Perbaikan Isi Skrip Maret 2013

74
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sifat ikan yang cepat membusuk mengakibatkan ikan tidak dapat dikonsumsi dalam keadaan segar di tempat- tempat yang jauh dari pusat produksi tanpa adanya usaha pengolahan dan pengawetan. Pengolahan dan pengawetan ikan pada dasarnya bersumber pada kebutuhan untuk menampung dan mengamankan hasil-hasil perikanan terhadap kemungkinan terjadinya kebusukan sampai produk tersebut tiba di tangan konsumen (Berhimpon, 1995). Kurang lebih 59% dari total produksi ikan diolah secara tradisional. Produk olahan tradisional tersebut pada umumnya dihasilkan dalam industri rumah tangga dalam skala usaha rata-rata sangat kecil dengan kemampuan pengetahuan pengolahan yang rendah, ketrampilan yang diperoleh secara turun temurun, penggunaan alat yang 1

description

skripsi

Transcript of Perbaikan Isi Skrip Maret 2013

BAB 1

PAGE 13

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sifat ikan yang cepat membusuk mengakibatkan ikan tidak dapat dikonsumsi dalam keadaan segar di tempat-tempat yang jauh dari pusat produksi tanpa adanya usaha pengolahan dan pengawetan. Pengolahan dan pengawetan ikan pada dasarnya bersumber pada kebutuhan untuk menampung dan mengamankan hasil-hasil perikanan terhadap kemungkinan terjadinya kebusukan sampai produk tersebut tiba di tangan konsumen (Berhimpon, 1995).Kurang lebih 59% dari total produksi ikan diolah secara tradisional. Produk olahan tradisional tersebut pada umumnya dihasilkan dalam industri rumah tangga dalam skala usaha rata-rata sangat kecil dengan kemampuan pengetahuan pengolahan yang rendah, ketrampilan yang diperoleh secara turun temurun, penggunaan alat yang sangat sederhana serta tingkat sanitasi higiene yang juga rendah (Anonim, 2006).

Terbatasnya pengetahuan tentang teknologi pangan banyak menimbulkan kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung kepada konsumen dan produsen (Berhimpon, 1995). Kenyataan bahwa terdapat cara-cara pengolahan yang banyak sekali dalam menghasilkan komoditi ikan olahan tradisional, yang bervariasi pada setiap daerah hal ini dapat menjadi perbendaharaan yang sangat berharga, baik karena segi-segi positifnya yang dapat dikembangkan lebih lanjut maupun segi-segi negatifnya yang dapat dijadikan pelajaran dalam mencapai perbaikan-perbaikan. Misalnya saja pengolahan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) melalui pengasapan di Sulawesi Utara.Pembuatan ikan cakalang asap (Katsuwonus pelamis) merupakan salah satu usaha pengolahan ikan secara tradisional yang dikenal dengan nama ikan cakalang fufuoleh masyarakat daerah Manado, Minahasa dan Bitung di Sulawesi Utara. Bahan mentah yang digunakan adalah jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang merupakan hasil perikanan laut terbesar di Sulawesi Utara dan sekitarnya.

Pengasapan merupakan salah satu jenis pengolahan ikan yang dilakukan oleh masyarakat. Ikan yang diasapi terutama adalah jenis-jenis ikan pelagis sedang sampai besar, seperti ikan cakalang. Jenis pengolahan ikan ini termasuk kategori pengolahan tradisional yang umumnya dihasilkan sebagai usaha skala rumah tangga yang ketrampilannya diperoleh secara turun temurun. Disamping untuk konsumsi sendiri, hasil olahan ikan asap tersebut juga dipasarkan melalui pasar-pasar tradisional.

Produk ikan asap tersebut khususnya ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap biasanya akan langsung dipasarkan atau disimpan dalam jangka waktu tertentu sebelum dipasarkan. Selama ini produk ikan asap yang disimpan sebelum dipasarkan tersebut belum diketahui berapa lama masa penyimpanannya dan informasi tentang berapa lama waktu penyimpanan yang ideal untuk dapat menjamin kualitas produk ikan cakalang fufu masih kurang. Untuk itu dipandang perlu melakukan kajian tentang lama penyimpanan produk ikan cakalang asap yang mutunya dapat dijamin masih aman untuk dikonsumsi.

Berdasarkan uraian di atas penulis melakukan penelitian tentang Pengaruh Lamanya Penyimpanan Terhadap Mutu Produk Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Asap

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh lamanya penyimpanan terhadap mutu produk ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh lamanya penyimpanan terhadap mutu produk ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut:

1.Sebagai informasi bagi pedagang ikan fufu ataupun pengumpul.2.Hasil penelitian diharapkan sebagai bahan informasi dan memberikan rekomendasi bagi tempat pengasapan, pedagang ikan fufu ataupun pengumpul, obyek penelitian untuk lebih memperhatikan dan perbaikan mutu dari ikan asap. BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Cakalang

Menurut Matsumoto, et al., (1999) dalam Dundu (1998) bahwa klasifikasi ikan cakalang adalah sebagai berikut:

Regnum : AnimaliaPhylum : Vertebrata

Subphylum : Craniata

Series : Pisces

Class : Teleostei

Subclass : Actinopterygii

Ordo : Perciformes

Subordo : Scombroidei

Family : Scombroidae

Subfamily : Scombroidae

Genus : KatsuwonusSpesies : Katsuwonus pelamis

Ikan cakalang adalah ikan yang tergolong ikan pelagis yaitu ikan yang hidup pada permukaan perairan dan merupakan ikan perenang. Ikan ini hidup bergerombol dalam jumlah yang besar (Anonim, 2008).Cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan ikan berukuran sedang dari familia Scombridae (tuna). Satu-satunya spesies dari genus Katsuwonus. Cakalang terbesar, panjang tubuhnya bisa mencapai 1 m dengan berat lebih dari 18 kg. Cakalang yang banyak tertangkap berukuran panjang sekitar 50 cm. Nama-nama lainnya di antaranya cakalan, cakang, kausa, kambojo, karamojo, turingan, dan ada pula yang menyebutnya tongkol. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai skipjack tuna (Anonim, 2008).

Ciri-ciri lain dari ikan cakalang adalah bentuk tubuhnya yang digolongkan dalam bentuk yang menyerupai torpedo, yaitu bagian kepala sangat tebal, ramping, dan sangat kuat ke arah ekor serta sedikit pipih pada bagian samping (Anonim, 2008). Pada bagian badan dari ikan cakalang berwarna biru tua, semakin kebawah warnanya semakin putih keperak-perakan. Sepanjang perutnya terdapat garis-garis paralel berwarna abu-abu di belakang sirip perut dan ujung sirip dadanya sampai tangkai ekornya. Jumlah garis pada lengkung insang pertama terdapat 53 63 buah saringan insang (Anonim, 2008).

Selanjutnya dalam Anonim (2008) disebutkan bahwa tubuh ikan cakalang berbentuk memanjang dan agak bulat (fusiform), dengan dua sirip punggung yang terpisah. Sirip punggung pertama terdiri dari XIV-XVI jari-jari tajam. Sirip punggung kedua yang terdiri dari 14-15 jari-jari lunak, diikuti oleh 7-9 sirip tambahan berukuran kecil (finlet). Sirip dubur berjumlah 14-15 jari-jari, diikuti oleh 7-8 finlet. Sirip dada pendek, dengan 26-27 jari-jari lunak. Di antara sirip perut terdapat dua lipatan kulit yang disebut taju interpelvis. Busur (lengkung) insang yang pertama memiliki 53-63 sisir saring. Morfologi ikan cakalang (Katsuwono pelamis) dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

Bagian punggung berwarna biru keungu-unguan hingga gelap. Bagian perut dan bagian bawah berwarna keperakan, dengan 4 hingga 6 garis-garis berwarna hitam yang memanjang di samping badan. Tubuh tanpa sisik kecuali pada bagian barut badan (corselet) dan gurat sisi. Pada kedua sisi batang ekor terdapat sebuah lunas samping yang kuat, masing-masing diapit oleh dua lunas yang lebih kecil (Anonim. 2008).

2.2 Komposisi Kimia Ikan Cakalang

Menurut Stansby (1962) dalam Kusbianindradi (1995), ikan cakalang dikategorikan ke dalam ikan yang mengandung protein yang sangat tinggi, yaitu di atas 20% dan lemak rendah di bawah 5%. Selanjutnya dinyatakan bahwa komposisi kimia ikan cakalang seperti yang disajikan pada Tabel 1 berikut:Tabel 1. Komposisi Kimia Ikan Cakalang dalam % (Stansby, 1962)

Komposisi kimia Ikan CakalangKadar (%)

Air

Protein

Abu

Lemak

Glikogen71,2%

26,2%

1,5%

0,7%

0,4%

Sumber : Stansby(1962) dalam Kusbianindradi (1995)

Ikan Cakalang merupakan ikan yang sangat disukai karena disamping mudah didapat harganyanya juga relatif terjangkau. Cakalang memiliki karakteristik sebagai berikut gurih, padat serta mempunyai cita rasa yang khas dan mudah diolah menjadi berbagai menu makanan sehari-hari.. Selain itu, juga Ikan cakalang memiliki kandungan protein yang tinggi dan mengandung senyawa Omega 3 yang sangat cocok dikonsumsi oleh anak-anak dalam masa pertumbuhan. Karena itulah dan Ikan Cakalang sebagai menu makanan laut sangat disarankan karena rasanya sangat enak dan bergizi (Sanger, 2010)2.3Pengawetan Ikan dengan Cara Pengasapan

Pengasapan adalah salah satu cara memasak, memberi aroma, atau proses pengawetan makanan, terutama daging, ikan. Makanan diasapi dengan panas dan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu, dan tidak diletakkan dekat dengan api agar tidak terpanggang atau terbakar. Pembuatan ikan asap pada garis besarnya sama dengan cara penyalaian. Pada proses penyalaian, ikan masak karena dipanggang di atas api yang besar yang dilakukan dalam ruangan terbuka atau dalam gubuk yang udaranya masih dapat keluar masuk dengan leluasa (Soeseno, 1993).

Gambar 3. Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Asap

Pembuatan ikan asap pada garis besarnya sama dengan cara penyalaian. Pada proses penyalaian, ikan masak karena dipanggang di atas api yang besar yang dilakukan dalam ruangan terbuka atau dalam gubuk yang udaranya masih dapat keluar masuk dengan leluasa (Soeseno, 1993). Disamping itu, asap yang ditimbulkan pada proses pengasapan tersebut juga mempunyai peranan penting bagi hasil olahan.

Pengasapan ikan adalah suatu teknik pengawetan dengan menggunakan asap dari hasil pembakaran kayu atau bahan bakar lainnya. Tujuan dari pengasapan adalah untuk memberi warna serta rasa yang khas keasap-asapan pada ikan. Selanjutnya Soeseno (1993), mengemukakan bahwa pengasapan juga dapat membunuh bakteri, dan daya bunuh asap tersebut tergantung dari lamanya pengasapan. Makin lama daging diasapi, maka makin banyak jumlah zat-zat pengawet yang diterima, sehingga makin besar pula ketahanannya.

Ilyas (1992) menjelaskan bahwa pada pengasapan terjadi pengendapan berbagai senyawa kimia pengawet yang berasal dari asap kayu ke dalam daging ikan. Saleh, dkk, (2001) menjelaskan bahwa senyawa-senyawa tersebut memberikan warna dan rasa khas pada olahan ikan asap. Produk olahan tradisional pada umumnya dihasilkan dalam industri rumah tangga dalam usaha rata-rata sangat kecil dengan kemampuan pengetahuan pengolahan yang rendah, ketrampilan yang diperoleh secara turun temurun, penggunaan alat yang sangat sederhana serta tingkat sanitasi dan higienis yang juga sangat rendah (Irdja, 1998). Terbatasnya pengetahuan tentang teknologi pangan banyak menimbulkan kerugian baik secara langsung kepada konsumen dan produsen (Berhimpon, 1995).

Metode, prosedur, teknik, peralatan, produk yang dihasilkan, standarisasi serta distribusi cakalang asap belum banyak diperhatikan dalam rangka pembinaan mutu. Air yang digunakan sebagai bahan pencuci ikan dan alat-alat pengolahan lainnya tidak memenuhi syarat sanitasi dan higiene. Hal ini akan menyebabkan ikan asap cepat mengalami kemunduran mutu bahkan dapat membahayakan manusia yang mengkonsumsinya (Irdja, 1998).

2.4Prinsip Kerja Pengasapan Ikan

Proses pengolahan dalam pembuatan ikan cakalang asap ditampilkan pada gambar 4. Prinsip pengolahan ini meliputi gabungan cara penyalaian dan pengasapan. Penyalaian adalah pengeringan dengan menggunakan panas api dengan maksud menggurangi kadar air dari bahan olahan, sehingga mikroorganisme tidak dapat hidup atau terhambat pertumbuhannya (Irdja,1998). Pengasapan adalah proses penarikan air dan pengendapan berbagai senyawa kimia pengawet yang berasal dari asap kayu ke dalam bahan olahan.

Menurut Ilyas (1992) bahwa prinsip pengawetan ikan dengan cara pengasapan sebagai berikut:

1. Asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu dan bahan pengasapan lainnya mengandung senyawa-senyawa kimia yang dapat membunuh bakteri

2. Panas yang dihasilkan dari pembakaran kayu dan bahan pengasapan lainnya akan mengurangi kadar air

3. Pemasakan, dimana ikan mendapat perlakuan suhu tinggi menyebabkan ikan menjadi masak, enzim menjadi aktif dan dapat membunuh bakteri.

Afrianto dan Liviawaty (1998) menjelaskan bahwa ternyata yang dapat meningkatkan daya awet ikan dalam proses pengasapan bukan asap, melainkan unsur-unsur kimia yang terkandung di dalam asap, dimana unsur-unsur kimia tersebut dapat berperan sebagai berikut:

1. Desinfektan yang menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme penyebab pembusukan yang terdapat dalam tubuh ikan.

2. Pemberian warna pada tubuh ikan, sehingga berwarna kuning keemasan dan dapat membangkitkan selera konsumen untuk menikmatinya.3. Bahan pengawet, karena unsur-unsur kimia yang terkandung di dalam asap mampu memberikan kekuatan pada tubuh ikan untuk melawan aktifitas penyebab ketengikan.

Ilyas (1992) menyatakan bahwa proses pengasapan menyebabkan turunnya kadar air, naiknya kadar asam dan pengendapan berbagai senyawa kimia asap. Pada pengasapan yang berperan bukanlah api yang menyala, tetapi asap yang bekerja sebagai pengawet yang melalui gas-gas formaldehyde (HCHO).Bahan-bahan seperti formaldehyde, aseton dan fenol mempunyai sifat-sifat membunuh bakteri, sementara asam yang mudah menguap dalam asap akan menurunkan pH pada permukaan ikan dan memperlambat pertumbuhan mikroorganisme, juga panas selama pengasapan bersifat anti bakteri (Berhimpon, 1995). Tabel 2 menunjukkan komposisi kimia asap kayu keras.Tabel 2. Komposisi Kimia Asap Kayu Keras (Buckle,dkk 1985 dalam Naiu (1995)SenyawaKandungan

(ppm)

Formaldehide

Aldehide

Asam Format

Asam Asetat

Fenol

Keton25 40

140 180

90 125

460 500

20 30

190 - 200

2.5Bahan Bakar

Bahan bakar merupakan bagian yang terpenting dalam pengoperasian pengasapan karena digunakan sebagai sumber panas dan penghasil asap (Anonim, 2006). Menurut Wibowo (1995) dalam proses pengasapan ikan, unsur kimia yang terkandung dalam asap berasal dari pembakaran kayu.

Sumber api dan asap diperoleh dari kayu bakar dengan jalan membakarnya. Menurut Irdja (1998), jenis kayu api yang disajikan pada tabel 3 yang disusun sesuai urutan yang banyak digunakan.

Tabel 3. Jenis-jenis Kayu Api yang Umum Digunakan pada Pembuatan Ikan Cakalang AsapNoNama daerah/umumNama Latin

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.Ting / bakau

Bakau Merah

Lolaro / bakau

Kayu bugis

Kayu kapur

Kenanga

NantuCeriops tagal

Lepidophora sp

Rhizophora apiculata

Koordersiodendron pinatum

Dryobalanops arematica

Kananga odororata

Palagium obtosifolium

Di Sulawesi Utara, pada umumnya masyarakat menggunakan kayu bakau sebagai bahan bakar untuk pegasapan ikan. Dimana jenis kayu ini terdapat di pesisir pantai yang menjorok ke laut.

Menurut zaitzev (1969) dalam Naiu (1995) mengatakan bahwa kayu mengandung senyawa-senyawa yang dapat terbakar, yaitu senyawa organic kompleks seperti selulosa, lignin, pentosa, asam tanat, zat-zat protein, resin dan terpenten.

Tabel 4. Zat-zat Organik yang Tekandung pada Kayu KerasKomponenPersentase

(%)

Selulosa

Lignin

Hemiselulosa

Pentosa

Heksosa

Resin

Protein

Mineral

43 53

18 24

22 25

3 8

1,8 3,0

0,1 1,9

0,3 1,2

2.6.Metode Pengasapan

2.6.1Pengasapan Panas

Pengasapan panas dalam prosesnya, ikan yang diasapi diletakkan cukup dekat dengan sumber asap. Dengan cara ini, suhu tempat penyimpanan ikan dapat mencapai lebih dari 100C sehingga ikan masak secara keseluruhan. Pada cara ini terjadi dua tahapan yaitu pemasakan secara perlahan lahan yang diikuti oleh pengeringan produk, kemudian pengasapan itu sendiri yang memberikan rasa dan aroma yang khas keasap - asapan (Anonim, 2006).

Sutoyo (1999) mengemukakan bahwa ikan hasil pengasapan yang seolah olah mengalami pemanggangan, ikan akan menjadi matang dan dapat langsung dimakan. Proses pengasapan jauh lebih cepat, tetapi tidak begitu menjamin untuk disimpan lama. Ikan menjadi kering tetapi tidak menjadi keras seperti kayu, sebab unsur airnya hanya sebagian saja yang diserap asap.

Suhu yang digunakan untuk pengasapan panas menurut Moeljanto (1992), dilakukan pada suhu 80 - 100C. Sedangkan Naiu (1995) melaporkan bahwa suhu yang paling baik digunakan untuk pengasapan panas yaitu pada suhu 100C.2.7.2 Pengasapan DinginSutoyo (1999) menyatakan bahwa pengasapan dingin hanya merupakan istilah untuk membedakan dari cara pengasapan panas, akan tetapi dalam pelaksanaannya hampir sama dari kedua sistem tersebut, yaitu keduanya menggunakan asap yang bersumber dari pembakaran atau perapian.Menurut Prescott dan Proctor (1937) dalam Kusbianindradi (1995), pengasapan dingin ikan diletakkan jauh dari sumber api atau tungku pembakar dengan menggunakan waktu pengasapan yang lama. Suhu pada tempat penyimpanan ikan tidak terlalu tinggi yaitu sekitar 30 - 40C (Sutoyo, 1999) atau 40 - 50C (Moeljanto, 1992) dan 30 - 60C (Afrianto dan Liviawaty, (1998).Ikan yang diasapi dengan cara pengasapan dingin ini dapat berlangsung selama beberapa hari sampai dua minggu, tergantung ukuran ikan, sehingga produk dapat menyerap partikel asap, dagingnya kering karena banyak cairan tubuh yang menguap (Afrianto dan Liviawaty, (1998).

2.7 Prinsip Metode Pengujian Angka Lempeng Total

Penentuan jumlah bakteri adalah suatu pengujian untuk memperkirakan jumlah bakteri hidup yang terdapat pada bahan baku atau produk olahan hasil perikanan. Dalam pengawasan mutu, jumlah bakteri pada produk perikanan merupakan salah satu ukuran untuk mengetahui mutu dari produk perikanan tersebut (Anonim, 2004). Prinsip dari metode pengujian Angka Lempeng Total adalah jika sel bakteri yang masih hidup ditumbuhkan atau dibiakkan pada medium, maka sel bakteri tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dan dihitung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop (Fardiaz, 1989).

Agar bakteri dapat dibiakkan dengan baik, diperlukan tempat (media) yang memungkinkannya bertumbuh dan berkembang secara optimal. Oleh karena itu media pembiakan harus mengandung cukup nutrien untuk pertumbuhan bakteri, selain suhu dan pH yang sesuai (Tambayong, 2000). Media pembiakan ada yang padat dan ada yang cair, dimana dalam pengujian Angka Lempeng Total menggunakan media padat yang pada umumnya media agar

Metode pengujian Angka Lempeng Total merupakan cara yang paling sensitif untuk menentukan bakteri dan jasad renik lainnya karena beberapa hal. Pertama, hanya sel yang masih hidup yang dihitung; yang kedua, beberapa jenis jasad renik dapat dihitung sekaligus; dan terakhir, dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi jasad renik karena koloni yang terbentuk mungkin berasal dari suatu jasad renik yang mempunyai penampakan pertumbuhan spesifik (Anonim, 1999). Sedangkan Entjang (2003) menjelaskan bahwa melalui pembiakan padat terdapat beberapa keuntungan, yaitu dapat membuat biakan murni dan dapat pula melihat bentuk koloni dari setiap jenis bakteri.

Sekalipun metode pengujian Angka Lempeng Total mempunyai beberapa kelebihan, namun pada metode ini juga terdapat beberapa kelemahan, yaitu sebagai berikut. Pertama, hasil perhitungan kadang-kadang tidak menunjukkan jumlah sel yang sebenarnya, karena beberapa sel yang berdekatan mungkin membentuk satu koloni. Kedua, medium dan kondisi inkubasi yang berbeda mungkin menghasilkan nilai yang berbeda. Ketiga, jasad renik yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat yang membentuk koloni yang kompak dan jelas serta tidak menyebar. Keempat, memerlukan persiapan dan waktu inkubasi yang relatif lama agar pertumbuhan koloni dapat dihitung (Fardiaz,1989).

Menurut Fardiaz (1989), dalam metode pengujian Angka Lempeng Total, bahan pangan yang diperkirakan mengandung lebih dari 300 sel jasad renik per mili liter atau per gram atau per centi meter (jika pengambilan contoh dilakukan pada permukaan) memerlukan perlakuan pengenceran sebelum ditumbuhkan pada medium agar di dalam cawan petri. Setelah melalui inkubasi akan terbentuk koloni pada cawan tersebut dalam jumlah yang dapat dihitung, dimana jumlah yang terbaik adalah diantara 30 sampai 300 koloni. Pengenceran biasanya dilakukan secara desimal yaitu 1: 10, 1: 100, 1: 1000, dan seterusnya, atau 1: 100, 1: 10 000, 1: 100 000, 1: 1000 000 dan seterusnya. Larutan yang digunakan untuk pengenceran dapat berupa larutan buffer fosfat, 0,85% NaCl atau larutan Ringer.

Cara pemupukan dalam metode pengujian Angka Lempeng Total dapat dibedakan atas dua cara yaitu metode tuang (pour plate) dan metode permukaan/sebar (surface/spread plate). Dalam metode tuang sejumlah contoh 1 ml dari pengenceran yang dikehendaki dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian tambahkan agar cair steril yang telah didinginkan pada suhu 47 58 0C sebanyak 15 20 ml dan digoyangkan supaya contoh menyebar rata. Pada pemupukan dengan metode sebar, terlebih dahulu dibuat media agar di dalam cawan, kemudian 1 ml contoh yang telah diencerkan dipipet pada permukaan agar tersebut, dan diratakan dengan batang gelas melengkung yang telah melalui proses sterilisasi.

Sterilisasi dalam mikrobiologi ialah suatu proses untuk mematikan semua organisme yang terdapat pada atau di dalam suatu benda. Ada tiga cara utama yang umum dipakai yaitu, penggunaan panas, bahan kimia dan penyaringan (filtrasi).

Bila panas digunakan bersamasama dengan uap air maka disebut sterilisasi basah. Sterilisasi basah dilakukan di dalam autoclave atau sterilisasi uap dengan suhu 1210C selama 15 menit (Anonim, 2004). Sterilisasi tanpa kelembaban disebut sterilisasi kering yang biasa dilakukan di dalam oven, sedangkan sterilisasi kimia dapat dilakukan dengan menggunakan radiasi. Pemilihan metode sterilisasi didasarkan pada sifat bahan yang akan disterilkan (Anonim, 2004). Hasil penelitian Desmelati dkk (2007 ) menunjukkan pengamatan untuk uji kualitas ikan asap yaitu dengan organoleptik, analisa kadar air, bilangan peroksida, pengamatan jamur dan analisa bakteri staphylococcus sp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan asap cair yang berbeda mampu mempertahankan mutu ikan patin asap selama penyimpanan 28 hari dengan perlakuan larutan asap cair destilasi kayu laban (L2) merupakan perlakuan terbaik dilihat dari nilai organolpetik, nilai kadar air dan bakteri Staphylococcus sp, sedangkan pertumbuhan jamur tidak ditemukan dan tidak ada nilai bilangan peroksida. 2.8 Pengujian Organoleptik

Uji organoleptik didasarkan pada kegiatan penguji-penguji rasa (panelis) yang pekerjaannya mengamati, menguji, dan menilai secara organoleptik. Sensoris berasal dari kata sense yang berarti timbulnya rasa, dan timbulnya rasa selalu dihubungkan dengan panca indera. Leptis berarti menangkap atau menerima. Jadi pengujian sensoris atau organoleptik mempunyai pengertian dasar melakukan suatu kejadian yang melibatkan pengumpulan data-data, keterangan-keterangan atau catatan mekanis dengan tubuh jasmani sebagai penerima.Pengujian secara sensoris/organoleptik dilakukan dengan sensasi dari rasa, bau/ aroma, penglihatan, sentuhan/rabaan, dan suara/pendengaran pada saat makanan dimakan. Sebagai contoh rasa enak adalah hasil dari sejumlah faktor pengamatan yang masing-masing mempunyai sifat tersendiri. Contoh keterlibatan panca indera dalam uji organoleptik, yaitu:1. Rasa dengan 4 dasar sifat rasa, yaitu manis, asam, asin dan pahit.2. Tekstur adalah hasil pengamatan yang berupa sifat lunak, liat, keras, halus, kasar, dan sebagainya.3. Bau dengan berbagai sifat seperti harum, amis, apek, busuk, dan sebagainya.4. Warna merupakan hasil pengamatan dengan penglihatan yang dapat membedakan antara satu warna dengan warna lainnya, cerah, buram, bening, dan sebagainya.5. Suara merupakan hasil pengamatan dengan indera pendengaran yang akan membedakan antara kerenyahan (dengan cara mematahkan sampel), melempem, dan sebagainya.Hasil penelitian Leksono (2001) menunjukkan bahwa kualitas rupa ikan Jambal Siam asap dipengaruhi oleh terlihatnya pertumbuhan jamur, sehingga dapat menurunkan nilai organoleptik ikan asap tersebut. Perlakuan tanpa perendaman (A0) menunjukkan pertumbuhan jamur pada hari ke-15, sedangkanpada perlakuan lainnya jamur baru bertumbuh pada hari ke-30.Pengujian yang telah dilakukan pada ikan asap menujukkan bahwa uji organoleptik terhadap warna, tekstur, dan aroma ikan asap, serta uji mikrobiologis yang meliputi uji kuman, bakteri Eschericia coli, dan jamur. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan asam asetat dan asam propionat dapat memperbaiki warna, tekstur, dan aroma ikan asap dibandingkan kontrol, namun tidak ada perbedaan yang signifikan antara perlakuan dengan asam asetat dengan asam propionat. Ikan asap hasil proses pengasapan dalam penelitian daya awetnya juga lebih baik dibanding kontrol (Sulistyowati, 2008).Uji organoleptik merupakan pengujian secara subjektif, yaitu suatu pengujian penerimaan selera makanan (acceptance) yang didasarkan atas uji kegemaran (perference) dan analisis pembedaan (difference analysis), sehingga dapat digolongkan menjadi:1. Psikofisik

: Uji perbedaan2. Psikometrik : Uji kegemaran, Uji penilaian dengan angka, Uji ahli penguji rasa3. Deskripsi denomena: Uji profil rasaUntuk menilai atau menguji secara organoleptik diperlukan: Lingkungan suasana tenang dan bersih, peralatan yang bebas bau, bahan contoh yang tepat, standar bahan contoh, para panelis baik yang terlatih maupun umum, metode pengujian.

2.9 Kadar Air Produk Olahan IkanKadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan citarasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Winarno, 1997). Selajutnya dikatakan bahwa kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan citarasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan .

Hasil penelitian Desmelati dkk (2008) dalam penelitian terhadap pengaruh asap cair terhadap ikan jambal siam asap menunjukkan bahwa nilai kadar air ikan asap yang diberikan perlakuan asap cair yang berbeda selama penyimpanan mengalami peningkatan, rata-rata nilai kadar air ikan patin asap dari hasil pengamatan selama 28 hari adalah berkisar antara 6,25 sampai 15,04.Sedangkan penelitian Sewedja (2010) yang mengadakan penelitian terhadap penentuan umur simpan ikan tandipang menunjukkan bahwa nilai kadar air produk setelah proses penyimpanan 40 hari (15,70%) masih dibawah nilai yang disyaratkan standar nasional Indonesia untuk produk ikan asap (max. 60%) dan ikan kering (max. 20%).

Air yang terkandung dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan bahan pangan. Pada umumnya bahan pangan yang mudah rusak adalah bahan pangan yang memiliki kandungan air yang tinggi. Air dibutuhkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Demikian juga air dibutuhkan untuk berlangsungnya reaksi-reaksi biokimia yang terjadi di dalam bahan pangan, misalnya reaksi-reaksi yang dikatalisis oleh enzim (Barnapu, 2010).Cara menentukan kadar air bahan pangan. Penentuan kadar air adalah suatu kegiatan yang lakukan untuk melihat berapa banyak kadar air yang terkandung dalam suatu bahan pangan. Kadar air bahan pangan sangat berpengaruh pada daya tahan dan daya simpan bahan pangan itu sendiri. Setidaknya ada 3 cara menentukan kadar air, yaitu: penentuan kadar air dengan cara pemanasan, penentuan kadar air dengan cara Distilasi Toluene dan penentuan kadar air dengan Oven Vacum (Oven Vakum) Meskipun ada banyak cara untuk menentukan kadar air bahan pangan, namun tujuannya tetap sama yaitu untuk menentukan jumlah kadar air dalam bahan pangan untuk memudahkan penanganan bahan pangan berikutnya seperti pengolahan dan penyimpanan (Ayatullah, 2008).2.10 Hipotesis PenelitianHipotesa dari penelitian ini adalah :

Ho = Masa simpan tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan mutu ikan cakalang asap.

H1 = Masa simpan memberikan pengaruh terhadap perubahan mutu ikan cakalang asap.

BAB IIIMETODE PENELITIAN3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Pelaksanaan kegiatan penelitian ini dilakukan selama 2 (dua) bulan yaitu pada minggu pertama bulan April 2012 sampai minggu pertama bulan Juni 2012 bertempat di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Provinsi Gorontalo.

3.2 Alat dan Bahan

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) segar yang dibeli di Pasar Sentral Gorontalo dengan ukuran berkisar 40-60 cm. Sebagai bahan bakar yang digunakan kayu bakau (Ceriops sp), yang diperoleh dari lokasi penjualan kayu bakar. Untuk bahan yang digunakan untuk analisa di Laboratorium disajikan pada tabel 2.Tabel 2. Bahan untuk Analisa di Laboratorium

NONAMAKEGUNAAN

1Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)Sampel yang akan diteliti

2PCA (Plate Count Agar)Media agar untuk pertumbuhan bakteri

3BFP (Butterfield Phosphate)Larutan Pengenceran

4Air bersihSebagai bahan pelarut

Sementara untuk peralatan yang digunakan pada saat kegiatan pengasapan disajikan pada tabel 3 dan perlatan yang digunakan pada saat analisa dilaboratorium disajikan pada Tabel 4.Tabel 3. Peralatan yang Digunakan untuk PengasapanNONAMAKEGUNAAN

1Rumah pengasapanTempat Untuk Pengasapan

2Para-para Tempat untuk meletakkan Ikan disaat akan diasap

3GelagarUntuk menempatkan ikan yang akan diasap

4PenindihanUntuk menindih ikan yang telah disusun di atas gelagar dan juga berfungsi untuk mengatur jarak antara tiap baris susunan ikan

5Meja KerjaTempat untuk membersihkan sisik, insang, dan isi perut serta tempat untuk mecuci darah serta kotoran yang menempel pada ikan

6EmberWadah air

7PisauAlat untuk memotong insang dan membelah dinding perut pada waktu penyiangan ikan

8TalenanTempat untuk memotong agar

9BambuAlat untuk menjepit ikan

Tabel 4. Peralatan untuk Analisa di LaboratoriumNONAMAKEGUNAAN

1Cawan Petri Sebagai wadah dari media yang akan digunakan

2Coloni counterUntuk menghitung bakteri

3Gelas UkurUntuk mengukur cairan/air

4Mikro PipetUntuk memindahkan cairan dari wadah satu ke wadah yang lain dalam jumlah kecil

5ErlenmeyerTempat untuk menaruh cairan/air

6StomacherUntuk menghancurkan sampel

7Stirrer Magnet Hot PlateUntuk memanaskan dan untuk mengaduk media yang akan digunakan

8AutoclaveUntuk mensterilkan alat - alat dan media yang akan digunakan

9OvenUntuk mensterilkan alat - alat atau bahan bahan yang kering

10IncubatorUntuk mengembangbiakan bakteri

11Laminary Air FlowTempat atau meja untuk mengerjakan pengujian

12Batang Pengaduk Stainles steel Untuk mengaduk

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1. Perlakuan dan Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap yang disusun secara faktoril 2 x 3 dengan dua replikasi. Perlakuan yang diberikan adalah :

A. Perlakuan sendiri

(A1) = Kayu BakauPerlakuan tradisional (A2) = Sabut KelapaB. Lama Penyimpanan A

= Perlakuan masa simpan 2 hariB

= Perlakuan masa simpan 4 hari

C

= Perlakuuan masa simpan 6 hari

Analisa keragaman pengaruh perlakuan dilakukan uji F dan dilanjutkan dengan uji P- Duncan bagi perlakuan yang nyata.3.3.2 Tata Laksana Penelitian

Ikan Cakalang segar dibersihkan dengan air, sementara itu bahan bakar mulai dinyalakan sehingga suhu ruang pengasapan mulai meningkat. Pada saat suhu ruangan sudah mencapai suhu yang diinginkan, ikan disusun dengan kemiringan kurang lebih 50o (untuk pengasapan sendiri).

Pengambilan sampel untuk analisa dilakukan pada 2 hari penyimpanan setelah itu dilakukan 4 hari sampai dengan 6 hari penyimpanan.

3.3.3 Pengamatan dan Pengukuran

Untuk mempelajari pengaruh perlakuan, dilakukan pengamatan terhadap Angka Lempeng Total (ALT), kadar air dan uji organoleptik sesuai dengan standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk perikanan yaitu ikan asap.

3.3.3.1 Pengujian Angka Lempeng Total (ALT) SNI 01-.2332.3.2006Dalam melakukan pengujian Angka Lempeng Total dilakukan dengan cara sebagai berikut :1. Alat-alat yang digunakan disterilkan di oven pada suhu 170 0C selama 2 jam.

2. Sampel ikan cakalang asap ditimbang secara aseptik sebanyak 25 gram,

3. Media Plate Count Agar (PCA) ditimbang seberat 3,5025 gram (untuk pengujian 1 sampel), kemudian PCA dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 150 ml aquades.4. PCA dipanaskan pada Stirer Magnet Hot Plate sampai larutan menjadi jernih.

5. Sampel ikan asap yang sudah ditimbang dimasukkan ke dalam plastik steril yang sudah berisi larutan Butterfield Phosphate (BFP) sebanyak 225 ml, kemudian dihomogenkan pada alat stomacher.6. Sampel ikan dan larutan BFP yang sudah homogen diambil sebanyak 1 ml dengan menggunakan pipet steril lalu masukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml BFP (10 -2), kemudian diambil 1 ml dari pengenceran 10-2 dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi larutan BFP sebanyak 9 ml (10-3 ) dan seterusnya sampai pada pengenceran 10-5.

7. Dipipet 1 ml dari setiap pengenceran tadi ke dalam cawan petri steril (dilakukan secara duplo untuk setiap pengenceran), kemudian dituangkan PCA yang sudah dingin (sampai suhu 45oC) sebanyak 12-15 ml ke dalam cawan petri yang berisi pengenceran tadi, kemudian dikocok sampai tercampur, dan didiamkan sampai membentuk agar.

8. Cawan petri tersebut dimasukkan ke dalam inkubator, selama 48 jam dengan toleransi selama kurang lebih 2 jam.

9. Koloni yang tumbuh pada cawan petri dihitung dengan bantuan alatcoloni counter. Dalam kegiatan ini yang dihitung hanya cawan petri yang mempunyai jumlah koloni 25 250. CN =

[ ( 1 x n1 ) ( 0,1 x n2 ) ] (d)3.3.3.2 Pengujian Kadar Air berdasarkan SNI 01-2354.2-2006Langkah-langkah yang dilakukan pada pengujian kadar air adalah sebagai berikut :1. Kondisikan oven pada suhu yang akan digunakan hingga mencapai kondisi stabil.

2. Masukkan cawan kosong kedalam desikator sekitar 30 menit sampai mencapai suhu ruang dan timbang bobot kosong.

3. Timbang contoh yang telah dihaluskan sebanyak 2 gr kedalam cawan

4. Masukkan cawan yan g telah diisi dengan contoh ke dalam oven pada suhu 105C selama 16 jam 24 jam.

5. Pindahkan cawan dengan menggunakan alat penjepit ke dalam desikator selama 30 menit, kemudian timbang.

B - C

% Kadar air =

x 100 %

B - A

3.3.3.3Uji Organoleptik berdasarkan SNI 2346:2001Uji organoleptik yang digunakan adalah uji Skor yang meliputi kenampakan, bau, rasa, tekstur, jamur dan lendir. Jumlah panaelis yang digunakan dalam uji organoleptik ini adalah berjumlah 10 orang panelis terlatih.

Uji skor juga disebut dengan pemberian skor. Pemberian skor ialah memberikan angka nilai atau menempatkan nilai mutu terhadap bahan yang akan diuji pada jenjang mutu yang sudah menjadi baku. Sepuluh orang panelis diminta menilai menurut tingkat pengamatannya, berdasarkan skala hedonic yang telah disediakan pada bentuk lembaran score sheet. Setiap panelis menandai pada lembaran score sheet sesuai dengan penilainnya terhadap contoh.

Data hasil pengujian dibandingkan secara deskriptif maupun grafis.BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Angka Lempeng Total (ALT)

Hasil analisa Angka Total Lempeng Total (ALT) dari ikan cakalang asap sendiri dapat dilihat pada tabel 6, sedangkan untuk metode pengasapan lokal terlihat pada tabel 7. Dari data tersebut ditransformasikan ke logaritma untuk memperkecil sebaran data seperti tercantum pada gambar 4. Adapun hubungan antara pengasapan sendiri dengan pengasapan tradisional terhadap jumlah koloni bakteri dapat dilihat pada gambar 4.

Dari data terlihat bahwa jumlah koloni tertinggi pada metode pengasapan sendiri dimana pada hari ke-2 masa penyimpanan pada metode pengasasapan sendiri jumlah koloni bakteri rata-rata 3600 koloni bakteri (tabel. 6) lebih rendah jika dibandingkan dengan metode pengasapan tradisional pada hari ke-2 penyimpanan adalah rata-rata koloni bakterinya adalah 8800 koloni bakteri (tabel. 7)Tabel 6. Nilai ALT Ikan Cakalang asap sendiriUlangan Perlakuan

ABCK

1410037.000270.000450.000

2410032.000270.000410.000

3250030.000280.000430.000

Rata-rata360033.000270.000

Gambar 4. Diagram batang nilai rata log ALT selama penyimpanan pada suhu ruang

Dari diagram pada gambar 4 menunjukkan bahwa kandungan koloni bakteri meningkat sejalan dengan lamanya waktu penyimpanan dan mencapai jumlah tertinggi pada penyimpanan terakhir yaitu sebesar 5.43 (hari ke-6). Nilai rata-rata ALT pada hari penyimpanan terakhir pada suhu ruang masih layak untuk dikomsumsi lagi bila dibandingkan dengan nilai SNI, yaitu 5 x 10 5 kol/g. Pada penyimpanan suhu ruang nilai rata-rata ALT pada hari ke-6 sebesar 270.000 kol/gr (tabel 6). Dari hasil analisis lampiran 1 a dapat dilihat bahwa jumlah hitung mikroorganisme mengalami peningkatan sejalan dengan waktu penyimpanan. Pada penyimpanan suhu ruang lamanya penyimpanan berpengaruh nyata terhadap nilai log ALT. Dari hasil uji Sidik ragam (lampiran 2) diperoleh lama penyimapan pada hari ke-0 berbeda nyata dengan hari k-2, 4 dan 6. Bakteri yang dapat tumbuh pada kisaran suhu ruang ini adalah bakteri golongan mesofil.Tabel 7. Nilai ALT Ikan Cakalang asap tradisionalUlanganPerlakuan

ABC

1850040.0001.600.000

2940044.0001.600.000

3840034.0001.200.000

Rata-rata880039.0001.500.000

Dari diagram pada gambar 4 menunjukkan bahwa kandungan mikroorganisme meningkat sejalan dengan lamanya waktu penyimpanan dan mencapai jumlah tertinggi pada penyimpanan terakhir yaitu sebesar 6.15 (hari ke enam). Nilai rata-rata ALT pada hari penyimpanan terakhir pada ikan asap cakalang lokal sudah tidak layak untuk dikomsumsi bila dibandingkan dengan nilai SNI yaitu maksimum 5 x 105. Pada perlakuan nilai rata-rata ALT pada hari ke-6 adalah 1.5 x 10 7. Bakteri yang dapat tumbuh adalah bakteri yang termasuk dalam golongan psikrofilik. Contoh dari bakteri psirofilik antara lain Pseudomonas, Flavabacterium, Alcaligenes, Mikrococcus, Enterobacter dan Anthrobacter.4.2Kadar Air

Hasil analisa kadar air dapat dilihat pada pada gambar 5. Dari data tersebut dapat terlihat bahwa rata-rata kadar air tertinggi pada metode pengasapan sendiri adalah 40,89 % pada hari kedua 51,56 % sedangkan pada hari ke -6 kadar air ikan asap adalah 56,39 % lebih rendah dibandingkan dengan metode pengasapan lokal yaitu pada hari ke-2 kadar air adalah 46,83 % pada hari ke-4 52,97 % sedangkan pada hari ke-6 mencapai kadar air adalah 65,33 %.

Perbedaan ini diduga karena pengasapan lokal tidak memperhatikan suhu api dan daging ikan waktu diasapi sangat tebal sehingga proses pengeringan pada daging tersebut kurang baik. Sedangkan proses pengasapan sendiri pada ikan cakalang dijaga suhu .

Gambar 5. Grafik kadar Air Terhadap Ikan Cakalang asap

Hasil analisa sidik ragam (lampiran 2) menunjukkan bahwa perlakuan cara pengasapan dengan lama penyimpanan memberikan kadar air yang sangat berbeda nyata (P0.05) semakin lama penyimpan semakin besar prosentase kadar air.Keawetan bahan pangan mempunyai hubungan yang erat dengan kadar air. Semakin rendah kadar air dalam bahan pangan diharapkan dapat memperpanjang masa simpannya. Kandunga air dalam bahan pangan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba, dan ini merupakan salah satu sebab bahwa dalam pengolahan pangan, air sering dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan atau pengentalan dan pengeringan. Kadar air dalam bahan pangan mempengaruhi daya awet bahan pangan, menentukan sifat fisik, dan fisik kimia, pembusukan oleh mikroorganisme dan perubahan mutu oleh enzim yang terjadi pada bahan pangan (Buckle et al, 1987).

Kadar air ikan cakalang segar adalah berkisar pada 78 %. Bila dibandingkan dengan kadar air tersebut maka kadar air ikan selama pengasapan mengalami penurunan. Penurunan kadar air ini dapat disebabkan karena adanya pemanasan terhadap produk sehingga terjadi penguapa air didalam dan diluar produk.Tinggi kadar air pada perlakuan mengunakan metode pengasapan tradisional diduga karena pengasapan ini mengunakan metode singkat dan suhu tidak mencapai 100 o C hl ini sesuai yang dikemukan oleh Moelyanto (1992) yang mengatakan bahwa waktu pengasapan yang singkat dengan suhu yang tinggi menyebabkan pengendapan partikel-partikel asap yang terjadi dipermukaan produk sehingga proses pengeluaran air berlangsung lambat. Pada akhir pengasapan, kadar air produk masih tinggi yang menyebabkan produk tidak tahan lama.

4.3Uji Organoleptik 4.3.1. Penampakan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata penampakan yang diperoleh adanya penurunan mutu penampakan dimulai dari hari ke-2 hingga akhir penyimpanan hari-6 terhadap ikan asap cakalang lokal lebih tinggi nilai dibandingkan dengan ikan asap sendiri. Sampel dengan perlakuan Ikan asap lokal mengalami penurunan mutu penampakan dari 7,80 (utuh, kurang rapi, bersih, menarik pada hari pertama menjadi 3,53 (kurang menarik, coklat gelap, warna tidak merata) pada ke-6 penyimpanan.

Untuk hari kedua, sampel yang mendapatkan nilai rata-rata nilai penampakan sangat tinggi, hal ini dikarenakan kondisi hari kedua belum menyebabkan pengaruh yang berarti terhadap ikan asap cakalang karena pertumbuhan mikroba yang menjadi salah satu sebab penyebab rusaknya penampakan masih dalam zona adaptasi dan belum memberikan pengaruh yang berarti pada produk.

Pada hari ke-6 penyimpanan penampakan ikan asap cakalang sudah tidak baik menurut panelis diduga karena hasil autolisis dari mikroba yang mengkibatkan kerusakan pada ikan asap cakalang. Adapun hal lain diduga pertumbuhan jamur yang semakin meningkat pada ikan asap cakalang dengan parameter bintik-bintik hijau dan benang-benang halus pada permukaan ikan asap cakalang tersebut.4.3.1. Bau

Pada hari ke-2 sampel yang mendapatkan nilai bau lebih tinggi pada ikan cakalang asap sendiri dibandingkan dengan ikan asap lokal namun kisaran nilai yang didapatkan dari kedua sampel mendekati sama hal ini dikarenakan pertumbuhan mikroba yang menjadi salah satu penyebab kerusakan senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang menyebabkan bau tidak enak masih dalam zona adaptasi dan belum memberikan pengaruh yang berarti pada produk.

Pada hari ke-6 dari hasil uji organoleptik mendapatkan nilai rata-rata bau lebih tinggi adalah sampel dengan perlakuan ikan asap sendiri sedangan yang terrendah adalah ikan asap lokal . Hal ini disebakan kaena adanya sifat antiseptik dari fenol yang dapat menghambat timbulnya bau yang tidak enak yang disebabkan oleh aktifitas mikroba.

4.3.2. Rasa

Dari hasil penelitian menujukkan bahwa terjadinya penurunan mutu rasa dimulai apada hari ke-2 hingga hari ke-6 pada priode masa penyimpanan. Ikan cakalang asap mengalami penurunan mutu rasa dari 7.13 (enak, kurang gurih) pada hari ke-2 penyimpanan menjadi 5.71 (kurang enak, dengan rasa tambahan menggangu) pada hari ke-6 penyimpanan. Sedangkan pada ikan Cakalang asap lokal penurunan mutu mencspsi nilai 1,7 (basi/busuk).4.3.3. Konsistensi

Dari hasil nilai rata-rata konsistensi yang diperolah menunjukkan adanya penurunan mutu konsistensi dari mulai hari ke-2 hingga akhir penyimpanan (gambar 6). Untuk cakalang ikan asap produk sendiri pada hari ke-2 nilainya adalah 9 ( padat kompak cukup kering antar jaringan erat) menjadi nilai 5,71 (kering mengayu rapuh, antar jaringan longar).

Sedangkan penurunan mutu ikan asap cakalang lokal penurunan mutu konsistensinya pada hari ke-2 adalah rata-rata 8,9 (padat, kompak, cukup kering) menjadi nilai rata-rata 1( berair, lengket seperti ubi rebus).

Untuk hari terakhir mutu konsistensi yang mendapatkan nilai rata-rata terbaik adalah sampel dengan mengunakan metode pengasapan sendiri dengan mendapat nilai organoleptik yang baik.4.3.3. Jamur

Terbentuknya jamur pada produk makanan merupakan suatu indikasi produk sudah mengalami kemunduran mutu. Dari hasil uji organoleptik jamur didapatkan pada hari ke-2 mendapat nilai 9 (tidak ada jamur), hal ini menunjukkan bahwa hari ke-2 jamur belum dapat tumbuh karena kondisi tumbuh jamur belum optimal. Pada hari ke- 6 masa penyimpanan sudah ditumbuhi jamur.

Adanya jmaur pada ikan cakalang asap sendiri maupun ikan asap lokal diduga karena adanya kontaminasi awal proses dan kurangnya efektifitas dari fenol yang menghambat pertumbuhan jamur.

4.3.3. Lendir

Uji organoleptik jamur menunjukkan bahwa selama penyimpanan 6 hari terjadi penurunan mutu nilai lendir. Pada hari ke-2 untuk kedua sampel belum terdeteksi lendir berdasarkan peneilaian oleh para panelis. Untuk hari terkahir penyimpanan penilaian lendir terbaika adalah pada sampel dengan perlakukan asap sendiri dengan nilai 6,2(lendir tipis, agak jelas, agak bau) sedangkan yang terendah adalah ikan asap lokal dengan nilai 2,33 (lendir jelas, bau).

Gambar 6. Grafik Nilai Organoleptik Tehadap Ikan Cakalang Asap Analisa sidik ragam data organoleptik pada lampiran 4 menunjukan bahwa perlakuan masa simpan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P < 0,05). Hasil tersebut menunjukan bahwa perlakuan 6 hari sangat berbeda nyata (p < 0.05). Semakin lama penyimpanan semakin jelas tingkat perubahan pada ikan cakalang asap, sedangkan perlakuan 2 hari jumlah persentase organoleptik paling rendah tidak berbeda nyata (p > 0,05).BAB VPENUTUP5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian terhadap ikan cakalang asap dengan perlakuan sendiri dibandingkan dengan pengasapan lokal dapat disimpulkan sebagai berikut :1) Lama penyimpanan awal (2 hari) sampai pada hari terakhir penyimpanan (6hari) mempengaruhi nilai kadar air, ALT dan organoleptik dimana nilai yang terbaik adalah metode pengasapan sendiri.2) Berdasarkan hasil analisa sidik ragam terhadap kadar air dan nilai ALT didapatkan bahwa proses kemunduran mutu dipengaruhi nilai mikrobiologis terhahap setiap perlakuan.3) Angka Lempeng Total, Kadar Air dan Organoleptik dari produk ikan cakalang asap pada perlakuan penyimpanan 6 hari terbaik pada pengasapan sendiri.5.2 Saran

Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini, beberapa hal yang diharapkan penulis adalah sebagai berikut:

1) Perlu dilakukan penelitian terhadap ikan asap dengan metode asap cair2) Perlu dilakukan penelitian lanjutan terdapat pengaruh bahan bakar untuk pengasapan ikan dengan mengunakan berbagai jenis kayu yang berbeda.DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Teknologi Pengawetan Ikan Dengan Cara Pengasapan. http://bisnisukm.com/pembuatan ikan asap.html.

Anonim. 2008. Penyebaran Cakalang. http://www.pustaka deptan. Go.id.

Afrianto, E., Liviawaty E. 1998. Pengawetan dan Pengolahan ikan. CV. Yasaguna. Jakarta.

Berhimpon, S. 1995. Pengaruh Beberapa Bahan Pengawetan Kimia, Lama Pengasapan, Dan Lama Penyimpanan. Fakultas Perikanan Unsrat. Manado.Domingilala, LJ., 2009. Kadar air dan Total Bakteri pada Ikan Roa (Hemirhampus sp) asap dengan metode pencucian bahan baku berbeda. Jurnal Sains. Universitas Samratulangi . Manado.

Desmelati, dkk. 2007. Pengaruh Pengunaan Asap Cair yang Berbeda terhadap mutu ikan Patin (Pangasius hypothalmus) Asap selama penyimpanan pada suhu kamar. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Sriwijaya.Dundu, B. 1986. Penelitian Flora Bakteri Pada Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dan Produk-produknya di Sulawesi Utara. Disertasi. Universitas Sam Ratulangi. Manado

Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Liberty. Yogyakarta.

Hanafiah, K. A. 1991. Rancangan Pecobaan. PT. RajaGrafindo Persada. Palembang.

Ilyas, S. 1992. Pengantar Pengolahan Ikan. LPTP. Jakarta.

Irdja, A.M. 1998. Pembuatan Ikan Cakalang Fufu dan Beberapa Alternatif Upaya Memperpanjang Daya Awetnya. Dinas Perikanan Propinsi Sulawesi Utara. Manado.

Irdja, A. M. 1998. Pembuatan Ikan Cakalang Fufu. Dinas Perikanan Propinsi Sulawesi Utara. Manado.

Kusbianindradi, 1995., Pengaruh Temperatur dan Penggunaan Beberapa Limbah Hasil Pertanian Sebagai Bahan Bakar Terhadap Mutu Fish Ham Cakalang (Katsuwonus pelamis) Asap. Universitas Sam Ratulangi. Manado. Leksono, T dan Amin Wazna, 2001. Analisis Pertumbuhan mikroba Ikan Jambal siam (Pangasius sutchi) asap yang telah diawetkan secara ensiling. Jurnal Natur Indonesia 4 ISSN 1410-9379. Fak ilmu Perikanan Uniersitas Riau.Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Swadaya. Jakarta.

Naiu, A. S. 1995. Pengaruh Temperatur dan Lama Pengasapan Terhadap Mutu Ikan Julung Julung (Hemirhampus sp) Asap. Universitas Sam Ratulangi. Manadao.

Saleh, M., Rahmat, I. Hilwiah dan Murniyati. 2001. Pengantar Praktek Pengolahan Ikan Secara Tradisional. LPTP. Jakarta.Sulistyowati,U. 2008. Kajian Pengunaan Bahan Tambahan terhadap sifat organoleptik dan daya awet ikan asap. Jurnal Penelitian LIPI. Jakarta.

Sutoyo, M. D. 1999. Pedoman Pengasapan Ikan Cara Sederhana dan Modern. CV. Titik Terang. Jakarta.Suwetja dkk. 2007. Penentuan Mutu Ikan Tandipang selama Penyimpanan suhu kamar. Jurnal penelitian Fakutas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unstrat. Manado.Soeseno, S. 1993. Teknik Penangkapan dan Teknologi Ikan. CV. Yasaguna. Jakarta.

Wibowo, S., 1995. Industri Pengasapan Ikan. Penebar Swadaya, Jakarta.

Lampiran 1. Data Hasil Pengamatan Angka Lempeng Total (ALT) pada Produk Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)AsapTabel 1. Data Hasil Pengamatan Angka Lempeng Total (ALT)

Lama Penyimpanan

(Hari)UlanganJumlah totalRata-rata

123

2

4

6 4.100

37.000

270.000

4.100

32.000

270.000

2.500

30.000

280.000 10.700 99.000820.000 3.600 33.000270.000

Total

929.700

Tabel 2. Data Hasil Pengamatan Angka Lempeng Total (ALT) pada Ikan Cakalang Asap LokalLama Penyimpanan

(Hari)PerlakuanJumlah totalRata-rata

123

2

4

6 8.500

40.000

1.600.000

9.400

44.000

1.600.000

8.400

34.000

1.200.000 26.300 118.0004.400.000 8.800 390.0001.500.000

Total

41.544.300

Tabel 3. Hasil Analisa Sidik Ragam Angka Lempeng TotalSumber

KeragamandBJKKT F

Hit0,050,01

Perlakuan

Galat2

61132481262222,2

30425946666,7566240631111,1

5070991111,12

111,663**5,1410,92

Total81162507208888,9

** sangat nyata

Lampiran 2. Daftar Uji Beda Nyata Terkecil Untuk Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Angka Lempeng Total (ALT) Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)Asap

FK= 852052071111,11

= 0,05

JKP= 1132481262222,2

= 0,01

JKT= 1162907208888,9

Fhit= 111,663JKG= 30425946666,7

Rerata P2 =88266,67

dBG= 6

Rerata P4=714333,33

KTG= 50709911111,12

Rerata P6 =802600

n= 3

Uji Lanjut BNT

t hit:t /2 ; (dBG) 2KTG

n

Tingkat Kepercayaan 95 %

t0,025 ; 6 = 2 . 50709911111,12

3

=2,15 x 58143,45

=125008,42

Tingkat Kepercayaan 99 %

t0,005 ; 6 = 2 . 50709911111,12

3

=3,11 x 58143,45

=125008,42

Lampiran 3. Data Hasil Pengamatan Kadar Air pada Produk Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)AsapTabel 4. Data Hasil Pengamatan Kadar Air pada Produk Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Asap

Lama Penyimpanan

(Hari)UlanganJumlah totalRata-rata

123

2

4

641,00

50,67

57,0040,17

52,5

55,8341,5

51,5

56,33122,67

154,67

169,1640,89

51,56

56,39

Total 446,50

Tabel 5. Data Hasil Pengamatan Kadar Air pada Ikan Cakalang Asap LokalLama Penyimpanan

(Hari)PerlakuanJumlah totalRata-rata

123

2

4

647

52

66

46

53

64

47,5

53,9

66,0140,5

158,9

196,046,83

52,97

65,33

Total

495,4

Tabel 6. Hasil Analisa Sidik Ragam Kadar Air

Sumber

KeragamandBJKKT F

Hit0,050,01

Perlakuan

Galat2

63396,5

29,251698,25

4,9

348,4**5,1410,92

Total83425,75

** sangat nyata

Lampiran 4. Daftar Uji Beda Nyata Terkecil Untuk Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Kadar Air Pada Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)Asap

FK= 199362,25

= 0,05

JKP= 3396,5

= 0,01

JKT= 3425,75

Fhit= 101,98JKG= 29,5

Rerata P2 =32

dBG= 6

Rerata P4=14,5

KTG= 4,9

Rerata P6 =46,5

n= 3

Uji Lanjut BNT

t hit:t /2 ; (dBG) 2KTG

n

Tingkat Kepercayaan 95 %

t0,025 ; 6 = 2 . 4,9

3

=2,15 x 1,81

=3,9

Tingkat Kepercayaan 99 %

t0,005 ; 6 = 2 . 4,9

3

=3,11 x 1,81

=6,7

Lampiran 5. Data Hasil Pengamatan Organoleptik pada Produk Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)AsapLama Penyimpanan

(Hari)UlanganJumlah totalRata-rata

123

2

4

69,00

7,27

5,37

9,00

7,07

6,12

9,00

7,08

5,6427,0021,4217,139,007,145,71

Total 65,55

Tabel 8. Data Hasil Pengamatan Organoleptik pada Ikan Cakalang Asap LokalLama Penyimpanan

(Hari)PerlakuanJumlah totalRata-rata

123

2

4

67,98

6,40

1,70

8,00

7,00

1,65

8,00

7,00

1,7023,98

20,40

5,058,0

6,8

1,7

Total

50,24

Tabel 9. Hasil Analisa Sidik Ragam OrganoleptikSumber

KeragamandBJKKT F

Hit0,050,01

Perlakuan

Galat2

6135,04

3,1867,52

0,53

127,4**5,1410,92

Total8138,22

** sangat nyata

2 4 6

2 4 6

2 4 6