SEJARAH PANGIWA SAJRONE SERAT PARAMAYOGA (TINTINGAN FILOLOGI)
PERANAN MUSEUM SEBAGAI SUMBER ILMU DALAM KAJIAN FILOLOGI
-
Upload
ingeu-widyatari-heriana -
Category
Documents
-
view
256 -
download
12
description
Transcript of PERANAN MUSEUM SEBAGAI SUMBER ILMU DALAM KAJIAN FILOLOGI
LAPORAN KUNJUNGAN KE MUSEUM SRI BADUGA BANDUNG
PERANAN MUSEUM SEBAGAI SUMBER ILMU
DALAM KAJIAN FILOLOGI
INGEU WIDYATARI HERIANA
180110110055
SATRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
KATA PENGANTAR ii-iii
BAB I: PENDAHULUAN 1-5
I.1 Latar Belakang 1-2
I.2 Maksud dan Tujuan 2
I.3 Landasan Teori 3-5
BAB II: PEMBAHASAN 6-3
II.1 Profil Museum Sri Baduga, Bandung 6-12
II.2 Koleksi Museum Sri Baduga 13-30
II.3 Telaah Naskah 31
BAB III: PENUTUP 32-45
III.1 Kesimpulan 32
III.2 Kata Penutup 33
III.3 Lampiran 34-45
DAFTAR PUSTAKA 46-47
i
KATA PENGANTAR
Assalammu ‘alaikum W. W.
Bismillaahirmaanirrahiimi.
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wata’ala karena berkat
rahmat dan karunia-Nya saya bisa dengan ulet dan semangat menyusun dan membuat
“Laporan Kunjungan ke Museum Sri Baduga Bandung Peranan Museum sebagai
Sumber Ilmu dalam Kajian Filologi” ini dengan baik. Penyusunan “Laporan Kunjungan
ke Museum Sri Baduga Bandung Peranan Museum sebagai Sumber Ilmu dalam Kajian
Filologi” dimaksudkan untuk membantu mahasiswa dalam proses perkuliahan,
khususnya dalam meningkatkan penguasaan kompetensi kurikulum sesuai dengan
bidangnya dan meningkatkan semangat belajar mahasiswa yang sesungguhnya.
“Laporan Kunjungan ke Museum Sri Baduga Bandung Peranan Museum
sebagai Sumber Ilmu dalam Kajian Filologi” saya susun dan buat dengan bahasa yang
sederhana agar mudah dipahami mahasiswa secara mandiri. “Laporan Kunjungan ke
Museum Sri Baduga Bandung Peranan Museum sebagai Sumber Ilmu dalam Kajian
Filologi” disusun dan dibuat berdasarkan pengamatan menggunakan teknik penelitian
observasi lapangan dan materi kuliah dari proses perkuliahan yang dikembangkan
sesuai dengan silabus perkuliahan sebagaimana tertuang dalam kurikulum tingkat
satuan pendidikan tinggi.
Saya menggunakan sumber dari kunjungan langsung ke tempat, dunia maya,
dan mata kuliah Filologi yang dibimbing oleh Djarlis Gunawan, M.Hum dan Yudi
Permadi, M.Pd .
Saya mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu
penyelesaian “Laporan Kunjungan ke Museum Sri Baduga Bandung Peranan Museum
sebagai Sumber Ilmu dalam Kajian Filologi” ini. Tanpa materi perkuliahan Filologi
yang dibimbing oleh Djarlis Gunawan, M.Hum dan Yudi Permadi, M.Hum, situs dunia
maya, dan pengarahan petugas tempat wisata, “Laporan Kunjungan ke Museum Sri
Baduga Bandung Peranan Museum sebagai Sumber Ilmu dalam Kajian Filologi” ini
tidak akan berhasil saya susun dan buat dengan baik.
ii
Saya berharap “Laporan Kunjungan ke Museum Sri Baduga Bandung Peranan
Museum sebagai Sumber Ilmu dalam Kajian Filologi” ini dapat bermanfaat untuk
meningkatkan penguasaan kompetensi mahasiswa sesuai dengan standar kompetensi
kelulusan atau penilaian yang diharapkan dan menambah wawasan bagi para pembaca.
Jatinangor, 1 Mei 2012
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Lemahnya pengetahuan, hak paten, nasionalisme atau rasa memiliki bersama atas
segala kekayaan milik Nusantara, sejak zaman kolonialisme banyak kekayaan
Indonesia yang diambil oleh para penjajah namun, dibiarkan begitu saja oleh rakyat
Indonesia. Contohnya naskah-naskah kuno, benda-benda pusaka, hasil alam, makanan
dan minuman tradisional, kesenian dan kebudayaan tradisional asli Indonesia yang
punya nilai sejarah, cerita-cerita, dan makna luar biasa untuk dimanfaatkan bagi rakyat
kita sendiri.
Hingga sekarang masyarakat luar negeri lebih menghargai dan mempelajari
kebudayaan kita untuk mendalami bagaimana rahasia-rahasia kebudayaan, kekayaan,
dan kehidupan rakyat kita. Mereka menyimpan baik-baik layaknya curian itu seutuhnya
milik mereka agar tidak ada yang merebutnya kembali. Atau mungkin suatu saat
mereka memanfaatkan pengetahuan yang telah didapat untuk membodohi lalu menjajah
kita lagi. Mengerikan bukan?
Masyarakat Indonesia khususnya generasi muda sebagai penanggung jawab nasib
bangsa selanjutnya, masih sedikit pengetahuan mengenai warisan buadaya sendiri.
Mereka masih canggung, terkejut, atau pun kagum ketika diperlihatkan hal-hal yang
baru mengenai kebudayaan yang padahal sudah lama ada di negeri kita sendiri.
Contohnya, kebanyakan generasi penerus lupa dengan tokoh-tokoh pahlawan daerah,
tokoh-tokoh masyarakat pejuang, tanggal-tanggal penting bersejarah, tempat-tempat
bersejarah, terkejut saat melihat benda-benda pusaka yang belum diketahui
sebelumnya, dan lain-lain. Hal tersebut memalukan jika persoalan-perseolan itu
ditanyakan dan tidak bisa terjawab.
Mengenai peninggalan berupa benda pustaka yang menyimpan nilai sejarah
perjuangan bangsa, generasi penerus tidak acuh. Benda-benda bersejarah dinilai hanya
sebagai pajangan tanpa mengetahui hal-hal istimewa yang dimiliki. Hal tersebut karena
lemahnya kegiatan publikasi di masyarakat dan sulitnya menjangkau daerah yang
bersangkutan karena warisan budaya Nusantara dan peninggalannya tersebar di seluruh
Indonesia.
1
Semakin kuatnya pengaruh globalisasi menyebabkan rakyat Indonesia sendiri
kurang dominan memperhatikan apa yang telah kita miliki. Alih-alih melestarikan.
Rakyat Indonesia zaman sekarang lebih mengaggumi benda-benda buatan Luar negeri
daripada hasil bumi pertiwi.
I.2 Maksud dan Tujuan
Langkah yang Saya lakukan adalah memperkenalkan terlebih dahulu bukti-bukti
fisik perjuangan rakyat Indonesia terdahulu sebagian yang berhasil terjaga di Museum
berupa naskah, benda-benda pusaka, seperti kris, tombak, meriam, pedang, alat dapur,
perhiasan, pakaian, kendaraan, dan lain-lain. Agar kita mengenal fungsi, wujud, cara
memakai benda-benda luar biasa tersebut yang dipakai untuk berjuang melawan
penjajah. Sehingga muncul hasrat juang, ingin memiliki bersama, dan ingin merebut
kembali milik kita.
Cerita sejarah mengenai kehidupan masyarakat Jawa Barat, masyarakat terdahulu
dalam naskah kuno, dan peninggalan benda pusaka diuraikan agar timbul rasa
nasionalisme ingin seperti para pejuang yang bersikap tangguh tidak mudah putus asa.
Musyawarah anggota masyarakat terdahulu memunculkan semangat kita untuk
menjaga kesatuan bangsa. Agar muncul rasa kagum dalam diri kita terhadap rakyat
Indonesia terdahulu yang berjuang sampai titik darah penghabisan hingga
menghasilkan kisah sejarah yang luar biasa untuk kita miliki bersama dan kita amalkan
dalam kehidupan sehari-hari.
“Laporan Kunjungan ke Museum Sri Baduga Bandung Peranan Museum sebagai
Sumber Ilmu dalam Kajian Filologi” ini disusun dan dibuat untuk mempublikasikan
sebagian kecil dari warisan budaya yang ada karena sulitnya menjangkau daerah yang
memiliki warisan budaya Nusantara dan peninggalannya. Dengan laporan ini,
masyarakat Indonesia bisa membaca lantas mengetahui tanpa mendatangi daerah yang
bersangkutan. Dengan gambar-gambar yang dicantumkan pada bagian lampiran laporan
pun pembaca bisa melihat bagaimana wujud peninggalan dan ikut merasakan
berkunjung ke tempat yang bersangkutan.
Studi terhadap naskah lama akan mengungkap budaya lama yang dapat
membantu menyelesaikan permasalahan masyarakat masa kini dan mendatang. Amin.
2
I.3 Landasan Teori
I.3.1 Pengertian Filologi
Secara etimologi Filologi berasal dari bahasa Yunani terdiri atas dua kata, yaitu
philein yang artinya cinta dan logos yang artinya kata, ilmu. Bentukan kedua kta
tersebut manjadi cinta kata atau senang bertutur.
Menurul istilah Filologi adalah ilmu yang mempelajari naskah-naskah kuno, tua,
atau lama. Dapat juga diartikan sebagai ilmu yang mempelajari naskah-naskah
manuskrip dari zaman kuno. Selai itu juga kata manuskrip sendiri memiliki arti, antara
lain manu yang artinya tangan dan skrip yang artinya tulisan.
Secara umum filologi adalah ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian
sesuatu bangsa dan kekhususannya atau yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan
bahasa dan kesusatraan.
Ilmu lain yang berdamingan dengan ilmu Filologi, yaitu Kodilogi yang
merupakan sub bagian dari ilmu Filologi yang mempelajari asal-usul atau seluk-beluk
naskah. Biasanya membahas isi, wujud, kertas, bentuk gulungan, asal teks didapat, dan
sebagainya. Tekstologi adalah ilmu yang mempelajari tentang teksnya.
3
I.3.2 Kedudukan Filologi di Antara Ilmu-Ilmu Lain
I.3.2.1 Ilmu Bantu Filologi
- Linguistik, Ilmu yang mempelajari bahasa. Di _deolo Barat atau Amerika Linguistik
dipandang sebagai kelanjutan dari ilmu Filologi. Jadi, sebenarnya tidak ada lagi ilmu
Flologi:
Etimilogi, ilmu yang mempelajari asal-usul kata. Contohnya membahas asal-usul nama
suatu tempat
Sosiolinguistik, Hubungan bahasa dengan perilaku masyarakat. Contohnya bahasa
masyarakat Banten yang kasar
Stilistika, mengenai gaya bahasa yang _deo membantu mengetahui usia suatu naskah.
Contonya naskah berbahasa Arab pada Zaman Nabi
- Paleografi, paleo artinya tua, grafi artinya tulisan. Jadi, paleografi adalah ilmu yang
mempelajari tulisan-tulisan lampau, lama, atau tua:
Epigrafi, tulisan yang ada pada prasasti.
- Ilmu Sastra, pendekatan bagaimana sastra dipelajari:
Pendekatan Mimetik, pendekatan dengan cara meniru-niru kenyataan (_deolog) dengan
hal-hal yang mempelajarinya. Contohnya Kitab Negarakertagama yang berisi bahwa
Nusantara bahkan Asia pernah dikuasai Maja Pahit.
Pendekatan Pragmatik, Pendekatan yang membahas karya sastra dengan pembacanya.
Naskah kuno disebarkan dengan cara membaca tulisan tetapi lebih banyak mendengar
karena banyak yang tidak mengerti atau mengenal aksara. Contohnya Kitab zaman
stratifikasi _deolo hanya kaum Brahmana yang hanya _deo membaca.
Pendekatan Ekspresif, Pendekatan yang membahas karya sastra dengan pujangganya
atau penulisnya (penciptanya). Contohnya katya-karya Romantisisme dan Hiperbola.
4
Pendekatan Objektif, pendekatan yang membahas karya sastra diperlakukan sebagai
struktur yang otonom tidak melihat siapa yang menulis, siapa pembaca, tetapi hanya
sebagai objek. Contohnya hubungan sosiologi dalam masyarakat.
- Ilmu Agama, selalu dipakai sebagai sumber, Patokan, acuan, asal dari semua aspek.
- Ilmu Sejarah, segala penamuan harus dicerna, tidak _deo dipercaya sepenuhnya karena
sesungguhnya fakta harus dicari.
- Imu Antropologi, mengenai asal-usul manusia (aspek folk) karena manusia
menghasilkan kebiasaan atau kebudayaan (aspek lor).
- Ilmu Filklor, ilmu yang mempelajari suatu tradisi yang dihasilkan kelompok
masyarakat (kolektif) yang memiliki cirri fisik sehingga dapat dibedakan dari kelompok
lainnya kemudian diwariskan terus-mnerus secara turun-temurun.
I.3.2.2 Filologi Sebagai Ilmu Bantu Ilmu-Ilmu Lain
- Filsafat, naskah lama diambil sebagai filsuf suatu _deolo atau bangsa sebagai sumber.
Contohnya _deology, konstitusi, Infrastruktur, dan lain-lain.
5
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Profil Museum Sri Baduga, Bandung
(Sumber: www.sribadugamuseum.com)
6
II.1.1 Sejarah / Latar Belakang
Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah yang sebagian besar dihuni oleh orang
Sunda, maka sering disebut Tatar Sunda atau Tanah Sunda. Dari perjalanan sejarah dan
lingkup geografis Budaya Jawa Barat secara umum berada pada lingkup budaya Sunda,
sebagai budaya daerah yang menunjang pembangunan kebudayaan nasional.
Tinggalan budaya yang bernilai tinggi banyak tersebar di kawasan Jawa Barat,
baik yang hampir punah maupun yang masih berkembang hingga kini. Perkembangan
budaya Jawa Barat berlangsung sepanjang masa sesuai dengan pasang surut pola
kehidupan. Dalam garis perkembangnnya tidak sedikit pengaruh budaya luar yang
masuk. Hal ini disebabkan wilayah Jawa Barat berada pada posisi yang strategis dari
berbagai aspek mobilitas penduduk yang cukup tinggi. Pengaruh budaya luar cenderung
mempercepat proses kepunahan budaya asli Jawa Barat. Kehawatiran terhadap
ancaman erosi budaya di Jawa Barat, maka pemerintah mengambil kebijakan untuk
mendirikan museum di Jawa Barat, yang kini dikenal “Balai Pengelolaan Museum
Negeri Sri Baduga.”
Pembangunan gedung dirintis sejak tahun 1974 dengan mengambil model
bangunan tradisional Jawa Barat, berbentuk bangunan suhunan panjang dan rumah
panggung yang dipadukan dengan gaya arsitektur modern. Gedung dibangun di atas
tanah bekas areal kantor kewedanaan Tegallega seluas 8,415,5 m. Bangunan bekas
kantor Kewedanaan tetap dipertahankan, sebagai Bangunan Cagar Budaya yang
difungsikan sebagai salah satu ruang perkantoran.
Pembangunan tahap pertama selesai pada tahun 1980, dengan nama Museum
Negeri Jawa Barat, diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI , Dr.
DAUD JOESOEF didampingi oleh Gubernur Jawa Barat H. Aang Kunaefi (1975-1985)
tanggal 5 Juni 1980. Pada tanggal 1 April 1990 terjadi penambahan nama Sri Baduga,
diambil dari gelar seorang raja Pajajaran yang memerintah tahun 1482-1521 Masehi.
Dengan demikian nama lengkap museum waktu itu adalah Museum negeri {ropinsi
Jawa Barat “Sri Baduga.” Pada era Otonomi Daerah (OTDA) berdasarkan Peraturan
Daerah No.5 Tahun 2002 sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) bergabung dengan
Dinas Kebudayaan Provinsi Jawa Barat dengan nama Balai Pengelolaan Museum
Negeri Sri Baduga hingga sekarang.
7
Berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 64 Tahun 2002 tentang
Tugas Pokok, Fungsi dan Rincian Tugas pada UPTD di lingkungan Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata struktur organisasi Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga terdiri
atas Kepala, Sub Bagian Tata Usaha, Seksi Perlindungan, Seksi Pengembangan, Seksi
Pemasaran, dan Pejabat Fungsional. Pada tahun 2010 terjadi perubahan struktur
organisasi melalui Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 43 tahun 2010, yaitu
Kepala, Sub Bagian Tata Usaha, Seksi Perlindungan, Seksi Pemanfaatan dan Kelompok
Pejabat Fungsional.
Berdasarkan jenis kegiatan yang dilaksanakan unsur organisasi non teknis dan
teknis. Kegiatan non teknis bersifat administratif dilaksanakan oleh Subbag Tata Usaha.
Sedangkan yang bersifat teknis dilaksanakan oleh pejabat fungsional Pamong Budaya
yang dikukuhkan melalui SK Gubernur No. 821.27/Kep.3-C/Peg/2004 tetang
Pengangkatan Kembali Jabatan Fungsional Pamong Budaya di Museum Sri Baduga.
Dalam melaksanakan pekerjaannya, para Pejabat Fungsional berkoordinasi dengan
Kepala Seksi yang berkaitan dengan bidang kerjanya.
(Sumber: www.sribadugamuseum.com).
II.1.2 Tupoksi dan Visi Misi
Tugas Pokok dan Fungsi :
Melaksanakan pengunpulan, perawatan, penelitian, penyajian dan bimbingan edukatif.
Visi:
Museum sebagai pusat dokumentasi, informasi dan media pembelajaran serta objek
wisata budaya unggulan Jawa Barat.
Misi:
1) Mengumpulkan, meneliti, melestarikan dan mengkomunikasikan benda tinggalan
budaya Jawa Barat kepada masyarakat.
2) Mengembangkan/memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan kualitas
apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai luhur budaya daerah.
3) Meningkatkan fungsi museum sebagai laboratorium budaya daerah dan filter
terhadap pengaruh buruk budaya global.
4) Menanamkan nilai-nilai luhur budaya daerah.
5) Menata museum sebagai salah satu aset wisata budaya.
(Sumber: www.sribadugamuseum.com).
8
II.1.3 Struktur Organisasi
- Kepala Museum: Memimpin mengkoodinasikan dan mengendalikan pelaksanaan
kegiatan pengetahuan museum.
- Subbag Tata Usaha: Melaksanakan penyusunan rencana kerja pengelolaan
administrasi kepegawaian, keuangan, perlengkapan, umum dan pelaporan.
- Kelompok Jafung: Adalah pegawai museum yang diberi tanggung jawab,
wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan
kegiatan pembinaan kebudayaan.
- Seksi Perlindungan: Menyusun rencana pelaksanaan kegiatan pemeliharaan,
penyimpanan dan pengamanan koleksi.
- Seksi Pengembangan: Menyusun dan melaksanakan rencana pengembangan dan
pendayagunaan koleksi museum.
- Seksi Pemasaran: Melaksanakan penyusunan rencana peningkatan promosi
museum.
(Sumber: www.sribadugamuseum.com).
9
II.1.4 Koleksi Museum
Koleksi yang disajikan pada pameran tetap museum Sri Baduga ditata
menyajikan benda benda bukti kebudayaan Jawa Barat. Kondisi geografis dan
kekayaan alam berpengaruh pada tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Jawa
Barat. Fase-fase perkembangan tersebut dikelompokkan dalam bentuk pameran
dalam tiga lantai ruang pameran tetap museum.
Museum Sri Baduga yang memiliki jumlah koleksi sebanyak 6600 koleksi
terdiri dari 6346 buah, 220 set, 23 stel dan 11 pasang yang kemudian dikelompokan
menjadi 10 klasifikasi.
1. Geologika / Geografika : 79 buah, 3 set, 0 stel, 0 pasang.
2. Biologika : 180 buah, 1set, 0 stel, 0pasang.
3. Etnografika : 2420 buah, 179 set, 20 stel, 9 pasang.
4. Arkeologika : 953 buah, 3 set, 0 stel, 0 pasang.
5. Historika : 16 buah, 6 set, 3 stel, 0 pasang.
6. Numismatika / Heraldika : 1705 buah, 0 set, 0 stel, 0 pasang.
7. Filologika : 145 buah, 0 set, 0 stel, 0 pasang.
8. Keramologika : 599 buah, 1 set, 0 stel, 0 pasang.
9. Seni rupa : 134 buah, 0 set, 0 stel, 2 pasang.
10. Teknologika : 115 buah, 27 set, 0 stel, 0 pasang.
(Sumber: www.sribadugamuseum.com).
10
II.1.5 Lokasi
Museum Sri Baduga merupakan museum pemerintah Pripinsi Jawa Barat yang
berdomisili di Ibukota Propinsinya Bandung. Dari sisi Geografi kota ini terletak
diantara 1070 36' Bujur Timur dan 600 55' Lintang Selatan. Selain kota ini menjadi
kota yang bersejarah pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia juga
memiliki posisi geografis yang sangatlah strategis baik dari sisi, komunikasi,
perekonomian dan transportasi berada dalam poros jalan raya nasional dan poros jalan
raya wisata.Kota yang berada pada ketinggian 791 m dpl yang dikelilingi perbukitan
dan gunung disekitarnya sangat potensial secara ekosistem dan lingkungan. Ditambah
lagi dengan kondisi iklim kota yang lembab dan sejuk dengan temperatur rata rata
23,1o C dan curah hujan rata rata 204,11 mm / tahun memungkinkan orang untuk
nyaman beraktifitas dan berekreasi.
(Sumber: www.sribadugamuseum.com).
11
II.1.6 Denah- Lantai 1: Batuan(geologi), Flora, Fauna, Manusia Purba (Homo Erectus) dan
Prasejarah (Homo Sapiens), Cekungan Danau Bandung Purba. Religi masyarakat
dari masa Prasejarah sampai Hindu-Budha.
- Lantai 2: Religi masyarakat ( masa Islam, Kong Hu Cu, Teoisme dan Kristen)
system pengetahuan, Bahasa, Peralatan Hidup.
- Lantai 3: Mata pencaharian, Teknologi, Kesenian, Pojok Sejarah Perjuangan
Bangsa, Pojok Wawasan Nusantara dan Pojok Bandung Tempo Dulu.
(Sumber: www.sribadugamuseum.com)
12
II.2 Koleksi Museum Sri Baduga
1. Geologika / Geografika
TEODOLIT
Ukuran : Ukuran P: 90 cm, T: Kaki 120 cm, d: 10 cm
Asal : Pangalengan, Kab. Bandung
Teodolit adalah alat ukur sudut yang biasa digunakan oleh Juruh ukur tanah. Terbuat
dari besi dan pada kedua ujung pipa ber-diameter 10 cm dengan panjang 90 cm ditutup
tabung kuningan berbentuk kotak. Pada sisi belakang batang pipa tertera plat kuningan
bertuliskan nomor dan negara pemegang hak paten. Sedang pada sisi depan terdapat
dua buah lubang berkaca untuk membidik sudut sasaran. Pada bagian tengah terdapat
dua buah gelang kuningan tempat mengikatkan besi hitam sebagai pegangan tangan
untuk mengatur posisi teodolit. Pada sisi belakang pipa antara kedua gelang kuningan
terdapat tiga buah lubang bertutup kaca, masing-masing ber-fungsi sebagai teropong
untuk membidik sasaran, yang layarnya dilengkapi angka-angka dan jarum pengukur
sudut.Teodolit ini diletakkan pada dua buah besi bercabang yang terdapat pada
permukaan standar besi berkaki tiga. Alat ukur sudut dibuat pada abad ke-19 di negara
Jerman.
13
2. Biologika
FOSIL RUAS TULANG BELAKANG IKAN PAUS PURBA
Ukuran : T: 21 cm, P: 17cm, d: 30 cm
Asal : Surade, Sukabumi
Fragmen fosil ruas tulang belakang seluruh-nya berjumlah 6 buah berwarna putih
bercampur tanah, salah satu fragmen tidak utuh (sompel). Pada sisi samping kiri dan
kanan atas ruas terdapat ba?gian mencuat di permukaan tulang rusuk yang telah patah.
Menurut Yan Rizal seorang Paleontolog dari ITB, fosil tulang-tulang tersebut
diperkirakan ruas tulang punggung binatang purba se-jenis ikan paus yang diperkirakan
hidup sekitar 8 juta tahun yang lalu. Lokasi temuan yang termasuk ke dalam zona
pegunungan selatan Jawa Barat, dan diper?kirakan dulunya merupakan zona laut.
14
TENGKORAK KEPALA KERBAU PURBA
Ukuran : Fosil, ukuran P: 183 cm; L: 36 cm
Asal : Jakarta
Fosil tengkorak kerbau purba (Bubalus Paleo Kerabau) ini terdiri dari tengkorak kepala
bagian atas serta kedua tanduk, tulang rahang bawah dengan gigi bawah dan beberapa
potongan tulang lainnya. Hewan ini diperkirakan pernah hidup di Pulau Jawa kurang
lebih 1,8 juta tahun yang lalu (masa Plestosen akhir).Fosil hewan ini ditemukan di desa
Sukadami, Kabupaten Bekasi.
15
3. Etnografika
ANGKLUNG GUBRAG
Ukuran : T: Besar 183 cm, L: Besar 91 cm
Asal : Jakarta
Angklung Gubrak adalah angklung khas suku Baduy selain sebagai sarana hiburan juga
dipakai sebagai sarana upacara.Angklung Gubrak merupakan kesenian pusaka,karena
dipertunjukan pada saat tertentu,yaitu waktu melaksanakan upacara mnyongsong
musim tanam(nyesek) dan musim kemarau sebagai syarat untuk musim hujan.Menurut
kepercayaan bunyi-bunyian yang ditimbulkan dapat membangunkan Dewi Sri untuk
menjaga ladang agar tetap subur.Dalam satu perangkat terdiri 6 (enam) buah yiitu :
Angklung gunjing (2 buah), Engklok(2 buah), dan roel 2 buah.Setiap angklung
memiliki tiga buah rumpung dengan ukuran berbeda.Bahan terbuat dari bambu
berdiameter besar dan tinggi.Bentuk setiap rumpung dicowak membentuk resonator
dan bumbung peredam suara serta kaki di letakan pada cowakan hingga dapat
digetarkan tiang atas dihiasi jumbai-jumbai daun yang dibentuk kepang.
16
KAIN PANJANG BATIK MERAK NGIBING
Ukuran : Kain, ukuran P: 240 cm; L: 106 cm
Asal : Tasikmalaya
Kain panjang atau samping kebat batik ini dibuat dengan tehnik tulis, di atas bahan
mori primisima. Warna dasar pulas gumading (soga/krem kekuningan) ciri khas warna
kain batik Garutan. Motif latar rereng/rereng apel, sedang motif utama burung merak
sedang bercengkrama saling memamerkan ekornya yang indah sehingga para perajin
batik Garut menyebutnya merak ngibing. Kain panjang ini biasanya digunakan sebagai
pelengkap busana tradisional yang dipadukan dengan kebaya.
17
4. Arkeologika
REPLIKA PRASASTI CIARUTEUN
Ukuran : Fiber qlass, T: 168 cm, L: 130 cm
Asal : Bandung
Benda asli terbuat dari batu andesit, ditemukan dialiran sungai Ciaruteun. Kini prasasti
tersebut dipindahkan kedarat dan diberi cungkup ( Pelindung ). Prasasti ini sebagai bukti
hadirnya Kerajaan Tarumanagara (+ abad 5 Masehi ) di Jawa Barat dan sekaligus awal
dikenalnya tradisi tulis. Pada prasati ini terdapat pahatan sepasang telapak kaki, gambar laba-
laba dan empat baris tulisan dalam aksara pallawa dan bahasa sansakerta, berbunyi:
vikrantasya vanipateh
srimatah purnnavarmmanah
tarumanagarendrasya
visnor iva padadvayam
Artinya : Ini ( bekas ) dua kaki, yang seperti kaki Dewa Wisnu
ialah kaki yang mulia Purnawarman
raja di negeri Taruma
raja yang gagah berani di dunia.
18
PATUNG ARGASURYA
Ukuran : L dan T: 30 cm, d: 25 cm
Asal : Cirebon Timur Jawa Barat
Pembuatan patung nenek moyang ini masih kasar,berwarna kemerah-merahan.
Bentuknya gemuk pendek,muka bundar dan agak gepeng,kepala gundul,mata sebelah
kanan bundar.sebelah kiri sipit,hidung pesek,bibir tebal,telinga agak ke belakang dan
tebal serta pipi kembung.Posisi patung dalam keadaan duduk dengan berpangku tangan.
19
5. Historika
KERETA KENCANA PAKSINAGALIMAN
Ukuran : Kayu, P: 430 cm, L: 175 cm, T: 170 cm
Asal : Cirebon
Merupakan Kereta Kencana Kesultanan Cirebon, bentuk kereta memadukan 3 unsur
binatang yakni: Paksi = Burung, Naga = Ular, dan Liman = Gajah. Badan kereta
sebagai tempat duduk penunggangnya berbentuk badan gajah. Sisi kiri dan kanannya
dihiasi sayap burung garuda, dibagian ekor, dan leher, naga sedangkan profil wajah
mencerminkan naga dan gajah. Pada leher tertera angka tahun dalam huruf Jawa 1530
Saka ( 1608 M ). Diperkirakan dibuat pada Masa pemerintahan Panembahan Ratu.
Kereta ini diduga sebelumnya hanyalah sebuah jampana atau tandu tampak pada bagian
badan yang merupakan kesatuan yang utuh. Kontruksi putaran roda dibagian depan
mengadopsi dari kebudayaan Cina. Sedangkan bentuk roda belakang seperti payung
dengan kemiringan as 400 dan ukuran dalam satuan sentimeter merupakan pengaruh
budaya Eropa. Sejak tahun 1930 kereta kencana yang asli tidak lagi digunakan dan
disimpan di museum keluarga kanoman. Awalnya kereta kencana ini dipakai kirab
pengantin keluarga sultan. Kereta kencana yang ada di Museum Sri Baduga merupakan
replika, bentuk dan ukurannya dibuat sesuai asli.
20
REPLIKA MAHKOTA BINOKASIH SANGHYANG PAKE
Ukuran : Alpaka lapis emas, T: 28 cm, d: 18cm, P: 35cm
Asal : Jogyakarta
Mahkota ini dibuat oleh Sanghyang Bunisora Suradipati untuk penobatan Raja
Galuh bernama Prabu Niskala Wastukencana pada tahun 1371. Ketika Kerajaan
Pajajaran runtuh, mahkota diserahkan Prabu Geusan Ulun (Raja Sumedanglarang)
dan menjadi benda pusaka leluhur Bupati Sumedang Pangeran Soeria Koesoema
Adinata (Pangeran Sugih). Pada masa pemerintah bupati Pangeran Soeria
Koesoema Adinata Pangeran Sugih (1937-1946), mahkota tersebut dipakai untuk
hiasan kepala pengantin keluarga dan keturunan leluhur Sumedang. Mahkota
terbuat dari emas 18 karat, berat 1,3kg meniru mahkota Batara Indra. Bagian utama
dari mahkota adalah kuluk atau tarbus (sejenis kopiah bentuk bundar tinggi) Ragam
hias meliputi : kuncup bunga teratai pada bagian puncak kuluk, turida jamang
sadasaeler, menyerupai kelopak bunga berhiaskan permata hijau (jamrud), terleytak
di bagian depan, jamang susun dua di atas turida, ?ron? hiasan tumpal bersusun 3 di
sisi kiri-kanan kuluk (bagian pelipis ). Sumping Prabu Ngayun berbentuk seperti
sayap bersusun 3, pada bagian ?jungkat penaras? berbentuk helai-helai daun dan
garuda menghiasi bagian belakang mahkota. Mahkota Binokasih Sanghyang Pake
yang disimpan di Museum Sri Baduga merupakan replikanya.
21
6. Numismatika / Heraldika
UANG KERTAS GUNTING SAFRUDIN
Ukuran : Kertas, P: 7,8 cm, L: 7,4 cm
Asal : Bandung
Untuk mengurangi peredaran uang asing dan menekan devaluasi maka pada tanggal 20 Maret
1950 Mentri keuangan RIS (Republik Indonesia Serikat), Mr. Sjafruddin Prawiranegara
dengan surat keputusan Mentri keuangan Pemerintah Republik Indonesia Serikat (Kabinet
Hatta) No. PU/1 tanggal 20 Maret 1950 mengeluarkan kebijakan dramatis yaitu melakukan
pengguntingan uang yang dikeluarkan De Javansche Bank, dan Hindia Belanda pecahan
bernilai 5 rupiah (gulden) ke atas.
Potongan uang bagian kanan ditukar dengan obligasi Negara jaminan biaya 3 % pertahun
dalam jangka 40 tahun, sedangkan bagian kiri dinyatakan masih berlaku sebagai alat
pembayaran yang syah dengan nilai 50 % dari nilai sebelumnya dan berlaku hingga tanggal 8
April 1950 jam 18.00.
22
KELUHUkuran : Logam, d: 1,3 cm
Asal : Bandung
Benda-benda dari bahan perunggu yang menyerupai perhiasan ini diperkirakan pernah
digunakan masyarakat prasejarah sebagai alat tukar kurang lebih 1000 tahun yang
lalu.Benda-benda berbentuk terompet, binatang dan anting serta cincin ini banyak
ditemukan di daerah Jawa Timur dan masyarakat setempat menyebutkan Keluh atau di
dalam istilah Numismatik disebut Dumblee Ring atau Interapted Ring.
23
7. Teknologika
TELEPONUkuran : P: 0 cm, L: 0 cm, Tb: 0 cm, T: 0 cm, B: 0 cm, d: 0 cm
Asal : Pangalengan, Bandung
Terdiri dari tiga bagian kotak sebagai badan telepon, tempat penyangga dan gagang
telepon. Kotak kayu berwarna coklat berfungsi sebagai wadah perangkat receiver
penerima dan transever yang pendek terdapat engkol pemutar untuk mengirim tanda ke
Telepon lain. Di atasnya kotak kayu terdapat dua tiang sejajar dilengkapi dudukan
menyerupai tanduk kerbau yang bisa turun naik, bila ditekan untuk meletakan gagang
Telepon. Gagang Telepon berbentuk panjang agak melengkung dengan kedua ujungnya
membulat dan berlubang-lubang baik pada permukaannya, satu bagian untuk
mendengar dan bagian yang lain untuk pembicaraan. Antara gagang dan kotak
dihubungkan dengan seutas kabel. Untuk menerima Telepon masuk dihubungkan
dengan kabel ke sentral yang berbentuk bundar.
24
GAMBAR TOONGUkuran : Kayu dan Kaca, T: 135 cm, L: 78 cm Asal : Tasikmalaya
Gambar toong sejenis tontonan anak-anak berupa gambar disimpan dalam sebuah
kotak dengan alat penerang lampu semprong/lampu minyak melalui lensa teropong
yang dipasang pada sisi dindingnya. Anak-anak yang menonton duduk diatas bangku
yag telah disediakan. Selama gambar di dalam kotak ditampilkan, pengamen/pemilik
tontonan anak-anak ini berceritera sesuai gambar yang ditayangkan sambil memainkan
akordeon.
Bagian kotak pipih dibagian atas berfungsi sebagai wadah gambar yang
dilengkapi tali-tali berbandul uang kepeng pada dinding depan dan belakang untuk
menaik-turunkan gambar dan membuka-menutup layar lensa. Kotak cembung di bagian
tengah berisi lensa dan lampu semprong. Kotak tinggi ramping paling bawah berdaun
pintu untuk menyimpan akordeon dan pakaian ganti. Tontonan anak-anak ini dijajakan
ke kampung-kampung. Pada saat berpindah tempat kotak gambar toong dan peralatan
lainya diangangkut dengan cara dengan cara dipikul.
Teknologi gambar toong merupakan cikal bakal teknologi playstation di zaman
modern saat ini.
25
8. Keramologika
WASTAFELUkuran : Tanah liat, Wadah air bersih T: 18,5 cm, d: 25 cm
Wadah air kotor T: 16,5 cm, d: 36 cm
Asal : Majalengka
Wastafel atau tempat cuci tangan berasal dari Eropa dibuat awal abad 20 Masehi.
Wadah berbentuk setengah belahan tong/drum untuk air bersih, sedangkan wadah
berbentuk waskom untuk menampung air kotor bekas cuci tangan. Baik wadah
penampung air bersih maupun air kotor tidak dilengkapi dengan saluran air untuk
mengisi maupun untuk membuang. Ragam hias dua buah ban berisi motif meander dan
sebuah buket bunga mawar.
26
9. Seni rupa
LUKISAN KANVAS `PANGERAN KORNELUkuran : Kanvas, Cat minyak P: 340 cm, L: 210 cm
Asal : Bandung
Lukisan ini dibuat oleH seni rupa asal Bandung bernama Hendra Gunawan dengan
gaya lukisan naturalis dengan ciri khas kaki digambarkan lebih kecil dari aslinya dan
sapuan cat dilakukan pada kanvas hanya dilakukan sekali. Menggambarkan bagian dari
sejarah pembuatan jalan raya Anyer-Panarukan, pada saat membuka hutan dan
meratakan cadas (bukit batuan) di daerah Sumedang yang kemudian terkenal dengan
sebutan Cadas Pangeran. Pembuatan jalan dikerjakan secara paksa (rodi) oleh rakyat
Sumedang, yang kemudian ditentang oleh Bupati Sumedang yang dikenal dengan
julukan Pangeran Kornel. Pada saat Daendels meninjau lokasi pembuatan jalan,
Pangeran Kornel menyalami Gubernur Jenderal Hindia Belanda itu, dengan tangan
kirinya. sementara tangannya memegang keris untuk menunjukan sikap menentang
kerja paksa terhadap rakyatnya.
27
TEMPAT BUMBUUkuran : Kristal & Alpaka, d: nampan 17 cm, T: Botol 27 cm
Asal : Sumedang
Seperangkat tempat bumbu yang terbuat dari Kristal ini terdiri dari 5 buah botol untuk
menyimpan merica, garam, kecap dll. Botol-botol tadi disimpan di atas nampan perak
dan biasa disimpan di atas meja makan sebagai tempat bumbu atau hanya sebagai
hiasan di rumah-rumah para bangsawan. Diperkirakan dibuat sekitar abad 19 M.
28
10. Filologika
NASKAH SANGHYANG RAGA DEWATAUkuran : Lontar, P: 21,5 cm, L: 6,5 cm
Asal : Sukaraja Tasikmalaya
Terdiri dari 25 lempir atau 25 halaman. Aksara Pranagari Bahasa Sunda kuno. Bentuk
gubahan prosa lirik berisi mythos pencipta alam semesta yang diawali dengan
dibangunkannya siang dari kegelapan oleh kekuatan sang bayu. Setelah itu diciptakan
bumi, bulan, matahari, dan bintang-bintang di bawah naungan angkasa. Dari bumi
dijadikanlah sebutir telur sekepal tanah dan menjelma menjadi Batara Guru yang
ditempatkan di gunung kahyangan. Manusia dipandang sebagai mikrokosmosnya jagat
raya yang seluruh kehidupannya harus selalu menjalankan siksa (ajaran) Sanghyang
Darma. Manusia yang dapat menjalankan ajaran tersebut kelak dapat mencapai surga
abadi.
29
NAHWU SHOROFUkuran : P: 19,5cm, L: 31,4 cm, 274 hal
Asal : Majalengka
Keadaan naskah cukup baik, lengkap, dan masih dapat dibaca. Naskah ini berukuran
19,5 x 31,4 cm dengan ukuran ruang tulisan 12,5 x 17 cm, jumlah baris per halaman 14
s.d. 15 baris, beberapa halaman hanya terdiri 5 baris. Naskah ini teksnya berbentuk
prosa, tulisan jelas karena hurufiiya besar serta tintanya berwarna hitam, jarak antar
baris sekitar 1,7 cm. Naskah ini berasal dari Majalengka, disalin oleh 1 orang penyalin,
berupa naskah keagamaan sehingga sering digunakan dalam pengajian.
Isi Kandungan Naskah
Isi teks naskah ini berisi tata cara atau kaidah-kaidah dalam membaca Al-Quran,
sehingga disebut Naskah Nahwu Shorof. Selain itu, naskah ini berisi pula tafsirAl-
Quran. Teks naskah ini terdiri dari beberapa teks (judul) yang berisi tentang:
KitabSarafAl-Kailani
Kitab AI-Awamil
Kitab Jurumiah
Syarah Mukhtashar Al-Awamil
30
II.3 Telaah Naskah
Pada kunjungan ke Museum Sri Baduga, Bandung, saya mendatangi
perpustakaan museum tersebut. Di sana terdapat sumber-sumber ilmu yang dapat
dipelajari dari koleksi-koleksi museum. Salah satunya Kitab Al Awamil dari bagian
Naskah kuno Nahwu Sharaf yang telah dijelaskan sebelumnya sebagai koleksi
filologika Museum Sri Baduga, Bandung. Berikut rincian identitas kitab Al Awamil
yang saya telaah dari buku sumber yang sudah berhasil menerjemahkan naskah kuno
aslinya.
1. Judul Naskah : Kitab Al-Awamil.
2. Nomor naskah : 07.04.02
3. Asal naskah : Tidak diketahui
4. Keadaan naskah : Masih baik dan semua tulisannya masih jelas.
5. Bahan naskah : Daluang, kertas tradisional yang terbuat dari
kulit pohon paper mulberry (Sd. Saeh) yang
diproses secara tradisional.
6. Ukuran naskah : 20x31 cm
7. Ruang naskah : 9x10 cm
8. Tebal naskah : 47 halaman
9. Jumlah baris perhalaman : Tiga baris perhalaman baik di awal, tengah,
maupun akhir.
10. Aksara naskah : Aksara Arab.
11. Tinta yang digunakan : Tinta berwarna hitam.
12. Bentuk teks : Prosa.
31
BAB III
PENUTUP
III.1 Simpulan
Cara untuk melestarikan warisan budaya berupa peninggalan benda-benda pusaka
atau pun tradisi kegiatan orang-orang terdahulu bisa dimulai dengan membaca. Hal
yang paling penting adalah bagaimana masyarakat bisa mendapatkan bacaan untuk
menambah wawasan dan pengetahuan. Melalui “Laporan Kuliah Kerja Lapangan
Wrisan Budaya Sebagai Teladan Masyarakat Pewaris dalam Kajian Filologi” ini saya
sangat berharap bahwa masyarakat tergugah rasa memiliki, cinta tanah air, dan ingin
tahunya, lalu menerapkannya dengan melakukan kegiatan pelestarian.
Melalui penjabaran-penjabaran mengenai suatu benda, lokasi, dan identitas yang
menarik, pembaca meningkatkan semangatnya untuk melestarikan warisan budaya
yang diperlakukan tak acuh oleh masyarakat Indonesia dan meningkatkan rasa
memiliki bersama.
Naskah kuno yang berhasil diterjemahkan dan ditelaah hingga menjadi buku
dapat dengan mudah dibaca oleh masyarakat mengenai isinya, sehingga dapat
menambah pengetahuan pembaca. Hal tersebut meningkatkan pemahaman masyarakat
mengenai warisan budaya, lalu mereka secara perlahan dapat melestarikan dan
mengembangkan harta Nusantara yang telah ada. Karena sesungguhnya apabila tidak
mengenal, maka tidak menyayangi.
32
III.2 Kata Penutup
Alhamdulillaahirrabbil ‘alamin.
Laporan “Laporan Kunjungan ke Museum Sri Baduga Bandung Peranan Museum
sebagai Sumber Ilmu dalam Kajian Filologi” ini telah selesai saya susun dan buat
dengan baik.
Kritik dan saran yang bersifat membangun saya harapkan sebagai upaya
penyempurnaan penyusunan dan pembuatan laporan selanjutnya.
Wassalammu ‘alaikum W. W.
Jatinangor, Mei 2012
Penulis
33
III.3 Lampiran
III.3.1 Brosur Museum Sri Baduga, Bandung
34
35
35
37
III.3.2 Katalog Naskah
38
III.3.3 Terjemahan Naskah Nahwa Shoraf dalam Katalog
39
40
III.3.3 Buku Sumber Hasil menerjemahkan Kitab Al-Awamil
41
III.3.4 Ringkasan Isi Kitab Al-Awamil
42
43
44
45
DAFTAR PUSTAKAhttp://www.facebook.com/ingeu.heriana
http://www.sribadugamuseum.com/
“Sejarah / Latar Belakang” dalam http://www.sribadugamuseum.com/profil.php?req=2
(diakses pada 1 Juni 2012 pukul 17:00)
“Lokasi” dalam http://www.sribadugamuseum.com/profil.php?req=5 (diakses pada 1
Juni 2012 pukul 17:00)
“Denah” dalam
http://www.sribadugamuseum.com/view.php?a=assets/profil/denah.png&w=480&h=29
8&b=/profil.php?req= (diakses pada 1 Juni 2012 pukul 17:58)
“Koleksi” dalam http://www.sribadugamuseum.com/viewket.php?
kat=kol&nid=3&b=/koleksi_det.php?req= , (diakses pada 1 Juni 2012 pukul 18:54)
“Koleksi” dalam http://www.sribadugamuseum.com/koleksi_det.php?req=3 (diakses
pada 1 Juni 2012 pukul 18:55)
“Koleksi” dalam http://www.sribadugamuseum.com/koleksi_det.php?req=5 (diakses
pada 1 Juni 2012 pukul 19.00)
“Koleksi” dalam http://www.sribadugamuseum.com/viewket.php?
kat=kol&nid=14&b=/koleksi_det.php?req= (diakses pada 1 Juni 2012 pukul 19:02)
“Koleksi” dalam http://www.sribadugamuseum.com/koleksi_det.php?req=6 (diakses
pada 1 Juni 2012 pukul 19:03)
“Koleksi” dalam http://www.sribadugamuseum.com/koleksi_det.php?req=10 (diakses
pada 1 Juni 2012 pukul 19.06)
“Koleksi” dalam http://www.sribadugamuseum.com/koleksi_det.php?req=8(diakses
pada 1 Juni 2012 pukul 19.07)
“Koleksi” dalam http://www.sribadugamuseum.com/koleksi_det.php?req=9 (diakses
pada 1 Juni 2012 pukul 19.07)
“Koleksi” dalam http://www.sribadugamuseum.com/koleksi_det.php?req=7 (diakses
pada 1 Juni 2012 pukul 19.09)
46
“Koleksi” dalam http://www.sribadugamuseum.com/koleksi.php (diakses pada 1 Juni
2012 pukul 20.11)
“Koleksi” dalam http://www.sribadugamuseum.com/koleksi_det.php?req=1 (diakses
pada 1 Juni 2012 pukul 20.11)
“Koleksi” dalam http://www.sribadugamuseum.com/viewket.php?
kat=kol&nid=32&b=/koleksi_det.php?req= (diakses pada 1 Juni 2012 pukul 20.11)
“Koleksi” dalam http://www.sribadugamuseum.com/koleksi_det.php?req=4 (diakses
pada 1 Juni 2012 pukul 20.18)
“Koleksi” dalam http://www.sribadugamuseum.com/koleksi_det.php?req=2 (diakses
pada 1 Juni 2012 pukul 20.20)
“Koleksi” dalam http://www.sribadugamuseum.com/ (diakses pada 1 Juni 2012 pukul
10.11)
“Koleksi” dalam http://www.sribadugamuseum.com/profil.php?req=1 (diakses pada 1
Juni 2012 pukul 10.11)
“Koleksi” dalam
http://www.sribadugamuseum.com/view.php?a=assets/profil/sej1.jpg&w=640&h=468
&b=/profil.php?req= (diakses pada 1 Juni 2012 pukul 10.13)
47