terjadi pada bahasa itu. Demikian pula halnya dapat dilakukan terhadap dua bahasa atau lebih. Unsur-unsur bahasa dalam periode yang sama dibandingkan kemudian meninjau ke belakang unsur-unsur yang ada itu berasal dari unsur yang mana dalam bahasa induk. Dengan demikian, Linguistik Historis Komparatif ini dalam kerjanya akan selalu bekerja sama dengan jenis Linguistik Komparatif yang lain ialah Lianguistik Kontrastif. Bagaimanakah cara kerja serta metode perbandingan Historis ini selanjutnya akan dibicarakan pada bab-bab dibelakang.Keunggulan klasifikasi genetis ini adalah sifatnya yang noarbitraire, tidak ada pilihan lain selain itu untuk mengelompokkan bahasa. Mengapa? Agaknya karena klasifikasi ini mencerminkan peristiwa-peristiwa historis yang memang harus sudah terjadi atau memang tidak terjadi. Jadi, bila pencorakannya itu betul maka hal itu mengimplikasikan kejadian yang sungguh-sungguh ada. Karena itulah sampai-sampai Antoin Meillet, ahli klasifikasi genetis yang menonjol pada kuartal pertama abad XX ini (1866-1936), berani mengatakan bahwa klasifikasi genetis ini “la seule classification linguistique qui qit une valuer et une utilete”, satu-satunya klasifikasi bahasa yang paling bernilai dan paling berfaedah (lihat Sudaryanto, 1980). Dan dari sini kemudian dapat diketahui sejarah bahasa serta apa-apa yang sunguh-sungguh ada di masa lampau.Namun satu titik lemah yang sering menjadi sorotan dari klasifikasi model ini adalah ide kausalitas, ialah ide bahwa apa yang ada sekarang disebabkan apa yang ada di masa lampau. Menurut sorotan tersebut, ide ini tidak dapat diuji secara ilmiah kebenarannya. Oleh karena itu hasil rekonstruksi bahasa induk selalu diberi tanda asteris ( * ), maksudnya, itu adalah hasil secara hipotesis. Bentuk-bentuk itu merupakan hasil rekaan berdasarkan bentuk-bentuk yang ada dalam bahasa turunan yang ada pada masa kini. Ini dilakukan karena bahasa induk itu, khususnya bahasa Austronesia, sedikit sekali atau tidak sama sekali, meninggalkan dokumen tertulis. Tentu saja hasil rekanan tersebut memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang cukup rumit.

D. Klasifikasi ArealKlasifikasi areal didasarkan pada pengaruh timbal balik antar bahasa yangs secara geografis letaknya berdekatan. Bahkan juga antara bahasa-bahasa yang berjauhan letaknya berkat kemajuan komunikasi masa kini. Pengaruh mempengaruhi ini terjadi dengan tidak menghiraukan apakah mereka berkerabat atau tidak. Karena kontak sejarah, terjadilah pinjaman-pinjaman bahasa yang meliputi pinjaman leksikal, pinjaman gramatikal, pinjaman semantis. Pinjamnan-pinjaman semacam itu menjadi data penting dalam klasifikasi areal.Seperti halnya klasifikasi struktural, klasifikasi areal ini dapat mengambil salah satu kriteria satual lingual saja hasil saling pengaruh antar bahasa. Misalnya, ukuran atau kriteria itu mengenai persebaran bunyi-bunyi awal dan bunyi-bunyi akhir pada berbagai kata, persebaran penggunaan sistem kata bilangan, atau persebaran penggunaan kata ganti kami dan kita. Oleh karena itu klasifikasi areal ini dalam batas-batas tertentu bersifat acak.

Page 16: Perbandingan Bahasa Abad XX

Ada kemungkinan bahasa-bahasa tertentu tidak dapat dimasukkan ke dalam suatu golongan karena antar pengaruhnya dengan bahasa lain tidak ada. Ini terjadi mungkin karena isolasi geografis, misalnya, karena adanya gunung yang tinggi atau sungai besar, suatu bahasa tidak menerima atau memberikan pengaruh yang berarti, maka bahasa tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok manapun; atau sebaliknya suatu bahasa tidak dapat dimasukkan ke dalam dua klasifikasi atau lebih, karena antar pengaruhnya dengan bahasa lain begitu majemuk. Ini disebabkan mungkin bahasa yang bersangkutan berada di tengah-tengah. Bahasa yang bersangkutan dipengaruhi oleh banyak bahasa dalam tingkat atau kadar yang berbeda-beda dan mempengaruhi pula bahasa lain di sekitarnya. Ini menunjukkan bahwa klasifikasi jenis ini bersifat unique atau khas, serta tidak exhausive atau tuntas.Klasifikasi areal selalu bekerja sama dengan klasifikasi yang lain, genetis misalnya, sebab seperti disinyalir oleh Greenberg (1957) klasifikasi genetis menjadi syarat mutlak yang memungkinkan adanya klasifikasi areal. Mengapa? Karena hanya dengan pengetahuan yang mendalam tentang sejarah bahasa serta kekerabatan bahasa, yang ditangani oleh klasifikasi genetis, maka klasifikasi areal dapat berjalan dengan baik. Hal ini dapat dimengerti sebab dalam klasifikasi areal latar belakang kemiripan unsur lingual, yang ditangani oleh klasifikasi struktural, maka perbandingan unsur-unsur satuan lingual hasil pengaruh atau pinjaman bahasa itu juga dikaitkan dengan penggunaannya di suatu areal tertentu, maka pengetahuan tentang klasifikasi sosiolingual juga diperlukan.Kiranya tidak disangsikan lagi, klasifikasi areal hampir sepenuhnya berhubungan dengan modalitas ruang, meskipun secara sempit juga memperhatikan dimensi waktu. Dikaitkan demikian, karean klasifikasi areal berhubungan dengan percampuran kebudayaan yang setiap saat dapat tersebar ke mana-mana. Difusi kebudayaan ini terjadi tanpa keharusan adanya perpindahan bangsa pencipta dan pendukung pertama kebudayaan yang bersangkutan. Yang terjadi mungkin difusi kebudayaan itu terjadi dengan atau bersama-sama perpindahan bahasa pencipta dan pendukung pertama kebudayaan yang bersangkutan, misalnya, bahasa Austronesia, bahasa Hibrani, atau yang lain. Mungkin pula difusi itu terjadi tanpa diikuti perpindahan bangsa pencipta dan pendukung kebudayaan yang bersangkutan, misalnya bahasa Inggris, bahasa Latin, bahasa Belanda, bahasa Portugis, atau bahasa Sansekerta di Indonesia.Salah satu manfaat dari dikembangkannya klasifikasi jenis ini ialah dapat diketahuinya arah dan asal pengaruh serta peminjaman unsur-unsur bahasa dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain yang berhubungan. Pengetahuan semacam ini selanjutnya sangat bermanfaat untuk disiplin ilmu yang lain ialah geografi dialek.Satu di antara hasil klaisifikasi areal ini ditunjukkan oleh Kibbey M. Horne (1970) dalam atlas linguistik karya Wilhelm Schmidt (1968-1954) yang terbit pada tahun 1976 dengan judul “Die Sprachfamillien und Srachenkreine der Erde” (lihat Sudaryanto 1980). Di sana ditunjukkan deskripsi geografis dari banyak kelompok bahasa beserta dengan ciri-cirinya pula baik dalam tatanan fonologis, morfologis, atau pun sintaksis.E. Klasifikasi SosiolingualSudah diketahui bahwa diberbagai negara dunia terutama di negara-negara berkembang seperti Asia, Afrika, serta Amerika Latin terdapat multilingualisme. Multilingualisme ini banyak menimbulkan persoalan yang rumit dan sulit dipecahkan.

Page 17: Perbandingan Bahasa Abad XX

Studi sosiolingual ini mencoba memberi saran-saran tentang pemerian situasi-situasi sosiolingual nasional. Dari sini diharapkan persoalan-persoalan yang rumit tersebut akan lebih mudah diurai.Sudaryanto (1980) menunjuk William A. Stewart sebagai salah seorang tokoh klasifikasi sosiolingual ini. Stewart mencoba meneliti masalah ini dan hasilnya disiarkan dengan judul, “Outline of Linguistic Typology for Describing Multilingualism” yang dimuat dalam Study of the Role of Second Linguage in Asia, Afrika, And Latin Amerika, suntingan Frank A. Rice tahun 1972.Dikatakannya,ada tiga jenis hubungan yang dijadikan ukuran klasifikasi, yaitu hubungan distribusional, hubungan fungsional, dan hubungan sosial, hubungan distribusional itu dapat dilakukan atas dasar kehadiran atau ketidakhadiran empat macam hal dibawah ini, ialah

1. Standarisasi atau kebakuan, ialah kodifikasi dan penerimaan dalam masyarakat pemakai terhadap seperangkat norma formal yang menentukan penggunaan yang “benar”.

2. Otonomi atau Kemandirian, ialah fungsi sistem lingual sebagai sistem yang istimewa (unik) dan bebas (independen).

3. Historisaasi atau kesejarahan, ialah sistem lingual yang dikenal dan diyakini sebagai hasil perkembangan di sepanjang waktu.

4. Vitalitas atau keuletan, ialah pengguanaan sistem lingual oleh masyarakat penutur asli yang tak terisolasi.

Dengan kriteria di atas, Stewart menemukan tujuh macam jenis bahasa, ialah1. Bahasa Standard; yang memiliki keempat kriteria yang ada ialah stradarisasi,

otonomi, historisasi, serta valitas. Sebagai contoh disebutkan , bahasa Serbia, bahasa Koartia, serta bahasa Inggris-Jamaica.

2. Bahasa Klasikal; yang hanya memiliki tiga kriteria ialah standardisasi, otonomi, serta historisasi. Contohnya disebutkan ialah bahasa Latin, bahasa Yunani, Bahasa Sansekerta, serta bahasa Ibrani.

3. Bahasa Artifisial; yang hanya memiliki kriteria standardisasi serta otonomi saja. Contohnya bahasa Esperanto, bahasa Ido, serta bahasa Volapuk.

4. Bahasa Vernakuler; yang mempunyai kriteris otonomi, historisasi serta vitalitas. Contoh bahasa suku-suku Afrika danAmerika.

5. Bahasa Dialek; yang memiliki kriteria historisasi serta vitalitas. Contohnya bahasa Belanda di Kep. Antilen serrta bahasa Inggris di Kep. Leward.

6. Bahasa Kreol; yang memiliki standardisasi sebagai satu-satunya kriteria. Sebagai contoh disebut bahasa Kreol Perancis di Kep. Caribia.

7. Bahasa Pidgin; yang tidak memiliki kritteria satu pun di antara ke empat kriteria yang disebutkan di atas. Contohnya, bahasa pidgin inggris di Afrika Barat, pidgin Fula, atau pidgin Sanyo.

Nampak di sini, corak bahasa yang berbeda-beda tersebut karena berbedany kriteria yang dimilikinya. Bahasa yang paling lengkap kriterianya ialah bahasa Standard, sedangkan yang paling miskin kriteria ialah bahasa pidgin. Bahasa pidgin ialah bahasa yang digunakan masyarakat yang mengalami percampuran bahasa yang sangat pekat, sehingga sulit sekali menemukan kriteria pencorakan yang dimaksud.Selanjutnya, dipandang dari hubungan fungsionalnya, bahasa yang digunakan masyarakat dapat dibedakan atas beberapa corak.

Page 18: Perbandingan Bahasa Abad XX

1. Bahasa resmi; ialah yang dapat berfungsi untuk semua tujuan yang sifatnya resmi dalam lingkup bangsa. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi di negara Indonesia.

2. Bahasa Provensial; ialah yang berfungsi sebagai bahasa resmi kedaerahan. Bahasa Jawa adalah bahasa resmi dalam upacar-upacara tradisional di daerah Jawa Tengah.

3. Bahasa Komunikasi yang luas; ialah yang digunakan sebagai alat komunikasi yang melampaui batas bahasa dalam suatu bangsa. Bahasa Melayu sebelum diresmikan sebagai bahasa Indonesia sebagai contoh bahasa jenis ini.

4. Bahasa Kapital; ialah yang digunakan sebagai alat komunikasi terutama di sekitar ibukota.

5. bahasa Internasional; yang diguanakan sebagai alat komunikasi dalam lingkup internasional, misalnya bahasa Inggris.

6. bahasa Kelompok; ialah yang digunakan untuk komunikasi dalam kelompok etnik atau suku bangsa tertentu. Misalnya, bahasa kelompok usia, bahasa seusia dengan jenis pekerjaannya, atau bahasa kelompok yang lain.

7. bahasa Edukasional; ialah yang digunakan sebagai alat pendidikan tingkat pertama dan menengah, bersifat regional atau nasional.

8. bahasa Mata Pelajaran; ialah yang digunakan untuk menyampaikan perlajaran di sekolah.

9. bahasa Literer; ialah yang digunakan untuk tujuan kesasteraan.10. bahasa Religius; ialah yang digunakan untuk tujuan keagamaan.