Perbaikan Performans Produksi dan Reproduksi Sapi...

9
1196 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016 Perbaikan Performans Produksi dan Reproduksi Sapi Jabres Muchamad Luthfi, Yudi Adinata dan Dian Ratnawati Loka Penelitian Sapi potong Jl. Pahlawan 02 Grati Pasuruan E-mail: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan performans produksi dan reproduksi melalui pemilihan pejantan hasil seleksi dan perbaikan pakan pada plasma nutfah sapi Jabres. Penelitian dilakukan di kelompok ternak kecamatan Bantarkawung Kabupaten Brebes (Jawa Tengah). Materi yang digunakan sapi betina bunting tua (8 9 bulan) sebanyak 40 ekor dibagi menjadi 2 yaitu kelompok betina I, setelah birahi pertama sesudah melahirkan dikawinkan dengan pejantan I, tanpa pakan tambahan; sedangkan kelompok betina II, induk setelah birahi dikawinkan dengan pejantan II serta diberikan pakan tambahan dedak padi 2 kg/ ekor/ hari selama 3 minggu. Pemeriksaan kebuntingan 3 bulan pasca perkawinan. Pakan diperoleh dengan digembalakan pagi (pukul 09.00) hingga sore (16.00), untuk malam disediakan jerami padi. Perbaikan pakan sapi jantan berupa pakan tambahan 3 kg/ekor selama 3 bulan. Hasil penelitian menunjukkan performans tubuh kelompok I PBBH 0,24 kg/hari, panjang badan 123,05±5,19 cm, lingkar badan 147,5±6,44 cm dan tinggi gumba 115,35±4,68 cm; kelompok II PBBH 0,46 kg/hari, panjang badan 120,7±6,21 cm, lingkar badan 145,65±10,39 cm dan tinggi gumba 112,275±4,51 cm; untuk performans reproduksi kelompok I jarak beranak 12,79±1,33 hari, birahi pasca beranak 85,63±26,40 hari, persentase kebuntingan 60 % dan % NRR nya 66,67%; kelompok II untuk jarak beranak 12,71±1,25 hari, birahi pasca beranak 96±46,67 hari, persentase sapi bunting 70% dan NRRnya 92,86% ; kapasitas tampung padang penggembalaan yaitu 0,7 UT/ha. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa performans produksi (PBBH) dan reproduksi (jarak beranak, persentase kebuntingan dan NRR) sapi induk Jabres yang diberikan pakan tambahan lebih baik. Kata kunci: Produksi, Reproduksi, Sapi Jabres Pendahuluan Latar Belakang Salah satu potensi Indonesia dalam mendukung subsektor peternakan adalah sumber daya genetik sapi lokal. Sumber daya genetik sapi potong Indonesia sangat beranekaragam (Sihombing, 2000), salah satu diantaranya adalah sapi Jabres. Kelestarian sapi potong lokal ini terancam yang terindikasi dengan populasi 1200 ekor pada tahun 2006. Kondisi sebagai akibat semakin maraknya perkawinan sapi Jabres betina melalui program inseminasi buatan (Aryogi dan Romjali, 2006). Keberadaan sapi potong lokal harus dilestarikan tidak hanya sebagai kekayaan sumber daya genetik sapi potong lokal di Indonesia, namun juga sebagai salah satu bagian yang menguatkan sub sektor peternakan melalui peningkatan populasinya. Performans reproduksi yang optimal mendukung peningkatan populasi sapi potong lokal indonesia. Aryogi dan Romjali (2006) menyatakan bahwa performans reproduksi sapi Jabres adalah anoestrus post partus 3 5 bulan; service/conception 1,3 kali dan calving interval 11 14 bulan. Manajemen pemeliharaan sapi potong lokal sangat berpengaruh terhadap produktivitas ternak. Beberapa faktor manajemen tersebut adalah seleksi dalam pemilihan bibit, suplementasi pakan, kenyamanan kandang serta manajemen kesehatan dan perkawinan yang tepat (Ratnawati, 2012). Fertilitas sapi jantan dan induk menentukan keberhasilan reproduksinya. Dibutuhkan sistem

Transcript of Perbaikan Performans Produksi dan Reproduksi Sapi...

1196 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi PertanianBanjarbaru, 20 Juli 2016

Perbaikan Performans Produksi dan Reproduksi Sapi Jabres

Muchamad Luthfi, Yudi Adinata dan Dian RatnawatiLoka Penelitian Sapi potong

Jl. Pahlawan 02 Grati PasuruanE-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan performans produksi dan reproduksi melalui pemilihanpejantan hasil seleksi dan perbaikan pakan pada plasma nutfah sapi Jabres. Penelitian dilakukan dikelompok ternak kecamatan Bantarkawung Kabupaten Brebes (Jawa Tengah). Materi yang digunakansapi betina bunting tua (8 – 9 bulan) sebanyak 40 ekor dibagi menjadi 2 yaitu kelompok betina I,setelah birahi pertama sesudah melahirkan dikawinkan dengan pejantan I, tanpa pakan tambahan;sedangkan kelompok betina II, induk setelah birahi dikawinkan dengan pejantan II serta diberikanpakan tambahan dedak padi 2 kg/ ekor/ hari selama 3 minggu. Pemeriksaan kebuntingan 3 bulan pascaperkawinan. Pakan diperoleh dengan digembalakan pagi (pukul 09.00) hingga sore (16.00), untukmalam disediakan jerami padi. Perbaikan pakan sapi jantan berupa pakan tambahan 3 kg/ekor selama 3bulan. Hasil penelitian menunjukkan performans tubuh kelompok I PBBH 0,24 kg/hari, panjang badan123,05±5,19 cm, lingkar badan 147,5±6,44 cm dan tinggi gumba 115,35±4,68 cm; kelompok II PBBH0,46 kg/hari, panjang badan 120,7±6,21 cm, lingkar badan 145,65±10,39 cm dan tinggi gumba112,275±4,51 cm; untuk performans reproduksi kelompok I jarak beranak 12,79±1,33 hari, birahipasca beranak 85,63±26,40 hari, persentase kebuntingan 60 % dan % NRR nya 66,67%; kelompok IIuntuk jarak beranak 12,71±1,25 hari, birahi pasca beranak 96±46,67 hari, persentase sapi bunting 70%dan NRRnya 92,86% ; kapasitas tampung padang penggembalaan yaitu 0,7 UT/ha. Hasil penelitiandapat disimpulkan bahwa performans produksi (PBBH) dan reproduksi (jarak beranak, persentasekebuntingan dan NRR) sapi induk Jabres yang diberikan pakan tambahan lebih baik.

Kata kunci: Produksi, Reproduksi, Sapi Jabres

Pendahuluan

Latar Belakang

Salah satu potensi Indonesia dalam mendukung subsektor peternakan adalah sumber daya

genetik sapi lokal. Sumber daya genetik sapi potong Indonesia sangat beranekaragam (Sihombing,

2000), salah satu diantaranya adalah sapi Jabres. Kelestarian sapi potong lokal ini terancam yang

terindikasi dengan populasi 1200 ekor pada tahun 2006. Kondisi sebagai akibat semakin maraknya

perkawinan sapi Jabres betina melalui program inseminasi buatan (Aryogi dan Romjali, 2006).

Keberadaan sapi potong lokal harus dilestarikan tidak hanya sebagai kekayaan sumber daya genetik

sapi potong lokal di Indonesia, namun juga sebagai salah satu bagian yang menguatkan sub sektor

peternakan melalui peningkatan populasinya. Performans reproduksi yang optimal mendukung

peningkatan populasi sapi potong lokal indonesia. Aryogi dan Romjali (2006) menyatakan bahwa

performans reproduksi sapi Jabres adalah anoestrus post partus 3 – 5 bulan; service/conception 1,3

kali dan calving interval 11 – 14 bulan.

Manajemen pemeliharaan sapi potong lokal sangat berpengaruh terhadap produktivitas ternak.

Beberapa faktor manajemen tersebut adalah seleksi dalam pemilihan bibit, suplementasi pakan,

kenyamanan kandang serta manajemen kesehatan dan perkawinan yang tepat (Ratnawati, 2012).

Fertilitas sapi jantan dan induk menentukan keberhasilan reproduksinya. Dibutuhkan sistem

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 1197Banjarbaru, 20 Juli 2016

manajemen yang dapat mendukung produktifitas sapi potong lokal tersebut, salah satu diantaranya

kandang model Litbangtan.

Kandang model Litbangtan merupakan salah satu model perkandangan kelompok dimana

dalam satu ruangan ditempati oleh beberapa ekor ternak secara bebas tanpa diikat. Kandang kelompok

ini dapat berfungsi sebagai kandang kawin, pembesaran dan induk bunting (Rasyid et al., 2012).

Sebagai kandang kawin, sapi jantan dan induk dicampurkan dan hidup bersama dalam periode waktu

tertentu. Model kandang ini tidak memerlukan pengamatan birahi sapi betina karena keberadaan sapi

jantan tersebut selain sebagai pemacek, juga berfungsi sebagai detektor birahi. Perkawinan yang tepat

meningkatkan angka kebuntingan pada induk. Pejantan pemacek maupun sebagai sumber semen

seharusnya adalah pejantan yang memiliki libido dan kualitas semen yang baik serta secara morfologis

unggul dibanding pejantan di lingkungan sekitarnya. Kualitas dan kuantitas semen segar antara lain

dipengaruhi oleh faktor bangsa, individu, metode penampungan dan managemen pemeliharaan.

Sebagai contoh, frekuensi penampungan yang optimal akan mampu mengoptimalkan produksi semen

beku (Setioko et al., 2002). Oleh sebab itu dengan pemilihan pejantan dan perbaikan pakan sapi Jabres

diharapkan dapat meningkatkan performans produksi dan reproduksi plasma nutfah sapi Jabres

sehingga populasi dan keberlangsungan sapi potong lokal dapat semakin menguatkan sub sektor

peternakan guna memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.

Metodologi

Penelitian dilakukan di Kabupaten Brebes (Jawa Tengah) dengan menggunakan sapi lokal

Jabres, terdiri atas: 2 ekor sapi jantan dan 40 ekor sapi induk. Penelitian dilakukan selama 3 bulan.

Materi penelitian berupa induk sapi betina bunting tua (8 – 9 bulan) sebanyak 40 ekor dibagi menjadi 2

kelompok, yaitu: kelompok I (20 ekor) dan II (20 ekor). Kelompok betina I, setelah menunjukkan

birahi pertama setelah melahirkan dikawinkan secara alam dengan pejantan I, tanpa diberikan pakan

tambahan; sedangkan kelompok betina II setelah birahi dikawinkan secara alam dengan pejantan II

selanjutnya diberikan pakan tambahan sebanyak 2 kg/ekor dilakukan selama 3 bulan dimulai setelah

beranak. Pengamatan birahi dilakukan secara intensif dimulai 2 minggu pasca beranak. Pemeriksaan

kebuntingan dilakukan setelah 3 bulan perkawinan.Pakan diperoleh dengan jalan digembalakan pada

pagi (pukul 09.00) hingga sore (16.00), selanjutnya untuk malam disediakan pakan jerami. Perbaikan

pakan pada sapi jantan berupa pemberian pakan tambahan sebanyak 3 kg/ekor dilakukan selama 3

bulan

Parameter yang diamati yaitu ukuran tubuh (bobot badan, lingkar dada, tinggi gumba dan

panjang badan), Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH), performans reproduksi (jarak beranak/

calving interval, birahi lagi setelah beranak/ anestrus post partus (APP), non return rate (NRR),

persentase kebuntingan ) dan konsumsi pakan. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.

1198 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi PertanianBanjarbaru, 20 Juli 2016

Hasil dan Pembahasan

Profil Peternak di Desa Kebandungan, Kec. Bantarkawung, Kab. Brebes

Data populasi Sapi Jabres yang ada di desa Kebandungan, kecamatan Bantarkawung, kabupaten

Brebes, jumlah Sapi Jabres sebanyak 462 ekor dengan komposisi pedet jantan (14,94%), pedet betina

(17,1%), jantan muda (16,45%), betina muda (8,44%), jantan dewasa (5,41%) dan betina dewasa

(37,66%).

Model pemeliharaan sapi Jabres umumnya secara ekstensif, yaitu pada pagi hari hingga sore

hari sapi diangon di areal hutan jati atau dibekas tanaman padi dan jagung di areal sungai besar, dan

pada malam hari sapi dikandangkan. Pada musim hujan sapi Jabres tidak diangon karena alasan teknis

dan pada musim kemarau sapi diangon.

Manajemen pemeliharaan yang diterapkan masih sederhana. Pakan yang diberikan berdasarkan

potensi pakan lokal yang tersedia, diantaranya: jerami padi, kulit jagung (kelobot jagung), jerami kulit

dan batang kacang tanah. Sejauh pengamatan belum ada sentuhan teknologi perbaikan pakan

(suplementasi) untuk sapi Jabres sehingga skor kondisi tubuh sapi Jabres rendah. Manajemen pakan

yang baik mendukung skor kondisi tubuh induk dan pertumbuhan pedetnya.

Manajemen perkawinan yang diterapkan belum terarah. Perkawinan dilakukan secara alam dan

perhatian peternak terkait dengan hal ini sangat kurang. Sapi jantan dan betina kawin dengan

sendirinya tanpa bantuan atau monitor dari peternak. Pemanfaatan pejantan pemacek dengan

menggunakan pejantan yang tersedia di lokasi tanpa mempertimbangkan kualitas pejantan itu sendiri.

Manajemen pemeliharaan pejantan juga masih sederhana dengan mengoptimalkan kondisi yang ada.

Ragam Pakan Selama Penelitian

Tingkat konsumsi pakan pada ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan

kondisi ternak itu sendiri. Beberapa faktor tersebut antara lain faktor ternak (bobot badan, jenis

kelamin, umur, faktor genetik dan tipe bangsa sapi), faktor pakan (kecernaan dan kualitas pakan) dan

faktor lingkungan. Pakan yang berkualitas baik, tingkat konsumsinya lebih tinggi dibandingkan dengan

pakan berkualitas rendah (Parakkasi, 1999).

Tabel 1. Ragam pakan yang diberikan selama penelitian

No Jenis PakanHijauan (kg) Pakan Tambahan (kg)

I II I II1 Jerami jagung 4,5 4,5 - -2 Rumput lapangan 3 3 - -3 Dedak padi - -A Jantan - - - 3B Betina - - - 2

4 Kapur - - - 0,15 Garam - - - 0,1

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 1199Banjarbaru, 20 Juli 2016

Tabel 2. Konsumsi zat makanan sapi selama penelitian

KdgKonsumsi BK(kg/ekor/hr)

Konsumsi PK(kg/ekor/hari)

Konsumsi LK(kg/ekor/hari)

Konsumsi SK(kg/ekor/hari)

Konsumsi TDN(kcal/ekor/hari)

Kelompok I(20 ekor)

3,05 0,16 0,04 0,95 2,02

Kelompok II(20 ekor)

4,86 1,58 0,13 1,28 3,21

Pejantan I(1 ekor)

6,21 1,03 0,10 1,26 3,89

Pejantan II(1 ekor)

6,57 1,34 0,18 1,69 4,33

Keterangan :

Kelompok I : Sapi induk tanpa diberikan pakan tambahan

Kelompok II : Sapi induk diberikan pakan tambahan

BK : Bahan Kering; PK: Protein Kasar; LK: Lemak Kasar

SK : Serat Kasar; TDN : Total Digestible Nutrient

Standart kebutuhan nutrien sapi jantan BB 300 kg dengan PBBH 0,5 kg/ekor/hari

BK (kg) = 7,90; PK (kg) = 0,731; TDN(kg) = 4,1 (Kearl, 1982)

Standart kebutuhan nutrien sapi induk bunting 3 bulan terakhir BB 300 kg dengan

PBBH 0,4 kg/ekor/hari

BK (kg) = 7,4; PK (kg) = 0,614; TDN(kg) = 3,9 (Kearl, 1982)

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa konsumsi zat makanan pada

induk kelompok II, pejantan I dan II lebih baik dikarenakan diberikan pakan tambahan yang berupa

dedak padi (Tabel 1.) akan tetapi masih jauh dari standart kebutuhan nutrien baik untuk sapi induk

kelompok I, sapi induk kelompok II, pejantan I dan II. Menurut Tillman et al, (1991) bahwa tidak

tercapainya bobot badan optimal dikarenakan ketidakstabilan ketersediaan bahan pakan sebagai penyusun

formulasi pakan sehingga ternak harus sering menyesuaikan dengan bahan pakan baru. Selain itu juga

keterbatasan bahan pakan yang ada dilapangan menyebabkan ternak harus digembalakan ke area hutan.

Hasil beberapa pengambilan cuplikan dan perhitungan dengan rumus Voisini, diperoleh kapasitas

tampung padang penggembalaan (mini ranch) pada lokasi pengamatan rata – rata sebesar 0,7 UT pada

musim kemarau. Dapat dikatakan bahwa kapasitas tampung padang penggembalaan alami di Kec.

Bantarkawung, Kab. Berbes tergolong sangat rendah. Hal ini didasarkan atas pendapat Mc Ilroy

(1977), bahwa kapasitas tampung daerah tropik umumnya sebesar 2 - 7 UT per hektar. Salah satu

faktor yang diperlukan untuk menganalisis kapasitas tampung ternak ruminansia di suatu wilayah

adalah dengan menghitung potensi hijauan pakan. Hijauan pakan untuk ternak ruminansia terdiri dari

rerumputan, dedaunan, dan limbah pertanian. Estimasi potensi hijauan pada masing-masing wilayah

dipengaruhi oleh keragaman agroklimat, jenis dan topografi tanah, dan tradisi budidaya pertanian

(Ma’sum, 1999). Masalah utama yang ditemui pada usaha peternakan khususnya ternak ruminansia

adalah tidak tersedianya pakan yang kontinyu dengan kualitas yang baik. Upaya yang dilakukan adalah

melakukan penyimpanan, pengawetan dan peningkatan kualitas/nilai nutrisi melalui sentuhan

teknologi pakan (Zulbardi et al., 2000).

1200 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi PertanianBanjarbaru, 20 Juli 2016

Hasil Perbaikan Performans Tubuh Sapi Pejantan dan Induk Jabres

Produktivitas ternak sapi dipengaruhi oleh genetik, pakan dan tatalaksana. Ternak-ternak sapi

yang dipelihara pada peternakan rakyat secara umum akan mengalami kekurangan pakan karena

jumlah pakan yang diberikan biasanya tidak sesuai dengan kebutuhan ternak, kualitasnya rendah, dan

jarang sekali yang memberikan pakan tambahan seperti konsentrat (Fatah et al., 2012).

Tabel 3. Performans tubuh sapi pejantan Jabres

Parameter Performans Tubuh

Pejantan I Pejantan II

Awal Akhir Awal Akhir

Bobot Badan (kg) 334 349 288 303

Panjang Bada n (cm) 127,5 130 132 139

Lingkar Dada (cm) 148 157 150 154

Tinggi Depan (cm) 124,5 130 122 124

Tinggi Belakang (cm) 122 123 123 124,5

SKT 3,00 3,5 2,88 3

Keterangan :

- PBBH : Pertambahan bobot harian

- PPB : Pertambahan panjang badan

- PLT : Pertambahan lingkar tubuh

- PTG : Pertambahan tinggi gumba

- PTB : Pertambahan tinggi belakang

- SKT : Skor kondisi tubuh

Gambar 1. Grafik Pertambahan performans sapi pejantan Jabres

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 1201Banjarbaru, 20 Juli 2016

Hasil pengamatan pada Tabel 3 dan Gambar 1 menunjukkan bahwa pemberian pakan tambahan

pada pejantan tidak berpengaruh terhadap performans tubuh pejantan, hal ini dikemungkinan karena

jumlah pakan tambahan yang terlalu sedikit (3 kg/ekor/hari selama 90 hari) hal ini sesuai dengan

pendapat Tillman et al., (1991) bahwa sapi jantan muda yang sedang tumbuh, mudah terdeteksi

perubahan performannya akibat kekurangan gizi daripada hewan yang telah dewasa. Defisiensi protein

lebih mempengaruhi hewan muda daripada hewan yang telah dewasa.

Tabel 4. Performans tubuh sapi induk Jabres

Parameter

Performans Tubuh

Kelompok I Kelompok II

Awal Akhir Awal Akhir

Bobot badan (kg) 201,70±22,93 215,85±23,87 189,02±33,88 216,5±34,47Panjang Badan (cm) 114,39±3,62 123,05±5,19 115,10±4,70 120,70±6,21Lingkar Tubuh (cm) 143,51±5,80 147,50±6,44 138,82±7,89 145,65±10,39

Tinggi Depan (cm) 114,65±4,48 115,35±4,68 111,65±4,90 112,27±4,51Tinggi Belakang (cm) 117,87±3,77 118,07±3,42 115,85±4,67 116,15±5,01SKT 2,42±0,38 2,90±0,31 2,20±0,49 2,67±0,31

Keterangan:

- PBBH : Pertambahan bobot harian

- PPB : Pertambahan panjang badan

- PLT : Pertambahan lingkar tubuh

- PTG : Pertambahan tinggi gumba

- PTB : Pertambahan tinggi belakang

- SKT : Skor kondisi tubuh

Gambar 2. Grafik Pertambahan performans sapi induk Jabres

1202 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi PertanianBanjarbaru, 20 Juli 2016

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 4 dan Gambar 2 menunjukkan bahwa sapi induk

yang diberikan pakan tambahan (kelompok II) memiliki PBBH 0,46 kg/ekor/hari yang lebih tinggi dari

pada sapi induk yang tidak diberikan pakan tambahan (kelompok I) dengan PBBH 0,24 kg/ekor/hari.

Menurt Tillman et al., (1991) bahwa kebutuhan protein untuk ternak bunting biasanya lebih tinggi.

Kebutuhan protein tersebut adalah untuk janin, jaringan membran, hidup pokok dan kenaikan jaringan

kelenjar susu. Kebanyakan ternak dikawinkan semasa masih tumbuh, sehingga protein masih

dibutuhkan pula untuk pertumbuhannnya. Seperti diketahui bahwa kebanyakan hewan pada awal masa

laktasi berada dalam keadaan imbangan nutrien yang negatif, pemberian protein yang berlebihan

diperlukan untuk memungkinkan hewan bunting menimbun protein guna menjaga pengurasannya

nanti pada awal laktasi. Selanjutnya Anggorodi (1990) melaporkan bahwa kebutuhan protein terbesar

terdapat pada sepertiga bagian terakhir dari kebuntingan. Pada waktu ini pertumbuhan fetus paling

cepat

Rendahnya produktivitas ini akibat terbatasnya konsumsi pakan secara kualitas maupun

kuantitas, terbatasnya pengetahuan peternak dan perhatian lembaga/instansi seperti dinas peternakan,

koperasi atau pemodal, serta kelompok peternak belum terlibat secara optimal dalam proses produksi.

Hasil Perbaikan Performans Reproduksi Sapi Induk Jabres

Faktor penting untuk mengetahui efesiensi reproduksi sekelompok ternak dapat diketahui

dengan mengadakan evaluasi terhadap munculnya birahi kembali setelah melahirkan (anoestrus post

partum), persentase kebuntingan dan tidak meminta kawin lagi NRR (non return rate). Tampilan

reproduksi (estrus ) lebih baik bila sapi betina dalam kondisi bobot badan ideal, tidak terlalu gemuk

dan tidak kurus, pada pemberian pakan tambahan dengan komposisi yang tepat dan ekonomis sangat

dibutuhkan untuk meningkatkan penampilan reproduksi sapi betina (Hendri et al., 2006).

Tabel 5. Performans reproduksi sapi induk Jabres

Parameter Kelompok I Kelompok II

Jarak beranak (bulan) 12,79±1,33 12,71±1,25

Anoestrus Post partus/ APP (hari) 85,63±26,40 96,00±46,67

Deteksi Kebuntingan (%)

- Bunting 60 70

- Tidak Bunting 40 30

Non return rate/ NRR (%) 66,67 92,86

Hasil perhitungan performans reproduksi sapi induk Jabres pada Tabel 5 menunjukkan bahwa

sapi induk Jabres yang diberikan pakan tambahan (kelompok II) memilki jarak beranak, persentase

kebuntingan dan NRR yang lebih baik dibandingkan sapi induk Jabres yang tidak diberikan pakan

tambahan (kelompok I). Affandhy et al.,(2002) melaporkan bahwa sapi induk pada kondisi

pemeliharaan rakyat mengalami APP pada hari ke 88 hingga ke 117 setelah terjadinya kelahiran,

sedangkan masa kosongnya adalah 153 hari hingga 64 hari. Waktu tersebut tergolong sangat lama

karena APP dapat muncul pada hari ke 36 - 40 setelah kelahiran. Selanjutnya menurut Susilawati

(2005) berpendapat bahwa munculnya berahi kembali dalam pengamatan NRR selain faktor nutrisi

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 1203Banjarbaru, 20 Juli 2016

yang kurang, juga dipengaruhi oleh kematian embrio dini atau waktu pelaksanaan IB yang kurang

tepat karena informasi yang kurang tepat dari laporan peternak.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Produktivitas sapi Jabres rendah akibat keterbatasan pakan (kualitas maupun kuantitas).

Performans produksi (PBBH) dan reproduksi (jarak beranak, persentase kebuntingan dan NRR) sapi

induk Jabres yang diberikan pakan tambahan lebih baik dari pada yang tidak diberikan pakan

tambahan.

Saran

Diharapkan ada perhatian lembaga/instansi seperti dinas peternakan, koperasi atau pemodal,

serta kelompok peternak untuk secara rutin memberikan penyuluhan guna menambah pengetahuan

peternak agar proses produksi dapat berjalan secara optimal.

Ucapan Terima Kasih

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Dicky Pamungkas selaku Kepala Loka

Penelitian Sapi potong yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat melakukan kegiatan

penelitian dan Drs. Lukman Affandhy S selaku Ketua Peneliti Reproduksi dan Pemuliaan Ternak yang

telah memberikan saran dan masukkannya sehingga penelitian dapat berjalan dengan baik.

Daftar Pustaka

Aryogi dan Romjali, E. 2006. Potensi, Pemanfaatan dan Kendala Pengembangan Sapi Potong LokalSebagai Kekayaan Plasma Nutfah Indonesia. Lokakarya Nasional Pengelolaan danPerlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk MewujudkanKetahanan Nasional.

Anggorodi, R., 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia. Jakarta.

Affandhy, L., P. Situmorang, D. B. Wijono, Aryogi, dan P. W. Prihandini. 2002. Evaluasi danAlternatif Pengelolaan Reproduksi Usaha Ternak Sapi Potong pada Kondisi Lapang. LaporanAkhir. Loka Penelitian Sapi Potong.

Fatah W.M., E. Gurnadi dan K. Mudikdjo.2012.Produktivitas Sapi Peranakan Ongole padaPeternakan Rakyat di Kabupaten Sumedang.Jurnal Ilmu Ternak.Vol 12. No.2 : 22-25

Hendri, Y dan D. Azawardi.2006. Pengaruh Penggunaan Pakan Tambahan pada sapi betina terhadappertambahan berat badan dan lama timbulnya berahi. Seminar Nasional Teknologi Peternakandan Veteriner.Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Kementan. Bogor. hal: 128-132

Mc Illroy, RJ. 1977. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Pradnya Paramitha. Jakarta

Ma’sum, M. 1999. Kemungkinan Penggunaan Data Satelit untuk Mengestimasi Produksi PakanRuminansia. Wartazoa, Buletin Ilmu Peternakan Indonesia 8 (1): 15-19. Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Deptan. Bogor:15-19

1204 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi PertanianBanjarbaru, 20 Juli 2016

Parakkasi, A., 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press. Jakarta.

Rasyid, A; Mariyono dan J. Efendy. 2012. Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok“Model Grati”. Loka Penelitian Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian.

Ratnawati, D; M. Luthfi and L. Affandhy. 2012. The Effect of Traditional Suplementation to thePerformans of PO Bull. Proceeding of International Conference on Livestock Production andVeterinary Technology. Bogor.

Setioko, A. R; P. Situmorang; E. Triwulaningsih; T. Sugiarti dan D. A. Kusumaningrum. 2002.Pengaruh Krioprotektan dan Waktu Equilibrasi Terhadap Kualitas dan Fertilitas SpermatooaItik dan Entog. JITV Vol. 7 No. 4 tahun 2002.

Susilawati, T. 2005. Tingkat Keberhasilan Kebuntingan dan Ketepatan Jenis Kelamin Hasil InseminasiBuatan Menggunakan Semen Beku Sexing pada Sapi Peranakan Ongole. Jurnal AnimalProduction, 7 (3): 161-167.

Sihombing, D. T. H. 2000. Teknologi Peternakan dan Kelestarian Lingkungan. Bahan Ajar PelatihanRevitalisasi Keterpaduan Usaha Ternak dalam Sistem Usaha Tani. Bogor dan Surakarta, 20Februari-8 Maret 2000. Puslitbangnak, Bogor.

Tillman, A. D., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo., S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo, 1991. IlmuMakanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Zulbardi, M., Kuswandi., M. Martawidjaya., C.Talib dan D.B. Budiwiyono. 2000. Daun Gliricidiasebagai Sumber Protein pada Sapi Potong. Prosiding Seminar Nasional. Pulitbang Peternakan.Bogor :233 -241